political branding partai gerindra dalam era new …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. radita...

17
17 POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW MEDIA 2.0 (Studi Kasus Political Branding Partai Politik Gerindra Melalui Web Media Digital Online) Radita Gora 1 Agus Budiana 2 Universitas Satya Negara Indonesia Jalan Arteri Pondok Indah, No 11. Jakarta Selatan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi ABSTRAK Media digital menjadi salah satu media yang digunakan oleh partai sebagai alat untuk membangun brand dan image partai di era revolusi industri 4.0 yang mengutamakan kemudahan dan efektif untuk meraih suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi memungkinkan bagi partai Gerindra untuk bisa lebih mudah dalam political branding dengan menonjolkan kelebihan partai tersebut ataupun figur politik tertentu serta membangun kritik terhadap rival politik melalui kesadaran. Melalui media digital, dan penyebaran informasi mengenai parti, sehingga partai politik berupaya mengonstruksi suatu pandangan masyarakat melalui isu-isu yang berkembang dan membentuk pandangan-pandangan baru terhadap partai tersebut sebagai upaya meraih sauara publik. Adapun konsep-konsep yang mendukung dalam penelitian ini seperti ideologi politik yang dimana sebuah ideologi politik sebagai visualisasi kenyataan sosial yang sekaligus membangkitkan kesadaran sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus kolektif. Analisis yang difokuskan pada Isu-isu politik yang dicanangkan partai politik benar-benar mencerminkan permasalahan yang dihadapi masyarakat, sekaligus mampu menyadarkan publik akan adanya persoalan mendasar yang dialami bangsa dan negara. Berdasarkan hasil penelitian bahwa partai Gerindra lebih banyak mewacanakan adanya kritik terhadap pemerintah sebelumnya yaitu masa kepresidenan Jokowi yang tidak membawa perubahan, hanya memberikan janji-janji palsu yang tidak terpenuh, serta potensi terhadap nilai kurs rupiah meningkat dan nilai impor meningkat, dan juga cenderung merugikan negara, di satu sisi gerindra juga menawarkan adanya perubahan. Sehingga dalam hal ini partai gerindra tidak berupaya untuk meningkatkan citra partainya dengan menunjukkan kelebihan, melainkan lebih banyak menampilkan konten-konten pesimistis dan sikap apriori terhadap kepresidenan Jokowi. Kata Kunci: Partai Politik, Political Branding, Figur Partai, Media Digital Online, Pengembangan image partai. ABSTRACT Digital media is one of the media used by the party as a tool to build the party's brand and image in the era of the industrial revolution 4.0 which prioritizes ease and effectiveness in gaining the most votes. A society that is increasingly infatuated with technological devices makes it possible for the Gerindra party to be more easily able to political branding by highlighting the strengths of the party or certain political figures and building criticism of political rivals through awareness. Through digital media, and the dissemination of information about parties, political parties seek to construct a public outlook through developing issues and form new views on the party as an effort to gain a public voice. The concepts that support in this study such as political ideology in which a political ideology as a visualization of social reality as well as arousing social awareness. The method used in research is a qualitative method with a collective case study approach. The analysis focused on political issues launched by political parties truly reflects the problems faced by the community, as well as being able to make the public aware of the fundamental problems experienced by the nation and state. Based on the results of research that the Gerindra party more discouraged criticism of the previous government, namely the Jokowi's presidency which did not bring change, only gave false promises that were not fulfilled, as well as the potential for the value of the rupiah to rise and the value of imports to rise, and also likely to harm the country On the one hand, Gerindra also offered a chance. So, in this case, the Gerindra party did not try to improve the

Upload: others

Post on 06-Aug-2020

4 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

17

POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW MEDIA 2.0

(Studi Kasus Political Branding Partai Politik Gerindra Melalui

Web Media Digital Online)

Radita Gora1

Agus Budiana2

Universitas Satya Negara Indonesia

Jalan Arteri Pondok Indah, No 11. Jakarta Selatan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi

ABSTRAK

Media digital menjadi salah satu media yang digunakan oleh partai sebagai alat untuk membangun brand

dan image partai di era revolusi industri 4.0 yang mengutamakan kemudahan dan efektif untuk meraih

suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi memungkinkan bagi

partai Gerindra untuk bisa lebih mudah dalam political branding dengan menonjolkan kelebihan partai

tersebut ataupun figur politik tertentu serta membangun kritik terhadap rival politik melalui kesadaran.

Melalui media digital, dan penyebaran informasi mengenai parti, sehingga partai politik berupaya

mengonstruksi suatu pandangan masyarakat melalui isu-isu yang berkembang dan membentuk

pandangan-pandangan baru terhadap partai tersebut sebagai upaya meraih sauara publik. Adapun

konsep-konsep yang mendukung dalam penelitian ini seperti ideologi politik yang dimana sebuah

ideologi politik sebagai visualisasi kenyataan sosial yang sekaligus membangkitkan kesadaran sosial.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus

kolektif. Analisis yang difokuskan pada Isu-isu politik yang dicanangkan partai politik benar-benar

mencerminkan permasalahan yang dihadapi masyarakat, sekaligus mampu menyadarkan publik akan

adanya persoalan mendasar yang dialami bangsa dan negara. Berdasarkan hasil penelitian bahwa partai

Gerindra lebih banyak mewacanakan adanya kritik terhadap pemerintah sebelumnya yaitu masa

kepresidenan Jokowi yang tidak membawa perubahan, hanya memberikan janji-janji palsu yang tidak

terpenuh, serta potensi terhadap nilai kurs rupiah meningkat dan nilai impor meningkat, dan juga

cenderung merugikan negara, di satu sisi gerindra juga menawarkan adanya perubahan. Sehingga dalam

hal ini partai gerindra tidak berupaya untuk meningkatkan citra partainya dengan menunjukkan kelebihan,

melainkan lebih banyak menampilkan konten-konten pesimistis dan sikap apriori terhadap kepresidenan

Jokowi.

Kata Kunci: Partai Politik, Political Branding, Figur Partai, Media Digital Online, Pengembangan

image partai.

ABSTRACT

Digital media is one of the media used by the party as a tool to build the party's brand and image in the

era of the industrial revolution 4.0 which prioritizes ease and effectiveness in gaining the most votes. A

society that is increasingly infatuated with technological devices makes it possible for the Gerindra party

to be more easily able to political branding by highlighting the strengths of the party or certain political

figures and building criticism of political rivals through awareness. Through digital media, and the

dissemination of information about parties, political parties seek to construct a public outlook through

developing issues and form new views on the party as an effort to gain a public voice. The concepts that

support in this study such as political ideology in which a political ideology as a visualization of social

reality as well as arousing social awareness. The method used in research is a qualitative method with

a collective case study approach. The analysis focused on political issues launched by political parties

truly reflects the problems faced by the community, as well as being able to make the public aware of the

fundamental problems experienced by the nation and state. Based on the results of research that the

Gerindra party more discouraged criticism of the previous government, namely the Jokowi's presidency

which did not bring change, only gave false promises that were not fulfilled, as well as the potential for

the value of the rupiah to rise and the value of imports to rise, and also likely to harm the country On the

one hand, Gerindra also offered a chance. So, in this case, the Gerindra party did not try to improve the

Page 2: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

18

image of its party by showing its strengths but rather displayed pessimistic content and a priori attitudes

towards Jokowi's presidency.

Keyword: Political Organization, Political Branding, Figur Partai, Online Digital Mediae, Image

Image Development Political Organization.

PENDAHULUAN Komunikasi dalam lingkup

politik merupakan bagian komponen

utama menerapkan konsep kekuasaan

yang menguasai maupun untuk tujuan

dikuasai. Permainan komunikasi dalam

politik tentu tidak bisa lepas dari

peranan aktor politik di dalamnya.

Aktor politik merupakan bagian dari

agen dalam suatu pemain politik baik di

dalam kelembagaan tertentu, politik

pemerintah maupun partai politik.

Sehingga aktor politik lah yang

memainkan komunikasi bukan hanya

sebagai bahasa, namun juga

menjadikannya sebagai instrumen

kekuasaan.

Menurut Denton dan

Woodward (1990: 14), komunikasi

politik sebagai diskusi murni tentang

alokasi sumber daya publik

(pendapatan), otoritas resmi (yang

diberi kekuasaan untuk membuat

keputusan hukum legislatif dan

eksekutif), dan sanksi resmi. Aktor

politik memanfaatkan bahasa sebagai

alat komunikasi untuk operasional

relasi kekuasaan. Pada Relasi

kekuasaan mulanya dipahami sebagai

kecenderungan alamiah. Seseorang

dengan kualitas unggul otomatis akan

memerankan peran yang lebih banyak

dibanding orang lain. (Rokhman &

Surahman, 2016: 40).

Denton dan Woodward (1990:

11) mengatakan bahwa komunikasi

politik dalam hal niat pengirimnya

untuk mempengaruhi lingkungan

politik. Seperti dikatakan “Faktor

penting yang membuat komunikasi

‘politik’ bukanlah sumber pesan, tetapi

pada persoalan konten dan tujuannya.”

Seperti halnya pemanfaatan

komunikasi yang digunakan oleh

kapitalisme terhadap penindasan buruh.

Sehingga partai politik berupaya untuk

membalikkan situasi dengan

mengangkat perlawanan yang

dilakukan oleh buruh dengan cara

membangun poltiknya dan juga

kekuasaan dengan komunikasi namun

dengan cara menguasai audiensnya.

Dalam hal ini terlihat bahwa

partai tentunya sarat dengan ideologis.

Seperti halnya di AS, Partai Demokrat

secara historis dikaitkan dengan

liberalisme relatif dalam kebijakan

sosial, dan pendekatan intervensionis

terhadap ekonomi, sementara partai

Republik bercita-cita mengurangi

keterlibatan negara dalam semua aspek

kehidupan sosial-ekonomi. Sehingga

dari sini dapat dicermati dalam

pandangan Althusser mengenai

ideologi yang membawa kita bergerak

dalam relasi yang tak nyata namun

seolah nyata, menerima semu seperti

nyata, yang fana sebagai abadi.

(Althusser, 2010; xviii).

Menurut Giddens (1977) dalam

Faisal Bakti (2016: 5) mengatakan

bahwa pemilihan isu-isu yang

berkembang dalam masyarakat untuk

dijadikan kepentingan politik akan

sangat ditentukan oleh ideologi partai

politiknya. Isu tentang keamanan,

kemiskinan, kesehatan, pengangguran,

dan pendidikan tidak bisa semuanya

mendapatkan skala prioritas yang sama.

Partai politik perlu membangun basis

ideologi politik yang kuat sekaligus

tidak menciptakan semangat fanatisme

berlebihan para politisinya. Ideologi

dimanfaat partai untuk menanamkan

kesadaran kepada public sebagai upaya

untuk meraih suara partisipan.

Dalam konteks persaingan

politik, strategi politik untuk

memenangkan Pemilu perlu

mendapatkan perhatian yang serius. Hal

ini mengingat persaingan partai yang

cukup banyak dan sama-sama memiliki

Page 3: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

19

bargain politik yang kuat. Sehingga

strategi digunakan utuk mengatur tata

cara partai untuk memenangkan

perelehan suara terbanyak. Hal ini perlu

mengacu pada pentingnya berpolitik

dengan memiliki ideologi. Hal ini

bertujuan untuk mencegah dunia politik

agar tidak teralienasi dari dirinya

sendiri. Dan organisasi politik akan

kehilangan semangat, motivasi serta

arahan untuk mengubah wajah dunia

(Mullins, 1972, dalam Faisal Bakti,

2016: 6).

Ketika ideologi sudah terbentuk

dan meyakinkannya kepada publik

dalam komitmen menjalankan visi dan

misinya, maka Partai Politik perlu

diikutkan dalam Pemilihan Umum

(Pemilu) yang merupakan salah satu

media bagi partai politik untuk

menyampaikan ideologinya kepada

rakyat melalui pemasaran politik.

Seperti halnya partai Gerindra

yang terus memenamkan ideologi

kebangsaan sebagai upaya

penyelamatan bangsa Negara Indonesia.

Hal ini termuat dalam situs resmi

Gerindra bahwa ada upaya – upaya

untuk menanamkan kedalam pemikiran

rakyat Indonesia bahwa bangsa

Indonesia selalu dalam kondisi

terancam, sehingga selalu ada upaya

menanamkan sikap persuasive kepada

masyarakat seperti “Selamatkan

Bangsa Indonesia” kemudian kerap

menilai rezim pemerintahan saat ini

sebagai rivalnya yang mengancam

keberadaan partai Gerindra berarti

mengancam bangsa Indonesia. Hal ini

yang selalu terus-menerus digembar-

gemborkan untuk memicu pemikiran-

pemikira yang negative tentang

keberadaan pemerintah saat ini. Hal ini

tentunya menjadi polemik di kalangan

partai dan juga polemik bagi

masyarakat yang di mana beragam isu-

isu politik dan juga isu-isu yang

menyangkut persoalan infrastruktur,

harga bahan pangan, isu kesejahteraan

masyarakat dan juga isu-isu lain yang

berupaya untuk menjatuhkan reputasi

dan keberadaan pemerintahan saat ini.

Upaya itu untuk bisa

menjagkau khalayak luas terutama

masyarakat Indonesia agar memiliki

pemikiran sejalan dengan Partai

Gerindra maka digunakanlah media

Sosial sebagai salah satu alat kampanye

atau menggunakan media digital untuk

kampanye yang dimana pernyataan

bentuk visi dan misi partai yang

disampaikan melalui situs resminya,

kemudian juga membuat penyebaran

berita-berita dan artikel yang diposting

melalui media social seperti bentuk

artikel, publisitas dalam bentuk berita

kegiatan partai, kemudian tulisan opini

yang mengumbar keburukan-

keburukan pemerintah saat ini sebagai

rezim yang lalim dan kritik terhadap

kinerja pemerintah sekarang bahka tak

segan menyebut keberadaan

pemerintah sekarang sebagai program

yang “gagal total”. Hal ini tentunya

seperti terlihat suatu bentuk kampanye

yang tidak mengunggulkan kelebihan

partai Gerindra sendiri, melainkan

menyebarkan informasi parta yang sarat

akan kritik dan tidak mengunggulkan

misi unggulannya kepada masyarakat,

dengan menebar informasi bahwa

“Negara dalam kondisi tidak aman

dengan adanya rezm saat ini” sehingga

hal ini lah yang kemudian menjadi

kritik bagi banyak orang bahwa

kegiatan kampanye partai tidak berjalan

sebagaimana mestinya sebagai ideal

kampanye partai politik. Sehingga

untuk memberikan solusi politis meraih

suara rakyat maka jalan yang ditempuh

adalah dengan memajukan sosok Ketua

Umum Gerindra, Prabowo Subianto

untuk maju sebagai Capres di tahun

2019 yang berpasangan dengan

Cawapres 2019 Sandiaga Salahuddin

Uno.

Upaya untuk memenangkan

suara dari rakyat, seperti yang

dilakukan partai gerindra adalah dengan

branding dirinya dan juga dengan

Page 4: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

20

harapan ada nilai komersial yang

didapat sejauh organisasi politik,

seperti yang ada di sektor komersial,

maka partai harus menargetkan audiens

dari siapa (dukungan elektoral) yang

dicari, menggunakan saluran

komunikasi massa, dalam lingkungan

yang kompetitif dimana warga negara /

konsumen memiliki pilihan luas antara

lebih dari satu ‘merek’ produk politik.

Meskipun ada perbedaan nyata

dalam sifat pasar politik dan komersial,

dan partai politik mengukur

keberhasilan bukan dalam hal

keuntungan tetapi pada pembagian

suara dan kekuasaan efektif,

pemasaraan poltiik menggunakan

banyak prinsip yang diterapkan oleh

produsen barang dan jasa kerena

mereka berusaha untuk kesuksesan

komersial melalui iklan politik.

Peranan iklan politik adalah

untuk membangun suatu Political

Branding agar mudah untuk

mempersuasi masyarakat dan mengenal

partai politik selayaknya figur publik

yang digemari masyarakat. Kesan

tentang keseragaman parpol tanpa

diferensiasi ini memerlukan

perancangan strategi komunikasi

jangka panjang berbasis keunikan para

tokoh atau politisi dan parpol.

Kampanye berkelanjutan termasuk

rancangan strategi merk politik

(political branding), merek personal

(personal branding), para politisi dan

merek parpol (institutional branding),

sehingga meski terjadi koalisi antara

partai, namun identitas masing-masing

partai masih terlihat karakter khusus

dan kekhasannya. (Faisal Bakti, 2016:

72)

Bentuk komunikasi politik

semacam ini menggunakan media

massa untuk ‘membedakan’ produk-

produk politik (yaitu partai dan

kandidat) dan memberi mereka makna

untuk ‘konsumen’, sama seperti

produsen barang atau jasa yang

berusaha merek yang serupa secara

fungsional dari yang lain di tempat yang

ramai. Menurut Eep Saefulloh (2009)

dalam Faisal Bakti (2007: 7),

mengatakan bahwa iklan politik

memainkan peran penting untuk

merebut popularitas, akseptibilitas, dan

elektabilitas. Sehingga cara yang paling

ampuh untuk membentuk citra

seseorang adalah dengan menggunakan

media massa karena media massa

adalah bagian yang tidak terlepas dari

strategi marketing politik.

Perkembangan iklan politik

yang terus bergerak dinamis, ditambah

dengan adanya media baru serta

platform media sosial yang menjadi

sarana baru dan cukup kuat untuk

menegakkan citra partai politik dan

partisan politik di dalamnya. Media

baru yang dipakai dalam dunia politik

sifatnya memungkinkan berinteraksi

dengan publik, mampu merubah voting

behavior secara signfikan. Dalam

pandangan Faisal Bakti (2017: 76)

dalam menyikapi kemenangan mantan

Presiden Barrack Obama dalam Pemilu

amerika, disinyalir adanya indikasi kuat

mempenagruhi kemenangannya.

Dengan adanya new media, partai,

politisi, dan kandidat bisa membuat

situs website atau blog pribadi demi

berinteraksi langsung dengan

masyarakat.

Penggunaan iklan politik saja

sebenarnya tidak cukup, karena publik

pada dasarnya sudah memahami bahwa

kepentingan iklan adalah menunjukkan

sisi baik dari partai saja dengan

pergumulan kata-kata yang ditawarkan.

Namun partai harus berpikir secara

kencang bahwa dalam pemasaran

politik juga perlu didukung dengan

power engagement, atau semacam

pendekatan personal yang lebih dekat

seperti halnya yang diterapkan dalam

praktik Hubungan Masyarakat.

Hubungan Masyarakat atau

Public Relations (PR) berfokus pada

bidang yang berkaitan dengan

mengelola citra dan reputasi seseorang

Page 5: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

21

ataupun sebuah lembaga atau organisasi

di mata publik. (Nova, 2014: 20).

Pendekatan PR ini bekerja di wilayah

publik sebagai fungsi komunikasi,

hubungan dengan masyarakat,

manajemen partai, maupun hubungan

dengan Pemerintah. Dengan

memaksimalkan pendekatan PR ini

maka dapat membangun suatu

publisitas yang positif tentang PR

teruatam dengan memanfaatkan media

sosial online. Adapun teknik dalam PR

di dalam partai politik yang reaktif, di

mana para pihak berusaha untuk

membatasi kerusakan, termasuk dengan

cara melobi wartawan media massa dan

membuat cerita yang mengandung

publisitas positif di dalamnya.

Upaya melakukan pendekatan

pemasaran politik melalui iklan ataupun

publisitas positif tentang partai, hal ini

tentunya dapat mendorong terjadinya

opini publik yang menanggapi partai

politik maupun aktor politik itu sendiri.

Menurut Dan Emory S. Bogardus

dalam Faisal Bakti (2016: 51) yang

menyatakan bahwa opini publik

merupakan pendapat individu-individu

yang diperoleh melalui perdebatan dan

merupakan hasil interaksi antar indvidu

dalam suatu publik.

Mengundang respon Opini

Publik yang positif, tentu dapat

mengundang respon partisipan yang

berpihak pada partai poltik tersebut.

Upaya untuk menarik suatu bentuk

opini publik yang positif, maka partai

politik pun juga menggunakan beragam

isu seperti isu-isu lingkungan,

membahas persoalan konservasi

lingkungan alam, dan pencegahan

kekejaman terhadap hewan yang

dipelihara untuk konsumsi makanan

manusia atau untuk digunakan dalam

pengujian obat-obatan dan kosmetika.

Seperti halnya Partai di Inggris

yang memanfaatkan gerakan dan isu

lingkungan, seperti Friends of Earth

yang telah membuktikan diri sebagai

eksponen yang terampil dalam

penanganan lingkungan. Sehingga

partai memanfaatkan pesan-pesan

politik terkait dengan isu lingkungan

yang dikemas dalam bentuk simbolis

dari protes dan demonstrasi yang

dirancang untuk menarik perhatian para

jurnalis.

Selain permasalahan

lingkungan, isu yang dikembangkan

juga menjadi bagian dari persoalan

buruh. Membahas tentang buruh tentu

tidak lepas dari produksi dan reproduksi.

Setiap tatanan sosial mereproduksi

kondisi produksi pada saat yang sama

tatkala dilahirkan. Tatanan sosial harus

mereproduksi faktor-faktor produksi

dan relasi produksi yang sudah ada.

Adapun persoalan buruh juga

menyangkut tentang hak buruh,

pembelaan serikat pekerja, dan

pendapatan materialnya.

Partai untuk menarik perhatian

publik di Amerika cenderung

berkampanye seputar isu-isu tunggal,

seperti gerakan anti nuklir dan lain

sebagainya. Selain itu menggunakan

isu-isu organisasi terroris yang terjadi

di Amerika dan permasalahan

diplomasi dengan Timur Tengah.

Seperti halnya yang dilakukan oleh

George W. Bush pasca peristiwa teror

WTC 9/11 oleh Al Qaeda yang

menggalakkan “perang melawan teror”

yang kemudian menjadi salah satu ikon

utama dalam kampanye partai republik.

Sebenarnya George W. Bush

bukanlah yang pertama dalam

menggalakkan kampanye anti teror

ketika dalam kampanye pencalonan

Presiden US dan juga kampanye partai

republik. Pernyataan terebut pernah

diserukan 20 tahun sebelumnya oleh

pemerintahan Reagan-Bush Sr., dengan

retorika serupa dan personel yang sama

di posisi terdepan. Dalam kampanye itu

Reagen maupun Bush berjanji akan

melenyapkan “kanker” yang membawa

“kembalinya berbarisme ada era

modern”. Mereka mengidentifikasi dua

pusat utama “Momok jahat terorisme”,

Page 6: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

22

yakni amerika Tengah dan Timur

Tengah/ wilayah Mediterania.

Kampanye mereka untuk memberantas

wabah teror di kedua wilayah tersebut

menempati peringkat atas diantara isu-

isu kebijakan luar negeri lain pada

dekade ini. (Chomsky, 2017: 2). Namun

di satu sisi, organisasi terorisme sendiri

bukan hanya pendefinisian organisasi

yang memunculkan perlawanan

terhadap kekerasan, adapun upaya

memunculkan teror kekerasan dan isu

tentang terorisme yang digunakan

untuk mencapai tujuan politik mereka.

Propaganda tentang terorisme

internasional merupakan satu contoh

digunakannya teknik-teknik tersebut,

baik di dalam negeri maupun di luar

negeri. Para pembuat kebijakan di

pemerintahan Reagen tahu bahwa para

kelompok liberal di kongres dan media

bisa dengan mudah ditakut-takuti

dengan tuduhan bahwa mereka terlalu

lemahdan kurang militan menghadapi

ancaman apa pun yang mungkin

menjadi momok mengerikan saat itu,

sehingga mereka berbaris denan patuh

dalam perang melawan terorisme.

(Chomsky, 2017: 203)

Kampanye semacam ini juga

menjadi bentuk propaganda yang

dilakukan oleh pemerintah dalam

mencapai tujuan politiknya atas Timur

Tengah dengan mengupayakan adanya

pembentukan opini publik yang

mengikuti pandangan politik

Pemerintah. Seperti halnya yang

dilakukan oleh Partai Gerindra yang

memanfaatkan kritik terhadap rezim

saat ini dan juga menfaatkan isu agama

untuk melawan pemerintahan dan

menjadikanya sebagai persaingan untuk

menurunkan reputasi rival politik.

Menurut Kruger Reckless

dalam Faisal Bakti (2017: 51) Opini

publik adalah penjelmaan dari

pertimbangan seseorang tenang sesuatu

hal, kejadian atau pikiran yang diterima

sebagai pikiran umum. Sehingga

pemerintah mengupayakan adanya

pesan-pesan persuasi yang dibangun

untuk membentuk suatu kesadaran

palsu (ideologi) kepada masyarakat

agar mau mengikuti bentuk-bentuk

penanaman stigma kebenaran dari

pemerintah dan mengikutinya dengan

sukarela. Dalam pandangan Marx

dalam Althusser (2010: x) menjelaskan

bahwa kesadaran masyarakat akan

siapa dirinya, atau bagaimana

hubungan mereka dengan bagian

masyarakat lainna, dan pengertian yang

mereka bangun tentang pengalaman

sosialnya, diproduksi oleh masyarakat,

bukan merupakan sesuatu yang alami

atau biologis. Sehingga point disini

kembali lagi bahwa kesadaran lah yang

menumbuhkan sikap di dalam

masyarakat, dan bagaimana pihak-

pihak berotoritas dengan berupaya

untuk memasuki kesadaran khalayak.

Berdasarkan penjabaran

sebelumnya, maka dapat dipetakan

bahwa terdapat Partai dan non partai.

Organisasi publik jika partai berada di

jantung konstitusional dari proses

politik demokratik mereka, tentu saja,

para pelaku politik. Di sekitar lembaga-

lembaga politik yang mapan adalah

sejumlah organisasi non-partai dengan

tujuan politik. Pelaku non-partai ini

menjadi tiga kategori. Pertama, serikat

pekerja, kelompok konsumen, asosiasi

profesional dan lainnya dapat

didefinisikan sebagai organisasi publik.

Mereka disatukan bukan oleh ideologi

tetapi oleh beberapa fitur umum dari

situasi anggota mereka yang

membuatnya menguntungkan untuk

digabungkan, seperti masalah

pekerjaan (serikat pekerja), atau

kelemahan warga negara individu

dalam menghadapi perusahaan besar

(kelompok konsumen). Dalam

organisasi seperti itu, individu

berkumpul bukan hanya untuk

membantu satu sama lain dalam

penyelesaian masalah praktis yang

terkait dengan situasi umum mereka,

Page 7: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

23

tetapi untuk mengkampanyekan

perubahan atau meningkatkan profil

publik dari masalah tertentu, sering kali

dengan meminta bantuan para politisi

terpilih. Organisasi-organisasi ini, pada

tingkat yang lebih besar atau lebih kecil,

status kelembagaan dan legitimasi

publik, sebagaimana tercermin dalam

akses mereka ke pembuat kebijakan dan

media, penerimaan donasi amal, dan

pendanaan resmi.

Dalam konklusi dari penjabaran

ini, dapat ditanggapi dari pandangan

Kaid, dkk yang menunjukkan bahwa

kita dapat melihat 'realitas' politik

sebagai terdiri dari tiga kategori (1991):

Pertama, kita dapat berbicara tentang

realitas politik obyektif, yang terdiri

dari peristiwa-peristiwa politik yang

terjadi benar-benar terjadi. Kedua, ada

subjektivisme - 'realitas' dari peristiwa-

peristiwa politik seperti yang dirasakan

oleh aktor dan warga negara. Aktor

politik memiliki pandang Ketiga, dan

kritis terhadap pembentukan kategori

kedua persepsi subyektif, adalah

realitas yang dibangun, yang berarti

peristiwa yang dicakup oleh media.

LANDASAN TEORITIS

Teori Pembentukan Opini

Unsur penting dalam versi

audiens ini adalah praeksistensi dari

kelompok sosial yang aktif, interaktif,

dan sebagian besar otonom yang

dilayani oleh media tertentu, tetapi

keberadaannya tidak bergantung pada

media. Pengelompokkan orang secara

politis yang terwujud sebagai unit sosial

melalui pengakuan bersama atas

masalah bersama yang perlu

ditanggulangi. Pengelompokkan seperti

itu memerlukan berbagai sarana

komunikasi bagi pengembangan dan

kesinambungannya, tetapi menurut

Mills (1956), media massa telah

berkembang sedemikian rupa untuk

mengelakkan pembentukan publik.

Audiens dipandang memiliki

signifikansi rangkap bagi media,

sebagai perangkat calon konsumen

produk dan sebagai audiens jenis iklan

tertentu, yang merupakan sumber

pendapatan media penting lainnya.

Dengan demikian, pasar bagi produk

media juga mungkin merupakan pasar

bagi produk lainnya, untuk mana media

akan menjadi wahana iklan dan sarana

‘pengantaran’ calon pelanggan produk

lain. Meskipun media komersial perlu

memandang audiensnya sebagai pasar

dalamkedua arti itu dan adakalanya

mencirikan audiens tertentu dalam

hubungannya dengan gaya hidup dan

pola konsumsi, ada sejunlah

konsekuensi pendekatan ini terhadap

cara memandang audiens. Pertama,

pendekatan tersebut merinci hubungan

antara media dengan audiensnya

sebagai hubungan konsumen produsen

yang karenanya bersifat ‘kalkulatif’

dari sudut pandang pengirim. Kedua,

pendekatan ini kurang menekankan

hubungan sosial audiens yang bersifat

intern: yaitu sekumpulan individu dan

konsumen yang sederajat, yang berbagi

ciri demografi atau budaya tertentu.

Ketiga, karakteristik audiens yang

paling relevan dengan cara berpikir ini

adalah sosial-ekonomi dan stratifikasi

sosial audiens selamanya tela menuntut

perhatian yang tidak semestinya.

(McQuail, 1999: 205).

Kemajuan abad kedua puluh

telah melihat arena politik menjadi

lebih internasional, karena media telah

memperluas jangkauan mereka, secara

geografis dan temporal. Di abad ke 21,

audiens media adalah target komunikasi

politik tidak hanya dari sumber-sumber

domestik, tetapi juga dari luar negeri.

Pemerintahan asing, organisasi bisnis,

dan kelompok teroris seperti Al Qaeda,

semua menggunakan sistem informasi

global untuk memajukan tujuan politik.

Bentuk-bentuk tradisional

diplomasi internasional secara

interpersonal tetap ada, tetapi dalam

Page 8: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

24

bentuk perang modern, perjuangan

pembebasan dan perselisihan teritorial

semakin diperjuangkan di media,

dengan opini publik global sebagai

hadiah (karena protagonis - pemerintah

dan badan internasional seperti

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

dianggap menjadi responsif terhadap

opini publik). Sebagaimana yang diakui

Walter Lippmann pada awal tahun

1920-an, 'pemerintah saat ini bertindak

berdasarkan prinsip bahwa tidak cukup

untuk mengatur warganya sendiri

dengan baik dan untuk meyakinkan

orang-orang bahwa mereka bertindak

sepenuh hati atas nama mereka. Mereka

memahami bahwa opini publik dari

seluruh dunia penting bagi

kesejahteraan mereka '(dikutip dalam

Bernays, 1923, hlm. 44).

Teori Pembentukan Opini oleh

Lippman yang mengatakan bahwa

Propaganda menjadi semacam

tantangan yang keras sehingga

membutuhkan perubahan yang drastis

dalam sistem politik. Publik sangat

rentan terhadap propaganda, sehingga

sejumlah mekanisme dan lembaga perlu

melindungi mereka. (Baran, 2010: 106).

Ideologi Politik

Sekularisasi kehidupan social

dan kekuasaan politik menciptakan

kondisi bagi pemunculan dan

penyebaran ‘ideologi-ideologi’. Dalam

konteks ini, ‘ideologi-ideologi’ tersebut

dipahami. Dalam konteks ini, ‘ideologi-

ideologi’ terseut dipahami sebagai

system kepercayaan secular yang

berfungsi untuk memobilisasi dan

memberikan legitimasi. Seiring dengan

terbentuknya relasi social yang baru ini,

kekuatan politik kemudian secara cepat

terkonsentrasi pada lembaga Negara

yang tersekularkan, yaitu Negara yang

didasarkan pada adanya pemahaman

tentang kedaulatan dan peran hokum

formal dengan mengacu pada nilai,

hukum, dan hak universal daripada nila

atau kehidupankeagamaan dan mistis

yang menggantikan kekuatan politik

dengan otoritas kehendak yang suci.

(Thompson, 2017: 107)

Teori-teori politik dan filsafat

melihat bahwa ideologi adalah bagian

dari kekuatan kompleks yang berusaha

mempertahankan atau menggantiikan

struktur politik. Bagi mereka, ideologi

politik adalah alat atau cara untuk

mendapatkan kekuasaan. (Firmanzah,

2008 dalam Faisal Bakti, 2016: 6).

Ideologi politik termanifestasikan

dalam institusi politik. Sehingga

ideologi politik merupakan suatu

bentuk yang merupakan gabungan atau

inti aspirasi para anggota yang

menyusun institusi politik bersangkutan.

Menurut Lane dalam Faisal Bakti

(2016: 6-7), ideologi politik cirikan

empat hal. Pertama, ideologi politik

berkaitan dengan pertanyaan siapa yang

akan memimpin? Bagaimana mereka

dipilih? Dan, dengan prinsip-prinsip

apa mereka memimpin? Kedua,

ideologi mengandung banyak sekali

argumen untuk persuasi atau juga

melawan (counter) ide-ide yang

berlawanan. Ketiga, ideologi sangat

mempenagruhi banyak sekali aspek

kehidupan manusia, mulai aspek

ekonomi, pendidikan, kesehatan,

kesejahteraan, dan sebagainya.

Keempat, ideologi terkait dengan hal-

hal penting dalam kehidupan sosial,

baik mengajukan program atau

menentangnya. Kelima, ideologi

mencoba merasionalisasi kepentingan

kelompok sehingga kepentingan

tersebut sangat beralasan dan layak

diperjuangkan. Keenam, ideologi

berisikan hal-hal yang bersifat normatif,

etis, dan moral. Berdasarkan hal ini,

dapat diamati bahwa ideologi sebagai

visualisasi kenyataan sosial yang

sekaligus membangkitkan kesadaran

sosial. (Faisal Bakti, 2016: 7)

Political Branding

Pendekatan merek parpol

(political party branding) berorientasi

Page 9: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

25

konsumen atau konstituen melalui riset

French dan smith (2010) untuk

memetakan kekuatan ekuitas merek

politik menemukan persepsi atau

asosiasi merek yang berbeda antara

atribut merek. Partai Koservatif yang

lebih kuat ketimbang partai buruh di

Inggris. Konsekuensi dari penelitian

tersebut, partai politik bisa memakai

sejumlah atribut atau asosiasi merek

parpol yang melekat di benak

konstituen untuk menguatkan

diferensiasi merek parpol dan sebagai

bahan tema kampanye. (Dikutip dari

Alifahmi dalam Literasi Politik dan

Lembaga Pemilu. Editor: Andi Faisal

Bakti, 2016: 84).

Dalam pembahasan Merek Partai

Politik, juga membahas tentang

penyelarasan merek (brand allignment)

antara merek parpol dan merek personal

tokoh (politisi) yang bisa menghasilkan

koherensi dalam sejumlah atribut merek

(brand atribute coherency) dari

keduanya.

Komunikasi politik itu

sebenarnya bukan hanya di level merek

personal atau merek parpol, melainkan

mengulas mengenai kampanye merek

politik sebagai institusi dalam konteks

negara seperti kampanye KPU di level

Nasional, maupun Kampanye Pilkada

di level provinsi bahkan di level

pemerintahan kabupaten dan kota.

(Alifahmi, 2008).

New Media 2.0

Dunia media digital seperti

dikenal masyaraka luas saat ini ibarat

kita sedang mengarungi suatu lautan

literasi baru, di mana kita sekarang

mugkin masih sedang mengejanya.

Dunia digital sudah mulai terjadi sejak

satu dua decade lalu, dan pada saat yang

sama ada pertumbuhn alat penerima

komunikasi yang semakin canggih.

Alat komunikasi yang kita miliki

sekarang memungkinkan kita untuk

tidak sekedar berkomunikasi lisan,

tetapi juga berkomunikasi dengan tukar

menukar data, berkirim pesan tertulis,

dalam jumlah yang sangat besar.

Melalui media internet,

pembentukan budaya siber berlangsung

secara global dan universal. Budaya

siber bisa dipandang sebagai objek

sekaligus subjek dalam kajian

antropologi, sosilogi, maupun dalam

kajian media dan cultural studies.

(Nasrullah, 2016: 142).

Menurut Erving Goffman dalam

bukunya The Presentation of Self in

Everyday Life (1959) dalam Nasrullah

(2016: 142) mengatakan bahwa setiap

individu pada kenyataannya melakukan

konstruksi atas diri mereka dengan cara

menampilkan diri (self performance).

Namun penampilan diri ini pada

dasarnya dibentuk atau untuk

memenuhi keinginan audiensi atau

lingkungan sosial, bukan berasal dari

diri dan bukan pula diciptakan oleh

individu itu sendiri.

Internet pada dasarnya

komunikasi dan/interaksi yang terjadi

memakai medium teks, secara langsung

hal ini akan mempengaruhi bagaimana

seseorang mengkomunikasikan

identitas dirinya di kehidupan virtual

(virtual life) dan setiap teks menjadi

semacam perwakilan dari setiap ikon

diri dalam penampilan diri.

Internet of things telah

menciptakan kemampuan individu

untuk mengekspresikan diri dan

berinteraksi secara terbuka. Hal ini

mendorong inovasi baru bagi Partai

untuk bisa merubah mindset kinerja

komunikasi ydalam membangun

publisitas dan publikasinya, serta perlu

merubah paradigma partai menjadi

bagian utama dalam corporate

communications pelibatan dua arah

melibatkan khalayak dan multiplatform.

Perkembangan Teknologi Digital

ini memang menjadi sutu transformasi

Communication Challenge, mengingat

beberapa perusahaan yang tidak siap

dengan tantangan global

communication pada akhirnya harus

Page 10: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

26

tergerus dan gulung tikar. Namun

apabila siap dengan tantangan teknologi

digital ini, maka perusahaan pun siap

bersaing untuk fase kedua. Menurut

David Gauntlet (2014) menyebutkan

studi media di era internet ini sebagai

“Studi Media 2.0”, sebagai lawan dari

“Studi Media 1.0” (surat

kabar/radio/televisi). Pada media 1.0,

terdapat pembedaan tegas antara media

dan khalayak penerima. Komunikasi

massa ditndai oleh beberapa penyampai

pesan (suratkabar/radio/televisi) yang

mengirimkan pesan kepada banyak

orang (khalayak). Definisi ini berubah

setelah kehadiran internet, di mana

saluran pesan saat ini sangat banyak.

Lewat internet (seperti blog dan media

sosial), setiap orang pada dasarnya bisa

berfungsi sebagai saluran pesan.

Sementara pada media 2.0 adalah

melihat khalayak sebagai aktif dan

paritfipatif. Di era internet, khalayak

tidak hanya bisa memilih tetapi juga

berpartisipasi dengan jalan mengubah,

menciptakan ulang dan menyebarkan

suatu informasi. Dari sini, titik penting

media 2.0 adalah kolaborasi, sharing

dan jaringan yang dimana teknologi

sangat memungkinkan di sini.

Perkembangan Teknologi Digital

ini memang menjadi suatu transformasi

Communication Challenge, mengingat

beberapa organisasi yang tidak siap

dengan tantangan global

communication pada akhirnya harus

tersaingi atau kalah persaingan. Namun

apabila siap dengan tantangan teknologi

digital ini, maka partai pun siap

bersaing untuk Pemilihan Umum.

METODELOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif karena

lebih sesuai untuk digunakan

mengingat banyak aspek dari Political

Branding partai politik dalam upaya

penyelerasan merek partai dan merek

personal (personal branding) dari

Partai Poltiik di Amerika yang perlu

digali lebih mendalam dari para

informan.

Paradigma yang digunakan

dalam penelitian ini adalah paradigma

Konstruktivis.paradigma

konstruktivisme menyatakan bahwa

individu melakukan interpretasi dan

bertindak menurut berbagai macam

konseptual yang ada didalam

pikirannya. realitas tidak menunjukkan

dirinya dalam bentuknya yang kasar,

tetapi harus disaring terlebih dahulu

melalui bagaimana cara seseorang

melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)

Tipe penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif untuk menyajikan gambaran

melalui narasi, dan memaparkan profil

klasifikasi mengenai tahapan

penyelarasan merek (brand allignment)

dan jenjang ekuitas merek politik

berbasis konstituen yang dikemas

dalam bentuk iklan di media massa

online digital yang terdistribusikan

melalui portal web maupun melaui

media sosial.

Pada tipe penelitian deskriptif

bertujuan untuk menyediakan

gambaran secara terinci mengenai

fenomena yang diteliti, menempatkan

data baru yang berlawanan dengan data

lama, menciptakan seperangkat

kategori atau klasifikasi, melakukan

klasifikasi terhadap urutan suatu

tahapan atau jenjang, mencatat proses

mekanisme iklan partai, dan

melaporkan mengenai latar belakang

atau konteks dari sebuah situasi yang

terjadi (Neuman, 2006: 34).

Unit analisis penelitian ini terbagi

level partai atau organisasi politik,

yakni merek level organisasi partai atau

merek partai politik yang melakukan

publisitas di portal web dan media

sosial. Fokus analisis adalah tingkat

keselarasan atribut-atribut merek dari

organisasi partai.

Page 11: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

27

Pengumpulan data penelitian

dilakukan melalui wawancara

mendalam kepada sejumlah informan

secara snowball sampling dan pakar

politik dengan menggunakan panduan

wawancara sesuai dengan kebutuhan

dan karakteristik Parpol. Panduan

teknik klasifikasi dan kategorisasi

dalam pengumpulan dan analisis data

yang dikenal dengan pengkodean

(coding). Untuk sampel yang diteliti

mencakup publisitas Gerindra di media

social dan juga publitas di web portal,

dan promosi partai Gerindra di media

online web maupun media massa online.

Teknik analisis data yang

dilakukan adalah dengan pengkodean

terbuka, aksial, dan selektif (Neuman,

2006: 460: 464). Tahap pengkodean

terbuka (open coding) adalah untuk

memilah data, memerinci, menguji,

membandingkan, konseptualisasi dan

kategorisasi data untuk membuka

gagasan melalui penelusuran data yang

intensif dan terinci. Pengkodean aksial

(axial coding) merupakan metode

analisis integrasi melalui

penghubungan kategori-kategori,

memunculkan data dalam bentuk baru.

Sementara itu tahap pengkodean

selektif (selective coding) memilih

kategori inti atau peristiwa utama dan

menghubungkan dengan kategori lain.

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Partai

Partai Gerakan Indonesia

Raya atau Partai Gerindra, adalah

sebuah partai politik di Indonesia yang

didirikan dan diketuai oleh Letnan

Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo

Subianto. Partai Gerindra berdiri pada

tanggal 6 Februari 2008. Pengurus dan

aktivis partai ini dicirikan dengan

pakaian safari lengan pendek dan

panjang, serta kopiah hitam. Inspirasi

nama Gerindra berasal dari nama partai

lama, Perindra, yang merupakan

pemberian langsung dari Presiden

Soekarno.

Pada periode 2009-2014, Partai

Gerindra berada di luar kabinet

pemerintahan pusat bersama Partai

Demokrasi Indonesia

Perjuangan dan Partai Hanura.

Pada Pemilu 2014, partai Gerindra

mendapatkan 73 kursi di Dewan

Perwakilan RakyatRepublik Indonesia.

Partai Gerindra mengusung Prabowo

Subianto selaku Ketua Dewan Pembina

sebagai calon presiden. Pada periode

2014-2019, Partai Gerindra kembali

berada di luar kabinet pemerintahan

pusat bersama.

Bermula dari Keprihatinan,

Partai Gerindra lahir untuk mengangkat

rakyat dari jerat kemelaratan, akibat

permainan orang-orang yang tidak

peduli pada kesejahteraan. Dalam

sebuah perjalanan menuju Bandara

Soekarno-Hatta, terjadi obrolan antara

intelektual muda Fadli Zon dan

pengusaha Hashim Djojohadikusumo.

Ketika itu, November 2007, keduanya

membahas politik terkini, yang jauh

dari nilai-nilai demokrasi

sesungguhnya. Demokrasi sudah

dibajak oleh orang-orang yang tidak

bertanggung jawab dan memiliki

kapital besar. Gagasan pendirian partai

pun kemudian diwacanakan di

lingkaran orang-orang Hashim dan

Prabowo. Rupanya, tidak semua setuju.

Ada pula yang menolak, dengan alasan

bila ingin ikut terlibat dalam proses

politik sebaiknya ikut saja pada partai

politik yang ada. Kebetulan, Prabowo

adalah anggota Dewan Penasihat Partai

Golkar, sehingga bisa mencalonkan diri

maju menjadi ketua umum.

Pembentukan Partai Gerindra

terbilang mendesak. Sebab

dideklarasikan berdekatan dengan

waktu pendaftaran dan masa kampanye

pemilihan umum, yakni pada 6 Februari

2008. Dalam deklarasi itu, termaktub

visi, misi dan manifesto perjuangan

partai, yakni terwujudnya tatanan

masyarakat indonesia yang merdeka,

berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan

Page 12: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

28

makmur serta beradab dan

berketuhanan yang berlandaskan

Pancasila sebagaimana termaktub

dalam pembukaan UUD NRI tahun

1945.

(http://partaigerindra.or.id/sejarah-

partai-gerindra)

Kisah Gerindra dan Kepala Garuda Memberi nama partai politik gampang-

gampang susah. Karena nama partai

berkaitan dengan persepsi yang akan

diingat oleh masyarakat selaku

konstituen. Sebelum nama Gerindra

muncul, para pendiri partai ini seperti

Prabowo Subianto, Hashim

Djojohadikusumo, Fadli Zon dan

Muchdi Pr juga harus memikirkan

nama yang tepat. Ketika itu di Bangkok,

Thailand, mereka berkumpul untuk

acara Sea Games Desember 2007, demi

mendukung tim indonesia, terutama

polo dan pencak silat yang berhasil

lolos untuk dipertandingkan di sana.

Kebetulan Prabowo adalah

ketua IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh

Indonesia). Namun ajang kumpul-

kumpul tersebut kemudian

dimanfaatkan untuk membahas nama

dan lambang partai. Nama partai harus

memperlihatkan karakter dan ideologi

yang nasionalis dan kerakyatan

sebagaimana manifesto Gerindra.

Tersebut lah nama “Partai Indonesia

Raya”. Nama yang sebenarnya tepat,

namun sayang pernah digunakan di

masa lalu, yakni PIR (Partai Indonesia

Raya) dan Parindra. “Kalau begitu

pakai kata GERAKAN, jadi Gerakan

Indonesia Raya,” ucap Hashim penuh

semangat. Peserta rapat pun kemudian

menyetujuinya. Selain gampang

diucapkan, juga mudah diingat:

Gerindra, begitu bila disingkat. Nah,

setelah persoalan nama selesai, tinggal

soal lambang. Lambang apa yang layak

digunakan?

Muncul ide untuk menggunakan

burung garuda. Namun, ini lambang

yang sudah banyak digunakan partai

lain. Apalagi simbol Pancasila yang

tergantung di dada garuda, mulai dari

bintang, padi kapas, rantai, sampai

kepala banteng dan pohon beringin,

sudah digunakan oleh partai yang ada

sekarang. Untuk menemukan lambang

yang tepat, Fadli Zon mengadakan

survei kecil-kecilan.

Perpaduan antara nama dan

lambang yang tepat, sebab keduanya

menggambarkan semangat

kemandirian, keberanian dan

kemakmuran rakyat. Kepala burung

garuda yang menghadap ke kanan,

melambangkan keberanian dalam

bersikap dan bertindak. Sisik di leher

berjumlah 17, jengger dan jambul 8

buah, bulu telinga 4 buah, dan bingkai

gambar segi lima yang seluruhnya

mengandung arti hari kemerdekaan, 17-

8-1945. Dalam perjalanannya

kemudian, terbukti, Gerindra

mendapatkan tempat di hati

masyarakat, meski berusia muda.

Ketika iklan kampanye gencar

dilakukan, burung garuda dan suaranya

ikut memberi latar belakang sehingga

para penonton merasa tergugah dengan

iklan tersebut.

(http://partaigerindra.or.id/sejarah-

partai-gerindra)

Analisa

Berdasarkan hasil analisis data,

dapat dilihat bahwa upaya Gerindra

dalam mempromosikan partai dengan

menggunakan media web portal online

merupakan cara baru yang juga

digunakan oleh partai-partai untuk

menginformasika keberadaan partai

dan juga sebagai sarana untuk

mempromosikan partai terutama ketika

menjelang Pemilu atau persiapan untuk

pemilihan Kepala Daera (PILKADA)

maka Partai pun turut andil melalui

media social untuk mempromosikan

partainya dan juga untuk mengusng

kandidat-kandidat atau calon legislatif

yang maju dalam pemilihan legislatif

termasuk mengusung para calon kepala

negara dan kepala daerah.

Page 13: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

29

Partai Gerakan Indonesia Raya

(Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) dan PDI Perjuangan diakui

sebagai partai yang rajin memanfaatkan

media sosial sebagai media untuk

propaganda ideologinya. Materi politik

yang disampaikan ketiga partai ini

paling banyak direspon masyarakat.

Survei Institute for

Transformation Studies (Intrans)

bertajuk pemantauan dan analisis

materi kampanye di media sosial akun

resmi partai politik di Indonesia,

menunjukkan akun

resmi Gerindra paling banyak direspon

netizen. Tercatat, materi dalam akun

resmi Gerindra dishare hingga 77.000

kali. Jauh lebih unggul dibandingkan

PKS yang hanya dishare 59.000

dan PDIP yang hanya dishare 37.000

kali.

Survei ini dilakukan 1

September 2015 hingga 15 Januari

2016. Direktur Intrans Andi Saiful Haq

menjelaskan, jumlah share sebagai

indikator paling terlihat jelas untuk

mengukur tingkat keterlibatan politik

masyarakat di media sosial. "Karena

tidak sekadar melihat, suka atau

menyetujui, tapi terlibat dengan

tindakan ikut menyebarkan konten-

konten kampanye partai politik yang

bersangkutan," ujar Andi di

Cikini, Jakarta, Jumat (29/1) .

Andi mengakui kuatnya tim

kampanye Gerindra di jejaring dan

media sosial. Tim media sosial partai

besutan Prabowo ini terbukti punya

kemampuan besar menggaet pengguna

sosial media. Indikatornya terlihat dari

jumlah akun audiens Gerindra yang

mencapai 3,8 juta. Jumlahnya jauh di

atas PDIP yang hanya 1,6 juta.

Sementara PKS hanya 250.000 audiens.

"Hal ini terbaca dari urutan yang

hampir menyamai urutan jumlah

audiens," tambah Andi.

Konten media sosial yang

dirancang secara terstruktur dan

sistematis. Jauh berbeda jika

dibandingkan dari partai-partai lain,

khususnya partai pendukung

pemerintah.

Sejak pemilihan umum 2014, akun

media sosial Gerindra memang jauh

lebih rapi dengan pesan kampanye dan

sistem komunikasi yang memusat dari

atas ke bawah. Materi-materi kampanye

bertumpu pada akun-akun resmi partai.

Sejauh yang bisa diamati, apa yang

dilakukan Gerindra ini setidaknya

memiliki dua efek penting.

Pertama, media sosial memungkinkan

partai berkomunikasi secara langsung

dengan pemilih dan calon pemilih.

Setidaknya ia menjadi ruang untuk

merawat isu yang selama ini menjadi

garis pembeda bagi posisi kelompok

oposisi dan pemerintah.

Dengan karakter media sosial

yang membuat orang mudah lupa,

merawat isu dengan konsisten adalah

cara untuk tetap diingat publik. Jejak

digital akan diingat atau diungkit publik

dan bisa digunakan sebagai senjata di

masa pemilihan umum. Melihat fakta

bahwa partai politik di Indonesia kerap

hanya dirasakan kehadirannya ketika

musim pemilu, “kehadiran” di media

sosial setidaknya menjaga agar isu yang

dibawa terus itu dekat dengan publik.

Algoritma media sosial, yang

membentuk gelembung filter,

sebenarnya akan menguntungkan partai

yang bisa terus merawat isu-isu yang

coba diusung. Lepas dari pelbagai sisi

negatifnya, kecenderungan pengguna

media sosial untuk mencari ide-ide

yang sesuai pemikirannya, jika dirawat

oleh partai, akan “mengeraskan”

dukungan terhadap partai.

Kedua, media sosial adalah platform

dengan kapasitas yang mampu

melampaui peran media arus utama.

Ketika kampanye politik mulai

diizinkan di televisi oleh pemerintah

Orde Baru pada dekade 1990-an,

masing-masing partai hanya

mendapatkan jatah terbatas. Artinya,

semakin sedikit waktu yang bisa

Page 14: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

30

mereka gunakan untuk menjangkau

publik melalui media. Bahkan di era

pasca reformasi, akses terhadap media

akan ditentukan oleh sumber daya milik

partai.

Sikap Gerindra yang aktif dan

agresif di media sosial bisa dipahami.

Ini langkah yang sangat strategis,

khususnya jika yang disasar adalah

generasi pemilih Milenial dalam pemilu

2019. Sebuah lumbung suara yang

strategis, mengingat 34,4 persen

penduduk Indonesia adalah generasi

Milenial (kelompok usia 17-34 tahun,

menurut data Saiful Mujani Research &

Consulting). Artinya, gabungan antara

kampanye media sosial dan mesin

partai yang sedang punya moral tinggi

pasca menang di Pilkada Jakarta bisa

membawa kejutan pada Pemilu 2019.

Pasangan Prabowo – Sandiaga

lebih eksis di kalangan pengguna tiga

platform media sosial besar, seperti

Facebook, Twitter, dan Instagram.

Sejumlah anggota tim Badan

Pemenangan Nasional Prabowo –

Sandiaga mengatakan ini adalah

kesuksesan yang tidak terduga. “Kami

kaget juga tahu berita ini,” kata juru

bicara BPN, Faldo Maldini kepada

Tempo pada Rabu, 28 November 2018.

Terdapat 3 strategi Political Branding:

1. Menggiatkan influencer relawan

Prabowo – Sandiaga

Juru bicara BPN sekaligus politikus

Partai Gerindra, Andre Rosiade,

mengatakan timnya menggandeng

sejumlah influencer relawan Prabowo

– Sandiaga untuk mengunggah konten-

konten kampanye di media sosial.

“Jumlah influencer itu ratusan,” kata

Andre kepada Tempo pada Rabu pagi,

28 November 2018.

Influencer itu terdiri atas selebgram,

selebtwit, hingga YouTuber.

influencer menarasikan kampanye

capres dan cawapres yang dibelanya

dengan konten-konten program yang

diklaim positif. Misalnya melalui

infografis program pengembangan

ekonomi.

Pada 30 Oktober lalu influencer

bertemu dengan Prabowo di

kediamannya, Jalan Kertanegara 4,

Jakarta Selatan. Sandiaga

mengkonfirmasi, para influencer

dipersilakan mengutip atau menyadur

platform visi misi dan pernyataan-

pernyataan capres serta cawapres.

2. Melabeli Sandiaga sebagai

tokoh sentral di medsos

Tim media sosial Sandiaga Uno,

Raditya, mengatakan cawapres yang

dibelanya merupakan tokoh yang

berperan penting untuk mendongkrak

elektabilitas Prabowo di media sosial.

unggahan-unggahan tim media sosial

di akun-akun personal Sandiaga cukup

dekat dengan keseharian milenial.

3. Konten dan target yang

terukur

Partai Gerindra memiliki konten-

konten yang substantif dengan sasaran

yang terukur. Tim Gerindra memakai

media sosial sebagai medium untuk

mendengar.

Adapun gagasan yang ditawarkan

untuk kampanye kubu Prabowo di

beberapa jenis media sosial, Tim

media sosial Prabowo dan Sandi selalu

menghindari perang-perang di dunia

maya, seperti di Twitter.

Pada konten yang dibangun oleh

Partai Gerindra terlihat bahwa pada

Partai Gerindra, strategi branding

politics yang dibangun lebih

mengedepankan konten-konten tertulis

namun lebih banyak bermuatan konten-

konten yang bersifat kritik dan

propaganda. Tak sedikit konten-konten

yang juga bermuatan berita-berita yang

disinyalir hoax seperti beberapa

pernyataan Prabowo dan juga

pernyataan Sandiaga Uni. mengenai

Hal ini tentunya menjadi hal yang

kontroversial dan dapat mengurangi

simpatik public. Adapun di dalam

Page 15: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

31

muatan konten media sosial terdapat

iklan partai Gerindra tentang

menyelesaikan permasalahan

pengangguran di Indonesia. Hal ini pun

juga dinilai terlalu ambigu untuk diulas

karena berupaya untuk mengkritik

keberadaan Pemerintahan menurutnya

saat ini tidak dapat mengatasi masalah

pengangguran di Indonesia, namun

iklan ini justru sebagai sesuatu yang

membingungkan karena banyak yang

menganggap iklan ini justru terlihat

mengambang dan tidak jelas.

Adapun konten-konten yang

termuat dalam artikel tulisan di web

resmi Partai Gerindra lebih banyak

mengkritik pemerintahan saat ini yang

berada dibawah rezim Presiden Joko

Widodo yang menurut Partai Gerindra,

pemerintahan Jokowi dianggap gagal

dalam memajukan pembangunan di

Indonesia dan meningkatkan

perekonomian Indonesia. Seperti judul

artikel di dalam pemuatan kutipan dari

Fadli Zon “Pembangunan

Infrastruktur Hanya Etalase Politik

atau Pencitraan Semu”. Selain itu

juga pada judul “Gerindra Tahu Cara

PDIP Dominasi Kekuasaan di

Jateng, Tapi Rakyat Tetap Miskin”.

Hal ini terlihat bahwa upaya

membangun konten-konten pada web

resmi Gerindra lebih banyak

mendominasi pada upaya-upaya

provokatif dan ingin menunjukkan

bahwa pemerintahan saat ini dinilai

gagal dalam upaya mensejahterakan

rakyat Indonesia.

Adapun Gerindra sendiri lebih

banyak menggunakan strategi

propaganda dalam mengkampanyekan

partainya dan juga mengkampanyekan

kandidat Presiden yang dimajukannya.

Hal ini juga terlihat dalam konten-

konten yang dibangun oleh Partai

Gerindra yang mengedepankan

persaingan dengan partai lain seperti

partai PDI P, dan menjadikan PDI P

sebagai pesaing partai yang berat, di

satu sisi PDI P juga menjadi Partai

utama yang mengusung Presiden Joko

Widodo untuk maju sebagai Pilpres di

periode kedua. Sehingga hal ini terlihat

bahwa Partai Gerindra mengupayakan

untuk mengedepankan pernyataan-

pernyataan dari anggota partai dengan

memuat kutipan-kutipan dari para

tokoh Gerindra dan kader-kadernya.

Partai Gerindra terlihat bahwa

pada partai Gerindra tidak seperti awal-

awal Patai ini didirikan dan partai ini

maju sebagai kandidar partai dalam

setiap Pemilihan Umum. Awalnya

Partai Gerindra lebih mempersuasikan

masyarakat gerakan-gerakan revolusi

untuk membenahi Indonesa dibawah

keterpurukan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan juga dibawah bayang-

bayang Partai Demokrat. Gerindra pun

ketika awal berdiri dan turut berkoalisi

dengan partai PDI P lebih banyak

mengusung tentang gerakan perubahan

Indonesia dan juga gerakan untuk

kembali pada nasionalisme bangsa

dengan memandang Indonesia yang

plural dan berjiwa Pancasila. Sehingga

parta Gerindra pun mampu meraih

suara rakyat dengan meyakinkan

kepada masyarakat.

Keberadaan Gerindra ini

kemudian dirasa berbeda oleh banyak

kalangan terutama para kaum elit

politik dan juga di mata marakat itu

sendiri, ketika Jokowi Widodo atau yag

akrab disapa Jokowi ini maju dalam

Pilpres 2014 sementara sebelumnya

Jokowi masih menjabat sebagai

Gubernur DKI Jakarta periode 2014 –

2019. Suhu politik pun makin memanas

ketika Prabowo merasa dikhianati oleh

Megawati Soekarno Putri dan

Megawati dianggap melanggar

perjanjian Batu Tulis terkait perjanjian

dari PDI P untuk mendukung Prabowo

dalam maju Pilpre tahun 2014.

Sehingga dengan hal ini, kondisi politik

makin memanas, sementara Prabowo

sendiri melihat bahwa Jokowi

merupakan kandidat pesaing yang kuat

hingga pada pemilihan Capres

Page 16: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

32

Cawapres tahun 2019 ini, Jokowi dan

Prabowo bersaing kembali dalam

perebutan kursi Capres.

Jokowi dianggap sebagai

kandidat yang cukup kuat dan memiliki

peranan besar dalam meraih suara

rakyat dan suara terbanyak, sehingga

dala hal ini Gerindra pun sekuat tenaga

untuk melakukan kampany emeraih

suara para kaum milenial dengan

memanfaatkan media sosial. Adapun

dalam media sosial ini pun juga kerap

menuliska beragam tawaran dalam

bentuk visi, misi dan janji-janji. Dalam

prinsip teori pertukaran sosial dalam

kehidupan politik pemerintahan

dijelaskan oleh Siney R. Waidman

(1972). Menurutnya, prinsi pertukaran

sosial berlaku di semua tingkat dan

ranah politik. LEgitimasi kekuasaan

suatu rezim pemerintah bisa diperleh

karena ia mampu menawarkan sesuatu

yang bernilai (barang, jasa, kebijakan)

bagi rakyat. (Herdiansah, 2015: 14)

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa

strategi yang digunakan Partai Gerindra

dengan menggunakan media sosial

seperti Facebook, Twitter, Instagram

danjuga Youtube untuk memuat

konten-konten yang bersifat provokatif

terkait dengan program pemerintah saat

ini dengan menekankan program rezim

pemerintahan Jokowi yang dinilai

Gagal, dan Gerindra dianggap sebagai

partai yang mampu memberikan

tawaran serta janji-janji dengan peranan

untuk membuat Indonesia mengalami

perubahan yang lebih baik. Selain itu

juga ada bersifat propaganda yang

dilakuka oleh Gerindra, yang dimana

konten yang dibangun bukan

didasarkan atas upaya

mengkampanyekan visi dan misi parta

atau menunjukkan upaya yang

dilakukan gerindra untuk rencana

jangka panjang dan rencana kedepan

partai apabila menang dalam Pemilu

2019. Sehingga terihat bahwa Partai

Gerindra seperti ada rasa was was atau

takut dengan keberadaan Capres

pesaingnya.

Berkaitan dengan memandang

Capres Jokowi sebagai pesaing berat

dalam Pemilu 2019, partai Gerindra pun

lebih agresif dalam memanfaatkan

media sosial sebagai alat atau media

kampanye dan juga lebih aktif dalam

memuat konten-konten yang

menunjukkan aktivitas atau kegiatan

Gerindra dan juga konten-konten yang

dibangun juga bermuatan sindiri dan

kritik terhadap rezim pemerintahan saat

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louis. 2010. Tentang

Ideologi:Marxisme

Strukturalis, Psikoanalisis,

Cultural Studies.

Agger, Ben. 2003.Teori Sosial Kritis:

Kritik, Penerapan, dan

Implikasinya. Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

Camus, Albert. 2017. Seni, Politik dan

Pemberontak. Jakarta: Buku

Obor.

Camus, Albert. 2017. Krisis

Kebebasan. Jakarta: Buku

Obor..

Faisal Bakti, Andi. 2016. Literasi

Politik dan Pelembagaan

Pemilu. Jakarta: FIKOM UP

Press bekerja sama denganThe

Policy Institute dan Churia.

Faisal Bakti, Andi. 2017. Literasi

Politik dan Kampanye Pemilu.

Jakarta: FIKOM UP Press

bekerja sama denganThe

Policy Institute dan Churia.

Herdiansyah, 2015. Paradoks Koalisi

Tanpa Syarat (Suatu Tinjauan

dari Perspektif Sosiologi

Politik). Jakarta: Rajawali Pers.

Nasrullah, Rulli. 2016. Teori dan RIset

Media Siber (Cybermedia).

Page 17: POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW …isip.usni.ac.id/jurnal/z2. Radita Gora.docx.pdf · suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi

33

Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Neuman, W. Lawrence. 2013.

Metodologi Penelitian

Sosial: Pendekatan

Kualitatif dan

Kuantitatif. Jakarta:

Penerbit Indeks.

Nova, Firsan. 2014. PR War

(Pertarunga mengalahkan

Krisis, Menaklukan media, dan

Memenangkan Simpati Publik.

Jakarta: Grasindo.

Rokhman, Fathur & Surahmat. 2016.

Politik Bahasa Penguasa.

Jakarta: Kompas Gramedia.

Creswell, John.W., 2015. Riset Desain

Kualitatif: Memilih

Diantara Lima

Pendekatan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.