prolog - hafiezsofyani.files.wordpress.com · prolog dulu, di selatan pulau kalimantan, terdapat...
TRANSCRIPT
1
Prolog
Dulu, di selatan pulau Kalimantan, terdapat daerah
yang memiliki kesimbangan ekosistem kehidupan.
Dimana, seluruh masyarakat, tidak hanya manusia,
hidup berdampingan, selaras, dan harmoni. Di negeri
itu terdapat ribuan sungai yang meliak-liuk dan
menyusuri setiap sudut ramai dan pedalaman region.
Dengan sungai itu, masyarakatnya menggantungkan
hidupnya. Ikan di sunga-sungai itu berlimpah ruah.
Untuk mencari ikan dengan jumlah banyak, kita
cukup bermodal bambu, kail dan nilon, serta cacing
atau anak serangga sbagai umpannya.
Buminya subur. Pelbagai macam tumbuhan
hidup subur. Semua orangpun bebas untuk
mengambilnya. Berbagai macam satwa liar yang
beraneka ragam menambah indah dan betapa
memesona negeri seribu sungai. Ada bekantan, ada
2
urang hutan, ada berbagai macam jenis burung, ikan,
kupu-kupu, serangga, dan banyak lagi yang lainnya.
Masyarakatnya ramah. Mereka hidup di atas
rumah-rumah panggung yang tak jauh dari aliran
sugai. Perjalanan mereka dari tempat yang satu ke
tempat yang lain di lakukan dengan jukung melalui
anak-anak sungai yang menghubungkan.
Selain berdagang, masyarakatnya juga hidup
bertani dan berternak Hadangan, itik, ayam, dan ikan.
Hampir setiap daerah terpencil di negeri seribu sungai
menjalani kehidupan mereka secara seragam.
Kekayaan alam mejadikan masyarakatnya hidup
tentram, nyaman, dan berkecukupan. Karena itulah
terjalin kekeluargaan yang erat. Bahkan, rumah
tetangga yang jaraknya dua kilo dari tetangga yang
lain masih bisa saling mengenal, bukti masyarakatnya
yang begitu akrab.
Tidak hanya itu.... masyarakat di sana juga
sangat kental dengan budaya relijius. Hampir setiap
anak lima tahunan sudah mahir membaca al-qur’an.
Masyarakat yang mendiami tanah seribu sungai itu
memang terkenal dengan islamnya yang kental hingga
ke sepenjuru negeri. Banyak para qari terlahir dari
tanah tersebut. Banyak juga para ulama yang kecil
dan besar dari tanah seribu sungai.
Aduhai, betapa menawannya tanah itu….
***
3
Malang, 2008. Pagi yang tak begitu cerah. Ini adalah
minggu kedua aku berada di tanah orang, kota
Malang. Suasana baru ditemani iklim dingin yang
cukup extreme menjadikan aku yang terbiasa hidup di
tanah dengan terik matahari panas manggantang
menjadi sangat malas untuk melakukan apapun.
Di tengah serangan cuaca yang hampir
membuat badanku beku itu, entah mengapa aku jadi
rindu akan kampung halamanku, negeri seribu
sungai. Tanah yang bagiku sangat bersahabat dan
membesarkan jiwa raga ini dengan kekayaan alamnya
yang melimpah ruah. Tidak seperti di sini. Tanah
Jawa, daerah yang barangkali memang relatif lebih
maju dari tanah Kalimantan ini rasanya tidak
seramah tanahku sendiri. Di tanah seribu sungai,
ikan melimpah ruah (meskipun itu hanya cerita di
masa lalu). Di sini, semua hal dihargai, maksudku
kita harus membayarnya. Tempat memancing di sini
jauh dan susah. Kangkung gratis tidak ada. Apalagi
Kalakai, makanan favoritku, jangan pernah harap
ada.
Meski demikian, tapi taraf hidup di sini lebih
rendah. Dengan uang lima ratus ribu perbulan, kala
itu, kita masih bisa hidup dengan wajar. Di
kalimantan, apalah arti uang lima ratus ribu.
Semuanya mahal. Tapi,.... ah, tetap saja aku lebih
mencintai tanah kelahiranku. Gumamku dalam hati
sembari menatap megahnya gunung putri tidur yang
tengah disinari bias cahaya sang surya pagi kala itu.
4
“Tanah seribu sungai…” Hatiku kembali
berbisik.
Sungguh mengangumkan. Meski nama itu tak
sama mengagumkannya dengan apa yang sejatinya
terjadi saat ini. Negeri seribu sungai hanya gelar yang
masih melekat tanpa kenyataan yang benar-benar
masih berlaku. Saat ini aku tak yakin sungai di
Kalimantan Selatan masih ribuan. Mungkin sudah
menjadi wacana yang sangat basi kalau aku berucap
banyak sungai yang sudah tergerus dan beralih fungsi
menjadi berbagai macam hal; pertokoan, ruko,
warung, bahkan ada yang ditutup untuk membuat
halaman perkarangan rumah. Tapi, ya, meski sudah
menjadi wacana basi, aku ingin mengingatnya dan
mengingatkannya.
Warga di kampungku itu entah tidak tahu atau
tidak mau tahu, suka sekali bersikap seakan apa yang
mereka lakukan adalah sesuatu yang biasa. Mereka
tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah
penghancuran kearifan lokal yang telah ada dan
dilestarikan oleh nenek moyang di masa lalu. Dan hari
ini, aku, adik-adikku, dan anak cucuku, tak kan
pernah tahu betapa indah tanahku ini, DULU…
Negeri seribu sungai,....
Negeri yang seharusnya terhampar banyak
sungai yang meliak-liuk membelah setiap sudut negeri
dan menjadikannya khazanah budaya yang arif dan
mengesankan. Negeri yang menyimpan berjuta intan
berlian, yang tidak semata intan dalam bentuk
5
sesungguhnya, tetapi juga segala kekayaan budaya
yang sempat terwarisi. Pasar terapung, jukung, unjun,
hancau, tumbak, banjur, lukah, ringgi, dan segala
sesuatu yang sangat akrab bagi masyarakatnya, kini
telah lama tergerus oleh arus modernisasi yang
berbudaya kurang arif.
Tulisan ini adalah ukiran sebagai penyemangat
dan penghibur diri saja bahwa, aku pernah memiliki
rumah yang begitu ramah, kaya, indah,
mengagumkan, dan juga sangat mengesankan,...
meski itu hanya ....DULU…
Sehingga,... jika aku nanti ingin pulang, maka
aku bisa menjawab sebuah pertanyaan demikian,
“Kamu serius kembali ke kampung
halamanmu?, kenapa?”.
“Ya, aku akan pulang... karena aku punya
rumah yang ramah, kaya, indah, mengagumkan, dan
juga sangat mengesankan….”.
Hafiez Sofyani
6
Chapter 1
Sungai Kuin
Photo by: Randy Rakhmadany
Gerimis di subuh yang gelap memang selalu
menghantarkan kelembutan yang menyelimuti diri di
setiap peraduan. Setiap insan yang berteduh di
rumah-rumah yang atapnya rumbia1, pasti
perasaannya sama, bunyi rintik-rintik butiran hujan
yang jatuh ke atas atap yang terbuat dari rumbia itu
terdengar seolah alunan nada suara nan merdu dan
terus mengalun sendu. Merambat pelan, menidurkan
mereka ke dalam mimpi-mimpi indah yang membuai.
1 Daun Sagu
7
Jika dilihat dengan seksama, di bantaran
sepanjang negeri seribu sungai ini, memang tak ada
satupun rumah yang beratapkan genteng seperti
rumah-rumah umumnya di daerah jawa. Rumah-
rumah di sini pula mayoritas dibuat dari kayu, bukan
bata. Ini ada kaitannya dengan letak rumah-rumah
orang sini yang persis berada di atas sungai. Mungkin
jika rumah di atas sungai itu dibangun dengan
menggunakan beton, pastilah rumah-rumah itu cepat
ambruk karena diterjang ombak sungai yang besar
dan kencang.
Dari sini, di atas kasur butut tempat ku
berbaring dan sudah setengah sadar dari keterlelapan,
suara gemericit burung Tatapaian mulai terdengar
berirama. Seperti hari-hari biasanya, burung-burung
yang selalu terbang bergerombol itu sudah mulai
sibuk mencari makannya di sepanjang anak sungai
yang membentang di penjuru negeri seribu sungai.
Dan karena tak ada ayam jago yang biasanya
berteriak membangunkan orang-orang tiap subuh
menjelang, aku selalu mengandalkan kawanan burung
yang terbang mencari makan itu untuk menjadi alarm
alam yang membangunkanku dari tidur.
Tak lama, mataku mulai terbuka, meski
rasanya masih begitu berat. Dengan setengah sadar,
aku mengucek keduanya, lalu turun dari tempat tidur
dan membuka jendela rumah. Dari depan jendela
rumahku yang langsung berhadapan dengan sungai
ini, nampak arus beriak air sungai sudah tak lagi
pasang. Ombaknya syahdu diiringi rintik kecil yang
jatuh menetes di sepermukaan beriak sungai yang
8
terus mendayu pelan. Biasanya, memang jika hujan
turun lebat, air sungai akan menampakkan
kengeriannya untuk dilalui para pejukung2 dari daerah
manapun. Tapi, kini sepertinya kengerian itu sudah
berlalu karena hujan telah berganti gerimis kecil dan
arus sudah tenang.
Fajar sudah menyingsing. Rupanya aku terlalu
lelap tidur hingga tak sadar kalau subuh sudah
berlalu. Aku menatap satu dua orang yang tengah lalu
lalang berjukung di tengah sungai. Mataku mengiringi
alur jukung mereka. Aku ragu hari ini, apakah akan
labuh3 atau tidak seperti para pejukung itu. Aku
merasa sangat malas hari ini. Beberapa saat aku
termenung sambil terus mempertahankan
pandanganku ke arah orang-orang yang tengah
mengayuh jukung. Suasana memandangi orang-orang
yang tengah lalu lalang dengan jukung-jukung di
depan jendela kamarku yang memang langsung
berhadapan dengan sungai besar kampung Kuin
Banjarmasin ini selalu menjadi saat-saat terfavoritku.
Aku termenung selang beberapa saat
menikmati indahnya pemandangan di depan sana.
Dan, tek… Air dari atap rumahku yang bocor menetes
tiba-tiba dan mengenai batang hidungku. Aku
tersentak. Aku belum salat subuh. Segera aku turun
menuju batang4 untuk mengambil wudhu. Tak
sengaja ku lihat di batang seberang sana seorang
2 Pedayung sampan kecil (Jukung=sampan kecil, Bahasa Banjar) 3 Turun untuk mendayung jukung 4 Tempat berdiri di pinggir sungai untuk melakukan aktivitas seperti mencuci, mandi, dsb.
9
bocah seumuranku nampak sudah rapi dengan
seragam sekolahnya. Itu Amad, teman sejati dan juga
satu kelas denganku di Madrasah Ibtidaiyah desa
Kuin, Banjarmasin Utara.
“Ucaaaii… Nyawa kada sakulah kah?.5” Teriak
Amad dari seberang sana sambil mencuci sebuah
piring yang ada di kedua tangannya. Ia pasti baru saja
sarapan.
Aku mencoba menggerak-gerakkan lensa
mataku yang masih kabur karna baru bangun. Ia
nampak melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
Aku ingin menjawab pertanyaan Amad tapi
kuurungkan. Aku tidak ingin bilang kalau hari ini aku
tidak masuk sekolah. Bukan karena aku malas. Tapi,
itu karena Abah dan umma sedang berada di rumah
nenekku di Banua Anyar, sehingga hari ini aku yang
menggantikan pekerjaan Abah. Artinya, aku terpaksa
tak bisa sekolah hari ini. Bila Amad tahu aku tak
sekolah, ia pun pasti enggan untuk turun ke sekolah.
Entah karena ia memang pada sejatinya malas,
ataukah karena begitu ia loyalnya kepadaku sehingga
jika aku begini maka ia juga begini, jika aku begitu
iapun pastilah begitu. Entahlah.
“Kada Sakulahkah?6.” Teriaknya untuk kedua
kalinya. Ia pula nampak sudah selesai mencuci
piringnya.
5 Ucaaaai, kamu tidak pergi ke sekolah, ya? 6 Tidak pergi ke sekolah ya?
10
Aku tak bisa lagi diam. Sepertinya Amad sudah
mulai jengkel. “Sakulah ay...7” jawabku sekenanya.
Terserahlah apakah aku berkata dusta atau apa.
Apakah Amad marah dengan kebohonganku atau
bagaimana. Ini demi kebaikannya, pikirku. Aku segera
beranjak dari pandangannya dan berlari untuk
mengejar salat subuhku yang sudah sangat terlambat.
***
Namaku adalah Husairi. Tapi orang-orang
kampung Kuin sampai ke daerah kampung Alalak
lebih kenal aku dengan panggilan “Ucai”. Mungkin itu
nama panggilanku waktu kecil, namun masih melekat
hingga aku sudah menginjak kelas enam Madrasah
Ibtidaiyah ini.
Kehidupanku sama dengan semua masyarakat
bantaran sungai besar Kuin ini. Kalau tidak
berdagang di pasar terapung, maka aku dan abah
biasanya bekerja sebagai pengangkat kayu di pabrik
kayu Haji Undas yang tak begitu jauh dari rumahku.
Sedang umma, ia sibuk megurus rumah dan berjualan
kue di pasar. Ya, meski sejatinya aku lebih menyukai
sekolah, karena memang itu kewajiban utama
generasi muda negeri ini, tapi mau bagaimana lagi,
dengan keadaan ekonomi yang begitu menjepit, aku
terpaksa membantu Abah dan umma untuk bekerja.
Aku memiliki seorang adik perempuan, nama
panggilannya “Ijah”, ia baru berumur dua tahun.
7 Aku sekolah kok
11
Bagiku panggilan “Ijah” itu terdengar sangat kurang
enak ditelinga siapapun. Padahal nama lengkapnya
sangat bagus, Siti Khadijah. Memang orang sini
sangat suka memanggil nama orang lain dengan
menambah huruf “I” di depan namanya, dan adikku
Ijah adalah salah satu korban dari kebiasaan itu.
Sebagai contoh Nurhayati dipanggil “Inur”, Khadijah
menjadi “Ijah”, Hafsah menjadi “Ihaf”, dan seterusnya.
Meski sekarang aku menilai itu kurang baik, tapi
mungkin itu sudah menjadi peninggalan nenek
moyang dulu kala dan hingga sekarang masyarakat
masih mempertahankannya atau mungkin sudah
terbiasa dan tak menganggapnya sebagai masalah.
Selesai salat, aku mengintip ke jalan depan
lewat lobang kecil dari pintu rumahku. Aku harus
meamastikan bahwa Amad sudah berangkat ke
sekolah. Setelah yakin, aku lekas turun ke bawah
rumah untuk pergi lalu menaiki jukung. Aku segera
mengayuhnya cepat-cepat. Hari ini aku harus ikut
bekerja untuk mengangkat kayu ke dalam truk di
pabrik kayu Haji Undas. Aku khawatir, jika pekerjaan
ini tidak ku lakukan, abah pasti kembali marah.
Subuh kemarin aku tak ikut berjualan di pasar
terapung karena aku harus ke rumah Iril untuk
belajar. Sungguh aku tak menduga, sepulangnya dari
rumah Iril itu, akupun dipukuli habis-habisan.
Rasanya, tak ada seorang anakpun yang orang tuanya
marah melihat anaknya rajin belajar, kecuali abahku.
Aku tak tau apa alasan beliau membenci aku
yang lebih mengutamakan belajar ketimbang
berdagang. Pernah suatu hari aku pergi ke rumah
12
salah seorang teman sekelasku Iriel untuk
mengerjakan PR dari Bu Rahmah, guru matematika di
sekolahku. Mau bagaimana lagi, aku tak punya buku
sama sekali di rumah sehingga untuk bisa
mengerjakan tugas itu aku harus ke rumah temanku
yang punya buku. Dan betapa anehnya, sepulang dari
rumah Iriel itu, aku dimarahi abah habis-habisan
karena lebih mengutamakan mengerjakan tugas
sekolah ketimbang membantu umma berdagang di
pasar. Tapi syukur kala itu abah tidak sampai
memukuliku.
Pernah jua aku membawa buku ke rumah dan
membacanya sambil ber-jukung8. Niat hatiku adalah
belajar sembari menikmati arus sungai Kuin nan
menghanyutkan. Tapi, ketika Abah tau akan hal itu,
beliau marah-marah, meski tak sampai memukuliku.
Dia bilang “ BELAJAR ITU DI SEKOLAH. DI RUMAH
ITU BEKERJA, BANTU ORANG TUA...!!!.” Dengan nada
membentak. Dan di saat seperti itu yang kuharapakan
hanya satu, pembelaan dari umma9 atas diriku karena
aku menganggap umma sedikit lebih memiliki rasa
peduli pendidikan ketimbang Abah. Dan aku pikir
kala itu, umma pasti membelaku. Tapi ternyata
dugaanku itu salah. Beliau hanya diam. Beliau takut
dengan kemarahan Abah. Dan lambat laun, baru aku
mengerti bahwa sebenarnya umma juga tak memiliki
dukungan sedikitpun akan pendidikanku. Itu terbukti
beberapa hari setelahnya, aku menemukan beberapa
lembar kertas buku yang aku pinjam dari Iriel nampak
8 Naik sampan kecil 9 Ibu
13
sobek satu-satu karena beliau gunakan sebagai
pembungkus kacang untuk dijual di pasar. “Masya
Allah..” Aku bingung harus bersikap bagaimana lagi.
Aku tak mengerti mengapa kedua orang tuaku
seperti itu. Mungkin karena Abah dan umma adalah
pasangan suami-istri yang hanya lulusan SD. Abahku
sering bilang “Gak usah sekolah tinggi-tinggi, sama
saja, sekarang cari kerja susah. Amang10-mu Aras itu
lulus kuliah, tapi pekerjaannya sama saja, nganggur.
Melamar di sana tak diterima orang, di sini tak
diterima orang. Akhirnya menganggur dan tak
karuan.”.
Apa yang abah katakan tentang Amang Aras
memang benar. Tapi menurutku Amang Aras itu
pengecualian. Ia memang kuliah, tapi tak pernah
kulihat ia serius. Pekerjaannya hanya bermain dan
berkumpul dengan teman sebayanya. Kadang aku
lihat ia sering mabuk dan pergi malam-malam.
Katanya “ke diskotik biar GAUL”.
Kadang, aku merasa iri dengan teman-teman
sebayaku. Mungkin hanya aku yang merasa hidup
dalam kurungan seperti ini. Tak ada dukungan sama
sekali, baik moral, apalagi materi, untuk meraih cita-
citaku yang ingin memperbaiki tanah tercintaku ini
dari kesemrawutan.
Aku iri dengan Amad yang selalu diantar
abahnya ke sekolah. Temanku yang lain, Ihda yang
10 Paman
14
setiap bulan selalu terlihat dengan seragam putih
barunya, ia adalah temanku yang memang dari
golongan orang kaya di desaku. Idrus yang begitu
semangatnya ingin melanjutkan sekolahnya ke MTsN
Banjarmasin, salah satu sekolah favorit bagi orang
Banjarmasin, apalagi orang desa seperti kami.
Kadang aku berfikir “Yaaaa, mungkin inilah
garis hidup. Mungkin aku adalah segelintir orang yang
memang dimunculkan di dunia ini dengan sebuah
takdir sebagai penonton. Hanya bisa berdiri, melihat
kesuksesan orang lain, dan aku hanya mendapat
peran sebagai pengangum. Melihat angkasa luas, dan
berfikir seolah-olah bumi ini hanyalah sebatas rumah,
sungai Kuin, dan pabrik kayu HajiUndas. Meski aku
tahu bahwa bumi ini begitu luas, dan aku ingin sekali
melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.
***
15
Chapter 2
Pasar Terapung
Photo by: Randy Rakhmadany
Subuh yang hening. Suara burung Tatapaian
yang tiap pagi itu kembali membangunkanku dengan
alunan nyanyiannya yang sangat bersahabat. Suara
adzan sudah berkumandang dari pucuk masjid Sultan
Suriyansyah yang sayup-sayup terdengar. Masjid
tertua peninggalan Sultan Banjar pertama yang
memeluk Islam itu memang begitu berkesan bagiku.
Dari atas kasur tipis, aku bisa mendengar
beriak air dari dayung-dayung Jukung11 para
pedagang yang ramai menyelinap diam-diam menuju
11 Sampan (Bahasa Banjar)
16
pasar terapung. Sesaat lamanya, aku terperanjat.
Seperti biasanya Abah akan mencabut bulu kakiku
supaya aku terbangun dan bergegas salat, lalu
mengambil beberapa tangguk12 buah di tempat Julak13
Adus, dan kemudian menjualnya ke pasar Terapung.
Seusai salat subuh, aku langsung meluncur
dan membaur bersama pedagang pasar terapung yang
lain, sambil beramai-ramai mengitari setiap dapur
rumah yang berujung pada batang banyu14, tempat
mereka semua beraktivitas disubuh ini. Mungkin bagi
segenap orang kota, pemandangan dimana ada orang
mandi, mencuci pakaian, buang air, dan menyikat gigi
di satu tempat yang sama adalah hal yang terkesan
sangat tradisional-bila tidak mau dibilang primitif.
Tapi, inilah memang adanya. Di zaman sekarang ini,
nyatanya pemandangan seperti itu masih ada dan
membudaya di pinggiran sungai Kuin.
Kuamati benar-benar, rupanya hanya aku dan
Amad yang masih tergolong ‘bocah’ di antara
kumpulan para pedagang pasar terapung yang kerut
kulitnya sudah tak karuan itu. Kadang aku berpikir,
‘mungkin pasar ini sudah waktunya untuk punah’.
Dari pemandangan ini saja, aku sudah bisa
menyimpulkan bahwa tak ada lagi kehendak kaum
muda untuk berprofesi sama seperti orang tua
mereka, menjadi pedayung yang berdagang di pasar
terapung. Para orang tua yang berdagang di pasar
12 Alat tradisional warga Banjar untuk mencari ikan 13 Kakak Bapak, sebutan untuk orang yang lebih tua dari orang tua kita 14 Pijakan yang terbuat dari kayu
17
terapung itupun pastilah sama pemikirannya, tak
ingin anak-anak mereka memiliki nasib sama seperti
mereka. Pasti mereka menginginkan kehidupan yang
lebih baik. Kalau bisa jadi PNS, kenapa tetap menjadi
pedagang di pasar terapung?. Ucap Julak Adus yang
putranya kini jadi pegawai pemda Provinsi Kalsel15.
Dan selanjutnya, aku yakin, lambat laun semua
orang di sini pasti berpikiran sama dengan Julak
Adus. Ditambah lagi pemerintah provinsi yang tidak
memiliki dukungan kongkrit atas budaya lama ini.
Hanya bisa memberikan semangat lewat perkataan
manis tanpa ada bantuan yang riil. Semua pasti
hanya bisa menunggu untuk melihat budaya Banjar
muara ini hilang ditelan zaman.
“Sumalam napa kada ka sini maambil buah?,
nyawa kada bajualan kah?16.” Tanya Julak Adus
kepadaku sambil membenarkan letak kaca mata yang
sudah tak sesuai dengan nilai plus matanya itu.
Lelaki tua itu memang selalu tampak akrab
dengan putih saat aku menemuinya. Sebelum
menjawab, aku membalas perhatian Jual dengan
sebaris senyum kaku.
“Inggih julak ay. Samalam wadah H. Undas,
ulun ma-angkut kayu. Di suruh Abah pang. Sidin pas
ka wadah Kayi di Banua Anyar, jadi kada kawa
15 Singkatan Kalimantan Selatan 16 Kemarin kok tidak ke sini untuk mengambil buah, kamu tidak berjualan ya?
18
bagawi samalam tu. Ulun ay nang manggantiakan17”
jawabku polos.
Kali ini Julak Adus hanya mengangguk sambil
tersenyum. Entah mengapa, aku selalu merasa senang
kala Julak Adus mengajakku bicara. Apalagi kalau
sudah bicara tentang sekolah. Di dunia ini, bagiku
hanya beliau yang selalu menyemangati aku untuk
selalu belajar dan pergi ke sekolah. Ia memang orang
yang sangat peduli dan mengerti tentang arti penting
pendidikan. Kadang di saar aku butuh motivasi untuk
menghadap ujian, Julak Adus lah yang kerap
memberiku semangat. Bukan keluargaku sendiri.
Selesai memasukkan buah sawo, rambutan,
kapul, pisang, dan kasturi ke dalam jukung, Julak
Adus memberikanku sebuah buku dan uang 10.000-
an kertas kepadaku. Dengan senyumnya yang khas,
Julak Adus bilang, ”Jangan kada turun sakulah lah..18”
Sebuah kalimat yang sebenarnya ingin aku dengar
dari abah dan ummaku sendiri.
Julak Adus memang orang yang selalu ingin
setiap anak kecil di desa ini tumbuh dan dewasa
dengan pendidikan yang mapan. Selain sebagai
pedagang buah yang cukup sukses, beliau juga
berprofesi sebagai guru non-formal di Taman
Pendidikan Al-qur’an (TPA) desa Kuin ini. Mudah-
17 Iya Julak. Kemarin ke tempat H. Undas, saya mengangkut kayu. Di suruh oleh Bapak saya. Beliau kemarin lagi ke tempat Kakek di desa Banua Anyar, jadi tidak bisa bekerja kemarin. Sehingga saya yang menggantikan beliau. 18 Jangan tidak masuk ke sekolah ya?
19
mudahan saja ia selalu diberikan kemudahan oleh
Allah, do’aku.
Siapa lagi kalau bukan beliau yang
menyemangati aku dan bocah-bocah generasi muda
tanah ini untuk belajar dan berpikir maju?.
Kebanyakan orang di kampung ini nampak sudah
sangat sibuk dengan urusan perut masing-masing.
Sehingga, mereka sudah lalai dengan lingkungan dan
keberlanjutan generasi muda tanah mereka sendiri.
Urusan pendidikan sepenuhnya di serahkan kepada
pihak sekolah. Padahal, sekolahpun kadang juga tidak
mampu menjamin anak-anak mereka menjadi diri
yang baik, jika di lingkungan keluarga sendiri hal itu
tidak dicanangkan. Itulah desaku. Sekolah adalah
sebuah kata formal yang kudu dijalankan karena rasa
gengsi dan malu jika tidak mengikutinya. Bukan
dalam rangka mendidik generasi penerus untuk
membangun tanah ini di masa mendatang.
Dan dengan bergegas, aku cepat-cepat
mengarungi pasar agar tak ketinggalan bagian rezeki
hari ini. Aku harus cepat. Sebab, pasar terapung
biasanya sudah sepi jika matahari telah terbit, kurang
lebih sekitar pukul 8.00 pagi. Kalau lamban, aku
bakal tak dapat apa-apa hari ini. Padahal aku harus
selesai menjual semua buah hingga jam 7.00 pagi.
Selanjutnya aku harus ke sekolah.
Meski matahari belum terlihat di ufuk timur
sana, kulihat pasar nampak sudah ramai. Aku
mengayuh jukung dengan cepat. Seluruh tenaga ku
20
kerahkan. Aku berupaya mendayung dengan cepat
dan menyalip beberapa pekjukung lainnya.
Dan, praaakk…!!, tiba-tiba dayung jukungku
yang terbuat dari kayu itu patah. Aku menepuk
keningku seketika.
“Bah ay… Aku tak bawa dayung cadangan.!!!”.
Aku pasti terlambat datang ke sekolah hari ini. Aku
lekas mendayung dengan tangan menuju tepi sungai
untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai
dayung, dan melanjutkan tujuanku menuju pasar
terapung.
Dan apa yang ada dalam benakku terjadi. Hari
ini aku pasti datang terlambat lagi ke sekolah.
Sebenarnya, aku merasa tak enak dengan
kebiasaanku yang selalu telat masuk sekolah.
Rasanya hampir setiap hari aku dimarahi oleh guru-
guru yang sudah menganggap kalau kebiasaanku itu
keterlaluan. Ada juga yang kadang hanya menasihati,
“itu pasti guru yang bijak” pikirku dalam benak.
Jika banyak guru yang marah, maka itu wajar
karena aku selalu datang terlambat ke sekolah. Dan
juga karena aku tak pernah bilang kepada guru-guru
itu bahwa aku harus ke pasar terapung terlebih
dahulu untuk berjualan sebelum ke sekolah. Jadi,
para guru hanya tahu kalau aku datang terlambat
yang mungkin karena aku bangun kesiangan atau
karena alasan malas. Untungnya pak Rahmadi, kepala
sekolah MI di desaku itu tak pernah marah kepadaku
21
akan kebiasaan jelekku itu. Entah beliau memang
mengerti keadaanku, atau mungkin memang beliau
acuh saja dengan masalah anak bandel yang suka
telat seperti diriku? Entahlah. Yang pasti, dimatanya
aku memiliki predikat baik, yakni tak pernah absen
sekolah meski selalu datang terlambat. Kecuali jika
aku jatuh sakit.
***
Jam dinding tua yang tergantung tak berdaya
di kamarku itu seakan berteriak-teriak kepadaku
bahwa sekarang sudah jam 8.00 pagi. Seolah ia
memperingatkan bahwa aku sudah terlambat. Aku
harus buru-buru berangkat ke sekolah. Hari ini mau
tak mau aku harus menyiapkan kupingku untuk
mendengar omelan panas dari Ibu Juhriyah, guru
kewarganegaraan di sekolah.
Tanpa buang-buang waktu, aku segera berlari.
Aku tak memedulikan sedikitpun sepatuku yang dari
kemarin sudah menganga, seolah menagih jatah
makannya.
Sesampainya di sekolah, tepat dugaanku, Ibu
Juhriyah sudah berdiri tegap di depan kelas dengan
penggaris berukuran satu meter bermerk ‘Butterfly’
tertancap di tangannya. Wajahnya nampak tak
bersahabat. Perasaanku tak nyaman. Dan belum
sempat aku bersuara meminta maaf, ia sudah sibuk
dengan do’a-do’a yang ia panjatkan sebagai hadiah
kepadaku. Do’a yang menurutku bermakna
menjatuhkan dan mengatakan bahwa aku siswa yang
22
tak baik meski nilai sekolahku tergolong masih cukup
bagus. Bagus menurutku.
Dengan bentakkannya yang khas, Aku terpaksa
harus mengitari halaman sekolah yang tak begitu
lebar, tapi cukup melelahkan untuk diarungi
sebanyak dua puluh kali putaran. Keringatku pun
bercucuran. Padahal aku baru berlari sepuluh
putaran. Sepatuku yang sedari tadi sudah menganga
semakin melebarkan ungapan mulutnya. Beberapa
saat, terdengar langkah kaki yang tengah berlari dari
belakangku. Rupanya ada seseorang siswa selain
diriku yang juga dihukum untuk berlari mengitari
halaman sekolah. Amad. Rupanya bocah itu sahabat
samping rumahku sendiri. Aku baru ingat kalau dia
hari ini juga terlambat karena berjualan di pasar
terapung bersamaku subuh tadi. Keringatnya nampak
juga bercucuran. Mentari di atas sana seolah ikut
menghakimi kami, dua bocah yang bagi Ibu Juhriyah
tidak menghargai waktu.
Dengan polosnya, Amad tersenyum sambil
mempercepat langkah larinya mendahulu lariku.
Tanpa ia berucappun aku bisa faham, ia ingin adu
cepat denganku. Aku membalas senyumnya, isyarat
bahwa dengan senang hati aku ladeni keinginannya.
“Amun disungai, nyawa bujur pank laju
mangayuh jukung pada unda. Tapi amun bukah, unda
kada handak kalah tu pank wan nyawa..19” Amad
19 Kalau di sungai, kamu memang lebih cepat mendayung sampan dari pada aku, tapi kalau berlari, aku tidak mau kalah darimu.
23
berteriak kepadaku sambil mengatur-ngatur
hembusan nafasnya yang sudah mulai terengah.
Meski dengan nafas terengah, rasanya teriakan
Amad barusan benar-benar membuat jantungku
bergetar. Aku mempercepat lariku. Semangat yang
muncul dan berkobar dari hati Amad terasa
menyengat dan menyatu hingga merasuk ke dalam
hatiku. Hukuman ini harus aku jalani tanpa mencari-
cari alasan untuk lari dari kesalahan. Aku
mempercepat lariku tanpa peduli sepatuku yang
semakin mirip buaya kelaparan. Amad melepas
sepatunya. Ia berlari sekencang-kencangnya.
Keringatnya semakin bercucuran deras. Kami terus
beradu dengan semangat. Hingga kami bahkan sudah
lupa berapa kali kami telah mengitari lapangan
sekolah. Tapi tawa lepas Amad terus menggema disela
deru nafasnya yang kian terengah, di sela kejengkelan
seorang guru yang dari tadi merasa aneh melihat
kedua tingkah polah kami yang seolah merasa begitu
bahagia ketika mendapatkan pengadilan.
***
24
Chapter 3
Maunjun Haruan
Matahari kian terik. Namun pasti sebentar lagi
hujan turun. Aku bisa mengatakan begitu karena
memang selama tujuh hari belakangan ini aku selalu
mengamati cuaca. Dan memang Kalimantan
belakangan ini selalu di rundung terik yang begitu
menyengat. Tapi ketika jam sudah menunjukkan
waktu sore, hujan lebat selalu datang menerjang
sepenjuru pulau ini. Alam sudah semakin tak
terkendali, tak tertebak sesuai bulan kalender. Pasti
kasian sekali orang-orang di daerah gambut (daerah
pertanian di Kalimantan Selatan) yang sudah tak bisa
lagi berharap pada musim. Tahun lalu pertanian yang
sudah hampir panen di sana di landa banjir. Kasian
sekali masyarakatnya. Apa benar ini pertanda Tuhan
sudah mulai murka melihat tingkah manusia, atau
alam yang sudah enggan bersahabat dengan kita?,
sebagaimana kata musisi Ebet G. Ade?” Tanyaku
dalam batin.
Mungkin bisa aku katakan memang seperti itu.
Allah sudah marah dan alampun ikut marah. Dan itu
tidak lain adalah ulah tangan manusia sendiri. Tak
usah jauh-jauh. Di sekitar rumahku saja, manusia
seolah makhluk yang tak bisa di atur. Sudah berkali-
kali pak RT meminta untuk tanggap lingkungan
dengan seruan berhenti membuang sampah ke
sungai, dan buanglah sampah pada tempatnya, tapi
tak pernah dihiraukan. Jadi wajar bila sekarang
sungai-sungai di daerah Banjar ini begitu kotor dan
25
menjadi sarang penyakit. Itu karena memang hampir
semua orang Banjar memiliki cara berpikir yang sama.
“Buang saja sampah ke sungai, toh nanti sampah-
sampah itu akan larut dibawa air hingga ke laut”.
Padahal, sampah-sampah itu tersendat di sekitar
rumah-rumah warga yang berdiri di atas sungai, yang
akhirnya sampah itu menumpuk menjadi sarang
penyakit dan sumber bau.
Belum lagi sampah yang dibuang kadang tak
terpikirkan sebelumnya. Kalau yang dibuang sisa-sisa
makanan, mungkin itu akan hilang seiring
pembusukan yang terjadi. Tapi kali ini berbeda.
Sampah yang dibuang di sungai adalah sampah-
sampah besar yang mengalami waktu peleraian yang
lama seperti plastik, karung, bahkan kasur, boneka,
baju, bahkan bangkai sofa, bangkai kucing, ayam
yang sudah mati dan masih banyak lagi. Aku pun
sempat geleng-geleng kepala melihat sampah-sampah
itu.
Selain karena sungai yang tersendat oleh
tumpukan sampah, banjir juga terjadi karena sungai-
sungai yang dulunya berperan sebagai pengatur aliran
arus air kini semakin sedikit. Itu tak lain adalah
karena ulah tangan masyarakatnya sendiri yang
merubah fungsi sungai menjadi pekarangan, ada yang
dibangun ruko, warung, dan lain sebagainya.
Kadang, aku benar-benar menyesalkan hal itu.
Tapi apa daya, aku hanya bocah kecil di desa Kuin
yang tak punya alasan untuk didengar oleh
masyarakat meski apa yang aku katakan adalah
26
sebuah kebenaran dan kebaikan. Itulah manusia.
Apalagi manusia negeri ini hanya menurut kepada
omongan orang yang lebih tua atau dituakan.
Sehingga omongan orang meski benar tapi dari
kalangan bukan siapa-siapa akan di abaikan. Padahal
seingatku, kata Jualak Adus nabi pernah bersabda;
jangan melihat siapa yang mengatakan (suatu
kebaikan), tetapi lihat dan fahami apa yang dikatakan
orang itu.
Faham ketokohan. Itulah pola pikir kebanyakan
masyarakat di tanah ini. Bahkan itu juga merasuk ke
dalam pola beragama dan menuntut ilmu masyarakat.
Kini orang-orang lebih mengutamakan memeroleh
karamah dari seorang tokoh agama ketika pergi
menimba ilmu ke tempat sang tokoh, sehingga dengan
demikian mereka yakin akan termasuk orang yang
masuk syurga, ketimbang pergi ke tempat sang tokoh
agama untuk menimba ilmu sungguh-sungguh lalu
mengamalkannya dikemudian hari.
Bahkan di sekolahan-sekolahan pun juga
begitu. Lembaga pendidikan kini seolah menjadi
lembaga yang tak terdidik. Kenapa? Mungkin karena
orang memandang pendidikan hanya sebagai
formalitas. Ya, sebuah formalitas untuk memeroleh
sebuah angka nilai, yang katanya, itu menujukkan
prestasi seseorang. Jadi wajar bila orang berlomba-
lomba memeroleh angka yang tinggi meski esensi dari
pendidikan itu tak tercapai. Itulah yang terjadi di
negeri ini.
27
Di sekitar Kuin dan Alalak, aku berani
mengatakan tak ada satu sekolah pun yang bebas dari
sampah?. Bilapun ada, paling hanya ada satu dua
sekolah, dan itu pasti bukan sekolahku. Jika
memandangi sekolah tuaku yang kini hanya tinggal
susunan kayu lapuk itu, sepertinya bangunan itu
lebih mirip gudang padi yang tiap tahun di isi ratusan
karung padi yang baru di panen daripada mirip
tempat untuk menimba ilmu dan memperluas
wawasan. Di sekitaran sekolah bertaburan ampas-
ampas padi yang disebabkan oleh ulah warga sekitar
sekolah yang tanpa meminta izin terlebih dahulu
kepada pihak sekolah, mereka semena-mena
menggunakan halaman sekolah untuk tempat
menjemur dan menggiling padi.
Tak ada yang mengamalkan sama sekali
tentang slogan “Bersih pangkal sehat” atau jargon
kaum muslimin “Kebersihan itu sebagian dari Iman”.
Sederhana tapi penuh makna. Mungkin juga itulah
mungkin yang dikatakan Julak Adus kepadaku dan
kawan-kawan di TPA.
“Suatu negeri tidak akan bisa maju, kalau
penduduknya berpengetahuan tetapi enggan
mengamalkan pengetahuannya itu.”
“Cai, turun..!!” Suara Abah seketika
menyadarkan aku yang sejak tadi tengah termenung
memikirkan nasib negeri ini. Tanpa sadar, rupanya
kami sudah sampai di tujuan.
28
Hari ini adalah hari pertama libur sekolah. Dan
hari ini pula Abah mengajakku pergi maunjun20 di
daerah handil21 halabio, kecamatan Gambut,
Kabupaten Banjar.
Banjar merupakan negeri seribu sungai yang
memiliki banyak sungai besar maupun sungai kecil
yang orang Banjar sebut sebagai anak sungai. Jadi
memang sangat beralasan bila sebagian besar
masyarakatnya gemar sekali memancing. Abah adalah
salah satu dari penggila unjun itu. Kadang kala, bila
hasrat maunjunnya itu sedang tinggi-tingginya, tak
jarang Abah pergi maunjun hingga satu, dua, bahkan
tiga bulan lamanya hingga tak pulang-pulang.
Mungkin orang luar Banjar pasti akan terkejut
tentang hal itu. Tapi, memang begitu adanya.
Biasanya abah berangkat maunjun dengan kawan-
kawannya, Amang22 Sani, Amang Jufri, Amang Sa’an,
dan teman-temannya yang lain. Dan sepertinya hal itu
menurun pula padaku. Aku juga sangat senang
maunjun. Setidaknya itu bisa menjadi selingan di
tengah rutinitasku yang setiap hari berjualan di pasar
terapung. Aku dan abah sama-sama suka maunjun.
Ya, seperti kata pepatah, Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya. Aku dan abah sama-sama suka maunjun.
Itu kalau buahnya tak jatuh ke sungai dan hanyut
dibawa air”, ujarku mengkritisi pepatah itu, karena
aku merasa memiliki banyak perbedaan dengan abah.
20 Memancing 21 Daerah desa di Banjar yang banyak memiliki anak sungai 22 Paman
29
“Inggih Bah. Di sini kah kita maunjun?.”
Balasku sambil turun dari motor hondal Astrea Prima
tahun 80-an kebanggaan abah.
“I’ih…” balas abah singkat, dan lalu kembali
mengisap rokok yang sejak di perjalanan tadi bercokol
dimulutnya. Tanpa dikomando, aku langsung
menyiapkan semua perlengkapan unjunku. Kulihat
abah juga mulai sibuk dengan hal yang sama
denganku.
Setelah memasang mata kail dan nilon23, aku
mengambil anak katak yang tadi sempat kubeli
bersama abah di pasar Gambut dari balik ladung24
yang kubawa. Anak katak sungai itulah yang nantinya
dijadikan umpan ikan Haruan25. Sebelum aku kaitkan
di mata kail, katak itu ku jentik keras-keras dengan
jari kecilku agar mati terlebih dahulu.
“Malang sekali nasibmu wahai katak..” bisikku
setengah kasian dengan katak itu.
“Tapi aku harus melakukannya katak. Kalau
tidak nanti aku makan pakai lauk apa??” bisikku
membenarkan apa yang tengah aku lakukan.
Setelah selesai, aku melemparkan
pandanganku ke sekitar, mencari tempat yang
strategis untuk menaruh unjunku. Rupanya ada
banyak orang maunjun di sekitarku. Mereka nampak
tengah berdiri di ujung titian yang terbuat dari batang
23 Tali pancing 24 Tas tradisional yang biasanya dibawa untuk memancing 25 Ikan Gabus
30
kelapa. Semuanya fokus berdiri tegap sambil
menggoyang-goyangkan ujung unjun mereka.
Ku lihat abah sudah selesai dengan unjun, mata
kail, dan katak sungai kecil yang tertancap mantap di
mata kail miliknya. Sejurus ia berjalan ke tempat yang
ia anggap strategis. Setelah menghembuskan kepulan
asap rokok dari mulutnya, abah menunjukkan jari
tengahnya ke suatu tempat, memberikan isyarat
kepadaku agar aku maunjun di anak sungai yang
nampak semak di seberang sana. Tanpa bertanya aku
langsung menuruti perintahnya. Abah berjalan
mencari tempat yang lain.
Sebenarnya, ini adalah kali pertama aku
maunjun Haruan. Biasanya aku hanya maunjun ikan
Biawan, Sapat, dan Papuyu. Cara maunjun ketiga ikan
itu cukup mudah. Tinggal taruh umpan berupa anak
serangga atau cacing tanah di mata kail, lalu unjun
diletakkan dan diamkan beberapa saat di tempat yang
kira-kira ikan itu berada. Kalau umpan dimakan,
tinggal tarik, dan dapat. Tapi, maunjun Haruan perlu
teknik yang berbeda. Selain umpan yang digunakan
berbeda, unjun juga tidak diletakkan begitu saja.
Unjun harus digoyang-goyangkan sambil berjalan agar
umpan berupa katak kecil itu terlihat seperti tengah
berenang di sungai.
Haruan adalah ikan yang pintar, ia tidak akan
memakan umpan yang hanya diam, karena ia tidak
mau memakan katak yang sudah mati”
31
Abah menjelaskan itu kepadaku saat kami
diperjalanan tadi. Selain itu, Unjun dan nilon Haruan
harus panjang. Itu agar ketika kita maunjun ikan itu,
keberadaan kita tidak diketahui oleh ikan yang pintar
itu. Bila ikan itu tahu, maka ia enggan memakan
umpan yang kita taruh. Bagiku ini benar-benar seperti
tantangan adu pintar antara aku dengan ikan Haruan.
Nyuuussssh…. Nilon unjunku aku lemparkan
jauh-jauh. Aku menggoyang-goyangkan unjunku
sambil menjalankan katak sungai kecil yang kini jadi
umpan ikan Haruan itu pelan-pelan. Aku
melakukannya berulang-ulang. Beberapa orang yang
juga nampak sibuk dengan hal yang sama sepertiku,
berkali-kali menarik unjunnya karena umpannya
sudah dimakan. Aku lihat abah sudah dua kali
menarik umpannya dan berhasil dapat dua ekor
Haruan yang cukup besar.
Aku terus berusaha. Aku mencoba sabar meski
aku sudah mulai jengkel. Matahari pas di atas ubun-
ubunku. Topi purun yang aku gunakan untuk
munutupi kepala rasanya seperti sia-sia saja.
Ditambah lagi kejengkelanku yang sudah berdiri satu
jam tapi tidak memperoleh hasil apa-apa semakin
membuat otakku panas.
Beberapa kali aku lihat abah menarik unjunnya
yang disambar ikan Haruan. Wajah abah nampak
begitu bersemangat. Ia menoleh ke arahku. Tanpa
bicara aku tahu dia bertanya aku sudah dapat berapa
ekor. Aku hanya menggelengkan kepalaku lesu. Aku
masih belum dapat seekorpun.
32
Sudah tiga jam waktu berlalu, dan aku masih
belum mendapatkan ikan barang satupun. Dari
tempatku berdiri terdengar adzan yang tengah
berkumandang. Entah dari masjid yang berada
dimana. Awan hitam mulai datang seolah
memerintahkan orang-orang yang tengah maunjun
untuk berhenti dan mendirikan salat dzuhur sebentar.
Dan seketika hujanpun turun. Hatiku yang tadinya
terasa jengkel sedikit terhibur karena dugaanku tepat,
hari ini pasti hujan. Sebuah prediksi yang sebenarnya
tak penting setelah ku pikir ulang.
Abah berlari menuju sebuah gubuk kosong.
Aku berlari mengikuti langkahnya setelah merapikan
peralatan unjunku, ladung, tas kecil berisi mata kail,
gunting, silet, dan peralatan lainnya.
“Kadada kulihan lalu kah nyawa , Cai?26” Tanya
abah sambil menoleh ke dalam isi ladungku.
“Kadada lalu Bah ay… Ngalih sakalinya
maunjun harun ni lah..27” Wajahku lesu. Aku
mengeluh sambil menggelengkan kepalaku.
“Nyawa kayapa garang maunjunnya28?” balas
Abah sambil menyalakan rokok kretek yang tak bisa
lepas darinya.
26 Kamu tidak memeroleh barang seekorpun ya, Cai? 27 Tidak dapat satupun, Bah. Ternyata memancing ikan Haruan itu susah sekali, ya? 28 Memangnya kamu mancingnya bagaimana?
33
“Ya, nang kaya pian padahi tadi pank..29”
balasku yang merasa apa yang kulakukan sudah
sesuai dengan apa yang abah sarankan.
Aku menoleh ke ladung abah. Ada lebih dari
delapa ekor ikan Haruan. Aku merasa sedikit senang.
Abahku rupanya memang sangat piawai dalam hal
unjun-maunjun30.
“Kaina mun hudah taduh, kita maunjun pulang.
Kaina kupadahi caranya. Palingan nyawa ni salah
caranya makanya kada sing dapatan. Kita bataduh ka
rumah urang sakalian umpat sumbahyang dahulu
gen..” Ucap abah sambil mengajakku berlari keluar
dari pondok dan berteduh di pelataran rumah warga.
Ia mengganti bajunya karena ingin numpang salat di
rumah itu.
Di daerah Handil Halabio ini masyarakatnya
memang sangat ramah. Jadi kita tak usah segan-
segan jika ingin numpang salat, buang air, dan minta
minum, itu kata Abah. Aku mengiktui langkah kaki
Abah. Kami salat berdua, berjamaah.
Setelah hujan reda, Abah dan aku kembali
mengganti baju dengan pakaian yang khusus kami
pakai saat maunjun. Kali ini Abah yang memasangkan
umpan ke mata kailku. Ia memasang dengan cekatan
sambil menjelaskan semua ditel cara memasang
umpan katak itu kepadaku. Aku mendengarkan
dengan seksama.
29 Ya, seperti apa yang anda katakan tadi. 30 Pancing-memancing
34
Setelah semua selesai, Abah mengajakku ke
tempat yang berbeda dari pertama kali kami maunjun
tadi. Beberapa orang yang juga datang untuk maunjun
jua mulai bergerak ke titian rezeki mereka masing-
masing. Suasana desa ini setelah diguyur hujan begitu
memesona. Udaranya sejuk tanpa polusi. Air
sungainya jernih meski beberapa ada yang Nampak
begitu semak. Aku berjalan mengikuti langkah kaki
Abah sambil membawa ladung dan peralatanku. Aku
menoleh kawanan itik yang setelah hujan reda tadi
tengah asik bermain sambil mencari ikan. Aku
memerhatikan induk itik yang berenang diiringi
kawanan anak-anaknya, mengagumkan. Kaki itik-itik
kecil itu terlihat jelas di air sungai yang begitu jernih.
beberapa kawanan anak kecil mungkin seumuranku
tengah asik balumba31 di sekitar anak sungai yang
jernih dan agak lebar dari anak sungai yang lain.
Mata hari kembali bernisar. Rona cahaya yang
menerpa bintik-bintik embun bekas hujan barusan
terihat seperti butiran mutiara yang tengah berkilau
dilempar ke langit luas. Rasanya hatiku begitu
bahagia diajak Abah ke tempat yang menawan ini.
“Cai, nyawa malihat lah padang sabat nang
pina rabah tuh?” tangan Abah menunjuk ke semak
yang nampak seperti jalan setapak.
“Inggih…” aku mengangguk pelan sambil
menatap serius ke arah yang Abah tunjuk.
31 berenang
35
“Nah, ngitu tu jalan Haruan. Tu lain manusia
yang maulah, tapi Haruan. Jadi nyawa cubai ha unjuni
di situ, mamatuk tu kaina..”32 Abah menyerahkan
Unjun Haruan kepadaku dan lalu menjauh dariku.
Tanpa aku sadar ia memerhatikan aku yang kini
tengah sibuk dengan unjunku. Dan tak lama
berselang, Haaaappp,,, aku berhasil menarik unjunku
dengan iwak Haruan yang cukup besar mengait di
mata kailku. Aku menoleh kea rah Abah. Ia
mengacungkan jempolnya sambil tersenyum bersama
rokok yang masih mengasap di mulutnya.
Aku mulai bersemangat. Aku melepas ikan itu
lalu memasang katak sungai kembali ke kailku
sebagaimana yang diajarkan Abah barusan. Aku
kembali menaruh mata kailku di tempat-tempat yang
nampak seperti jalan setapa, tempat ikan Haruan
senang berenang. Dan haaaap, beberapa kali aku
berhasil mendapatkannya.
Dan tanpa terasa waktu hampir petang.
Ladungku mulai dipenuhi beberapa ikan Haruan. Ada
tiga belas ekor. Umpanku habis. Aku berjalan ke
tempat Abah. Aku lihat ia jua sudah mulai menyudahi
kesibukannya hari ini. Matahari senja semakin
memesona. Meski sejak tadi pagi kami berada di sini,
tapi rasanya aku masih belum merasa letih. Melihat
kumpulan Haruan yang ada diladungku itu rasanya
benar-benar membangkitkan semangatku. Man jadda
wa jadda, siapa berusaha pasti akan memetik
32 Nah, itu adalah jalan dari ikan haruan. Itu bukan buatan manusia, tapi buatan Haruan. Jadi kamu coba pancing di sekitar situ, nanti pasti umpanmu akan dimakan.
36
hasilnya. Tapi harus dengan cara yang cerdas” Pikirku
mendapatkan pelajaran baru.
Seiring perginya orang-orang yang tadi juga
tengah asik maunjun, aku dan Abah turut mengikuti
langkah mereka meninggalkan desa Handil Halabio.
Abah mengambil motornya di halaman rumah warga,
tempat ia menitipkan motornya tadi. Aku naik dan
duduk dibelakang. Aku dan Abah bergegas pulang.
Hari makin petang. Matahari sudah nampak kejingga-
jinggan. Motor yang kami naiki melaju beriring dengan
kawanan burung Tatapaian yang jua pulang menuju
kediaman mereka.
***
37
Chapter 4
Lomba Tilawatil Qur’an
Matahari sudah merangkak turun dari ufuk.
Sebagaimana biasa, selain adzan subuh, di desa ini
selalu aku yang menjadi muadzin di masjid Sultan
Suriansyah. Sepertinya orang-orang tua kini sudah
enggan mengumandangkan adzan di masjid desaku.
Entah mereka terlalu sibuk atau memang urat leher
mereka yang sudah tak sanggup lagi untuk berteriak
nyaring-nyaring di michrophone masjid, aku juga tak
tahu, yang jelas akhir-akhir ini tak seorangpun dari
golongan tua yang mau datang ke masjid paling awal.
Semuanya takut jika datang pertama harus
mengumandangkan adzan. Hal ini terjadi semenjak
meninggalnya H. Ali, ta’mir sekaligus muadzin tetap
masjid ini.
Akupun berdiri seorang diri di dalam masjid,
tepat di depan mimbar kayu Ulin33 tua berwarna hitam
gelap. Sebuah michropohone sudah menancap
kencang di genggamanku. Dengan gerilya aku
lantangkan benar-benar suara melengking dari
tenggorokanku, membahana. Menembus senja kuning
hingga dikejauhan sana. Aku benar-benar ingin
meluapkan perasaan gelisahku tentang nasib malang
masjid ini yang mulai sepi dikunjungi setiap jamaah.
Entah dikunjungi dalam rangka menengok kembali
silam sejarah berdirinya masjid tertua di tanah
Kalimantan ini, atau berkunjung dalam rangka
33 Kayu Besi
38
memakmurkan masjid dalam sembah sujud para
hamba yang bermukim tak jauh dari masjid. Aku tak
peduli apa kata orang. Aku berteriak sekeras-kerasnya
hingga tak sedikitpun terdengar seperti orang yang
tengah adzan. Melainkan lebih mirip seorang bocah
yang sedang meneriaki seruan “kebakaran”. Itu kata
ibuku yang pernah beberapa kali menegurku, silam.
Dan tak lama, beberapa ketukan langkah kaki
terdengar menapaki lantai kayu masjid Sultan
Syuriansyah yang sudah tak cekat. Aku melirik sedikit
ke belakang. Julak Adus. Itu artinya orang yang akan
jadi imam salat maghrib sudah datang. Aku merasa
puas karena teriakanku menuai hasil. Setidaknya ada
seorang Julak Adus yang kini mau mendatangi masjid
ini. Walau kadang kedatangannya hanya untuk
sekedar menegurku yang telah adzan dengan cara tak
wajar.
Beberapa orang ikut mengiringi langkah Julak
Adus. Tanpa menunggu terlalu lama, aku langsung
megumandangkan iqomat. Sejurs, salat khsyukpun
didirikan. Tak lama dari usai salat, listrik padam
seketika. Suasana langsung berubah menjadi gelap
gulita. Gemerlap bintang nan jauh di langit sana kini
mulai tampak sedikit lebih terang. Mungkin karena
kegelapana yang kini hadir menyelimuti desa secara
keseluruhan.
Dengan inisiatifnya yang selalu cemerlang,
Amad yang juga selalu hadir salat maghrib di masjid
desa, datang dengan lentera kecilnya. Entah kenapa
aku selalu salut melihat semangat sahabat kecilku
39
itu. Ia tak ingin barang sekalipun ketinggalan untuk
belajar mengaji kepada Julak Adus.
“Ucai… ayooo..??!” Ajak Amad yang datang
kepadaku sambil menenteng Al-qur’an besar di tangan
kanannya yang bahkan lebih besar dari badan
mungilnya. Aku lihat sarung yang ia kenakanpun
hampir melorot. Ia tak bisa membenarkannya karena
tangan kirinya harus memegang sebuah lampu teplok
kecil.
Dengan kebandelan yang kumiliki, aku tarik
saja sarungnya. Tinggallah Amad dengan celana
dalamnya. Semua mata langsung tertuju kepada
Amad yang sudah terlanjur tak bisa berbuat apa-apa.
Semuanya terbahak melihat Amad yang terjahili oleh
kenakalanku. Cepat-cepat Amad menaruh lampu dan
Qur’an di tangannya lalu membenarkan sarungnya.
Wajahnya malu, tapi ikut tertawa. Beberapa saat
kemudian tiba-tiba telingaku terasa ngilu. Rupanya
tangan Julak Adus yang menancap di telingaku dan
memutarnya dengan cukup kencang.
“Ampun Julak, ampuuun.. ampuun..” teriakku
mengiba. Kini semua mata tertuju kepadaku dengan
tawa yang membahana. Ku lihat wajah Amad nampak
puas dan menertawakanku dengan kencangnya,
seolah membalas apa yang aku lakukan barusan
kepadanya.
“Huusss. Bahinipan… Bagian nyawa ni aur
bagaya haja. Bujur-bujur di masjid, daham bagayaan
40
ja tarus.”34 Ucap Julak Adus, raut mukanya datar.
Semua langsung terdiam. Suasana seketika menjadi
hening.
Di masjid ini, sehabis salat maghrib kami
memang rutin mengadakan belajar memba Al-Qur’an
bersama, berenam. Aku, Amad, Hadri, Unuy, Anshar,
dan Udin. Siapa lagi kalau bukan julak Adus yang
mengajari kami.
Bagiku, julak Adus tidak hanya seorang bos
untuk kulakan buah, tetapi juga guru yang selalu
memberikan nasihat bijaknya saat diperlukan.
Dan hari ini, sebagaimana biasa, aku selalu
ditunjuk julak Adus untuk memulai mengaji. Itu
karena bagi beliau aku adalah murid yang paling
pandai membaca al-quran. Aku juga diajar berbeda
dari anak-anak yang lain. Jika yang lain hanya belajar
mengaji dan tajwid, maka aku jua diajarkan
bagaimana seni melagukan Al-qur’an dengan baik.
Kali ini, entah kenapa beliau ingin aku
membacanya dengan tilawah. Biasanya, karena
dihadapan anak-anak lain, aku hanya disuruh
mengaji dengan bacaan biasa, tanpa nada khusus.
Dengan pelan aku mulai membaca. Disuasana
hening, gelap gulita, dan hanya bertemankan dua
buah lampu teplok di tengah ruang masjid tua ini, aku
merasa ayat demi ayat yang kubawakan begitu
34 Huusss… diam. Kalian ini sukanya bercanda. Di masjid itu harus khusyuk, jangan bercanda terus.
41
menyentuh hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Bahkan aku yang membawakan ayat itu seolah tak
merasa dan tak percaya bahwa itu suaraku sendiri.
Usai mebaca beberapa ayat, tiba-tiba tangan
seseorang menepuk bahu kananku dari belakang.
Hampir saja aku melompat karena kupikir itu setan
dari alam ghaib yang mau menarikku ke alamnya.
Setelah aku berbalik, ternyata itu adalah guruku
sendiri di MI, Pak Riduan.
Rupanya kedatangannya dari kampungnya,
desa Alalak, memang sengaja untuk mencariku. Ia
bilang tadi ia mencari aku di sekolah, tapi tak
bertemu. Sore tadi ia juga sempat mampir kerumahku
tapi aku sedang di rumah H. Undas, bekerja. Dan
malam ini, beliau sengaja datang ke desa Kuin untuk
menemuiku di masjid ini, karena beliau tahu aku
selalu belajar mengaji di sini sehabis salat maghrib.
Setelah bercerita bahwa akan ada lomba antar
siswa MI untuk memperingati pekan Rajabiyah, bulan
isra’ mi’raj, beliau memintaku untuk ikut mewakili
sekolah dalam acara yang diadakan se-kotamadya
Banjarmasin itu. Aku diminta ikut lomba tilwatil
qur’an.
Tapi, rasanya aku tak yakin. Aku belum
berpengalaman dengan acara seperti itu. Namun, Pak
Riduan berusaha memaksaku dengan alasan “supaya
memiliki pengalaman, makanya ikut.”.
42
Aku menoleh wajah julak Adus. Ia hanya
mengangguk sambil tersenyum. Bagiku itu bukan
jawaban atas pertanyaanku.
Dengan bimbang, akhirnya aku terima juga
permintaan pak Riduan. Beliau memintaku untuk
berlatih rutin setiap hari, sebelum lomba akan
dilaksanakan minggu depan.
Kulihat Amad begitu antusias menyemangatiku.
Tapi, aku sendiri tak yakin dengan hal ini. Aku tak
menargetkan apa-apa. Bagiku, menang dan kalah
bukan apa-apa.
***
Selama seminggu ini, Amad masih terus setia
menyemangatiku. Ia selalu berkata kepada untuk
yakin bahwa aku pasti menang. Padahal, bahkan
hingga hari ini aku tak pernah sekalipun berlatih
secara intensif. Padahal acara tinggal dua hari besok.
Aku tak sempat. Aku tak ada waktu untuk berlatih.
Subuh hari aku harus berjualan di pasar terapung.
Dari pagi sampai siang aku harus sekolah. Dan sore,
aku di pabrik kayu H. Undas untuk bekerja sama
Abah. Maghrib aku harus belajar mengaji. Setelah itu
aku harus membantu umma memasak dan menjaga
adikku. Waktuku sudah habis untuk semua aktivitas
rutinku.
43
“Yakin manang, Cai.. yakinlah nyawa35 tu..”
ucap Amad kepadaku bersemangat.
***
Dan pagi sudah menyingsing. Aku bangun lebih
awal dari biasanya. Bukan karena aku sangat
bersemangat. Tapi karena semalaman tadi aku tak
bisa tidur. Hari ini acara yang ditunggu-tunggu
banyak orang, tapi yang begitu tak kusukai sudah
tiba, pekan rajabiyah MI dan MTs se-kotamadya
Banjarmasin.
Berbeda dari hari biasanya, hari ini aku
dijemput pak Riduan dengan sepeda motor tua
kebanggaannya di rumahku, dan lalu langsung
menuju masjid raya sabilal Muhatadin, tempat acara
diadakan.
Ummaku nampak bingung dengan tanda tanya
besar di benaknya melihat aku yang dijemput ke
rumah oleh pak Riduan. Itu karena aku memang tak
bercerita kalau akan ikut lomba hari ini.
Suasana di tempat lomba sangat ramai. Tapi
bagiku begitu sepi. Aku tak memiliki kenalan
seorangpun di sini. Pak Riduan yang tadi datang
bersamaku jua tak tahu kemana perginya. Ia hanya
menunjukkan bahwa tempat lombaku di ruangan
sebelah Barat, dekat stasiun radio Sabilal Muhtadin.
Dan bila namaku sudah dipanggil, maka aku harus
35 Kamu
44
langsung maju untuk tampil di panggung yang
disediakan, ucapnya lalu pergi entah kemana.
Waktu terus berputar. Hari semakin siang.
Namaku masih belum dipanggil. Dan Pak Riduan
masih belum datang. Hingga saat ini aku tak melihat
seorangpun yang ku kenal, bahkan rombongan dari
sekolahku sendiri. “Apa mungkin aku adalah
perwakilan satu-satunya dari sekolahku di acara yang
tak kuketahui ini?, hanya tahu namanya, Pekan
Rajabiyah MI dan MTs se-kotamdya Banjarmasin”.
Bahkan tak seorangpun memedulikanku yang
tengah sepi di dalam keramaian ini. Aku seperti orang
tersesat dan tak tahu harus berbuat apa. Dan setelah
nafasku seolah sudah diujung ubun-ubun, akhirnya;
“Peserta selanjutnya, Muhammad Khusairi dai
MI Kuin dipersilakan naik ke atas panggung..” ucap
MC pembawa acara.
Mendengar namaku dipanggil, akupun
bersegera memasang peci hitam yang dari tadi aku
gunakan sebagai kipas, karena udara siang ini begitu
terik menyengat.
Aku bergegas berlari ke atas panggung. Aku tak
peduli semua mata yang menatapku dengan heran.
Mungkin heran melihat aku yang kumal ini datang
darimana dan dari sekolah mana, bahkan tanpa
seorang pendamping. Hanya selembar kartu peserta
yang meyakinkan panitia bahwa aku juga merupakan
peserta acara ini.
45
Setelah sampai dipanggung, aku berduduk dan
menenangkan diri sesaat. Aku mencoba mengatur
nafasku yang terengah-engah agar tenang. Seetelah
tenang, dengan didahului salam kepada seluruh
hadirin, aku mulai membuka bacaanku dengan
ta’awudz serak, pelan, dan meyakinkan.
Ku pandangi semua mata hadirin yang kini
tengah terkesima. Dalam hati aku berucap “Horeee,
aku berhasil membuat mereka semua terdiam.”
Aku terus melanjutkan dengan tenang. Aku
mencoba menghayati dengan perlahan. Beberapa bait
ayat kulalui dengan penuh kekhidmatan. Dan setelah
semua ayat selesai kubawakan, aku menutup kembali
pertunjukkan dengan salam.
Sesaat lamanya, semua mata masih terdiam.
Aku turun dari panggung dan langsung melarikan diri
dari keramaian. Beberapa sudut ku datangi untuk
menemukan sosok pak Riduan. Dan akhirnya beliau
kutemukan dikerumunan para peserta lomba pidato.
Rupanya dari tadi ia ada di situ untuk mendampingi
Zulkifli, teman sekelasku yang juga mewakili
sekolahku dalam lomba pidato.
Rupanya sehabis mengantarku ke masjid, pak
Riduan kembali ke sekolah untuk menjemput Zulkifli,
karena tak ada guru lain yang mau mengatarkan
Zulkifli ke acara ini. Entah mengapa, aku tak tahu
alasannya. Padahal di sekolah masih ada guru lain
yang juga memiliki kendaraan.
46
Hanya saja, aku bisa berkesimpulan, mungkin
guru lain tak begitu mendukung dengan keikutsertaan
kami dalam acara ini. Aku dapat cerita dari Zul bahwa
ide untuk ikut serta dalam lomba inipun sebenarnya
adalah ide pak Riduan sendiri, tanpa dukungan dari
guru lain. Zul bilang guru lain tak seorangpun yang
mendukung dengan tindakan. Mereka hanya
mendukung dengan perkataan saja. Bahkan ada yang
meremehkan bahwa sekolah kami pasti kalah oleh
sekolah lain yang lebih maju.
Kasian sekali pak Riduan. Tapi, bagiku yang
penting, kami sudah berusaha dengan semampu
kami.
Akhirnya, selesai lomba kamipun diantar
pulang ke rumah secara bergantian. Pertama pak
Riduan mengantar Zul ke rumahnya. Setelah itu
beliau kembali ke masjid Sabilal, tempat pekan
Rajabiyah diadakan untuk menjemput dan
mengantarku ke rumah.
***
47
Chapter 5
Kapuhunan
Terik mentari serasa benar-benar menyengat
kulit siang ini. Dikejauhan sana, semua benda seperti
meleleh akibat fatamorgana yang muncul di atas aspal
jalanan yang tengah terpanggang. Langkah cepat kaki
seorang bocah yang sedang berlari entah kemana mau
menuju itu seolah tak memedulikan panasnya
matahari di atas sana. Wajah bocah itu nyaris
seutuhnya dipenuhi peluh keringat yang menyeruai.
Amad. Bocah itulah yang tengah berlari sampai
terengah-engah. Wajahnya nyaris pucat. Tapi senyum
dimulutnya mengisyaratkan kalau dia punya kabar
baik hari ini. Setelah mengetuk pintu rumahku yang
tengah terbuka sebagai formalitas etika, Amad masuk
tanpa pamit. Umma yang tengah memasak di dapur
juga tak menggubris Amad yang masuk ke rumahku
tanpa salam. Itu karena Amad memang sudah sangat
akrab dengan keluarga kami.
Ia duduk tepat disampingku. Nafasnya
terengah-engah. Bau keringatnya seperti ban bekas
yang baru saja hangus terbakar. Ia hanya tersenyum
sambil menatapku yang tengah sakit sejak tiga hari
ini.
“Cai.. Nyawa juara Cai ay. Nyawa manang…
Nyawa manang lomba samalam. Nyawa Juara satu.
48
Cai ay…36” ucapnya berteriak-teriak sambil
menggoyang-goyangkan badanku yang lemas tak
berdaya. Amad juga bilang kalau Zul meraih juara
tiga. Berita baik. Tapi aku tak bisa mengekspresikan
kegembiraanku di tengah sakit yang mendera ini. Aku
hanya bisa membalas kabar baik dengan tersenyum
kaku, tanpa suara. Air liur ku pahit. Bibirku ngilu dan
kering. Aku tak bisa berkata-kata.
Sudah tiga hari ini aku terkulai lemah. Kata
Julak Ulay, tabib tradisional di desaku, aku
kapuhunan37 karena tiga hari yang lalu aku berjalan di
dekat kuburan, di ujung desa, saat senja dan tanpa
permisi. Sebagai masyarakat yang masih tergolong
tradisional, aku dan keluarga sangat memercayai
argumentasi dari julak Ulay itu. Sampai sekarang,
orang Banjar yang tergolong masih tradisionalis
meyakini bahwa ketika seseorang berjalan di suatu
waktu atau tempat yang ditunggui oleh makhluk
halus dan berbuat hal yang tidak menyenangkan atau
lupa permisi, maka orang itu segera akan jatuh sakit
karena katulahan38 sehingga akhirnya kapuhunan.
Amad berlalari ke dapur, menemui umma. Ia
bercerita kalau kemarin aku ikut lomba dan menang.
Ummaku setengah heran. Itu karena aku tak pernah
cerita tentang lomba itu.
36 Cai.. kamu juara Cai. Kamu menang lomba kemarin. Kamu juara satu, Cai… 37 Mitos orang banjar =sakit karena menolak pemberian atau karena kesambet makhluk halus 38 kualat
49
Aku tak yakin, tapi wajah umma menampakkan
rasa bahagianya. Ia berhenti sejenak dari
kesibukkannya. Ia menghampiriku dengan senyum
dinginnya dan lalu mengelus keningku lembut.
Beberapa saat, Amad baru sadar kalu aku
tengah sakit. Wajahnya yang tadi begitu cerah kini
menjadi murung. Samar-samar kudengar ia bertanya
kepada ummaku tentang keadaanku. Umma hanya
bilang singkat bahwa aku kapuhunan karena dirawa
urang halus39.
Semakin lama, suara mereka semakin samar.
Penglihatanku rasanya semakin kabur. Sedetik, dua
detik, tiga detik, dan detik terus berlalu….
Penglihatanku semakin terasa aneh, cerah,
gelap,cerah, dan kembali gelap. Beberapa waktu,
akupun tak tau apa yang tengah terjadi.
***
Mataku terbuka. Situasi dan ruangan bagitu
terasa asing. Tak pernah sebelumnya ada selimut
putih di tempat tidurku. Sejenak menyimak, aku baru
sadar, ini rumah sakit.
Di sampingku Nampak umma yang tengah
tertidur sambil menungguiku yang rupanya sempat
tak sadarkan diri.
Beberapa waktu kemudian, umma terbangun.
Ia bilang, kemarin aku pingsan di tempat tidur tak
39 Kesambet makhluk ghaib
50
lama sedari kedatangan Amad ke rumah. Yang aku
heran, ada angin apa umma membawaku ke rumah
sakit. Aku memang sering terserang sakit, korengan,
meriang, gatal, dan penyakit kampung lainnya. Tapi,
tak pernah sekalipun aku pernah dibawa ke rumah
sakit. Biasanya Cuma dibawa ke tabib kampung,
Julak Ulay, atau paling hebat sekali ke puskesmas
desa. Itu juga dengan surat rujukan keluarga kurang
mampu dari kepala desa.
“Kenapa sekarang aku dibawa ke rumah sakit?,
memangnya umma punya uang untuk membayar
biaya rumah sakit?. Atau penyakitku sangat parah
hingga harus dibawa ke rumah sakit?” gumamku
dalam hati.
Beberapa saat, ku lihat pak Riduan masuk dari
balik pintu diiringi beberapa temanku, Amad, Zulkifli,
dan beberapa teman sekelsaku yang lain. Dari
pembicaraan pak Riduan dan umma, akupun mengerti
bahwa keberadaanku di rumah sakit ini atas
tanggungan Kepala sekolahku, pak Rahmadi.
Bibirku masih terasa ngilu. Tulang rahangku
serasa keram bercampur sakit. Bahkan sekedar
membuka mulut untuk makanpun aku tak sanggup.
Samar-samar ku dengar, umma minta kepada
pak Riduan agar aku segera dibawa pulang saja. Ia tak
ingin merepotkan pak Rahmadi yang telah bersedia
menanggung biaya perawatanku. Kulihat wajah Abah
yang baru saja datang dari apotek rumah sakit utnuk
menebus obat nampak mengisyaratkan bahwa ia
51
merasa tak nyaman karena aku sakit. Tak nyaman
hati karena keluarga kami jadi merepotkan pak
Rahmadi.
Setelah negosiasi yang cukup lama, akhirnya
aku dipulangkan dan diantar dengan mobil oleh pihak
rumah sakit.
Sebelum pulang tadi pak Riduan
menyempatkan bilang selamat kepadaku. Ia bilang
piala dan sertifikat lomba sudah ia serahkan kepada
umma. Aku hanya mengangguk. Aku masih belum
bisa membuka mulutku untuk bicara.
Hari sudah malam. Keadaanku sudah terasa
lebih baik. Di tengah dingin malam yang menyelimuti,
tak terasa air mataku menetes dengan sendirinya.
Entah karena apa. Aku tak tahu. Apa karena
keharuanku dengan guru-guru dan teman-temanku,
atau karena keberhasilanku dilomba itu, atau karena
keadaan keluargaku yang miskin ini hingga aku
rawan merepotkan orang lain. Entahlah... semuanya
campur aduk rasanya.
***
52
Chapter 6
Hilang
Sudah satu minggu aku tak masuk sekolah.
Tadi pagi pak Riduan datang ke rumah untuk
menemui orang tuaku. Rupanya setelah satu minggu
aku tak hadir, baru pihak sekolah sadar tentang
ketidak hadiranku.
Semenjak aku mulai pulih dari sakit, kini
giliran abah yang jatuh sakit. Tak jauh beda
denganku, kata Julak Ulay, dia juga kapuhunan
karena membuang makanan di tempat yang tidak
seharusnya.
Antara percaya dan tidak dengan takhayul lama
keturunan nenek moyangku itu, secara perlahan
pikiranku terasa menerima begitu saja fenomena itu.
Itu karena aku jua pernah merasakan sakit yang
tergolong aneh seperti itu.
Tak penting apakah benar atau itu hanya
takhayul semata, yang jelas imbasnya adalah aku
harus bekerja ekstra di pabrik kayu H. Undas dan
berdagang buah dari subuh sampai pagi di pasar
terapung. Dan siangnya aku harus berjualan kue di
pasar Alalak bersama umma karena abah saat ini tak
bisa pergi bekerja. Mau tak mau aku harus
meliburkan sekolahku. Umma juga melarangku
membaca buku saat membantunya di warung. Walau
begitu, aku selalu berusaha mencuri-curi kesempatan
untuk membaca buku sekolah.
53
“Ucai napa kada tulak ka sakulah? Sudah
samingguan ha pulang?40” Tanya pak Riduan saat
bertemu denganku di warung umma, di pasar Alalak.
Kehadiran pak Riduan itu aku benar-benar
aku harapkan. Itu supaya aku ada alasan untuk
berangkat sekolah. Tapi sayang, wajah umma
menjadikan aku sedikit kecewa. Ia bilang aku harus
membantunya di warung Alalak untuk berjualan.
Menurutnya menolong orang tua itu lebih utama
daripada sekolah.
Aku tak begitu mengerti tentang prioritas,
apakah aku harus sekolah atau membantu orang tua.
Yang aku selalu tahu, aku harus berbakti kepada
kedua orang tuaku, “karena surga dibawah telapk
kaki umma” Dan itu ujar pak Riduan sendiri di
sekolah.
“Meski harus mengorbankan cita-citaku...”
bisikku dalam hati menyikapi keadaan, kecewa.
Entahlah yang mana yang benar. Yang jelas,
abah sakit, dan aku harus menolong umma untuk
dapat duit dan bisa membawa abah ke dokter.
Kulihat wajah pak Riduan sedikit kecewa. Tapi,
ia tak mungkin berdebat dengan umma. Aku tahu pak
Riduan tak berani dengan umma. Aslinya bukan
kepada umma, tapi ia takut sama abah. Itu karena ia
pernah dimarahi abah saat mengajakku berkunjung
40 Ucai kenapa tidak ke sekolah? Sudah satu minggu pula?
54
ke perpustakaan daerah yang menyebabkan aku
harus pulang sore dan tak bisa membantu pekerjaan
umma di rumah.
Mungkin kalimat umma “membantu orang tua
itu lebih utama daripada sekolah” itu adalah kalimat
abah yang dijiplaknya. Aku tahu itu karena pertama
kalinya aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut
abah saat marah kepada pak Riduan.
“UCAII..!!!??? JANGAN LUPA BELI ES BATU DI
ACIL JUMI…!!” teriak umma dari warung kepadaku
yang tengah berdiri di depan warung julak Ami untuk
membeli gula.
Aku bergegas menyelipkan buku sekolahku di
balik baju agar tak kelihatan umma dan ia tak marah
kepadaku.
Sejatinya, umma bukanlah orang yang
pemarah. Meski aku merasa ia juga bukan orang yang
ramah. Tapi semenjak abah sakit, ia jadi terlihat lebih
sensitif.
Dan tiba-tiba, sepeda phoenix tua dengan
bannya yang besar menghalangi langkahku.
Pengendaranya seorang bocah, Amad.
“Kanapa nyawa kada ka sakulahan
samingguan nih?.41” tanya Amad padaku. Kakinya
membenarkan kuda-kudanya di pedal sepeda
besarnya.
41 Kenapa kamu gak ke sekolah selama satu minggu ini?
55
“Aku mandangani ummaku badagang. Kanapa
garang?42” Balasku sambil menahan silau mentari
yang datang dari belakang wajah Amad.
“Nyawa dicarii pak Rahmadi.43” Jawabnya.
Aku menoleh ke tempat lain. Aku merasa
bersalah. Tapi aku juga merasa senang karena
ternyata ada yang memerhatikan aku yang tak masuk
ke sekolah sudah beberap hari ini. Aku masih diam,
tak tahu harus menjawab apa.
“Aku handak nukar nyiur dahulu lah...?!44“
Sambungnya dan lalu pergi dari hadapanku.
Aku hanya mengangguk, dan masih diam. Aku
tahu sebenarnya Amad mengerti kenapa aku tak
masuk sekolah selama seminggu ini. Pertanyaannya
tadi kupikir hanya basa-basi untuk mengingatkan aku
bahwa sebenarnya aku memiliki kewajiban sebagai
seorang generasi muda negeri ini, yakni sekolah.
Hatiku jadi bergetar. Rasanya aku ingin minta
izin kepada umma untuk kembali masuk ke sekolah
besok. “Masalah Abah?” bisik nuraniku yang lain tiba-
tiba. Aku tidak tega mebiarkan umma bekerja sendiri
di pasar. Dan aku tak rela jika aku tak membantu
umma. Aku takut pikiran abah akan semakin
terbebani.
42 Aku membantu ibuku berdagang. Kenapa memangnya? 43 Kamu dicari pak Rahmadi 44 Aku mau beli kelapa dulu ya..?!
56
Dan.... Aku dapat sebuah pemikiran. Aku
mempercepat langkah kakiku, dan lalu berlalri
menyusul Amad. Aku ingin bilang kepadanya kalau
aku ingin gantian masuk sekolah dengannya. Jadi
hari ini aku sekolah, dan Amad yang membantu
umma. Besoknya aku membantu umma dan Amad
yang ke sekolah.
Setelah bertemu dengannya, ia sepakat dengan
alasan, aku tak boleh memberitahukannya kepada
orang tua Amad. Aku segera bilang kepada umma
rencanaku. Dan dengan segenap bujukanku juga
Amad, akhirnya ia mau jua memberi izin.
Aku dan Amad bertatapan. Ia tersenyum dan
mengangkat tangannya kepadaku, memberikan
isyarat untuk kompak45. Aku langsung faham dan
menyambutnya dengan semangat.
Senja sudah menguning. Arus sungai Alalak
dan Kuin mulai melambat. Binar mentari tertampak
mengkilau jingga di permukaan arus sungai. Haripun
kini semakin menuju gelap. Sebentar lagi mahgrib
tiba. Aku mendayung sepeda bersama umma. Aku
mendayung sepedaku sedikit lebih kencang
mendahului umma. Aku harus segera sampai rumah
lebih dulu.
“Aku harus mandi, dan segera berangkat ke
masjid untuk belajar mengaji kepada julak Adus..”
ucap batinku.
45 Tos (anak muda)
57
***
58
Chapter 7
Piala
Hari ini adalah hari kelima belas semenjak
abah sakit. Tapi tak ada tanda-tanda sedikitpun
beliau bakal sembuh. Kami juga tak berani
membawanya ke rumah sakit agar mendapatkan
perawatan yang lebih baik. Selain karena kami tak
punya biaya, abah juga akan marah jika dirinya di
bawa ke rumah sakit. Itu karena ia sangat benci
dengan yang namanya Rumah Sakit. Entah apa
lasannya, aku tak tahu.
Selama seminggu ini aku menjalani sekolahku
secara rahasia. Strateginya berubah. Agenda selang-
seling masuk ke sekolah dan membantu umma di
pasar bersama Amad dibatalkan. Itu karena kakaknya
Amad, Rukayah bersedia membantu umma untuk
berjualan di pasar. Maka aku dan Amad bisa sekolah
dari senin sampai sabtu. Tapi tetap, tanpa
sepengtahuan abah.
“Alhamdulillah.. Akhirnya umma mendukung
sekolahku.. ”Gumamku sambil berdiri di atas batang,
menatap langit cerah pagi ini.
Dari sini, batang rumahku, Ku lihat Amad yang
tengah berdiri di batang rumahnya melambai-
lambaikan tangannnya kepadaku sambil menggosok
gigi. Busa pasta gigi nampak berceceran hingga ke
tangan dan bajunya.
59
Aku ikut melambaikan tangan sambil
tersenyum, menggosok gigi pula. Dan lalu, aku turun
dari rumah dengan segera tanpa mengenakan pakaian
sekolah, biar abah tak tahu kalau akau pergi ke
sekolah. Ia tahunya aku membantu umma berjualan
di pasar. Nanti di masjid Sultan Suriansyah baru ku
ganti bajuku dengan seragam sekolah.
Entah kenapa, beberapa hari ini aku senang
sekali melihat piala juara satu lomba tilawtil Qur’an
yang ditaruh umma dilemari kecil tua ruang tamu
rumah. Mungkin sengaja ditaruh umma di sana untuk
memperlihatkan rasa banggaannya kepada tamu yang
masuk ke rumah kami. Aku tersenyum sendiri. Baru
beberapa hari ini aku sadar bahwa ternyata aku
punya kebisaan dan kebanggaan. Ya, tilawatil qur’an.
Hanya saja, hari ini rasanya berbeda. Benda
yang membuat aku selalu tersenyum kala menatapnya
itu kini sudah tak ada. Umma bilang kemarin piala itu
ia jual ke tukang loak untuk menambah kekurangan
duit beli obat abah.
Aku hanya merasa aneh. “Kok ada tukang loak
mau membeli piala dari umma?.” Dan aku juga
merasa aneh, “Kok umma menjual piala, bukti
kebanggan yang pernah aku torehkan?. Bukankah itu
sesuatu yang berharga bagiku? Apa umma tak
menghargaiku atau ia tak cukup faham untuk
memikirkannya?” ucapku dalam benak.
Saat ku tanyakan, umma hanya bilang “Apalah
artinya piala, nanti kamu malah jadi sombong. Yang
60
penting kamu bisa ngaji..” ucapnya singkat tanpa mau
dikritisi.
Aku memang tak punya kewenangan untuk
mengkritisi umma. Tapi memang kadang apa kata
umma ada benarnya. “Biarlah, yang penting mudahan
abah lekas sehat” pikirku melupakan piala itu.
“Nyawa kada makan dahulu kah, Cai?46” Tanya
umma melihat aku yang buru-buru turun dari rumah.
“Kada ma ay. Ulun basangu nasi wan iwak
karing nih.. kaina makan di sakulahan haja gen..47”
jawabku sekenanya. Dan beberapa saat, aku baru
sadar kalau tengah keceplosan bilang “Kaina makan di
sakulahan haja gen.48”
Aku menatap umma. Wajahnya berubah seolah
memberi isyarat kalau ia takut sebuah rahasia
terbongkar dan diketahui oleh abah. Untungnya abah
masih tertidur saat itu, dan aku selamat. Aku lekas-
lekas turun dari rumah.
Mungkin, jika abah tau aku tak membantu
umma, dan apapun itu alasanya, ia pasti akan marah
besar. Dan jika ia sehat, maka aku akan dipukulnya
habis-habisan.
46 Kamu tidak makan dulu ya, cai? 47 Tidak Bu. Saya bawa nasi dan ikan asin kok. Nanti dimakan di pas sekolah saja. 48 Nanti dimakan di sekolah saja.
61
Aku tak mau ambil risiko. Aku takut nanti abah
bangun dan ternyata ia mendengar ucapanku
barusan. Segera aku mengambil sepatu bututku dan
berlari menuju masjid Sultan. Dan seorang bocah
nampak ikut berlari membuntutiku. Rupanya sejak
tadi ia sudah berdiri di depan rumahku untuk
menungguku berangkat ke sekolah.
Amad, dengan gayanya yang khas ia berkata
padaku “Balajuan kah kita ka sakulahan...??49”
dengan alisnya yang mengangkat. Senyumnya
mengembang.
“Ayooo...” jawabku lantang seraya membalas
senyumnya.
Dan dua bocah liar pun terus berlari dengan
semangat yang berapi-api, demi sebuah harpaan, demi
sebuah pendidikan, demi sebuah masa depan.
***
Ujian akhir tinggal satu bulan lagi. Semua
anak-anak sekolah SD atau MI yang sudah kelas
enam pasti memiliki perasaan yang sama, gugup dan
cemas. Beberapa temanku yang memang dari keluarga
mampu sudah mulai sibuk dengan ikut bimbingan
belajar. Tapi tidak bagi aku dan Amad. Bagi kami yang
memang dari keluarga tidak mampu, mana mungkin
ikut bimbingan belajar di lembaga-lembaga bimbel.
Tapi yang uniknya adalah, entah kenapa aku tak
49 Berani lari adu cepat sampai ke sekolah?
62
merasa sedikitpun gugup bakal tidak lulus ujian akhir
Negara. Begitu pula Amad. Entah karena alasan apa ia
tidak pernah barang sekalipun menampakkan
sedikitpun wajah gugupnya.
Bahkan saat ditanya tentang UAN, Amad hanya
bilang “Tabila garang UANnya?50”.
Dan ketika aku bilang tinggal sebulan lagi, dia
malah menjawab “Bah hay, masih lawas banar lagi..51”
Meski begitu, mungkin jika melihat dari aspek
cara berpikir keluarga kami yang hampir sama, Amad
mungkin beranggapan UAN ini tak penting. Sebab,
orang tua kami hampir memiliki pemikiran yang
sama. Habis lulus MI ini kami harus bekerja
membantu mereka. “Kada usah gen sakulah tinggi-
tinggi… Amun sama haja jua, mancari gawian wahini
jua ngalih52..” ucapan yang selalu abah katakan
kepadaku.
Bagiku, pernyataan abah yang seperti itu
sangat wajar. Sebab, abah sendiri memang hanya
lulusan SD, jadi mungkin cara berpikirnya memang
tersetting seperti itu.
Tapi, aku harus siap dalam menghadapi UAN
ini. Meski kadang agak sedikit pesimis, sebenarnya
aku ingin melanjutkan sekolahku. Aku pesimis, sebab
aku tak punya cukup uang untuk melanjutkan
50 Memangnya kapan UANnya? 51 Alahay, masih lama rupanya.. 52 Susah (Banjar)
63
sekolah. Ditambah lagi aku punya orang tua yang
memiliki pandangan bahwa sekolah itu cukup sampai
MI saja. Tamat MI harus cari duit.
“Ya Allah, bukakanlah pintu hati abah untuk
mengerti keinginanku ini..” bisikku dalam hati.
***
Dan hari terus berganti. Sudah tiga minggu
berjalan. Aku masih merasa belum siap untuk
menghadapi Ujian Negara. Tapi, tak mungkin untuk
mengundur waktu agar aku bisa lebih lama
menyiapkan diri.
Sejauh ini, aku hanya bisa membaca semua
materi yang telah dipelajari lewat buku tulisku sendiri
dan membaca buku di perpustakaan sekolah, meski
buku-buku yang kubaca itu sudah tidak zamani lagi,
tidak up to date kalau kata orang kuliahan.
”Apa pihak sekolah tidak memerhatikan
tentang buku-buku yang ada di perpustakaan
sekolah?, atau tidak mengetahui kalau buku yang ada
itu adalah buku-buku tua, Pak?” Tanyaku kepada pak
Riduan tempo lalu.
Pak Riduan hanya bilang kalau sekolah
memang tak punya cukup dana untuk
memperbaharui koleksi perpustakaan, sedang
bantuan dari pemerintah hanya pada sekolah-sekolah
tertentu. “Tidak sampai ke sekolah kita” ungkapnya.
64
Dan silih berganti waktupun menghantarkan
kami pada ujian Negara yang selama ini digugupkan
semua siswa kelas enam semua sekolah, kecuali aku
dan Amad.
Rasanya aku bahkan tak merasakan perbedaan
UAN ini dengan ujian-ujian lain yang pernah aku
tempuh. Yang kupikirkan saat ini hanya apakah aku
bisa melanjutkan sekolahku atau tidak.
Saat kutanya kepada Amad, “Nyawa
manarusakan sakulah kamana pulang imbah ini?53”.
Amad malah bilang dengan polosnya “Tasarah abahku
haja, Cai ay..54”.
Dan aku hanya bisa menggelengkan kepala
mendengar jawaban polos darinya.
Aku tak faham apa yang tengah ia pikirkan.
Yang jelas, bahkan wajahnya tidak menampakkan
kegugupan atas UAN yang akan kami hadapi selama
seminggu ini. Tapi aku yakin, sebenarnya Amad sudah
mempersiapkan dirinya untuk hari penentu kelulusan
kami ini. Aku yakin, karena aku sangat mengenal
sosok Amad yang selalu semangat untuk belajar, dan
bersemangat untuk meraih mimpinya. Ya, sama
sepertiku yang ingin meraih mimpiku hingga menjadi
seorang sarjana.
“Amaaad… Amaaad… Kita pasti bisa meraih
mimpi itu…“ Bisikku dalam hati, tersenyum.
53 Kamu melanjutkan sekolah dimana setelah lulus ini? 54 Terserah sama bapakku saja, Cai
65
***
66
Chapter 8
Surat Nasib
Hari ini hatiku terasa berdebar. Tanganku
serasa lunglai untuk digerakkan. Saat aku
mengangkat tas bututku yang seleweran dengan
bekas-bekas jahitannya yang kini sudah mulai hancur
berhamburan, rasanya tanganku bergetar. Kakiku
kesemutan. Jantungku berdegup kencang. Entah
mengapa hari ini aku merasa tak yakin dengan diriku
sendiri. Meski begitu, aku harus menghadapinya.
Menghadapi kenyataan bahwa hari ini adalah
pengumuman UAN yang diadakan serentak di seluruh
Indonesia. Serentak katanya, tapi tetap saja waktunya
berbeda antar sekolah, pikirku mengkritisi dan
menganggap pendapatku itu yang paling benar.
Jam dinding itu seolah memandangi aku yang
tengah terpaku menatapnya sejak satu jam yang lalu.
Aku kaku. Ummaku berteriak dari batang sambil
mengebaskan pakaian basah yang tengah ia cuci.
“Kanapa nyawa baungutan di situ haja?. Lajui
tulak. Hari ini pangumuman lulus kalu?55”
Suaranya cukup jelas ku dengar karena jarak
antara batang dan rumah ku yang sangat kecil ini
cukup dekat.
55 Kenapa kamu berdiam diri saja di sana? Cepat berangkat. Bukannya hari ini pengumuman kelulusan?
67
Aku masih diam tanpa menoleh dan tanpa
menyahut pertanyaannya. Bagiku, ini adalah
pembuktian. Jika aku lulus, maka aku punya alasan
untuk melanjutkan pendidikanku ke sekolah
impianku, MTsN Banjarmasin. Jika tidak, maka Abah
pasti semakin membenarkan alasannya untuk tidak
menyekolahkan aku ke jenjang yang lebih tinggi. Dan
jerih payahku selama ini akan sia-sia. Yang paling
parah aku tak punya masa depan. Aku akan
selamanya menjadi pedagang buah di pasar terapung.
Selamanya menjadi kuli. Dan selamanya takkan
pernah meraih cita-citaku yang terlanjur ku tuliskan
tinggi-tinggi di ujung langit Borneo56 ini.
Dan,,,, pintu rumahku terbuka. Aku yang
masih memandangi jam dinding dan membelakangi
pintu rumah segera menoleh. Amad. Sahabatku itu
dengan polah polosnya mencokolkan kepalanya,
menengak-nengok dari balik pintu rumahku sambil
bingung memandangi aku yang terpaku. Tatapannya
konyol. Ia seolah orang yang tak punya beban hidup
sebesar biji zarahpun. Dengan lugunya dia berucap
kepadaku
“Lajui tulakan, Cai. Hari ini kita balulusan kalu di
sakulahan… Jadi sungsung bulikan. Aku handak
balumba di parak jukung ganal, parak rumah Anur”57.
56 Borneo=Kalimantan 57 Cepat berangkat, Cai. Hari ini kita bakal ada acara kelulusan di sekolah… Jadi pasti cepat pulangnya. Aku mau berenang di dekat Jukung besar, di dekat rumah Anur.
68
Tanpa sadar, dari baris bibirku terumbar
senyum. Entahlah, aku jua tak tau kenapa. Yang
pasti, aku merasa selalu ikut bersemangat acap kali
memandangi wajah sahabatku yang penuh semangat
itu. Dengan isyarat tangannya, Amad mengajakku
segera berangkat. Aku ke dapur. Setelah berpamitan
sama umma, aku dan Amad berlalri menyisiri jalanan
aspal desa untuk berangkat ke sekolah. Aku masih
gugup. Jantungku belum stabil berdetak. Dari tadi ku
pandangi wajah Amad yang nampak masih dengan
riang candanya.
“ Nyawa lulus ni kamana?58” Tanya Amad
sambil menghentikan langkah kakinya. Tanganya
seolah mencari sesuatu dari balik sepatu bututnya. Ia
mengeluarkan beberapa kerikil kecil yang sejak tadi
berada di dalam sepatu, mengganggu jalannya.
“Kada tahu..59” balasku pesimis. Aku
menunduk sambil mensejajarkan langkahku
dengannya. Tak sengaja kulihat sepatu bututku yang
sudah dijahit itu kembali menganga lebar.
Benakku merasa heran. Aku tak tahu entah
karena habis makan apa sehingga Amad bertanya hal
demikian. Tidak biasanya ia membicarakan tentang
masa depan. Yang ku kenal, Amad adalah bocah yang
menjalani hidup apa adanya. Tak neko-neko. Cukup
menjalani hidup seadanya, itu prinsip hidupnya yang
ku tahu untuk Amad yang ku kenal.
58 Kamu sehabis lulus ini melanjutkan sekolah kemana? 59 Tidak tahu
69
“Ay?. Nyawa kada disuruhakan abah nyawa
kah handak sakulah kamana?60” balasnya. Amad
melanjutkan langkah kakinya. Aku mengiringi dengan
kembali heran akan pertanyaan keduanya. Sekali lagi
ia membuatku bertanya-tanya.
“Amad tadi pagi makan apa? Kok hal yang ia
bicarakan tidak seperti biasanya.” Pikirku sambil
menatapnya heran dan menggaruk-garuk kepalaku
yang sebenarnya tak gatal.
“Jadi sakulah kamana?61” Ucap Amad kedua
kalinya sambil menyenggolkan tangannya kepadaku
yang sejenak terdiam.
“Eh…” Aku tersentak seperti orang bodoh. “Aku
handak sakulah ka Tsanawiyah Banjarmasin, Mad ay.
Tapi kada tahu lagi. Mun dibulihakan jadi. Mun kada
dibulihakan ya kada kawa ay. Lawan jua mun ada
duitnya. Mun kadada ya kada kawa ay…”62 balasku
sambil terus melangkahkan kaki dan menendang
botol aqua kosong yang bergeletak sembarangan di
jalanan.
Ku toleh, Amad terdiam. Ia hanya mengangguk
sambil tetap menfokuskan pandangannya ke depan.
6060 Lho? Apa kamu tidak disuruh oleh abahmu untuk melanjutkan sekolah kemana? 61 Jadi, mau sekolah kemana? 62 Aku ingin sekolah ke MTs Banjarmasin, Mad. Itupun kalau diizinkan. Kalau diizinkan ya aku lanjut, kalau tidak ya mau bagaimana lagi. Tapi itupun kalau ada uang. Kalau tidak ada, ya tidak jadi.
70
Wajahnya seolah memikirkan sesuatu untuk
membantu keinginanku.
“Nyawa pang, Mad? Manyambung kamana
Nyawa nih pinanya?63” ucapku balik bertanya. Aku
ingin tahu apakah Amad yang selama ini ku kenal
easy going64 itu memiliki visi dan misi masa depan.
Apalagi hari ini tak biasanya ia bicara tentang sebuah
rencana masa depan.
“Unda kah, Cai..?” Ia malah balik bertanya.
“I ih… Mbah pang siapa lagi?65.” Balasku
setengah jengkel karena pertanyaanku dibalasnya
dengan pertanyaan pula.
“Unda handak ka Tsanawiyah Banjarmasin
jua66. Hahahahaha…” balasnya tertawa terbahak
tanpa memedulikan orang yang tengah lalu lalang
bersepeda memandang ke arahnya.
“??????” benakku dipenuhi tanda Tanya.
Apa yang ia tertawakan? Bukankah tidak ada
yang lucu dari pembicaraan ini?” Pikirku bertanya-
tanya. Aku mencoba mengingat-ingat dari awal semua
yang kami bicarakan. Dan bagiku, tak ada yang lucu.
Lantas kenapa dia tertawa begitu kerasnya?” benakku
kembali bertanya kepada batinku sendiri.
63 Kalau kamu? Akan melanjutkan kemana rencananya? 64 santai 65 Iya. Memangnya siapa lagi? 66 Aku ingin ke MTs Banjarmasin juga.
71
“Mad.. kanapa nyawa tatawa-tawa kaitu?67”
ucapku penasaran sambil menyenggolnya dengan siku
sebelah kiriku. Amad menoleh. Ia berusaha
menghentikan tawanya, namun masih cekikikan. Aku
menggeleng heran. “Amad sudah GILA” Pikirku.
“Kada ay…68 “ Balasnya yang mempercepat
langkah kakinya dengan tergesak-gesak. Aku
mengikuti langkahnya yang mulai melaju. Amad
berlari, aku ikut berlari. Aku masih penasaran kenapa
ia tertawa terbahak-bahak seperti itu. Apa ia
menertawakanku? Apa ia menertawakan ketidak
yakinanku? Apa ia menertawakan dirinya yang penuh
keyakinan bakal bisa melanjutkan sekolahnya ke MTs
yang selama ini kami inginkan?...
***
TENNNGGG….TEENNGG..TEEENNGG..!!
Lonceng sekolah meneriaki Aku dan Amad yang
hampir saja terlambat masuk ke sekolah. Ku lihat
semua siswa dan siswi MI Kuin mulai masuk ke dalam
kelas berdesakan, terburu-buru. Tidak seperti
biasanya, kawan-kawan seperjuanganku itu hanya
akan masuk bila ada guru yang mau masuk ke kelas
untuk mengajar. Mereka masuk dengan malas meski
lonceng telah berbunyi. Tapi tidak hari ini. Maklum
saja, itu karena hari ini adalah hari yang menentukan.
Hari yang menjelaskan apakah kami akan tetap
67 Kenapa kamu tertawa seperti itu? 68 Tidak ada apa-apa
72
tinggal di sekolah ini untuk satu tahun ke depan,
ataukah kami boleh melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Perasaan gugupku entah mengapa kembali
muncul. Aku tak yakin dengan diriku sendiri. selama
ini aku tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Aku
sibuk mengurus jualanku dan membantu umma di
pasar. Jua merawat Abah yang sebulan lalu sempat
jatuh sakit. Apa mungkin aku lulus?Apa mungkin aku
bisa melanjutkan sekolahku ke Tsanawiyah
Banjarmasin, sekolah yang aku cita-citakan?, padahal
aku tak melalui ujian negara ini dengan baik.
Ditengah aku yang tertegun sesaat, seseorang
menepuk bahuku. Lagi-lagi Amad. Ia duduk di
sampingku dengan senyumnya yang ringan tanpa
beban itu. Senyum yang bagiku semakin menambah
rasa gugup. “Amaaad.. Amaaad… Dasar manusia
kada ba beban lalu nyawa nih Mad, ay..69” ucapku
dalam hati.
***
Ibu Rahmah berjalan pelan ke tengah kelas. Ia
berdiri tegap di depan papan tulis sambil
membenarkan kaca mata bahari kala70 dengan frame71
yang sudah bengkok, miliknya. Matanya melotot
tajam mengawasi ke penjuru kelas. Semua siswa
terdiam hening. Bukan hanya karena mereka gugup
dengan hasil UAN yang sebentar lagi akan
69 Amaaad..Amaaad, kamu memang orang tanpa beban. 70 Tua 71 bingkai
73
diumumkan. Melainkan mereka terdiam karena orang
yang saat ini tengah berdiri de hadapan kami semua
adalah, Ibu Rahmah. Guru Bahasa Indonesia
berbadan gemuk itu memang guru yang paling kami
takuti di sekolah. Bicaranya tajam, pedas. Omelannya
tak satupun dari kami yang betah mendengarkannya.
Kabur atau mengiyakan saja ucapan beliau adalah
jalan terbaik. Itu prinsip semua siswa yang ada di sini
bila sudah berhadapan dengan kemarahan beliau.
Paradoks72 memang, seorang bernama Rahmah
yang artinya kasih sayang, tapi memiliki sifat sangat
pemarah. Ini memang hal lucu yang kerap terjadi. Di
Banjarmasin, rasanya aku sering sekali menemui
fenomena paradoks sebuah nama dengan sifat si
pemilik nama. Ibu Rahmah hanya salah satunya. Di
kampung kami ada seorang pemuda bernama Saleh.
Tapi bulan lalu ia harus masuk penjara karena kasus
pencurian sepeda motor. Ada juga Ramadhan, tapi
setiap bulan puasa tiba, tak pernah barang sekali
orang itu puasa. Yang terakhir si Sabar. Tapi kalau
bermasalah sedikit saja dengan orang itu, urusannya
bakal panjang karena saking pendendamnya dia.
Kadang aku heran sendiri dan tak jarang cekikikan
kalau ingat fenomena itu. bagi orang di Banjarmasin,
itu terjadi karena ‘katinggian harakat’ atau si pemilik
nama terlalu berat menyandang nama itu sehingga
apa yang diharapkan dari sebuah nama jadi tak
terkabul dan malah sebaliknya. Hampir mirip memang
dengan fenomena di jawa, dimana jika ada anak kecil
yang sering sakit maka biasanya orang tua sang anak
72 Berkebalikan dengan kenyataan
74
akan mengganti nama anaknya, karena nama
sebelumnya di anggap tidak bagus dan membawa
keburukan. Dengan digantinya nama diharapkan sang
anak tidak lagi sakit-sakitan dan akan bernasib lebih
baik.
Ibu Rahmah masih bercokol di depan papan
tulis. Matanya mengitari setiap wajah gugup dari kami
satu persatu. Dan kini, matanya tepat mengarah
kepadaku. Dengan dipenuhi kegugupan ditambah lagi
dengan tatapan beliau yang super tak mengenakkan
itu, benar-benar membuat diriku terpojokkan oleh
keadaan. Aku semakin menenggelamkan badanku di
baju seragam sekolahku yang memang kebesaran.
Baju sekolah pemberian julak Sulai yang dulunya
milik putranya, Ramlan yang sudah lulus SMA.
Kurasakan siku kanan Amad yang duduk di
sebelahku menyenggol-nyenggol siku kiriku beberapa
kali, pelan, sambil berusaha agar yang ia lakukan tak
ketahuan oleh Bu Rahmah. Aku menoleh ke arahnya
diam-diam. Wajahnya memberikan sebuah isyarat
yang aku tak fahami. Aku menggeleng, lalu
membuang pandanganku ke balik pintu kelas yang
terbuka, memantau suasana halaman sekolah yang
tengah sepi. Hari ini hanya anak kelas enam yang
masuk ke sekolah.
“Hari ini…” Ucap Bu Rahmah dramatis dengan
suaranya yang besar membahana di kelas yang sangat
sempit untuk siswa sejumlah dua puluhan orang ini.
Aku mendengarkan dengan seksama. Aku tak ingin
setiap ucapannya terlewatkan barang satu
75
perkataanpun. Ku rasakan semua teman-temanku
yang ada di ruang kelas juga mngkiaskan sikap yang
sama. Semuanya antusias menunggu ucapan
selanjutnya yang akan keluar dari bibir ibu Rahmah.
“Kalian akan mengetahui hasil UAN yang kita
selenggerakan beberapa minggu yang lalu. Kalian
akan mengetahui apakah kalian LULUS atau TIDAK.”
Suaranya kembali terhenti. Ia menatap ke semua
mata yang ada di dalam ruangan itu dengan dingin.
Dan tak terkecuali aku.
Entah mengapa, ketika matanya menatap ke
arahku, tulang kakiku terasa kaku, mati rasa. Aku
menunduk. Perasaanku semakin kacau. Aku menelan
air liurku sendiri yang terasa kering. Ku rasakan kaki
Amad menginjak kakiku. Rupanya ia sadar,
perasaanku tengah terkalahkan oleh tatapan Bu
Rahmah.
“Dan di sekolah kita, ada lima orang yang tidak
LULUS UAN dan harus mengulang sampai ikut
kembali di UAN tahun depan.” Semua mata
tertunduk. Suasana hening. Suara teriakan mesin
motor yang lewat di jalan samping sekolah kami terasa
meneriaki kami dengan makian dan ancaman akan
masa depan yang kelam.
Mata ibu Rahmah kembali mengitari semua
mata murid di dalam ruang kelas enam yang tengah
galau itu. Dan tek, tatapan beliau berhenti tepat di
wajahku. Firasatku, jangan-jangan aku yang tak
lulus. Apakah aku TIDAK LULUS? Apakah aku harus
76
mengulang UAN tahun depan? Itu artinya aku akan
belajar bersama anak kelas lima yang tahun depan
naik kelas enam. Atau opsi lain, abah pasti akan
semakin beranggapan bahwa sekolahku gagal dan aku
akan disuruh berhenti sekolah untuk membantunya
bekerja di pabrik kayu H. Undas, SELAMANYA… ya
selamanya mungkin. Setidaknya selama pabrik itu
masih berdiri.
Ibu Rahmah berjalan ke meja guru yang berada
di sudut kiri ruang kelas. Suara “Ngeeek” dari kursi
tua yang mencoba menahan berat badan dari guru
berbadan tidak langsing itu terasa seakan mencemooh
kehadirian kami semua, di sini, saat ini.
Ibu Rahmah membagikan sebuah amplop yang
ia bilang berisi surat kelulusan-bagi mereka yang
lulus tentunya- dan daftar siswa yang lulus, secara
satu persatu. Murid yang menerimanya ia minta
langsung keluar dari ruang kelas dan pulang.
Satu persatu nama dipanggil. Satu persatu
semuanya meninggalkan ruang kelas yang terasa
semakin sepi. Beberapa nama sudah di panggil, tapi
bukan aku. Hatiku berdegup penuh penasaran. Dari
bangku tua yang aku duduki saat ini, ku lihat wajah-
wajah ceria dari kawan-kawanku menyeruai usai
membuka amplop. “Mereka pasti lulus” Pikirku yang
masih dilanda penasaran.
“Ahmad Rijali”nama Amadpun sudah dipanggil
ibu Rahmah. Amad menoleh ke arahku dengan
senyum yang tanpa beban itu. Ia melangkah pelan,
77
pergi meninggalkan aku bersama tiga orang anak yang
lain, yang sama-sama tengah gundah dengan
nasibnya masing-masing.
“Ahmad Husairi” Ibu Rahmah memanggil
namaku sambil membetulkan letak kaca mata tua
yang framenya sudah bengkok itu. Sontak perasaanku
semakin campur aduk. Penasaranku semakin naik,
memuncak berada di ujung perasaanku.
Dengan tanganku yang kelu aku menerima
amplop berisi vonis nasibku di masa depan itu dari
tangan ibu Rahmah, dan lalu berlari kabur dari ruang
pengadilan itu tanpa sopan santun dimatanya. Aku
bahkan tak mengucap salam dan mencium tangan
beliau terlebih dahulu sebelum meninggalkannya, di
atas singgasana tua tempatnya berduduk.
Cepat-cepat aku berlari tanpa memedulikan
teman-temanku yang mengekspresikan kebahagian
mereka karena telah berhasil lulus. Sekilas aku lihat
Amad. Wajahnya polos tanpa ada indikasi di lulus
atau tidak. Ia menatap ke arahku sambil tersenyum
mengibas-ngibaskan surat kelulusan di tangannya.
“Amad, ia pasti lulus” Pikirku.
Sesampai di depan rumah, aku membuka pintu
dengan tergesak-gesak dan lalu masuk tanpa salam.
Nafasku terengah-engah. Sepi. Tak ada siapapun di
rumah. Abah pasti sedang di pabrik kayu H. Undas,
umma pasti di pasar, dan Ijah, adikku pasti di titipkan
di rumah nenek di Kuin Hulu. Aku membuka tas
78
tuaku dan mengambil surat nasibku yang tadi sempat
ku selipkan di dalam lembaran buku, di dalam tas.
Setelah ku keluarkan dari selipan buku, surat
itu ku letakkan di atas lantai kayu rumah begitu saja.
Aku terduduk sambil memandangi surat nasib yang
masih belum ku buka itu. Aku sendiri masih belum
tahu nasib kelulusanku. Penentu masa depan
sekolahku. Aku memandangi surat itu beberapa saat
lamanya sebelum akhirnya terpaksa aku harus
membukanya.
Dengan pelan aku membuka amplop surat
takdir itu. Tanganku sedikit bergetar. Aku gugup
disertai deru jantung yang terus mendegup. Dan
sreeet… aku baca dengan jelas dua kata bercetak
tebal, dua kata yang tak pernah aku inginkan.
“TIDAK LULUS”….!!!.
Tanganku sekita lunglai. Kakiku terasa ngilu.
Badanku lesu tanpa tenaga. Aku yang tadinya tengah
duduk seketika terkulai jatuh, terbaring di atas lantai
begitu saja. Bulir hangat air mataku terasa berjalan
pelan hingga ke pipi.
Pikiranku kosong seketika. Aku tak kuasa
untuk tak mengisakkan tangis. Aku adalah bocah
kecil yang tak cukup tegar untuk menghadapi
kenyataan ini. Akupun terdiam beberapa saat
lamanya. Dan setelah waktu terasa berjalan kembali,
tiba-tiba dilangit-langit benakku tergambar saat tadi
pagi aku berjalan bersama Amad menuju sekolah,
suasana tegangnya kelas, dan saat aku melihat wajah
79
Amad yang tersenyum dan aku yakin ia lulus. Aku
teringat Amad yang tadi pagi terbahak-bahak tanpa
alasan. “Apa ini yang Amad tertawakan?” Pikirku
mengira-ngira.
“Apa Amad sudah tahu bahwa ini yang akan
terjadi? Ia tahu kalau aku bakal tidak lulus? Apakah
Amad menertawakan kebodohanku?” Pikiranku
mengawang-ngawang ditemani air mata yang terus
mengucur.
Ditengah kesedihan itu, pintu rumahku
terbuka. Aku yang terkapar dengan wajah menghadap
pintu seketika berusaha bangkit dari posisi semula.
Aku mengusap air mataku. Dan rupanya abah sudah
datang dari pabrik kayu H. Undas. Ia memang selalu
datang jika jam sudah menunjukkan angka 12.00.
Kesedihanku seketika semakin bertambah. Alasan
abah untuk tidak melanjutkan sekolahku ke
Tsnawiyah bertambah yakin sudah.
Abah berjalan masuk dan berdiri tepat di
hadapanku. Badannya yang dipenuhi keringat dan
bau menyengat karena beberapa jam disengat oleh
panasnya matahari menambah kesan seramnya. Ia
diam. Matanya menatap ke arahku dengan heran. Ia
melepas topi purun73nya sambil mengambil secarik
kertas yang sempat basah karena terkena air mata
dari tanganku.
73 Jenis jerami yang bisa diolah menjadi kerahinan tangan seperti abkul, topi, tas, dll
80
Sejurus ia melihat dan membaca surat itu.
Meski abah tak begitu pandai hitung-menghitung, tapi
abah cukup lancar membaca tulisan yang ada di surat
itu. Aku terdiam menunggu makian dari kemarahan
abah. Ia masih diam. Aku juga ikut terdiam. Kami
sesaat lamanya terdiam.
Abah menoleh, menatap tajam ke arahku. Aku
hanya bisa melihatnya sekilas. Aku tak cukup berani
untuk menatap matanya yang pasti marah mendapati
anak laki-lakinya yang tidak lulus UAN. Aku
mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk menahan
jikalau abah akan memukulku dengan kepalan
tangannya yang keras.
Dan lama aku menunggu pukulan itu, abah
malah berlalu dan berjalan ke dapur mengambil air
minum sambil meletakkan surat itu di atas lemari tua
yang ada di ruang tamu begitu saja.
Aku memberanikan diri untuk menengadah dan
menoleh ke arahnya. Aku lihat dari pintu dapur
rumahku yang tengah terbuka, sosok abah tengah
memegang segelas air putih tanpa memedulikan aku
yang tengah sedih dengan nasibku ini. Aku mencoba
memberanikan diri untuk mengucapkan sesuatu
kepadanya, tapi aku ragu. Aku sudah untung ia tak
marah. Aku takut jika aku berkata sesuatu malah
akan menjadikan ia marah kepadaku.
81
“Kada tapahurup lah surat nyawa tuh lawan
kawan nyawa?74” tanya abah usai menghabiskan
segelas air dengan satu tegukan.
“Pun Bah?75” balasku yang tak begitu
mendengar apa yang ia katakan.
“Surat nyawa tu kada tapahuruplah lawan
kawan nyawa?. Coba ja itihi, tulisannya tu napa jadi
Ahmad Husaini, maka ngaran nyawa Ahmad
Husairi?76” balasnya sambil berjalan ke arahku dan
lalu menyerahkan surat nasib itu kembali ke
tanganku.
“Hah…?” Aku tertegun kaget. Benakku
langsung bermanuver dengan pertanyaan baru akibat
ucapan abah barusan. “Apa aku salah baca
barusan?”. Cepat-cepat kubuka kembali surat itu dan
kubaca langsung ke bagian nama siswa. Ya, benar
kata Abah. Seharusnya ini surat untuk temanku yang
namanya hampir sama denganku, Ahmad Husaini.
Cepat-cepat aku berlari ke luar rumah sambil
membawa surat nasib itu di tangan kananku tanpa
memedulikan abah yang kali ini sudah tengah duduk
di atas kursi kayu teras depan rumah sambil
mengipas-kipaskan topi purunnya ke badan.
Aku berlari secepat tenaga. Kudapati Amad
yang tengah berjalan berlawanan arah denganku
7474 Apa suratmu itu tidak tertukar dengan punya temanmu? 75 Iya bah? 76 Apa suratmu itu tidak tertukar dengan punya temanmu? Coba kamu lihat, tulisannya itu kenapa Ahmad Husaini, bukankah namamu Ahmad Husairi?
82
masih dengan seragam sekolahnya. Wajahnya nampak
heran melihat aku yang terlihat begitu terburu-buru.
“Kanapa, Cai? Handak kamana?77” ucapnya
berteriak sambil membiarkan aku berlalu dari
hadapannya.
“Ka Sakulahan78..” balasku sambil terus lari tak
peduli dengan semua mata yang menatap ke arahku.
Sesampai di sekolah, cepat-cepat aku menemui
ibu Rahmah. Wajahnya setengah kaget kepadaku yang
datang kehadapannya dengan terengah-engah dan
peluh yang bercucuran. Ibu Rahmah mengambil
kacamatanya dari meja dan mengenakannya.
Wajahnya bingung. Aku meraih tangan beliau dan lalu
menciumnya. Mudah-mudahan beliau tidak marah
dan akan bersikap baik karena tangannya ku cium
sebagai tanda penghormatan seorang murid kepada
guru, pikirku.
“kanapa nyawa, Cai?” ucapnya masih dengan
penasaran melihatku yang terengah-engah.
Aku mencoba menenangkan detak jantungku.
Aku berusaha mengatur nafasku dan menyapu
peluhku yang terus bercucuran.
“Ulun…79” nafasku masih tak stabil. ”Ulun
handak bapadah, surat nih..80” aku kembali menarik
77 Ada apa,Cai? Mau kemana? 78 Ke sekolah 79 Saya (bahasa halus Banjar) 80 Saya mau bilang, tentang surat ini…
83
nafas sambil berusaha bicara “Su.. Surat nih kada
tahurup lah lawan surat Husaini, Bu?81” tanyaku yang
masih mencoba mengendalikan diri. Ibu Rahmah
mengernyitkan dahinya.
“Surat nang wadah ulun nih kada tahurup lah
wan Husaini Bu?. Nih, tulisan ngarannya Husaini,
ngaran ulun Husairi Kalo, Bu?82” Ucapku menjelaskan
dengan nafasku yang sudah mulai teratur sambil
menyerahkan surat itu kepada ibu Rahmah.
Ia diam sambil membaca isi surat itu.
“Ooo… Ibu salah. Iih bujur ini gasa Husaini.
Tahurup kah sakalinya? Ibu kada maitihi.83” Ucapnya
sambil membolak balik surat itu. Aku menghela nafas
panjang. Ucapan ibu Rahmah barusan benar-benar
membuat perasaanku lebih tenang. Dan tak lama dari
pembicaraan itu, seseorang yang aku tunggu-tunggu
itupun datang dari balik pintu kantor sekolah.
Rupanya ia juga menyadari kejanggalan ini. Sosok itu
adalah Husaini. Ia datang dengan dihantui rasa
gugup. Aku bisa merasakannya dari langkah kakinya
yang bergetar. Hatiku langsung mengekspresikan rasa
kasihanku kepada teman sejawatku itu. Aku sudah
tahu tentang kelulusan Husaini. Dan pikirku berbalik,
Husaini juga sudah tahu hasil kelulusan tentang
81 Apa surat ini tidak tertukar dengan surat Husaini, Bu? 82 Surat yang ada pada saya ini apa tidak tertukar dengan surat yang ada di Husaini. Ini, tulisan namanya Husaini, sedangkan nama saya Husairi. 83 Ooo.. Ibu salah. iya benar ini untuk Husaini. Rupanya tertukar ya, Ibu tidak tahu..
84
diriku. Aku kembali gugup. “Jangan-jangan aku
memang tidak lulus” bisik firasatku berprasangka.
“Jangan-jangan Husai datang ke sini bukan
karena ia sadar surat kami tertukar, tapi karena surat
itu berisi perkataan TIDAK LULUS, sehingga ia datang
kesini untuk menuangkan kekecewaannya”. Negative
tinking84-ku kembali muncul.
Husai berjalan bisu. Mulutnya diam.
Tangannya menyerahkan sebuah surat kepadaku.
Hatiku sedikit lega kembali. Berarti ia memang
menyadari bahwa surat kami tertukar. Cepat-cepat
aku membuka surat itu dan,….. Air mataku menetes.
Degupan jantungku merendah. Aku menarik nafas
panjang untuk meluapkan keredaan perasaanku yang
beberapa jam lalu rasanya mendidih hingga ke otak.
“LULUS…” aku menunduk, menenangkan
perasaanku. “Alhamdulillah….” Bisikku pelan.
Sesaat, ku pandangi leka-lekat wajah Husaini
yang pucat pasi. Ibu Rahmah yang ku kenal galak
berdiri memegangi pundaknya. Beliau mencoba
membesarkan bocah bermata indah itu. Aku tak tahu
lagi apa yang ada di hatiku. Aku menunduk. Aku bisa
merasakan apa yang ada di hati Husaini saat ini,
SEDIH.
Mataku mulai berat dengan bening-bening
hangat yang berpaksaan keluar daritempatnya. Aku
dan Husaini terdiam. Ku tatap ia yang kini nampak
84 Berpikiran buruk
85
tertunduk sambil sesekali menyapu air mata dengan
lengannya yang gelap itu. Dengan kesedihannya,
bocah yang selalu tersenyum itu meninggalkan aku
dan ibu Rahmah dari ruang kantor guru tanpa
sedikitpun tersenyum. Ia pasti sangat sedih. Aku bisa
merasakan perasaannya. Aku berjalan lesu mengikuti
langkah Husaini keluar dari ruang pengadilan itu.
Aku menatap langit yang begitu cerah hari itu.
“Adakah masa depan Husaini akan secerah hari
ini?”Pikirku iba dengan nasib kawan seperjuanganku
yang tengah terkalahkan oleh sebuah keputusan
negeri ini. Keputusan yang menurutku tak cukup adil.
Keputusan yang mengabaikan jerih payahnya selama
enam tahun mengenyam pendidikan di sekolah ini.
Jerih payah yang begitu berat ia jalani. Aku teringat
ketika ia menjadi tenaga buruh demi menghidupi
adik-adiknya, karena bapaknya telah meninggal dua
tahun yang lalu. Sedang pada kondisi itu, ia juga
harus menjalani kewajibannya sebagai seorang siswa,
penerus bangsa, generasi muda negeri ini. Meski
ketidak lulusan ini tak menimpaku, aku kecewa
dengan keadaan ini. Semua pengorbanan bocah
pinggiran seperti kami rupanya tak ada nilai dimata
negeri ini.
Adilkah kelulusan sekolah yang hanya
ditentukan oleh nilai diatas kertas dari ujian yang
hanya kami tempuh selama kurang lebih seminggu
itu?. Adilkah jika negara yang menentukan siapa yang
layak lulus dan tidak?, padahal aku yakin orang yang
menentukan kelulusan itu tak pernah bertemu
dengan kami. Tak pernah tahu seperti apa kami. Lalu
86
dari mana ia tahu kami pantas lulus atau tidak?. Lalu
adilkah jika standar kelulusan itu disama-ratakan di
sepenjuru negeri ini?. Mana mungkin kami bisa
bersaing dengan target yang sama dengan mereka
yang sekolah di sekolah yang memiliki fasilitas lebih,
sedang sekolah kami tidak memiliki banyak fasilitas
untuk menunjang belajar.
Meskipun aku tidak memahami ini
sepenuhnya, tapi aku benar-benar merasa semua ini
tidak adil. Aku menganggap kelulusan yang
diputuskan dengan nilai di atas kertas itu adalah
sebuah kezaliman. Pencapaian keberhasilan belajar
harusnya tidak dilihat dari situ. Mereka yang menjadi
guru-guru kamilah yang menurutku pantas
menentukan si A lulus dan si B tidak lulus, Batinku
memprotes.
Aku berjalan dengan luapan emosi atas ibaku
kepada sahabatku, Husaini. Hari yang begitu terik itu
tak aku hiraukan. Tatapan batinku tentang sebuah
masa depan itu rasanya tak lagi terpikirkan. Aku
hanya membayangkan satu hal, “Bagaimana nasih
Husaini kemudian?”. Bagiku, bocah malang itu adalah
satu dari banyak siswa yang menjadi korban dari
sebuah ketidak adilan.
***
87
Chapter 9
Ujian Masuk MTsN Banjarmasin
Ujian Masuk MTsN Banjarmasin tinggal sehari
besok. Aku sudah mengerahkan seluruh tenagaku dan
semangatku untuk menyiapkan hari yang sangat
penting bagi hidupku itu. aku sudah pinjam buku-
buku latihan soal dari Uji, kawanku yang saat ini
duduk di bangku kelas satu MTsN Banjarmasin. Uji
juga tak lupa senantiasa memberikan semangat
kepadaku untuk terus maju. Namun, masalahnya
sekarang adalah, aku tidak punya alat transportasi
untuk menuju MTsN Banjarmasin yang notabene
jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku, kurang
lebih lima kilometer. Apalagi ujian masuk itu dimulai
jam setengah delapan pagi. Aku jadi bingung harus
berangkat ke sana naik apa, sebab sepeda yang ada di
rumahku di pakai umma dan abah untuk pergi
bekerja.
Abah besok harus pergi lebih awal ke pabrik
kayu Haji Undas karena besok ada angkutan kayu
yang cukup banyak di pabrik itu. Aku tak mungkin
minta antar beliau. Pasalnya aku mendaftar sekolah di
MTsN Banjarmasin tanpa sepengetahuan umma dan
abah. Untuk membayar uang pendaftaran aku
menggunakan tabunganku sendiri. aku takut kalau
abah tahu ia akan marah. Sebab, setelah aku lulus MI
Kuin, abah tak pernah membicarakan septah katapun
tentang yang namanya melanjutkan sekolah. Itu
semakin meyakinkanku kalau beliau memang tak
memiliki keinginan aku melanjutkan pendidikan ke
88
jenjang yang lebih mapan. Sedang umma, ia bilang
hari ini ia sibuk dengan warungnya di pasar Alalak.
Jadi ia pasti perlu sepeda itu untuk ke sana kemari
membeli bahan-bahan tertentu untuk warung. Tak
mungkin aku meminjam sepedanya.
Tapi aku tak kehabisan akal. Sebuah ide baik
hinggap di kepalaku. Aku pinjam sepeda Amad saja.
Tak ada cara lain. Meski jaraknya cukup jauh, tapi ini
demi masa depanku. Aku tak boleh menyia-nyiakan
kesempatan ini. Urusan nanti aku diterima di sekolah,
itu urusan belakagan. Yang penting aku ikut ujian
masuk dulu. Siapa tahu abah berubah pikiran dan
mau membiayai sekolahku nanti, pikirku mencoba
berbaik sangka.
Sejurus aku pergi ke rumah Amad. Sayang,
ibunya bilang kalau Amad lagi di pasar Kuin untuk
membeli kebutuhan dapur. Aku putuskan untuk
menunggunya. Sudah satu jam berlalu, akhirnya
sosok yang aku tunggu-tunggu itu muncul juga.
Alhamdulillah ia mau meminjamkan aku sepedanya
dengan senang hati.
***
Tepat keesokan harinya. Ayam belum berkokok
dan burung Tatapaian-pun belum bangkit dari
peraduan mereka. Hari ini aku bangun lebih awal dari
hari biasanya. Aku sudah bangun sebelum adzan
shubuh berkumandang. Aku pergi ke batang,
mengambil wudhu dan mendirikan tahajjud. Aku
89
bermunajad mudahan hari ini mendapat pertolongan
dari Allah SWT. setelah yakin dengan peralatan tulis
dan nomor peserta ujian yang sudah aku peroleh dari
panitia penyelenggara tiga hari yang lalu, aku segera
mengenakan baju agak baru yang dibelikan umma
setahun yang lalu, saat hari raya Iedul Fitri. Aku
berdandan dengan rapi di depan cermin yang nampak
sudah sangat kabur di kamarku. Tak lama, akupun
sudah siap.
Setelah makan pagi dengan nasi putih, ikan
asin dan sedikit campuran teh hangat yang menjadi
kuah makan, aku langsung ke rumah Amad untuk
meminjam sepedanya. Umma dan abah nampak kaget
melihat aku yang sudah rapi di saat mereka baru
bangun. Setelah mencium kedua tangan mereka tanpa
berucap mauk kemana, aku langsung meluncur
menuju MTsN Banjarmasin.
Aku mengayuh cepat-cepat sepeda phoenix
yang besarnya lebih besar dari badanku itu. Aku tak
punya jam tangan. Tapi aku yakin ini sudah jam tujuh
pagi. Aku terus mengayuh sepeda sekuat tenaga.
Peluh keringat berkucuran dari wajahku. Aku baru
tahu rupanya jarak dari rumahku menuju MTsN
Banjarmasin cukup jauh dan menguras tenaga jika
dilalui dengan menaiki sepeda seperti ini. Jalanan
kota Banjarmasin mulai ramai. Satu dua polisi lantas
mulai bersiap di setiap simpang jalan yang biasanya
sering macet. Aku terus dengan sepedaku tanpa
memedulikan kawanan polisi itu.
90
Dan, tuuussss… sepeda bocor. Perasaanku
langsung tak karuan. Aku gugup jika harus terlambat
datang ke tempat ujian. Aku yakin akan kehilangan
kesempatanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung
menuntun sepeda Amad dengan berlari. Di pagi
seperti ini tak satupun tukang tambal ban yang sudah
buka. Perjalanan masih satu kilometer. Tak ada cara
lain, aku harus membawa sepeda itu dengan berlari.
Sepeda itu tak mungkin aku tunggangi, sebab nanti
velegnya pasti rusak.
Peluhku semakin berkucuran. Aku lebih mirip
orang yang baru saja diguyur hujan daripada orang
yang mau berangkat ke ujian masuk MTsN
Banjarmasin. Bau keringatku yang tak sedap mulai
tercium di hidungku sendiri. Aku tak peduli. Mau
bagaimana lagi, aku memang tak biasa pakai pewangi
badan.
Beberapa meter lagi aku sampai. Nafasku
sudah sangat terengah. Tenagaku sudah hampir
habis. Bunyi bel terdengar sudah berbunyi. Aku cepat-
cepat memasuki pintu gerbang MTsN Banjarmasin
tanpa memedulikan satpam berkumis tebal yang
mengamatiku sejak tadi dari kejauhan.
“Handak tes ujian masuk kah ikam, Nang? Lajui
hudah masukan..85” ucap pak satpam.
“Inggih Pak ay..” balasku seadanya. Aku tak
begitu mendengar apa yang barusan ia ucapkan.
85 Mau ikut ujian masuk ya kamu, Nak? Ayo segera, kelas sudah masuk.
91
Aku segera menaruh sepeda Amad di parkiran
sekolah. Di sampingku nampak seorang bapak dengan
seragam khas pegawai negeri yang sepertinya jua baru
saja datang dan memarkir motornya di samping aku
memarkir sepeda.
“Nang, ini parkir guru. Parkir murid di sana..”
ucapnya sambil menunjukkan telunjuk kanannya ke
parkir yang berada di seberang sana, tanpa sedikitpun
ekspresi ramah dan kasihan dengan aku yang telah
dipenuhi keringat bau.
Akupun langsung memindah parkir sepedaku.
“Di saat-saat begini sempat-sempatnya aku harus
mengalami hal seperti ini.” BMulutku menggerutu.
Setelah menaruh sepeda, aku langsung berlari
dengan pasti ke ruangan yang sudah dipenuhi oleh
peserta. Ketika aku memasuki ruang dimana ujian
dilaksanakan, aku terkejut, ternyata peserta yang ikut
ujian cukup banyak. Perasaanku sempat minder.
Apalagi dari penampilan mereka, nampak sekali kalau
mereka anak-anak dari keluarga berada. Berbaju rapi,
siswanya berrambut hitam mengkilau, wangi. Sedang
diriku, lusuh, hitam, berkeringat, plus beraroma
menyengat seperti ban yang hangus terbakar.
Dari meja pengawas ujian, seorang perempuan
muda berkerudung rapi menghampiri aku yang masih
terengah. Beliau menanyaiku.
92
“Ading umpat ujian masuk, kah?86” ucapnya.
Aku tersentak. Seketika aku menganggukkan
kepalaku untuk menjawab pertanyaan ibu cantik
berkerudung rapi itu.
“Sini, mana nomor ujian masuknya?” pintanya
ramah disertai sebesit senyum.
Aku segera merogoh isi tasku dan menyerahkan
nomor ujianku kepada si ibu guru.
“Oooo, ini di ruang sebelah.” Ucapnya.
Aku langsungpun mohon diri. Aku berlari
menuju ruangan sebelah sambil menggelengkan
kepalaku. “Caaai Cai…. sempat-sempatnya mengalami
peristiwa konyol seperti ini…” gumamku yag sudah
menyia-nyiakan sepuluh menit berhargaku.
Setelah memeroleh tempat duduk, aku
mencoba menenangkan diri. Mengatur nafas dan
mengatur posisi duduk yang paling nyaman. Setelah
mendapatkan lembar soal dan lembar jawaban, aku
langsung mulai menjawab.
Beberapa menit berlalu. Aku lupa berdo’a. aku
berhenti sejenak untuk berdo’a dan lalu langsung
melanjutkan pekerjaanku. Rasanya habis berdo’a
barusan hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya.
Ujian masuk MTsN Banjarmasin rasanya
sedikit lebih ringan dan santai dari UAN. Mungkin
86 Adik ikut ujian masuk, ya?
93
karena aku tidak merasakan tekanan dan ancaman
ketidak lulusan. Toh kalau aku tidak lulus aku bisa
mendaftar di sekolah lain. Meski tidak di sekolah
favorit, aku bisa tetap melanjutkan sekolahku,
pikirku.
Dua jam sudah berlalu. Alhamdulillah soal-soal
ujian bisa aku jawab dengan baik. Setidaknya aku
memiliki keyakinan jawabanku benar delapan puluh
persen. Selesai ujian mata pelajaran B. Indonesia,
ujian dilanjutkan dengan ujian B. Inggris dan
selanjutnya matematika yang diadakan setelah
ISHOMA87.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas
siang. Ujian di selang sebentar untuk salat dan
makan. Setelah salat dzuhur, aku menyantap Ardat88
yang sudah kusiapkan sebelum shubuh tadi sambil
kembali mempelajari soal-soal latihan matematika.
Tak lama berselang, peserta ujian disuruh masuk
untuk mengikuti ujian terakhir, ujian matematika.
Semuanya dilakukan dalam waktu satu hari. Berbeda
dengan di sekolah lain, rasanya ujian masuk di MTsN
Banjarmasin sedikit berbeda. Barangkali pihak
sekolah memang benar-benar menyaring calon
siswanya se-selektif mungkin.
Setelah semua ujian selesai, aku segera menuju
pulang. Aku mengambil sepeda terlebih dahulu di
parkiran sekolah. Sesampai di parkiran, aku baru
ingat kalau sepeda Amad sedang bocor. Aku harus
87 Singkatan dari Istirahat, Sholat, Makan 88 Singkong goreng
94
mencari tukang tambal terlebih dahulu. Aku kembali
menuntun sepeda itu sambil berjalan hingga bertemu
dengan tukang tambal ban yang rupanya tak jauh dari
sekolah MTsN Banjarmasin.
Tapi, satu hal yang kini jadi masalah baru
adalah, aku tak punya uang barang se-persenpun.
Dengan wajah malu, aku bicara sejujurnya dengan
tukang tambal itu. Untungnya tukang tambal ban itu
sangat baik. Tidak hanya mau menambalkan
sepedaku dengan gratis, ia juga memberiku nasi
bungkus dan minum. Aku sangat berterima kasih
dengan pak tua tukang tambal yang hanya
mengenakan baju kaos dalaman itu. Ia menanyaiku
“datang darimana?”. Akupun menceritakan bahwa
aku sedang ikut ujian masuk di MTsN Banjarmasin.
Aku menceritakan semua yang aku alami selama
seharian ini kepada pak tua itu. Meski fokus dengan
pekerjaannya, ia mendengarkan ceritaku dengan
seksama.
Selesai menambalkan ban sepedaku, ia
berpesan agar aku bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu. Ia bilang aku tidak boleh hanya
mencari nilai bagus di atas kertas semata, lalu bisa
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di
sekolah yang unggulan atau terfavorit. Melainkan, aku
harus menuntut ilmu dengan disertai keikhlasan hati
dan niat untuk mengamlkan ilmu yang kuperoleh
demi untuk kemaslahatan. Entah belajar darimana,
tapi apa yang disampaikan pak Tua itu sangat benar.
Dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini,
banyak sekali siswa-siswi sekolah yang memiliki nilai
95
bagus tapi tidak sebanding dengan ilmu yang mereka
miliki. Atau banyak yang memiliki pengetahuan, tapi
pengetahuan yang mereka miliki hanya sebatas
pengetahuan semata, tidak diamalkan dan
memberikan kontribusi kepada kemaslahatan bangsa.
Lihat saja, orang-orang sekarang lebih
mementingkan nilai yang bagus. Karenanya, sekarang
banyak berdiri lembaga bimbingan belajar yang
tujuannya secara tersirat adalah untuk meningkatkan
nilai belajar siswa. Sehingga, dengan nilai bagus itu
mereka bisa diterima di sekolah favorit yang diidam-
idamkan. Peran gurupun tak lagi sebagai pembina,
pendidik, dan pembangun karakter murid. Melainkan
menjadi tenaga teknikal yang tujuannya secara tidak
langsung mengarah kepada bisnis dengan profit atau
keuntungan sebagai orientasinya.
Aku mendengarkan semua yang disampaikan
pak tua si tukang tambal ban itu dengan seksama.
Dari wajah dan pakaian yang ia kenakan, rasanya apa
yang ia sampaikan itu tergolong dalam tema yang
cukup berat bagiku yang baru lulus MI ini. Aku tak
mengira kalau orang tua itu memiliki pandangan yang
cukup kritis tentang pendidikan.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera
menaiki sepeda dan mengayuhnya menuju pulang.
“Mudah-mudahan apa yang kulakukan hari ini benar-
benar dengan niat keikhlasan” bisikku dalam hati.
Hari sudah mulai gelap. Aku bahkan belum
sempat salat ashar. Aku harus segera sampai ke
96
rumah sebelum maghrib. Aku mengayuh sepedaku
sekuat tenaga untuk mencapai kecepatan maksimal.
Aku berpacu dengan waktu dan sepeda motor-sepeda
motor yang satu persatu membalapku dari belakang.
Bismillah, semoga esok lebih baik,
“Amiiiiiiiien…..” teriakku sekeras-kerasnya.
***
97
Chapter 10
Sebuah Berita
Tepat sepulu hari setelah aku mengikuti ujian
masuk MTsN Banjarmasin. Hari ini adalah
pengumuman penentuan dari ikhtiarku untuk bisa
melanjutkan sekolah lagi apa tidak. Saking
bersemangatnya, hari ini aku bangun lebih awal dari
biasanya. Usai salat shubuh, aku membantu umma
mengurus Ijah, adikku. Aku memandikannya dan
menyuapinya makan. Setelah itu aku membantu
umma untuk menyiapkan makan pagi. Kuharap
dengan membantu orang tua, aku akan mendapatkan
keberuntungan hari ini. Ya, aku meyakini apa yang
julak Adus selalu sampaikan, ridho tuhan itu terletak
apada ridho kedua orang tua.
Hari ini aku tak ada jadwal untuk berdagang ke
pasar terapung. Rencananya aku berangkat ke
sekolah MTsN banjarmasin Kuin untuk melihat
pengumuman pukul 09.00 pagi ini. Kali ini aku tak
perlu pinjam sepeda Amad lagi karena hari ini umma
tidak berjualan di pasar Kuin. Karenanya aku bisa
memakai sepeda Umma untuk pergi ke MTsN
Banjarmasin nanti. Kulihat matahari masih belum
tinggi. Jam masih menunjukkan pukul 07.00. Aku
masih sempat untuk membantu umma manapas89
89 mencuci
98
semua pakaian umma, abah, ading90, dan punyaku
sendiri yang sudah batat91.
Tak sengaja aku melihat Amad di seberang
sana dengan pakaian baru kebanggaannya. Ia tak
seperti biasa yang sering kulihat. Ia tak lagi
mengenakan seragam putih hijau, seragam sekolah
khas MI Ar-Rahman Kuin. Hari ini ia sudah
mengenakan kemeja putih polos dengan celana biru
panjang. Di lengan kanan kemejanya yang nampak
masih cemerlang itu, pasti ia baru beli, meski samar
aku sangat mengenali logo itu, logo pondok pesantren
Raudatus Shalihin. Pesantren itu memang salah satu
yang terkenal di Kalimantan. Memang Amad sempat
bilang bahwa orang tuanya ingin sekali ia masuk
pesantren seusai lulus dari MI Ar-rahman. Dan
rupanya Amad memenuhi kehendak kedua orang
tuanya itu.
Amad melambaikan tangannya kepadaku
sambil tersenyum girang di seberang sana. Hari ini
adalah hari pertama ia masuk pesantren yang ada di
kota Banjarbaru itu. Dan itu artinya untuk selang
waktu yang lama, aku tidak akan bertemu dengan
sahabatku itu.
Mentari merangkak kian naik. Aku sudah
menyelesaikan semua cucianku. Setelah menjemur
semuanya, aku segera mandi dan mengganti pakaian.
Sejurus aku berangkat menuju kota Banjarmasin.
Setelah kurang lebih empat puluh menit mengayuh
90 adik 91 Bau dan kotor
99
sepeda, akupun sampai di sekolah favorit warga
Banjarmasin yang rupanya kini sudah nampak ramai
oleh kedatangan para calon murid.
Kulihat beberapa wajah yang lalu lalang, tapi
tak satupun ada yang aku kenal. Aku berjalan menuju
pos satpam di sekolah, menanyakan apakah hasil tes
masuk sudah keluar. Bapak satpam berkumis lebat
yang aku temui di pos satpam sekolah itu bilang kalau
pengumuman sudah di tempel di Mading sekolah,
sebelah timur Perpustakaan. Sejurus aku berjalan
cepat menuju lokasi yang dikatakan pak satpam.
Hampir semua anak seusiaku, yang aku yakini
pasti calon murid di sekolah ini, datang bersama
orang tua-orang tua mereka. Hanya aku yang datang
ke sini dan berjalan sendiri seperti anak hilang. Raut
muka anak-anak yang berjalan dari Mading sekolah
menyiratkan hasil dari ujian masuk. Ada yang
berwajah riang gembira, ada juga berwajah sedih,
murung. Bahkan ada yang mengamuk. Aku berani
bertaruh, pasti nama anak itu tidak tercantum di
papan pengumuman. Ia pasti tak lulus.
Sejurus aku meyatu bersama gerombolan calon
murid dan orang tua mereka untuk berlomba
menemukan nama masing-masing di papan
pengumuman. Dan betapa senangnya aku hari ini
mendapati namaku terpampang jelas di papan
pengumuman, Ahmad Husairi, aku diterima di
sekolah yang sangat aku favoritkan ini.
100
Dengan hati dipenuhi bahagia, aku berjalan
menuju pulang. Sepanjang jalan, yang aku lakukan
hanya tersenyum sambil bernyanyi kegirangan.
Sesekali aku menatap ke langit luas sambil terus
mengayuh sepedaku dan lalu tertawa sendiri. Orang
lain yang melihat tingkahku kala itu pasti akan
memasang wajah heran. Aku seperti orang gila
bersepda yang bicara sendiri dan tertawa sendiri.
“Adakah ini pertanda sebuah mimpi bisa
terwujud?” Pikirku.
Perlahan awan mendung mulai berjalan
beriring menyelimuti setiap sudut langit Banjarmasin.
Aku segera mempercepat laju sepedaku. Rintik air
mulai jatuh satu persatu dengan perlahan. Aku
mengayuh sekuat tenaga karena rumah sudah tak
jauh lagi. Sesampainya di rumah, pikiranku hanya
tertuju pada satu hal, jemuranku harus segera aku
selamatkan.
Dan beberapa saat setelah semua jemuran aku
ambil dari tempatnya, hujan seketika menerjang
setiap rumah beratap daun rumbia92 yang berjejer di
sepanjang sungai Kuin-Alalak.
Tak lama dari hujan yang lebat itu berita buruk
itupun datang kepada aku dan juga keluargaku.
Seseorang mengetuk pintu rumah dengan kencang
dan tergesak-gesak. Setelah aku membuka pintu,
baru aku tahu sosok yang tengah melakukannya,
Paman Jailani, orang tua Hadri, teman sekampungku.
92 Ppohon sagu
101
Badannya nampak jumus93. Rupanya ia tak memakai
payung, ia kehujanan. Namun, aku masih bingung
kenapa ia langsung memeluk diriku dengan begitu
eratnya. Sampai-sampai aku susah sekali untuk
bernafas. Meski samar karena tertutupi segenap air
hujan yang membasahi wajahnya, ku lihat paman
Jailani meneteskan air mata.
“Ucai sabar laaah..” bisiknya kepadaku dengan
terus memeluk aku yang masih bingung dengan apa
yang sebenarnya tengah terjadi.
Dari dapur, ummaku datang menghampiri aku
dan paman Jailani yang masih berdiri di teras rumah.
“Napa Abahnya Hadri?94” tanya umma yang jua
nampak bingung melihat Paman Jailani yang tengah
memeluk diriku.
Aku menatap wajah paman Jailani yang hitam
jumus itu. Ia terlihat nampak lebih sendu dari
biasanya. Ia tak seperti paman Jailani yang aku kenal.
“Ummanya Ucai, abahnya Ucai tadi di rumpak
urang ba trak pas di jalan tol ampah tambus ka Liang-
anggang. Ini abahnya Ucainya masih di rumah sakit
Ulin. Pinanya hudah diusahakan duktur pang. Tapi ya
pinanya sudah kahandak Allah ta’ala. Abahnya Ucai
kada kawa ditulungi lagi. Sidin maninggal..95” Paman
93 Basah kuyup 94 Ada apa Bapaknya Amad (Paman Jailani)? 95 Ibunya Ucai, abahnya Ucai tadi di tabrak seseorang dengan naik truk pas di jalan tol menuju jalan tambus ke Liang-anggang. Saat ini abahnya Ucai masih di rumah sakit Ulin. Sepertinya sudah diusahakan dokter. Tapi
102
Jailani menjelaskan dengan sedikit terisak. Suaranya
bergetar karena hampir tak kuasa menyampaikan
kabar buruk itu.
Mataku seketika langsung terbelalak. Aku
melapaskan diri dari pelukan Paman Jailani dan
langsung menatap ke arah umma. Aku lihat umma
sudah tergeletak tak sadarkan diri di tempat ia berdiri
barusan. Ia pingsan, shok karena mendengar kabar
suaminya telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa.
Aku sendiri jua sempat tak percaya abah akan
meninggal dengan cara seperti ini, di saat keluargaku
sangat membutuhkan orang yang menjadi pegangan
menopang kehidupan keluarga. Secepat ini pula. Aku
langsung teringat adikku Ijah yang masih kecil.
Kasian, ia harus ditinggal pergi abahnya di saat
usianya baru menginjak umur tiga tahun.
Aku dan Paman Jailani segera mengangkat
umma ke tempat tidur. Tak sengaja aku menatap
wajah tanpa dosa Ijah yang tengah tertidur pulas.
Tanpa sadar air mataku menetes seketika. Ini adalah
salah satu ujian terberat yang harus aku hadapi.
Perasaan bahagia karena lulus ujian masuk MTsN
Banjarmasin tak lagi aku hiraukan. Sesuatu yang
lebih penting telah menghampiriku hingga semua
yang lain terabaikan. Terbesit satu dugaan, “Mungkin
Tuhan memang sudah mengatur hidupku tidak
melanjutkan sekolah agar aku bisa menjadi pengganti
abah sebagai tulang punggung keluarga.” Pikirku.
sepertinya sudah kahandak Allah ta’ala. Abahnya Ucai tidak bisa di tolong lagi. Beliau maninggal..
103
Hujan di luar sana masih sangat lebat. Aku
masih ditemani Paman Jailani dan ummanya Amad,
acil96 Jannah yang juga datang ke rumah sesaat
setelah Umma pingsan. Barangkali beliau juga seudah
mendapat kabar kepergian abahku. Sejak ia datang
tadi, acil Jannah duduk disampingku dan terus
membelai rambutku dengan lembut dan penuh
kehangatan. Aku merasa ia mencoba menghibur
diriku yang tengah terpojokkan oleh semua ujian yang
aku hadapi.
Tak lama, jenazah abahpun sudah sampai di
antar ke rumah. Umma masih belum sadarkan diri.
Jenazah abah di rebahkan di ruangan yang menjadi
ruang tamu rumahku. Perabot-perabot rumah seperti
kursi tamu dan benda-benda lainnya segera di
sampingkan supaya orang-orang yang datang melayat
bisa masuk.
Selang waktu beberapa menit umma mulai
siuman. Entah mengapa adingku Ijah terbangun dan
langsung menangis. Sejurus setelah bangun dari
pingsannya, umma menghampiri jenazah abah dan
menangisinya sekuat-kuatnya. Walau bagaimanapun
bawelnya, umma adalah perempuan yang sangat halus
hatinya. Beberapa orang yang melayat termasuk
Paman Idris, abah dari sahabatku Amad, yang datang
seusai mengantar Amad ke pesantren di banjarbaru,
dan acil Jannah, umma dari Amad segera
menghampiri ummaku yang nampak begitu histeris.
96 Tante
104
Mereka semua mencoba menenangkan perasaan
umma.
Aku jadi teringat pagi tadi aku mencium tangan
abah sebelum berangkat ke MTsN Banjarmasin dan ia
juga akan berangkat ke pekerjaannya. Rupanya itu
adalah hari terakhir aku bertemu dengan abah dalam
keadaan hidup. Kini abah terbujur kaku di
pembaringan.
Entah, apapun yang sudah abah lakukan,
meski kadang aku merasa jengkel dengan sikapnya
yang tak pernah mendukung dengan pendidikanku, ia
tetaplah abahku, orang tua kandungku. Dan yang
pasti, hari ini adalah janji beliau dengan yang Maha
Kuasa untuk bertemu kembali. Aku hanya bisa
mendo’akan semoga saja kebaikan yang telah ia
lakukan diterima di sisi-Nya dan semua kekhilafannya
diampunkan oleh Yang Maha Kuasa. Amien.
Innalillah wainna ilaihi raji’uun…..
***
105
Chapter 11
Keputusan Umma
Dua minggu semenjak kepergian abah. Kini
pekerjaan abah di pabrik kayu H. Undas sepenuhnya
aku yang menggantikan. Saat ini aku adalah orang
termuda yang menjadi pegawai tetap Haji Undas. Mau
bagaimana lagi, ini demi umma dan Ijah, adikku yang
masih kecil. Kini aku harus menjadi tulang punggung
keluargaku menggantikan abah. Itu artinya aku tidak
jadi melanjutkan sekolahku meski sudah diterima di
sekolah impianku, MTsN Banjarmasin.
Jika melihat wajah tak berdosa Ijah yang harus
ditinggalkan orang tuanya diusia yang sangat dini,
aku tak kuasa untuk tidak meneteskan air mataku.
Kasian sekali bocah lucu yang masih tak mengerti
bahwa abahnya telah tiada itu. Namun, hal itu justru
menjadikan aku lebih bersemangat untuk melakukan
semua kerja kerasku.
Waktu sudah sore. Hari ini tak seperti
biasanya. Di tengah musim hujan, hari ini
Banjarmasin begitu cerah. Ku lihat di teras depan
rumah ada sandal sesorang yang tak ku kenal. “Ada
tamu” pikirku.
Aku melangkah masuk dengan mengucap
salam. Tiga orang yang ada di dalam rumah menjawab
salamku. Nampak di ruang tamu rumah umma
bersama ijah di gendongan tangannya, paman Hadri
(abah Amad), dan seorang lelaki seumuran almarhum
abah, lelaki yang tak ku kenal. Alisnya tebal.
106
Kumisnya mirip dengan abah, dan rambutnya sedikit
arut-arutan. Dari tampilannya, orang itu sepertinya
mengalami stress yang cukup berat.
Umma memanggilku untuk duduk bersua
dengan mereka berempat. Majlis itu terasa begitu
dingin. Wajah lelaki tak ku kenal itu nampak lesu.
Dari mulutnya terucap beribu kata maaf dan ampun
kepada umma dan aku. Setelah mendengarkan
beberapa saat pembicaraan itu, aku mengerti, pemuda
itu adalah pelaku penabrakan abah. Ia minta maaf
karena baru bisa datang ke rumah untuk meminta
ridha setelah dua minggu lamanya, sejak peristiwa itu.
Ia harus berurusan dengan kantor polisi terlebih
dahulu.
Entah mengapa, melihat wajah pemuda itu aku
bukannya marah, tapi malah iba. Dari gelagat dan
nada bicaranya ia memang benar-benar tulus
meminta maaf. Akupun tak sedikitpun menyimpan
dendam padanya.
“Pian kada usah minta maaf, paman ay.97”
Ucapku sendu. Umma dan paman Jailani sontak
menoleh ke arahku.
“Amun umur sudah hampai ya kayapa lagi am
kita ni, ya kada kawa ai mamaksa. Tapi, cobalah pian
97 Anda tidak usah minta maaf, Paman.
107
lihati ading ulun nang masih halus hanyar bisa bajalan
tu, kasian inya..98” Sambungku sambil menunduk.
“Ayuha. Insya Allah paman hakun ja
manggantiakan abah ikam maungkusi ading ikam, wan
ikam jua mun handak sakulah lagi, wan mahidupi
kaluarga ikam ni Tung ay99.” Balas paman yang aku
masih tak mengenali namanya itu. Aku masih
menunduk, tak membalas ucapannya.
“Paman Sahran ni baniat handak
manggantiakan abah nyawa atawa mangawini umma
nyawa Cai ay. Nyawa hakun lah mun umma nyawa
kawin pulang? Kasian sidin mun saurangan bacari.
Ading nyawa masih halus si Ijah, nyawa handak
sakulah jua. Pas kabujuran sidin balu jua. Kayapa
Nak, hakun hajakah nyawa kaitu?100” ucap Paman
Hadri mewakili ucapan lelaki yang ia sebut “paman
Sahran” itu.
Mendengar penjelasan paman Hadri aku
langsung menoleh ke arah umma. Aku tak habis pikir
jika umma mau menikah lagi, bahkan dengan lelaki
pelaku tabrakan yang menyebabkan abah meninggal
98 Kalau umur sudah sampai pada waktu yang ditentukan, ya mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa memaksa. Tapi, cobalah anda lihat adik saya yang masih
kecil dan baru bisa berjalan itu, kasian dia.. 99 Baiklah. Insya Allah paman mau manggantiakan bapakmu untuk menanggung hidup adikmu, dan kamu yang juga ingin sekolah lagi lagi, dan menghidupi keluargamu ini, Nak 100 Paman Hadri ini berniat ingin menggantikan abahmu atau mengawini ibumu, Cai. Apa kamu mau jikalau ibumu menikah lagi? Kasian beliau kalau berusaha sendirian. Adikmu masih si Ijah masih kecil. Kamu juga ingin sekolah. Kebetulan beliau juga duda. Bagaimana Nak, maukah kau jika seperti itu?
108
pula. Meski aku tak ada dendam, aku sulit untuk
percaya. Aku menatap wajah umma untuk merasakan
perasaan beliau lewat ikatan bathin yang aku yakin
miliki dengan beliau. Wajah umma nampak mambari
maras101. Mungkin yang ia pikir saat ini adalah masa
depan Ijah dan aku. Aku menatap wajah Ijah. Wajah
gadis kecil yang cantik itu tersenyum kepadaku polos.
Wajahnya begitu cerah dan bahagia meski ia tak
faham dengan pembicaraan ini.
Tapi, aku merasa tak mungkin jika harus
tinggal dengan abah tiri. Aku tak terbiasa. Aku harus
membuat sebuah keputusan sebagai seorang laki-laki.
“Lamun umma handak kawin pulang, ayuha.
Tapi ulun kada umpat sarumah. Kadanya ulun kada
hakun atawa muar wan paman Hadri. Tapi ulun asa
kada nyaman banarai badiam sarumah wan paman
Hadri nang sabujurnya urang nang marumpak abah.
Ulun handak badiam di rumah Kai haja paman Jailani
ay..102” ujarku.
“Nyawa kada bulih muar wan urang Tung ay.
Sidin ni kada singhaja jua marampak abah nyawa103.”
Paman hadri membalas ucapanku. Tangannya
membelai kepalaku, pelan.
101 Kasian/iba 102 Kalau ingin menikah lagi,baiklah. Tapi saya tidak ingin tinggal satu rumah . bukannya saya tidak mau atau benci dengan paman Hadri. Tapi saya hanya merasa tidak nyaman jika tinggal satu rumah dengan paman Hadri, orang yang sebenarnya menabrak abah. Saya ingin tinggal di rumah Kake saja, Paman. 103 Kamu tidak boleh benci dengan orang lain, Nak. Beliau juga tidak sengaja menabrak abahmu itu.
109
“Ulun kada muar atawa sarik wan sidin. Tapi
ulun kada handak mambarati tanggungjawab sidin
mun harus maungkusi umma, ading Ijah wan ulun.
Ulun handak bausaha saurang haja. Jadi ulun handak
umpat wadah Kai bagana di handil Durian, di Gambut.
Mun ulun dibulihakan, ayuha jua ulun mambulihakan
umma kawin pulang wan paman Hadri.104” Balasku.
Paman Sahran hanya diam seribu bahasa.
Paman Hadri menghela nafas panjangnya. Aku tak
tahu entah apa yang ia sedang pikirkan. Umma
menatapku sambil membelai kepalaku dengan kasih
sayangnya yang begitu hangat aku rasakan.
“Jangan mangalihi Kai tapinya lah. Nyawa
harus mandangani sidin bagawian, bahuma wan
manjagai hayam di sana...105” ucap umma. Suaranya
parau, haru. Matanya berkaca-kaca.
“Inggih ma ay..106” balasku menunduk. Aku tak
kuasa menahan air mataku untuk menetes.
Umma memelukku dan mencium kepalaku
hangat. Paman Sahran mendekat dan membelai
kepalaku dengan begitu lembut. Entah kenapa aku
merasakan hangatnya kasih sayang seorang abah
104 Saya tidak benci atau marah kepada beliau. Tapi saya tidak ingin memberatkan tanggungjawab beliau jika harus menanggung beban hidup ibu, adik Ijah dan saya. Saya ingin berusaha sendiri. Jadi saya ingin ikut tinggal bersama Kakek di handil Durian, di Gambut. Kalau saya diizinkan,baiklah saya juga akan mengizinkan jika ibu menikah lagi dengan paman Hadri. 105 Jangan merepotkan kakek ya. Kamu harus membantu beliau bekerja, bertani, dan beternak ayam di sana. 106 Iya bu.
110
dari belai lembut tangan beliau. Pembicaraan itu
berakhir dengan pamitnya paman Hadri dan Paman
Sahran. Kini hanya tinggal aku, umma dan Ijah yang
tak mengerti apa-apa tentang semuanya di rumahku
tersayang ini.
Malam itu, umma berbicara banyak hal
kepadaku tentang pertemuannya dengan almarhum
abah dan menceritakan mengapa abah berwatak
sangat keras. Ia juga menceritakan awal kisah cinta
antara dia dan abah. Dari raut wajahnya saat
bercerita, aku dapat melihat isyarat bahwa ia sangat
mencintai abah meski abah memiliki watak yang keras
dan kadang terkesan kolot. Ia bilang, meski abah
pemarah dan kadang terkesan tak dewasa dalam
menyikapi banyak hal, tapi abah adalah orang yang
penuh tanggungjawab dan penolong.
Aku mendengarkan cerita umma dengan hati
yang penuh senang. Senang karena melihat umma
yang kini mulai tersenyum kembali. Aku faham, ia
harus melakukan pernikahan ini demi masa depan
Ijah dan aku. Meski ia hanya tamatan SD, tapi ia
orang yang sangat ingin melihat aku dan Ijah sukses
dan melampaui dirinya.
Umma memeluk aku dan Ijah sambil terus
bercerita. Semenjak kepergian abah, aku selalu tidur
bersamanya dan jua adingku tersayang, Ijah. Tanpa
sadar aku tertidur di pelukan umma selagi ia terus
bercerita. Aku, lagi-lagi meneteskan air mata. Aku
sayang abah dan umma.
111
***
112
Chapter 12
Bahuma
Riuh angin menerpa langkahku yang tengah
berjalan di atas galangan107 ladang. Semerbak wangi
padi yang mulai menguning terasa begitu bersahaja
merasuk di setiap lubang hidungku. Aku berhenti
berjalan. Aku berdiri di atas galangan ladang sambil
membentangkankan tangan, menikmati setiap terpaan
ramah angin kemarau. Aku mempernyaring siulanku
dan membuatnya lebih berirama. Orang Banjar
meyakini untuk memanggil angin supaya datang
berhembus maka kita harus bersiul dengan nyaring
dan bagus.
Dari tempatku tegak berdiri, aku dapat melihat
sekawanan burung halang pipit108 yang terbang statis
melawan angin. Elang putih itu terbang masing-
masing, seakan mereka ingin mengatakan bahwa
hidup mereka hanya mereka yang menentukan, tanpa
harus mengekor pada kehidupan orang lain. Mereka
memiliki jati diri yang tegas, bukan sang peniru
ataupun hamba si pengikut.
Tadi pagi, kakek menaikkan kalayangan
dandang109 sebelum benar-benar turun untuk
107 Sebuah lahan pembatas antara satu ladang dengan ladang yang lain (bahasa Banjar) 108 Jenis elang yang mampu terbang di tempat. Orang banjar juga sering menyebutnya burung raja angin 109 Layang-layang berukuran besar
113
memanen padi di ladang. Aku baru mengerti, layangan
itu sengaja kakek naikkan agar ia mengtahui keadaan
cuaca hari ini. Apabila layangan dandang itu terbang
dengan tidak karuan, itu artinya angin sedang
maulak110, dan itu artinya biasanya hujan akan segera
turun. Meski tak selalu benar, tetapi keakuratan
ramalan kalayangan dandang itu cukup membantu.
Setelah beberapa saat, aku segera menyusul
kakek turun ke ladang. Sudah tiga bulan lamanya aku
ikut kakek di desa handil Durian ini. Aku sempat
berpikir, melihat namanya, maka di desa ini tentu
banyak sekali pohon durian. Aku gembira karena aku
sangat suka yang namanya durian. Tapi setelah aku
menetap di sini selama tiga bulanan, tak satupun ku
temui pohon durian di desa ini. Ujar kakek, nama
Handil Durian itu diambil karena dulu sebelum
daerah ini menjadi desa Handil Durian, ada pohon
durian tumbang diterpa angin kencang dan
menghalangi jalan setapak warga. Akhirnya pohon itu
mengganggu warga yang ingin pergi ke pasar Kindai
Limpuar. Itu karena jalan setapak itu memang jalan
satu-satunya yang digunakan warga untuk menuju
pasar. Akhirnya dengan bergotong-royong, warga
memotong pohon durian tumbang itu dengan
mandau. Dan jadilah nama desa ini Handil Durian.
Handil artinya gang atau jalan setapak yang kiri
kanannya adalah rawa. Sedangkan durian diambil
dari kata Durian rabah atau durian tumbang.
110 Tidak stabil
114
Setelah beberapa saat, aku sudah siap dengan
ranggaman111, balik112, dan tanggui113 yang menutupi
kepalaku agar tak tersengat sengatan sinar matahari.
Setelah mengolesi wajahku dengan pupur basah114
yang tebal, aku segera menuai padi yang sudah
menguning. Rasanya seharian penuh berada di ladang
kakek ini membuat badanku gatal. Setiap malam aku
harus membuang Tungau yang hinggap di badanku.
Sekarang pekerjaanku adalah membantu kakek
di rumahnya. Setiap hari, sebelum fajar menyingsing,
kakek biasanya sudah membangunkanku untuk
mendirikan salat tahajjud. Setelah itu aku mencuci
pakaian dan memasak nasi dan air. Setiap matahari
mulai merangkak naik, aku segera ke kandang untuk
memberi makan ayam, bebek, dan juga kambing
piaraan kakek. Sedang kakek biasanya memasak nasi
dan ikan untuk makan kami berdua. Setelah makan
pagi, kami berdua segera turun ke sawah untuk
bertani.
Sudah lama kakek tinggal di rumah sendiri,
mungkin sekitar dua belas tahun sudah. Terakhir ada
orang yang menemaninya tinggal di rumah adalah
saat ummaku masih bujang. Ketika ia menikah
dengan almarhum abah, umma dibawa abah untuk
tinggal di desa Kuin, dan kakekpun terpaksa tinggal
111 Alat panen tradisional khas petani tanah Banjar 112 Sejenis wadah yang berbentuk seperti ember yang terbuat dari purun (tumbuhan khas Banjar yang biasa dijadikan anyaman) 113 Topi yang biasa dibawa orang Banjar untuk bertani di sawah. Bentuknya seperti payung namun tidak memiliki tangkai. 114 Bedak dingin tradisional khas Banjar
115
sendirian. Nenekku sudah lama meninggal, sekitar
lima belas tahun yang lalu, sebelum umma menikah.
Meski kakek sudah tua, tapi semangatnya untuk terus
bekerja masih terus berkobar.
Beliau pernah menasihatiku seperti ini, “Amun
ikam kaina hudah tuha bagawi, jangan suah tapikir
handak pinsiun bagawi.115” Ucapnya.
Mendengar perkataanya itu aku balik bertanya.
“Kanapa garang, Kai? Amun pagawai nagri tuh hampai
umur anam puluhan haja bagawinya mbah tu pinsiun.
Mau kada mau paksa ai pinsiun Kai ay.116” balasku.
“Maksud kai tu kada kaitu pang Cu ai. Maksud
kai, bujur haja mun ikam kaina bagawi jada pagawai
ada pinsiunnya. Tapi nintu kadanya baarti ikam harus
ampih bagawi. Mun awak masih bigas, pikiran masih
tagas haja, mun kawa bagawi, ya bagawi. Allah ta’ala
hudah mambariakan nikmat bigas wan tagas, ya
dipakai ay. Ya kalo Cu? Mangarti lah nang jar Kai nih
ikam Cu?” Kakek menjelaskan kepdaku dengan penuh
semangat.
Aku mengangguk. Aku mengerti maksud
ucapan kakek. Itu artinya, meski suatu saat kita
sudah menyelesaikan masa karir di dunia kerja, itu
bukan berarti menghentikan kita untuk terus
berkarya. Kakek adalah sosok yang mandiri.
115 Kalau kamu nanti sudah tua bekerja, jangan pernah untuk berpikir ingin pensiun kerja. 116 Memangnya kenapa, Keki? Kalau pegawai negeri bekerjanya Cuma sampai umur enam puluh tahun dan setelah itu akan pensiun. Mau tidak mau maka ya harus pensiun, Kek
116
Dimataku, beliau seperti elang. Beliau tak pernah
menyusahkan dan ingin menyusahkan orang lain
sedikitpun. Meski sudah berusia lebih enam puluh
tahun, untuk menopang hidupnya ia bekerja dengan
mandiri. Aku sangat salut dengan hidup kakek.
Matahari semakin terik. Aku menghadapkan
badanku ke arah timur mata angin, lalu mengangkat
kedua tanganku tegak ke atas. Bayangan matahari
sudah menandakan sekitar pukul dua siang. Dari
jalan setapak handil durian, beberapa kawanan
pemuda dan pemudi nampak melintas lalu. Ada
beberapa anak mengenakan seragam putih abu-abu
dan ada yang mengenakan seragam putih biru.
Mereka para siswa MAN Martapura dan MTsN Gambut
yang sedang bersepeda menuju pulang.
Satu di antara mereka berhenti di bawah pohon
pisang yang berjejer dan nampak terlihat mengganti
seragam sekolahnya dengan pakaian yang biasa
digunakan orang untuk turun ke sawah. Anak itu
berjalan menuju pondok untuk mengambil tanggui,
ranggaman dan balik. Ia berjalan ke arahku. Aku
menunggunya dengan tersenyum. Aku bisa melihat
sorot matanya yang tajam tapi wajahnya tetap ramah.
Ia datang kepadaku dan menyodorkan tangannya.
“Aku Rasyid, Rasyid Khairuzzaman. Siapa
ngaran ikam? Cucu Kai Ibur kah?” ucapnya tanpa
basa-basi.
Aku segera menyambut tangannya dengan
disertai senyum. Aku membalas ucapannya.
117
“Aku Ucai, Ahmada Husairi. Iih, aku cucunya
Kai Ibur”. Balasku.
Sudah tiga bulan aku tinggal di sini, rasanya
aku tak pernah bertemu dengan bocah yang
mengenalkan dirinya Rasyid itu di desa ini.
Setelah berkenalan, ia berjalan menjauh dari
hadapanku. Ia turun ke ladang di sebelah barat untuk
ikut serta memanen padi milik kakek. Tadi pagi kakek
memang sempat bilang kepadaku kalau akan ada
seorang anak yang datang membantu kami, tapi anak
itu datang siang hari karena pagi ia harus sekolah.
Rupanya bocah yang dimaksud kakek itu Rasyid. Aku
segera berjalan melanjutkan tugasku.
***
Setelah menyelesaikan bagian ladang yang
harus aku panen, sejenak aku berhenti dan
mengistirahatkan badanku di pondok kecil yang
dibuat kakek di tengah ladang.
Dari pucuk masjid Al-Muhajirin desa Malintang
baru yang berjarak sekitar satu kilometer dari ladang
kakek, terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang
tengah berkumandang. Itu artinya sebentar lagi watu
ashar tiba. Kakek dan pemuda yang mengenalkan
dirinya ‘Rasyid’ itu sejurus menyudahi pekerjaannya.
Mereka berdua turut bersua denganku untuk
mengistirahatkan raga yang keletihan karena hampir
seharian kakek bergulat di tengah ladang.
118
Aku mengambil air putih yang ku bawa di
sebuah cerek alumunium tua dari rumah, lalu
menyerahkannya kepada kakek dan Rasyid. Aku yakin
mereka berdua pasti sangat kehausan. Dengan
ditemani angin sepoy dan terik mentari yang
menimbulkan fatamorgana di atas ladang padi yang
menguning itu, kakek menceritakan tentang Rasyid
kepadaku.
Kakek bilang kalau Rasyid itu adalah anak
julak Basun. Dia adalah pemuda dari desa sebelah,
desa muara Durian, sekitar satu kilometer dari desa
kami. Setiap sehabis shubuh, Rasyid biasanya
menjajakan jualannya, kue amparan tatak sampai ke
desa Handil Durian. Tapi karena ini musim panen
padi, maka ia tak menjajakan kuenya lagi, sebab pagi
sebelum berangkat ke sekolah, ia menjadi tenaga
upahan untuk memanen padi warga yang
memerlukan bantuan tenaga kerja. Dagangannya
biasanya ia titipkan di warung pagi-warung shubuh-
yang ada di sekitar desa Handil Durian dan Muara
Durian.
“Nah, sabujurnya hari ini gen imbah maatar
jualannya ka sabarataan warung shubuh gasan
diandaki, inya hudah sampat mahumai pahumaan
sapalih. Marganya inya musti sakulah pank, makanya
Rasyid tulak dahulu ka sakulahan. Hanyar imbah inya
bulik sakulah, inya manarusakan gawiannya gasan
mangganii kita..117” Ucap Kakek menjelaskan. Rasyid
117 Nah, sebenarnya hari inipun sehabis mengantar jualannya ke semua warung pagi untuk dititipkan, ia sudah sempat memanen beberapa ladang.
119
hanya diam sambil mengipas-ngipaskan helai lembar
daun pisang ke badannya. Setelah angin sepoy
kembali datang bertamu, ia menghentikan
kipasannya.
Mendengar cerita kakek itu, aku menjadi
sangat kagum dengan pemuda yang sepertinya masih
seumuran denganku itu. Matanya tajam. Raut
mukanya sedikit berkerut, meski sejatinya ia masih
tergolong bocah yang masih muda. Kulit tangannya
hitam legam. Bau badannyapun seperti bau kulit yang
terbakar panas, hangit118.
“Ikam sakulah119 dimana, Syid?” tanyaku
membuka wacana. Rasanya hatiku ingin sekali akrab
dengan pejuang kecil itu.
“Eh..” Dan bocah berambut agak ikal itu
tersentak mendengar ucapanku barusan. Suaranya
terdengar sedikit serak, parau.
“Sakulah dimana? Neh Ucai batakun120 jar..”
ucap Kakek menimpali.
“Ooo.. ulun121 sakulah di Tsnawiyah Gambut.”
Balasnya singkat. Wajahnya seolah tengah
memikirkan sesuatu.
“Kalas barapa hudah?122” sambungku.
Karena ia harus sekolah, maka Rasyid pergi dulu ke sekolah, baru ketika ia pulang sekolah ia melanjutkan pekerjaannya untuk membantu kita. 118 hangus 119 Kamu sekolah 120 bertanya 121 saya
120
“Hanyar kalas satu. Ikam pang sakulah dimana
jua?123” balasnya menanyaiku. Wajahnya tersenyum.
Sepertinya ia berusaha bersikap seramah mungkin
kepadaku, orang yang baru dikenalnya.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Rasyid.
Sebenarnya aku malu untuk menjawabnya. Dengan
malu aku mengaku kalau aku tak sekolah, “Aku
kada124 sakulah lagi..” balasku dengan nada pelan.
Aku menoleh ke arah kakek, beliau hanya diam.
Bocah itu seketika menoleh ke arah Kakek
dengan mimik heran.
“Kada handak lagi sakulah atawa kadada duit
gasan sakulah? Sayangnya? Tapi SD lulus ay kalu?.
Jaka sakulah. Nyaman kawa bagawi ka situ ka mari
kaina125” balasnya serius sambil menatap ke arahku.
“Alhamdulillah sumalam sampat lulus umpat
ujian masuk Tsanawiyah di banjar. Tapi kada jadi
sakulah. Handak manggini’i Kai ja di sini126.” Balasku.
Sejatinya aku malu mengatakannya. Rasyid pasti
mengira aku anak yang bodoh. Tapi entah kenapa aku
tak kuasa untuk tidak menjawab pertanyaan Rasyid.
122 Sekarang kelas berapa? 123123 Baru kelas satu. Kamu sendiri sekolah dimana? 124 tidak 125 Tidak ingin sekolah lagi apa tidak punya uang untuk sekolah?. Sayang sekali? Tapi SD lulus kan? Mending sekolah saja. Biar enak nanti bisa kerja kesana kemari. 126 Alhamdulillah kemarinsempat lulus waktu ikut ujian masuk MTsN Banjarmasin. Tapi tidak jadi sekolah. Saya ingin membantu Kakek di sini.
121
“Mun kaitu sakulah ha tahun kaina. Mun tahun
ini, hudah kada kawa lagi pank. Pandaptaran hudah
tutup. Sakulah ja di Tsanawiyah Gambut. SPP-nya
murah haja. Ya kalo, Kai?127” Rasyid menoleh ke arah
Kakek. Wajah Kakek sempat sedikit kaget. Ia
mengangguk sambil tersenyum. Mungkin ia
tersenyum karena melihat persahabatan yang tumbuh
antara aku dan Rasyid.
“Tapi, mun ulun sakulah kaina, sampat juakah
lagi kaubar mandangani Kai di rumah?128” tanyaku
kepada Kakek.
Kakek tersenyum. “Nang panting ikam sakulah
ha dahulu, Cu ay.129” Balas kakek sambil membelai
kepalaku dan Rasyid.
Hari ini, pertemuanku dengan si pejuang kecil
itu benar-benar menjadi sebuah barokah kepadaku.
Rasyid, adalah bocah yang datang dengan segenap
semangatnya untuk bertarung melawan hidup.
Menaklukkan setiap rintangan kehidupan. Bocah
sekecil itu, rupanya menanggung beban yang tak bisa
kupandang ringan. Ia harus bekerja demi hidup dan
pendidikannya. Rupanya di dunia ini masih ada orang
yang bergulat dengan ujian berat melebihi beratnya
ujian yang aku hadapi. Rasyid Khairuzzaman, bocah
127 Kalau begitu sekolah saja tahun depan. Kalau tahun ini sudah tidak bisa. Sebab pendaftaran sudah ditutup. Sekolah saja di Tsanawiyah Gambut. SPPnya juga murah. Ya kan, Kek? 128 Tapi, kalau nanti saya sekolah, apa sempat membantu kakek di rumah? 129 Yang penting kamu sekolah dulu cucuku.
122
yang setiap tingkah lakunya adalah sebuah
perjuangan dengan keikhlasan.
***
123
Chapter 13
Persahabatan
Photo by: Randy Rakhmadany
Semenjak pertemuanku dengan bocah bernama
Rasyid itu, aku jadi lebih giat menjalani hari-hariku.
Anak laki-laki dengan sorot mata tajam itu benar-
benar menjadi inspirasi hidup bagiku. Langkah
kakinya lebar dan cepat, seolah tak sedikitpun ingin
membuang-buang waktunya. Semenjak dari aku
menjalin persahabatan dengannya, aku baru tahu
kalau ia sebenarnya bukan anak laki-laki kandung
dari julak Basun. Ia adalah anak pingitan. Julak
124
Basun sejatinya adalah bujang lapuk yang
menginginkan sekali seorang anak. Dan Rasyid,
merupaka anak laki-laki yang dipindahtanganankan
oleh keluarganya untuk di asuh julak Basun. Aku
dengar Rasyid memiliki saudara kembar, namanya
Rasyid Ridha, di panggil Ridha. Ibu kandung mereka
berdua meninggal kala melahirkan dua bocah kembar
itu. Karena abah kandung Rasyid saat itu sedang
bangkrut dan tak sanggup untuk membesarkan kedua
buah hatinya, maka terpaksa ia harus mengorbankan
salah satu dari anaknya untuk diminta-asuhkan
kepada orang lain, dan anak itu adalah Rasyid
Khairuzzaman. Orang yang sejak tadi aku perhatikan
kegigihannya dari sini, pondok kecil tempatku sejenak
melepas lelah.
Hari sudah tanghari130. Matahari berada tepat
di atas ubun-ubun. Suara adzan tak lama
berkumandang dari corong Toa masjid al-Muhajirin
desa Muara Durian. Aku datang lebih dulu ke pondok
untuk beristirahat. Menyiapkan makan siang dan
menggelar sajadah untuk salat dzuhur berjamaah
bersama Rasyid. Badanku sudah bersih. Tadi aku
sempatkan untuk mandi terlebih dahulu di sumur tua
dekat deretan pohon pisang yang ada di sebelah timur
ladang kakek. Jaraknya sekitar seratus meter dari
pondok.
Dari jauh, wajah bocah yang saat ini berada di
tengah-tengah ladang padi itu tak sedikitpun
menampakkan kelelahannya. Semangatnya benar-
130 Tengah hari
125
benar besar. Tekadnya kuat, sekuat baja. Setelah
mendengar lafadz hayya ‘alasshalah131, Rasyid
nampak menghentikan pekerjaannya. Ia sejurus
beranjak menuju pondok. Setelah minum beberapa
tegukan, ia berjalan menuju sumur untuk
membersihkan badan. Hari ini, Kamis, seperti biasa
kakek pergi ke pasar untuk menjual beberapa ternak
ayamnya yang sudah besar. Jadi beliau tak ikut
berladang bersama kami.
Beberapa saat, Rasyid kembali dan duduk
bersamaku. Diam-diam aku mencoba melihat dalam-
dalam goresan raut wajah kesatria kecil itu. Sorot
matanya menatap jauh kedepan, tajam dan penuh
akan visi. Dari sorot itu aku seolah melihat sebuah
mimpi besar yang ia cita-citakan. Riuh angin
menerbangkan rambut hitamnya yang hampir
gondrong. Aku merasa senang hari ini bisa seharian
berladang dengannya. Itu karena hari ini tanggal
merah, hari libur. Biasanya ia baru membantu aku
dan kakek di ladang kalau ia sudah pulang dari
sekolah, sekitar jam dua siang. Sejenak kami
melaksanakan salat dzuhur berjamaah. Ia ku suruh
menjadi imam. Usai salat, kami menyantap nasi putih
dan ikan asin bakar yang sengaja ku siapkan sebelum
berangkat ke ladang sebagai bekal dari rumah.
Aku memerhatikan Rasyid yang makan dengan
begitu lahapnya. Bocah sekurus itu rupanya memiliki
nafsu makan yang sangat besar. Ia bahkan minta
tambah dua piring banyaknya. Aku senang ia makan
131 Mari kita salat
126
dengan lahap. Wajar, itu karena ia melakukan hal
yang begitu berat setiap harinya. Aku tersenyum.
Rasyid menoleh ke arahku dengan wajah herannya.
Aku berusaha membuang wajahku dengan menatap
kawanan burung Cawik yang terbang mencari makan
mereka.
“Ikam handak jadi apa Syid mun ganal
kaina?132” tanyaku. Entah kenapa tiba-tiba saja aku
jadi ingin tahu cita-cita bocah pekerja keras itu.
Ia menoleh ke wajahku. Tatapannya sedikit
mengisyaratkan rasa herannya. “Aku?” balasnya balik
menanya, sambil mengunyah nasi yang masih penuh
dimulutnya.
“I’ih... ikam ni pinanya baisi cita-cita nang harat
pang.133” Balasku sambil menyuap nasi ke dalam
mulut.
“Aku kada handak jadi napa-napa..134”
balasnya. Matanya fokus kepada piring yang ada
dihadapannya.
“Mmm....” balasku tak puas. Aku tak percaya ia
tak memiliki visi yang baik. Dimataku, ia pasti
mencita-citakan sebuah masa depan yang lebih baik.
Itu aku rasakan saat ia yang sangat bersemangat
menyuruhku untuk melanjutkan sekolahku yang
sempat terbengkalai. Aku yakin ia adalah orang yang
memiliki visi yang sama denganku, yaitu menuntut
132 Kamu bercita-cita ingin jadi apa kalau besar nanti, Syid? 133 Iya.. orang sepertimu sepertinya memiliki cita-cita yang besar. 134 Aku tidak ingin jadi siapa-siapa.
127
ilmu sampai jenjang tertinggi. Kalau bisa aku ingin
jadi profesor. Profesor teknik pengairan. Itu karena
aku merasa sistem pengairan Banjar yang dulu
sempat menjadi buah bibir dunia, Banjar kota seribu
sungai, kini dirusak oleh penduduk negerinya sendiri.
Dan aku ingin mengembalikan kasanah kearifan lokal
nini muyang urang bahari135 itu. Meski, sepertinya
untuk menjadikan kembali Banjar si negeri seribu
sungai itu sangat sulit. Tapi setidaknya aku ingin
berusaha agar masalah perairan kampung halamanku
ini tidak semakin hancur dan kacau.
“Aku handak jadi profesor...136” balas Rasyid. Ia
lalu diam. Aku menoleh seketika mendengar
ungkapan hati dari Rasyid barusan.
Ia menatap mataku dengan sorot mata tajam
itu.
“Aku handak jadi profesor. Tapi...” ucapannya
terputus.
“Tapi apa, Syid?” balasku cepat, penasaran.
“Tapi aku kadada duit gasan sakulah ka kuliah.
Ini haja aku sakulah di ungkusi kulawarga H. Salim.
Aku kada tahu kaina aku kawa sakulah atawa kada
ka Madrasah Aliyah di gambut. Jangankan kawa jadi
135 Nenek moyang zaman dulu 136 Aku ingin jadi profesor
128
profesor, sakulah Madrasah Aliyah haja aku masih
kada tahu...137” jawabnya lugas.
Aku tak bisa berucap apapun. Aku merasa
bahwa diriku adalah anak kecil yang tak lebih pintar
daripada Rasyid, sehingga aku segan untuk
mengutarakan apapun untuknya. Apalagi jika aku
memandang diriku sendiri, aku hanya seorang bocah
yang tak lulus UAN dan putus sekolah. “Apa aku
pantas memberikan nasihat baik kepada bocah itu?”
Gumamku.
Rasyid menatapku dan lalu tersenyum. “Ikam
pank, handak jadi apa jua, Cai?138” balasnya balik
bertanya.
Aku menatap Rasyid. Ia tersenyum untuk ke
sekian kalinya. Aku tak bisa untuk tak membalas
senyum yang begitu penuh ketulusan itu. Senyum
seorang bocah perkasa yang berjuang demi
kelangsungan hidupnya dengan penuh semangat.
“Aku handak jadi profesor.” Jawabku. Ia
tersenyum gemilang. Aku menjadi heran, kenapa
Rasyid tiba-tiba mengembangkan senyumnya
mendengar cita-cita yang barusan aku utarakan.
“Profesor? Ikam kada umpat-umpatan kalu wan
aku? Bujuran kah ikam handak jadi profesor?139” tanya
137 Tapi aku tidak punya uang untuk bisa sampai sekolah ke tingkat kuliah. Ini saja aku sekolah dibiayai keluwarga H. Salim. Aku tidak tahu nanti aku bisa sekolah atau tidak ke Madrasah Aliyah di gambut. Jangankanbisa jadi profesor, bisa sekolah Madrasah Aliyah saja aku masih tidak tahu... 138 Kalau kamu, bercita-cita ingin jadi apa, Cai?
129
Rasyid kepadaku bersemangat. Ia menghentikan
sejenak makannya. Aku ikut tersenyum. Aku
mengangguk.
“Amun kaitu, ikam harus bujuran manarusakan
sakulah ikam. Kada mungkin kalu ikam jadi profesor
amun ampih sakulah? Ya kada?140” Ucapnya lantang
penuh semangat.
“Tapi... “ aku pesimis. Rasyid menatap wajah
ku, heran.
“Tapi apa?” balasnya, penasaran. Tangannya
memegang pundakku tak sabar.
“Tapi aku kada pintar kayak ikam pang Syid ay.
Kawa juakah aku jadi profesor?141” balasku pesimis.
Aku teringat surat keterangan kelulusan yang aku
terima dengan tulisan jelas menandakan aku ‘TIDAK
LULUS’.
Rasyid kembali mengembangkan senyumnya.
“Ikam142 tahu lah kisah Ibnu hajar al-asqhalani?”
tanya Rasyid kepadaku. Aku menggelengkan kepala.
Rasyid cepat-cepat menyelesaikan makannya. Setelah
minum beberapa tegukan, ia menyudahi makan
siangnya.
139 Profesor? Kamu tidk ikut-ikutan dengan aku kan? Serius kamu ingin jadi profesor? 140 Kalau begitu, kamu harus sungguh-sungguh melanjutkan sekolahmu. Tidak mungkin kan jika kamu ingin jadi profesor sedangkan kamu berhenti sekolah? Ya tidak? 141 Tapi aku bukan orang yang pintar sepertimu. Apa mungkin aku bisa jadi profesor? 142 kamu
130
Rasyid membenarkan duduknya dan lalu
bercerita. “Ibnu Hajar itu ulama. Sidin urang arab.
Sidin tu mahafal al-qur’an wan balajar ilmu agama pas
hudah tuha. Balajar kasitu kamari tatap buntat kada
sing pintaran. Imbah itu pah haratan sidin handak
ampih balajar, putus asa hudah, sidin malihat batu
hirang ganal nang di titiki ulihnya banyu. Satitik, dua
titik, tiga titik. Pah diparaki sidin, kalihatan sakalinya
batu ngitu tadi baluwang, Cai ay. Nah, nyawa tahu
kada maksud kisah tu?143” tanya Rasyid kepadaku
membuat aku semakin tertarik dengan kisah yang
barusan ia bawakan.
Aku tak pernah mendengar cerita itu
sebelumnya, dan aku tak faham sedikitpun maksud
dari kisah itu. Aku menggelengkan kepalaku dengan
wajah tak tahu.
Rasyid tersenyum. Ia semakin bersemangat.
“Naaaah, itu artinya, nang ngarannya manuntut ilmu tu
ya kaya banyu nang manitiki batu itu tadi pang.
Tunggal dikitaaan hulu. Batu haja nang karas imbah di
titiki banyu tunggal titikan kawa haja baluwang.
Apalagi utak kita nih. Amun di titiki ulih ilmu tunggal
dikitan, kawa haja jua masuk ka utak, nang artinya
kawa haja jua pintar. Pak Habibi tu sama haja
makannya wan kita pada nasi wan iwak ha jua. Buya
143 Ibnu Hajar itu adalah seorang ulama. Beliau dari bangsa Arab. Beliau dulu menghafal al-qur’an dan belajar ilmu agama ketika sudah tua. Balajar ke sana ke mari tetap bodoh dan tidak faham akan yang dipelajarinya. Setelah itu ketika beliau ingin berhenti balajar, putus asa, beliau melihat sebuah batu hitam besar yang di tetesi oleh air. Setitik, dua titik, tiga titik. Setelah didekati oleh beliau, terlihatlah bahwa ternyata batu itu tadi sudah berlubang, Cai. Nah, kamu tahu tidak maksud dari kasah itu?
131
Hamka, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, guru
sakumpul, siapakah nang ikam sambati ngarannya,
mun urang Indonesia ya makannya sama haja jua wan
kita pada nasi wan iwak. Lalu kanapa kita kada yakin
kita kawa pintar jua kaya bubuhan sidin ngitu?. Sidin
haja kawa pintar, maka kita gen kawa ay jua. Asal
hakun balajar rancak. Bausaha bujur-bujur lawan
kada bulih manyarah. Haram manyarah tu Cai ay.
Amun bajuang tu Waja sampai ka puting.144” Rasyid
menjelaskan panjang lebar dengan semangat dan
tekad membara yang tergambar dimatanya.
Mendengar cerita Rasyid barusan, entah
mengapa semangat dalam hatiku turut ikut berkobar.
Apa yang diutarakan bocah sekecil itu benar-benar
penuh makna. Ya, batu yang keras saja bisa
berlubang ketika di tetesi oleh air yang lembut secara
terus menerus apalagi pengetahuan yang coba kita
fahami. Meskipun harus beberapa kali mempelajari,
tapi suatu saat kita pasti akan menguasainya jua jika
terus berusaha. Kini semangatku menyulut. Api
keyakinan merasuk ke dalam jiwaku. Aku yakin, aku
144 Naaaah, itu artinya, yang namanya manuntut ilmu itu ya seperti air yang manetesi batu itu tadi. Sedikit demi sedikit. Batu yang karas saja setelah ditetesi air sedikit demi sedikit akhirnya juga bisa berlubang. Apalagi otak kita ini. Kalau ditetesi oleh ilmu sedikit demi sedikit, pasti bisa masuk ke otak, yang artinya bisa kok kita pintar. Pak Habibi itu makannya sama dengan kita, ya sama-sama makan nasi dan ikan. Buya Hamka, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, guru Sakumpul, siapa saja yang kamu sebut namanya, kalau itu orang Indonesia ya makannya sama saja dengan kita ya makan nasi dan ikan. Lalu kenapa kita tidak yakin kita bisa pintar seperti mereka-mereka itu?. Beliau yang makan nasi itu saja bisa pintar, maka kita juga pasti bisa. Asal mau terus belajar. sungguh-sungguh dan tidak boleh menyerah. Haram menyerah tu, Cai. Kalau berjuang itu Waja sampai ka puting (harus sampai akhir).
132
bisa mencapai cita-cita untuk menjadi orang yang ahli
di bidang teknik pengairan.
Matahari mulai merangkak turun dari ufuk.
Setelah sore, aku dan Rasyid kembali kerumah
dengan menaiki sepeda Rasyid berdua.
***
Pendaftaran siswa baru tahun ini sudah kian
dekat. Alhamdulillah sekolah Tsanawiyah Negeri di
gambut mau menerima siswanya yang sudah
mengalami jeda waktu sekolah dari MI ke MTsN
sepertiku. Setelah mengikuti tes tulis, baca al-Qur’an
dan wawancara, akupun secara resmi diterima sebagai
siswa di sekolah yang berjarak sekitar enam kilometer
dari desaku kakek, desa Handil Durian.
Masalah selanjutnya adalah, aku tak memiliki
seragam sekolah. Dengan malu aku
mengungkapkannya kepada kakek. Aku bilang aku
tak punya uang untuk membeli pakaian seragam
sekolah putih biru dan seragam pramuka. Dan
alhamdulillah, rupanya kakek sudah menyiapakan
segalanya. Seminggu yang lalu, ketika aku pergi untuk
memancing, diam-diam kakek pergi ke pasar untuk
membelikan seragam sekolah dan buku tulis
untukku. Pantas saja lumbung padi yang ada di
belakang rumah sedikit berkurang. Rupanya kakek
rela menjual beberapa karung padi miliknya untuk
membiayai sekolahku. Dan semenjak itu, aku tercatat
sebagai murid MTsN Gambut kelas 1D. Ini
133
kesempatan keduaku untuk terus melanjutkan
sekolah. Dan ini, adalah lembaran baru bagi hidupku
untuk menyongsong masa depan. Aku, harus berhasil.
***
134
Chapter 14
Siswi brilian, Zanariah
Dan ini adalah hari dimana aku sudah bisa
melangkah gagah dengan seragam putih biru
kebanggaanku. Sudah lebih seminggu aku
menghabiskan separuh hariku di sekolah. Segala
pekerjaan yang biasanya ku lakukan di pagi hari,
seperti memberi makan ternak dan membersihkan
ladang, kini aku kerjakan tepat usai salat shubuh,
sebelum berangkat ke sekolah. Sorenya biasanya aku
memancing dan memasak atau mencuci pakaianku
dan kakek.
Dan seperti biasa, hari ini tak lupa aku
membawa sekresek kacang goreng sebagaimana
kebiasaanku saat MI dulu. Ya, sambil sekolah sambil
mencari rejeki dengan berjualan kacang goreng
kepada siswa dan siswi di sekolah. Berbeda dengan
sekolah-sekolah tergolong maju yang ada di
perkotaan, di sekolahku yang masih tergolong daerah
kurang maju ini, berjualan kacang sambil
menjajakannya kepada siswa dan siswi di sekolah
masih diperbolehkan. Bahkan aku berani
menawarkannya kepada gur-guruku. Tak ada
sedikitpun rasa malu yang aku rasakan.
Lonceng sekolah sudah berdentang. Seluruh
kawanan siswa kelas dua yang sejak tadi asik bermain
sepak bola di halaman sekolah berlarian membentuk
barisan per kelas masing-masing sambil menghadap
135
lurus ke tiang bendera di halaman sekolah. Aku tahu
kenapa para siswa itu terlihat begitu disiplin. Itu
karena ada sosok yang ditakuti oleh mereka. Sosok
yang baru saja memukul badan lonceng tadi keras-
keras lalu berdiri di atas mimbar yang biasa
digunakan untuk upacara, sambil menatap sinis
dengan sorot mata tajam dan kumis hitamnya yang
mengelebat. Pak Zulfikar. Salah seorang guru yang
sangat ditakuti oleh murid sini. Dengan wibawanya,
tanpa harus berucappun seluruh siswa yang berlaga
bak prajurit langsung mengerti perintah komadannya.
Para siswa yang tadi tidak bermain bola di
lapangan nampak berduyun-duyun turun ke
lapangan. Hari ini adalah hari senin, hari dimana
upacara pagi selalu menjadi kewajiban rutin dari
sekolah ini. Dan seperti biasa, setiap senin akan
diumumkan semua hal berkaitan dengan kemajuan
sekolah.
Hari itu, di bagian akhir upacara seorang gadis
dengan perawakan kurus dan rupa sangat biasa di
panggil ke depan. “Zanariah” nama gadis biasa itu.
Matanya lugu. Bahasa tubuhnya menggambarkan
kalau ia orang tak punya. Tapi predikat yang
disandangnya, yang kala itu diucapkan dengan begitu
semangat oleh bapak kepala sekolah membuat
jantungku berdegup kencang. “Peraih juara I lomba
sains tingkat SMP/MTs se provonsi Kalimantan
Selatan”. Ketika namanya disebut barusan, gadis yang
kata kawan-kawan duduk di kelas dua itu hanya
menunduk malu sambil menyerahkan piala yang
diraihnya kepada kepala sekolah. Di sekolah ini,
136
setiap siswa dan siswi yang berhasil memeroleh juara
atau penghargaan dalam acara tertentu, akan diberi
kehormatan untuk tampil menyerahkan hasil
upayanya berupa piala kepada pihak sekolah melalui
kepala sekolah pada upacara senin diadakan.
Menurut pak Zulfikar, itu sebagai bukti penghargaan
sekolah kepada siswa yang bersangkutan dan memicu
kepada siswa lain untuk berlomba-lomba
mengharumkan nama sekolah.
Aku terpukau. Keringat yang keluar dari
peleheranku karena terpaan mentari pagi yang cerah
serasa tak terhiraukan lagi. Aku kagum sekaligus
bangga. Dalam hati aku berazzam “Suatu saat, akulah
orang yang ada di depan sana dan menyerahkan
sebuah piala kebanggaan untuk sekolahku”. Dan
suatu saat nanti semua akan menyebut “Ahmad
Khusairi sebagai juara I lomba tingkat provinsi
Kalimantan Selatan di ajang tertentu” Bisikku dalam
hati.
Bibirku menyungging senyum geli. Aku tertawa
sendiri meski semua orang yang saat ini ada di
lapangan upacara tak ada seorangpun yang tahu apa
yang tengah aku tertawakan. Aku menoleh ke tempat
Rasyid berdiri, di deretan wajah siswa kelas 2A.
wajahnya nampak tenang. “Rupanya Rasyid bukan
siswa paling brilian di sekolah ini” pikirku. Tapi meski
begitu, kesuksesannya tidak kalah bagus dengan
Zanariah yang kini ada di depan sana. Bocah laki-laki
kurus hitam itu adalah motivatorku. Pejuang tanpa
kenal kata menyerah. Dan lelaki bertanggungjawab
ketika tanggungjawab itu sejatinya masih belum harus
137
di sandarkan dipundaknya. Ia ada untuk hidup dan
menghidupi orang lain. Rasyid, Zanariah, Amad,
mereka adalah inspirasiku.
***
Semenjak hari itu, aku sangat bergirah untuk
terus menimba ilmu. Semangat mencari cahaya ilmu
seaakan tak terbendung. Setiap hari aku tak pernah
menyiakan waktu untuk hal yang tak berguna.
Separuh hariku kuhabiskan di sekolah dan
perpusatakaan sekolah. Ditemani teman sejatiku yang
kala itu memeiliki kebiasaan yang sama denganku,
menjadi kutu buku diperpustakaan sekolah dan
mencari rejeki jika telah balik ke rumah. Dia adalah
Rasyid. Semangat perjuangan yang tumbuh kala itu
membuat aku begitu menikmati keletihan raga dalam
asa kerja keras. Semangat yang terus menggebu itu
membuncahkan sebuah harapan akan sebuah cita
dimasa depan. Yang perlahan, aku mencoba
menorehkannya dengan tinta keringat dan air mata.
Masa aku harus bergelut dengan ambisi dan mimpi.
Masa perjuangan.
***
138
Chapter 15
Lomba cerdas cermat tingkat provinsi.
Matahari kian dimasa teriknya. Aku lihat jam
tanganku sudah menunjukkan pukul Sembilan pagi.
Aku dan seluruh siswa yang mengikuti lomba cerdas
cermat Se-Provinsi Kalsel masih berjemur di bawah
terik sang surya. Ini gara-gara budaya jam karet yang
menyebabkan upacara pembukaan lomba jadi telat
hingga satu jam. Acara yang semestinya dimulai jam
tujuh pagi, akhirnya dimulai jam delapan pagi karena
harus menunggu pembesar yang membuka acara
datang terlebih dahulu. Ini benar-benar hal yang
paling aku benci.
Keringatku sudah mulai berjalan geli dari
pelipis hingga ke pipi. Aku memain-mainkan kakiku di
tanah sambil menggambar sesuatu secara abstrak.
Aku sudah bosan mendengarkan pidato pembukaan
yang cukup panjang oleh panitia. Aku lihat Rasyid dan
Zanariah fokus dengan buku saku kecil ditangan
mereka. Beberapa siswa peserta lomba yang mengikuti
upacara itu juga sibuk dengan buku-buku bacaan
mereka. Hanya aku yang sepertinya tak memiliki
persiapan. Aku menatap minder ke arah mereka.
Selesai upacara pembukaan, aku segera
mencari tempat teduh dan mengambil botol minuman
yang ada di dalam tas. Tanpa lupa membaca bismillah,
aku segera menyelesaikan beberapa tegukkan untuk
membahasi tenggorokanku yang sudah terasa sangat
139
kering. Beberapa saat, Zanariah dan Rasyid sudah
berdiri di hadapanku. Rasyid memberikan isyarat
untuk menuju ruang lomba.
Lomba cerdas cermat ini terbagi menjadi dua
jenis, yaitu lomba individu dan tim. Setelah Zanariah
dan Rasyid selesai mengikuti lomba individu, kini
gilaran aku ikut beraksi bersama mereka dalam lomba
antar tim. Dilomba ini tim yang ikut ada lima belas
dan itu dari lima belas sekolah yang berbeda.
Sejak tadi yang aku lihat pemandangannya
seragam. Hampir semua siswa yang ikut lomba itu
membawa buku kemana-mana dan membacanya
disetiap ada selang waktu sedikit apapun. Kutatap
setiap wajah mereka. Semuanya hampir serupa,
“potongan kutu buku” pikirku mengomentari setiap
anak yang nampak menyendiri dan terlihat agak
culun dengan kacamata yang menempel di wajah
mereka. Rasanya hanya aku yang sejak datang pagi
tadi tak pernah barang sekalipun memegang sebuah
buku. Aku malah bertanya kepada diriku sendiri, aku
siap atau tidak?. Ya, setidaknya aku sudah
mempersiapkan semuanya beberapa hari yang lalu
sebelum lomba ini diselenggarakan. Hingga saat ini,
yang kupikir hanyalah alasan kenapa sekolah
mempercaya aku untuk masuk di tim ini dan ikut
lomba bersama Rasyid dan Zanariah. Memang Rasyid
dan Zanariah adalah dua siswa yang memiliki
intelektualitas yang mapan. Dan jika aku punya
sepuluh jempol, maka aku akan kasihkan sepuluh
jempol itu untuk mereka. Tapi aku?. Aku tak punya
spesialisasi apa-apa. Bahkan aku merasa di sekolah
140
masih banyak siswa yang meskipun tidak sebrilian
Zanariah, tapi setidaknya lebih baik daripada aku.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak
sedang gatal.
Lomba dimulai. Lomba pertama adalah babak
penyisihan untuk menuju babak selanjutnya, yakni
babak semifinal. Setiap penyisihan diwakili lima tim
dan akan diambil tim peringkat pertama dan kedua.
Soal yang disajikan adalah pilihan ganda dan esay.
Penilaian akan dilakukan oleh juri hari ini dan akan
diumumkan besok. Dan betapa tak diduganya, tim
kami lolos untuk melaju ke babak semifinal.
Dibabak semifinal peraturannya agak berbeda.
Format lombanya seperti yang sering diadakan di tv,
yakni setiap kelompok akan mengambil setiap amplop
yang berisi pertanyaan. Dan setiap tim harus
menjawab semua pertanyaan yang ada di amplop itu
dengan benar. Jika salah maka skor dikurangi, dan
jika pas, maka skor tidak bertambah ataupun
berkurang. Akan tetapi, pertanyaan yang pas itu akan
diajukan kepada kelompok lain. Dan jika kelompok
lain itu menjawab dengan benar, maka nilainya akan
bertambah. Jika salah, maka juga akan berkurang.
Satu hal yang selalu ku kagumi dari Zanariah
dan Rasyid. Setiap mereka menghadapi setiap
pertanyaan yang muncul, mereka selalu tenang.
Berebda sekali denganku. Bahkan bukannya
konsentrasi untuk menjawab pertanyaan yang
diberikan panitia, aku justru asik memerhatikan
setiap gerak-gerik Rasyid dan Zanariah yang terlihat
141
begitu fokus seolah tak sabar ingin melahap semua
pertanyaan dan menjawab semua pertanyaan itu dari
panitia. Dan aku, hanya tertegun dengan
kekagumanku akan dua brilian itu.
Benar-benar karena keberuntungan semata.
Rasanya, aku tak banyak, bahkan bisa dikatakan
tidak ada sedikitpun andil bagian dalam tim ini untuk
menjawab pertanyaan yang dilemparkan panitia.
Beberapa menit yang lalu, dari total lima belas soal
yang ditanyakan, aku hanya berhasil menjawab satu
pertanyaan yang sejatinya aku sangat yakin Zanariah
dan Rasyid juga kontestan yang lain pasti juga tahu
betul jawabannya. Hanya karena menang cepat
memencet bel, akhirnya aku yang menjawabnya.
Pertanyaan terakhir. Sang juri mulai
menjelaskan perturannya. Benar-benar unik. Setiap
tim diminta untuk mempertaruhkan skor yang telah
mereka kumpulkan minimal 30 nilai. Jika pertanyaan
kelompok benar, maka nilai 30 yang ditaruhkan itu
akan menjadi tambahan nilai bagi tim. Tapi bila salah,
maka nilai tim akan di kurangi sejumlah nilai yang
ditaruhkan.
Dahiku mengernyit seketika. Rasyid dan
Zanariah nampak bertatapan. Mungkin apa yang
mereka pikirkan saat ini tak beda denganku. Sejak
kapan ada lomba cerdas cermat yang memiliki format
seperti perjudian ini?. Batinku menanya. Ku lihat
beberapa orang dewasa berpakaian seragam dinas
nampak memasang wajah bingung. Mungkin
memikirkan hal yang sama denganku. Tapi apalah
142
daya, ini sudah menjadi ketentuan panitia dan tak
mungkin protes dilakukan disaat lomba tengah
berlangsung.
Aku melihat ke papan nilai sementara.
Kelompokku mendapat nilai 120. Jika kami
menaruhkan nilai 40, maka jika benar total skor
menjadi 160 dan bila salah maka akan menjadi 80,
karena dikurangi 40 poin. Aku lihat dari papan nilai
kelompok A memiliki total nilai lebih tinggi dari kami,
150. Kelompok B memeroleh 90 poin. Kami berada di
tengah-tengah. Dari selentingan orang-orang, SMP
Favorit kota Banjarbaru dan MTsN Banjarmasin
sudah memastikan diri untuk menuju babak final
yang dilaksanakan besok.
Rasyid menggamit tanganku sambil berbisik
“Pasang poin barapa kita nih?” ujarnya.Aku tersentak.
Bisa-bisanya ia menanyaiku. Padahal, saat ini Rasyid
adalah ketua tim kami yang setiap keputusan selalu
kami percayakan kepadanya. Tapi di saat seperti ini,
dia masih memerhatikan bocah tanpa reputasi dan
partisipasi ini untuk memberikannya masukan.
“Barapa Cai, lakasi?145” ucapnya sambil
menggamit tanganku untuk kedua kalinya.
Aku tertegun. Setelah memejam sambil
menghening sejenak, “Bismillah..” aku mengambil
spidol di tangan kanan Rasyid dan menulis angka 40
di papan pengajuan poin yang ditaruhkan. Agak ragu
antara berjudi dan apalah, aku tak tahu. Yang pasti,
145 Berapa Cai, Cepa..?
143
dengan Bismillah, aku percaya hal spektakuler
biasanya akan terjadi. Sekilas ku dapati wajah Rasyid
dan Zanariah yang melongo melihat sikapku barusan.
“Napa buhannya?146” tanyaku bingung menatap
kedua bocah yang sejak tadi bersamaku itu. Sontak
Rasyid dan Zanariah menggeleng sambil tersenyum
payau.
Detik bergulir pelan. Nafas Rasyid benar-benar
terasa berkoar deras dari bilik telingaku. Aku menatap
wajah yang tengah berkonsentrasi dari Rasyid dan
Zanariah. Keduanya nampak serius.
Pertanyaan di lemparkan. Semua tim diminta
menuliskan jawaban mereka dalam kurun waktu tiga
menit pada sebuah kertas jawaban yang diberikan
panitia kepada masing-masing tim. Setelah itu kertas
jawaban akan diserahkan kepada juri, dan lalu juri
yang lain akan menjelaskan jawaban yang benar dari
pertanyaan itu. Setelah itu baru perhitungan skor dan
pengumuman skor akhir dilakukan.
Panitia kembali membacakan soal sejarah lokal
yang tadi sudah dibacakan. Dengan sigap juri
memaparkan runtutan jawaban dari soal tersebut
secara kronolog. Aku bahkan tak tahu apa yang ditulis
Rasyid di atas kertas jawaban. Hari ini aku benar-
benar tak ada kontribusi apapun. Aku malu dengan
diriku sendiri. Namun, dari rona wajah Rasyid dan
Zanariah, sepertinya kami mendapat pertanda bahwa
kali ini jawaban kami benar. Meski tak begitu yakin,
146 Ada apa teman-teman?
144
etah mengapa perasaanku langsug merasa
kegirangan.
Tiba-tiba Rasyid menatap ke arahku dengan
wajah berubah pasi. Aku faham, jika kelompok B yang
mempertaruhkan semua nilainya, 90 poin itu
jawabannya benar, maka poin mereka akan menjadi
180. Sedangkan kelompok A yang kini memiliki 150
dan jawaban mereka juga benar, maka dengan poin
yang meraka pertaruhkan sebanyak 50 poin akan
memeroleh angka poin tertinggi, 200 poin. Dan meski
tim kami juga benar, nilai kami hanya 160 poin. Dan
bahkan menjadi tim dengan nilai terendah.
Jantungku langsung berdegup kencang. Aku
mencoba menatap wajah kedua tim yang menjadi
kompetitor kami untuk merebut tiket final. Ku lihat
wajah mereka nampak tetap tenang, bahkan seolah
memberikan pertanda kalau mereka benar. Aku jadi
merasa rendah sendiri. Aku merasa benar-benar
semakin tak berguna.
“Berikut hasil keputusan juri dari pertanyaan
penentuan tadi.” Ucap salah seorang MC yang sudah
hampir satu jam lebih memandu babak semifinal
lomba cerdas cermat ini.
“Kelompok A, dikarenakan salah dalam
menyebutkan tokoh yang berperang melawan Belanda
di desa Kuin carucuk, maka kami memutuskan bahwa
jawaban mereka salah.” ucap Juri lomba. Seketika
semua anggota kelompok A nampak lesu.
145
“Begitu juga kelompok B. Dikarenakan
kesalahan yang hampir sama, maka jawabannya kami
nyatakan salah. dan Hanya regu C, yang rupanya
mampu menjawab serta menjelaskan jawabannya
dengan sangat runtut dan jelas. Sehingga jawaban
untuk regu C kami anggap benar. Dan total nilai akhir
adalah…..”
“Yeeee…..” Ungkapku berteriak membuat MC
yang tengah berbicara terdiam sesaat. Semua mata
sontak tertuju kepadaku. Aku tertegun dan terdiam
sambil menenggelamkan diriku dibalik seragamku
yang sedikit kebesaran.
“Total poin dari semua tim adalah; tim A
memeroleh niliai poin akhir 100. Tim B memeroleh
poin akhir 0, dan Tim C, memeroleh poin akhir 160.
Sehingga yang berhak melaju ke babak final adalah
Tim C. Selamat kepada tim C…” ungkap Juri yang
nampak melemparkan senyumnya kepadaku.
Seketika aku memeluk Rasyid dan menepuk
bahunya dengan penuh kebanggaan. Benar-benar
lomba yang menegangkan dan sedikit aneh,
menurutku. Itu karena sesi terkahir tadi aku merasa
tak sependapat dengan keputusan juri yang membuat
sistem lomba seperti taruhan itu.
“Lomba apa-apaan ini?” teriak salah seorang
penonton lomba yang mengenakan seragam dinas.
“Mana ada lomba kayak judi seperti ini??”
ungkapnya dipenuhi amarah. Suaranya tinggi
membentak.
146
“Iya… kita tidak usah lagi ikut lomba seperti
ini..” ungkap salah seorang anggota dari kelompok A
yang masih duduk di kursi-meja lomba.
Semua orang terdiam dan semua mata tertuju
kepada mereka. Meski aku tak kenal, aku yakin
mereka adalah guru dan murid yang merasa dirugikan
oleh akibat sistem lomba yang dirancang sedemikian.
Meski tim kami yang menang, tapi aku meresa tak
sedikitpun ada kebanggan karenanya. Entah karena
aku merasa ini hanya kebetulan, atau memang karena
aku kasihan dengan tim yang tadinya berada di ujung
gerbang final, karena sudah meraih skor tertinggi,
namun bayangan piala mereka runtuh karena
taruhan mereka yang meleset dan akhirnya kalah, aku
tak tahu.
Suasana ruangan kelas yang di setting sebagai
tempat lomba sempat tegang. Namun, seketika
kembali kondusif setelah kawanan guru dan murid itu
menghilang dari pandangan semua orang yang ada di
ruangan itu.
Satu hal yang kini terbesit dalam benakku.
Meski sepele dan kupikir masih belum bisa dikatakan
sebagai kontribusi yang sangat berarti, tapi rangkaian
kata “Bismillah” yang ku baiatkan sebelum
menaruhkan harapan kami kepada kekuasaan Tuhan
benar-benar membawa hal spektakuler… Wallah, La
haula wala kuwwata illa billah..
***
147
148
Chapter 16
Maaf
Semua kontestan nampak sibuk dengan tim
mereka masing-masing. Hari ini adalah final semua
lomba, baik individu maupun antar tim. Dua jam yang
lalu final lomba individu sudah di mulai. Tak satupun
dari Rasyid dan Zanariah yang ikut masuk ke ruang
lomba antar individu. Rasanya tak perlu menanyai
mereka. Aku sudah tahu, mereka belum beruntung
untuk bisa masuk babak final lomba antar individu
itu. Tapi setidaknya, aku bersyukur karena kami bisa
masuk final di kategori antar tim.
Rasyid dan Zanariah nampak berjalan
mendekatiku. Tapi, seketika aku berlari menjauh dari
mereka. perutku terasa sakit tiba-tiba. Aku berusaha
segera menemukani papan bertuliskan WC atau
TOILET atau sejenisnya. Dan sejurus, akhirnya ku
temukan jua. Ku dapati jam dinding besar di sekolah
ini sudah menujukkan pukul 8.45am. Itu artinya lima
belas menit lagi final lomba antar tim akan di mulai di
aula sekolah.
Setelah selesai dengan hajatku, aku segera
berlari menuju aula sekolah. Sial, di sekolah yang
cukup besar ini sempat-sempatnya aku tersesat untuk
mencari aula sekolah yang bangunannya begitu besar
itu. Dan tiba-tiba, aku menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Ku dapati dua orang berseragam
berbeda nampak memasuki sebuah ruang kosong.
Seorang murid berseragam putih biru sepertiku, dan
149
orang dewasa berpakaian seragam dinas yang tak
begitu jelas. Diam-diam, aku mengikuti langkah
mereka. Sepertinya mereka tak menyadari
keberadaanku. Aku melirik ke arah jam tanganku,
waktu final tinggal lima menit.
Dengan cekatan, aku mengendap-ngendap agar
kedua orang itu tak menyadari keberadaanku dan
mengintip apa yang mereka lakukan dari balik
ruangan kosong itu. Aku masih tak yakin dengan apa
yang baru saja kulihat, apa ini sebuah kecurangan
bermodus jual beli soal atau apa. Yang jelas, orang
dewasa berpakaian seragam dinas berwarna cream
kecoklatan itu nampak memberikan sebuah kertas
kepada si murid dengan cepat. Dan tak perlu waktu
lama, kedua orang itu beranjak dan berjalan menuju
ke luar ruangan. Seketika akupun cepat-cepat berlari
menyelematkan diri agar mereka tak menaruh curiga
kepadaku.
***
Babak Final di mulai. Pesertanya adalah MTs
Banjarmasin, SMP Banjarbaru dan sekolahku yang
tak begitu terkenal, MTsN Gambut. Ku tatap semua
wajah peserta lomba, Rasyid, Zanariah, dan keenam
peserta dari sekolah dari dua kotamadya itu.
Semuanya nampak serius penuh keyakinan. Dari
bangku tim A yang diwakili SMP Banjarbaru, ku
nampaki wajah bocah seumuranku yang tadi ku lihat
melakukan transaksi dengan seorang pria dewasa
150
berpakaian dinas berwarna cream kecoklatan.
Wajahnya nampak tenang dengan senyum sedikit
mengejek dan memandang remeh kepada tim lain.
Aku mencoba diam dan tenang. Aku tak bisa
menentukan dan memutuskan bahwa tim itu telah
curang. Aku masih belum memiliki bukti tentang apa
yang ku lihat beberapa menit yang lalu. Semuanya
masih berupa kecurigaan. Aku tak boleh gegabah.
Keringat dingin mengucur dari pelipis hingga
pipiku. Degup jantungku berdetak semakin kencang.
Dibenakku, aku semakin tak sabar ingin
mengeluarkan apa yang tersimpan di balik saku
celananya.
Lombapun dimulai dengan pengundian
ampolop berisi pertanyaan seperti saat penyisihan.
Semua tim berhasil menjawab dengan benar semua
pertanyaan. Wajah bocah laki-laki mencurigakan itu
semakin menunjukkan polahnya. Ia menatap setiap
peserta, termasuk aku dengan tatapan menremehkan.
Aku semakin tak sabar. Lomba dilanjutkan dengan
babak rebutan.
Di babak ini, hampir setiap kali pertanyaan
yang dilemparkan kepada para tim peserta lomba tak
satupun yang dapat tim kami jawab. Kelompokku
kalah cepat. Bocah menjengkelkan itu selalu paling
cepat memencet tombol bel untuk meyakinkan juri
bahwa dialah siswa paling cerdas yang berhak
menjawab pertanyaan itu. Aku kembali menatap
151
wajah bocah itu. Senyumnya benar-benar arogan. Aku
sudah tak kuat dengan kecurigaanku.
“Juri yang terhormat…??!!” ucapku meninggi.
Aku sudah tak kuasa menahan gejolak ambisiku
untuk mempermalukan bocah itu di hadapan seluruh
orang yang ada di aula ini.
Sang juri pembaca soalpun tiba-tiba terdiam.
Suasana menghening. Semua tertegun dan sorotan
mata mereka menatap seluruhnya ke arah ku.
Aku mulai gugup. Dengan secercah keberanian
dan harapanku, aku mencoba bersuara.
“Tim SMP Banjarbaru itu curang. Mereka sudah
mengetahui soal dan jawaban yang akan di
pertanyakan oleh panitia….” Ucapku setengah ragu.
Semua yang ada di ruangan itu, juri, peserta lomba,
dan para penonton langsung bereaksi dengan suara-
suara yang tak jelas aku dengar. Suasana sempat
ribut. Tapi, entah mengapa kini muncul perasaan
khawatir jika tuduhanku itu salah kini menghujam
batinku.
Seketika Rasyid dan Zanariah menatap ke arah
ku, tajam. Semua orang memasang mata terbelalak.
Dan aku, hanya berharap apa yang ku ucapkan dan
yang ku lihat beberapa menit sebelum acara lomba itu
di mulai adalah benar. Mereka curang dalam
perlombaan ini.
152
“Kalo benar mereka curang, mana buktinya?”
Ucap salah seorang Juri.
Aku menoleh ke sekililing. Berharap
menemukan seseorang yang tadi menyerahkan
selembar kertas yang aku yakin berupa soal dan
jawaban babak final lomba ini. Semua wajah ku
pandangi. Sial, yang ku ingat hanya satu, orang itu
mengenakan kemeja seragam dinas berwarna cream
kecoklatan. Aku sendiri tak begitu melihat jelas
wajahnya.
Beberapa juri masih berbisik. Keringat panas
dingin tiba-tiba saja mengulir di pelipis hingga pipiku.
Setelah beberapa saat melalui pemeriksaan akhirnya
juripun memutuskan. Karena tidak ada bukti terkait
hal yang telah dituduhkan, maka kelompokku
dinyatakan didiskualifikasi oleh juri lomba. Kami
diminta keluar dari meja peserta lomba final karena
telah melayangkan tuduhan tidak benar.
Aku tertegun, terdiam, tak percaya. Aku tak
kuasa menahan sesak di dada. Kepalaku serasa beku.
Ku coba menoleh ke arah dua temanku yang rupanya
sejak tadi memandangiku. Keduanya nampak bisu.
Kami bertiga terdiam sesaat. Tangan Rasyid segera
memegang tanganku dan tangan Zanariah. Kami
keluar dari ruangan dan segera pulang menuju
rumah.
Sepanjang jalan aku merasa sangat bersalah.
Kenapa aku harus melontarkan tuduhan itu. Padahal
kami sudah berada di ujung jalan. Seandainya aku
153
tidak gegabah melayangkan tuduhan itu, maka
meskipun kami kalah, toh kami akan memeroleh
predikat ketiga. Masih mendapat sedikit kehormatan.
Aku merasa apa yang kulakukan itu sangat salah.
Aku merasa sangat bersalah kepada Rasyid, Zanariah
dan tentunya kepada sekolahku. Itu karena selain
membawa nama sendiri, kami datang membawa nama
sekolah kami di lomba itu. Dan setelah ini, aku yakin
sekolahku menjadi tercoreng dan masuk catatan
hitam oleh panitia lomba yang diadakan tahunan ini.
Dan mungkin, aku akan dikeluarkan dari sekolah
karena sudah mempermalukan sekolah.
Rasanya kini aku sudah tak memiliki asa.
Harapan yang ada di hadapan mata Rasyid, Zanariah
dan sekolahku rasanya hancur berkeping karena
ulahku, karena keegoisanku. Anganku mengangkat
piala di depan khalayak upacara senin dan
menyerahkannya kepada kepala sekolah itupun sirna.
Akupun kini mulai merasa sudah sepantasnya
mendapatkan sanksi sosial sebagai seorang
pecundang, hina.
***
154
Dan angin meriuh, menyemburkan berjuta
penghinaan tepat di wajahku. Aku bisa merasa setiap
tatapan mata siswa di sekolahku semuanya
menunjukkan satu rasa yang sama, pengucilan. Yah,
rasanya di negeri ini sudah biasa jika setiap pejuang
yang pergi berperang tanpa membawa hasil apalagi
membawa sesuatu yang memalukan tentu
mendapatkan penghinaan. Samalah mungkin seperti
para pendukung timnas sepakbola Indonesia yang
begitu mengharum-harumkan para pemain tim
nasional sepakbola Indonesia ketika menang dan
menghina-hina mereka ketika kalah. Padahal kalah di
putaran final pula. Itupun karena sebuah kecurangan.
Seakan perjuangan timnas ketika berupaya melaju ke
babak final itu bukan suatu hal yang perlu diberi
apresiasi.
Rasanya setiap manusia di dunia ini hanya
sedikit yang mau menelisik suatu kejadian dengan
sorot mata yang lebih bersih dan berpemikiran. Tapi
untuk kasus diriku, mungkin lingkungan berpikir
bahwa memang sudah sewajarnya bocah ceroboh dan
egois ini menyandang sebuah sanksi sosial hingga
akan meninggalkan sekolah ini pada akhirnya. Entah
karena aku lulus, jika lulus, ataupun karena sebentar
lagi kepala sekolah akan memberikanku surat
pemulangan alias pengeluaran dari sekolah. Apapun
itu, aku sudah berusaha untuk mempersiapakan diri.
Semenjak hari itu, aku sudah tak lagi melihat
Rasyid duduk di kursinya. Zanariah bilang ia sudah
tak pernah lagi terlihat masuk ke sekolah. Perasaan
155
bersalahku kembali mencuat. Apa mungkin itu karena
rasa kecewanya kepadaku?. Pikirku.
Sepulang sekolah aku langsung berkunjung ke
rumahnya. Kosong dan sepi. Sepertinya tak ada
seorangpun di dalam rumahnya. Seorang nenek tua
keluar dari balik pintu kayu lapuk tua dari rumah
sebelah dan mengatakan kepadaku kalau empu
rumah sudah seminggu pergi ke Kandangan147. Ia
bilang Julak Basun sakit sehingga ia ingin putranya
Rasyid membawanya pulang ke kampung halamannya
di Hulu Sungai Selatan.
Aku merunduk sambil mengucap sebuah kata
lirih, “Maaf…”, dan pulang dengan semangat yang
sudah tak bersisa.
Bersambung…
***
147 Sebuah daerah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan
156
Chapter 17
Nostalgia
Photo by: Randy Rakhmadany
Langit masih kelam. Dari atas jukung besar
yang tengah melaju di atas ombak-ombak sendu
sungai Kuin, pancaran sinar mentari yang biasa
merambat dari ufuk timur sana masih belum terlihat.
Tapi para warga yang tinggal di sepanjang bantaran
sungai di negeri seribu sungai ini mulai mengayuh
157
jukung-jukung mereka mengarah tujuan yang sama,
pasar terapung.
Alunan ombak sungai yang menggoyang-
goyangkan kapal adalah nostalgia lama yang benar-
benar aku nikmati. Di luar sana, hujan rintik datang.
Binar cahaya lampu yang ada di pinggir jalanan bisa
kulihat begitu menawannya dari atas sungai ini.
Hari ini, tepat dua puluh tahun dari masa
kecilku, saat aku masih bergelut dengan profesi yang
sama dengan mereka yang tengah sibuk lalu lalang
mengayuh jukung. Ya, dulu aku adalah satu dari
mereka, si anak sungai yang berdagang di pasar
terapung. Tapi, seiring roda kehidupan yang terus
berputar, kini masa itu telah berlalu.
Kehadiranku di sini, di kampung halamanku
tercinta ini, kini menjadi agenda rutinku tiap tahun.
Itu karena aku sudah tak lagi menetap di Kalimantan.
Seakarang aku bekerja menjadi salah satu teknisi
kapal di pelabuhan kota Batam, Kepulauan Riau. Dua
hari yang lalu, tepat saat Hari Raya Iedul fithri, aku
bersyukur bisa kembali merasakan nikmatnya
kebersamaan bersama keluarga tercinta di
Banjarmasin. Hanya saat libur Lebaran ini aku bisa
pulang. Selebihnya waktuku ku habiskan di
pelabuhan pelayaran Batam.
Jejak rentang hidup ternyata menghalaukanku
menjadi seorang mekanik kapal bukan Profesor,
sebagaimana yang aku cita-citakan dulu. Kita
memang tidak tahu apa yang akan dilakukan tuhan
158
kepadaku meski kita sudah menyusun rencana
sematang mungkin. Itulah yang ku alami sekarang.
Aku yang dulu ingin menjadi penyelamat sistm
perairan tanah seribu sungai, kini malah menjadi
mekanik kapal dan menikah dengan seorang
perempuan berdarah Melayu yang tinggal di Riau.
Wanita yang sangat baik hatinya, Sarah. Meski
demikian aku cukup bersyukur dengan semua yang
aku miliki saat ini. Aku merasa kini hidupku relatif
lebih baik dari pada dulu. Meskipun akhirnya aku
harus berpisah dengan keluargaku di Banjar. Yang
terpenting adalah aku ingin terus berusaha sampai
titik darah penghabisan untuk menyongsong mimpiku
yang pernah aku tautkan bersama Rasyid di pondok
kecil tengah ladang kakekku yang kini sudah
almarhum.
Tiba-tiba saja aku teringat bocah laki-laki yang
gigih itu. Rasanya aku rindu sekali dengannya. Sudah
hampir dua puluh tahun kami berpisah. Semenjak ia
menghilang ketika masih duduk dibangku kelas tiga
Tsanawiyah pasca aku menghancurkan impiannya
mengangkat piala di sebuah lomba tingkat provinsi.
Saat itu aku masih ingat, aku duduk di kelas dua
Tsanawiyah kala itu. Tapi, lambat laun ku dengar,
rupanya ia pergi ke kampung halamannya di
Kandangan untuk merawat julak Basun yang kala itu
sakit keras. Entah bagaimana kabar anak itu dan
dimana sekarang ia berada?, aku tak mengetahuinya.
Tentu ia juga sudah dewasa seperti aku. Yang aku
dengar dari teman sejawat dulu, kini ia tinggal di
Banjarbaru. Ada pula yang bilang kalau ia menikah
159
dengan putri Kiai Pondok pesantren Darul Hijrah
Cindai Alus. Jikalau itu benar, lusa aku ingin
menemuinya di pondok pesantren. Aku sangat rindu
dengannya. Aku juga ingin minta maaf kepadanya
tentang lomba itu. Karena sebelum ia menghilang aku
belum simpat mengatakan kata “maaf” itu kepadanya.
Rasyid, aku bahkan sudah lupa dengan
wajahnya. Yang ku ingat darinya hanya sorot matanya
yang tajam dan goresan raut wajahnya yang kasar.
Matahari kian merangkak dengan perlahan
memenuhi pandangan setiap mata di ufuk timur sana.
Dan akhirnya sang surya itupun menyapa kami yang
saat ini masih berada di dalam kelotok148 bersama
penumpang yang lain. Aku menatap ke sepanjang
pinggiran sungai Kuin. Jam-jam segini pemandangan
khas kampong halamanku ini mulai terlihat. Para
bocah-bocah kecil yang ingin pergi ke sekolah mulai
turun ke batang untuk mandi. Ibu-ibu rumah
tangganya sibuk memasak dan mencuci pakaian. Dan
para bapak sudah mulai turun ke pengaduan rezeki
mereka masing-masing. Aku tersenyum sendiri
melihat pemandangan itu. aku teringat masa kecilku
dulu. Dan tiba-tiba saja aku jua teringat Amad,
sahabat kecil sebelah rumahku. Hampir satu minggu
aku berada di Kuin tanpa pernah melihat Amad
sekalipun di kampong. Ketika ku temui di rumahnya
tepat saat Hari Raya kemarin, ia jua taka da. Rumah
itu kosong tak berpenghuni. Kata ibuku, keluarga
paman Idris itu sudah pindah lima tahun yang lalu ke
148 Perahu bermesin (getek)
160
Bati-bati. Sekarang keluarga itu membuka rumah
makan di sana, ujar ummaku.
Jika mengenang masa kecilku, rasanya aku
benar-benar terharu, bahkan ingin meneteskan air
mata saja rasanya. Sebuah perjuangan tanpa henti
yang ku torehkan dengan tinta keringat kerja keras.
Aku bangga dengan diriku sendiri.
“Yah, anak-anak kecil tu nak mandi, ye?”.
Dalam lamunanku, suara Sarah yang kental dengan
logat melayunya itu membangunkanku dari nostalgia
masa lalu. Istriku itu menatap jauh ke pinggiran
sungai Kuin yang di sekitarnya banyak anak kecil
yang bertelanjang bulat, mandi dengan gembiranya. Di
sana jua nampak beberapa ibu-ibu rumah tangga
yang hanya berpakaian tapih bahalai sedang mencuci
pakaian.
“Iye.. mereka tu ‘nak siap-siap berangkat
sekolah..” balasku tersenyum. Istriku itu mengangguk
dengan senyum manisnya sambil terus menampaki
pemandangan yang baginya tentu sangat asing.
“Yah, Zulaikha jue ‘nak pengen ikot mandi
dengan mereka tu...” sahut seorang gadis kecil nan
lucu polos. Gadis berusia tiga tahun itu adalah putri
kesayanganku, buah pernikahanku dengan Sarah,
namanya Zulaikha. Malaikat kecil itu menunjuk-
nunjuk ke seberang sana dengan tertawa girang di
gendongan Sarah.
161
“Nanti saje lah, sayang..? nanti kita ‘nak ke
kolam renang saje..” Balasku sambil membelai kepala
Lekha, gemas.
“Berarti Ayah dulu macam tu juga, ke?” sahut
Sarah. Wajahnya penasaran.
“Iye, Dek… namanya jue orang Banjar Kuala149.
Ya hampir semuanye lah hidupnya macem tu di
bantaran sungai Kuin ini, Dek..” Balasku
menjelaskan. Sarah hanya membalas ucapanku itu
dengan tersenyum dan mengangguk.
Tak berapa lama seorang pelayan yang bekerja
di jukung besar yang sejatinya warung pagi itu datang
menghampiri kami sambil meyerahkan du gelas teh
hangat dan beberapa kue tradisional khas Banjar.
Wajah Sarah menampakkan sebuah keheranan.
Aku yakin ia belum pernah melihat sebelumnya apa
yang saat ini ia lihat.
“Naaah, ini namanya untuk’, pais, bingka,
sunduk lawang, dan yang terakhir ini kesukaan ayah,
wadai150 ruti pisang.” Ucapku menjelaskan sambil
menujuk kue yang ada di piring itu satu-satu.
“Namanya lucu-lucu kali ye..” sahut Sarah
sambil tersenyum mengeluarkan sebelah lesung
pipinya.
149 Orang Banjar muara yang tempat tinggal mereka berdekatan dengan sungai 150 kue
162
Aku benar-benar menikmati nostalgia lama ini.
Dengan penuh kenikmatan, aku menyeruput teh
hangat yang baru saja dibawakan oleh pelayan
jukung. Rasanya benar-benar luar biasa. Almarhum
abah pernah bilang, orang yang pernah meminum air
dari tanah Banjar, pasti orang itu satu saat akan
kembali ke Banjar dan merindukannya. Barangkali
ada benarnya juga ucapan abah itu. Rasanya jika aku
tak pulang ke Banjar saat lebaran tiba, aku merasa
ada yang kurang dalam hidupku. Aku jadi rindu abah.
Dalam diam, sejenak aku menghaturkan do’a yang
aku hadiahkan untuk beliau yang sudah berada di
alam sana. Aku semakin rindu masa kecilku. Masa
kecil yang penuh haru dan air mata itu.
Mentari semakin merangkak naik. Kawanan
burung Tatapaian yang biasa keluar di pagi hari, kini
mulai menampakkan gerombolan mereka. Aku
semakin terpesona dengan indahnya kampung
halamanku ini. Sedari tadi Sarah terus menanyaiku
tentang hal-hal yang ia masih asing dengannya.
Tentang kehidupa orang Banjar dan tentang segala hal
yang ada di sini. Aku menjelaskannya dengan
seksama dengan perasaan kagum yang ikut
menyertainya. Ternyata jika diceritakan, barulah aku
menyadari bahwa tanah ini benar-benar menyimpan
berjuta khazanah budaya yang luar biasa.
Kelotok terus melaju melanjutkan
perjalanannya setelah beberapa lama singgah di pasar
terapung. Kali ini kami menuju soto Bang Amad yang
terkenal di kota Banjarmasin, yang berada di daerah
163
Banua Anyar, dekat rumah keluarga almarhum
Abahku. Kami ingin sekalian bersilaturrahim ke sana.
Awak kelotok151 menambah kecepatan.
Kelotokpun meluncur seketika. Aku masih terus
menikmati masa silam itu sambil menatap wajah
manis putri dan istriku. Hari ini adalah hari dimana
masa lalu itu menjadi sejarah. Dan hari ini adalah
kenangan untuk hari yang akan datang. Semoga
semuanya menjadi pelajaran dan selalu menjadi cerita
manis, untuk dikenang.
Oleh : Ahmad Husairi
Selesai….
***
151 Perahu Getek
164
Tentang Penulis…
Hafiez Sofyani Lahir di Desa Muara Durian (sekarang bernama Desa Malintang Baru) Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain, turun ke sawah, berenang, memancing, dan mencari ikan. Ia merupakan alumni dari Jurusan S1 Akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Malang dan juga alumni jurusan S2 Akuntansi salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Selagi kuliah, ia aktif sebagai penulis majalah kampus, peneliti, asisten laboratorium Akuntansi, dan aktivis mahasiswa Kalsel di Malang. Sebelum menulis novel “Kakamban Habang”, ia pernah meluncurkan Novel berjudul “Bulan Sabit di Langit Burniau” pada tahun 2012 dan muncul dengan nama pena Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Saat ini ia bekerja sebagai dosen program studi akuntansi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Kontak kepada penulis dapat dilakukan via E_mail: [email protected].