pembangunan desa terintegrasi -...

108
PEMBANGUNAN DESA TERINTEGRASI (Konsep Dan Pengalaman Membangun Dari Desa) ANDI SAMSIR Penyunting: Anis Kurniawan Aswati Asri KRKP KATALIS OXFAM 2017

Upload: truongtu

Post on 16-May-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMBANGUNAN DESA TERINTEGRASI (Konsep Dan Pengalaman Membangun Dari Desa)

ANDI SAMSIR

Penyunting: Anis Kurniawan

Aswati Asri

KRKP KATALIS OXFAM

2017

DAFTAR ISI

SAMBUTAN PERKUMPULAN KATALIS

Prolog Desa adalah Surga Bagi Sebuah Bangsa

BAB I Sengkarut Pembangunan Desa di Indonesia

BAB II Konsep Pembangunan Pedesaan

BAB III Potret Ketahanan Pangan Pedesaan di Indonesia

(Studi Kasus dari Dua Desa di Takalar) BAB IV

Membangun Desa Lewat Bumdes (Pembelajaran Dari Kabupaten Bantaeng)

BAB V Kontribusi Sektor Pertanian di Sulawesi-Selatan

dalam Pembangunan Nasional Epilog:

Pembangunan Desa Terintegrasi (Sebuah Jalan)

DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS DAN PENYUNTING

SAMBUTAN

PERKUMPULAN KATALIS

Indonesia dikaruniai banyak sumber daya alam untuk menopang kebutuhan penduduknya namun faktanya kemiskinan dan ketimpangan masih menjadi tantangan besar. Ada beberapa alternatif pilihan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Buku ini memaparkan pilihan untuk melihat pembangunan yang terjadi di pedesaan. Salah satu alternatif yang diberikan adalah pembangunan desa yang terintegrasi. Pembangunan di desa harus saling memperkuat dengan aspek lainnya, seperti kerjasama antar desa, kebijakan Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun nasional. Upaya pembangunan ekonomi desa, tak cukup bila hanya mendorong desa untuk melahirkan produk, namun juga perlu diikuti pertimbangan pasar melalui penciptaan pasar, yang kemungkinan merupakan tugas bagi beberapa sektor di pemerintahan, termasuk pelibatan swasta dan masyarakat sipil dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai yang dibutuhkan dan penataan kelembagaan.

Pada aspek inilah, maka pemerintah seharusnya perlu memikirkan ulang penentuan prioritas pembangunan, khususnya yang dapat memberikan efek domino dalam menggerakkan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Undang-undang No 6 tahun 2014 tentang Desa, dalam hal pembangunan ekonomi desa, Pasal 187 disebutkan bahwa “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan dimana dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Berkaitan dengan hal tersebut, BUMDes kemudian diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI No 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Bersandar dari regulasi tersebut, meskipun sebelumnya pada beberapa daerah di Indonesia telah mengembangkan BUMDes sebagai mandat dari UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang telah mengembangkan BUMDes dalam menggerakkan ekonomi desa adalah Kabupaten Bantaeng. Pada tahun 2016, Perkumpulan KATALIS melakukan riset untuk mempelajari model pengembangan BUMDes yang efektif, sebagai bahan pembelajaran pada pendampingan kelembagaan desa, yang dijalankan pada beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan dalam Program Memperkuat Ketahanan Pangan. Riset tersebut, memilih beberapa BUMDes yang relatif dapat menjadi pembelajaran, mulai perencanaan, manajemen, tata kelola maupun produk bisnis yang dijalankan.

Demi memberikan kemanfaatan yang lebih luas kepada pembaca, maka Perkumpulan KATALIS memandang perlu untuk menerbitkan hasil riset tersebut menjadi sebuah buku yang dapat menjadi referensi, baik secara akademik, pengambilan kebijakan, maupun dalam praktik di lapangan untuk pemberdayaan masyarakat atau penguatan ekonomi desa.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada saudara Andi Samsir yang telah melakukan penelitian hingga penulisan naskah buku ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada saudara Anis Kurniawan dan Aswati Asri yang telah menyunting dan melakukan penataan bahasa sesuai ejaan yang disempurnakan, saudara Akbar sebagai program officer dalam pelaksanaan Program Memperkuat Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan. Tak lupa pula, kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas kontribusi tim Perkumpulan KATALIS Bapak M. Khudri Arsyad, Bapak Baharuddin, dan Ibu Sitti Rohani A. Mapparimeng dalam menjalankan Program tersebut. Terakhir kepada Pihak Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Oxfam dan Yayasan Unilever atas kepercayaan dan dukungannya dalam implementasi program serta kepada semua pihak yang terlibat dalam program ini yang tak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai referensi yang memperkaya khazanah pemikiran maupun referensi dalam penyusunan kebijakan pembangunan, pengelolaan BUMDes dan pemberdayaan masyarakat. Semoga dapat menjadi lahan amal saleh dalam bentuk kontribusi pemikiran, maupun pengalaman dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dapat berimplikasi pada pemenuhan ketahanan pangan di masyarakat. Makassar, Maret 2017 Perkumpulan KATALIS S I S W A N DirekturEksekutif

PROLOG:

DESA SEBAGAI SURGA BAGI SEBUAH BANGSA Desa harus jadi kekuatan ekonomi Agar warganya tak hijrah ke kota Sepinya desa adalah modal utama Untuk bekerja dan mengembangkan diri Desa harus jadi kekuatan ekonomi (Lirik Lagu Iwan Fals, Desa)

Sejatinya, desa jauh lebih sejahtera dari kehidupan kota. Mengapa? Karena desa

memiliki segalanya yang dibutuhkan orang-orang di kota. Desa tidak memiliki infrastruktur dan segala fasilitas modern. Namun orang kota bisa makan apabila tidak disuplai oleh petani dan nelayan dari desa? Sayangnya, petani dan nelayan yang hidup di desa tidak bisa hidup sejahtera sebagaimana orang di kota. Lapangan pekerjaan tersedia di kota. Maka, mitos orang desa mengepung kota melalui urbanisasi, sungguh sulit ditepis. Dari waktu ke waktu, menjadi petani atau nelayan dianggap tidak bergengsi (tidak bisa membuat hidup kaya)—akhirnya semakin sedikit orang yang ingin bekerja sebagai petani dan lahan pertanian di desa semakin sempit akibat gempuran pembangunan dari kota. Orang yang merantau ke kota lalu sukses secara ekonomi, sebagian pulang ke desa sekadar untuk bertamasya. Pengaruh kehidupan kota akhirnya berdampak ke desa. Nilai-nilai sosial (sosial capital) seperti gotong-royong, kekerabatan, tolong menolong, pelan-pelan tergerus. Meski, masih tetap ada, nilai-nilai tersebut tidak lagi sekuat dahulu sebelum urbanisasi massal terjadi di berbagai pelosok desa di Indonesia. Sebagai sebuah ruang, desa dan kota tentulah berbeda. Kota tetaplah sebagai ruang transaksional ekonomi, budaya, politik dan seterusnya—desa adalah ruang dimana sumber daya alam digarap dan diproduksi sebagai bahan dasar kebutuhan manusia. Perbincangan soal desa dan kota tidak dalam konteks menggiring pada logika opisisi biner, dimana kota dan desa adalah dua dunia yang bersinggungan. Desa dan kota, semestinya adalah dua ruang yang saling berhubungan, saling membutuhkan, saling menguntungkan. Dalam konteks demikian, desa mestilah sejahtera juga—sebagaimana kota. Jika benar bahwa ekonomi bisa bangkit bila infrastruktur diperkuat, maka saatnyalah, infrastruktur di desa juga diperbaiki. Sentuhan kebijakan (policy) yang berpihak untuk kepentingan pembangunan desa juga harus didukung. Visi membangun desa adalah menjadikan desa sebagai subjek utama dari agenda pembangunan. Desa harus lebih aktif dan menjadi pelaku utama sebuah kebijakan. Asumsinya, kesejahteraan yang terbangun di desa akan memperkuat modernisasi di perkotaan. Jika desa lebih sejahtera, maka kerumitan kehidupan kota bisa diretas secara perlahan, sehingga semakin banyak orang yang berpaling mencari kehidupan di desa. Buku ini, menjadi penting di tengah derasnya gelombang ekspektasi pemerintah untuk membangun dari desa. Konsep pembangunan desa terintegrasi penting

diwujudkan karena dua hal: pertama, desa memiliki potensi yang besar dan berbeda-beda serta memiliki potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan: kedua, potensi yang dibangun dari desa harus terintegrasi dengan kebijakan daerah dan nasional, termasuk integrasi dan konektitas antara daerah atau antara desa satu dan lainnya. Pembangunan desa perlu melibatkan banyak pihak. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada beberapa desa di Indonesia yang sukses berkembang secara mandiri dengan mengedepankan ciri khasnya masing-masing. Sebagai catatan, sebagian besar desa yang maju dan berkembang tersebut disebabkan oleh potensi pariwisata yang ada. Sektor pariwisata yang berkembang di suatu daerah yang didukung oleh warga setempat, dengan sendirinya akan memperkuat potensi dan kreatifitas yang dibangun pada level desa. Betapa pun itu, saatnya desa bisa membaca peluang dan lebih kreatif dengan memanfaatkan segala potensi secara mandiri. Keragaman setiap desa di Indonesia pada akhirnya juga membutuhkan suatu differensiasi, agar konsep perencanaan di suatu desa tidak sekadar copypaste dari desa lainnya (sebagaimana dibahas pada buku ini). Sosiolog kelahiran Belanda W.F Wertheim dalam tulisannya “Indonesian Society in Transition, a study of Sosial Change” menyatakan, ciri kehidupan nusantara adalah ruang bernama desa. Nusantara diperkuat oleh tradisi yang berkembang dari desa dengan beragam budaya. Tesis Wetheim ini menunjukkan seberapa pentingnya desa menjadi prioritas utama dalam logika pembangunan bernegara. Desa harus dibangun, sebab desa adalah surga bagi sebuah bangsa.

Desa adalah kekuatan ekonomi (meminjam lirik lagu Iwan Fals).

Maret 2017 TIM PENYUNTING

BAB I SENGKARUT PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA

Desa adalah sebuah representasi ruang terpencil dari sebuah negara. Tak heran, bila desa selalu identik dengan keterbelakangan, marjinalisasi, bahkan kemiskinan. Desa berbanding terbalik dengan ilusi kita tentang kota yang penuh hingar-bingar, kemajuan, dan modernisasi. Desa dan kota merupakan potret bagaimana pembangunan berlangsung timpang dalam sebuah negara. Padahal, desa merupakan pemasok segala sumber penghidupan bagi masyarakat di perkotaan. Desa adalah pusat berkembangnya basis material dari sebuah kebudayaan seperti pertanian, kelautan, dan segala sumber daya alam lainnya. Oleh sebab itu, pembangunan harus juga berorientasi pada pengembangan desa. Potensi desa harus bisa dikapitalisasi secara maksimal agar ekonomi bertumbuh. Masyarakat desa harus diarahkan secara mandiri mengelola sumber daya yang ada, sehingga orang desa tidak lagi tergiur mengepung kota. Masyarakat di desa bisa mencari uang di desa dan membelanjakan uangnya di desa. Membangun desa adalah sebuah jalan untuk mengakhiri sengkarut pembangunan yang terkonsentrasi di kota. Pekerjaan rumah kita semua adalah bagaimana menjalankan suatu konsep membangun desa secara baik. Mempertimbangkan keragaman potensi dari setiap desa, pelibatan seluruh pihak stakeholders, serta bagaimana mengintegrasikan potensi satu sama lain.

Urgensi Membangun Desa

Pembangunan pedesaan tidak terlepas dari agenda pembangunan nasional yang bertujuan dan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Menurut Djiwadono (Nurman, 2015), tujuan pembangunan pedesaan meliputi; pertama, tujuan ekonomi diarahkan pada peningkatan produktivitas di daerah. Kedua, tujuan sosial diarahkan pada pemerataan kesejahteraan penduduk desa. Ketiga, tujuan kultural, diarahkan pada peningkatan kualitas hidup pada umumnya dari masyarakat pedesaan. Keempat, tujuan kebijakan yaitu menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat desa secara maksimal dalam menunjang berbagai usaha pembangunan serta dalam memanfaatkan dan mengembangkan hasil pembangunan.

Desa diharapkan mampu memainkan peran yang besar, tidak hanya sebatas penunjang pembangunan ekonomi, melainkan mampu menjadi kekuatan ekonomi nasional. Menurut Todaro (2006) para pakar ekonomi pembangunan dewasa ini mulai menyadari bahwa daerah pedesaan umumnya dan sektor pertanian pada khususnya ternyata tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih penting dari sekadar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Keduanya harus ditempatkan pada kedudukan sebenarnya, yakni sebagai unsur atau elemen unggulan yang penting, dinamis, dan terutama pada negara sedang berkembang yang berpendapatan rendah.

Mulyana (2012) menujukkan bahwa penguatan ketahanan pangan untuk menekan jumlah penduduk miskin dengan rentan pangan nasional dan regional sehingga kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan nasional.

Hal tersebut juga dapat terlihat dari kebutuhan pangan nasional, bahkan regional ASEAN yang sangat besar masih dipasok oleh negara-negara non ASEAN sehingga kebijakan pangan harus berorientasi pada empat sasaran pokok ketahanan pangan, yaitu akses, ketersediaan, distribusi dan keamanan pangan nasional (Hariyati dan Raharto, 2012).

Dengan demikian, salah satu peran dari desa sebagai penyedia pangan nasional perlu mendapat perhatian yang lebih dalam proses perencanaan pembangunan nasional. Selain itu, kemampuan desa menyediakan lapangan kerja yang lebih luas pada sektor pertanian diharapkan mampu menyerap kelebihan penawaran tenaga kerja (labor supply accesses) dari sektor lainnya. Menyudahi Gejolak Urbanisasi

Data badan pusat statistik (BPS) menujukkan tingkat partisipasi angkatan kerja pada sektor pertanian sebesar 37.770.165 jiwa atau 30,11 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2016 di Indonesia. Angka tersebut lebih kecil dari tahun sebelumnya yang menujukkan adanya trend pertumbuhan tenaga kerja pada sektor pertanian yang semakin kecil. Sementara itu, angka urbanisasi semakin meningkat dimana jumlah penduduk perkotaan telah mencapai angka 54 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2016 meningkat 5 persen dibandingkan pada tahun 2010.

Munculnya fenomena urbanisasi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa faktor, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factors). Ketersediaan tanah dan rendahnya produktivitas lahan pertanian di pedesaan menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya urbanisasi.

Selain itu, makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan, seperti menurunnya daya dukung lingkungan dan menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu, yang bahan bakunya susah diperoleh, seperti hasil pertambangan, kayu, atau bahan dari pertanian (Adioetomo & Samosir, 2010). Hal tersebut secara tidak langsung menjadi penyebab rendahnya daya beli masyarakat di pedesaan.

Ketimpangan pendapatan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat menyebabkan mereka menjadikan kota sebagai tempat menggantungkan harapan demi memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Ketersediaan fasilitas pendidikan, kesehatan dan hiburan serta fasilitas publik lainnya di kota yang lebih memadai juga menjadi faktor penarik lainnya. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Upasak Das (2015) menemukan bahwa rendahnya kesempatan kerja dan ketidakberhasilan pada sektor pertanian menjadi alasan terjadinya peningkatan urbanisasi di India.

Sebuah fenomena menujukkan adanya kaitan positif antara urbanisasi dan pendapatan per kapita dalam proses pembangunan. Umumnya, semakin maju suatu negara diukur dengan menggunakan pendapatan per kapita, semakin banyak penduduk yang tinggal di daerah perkotaaan (Todaro, 2006).

Dengan demikian, sulit untuk menolak suatu asumsi klasik bahwa penduduk miskin adalah mereka yang umumnya bertempat tinggal di daerahpedesaan, dengan mata pencaharian pokok pada bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor tradisional. Menyandang predikat wong deso atau petani menjadi momok tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. Bahkan sebagian masyarakat di pedesaan, yang kondisi ekonomi rumah tangganya mengalami peningkatan, lebih memilih berinvestasi di daerah perkotaan, seperti membeli properti atau menyekolahkan anak mereka di kota, dengan harapan mereka tidak memiliki nasib yang sama dengan orang tuanya di masa depan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa desa lebih cocok sebagai tempat tinggal bagi kelas masyarakat kurang mampu. Sebaliknya, kota menjadi tempat bagi orang-orang yang berasal dari desa sebagai bentuk penegasan terhadap eksistensi mobilisasi sosial level atas. Pada masa orde baru, kelompok ini lebih dikenal dengan istilah Orang Kaya Baru (OKB).

Fenomena sosial tersebut malah semakin berdampak buruk terhadap pembangunan di desa. Meningkatnya permintaan rumah tangga akibat membaiknya pendapatan masyarakat pedesaan, malah tidak diikuti dengan meningkatnya aspek penawaran dari desa itu sendiri.

Peningkatan pendapatan masyarakat yang seharusnya menjadi stimulan dalam mendorong produksi di desa, malah dibelanjakan di luar yang bersumber dari desa. Teori konsumsi Keynes menyatakan bahwa peningkatan pendapatan disposiable (disposable income) akan meningkatkan konsumsi rumah tangga. Peningkatan yang terus menerus akan menggeserkan permintaan masyarakat dari barang normal (normal goods) ke barang mewah (luxery goods). Ketidakmampuan sisi penawaran merespon fenomena tersebut menjadi masalah tersendiri yang harus mendapatkan perhatian dari pelaku ekonomi lainnya (stakeholder).

Walaupun sebagian besar penduduk dengan kemiskinan absolute tinggal di daerah pedesaan, bagian terbesar dari pengeluaran pemerintah di Negara-negara berkembang selama seperempat abad terakhir justru tercurahkan ke daerah-daerah perkotaan dan berbagai sektor ekonominya, yakni sektor manufaktur modern dan sektor komersial. Pengeluaran pemerintah berupa investasi langsung ke dalam sektor ekonomi produktif atau pengeluaran di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pelayanan masyarakat terkesan berat sebelah, ke sektor modern di perkotaan. Kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan seharusnya diarahkan lebih pada pembangunan daerah pedesaan sebab sebagian besar penduduk miskin tinggal di pedesaan.

Hubungan yang erat antara urbanisasi dan pembangunan memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan daerah pedesaan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia (Human Capital) di desa disebabkan oleh rendahnya pelayanan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini didukung oleh kajian yang dilakukan Alam (2014) menujukkan bahwa adanya hubungan yang erat antara pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia.

Pada umumnya, fasilitas pendidikan yang tersedia hanya sekolah dasar (SD) dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Hal yang sama juga terlihat pada

fasilitas kesehatan masyarakat yang letaknya pada pusat kecamatan, dengan jangkauan pelayanan melingkupi beberapa desa dengan jarak yang sangat luas, sehingga akses masyarakat terhadap fasilitas tersebut membutuhkan fasilitas pendukung seperti mobil ambulance. Keterbatasan tenaga medis dan tenaga pendukung yang ada di daerah tersebut juga menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas layanan bagi masyarakat setempat. Oleh karena itu, sebagian penduduk memilih hidup di daerah perkotaan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang lebih memadai.

Rendahnya Daya Beli Masyarakat di Desa Rendahnya daya beli juga menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh

masyarakat pedesaan terutama mereka yang tinggal di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T). Harga kebutuhan bahan pokok jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang ada di daerah perkotaan.

Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya distribusi barang dan panjangnya rantai pemasaran. Kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi atau penyesuaian harga bahan bakar minyak terhadap harga keekonomian sangat dirasakan dampaknya bagi masyarakat miskin pedesaan. Kenaikan harga-harga secara umum tersebut berarti akan mengurangi pendapatan rill mereka.

Hal yang sama juga terlihat pada harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani pedesaan. Besarnya margin harga yang terjadi menyebabkan rendahnya harga yang diterima pada tingkat produsen. Panjangnya rantai pemasaran dan adanya faktor kelembagaan merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan harga tersebut.

Keterbatasan petani dalam mengakses pasar di daerah hilir menyebabkan mereka bersedia melepas hasil pertaniannya dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul. Kebergantungan mereka terhadap pihak tersebut juga umumnya disebabkan oleh adanya perjanjian yang mengikat di antara kedua belah pihak secara non formal. Kemudahan dalam mengakses pinjaman, baik untuk modal usaha atau kebutuhan rumah tangga, melahirkan sistem ijon.

Praktik ini yang dilakukan oleh tengkulak telah mengakar dan menjadi bagian dari tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Studi investigasi yang pernahh dilakukan dalam menganalisis rantai pemasaran di Kabupaten Banyumas menemukan, bahwa praktik ini berlangsung pada komoditas rempah-rempah dan buah-buahan, yang melibatkan banyak aktor dalam satu mata rantai, yang berperan sebagai distributor pinjaman dan sekaligus sebagai pengumpul hasil pertanian dengan sistem multilevel.

Rendahnya harga yang diterima oleh petani dan tingginya harga yang harus bayar oleh petani, menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dalam forum-forum publik. Tarik ulur kebijakan publik selalu saja berdampak buruk terhadap petani. Fenomena yang menarik dapat kita lihat dari hasil survey ketahanan pangan yang dilakukan OXFAM pada tahun 2015 menunjukkan bahwa banyak petani yang menghasilkan padi dengan kualitas premium harus mengonsumsi beras Raskin, yang selalu dikeluhkan kualitasnya oleh konsumen, disebabkan oleh adanya selisih harga yang mereka harapkan untuk menutupi kebutuhan mereka selama musim tanam. Berbagai cara coba ditempuh oleh petani untuk dapat terus bertahan meski harus mengorbankan kualitas pangan mereka.

Paradigma Pembangunan dan Relasi Kuasa

Ketimpangan yang terjadi antara kota dan desa serta dampak yang ditimbulkannya selama ini tidak lepas dari strategi pembangunan nasional yang diadopsi oleh setiap rezim yang berkuasa.

Pendekatan rasional komprehensif yang bersifat sentralistik untuk semua sektor ekonomi mulai diadopsi pada tahun 1952 di Indonesia. Untuk keperluan penyusunan perencanaan pembangunan tersebut pemerintah membentuk biro perencana negara yang diketuai oleh Sumitro Djojohadikusimo dan dilanjutkan oleh Djuanda dan Ali Budiardjo dengan menyusun dokumen perencanaan pembangunan yang lebih komperhensif dengan judul rencana pembangunan lima tahun 1956-1960.

Ketidakstabilan politik waktu itu, menyebabkan pelaksanaan rencana pembangunan ini ternyata juga tidak dapat berjalan dengan baik. Pada masa orde baru, di bawah kepemimpinan presiden Soeharto (1966-1998), pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami sebuah proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen per tahun (Tambunan, 2016). Dengan memanfaatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional (BAPPENAS) yang diketuai oleh Widojo Nitisastro. Badan ini merumuskan dokumen perencanaan baru yang diberi nama rencana pembangunan lima tahun (REPELITA).

Upaya pemerintah untuk mengurangi kemiskinan lewat modernisasi pembangunan ekonomi pedesaan, pertanian dan industralisasi secara makro dianggap berhasil. Pencapaian tersebut menyebabkan Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 dengan produksi beras mencapai 25,8 juta ton. Namun, di sisi lain berbagai persoalan kemudian muncul, di antaranya; (i) peningkatan produksi pertanian tidak diikuti oleh penyempurnaan teknik produksi namun lebih mengandalkan ekstensifikasi pertanian; (ii) peningkatan produksi tidak dibarengi dengan kenaikan kesejahteraan bagi petani yang bergantung pada sektor tersebut; (iii) tidak adanya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri sehingga proses pembangunan lebih bersifat sektoral.

Keyakinan pemerintah terhadap pendekatan tersebut yang dianggap dapat menimbulkan efek “tetes ke bawah (trickle down effect) sehingga pertumbuhan ekonomi nasional menjadi prioritas pembangunan. Perencanaan yang bersifat sentralistik tersebut mengabaikan aspek perbedaan karakteristik berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Dengan mengandalkan data statistik, para teknokrat pembangunan menyusun dokumen perencanaan dengan berbagai macam asumsi yang dipercaya dapat digeneralisasikan pada setiap wilayah.

Namun, sebuah studi yang dilakukan oleh Rustiadi dkk (2010) menunjukkan bahwa pulau Jawa mengalami sebuah krisis spasial dan lingkungan. Hal tersebut disebabkan oleh ekploitasi yang berlebihan dari pemanfaatan lingkungan dengan berbagai dimensi, seperti pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi di pulau Jawa, yang berkaitan dengan pembangunan yang tidak seimbang antara pulau Jawa dan luar Jawa. Sementara itu, Puspitasari dkk (2010) menemukan bahwa dampak pertumbuhan

terhadap kemiskinan di Jawa Timur secara geografis memiliki perbedaan. Ada beberapa klaster wilayah yang memiliki tingkat elastisitas kemiskinan yang tinggi dan juga ada klaster wilayah yang dampaknya kecil, bahkan tidak terlihat sama sekali terhadap pengurangan kemiskinan.

Pada tahun 2001, pada era orde reformasi terjadi perubahan sistem pemerintahan yang cukup drastis, yaitu dengan dimulainya penerapan sistem otonom daerah (OTODA). Dengan berlakunya sistem OTODA tersebut, maka sistem perencanaan pembangunan yang berlaku di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan tersebut dituangkan dalam undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN 2004). SPPN tersebut menggambarkan bahwa sistem perencanaan nasional mengadopsi sistem perencanaan strategis yang bersifat desentralistik.

Nawa Cita dan Masa Depan Pembangunan Desa

Mengacu pada SPPN 2004, salah satu upaya pemerintahan Jokowi dalam menjawab permasalahan pembangunan selama ini, tertuang dalam sembilan agenda prioritas yang lebih dikenal dengan istilah Nawa Cita. Salah satu di antaranya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dengan asas desentralisasi asimetris. Kebijakan pemberdayaan desa menetapkan delapan prioritas program utama. Konsep perencanaan pembangunan tersebut yang bertolak dari desa didasarkan oleh adanya ketimpangan yang selama ini terjadi antara desa dan kota.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDT), berupaya mendorong terbangunnya keterkaitan antara desa dan kota sebagai bagian dari strategi pembangunan kawasan pedesaan di Indonesia. Mengacu pada Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2015-2019, Kementerian desa, PDT, dan transmigrasi membuat pemetaan tahapan-tahapan prosesnya. Untuk 5.000 desa tertinggal menjadi desa berkembang, tahapannya adalah tahun 2015 - 2016 sebanyak 500 desa, kemudian 2016 - 2017 sebanyak 1.000 desa, lalu tahun 2017 - 2018 sebanyak 1.500 desa, dan tahun 2018 - 2019 sebanyak 2.000 desa, sehingga dalam lima tahun total 5.000 desa tertinggal menjadi desa berkembang.

Ekonomi kawasan pedesaan harus terus dikembangkan. Mengingat desa sebagai wilayah yang memiliki kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan mengembangkan sentra produksi, sentra industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, serta membangun destinasi pariwisata.

Selanjutnya akses transportasi desa dengan pusat pusat pertumbuhan ekonomi lokal atau pun wilayah harus terus di tingkatkan. Demikian pula, kerja sama antar desa, antar daerah, dan antar pemerintah–swasta perlu dikembangkan, termasuk kerjasama pengelolaan BUMDes serta mendorong pembangunan sarana bisnis atau pun pusat bisnis di pedesaan. Ruang lingkup pengembangan ekonomi pedesaan meliputi:

1. Meningkatkan kegiatan ekonomi desa yang berbasis komoditas unggulan, melalui pengembangan rantai nilai, peningkatan produktivitas, serta penerapan ekonomi hijau;

2. Menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan pasar desa;

3. Meningkatkan akses masyarakat desa terhadap modal usaha, pemasaran dan informasi pasar. Mengembangkan lembaga pendukung ekonomi desa, seperti BUMDes, koperasi dan lembaga mikro lainnya.

Menindaklanjuti kebijakan tersebut, kapasitas stakeholder dari tingkat pusat hingga desa menjadi variabel yang sangat menentukan dalam mengeksekusi putusan tersebut. Perangkat desa sebagai barisan terdepan yang bersentuhan langsung dengan objek pembangunan harus mampu menafsirkan kebijakan tersebut ke dalam berbagai program strategis pembangunan desa.

Penetapan program tersebut tidak lepas dari hasil analisis potensi desa yang dilakukan sebagai tahapan awal dalam proses perencanaan pembangunan di desa. Namun, fenomena yang sering ditemukan di lapangan, banyaknya dokumen perencanaan yang dimiliki desa merupakan dokumen lama atau copypaste milik desa lain yang tidak sesuai dengan keadaan desa tersebut saat ini. Bahkan tidak jarang juga ditemukan bahwa banyak desa yang tidak memiliki dokumen perencanaan pembangunan sendiri.

Faktanya, setiap desa memiliki kondisi geografis maupun sosial yang berbeda-beda sehingga dokumen perencanaan tersebut perlu ditindaklanjuti ke tingkat yang lebih tinggi, agar terbangun integritas pembangunan di kawasan tersebut. Pembangunan desa yang terintegerasi menjadi pembangunan daerah maupun nasional dapat menjadi jembatan, yang menghubungkan berbagai sektor ekonomi yang saling terkait, baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages).

Mengintegrasikan pembangunan desa dengan agenda pembangunan daerah dan nasional, dapat mengarahkan desa sebagai sentrum terciptanya beragam produk ekonomi—yang secara langsung terkoneksi atau memiliki akses pasar ke luar. Pola ini jelas dapat mengurangi ketimpangan ekonomi antara kota dan desa. Perekonomian yang bergerak dan berbasis di desa, tidak saja dapat mengurangi gejolak urbanisasi, tetapi juga memberdayakan warga desa dan segala potensi di dalamnya.

Bagaimana strategi membangun desa dengan konsep pembangunan terintegrasi? Salah satu pendekatan konsep yang menarik dipakai adalah strategi pembangunan tidak seimbang (Kajian Teori Pembangunan dibahas pada Bab selanjutnya). Poin penting dari pendekatan ini, selain pembangunan yang terintegrasi, juga soal pelibatan semua stakeholder di masyarakat. Desa harus dibangun secara kolektif sebagai basis sosial dan kebudayaan masyarakat desa.

BAB II KONSEP PEMBANGUNAN PEDESAAN

A. Paradigma Pembangunan Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika banyak di antara Negara dunia ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai target mereka, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagaian besar penduduknya, menujukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam definisi pembangunan yang dianut selama itu.

Banyak ekonom dan perumus kebijakan mulai mempertimbangkan untuk mengubah strategi demi mengatasi secara langsung berbagai masalah yang mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin memperparah ketimpangan distribusi pendapatan serta tingkat pengangguran yang terus melonjak.

Pada dekade tahun 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan. Penanggulangan tingkat ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian terus berkembang.

Penggantian atau penyesuaian definisi pembangunan ekonomi yang kini lebih didasarkan pada konsep “redistribusi hasil pertumbuhan” itu merupakan slogan yang popular pada masa itu. Selama dekade tahun 1960-an dan dekade 1970-an, sejumlah negara berkembang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Namun masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pendapatan rill dari 40 persen penduduknya paling miskin tidak banyak mengalami perbaikan atau bahkan dalam banyak kasus justru semakin buruk (Todaro & Smith, 2006).

Fenomena pembangunan atau adanya situasi keterbelakangan yang kronis sesungguhnya bukan semata-mata merupakan persoalan ekonomi atau sekadar soal pengukuran tingkat pendapatan, masalah ketenagakerjaan, atau penaksiran tingkat ketimpangan penghasilan secara kuantitiatif. Keterbelakangan merupakan sebuah kenyataan rill dalam kehidupan sehari-hari.

Bank dunia dalam sebuah publikasi resminya World Development Report (Todaro & Smith, 2006) mengatakan bahwa tantangan utama dalam pembangunan adalah bagaimana memperbaiki kualitas kehidupan. Meskipun syarat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik diukur dari tingkat pendapatan yang lebih tinggi, namun hal itu hanya merupakan salah satu syarat dari sekian banyak syarat yang ada, antara lain: pendidikan yang lebih baik; peningkatan standar kesehatan dan nutrisi; pemberantasan kemiskinan; perbaikan kondisi lingkungan hidup; pemeratan kesempatan; peningkatan kebebasan individu; dan pelestarian ragam kehidupan budaya.

Dengan demikian, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar

akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi tahun 1998, Amartya Sen dalam Todaro dan Smith (2006), berpendapat bahwa untuk dapat memahami konsep kesejahteraan manusia secara umum, dan kemiskinan secara khusus, kita harus berpikir lebih dari sekadar ketersediaan berbagai komoditas dan memerhatikan kegunaannya. Hal ini membantu memperjelas apa yang disebut oleh Sen sebagai fungsi, yaitu apa yang dapat dilakukan seseorang terhadap suatu komoditi dengan karatersitik-karateristik tertentu yang dimiliki atau dikendalikan oleh orang tersebut.

Kebebasan memilih, atau kontrol yang dimiliki seseorang terhadap hidupnya sendiri, adalah aspek utama dalam memahami kesejahteraan secara mendalam. Aspek sosial digunakan untuk mengukur pembangunan sosial negara (Perkin, Radelet, Snodgrass, Gill, & Romer,2001), diperkenalkan oleh United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 1990, yang mengukur tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Studi pembangunan ekonomi menurut Jhingan (2010) merupakan suatu cabang dari disiplin ilmu yang lebih luas, yaitu ilmu ekonomi (economic) dan Ilmu ekonomi politik (political economic), studi ini dikembangkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, yang mengkaji secara lebih sistematis berbagai permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang umumnya merupakan negara-negara yang baru merdeka.

Istilah pembangunan ekonomi digunakan secara bergantian dengan istilah pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, kemajuan ekonomi dan perubahan jangka panjang. Akan tetapi beberapa ahli ekonomi tentunya, seperti Schumpeter dan Nyonya Ursula Hicks, telah menarik perbedaan yang lebih lazim antara istilah pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan ekonomi mengacu pada masalah negara terbelakang sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu pada masalah negara maju. Perkembangan menurut Schumpeter (Jhingan, 2010), adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senatiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya; sedangkan pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Nyonya Hicks dalam Jhingan (2010) mengemukakan, masalah negara terbelakang menyangkut pengembangan sumber-sumber yang tidak atau belum dipergunakan, kendati penggunaannya telah cukup dikenal, sedang masalah negara maju terkait pada pertumbuhan, karena kebanyakan dari sumber mereka sudah diketahui dan dikembangkan sampai batas tertentu.

Menurut Todaro dan Smith (2006) dalam bukunya “Pembangunan Ekonomi” bahwa perbandingan ruang lingkup ilmu ekonomi pembangunan terhadap ilmu ekonomi tradisional dan ilmu politik, dimana ilmu ekonomi tradisional (traditional economics) memusatkan perhatiannya pada pengalokasian sumber daya yang langka secara efisien, serta berbagai upaya untuk memanfaatkan pertumbuhan optimal berbagai sumber daya tersebut dari waktu ke waktu agar dapat menghasilkan sebanyak mungkin barang dan jasa.

Apa yang dimaksud dengan ilmu ekonomi tradisional di sini adalah ilmu ekonomi klasik dan neoklasik. Cakupan ilmu ekonomi politik (political economy) lebih luas dari jangkuan ilmu ekonomi tradisional. Fokusnya antara lain adalah berbagai proses sosial serta instutisional yang memungkinkan kelompok-kelompok elit ekonomi dan politik memengaruhi alokasi sumber daya produktif yang persediaannya selalu terbatas (langka), sekarang atau masa yang akan datang, baik secara khusus untuk keuntungan sendiri atau kelompok maupun secara umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas.

Ilmu ekonomi pembangunan (development economics) mempunyai ruang lingkup yang lebih luas lagi. Selain memerhatikan masalah efisensi alokasi sumber daya produktif yang langka (atau yang tidak terpakai) serta kesinambungan pertumbuhan dari waktu ke waktu, ilmu ekonomi pembangunan juga memberi perhatian pada berbagai mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik yang terkandung dalam sektor swasta maupun yang terkandung dalam sektor publik.

Berdasarkan pandangan dari berbagai tokoh di atas, dapat kita simpulkan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang mencakup aspek multidimensional dengan mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan, serta adanya perubahan mendasar dari struktur sosial, politik dan kelembagaan.

Teori Pembangunan Ekonomi

Aliran Ekonomi Klasik

Adam Smith, tokoh utama mashab klasik, dengan karya utamanya yang sangat terkenal The Wealth of Nation terbit pada 1776. Menurut Smith proses pertumbuhan itu bersifat mengumpul (kumulatif), artinya apabila timbul kemakmuran sebagai akibat dari kemajuan di bidang pertanian, industri manufaktur dan perdagangan akan menarik pada akumulasi modal, kemajuan teknologi, pertumbuhan populasi dan perluasan pasar serta pembagian kerja secara terus-menerus.

Kondisi ini oleh Smith disebut dengan “situasi progresif”. Pada akhirnya, situasi progresif akan sampai pada titik kelangkaan sumber daya yang akan menghentikan pertumbuhan tersebut. Smith mengatakan bahwa negara yang telah mencapai titik ini tidak akan dapat maju lebih jauh lagi bahkan akan mengalami kemunduran. Upah buruh dan keuntungan akan berada pada titik terendah. Penurunan tersebut yang terus-menerus mengakibatkan investasi mengalami penurunan, hingga perkonomian membentuk garis stasioner (Jhingan, 2010). Seperti halnya Smith, David Ricardo (Adisasmita, 2013; Jhingan, 2010), dalam bukunya Principle of Political Economy and Taxation terbit pada 1817, menjelaskan konsep didasarkan pada beberapa asumsi dasar di antaranya: pertama, seluruh tanah digunakan untuk produksi; kedua, the law of diminishing returns berlaku bagi tanah; ketiga, persediaan tanah adalah tetap; serta keempat, buruh dan modal adalah input yang bersifat variabel.

Berdasarkan asumsi tersebut Ricardo membangun teorinya tentang saling keterkaitan antara tiga kelompok dalam perekonomian, yaitu tuan tanah, kapitalis, dan buruh. Kepada mereka inilah keseluruhan pendapatan nasional dibagikan berupa sewa,

laba dan upah. Menurut Ricardo, pemupukan modal merupakan keuntungan, sebab keuntungan merupakan kekayaan yang selisihnya membentuk modal. Pemupukan modal sangat bergantung pada dua faktor, yaitu kemampuan untuk menabung dan kemauan untuk menabung. Kemampuan untuk menabung diukur dari pendapatan bersih masyarakat yang berasal dari selisih keseluruhan pendapatan setelah dikurangi dengan biaya hidup minimum buruh. Sedangkan kemauan untuk menabung diukur dari besarnya surplus, semakin besar surplus semakin besar kemauan untuk menabung. Tuan tanah dan pemilik modal menanamkan modalnya berdasarkan besarnya tingkat keuntungan yang diperoleh.

Keadaan stasioner menurut Ricardo (Jhingan,2010) merupakan kecendrungan alamiah sehingga negara akan mencapai tahap stasioner apabila pemupukan modal meningkat sebagai akibat meningkatnya keuntungan, maka jumlah keseluruhan produksi meningkat sehingga upah juga meningkat, yang pada gilirannya akan menaikkan permintaan gandum dan harganya. Menurut Ricardo, pembangunan ekonomi bergantung pada perbedaan antara konsumsi dan produksi.

Makin kecil rasio konsumsi produksi, maka pertumbuhan ekonomi dapat terjadi lebih cepat. Modal dapat di tingkatkan dengan menaikkan produksi atau mengurangi konsumsi. Dengan adanya penggunaan mesin, peningkatan keterampilan, pembagian kerja akan baik, penemuan pasar yang baru dapat membuat banyak pertukaran yang menguntungkan. Dengan meningkatnya upah, pada gilirannya penduduk akan menaikkan permintaan gandum dan harganya mengakibatkan permintaan jumlah tanah yang subur akan meningkat. Akhirnya sewa tanah mengalami peningkatan, yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan dan rendahnya upah hingga jatuh pada tingkat minimum, bahkan keuntungan berada pada titik nol.

Thomas Robert Malthus yang selalu dikaitkan dengan teori kependudukan, menulis buku dengan judul Principle of Political Economy yang terbit pada 1820. Menurut Malthus proses pembangunan tidak terjadi dengan sendirinya, diperlukan berbagai upaya yang konsisten untuk mencapai tingkat tinggi dari pembangunan (Adisasmitha,2013; Jhingan,2010). Perekonomian tidak mengalami keadaan stasioner, seperti yang digambarkan oleh Smith dan Ricardo, namun mengalami kemerosotan yang berulang kali sebelum mencapai tingkat tersebut.

Malthus menitikberatkan perekonomian pada perkembangan kesejahteraan suatu negara, yaitu pembangunan dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Kesejahteraan sangat bergantung pada produk yang dihasilkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari produk tersebut. Namun, kesejahteraan suatu negara tidak selalu mengalami peningkatan yang proporsional pada nilai. Terkadang peningkatan tersebut bisa terjadi atas dasar penyusutan aktual pada komoditi.

Dalam bukunya tersebut Malthus lebih realistis dalam menganalisis dibandingkan dalam bukunya Essay of Population. Menurut Malthus (Jhingan, 2010), pertumbuhan penduduk saja tidak cukup, demi berlangsungnya pembangunan tanpa adanya peningkatan kesejahteraan yang sebanding. Jika akumulasi modal meningkat, maka permintaan tenaga kerja juga mengalami peningkatan. Kondisi tersebut mendorong pertumbuhan penduduk, namun pertumbuhan penduduk tidak meningkatkan kesejahteraan. Pertambahan penduduk dapat meningkatkan

kesejahteraan jika pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan efektif (effective demand).

Produksi dan distribusi menjadi unsur utama kesejahteraan (Adisasmitha, 2013). Malthus mendefinisikan problem pembangunan ekonomi sebagai sesuatu yang menjelaskan perbedaan antara gross national product (GNP) potensial dan gross national product (GNP) aktual. Problem pokoknya adalah bagaimana mencapai tingkat gross national product (GNP) potensial yang tinggi. Besarnya gross national product (GNP) potensial menurut Malthus adalah bergantung pada tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi. Bila keempat faktor ini digunakan secara proporsional maka akan memaksimalkan produksi dua sektor utama perkonomian yaitu sektor pertanian dan sektor industri secara berkesinambungan. Akumulasi modal, kesuburan tanah dan kemajuan teknologi adalah penyebab utama peningkatan produksi pertanian maupun produksi industri. Selain itu Malthus juga menekankan pentingnya faktor non-ekonomi dalam pembangunan ekonomi, termasuk dalam politik dan moral.

Malthus tidak sependapat dengan hukum Say (Jhingan,2010) yang mengatakan bahwa dalam pasar bebas tidak mungkin terjadi kelebihan produksi (supply creates its own demand). Pada kenyataannya, terdapat kelebihan komoditas di pasar dibandingkan dengan permintaan, hal ini berarti terdapat kekurangan permintaan efektif (effective demand). Oleh karena itu, Malthus (Adisasmitha,2013) mengemukakan beberapa langkah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi , yaitu: pertumbuhan berimbang antara sektor pertanian dan sektor industri; menaikkan permintaan efektif, yang dilaksanakan dengan pendistribusian kesejahteraan dan pemilikan tanah.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Jhon Stuart Mill (Admisasmita, 2013; Jhingan,2010). Ia menganggap pembangunan ekonomi sebagai fungsi dari tanah, tenaga kerja dan modal. Sementara tanah dan tenaga kerja merupakan dua faktor produksi yang asli, selanjutnya modal adalah persediaan yang dikumpul dari produksi turunan. Peningkatan kesejahteraan hanya mungkin terjadi bila tanah dan modal mampu meningkatkan produksi lebih cepat dibandingkan angkatan kerja. Kesejahteraan terdiri dari peralatan, mesin, dan keterampilan angkatan kerja.

Tenaga kerja produktif inilah yang merupakan penciptaan kesejahteraan dan akumulasi modal. Laju akumulasi modal merupakan fungsi dari bagian angkatan kerja yang dipekerjakan secara produktif. Mill percaya pada teori penduduk Malthus (dalam Adisasmitha, 2013). Pembatasan penduduk merupakan langkah yang penting sehingga dapat menikmati hasil kemajuan teknologi dan akumulasi modal.

Mill (dalam Adisasmitha, 2013) mengatakan bahwa laju akumulasi modal bergantung pada, (1) Jumlah dana yang dapat menghasilkan tabungan atau besarnya sisa hasil usaha, (2) Kuatnya kecederungan untuk menabung. Modal adalah hasil dari tabungan dan tabungan berasal dari penghematan konsumsi saat ini demi kepentingan konsumsi pada masa yang akan datang. Tabungan adalah pengeluaran yang menggambarkan keyakinan Mill pada hukum Say.

Tidak adanya kemajuan pada sektor pertanian dan bertambahnya penduduk berdasarkan laju pertumbuhan Malthus yang lebih tinggi daripada laju akumulasi modal, maka tingkat laba berada pada tingkat terendah. Untuk mencegah penurunan laba

tersebut, perlu dilakukan perbaikan teknik, peningkatan perdagangan luar negeri, mengekspor modal ke negara jajahan untuk memproduksi barang konsumsi untuk keperluan negara asal.

Keadaan stasioner akan terjadi dalam waktu dekat. Keadaan stasioner pada akhirnya akan membawa ke arah perbaikan distribusi pendapatan dan upah bagi tenaga kerja. Hal tersebut hanya mungkin terjadi dengan melakukan pengendalian jumlah kelas pekerja melalui kebiasaan berhemat dan melalui pendidikan. Adanya peran pemerintah, meskipun seminimal mungkin dalam perekonomian, dalam pandangan Mill di antaranya memperbaiki redistribusi pemilikian sarana produksi dengan rencana seperti pembagian laba dan kerja sama.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: Pertama, kebijakan pasar bebas. Ahli ekonomi klasik percaya pada keampuhan pasar bebas dalam memecahkan masalah masalah pembangunan. Peran pemerintah seminimal mungkin dalam perekonomian merupakan poin utama dalam teori ini; Kedua, pemupukan modal. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemupukan modal memainkan peran yang penting, sehingga tabungan dalam jumlah yang besar menjadi sumber investasi; Ketiga, keuntungan sebagai rangsangan bagi investasi. Agar dapat menabung dan meningkatkan investasi maka investasi harus mampu dirangsang melalui keuntungan; Keempat, keadaan stasioner. Bahwa akan timbulnya keadaan stasioner pada akhir proses pemupukan modal. Sekali keuntungan mulai menurun, proses ini akan berlangsung terus sampai keuntungan menjadi nol, pertumbuhan pendudukan dan pemupukan modal terhenti, dan tingkat upah mencapai tingkat kebutuhan hidup minimal.

Selanjutnya, Malthus menujukkan adanya korelasi khusus antara pertumbuhan penduduk dan persediaan makanan. Malthus mengatakan bahwa jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka ia akan melampaui pertumbuhan modal dan juga sarana bagi kebutuhan hidup.

Teori Karl Marx tentang Pembangunan Ekonomi

Berbeda halnya dengan aliran klasik, Marx lebih dikenal dengan aliran kiri yang lebih banyak mengkritik teori-teori ekonom klasik. Marx menyumbang kepada teori pembangunan ekonomi dalam tiga hal, yaitu: dalam arti luas memberikan penafsiran sejarah dari sudut ekonomi, dalam arti lebih sempit merinci kekuatan yang mendorong perkembangan kapitalis, dan akhirnya menawarkan jalan alternatif tentang pembangunan ekonomi terencana. Berdasarkan teori nilai lebih, Marx menganggap tenaga lebih memperbesar keuntungan kapitalis. Kapitalis memaksimalkan keuntungan melalui tiga cara yaitu (1) dengan memperjuangkan jam kerja, (2) dengan mengurangi jumlah jam yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya, (3) dengan meningkatkan produktivitas (Admisasmitha, 2013).

Sebetulnya skema bagian Marx yang bisa diterapkan pada negara-negara terbelakang. Negara seperti itu, terutama memiliki perekonomian yang dualistis, terdiri dari sektor kapitalis dan sektor pertanian pangan dan usaha skala kecil yang bisa dikatakan mewakili “dua bagian” dari Marx. Sektor kapitalis inilah yang lebih banyak menghasilkan surplus ekonomi dibandingkan dengan sektor pangan. Pembangunan

ekonomi dapat dipacu lebih cepat dengan mereorganisasikan dan memperluas sektor kapitalis dan mengubah sektor pangan menjapada sektor kapitalis dalam rangka menigkatkan surplus ekonomi. Proses ini membutuhkan perencanaan industrialisasi dan peningkatan ketersediaan komoditi pertanian untuk memenuhi permintaan sektor kapitalis yang semakin berkembang tersebut.

Teori Keynes

Menurut Keynes (dalam Adisasmitha, 2013) bahwa pendapatan total merupakan fungsi dari pekerjaan total (total employment). Semakin besar pendapatan nasional, semakin besar volume pekerjaan yang dihasilkan dan sebaliknya semakin kecil pendapatan nasional, semakin kecil volume tenaga kerja yang dihasilkan. Besarnya volume kesempatan kerja bergantung pada permintaan efektif, yang menentukan tingkat keseimbangan kesempataan kerja dan pendapatan. Permintaan efektif terdiri atas permintaan konsumsi dan permintaan investasi. Permintaan efektif bergantung pada kecendrungan untuk mengonsumsi. Jika volume investasi yang diperlukan tidak terpenuhi maka akan menyebabkan penurunan permintaan agregat, yang lebih rendah dari harga penawaran (Jhingan,2010). Akibatnya, pendapatan dan kesempatan kerja turun pada titik terendah hingga adanya investasi. Jadi, letak perbedaan antara kesempatan kerja dan pendapatan terdapat pada besarnya investasi. Volume investasi bergantung pada efisensi marginal dari modal dan suku bunga.

Bangsa-bangsa di dunia sudah lama menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan utama perekonomian. Masyarakat ingin mengetahui sumber dari pertumbuhan ekonomi, apakah kenaikan standar kehidupan yang dinikmati masyarakat selama ini disebabkan oleh banyaknya modal yang tersedia atau karena kemajuan teknologi, pertanyaan lain adalah apa yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk memperbaiki prestasi ekonominya. Berbagai pertanyaan tersebut merupakan masalah utama yang dibahas dalam teori dan kebijakan pertumbuhan ekonomi.

Model Perubahan Struktural Lewis

Salah satu model dasar (model teoritis) pembangunan yang paling terkenal, yaitu memusatkan perhatian pada transformasi struktural (struktural transformation) suatu perekonomian subsistem, dirumuskan oleh W. Athur Lewis, salah satu ekonom besar. Model dua sektor Lewis, yang diakui sebagai teori umum yang membahas proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga, yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama dekade 1960-an dan awal dekade 1970-an.

Menurut model Lewis perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor (Todaro & Smith,2006), yakni (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja yang sama dengan nol. Lewis mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian maka sektor tersebut tidak akan kehilangan outputnya (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampungan tenaga kerja yang ditransfer secara sedikit demi sedikit dari sektor subsistem. Perhatian utama model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, pertumbuhan output dan peningkatan

penyerapan pada sektor modern (Jhingan, 2010). Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor tersebut. Adapun laju dan kecepatan perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi pada bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan pada sektor modern. Yang terakhir, tingkat upah pada sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi rata-rata upah pada sektor pertanian subsistem tradisional. Lewis berasumsi bahwa tingkat upah pada daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi dari pada rata-rata pendapatan pada daerah pedesaan, untuk memaksa para pekerja pindah dari desa ke kota. Karena jika tingkat upah di daerah perkotaan yang konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna.

Teori Pertumbuhan Neo Klasik

Sejak pertengahan tahun 1950an berkembang teori pertumbuhan ekonomi neoklasik, dipelopori oleh R.M. Solow yang menulis artikel “Contribution to The Theory of Economic, pada tahun 1956 yang kemudian diikuti oleh beberapa ahli ekonomi lainnya, di antaranya Edward Phelps, Harry Johnson, dan J.E. Meade.

Dalam analisis neoklasik, permintaan masyarakat tidak menentukan lajunya pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi bergantung pada pertambahan dalam penawaran faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi. Neoklasik beranggapan bahwa perekonomian akan tetap mengalami tingkat kesempatan kerja penuh dan kapasitas alat-alat modal akan tetap sepenuhnya digunakan dari masa ke masa (Adisasmitha, 2013; Perkin et al, 2001). Solow mengatakan bahwa determinan penting dari pertumbuhan adalah technical progress, kenaikan penawaran tenaga kerja, dan akumulasi modal. Determinan yang paling penting dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita adalah technical progress dan akumulasi modal (Dornbusch,2008).

Teori Pertumbuhan Scumpeter: Peranan Pengusaha dalam Pembangunan

Dalam beberapa dasawarsa pertama abad ke-20, salah satu di antaranya yang terkemuka adalah Joseph Schumpeter, menulis salah satu bukunya yang terkenal The Theory of Economic Development, yang terbit pada tahun 1911. Salah satu pendapat dari Schumpeter yang penting, yang selanjutnya merupakan landasan bagi teori pembangunannya, adalah keyakinannya sistem kapitalis merupakan sistem ekonomi yang paling tepat untuk melakukan pembangunan ekonomi yang pesat. Schumpeter tidak sependapat dengan pandangan ahli ekonomi klasik yang menganggap bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu program yang paling gradual dan berjalan secara harmonis. Menurutnya, pertambahan dalam pendapatan nasional dari masa ke masa perkembangan sangat tidak stabil dan keadaannya ditentukan oleh besarnya peluang pembentukan modal yang menguntungkannya yang akan dilakukan oleh para pengusaha. Ketidakstabilan ini berarti bahwa dalam proses pembangunan ekonomi, kemakmuran dan depresi akan timbul secara silih berganti. Pada suatu masa tertentu perekonomian akan mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi dan pada masa lainnya pengangguran yang serius akan terjadi (Adisasmitha, 2013).

Schumpeter berkeyakinan bahwa pembangunan ekonomi terutama diciptakan oleh inisiatif dari golongan pengusaha yang inovatif dan golongan entrepreneur, yaitu golongan masyarakat yang mengorganisasi dan menggabungkan berbagai faktor produksi untuk memperoleh nilai tambah dari faktor produksi tersebut. Mereka merupakan masyarakat yang menciptakan inovasi atau penemuan baru dalam perekonomian (Adisasmitha, 2013).

Pandangan Schumpeter mengenai jalannya proses pembangunan ekonomi, dalam keadaan tidak terjadi perkembangan atau stasioner, tidak terdapat perkembangan penduduk, tidak ada penambahan modal baru, dan pengangguran baru. Kondisi tersebut memberikan peluang untuk melakukan pembaharuan yang menguntungkan. Kondisi ini akan disadari oleh pengusaha untuk melakukan penanaman modal baru untuk melaksanakan dan menciptakan berbagai pembaharuan. Pada tahap awal hanya ada sedikit pengusaha yang masuk dan pada akhirnya akan diikuti oleh banyak pengusaha lainnya, yang terdorong oleh keuntungan pada sektor tersebut, disertai dengan penanaman modal yang akan mengakibatkan peningkatan kegiatan ekonomi yang tinggi.

Teori Harrod-Domar: Syarat untuk Mencapai Pertumbuhan Mantap (Stasionary Growth)

Teori Harro-Domard merupakan perluasan dari analisis Keynes mengenai kegiatan ekonomi nasional dan masalah penggunaan tenaga kerja. Berbeda halnya dengan Keynes yang berbicara pertumbuhan dalam jangka pendek, analisis Harrod-Domar bertujuan menutupi kelemahan analisis Keynes. Pada dasarnya, teori Harrod-Domar berusaha untuk menunjukkan syarat yang diperlukan agar pertumbuhan yang mantap atau steady growth, merupakan pertumbuhan yang akan selalu menciptakan penggunaan sepenuhnya alat-alat modal akan selalu berlaku dalam perekonomian (Adisasmitha, 2013).

Selanjutnya Teori Harrod-Domard memerhatikan (1) fungsi dari pembentukan modal dari kaum klasik, dan (2) tingkat pengeluaran masyarakat dari Keynes. Teori Harrod-Domar bersesuaian dengan pendapat Keynes yang menganggap bahwa pertambahan dalam kesanggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan menciptakan pertambahan produksi dari kenaikan pendapatan nasional. Pertambahan produksi dan pendapatan nasional bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas memproduksi melainkan oleh kenaikan pengeluaran masyarakat. Dengan demikian, kapasitas memproduksi bertambah, jika pendapatan nasional baru akan bertambah dan pertumbuhan ekonomi tercapai. Sehingga pengeluaran masyarakat mengalami kenaikan bila dibandingkan pada masa sebelumnya. Bertitik tolak dari pandangan ini, analisis Harrod-Domar bertujuan untuk menujukkan kemampuan masyarakat yang bertambah dari masa ke masa akan selalu digunakan (Adisasmitha, 2013). Teori petumbuhan Harrod-Domar mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan ditentukan secara bersama-sama oleh besarnya rasio tabungan nasional, serta rasio modal-output nasional (Todaro & Smith,2006).

Teori Pembangunan Seimbang

Teori Pembangunan Seimbang (balanced development) diciptakan oleh Ragnar Nurkse (1960), namun teori tersebut pertama kali dikemukakan oleh Rosentein Rodam (1957). Teori tersebut yang beranggapan bahwa melaksanakan industralisasi di daerah yang kurang berkembang, merupakan cara untuk menciptakan pembagian pendapatan yang lebih merata di daerah kurang berkembang, dengan lebih cepat daripada di daerah lebih kaya. Pembangunan seimbang diarahkan pada pembangunan berbagai jenis industri yang mempunyai kaitan erat satu sama lain secara serentak, sehingga setiap industri akan memperoleh eksternalitas ekonomi sebagai akibat dari industrialisasi, misalnya pengangguran pada sektor pertanian (disguised unemployment) dipekerjakan dalam suatu industri, produksi suatu industri tersebut meningkat, pendapatan pekerja bertambah, sebagaian dibelanjakan untuk membeli berbagai barang hasil produksi industri lain dan sebagian sisanya digunakan untuk membeli bahan makanan hasil sektor pertanian, produksi industri secara luas meningkat. Di samping itu, produksi sektor pertanian meningkat pula, maka terjadi pembangunan yang seimbang pada sektor industri dan sektor pertanian (Adisasmita,2013; Perkin, et al,2001).

Pendapat Nurkse tidak banyak berbeda dengan Rosenstein-Rodan dalam mengemukakan alasan tentang perlunya melaksanakan program pembangunan seimbang dalam pembangunan ekonomi, bukan hanya menghadapi kesuksesan dalam memperoleh modal yang diperlukan melainkan juga dalam mendapatkan pasaran untuk barang-barang yang dihasilkan oleh berbagai industri yang akan dikembangkan. Penanaman modal sangat rendah karena rendahnya pendapatan rill masyarakat, yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa dorongan untuk melakukan penanaman modal dibatasi oleh luasnya pasar. Faktor yang terpenting yang menentukan luasnya pasar adalah tingkat produktivitas (Adisasmitha,2013).

Teori pembangunan seimbang menganjurkan pembangunan sektor pertanian dan sektor industri dilaksanakan secara bersamaan, secara simultan, secara serentak dan serempak. Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan karena negara-negara berkembang sebagaian besar penduduk berdomisili dan bermata pencaharian pada sektor pertanian, nilai produksi sektor pertanian mempunyai peranan besar dalam produk domestik bruto (PDB). Sektor industri diharapkan menjadi soko guru perekonomian, yaitu memberikan lapangan kerja banyak, memberikan pendapatan kepada masyarakat, menghasilkan devisa negara, memperlunak dampak turunnya harga komoditias pertanian pada pasar internasional, dan akan memperkokoh struktur perekonomian, meskipun pada dewasa ini kontribusinya terhadap nilai pendapatan dalam negeri masih kecil (Adisamsitha, 2013; Jhingan,2010).

Dengan melaksanakan pembangunan ekonomi yang seimbang, terutama ditekankan pada sektor pertanian dan sektor industri diharapkan akan memperkokoh struktur perekonomian, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.

Kesimbangan juga dibutuhkan antara sektor dalam negeri dan sektor luar negeri. Penerimaan ekspor adalah sumber penting untuk membiayai pembangunan; impor meningkat begitu produksi dan tenaga kerja meluas, dan perdagangan dalam negeri

sendiri membutuhkan peningkatan impor untuk bahan-bahan dan peralatan yang perlu. Untuk membayar peningkatan impor, sambil memberi kemungkinan pada ekspor membiayai pembangunan sebanyak mungkin, negara tidak dapat memperluas perdagangan dalam negeri dengan mengorbankan perdagangan luar negeri. Sektor dalam negeri harus dapat tumbuh seimbang dengan perdagangan luar negeri. Nurkse melihat bahwa pertumbuhan berimbang adalah pondasi kuat untuk perdagangan internasional dan juga suatu cara untuk mengatasi kekosongan pada batas luar.

Teori Permbagunan Tidak Seimbang

Berbeda dengan teori pertumbuhan seimbang, teori pertumbuhan tidak seimbang menyatakan bahwa tidak ada negara yang memiliki modal dalam jumlah yang sangat besar untuk melakukan pembangunan pada semua sektor. Oleh karena itu, investasi seharusnya dilakukan pada beberapa sektor atau industri yang telah terpilih agar hasilnya cepat berkembang, dan hasil tersebut dapat digunakan untuk membangun sektor-sektor yang lain. Dengan demikian, perekonomian secara berangsur-angsur akan tumbuh dan berkembang dari tidak seimbang menuju ke arah pertumbuhan yang seimbang. Ahli ahli ekonomi ini di antaranya C.P. Kindleberge, H.W. Singer dan Albert Hirschman (Jhingan, 2010; Perkin, et al,2001). Pendukung strategi pertumbuhan tidak seimbang lebih menyukai investasi pada sektor terpilih dari pada investasi secara serentak pada semua sektor ekonomi. Investasi pada sektor terpilih menghasilkan peluang-peluang investasi baru. Hal ini hanya dapat dicapai dengan cara membuat ketidakseimbangan ekonomi dengan sengaja.

Hirschman menganjurkan pendirian industri tahap akhir lebih dahulu. Dalam pembuatan industri, suatu negara sedang berkembang tidak perlu mengusahakan semua tahap produksi secara serentak, melainkan ia dapat mengimpor pabrik “converting, assembelling dan mixing” bagi sentuhan akhir, produk yang hampir jadi. Industri tahap akhir juga dikenal sebagai industri kantong impor (import enclave industries). Meskipun demikian, industri ini jauh berbeda dengan industri kantong ekspor (export enclave industries). Industri kantong ekspor terpaksa menghasilkan dampak kaitan maju bagi perekonomian. Akan tetapi, industri kantong impor tersebut memberikan dampak kaitan mundur yang sangat luas dan mendalam. Dampak kaitan mundur penting, tidak hanya dari produksi sekunder dan produksi primer. Dampak kaitan mundur merupakan hasil kombinasi berbagai industri tahap akhir dalam suatu negara. Kaitan mundur lahir karena kenaikan permintaan. Oleh karena itu, permintaan atas barang-barang yang sekali waktu paling ekonomis, jika diimpor mungkin pada waktu tertentu meningkat begitu besar, sehingga membenarkan produksi tahap akhir di dalam negeri.

Dengan kata lain, permintaan pada batas tertentu, akan lebih menguntungkan jika memproduksi di dalam negeri, setelah batas itu tercapai lebih menguntungkan untuk mengimpornya. Pada tahap pra-natal tidak perlu memberikan jenis perlindungan industri bayi sampai industri tersebut mapan. Pemberian kelonggaran pajak merupakan piranti yang sesuai bagi perlindungan sementara. Hirchman berpendapat bahwa negara terbelakang tidak memberikan peranan penting kepada ekspor di dalam pembangunan ekonomi mereka. Mereka sering memperlakukan ekspor seperti anak tiri, tapi memang

tidak ada pilihan nyata antara promosi ekspor dan subtitusi impor. Yang mana impor merupakan satu-satunya cara praktis untuk mencapai yang kemudian itu.

Hirchman meringkaskan strategi pembangunan ekonominya dalam ungkapan berikut ini, pembangunan ekonomi secara khas berjalan menurut lintasan pertumbuhan tak berimbang; bahwa keseimbangan pulih sebagai akibat dari tekanan, rangsangan dan paksaan; bahwa lintasan efisen ke arah pembangunan ekonomi mungkin agak tak teratur dan dipenuhi dengan kemacetan dan kekurangan keterampilan, fasilitas, jasa dan produksi; bahwa pembangunan industri akan berlanjut sebagian besar melalui kaitan mundur yakni dari industri terakhir ke industri menengah dan industri dasar.

Meskipun berbeda dalam pendekatan, kedua doktrin pertumbuhan tersebut mempunyai dua masalah yang sama, yaitu (1) berhubungan dengan peranan negara, dan (2) keterbatasan penawaran modal. Diperlukan peranan negara dan tersedianya modal untuk investasi (Adisasmitha, 2013).

Konsep Pembangunan Desa

Pembangunan desa merupakan discourses yang masuk dalam kajian ekonomi pembangunan. Daerah pedesaan merupakan representatif kehidupan sosial-ekonomi di negara-negara berkembang. Sebab, sebagian besar penduduk di negara berkembang bermukim di pedesaan dan mayoritas penduduknya bergantung pada sektor pertanian dan berada di bawah garis kemiskinan. Salah satu ciri penting dari penduduk pedesaan adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih merupakan modal utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah pedesaan. Di sini, untuk mengklasifikasi penduduk desa menurut akses terhadap tanah atau keterlibatan dalam pertanian, dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah “household survival strategies” sebagai cara penduduk desa mengatasi persoalan-persoalan yang muncul (Michel P. Todaro).

Dalam prespektif pembangunan, Boeke yang pernahh melakukan penelitian di Indonesia, khususnya pulau Jawa menemukan bahwa perekonomian terbagi dalam sektor tradisional dan modern yang saling tidak berhubungan. Menurut Boeke, dalam rangka mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistik tersebut, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi, meskipun hasilnya tak akan segera tampak. Sebaliknya, Geertz menyatakan upaya perbaikan apa pun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott, persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas sosial, yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan daripada rasionalitas ekonomi, sehingga pendekatan ekonomi akan sulit bekerja pada masyarakat desa. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi, malahan akan menimbulkan resistensi. Ketidakmampuan menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang membuat banyak kebijakan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan (Ahmad Erani Yustika, 2013).

Ide dualisme ekonomi yang diinisiasikan oleh Boeke tersebut, pada akhirnya, diakui atau tidak, menjadi diskursus penting dalam proses pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang. Seperti yang telah disarikan oleh Ellis dan Biggs, model

dualisme ekonomi menjadi isu strategis pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang pada akhir tahun 1950-an. Pada fase pertama ini, tujuan pembangunan pedesaan diarahkan dari pembangunan komunitas ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil. Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil dilanjutkan kepada upaya pembangunan pedesaan yang terintegrasi, di antaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi dan penyuluhan pertanian. Ketiga, pergeseran pembangunan pedesaan yang dipandu negara menuju liberalisasi pasar melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar. Keempat, pembangunan pedesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan pedesaan, di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaringan pengamanan pedesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan pedesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiksinan.

Berdasarkan enam fase tersebut maka diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor pedesaan sudah lama terjadi (sejak tahun 1960-an), melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revoluasi hijau, dan penciptaan petani yang rasional. Dengan demikian, setiap komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, apabila sifat dari komersalisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Posisi pemilik modal yang relatif tinggi tersebut bukan hanya disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi melainkan juga disumbangkan oleh oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak, sehingga petani tidak mampu menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi, apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menimbun barang tanpa menimbulkan kerugian, namun hal ini nyaris mustahil dilakukan karena petani tidak memiliki modal untuk membeli fasilitas tersebut. Akhirnya, seperti yang sudah diduga, berhadapan dengan berbagai kendala kelembagaan, teknologi, dan iklim, sehingga petani kurang berdaya dalam merespon realitas tersebut, dimana membutuhkan intervensi eksternal dalam merespon situasi yang dihadapi..

Jadi, berdasarkan uraian tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah pedesaan adalah penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal diindentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Sebaliknya, tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan pedesaan akhirnya meluncurkan program kredit mikro, sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor finansial di pedesaan.

Pada umumnya lembaga keuangan di pedesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis: pertama, lembaga keuangan formal; kedua, lembaga keuangan semi-formal; ketiga, lembaga keuangan informal. Pada suatu Negara, lembaga keuangan formal biasanya secara operasional diatur dalam undang-undang perbankan dan disupervisi oleh bank sentral. Lembaga keuangan tersebut bisa bank pemerintah maupun swasta. Sementara itu, bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen pemerintah, selain bank sentral. Terakhir, lembaga informal

beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah. Lembaga ini berisi berbagai kegiatan yang benar-benar di luar kelembagaan keuangan resmi, yang sering kali tidak dicatat. Sungguh pun demikian, tidak berarti sektor keuangan informal merupakan kegiatan ilegal. Lembaga keuangan ini tetap legal, hanya saja tidak diregulasi (Soyibo, 1997). Lembaga keuangan informal ini bukan sekadar meyediakan uang cash untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang juga memberikan bantuan dalam bentuk barang. Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan informal ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup wilayah di pedesaan (Ahmad Erani Yustika, 2013).

Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah pada tipe kesepakatan yang dibuat dalam bentuk sistem kontrak. Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya prasyarat agunan, model pembayaran, dan sanksi apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sebaliknya, lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak menggunakan sistem kontrak, karena biasanya tidak ada persyaratan agunan maupun sanksi. Berdasarkan karateristik tersebut, lembaga keuangan informal biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan. Menurut Kasryno (1983) lembaga kredit informal sangat berkembang dalam masyarakat pedesaan akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal bagi sebagian besar masyarakat pedesaan, terutama petani kecil dan buruh tani yang selalu memerlukan kredit dengan pelayanan yang terjangkau oleh mereka.

Khusus sektor pertanian, setidaknya terdapat tiga sumber kredit informal di wilayah pedesaan: pertama, pemilik tanah bagi penyakap; kedua, petani penggarap bagi buruh tani; ketiga, pelepas pinjaman pedesaan (rentenir/tengkulak). Akibat hubungan yang sangat erat antara penyakap dan pemilik lahan, menjadikan pihak yang pertama tidak hanya bergantung secara ekonomis kepada pihak kedua. Dalam banyak hal, secara sosial politik mereka juga mengikuti apa saja yang diinginkan oleh pemilik lahan. Bahkan, disengaja maupun tidak, hubungan itu sengaja dilanggengkan oleh pemilik lahan demi berbagai kepentingan yang bersifat politis. Sisi lain, salah satu hal yang menjadi ketertarikan petani melakukan kredit pada pemilik lahan/tengkulak adalah karena sifatnya yang fleksibel, prosedurnya tidak rumit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Hal inilah yang menyebabkan petani tetap meminjam pada tengkulak meskipun bunga kredit yang dikenakan sangat tinggi. Dalam prespektif ini sesungguhnya apa yang dilakukan oleh petani tetap rasional.

Pembangunan desa dan pembangunan masyarakat desa secara definisi merupakan dua istilah yang sedikit berbeda. Sumarjan (Nurman, 2015) menyebutkan bahwa pembangunan masyarakat desa (community development) merupakan usaha pembangunannya hanya diarahkan pada kualitas manusia, sedangkan pembangunan desa (rural development) mengusahakan pembangunan masyarakat yang dibarengi lingkungan hidupnya. Berdasarkan pengertian tersebut, pembangunan masyarakat desa mengandung maksud pembangunan dengan pendekatan kemasyarakatan dan pengorganisasian masyarakat. Sedangkan pembangunan desa sebagai rural

development lebih luas, dimana pembangunan masyarakat desa sudah tercakup di dalamnya, bahkan sekaligus terintegrasi pula pada sebagai usaha pemerintah dan masyarakat yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan dan penghidupan.

Tujuan pembangunan desa diarahkan pada upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan desa diarahkan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur, material spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Secara rinci, Djiwadono (Nurman, 2015) menyebutkan bahwa tujuan pembangunan desa meliputi: pertama, tujuan ekonomi meningkatkan produktivitas di daerah pedesaan dalam rangka mengurangi kemiskinan di daerah pedesaan; kedua, tujuan sosial diarahkan kepada pemerataan kesejahteraan penduduk desa; ketiga, tujuan kultural dalam arti meningkatkan kualitas hidup dari masyarakat pedesaan; dan keempat, tujuan kebijakan menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat secara maksimal dalam menunjang usaha-usaha pembangunan, serta dalam memanfaatkan dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan. Jelas sekali bahwa usaha untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut sangat erat kaitannya dengan masalah kemampuan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya modal. Napitupulu (Nurman, 2015) mengatakan bahwa sumber daya manusia merupakan masalah yang paling penting, terutama dalam hal partisipasi masyarakat secara maksimal dalam usaha-usaha pembangunan dan pemanfaatan dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan.

Pembangunan desa dan pembangunan masyarakat desa sebagai usaha pemerintah dan masyarakat, yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan dan penghidupan. Kedua pengertian tersebut tidak perlu dibedakan secara mutlak. Karena pada hakikatnya di dalam pembangunan desa mencakup pembangunan masyarakat desa.

Desain kelembagaan sektor Finansial Berdasarkan gambaran tersebut, sesungguhnya persoalan lembaga keuangan di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Pertama, masalah akses kredit. Karakter masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil (subsistem) menyebabkan mereka tidak memiliki aset yang cukup untuk digunakan sebagai agunan. Akibatnya, akses kredit mereka ke lembaga keuangan formal menjadi sangat terbatas. Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah, sehingga menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal. Bentuk manipulasi itu bermacam-macam, misalnya pengenaan suku bunga lebih tinggi dari kebijakan pemerintah maupun pemberi kredit yang sangat terlambat sehingga menggangu usaha yang direncanakan. Ketiga, informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam. Setiap lembaga keuangan formal memiliki keterbatasan untuk mengenali kemampuan ekonomi dan usaha dari tiap pelaku usaha di pedesaan, sehingga mereka cenderung hati-hati dalam menyalurkan kredit. Implikasinya, lembaga keuangan formal hanya melihat agunan sebagai kriteria

pemberian pinjaman, karena apabila terjadi kasus kegagalan mereka tetap tidak ada resiko kehilangan uang yang dipinjamkan. Akan tetapi pada titik itulah kelembagaan keuangan informal masuk untuk mengisi keterbatasan yang tidak dapat dijangkau oleh lembaga keuangan formal. Misalnya, pelaku ekonomi skala kecil di pedesaan, seperti petani, usaha kecil, nelayan dan lain-lainnya tidak perlu memberikan agunan kepada tengkulak, rentenir atau tetangga serta kerabat.

Lebih dari itu, Soyibo (1997) mencatat kehadiran lembaga keuangan informal itu bisa didekati dari dua prespektif. Pertama, pemikiran represi keuangan. Pendekatan ini yang pertama kali digagas oleh McKinnon (1973) dan Shaw (1973), beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari regulasi pemerintah yang besar-besaran terhadap sektor keuangan formal, seperti penggunan kebijakan kredit langsung, suku bunga ganda dan preferensi alokasi kredit kepada pemerintah dan cabang-cabangnya. Celakanya, praktik ini rawan penyuapan dan korupsi di antara bank dan pejabat pemerintah, sehingga menyebabkan biaya untuk mendapatkan dana bagi kelompok miskin menjadi sangat mahal.

Kedua, pemikiran strukturalis, dimana pendekatan ini melihat munculnya lembaga keuangan informal di luar motif ekonomi. Menurut aliran ini, sistem keuangan informal merupakan subordinat dari sistem keuangan formal. Perspektif ini menyebabkan segmentasi pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, melainkan karena lembaga keuangan informal memang melayani kelompok sosial lain. Lembaga keuangan informal mendistribusikan pendapatan di antara anggota komunitas dan menyediakan bentuk-bentuk jaminan sosial yang bisa mengatasi fluktuasi likuiditas masyarakat miskin. Anggota-anggota komunitas tersebut mengeskpresikan solidaritasnya berdasarkan hubungan kekeluargaan, etnisitas dan agama.

Dengan memetakan kelebihan dan kekurangan dari dua jenis lembaga keuangan tersebut, yakni lembaga keuangan formal/semi-formal dan informal, akan lebih mudah diperoleh gambaran model kelembagaan sektor finansial yang dapat dikembangkan di pedesaan. Dalam konteks lembaga keuangan formal, kelemahan yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang berat dan birokratis yang berbelit sehingga memperkecil akses masyarakat kecil di pedesaan untuk mendapatkan kredit. Akibatnya, seperti telah diuraikan sebelumnya, umumnya lembaga keuangan formal yang dibentuk oleh pemerintah banyak yang mengalami kegagalan, setidaknya kinerjanya mengecewakan, kecuali untuk kasus BRI di Indonesia. Namun lembaga keuangan formal ini tetap laik dikembangkan karena memiliki kelebihan dalam beberapa hal, misalnya pengenaan bunga kredit yang lebih rendah.

Selain itu, lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku usaha skala kecil membuat business plan yang benar, sehingga secara tidak langsung memberikan bekal keterampilan kepada masyarakat kecil untuk menjadi wirausahawan yang baik. Dalam jangka waktu yang akan datang, aspek yang harus diperbaiki dari lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai agunan dan pemangkasan birokrasi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan antara lain, pemerintah bisa menjadi peminjam agunan dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga keuangan formal maupun semi-formal.

Sementara itu, untuk lembaga keuangan informal, kelebihan yang paling nyata adalah prosedurnya yang sederhana dan terjangkau, tanpa agunan, hubungannya yang cair dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karateristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di pedesaan yang memiliki aset terbatas, tingkat pendidikan rendah, dan siklus pendapatan yang tidak teratur. Karateristik masyarakat pedesaan seperti itu yang ditangkap dengan baik oleh pelaku lembaga keuangan informal, sehingga eksistensinya lebih mudah diterima oleh masyarakat kecil. Namun kelemahan utama dari lembaga keuangan informal, yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung eksploitatif kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat mendesain regulasi dengan jalan membatasi tingkat suku bunga atau memperluas akses masyarakat miskin kepada kredit formal, sehingga dalam jangka panjang tingkat bunga lembaga keuangan informal akan tertekan. Model inilah yang harus diadopsi agar kepentingan masyarakat kecil tidak dirugikan.

Ada dua langkah yang bisa dilakukan melalui strategi semacam itu. Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan lembaga keuangan formal. Model ini mengasumsikan pelaku lembaga formal keuangan informal lebih mengetahui jejak rekam dari pelaku ekonomi di pedesaan, sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan dapat diperkecil. Dengan demikian, biaya mencari informasi, negosiasi, dan pengawasan menjadi murah (lower transaction cost).

Melalui pemahaman ini, lembaga keuangan informal bisa diajak bekerjasama sebagai channeling kredit dari lembaga keuangan formal di pedesaan. Tentunya, dengan konsekuensi memberikan kompensasi keuntungan kepada pelaku lembaga keuangan informal, yang dijadikan sebagai agen untuk mencari dan mengeksekusi kredit kepada masyarakat. Selanjutnya, lembaga keuangan informal sebagai prinsipal yang menyediakan dana. Dengan model tetap bisa hidup, masyarakat memiliki akses kepada modal/kredit yang lebih besar, dan lembaga keuangan formal semakin mudah untuk menyalurkan dananya.

Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hierarki masyarakat pedesaan, baik struktur nilai-nilai maupun struktur sosial. Dalam posisi seperti ini, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat lokal, misanya kasus pengembangan BPR. Penelitian yang pernahh dilakukan menunjukkan beberapa BPR yang menyerap sistem dan adat dalam mencegah terjadinya kredit macet. Sebaliknya, BPR yang menggunakan perangkat dan kelembagaan baku yang disodorkan oleh Bank Indonesia banyak terjebak dengan persoalan kredit macet sehingga membuat kinerja BPR mejadi buruk.

Kasus di wilayah Bali dan Padang membuktikan hal itu, dimana keberhasilan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) tidak lepas dari kedudukannya sebagai lembaga keuangan yang sarat dengan nilai adat. Ketua LPD adalah Kepala Adat. Sementara itu, pengurusnya ditentukan oleh Kepala Adat melalui musyawarah, dan yang terpilih biasanya adalah orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki integritas tinggi terhadap moral, dan tidak cacat di masyarakat.

Akibat perkembangan yang luar biasa membuat beberapa bank komersil berskala internasional pun ikut serta membuka unit lembaga keuangan mikro, sebab sektor ini dipandang dapat menghasilkan profit yang lumayan besar. Tentu saja,

perkembangan ini menimbulkan sisi positif, meskipun akibat persaingan yang makin ketat membuat kompetisi terkadang menjadi tidak adil, khususnya di antara pemain skala besar dengan pelaku level gurem. Pemerintah tidak boleh tinggal diam dan harus mengambil peran dalam melahirkan regulasi dan aturan main yang solid terhadap lembaga keuangan mikro, agar keberadaannya tidak semata berorientasi profit, melainkan memiliki misi pelayanan terhadap kaum miskin harus dikedepankan. Akhirnya, persoalan pembangunan di pedesaan tidak cukup hanya ditangani dengan membentuk lembaga keuangan semata, namun juga dimensi lain yang tidak kalah penting, misalnya infrastruktur ekonomi, seperti jalan, jembatan dan irigasi, akses terhadap kesehatan, pendidikan dan lain-lainnya.

Perencanaan Pembangunan Desa Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah desa perlu menyusun

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan pembangunan, pelaporan, serta monitoring dan evaluasi dengan pelibatan komponen seluruh masyarakat desa. Tahapan-tahapan tersebut diharapkan mampu melestarikan kegiatan pembangunan, dapat mendorong peningkatan kesejahteraan serta menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan desa. Program pembangunan disusun tidak hanya melihat besarnya ketersediaan potensi dana dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki suatu desa, akan tetapi juga melihat apa yang menjadi permasalahan yang ada di desa.

Prioritas program dan kegiatan pembangunan tersebut dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat desa yang meliputi; a. Peningkatan kapasitas penyelenggaraan pemerintah desa b. Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan c. Pembangunan serta pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan

kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia d. Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif e. Pemanfaatan teknologi tepat guna demi kemajuan ekonomi f. Pemberdayaan sumber daya alam g. Pelestarian adat istiadat dan sosial budaya desa h. Peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa berdasarkan

kebutuhan masyarakat desa i. Peningkatan kapasitas masyarakat dan lembaga kemasyarakatan desa.

Sementara itu, arah kebijakan dan strategi pembangunan dan pemberdayaan desa, di antaranya adalah (KEMEDES, 2016); 1. Pemenuhan standar dan pelayanan minimum desa sesuai dengan kondisi geografis

desa melalui berbagai strategi, salah satunya menyusun dan memastikan terlaksananya NSPK SPM desa (antara lain perumahan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, perhubungan antar pemukiman ke pusat pelayanan pendidikan, pusat pelayanan kesehatan dan pusat kegiatan ekonomi, pengairan, listrik dan telekomunikasi);

2. Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa, strategi: (i) penataan dan penguatan BUMDes untuk mendukung ketersediaan sarana prasarana produksi khususnya benih, pupuk, pengelolahan produk pertanian

dan perikanan skala rumah tangga desa; (ii) fasilitas, pembinaan, maupun pendampingan dalam mengembangkan usaha, bantuan permodalan/kredit, kesempatan berusaha, pemasaran dan kewirausahaan ; dan (iii) meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan dan pengembangan teknologi tepat guna pedesaan;

3. Pembangunan sumber daya manusia, peningkatan keberdayaan, dan pembentukan modal sosial budaya masyarakat desa untuk mendukung peningkatan karakter jati diri bangsa melalui revolusi mental, dengan strategi: a. Mengembangkan pendidikan berbasis keterampilan dan kewirausahaan; b. Mendorong peran aktif masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan; c. Mengembangkan kapasitas dan pendampingan lembaga kemasyarakatan desa

dan lembaga adat secara berkelanjutan; d. Menguatkan partisipasi masyarakat dengan pengarusutamaan gender, termasuk

anak, pemuda, lansia dan penyandang disabilitas dalam pembangunan desa; e. Penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan masyarakat desa dalam

meningkatkan ketahanan sosial, lingkungan keamanan dan politik; f. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan

monitoring pembangunan desa; dan g. Meningkatkan partisipasi dan kapasitas tenaga kerja (TKI/TKW) di desa

Kementerian Desa PDT, berupaya mendorong terbangunnya korelasi antara desa dan kota, sebagai bagian dari strategi pembangunan kawasan pedesaan di Indonesia. Mengacu pada Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2015-2019, Kementrian desa, PDT, dan transmigrasi membuat pemetaan tahapan proses. Untuk 5.000 desa tertinggal menjadi desa berkembang, tahapannya adalah tahun 2015 - 2016 sebanyak 500 desa, kemudian 2016 - 2017 sebanyak 1.000 desa, lalu tahun 2017 - 2018 sebanyak 1.500 desa, dan tahun 2018 - 2019 sebanyak 2.000 desa, sehingga dalam lima tahun total 5.000 desa tertinggal menjadi desa berkembang.

Salah satu upaya yang dilakukan dengan mengembangkan ekonomi kawasan pedesaan sebagai wilayah yang kegiatan utama pada sector pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan, sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan mengembangkan sentra produksi, sentra industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, serta membangun destinasi pariwisata. Selanjutnya, akses transportasi desa dengan pusat pertumbuhan ekonomi lokal atau pun wilayah harus terus di tingkatkan. Selain itu, dikembangkan juga kerja sama antar desa, antar daerah, dan antar pemerintah–swasta, termasuk kerjasama pengelolaan BUMDes, serta mendorong pembangunan sarana bisnis atau pun pusat bisnis di pedesaan. Ruang lingkup pengembangan ekonomi pedesaan meliputi: 1. Meningkatkan kegiatan ekonomi desa yang berbasis komoditas unggulan, melalui

pengembangan rantai nilai, peningkatan produktivitas, serta penerapan ekonomi hijau;

2. Menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan pasar desa;

3. Meningkatkan akses masyarakat desa terhadap modal usaha, pemasaran dan informasi pasar. Mengembangkan lembaga pendukung ekonomi desa seperti BUMDes, koperasi dan lembaga mikro lainnya.

Menindaklanjuti kebijakan tersebut, kapasitas pemangku kepentingan dari tingkat pusat hingga desa menjadi variabel yang sangat menentukan dalam mengeksekusi putusan tersebut. Perangkat desa sebagai barisan terdepan, yang bersentuhan langsung dengan objek pembangunan harus mampu menafsirkan kebijakan tersebut ke dalam berbagai program strategis pembangunan desa.

Penetapan program tersebut tidak lepas dari hasil analisis potensi desa yang dilakukan sebagai tahapan awal dalam proses perencanaan pembangunan di desa. Namun, fenomena yang sering ditemukan di lapangan, banyaknya dokumen perencaaan yang dimiliki desa merupakan dokumen lama atau copypaste milik desa lain yang tidak sesuai dengan keadaan desa tersebut saat ini. Bahkan tidak jarang juga ditemukan bahwa banyak desa yang tidak memiliki dokumen perencanaan pembangunan sendiri.

Masing masing desa memiliki kondisi geografis maupun sosial yang berbeda beda sehingga dokumen perencanaan tersebut perlu ditindaklanjuti ke tingkat yang lebih tinggi agar terbangun integritas pembangunan di kawasan tersebut. Pembangunan desa yang terintegrasi menjadi pembangunan daerah maupun nasional dapat menjadi jembatan yang menghubungkan sektor-sektor ekonomi yang saling terkait, baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages). Dengan menggunakan strategi pembangunan tidak seimbang dan pembangunan yang terintegrasi, dapat terlihat jelas peran dari masing masing pemangku kepentingan sehingga tidak terjadi saling lempar tanggung Jawab dalam urusan pembangunan.

Salah satu bentuk kewenangan desa dalam pembangunan adalah mewujudkan pembangunan desa yang diatur melalui Permendesa PDTT nomor 1 tahun 2015. Kriteria kewenangan desa meliputi: 1. Pembangunan desa mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan

masyarakat; 2. Pembangunan desa memiliki lingkungan pengaturan dan kegiatan, yang hanya

berada di dalam wilayah dan masyarakat desa sehingga memberi dampak internal desa;

3. Pembangunan desa berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari hari masyarakatnya

4. Program/kegiatan yang telah dijalankan oleh desa atas dasar prakarsa desa; 5. Program/kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh desa; 6. Program/kegiatan yang menyangkut kewenangan lokal berskala desa yang telah

diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah, pembangunan, kemasyarakatan dan pemberdayaan desa.

Pelaksanaan kewenangan tersebut memiliki konsekuensi terhadap penyelarasan pelaksanaan program pemerintah ke desa. Pasal 20 UU Desa menegaskan, bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa (sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf [a] dan [b] UU Desa) diatur dan

diurus oleh desa. Pasal ini terkait dengan pasal 18 ayat 4 dan 5. Pembangunan lokal berskala desa dilaksanakan sendiri oleh desa dan pelaksanaan program sektoral yang masuk ke desa, diinformasikan kepada pemerintah desa untuk diintegrasikan dengan pembangunan desa.

Implementasi kewenangan tersebut di lapangan harus diintegrasikan dengan kemampuan, kebutuhan dan kondisi lokal desa melalui prakarsa masyarakat. Mengingat tujuan pembangunan desa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pembangunan potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Proses perencanaan pembangunan desa dilaksanakan dengan mengedepankan semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong demi mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan. Pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam pembangunan merupakan wujud pengarusutamaan perdamaian dan keadilan, terutama elemen masyarakat yang selama ini selalu termarjinalkan di antaranya anak-anak, perempuan, warga lanjut usia dan warga berkebutuhan khusus (disabilitas) sehingga pembangunan desa dapat dirasakan dampaknya secara merata oleh seluruh warga desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 114 tahun 2014 tentang pedoman pembangunan desa menguraikan, bahwa yang dimaksud perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan unsur masyarakat secara partisipatif, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. Dalam UU Desa pasal 78 dan 79 mensyaratkan keharusan pemerintah desa untuk melaksanakan perencanaan pembangunan desa, dalam rangka menyusun visi bersama membangun desa antara masyarakat dan pemerintah desa. Visi bersama itu kemudian diselaraskan dengan rencana pembangunan kabupaten/kota yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM Desa) dan Rencanan Kerja Pemerintah (RKP Desa) serta ditetapkan dalam peraturan desa.

Dengan adanya perencanaan pembangunan desa tersebut maka akan memberikan arah kepada kepala desa dan pemangku kepentingan lainnya, dalam mencapai visi dan misi desa, menyelaraskan pelaksanaan kebijakan pembangunan baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Perencanaan pembangunan desa dilaksanakan melalui beberapa tahapan di antaranya: I. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa)

Kepala desa menyelenggarakan penyusunan RPJM Desa dengan mengikutsertakan unsur masyarakat desa. Penyusunan RPJM Desa dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi objektif desa dan selaras dengan prioritas program dan kegiatan kabupaten/kota. Penyusunan RPJM Desa, dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: a. Pembentukan tim penyusunan RPJM Desa b. Penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota

c. Pengkajian keadaan desa d. Penyusunan rencanana pembangunan desa melalui musyawarah desa e. Penyusunan rancangan RPJM Desa f. Penyusunan rencanan pembangunan desa melalui musyawarah perencanaan

pembangunan desa g. Penetapan RPJM Desa

II. Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) Penyusunan RKP Desa sebagaimana penjabarannya dalam RPJM Desa oleh

pemerintah desa, disusun oleh pemerintah desa sesuai dengan informasi dari pemerintah kabupaten/kota berkaitan dengan pagu indikatif desa dan rencana kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kapupaten/kota paling lambat pada bulan Juli tahun berjalan. RKP Desa ditetapkan dengan peraturan desa paling lambat akhir September tahun berjalan. RKP Desa menjadi dasar penetapan APB Desa. Dalam menyusun RKP Desa, kepala desa harus mengikutsertakan masyarakat desa yang dilaksanakan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Penyusunan perencanaan pembangunan desa melalui musyawarah desa 2. Pembentukan tim penyusun RKP Desa 3. Pecermatan pagu indikatif desa dan penyelarasan program/kegiatan masuk ke

desa 4. Pencermatan ulang dokumen RPJM Desa 5. Penyusunan rancangan RKP Desa 6. Penyusunan RKP Desa melalui musrembangdes 7. Penetapan RKP Desa 8. Perubahan RKP Desa 9. Pengajuan daftar usulan RKP Desa

BAB III

POTRET KETAHANAN PANGAN PEDESAAN DI INDONESIA (STUDI KASUS DARI DUA DESA DI TAKALAR)

Dalam konteks ketersediaan pangan, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulawesi

Selatan) dianggap sebagai pusat utama produksi pangan di luar Jawa untuk padi, jagung, kedelai, dan kacang tanah (Arifin 2012). Anehnya, Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan kemiskinan dan memburuknya status gizi anak di bawah 5 tahun pada periode 2011 - 2012 (Arifin 2012, Timbipi 2013). Pada tahun 2011, Sulawesi Selatan memiliki jumlah penduduk miskin tertinggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Sulawesi (Agussalim, 2012). Bahkan, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, termasuk Pangkep, Selayar, Jeneponto, dan Toraja Utara, diklasifikasikan sebagai yang paling ketinggalan (Daerah Tertinggal) di Indonesia.1

Pada dimensi yang lain, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan terus mengalami tren meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah gejolak ekonomi nasional yang anjlok hingga di bawah 5 % dalam dua tahun terakhir, Provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki tren membaik pada kisaran 6,82 % di tahun 2016 (Tribun Timur November 2016). Data ini, sekali lagi mengonfirmasi betapa pertumbuhan ekonomi memang tidak selalu paralel dengan pemerataan ekonomi.

Data menunjukkan bahwa meskipun terjadi tren penurunan kemiskinan pada tingkat nasional, beberapa provinsi, seperti Sumatera Selatan dan Sumatera Barat, Bengkulu, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Papua, telah mengalami peningkatan angka kemiskinan (Statistik Badan Nasional 2013). Selain itu, selama periode 2007 - 2013, ada enam pemerintah provinsi diprediksi gagal dalam meningkatkan status gizi anak-anak usia di bawah 5 tahun, termasuk Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku, Aceh, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat (Departemen Kesehatan di Timbipi 2013). Masalah yang terus-menerus menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan dalam ketahanan pangan di luar dimensi ketersediaan pangan.

Pada umumnya, kondisi kemiskinan masyarakat desa menggambarkan masih rendahnya akses mereka terhadap pangan karena kesadaran dan pengetahuan yang terbatas, serta akses terhadap infrastruktur dasar. Mayoritas masyarakat desa hanya mengandalkan pengetahuan tradisional yang berasal dari kebiasaannya dalam mengelola dan memproduksi pangan, terlebih lagi kuranngya sosialisasi dalam pemanfaatan teknologi modern untuk peningkatan ketahanan pangan pada masyarakat desa.

Dalam meningkatkan dan memperkuat ketahanan pangan, perempuan dan kelompok ekonomi perempuan dapat memainkan peranan yang penting. Perempuan banyak terlibat dalam berbagai kegiatan pada sektor pertanian dalam menciptakan

1 Data terbaru, sejak tahun 2014 daerah tertinggal di Sulsel kini hanya Kabupaten Jeneponto. Hal ini berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Indonesia yang menjadi amanah dalam RPJMN 2015-2019.

sumber mata pencaharian dan meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu, secara tradisional, mereka memiliki peran penting dalam menentukan pemanfaatan pangan pada tingkat rumah tangga dan keluarga yang memengaruhi secara langsung kondisi bergizi anak-anak. Studi Kasus Desa Laikang dan Pattopakkang di Takalar Riset KATALIS pada tahun 2015 pada dua desa di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan yakni di desa Laikang dan Desa Pattoppakang menunjukkan adanya potensi kerawanan pangan. Ketersediaan pangan lokal warga masih sangat rendah, terutama beras. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas lahan, seperti kurangnya persediaan air sehingga petani masih sangat bergantung pada curah hujan agar bisa menanam padi.

Gambaran Umum Dua Desa di Takalar Desa Laikang

Desa Laikang adalah daerah yang terletak di pesisir selatan Kecamatan Mangngara’bombang, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Laikang merupakan dataran rendah yang berada pada ketinggian 50 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah 13.589.658 Ha, panjang pantai 17 km dan panjang wilayah 12 km. Penduduk asli Desa Laikang adalah Suku Makassar. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Makassar. Meskipun demikian, sebagian besar penduduk Desa Laikang telah mengerti menggunakan bahasa Indonesia.

Penduduknya mayoritas memeluk agama Islam sebagai keyakinan mereka. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah Desa Laikang, tercatat ada 1252 Rumah Tangga (RT) yang tersebar secara merata pada 6 (enam) dusun yang ada di desa tersebut. Mata pencarian utama masyarakat Laikang adalah petani rumput laut, bercocok tanam, dan sebagai nelayan. Jarak antara Desa Cikoang dengan Ibukota Kecamatan Mangngara’bombang sekitar 12 km, dari Ibukota Kabupaten Takalar sekitar 21 km. Akses ke Desa Laikang ditempuh dengan transportasi darat dengan kondisi jalan beraspal.

Desa Pattoppakkang

Desa Pattopakang adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Mangara’bombang. Desa ini memiliki empat dusun yaitu dusun Maccini Baji, Batulanteang, Mattiro Bulu, dan Pattoppakang. Dahulu, desa ini merupakan satu kesatuan dengan desa Cikoang dan Laikang, namun tahun 1999 desa ini kemudian berdiri sendiri. Jika hendak menuju ke desa ini, kita mesti menempuh sekitar 102 km dari kota Makassar, jalan menuju ke daerah ini cukup baik dan bisa diakses menggunakan sepeda motor atau pun mobil. Gapura besar serta papan petunjuk menuju desa cukup membimbing kita menuju ke desa ini. Pemandangan tepi pantai

Tope Jawa merupakan hiburan gratis yang bisa kita nikmati sambil menuju ke desa pattopakang2.

Hamparan tambak garam yang sudah tidak terawat, serta deretan rumah yang memanjang di pinggir jalan merupakan gambaran umum menuju ke desa ini. Tidak lebih dari 2 km dari jembatan Cikoang, kita sudah sampai ke Desa Pattopakang. Sensasi khas kampung, dimana rumah panggung yang dibiarkan berwarna apa adanya serta para anggota keluarganya sibuk mengerjakan pekerjaan domestiknya di kolong rumah. Halaman rumah dibiarkan apa adanya, tidak ada pagar pembatas yang jelas antara rumah, semuanya berjalan secara sederhana dan lambat.

Tabel 3.1 Penduduk Desa Laikang dan Pattopakkang Menurut Umur dan Jenis Kelamin,

Tahun 2015

Kelompok Umur Desa Laikang Desa Pattopakkang

Laki-Laki

Perempuan Jumlah Laki-Laki Perempuan Jumlah

0-4 7,28 12,57 10,12 7,89 9,66 8,84 5-9 9,93 9,71 9,82 13,16 11,36 12,20

10-14 10,60 8,00 9,20 14,47 14,77 14,63 15-19 12,58 12,57 12,58 7,24 5,68 6,40 20-24 4,64 9,14 7,06 7,24 5,11 6,10 25-29 11,92 8,57 10,12 8,55 13,07 10,98 30-34 5,96 9,71 7,98 5,26 8,52 9,76 35-39 11,92 7,43 9,51 5,26 2,84 3,96 40-44 5,30 6,86 6,13 7,89 8,52 8,23 45-49 5,96 5,71 5,83 1,97 5,11 3,66 50-54 5,30 2,29 3,68 5,26 2,27 3,66 55-59 3,31 2,29 2,76 0,65 1,70 1,22 60-64 1,99 2,86 2,45 4,61 5,11 4,88 65-69 0,66 0,00 0,31 2,63 0,57 1,52 70-74 1,99 1,71 1,84 1,32 2,27 1,83 74+ 0,66 0,57 0,61 6,58 3,41 4,88

Jumlah 100 100 100 152 176 100

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Jika dilihat dari struktur umur penduduk pada Tabel 3.1 di atas, proporsi penduduk terbesar berada pada usia 15 - 19 tahun di desa Laikang dan usia 10-14 tahun di desa Patoppakang, yaitu masing masing sebesar 12,58 dan 14,63 persen sedangkan proporsi terkecil berada pada usia 65 - 69 tahun di desa Laikang dan 55 - 59 di desa Patopakkang, yaitu masing masing sebesar 0,31 dan 1,22 persen. Sementara itu, jika

2Pattopakang merupakan pusat pemerintahan cikoang pada awalnya, kantor desa

pattopakang dahulunya adalah kantor desa cikoang.

dilihat dari jenis kelamin proporsi penduduk laki-laki dan perempuan terbesar berada pada usia 15 - 19 tahun di desa Laikang masing- masing sebesar 12,58 persen dan 12,57 persen sedangkan untuk desa Pattopakkang, baik laki laki maupun perempuan jumlah terbesar berada pada usia 10 - 14 tahun.

Sementara itu, proporsi penduduk terkecil dimana laki-laki di desa Laikang dan perempuan di desa Pattopakkang berada pada usai 65 – 69, sedangkan perempuan di desa Laikang berada pada usai 65 - 69 sebesar 0 persen dan laki laki di desa Pattopakkang berada pada usia 55 - 59 tahun. Jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan yang berusia lanjut (manula), proporsi laki-laki lebih besar dibandingkan proporsi perempuan pada kedua desa tersebut.

Tabel 3.2 Struktur Umur Penduduk Desa Laikang dan Pattopakkang

Tahun 2015

Kelompok Umur Desa Laikang (%) Desa Pattopakkang (%)

0-14 29,14 35,67 15-64 68,10 56,10 65+ 2,76 8,23

Rasio Kebergantungan

33,19 50,34

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Struktur penduduk tersebut juga menggambarkan besarnya usia produktif dan nonproduktif di Desa Laikang dan Pattopakkang. Jika kedua desa tersebut dibandingkan, maka terlihat terlihat rasio kebergantungan Desa Pattopakkang lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Laikang. Hal ini menggambarkan bahwa pada tahun 2015 di Desa Laikang rasio kebergantungan (dependency ratio) adalah sebesar 57 per 100 penduduk usia kerja, yang berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif di Desa Laikang memiliki tanggungan sekitar 33 penduduk usia nonproduktif. Sementara itu, di desa Pattopakkang dari 100 penduduk usia produktif mempunyai tanggungan usia non produktif yaitu sebesar setengah dari jumlah mereka.

Tabel 3.3 Anggota Rumah Tangga Desa Laikang dan Pattopakkang,

Tahun 2015 Jumlah Anggota RT

(orang)

Desa Laikang

(%)

Desa Pattopakkang

(%)

1-2 17,72 7.89%

3-4 45,57 50.00%

5-6 22,78 34.21%

7-8 12,66 7.89%

9-10 3,80 0.00%

10+ 1,27 0.00%

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Selain rasio kebergantungan, tanggungan keluarga juga bisa dilihat dari besarnya jumlah anggota rumah tangga. Berdasarkan Tabel 3.3 di atas, sebagian besar rumah tangga atau 59,49 persen memiliki anggota tidak lebih dari 4 orang sedangkan 40,51 persen rumah tangga beranggotakan lebih dari 5 orang. Hal ini menujukkan bahwa program keluarga sejahtera, yaitu dua anak lebih baik, dari pemerintah dapat berjalan dengan baik.

Tabel 3.4

Distribusi Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Pekerjaan Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Total

Distribusi % Distribusi % Distribusi %

Tidak bekerja 22 20.2 60 49,6 82 35,7

Petani 68 62.4 43 35,5 111 48,3

Buruh Tani 0 0.0 6 5,0 6 2,6

Buruh Non Tani 6 5.5 0 0,0 6 2,6

Pedagang 5 4.6 4 3,3 9 3,9

PNS 2 1.8 0 0,0 2 0,9

Lainnya 6 5.5 8 6,6 14 6,1

Jumlah 109 100.0 121 100 230 100

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Tingkat partisipasi angkatan kerja di Desa Laikang cukup tinggi yaitu sebesar 64,3 persen. Sebagian besar penduduk tersebut bekerja pada sektor pertanian yaitu mencapai angka 57,9 persen. Pada umumnya pekerjaan utama mereka adalah bertani rumput laut yaitu sebesar 77,2 persen dan 10,1 persen di antaranya menanam jagung, serta ada sebanyak 30,4 persen yang menanam padi. Sementara itu, sebesar 2,6 persen bekerja pada sektor infrastrukur sebagai buruh bangunan dan 7,4 persen bekerja pada sektor perdagangan dan jasa. Jika dilihat tingkat pengangguran di daerah tersebut masih cukup besar yaitu sebesar 35,7 persen. Sebagian besar angka tersebut disumbang oleh

banyaknya jumlah perempuan yang tidak bekerja. Berbeda halnya dengan kaum laki-laki di pedesaan, pada umumnya banyak dari mereka yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Sementara itu, kaum perempuan yaitu sebesar 35,5 persen membantu suami atau kepala rumah tangga mereka di ladang atau di laut.

Sementara itu, di Desa Pattopakkang ditemukan bahwa 32,65% laki-laki bekerja sebagai petani, dan 31,86 persen perempuan bekerja sebagai buruh serabutan. Proporsi perempuan bekerja pada sektor informal, seperti buruh non tani dan buruh serabutan sangat tinggi, dimana para perempuan menujukkan etikat kuat dalam membantu perekonomian keluarga. Kedua jenis pekerjaan buruh non tani dan buruh serabutan menyerap potensi kerja perempuan, salah satu bentuk pekerjaan buruh serabutan adalah membantu dalam proses panen atau pun kegiatan pasca panen. Para perempuan turut ikut dalam kegiatan panen dimana setiap tiga hari kerja mendapatkan sekarung gabah dengan berat 30 kg, biasanya para perempuan mampu mendapatkan 4 karung dalam satukali masa panen.

Tabel 3.5

Distribusi Penduduk Umur 10 Tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Desa Laikang, Tahun 2015

Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan Total

Distribusi % Distribusi % Distribusi %

Tidak Sekolah 33 26,2 39 28,9 72 27,6

Tamat SD/Sederajat 61 48,4 59 43,7 120 46,0

Tamat SMP/Sederajat 20 15,9 25 18,5 45 17,2

Tamat SMA/Sederajat 7 5,6 10 7,4 17 6,5

Tamat PT 5 4,0 2 1,5 7 2,7

Jumlah 126 100 135 100 261 100

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Berdasarkan data BPS Kabupaten Takalar tahun 2013 rata-rata lama sekolah di daerah ini masih sangat rendah yaitu 6,99 tahun artinya rata-rata penduduk Kabupaten Takalar hanya menyelesaikan pendidikan hingga jenjang kelas 7 SMP. Hal tersebut sesuai dengan fakta di lapangan dimana 46,0 persen penduduk di Desa Laikang hanya tamat SD/sederajat, bahkan 27,6 persen tidak pernahh sekolah. Pada usia sekolah 10 - 12 tahun jumlah laki-laki yang menamatkan SD/sederajat masih lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Namun, jumlah perempuan yang melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya masih lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut masih belum memadai sehingga angka putus sekolah masih sangat tinggi. Kebutuhan tenaga kerja yang tidak dibayar dari rumah tangga untuk meminimalisir biaya produksi pertanian juga menjadi penyebab tingginya angka putus sekolah.

A. Ketersediaan Pangan Struktur perekonomian di Kabupaten Takalar masih didominasi oleh sektor

pertanian hal tersebut sesuai dengan besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB kabupaten yaitu sebesar 48,53 persen. Besarnya konstribusi sektor pertanian disumbang oleh subsektor perikanan dan subsektor tanaman pangan yaitu masing-masing sebesar 27,48 dan 15,72 persen. Hal ini mengambarkan ketersediaan pangan di Kabupaten Takalar relatif cukup besar. Pada umumnya pedesaan mencirikan daerah agraris, demikian halnya dengan Desa Laikang yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani atau bekerja pada sektor pertanian. Daerah ini berbatas langsung dengan selat Makassar sehingga banyak penduduk menggantungkan hidupnya di laut. Sebagai salah satu daerah pertanian di Kabupaten Takalar, Desa Laikang juga memberikan kontribusi dalam menyediakan pangan di daerah sebagaimana yang tergambar dalam Tabel 1.5 berikut:

Tabel 3.6 Jumlah Produksi Pertanian atas Harga Berlaku

Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Komoditas Jumlah

(Rp) Persentasi

(%) Rumput Laut Basah 29.450.000 2,66 Rumput laut Kering 741.778.500 66,93 Gabah 24.660.000 2,23 Bandeng 0 0 Udang Lobster 35.600.000 3,21 Jagung 2.175.000 0,20 Hasil Laut 201.720.000 18,20 Ayam 550.000 0,05 Itik 0 0 Kambing 9.000.000 0,81 Sapi 63.000.000 5,68 Lain-lain 300.000 0,03

Jumlah 1.108.233.500 100

Catatan: Laporan Katalis, 2015 Berdasarkan Tabel 3.6 di atas, rumput laut menjadi komoditas dengan tingkat

produksi tertinggi yaitu sebesar 69,59 persen atau Rp 741.778.500 diikuti oleh hasil laut berupa ikan dan kepiting dengan nilai produksi sebesar 18,20 persen atau Rp 201.720.000. Sementara itu, udang lobster berada pada urutan keempat dengan nilai produksi Rp35.600.000 atau 3,21 persen. Untuk subsektor peternakan dimana sapi menjadi andalan bagi masyarakat daerah tersebut dengan nilai produksi sebesar 63.000.000 yang berada pada urutan ketiga dibandingkan dengan komoditas ternak lainnya.

Sumber; data katalis Indonesia, 2015 Gambar 3.1 Luas Lahan dan Tingkat Produktivitas Lahan Desa Laikang

Produksi rumput laut yang besar di Desa Laikang didukung oleh ketersediaan

lahan dengan luas ± 334.425 M2atau 33,44 Ha yang tersebar pada empat dusun, seperti Dusun Ongkoa, Puntondo, Boddia dan Turikale. Lahan pertanian rumput laut terbentang mulai garis pantai dengan kedalaman laut 5 M menjulur ke luar dengan kedalaman laut 15 M. Sementara itu, produksi padi di daerah tersebut tidak didukung oleh ketersediaan lahan sawah cukup luas, namun dibudidayakan di ladang dengan mengharapkan curah hujan. Pada musim hujan, yaitu bulan November sampai dengan Maret, ladang yang tadinya kering mulai ditanami padi. Kecilnya debit air sungai di daerah tersebut tidak memungkinkan untuk budidaya ikan air payau sehingga tidak adanya tambak di daerah tersebut. Namun masyarakat setempat memanfaatkan kerambah untuk membudidayakan udang lobster dan kuda laut dengan luas 18 M2. Di samping penggunaan kerambah, masyarakat juga menggunakan bagang tancap untuk memenuhi kebutuhan ikan, terkhusus untuk pakan ternak mereka.

Kerambah memiliki tingkat produktivitas lahan tertinggi dibandingkan dengan lahan lainnya yaitu 55.56 ton/Ha sedangkan ladang memiliki produktivitas yang sangat rendah. Oleh karena itu, masyarakat setempat tidak banyak menggantungkan hidup mereka pada subsektor tanaman pangan di daratan. Meskipun produktivitas rumput laut tidak begitu tinggi namun masyarakat masih bisa bertahan dengan menggantungkan hidup mereka pada subsektor tanaman pangan, khususnya rumput laut. Tingginya kadar garam pada lahan budidaya rumput laut memengaruhi tingkat produktivitas rumput laut, sehingga masyarakat setempat juga sangat bergantung pada curah hujan, yaitu pada bulan November sampai dengan bulan April. Pada akhir Mei sampai dengan awal Oktober sebagian besar masyarakat mengurangi jumlah budidaya mereka, bahkan ada yang membiarkan lahan mereka tetap kosong. Tingkat produktivitas lahan juga sangat didukung oleh ketersediaan input pertanian seperti jenis bibit, pupuk dan pestisida. Untuk rumput laut, jenis bibit yang banyak digunakan di antaranya adalah katonik, safari dan sakulu. Besarnya kebutuhan bibit yaitu rata-rata 1.302 kg per hektar dengan harga 3 ribu rupiah per kilogram masih

sangat sulit dipenuhi oleh petani. Ketersediaan tali bentangan juga memengaruhi jumlah produksi rumput laut. Keberadaan kelompok tani perempuan di bawah binaan Oxfam dapat membantu petani khususnya penyediaan tali bentangan. Bantuan tersebut sifatnya pinjaman lunak, yang pembayarannya dapat dicicil setiap habis panen hingga lunas.

Sementara itu, jenis padi yang banyak dibudidayakan oleh petani sangat bervariatif di antaranya cehera, 46, organik dan beberapa jenis lainnya yang diperoleh dengan membeli di toko pertanian seharga 10 ribu sampai dengan 25 ribu per kilogram. Untuk mendukung produktivitas padi, petani umumnya menggunakan pupuk urea dan ZA yang dibeli masing-masing seharga 93 ribu dan 100 ribu rupiah per sak melalui kelompok tani yang berada di desa tetangga. Lahan yang tidak memiliki persediaan air yang cukup hanya digunakan untuk budidaya jagung atau kacang hijau. Jagung dijadikan pangan alternatif (subtitusi beras) atau dicampur dengan beras. Pengelolahaan lahan dengan cara penyemprotan sebagai subtitusi dari penggunaan traktor yang sangat terbatas. Oleh karena itu, kebutuhan akan herbisida juga cukup besar, seperti supermok dan gremason dengan harga rata-rata 50 ribu rupiah per liter.

Adanya aturan dari pemerintah tentang distribusi pupuk melalui kelompok tani sehingga mengharuskan petani untuk bergabung dengan kelompok tani yang telah terbentuk di desa. Oleh karena itu, terdapat beberapa kelompok tani di desa, dimana para petani dapat bergabung. Untuk membantu kebutuhan dan pengembangan kapasitas petani rumput laut khususnya perempuan dibentuklah kelompok tani “Srikandi” binaan Oxfam yang memiliki 25 anggota di Dusun Ongkoa. Adanya budidaya perikanan kerambah seperti udang lobster di bawah binaan pemerintah sehingga petani tersebut juga tergabung dalam kelompok tersendiri. Keuntungan yang dapat diperoleh oleh mereka dari keberadaan kelompok tani tersebut di antaranya adalah kemudahan untuk mendapatkan bantuan modal, bibit dan pupuk bersubsidi dari pemerintah. B. Aksesibilitas Pangan

Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemuas kebutuhan atau sulitnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan menurut Bank Dunia yaitu jika pendapatan di bawah US$ 2 per hari. Sementara itu, BPS mengukur kemiskinan dengan melihat besarnya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan per kapita per bulan. Kemiskinan diukur dari tingkat konsumsi per kapitadi bawah standar tertentu yang disebut garis kemiskinan yaitu kebutuhan minimum 2.100 kalori per kapita per hari di tambah kebutuhan per kapita non pangan. TNP2K juga menetapkan 14 indikator kemiskinan sehingga dapat diklasifikasikan kemiskinan ke dalam rumah tangga sangat miskin (RTSM), rumah tangga miskin (RTM), dan rumah tangga hampir miskin (RTHM).

Tabel 3.8 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Tingkat dan Sumber Pendapatan

Desa Laikang per Bulan, Tahun 2015

Kelompok Pendapatan

Pendapatan Pertanian

Pendapatan Non Pertanian

Total Pendapatan

Distribusi % Distribusi % Distribusi %

≤ Rp 1.000.000 48 60,76 66 83,54 27 34,18 Rp 1.000.001 – Rp 2.000.000 18 22,78 10 12,66 29 36,71 Rp 2.000.001 – Rp 3.000.000 3 3,80 2 2,53 8 10,13 Rp 3.000.001 – Rp 4.000.000 3 3,80 1 1,27 7 8,86 Rp 4.000.001 – Rp 5.000.000 6 7,59 - - 7 8,86 Rp 5.000.001 – Rp 6.000.000 1 1,27 - - 1 1,27 Rp 6.000.001 ≥ - - - - - -

Pendapatan Rata-Rata RT Rp 1.169.023 Rp 453.987 Rp 1.623.010

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Berdasarkan data Tabel 3.8 di atas, ada sebanyak 34,18 persen penduduk berada pada pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan sedangkan distribusi pendapatan terbesar berada pada kelompok pendapatan Rp 1 juta – Rp 2 juta yaitu sebesar 36,71 persen. Jika dilihat dari besarnya pendapatan rata-rata rumah tangga ada sekitar 67,09 persen RT yang berpendapatan kurang dari Rp 1.623.010 per bulan atau di bawah pendapatan per kapita Sulawesi Selatan sebesar Rp 1,6 juta per bulan. Besarnya kebergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian menjadi masalah tersendiri dalam pengentasan kemiskinan di Desa Laikang. Hal ini dapat dilihat dari data di atas sebanyak 60,76 persen masyarakat berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta dari sektor pertanian. Namun, sektor non pertanian sebagai alternatif solusi juga tidak mampu menjadi penopang hidup bagi masyarakat setempat.

Tabel 3.9

Kepemilikan Aset Rumah Tangga Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Aset Status Kepemilikan (%)

Kepemilikan Gender (%)

Milik Sendiri

Orang Lain

Tidak Ada

Laki-Laki

Perempuan

Rumah 97,57 2,53 - 82,3 17,7 Lahan Tempat Tinggal 92,41 7,59 - 87,3 12,7 Kebun/Tegalan 51,90 1,30 46,80 81,0 19,0 Sawah - - - Tambak - - -

Ternak

Kerbau - - -

Kambing 5,17 1,31 93,62 100 0,0

Sapi 16,50 6,32 77,18 71,4 28,6

Ayam 44,31 55,69 - -

Itik 12,77 87,23 - -

Lainnya - - -

Sarana Produksi

Cangkul 30,40 - 69,60 - -

Parang 97,50 - 2,50 - -

Alat Semprot 7,60 - 92,40 - -

Traktor 1,30 - 98,70 - -

Perahu 67,10 - 32,90 - -

Jala 31,60 - 68,40 - -

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Akses terhadap faktor-faktor produksi memiliki peran penting dalam distribusi pendapatan tak terkecuali bagi masyarakat di Desa Laikang. Besarnya pendapatan RT sangat ditentukan oleh kepemilikan aset, termasuk kepemilikan terhadap alat-alat produksi pertanian. Banyaknya RT yang tidak memiliki lahan pertanian, seperti kebun yaitu sebesar 46,80 persen menjadi alasan laut sebagai alternatif mata pencaharian bagi masyarakat setempat. Meskipun sebesar 51,90 persen RT memiliki lahan pertanian namun tingkat produktifitas lahan yang rendah menjadi penyebab rendahnya nilai ekonomi dari lahan tersebut. Hal ini juga menjadi alasan kurangnya minat masyarakat untuk mengelola lahan orang lain sesuai dengan data pada Tabel 3.9 menujukkan bahwa hanya sekitar 1,30 persen RT yang bersedia untuk mengelola lahan orang lain.

Rumah merupakan aset yang paling berharga bagi masyarakat pedesaan. Segala aktivitas keseharian mereka akan terhubung dengan aset tersebut seperti pengelolaan hasil pertanian termasuk penyimpanan bahan pangan hasil pertanian mereka. Sekitar 97,57 persen masyarakat tinggal di rumah yang merupakan aset pribadi mereka dan kurang dari 2,53 persen yang menumpang di rumah keluarga atau tinggal di rumah yang merupakan aset pemerintah setempat. Namun, tidak semua aset tersebut berada di atas tanah milik pribadi ada sekitar 5,06 persen yang berada di atas aset orang lain. Meskipun secara administratif 82,3 persen aset tersebut atas nama suami, namun kepemilikan rumah berserta isinya dalam sosial budayamasyarakat Bugis Makassar adalah milik istri. Namun berbeda halnya dengan pembagian aset lainnya seperti tanah kebun yang pembagiannya dibagi rata antara suami-istri atau mengikut hukum waris pada umumnya.

Kepemilikan aset paling penting di Desa Patopakang, yakni tempat tinggal dan lahan untuk mengusahakan pertanian, dari kepemilikan lahan ini dapat diselidiki sejauh mana penguasa aset tersebut menentukan kehidupan sang pemilik. Kepemilikan aset berupa tanah, di Desa Patopakang hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki, dimana penguasaan rumah dimiliki oleh laki-laki sebesar 78,87% sedangkan perempuan hanya menguasai 21,13% kepemilikan rumah. Sementara, pekarangan biasanya adalah kelebihan dari tanah untuk membangun rumah sehingga masih dalam penguasaan laki-laki sekitar 78,95% dimiliki oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya menguasai 21,05%. Kebun, sawah dan tambak juga dimiliki oleh laki-laki. Kepemilikan kebun oleh laki-laki sebesar 89.80% sedangkan perempuan hanya sebesar 10,20 %, selanjutnya

61,54% sawah dikuasai oleh laki-laki dan perempuan hanya menguasai 38,46% sementara tambak secara keseluruhan dikuasai oleh laki-laki.

Untuk kebutuhan energi RT, energi listrik di Desa Laikang seluruhnya menggunakan listrik yang dipasok oleh PLN, dimana pemanfaatannya sebagai penerangan dan kebutuhan energi listrik RT, seperti pembangkit alat-alat elektronik. Namun tidak semua rumah tangga memiliki meteran sendiri melainkan disambung dari meteran tetangga atau rumah kerabat terdekat. Untuk pembayaran listrik setiap bulannya, mereka rata-rata mengeluarkan biaya sebesar 25 ribu sampai dengan 45 ribu rupiah. Sementara itu, untuk keperluan memasak sumber energi yang digunakan adalah gas elpiji 3 kg yang rata-rata menghabiskan sebanyak 2 sampai 3 tabung per bulan dengan harga 17 ribu sampai dengan 18 ribu rupiah per tabung.

Seperti masyarakat pedesaan pada umumnya, selain mengelola lahan pertanian, mereka juga beternak berbagai macam jenis ternak, seperti kambing, sapi, ayam dan itik. Di antara berbagai ternak tersebut sapi merupakan jenis ternak yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Namun, membutuhkan modal yang sangat besar untuk memeliharanya sehingga ada sekitar 6,32 persen RT yang menjadi pengembala ternak dari orang lain. Luas lahan pertanian yang tidak digunakan pasca musim hujan menjadi potensi yang sangat besar untuk membudidayakan ternak, khususnya sapi di desa tersebut. Hal ini didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang besar juga menjadi modal bagi subsektor tersebut. Berdasarkan data di lapangan masih ada sekitar 77,18 persen RT yang tidak menggeluti bidang tersebut. Selain sapi, kambing juga memiliki potensi untuk dikembangkan. Namun, berdasarkan data di lapangan hanya 6,48 persen RT yang mengeluti bidang tersebut. Hal ini disebabkan oleh besarnya modal yang dibutuhkan untuk membeli indukan ternak tersebut.

Sarana produksi juga menjadi penopang kegiatan pertanian masyarakat.Berdasarkan data Tabel 3.9 aktivitas RT pada sektor ini didukung oleh alat produksi seperti cangkul, parang, alat semprot, traktor, perahu dan jala. Banyaknya aktivitas RT di laut harus didukung oleh sarana berupa perahu. Data di lapangan menujukkan bahwa ada sekitar 67,10 persen RT yang memiliki perahu sendiri sesuai dengan banyaknya RT yang terlibat dalam budidaya rumput laut yaitu sebesar 77,2 persen. Besarnya produksi hasil laut di Desa Laikang juga didukung oleh ketersediaan jala yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan dan kepiting. Harga kepiting saat ini yang dianggap cukup tinggi kira-kira 25 ribu rupiah sampai dengan 35 ribu rupiah menjadikan komoditas ini banyak diburu oleh masyarakat setempat. Rata-rata RT memiliki 7 buah jaring yang disebar di laut pada sore hari dan dipanen pada pagi hari. Aktivitas ini tidak mengganggu kegiatan masyarakat di ladang atau di lahan rumput laut tapi malah menjadi alternatif pendapatan bagi masyarakat setempat.

Sementara itu, pengelolahan lahan pertanian, khususnya tanaman padi dan jagung masyarakat masih mengandalkan cangkul dan parang sesuai dengan data di lapangan yang masing-masing 30,40 dan 97,50 persen. Akses terhadap kemajuan teknologi tidak memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat, seperti sarana traktor yang masih sangat terbatas. Sarana tersebut digunakan sebagai alat transportasi pertanian yaitu sebesar 1,30 persen. Begitu juga halnya dengan semprot masih sangat

terbatas penggunaannya oleh petani yaitu sebesar 7,60 persen. Kedua sarana ini dianggap mampu meningkatkan produktifitas pertanian di Desa Laikang.

Rendahnya tingkat produktivitas lahan di Desa Laikang memberikan dampak terhadap ketersediaan pangan di desa. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan RT, masyarakat harus mengakses pangan dari luar desa melalui pedagang di pasar maupun pedagang keliling dari luar desa serta pedagang kelontong di desa. Jarak pasar yang relatif jauh yaitu lebih dari 3 Km dari desa dapat diakses dengan menggunakan kendaraan pribadi berupa motor atau dengan kendaraan umum. Namun kondisi jalan yang kurang baik sehingga jarak tersebut harus ditempuh dengan waktu yang relatif lebih lama dari kondisi normal dan intensitas kendaraan umum sekali dalam sehari atau bergantung hari pasar.

Pedagang keliling yang masuk ke desa sangat membantu masyarakat desa dalam mengakses kebutuhan pangan mereka. Pedagang tersebut menjajakan barang dagangan mereka di pagi hari berupa ikan dan sayur-sayuran. Selain kebutuhan ikan dan sayur-sayuran, keberadaan pedagang pengecer atau warung kelontong di desa juga sangat membantu menyediakan kebutuhan pangan seperti minyak goreng, gula, mie instan, minuman dan makanan ringan serta bumbu-bumbu dapur dan juga kebutuhan non pangan seperti sabun, pasta gigi, shampo, dan kebutuhan lainnya.

Tabel 3.10 Jumlah Pengeluaran Rumah Tangga Desa Laikang per Bulan, Tahun 2015

Kelompok Pengeluaran

Pengeluaran Pangan

Pengeluaran Non Pangan

Total Pengeluaran

Distribusi % Distribusi % Distribusi %

≤ Rp 500.000 18 22,78 61 77,22 4 5,06 Rp 500.001 – Rp 1.000.000 49 62,03 14 17,72 30 37,97 Rp 1.000.001 – Rp 1.500.000 8 10,13 3 3,80 32 40,51 Rp 1.500.001 – Rp 2.000.000 2 1,27 - - 5 6,33 Rp 2.000.001 – Rp 2.500.000 - - 1 1,27 4 5,06 Rp 2.500.001 – Rp 3.000.000 1 1,27 - - 2 2,53 Rp 3.000.001 – Rp 3.500.000 - - - 1 1,27 Rp 3.500.001 ≥ 1 1,27

Jumlah 79 100 79 100 79 100

Catatan: Laporan Katalis, 2015 Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan RT di Desa Laikang seperti

ditunjukan dalam Tabel 1.9 di atas, terdapat 40,51 persen RT dengan pengeluaran antara 1 juta sampai dengan 1,5 juta rupiah dan 37,97 persen RT dengan pengeluaran antara 500 ribu sampai dengan 1 juta rupiah. Jika dibandingkan dengan jumlah distribusi RT dengan penerimaan kurang dari 2 juta rupiah, maka jumlah distribusi RT dengan pengeluaran kurang dari 2 juta rupiah jauh lebih besar yaitu sekitar 83,54 persen. Sementara itu, besarnya pengeluaran rumah tangga tersebut jika dilihat dari penggunaannya, pengeluaran panganjauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran non pangan. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya jumlah distribusi RT

dengan pengeluaran pangan di atas 500 ribu rupiah sebesar 62,03 persen sedangkan pengeluaran non pangankurang dari 500 ribu rupiah sebesar 77,22 persen.

Tabel 3.11 Preferensi Pengeluaran Konsumsi Jenis pangan

Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Pangan Preferansi

(%) Padi-Padian 46,66 Umbi-Umbian 0,22 Pangan Hewani 26,57 Minyak dan Lemak 4,69 Kacang-Kacangan 0,83

Sayur dan Buah 10,86

Lain-Lain 10,16

Jumlah 100

Catatan: Laporan Katalis, 2015 Jika dilihat dari preferensi pangan hampir separuh dari besarnya proporsi

pengeluaran konsumsi pangan RT dialokasikan untuk padi-padian yaitu sebesar 46,66 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa kebergantungan konsumsi RT terhadap padi-padian khususnya beras sangat besar.Oleh karena itu, untuk memenuhi ketersediaan beras di desa, pasokan beras didatangkan dari luar desa yaitu rata-rata sebesar 58,46 persen per bulan dari besarnya kebutuhan melalui akses pasar dengan harga antara Rp 6.000 sampai dengan Rp 7.000 per liter. Di samping pasokan tersebut, dengan adanya bantuan pemerintah berupa Raskin yang diterima oleh 91,1 persen RT sangat membantu khususnya mereka yang tergolong kurang mampu secara ekonomi karena dapat meringankan beban pengeluaran RT tersebut berupa beras yaitu 15 kg dengan harga Rp 27.000.

Pengeluaran terbesar setelah padi-padian adalah pangan hewani yaitu sebesar 26,57 persen dan sayur dan buah sebesar 10,86 persen serta lainnya seperti gula dan bumbu-bumbu sebesar10,16 persen.Harga ikan yang dijajakan oleh pedagang keliling sangat bervariatif bergantung posisi bulan atau kondisi cuaca di laut.Jika bulan purnama harga ikan lebih mahal dibandingkan biasanya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, konsumen membeli dengan harga yang sama seperti biasanya yaitu antara 10 ribu sampai dengan 20 ribu rupiah namun jumlahnya yang dikurangi atau memilih jenis ikan dengan ukuran yang lebih kecil. Banyak masyarakat yang beraktivitas di laut sebagai alternatif mata pencaharian dapat mengurangi pengeluaran mereka untuk jenis ikan dan kepiting yang sengaja disisikan atau tidak laku terjual.

Untuk membeli sayur-sayuran konsumen membeli dengan harga yang relatif sama setiap harinya yaitu 5 ribu rupiah per kantong dengan berbagai macam jenis sayur seperti kangkung, bayam, kacang panjang, terong, kol atau jenis lainnya. Pada saat musim penghujan terdapat sayur-sayuran alternatif seperti daun kelor, pariah dan daun ubi serta beberapa jenis lainnya yang bisa diolah menjadi pangan dan dapat mengurangi

pengeluaran mereka.Akan tetapi, pada saat musim kemarau sayur-sayuran alternatif tersebut sangat sulit diperoleh.

Meskipun musim kemarau menyebabkan tanaman dan rerumputan kering dan ketersediaan air sulit namun akses terhadap pangan masih bisa diperoleh dengan mudah.Rendahnya pemanfaatan lahan pekarangan yaitu 7,59 persen menyebabkan kurangnya persediaan pangan alternatif bagi warga. Pekarangan warga umunya hanya digunakan untuk menanam tanaman jangka panjang seperti kelapa, manga dan pisang. Berdasarkan hasil survey pada bulan Maret hanya 16,5 persen RT yang masih memiliki cadangan pangan berupa beras atau jagung yang disimpan di rumah dengan rata-rata lama penyimpanan kurang dari 2 bulan.

Walaupun 94,9 persen responden mengatakan jika mereka tidak pernah mengalami kekurangan pangan, tetapi sekilas terlihat kehidupan sebagian dari mereka yang memilik pendapatan di bawah rata-rata dan tidak memiliki cadangan pangan sangat rentan terhadap kekurangan pangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, mereka memiliki cara yang mampu mengatasi permasalah pangan mereka dengan berbagai cara di antaranya membeli pangan yang lebih murah, menerima bantuan raskin atau BLT, menerima makanan dari saudara atau membeli pangan dengan cara berhutang atau meminjam uang untuk membeli pangan.

Sementara itu, pengeluaran untuk non pangan berupa alat kebersihan seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, shampoo serta bedak; bahan bakar dan energi seperti listrik, bensin, dan gas; pendidikan seperti uang fotocopy, peralatan sekolah dan uang saku masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran pangan yaitu rata-rata sebesar 34,53 persen dari total pengeluaran. Pengeluaran non pangan terbesar di antaranya adalah listrik yaitu 25 ribu- 45 ribu rupiah per bulan, bensin sebesar 8 ribu rupiah per liter yang digunakan sebagai bahan bakar kenderaan bermotor untuk mengangkut hasil panen dan melaut, dan tabung gas 3 Kg sebesar 18 ribu rupiah per tabung.

Pendapatan RT yang sangat bergantung pada keadaan alam seperti tingkat curah hujan, pada bulan November sampai dengan April setiap tahunnya, sehingga pada bulan-bulan tertentu pendapatan tidak menentu.Untuk mengatasi masalah tersebut kecenderungan dari RT untuk meminta bantuan kepada sanak keluarga maupun tetangga mereka sangat besar. Hal ini bisa dilihat pada besarnya angka kecenderungan mereka untuk meminta bantuan pada sanak keluarga yaitu 67,1 persen dan tetangga dekat rumah sebesar 24,1 persen. Selain itu, tengkulak juga memiliki peran dalam memberikan bantuan kepada RT yang memiliki kebutuhan ekonomi yang mendesak yaitu sebesar 6,3 persen.

Tabel 3.12 Preferansi Bantuan Ekonomi dan Sosial Rumah Tangga

Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Preferansi Ekonomi Sosial

(%) (%) Sanak keluarga 67,1 75,3 Tetangga dekat rumah 24,1 20,8 Sesama anggota - -

kelompok/organisasi Pengurus koperasi - - Tokoh masyarakat - -

Tengkulak 6,3 2,6

Teman luar desa - -

Lainnya 2,5 1,3

Catatan: Laporan Katalis, 2015 Pedesaan yang mencirikan masyarakat homogen menjadi salah satu modal sosial

di Desa Laikang. Meskipun peranata sosial yang tidak terlembagakan secara formal seperti budaya tudang sipullung (baca; duduk bersama), mampu memberikan peran sosial yang sangat kuat dalam meretas konflik horizontal di pedesaan. Besarnya peran keluarga dan tetangga seperti yang terlihat pada Tabel 3,13 yaitu sebesar 96,1 persen. Seperti halnya hubungan antara sawi (baca; buruh) dan punggawa (baca; majikan) pada masyarakat pesisir yang sangat kuat, hubungan tersebut juga dapat dilihat antara petani rumput laut dan nelayan kepiting terhadap tengkulak.Kebergantungan ekonomi juga memberikan dampak terhadap kehidupan sosial mereka seperti penyelesaian masalah-masalah rumah tangga dan sengketa lahan dalam masyarakat.

C. Utilitas

Kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan sangatlah penting. Pemanfaatan hasil pertanian sebagai bahan pangan sangat memengaruhi kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, asupan gizi yang cukup dan ketersediaan sistem sanitasi yang baik harus diperhatikan agar kesehatan masyarakat Desa Laikang dapat selalu terjaga.BerdasarkanTabel 3.13, pola konsumsi rumah tangga setiap harinyadapat dikatakan hampir sama yaitu asupan gizi dari padi-padian berupa nasi dan mie instan; pangan hewani berupa ikan dan telur; dan sayur seperti kangkung, bayam, kol dan kacang panjang. Sementara itu, untuk sarapan pagi sangat bervariasi yaitu sebesar 70,9 persen RT mengonsumsi nasi dan mie instan dan dikombinasikan dengan lauk berupa ikan dan telur. Namun sangat sedikit dari mereka yang mengonsumsi sayur untuk sarapan pagi. Bagi RT yang tidak mengonsumsi nasi maupun lauk di pagi hari mengantikannya dengan mengonsumsi teh atau kopi, sebagai pengganjal perut sebelum memulai aktivitas mereka di ladang atau di laut.

Tabel 3.13 Pola Konsumsi dan Asupan Gizi Rumah TanggaSetiap Hari

Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Zat Gizi

Sarapan Makan Siang Makan Malam

Jumlah RT

Persentasi (%)

Jumlah RT

Persentasi (%)

Jumlah RT

Persentasi (%)

Padi-Padian

56 70,9 79 100 79 100

Pangan Hewani

55 69,6 79 100 79 100

Sayur-Sayuran

13 16,5 79 100 79 100

Buah-Buahan

- - - - - -

Susu 1 1,3 - - - -

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Rendahnya pengetahuan masyarakat di Desa Laikang tentang gizi memengaruhi pola konsumsi mereka. Seperti halnya yang dikatakan oleh Salasia (umur 40 tahun) “makanan yang sehat itu yang penting dapat mengenyangkan, kita itu sudah sangat bersyukur tidak perlu bagus yang penting bisa kenyang”. Hal senada juga yang dikatakan oleh Daeng Sitti (umur 60 tahun) “kalau saya nak, yang penting bisa kenyang tidak perlu ji yang bagus-bagus”. Rendahnya pengetahuan mereka tentang asupan gizi dapat terlihat pada Tabel 3.14 yaitu sebesar 85,19 persen. Kombinasi antara nasi putih, ikan layang goreng atau pallu kaloa (baca; ikan masak kunyit asam) dan sayur kangkung bening menjadi menu santap andalan mereka. Meskipun nasi menjadi menu wajib setiap harinya, pengetahuan mereka tentang asupan gizi yang diperoleh dari nasi berupa karbohidrat tidak diketahui.Akses mereka yang terbatas terhadap sumber pengetahuan melalui pendidikan formal menjadi salah satu penyebabnya.

Tabel 3.14

Pengetahuan Gizi Rumah Tangga Desa Laikang, Tahun 2015

Pertanyaan Tahu Tidak tahu

Jumlah RT

Persentasi (%)

Jumlah RT

Persentasi (%)

Makanan yang sehat 27 34,20 52 65,82

Jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh 1 1,32 78 98,71

Sumber karbohidrat 12 15,20 67 84,81

Zat gizi yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharan jaringan

5 6,31 74 93,66

Sumber zat besi 5 6,31 74 93,66

Buah paling banyak mengandung vit. C 15 19,00 64 81,01

Sumber protein 1 1,30 78 98,73

Sayur-sayuran paling banyak mengandung vit. A

12 15,21 67 84,80

Resiko akibat konsumsi lemak berlebihan

25 31,60 54 68,35

Kandungan dari buah dan sayur 14 17,70 65 82,28

Jumlah 117 14,81 673 85,19

Catatan: Laporan Katalis, 2015

Seperti terlihat pada gambar 1.1 semakin tinggi tingkat pendidikan formal RT, semakin besar pula pengetahuan mereka terhadap gizi. Rata-rata lama sekolah masyarakat di Desa Laikang yaitu 7 tahun menyebabkan terdapat sebanyak 85 persen RT dengan tingkat pendidikan tamat SD yang tidak memiliki pengetahuan tentang gizi baik. Sementara itu, RT yang tidak sekolah hanya sebesar 7 persen yang tahu tentang gizi. Hal ini menujukkan pentingnya tingkat pendidikan formal dalam memengaruhi pengetahuan gizi mereka.

Catatan: data diperoleh berdasarkan sampel Gambar 3.2 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Gizi dengan Pendidikan

Selain asupan gizi, Pola hidup sehat juga dapat terlihat pada sistem sanitasi

lingkungan di Desa Laikang. Ketersediaan air bersih yang menjadi sumber penghidupan warga masih belum cukup memadai, dimana hanya sebesar 20,3 persen RT menggunakan air dari PDAM yaitu Dusun Ongkoa sedangkan 5 dusun lainnya sebesar 79,7 persen masih mengandalkan air sumur atau mata air. Kondisi yang sangat memperihatinkan dapat terlihat di Dusun Pandala, yang hanya memiliki satu sumber air bersih berupa sumur yang diakses oleh 168 KK. Pada musim kemarau debit air sangat kecil sehingga membutuhkan waktu berjam-jam untuk bisa memenuhi kebutuhan air bersih seluruh warga dusun tersebut setiap harinya.

Untuk Desa Pattopakkang, Sumber air rumah tangga merupakan aspek vital dari perilaku hidup bersih, sebabnya hampir semua kegiatan kebersihan menggunakan air didalamnya. Sekitar 46,05% warga menggunakan PDAM, dan 38,16% menggunakan sumur, sisahnya hanya menggunakan air sumur. Pipa air PDAM, diusahakan oleh warga dengan mencicil atau pun dengan sharing pembayaran. Ketika musim kemarau tiba, kebanyakan sumur akan kering, begitupun sungai, sehingga satu-satunya sumber air bersih adalah PDAM.

Problem yang selanjutnya dihadapi warga adalah jumlah air PDAM yang terdistribusi ke desa tidak mampu menutupi keseluruhan dari kebutuhan air bersih rumah tangga, sehingga mereka yang menggunakan sumur dan sungai akan beralih ke PDAM. Kerawanan air membuat beberapa rumah tangga membeli dari pedangan air

sebesar Rp. 3000/20 liter air, sehingga biaya pangan akhirnya terdistribusi untuk biaya air bersih.

Membuang hajat tidak pada tempatnya dapat menjadi sumber berbagai macam penyakit seperti diare dan gatal-gatal. RT yang menggunakan MCK hanya sebesar 34,2 persen baik milik pribadi maupun milik umum sedangkan selebihnya menggunakan hamparan terbuka seperti pantai, aliran sungai dan kebun. Berdasarkan data di lapangan, ada 32,9 persen anggota RT yang pernah mengalami sakit dalam 4 minggu terakhir dan ada sekitar 68,4 persen, di antaranya yang terserang diare dan selebihnya demam yang sebagian besar dari mereka adalah anak-anak. Hal ini juga didukung oleh pembuangan limbah RT, yaitu sebesar 64,6 persen RT, tidak pada tempatnya seperti aliran sungai, laut dan pekarangan bagian belakang rumah.

Meskipun ada sekitar 63,3 persen RT yang menggunakan sabun dan kebokan dalam mencuci tangan sebelum makan atau sebesar 31,6 persen yang mencuci kaki sebelum tidur dengan menggunakan sabun dan air mengalir masih saja belum mampu menghindarkan warga dari berbagai macam potensi penyakit. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pemahaman warga tentang cara mencuci tangan yang baik dan benar, yaitu sebesar 74,3 persen responden menJawab tidak tahu. Begitu juga dengan penanganan sampah, ada sebesar 81,4 persen responden yang tidak tahu bagaimana cara penanganan sampah yang baik dan benar.

Rendahnya pengetahuan tentang gizi dan sanitasi tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan warga. Berdasarkan hasil wawancara ada sebanyak 69,6 persen responden berjenis kelamin perempuan dan 66,10 persen responden adalah perempuan dengan tingkat pendidikan maksimal tamat SD bahkan 46,15 persen di antaranya tidak pernahh sekolah. Besarnya peran perempuan dalam urusan rumah tangga, khususnya sandang, pangan dan kesehatan sangat memengaruhi pola konsumsi dan kesehatan keluarga. Untuk urusan kesehatan, ketika ada anggota RT yang terserang penyakit, puskesmas menjadi alternatif terbesar pengobatan bagi warga yaitu sebesar 94,9 persen. D. Gender

Sosial budaya masyarakat Bugis Makassar yang paternalistik tergambar jelas pada masyarakat di Desa Laikang. Peran kaum laki-laki masih lebih dominan dalam pengambilan keputusan di keluarga dibandingkan dengan kaum perempuan. Sistem nilai tersebut yang masih tetap dipertahankan sampai saat ini menjadikan kaum perempuan belum dapat mengubah stigma mereka bahwa perempuan itu adalah 3R (di dapur, sumur dan kasur). Berdasarkan Tabel 3.16, terdapat 28,28 persen jumlah RT yang memberikan peran suami lebih besar dibandingkan istri yang hanya sebesar 11,95 persen dalam urusan produksi. Meskipun istri dapat memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan bersama-sama dengan suami mereka tetapi kewenangan suami masih lebih besar dalam menentukan proses produksi RT.

Hal ini akan sangat berbeda dengan urusan pengelolaan sandang dan pangan keluarga dimana peran istri jauh lebih besar dalam pengambilan keputusan. Dari data Tabel 3.16 dapat terlihat sebesar 66,03 persen RT yang memberikan peran istri dalam pengelolaan urusan di rumah sedangkan peran suami hanya sebesar 11,60 persen.

Dalam hal perbaikan rumah, peran suami masih terlihat lebih besar dibandingkan dengan peran lainnya berkaitan urusan di rumah.

Peran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam proses produksi yang sangat kecil yaitu kurang dari 11,95 persen mengindikasikan dominasi kaum laki-laki di ladang atau di laut sangat besar. Meskipun terlihat adanya kerjasama yang besar antara suami istri, namun tidak menggambarkan peran yang sama dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat terlihat pada peran laki-laki dalam pengambilan keputusan menentukan jenis bibit yang akan ditanam lebih besar dibandingkan dengan peran keduanya (suami istri). Besarnya angka tersebut menggambarkan keterlibatan perempuan sebatas menyumbangkan tenaganya membantu suami mereka dalam proses produksi, bukan dalam hal pengambilan keputusan.

Tabel 3.16

Relasi Perempuan dan Laki-Laki Dalam Pengambilan Keputusan di Rumah Tangga Desa Laikang, Tahun 2015

Jenis Aktivitas Istri Suami

Suami-istri

Lainnya

(%) (%) (%) (%)

Produksi 11,95 28,28 55,86 3,91

Peran dalam menentukan jenis tanaman/ bibit yang dibudidayakan Sawah/kebun Rumput lau

15,0 5,2

57,5 50,0

25,0 43,1

2,5 1,7

Peran dalam proses tanam 7,5 16,4 71,6 4,5

Peran dalam proses pemeliharaan tanaman

7,5 29,9 58,2 4,5

Peran dalam proses panen 7,5 23,9 64,2 4,5

Peran dalam proses penjualan 9,0 29,9 56,7 4,5

Pemanfaatan hasil penjualan 31,9 5,8 58,0 4,3

Tempat Tinggal/Rumah 66,03 11,60 17,09 5,27

Peran menentukan jenis kebutuhan makanan keluarga sehari-hari

81,0 2,5 11,4 5,1

Perbaikan rumah 16,5 59,5 19,0 5,1

Kebutuhan perabot 79,7 2,5 12,7 5,1

Keperluaan sandang RT 54,4 1,3 38,0 6,3

Pembelian kebutuhan pangan RT 82,3 1,3 11,4 5,1

Jenis menu makanan RT 82,3 2,5 10,1 5,1

Catatan: Laporan Katalis, 2015 Berbeda halnya dengan peran perempuan di rumah yang sangat dominan. Hal ini

semakin menguatkan stigma di masyarakat bahwa domain kaum perempuan adalah 3R. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya peran mereka di dapur dalam menentukan jenis dan pengelolaan pangan yaitu lebih 81,0 persen. Sementara itu, peran mereka di

sumur dalam artian keperluan sandang RT juga relatif besar yaitu 54,4 persen sedangkan laki-laki hampir mendekati angka 0 persen. Untuk urusan di kasur dalam hal mengurus anak, kaum laki-laki menyerahkannya kepada perempuan. Berdasarkan Tabel 3.3, rata-rata RT memiliki lebih dari 2 orang anak. Peran Istri dalam mengurus keperluan sandang, pangan, dan pendidikan serta kesehatan mereka hingga mereka dewasa sangat besar. Oleh karena itu, Bagaimana perkembangan anak mereka ke depan sangat ditentukan oleh besar kecilnya campur tangan perempuan.

Rendahnya tingkat pendidikan istri memengaruhi kualitas generasi mereka di masa akan datang. Berdasarkan jumlah responden 66,10 persen responden perempuan dengan tingkat pendidikan maksimal tamat SD bahkan 46,15 persen di antaranya tidak pernah sekolah. Rumah tangga sebagai media pendidikan primer bagi anak, sehingga mereka harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang cukup serius. Namun, di Desa Laikang rata-rata ibu rumah tangga memiliki pendidikan yang relatif rendah begitu pula dengan laki-laki. Bahkan data di lapangan menujukkan rata-rata tingkat pendidikan yaitu 7 tahun. Rendahnya usia sekolah tersebut juga memengaruhi partisipasi mereka terutama generasi muda untuk dapat berpartisipasi dalam dunia kerja ke depan, khususnya pada sektor sekunder dan tersier.

BAB IV MEMBANGUN DESA LEWAT BUMDES

(PEMBELAJARAN DARI KABUPATEN BANTAENG)

Sulawesi Selatan merupakan daerah sentra penghasil rumput laut (seaweed).

Berdasarkan data yang dirilis Maritim Nusantara (2016) menyebutkan bahwa produksi rumput laut daerah ini adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Chile dengan potensi luas lahan 250 ribu hektar di pinggir laut dan 98 ribu hektar areal budidaya. Bahkan rumput laut memberikan kontribusi sebesar 70% dari hasil produksi perikanan budidaya Sulawesi Selatan, yaitu 2 juta ton pada tahun 2015 atau sekitar 97% dari target produksi. Jenis budidaya terbesar adalah Cattoni dengan daerah produksi tersebut tersebar di Kabupaten Takalar, Bantaeng, Jeneponto dan Bulukumba dan Gracillaria banyak dibudidaya di Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Bone, Wajo dan Palopo.

Sebagai daerah dengan panjang pantai 1.973,7 km persegi, potensi budidaya rumput laut di Sulawesi Selatan perlu dikembangkan sebagai sumber pendapatan masyarakat pesisir. Tidak hanya penting bagi pendapatan dan prekonomian daerah, rumput laut juga dapat menjadi sektor penghidupan masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, budidaya rumput laut menjadi sumber pendapatan utama selain dari menangkap ikan. Namun demikian usaha budidaya rumput laut oleh masyarakat masih menemukan banyak kendala. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan cuaca/iklim, mengingat adanya aktivitas di wilayah pesisir memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas lingkungan. Kondisi ini dengan sendirinya akan memberikan pengaruh terhadap usaha, baik di bidang perikanan tangkap maupun budidaya, termasuk rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada pendapatan masyarakat pesisir.

Pendapatan masyarakat pesisir yang tergolong masih sangat rendah merupakan fenomena yang masih dapat terlihat di Kabupaten Takalar dan Pangkep. Berdasarkan baseline survey ketahanan pangan yang dilakukan oleh Oxfam bekerjasama dengan Perkumpulan Katalis pada tahun 2015 di dua daerah tersebut menujukkan bahwa hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas lahan pertanian dan rumput laut serta kurangnya modal usaha yang dapat diakses oleh masyarakat lokal. Besarnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh petani membuat mereka harus mencari berbagai cara agar tetap bisa menjalankan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan data BPS tahun 20015 rata-rata biaya produksi per hektar sebesar 57,22 persen dari nilai produksi atau sebesar Rp 8,052 juta. Dengan tingkat pendapatan yang rendah dan jadwal tanam yang bergantung pada musim sangat memungkinkan sebagian besar petani menggunakan modal usaha mereka untuk menutupi biaya hidup setiap harinya. Oleh karena itu, modal usaha menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan dalam masyarakat yang secara tidak langsung memengaruhi tingkat kemiskinan di daerah pesisir.

Untuk memecahkan masalah lingkaran kemiskinan di daerah pesisir, peran pemerintah khususnya pemerintahan desa sangat dibutuhkan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Dapat dikatakan, otonomi desa merupakan suatu gagasan besar dalam memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perubahan-perubahan baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa desa harus mengambil peran yang besar secara makro ekonomi untuk memecahkan masalah-masalah di pedesaan yang memberikan implikasi secara mikro ekonomi. Dengan demikian, berbagai lembaga ekonomi pedesaan menjadi bagian penting sekaligus dalam rangka mendukung penguatan ekonomi perdesaan. BUMDes dan Kebangkitan Wirausaha dari desa (Belajar dari Bantaeng)

Oleh karenanya, diperlukan upaya sistematis untuk mendorong kelembagaan ini agar mampu mengelola aset ekonomi strategis sekaligus mengembangkan jaringan ekonomi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di pedesaan. Dalam konteks demikian, BUMDes merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa yang harus dikembangkan, sekaligus sebagai instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang tentang Desa dimaksudkan untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Sebagai lembaga usaha ekonomi desa, pembentukan dan pengelolaan BUMDes dimaksudkan sebagai instrument seluruh kegiatan ekonomi mandiri desa (peningkatan Pendapatan Asli Desa/PADes dan kesejahteraan masyarakat desa), baik yang berkembang menurut adat istiadat/budaya setempat (kearifan lokal), maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat desa.

Kondisi Geografis dan Demografi

Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km ke arah selatan dari Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 182.283 jiwa (2014) dengan rincian Laki-laki sebanyak 88.012 jiwa dan perempuan 94.271 jiwa. Wilayah Kabupaten Bantaeng secara administratif terbagi atas 8 kecamatan, 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan. Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut yaitu lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Kabupaten Bantaeng memiliki hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Bantaeng sebesar 6.222 Ha. Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian, di antaranya jenis tanaman sayur-sayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Tanaman holtikultura yang banyak di budidayakan di daerah ini adalah kentang, kool, wortel dan buah-buahan

seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.

Keberhasilan Prof. Dr. Ir. HM. Nurdin Abdullah Magr. dalam membangun Kabupaten Bantaeng menjadikan daerah ini maknet baru pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Adapun yang menjadi visi beliau dalah menjadikan Banteang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di bagian selatan Sulawesi Selatan tahun 2018. Untuk mencapai visi tersebut dijabarkan dalam bentuk misi di antaranya: 1. Meningkatkan kualitas SDM melalui pengembangan kapasitas penduduk; 2. Optimaslisai pemanfaatan SDM bidang pertanian dan kelautan; 3. Meningkatkan jaringan perdagangan, industry dan pariwisata; 4. Memaksimalkan berkembangnya lembaga ekonomi masyarakat secara terpadu; 5. Penguatan kelembagaan pemerintah.

Sebagai bentuk implementasi dari misi tersebut, pada tahun 2008 dibentuk lembaga ekonomi masyarakat secara terpadu dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di 46 desa yang ada di Kabupaten Bantaeng. Berdasarkan dari hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, dari seluruh BUMDes yang ada di daerah tersebut, diambil sampel sebanyak dua BUMDes yang dinilai memiliki kinerja yang baik yaitu BUMDes Ganting di Desa Labbo Kecamatan Tompobulu dan BUMDes Pinang Raya di Desa Rappoa Kecamatan Pajukukang.

Tabel 1 Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2015

Menurut Jenis Pekerjaan

Desa Labbo Desa Rappoa

Jenis Pekerjaan Jumlah Jenis Pekerjaan Jumlah

Petani 816 Jiwa Petani 185 Jiwa Nelayan -Jiwa Nelayan 45

Jiwa Buruh bangungan 50 Jiwa Buruh bangungan 136 Jiwa Pedagang -Jiwa Pedagang 125 Jiwa PNS 21 Jiwa PNS 69 Jiwa TNI/Polri 3 Jiwa TNI/Polri 3 Jiwa Lainnya 15 Jiwa Lainnya (Honorer) 77 Jiwa

Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016

Tabel 1 menujukan komposisi penduduk di Desa Labbo dan Rappoa pada tahun 2015. Secara umum terlihat adanya perbedaan diantara keduanya dimana 90,17 persen penduduk yang bekerja berada pada sektor pertanian sementara itu di Desa Rappoa hanya sebesar 35,94 persen atau lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor infrastruktur dan jasa. Hal tersebut sangat jelas dipengaruhi letak geografis dari masing-masing desa tersebut. Berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200 sampai dengan 2000 meter dpl dengan luasi wilayah 13,81 km2 menjadikan Desa Labbo sangat baik untuk wilayah pertanian. Berbeda halnya dengan Desa Rappoa yang berada di

daerah pesisir dan dekat wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bantaeng sehingga komposisi penduduk yang bekerja pada sektor non pertanian masih lebih besar dari pada sektor pertanian.

Tabel 2. Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut tingkat Pendidikan

Tahun 2015 Tingkat Pendidikan

Desa Labbo Desa Rappoa

Jenjang Jumlah Jenjang Jumlah

Tidak sekolah 127 jiwa Tidak sekolah 130 jiwa

Tamat SD 131 jiwa Tamat SD 193 jiwa

Tamat SMP 227 jiwa Tamat SMP 214 jiwa

Tamat SMA 108 jiwa Tamat SMA 102 jiwa

Tamat DI/DII/DIII 47 jiwa Tamat DI/DII/DIII 133 jiwa

Tamat Akademi/PT 43 jiwa Tamat Akademi/PT 77 jiwa

Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016 Berdasarkan tabel 2 dapat terlihat dengan jelas bahwa komposisi penduduk di

kedua desa menurut tingkat pendidikan rata-rata berada pada kategori tidak tamat SMP. Hal yang terlihat menarik dengan adanya perbedaan yang sangat signifikan pada jumlah penduduk yang lanjut ke tingkat perguruan tinggi di antara keduanya, dimana di Desa Rappo jumlahnya dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di Desa Labbo.

Meskipun kemudahan masyarakat untuk mengakses sarana pendidikan diantara keduanya hampir sama, letak geografis yang dekat dengan wilayah administrasi pemerintahan dianggap menjadi faktor yang sangat besar memengaruhi komposisi penduduk tersebut. Pilihan untuk bekerja pada sektor jasa mengharuskan mereka untuk meningkatkan kualifikasi mereka melalui pendidikan tinggi, baik yang ada di Kabupaten Bantaeng dan sekitarnya maupun di ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara itu, tidak adanya kualifikasi pendidikan yang menjadi syarat bagi sektor pertanian dan infrastruktur menjadikan sektor ini menjadi pilihan buat mereka yang berpendidikan sekolah menegah dan sekolah dasar bahkan yang tidak pernah duduk dibangku sekolah sama sekali.

Tabel 3. Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut tingkat Kelompok Umur Tahun 2015

Menurut Kelompok Umur (jiwa)

Desa Labbo Desa Rappoa

Kelompok Umur

Laki-laki

Perempuan Kumulatif Kelompok Umur

Laki-laki Perempuan Kumulatif

0-4 90 136 126 < 1 35 38 73

5-9 45 100 145 1-6 89 85 174

10-14 105 117 222 7-16 101 35 136

15-19 94 153 247 17-24 151 114 292

20-24 115 204 319 25-55 364 467 831

25-29 114 93 207 56> 64 102 166

30-34 72 100 172

35-39 108 138 247

40-44 78 123 201

45-49 107 136 243

50-54 153 135 288

55-59 168 120 288

60-64 67 140 207

65-69 80 146 226

70-74 103 96 199

75+ 17 25 42

Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016

Jika dilihat dari tabel 3 di atas, komposisi penduduk di Desa Labbo dan Rappoa sebagaian besar berada di usia produktif yaitu masing-masing sebesar 71,56 dan 67,17 persen dari total penduduk. Namun, berdasarkan data empirik di lapangan hanya ada sebesar 48,63 persen dari usia produktif di Desa Labbo yang benar-benar bekerja sementara itu ada sebanyak 81,22 persen dari perempuan yang berusia produktif tidak sedang bekerja (URT). Untuk Desa Rappoa tidak ada data yang menujukkan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tersedia di desa. 2.2.1. Kondisi Sosial Masyarakat Desa

Tanah merupakan aset yang memiliki peranan sangat penting bagi masyarakat di daerah pedesaan sehingga kondisi sosial masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan aset tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat di Desa Labbo masih sangat erat diantara mereka yaitu mencapai 90 persen merupakan penduduk asli yang turun-temurun mendiami daerah tersebut. Hal yang sama juga terlihat jelas di Desa Rappoa yang mencapai 89 persen dari jumlah penduduk. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa besar kemungkinan perpindah kepemilikan suatu aset (tanah) masih sangat dekat diantara mereka baik melalui sistem waris maupun jual beli.

Dengan adanya hubungan kekerabatan yang sangat erat tersebut, kegiatan sosial ekonomi masyarakat masih diwarnai budaya tolong menolong seperti pada kegiatan kerja bakti membersihkan jalan dan drainase, pindah rumah dan hajatan perkawinan di kampung. Sebagai daerah pedesaan yang digambarkan sebagai masyarakat tradisional (Gemeinstchaft), Orentasi kolektif tersebut merupakan konskuesi dari afektifitas, yaitu mementingkan kebersamaan dan rasa simpati yang tinggi terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolong tanpa pamrih yang dimasih dipertahankan oleh masyarakat kedua desa tersebut.

Persoalan sosial seperti kenakalan remaja dan sengketa tanah (warisan) masih mengandalkan penyelesaian secara kekeluargaan, yaitu mekanisme adat (arbitrasi) yang ada di desa. Meskipun perangkat dari institusi hukum seperti Polsek Tompobulu maupun Polsek Pajukukang terdapat di daerah tersebut, masyarakat desa masih lebih mengandalkan penyelesaian konflik lewat tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa seperti ketua RT/RW, kepada dusun dan kepala desa serta camat yang dianggap memiliki pengaruh yang kuat dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara itu, polisi

dilibatkan sebagai pihak yang berfungsi untuk mengamankan jalannya proses abitrasi tersebut.

Pengelola BUMDes

BUMDes Ganting

BUMDes Ganting yang sekarang berkantor di jalan cengkeh tepatnya dibelakang kantor Desa Labbo merupakan suatu lembaga ekonomi milik desa Labbo yang dirintis melalui musyawarah desa pada tanggal 31 Desember 2008 dan mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Bantaeng bekerjasama dengan ACCESS-Phase II sejak tahun 2009 sampai saat ini. Lembaga ini bebentuk usaha bersama (UB) yang sudah memilik badan hukum berupa akta notaris sejak tahun 2009. Tujuan pendirian lembaga tersebut di antaranya pertama, Mendorong berkembangnya kegiatan perekonomian masyarakat desa; kedua, meningkatkan kreatifitas dan peluang usaha ekonomi produkstif anggota (berwirausaha) masyarakat desa yang berpenghasilan rendah; ketiga, meningkatkan pendapatan asli desa; keempat, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, BUMDes Ganting mengelola beberapa jenis usaha berupa pengelolaan air bersih, jasa angkutan dan pengelolaan hutan desa.

Alasan memilih unit usaha tersebut, pertama, kondisi desa yang berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200 sampai dengan 2000 meter dpl dengan luasi wilayah 13,81 km2 menjadikan desa labbo memiliki potensi lahan yang sangat produktif di antaranya perkebunan dan hutan desa. Dengan luas lahan pertanian 16.296 Ha, masyarakat desa menanam berbagai jenis tanaman jangka panjang seperti cengkeh, kakao, dan berbagai macam buah-buahan. pada saat panen, masyarakat desa menghadapi kendala pemasaran hasil bumi mereka. Oleh karena itu, dengan adanya mobil pick up bantuan pemerintah Kabupaten Bantaeng yang digunakan untuk operasional usaha BUMDes termasuk melayani jasa pengangkutan hasil bumi masyarakat sangatlah membantu dalam pemasaran hasil bumi masyarakat tersebut. Dari unit usaha tersebut pendapatan BUMDes bisa mencapai 350 ribu sampai dengan 750 ribu rupiah perbulan. Masyarakat desa juga mengelola hutan desa dengan luas 504 Ha.

Kedua, keberadaan hutan desa menjadi anugrah yang besar bagi masyarakat di Desa Labbo dimana BUMDes Ganting adalah pemegang Hak Kelola Hutan (HPHD). Saat ini ada 119 keluarga yang tersebar di Desa Labbo, dimana Dusun Kampala dan Bonto Tappalang memanfaatkan hutan desa dengan menanam kopi dan memungut madu hutan. Di samping itu, hutan desa menjadi ekosistem yang baik bagi lebah hutan. Untuk memaksimalkan pemanfaatan hasil hutan tersebut, masyarakat membentuk kelompok peternak lebah madu yang beranggotakan 19 orang dengan 190 peti. Sejauh ini lembaga BUMDes masih berperan sebatas membantu kelompok tersebut dalam pemasaran hasil hutan mereka. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat desa, Sumber mata air dari hutan desa tersebut dialiri melalui pipa melayani 428 rumah tangga yang dikelola oleh BUMDes. dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan tarif yang dikenakan oleh PDAM yaitu sebesar 500 rupiah untuk biaya beban dan 250 rupiah

untuk biaya pemakaian/kubik. Oleh karena itu, dari unit usaha ini BUMDes memiliki penerimaan sebesar 530 ribu rupiah per bulan.

Untuk mendukung pelaksanaan usaha tersebut, modal usaha BUMDes Ganting berasal dari pertama, pemerintah Kabupaten Bantaeng yaitu modal usaha sebesar 100 juta rupiah dan sebuah mobil pick up. Bantuan dana pemerintah tersebut merupakan hibah sedangkan untuk mobil pick up, pengelola BUMDes harus menyetor kepada pemerintah daerah dalam hal ini dinas perhubungan sebesar 150 ribu rupiah setiap bulannya. Kedua, bantuan dari dirjen PMD pusat sebesar 160 juta rupiah. Dana ini merupakan hibah yang diperuntukan pada kegiatan pengembangan desa sehingga dalam penyalurannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dari Dirjen PMD Pusat pemerintah desa harus membentuk kelompok teknis kegiatan tersendiri yang terpisah dengan lembaga BUMDes. Untuk mentaktisi hal tersebut, pemerintah desa merekrut pengurus BUMDes Ganting untuk mengisi jabatan teknis tersebut. Tujuan tersebut bertujuan agar dana tersebut dapat disinerjikan kegiatan-kegiatan desa yang dikelola oleh BUMDes Ganting.

Mengacu pada peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi nomor 4 tahun 2015 pasal pasal 17 (b) modal BUMDes terdiri atas penertaan modal desa dan modal masyarakat. Namun penyertaan modal pemerintah Desa Labbo masih nihil meskipun pemerintah memberikan suntikan dana sebesar sembilan juta rupiah pada saat pelaksanaan musyawarah desa di awal tahun 2014. Alasan pemerintah desa mengambil tindakan tersebut bertujuan agar kas BUMDes tetap tidak terganggu. Menurut kepala Desa Labbo penyertaan modal yang nihil tersebut yang bersumber dari dana desa disebabkan oleh masih belum adanya perdes yang mengatur hal tersebut. Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam bentuk modal pada BUMDes tersebut juga nihil. Tidak alasan pasti dari pengelola yang menjelaskan kenapa hal itu tidak dilakukan.

BUMDes Pinang Raya

Seiring dengan pergantian kepengurusan yang baru, kantor BUMDes Pinang raya masih belum bersifat permanen. Para pengurus untuk sementara waktu berkantor di kantor Desa Rappoa Kecamatan Pajukukang jalan poros Bulukumba Makassar dan sebagaian arsip-arsip penting lembaga tersebut berada di rumah salah satu pengurus baru (sekretaris). Seperti halnya dengan BUMDes Ganting lembaga ekonomi desa tersebut dirintis melalui musyawarah desa pada di awal tahun 2009 dan mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Bantaeng. Lembaga ini bebentuk usaha bersama (UB) yang sudah memilik badan hukum berupa akta notaris sejak tahun 2009. Tujuan pendirian lembaga tersebut dilatarbelakangi dengan adanya program pemerintah Kabupaten Bantaeng yang ditandai dengan dikucurkannya bantuan dana BUMDes sebesar 100 juta rupiah tiap desa pada tahun 2009 menindak lanjuti Surat Keputusan Bupati Bantaeng Nomor 411/510/XII/2008 Tahun 2008 tentang petunjuk tekhnis pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah desa berinisiasi membentuk lembaga BUMDes dengan diawali pelaksanaan rembug desa (musyawarah desa) dengan beberapa agenda di antaranya; pertama, melakukan analsis sosial yang ada di desa, kedua sosialisasi

perencanaan dan program kerja yang bertujuan untuk pengembangan ekonomi masyarakat desa.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dengan terbentuknya lembaga BUMDes Pinang Raya yang dipimpin oleh Abdul Salam Bonda sebagai direktur disepakati beberapa unit usaha yaitu; pertama, perdagangan hasil pertanian, kedua, persediaan perlengkapan pesta dan ketiga, pembibitan sapi. Dari besarnya jumlah hibah pemerintah tersebut yang di kelola oleh lembaga, 20 persen digunakan untuk perlengkapan kantor (ATK) dan 30 persen digunakan untuk membeli bibit sapi sebanyak sepuluh ekor dengan nilai 30 juta rupiah. Sementara itu, sisa modal digunakan untuk membeli perlengkapan pesta dan modal usaha perdagangan.

Berbeda halnya dengan potensi yang ada di Desa Labbo, secara geografis letak desa Rappoa yang berada di sepanjang pesisir selat Makassar. Melalui unit usaha perdagangan, pengelola membeli hasil bumi masyarakat yang diperoleh dari budi daya rumput laut. Dengan hanya mengandalkan modal yang bersumber dari hibah pemerintah, kemampuan modal usaha yang masih kalah bersaing dengan pedagang pengumpul lainnya yang ada di desa, unit usaha ini hanya mampu membeli dalam jumlah yang kecil sesuai dengan harga yang ada di masyarakat. Karena tidak memiliki tempat penyimpanan yang memadai, hasil pembelian tersebut harus dijual kembali ke pedangang besar dengan nilai marjin yang sangat kecil. Jumlah yang kecil dan intensitas yang tidak menentu menyebabkan mereka belum coba untuk memasarkan langsung ke industri yang ada di Kota Makassar. Meski sempat macet pada tahun 2013 yang berdampak terhadap perkembangan usaha tersebut, atas inisiasi pemerintah desa berdasarkan hasil musrembang desa yang dilaksanakan awal tahun 2016 dengan kepengurusan BUMDes yang baru disepakati program pengadaan toko petani rumput laut yang akan menyediakan segala kebutuhan pertanian di antaranya, tali bentang dan bibit. Untuk mendukung tujuan pendirian lembaga tersebut. Rapat tersebut juga menyepakati pembentukan unit baru yaitu unit simpan pinjam untuk masyarakat kelas ekonomi mengengah bawah. Salah satu peruntukannya adalah sebagai modal usaha bagi petani rumput laut yang memiliki kendala pada modal usaha.

Untuk mendorong tingkat produktivitas pertanian di desa, pemerintah Desa Rappoa melalui BUMDes juga mengalokasikan dana desa sebesar 56 juta rupiah untuk membeli dua unit traktor. Di samping itu juga, melihat adanya nilai ekonomis dari unit usaha ternak sapi yang selama ini dijalankan, dimana dengan modal tiga juta rupiah per ekor setelah dua tahun memiliki nilai pasar sebesar dua juta rupiah, pemerintah kembali akan mengalokasikan dana desa tahun 2017 untuk penambahan jumlah bibit sapi. Untuk mendorong pembangunan ekonomi di desa pemerintah mencoba mesingerjikan RPJMdes 2020 dengan pelaksanaan program yang ada di lembaga BUMDes Pinang Raya. Bantuan dana tersebut merupakan bentuk partisipasi pemerintah desa dalam penyertaan modal usaha yang dialokasikan dari dana desa sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2015.

Prinsip-Prinsip Pendirian dan Pengelolaan

Dalam pendirian dan pengelolaan lembaga, prinsip-prinsip pendirian dan pengelolaan BUMDes di antaranya; pertama, prinsip kooperatif pada BUMDes Ganting

dan Pinang Raya menujukkan adanya hubungan kerja sama yang baik diantara pengurus yang ditandai oleh kemampuan masing-masing direktur lembaga tersebut dalam membangun komunikasi ke setiap lini yang ada di bawahnya meskipun terkadang terjadi perbedaan persepi tentang tugas pokok dan fungsi masing-masing pengurus. Sinergitas visi dan misi antara pemerintah desa dan pengelola BUMDes ternyata sangat memengaruhi kinerja lembaga. Hal ini dapat terlihat pada keberhasilan BUMDes Ganting periode 2012-2014 yang go internasional di masa kepimpinan Muhammad Jamil yang dapat bersinergi dengan Subehan yang mejabat sebagai kepala desa pada saat itu. Namun, pada akhir tahun 2013 setelah terpilihnya Sirajuddin sebagai kepala desa yang baru, Muhammad Jamil tidak lagi mencalonkan diri pada periode berikutnya dengan alasan politis. Sehingga sampai saat ini belum terlihat adanya perkembangan yang signifikan yang dilakukan oleh pengurus yang baru bahkan berdasarkan informasi di lapangan mereka belum melakukan kegiatan apa pun. Berbeda halnya yang terjadi pada BUMDes Pinang Raya, visi misi kepada desa (Irwan Darffan) yang tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh pengurus BUMDes pada periode sebelumnya yang dipimpin oleh Abdul Salam Bonda yang dianggap mengelola lembaga seperti mengelola usaha pribadi. Sehingga pada awal tahun 2016 diadakan musyawarah desa dengan menetapkan kepengurusan yang baru, dimana direktur dan bendahara diisi oleh orang yang baru sementara posisi sekretaris masih dijabat oleh orang yang sama.

Kedua, prinsip partisipatif yang ditunjukan dengan keterlibatan setiap unsur yang ada dalam masyarakat dalam musyawarah desa maupun kegiatan usaha BUMDes, seperti kelompok tani, tokoh masyarakat, tokoh perempuan dan tokoh pemuda. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan potensi desa sangat diharap seperti dalam pemeliharaan instalasi PDAM. Kepala unit usaha tidak mengandalkan seluruhnya kepada karyawan tetapi juga swadaya dari masyarakat sekitar. Mengingat kecilnya biaya beban dan pemakaian yang dipungut oleh BUMDes, jika hanya mengandalkan tenaga kerja upahan pasti akan menyebabkan besarnya kerugian yang akan ditanggung oleh unit usaha yang akhirnya akan dikenakan kepada pelanggan.

Ketiga, prinsip keadilan dan kesetaraan gender juga ditunjukan dalam penelolaan BUMDes dimana kepengurusan tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki tetapi juga pelibatan perempuan dianggap penting seperti ibu Hilmi Ahriani sebagai bendahara pada BUMDes Ganting dan Maryani dan Hadriani masing-masing sebagai sekretaris dan bendahara pada BUMDes Pinang Raya. Meskipun dalam AD/ART pasal 8 poin sangat jelas dibahasakan “Pembentukan BUMDes Ganting Desa Labbo dengan sistem musyawarah dengan melibatkan semua unsur dalam masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perempuan memiliki keterwakilan, b. Wakil masyarakat paling tidak ada unsur masyarakat miskin”. Namun, dalam musyawarah desa tingkat partisipasi kaum perempuan masih sangat minim jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh kesibukan perempuan dalam mengurusi rumah tangga mereka serta tingkat pendidikan yang umumnya tidak tamat SD menyebabkan mereka merasa canggung untuk hadir dalam forum tersebut.

Keempat, prinsip tranparansi dan akuntabilitas yang ditunjukan dalam pengelolaan kegiatan dan keuangan di kedua BUMDes masih sangat terbatas, yang

hanya bisa diakses oleh pihak-pihak tertentu khususnya pengurus inti. Seperti yang terjadi pada lembaga lain pada umumnya, kondisi keuangan BUMDes dilaporkan secara langsung pada akhir periode kepengurusan pada setiap tiga tahun dalam musyawarah desa. Untuk laporan pertanggungJawaban tahunan sesuai dengan AD/ART BUMDes Ganting pasal 22 pengurus berkewajiban memberikan laporan pertanggungJawaban kepada kepala desa selaku komisaris dan kepada masyarakat minimal sekali dalam setahun. Oleh karena itu, pengurus membuat laporan tahunan di antaranya laporan keuangan yang disampaikan dalam bentuk tertulis kepada komisaris. Hal yang sama juga dapat terlihat pada prinsip akuntabilitas di kedua BUMDes tersebut. PertanggungJawaban kegiatan secara teknis maupun administratif masih dilakukan secara periodik dan persuasif tanpa harus diadakan musyawarah BUMDes pertanggungJawaban (sesuai AD/ART BUMDes Ganting pasal 10).

Kelima, sesuai dengan tujuan pendirian BUMDes di kedua desa tersebut, prinsip sustainabel dari unit usaha yang dijalankan menjadi prioritas. Ketersedian sumber daya alam yang sangat potensial sangat mendukung tercapainya prinsip tersebut. Hal ini dapat terlihat pada setiap unit usaha yang dijalankan oleh BUMDes Ganting dalam mengelola hutan desa. Untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas air bersih dan ketersediaan lebah madu yang dikelola BUMDes Ganting lembaga tersebut menerbitkan surat keputusan nomor 03/BMDs-GT/LB/KTB/II/2010 tentang pengelolaan hutan desa. Tujuan dari peraturan tersebut adalah agar masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya hutan tersebut melalui BUMDes secara lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan.

Gambar 1. Struktur BUMDes Ganting dan Pinang Raya

Hubungan dengan Pihak Lain

Dalam upaya pengembangan lembaga, BUMDes sebagai lembaga yang berada di era globalisasi yang penuh dengan kompetisi dan sangat dinamis harus sedapat mungkin

Struktur BUMDes Pinang Raya Struktur BUMDes Ganting

Musyawarah

Desa

Musyawarah

Desa

Komisaris Komisaris

Direksi:

Direktur

Sekeretaris

Bendahara

Badan

Pengawas

Direksi:

Direktur

Sekeretaris

Bendahara

Badan

Pengawas

Unit

Usaha

Perleng-

kapan

pesta

Unit

Usaha

Jasa

simpan

pinjam

Unit

Usaha

Petern-

akan

sapi

Unit

Usaha

Petani

Rumpu

laut

Unit Usaha

Pengelolaan

Huta Desa

Unit Usaha

Jasa Angkutan

Unit Usaha

Pengelolaan

Air Desa

membuka diri terhadap berbagai pihak, baik pemerintah, swasta mapupun lembaga non-pemerintah. Sebagai lembaga ekonomi desa yang memiliki prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional, BUMDes Ganting telah membangun kerjasama dengan beberapa lembaga dalam dan luar negeri di antaranya; Univesitas Hasanuddin, Rekoptisi (Bangkok), Akses, LSM Balang, dan Forum Komunikasi Kehutan Masyarakat (FKKM).

Untuk dapat mengelola hutan desa sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 maka atas bantuan Rekoptisi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.57/Menhut-II/2010 tentang penetapan kawasan Hutan sebagai Areal kerja Hutan Desa dan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 3805/XI/TH 2010 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa di Kawasan Hutan Lindung masyarakat Desa Labbo melalui BUMDes Ganting dapat mengelola hutan desa yang terletak di Kawasan hutan yang terdapat di Desa Labbo sesuai badan planalogi Kehutanan dan hasil Peta paduserasi Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999, seluas 342 ha, berada di 5025’20” – 5023’40” LU dan 119057’30” - 119059’20” LS Hutan Desa yang dicanangkan di Kabupaten Bantaeng Kecamatan Tompobulu. Untuk dapat mempertahankan kelestarian dan keberlangsungan hutan tersebut, melalui fakultas kehutan Universitas Hasanuddin dan FKKM kelompok masyarakat diberi pembinaan dan informasi tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Keberadaan dan pengelolaan hutan desa secara terpadu menjadikan BUMDes Ganting dikenal di beberapa negara di antaranya mendapat kunjungan dari pemerintah Timor Leste dan Bangkok serta undangan menjadi nara sumber di Bangkok.

Sementara itu, popularitas BUMDes Pinang Raya belum terlihat seperti yang ada pada lembaga ekonomi desa yang ada di dataran tinggi tersebut. Dengan adanya unit usaha perdagangan dan simpan pinjam mengharuskan lembaga ini menjalin bekerjasama dengan pihak perbankan. Selama ini untuk memudahkan dan demi kelancaran usaha pihak pengelola membangun kerjasama dengan Bank PembangunanDaerah (BPD) Sulawesi Selatan. Tidak ada penjelasan khusus apa alasan pengelola BUMDes memilih kerjasama dengan lembaga keuanga tersebut. Jika dilihat dari jarak lokasi usaha dengan kantor BPD Sulawesi Selatan yang ada di daerah tersebut dapat dengan mudah dijangkau melalui moda transportasi darat, yang kira-kira berjarak 3 km.

Dampak Keberadaan BUMDes terhadap Masyarakat

Melihat apa yang melatarbelakangi pembentukan BUMDes, dampaknya terhadap masyarakat luas merupakan hal yang mutlak harus ada. Seperti yang tertuang dalam peraturan Desa Labbo Nomor 02 Tahun 2008 pasal 3 tentang tujuan pembentukan BUMDes Ganting yaitu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi, jiwa kewirausahaan dan pembentukan unit usaha mikro sektor informal di masyarakat terkhusus bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Sejak berdiri pada awal tahun 2009 keberadaan BUMDes Ganting sangat terasa dampaknya di masyarakat, seperti unit usaha air bersih, pengelolaan hutan desa dan jasa angkutan.

Ketersediaan air bersih yang sebelumnya dilakukan secara gotong-royong (swadaya) saat ini mampu dikelola secara profesional. Dengan menggunakan instalasi pipa yang dapat melayani 428 rumah tangga juga dilengkapi dengan meteran agar dapat mengukuran besarnya volume air yang digunakan. Meskipun dikelola secara profesional seperti halnya perusahaan air minum, aspek kepentingan sosial (nirlaba) masih menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari biaya yang dibebankan kepada masyarakat yaitu sebesar 500 rupiah (beban) dan 250 rupiah per kubik (biaya pemakaian). Selain sebagai sumber air bersih, masyarakat juga dapat memanfaatkan hutan secara terpadu dengan membudidayakan berbagai macam komoditas pertanian seperti kopi dan lebah madu. Agar hutan tetap lestari dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan peran BUMDes sebagai lembaga desa untuk mengatur tata kelola pemanfaatannya. Bahkan, masyarakat di desa diberikan berbagai pelatihan dan penyuluhan tentang peningkatan kapasitas secara berkelompok. Mereka juga diberikan bantuan bibit pohon agar dapat ditanam di daerah garapan mereka masing-masing. Untuk mengangkut hasil bumi masyarakat desa untuk dipasarkan, keberadaan mobil puck up BUMDes sangat membantu mereka. Bahkan pelayanan jasa angkutan juga menjangkau desa di sekitarnya.

Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari hasil budidaya masyarakat seperti kopi tidak langsung di pasarkan tetapi BUMDes Ganting melakukan pembinaan terhadap kaum perempuan di desa yang tergabung dalam “Kelompok Perempuan Mawar” bagaimana mengolah biji kopi menjadi kopi bubuk. Bahkan, melalui kelompok itu juga diajari bagaimana menghasilkan oleh-oleh khas daerah yang berbahan dasar kopi seperti dodol kopi. Agar produk tersebut dapat menjangkau pasar BUMDes Ganting juga membantu memasarkan produk dari masyarakat melalui pameran dan sosialisasi di berbagai even nasional dan daerah serta membangun kerjasama dengan pihak lain di antaranya rekoptisi. Hal yang sama juga terlihat di desa Rappoa, keberadaan BUMDes Pinang Raya dapat mengerakan perekonomian warga maskipun masih dalam skala kecil. Unit usaha peternakan sapi yang dikelola secara kelembagaan dan perawatannya diserahkan kepada 10 kepala keluarga mampu meningkatkan pendapatan bagi sebagaian masyarakat desa. Karena usaha tersebut jenisnya pembibitan dan sifatnya bergulir maka induk ternak tersebut akan diserahkan ke rumah tangga yang lain agar terjadi pemerataan. Begitu juga halnya dengan keberadaan dua unit traktor dapat membantu meningkatkan produktifitas lahan pertanian masyarakat, dimana sebelumnya mereka harus mendatangkan traktor dari desa tetangga bahkan harus antri agar biasa menggunakan traktor tersebut. Dengan ada dua unit tersebut, pengelolaan lahan pertanian di desa Rappoa dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan sebelumnya.

Meskipun keberadaan toko petani rumput laut belum terealisasi, nanti diharapkan dapat membantu masyarakat khususnya petani rumput laut dalam persediaan perlengkapan dan bahan baku yang dibutuhkan. Besarnya minat masyarakat dalam membudidayakan rumput laut di daerah pesisir selat Makassar akan meningkatkan bebagai macam kebutuhan mereka terutama bibit rumput laut yang memiliki kualitas terbaik. Keterbatasaan modal dan persediaan bibit yang jauh dari

lokasi budidaya menjadi masalah yang coba dipecahkan pemerintah desa melalui unit usaha toko petani rumput laut dan simpan pinjam yang dikelola oleh BUMDes tersebut.

Kebergantungan masyarakat yang sangat besar terhadap sector pertanian khususnya rumput laut di daerah pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep menujukkan adanya pengaruh yang besar antara daya beli masyarakat terhadap tingkat produktifitas lahan yang dikelola oleh mereka. Rendahnya daya beli masyarakat khususnya mereka yang mengelola lahan pertanian. mengharuskan mereka untuk menggunakan modal yang seharusnya digunakan untuk usaha budidaya rumput laut, malah digunakan untuk keperluan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan modal dalam menjalankan usaha budidaya tersebut dengan harapan penerimaan mereka tetap ada setiap musim panen, meskipun secara ekonomis harus menanggung kerugian, umumnya mereka memilih tengkulak sebagai tempat untuk mendapatkan modal usaha. Ketergantuangan mereka akibat pinjaman tersebut menjadi permasalahan baru yang tak pernah terselesaikan buat mereka. Ibarat bola salju yang terus menggelinding yang suatu waktu akan merusak setiap tempat yang dilewatinya mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi petani rumput laut yang ada di desa Laikang, Cikoang dan Patopakkang (Syafiuddin Saleh & Siswan, 2015).

Untuk memecahkan masalah tersebut, peran pemerintah baik daerah maupun desa dianggap sangat penting dalam mendorong perekonomian masyarakat di pedesaan. Upaya yang yang dapat dilakukan berdasarkan hasil studi komparatif (comperative study) yang dilakukan di Kabupaten Bantaeng, dimana keberhasilan pemerintah tersebut mendorong terbentuknya BUMDes di setiap desa menjadi modal tersendiri buat keberhasilan pembangunan di daerah itu. Melihat kondisi dan permasalahan yang ada di daerah pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep, Bentuk usaha BUMDes yang cocok untuk dikembangkan adalah:

Unit usaha simpan pinjam

Kendala modal usaha yang dihadapi oleh petani rumput laut di daerah tersebut dapat diselesaikan melalui unit usaha simpan pinjam. Untuk dapat melakukan peminjaman seluruh mekanisme tersebut diatur dalam ART dan peraturan BUMDes. Penyelengaraan simpan pinjam dimaksud untuk dapat memudahkan masyarakat dalam pelayanan kredit. Sementara itu, sifat dari pinjam ini adalah bersifat pinjaman produktif yaitu, setiap masyarakat yang telah terdaftar sebagai anggota dapat melakukan pinjaman jika memiliki usaha.

Masyarakat yang tidak memiliki usaha tidak diperkenankan untuk mendapatkan pinjaman disebabkan oleh tidak sesuai dengan dasar tujuan pendirian unit usaha itu sendiri. Oleh karena itu, melalui lembaga BUMDes kegiatan pemberdayaan masyarakat secara ekonomi di desa dapat di tingkatkan melalui kegiatan pelatihan yang masuk dalam kegiatan sosial BUMDes. Kegiatan ini betujuan mendorong dan menciptakan kemampuan kewirausahaan masyarakat di desa sehingga dana yang ada di unit usaha ini dapat bergulir di masyarakat dengan tingkat pengembalian yang tinggi.

Unit usaha perdagangan (pertokoan)

Keberadaan unit usaha ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap perlengkapan yang digunakan dalam budidaya rumput laut melalui keberadaan toko pertanian yang dikelola oleh BUMDes seperti tali bentang, pelampung, dan bibit. Kebutuhan terhadap barang-barang tersebut sebelumnya harus dibeli dengan harga yang relative lebih tinggi yang disediakan oleh pengusaha yang ada di desa. Bahkan, khusus tali bentang sebagaian dari mereka harus ke Kota Makassar untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar dengan harga yang dianggap lebih murah dibandingkan harga yang ada di desa dengan selisih harga antara 5 ribu rupiah sampai dengan 10 ribu rupiah per roll (Syaifuddin, 2015). Margin harga yang relatif besar tersebut dapat dipangkas melalui keberadaan unit usaha tersebut, bahkan bisa menjadi laba usaha.

Di samping itu, untuk memotong rantai pemasaran yang begitu panjang dengan marjin harga yang relative besar, unit usaha ini juga dapat melakukan pembelian hasil produksi petani. Besarnya jumlah produksi rumput laut yang ada di daerah tersebut sangat memungkinkan BUMDes langsung dapat menjualnya ke industri yang ada di Kota Makassar. Besarnya margin harga yang ada dalam pemasaran rumput laut, yaitu sebesar 4 sampai 5 ribu rupiah per kilogram, sangat memengaruhi besarnya potensi pendapat yang hilang dari petani rumput laut yang ada di daerah pesisir kabupaten Takalar dan Pangkep (Syaifuddin, 2015). Dengan pemangkasan rantai pemasaran tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan gairah masyarakat untuk meningkatkan produktifitas usaha mereka. Misalnya, 30 persen dari margin harga itu diberikan kepada produsen dalam bentuk tambahan harga pembelian dan selebihnya menjadi laba usaha yang diperoleh BUMDes. Hal ini tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan petani tetapi juga dapat memperkuat kemampuan keuangan lembaga.

Unit usaha agroindustri

Untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani rumput laut khususnya kaum perempuan perlu adanya industry rumah tangga yang dapat mengolah bahan baku rumput laut menjadi produk yang memiliki nilai tambah (valueadded). Banyaknya produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku tersebut seperti snack rumput laut sehingga usaha ini perlu dikembangkan di daerah pesisir. Pelatihan dan penyediaan tehnologi yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pusat dapat dilakukan untuk mendukung pelaksanaan usaha tersebut.

Dari pelatihan dan teknologi yang tersedia, BUMDes dapat mendesain bentuk usaha yang akan dijalankan ,apakah BUMDes melalui unit usaha ini membangun industry yang terpusat di suatu tempat atau hanya mengumpulkan hasil produksi dari home industry yang ada di masyarakat kemudian memasarkannya. Keuntungan dari hanya memasarkan hasil produksi tersebut yaitu hanya membutuhkan modal yang relative kecil. Namun, melihat permasalahan yang ada di masyarakat yang menghadapi kendala modal untuk dapat menjalankan usaha mereka dalam skala kecil (home industry) pada tahap awal BUMDes dapat menjadi pioneer dalam mengembangkan usaha tersebut.

BAB V KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN

DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Struktur Permintaan dan Penawaran

Struktur permintaan barang dan jasa di Provinsi Sulawesi Selatan menggambarkan besarnya barang dan jasa yang diminta oleh sektor-sektor produksi maupun pelaku-pelaku ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan. Besarnya permintaan sektor-sektor produksi digambarkan dalam permintaan antara, sedangkan permintaan dari pelaku-pelaku ekonomi terdiri atas permintaan domestik dan permintaan luar wilayah dan luar negari (ekspor). Sementara itu, struktur penawaran barang dan jasa di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan besarnya input, baik input antara, input primer maupun impor, yang ditawarkan oleh sektor-sektor produksi maupun pelaku ekonomi untuk memenuhi permintaan dari sektor-sektor produksi di Provinsi Sulawesi Selatan. Tabel berikut menujukkan sektor ekonomi dengan jumlah permintaan barang dan jasa di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2009.

Tabel 5.1 Jumlah permintaan barang dan jasa Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

No Lapangan Usaha Permintaan

Antara (juta rupiah)

Permintaan Akhir (juta rupiah) Total

Domestik Ekspor

1 Pertanian 21.744.856 12.723.033 10.398.353 44.866.242

2 Pertambangan dan penggalian

1.608.567 2.292.589 6.001.991 9.903.147

3 Industri pengolahan 33.831.688 29.412.010 19.894.428 83.138.126

4 Listrik, gas & air bersih 1.571.059 1.788.664 - 3.359.723

5 Bagunan 1.858.551 15.334.219 - 17.192.770

6 Perdagangan, hotel & restoran

8.488.937 10.744.769 3.264.035 22.497.741

7 Angkutan & komunikasi

6.609.936 6.065.124 2.077.147 14.752.207

8 Keuangan, persewaan/jasa perus

4.727.315 3.481.835 109.971 8.319.121

9 Jasa-jasa 114.653 22.378.237 34.362 22.527.252

Jumlah 80,555,562 104.220.480 41.780.287 226.556.329

Sumber: BPS Sulawesi Selatan,2010 Berdasarkan Tabel 5.1, pada tahun 2009, permintaan terhadap barang dan jasa

di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai Rp 226,56 triliun. Permintaan tersebut terdiri dari permintaan antara sebesar 35,56 persen, permintaan domestik sebesar 46,00 persen akhir domestik dan sisanya sebesar 18,44 persen merupakan permintaan dari konsumen di luar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan atau ekspor. Permintaan terbesar berasal dari permintaan sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 83,14 triliun atau sebesar 36,70 persen dari total permintaan, dan diikuti oleh sektor pertanian sebesar 19,80 persen.

Sementara itu, permintaan terendah berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih yang hanya mencapai sebesar 1,48 persen.

Tabel 5.2 Jumlah penawaran barang dan jasa Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

No Lapangan Usaha Penawaran (juta rupiah)

Total Impor Output Domestik

1 Pertanian 2,776,416 42,449,235 44.856.217

2 Pertambangan dan penggalian

385,501 9,516,627 9.900.154

3 Industri pengolahan 35,440,365 48,225,192 83.138.759

4 Listrik, gas & air bersih 393,419 2,969,295 3.362.714

5 Bagunan - 17,189,894 17.192.120

6 Perdagangan, hotel & restoran

32,680 22,456,625 22.507.910

7 Angkutan & komunikasi 2,070,612 12,681,451 14.752.216

8 Keuangan, persewaan/jasa perus

125,319 8,194,366 8.319.137

9 Jasa-jasa 25,119 22,507,703 22.527.102

Jumlah 41,247,431 186,190,388 226,556,329

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Untuk memenuhi permintaan barang dan jasa tersebut, Provinsi Sulawesi

Selatan memenuhinya dari produksi domestik sebesar Rp 186,19 triliun atau sebesar 81,79 persen, sedangkan sisanya diimpor dari luar wilayah sebesar 18,21 persen. Penawaran barang dan jasa terbesar berasal dari sektor industri pengolahan sebesar Rp 83,14 triliun atau sebesar 36,70 persen selanjutnya sektor pertanian sebesar 19,80 persen sedangkan sektor dengan jumlah penawaran terkecil berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih yaitu sebesar 1,48 persen.

Tabel 5.3 Persentase permintaan dan penawaran barang dan jasa Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2009

No Lapangan usaha Permintaan Penawaran

Permintaan antara

Domestik Ekspor Total Impo

r Output

Domestik Total

1 Pertanian 48.19 28.51 23.30 100 6.22 93.78 100

2 Pertambangan dan penggalian

16.24 23.15 60.61 100 3.87 96.13 100

3 Industri pengolahan

40.69 35.38 23.93 100 42.63 57.37 100

4 Listrik, gas & air bersih

46.83 53.17 0.00 100 11.70 88.30 100

5 Bagunan 10.81 89.19 0.00 100 0.00 100.00 100

6 Perdagangan, hotel & restoran

37.76 47.74 14.50 100 0.15 99.85 100

7 Angkutan & komunikasi

44.81 41.11 14.08 100 14.04 85.96 100

8 Keuangan, persewaan/jasa perus

56.83 41.85 1.32 100 1.51 98.49 100

9 Jasa-jasa 1.54 98.31 0.15 100 0.11 99.89 100

Jumlah 35.56 46.00 18.44 100 18.21 81.79 100

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Berdasarkan data Input output Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010, struktur

permintaan dan penawaran untuk setiap sektornya, memperlihatkan bahwa sektor pertanian dari sisi penawaran sebesar Rp 42,45 triliun atau sebesar 93,78 persen mampu disediakan oleh produsen domestik, dan sebesar 6,22 persen berasal dari luar wilayah. Dari Jumlah penawaran tersebut dialokasikan untuk memenuhi konsumsi antara sebesar 48,19 persen, untuk konsumsi domestik sebesar 28,51 persen, dan sisanya sebesar 23,30 persen untuk ekspor. Dari komposisi penawaran, dapat dikatakan bahwa untuk produk-produk pertanian kebergantungan Provinsi Sulawesi Selatan terhadap wilayah lain relatif kecil karena untuk memenuhi permintaan dalam wilayah sebagian besar telah dihasilkan di Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan dari komposisi permintaan, masih diproses lebih lanjut menjadi barang lain yang secara ekonomis tentunya menciptakan nilai tambah yang lebih besar. Hal ini merupakan suatu indikasi yang positif bagi sistem perekonomian Sulawesi Selatan.

Sektor pertambangan dan penggalian mempunyai struktur permintaan yang berbeda dengan sektor pertanian. Pada sektor ini sebagian besar dari penawaran yang ada dialokasikan untuk ekspor yaitu sebesar 60,61 persen, sedangkan untuk permintaan antara dan konsumsi domestik masing-masing hanya sebesar 16,24 persen dan 23,15 persen. Hal ini memberikan indikasi bahwa belum terdapat industri lanjutan untuk produk pertambangan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada sektor industri pengolahan nampak bahwa dari sisi penawaran maupun permintaan memperlihatkan persebaran yang hampir merata. Jumlah permintaan barang-barang hasil industri dalam perekonomian Sulawesi Selatan mencapai Rp 83,14 triliun. Dari jumlah tersebut, untuk memenuhi permintaan pada sektor-sektor produksi mencapai Rp 33,83 triliun atau sebesar 40,69 persen, konsumsi domestik sebesar Rp 29,41 triliun atau sebesar 35,38 persen dan ekspor sebesar Rp 19,89 triliun atau sebesar 23,83 persen. Untuk memenuhi permintaan tersebut, sebesar 57,37 persen mampu disediakan atau diproduksi sendiri dan sisanya sebesar 42,63 persen harus didatangkan dari wilayah lain. Masih relatif besarnya nilai impor tersebut memberikan indikasi bahwa perekonomian Sulawesi Selatan mempunyai kebergantungan yang relatif cukup tinggi terhadap wilayah lain.

Untuk sektor lainnya, seperti listrik, gas dan air bersih, bagunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, bank dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa lainnya, struktur penawarannya sebagian besar berasal dari produksi domestik. Bagitu juga dengan struktur permintaannya, sebagian besar untuk memenuhi permintaan pada sektor-sektor produksi dan konsumsi domestik.

1. Struktur Input

Struktur input terdiri dari dua komponen, yaitu input antara (intermediate input) dan input primer (primer input). Besarnya input yang dibutuhkan oleh Provinsi Sulawesi Selatan untuk memproduksi suatu barang dan jasa berasal dari input antara berupa output dari sektor-sektor produksi yang berasal dari dalam wilayah maupun berasal dari luar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan input primer berupa biaya yang dikeluarkan atas adanya proses produksi. Tabel berikut menujukkan sektor ekonomi dengan persentase biaya di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2009.

Tabel 5.4 Persentase biaya antara dan biaya primer Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

No Lapangan Usaha

Biaya Antara Biaya Primer/nilai Tambah Bruto

Output Dom

estik Impo

r Jumla

h Upah/Gaji

Surplus Usaha

Penyusuta

n

Pajak

Tak Lang.

Jumlah

1 Pertanian 22,01 6,19 28,20 12,77 56,75 1,55 0,7

3 71,80 100

2 Pertambangan dan penggalian

29,19 3,87 33,07 18,76 37,58 7,79 2,8

1 66,93 100

3 Industri pengolahan

42,49 42,63 85,12 4,39 8,47 1,21 0,81

14,88 100

4 Listrik, gas & air bersih

59,67 11,70 71,37 13,33 -4,13 19,39 0,0

4 28,63 100

5 Bagunan 67,45 - 67,45 12,69 15,43 2,93 1,5

0 32,55 100

6 Perdagangan, hotel & restoran

21,07 0,15 21,21 18,50 50,37 4,61 5,3

0 78,79 100

7 Angkutan & komunikasi

36,37 14,04 50,40 11,12 25,65 12,02 0,8

0 49,60 100

8 Keuangan, persewaan/jasa perus

15,79 1,51 17,29 17,47 58,33 4,47 2,4

5 82,71 100

9 Jasa-jasa 33,02 0,11 33,13 62,23 1,07 3,47 0,0

1 66,87 100

JUMLAH 35,56 18,21 53,76 15,51 26,02 3,35 1,3

6 46,24 100

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Secara keseluruhan sektor ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan dalam tahun

2009 menujukkan persentase input antara sebesar 53,76 persen dan input primernya sebesar 46,24 persen dari total input. Hai ini mengindikasikan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan secara umum untuk memproduksi suatu barang dan jasa dibutuhkan biaya bahan input sebesar 53,76 persen dan biaya faktor produksi sebesar 46,24 persen. Untuk memproduksi suatu barang dan jasa suatu unit kegiatan ekonomi bergantung pada komponen barang impor sebesar 18,21 persen dan komponen domestik sebesar 35,56 persen dari total input.

Struktur input primer yang merupakan biaya faktor produksi, komponen yang terlihat menonjol adalah surplus usaha yaitu 26,02 persen dan yang terendah adalah komponen pajak tak langsung sebesar 1,36 persen dari total input. Untuk komponen lainnya, upah dan gaji sebesar 15,51 persen dan penyusutan barang modal sebesar 3,35 persen.

Dikategorikan komponen input antara tinggi atau rendah berdasarkan nilai persentase rata-rata input antara seluruh sektor, dikatakan tinggi apabila di atas nilai persentase rata-rata dan rendah jika di bawah nilai persentase rata-rata dari seluruh sektor. Interpretasi secara umum, komponen input antara tinggi mengindikasikan bahwa kemampuan sumber daya manusia dan teknologi yang relatif rendah demikian pula sebaliknya. Komponen input antara yang tergolong tinggi adalah sektor industri pengolahan sebesar 85,12 persen, listrik, gas dan air bersih sebesar 71,37 persen, dan bagunan sebesar 67,45 persen, sedangkan yang tergolong rendah adalah selain sektor yang telah disebutkan.

Sektor pertanian yang merupakan sektor basis Sulawesi Selatan memperlihatkan biaya antara sebesar 28,20 persen dan biaya primer sebesar 71,80 persen. Hal ini mencerminkan bahwa kemampuan sumber daya manusia dan teknologi sektor pertanian dapat dikatakan sudah cukup baik. Begitu juga dengan lima sektor lainnya, yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, perhotelan, dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa.

Adanya biaya primer sektor pertanian yang relatif besar yaitu sebesar 71 persen menujukkan bahwa sektor ini mengeluarkan biaya jauh lebih besar untuk faktor-faktor produksi dibandingkan dengan biaya bahan baku yang hanya sebesar 28,20 persen. Persentase komponen upah dan gaji masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan persentase rata-rata daerah tetapi surplus usaha berada jauh di atas persentase rata-rata daerah. Nilai biaya penyusutan jauh di bawah rata-rata daerah karena rendahnya penggunaan barang-barang modal dalam sektor ini. Sementara itu, sebagai sektor primer yang menyediakan bahan baku bagi sektor ekonomi lainnya sektor ini juga mengeluarkan biaya pajak yang relatif rendah. Angka tersebut disumbangkan dari besarnya impor dan ekspor pertanian Sulawesi Selatan.

2. Struktur Output

Output merupakan nilai produksi baik barang maupun jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah. Dengan menelaah besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui sektor-sektor yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam membentuk output secara keseluruhan di suatu wilayah. Tabel berikut menujukkan sektor ekonomi dengan nilai tambah bruto di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 yang diperoleh dari besarnya total output setiap sektor ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan yang dikurangi dengan jumlah permintaan antara tiap-tiap sektor atau besarnya permintaan akhir dari masing-masing sektor.

Tabel 5.5 Nilai tambah output bruto Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

No Kode Sektor Nilai Kontribusi

(miliyar rupiah) (%) 1 Pertanian 23.111.361 15.83 2 Pertambangan dan penggalian 8.291.587 5,68 3 Industri pengolahan 49.307.071 33,77 4 Listrik, gas & air bersih 1.791.655 1,22 5 Bagunan 15.333.569 10,50 6 Perdagangan, hotel & restoran 14.018.973 9,60 7 Angkutan & komunikasi 8.142.280 5,58 8 Keuangan, persewaan/jasa perus 3.591.822 2,46 9 Jasa-jasa 21.412.449 15,35

Jumlah 146.000.767 100

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Berdasarkan Tabel 5.5 di atas menujukkan bahwa sektor industri pengolahan

mampu menghasilkan output bruto sebesar Rp 49,31 triliun atau sebesar 33,77 persen dari seluruh permintaan akhir di Provinsi Sulawesi Selatan. Sektor pertanian berada pada urutan kedua dengan kontribusi sebesar 15,83 persen dan selanjutnya sektor jasa-jasa yang sebesar 15,35 persen, sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih hanya mampu menghasilkan output bruto sebesar 1,22 persen, yang merupakan sektor dengan kontribusi terkecil dari seluruh sektor dasar di Provinsi Sulawesi Selatan.

Besarnya kontribusi sektor pertanian tersebut terdiri atas permintaan domestik sebesar 28,51 persen dan ekspor sebesar 23,30 persen. Dari total output yang dihasilkan oleh sektor pertanian, sebanyak 51,81 persen merupakan permintaan akhir sedangkan selebihnya digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi. Hal ini menujukkan bahwa sektor pertanian masih mampu memberikan sumbangan yang besar dalam menciptakan output secara keseluruhan dalam perekonomian Sulawesi Selatan.

3. Struktur Nilai Tambah Bruto

Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap sektor ditentukan oleh besarnya output nilai produksi yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh karena itu, suatu sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar bergantung dari biaya produksi yang dikeluarkannya. Tabel 5.6 Nilai tambah bruto menurut sektor di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

No Kode Sektor Nilai

(miliyar rupiah) Kontribusi

(%) 1 Pertanian 32.205914 30,74 2 Pertambangan dan penggalian 6.626.459 6,35 3 Industri pengolahan 12.369.815 11,80 4 Listrik, gas & air bersih 962.690 0,92 5 Bagunan 5.595.249 5,34 6 Perdagangan, hotel & restoran 17.733.490 16,92 7 Angkutan & komunikasi 7.316.376 6,98 8 Keuangan, persewaan/jasa perus 6.880.443 6,57 9 Jasa-jasa 15.062.900 14,38

Jumlah 104.753,336 100

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah)

Berdasarkan Tabel 5.6 memperlihatkan besarnya nilai tambah bruto tiap-tiap sektor di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari tabel tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian masih merupakan kegiatan usaha yang dominan penciptaan nilai tambah di Sulawesi Selatan. Sektor ini mampu menciptakan nilai tambah sebesar Rp 32,21 triliun atau mempunyai peran sebesar 30,74 persen dari seluruh nilai tambah yang terbentuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Begitu juga dengan sektor perdagangan, perhotelan dan restoran, serta sektor jasa-jasa yang masing-masing sebesar 16,93 persen dan 14,38 persen, sedangkan sektor yang menciptakan nilai tambah paling kecil yaitu sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 00,92 persen dari nilai tambah yang terbentuk di Provinsi Sulawesi Selatan.

Besarnya nilai tambah bruto sektor pertanian disebabkan oleh besarnya partisipasi tenaga kerja di Sulawesi Selatan pada sektor tersebut, sebagaimana digambarkan pada Tabel 4.3, yaitu sebesar 49,30 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2009. Komposisi terbesar berasal dari surplus usaha sebesar Rp 25,45 triliun atau 79,03 persen, sedangkan upah dan gaji sebesar Rp 5,729,177 triliun atau 17,79 persen. Besarnya surplus usaha tersebut menujukkan bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana yang ditunjukan pada Tabel 4.5. Namun, besarnya nilai tersebut belum mampu memberikan kesejahteraan bagi tenaga kerja dari besarnya upah dan gaji rata-rata yang diterimanya.

Tabel 5.7 Komposisi nilai tambah bruto menurut komponennya di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

Kode Komponen Nilai

(juta rupiah) Distribusi

(%) 201 Upah dan gaji 35.143.436 33,55 202 Surplus usaha 58.943.392 56,27 203 Penyusutan 7.589.132 7,24 204 Pajak tak langsung 3.077.378 2,94

Nilai tambah bruto 104.753.336 100

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2009 (diolah)

Jika diperhatikan nilai tambah bruto menurut komponennya, seperti pada Tabel 5.7, bahwa sebagian besar nilai tambah tersebut berasal dari komponen surplus usaha. Nilai surplus usaha dalam perekonomian Sulawesi Selatan pada tahun 2009 mencapai Rp 58,94 triliun atau sebesar 56,27 persen. Komponen upah dan gaji juga cukup besar, yaitu Rp 35,14 triliun atau sebesar 33,55 persen dari keseluruhan nilai tambah yang dihasilkan di Sulawesi Selatan, sedangkan komponen penyusutan dan pajak tak langsung peranannya tidak terlalu besar, masing-masing hanya mencapai 7,24 persen dan 2,94 persen. Apabila diamati lebih seksama, struktur nilai tambah sebagaimana yang tertera pada Tabel 5.7 ternyata porsi yang diterima untuk upah dan gaji masih relatif rendah bila dibandingkan dengan surplus usaha, padahal upah dan gaji merupakan komponen

yang bisa langsung diterima oleh pekerja, sedangkan surplus usaha diterima oleh pengusaha. Surplus usaha belum tentu dapat dinikmati oleh masyarakat, khususnya tenaga kerja, karena surplus usaha tersebut sebagian ada yang disimpan atau ditanamkan di perusahaan dalam bentuk laba yang ditahan.

4. Struktur Permintaan Akhir

Pendapatan suatu wilayah pada dasarnya memenuhi persamaan Y =C+G+I+(X-M), dimana Y adalah pendapatan, dalam konteks I-O sama dengan PDRB atau total nilai tambah, C adalah konsumsi rumah tangga, G adalah konsumsi pemerintah, X-M adalah ekspor neto. Mengamati perkembangan komponen ini sangat penting untuk diikuti khususnya komponen ekspor dan pembentukan modal tetap bruto. Komponen ekspor merupakan salah satu sumber devisa dan komponen pembentukan modal tetap bruto merupakan komponen yang berkaitan langsung dengan peningkatan kapasitas produksi atau pertumbuhan ekonomi.

Tabel 5.8 Komposisi permintaan akhir menurut komponennya di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

No Komponen Nilai

(juta rupiah) Distribusi

(%) 1 Konsumsi rumah tangga 57.350.233 39,72 2 Konsumsi pemerintah 21.479.370 14,88 3 Pembentukan modal tetap bruto 21.648.345 14,99 4 Perubahan inventory 3.742.532 2,59 5 Ekspor 41.780.287 28,62

6 Jumlah permintaan akhir 146.000.767 100

7 Impor 41.247.431 28,57

PDRB 104.753.336 71,75

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah)

Berdasarkan tabel I-O Sulawesi Selatan tahun 2009, perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan masih harus mendatangkan barang dan jasa dari luar wilayah sebesar Rp 41,24 triliun. Nilai impor ini merupakan 28,57 persen dari total permintaan. Hal ini menujukkan bahwa perekonomian Sulawesi Selatan termasuk wilayah yang memiliki kebergantungan cukup besar terhadap wilayah lainnya.

Komposisi komponen permintaan akhir dapat dilihat bahwa proporsi terbesar adalah konsumsi rumah tangga yang nilainya mencapai Rp 57,35 triliun atau 39,72 persen dari total permintaan akhir. Hal ini memperlihatkan bahwa perekonomian Sulawesi Selatan masih kuat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi rumah tangga. Peranan pemerintah dalam perekonomian Sulawesi Selatan nampaknya cukup besar mencapai Rp 21,48 triliun atau 14,88 dari total permintaan akhir. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam pembangunan ekonomi, kontribusinya sebesar Rp 21,645 triliun atau sekitar 14,99 persen dari total permintaan akhir. Kondisi ini penting untuk mendapatkan perhatian oleh semua pihak, karena PMTB secara langsung berkaitan dengan kapasitas produksi. Dalam prespektif waktu yang lebih panjang, peningkatan PMTB akan meningkatkan persediaan modal (capital stock),

dan setiap penambahan persediaan modal akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Output perekonomiman meningkat pada akhirnya akan mampu menyerap tenaga kerja atau akan mengurangi pengangguran.

5. Struktur Nilai Perdagangan Bersih (Net Trade) Struktur nilai perdagangan bersih adalah selisih nilai dari ekspor dan impor barang dan jasa suatu perekonomian. Hubungan antara pelaku ekonomi domestik dan luar negeri tersebut memengaruhi besarnya penerimaan devisa pada suatu perekonomian. Jika nilai ekspor lebih besar dari nilai impor akan mengakibatkan surplus pada neraca perdagangan. Hal ini berarti akan terjadi penambahan cadangan devisa. Sebaliknya, jika nilai ekspor lebih kecil dari nilai impor akan mengakibatkan defisit pada neraca perdagangan, yang akhirnya mengurangi cadangan devisa. Selain itu, suatu sektor dapat dianggap sebagai sektor kunci (leading sector) apabila mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi. Tabel 5.9 Persentase nilai perdagangan bersih menurut sektor Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2009

No Sektor

Distribusi

Impor (Rp juta)

Persen

Ekspor (Rp juta)

Persen Perdaganga

n bersih (Rp juta)

Persen

1 Pertanian 2.776.416 6,73 10.398.353 24,89 7.621.937 1.430,39 2 Pertambangan

dan penggalian 383.501 0,93 6.001.991 14,37 5.618.490 1.054,41

3 Industri pengolahan

35.440.365 85,92 19.894.428 47,62 -1.554.593 -

22917,47 4 Listrik, gas & air

bersih 393.419 0,95 0 0,00 -393.419 -73,83

5 Bagunan 0 0,00 0 0,00 0 0,00 6 Perdagangan,

hotel & restoran 32.680 0,08 3.264.035 7,81 3.231.355 606,42

7 Angkutan & komunikasi

2.070.612 5,02 2.077.147 4,97 6.535 1.23

8 Keuangan, persewaan/jasa perus

125.319 0,30 109.971 0,26 -15.348 -2,88

9 Jasa-jasa 25.119 0,06 34.362 0,08 9.243 1.73

Jumlah 41.247.431 100,0 41.780.287 100.00 532.856 100,00

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah)

Berdasarkan Tabel 5.9, menujukkan nilai perdagangan bersih tiap-tiap sektor di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari tabel tersebut menujukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki nilai perdagangan bersih terbesar dari delapan sektor lainnya. Meskipun nilai ekspor sektor tersebut hanya sebesar 24,89 persen lebih kecil dari nilai ekspor sektor industri pengolahan, namun sektor tersebut memiliki kebergantungan terhadap impor yang relaitf sangat kecil dibandingkan dengan sektor industri pengolahan yang memiliki kebergantungan impor yang relatif sangat besar yaitu sebesar 85,29 persen. Sektor selanjutnya yang memiliki nilai perdagangan bersih yang

relatif tinggi adalah sektor penggalian dan pertambangan dan sektor perdagangan, perhotelan dan restoran yang masing-masing sebesar 1.054,41 persen dan 606,42 persen, sedangkan sektor lainnya memiliki nilai yang mendekati nol. Oleh karena itu, berdasarkan data di atas sektor pertanian merupakan sektor kunci (leading sector) di Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis Input Output

Salah satu keunggulan analisis dalam model I-O adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat hubungan atau keterkaitan antara sektor ekonomi. Keterkaitan antara sektor ekonomi dapat berupa keterkaitan ke belakang (backward linkages); berhubungan dengan bahan mentah atau bahan baku sedangkan hubungan keterkaitan ke depan (forward linkages) yang berhubungan dengan produksi/penjualan barang jadi. a. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung

Untuk melihat besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung sektor-sektor ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 digunakan persamaan 3.11 dan 3.12 sedangkan untuk mengukur besarnya keterkaitan tidak langsung ke belakang dan ke depan menggunakan persamaan 3.13 dan 3.14, sehingga diperoleh hasil sebagaimana yang digambarkan dalam Tabel 5.10 berikut:

Tabel 5.10 Keterkaitan langsung dan tidak langsung masing-masing menurut sektor

ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2009

No Sektor ekonomi KLDi KLBj KTLDi KTLBj

1 Pertanian 0,33588 0,22012 1,90980 1,32123 2 Pertambangan dan penggalian 0,18013 0,29193 1,21496 1,47456

3 Industri pengolahan 1,70486 0,42494 3,37893 1,60121 4 Listrik, gas dan air bersih 0.09647 0,59672 1,13970 1,93987 5 Bagunan 0,15446 0,67455 1,19596 2,04602 6 Perdagangan, hotel dan

restoran 0,28417 0,21067 1,46146 1,31757

7 Angkutan dan komunikasi 0,29958 0,36369 1,42129 1,60027 8 Keuangan, persewaan dan

jasa perusahaan 0,20889 0,15787 1,33561 1,24828

9 Jasa-jasa 0,00629 0,33023 1,00878 1,51749

Rata-rata 0,36341 0,36341 1,56294 1,56294

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah)

Berdasarkan Tabel 5.10 Sektor ekonomi yang memiliki keterkaitan langsung ke depan relatif terbesar adalah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 1,70486, artinya output sektor industri pengolahan digunakan untuk memenuhi seluruh permintaan antara adalah sebanyak Rp 1,70486. Sementara sektor ekonomi yang paling besar memberikan efek langsung ke belakang adalah sektor bagunan, karena memiliki angka keterkaitan langsung ke belakang terbesar yaitu 0,67455, artinya untuk menghasilakn output sebesar Rp 1 sektor tersebut membutuhkan input antara sebanyak Rp 0,67455.

Hal ini tidak berbeda dengan angka keterkaitan tidak langsung ke depan dan keterkaitan tidak langsung ke belakang yang menujukkan pada sektor yang sama. Besarnya angka keterkaitan tidak langsung ke depan sektor industri pengolahan yaitu 3,37893 menujukkan bahwa total output yang dibutuhkan untuk memenuhi sebanyak Rp 1 permintaan antara seluruh sektor yaitu sebesar Rp 3,37893, sedangkan untuk keterkaitan tidak langsung ke belakang memiliki angka sebesar 2,04602 artinya sektor bagunan membutuhkan total input sebanyak Rp 2,04602 untuk menghasilkan output sebesar Rp 1 dari seluruh sektor.

Sektor pertanian memiliki keterkaitan langsung ke depan dan ke belakang yang relatif kecil. Untuk memenuhi kebutuhan input keseluruhan sektor ekonomi sebesar Rp 1, sektor pertanian harus mampu menghasilkan output sebanyak Rp 0,33588. Begitu juga dengan keterkaitan ke belakang sektor pertanian yang membutuhkan sebanyak Rp 0,22012 input dari sektor ekonomi lainnya secara langsung untuk mampu meningkatkan outputnya sebanyak Rp 1. Sementara itu, untuk meningkatkan output sebanyak Rp 1 pada seluruh sektor lainnya secara tidak langsung membutuhkan input dari sektor pertanian sebanyak Rp 1,90980, sedangkan sektor ini membutuhkan input sebanyak Rp 1,32123 dari sektor lainnya secara tidak langsung.

Tabel 5.11 Keterkaitan langsung dan tidak langsung sektor pertanian terhadap sektor

ekonomi lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2009

No Sektor ekonomi KLDi KLBj KTLDi KTLBj

1 Pertanian 0,06945 0,06945 1,10717 1,10717

2 Pertambangan dan penggalian

0,00002 0,00000 0,04862 0,00052

3 Industri pengolahan 0,20847 0,10303 0,26780 0,13880

4 Listrik, gas dan air bersih 0 0,00003 0,12943 0,00164

5 Bagunan 0,00063 0,00004 0,14104 0,00140

6 Perdagangan, hotel dan restoran

0,03089 0,03215 0,06721 0,04308

7 Angkutan dan komunikasi 0,00047 0,00775 0,05362 0,01377

8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

0 0,00762 0,01275 0,01468

9 Jasa-jasa 0,02596 0,00005 0,08217 0,00016

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah)

Berdasarkan tabel 5.11 besarnya output sektor pertanian yang akan digunakan sebagai input oleh sektor-sektor ekonomi lainnya, dimana permintaan relatif terbesar berasal dari sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 0,20847 jika sektor tersebut ingin meningkatkan outputnya sebesar Rp 1, kemudian diikuti oleh sektor pertanian itu sebesar Rp 0,06945. Besarnya keterkaitan kedua sektor tersebut terhadap sektor pertanian menggambarkan bahwa sektor pertanian memiliki keterkaitan yang relatif

besar terhadap kedua sektor tersebut dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Sementara itu, sektor pertanian tidak memiliki keterkaiatan ke depan secara langsung sama sekali terhadap sektor listrik, gas, dan air bersih dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Hal yang serupa juga terlihat pada keterkaitan ke belakang secara langsung sektor pertanian terhadap ke dua sektor tersebut, yaitu 0,10303 dan 0,06945.

Secara tidak langsung keterkaitan ke depan sektor pertanian memperoleh permintaan dari seluruh sektor dengan permintaan tertinggi berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 1,10717 dan diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar 0,26780. Secara tidak langsung keterkaitan ke belakang relatif tinggi adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan masing-masing sebesar 1,10717 dan 0,13880. Tabel 5.11 juga menunjukkan bahwa sektor bagunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan secara tidak langsung ke depan memiliki permintaan sebesar 0,12943 dan 0,01275 dari sektor pertanian meskipun secara langsung kedua sektor ini tidak memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, hal tersebut menujukkan bahwa sektor pertanian memiliki peranan terhadap sektor ekonom lainnya.

b. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan

Selain menggunakan persamaan di tersebut, untuk mengukur keterkaitan ke depan dan ke belakang juga digunakan persamaan 3.15 dan 3.16 untuk megukur besarnya indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan sektor-sektor ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari persamaan tersebut diperoleh hasil sebagaimana yang digambarkan dalam Tabel 5.11.

Tabel 5.12 Daya penyebaran dan indeks kepekaan menurut sektor ekonomi di Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2009

No Sektor ekonomi Daya Penyebaran Derajat Kepekaan

1 Pertanian 0,84534 1,22192

2 Pertambangan dan penggalian 0,94345 0,77736

3 Industri pengolahan 1,02448 2,16190

4 Listrik, gas dan air bersih 1,24116 0,72920

5 Bagunan 1,30908 0,76520

6 Perdagangan, hotel dan restoran 0,84300 0,93507

7 Angkutan dan komunikasi 1,02388 0,90937

8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

0,79867 0,85455

9 Jasa-jasa 0,97092 0,64544

Total 9.00000 9.00000

Rata-rata 1.00000 1.00000

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Berdasarkan klasifikasi Sembilan sektor ekonomi, sektor-sektor yang memiliki

indeks daya penyebaran di atas rata-rata sektor adalah sektor pembangunan, sektor listrik, gas dan air bersih sektor industri pengolahan dan sektor angkutan dan komunikasi. Indeks daya penyebaran dari keempat sektor tersebut masing-masing

sebesar 1,02448, 1,24116, 1,30908, dan 1,02388 atau berpengaruh terhadap kenaikan output sektor lainnya. Sementara itu, lima sektor lainnya berada lebih kecil dari satu artinya permintaan dari sektor tersebut kurang berpengaruh terhadap kenaikan output sektor lainnya dalam perekonomian Sulawesi Selatan.

Keterkaitan dengan sektor-sektor hilir terlihat bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling peka terhadap perubahan permintaan akhir terhadap sektor-sektor hilirnya, dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa indeks derajat kepekaan sektor industri pengolahan sebesar 2,16190. Hal ini menujukkan bahwa peningkatan output pada sektor industri pengolahan dapat mencapai 2,16190 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata peningkatan output pada sektor lain apabila seluruh sektor ekonomi masing-masing mengalami kenaikan permintaan akhir sebesar 1 unit. Sektor-sektor lainnya yang pembentukan outputnya juga relatif peka terhadap pergesaran permintaan akhir pada sektor-sektor ekonomi lainnya adalah sektor pertanian yaitu sebesar 1,22192.

Besarnya derajat kepekaan sektor pertanian menujukkan bahwa sektor tersebut mampu memenuhi kebutuhan permintaan akhir di atas rata-rata sehingga sektor ini dapat digolongkan sebagai sektor strategis. Namun, berbeda dengan daya penyebarannya yang berada di bawah rata-rata, artinya sektor ini belum bisa dikasifikasikan sebagai sektor strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, besarnya derajat kepekaan sektor pertanian yang tidak diikuti oleh daya penyebarannya sehigga sektor ini tidak dapat dikategorikan sebagai sektor kunci dalam perekonomian Sulawesi Selatan.

c. Kelompok Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan

Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan dapat disusun ke dalam empat kelompok/kundran, yaitu: Kuadran I : Sektor-sektor yang memiliki daya penyebaran dan derajat kepekaan

tinggi Kuadran II : Sektor-sektor yang memiliki daya penyebaran tinggi dan derajat

kepekaan rendah Kuadran III : Sektor-sektor yang memiliki daya penyebaran dan derajat kepekaan

rendah Kuadran IV : Sektor-sektor yang memiliki daya penyebaran rendah dan derajat

kepekaan tinggi Indeks daya penyebaran atau derajat kepekaan suatu sektor dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 1, sebaliknya jika nilainya kurang dari 1 disebut rendah. Untuk lebih sederhananya keterkaitan antarsektor dapat dilihat pada Gambar 5.1 Nampak bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan baik pada sektor hulu dan sektor hilir. Artinya bahwa sektor industri pengolahan mampu mendorong sekaligus menarik sektor lain dalam meningkatkan output. Sektor pertanian mempunyai tingkat kebergantungan yang tinggi terhadap sektor lain, dan daya dorong yang relatif rendah dibandingkan dengan sektor lain, sedangkan sektor bagunan, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor transportasi dan komunikasi mempunyai daya dorong yang kuat terhadap sektor lain, dan tingkat kebergantungan dengan sektor lain

relatif rendah. Sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, perhotelan, dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa mempunyai daya dorong dan tingkat kebergantungan yang lemah.

Keterangan: 1. Sektor pertanian, 2. Pertambangan dan penggalian, 3. Industri

pengolahan, 4. Listrik, gas dan air bersih, 5. Bagunan, 6. Perdagangan, hotel dan restoran, 7. Angkutan dan komunikasi, 8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9. Jasa-jasa

Gambar 5.1 Indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan Sembilan sektor ekonomi

Dengan menggunakan klasifikasi Sembilan sektor, hasil pengelompokan yang diperoleh dapat dilihat bahwa ada satu sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan tinggi adalah sektor industri pengolahan. Sektor tersebut sering juga disebut sebagai sektor unggulan. Pengembangan terhadap sektor-sektor unggulan tersebut akan memicu pertumbuhan bagi perkembangan sektor-sektor lain dalam perekonomian di Sulawesi Selatan. Pada delapan sektor lainnya merupakan sektor pendukung terhadap sektor unggulan yang berada pada kuandran II, kuadran III dan kuadran IV. Sektor-sektor yang termasuk dalam kuadran II yaitu, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bagunan dan sektor angkutan dan komunikasi. Untuk kelompok III yang kurang andil dalam menciptakan output perekonomian di Sulawesi Selatan adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, perhotelan dan restoran, sektor keuangan,

persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa, dan yang termasuk dalam kelompok IV adalah sektor pertanian.

6. Analisis Efek Pengganda (Multiplier Effect)

Tiga variabel yang selalu menjadi perhatian utama dalam analisis angka pengganda adalah output sektor-sektor produksi, pendapatan rumah tangga, dan lapangan kerja. Oleh karena itu, dikenal adanya angka pengganda output, angka pengganda pendapatan rumah tangga, dan angka pengganda kesempatan kerja. Angka pengganda output menujukkan nilai total dari output yang dihasilkan oleh perekonomian untuk memenuhi adanya perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor. Dengan menggunakan persamaan 3.17 untuk mengukur besarnya pengganda output (multiplier output), dan persamaan 3.19 dan 3.20 untuk melihat besarnya nilai pengganda pendapatan (multiplier income) tipe I dan II, sedangkan untuk melihat besarnya nilai pengganda kesempatan kerja diturunkan dari persamaan 3.21 dan 3.22. Dari persamaan-persamaan tersebut diperoleh nilai masing-masing pengganda sebagaimana yang digambarkan dalam Tabel 5.12. Tabel 5.13 Pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda kesempatan

kerja menurut sektor ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2009

No Sektor ekonomi Pengganda Ouput

Pengganda Pendapatan

Pengganda kesempatan kerja

Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II

1 Pertanian 1,3212

3 1,6052

8 1,2540

8 1,4980

7 1,15916 1,28347

2 Pertambangan dan penggalian

1,47456

1,89204

1,25521

1,49941

3,61233 7,27086

3 Industri pengolahan 1,6012

1 1,7972

1 2,5168

5 3,0067

3 5,78307 6,96034

4 Listrik, gas dan air bersih

1,93987

2,32320

1,62084

1,93698

4,06604 6,32817

5 Bagunan 2,0460

2 2,4373

1 1,7284

8 2,0767

4 2,16670 2,78622

6 Perdagangan, hotel dan restoran

1,31757

1,70125

1,16929

1,39693

1,15222 1,36255

7 Angkutan dan komunikasi

1,60027

1,90947

1,56781

1,87280

1,46299 1,84107

8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

1,24828

1,61589

1,18678

1,41774

1,49980 2,74331

9 Jasa-jasa 1,5174

9 2,7101

9 1,0807

2 1,2910

4 1,40634 2,55545

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Berdasarkan Tabel 5.13 Menujukkan bahwa sektor bagunan memiliki angka

pengganda output terbesar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Kenaikan permintaan akhir sebesar Rp 1 pada sektor bagunan akan mengakibatkan kenaikan output secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak Rp 2,04602. Untuk sektor industri pengolahan sebesar Rp 1,60121, dan sektor pertanian hanya mampu menghasilkan output secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp

0

20

40

60

80

100

120

140

1 2 3 4 5 6 7 8 9

PenggandaOutput

Output Rill

0

2

4

6

8

10

12

14

16

1 2 3 4 5 6 7 8 9

PenggandaPendapatanTipe I

PendapatanRill

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9

PenggandaPendapatanTipe II

PendapatanRill

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9

PenggandaKesempatanKerja

TK Rill

1,32123 lebih kecil dibandingkan dengan enam sektor ekonomi lainnya. Sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor dengan nilai pengganda terkecil.

(a) (b)

(c) (d)

Keterangan: nilai rill 1010 (Pengganda output dan pendapatan) Gambar 5.2 Kurva Perbandingan nilai efek pengganda nominal dan nilai

pengganda rill (a) Pengganda output nominal dan output rill, (b) Pengganda Pendapatannominal dan pendapatan rill tipe I, (c) Penganda pendapatan nominal tipe II dan pendapatan rill, (d) Pengganda kesempatan kerja nominal dan kesempatan kerja rill

Namun nilai tersebut belum menujukkan besarnya output bruto yang dihasilkan

oleh masing-masing sektor. Gambar 5.2a menujukkan bahwa besarnya pengganda output rill yang dihasilkan oleh masing-masing sektor ketika terjadi peningkatan permintaan akhir sebanyak 1 persen, sektor pertanian mampu menghasilkan sebanyak Rp 590,43 miliyar dan sektor industri pengolahan sebesar Rp 1,33 triliun, sedangkan sektor bagunan hanya sebesar Rp 351,8 miliyar. Nilai tersebut menujukkan perbedaan yang signifikan dari formasi sebelumnya, dimana sektor pertanian berada pada urutan

kedua dengan pengganda output rill. Oleh karena itu, berdasarkan kriteria dalam menentukan sektor kunci (leading sector) dengan melihat besarnya output bruto, baik dalam jangka pendek (satu tahun) dan jangka panjang (lima tahun ke atas), sektor industri pengolahan dapat dikasifikasikan sebagai sektor kunci (leading sector) di Sulawesi Selatan.

Untuk pengganda pendapatan, sektor-sektor industri pengolahan berada pada sektor dengan angka pengganda pendapatan tipe I tertinggi yaitu sebesar 2,51685, artinya dengan adanya kenaikan permintaan akhir sebesar Rp 1, dimana variabel rumah tangga bersifat eksogen, akan menyebabkan kenaikan output perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan kenaikan output tersebut akan mengakibatkan kenaikan permintaan input antara dan input primer oleh sektor-sektor ekonomi. Pertambahan input primer mendorong peningkatan penerimaan/ pendapatan bagi rumah tangga sebesar Rp 2,51685 pada sektor tersebut. Begitu juga dengan pengganda tipe II, dimana variabel rumah tangga bersifat endogen, yang mampu meningkatkan pendapatan sektor tersebut sebesar Rp 3,00673. Sementara itu, jika terjadi peningkatan permintaan akhir pada masing-masing sektor sebanyak 1 persen, sektor jasa-jasa akan mengalami peningkatan pendapatan tipe I terbesar yaitu sebesar Rp 151,50 miliyar dalam dan tipe II sebesar Rp 180,97 miliyar. Gambar 5.2b dan 5.2c menujukkan kurva pengganda pendapatan tipe I dan II yang sangat berbeda, dimana kurva pengganda pendapatan nominal menujukkan posisi sektor jasa-jasa berada pada titik terendah dan sebaliknya pada kurva pengganda pendapatan rill berada pada titik tertinggi.

Pada sektor pertanian hanya mampu meningkatkan pendapatan tipe I sebesar 1,25408 unit atau lebih kecil dari lima sektor lainnya, begitu juga dengan pengganda pendapatan tipe II sebesar 1,49807 unit. Sementara itu, jika terjadi penambahan permintaan akhir sebanyak 1 persen, sektor pertanian akan mengalami peningkatan pendapatan tipe I sebesar Rp 71,85 miliyar dan tipe II Rp 85,83 miliyar atau berada pada posisi ketiga dengan peningkatan pendapatan tertinggi.

Tingkat upah dan gaji rata-rata yang dibayarkan kepada tenaga kerja pada sektor ini yang relatif kecil menjadi penyebab sektor ini hanya mampu menyumbang pengganda pendapatan yang relatif kecil tersebut. Jika dibandingkan dengan sektor industri pengolahan, dimana setiap penambahan permintaan akhir sebanyak Rp 1 dapat meningkatkan output yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan output sektor bagunan, namun mampu mendorong peningkatkan pendapatan yang lebih besar dibandingkan sektor tersebut. Hal ini menujukkan bahwa sektor pertanian sebagai sektor tradisional tidak dapat mendorong pendapatan yang lebih besar bagi tenaga kerja dalam jangka panjang.

Suatu sektor juga dapat diklasifikasikan sebagai sektor kunci (leading sector) jika mampu menciptakan kesempatan kerja yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya dalam suatu perekonomian. Berdasarkan Tabel 5.13, sektor industri pengolahan mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya yaitu sebesar 5,78307. Dengan ada kenaikan permintaan akhir Rp 1 pada sektor tersebut akan mampu menyerap tenga kerja 5,78307 orang pada sektor tersebut. Besarnya kebergantungan angkatan kerja Sulawesi Selatan terhadap sektor pertanian pada tahun 2009, sebagaimana tampak pada Tabel 4.3, tidak diikuti oleh daya

penyerapan tenaga kerja yang besar pada sektor tersebut. Sektor ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,15916 lebih kecil dibandingkan dengan sektor industri pengolahan yang memiliki kebergantungan angkatan kerja sebesar 13,51 persen dari tenaga kerja sektor pertanian. Meskipun angka penganda sektor ini relatif kecil tetapi kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh sektor ini jauh lebih besar yaitu 18.415 orang, seperti yang ditunjukan pada gambar 5.2d jika terjadi kenaikan sebanyak 1 persen permintaan akhir sedangkan sektor industri pengolahan hanya sebesar 12.414 orang. Besarnya angka ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor kunci (leading sector) di Provinsi Sulawesi Selatan dalam jangka pendek.

7. Analisis Kebergantungan Ekspor

Derajat kebergantungan ekspor menujukkan proporsi produksi suatu sektor yang secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Dengan kata lain, indikator ini menujukkan keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat kebergantungan suatu sektor berarti semakin besar kebergantungan ekspor terhadap sektor tersebut. Dari Tabel 5.14 di peroleh nilai derajat kebergantungan ekspor, indeks pengganda ekspor terhadap pendapatan dan indeks pengganda ekspor terhadap kesempatan kerja yang diturunkan dari persamaan 3.23, dan 3,26, serta 3,27.

Tabel 5.14 Derajat kebergantungan ekspor, indeks pengganda ekspor terhadap

pendapatan, dan indeks pengganda ekspor terhadap kesempatan kerja menurut sektor ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2009

No Sektor ekonomi Derajat

kebergantungan ekspor

Indeks pengganda ekspor thp output

Indeks pengganda ekspor thp

Kesempatan Kerja

1 Pertanian 0,35499 0,38121 0,01350

2 Pertambangan dan penggalian

0,69783 0,16541 0,00029

3 Industri pengolahan 0,51641 1,02760 0,00265

4 Listrik, gas dan air bersih

0 0 0

5 Bagunan 0 0 0

6 Perdagangan, hotel dan restoran

0,20078 0,10811 0,00306

7 Angkutan dan komunikasi

0,16909 0,05970 0,00076

8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

0,01669 0,00332 0,00002

9 Jasa-jasa 0,00154 0,00083 0,00001

Sumber: Tabel analisis input output Sulawesi Selatan, 2010 (diolah) Berdasarkan data tabel 5.14, menujukkan bahwa besarnya angka

kebergantungan ekspor sektor pertambangan dan penggalian sangat besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya yaitu sebesar 0,69783. Angka ini menujukkan bahwa ekspor Provinsi Sulawesi Selatan sangat bergantung pada sektor

tersebut sebesar 0,69783 kali atau lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, sedangakan ekspor Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kebergantungan terhadap sektor pertanian lebih kecil dari sektor tersebut yaitu sebesar 0,35499 kali.

Besarnya angka kebergantungan ekspor Provinsi Sulawesi Selatan terhadap sektor pertanian diikuti dengan besarnya angka pengganda ekspor terhadap output dan kesempatan kerja pada sektor tersebut. Dimana sektor ini memiliki angka pengganda ekspor terhadap output sebesar 0,38121. Angka ini menujukkan bahwa jika terjadi permintaan output oleh wilayah lain sebanyak Rp 1 akan meningkatkan output Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp 0,38121. Sementara itu, hal tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 0,01350 orang. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu meningkatkan output dan kesempatan kerja Provinsi Sulawesi Selatan masing-masing sebesar Rp 0,16541 dan 0,00029 orang.

Besarnya angka kebergantungan ekspor sektor pertanian tersebut menujukkan bahwa output yang dihasilkan oleh sektor tersebut masih belum mampu diserap sepenuhnya oleh sektor-sektor produksi hilir dalam wilayah atau sektor ini masih sebagai menyediakan bahan mentah bagi sektor-sektor di luar wilayah. Hal ini dapat ditunjukan pada Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor pertanian di Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,33588 dan 1,90980. Walaupun demikian, sektor ini masih mampu mendatangkan devisa yang relatif tinggi sebagaimana ditunjukan dalam Tabel 5.9, yaitu sebesar Rp 7,62 triliun, sehingga sektor ini masih dapat dikategorikan sebagai sektor kunci dalam perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan.

Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan Sektor Pertanian

Kegiatan produksi suatu sektor ekonomi dalam suatu wilayah memiliki hubungan, baik secara langsung ke depan dan ke belakang maupun tidak langsung ke depan dan ke belakang, terhadap sektor ekonomi lainnya. Hubungan ke depan berkaitan dengan output yang dihasilkan atau dijual oleh sektor produksi, sedangkan hubungan kebelakang berkaitan dengan bahan mentah atau bahan baku yang diminta atau dibutuhkan oleh sektor produksi dalam suatu perekonomian.

Berdasarkan data Input output Sulawesi Selatan tahun 2009 bersarnya angka keterkaitan langsung ke depan sektor pertanian Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 0,33588 dan keterkaitan langsung ke belakang sebesar 0,22012 lebih kecil dibandingkan dengan sektor industri pengolahan dan sektor bagunan. Begitu juga dengan keterkaitan tidak langsung ke depan dan keterkaitan tidak langsung ke belakang pada sektor pertanian yang masing-masing hanya sebesar 1,90980 dan 1,32123. Jika kita melihat hasil analisis indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009, juga menujukkan hasil yang sama. Oleh karena itu, sektor tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai sektor kunci (leading sector) dalam perekonomian Sulawesi Selatan. Kesimpulan ini juga didukung oleh hasil penelitian putri (2008) yang menujukkan bahwa sektor pertanian di Provinsi kepulauan Bangka beliting juga bukan merupakan sektor kunci.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di Sulawesi Selatan, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli ekonomi pembangunan tidak seimbang, investasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan seharusnya dilakukan pada beberapa

sektor atau industri yang telah terpilih agar hasilnya cepat berkembang, dan hasil tersebut dapat digunakan untuk membangun sektor-sektor yang lain. Alasan yang mendasar dari teori ini adalah bahwa tidak ada negara yang memiliki modal dengan jumlah yang sangat besar untuk melakukan pembangunan di semua sektor. Hal ini didukung dengan hasil analisis PDRB Sulawesi Selatan tahun 2009-2011 menurut penggunaannya, dimana konsumsi pemerintah Sulawesi Selatan hanya sebesar 29.46 persen dan pembentukan modal tetap bruto sebesar 23,66 persen dari total pengeluaran domestik Sulawesi Selatan.

Pandangan di atas juga didukung oleh pandapat para ekonom aliran klasik dan neoklasik yang menekankan pentingnya akumulasi modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Besarnya konsumsi pemerintah Sulawesi Selatan belum mampu menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di daerah ini. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar pengeluaran pemerintah, sebagaimana pada hasil analisis pengeluaran daerah Sulawesi Selatan, menujukkan bahwa belanja tidak langsung pemerintah masih lebih besar dibandingkan dengan belanja langsung yang mencapai rata-rata 57,28 persen per tahun, sedangkan belanja modal hanya sebesar 34,42 persen per tahun. Sehingga pertumbuhan ekonomi daerah ini masih sangat bergantung pada investasi sektor swasta. Oleh karena itu, dengan adanya keterbatasan modal yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan, investasi daerah seharus diprioritaskan pada sektor kunci (leading sector) yaitu sektor industri pengolahan bukan pada sektor pertanian.

Karl Marx juga memiliki pendapat yang sama bahwa negara-negara terbelakang terutama yang memiliki perekonomian dualistis, terdiri dari sektor kapitalis dan sektor pertanian, dapat mereorganisasikan dan memperluas sektor kapitalis dan mengubah sektor pertanian menjapada sektor kapitalis dalam rangka meningkatkan surplus ekonomi. Sektor pertanian hanya sebagai sektor pendukung terhadap sektor kapitalis dalam menghasilkan persediaan komoditi pertanian yang dibutuhkan oleh sektor kapitalis.

Efek Pengganda (Multiplier Effect) Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Berbeda dengan pandangan aliran neoklasik, Harrod-Domar sebagai aliran

neokeynesan berpendapat bahwa pertambahan dalam kesangggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan menciptakan pertambahan produksi dari kenaikan pendapatan nasional, namun pertambahan produksi disebabkan oleh adanya kenaikan pengeluaran masyarakat. Oleh karena itu, dengan menggunakan analisis efek pengganda (multiplier effect) di peroleh gambaran besarnya dampak pertambahan permintaan akhir terhadap pertumbuhan keseluruhan output suatu perekonomian.

Berdasarkan hasil analisis pengganda output sektoral di Provinsi Sulawesi Selatan menujukkan bahwa sektor pertanian hanya berada di atas dua sektor terendah yaitu sektor perdagangan, perhotelan dan restoran dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor ini hanya mampu menciptakan tambahan output sebesar Rp 1,321123 jika terjadi kenaikan pengeluaran masyarakat sebanyak sebanyak Rp 1. Berbeda dengan sektor bagunan sebagai sektor kunci (pendekatan permintaan) mampu menambah output secara keseluruhan sebesar Rp 2,04602. Walaupun demikian,

sektor ini mampu menciptakan output rill yang relatif sangat besar yaitu sebesar Rp 590,434 miliyar jika terjadi kenaikan permintaan akhir sebesar satu persen.

Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mukhyi (2007) yang menujukkan bahwa sektor pertanian bukan merupakan sektor dengan nilai pengganda yang relatif tinggi. Namun sektor nonpertanianlah yang memiliki nilai pengganda yang relatif tinggi seperti sektor industri pengolahan. Jika sektor ini dianalisis lebih dalam lagi menjadi beberapa subsektor maka hanya subsektor peternakan yang termasuk memiliki pengganda output yang relatif tinggi di antara beberapa subsektor lainnya.

Pada penggandaan pendapatan, sektor pertanian berada pada urutan ke enam dengan angka tertinggi yaitu sebesar 1,25408. Artinya sektor pertanian hanya mampu memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp 1,25408 pada sektor pertanian jika terjadi penambahan pengeluaran masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak Rp 1 yang lebih kecil dibandingkan dengan lima sektor lainnya. Jika dilihat dari pengganda kesempatan kerja, sektor pertanian mampu menciptakan kesempatan kerja sebesar 1,15916 atau lebih besar dari sektor perdagangan, perhotelan dan restoran. Sektor ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,15916 orang atau lebih kecil di bandingkan tujuh sektor lainnya. Meskipun angka penganda sektor tersebut lebih kecil, namun sektor ini mampu menambah pendapatan rill tipe I dan tipe II sebanyak Rp 71,85 miliyar dan Rp 85,83 miliyar serta kesempatan kerja rill sebanyak 18.415 orang jika terjadi pertumbuhan permintaan akhir sebanyak satu persen.

Tingginya daya serap tenaga kerja rill sektor pertanian sesuai dengan pandangan W. Athur Lewis yang menganggap sektor pertanian sebagai sektor tradisional sehingga sektor ini memiliki kelebihan tenaga kerja. Jika tenaga kerja sektor ini ditarik ke sektor modern tidak akan mengurangi jumlah output yang dihasilkannya. Oleh karena itu, menurut Lewis seharusnya dilakukan transfer tenaga kerja dari sektor tersebut ke sektor modern yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi sedikit demi sedikit. Penyerapan tenaga kerja pada sektor modern memungkinkan jika adanya perluasan output pada sektor tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan didukung oleh investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan pada sektor tersebut. Transfer tenaga kerja dan investasi yang besar pada sektor modern menggambarkan terjadinya pergeseran struktur ekonomi dari sektor tradisional ke sektor modern. Pergeseran sektor ekonomi tersebut dimungkinkan dengan adanya kemampuan sektor industri pengolahan menyerap tenaga kerja yaitu sebesar 5,78307 kali dibandingkan dengan sektor lainnya.

Meskipun sektor pertanian mampu menciptakan kesempatan kerja yang relatif besar jika terjadi pertumbuhan permintaan akhir. Namun sektor ini hanya mampu memberikan upah dan gaji rata-rata bagi tiap tenaga kerja yang relatif sangat kecil di antara sektor ekonomi lainya. Sehingga, investasi pada sektor ini dengan memerhatikan aspek kesempatan kerja tidak dapat melepaskan perekonomian Sulawesi Selatan dari masalah kemiskinan.

Kebergantungan Ekspor Sektor Pertanian

Hubungan antara masyarakat suatu daerah dengan daerah yang lain dapat ditandai dengan adanya transaksi atau pertukaran barang dan jasa antara daerah tersebut. Dengan adanya hubungan tersebut dapat memberikan keuntungan bagi ke

dua daerah tersebut dalam bentuk devisa. Besarnya nilai ekspor dibandingkan dengan nilai impor akan mampu menciptakan surplus perdagangan bagi suatu daerah.

Berdasarkan hasil analisis kebergantungan ekspor Sulawesi Selatan menujukkan adanya kebergantungan ekspor daerah ini pada sektor pertanian yaitu sebesar 0,35499 dibandingkan dengan sektor lainnya atau lebih rendah dari sektor pertambangan dan penggalian dan sektor industri pengolahan. Hal ini berbeda dengan besarnya nilai perdagangan bersih ekspor Sulawesi Selatan dimana sektor pertanian memiliki nilai sebesar Rp 7.621.937 triliun atau sebesar 1.430,39 persen dari total perdagangan bersih ekspor Provinsi Sulawesi Selatan lebih besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Besarnya nilai ekspor bersih tersebut menujukkan bahwa sektor pertanian dapat diklasifikasi sebagai sektor kunci (leading sector) dalam perekonomian Sulawesi Selatan. Besarnya perdagangan bersih tersebut juga mampu meningkatkan pendapatan sektor pertanian sebesar 0,38121 dan menyerap tenaga kerja sebesar 0,01350 kali dari penambahan 1 unit ekpor Sulawesi Selatan.

Menurut aliran pertumbuhan seimbang, penerimaan ekspor merupakan sumber penting untuk membiayai pembangunan. Kebergantungan ekspor yang besar pada sektor pertanian mampu menutupi besarnya defisit perdagangan, sehingga pertumbuhan sektor dalam negeri harus seimbang dengan pertumbuhan sektor luar negeri. Nurkes melihat pertumbuhan berimbang adalah pondasi yang kuat untuk perdagangan internasional dan juga suatu cara untuk mengisi kekosongan pada batas luar.

Sama halnya dengan pertumbuhan berimbang, Hirchman beranggapan bahwa negara-negara terbelakang lebih baik melakukan ekspor pada tahap-tahap tertentu dan melakukan impor pada tahap selanjutnya. Kegiatan ekspor akan memberikan dampak kaitan mundur yang sangat luas dan mendalam. Dampak kaitan mundur yang merupakan hasil kombinasi berbagai industri tahap akhir dalam suatu daerah atau negara adalah lebih penting lagi. Kaitan mundur ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan. Pendapat ini didukung dengan pandangan Harrod-Domar yang mengatakan bahwa besarnya kenaikan permintaan dipengaruhi oleh kenaikan pengeluaran masyarakat dari masa ke masa. Oleh karena itu, kenaikan ini akan memengaruhi pertambahan produksi dan pendapatan nasional.

Meskipun nila bersih perdagangan sektor pertanian Provinsi Sulawesi Selatan lebih besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya tetapi angka kebergantungan sektor ini masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertambangan dan penggalian dan sektor industri pengolahan. Oleh karena itu, sektor ini belum mampu memberikan dampak yang besar terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dalam perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan.

Tipologi Klasen

Tipologi Klassen merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional yang dapat digunakan untuk mengetahui Klasifikasi sektor perekonomian di Kabupaten Bone, Soppeng dan Wajo. Analisis Tipologi Klassen digunakan dengan tujuan mengidentifikasi posisi sektor perekonomian Kabupaten Bone, Soppeng dan Wajo dengan memerhatikan sektor perekonomian provinsi Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah refrensi.

Sebagaimana yang telah di jelaskan bahwa analisis Tipologi Klassen mengklasifikasi sektor ekonomi kedalam empat Klasifikasi yaitu, kuadran I (Developed Sector), kuadran II (Stagnant Sector), kuadran III (Developing Sector) dan kuadran IV (Underveloped Sector).

Klasifikasi Sektor Ekonomi Kabupaten Bone Pada Kabupaten Bone dari kesembilan sektor ekonomi sebagian besar berada

pada kuadran IV hal ini dapat kita lihat berdasarkan pada gambar 2 adapun Klasifikasi sektor ekonomi kabupaten Bone berdasarkan hasil analisis Tipologi Klassen adalah sebagai berikut :

1. Sektor, subsektor Andalan (kuadran I) Pada kuadran ini terdapat dua sektor ekonomi yang dimiliki Kabupaten Bone

yaitu sektor pertanian dan bagunan, dimana pada sektor pertanian dan bagunan memiliki pertumbuhan dan kontribusi rata rata tiap sektor lebih besar di bandingkan dengan wilayah yang menjadi refrensi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dengan angka pertumbuhan rata rata sektor pertanian Kabupaten Bone sebesar 4,42 dan kontribusi rata rata 52,48 sedangkan angka pertumbuhan rata sektor pertanian di tingakat Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 3,33 dan kontribusi rata ratanya 28,63. Untuk sektor bagunan pertumbuhan rata rata mencapai nilai 14,77 dan jumlah kontribusi rata rata 6,48 angka ini lebih besar dari pada nilai pertumbuhan dan kontribusi rata rata Provinsi Sulawesi Selatan, denagan nilai pertumbuhan rata rata 10,66 dan kontribusi rata rata 5,31.

2. Sektor, subsektor yang Potensial (kuadran II) Pada kuadran ini ada satu sektor ekonomi yang dimiliki Kabupaten Bone yang

berada pada kuadran ini yaitu sektor jasa jasa. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sektor tertentu dalam PDRB Kabuapten Bone yang Pertumbuhan rata ratanya kecil 5,53 dibanding dengan pertumbuhan rata rata sektor ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan 5,62, akan tetapi memiliki kontribusi lebih besar di bandingkan dengan kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB provinsi Sulawesi Selatan yaitu, 52,48 : 28,63.

3. Sektor, subsektor yang dapat berkembang (kuadran III) Sama halnya dengan kuadran II, pada kuadran ini hanya ditempati satu sektor

ekonomi Kabupaten Bone yaitu sektor pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan rata rata sektor pertambangan dan penggalian Kabupaten Bone sebesar 12,57% dan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pertumbuhan rata rata sektor tersebut di tingkat Sulawesi Selatan yaitu 4,34% sedangkan kontribusi rata rata sektor pertambangan dan penggalian Kabupaten Bone lebih kecil 0,54% di bandingkan Provinsi Sualwesi Seelatan 8,72%.

4. Sektor relatif tertinggal (kuadran IV) Dalam kudran ini sebagian besar sektor ekonomi Kabupaten Bone berada dalam

kategori relative tertinggal. Dari kesembilan sektor ekonomi yang di miliki kabupaten Bone 5 diantranya berada pada kuadran ini yaitu sektor industi pengolahan, listrik gas & air bersih, perdagangan hotel & restauran, pengangkutan dan komunikasi, dan yang terakhir keuangan persewaan & jasa perusahaan. Tentu hal ini dilihat dari pertumbuhan

dan kontribusi rata rata sektor sektor tersebut lebih kecil di bandingkan dengan Provinsi Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah refrensi.

Pada sektor industri pengolahan pertumbuhan rata ratanya sebesar 5,08 dan kontribusinya (8,89), sektor listrik gas & air bersih pertumbuhan rata ratanya (7,24) kontribusi rata rata (0,76), sektor perdagangan hotel& restauran dari rata rata pertumbuhannya sebesar (6,76) kontribusinya (8,83), sektor pengangkutan dan komunikasi nilai pertumbuhan rata-ratanya sebesar (8,89) kontribusi rata ratanya (5,35), dan untuk sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan pertubuhan rata ratanya sebesar (14,05) dan kontribusi rata ratanya (5,42).

Gambar 2. Klasifikasi Sektor Ekonomi Kabupaten Bone (Tipologi Klassen)

Keterangan : 1 : Sektor Pertanian 2 : Sekor Pertambangan Dan Penggalian 3 : Sektor Industri Pengolahan 4 : Sektor Listrik Gas Dan Air Bersih 5 : Sektor Bagunan 6 : Sektor Perdagangan Hotel & Restauran 7 : Sektor Pengankutan & Komunikasi 8 : Sektor Keuangan Persewaan & Jasa Perusahaan 9 : Sektor Jasa-Jasa

Klasifikasi Sektor Ekonomi Kabupaten Soppeng (Tipologi Klassen) Klasifikasi sektor ekonomi Kabupaten Soppeng berdasarkan hasil analisis Topologi Klassen dengan perbandingan antara pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Ekonomi Kabupaten Soppeng dengan pertumbuhan dan Kontribusi rata rata Provinsi Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah refrensi maka dapat dilihat bahwa dari empat kuadran, kuadran III merupakan kuadran yang banyak sekor berada di kuadran tersebut, dan pada kuadran I (developed sector) hanya ada satu sektor yang dikategorikan

K.II K.I

9 5 1

2 8 7 6

3

4

K.IV K.III

sebagai sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat. Dengan melihat gambaran tentang hasil analisis Tipologi Klassen terhadap Klafikiasi Sektor Ekonomi Kabupaten Soppeng maka dapat di jelaskan bahwa klasifikasi sektor ekonomi Kabupaten Soppeng adalah sebagai berikut:

1. Sektor, subsektor Andalan (kuadran I) Pada kuadran ini hanya satu sektor ekonomi yang dimiliki Kabupaten Soppeng yaitu sektor jasa jasa yang memiliki pertumbuhan rata rata sebesar (6,81) dan kontribusi rata rata (16,14) sedangakan pada wilayah refrensi dalam hal ini Provinsi Sulawesi Selatan yang hanya memeiliki nilai rata rata pertumbuhan sektor jasa jasa (5,62) dan kontribusi rata rata (10,89). Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi rata rata sektor jasa jasa Kabupaten Soppeng lebih besar di bandingkan pertumbuhan dan kontribusi rata rata sektor jasa jasa Provinsi Sulawesi Selatan. Hal tersebut menjadikan sektor jasa jasa Kabupaten Soppeng merupakan sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat dan berada pada kuadran I.

2. Sektor, subsektor yang Potensial (kuadran II) Pada kuadran ini ada dua sektor ekonomi yang dimiliki Kabupaten Soppeng yang

berada pada kuadran ini yaitu sektor pertanian dan sektor bagunan. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sektor pertanian dan sektor bagunan dalam PDRB Kabuapten Soppeng yang Pertumbuhan rata ratanya kecil dimana pada sektor pertanaian (3,75) dan sektor bagunan (10,28), dibanding dengan pertumbuhan rata rata sektor tersebut di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan yang pada sektor pertanian (3,99) dan sektor bagunan (10,66), akan tetapi memiliki kontribusi lebih besar di bandingkan dengan kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB provinsi Sulawesi Selatan yaitu, sektor pertanian (46,25) dan sektor bagunan (10,56), sedangkan pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan sektor pertanian (28,63), dan sektor bagunan (5,31).

3. Sektor, subsektor yang dapat berkembang (kuadran III) Pada kuadran ini hanya ada empat sektor ekonomi Kabupaten Soppeng yang

berada pada kategori sektor Developing Sector di antaranya sektor pertambangan dan penggalian dengan pertumbuhan rata ratanya (8,17) dan kontribusi rata ratanya (0,56), sektor industri pengolahan dengan nilai pertumhan rata ratanya (6,60) dan kontribusi rata ratanya (7,51), sektor listrik gas & air bersih dengan pertumbuhan rata rata (8,41) dan kontribusi rata ratanya (0,82), adapun sektor yang terakhir yang berada di kuadran ini yaitu sektor perdagangan hotel dan restauran dengan nilai Pertumbuhan rata rata (10,82) dan kontribusi rata ratanya (10,56), sedangakan pertumbuhan rata rata dan kontribusi rata rata sektor tersebut pada wilayah refrensi dalam hal ini Provinsi Sulawesi Selatan yaitu pada sektor pertambangan dan penggalian pertumbuhan rata rata (4,34) dan kontribusi rata ratanya (8,72), sektor industri pengolahan pertumbuhan rata ratanya (6,47) dan kontribusi rata ratanya (13,68),sektor listrik gas & air bersih dengan nilai pertumbuhan rata rata (8,15) dan kontribusi rata rata (1,02), dan yang terakhir adalah sektor perdagangan hotel dan restauran dengan pertumbuhan rata rata (8,98) dan kontribusi rata rata (16,21).

4. Sektor relatif tertinggal (kuadran IV) Beda halnya dengan Kabupaten Bone dalam kaudran ini hanya ada dua sektor

ekonomi Kabupaten Soppeng berada dalam kategori relative tertinggal. Sektor tersebut yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai petumbuhan rata rata (7,77) dan kontribusi rata ratanya (5,88) dibandingkan pertumbuhan pada wilayah refrensi sebesar (10,68) dan nilai kontribusi rata ratanya (16,21), adapun sektor selanjutnya yaitu sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai pertumbuhan rata rata pada Kabupaten Soppeng yaitu (10,41) dan kontribusi rata ratanya (5,85), sedangkan pertumbuhan rata rata di Provinsi Sulawesi Selatan (14,17) dan dengan nilai kontribusi sebesar (6,96).

Gambar 3. Klasifikasi Sektor Ekonomi Kabupaten Soppeng (Tipologi Klassen)

Keterangan : 1 : Sektor Pertanian 2 : Sekor Pertambangan Dan Penggalian 3 : Sektor Industri Pengolahan 4 : Sektor Listrik Gas Dan Air Bersih 5 : Sektor Bagunan 6 : Sektor Perdagangan Hotel & Restauran 7 : Sektor Pengankutan & Komunikasi 8 : Sektor Keuangan Persewaan & Jasa Perusahaan 9 : Sektor Jasa-Jasa

Klasifikasi Sektor Ekonomi Kabupaten Wajo (Tipologi Klassen) Dengan melihat perbandingan pertumbuhan dan kontribusi rata rata Kabupaten

Wajo dengan Provinsi Sulawesi Selatan terlihat pada kuadran I dan II masing masing hanya ada satu sektor yang berada dalam kuadran tersebut sedangakan terlihat pada kuadran IV ada empat sektor ekonomi yang di kategorikan sektor relativ tertinggal (Underveloped Sector). 1. Sektor, subsektor Andalan (kuadran I)

K.II K.I

9 1 5

4 8 7 3 2

6

4 K.III K.IV

Sama halnya dengan Kabupaten Soppeng, pada kuadran ini hanya ada satu sektor ekonomi yang dimiliki kabupaten wajo yaitu sektor pertanian yang memiliki pertumbuhan rata rata sebesar (5,33) dan kontribusi rata rata (41,33) sedangakan pada wilayah refrensi dalam hal ini Provinsi Sulawesi Selatan yang hanya memeiliki nilai rata rata pertumbuhan sektor pertanian (3,99) dan kontribusi rata rata (28,63) Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi rata rata sektor pertanian Kabupaten Wajo lebih besar di bandingkan pertumbuhan dan kontribusi rata rata sektor pertanian Provinsi Sulawesi Selatan. Hal tersebut menjadikan sektor pertanian Kabupaten Soppeng merupakan sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (Developed Sector).

2. Sektor, subsektor yang Potensial (kuadran II) Pada kuadran ini hanya ada satu sektor ekonomi yag dimiliki Kabupaten Wajo

yang berada pada kuadran ini yaitu sektor perdagangan Hotel dan restauran. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perdagangan hotel dan restauran merupakan sektor yang maju tapi tertekan (Stagnan Sector). Laju pertumbuhan rata rata sektor perdagangan hotel dan restauran Kabupaten Wajo sebesar (7,62) dengan nilai kontribusi (21,21), sedangkan pertumbuhan rata rata sektor perdagangan hotel dan restauran Provinsi Sulawesi Selatan yaitu (8,98) dan nilai kontribusi rata ratanya (16,21).

3. Sektor, subsektor yang dapat berkembang (kuadran III) Pada kuadran ini ada tiga sektor ekonomi Kabupaten Wajo yang berada pada

kategori sektor Developing Sector di antaranya sektor industri pengolahan dengan pertumbuhan rata ratanya (16,84) dan kontribusi rata ratanya (7,8), sektor bagunan dengan nilai pertumhan rata ratanya (13,53) dan kontribusi rata ratanya (3,46), dan sektor jasa jasa dengan pertumbuhan rata rata (5,62) dan kontribusi rata ratanya (10,12), sedangakan pertumbuhan rata rata dan kontribusi rata rata sektor tersebut pada wilayah refrensi dalam hal ini Provinsi Sulawesi Selatan yaitu pada sektor industri pengolahan pertumbuhan rata ratanya (6,47) dan kontribusi rata ratanya (13,68), sektor bagunan dengan nilai pertumbuhan rata rata (10,66) dan kontribusi rata rata (5,31), dan yang terakhir adalah sektor jasa jasa dengan pertumbuhan rata rata (5,62) dan kontribusi rata rata (10,89).

4. Sektor relatif tertinggal (kuadran IV) Kabupaten Wajo juga memiliki banyak sektor ekonomi yang relatif tertinggal (Underveloped Sector). Ada empat sektor ekonomi Kabupaten Wajo berada pada kuadran IV di antaranya, sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai pertumbuhan rata rata (-0,72) dan kontribusi rata ratanya.(5,06), sektor listrik gas & air bersih dengan nilai pertumbuhan rata rata (4,81) dan kontribusi rata rata (0,63), selanjutnya sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai pertumbuhan rata rata (10,09) dan nilai kontribusinya (5,46), dan sektor yang terakhir adalah sektor keuangan persewaan & jasa perusahaan dengan nilai pertumbuhan rata rata (13,40), dan nilai kontribusinya (4,93). Dibandingkan dengan Provinsi sulawesi selatan pertumbuhan rata rata sektor pertambangan dan penggalian sebesar (4,34) dan nilai kontribusinya (8,72),

sektor listrik gas & air bersih dengan pertumbuhn rata rata (8,15) dan kontriobusi rata ratanya (1,02), sektor pengankutan dan komunikasi dengan pertumbuhan rata rata (10,68) dan kontribusi rata rata (8,57), dan yang terakhir adalah sektor keuangan persewaan & jasa perusahaan dengan nilai pertumbuhan rata rata (14,17) dengan kontribusi rata rata (6,96).

Gambar 4. Klasifikasi Sektor Ekonomi Kabupaten Wajo (Tipologi Klassen)

Keterangan : 1 : Sektor Pertanian 2 : Sekor Pertambangan Dan Penggalian 3 : Sektor Industri Pengolahan 4 : Sektor Listrik Gas Dan Air Bersih 5 : Sektor Bagunan 6 : Sektor Perdagangan Hotel & Restauran 7 : Sektor Pengankutan & Komunikasi 8 : Sektor Keuangan Persewaan & Jasa Perusahaan 9 : Sektor Jasa-Jasa

Arah kebijakan pembangunan ekonomi di wilayah Tellingpocco’e, baik jangka

pendek, jangka menengah dan jangka panjang, harus tetap memerhatikan aspek kemampuan fiscal daerah (constrianed budget). Sesuai dengan konsep dari Hirschman dengan teori pertumbuhan yang tidak seimbang menyarankan agar suatu daerah berinvestasi pada sector yang dikategorikan sebagai sector andalan yang dapat memicu pertumbuhan sector sector yang lain. Untuk mendorong pembangunan ekonomi wilayah Tellungpocco’e pada tahun 2015 pemerintah daerah Kabupaten Bone mengalokasi anggaran sebesar 12,58 persen atau Rp 210,234 miliar dari jumlah penerimaan daerah yaitu sebesar Rp 1.671,266 miliar untuk belanja modal. Sementara itu, Kabupaten Soppeng menganggarkan belanja modal sebesar Rp 2,742 miliar atau 0,34 persen dari penerimaan daerah sedangkan Kabupaten Wajo mengalokasi anggaran daerah untuk belanja modal jauh lebih besar dari keduanya yaitu Rp 394,024 miliar atau 28,21 persen dari total penerimaan. Untuk dapat menerapkan konsep

K.II K.I

6 1

2

\ 9

4

5 3 8 7

K.IV K.III

4

pembangunan seimbang (balanced development) yang digagas oleh Ragnar Nurkse (1960), kapasaitas fiscal daerah tersebut masih sangat lemah untuk dapat mendukung pembangunan di semua sector secara bersamaan sehingga peran serta masyarakat dan swasta dalam pembangunan perlu dimaksimalkan.

Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis sector potensial di Kabupaten Bone, Sopeng dan Wajo dapat terlihat adanya perbedaan sector andalan di masing masing daerah tersebut. Meskipun Kabupaten Bone yang pernahh ditetapkan sebagai kota adminstratif (kotif), sector pertanian masih merupakan sector andalan daerah ini yang didukung oleh luas wilayah yang relative cukup luas dibandingkan dengan dua daerah lainnya. Begitu juga halnya dengan sector bagunan menjadi sector andalan Kabupaten Bone. Kebutuhan terhadap tempat tinggal dan sarana dan prasarana public di daerah tersebut relative sangat tinggi. Hal ini dikuatkan dengan data BPS Sulawesi Selatan tahun 2014 menujukkan bahwa daerah ini memiliki jumlah penduduk terbesar kedua setelah Kota Makassar. Hal yang sama juga terlihat pada Kabupaten Wajo, dimana daerah ini dikenal dengan pusat perdagangan sutra, yang memiliki kemampuan fiscal yang relative sama dengan kabupaten Bone hasil analisis menujukkan bahwa sector andalan dearah ini adalah sector pertanian sedangkan sector perdagangan dan perhotelan menjadi sector yang potensial. Sementara itu, Kabupaten Soppeng yang berada di daerah dataran tinggi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu daerah sentra pertanian berdasarkan hasil analisis mengklasifikasikan sector jasa jasa sebagai sector andalan daerah tersebut. Adanya intervensi yang lebih besar dalam hal pelayanan public dalam bentuk kebijakan daerah setempat dianggap mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sector sector yang lain di antaranya sector pertanian dan sector bagunan yang merupakan sector potensial, termasuk juga sector yang memiliki potensi untuk berkembang.

Untuk dapat menciptakan pertumbuhan yang tinggi melalui sector sector andalan tersebut, teori Harrod-Domar menujukkan pentingnya penggunaan sepenuhnya alat-alat modal dan tingginya tingkat pengeluaran masyarakat. Kemampuan berproduksi pada sector pertanian dan bagunan serta pelayanan public di wilayah Tellungpocco’e juga harus diikuti oleh kemampuan mengonsumsi dari masyarakat setempat. Oleh karena itu, Intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan daerah pada sector sector andalan tersebut juga perlu memerhatikan aspek ketersediaan lapangan kerja baru.

EPILOG: PEMBANGUNAN DESA TERINTEGRASI (SEBUAH JALAN)

Pada akhirnya, sampailah kita pada sebuah kesimpulan bahwa membangun desa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tidak cukup sekadar, visi dan konsep yang jelas dan strategi menjalankannya—melainkan juga bagaimana mengakomodasi pertimbangan aspek ekonomi, yakni keragaman potensi dan sosial budaya pada masing-masing desa di Indonesia. Aspek keberagaman inilah yang membutuhkan suatu konsep integrasi antara desa - daerah dan nasional—juga antara desa satu dan desa lainnya.

Pengalaman dari Sulawesi Selatan yang diangkat dari buku ini, menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan desa. Sebagai catatan, upaya pemerintah untuk merealisasikan konsep Nawacita, di antaranya membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dengan asas desentralisasi asimetris, belum sepenuhnya dapat terealisasi dengan baik. Ketimpangan pembangunan antara kota dan desa diharapkan dapat terpecahkan melalui implementasi kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman pemangku kepentingan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta desa terhadap konsep tersebut. Konsep perencanaan strategis yang diadopsi dalam konsep Nawacita harus dipahami sebagai sebuah pendekatan secara komprehensif.

Pada era otonomi daerah, kewenangan pemerintah daerah yang lebih besar dan sumber keuangan yang lebih banyak tidak menjadi sebuah jaminan tujuan pembangunan nasional dapat terwujud. Kesalahan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan daerah tidak hanya dapat menciptakan inefisiensi tetapi juga gagal mendorong pembangunan di daerah yang diharapkan dapat pula mendorong pembangunan nasional.

Hal yang sama juga terjadi, ketika pemerintah daerah selaku pendamping pembangunan pada tingkat desa hanya memainkan peranan sebagai pendamping teknis, sebagaimana ditegaskan dalam Permendagri nomor 114 tahun 2014 Bab I pasal 2. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengambil peran yang lebih besar sebagai aktor utama pembangunan pada tingkat daerah, dengan mengintegrasikan pembangunan yang ada di tingkat desa menjadi pembangunan wilayah.

Konsep pembangunan desa yang terintegrasi menjadi pembangunan wilayah merupakan sisi yang hilang dari konsep Nawacita itu sendiri. Fenomena pembangunan desa di Indonesia pada umumnya lebih bersifat sektoral. Dalam UU Desa pasal 78 dan 79 mensyaratkan keharusan pemerintah desa untuk melaksanakan perencanaan pembangunan desa, dalam rangka menyusun visi bersama membangun desa antara masyarakat dan pemerintah desa.

Visi bersama itu kemudian diselaraskan dengan rencana pembangunan kabupaten/kota yang dituangkan dalam dokumen jangka menengah (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP Desa) serta ditetapkan dalam peraturan desa. Keselarasan perencanaan tersebut masih sebatas pada bidang sosial dan infrastruktur tetapi tidak mencerminkan adanya keselarasan di bidang ekonomi, khususnya penguatan ekonomi desa.

Konsep pembangunan desa terintegrasi itu dapat diilustrasikan seperti sebuah permainan domino (domino games) seperti yang terlihat pada gambar 6.1. Setiap kartu harus dapat terkoneksi dalam sebuah sistem permainan tersebut. Kartu yang tidak dapat terkoneksikan dianggap sebagai kartu mati atau tidak memiliki manfaat. Dalam konsep pembangunan tersebut, tiap tiap kartu merupakan ilustrasi dari program yang diusulkan. Setiap program tersebut harus dapat terintegrasi dalam pembangunan wilayah yang diilustrasi sebagai sistem permainan. Oleh karena itu, program yang tidak dapat terintegrasi ke dalam permainan dianggap sebagai program yang tidak dapat dilanjutkan.

Konsep ini pada dasarnya tetap menggunakan teori perencanaan strategis dan pembangunan tidak seimbang. Usulan program di tingkat bawah (bottom up approch) dalam proses perencanaan tetap dilakukan. Setiap usulan program desa yang dianggap potensial ditetapkan melalui proses perencanaan desa kemudian dilanjutkan ke tingkatan yang lebih tinggi melalui proses Musrenbang. Semantara itu, pemerintah daerah terlebih dahulu menetapkan program prioritas daerah yang merupakan hasil analisis makro daerah, yang akan digunakan sebagai acuan pembangunan wilayah (top down approch).

Berdasarkan kedua pendekatan ini, usulan dari bawah (bottom up) akan disesuaikan dengan program daerah yang nantinya akan melahirkan sebuah program pembangunan wilayah. Namun, jika program-program yang diusulkan dari bawah tidak sesuai dengan program wilayah secara ekonomi dianggap sebagai program yang tidak laik untuk dilanjutkan. Program yang dikembangkan oleh beberapa desa yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya dapat juga membentuk suatu lembaga ekonomi desa yang sama seperti BUMDes bersama.

Gambar : ilustrasi konsep pembangunan desa terintgrasi BUM Desa yang dianggap mampu menjadi salah satu mesin penggerak roda

perekonomian desa masih memainkan peran yang sangat terbatas. BUM Desa Ganting sebagai salah satu lembaga ekonomi desa yang dianggap baik di Sulawesi Selatan, hanya mampu mengambil peran sebatas memenuhi kebutuhan masyarakat desa sekitar dan tidak memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi dengan BUM Desa lainnya maupun pemerintah daerah. Hal ini menujukkan bahwa program desa tersebut tidak dapat

Top Down

Tingkat Daerah

Tingkat Kecamatan

Pembangunan

wilayah

Tingkat desa Bottom Up

terkoneksi dengan baik dalam sistem permainan tersebut. Meskipun program tersebut masuk ke dalam sistem, namun dampak ekonomi (multiplier effect) yang ditimbulkan tidak begitu besar.

Hal yang sama juga terlihat pada BUM Des Pinang Raya dengan tipe brokering dari berbagai hasil pertanian khususnya rumput laut dan holding yang coba mengkoordinir usaha usaha rumah tangga yang ada di desa. Berbagai pelatihan mengolah produk berbahan baku rumput laut telah berhasil dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Kesulitan pemasaran dari hasil produksi rumah tangga tersebut menjadi masalah baru yang dihadapi oleh mereka. Masalah ini timbul akibat dari tidak terkoneksinya program desa ke dalam pasar sebagai salah satu unsur dari sebuah sistem (pembangunan wilayah).

Masalah lainnya adalah dinamika politik di desa yang sangat dinamis berdampak pada kinerja kepengurusan di BUMDes. Dalam beberapa kasus, pemilihan pengurus BUMDes seringkali tidak melihat pertimbangan prinsip-prinsip pendirian dan pengelolaan. Integrasi Pembangunan Desa

Geliat pembangunan ekonomi desa di Provinsi Bali dan Kota Batu laik menjadi rujukan. Berdasarkan pengamatan pada dua daerah tersebut, kegiatan ekonomi desa sangat berkaitan erat dengan arah kebijakan pemerintah daerah, yaitu pada sektor pariwisata dan agrowisata sebagai sektor kunci (leading sector). Peran lembaga ekonomi desa dalam mengembangkan potensi ekonomi desa dapat memberikan dampak yang besar terhadap kondisi ekonomi rumah tangga desa setempat. Bahkan, dengan adanya sinergitas pembangunan di wilayah tersebut melahirkan efek pengganda (multiplier effect) pada sektor-sektor lainnya yang dikelola oleh beberapa desa lainnya.

Sinergitas pembangunan di tingkat desa dengan daerah melalui pembangunan desa terintegrasi menjadi kunci utama pembangunan desa. Melalui pendekatan pembangunan tidak seimbang, pemerintah daerah dapat memberikan intervensi yang lebih besar pada sektor kunci (leading sector). Intervensi tersebut menjadi stimulus bagi sektor lainnya termasuk beberapa sektor yang dikembangkan di desa. Program pembangunan ekonomi desa dengan melihat potensi ekonomi lokal yang dimilikinya tetap harus terintegrasi sebagai bagian dari pembangunan wilayah.

Penguatan ekonomi desa sudah seharusnya menjadi prioritas pembangunan desa, untuk menjawab berbagai permasalahan pembangunan yang selama ini terjadi di Indonesia. Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi yang sangat dinamis, diharapkan dapat menyebar sampai ke desa-desa. Peran desa sebagai daerah penyanggah terhadap pusat pusat pertumbuhan yang ada di kota, dapat dikembangkan sesuai dengan potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Dominasi sektor pertanian dalam kegiatan ekonomi desa, jika dikembangkan dengan baik dapat mengurangi angka pengangguran di daerah perkotaan. Moderenisasi sektor pertanian yang terintegrasi dengan sektor industri yang ada di daerah perkotaan, akan dapat memberikan efek pengganda (multiplier effect) terhadap kegiatan ekonomi desa.

Pengembangan sektor ekonomi kreatif yang digalakan oleh pemerintahan Jokowi saat ini memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan di daerah pedesaan. Sektor ini dapat menjadi komplementer terhadap sektor pertanian. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan pedesaan sangat mendukung pengembangan sektor tersebut yang diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja baru baik pada sektor formal maupun sector informal.

Pembangunan infrastruktur yang baik dapat memberikan akses yang luas bagi masyarakat terhadap berbagai hal di antaranya akses pasar, modal dan pelayanan public. Kegiatan produksi di desa tidak menutup kemungkinan juga membutuhkan ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh desa lain sebagai mitra usaha mereka sehingga ketersediaan infrastruktur menjadi hal yang sangat penting. Kemampuan masyarakat dalam mengakses pasar domestik maupun internasional merupakan peluang besar yang harus diciptakan. Ketersediaan infrastruktur untuk membuka akses pasar tersebut harus menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Pembukaan akses pasar juga dapat menekan biaya produksi dan menciptakan pemerataan harga di seluruh wilayah Indonesia.

Konsep pembangunan desa terintegrasi merupakan konsep yang dianggap dapat menJawab permasalahan pembangunan nasional maupun daerah yang selama ini terjadi. Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota serta pembangunan daerah yang lambat disebabkan oleh konsep pembangunan yang digunakan kurang tepat. Kepala daerah beserta pemangku kepentingan lainnya seharusnya dapat memahami konsep pembangunan desa terintegrasi untuk dapat mewujudkan pembangunan ekonomi desa.

DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, R. 2013. Dasar Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Alam, S. 2014. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kemsikinan di Sulawesi Selatan. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: FEUH.

Arifin, T. 2006, Nelayan Kemiskinan dan Pembangunan. Makassar: Masagena Press.

Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara.

Aritenang, A.F. 2008. A Study on Indonesia Regions Disparity: Post Desentralization. MPRA Paper No. 25245, posted 21. September 2010 20:26 UTC (serial online). Available from: URL HYPERLINK https://mpra.ub.uni-muenchen.de/25245/1/MPRA _paper_25245.pdf diakses 1 Desember 2016).

Badan Pusat Statistik. 2016. Data Strategis BPS. Jakarta: CV Nasional Indah.

Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 1/6/2016, Berita resmi statistic No. 74/12/73/Th. II, 23 Desember 2014 (online). http://Sulawesi Selatan.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd- 20150430 104723.pdf.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Penggunaan Provinsi Sulawesi Selatan 2011. Katalog BPS 9302001.73, BPS: Provinsi Sulawesi Selatan.

Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2028. Makassar: Bappeda.

Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2012.

Jakarta: Bappeda.

Cakrawala online. 7/6/2013. KTNA Minta Syahrul Lanjutkan Program Pertanian. (online). (http://cakrawalaberita.com/daerah/ktna-minta-syahrul-lanjutkan-program-pertanian, diakses 11 Desember 2016).

Chebb, E., H. 2010. Agriculture and Economic Growth in Tunisia. China Agricultural

Economic Review, Vol. 2 Iss: 1. (Online). (http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=1834557, diakses 1 Desember 2016).

Daryanto, A. & Hafizrianda, Y. 2010. Analisis Input-Output & Analisis Accounting Matrix;

Untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press. Das, U. 2015. Can the Rural Employment Guarantee Scheme Reduce Rural Out-

migration: Evidence from West Bengal, India, E-Journal. The Journal of Development Studies, hal 622-640.

Dornbusch, R., Fisher, S., & Startz, R. 2008. Makroekonomi. Jakarta: PT Media Global

Edukasi. Fakih, M. 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Hadi, D.W. & Kusuma, G. 2012. Propoganda Orde Baru 1966-1998. Verleden, Vol. 1, No.

1 Bulan Desember 2012: hal 41-50 (serial online). Available from: URL: HYPERLINK http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers diakses 11 Desember 2016).

Hakim, A. & Giovani, G. 2012. Perbandingan Ekonomi dari Masa Soekarno Hingga Susilo

Bambang Yudhoyono (1945-2009). Ekonomika-Bisnis Vol. 03 No.2 Bulan Juli Tahun 2012, hal 161-180 (serial online). Available from: ULR HYPERLINK http://download.portalgaruda.org/article.php diakses 1 Desember 2016).

Hariyati, Y. & Raharianto, S.. 2012, Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Solusinya di

ASEAN. E-Journal Ekonomi Pertanian, hal 35-44. Ilyas, Anwar dan Khudri Arsyad. 2015. Laporan Survei Ketahanan Pangan Kabupaten

Pangkep dan Takalar. Laporan Hasil Riset. Makasar: Perkumpulan Katalis. Jhingan, M. L. 2001. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: RaJawali Pers. Kementerian Desa dan PDT. 2016. Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa.

Jakarta: Kementerian Desa dan PDT. Kuncoro, M. 2001. Metode Kuantitatif; Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi.

Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Mehboob, F. 2012. Role of Agriculture in Economic Growth of Pakistan International

Research Journal of Finance and Economics No. 83 pp. 180-186. (online).(http://mpra.ub.uni-muenchen.de/32273/ diakses 3 Desember 2016).

Miller, R. E., & Blair, P. D.. 1985. Input Output Analysis: Foundation and Extensions. New

Jersey: Prentice-Hall.

Mukhyi, M. A. 2007. Analisis Peranan Subsektor Pertanian Dan Sektor Unggulan

Terhadap Pembangunan Kawasan Ekonomi Provinsi Jawa Barat. (Online), (http://repository.gunadarma.ac.id/handle/ 123456789/552, diakses 2 Desember 2016).

Muiaya, A. 2012. Penguatan Ketahanan Pangan untuk Menekan Jumlah Penduduk

Miskin dan Rentan Pangan di Tingkat Nasional dan Regional. E-Journal Ekonomi Pertanian hal 11-18.

Novita, D. Rahmanta, dan Mahalli, K. 2009. Menganalisis Dampak Investasi Sektor

Pertanian Terhadap Perekonomian Sumatra Utara. (Online), (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7190/1/ 09E01887.pdf, di akses 1 Desember 2016).

Nurman. 2015. Strategi Pembangunan Daerah. Jakarta: Rajawali Pers. Nursini. 2012. Perencanaan dan Penganggaran Daerah: Teori dan Aplikasi. Makassar:

PPKED-FEUH. Perkin, D. H, Radelt, S., Snodgrass, D. R., Gill, M., & Romer, M. 2001. Economics Of

Development, Fifth Edition. United State of America: Norton. Puspitasari, M., Nurmalasari, V. & Sajafii, A. 2010. Investigating the Ekonomic Growth

Impact on Proverty Reduction in East Java, dalam Priyarsono, D.S., & Rustiadi, E. editor. Regional Development in Indonesia, IRSA-IPB: Indonesia

Putri, S. A. C. 2008. Menganalisis Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Online): (http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/18166?show=full. di akses 1 Desember 2016).

Razak, A. R. 2009. Esensi Pembangunan Daerah. Makassar: Nala Cipta Litera. Rustiadi, E.,Panuju, D.R. & Pravitasari, A.E. 2010. Java Island: Regional Disparity and

Sustainability Perspectives. Dalam Priyarsono, D.S., & Rustiadi, E. editor. Regional Development in Indonesia, IRSA-IPB: Indonesia

Saleh, Syafiuddin. 2015. Pemetaan Nilai Rumput Laut (Seaweed Value Chain Mapping) di

Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep Dan Barru. Laporan Hasil Riset. Makassar: Perkumpulan Katalis.

Setyowati, N. 2012. Coba Menganalisis Peran Sektor Pertanian di Kabupaten Sukoharjo.

(Online),(http://agribisnis.fp.uns.ac.id/wp-ontent/uploads/2012/10/Jurnal-

SEPA-174-ANALISIS-PERAN-SEKTOR-PERTANIAN-DI-KABUPATEN-SUKOHARJO.pdf, diakses 1 Desember 2016).

Sjafrisal .2014. Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Era Otonomi. Jakarta: PT.

Raja Prasindo Persada. Sukanto, D.G.T. 2011. Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Jawa

Tengah. (Online). (http://eprints.undip.ac.id/27364/1/SKRIPSI_LENGKAP%28r%29.pdf, diakses 1 Desember 2016).

Stimsion, R., J., Stough, R., R., & Roberts, B., H. 2006. Regional economic development:

analysis and Planing Strategy, edisi ke-2, Springer: Heidelberg. Tambunan, T. 2016. Pembangunan Ekonomi Inklusif; Sudah Sejauh Mana Indonesia.

Jakarta: LP3ES. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2011. Indikator Kesejahteraan

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: TNP2K. Tim Survei Perkumpulan Katalis. 2015. Laporan Survei Baseline Ketahanan Pangan Desa

Laikang Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar. Laporan Akhir. Makassar: Perkumpulan Katalis.

Todaro, M. P., & Smith, S. C. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan Jilid 1.

Jakarta: Erlangga. Yustika, A. E. 2009. Ekonom Politik; Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Malang: Pustaka

Pelajar.

TENTANG PENULIS

Andi Samsir, lahir di Malaysia 2 Maret 1984. Mengambil program Sasrjana Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Makassar (UNM). Melanjutkan studi S2 di Pascasarjana Jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas). Sejak tahun 2014 tercatat sebagai dosen tetap di Universitas Negeri Makassar jurusan Ekonomi Pembangunan. Semasa kuliah aktif di sejumlah lembaga kemahasiswaan di antaranya Wakil Ketua Umum BEM UNM, Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ekonomi UNM, dan Ketua Umum Persatuan mahasiswa Tolitoli Sulawesi Tengah. Pada tahun 2010 sudah terlibat aktif dalam kegiatan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan yang bekerjasama dengan Ford Foundation, Usaid, JICA, dan Oxfam. Sekarang masih menjabat sebagai sekretaris eksekutif Perkumpulan KATALIS Indonesia.

TENTANG PENYUNTING

Anis Kurniawan, seorang penulis dan Editor buku. Mengambil studi S1 di Jurusan Sastra Indonesia UNM, lalu program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM). Buku terbarunya berjudul “Demokrasi di Sarang Penyamun” diterbitkan Arti Yogyakarta November 2016. Selain menulis, ia juga terlibat sebagai media konsultan di beberapa tempat. Termasuk terlibat dalam berbagai riset soal “political engagement” di sejumlah daerah di Indonesia. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media lokal dan nasional. Kini, terlibat di Perkumpulan KATALIS.

Aswati Asri, lahir di Ujung Pandang 29 Juli 1979. Mengambil Studi S1 di Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Makassar (UNM). Melanjutkan

studi S2 di Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UNM. Sejak tahun 2015 tercatat

sebagai dosen tetap di Universitas Negeri Makassar jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Semasa kuliah aktif pada sejumlah lembaga kemahasiswaan, di antaranya Ketua Umum Bengkel

Sastra HIMABSID FBS UNM, Pengurus HIMABSID FBS UNM, Bendahara Umum Maperwa FBS

UNM, Koordinator Devisi Sastra UKM Seni UNM, Pengurus HMI Komisariat UNM, Pengurus

LSBMI HMI Cabang Makassar, Sekretaris Komisi Kebijakan Lembaga MAPERWA

UNM dan Pengurus Sanggar Seni Matahari Makassar. Sejak mahasiswa hingga saat ini, aktif

diundang menjadi Juri Lomba Cipta dan Baca Puisi serta Lomba Penulisan Essai. Sejak tahun

2009 hingga saat ini telah menjadi editor pada 3 buku.