unearthly prolog dan bab 1
Post on 17-Mar-2016
219 views
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Baca Unearthly prolog dan bab 1 yuk!TRANSCRIPT
Pada awalnya, ada seorang pemuda yang berdiri di antara
pepohonan. Dia sebayaku, mungkin umurnya tujuh belas.
Aku tidak yakin bagaimana bisa sampai mengetahuinya.
Aku hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya,
rambutnya yang berwarna gelap ikal lembap. Ada cahaya
oranye ganjil yang mengisi langit timur. Ada bau sangit
tajam. Aku melangkahkan kaki ke arah pemuda itu dan
tanah remuk di bawah kakiku. Dia mendengarku. Dia
mulai berlari. Satu detik lagi maka aku akan bisa melihat
wajahnya.
Di situlah penglihatan ini meninggalkanku. Aku
mengerjap. Penglihatan itu pun lenyap.
Prolog
Awalnya, tepatnya pada 6 November, aku terbangun pukul dua pagi dengan rasa menggelitik di dalam kepalaku,
seperti ada kunang-kunang mungil menari-nari di belakang
mataku. Aku mencium bau asap. Aku bangun dan berkeliling
dari satu ruangan ke ruangan lain untuk memastikan tak
ada bagian rumah yang terbakar. Semuanya baik-baik
saja, semua orang sedang tidur, hening. Lagi pula, bau ini
seperti asap di perkemahan, tajam dan beraroma kayu. Aku
menganggapnya sebagai keganjilan yang biasa terjadi dalam
hidupku. Aku mencoba, tetapi tidak bisa tidur lagi. Jadi,
aku turun ke lantai bawah. Aku sedang minum segelas
air dari keran di dapur, ketika, tanpa peringatan apa pun,
aku berada di tengah hutan yang terbakar. Bukan seperti
sebuah mimpi, melainkan secara fisik aku berada di sana.
Tidak lama, mungkin sekitar tiga puluh detik, kemudian
Punya Tujuan
11
aku kembali ada di dapur, berdiri di dalam genangan air
karena gelasnya terjatuh dari tanganku.
Aku segera berlari membangunkan Mom. Aku duduk
di kaki tempat tidurnya dan berusaha tidak tersengal-sengal
sewaktu menceritakan setiap detail penglihatan yang bisa
kuingat. Hanya sedikit, sungguh, hanya api, dan seorang
pemuda.
Kalau terlalu banyak sekaligus akan membuatmu
kewalahan, katanya. Itulah sebabnya penglihatan datang
padamu seperti ini, sedikit demi sedikit.
Seperti itu jugakah ketika Mom mengetahui tujuan-
mu?
Kurang lebih begitu untuk sebagian besar dari kita,
katanya, dengan lihai menghindari pertanyaanku.
Mom tidak mau memberitahuku tujuannya. Tujuan ter-
masuk salah satu dari beberapa topik terlarang. Aku merasa
terganggu karena kami dekat, kami selalu dekat, tetapi ada
bagian besar dari dirinya yang tidak mau dia bagikan.
Coba ceritakan pohon-pohon dalam penglihatanmu,
katanya. Seperti apa kelihatannya?
Pinus, kukira. Berdaun jarum, bukan berdaun lebar.
Mom mengangguk-angguk sambil berpikir, seolah-olah
ini petunjuk penting. Sebaliknya, aku tidak memikirkan
pohon. Aku memikirkan pemuda itu.
Seandainya aku bisa melihat wajahnya.
Kau akan melihatnya.
Aku ingin tahu apa aku harus melindungi dia.
Aku senang membayangkan jadi seorang penolong.
Semua keturunan malaikat punya tujuan yang berbeda
beberapa di antaranya pembawa pesan, sebagian jadi saksi,
sebagian lagi ditakdirkan untuk menghibur, beberapa hanya
melakukan sesuatu yang menyebabkan hal-hal lainnya
terjaditetapi pelindung kedengarannya asyik. Rasanya
seperti malaikat sungguhan.
Rasanya aku percaya kau sudah cukup umur untuk
mendapatkan tujuan, kata Mom sambil menghela napas.
Membuatku merasa tua.
Mom kan memang sudah tua.
Mom tak bisa mendebat itu, mengingat usianya sudah
lebih dari seratus tahun, walau tidak kelihatan sehari pun
lebih tua dari empat puluh. Sebaliknya, aku merasa persis
seperti diriku: remaja berusia enam belas tahun yang belum
tahu apa-apa (kalau tidak mau dibilang biasa-biasa saja)
yang masih harus bersekolah pada pagi hari. Saat ini, aku
sama sekali tidak merasa memiliki darah malaikat. Aku
memandang ibuku yang cantik dan penuh semangat. Aku
tahu apa pun tujuannya, dia pasti menghadapinya dengan
keberanian, selera humor tinggi, dan keterampilan.
Menurut Mom, kataku setelah beberapa saat,
sulit rasanya mengutarakan pertanyaan ini karena aku tidak
mau Mom menganggap aku pengecut. Apa menurut Mom
mungkin aku akan terbunuh dalam kebakaran?
Clara.
Serius.
Kenapa kau bilang begitu?
Karena ketika aku berdiri di belakang pemuda itu, aku
merasa sangat sedih. Aku tidak tahu kenapa.
Mom memelukku, menarikku mendekat hingga aku bisa
mendengar detak jantungnya yang kuat dan stabil.
Barangkali alasan aku sangat sedih adalah karena aku
akan mati, bisikku.
Pelukannya mengencang.
Itu jarang terjadi, kata Mom pelan.
Tapi bisa terjadi.
Kita akan cari tahu bersama-sama. Mom memelukku
lebih erat lagi dan menyibakkan rambut dari wajahku seperti
yang biasa dilakukannya setiap aku bermimpi buruk sewaktu
masih kanak-kanak. Sekarang kau harus istirahat.
Aku tidak pernah merasa sesegar ini sepanjang hidupku,
tapi kubaringkan tubuhku di tempat tidurnya dan mem-
biarkan Mom menarik selimut menyelubungi kami. Dia
memelukku. Tubuh Mom hangat, memancarkan panas
seakan-akan dari tadi berdiri di bawah sinar matahari, bahkan
pada tengah malam sekalipun. Aku menghirup aromanya:
minyak mawar dan vanilla, parfum seorang wanita tua. Bau
itu selalu membuatku merasa aman.
Saat memejamkan mata, aku masih bisa melihat
pemuda itu. Berdiri di sana menunggu. Menungguku. Hal
yang tampaknya lebih penting daripada kesedihan atau
kemungkinan melewati kematian yang mengerikan dalam
kobaran api. Dia sedang menungguku.
Aku dibangunkan suara hujan dan cahaya abu-abu yang
menembus tirai. Aku mendapati Mom sedang berdiri di
depan kompor di dapur, menuangkan telur orak-arik ke
mangkuk. Dia sudah berpakaian dan siap untuk berangkat
kerja seperti hari-hari lain. Rambut pirangnya yang panjang
masih basah sehabis mandi. Dia bersenandung. Kelihatannya
dia gembira.
Pagi, sapaku.
Mom berbalik, meletakkan spatulanya, dan melintasi
lantai linoleum untuk memberiku pelukan singkat. Dia ter-
senyum bangga, seperti sewaktu aku memenangi perlombaan
mengeja tingkat wilayah di kelas tiga: bangga, namun tak
pernah mengharapkan kurang dari itu.
Bagaimana keadaanmu pagi ini? Baik-baik saja?
Ya, aku baik-baik saja.
Ada apa? kata adikku, Jeffrey, dari ambang pintu.
Kami berputar memandangnya. Dia bersandar pada
kusen pintu, masih terkantuk-kantuk, bau, dan merengut
seperti biasanya. Jeffrey bukan orang yang biasa bangun
pagi. Dia memandang kami. Sebersit ketakutan melintas di
wajahnya, seolah bersiap mendengar berita buruk, berita
seseorang yang kami kenal meninggal dunia, misalnya.
Kakakmu menerima tujuannya. Mom tersenyum
lagi, tetapi kali ini tidak segembira sebelumnya. Senyuman
berhati-hati.
Adikku menatapku dari atas ke bawah seolah akan bisa
menemukan bukti suci di suatu tempat di tubuhku. Kau
mendapat penglihatan?
Ya. Sesuatu tentang kebakaran hutan. Aku memejam-
kan mata dan kembali melihat semuanya: punggung
bukit yang dipenuhi pohon pinus, langit oranye, asap yang
bergulung-gulung. Dan, seorang pemuda.
Bagaimana kau tahu itu bukan cuma mimpi?
Karena aku tidak sedang tidur.
Lalu, apa artinya? tanyanya. Semua informasi yang
berhubungan dengan malaikat ini masih baru untuknya. Dia
masih dalam masa saat hal-hal supernatural itu menarik dan
keren. Aku iri kepadanya.
Entahlah. jawabku. Itulah yang harus kucari
tahu.
Aku mendapat penglihatan lagi dua hari kemudian. Aku
sedang berada di tengah putaran jogingku mengelilingi
garis luar gedung olahraga Mountain View High School,
dan mendadak penglihatan itu muncul, dengan begitu saja.
Dunia yang kukenalCalifornia, Mountain View, gedung
olahragamendadak lenyap. Aku berada di hutan. Aku
benar-benar bisa merasakan apinya. Kali ini aku melihat
kobaran api menyelimuti punggung bukit.
Dan kemudian, aku hampir menabrak seorang pemandu
sorak.
Lihat-lihat kalau jalan, Lemot! tukasnya.
Aku terhuyung-huyung menepi untuk membiarkan gadis
itu lewat. Aku bersandar pada tempat duduk berlipat sambil
10
tersengal-sengal dan mencoba mendapatkan penglihatan itu
lagi. Tetapi, rasanya mirip mencoba bermimpi lagi setelah
benar-benar terbangun. Sudah lenyap.
Sial. Belum pernah ada yang memanggilku lemot.
Kependekan dari lemah otak. Bukan pertanda bagus.
Tidak boleh berhenti, seru Mrs. Schwartz, guru
olahraga. Kita ingin mendapatkan rekaman akurat seberapa
cepat kau bisa berlari menempuh satu setengah kilometer.
Yang kumaksud kau, Clara.
Wanita itu pastilah sersan pelatih baris-berbaris di
kehidupan lain.
Kalau kau tidak berhasil dalam waktu kurang dari se-
puluh menit, kau harus lari lagi minggu depan! teriaknya.
Aku mulai berlari. Aku mencoba berkonsentrasi pada
tugas yang harus diselesaikan sambil melesat di tikungan
selanjutnya, menjaga kecepatan tetap tinggi untuk menutupi
waktu yang terbuang. Tetapi, pikiranku mengembara lagi
pada penglihatan itu. Bentuk-bentuk pohon. Tanah hutan
di bawah kakiku yang diseraki bebatuan dan daun-daun
pinus. Pemuda yang berdiri memunggungiku di sana sambil
menyaksikan kebakaran semakin mendekat. Jantungku yang
mendadak berdebar-debar.
Puta