kontroversi istilah 'jkn

3
KONTROVERSI ISTILAH JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Oleh : Nurhaidah Achmad Memperhatikan tulisan Surya Chandra Surapaty pada harian Kompas, Kamis, 31 Oktober 2013 mengenai istilah jaminan kesehatan nasional atau disingkat istilah JKN yang ‘menyesatkan’, maka terjawab kebingungan saya selama ini mengenai istilah JKN yang jelas-jelas tidak ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan turunannya. Istilah JKN saat ini sudah terlanjur disosialisasikan dan dipopulerkan melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Jika ditelusuri, istilah JKN mulai muncul dalam Peta Jalan JKN tahun 2012-2019, yang merupakan konsensus dari penyusun peta jalan (urut huruf b hal 16) disebutkan bahwa “Konsensus nama yang digunakan untuk program Jaminan Kesehatan sebagaimana diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, pilihannya adalah Jaminan Kesehatan Nasional.” Pertanyaannya, apakah istilah Jaminan Kesehatan dalam undang-undang dapat diubah hanya dengan konsensus..? Konsensus yang ‘menghalalkan’ istilah JKN merupakan awal dari kekeliruan istilah yang seharusnya Jaminan Kesehatan (tanpa nasional) menjadi Jaminan Kesehatan Nasional. Kita sama-sama tahu bahwa Peta Jalan JKN tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap, Peta Jalan hanya sebagai penjadwalan persiapan dan beroperasinya BPJS Kesehatan serta pencapaian cakupan semesta/universal coverage program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ada kesan seolah-olah istilah Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN merupakan pengganti dari istilah Jaminan kesehatan masyarakat yang dikenal dengan Jamkesmas. Program Jamkesmas adalah program jaminan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu yang dilaksanakan oleh kementerian kesehatan. Dana program ini sebenarnya adalah dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang disiapkan untuk melaksanakan program Jaminan Kesehatan dalam SJSN. Oleh karena BPJS belum terbentuk, maka dana tersebut ‘dititipkan’ dan digunakan oleh Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan program tersebut. Tentunya dengan dibentuknya BPJS Kesehatan sesuai UU BPJS, maka dana tersebut akan dialihkan ke BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan sosial program Jaminan Kesehatan yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan merupakan operator atau penyelenggara program jaminan kesehatan dan kementerian kesehatan fokus membuat peraturan-peraturan atau regulasi dan penyiapan infrastruktur serta sumber daya manusia untuk fasilitas kesehatan sesuai dengan kewenangannya. Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan penjelasan UU SJSN pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan karena pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Karena Jaminan kesehatan dalam SJSN merupakan program Negara, maka tentunya tidak boleh mengubah istilah yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Dalam Undang- Undang jelas-jelas disebutkan program Jaminan Kesehatan, bukan program Jaminan Kesehatan Nasional.

Upload: nurhaidah-achmad

Post on 12-Jan-2016

2 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Kontroversi Istilah JKN

TRANSCRIPT

Page 1: Kontroversi Istilah 'JKN

KONTROVERSI ISTILAH JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Oleh : Nurhaidah Achmad

Memperhatikan tulisan Surya Chandra Surapaty pada harian Kompas, Kamis, 31 Oktober 2013 mengenai istilah jaminan kesehatan nasional atau disingkat istilah JKN yang ‘menyesatkan’, maka terjawab kebingungan saya selama ini mengenai istilah JKN yang jelas-jelas tidak ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan turunannya. Istilah JKN saat ini sudah terlanjur disosialisasikan dan dipopulerkan melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik.

Jika ditelusuri, istilah JKN mulai muncul dalam Peta Jalan JKN tahun 2012-2019, yang merupakan konsensus dari penyusun peta jalan (urut huruf b hal 16) disebutkan bahwa “Konsensus nama yang digunakan untuk program Jaminan Kesehatan sebagaimana diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, pilihannya adalah Jaminan Kesehatan Nasional.” Pertanyaannya, apakah istilah Jaminan Kesehatan dalam undang-undang dapat diubah hanya dengan konsensus..? Konsensus yang ‘menghalalkan’ istilah JKN merupakan awal dari kekeliruan istilah yang seharusnya Jaminan Kesehatan (tanpa nasional) menjadi Jaminan Kesehatan Nasional. Kita sama-sama tahu bahwa Peta Jalan JKN tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap, Peta Jalan hanya sebagai penjadwalan persiapan dan beroperasinya BPJS Kesehatan serta pencapaian cakupan semesta/universal coverage program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Ada kesan seolah-olah istilah Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN merupakan pengganti dari

istilah Jaminan kesehatan masyarakat yang dikenal dengan Jamkesmas. Program Jamkesmas adalah program jaminan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu yang dilaksanakan oleh kementerian kesehatan. Dana program ini sebenarnya adalah dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang disiapkan untuk melaksanakan program Jaminan Kesehatan dalam SJSN. Oleh karena BPJS belum terbentuk, maka dana tersebut ‘dititipkan’ dan digunakan oleh Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan program tersebut. Tentunya dengan dibentuknya BPJS Kesehatan sesuai UU BPJS, maka dana tersebut akan dialihkan ke BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan sosial program Jaminan Kesehatan yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan merupakan operator atau penyelenggara program jaminan kesehatan dan kementerian kesehatan fokus membuat peraturan-peraturan atau regulasi dan penyiapan infrastruktur serta sumber daya manusia untuk fasilitas kesehatan sesuai dengan kewenangannya.

Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan penjelasan UU SJSN pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan karena pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Karena Jaminan kesehatan dalam SJSN merupakan program Negara, maka tentunya tidak boleh mengubah istilah yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Dalam Undang-Undang jelas-jelas disebutkan program Jaminan Kesehatan, bukan program Jaminan Kesehatan Nasional.

Page 2: Kontroversi Istilah 'JKN

Beda bila merupakan program pemerintah, di mana pemerintah dapat menyebut istilah program dengan nama apapun karena tidak terkait dengan undang-undang, contohnya program Jamkesmas, Jampersal, Jampertal, dan lain-lain.

Bagaimana bila istilah Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN tetap digunakan..? Program

Jaminan Kesehatan berdasarkan UU SJSN Pasal 4 bersifat Wajib, dinyatakan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, Kepesertaan bersifat WAJIB, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Bila istilah ‘Jaminan Kesehatan Nasional’ atau JKN ini tetap diberlakukan, sehingga seluruh calon

peserta yang seharusnya bersifat wajib, maka menjadi tidak wajib mengikuti program JKN tersebut, Mengapa..? Karena istilah program JKN tidak ada dalam undang-undang dan turunannya, sehingga calon peserta pun dapat berkelit untuk tidak mengikuti program JKN karena tidak salah dan tidak melanggar UU, demikian juga bila pemberi kerja tidak mengikuti program JKN, maka tidak dapat dikenakan sanksi pidana seperti yang tercantum dalam UU BPJS Pasal 55, karena program yang wajib adalah Jaminan Kesehatan seperti yang tertera dalam undang-undang.

Sebagai pemerhati kesejahteraan sumber daya manusia, tentunya kita semua mendukung

program Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena dengan adanya program Sistem Jaminan Sosial Nasional ini merupakan lompatan besar dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, sehingga diharapkan akan membawa kesejahteraan dan dampak yang baik bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu kami berharap semua program Sistem Jaminan Sosial Nasional ini berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, termasuk istilah-istilah yang harus sesuai dengan undang-undang.

Dari kajian di atas, saya sependapat dengan apa yang ditulis oleh Surya Chandra, bahwa istilah

JKN ini tidak tepat dan ‘menyesatkan’ karena tidak sesuai dengan ketentuan UU SJSN dan UU BPJS, di mana dalam UU tersebut tidak disebutkan Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN, tetapi Program Jaminan Kesehatan, tanpa ada penambahan kata ‘nasional’ di belakangnya. Karena menurut UU SJSN, Pasal 19 menyatakan bahwa Jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, sehingga tidak perlu penambahan kata ‘nasional’ di belakang Jaminan Kesehatan, karena sesuai amanat undang-undang program jaminan kesehatan tersebut bersifat nasional.

Seyogyanya kita jangan meremehkan permasalahan ‘kecil’ yang nantinya akan menjadi

permasalahan besar. Tidak banyak yang menelaah bahwa Istilah ‘Jaminan Kesehatan Nasional’ atau JKN tidak ada dalam undang-undang, dan bila tahu pun, mungkin tidak banyak yang mau peduli atau mengkritisi bahwa istilah JKN yang sudah terlanjur beredar tersebut merupakan program yang tidak disebutkan dalam UU SJSN dan UU BPJS beserta turunannya. Oleh karena itu saya sangat appreciate pada apa yang ditulis oleh Surya Chandra Surapaty yang mengkritisi terhadap istilah JKN tersebut.

Banyak yang mengatakan: “Apalah arti sebuah istilah” yang penting prosesnya berjalan dengan baik. Dengan mengubah program Jaminan Kesehatan menjadi program ‘JKN’ dapat lebih menjual, lebih keren, lebih asyik atau lebih mudah mengingatkan masyarakat Indonesia yang nantinya menjadi peserta

Page 3: Kontroversi Istilah 'JKN

program tersebut, dibandingkan, dari pada menyebut dengan istilah program ‘Jaminan Kesehatan’ saja. Pernyataan tersebut tidak selalu tepat, karena Istilah akan menjadi penting bila dikaitkan dengan ketentuan UU, yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.

Apakah istilah JKN yang sudah terlanjur keliru kita biarkan saja..? Jangan sampai istilah JKN yang

sudah berkembang menjadikan kita ‘latah’ dengan menambahkan kata ‘Nasional’ di belakangnya. Apakah dapat dibenarkan alasan penambahan kata nasional di belakangnya, bahwa Istilah yang menurut kita lebih menjual, lebih keren, lebih asyik dan lebih mudah diingat itu, tapi kalau tidak sesuai dengan undang-undang, apakah itu dibenarkan secara hukum..?

Tentunya kita harus konsisten dengan istilah yang sesuai dengan amanat undang-undang, tanpa

menitikberatkan pada istilah yang dianggap ‘lebih keren’. Istilah Jaminan Kesehatan pun cukup ‘keren’ dan sesuai dengan undang-undang. Keren dan tidak keren hanyalah masalah selera. Sulit untuk memperdebatkan selera, jangan sampai hanya karena selera, ketentuan undang-undang kita kesampingkan.

Dapat dibayangkan bila nanti BPJS Ketenagakerjaan yang akan operasional pada 1 Juli tahun

2015 ikut-ikutan latah dengan menambah kata ‘nasional’ di belakang nama programnya. Sehingga keempat program tersebut akan menjadi program ‘Jaminan Kecelakaan kerja nasional’, program ‘jaminan hari tua nasional’, program ‘jaminan pensiun nasional’, dan yang lebih lucu lagi adalah program ‘jaminan kematian nasional’.

Sebagai manusia pembelajar, tentunya menjadi kewajiban kita untuk tidak perlu sungkan

meluruskan istilah yang sebelumnya tidak tepat karena sudah terlanjur beredar. BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program jaminan kesehatan jangan ikut terbawa arus pada istilah yang keliru, karena dampak hukum dan akibat yang ditimbulkan dari istilah dan kekeliruan tersebut, BPJS sendiri yang akan menanggungnya.

DJSN sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangannya, harus sebagai Penjuru terdepan dalam

penyelenggaraan SJSN, sehingga bila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan UU terkait dengan SJSN, maka DJSN harus tampil untuk meluruskan segala sesuatu yang menyimpang dari kekeliruan apapun, termasuk istilah yang tidak sesuai.

Pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU hendaknya peka terhadap situasi yang berkembang

ini, dan segera diambil suatu keputusan agar tidak terjadi kontroversi dengan istilah JKN.

Mari Sukseskan SJSN..!!! Nurhaidah Achmad

Kandidat Doktor Bidang Manajemen Sumber Daya manusia Universitas Negeri Jakarta