kontroversi gereja di jakarta

36

Upload: edi-suryadi

Post on 27-Oct-2015

103 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kontroversi Gereja Di Jakarta
Page 2: Kontroversi Gereja Di Jakarta

1

Page 3: Kontroversi Gereja Di Jakarta

2

Peluncuran dan Diskusi Buku:

PROBLEMATIKA PENDIRIAN GEREJA

DI JABODETABEK

Ruang Sidang – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Jl. Salemba 10, Jakarta Pusat

Selasa, 26 April 2011

Center for Religious & Cross-cultural Studies

Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

Tahun 2011

Page 4: Kontroversi Gereja Di Jakarta

3

SAMBUTAN-SAMBUTAN

Sambutan Yayasan Paramadina oleh Ihzan Ali Fauzi

Pertama saya ucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu sekalian karena sudah hadir saat ini. Hari ini acara

kita yang pertama adalah peluncuran hasil riset oleh Bapak Zainal Abidin Bagir, direktur dari CRCS - UGM,

suatu lembaga yang sudah kita kenal antara lain melalui Laporan Tahunan Kehidupan Umat Beragama yang

sudah diterbitkan selama tiga tahun terakhir.

Riset ini, beserta riset-riset lainnya, dikoordinasikan di bawah CRCS. Agenda besar riset-riset ini akan

disampaikan oleh pak Zainal. Hasil penelitian Tim Peneliti Paramadina mengenai Kontroversi Gereja di

Jakarta akan dipresentasikan oleh rekan saya Nathanael, setelah itu kita akan mendengarkan beberapa

tanggapan yang datang dari Bapak Ahmad Syafii Mufid (FKUB DKI Jakarta), Sydney Jones (Peneliti ICG), dan

Jeiry Sumampouw (PGI), dan akan ada sesi tanya jawab untuk kita mendiskusikan bersama hasil penelitian

ini.

Sambutan CRCS dan peluncuran monograf KONTROVERSI GEREJA: KASUS-KASUS DI JAKARTA DAN SEKITARNYA

oleh Zainal Abidin Bagir

Salam sejahtera untuk kita semua.

Saya ingin menceritakan sedikit mengenai konteks penelitian dan penerbitan buku ini. Program studi yang

menaungi kerja-kerja ini adalah Program Studi Agama dan Lintas Budaya yang fokusnya adalah studi agama-

agama, dan sudah berusia 11 tahun. Kami punya beberapa konsen utama. Salah satu perhatian kami adalah

hubungan antar agama atau pluralisme agama. Proyek ini berawal pada tahun 2008 dan kolaborasi empat

negara, kami dari Indonesia, lalu ada dari India, Uganda dan Belanda. Isu utama yang diusung adalah

pluralisme dan tantangan fundamentalisme. Tapi kami lebih melihat kepada isu pluralisme agama karena

ingin lebih menekankan sisi positif, dan tidak begitu melihat fundamentalismenya walaupun tentu saja hal

itu tidak bisa dipisahkan. Kami mencoba mengaitkan antara dunia akademik dan organisasi masyarakat sipil,

jadi riset-riset ini sebagian melibatkan dunia akademik dan organisasi masyarakat sipil.

Page 5: Kontroversi Gereja Di Jakarta

4

Hasil pertama dari program ini adalah penerbitan Laporan Tahunan Kehidupan Beragama yang telah

dilakukan selama 3 tahun terakhir ini, kemudian mulai 2009 kami bekerjasama dengan 7 tim peneliti di 7

wilayah di Indonesia, salah satunya Tim Peneliti Yayasan Paramadina. Ini yang kami lakukan di Jogja waktu

itu yaitu melempar ide, selama ini berbicara pluralisme cuma pada tingkat konsep padahal kita memiliki

praktik-praktik pluralisme, bukan sekadar gagasan saja. Jadi tidak lagi menekankan pada wacana keagamaan

tapi pada praktik pluralisme itu sendiri. Di Jogja kami luncurkan buku Pluralisme Kewargaan. Pada bab

pertama buku yang diluncurkan bulan lalu di Jogja, kita menggeser wacana yang teologis ke persoalan

bagaimana negara me-manage keagamaan dan masyarakat memberikan respons atau menanggapi. Jadi

pilihan mengapa meneliti hal-hal ini, diajukan sendiri oleh masing-masing tim peneliti. Di Jakarta isu

Problematika Pendirian Gereja ini yang diangkat, di Jogja muncul isu Politik Ruang Publik Sekolah yang

dilakukan oleh LKIS, di Medan ada yang meneliti soal Parmalin, di Banjarmasin ada yang teliti identitas etnis

dan agama, di Makasar langkah lanjut perda syariah, di Papua ada satu penelitian juga. Jadi ada 7 penelitian,

dua sudah diluncurkan dan dalam waktu mendatang beberapa monograf serupa akan muncul. Sedangkan

buku Pluralisme Kewargaan sendiri ditulis oleh beberapa orang yang mengawal Pluralisme Knowledge

Program untuk memberi frame terhadap praktik pluralisme di Indonesis.

Kami mengucapkan selamat untuk Ihsan dan teman-teman dari Tim Peneliti Yayasan Paramadina untuk hasil

penelitian ini. Yang menyenangkan juga, hasil penelitian ini baru mau terbit, sudah ada rencana untuk

melanjutkannya dan memang akan sangat menarik untuk mengulangnya di tempat-tempat lain.

Selamat menikmati diskusi ini.

Page 6: Kontroversi Gereja Di Jakarta

5

PRESENTASI HASIL PENELITIAN

KONTROVERSI PENDIRIAN GEREJA DI JAKARTA DAN SEKITARNYA

Tim Peneliti Yayasan Paramadina

Penyaji materi : Nathanael G. Sumaktoyo

Moderator : Ihsan Ali-Fauzi

Waktu : Pk. 13.41 – 14.30

Pengantar Moderator Mengapa isu gereja yang diangkat di Jakarta? Di Jakarta kasus-kasus yang dominan adalah gereja, tapi

pertanyaan pokok bukan sekadar gereja melainkan rumah ibadah. Pak Zainal sudah menyinggung soal

penelitian lanjutan dari penelitian ini. Dalam penelitian lanjutan itu, kita akan lihat apakah masjid mengalami

masalah yang sama di Manado atau NTT. Penelitian sekarang memang hanya di Jabodetabek dan isu

utamanya adalah gereja. Seperti yang sering kita baca dari laporan-laporan Wahid Institut, Setara Institut

dan CRCS, banyak sekali inventarisasi masalah yang terjadi di Jakarta terkait rumah ibadah, tetapi yang ingin

kami lihat adalah sesuatu yang sedikit lebih mendalam yaitu pada pertanyaan mengapa, jadi bukan saja

gereja bermasalah tapi dinamika yang membuat dia bermasalah, ada ataukah tidak jalan keluarnya, kami

ingin melihat secara empiris dari emat segi yaitu pertama, gereja yang sama sekali tidak bermasalah, kedua

bermasalah dan selesai, yang ketiga dulu tidak bermasalah dan kemudian bermasalah atau dipermasalahkan,

atau gereja-gereja yang sejak dulu sampai sekarang masih bermasalah atau dipermasalahkan. Hal ini akan

diperluas dengan penelitian rumah-rumah ibadah di tempat lain. Kami ingin melihat kemungkinan adanya

persoalan mayoritas dan minoritas terkait hal ini. Untuk hasil penelitian yang sekarang, ada satu lembaga

riset di Melbourne yang juga akan menerjemahkan dan menerbitkan di Australia. Hasil penelitian ini akan

dipresentasikan oleh Nathanael Gratias Sumaktoyo. Ini adalah pekerjaan tim, tim kami antara lain terdiri atas

saya, Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Nathanael G. Sumaktoyo, Anick H. T., Husni Mubarak,

Testriono, Siti Nurhayati. Mereka akan bisa bercerita lebih banyak menyangkut gereja-gereja yang mereka

pelajari.

Page 7: Kontroversi Gereja Di Jakarta

6

Presentasi Hasil Penelitian

Page 8: Kontroversi Gereja Di Jakarta

7

Page 9: Kontroversi Gereja Di Jakarta

8

Page 10: Kontroversi Gereja Di Jakarta

9

Page 11: Kontroversi Gereja Di Jakarta

10

Page 12: Kontroversi Gereja Di Jakarta

11

Page 13: Kontroversi Gereja Di Jakarta

12

Page 14: Kontroversi Gereja Di Jakarta

13

Page 15: Kontroversi Gereja Di Jakarta

14

Latar belakang, pertanyaan riset

Berbagai masalah pada pendirian rumah ibadah (gereja) yang merupakan indikator penting kebebasan

beragama telah disampaikan melalui laporan-laporan CRCS, MMS, WI, Setara. Kebanyakan penelitian saat ini

lebih terfokus pada inventarisasi masalah dan hanya memberikan penjelasan minim terkait latar belakang

kontroversi gereja atau dengan kata lain belum menjawab pertanyaan mengapa. Di sisi lain banyaknya

masalah, tidak dapat dipungkiri juga kalau ada gereja yang tidak bermasalah atau berhasil menyelesaikan

masalahnya Jadi dengan mempelajari hal positif, kita mungkin secara jernih bisa melihat solusi. Variabel

kami kategorisasikan dua yaitu regulasi negara dan regulasi sosial. Regulasi negara mencakup hal-hal

semacam undang-undang, ketentuan perijinan, PBM, dll. Regulasi sosial mencakup faktor lingkungan yang

mungkin disebabkan oleh kondisi demografis, maupun tingkat ekonomi. Negara terdiri dari orang-orang dan

punya konvensi sendiri yang bisa berbeda atau bertentangan dengan regulasi negara, regulasi sosial ini

mencakup semua faktor dari penduduk yang tidak tertulis dalam hukum positif negara. Kita fair bahwa

hukum perlu mempertimbangkan dinamika masyarakat. Kategorisasi faktor yang berperan mempengaruhi

kebebasan beragama ke dalam regulasi negara dan regulasi sosial.

Page 16: Kontroversi Gereja Di Jakarta

15

Pertanyaan penelitian ini antara lain:

Apa peran FKUB dalam pendirian rumah ibadah? --- Apakah FKUB melaksanakan tugas dengan baik,

memediasi masalah, atau bagian dari masalah

Faktor apa saja yang menyebabkan kontroversi rumah ibadah berlarut-larut (tidak terselesaikan)?

Faktor apa saja yang berperan dalam resolusi konflik pendirian rumah ibadah? --- jika berlarut, apa yang

bisa membuat rumah ibadah menyelesaikan masalahnya? Penelitian ini ingin menggali hal positif untuk

belajar

Aktor mana saja yang berperan dalam memediasi maupun memperburuk kontroversi pendirian rumah

ibadah?

Apakah ada relasi antara polemik pendirian rumah ibadah dengan kondisi demografis dan tingkat sosial

ekonomi masyarakat sekitar? ---- kita juga ingin melihat polemic pendirian rumah ibadah dengan kondisi

demografis dan ekonomi masyarakat sekitar

Apakah ada relasi antara polemik pendirian rumah ibadah dengan dinamika politik lokal, misalnya terkait

pemilihan kepala daerah? --- yang terakhir menarik, karena agama menjadi komoditi yang menarik di

Indonesia, kepala daerah menggunakan simbol-simbol agama untuk mendapatkan dukungan saja. Kita

ingin melihat problematika politik dalam kasus-kasus ini.

Metodologi penelitian dan definisi operasional

Metodologi penelitian yang dilakukan adalah studi kualitatif dengan empat kategori kasus, yaitu:

Gereja yang tidak pernah bermasalah Gereja yang dulu bermasalah tapi sekarang tidak bermasalah lagi

Gereja yang dulu tidak bermasalah tapi sekarang bermasalah

Gereja yang terus-menerus bermasalah dari dulu hingga sekarang

Untuk membatasi lingkup penelitian, kita tetapkan beberapa definisi operasional. Kami cari anggota PGI atau

KWI, karena dalam opini publik, dua lembaga ini representasi Kristen dan Katolik di Indonesia. Bagi yang

belum berbentuk bangunan kami ingin memastikan bahwa bangunan itu gereja tanpa melihat ibadahnya,

memiliki tanah untuk gereja, telah memiliki atau sedang mengajukan IMB, bagi yang sudah berbentuk

bangunan, ada tanda berbentuk plang/jadwal ibadah/papan nama/salib. Kategori bermasalah kami

didefinisikan sebagai gereja yang menemui hambatan baik dari regulasi negara maupun sosial. Definisi ini

cukup longgar dengan tujuan membuka kemungkinan bagi variasi kasus.

Kategorisasi dan Profil Gereja

Di disain awal ada 12 gereja dengan kategorisasi sebagai berikut:

Tidak Bermasalah 1) Katedral 2) GKJ Nehemia, Lebak Bulus 3) St. Albertus, Harapan Indah

Bermasalah dan Selesai 1) St. Mikael, Kranji 2) GKP Seroja, Bekasi 3) GKI Terang Hidup, Kota

Tidak Bermasalah dan Dipermasalahkan 1) GKI Yasmin, Bogor 2) HKBP Cinere, Depok 3) St. Bernadet, Ciledug

Bermasalah dan Belum Selesai 1) HKBP Filadelfia, Tambun 2) St. Yohanes Maria Vianney 3) St. Yohanes Baptista, Parung

Page 17: Kontroversi Gereja Di Jakarta

16

Realita tidak sesuai desktop riset, setelah turun ke lapangan, kami menemukan dinamika seperti berikut:

Tidak Bermasalah 1) St. Aloysius Gonzaga,

Cijantung

Bermasalah dan Selesai 1) St. Mikael, Kranji 2) GKP Seroja, Bekasi 3) GKI Terang Hidup, Kota 4) Katedral 5) GKJ Nehemia, Lebak Bulus 6) St. Albertus, Harapan Indah

Tidak Bermasalah dan Dipermasalahkan

1) GKI Yasmin, Bogor 2) HKBP Cinere, Depok 3) St. Bernadet, Ciledug

Bermasalah dan Belum Selesai 1) HKBP Filadelfia, Tambun 2) St. Yohanes Maria Vianney 3) St. Yohanes Baptista, Parung

Mungkin cara membaca paling tepat bukan ‘hanya satu gereja yang tidak bermasalah di Jakarta’, tapi lebih

kepada ‘ada kok gereja yang tidak bermasalah’.

Profil dan Dinamika Gereja yang Tidak Bermasalah:

St. Aloysius Gonzaga. Dirintis oleh Pusat Perawatan Rohani Angkatan Darat mulai tahun 1962, berdiri di atas

tanah Angkatan Darat. Pada awal pembangunan banyak mendapat bantuan pemerintah termasuk (RPKAD)

Kopassus melalui Sarwo Edhie Wibowo, memiliki umat sekitar 8.500 orang dengan ekonomi kelas

menengah, RW mengakui hubungan baik dengan gereja; salah satu sebabnya adalah umat gereja yang aktif

dalam kegiatan masyarakat. Jadi, bukan semata karena gereja ini dikelilingi tentara, tapi umat memiliki

hubungan baik dengan warga sekitar, kalau lebaran dikunjungi, dan saat natalan, umat Muslim mengunjungi

yang Kristen.

Profil dan Dinamika Gereja yang Bermasalah dan Masalahnya Selesai:

St. Albertus – Harapan Indah. IMB keluar hanya dalam 4 bulan, namun proses dan pengajuan sebelumnya

memakan waktu lebih dari 15 tahun. Ketua pembangunan gereja Laksamana Pertama TNI AL. Permasalahan

selesai setelah soliditas internal dicapai, yang kemudian membantu perbaikan hubungan dengan

pengembang dan warga sekitar. Jadi, empat bulan setelah terjadi pergantian ketua panitia pembangunan

gereja yaitu seorang Laksamana Pertama TNI AL baru tercapai soliditas internal. Panitia sebelumnya tidak

solid secara internal sehingga hubungan dengan warga sekitar, maupun dengan pengembang buruk.

St. Mikael - Kranji. Proses memakan waktu 13 tahun, 5 tahun struggling membangun gereja, mendapat IMB

tahun 2004 tapi baru berdiri 2009. Proses pendekatan dengan warga membaik saat panitia pembangunan

diganti (aspek soliditas). Sebelum 2004, panitia gereja tidak solid tetapi yang menarik ketika di lapangan

setelah solidaritas terbangun, RT/RW menyeleksi penceramah masjid agar tidak menyebar permusuhan. Ada

seorang tokoh yang tidak lagi diperbolehkan mengisi ceramah karena dinilai terlalu banyak menyebar

permusuhan.

GKI Terang Hidup. Dipermasalahkan saat renovasi, awalnya dalam pertemuan RW seorang ustad merasa

pembangunan gereja akan menghalangi ventilasi rumahnya, kalau gereja ditinggikan, rumahnya jadi panas

karena ketutupan gereja. Pendeta mengakui mereka kurang peka atau gereja kurang tanggap. Mediasi

dibantu oleh RW sebelum kemudian diambil alih Polsek Taman Sari. Dana operasional kepolisian untuk

mediasi ditanggung gereja.

Page 18: Kontroversi Gereja Di Jakarta

17

GKP Seroja di Bekasi. Berada di kompleks pejuang Timor Timur eks pejuang Seroja, didirikan atas amanat

Presiden Soeharto. Yayasan Darmais diminta untuk menyediakan tempat beribadah karena banyak orang

Kristen dan Katolik. Sekitar tahun 2006 dipersoalkan oleh beberapa warga kompleks karena dinilai membuat

macet. Dengan bantuan Yayasan Dharmais (disupervisi Pusrehabcat TNI-AD) kemudian dicarikan lahan dan

bangunan baru, masih di dalam area kompleks. Ada dukungan dari Wakil Walikota (saat itu) Mochtar

Mohammad. Setelah gereja pindah masalah selesai

Katedral. Bermasalah terutama pada masa Belanda, ini menunjukkan kaitan dengan masalah pengaruh

rejim. Katedral bermasalah pada jaman Belanda, ini menunjukkan masalah rejim. Kenapa gereja katedral

bisa berdiri karena intervensi dari gubernur Belanda yang Katolik. Awalnya di lokasi Atrium Senen sekarang

tapi lalu terbakar. Penguasa wilayah yang beragama Kristen tidak mengijinkan pembangunan kembali.

Barulah ketika ada intervensi dari Gubernur Jenderal Du Bus yang beragama Katolik, umat dapat mendirikan

gereja di lokasi baru.

GKJ Nehemia. Mulai dirintis sejak 1972 dan baru berdiri 1985. Permasalahan terutama terjadi akibat

birokrasi. Setelah beberapa kali memiliki lahan, gereja diminta pindah karena peruntukan lahan yang tidak

sesuai. Mereka dipimpong sana-sini hingga akhirnya mengambil tempat di kebun karet di Lebak Bulus yang

masih kosong dan gereja bisa berdiri.

Profil dan Dinamika Gereja yang Tidak Bermasalah dan Menjadi Bermasalah atau Dipermasalahkan:

HKBP Cinere. IMB keluar tahun 1999 namun pembangunan terhenti karena masalah dana. Ketika

melanjutkan pembangunan, dipertanyakan, penentangan mulai muncul dan IMB dicabut Walikota pada

Februari 2009. Menang dalam gugatan di Pengadilan Negeri dan PTUN. Proses pembangunan mulai

berlangsung kembali karena telah menang di pengadilan sekaligus kasus Ciketing membuat kepolisian lebih

perhatian. Polisi sekarang menjaga gereja karena tidak mau kasus Cikeuting terjadi.

GKI Taman Yasmin. Sudah mendapat IMB dari Pemkot Bogor tahun 2006. Atas berbagai alasan, IMB dicabut

tahun 2008. Gereja telah menang hingga tingkat MA namun Pemkot tidak mengubah keputusannya dan

masih menyegel gereja. Ibadah juga dihalang-halangi.

St. Bernadet – Ciledug. Menggunakan kompleks sekolah Sang Timur. Telah beribadah 12 tahun (1992-2004)

atas ijin dari Lurah Karang Tengah. Tahun 2004, dihentikan warga yang keberatan dengan peribadatan. Saat

ini mengusahakan gereja baru di lahan berbeda namun terbentur dukungan warga (tandatangan minimal

sudah didapat tapi Ketua RT tidak mau mengesahkan). Selain keberatan warga karena peribadatan, akses

jalan juga menjadi masalah karena kecil dan menyebabkan macet.

Profil dan Dinamika Gereja yang Menemui Masalah dan Belum Selesai:

HKBP Filadelfia. Berhasil mengumpulkan tanda tangan melebihi syarat minimal tapi kemudian dituduh

pemalsuan tandatangan. Proses tidak dapat berlanjut karena FKUB dan pemerintah daerah menolak

perijinan. Aktor utama kelompok penentang adalah 3 ustadz yang mempersoalkan tandantangan dukungan

warga dan meminta warga menarik dukungannya. Menang di PTUN tapi Pemkab Bekasi tetap bergeming.

St. Yohanes Maria Vianney. Terhambat birokrasi Pemda, kesulitan datang dari ormas. Ada lebih dari 20

ormas di sekitar gereja dan semuanya meminta didekati. Ada kasus bisa dibaca di monograf, ada satu tokoh

yang tadinya mendukung, tapi karena tidak dilibatkan dalam pembelian tanah sehingga ia berubah

menentang. Selain itu ada juga masalah dengan perijinan. Berhasil mendapatkan ijin FKUB tapi terhambat

birokrasi Pemda. Dualisme peraturan PBM 9/8 Tahun 2006 dan Kepgub 137 Tahun 2002 dinilai menjadi salah

satu akar masalah.

Page 19: Kontroversi Gereja Di Jakarta

18

St Yohanes Baptista. Berhasil mengumpulkan tandatangan melebihi jumlah minimal namun terhambat

birokrasi pemda dan FKUB. MUI Parung turut terlibat sebagai aktor yang tidak suportif, antara lain dengan

melakukan penolakan mengatasnamakan warga.

Faktor dan Aktor

Peranan FKUB

Peranan FKUB: FKUB punya posisi kritis untuk menggagalkan tetapi tidak cukup kuat untuk memediasi. Peran

normatif sesuai PBM 9/8 Tahun 2006 adalah menyalurkan aspirasi ormas keagamaan, membantu sosialisasi,

menerbitkan rekomendasi bagi FKUB Kab/Kota. Kontradiksinya adalah tanpa rekomendasi FKUB

pembangunan hampir pasti berhenti, tapi sekalipun dengan rekomendasi FKUB, pembangunan tetap dapat

dihalang-halangi. FKUB di Jakarta terhambat oleh Kepgub 137/2002.

Rumusan Faktor Pembuat Masalah

Isu Kristenisasi. Hasil dari ICG menjadi faktor yang ditakuti kehadiran gereja sebagai simbol kristenisasi.

Selain itu kelompok/individu yang merasa tidak mendapat manfaat ekonomi. Dalam penelitian, kami

menemukan lebih banyak faktor sosial ekonomi dibandingkan faktor resistensi berbasis ideologi atau paham

keagamaan. Tentang organisasi keagamaan, terutama yang radikal, dianggap memperumit masalah karena

semua minta didekati dan bila didekati mengundang ormas lainnya juga untuk meminta bagian.

Kemungkinan perubahan relasi gereja dengan warga sekitar, misal dari dekat jadi renggang, diceritakan

beberapa tahun sebelum dipermasalahkan sering ada buka puasa bersama, itu memang memakan resource

tapi dalam kultur Indonesia itu penting. Birokrasi juga menjadi faktor penghambat, begitu juga dengan

inkonsistensi pemerintah yang ditunjukkan dari kasus HKBP Cinere dan GKI Yasmin dimana tidak ada

kepastian hukum.

Faktor Penyelesai Masalah

Soliditas internal sangat penting karena dapat berpengaruh ke regulasi negara dan sosial. Jika di dalam

(internal) bermasalah, akan sulit juga untuk berdamai ke luar. Faktor berikutnya adalah identifikasi tepat

atas tokoh-tokoh masyarakat, tidak selamanya tokoh yang menawarkan bantuan itu tepat, kalaupun sudah

tepat orangnya perlu juga didekati secara tepat. Pendekatan yang tepat, tidak semata soal uang. Sebagai

contoh, ada satu ustadz di Kranji, ketika gereja datang biasanya ditolak, tetapi ada cucu ustadz yang suka

nugget dan salah satu panitia gereja kerja di pabrik nugget, ketika datang berikutnya cucu ustadz dibawakan

nugget, dan perhatian ini yang membuat ustadz merasa diperhatikan dan kooperatif. Ustadz ini yang

memberi informasi, ketika FPI mau menyerbu. Kehadiran tokoh masyarakat yang komit pada

keberagaman/kebebasan beragama juga merupakan factor penyelesai masalah. Ada orang yang secara

ideologis antipati terhadap gereja tapi ada juga yang memiliki komitmen dan konsistsen bahwa

keberagamaan dan pluralisme itu penting. Masalah perlu dijaga pada level minimum dan tidak mengeskalasi

masalah bila tidak perlu. Di Seroja, masalah selesai di tingkat kompleks, dan ketua RT/RW wanti-wanti agar

tidak ada orang luar sehingga tidak menjadi kompleks. Kebijaksanaan sangat diperlukan kapan harus blow up

media dan kapan dijaga pada level minimum. Bila kita belum perlu blow up media, tidak perlu lakukan.

Faktor berikut yaitu aparat negara yang imparsial dan inkonsistensi peranan tokoh umat yang memiliki

posisi/kedudukan penting.

Page 20: Kontroversi Gereja Di Jakarta

19

Aktor dalam problematika

Ketua RT dan Ketua RW; dalam pendirian gereja mereka punya posisi mengesahkan dukungan warga,

sehingga sosok ini penting. Ketua RT/RW juga penting karena memonitor pemuka agama di masjidnya.

Di St. Mikael Kranji mereka sampai mem-blacklist tokoh agama yang ekstrim.

Pemuka agama di mushalla atau masjid setempat; pemuka agama penting karena mereka referensi

keagamaan bagi masyarakat di sekitarnya.

FKUB; penting untuk memediasi.

Kepala daerah, kepolisian dan organisasi kemasyarakatan; kepala daerah punya posisi penting untuk

menerbitkan IMB. Ada 3 kemungkinan yaitu aktif mempersulit seperti kasus walikota Bandung,

membantu dan mendukung misalnya pada sosok Mochtar Mohammad, yang ketika ambivalen/pasif,

misalnya pemda DKI Jakarta dgn kepgubnya yang tidak membantu tapi juga tidak memudahkan. Kepala

daerah, kepolisian dan ormas tidak dapat tidak saling dilibatkan. Untuk membuat ormas tidak berunjuk

rasa, kepolisian harus tegas, dan harus ada cara bagi mereka untuk menyalurkan aspirasinya.

Faktor demografi dan sosial ekonomi

Penelitian ini tidak menemukan relasi dengan faktor demografi dan sosial ekonomi karena gereja orang kaya

pun yang berdiri di sekitar orang yang tidak mampu, tidak bermasalah. Relasi demografis lebih terkait

mobilitas penduduk, ketika berpindah ke pinggiran, maka mereka mempunyai kebutuhan adanya gereja

sehingga problematika ini muncul, bukan masalah antara pendatang dengan penduduk. Kebutuhan ini

kemudian dapat saja terbentur kendala, namun tidak ada satu faktor demografi/ekonomi tertentu yang

menjelaskan keseluruhan masalah

Politik dan Problematika Gereja

Kemungkinan kepala daerah yang memerlukan dukungan Kristen akan lebih peduli kepada kebebasan

beragama/gereja, bandingkan Wahidin Halim dengan Mochtar Mohammad. Tiga kemungkinan penjelasan

kedekatan Mochtar Mohammad dengan gereja Bekasi: (1) semata mencari dukungan, (2) memang

berkomitmen terhadap kebebasan beragama tapi tidak dapat menahan tekanan politik, atau (3) ada upaya

mengacau gereja demi mendelegitimasi Mochtar Mohammad di mata umat Kristen. Semua narasumber

bilang Mochtar Mohammad sangat suportif terhadap gereja sehingga bisa ada upaya delegitimasi. Support

Wahidin Halim tidak terlihat dalam kasus Sang Timur, kemenangan 80% membuat dukungan Kristen dan

Katolik tidak banyak berpengaruh. Sedang bagi Mochtar Mohammad 8% itu berarti. Kami tidak ingin

membuat generalisasi berlebihan karena gereja yang kepala daerahnya bukan dari partai Islam pun banyak

yang bermasalah. Sulit ditemukan satu pola konsisten soal partai dan gereja, tapi setidaknya dalam

penelitian ini kepala daerah yang aktif mempersulit (Walikota Depok dan Bogor) berasal dari partai Islam.

Penelitian lebih jauh diperlukan untuk melihat sikap partai Islam terhadap pendirian gereja.

Limitasi dan Generalisasi

Limitasi

Banyak limitiasi dalam penelitian ini. Sampel yang hanya berjumlah 13 gereja dikarenakan keterbatasan dana

dan waktu. Kedalaman narasumber yang lebih banyak bersumber pada gereja dan warga sekitar; dapat

dikembangkan lagi ke kelompok penentang. Narasumber dari kelompok penentang kurang terakomodasi

dibanding warga sekitar, kami mencoba atasi keterbatasan ini dengan tidak melakukan semacam tim pencari

fakta, cukup tahu bahwa tuduhannya adalah tandatangan palsu. Perimbangan Kristen-Katolik yang berubah

dari rencana awal akibat tuntutan lapangan sehingga denominasi sangat terbatas.

Page 21: Kontroversi Gereja Di Jakarta

20

Generalisasi

Mengingat kompleksitas Jakarta, ada alasan kuat untuk menduga temuan-temuan studi ini berlaku pula pada

prinsipnya untuk dinamika rumah ibadah di daerah lain. Hal yang membedakan mungkin lebih kepada aktor

penentangnya. Karena di Jakarta Islam mayoritas, maka gereja yang dipermasalahkan. Di daerah di mana

Kristen/Katolik mayoritas, cukup beralasan untuk menduga bila masjid yang mengalami hambatan. Akan

menarik untuk melihat hal ini dalam studi berikutnya. Maksudnya dimana ada mayoritas-minoritas,

ambivalensi dan sebagainya maka akan ada masalah. Kita akan uji di Padang, Manado dan Bali.

Temuan prinsipnya adalah gereja yang berhasil menyelesaikan masalah tidak terlepas dari keterlibatan

pemerintah. Negara punya peran penting dan pemerintah harus berbuat lebih.

Page 22: Kontroversi Gereja Di Jakarta

21

TANGGAPAN HASIL PENELITIAN

KONTROVERSI PENDIRIAN GEREJA DI JAKARTA DAN SEKITARNYA

PGI, ICG, FKUB DKI JAKARTA

Penanggap : Jeiry Sumampouw (PGI)

Sydney Jones (Peneliti ICG)

Ahmad Syafii Mufid (FKUB)

Moderator : Ihsan Ali-Fauzi

Waktu : Pk. 14.30 – 15.23

Penanggap 1. Jeiry Sumampouw - PGI

Kami dari PGI memberi apresiasi terhadap penelitian ini karena sampai sekarang PGI tidak sanggup

membuat penelitian seperti ini. Ada kebutuhan untuk melihat dinamika bukan saja gereja tapi juga rumah

ibadat lain, untuk ini PGI akan melakukan penelitian lanjutan yang juga akan meneliti rumah-rumah ibadat

yang lain untuk melengkapi apa yang sudah dibukukan ini walaupun tadi Natahnael menjelaskan generalisasi

faktor-faktor mungkin akan sama tapi memang baik bila itu diteliti supaya ada faktor-faktor yang betul-betul

terjadi di lapangan.

Jakarta Relatif Tidak Bermasalah

Saya mau mengomentari peluncuran dan bedah buku karena ini judulnya kontroversi di Jakarta, tapi

sebagian yang menjadi sampel penelitian ini ada di luar Jakarta, apalagi yang kemudian bermasalah dan

tidak selesai sampai sekarang yaitu GKI Taman Yasmin, HKBP Cinere dan Santo Bernadeth Cileduk itu berada

di luar Jakarta. Menurut pengalaman kami beberapa tahun kemarin, pendirian rumah ibadah di Jakarta

relatif tidak bermasalah, yang bermasalah di sekitar Jakarta, dan memang apa yang kami alami

memperlihatkan Jakarta relatif lebih aman untuk persoalan-persoalan ini dibanding 10 tahun lalu, artinya

ada masalah tapi relatif bisa diselesaikan sehingga tidak muncul di permukaan dan dikomentari banyak

orang. Warga gereja di Jakarta lebih tenang, yang gelisah yang diluar Jakarta karena banyak dipersoalkan.

Mekanisme Bukan Masalah

Untuk kategori bermasalah, kalau lihat masalah pengurusan ijin memang rata-rata 10 tahun mulai dari minta

tandatangan dan sebagainya. Bagi gereja bila perijinan diurus sesuai dengan mekanisme yang ada, meskipun

Page 23: Kontroversi Gereja Di Jakarta

22

panjang prosesnya tetapi tidak dihambat maka itu bukanlah masalah. Gereja sangat sadar untuk memenuhi

aturan, walaupun panjang. Yang masuk kategori bermasalah aturan sudah dilaksanakan tapi ijin tidak keluar

atau ijin keluar tapi dipersoalkan dan ijin dicabut seperti kasus GKI Taman Yasmin. Dua atau tiga minggu lalu,

Filadelfia sudah menang lagi di pengadilan tapi belum tahu kelanjutannya, HKBP Filadelfia ada di kabupaten

Bekasi, sedangkan Cikeuting di Kota. Bogor juga dengan kota Bogor, di kabupaten relatif tidak banyak

masalah menonjol. Jadi untuk formalitas yang berbelit dan panjang, gereja tetap berusaha memenuhi dan

tidak menganggapnya masalah.

Tidak Ada Kemajuan dalam Konteks Hidup Bersama di Masyarakat

Kalau kita lihat peta dari 13 gereja, 12 bermasalah, karena itu kita perlu rumuskan enam yang selesai itu

apakah masalah dan faktor-faktor masalahnya. Satu gereja yang tidak bermasalah ada di kompleks tentara,

ini fenomena apa? Apakah yang bisa hidup berdampingan secara baik itu tentara? Dari sisi konflik antar

agama, tidak ada masalah dengan gereja yang ada di kompleks tentara. Masalah yang ada justru di internal

gereja. Soliditas internal memang sangat penting. Ada satu gereja di kompleks Angkatan Udara yang

bermasalah, problemnya lebih ke internal, ini yang menarik. Dua belas dari tiga belas gereja yang diteliti

bermasalah, jadi memang rumit sekali. Saya catat hal menarik, kasus gereja katedral ketika didirikan tidak

begitu didukung. Apakah memang masyarakat kita tidak menghendaki ada rumah ibadat lain disekitarnya?

kita tidak bicara semata konfllik antar agama, tapi juga konflik internal antar denominasi. Kalau merujuk

pada kasus gereja Katedral, maka dari waktu gereja itu berdiri sampai sekarang, kita tidak mengalami

kemajuan dalam konteks hidup bersama masyarakat lain. Yang dulu terjadi, sekarang juga terjadi. Ini tugas

besar negara dan agama-agama. Di beberapa tempat bisa saja hal-hal itu terjadi.

Mempertanyakan Peran Negara dan Mekanisme Penyelesaian di Masyarakat

Berkaitan dengan faktor penyelesai masalah, kalau kita perhatikan, sedikit sekali peran negara sebagai faktor

yang bisa menyelesaikan. Pemerintah atau kepolisisan dan birokrasi negara sedikit sekali disinggung.

Pertanyaannya adalah, ini fenomena apa?

Di sisi masyarakat memang baik, tapi juga rawan. Negara sering mengembalikan ke mekanisme penyelesaian

di masyarakat. Update kasus Yasmin, sudah ada keputusan PK di MA dan sudah dimenangkan, artinya IMB

yang dulu dikeluarkan itu sah, putusannya akhir tahun lalu, tapi Walikota Bogor tarik SK pada tanggal 9 tapi

kemudian tanggal 11 Maret ia buat SK baru lagi yang membekukan IMB dengan alasan tidak mendapat

pengakuan masyarakat. Padahal pada saat peletakan batu pertama walikota yang sama yang memberi

sambutan dan mengatakan ini proses pengurusan ijin yang paling baik yang pernah ia temui.

Sebetulnya ada problem hukum dalam permasalahan pendirian rumah ibadah bila terjadi pembangkangan

hukum. Pertanyaannya adalah apa langkah kita? Memang dalam kasus GKI Taman Yasmin, FKUB tidak

terlibat karena FKUB baru ada tahun 2007. Proses perijinan dilakukan pada tahun 2004, sehingga tidak bisa

mengacu ke FKUB. Kalau mengharapkan mekanisme penyelesaian ke masyarakat, hasilnya pasti mentok

terus dan dipimpong terus. Akhir tahun lalu (26 Desember 2010) GKI Taman Yasmin tidak diijinkan ibadah di

trotoar, trotoar di blokade oleh polisi, jadi ibadah dilakukan di jalan di depan blockade itu. Jadi tidak lagi

lahan dan gedung yang disegel, trotoarpun disegel. Kita belum tahu perkembangan terakhir HKBP Filadelfia,

tapi maksud saya, akhir tahun lalu di GKI Taman Yasmin sudah ada negosiasi untuk mempertemukan empat

pihak yaitu Walikota, tentara, gereja, dan kelompok yang tidak setuju, dan diambil kesepakatan menunggu

putusan MA, itu kesepakatan yang dibuat, tapi setelah MA memberikan putusan, penyegelan dicabut tapi

dikeluarkan SK pembekuan yang baru dalam waktu dua hari. Dalam konsultasi kami dengan Ahli Hukum,

mereka katakan, tindakan Walikota ini bisa digugat lagi tapi nanti akan berjalan terus seperti itu. Ada

Page 24: Kontroversi Gereja Di Jakarta

23

kemungkinan ia akan membuat SK pembekuan yang baru dan berulang terus. Yang dilakukan oleh Walikota

dalam kasus GKI Taman Yasmin bisa jadi preseden. Seringkali negara menghindar dengan mengembalikan

masalah pada masyarakat padahal masih problematik. Jika ada masyarakat yang ngotot tidak membolehkan,

bahkan berlaku keras, kepolisian takut.

Pemilihan Kepala Daerah: Kontrak Politik?

Soal peran kepala daerah yang tadi disinggung, variannya juga banyak. Waktu pemilihan walikota Bogor yang

lalu, dia sudah dua kali terpilih, periode pertama diusung PDIP dkk, periode ke-2 diusung dari PKS, wakil

Walikota juga dari PKS tapi masih tersandung kasus korupsi. Saya tidak tahu ada kontrak politik apa. Ada

yang menaruh harapan dari pergantian kepala daerah. Ada juga yang memperumit atau memperburuk citra

Kepala Daerah juga seperti pada kasus Mochtar Mohammad. Kita juga tidak tahu bagaimana ketika kepala

daerah tidak lagi sanggup bersikap tegas.

Pergantian Kepala Daerah di beberapa kasus menolong tapi di kasus lain tidak menolong. Misalnya di

Rancaekek, ada 11 jemaat kecil yang tidak bermaksud mendirikan gereja, mereka hanya kelompok kecil yang

ingin beribadah tetapi jaraknya terlalu jauh ke kota. Memang ada yang jadi gereja karena jumlah mereka

sudah banyak, tapi sebagian besar tidak berniat mendirikan gereja, hanya ibadah rutin. Kasus muncul ketika

Walikota baru terpilih dari Golkar, dia menantu incumbent, pemilu kada dilakukan dua putaran, ada faktor

politik yang dimainkan untuk memperkeruh persoalan. Bupati terpilih lebih akomodatif terhadap gereja.

Dalam kasus Rancaekek, yang turun adalah camat.

Hal-hal yang kami sampaikan ini penting karena kami alami dalam advokasi masalah gereja secara umum. Ini

beberapa komentar berdasarkan pengalaman PGI.

Penanggap 2. Sydney Jones – Peneliti ICG

‘Apalagi yang Bisa Kita Perbuat?’

Saya salut kepada Tim Riset ini karena hasil studi ini merupakan bahan yang luarbiasa penting baik dari

rincian maupun rekomendasi dan relevansi kebijakan pemerintah. Kalau saya melihat kasus-kasus ini,

pertanyaannya adalah ‘Apalagi yang kita semua bisa perbuat supaya masalah-masalah teratasi?’ Jelas

seperti dikemukakan bahwa sering terjadi peranan polisi penting, kalau polisi tegas masalah bisa

diselesaikan tapi kalau dibiarkan masalah jadi bertambah jelek.

Perlunya Prosedur Tetap untuk Kepolisian dan Mekanisme Pelaporan Masyarakat

‘Bagaimana agar ada directive dari kepolisian pusat ke polsek-polsek?’ Tahun lalu ada Protab Anarki yang

betul-betul jelek, seperti dalam kasus-kasus Ahmadiyah dan rumah ibadah, isinya seperti polisi diberi lampu

hijau untuk menembak padahal bukan begitu seharusnya.

Perlu protab bagaimana seharusnya polisi bertindak bila ada aksi terhadap gereja atau rumah ibadah

lainnya. Ini perlu utk strategi advokasi, apakah ada kejahatan yang dilakukan para penentang, misalnya

lusi/ventilasi/kusen gereja diambil atau kaca yang sengaja dirusak, di KUHP ada aturan jika barangsiapa

menghancurkan membuat tidak dapat terpakai dsb bisa dapat tindak pidana. Polisi dapat menindak setiap

kasus. Perlu dilihat apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dilakukan sehingga aksi massa berlanjut,

apa kelemahan dalam hal ini. Di kasus Cikeuting ada satu orang yang disebut penghasut, ia hanya dihukum 7

bulan padahal menurut KUHP bisa lebih dari itu. Oleh karenanya, perlu Protab untuk melihat aksi-aksi yang

Page 25: Kontroversi Gereja Di Jakarta

24

dilakukan ‘ormas’ yang betul menghalangi pembangunan rumah ibadah atau menghambat dan bisa diambil

dari riset-riset yang dibuat ini. Sehingga harapannya ada directive dari Kapolri bahwa untuk aksi semacam ini

bisa berakibat penangkapan pelaku yang terlibat, dan vonisnya seberat-beratnya yang diijinkan KUHP, dan

kalau ada aksi massa tanpa ijin harus ada tindakan terhadap organisasi. Bila ada permintaan dari ormas

seperti FPI, menurut saya, tidak melanggar hak berkumpul jika permintaan itu ditolak, apalagi jika di daerah

yang sudah diketahui mengalami ketegangan dalam urusan hubungan antar agama. Itu yang harus kita

pikirkan. Kalau misalnya ada kasus dimana polisi tidak bertindak seperti semestinya, harus ada proses lapor

dan tersampaikan kepada Kapolri agar dikenai tindakan disiplin.

Masalah Agama dikembalikan ke Pusat

Banyak FKUB yang bertindak semestinya, tapi kalau ada satu orang yang menghalangi sesuatu, ‘Apa yang

bisa dilakukan dan apakah ada proses pengawasan?’ Maksudnya apa yang harus diperbuat bila ada laporan

bahwa masalah di pihak FKUB. Peranan FKUB untuk menyalurkan aspirasi ormas, tergantung juga apa

ormasnya, misalnya FUI atau FPI, jika aspirasi mereka yang mau disalurkan lewat FKUB maka itu masalah.

UU No. 72 Tahun ’74, agama sebagai urusan pemerintah pusat, bukan pemda. Tetapi dalam banyak

peraturan seperti SKB, jelas bahwa pemerintah pusat menyerahkan tugas ke daerah dan ada banyak

masalah di situ. Bagaimana kita beradvokasi agar masalah agama dilempar kembali ke pusat? Mungkin perlu

diskusi dengan DPR atau Menkopolhukam, atau siapa lagi yang tepat agar kita bisa betul-betul

menghentikan bola panas yang selalu dilempar ke pemda dan memiliki kemungkinan dipengaruhi faktor

politik lokal.

Mempersoalkan Penentang, Bukan yang Diserang

Kalau kita melihat persepsi sekarang ini, sikap Ketua RT, Ketua RW, Camat dan sebagainya justru ikut

bergabung dengan kelompok penentang. Mereka yang diserang yang dipersoalkan, bukan penyerangnya,

seperti dalam kasus HKBP dan Taman Yasmin, bila mereka dilihat sebagai masalah bukan para penentang itu,

maka ini tidak akan menyelesaikan. Ini kembali ke soal bagaimana orang-orang yang mengintimidasi rumah

ibadah dan orang-orang yang membangun rumah ibadah bisa dihentikan. Soal RT dan RW yang berperan

positif, misalnya menyeleksi penceramah di masjid, itu sesuatu yang bagus sekali dan contoh-contoh positif

seperti ini perlu disebarkan ke komunitas lain untuk dicopy.

Biro untuk Gerak Cepat: sebuah usulan

Diperlukan semacam instansi atau suatu biro di pusat, di Jakarta, di mana kalau ada masalah di daerah bisa

secepatnya disampaikan kepada yang berwenang di tingkat yang lebih tinggi. Mungkin desk di

Menkopolhukam dsb. Keberadaan Komisi Nasional sudah tidak begitu efektif lagi. Jadi, bagaimana instansi

ini bisa diciptakan untuk gerak cepat bila ada masalah di daerah dan tidak perlu menunggu 10-13 tahun.

Penanggap 3. Ahmad Syafii Mufid – FKUB DKI Jakarta

Saya mengapresiasi hasil penelitian ini, saya sudah baca melalui email, memang saya mau protes karena ini

bukan di Jakarta, tapi pemikiran saya mungkin ini unsur marketable.

Hampir Tidak Ada Kasus Benturan Sosial Terkait Rumah Ibadah di Jakarta

Di laporan ini disebutkan sejarah pertumbuhan gereja dari masa ke masa. Di Jakarta, mulai turun dari stasiun

Gambir ada gereja, memutar sedikit ada katedral, ke Kwitang ada GKI, kemudian ke Kramat Raya dan ke

Page 26: Kontroversi Gereja Di Jakarta

25

Jatinegara, pada awalnya belum ada masjid tapi gereja. Pada jaman kolonial sampai orde baru tidak ada

masalah, yang ada di luar Jakarta. Sampai sekarang, kalau berbicara Jakarta, memang ada beberapa kasus

tidak enak tapi tetap perlu disebut seperti kasus di Jakarta timur, tapi dari tahun ke tahun, di Jakarta

cenderung hampir tidak ada kasus benturan sosial terkait pendirian rumah ibadah.

FKUB DKI Jakarta

Di Jakarta, bedanya dengan FKUB yang lain, sebelumnya sudah ada FKKUB, para tokoh lintas agama sudah

lakukan pertemuan intensif, bisa bekerjasama dan bisa menyampaikan informasi-informasi level A1, kita

tidak seperti kabupaten lain yang sering bertentangan.

Bogor juga begitu bingung siapa yang beri rekomendasi terkait pendirian rumah ibadah, FKUB atau Kanwil.

Kanwil punya kewenangan memberi rekomendasi pendirian rumah ibadah bila dilakukan denominasi yang

menurut Kementerian Agama sah. FKUB memberi jaminan, bila didirikan tidak ada yang demo atau merusak.

Jakarta sudah melakukan hal ini.

Sepanjang FKUB ada, Katolik itu baru lima yang mengajukan rekomendasi kepada FKUB, 3 sudah diberikan

rekomendasi, 2 belum karena persoalan di tingkat grassroot. FKUB terlibat dalam dialog dan demo. Dalam

kasus STT Arastamar, ada anggota FKUB yg hampir dibunuh karena hendak melerai, tapi hal seperti ini tidak

perlu dipublikasi. Dia mencoba yakinkan masyarakat, ‘Saya FKUB, saya ulama, jangan lakukan kekerasan’.

Untuk Kristen, 17 minta ijin, rekomendasi yang sudah diberikan 12. Gereja Kristen itu yang paling banyak.

Memang ada masalah-masalah di Jakarta Utara tapi belum masuk ke pusat. Kalau Vianey, berdasarkan

Kepgub masih akan seperti itu, FKUB sudah salurkan aspirasi ini, dari awal kita minta Kepgub 137 dihapus,

kasus Vianney, kasus di Jakarta Barat (Katolik), dan di Petukangan Utara (katolik) ada permainan di level

local. Ranah regulasi sudah selesai, tapi di lokal memang ada premanisme yang bermain sampai jalan untuk

membangun ditutup orang dan tidak ada tindakan. Jadi FKUB membuat rekomendasi, tidak hanya

rekomendasi tapi juga memfasilitasi dialog, menampung aspirasi dan menyalurkan aspirasi. FPI dan FUI tidak

pernah menyalurkan aspirasi lewat FKUB Jakarta. Untuk Buddha kita sudah beri 3 rekomendasi, masjid juga

3. Semua prosesnya sama. Dari 3 vihara yang mengajukan rekomendasi, 1 vihara bermasalah, tapi lebih ke

masalah internal sehingga ada kekuatiran dari Pemda.

Untuk Jakarta, persoalan tidak atau kurang terletak pada regulasi tapi pada tingkat lapangan sehingga perlu

sosialisasi. Yang selama ini dilakukan hanya mengumpulkan tokoh-tokoh elit, tapi pada masyarakat setempat

tidak dilakukan sehingga ada kebersamaan dalam menjaga rumah ibadat dimaksud.

Mayoritas Menjaga Kelangsungan Mayoritas, Minoritas Kuatir Penindasan Mayoritas

Penelitian ini menarik karena di Kementerian Agama sedang diteliti hal yang sama tapi lokasinya di Bali,

Kupang, Abepura, Kabupaten dan Kota Bogor, dan Tanggerang Selatan, yang kita lihat adalah apakah

perselisihan rumah ibadah karena regulasi atau non regulasi. Ternyata apa yang dialami itu sama dengan di

sini, begitu juga di Jayapura dan Abepura, data kami lengkap. Regulasi Negara terpenuhi, tapi ketika,

misalnya di Abepura tanah sudah dibeli pendatang dan dikonversi menjadi tempat ibadah, tapi berdasarkan

hukum adat disana harus dibeli juga dari Ketua Adat. Jadi memang dua-duanya perlu dilihat.

Mayoritas berkeinginan menjaga kelangsungan mayoritasnya dan minoritas selalu kuatir dengan penindasan

dari mayoritas, dan betul FKUB di berbagai daerah memang berbeda-beda dan hampir tidak ada apa-apanya,

di masyarakat tidak kuat, sedangkan di pemerintah setengah hati. Di Kupang, FKUB menjadi semacam juru

bicara untuk hal-hal krusial.

Page 27: Kontroversi Gereja Di Jakarta

26

Tentang otonomi daerah berkaitan agama, jelas bukan agama dalam pengertian pelayanan peribadatan,

yang diatur dan dilimpahkan adalah persoalan keaamanan, ketertiban dan kerukunan. Regulasi yang

berkaitan dengan hal tersebut bukan mengacu mengatur agama an sich. Terimakasih.

Page 28: Kontroversi Gereja Di Jakarta

27

DISKUSI

KONTROVERSI PENDIRIAN GEREJA DI JAKARTA DAN SEKITARNYA

Narasumber : Jeiry Sumampouw (PGI)

Sydney Jones (Peneliti ICG)

Ahmad Syafii Mufid (FKUB)

Nathanael G. Sumaktoyo (Tim Peneliti Yay. Paramadina)

Moderator : Ihsan Ali-Fauzi

Waktu : Pk. 15.23 – 16.15 WIB

Termin 1.

Pertanyaan

Penanya 1. Miriam Nainggolan (Anggota Gereja)

1. Terkait latar belakang, regulasi negara dan regulasi sosial, menurut saya masalah politik untuk kasus

Indonesia sangat penting, ada keterkaitan antara calon pemimpin daerah yang punya transaksi

politik sehingga ketika terpilih menjadi Kepala Daerah, ia melakukan pembatasan-pembatasan dalam

kebebasan beragama. Mohon ditambahkan.

2. Apakah peneliti coba mengidentifikasi masalah keagamaan sebelum dan sesudah reformasi karena

menurut saya signifikan. Hal lainnya, pak Ahmad katakan peran FKUB, di wilayah barat, tengah dan

timur ada kesamaan di mana mayoritas ingin mempertahankan kelangsungan sebagai mayoritas dan

minoritas kuatir mengalami penindasan oleh mayoritas, saya tidak mengerti apakah FKUB

menambah atau mengurangi persoalan? Apakah FKUBN masuk regulasi negara atau masuk regulasi

sosial? Bila Kepala Daerah lemparkan sampah ke FKUB, itu salahnya negara, kenapa kita menambah

keruwetan yang ada? Saya harap hasil penelitian yang baik ini bisa dimanfaatkan untuk advokasi,

sayang bila hanya untuk pengetahuan saya. Semoga bisa dilanjutkan dalam penelitian akan datang

agar informasi lebih lengkap dan mempermudah advokasi.

Page 29: Kontroversi Gereja Di Jakarta

28

Penanya 2. Favor Bancin - PGI

1. Dalam hasil analisa disebutkan ada kontradiksi di FKUB, kalau kita lihat kalimat di sini, FKUB jadi

masalah juga. Di beberapa daerah, menurut PBM, orang di FKUB berdasarkan komposisi warga, dan

ini larinya pada voting dan lama sekali prosesnya.

2. Nathan menceritakan pentingnya pendekatan budaya, saya merasa itu memang perlu disentuh.

Pertanyaannya adalah apakah sangat susah bagi minoritas mendapatkan haknya di negara ini?

Misalnya suatu saat, selain nugget, dirinya pun harus diberikan?

Penanya 3. Alay (Gusdurian)

1. Saya melihat ini sesuatu yang sudah dipiara, di daerah tertentu kalau partai ini menang maka

kebijakan lain, FKUB saya tidak tahu peranannya, menurut saya orang beribadah tidak perlu minta

ijin, memang Tuhan yang satu harus minta ijin ke Tuhan yang lain? Ukuwah Islamiyah menggebug

minoritas? Apakah ini ajaran Muhammad?

Penanya 4. Antonius (Lembaga)

1. Untuk indikator gereja bermasalah, kita bisa melihat berapa lama proses pendirian suatu gereja

terutama dalam hal perijinan, pembangunan fisik dan dana. Kasus gereja bermasalah dari puluhan

tahun lalu padahal kalau kita mengangkat kasus-kasus terakhir, ada juga gereja Katolik di Jakarta

yang mulus-mulus saja misalnya gereja Katolik di Pantai Indah Kapuk yang hanya berlangsung 2

tahun tetapi tidak diangkat. Maka ada pertanyaan, apakah tidak ada gereja yang tidak bermasalah

dalam 5-10 tahun terakhir?

2. Apakah tidak ada isu analisa dampak lingkungan terhadap kasus-kasus ini? Termasuk ketika ada

complain soal lahan parkir?

3. Tentang mayoritas menjaga kelangsungan mayoritas dan sebaliknya, ini ada hal yang subjektif, tapi

perlu juga dilihat kondisi objektif. Selama ini kita memberi ruang terlalu luas untuk persoalan

subjektif, tapi kondisi ruang objektif kurang diberi ruang. Peran polisi yang tegas akan sangat

membantu dan untuk tersedianya ruang objektif, maka polisi harus didorong.

Penanya 5. Iqbal (Pers)

1. Apakah ada kasus dimana minoritas bisa mendirikan rumah ibadah tanpa hambatan dari mayoritas

di tempat lain?

2. Soal waktu yang diperlukan untuk mendapat IMB sampai 10 tahun, perlu dicari tahu alasannya apa

sampai harus 10 tahun, dan bagaimana orang beribadah selama 10 tahun itu, apakah harus

beribadah pindah-pindah?

3. Apakah ada persoalan ABRI, atau aktor pemerintahan atau persoalan ada persoalan

ketidakmampuan negara.

Tanggapan Narasumber

Nathanael G. Sumaktoyo (Tim Peneliti Yay. Paramadina)

Kita tidak menspesifikan politik, tapi dimasukkan ke dalam regulasi negara misalnya dengan melihat

peran Walikota Bogor. Dalam banyak hal, banyak yang bisa masuk kategori regulasi negara dan regulasi

sosial. Soal pra dan pasca reformasi, memang banyak yang bilang jaman Soeharto lebih mudah, tapi

untuk menjawab apakah benar dulu lebih mudah itu juga mekanismenya beda. Jaman pak Harto

Page 30: Kontroversi Gereja Di Jakarta

29

pendirian lewat Laksusda dan pertimbangannya bukan citizenright tapi lebih ke keamanan sehingga

semua rumah ibadah yang diijinkan pasti akan dilindungi. Kalau sekarang, peran masyarakat juga dilihat.

FKUB kontradiktif karena punya posisi kritis juga untuk menghambat, tapi akibat birokrasi berbelit,

dengan rekomendasi pun tetap tidak bisa berdiri. Kalau FKUB dibubarkan, di mana pemuka agama

bertemu. Hanya karena ada kelemahannya, tidak berarti dibubarkan, tidak semua semudah itu kecuali

ada alternatif lain. Bisa jadi masalah tergantung orang-orang di dalamnya, bisa juga bagian dari solusi

misalnya FKUB Jakarta yang dianggap cukup positif.

Indikator gereja masalah, salah satu kesulitan terbesar adalah belum ada riset sebelumnya atau riset lain

sehingga kami harus desktop research dari awal, kami nge-poll katanya ‘si ini’ bermasalah dan

sebagainya, setelah itu kita turun ke lapangan untuk mengkonfirmasi. Mengenai lama proses perijinan

kita baru bisa tahu saat kita turun. Kita juga harus pertimbangkan disain awal penelitian juga. Rata-rata

gereja memang lama perijinannya. Ini bagian dari dinamika lapangan karena tidak selamanya yang ada di

informasi awal sesuai dengan kondisi lapangan.

Kasus minoritas bisa dirikan rumah ibadah, dalam kenyataan di Jabodetabek itu ada, dan kita bisa

berharap hal-hal yang sama di tempat lain. Ini akan kita lihat di penelitian selanjutnya.

Jeiry Sumampouw (PGI)

FKUB menjadi tidak efektif karena banyak anggota FKUB tidak paham FKUB itu apa, FKUB itu menurut

PBM memfasilitasi agar ijin keluar tanpa masalah, tapi orang FKUB tidak paham fungsinya. Spirit dan

substansi FKUB adalah mempermudah pengurusan ijin sehingga bila tidak keluar ijin maka negara harus

memfasilitasi sekelompok orang yang ingin beribadah. Soalnya disitu. FKUB menjadi lembaga yang

seolah-olah harus keluarkan ijin baru. Kalau proses mulus, sebenarnya tidak apa-apa tanpa FKUB. Kepala

Daerah seringkali tidak mau pusing dan serahkan semua ke FKUB. Kadang FKUB sudah

merekomendasikan tapi Kepala Daerah tidak menyetujui juga. Kalau konsisten dengan PBM, harusnya

iya.

FKUB perlu lebih disosialisasikan lagi kepada masyarakat, dan kepada FKUB sendiri. Harusnya tidak ada

pengambilan keputusan berdasarkan voting, apalagi ketua biasanya dari kalangan mayoritas, harusnya

lebih ke musyawarah.

Soal dampak lingkungan, dengan kasus-kasus terakhir, semua pendirian gereja di Jakarta sudah

memperhatikan hal-hal ini, ini mekanisme untuk menjamin lingkungan masyarakat tidak keberatan.

Sejauh yang saya tahu, lahan parkir pun dipikirkan karena sering itu yang menjadi problem. Jadi di

Jakarta, kalau ada gereja mau berdiri, biasanya sudah dipikirkan. Sering yang bermasalah adalah gereja-

gereja yang sudah berdiri sejak dulu dan yang sudah ada di daerah yang tidak memungkinkan untuk

memperluas lahan.

Sering proses pendirian gereja tidak pernah langsung jadi, biasanya memang lama, GKI Taman Yasmin

berproses dulu sebagai bakal jemaat dari GKI Pengadilan Bogor, dia berproses lama, ketika orang lebih

banyak baru dicari lahan, selama belum ada lahan kebaktian berlangsung sebagai bagian dari gereja lain.

Bajem ini menjadi gereja ketika umatnya banyak. Tidak ada gereja yang serta merta berdiri, dia harus

lihat umatnya ada atau tidak. Awalnya tidak dipersoalkan. Baru menjadi soal ketika hendak mendirikan

gereja, GKI Taman Yasmin bermasalah ketika hendak menjadi gereja mandiri.

Berkaitan dengan AMDAL, sering sudah dapat lahan dan dirikan rumah ibadah, tapi lama-lama umatnya

semakin banyak sehingga muncul problem parkir dan sebagainya dan ini sering tidak terprediksi. Ini

dinamika alami. Dengan lahan yang sama, tapi orangnya lebih banyak sehingga kadang lahan warga

terpakai.

Page 31: Kontroversi Gereja Di Jakarta

30

Kalau bicara perumahan, biasanya ada fasilitas umum dan fasilitas sosial, di Jakarta dan sekitarnya

seringkali gereja tidak kebagian, diambil semua oleh masjid. Di Rancaekekk ada 16 blok, tidak ada 1 blok

pun yang diberikan untuk gereja, semuanya untuk masjid. Jadi seringkali lahan yang didapat gereja, bila

bicara disain kompleks, tidak diperuntukan untuk tempat ibadah sehingga di kemudian hari bermasalah.

Problem-problem yang muncul memang tidak direncanakan. Yang menarik tentang GKI Taman Yasmin,

ia ada di jalan besar dua arah yang dipisahkan taman, di samping gereja ada lahan kosong dan rumah

sakit, di depannya lebih banyak lahan kosong, hanya ada Radar Bogor sedangkan perumahan ada di

bagian belakang. Sebenarnya hampir tidak ada penduduk di dekat situ tapi dipersoalkan, sehingga bukan

cuma tentang penduduk tapi lebih kepada politik suka atau ketidaksukaan (like and dislike).

Sidney Jones (Peneliti ICG)

Tentang pembagian tugas antara pusat dan daerah, benar yang dikatakan pak Syafii, ada fungsi untuk

Pemda. Tapi harus diakui bahwa masalah rumah ibadah adalah masalah intoleransi agama yang jauh lebih

besar dan perlu ada instruksi dari pusat, dari presiden, dan ada zero tolerance untuk aksi yang menghalangi

ibadah dan agama lain. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri justru mengajak FPI untuk diskusi, Fauzi

Bowo dan Kapolri justru ada dalam acara FPI. Seharusnya mereka berada bersama untuk menyelesaikan

masalah intoleransi agama.

Ahmad Syafii Mufid (FKUB – DKI JAKARTA)

FKUB adalah produk dari majelis-majelis agama, seperti yang dikatakan Jeiry, forum di mana para tokoh

agama bisa bertemu dan mendiskusikan persoalan-persoalan. Memang apa yang diidealkan tidak selalu

pas dengan realita. Banyak tokoh duduk di FKUB tapi tidak paham bina damai, resolusi konflik dan

sebagainya, tapi dari hari pertama didirikan persoalan-persoalan itu jalan masing-masing. Yang ingin

mengabdikan diri sebagai aktor perdamaian bisa saja. Sayang sekali ada kesempatan tapi tidak

dimanfaatkan untuk dialog konstruktif.

Posisinya memang betul antara masyarakat dan pemerintah, ada FKUB itu, misalnya gereja di Kampung

Duri, kami yang pertemukan pihak-pihak yang berselisih dan selesai di meja Wakil Gubernur dan

solusinya pun manis, tanpa keterlibatan seperti itu akan lama. Kalau idealnya FKUB itu sangat

diperlukan, tapi kalau seperti di Bekasi, memang wakil-wakil dari kelopmpok radikal masuk dan jadi

persoalan.

Mengenai ‘ibadah koq minta ijin?’ Itu tidak ada dan melanggar konstitusi. Ijin itu ijin mendirikan

bangunan termasuk rumah ibadah. Aliran menyimpang pun kalau tidak mengganggu masyarakat juga

tidak apa-apa. Kalau ijin ibadah itu pelanggaran konstitusi, kalau terjadi di Indonesia, di mana ia taruh

Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi? Ada harapan ke depan ketika dialog terus dibuka, dengan dialog

ada pengalaman-pengalaman yang bisa dibagikan. Masalah di pulau Seribu itu hampir terjadi kekerasan,

tapi kita bisa dialog, bisa minta tolong PGI dan bisa diselesaikan. Kita punya banyak pengalaman dan

catatan tentang itu, tapi sekali lagi yang diatur adalah ijin membangun rumah ibadah bukan ibadahnya

yang harus minta ijin.

Page 32: Kontroversi Gereja Di Jakarta

31

Termin 2.

Pertanyaan

Penanya 1. Edwin – FKUB Tangerang

1. Untuk Aturan 2 Menteri itu penting tapi harus selalu di evaluasi. Di Tangerang, kemajuannya adalah

rumah ibadah sudah cukup banyak yang direkomendasi. Ada yang belum diberi ijin karena

berbenturan dengan RT RW.

Penanya 2. Selwa – USU/Desentara

1. HKBP melakukan kekerasan juga dengan Parmalin. Sudah puluhan tahun HKBP menindas Parmalin.

Sebenarnya di Indonesia rumah ibadah tidak perlu dibangun. Negara tidak perlu mengurusi agama

dan agama-agama impor dibubarkan saja karena hanya menindas. Lembaga yang dibangun

pemerintah hanya untuk alat politik dan Departemen Agama juga hanya sarang korupsi, banyak

fatwa juga hanya menyesatkan. Agama impor menindas agama lokal sehingga agama impor

dibubarkan saja.

Tanggapan Narasumber

Ahmad Syafii Mufid (FKUB – DKI Jakarta)

Saya ingat ibu Lia Amanudin atau Lia Eden dengan komunitasnya, itu sama dengan membubarkan semua

agama itu dan itulah kekacauan terhadap agama. Tapi bagus untuk evaluasi, agama jadi identitas yang

memisahkan satu dengan yang lain, itu esensinya. Yang jadi persoalan, regulasi ini penting, saya ingatkan

kenapa ada SKB 1 tahun 69, itu karena di Aceh, Padang, dan Makasar terjadi pengrusakan dengan

identitas agama, regulasi ini diperharui menjadi PBM tahun 2006. Kalau FKUB Tangerang, memang ada

banyak masalah, apalagi Tangerang sudah dibagi-bagi. Di sini, saya kira teman-teman harus melihat

Tangerang dalam peta kekerasan, apa bedanya dengan Bekasi dan Bogor? Bukankah Tangerang juga

tempat salah satu sumber yang berperan dalam kekerasan karena Pamulang juga ada di ring Banten,

bagaimana dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi?

Tentang FKUB, di mana-mana memang jangankan FKUB, dewan penasihat FKUB yang diketuai Wakil

Bupati/Walikota, belum tentu tahu apa yang dimaksud dengan FKUB. Ijin RT/RW itu terkait persyaratan

khusus, harusnya dari kecamatan dan kelurahan. RT/RW tidak perlu teken, cukup Lurah dan Camat.

Urusannya begini, 90 orang pengguna lampirkan KTP yang dilegalisir lurah, bukan RT/RW, kalau lurah

minta RT/RW itu mempersulit. Kalau tidak satu kelurahan, legalitasnya diberikan oleh Camat. Yang 60

juga unit analisisnya adalah kelurahan. Kalau Lurahnya tidak mau bisa dibawa ke PTUN.

Sydney Jones (Peneliti ICG)

Saya kembali ke soal ‘apa boleh buat kalau dihalangi terus menerus di daerah?’, yaitu instansi baru yang

bisa langsung bertindak kalau ada pengaduan dari masyarakat. Ombudsman dan Komnas dalam urusan-

urusan ini tidak berfungsi, mungkin perlu sebuah biro atau desk di Menkopolhukam, karena di sana ada

wewenang untuk berkoordinasi dengan Presiden dan juga berhubungan dengan keamanan.

Waktu kita bikin laporan kristenisasi memang kami temukan soal PBM didiskusikan, orang Hindu di Bali

dan Kristen di Papua, mereka takut karena dibanjiri orang Islam. Tapi memang benar ada masalah dan

Page 33: Kontroversi Gereja Di Jakarta

32

riset dari semua lembaga menunjukkan masalah intoleransi meningkat dan tidak ada solusi kecuali

tindakan tegas dari pusat.

Jeiry Sumampouw (PGI)

Soal Parmalin, ini memang pergumulan PGI juga, sudah beberapa kali pimpinan PGI melakukan

pendekatan dengan HKBP tapi masih tetap saja. Relasi PGI memang bukan relasi struktural, jadi ini

pergumulan kita dan mohon didoakan. Soal rumah ibadah ini bukan saja Kristen-Islam, tapi bisa juga

agama-agama lain. Menarik bila data penelitian Depag bisa dibagi ke PGI sebagai bahan masukan.

Kita harapkan negara konsisten terapkan aturan, kita kuatirkan lama-lama warga gereja menjadi tidak

sabar dan ini bisa lebih runyam, sehingga yang punya otoritas perlu lakukan penegakan hukum dengan

konsisten karena semakin rawan, bukan saja berefek ke tempat lain, tapi juga berefek pada jemaat

sendiri karena bisa semakin parah.

Penutup

Atas nama tim peneliti dan CRCS kami ucapkan terimakasih pada semuanya, semoga kita memperoleh

manfaat yang banyak dari pertemuan ini.

Page 34: Kontroversi Gereja Di Jakarta

33

Page 35: Kontroversi Gereja Di Jakarta

34

Page 36: Kontroversi Gereja Di Jakarta

35