kontaminasi organoklorin persisten dalam … · kimia yang sedikitnya mempunyai satu ikatan...

14
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005 ISSN 0125 - 9830 No. 37 : 1 - 14 KONTAMINASI ORGANOKLORIN PERSISTEN DALAM KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN INDONESIA oleh AGUS SUDARYANTO 1) , MUSWERRY MUCHTAR 2) , HAMIDAH RAZAK 2) , DAN SHINSUKE TANABE 1) ABSTRAK Senyawa organoklorin (OCs), seperti PCB (polychlorinated biphenyls) dan pestisida organoklorin (DDT= dichloro diphenyl trichloroethane, CHL= chlordane, HCH= hexachlorocyclohexanes, HCB= hexachlorobenzene) ditentukan dalam kerang hijau (Perna viridis) dari berbagai perairan pantai Indonesia untuk mengetahui distribusi dan status kontaminasinya serta kemungkinan sumber pencemarannya. OCs terdeteksi di kerang hijau dari semua lokasi pengambilan sampel, menunjukkan penyebaran penggunaan dan kontaminasinya sepanjang pantai Indonesia. Secara umum, pola akumulasi OCs di kerang menurut urut-urutan sebagai berikut DDT>PCB>CHL>HCH>HCB. Perbandingan secara global, level kontaminasi OCs di perairan pantai Indonesia relatif rendah seperti halnya dikebanyakan negara Asia berkembang lainnya, dimana relatif tidak memperlihatan perhatian yang serius dibanding dengan level yang sama di negara maju. Perkiraan intake harian PCB dan DDT pada orang di Indonesia juga masih jauh lebih rendah dari intake harian yang masih diperbolehkan (ADI). Akan tetapi, perhatian perlu ditujukan pada daerah yang padat kegiatan industri dan populasi penduduknya, seperti Jakarta dan Surabaya pada kemungkinan peningkatan masukan PCB dari aktivitas manusia di kemudian hari. Selanjutnya, kontaminasi pestisida organoklorin, seperti DDT dan HCH ditemukan di lingkungan dan telah mengkontaminasi perairan pantai Indonesia. Karena itu kesinambungan monitoring sangat diperlukan untuk mengetahui kecenderungan peningkatan kandungannya, bersama-sama dengan program untuk mengeliminasi persisten organik polutan ke lingkungan. ABSTRACT PERSISTENT ORGANOCHLORINES CONTAMINANT IN GREEN MUSSELS (Perna viridis) FROM INDONESIAN WATERS. Organochlorine compounds (OCs), such as PCB (polychlori- nated biphenyls) and organochlorine pesticides (DDT= dichloro diphenyl trichloroethane, CHL- chlor- dane, HCH= hexachlorocyclohexanes, HCB= hexachlorobenzene) were determined in green mussels (Perna viridis) from various location in Indonesian coastal waters to elucidate the contamination status, distribution and its possible sources. OCs were detected in green mussels collected from all the sampling location investigated, suggesting widespread used and contamination of OCs along the coastal waters of Indonesia. In general, accumulation pattern of OCs in the order of DDT>PCB>CHL>HCH>HCB. From the perspective of global comparison, level contamination of OCs in Indonesia were considered low as well as to those in South Asian countries, which is relatively not of serious concern at present. Estimation of daily intake of PCB and DDT were also still much lower than those of acceptable daily intake (ADI) for PCB and DDT. However, concern must be taken into account in the area of rapid industrialization and population growth such in Jakarta and Surabaya, where indicate possible increase in the future loading of PCB coming from anthropogenic source. In addition, the pollution of organochlorine pesticides, such as DDT and HCH still remain in the environment and have contaminated to the coastal waters of Indonesia. It is therefore, continuos monitoring are necessary to understand its temporal trend together with action plan for eliminate persistent organic pollutant to the environment. 1 Center for Marine Environmental Studies, Bunkyo-cho 2-5, Matsuyama 790-8577, Japan. 2 Puslit Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, JL. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta Utara sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

Upload: vuongque

Post on 14-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005 ISSN 0125 - 9830 No. 37 : 1 - 14

KONTAMINASI ORGANOKLORIN PERSISTEN DALAM KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN INDONESIA

oleh

AGUS SUDARYANTO1), MUSWERRY MUCHTAR2), HAMIDAH RAZAK2), DAN SHINSUKE TANABE1)

ABSTRAK

Senyawa organoklorin (OCs), seperti PCB (polychlorinated biphenyls) dan pestisida organoklorin (DDT= dichloro diphenyl trichloroethane, CHL= chlordane, HCH= hexachlorocyclohexanes, HCB= hexachlorobenzene) ditentukan dalam kerang hijau (Perna viridis) dari berbagai perairan pantai Indonesia untuk mengetahui distribusi dan status kontaminasinya serta kemungkinan sumber pencemarannya. OCs terdeteksi di kerang hijau dari semua lokasi pengambilan sampel, menunjukkan penyebaran penggunaan dan kontaminasinya sepanjang pantai Indonesia. Secara umum, pola akumulasi OCs di kerang menurut urut-urutan sebagai berikut DDT>PCB>CHL>HCH>HCB. Perbandingan secara global, level kontaminasi OCs di perairan pantai Indonesia relatif rendah seperti halnya dikebanyakan negara Asia berkembang lainnya, dimana relatif tidak memperlihatan perhatian yang serius dibanding dengan level yang sama di negara maju. Perkiraan intake harian PCB dan DDT pada orang di Indonesia juga masih jauh lebih rendah dari intake harian yang masih diperbolehkan (ADI). Akan tetapi, perhatian perlu ditujukan pada daerah yang padat kegiatan industri dan populasi penduduknya, seperti Jakarta dan Surabaya pada kemungkinan peningkatan masukan PCB dari aktivitas manusia di kemudian hari. Selanjutnya, kontaminasi pestisida organoklorin, seperti DDT dan HCH ditemukan di lingkungan dan telah mengkontaminasi perairan pantai Indonesia. Karena itu kesinambungan monitoring sangat diperlukan untuk mengetahui kecenderungan peningkatan kandungannya, bersama-sama dengan program untuk mengeliminasi persisten organik polutan ke lingkungan.

ABSTRACT PERSISTENT ORGANOCHLORINES CONTAMINANT IN GREEN MUSSELS (Perna

viridis) FROM INDONESIAN WATERS. Organochlorine compounds (OCs), such as PCB (polychlori-nated biphenyls) and organochlorine pesticides (DDT= dichloro diphenyl trichloroethane, CHL- chlor-dane, HCH= hexachlorocyclohexanes, HCB= hexachlorobenzene) were determined in green mussels (Perna viridis) from various location in Indonesian coastal waters to elucidate the contamination status, distribution and its possible sources. OCs were detected in green mussels collected from all the sampling location investigated, suggesting widespread used and contamination of OCs along the coastal waters of Indonesia. In general, accumulation pattern of OCs in the order of DDT>PCB>CHL>HCH>HCB. From the perspective of global comparison, level contamination of OCs in Indonesia were considered low as well as to those in South Asian countries, which is relatively not of serious concern at present. Estimation of daily intake of PCB and DDT were also still much lower than those of acceptable daily intake (ADI) for PCB and DDT. However, concern must be taken into account in the area of rapid industrialization and population growth such in Jakarta and Surabaya, where indicate possible increase in the future loading of PCB coming from anthropogenic source. In addition, the pollution of organochlorine pesticides, such as DDT and HCH still remain in the environment and have contaminated to the coastal waters of Indonesia. It is therefore, continuos monitoring are necessary to understand its temporal trend together with action plan for eliminate persistent organic pollutant to the environment.

1 Center for Marine Environmental Studies, Bunkyo-cho 2-5, Matsuyama 790-8577, Japan. 2 Puslit Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, JL. Pasir Putih 1, Ancol Timur,

Jakarta Utara

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et al.

PENDAHULUAN

Salah satu konsekuensi dari kemajuan teknologi saat ini, adalah meningkatnya produksi dan penggunaan bahan kimia untuk keperluan manusia baik industri, pertanian dan rumah tangga. Kenyataan ini juga menyebabkan emisi sejumlah besar bahan kimia beracun ke lingkungan yang pada akhirnya juga meningkatkan ekspos bahan-bahan kimia ini ke tubuh manusia dan hewan. Karena itu, masalah lingkungan yang berkaitan dengan kontaminan beracun telah menjadi perhatian yang amat besar bagi banyak kalangan.

Salah satu kelompok bahan kimia beracun ini adalah organoklorin, suatu bahan kimia yang sedikitnya mempunyai satu ikatan klorin-karbon pada strukturnya. Hampir seluruh bahan kimia ini adalah bahan sintetik buatan manusia (man-made), daripada hadir secara alamiah, tetapi telah dapat dijumpai di hampir seluruh kompartemen lingkungan, mulai dari udara, danau, lautan, tanah, sedimen, binatang termasuk manusia di hampir seluruh bagian dunia. Akhir-akhir ini beberapa senyawa organoklorin (OCs), seperti 1,1,1-trichloro-2,2-bis (p-chlorophenyl) ethane (DDT), poly chlorinated biphenyls (PCBs) dan dioksin telah diduga mempunyai sifat-sifat estrogenik dan dapat mengganggu atau mencegah kinerja hormon estrogen alami pada manusia (SOTO et al. 1994). Beberapa pengaruh negatif dari OCs yang pernah dilaporkan (JONES & VOOGT 1999), diantaranya seperti DDE, metabolit DDT, dapat menyebabkan penipisan cangkang telur dan penurunan potensi reproduksi burung pemangsa ikan. LOWE (1965) melaporkan konsentrasi DDT dalam air sebesar 0,5 ug/1 mengakibatkan fatal pada juvenil kepiting (Calinectes sapidus), begitupula BUTLER (1966) mengamati bahwa DDT dalam air laut akan terkonsentrasi mencapai 25.000 kali lebih besar dibandingkan air laut sekitarnya dalam 10 hari. Residu senyawa OCs juga telah menurunkan top predator tertentu di area tertentu, seperti penurunan populasi anjing laut (harbour seals) di Laut Utara, burung elang (white-tailed eagles) di Baltik dan burung jenis piscivo rous di Great Lakes. Gangguan reproduksi akibat OCs, khususnya PCB, juga terlihat pada anjing laut di Laut Baltik dan Laut Wadden, Belanda; dan pada paus (Beluga whales) di estuari St. Lawrence. Diantara implikasi sekian banyak bahan kimia OCs, yaitu berkaitan dengan hormon sex dan gangguan sistem endokrin di manusia dan binatang. Lebih lanjut, banyak senyawa OCs dicurigai sebagai senyawa karsinogenik. Pengaruh negatif OCs juga melebar pada perusakan sistem imun/kekebalan pada spesies puncak pemangsa, meningkatkan kerentanan untuk terserang penyakit dan pengaruhnya pada pola tingkah laku. Oleh karena berbagai efek negatif yang ditimbulkannya, senyawa-senyawa ini telah dilarang dalam produksi dan penggunaannya di negara-negara maju (TAYAPUTH 1996). Akan tetapi, pestisida organoklorin masih banyak digunakan di negara-negara berkembang untuk keperluan pertanian dan kesehatan publik, seperti pembasmian nyamuk vektor malaria (DAVE 1996). Studi-studi di beberapa negara Asia berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan kehadiran yang signifikan dari senyawa-senyawa ini diberbagai kompartemen lingkungan, meliputi udara, air, tanah, sedimen, biota laut dan manusia (RAMESH et al. 1990; THAO, 1993;IWATA et al. 1993;IWATA et al. 1994; KANNAN et al. 1995; KAN-ATIREKLAP et al. 1997; 1998; MONIRITH et al. 2000; HILLEBRAND et al 1989, BOON et al. 1989; RAZAK 1991,1994; 1995, 2004; RAZAK & MUNAWIR 1994). Lebih jauh, telah dicatat bahwa pestisida OCs yang digunakan di negara-negara tropik telah disebarkan secara global melalui transportasi atmosfer dan telah diendapkan di daerah beriklim

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

KONTAMINASI ORGANOKLORIN

dingin (IWATA et al. 1994). Dengan demikian, studi monitoring kontaminasi senyawa ini di lingkungan dirasakan sangat penting untuk mengantisipasi masalah pencemaran secara global, termasuk di Indonesia.

Sementara itu bivalva, seperti halnya kerang telah digunakan sebagai bioindikator untuk memonitor senyawa-senyawa beracun di lingkungan perairan laut dikarenakan oleh distribusi penyebarannya yang luas, mempunyai sifat hidup menetap, mudah untuk disampling, mempunyai toleransi yang luas terhadap salinitas, tahan terhadap tekanan dan tingginya akumulasi berbagai bahan kimia (GOLDBERG et al. 1978). Di Asia Pasifik, kerang hijau (Perna viridis) tersebar di sepanjang pantai, dan dikenal sebagai produk seafood yang penting (VAKILY 1989), termasuk di Indonesia.

Studi ini mencoba untuk memperoleh gambaran tentang status kontaminasi senyawa organoklorin (OCs) di perairan pantai di Indonesia. Konsentrasi PCB (poly-chlorinated biphenyls) dan pestisida organoklorin, seperti DDT, HCH (Hexachlorocyclohexanes), CHL (Chlordane) dan HCB (Hexachlorobenzene) dideterminasi pada jaringan tubuh kerang hijau (Perna viridis) yang dikoleksi dari beberapa lokasi. Hasil-hasil dari studi ini dibandingkan dengan hasil pengamatan di negara lain untuk memperoleh gambaran besarnya tingkat pencemaran di Indonesia. Intake harian OCs ke orang Indonesia melalui konsumsi kerang sebagai produk sea-food juga diestimasi berdasarkan rata-rata konsumsi ikan per orang per hari dan hasilnya dibandingkan dengan nilai intake harian yang diperbolehkan (ADI) yang direkomendasikan oleh FAO/WHO (FAO/WHO 1986).

METODA PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Pengambilan Sampel Kerang hijau (Perna viridis) dikoleksi dari beberapa lokasi di perairan pantai

Indonesia (Gambar 1), meliputi Belawan (Medan), Teluk Hurun (Lampung), Teluk Lada (Panimbang), Teluk Jakarta (Kamal, Ancol dan Cilincing), Bondet (Cirebon), Genjeran (Surabaya) dan Maros (Ujung Pandang). Sampling pengambilan sampel dilakukan pada periode Juli - November 1998, dengan area survei difokuskan pada daerah urban, pelabuhan, marina, aquakultur dan rekreasi pantai.

Lebih dari 20 individu kerang dikoleksi pada setiap lokasi pengambilan sampel. Kerang utuh beserta cangkangnya disimpan dalam es bok dan dibiarkan dalam keadaan beku untuk mempertahankan kesegarannya. Kemudian sampel kerang beku ditransportasikan ke laboratorium Kimia Lingkungan dan Ekotoksikologi, Universi-tas Ehime, Jepang untuk pengukuran biometrik, homogenisasi sampel dan analisis kimia. Pengukuran biometrik kerang dilakukan dengan mengukur panjang - berat cangkangnya. Selanjutnya seluruh daging kerang dilepaskan dari cangkangnya dan dikumpulkan untuk setiap lokasi sampling (>20 individu kerang) dan kemudian dihomogenisasi sampai menghasilkan sampel yang lembut dan teraduk rata menggunakan homogenizer. Seluruh homogenisasi sampel disimpan dalam gelas yang bersih dan disimpan dalam cold storage pada suhu -20 °C sampai analisis kimia. Detail data biometrik, lokasi dan waktu pengambilan sampel kerang dapat dilihat pada Tabel 1.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et al.

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan kerang hijau (Perna viridis) dari perairan Indonesia, 1998.

Figure 1. Map showing sampling location of green mussel (Perna viridis) from coastal waters of Indonesia, 1998.

Tabel 1. Data biometrik kerang hijau (Perna viridis) dibeberapa perairan Indonesia, 1998.

Table 1. Biometrical data of green mussel (perna viridis) collected from coastal waters of Indonesia, 1998

Note : values in parentheses indicate the range, n= number of pooled samples.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

KONTAMINASI ORGANOKLORIN

Analisis Organoklorin

Analisis pestisida organoklorin dan PCB mengikuti prosedur yang dilakukan KAN-ATIREKLAP et al. (1997). Secara ringkas, sample diaduk rata dengan an-hydrous sodium sulfat untuk menghilangkan sisa air, kemudian lakukan ekstraksi dalam Soxhlet dengan menggunakan campuran pelarut diethyl eter dan hexan (3:1) selama 7 jam. Hasil ekstrak dari soklet lalu dipekatkan dengan menggunakan alat KD (Kuderna-Danish,) kemudian sub sample diambil untukpenentuan kadar lipid dengan memanaskannya pada suhu 80°C. Dalam analisa untuk menghilangkan kadar lipid pelarut hasil ekstrak dilewatkan kedalam kolom yang berisi 20 g Florisil. (Florida Co. USA). Organoklorin yang terikat pada Florisil dilewatkan lagi dengan campuran 120 ml acetonitrile dan 30 ml air (yang telah dipurifikasi dengan hexane). Eluen di tampung pada separatory funnel yang mengandung 100 ml hexane dan 600 ml air (yang telah dipurifikasi dengan hexane). Setelah pengocokan, lapisan hexane dikonsentrasikan menjadi 6 ml dan dipurifikasi dengan volume seimbang dari asam sulfur terkonsentrasi. Hasil purifikasi ekstrak, difraksinasikan dengan 12 g Florisil basah dalam gelas kolom. Fraksi pertama, dilalukan dengan hexane, mengandung PCB,HCB,p,p'-DDE dan trans-nonachlor. Fraksi kedua dilalukan dengan 20% dichloromethane dalam hexane, mengandung HCH (α,β,γ-isomer), p,p'-DDD, p,p'-DDT dan CHLs (cis- chlordane, trans-chlordane, cis-nonachlor, trans -nonachlor dan oxychlordane). Solven final dipekatkan, kemudian cleaned up dengan asam sulfat dan terakhir dikuantifikasi dengan GC-ECD (Gas Chromatog-raphy-Electrone Capture Detector). Kuantifikasi pestisida organoklorin menggunakan gas chromatography (Hewlett-Packared 5890 series II) dengan peralatan detektor penangkap elektron 63Ni (GC-ECD) dan port injeksi tipe mov-ing needle-type. Kolom tersusun dari fused silica capillary column (30 m x 0.25 mm id) yang dilapisi dengan 100 % dimethyl polysiloxane stationary phase (J & W Scientific Co., USA). Sedangkan PCB dikuantifikasi melalui GC-ECD dengan peralatan fused silica capillary column (30 m x 0.25 mm id) yang dilapisi dengan SE-54 (Supelco, Inc., PA, USA). Temperatur oven diprogram mulai dari 60°C (selama 1 menit) menuju 160°C (selama 10 menit) pada laju 20°C dan kemudian menuju 260 °C dan 300°C. Sebagai gas penghantar digunakan Helium, sementara sebagai make-up gas digunakan Nitrogen. Konsentrasi total PCB dalam sampel dikuantifikasi dengan menj umlahkan individual puncak area yang ekuivalen dengan campuran dalam Aroclor (PCB 1016:1242:1254:1260) dengan komposisi dan kandungan PCB yang telah diketahui (DUINKER et al. 1988). Pestisida organoklorin dikuantifikasi dengan membandingkan puncak area dari sampel dengan puncak area dari standard. Prosedural blanko dilakukan setiap set analisis dari 5 sampel untuk memeriksa kontaminasi sekunder dari pelarut. Konsentrasi senyawa organoklorin dinyatakan sebagai ng/g berat basah.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et al.

Perhitungan Intake Harian

Intake harian OCs, khususnya PCB dan DDT diperkirakan melalui konsentrasi PCB dan DDT di kerang dan berdasarkan konsumsi orang makan ikan rata-rata per hari per kapita. Konsumsi orang makan ikan rata-rata per hari per kapita di Indone-sia diperoleh berdasarkan data dari FAO/WHO (1997). Nilai intake harian kemudian dibandingkan dengan nilai intake harian yang diperbolehkan (ADI=Acceptable Daily Intake) berdasarkan rekomendasi FAO/WHO (1986).

HASIL DAN PEMBAHAS AN

Persisten senyawa organoklorin (OCs) terdeteksi di seluruh homogenisasi kerang dari seluruh lokasi pengambilan sampel di perairan pantai Indonesia. Penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa PCB dan pestisida organoklorin juga terdeteksi di kompartemen lain, seperti air dan sedimen di perairan pantai Indonesia (HILLEBRAND et al. 1989, BOON et al. 1989, RAZAK 1991; 1995; RAZAK & MUNAWIR 1994, RAZAK & INDRA 2004). Hasil ini menguatkan indikasi adanya penyebaran penggunaan OCs dan kontaminasinya di perairan pantai di Indonesia, serta akumulasinya telah mencapai biota laut, seperti kerang. Secara umum, konsentrasi OCs di kerang dari berbagai lokasi di Indonesia masih tergolong rendah dengan sedikit variasi tergantung lokasi, menunjukkan lokal penggunaannya di Indonesia. Tabel 2 menampilkan konsentrasi PCB dan pestisida organoklorin (DDT, CHL, HCH, HCB) pada saat pengamatan.

Diantara senyawa organoklorin yang diamati, secara umum DDT merupakan senyawa yang paling tinggi dan hampir sama dengan konsentrasi PCB di kerang disusul berturut-turut CHL>HCH>HCB. Gambar 2 menunjukkan kisaran dan rata-rata OCs yang terdeteksi di kerang dari perairan pantai Indonesia pada saat pengamatan. Sementara distribusi OCs dimasing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Konsentrasi total DDT (SDDT= p,p'-DDT+p,p'-DDD+p,p'-DDE) berkisar antara 0,10-3,1 ng/g. Konsentrasi yang paling tinggi ditemukan di Bondet- Cirebon (3,1 ng/g) disusul Genjeran-Surabaya (1,5 ng/g) dan Teluk Lada (1,2 ng/g). Sementara lokasi lain lebih rendah, berkisar antara 0,30 ng/g (Belawan) sampai 0,90 ng/g (Ancol). Meskipun di Indonesia penggunaan DDT untuk tujuan pertanian telah dilarang semenj ak tahun 1974, dan penggunaan terbatas dilakukan oleh Departemen Kesehatan untuk memberantas vektor penyakit malaria sampai akhir tahun 1995, terdeteksinya DDT di kerang dari berbagai lokasi menunjukkan penyebaran emisi DDT ke perairan pantai di Indonesia dan merefleksikan kemungkinan masih digunakannya DDT di masyarakat.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

KONTAMINASI ORGANOKLORIN

Tabel 2. Konsentrasi organoklorin (ng/g berat basah) dalam kerang hijau (Perna viridis) di perairan Indonesia, 1998.

Table 2. Concentration of organochlorines (ng/g wet wt) in green mussels (Perna viridis) collected from coastal waters of Indonesia, 1998.

Note : < = less than detection limit (0.01 ng/g wet wt for DDT, HCH, CHL and HCB; 0.1 ng/g wet wt for PCB)

0.01 0.10

Concentration (ng/g wet wt)

Gambar 2. Kisaran dan rata-rata konsentrasi organoklorin dalam kerang hijau (Perna viridis) dari perairan Indonesia, 1998,

Figure 2. Range and mean concentrations of organochlorines in green mussels (Perna viridis) collected from coastal waters of Indonesia, 1998 (.... = less than detection limit).

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et a/.

Gambar 3. Distribusi konsentrasi orgaanoklorin dalam kerang hijau (Perna viridis) di perairan Indonesia, 1998.

Figure 3. Distribution of organochlorines concentrations in green mussels (Perna viridis) collected from coastal waters of Indonesia, 1998.

20 40 60

Composition (%)

Gambar 4. Komposisi senyawaDDT dalam kerang hijau (Perna viridis) di Perairan Indonesia.

Figure 4. Composition of DDT compounds in green mussels (Perna viridis) collected from coastal waters of Indonesia, 1998.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

KONTAMINASI ORGANOKLORIN

Dari hasil pengamatan komposisi DDT di kerang (Gambar 4), p,p'-DDE lebih dominan dibanding dengan p,p'-DDT dan p,p'-DDD. Hal ini seperti disebutkan TANABE et al. (1998) menunjukkan kemampuan transformasi p,p'-DDT yang besar ke p,p'-DDE. Hal yang sama ditemukan pada kerang dari Thailand (KAN-ATIREKLAP et al. 1997) dan Philipina (PRUDENTE et al. 1999).Disamping itu, tingginya komposisi p,p'-DDE menunjukkan persistensinya senyawa ini di perairan Indonesia. DDT merupakan senyawa yang tahan terhadap proses degradasi fisiokimiawi maupun biologi di lingkungan. Dilain pihak, oleh karena p,p'-DDT merupakan konstituen yang utama (80 %) dalam teknikal campuran DDT (TANABE et al. 1998), maka relatif tingginya komposisi p,p'-DDT disampel kerang dari Maros mungkin juga menunjukan masih adanya input baru DDT ke perairan. Seperti yang telah disebutkan di atas, input baru ini kemungkinan dapat berasal dari stok DDT yang masih beredar di masyarakat Bila dibandingkan dengan konsentrasi DDT yang ditemukan dalam kerang dari berbagai negara (Tabel 3), konsentrasi DDT dalam kerang dari Indonesia relatif hampir sama dengan yang ditemukan dalam kerang dari Philipina (0,19 - 4,2 ng/g). Konsentrasi ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Vietnam (2,7 - 340 ng/g), Thailand (1,2-38 ng/g), India (0,93 - 40 ng/g), Hong Kong (7,5-1044 ng/g), dan Jepang (5,0-7,8 ng/g). Penelitian DDT dalamkerang (Meretrix meretrix) yang dilakukan pada tahun 2004 diperairan Teluk Jakarta ditemukan dengan kisaran antara 0,176-2,254 ng/g.

Table 3. Konsentrasi senyawa organoklorin (ng/g, berat basah) dalam mussel dari beberapa negara di Asia.

Table 3. Concentration of organochlorines compounds (ng/g wet.wt) in mussels from various Asian countries.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et al.

Sementara itu konsentrasi PCB berkisar antara <0,10-2,7 ng/g. Diantara lokasi pengamatan, kerang yang dikoleksi dari Teluk Jakarta dan Surabaya menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi berkisar antara 1,9-2,7 ng/g. Level ini mungkin merefleksikan lebih tingginya kontaminasi PCB pada daerah yang populasi dan industrinya padat. Hal yang sama terjadi seperti pengamatan di beberapa negara lain, seperti Thailand (KAN-ATIREKLAP et al. 1997) dan Philipina (PRUDENTE et al. 1999). Seperti diketahui, PCB banyak digunakan dalam industri dan rumah tangga sebagai fluida penghantar panas, solven, organik diluen, fluida dielektrik,pendingin dan pelumas pada transformer dan peralatan elektrik lainnya, sebagai fluida hidraulik, plastisizer dan dye carriers. PCB juga dihasilkan dan diemisikan ke lingkungan sebagai hasil samping dari manufakturing bahan kimia dan insinerasi. Sementara itu, lokasi daerah lain yang mempunyai populasi relatif jarang dan sedikit kegiatan industri, konsentrasi PCB lebih rendah dengan kisaran <0,10-0,90 ng/g; mengindikasikan input ke perairan yang minimal. Bila dibandingkan dengan tingkat pencemaran dari negara lain (Tabel 3), seperti Philipina (0,69-36 ng/g), Thailand (<0,10-20 ng/g), India (0,31-15 ng/g), Hong Kong (<9,6-300 ng/g) dan Jepang (94-164 ng/g), level konsentrasi PCB di kerang dari Indonesia masih lebih rendah.

Penelitian pestisida dalam kerang di Indonesia sangat jarang sekali mengingat bahan kimia dan standarnya yang mahal. Konsentrasi DDT dalam kerang (Meretrix meretrix) yang pernah diamati pada tahun 2004 diperairan sekitar sungai Citarum-Teluk Jakarta diperoleh kisarannya lebih rendah ( 0,176-2,254 ng/g) ( RAZAK et al. 2004) dibandingkan penelitian ini.

Konsentrasi pestisida organoklorin lain, seperti CHL, HCH dan HCB relatif seragam di antara lokasi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Tabel 3). Level konsentrasi CHL di kerang dari Indonesia (0,10-0,50 ng/g) lebih rendah dari Thai-land (0,25-6,0 ng/g), Philipina (0,10-2,8 ng/g), India (0,01-2,0 ng/g) dan Jepang (4,8-6,5 ng/g). Sedangkan HCH (0,01-0,10 ng/g) relatif sama dengan yang ditemukan di Thailand (0,01-0,33) dan Philipina (0,01-0,20), tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan India (1,5-12 ng/g), Hong Kong (<4,8-34 ng/g) dan Jepang (0,06-0,30 ng/g); Sedangkan HCB (0,01-0,03 ng/g) ditemukan relatif sama di Thailand (0,01-0,20 ng/g), Philipina (0,01-0,04 ng/g), India (0,01-0,38 ng/g) dan Jepang (0,04-0,07 ng/g). Dengan demikian, pestisida selain DDT, yaitu CHL, HCH dan HCB juga telah digunakan di Indonesia, dimana emisinya telah menyebar di beberapa lokasi perairan pantai meskipun dalam konsentrasi yang rendah. CHL adalah pestisida yang umumnya digunakan untuk memberantas rayap, HCB digunakan sebagai fungisida pada biji-bijian dan sebagai bahan kimia intermediate pada manufaktur solven dan dyes, disamping itu HCB juga dihasilkan sebagai limbah sampingan atau impuriti pada pembuatan pestisida dan plastik. Sedangkan HCH secara luas digunakan sebagai insektisida untuk melindungi benih.

Rendahnya HCH dan HCB di kerang dibanding dengan pestisida organoklorin lain, seperti DDT kemungkinan karena sifat volatilisasi HCH dan HCB yang relatif tinggi dibanding dengan PCB, DDT dan CHL (IWATA et al. 1994). Karena itu, HCB dan HCH yang diemisikan di daerah tropis yang mempunyai temperatur udara

10

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

KONTAMINASI ORGANOKLORIN

tinggi cenderung di-redistribusikan secara global, sementara PCB, DDT dan CHL yang rendah folatilisasinya lebih cenderung tinggal disekitar sumber pencemarnya (WANIA& MACKAY 1996). Relatif rendahnya konsentrasi HCH dan HCB juga ditemukan dari beberapa negara Asia tropis lain (Tabel 3) kecuali India, karena India merupakan salah satu produsen α-HCH di dunia, dimana produksinya mencapai 15.099 ton pada tahun 1980, 19.880 ton pada tahun 1990 (LI et al. 1996) dan 32.026 ton pada periode 1994-1995 (Dave 1996).

Kontaminasi kerang oleh senyawa organoklorin, khususnya PCB dan DDT mungkin memberikan kontribusi akumulasinya ke manusia melalui konsumsi. Kerang juga merupakan salah satu sumber protein hewani utama selain ikan. Estimasi maksimum intake harian dari PCB dan DDT dari konsumsi kerang di Indonesia (berdasarkan rata-rata konsumsi ikan harian sebesar 37 g/orang/hari (FAO 1997) dan konsentrasi PCB dan DDT yang terdeteksi di kerang adalah 100 ng/orang/hari untuk PCB, dan 115 ng/orang/hari untuk DDT. Hasil estimasi ini masih jauh dari nilai intake harian yang masih di perbolehkan (ADI = Acceptable Daily Intake) berdasarkan rekomendasi FAO/WHO (FAO/WHO 1986), sebesar 60.000 ng/or-ang/hari untuk PCB dan sebesar 1.200.000 ng/orang/hari untuk DDT. Karena itu, residu level organoklorin di kerang saat ini masih belum menunjukkan perhatian yang serius terhadap kemungkinan akumulasinya terhadap manusia (Indonesia). Meskipun demikian, rute akumulasinya ke manusia tidak hanya melalui produk kerang, tetapi juga melalui ikan. KANNAN et al. (1995) telah melaporkan intake harian PCB sebesar 520 ng/orang/hari dan intake harian DDT sebesar 370 ng/orang/hari melalui konsumsi ikan di Indonesia. Lebih lanjut, penentuan intake harian PCB dan DDT ini didasarkan atas konsumsi ikan rata-rata per hari dari seluruh populasi di Indonesia, karena itu suatu sub populasi tertentu, misalnyanelayan, atau masyarakat yang secara tradisional lebih banyak mengkonsumsi ikan akan menerima PCB dan DDT lebih besar dibanding nilai estimasi berdasarkan populasi seluruh negara.

KESIMPULAN

Kerang yang dikoleksi dari beberapa lokasi di perairan Indonesia mengakumulasi senyawa origanoklorin, seperti PCB danpestisida organoklorin (DDT, CHL, HCH, HCB), menunjukkan penyebaran penggunaan dan kontaminasinya di sepanjang perairan pantai Indonesia. Meskipun pelarangan produksi dan penggunaan organoklorin telah diterapkan, pengamatan saat ini masih menunjukkan emisi kehadirannya di lingkungan perairan Indonesia, mengindikasikan kemungkinan masfli adanya input baru ke lingkungan sebagai akibat penggunaannya yang ilegal. Secara umum, dalam perbandingannya dengan data diberbagai negara, tingkat kontaminasi organoklorin dalam kerang dari Indonesia relatif masfli rendah. Selanjutnya, sebagai perhatian terhadap produk seafood untuk konsumsi manusia, estimasi intake harian PCB dan DDT melalui konsumsi kerang kepada orang Indonesia pada saat pengamatan masih jauh lebih rendah dari nilai intake harian yang masih diperbolehkan sebesar 60.000 ng/orang/hari untuk PCB dan sebesar 1.200.000 ng/orang/hari untuk DDT

11

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et al.

berdasarkan rekomendasi FAO/WHO (1986). Namun demikian, perhatian khusus perlu diarahkan pada daerah yang padat industri dan populasi, seperti Jakarta dan Surabaya, pada kemungkinan peningkatan input PCB ke lingkungan dari PCB yang masih tersimpan dalam peralatan elektronik tua dan pembuangan limbah. Karena itu, monitoring yang berkelanjutan dirasakan sangat penting untuk mengetahui temporal trendnya. Disamping itu, rencana aksi yang nyata perlu dirumuskan dalam upaya eliminasi senyawa-senyawa persisten organic pollutant ke lingkungan di Indonesia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Studi ini merupakan bagian dari proyek Asia-Pasifik Mussel Watch di bawah koordinasi Professor Shinsuke Tanabe dari Center for Marine Environmental Studies, Ehime University, merupakan program monitoring pencemaran laut di negara-negara berkembang di wilayah Asia dan Pasifik yang dibiayai oleh Toyota Foundation, Sotoshu Volunteer Association dan Ministry of Education Science and Culture of Japan (ProjectNo. 09041163). Penulis mengucapkan terima kasih kepada In Monirith mahasiswa program doktoral di Universitas Ehime, Jepang atas kerjasamanya dalam preparasi dan analisis sampel.

DAFTARPUSTAKA

BUTLER, P. A. 1966. Pesticides in the marine environment. J. Appl. Ecol 3:253-259. BOON, J. P ., J.M. EVERAARTS, W.W. KASTORO, H. RAZAK, I. SUMANTA, SUMARNO, PH. NELISSEN, J. STEFELS & M.THJ. HILLEBRAND 1989

Cyclic organochlorines in epibenthic organisms from coastal waters around East Java. Netherlands Journal of Sea Research, 23(4): DAVE, P. P. 1996. India: a generics giant. Farm Chemical International. November

10:36-37. DUINKER, J. P., D. E. SCHULTZ and G. PETRICT 1988. Multidimensional gas

chromatography with electron capture detection for the determination of toxic congeners in polychlorinated biphenyl mixtures. Analytical Chemistry 60:472- 482.

FAO 1997. Food balance sheet, year 1997. http://apps. fao.org/lim500/nph-wrap.pi? FoodBalanceSheet&Domain=FoodBalanceSheet. FAOAVHO 1986. Joint

FAO/WHO food standard programme. Codex alimentarius commision, codex maximum limits for pestisides residues. Codex Alimentarius, Xm, 2nd ed. Rome, Italy.

GOLDBERG, E. D., V. T. BOWEN, J. W. FARRINGTON, G. R. HARVEY, J. H. MARTIN, P. L. PARKER, R. W. RISEBROUGH, W. E. ROBERTSON, E. SCHNEIDER & E. GAMBLE 1978. The mussel watch. Environmental Conservation. 5: 101-125.

12

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

KONTAMINASI ORGANOKLORIN

HILLEBRAND, M. Th. J., J. M. EVERAARTS, H. RAZAK, D. MOELYADI MOELYO, L. STOLWIYK & J. R BOON 1989. Input of selected chlorinated hydrocarbon into the coastal area of east Java and adjacent waters distributon patterns in the dissolved and suspended phase, Netherlands Journal of Sea Research, 23 (4) : 369-377.

IWATA. H., S. TANABE, N. SAKAI and R. TATSUKAWA 1993. Distribution of persistent organochlorines in the oceanic air and surface seawater and the role of ocean on their global transport and fate. Environmental Science and Tech-nology. 27: 1080-1098.

IWATA, H., TANABE, S., SAKAI, N., NISHIMURA, A. and R. TATSUKAWA. 1994. Geographical distribution of persistent organochlorines in air, water and sediments from Asia and Oceania, and their implications for global distribution from lower latitudes. Environmental Pollution. 85: 15-33.

JONES, K. C. and P. VOOGT 1999. Persistent organic pollutants (POPs): State of the science. Environmental Pollution. 100: 209-221.

KANNAN, K., S. TANABE and R. TATSUKAWA 1995. Geographical distribution and accumulation features of organochlorine residues in fish in Tropical Asia and Oceania countries. Environmental Science and Technology. 29: 2673-2683.

KAN-ATIREKLAP, S., S. TANABE, J. SANGUANSIN, M. TABUCANON and M. HUNGSPREUGS 1997. Contamination by butyltin compounds and organochlo-rines residues in green mussel (Perna viridis. L.) from Thailand coastal wa-ters. Environmental Pollution. 97: 79-89.

KAN-ATIREKLAP, S., N.T.H. YEN, S. TANABE and A.N. SUBRAMANIAN 1998. Butyltin compounds and organochlorine residues in green mussel (Perna viridis L.) from India. Toxicological and Environmental Chemistry. 67: 409-424.

LI, Y. R, A. McMILLAN and M. T. SCHOLTZ 1996. Global HCH usage with 1° x 1° longitude/latitude resolution. Environmental Science and Technology. 30: 3525-3533.

LOWE, J. I. (1965). Chronic exposure of blue crabs (Callinectes sapidus) to suble-thal concentrations of DDT. Ecology, 46:899.

MONIRITH, I., H. NAKATA, M. WATANABE, S. TAKAHASHI, S. TANABE and T. S. TANA 2000. Organochlorine contamination in fish and mussels from Cambodian and other Asian Countries. In : S. TANABE (ed.) Mussel Watch, Marine Pollution Monitoring in Asian Waters. Center for Marine Environ-mental Studies. Ehime University, Japan: 156 pp.

PHILLIPS, D. J. H. 1989. Trace metal and organochlorines in the coastal waters of Hong Kong. Marine Pollution Bulletin. 20: 319-327.

PRUDENTE, M. S., H. ICHIHASHI, S. KAN-ATIREKLAP, I. WATANABE and S. TANABE 1989. Butyltis,organochlorines and metal levels in green mussel, Perna viridis L. from the coastal waters of the Philippines. Fisheries Science. 65:441-447.

13

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005

SUDARYANTO et a/.

A. N. SUBRAMANIAN, D. MOHAN and V. K. VENUGOPALAN 1990. Seasonal variation of persistent organochlorine insecticide residues in Vellar River Waters in Tamil Nadu, South India. Environmental Pollution. 67: 289-304.

RAZAK, H. 1991. Penelitian Pendahuluan Senyawa organoklorin dalam kerang hijau (Mytilus viridis) di perairan Teluk Jakarta. Dalam : Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X, Bogor: 37-43.

RAZAK, H. 1995. Pestisida Organoklorin di Panombang Banten. Dalam: Prosiding Seminar Biologi XI, Jakarta: 233-238.

RAZAK, H. dan K. MUNAWIR1994. Kadar pestisida organoklorin di perairan Teluk Jakarta. Dalam : Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut, Jakarta 07-09, Februari 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta: 37-46.

RAZAK, H dan I. GUNAWAN 2004. Kandungan Pestisida Organoklorin dalam sedimen dan kerang tahu (Meretrix meretrix) di muara Sungai Citarum, Jawa Barat. Jurnal Riset IPTEK Kelautan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 2 (l):25-35.

SOTO, A. M., K. L. CHUNG and C. SONNENSCHEIN 1994. The pesticides endosulfan, toxaphene, and dieldrin have estrogenic effects on human estrogen-sensitive cells. Environmental Health Perspective. 102:380-383.

TAYAPUTH 1996. Present aspects and environmental impacts of pesticide use in Thailand. Jurnal Pesticide Science. 21: 132-135.

TANABE 1999. Butyltins, organochlorines and metal levels in green mussel, Perna viridis L. from the coastal waters of the Philippines. Fisheries Science. 65: 441-447.

TANABE, S., K.SENTHILKUMAR, K. KANNAN and A. N. SUBRAMANIAN 1998. Accumulation features of polychlorinated biphenyls and organochlorine pesticides in resident and migratory birds from south India. Archive Environmental Contamination and Toxicology. 34: 387-397.

THAO, V. D. 1993. Persistent organochlorine residues in soils from tropical and sub tropical Asia and Oceania. PhD. Thesis. Ehime University, Japan. 151 pp.

UENO, D., S. TAKAHASHI, S. TANABE, K. IKEDAand J. KOYAMA1999. Uptake kinetics of persistent organochlorines in mussels throught the transplantation experiment. Journal of Environmental Chemistry. 9: 369-378.

VAKELY, J. M. 1989. The biology and culture of mussels of the genus Perna. ICLARM Studies and Review. 17: 63.

WANIA, F. and D. MACKAY 1996. Tracking the distribution of persistent organic pollutants. Environmental Science and Technology. 30: 390A-396A.

14

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 37, 2005