29.asma persisten berat dengan eksaserbasi akut

31
Asma Persisten Berat dengan Eksaserbasi Akut Ivanalia Soli Deo 102012359 B9 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Koresponden: [email protected] Pendahuluan Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gelaja pernafasan. 1 Meskipun asma bukan penyakit yang ditakuti, namun asma masih saya menimbulkan beberapa kasus kematian. Gejala serangan asma sangat bervariasi dari waktu ke waktu baik dalam hal sifat, berat dan lamanya. Serangan dapat terjadi sangat ringan, singkat dan sembuh spontan. Namun sebaliknya dapat pula terjadi sangat berat, berlangsung lama, sehingga sulit ditanggulangi. Kematian pada penderita asma pada dasarnya terjadi karena pengobatan yang tidak adekuat yang disebabkan oleh keterlambatan penderita datang berobat, atau kesalahan dokter dan tenaga medis untuk mengenal serangan asma akut terutama yang berat. 2 Pada kesempatan kali ini didapti kasus mengenai seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dibawa ke UGD RS karena sesak nafas sejak 2 jam yang lalu. Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil. Sejak 2 minggu yang lalu, menurut Ibunya pasien memerlukan salbutamol inhalasi setiap hari, tertutama saat berolahraga, dan mengalami batuk yang berulang saat sedang tidur sebanyak 2x 1

Upload: ivanalia-soli-deo

Post on 12-Jul-2016

47 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

l

TRANSCRIPT

Asma Persisten Berat dengan Eksaserbasi Akut Ivanalia Soli Deo 102012359

B9FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANAKoresponden: [email protected]

Pendahuluan

Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan

yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible

dan gelaja pernafasan.1 Meskipun asma bukan penyakit yang ditakuti, namun asma

masih saya menimbulkan beberapa kasus kematian. Gejala serangan asma sangat

bervariasi dari waktu ke waktu baik dalam hal sifat, berat dan lamanya. Serangan

dapat terjadi sangat ringan, singkat dan sembuh spontan. Namun sebaliknya dapat

pula terjadi sangat berat, berlangsung lama, sehingga sulit ditanggulangi. Kematian

pada penderita asma pada dasarnya terjadi karena pengobatan yang tidak adekuat

yang disebabkan oleh keterlambatan penderita datang berobat, atau kesalahan dokter

dan tenaga medis untuk mengenal serangan asma akut terutama yang berat.2

Pada kesempatan kali ini didapti kasus mengenai seorang anak laki-laki

berusia 10 tahun dibawa ke UGD RS karena sesak nafas sejak 2 jam yang lalu. Pasien

memiliki riwayat asma sejak kecil. Sejak 2 minggu yang lalu, menurut Ibunya pasien

memerlukan salbutamol inhalasi setiap hari, tertutama saat berolahraga, dan

mengalami batuk yang berulang saat sedang tidur sebanyak 2x seminggu, sehingga

pasien tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pada pemeriksaan fisik, didapati pucat, hanya

dapat berbicara kata dengan terpata-pata, sianosis perioral ringan, keadaan somnolen,

suhu afebril, nafas 40x/menit, nadi 120x/menit, tekanan darah 120/90 mmHg, retraksi

dinding dada, dan whizing pada seluruh lapang paru. Berdasarkan kasus diatas, maka

pada makalah kali ini akan membahas mengenai asma, tertutama asma persisten berat

dengan eksaserbasi akut dan bagaimana penatalaksanaannya.

1

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan kepada pasien secara langsung apabila kondisinya

memungkinkan, namun dapat ditanyakan pula pada orang terdekat atau orang yang

mengantar pasien ke dokter. Sesuai dengan kasus, pertanyaan yang diajukan dapat

meliputi identitas diri, keluhan utama, sejak kapan keluhan utama muncul, keluhan

lain yang mungkin dirasakan, riwayat penyakit yang diderita saat ini, riwayat penyakit

dahulu, riwayat penyakit keluarga, pengobatan yang sudah dilakukan dan kondisi

sosial ekonomi pasien.

Untuk keluhan sesak nafasnya, perlu ditanyakan: apakah dirasakan terus

menerus, apakah dirasakan makin berat atau makin membaik, apakah aktivitas (saat

berolahraga) memperberat rasa sesak atau memicu terjadinya sesak nafas. Tanyakan

apakah wheezing hilang timbul (jika hilang timbul, ditanyakan timbulnya saat apa),

apakah disertai dengan batuk (jika pasien mengelukan adanya batuk, tanyakan juga

frekuensi, warna dahak yang dikeluarkan, dan juga apakah disertai darah). Tanyakan

juga kemungkinan riwayat paparan alergen seperti memelihara binatang di dalam

rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah, apakah

menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar

tidur, apakah sesak karena bau-bauan (parfum, spray pembunuh serangga).3

Tanyakan riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,

merah, dan berair (konjungtivitis alergi), eksem atopi, batuk yang sering kambuh

(kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian

cuaca, sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau

alergi lainnya dalam keluarga), apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di

rumah atau lingkungan kerja. Tanyakan obat yang digunakan pasien, apakah ada beta

blocker, aspirin atau steroid.3

Pemeriksaan Fisik4

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan kesadaran,

pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan

awal dilakukan untuk menentukan kondisi pasien dan mencari risiko untuk terjadinya

gagal nafas. Episode akut asma bisa bermula dengan simptom yang ringan seperti

dyspnea. Dengan obstruksi saluran pernafasan yang semakin memburuk, respiratory

2

distress,termasuk retraksi, penggunaan otot abdomen sewaktu ekspirasi, dan tidak bisa

berbicara satu atau dua kata bisa ditemukan.

Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi: tekanan darah, nadi, frekuensi napas,

dan suhu badan. Tanda vital bisa menunjukkan takikardia dan hipertensi. Peak flow

rate haruslah diperiksa sebagai tanda vital pada anak-anak yang kooperatif. Jika tidak

diberi pengobatan, obstruksi saluran nafas yang lama dan usaha untuk bernafas yang

meningkat bisa menyebabkan bradikardia, hipoventilasi, dan cardiorespiratory arrest.

Pada inspeksi dilihat apakah bentuk dada simetris, tertinggal pada gerakan

napas, dan apakah trakea terletak ditengah. Hidung, rongga mulut, hendaknya

diperiksa bila ada sumbatan. Jika diperlukan sputum dapat diperiksa untuk mencari

adanya sel radang terutam eosinofil dan bakteri. Perhatikan apakah ada massa tumor,

edema, peninggian tekanan vena jugularis, dan pembesaran kelenjar getah bening.

Pada palpasi dilakukan perabaan untuk melihat adanya rasa nyeri, tumor/benjolan,

penyempitan/pelebaran sela iga, dan pergerakan thoraks.

Pada pemeriksaan auskultasi, didengarkan apakah ada bunyi patologis. Pada

penderita asma akan didapatkan bunyi wheezing. Bunyi wheezing dapat

dikalsifikasikan menjadi dua yaitu lokal dan merata. Wheezing yang terjadi lokal atau

setempat mungkin disebabkan oleh obstruksi seperti pada karsinoma bronkus dan

benda asing atau stenosis yang menetap, sifat wheezingnya monotonal. Sedangkan

wheezing yang tersebar luas dapat disebabkan oleh bronchitis kronik, emfisema, atau

penyakit paru obstruktif kronik. Wheezing yang sifatnya intermiten (misalnya hanya

pada malam hari/dini hari) mengarah ke asma, sedangkan bila terjadi pada waku

berbaring mungkim edema paru atau aspirasi. Wheezing yang terjadi tiba-tiba dan

lokal mungkin disebabkan oleh benda asing atau edema paru.

Pemeriksaan Penunjang5,6

1. Uji Faal Paru

Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil

provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan, dan mengikuti perjalanan penyakit.

Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma ialah PEFR (peak expiratory flow

rate), FEV1 (forced expiratory volume 1 second), FVC (forced vital capasity),

FEV1/FVC. Uji faal paru tidak selalu mudah dilakukan terutama pada anak dibawah

umur 5-6 tahun. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap

3

kunjungan. “Peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan

spirometer memberikan data yang lebih lengkap.

FVC, PEFR, dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya.

Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan

FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi berlebihan yang biasanya gterlihat secara

klinis akan digambarkan sebagai meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas

residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan, faal paru tersebut umumnya akan

kembali normal kecuali pada asma yang berat.

Gambar 1. Gambaran Tes Fungsi Faal Paru pada Penderita Asma

2. Pemeriksaan Darah, Eosiinofil dan Uji Tuberculin

Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan eosinofil meninggi, sedangkan

leukosit dapat meninggi atau normal, walaupun terdapat komplikasi asma. Pada

analisa gas darah terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat

peninggian PaCO2 maupun penurunan pH menunjukan tendensi prognosis yang

buruk. Hiponatremia, kadang-kadang PMN meninggi, jumlah diatas 15.000/mm3

menandakan terdapat ya infeksi. Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE yang

meninggi pada waktu serangan, dan menurun pada waktu penderita bebas dari

serangan. Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan berbagai

alergennya dapat menimbulkan reaksi yang positif pada tipe asma atopik.

Pemeriksaan eosinofil dalam darah, secret hidung dan dahak dapat menunjang

diagnosis asma. Eosinofil dapat ditemukan dalam darah tepi, secret hidung dan

sputum. Dalam sputum dapat ditemukan Kristal Charcot-Leyden dan spiral

Crushman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan pula lekositosis

polimorfonukleus. Uji tuberculin penting bukan saja karena di Indonesia masih

4

banyak tuberculosis, tetapi juga karena kalau ada tuberculosis dan tidak diobati,

asmanya pun mungkin sukar dikontrol.

3. Foto Rontgen Toraks

Pemeriksaan ini perlu dilakukan dan pada foto akan tampak corakan paru yang

meningkat. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik.

Atelektasis juga sering ditemukan. Setiap anak penderita asma yang berkunjung

pertama kalinya perlu dibuat foto rontgen parunya. Foto ini dibuat terutama untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain. Foto perlu diulang bila ada

indikasi misalnya dugaan adanya pneumonia atau pneumotoraks. Rontgen foto sinus

paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol.

Gambar 2. Reversible Hyperinflation dengan Asma

4. Uji Kulit Alergi dan Imunologi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Masing-masing

cara mempunyai keuntungan dan kerugiannya. Allergen yang digunakan adalah

allergen yang banyak didapat di daerahnya. Hasil positif harus dicocokkan dengan

keadaan penderita sehari-hari. Bila ada hubungan yang jelas baru uji kulit tersebut

berarti. Kedua cara uji kulit alergi tersebut dapat memberikan hasil positif palsu

dalam presentase kecil dan mempunyai korelasi yang baik dengan IgE yang beredar.

Perlu diingat bahwa reaksi ini dapat ditekan dengan pemberian antihistamin.

5

Pemeriksaan IgE atau kalau mungkin IgE spesifik dapat memperkuat

diagnosis dan menentukan pengelolaannya. Tetapi bila tidak dapat ditemukan

kelainan ini diagnosis asma belum dapat disingkirkan. Uji alergi kulit berguna untuk

menunjukkan allergen yang potensial sebagai pencetus. Hasil uji alergi kulit harus

dihubungkan dengan keadaan klinis, dan bila cocok itulah allergen pencetus yang

sesuai.

Working Diagnosis: Asma Persisten Berat Eksaserbasi Akut

1. Definisi dan Klasifikasi Asma

Istilah asma berasal dari kata yunani yang artinya terangah-engah. Asma

merupakan suatu gangguan inflamasi pada jalan napas yang diperankan oleh banyak

sel, khususnya sel mast, eusinofil, limfositT, makrofag, neutrofil, dan sel-sel epitel.

Pada individu yang peka, inflamasi ini menyebabkan episode berulang mengi, sulit

bernapas, sesak dada, dan batuk, terutama di malam hari. Episode ini biasanya disertai

dengan obstruksi aliran udara, tetapi bervariasi yang sering reversibel baik secara

spontan ataupun dengan penanganannya.5,6

Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain.. dahulu

dibesakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik). Namun klasifikasi

tersebut pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat

alergik dan non alergik. Sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3

kategori yaitu asma ekstrinsik, asma intrinsik, dan asma yang berkaitan dengan

penyakit paru kronik.6

Selanjutnya, penderita asma diklasifikasikan menjadi asma intermiten ringan

(gejala terjadi kurang dari seminggu sekali dengan fungsi paru normal atau mendekati

normal diantara episode serangan), asma persisten ringan (gejala muncul lebih dari

sekali dalam seminggu dengan fungsi paru normal atau mendekati normal diantara

episode serangan), asma persisten moderat (gejala muncul setiap hari dengan

keterbatasan jalan napas ringan hingga moderat), asma persisten berat (gejala muncul

tiap hari dan mengganggu aktivitas harian, terdapat gangguan tidur karena terbangun

malam hari, dan keterbatasan jalan napas) dan asma berat / status asmatikus (gejala

distress berat hingga tidak bisa tidur, keterbatasan jalan napas yang kurang respon

terhadap bronkodilator inhalasi dan dapat mengancam nyawa).3 Global Initiative for

Asthma (GINA) mengajukan klasifikasi asma persisten ringan, sedang, dan berat.6

6

Tabel 1. Klasifikasi Asma Berdasarkan Manifestasi Klinis Menurut Global

Initiative for Asthma (GINA)

2. Epidemiologi

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang sering dan diperkirakan

diderita oleh sekitar 300 juta orang di dunia. Diperkirakan 10-12% orang dewasa dan

15% anak-anak yang menderita asma. Asma dapat diderita oleh setia usia. Pada anak-

anak rasio laki-laki penderita asma dua kali dibandingkan dengan perempuan, namun

menjadi sama pada usia dewasa. Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara

pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan

kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun

1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003

meningkat menjadi 5,2%.4

Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,

Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar)

menunjukan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-

6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan

gambaran tersebut, telihat bahwa asma telah menjadi masaah kesehatan masyarakat

yang perlu mendapat perhatian serius.3

7

3. Etiologi6

Rangsangan yang dapat mencetus serangan asma dapat dikelompokkan dalam

tujuh kategori besar: alergenik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi,

berhubungan dengan olahraga, dan emosional. Alergen pada asma alergik bergantung

pada respon IgE yang dikontrol oleh limfosit T dan B dan diaktivasi oleh interaksi

antigen dengan ikatan sel mast – IgE. Sebagian besar alergen asma tersebar oleh

udara, dan untuk menghasilkan status sensitivitas membutuhkan waktu yang cukup

lama. Setelah terjadi sensitisasi, pasien dapat menampakkan respon yang hebat,

bahkan kontak dalam hitungan menit dapat menghasilkan eksaserbasi signifikan pada

penyakit ini. Asma alergik biasanya musiman, paling banyak ditemukan pada anak-

anak dan dewasa muda. Sedangkan yang bukan musiman dapat ditimbulkan dari

alergi terhadap bulu, serpihan kulit binatang, kutu debu, jamur, dan antigen

lingkungan lain yang ada secara kontinyu.

Rangsangan farmakologis juga dapat menyebabkan asma. Obat yang paling

sering berhubungan dengan fase akut asma adalah aspirin (NSAID), zat warna seperti

tartazin, antagonis ß-adrenergik, dan senyawa sulfit. Tipe yang sensitif aspirin

terutama pada orang dewasa, walaupun terdapat juga pada anak-anak. Terdapat

reaktivitas silang antara aspirin dengan NSAID yang menginhibisi prostaglandin G/H

sintase 1. Pasien dengan sensitivitas terhadap aspirin dapat didesensitisasi dengan

pemberian aspirin harian, sehingga terjadi toleransi silang dengan NSAID lainnya.

Antagonis ß-adrenergik pada individ dengan asma dapat menghambat saluran

napas dengan meningkatkan reaktivitas saluran napas dan harus dihindari. Bahkan

antagonis ß-adrenergik selektif beta 1 memiliki kecenderungan tersebut dalam dosis

yang lebih tinggi. Terdapat fakta bahwa penggunaan lokal penghambat beta 1 pada

mata untuk mengobati glaukoma berhubungan dengan memburuknya asma. Senyawa

sulfit, yang digunakan secara luas pada makanan dan industri farmasi sebagai zat

untuk sanitasi dan pengawet, dapat menimbulkan penyumbatan saluran napas bagi

orang yang sensitif. Paparan terjadi karena memakan makanan dan obat-obatan yang

mengandung zat-zat tersebut.

Faktor lingkungan juga diketahui dapat menimbulkan asma. Penyebab asma

dari lingkungan biasanya berkaitan dengan kondisi iklim yang meningkatkan

konsentrasi polutan dan antigen atmosfir. Kondisi ini terdapat pada wilayah indutri

berat dan perkotaan padat dan seringkali nerhubungan dengan perubahan suhu atau

siluasi lain yang menimbulkan udara tidak mengalir. Dalam keadaan ini, walaupun

8

populasi secara umum dapat mengalami gangguan pernapasan, pasien dengan asma

dan penyakit pernapasan yang lain dapat terpengaruh lebih buruk.

Pekerjaan seseorang bisa dihubungkan pula dengan terjadinya asma, sebab

dari hasil laporan diketahui bahwa bbstruksi saluran parnapasan akut dan kronis

berkaitan dengan paparan sejumlah besar senyawa yang digunakan dalam berbagai

macam industri (umumnya senyawa dengan berat molekul tinggi). Senyawa dengan

berat molekul tinggi menimbulkan asma dengan menghasilkan reaksi imunologis,

sedangkan senyawa dengan berat molekul rendah merupakan senyawa yang memiliki

efek konstriktor bronkus.

Infeksi saluran napas merupakan rangsangan yang paling sering menimbulkan

eksaserbasi akut pada asma. Virus saluran napas dan bukan bakteri atau alergi

terhadap mikroorganisme adalah faktor etiologi yang paling utama. Pada anak yang

masih kecil, penyebab infeksi yang paling penting adalah virus pernapasan sinsisial

dan virus parainfluenza. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, Rhinovirus

dan virus influenza merupakan patogen yang dominan.

Kegiatan olahraga dapat pula menimbulkan asma. Biasanya serangan timbul

setelahnya, dan tidak timbul selama olahraga. Semakin tinggi tingkat ventilasi dan

semakin dingin udara menentukan parahnya obstruksi saluran napas. Mekanisme yang

ditimbulkan oleh olahraga dalam menimbulkan obstruksi berhubungan dengan

hiperemia yang dipengaruhi suhu dan kebocoran kapiler pada dinding saluran napas.

Faktor psikologis yang dapat memperburuk atau meringankan asma. Perubahan pada

diameter saluran napas berhubungan dengan aktivitas eferen n.vagus, tetapi mungkin

juga endorfin memiliki peran. Peran faktor psikologis mungkin bervariasi antara satu

pasien dengan yang lain dan antara satu serangan dengan serangan yang lain.

4. Patofisiologi Asma5,6

Seperti telah dikemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi

terjadinya asma, sehingga belum ada patogenesis yang dapat menerangkan semua

penemuan pada penyakit asma. Tampilan fisiologis dan klinis asma berasal dari

interaksi antara jaringan dengan sel radang yang berinfiltrasi pada epitel permukaan

saluran napas, mediator radang, dan sitokin. Sel yang memiliki peranan yang penting

dalam respon radang adalah sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel epitel saluran napas.

Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetusan misalnya alergen, infeksi,

exercise, dan lain-lain.

9

Setiap jenis sel tersebut dapat mengeluarkan mediator dan sitokin untuk

menginisiasi dan mengamplifikasi inflamasi akut dan juga perubahan patologis dalam

jangka panjang. Mediator yang dilepaskan menghasilkan reaksi radang yang cepat

dan hebat dan menimbulkan konstriksi bronkus, kongesti vaskular, pembentukan

edema, meningkatkan produksi mukus, dan menghambat transport mukosiliaris.

Reaksi cepat tersebut dapat diikuti dengan reaksi yang kronis.

Eosinofil memiliki peran yang penting dalam komponen infiltratif. Interleukin

(IL) 5 menstimulasi pelepasan sel-sel ini ke dalam sirkulasi dan bertahan. Jika telah

teraktivasi, sel-sel ini menjadi sumber kaya leukotrien, dan melepaskan protein

granuler dan radikal bebas derivat oksigen mampu merusak epitel saluran napas,

kemudian masuk ke lumen bronkial dalam bentuk badan Creola. Disamping

menghilangkan fungsi sawar dan sekretori, kerusakan tersebut merangsang

pengeluaranan sitokin kemotaktik, yang menimbulkan peradangan lebih lanjut.

Gambar 3. Patofisiologi Asma

5. Manifestasi Klinis5,6

Gejala dan tanda klinis sangat dipengaruhi oleh berat ringannya asma yang

diderita. Bisa saja seorang penderita asma hampir-hampir tidak menunjukkan gejala

yang spesifik sama sekali, di lain pihak ada juga yang sangat jelas gejalanya. Gejala

dan tanda tersebut antara lain: Batuk, nafas sesak (dispnea) terlebih pada saat

mengeluarkan nafas (ekspirasi), wheezing (mengi), nafas dangkal dan cepat, ronkhi,

retraksi dinding dada, pernafasan cuping hidung (menunjukkan telah digunakannya

semua otot-otot bantu pernafasan dalam usaha mengatasi sesak yang terjadi), batuk,

dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut

tidak selalu dijumpai bersamaan.

10

Anak dengan asma ringan mengalami berbagai frekuensi eksaserbasi

(kekambuhan), sampai dua kali seminggu, dengan penurunan angka aliran ekspirasi

puncak tidak lebih dari 20% dan berespon terhadap pengobatan bronkodilator dalam

24-28 jam. Anak dengan asma ringan mempunyai tingkat kehadian di sekolah yang

baik, toeransi terhadap olahraga yang baik, dan tidurnya tidak atau sedikit terganggu

oleh asma. Penderita ini tidak menderita hiperinflasi dada; pada dasarnya rotgen

dadanya normal. Uji fungsi paru dapat menunjukkan penyumbatan jalan napas ringan

yang reversibel, dengan sedikit atau tanpa penambah volume paru.

Anak dengan asma sedang mempunyai gejala yang lebih sering daripada

mereka yang menderita asma ringan dan lebih sering menderita batuk dan mengi

ringan diantara serangan yang lebih berat. Absensi sekolah mungkin terganggu,

toleransi terhadap olahraga akan berkurangan karena batuk dan mengi, dan

kemungkinan tidur anak pada malam hari kurang, terutama selama eksaserbasi.

Tanda-tanda penyumbatan jalan nafas pada uji fisiologis lebih mencolok daripada

kelompok ringan;volume paru semakin bertambah.

Pada asma berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain silent

chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi, berbicara kata per

kata, dapat disertai batuk dengan sputum kental, dan pernafasan cepat dangkal.

Penderita akan tampak gelisah, bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan,

dengan tanda-tanda sianosis sentral, dan pulsus paradoksus. Anak dengan asma berat

menderita mengi harian yang jelas dan kumatnya lebih sering dan lebih berat. Mereka

memerlukan rawat inap berulang dan dapat kehilangan jumlah hari sekolah yang

cukup, tidurnya sering terganggu oleh asma dan mempunyai toleransi terhadap

olahraga yang jelek. Mereka menderita deformitas dada sebagai akibat hiperfentilasi

kronis.

6. Penatalaksanaan

6.1 Penatalaksanaan Serangan Ringan dan Sedang7

Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian β-agonis secara

nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi

serupa dapat diulang dua kali lagi dalam selang 20 menit. Pada pemberian ketiga

dapat ditambahkan obat antikolinergik. Beberapa peneliti menganjurkan pemberian

obat antikolinergik bersama-sama dengan β-agonis pada saat serangan sedang dan

berat.

11

Pada serangan ringan, jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan

respons yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien

diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien

dapat dipulangkan. Yang harus diingat adalah, pasien harus dibekali obat

bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Pada keadaan tertentu

seperti jika pencetus serangannya adalah virus, dan ada riwayat serangan asma

sedang/berat, maka dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek/shortcourse (3-5

hari). Pada anak asma episodic sering dan asma persisten, obat controller (pengendali)

harus tetap diberikan pada saat pasien pulang.

Pada serangan sedang, jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali,

pasien hanya menunjukkan respons parsial (incomplete respons), kemungkinan

derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman

di atas. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, berikan oksigen 2

l/menit, kemudian pasien dobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari. Pada

keadaan serangan sedang sebaiknya dipasang jalur parenteral untuk persiapan darurat.

Pada keadaan alat nebulizer tidak tersedia, maka sebagai alternative lain dapat

digunakan inhaler (MDI= Metered Dose Inhaler) yang dihubungkan dengan spacer.

6.2 Penatalaksanaan Serangan Berat8

Pada serangan berat, oksigen selalu diberikan baik dengan kanula hidung atau

sungkup untuk mengatasi dan mencegah hipoksemia. Oksigen dapat diberikan dalam

dosis tinggi 4-6L/menit pada penderita berat. Inhalasi agonis β2 saat ini merupakan

pilihan pertama. Diberikan salbutamol 2.5-5mg atau terbutalin 2.5-5mg secara

nebulisasi, dapat diulang setiap 20 menit dalam 1 jam. Bila nebulizer tidak tersedia,

inhalasi dapat diberikan dengan mempergunakan inhaler dosis terukur yang diengkapi

dengan spacer (nebuhaler, volumatik) 4-8 semprot perkali dulang sampai 20 menit

dalam 1 jam. Injeksi agonis β2 atau simpatomimetik lainnya, salbutamol, terbutalin,

atau orsiprenalin dapat diberikan 0.5-1ml subkutan diulang setelah 30 menit.

Adrenalin 1/1000, merupakan obat murah dan selalu tersedia dapat diberikan

secara subkutan 0.2-0.5cc, biasanya 0.3cc, dapat diulang sampai 2-3 kali dengan

interbal 30-60 menit. Injeksi agonis β2 dan juga adrenalin diberikan harus dengan

sangat hati-hati. Sebaliknya tidak diberikan pada penderita dengan hipertensi,

hipertiroid, kelainan jantung, dan usia lanjut atau umur lebih dari 40 tahun.

12

Aminofilin injeksi diberikan dengan dosis 5-6 mg/kg berat badan diencerkan dalam

larutan dekstrose 5% sama banyak, diberikan secara intravena sebagai bolus perlahan-

lahan dalam waktu 10-15 menit, atau dalam infus 100cc dekstrose 5% NaCl 0,9%

dalam waktu 20 menit. Dosis diberikan separuhnya, apabila dalam 12 jam

sebelumnya telah mendapat aminofilin.

Ipratropium bromid dapat digunakan sendiri maupun dalam kombinasi dengan

agonis β2 melalui inhalasi dengan nebulasi, penambahan ini tidak diperlukan bila

respons dengan agonis β2 sudah cukup baik. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi

harus segera diberikan pada penderita asma akut berat. Steroid pilihan adalah yang

bekerja cepat, hidrokortison 200mg intravena atau metilprednison injeksi atau tablet

30-60mg, atau keduanya.

Setelah dilakukan pengobatan awal dengan bronkodilator dan steroid, terhadap

penderita dilakukan pemantauan mengenai klinis setiap 15 menit, setelah 30 menit

dilakukan evaluasi. Apabila tidak terjadi perbaikan sama sekali terhadap terapi awal

atau malah memburuk, maka penderita langsung dirawat inap sebagai status

asmatikus. Penderita yang menunjukan perbaikan namun tidak adekuat, diulang

pemberian bronkodilator dan observasi dilanjutkan selama 60 menit. Bila setelah 60

menit kondisinya menetap atau malah memburuk, langsung dirawat inap. Perbaikan

adekuat bila keadaan klinnis normal. Penderita dengan perbaikan adekuat, diobservasi

lagi selama 60 menit dan kemudian penderita dapat dipulangkan.

6.3 Penatalaksanaan Status Asmatikus8

Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari

UGD, diberikan oksigen kembali. Agonis β2 dilanjutkan dengan pemberian inhalasi

nebulasi 1 dosis setiap jam, kemudian dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam

bila sudah ada perbaikan yang jelas. Sebagai alternatif lain dapat diberikan dalam

bentuk inhalasi dengan nebuhaler/volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi

perburukan, diberikan drip salbutamol atau terbutalin. Amiofilin diberikan melalui

infus/drip dengan dosis 0.5-0.9 mg/kgBB/jam. Pemberian per drip didahului dengan

pemberian secara bolus apabila belum diberikan.

Kortikosteroid dosis tinggi intravena diberikan setiap 2-8 jam tergantung

beratnya keadaan serta kecepatan respons. Preparat pilihan adalah hidrokortison 200-

400mg dengan dosis keseluruhan 1-4gr/24 jam. Sediaan lain yang juga dapat

13

diberikan sebagai alternatif adalah triaminolon 40-80mg, deksametason/betametason

5-10mg. Dalam hal ini tidak tersedianya kortikosteroid intravena, dapat diberikan

kortikosteroid peroral yaitu prednison atau prednisolon 30-60mg/hari. Iptropium

bromid dapat diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan agonis β2

secara inhalasi nebulisasi, penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis β2

sudah memberikan hasil yang baik.

6.4 Penatalaksanaan Lain8

Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan elektrolit

serum, dan penilaian adanya asidosis metabolik. Ringer laktat dapat diberikan sebagai

terapi awal untuk rehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolik diberikan natrium

bikarbonat. Mukolitik dan ekspetorans dapat diberikan, walaupun manfaatnya

diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan napas berat, ekspektoran seperti obat

batuk hitan dan gliseril guaikolat dapat diberikan. Demikian juga mukolitik

bromeksin maupun N-asetilsistein.

Antibiotik diberikan kalau jelas ada tanda-tanda infeksi seperti demam,

sputum purulen dengan neutrofil leukositosis. Obat-oabatan sedatif merupakan

indikasi kontra, kecuali di ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak

terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat, malahan dapat menyebabkan

pengerikan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.

6.5 Penatalaksanaan Jangka Panjang7

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan

menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-

400ug/hari budesonide (100-200ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12

tahun, 400-600ug/hari budesonid (200-300ug/hari flutikason) untuk anak berusia di

atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan

steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau

ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane

Receptor (ALTR).

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala

asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis

kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400ug/haribudesonid

(>200ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan>600ug/hari

14

budesonid (>300ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12tahun atau tetap

dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan

LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu

dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas

hidupnya.

Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800ug/hari namun tetap tidak

mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan

kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah

penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini

diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping

obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2mg/kgBB/hari. Dosis

kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.

Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek

samping yang cukup berat.

Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya

peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.

Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada

rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya

ketotifen dansetirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan

asma tiperinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan

kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan

karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.

Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal

atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat

dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan

asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.

15

Gambar 4. Alur Penatalaksanaan Jangka Panjang Asma

7. Pencegahan

Serangan eksaserbasi akut asma dapat dicegah dengan menghindari faktor

pencetus asma yang tergantung pada penyebab asma masing-masing pasien.

Identifikasi dan penghindaran alergen di rumah dan tempat kerja harus sebisa

mungkin dilakukan. Penghindaran yang benar-benar terhadap paparan tungau debu

rumah, hewan-hewan peliharaan, dan faktor pekerjaan berhubungan dengan perbaikan

nyata pada gejala-gejala pernapasan, fungsi paru-paru dan hiperresponsivitas saluran

napas. Membuang hewan peliharaan, terutama kucing, dari dalam rumah akan sangat

16

efektif bila disertai pembersihan dan pencucian rumah untuk menghilangkan alergen

yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada pada konsentrasi yang cukup untuk

merangsang asma dalam waktu yang lama.

8. Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan

terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks

membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma

letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.

entuk dada brung dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.rang tua. Pada asma

kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.9

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga

dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung

lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi

bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat

dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak

dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung,

bahkan kematian.1

9. Prognosis5

Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. sebagian besar

asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma

episodic jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang

menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen asma episodic sering

sudah tidak timbul pada masa akil baliq, 60% tetap sebagai asma episodic sering dan

sisanya sebagai asma episodic jarang. Hanya 5% dari asma kronik/persisten yang

dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodic jarang. Secara

keseluruhan dapat dikatakan 70-80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21

tahun asmanya sudah menghilang. Prognosis buruk jika anak dibawa terlambat saat

terjadi serangan asma berat.

17

Kesimpulan

Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan

bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luas

saluran napas bagian bawah. Rangsangan yang dapat mencetus serangan asma antara

lain: alergenik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi, berhubungan dengan

olahraga, dan emosional. Patofisiologi asma terkait dengan terjadinya proses radang

yang kemudian dengan cepat menimbulkan konstriksi bronkus, kongesti vaskular,

pembentukan edema, meningkatkan produksi mukus, dan menghambat transport

mukosiliaris.. Penatalaksanaan asma ditujukan untuk meredakan penyempitan jalan

napas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke

keadaan normal secepatnya, dan untuk mencegah kekambuhan.

Daftar Pustaka

1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s principle of internal medicine. 2nd Ed. USA: McGraw-Hill; 2012.

2. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta: EGC; 2000.

3. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial, November 2008. Majalah kedokteran indonesia. Volume 58. No. 11.

4. Setiati S, Purnamasari D, Rinaldi I, Ranitya R, Pitoyo CW. Lima puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi 1. Jakarta; FKUI; 2008.h.202-5.

5. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Ilmu kesehatan anak. Edisi 11. Jakarta; Infomedika; 2007.h.1198-228.

6. Sundaru H, Sukamto. Buku ajar ilmu penyakit dalam: asma bronkial. Jilid I. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h404-14.

7. Supriyanto B. Tatalaksana serangan asma pada anak. Dalam: Departemen ilmu kesehatan anak FKUI. Edisi 1. Jakarta; Balai penerbit FKUI; 2004.h.60-9.

8. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan medik: pedoman penatalksanaan praktis. Jakarta: Binarupa Aksara;2000.

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.

18