refratq -diare persisten-
TRANSCRIPT
REFERAT
DIARE PERSISTEN
Disusun oleh :
Sophia Yustina , S.Ked NIM.062010101011
Pembimbing :dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. Gebyar T.B., Sp.Adr. Ramzi Syamlan, Sp.A
Disusun untuk melaksanakan tugasKepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSD dr. Soebandi Jember
SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSD dr. SOEBANDIFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBERJEMBER
2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................
i
DAFTAR ISI.............................................................................................................
ii
PENDAHULUAN.....................................................................................................
1
DIARE PERSISTEN................................................................................................
3
Definisi................................................................................................................
3
Epidemiologi.......................................................................................................
3
Etiologi................................................................................................................
4
Patofisiologi........................................................................................................
5
Patogenesis..........................................................................................................
6
Diagnosis.............................................................................................................
8
Penatalaksanaan..................................................................................................
10
Pemeriksaan Laboratorium................................................................................. 24
Komplikasi..........................................................................................................
25
Pencegahan..........................................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
29
PENDAHULUAN
Diare masih menjadi penyebab masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian
dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia balita (bayi dibawah lima tahun).
Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian
besar kejadian tersebut di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian
anak di dunia disebabkan oleh diare. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riskerdas
2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi terbanyak
yaitu 42% dibanding pneumonia (24%). Untuk golongan usia 1-4 tahun penyebab
kematian karena diare adalah sebesar 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.
Definisi diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar (defekasi)
lebih dari tiga kali sehari dan berubahnya konsistensi menjadi lebih lunak atau
bahkan cair. Menurut etiologinya, diare dapat dibagi menjadi diare cair dan diare
berdarah, sedangkan bila ditinjau dari lamanya diare, diare dibagi menjadi diare
akut dan diare persisten.
Pada masa lalu, perhatian kita lebih ditujukan untuk mengurangi kematian
diare akut yaitu dengan promosi rehidrasi secara oral agar tidak terjadi dehidrasi
berat dan syok. Saat ini, perhatian kita juga harus ditujukan pada penyakit diare
yang persisten. Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah
yang berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Diare persisten merupakan penyebab
penting kematian pada anak di negara berkembang. Kemudian karena diare
berhubungan dengan diare persisten yang semakin meningkat pada pertengahan
tahun 1980-an. Organisasi kesehatan Dunia mengakui bahwa usaha untuk
mengendalikan diare persisten belumlah cukup. Beberapa studi sejak itu telah
dilakukan untuk dapat merumuskan strategi penatalaksanaan dan pengendalian
diare persisten. Sekitar 10-15% episode diare akut akan menjadi diare persisten
yang sering menyebabkan status gizi memburuk dan meningkatkan kematian.
Diare persisten menyebabkan 30-50% dari semua kematian karena diare di negara
berkembang. Dari 8 studi komunitas di Asia dan Amerika Latin didapati
persentase diare persisten antara 3-23% dari seluruh kasus diare. Pada 7 studi
lainnya insiden diare persisten sangat bervariasi. Di India insiden diare persisten
per tahun sekitar 7 kasus tiap 100 anak yang berumur 4 tahun atau kurang dan 150
kasus di Brazil. Pada seluruh studi insiden tertinggi pada anak dibawah 2 tahun.
WHO dan UNICEF memperkirakan pada tahun 1991 diare persisten terjadi 10%
dari episode diare dengan kematian sebanyak 35% pada anak di bawah 5 tahun.
Studi di Banglades, India, Peru dan Brazil mendapatkan kematian sekitar 45% atau
30-50% kematian dari diare persisten. Meskipun insiden diare persisten paling
banyak terjadi pada anak di bawah 2 tahun, namun kematian sering terjadi pada
anak 1-4 tahun dimana malnutrisi sering timbul. Hal ini dikarenakan kematian
oleh karena diare persisten sering berhubungan dengan malnutrisi.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan perlunya perhatian dan
pemahaman yang berkelanjutan dari upaya pencegahan dan penatalaksanaan diare
persisten khususnya di negara berkembang.
DIARE PERSISTEN
DEFINISI
Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14
hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri).
Kejadian ini sering dihubungkan dengan kehilangan berat badan dan infeksi non
intestinal. Diare persisten tidak termasuk diare kronik atau diare berulang seperti
penyakit sprue, gluten sensitive enteropathi dan penyakit Blind loop. Walker-
Smith mendefinisikan sebagai diare yang dimulai secara akut tetapi bertahan lebih
dari 2 minggu setelah onset akut.
Diare akut dan diare persisten bukan merupakan 2 (dua) jenis penyakit
yang terpisah, melainkan membentuk sebuah proses berkelanjutan. Pada tahun
1987, dari sebuah simposium yang disponsori oleh WHO, menetapkan bahwa
pengertian dari diare persisten adalah sebagai episode diare yang disebabkan
karena proses infeksi yang awalnya akut tetapi berakhir dalam waktu lebih dari 14
hari (Henry et al, 1992). Meskipun diare akut disertai dengan darah dan lendir dan
meningkatnya keparahan dari diare akut pada minggu pertama telah dihubungkan
meningkatnya resiko untuk berkembang menjadi diare persisten, tidak ada hasil
laboratorium yang menggambarkan bahwa hanya diare akut yang memiliki
peluang besar untuk berkembang menjadi diare persisten. Sehingga dapat
dikatakan bahwa diare persisten sebagai gambaran dan hasil akhir dari berbagai
faktor predisposisi yang dapat memperparah kejadiannya, antara lain dari faktor
host dan besarnya kontaminasi dari lingkungan (Bhutta and Hendricks, 1996).
EPIDEMIOLOGI
Hasil dari Indonesia Demographic and Health Survey yang dilakukan
pada Juli-November 1994, menunujukkan bahwa 12% dari anak dilaporkan
menderita diare dalam waktu 2 minggu sebelum survey, prevalensi dari diare
persisten adalah 0,1%. Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa diare persisten
terjadi pada 2,73% dari penderita dengan diare akut, dan terjadi terbanyak pada 0-
2 bulan.
Dari 8 studi komunitas di Asia dan Amerika Latin didapati persentase
diare persisten antara 3-23% dari seluruh kasus diare. Pada 7 studi lainnya insiden
diare persisten sangat bervariasi. Di India insiden diare persisten per tahun sekitar
7 kasus tiap 100 anak yang berumur 4 tahun atau kurang dan 150 kasus di Brazil.
Pada seluruh studi insiden tertinggi pada anak dibawah 2 tahun. WHO dan
UNICEF memperkirakan pada tahun 1991 diare persisten terjadi 10% dari episode
diare dengan kematian sebanyak 35% pada anak di bawah 5 tahun. Studi di
Banglades, India, Peru dan Brazil mendapatkan kematian sekitar 45% atau 30-
50% kematian dari diare persisten. Meskipun insiden diare persisten paling
banyak terjadi pada anak di bawah 2 tahun, namun kematian sering terjadi pada
anak 1-4 tahun dimana malnutrisi sering timbul. Hal ini dikarenakan kematian
oleh karena diare persisten sering berhubungan dengan malnutrisi.
ETIOLOGI
Sesuai dengan batasan bahwa diare persisten adalah diare akut yang
menetap dengan sendirinya etiologi diare persisten sama dengan diare akut. Dari
segi klinis, etiologi diare persisten dapat dikelompokkan sebagai berikut (Sunoto
et al, 1990):
1. Kuman penyebab khusus
Diare dengan permulaan yang akut sebagian besar disebabkan oleh infeksi
enterik yang spesifik atau oleh pemaparan enterotoksin. Diare yang
demikian ini biasanya berlangsung kurang dari 7 hari. Namun sebagian
kecil kasus mengalami diare yang berkepanjangan.
Faktor virulensi dari enteropatogen dapat mempengaruhi kejadian diare
persisten (Sudarmo et al, 2004). Dalam menimbulkan diare persisten,
enteropatogen dapat melakukan operasinya melalui beberapa jalan:
a. Infeksi persisten oleh enteropatogen awal
b. Reinfeksi dengan enteropatogen lain
c. Sensitisasi oleh antigen makanan/ minuman yang disebabkan oleh
kerusakan mukosa usus yang ditimbulkan oleh infeksi awal
gastrointestinal akut.
Enteropatogen yang ditemukan pada diare persisten dapat dibagi dalam 2
kelompok besar:
o Kelompok yang dijumpai dengan frekuensi yang sama antara diare akut
dan persisten adalah Shigella, Nontyphoid Salmonella, Campylobacter
jejuni, Enterotoxigenic E. Coli (ETEC), Giardia lamblia, Entamoeba
histolytica, dan Clostridium lamblia.
o Kelompok yang lebih sering dijumpai pada diare persisten adalah
Enteroadherent E. Coli, Cryptosporidium, dan Enteropathogenic E.
Coli (EPEC).
2. Faktor-faktor penjamu (host)
Faktor-faktor penjamu (host) yang berperan antara lain:
(a) Usia bayi kurang dari 4 bulan.;
(b) Diare pada anak yang malnutrisi, berlangsung lebih lama dan
kelihatannya lebih sering menjadi persisten;
(c) Tidak mendapatkan ASI.
3. Faktor-faktor lain
Penanganan diare akut yang tidak tepat seperti pemakaian antibiotik yang
tidak rasional dan pemuasaan penderita.
PATOFISIOLOGI
Diare sekretorik
Diare sekretorik adalah suatu bentuk diare dalam jumlah yang besar yang
disebabkan karena sekresi mucosal yang berlebihan dari cairan dan elektrolit
(Sudarmo et al, 2004). Paling sering disebabkan oleh enterotoksin bakteri, yang
merangsang sekresi kripte untuk melakukan sekresi aktif Cl- dan menghambat
proses uptake Na2+, Cl-, dan HCO3- adalah siklik AMP, siklik GMP dan Ca2+.
Contoh klasik diare sekretorik adalah kolera. Kolera memproduksi
enterotoksin yang mengaktivasi adenil siklase menyebabkan peningkatan siklik
AMP yang berakibat sekresi aktif Cl-. Sedangkan Eschericia coli, Yersinia
enterocolitica dan Klebsiella pneumoniae, memproduksi enterotoksin yang
meningkatkan siklik GMP. Pengaruh siklik GMP dalam menyebabkan diare
mirip dengan siklik AMP dan Ca2+. Bacillus cereus, C. perfringens, dan
Aeromonas menghasilkan eksotoksin sitotoksik yang mekanisme patogenesa
terjadinya sampai saat ini belum diketahui. Penyebab lain diare sekretorik adalah
adanya asam empedu intra luminal misalnya karena terputusnya siklus
enterohepatik daripada keadaan overgrowth bakteri.
Diare osmotik
Diare osmotik disebabkan meningkatnya osmolaritas intraluminal
misalnya absorbsi larutan dalam lumen kolon yang buruk. Sebagai contoh yang
klasik adalah defisiensi enzim disakaridase primer ataupun sekunder pada anak
yang menderita malnutrisi sehingga menyebabkan gangguan pemecahan
karbohidrat golongan disakarida, atau diare yang disebabkan Rotavirus
menyebabkan kerusakan mikrovili (brush border). Adanya karbohidrat (lactose)
yang tidak dapat diabsorbsi, setelah mencapai usus besar akan difermentasi
bakteri menjadi asam organic sehingga akan menyebabkan suasana hiperosmolar
yang kemudian dapat mengakibatkan sekresi air ke dalam lumen usus. Diare
osmotik dapat juga terjadi pada pemberian laktulose, oralit, ataupun bahan-bahan
lain yang bersifat hiperosmolar (Santosa, 2007).
PATOGENESIS
Titik sentral patogenesis diare persisten adalah kerusakan mukosa usus.
Pada tahap awal kerusakan mukosa usus tentunya disebabkan oleh etiologi diare
akut. Berbagai faktor, melalui interaksi timbal balik mengakibatkan lingkaran
setan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan rehabilitasi kerusakan mukosa
terhambat, tetapi juga menimbulkan kerusakan mukosa yang lebih berat, faktor-
faktor tersebut antara lain:
Berlanjutnya paparan etiologi infeksi, misal: infeksi Giardia yang tidak
terdeteksi, infeksi Shigella yang resisten ganda terhadap antibiotik.
Infeksi intestinal sekunder, misal: munculnya infeksi Clostridium difficile
akibat terapi antibiotik.
Infeksi parenteral baik sebagai komplikasi maupun sebagai penyakit penyerta,
yang sering adalah campak, OMA (Otitis Media Akut), ISK (Infeksi Saluran
Kencing) dan Pneumonia.
Bakteri yang telah menginfeksi usus halus (bakteri tumbuh lampau),
metabolit hasil penghancuran makanan oleh bakteri serta dekonjugasi dan
dehidroksilasi garam empedu bersifat toksik terhadap mukosa. Gangguan
metabolisme garam empedu menimbulkan gangguan penyerapan lemak.
Bakteri tumbuh lampau dan kemudian berkompetisi dengan tubuh
mendapatkan mikronutrien, misalnya vitamin B12.
Gangguan gizi yang terjadi sebelum sakit, yang diperberat oleh berkurangnya
masukan. Bertambahnya kebutuhan, serta kehilangan nutrien melalui usus.
Gangguan gizi tidak hanya mencakup makronutrien yang dapat menimbulkan
Kurang Energi Protein, tetapi juga malnutrisi mikronutrien, termasuk vitamin,
elektrolit dan trace element.
Menurunnya imunitas, biasanya disebabkan oleh: faktor etiologi , misalnya
pada shigellosis yang diikuti enteropati hilang protein, KEP (Kurang Energi
Protein), kurang mikronutrien (vitamin A, zinc dan cuprum) kerusakan
Diare berkepanjangan
Diare persisten dan enteropati
mukosa yang mengganggu imunitas instestinal lokal dan penyakit penyerta
misalnya campak.
Malabsorpsi yang sering terjadi adalah malabsorpsi laktosa sebagian besar
diikuti intolerasi laktosa.
Alergi yang sering adalah alergi terhadap protein susu sapi. Pada keadaan
diare lebih mudah terjadi penyerapan molekul makro. Molekul makro ini dari
golongan protein tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi jadi sensitisasi
dapat terjadi saat serangan diare yang sama. Akibat diare yang berlangsung
lama disertai dengan gangguan pencernaan pada diare persisten lebih
mungkin terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan hipoglikemia serta
KEP.
Akibat dari diare yang berlangsung lama disertai dengan gangguan
pencernaan pada diare persisten lebih mungkin terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit dan hipoglikemia, serta KEP.
Gambar 1. Alur Patogenesis Diare Persisten
Kondisi malnutrisi Pengobatan diare yang tidak optimalImunodefisiensi Reinfeksi atau diareDefisiensi mikronutrien berulang
DIAGNOSIS
Diare infeksius
Langkah Diagnosis:
Diagnosis ditegakkan atas adanya diare lebih dari 2 minggu. Hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah :
1. Kemungkinan anak mengalami dehidrasi:
a. Keseimbangan cairan, riwayat input dan output cairan;
b. Tanda dehidrasi
Derajat dehidrasi pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan
tatalaksana diare akut. Hanya perlu berhati-hati pada diare persisten yang
disertai KEP dan penyakit penyerta, yang dapat mengganggu penilaian
indikator derajat dehidrasi.
2. Nutrisi
Status gizi ditetapkan sesuai standar. Kurang mikronutrien seperti
vitamin A dan zinc dapat memperpanjang lama diare, tetapi sering
manifestasi klinik klasik kurang mikronutrien ini belum muncul.
Memeriksa kadar mikronutrien ini relatif sukar dan mahal, sehingga
dalam praktek, tanpa pemeriksaan lebih dulu, semua penderita dengan
diare persisten diberi suplementasi mikronutrien tertentu.
Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat makanan sewaktu
sehat, selama sakit, keadaan umum anak, serta melalui pengamatan untuk
menentukan cara (enteral atau parenteral) dan bentuk pemberian
makanan (cair, saring, lunak, atau biasa).
Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan
sewaktu sehat dan selama sakit, dihubungkan dengan manifestasi klinis
yang muncul untuk sampai pada dugaan ada tidaknya intoleransi pada
jenis makanan tertentu.
3. Penyebab infeksi
Pada diare persisten kita harus mencari faktor penyebab diare ini dengan
aktif. Langkah yang dapat dilakukan adalah:
Mempelajari perjalanan penyakit dengan harapan mengarahkan pada
diagnosis etiologik.
Melakukan pemeriksaan mikroskopik feses.
Melakukan pemeriksaan darah tepi.
Biakan feses.
4. Penyakit penyerta
Diare persisten sering disertai penyakit penyerta.
5. Indikasi rawat inap
Berumur kurang dari 4 bulan
Mengalami dehidrasi
Menderita KEP sedang dan berat
Menderita infeksi berat
Indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain
Penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan sesuai
dengan jenis, bentuk, dan jumlah yang direkomendasikan.
PENATALAKSANAAN
Diare Persisten
Penilaian Keadaan, Pertolongan Awal dan Stabilisasi
Manajemen NutrisiMelanjutkan Pemberian ASI, Mengurangi Laktosa
Follow up pertumbuhan
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Diare Persisten (Bhutta, 2006).
- Rehidrasi Intravena atau Oral (hypoosmolar ORS)- Koreksi Ketidakseimbangan Elektrolit- Terapi Mediakmentosa, Penapisan dan Pengobatan
Infeksi Sistemik Terkait
Prinsip umum dalam penatalaksanaan diare akut dapat diterapkan pada
diare persisten (Henry et al, 1992). Penderita baru dengan diare persisten
sebaiknya dirawat inap untuk mencari etiologi dan menatalaksana dengan baik.
Tujuan utama tatalaksana klinik adalah mempertahankan status hidrasi dan
keseimbangan elektrolit, status nutrisi dan memperbaiki kerusakan mukosa serta
pada keadaan tertentu memberi antibiotika yang tepat.
1. Penilaian Keadaan
Aspek terpenting dalam penatalaksanaan seorang anak dengan diare
persisten adalah penilaian keadaan (assessment) secara cepat dan penentuan untuk
penatalaksanaan selanjutnya (Bhutta, 2006).
- Anamnesis mengenai riwayat perjalanan diare, yakni penekanan pada
lamanya perjalanan diare, kemungkinan anak mengalami dehidrasi, frekuensi
buang air besar, adanya darah dalam tinja, diare menjadi lebih buruk setelah diberi
makanan tertentu, riwayat tindakan bedah saluran pencernaan, infeksi
ekstraintestinal saat itu, kesulitan pemberian makanan, kualitas dan kuantitas
pemberian makanan, obat yang ada di rumah yang pernah diberikan, apakah
antibiotik telah diberikan seperti yang dianjurkan, apakah anak dapat tumbuh
nomal.
- Pemeriksaan fisik, antara lain :
(a) Identifikasi adanya dehidrasi
Derajat dehidrasi pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan
tatalaksana diare akut, hanya perlu hati-hati pada diare persisten yang
disertai KEP dan penyakit penyerta, yang dapat mengganggu penilaian
indikator derajat dehidrasi.
Tabel 2. Modifikasi Petunjuk Dalam Menentukan Derajat Dehidrasi
(Markum, et al 2002)
Kegiatan A B C D1. Menanyakan Diare Muntah Haus
Kencing
<4 x sehari(-) atau sedikit(-)
4-10 x sehari(+) beberapa x(+)
sedikit, kuning
>10 x seharisering(++) atau takdapat minum(-) selama 6
>4 x; >2 minggudisertai/tidak disertai darah dan lendir
tua (oliguria) jam (anuria)2. Melihat Keadaan umum Air mata Mata Bibir dan lidah Nafas
baik(+)normalbasahnormal
lemah, gelisah(+)cekungkeringcepat
lunglai, - sadar(-)sangat cekungsangat keringsangat cepat dan dalam (Kuszmaul)
gizi kurang
3. Meraba Kulit
Nadi
Ubun-ubun
kekenyalannormalnormal (<120 kali/menit)
normal
kekenyalankurangcepat (120 – 140 kali/menit)
cekung
kekenyalansangat kurangsangat cepat lemah atau tak teraba (>140 kali/menit)cekung
kering, kekenyalan kurang
4. Menimbang Berat
normal (tetap) turun 25-100 gr/kgBb
turun >100 gr/kgBb
tidak sesuai dengan umur atau sudah lama tidak naik
5. Kesimpulan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat Diare kronik, diare persisten
(b) Identifikasi adanya komplikasi, antara lain hipovolemia, asidosis, gagal
ginjal, kejang, panas, muntah, malabsorpsi maltosa/glukosa, hiponatremi,
hipernatremi, ileus paralitikus, pernafasan dalam, dan mengantuk.
(c) Identifikasi derajat berat malnutrisi, yakni anak yang kelihatan tidak
gembira dan pasif merupakan hal yang umum didapatkan pada malnutrisi
sedang sampai berat. Banyak anak dengan malnutrisi karena malabsorpsi
pada diare persisten menunjukkan adanya kelambatan dalam
perkembangannya. Pemeriksaan yang cermat dari tinggi badan, berat
badan dan lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,
dan menilai kurva pertumbuhan anak merupakan hal yang mendasar dari
pemeriksaan fisik.
Penderita baru dengan diare persisten sebaiknya dirawat inap untuk
mencari etiologi dan. menatalaksana dengan baik. Tujuan utama tatalaksana klinik
adalah mempertahankan status hidrasi dan keseimbangan elektrolit, status nutrisi
dan memperbaiki kerusakan mukosa serta pada keadaan tertentu memberi
antibiotika yang tepat.
2. Pertolongan Awal dan Stabilisasi
Penderita dengan diare persisten membutuhkan penggantian kehilangan
cairan yang masih berlangsung dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit (Sunoto
et al, 1990).
a. Mempertahankan status hidrasi
Prinsip dasar pengantian cairan yang diterapkan pada diare akut tidak
banyak berbeda dengan yang diterapkan pada diare persisten (Henry, 1992).
Rehidrasi dimungkinkan secara peroral maupun melalui jalur intavena.
Volume cairan disesuaikan dengan derajat dehidrasi:
a. Tanpa dehidrasi : cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit
diberikan sesuai usia setiap kali buang air besar atau muntah dengan dosis:
- Usia kurang dari 1 tahun : 50-100 cc
- Usia 1-5 tahun : 100-200 cc
- Usia lebih dari 5 tahun : semaunya (200-300 ml)
b. Dehidrasi tidak berat (ringan-sedang); rehidrasi dengan oralit 75 cc/kgBb
dalam 3 jam pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang
berlangsung sesuai umur seperti di atas setiap kali buang air besar.
c. Dehidrasi berat; rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer
asetat 100 cc/kgBb. Cara pemberian:
- Usia kurang dari 1 tahun : 30 cc/kgBb dalam 1 jam pertama, dilanjutkan
70 cc/kgBb dalam 5 jam berikutnya.
- Usia lebih dari 1 tahun : 30 cc/kgBb dalam ½ jam pertama, dilanjutkan
70 cc/kgBb dalam 2 ½ jam berikutnya.
Minum diberikan jika pasien telah ingin minum 5 cc/kgBb selama proses
rehidrasi.
1. Peroral
- Cairan yang dibuat dari makanan yang biasa disajikan di rumah,
termasuk sup sayur-sayuran, sup ikan atau sup ayam.
- Cairan yang dibuat dari makanan yang mengandung sedikit garam dan
sumber glukosa berupa berupa polimer glukosa (misalnya tepung) atau
sukrosa. Komposisi cairan yang dibuat dari makanan ini mungkin dibuat
secara tepat menurut cara tradisional atau resep tradisional mungkin perlu
dimodifikasikan misalnya dengan mengencerkan campuran atau
menambahkan garam.
- Larutan gula garam adalah dengan mencampur ½ sendok teh garam
dapur dan 8 sendok teh gula dalam 1 liter air.
- Formula lengkap berupa larutan oralit yang dibuat dari satu bungkus
campuran glukosa dan garam yang dilarutkan dalam air adalah cairan
yang dianjurkan untuk mengobati dehidrasi. Cairan Oral Rehydration
Salts (ORS) marupakan formula dari WHO yang direkomendasikan dalam
Oral Rehydration Therapy (ORT).
Tabel 3. Komposisi Oralit WHO (Santosa, 2007)
Kandungan Oralit WHO (lama) (g/l) Oralit WHO (baru) (g/l)
NaCl 3,5 2,6
Glukosa 20,0 13,5 Glukosa anhydrous
KCl 1,5 1,5
Trisodium sitrat
dehidrat
2,9 atau berupa 2,5 Natrium
Bicarbonat
2,9
Total Osmolaritas 311 mOsm/l 245 mOsm/l
- Cairan rehidrasi reduced osmolarity rehiydration solution. Banyak
penelitian menunjukkan keunggulan dari reduced osmolarity rehiydration
solution dibandingkan dengan standar cairan rehidrasi oral WHO. Hahn et
al melaporkan bahwa reduced osmolarity rehiydration solution dikaitkan
dengan hasil yang lebih baik berkenaan dengan infus intravena, output dari
stool, dan efek terhadap kejadian muntah. Air tajin merupakan reduced
osmolarity rehiydration solution. Efikasi dari air tajin dimungkinkan
karena osmolalitasnya yang lebih rendah jika dibandingkan standar
rehidrasi oral. Dengan pemberian air tajin maka dapat dihasilkan cairan
yang hipo-osmotik sehingga dapat meningkatkan absorpsi air dan
memungkinkan penurunan cairan dalam ileum (Ho, 2001).
2. Cairan intravena.
Eksaserbasi akut dan dihubungkan dengan kaitannya dengan terjadinya
muntah sehingga rehidrasi intravena secara cepat diperlukan (Bhutta,
2006). Pada sebagian kecil penderita, mungkin terjadi gangguan absorpsi
monosakarida (glukosa, sukrosa) sehingga diare menjadi berat, pada
kasus-kasus demikian dilakukan dehidrasi secara intravena (Sunoto et al,
1990). Larutan Ringer Laktat adalah adalah larutan paling baik yang
diperdagangkan.
Tabel 4. Komposisi Ion dan Larutan Infus Intravena
Larutan Na+ K+ Ca+ Cl- Laktat/asetat
Ringer Laktat 130 4 3 109 28
Larutan ½ Darrow 61 18 0 52 27
Larutan NaCl 0,9% 154 0 0 154 0
Larutan Glukosa dan 0 0 0 0 0
Dekstrosa
b. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Ketidakseimbangan elektrolit dapat terjadi secara akut antara lain
berupa hipokalemia dan asidosis berat membutuhkan penanganan khusus.
- Hipernatremia (Na > 155 mEq/L), koreksi
penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian cairan
dekstrosa 5% + ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10
mEq perhari karena bias menyebabkan edem otak.
- Hiponatremi (< 130 mEq/L), koreksi kadar Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu memakai ringer
laktat atau normal salin, atau dengan meemakai rumus:
Kadar Na koreksi : (mEq/L) = 125 – kadar Na serum x 0,6 x berat
x BB; diberikan dalam 24 jam
- Hiperkalemia (K > 5 mEq/L), koreksi dilakukan
dengan pemberian kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBb iv perlahan-lahan
dalam 5-10 menit, sambil memantau denyut jantung.
- Hipokalemia (K < 3,5 mEq/L), koreksi dilakukan
menurut kadar K.
Jika kadar K 2,5 - 3,5 mEq/L, berikan 75 mEq/kgBb per oral per
hari dibagi 3 dosis.
Jika kadar K < 2,5 mEq/L; berikan secara drip intarvena dengan
dosis :
a. 3,5 – kadar K terukur x Bb (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBb/24 jam
dalam 4 jam pertama
b. 3,5 – kadar K terukur x Bb (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq/kgBb jam
dalam 4 jam pertama
c. Terapi Medikamentosa
Translokasi bakteri dan infeksi sistemik dapat terjadi pada anak
dengan diare persisten yang dapat menyebabkan kematian, sehingga memerlukan
pemberian antibiotik. terhadap bakteri. Pada keadaan sakit yang berat, diperlukan
pemberian awal dengan antibiotik broadspektrum sambil menunggu hasil kultur.
Dengan pengecualian pengobatan antimikroba terhadap organisme
tertentu yang ditemukan dalam tinja atau terhadap Shigella. Shigella diketahui
dapat menyebabkan terjadinya diare persisten dan dapat diterapi dengan
antibiotik. Terapi dengan antibiotik yang tidak spesifik, tanpa mengetahui
penyebab pasti terjadinya diare persisten, tidak terbukti efektif menyembuhkan
diare persisten dan sebaiknya tidak digunakan (Henry, 1996). Antiparasit
diindikasikan untuk amebiasis dan giardiasis.
Bahaya komplikasi penggunaan antimikroba merupakan alasan untuk
tidak menggunakan obat secara sembarangan. Terapi antibiotik diberikan sesuai
dengan Tatalaksana Diare Akut atau apabila ada infeksi non intestinal seperti
Pneumonia, Infeksi Saluran Kencing atau Sepsis.
Antibiotik pilihan pertama terkait dengan disentri berdasarkan WHO 2005
adalah golongan Quinolon, seperti siprofloksasin dengan dosis 30-50 mg/kgBb
tiap 8 jam, diberikan selama 5 hari. Pemantauan dilakukan 2 hari pengobatan,
jika tidak ada perbaikan maka amati penyulitnya, hentikan antibiotik sebelumnya
dan berikan antibiotik yang sensitif terhadap shigella berdasarkan area.
Tabel 5. Antimikroba Pada Pengobatan Diare Dengan Penyebab
Khusus (Komite Medik RSUP dr. Sardjito. 2000)
Penyebab Antibiotik Terpilih Pilihan Lain
Kolera Tetrasiklin 50 mg/kgBb/hari, p.o 4
kali sehari, 3 hari
TMP 5 mg/kgBb/hari-SMX 25
mg/kgBb/hari, p.o 2 kali sehari,
3 hari
Shigela TMP 10 mg/kgBb/hari-SMX 50
mg/kgBb/hari, p.o, 2 kali sehari, 5
hari
Asam Nalidiksat
60 mg/kgBb/hari, p.o, 4 kali sehari,
5 hari
Ampisilin 100 mg/ kgBb/ hari,
p.o, 4 kali/hari, 5 hari
Amoeba Metronidazol
30 mg/kgBb/hari, po, 3 kali/hari, 5
hari (tidak berat), 10 hari (berat)
Dehidroemetin HCl (kasus berat)
1-1,5 mg/kgBb/hari (maks. 90
mg), IM, 1 kali sehari, 5 hari.
Giardia Metronidazol 15 mg/ kgBb/ hari,
p.o, 2 kali/hari, 5 hari
Quinakrin 7,5 mg/ kgBb/ hari,
p.o, 3 kali sehari, 5 hari
2. Manajemen Nutrisi
Manajemen terhadap nutrisi merupakan bagian yang terpenting karena
adanya hubungan yang kuat antara diare persisten dengan terjadinya malnutrisi,
intoleransi laktosa dan kemungkinan terjadinya defisiensi mikronutrien. (Henry,
1992). Malnutrisi merupakan faktor predisposisi yang secara signifikan
mempertinggi kejadian dan keparahan diare serta meningkatkan insidensi dari
diare persisten (Lima et al, 1992).
Pemberian makanan secara tepat direkomendasikan untuk proses
pemulihan nutrisi mencegah penurunan berat badan (Ashraf and Alan, 2003).
Terdapat 2 prinsip dasar dietary management pada diare pesisten:
a. Jika anak masih mendapat ASI, ASI harus tetap diberikan. Kalau
anak tidak dapat menetek, ASI dapat diperas atau dipompa. Laktosa memang
tidak dianjurkan untuk diberikan pada diare persisten tetapi melihat nilai nutrisi
yang lain, sifat-sifat unologis dan sifat anti infeksi dari ASI maka kelanjutan
pemberian ASI pada penderita diare persisten harus tetap dipertahankan. Diare
persisten sangat jarang terjadi pada anak yang mendapat ASI dibandingkan anak
yang diberi susu sapi atau susu formula
Pada bayi yang tidak minum ASI diberikan susu rendah laktosa. Oleh
karena pada masa awal terjadinya diare, produksi laktase berkurang,
menyebabkan pencernaan yang lambat terhadap laktosa. Pada anak yang sedang
sakit melanjutkan pemberian susu mengandung laktosa, sejumlah laktosa yang
tidak tercerna terdorong ke dalam lower intestine, hal tersebut dapat
memindahkan cairan melewati dinding usus ke dalam lumen usus, yang dapat
memperparah kejadian diare.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi intoleransi terhadap
laktosa antara lain pengenceran susu, mencampurkan susu dengan makanan lain
misalnya serealia, mengganti susu dengan produk susu yang telah difermentasikan
misalnya dengan yogurt, serta menghentikan susu dan menggantinya dengan
makanan yang tidak mengandung laktosa misalnya bubur tepung atau formula
bukan susu (misalnya formula kedelai) (Bhutta, 2006).
Terapi untuk Cow’s Milk Allergy didasarkan pada eliminasi susu sapi.
Eliminasi sebaiknya berlanjut sampai 9 atau 12 bulan. Makanan yang bisa
diberikan adalah ASI yang merupakan makanan terbaik untuk bayi, spesial
formula dengan dasar casein hidrolisat dapat diberikan (Damayanti, 2007). Jika
terjadi malabsorpsi lemak, maka dipertimbangkan pemberian Medium Chain
Tryglicerida (MCT) (Sudarmo et al, 2004)
b. Memastikan bahwa anak memperoleh nutrisi dalam jumlah yang cukup.
Sasaran akhir ditujukan untuk menjamin tumbuh kembang yang optimal
dengan mengkonsumsi diet yang sesuai dengan umurnya berdasar pada kondisi
klinik yang normal, untuk itu kita harus mengupayakan regenerasi mukosa usus
dengan mematahkan lingkaran setan yang memperberat kerusakan mukosa usus.
Pasokan nutrien yang adekuat, baik dalam jumlah maupun komposisinya
merupakan langkah kunci untuk mencapainya. Pada diare persisten perlu ditekan
adanya malabsorpsi ganda dan berat, sehingga usaha pemberian nutrisi harus
disesuakan dengan kemampuan/kapasitas digesti dan absorpsi saluran cerna.
Kebutuhan air :
a) BB 0 –10 kg : 100 ml/kgBb
b) BB 11 – 20 kg : 1000 ml + 50 ml x ( Bb – 10 )
c) BB > 20 kg : 1500 ml + 20 ml x ( Bb –20 )
Kebutuhan Kalori :
a) BBLR : 150 Kkal / kgBb
b) BBLC : 120 Kkal / kgBb / bulan
c) BB 0 –10 kg : 100 Kkal / kgBb
d) BB 11–20 kg : 1000 Kkal + 50 Kkal x ( Bb-10 )
e) BB >20 kg : 1500 Kkal + 20 Kkal x ( Bb- 20 )
Kebutuhan asam amino :
a) BBLR 2,5 – 3 g /kg Bb
b) Usia 0 –1 tahun : 2,5 g /kgBb
c) Usia 2-13 tahun : 1,5 – 2 g /kgBb
Pemberian nutrisi oral akan memacu regenerasi mukosa, meningkatkan
kapasitas digesti dan absorpsi, sehingga akan memperluas pilihan jenis, bentuk
dan cara pemberian makanan. Kemajuan dalam terapi nutrisi parenteral, sangat
membantu penanganan diare persisten. Tetapi harus diingat nutrisi enteral harus
lebih diutamakan karena lebih murah, efek sampingnya lebih sedikit, dan yang
paling penting, ternyata rehabilitasi mukosa jauh akan lebih cepat dan sempurna
kalau diberi nutrisi intra luminal,yang hanya dapat dipasok melalui nutrisi enteral.
Banyak acuan dan cara pemberian makanan pada penderita diare persisten.
Makanan akan diberikan dalam bentuk padat atau cair, alami atau hidrolisat atau
produk nutrisi elemental sintetis; kontinyu atau intermiten diberikan secara oral
atau melalui pipa lambung atau pemberian nutrisi pareteral secara perifer atau
sentral. Nutrisi enteral harus merupakan prioritas walaupun terjadi peningkatan
volume dan frekuensi defekasi Keadaan ini dapat ditolerir sepanjang
keseimbangan nutrisi tetap positif. Hiperosmolaritas harus dihindari agar tidak
menyebabkan diare osmotik.
a. Nutrisi Enteral
Faktor yang dipertimbangkan :
a. Umur anak
b. Kebiasaan makan sebelum dan selama sakit
c. Kemampuan pencernaan anak
Anjuran umum untuk diet anak adalah :
Jika anak masih mendapat ASI, ASI harus tetap diberikan. Kalau anak
tidak dapat menetek, ASI dapat diperas atau dipompa. Laktosa memang tidak
dianjurkan untuk diberikan pada diare persisten tetapi melihat nilai nutrisi yang
lain. Sifat-sifat unologis dan sifat anti infeksi dari ASI maka kelanjutan pemberian
ASI pada penderita diare persisten harus tetap dipertahankan. Pada bayi yang
tidak minum ASI diberikan susu rendah laktosa.
Pengenceran susu, mencampurkan susu dengan makanan lain misalnya
serealia atau menghentikan susu dan menggantinya dengan makanan yang tidak
mengandung laktosa. Misalnya bubur tepung atau formula bukan susu (misalnya
formula kedele) (Sunoto et al, 1990).
Apabila anak sudah dapat mengkonsumsi bahan makanan biasa, pilihan
yang dianjurkan antara lain:
- Sumber Karbohidrat : beras
- Sumber Protein : daging ayam , tempe atau telur.
- Sumber Lemak: minyak sayur
Langkah berikutnya adalah menentukan bentuk makanan apakah : cair,
saring, lunak atau biasa. Bentuk yang dipilih disamping tergantung jenis makanan
yang akan diberikan, juga mengikuti pilihan cara pemberian makanan yang dapat
melalui mulut (makan sendiri, disendokkan).
Untuk semua anak, mengurangi jumlah makanan dan menambah
frekuensinya dan kepadatan gizi merupakan kunci asupan makanan yang cukup.
Lemak (minyak nabati) dapat ditambahkan untuk menambah kalori. Makanan
yang mengenyangkan dan tinggi osmolaritasnya misalnya sari buah dan minuman
ringan yang banyak mengandung gula harus dihindarkan atau diencerkan (Sunoto
et al, 1990). .
Bayi yang lebih tua dan anak harus diberikan makanan enam kali sehari
segera setelah bisa makan. Kebanyakan mengalami anoreksia selama satu hingga
dua hari sampai infeksi dapat ditanggulangi. Dalam hal ini maka dibutuhkan
makan lewat pipa.
b. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral adalah suatu teknik untuk memberikan nutrisi yang
diperlukan tubuh melalui intravena. Nutrien yang diberikan terdiri dari air,
elektrolit, asam amino, emulsi lemak, mineral, vitamin dan trace element.
Komplikasi pemberian nutrisi parenteral dapat disebabkan faktor metabolik
mekanik atau infeksi. Bila dilaksanakan dengan hati-hati komplikasi dapat ditekan
serendah mungkin. Pada diare persisten, nutrisi parenteral dapat diberikan secara
sentral atau perifer, total atau parsial tergantung pada keadaan klinis penderita.
Pertumbuhan dan kenaikan berat badan bayi dan anak yang mendapatkan
nutrisi parenteral secara sentral sama seperti bayi yang minum ASI atau susu
formula standar. dengan adanya nutrisi perenteral angka kematian pada diare
persisten menurun dari 70 –90% menjadi kurang dari 10%. Yang relatif lebih
mungkin dilaksanakan secara umum adalah pemberian terapi nutrisi parsial.
Prosedur ini tetap sangat membantu, karena pada kasus berat dengan kemampuan
perencanaan sangat minimal, dengan menggabung terapi nutrisi enteral dan
parenteral kita dapat memberikan pasokan nutrien yang lebih adekuat. Dengan
demikian diharapkan rehabilitasi mukosa usus akan terlaksana, kemampuan
pencernaan akan meningkat, sehingga porsi makanan enteral dapat ditingkatkan.
Sebagai pegangan untuk melaksanakan terapi nutrisi parenteral parsial ini dapat
digunakan patokan berikut :
Suplementasi Mikronutrien
Zat gizi mikro seperti Vitamin A, Zn, Fe, Vitamin B12, dan asam folat
sangat berguna untuk regenerasi mukosa, karena itu dianjurkan agar anak dengan
diare persisten, harus juga memperoleh tambahan multivitamin dan mineral setiap
hari selama 2 minggu yaitu suatu campuran vitamin dan mineral yang terdiri
dari minimal 2 RDA
(Recommended Daily Allowance) dari asam folat, Vitamin A, Zn, Cuprum dan
Magnesium. Contoh : Pada anak berumur 1 tahun berikan Asam folat 100 mcg,
Vitamin A mcg RE (Retinol Equal Valents ), Seng 20 mg, Cuprum 2 mg,
Magnesium 160 mg.
Suplementasi Zinc
WHO dan UNICEF merekomendasikan pemberian suplemen zinc sebesar
10 mg (pada bayi di bawah 6 bulan) hingga 20 mg per hari selama 10-14 hari,
karena mampu mengurangi angka kejadian selama 2-3 bulan setelah pemberian
suplemen (Rosalina, 2007).
Suplementasi zinc dihubungkan dengan efek klinis yang penting dalam
mengurangi resiko terjadinya diare berkelanjutan (± 23%), frekuensi terjadinya
episode diare persisten (±39%) serta dapat mengurangi jumlah watery stools (±
21-39%). Efek pengurangannya tersebut memungkinkan penurunan resiko
terjadinya dehidrasi dan kebutuhan terhadap penggantian cairan dan elektrolit
(Sazawal et al, 1995). Pada penelitian kecil terhadap diare persisten, pemberian
suplemen zinc 20 mg, dihubungkan dengan efek reduksi sebesar 20% terhadap
lamanya diare dan frekuensi dari stools.
Kemungkinan mekanisme yang ditimbulkan dari suplementasi zinc pada
diare antara lain meningktkan penyerapan air dan elektrolit pada intestinal,
memicu regenerasi dan memperbaiki fungsi dari epitel usus, meningkatkan jumlah
enzim yang terdapat di enterosit brush-border, membantu peran imunitas dalam
melawan proses infeksi termasuk imunitas selular dan imunitas humoral.
Vitamin A
Diare dapat menyebabkan kekurangan vitamin A, karena selama diare
absorpsi vitamin A berkurang. Karena itu bila ditemukan tanda-tanda dan gejala
klinis kekurangan vitamin A berupa rabun senja, harus diberi 200.000 i.u vitamin
A per oral. Penelitian membuktikan bahwa konsentrasi retinol dalam serum
berkurang pada keadaan defisiensi zinc. Selain itu juga dapat menyebabkan
ketidakmampuan dari retinol untuk mencapai konsentrasi normal dalam serum.
Hel ini terjadi karena kemungkinan adanya interaksi antara zinc dengan vitamin
A. Dibuktikan bahwa dengan suplementasi zinc yang dikombinasikan dengan
retinol vitamin A, maka konsentrasi retinol dalam serum akan meningkat. Pada
anak dengan malnutrisi, suplementasi zinc dapat meningkatkan konsentrasi retinol
binding protein dalam serum. Defisiensi zinc dan vitamin A sering ko-eksis pada
anak dengan malnutrisi, sehingga suplementasi zinc dapat menaggulangi
kegagalan dari suplementasi vitamin A (Rahman et al, 2001). Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Rahman dkk (2001) menunjukkan bahwa zinc dan vitamin A
jika digunakan bersama-sama menjadi lebih efektif dalam mengurangi kejadian
diare persisten.
Pemberian Probiotik
Probiotik telah dipercaya dalam pengobatan diare. Probiotik merupakan
mikroorganisme yang mempunyai efek menguntungkan terhadap kesehatan
manusia saat berkoloni di usus, dianjurkan sebagai terapi tambahan dalam
pengobatan diare. Beberapa mikroorganisme efektif dalam mengurangi keparahan
dan lamanya diare, antara lain Lactobacillus rhamnous, Lactobacillus plantarum,
beberapa strain dari Bifidobacteria, Enterococcus faecium, dan Saccharomyces
boulardii (Canani et al, 2007). Probiotik secara umum dianjurkan tanpa indikasi
spesifik. Efikasi sediaan probiotik dalam pengobatan diare dihubungkan dengan
strain dari masing-masing bakteri. Probiotik bisa berbentuk susu fermentasi,
yogurt, keju,mentega, sari buah dan susu formula yang difortifikasi dengan
bakteri asam laktat.
Prebiotik diberi batasan sebagai bahan makanan yang mempunyai efek
pada inang yang menguntungkan dengan secara selektif memacu pertumbuhan
dan aktivitas dari satu spesies atau sejumlah spesies bakteri dalam kolon (flora
komensal) yang dapat menunjang kesehatan.
Penderita diare perlu nutrisi untuk memulihkan kondisi usus. Pemberian
probiotik dapat menjadi alternatif pengelolaan nutrisi pada penderita diare. Dari
berbagai penelitian pemberian probiotik, prebiotik maupun kombinasi keduanya
(sinbiotik) dapat membantu mengurangi gejala, dan mempercepat terjadinya
proses penyembuhan.
Follow up Pertumbuhan
Dampak keberhasilan utama dari pengobatan diare persisten terhadap
pertumbuhan adalah penambahan berat badan, yang harus dipantau secara
seksama terutama bila diare tidak bereaksi terhadap pengobatan. Bila diare masih
terus berlangsung, penderita harus ditimbang sekurang-kurangnya sekali
seminggu dan ibunya harus mendapatkan penerangan mengenai pengobatan
berdasarkan hasilnya. Pemantauan pertumbuhan harus diteruskan setelah diare
berhenti sampai pertumbuhan yang baik tercapai (Sunoto et al, 1990).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Diagnosis penyebab dasar diare persisten memerlukan bantuan
laboratorium penunjang dan sangat mahal untuk dilakukan secara rutin. Beberapa
pemeriksaan rutin membantu menyingkirkan kemungkinan adanya patogen dan
membantu pemilihan diet bagi penderita.
Jika pada tatalaksana diare akut kita tidak dituntut untuk menelusuri jenis
kuman penyebab diare, pada diare persisten kita harus mencari faktor penyebab
ini dengan aktif. Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah:
Mempelajari perjalanan penyakit dengan harapan dapat mengarahkan kita
pada diagnosis etiologik (pendekatan diagnostik).
Melakukan pemeriksaan makroskopik feses, yang diamati adalah
kemungkinan terdapatnya darah pada feses.
Melakukan pemeriksaan mikroskopik feses. Temuan trofozoit atau kista
Amoeba atau Giardia mendukung diagnosis Giardiasis. Atau, ditemukannya
lekosit dalam jumlah yang banyak (10/LPB ) atau makrofag mendukung
diagnosis Shigella atau bakteri invasif lain. Infestasi cacing tertentu, misal
Strongyloides atau Trichiuris diperkirakan dapat menimbulkan diare.
Melakukan pemeriksaan darah tepi, adanya leukositosis mendukung infeksi
bakteri invasif, khususnya Shigellosis, sedangkan jika terjadi eosinofilia
mendukung adanya infestasi parasit.
Biakan feses dan kepekaan, dimintakan biakan untuk kuman enterik patogen
antara lain Shigella , Sallmonella , Campylobacter, Yersinia dan coli patogen.
Yang diamati adalah bakteri penyebab spesifik dan kepekaan terhadap
antibiotik.
Penetapan adanya intoleransi dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain:
- Pemeriksaan gula feses dengan tablet clinitest (uji klinik) atau tes
Benedict
- Pemeriksaan pH feses
- Pemeriksaan mikroskopik feses untuk melihat butir lemak
Terdapat serangkaian pemeriksaan lain misalnya lactose loading test dan
hydrogen breath test yang relatif lebih sukar untuk dilakukan. Dalam praktek
adanya intoleransi, baik yang berdasarkan malabsorpsi maupun alergi terutama
ditegakkan melalui uji withdrawal (avoidance) dan challenging (henti dan
tantang) pemberian makanan. Kelainan yang muncul pada tantangan dan
menghilang pada penghentian makanan yang diuji dapat dinilai hanya berdasarkan
manifestasi klinis tetapi dapat juga berdasarkan pemeriksaan penunjang. Dari
rangkaian langkah diagnosis ini kita dapat sampai pada kesimpulan apakah
penderita dengan :
a. Intoleransi laktosa, ditemukan pada lebih dari 80 % diare persisten
sehingga dalam penanggulangan diare persisten jika tidak memakai ASI,
pada tahap awal selalu diberikan makanan yang rendah atau bebas laktosa.
b. Sensitif terhadap protein susu sapi
c. Sensitif terhadap protein susu kedelai
d. Steatorrhoe
KOMPLIKASI DIARE
Pada diare persisten, dapat terjadi komplikasi selama diare, seperti:
perforasi usus, megakolon toksik, sepsis, hipoglikemia, hiponatremia, kejang,
Sindrom Uremik Hemolitik, dan malnutrisi.
Hipoglikemia: terjadi apabila kadar glukosa <45 mg/ dl atau 55 mg/ dl
pada malnutrisi. Bila penderita tidak sadar, berikan 2 ml/ kgBB
dekstrosa 10% secara i.v bolus. Bila tidak tersedia jalur i.v, dapat
diberikan 50 ml air gula lewat pipa nasogastrik. Apabila anak sadar
dan dapat menelan, berikan 50 ml air gula per oral. Pantau kadar gula
darah setelah 30 menit dan ulangi prosedur di atas apabila kadar gula
tetap rendah.
Hiponatremia: terjadi apabila kadar Na serum <120 mmol/ L
dilakukan intervensi berupa pemberian NaCl 3% intravena.
Jumlah kebutuhan Na dalam satuan meq:
(135-Na serum) x 2/3 x BB (dalam kg)
1 mil NaCl 3% mengandung 0,532 meq NaCl. Cairan diberikan dalam
waktu 2 jam. Jika kadar Na serum >120 mmol/ L diatasi dengan
pemberian oralit atau cairan intravena dengan kadar Na relatif tinggi,
misalnya Ringer laktat atau NaCl fisiologis.
Sepsis: Antibiotika diberikan secara parenteral yaitu kombinasi
ampisillin 100 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis dan gentamisin 5
mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 2 dosis. Jika ada tanda syok diatasi
dengan terapi cairan RL 15-30 ml/ kgBB dalam 30 menit sampai 1 jam
pertama. Bila tensi membaik, diteruskan dengan Ringer laktat-
Dekstrosa 5% untuk memenuhi kebutuhan cairan sesuai dengan
tekanan vena sentral.
Perforasi: diatasi dengan laparotomi. Antibiotika sama dengan yang
diberikan pada sepsis, dikombinasikan dengan metronidazol 8 mg/
kgBB/ hari.
Megakolon toksik: diduga toksin Shigella yang bersifat neurotoksik
berperan penting dalam mempengaruhi motilitas usus, dimana terjadi
penurunan motilitas kolon yang berat diikuti oleh distensi usus yang
berat. Distensi dan penurunan motilitas akan menyebabkan overgrowth
bakteri usus, pengembangan usus sehingga terjadi penipisan seluruh
dinding usus, terjadi penjepitan pembuluh darah yang dapat
menimbulkan anoksia, kelumpuhan fungsi usus serta memperlemah
mekanisme pertahanan. Tindakan paliatif yang penting adalah
melakukan dekompresi berupa pemasangan pipa dilanjutkan
pengisapan secara berkala. Makanan enteral dihentikan sementara
waktu. Pemberian makanan secara parenteral dilakukan seadekuat
mungkin.
Kejang: Kejang yang terjadi biasanya adalah kejang demam. Atasi
demam dengan pemberian parasetamol 10 mg/ kgBB/ dosis. Kejang
hanya sekali merupakan gejala yang sering terjadi, akan tetapi bila
terjadi lama dan berulang kali maka sebaiknya diberikan antikonvulsan
intravena, hindari antikonvulsan rektal. Berikan diazepam 0,3 mg/
kgBB tunggu 10 menit, jika masih kejang dan pernafasan baik, ulangi
dosis diazepam dengan pengawasan ketat terhadap pernafasan.
Sindrom Hemolitik Uremik: Sindrom ini ditandai dengan trias
anemia hemolitik akibat mikroangiopati, gagal ginjal akut, dan
trombositopenia. Anemia hemolitik akut ditandai dengan
ditemukannya fragmentosit pada hapusan darah tepi. Gagal ginjal akut
ditandai dengan oligouria, perubahan kesadaran dan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin. Trombositopenia dapat menimbulkan gejala
perdarahan spontan. Manifestasi perdarahan dapat pula disebabkan
oleh mikroangiopati yang dapat berlanjut menjadi DIC. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan temuan klinis serta pemeriksaan penunjang
untuk memastikan adanya trombositopenia, anemia hemolitik akut,
serta peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Jika laboratorium
tidak memungkinkan mendiagnosis SHU maka pasien dengan
gangguan kesadaran, pucat, serta urin sedikit harus dicurigai SHU.
Anemia dan perdarahan diatasi dengan transfusi termasuk transfusi
trombosit sesuai kebutuhan. Untuk mengatasi gagal ginjal pengelolaan
sesuai tata laksana gagal ginjal.
Malnutrisi: malnutrisi diatasi sesuai standar yang berlaku. Secara
umum acuan pemberian makanan pada kasus disentri adalah:
o Beri makanan sedikit-sedikit dengan frekuensi yang lebih
sering
o Memberi perhatian khusus agar anak dapat makan dalam
jumlah cukup
o Pemberian makanan ekstra, minimal sampai 2 minggu setelah
sakit.
PENCEGAHAN
1. Upaya mencegah penyebaran kuman yang menyebabkan diare,
dilakukan dengan:
(a) Pemberian ASI eksklusif pada bayi;
(b) Tidak menggunakan botol susu;
(c) Memperbaiki cara penyiapan dan penyediaan makanan pendamping
ASI;
(d) Menggunakan air bersih untuk minum;
(e) Mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja
anak atau sebelum makan atau menyuapi;
(f) Membuang tinja secara benar.
2. Meningkatkan daya pertahanan terhadap diare:
(a) Memberikan ASI sampai 2 tahun;
(b) Memperbaiki status gizi;
(c) Imunisasi campak (Santosa, 2007).
3. Pada CMA, dilakukan intervensi meliputi pemberian ASI eksklusif,
penggunaan formula hipoalergenik, penghindaran susu sapi, telur dan ikan selama
3 bulan pertama pada ibu menyusui menghasilkan penurunan insidensi IgE
terhadap susu sapi.
4. Pada AAD melalui penggunaan antibiotik secara rasional dan oleh
karena Clostridium difficile merupakan penyebab infeksi nosokomial, sehingga
harus dilakukan upaya menjaga kebersihan lingkungan rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amiruddin, Ridwan. 2007. Current Issue Kematian Anak (Penyakit Diare). FKM Jurusan Epidemiologi UNHAS Makassar. Available at http/www. google. com.
2. Ashraff and Alan. 2003. Treatment Of Infectious Diarrhea In Children. Available at http/www. [email protected]/pubmed
3. Bhutta, Z. A. 2006. Persistent Diarrhea In Developing Countries Of Pediatrics And Child Health. Pakistan. Ann Nestle. 2006: 64: 39-47. Accessible at http/www. karger. comlane.
4. Bhutta, Z. A and Kristy, M. Hendriks. 1996. Nutritional Management Of Persistent Diarrhea In Childhood A Perspective From The Developing World. Journal Of Pediatric Gastroenterology And Nutrition Volume 22. Available at http/www. google. com.
5. Damayanti, Wahyu. Cow’s Milk Protein Sensitive Enteropath dalam Naskah Lengkap Kongres Nasional III BKGAI.
6. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM dan PL. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare Edisi ke 4. 2005. Jakarta
7. Firmansyah, Agus. 2007. Diare Persisten dalam Naskah Lengkap Kongres Nasional III BKGAI.
8. Henry, et al. 1992. Persistent Diarrhoea. Clinical Update : A Supplement To Issue No. 48 Pages 1-4. Available at http/www. google. com.
9. Ho, Ting Fei. 2001. Oral Rehydration Solution. Available at http/www. bmjjournal. com.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
11. Karim, et al. 2001. Risk Factors Of Persistent Diarrhea In Children Below Five Years Of Age. Indian Journal Of Gastroenterology.
12. Komite Medik RSUP dr. Sardjito. 2000. Standar Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta : Medika Fakultas Kedokteran UGM
13. Lima, et al. 1992. Persistent Diarrhea in Northeast Brazil: Interactions With Malnutrition. Available at http/www. emedicine.com.
14. Markum, et al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
15. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab / UPF Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3. 2006. Surabaya : RSUD dr. Soetomo.
16. Rahman, et al. 2001. Simultaneous Zinc And Vitamin A Suplementation In Bangladeshi Children: Randomised Double Blind Controlled Trial. Available at http/www. bmjjournal. com.
17. Rosalina, Ina. 2007. Efikasi Pemberian Zinc Pada Diare dalam Naskah Lengkap Kongres Nasional III BKGAI.
18. Santosa, N. Budi. 2007. Perlunya Continued Feeding Pada Diare Akut dalam Naskah Lengkap Kongres Nasional III BKGAI.
19. Sayoeti, Yorva. 2007. Antibiotic Associated Diarrhea dalam Naskah Lengkap Kongres Nasional III BKGAI.
20. Sazawal, et al. 1995. Zinc Supplementation In Young Children With Acute Diarrhea In India. Available at http/www. thenewenglanjjournalofmedicine. com.
21. Sudarmo, et al. 2004. Sindroma Diare Patofisiologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Gastroenterologi Anak Edisi 3. Divisi Gastroenterologi Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR. Surabaya : RSUD dr. Soetomo.
22. Sutadi,Sri Maryani. Diare Kronik. 2003. FK Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Universitas Sumatera Utara. Available at http/www. usudigitallibrary.
23. UKK gastro-Hepatologi IDAI. 2009. Modul Diare.
24. Zein, Umar. 2004. Diare Akut Infeksius Pada Dewasa. FK Divisi Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Universitas Sumatera Utara. Available at http/www. usudigitallibrary