diare persisten
DESCRIPTION
RefratTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan pembangunan millennium (Millennium Development Goals) salah satunya
adalah mengurangi angka kematian anak sebanyak dua pertiga antara tahun 1990 sampai
dengan 2015. Pada kenyataaannya meskipun telah banyak kemajuan, masih banyak tugas
yang harus dilakukan. Hampir 9 juta anak usia di bawah 5 tahun meninggal tiap tahunnya.
Diare merupakan penyebab kematian kedua setelah pneumonia. Mengapa diare, penyakit
yang mudah dicegah dan diobati, mampu menjadi penyebab sekitar 1,5 juta anak usia
balita tiap tahunnya? 1
Tujuh puluh dua persen dari kematian berhubungan dengan diare dan 81% yang
berhubungan dengan pneumonia terjadi pada usia 2 tahun, menunjukan fakta bahwa
pencegahan dan penatalaksanaan pada neonatus dan anak usia 2 tahun sangatlah penting.
Beban dunia akibat insidensi dan tingkat keparahan penyakit baik diare maupun
pneumonia tertinggi di wilayah Asia Tenggara dan Afrika. 2
Diare merupakan salah satu gejala yang sering menjadi alasan pasien mengunjungi
dokter, baik diare akut maupun kronis. Meskipun secara umum diperkirakan bahwa
prevalensi diare kronik hanya berkisar 3 – 5% dari populasi, tetapi data ini menunjukan
bahwa kondisi ini masih merupakan suatu tantangan bagi kita.3 Penyakit diare masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia
karena angka kesakitan dan kematiannya masih tinggi. Survey morbiditas yang dilakukan
oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2006 angka kesakitan diare semua umur sebesar 423
per 1000 penduduk, angka kesakitan ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil survey
yang sama pada tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk, tahun 2003 sebesar 374 per
1000 penduduk, walaupun hasil survey 2010 terjadi penurunan yaitu sebesar 411 per 1000
penduduk tetapi penurunan ini sangat kecil. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare masih sering
terjadi terutama di wilayah dengan faktor risiko, kesehatan lingkungan yang jelek serta
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masih rendah. 4
Cakupan penemuan diare di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 48,5%,
mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2008 sebesar 47,8%. Data
selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa cakupan penemuan diare masih sangat
jauh di bawah target yang diharapkan yaitu sebesar 80%. Angka kematian diare (CFR) di
Jawa Tengah tahun 2006 mengalami penurunan, tetapi tahun 2007 sampai tahun 2009
1
mengalami kenaikan, hal ini dapat dinilai bahwa tatalaksana diare yang belum sesuai
dengan standar SOP, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pencegahan diare dan
pengetahuan petugas tentang upaya penanggulangan diare. Incidence Rate diare di
Provinsi Jawa tengah pada tahun 2009 sebesar 1,95%, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 1,86% .5
2
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi dan Faktor risiko
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) mendefinisikan diare sebagai buang air besar
tiga kali atau lebih dalam jangka waktu 24 jam . Sebuah episode baru diare dapat terjadi
setelah dua hari penuh tanpa diare. Episode diare yang berlangsung selama kurang dari 14
hari didefinisikan sebagai akut, episode yang berlangsung selama lebih dari 14 hari
didefinisikan sebagai persisten. Beberapa literatur menyebutkan episode diare yang
berlangsung antara 7 – 13 hari disebut prolong diare akut. Prolong akut diare ini
merupakan episode penting yang dinilai dapat menentukan perjalanan episode persisten
diare di kemudian hari. 6 7
Faktor risiko yang mempengaruhi durasi diare persisten diantaranya usia, patogen
penyebab, status gizi anak, masa penyapihan dini, status pendidikan ibu. 8 9
a. Umur memiliki pengaruh penting pada durasi diare. Sebagian besar penelitian telah
secara konsisten menemukan bahwa bayi mengalami risiko diare persisten pada lebih
tinggi daripada anak-anak yang usianya lebih tua. Beberapa studi telah
mengidentifikasi bahwa anak-anak kurang dari 6 bulan memiliki risiko lebih tinggi,
sedangkan peneliti lain telah menemukan bahwa episode diare persisten yang tertinggi
pada anak usia 19 sampai 24 bulan
b. Patogen penyebab pada diare persisten bervariasi, beberapa literatur meyebutkan
beberapa patogen tersering yang ditemukan pada pemeriksaan.
Campylobacter banyak ditemukan di lingkungan dan, oleh karena itu anak-anak
terpapar bakteri pada usia yang sangat muda dengan tingkat infeksi yang tinggi di
negara-negara berkembang. Infeksi Campylobacter yang paling parah pada anak-anak
muda, tetapi pada anak usia 2 sampai 3 tahun gejala kurang parah dan infeksi lebih
sering tanpa gejala. Anak kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI biasanya dilindungi
terhadap infeksi.
Penyakit yang berhubungan dengan Salmonella nontyphoidal biasanya self-limited
dan sembuh dalam waktu 5 sampai 7 hari. Gejala umum termasuk diare cair, tinja
non-darah, sakit perut, mual, muntah, demam, dan menggigil.
Shigella ditemukan paling sering di lokasi yang padat penduduk dengan kondisi
sanitasi yang buruk dan persediaan air yang tidak aman, maka Shigella banyak
ditemukan di negara-negara berkembang. Hal ini jarang terjadi pada anak-anak kurang
3
dari usia 6 bulan lebih sering terjadi pada anak-anak, terutama mereka yang berusia 1
sampai 5 tahun.
Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah patogen enterik umum yang
menyebabkan penyakit diare tidak hanya pada manusia, namun pada hewan peliharaan
juga. Keparahan penyakit yang berhubungan dengan ETEC dapat sangat bervariasi,
dari ringan sampai profuse diare berair. Gejala tambahan lebih jarang dialami
termasuk demam, mual, menggigil, muntah, kepala dan nyeri otot, dan kurangnya
nafsu makan. Gejala biasanya berlangsung 3 sampai 4 hari, dan biasanya penyakit
tidak melebihi 3 minggu. Anak-anak kecil, pada usia penyapihan biasanya lebih
rentan. ETEC diidentifikasi lebih sering pada anak-anak dengan diare persisten
dibandingkan dengan diare akut di pedesaan India, tetapi asosiasi itu tidak signifikan
secara statistik.
Agen penyebab penting diare anak di negara-negara berkembang adalah
enteropathogenic Escherichia coli (EPEC), menyebabkan sekitar 5-10% dari episode
diare.
Salah satu ciri khas dari enteroaggregative Escherichia coli (EAEC) adalah lamanya
sakit yang berhubungan dengan infeksi. Meskipun, pathogenesitas dari EAEC masih
menjadi pertanyaan karena semua penelitian epidemiologi belum terkait infeksi diare.
Ada beberapa kemungkinan alasan untuk hal ini. Beberapa alasan yang mungkin
termasuk diantaranya: organisme ini banyak terdapat dalam tinja dalam waktu lama
setelah sakit berhenti, penyakit ini sering tidak bergejala, patogenik E.coli termasuk
dalam EAEC, dan terakhir, karena gambaran klinis infeksi ini tidak jelas kemungkinan
patogen ini tidak terdentifikasi sangat besar. Studi di timur laut Brazil dan India
pedesaan, telah menemukan EAEC untuk dihubungkan dengan diare persisten,
sedangkan penelitian lain di Brazil menemukan EAEC didapatkan baik pada kasus
dan kontrol.
Rotavirus merupakan penyebab umum penyakit diare yang parah dan kadang-kadang
menyebabkan kematian pada anak-anak di seluruh dunia. Infeksi rotavirus biasanya
menyebabkan diare berair, muntah, sakit perut, dan demam. Durasi penyakit
bervariasi dari 3 sampai 8 hari dan telah ditemukan terkait dengan diare akut tetapi
jarang dengan diare persisten.
Giardia lamblia juga disebut sebagai Giardia intestinalis adalah protozoa usus yang
umum dan mungkin ada dalam 20-30% dari anak di negara berkembang. Gejalanya
memiliki spektrum yang luas dari tanpa gejala, diare, diare kronis. Durasi penyakit
4
bisa panjang, berlangsung 2 sampai 6 minggu, bahkan lebih lama dalam beberapa
kasus. Pada anak-anak yang hidup di timur laut Brazil, Giardia sering diidentifikasi
pada anak-anak dengan diare persisten.
Penyakit akibat Cryptosporidium biasanya menunjukan diare berair bersama dengan
sejumlah gejala lain termasuk demam, mual, muntah, kram perut. Durasi penyakit
dapat singkat hanya beberapa hari atau selama 4 minggu atau lebih; biasanya gejala
muncul selama 1 sampai 2 minggu. Cryptosporidium telah diidentifikasi sebagai
patogen penting dalam diare persisten, terutama pada anak-anak yang kekurangan
gizi.
c. Status nutrisi anak merupakan fenomena "lingkaran setan" pada penyakit diare. Diare
menyebabkan kekurangan gizi dan, pada gilirannya, status gizi buruk merupakan
predisposisi lebih lanjut, episode diare yang lebih panjang. Efek akut dari episode
diare terhadap status gizi mungkin memiliki implikasi kronis pada pertumbuhan.
Meskipun pertumbuhan catch-up setelah penyakit diare, studi dan analisis multinegara
yang lebih baru, telah menunjukkan bahwa diare anak usia dini masih menjadi faktor
prediktif gagal tumbuh di usia 2 tahun dan seterusnya.
d. Penyapihan dini menyusui dikaitkan dengan onset awal diare persisten. Menyusui
merupakan faktor protektif terhadap diare dan membatasi durasi sakit. Menyusui harus
tetap menjadi komponen penting dari program pengendalian diare.
e. Beberapa penelitian di negara berkembang menunjukan kaitan yang signifikan antara
tingkat pendidikan ibu dengan kejadia diare persisten pada anak.
Etiologi
Penyebab diare persisten pada populasi belum banyak dipahami, dan pada individu
seringkali tidak diketahui. Beberapa patogen, seperti Cryptosporidium, Giardia lamblia
dan enteroaggregative Escherichia coli ( EAggEC ) diduga berhubungan dengan diare
persisten. Anak dengan diare persisten dan infeksi HIV mungkin memiliki pola patogen
enterik yang berbeda dari mereka yang tidak HIV. Patogen yang terdeteksi pada diare
persisten seringkali tidak sama dengan yang terdeteksi pada episode diare akut,
menunjukkan adanya infeksi sekunder dalam perjalanan penyakitnya. Selain itu, anak-anak
mungkin terinfeksi dengan lebih dari satu patogen enterik, sehingga sulit untuk
mengidentifikasi patogen enterik. Diare persisten juga dapat dikaitkan dengan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus kecil dan dengan status gizi buruk Selain itu,
5
diare dapat disebabkan oleh beberapa faktor termasuk defisiensi mikronutrien, susu atau
intoleransi makanan, atau penyakit usus , serta terapi antibiotik sebelumnya.6
Penyebab paling umum dari diare infeksi ditunjukkan pada Tabel I. Insiden
patogen ini bervariasi antara negara maju dan berkembang. Di negara-negara maju sekitar
70% dari kasus diare adalah viral (40% rotavirus), 10-20% bakteri dan < 10% dari
protozoa. Di negara-negara berkembang 50-60% dari kasus bakteri (E.Coli
Enteropathogenic 25%, Campylobacter jejuni 10-18%, masing-masing Shigella spp dan
Salmonella spp 5%), 35% dari virus (rotavirus 15-25%), dan banyak penyebab diare tidak
diketahui atau merupakan infeksi yang bersamaan. Di negara-negara berkembang
prevalensi diare juga bervariasi menurut negara. Misalnya, masih banyak kasus kolera di
India dan Asia Tenggara, sementara di Afrika rotavirus telah terbukti menjadi agen
penyebab 28-49% dari kasus di Ethiopia tetapi hanya 14% dari kasus di Tanzania.
Tabel 1. Patogen tersering penyebab diare pada anak
Diare rotavirus adalah etiologi yang paling penting pada kejadian diare di seluruh
dunia dan menjadi penyebab diare dehidrasi berat yang membutuhkan rawat inap. Beban
tahunan penyakit diperkirakan sebagai lebih dari 110 juta episode diare, 25 juta kunjungan
klinik, 2 juta rawat inap serta 600.000 kematian anak per tahun. Lebih dari 90% kematian
6
Sumber: Causes and management of diarrhoea in children in a clinical setting, 2010
akibat rotavirus terjadi di negara berkembang. Perbaikan dalam penyediaan air dan
sanitasi telah terbukti mengurangi penularan bakteri enterik dan parasit, tetapi tidak
tampak memiliki dampak besar pada diare rotavirus, sehingga pengenalan vaksin
menunjukkan janji terbesar dalam mengurangi beban penyakit.
Usia puncak infeksi berkisar antara usia enam bulan sampai dua tahun. Di negara-
negara berkembang, sering didapatkan usia anak yang lebih muda, dengan usia rata-rata
rawat inap dari semua penyebab diare menjadi sembilan bulan bila dibandingkan dengan
enam bulan diare rotavirus, dengan 97% kasus terjadi pada anak-anak berusia di bawah 18
bulan. Beberapa studi menunjukkan bahwa sampai dengan 38% dari pasien dengan diare
rotavirus adalah <6 bulan usia. Dosis infeksi kecil diperlukan (<100 partikel virus) bagi
virus untuk masuk ke epitel usus kecil di mana virus menguraikan suatu enterotoksin kuat
yang merusak sel-sel epitel menyebabkan vili tumpul dan pelepasan virus besar. Hal ini
menyebabkan diare non-infammatory, dehidrasi cepat dan gangguan elektrolit akibat
profuse diare. Hal ini sering dikaitkan dengan demam awal dan muntah selama dua sampai
tiga hari, dan perjalanan infeksi berlangsung 2-7 hari.7, 8
Patogenesis
Patogenesis meskipun tidak dipahami dengan baik, saat ini diyakini multifaktorial-
persistent cedera mukosa diantaranya karena patogen tertentu (E.coli, Shigella,
Salmonella, Campylobacter), infeksi berurutan dengan beberapa patogen, dan faktor host
(makro, defisiensi mikronutrien dan sistem kekebalan tubuh). Dalam penelitian terbaru,
23% dari anak-anak dengan Shigellosis berkembang menjadi diare persisten. Risiko diare
akut menjadi persisten berkali lipat pada anak-anak kurang gizi dan pada mereka dengan
malabsorpsi karbohidrat sekunder. Faktor risiko lain termasuk usia yang sangat muda,
infeksi sebelumnya, pengenalan pada susu hewan, penggunaan antibiotik yang tidak
rasional, dan kurangnya menyusui. Pada diare persisten, inflamasi kronis dan lesi pada
pada morfologi mukosa abnormal, menyebabkan penyerapan yang buruk dari nutrisi
luminal dan peningkatan permeabilitas usus terhadap antigen makanan atau mikroba
normal. Pada anak-anak yang usianya lebih muda kondisi usus lebih buruk karena
pematangan mukosa usus yang belum sempurna.
Defisiensi mikronutrien berkontribusi terhadap perbaikan usus dan kekurangan
seng dapat mengakibatkan perpanjangan cedera mukosa dan mekanisme perbaikan usus
yang lambat. Peran defisiensi imun pada diare persisten belum dapat dipahami dengan
baik. Defisiensi mikronutrien sendiri dapat menyebabkan defisiensi imun sementara yang
7
bisa menjadi faktor risiko penting untuk diare persisten. Diare persisten saat ini semakin
diakui sebagai manifestasi dari infeksi HIV dan sporidiosis kriptografi.
Diagnostik terbaik dan terapi untuk penyakit diare telah dikembangkan berdasarkan
pemahaman tentang patofisiologi dasar dari patogen yang terlibat (Gambar 1 dan Tabel 2).
Infeksi usus kecil bagian atas yang relatif non-invasif dan non-inflamatory, menyebabkan
diare berair. Biasanya digambarkan sebagai sekretori, akibat peningkatan sekresi klorida,
natrium, menurunnyaabsorbsi, atau peningkatan permeabilitas mukosa. Kolera, prototipe
diare sekretori, disebabkan oleh enterotoksin Vibrio cholerae (toksin kolera). Toksin
kolera mengikat epitel receptor GM untuk mengaktifkan adenilat siklase, yang
menghasilkan siklik adenosin 3', 5' monofosfat (cAMP). Produksi cAMP terus menerus
mengaktifkan saluran klorida, menghasilkan produksi air terus berlanjut dan sekresi
elektrolit yang mengarah pada diare berair. Mirip dengan V. cholerae, enterotoksigenik
E.coli (ETEC, penyebab utama traveler's diarrhea) menghasilkan enterotoksin yang
mengaktifkan adenilat atau guanylate, menyebabkan sekresi klorida ke usus.
8
Gambar 1. Fisiologi normal usus dan perubahan oleh patogen dan toxin patogen. Asupan oral rata-rata untuk orang dewasa adalah 1,5 L cairan/hari.Bersama dengan saliva, lambung, empedu, pankreas dan sekresi 7 L cairan masuk ke usus halus bagian atas setiap hari, yang sebagian besar diserap pada saat mencapai usus kecil bagian distal. Namun, cairan pada usus distal ini bercampur dengan dengan fluks air dan elektrolit dua arah yang besar di usus proksimal yang mungkin melebihi 50 L isotonik cairan setiap hari, untuk membantu dalam penyerapan. Transportasi elektrolit dua arah didorong oleh adenosin trifosfat (ATP) -dependent natrium yang aktif (Na) pompa penyerapan yang terletak di membran basolateral dari kedua sel crypt dan villus ujung usus (tengah). Karena saluran klorida (Cl) terletak pada permukaan luminal sel-sel crypt, pompa Na ini menengahi sekresi Cl (bersama dengan Na dan air) dari kriptus dan penyerapan NaCl netral dalam sel ujung villus yang berbeda. Dengan demikian, pergeseran relatif kecil dalam dua arah besar ini fluks mudah dapat membebani daya serap kolon, yang jarang melebihi 2-3 L / hari. Seperti toksin kolera (CT), E coli heat-labille toxin (LT) membuka saluran Cl, yang mengarah ke diare cair sekretori atau traveller diare. E.coli heat stabille toxin (ST) mengaktifkan guanylate cyclase untuk meningkatkan intraseluler siklik guanosin monofosfat (cGMP), menghambat penyerapan NaCl dan menyebabkan diare sekretori. Kerusakan selektif ujung villi serap, yang terjadi pada virus, protozoa, dan proses inflamasi lainnya menyebabkan crypte sekretori tidak seimbang yang tidak diimbangi dengan penyerapan ujung villus yang sehat, juga menyebabkan diare berair. Patogen usus kecil disajikan dalam panel kanan: mereka yang memproduksi enterotoksin sekresi berada di kotak merah, yang selektif mengganggu ujung villi serap dalam kotak hijau, dan patogen ileocolonic berada dalam kotak cokelat. 9
Diare sekretorik juga disebabkan oleh bakteri patogen seperti EAEC atau EPEC,
yang mengaktifkan jalur sinyal sel yang berkontribusi terhadap penyakit usus dan gejala
gastrointestinal. Mikroba ini berkolonisasi di GIT dan kemudian memicu peradangan atau
memicu respon dalam sel host.Mikroba juga menghasilkan toksin yang dapat mengganggu
fungsi penyerapan usus dan menyebabkan diare.
Tabel 2 Patogen enterik berdasarkan lokasi
Patogen virus dan protozoa bertindak melalui mekanisme yang berbeda untuk
menginduksi diare sekretorik. Rotavirus, norovirus, dan protozoa seperti Cryptosporidium
terutama menginfeksi dan merusak ujung-ujung vili serap, menyebabkan
ketidakseimbangan kriptus sekretorik, menyebabkan sekresi dan diare. Rotavirus
menyebabkan diare di musim dingin-atau musim kemarau pada anak-anak di seluruh
dunia, sedangkan noroviruses adalah penyebab utama dari segala usia di daerah beriklim
dingin serta diare di musim kemarau di daerah tropis. Protozoa Giardia intestinalis,
Cryptosporidium parvum atau hominis, dan Strongyloides stercoralis (cacing dominan
yang menyebabkan diare di daerah tropis) mengganggu arsitektur villi serap melalui
infeksi langsung atau dengan memicu epitel host atau respon peradangan.10
Metode diagnostik
Selama bertahun-tahun, infeksi enterik didiagnosis dengan analisis kultur bakteri
dan mikroskop untuk mendeteksi telur dan parasit. Agar selektif memungkinkan kultur
spesifik Salmonella, Shigella, Vibrio, Yersinia, dan spesies Campylobacter. Isolasi patogen
masih merupakan metode yang bermanfaat untuk mengidentifikasi spesifik strain, faktor
10
virulensi, atau toksin selama terjadi wabah. Identifikasi gen bakteri dapat dideteksi dalam
sampel tinja dengan menggunakan teknik diagnostik molekuler, meskipun metode ini
masih terbatas pada pengaturan penelitian. Untuk beberapa patogen identifikasi toksin itu
sedniri lebih sebaga contoh kasus untuk enterotoksigenik Vibrios dan E coli, serta toksin
enterohemorrhagi E.coli (EHEC). Jadi deteksi toksin sebenarnya lebih relevan dengan
diagnosis dari sekedar kultur organisme.
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk meliha telur dan
parasit merupakan tehnik tradisional untuk mendiagnosa parasit usus. Meskipun tehnik ini
lebih murah, tetapi sensistivitasnya tergantung padaberatnya infeksi, spesimen merupakan
spesimen baru, dan sangat dipengaruhi keahlian pemeriksa. Parasit coccodia dapat dapat
dilihat dengan berbagai pengecatan, termasuk Ziehl– Neelsen, Kinyoun acid-fast,
Auramine-rhodamine, Gomori’s trichrome, atau Giemsa.
Metode yang digunakan saat ini mulai beralih pada pemeriksaan yang lebih sensitif
dan spesifik (dan sedikit bergantung pada keahlian pemeriksa) metode ELISA digunakan
untuk mendeteksi protozoa seperti Giardia dan Cryptosporodium dari sampel feses.
Analisis PCR dapat mendeteksi sebagian besar infeksi protozoa dan lebih sensitif
dibanding metode deteksi antibodi. Namun demikian pemeriksaan ini masih sangat jarang
dikerjakan di Indonesia.
Managemen
Rekomendasi saat ini Program Penyakit Manajemen Terpadu Balita untuk
mengobati diare persisten adalah bahwa anak-anak dengan diare berdarah diobati dengan
antibiotik untuk Shigella, atau untuk Entamoeba histolytica jika organisme terdeteksi
dalam tinja; dianjurkan bahwa anak-anak dengan berair diare tidak diobati dengan
antimikroba; kecuali ditemukan Giardia lamblia. Bahkan ketika patogen enterik terdeteksi
pada anak dengan diare persisten, tidak selalu jelas bahwa ini adalah penyebab penyakit.
Selain itu, petugas kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah sering
memiliki keterbatasan akses ke fasilitas diagnostik untuk menganalisis sampel tinja dari
anak-anak dengan diare. Dalam situasi ini, pengobatan harus berdasarkan sindrom,
berdasarkan gejala dan penyebab paling mungkin dari gejala; dan mungkin termasuk
cairan dan elektrolit pengganti, rehabilitasi gizi dan antibiotik jika diperlukan. 6
Penggunaan antimikroba empiris perlu diberikan dengan hati-hati karena dapat
menyebabkan resistensi obat, dan juga untuk efek samping potensial dengan beberapa
mikroorganisme: seperti pada entero-hemoragik E. coli (EHEC) dapat melepaskan racun
11
lebih mudah ketika seseorang diperlakukan dengan beberapa jenis antibiotik, yang
berpotensi menyebabkan penyakit yang semakin parah.6 10
Kerusakan mukosa usus dan konsekuensi masalah yang berkaitan dengan absorbsi
nurient merupakan fenomena yang umum ditemukan pada kasus diare persisten sehingga
managemen nutrisi merupakan tatalaksana yang mendasar pada kasus diare persisten.
Perlunya pemilihan diet yang tidak mahal sangat penting karena diare persisten seringkali
mengharuskan manajemen dalam pengaturan masyarakat. Campuran susu sereal yang
mengandung kadar susu tidak terlalu tinggi adalah hampir sama manfaatnya dengan diet
bebas susu pada tahap awal, ketika diare tidak parah. Diet bebas susu dengan karbohidrat
sederhana atau kompleks sangat ideal bagi mereka dengan penyakit yang berat. Diet
berbasis monosakarida hanya diperlukan bagi mereka yang memberikan respon. 9,10
Saat awal dirawat di rumah sakit, sebagian besar pasien mengalami dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit yang perlu koreksi. Bukti menunjukkan bahwa oralit
osmolalitas rendah bermanfaat dalam pengelolaan dehidrasi pada diare persisten. 9,10
Kepadatan energi dari makanan harus sekitar 1 kalori/g dan asupan sekitar 100
kalori/kg berat badan. Mikronutrien harus diberikan untuk setidaknya 2 minggu;
multivitamin (dua kali RDA), asam folat (5 mg sehari 1, kemudian 1 mg / hari), seng (2
mg/kg/hari) dan copper (0,3 mg/kg/hari). Oral vitamin A (<6 bulan 50.000 IU, 6-12 bulan
100.000 IU) dan dosis vitamin K parenteral harus diberikan saat masuk. Bayi gizi buruk
memerlukan 50% magnesium sulfat 0,2 mL/kg/dosis dua kali sehari selama 2 -3 hari.
Setelah bayi sudah mulai membaik dan kenaikan berat badan, 3 mg/kg/hari preparat besi
ditambahkan. Analisis empat penelitian besar dilaporkan efek yang menguntungkan dari
seng pada bayi dengan diare persisten.9,10
Pemberian suplementasi seng memerikan manfaat pada durasi diare, meningkatkan
absorpsi air dan elektrolit dan regenerasi epitel saluran cerna yang lebih cepet. Peningkatan
produksi enzim pada ujung-ujung brush border dan peningkatan respon imun juga
digambarkan merupakan efek dari pemberian suplementasi seng.11
Probiotics merupakan mikroorganisme yang terbukti memberikan manfaat dalam
pencegahan dan mengurangi durasi sakit pada anak dengan diare akut. L. Rhamnousus GG
merupakan sedian yang paling banyak diteliti. Namun demikian manfaatnya pada kasus
diare persisten belum banyak ditelitit. Pada suatu sisitemik review dari 4 penelitian yang
membandingankan probiotik spesifik dengan plasebo pada anak dengan diare persisten di
India, Meksiko, Argentina, dan Algeria. Hanya 1 penelitian yang memiliki kualitas baikm
dan rendah ririko bias. Dari penelitian ini didapatkan pemberian L. Rhamnosus GG
12
menurunkan durasi sakit 4 hari, menurunkan lama rawat kurang lebih 8 hari dan tidak
didapatkan efek simpang pada kelompok pemberian probiotik. 12
Strategi pencegahan merupakan komponen penting pada managemen diare
persisten. Perbaikan status gizi baik pada bayi maupun anak-anak merupakan kunci
managemen baik pada diare akut maupun diare persisten. Intervensi yang murah dan
efektif terutama diterapkan pada masyarakat diantaranya promosi pemberian ASI
eksklusif, perilaku pemberian MP-ASI yang aman, promosi penyediaan air bersih,
pemberian ORS osmolalitas rendah, suplementasi seng, menghindari penggunaan
antibiotik irasional dan melanjutkan pemberian makanan selama anak diare. 10
13
BAB III
KESIMPULAN
1. Diare masih merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas di dunia terutama
negara – negara berkembang seperti Indonesia.
2. Faktor risiko yang mempengaruhi durasi diare persisten diantaranya usia, patogen
penyebab, status gizi anak, masa penyapihan dini, status pendidikan ibu.
3. Penyebab diare persisten belum banyak diketahui. Beberapa patogen didduga
merupakan penyebab diare persiseten teruatam di negara berkembang.
Keterbatasan metode diagnostik di negara berkembang menjadi alasan sulitnya
mengidentifikasi patogen penyebab diare persisten
4. Patogenesis meskipun tidak dipahami dengan baik, saat ini diyakini multifaktorial-
persistent cedera mukosa diantaranya karena patogen tertentu (E.coli, Shigella,
Salmonella, Campylobacter), infeksi berurutan dengan beberapa patogen, dan
faktor host
5. Managemen pada diare persisten mencakup preventif, kuratif ,dan suportif
14
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. The Millennium Development Goals Report 2009. In: Ki-Moon B, editor. New York: 2009.
2. Walker CLF, Rudan I, Liu L, Nair H, Theodoratou E, Bhutta ZA, et al. Global burden of childhood pneumonia and diarrhoea. wwwthelancetcom. 2013.
3. Abdullah M, Firmansyah MA. Clinical Approach and Management of Chronic Diarrhea. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 2013;45(2):157-165.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pengendalian Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan 2011 2011:19-25.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Semarang: 2009.
6. Abba K, Sinfield R, Hart A, Garner P. Pathogens associated with persistent diarrhoea in children in low and middle income countries: systemic review. BMC Infectious Disseases. 2009;9(88):1-15.
7. Cooke M. Causes and management of diarrhoea in children in a clinical setting. S Afr J Clin Nutr. 2010;23(1):42-46.
8. Schilling KA. Characteristics and etiology of moderate-to-severe diarrhea of acute, prolonged acute, and persistent duration among children less than 5 years old in rural western Kenya, 2008-2010. Georgia: Georgia State University; 2010.
9. Matthai J. Chronic and persistend diarrhea in infants and young children: status statement. Indian Pediatrics. 2011;48:37-42.
10. Pawlowski SW, Warren CA, Guerrant R. Diagnosis and treatment of acute or persistent diarrhea. Gastroenterology. Virginia2009. p. 1874-1886.
11. Lukacik M, Thomas RL, Aranda JV. A meta-analysis of the effects of oral zinc in the treatment of acute and persistent diarrhea. Pediatrics. 2008;121(2):327-326.
12. Nathan Hitzea, Romo C. Probiotics for persistent diarrhea in children. American Academy of Family Physician. 2011;84(1):25-28.
15