konstruktivistik sosial

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta kualitas kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, tentu saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan. Jadi memang itulah yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan yang kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai. Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih maupun menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga hasil pembelajaran lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari yang harus mampu menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Guru pun demikian, harus bisa menetapkan pendekatan pembelajaran yang tepat. 1

Upload: tai

Post on 01-Feb-2016

52 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Makalh Psikologi Pendidikan

TRANSCRIPT

Page 1: Konstruktivistik Sosial

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas

serta kualitas kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh

karena itu, tentu saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat

dan sesuai dengan kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain

pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan

semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan.

Jadi memang itulah yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana

menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan

yang kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.

Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih

maupun menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga

hasil pembelajaran lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan

kehidupannya sehari-hari yang harus mampu menetapkan sasaran yang hendak

dicapai. Guru pun demikian, harus bisa menetapkan pendekatan pembelajaran

yang tepat.

Masing–masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk

belajar dan mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam

pendekatan pembelajaran tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan

lain. Salah satu contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan

konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif

mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari

belajar sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh

siswa untuk kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah bahwa orang

belajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri,

membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan

menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu, setiap

1

Page 2: Konstruktivistik Sosial

pelajaran di sekolah perlu diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar

mengkonstruksikan pengetahuannya.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis akan memaparkan beberapa poin mengenai:

a. Apa itu teori konstruktivis?

b. Bagaimana pendekatan konstruktivis sosial untuk pengajaran?

c. Bagaimana guru dan teman sebaya bisa menjadi kontributor bersama

dalam pembelajaran murid?

d. Bagaimana menyusun kelompok kerja kecil?

e. Apa saja program konstruktivis sosial?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan kami melakukan penulisan makalah ini adalah untuk :

a. Menjelaskan teori konstruktivis.

b. Menjelaskan pendekatan konstruktivis sosial untuk pengajaran.

c. Menjelaskan bagaimana guru dan teman sebaya bisa menjadi kontributor

bersama dalam pembelajaran murid.

d. Menjelaskan bagaimana menyusun kelompok kerja kecil.

e. Menjelaskan program konstruktivis sosial.

2

Page 3: Konstruktivistik Sosial

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Konstruktivis Sosial untuk Pengajaran

Konstruktivisme merupakan strategi pengajaran yang menekankan peran

individu yang secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan

dan pemahaman (Santrock, 2010). Prinsip konstruktivisme ini merupakan inti dari

filsafat pendidikan William James dan John Dewey.

Menurut Brooks & Brooks, 2001 (dalam Santrock, 2010), dalam

pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak,

tetapi guru harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka,

menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis.

Pendekatan konstruktivistik sosial menggunakan sejumlah inovasi di

dalam pembelajaran di kelas. Sebelum kita mempelajari inovasi-inovasi tersebut,

pertama-tama mari kita mantapkan pengetahuan kita tentang berbagai perspektif

konstruktivis dan dimana dimana tempat pendekatan konstruktivis sosial dalam

kerangka konstruktivis pada umumnya.

2.1.1. Konstruktivisme Sosial dalam Konteks Konstruktivis yang Lebih

Luas

Konstruktivisme menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik

apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Pada

pembahasan sebelumnya yaitu Perkembangan Kognitif telah dideskripsikan teori

dari Piaget dan Vygotsky yang keduanya bersifat konstruktivis. Menurut

pendekatan konstruktivis tersebut dapat disimpulkan bahwa murid menyusun

sendiri pengetahuannya.

Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari

pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara

bersama (Bearison & Dorval, 2002; dalam Santrock, 2010). Keterlibatan dengan

orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan

3

Page 4: Konstruktivistik Sosial

memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang

lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama

(Gauvain, 2001; dalam Santrock, 2010). Dengan ini, pengalaman sosial

memberikan peranan penting dalam mekanisme perkembangan pemikiran murid.

Dari beberapa teori konstruktivis, teori konstruktivis Vygotsky sangat

relevan dengan pendekatan konstruktivis sosial. Dari teori Piaget ke teori

Vygotsky terdapat pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi

sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivis Piaget, murid

mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasi, mengorganisasi, dan

mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya. Sedangkan Vygotsky

menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial

dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid

tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan.

Dalam model Piaget dan Vygotsky, guru berfungsi sebagai fasilitator dan

membimbing ketimbang sebagai pengatur dan pembentuk pembelajaran anak.

Sering kali taka da perbedaan tegas antara konstruktivis sosial dengan pendekatan

konstruktivis lainnya.

Dalam suatu analisis terhadap pendekatan konstruktivis sosial, guru

dikatakan tertarik untuk melihat pembelajaran melalui tatapan mata murid

(Oldfather, dkk., 1999; dalam Santrock, 2010). Analisis yang sama juga mencatat

beberapa karakteristik kelas konstruktivis sosial.

1. Orientasi tujuan penting dari kelas ini adalah konstrusi makna

kolaboratif,

2. Guru memantau perspektif, pemikiran, dan perasaan murid,

3. Guru dan murid saling belajar dan mengajar,

4. Interaksi sosial mendominasi kelas,

5. Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan

dipengaruhi oleh kultur mereka.

2.1.2. Situated Cognition

Situated Cognition atau kognisi yang ditempatkan adalah teori yang

menekankan bahwa pengetahuan seseorang dibentuk dan disituasikan dalam

4

Page 5: Konstruktivistik Sosial

konteks sosial dan fisik yang berkaitan dengan apa yang dipelajari (Brown,

Collins, & Duguid, 1989). Jika demikian, maka akan memungkinkan untuk

menciptakan situasi pembelajaran yang semirip mungkin dengan dunia nyata.

2.2 Guru dan Teman Sebaya sebagai Kontributor Bersama untuk

Pembelajaran Murid

Guru dan teman sebaya dapat memberi kontribusi bersama untuk

pembelajaran murid. Ada empat alat untuk melakukan metode ini, yaitu

scaffolding, pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), tutoring, dan

pembelajaran kooperatif. (Rogoff, 1998; Rogoff, Turkanis & Bartlett, 2001;

dalam Santrock, 2010).

2.2.1 Scaffolding

Kita mendeskripsikan scaffolding sebagai tekhnik mengubah level

dukungan di sepanjang jalannya sesi pengajaran, orang yang lebih ahli (guru atau

teman sesama murid yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah bimbingannya

dengan kinerja murid. Setelah kompensasi murid meningkat, bimbingan

dikurangi.

Bayangkan scaffolding seperti tiang penopang saat membangun jembatan.

Penopang itu membantu saat dibutuhkan, namun ia disesuaikan dan secara

bertahap diambil saat jembatan sudah hampir selesai. Para peneliti menemukan

bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran

kolaboratif, murid akan terbantu dalam proses belajarnya (Pressley, dkk, 2001;

Yarrow & Toping, 2001; dalam Santrock, 2010)

2.2.2. Pelatihan Kognitif

Psikolog perkembangan Barbara Rogoff (1990) percaya bahwa alat

penting dari pendidikan adalah pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), yang

berarti bahwa pakar memperluas dan mendukung pemahaman pemula dan

menggunakan keahlian kultur. Istilah “pelatihan” atau “magang” (apprenticeship)

menunjukkan pentingnya aktivitas dalam pembelajaran dan menjelaskan sifat dari

5

Page 6: Konstruktivistik Sosial

pembelajaran yang ditempatkan dalam suatu konteks. Dalam pelatihan kognitif,

guru sering kali memberi contoh strategi kepada murid tersebut untuk

melaksanakan tugas. Terakhir, mereka mendorong murid itu untuk melanjutkan

tugasnya secara mandiri.

Untuk mengilustrasikan arti penting pelatihan kognitif dalam

pembelajaran, Rogoff (1990) mendeskripsikan pengalaman yang berbeda dari

murid dari keluarga berpendapatan menengah dan keluarga miskin. Banyak

orangtua kelas menengah telah melibatkan anak-anaknya dalam pelatihan kognitif

sebelum mereka masuk TK atau SD. Mereka membaca buku bergambar bersama

anaknya dan mengajak murid berlatih komunikasi verbal. Sebaliknya, orang yang

miskin di Amerika lebih kecil kemungkinannya mengajak anaknya dalam

pelatihan kognitif yang melibatkan buku, komunikasi verbal yang ekstensif, dan

scaffolding (Heath, 1989; dalam Santrock, 2010).

Aspek kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi ahli atas kapan

pembelajar sudah siap diajak ke langkah selanjtnya (Rogoff, 1998; dalam

Santrock, 2010). Dalam sebuah studi tentang intruksi pakar dalam bidang sains

dan matematika, para pakar itu memberi perhatian pada timing dari partisipasi

murid mereka dalam diskursus (Fox, 1993; dalam Santrock, 2010). Berdasarkan

pengetahuan yang diambil dari timing itu, para pakar mampu menentukan

seberapa baik murid dalam memahami pelajaran.

Kesadaran akan timing juga memampukan pakar untuk berhenti sejenak

pada momen yang tepat sehingga murid dapat mengantisipasi pemikiran pakar

dan melengkapi pemikiran si pakar. Dengan kata lain, pakar memberi kesempatan

pada murid untuk merespons secara tepat pada saat murid melewatkan

kesempatan untuk meemberi respons, pakar memerhatikan apa yang dilakukan si

murid. Misalnya seorang murid mungkin sedang sibuk menghitung atau menatap

kosong dengan tatapan kosong. Jika murid melewatkan dua atau tiga kali

kesempatan untuk merespons, pakar akan memberi penjelasan lanjutan. jika jelas

tidak ada pemahaman setelah penjelasan lanjutan diberikan, pakar itu akan

mengulangi atau merumuskan ulang apa yang mereka jelaskan.

6

Page 7: Konstruktivistik Sosial

Pakar juga menggunakan penyelesaian pernyaatan secara kolaboratif

sebagai salah satu cara untuk mencari tahu apa yang dipahami oleh murid. Strategi

umum yang digunakan oleh pakar adalah menggunakan pertanyaan “petunjuk”

agar murid tidak bingung. Jadi, pakar sering kali berusaha mengetahui level

pemahaman murid dengan mengobservasi wajah mereka dan cara mereka

menjawab pertanyaan. Pelatihan kognitif ini penting dikelas. Periset telah

menumukan bahwa pembelajaran murid akan terbantu bila murid menganggap

murid sedang berlatih, menggunakan scaffolding. Dan ikut berpartisipasi dalam

membantu murid belajar (Englert, Berry, & Dunsmoore, 2001; dalam Santrock,

2010).

2.2.3. Tutoring

Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan

pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak

yang lebih pandai dengan anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah

strategi yang efektif dan menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang

kurang pandai dalam suatu mata pelajaran.

a. Pembantu Kelas, Sukarelawan, dan Mentor

Beberapa program tutoring individual telah dikembangkan. Program

Reading Recovery menawarkan sesi tutorial tatap muka masing-masing selama

satu jam sehari untuk murid yang kesulitan belajar membaca walau sudah

mendapat pelajaran formal selama setahun (Sensenbaugh,1995; dalam Santrock,

2010). Walaupun Reading Recovery merupakan hak cipta dari Ohio State

University dan program yang diizinkan menggunakan materi Marie Clay (1985),

berbagai Reading Recovery berbeda dalam caranya mengembangkan,

mengimplementasikan, dan menilai. Evaluasi atas program Reading Recovery

menunjukkan bahwa murid yang berpartisipasi dalam program itu pada grade

pertama memiliki kemampuan membaca yang lebih baik saat berada di grade

ketiga ketimbang teman mereka yang tidak mengikutinya selama grade pertama

(Sensenbaugh,1994; dalam Santrock, 2010). Akan tetapi, beberapa periset

menemukan bahwa kunci efektivitas program sejenis Reading Recovery adalah

7

Page 8: Konstruktivistik Sosial

sejauh mana keahlian pemrosesan fonologis dimasukkan (Chapman, Tummer, &

Prochnow, 2001; dalam Santrock, 2010).

Program lain yang menggunakan tutoring adalah Succes for All (SFA).

Program ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganyaa (1996; Slavin &

Maden, 2001; dalam Santrock, 2010). Program ini mencakup :

1. Program membaca sistematis yang menekankan pada perkembangan

kosakata dan membaca, dan kegiatan bercerita di dalam kelompok

kecil.

2. Periode membaca selama 90 menit setiap hari di mana murid grade

pertama sampai grade tiga dikelompokkan kembali berdasarkan

berkemampuan yang sama, terlepas dari usia.

3. Tutoring membaca diberikan oleh guru ahli dan terlatih secara

individual pada murid yang kemampuan membacanya dibawah rata-

rata.

4. Penilaian dilakukan setiap delapan minggu sekali untuk mengetahui

kemampuan murid, menyesuaikan penempatan kelompok membaca,

dan memberikan tutoring jika diperlukan.

5. Pengembangan profesional untuk guru dan tutor, mencakup tiga hari

training dan bimbingan pada awal tahun ajaran, dan training lanjutan

sepanjang tahun itu.

6. Tim pendukung keluarga yang didesain untuk memberikan pendidikan

parenting dan mendukung keterlibatan keluarga dalam sekolah.

SFA pertama kali diimplementasikan pada tahun 1987-1988 di lima

sekolah di Baltimore, Maryland, dan telah berkembang ke lebih dari 475 sekolah

di 31 negara bagian, melayani lebih dari 250.000 murid. Para peneliti menemukan

bahwa dalam berbagai perbandingan, murid yang berpartisipasi dalam program itu

mempunyai kemampuan membaca yang lebih baik dan berkurang

kemungkinannya untuk dimasukkan ke kelas pendiidkan khusus ketimbang anak

yang tidak mengikuti program tersebut (Slavin & Madden, 2001; Weiler, 1998;

dalam Santrock 2010).

8

Page 9: Konstruktivistik Sosial

b. Tutor Teman Sebaya

Sesama siswa juga dapat menjadi tutor yang efektif. Dalam tutoring teman

sebaya, seorang murid mengajar murid lainnya. Dalam tutoring lintas usia, teman

yang mengajar biasanya berusia lebih tua. Dalam tutoring teman seusia, teman

yang mengajar biasanya teman sekelas. Tutoring teman lintas usia biasanya akan

lebih baik ketimbang tutoring teman susia. Teman yang lebih tua biasanya lebih

pandai ketimbang teman sebaya, dan diajari oleh teman sekelas biasanya akan

membuat murid merasa malu dan menyebabkan perbandingan sosial yang negatif.

Para peneliti telah menemukan bahwa tutoring teman sering kali

membantu prestasi murid (Johnson & Ward,2001; Mathes dkk, 1998; McDonnel

dkk,2001; dalam Santrock, 2010). Dalam beberapa contoh, tutoring memberikan

manfaat bagi tutor maupun yang diajari, terutama ketika tutor yang lebih tua

adalah murid berprestasi rendah. Mengajari orang lain tentang sesuatu adalah cara

terbaik untuk belajar.

Dalam sebuah studi yang memenangkan penghargaan American

Educational Research Association untuk studi riset terbaik, dilakukan riset

terhadap efektifitas tutoring teman sekelas dalam bidang membaca. Evaluasi

dilakukaan terhadap tiga jenis siswa: murid berprestasi rendah dengan

kemampuan, murid berprestasi rendah tanpa kemampuan, murid berprestasi rata-

rata (Fuchs, dkk, 1997; dalam Santrock, 2010). Dua belas sekolah dasar dan

sekolah menengah secara acak ditetapkan sebagai kelompok eksperimental

(tutoring teman) dan kelompok kontrol (tanpa tutoring teman). Program tutoring

berlangsung selama lima belaas minggu. Training tutor teman ini menekankan

pada upaya membantu murid untuk berlatih membaca teks naratif dengan suara

keras, me-review dan mengurutkan pembacaan informasi, meringkas materi

bacaan yang banyak, mengemukakan ide utama, memprediksi dan mengecek hasil

cerita, dan strategi pembaca lainnya. Data prestasi kelas tutoring teman

menunjukkan kemajuan membaca yang lebih besar ketimbang mereka yang tidak

mendapatkan tutoring.

Program tutoring teman sebaya dipakai dalam studi yang baru saja

dideskripsikan di atas dinamakan Peer-Asisted Leraning Trategis (PALS). PALS

9

Page 10: Konstruktivistik Sosial

diciptakan oleh John F. Kennedy Center dan Department of Spesial Education di

Peabody College, di Vanderbilt University. Di dalam PALS, guru

mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan bantuan untuk menguasai

keahlian tertentu, dan anak-anak yang dirasa mampu membantu anak lain

menguasai keahlian tersebut. Berdasarkan informasi ini, guru akan memasangkan

murid di kelas sehingga pasangan itu akan bekerjasama secara produktif untuk

mengatasi problem yang mereka hadapi. Pasangan itu diubah secara reguler

sehingga murid bisa belajar berbagai macam keahlian, karenanya semua murid

berkesempatan menjadi pelatih dan pemain.

PALS adalah aktivitas 25 sampai 35 menit yang digunakan dua sampai

empat kali dalam seminggu. Biasanya PALS menciptakan 13 sampai 15 pasangan

di kelas. Program ini didesain untuk digunakan pada pelajaran membaca dan

matematika untuk anak TK sampai grade enam. Program ini tidak didesain untuk

menggantikan kurikulum yang sudah ada.

Dalam PALS Matematika, murid mengerjakan selembar masalah di suatu

bidang, seperti menambah, mengurangi, konsep angka, grafik, dan diagram.

PALS Matematika memasangkan siswa sebagai pemain dan pelatih. Pelatih

menggunakan lembaran yang berisi serangkaian pertanyaan yang didesain untuk

membimbing pemain dan memberi umpan balik kepada pemain. Murid kemudian

bertukar lembaran dan saling menilai lembar praktik masing-masing. Murid

mendapat nilai karena bekerjasama dan memberikan penjelasan yang baik selama

pelatihan dan karena berhasil mengerjakan soal dengan benar selama latihan. Para

peneliti telah menemukan bahwa PALS Matematika dan PALS Membaca efektif

untuk mengembangkan keahlian membaca dan matematika murid (Fuchs &

Burish, 2000; Fuchs, dkk., 1997; Mathes, torgesen, & Allor, 2001; dalam

Santrock, 2010).

2.2.4. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerja sama dalam

kelompok kecil (kelompok belajar) untuk saling membantu dalam belajar.

Kelompok belajar bersama ini bervariasi dalam ukurannya, meskipun biasanya

10

Page 11: Konstruktivistik Sosial

terdiri dari empat orang. Dalam beberapa kasus, kelompok belajar ini dilakukan

secara berpasangan (dua murid). Ketika murid ditugaskan belajar dalam

kelompok, biasanya kelompok itu akan tetap bertahan selama seminggu atau

sebulan, tetapi kelompok belajar bersama biasanya tidak banyak memakan waktu

murid dalam satu hari pelajaran atau satu tahun ajaran (Sherman, 2001; dalam

Santrock, 2010).

a. Riset terhadap pembelajaran kooperatif

Para periset telah menemukan bahwa pembelajaran koorperatif dapat

menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan prestasi, terutama jika dua

syarat di bawah ini terpenuhi (Slavin, 1995; dalam Santrock, 2010)

• Disediakan penghargaan kelompok. Beberapa tipe pengkuan atau

penghargaan diberikan kepada kelompok sehingga anggota kelompok itu

dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan

diri mereka juga.

• Individu diminati pertanggungjawaban. Perlu digunakan metode

mengevaluasi kontribusi individual, seperti dengan tes individual. Tanpa

akuntabilitas atau tanggung jawab individual, beberapa murid mungkin

akan “bermalas-malasan” (membiarkan murid lain mengerjakan

pekerjaannya sendiri) dan mungkin ada yang merasa diabaikan karena

merasa dirinya tidak banyak memberi kontribusi.

Jika kondisi penghargaan dan akuntabilitas individual di atas terpenuhi,

pembelajaran koorperatif akan meningkatkan pretasi di grade yang berbeda-beda,

dan meningkatkan prestasi di bidang keterampilan dasar seperti ppemecahan

masalah (Johnson & Johnson, 1999, 2002, 2003;Qin, Johnson, & Johnson, 1995).

b. Motivasi

Dalam kelompok belajar , biasanya terjadi pertambahan motivasi untuk

belajar (Johnson & Johnson, 2002; Sapon Shevin, 1999; dalam Santrock, 2010).

Dalam sebuah studi , murid Israel grade lima dan enam diberi pilihan meneruskan

tugas sekolah atau bermain (Sharan & Shaulov, 1990; dalam Santrock, 2010).

Hanya ketika murid berada dalam kelompok koorperatiflah mereka kemungkinan

tidak akan memilih bermain. Interaksi positif sesame teman dan perasaan positif

11

Page 12: Konstruktivistik Sosial

tentang keputusan mereka adalah factor motivasi di balik pilihan murid untuk

berada di dalam kelompok belajar bersama. Dalam studi lain, murid SMA

mendapatkan mamfaat lebih besar dan mengekspresika motivasi yang lebih

instrinsik untuk mempelajari konsep aljabar ketika mereka belajar dalam

kelompok ketimbang belajar sendiri sendiri (Nichols & Miller, 1994; dalam

Santrock, 2010).

c. Interdependensi dan Pengajaran Teman

Pembelajaran koorperatif juga memperbesar interdependensi dan

hubungan dengan murid lain (Johnson & Johnson, 2002, 2003; dalam Santrock,

2010). Dalam sebuah studi, murid grade lima lebih mungkinberalih ke strategi

yang benar untuk memecahkan problem decimal jika rekannya menerangkan

secara jelas ide mereka dan saling memerhatikan usulan satu sama lain (Ellis,

Klahr & Siegler, 1994; dalam Santrock, 2010).

Dalam sebuah kelompok belajar bersama, murid biasanya mempelajari

satu bagian dari unit yang lebih besar dan kemudian harus mengajarkan bagian itu

kepada kelompok. Saat murid mengajar sesuatu kepada murid lain, mereka

cenderung belajar lebih mendalam.

d. Pendekatan Pembelajaran Koorperatif

Sejumlah pendekatan pembelajaran koorperatif telah dikembangkan.

Antara lain, STAD (Student-Teams-Achievement Divisions), kelas jigsaw, belajar

bersama, investigasi kelompok, dan penulisan koorperatif untuk mengetahui

pendekatan ini.

e. Menciptakan Komunitas yang Koorperatif

Komunitas sekolah terdiri dari fakultas, staf, murid, orang tua, dan orang

di sekitar sekolah. Komunitas sekolah secara lebih luas juga mencakup

administrator pusat, petugas admisi kolese, dan calon karyawan. Untuk

menciptakan komunitas belajar yang efektif, David dan Roger Jhonson (2002);

dalam Santrock, 2010―percaya bahwa kerja sama dengan interpendensi positif

harus ada pada sejumlah level; kelompok belajar anak di kelas kelas, antar kelas,

sekolah, sekolah-orang tua, dan sejumlah lingkungan:

12

Page 13: Konstruktivistik Sosial

• Kerja sama kelas. Ada banyak cara untuk menciptakan kerja sama dan

interdependensi untuk seluruh kelas. Tujuan kelas dapat ditetapkan dan

diberi penghargaan. Ini dapat dilakukan dengan menambahkan nilai bonus

untuk semua nilai akademik seluruh anggota kelas jika seluruh anggota

kelas menjapai satu tujuan atau bias juga dengan memberi penghargaan

nonakademik seperti bebas tambahan, waktu istirahat, kaos, atau pesta

kelas. Kerja sama kelas dapat di promosikan dengan menempatkan tim

dalam tugas harian seperti membersihkan kelas mengelola simpanan kelas

atau usaha kelas, atau melakukan aktivitas lain yang bermamfaat bagi

seluruh kelas. Interdepensi kelas juga bias dilakukan dengan membagi

sumber daya, seperti menerbitkan newsletter kelas dimana setiap

kelompok dapat memberi sumbangan artikel. Dalam pelajaran geografi,

langit-langit kelas disulap menjadi peta. Kelas dibagi menjadi delapan

kelompok koorperatif dan masing-masing kelompok diberi tugas

melaporkan suatu loksi geografis. Kelas itu merencakan melakukan

kunjungan ke semua lokasi. Setiba nya di lokasi masing-masing kelompok

menyajikan laporannya tentang lokasi itu.

• Kerja sama antarkelas. Tim guru interdisiplinner bias mengorganisasikan

kelas mereka menjadi sebuah “lingkungan” atau “ kelas di dalam kelas”

dimana kelas-kelas bekerjasama mengerjakan satu proyek bersama.

• Kerjas sama sekolah. Kerja sama di level seluruh sekolah dapat dilakukan

dengan daya untukbeberapa cara. Pernyataan misi sekolah mungkin

mendeskripsikan tujuan bersama yang dicari oleh semua anggota sekolah

dan di pajang di dinding sekolah dan di webpage sekolah. Guru dapat

bekerja di berbagai macam tim koorperatif dan staf / fakultas dapat

bertemu setiap minguu untuk mengajar tim atau kelompok studi. Guru bias

di tempatkan di gugus tugas untuk mempelajari dan mencari solusi bagi

isu-isu sekolah. Interdepedensi di sekolah juga dapat k=di kembangkan

dengan berbagai aktivitas sekolah, seperti siaran berita sekolah yang di

produksi siswa, proyek semua kelas, dan pertemuan sekolah regular.

13

Page 14: Konstruktivistik Sosial

• Kerja sama sekolah-orang tua. Kerja sama ditingkatkan antara sekolah

dan oang tua dengan melibatkan orang tua dalam menciptakan tujuan

bersama dan merancang cara mencapai tujuan itu, berbagi sumber daya

untuk membantu sekolah mencapai tujuannya, dan menciptakan aktivitas

yang memperbesar kemungkinan orang tua mengembangkan sikap positif

terhadap sekolah

• Kerja sama sekolah-lingkungan. Jika sekolah berada di suatu lingkungan

masyarakat, interdependensi positif antara sekolah dan lingkungan dapat

memberi mamfaat bagi kedua belah pihak. Misi sekolah dapat didukung

oleh pengusaha sekitar sekolah yang memberikan sumber daya dan

pembiayaan untuk berbagai acara. Kelas dapat menampilkan proyek

pelayanan komunitas seperti membersihkan kamar.

2.3. Menyusun Kelompok Kerja Kecil

Ketika kita menyusun murid didalam kelompok kerja, kita harus membuat

keputusan tentang bagaimana menyusun kelompok, membangun keterampilan

kelompok, dan mentrukturisasi interaksi kelompok (Webb & Palincsar, 1996;

dalam Santrock, 2010)

2.3.1. Menyusun kelompok

Guru sering kali bertanya bagaimana mereka harus menempatkan murid

dalam kelompok-kelompok kecil di dalam kelas. Pendekatan pembelajaran

kooperatif dalam umumnya merekomendasikan kelompok heterogen, latar

belakang etis, status sosieokonomi, dan gender. Alasan dibalik pengelompokan

heterogen adalah ia memaksimalkan kesempatan bagi tutoring dan dukungan

sesama teman, meningkatkan relasi antar gender dan antar etnis,dan memastikan

bahwa setiap kelompok setidaknya memiliki satu murid yang bisa melakukan

tugas.

a. Kemampuan Heterogen

Salah satu alasan utama menggunakan pengelompokan kemampuan

heterogen adalah kelompok ini bisa membantu murid yang berkemampuan

14

Page 15: Konstruktivistik Sosial

rendah,yang dapat belajar dari murid berkemampuan tinggi. akan tetapi,beberapa

pengkritik mengatakan bahwa pengelompokan heterogen itu menghambat

peningkatan kemampuan dari murid yang berkemampuan tinggi. tetapi dalam

kebanyakan studi murid berprestasi tinggi mencapai nilai yang baik entah itu dia

dikelompok heterogen ataupun homogen. Dalam kelompok heterogen, murid

berkemampuan tinggi sering kali berperan sebagai “guru” dan menjelaskan

konsep kepada murid lain. Dalam kelompok homogen, murid berkemampuan

tinggi kecil kemungkinannya melakukan peran guru ini.

Satu masalah dalam kelompok heterogen adalah jika murid

berkemampuan tinggi, menengah, dan rendah dipadukan, murid berkemampuan

menengah akan terabaikan dalam beberapa hal, murid berkemampuan tinggi dan

rendah mungkin akan membentuk hubungan guru-murid dalam kelompok ini,

dengan mengabaikan murid berkemampuan menengah dalam interaksi kelompok.

Murid berkemampuan menengh mungkin akan lebih baik berada dalam kelompok

di mana sebagian besar semua murid punya kemampuan medium.

b. Heterogenitas Etnis, Sosioekonomi, dan Gender

Beberapa alasan awal dari pembentukan kelompok pembelajaraan

kooperatif adalah untuk meningkatkan relasi interpersonal diantara murid dari

beragam latar belakang etnis dan sosioekonomi yang berbeda. Harapannya adalah

interaksi dalam kondisi yang sederajat dalam kelompok kooperatif itu akan

mengurangi prasangka. Tetapi, meminta murid berinteraksi berdasarkan status

yang setara lebih sulit ketimbang yang diperkirakan.

Beberapa pakar merekomendasikan agar, saat membentuk kelompok yang

heterogen secara etnis dan sosioekonomi, memerhatikan komposisi kelompok itu.

Salah satu rekomendasinya adalah tidak membuat kompisisi itu terlalu jelas. Jadi,

anda bisa menvariasikan karakteristik sosial yang berbeda secara bersamaan,

seperti mengelompokkan wanita afrika–amerika dari keluarga kelas menengah,

pria kulit putih dari keluarga miskin dan sebagainya. Misalnya pria kulit putih

akan tak semuanya berasal dari keluarga berpendapatan tinggi. rekomendasi

lainnya adalah tidak membentuk kelompok yang hanya mengandung satu murid

15

Page 16: Konstruktivistik Sosial

minoritas dengan cara ini murid minoritas itu tidak akan menjadi “pusat perhatian

tunggal“.

Dalam kelompok campuran gender, pria cenderung lebih aktif dan

dominan, ketika mencampurkan pria dan wanita, tugas penting bagi guru dalam

hal ini adalah mendorong murid wanita untuk bicara dan mendorong anak lelaki

agar mau memberi kesempatanpada murid wanita untuk mengekspresikan

opininya dan memberi kontribusi pada kelompok. Strategi umumnya adalah

membagi pria dan wanita dalam jumlah yang sama. Dalam kelompok lima atau

enak anak yang punya anggota wanita, anak lelaki aka mengabaikan ganis itu.

2.3.2. Keahlian Team–Building

Pembelajaran kooperatif yang baik dikelas membutuhkan waktu untuk

membangun keahlian team–bulding (pembentukan tim). Ini melibatkan pemikiran

tentang cara memulai team buldingsejak awal tahun ajaran baru, membantu murid

menjadi pendengar yang baik, memberi latihan pada murid dalam memberi

kontribusi pada produk tim, meminta murid mendiskusikan manfaat dari

pemimpin tim, dan bekerja bersama pemimpin tim untuk membantu mengatasi

situasi dengan masalah.

2.3.3. Menyusun Interaksi Kelompok

Salah satu cara membantu murid bekerja dalam kelompok kecil adalah

memberi peran yang berbeda pada setiap murid. Misalnya, perhatikan peran-peran

yang bisa dilakukan murid dalam satu kelompok (Kagan, 1992; dalam Santrock,

2010):

a. Pendorong – motivator dan menyemangati murid yang lesu.

b. Pemuji – menunjukkan apresiasi terhadap kerja murid lain.

c. Penjaga – menyeibangkan partisipasi murid dalam kelompok.

d. Pelatih – membantu dalam pelajaran akademik.

e. Pemimpin pertamyaan – memastikan murid mengajukan pertanyaan dan

kelompok menjawabnya.

f. Pengecek – memastikan kelompok memahami materi.

16

Page 17: Konstruktivistik Sosial

g. Penguasa tugas – menjaga kelompok tetap perhatian pada tugas.

h. Pencatat – menuliskan ide dan keputusan.

i. Pemikir – memikirkan dan mengevaluasi kemajuan kelompok.

j. Kapten tenang – memonitor tingkat kebisingan kelompok.

k. Monitor material – mendapatkan dan mengembalikan suplai.

Peran semacam itu membantu kelompok berfungsi lebih lancar dan

membuat semua anggota kelompok merasa dirinya penting. Tetapi kebanyakan

pakar merekomendasikan agar anggota kelompok tidak melebihi lima atau enam

orang agar bisa bekerja secara efektif. Beberapa anggota bisa mengisi lebih dari

satu peran dan tidak semua peran harus diisi.

Cara lain mmenspesialisasikan peran adalah menetapkan beberapa murid

sebagai “peringkas” dan yang lainnya sebagai “pendengar”. Para peneliti

mengemukanakan bahwa kegiatan meringkas lebih bermanfaat daripada

mendengar, jadi semua anggota harus diberi kesempatan untuk menjadi peringkas

(Danserau, 1988; dalam Santrock, 2010).

2.4. Program Konstruktivis Sosial

Model pembelajaran pendekatan konstruktivis sosial memerlukan program

yang harus diwujudkan. Hal ini terutama dalam pembahasan yang berkaitan

kelompok kerja kecil atau strategi pembelajaran kooperatif (SPK). Ada empat

unsur penting dalam SPK, yaitu :

1. Adanya peserta / partisipan dalam kelompok

2. Adanya aturan kelompok

3. Adanya upaya belajar

4. Adanya tujuan yang harus dicapai.

Slavin, Arbani, dan Chambers (1996) berpendapat bahwa belajar melaui

kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi,

perpektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, perpektif elaborasi kognitif.

Setiap individu unik dan memiliki karakteristik yang berbeda. Pada dasarnya

memiliki rasa ingin tahu dan daya imajinasi.

17

Page 18: Konstruktivistik Sosial

Berikut tiga program konstruktivis sosial dalam upaya mengajak murid

memecahkan problem dunia nyata dan mengembangkan pemahaman yang lebih

mendalam tentang konsep, yaitu :

2.4.1. Fostering a Community of Learners

Ann Brown dan Joe Campione (1996; Brown, 1997; Campione, 2001)

telah mengembangkan program yang dinamakan Fostering a Community of

Learners (FCL) yang fokus pada perkembangan literasi dan biologi. Program ini

dibentuk di sekolah dasar perkotaan dan tepat untuk anak-anak umur 6 samai 12

tahun. Refleksi dan diskusi adalah dimensi utama dari program ini. Program ini

menekankan tiga strategi yang mendorong refleksi dan diskusi: (1) menggunakan

orang dewasa sebagai model peran; (2) anak mengajar anak; dan (3) konsultasi

komputer online.

a. Orang Dewasa sebagai Model Peran

Pakar tamu dan guru kelas memperkenalkan ide besar dan prinsip sulit.

Orang dewasa itu kemudian menunjukkan cara berpikir dan merefleksikan sendiri

proses pengidentifikasian topik di dalam area penelitian umum atau cara menalar

berdasarkan informasi yang telah diberikan. Orang dewasa itu secara terus-

menerus meminta murid menjustifikasi pendapat mereka dan kemudian

mendukungnya dengan bukti-bukti, memikirkan contoh dari suatu kaidah, dan

sebagainya.

b. Anak Mengajar Anak

Brown (1997) mengatakan bahwa anak dan orang dewasa bisa

memperkaya proses belajar di kelas dengan kontribusi keahlian mereka. Di sini

dipakai pengajaran lintas usia, di mana murid yang lebih tua mengajar murid yang

lebih muda. Ini bisa dilakukan secara tatap muka dan lewat surat elektronik (e-

mail). Murid yang lebih tua sering kali bertindak sebagai pemimpin diskusi.

Pengajaran lintas usia memberi murid kesempatan berharga untuk berbicara

tentang pembelajaran, memberi murid tanggungjawab dan arah, dan mendorong

kolaborasi antarsiswa.

18

Page 19: Konstruktivistik Sosial

FCL menggunakan pengajaran resiprokal, dimana murid bergantian

memimpin diskusi kelompok kecil. Pengajaran resiprokal mensyaratkan agar

murid mendiskusikan bagian yang kompleks, berkolaborasi, serta berbagai

keahlian dan perspektif mereka tentang suatu topik. Pengajaran resiprokal bisa

melibatkan guru dan murid serta interaksi antarmurid.

c. Konsultasi Komputer Online

Kelas FCL juga menggunakan surat elektronik untuk membangun

komunitas dan keahlian. Melaui e-mail, pakar memberikan pelajaran dan nasihat,

dan juga komentar tentang apa makna dari belajar dan memahami. Pakar online

ini berfungsi sebagai model peran berpikir. Mereka bertanya, meneliti, dan

membuat kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang tidak lengkap.

Jantung FCL adalah kultur pembelajaran, negosiasi, sharing (berbagi), dan

memproduksi karya yang ditampilkan pada orang lain. Pengalaman pendidikan ini

melibatkan komunitas interpretatif yang mendorong pertukaran aktif dan

resiprositas. Pendekatan ini mirip dengan yang direkomendasikan Jerome Bruner

(1996) untuk meningkatkan kultur pendidikan. Evaluasi riset terhadap pendekatan

FCL menunjukkan bahwa program ini bermanfaat meningkatkan pemahaman

murid dan bersifat fleksibel dalam menggunakan pengetahuan isi, yang

menghasilkan peningkatan prestasi di bidang pelajaran membaca, menulis, dan

pemecahan masalah.

2.4.2. Schools for Thought

Schools for thought adalah program formal dari pengajaran konstruktivis

sosial. Schools for Thought (SFT) (Lamon, dkk., 1996) telah mengombinasikan

aspek The Jasper Project, Fostering a Community of Learners (FCL), dan

Computer Supported Intentional Learning Environment (CSILE) dalam

lingkungan pembelajaran sekolah. Proyek ini dinamakan dengan judul buku John

Bruer (1993) yang meraih penghargaan, Schools for Thougth. The Jasper Project,

FCL, dan CSILE memiliki ciri sama yang membuat mereka bisa dikombinasikan

dalam lingkungan pembelajaran sekolah.

a. Kurikulum

19

Page 20: Konstruktivistik Sosial

Tiga program inti dari Schools for Thought menekankan arti penting dari

usaha mengajak murid untuk memikirkan problem dunia nyata. Aktivitas berbasis

problem dan berbasis proyek adalah jantung dari kurikulumnya. Penelitian

mendalam di bidang seperti sains, matematika, dan studi sosial sangat ditekankan.

Ketiga program itu juga menggabungkan penelitian lintas disipliner melampaui

batass-batas tradisional.

b. Instruksi

Ketiga program SFT melibatkan perubahan dalam iklim pengajaran di

kelas. Dalam kelas tradisional, murid menerima informasi yang diberikan guru,

buku, dan media lain: peran guru adalah memberi informasi dan membentuk

pembelajaran murid. Di banyak sekolah tradisional, murid umumnya hanya

mendengar, melihat, menirukan apa yang dikatakan guru dan teks dalam buku

(Greeno, 1993; Santrock, 2010).

Sebaliknya, ketiga program tersebut memberi murid banyak kesempatan

untuk merancang dan mengorganisasikan pembelajaran mereka sendiri dan

pemecahan masalahnya. Program itu juga mendorong murid bekerja sama saat

belajar dan berpikir.

c. Komunitas

The Jasper Project, FCL, dan CSILE semuanya menekankan arti penting

dari usaha memberi murid dan guru kesempatan untuk memandang diri mereka

sebagai bagian dari satu tim dan sebagai anggota dari komunitas yang lebih besar.

d. Teknologi

The Jasper Project, FCL, dan CSILE menggunakan teknologi untuk

mendobrak isolasi kelas tradisional. Mereka mendorong murid untuk

berkomunikasi secara elektronik denan komunitas pembelajar diluar dinding

kelas.

e. Penilaian

Penilaian dalam ketiga program tersebu difokuskan pada kinerja autentk

(seperti kemampuan membaca untuk menjawab pertanyaan riset, menulis untuk

membangun pengetahuan baru), membuat penilaian berkoordinasi dengan

20

Page 21: Konstruktivistik Sosial

pembelajaran dan intruksi, dan mendorong murid untuk melakukan penilaian diri

sendiri.

f. Ekplorasi Lebih Lanjut Atas Proyek Schools for Though

Proyek Schools for Thought masih dalam proses pembentukan dan

mengembangkan aktivitasnya agar diimplementasikan di kelas oleh guru. Dua tipe

alat yang dikembangkan adalah unit starter dan perangkat pendukung kinerja.

2.4.3. Sekolah Kolaboratif

Pada tahun 1977, sekolah kolaboratif dibuat untuk mrnjalin kerja sama

orang tua-guru dan masih berlanjut sampai saat ini dengan enam kelas untuk anak

tk sampai grade enam di salt lake city, utah. Ini adalah sekolah opsional yang

melayani melayani sekolah di semua distrik, terbuka bagi keluarga yang ingin

agar anaknya didik di sana. Belajar untuk bekerja secara efektif dalam kelompok

sangat ditekankan dalam kurikulumnya (Rogoff, Tukanis & Bartlett, 2001; dalam

Santrock, 2010). Selama bersekolah murid biasanya berkerja dalam kelompok

kecil dengan guru dan/ atau orang tua. Dalam beberapa kasus, anak belajar

sendiri. Anak sering membuat keputusan proyek berasma orang dewasa, bercakap

secara terbuka bersam guru dan orang tua relawan, juga dengan sesama murid,

dan menggap orang lain sebagai sumber bantuan.

Orang tua diminta memberi kontribusi tiga jam setiap minggu mengajar

dikelas untuk murid masuk kesana. Sebelum tahun ajaran baru dimulai, orang tua

dan guru mengadakan pertemuan di rumah keluarga untuk menyiapkan pelajaran.

Pertemuan orangtua diadakan sebulan sekali untuk membuat perencanaan dan

mediskusikan apa yang dapat dilakukan guna membantu kelas.

Dalam sekolah kolaboratif, guru, orang tua dan anak membantu

merencanakan dan mengembangkan kurikulu yang mencakup (Turkanis, 2001;

dalam Santrock, 2010).

• Menangkat momen untuk membangun ide yang menarik yang muncul dalam

diskusi kelas

• Mengakui bahwa murid punya agenda belajar sendiri yang dapat memberi

motivasi dan jalur ke pembelajaran di dalam area kurikulum

21

Page 22: Konstruktivistik Sosial

• Mendukung unit studi yang sering muncul selama proses kelompok, saat

orang tertarik dengan perhatian orang lain, dan mengembangkan keahlian

satu sama lain.

• Menggunakan berbagai sumberdaya yang luas dengan tidak terlalu banyak

mengandalkan pada buku peganggan

• Memfokuskan pendalaman ide besar konsep, dan proyek besar.

22

Page 23: Konstruktivistik Sosial

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konstruktivisme merupakan strategi pengajaran yang menekankan peran

individu yang secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan

dan pemahaman. Dari beberapa teori konstruktivis, teori konstruktivis Vygotsky

sangat relevan dengan pendekatan konstruktivis sosial. Vygotsky menekankan

bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosialdengan orang

lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang

mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan.

Melalui scaffolding, pelatihan kognitif, tutoring, dan pembelajaran

kooperatif dapat membantu peran guru dan teman sebaya sebagai kontributor

bersama untuk pembelajaran murid. Pendekatan konstruktivistik sosial

menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas, salah satu

langkah utama dalam menggunakan pendekatan konstruktivis sosial adalah

dengan menyusun kelompok kerja kecil. Agar kelompok kerja berjalan dengan

efektif, maka perlu tahap-tahap seperti menyusun kelompok, team-building, dan

menyusun interaksi antar kelompok.

Ada tiga program dalam konstruktivis sosial, yaitu fostering a community

of learners, school for thought, dan sekolah kolaboratif.

----------------------------

23

Page 24: Konstruktivistik Sosial

DAFTAR PUSTAKA

Brown, J.S., Collins, A. & Duguid, P. (1989). Situated Cognition and the Culture

of Learning. Educational Researcher, 18, 33-42.

Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan (2nd Ed.). Jakarta: Kencana.

24