konservasi lahan gambut,m.sadiqul iman (h1e108059)

21
KONSERVASI LAHAN GAMBUT DOSEN PEMBIMBING : ANDY MIZWAR, S.T, M.Si OLEH : M. SYARIEF BUDIMAN H1E107028 M. SADIQUL IMAN H1E108059 RINANTI PRITA B. H1E107214 TALITHA FEBY H.S H1E107034 YULIARINI H1E107032 PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2010

Upload: muhammad-sadiqul-iman

Post on 25-Jun-2015

1.045 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

KONSERVASI LAHAN GAMBUT

DOSEN PEMBIMBING :

ANDY MIZWAR, S.T, M.Si

OLEH :

M. SYARIEF BUDIMAN H1E107028

M. SADIQUL IMAN H1E108059

RINANTI PRITA B. H1E107214

TALITHA FEBY H.S H1E107034

YULIARINI H1E107032

PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2010

Page 2: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat dan petunjuk yang dicurahkan-Nya kami dapat menyelesaikan

penulisan makalah ini.

Penulisan makalah Konservasi Lahan Gambut ini merupakan tugas yang

diberikan oleh Bapak Andy Mizwar, S.T, M.Si, yang mana tujuan yang kami

ambil dari kegiatan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang

upaya-upaya konservasi lahan gambut serta mengembangkan daya kreativitas

remaja khususnya mahasiswa dalam mengembangkan daya cipta untuk

melakukan suatu perubahan dalam upaya sumbangan pikiran untuk pengetahuan

yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.

Penulisan makalah ini dapat diselesaikan karena berkat bimbingan secara

terpadu oleh Bapak Andy Mizwar, S.T, M.Si, dan dukungan dari semua pihak.

Untuk itu dalam kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya. Dan akhirnya diharapkan agar penulisan makalah ini dapat

berguna bagi kita semua serta kemajuan ilmu pengetahuan. Penulisan ini tentunya

tidak lepas dari kritik dan saran yang besifat membangun.

Banjarbaru, Mei 2010

Penulis

Page 3: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang................................................................................. 1

1.2 Tujuan.............................................................................................. 2

1.3 Rumusan Masalah............................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3

2.1 Pengertian Konservasi...................................................................... 3

2.2 Pembentukan Gambut....................................................................... 3

2.3 Klasifikasi Gambut............................................................................ 5

2.4 Aspek Lingkungan Lahan Gambut.................................................... 7

BAB III ISI.................................................................................................... 11

BAB IV PENUTUP....................................................................................... 16

4.1 Kesimpulan....................................................................................... 16

4.2 Saran................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 17

Page 4: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha atau

10,8% dari luas daratan Indonesia. Makin terbatasnya lahan untuk mendukung

ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan areal perkebunan dalam rangka

pengembangan bioenergi mendorong pemerintah untuk memanfaatkan lahan rawa

gambut. Namun, lahan rawa gambut merupakan ekosistem yang rapuh (fragile),

sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada

karakteristik lahan. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut, terutama gambut

sangat dalam (lebih dari 4 m), sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah

konservasi air. Jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena

drainase maka gambut akan ’kempes’ atau mengalami subsidence sehingga terjadi

penurunan permukaan tanah. Bila tanah gambut mengalami pengeringan yang

berlebihan, koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik

(irreversible drying ) (Tim Sintesis, 2008).

Lahan gambut mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia. Penyusutan

yang terjadi pada lahan gambut akibat penggunaan lahan secara eksploitatif

seperti untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit tanpa adanya pengendalian, serta

pembuatan saluran (drainase) untuk menyalurkan kayu hasil tebangan yang

menyebabkan air keluar dari lahan gambut. Akibat dari drainase adalah konversi

dari komunitas lahan basah ke tanah pertanian, degradasi vegetasi lain secara

berangsur-angsur, terutama pada gambut, dan aksentuasi dari akibat kebakaran.

Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian tanaman

pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam

mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Keberhasilan pengembangan

lahan gambut di suatu wilayah tidak menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan

berhasil pula. Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan

karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah.

Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan

kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta

Page 5: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran

untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat

pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu lahan

pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya

menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar.

Hutan rawa gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan

fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan biodiversitas

yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. Jika

ekosistemnya terganggu maka intensitas dan frekuensi bencana alam akan makin

sering terjadi; bahkan lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi

juga gas rumah kaca lainnya seperti metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O).

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1) Mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan-kegiatan di lahan

gambut terhadap lingkungan setempat dan sekitar lahan gambut.

2) Metode konservasi lahan gambut

3) Mengetahui kebijakan-kebijakan apa saja yang terkait dalam upaya

konservasi lahan gambut.

1.3 Rumusan Masalah

Batasan masalah yang diambil dalam penulisan makalah ini adalah upaya-

upaya apa saja yang dapat diambil dalam konservasi lahan gambut serta

kebijakan-kebijakan terkait dalam upaya perlindungan lahan gambut dari berbagai

macam aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut seperti: lahan

gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, lahan gambut sebagai sumber

emisi gas rumah kaca, kebakaran lahan gambut, serta aspek hidrologi dan

subsiden.

Page 6: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Konservasi

Konservasi adalah upaya untuk menjaga apa yang telah ada, dalam hal ini

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menjaga dalam artian tidak

menambah atau mengurangi kecuali dalam upaya mengembalikan kembali

(rehabilitasi) kemampuan produktivitas sumber daya alam sehingga setidaknya

kembali ke keadaan semula.

Konservasi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai pelestarian dan

pengawetan. Dalam hal ini pengawetan meliputi kegiatan pelestarian produksi,

pelestarian jenis dan perlindungan penunjang sistem kehidupan. Obyek

kegiatannya adalah hutan lindung, hutan pantai dan daerah aliran sungai.

Sedangkan bentuk kegiatan pengawetan keanekaragaman hayati terbagi dua, yaitu

konservasi eksitu dan konservasi insitu.

Konservasi insitu adalah konservasi ekosistem dan habitat alami serta

pemeliharaan dan pemulihan populasi makhluk hidup dalam lingkungan

alaminya. Apabila makhluk hidup tersebut merupakan jenis yang terdomestifikasi

atau terbudidaya, konservasi insitu dapat dikatakan terjadi di dalam lingkungan

tempat sifat-sifat khususnya berkembang. Jenis kegiatan konservasi insitu adalah

kebun binatang, taman safari, kebun botani dan museum. Sedangkan konservasi

eksitu adalah konservasi komponen-konponen keanekaragaman hayati di luar

habitat alaminya. Jenis kegatan konservasi eksitu adalah cagar alam dan suaka

margasatwa.

2.2 Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya

yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah

yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses

Page 7: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik

(Hardjowigeno, 1986 dalam Agus dan Subiksa, 2008).

Sedangkan pengertian lainnya menyebutkan bahwa, gambut merupakan

tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa,

akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses

perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi

bahan organik yang membentuk tanah gambut (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986;

Harjowigeno, 1996; dan Noor, 2001 dalam Sagiman, 2007)

Lebih jelasnya, gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang

berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40

cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik

yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996 dalam

Sagiman, 2007). Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode Holosin antara

10.000 – 5.000 tahun silam. Menurut Andrisse (1988) dalam Sagiman (2007),

gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000 tahun lalu.

Pada saat gambut masih tipis akar tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di

gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut

selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai.

Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya mineral sehingga gambut yang

terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam perkembangan selanjutnya gambut

semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup digambut tidak mampu mencapai

tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan

gambut. Sumber hara utama pada gambut ini hanyalah dari air hujan sehingga

vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang

terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut ini disebut sebagai gambut

ombrogen (Sagiman, 2007).

A

Page 8: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a.

Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan

gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas

gambut topogen (Noor, 2001 dan van de Meene, 1982 dalam Agus

dan Subiksa, 2008).

2.3 Klasifikasi Gambut

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai

Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan

berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau

lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff,

2003 dalam Agus dan Subiksa, 2008).

Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang

berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi

pembentukannya.

C

B

Page 9: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

• Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan

bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila

diremas kandungan seratnya < 15%.

• Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian

bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan

seratnya 15 – 75%.

• Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan

asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya

masih tersisa.

Gambar 2. Contoh tanah gambut yang diambil menggunakan bor gambut (peat

sampler). Gambar atas memperlihatkan contoh gambut fibrik

(mentah) dan gambar bawah contoh gambut hemik (setengah matang)

(Agus dan Subiksa, 2008).

Page 10: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

• Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan

basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relative subur biasanya

adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.

• Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki

kandungan mineral dan basa-basa sedang.

• Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral

dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari

pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

• Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya

dipengaruhi oleh air hujan

• Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat

pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya

mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

• Gambut dangkal (50 – 100 cm),

• Gambut sedang (100 – 200 cm),

• Gambut dalam (200 – 300 cm), dan

• Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:

• Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat

pengayaan mineral dari air laut

• Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak

dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

• Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah

tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut (Agus

dan Subiksa, 2008).

Page 11: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

2.4 Aspek Lingkungan Lahan Gambut

Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut

adalah (i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan

gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) kebakaran lahan gambut, (iv)

aspek hidrologi dan subsiden (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4.1 Lahan Gambut sebagai Penambat dan Penyimpan Karbon

Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia,

namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75%

dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung

biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali

simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam Agus dan

Subiksa, 2008).

Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di

bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut

(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa

tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4.2 Emisi Gas Rumah Kaca

Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara

simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur

tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air

(suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat

dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut tumbuh dengan kecepatan

antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al., 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Pada

tahun-tahun di mana terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Niño,

kemungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan

permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang

cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat dari penambatan.

Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO2,

CH4 dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4

(walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2)

Page 12: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

dan emisi N2O. Dengan demikian data emisi CO2 sudah cukup kuat untuk

merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK lainnya

seperti CH4 dan N2O sulit dilakukan.

Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang

berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari

penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang

kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya

meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan

pertanian yang juga didrainase. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik

segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu.

Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang atau

yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman

muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan pertanian

relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap

terdekomposisi secara anaerob (Jauhiainen et al., 2004 dalam Agus dan Subiksa,

2008).

Bentuk intervensi manusia yang sangat mempengaruhi fungsi lingkungan

lahan gambut adalah penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dan

drainase untuk berbagai tujuan; baik untuk pertanian, kehutanan (hutan tanaman

industri), maupun untuk pemukiman (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4.3 Kebakaran Lahan Gambut

Apabila biomassa tanaman hutan gambut terbakar maka tidak hanya

biomassa tanaman saja yang akan terbakar, tetapi juga beberapa centimeter

lapisan gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Lapisan gambut

ini akan rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Pada

tahun El Nino seperti tahun 1997, muka air tanah menjadi lebih dalam karena

penguapan sehingga lapisan atas gambut menjadi sangat kering. Dalam keadaan

demikian kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50 cm. Dalam keadaan

ekstrim ini bara api pada tanah gambut dapat bertahan berminggu-minggu. Untuk

tahun normal Hatano (2004) dalam Agus dan Subiksa (2008), memperkirakan

kedalaman gambut yang terbakar sewaktu pembukaan hutan sedalam 15 cm.

Page 13: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

Apabila kandungan karbon gambut ratarata adalah 50 kg m-3 (berkisar antara 30

sampai 60 kg m-3) maka dengan terbakarnya 15 cm lapisan gambut akan teremisi

sebanyak 75 t C ha-1 atau ekivalen dengan 275 t CO2 ha-1 (Agus dan Subiksa,

2008).

2.4.4 Hidrologi dan Subsiden

Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah

lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak

dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang

lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Kecepatan subsiden

tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe

gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman

drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991; Salmah et al., 1994,

Wösten et al., 1997 dalam Agus dan Subiksa, 2008).

Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen:

1. Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan

menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan

gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di bawah

muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi (menjadi padat).

2. Pengkerutan yaitu pengurangan volume gambut di atas muka air tanah karena

proses drainase/pengeringan.

3. Dekomposisi/oksidasi yaitu menyusutnya massa gambut akibat terjadinya

dekomposisi gambut yang berada dalam keadaan aerobik.

4. Kebakaran yang menyebabkan menurunnya volume gambut.

Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan

subsiden karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas. Faktor lain yang

ikut mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat. dan pemupukan. Proses

subsiden berlangsung sangat cepat; bisa mencapai 20-50 cm tahun-1 pada awal

dibangunnya saluran drainase (Welch dan Nor, 1989 dalam Agus dan Subiksa,

2008), terutama disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan pengkerutan.

Dengan tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka dalam 25 tahun (satu

siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun sekitar 100 cm. Untuk

Page 14: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

tanah gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan pirit dangkal) maka

subsiden ini akan menyingkap lapisan pirit sehingga pirit teroksidasi membentuk

H2SO4 dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa ditanami lagi (Agus

dan Subiksa, 2008).

Page 15: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

BAB III

ISI

Telah disampaikan diatas bahwa beberapa permasalahan lingkungan yang

yang ada pada daerah lahan gambut adalah penyimpan karbon, penghasil emeisi

gas rumah kaca, kebakaran lahan serta masalah hidrologi dan penurunan muka

lahan gambut (subsiden). Untuk itu upaya konservasi sangat dibutuhkan sekarang

ini untuk mempertahankan keberadaan lahan gambut.

Konservasi gambut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan gambut

agar jangan cepat punah dan mempertahankan kemampuan gambut dalam

menyimpan air, kedua kegiatan ini sangat erat satu sama lain. Dalam

mempertahankan sumber daya gambut untuk pertanian pengendalian tata air

gambut sangat penting, ketinggian muka air tanah harus disesuaikan dengan

kebutuhan dari rhizospher tanaman. Semakin dalam jangkauan perakaran tanaman

maka permukaan air tanah semakin dalam pula, namun acapkali dilapangan kita

lihat bahwa untuk tanaman palawija yang berakar dangkal petani membiarkan

permukaan air gambut sangat dalam, dengan demikian dekomposisi gambut yang

dapat menyebabkan hilangnya gambut akan semakin cepat. Berubahnya sifat

gambut dari lembab menjadi kering tidak balik (irreversible) menyebabkan

ketersediaan air bagi tanaman semakin rendah dan pada musim kemarau gambut

mudah terbakar (Sagiman, 2007).

Menurut Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-

undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional - RTRWN, kawasan tanah

gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai dan

rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut.

Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan

hidrologi wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta

melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut. Kubah gambut dengan

ketebalan lebih dari 3 m merupakan satu kesatuan dengan bagian tepinya yang

dangkal (ketebalan kurang dari 3 m). Oleh karena itu, pembukaan lahan gambut di

bagian tepi, meskipun tidak melanggar Keppres No 32/ 1990, akan berdampak

Page 16: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

buruk bagi kubah gambut karena kegiatan di lahan gambut dangkal, misalnya

pertanian, sulit untuk tidak melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan.

Kesadaran bahwa gambut merupakan media tanam yang harus dilestarikan

perlu disampaikan kepada masyarakat, pembakaran yang berlebihan pada waktu

penyiapan lahan sedapat mungkin dihindari, teknologi pembuatan abu bakar

melalui pembakaran sampah kebun dan gulma dapat dilakukan secara terkendali

dalam pondok bakar seperti yang dilakukan oleh petani sayur di Sungai Selamat

dan Sungai Rasau. Pembakaran semak dan gulma langsung di kebun akan

menyebabkan terbakarnya gambut. Pembakaran tidak terkendali akan

menyebabkan hilangnya gambut secara cepat, selain itu menimbulkan polusi asap

yang merugikan banyak pihak (Sagiman, 2007).

Pembakaran untuk penyiapan lahan sering kali lepas kendali sehingga api

menjalar ke wilayah kubah gambut dan menimbulkan kebakaran hebat. Di

samping itu, drainase yang berlebihan juga menyebabkan gambut menjadi

kekeringan dan mudah terbakar pada musim kemarau. Pengelolaan lahan rawa

gambut perlu menerapkan pendekatan konservasi, yang meliputi perlindungan,

pengawetan, dan peningkatan fungsi dan manfaat.

Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya wilayah gambut dibedakan ke

dalam: (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi

untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut

juga kawasan nonbudi daya, sedangkan kawasan reklamasi disebut kawasan budi

daya. Wilayah rawa (gambut) yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah: (1)

kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan

sungai; (4) kawasan sekitar danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau.

Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang

memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna dan/atau

flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman hayati.

Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau dipreservasi

dengan status sebagai kawasan non-budi daya.

Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan suaka

alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi. Demi pengamanan

kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai dengan batas-batas alami yang

Page 17: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

lahan non gambut dan ketebalan gambut kurang dari 3 m. Peraturan Pemerintah

No.27 tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan rawa gambut sebagai

kawasan tampung hujan dan sumber air. Sebagai sumber air, rawa (gambut)

pedalaman sangat menentukan keadaan air daerah pinggiran atau hilirnya.

Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa atau rawa pedalaman perlu

dipertahankan sebagai kawasan non-budi daya, yang berfungsi sebagai kawasan

penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air bagi daerah pertanian di

sekitarnya. Kawasan penampung hujan sebaiknya berada pada lahan gambut.

Gambut memiliki daya menahan air yang tinggi, 300- 800% bobotnya, sehingga

daya lepas airnya juga besar. Gambut dalam (lebih dari 3m), telah dinyatakan

sebagai kawasan non-budi daya dengan luas minimal 1/3 dari luas total lahan

gambut di wilayah daerah aliran sungai tersebut. Banjir merupakan kendala yang

perlu diatasi, terutama dalam pengelolaan rawa lebak. Rawa lebak dalam dapat

dimanfaatkan sebagai penampung luapan banjir.

Ketika lahan gambut digunakan sebagai lahan pertanian ataupun

perkebunan, maka masalah yang sering muncul adalah volume gambut akan

menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan

tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena

adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan

gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju

subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman

saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang

menggantung.

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga

beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan

beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga

tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak.

Meningkatnya drainase dan runoff berpotensi meningkatkan sedimen.

Sedimen ini berdampak minimal pada komunitas air rawa. Restorasi vegetasi

marginal dapat mengurangi sedimentasi jika itu berlebihan. Melalui beberapa

tahapan meliputi :

Page 18: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

1. Manajemen pemeliharaan langsung

Proteksi secara langsung menguntungkan untuk regenerasi dan harus di

pelihara.

2. Area dengan nilai konservasi yang tinggi

Identifikasi area tertentu dengan nilai konservasi yang tinggi, dan

menganjurkan pemilik lahan dari keuntungan-keuntungan memegang,

memperluas, dan melindungi ini, akan menuntun untuk peningkatan area

ketika area lain kehilangan komponen konservasi. Implikasi dari ini adalah

pemilik lahan itu mampu menukar area nilai tinggi ke area nilai rendah yang

kemudian mereka dapat kembangkan

3. Strategi untuk area besar tanpa tergantung dengan dari nilai konservasi

Keuntungan strategi ini adalah akan ada kemungkinan peningkatan semua

area di lahan basah, dan kemampuan untuk memperoleh keseimbangan antara

produktifitas perkebunan dan perlindungan lahan basah.

Beberapa mekanisme yang mungkin dipertimbangkan untuk area yang

layak untuk restorasi adalah:

1. Manajemen lahan : untuk restorasi area, kombinasi kontrol rumput,

membentuk kembali tanah, meningkatkan tingkat/ kualitas air, menanam

beberapa spesies tanaman lahan basah akan dibutuhkan.

2. Interaksi : Ko-operasi dengan pemilik lahan disekeliling area yang di restorasi

akan bernilai dalam perlindungannya misalnya tidak terbakar.

3. Pembelian area tertentu dengan nilai yang tinggi akan dibutuhkan untuk

mencegahnya menjadi lahan pertanian

4. Seperti dicatat di awal, peraturan biasanya berlawanan dengan konservasi

lahan basah, kecuali jika dibarengi dengan ganti rugi untuk pemilik lahan.

Pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak ayal lagi akan memiliki

dampak bagi lingkungan disekitarnya. Menurut Andriesse(1988), Hardjowigeno

(1996) dan Radjaguguk (2004) dampak pada lingkungan disebabkan oleh

rendahnya kualitas pengelolaan drainase sehingga air yang keluar dari lahan

gambut terjadi secara berlebihan dan menyebabkan keringnya lahan sekitar lokasi

pertanian. Pintu air dari bahan beton yang dibangun dibeberapa lokasi gambut

Page 19: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

(Kalimantan dan Sumatera) umumnya tidak berfungsi mengatur aliran air, pada

waktu subsiden terdapat celah yang besar antara gambut dan pintu air sehingga air

mengalir keluar lahan pertanian. Banyak saluran drainase, saluran primer dan

sekunder dibangun sangat dalam sehingga air keluar dari lahan gambut tanpa

dapat dikendalikan (Sagiman, 2007).

Untuk itu penerapan beberapa kebijakan sangat diperlukan dalam upaya

konservasi lahan gambut, meliputi :

1. Keppres No. 32/1990 perlu direvisi, terutama yang menyangkut kawasan

konservasi dan kelestarian lahan. Khusus pengembangan kelapa sawit pada

lahan gambut harus mengacu Permentan No.14/2009.

2. Kawasan konservasi bukan hanya berada pada wilayah gambut dengan

ketebalan > 3 m, tetapi juga di kawasan yang mempunyai keanekaragaman

hayati (flora dan fauna), dan lapisan substratum di bawah gambut lapisan

sulfidik dan atau pasir kuarsa.

3. Pada dasarnya pemanfaatan lahan gambut harus merupakan prioritas terakhir,

dan bersifat selektif selain harus memenuhi kriteria Permentan No. 14/2009.

Pemanfaatan lahan gambut diprioritaskan pada lahan yang terlantar atau

terlanjur dibuka, dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat setempat.

4. Agar pengelolaan dan pemanfaatan kawasan gambut berjalan lancar, perlu

penerapan Inpres No. 2/2007 secara konsisten (Suriadikarta, 2009).

Jika semua aspek tersebut kita pertimbangkan, mulai dari dampak yang

timbul pada lahan gambut serta bagaimana upaya konservasi dilakukan dalam

menjaga keberadaan lahan gambut, maka kesemuanya tentunya dapat berjalan

dengan baik jika kita juga dapat mengimplementasikan beberapa kebijakan yang

berhubungan dengan pengelolaan dan perlingungan lahan gambut, sehingga

keberadaan gambut dapat dipergunakan sebagaimana mestinya untuk keejahteraan

masyarakat tanpa harus merusaknya.

Page 20: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penulisan makalah ini adalah :

1. Konservasi adalah upaya untuk menjaga apa yang telah ada, dalam hal ini

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menjaga dalam artian tidak

menambah atau mengurangi kecuali dalam upaya mengembalikan kembali

(rehabilitasi) kemampuan produktivitas sumber daya alam sehingga

setidaknya kembali ke keadaan semula.

2. Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi

cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air,

anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat

lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah

gambut.

3. Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah

(i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan gambut

sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) kebakaran lahan gambut, (iv)

aspek hidrologi dan subsiden.

4. Konservasi gambut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan gambut

agar jangan cepat punah dan mempertahankan kemampuan gambut dalam

menyimpan air, kedua kegiatan ini sangat erat satu sama lain.

5. Beberapa kebijakan dapat digunakan dalam upaya mendukung konservasi

lahan gambut.

4.2 Saran

Upaya konservasi harus cepat dilaksanakan pada lahan gambut, agar

keberadaan gambut sebagai kawasan penyangga air dapat terjaga keutuhannya.

Sehingga kerusakan lingkungan yang semakin parah dewasa ini dapat berkurang.

Page 21: Konservasi Lahan Gambut,m.sadiqul Iman (h1e108059)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Fahmuddin dan Subiksa, I.G. Made. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk

Pertanian dan Aspek Lingkungan.

Sagiman, Saeri. 2007. Pemanfaatan Lahan Gambut dengan Perspektif Pertanian

Berkelanjutan.

Sorrell, Brian. 2000. Conservation values and management of the Kongahu

Swamp, Buller District.

Suriadikarta, Didi Ardi. 2009. Pembelajaran Dari Kegagalan Penanganan

Kawasan Plg Sejuta Hektar Menuju Pengelolaan Lahan Gambutberkelanjutan

http://124.81.86.180/publikasi/ip024091.pdf

Diakses pada tanggal 3 Maret 2010

Tim Sintesis Kebijakan, Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya

Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan Dan Konservasi Ekosistem Lahan

Rawa Gambut Di Kalimantan.