lahan gambut
DESCRIPTION
lahan gambutTRANSCRIPT
SUNGAI DAN LAHAN GAMBUT DATARAN TINGGI
LAPORAN FIELDTRIP
Oleh :
Mhd. Alfian Azhar BatubaraMhd. Fauzi
Patar GurningPutra Abadi Sembiring
Mhd. ImamDarwin
Afifa Ulfa BatubaraRika Tamika
Lidya SundariLidya manurung
DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan fieldtrip ini tepat
pada waktunya.
Adapun judul dari laporan fieldtrip ini adalah “Sungai dan Lahan
Gambut Dataran Tinggi” sebagai salah satu laporan praktikum Pengelolaan
Tanah dan Air Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
Ir. T. Irmansyah; Ir. Jonis Ginting; Jamilah, SP, MP., selaku dosen untuk mata
kuliah Pengelolaan Tanah dan Air.
Penulis menyadari laporan fieldtrip ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat
membangun.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga laporan fieldtrip
ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUANLatar BelakangTujuanKegunaanMetode
PEMBAHASANPengertian Lahan GambutKarakteristik Lahan GambutPenyebaran Lahan GambutPengembangan Lahan GambutKonservasi Lahan Gambut
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan fieldtrip ini terlaksana karena mengingat kami sangat kurang
mengetahui bagaiman itu Daerah Aliran Sungai, Lahan Sawah, Lahan Keritis,
Lahan Gambut Dataran Tinggi, dan Lahan Sawah.
Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada
fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air,
anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat,
sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Di
Kalimantan Proses pembentukan gambut terjadi baik pada daerah pantai maupun
di daerah pedalaman dengan fisiografi yang memungkinkan terbentuknya gambut,
oleh sebab itu kesuburan gambut sangat bervariasi, gambut pantai yang tipis
umumnya cukup subur, sedang gambut pedalaman seperti di Bereng Bengkel
Kalimantan Tengah kurang subur (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986).
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa
tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan
organiknya tinggi. Kata Gambut dikenal di Indonesia untuk tanah sperti yang
disebutkan diatas, istilah gambut di duga berasal dari nama dari sebuah desa di
daerah Kalimantan Timur, desa itu sekarang menjadi ibukota kecamatan
Gambut, dimana lahan gambut sangat banyak ditemukan didaerah tersebut.
Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa
Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia
dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-
lain (Wikipedia.org, 2009).
Lahan gambut dikenal dan ditemukan pertama kali oleh Kyooker,
seorang pejabat Belanda pada tahun 1860-an yang menyatakan bahwa 1/6 areal
wilayah Sumatera ditempati gambut.Istilah gambut sendiri pertama kali muncul
dan kemudian umum digunakan oleh di kalangan ilmiawan dan menjadi kosa kata
Indonesia sejak tahun 1970-an (Radjaguguk, 1989).
Tujuan Laporan
Adapun tujuan dari fieldtrip ini adalahn untuk memahami arti,
karakteristik, dan cara pengelolaan lahan gambut dataran tinggi.
Kegunaan
Adapun kegunaan adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti
praktikum di Laboratorium Pengelolaan Tanah dan Air serta sebagai bahan
informasi bagi pihak yang membutuhkan.
Metode
Adapun metode yang digunakan dalam mengikuti praktikum
Laboratorium Pengelolaan Tanah dan Air adalah metode survey atau tinjau
langsung terhadap lapangan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lahan Gambut
Lahan Gambut diatas adalah lahan yang kita tinjau saat fieldtrip kemarin
yang berada di Desa Nagasaribu 1, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber
energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang
menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di
dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 milyar terajoule
(Wikipedia.org, 2009).
Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari
tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40 cm. Proses
penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang
berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996).
Pada saat gambut masih tipis akar tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut
selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai.
Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya mineral sehingga gambut yang
terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam perkembangan selanjutya gambut
semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup digambut tidak mampu mencapai
tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan
gambut. Sumber hara utama pada gambut ini hanyalah dari air hujan sehingga
vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang
terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut ini disebut sebagai gambut
ombrogen (Hardjowigeno, 1996).
Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air
gambut. Bahan penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan
organik, bahan mineral, air dan udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi
gambut akan ikut merubah sifatsifat fisik lainnya (Andriesse, 1988).
Dalam melakukan pembukaan lahan gambut, kebanyakan para petani
melakukan aktivitas pembakaran untuk menghilangkan gulma ataupun vegetasi
yang menutupi lahan tersebut. Hal ini tentunya akan sangat membahayakan bagi
kita. Perlu diketahui bahwasannya gambut mengandung 20 – 35 % dari semua
karbon yang ada di bumi. Dan apabila dilakukan pembakaran maka karbon akan
terlepas ke udara, sehingga akan menghasilkan emisi gas karbon yang dapat
menghasilkan efek rumah kaca. Berarti aktivitas pembakaran lahan gambut ini
akan mendukung terjadinya pemanasan global yang kerugiannya sangat besar
sekali bagi kelangsungan makhluk hidup. Pembukaan lahan gambut yang baik
adalah pembukaan lahan tanpa aktivitas pembakaran.
Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan
kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah
mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering
tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak
suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air
gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakanbagi pertanian. Berkurangnya
kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan
permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air
keluar dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam bahan organic dan
meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan
organik dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) sehingga
permukaan gambut mengalami penurunan.
Dewasa ini lahan gambut merupakan lahan alternatif yang digunakan
sebagai media untuk melakukan aktivitas di bidang pertanian. Mengingat lahan
pertanian yang biasa digunakan jumlahnya semakin sempit seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Namun pengembangan pertanian pada lahan
gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan sifat tanah gambut.
Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah
mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada
gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang
tersedia bagi tanaman sangat terbatas
(http://ulungpamungkas.blogspot.com.2009).
Karakteristik Lahan Gambut
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh jarak dari sungai terhadap
karakteristik gambut tampak nyata di lapisan permukaan (jeluk 0-200 cm).
Kandungan ion mineral seperti abu, K-total, Ca-total, Fe-total, Zn-total, N-total
dan P-total cenderung menurun dengan bertambahnya jarak dari sungai. Untuk
lapisan pertengahan (200-400 cm) tidak terdapat hubungan berarti antara jarak
sungai dengan sifat-sifat gambut. Hal ini disebabkan karena lapisan tersebut
merupakan zone transisi, yang dapat dipengaruhi oleh lapisan atas dan lapisan
bawahnya. (www.gadjahmada.edu, 2009)
Berdasarkan kedalamnya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
1. Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dgn ketebalan gambut 50-100cm;
2. Lahan gambut sedang, yaitu lahan dgn ketebalan gambut 100-200cm
3. Lahan gambut dalam, yaitu lahan dgn ketebalan gambut 200-300cm
4. Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dgn ketebalan gambut lebih dari 300
cm (http://dasar2ilmutanah.blogspot.com,2009).
Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi
pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin
dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis, kearah kubah gambut akan
menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di Sungai Selamat dapat mencapai 8
m, demikianpula pada daerah rasau Jaya. Ketebalan gambut berkaitan erat dengan
kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan memiliki kesuburan yang relatif
baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah gambut tebal >3m memiliki
kesuburan yang relatip rendah (gambut ombrogen)(Andriesse, 1988).
Penyebaran Lahan Gambut
Tanah gambut dalam sistem soil taksonomi USDA diklasifikasikan
dengan orde tanah Histosol (Histo = jaringan dan Sola = tanah), atau sering
disebut juga tanah organosol. Lahan gambut di Indonesia sangat luas dan
tergolong urutan keempat daerah terluas lahan gambutnya setelah Kanada; Uni
Sovyet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat merupakan propinsi yang
memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu seluas 4,61 juta ha, diikuti
oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan luas masing-
masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar. Dengan luas lahan
seluas 27 juta hektar,diperkirakan 6 juta hektar sesuai untuk lahan pertanian
(Noor, 2001).
Penyebaran lahan gambut di Indonesia (Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
1981):
Pulau Jumlah (Juta Hektar)
Sumatera 8.875Kalimantan 6.523Irian Jaya 10.875Jawa 0.025Sulawesi 0.240Maluku 0.525Jumlah : 27.063
Luas lahan gambut di Sumatra diperkirakan berkisar antara 7,3–9,7 juta
hektare atau kira-kira seperempat luas lahan gambut di seluruh daerah tropika.
Menurut kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut
topogen dan gambut ombrogen (www.wikipedia.org,2009).
Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena
genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang
pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu
dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur; dengan
zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai,
sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai
(www.wikipedia.org,2009).
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen
bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada
umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan
tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan
unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air
hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah
gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5),
mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna
air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai
air hitam (www.wikipedia.org,2009).
Pengembangan Lahan Gambut
Sejauh ini lahan gambut dimanfatkan sebagai kawasan
transmigrasi.Pengembangan lahan gambut untuk budidaya pertanian sampai saat
ini belum menampakkan hasil yang signifikan.
Mungkin masih terngiang di benak kita mengenai kegagalan
pengembangan lahan gambut 1 juta hektar di Pulau Kalimantan. Sebenarnya
apabila dalam pengembanggannya kita memperhatikan tingkat kerusakan serta
karakteristik yang dimiliki lahan gambut maka hal tersebut tidak perlu terjadi.
Apabila kita mampu mengembangkan lahan gambut sebagai lahan yang
produktif secara berkesinambungan, maka itu adalah suatu prestasi yang luar
biasa. Dan ini tentunya akan memberikan suatu dorongan bagi kita untuk semakin
mengembangkan pertanian yang mampu memberikan devisa bagi negara.
Konservasi Lahan Gambut
Konservasi adalah suatu cara yang digunakan untuk menggunakan
Sumber Daya Alam dengan cara berkesinambungan dalam jangka yang tidak
terbatas. Artinya dalam memanfaatkan lahan gambut kita harus melakukannya
secara berkesinambungan.
Dalam melakukan pembukaan lahan gambut, kebanyakan para petani
melakukan aktivitas pembakaran untuk menghilangkan gulma ataupun vegetasi
yang menutupi lahan tersebut. Hal ini tentunya akan sangat membahayakan bagi
kita. Perlu diketahui bahwasannya gambut mengandung 20 – 35 % dari semua
carbon yang ada di bumi. Dan apabila dilakukan pembakaran maka karbon akan
terlepas ke udara, sehingga akan menghasilkan emisi gas karbon yang dapat
menghasilkan efek rumah kaca. Berarti aktivitas pembakaran lahan gambut ini
akan mendukung terjadinya pemanasan global yang kerugiannya sangat besar
sekali bagi kelangsungan makhluk hidup.Pembukaan lahan gambut yang baik
adalah pembukaan lahan tanpa aktivitas pembakaran.
Kalaupun terpaksa dilakukan pembakaran, maka harus diperhatikan
dampaknya terhadap kerusakan lingkungan. Untuk tanaman hortikultura,
pembakaran seresah bisa dilakukan pada tempat yang khusus dengan ukuran 3 x 4
m. Dasar tempat pembakaran diberi lapisan tanah mineral/liat setebal 20 cm dan
sekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan
dengan kedalaman air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari
permukaan tanah agar gambut tetap cukup basah. Ini dimaksudkan agar pada
waktu pembakaran, api tidak menyebar.
Pembalakan lahan gambut biasanya dilakukan dengan cara menggali
kanal-kanal untuk mengeringkannya dan menyediakan akses-akses untuk
pembalakan. Apabila dikeringkan maka akan mengakibatkan turunnya permukaan
air tanah dan menghilangkan air permukaan tanah. Dan hal ini akan
mengakibatkan sifat seperti spon yang dimilki oleh gambut akan
menghilang.Apabila sifat ini menghilang, maka lahan gambut tidak dapat
berfungsi sebagai penyangga ekologi terutama sebagai kawasan resapan air.
Sehingga apabila terjadi hujan dalam intensitas yang cukup besar maka
kemungkinan terjadinya banjir akan sangat besar.
Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah
gambut melalui oksidasi biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar
tidak gundul. Beberapa vegetasi seperti halnya rumput-rumputan atau leguminose
dapat dibiarkan untuk tumbuh disekeliling tanaman kecuali pada lubang tanam
pokok seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan kopi. Beberapa jenis
legume menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur hara
minimum dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam memanfaatkan lahan gambut.
Dalam pengelolahan lahan gambut yang perlu dilakukan adalah memperhatikan
ekosistem lahan gambut. Kita tidak boleh membuka bagian yang disebut kubah
gambut. Kubah gambut adalah tumpukan serasah yang semakin bertambah.
Tempat inilah merupakan tempat yang paling banyak melakukan penyerapan air.
Mengingat kubah gambut memiliki kedalaman di atas rata-rata, sehingga
kapasitas kemampuan untuk menyerap airnya lebih banyak. Lalu timbul
pertanyaan bagian mana yang boleh dibuka?Ternyata bagian yang boleh dibuka
adalah bagian kaki kubahnya saja.
Kesalahan yang dilakukan pada proyek pengembangan lahan gambut 1
juta ha adalah memotong kubah gambut sehingga kemampuannya yang
menyerupai spon akan berkurang.Apabila bagian kubah ini dibuka maka tentunya
lahan pun akan menjadi rusak. Apabila lahan gambut sudah rusak maka
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikannya seperti semula.
Sebenarnya, jika hutan rawa gambut diperlakukan secara baik dan benar
sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya, maka hasil yang
diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan. Pengembangan
perkebunan (terutama perkebunan kelapa dan kelapa sawit), serta hutan tanaman
industri (hutan tanaman acacia) yang dapat dijumpai di beberapa tempat di Pantai
Timur Sumatera, khususnya di Jambi dan Riau, merupakan salah satu bukti
tentang keberhasilan dalam mengelola gambut Indonesia.
Pembelajaran yang diperoleh dari sini adalah bahwa pengelolaan lahan
dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan gambut, kubah gambut sama
sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada lahan gambut harus diatur
dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan muka air, termasuk muka air
tanah yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran tanaman kaki kubah kubah
gambut.
Secara umum ada 3 prinsip yang digunakan dalam pemanfaatan lahan
gambut:
1. Pemanfaataan berkelanjutan
2. Pengawetan
3. Perlindungan
DAFTAR PUSTAKA
Andriesse, J.P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. Soil resources Management and Conservation service FAO Land and Water Development Division. FAO Soils Bulletine. 59. Rome.
Fakultas Pertanian IPB. 1986. Gambut pedalaman untuk lahan pertanian. Kerjasama Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I, Kalimantan Tengah dengan Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Harjowigeno,S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang dan tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.22 Juni 1996.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com,2009
http://ulungpamungkas.blogspot.com.2009
Noor, M. 2001. Pertanian lahan Gambut Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius.
Rajaguguk,B. dan B. Setiadi.1989. Strategi pemanfaatan gambut di Indonesia kasus pertanian. Seminar tanah gambut untuk perluasan pertanian. Fak. Pertanian UISU. Medan.
www.gadjahmada.edu, 2009
www.wikipedia.org,2009