konsep negara islam

Upload: muhammad-husnul-faruq

Post on 04-Jun-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    1/7

    Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'n sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'n mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.Pendahuluan

    Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'n) dikatakan agama yang hanyamengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil lamn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikandengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri d

    emokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakankestabilan bernegara.

    Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upayamanusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalambahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan denganagama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.

    Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan h

    ukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankankalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'n yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.Embrio Pemikiran Politik Islam

    Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemu

    ka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.

    * Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik,implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu. * Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.

    Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada per

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    2/7

    iode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politikdi kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqfah Ban Sa'dah muncul tiga ide politik, yaitu:Kembali ke Sistem Kabilah

    Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalanganBan Khazraj dan kaum separatis (riddah).Sistem Hak Warisan

    Ide ini lahir dari kalangan Ban Hsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbs, 'Al, dan Zubair.Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan

    Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Ban Hsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'n agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.

    Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secaraumum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompoktersebut adalah Khawrij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teoriimmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner ba

    gi Khawrij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.

    Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan,khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinastiitu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di manakegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dankemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihb al-DnAhmad Ibn Ab Rbi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyahyang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldn yanghidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili

    pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.

    Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.

    * Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. * Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.

    Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya

    problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidakselalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.

    Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.

    * Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    3/7

    * Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. * Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.

    Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu:Kelompok Konservatif

    Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat danwaktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bann, Hasan al-Turab, dan AbulA'l al-Maudud.Kelompok Modernis

    Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddn al-Afghan dan Muhammad 'Abduh.Kelompok Liberal

    Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola

    berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Rziq dan Thah Husein.Konsep Negara dalam al-Qur'n

    Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato danAristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazal, manusia itutidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal.

    * Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.

    * Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.

    Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukankerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dandari sinilah lahir suatu negara.

    Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi m

    ereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagaikhalfah-Nya untuk memakmurkan bumi.

    Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin, secara umum kita menemukan tiga bentukparadigma tentang hubungan agama dan negara.

    Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    4/7

    Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (immah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsikenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.

    Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus)dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilyah(kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.

    Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maudud (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.

    Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama m

    emerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbinganetika dan moral.

    Al-Mward (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.

    Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosaagama dan negara adalah al-Ghazal (w. 1111 M). Konsep far'i izd yang menjadi dasarsimbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimil

    iki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dankearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan.Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolakdeterminasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.

    Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islm Wa ushlal-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'n) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafur rsyidn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islamtidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah,

    tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalahutusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.

    Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Is

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    5/7

    lam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.

    Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politikNabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.

    Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatupola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islamsebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempatmenuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepadaakal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.

    Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu menga

    ntisipasi perkembangan zaman.

    Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'n. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentudari sebuah negara.

    Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandangkonsep negara dapat dikelompokkan kepada:

    1. Skripturalistik dan rasionalistik Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual

    dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'n dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yangrasional dan kontekstual. 2. Idealistik dan realistik Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik. 3. Formalistik dan substantivistik Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya,pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih m

    emusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.

    Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'n juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'n sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    6/7

    Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankanbukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.

    Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'n mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.

    Ada beberapa ayat al-Qur'n yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:

    1. Keadilan (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. 2. Musyawarah (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. 3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.

    4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. 5. Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. 6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuandalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

    Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dal

    am sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'n surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:

    Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan YangMaha Pengampun (QS. 34:15).

    Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk mene

    gakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silammeskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.Penutup

    Al-Qur'n maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang map

  • 8/13/2019 Konsep Negara Islam

    7/7

    an untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negarayang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebihmerupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.

    Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'n maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitupenting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'n seperti,musyawarah (syr), keadilan ('adlah), persamaan (muswah), hak-hak asasi manusia (huqal-adam), perdamaian (shalh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.