konsep hukum - hla hart 234-258.doc

21
BUKU : KONSEP HUKUM PENULIS : H.L.A. HART HAL : 234-258 lembaga khusus yang baru. Jadi bias dikatakan bahwa, terkait dengan persoalan-persoalan khusus ini, Parlemen tidak ‘mengikat’ atau ‘mengekang’ Parlemen atau mengurangi kemahakasaannya yang berkelanjutan, melainkan ‘mendefinisikan ulang’ Parlemen dan apa yang harus dilakukannya dalam legislasi. Tentu saja, jika sarana ini sahih, Parlemen dengan menggunakan sarana ini bisa mencapai hasil yang amat mirip dengan apa yang oleh doktrim umum, bahwa Parlemen tidak bisa mengikat para penerusnya, ditempatkan di luar kekuasaannya. Meski perbedaan antara pembatasan area yang bisa di legislasi ini cukup jelas dalam kasus khusus, dalam faktanya kategori-kategori ini saling membaur satu sama dengan lainnya. Sebuah undang-undang yang setelah menetapkan upah minimum insinyur, menyatakan bahwa rancangan undang-undang upah insinyur tidak akan memiliki efek hukum kecuali dikuatkan oleh resolusi Serikat Insinyur, dan kemudian ‘dikuatkan’ dengan mencegah penghapusan ketentuan ini, bisa dipandang telah mengamankan segala hal yang sebenarnya bisa ditempuh oleh sebuah undang-undang yang sekadar menetapkan upah ‘untuk selamanya’ dan kemudian dengan lugas melarang penghapusan terhadap undang-undang tersebut. Namun bisa dikemukakan satu argument, yang disadari kekuatannya oleh para ahli hokum, untuk memperlihatkan bahwa sementara yang tersebut kemudian bisa tidak efektif menurut ketentuan kedaulatan parlemen berkelanjutan yang sekarang, yang tersebut perama tidak akan demikian. Langkah-langkah argument itu berupa serangkaian usulan mengenai apa yang bisa diperbuat oleh Parlemen, di mana masing-masing akan lebih kecil peluang penerimaan terhadap usulan itu daripada pendahulunya meski mengandung analogi dengan apa yang diusulkan tersebut. Tidak satu pun darinya yang secara pasti bisa dipandang salah atuau diyakini benar; karena di sini kita berada di area tekstur terbuka yang terdapat pada peraturan yang paling fundamental dalam sistem. Setiap saat

Upload: jadilale

Post on 01-Dec-2015

353 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

TRANSCRIPT

Page 1: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

BUKU : KONSEP HUKUMPENULIS : H.L.A. HARTHAL : 234-258

lembaga khusus yang baru. Jadi bias dikatakan bahwa, terkait dengan persoalan-persoalan khusus ini, Parlemen tidak ‘mengikat’ atau ‘mengekang’ Parlemen atau mengurangi kemahakasaannya yang berkelanjutan, melainkan ‘mendefinisikan ulang’ Parlemen dan apa yang harus dilakukannya dalam legislasi.

Tentu saja, jika sarana ini sahih, Parlemen dengan menggunakan sarana ini bisa mencapai hasil yang amat mirip dengan apa yang oleh doktrim umum, bahwa Parlemen tidak bisa mengikat para penerusnya, ditempatkan di luar kekuasaannya. Meski perbedaan antara pembatasan area yang bisa di legislasi ini cukup jelas dalam kasus khusus, dalam faktanya kategori-kategori ini saling membaur satu sama dengan lainnya. Sebuah undang-undang yang setelah menetapkan upah minimum insinyur, menyatakan bahwa rancangan undang-undang upah insinyur tidak akan memiliki efek hukum kecuali dikuatkan oleh resolusi Serikat Insinyur, dan kemudian ‘dikuatkan’ dengan mencegah penghapusan ketentuan ini, bisa dipandang telah mengamankan segala hal yang sebenarnya bisa ditempuh oleh sebuah undang-undang yang sekadar menetapkan upah ‘untuk selamanya’ dan kemudian dengan lugas melarang penghapusan terhadap undang-undang tersebut. Namun bisa dikemukakan satu argument, yang disadari kekuatannya oleh para ahli hokum, untuk memperlihatkan bahwa sementara yang tersebut kemudian bisa tidak efektif menurut ketentuan kedaulatan parlemen berkelanjutan yang sekarang, yang tersebut perama tidak akan demikian. Langkah-langkah argument itu berupa serangkaian usulan mengenai apa yang bisa diperbuat oleh Parlemen, di mana masing-masing akan lebih kecil peluang penerimaan terhadap usulan itu daripada pendahulunya meski mengandung analogi dengan apa yang diusulkan tersebut. Tidak satu pun darinya yang secara pasti bisa dipandang salah atuau diyakini benar; karena di sini kita berada di area tekstur terbuka yang terdapat pada peraturan yang paling fundamental dalam sistem. Setiap saat bisa muncul persoalan yang tidak ada satu jawabannya – yang ada hanya jawaban-jawaban.

Jadi bisa dikatakan bahwa Parlemen bisa secara permanen mengubah konstitusi Parlemen yang sekarang dengan membubarkan Majelis Tinggi, dan dengan demikian bisa mengatasi ketentuan Undang-undang Parlemen tahun 1911 dan 1949 yang mengsyaratkan izin Majelis Tinggi untuk legislasi tertentu dan yang oleh otoritas terentu cenderung ditafsirkan sebagai pendegelasian sementara sebagian kekuasaan Parlemen kepada Ratu dan Majelis Rendah. Juga bisa dikatakan, seperti pendirian Dicey,2 bahwa Parlemen bisa memusnahkan dirinya sama sekali, dengan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa kekuasaannya telah berakhir dan menghapus legislasi yang mengatur pemilihan Parlemen berikutnya. Jika demikian, bunuh diri legislatif ini bisa secara sahih dibarengi dengan sebuah undang-undang yang mengalihkan semua kekuasaannya kepada lembaga lain tertentu, katakanlah misalnya Perusahaan Manchester. Jika pengalihan ini dimungkinkan, bukankah ia juga bisa secara efektif menjalankan sesuatu yang kurang dari itu? Tidak bisakah ia mengakhiri kekuasaan legislasinya dalam persoalan tertentu dan mengalihkannya kepada sebuah lembaga majemuk baru yang mencakup dirinya dan lembaga lain mendatang? Atas alas an ini bukankah bagian 4 dari Undang-undang Westminster, yang mensyaratkan adanya izin Ratu atas legislasi yang mengenai dirinya,

Page 2: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

dalam faktanya telah menjalankan hal ini terkait dengan kekuasaan legislasi Parlemen mengenai Ratu? Pernyataan bahwa hal itu bisa secara efektif dihapus tanpa seizin Ratu mungkin bukan hanya, seperti dikatakan oleh Lord Sankey, tergolong ‘teori’ yang ‘tidak terkait dengan realitas’. Teori demikian mungkin tergolong teori yang buruk – atau tidak lebih baik daripada lawannya. Akhirnya, jika Parlemen bisa dibentuk ulang dengan cara-cara ini melalui tindakannya sendiri, bukankah ia juga bisa membentuk ulang dirinya dengan menentukan bahwa Serikat Insinyur adalah unsur yang harus dimintakan izin dalam tipe legislasi tertentu?

Ada kemungkinan sebagian dari proposisi yang membentuk langkah-langkah argument yang goyah namun tidak jelas-jelas keliru ini suatu hari akan disahkan atau ditolah olah sebuah pengadilan yang diminta untuk memutuskan persoalannya. Pada saat itulah kita akan memiliki jawaban tunggal atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul, dan jawaban itu, sepanjang sistemnya ada, akan memiliki status otoritatif unik di antara jawaban-jawaban yang mungkin ada. Pada titik ini pengadilan akan membuat pasti peraturan ultimate yang digunakan untuk mengidentifikasi kesahihan hukum. Di sini ‘konstitusi adalah apa yang dikatakan oleh para hakim sebagai demikian adanya’ tidak sekadar berarti bahwa keputusan-keputusan tertentu dari mahkamah agung tidak bisa ditentang. Pada pandangan pertama gambaran ini terlihat paradoksal: di sini pengadilan menjalankan kekuasaan kreatif yang menetapkan kriteria terakhir (ultimate) untuk menguji kesahihan hukum-hukum itu sendiri, yakni hukum-hukum yang memberikan kepada mereka jurisdiksi sebagai hakim. Bagaimana bisa sebuah konstitusi memberikan otoritas untuk mengatakan apa itu konstitusinya? Namun paradoks itu lenyap jika kita ingat bahwa sekalipun setiap peraturan mungkin meragukan pada segi tertentu, namun dalam faktanya sebuah sistem hukum yang eksis memiliki sebuah syarat bahwa tidak setiap peraturan terbuka bagi keraguan pada semua segi. Bila pengadilan memiliki otoritas setiap saat untuk memutuskan persoalan-persoalan batasan kriteria terakhir kesahihan, hal itu bergantung semata-mata pada fakta bahwa, pada saat itu, penerapan kriteria itu untuk area hukum yang luas, termasuk peraturang yang memberikan otoritas tersebut, tidaklah meragukan, meski cakupan dan wilayah persisnya meragukan.

Namun demikian, bagi sebagian orang, jawaban ini mungkin kelihatan terlalu singkat dibandingkan oertanyaannya. Jawaban itui menjelaskan secara sangat tidak memadainya aktivitas pengadilan pada tepi-tepi peraturan-peraturan fundamental yang mengidentifikasi kriteria kesahihan hukum; kemungkinan ini karena jawaban tersebut menyandingkan aktivitas demikian terlalu dekat dengan kasus-kasus biasa yang di tempat itu pengadilan menjalankan pilihan kreatif dalam menginterpretasi undang-undang tertentu yang telah terbukti tidak pasti. Jelas bahwa kasus-kasus biasa semacam itu pasti muncul dalam sembarang sistem, dan dengan demikian terlihat jelas sebagai bagian, walaupun tersirat, dari peraturan-peraturan dijalankan oleh pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk menyelesaikannya dengan memilih di antara alternatif-alternatif yang dibiarkan terbuka oleh undang-undang, meskipun mereka cenderung untuk menyamarkan pilihan ini sebagai semacam penggalian. Namun, sekurang-kurangnya ketika tidak ada konstitusi tertulis, persoalan kriteria fundamental kesahihan seringkali memiliki kualitas yang tidak terbayangkan sebelumnya, yang menyebabkan wajar bila dikatakan bahwa, ketika semua itu muncul, pengadilan di bawah peraturan yang ada tidak memiliki otoritas yang jelas untuk menyelesaikan persoalan jenis ini.

Page 3: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

Salah satu kekeliruan ‘kaum formalis’ mungkin justru terletak pada pandangan mereka bahwa setiap langkah yang diambil oleh pengadilan sudah terliput oleh peraturan umum tertentu yang telah lebih dahulu memberikan otoritas kepadanya untuk menjalankannya sehingga kekuasaan kreatifnya selalu merupakan bentuk kekuasaan legislatif yang terdelegasi. Yang benar barangkali adalah bahwa, ketika pengadilan menangani persoalan yang sebelumnya tidak terbayangkan mengenai peraturan-peraturan konstitusional yang paling fundamental, ia memperoleh otoritas untuk memutuskan agar semua itu diterima setelah persoallannya muncul dan keputusan diambil. Bisa dipahami bahwa apabila persoalan konstitusionalnya memecah masyarakat secara terlalu fundamental maka tidak dimungkinkan penyelesaiannya melalui suatu keputusan yudisial. Persoalan-persoalan di Afrika Selatan tahun 1909 sudah berurat akar dan sampai pada saat yang terlalu gawat dan memecah-belah uintuk bisa diselesaikan oleh hukum. Namun ketika terkait dengan persoalan-persoalan sosial yang tidak begitu vital, unsur-unsur mengejutkan dalam pembuatan-hukum yudisial mengenai sumber-sumber hukum pun bisa ‘ditelan’ dengan biasa-biasa saja. Ketika hal ini terjadi, seringkali dikatakan sesudahnya bahwa pengadilan memang selalu memiliki kekuasaan ‘bawaan’ untuk melakukan apa yang telah mereka lakukan. Bagaimanapun juga ini mungkin hanyalah suatu khayalan yang baik, jika satu-satunya bukti untuk itu adalah keberhasilan dari apa yang telah dilakukan.

Manipulasi yang dilakukan oleh pengadilan–pengadilan Inggris atas peraturan-peraturan mengenai kekuatan mmengikat yang ada pada preseden barangkali terpapar jelas dalam cara terakhir ini sebagai semacam keberhasilan dalam mengambil kekuasaan dan menggunakannya. Di sini kekuasaan memperoleh otoritas ex post facto dari keberhasilannya. Dengan demikian, sebelum dibuat keputusan Pengadilan Banding Pidana dalam kasus Rex v. Taylor pertanyaan apakah pengadilan memiliki otoritas untuk memutuskan bahwa ia tidak terikat oleh preseden-presedennya sendiri dalam menyelesaikan persoalan kebebasan warga mungkin sudah terlihat terbuka sepenuhnya. Namun keputusan telah dibuat dan sekarang diikuti sebagai hukum. Statemen bahwa pengadilan selalu memiliki kekuasaan bawaan untuk memutuskan dengan cara ini jelas hanya merupakan cara untuk membuat situasinya terlihat lebih rapi dari keadaan yang sebenarnya. Di sini, tepi hal-hal yang sangat fundamental ini, kita harus menerima kaum skeptis-peraturan dan membuka mata melihat fakta bahwa yagn memungkinkan pengadilan mencapai perkembangan luar biasa dalam hal peraturan-peraturan fundamental adalah, untuk sebagian besar reputasi yang telah ia peroleh dalam aktivitas-aktivitas pasti dengan berpedoman pada peraturan di dalam wilayah-wilayah sentral hukum yang luas.[]

Catatan Akhir

1 Llewellyn, The Bramble Bush (2nd edition), h. 9.2 The Law of Constitution (10th edn.), h. 68 n.3 [1950] 2 K. B. 368

Page 4: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

Bab 8Keadilan dan Moralitas

Dalam rangka menjelaskan ciri-ciri khas hukum sebagai sarana kontrol sosial, kita telah menyadari perlunya dikemukakan elemen-elemen yang tidak bisa dibangun dari ide-ide tentang perintah, ancaman, kepatuhan, kebiasaan, dan keumumannya. Terlalu banyak karakter hukum yang dibiaskan oleh upaya untuk menjelaskannya dengan istilah-istilah sederhana. Dengan demikian, kita menyadari perlunya membedakan ide tentang kebiasaan umum, dan menekankan aspek internal peraturan-peraturan yang termanifestasi dalam penggunaannya sebagai standar pedoman dan standar kritik perilaku. Berikutnya kita membedakan diantara peraturan-peraturan itu adanya peraturan kewajiban primer dan peraturan sekunder pengakuan, perubahan, dan ajudikasi. Tema pokok dari buku adalah bahwa ada begitu banyak ragam kinerja hukum, dan ada begitu banyak ide yang membentuk kerangka pemikiran hukum, yang dalam penjelasannya membutuhkan rujukan kepada salah satu atau kedua tipe peraturan ini, sehingga keduanya bisa seimbang dipandang sebagai ‘hakikat’ hukum, meski keduanya mungkin tidak selalu ditemukan bersama setiap kali istilah ‘hukum’ digunakan. Justifikasi kami untuk memberikan kedudukan sentral kepada teori kesatuan peraturan primer dan sekunder ini bukanlah karena di sana keduanya memerankan fungsi sebagai semacam kamus acuan, melainkan karena keduanya memiliki kemampuan penjelasa yang kuat.

Sekarang kita harus mengalihkan perhatian pada klaim yang, dalam diskusi abadi mengenai ‘hakikat’ atau ‘esensi’ atau ‘definisi’ hukum, seringkali dipertentangkan dengan teori perintah (imperative theory) sederhana yang telah terbukti tidak memadai. Klaim ini berupa pendapat umum bahwa di antara hukum dan moralitas terdapat sebuah hubungan yang bersifat ‘perlu atau niscaya’, dan bahwa hubungan inilah yang layak untuk dipandang berkedudukan sentral dalam analisis atau penjelasan konsep hukum. Para pendukung pendapat ini mungkin tidak mempersoalkan kritik kami terhadap teori perintah sederhana. Mereka bahkan mungkin menerima bahwa kritik demikian mengandung kelebihan yang bermanfaat; dan bahwa kesatuan antara peraturan-peraturan primer dan peraturan-peraturan sekunder memang lebih penting daripada perintah-perintah yang ditopang oleh ancaman sebagai titik awal untuk memahami hukum. Bagaimanapun juga, mereka akan berargumen bahwa kesatuan ini saja tidak cukup: elemen-elemen itu pun bahkan bernilai subordinat, dan sampai hubungan yang bersifat ‘perlu (niscaya)’ dengan moralitas dibuat eksplisit dan nilai sentralnya terlihat, kabut yang telah begitu lama meredup pemahaman hukum tidak akan bisa disingkirkan. Dari sudut pandang ini kasus-kasus hukum yang bisa dipersoalkan atau dipertentangkan tidak akan sekadar berupa hukum masyarakat-masyarakat primitif atau hukum internasional, yang selama ini dipandang meragukan karena tidak memiliki badan legislatif, pengadilan dengan jurisdiksi mengikat, dan sanksi-sanksi yang terorganisir secara sentral. Yang jauh leebih dipersoalkan dalam sudut pandang ini adalah label hukum pada sistem-sistem municipal (sistem dengan lingkup negara) yang menunjukan keseimbangan penuh antara

Page 5: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

juge, gendarme et legislateur namun gagal mengikuti ketentuan fundamental mengenai keadilan atau moralitas. Dalam perkataan St. Augustine1 ‘Apa jadinya sebuah negara tanpa keadilan kalau bukan segerombolan perampok?’

Klaim bahwa di antara hukum dan moralitas ada suatu hubungan yang bersifat perlu atau niscaya memiliki banyak ragam yang penting, dan tidak seluruh hubungan itu terlihat jelas. Ada banyak kemungkinan interpretasi atas istilah-istilah kunci ‘perlu’ dan ‘moralitas’ dan hal-hal itu tidak selalu dibedakan dan dibahas secara terpisah oleh para pendukung maupun para pengkritiknya. Ragam yang paling jelas, mungkin karena tergolong sebagai bentuk ekspresi paling ekstrim dari sudut pandang ini, adalah yang terkait dengan tradisi Hukum Alam Tomistik. Ragam ini berisi pendirian ganda: pertama, bahwa ada prinsip-prinsip tertentu moralitas atau keadilan yang nyata, yang bisa ditemukan oleh akal manusia tanpa bantuan wahyu meskipun semua itu berasal dari Tuhan; kedua, bahwa hukum-hukum buatan manusia yang berkonflik dengan prinsip-prinsip ini bukan merupakan hukum yang sahih. ‘Lex iniusta non est lex.’ Ragam lainnya dari sudut pandang umum ini berpegang pad pendirian yang berbeda mengenai status prinsip-prinsip moralitas maupun mengenai konsekuensi dari konflik antara hukum dan moralitas. Sebagian orang memandang moralitas bukan sebagai prinsip-prinsip tindakan yang absolut atau sebagai hal yang bisa ditemukan oleh akal pikiran, melainkan sebgai ekspresi sikap manusia terhadap tindakan yang bisa berbeda dari masyarakat ke masyarakat atau dari individu ke individu. Teori-teori jenis ini biasanya juga berpendirian bahwa konflik hukum dan bahkan ketentuan moralitas yang paling fundamental pun tidak cukup untuk mencerabut status hukum yang ada pada sebuah peraturan; mereka menginterpretasi hubungan ‘perlu’ antara hukum dan moralitas dengan cara yang berbeda. Mereka mengklaim bahwa agar sebuah sistem hukum ada (exist), haruslah ada suatu penerimaan yang berlaku luas, sungguhpun tidak harus universal, atas kewajiban moral untuk mematuhi hukum, meskipun dalam kasus-kasus tertentu hal ini bisa jadi tersisih oleh kewajiban moral yang lebih kuat untuk tidak mematuhi hukum tertentu yang secara moral dianggap tidak baik.

Pembahasan lengkap mengenai berbagai ragam teori yang menegaskan adanya hubungan perlu antara hukum dan moral akan membawa kita jauh ke dalam filsafat moral. Namun tanpa filsafat moral pun kita bisa mempaparkan kepada pembaca hal-hal yang memadai untuk membangun pandangan yang logis mengenai kebenaran dan nilai penting klaim-klaim semacam itu. Untuk tujuan ini yang paling dibutuhkan adalah identifikasi dan pemisahan isu-isu tertentu yang selama ini berkelindan, yang akan kita bahas dalam bab ini dan berikutnya. Yang pertama dari isu-isu tersebut terkait dengan karakteristik khusus keadilan dalam lingkup umum moralitas dan ciri-ciri yang menjelaskan hubungan erat antara keadilan dengan hukum.Yang kedua, terkait dengan karakteristik yg membedakan membedakan antara peraturan-peraturan dengan prinsip-prinsip moral bukan hanya dalam peraturan hukum melainkan juga dalam semua bentuk peraturan sosial atau standar perilaku. Kedua isu ini menjadi pokok bahasan bab ini; isu yang ketiga, yang menjadi pokok bahasan bab selanjutnya, terkait dengan berbagai pemahaman dan bagaimana hubungan peraturan-peraturan hukum dengan moral.

Page 6: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

I. PRINSIP-PRINSIP KEADILAN

Kata-kata yang paling sering digunakan oleh para ahli hukum ketika memuji atau mencela hukum atau pelaksanaannya adalah kata ‘adil’ dan ‘tidak adil’, dan mereka seringkali menulis seolah-olah ide keadilan dan moralitas adalah dua hal yang tinggal berdampingan. Memang ada alasan yang amat kuat mengapa keadilan memiliki kedudukan paling menonjol dalam kritik atas tatanan hukum; namun kita perlu melihat bahwa keadilan adalah segmen lain moralitas, dan bahwa hukum dan pelaksanaan hukum bisa jadi memiliki atau tidak memiliki jenis kelebihan yang berbeda pula. Sedikit perenungan atas tipe-tipe umum penilaian moral sudah cukup untuk menunjukan karakter khusus dari keadilan ini. Seseorang yang bersalah karena tindakan brutal terhadap anaknya seringkali dinilai bahwa ia telah melakukan sesuatu yang secara moral salah, buruk, atau bahkan jahat, atau bahwa ia telah mengabaikan kewajiban atau tugas moralnya kepada si anak. Namun akan janggal bila kita mengkritik tindakannya sebagai hal yang tidak adil. Ini bukan karena perkataan ‘tidak adil’ terlalu lemah kekuatannya sebagai pencela, namun karena sasaran kritik moral dari kacamata keadilan atau ketidakadilan biasanya berbeda dari, dan lebih spesifik dari, tipe-tipe kritik moral umum lainnya yang sesuai untuk kasus khusus ini dan diekspresikan dengan kata-kata seperti ‘salah’, ‘buruk’, atau ‘jahat’. Istilah ‘tidak adil’ menjadi tidak sesuai jika orang tersebut telah dengan sengaja menghukum salah satu anaknya dengan lebih keras daripada hukuman yang diberikannya kepada anak lainnya yang melakukan kesalahan yang sama, atau jika ia telah menghukum si anak karena kesalahan tertentu tanpa mengambil langkah untuk memastikan bahwa anak itu memang perlakunya. Begitu pula, ketika kita beralih dari kritik atas perilaku individu menuju kritik atas hukum, kita mungkin mengekspresikan kesepakatan kita atas sebuah hukum yang menuntut para orang tua agar menyekolahkan anak-anak mereka dengan mengatakan bahwa hukum itu baik dan ketidaksepakatan kita atas sebuah hukum yang melarang orang mengkritik Pemerintah dengan menyebutnya sebagai hukum yang buruk. Kritik demikian lazimnya tidak dikemas dalam istilah-istilah ‘adil’ akan tepat ketika kita menyepakati sebuah hukum yang menyebarkan beban pajak secara merata menurut tingkat kekayaan orang; begitu juga ungkapan ‘tidak adil’ akan sesuai untuk mengungkapkan ketidaksepakatan atas sebuah hukum yang melarang orang non-kulit putih menggunakan sarana publik transportasi atau taman. Bahwa adil dan tidak adil merupakan bentuk kritik moral yang lebih spesifik daripada baik dan buruk atau benar dan salah, terlihat jelas dari fakta bahwa kita mungkin secara logis mengklaim bahwa sebuah hukum itu buruk karena tidak adil, namun kita tidak mengklaim bahwa hukum itu adil karena baik, atau tidak adil karena buruk.

Ciri khas keadilan dan hubungan spesialnya dengan hukum mulai muncul jika kita mengamati bahwa sebagian besar kritik yang dibuat dalam tinjauan adil dan tidak adil hampir sama bisa diungkapkan dengan kata-kata ‘fair’ (berimbang) dan ‘unfair’ (tidak berimbang). Keberimbangan jelas tidak berdampingan dengan moralitas secara umum; penunjukan pada istilah ini terutama relevan dalam dua situasi kehidupan sosial. Yang satu adalah ketika kita membahas bukan perilaku seorang individu melainkan cara diperlakukannya kelas-kelas individu, ketika beban atau manfaat tertentu hendak didistribusikan di antara mereka. Dengan demikian, di sini apa yang disebut sebagai berimbang atau tidak berimbang biasanya merupakan ‘jatah atau bagian’. Situasi kedua

Page 7: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

adalah ketika kerugian tertentu telah diperbuat dan muncul klaim ganti rugi (kompensasi) atau penawarnya. Namun konteks munculnya penilaian dalam tinjauan keadilan atau keberimbangan bukan hanya itu. Kita bukan hanya berbicara tentang distribusi atau kompensasi sebagai hal yang adil atau berimbang melainkan juga tentang seorang hakim yang adil atau tidak adil; dan seseorang yang diputus bersalah secara adil atau secara tidak adil. Semua ini merupakan penerapan turunan dari konsep keadilan yang bisa dipahami bila kita juga memahami penerapan primer dari keadilan dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan distribusi dan kompensasi.

Prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai penerapan konsep keadilan adalah bahwa para individu dihadapan yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu. Ini merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam ketidakpastian kehidupan sosial ketika beban atau manfaat hendak didistribusikan; ini juga merupakan sesuatu yang harus dipulihkan ketika terganggu. Dari situlah menurut tradisi keadilan dipandang sebagai pemeliharaan atau pemulihan keseimbangan (balance) atau jatah bagian (proportion), dan kaidah pokoknya seringkali dirumuskan sebagai ‘Perlakuan hal-hal serupa dengan cara serupa’; kendatipun kita perlu menambahkan padanya’dan perlakuan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda’. Dengan demikian ketika, atas nama keadilan, kita memprotes sebuah hukum yang melarang orang-orang non-kulit putih menggunakan taman publik, yang menjadi sasaran kritik tersebut adalah buruknya hukum seperti itu, karena dalam mendistribusikan manfaat fasilitas publik di tengah populasi hukum tadi melakukan diskriminasi di antara orang-orang yang, dalam semua segi relevan, serupa. Sebaliknya, ketika sebuah hukum dipuji sebuah hukum yang adil karena menarik unsur kekebalan atau keistimewaan dari kelompok tertentu, misalnya dalam pemungutan pajak, yang menjadi dasar pemikirannya adalah karena tidak ada perbedaan antara kelas istimewa dan segenap komunitas selebihnya yang mmembuat mereka berhak atas perlakuan khusus. Bagaimanapun juga, contoh-contoh sederhana ini cukup untuk menunjukan bahwa, meskipun ‘Perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa dan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda’ merupakan elemen sentral dalam konsep keadilan, elemen tersebut tidak dengan sendirinya komplet dan, sampai dilengkapi, tidak mampu menjadi pedoman tindakan yang pasti. Ini karena situasi manusia manapun akan mirip satu sama lainnya dalam segi tertentu dan berbeda dari yang lain dalam segi lainnya dan, sampai ditetapkan kemiripan dan perbedaan aoa yang relevan,’Perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa’ jelas akan tetap merupakan bentuk kosong. Untuk mengisinya kita harus tahu kapan, untuk tujuan ini, hal-hal tertentu harus dipandang serupa dan apa perbedaannya yang relevan. Tanpa kelengkapan lebih lanjut ini kita tidak bisa melangkah untuk mengkritik hukum atau tatanan sosial lainnya sebagai hal yang tidakadil. Bukan hal yang tidak adil bila hukum memperlakukan mereka secara berbeda, sebagaimana tidak adilnya hukum jika menolak memperlakukan secara berbeda orang-orang yang berakal sehat dan tidak berakal sehat.

Dengan demikian, ada kerumitan tertentu di dalam strukture konsep keadilan. Bisa kita katakan bahwa kerumitan tersebut dari dua bagian: satu aspek seragam atau konstan, yan teringkas dalam kaidah ‘Perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa’; dan satu kriterion tidak tentu atau variabel yang digunakan untuk memastikan kapan hal-hal terkait dipandang serupa atau berbeda. Dalam segi ini keadilan mirip dengan konsep-konsep mengenai apa yang disebut sebagai jangkung, asli, atau hangat,

Page 8: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

yang mengadung rujukan tersirat pada sebuah standar yang bervariasi sejalan dengan klasifikasi hal-hal yang dituju oleh penerapannya. Seorang anak yang jangkung bisa jadi sama tingginya dengan pria yang pendek, musim dingin yang hangat memiliki suhu sama dengan musim panas yang dingin, dan sebuah permata palsu bisa tergolong sebagai barang yang benar-benar asli keantikannya. Namun keadilan jauh lebih rumit daripada konsep-konsep ini karena standar variabel keserupaan yang relevan di antara hal-hal berebeda yagn tercakup di dalamnya bukan hanya bervariasi menurut tipe subejk yang dituju oleh penerapannya, melainkan juga sering kali terbuka bagi tantangan bahkan ketika terkait dengan satu tipe subjek.

Memang, dalam kasus-kasus tertentu, keserupaan dan perbedaan di antara manusia yang relevan bagi kritik atas tatanan hukum yang adil atau tidak adil sudah cukup jelas. Hal ini terutama terjadi ketika yang kita maksud bukan keadilan atau ketidakadilan hukum melainkan penerapannya dalam kasus-kasus tertentu. Di sini kemiripan dan perbedaan yang relevan di antara individu, yang harus dirujuk oleh orang yang melaksanakan hukum, ditentukan oleh hukum itu sendiri. Mengatakan bahwa hukum larangan pembunuhan diterapkan secara adil berarti mengatakan bahwa hukum itu secara tidak berpihak berlaku bagi semua orang dan hanya bagi orang yang serupa dari segi bahwa mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh hukum; tidak ada prasangka atau kepentingan yang mempengaruhi sang pelaksana dalam memperlakukan mereka ‘secara setara’. Sejalan dengan ini standar-standar prosedural semacam ‘audi alteram pertem’, ’seseorang tidak diperkenankan untuk menjadi hakim atas kasusnya sendiri’, dipandang sebagai ketentuan keadilan, dan di Inggris dan Amerika sering disebut sebagai prinsip-prinsip Keadilan Alamiah. Semua itu merupakan jaminan adanya ketidakberpihakan (impartilality) atau objektivitas, yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa hukum diterapkan bagi semua orang dan hanya bagi mereka yang serupa dalam segi-segi yang relevan yang ditentukan oleh hukum itu sendiri.

Hubungan antara aspek keadilan dan konsep penilaian oleh peraturan ini jelas erat sekali. Memang bisa dikatakan bahwa menerapkan sebuah hukum secara adil untuk kasus-kasus yang berbeda berarti menerima secara serius pendirian bahwa apa yang hendak diterapkan dalam kasus-kasus yang berbeda itu adalah peraturan umum yang sama, tanpa berbeda itu adalah peraturan umu yang sama, tanpa prasangka, kepentingan, atau keinginan pribadi. Hubungan erat antara keadilan dalam pelaksanaan hukum dan konsep tentang peraturan ini telah menggoda sebagian pemikir terkenal untuk mengidentikkan keadilan dengan kepatuhan kepada hukum. Namun jelas bahwa pendirian ssemacam itu keliru kecuali ‘hukum’ diberi makna yang amat luas; karena pendapat tentang hukum seperti itu sendiri juga seringkali dikritik adil atau tidaknya. Jelas tidak ada absurditas dalam perkataan bahwa sebuah hukum yang tidak adil yang melarang orang non-kulit putih masuk ke taman publik telah dilaksanakan secara adil, dalam pengertian bahwa hanya orang-orang yang bersalah atas pelanggarannya telah dihukum menurut ketentuan hukum itu dan hanya setelah disidang secara berimbang.

Ketika kita bergeser dari keadilan atau ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum menuju kritik atas hukum itu sendiri dalam ketentuan ini, jelas bahwa hukum itu sendiri sekarang tidak bisa menetapkan keserupaan atau perbedaan apa di antara individu yang harus diterima oleh hukum jika peraturan-peraturannya hendak memperlakukan hal-hal serupa dengan cara serupa dan dengan begitu menjadi adil. Walhasil, di sini ada banyak ruang bagi keraguan dan perdebatan. Perbedaan-perbedaan fundamental, dalam tinjauan

Page 9: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

moral dan politik umum, bisa mengarah pada perbedaan dan sengketa yang tidak bisa dipertemukan terkait dengan karakteristik apa pada diri manusia yang hendak dipandang sebagai hal yang relevan untuk mengkritik hukum yang tidak adil. Jadi, bila dalam contoh di atas kita mencela sebuah hukum sebagai hukum yang tidak adil karena melarang orang-orang non-kulit putih memasuki taman, celaan ini bertolak dari landasan bahwa, setidaknya dalam distribusi fasilitas semacam itu, perbedaan warna adalah hal yang tidak relevan. Tentu saja dalam dunia modern, fakta bahwa manusia dari warna kulit apa pun, mampu berpikir, merasa, dan mengendalikan diri, akan secara umum meskipun tidak secara universal diterima sebagai unsur kemiripan yang menjadi penentu bagi mereka yang dituju oleh hukum. Dari situ, di negara-negara yang paling beradab ada kesepakatan bahwa baik hukum pidana (yang dipahami bukan hanya dipahami bukan hanya sebagai pembatas kebebasan namun sebagai pemberi perlindungan dari berbagai jenis kerugian atau bahaya) maupun hukum perdata (yang dipahami sebagai upaya ganti rugi), akan dipandang tidak adil jika dalam distribusi beban dan manfaat ini keduanya melakukan diskriminasi di antara orang-orang dengan mengacu pada karakterisktik seperti warna kulit atau keyakinan agama. Dan jika, alih-alih berfokus pada prasangka manusia yang terkenal ini, hukum melakukan diskriminasi dengan mengacu pada irelevansi yang nyata seperti tinggi badan, bobot, atau kecantikan maka hukum akan menjadi tidak adil dan sekaligus menggelikan. Jika para pembunuh yang tergolong sebagai anggota gereja yang mapan dibebaskan dari hukuman mati, jika hanya para bangsawan yang bisa melakukan gugatan pencemaran nama baik, jika serangan fisik terhadao orang-orang non-kulit putih dihukum lebih ringan daripada serangan terhadap orang-orang kulit putih, hukum di kebanyakan masyarakat modern akan dicela sebagai hukum yang tidak adil atas dasar bahwa prima facie manusia harus diperlakukan secara serupa dan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan ini berpijak di atas landasan yang tidak relevan.

Memang dalam diri manusi modern tertanam kuat prinsip bahwa prima facie manusia berhak untuk diperlakukan serupa sehingga hampir secara universal di mana hukum benar-benar melakukan diskriminasi dengan mengacu pada segi-segi seperti warna kulit dan ras, paling tidak tetap ada basa-basi bahwa prinsip ini dijalankan. Jika diskriminasi semacam itu diserang mereka seringkali membela diri dengan berpendapat bahwa kellas tertentu didiskriminasi karena tidak memiliki, atau belum mengembangkan, sebagian ciri-ciri hakiki manusia; atau mungkin dikatakan bahwa, walaupun disesalkan, tuntutan atas keadilan dalam perlakuan yang sama bagi mereka harus dinomorduakan untuk menjaga sesuatu yang dipandang lebih penting, yang akan terancam jika diskriminasi semacam itu tidak dijalankan. Meski dewasa ini basa-basi berlaku umum, kita bisa membayangkan adanya suatu moralitas yang bukan berpijak pada sarana-sarana curang dalam menjustifikasi diskriminasi dan ketidaksetaraan, melainkan secara terbuka menolak prinsip bahwa prima facie manusia harus diperlakukan serupa. Alih-alih, mungkin bisa dipandang secara alamiah dan pasti bahwa manusia tergolong dalam kelas-kelas tertentu, sehingga secara alamiah sebagiannya lebih sesuai untuk hidup bebas dan sebagiannya cocok menjadi budak mereka atau, seperti dikatakan oleh Aristoteles, sebagai perangkat hidup (living instruments) bagi yang lainnya. Di sini tidak ada pemahaman tentang kesetaraan prima facie di antara manusia. Pandangan semacam ini bisa ditemukan dalam tulisan Aristoteles dan Plato, kendatipun disana terdapat lebih dari satu isyarat bahwa pembelaan penuh atas perbudakan akan melibatkan upaya

Page 10: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

menunjukan bahwa mereka yang diperbudak tidak memiliki kemampuan untuk bereksistensi secara mandiri atau bahwa mereka berbeda dari orang-orang yang merdeka dalam kapasitasnya mewujudkan cita-cita kehidupan yang baik.

Dengan demikian, jelas bahwa kriteria kemiripan (keserupaan) dan perbedaan yang relevan bisa jadi berbeda sesuai tinjauan moral fundamental dari seseorang atau masyarakat tertentu. Ketika hal itu terjadi, penilaian mengenai keadilan atau ketidakadilan hukum bisa jadi dihadapkan pada pendapat-berlawanan yang dituntun oleh sebuah moralitas berbeda. Namun, adakalanya pembahasan mengenai tujuan yang hendak diwujudkan oleh hukum bisa menjelaskan kemiripan dan perbedaan yang hendak diterima oleh sebuah hukum yang adil, dan dengan begitu kecil kemungkinannya untuk bisa dipersoalkan. Jika sebuah hukum mengatur bantuan bagi orang-orang miskin, maka ketentuan prinsip yang menyatakan ‘Perlakukan hal-hal yang serupa dengan cara serupa’ jelas akan mencakup perhatian pada faktor kebutuhan para pengklaim bantuan yang beragam itu. Kriterion yang serupa dengan kebutuhan juga bisa dilihat secara tersirat ketika beban pajak penghasilan dikenakan bertahap sesuai dengan kekayaan para individu yang dipajaki. Terkadang, apa yang relevan adalah kemampuan (kapasitas) orang-orang dalanm melakukan fungsi tertentu yang dituju oleh pelaksanaan hukum terkait. Hukum yang mengecualikan atau tidak memberikan kekuasaan kepada anak-anak atau orang yang tidak sehat akalnya dalam pembuatan kontrak atau wasiat dipandang adil karena mereka tidak memiliki kapasitas, yang diandaikan dipunyai oleh orang-orang dewasa yang sehat akalnya, untuk menggunakan secara wajar fasilitas ini. Diskriminasi semacam itu dibuat atas alasan yang jelas-jelas relevan, sementara diskriminasi dalam segi jenis kelamin atau perbedaan warna kulit tidak relevan; meski untuk mempertahankan subordinasi perempuan atau orang-orang non-kulit putih ada orang yang mengemukakan argumen bahwa peremouan atau orang non-kulit putih tidak memiliki kapasitas pria kulit putih dalam berpikir dan mengambil keputusan rasional. Jelas bahwa argumen seperti itu mengakui kapasitas ssetara untuk melakukan fungsi tertentu sebagai kriteria keadilan yang digunakan dalam kasus hukum tersebut, sekalipun ketika tidak ada bukti bahwa kaum perempuan atau orang non-kulit putih tidak memiliki kapasitas demikian, hanya basa-basi juga yang diterapkan atas prinsip ini.

Sampai di sini kita telah membahas keadilan atau ketidakadilan hukum yang bisa dipandang sebagai distribusi beban dan manfaat di antara para individu. Sebagian dari manfaat itu kentara, seperti bantuan bagi orang miskin atau jatah makananl; yang lainnya tidak kentara, seperti perlindungan dari bahaya fisik yang diberikan oleh hukum pidana, atau fasilitas yang dimungkinkan oleh hukum-hukum tentang kapasitas persaksian atau perjanjian, atau hak untuk memilih. Kita harus membedakan dari distribusi dalam pengertian luas ini kompensasi atas kerugian yang diperbuat oleh seseorang kepada orang lainnya. Di sini hubungan antara apa yang adil dan kaidah sentral keadilan ‘Perlakuan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda’ tentu saja tidak begitu langsung sifatnya. Namun hubungan itu masih bisa ditelusuri dan dilihat dengan cara berikut ini. Hukum-hukum yang mengatur kompensasi oleh seseorang kepada orang lainnya sebagai ganti atas kerugian perdata bisa dipandang tidak adil karena dua alasan yang berbeda. Pada satu sisi, hukum-hukum itu mungkin menetapkan privilese atau kekebalan (imunitas) yang tidak berimbang. Ini terjadi jika hanya kalangan bangsawan yang bisa mengajukan gugatan atas penemaran nama baik, atau jika orang berkulit putih tidak bisa digugat atas pelanggaran atau gangguannya terhadap orang non-kulit putih. Dengan cara yang jelas,

Page 11: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

hukum-hukum senacan itu melanggar prinsip-prinsip distribusi hak dan kewajiban yang berimbang dalam pemberian kompensasi. Namun hukum-hukum juga tidak bisa adil dari segi lain yang berbeda: meskipun tidak melakukan diskriminasi yang tidak berimbang hukum-hukum itu mungkin sama sekali tidak menetapkan penawaran atau ganti bagi kerugian tipe tertentu yang ditimpakan oleh seseorang kepada yang lainnya, walaupun secara moral ganti ruginya diyakini harus diberikan. Dalam hal ini hukumnya bisa jadi tidak adil sementara memperlakukan semua orang dengan cara yang serupa.

Dengan demikian, kelemahan dari hukum-hukum semacam itu bukan berupa distribusi yang buruk, melainkan penolakan pemberian kompensasi untuk semua orang secara serupa atas kerugian yang secara moral salah ketika ditimpakan kepada pihak lain. Kasus paling ekstrim dari penolakan ganti rugi semacam itu akan menghasilkan sebuah sistem di mana tidak seorang pun bisa memperoleh kompensasi atas kerugian fisik yang ditimpakan padanya. Perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan seperti ini akan tetap ada meskipun hukum pidana melarang penyerangan dengan disertai ancaman hukuman. Ada beberapa contoh ekstrim yang bisa ditemukan, namun kegagalan hukum Inggris untuk memberikan ganti rugi atas pelanggaran ruang pribadi, yang kerap dimanfaatkan oleh media massa, seringkali dikritik dengan cara ini. Bagaimanapun juga, ketidakmampuan untuk menetapkan pemberian kompensasi di mana secara moral hal itu dipandang benar juga menjadi pokok tuduhan mengenai ketidakadilan yang dilontarkan atas rumitnya teknikalitas hukum ganti rugi atau kontrak yang memungkinkan orang ‘memperkaya diri secara tidak adil’ dengan mengorbankan orang lain melalui tindakan tertentu yang dipandang salah.

Keterkaitan antara keadilan dan ketidakadilan dalam pemberian ganti rugi dengan prinsip ‘Perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa dan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda’, terletak pada fakta bahwa di luar hukum ada sebuah keyakinan moral bahwa mereka yang dikenai hukum juga memiliki hak timbal-balik agar orang lain tidak menimpakan tindakan tertentu yang merugikan mereka. Struktur hak dan kewajiban timbal-balik semacam itu, yang mencegah terjadinya jenis-jenis kerugian yang lebih besar, merupakan sebagian dari landasan moralitas setiap kelompok sosial. Efeknya adalah untuk menciptakan di antara individu suatu kesetaraan moral dan, dalam pengertian tertentu, kesetaraan buatan untuk mengimbangi ketidaksetaraan alamiah. Karena ketika kode moral melarang seseorang untuk tidak merampok atau menggunakan kekerasan terhadap orang lainnya bahkan ketika kekuatan atau keahlian yang lebih unggul pada dirinya memungkinkan untuk melakukan hal itu tanpa dihukum, pihak yang kuat dan ahli ditempatkan pada tingkat yang setara dengan pihak yang lemah dan awam. Hal-hal yang ada pada mereka secara moral dibuat serupa. Dari situ orang kuat yang mengabaikan moralitas dan memanfaatkan kekuatannya untuk mengabaikan moralitas dan memanfaatkan kekuatannya untuk merugikan orang lain yakini mengganggu keseimbangan atau tatanan kesetaraan ini yang tegakkan oleh moral; untuk itu keadilan menghendaki agar si pelaku sebisa mungkin memulihkan kembali status quo moral ini. Dalam kasus-kasus sederhana berupa pencurian ini berarti pengembalian barang yang telah diambil; dan kompensasi atau ganti rugi untuk kerugian lainnya merupakan perluasan dari konsep primitif ini. Seseorang yang secara fisik merugikan orang lain entah secara sengaja atau karena lalai dipandang telah mengambil sesuatu dari korbannya; dan sungguhpun ia tidak secara harfiah melakukan hal ini, gambarannya tidak terlalu jauh: ia telah mengambil untung dengan merugikan korbannya,bahkan jika hal itu

Page 12: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

hanya untuk memuaskan keinginannya atau karena ia tidak mau repot dengan bertindak hati-hati. Jadi ketika hukum-hukum menetapkan kompensasi bila keadilan menghendakinya, mereka secara tidak langsung mengakui prinsip ‘Perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa’ dengan memerintahkan agar status quo moral yang telah terganggu dipulihkan kembali, di mana korban dan pelaku berpijak di atas landasan setara dan dengan begitu menjadi serupa. Sekali lagi, ada kemungkinan bahwa bisa jadi ada pandangan moral yang tidak meletakkan para individu di atas landasan kesetaraan timbal-balik dalam persoalan ini. Kode moral mungkin melarang orang-orang Barbar untuk tidak menyerang orang-orang Yunani namun membolehkan orang-orang Yunani untuk menyerang orang-orang Barbar. Dalam kasus semacam itu seorang Barbar bisa dipandang secara moral harus memberikan kompensasi kepada seorang Yunani atas kerugian yang ia akibatkan namun ia sendiri tidak berhak atas kompensasi semacam itu. Tatanan moralnya di sini akan berwujud semacam ketidaksetaraan di mana korban dan pelaku diperlakukan secara berbeda. Bagi pandangan semacam itu, meskipun terlihat jahat bagi kita, hukum akan dipandang adil hanya jika mencerminkan perbedaan ini dan memperlakukan hal-hal yang berbeda dengan cara berbeda.

Dalam tinjuan singkat mengenai keadilan ini kita hanya membahas sebagian penerapannya yang gamblang untu kmenunjukan kelebihan hukum-hukum yang dipandang adil. Bukan hanya hal ini berbeda dari nilai-nilai lain yang mungkin dimiliki atau tidak dimiliki oleh hukum, melainkan juga adaklanya tuntutan akan keadilan bisa berkonflik dengan nilai-nilai lainnya. Ini bisa terjadi ketika sebuah pengadilan, yang menghukum seorang pelanggar atas tindak kejahatan yang sedang merajalela, memberikan hukuman yang lebih keras daripada yang diberikan dalam kasus-kasus serupa, dan dengan terang-terangan melakukan tindakan ini ‘sebagai peringatan’. Di sini dikorbankan prinsip ‘Perlakuan hal-hal yang serupa dengan cara yang serupa’ demi ketertiban umum atau kesejahteraan masyarakat. Dalam kasus-kasus pidana, konflik serupa antara keadilan dan kebaikan umum diselesaikan dengan condong kepada yang tersebut kemudian, ketika hukum tidak mengatur tentang penawara atas pelanggaran moral tertentu karena memberlakukan kompensasi dalam kasus-kasus demikian mungkin banyak membutuhkan pembuktian yang sulit, terlalu berat bagi pengadilan, atau terlalu memakan waktu. Ada batas tertentu dalam kadar pemberlakuan hukum yang bisa ditanggung oleh masyarakat, bahkan ketika pelanggaran moral telah diperbuat. Sebaliknya, hukum, atas nama kesejahteraan umum masyarakat, bisa memberlakukan kompensasi atas orang yang telah menrugikan orang lainnya, bahkan ketika secara moral hal itu mungkin dipandang tidak tepat. Kerap dikatakan bahwa hal inilah yang terjadi ketika pertanggungan ganti ruginya diberlakukan secara ketat, yakni tanpa memandang apakah ada kesengajaan merugikan atau kelalaian untuk berhati-hati atau tidak. Bentuk pertanggungan seperti ini kadang dibela atas dasar bahwa kepentingan ‘masyarakat’-lah yang dituju ketika mereka yang dirugikan secara tidak sengaja harus diberi kompensasi; dan diklaim bhwa cara termudah melakukan hal ini adalah dengan meeletakkan beban pada mereka yang aktivitasnya, betapapun terkontrol dengan cermatnya, mengakibatkan kejadian semacam itu. Mereka biasanya memiliki kantong tebal dan asuransi. Ketika pembelaan ini dilontarkan, di dalamnya terkandung rujukan tersirat kepada kesejahteraan umum masyarakat yang, meski secara moral bisa diterima dan terkadang bahkan disebut sebagai ‘keadilan sosial’, berbeda dari bentuk-bentuk primer keadilan yang hanya ditujukan untuk memulihkan sebisa mungkin status quo di antara dua individu.

Page 13: KONSEP HUKUM - HLA Hart 234-258.doc

Perlu dicatat satu titik persilangan yang penting antara ide keadilan dan ide kebaikan atau kesejahteraan sosial. Sedikit sekali perubahan sosial atau hukum-hukum yang menyenangkan bagi atau memajukan kesejahteraan semua individu secara serupa. Hanya hukum-hukum yang mengatur tentang kebutuhan-kebutuhan yang paling mendasar, seperti perlindungan polisi atau jalan raya, yang mendekati hal ini. Dalam kebanyakan kasus, hukum memberikan manfaat bagi satu kelas populasi hanya dengan mengambil dari kelas lain apa yang mereka sukai sebagai ongkosnya. Bantuan bagi kalangan miskin hanya bisa dihasilkan dari kepemilikan pihak lain; program wajib sekolah untuk semua anak bukan hanya berarti hilangnya kebebasan orang-orang yang ingin mendidik anak-anak mereka secara pribadi, melainkan juga dibiayai dengan memangkas atau mengorbankan investasi modal di bidang industri, pensiun usia lanjut atau layanan kesehatan gratis. Ketika sebuah pilihan telah dibuat di antara alternatif-alternatif yang ada hal itu mungkin dibela kepantasannya atas dasar ‘kebaikan umum’ atau ‘kebaikan bersama’. Tidak jelas apa makna dari ungkapan ini, karena nampaknya tidak ada skala yang bisa digunakan untuk mengukur kontribusi dari berbagai alternatif terhadap kebaikan bersama dan mana yang kontribusinya lebih besar. Bagaimanapun juga, jelas bahwa