konsep han dalam penataan ruang kota
DESCRIPTION
Makalah ditulis oleh E.Zaenal.Muttaqin pada perkuliahan Hukum Administrasi Negara Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas PadjadjaranTRANSCRIPT
PENERAPAN STRATEGI PEMBANGUNAN TATA RUANG
KOTA BERKELANJUTAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Oleh: E.Zaenal Muttaqin
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk paling banyak
setelah Cina, India, dan Amerika serikat1 tentunya memiliki berbagai konsekwensi
yang lebih kompleks, apalagi jika dihubungkan dengan permasalahan pembangunan
kota sebagai bentuk indikator dari kemajuan pembangunan itu sendiri. Melihat dari
pengalaman yang telah terjadi dari beberapa waktu yang lalu, dapat dikemukakan
bahwa sistem pembangunan di dunia umumnya dan khususnya pembangunan di
Indonesia belum memiliki wawasan lingkungan yang baik dan perencanaannya masih
belum memperhatikan keseimbangan ekologi, dan dalam hal ini ialah perencanaan
kota yang memadai. Beberapa permasalahan dan isu yang mengemuka mengenai
permasalahan kota antara lain:
1. Kemiskinan di Perkotaan
2. Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan
3. Keamanan dan Ketertiban Kota
4. Kapasitas Daerah dalam Pengembangan dan Pengelolaan Perkotaan (dalam
hal ini ialah pemerintah daerah dan perangkatnya)2
Hal tersebut kemudian memicu adanya konvensi PBB tentang pembangunan
dan lingkungan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 sebagai sebuah bentuk kritikan atas
pembangunan yang tak seimbang.3Maka dari hasil konvensi tersebut dihasilkanlah
sebuah konsep yang seimbang mengenai pembangunan dan ekologi, dan dalam hal ini
ialah pembangunan kota yang berada dalam tataran dinamis, namun tetap
memperhatikan keseimbangan tata aturan dan isu internal kota yang didalamnya juga
termasuk lingkungan hidup.
1Forbes, Dean K. "Republic of Indonesia." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.
2Gita Chandrika Napitupulu, Isu Strategis dan Tantangan Dalam Pembangunan Perkotaan, dalam Bunga Bungan Rampai Pembangunan Kota Indonesia Abad 21, Urban and Regional Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta: 2005, hlm. 10
3 Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (termasuk perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, makalah pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar ,Bali. Hal. 3
Pun demikian, seiring dengan hal tersebut Indonesia mulai mengadopsi
konsep-konsep tersebut kedalam sistem pembangunannya hal ini tersernin dari konsep
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) yaitu suatu proses
perubahan yang terencana di dalamnya exploitasi sumber daya, arah investasi
orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semuanya dalam
keadaan selaras serta meningkatkan potensi masa kini dalam keadaan yang selaras
serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan
dan aspirasi manusia, disamping juga memiliki dasar kajian strategis dan terperinci.
Seperti disinggung diatas bahwa kota sebagai salah satu pos pembangunan yang
utama berada pada wilayah administrasi pemerintah daerah sebagai pengelola dan
perencana. Perlu diketahui juga bahwa pengertian pemerintah daerah pada tulisan ini
ialah satuan pemerintah teritorial tingkat lebih rendah dari pemerintahan pusat dalam
format negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan bergulirnya sistem pemerintahan yang menganut desentralisasi, maka
kini pemerintah daerah memiliki tugas dan peran yang baru untuk menyusun rencana
lebih seskasama dalam pembangunan kota yang lebih efisien dan terencana. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam tinjauan hukum administrasi negara pemerintah daerah
telah menerima atribusi dari undang-undang dalam hal memiliki kewenangan yang
Sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka porsi yang
lebih besar justru terletak pada tanggung jawab pemerintah lokal, hal ini lebih lanjut
tertuang dalam pasal 13 UU tersebut terutama poin a, b, dan g yang masing-masing
menyatakan: “urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi”:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;4
Penegasan pasal dari UU tersebut merupakan sebuah legitimasi terhadap pemerintah
daerah untuk lebih leluasa mengatur daerahnya, disamping itu juga momentum ini
(desentralisasi dan otonomi daerah) adalah sebuah titik awal untuk membuat
kebijakan perkotaan yang bersifat explisit, yaitu kebijakan yang langsung dan
eksplisit menyebutkan tujuan dan fokus kebijakan pada pembangunan daerah atau
kota,5sementara itu saat ini kebijakan kota lebih mengarah kepada sifatnya yang
4UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah Pasal 13 poin A,B,G 5L.S Bourne & J.W Simmons, “System of Cities”, Oxford Univ. Press, 1978, p.490
2
implisit atau kebijakan pemerintah yang tidak langsung namun mempengaruhi
terhadap struktur dan tata kota seperti halnya kebijakan perpajakan, tarif, transportasi,
dan sebagainya. Oleh karenanya, urgensi dari pembangunan tata kota saat ini menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Maka dari sinilah tuntutan terhadap tindakan
pemerintah yang konkrit diperlukan, dan darinya maka dapat dimungkinkan adanya
konsep administrasi negara yaitu Freis Ermessen atau Pouvoir Discretionnaire
sebagai bentuk pemenuhan daripada kesejahteraan masyarakat dalam konteks
welvaarstaat dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Good regulatory
governance).
Intensitas kebijakan yang berorientasi kepada makna implisit akan membuat
sistem sentralisasi dan terpusat pada kota utama dan beberapa kota saja, oleh karena
itu pemerintah daerah sebagai pemegang kebijakan yang utama di daerahnya perlu
memikirkan perencanaan yang matang dan seksama untuk membangun tata kota yang
lebih baik sesuai dengan alur pembangunan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, menilik
kepada implikasi asas-asas pemerintahan umum yang baik maka adanya otonomi
daerah (otoda) merupakan suatu manifestasi nyata
Tulisan ini selanjutnya akan mengkaji beberapa permasalahan yang antar lain:
1. Isu strategis dan solusi apa saja yang mengemuka dalam wacana
pembangunan tata ruang kota dalam konteks pembangunan yang
berkelanjutan?
2. Apa dan bagaimanakah seharusnya peran pemerintah daerah sebagai pemutus
kebijakan dan perencana pembangunan kota dalam merealisasikan
pembangunan kota yang berkelanjutan dikaitkan dengan kerangka otonomi
daerah?
3. Bagaimanakah peran hukum administrasi negara dalam menunjang
pembangunan kota berkelanjutan?
B. Pemahaman Mengenai Konsep Otonomi Daerah (otoda) Dan Beberapa Aspek
Administrasi Negara Di dalamnnya
1. Penjelasan Mengenai Prinsip Otonomi Daerah
Sebagaimana disinggung sedikit diatas bahwa dengan bergulirnya sistem
desenteralisasi dalam hal pemerintahan dan juga otonomi daerah, maka terdapat
implikasi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, apatah lagi jika
diakirkan dengan masalah kebijakan pembangunan kota yang tentunya adalah urusan
utama dari pemerintah daerah itu sendiri. Namun sebelum beranjak kepada penjelasan
3
yang lebih rincai mengenai kebijakan strategis dan variable-variable mengenai isu
strategis mengenai pembangunan kota, maka akan dikaji seksama mengenai
pemahaman otonomi daerah dan desentralisasi itu sendiri.
Salah satu wacana yang sangat krusial semenjak Indonesia merdeka adalah
masalah otonomi daerah, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan
kewenangan tertentu kepada pemerintahan di daerah. Hal tersebut merupakan salah
satu subsistem dalam negara kesatuan republik Indonesia,6 dan juga dalam
perencanaan awal negara kesatuan ini juga melahirkan UU yang pertama mengenai
otonomi daerah yang tertera dalam UU no 1 tahun 1945.7Isu otonomi memang lumrah
dalam negara yang sangat luas dan memiliki populasi yang banyak, memang sempat
pada dekade sebelumnya dibentuk negara federal yang lebih mengejawantahkan arti
otonomi, namun dalam tataran politis itu hanyalah sebuah politik pemecah belah
bangsa yang dilancarkan oleh Belanda.
Oleh karena itu, dalam UUDS 1950 kemudian muncullah penegasan otonomi
daerah bagi daerah dalam rangka mengembalikan negara kesatuan Indonesia
walaupun pada perjalanannya pelaksanaan otonomi mengalami perkembangan di
Indonesia. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai makna otonomi
yang berkaitan dengan aspek implisit maupun eksplisit, artinya dalam tataran explisit
otonomi daerah adalah sebuah hubungan yang erat antara pusat dan daerah dalam
berbagai hal. Adapun ditinjau dari makna implisit merupakan tugas negara dalam
mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, karena secara konkrit dengan adanya
otonomi akan memberikan kesempatan daerah mengembangkan potensinya karena
daerah lebih mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan dan prioritas apa yang
harus didahulukan dalam hal pembangunan.
Dengan berkembangnya masyarakat Indonesia dan meluasnya wacana
otonomi dengan lahirnya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka
titik berat otonomi berada pada daerah tingkat II yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat, sesuai dengan penjelasan dari UU No 32 tahun 2004 dasar pemikiran
poin B bahwa: Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
6Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi daerah, PSH UII, Yogyakarta: 2005, hlm. 21 7Mengatur mengenai Komite nasional daerah
4
memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kemudian dalam UU tersebut juga dijelaskan mengenai hak yang dimiliki
oleh pemerintah daerah, yaitu apa yang tertuang dalam Pasal 21 mengenai hak dan
kewajiban daerah:
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
2. Memilih pimpinan daerah
3. mengelola aparatur daerah
4. mengelola kekayaan daerah
5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah
6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya konsep otoda dan desentraliasasi yang telah dikemukakan
diatas, maka dengan demikian juga harus ditunjang dengan asas-asas pemerintahan
yang baik. Dalam konteks welvaarstaat maka good governance adalah sesuatu yang
mutlak harus diperlukan, oleh karena dengan hal tersebut dapat menunjang aktivitas
pemerintahan secara lebih optimal. Daripada itu dalam UU No 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah Pasal 20 dinyatakan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri atas:
1. asas kepastian hukum
2. asas tertib penyelenggara negara
3. asas kepentingan umum
4. asas keterbukaan
5. asas proporsionalitas
6. asas profesionalitas
7. asas akuntabilitas
8. asas efisiensi dan
9. asas efektifitas
Dilain hal dapat dilihat juga dari segi terminologi good governance dari
United Nation Development Programme atau UNDP yang mendefinisikan sebagai
“The exercise of political, economic, and administrative authority to manage a
5
nation’s affair at all levels”.8 Kemudian lebih lanjut dari pengertian ini pun kita akan
menemukan istilah administrative authority yang mengindikasikan adanya peranan
dan praktek administrasi di dalamnya, oleh karena itu dibawah ini akan dipaparkan
lebih lanjut mengenai fungsi administrasi negara dalam kaitannya dengan otonomi
daerah dan penyelenggaraan good governance di dalammnya.
2. Beberapa Aspek Administrasi Negara Dalam penyelenggaraan Otonomi
Daerah
Sebagaimana yang telah diunbgkapkan diatas mengenai pemahaman terhadap
masalah otonomi daerah, maka setidaknya ada beberapa hal yang esensi yang juga
terkait didalamnya mengenai beberapa aspek hukum administrasi negara. Adapun hal
tersebut ialah:
a). Aspek kewenangan
Mengenai aspek yang pertama yaitu masalah kewenangan, sesuai dengan UU
No 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dalam hal
ini memiliki kewenangan yang baru dan luas dalam mengelola potensi daerahnya
seperti yang telah disinggung diatas. Dalam hal ini pun dapat dilihat secara jelas
bahwa melalui Undang-undang tersebut pemerintah daerah menerima atribusi yang
berupa kewenangan seperti yang telah dijelaskan di muka. Dengan demikian
dikaitkan dengan negara kesejahteraan atau welvaarstaat maka dengan UU tersebut
pemerintah memiliki kewajiban untuk menjalankan pemenuhan kesejahteraan bagi
rakyat, dan dari sini pula kemudian muncul konsep freis ermessen atau pouvoir
discretionnaire dalam hal-hal yang dibutuhkan penyelesaian secara konkrit, dan
dalam hal ini bisa dicontohkan seperti kebijakan penataan ruang kota.
Pun demikian, dalam kebebasannya yang demikian luas pemerintah daerah
tetap memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar. Menurut muchsan freis ermessen
harus memperhatikan dua hal yaitu harus mengacu kepada sistem hukum yang
berlaku dan ditujukan hanya untuk kepentingan umum semata.9 Selain itu juga
Sjachran Basah mengistilahkan adanya batas atas dan batas bawah,10 yaitu batas atas
ialah ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, dan batas bawah
tidak boleh melanggar hak dan keajiban asasi warga.
8http://www.undp.org/governance/ 9Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981, hlm.2810Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung:
Alumni, 1992, hlm.4-5
6
b). Aspek Kelembagaan
Dalam kurun waktu beberepa dekade yang lalu, kita mengetahui bahwa
konsekwensi daripada sistem yang tersentralisir menjadikan sistem kelembagaan
menjadi tidak proporsional dan kurang koordinatif. Dengan begitu secara otomatis
prinsip administrasi dalam segi koordinasi antar lembaga tidak berjalan optimal, hal
ini dikarenakan bentuk organisasi pemerintah yang terlalu relatif besar,
kecenderungan instansi pemerintah untuk mengembangkan besaran organisasi
instansi masing-masing, terdapatnya penangan urusan pemerintahan dan
pembangunan yang tumpang tindih antara instansi satu dengan instansi lainnya, dan
kemudian terakhir ialah kurang proporsionalnya pembagian wewenang antara
organisasi di tingkat pusat, daerah tingkat I dan II.
Dalam kondisi yang seperti ini dan dalam rangka manifestasi prinsip-prinsip
otonomi daerah dan desentralisasi, maka perlu adanya pembaharuan khususnya alam
bidang administrasi yang terkait dengan masalah koordinasi antara berbagai lembaga
atau instansi. Karena sesungguhnya prinsip koordinasi adalah upaya memadukan ,
menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling
berkaitan beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian
tujuan dan sasaran bersama.11Penataan koordinasi yang baik antar lembaga adalah
suatu modal penting bagi pelaksanaan dan implementasi daripada otonomi daerah dan
desentralisasi, dan disini juga peranan administrasi sangat dibutuhkan menyangkut
dengan masalah koordinasi rersebut
c). Aspek Keuangan
Beralih kepada aspek selanjutnya mengenai masalah keuangan, maka akan
berbicara masalah APBD (anggaran pendapatan belanja daerah) yang menjadi aspek
penting bagi kelangsungan proses pemerintahan di daerah. Dalam pelaksanaanya,
pengelolaan keuangan harus dilakukan secara baik dan terkoordinir agar tidak terjadi
hal-hal yang menyimpang. Karenanya dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 156
dinyatakan bahwa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan kepala daerah
melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannyayang berupa perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban, serta pengawasan
keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.
11Lembaga Administrasi Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997, hlm.53
7
Dari hal ini dapat kita lihat aspek administrasi dalam hal pendelegasian
kewenangan dari kepala daerah kepada perangkat daerah dalam rangka optimalisasi
pengelolaan keuangan.
C. Isu Strategis Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan Dan Peranan Hukum
Administrasi Negara
Sebelum beranjak kepada permasalahan dan isu-isu strategis pembangunan
kota berkelanjutan, maka ada beberapa hal yang terkait mengenai pemerintahan
daerah dan otonomi daerah, meskipun kemudian akan diperbandingkan dengan
strategi pembangunan kota dari City Development Strategies (CDS) yang memiliki
konsep trajectory (alur) yang komprehensif seperti berikut:
BAGAN 1
sumber: Webster 2005
Bagan diatas merefleksikan masing-masing alur dari 4 bidang yang menjadi
trajektori pembangunan kota yang berkelanjutan, namun lebih lanjut dari pembahasan
ini akan dibahas pada sub bab berikutnya.
8
Otonomi daerah yang telah sedikitnya dijelaskan diatas merupakan sebuah
manifestasi dari konsep desentralisasi maka posisinya adalah memperkuat dari
konsep otonomi tersebut, dalam arti yang lain desentralisasi ialah urusan-urusan
pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat
sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan daerah agar menjadi urusan
rumah tangganya, sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang
daerah.12 Dalam posisi yang seperti ini daerah berada dalam suatu posisi yang sangat
penting dalam kaitannya dengan segala hal yang menyangkut stabilitas kehidupan dan
khususnya dalam hal ini ialah penataan ruang kota, karena pemerintah dalam hal ini
merupakan cerminan dari keinginan dan aspirasi masyarakat. Dengan adanya
kerangka desentralisasi dan otonomi daerah adalah momen penting yang sangat
berharga untuk membangun kebijakan yang lebih proporsional dan sesuai dengan alur
pembangunan berkelanjutan. Pun demikian, dengan adanya desentralisasi dan
otonomi daerah seidaknya hanya dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu tujuan
demokrtasi dan kesejahteraan.13
Adalah kedua tujuan tersebut sebagai landasan yang utama yang kemudian
dari keduanya dijabarkan segenap pencapaian-pencapaian yang ingin diraih. Nilai
demokrasi sebagai tujuan yang pertama adalah sebuah nilai yang sangat fundamental
dari kehidupan berbangsa dan bernegara disamping itu adalah sebuah indikator dari
pelaksanaan pemerintahan yang Good Governance. Sedangkan tujuan yang kedua
adalah kesejahteraan, sejahtera dalam hal ini merupakan tujuan mengapa adanya suatu
sistem yang dinamakan desentralisasi. Karena dengan desentralisasi akan menjamin
adanya kebebasan daerah untuk menentukan dengan kemampuan dan potensi yang
prioritas dan proporsional bagi dirinya, sehingga pencapaian kesejahteraan akan
berlangsung secara optimal dan efisien. Dari semua hal tersebut maka kaitannya
dengan pembanguna penataan ruang kota yang berkelanjutan adalah salah satu
pencapaian dari dua tujuan fundamental seperti disebutkan diatas, dengan begitu
peran otonomi daerah dan desentralisasi sangat krusial dalam menunjang
pembangunan penataan ruang kota yang berasaskan kepada pembangunan
berkelanjutan.
1. Isu eksternal
12Koswara E, Faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Disertasi, Yogyakarta, 1995, hlm. 69
13Haryo Sasongko, Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pembangunan Perkotaan, Op.,Cit, hlm. 110
9
Sebelum beranjak kepada permasalahan internal, maka akan dibahasa terlebih
dahulu mengenai permasalahan eksternal dalam kota. Permasalahan inti dari faktor
eksternal adalah mengenai keterkaitan antara kota dan desa serta wilayah-wilayah lain
yang berada pada wilayah sekitar kotra inti, kaitannyadengan kota megapolitan adalah
bagaimana mengatur kesesuaian antara daerah disekitar dan daerah penyangga kota
inti.
Permasalahan klasik yang sering terjadi disini ialah masalah urbanisasi dan
gejala yang ditimbulkan akan dapat merusak tatanan sistem kota apabila tidak diatur
secara seksama dan tertata secara baik. Keterkaitan antara desa dan kota merupakan
hal yang penting dalam membangun konstelasi arus pembangunan antara keduanya,
keterkaitan tersebut kemudian akan menimbulkan suatu hubungan yang bertautan
(Continum) yang dimana masyarakat didalamnya memecahkan persoalan kemiskinan,
urbanisasi, dan hal-hal yang penting lainnya.
Penjelasan tabel berikut ini akan mendeskripsikan bagaimana hubungan yang
erat antara desa-kota, yaitu pembangunan yang terintegrasi dan selalu seimbang. Jika
diperhatikan dalam hubungannya dengan faktor eksternal, apabila antara kota dan
desa tidak terjadi keseimbangan maka dapat dipastikan tidak akan mendukung
pembangunan kearah yang berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan kota dalam
kerangka faktor eksternal harus terintegrasi dengan daerah-daerah disekitarnya yaitu
keterkaitan antara desa-kota.
BAGAN 2
Peran Kota dan Desa serta Keterkaitannya
Desa (lokasi Kegiatan
Pertanian dan SDA)
Keterkaitan Kota (Lokasi Kegiatan
Non Pertanian)
Produksi Makanan Pemasaran Produksi Pertanian
Produksi tanaman pertanian dan
perkebunan dan sumber daya
alam
Pusat Pengolahan Produksi
pertanian dan perkebunan serta
eksport
Permintaan input kegiatan
pertranian danjasa pelayanan
pertanian
Pusat jasa pelayanan bagi
produksi pertanian
Permintaan barang dan jasa
pelayanan kesehatan,
pendidikan, perdagangan,
hiburan, keuangan
Pusat perdagangan barang
kebutuhan rumah tangga dan
lainnya, fasilitas sosial dan
hiburan
10
Transfer surplus ke sektor non
pertanian
Investasi lokal bagi sektor
pengolahan dan jasa pendukung
kegiatan petanian
Sektor tenaga kerja On farm dan
Off farm
Sektor tenaga kerja non
pertanian
Sumber: Douglas, 1999
Namun dalam realita dan tataran praktis kita menemukan justru keterkaitan tersebut
tidak didapatkan dalam sebuah hubungan yang harmonis, apatah lagi ada semacam
perasaan skeptis mengenai kota dan desa. Desa diartikan sebuah daerah yang kumuh
(Slum) dan tidak memilki potensi berkembang, namun sesungguhnya pandangan
tersebut adalah salah dankeliru. Desa adalah penyangga bagi kehidupan kota yang
merupakan pusat kegiatan, dimana berbagai supply kebutuhan masyarakat kota
sedangkan di lain pihak kota adalah tempat berpusatnya tempat-tempat atraktif
(Amenity) yang menjadi kebutuhan masyarakat rural. Dengan begitu keterkaitan yang
integral tersebut harus tetap dibina dan ditata secara strategis sesuai dengan
pembangunan CDS (City Development Strategic) yang akan dibahas lebih lanjut pada
pembahasan selanjutnya.
Selain permasalahan hubungan yang erat antara desa-kota, adalah isu
urbanisasi dalam keberlanjutan hubungan tersebut, urbanisasi yang tidak terkontrol
akan menambah masalah bagi sistem penataan kota terkait dengan akses terhadap
fasilitas publik meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa arus urbanisasi tidak akan
dapat dihindari. Menurut data dari City Alliance Group pada tahun 2005 saja
penduduk dunia yang tinggal di daerah urban mencapai angka 3,2 miliar jiwa dan
akan tumbuh sebesar 75 % pada tahun-tahun berikutnya.14oleh karena itu harus ada
sebuah stategi yang optimal untuk menangani arus laju pertumbuhan urbanisasi
tersebut dengan menerapkan suatu srategi yang terintegrasi dalam suatu konsep.
2. Isu Internal
Beranjak kepada masalah internal kota maka kita akan menemukan beberapa
isu masalah yang berkaitan langsung dengan kehidupan kota didalalamnya. Namun
sebelum melangkah kepada permasalahan internal tersebut, maka kita akan
memperkenalkan terlebih dahulu beberapa strategi pembangunan yang terangkum
dalam CDS (City Development Starategy). Dalam kerangka konsep CDS dijelaskan
beberapa permasalahan yang esensial mengenai permasalahan-permasalahan yang
14http://www.citiesalliance.org/activities-output
11
secara langsung menghambat pembangunan, pun demikian dalam kerangka CDS juga
bertujuan untuk memaksimalkan performa perencanaan pembangunan yang intergral.
Kenyataan saat ini di Indonesia menggambarkan suatu konsep penataan kota
yang belum optimal dan integral, meskipun pada UU no 26 tahun 2007 mengenai tata
ruang kota mengamanatkan penataan yang optimal dan integral.15 Dengan begitu
dapat kita lihat hasil yang selalu mengecewakan terutama dari kebijakan pemerintah
daerah yang gagal dalam mengintegrasikan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Kenyataan yang ingin dicapai adalah dengan adanya CDS dan keterpaduan dasar
hukum (UU no 26 2007) akan mampu merubah paradigma kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Diantara beberapa isu dan solusi yang ditawarkan CDS setidaknya patut
diperhatikan dan menjadi masukan yang berharga bagi pembuat kebijakan, beberapa
hal tersebut antara lain16:
a). Mata Pencaharian (Livelihood)
Masyarakat dengan mata pencaharian yang menghasilkan pendapatan yang
memadai adalah sebuah indikator awal bagaimana membangun starting point yang
baik untuk memulai pembangunan kota yang sehat. analisa dari masalah ini dapat kita
ketahui bahwa kebanyakan timbulnya kemiskinan dan slums area atau daerah miskin
adalah disebabkan akses publik yang tidak memadai dan kebijakan yang salah
mengenai kesempatan masyarakat luas untuk mendapatkan mata pencaharian yang
layak. Dari hal tersebut akibatnya adalah menurunnya daya beli masyarakat yang
berpengaruh kepada kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang pada
dasarnya pajak tersebut diperlukan untuk membangun fasilitas kota dan akses publik
lainnya.
15Hal ini bisa dilihat pada Bab II pasal 2 UU no 26 tahun 2007 mengenai tata ruang kota yang menyebutkan” Dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:
1. keterpaduan2. keserasian,keselarasan, dan keseimbangan3. keberlanjutan4. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan5. keterbukaan6. kebersamaan dan kemitraan7. perlindungan kepentingan umum8. kepastian hukum dan keadilan9. akuntabilitas16CDS adlah sebuah konsep integral yang kemudian di pelopori oleh The City Alliance dengan
mengemukakan beberapa isu dan solusi integral. Untuk lebih lanjut lihat http//:www.citiesalliance.org
12
Memang hal ini seperti layaknya bumerang yang mengancam kota, dari
sebuah kebijakan yang salah akan berdampak langsung kepada pendapatan
pemerintah dalammembangun kota. Oleh karena itu ada beberapa strategi untuk
menciptakan mata pencaharian (Livelihood) yang mampu memberdayakan
masyarakat yang pada akhirnya mampu mendapatkan mata pencaharian yang layak.
Strategi tersebut antara lain:
1. Menciptakan iklim bisnis (Business Climate)
Iklim bisnis merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
menciptakan peluang kerja yang baik bagi masyarakat urban, menurut laporan world
bank’s pada 200417 kenyataan yang dapat disaksikan adalah bahwa dengan banyaknya
peluang iklim bisnis akan mendatangkan banyak investasi yang tentunya akan
menguntungkan kota tersebut.
Lagi-lagi disini adalah kebijakan pemerintah yang harus tepat sasaran dan
berdayaguna, artinya bahwa dengan membuat kebijakan untuk menciptakan small-
business orientation dengan sasaran agar masyarakat mampu menciptakan usaha kecil
menengah dan tidak terbatas hanya untuk kalangan pemilik modal besar. Tetapi
berbeda apabila kita melihat beberapa kota miskin seperti Jakarta dan Nairobi18 yang
tidak mampu memberikan pelayanan dan akses terhadap usaha kecil bagi masyarakat
dan pemerintah tidak memiliki itikad baik untuk membantu usaha kecil tersebut.
Solusi dari permasalahan diatas khususnya untuk kota-kota di Indonesia secara
konkrit ialah bagaimana kemudian pemerintah memiliki itikad untuk menciptakan
peluang-peluang dan membantu usaha kecil menegah yang bersifat informal, baik itu
berupa pemberdayaan maupun subsidi dan pinjaman dana yang terjalin dalam struktur
finansial building (hal ini akan dibahas kemudian).
2. Kompetitif (Competitiveness)
Nilai kompetitif dari suatu kota merupakan dasar acuan untuk menjadikan kota
lebih atraktif dalam mengundang investasi-investasi baik sektor formal maupun
informal. Kebutuhan untuk menjadikan kota bernilai kompetitif dapat dilihat dari
indikator bagaimana pemerintah mampu memanfaatkan kelebihan-kelebihan alami
yang dimiliki suatu kota (endownment) seperti iklim, demografi kota, dan lain
sebagainya.
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia
17World banks report on city development 2004. Lihat http://www.worldbank.org18Ibid
13
Pengembangan mutu SDM terhadap masyarakat khususnya di kota adalah
suatu hal paling penting diantara faktor lainnya. Dengan pemanfaatan yang baik maka
masyarakat mampu mandiri dan mengembangkan potensi diri untuk mendapatkan
mata pencaharian dengan kemampuan skill yang handal pula.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus memfasilitasi hal tersebut
dalam kaitannya membentuk SDM yang berkualitas, konkritisasinya ialah
(1) kemudahan akses untuk masyarakat pada lembaga pendidikan dan
pelatihan
(2) meningkatkan kualitas pelatihan terhadap beberapa program yang
disiapkan untuk melahirkan tenaga-tenaga profesional
(3) pendidikan yang berorienrtasi kepada pembangunan ekonomi
masyarakat urban.
Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut setidaknya mampu menyiapkan para
profesional yang handal untuk siap terjun dalam dunia kerja yang pada akhirnya
mampu mencapai taraf hidup yang layak, sehingga dengan kelayakan hidup tersebut
akan meningkatkan daya beli masyarakat termasuk didalamnya kemampuan
membayar pajak kepada pemerintah yang akan digunakan untuk membangun kota.
Sebagai contoh dapat kita lihat pada negara Thailand, ketika itu pemerintah
daerah Bangkok memiliki strategi setelah menghadapi krisis ekonomi 1997 untuk
memfokuskan pelatihan SDM kepada 100.000 orang yang akan disiapkan untuk
terjun pada sektor formal maupun informal. Hal itu ditujukan untuk memberikan
bekal yang cukup, dengan begitu mereka mampu bergerak dalam bidang usaha sesuai
skill dan potensinya, dan ternyata strategi tersebut berhasil dan mampu menciptakan
pembangunan tata kota yang baik.19 Tentu saja ini adalah strategi yang jitu yang
kemudian mampu menolong dari keterpurukan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi
yang secara fundamental dapat menghambat laju pembangunan tata kota, dan
daripada itu seharusnya pemerintah Indonesia umumnya dan pemerintah-pemerintah
daerah di Indonesia memiliki inisiatif kebijakan yang sama dengan apa yang
dilakukan oleh Bangkok agar harapan-harapan tersebut dapat terwujud.
Secara umum system CDS dari penciptaan mata pencaharian yang baik dapat
dilihat dalam bagan berikut:
19Wyatt, David K. "Bangkok." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.
14
BAGAN 3
sumber: citiesalliance.org
Proses diatas ialah suatu perputaran arah yang saling bertautan, dengan penciptaan
kebutuhan dasar (Basic Needs) oleh pemerintah akan mampu mengembangkan
kualitas sumber daya masyarakat untuk menciptakan aset bagi kota itu sendiri.
b). Meningkatkan Kualitas Lingkungan, Pelayanan, dan Efisiensi Energi
Faktor lingkungan adalah faktor yang juga sangat krusial dan fundamental
kaitannya dengan strategi pembangunan kota, dengan pemantapan strategi lingkungan
yang baik maka akan menciptakan iklim yang berdayaguna. Diantara isu lingkungan
ini anatara lain ialah permasalahan perhatian kota terhadap faktor external (dijelaskan
sebelumnya) yang berkaitan pada desa, perbatasan kota dan keadaan lingkungan di
daerah tersebut. Karena penataan ruang kota tidak melulu memperhatikan faktor
internal, tetepi lebih juga kepada faktor internal seperti apa yang telah diuraikan
diatas.
Beberapa strategi yang menjadi kajian utama masalah lingkungan dalam
kerangka penataan ruang kota antara lain:
1. kualitas lingkungan (environment quality)
Masalah kualitas lingkungan terkait dengan indikator udara dan air, apakah
tingkat polusi masih diambang batas atau bahkan telah melewati ambang batas yang
15
ditentukan sesuai dengan strandar. Kebanyakan kota yang berkembang gagal
menyediakan fasilitas untuk memelihara keseimbangan seerti energy saving, fasilitas
pembuangan, drainase kota yang terkadang tidak tersistem secara lebih baik. Dengan
tidak tersistemnya kualitas air dan udara hal ini tentu saja akan mengganggu stabilitas
pembangunan kota itu sendiri.
2. sistem pelayanan (delivery system)
Sistem pelayanan yang berbasis lingkungan hidup adalah suatu strategi untuk
memonitor dan mengawasi perkembangan kelestarian lingkungan. Tujuannya adalah
memetakan beberapa daerah dalam kota yang tergolong miskin Slums yang kemudian
dari hal tersebut pemerintah memberikan basic needs atau kebutuhan yang dibutuhkan
oleh masyarakat.
Daripada itu juga dengan sistem ini pemegang kebijakan (decision maker)
akan mengetahui secara seksama terhadap daerah-daerah yang seharusnya memiliki
perhatian yang sangat serius yang kemudian akan mempermudah pemerintah dalam
memberikan pelayanan yang proporsional. Konsep ini dapat dilihat dari sistem
monitoring pelayanan (delivery monitory system) yang ada di Johannesberg Afrika
Selatan, dengan begitu pemerintah setempat mampu mengidentifikasi daaerah-daerah
yang perlu mendapatkan perhatian intensif terhadap masalah lingkungan.
3. efisiensi energy (energy efficiency)
Efisiensi energi apabila dilakukan secara terus menerus akan memberikan
implikasi yang sangat baik terhadap masyarakat terutama masalah pengeluaran biaya
dan lingkungan, bandingkan apabila sektor industri memiliki manajemen yang baik
terhadap efisiensi tersebut maka akan dapat mereduksi polusi yang mengotori udara.
Pemerintah dalam hal ini harus memiliki kebijakan yang strategis dalam
mejaga lingkungan. Disamping itu juga kebijakan terhadap penggunaan bahan bakar
alternatif yang lebih hemat seperti teknologi hybrid, dan terlebih lagi tentunya ramah
lingkungan.hal ini seharusnya menjadi agenda yang penting dan mulai digalakan oleh
seluruh Pemerintah daerah di Indonesia.
c.) Formasi Tata Ruang dan Infrastruktur Kota
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam strategi pembangunan kota ialah
masalah pengelolaan infrastruktur dan kawasan (pemukiman, industri, sarana fasilitas
publik, dan lain-lain). Da beberapa isu penting yang bekaitan dengan msalah ini
antara lain:
16
1. Infrastruktur (infrastructure)
secara umum sarana dan prasarana yang berkaitan dengan infrastruktur kota
adalah sesuatu hal yang berada pada posisi inti dan menunjang kepada berhasil atau
tidaknya sutau pembangunan kota. Infrastruktur adalah elemen penting yang dapat
membangun perekonomian dan mobilitas penduduk. Meskipun pembangunan
infrastruktur yang memadai merupakan usaha yang sangat sulit dengan pendanaan
yang luar biasa, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang namun
pengadaan saranan publik tersebut harus tetap berdasar kepada konsep stabilitas
ekonomi, artinya bahwa dengan begitu akan meningkatkan nilai mobilitas
perekonomian penduduk.
Karena hubungannya dengan perekonomian kota ialah berkaitan, maka ada 3
dimensi utama: (1) infrastruktur ialah enablers yang memungkinkan terjadinya
berbagai kegiatan ekonomi, seperti ketersediaan jalan raya, jembatan, listrik dan
sarana komunikasi yang memicu adanya transaksi dalam perekonomian. (2)
infrastruktur merupakan input produksi, dalam hal ini seperti penggunaan listrik pada
industri. (3). Akses terhadap infrastruktur menetukan tingkat kesejahteraan
masyarakat . dengan begitu pemerintah perlu meningkatkan kemudahan dan fasilitas
infrastruktur kepada masyarakat luas seperti akses air bersih, transportasi yang mudah
dan murah, sanitasi dan lain-lain, pun demikian pembangunan infrastruktur juga harus
ditunjang oleh perekonomian yang baik.
Disini maka kita akan melihat betapa keterkaitan infrastruktur dengan
perekonomian sangatlah erat kaitannya. Oleh karena itu hal ini juga berkaitan dengan
lancarnya stabilitas ekonomi masyarakat kota, seperti dijelaskan lebih awal diatas
bahwa faktor mata pencaharian (Livelihood) yang baik secara langsung juga akan
membawa dampak positif terhadap pembangunan infrastruktur kota.
2. formasi kawasan pemukiman
Adalah penting membicarakan masalah pemukiman warga yang seringkali
ditemukan khususnya di Indonesia tidak tertata dengan baik dan benar. Kebanyakan
daerah miskin (Slums) tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini harus memiliki wawasan yang integral terhadap
pembangunan kawasan pemukiman yang baik, baik yaitu melihat suatu peluang yang
bisa dilakukan terhadap kawasan-kawasan seperti itu.
Analisa terhadap kawasan seperti demografi, atau merujuk kepada teknologi
pencitraan modern saat ini seperti GIS (Geographical Information System). keadaan
17
lingkungan juga salah satu hal yang harus dipertimbangkan baik dari segi ekonomi
maupun ekologi. Integralisasi yang dimaksud diatas adalah sebuah bentuk
perencanaan kota yang tidak terpisah dari road map pembangunan, bahkan daerah
(slums) harus lebih diberikan perhatian.
d). Sumber Pendanaan Kota
Berbicara hal ini maka tidak akan terlepas dari hal-hal yang sebelumnya telah
dibicarakan. Penyediaan infratruktur, kawasan pemukiman dan fasilitas publik yang
memadai adalah suatu lingkaran yang saling berkaitan. Dengan sumber ekonomi yang
baik dan infrastruktur yang memadai maka pendanaan kota lebih baik.
Namun permasalahan adalah ketika berada pada kota yang miskin, sumber
pendanaan justru akan mempengaruhi pelayanan dan akses publik kepada masyarakat,
yang sebenarnya dana pemerintah pun didapat dari pajak msyarakat. Namun
bagaimana masyarakat akan membayar pajak yang sesuai apabila stabilitas ekonomi
rakyat sedang melemah dan tidak merata. Oleh karena itu solusi yang harus dicapai
dan diusahakan ialah :
1.Pemberdayaan masyarakat dengan kualitas SDM
2.Membangun paradigma kota melalui kebijakan yang responsif
3.Mengembangkan dan membantu serta memfasilitasi usaha-usaha menengah kecil.
Dibawah ini adalah bagan bagaimana pendanaan kota tersebut bila hanya berasal dari
sektor publik saja akan menghasilkan nilai yang kecil, dan untuk menghasilkan
pendanaan yang memadai harus melibatkan sektor-sektor lain.
BAGAN 4
18
Sumber: Webster 2000
3. Peran Pemerintah dan Administrtasi Negara dalam Mewujudkan
Pembangunan Kota Berkelanjutan
Dalam beberapa uraian diatas sedikitnya telah disingung menegani peran
pemerintah dalam pembangunan dan penataan ruang kota. Maka disini akan
dikemukakan lebih lanjut bagaimana peran tersebut berjalan dan hal apa saja yang
harus dilakukan pemerintah dalam hal ini sebagai pemutus kebijakan (decision maker)
yang menentukan semua arah pembangunan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari pemerintah aderah disni
khususnya sebagai elemen yang paling dekat langsung kepada masyarakat kota
dibanding dengan pemerintah pusat. Faktor tersebut antara lain:
1. Kerangka kebijakan
2. Birokrasi dan administrasi yang proporsional
3. Optimaslisasi peran pemerintahdalam konteks desentralisasi
4. SDM yang mumpuni dari aparatr pemerintah
19
5. Membangun relasi dan kerjasama yang kooperatif dengan pihak swasta seperti
investor dan masyarakat sipil laiinya yang memiliki peran penting dalam
pembangunan kota.20
Hal-hal diatas adalah sebuah parameter yang mengahruskan pemerintah mengacu
kepadanya, dalam sistem pembangunan kota yang berkelanjutan harus juga
diperhatikan mengenai isu desentralisasi dan otonomi daerah. Indonesia sebagai
negara yang menganut prinsip tersebut belum sepenuhnya efektif dilaksanakan oleh
Pemerinrtah daerah, apatah lagi tidak didukung dengan SDM dan sarana yang
memadai.
Pun demikian kita harus optimis dan tetap berkeyakinan bahwa pembangunan
kota di Indonesia harus tetap digalakan dengan mengintegrasikan konsep-konsep yang
baku dan menghilangkan ganjalan-ganjalan yang selama ini menghalangi. Oleh
karena pembenahan yang serius dan dukungan dari semua elemen baik pemerintah
maupun masyarakat luas harus selalu beriringan dan selaras.
Terkait dengan peranan administrasi negara dalam hal penataan ruang kota,
maka kita berbicara bebertapa konsep dan variable yang utama seperti perizinan dan
koordinasi.
a). Perizinan (Vergunning)
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat
pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi,
sertifikasi, penentuan ko=uota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya
harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum
yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.
Mengacu kepada uraian penataan ruang kota khususnya poin pendanaan
terhadap kota, maka kita sadari bahwa aspek perizinan sangat penting untuk memicu
datangnya para investor, meskipun demikian perizinan yang dikelola oleh pemerintah
harus dikelola secara bijak, dan mempertimbangkan seluruh aspek terkait dengan
masalah sosial.
b). Koordinasi
Hal yang tidak kalah pentingnya ialah masalah koordinasi, dalam konsep
administrasi negara koordinasi berfungsi untuk untuk menggerakan dan
20 The Cities Alliance, Guide to City Development Strategies; Improving Urban Performance, The Cities Alliance, Washington D.C, 2006, hlm. 28-37
20
memperlancar pelaksanaan pembangunan, karenanya kegiatan pemerintah harus
dipadukan, diserasikan dan diselaraskan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih,
perbenturan, kesimpangsiuran dan kekacauan. Karena koordinasi harus dilakukan.
Berkaitan dengan pembangunan tata ruang kota berkelanjutan, maka
koordinasi di lingkungan pemerintahan daerah sangat penting artinya bagi
terselenggaranya tujuan dan rencana yang telah disepakati. Dalam konteks
pembangunan tata ruang kota yang memadai, maka setidaknya terdapat berbagai
elemen dan institusi pemerintah di daerah yang terlibat. Dengan adanya koordinasi
yang baik dan terpadu maka dapat diharapkan adanya keserasian pandangan dan
tujuan sehingga tercipta sebuah langkah yang sinergi dari pemerintah daerah dalam
berbagai hal umumnya dan dalam hal penataan ruang kota pada khususnya.
D. Penutup
Demikianlah dari uraian diatas mengenai beberapa hal yang berkenaan dengan
masalah penataan ruang kota dan kaitannya dengan otonomi daerah yang ditinjau dari
aspek hukum administrasi negara, karena itu didapatkan beberapa kesimpulan yang
antara lain:
1. Diantara isu strategis dalam pengembangan kota dan pembangunannya adalah
terpusat pada masalah eksternal dan internal. Yang dimaksud dengan isu
eksternal adalah hal-hal yang berkaitan dengan desa, pinggiran kota dan
daerah sekitar pinggiran kota. Adapun isu internal berkaitan langsung dengan
permasalahan yang cukup kompleks seperti ekonomi, lingkungan,
infrastruktur, kawasan industri dan pemukiman, dan kebijkan pemerintah. Hal
tersebut dapat dilihat dari alur pembangunan (trajectory) bagan 1.
2. Adapun peran pemerintah sangatlah penting dalam setiap kebijakan dan setiap
bidang yang berkaitan dengan pembangunan kota. Pemberdayaan SDM,
proporsionalitas kebijakan dan mudahnya birokrasi adalah salah satu hal
penting yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai pemain utama dalam
kebijakan penataan kota. Oleh karena itu optimalisasi peran kebijakan yang
sesuai dengan amanat UU no 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah harus
dilakukan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
3. Peranan administrasi negara sebagai salah satu elemen penting dalam masalah
pengejawantahan konsep tata ruang dan otonomi daerah merupakan konsep
dasar yang juga ikut menunjang daripada keberhasilan penerapan penataan
ruang yang baik dan optimal.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. BukuBagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi daerah, PSH UII, Yogyakarta: 2005
Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (termasuk perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, makalah pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar ,Bali.
Douglas, Mike, Alternative Development of Intermediate Cities Based on Endogenous Growth Potential in The Curent Context of Urbanization, Department of Urban an Regional Planning, University of Hawai, 1991.
Gita Chandrika Napitupulu, Isu Strategis dan Tantangan Dalam Pembangunan Perkotaan, dalam Bunga Bungan Rampai Pembangunan Kota Indonesia Abad 21, Urban and Regional Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta: 2005
Haryo Sasongko, Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pembangunan Perkotaan, dalam “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21”, URDI dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta, 2005
Koswara E, Faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Disertasi, Yogyakarta, 1995
Lembaga Administrasi Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997
L.S Bourne & J.W Simmons, “System of Cities”, Oxford Univ. Press, 1978
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992
The Cities Alliance, Guide to City Development Strategies; Improving Urban Performance, The Cities Alliance, Washington D.C, 2006
Webster, Dougla, and J. cai, Larissa Muller et. Al. 2005. Xiames: A World of Global Connections, Hong Kong and Shanghai: Shui On Land Limited.
2. Ensiklopedia DigitalForbes, Dean K. "Republic of Indonesia." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.
22
Wyatt, David K. "Bangkok." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.
3. Halaman Websitehttp://www.worldbank.orghttp://www.citiesalliance.org/activities-outputhttp://www.undp.org/governance/
4. Undang-undangUU No 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan DaerahUU No 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang Kota
23