bab 3 kebijakan penataan ruang

11

Upload: daddy-nya-audrey

Post on 01-Jul-2015

222 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang
Page 2: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

32

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

enataan ruang yang mencakup proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan

ruang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan peraturan perundang-undangan yang memberi dasar yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang. Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut. Undang-undang Penataan Ruang inilah yang pada saat ini menjadi acuan utama dan sekaligus dasar hukum seluruh kegiatan penataan ruang di Indonesia. UU No. 24 tahun 1992 mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut yang dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri. Peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai penataan ruang yang hingga saat ini telah diterbitkan adalah:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

3. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 19 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Tingkat I dan Tingkat II.

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah.

Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Bandung tahun 1992 yang ditinjau kembali, sesungguhnya merupakan rencana tata ruang daerah yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan ruang di kota Bandung. RUTR

P

Lapangan Gasibu Jl. Diponegoro

Kebijakan Penataan Ruang 3

Page 3: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

33

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Kota Bandung tersebut harus sesuai dan mengacu pada peraturan perundang-undangan penataan ruang yang berlaku, yaitu UU No. 24 tahun 1992 dan peraturan mengenai penataan ruang lainnya.

3.1 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan

Visi Kota Bandung yang ingin dituju atau dicapai pada masa sekarang dan masa yang akan datang yaitu sebagai Kota Jasa yang Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat (BERMARTABAT). Kota Bandung sebagai kota Jasa adalah perkembangan ekonomi Kota Bandung didominasi oleh kegiatan jasa perkotaan, meliputi jasa keuangan, jasa pelayanan, jasa profesi, jasa perdagangan, jasa pariwisata, dan jasa lainnya. Pengertian dari visi Kota Bandung sebagai �Kota Jasa yang BERMARTABAT� adalah: 1. Bersih adalah kualitas kota lingkungan kota yang tinggi, bersih

dari sampah, dan bebas polusi, serta kualitas aparat dan warga kota yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

2. Makmur adalah kemakmuran bagi seluruh warga kota, dengan indikator antara lain tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan daya beli masyarakat.

3. Taat adalah ketaatan aparat dan warga kota terhadap hukum dan aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban kota.yang berlaku.

4. Bersahabat adalah kualitas ruang-ruang kota yang ramah, nyaman dan menarik bagi penghuni maupun pengunjung, disertai sikap aparat dan warga kota yang menyenangkan bagi orang yang berkunjung, bekerja, dan berusaha.

Adapun Misi Kota Bandung yang ingin dicapai dalam rangka untuk merealisasikan visi diatas adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan

religius, yang mencakup pendidikan, kesehatan dan moral keagamaan

2. Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan perekonomian kota yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

3. Mengembangkan Sosial Budaya Kota yang ramah dan berkesadaran tinggi, serta berhati nurani, yang mencakup

peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga, pemuda dan olah raga serta kesetaraan gender.

4. Meningkatkan penataan kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan kota.

5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat.

6. Mengembangkan sistem pembiayaan kota, yang mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat.

Seperti yang digariskan dalam Permendagri No. 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, di dalam menyusun RTRW Kota terlebih dahulu haruslah ditetapkan visi, misi serta tujuan pengembangan dari kota yang direncanakan. Visi Kota Bandung berkaitan dengan penataan ruang yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi Kota Bandung adalah: Kota Bandung sebagai Kota Pendidikan, Pemerintahan, Jasa Keuangan, dan Jasa Pelayanan yang BERMARTABAT. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang akan diselenggarakan sebagai landasan arahan penataan ruang adalah: 1. Mewujudkan kota yang tertata rapi, nyaman dan layak huni

melalui penyediaan berbagai sarana dan prasarana dalam mendukung pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

2. Menciptakan dan meningkatkan daya tarik kota, yaitu tertatanya sentra-sentra ekonomi secara merata di seluruh kota dengan didukung sistem transportasi yang memadai.

3. Menciptakan kemudahan investasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

4. Menyediakan landasan yang menyeluruh dan terpadu bagi perangkat, mekanisme, manajemen, dan pengendalian pembangunan.

Dasar pemikiran visi dan misi Kota Bandung di atas tidak terlepas dari tujuan, fungsi dan kedudukan RTRW Kota Bandung dalam konteks pembangunan daerah pada umumnya, dan khususnya dengan produk hukum dan perencanaan-perencanaan lainnya di tingkat Kota Bandung.

3.2 Isu Strategis

Dari tinjauan perkembangan dan permasalahan Kota Bandung, dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangannya, Kota Bandung dihadapkan pada beberapa isu strategis berikut ini : 1. Struktur Ruang Kota

Masih terpusatnya kegiatan perkotaan di satu pusat yaitu di Wilayah Bandung Barat, serta terdapat beberapa sub pusat (pusat sekunder) Kota Bandung yang tidak dapat berfungsi sebagaimana yang direncanakan pada RUTRK Bandung 1992

2. Perubahan Pemanfaatan Ruang Kurang cepatnya antisipasi perkembangan terutama yang disebabkan oleh tekanan ekonomi, sehingga muncul berbagai persoalan perubahan pemanfaatan lahan yang pada akhirnya menurunkan kualitas lingkungan terutama pada lingkungan perumahan.

3. Pelestarian Kawasan dan Bangunan Terdesaknya bangunan-bangunan dan kawasan yang memiliki nilai sejarah oleh bangunan baru yang lebih memiliki nilai ekonomis.

4. Fungsi Kota Berkaitan dengan penetapan fungsi Kota Bandung sebagai kota jasa. Untuk mendukung terciptanya Visi Kota Bandung, fungsi sebagai Kota Jasa ini perlu lebih diarahkan.

5. Ruang Publik Penggunaan ruang publik yang tidak sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya beberapa kasus, seperti penggunaan lapangan tegallega, keberadaan sektor informal pada koridor-koridor jalan, dan alihfungsi RTH.

6. Pelayanan Publik Kualitas pelayanan publik yang belum optimal, meliputi kualitas pelayanan yang diberikan unit pelayanan satu atap, kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat, kualitas kebersihan dan keindahan lingkungan kota dan masih terbatasnya kemampuan dalam menyediakan air bersih melalui PDAM

7. Sistem Transportasi Tingkat pelayanan (level of service) jalan yang rendah sehingga sering menimbulkan kemacetan, gangguan lalulintas yang berasal dari kegiatan-kegiatan yang sering menggunakan badan jalan serta masalah yang berkaitan dengan sistem terminal dan penyediaan fasilitas pejalan kaki.

Page 4: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

34

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

8. Kualitas Lingkungan Binaan Perlunya penanganan dan peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan kumuh serta rendahnya kemampuan pemeliharaan dan pengendalian pemanfaatan ruang publik (Taman, Daerah Milik Jalan).

3.3 Strategi dan Konsep pengembangan Kota

3.3.1 Strategi Pengembangan Kota

Strategi pengembangan kota yang akan dilakukan adalah dengan pendekatan 5C Strategy, yaitu Core Strategy (strategi utama), Consequency Strategy (strategi konsekuensi), Consumer Strategy (strategi pelanggan), Control Strategy (strategi pengendalian) dan Culture Strategy (strategi budaya). Strategi utama (Core Strategy) dalam pengembangan kota adalah melakukan pengembangan ke arah wilayah Bandung Timur dan peningkatan kualitas lingkungan di wilayah Bandung Barat. Konsekuensi dari strategi utama ini yang menjadi strategi konsekuensinya (Consequency Strategy), yaitu melengkapi prasarana dan sarana pendukung di wilayah Bandung Timur dan mengembangkan kemitraan dengan swasta. Strategi lain yang perlu dilakukan adalah strategi pelanggan (Customer Strategy) dengan memberikan insentif untuk pembangunan di wilayah Bandung Timur dan strategi pengendalian (Control Strategy). Strategi pengendalian ini dilakukan dengan membatasi pengembangan dan menerapkan perangkat disinsentif di wilayah Bandung Barat serta peningkatan kualitas lingkungan. Khusus untuk masalah pemanfaatan ruang publik, diperlukan strategi budaya (Culture Strategy). Strategi ini dilakukan untuk menciptakan perubahan perilaku masyarakat di dan dalam memanfaatkan ruang publik, ketaatan terhadap hokum dan peraturan, dan mendahulukan kewajiban daripada hak.

3.3.2 Konsep Pengembangan Kota

Dengan mempertimbangkan isu strategis dan strategi pengembangan kota, maka konsep pengembangan Kota Bandung bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan, pelayanan dan keserasian perkembangan kegiatan pembangunan antarwilayah

dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan dan ketersediaan sumberdaya daerah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka konsep pengembangan Kota Bandung adalah menjadikan sistem pusat pelayanan kota yang duosentrik (dua pusat) dengan membagi wilayah kota menjadi 6 Wilayah Pengembangan . Kondisi yang diharapkan ini merupakan pergeseran dari sistem pelayanan yang ada yang bersifat monosentrik (satu pusat).

A. Fungsi Kota Sesuai dengan visi dan misi Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Genah, Merenah dan Tumaninah, maka sektor-sektor perekonomian yang akan dikembangkan di Kota Bandung bukan lagi ditekankan pada sektor industri (pengolahan), apalagi pada bidang pertanian. Hal tersebut berpijak pada perkembangan kota, dan perkembangan sektor jasa yang pesat. Fungsi kota yang saat ini berkembang Kota Bandung antara lain: 1. Fungsi pemerintahan dan perkantoran: mencakup

pemerintahan tingkat propinsi, dan tingkat kota, serta dekonsentrasi fungsi dari pemerintahan pusat, serta berbagai kantor pusat berskala nasional, seperti PT Pos, Telkom PT Kereta Api.

2. Fungsi jasa perdagangan: mencakup jasa pendukung kegiatan perdagangan dan jasa distribusi produk perkotaan maupun produk pedesaan (Pasar Induk Gedebage dan Pasar Induk Caringin).

3. Fungsi industri: mencakup industri manufaktur non-polutif (PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, dll), industri kecil-menengah, industri rumahan (Pusat Kaos Suci, Pusat Sepatu Cibaduyut, dan lain-lain).

4. Fungsi jasa: mencakup jasa keuangan dan perbankan, jasa manajemen, jasa konsultasi dan konstruksi, jasa iformasi dan teknologi, dan sebagainya (bank, koperasi, dan lain-lain).

5. Fungsi pendidikan: terutama pendidikan tinggi (ITB, Unpad, Unpar, Unisba, Itenas, dan lain-lain).

6. Fungsi wisata: mencakup wisata lokal, regional, nasional, bahkan internasional, terutama wisata kota (urban tourism), terutama wisata belanja, bangunan, rekreasi, dan lain-lain (Factory Outlet, hotel, Kawasan Cihampelas, Toko Roti/Kue dan lain-lain).

7. Fungsi penelitian dan pengembangan: mencakup berbagai penelitian dan pengembangan berbagai sektor kehidupan (Lapan, Pasteur, Pusat Penelitian Keramik Indonesia, LIPI, Puslitbang Jalan, Puslitbangkim, Pusat Air, dan lain-lain).

8. Fungsi jasa kesehatan: mencakup layanan kesehatan tingkat nsional sampai regional (Rumah Sakit Hasan Sadikin sebagai �Teaching Hospital� skala internasional, RS.Immanuel, RS. Boromeus, RS Advent, RS. Al-Islam, dan lain-lain).

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung, maka sektor kegiatan yang berpotensi untuk dikembangkan di Kota Bandung berupa: 1. Kesehatan, mencakup

a. Pelayanan kesehatan b. Lembaga penelitian kesehatan

2. Pendidikan, mencakup: a. Pendidikan tinggi (institut, universitas, politeknik, akademi,

sekolah tinggi) b. Lembaga Penelitian

3. Jasa, mencakup: a. Perdagangan skala besar / ekspor-impor b. Layanan pariwisata c. Perbankan

B. Struktur Kota Konsep struktur tata ruang yang akan dikembangkan terdiri dari 4 (empat) arahan yang meliputi : 1. Mengarahkan perkembangan ke bagian timur, yaitu Wilayah

Pengembangan Ujungberung dan Gedebage. 2. Mengendalikan perkembangan di wilayah Bandung Barat dan

membatasi perkembangan di wilayah Bandung Utara. 3. Mengembangkan Pusat Primer Gedebage, pusat sekunder di

setiap Wilayah Pengembangan, dan pusat-pusat lingkungan yang merata.

4. Menata fungsi dan struktur jaringan jalan yang serasi dengan sebaran fungsi kegiatan primer dan sekunder.

3.4 Kebijakan Perencanaan Tata Ruang

Kebijakan perencanaan tata ruang mencakup kebijakan struktur tata ruang, pola pemanfaatan ruang, serta prasarana dan sarana kota.

Page 5: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

35

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

3.4.1 Struktur Tata Ruang

Kebijakan struktur tata ruang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan, pelayanan dan keserasian perkembangan kegiatan pembangunan antarwilayah dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan dan ketersediaan sumberdaya daerah. Kebijakan utama struktur tata ruang adalah: 1. Mengembangkan dua pusat primer untuk wilayah Bandung

Barat dan wilayah Bandung Timur. Pengembangan dua pusat primer ini merupakan upaya untuk mengubah struktur ruang dari monosentrik (satu pusat) menjadi duosentrik (dua pusat). Secara geografis, dua pusat primer yang terletak pada wilayah Bandung Barat dan wilayah Bandung Timur yang sinergis dengan pusat sekunder yang direncanakan akan memberikan pelayan yang lebih menyebar sehingga mengurangi ketergantungan warga kota terhadap pusat primer lama. Pusat primer baru di wilayah Bandung Timur akan berperan menunjang eksistensi wilayah kota yang telah ada/berkembang, karena itu harus didukung oleh sistem transportasi yang andal untuk mobilitas ulang-alik antara pusat primer baru dengan pusat primer yang telah berkembang di wilayah Bandung Barat kota.

2. Membagi wilayah kota menjadi enam wilayah pengembangan (WP), masing-masing dilayani oleh satu Pusat Sekunder. Enam WP yang ditetapkan adalah mempertahankan WP yang telah direncanakan dalam RDTRK yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kotamadya DT II Bandung No. 2 Tahun 1996 tentang RDTRK Bandung. Setiap WP akan dilayani oleh sebuah pusat sekunder.

3. Mengembangkan pusat sub-WP dan pusat-pusat lingkungan secara merata dengan pembagian jenjang pelayanan di dalam setiap WP sebagai berikut: a. Pusat sekunder untuk melayani satu WP. b. Pusat sub-WP untuk pelayanan setingkat Kecamatan, atau

setara dengan 120.000 penduduk. c. Pusat lingkungan untuk pelayanan setingkat Kelurahan, atau

setara dengan 25.000-30.000 penduduk. Di bawah pusat lingkungan masih ada pusat pelayanan untuk setingkat RW atau setara dengan 2.500 penduduk, dan setingkat RT atau setara dengan 250 penduduk.

4. Menata fungsi dan struktur jaringan jalan yang serasi dengan sebaran fungsi kegiatan primer dan sekunder.

Agar terbentuk sistem pergerakan yang efektif dan efisien, struktur jaringan jalan harus sesuai dengan struktur fungsi kegiatan. Struktur jaringan jalan didasarkan pada peran primer dan sekunder jaringan jalan, serta fungsi arteri, kolektor dan lokal jaringan jalan sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 1980 tentang Jalan, dan PP No. 26 Tahun 1985 tentang Jalan. Dalam hal ini kegiatan primer adalah kegiatan yang melayani skala wilayah atau lebih luas dari skala kota, sedangkan kegiatan sekunder adalah kegiatan yang melayani skala kota. Hubungan antara fungsi kegiatan dengan peran dan fungsi jalan telah diatur dalam UU No. 13/Tahun 1980 dan PP No. 26 tahun 1985 .

Dalam mewujudkan struktur tata ruang kota, diperlukan dukungan prasarana transportasi yang memadai. Oleh karena itu, Kebijakan pendukung pembentukan struktur tata ruang adalah sebagai berikut: 1. Menyempurnakan dan

meningkatkan tingkat pelayanan prasarana (jaringan) transportasi yang ada untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya pusat primer dan pusat sekunder yang sudah ditetapkan.

2. Mengembangkan jalan alternatif dengan memprioritaskan pembuatan jalan-jalan tembus yang sudah direncanakan.

3. Meningkatkan akses melalui pengembangan jalan bebas hambatan dalam kota, pembangunan jalan lingkar utara dan/atau akses utara-selatan di wilayah Bandung Timur.

3.4.2 Pola Pemanfaatan Ruang

Pola pemanfaatan ruang diwujudkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup adalah daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial. Kebijakan yang menyangkut tentang pola pemanfaatan ruang meliputi kebijakan pola pemanfaatan kawasan lindung, kawasan budidaya serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dengan melihat karakteristik geografis, maka arahan pengembangan pemanfaatan ruang Kota Bandung dijelaskan berikut ini.

Gambar 3.1Arah Pengembangan Pemanfaatan Ruang

Page 6: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

36

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Perkembangan kota diarahkan dan diprioritaskan ke wilayah Bandung Timur yang terdiri dari WP Ujungberung dan Gedebage. Wilayah ini relatif masih belum terbangun dan merupakan wilayah perluasan kota sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 16 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung. Wilayah Bandung Barat merupakan kota Bandung lama yang telah berkembang, yang perkembangannya perlu dikendalikan. Wilayah

ini terdiri dari WP Bojonagara, Cibeunying, Karees, dan Tegalega. Sedangkan untuk pembangunan di wilayah Bandung Utara harus dibatasi. Hal ini dikarenakan wilayah Bandung Utara, yaitu wilayah di atas garis kontur 750 m dpl, merupakan kawasan berfungsi lindung bagi kawasan bawahannya, yang sebagian juga telah berkembang sebagai permukiman perkotaan. Untuk lebih jelas, kebijakan arah pengembangan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

A. Kebijakan Pola Pemanfaatan Kawasan Lindung Secara umum arahan pengembangan kawasan lindung dilakukan dengan mengembangkan kawasan lindung minimal menjadi 10 % dari luas lahan kota, memanfaatkan kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung, dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan pada kawasan lindung. Penjabaran lebih lanjut dari arahan ini adalah sebagai berikut: Untuk pengembangan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya dilakukan dengan mempertahankan dan merevitalisasi kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumber daya air dan kesuburan tanah serta melindungi kawasan dari bahaya longsor dan erosi.

Untuk kawasan perlindungan setempat, arahan pengembanganya adalah: 1. Melestarikan dan melindungi kawasan lindung yang ditetapkan

dari alih fungsi (Gambar 3.2). 2. Mengembangkan kawasan yang potensial sebagai jalur hijau

pengaman prasarana dalam bentuk garis sempadan sungai, jalur tegangan tinggi, dan jalur rel kereta api (Gambar 3.3).

3. Intensifikasi dan ekstensifikasi ruang terbuka hijau. 4. Mempertahankan fungsi dan menata RTH yang ada, dan

mengendalikan alih fungsi ke fungsi lain. 5. Mengembalikan fungsi RTH yang telah beralih fungsi.

Arahan pengembangan kawasan pelestarian alam adalah menyelamatkan keutuhan potensi keanekaragaman hayati, baik potensi fisik wilayahnya (habitat), potensi sumberdaya kehidupan serta keanekaragaman sumber genetikanya. Khusus untuk pengembangan kawasan cagar budaya diarahkan dengan cara: 1. Melestarikan dan melindungi kawasan lindung yang ditetapkan

dari alih fungsi. 2. Melestarikan bangunan tua, bangunan bernilai sejarah dan/atau

bernilai arsitektur tinggi, serta potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki nilai sejarah (Gambar 3.4).

3. Melestarikan karakter perumahan lama yang prestisius (Gambar 3.5).

B. Kebijakan Pola Pemanfaatan Kawasan Budidaya Untuk mendukung terciptanya pola pemanfaatan kawasan budidaya di masa yang akan datang sesuai dengan yang diharapkan, maka pola pemanfaatan kawasan budidaya ini terutama diarahkan dengan cara:

1. Mengendalikan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan yang ditetapkan dalam RTRW.

2. Mendorong perkembangan kawasan budidaya yang sesuai dengan RTRW.

Arahan tersebut diatas tidak terlepas dari arahan masing-masing sektoral yang terdapat dalam pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya, yaitu arahan untuk kawasan perumahan, kawasan dan kegiatan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi, serta

Gambar 3.2 Taman Taman yang ada saat ini perlu dilestarikan, ditata dan dilindungi dari alih fungsi. Dari atas ke bawah: Taman Balaikota, Taman Cibeunying, dan Taman Ganesha

Gambar 3.3 Ruang Terbuka Hijau di Bantaran Sungai Sempadan sungai bisaberupa ruang terbukahijau dan/atau jalan inspeksi untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Sumber gambar: Sasari Associates (1997).

Page 7: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

37

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

pertahanan dan keamanan. Adapun arahan masing-masing sektor tersebut dijelaskan pada uraian berikut ini.

1. Pengembangan Kawasan Perumahan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingungan hunian yang dilengkapi dengan prarasaran dan sarana lingkungan. Arahan pengembangan untuk kawasan perumahan termasuk fasilitas pendukung perumahan berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum lingkungan perumahan adalah: a. Membatasi proporsi kawasan perumahan maksimum 60 %

dari luas lahan kota. b. Mendorong pengembangan perumahan di wilayah bandung

timur dengan pola kasiba dan lisiba yang berdiri sendiri. c. Mengembangkan perumahan secara vertikal untuk wilayah

kecamatan dan atau kawasan yang padat penduduk dengan memperhatikan ketersediaan prasarana yang ada (Gambar 3.6). Perumahan vertikal meliputi rumah susun dengan ketinggian maksimum 5 lantai, apartemen rendah dengan ketinggian sampai 8 lantai, dan apartemen tinggi dengan

ketinggian lebih dari 8 lantai. Prasarana yang harus dipertimbangkan terutama ketersediaan kapasitas prasarana jalan dan air bersih.

d. Meremajakan dan merehabilitasi lingkungan yang menurun kualitasnya, dan diupayakan dikembangkan menjadi rumah susun sederhana sewa lengkap dengan sarana dan prasarana lingkungannya.

e. Melestarikan lingkungan perumahan lama yang mempunyai karakter khusus (kawasan lindung cagar budaya) dari alih fungsi dan perubahan fisik bangunan.

f. Membatasi luas lantai bangunan perumahan yang diperbolehkan untuk kegiatan usaha dengan menyediakan prasarana yang memadai terutama prasarana parkir.

2. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Pemerintahan.

Arahan pengembangan kawasan pemerintah yang merupakan kawasan perkotaan pemerintahan tingkat Nasional, Propinsi dan Kota adalah mempertahankan kawasaan pemerintahan pada lokasi yang sudah berkembang dan mengarahkan perkantoran pemerintahan ke wilayah Bandung Timur.

3. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Perdagangan. Perdagangan adalah kegiatan ekonomi yang umumnya merupakan transaksi atau pertukaran antara barang dan uang. Kawasan perdagangan adalah lokasi yang ditetapkan untuk transaksi langsung antara pembeli dan pedagang. Wadah fisik dari kegiatan transaksi ini antara lain berupa pertokoan, pasar atau pusat belanja. Arahan pengembangan untuk kawasan dan kegiatan perdagangan ini dijelaskan berikut ini. Untuk pengembangan kawasan pasar, terdapat beberapa kebijakan yang disesuaikan dengan kondisinya, yaitu:

Gambar 3.6 Rumah Susun Pengembangan perumahan secara vertikal seperti Rumah Susun (Rusun) yang disertai dengan fasilitasnya diarahkan ke kawasan yang padat penduduk. Sumber gambar: Dep. Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002).

Gambar 3.4 Bangunan Bersejarah dan Bernilai Arsitektur Tinggi Bangunan bersejarah, bangunan bernilai sejarah dan/atau bernilai arsitektur tinggi perlu dilestraikan. Gambar atas: Gedung Sate dibangun tahun 1920, saat ini difungsikan sebagai Kantor Gubernur Propinsi Jawa Barat. Gambar bawah: HotelSavoy Homann didirikan tahun 1939.

Gambar 3.5 Rumah Lama/Tua Rumah lama/tua yang memiliki nilai arsitektur tinggi dan/atau karakter prestisius, perlu dilestarikan.

Page 8: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

38

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

a. Merevitalisasi atau meremajakan kawasan pasar yang tidak tertata dan/atau menurun kuallitas pelayanannya dengan tanpa mengubah kelas dan/atau skala pelayanannya yang telah ditetapkan. Revitalisasi merupakan upaya peningkatan kembali fungsi kota; kegiatan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan kota, agar pendapatan kota meningkat (tujuan dan pengertiannya hampir sama dengan istilah peremajaan kota).

b. Merelokasi pasar bila menimbulkan gangguan dan/atau tidak didukung prasarana yang memadai.

c. Mengatur, menata dan mengendalikan pasar yang tidak tertata dan tumpah ke jalan.

d. Menertibkan pasar bila tidak sesuai dengan peruntukannya. e. Memperkuat dan menata ulang pasar induk/grosir pasar

induk/grosir, arahan pengembangan yang dilakukan adalah. Beberapa kebijakan untuk pengembangan pusat belanja sebagai berikut: a. Mengarahkan pengembangan pusat belanja baru ke

wilayah Bandung Timur dengan membatasi perkembangan pusat belanja di wilayah Bandung Barat. Hal ini perlu dilakukan karena perkembangan pusat belanja di Kota Bandung yang terjadi cukup pesat.

b. Mengendalikan dan menertibkan pusat belanja yang mengganggu. Selain pusat belanja, pertokoan eceran dan/atau gerai pabrikpun termasuk kegiatan perdagangan yang perkembangannya cukup pesat sehingga perkembangannya perlu dikendalikan dan diarahkan ke lokasi yang sesuai dengan peruntukannya.

Keberadaan sektor informal usaha kaki lima merupakan salah satu fenomena perkotaan pada umumnya. Kebijakan mengenai keberadaan usaha kaki lima adalah: a. Mengatur dan mengendalikan keberadaan usaha kaki lima. b. Membina kegiatan usaha kaki lima. Pembinaan ini dilakukan

supaya secara bertahap usaha kaki lima dapat berdagang tanpa memanfaatkan ruang terbuka publik

c. Mewajibkan dan memberi insentif bagi sektor formal yang menyediakan ruang untuk kegiatan kaki lima.

d. Menyelenggarakan kerjasama antarkabupaten/kota dalam upaya penanganan usaha kaki lima merupakan hal yang

perlu dilakukan. f. Meminimumkan eksternalitas negatif dari kegiatan-kegiatan

komersial, seperti: kemacetan, sampah, gangguan lingkungan visual, merupakan beberapa dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan komersial.

4. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Jasa.

Jasa adalah kegiatan ekonomi atau serangkaian kegiatan yang umumnya tidak kasat mata, dan tidak berdampak kepada kepemilikan apapun, yang ditawarkan satu pihak kepada orang lain, yang produknya dinikmati pada saat diproduksi, serta mempunyai nilai tambah dalam berbagai bentuk (kenyamanan, hiburan, kemudahan, atau kesehatan). Kawasan jasa adalah lokasi yang ditetapkan untuk menyelenggarankan berbagai kegiatan pelayanan dengan wadah fisiknya berupa perkantoran, sedangkan pertokoan, eceran, mall dan sejenisnya tidak dikategorian sebagai jasa. Kebijakan untuk pengembangan kawasan dan kegiatan jasa ini adalah: a. Mengkonsentrasikan kegiatan jasa di wilayah Bandung

Barat pada lokasi yang sudah berkembang. b. Mendorong perkembangan kegiatan jasa pada pusat-pusat

primer dan sekunder. c. Mendorong pengembangan jasa baru ke wilayah Bandung

Timur. d. Membatasi pengembangan kegiatan jasa secara linier pada

ruas jalan yang tingkat pelayanan rendah. e. Mewajibkan penyediaan parkir dan prasarana yang

memadai bagi pengembangan kegiatan jasa. 5. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Pendidikan.

Untuk pengembangan kawasan dan kegiatan pendidikan, arahan yang dilakukan terkait dengan sebaran lokasi, pengendalian, penyediaan parkir dan pemberian insentif dan disinsentif.

Berkaitan dengan sebaran lokasi, upaya yang perlu dilakukan adalah mempertahankan aglomerasi kegiatan pendidikan pada lokasi yang sudah tertata dan tidak menimbulkan dampak negatif. Selain itu adalah mengarahkan dan memberikan insentif bagi pengembangan kegiatan pendidikan tinggi ke wilayah Bandung Timur.

Gambar 3.7 Pusat Belanja (Mall) di Bandung Timur Pusat belanja semacam BSM yang memiliki fasilitas parkir yang cukup memadai perlu didorong untuk dibangun di wilayah Bandung Timur. Pembangunan pusat belanja semacam ini diwilayah Bandung Barat perlu dibatasi.

Gambar 3.8 Penataan Pedagang Kaki Lima Keberadaan usaha kaki lima harus diatur dan dikendalikan agar dampak negatif sepertikemacetan, gangguan lingkungan, konflik penggunaan ruang publik (seperti trotoar)dapat diminimalkan. Gambar atas: PKL di Jl. Gelap Nyawang. Gambar bawah: streetvendor di Jepang.

Page 9: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

39

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

Kegiatan pendidikan seringkali menyebabkan kemacetan lalu lintas karena tidak menyediakan tempat parkir yang memadai sehingga terjadi parkir di sisi jalan (on-street parking) yang mengurangi kapasitas desain jaringan jalan dan menimbulkan kemacetan lalu lintas. Keberadaan kawasan dan kegiatan pendidikan ini perlu upaya penataan, pengendalian dan mewajibkan penyediaan parkir yang memadai. Khusus untuk pengembangan baru dan perluasan pendidikan tinggi di wilayah Bandung Barat tidak diberikan ijin. Adapun kegiatan pendidikan yang tidak mampu memenuhi kewajiban penyediaan prasarana, sarana, dan parkir, dan/atau tidak sesuai lagi lokasinya dikenakan disinsentif dan/atau direlokasikan

6. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Kesehatan. Pengembanganan fasilitas kesehatan diarahkan ke Bandung Timur dan pengembangan kawasan kesehatan di wilayah Bandung Barat dibatasi.

7. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Industri dan Pergudangan. Kawasan dan kegiatan industri besar dan kecil yang tidak berwawasan lingkungan direlokasikan ke luar daerah, sedangkan industri kecil dan menengah yang dikembangkan harus berwawasan lingkungan. Pengembangan industri berwawasan lingkungan diarahkan ke wilayah Bandung Timur. Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan adalah industri yang tidak menguras air, terutama air tanah dalam, dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan, antara lain pencemaran udara, suara, limbah cair, dan limbah padat berbahaya (B3). Untuk kawasan industri yang tidak berwawasan lingkungan dialihfungsikan ke kegiatan non-industri, terutama jasa. Kegiatan pergudangan di wilayah Bandung Barat dibatasi dan diarahkan ke wilayah Bandung Timur.

8. Pengembangan Kawasan dan Kegiatan Pariwisata dan Rekreasi. Jenis wisata yang akan dikembangkan adalah wisata minat khusus dan kegiatan pariwisata konferensi. Wisata minat khusus meliputi wisata seni-budaya, wisata pendidikan, wisata belanja, dan wisata lainnya yang sejenis. Adapun yang dimaksud dengan pariwisata konferensi adalah pariwisata dengan konsep MICE,

yang mencakup kegiatan meeting-incentive-conference-exhibition. Kegiatan pariwisata dan rekreasi yang tidak sesuai dengan norma agama dan/atau dengan budaya masyarakat setempat tidak dijinkan untuk dikembangkan. Yang dimaksud dengan wisata yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya setempat meliputi tempat hiburan khusus yang berdiri sendiri.

9. Pengembangan Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Kawasan pertahanan dan keamanan mencakup perkantoran dan instalasi miliki TNI AD TNI AU, TNI AL, dan Kepolisian, beserta fasilitas penunjangnya. Arahan pengembangan kawasan ini adalah mengamankan kawasan dan bangunan instalasi dan perkantoran Pertahanan dan Keamanan sesuai dengan rencana tata ruang pertahanan keamanan.

C. Kebijakan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Kebijakan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup adalah: 1. Meningkatkan daya dukung lingkungan alamiah dan buatan. 2. Menjaga keseimbangan daya tampung lingkungan untuk

menjaga proses pembangunan berkelanjutan.

3.4.3 Kebijakan Sistem Transportasi

Kebijakan sistem transportasi terkait dengan pengembangan transportasi jalan, angkutan umum, bandar udara dan sistem kereta api. Pengembangan transportasi jalan diarahkan melalui pemeliharaan serta penegasan kembali fungsi dan hirarki jalan. Kapasitas jaringan jalan yang ada ditingkatkan melalui pembangunan dan pelebaran jalan, pengelolaan lalu lintas serta menghilangkan gangguan sisi jalan. Fasilitas parkir harus disediakan secara memadai dan terintegrasi dengan pusat-pusat kegiatan.

Pengembangan transportasi angkutan umum dilakukan melalui penataan dan peningkatan pelayanan sistem angkutan umum, mengupayakan penyediaan angkutan umum masal cepat berbasis rel atau jalan raya serta mengembangkan sistem terminal dalam kota serta pembangunan terminal di batas kota dengan penetapan lokasi yang dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah yang berbatasan.

Kapasitas pelayanan Bandara Husein Sastranegara ditingkatkan sampai bandara pengganti terbangun dan berfungsi. Kebijakan sistem angkutan kereta api diarahkan melalui peningkatan

Gambar 3.9 Jalur Kendaraan Peningkatan Jalur kendaraan (jalan) dari segi kapasitas, kondisi fisik dan penataannya termasuk pengadaan jalur hijau, diperlukan untuk menciptakan kota yang tertata dan menghindari berbagai persoalan transportasi.

Gambar 3.10 Jalur Pejalan Tersedianya Jalur pejalan yang lebar efektifnya memadai dan teduh memberikan kenyamanan bagi pejalan dan memberikan gambaran citra kota yang tertata, seperti di sisi Jl. Diponegoro dan sebagian Jl. Cipaganti

Page 10: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

40

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

pelayanan angkutan, serta peningkatan keamanan jaringan dan perlintasan rel kereta api.

3.4.4 Kebijakan Prasarana dan Sarana Kota

Kebijakan prasarana dan sarana kota merupakan pendukung bagi terwujudnya struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya. Prasarana dan sarana kota ini meliputi air baku dan air bersih, air limbah, drainase, persampahan, pemadam kebakaran, energi dan telekomunikasi serta fasilitas umum dan fasilitas sosial. Berikut ini diuraikan kebijakan masing-masing prasarana dan sarana kota. 1. Kebijakan prasarana air baku dan air bersih.

Pengembangan prasarana air baku dan air bersih dilakukan dengan mewujudkan keseimbangan ketersediaan air pada musim hujan dan kemarau; serta peningkatan kualitas, kuantitas, dan efisiensi pelayanan air bersih.

2. Kebijakan prasarana air limbah. a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan prasarana air

limbah. b. Meningkatkan kualitas pengelolaan air limbah berbahaya.

3. Kebijakan prasarana drainase adalah meningkatkan pelayanan prasarana drainase dalam rangka mengatasi permasalahan banjir dan genangan.

4. Kebijakan prasarana dan sarana persampahan adalah : a. Mengurangi volume sampah yang akan dibuang ke Tempat

Pembuangan Sampah Akhir (TPA) dengan cara pengolahan setempat per-wilayah dengan teknik-teknik yang berwawasan lingkungan.

b. Meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana pengelolaan sampah.

5. Kebijakan sarana pemadam kebakaran adalah mengembangkan dan meningkatkan kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana pemadam kebakaran.

6. Kebijakan prasarana dan sarana energi dan telekomunikasi adalah meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan listrik dan telekomunikasi.

7. Kebijakan fasilitas umum dan fasilitas sosial adalah : a. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum di pusat-pusat

pelayanan kota dan lingkungan sesuai dengan skala pelayanannya.

b. Mempertahankan serta memelihara fasilitas sosial dan

fasilitas umum yang ada. c. Mengarahkan pengembangan fasilitas sosial dan fasilitas

umum baru skala kota dan wilayah ke wilayah Bandung Timur.

d. Melengkapi fasilitas sosial dan fasilitas umum yang kurang di seluruh wilayah kota.

e. Menyebarkan dan memeratakan fasilitas sosial dan fasilitas umum dan membatasi fasilitas yang sudah jenuh.

f. Mengendalikan dampak negatif dari berbagai fasilitas sosial dan fasilitas umum.

3.5 Kebijakan Pemanfaatan Ruang

Kebijakan pemanfaatan ruang diwujudkan berdasarkan kebijakan struktur tata ruang dan pola tata ruang, yaitu: 1. Menjabarkan dan menyusun tahapan dan prioritas program

berdasarkan persoalan mendesak yang harus ditangani, serta antisipasi dan arahan pengembangan masa mendatang.

2. Mendorong kemitraan dan kerjasama dengan swasta dan masyarakat dalam penyediaan pelayanan kota dan

pembangunan kota. 3. Menyusun mekanisme dan perangkat insentif untuk

mendorong pengembangan kegiatan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

4. Menyusun mekanisme dan perangkat disinsenitf untuk mengendalikan perkembangan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

3.6 Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang mengacu kepada RTRWK, atau rencana yang lebih rinci (RDTRK) yang berlaku, dengan memperhatikan ketentuan, standar teknis, kelengkapan prasarana, kualitas ruang, dan standar kinerja kegiatan yang ditetapkan. Kebijakan pengendalian pemanfaatan ini meliputi kebijakan mekanisme perijinan, pengawasan dan penertiban. Masing-masing kebijakan diuraikan berikut ini: 1. Kebijakan mekanisme perijinan adalah:

a. Menyelenggarakan pengendalian pemanfaatan ruang melalui mekanisme perijinan yang efektif.

b. Menyusun ketentuan teknis, standar teknis, kualitas ruang, dan standar kinerja sebagai rujukan bagi penerbitan ijin yang lebih efisien dan efektif.

c. Menerapkan proses pengkajian rancangan dalam proses penerbitan perijinan bagi kegiatan yang berdampak penting.

2. Kebijakan pengawasan adalah: a. Menyusun mekanisme dan kelembagaan pengawasan yang

menerus dan berjenjang dengan melibatkan aparat wilayah dan masyarakat.

b. Menyerahkan tanggung jawab utama pengawasan teknis pemanfaatan ruang kepada instansi yang menerbitkan perijinan.

c. Mengefektifkan tkprd untuk mengkoordinasikan pengendalian pemanfaatan ruang kota.

d. Menyediakan mekanisme peran serta masyarakat dalam pengawasan.

3. Kebijakan penertiban adalah: a. Mengintensifkan upaya penertiban secara tegas dan

konsisten terhadap kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau tidak berijin secara bertahap.

Gambar 3.11 Jaringan Drainase Pelayanan jaringan drainase (saluran air) perlu ditingkatkan untuk mengatasi persoalan seperti banjir, genangan dan meluapnya air ke badan jalan. Gambar disamping: saluran drainase di Jl. Cimandiri

Page 11: BAB 3 Kebijakan Penataan Ruang

41

Kebijakan Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2013

b. Mengefektifkan fungsi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan pelanggaran pemanfaatan ruang dan penertiban gangguan ketertiban umum.

c. Mendayagunakan masyarakat, instansi teknis dan pengadilan secara proporsional dan efektif untuk menertibkan pelanggaran pemanfaatan ruang.

d. Menyusun dan menerapkan perangkat sanksi administratif dan fiskal yang sesuai/tepat/efektif untuk setiap pelanggaran rencana tata ruang secara konsisten.

e. Menerapkan prinsip ketidaksesuaian penggunaan yang rasional dalam penertiban pemanfaatan ruang, yaitu kegiatan yang sudah ada dan berijin tetapi tidak sesuai rencana tata ruang dapat tetap diteruskan dengan ketentuan: ! Dilarang mengubah fungsi dan mengubah/ memperluas

bangunan yang ada, kecuali sesuai fungsi dalam rencana tata ruang.

! Apabila ijin habis, maka fungsi dan ketentuan harus mengikuti peruntukan yang ada dalam rencana tata ruang atau ketentuan teknis yang ditetapkan.