konsep desain taman rumah tradisional minahasa … · tanaman dalam salah satu lagu tradisional...
TRANSCRIPT
KONSEP DESAIN
TAMAN RUMAH TRADISIONAL MINAHASA DI BASE CAMP
HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW)
RINI AVRYANI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan Gunung Walat” adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Penulis
RINGKASAN RINI AVRYANI, Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan area hutan yang
berfungsi sebagai hutan produksi, wisata pendidikan, dan konservasi. Di tengah-tengah kawasan HPGW terdapat base camp. Sebagai pusat aktivitas dan istirahat pengunjung, base camp harus dapat mendukung salah satu fungsi hutan ini, diantaranya adalah pendidikan. Fungsi pendidikan pada base camp dapat berupa pendidikan budaya yang berpotensi dikembangkan melalui salah satu wisma yang merupakan model rumah tradisional Minahasa, yaitu Wisma Woloan. Namun, rumah tradisional tersebut belum didukung oleh taman yang dapat memperkuat karakter rumah tradisional Minahasa. Untuk itu diperlukan konsep desain taman rumah tradisional Minahasa dengan penerapan unsur budaya agar karakter rumah tradisional ini dapat dimunculkan.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat konsep desain taman area Wisma Woloan pada base camp HPGW yang didasarkan pertimbangan budaya sehingga memberikan gambaran dan pengetahuan bagi pengguna mengenai taman rumah tinggal masyarakat Minahasa. Tempat kegiatan penelitian berlokasi di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam desain ini adalah metode deskriptif melalui survei, wawancara, dan studi pustaka. Wawancara dan studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kebudayaan Minahasa. Terdapat empat tahapan dalam penelitian ini, yaitu kajian budaya, inventarisasi, analisis dan sintesis, serta pembuatan konsep desain. Setelah tahapan ini selesai, dibuat gambar siteplan, tampak potongan, serta perspektif sebagai ilustrasi. Dalam penelitian ini, aspek yang akan dibahas mencakup aspek fisik, biofisik, sosial, dan aspek yang berkaitan dengan kebudayaan Minahasa.
Wisma Woloan 1 dan 2 yang menjadi objek dalam penelitian ini terletak di sebelah barat base camp. Wisma Woloan 1 terletak di atas air, sedangkan Wisma Woloan 2 terletak di atas tanah yang datar. Jenis tanah yang ada di area ini merupakan tanah latosol merah kekuningan. Tanah jenis ini cukup subur untuk ditanami tanaman. Suhu udara rata-rata tapak adalah 24° C, kelembaban rata-rata 81,8%, dan nilai THI sebesar 23,13. Dari hasil analisis, iklim pada tapak dikategorikan nyaman. Vegetasi yang ada di sekitar Wisma Wolan 1 adalah cempaka (Michelia champaca), puspa (Schima wallichii), dan teratai (Nymphaea lotus), sedangkan di Wisma Woloan 2 terdapat vegetasi matoa (Pometia pinnata), hanjuang (Cordyline sp), sambang dara (Iresine herbstii), dan pisang (Musa sp).
Bangunan Wisma Woloan 1 dan 2 berupa rumah panggung dengan ketinggian ± 1,5 m dari tanah. Konstruksi rumah panggung ini terbuat dari kayu yang dapat dibongkar-pasang. Jenis kayu yang digunakan umumnya adalah kayu Cempaka. Di bagian dalam wisma terdapat 2 kamar, 1 kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan ruang makan. Bagian luar rumah berupa teras sebagai tempat duduk-duduk untuk menikmati pemandangan. Saat ini kondisi bangunan terawat namun dibutuhkan penataan lanskap di bagian luar rumah tradisional ini.
Dari informasi budaya Minahasa yang didapat diketahui bahwa pembagian ruang, baik di dalam maupun di luar rumah dipengaruhi oleh beberapa unsur
kebudayaan yaitu adat istiadat, kegiatan keseharian masyarakat, kepercayaan, dan ilmu pengetahuan. Pembagian ruang dalam rumah terdiri dari teras depan, ruang tengah, kamar tidur, ruang makan, serta teras belakang, sedangkan bagian luarnya berupa halaman (kintal). Bagian teras rumah digunakan untuk menyelenggarakan berbagai upacara adat sehingga mempengaruhi pembentukan halaman depan rumah sebagai area yang bersifat publik. Halaman yang ada di sekitar rumah ditanami beberapa jenis vegetasi, yaitu vegetasi buah, sayur, bunga, obat, serta vegetasi untuk upacara tertentu. Vegetasi sayur dan bunga ini umumnya ditanam masyarakat dalam bentuk bedeng-bedeng. Antar rumah yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh kebun yang ditanami vegetasi perkebunan seperti kopi (Coffea arabica), kapas (Gossypium hirsutum), dan coklat (Theobroma cacao). Jenis tanaman yang dipercaya masyarakat Minahasa untuk menandakan batas tanah adalah hanjuang hijau (Cordyline fruticosa), sedangkan hanjuang merah (Cordyline terminalis) digunakan untuk upacara adat.
Berdasarkan informasi mengenai kebudayaan Minahasa dihasilkan konsep umum desain taman tradisional Minahasa. Konsep desain ini menjadi acuan dalam mendesain Wisma Woloan 1 dan 2. Dalam pengaplikasiannya, konsep dibagi menjadi konsep dasar, ruang, vegetasi, sirkulasi, dan fasilitas. Konsep dasar taman yaitu taman yang memunculkan karakter taman tradisional Minahasa melalui penerapan informasi budaya yang berhubungan dengan pembagian ruangnya. Menurut Booth (1983) ruang berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi ruang publik, ruang privat, dan ruang servis. Melalui pendekatan pembagian ruang ini, konsep ruang untuk taman rumah tradisional Minahasa mengikuti pembagian ruang tersebut dan ditambahkan ruang semi publik untuk mengakomodasi kegiatan yang bersifat non privasi. Ruang publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh penghuni rumah maupun orang lain, sedangkan ruang privat lebih tertutup sehingga hanya dapat diakses oleh penghuni rumah saja. Ruang servis merupakan ruang penunjang yang umumnya terletak di belakang rumah.
Konsep vegetasi yang dikembangkan dalam tapak berdasarkan fungsi vegetasi dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Fungsi vegetasi tersebut adalah sebagai vegetasi produksi, vegetasi buah, vegetasi pembentuk bedeng bunga dan sayur, vegetasi rempah-rempah, vegetasi yang dipakai dalam upacara adat, dan vegetasi obat. Konsep sirkulasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu sirkulasi utama dan sirkulasi pendukung. Sirkulasi utama menghubungkan tapak dengan area luarnya, sedangkan sirkulasi pendukung menghubungkan elemen-elemen di dalam tapak. Konsep fasilitas yang akan diterapkan adalah fasilitas yang ada di sekitar rumah tradisional Minahasa berdasarkan informasi budaya. Fasilitas yang akan dikembangkan adalah dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan waruga.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pembagian ruang dalam taman tradisional Minahasa berupa halaman depan sebagai area publik, halaman samping sebagai area semi publik, halaman belakang sebagai area servis, dan bangunan rumah tradisional sebagai area privat. Taman Wisma Woloan 1 yang terletak di atas air, pembagian ruang dan penempatan elemen taman pada wisma ini berbeda dengan Wisma Woloan 2, yaitu kolam air sebagai area publik dan letak jalur sirkulasi di sekitar rumah yang dipisahkan oleh kolam tersebut. Tata letak elemen-elemen tanaman dalam Wisma Woloan 1 berdasarkan peletakkan tanaman dalam salah satu lagu tradisional Minahasa, “Zazanian Ni Karema”.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KONSEP DESAIN
TAMAN RUMAH TRADISIONAL MINAHASA DI BASE CAMP
HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT
RINI AVRYANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
Judul : Konsep Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di base camp
Hutan Pendidikan Gunung Walat
Nama : Rini Avryani
NRP : A44070064
Menyetujui, Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc
NIP. 19620801 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 April 1989 di Jakarta, sebagai anak
kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Djejen Achmad dan Ibu Dewi Sukaesih.
Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Pisangan Baru 11
Pagi pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMP Negeri 232 Jakarta
Timur. Jenjang pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 68
Jakarta Pusat dan tamat pada tahun 2007.
Pada tahun 2007, penulis memasuki bangku kuliah di Institut Pertanian
Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis
memilih untuk masuk dalam Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.
Selama masa studi, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa
Arsitektur Lanskap (Himaskap). Tahun 2008, penulis sempat menjadi anggota
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian, dengan jabatan sebagai
staf Divisi Sosial Lingkungan serta menjadi panitia Simposium Green City. Pada
tahun 2009, penulis menjadi pengurus Himaskap di bawah Divisi Sosial
Lingkungan. Pada tahun yang sama penulis menjadi panitia dalam kegiatan Masa
Perkenalan Fakultas (MPF), Masa Perkenalan Departemen (MPD), serta Gebyar
Pertanian. Tahun 2010, penulis menjadi panitia dalam IPB Art Contest (IAC) serta
Workshop Nasional Arsitektur Lanskap. Penulis sempat memegang jabatan
sebagai sekretaris ketika pelaksanaan KKP di Desa Candali.
KATA PENGANTAR Assalamualaikum, wr. wb
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas segala nikmat dan karunia
Allah Swt sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep
Desain Taman Rumah Tradisional Minahasa di Base Camp Hutan Pendidikan
Gunung Walat” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Akhirnya dengan penuh syukur penulis mengucapkan terima kasih
kepada
1. Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian berlangsung
hingga penyusunan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Nandi Koesmaryandi, MScF sebagai pengelola Hutan Pendidikan
Gunung Walat yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di
HPGW dan informasi mengenai pengembangan base camp Gunung Walat
serta Pak Rizal dan Pak Agung sebagai staf pengelola HPGW atas
bantuan, bimbingan dan dukungannya selama penulis melakukan
penelitian.
3. kedua orang tua, Ibu Dewi Sukaesih dan Bapak Djedjen Achmad, yang
telah memberikan dukungan, baik moral maupun materi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Meskipun
demikian, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1
Tujuan ........................................................................................................... 2
Manfaat ......................................................................................................... 2
Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
Hutan ............................................................................................................. 4
Vernakular ..................................................................................................... 4
Taman ............................................................................................................ 5
Elemen Dasar dalam Desain Lanskap ........................................................... 6
Bentukan Lahan .................................................................................. 6
Material Tanaman ............................................................................... 7
Paving ................................................................................................. 8
Site Structures ..................................................................................... 8
Air ....................................................................................................... 9
Prinsip Desain ............................................................................................... 9
Focalization of Interest ..................................................................... 10
Kesederhanaan (Simplicity) ............................................................... 10
Ritme dan Garis................................................................................. 11
Proporsi ............................................................................................. 11
Kesatuan (unity) ................................................................................ 12
Konsep Ruang Luar..................................................................................... 12
Kebudayaan ................................................................................................. 12
Minahasa ..................................................................................................... 13
Lanskap Minahasa ............................................................................. 14
Kependudukan dan Mata Pencaharian .............................................. 14
ii
Karakteristik Masyarakat Minahasa .................................................. 16
Pola Perkampungan ........................................................................... 16
Sistem Organisasi Kemasyarakatan .................................................. 17
Sistem Religi dan Upacara Keagamaan ............................................ 17
Bahasa ............................................................................................... 27
Sistem Ilmu Pengetahuan .................................................................. 27
Kesenian ............................................................................................ 28
Seni Bangunan .................................................................................. 30
Pengaruh Luar terhadap Kebudayaan Minahasa ......................................... 39
METODOLOGI .................................................................................................... 41
Waktu dan Tempat ...................................................................................... 41
Metode Penelitian........................................................................................ 42
Kajian Budaya ............................................................................................. 42
Inventarisasi ................................................................................................ 43
Analisis dan Sintesis ................................................................................... 43
Konsep Desain ............................................................................................ 45
Batasan Studi ............................................................................................... 45
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 46
Kondisi Umum Base camp HPGW ............................................................. 46
Aksesibilitas dan Sirkulasi ................................................................ 46
Topografi dan Jenis Tanah ................................................................ 48
Iklim dan Hidrologi ........................................................................... 48
Vegetasi ............................................................................................. 50
Fasilitas ............................................................................................. 50
Utilitas ............................................................................................... 50
Potensi Visual.................................................................................... 52
Penduduk Sekitar .............................................................................. 52
Pengguna (User) ............................................................................... 52
Aktivitas HPGW ............................................................................... 53
Taman Wisma Woloan 1 dan 2 ................................................................... 54
Analisis dan Sintesis Tapak ........................................................................ 57
Aspek Fisik ....................................................................................... 57
iii
Aspek Budaya ................................................................................... 59
Konsep ........................................................................................................ 65
Konsep Umum .................................................................................. 65
Desain Wisma Woloan di Basecamp HPGW. ............................................ 71
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 79
Simpulan ..................................................................................................... 79
Saran ............................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81
LAMPIRAN .......................................................................................................... 83
iv
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Jenis data yang dikumpulkan pada tahap studi pustaka ................................... 43
2. Daftar narasumber penelitian ........................................................................... 43
3. Jenis, sumber, dan kegunaan data inventarisasi ............................................... 44
4. Data kunjungan HPGW pada tahun 2010 dan 2011 ........................................ 53
5. Perbandingan jenis upacara sebelum dan setelah abad ke-19 .......................... 59
6. Informasi budaya dan ruang yang diperlukannya ............................................ 61
7. Jenis vegetasi yang ada di halaman rumah tradisional Minahasa .................... 63
8. Pembagian ruang, aktivitas, dan fasilitas pada Wisma Woloan....................... 68
9. Pembagian fungsi vegetasi berdasarkan ruang yang ada ................................. 70
v
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Kerangka pikir penelitian ................................................................................... 3
2. Fungsi tanaman dalam lanskap .......................................................................... 7
3. Keseimbangan simetris dan keseimbangan asimetris ...................................... 10
4. Penanaman pada area sudut, perhatian diarahkan pada area incurve ............... 11
5. Pembagian komposisi ruang luar ..................................................................... 13
6. Sketsa desa di Minahasa pada tahun 1977/1978 .............................................. 18
7. Relief peletakkan waruga di sekitar rumah tinggal .......................................... 23
8. Ukiran peti kayu balasong dan sketsa rumah Sonder (1824) .......................... 29
9. Seni ragam hias Minahasa ................................................................................ 30
10. Relief waruga Sawangan ................................................................................ 31
11. Relief proses pembuatan waruga dan posisi jenazah di dalamnya ................ 32
12. Sketsa rumah dan bagian-bagian rumah adat Minahasa ................................ 33
13. Layout rumah tradisional Minahasa ............................................................... 38
14. Denah rumah dan halamannya 1845-1945 ..................................................... 38
15. Lokasi penelitian ............................................................................................ 41
16. Tahapan penelitian ......................................................................................... 42
17. Aksessibilitas menuju HPGW melalui Bogor dan Jakarta ............................. 46
18. Peta alur sirkulasi pada base camp................................................................. 47
19. Kontur base camp saat ini .............................................................................. 49
20. Peta base camp saat ini ................................................................................. 51
21. Peta Inventarisasi Tapak ................................................................................ 55
22. Kondisi Wisma Woloan saat ini ..................................................................... 56
23. Peta analisis dan sintesis tapak ...................................................................... 58
24. Block plan Taman Tradisional Minahasa ....................................................... 66
25. Konsep ruang pada Wisma Woloan ............................................................... 69
26. Konsep sirkulasi Wisma Woloan ................................................................... 71
27. Site plan .......................................................................................................... 73
28. Blow up Wisma Woloan 1.............................................................................. 74
29. Blow up Wisma Woloan 2.............................................................................. 75
vi
30. Tampak potongan Wisma Woloan ................................................................. 77
31. Perspektif Wisma Woloan.............................................................................. 78
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Halaman
1. Lirik lagu “Zazanian Ni Karema” .................................................................... 84
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan area hutan yang
terletak di Kabupaten Sukabumi dengan luas sekitar 359 ha. Hutan ini berfungsi
sebagai hutan pendidikan dan konservasi. Sebagian besar wilayah HPGW
ditanami oleh pohon damar (Agathis loranthifolia) dan pinus (Pinus mercusii).
Kedua jenis pohon ini menghasilkan getah yang menjadi sumber ekonomi bagi
pengelolaan HPGW. Selain kegiatan produksi, aktivitas mahasiswa seperti
praktikum dan penelitian dapat difasilitasi oleh hutan ini. Sebagai pusat aktivitas
dan istirahat bagi para pengunjungnya, HPGW menyediakan base camp seluas ± 2
ha yang terletak di tengah-tengah area hutan. Fasilitas yang terdapat di dalam base
camp berupa guest house, ruang diskusi, ruang makan dan dapur, aula, masjid,
penginapan dosen, serta gedung workshop sebagai tempat penyimpanan getah
damar (Agathis loranthifolia).
Guest house atau wisma untuk pengunjung HPGW berjumlah sembilan
bangunan yang letaknya menyebar di seluruh area base camp. Guest house
tersebut meliputi Wisma Woloan 1 dan 2, Wisma Pinus, Wisma Jati, Wisma
Agathis, Wisma Puspa, Wisma Bungur, Wisma Banteng, dan Wisma Rasamala.
Dari kesembilan bangunan tersebut, terdapat dua buah bangunan yang merupakan
salah satu bangunan tradisional Minahasa, yaitu Wisma Woloan. Wisma Woloan
ini merupakan pemberian dari kerabat pengelola HPGW. Wisma ini berbentuk
rumah panggung yang dimiliki oleh suku Minahasa. Kelebihan dari rumah ini
adalah penerapan teknologi knock down yang menjadikan rumah dapat dibongkar
pasang. Rumah adat ini telah banyak mengalami perkembangan. Pada saat ini
rumah panggung woloan sudah banyak diekspor ke luar negeri karena kelebihan
yang dimilikinya.
Untuk mendukung fungsi HPGW sebagai hutan konservasi dan pendidikan,
base camp dapat dijadikan sarana bagi pengunjung HPGW untuk memperluas
ilmu pengetahuan. Salah satu aplikasinya adalah pada rumah tradisional woloan
ini yang dapat menjadi sarana pendidikan budaya. Namun, rumah tersebut belum
didukung oleh taman yang dapat memperkuat karakter rumah tradisional
Minahasa. Diperlukan konsep desain taman rumah tradisional Minahasa dengan
2
penerapan unsur budaya agar karakter rumah tradisional tersebut dapat
dimunculkan.
Tujuan
Tujuan umum kegiatan penelitian ini adalah menyusun konsep desain taman
area Wisma Woloan pada base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat yang
didasarkan pada pertimbangan budaya Suku Minahasa sehingga memberikan
gambaran dan pengetahuan bagi pengguna mengenai taman rumah tinggal
masyarakat Minahasa.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari desain taman area base camp Hutan
Pendidikan Gunung Walat ini adalah sebagai berikut.
1. Acuan dalam mendesain dan membangun taman rumah tradisional woloan
pada base camp bagi pengelola Hutan pendidikan Gunung Walat untuk
membangun taman;
2. Referensi bagi perencana dan desainer lanskap dalam mendesain taman
rumah tinggal Minahasa.
Kerangka Pikir Penelitian
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan hutan produksi,
terdiri dari hutan dan base camp yang terletak di tengah-tengah area hutan
tersebut. Fungsi HPGW sebagai hutan pendidikan dan rekreasi diterapkan di area
base camp, sedangkan fungsi konservasi diterapkan pada hutan produksinya.
Fungsi pendidikan pada base camp dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
pendidikan alam, pendidikan budaya, dan pendidikan teknologi (Gambar 1).
Pendidikan alam dapat memanfaatkan keberadaan pohon buah yang tersebar di
area base camp, sedangkan pendidikan teknologi dapat diterapkan pada
pembuatan biola dari pohon damar yang tumbang. Pendidikan budaya dapat
memanfaatkan keberadaan Wisma Woloan yang merupakan salah satu rumah
tradisional Sulawesi Utara. Untuk lebih memunculkan karakter rumah tradisional
tersebut, diperlukan penataan taman di sekitar bangunan yang mencirikan taman
rumah tinggal masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara.
3
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Konsep Desain Taman Rumah
Tradisional Minahasa sebagai
Sarana Pendidikan Budaya bagi
Pengunjung
Vegetasi
Buah
Rumah
Tradisional
Woloan
Biola dari
Kayu
Damar
Konservasi
Hutan Pendidikan Gunung
Walat (HPGW)
Base camp Hutan Produksi
Pendidikan Rekreasi
Alam Budaya Teknologi
4
TINJAUAN PUSTAKA Hutan
Hutan merupakan suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)
maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan
dengan luas sedemikian rupa serta mempunyai kerapatan tertentu dan menutupi
areal sehingga dapat membentuk iklim mikro tertentu. Kerapatan ini disebabkan
oleh adanya semak belukar, tanaman penutup tanah, dan adanya pohon-pohon
pemanjat (Arief, 2001).
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada
Bab II Pasal 8 dinyatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan
tertentu untuk tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya. Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.188/Menhut-II/2005, HPGW merupakan
kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) sebagai hutan pendidikan dan
pelatihan (Hutan Diklat).
Vernakular
Vernakular adalah penerjemahan secara langsung dan tanpa sadar pada
bentuk fisik budaya, kebutuhan dan nilainya, sesuai keinginan, impian, dan
kegemaran manusia. Lingkungan ideal manusia diwujudkan pada bangunan dan
pemukiman dengan tanpa desainer, seniman, atau arsitek (Rapoport, 1969, dalam
Motloch, 1991). Bentuk, model, material, dan konstruksi dari bangunan
vernakular merupakan aturan sehingga tidak dapat dirubah. Selain itu, model
bangunan merupakan bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan keluarga, tapak,
iklim mikro, dan sebagainya. Karakteristik dari vernakular adalah kurangnya
aspek teoritis dan keindahan sehingga vernakular berfokus pada keadaan tapak
dan iklimnya dengan memperhatikan lingkungan keseluruhan, bersifat sealami
mungkin dan mempunyai corak khas sesuai aturan yang diberikan.
Menurut Wiranto (1999), arsitektur vernakular merupakan pengembangan
dari arsitektur rakyat. Arsitektur rakyat dipengaruhi oleh norma, adat, iklim,
budaya, dan potensi bahan yang ada di sekitarnya. Arsitektur Rakyat tersebut
secara langsung telah mendapatkan pengakuan masyarakatnya karena tumbuh dan
melewati perjalanan pengalaman trial and error yang panjang. Arsitektur Rakyat
5
yang dirancang oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan mengandung muatan
“local genius” dan nilai jati diri yang mampu menampilkan keaslian, perbedaan, dan
variasi. Arsitektur ini sangat dekat dengan budaya lokal yang umumnya tumbuh dari
masyarakat kecil. Warisan arsitektur vernakular Indonesia memiliki nilai karakteristik
kuat sesuai dengan pemikiran kosmologis dan pandangan hidup masyarakat asli. Hal
penting yang dimiliki oleh arsitektur vernakular adalah nilai ekologis yang tanggap
terhadap lingkungannya dan senantiasa mengacu pada potensi, kemampuan dan
keterampilan setempat, pengetahuan praktis, dan teknik tradisional yang biasanya
dilaksanakan sendiri atau dibantu oleh kerabat atau masyarakatnya.
Taman
Menurut Turner (2005), taman adalah sebidang lahan yang dipagari dan
digunakan untuk kesenangan manusia. Taman menghubungkan antara manusia
dengan dunia dimana mereka hidup. Semua manusia dari berbagai jenis umur
merasakan kebutuhan untuk berdamai dengan lingkungan sekitarnya dan telah
membuat taman untuk memuaskan cita-cita dan aspirasinya (Crowe, 1981). Salah
satu taman yang dapat mendukung fungsi rumah adalah taman rumah. Dalam
cakupan pertamanan, peran taman rumah tidak kecil. Taman rumah merupakan
komponen penting di lingkungan rumah tinggal sebagai pelengkap dan
penyempurna kehidupan rumah tangga. Taman dapat menjadi wahana bagi
keluarga sebagai tempat bercanda, berekreasi, bermain, atau sekedar duduk santai.
Taman rumah juga menjadi unsur penting dalam menciptakan lingkungan yang
sehat baik bagi penghuni maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Rangkaian taman rumah yang satu dengan yang lainnya akan membentuk
kesatuan rumah tinggal. Apabila ditata dengan asri, rangkaian taman dapat
menampilkan keindahan lingkungan perumahan (Sulistyantara, 2006).
Ada beberapa faktor/fungsi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
taman, yaitu keindahan, privasi, kenikmatan, keamanan dan kenyamanan,
fleksibel, rekreasi, sumber makanan (sayur dan buah), hiburan, dan mudah dalam
perawatan (Supriati et al., 2008). Fungsi taman sebagai sumber makanan dapat
diaplikasikan dengan menanam jenis tanaman sayur dan buah. Di negara maju,
kesadaran akan manfaat tanaman sayur dan buah segar untuk kesehatan
6
mendorong mereka untuk menjadikan tanaman buah dan sayur sebagai elemen
terpenting dari lanskap halaman rumah.
Berdasarkan bagian yang dapat dikonsumsi, tanaman sayur dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu sayur buah, sayur daun, dan sayur umbi. Tanaman sayur
buah contohnya adalah tomat, terung, cabai merah, cabai rawit, paprika, labu
siam, kacang panjang, dan pare, sedangkan contoh tanaman sayur daun seperti
kemanggi, katuk, bayam, kangkung, sawi hijau, selada, bawang daun, dan seledri.
Tanaman sayur umbi dapat berupa wortel dan lobak.
Elemen Dasar dalam Desain Lanskap
Dalam mendesain suatu tapak, terdapat elemen dasar yang perlu
diperhatikan. Elemen dasar lanskap ini terdiri dari bentukan lahan, material
tanaman, paving, bangunan pada tapak, serta air (Booth, 1983).
Bentukan Lahan
Bentukan lahan sinonim dengan topografi. Contoh bentukan lahan ini
adalah bukit, gunung, lembah, padang rumput, dan dataran. Topografi
mempengaruhi banyak aspek, diantaranya karakter dari suatu area, definisi dan
persepsi dari ruang, pemandangan, drainase, iklim mikro, penggunaan lahan, dan
pengaturan fungsi dari tapak tertentu. Untuk dapat bekerja secara efektif dengan
bentukan lahan, dibutuhkan pengetahuan dalam teknik mengekspresikannya,
diantaranya pengetahuan memanipulasi topografi melalui kontur, warna, arsiran,
perhitungan matematika, model 3 dimensi, serta komputer grafis.
Tipe bentukan lahan dilihat dari bentuknya terdiri dari datar, cembung,
bukit, cekung, dan lembah. Masing-masing tipe bentukan lahan ini memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Bentukan lahan yang datar bersifat paling stabil
dibandingkan dengan bentuk lahan yang lain. Oleh karena itu orang merasa
nyaman dan tenang ketika berjalan di atasnya. Kelemahan dari bentukan ini
adalah tidak ada pembatas ruang sehingga kesan privasi tidak ada, sedangkan
bentukan lahan yang cekung menghasilkan privasi, namun seseorang yang berada
di lahan ini cenderung merasa terisolasi dari lingkungan sekitarnya.
7
Sumber: Booth (1983)
Material Tanaman
Tanaman merupakan komponen mayor yang digunakan arsitek lanskap
dalam mengatur ruang dan mengatasi permasalahan yang ada. Selain
menyediakan peran penting dalam elemen struktur desain, tanaman juga
menyediakan kehidupan dan keindahan lingkungan. Material tanaman dalam
penggunaan arsitektur diantaranya menciptakan ruang, sebagai screen, dan
privacy control (Gambar 2).
Material tanaman yang digunakan dalam desain lanskap memiliki
karakteristik yang dapat dibedakan baik melalui ukuran, bentuk, warna, maupun
tekstur. Terdapat beragam ukuran tanaman, diantaranya pohon besar dan sedang,
pohon kecil dan ornamental, semak tinggi, semak sedang, semak rendah, serta
groundcover, sedangkan dalam hal bentuk, tajuk tanaman dibedakan menjadi
bentuk kolumnar, menyebar, bulat, piramidal, menjuntai, dan bentuk tidak
beraturan.
Warna pada tanaman memberikan karakteristik emosi karena pengaruh
langsungnya pada ruang luar. Warna yang cerah menyampaikan kesan terang dan
cerah pada atmosfir, sedangkan warna yang gelap menggambarkan kesan yang
suram. Warna direpresentasikan dalam material tanaman melalui daun, bunga,
buah, ranting dan cabang, serta batang kulit kayu, sedangkan tekstur memberikan
pengaruh dalam komposisi penanaman, termasuk kesatuan dan variasi komposisi,
Gambar 2. Fungsi tanaman dalam lanskap
8
persepsi jarak, sifat warna, daya tarik visual, dan suasana desain. Tekstur pada
tanaman ini dibagi menjadi tekstur kasar, sedang, dan halus.
Fungsi estetis material tanaman adalah sebagai komplementor, pemersatu,
penegas, pemberi identitas, penghalus dalam desain, dan membingkai view.
Paving
Paving merupakan salah satu material keras yang terdapat pada ruang luar
untuk membuat permukaan yang tahan lama dan memperkuat objek desain.
Contoh dari paving seperti gravel, kerikil, bata, ubin, batu, beton, aspal, dan kayu.
Paving memiliki beberapa karakteristik yang membuatnya berbeda dengan
material permukaan lainnya. Terdapat beberapa fungsi penggunaan paving,
diantaranya paving dapat mengakomodasi penggunaan yang intensif. Hal ini
dikarenakan struktur paving yang keras sehingga lebih tahan lama dibandingkan
dengan penggunaan vegetasi penutup tanah. Selain itu, paving dapat menjadi
pengarah dengan desain paving yang menghubungkan satu lokasi ke lokasi
lainnya. Paving juga dapat memberikan kecepatan dan irama dari pergerakan,
tergantung dari lebar dan bentuk paving.
Desain yang berbeda baik melalui ukuran, material, bentuk, maupun
kemiringan paving dapat mengindikasikan penggunaan yang berbeda pada tapak.
Misalnya penggunaan paving yang berbeda antara pintu masuk dengan ruangan
santai ataupun cafetaria. Ukuran paving yang berbeda dapat mempengaruhi kesan
skala sehingga paving dengan ukuran besar memberikan kesan ruang yang luas,
sedangkan paving yang kecil memberikan kesan sempit. Selain itu, paving
menyediakan kesatuan. Dengan penggunaan paving pada bangunan yang terpisah,
maka bangunan tersebut akan terkesan menyatu.
Site Structures
Site structures dapat diartikan sebagai elemen konstruksi tiga dimensi di
dalam lanskap yang memenuhi fungsi spesifik pada konteks ruang luas. Site
Structures merupakan bentuk yang keras, tetap, dan relatif permanen pada
lingkungan luar. Contoh site structures adalah anak tangga, ramp, dinding, pagar,
dan tempat duduk. Anak tangga dan ramp memfasilitasi pergerakan dari satu
tempat ke tempat lain. Dinding dan pagar membatasi ruang dan menciptakan
9
detail pada struktur. Tempat duduk membuat ruang luar terlihat lebih manusiawi
dengan menyediakan tempat untuk beristirahat dan mengamati. Penggunaan yang
sensitif dari site structures membuat lanskap lebih nyaman dan responsif untuk
kebutuhan manusia.
Air
Air merupakan elemen yang memiliki banyak variasi desain dan beragam
bentuk, seperti berbentuk rata, kolam, air terjun, dan air mancur. Air digunakan
dalam lanskap sebagai elemen estetik dan digunakan untuk mendinginkan udara,
penghalang suara, mengirigasi tanah, atau menyediakan area rekreasi.
Karakteristik umum air yang mempengaruhi tujuan dan metode dalam mendesain
suatu lanskap diantaranya adalah plastis, dapat bergerak, dapat menghasilkan
suara, serta dapat menciptakan refleksi dari suatu objek.
Dalam mendesain air, hal yang harus diperhatikan adalah bentuk, ukuran,
tinggi, dan kemiringan dasar dari suatu elemen. Namun demikian, faktor lain
seperti angin, cahaya matahari, dan suhu dapat mempengaruhi kualitas visual air.
Dengan berbagai kemampuannya, air merupakan elemen spesial yang
menambahkan arti dan kesan pada ruang terbuka.
Prinsip Desain
Prinsip mengacu pada standar dimana desain dapat dibuat, diukur,
didiskusikan, dan dievaluasi (Ingels, 2004). Menurut Ingels, terdapat enam prinsip
dalam desain, diantaranya:
Keseimbangan
Terdapat 2 tipe keseimbangan, yaitu keseimbangan simetris dan asimetris
(Gambar 3). Keseimbangan simetris adalah keseimbangan yang terdapat pada
taman formal dimana salah satu sisi merefleksikan sisi yang berlawanan
dengannya. Komposisi lanskap tidak selalu harus terlihat kaku untuk menunjukan
keseimbangan simetris. Kombinasi material yang digunakan dapat bebas dan
sederhana selama bentuk, warna, dan material spesifiknya sama pada kedua sisi
komposisi, sedangkan keseimbangan asimetris merupakan keseimbangan yang
tidak formal. Secara visual, berat komposisi dari satu sisi dan sisi yang lainnya
sama, tetapi material yang digunakan dan penempatannya boleh berbeda.
10
Keseimbangan ini berpotensi untuk lebih menarik dilihat karena terdapat dua sisi
yang dapat diamati dan dikaji.
Focalization of Interest
Focal point merupakan salah satu bagian dari komposisi lanskap yang
menarik mata pengunjung. Bagian lain dari komposisi berperan untuk melengkapi
fitur tersebut. Focal point dapat dibuat dengan penggunaan tanaman, hardscape,
elemen arsitektural, warna, pergerakan, tekstur, atau kombinasi dari satu elemen
dengan elemen lainnya (Gambar 4). Pada area publik di lanskap perumahan, pintu
masuk ke rumah merupakan fokus perhatian paling penting, Semua keputusan
desain yang dibuat pada area ini mendukung focal point tersebut.
Kesederhanaan (Simplicity)
Seperti prinsip keseimbangan, kesederhanaan juga membuat pengunjung
merasa nyaman pada lanskap. Di dalam lanskap mungkin saja terdapat bangunan
dengan arsitektur kompleks, pencahayaan yang luas, elemen air, sound system,
pola sirkulasi, dan sistem keamanan. Apabila elemen-elemen tersebut harus
Sumber: Ingels (2004)
Gambar 3. Keseimbangan simetris dan keseimbangan asimetris
11
dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan klien, lanskap sebagai tempat meletakkan
elemen tersebut harus tetap sederhana dan nyaman bagi pengguna. Kesederhanaan
tidak berarti sederhana, membosankan, atau miskin akan imajinasi.
Kesederhanaan hanya mencengah penggunaan yang berlebihan terhadap jenis
tanaman, warna, tekstur, dan bentuk.
Ritme dan Garis
Ketika suatu elemen diulang dengan jarak yang sama maka ritme akan
terlihat. Elemen yang akan diulang dapat berupa elemen struktural (lampu atau
bangku taman) dan berupa pola, seperti pola jalan. Garis pada desain terbentuk
ketika elemen yang berbeda bertemu, misalnya ketika area rumput bertemu
dengan pavement. Alam juga dapat membentuk garis, seperti pada puncak
beberapa bukit. Ketika cukup banyak garis yang pararel satu sama lain dan
semuanya dapat terlihat oleh pengunjung pada saat yang sama, ritme garis akan
terlihat membawa dua konsep yang menyatu.
Proporsi
Proporsi menekankan pada hubungan ukuran antara semua elemen lanskap,
termasuk hubungan vertikal dan horizontal. Kebanyakan persepsi manusia
mengenai proporsi vertikal dipengaruhi oleh ketinggian pengamat dan terutama
oleh ketinggian mata pengamat yang berbeda antara berdiri, duduk, dan berbaring.
Menurut Crowe (1981), skala dan proporsi merupakan pelengkap unity, tanpa
kedua hal ini tidak akan tercipta harmoni dari suatu desain.
Gambar 4. Penanaman pada area sudut, perhatian diarahkan pada area incurve
Sumber: Ingels (2004)
12
Kesatuan (unity)
Sebagai prinsip desain, kesatuan dapat mudah diukur jika kelima prinsip
yang lainnya sudah diterapkan secara baik dan benar pada desain. Desain yang
mempunyai kesatuan adalah dimana semua bagian yang terpisah berkontribusi
menciptakan desain keseluruhan, seperti warna dan tekstur mendukung satu sama
lain dibandingkan menonjolkan sisi menarik antar individu. Pada setiap kasus,
ketika komponen individu berharga dan diapresiasi, secara kolektif menciptakan
satu desain keseluruhan. Prinsip yang sama digunakan untuk mendesain lanskap.
Setiap komponen desain, baik material tanaman, bentuk penanaman, pemilihan
dan penggunaan material paving, pemilihan warna, rencana pencahayaan, atau
komponen lain dari ruang luar harus menjadi bagian dari keseluruhan.
Konsep Ruang Luar
Komposisi ruang di dalam setiap rumah sama, terdiri dari dinding, langit-
langit, dan lantai (Ingels, 2004). Komposisi ini juga terdapat pada ruang luar.
Material yang digunakan berbeda dari ruang dalam tetapi memenuhi fungsi yang
sama. Dinding pada ruang luar menegaskan batas dan ukuran dari ruang tersebut.
Material alam yang digunakan untuk membentuk dinding ruang luar dapat berupa
semak, pohon rendah, ground covers, dan bunga, sedangkan material buatan
manusia dapat berupa pagar atau bangunan (Gambar 5).
Lantai menyediakan permukaan untuk ruang luar. Material yang digunakan
untuk lantai dapat berupa material alami seperti rumput, ground covers, pasir,
gravel, atau air. Selain itu juga dapat berupa buatan manusia, seperti bata, beton,
patio, atau ubin. Langit-langit pada ruang luar memberikan batas atas pada ruang
tersebut. Langit-langit ini menyediakan perlindungan fisik, seperti penutup
alumunium atau pohon.
Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang bermakna pikiran, akal budi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kebudayaan memiliki beberapa
arti berikut:
13
1. Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat;
2. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi
pedoman tingkah lakunya;
3. Hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipergunakan bagi
kesejahteraan hidupnya.
Selain itu, terdapat pengertian lain dari kebudayaan menurut Wenas (2007)
yang menjelaskan bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta India
yang terdiri dari gabungan kata Budhi dan Daya yang artinya kekuatan akal dan
karya. Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan total dari gagasan dan
karya manusia yang menguasai bumi dan planet ini. Unsur kebudayaan meliputi
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, bahasa
untuk saling berkomunikasi, sistem ilmu pengetahuan, sistem mata pencaharian,
sistem teknologi peralatan, dan kesenian.
Minahasa
Minahasa berasal dari kata Minaesa yang berarti persatuan. Daerah ini
dulunya dikenal dengan nama malesung (Rogi dan Siswanto, 2009).
Gambar 5. Pembagian komposisi ruang luar
Sumber: Ingels (2004)
14
Lanskap Minahasa
Suku Bangsa Minahasa mendiami daerah yang terletak di ujung utara Pulau
Sulawesi, diantara 0055’-1055’ Lintang Utara dan 124020’- 125022’ Bujur Timur
dengan luas wilayah sekitar 5.273 km2. Batas administrasi wilayah suku ini
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sangir Talaud, sebelah Timur
berbatasan dengan Laut Maluku, sebelah Selatan dengan Kabupaten Bolaang
Mangondow, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Temperatur udara rata-rata 200C dan maksimum 280C dengan curah hujan
rata-rata setiap tahun 2.279 mm. Sebagian daerah Minahasa termasuk wilayah
vulkanis, terdapat sejumlah besar gunung berapi. Terdapat hewan yang tidak
dijumpai di daerah lain, seperti babi rusa, sapi hutan atau anoa, burung maleo, dan
burung manguni yang merupakan lambang daerah Minahasa.
Daerah Sulawesi Utara sejak dahulu merupakan penghasil kelapa terbesar
karena daerah sepanjang pantai banyak ditumbuhi pohon kelapa. Flora lainnya
diantaranya adalah jenis pohon kayu seperti kayu besi, kayu jati, kayu putih,
meranti, kayu hutan, rotan, dan bambu. Cengkeh mengambil peranan besar dalam
perekonomian Sulawesi Utara, kemudian coklat, kopi, buah-buahan, sayur-
sayuran, dan sebagainya.
Tahun 2001 Kabupaten Minahasa mulai dimekarkan yang terbagi menjadi
Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Kota Tomohon, dan
Kabupaten Minahasa Tenggara (Wenas, 2007).
Kependudukan dan Mata Pencaharian
Masyarakat Minahasa mendiami pulau Sulawesi bagian utara. Suku bangsa
Minahasa terbagi ke dalam 8 sub suku bangsa dan 8 dialek, yaitu Tonsea,
Tombulu, Toulour, Totemboan, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, dan Bantik
(Wenas, 2007). Dari informasi budaya menurut Wenas (2007) serta Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara pada Tahun
1977/1978, didapatkan beberapa jenis mata pencaharian masyarakat Minahasa
yaitu dalam bidang pertanian, jasa, perdagangan, kerajinan, dan peternakan.
15
Pertanian
Pertanian merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa.
Hampir setiap rumah tangga memiliki tanah baik berupa sawah maupun ladang.
Sistem kepemilikan tanah di Minahasa dikenal dengan tanah pasini (milik sendiri)
dan tanah kalakeran (milik bersama). Menyadap air tuak dari pohon enau (aren)
dan membuat sagu dari batang pohon tewasen (rumbia) sudah dikenal sejak
zaman dulu. Minuman tuak ini dalam bahasa Melayu Manado disebut saguer dari
asal kata ‘air sagu’ karena berwarna putih susu.
Masuknya Bangsa Eropa di Minahasa telah mengenalkan masyarakat akan
komoditas pertanian lain, seperti jagung, kopi, kelapa, tembakau, coklat, dan pala.
Tanaman jagung merupakan tanaman dengan nilai ekonomi tinggi setelah padi,
sedangkan tanaman kopi pernah menjadi mata pencaharian utama di Minahasa
dari tahun 1818 sampai 1942.
Jasa
Mata pencaharian menjual jasa dilakukan orang Minahasa seperti menjadi
pendeta upacara kematian (Walian Mawasal) dan membuat batu kubur waruga.
Anak-anak para pemimpin Minahasa menjadi guru setelah tamat dari sekolah
kristen.
Perdagangan
Penduduk Minahasa menjual minuman yang berasal dari air tuak yang
disuling, dikenal dengan nama Minuman Cap Tikus. Minuman ini dahulunya
merupakan pengganti minuman keras bagi orang Eropa.
Kerajinan
Kerajinan membuat kain tenun sekitar tahun 1770-an pernah sangat
menguntungkan orang Minahasa, ketika produksi beras berkurang dan serangan
bajak laut di pantai Minahasa meningkat. Pohon kapas yang menjadi bahan utama
pembuatan kain tenun ini ditanam orang Minahasa sendiri di ladangnya. Kain
tenun ini terbuat dari berbagai daerah, yaitu buatan Tondano, Tomohon,
Langouwan, Tonsea, dan Bentenan. Semua kain tenun ini disebut ‘bentenan’ oleh
orang Minahasa. Pembuatan kain tenun di Minahasa mulai turun sejak 1880
16
karena masuknya pakaian jadi dan mesin jahit di Minahasa sehingga muncullah
pedagang keliling yang menjual kain dan toko-toko penjual pakaian.
Kerajinan tangan lainnya yang terdapat di Minahasa adalah tikar yang
terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan tertentu, aneka ragam wadah yang
terbuat dari rotan, silar, pandan, sejenis bambu kecil yang disebut bulutui,
sedangkan kerajinan dari tanah liat berupa jambangan, pot-pot bunga, piring,
mangkok, dan sebagainya.
Peternakan
Binatang ternak yang dikenal di Minahasa adalah sapi, babi, ayam, bebek,
kuda, anjing, dan angsa. Hewan ternak tersebut digunakan untuk menarik gerobak
dan bendi (sapi, kuda), sebagai penjaga dan pemburu (anjing), dan untuk
dikonsumsi (babi, ayam, bebek, sapi, angsa). Ternak seperti kuda dan sapi di
beberapa tempat di Minahasa banyak sekali dipakai sebagai salah satu bagian dari
maskawin di dalam perkawinan Minahasa yang disebut antar harta.
Karakteristik Masyarakat Minahasa
Orang Minahasa dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu “orang Menadao”
atau “tou wenang”. Suku bangsa Minahasa berasal dari utara dan mempunyai
pertalian serta banyak kesamaan dengan bangsa Filipina dan Jepang dalam bentuk
tubuh (fisik) maupun genetikal (Rogi dan Siswanto, 2009). Masyarakat Minahasa
mengenal suatu bentuk keluarga batih (kesatuan kerabat) berdasarkan monogami.
Batas-batas hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral,
jadi hubungan kekerabatan dihitung melalui pihak laki-laki maupun pihak
perempuan. Selain itu, masyarakat Minahasa mengenal sistem gotong-royong
yang disebut mapalus. Mapalus diartikan sebagai bentuk kerja sama yang
dilakukan warga se-desa yang berhubungan dengan aktivitas membangun rumah,
pertanian, kematian, dan sebagainya (Syamsidar, 1991).
Pola Perkampungan
Pola perkampungan desa di Minahasa adalah memanjang mengikuti jalan
raya di desa sehingga sepanjang jalan raya terletak pusat-pusat aktivitas desa
seperti gereja, masjid, kantor Kepala Desa, sekolah, pasar, toko, warung, rumah-
rumah tempat tinggal penduduk, dan sebagainya. Dari Gambar 6 terlihat bahwa
17
letak gereja dan warung menyebar di dalam suatu desa. Akses yang
menghubungkan rumah satu kelompok keluarga dengan kelompok keluarga
lainnya berupa jalan desa , sedangkan jalan yang menghubungkan antar rumah di
dalam perumahan satu keluarga dihubungkan dengan jalan yang lebih kecil yang
disebut lorong.
Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Menurut Wenas (2007), masyarakat Minahasa mengenal dua golongan
kepemimpinan, yaitu walian dan tona’as. Walian berasal dari kata wali yang
artinya mengantar, seperti induk ayam mengantar dan melindungi anak-anaknya,
sedangkan tona’as berasal dari kata ta’as yang artinya keras, misalnya kata
tima’as artinya mengeras, bersifat keras. Jabatan tertinggi golongan walian adalah
Walian Tu’ah yang memimpin semua acara agama dan adat. Jabatan tertinggi
tona’as adalah Tona’as Wangko sebagai kepala pemerintahan. Tona’as Wangko
mengendalikan soal pemerintahan, pembangunan, peperangan, dan ilmu
pengetahuan.
Pada tahun 1870, fungsi walian dan tona’as berubah. Fungsi walian sebagai
pemimpin agama suku digantikan pendeta, pastor, atau imam, sedangkan fungsi
tona’as sebagai kepala adat digantikan oleh pejabat negeri seperti hukum tua dan
petugas catatan sipil. Upacara-upacara adat yang berhubungan dengan kelahiran,
perkawinan, dan kematian mulai menghilang digantikan oleh upacara gereja atau
di masjid. Unsur adat pada upacara kematian sudah tidak terlihat lagi karena
jenazah disemayamkan di gereja sebelum ke pemakaman. Tetapi penggunaan
busana khusus untuk perkawinan dan acara kedukaan masih diaplikasikan.
Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
Sebelum Agama Katolik masuk pada tahun 1563, masyarakat Minahasa
mengenal Tuhan yang mereka sebut sebagai Empung atau Opo-opo. Menurut
N.Graafland dalam Wenas (2007), Tuhan orang Minahasa disebut Empung
Wa’ilan Wangko atau Empung Rengan-Rengan yang berarti Tuhan Maha Mulia,
Maha Besar, Tuhan yang selalu mendampingi manusia dimanapun berada. Untuk
mengatasi pengaruh dari roh jahat, orang Minahasa menggunakan roh leluhur
sehingga roh leluhur mempengaruhi seluruh kehidupan dari lahir sampai
18
Sum
ber:
Tim
Pen
eliti
an d
an P
enca
tata
n K
ebud
ayaa
n D
aera
h Su
law
esi U
tara
(197
7/19
78)
Gam
bar 6
. Sk
etsa
des
a di
Min
ahas
a pa
da ta
hun
1977
/197
8
19
meninggal. Ketika agama Kristen masuk ke Minahasa, batas-batas pemisah antara
upacara agama dan upacara adat mulai hilang karena saat upacara agama asli
berubah menjadi agama kristen, upacara adat ikut menghilang di Minahasa.
Cerita mengenai manusia pertama yang ada di Minahasa diperkirakan
berasal dari Jaman Spanyol. Cerita tersebut sebagai berikut: Empung Wa’ilan
Wangko menemukan kelapa yang kemudian dibelah dua dan keluarlah manusia
dari dalam kelapa disebut Wengi. Kemudian Empung Wa’ilan Wangko menyuruh
Wengi membuat 2 patung manusia dari tanah liat. Kemudian Wengi
menyemburnya dengan kunyahan jahe (goraka) sehingga patung tanah liat
berubah menjadi Adam dan Hawa.
Wengi merupakan ibu dari Dewi Lumimu’ut, sedangkan ayahnya bernama
Kawengian. Terdapat mitos mengenai Toar dan Lumimu’ut sebagai manusia
pertama lalu mendapat pengaruh kristen sehingga mitos asli Minahasa mengalami
perubahan konsep. Agama yang pertama kali masuk di daerah Minahasa adalah
agama katolik. Agama ini dibawa oleh seorang paderi katolik bernama Diego de
Magelhaes, yang merupakan Bangsa Spanyol dalam tahun 1563. Kemudian pada
tahun 1674 pemerintah Belanda menggantikan agama katolik dengan agama
kristen Protestan. Agama Islam masuk daerah Sulawesi Utara sekitar abad ke-16
(Syamsidar, 1991). Agama Minahasa disebut Maka Tana’ yang berarti
pengetahuan dari si pemilik tanah/bumi, Empung Wailan Wangko.
Dalam setiap upacara yang menyangkut roh manusia seperti pada upacara
kematian terdapat unsur upacara adat dan upacara agama. Unsur upacara agama
dipimpin oleh pendeta agama asli, Walian Me’eres yang mengucapkan doa
kepada Empung Wa’ilan Wangko untuk menerima roh yang meninggal. Dalam
pemakaman diikutsertakan kepala orang yang terpancung dengan tujuan dapat
menemani roh orang meninggal tersebut dalam perjalanan ke surga. Semakin
tinggi jabatan orang di masyarakat, semakin banyak jumlah kepala orang yang
dimasukkan. Upacara adat dalam prosesi pemakaman ini terletak pada upacara
memakamkan jenazah ke dalam waruga. Upacara lainnya yang menggunakan
kepala orang dalam pelaksanaannya adalah upacara mendirikan rumah baru,
upacara kesuburan, dan bersih desa.
20
Pada tahun 1874 pendeta Belanda, Louwerier dalam Wenas (2007)
menyatakan bahwa upacara agama asli Minahasa yang memuja roh leluhur sudah
hilang sama sekali di Minahasa. Berdasarkan pernyataan tersebut, informasi
upacara-upacara tradisional masyarakat Minahasa dapat dibagi menjadi dua
periode, yaitu masa sebelum abad ke-19 dan masa setelah abad ke-19.
Masa Sebelum Abad ke-19
Dalam catatan perjalanan Graafland pada tahun 1869 di Minahasa, terdapat
beberapa upacara adat yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, mulai dari
upacara kelahiran hingga kematian. Upacara tersebut diantaranya:
1. Upacara kelahiran
Setelah dua atau tiga hari bayi dilahirkan, keluarga harus mengadakan
upacara yang disebut Iroyor Si Oki (menurunkan anak). Dalam upacara ini
dipanggil dua, tiga, atau empat orang walian yang merupakan pemimpin
upacara adat. Di depan tangga bawah rumah anak ini dimandikan. Apabila
pada saat upacara ada orang yang lewat dan bersin, anak tersebut diramalkan
tidak ada harapan untuk bahagia. Namun, hal ini dapat disiasati dengan ibu dan
walian yang memakan sepotong pinang lalu berkata “ini sudah hari lain”,
kemudian upacara ini dilanjutkan. Selanjutnya bayi tersebut dibawa ke bawah
dan digendong untuk menyentuh babi yang ada di dekatnya dengan kakinya
agar para dewa mengetahui bahwa babi itu dipersembahkan atas nama bayi
tersebut. Kemudian bayi dibawa ke sungai dengan diiringi seorang walian yang
membawa api, sebuah batok kelapa, dan kemiri. Api digunakan sebagai alat
untuk mengusir setan dan kemiri digunakan untuk mengolesi kepala bayi. Di
sungai ini walian memandikan bayi dengan mengucapkan mantera agar
penyakit dapat hanyut bersama air. Dalam perjalanan pulang, walian berjalan
di depan diikuti oleh ibu dan bayinya. Bunyi gong dan kolintang mengiringi
perjalanan pulang mereka. Setelah sampai di rumah, babi dibelah dan diambil
hatinya. Hati babi ini digunakan untuk meramal masa depan bayi. Selanjutnya
adalah acara makan dan minum. Walian membagikan daging babi, ayah bayi
biasanya hanya mendapat sebagian kecil saja.
Ketika seorang anak laki-laki sudah berumur ± 1 tahun, anak ini harus
belajar menyadap air tuak (makehet). Dalam upacara ini, seorang ayah
21
mengendong anaknya dan bersama rombongan dan walian pergi mencari
pohon aren. Setelah sampai pada pohon yang ditentukan, walian menempatkan
tangga dan menggantungkan bambu yang telah diisi penuh dengan saguer.
Kemudian walian mengangkat anak tersebut tiga kali dan menyentuhkan
kakinya ke tangga. Dalam perjalanan pulang setiap orang ditawari dengan
seteguk saguer. Setelah sampai di rumah, dimulailah acara makan dan minum.
Acara ini diiringi oleh gong dan kolintang. Anak perempuan tidak belajar
makehet melainkan harus dibekali kepandaian memasak dan memelihara babi.
Oleh karena itu, ia diberi beberapa potong kayu dan beberapa helai daun pada
bahunya lalu dibawa ke ujung jalan setapak yang menuju kebun. Dari sana
mereka menuju ke sungai, anak tersebut dimandikan, dan selanjutnya dibawa
pulang.
2. Upacara pernikahan
Dalam adat istiadat Minahasa, calon mempelai wanita yang akan
menikah harus terlebih dahulu dibeli oleh pria yang akan menikahinya. Hal ini
dikenal dengan istilah bowang (kasih harta). Jika telah mendapat keputusan
bahwa seorang gadis akan dipinang, keluarga pria pergi mengunjungi rumah
wanita tersebut. Setelah mendapat persetujuan dari orang tua wanita,
selanjutnya ditentukan hari untuk membicarakan roko (mahar). Mahar
sementara biasanya adalah 9 buah pinang, 9 lembar daun sirih, dan sepasang
perhiasan dari emas atau perak. Semua mahar ini dibungkus oleh kain katun
merah yang disebut katun benggali. Pada saat hari penentuan mahar, kedua
belah pihak bertemu, kemudian sambil memakan pinang, membicarakan mahar
untuk wanita tersebut. Mahar ini beragam, tergantung dari kesepakan keluarga.
Mahar paling tinggi adalah 100 potong salempuri, seekor kuda, sebuah gong,
satu paket alat musik tradisional, seorang budak, dan sebidang tanah. Mahar
untuk wanita yang pernah menikah dihargai rendah. Setelah mahar disepakati,
maka upacara pernikahan dapat dilaksanakan. Pada saat upacara ini walian
mengambil sebuah pinang dan mengunyahnya dengan sirih dan kapur
kemudian memberikannya kepada calon pengantin. Setelah acara makan di
rumah pengantin wanita selesai atau keesokan harinya, rombongan pengantin
wanita mengunjungi rumah pengantin pria. Pengantin wanita ini harus
22
menyebrangi sungai atau melewati jembatan dan tidak boleh meneruskan
perjalanan sebelum diberi sepotong kain linen. Setelah sampai di depan rumah
pengantin pria, pengantin wanita tidak diperbolehkan menaiki tangga rumah
tersebut sebelum diberi kain linen lagi. Setelah menerimanya ia
memperlihatkan kepada keluarga dan orang yang di sekitarnya dan menaiki
tangga. Di dalam rumah telah tersedia hidangan dan setelah acara makan ini,
kedua mempelai dianggap telah resmi menikah.
3. Upacara kematian
Pada saat tokoh masyarakat meninggal, jenazahnya diikat dalam posisi
duduk di sebuah kursi selama satu malam dan dijaga oleh Walian Mawasal.
Peran walian ini untuk membujuk roh jenazah yang tidak ingin berpisah dari
jasadnya. Pada hari berikutnya, jenazah diturunkan dari lantai rumah yang
papan lantainya terbuka kemudian diletakkan di kursi jenazah yang disebut
lulukeran. Jenazah ini digotong mengelilingi rumah tiga kali, berkeliling
kampung, dan akhirnya dibawa ke waruga yang terletak di sebelah kanan
halaman belakang rumah alamarhum (Gambar 7). Tata cara ini bertujuan agar
roh orang yang meninggal tersebut tidak dapat kembali lagi ke rumah.
Menurut Graafland, agar kesedihan keluarga yang berduka hilang,
sebuah pesta persembahan keagamaan harus dilakukan demi kehormatan orang
yang meninggal tersebut. Tidak ada seorang pun yang berani melakukan
pekerjaan di rumah, di kebun, atau bekerja pada seseorang sebelum pesta
tersebut selesai karena roh mendiang akan terus meresahkannya siang malam
apabila hanya sedikit kemurahan yang dilakukan orang. Bagian dari pesta itu
adalah ngolongan yaitu ketika semua wanita menari-nari di halaman dan
memohon kepada Empung untuk memberikan yang terbaik sebagai ganti orang
yang meninggal itu bagi pria maupun wanita yang ditinggalkan. Keesokan
harinya pria atau wanita yang ditinggalkan itu diantar oleh seluruh keluarga
pergi ke luar kampung agar lambat laun dapat melupakan kesedihannya. Hal
ini disebut numaram. Selanjutnya, orang yang berduka cita itu boleh pergi
lebih jauh termasuk ke kebun. Di kebun pria atau wanita tersebut mengambil
beberapa sayuran atau buah-buahan lalu menebang satu atau lebih pohon buah-
23
buahan agar roh yang meninggal dapat menikmati makanan dan tanaman di
tempatnya yang baru. Upacara ini disebut rumou-tanah.
Di rumah duka, tempat ada kematian, pesta pernikahan, pesta pertama
penghunian rumah, atau dalam kesempatan lain saat banyak orang berkumpul,
masyarakat biasanya melakukan permainan teka-teki. Apabila banyak tamu
yang diharapkan datang dalam upacara tersebut, atap depan rumah disambung
dengan atap sementara yang miring ke bawah hingga empat sampai lima kaki
di atas tanah. Dengan demikian, terdapat tempat untuk meletakkan bangku dan
kursi di bawahnya. Biasanya tempat ini untuk pria, sedangkan wanita duduk di
atas, di dalam rumah. Selama permainan mereka mengunyah pinang, sirih, dan
kapur, serta meminum saguer.
Masa Setelah Abad ke-19
Dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Sulawesi Utara pada
periode tahun 1977/1978, terdapat beberapa upacara adat yang berkaitan dengan
daur hidup manusia, mulai dari upacara kelahiran hingga kematian. Upacara
tersebut diantaranya:
1. Upacara kelahiran
Di Minahasa masih terdapat wanita-wanita yang pada masa
kehamilannya percaya kepada hal yang tabu (foso). Foso yang juga dikenal
Rumah
tinggal
waruga waruga
Sumber:http://thearoengbinangproject.com/2010/10/mural-waruga-sawangan-Minahasa
Gambar 7. Relief peletakkan waruga di sekitar rumah tinggal
24
dengan istilah posan dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan ibu yang
mengandung terhindar dari bermacam-macam pengaruh buruk. Foso ini berupa
seorang ibu tidak boleh melihat sesuatu yang menakutkan, seperti melihat
binatang yang disembelih dan suami tidak boleh menyembelih binatang, tidak
boleh melihat mayat, berdiri di depan pintu, dan sebagainya. Maksud larangan
ini adalah agar bayi lahir dengan selamat atau ibu tersebut tidak melahirkan
bayinya dengan susah payah.
Menjelang bersalin, semua pintu, jendela, koper, peti, dan sebagainya
harus dalam keadaan terbuka agar bayi dapat lahir dengan lancar. Setelah anak
lahir, beberapa hari kemudian diadakan pesta kelahiran yang hanya dihadiri
oleh famili terdekat. Pesta ini disebut Iroyor Si Oki. Pengambilan nama bayi
biasanya dari nama ayah/ibu/nenek/ paman/ bibi dan dapat juga disesuaikan
dengan bulan kelahiran bayi, masa peristiwa penting, dan nama-nama dari Al-
kitab.
2. Upacara pernikahan
Pada acara-acara seperti upacara pernikahan, malam hiburan di bidang
kematian, dan pada pekerjaan gotong royong biasanya seorang pria atau wanita
menemukan jodohnya. Apabila keinginan pria tersebut telah disetujui oleh
kedua orang tuanya, orang tua pria mengambil perantara yang disebut rereoan
dimana orang tersebut masih satu keluarga (wanita/pria yang sudah tua).
Perantara tersebut menyampaikan maksud orang tua pria kepada orang tua
wanita. Apabila disetujui, selanjutannya adalah penentuan hari upacara mas
kawin yang disebut antar harta. Pada upacara tersebut dirundingkan tanggal
pernikahan, tempat pelaksanaan, jumlah undangan, surat-surat yang
diperlukan, siapa saksi-saksi, dan sebagainya. Seringkali terdapat pernikahan
yang tidak melalui upacara antar harta lagi, melainkan mengikuti adat barat
seperti upacara tukar cincin. Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan,
upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh walian dan kemudian
dilakukan upacara tawa’ang, kedua mempelai memegang setangkai pohon
tawa’ang sambil mengucapkan ikrar dan janji.
25
3. Upacara kematian
Apabila terdapat warga suatu desa yang meninggal, secara cepat dapat
diketahui oleh seluruh warganya melalui beduk kampung, lonceng gereja, atau
berita dari mulut ke mulut. Menurut kebiasaan yang berlaku sampai pada
penelitian tersebut dilakukan, tidak ada seorangpun yang dapat keluar desa
untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang ada
hubungannya dengan kematian. Kaum wanita bertugas memasak, menyapu
dalam rumah, menjahit pakaian jenazah, menyediakan bunga, melayani tamu,
dan sebagainya, sedangkan tamu pria menyediakan peti jenazah, menyapu
halaman, membuat sabua (bangunan tambahan), menggali lubang pekuburan,
memikul jenazah, dan menyediakan tempat duduk.
Sebagian besar orang Minahasa beragama kristen sehingga upacara
kematian dilakukan berdasarkan tata cara kristen yang dipimpin pendeta.
Upacara dimulai dari dalam rumah, kemudian di luar rumah, dan upacara di
pekuburan. Selain upacara, terdapat acara lain yang berhubungan dengan
kematian, yaitu setelah jenazah telah dimakamkan minimum 3 hari. Acara
tersebut sebenarnya merupakan acara hiburan yang dikenal dengan 3 malam,
kumawus (Keduri tujuh hari), empat puluh hari, dan satu tahun. Pada acara ini
diadakan kebaktian secara agama dan langsung disambung dengan menyanyi,
bermain kartu, pantun, dan sebagainya.
Terdapat upacara-upacara lain yang berhubungan dengan rumah,
diantaranya (Kalangie et al., 1985):
1. Upacara pungutan
Upacara pungutan merupakan salah satu upacara tradisional di Minahasa
setelah panen. Upacara ini berupa pengucapan syukur kepada pemberi rezeki
berupa wujud dari hasil panen. Upacara dulunya dilaksanakan di suatu
lapangan terbuka yang luas, di sawah, dan di ladang. Namun, setelah agama
kristen masuk upacara ini dilaksanakan di gereja. Upacara pungutan dibagi
dalam dua bagian, yaitu upacara pengucapan syukur yang dilaksanakan pada
pagi hari di ruangan gereja dan pada sore hari yang bertempat di halaman
gereja. Masyarakat setempat berkumpul kembali dengan membawa berbagai
kue, makanan matang, dan berbagai hasil pertanian. Upacara pungutan yang
26
dilaksanakan pagi dan sore hanya ditemukan di daerah pedesaan, sedangkan di
kota dilaksanakan di pagi hari (pukul 10.00 s/d 12.00) karena acara selanjutnya
dilakukan khusus di rumah masing-masing berupa makan bersama dengan
keluarga dan undangan.
Pada umumnya di saat pengucapan syukur setelah acara gereja pagi,
orang sibuk keluar-masuk rumah baik penghuni maupun tamu yang datang dari
luar. Sudah menjadi kebiasaan keluarga pada saat itu seakan-akan berebut
memanggil tamu untuk datang mencicipi makanan dan minuman yang telah
disediakan mereka. Selama upacara ini rumah sedapat mungkin dalam keadaan
terbuka (pintu dan jendela), melambangkan agar rezeki yang akan datang tidak
lewat begitu saja. Selain itu, bila ada keluarga yang rumahnya ditutup akan
dinilai sebagai orang yang kikir.
2. Upacara kaipian
Upacara ini diadakan di area rumah berupa acara mencicipi makanan dari
seorang petani yang akan panen. Masyarakat percaya bahwa memberi berupa
mencicipi hasil pertanian pada orang lain (kaipian) maka rezeki tetap terbuka
dalam arti panen berikutnya akan mendapatkan hasil yang berlimpah. Sebelum
diadakan selamatan di rumah, diadakan kegiatan persiapan berupa menjemur,
menumbuk, dan memasak beras yang akan disajikan dalam upacara ini. Acara
dilaksanakan di ruang tengah atau ruang makan. Pada saat ini upacara kaipian
sudah jarang dilaksanakan lagi karena beberapa alasan, diantaranya tidak
semua warga memiliki lahan garapan yang luas sehingga tidak mampu untuk
membagikan hasil kepada orang lain.
Berdasarkan Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Sulawesi Utara pada Tahun 1977/1978, terdapat salah satu upacara adat yang
disebut naik rumah baru yang sering dilakukan dengan memperdengarkan
nyanyian bersama. Upacara ini diadakan pada malam hari dengan memasang
lampu (minyak, lilin, atau obor). Setiap orang yang datang naik ke atas rumah
panggung dan ikut menari-nari sambil bernyanyi dengan ungkapan. Salah satu
ungkapannya adalah: “wasian rimondori wan kentur rumbu-rumbuan eh royor”.
Ungkapan ini bermakna bahwa pemilik rumah yang akan hidup menetap dalam
27
rumah baru tersebut sudah tidak perlu khawatir lagi karena rumah itu sudah
kokoh, kuat bagaikan gunung. Upacara adat naik rumah baru ini sudah
menghilang apalagi upacara-upacara adat lainnya di Minahasa yang berupa adat
asli sudah tidak ada lagi.
Bahasa
Minahasa terdiri dari 8 wilayah sub-etnik tetapi hanya mempunyai 7 bahasa
sub etnik atau dialek, karena subetnik Bantik di pantai Barat dan Ponosakan di
pantai timur memiliki bahasa yang dapat dikatakan sama (Wenas, 2007). Bahasa
sub-etnik Tombulu, Tonsea, Tondano, dan Tontemboan digunakan oleh sebagian
besar penduduk Minahasa.
Sistem Ilmu Pengetahuan
Gejala alam seperti adanya laut, gunung, sungai, langit, matahari, awan,
hujan, kilat, dan guntur dijelaskan dalam pengetahuan mengenai cerita To’ar dan
Lumi’muut yang dipercaya sebagai nenek moyang masyarakat Minahasa. Peneliti
J. Alb. T. Schwarz dalam Wenas (2007) meneliti To’ar yang berasal dari kata tou
ari’i (tiang utama), juga tu’ur artinya keringat, maksudnya bumi yang berkeringat
sehingga menghasilkan embun pagi yang kemudian menjadi Dewi Bumi. Dewi
Karema yang ada di mitos asal-usul orang Minahasa berasal dari kata karerema’,
rerema’ yang artinya bintang. Bagaikan karerema (bintang) yang menyaksikan
To’ar lahir sebagai anak dan ketika berubah menjadi suami. Wujud Dewi Karema
di dalam Batu Pinawetengan digambarkan sebagai bintang berekor yang sekarang
dikenal dengan Komet Halley. Ilmu perbintangan ini dikuasai oleh Tona’as
Pengumaan/Tona’as Pertanian untuk menentukan musim tanam tanaman,
menangkap ikan di laut, penyakit, dan sebagainya.
Dari Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara
pada Tahun 1977/1978, terdapat pengetahuan yang berhubungan dengan
kebutuhan pengobatan di Minahasa sebagai berikut.
1. Kolano (jarak pagar), daunnya digunakan untuk kompres kepala bagi orang
yang sakit panas dan sakit kepala, sedangkan buahnya dipakai untuk obat
cuci perut, getahnya sebagai obat sariawan dan mata, kulit kayunya dibuat
jamu untuk penguat badan dan sebagainya;
28
2. Lemong suangi (buah jeruk) digunakan untuk obat mata, batuk, penolak jin
jahat yang dinamakan pok-pok atau suangi. Tanaman ini juga digunakan
pada saat tradisi khusus peletakan batu bangunan rumah;
3. Goraka (jahe) digunakan untuk obat batuk, obat sakit perut, dan pengusir
roh-roh jahat;
4. Kucai (sejenis bumbu dapur) dipakai untuk mengobati anak-anak yang
panas;
5. Tawaang (hanjuang) digunakan untuk menentukan batas tanah. Tawaang
paling dipercaya untuk menentukan sampai dimana batas tanah seseorang.
Tanaman ini mengandung makna sumpah, barang siapa yang dengan
sengaja mencabut atau memotong tanaman tersebut akan mendapat
kesulitan di kemudian hari disebabkan orang yang menanam selamanya
diiringi oleh sumpah (sumpah tawaang) yang menurut kepercayaan
disaksikan oleh opo-opo. Itulah sebabnya dalam bahasa Minahasa tawaang
disebut juga poepopo yang artinya mengikutsertakan opo. Tawaang berasal
dari kata tawa, menjadi tumawa, yang artinya ‘memanggil’ sehingga daun
tanaman ini sering dipakai para pemuka agama pada berbagai upacara.
Pengetahuan masyarakat pada jaman dahulu berupa kepercayaan terhadap
binatang-binatang yang dianggap penjelmaan dari tuhan mereka (Opo-
opo/empung). Binatang tersebut adalah Burung Manguni dan ular hitam. Binatang
ini membawa tanda yang memberikan kabar baik atau buruk bagi setiap orang
yang mendengar maupun melihatnya.
Kesenian Seni Tari
Seni tari Minahasa umumnya dilakukan sambil menyanyi walaupun ada
tarian yang hanya berisi tarian saja. Dewi penari Minahasa bernama Rumintuwu’
yang berasal dari kata Tuwu’ yang artinya daun woka muda (Livistonia
rotundifolia). Dewi ini menari sambil memegang dan menggoyang-goyangkan
daun woka. Tarian yang paling utama disebut Maengket dimana tarian diisi juga
dengan nyanyian mengenai dewa-dewi kesuburan yang berhubungan dengan
tanaman padi, naik rumah baru, dan nyanyian cinta kasih. Selain tarian Maengket,
terdapat tarian Mangorai yang terdapat pada upacara Rumages yang merupakan
29
upacara agama asli Minahasa. Tarian ini diiringi nyanyian Zazanian ni Karema
(Nyanyian Dewi Karema) yang menceritakan kisah Lumimu’ut dan To’ar.
Seni Ukir
Seni ukir Minahasa terdapat pada batu kubur waruga, peti kubur dari kayu
balasong, balok melintang di atas tiang rumah, papan petunjuk upacara, periuk
tanah liat bakar, dan ukiran jaman purba di batu Pinawetengan. Penulis MR. C. T.
Bertling berpendapat bahwa ukiran gambar motif ular adalah gaya asli Minahasa
tanpa dipengaruhi motif naga dari India. Hal ini sesuai dengan kepercayaan orang
Minahasa bahwa kematian hanya bagaikan ular yang berganti kulit, perubahan
dari dunia nyata ke dunia roh.
Ukiran pada tiang dan balok rumah Minahasa dari Sonder digambar sketsa
oleh seorang pengelana bangsa barat bernama Antonie Payen tahun 1824
(Gambar 8). Pada tiang dalam gambar tersebut, terukir relief pria dan wanita
pemilik rumah (ukiran pria berpakaian Eropa dengan topi seperti topi Napoleon).
Di sisi atasnya terlihat balok yang berukiran ular dengan kepala agak menonjol
keluar. Rumah ini milik Totolio Herman Wilem Dotulong.
Motif binatang yang banyak menghiasi benda-benda atau barang-barang
dalam rumah tangga karena dianggap keramat adalah ular hitam dan burung
manguni. Ular hitam melambangkan kewaspadaan karena ular hitam tidak pernah
lengah terhadap alam sekitarnya, sedangkan burung manguni dianggap binatang
Gambar 8. Ukiran peti kayu balasong dan sketsa rumah Sonder (1824)
Sumber: Wenas (2007)
30
yang dapat memberi isyarat atau tanda-tanda melalui bunyinya pada malam hari
(Suradi et al., 1989).
Seni Ragam Hias
Motif hias Minahasa mempunyai ciri khas tersendiri dalam menggambar
tanaman, bunga, sapi hutan, ular, ayam, burung, dan manusia (Gambar 9). Ragam
hias Minahasa ini menurut Wenas (2007) banyak dipengaruhi gambar dari
keramik Cina kuno yakni bentuk pilin dan melengkung, seperti tanaman
merambat. Motif hias ini umumnya terdapat pada batu kubur waruga, bangunan,
atau benda lainnya. Namun karena orang Minahasa menganggap hiasan pada batu
waruga merupakan hiasan orang meninggal, orang Minahasa memilih
menghilangkannya sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa Suku
Minahasa tidak mengenal motif hias.
Seni Bangunan
Waruga
Waruga merupakan salah satu warisan nenek moyang Suku Minahasa yang
berupa batu untuk menguburkan orang yang meninggal. Waruga berasal dari
gabungan dua kata, yaitu wale dan maruga. Wale berati rumah dan maruga berarti
badan yang akan menjadi hancur. Bentuk waruga menyerupai bentuk rumah, yang
terdiri dari bagian bangunan (bawah) dan atap (atas). Waruga ini berukuran lebar
0,5-1 meter dan tinggi 1-3 meter. Ukuran ini tergantung dari usia jenazah yang
ada di dalamnya. Jenazah orang yang meninggal dimasukkan ke dalam ruang di
Gambar 9. Seni ragam hias Minahasa
Sumber: Wenas ( 2007)
31
dalam bangunan waruga dalam posisi jongkok dengan tumit kaki menempel pada
pantat, dan kepala mencium lutut, seperti janin di dalam kandungan. Filosofi yang
mendasari posisi peletakkan ini adalah bahwa manusia mengawali kehidupan
dengan posisi jongkok dan seharusnya mengakhiri hidup dengan posisi jongkok
pula. Dalam bahasa setempat, filosofi ini disebut whom. Jenazah diletakkan di
atas benda-benda untuk bekal kubur, yang terdiri dari parang, gelang, manik-
manik, piring, padi, uang benggol, mangkuk, sendok, dan kolintang.
Jenazah yang ada di dalam waruga dihadapkan ke arah utara karena nenek
moyang mereka berasal dari utara (Mongolia). Relief yang ada pada bagian atas
(atap) waruga terdiri atas motif manusia (Gambar 10), motif sulur tumbuhan,
motif geometri, dan motif binatang. Motif-motif ini melambangkan strata sosial
dan profesi dari jenazah yang ada di dalamnya. Contohnya, ukiran manusia
berjubah menandakan bangsawan dan gambar hewan menandakan profesi orang
tersebut sebagai pemburu. Selain itu, terdapat juga ukiran bergambar beberapa
orang yang menandakan di dalam waruga itu adalah jenazah satu keluarga.
Masyarakat percaya bahwa nenek moyang mereka dapat mengetahui kapan
mereka akan meninggal sehingga mereka membuat batu kubur mereka sendiri
(Gambar 11). Caranya dengan tangan kanan memegang batu yang ada di sungai di
atas kepala, sambil berjalan kaki menuju ke tempat yang mereka tentukan sendiri
sebagai lokasi kubur, tangan kiri mereka menangkap ikan di sungai. Setelah
sampai di tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si
pembawanya.
Gambar 10. Relief waruga Sawangan
Sumber: Wenas ( 2007)
32
Menurut Syamsidar (1991) ketika penyakit sampar menyebar sehingga
banyak penduduk yang menjadi korban sekitar abad ke 18, cara penggunaan
waruga sebagai tempat penyimpanan jenazah dilarang pemerintah Belanda dan
setiap orang yang meninggal diperintahkan harus dikubur di dalam tanah.
Posisi Jenazah Pria
Memahat Batu untuk Waruga
Membawa Batu ke Tempat yang Dituju
Meletakkan Batu di Tempat yang Sesuai
Meletakkan Mangkuk sebagai Alas Duduk
Memasukkan Jenazah ke Dalam Waruga
Posisi Jenazah Wanita
Sumber: http://gried.multiply.com/photos/album/104/Taman-Purbakala-WARUGA-Minahasa-Feb-2008?&show_interstitial=1&u=%2Fphotos%2Falbum
Gambar 11. Relief proses pembuatan waruga dan posisi jenazah di dalamnya
33
Rumah Tradisional Minahasa
Menurut Wenas (2007), terdapat dua jenis rumah adat Minahasa, yaitu
rumah yang tiang-tiangnya diletakkan di atas batu disebut wale meiwangin dan
rumah yang tiang-tiangnya diletakkan di atas balok datar dinamakan wale
meito’tol (Gambar 12). Balok dasar yang memanjang disebut entangan dan yang
melintang disebut sahizan. Seluruh bangunan rumah menyatu dengan tiang rumah
dan tahan terhadap gempa bumi. Ruangan dibawah atap rumah disebut loteng
soldor (pa’a dalam bahasa Tombulu). Kayu memanjang pada atap rumah dari
depan sampai ke belakang disebut kewu. Di depan rumah terdapat dua tangga kiri
dan kanan. Proses naik ke rumah disebut menek, sedangkan proses turun tangga
disebut miahu. Lantai rumah disebut wela. Semua konstruksi tidak menggunakan
paku. Atap bagian depan rumah disebut sarem dan di atas atap ini terdapat jendela
loteng yang disebut tetemboan. Disekitar jendela kecil ini biasanya terdapat
gambar dekoratif berupa tanaman merambat.
Menurut Rogi dan Siswanto (2009) Masyarakat Minahasa dahulu menyebut
Tuhan mereka sebagai Opo Walian atau Opo Empung. Dalam perkembangannya,
kepercayaan orang Minahasa ini diterapkan dalam rumah tinggal mereka yang
memiliki kolong dengan skema sebagai berikut.
1. Atap diidentikan dengan dunia Tuhan. Dunia ini dianggap sebagai dunia
yang paling suci;
Gambar 12. Sketsa rumah dan bagian-bagian rumah adat Minahasa
Sumber: Wenas ( 2007)
34
2. Badan rumah diidentikan dengan dunia manusia. Pada bagian ini manusia
melakukan segala aktivitas dan kehidupannya;
3. Kolong/pondasi dianggap sebagai tempat terburuk karena merupakan
tempat roh orang mati (arwah). Dinilai kotor karena dekat dengan tanah.
Syamsidar (1991) dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Utara
menjelaskan sejarah, konstruksi, serta fungsi bagian-bagian pada rumah
tradisional Minahasa.
1 Sejarah
Rumah adat Minahasa pada awalnya berbentuk rumah panggung yang
didiami oleh satu keluarga besar. Rumah ini disebut wale wangko. Tujuan dari
bentuk rumah panggung ini adalah untuk menghindari gangguan binatang buas
dan gangguan musuh yang datang dari luar daerah. Di dalam rumah panggung
terdapat 6 sampai 9 keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah
tangga sendiri yang mengurus ekonomi rumah tangganya. Rumah ini berdiri di
atas tanah dengan ketinggian tiang 2,5 sampai 3 meter. Di bagian dalam rumah
terdapat kamar yang jumlahnya sama dengan jumlah keluarga kecil yang ada di
dalamnya. Pada bagian tengah rumah terdapat ruangan besar yang berukuran
5x8 meter yang berfungsi untuk menyimpan hasil panen padi. Tiap ruangan
dipisahkan dengan gantungan anyaman tikar sehingga membentuk 7-9
ruangan.
Pada bulan Mei 1832 terjadi gempa bumi besar di Minahasa sehingga
mengakibatkan ribuan rumah rubuh dan hancur, termasuk tipe rumah besar ini.
Oleh karena itu, masyarakat Minahasa mulai membuat rumah yang lebih kecil
yang disebut wale. Rumah ini didiami oleh satu keluarga dengan kerangka
rumah yang lebih kuat agar tidak mudah hancur. Bentuk rumah baru ini tidak
berubah, yaitu berupa rumah panggung persegi panjang dengan ukuran luas
lebih kecil dan tiang penyangga setinggi 2 meter.
2 Konstruksi Rumah
Secara keseluruhan, konstruksi bangunan rumah adat Minahasa ini dapat
dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama berupa tiang-tiang penyangga
berjumlah 16-18 buah tiang yang berukuran 12x12 m. Tiang ini umumnya
35
terbuat dari kayu besi. Untuk mencegahnya dari pelapukan, di bawah masing-
masing tiang ini dipasang batu yang disebut watulanei. Batu ini diibaratkan
sebagai penolak kejahatan sehingga apabila seseorang berniat jahat pada
penghuni rumah, akan terhalang oleh batu yang licin ini. Peletakkan tiang raja
(tiang utama struktur atap) tidak diperkenankan untuk berposisi tepat di atas
ambang pintu, baik pintu depan maupun belakang (Rogi dan Siswanto, 2009).
Bagian kedua rumah adalah kerangka bangunan rumah berupa dinding
yang terbuat dari papan atau bambu. Pada umumnya, lantai pada rumah
golongan menengah ke atas terbuat dari papan, sedangkan bambu atau batang
nibung yang dicincang digunakan pada lantai rumah menengah ke bawah.
Pemasangan kayu berupa papan atau bambu dipasang dengan memperhatikan
arah tumbuh serat kayu. Apabila dipasang vertikal, bagian pangkal
papan/bambu berada di bawah dan bagian ujung di atas, sedangkan apabila
dipasang horizontal, bagian ujung sebilah kayu harus bertemu dengan bagian
pangkal bilah yang lainnya sehingga alur tumbuh kayu tetap terjaga dan tidak
terbalik. Jenis kayu yang digunakan untuk tiang, lantai, dan dinding rumah
adalah kayu cempaka, sedangkan jenis bambunya adalah buluh jawa karena
jenis ini adalah yang paling kuat. Bagian ketiga berupa atap rumah. Jenis kayu
untuk atap rumah adalah kayu nantu dan penutup atapnya dibuat dari daun
rumbia atau daun pohon sagu (Metroxylon rumphiana) kemudian agar lebih
tahan lama, banyak penduduk yang menggantinya dengan seng. Atap ini
berfungsi untuk menyimpan hasil panen.
Tradisi khusus yang biasanya menyertai perletakan batu umpak pertama
pada bangunan adalah penyiraman batu tersebut dengan tuak/saguer atau cap
tikus, juga perasan air jeruk (lemong suangi) dan sirih, disertai pembacaan doa
sebagai upaya “tolak bala”. Langkah ini biasanya juga disertai dengan ritual
perkerasan tanah dengan cara menari sambil melompat-lompat di atas tanah
(Rogi dan Siswanto, 2009).
3 Bagian-bagian Rumah Adat
Bagian Depan
Pada bagian depan rumah terdapat satu atau dua buah tangga. Apabila
terdapat satu tangga, letak tangga ini berada di tengah-tengah bagian depan
36
rumah, sedangkan apabila terdapat dua buah tangga, tangga terletak
berhadapan di sisi sebelah kiri dan kanan sehingga terlihat dari depan
berbentuk silang. Tangga yang berjumlah dua memiliki makna, yaitu pada
jaman dahulu, tangga dimaksudkan jika ada roh jahat yang berniat masuk ke
dalam rumah melalui salah satu tangga maka akan keluar pada tangga satunya
lagi. Pada saat ini dua buah tangga yang terdapat pada rumah suku Minahasa
ini bermanfaat pada saat pinangan. Pria yang melamar seorang gadis akan
masuk melalui tangga sebelah kiri. Apabila pinangannya diterima, pria tersebut
akan keluar dari sebelah kanan, sebaliknya, apabila pinangan tersebut ditolak,
pria tersebut akan keluar pada tangga yang ada di sebelah kiri. Tinggi
rendahnya tangga tergantung dari tingginya bangunan. Jumlah anak tangga
bervariasi, antara 7, 9, dan 12 anak tangga. Jumlah anak tangga berfungsi untuk
menentukan banyaknya hadiah (seserahan) yang akan diberikan pria yang
ingin menikahi seorang wanita.
Ruangan di depan rumah yang berukuran selebar rumah adalah ruangan
tamu (Loloang). Bagian ini tidak berdinding tetapi dikelilingi oleh regel
setinggi kurang lebih satu meter dengan terali-terali yang terbuat dari kayu.
Ruangan ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu yang dilengkapi dengan
beberapa kursi sederhana dan dua buah bangku panjang. Bagian ini termasuk
pula salah satu bagian rumah, yaitu sebagai ruangan depan rumah yang disebut
setup (emperan).
Pintu depan rumah berukuran tinggi 2 meter dan lebar 1 meter,
sedangkan jendela yang terpasang di depan rumah berjumlah 4 sampai 6 buah
dengan ukuran 60x90 cm. Jendela terletak di samping kiri dan kanan pintu
rumah, sedangkan empat buah jendela lainnya terdapat pada samping kiri dan
kanan rumah yang ada di masing-masing kamar. Peletakan bukaan pintu
jendela dan ventilasi berada dalam satu poros secara berpasangan (berhadap-
hadapan) dan langsung terhubungkan dengan bagian luar rumah. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kepercayaan bahwa makhluk halus pola berjalannya
adalah lurus ke depan.
37
Bagian Dalam
Bagian dalam rumah terdiri dari kamar-kamar dan ruang tengah (pores).
Sebagai penghubung kamar dengan ruang tengah terdapat sebuah gang selebar
satu meter yang memanjang dari depan ke belakang yang membagi ruangan
atas dua bagian yang sama besar. Pada samping kiri dan kanan gang terdapat
1-2 kamar tidur. Ruangan tengah (pores) berfungsi sebagai tempat menerima
tamu terutama apabila diadakan upacara-upacara keluarga dan tempat makan
para tamu.
Bagian Belakang
Pada bagian belakang rumah terdapat bangunan dapur yang disebut
raramporan (Wenas, 2007) sebagai tempat memasak dan tempat makan
keluarga. Bangunan untuk dapur ini merupakan bangunan tambahan yang
biasanya lebih rendah 25-30 cm dari lantai rumah induk. Terdapat sebuah
ruangan kecil lainnya yang tidak berdinding, tetapi pada bagian samping dan
belakangnya terdapat sederetan regel yang di atasnya dibuatkan para-para atau
dego-dego (balai-balai) yang terbuat dari bambu atau papan. Balai-balai
berfungsi untuk meletakkan alat-alat dapur dan alat-alat untuk makan, mencuci
sayur, ikan, dan alat-alat yang kotor. Bagi rumah yang memungkinkan dibuat
sumur akan terdapat sebuah sumur di belakang dapur dan di sampingnya
terdapat ruangan kecil sebagai kamar mandi, sedangkan untuk buang air besar
dibangun sebuah bangunan kecil agak jauh ke belakang rumah (Gambar 13).
Bagian Atas dan Bawah Rumah
Bagian atas rumah disebut loteng (soldor) berfungsi sebagai tempat
untuk menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya, serta
peralatan rumah tangga, sedangkan bagian bawah rumah berfungsi sebagai
gudang (godong) tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat-alat pertanian,
gerobak, dan tempat memelihara hewan peliharaan. Pada jaman rumah
besar/panjang, kolong ini juga digunakan untuk rapat dan pertemuan.
Bagian Luar
Peletakkan bangunan berada pada bagian tengah halaman (kintal)
sehingga bangunan cenderung dikelilingi oleh RTH (Ruang Terbuka Hijau) di
38
Gambar 13. Layout rumah tradisional Minahasa
Sumber: http://vinnynazalita.blogspot.com/2010/01/perkembangan-arsitektur-rumah_05.html
bagian depan, belakang, kiri, dan kanan (Gambar 14). Di halaman ini
masyarakat Minahasa menanam berbagai jenis tanaman yang berfungsi untuk
memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Dari informasi budaya yang didapat,
jenis tanaman di dalam pekarangan Minahasa dapat dibagi menjadi tanaman
sayur, tanaman bunga, tanaman buah, tanaman produksi, tanaman yang
digunakan dalam upacara adat, dan tanaman rempah. Penyucian bagian luar
rumah adalah dengan menanam sejumlah vegetasi tertentu yang dipercaya
memiliki manfaat metafisis, baik untuk tolak bala maupun untuk
mendatangkan kebaikan bagi penghuni rumah.
Sumber: Arsip Perpustakaan Nasional RI
Gambar 14. Denah rumah dan halamannya 1845-1945
39
Pengaruh Luar terhadap Kebudayaan Minahasa
Menurut Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara,
masuknya kebudayaan asing di Minahasa sekitar abad ke-16. Pada abad tersebut
Bangsa Spanyol menduduki Minahasa. Kekuasaan Spanyol di Minahasa hampir
seratus tahun sehingga banyak unsur-unsur kebudayaan mereka yang hingga kini
masih terdapat pada penduduk Minahasa, antara lain pada Bahasa Manado banyak
terdapat Bahasa Spanyol (nyora, kawayo).
Bersamaan dengan masuknya Bangsa Spanyol di Minahasa, unsur agama
katolik yang mula-mula dibawa oleh Peter Diego de Magelhaes ikut menyebar di
Minahasa. Kemudian tahun 1675, seorang pendeta Belanda bernama Montanus
dari protestan mengadakan penginjilan. Pengaruh kedua agama tersebut terhadap
penduduk Minahasa sangat kuat sehingga tampak pada masa sekarang. Hal ini
disebabkan kedua agama tersebut bukan saja mengadakan penginjilan di
Minahasa, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah dan klinik-klinik, serta rumah
sakit bagi penduduk.
Dengan masuknya kekuasaan Belanda yang juga membawa unsur-unsur
kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara berpakaian,
sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, peralatan, dan pengangkutan tampak
berpengaruh pada pergaulan hidup orang Minahasa sekarang. Pada pertengahan
abad ke-19, agama islam masuk ke Minahasa dan membawa unsur-unsur
kebudayaan islam di Minahasa.
Menurut Palm dalam Wenas (2007) di dalam karangannya Ancient Art of
the Minahasa mengatakan bahwa Minahasa dalam waktu yang relatif singkat
dapat mudah menerima kebudayaan luar, terutama dari orang barat. Penduduk
Minahasa baik yang berada di kota maupun di desa, pada umumnya tidak
memperlihatkan lagi unsur kebudayaan asli sebagaimana terlihat pada suku-suku
bangsa yang lain di berbagai aktivitas mereka. Adam dalam Syamsidar (1991)
menambahkan bahwa perubahan nilai budaya tradisional orang Minahasa sebagai
suatu yang luar biasa karena dalam waktu yang relatif singkat (kurang Lebih 150
tahun) orang Minahasa dapat dengan mudah menerima kebudayaan barat. Selain
itu, berbagai peristiwa yang terjadi di daerah Minahasa dianggap sebagai suatu
sebab berkurangnya nilai tradisional orang Minahasa pada masa kini. Diawali
40
dengan terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1832 yang telah menyebabkan
banyak bangunan yang hancur, termasuk bangunan rumah adat. Selanjutnya, pada
tahun 1958-1961 terjadi peristiwa bersejarah dimana Minahasa dan daerah
sekitarnya mengalami pergolakan yang disebut Permesta. Dalam peristiwa ini
banyak rumah tradisional Minahasa yang rusak dan habis terbakar. Saat ini
banyak bangunan tradisional yang dibongkar akibat perencanaan kota, seperti
pelebaran jalan, pembangunan gedung perkantoran, pertokoan, dan lain
sebagainya. Hal ini juga berdampak pada menurunnya jumlah rumah tradisional
yang ada di Minahasa.
41
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dilaksanakan di base camp Hutan Pendidikan Gunung
Walat, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 15). Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan
Mei 2011 sampai dengan Desember 2012.
Gambar 15. Lokasi penelitian
Peta HPGW
Peta Jawa Barat*
Sumber: * http://maps.google.co.id/maps
Base camp HPGW
Letak Wisma Woloan 1 dan 2 pada Base camp
42
Metode Penelitian
Metode kerja yang digunakan dalam penelitian di rumah tradisional Woloan
pada base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah metode deskriptif
dengan teknik survei, interview, serta penelusuran studi pustaka mengenai
kebudayaan Minahasa. Proses desain yang dilakukan pada penelitian ini terdiri
dari beberapa tahap yaitu kajian budaya, inventarisasi, analisis dan sintesis, serta
pembuatan konsep desain (Gambar 16).
Kajian Budaya
Tahapan ini meliputi kegiatan studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka
dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai Minahasa, terutama yang
berkaitan dengan kebudayaannya (Tabel 1), sedangkan wawancara dilakukan
untuk mendukung dan melengkapi informasi tersebut dengan menemui
narasumber yang merupakan orang asli Minahasa dan mengetahui dengan jelas
mengenai kebudayaannya (Tabel 2). Informasi pustaka dan wawancara yang
berkaitan dengan ruang ditabulasikan dalam bentuk tabel.
Gambar 16. Tahapan penelitian
Tahap I
Inventarisasi pada
Tapak
Analisis dan
Sintesis
Konsep Desain
Taman Tradisional
Minahasa
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Kajian Budaya
Studi Pustaka Interview dengan
Tokoh Budaya
Analisis Spasial Budaya
43
Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan pada tahap studi pustaka
No Jenis Data Bentuk Data Sumber Data 1. Lanskap Minahasa Deskripsi Pustaka, jurnal
2. Arsitektur rumah tradisional Minahasa
Deskripsi, spasial Pustaka, jurnal
3. Sejarah rumah tradisional Minahasa
Deskripsi Pustaka, jurnal
4. Vegetasi dalam lanskap Minahasa
Deskripsi Pustaka, jurnal
5. Kebudayaan Minahasa Deskripsi Pustaka, jurnal
6. Kondisi Minahasa saat ini Deskripsi Pustaka
Tabel 2. Daftar narasumber penelitian
No Nama Profesi Lokasi Interview 1. Detty Kawengian Staf anjungan Sulawesi
Utara TMII
2. Ritha Sumolang Kasie promosi dan informasi Sulawesi Utara
Kantor perwakilan Manado di Jakarta
Inventarisasi
Inventarisasi merupakan tahapan pengambilan data berupa data primer dan
data sekunder, yaitu informasi tapak di lapangan (Tabel 3) serta informasi dari
pustaka yang mendukung penelitian. Pengumpulan data ini dilakukan melalui
survei tapak berupa pengamatan dan pengambilan foto atau sketsa.
Analisis dan Sintesis
Pada tahap analisis, kajian budaya yang menghasilkan ruang yang
digunakan untuk kegiatan budaya di-overlay dengan peta analisis tapak. Hasil
overlay ini berupa block plan yang terdiri dari ruang-ruang fungsional dan estetik
pada taman tradisional masyarakat Minahasa, sedangkan sintesis dilakukan untuk
menyelesaikan permasalahan ruang secara budaya terhadap tapak yang ada atau
ketidaksesuaian penempatan. Beberapa jenis data seperti data iklim, jenis tanah,
sosial, sirkulasi, topografi, vegetasi, serta utilitas akan dianalisis dan dibuat
sintesisnya dalam bentuk deskriptif dan spasial, sedangkan data kebudayaan yang
akan diaplikasikan pada tapak dianalisis dan disintesis secara tabular.
44
Tabel 3. Jenis, sumber, dan kegunaan data inventarisasi
Jenis/ Aspek data
Unit Data
Cara Pengambilan
Sumber Data
Kegunaan Data
Fisik: 1. Lokasi dan batas
a. Lokasi - Wawancara, pengambilan data
Pengelola HPGW
Mengetahui kondisi umum lokasi
b. Luas tapak m 2 Pengambilan data Data HPGW Mengetahui batas tapak
2. Topografi mdpl Survei lapang Teodolit Analisis drainase, struktur, dan fasilitas
Kemiringan lahan
%
3. Iklim
Pengambilan data
Kebun Percobaan Sukamulya, Sukabumi
Menentukan kenyamanan
a. Suhu 0C b. Curah hujan mm/
tahun
4. Jenis tanah - Pengambilan data Data HPGW Mengembangan struktur dan menentukan kemampuan tumbuh tanaman
Kesuburan
5. Aksesibilitas Jalur penca-paian
Survei lapang dan pengambilan data
Data HPGW Menentukan desain sirkulasi, fasilitas, dan utilitas
6. Sirkulasi - Survei lapang dan pengambilan data
Data HPGW Menentukan desain sirkulasi
7. Utilitas Satuan unit
Survei lapang - Menentukan penempatan utilitas dan fasilitas
8. Fasilitas Satuan unit
Survei lapang - Menentukan penempatan dan desain fasilitas
Biofisik: Vegetasi Satuan
unit Survei lapang - Menentukan desain
penanaman
Sosial:
1. Pengguna Jumlah
Wawancara pengelola, pengambilan data
Data HPGW Mengetahui daya dukung tapak Profil HPGW
2. Aktivitas - Survei Lapang dan wawancara
- Mengetahui kebutuhan ruang bagi user
Aspek Legal: Ketentuan dan undang-undang
- Studi literatur - Dasar pengembangan kawasan
45
Konsep Desain
Pada tahap ini ditentukan konsep yang sesuai untuk diterapkan pada tapak
berdasarkan hasil analisis dan sintesis. Penentuan konsep ini juga disesuaikan
dengan pertimbangan budaya. Konsep terdiri dari konsep dasar dan
pengembangan konsep. Pengembangan konsep terdiri dari konsep ruang,
sirkulasi, vegetasi, fasilitas, dan desain. Dari konsep dasar dan pengembangan
konsep tersebut dibuat gambar site plan dan perspektif. Site plan digunakan
sebagai dasar dalam perancangan dan pengembangan tapak selanjutnya,
sedangkan gambar perspektif dibuat sebagai pelengkap ilustrasi desain.
Batasan Studi
Batasan penelitian ini adalah konsep desain taman area Wisma Woloan 1
dan 2 yang ada di base camp HPGW dengan hasil penelitian berupa site plan dan
gambar perspektif.
46
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Base camp HPGW
Aksesibilitas dan Sirkulasi
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan
Sukabumi-Bogor, sedangkan dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari
Sukabumi 12 km (Gambar 17). Akses utama menuju HPGW adalah melalui jalan
aspal yang terletak di kampung Segog. Jalan ini cukup sempit jika dilalui dengan
dua kendaraan yang berjalan berlawanan arah dan memiliki tikungan yang cukup
tajam sehingga bus berukuran besar tidak dapat melalui jalan ini. Pengunjung
yang datang ke HPGW biasanya membawa kendaraan pribadi atau menggunakan
jasa ojek untuk sampai di base camp yang berjarak 2,5 km dari jalan raya
Cibadak, Sukabumi.
Jalur sirkulasi di dalam base camp HPGW terdiri dari dua jalur, yaitu jalur
sirkulasi untuk pejalan kaki dan jalur sirkulasi kendaraan (Gambar 18). Jalur
sirkulasi untuk kendaraan merupakan jalan utama yang memiliki lebar 4 m,
sedangkan jalur sirkulasi pejalan kaki merupakan jalan pendukung yang memiliki
lebar 1,5 m dan digunakan sebagai penghubung antarbangunan pada base camp.
Wisma Woloan yang dapat terlihat dari area entrance base camp dapat diakses
dengan menggunakan kendaraan dan berjalan kaki karena letak wisma ini berada
di sekitar jalan utama base camp.
Gambar 17. Aksessibilitas menuju HPGW melalui Bogor dan Jakarta
47
Gam
bar 1
8. P
eta
alur
sirk
ulas
i pad
a ba
se c
amp
48
Topografi dan Jenis Tanah
Base camp HPGW terletak pada ketinggian 500 mdpl. Topografi bervariasi
dari datar hingga curam. Bangunan pada base camp diletakkan dengan
memanfaatkan kontur yang ada sehingga pada jalur sirkulasi pejalan kaki dibuat
tangga bertrap-trap yang mengikuti kontur. Dengan adanya kontur yang bervariasi
ini, area base camp terhindar dari kesan monoton (Gambar 19). Wisma Woloan 1
terletak pada topografi yang lebih rendah dari area entrance sehingga
bangunannya dapat terlihat dari area ini, sedangkan Wisma Woloan 2 terletak
agak ke dalam dan topografinya lebih tinggi dari Wisma Woloan 1 sehingga untuk
mencapainya dibutuhkan sedikit tenaga untuk mendaki.
Terdapat tiga jenis tanah pada area HPGW, yaitu jenis tanah podsolik,
latosol, dan litosol. Base camp termasuk area yang memiliki jenis tanah latosol,
yaitu latosol merah kekuningan.
Iklim dan Hidrologi
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kebun Percobaan Sukamulya (Data
tahun 1996-2010), curah hujan rata-rata tahunan wilayah HPGW adalah 2780
mm/th. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu 396,4 mm dan
curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu 77,73 mm. Klasifikasi
iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan nilai Q =
14,3%-33%. Suhu udara rata-rata adalah 24° C dengan maksimum rata-rata di
siang hari 29° C dan minimum rata-rata 19° C di malam hari. Kelembaban rata-
rata kawasan adalah 81,8%. Berdasarkan klasifikasi ini, HPGW merupakan
daerah beriklim tropik basah dengan jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis.
HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat
sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang
mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan,
Cikatomas, dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam kawasan DAS
Cimandiri. Sumber air di daerah base camp berasal dari air hujan dan mata air.
Air bersih yang berasal dari mata air disalurkan melalui jaringan air bersih pada
masing-masing bangunan dan disimpan dalam tangki air. Air hujan yang jatuh
dibiarkan meresap ke dalam tanah melalui vegetasi penutup tanah. Sisa air hujan
yang tidak terserap oleh tanah dibiarkan mengalir ke dalam saluran drainase.
49
Gam
bar 1
9. K
ontu
r bas
e ca
mp
saat
ini
50
Vegetasi
Tegakan hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis
loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon
(Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla), dan jenis lainnya
seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling
(Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), meranti (Shorea sp), dan akasia
(Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk
2 jenis rotan dan 13 jenis bambu (Anonim, 2009). Selain itu, terdapat jenis
tumbuhan obat sebanyak 68 jenis dan berbagai macam tanaman buah yang
tersebar di dalam base camp (Gambar 20).
Fasilitas
Bangunan yang terdapat pada area base camp terdiri dari 22 bangunan, yaitu
sembilan wisma yang dijadikan penginapan pengunjung dan satu wisma untuk
karyawan, mushala, aula dengan kapasitas sampai dengan 600 orang, dapur dan
ruang makan, kantor informasi, ruang diesel, ruang diskusi, gudang, pos jaga,
galeri, dua ruang kelas, serta bangunan penyimpan getah damar dan pinus.
Wisma yang dijadikan penginapan bagi pengunjung HPGW terletak
menyebar di dalam base camp. Wisma Jati, Agathis, Puspa, dan Bungur terletak
di area bawah. Wisma Pinus, Woloan 1, dan Woloan 2 terletak di area depan,
dekat dengan pintu masuk, sedangkan Wisma Rasamala dan Banteng terletak di
area menuju hutan. Pada welcome area, bangunan yang pertama dilihat adalah pos
jaga dan gudang peralatan. Kantor informasi terletak di tengah-tengah area base
camp bersebrangan dengan mushola. Bagi pengunjung yang membawa kendaraan
pribadi dapat memarkir kendaraannya di halam parkir yang berada di samping pos
jaga.
Utilitas
Jaringan utilitas yang terdapat pada base camp meliputi jaringan listrik,
telepon, dan air bersih. Jaringan listrik berasal dari Perusahaan Listrik Negara
(PLN) dan genset. Untuk mengalirkan listrik ke tiap bangunan, terdapat tiang
listrik pada sisi kiri dan kanan jalan utama kendaraan di base camp.
51
Gam
bar 2
0.
Peta
bas
e ca
mp
saat
ini
51
52
Pendistribusian listrik di dalam bangunan dilakukan melalui kabel yang
disembunyikan di dalam plafond. Hampir di setiap bangunan pada base camp
memiliki tangki air yang menyimpan air bersih.
Untuk sistem drainase, hampir seluruh jalan utama dan jalan pendukung
tapak memiliki saluran drainase di sampingnya. Lebar drainase ini 20 cm. Air dari
sistem drainase dialirkan ke sungai kecil yang berada di area hutan alami pada
base camp.
Potensi Visual
Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki beberapa potensi visual yang
dapat mendukung wilayah ini menjadi hutan rekreasi dan edukasi, di antaranya,
terdapat panorama bentang alam berhutan lebat dengan udara segar dan iklim
mikro yang sejuk, terdapat Gua Cipeureu yang terletak di bagian barat wilayah
HPGW, serta terdapat hutan tanaman. Panorama hutan alami ini dapat dinikmati
secara langsung pada base camp.
Penduduk Sekitar
Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki
mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian,
dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan
basah dan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program
agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap (Anonim, 2009). Hasil
pertanian dari lahan agroforestry adalah singkong, kapolaga, pisang, cabe, padi
gogo, kopi, sereh, dan sebagainya.
Pengguna (User)
HPGW digunakan sebagai tempat praktik mahasiswa Fakultas Kehutanan
IPB dan fakultas lain di lingkup IPB, mahasiswa perguruan tinggi lain, baik dari
dalam maupun luar negeri, seperti dari Jepang, Korea, Perancis, Jerman, dan
Belanda (Tabel 4). Selain itu, HPGW juga menjadi objek penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa program sarjana, pascasarjana, dosen, dan peneliti.
Penelitian mencakup aspek silvikultur, perencanaan hutan, hidrologi hutan, sosial
kehutanan, ekonomi sumber daya hutan, ekowisata, konservasi sumber daya
hutan, dan lainnya.
53
Tabel 4. Data kunjungan HPGW pada tahun 2010 dan 2011 (sampai dengan 18 Juni 2011)
No Asal Institusi Pengunjung
2010 2011
Jumlah (orang)
Hari Kunjungan
(hari)
Jumlah (orang)
Hari Kunjungan
(hari) 1 Institut Pertanian
Bogor 1.646 112 520 125
2 Perguruan tinggi lain dalam negeri 548 18 230 5
3 Perguruan tinggi luar negeri 118 18 31 26
4 Sekolah Menengah Atas 855 10 88 68
5 Sekolah Menengah Pertama 373 7 97 5
6 Instansi pemerintah 416 39 205 11 7 Organisasi
masyarakat/politik 1.704 16 8 3
8 Perusahaan/swasta 224 7 56 8 9 Perorangan 32 12 20 8
Jumlah 5.916 239 1.255 259
Sumber: Data HPGW
Aktivitas HPGW
Pendidikan
Hutan Pendidikan Gunung Walat digunakan sebagai tempat praktik
mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan fakultas lain, baik di dalam maupun di
luar IPB. Praktik mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB meliputi praktik mata kuliah
dan Praktik Umum Pengelolaan Hutan (PUPH). Praktik lapang mencakup praktik
mata kuliah yang diselenggarakan 1-2 hari yang diikuti oleh ± 90 mahasiswa dan
PUPH yang dilaksanakan pada alih semester 6-7 selama 20 hari yang diikuti oleh
± 200 mahasiswa. Selain itu HPGW juga memfasilitasi penyelenggaraan program
pendidikan dan pelatihan bidang kehutanan, cinta alam, dan lingkungan hidup
bagi masyarakat umum.
Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan oleh mahasiswa program sarjana,
pascasarjana, dosen, dan peneliti. Penelitian mencakup aspek silvikultur,
perencanaan hutan, hidrologi hutan, sosial kehutanan, ekonomi sumber daya
54
hutan, ekowisata, konservasi sumber daya hutan, dan lainnya. Kerja sama
pengembangan demplot agroforestry dilakukan antara Fakultas Kehutanan IPB
dan ACECOF Korea dengan melibatkan masyarakat sekitar HPGW.
Wisata Alam
Wisata alam dilakukan oleh masyarakat sekitar HPGW, khususnya pada
hari libur. Beberapa orang penduduk sekitar memanfaatkan kegiatan ini untuk
berjualan makanan dan minuman. Wisata alam ini bernuansa pendidikan
lingkungan dengan belajar mengekplorasi kekayan sumber daya hutan tropis dan
mengetahui manfaat serta cara pemanfaatannya.
Taman Wisma Woloan 1 dan 2
Tapak yang akan didesain dalam penelitian ini adalah salah satu taman
wisma yang ada di base camp HPGW, yaitu Wisma Woloan. Wisma ini berupa
rumah tradisional suku Minahasa, Sulawesi Utara. Seperti rumah tradisional pada
umumnya, arsitektur bangunan wisma ini berbentuk rumah panggung yang terbuat
dari kayu yang bersifat tahan lama, anti rayap, dan tahan gempa. Terdapat dua
Wisma Woloan pada area base camp, Wisma Woloan 1 dan 2.
Wisma Woloan 1 dapat terlihat ketika pengunjung memasuki area entrance
base camp. Sebelah utara Wisma Woloan 1 adalah hutan alami, sebelah selatan
dan timur adalah jalan aspal, dan sebelah barat adalah Pintu II base camp
(Gambar 21). Wisma Woloan 1 berdiri di atas kolam air sehingga untuk
mengaksesnya terdapat jembatan kayu di depan wisma. Luas keseluruhan area
wisma ini ± 971 m2. Vegetasi yang terdapat di sekitar Wisma Woloan 1 adalah
cempaka (Michelia champaca), puspa (Schima wallichii), dan teratai (Nymphaea
lotus).
Wisma Woloan 2 berbatasan dengan pondok kerja karyawan. Sebelah utara
berbatasan dengan hutan alami, sebelah selatan berbatasan dengan jalan aspal,
55
Gam
bar 2
1. P
eta
Inve
ntar
isas
i Tap
ak
56
sebelah timur berbatasan dengan pintu II base camp, dan sebelah barat berbatasan
dengan pondok kerja karyawan. Berbeda dengan Wisma Woloan 1, Woloan 2
berdiri di atas lahan datar. Untuk sampai ke lantai rumah, pengunjung harus
menaiki tangga yang ada di samping kiri rumah. Luas keseluruhan area wisma ini
±765 m2. Vegetasi yang terdapat di sekitar Wisma Woloan 2 adalah matoa
(Pometia pinnata), hanjuang (Cordyline sp), sambang dara (Iresine herbstii), dan
pisang (Musa sp).
Ukuran bangunan Wisma Woloan adalah 112 m2. Bentuk rumah berupa
rumah panggung yang berdiri di atas tiang-tiang beton yang berjumlah 15 tiang
dengan ketinggian ±1,5 m. Fasilitas yang terdapat di dalamnya adalah 2 kamar
yang masing-masingnya untuk 2 orang, sebuah kamar mandi, dapur, dan ruang
tamu. Jendela sebagai ventilasi udara terletak di setiap ruangan rumah. Di bagian
depan wisma terdapat teras untuk duduk-duduk dan menikmati pemandangan
(Gambar 22).
Gambar 22. Kondisi Wisma Woloan saat ini
57
Analisis dan Sintesis Tapak
Aspek Fisik
Wisma Woloan 1 dan 2 yang menjadi objek dalam penelitian ini terletak di
base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) sehingga aspek fisik yang
akan dianalisis berhubungan dengan data fisik base camp (Gambar 23). Jenis
tanah yang terdapat pada area base camp HPGW adalah latosol merah
kekuningan. Menurut Sistem Pusat Penelitian Tanah (1982) dalam Hardjowigeno
(2003), jenis tanah latosol memiliki karakteristik, di antaranya kadar liat lebih dari
60%, remah sampai gumpal, bersifat gembur, memiliki warna tanah seragam
dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam (lebih dari 1,5 m), dan
kejenuhan basa kurang dari 50%. Dilihat dari sifat tanahnya, daerah base camp
termasuk daerah yang subur sehingga memudahkan dalam memilih jenis
tanamannya.
Untuk mengetahui nilai kenyamanan pada area base camp, maka dilakukan
perhitungan THI (Temperature Humidity Index), yang rumusnya THI = 0,8 T +
(rH x T/500). Dengan suhu udara rata-rata 24° C dan kelembaban rata-rata 81,8%,
didapat nilai THI sebesar 23,13. Menurut Laurie (1984), iklim yang nyaman di
daerah tropis memiliki nilai THI < 27. Dengan nilai THI 23,13, base camp HPGW
termasuk nyaman.
Curah hujan rata-rata bulanan pada area HPGW adalah 231,70 mm dengan
9 bulan basah (CH>100 mm/bln) dan 3 bulan lembab (60≤ CH ≥100). Banyaknya
bulan basah dan bulan lembab pada tapak memberikan pengaruh pada tapak.
Curah hujan yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bagi tanaman dan
air tanah, tetapi dapat juga menyebabkan ketidaknyamanan pada tapak, seperti
tapak menjadi lembab.
Wisma Woloan 1 yang teletak di daerah cekungan mudah terlihat dari area
masuk base camp. Hal ini dapat mengurangi privasi bagi tamu yang menginap di
dalam wisma. Oleh karena itu, dibutuhkan vegetasi screen untuk membatasi
pandangan. Demikian pula pada Wisma Woloan 2, diperlukan vegetasi screen
untuk membatasi pandangan dari dan ke arah pondok karyawan. Terdapat ruang
genset di belakang Wisma Woloan 1 yang menimbulkan noise sehingga perlu
penanaman vegetasi peredam suara di area belakang wisma agar noise ini tidak
58
Gam
bar 2
3. P
eta
anal
isis
dan
sint
esis
tap
ak
59
mengganggu kenyamanan penghuni. Lahan kosong yang ada di sekitar Wisma
Woloan 2 berpotensi digunakan sebagai lahan untuk ditanami tanaman yang
berkaitan dengan budaya Minahasa.
Aspek Budaya
Suku Minahasa sebagai salah satu suku di Indonesia memiliki kebudayaan
yang unik dan berbeda dengan suku lainnya. Keunikan ini berupa delapan jenis
bahasa yang tersebar di wilayah Minahasa serta batu kubur waruga yang
merupakan peninggalan sejarah. Dari informasi budaya yang didapatkan,
diketahui bahwa pembagian ruang di dalam maupun di luar rumah dipengaruhi
oleh adat istiadat, kegiatan keseharian masyarakat, serta kepercayaan dan ilmu
pengetahuan.
1. Upacara Adat
Terdapat berbagai jenis upacara yang mengisi setiap tahapan di dalam
lingkaran hidup masyarakat Minahasa, mulai dari masyarakat tersebut lahir
sampai meninggal. Upacara pada umumnya diselenggarakan di salah satu
bagian rumah, yaitu teras dan halaman depan rumah. Dari informasi budaya
yang didapatkan diketahui bahwa jenis upacara yang dilaksanakan masyarakat
Minahasa sebelum dan setelah abad ke-19 umumnya berubah walaupun
terdapat satu jenis upacara yang masih dilakukan, seperti Upacara Iroyor Si Oki
(Tabel 5).
Tabel 5. Perbandingan jenis upacara sebelum dan setelah abad ke-19
No. Jenis Upacara
Kegiatan Informasi Terkait Ruang Sebelum Abad
ke-19 Setelah Abad
ke-19
1 Upacara Kelahiran
Upacara Iroyor Si Oki
Upacara Iroyor Si Oki
Di halaman depan dan teras rumah
Upacara Makehet - Di kebun terdapat pohon aren dan di rumah
Upacara untuk anak perempuan
- Terdapat jalan setapak menuju kebun
2 Upacara Pernikahan
Mengantarkan mahar (9 buah pinang dan 9 daun sirih)
- Terdapat pohon pinang dan sirih dalam lanskap Minahasa
60
Tabel 5. Lanjutan perbandingan jenis upacara sebelum dan setelah abad ke-19
No. Jenis Upacara
Kegiatan Informasi Terkait Ruang Sebelum Abad
ke-19 Sebelum Abad
ke-19 - Mempelai pria
dan wanita memegang daun tawaang (hanjuang)
Terdapat pohon hanjuang dalam lanskap Minahasa
3 Upacara
Kematian
Berkeliling rumah 3 x
- Terdapat sirkulasi di sekitar rumah
Pemakaman dengan waruga
- Ditempatkan di sebelah kanan halaman belakang rumah
Upacara ngolongan
- Di halaman rumah
Membuat sabua (bangunan tambahan)
Terdapat ruang di sekitar rumah untuk bangunan tambahan ini
4 Upacara Lainnya
- Upacara Pungutan
Di rumah
- Upacara Kaipian Di rumah - Upacara Naik
Rumah Baru Di rumah
5. Kegiatan Lainnya
Permainan teka-teki
- Di teras dan halaman depan rumah
2. Kegiatan Keseharian Masyarakat
Halaman rumah masyarakat Minahasa sangat berperan dalam
mendukung berbagai kegiatan keseharian masyarakatnya. Halaman depan
berfungsi sebagai area entrance. Dalam ruang ini terdapat vegetasi estetik
berupa vegetasi bunga yang dapat memberikan fungsi keindahan dan sebagai
daya tarik bagi tamu yang akan berkunjung ke rumah. Halaman belakang yang
letaknya tersembunyi dan tidak terlihat dari depan digunakan sebagai tempat
bangunan tambahan berupa dapur, kamar mandi, WC, dan sumur. Halaman
samping rumah berfungsi sebagai area untuk ditanami berbagai jenis tanaman
konsumsi, seperti buah dan sayur. Pada umumnya, tanaman sayur ini ditanam
61
dalam bedeng-bedeng tanaman. Rumput kusu-kusu yang sering terlihat dalam
lanskap Minahasa merupakan alang-alang (Graminae arundinaceae) yang
berfungsi sebagai tanaman obat (Tabel 6).
Tabel 6. Informasi budaya dan ruang yang diperlukannya
No Informasi budaya Ruang yang diperlukan Sumber Informasi
1. Rapat dan pertemuan Di bawah pohon besar, di tempat terbuka, dan di kolong rumah pangung
1
2. Pagar tanaman yang lebar dengan lonceng-lonceng biru di tengahnya, petak-petak kebun bunga di belakang pagar tanaman, dan di tepi jalan ada pagar hidup yang terdiri dari mawar, bunga lonceng, bunga burong, dan beluntas/ ballacai.
Di halaman depan rumah 2
3. Setiap rumah dipisahkan oleh halaman dan dikelilingi bermacam-macam pohon buah
Di sekitar halaman rumah 2
4. Tanah dibagi menjadi halaman-halaman dan di tengahnya berdiri sebuah rumah
Bagian luar rumah 2
5. Tanaman di halaman terdiri dari pohon buah-buahan seperti pisang, berbagai macam jeruk, pinang, serta kopi dan kapas
Di sekitar halaman rumah 2
6. Di halaman terdapat kebun kecil yang ditanam buncis, seledri, bawang, kayu manis, dan berbagai macam pohon
Halaman belakang rumah 2
7. Bedeng-bedeng bunga diselingi bermacam-macam rumput khusus
Halaman depan rumah 2
8. Terdapat rumah panggung kecil setinggi rumah utama yang berfungsi sebagai dapur (bangunan ini kadang kala tidak di atas panggung)
Di belakang rumah 2
9. Waruga pada asalnya ditempatkan di belakang rumah
Di sebelah kanan halaman belakang rumah
2
62
Tabel 6. Lanjutan informasi budaya dan ruang yang diperlukannya
No Informasi budaya Ruang yang diperlukan Sumber Informasi
10. Halaman ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan terutama jeruk, jambu, manggis, berbagai jenis mangga, dan langsat.
Di sekitar halaman rumah 2
11. Rumput kusu-kusu tumbuh di sekitar daerah Minahasa
Di sekitar halaman rumah 2
12. Terdapat sebuah sumur di belakang dapur dan di sampingnya terdapat kamar mandi, sedangkan WC dibangun pada sebuah bangunan kecil agak jauh ke belakang rumah
Di belakang rumah 3
13. Jarak rumah yang satu dengan lainnya rata-rata 15 meter karena itu penduduk masih dapat menanam buah-buahan, rempah-rempah, dan sayur-sayuran, bunga-bungaan di dalam halamannya
Bagian luar rumah 4
*Sumber: 1. Wenas (2007) 2. Graafland (1869) 3. Syamsidar (1991) 4. Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara (1977/1978)
5. Kepercayaan dan Ilmu Pengetahuan
Kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistis berupa roh jahat
mempengaruhi peletakan elemen rumah tinggalnya, seperti penempatan jendela
dan pintu yang harus terletak dalam satu poros, serta penempatan dua buah
tangga di depan rumah. Untuk mencegah roh jahat masuk ke dalam rumah,
ditanam berbagai jenis tanaman yang dianggap memiliki nilai metafisis
tertentu. Salah satu jenis tanaman ini berupa tanaman tawa’ang (Hanjuang)
yang dapat menandakan batas tanah seseorang. Selain dari kepercayaan,
pengetahuan masyarakat mengenai jenis tanaman yang berkhasiat untuk
pengobatan juga mempengaruhi peletakan tanaman di sekitar halaman rumah,
seperti tanaman kolano (Jarak pagar) dan goraka (Jahe). Untuk memenuhi
63
kebutuhan sehari-hari, masyarakat menanam tanaman sayur dan buah di
halaman rumahnya (Tabel 7).
Tabel 7. Jenis vegetasi yang ada di halaman rumah tradisional Minahasa No Nama Ilmiah Nama Lokal Tinggi
Tanaman Jenis
Vegetasi Fungsi dalam
Lanskap Pemukiman Minahasa
1. Allium cepa Bawang merah <0,4 m GC Bedeng sayur
2. Allium tuberosum Kucai 0,3-0,5 m GC Bedeng sayur,tanaman obat
3. Apium graveolens Seledri 0,25-1 m GC Bedeng sayur 4. Areca catechu Pinang 10-30 m PT Tanaman dalam
upacara adat, tanaman buah
5. Arenga pinnata Aren 25 m PT Tanaman produksi 6. Bromelia
annanas Nanas <0,5 m GC Tanaman buah
7. Canna sp. Bunga tasbih, kana
0,5-1 m SR Tanaman untuk bedeng bunga
8. Carica papaya Pepaya <10 m PS Tanaman buah 9. Cinnamomum
burmani Kayu manis 5-15 m PS Tanaman rempah,
tanaman produksi 10. Citrus
aurantifolia Jeruk Limau <2 m PR Tanaman obat
11. Citrus sp. Jeruk 3,5-4 m PR Tanaman buah 12. Citoria ternatea Kembang
telang 0,4-0,5 m GC Tanaman untuk
bedeng bunga 13. Coffea arabica Kopi 4-6 m PR Tanaman produksi 14. Cordyline
fruticosa Tawa’ang (hanjuang) daun hijau
2-4 m PT Tanaman pagar
15. Cordyline terminalis
Tawa’ang (hanjuang) daun merah
2-4 m PT Tanaman upacara
16. Curcuma xanthorrhiza
Temulawak 1-2 m SS Tanaman obat
17. Erythrina lithosperma
Dadap 15-22 m PT Tanaman pelindung tanaman kopi
18. Garcinia mangostana
Manggis 15-20 m PT Tanaman buah
19. Gossypium hirsutum
Kapas 2-3 m ST Tanaman produksi
20. Graminae arundinaceae
Alang-alang 0,3-1,8 m SR Tanaman obat
21. Heliconia sp. Pisang hias < 2 m PR Tanaman hias
64
Tabel 7. Lanjutan jenis vegetasi yang ada di halaman rumah tradisional
Minahasa No Nama Ilmiah Nama Lokal Tinggi
Tanaman Jenis
Vegetasi Fungsi dalam
Lanskap Pemukiman Minahasa
22. Jatropha curcas Ballacai, jarak pagar
1,5-5 m PR Tanaman pagar, tanaman obat
23. Lactuca sativa Selada <0,5 m GC Tanaman sayur 24. Lansium
domesticum Langsat < 30 m PT Tanaman buah
25. Livistonia rotundifolia
Woka, Palem Sadeng
>15 m PT Tanaman upacara
26. Mangifera indica Mangga <10 m PS Tanaman buah 27. Metroxylon sagu Sagu 10-15 m PS Tanaman
produksi 28. Musa sp. Pisang 2-3 m PR Tanaman buah 29. Myristica
fragrans Pala 20 m PT Tanaman rempah-
rempah 30. Nicotiana
tabacum Tembakau 2,5-4 m ST Tanaman
produksi, tanaman upacara adat
31. Nymphaea lotus Teratai - TA Tanaman hias 32. Phaseolus
vulgaris Buncis < 2m SS Tanaman sayur
33. Piper betle Sirih - M Tanaman obat, tanaman upacara
34. Pisum sativum Kacang kapri 3,5 m ST Tanaman sayur 35. Psidium guajava Jambu 15 m PT Tanaman buah 36. Rosa sp Bunga Mawar 2-3 m ST Tanaman untuk
bedeng bunga 37. Syzygium
aromaticum Cengkih 10-20 m PT Tanaman rempah-
rempah, tanaman produksi
38. Theobroma cacao Coklat 3-4 m PR Tanaman produksi
39. Uncaria gambir Gambir 1-3 m ST Tanaman obat, tanaman dalam upacara adat
40. Zingiber officinale
Jahe < 1m GC Tanaman obat
Keterangan: BS: Bedeng Sayur TU: Tanaman Upacara BB: Bedeng Bunga TR: Tanaman Rempah-rempah Tpe:Tanman Pelindung TO: Tanaman Obat TP: Tanaman Produksi TPg:Tanaman Pagar TB: Tanaman Buah
Berdasarkan ketinggiannya, tanaman dapat dibagi menjadi tanaman
penutup tanah, semak, perdu, dan pohon. Tanaman yang memiliki ketinggian
65
kurang dari 0,5 m dikategorikan sebagai tanaman penutup tanah (ground
cover), sedangkan tanaman dengan ketinggian 0,5-1 m dikategorikan sebagai
semak rendah. Semak sedang mempunyai ketinggian 1-2 m, semak tinggi 2-3
m, perdu rendah ≤ 2 m, dan perdu tinggi ≥ 2 m. Pohon yang memiliki ukuran
ketinggian paling besar dibagi menjadi pohon rendah dengan tinggi ≤ 6 m,
pohon sedang 6-15 m, dan pohon tinggi ≥ 15 m (Lestari dan Kencana, 2008).
Dari Tabel 7 diketahui bahwa tanaman yang ditanam oleh masyarakat
Minahasa di dalam taman rumahnya mempunyai nilai estetik dan fungsional.
Tanaman estetik ini berupa tanaman bunga yang ditempatkan di taman depan
rumah, sedangkan tanaman yang bernilai fungsional berupa tanaman konsumsi,
seperti tanaman buah dan sayur, serta tanaman sebagai salah satu mata
pencaharian masyarakat, seperti tanaman produksi dan tanaman rempah-
rempah.
Konsep
Konsep dalam penelitian ini dibagi menjadi konsep umum dan aplikasi
konsep. Konsep umum merupakan konsep yang didapatkan dari informasi budaya
Minahasa, sedangkan aplikasi konsep merupakan konsep yang akan diterapkan
dalam mendesain Wisma Woloan. Dalam pengembangannya, aplikasi konsep ini
dibagi menjadi konsep ruang, vegetasi, sirkulasi, dan fasilitas.
Konsep Umum
Dari informasi budaya yang berhubungan dengan pembagian ruang, jenis
vegetasi yang terdapat dalam taman tradisional Minahasa, dan penempatan
elemen-elemen pada taman tersebut, dalam mendesain taman rumah tinggal
masyarakat Minahasa sebaiknya mengacu pada konsep berikut:
1. Penanaman vegetasi sayur, bunga, dan tanaman obat ditanam dalam
bentuk bedeng-bedeng tanaman.
2. Peletakkan dapur, kamar mandi, dan WC tidak menyatu dengan rumah
melainkan berada di halaman belakang rumah (Gambar 24).
3. Waruga yang berfungsi sebagai batu kubur masyarakat Minahasa terletak
di halaman samping kanan belakang rumah.
66
4. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya berupa kebun yang
ditanami tanaman produksi.
5. Sirkulasi penghubung antara halaman rumah dan kebun berupa jalan
setapak.
6. Vegetasi bunga terletak di halaman depan rumah sehingga terlihat dari sisi
jalan.
7. Pagar bambu digunakan untuk membatasi rumah dan halaman depannya
dengan area luar.
8. Tanaman hanjuang hijau (Cordyline fruticosa) digunakan sebagai
pembatas tanah.
Konsep Dasar
Konsep dasar yang akan diterapkan dalam mendesain Wisma Woloan adalah
taman yang memunculkan karakter taman tradisional Minahasa melalui penerapan
informasi budaya yang berhubungan dengan pembagian ruangnya. Dengan
pembagian ruang ini diharapkan taman yang didesain pada Wisma Woloan 1
Gambar 24. Block plan Taman Tradisional Minahasa
67
dan 2 dapat memberikan gambaran bagi pengunjung mengenai taman rumah
tradisional Minahasa.
Konsep Ruang
Berdasarkan fungsinya, pembagian ruang di dalam rumah dapat dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu living quarter dan work/storage area (Booth, 1983). Living
quarter yang merupakan area tempat tinggal dapat dibagi lagi menjadi ruang
publik dan privat. Ruang publik di dalam rumah berupa ruang makan, ruang tamu,
dan ruang keluarga. Dilihat dari peruntukannya, ruang publik ini bersifat umum
yang dapat diakses baik oleh penghuni rumah maupun tamu yang datang,
sedangkan ruang privat berupa kamar tidur dan kamar mandi lebih bersifat pribadi
sehingga tidak dapat dengan mudah diakses oleh orang luar. Work/storage area
sebagai ruang pendukung terdiri dari dapur dan gudang. Ruang ini sifatnya
tambahan yang mengakomodasi kegiatan pelayanan (servis).
Dengan menggunakan pendekatan pembagian ruang tersebut, ruang di
dalam lanskap halaman Minahasa dibagi menjadi ruang publik, semi publik,
privat, dan servis (Tabel 8).
1. Ruang Publik
Ruang publik yang bersifat umum terletak di bagian depan wisma agar
mudah terlihat dan dapat dengan mudah diakses. Menurut Ingels (2004), ruang
publik pada lanskap taman rumah memiliki tiga fungsi, yaitu 1) meletakkan
rumah pada latar yang menarik dengan meningkatkan nilai arsitektur rumah, 2)
sebagai penanda pintu masuk dengan desain yang mengarahkan tamu menuju
pintu masuk tersebut, serta 3) sebagai akses tamu menuju rumah.
Ruang publik dalam desain ini berupa halaman depan rumah yang dapat
diakses oleh semua orang yang mengunjungi base camp. Ruang publik ini
berfungsi sebagai area entrance wisma (Gambar 25). Selain itu, terdapat pagar
bambu pada area ini sebagai batas antara area wisma dengan area luarnya.
2. Ruang Privat
Dibandingkan dengan ruang lainnya, ruang ini paling bersifat tertutup
sehingga sulit diakses. Pada desain ini, seluruh ruangan yang ada di dalam
68
rumah termasuk ruang privat yang hanya dapat diakses oleh penghuni yang
menginap di wisma tersebut.
3. Ruang Servis
Ruang servis mengakomodasi kegiatan pelayanan, seperti memasak,
mengambil air, dan mandi. Ruang ini terletak di belakang rumah dengan
fasilitas yang ada di dalamnya berupa dapur, kamar mandi, WC, dan sumur.
4. Ruang Semi Publik
Ruang semi publik pada tapak berfungsi untuk mengakomodasi kegiatan
yang sifatnya setengah umum. Ruang ini tidak dengan mudah diakses oleh
semua orang sehingga orang luar dapat mengakses ruang ini apabila
mendapatkan ijin dari penghuni rumah. Jika dibandingkan dengan ruang
publik, ruang ini bersifat setengah terbuka sehingga masih ada privasi bagi
penggunanya. Replika waruga yang digunakan sebagai batu kubur masyarakat
Minahasa dihadirkan dalam ruang ini sebagai gambaran budaya nenek moyang
masyarakat Minahasa yang meletakkan waruga di samping kanan halaman
belakang rumah.
Tabel 8. Pembagian ruang, aktivitas, dan fasilitas pada Wisma Woloan
No. Ruang Aktivitas Fasilitas 1. Ruang Publik Melihat wisma Vegetasi estetik 2. Ruang Semi Publik a. Memanen tanaman
sayur, buah, dan obat
b. Menyambut tamu dan berdiskusi
c. Melihat waruga
a. Bedeng tanaman sayur dan obat, pohon buah
b. Teras rumah
c. Waruga
3. Ruang Privat a. Istirahat b. Menikmati
pemandangan c. Duduk-duduk d. Bercengkrama
Wisma
4. Ruang Servis a. Memasak b. Mandi c. Mengambil air
a. Dapur b. Kamar mandi,WC c. Sumur
69
Gambar 25. Konsep ruang pada Wisma Woloan
Konsep Vegetasi
Berdasarkan informasi mengenai jenis vegetasi di halaman rumah
masyarakat Minahasa yang bersifat fungsional dan estetik, konsep vegetasi yang
akan diterapkan pada Wisma Woloan 1 dan 2 adalah mengikuti kedua fungsi
tersebut, yaitu vegetasi yang memberikan daya tarik bagi pengunjung dengan
penanaman vegetasi estetik di depan wisma serta vegetasi yang memberikan
manfaat baik bagi pengunjung maupun pengelola HPGW dengan penanaman
vegetasi buah, sayur, obat, rempah-rempah, dan vegetasi perkebunan. Untuk
mengenalkan pengunjung base camp HPGW terhadap taman rumah tradisional
masyarakat Minahasa, jenis vegetasi yang diterapkan adalah vegetasi yang ada di
sekitar halaman rumah masyarakat Minahasa yang telah diuraikan sebelumnya
sehingga pada konsep vegetasi ini ditambahkan vegetasi upacara adat (Tabel 9).
Selain jenis vegetasi tersebut, terdapat vegetasi pembatas tanah, yaitu
hanjuang merah (Cordyline terminalis) dan vegetasi produksi. Vegetasi produksi
ditanam di area kebun. Kebun ini umumnya terletak di lahan kosong yang
memisahkan antara rumah yang satu dengan rumah lainnya. Dalam area ini
vegetasi yang ditanam berupa kopi (Coffea arabica), kapas (Gossypium
hirsutum), sagu (Metroxylon sagu), aren (Arenga pinnata), dadap (Erythrina
lithosperma), kakao (Theobroma cacao), serta vegetasi rempah-rempah seperti
70
kayu manis (Cinnamomum burmani), pala (Myristica fragrans), dan cengkih
(Syzygium aromaticum).
Tabel 9. Pembagian fungsi vegetasi berdasarkan ruang yang ada No Ruang Fungsi Vegetasi Jenis vegetasi yang diaplikasikan
1. Publik Vegetasi estetik Bunga mawar (Rosa sp), lonceng (Clitoria ternatea), bunga tasbih (Canna sp), pisang-pisangan (Heliconia sp), dan teratai (Nymphaea lotus).
2. Semi Publik
a. Vegetasi sayur
Bawang merah (Allium cepa), seledri (Apium graveolens), selada (Lactuca sativa), buncis (Phaseolus vulgaris), dan kacang kapri (Pisum sativum).
b. Vegetasi obat
Kucai (Allium tuberosum), ballacai (Jatropha curcas), gambir (Uncaria gambir), alang-alang (Graminae arundinaceae), dan jahe (Zingiber officinale).
c. Vegetasi buah
Pepaya (Carica papaya), jeruk (Citrus sp), manggis (Garcinia mangostana), langsat (Lansium Domesticum), mangga (Mangifera indica), pisang (Musa sp), nanas (Bromelia annanas), dan jambu (Psidium guajava).
d. Vegetasi upacara adat
Pinang (Areca catechu), jeruk limau (Citrus aurantifolia), tawa’ang daun merah (Cordyline terminalis), woka (Livistonia rotundifolia), tembakau (Nicotiana tabacum), dan sirih (Piper betle).
3. Privat - 4. Servis -
Konsep Sirkulasi
Berdasarkan karakter pergerakannya, pola sirkulasi di dalam rumah
tradisional Minahasa bersifat direct movement (Motloch, 1991). Sirkulasi ini
berupa gang yang menghubungkan pintu depan dengan pintu belakang rumah.
Berdasarkan informasi budaya ini, konsep sirkulasi pada taman mengikuti pola
sirkulasi tersebut dengan pergerakan pengunjung diarahkan pada objek tertentu.
Pada pengembangannya, sirkulasi ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu sirkulasi
utama dan sirkulasi pendukung. Sirkulasi utama terletak di depan Wisma Woloan
dan menghubungkan wisma dengan area luarnya, sedangkan sirkulasi pendukung
71
Gambar 26. Konsep sirkulasi Wisma Woloan
terletak di sekitar area wisma yang menghubungkan fasilitas-fasilitas yang ada di
dalamnya (Gambar 26).
Konsep Fasilitas
Konsep fasilitas yang akan diterapkan dalam mendesain taman Wisma
Woloan selain diperuntukkan sebagai fasilitas penunjang wisma juga sebagai
sarana pendidikan budaya bagi pengunjung. Oleh karena itu, desain fasilitas ini
semaksimal mungkin mempertahankan bentuk aslinya yang ada pada rumah
tradisional Minahasa. Fasilitas yang terdapat di sekitar rumah adalah dapur, kamar
mandi, WC, sumur, dan waruga yang ada di samping kanan halaman belakang
rumah.
Desain Wisma Woloan di Basecamp HPGW
Untuk mendukung fungsi pendidikan budaya pada base camp, selain
kondisi fisik tapak yang dipertimbangkan dalam desain juga informasi budaya
yang membentuk karakter dari arsitektur tradisional rumah Minahasa ini. Pada
bagian depan kedua Wisma Woloan terdapat pagar bambu yang di belakangnya
ditanami berbagai jenis bunga yang berfungsi sebagai penyemarak welcome area
dan menjadi unsur estetik dalam taman. Vegetasi sayuran dan tanaman obat yang
ada di samping rumah ditanam dalam bedeng-bedeng agar terlihat rapi dan
Sirkulasi Pendukung
Keterangan
Sirkulasi Utama
72
memunculkan cerita perjalanan Graafland pada tahun 1869, yang pada saat itu di
sekitar rumah masyarakat terdapat bedeng-bedeng tanaman (Gambar 27). Selain
fungsi tersebut, penempatan tanaman dalam bedeng juga dapat mengontrol
pertumbuhan tanaman, seperti tanaman Alang-alang (Graminae arundinaceae)
yang sebaiknya dibatasi pertumbuhannya.
Pada bagian belakang rumah terdapat dapur, kamar mandi, WC, dan
sumur. Bangunan dapur berupa bangunan semi permanen yang terbuat dari
bambu, sedangkan untuk kamar mandi dan WC berupa bangunan permanen yang
ditembok. Ketiga bangunan tersebut beratapkan rumbia. Selain itu, terdapat
replika waruga di samping kanan belakang rumah sebagai penambah unsur
budaya di dalam tapak.
Wisma Woloan 1 terletak di atas kolam air (Gambar 28). Hal ini tidak
sesuai dengan konsep rumah tradisional Minahasa yang terletak di atas tanah
sehingga pengaplikasian konsep desain pada Wisma Woloan 1 berbeda dengan
Wisma Woloan 2 (Gambar 29). Tata letak elemen tanaman pada Wisma Woloan
1 terinspirasi dari salah satu lagu tradisional Minahasa (Zazanian ni Karema)
yang sering dinyanyikan dalam upacara adat. Lagu tersebut menceritakan
mengenai asal usul masyarakat Minahasa (Lampiran 1). Dalam lagu disebutkan
bahwa Dewi Karema melihat beberapa tanaman yang ada di Minahasa
berdasarkan letaknya, yaitu
a. Tenggara: pohon aren (Arenga pinnata),
b. Timur Laut: pohon assa/ alang-alang (Graminae arundinaceae), pohon tu’is
(Bromelia ananas), dan la’ikit (Heliconiopsis amboinensis),
c. Barat Laut: temulawak (Curcuma xanthorrhiza), sirih (Piper betle) dan
tewasen/ pohon sagu (Metroxylon sagu), serta
d. Barat Daya: pohon woka (Livistonia rotundifolia) dan tambelang (Bambusa
celebensis).
Dilihat dari jenis vegetasi yang ada pada lagu tersebut, penempatan vegetasi
berdasarkan lagu ini dapat diterapkan karena sudah sesuai dengan konsep vegetasi
yaitu vegetasi yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat Minahasa, seperti
pohon tu’is yang merupakan tanaman buah, pohon aren dan sagu yang merupakan
tanaman produksi, alang-alang dan temulawak yang merupakan vegetasi obat,
73
Gam
bar 2
7. S
ite p
lan
74
Gam
bar 2
8. B
low
up
Wis
ma
Wol
oan
1
75
Gam
bar 2
9. B
low
up
Wis
ma
Wol
oan
2
76
serta pohon la’ikit, sirih, dan woka yang merupakan vegetasi upacara. Untuk
menjaga privasi dari pengunjung yang menginap di wisma ini, ditempatkan pohon
pisang (Musa sp) pada Wisma Woloan 2 dan hanjuang hijau (Cordyline fruticosa)
pada Wisma Woloan 1 sebagai screen. Dari sisi budaya, hanjuang hijau juga
digunakan sebagai pembatas halaman kedua wisma ini. Noise yang berasal dari
ruang genset di belakang Wisma Woloan 1 diredam dengan penanaman vegetasi
yang mempunyai tajuk yang cukup rapat (Gambar 30), seperti jarak pagar
(Jatropha curcas). Untuk menambah nilai estetik pada Wisma Woloan 1, terdapat
teratai (Nymphaea lotus) yang berada di atas air.
Jalur sirkulasi berupa pola yang mengelilingi rumah menggambarkan
prosesi yang ada pada upacara adat kematian, yaitu ketika salah seorang penghuni
rumah meninggal dilakukan putaran tiga kali keliling rumah (Gambar 31). Jalur
ini berupa gravel untuk mengurangi penutup lahan. Selain itu, terdapat jalan
setapak menuju kebun yang berasal dari informasi mengenai upacara anak
perempuan yang sudah berumur 1 tahun. Pada upacara tersebut anak ini
membawa beberapa potong kayu dan daun pada bahunya lalu dibawa ke ujung
jalan setapak yang menuju kebun.
77
Gambar 30. Tampak potongan Wisma Woloan
A-A’
B-B’
A
A’ B
B’
Keyplan
78
Gambar 31. Perspektif Wisma Woloan
79
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Base camp Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi sarana pendidikan budaya melalui keberadaan
rumah tradisional Minahasa, yaitu Wisma Woloan 1 dan 2. Sebagai sarana
pendidikan budaya, wisma harus didukung dengan taman yang dapat memperkuat
karakter arsitektur Minahasa. Pembagian ruang baik di dalam maupun di luar
rumah tradisional Minahasa dipengaruhi oleh adat istiadat, kegiatan keseharian
masyarakat, kepercayaan, dan ilmu pengetahuan. Informasi pembagian ruang ini
menghasilkan konsep umum sebagai dasar dalam mendesain kedua wisma
tersebut. Konsep umum yang dihasilkan berupa pembagian halaman rumah, yaitu
halaman depan sebagai area publik, halaman samping sebagai area semi publik,
halaman belakang sebagai area servis, dan bangunan rumah tradisional sebagai
area privat. Elemen-elemen yang terdapat di taman rumah tradisional Minahasa
terdiri dari bedeng tanaman, pagar bambu, dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan
waruga, sedangkan jenis vegetasinya adalah vegetasi upacara, produksi, obat, dan
estetik.
Desain taman Wisma Woloan 1 dan 2 mengaplikasikan konsep umum dan
elemen-elemen taman tersebut. Bagian depan taman Wisma Woloan 2 merupakan
area publik yang terdiri dari pagar bambu dan bedeng tanaman bunga, halaman
samping merupakan area semi publik yang ditanami pohon buah, bedeng sayur,
dan tanaman obat, serta halaman belakang rumah yang merupakan area servis
terdiri dari bangunan dapur, kamar mandi, WC, sumur, dan waruga. Taman
Wisma Woloan 1 yang terletak di atas air, pembagian ruang dan penempatan
elemen taman pada wisma ini berbeda, yaitu kolam air sebagai area publik dan
letak jalur sirkulasi di sekitar rumah yang dipisahkan oleh kolam tersebut. Tata
letak elemen tanaman pada taman ini berdasarkan peletakan tanaman dalam salah
satu lagu tradisional Minahasa, “Zazanian Ni Karema”. Dalam lagu tersebut
vegetasi ditempatkan berdasarkan arah mata angin, yaitu pohon aren (Arenga
pinnata) di tenggara; pohon alang-alang (Graminae arundinaceae), pohon tu’is
(Bromelia ananas), dan la’ikit (Heliconiopsis amboinensis) di timur laut;
80
temulawak (Curcuma xanthorrhiza), sirih (Piper betle), dan pohon sagu
(Metroxylon sagu) di barat laut; serta pohon woka (Livistonia rotundifolia) dan
tambelang (Bambusa celebensis) di barat daya. Pengaplikasian konsep desain dan
elemen-elemen yang terdapat di dalam taman tradisional Minahasa pada Wisma
Woloan 1 dan 2 dapat menjadi sarana pendidikan budaya bagi pengunjung
HPGW.
Saran
Beberapa saran yang diusulkan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
masyarakat umum dan pengelola HPGW sebagai berikut.
1. Konsep desain taman rumah tradisional Minahasa ini diharapkan dapat menjadi
acuan dalam mendesain taman yang memiliki arsitektur bangunan Minahasa
dengan memperhatikan pembagian ruang dan penempatan elemen-elemen
berdasarkan fungsi ruang tersebut;
2. Peletakkan Wisma Woloan 1 di atas air pada base camp HPGW tidak sesuai
dengan konsep rumah tradisional Minahasa yang terletak di atas tanah. Untuk
memperkuat karakter tradisional taman Minahasa, disarankan agar kolam
tersebut diurug tanah sebagaimana yang terlihat pada halaman Wisma Woloan
2. Hal ini dapat dilakukan dengan catatan bahwa kolam tersebut tidak
mempunyai fungsi ekologis yang penting seperti daerah resapan air, embung,
dan sebagainya.
3. Pada pembangunan base camp ke depannya disarankan terdapat bangunan
berarsitektur sunda yang didukung dengan taman tradisionalnya. Hal ini selain
dapat menambah sarana pendidikan budaya pada base camp, juga dapat
mencirikan daerah sekitar HPGW yang berbudaya sunda.
81
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Rencana Pengembangan Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009 – 2013. Bogor: IPB, Fakultas Kehutanan.
Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Booth. 1983. Basic Element of Landscape Architectural Design. Illinois:
Waveland Press Inc. Crowe S. 1981. Garden Design. Chichester: Packard Publishing Limited. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Graafland N. 1991. Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya. Lucy R
Montolalu, penerjemah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Ingels JE. 2004. Landscaping: Principles and Practice. Ed ke-6. New York:
Delmar Learning. Kalangie EI, LL Ticoalu, R Tandi, J Inkiriwang. 1985. Upacara Tradisional Yang
Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Laurie M. 1984. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan. Bandung: Intermatra. Lestari G, Kencana IP. Galeri Tanaman Hias Lanskap. Depok: Penebar Swadaya Motloch JL. 1991. Introduction to Landscape Design. New York: Van Nostrand
Reinhold. Rogi OH, Wahyudi S. 2009. Identifikasi Aspek Simbol dan Norma Kultural pada
Arsitektur Rumah Tradisional di Minahasa. Ecoton 9: 43-48. Sulistyantara S. 2006. Taman Rumah Tinggal. Depok: Penebar Swadaya. Supriati Y, Yuyu Y, Ida N. 2008. Taman Sayur. Depok: Penebar Swadaya. Syamsidar. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara. 1977/1978.
Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Balai Pustaka.
82
Turner T. 2005. Garden History: Philosophy and Design. London: Taylor & Francis Routledge
Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 – Kehutanan.1999.
Jakarta: Kopkar Hutan. Wenas J. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Manado: Institut Seni Budaya
Sulawesi Utara Wiranto. 1999. Arsitektur Vernakular Indonesia: Perannya Dalam
Pengembangan Jati Diri. Dimensi Teknik Arsitektur 27: 15-20
83
LAMPIRAN
84
Lam
pira
n 1.
Liri
k la
gu “
Zaza
nian
Ni K
arem
a”
85
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n lir
ik la
gu “
Zaza
nian
Ni K
arem
a”
86
Sum
ber:
Wen
as (2
007)
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n lir
ik la
gu “
Zaza
nian
Ni K
arem
a”