konsep dan perkembangan anak dengan hambatan emosi dan sosial (tunalaras)

16
1 Anak dengan Hambatan Emosi dan Sosial (Children with Emotional and Social Disability) A. Definisi dan Konsep Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku 1. Definisi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku Definisi atau pengertian anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku masih menjadi perdebatan. Perdebatan mengenai batasan untuk definisi gangguan emosi dan perilaku muncul karena masing masing ahli yang mendefinisikan anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini masih melihat dari kajian ilmunya masing-masing. Faktor yang menyebabkan ketidaksamaan definisi tunalaras, sebagai berikut : a. Para ahli dalam melakukan pengkajian ketunalarasan dari sudut pandang yang berbeda, sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya. b. Para ahli memiliki dasar dan tujuan yang berbeda dalam merumuskan definisi. c. Pengukuran/assessment yang dilakukan berbeda dalam waktu maupun alat. d. Jenis, bentuk dan tingkat penyimpangan tingkah laku yang dialami anak sangat bervariasi. e. Perkembangan ilmu tentang pendidikan anak tunalaras dan pendidikannya cukup dinamis. Hal ini menyebabkan belum adanya definisi anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku yang dapat diterima secara umum. Berbagai macam istilah yang dapat digunakan untuk menunjukkan definisi mengenai gangguan emosi dan perilaku, misalnya emotional disturbances, behavior disorders, dan maladjusted children (Coleman & Weber, 2002 dalam John W. Santrock, 2007: 237). Berikut definisi anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku dari pandangan ahli dan menurut undang-undang dasar : a. Menurut UU-AS (Rosenberg, 1992) dijelaskan sebagai berikut : Gangguan emosi adalah suatu kondisi yang menunjukan salah satu atau lebih gejala- gejala berikut dalam kurun waktu tertentu, pada tingkat yang tinggi, dan mempengaruhi prestasi belajar. Gejala-gejala tersebut yaitu:

Upload: wulan-yulian

Post on 20-Jul-2015

367 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

1

Anak dengan Hambatan Emosi dan Sosial

(Children with Emotional and Social Disability)

A. Definisi dan Konsep Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan

Perilaku

1. Definisi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku

Definisi atau pengertian anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku

masih menjadi perdebatan. Perdebatan mengenai batasan untuk definisi gangguan

emosi dan perilaku muncul karena masing – masing ahli yang mendefinisikan

anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini masih melihat dari kajian ilmunya

masing-masing. Faktor yang menyebabkan ketidaksamaan definisi tunalaras,

sebagai berikut :

a. Para ahli dalam melakukan pengkajian ketunalarasan dari sudut pandang yang

berbeda, sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya.

b. Para ahli memiliki dasar dan tujuan yang berbeda dalam merumuskan definisi.

c. Pengukuran/assessment yang dilakukan berbeda dalam waktu maupun alat.

d. Jenis, bentuk dan tingkat penyimpangan tingkah laku yang dialami anak

sangat bervariasi.

e. Perkembangan ilmu tentang pendidikan anak tunalaras dan pendidikannya

cukup dinamis.

Hal ini menyebabkan belum adanya definisi anak yang mengalami hambatan

emosi dan perilaku yang dapat diterima secara umum. Berbagai macam istilah

yang dapat digunakan untuk menunjukkan definisi mengenai gangguan emosi dan

perilaku, misalnya emotional disturbances, behavior disorders, dan maladjusted

children (Coleman & Weber, 2002 dalam John W. Santrock, 2007: 237). Berikut

definisi anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku dari pandangan ahli

dan menurut undang-undang dasar :

a. Menurut UU-AS (Rosenberg, 1992) dijelaskan sebagai berikut : Gangguan

emosi adalah suatu kondisi yang menunjukan salah satu atau lebih gejala-

gejala berikut dalam kurun waktu tertentu, pada tingkat yang tinggi, dan

mempengaruhi prestasi belajar. Gejala-gejala tersebut yaitu:

Page 2: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

2

1) Ketidakmampuan belajar yang tidak disebabkan oleh faktor intelegensi,

syaraf, dan kesehatan.

2) Ketidakmampuan bergaul atau berhubungan baik guru maupun teman.

3) Perilaku dan perasaan yang tidak wajar pada situasi normal.

4) Perasaan depresi, sedih dan murung secara terus menerus.

5) Kecenderungan merasa takut atau cemas di dalam menghadapi masalah

pribadi maupun sekolah.

b. Menurut Nelson (1981): Seorang anak dikatakan tunalaras, apabila tingkah

laku mereka menyimpang dari ukuran menurut norma usia dan jenis

kelaminnya, dilakukan dengan frekwensi dan intensitas relatif tinggi, serta

dalam waktu yang relatif lama.

c. Kvaraceus dan Miller (Depdikbud, 1985) Memberikan batasan bahwa : Anak

tunalaras adalah individu yang tingkah lakunya tidak dewasa, melanggar

peraturan yang tertulis atau tidak tertulis dengan frekwensi yang cukup tinggi.

d. Definisi tunalaras dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1989 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, dan PP. No. 71 Tahun 1991 tentang Pendidikan

Luar Biasa, dinyatakan bahwa “tunalaras merupakan gangguan atau kelainan

tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap

lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat” (Puslata Universitas Terbuka,

2008: 11)

2. Faktor – Faktor Penyebab Anak Mengalami Hambatan Emosi dan

Perilaku

Sebab-sebab anak menjadi tunalaras secara garis besarnya dapat

dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Rusli Ibrahim, 2005: 48), di antaranya:

a. Faktor Psychologis

Gangguan tingkah laku yang disebabkan terganggunya faktor psycologis.

Terganggunya faktor psycologis biasanya diwujudkan dalam bentuk tingkah laku

yang menyimpang, seperti: abnormal fixation, agresif, regresif, resignation, dan

concept of discrepancy.

b. Faktor Psychososial

Page 3: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

3

Gangguan tingkah laku yang tidak hanya disebabkan oleh adanya frustrasi,

melainkan juga ada pengaruh dari faktor lain, seperti pengalaman masa kecil yang

tidak atau kurang menguntungkan perkembangan anak.

c. Faktor Physiologis

Gangguan tingkah laku yang disebabkan terganggunya proses aktivitas organ-

organ tubuh, sehingga tidak atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya, seperti

terganggu atau adanya kelainan pada otak, hyper thyroid dan kelainan syaraf

motoris.

Penyebab kentunalarasan menurut Sutjihati Somantri (2007: 143-147),

meliputi :

a. Kondisi / Keadaan Fisik

Masalah kondisi fisik dalam kaitannya dengan masalah gangguan emosi dan

prilaku, yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung. Ada ahli yang

meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya

gangguan emosi dan prilaku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin

berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Gunzburg (dalam

simanjuntak, 1947) menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan

salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan

hormone yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus

mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik

dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan

wataknya.

b. Masalah Perkembangan

Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa, 1985:107) menjelaskan bahwa setiap

memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan

atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada

dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan

yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka

perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga inividu dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebalikya,

Page 4: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

4

apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut maka akan

menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama

terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas.

Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap

menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini di akibatkan karena anak sedang

dalam proses memahami dirinya. anak jadi merasa tidak puas dengan otoritas

lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-meledak. Emosi yang

kuat sering kali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan

kecemasan. Mereka sering kali menentang dan melanggar peraturan baik di rumah

maupun di sekolah. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada masa pubertas.

c. Lingkungan Keluarga

Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga

memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak.

Keluarga lah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam

keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan

sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan

aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi

dan perilaku pada anak.

Aspek yang mempengaruhi masalah gangguan emosi dan perilaku di

lingkungan keluarga.

1) Kasih sayang dan perhatian

Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak

mencarinya di luar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan

membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Mengenai hal ini, Sofyan

S. Willis (1981) mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi

kebutuhan yang hampir sama, antara lain untuk mendapatkan perhatian dari orang

tua dan masyarakat.

Tak jarang orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan

perlindungan yang berlebihan (Over Protection). Sikap memanjakan

menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan

Page 5: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

5

dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada

akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pada anak.

2) Keharmonisan keluarga

Ketidakharmonisan keluarga dapat disebabkan oleh pecahnya keluarga atau

tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan

pendidikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang

kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya.

Berdasarkan hasil studinya, Hetherington (dalam Kirk dan Gallagher, 1986)

menyimpulkan bahwa hampir semua anak yang menghadapi perceraian orang tua

mengalami masa peralihan yang sangat sulit.

3) Kondisi ekonomi

Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab

tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui pada diri anak

akan timbul keinginan – keinginan untuk dapat menyamai temannya yang lain.

Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut di dalam keluarga dapat mendorong anak

mencari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan antisocial.

G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan

atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk

melakukan pencurian, penipuan dan perilaku menyimpang lainnya.

d. Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua setelah keluarga. Sekolah

tidak hanya sekedar membekali anak dengan sejumlah ilmu pengetahuan tetapi

sekolah juga membina kepribadian anak. Akan tetapi sekolah tidak jarang dapat

menjadi penyebab timbulnya gangguan perilaku pada anak seperti yang

dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik

kearah kedewasaan kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya

kenakalan remaja.

Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara

lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang

Page 6: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

6

yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak

merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos

dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada di dalam kelas. Sebaliknya,

sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin

mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan

yang menentang peraturan.

Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya

gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang

dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang

mengakibatkan anak menyalurkan aktifitasnya pada hal-hal yang kurang baik.

e. Lingkungan Masyarakat

Menurut Bandura (dalam Kirk dan Gallagher, 1986), salah satu hal yang

nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah

keteladanan, yaitu menirukan perilku orang lain.

Disamping pengaruh- pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan

masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negative yang

dapat memicu munculnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative

ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak

merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi di

kota-kota besar dimana tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburan yang tak

tersaring oleh budaya lokal.

Masuknya kebudayaan asing dapat memberi dampak negatif pada anak. Anak

menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara dipihak lain

masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat istiadat

dan agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang

disebabkan norma yang dianut di rumah atau keluarga bertentangan dengan norma

dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

B. Terminologi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku

Di masyarakat kita banyak istilah untuk memberikan label kepada anak tuna

laras. Istilah yang digunakan biasanya tergantung pada sudut pandang keilmuan

Page 7: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

7

yang mereka geluti, Seperti : Guru pada umumnya, menyebut anak sulit diatur,

anak sukar, anak nakal. Guru PLB (Pedagog), menyebut anak tuna laras. Ahli

social (Social Worker), Menyebut anak gangguan social. Ahli psikologi

(Psikolog), anak terganggu emosi atau anak terhambat emosi. Ahli hokum

(Lowyer), menyebut anak pra-nakal, anak nakal, anak pelanggar hokum. Orang

tua dan masyarakat awam, bias any menyebut anak nakal, anak keras kepala, anak

jahat, dan sebagainya.

Dalam literature asing (Inggris) yang mengupas tentang pendidikan dan

psikoterapi bagi anak yang gangguan emosi dan social, banyak ditemukan istilah

yang bermakna “sama” dengan istilah anak tuna laras, diantaranya :

a. Serious Emotional Disturbance Children (Anak yang mengalami gangguan

emosi pada taraf serius).

b. Emotional Conflict Children (Anak yang mengalami konflik emosi).

c. Emotional Distrubance Children (Anak yang terganggu perkembangan

emosi).

d. Emotional Handicap Children ( Anak yang terhambat perkembangan emosi).

e. Emotional Empairment Children ( Anak yang mengalami kerusakan fungsi

emosi).

f. Serious Emotional Disability Children (Anak yang mengalami

ketidakmampuan mengendalikan emosi secara serius).

g. Behavior Disorder Children (Anak yang berperilaku tidak

teratur/menimpang).

h. Behavior Handicap Children (Anak yang mengalami hambatan dalam

perilaku).

i. Behavior Impairment Children (Anak yang mengalami kerusakan dalam

perilaku).

j. Severe Behavior Handicap Children (Anak yang terhambat perilaku taraf

berat).

k. Social and Emotional Maladjusment Children (Anak yang tidak dapat

menyesuaikan diri karena gangguan social dan emosi).

Page 8: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

8

l. Emotional and Behavior Disorder Children (anak yang mengalami gangguan

emosi dan perilaku tidak teratur).

m. Social and Emotional Disturbance Children (Anak yang terganggu

perkembangan social dan emosi).

n. Juvenile Delinquency (Anak/remaja nakal).

Memperhatikan istilah-istilah di atas, ada beberapa hal yang perlu dipahami,

yaitu :

a. Istilah-istilah tersebut menunjukan makna yang sama. Yaitu adanya

penyimpangan/kelainan/hambatan tingkah laku pada anak.

b. Penyimpangan tingkah laku (ketunalarasan) sebagai dampak

gangguan/hambatan perkembangan pada aspek emosi, sosial, atau kedua-

duanya.

c. Dikatakan ketunalarasan apabila gejala penyimpangan/kelainan/gangguan

pada taraf serius (berat dan sangat berat).

d. Sudut pandang yang digunakan yaitu dari kacamata Psikologi, Sosiologis,

Pedagogik, dan Hukum.

C. Karakteristik Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku

Batasan anak tunalaras menurut Kauffman dalam Somantri (2006) yaitu

sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada

kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat

diterima oleh masyarakat.dan dapat memuaskan pribadinya.

Anak tunalaras dalam berbagai disiplin ilmu memiliki kesamaan, terutama

pada karakeristiknya. Maka, dapat diketahui sebagai berikut karakteristik :

a. Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan oleh intelektual,

sensorik atau faktor kesehatan lainnya.

b. Ketidakmampuan untuk membangun atau mempertahankan hubungan

interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya maupun guru.

c. Bentuk ketidaktepatan perilaku atau perasaan dalam kondisi normal.

d. Suatu suasana hati yang mendalam dari ketidakbahagiaan atau depresi.

Page 9: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

9

e. Kecenderungan untuk mengembangkan gejala fisik, sakit atau ketakutan yang

terkait dengan masalah pribadi atau sekolah (psikosomatis).

D. Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan

1. Perkembangan Kognitif

Dalam berbagai riset IQ, anak tunalaras rata-rata berada pada rentangan dull

normal (sekitar IQ 90), dan hanya sedikit yang berada di atas normal (cerdas).

Salah satu tolok ukur kecerdasan adalah prestasi belajar. Namun keadaan tersebut

tidak dapat diberlakukan pada anak tunalaras. Misalnya prestasi anak tunalaras

rendah, hal itu tidak dapat dijadikan acuan kecerdasan anak tunalaras sebab

prestasi belajar anak tunalaras seringkali mengalami under achiever (prestasi

belajar di bawah kemampuan yang sebenarnya).

Prestasi anak tunalaras yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan

minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka

alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan

bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah. Kelemahan dalam

perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan

tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi rendah di sekolah

adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, padahal pada

dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang

berkaitan dengan prestasi belajar. Mengenai hal ini Ny. Singgih Gunarsa (1982)

mengemukakan bahwa kecemasan dirinya berbeda dengan kelompoknya

menimbulkan kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang seringkali tidak

sesuai dengan cara penyesuaian yang wajar.

Moerdiani (1987) menilai bahwa rendahnya prestasi belajar anak tunalaras di

sekolah diduga karena kehilangan minat belajar dan konsentrasi belajar rendah

akibat gangguan emosi. Di samping itu, mereka pada umumnya membenci

sekolah sebab sekolah menuntut anak tunalaras untuk mentaati peraturan atau

norma-norma yang berlaku.

Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar

dapat menyebabkan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya

Page 10: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

10

sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya:

membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas, dan sebagainya.

Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap gangguan tingkah laku adalah

ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan,

mudah dipengaruhi serta mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang

negatif.

2. Perkembangan Sosial-Emosi

Menurut Sutjihati Somantri (2007: 151) terganggunya perkembangan emosi

merupakan penyebab dari kelainan tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang

menonjol pada anak tunalaras adalah kehidupan emosi yang tidak stabil,

ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan pengendalian diri

yang kurang sehingga anak tunalaras seringkali menjadi sangat emosional.

Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi akibat ketidakberhasilan anak dalam

melewati fase-fase perkembangan. Kematangan emosional anak tunalaras

ditentukan dari hasil interaksi dengan lingkungannya, dimana anak belajar tentang

bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana cara untuk mengekpresikan emosi-

emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung secara terus menerus sesuai

dengan perkembangan usia.

Menurut Rusli Ibrahim (2005: 51) anak-anak tunalaras terlambat

perkembangan sikap-sikap sosial dan emosionalnya. Sikap-sikap tersebut dapat

diamati dalam kehidupan sehari-hari dari interaksinya dengan lingkungan, seperti

:

a. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan pola-pola kelompok yang lebih luas

dan kesadaran sosial mereka sangat rendah.

b. Menuntut perhatian yang terus menerus dari lingkungannya dan mereka suka

bermain sendirian.

c. Dalam kelompok, biasanya selalu mengikuti bukannya memimpin.

Sikap-sikap tersebut di atas bila dibiarkan akan mengakibatkan semakin berat

dalam bersosialisai. Anak tunalaras akan menjadi sulit untuk beperilaku dewasa,

dan akan mengalami kemunduran sikap-sikap sosial dan emosional. Kondisi

Page 11: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

11

emosi anak tunalaras cenderung tidak stabil dan ketidak stabilan aspek emosi ini

dapat dilihat pada tingkah lakunya sehari-hari. Anak tunalaras sering

menampakkan perilaku yang meyimpang, seperti mudah tersinggung, sedih, acuh

tak acuh, keras kepala, merasa cemas, agresif, menarik diri dari pergaulan dan

sebagainya.

Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan

dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini

tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk

membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak kejadian

ternyata mereka dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan teman-

temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak dan akrab

serta membangun keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya.

Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik tehadap dirinya

sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tak

berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah

kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan mereka. Apabila berhasil

sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang yang pada

akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.

Karakteristik sosial/emosional tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Karakteristik Sosial

Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain:

1) Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya.

2) Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok

sosial.

3) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :

a) Tidak mengikuti aturan.

b) Bersifat mengganggu.

c) Bersifat membangkang dan menentang.

d) Tidak dapat bekerjasama.

e) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan

remaja.

Page 12: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

12

b. Karakteristik Emosional

1) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan

rasa cemas.

2) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat

perasa/sensitif.

Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak

negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna

bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah

menyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan lingkungannya. Salah satu

dampak serius yang mereka alami adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga

menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang

mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, maka mereka akan

semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungannya.

Mengenai tekanan batin yang bekepanjangan ini menurut Schoss (Kirk &

Gallagher, 1986) disebabkan oleh hal-hal berikut:

a. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)

Anak-anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya untuk

mencoba mengatasi keadaan yang sulit. Ketidakmampuan mereka untuk

mengatasi kesulitan tersebut menjadi tergeneralisasi sehingga ketika mereka

mempunyai perilaku yang baik sekalipun mereka tidakmau mempergunakannya.

Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang tak terkendali, tidak dapat

merespon dengan baik terhadap stimuli sosial atau peristiwa, cenderung

mengurangi usaha yang dilakukan setelah mengalami kegagalan, dan

menunjukkan rasa rendah diri.

b. Keterampilan sosial yang minim (social skill deficiency)

Perkembangan kepribadian yang tertekan akan menimbulkan

kekurangterampilan dalam memperoleh penguatan (reinforcement) perilaku sosial

yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya interaksi sosial yang positif.

c. Konsekuensi paksaan (coercive consequences)

Page 13: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

13

Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi paksaan. Jika

anak yang sedang cemas menarik diri menerima reaksi positif dari lingkungannya

(simpati, dukungan, jaminan,dll) mereka tetap gagal mengembangkan perilaku

pribadi dan keterampilan sosial yang mengarah kepada perilaku yang efektif.

Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi lingkungan

mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial antarpribadi yang lebih

efektif, serta menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguatan

ketakberdayaan. Bahwa perilaku menyimpang pada anak tunalaras merugikan

lingkungannya kiranya sudah jelas dan seringkali orang tua maupun guru merasa

kehabisan akal menghadapi anak dengan gangguan perilaku seperti ini.

3. Perolehan Bahasa Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku

Pemerolehan bahasa dan komunikasi anak tunalaras yaitu bergaul dan

berhubungan sosial baik hanya dengan teman sebaya yang menuruti kehendaknya.

Tapi dengan orang dewasa sulit. Komunikasi dengan orang lain cenderung

menggunakan bahasa yang kasar. Anak tunalaras mengalami hambatan dalam

melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Ketidakmampuan anak tunalaras

dalam melalui interaksi sosial yang baik dengan lingkungannya disebabkan oleh

pengalaman-pengalaman yang tidak/kurang menyenangkan. Salah satu dampak

serius yang mereka alami adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga

menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang

mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, maka mereka akan

semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya

akan semakin bertambah lebar.

Karakteristik anak tunalaras relatif berbeda dengan anak berkebutuhan khusus

lainnya ataupun anak normal pada umumnya. Perbedaan karakteristik tersebut

muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Ketidakmatangan

emosi dan sosial selalu berdampak pada keseluruhan perilaku dan pribadinya,

termasuk dalam belajarnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kemampuan

berbahasa anak tunalaras memiliki perbedaan dengan anak normal, baik dalam

bahasa lisan, maupun bahasa tulisan.

Page 14: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

14

Hambatan yang dialami oleh anak tunalaras dalam berbahasa memiliki

pengaruh yang cukup luas, terutama dalam kemampuan berkomunikasi dengan

orang lain, sebab dalam berkomunikasi terlebih dahulu harus memiliki

keterampilan berbahasa yang cukup, yaitu terampil menyimak, berbicara,

membaca, dan menulis. Hambatan berbahasa diwarnai banyak faktor yang

mempengaruhinya, diantaranya: “faktor pengajar, faktor pengajar dan faktor

sistem” (Tarigan:1987). Faktor yang mengakibatkan lemahnya kemampuan

berbahasa pada anak tunalaras, Anderson S. Lynch dalam Nursaid (1992:6),

mengemukakan:

a. Faktor lingkungan, misalnya keakuratan penyimak mendengarkan bunyi-

bunyi bahasa atau ujaran-ujaran.

b. Tingkat kesukaran kata, frase, dan kalimat-kalimat yang digunakan pengajar.

c. Kondisi kejiwaan penyimak, misalnya tidak memiliki waktu yang memadai

untuk melakukan kegiatan menyimak atau terburu-buru.

d. Kecenderungan isi pesan yang mempengaruhi sikap penyimak.

e. Faktor ekstra linguistic, misalnya kemampuan penyimak untuk

mendayagunakan isyarat-isyarat lingkungan tempat berlangsungnya proses

menyimak untuk menyusun pemahamannya.

Hallahan dan Kaufman (1977) mengemukakan bahwa “anak tunalaras banyak

mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca”.

Menurut Badudu (1990) “Pengajaran tidak ditekankan pada segi keterampilan

berbahasa, tetapi lebih banyak pada pengetahuan bahasa”. Dan hasil penelitian

Pratomo, (1995) menyimpulkan bahwa “pendekatan komunikatif mampu

membantu siswa untuk memiliki keterampilan berbahasa baik lisan maupun

tulisan”.

Pengalaman berinteraksi agar peserta didik dapat menggunakan bahasa secara

komunikatif dalam berbagai aktivitas telah direncanakan secara bervariasi melalui

berbagai rangsangan, seperti tave recorder, rangsangan gambar, bahan bacaan

penggunaan lingkungan sekitar yang relevan dengan tema dan kebutuhan

Page 15: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

15

berkomunikasi. Dalam merencanakan evaluasi pembelajaran guru tidak hanya

merencanakan alat evaluasi untuk mengukur hasil belajar semata, tetapi telah

berusaha memahami bagaimana rumusan evaluasi yang dapat dilaksanakan

selama proses pembelajaran. Dalam perencanaan evaluasi pembelajaran, guru

menggunakan istilah asesmen, karena asesmen lebih luas cakupannya daripada

evaluasi.

Lebih lanjut Oller (1979) dalam Halimah (2002:176), mengemukakan bahwa

“evaluasi dalam berkomunikasi hendaknya lebih ditekankan pada kemampuan

menghasilkan dan memahami informasi, bukan semata-mata pada ketepatan

bahasa yang dipergunakan dan apabila terjadi kesalahan berbahasa baru

diperhitungkan apabila mengganggu kelancaran berkomunikasi”. Agar anak

tunalaras memiliki keterampilan berbahasa sebagaimana layaknya anak pada

umumnya, hendaknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengembangkan

pendekatan komunikatif dan menyediakan sarana yang memadai untuk kegiatan

pembelajaran.

4. Dampak Ketunalarasan dalam Kegiatan Belajar

Sebagaimana kelompok khusus anak luar biasa, anak tunalaras memiliki

karakteristik tersendiri dalam belajarnya, yang relatif berbeda dengan kelompok

anak luar biasa yang lain ataupun anak normal. Perbedaan karakteristik tersebut

muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Diketahui bahwa

ketidakmatangan sosial dan atau emosionalnya selalu berdampak pada

keseluruhan prilaku dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara

umum dikatakan bahwa proses belajar akan berlangsung secara optimal, bila salah

satu diantaranya ada kesiapan psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena

ketidakmatangan dalam aspek sosial dan atau emosional jelas akan menghambat

kesiapan psikologisnya, sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan

terhambat.

Karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda, bahkan sulit

dibedakan dengan kelompok anak tunagrahita dan anak berkesulitan belajar, yang

membedakan hanyalah bahwa pada anak tunalaras frekuensi lebih tinggi dan

Page 16: Konsep dan Perkembangan Anak dengan hambatan emosi dan sosial (Tunalaras)

16

selalu tertuju pada perilaku-perilaku maladaptive. Hasil studi lain juga

menunjukkan bahwa anak tunalaras pada umumnya memiliki IQ yang rendah,

prestasi rendah,dan juga berasal dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga

banyak mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca

dan matematika, serta perilakunya tidak memenuhi harapan sesuai dengan usia

dan kemampuannya (Hallahan dan Kaufman, 1977 ; Chary, 1966 ;

Kvaraceus,1961 ; Scarpitti, 1964).

Terlepas dari kajian Cruickshank diatas, berikut ini merupakan ciri-ciri

menonjol yang sering dijumpai pada anak tunalaras dalam belajarnya :

a. Daya konsentrasi terbatas

b. Kurang mampu belajar dari pengalaman

c. Kurang motivasi

d. Kurang disiplin

e. Kurang memiliki motif berprestasi

f. Kurang memiliki sikap kerjasama dan toleransi

g. Sensitif terhadap hal-hal yang dianggap merugikan dirinya.

h. Kurang memiliki kesabaran

i. Kurang mampu berfikir secara komperehensif dan kemampuan analisisnya

rendah.

j. Memiliki cara-cara tersendiri dalam mengolah dan memahami informasi.

k. Cepat melakukan imitasi dan identifikasi terhadap hal-hal diluar dirinya yang

dianggap menarik.

l. Sugestible, mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh lingkungan

m. Cenderung mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan

n. Cenderung tunduk pada guru tertentu yang memiliki kelebihan sesuai dengan

interesnya.