konsekuensi hukum pelaksanaan pencairan tanpa syarat (“unconditional”) pada suretybond
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
1/29
1
Perihal : Konsekuensi Hukum Pemenuhan Ketentuan-Ketentuan Yang Dipersyaratkan
Dalam Pelaksanaan Proyek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Terhadap
Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Suretybond
Berkenaan dengan pemberian Legal Opinion dimaksud, kami telah memeriksa
beberapa peraturan perundang-undangan, dokumen dan mencermati informasi yang
terkait dengan masalah tersebut antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4. Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden
No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah
5. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 124/PMK.10/2008 Tentang Penyelenggaraan
Lini Usaha Asuransi Kredit Dan Suretyship
6. Peraturan Menteri PU-PR RI No. 31/PRT/M/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan
Pedoman Pengadaan Pekerjaan Umum Konstruksi Dan Jasa Konsultasi;
7. Permeneg BUMN No.01/MBU/2011 Dan Perubahannya No.09/MBU/2012 Tentang
Penetapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (GOOD CORPORATE
GOVERNANCE) Pada Badan Usaha Milik Negara;
8. Putusan Mahkamah Agung No. 023.K/N/1999 tanggal 16 Agustus 1999;
9. Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H Buku berjudul Hukum Pertanggungan,
diterbitkan oleh Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, halaman 53
Sehubungan Pemberian Legal Opinion dan Rekomendasi Perihal dimaksud, dan
setelah meneliti, memeriksa, mempelajari, dan mereview berdasarkan Peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, dengan ini kami kemukakan melalui
uraian-uraian sebagai berikut :
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
2/29
2
I. FAKTA
1.
II. DASAR HUKUM
A. Tentang Surat Jaminan Suretyship (Suretybond)
1. Bahwa sehubungan dengan Jaminan Suretyship, berdasarkan Ayat 3, 4, 5 dan 6
Pasal 1 PMK No. 124/PMK.10/2008 Tentang Penyelenggaraan Lini Usaha
Asuransi Kredit Dan Suretyship menerangkan antara lain sebagai berikut:
Ayat 3
“ Suretyship adalah lini usaha Asuransi Umum yamg memberikan jaminan atas
kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok
antara Principal dan Obligee”.
Ayat 4
“ Surety adalah Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi
pada lini usaha suretyship”
Ayat 5
“ Principal adalah pihak dalam perjanjian Suretyship yang harus memenuhi
kewajiban kepada obligee berdasarkan Perjanjian pokok”
Ayat 6
“ Obligee adalah pihak dalam Suretyship yang berhak menerima pemenuhan
kewajiban dari Principal berdasarkan Perjanjian Pokok”.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 67 Ayat (1) Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang
perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan barang/jasa Pemerintah berbunyi:
“ Penyedia Barang/Jasa menyerahkan Jaminan kepada Pengguna
Barang/Jasa untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan
dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa “.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
3/29
3
3. Bahwa keberadaan suatu Surat Jaminan yang dipersyaratkan dalam Kontrak,
digunakan untuk menjamin terpenuhinya kewajiban Penyedia Barang/Jasa,
ketentuan tersebut sebagaimana di atur Pasal (35) Perpres No. 4 Tahun 2015
Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah yang berbunyi:
“ Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan, adalah jaminan tertulis
yang bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional),
yang dikeluarkan oleh Bank Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan
Asuransi yang diserahkan oleh Penyedia Barang/Jasa kepada
PPK/Kelompok Kerja ULP untuk menjamin terpenuhinya kewajiban
Penyedia Barang/Jasa ”.
4. Bahwa melalui bukunya Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H
menyatakan bahwa Surety Bond merupakan bentuk perjanjian 3 (tiga) pihak
sebab perjanjian pemberian jaminan adalah perjanjian tambahan terhadap
perjanjian pokok antara obligee dengan principal. Sehingga para pihak yang
terkait dalam Surety Bond adalah:
a. Obligee, adalah setiap pemberi pekerjaan yang mengadakan kontrak
dengan principal (kontraktor) yang disebut perjanjian pokok atau kontrak
kerja dan dalam kontrak disebutkan hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh masing-masing pihak. Obligee tersebut dapat berupa
perorangan, perusahaan instansi pemerintah atau lembaga-lembaga lain.
b. Principal, adalah pihak yang mengikatkan diri dengan pemilik proyek
(obligee) dalam kontrak dan berjanji untuk melaksanakan pekerjaannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam kontrak.
c.
Surety Company, adalah perusahaaan asuransi kerugian yang memberikan
jaminan pada principal atas kesanggupannya dalam melaksanakan
pekerjaan sesuai ketentuan kontrak. Bila tidak dilaksanakan maka
Perusahaan Surety akan membayar ganti rugi sebesar jumlah maksimum
nilai jaminan.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
4/29
4
B. Tentang Perjanjian Pelaksanaan Proyek Pekerjaan Umum Kementerian Pekerjaan
Umum Dan Perumahan Republik Indonesia (Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah)
1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
barang/jasa Pemerintah, berbunyi:
“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh
kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”
2. Bahwa berdasarkan Pasal 64 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain:
(4) PPK menetapkan bagian dari rancangan Dokumen Pengadaan yang terdiri
atas:
a. rancangan SPK; atau
b. rancangan surat perjanjian termasuk:
1) syarat-syarat umum Kontrak;
2) syarat-syarat khusus Kontrak;
3. Bahwa berdasarkan Pasal 65 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain:
(1) PPK menyusun rancangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa sebagaimanadimaksud dalam Pasal 64 ayat (4) huruf a dan huruf b.
(2) Rancangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa disusun dengan berpedoman
pada Standar Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
serta pedoman penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa diatur dengan
peraturan Kepala LKPP.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
5/29
5
4. Bahwa mengenai penandatangan kontrak, berdasarkan Pasal 86 Perpres No. 4
Tahun 2015 Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun2010 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain:
(1) PPK menyempurnakan rancangan Kontrak Pengadaan Barang/ Jasa untuk
ditandatangani.
(2) Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dilakukan setelah
DIPA/DPA disahkan.
(3) Para pihak menandatangani Kontrak setelah Penyedia Barang/Jasa
menyerahkan Jaminan Pelaksanaan.
(4) Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang kompleks dan/atau
bernilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan
setelah memperoleh pendapat ahli hukum Kontrak.
5. Bahwa mengenai perubahan terhadap kontrak berdasarkan Pasal 87 Perpres
No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No.54
Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah, berbunyi antara lain:
(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat
pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan
dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat
melakukan perubahan Kontrak yang meliputi:
a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam
Kontrak;
b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;
c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan;
atau
d. mengubah jadwal pelaksanaan.
(3) Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama
berdasarkan Kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain,
kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
6/29
6
(4) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyedia
Barang/Jasa dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Dokumen Kontrak.
C. Tentang Pemutusan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Dapat Dilakukan Secara
Sepihak Oleh Pengguna Barang/Jasa
1. Bahwa berdasarkan Pasal 86 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
barang/jasa Pemerintah ketentuan mengenai Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Kontrak Pengadaan barang/Jasa antara PPK selaku Obligee dan
Penyedia Barang/Jasa selaku Principal dituangkan kedalam kontrak
(Perjanjian Pokok).
2. Bahwa berdasarkan Pasal 93 Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
barang/jasa Pemerintah, mengatur bahwa PPK dapat memutuskan Kontrak
secara sepihak, apabila:
a. kebutuhan Barang/Jasa tidak dapat ditunda melebihi batas
berakhirnya Kontrak;
a.1.berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan
mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun
diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari
kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk
menyelesaikan pekerjaan;
a.2. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai
dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya
pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan;
b. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan
kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan;
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
7/29
7
c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan,
dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh
instansi yang berwenang; dan/atau
d. pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN, dan/atau
pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
(1a) Pemberian kesempatan kepada Penyedia Barang/Jasa
menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari
kalender, sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.1. dan huruf a.2.,
dapat melampaui Tahun Anggaran.
(2) Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan
Penyedia Barang/Jasa:
a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
b. sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau
Jaminan Uang Muka dicairkan;
c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
d. Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.
(3) Dalam hal dilakukan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh PPK
karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kelompok Kerja ULP dapat melakukan
Penunjukan Langsung kepada pemenang cadangan berikutnya
pada paket pekerjaan yang sama atau Penyedia Barang/Jasa
yang mampu dan memenuhi syarat.
D. Tentang Jenis, Fungsi Serta Bersifat Mudah Dicairkan Dan Tidak Bersyarat
(Unconditional) Pada Surat Jaminan
1. Bahwa berdasarkan Pasal 67 Ayat (1) Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010
sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang
Pengadaan barang/jasa Pemerintah, penyedia barang/jasa harus menyerahkan
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
8/29
8
jaminan kepada pengguna barang/jasa untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana dipersyaratkan dalam dokumen pengadaan/kontrak pengadaan
barang/jasa.
Adapun kewajiban penyedia dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah
sebagai berikut:
1) Mengikuti proses lelang dengan tertib dan bertanggung jawab (Surat
Jaminan Penawaran);
2) Menerima keputusan yang telah diambil, selama putusan tersebut tidak
bertentangan dengan peraturan yang berlaku (Surat Jaminan Sanggah
Banding);
3) Menghindari penyalahgunaan wewenang;
4) Menghindari konflik kepentingan;
5) Tidak saling mempengaruhi baik sesama peserta maupun dengan Pokja
ULP;
6) Tidak menerima, menawarkan, atau menjanjikan sesuatu;
7) Mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan (Surat Jaminan Uang
Muka);
8)
Menyerahkan barang/hasil pekerjaan secara tepat waktu dalam keadaan baik
dan cukup (Surat Jaminan Pelaksanaan);
9) Melakukan pemeliharaan dan/atau perbaikan atas segala
kerusakan/kekurangan yang timbul selama masa pemeliharaan (Surat
Jaminan Pemeliharaan).
2. Bahwa berdasarkan Pasal 1 Ayat (35) Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang
perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan barang/jasa Pemerintah, berbunyi sebagai berikut:
“ Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan, adalah jaminan tertulis
yang bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional),
yang dikeluarkan oleh Bank Umum/Perusahaan
Penjaminan/Perusahaan Asuransi yang diserahkan oleh Penyedia
Barang/Jasa kepada PPK/Kelompok Kerja ULP untuk menjamin
terpenuhinya kewajiban Penyedia Barang/Jasa ”.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
9/29
9
3. Bahwa berdasarkan Pasal 4b Peraturan Menteri PU-PR RI
No. 31/PRT/M/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan MenteriPekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman
Pengadaan Pekerjaan Umum Konstruksi Dan Jasa Konsultasi berbunyi
sebagai berikut:
(1) Penggunaan surat jaminan pekerjaan konstruksi diatur sebagai
berikut:
a. paket pekerjaan sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah) tidak diperlukan surat jaminan penawaran.
b.
surat jaminan penawaran untuk paket pekerjaan di atas
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dapat diterbitkan
oleh Bank Umum, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Penjaminan, konsorsium perusahaan asuransi umum/lembaga
penjaminan/perusahaan penjaminan yang mempunyai program
asuransi kerugian (suretyship), bersifat mudah dicairkan dan
tidak bersyarat (unconditional) dimana konsorsium tersebut
telah ditetapkan/mendapat rekomendasi dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan diserahkan oleh Penyedia Jasa kepada Kelompok
Kerja ULP.
c. surat jaminan penawaran untuk paket pekerjaan di atas
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) diterbitkan oleh
Bank Umum, konsorsium perusahaan asuransi umum/lembaga
penjaminan/perusahaan penjaminan yang mempunyai program
asuransi kerugian (suretyship), bersifat mudah dicairkan dan
tidak bersyarat (unconditional) dimana konsorsium tersebut
telah ditetapkan/mendapat rekomendasi dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan diserahkan oleh Penyedia Jasa kepada Kelompok
Kerja ULP.
d. surat jaminan pelaksanaan, surat jaminan uang muka atau surat
jaminan pemeliharaan, untuk paket pekerjaan sampai dengan
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
10/29
10
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dapat
diterbitkan oleh Bank Umum, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Penjaminan, konsorsium perusahaan asuransi umum/lembaga
penjaminan/perusahaan penjaminan yang mempunyai program
asuransi kerugian (suretyship), bersifat mudah dicairkan dan
tidak bersyarat (unconditional) dimana konsorsium tersebut
telah ditetapkan/mendapat rekomendasi dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan diserahkan oleh Penyedia Jasa kepada PPK.
e. surat jaminan pelaksanaan, surat jaminan uang muka, atau
surat jaminan pemeliharaan, untuk paket pekerjaan di atas
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diterbitkan
oleh Bank Umum, konsorsium perusahaan asuransi
umum/lembaga penjaminan/perusahaan penjaminan yang
mempunyai program asuransi kerugian (suretyship), bersifat
mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional) dimana
konsorsium tersebut telah ditetapkan/mendapat rekomendasi
dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK ), dan diserahkan oleh Penyedia
Jasa kepada PPK.
E. Tentang Perbuatan Cidera Janji Yang Dapat Terjadi Dalam Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
1. Bahwa sehubungan dengan kewajiban Principal untuk memenuhi ketentuan-
ketentuan yang dipersyaratkan dalam Perjanjian Pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 Ayat (1) Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 sebagaimana
telah diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan barang/jasa
Pemerintah di atas apabila Principal pada masa-masa tertentu di dalam masa
pelaksanaan perjanjian pokok tersebut melakukan hal-hal yang bersifat lalai
sehingga tidak terpenuhinya perjanjian, maka Penjamin (Surety Company)
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya untuk bertanggungjawab
dengan membayar sejumlah uang kepada Obligee (Pihak yang dijamin),
disamping itu Perpres dimaksud selanjutnya menjelaskan perihal perbuatan
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
11/29
11
Principal (Pihak Terjamin) yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya
Perjanjian Pokok, antara lain adalah:
a.
Pihak Terjamin (Penyedia Barang/Jasa) tidak memenuhi kewajibannya
sebagai peserta lelang dalam hal yaitu:
Menarik kembali penawarannya selama dilaksanakan pelelangan atau
sesudah ditunjuk sebagai pemenang;
Tidak menyerahkan jaminan pelaksanaan setelah ditunjuk sebagai
pemenang;
Tidak menandatangani kontrak;
Tidak hadir dalam klarifikasi dan/atau verifikasi sebagai calon pememang;(Masa Pelaksanaan Jaminan Penawaran).
b. Pihak Terjamin tidak menyelesaikan seluruh kewajibannya sesuai dengan
perjanjian/kontrak (Masa Pelaksanaan Jaminan Pelaksanaan);
Klaim atas Performance Bond (Jaminan Pelaksanaan) terjadi apabila :
Principal mengundurkan diri dari pekerjaan
Principal tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak,
seperti :
1). Pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak atau Surat
Perintah Kerja.
2). Pekerjaan disub-kan kepada Kontraktor lain.
3). Pekerjaan tidak dapat diselesaikan sesuai waktu yang ditentukan dalam
kontrak.
c. Apabila Pihak Terjamin tidak mengembalikan uang muka uang telah
dibayarkan (Masa Pelaksanaan Jaminan Uang Muka);
d. Apabila Terjamin tidak melaksanakan pemeliharaan atau tidak memperbaiki
seluruh kerusakan yang terjadi selama masa pemeliharaan (Masa
Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan).
2. Bahwa berdasarkan Pasal 122 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010
sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
12/29
12
Barang/Jasa Pemerintah juga mengatur mengenai adanya Perbuatan Cidera
Janji yang dapat dilakukan oleh PPK terhadap ketentuan yang termuat dalam
Kontrak (Perjanjian Pokok), ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut
”PPK yang melakukan cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam
Kontrak, dapat dimintakan ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran
adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan
tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank
Indonesia; atau
b. dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam Kontrak.
F. Tentang Pengertian, Syarat Sah, Perjanjian Mengikat Para Pihak sebagai Undang-
Undang Serta Penentuan Tindakan Lalai Terhadap Perjanjian Pokok
(Wanprestasi).
1. Bahwa yang dimaksud dengan Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
2. Bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
a. Harus ada kesepakatan dari pihak yang membuat perjanjian;
b. Harus ada kemampuan membuat perjanjian;
c. Harus ada objek atau hal tertentu;
d. Harus ada causa/sebab yang halal.
3.
Bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1338 Ayat (1) KUH Perdata.
4. Bahwa si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri,
ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
13/29
13
lewatnya waktu yang dikatakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1238
KUH Perdata.
G. Tentang Penjaminan Atau Penanggungan Serta Pencantuman Klausula Pelepasan
Hak Istimewa Yang Diberikan Undang-Undang Sebagaimana Dimaksud Dalam
Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Perjanjian Penjaminan
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
1. Bahwa istilah Penjaminan memiliki pengertian yang sama dengan
Penanggungan, berdasarkan Pasal 1316 dan Pasal 1820 KUH Perdata,
berbunyi sebagai berikut:
“ Seseorang boleh menanggung seorang pihak ketiga dan menjanjikan bahwa
pihak ketiga ini akan berbuat sesuatu; tetapi hal ini tidak mengurangi tuntutan
ganti rugi terhadap penanggung atau orang yang berjanji itu jika pihak ketiga
tersebut menolak untuk memenuhi perjanjian itu”
“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga, demi kepentingan
kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu
tidak memenuhi perikatannya ” .
2. Bahwa Penanggung wajib memiliki kemampuan memenuhi perikatannya, hal
tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1827 KUH Perdata yang berbunyi
sebagai berikut:
“ Debitur yang diwajibkan menyediakan seorang penanggung, harus mengajukan
seseorang yang cakap untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, mampu untuk
memenuhi perjanjiannya dan bertempat tinggal di Indonesia”
3. Bahwa sifat Perjanjian Penanggungan sangatlah bergantung pada Perjanjian
Pokoknya, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1821 KUH Perdata,
yang berbunyi sebagai berikut:
“ Tiada penanggungan, bila tiada perikatan pokok yang sah menurut
undang-undang. Akan tetapi orang dapat mengadakan penanggungan dalam
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
14/29
14
suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan sanggahan
mengenai debitur, misalnya dalam hal belum cukup umur “.
4. Bahwa suatu Persetujuan berlaku sah sebagai Undang-Undang bagi yang
membuatnya, hal tersebut berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata berbunyi
sebagai berikut :
“ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik “.
5. Bahwa terkait dengan Penanggungan harus dinyatakan secara tegas, Pasal
1824 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut:
“ Penanggungan tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus
dinyatakan secara tegas; penanggungan itu tidak dapat diperluas
hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu
mengadakannya “.
6.
Bahwa berdasarkan pasal 1831 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut:
“ Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali jika
debitur lalai membayar utangnya; dalam hal itu pun barang kepunyaan
debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya “.
H. Tentang Berakhirnya Perjanjian Penanggungan
Bahwa mengenai berakhirnya suatu perjanjian, berdasarkan KUH Perdata
berbunyi:
Pasal 1845.
“Perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama
dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya”.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
15/29
15
Pasal 1381
“ Perikatan hapus:
-
karena pembayaran; (KUHPerd. 1382 dst.)
- karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan; (KUHPerd. 1404 dst.)
- karena pembaharuan utang; (KUHPerd. 1413 dst.)
- karena perjumpaan utang atau kompensasi; (KUHPerd: 1425 dst.)
- karena percampuran utang; (KUHPerd. 1436 dst.)
- karena pembebasan utang; (KUHPerd. 1438 dst.)
- karena musnahnya barang yang terutang; (KUHPerd. 1444 dst.)
- karena kebatalan atau pembatalan; (KUHPerd. 1446 dst.)
- karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I
buku ini; (KUHPerd. 1265 dst.) dan
- karena kedaluwarsa, yang akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
I. Tentang Kewajiban Principal / Indemnitor Untuk Membayar Ganti Rugi Kepada
Surety Company Atas Pemenuhan Pembayaran Klaim Kepada Obligee Akibat
Kegagalan / Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Principal (Subrogasi)
Bahwa Pihak Penjamin berhak menerima Ganti Rugi dari Pihak Terjamin atas
Pemenuhan Pembayaran Klaim yang telah dilakukannya, hal tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 1839 dan Pasal 1840 KUH Perdata, yang berbunyi
sebagai berikut:
“ Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah
dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan
itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini
dapat dilakukan, baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-
biaya. Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnya
Kimball, sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikan
pemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan
kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan
bunga, bila alasan untuk itu memang ada“.
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
16/29
16
“ Penanggung yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum
menggantikan kreditur dengan segala haknya terhadap debitur semula” .
Disamping itu terhadap Perusahaan Surety (Penjamin) yang telah memenuhi
kewajibannya kepada Obligee, berdasarkan Suretybond serta berdasarkan
Agreement of Indemnity To Surety atau Perjanjian Kewajiban Membayar Ganti
Rugi Kepada Penjamin yang ditandatangani oleh Pihak Principal bersama
Indemnitornya demi hukum telah menggantikan hak menuntut dari Obligee yang
ada pada Principal.
J. Tentang Perusahaan Milik Negara (BUMN) Yang bergerak Di Bidang Asuransi
Kerugian (Asuransi Kredit dan Suretyship) Serta Penerapan Prinsip Kehati-hatian
1. - Bahwa berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi sebagai berikut:
“ Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”
-
Bahwa berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentangPerubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas berbunyi sebagai berikut:
“Terhadap Perseroan berlaku Undang-Undang ini, anggaran dasar
Perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
2. Bahwa berdasarkan Peraturan menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006
Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non
Bank Pasal 3 Permenkeu tersebut menentukan bahwa Lembaga Keuangan Non
Bank (LKNB) wajib menetapkan sebagai berikut:
“Kebijakan penerimaan nasabah; - Kebijakan dan prosedur dalam
mengidentifikasi nasabah;”
3. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
No. 023.K/N/1999 tanggal 16 Agustus 1999, sehubungan dengan permasalahan
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
17/29
17
hukum Exceptio Non Adempletio Contractus yakni “tangkisan berdasar
bahwa Penggugat sendiripun belum atau tidak memenuhi perjanjian”, dapat
disampaikan sebagai berikut:
kasus perkara yang mengandung permasalahan hukum Exceptio Non
Adempletio Contractus langsung menimbulkan dampak pembuktian yang
rumit dan teliti untuk dibuktikan: apakah benar pihak (Pemohon dan
Termohon ) sama sama berada dalam keadaan wanprestasi (default), serta
sejauh atau sebesar apa nilai dari wanprestasi yang dilakukan oleh Para
Pihak tersebut.
dalam perkara ini Pemohon dibebani wajib bukti (beerden of proof)
untuk membuktikan dalil permohonannya tentang wanprestasi,
sementara Termohon juga dibebani wajib bukti untuk membuktikan
counter claim tentang wanprestasi dan kerugian yang dialaminya.
4. Bahwa sehubungan dengan Angka 4 di atas, berdasarkan Putusan MA Nomor
Register: 438 K / Pdt / 1995 Tanggal 30 September 1996, Kaidah Hukum
mengemukakan sebagai berikut:
“Dalam suatu gugatan apabila terbukti bahwa Penggugat yang wanprestasi, maka gugatan Penggugat sepanjang mengenai wanprestasinya pihak lawan harus
ditolak;”
5. Bahwa berdasarkan pendapat Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada,
Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H., yang berbunyi sebagai berikut:
“Akan tetapi…, dst. Soal itu tidak dapat diselesaikan secara baik tanpa
menyelidiki terlebih dahulu tentang: Apakah sebab atau kuasa dari sesuatu
kerugian tertentu itu. Kalau persoalan itu dapat kita jawab maka barulah dapat
ditentukan apakah penanggung itu wajib mengganti kerugian yang timbul atau
tidak” ; (vide Buku berjudul Hukum Pertanggungan, diterbitkan oleh Seksi
Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
halaman 53)
6. Bahwa berdasarkan Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26 Ayat 2 (b) Permeneg BUMN
No.01/MBU/2011 Dan Perubahannya No.09/MBU/2012 Tentang Penetapan Tata
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
18/29
18
Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha
Milik Negara, berbunyi sebagai berikut:
“Direksi BUMN harus menetapkan suatu sistem pengendalian intern
yang efektif untuk mengamankan investasi dan aset perusahaan dan
dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan, harus mempertimbangkan
risiko usaha yang didalamnya mencakup hal-hal antara lain yaitu:
pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk assessment), yaitu
suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai pengelolaan
risiko yang relevan” .
7.
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 120
K/PID.SUS/2012 tanggal 26 Juni 2013, menjelaskan tentang permohonan kasasi
Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta
dijatuhi pidana, Yurispruidensi tersebut berbunyi antara lain:
“Bahwa perbuatan Terdakwa yang tetap menerbitkan surety bond
jaminan uang muka, meskipun persyaratan yang dimintakan oleh
kantor pusat belum dipenuhi oleh pemohon merupakan
penyalahgunaan wewenang oleh Terdakwa, alasan Terdakwa yang percaya
janji pemohon akan melengkapi persyaratan yang diminta tidak dapat
dibenarkan dan bukanlah alasan pembenar atau pemaaf terhadap perbuatan
Terdakwa,”
8. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 120 K/PID.SUS/2012
tanggal 26 Juni 2013 perkara Tindak Pidana korupsi Penyalah Gunaan
Wewenang Kepala Cabang PT. (Persero) Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI)
terkait Penutupan Penjaminan, terdapat kaidah hukum menjelaskan antaralain sebagai berikut:
Bahwa PT. (Persero) Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) adalah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk berdasarkan PP No. 20 Tahun
1985, sehingga jaminan uang muka sebesar Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah) yang dibayar oleh obligee kepada PT. Pelopor Lestari Jaya
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
19/29
19
melalui PT. ASEI sebagai BUMN tersebut dikwalifikasikan sebagai
keuangan Negara.
Bahwa oleh karena Terdakwa selaku Kepala PT. ASEI cabang Tangerang
telah menyerahkan uang tersebut kepada PT. Pelopor Lestari Jaya,
namun kenyataannya jual beli tidak terlaksana sehingga menimbulkan
kewajiban bagi PT. ASEI untuk mengembalikan/ membayar uang
sebesar Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) kepada
obligee.
Dengan demikian meskipun klaim dari obligee tersebut belum dibayar
oleh PT. ASEI cabang Tangerang, namun secara faktual potensi untuk
terjadinya kerugian keuangan Negara telah nyata;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas unsur dapat merugikan keuangan
Negara tersebut terpenuhi; Bahwa sesuai fakta-fakta hukum yang
diperoleh di persidangan dan alat-alat bukti yang sah, perbuatan yang
didakwakan terhadap Terdakwa dilakukan secara bersama-sama dengan
Indra Sarnis (penuntutan dilakukan secara terpisah), Samuel Herrat Tulandi
(DPO), dan Patrisius Sabran (DPO);
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Terdakwa terbukti bersalah
melakukan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 3 jo Pasal
18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana yang didakwakan dalam
dakwaan Alternatif kedua Jaksa/Penuntut Umum oleh karena itu
Terdakwa patut dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya;
8. Bahwa berdasarkan Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang No. Tentang BUMN dalam
penjelasannya berbunyi antara lain bahwa “Direksi selaku organ BUMN yang
ditugasi melakukan pengurusan tunduk pada semua peraturan yang berlaku
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
20/29
20
terhadap BUMN dan tetap berpegang pada penerapan prinsip - prinsip good
corporate governance yang meliputi :
a)
transparansi,;
b) kemandirian,;
c) akuntabilitas,;
d) pertanggungjawaban,;
e) kewajaran,.
9. Bahwa menurut penjelasan umum UU No.31 Tahun 1999 alinea keempat Jo UU
No. 20 Tahun 2001 menyebutkan:
“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya
segala kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN /BUMD, dan
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan
negara”
10. Bahwa Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003/PUU- IV/2006,
tentang Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang berkenaan dengan frasa “dapat” dan
serta Pasal 15 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, dalam
pertimbangan putusan tersebut menyebutkan : “mengenai frasa ‘dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’, dinyatakan sepanjang
kerugian negara menurut ahli dapat dihitung dan dapat dibuktikan
meskipun hanya dalam perkiraan dan belum terjadi, hal tersebut
dianggap tetap sebagai delik formil dan menjadi dasar untuk
menjatuhkan hukuman. Sedangkan adanya kerugian atau belum ada kerugianadalah sebagai sarana untuk menentukan berat dan ringannya pidana”;
11. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam perkara
korupsi Walikota Padang Nomor : 366 K/Pid/2000, tanggal 25 September
2000 menyatakan:
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
21/29
21
“…Bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, maka kerugian negara
tidak harus benar-benar terjadi. Dalam perumusan delik formal, yang perlu
dibuktikan adalah unsur-unsur delik dalam dakwaan jaksa, bukan terhadap
timbulnya akibat“;
II. ANALISA
A. Tentang Pemenuhan Perjanjian Penjaminan Suretybond (Perjanjian Accesoir)
Apabila Principal Dan Obligee Sama Sama Berada Dalam Keadaan Wanprestasi
Atau Sama Sama Melakukan Perbuatan Cidera Janji Terhadap Ketentuan
Sebagaimana Disyaratkan Dalam Kontrak Barang/Jasa (Exceptio Non
Adempletio Contractus)
1. Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan sebagaimana dimaksud di atas
(Dasar Hukum A-1), dapat diketahui bahwa dalam perjanjian Surety Bond ini
terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu:
a. Pihak Perusahaan Surety (Surety Company), merupakan pihak yang
memberikan atau menerbitkan jaminan.
b.
Pihak Principal (Kontraktor / Penyedia Jasa), merupakan pihak pelaksana
pekerjaan, yang mendapat pekerjaan dari pemilik pekerjaan atau pihak
yang membutuhkan Jaminan.
c. Pihak Obligee, merupakan pihak pemilik pekerjaan atau pihak yang
mensyaratkan Jaminan.
2. Bahwa sehubungan dengan dimaksud Angka 1 di atas, selanjutnya Obligee
dan Principal menuangkan ketentuan serta syarat-syarat kerjasamaPengerjaan Proyek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dimaksud dalam
Perjanjian Tertulis/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Dasar
Hukum F.1).
Dengan demikian, maka Perjanjian Tertulis/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dimaksud berlaku sah (Dasar Hukum F.2) dan mengikat bagi
kedua belah pihak sebagai undang-undang (Dasar Hukum F.3).
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
22/29
22
3. Bahwa guna mendukung kerja sama antara Obligee dan Principal dimaksud
Angka 2 di atas serta dalam rangka Pemenuhan Pelaksanaan bagi Prinsipal
terhadap ketentuan sebagaimana disyaratkan dalam Kontrak, selanjutnya
Konsorsium, atas kesepakatan Pihak Prinsipal berencana untuk mengikatkan
diri dalam Penanggungan dengan cara menerbitkan Surat Jaminan Surety
Bond yang berfungsi untuk menjamin terpenuhinya kewajiban Principal
terhadap pelaksanaan ketentuan dalam Kontrak yang disepakatinya dengan
Obligee.
Dengan demikian, maka Surat Jaminan Surety Bond dimaksud berlaku sah
(Dasar Hukum F.2) dan mengikat bagi kedua belah pihak sebagai undang-
undang (Dasar Hukum F.3).
4. Bahwa Penjaminan merupakan perjanjian penanggungan yang diatur dalam
Buku ke III KUH Perdata Pasal 1820 sampai dengan 1850, yang merupakan
“Perjanjian Accessoir ” karena adanya penanggungan itu tergantung dari
adanya suatu Perjanjian Pokok (Dasar Hukum G).
5.
Bahwa yang merupakan “Perjanjian Pokok” adalah Kontrak, sementara
“Perjanjian Accessoir” adalah Perjanjian Penanggungan berupa Surety
Bond (Dasar Hukum G.3).
Dengan demikian, Surety Bond merupakan Perjanjian
Penanggungan/Penjaminan yang tunduk pada ketentuan Hukum
Penanggungan.
Berdasarkan penjelasan Peraturan di atas tersebut (Dasar Hukum F dan G)
Perjanjian Surety Bond akan terjadi apabila suatu pihak (Surety Company)
berjanji untuk menjamin pihak lain (principal) bagi kepentingan pihak ketiga
(obligee), sehingga pihak penjamin (Surety Company ) akan bertanggungjawab
untuk memenuhi kewajiban tersebut kepada Obligee. Kewajiban yang harus
dipenuhi oleh Principal di dasarkan kepada Perjanjian yang dibuat dan
disepakati oleh Principal dan Obligee, atau dengan kata lain Perjanjian Surety
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
23/29
23
Bond merupakan Perjanjian Tambahan/Accecoir dari Perjanjian Pokok yang
dibuat dan disepakati oleh Principal dan Obligee tersebut.
6. Bahwa Penerbitan Surat Jaminan Suretybond hanya berfungsi untuk
menjamin Principal dari kemungkinan adanya Perbuatan Cidera Janji terhadap
ketentuan yang disyaratkan dalam Kontrak Barang/Jasa Pemerintah, sehingga
apabila Penyedia Barang/Jasa (Principal) melakukan Perbuatan Cidera Janji,
maka si Surety Company/Konsorsium (Penanggung) wajib membayar kepada
si Pengguna Barang/Jasa (Obligee) (Dasar Hukum F)
7.
Bahwa pada prinsipnya penetapan wanprestasi (Perbuatan Cidera Janji)
dilakukan karena salah satu Pihak tidak melakukan kewajiban (lalai)
terhadap ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Kontrak (vide
Dasar Hukum F.4).
Dengan kata lain bahwa dalam pelaksanaan pemenuhan Kontrak, Pengguna
Barang/Jasa (Obligee) menyatakan bahwa Penyedia Barang/Jasa (Principal)
tidak dapat melaksanakan ketentuan yang dipersyaratkan dalam Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa. Oleh karena itu, Pengguna Barang/Jasa menyatakan
bahwa Penyedia Barang/Jasa (Principal) telah wanprestasi.
8. - Bahwa Pengguna Barang/Jasa (Obligee) dapat melakukan Perbuatan Cidera
Janji/ tidak melakukan kewajiban (lalai) terhadap ketentuan sebagaimana
yang dipersyaratkan dalam Kontrak (Dasar Hukum E.2).
- Bahwa sanksi yang diberikan kepada Pengguna Barang/Jasa (Obligee) atas
Perbuatan Cidera Janji/ tidak melakukan kewajiban (lalai) terhadap
ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Kontrak tersebut hanyaberupa ganti rugi sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat
dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu
menurut ketetapan Bank Indonesia atau kompensasi sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Kontrak (Dasar Hukum E.2).
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
24/29
24
- Bahwa namun demikian jika merujuk pada kaidah hukum dalam
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 023.K/N/1999
tanggal 16 Agustus 1999 (Dasar Hukum I.2), apabila Perbuatan Cidera
Janji/tidak melakukan kewajiban (lalai) terhadap ketentuan sebagaimana
yang dipersyaratkan dalam Kontrak yang dilakukan oleh Obligee tersebut
berdampak/telah mengakibatkan si Principal menjadi turut melakukan
Perbuatan serupa, maka kepada si Obligee dibebani wajib bukti (beerden of
proof ) untuk membuktikan dalil tuduhan tentang wanprestasinya tersebut,
sementara si Prinsipal juga dibebani wajib bukti untuk membuktikan counter
claim tentang tuduhan wanprestasinya kepada Obligee dan kerugian yang
dialaminya.
- Bahwa terhadap perkara yang mengandung permasalahan hukum Exceptio
Non Adempletio Contractus dimaksud penjelasan Angka 4 di atas
tersebut, langsung menimbulkan dampak pembuktian yang rumit dan teliti
untuk dibuktikan: apakah benar pihak (Obligee dan Principal ) sama sama
berada dalam keadaan wanprestasi (default), serta sejauh atau sebesar apa
nilai dari wanprestasi yang dilakukan oleh Para Pihak tersebut, sehubungandengan permasalahan dimaksud apabila kita merujuk kaidah hukum
sebagaimana dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Register: 438 K
/ Pdt / 1995 Tanggal 30 September 1996 (Dasar Hukum I.3) terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa apabila si Obligee ternyata memang
terbukti/dapat dibuktikan benar-benar telah melakukan tindakan
wanprestasi, maka terhadap klaim wanprestasi yang dituduhkan si Obligee
kepada Principal “demi hukum menjadi tertolak”.
B. Tentang Pelepasan Hak Istimewa Serta Kewajiban Membayar Ganti Rugi
/Subrogasi (Agreement of Indemnity To Surety)
1. Bahwa mengenai klausula pelepasan Hak Istimewa dalam suatu Perjanjian
Penjaminan, berdasarkan ketentuan dimaksud ( oleh karena ketentuan Pasal
1832 KUH Perdata hanya bersifat memberi kewenangan kepada Kreditur
untuk menyita barang penanggung/penjamin (guarantor) untuk melunasi
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
25/29
25
hutang debitur sehingga pelepasan hak tersebut hanya berakibat pada
penanggung/penjamin (guarantor) menjadi kehilangan haknya untuk
menuntut agar barang-barang debitur dulu yang disita.
2. Bahwa Azas Hukum sebagaimana termuat Buku Jurisprudensi Mahkamah
Agung R.I. tahun 1998, terbitan Mahkamah Agung R.I., dalam Putusan
Mahkamah Agung R.I Reg. No.: 922 K/Pdt/1995 tertanggal 31 Oktober 1997
yang menolak Permohonan Pernyataan Pailit pada perkara antara CITI BANK
NA, cabang Singapore Cs. (Para Pemohon Pailit) melawan Ny. Silastri Samsi
(Termohon Pailit), mengemukakan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Dalam kasus Personal Guaranty atau Borgtoch harus ditegakkan azas penjamin
selamanya adalah penjamin (“Guarantor always Guarantor”) atas pembayaran
hutang …, oleh karena itu status keperdataan principal tidak dapat dialihkan
kepada Guarantor diluar tuntutan pembayaran hutang principal. Konsekuensi
logis dari asas tersebut, kepada diri Guarantor tidak dapat diminta pailit atas
wanprestasi yang dilakukan principal. Yang dapat dituntut dari Guarantor
adalah pelunasan hutang principal baik dalam bentuk bersama-sama dengan
principal atau terhadap Guarantor ”;
3. Bahwa meskipun ada Pelepasan Hak Istimewa dari Penanggung/Penjamin
(Guarantor) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1832 KUH Perdata, tetapi
tidak berarti kedudukan /Penjamin (Guarantor) dapat menggantikan
Principal/Terjamin, karena ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata hanya bersifat
memberi kewenangan kepada Penanggung/Penjamin untuk menyita barang
Tertanggung (Principal) untuk melunasi hutang Tertanggung, dan
Penanggung/Penjamin (Guarantor) kehilangan haknya untuk menuntut agar
barang-barang debitur dulu yang disita (bukan berarti bahwa Penanggung
harus langsung melakukan pembayaran pada saat Principal dianggap telah
melakukan wanprestasi);
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
26/29
26
C. Tentang Kekayaan Milik Negara Serta Risiko Kerugian Keuangan Negara
1. Bahwa segala kekayaan dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara, merupakan Kekayaan Milik Negara (Dasar Hukum I.5).
2. Bahwa sebagai Surety Company yang merupakan Badan Usaha Milik Negara,
turut bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Korupsi,
Penyalah Gunaan wewenang dalam Jabatan serta risiko Kerugian Keuangan
Negara (Dasar Hukum I.5,8).
D.
Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Yang Bergerak Di Bidang Asuransi
Kerugian (Asuransi Kredit dan Suretyship) Wajib Tunduk Pada Peraturan Yang
Berlaku Terhadap BUMN Dan Tetap Berpegang Pada Penerapan Prinsip - Prinsip
Good Corporate Governance
1. Bahwa hubungan hukum yang terjadi antara Principal dengan Surety
Company (Konsorsium) adalah hubungan Hukum Penanggungan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bab XVII KUH Perdata, khususnya
bagian Kedua tentang akibat Penanggungan (Dasar Hukum F);
2. Bahwa dengan diterbitkannya Surety Bond oleh Surety Company
(Konsorsium) membuktikan bahwa Surety Company (Konsorsium) telah
mengikatkan diri untuk menjadi Penanggung/ Penjamin (Guarantor ) atas
Obligee (Kementrian PU-PR RI);
3. Bahwa Perjanjian Pertanggungan/Penjaminan merupakan Perjanjian yang
bersifat assesoir, dengan kata lain tidak ada Pertanggungan/Penjaminan
tanpa adanya Perjanjian Pokok (pasal 1821 ayat 1 KUH Perdata), sehingga
kewajiban untuk memenuhi isi Perjanjian Pokok tetap ada pada Debitur
(Obligee dan Principal);
4. Bahwa dalam rangka menerbitkan Surat Jaminan, Surety Company wajib
untuk menetapkan suatu kebijakan Penerimaan Nasabah (Kebijakan dan
prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah) (Dasar Hukum I.2)
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
27/29
27
5. Bahwa dalam rangka Pemenuhan Ketentuan-Ketentuan Yang Dipersyaratkan
Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, Para Pihak dalam Perjanjiantersebut (Obligee dan Principal) tetap berpotensi melakukan Perbuatan
Cidera Janji (Wanprestasi).
E. Tentang Penerapan Pelaksanaan Penerbitan Dan Penutupan Surety Bond
1. Bahwa Pelaksanaan Penerbitan Penjaminan Suretybond harus memenuhi
syarat-syarat standar kelayakan berdasarkan pada ketentuan terkait yang
berlaku.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk menilai kelayakan pengalihan resiko dan
recovery klaim dari oblige kepada prinsipal secara subrogasi, sehingga,
tindakan Penerbitan Penjaminan Suretybond yang tidak memenuhi ketentuan
tersebut berdasarkan Yurisprudensi mahkamah Agung (Dasar Hukum I.7)
dianggap bukan sebagai alasan pembenar atau pemaaf melainkan sebagai
Perbuatan Penyalah Gunaan Wewenang/Perbuatan Melawan Hukum dengan
Sanksi Pidana.
2. Bahwa terkait konsekuensi hukum terhadap tidak diberlakukannya Prinsip
Kehati hatian dalam pelaksanaan Penutupan Penjaminan Suretybond dapat
diketahui berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 120
K/PID.SUS/2012 tanggal 26 Juni 2013 (Dasar Hukum J.7), melalui kaidah
hukum yang terdapat pada Yurisprudensi tersebut.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam Fakta, Dasar Hukum dan Analisa tersebut di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa sifat Unconditional yang melekat pada Penutupan/Pencairan Surat
Jaminan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan peraturan yang
harus dilaksanakan untuk menjamin kepentingan Pemerintah jika terjadi
wanprestasi dari penyedia Barang/Jasa (Principal).
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
28/29
28
2. Bahwa pelaksanaan Penutupan/Pencairan Surat Jaminan dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang dilakukan tanpa mengedepankan Prinsip Kehati
Hatian dapat dikategorikan sebagai suatu Perbuatan Pidana.
3. Bahwa terhadap Badan Usaha Milik Negara berlaku ketentuan peraturan yang
mengharuskan untuk mengedepankan Prinsip kehati-hatian dengan melakukan
pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk assessment), yaitu
suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai pengelolaan
risiko yang relevan”.
Bahwa dengan demikian upaya penyelesaian permasalahan terkait pelaksanaan
Perjanjian Pokok yang Para Pihaknya Sama Sama Berada Dalam Keadaan
Wanprestasi Atau Sama Sama melimpahkan tuduhan melakukan Perbuatan Cidera
Janji Terhadap Ketentuan Yang Disyaratkan Dalam Kontrak Barang/Jasa
(Exceptio Non Adempletio Contractus), hanya dapat diselesaikan secara baik
dengan melakukan/ menyelidiki terlebih dahulu tentang: Apakah sebab atau causa
dari sesuatu kerugian.
4.
Bahwa kedudukan hubungan hukum antara Surety Company (Penjamin) denganPrincipal dan Obligee adalah sebagai Penanggung yang hanya tunduk dengan
Hukum Penanggungan (sehingga apabila ditemukan fakta adanya Perbuatan
Melawan Hukum yang dilakukan oleh Obligee terhadap Pelaksanaan Perjanjian
Pokok yang mengakibatkan Perjanjian Pokok tersebut menjadi batal),
Dengan demikian, maka dengan batalnya Perjanjian Pokok tersebut secara hukum,
hubungan hukum Surety Company (Penjamin) dengan Principal dan Obligee yang
hanya terikat dalam perjanjian accessoir itu pun ikut menjadi batal.
5. Bahwa Pelepasan Hak Istimewa bukan berarti Penjamin harus langsung
melakukan pembayaran pada saat Principal dianggap telah melakukan
wanprestasi atau dengan kata lain status keperdataan Principal tidak dapat
dialihkan kepada Penjamin/Guarantor diluar tuntutan pembayaran hutang
Principal (“Guarantor always Guarantor”).
-
8/18/2019 Konsekuensi Hukum Pelaksanaan Pencairan Tanpa Syarat (“Unconditional”) Pada Suretybond
29/29
Dengan demikian, pelaksanaan Penutupan/Pencairan Surat Jaminan Suretybond
tetap berpedoman kepada ketentuan Penanggungan sebagaimana diatur dalam
KUH Perdata.
IV. Rekomendasi
Sebagaimana telah disampaikan dalam uraian-uraian tersebut di atas, dapat kami
rekomendasikan bahwa dalam rangka menerapkan Pelaksanaan Pencairan Tanpa
Syarat (Unconditionil) pada Suretybond demi menjamin kepentingan Pemerintah
terkait Proyek Pengadaan Barang/Jasa, Perusahaan Milik Negara (BUMN) hendaknya
berkewajiban untuk melaksanakan Proses (Assessment secara komprehensif) terhadap
Penerbitan dan Penutupan Surat Jaminan dengan mengedepankan Prinsip kehati-
hatian melalui pengkajian dalam pengelolaan risiko usaha (risk assessment) serta
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata tentang
Penanggungan.