konjungtivitis kronis afril

36
Tugas Baca KONJUNGTIVITIS KRONIS (H10. 4) Oleh Afrilya Christy Sitepu NIM I1A009096 Pembimbing dr. Muhammad Ali Faisal, M.Sc, Sp. M BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA

Upload: afrilya-christy-sitepu

Post on 23-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Tugas BacaKONJUNGTIVITIS KRONIS (H10. 4)OlehAfrilya Christy SitepuNIM I1A009096Pembimbing

dr. Muhammad Ali Faisal, M.Sc, Sp. MBAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA

FK UNLAM RSUD ULIN

BANJARMASIN

Maret, 2014BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtiva merupakan selaput mukosa tipis dan transparan yang melapisi permukaan belakang kelopak mata dan permukaan depan sklera. Karena lokasinya, konjungtiva sering terpapar oleh banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu.1

Konjungtivitis merupakan suatu keradangan konjungtiva yang disebabkan bakteri, virus, jamur, chlamidia, alergi atau iritasi dengan bahan-bahan kimia.2 Berdasarkan waktu, konjungtivitis dibedakan menjadi: Konjungtivitis akut, yaitu konjungtivitis dengan awitan terpisah yang diawali dengan inflamasi unilateral, kemudian diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu kemudian. Lama sakit adalah kurang dari empat minggu. Konjungtivitis kronik, yaitu konjungtivitis dengan lama sakit lebih dari tiga sampai empat minggu.3 Peradangan konjungtiva (konjungtivitis) merupakan penyakit mata yang paling umum di dunia dan dapat diderita tanpa dipengaruhi usia. Penyakit ini bervariasi dari hiperemia ringan dengan berair mata sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.4Di negara maju seperti Amerika (2005), insidens rate konjungtivitis bakteri sebesar 135 per 10.000 penderita konjungtivitis bakteri baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan juga lansia. Konjungtivitis juga salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur, dengan insidens rate yaitu 32,9% dari 949 kunjungan di Departemen Mata Aba Metropolis, Nigeria, pada tahun 2004 hingga 2006. 4Di Indonesia, konjungtivitis sering dihubungkan dengan higienitas. Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar 2-75%. Data perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%).5Gambaran klinis yang terlihat pada konjungtivitis bervariasi tergantung dari agen penyebabnya, dapat berupa hiperemi konjungtiva bulbi (injeksi konjungtiva), lakrimasi, eksudat dengan sekret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak membengkak, kemosis, hopertrofi papil, folikel, membran, pseudomembran, granulasi, flikten, mata merasa seperti adanya benda asing dan adenopati preaulikular.6Berikut ini akan dijelaskan bentuk konjungtivitis kronis dengan kode ICD 10 H 10.4.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi. Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri konjungtiva posterior dan arteri siliaris anterior, dipersarafi oleh nervus trigeminus (N.Opthalmicus). Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.6

Gambar Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:7a. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar 2mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva sesungguhnya. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler. Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.b. Konjungtiva bulbaris : menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang 3mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea.Konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.c. Forniks : bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.

Gambar . Anatomi Konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,superfisial dan basal. Sel epitel superfisial mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa stratum germativum.4B. DEFINISIKonjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi. Peradangan ini dapat terjadi pada konjungtiva palpebra, konjungtiva forniks, ataupun konjungtiva bulbi.3Konjungtivitis kronik merupakan konjungtivitis yang berlangsung lebih dari tiga sampai empat minggu.3 Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.4C. ETIOLOGISama halnya dengan kornea, konjungtiva terpajan dengan lingkungan luar seperti mikroorganisme dan faktor stress.8 Permukaan konjungtiva tidak steril karena dihuni oleh flora normal. Untuk itu, terdapat mekanisme defensi alamiah seperti komponen aqueous yang melarutkan agen infeksius, mukus yang menangkap debris, kedipan mata, perfusi yang baik, dan aliran air mata yang membilas konjungtiva. Air mata sendiri mengandung antibodi dan antibakterial yaitu immunoglobulin (IgA dan IgG), lisozim, dan interferon.3,9 Inflamasi dapat terjadi dengan kontak langsung dengan patogen melalui tangan yang terkontaminasi, handuk, atau kolam renang. Secara garis besar, penyebab konjungtivitis adalah endogen (non-infeksius) atau eksogen (infeksius).3Infeksius:

Bakterial Klamidia Viral Riketsia ParasitikNon-infeksius: Alergi Autoimun Toksik (kimia atau iritan) Penyakit sistemik seperti sindrom Steven-Johnson Iritasi persisten akibat produksi air mata yang kurang.2D. EPIDEMIOLOGI

Konjungtivitis adalah penyakit mata paling sering di dunia yang dapat terjadi pada berbagai usia.8 Akan tetapi, terdapat beberapa bentuk konjungtivitis tertentu yang terjadi pada kelompok usia tertentu. Pada anak, sering terjadi keratokonjungtivitis vernal, sedangkan keratokonjungtivitis atopik dan alergika sering terjadi pada dewasa muda. Sekitar 1-3% pengguna kontak lensa terkena konjungtivitis papiler raksasa dan 10% neonatus mengalami konjungtivitis dengan berbagai penyebab. Konjungtivitis infeksius mengenai perempuan dan laki-laki dengan insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada perempuan. Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat kimia dan mekanik lebih sering terjadi pada pria.3E. GEJALA DAN TANDA KONJUNGTIVITISUmumnya, konjungtivitis mengenai kedua mata dengan derajat keparahan yang berbeda. Gejala konjungtivitis adalah mata merah dengan produksi sekret yang berlebih sehingga mata terasa lengket pada pagi hari setelah bangun tidur. Selain itu, pasien dapat mengalami sensasi benda asing, terbakar, atau gatal, serta fotofobia. Rasa nyeri yang muncul biasanya menandakan kornea juga terkena. Gejala yang dirasakan oleh pasien dapat bervariasi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda dari konjungtivitis berupa:8

Hiperemia: mata tampak merah akibat dilatasi pembuluh darah. Jika tanpa disertai infiltrasi seluler, menandai iritasi seperti angin, matahari, dan asap.

Epifora: lakrimasi yang berlebihan sebagai respons terhadap sensasi benda asing dan iritan yang harus dibedakan dengan transudat. Transudat ringan yang timbul akibat pelebaran pembuluh darah dapat bercampur dengan air mata.

Eksudasi: kuantitas dan sifat eksudar (mukoid, purulen, berair, atau berdarah) bergantung dengan etiologi penyakit.

Pseudoptosis: jatuhnya kelopak bola mata karena infiltrasi pada otot Muller yang dapat ditemukan pada konjungtivitis parah seperti keratokonjungtivitis trakoma.

Hipertrofi papiler: reaksi konjungtiva yang tidak spesifik berupa papil berukuran kecil, halus, dan seperti beludru. Papil berwarna kemerahan pada infeksi bacterial, sedangkan bentuk cobblestone ditemui pada konjungtivitis vernal.

Kemosis: pembengkakan konjungtiva yang sering ditemukan pada konjungtivitis alergika, bakterial (konjungtivitis gonokokus), dan adenoviral.

Folikel: hiperplasia limfoid lokal konjungtiva yang terdiri dari sentrum germinativum yang paling sering ditemukan pada infeksi virus. Selain infeksi virus, ditemui pula pada infeksi parasit dan yang diinduksi oleh obat idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.

Pseudomembran: terbentuk akibat proses eksudatif dimana epitel tetap intak ketika pseudomembran dibuang.

Konjungtiva lignose: terbentuk pada pasien yang mengalami konjungtivitis membranosa berulang.

Flikten: diawali dengan perivaskulitis limfositik yang kemudian berkembang menjadi ulkus konjungtiva. Selain itu, flikten menandakan reaksi delayed hipersensitivitas terhadap antigen microbial.

Limfadenopati preaurikular: pembesaran kelenjar getah bening yang dapat disertai rasa nyeri pada infeksi akibat herpes simpleks, konjungtivitis inklusi, atau trakoma.

Gambar Konjungtvitis, Mata tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang difus (injeksi konjungtiva).F. PATOFISIOLOGIKonjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film pada konjungtiva yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior. Di samping itu tear film juga mengandung beta lysine, lysozym, IgA, IgG yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada mikroorganisme patogen yang dapat menembus pertahanan tersebut sehingga terjadi infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis.6G. KLASIFIKASIKonjungtivitis folikularis kronis merupakan konjungtivitis yang sering ditemukan pada anak-anak, dan tidak pernah terlihat pada bayi baru lahir kecuali bila usia sudah beberapa bulan. Konjungtivitis folikularis kronis ditandai dengan terdapatnya tanda khusus berupa benjolan kecil berwarna kemerah-merahan pada lipatan retrotarsal. Folikel yang terjadi merupakan reaksi konjungtiva terhadap virus dan alergen toxik seperti iododioksiuridin, fisostigmin, dan klamidia. Folikel terlihat sebagai benjolan kecil mengkilat dengan pembuluh darah kecil diatasnya., yang pada pemeriksaan histologik berupa sel limfoid. Setiap folikel ini merupakan pusat germinatif tunggal limfoid.Folikel ini bisa diakibatkan trakoma akan berdegenerasi yang akan membentuk jaringan parut.6Folikel yang didapat pada tarsus inferior anak dan orang dewasa sering dapat dianggap normal.6Konjungtivitis kronis terdapat pada trakoma, toksis obat (kosmetik), bakteri, dan moluskum kontangiosum.6a. TrakomaTrakoma adalah salah satu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat mengenai segala umur tapi lebih banyak ditemukan pada orang muda dan anak-anak. Daerah yang banyak terkena adalah semenanjung Balkan. Ras yang banyak terkena ditemukan pada ras Yahudi, penduduk asli Australia dan Indian Amerika atau daerah dengan higiene yang kurang.6Cara penularan penyakit ini adalah melalai kontak langsung dengan sekret penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Masa inkubasi rata-rata 7 hari (berkisar dari 5-15 hari).6Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivitis dengan pewarnaan giemsa terutama terlihat reaksi sel-sel polimorfonuklear, tetapi sel plasma, sel leber dan sel folikel (limfoblas) dapat juga ditemukan. Sel leber menyokong suatu diagnosis trakoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostik yang penting bagi trakoma. Terdapat badan inklusi Halber Statter-Prowazeck di dalam sel epitel konjungtiva yang bersifat basofil berupa granul, biasanya berbentuk cungkup seakan-akan menggenggam nukleus. Kadang-kadang ditemukan lebih dari satu badan inklusi dalam satu sel.6Keluhan pasien menyerupai konjungtivitis bakteri adalah fotopobia, gatal, berair, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbaris, hipertrofi papil. Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melali 4 stadium, yaitu:61. Stadium 1 (hiperplasi limfoid): Terdapat hipertrofi papil dengan folikel yang kecil-kecil pada konjungtiva tarsus superior, yang memperlihatkan penebalan dan kongesti pada pembuluh darah konjungtiva. Sekret yang sedikit dan jernih bila tidak ada infeksi sekunder. Kelainan kornea sukar ditemukan tetapi kadang-kadang dapat ditemukan noevaskularisasi dan keratitis epitelial ringan.2. Stadium 2: Terdapat hipertrofi papilar dan folikel yang matang (besar) pada konjungtiva tarsus superior. Pada stadium ini ndapat ditemukan pannus trakoma yang jelas. Terdapat hipertrofi papil yang berat yang seolah-olah mengalahkan gambaran folikel pada konjungtiva superior. Pannus adalah pembuluh darah yang terletak di daerah limbus atas dengan infiltrat.

3. Stadium 3: Terdapat parut pada konjungtiva tarsus superior yang terlihat sebagai garis putih yang halus sejajar dengan margo palpebra. Parut folikel pada limbus kornea disebut cekungan Herbert. Gambaran papil mulai berkurang.

4. Stadium 4: Suatu pembentukan parut yang sempurna pada konjungtiva tarsus superior hingga menyebabkan perubahan bentuk pada tarsus yang dapat menyebabkan enteropion dan trikiasis.

Pemeriksaan yang dilakukan pertama kali yaitu menemukan tanda dan gejala dari trakoma. Untuk mengetahui adanya infeksi trakoma, dapat ditentukan jika sedikitnya dua dari empat gejala terpenuhi:

Terdapat lima atau lebih folikel pada tarsal konjungtiva superior

Pembentukan jaringan parut pada tarsal konjungtiva superior

Terdapat keratitis epitel pada limbus superior

Adanya pannus.

Pengobatan trakoma dengan tetrasiklin 1-1,5 gr/hari peroral diberikan dalam 4 dosis selama 3-4 minggu, doxycyclin 100 mg peroral 2x sehari selama 3 minggu atau erythromycin 1 g/hari peroral dibagi dalam 4 dosis selama 3-4 minggu. Pencegahan dilakukan dengan higiene yang baik, makanan yang bergizi. Penyulit trakoma adalah enteropion, trikiasis, simblefaron, kekeruhan kornea dan xerosis/keratitis sika.6b. Konjungtivitis ToksikKonjungtivitis toksik merupakan konjungtivitis yang terjadi akibat iritasi kronis oleh benda asing pada mata. Penyakit ini dapat terjadi pada satu mata (unilateral), dapat pula bilateral, tergantung bagian yang terpajan. Gejalanya dapat berupa rasa gatal, berair, dan rasa terbakar. Dari pemeriksaan didapatkan injeksi konjungtiva palpebra dan bulber, kemosis, folikel dan papil pada konjungtiva palpebra superior dan atau inferior, serta tidak ditemukannya pembesaran kelenjar preaurikuler.5

Dari anamnesis didapatkan riwayat penggunaan obat mata topical yang lama. Terjadinya konjungtivitis ini disebabkan adanya hiperreaksi sistem imun terhadap alergen, seperti obat-obat topical, lensa kontak, debu, ketombe dan lain-lain. Alergen ini kemudian menyebabkan degranulasi sel mast yang kemudian melepaskan mediator-mediator vasoaktif, termasuk histamin (berperan dalam meningkatkan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, dan sekresi mukus).5Penanganannya bersifat simptomatik, berupa kompres dingin, air mata buatan, dan salep mata penyejuk. Dekongestan topical bisa diberikan sebagai vasokontriksi, mengurangi hiperemis, kemosis dan gejala lainnya karena obat ini bisa mengurangi pelepasan mediator dari pembuluh darah ke jaringan. Antihistamin oral dan topical juga bermanfaat untuk mengurangi gejala akut.10c. konjungtivitis folikuler viral kronikInfeksi Molluscum contagiosum, ditandai dengan konjungtivitis folikular unilateral kronik, keratitis superior, dan pannus superior. Lesi berbentuk nodul bulat, waxy, berwarna putih mutiara, dengan pusatnya bertangkai.8

Gambar . (A) Konjungtivitis folikular dengan lesi molluscum; (B) lesi molluscum pada konjungtiva bulbar; (C) lesi molluscum ekstensif pafa pasien HIV 5

Blefarokonjungtivitis viral merupakan infeksi oleh varicella dan herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis hiperemis, lesi erupsi vesikular sepanjang cabang optalmika dari nervus trigeminalis. Lesi berbentuk papil, kadang folikel, pseudomembran, dan vesikel. Lesi varicella dapat muncul pada kulit disekitar mata.8Gejala klinis yang mungkin muncul pada konjungtivitis viral adalah sebagai berikut : 81. Odem kelopak mata dan limfadenopati preaurikular,

2. Konjungtiva hiperemis dan muncul folikel, 3. Inflamasi berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva (umumnya ptekie), chemosis, membran, dan pseudomembran.4. Adanya jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran atau membrane5. Uveitis anterior ringan, namun jarang terjadiKonjungtivitis viral bisa berkembang menjadi kronis hingga menimbulkan blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya dapat berupa timbulnya pseudomembran, jaringan parut, keterlibatan kornea, serta muncul vesikel pada kulit. 8Penatalaksanaannya yaitu mengurangi resiko transmisi dengan menjaga kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata, tidak menggunakan handuk bersama, disinfeksi alat-alat kedokteran setelah digunakan pada pasien yang terinfeksi menggunakan sodium hipoklorit, povidone-iodine. Dapat ditatalaksana dengan eksisi nodul atau krioterapi. Diberikan antibiotik dan steroid topikal, seperti prednisolone 0,5% 4xsehari pada konjungtivitis pseudomembranosa atau membranosa. Untuk infeksi Varicella zoster, acyclovir oral dosis tinggi (800mg 5x sehari selama 10 hari) diberikan jika progresi memburuk. Pada keratitis herpetik dapat diberika acyclovir 3% salep 5x/hari selama 10 hari, atau acyclovir oral 400mg 5x/hari selama 7 hari.8 Pengobatannya biasanya simptomatik dan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.6d. Konjungtivitis bakterial kronik

Konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja akibat infeksi gonokokus, meningokokus, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza dan Escherichia coli.6Memberikan gejala sekret mukopurulen dan purulen, kemosis konjungtiva, edem kelopak, kadang-kadang disertai keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini mudah menular, pada satu mata ke mata sebelahnya dan menyebar ke orang lain melalui benda yang dapat menyebarkan kuman.6Konjungtivitis bakterial kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakriminal dan dakriosistitis kronik. Disamping itu, blefaritis bacterial kronik atau disfungsi kelenjar meibom juga dapat menyebabkan konjungtivitis kronik.8Sebagian besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak responsif terhadap antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Pewarnaan Giemsa bertujuan untuk mengidentifikasi tipe sel dan morfologi. Kerokan konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila terdapat sekret purulen, membranosa, atau pseudomembranosa.3,8Pada infeksi staphylococcal dapat terbentuk blefaritis marginal kronik. Selain itu, konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan sikatriks dalam proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan ulkus kornea. Ulkus kornea marginal mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Apabila produk toksik N gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan terjadi iritis toksik.8Terapi empiris didahulukan sebelum hasil tes sensitivitas antibiotik tersedia. Adapun terapi empiris yang dapat diberikan adalah Polytrim dalam bentuk topical. Sediaan topikal yang diberikan dalam bentuk salep atau tetes mata adalah seperti gentamisin, tobramisin, aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B kombinasi dengan basitrasin dan neomisis, kanamisis, asam fusidat, ofloksasin, dan asidamfenikol. Kombinasi pengobatan antibiotik spektrum luas dengan deksametason atau hidrokortison dapat mengurangi keluhan yang dialami oleh pasien lebih cepat.3,8Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan bakteri gram-negatif diplokokus seperti neisseria, maka terapi sistemik dan topikal harus diberikan secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis tunggal intramuscular, diberikan apabila tidak mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea, maka diberikan seftriakson 1-2 g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian obat tersebut diikuti dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau eritromisin 500 mg empat kali sehari selama 1 minggu. Pada konjungtivitis kataral kronik, diberikan antibiotik topikal seperti kloramfenikol atau gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu untuk mengeliminasi infeksi kronik.8,11 Selain itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan keluarga diedukasi untuk memerhatikan kebersihan diri. Infeksi kronik membutuhkan terapi yang adekuat untuk dapat pulih. Oleh karena konjungtiva dapat menjadi port dentry, maka septikemia dan meningitis menjadi komplikasi dari konjungtivitis meningococcal.8BAB III

KESIMPULANKonjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi. Peradangan ini dapat terjadi pada konjungtiva palpebra, konjungtiva forniks, ataupun konjungtiva bulbi. Konjungtivitis kronik merupakan konjungtivitis yang berlangsung lebih dari tiga sampai empat minggu. Gejala konjungtivitis adalah mata merah dengan produksi sekret yang berlebih, sensasi benda asing di mata, terbakar, atau gatal, serta fotofobia. Tanda dari konjungtivitis berupa: hiperemia, epifora, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis, folikel, pseudomembran, konjungtiva lignose, flikten, limfadenopati preaurikular.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan sesuai dengan etiologi konjungtivitis. Penanganan yang baik akan memberikan prognosis yang baik pula.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shakira IG, Azhar MB, Zainul S. Karakteristik Klinis dan Demografis Penderita Konjungtivitis yang Berobat. Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. 2012.2. Anonymous. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, 2006.3. Lang GK. Conjunctiva. In Lang ophthalmology. New York: Thieme; 2000.4. Hutagalung PY, Hiswani, Jemadi. Karakteristik Penderita Konjungtivitis Rawat Jalan di RSUD DR.Pirngadi Medan Tahun 2011. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.

5. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Konjungtiva. Dalam : Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika, 2000. p 99-1276. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2013.7. Putz, R. & Pabst R.Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2000. 8. Ferrer FJG, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In Vaughan and Asburys General Ophthalmology.16th ed. USA: Mc.Graw-Hill companies; 2007. 9. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of ophthalmology. New York: Thieme; 2006.10. Radjamin, R.K.T., dkk. Konjungtivitis. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Airlangga University Press, Surabaya: 62-6.11. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. 4th edition. New Delhi: New Age Publishers; 2007