konflik waduk sepat

Upload: ellen-deviana-arisadi

Post on 08-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 KONFLIK WADUK SEPAT

    1/5

    Tugas Mata Kuliah

    Masalah Pembangunan Wilayah dan Kota

    KONFLIK W DUK SEP T

    Ellen Deviana Arisadi

    3611100071

    Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

    Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

    Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

    2014

  • 7/22/2019 KONFLIK WADUK SEPAT

    2/5

    1

    KONFLIK WADUK SEPAT

    Pembangunan kota seringkali diidentikkan dengan berkembangnya kawasan bisnis

    maupun kawasan niaga. Menjamurnya pembangunan fisik dipastikan akan berdampak buruk

    pada kelestarian alam. Pembangunan fisik memiliki kecenderungan menuju semakin

    berkurangnya ruang terbuka hijau yang dialihfungsikan menjadi kawasan pertokoan,

    perkantoran industri, dan lain-lain.

    Di kota Surabaya sendri, pembangunan secara umum terutama berada pada kawasan

    Surabaya Barat, yaitu daerah yang dikenal memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Sehingga

    kawasan Surabaya Barat banyak diirik oleh para investor maupun pengembang untuk

    mengembangkan wilayah tersebut. Namun, tidak semua fenomena pengembangan daerah

    mendapatkan respon positif dari warga setempat, penolakan ini mayoritas dikarenakan

    permasalahan pada hak atas tanah, sehingga beberapa dari proses pembebasan lahan yang

    dilakukan oleh pengembang masih menyisakan banyak kasus yang sampai sekarang tidak

    terselesaikan.

    Banyak kasus pengambil-alihan hak atas tanah kolektif masyarakat desa yang desa

    mereka berubah menjadi kelurahan, yang dilakukan pemerintah daerah. Salah satu contoh

    kasus adalah tanah kas desa (TKD) atau bondho deso yang merupakan hak kolektif masyarakat

    Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya. Tanah tersebut berupa tanah

    waduk seluas sekitar 60.000 m2 terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat, Kelurahan

    Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya.

    Status Lahan Waduk SepatStatus lahan Waduk Sepat saat ini sudah menjadi milik pengembang Citraland sesuai

    dengan GS no. 109/S/1991 yang tercatat dalam registrasi no. 0335754 di Badan Pertanahan

    Surabaya (BPN) . Bukti kepemilikan lahan ini juga didukung oleh Keputusan Dewan Perwakilan

    Rakyat Daerah Kota Surabaya Nomor 39 tahun 2008 dan Keputusan Walikota Surabaya Nomor

    188.45/366/436.1.2/2008 tentang pemindahtanganan dengan cara tukar-menukar terhadap

    aset Pemkot yang tertulis berupa tanah eks ganjaran atau bondo deso di Kelurahan Lidah Kulon

    (Waduk Sepat) dengan tanah milik pengembang Citraland yang terletak di kawasan Benowo,

    Kecamatan Pakal yang kini telah menjadi Gelora Bung Tomo (GBT). Pemkot membutuhkan

    lahan yang berada di kawasan Benowo, Kecamatan Pakal, yang berdiri atas kepemilikan

  • 7/22/2019 KONFLIK WADUK SEPAT

    3/5

    2

    pengembang Citraland untuk kepentingan pembangunan stadion tersebut. Oleh karena itu

    Pemkot mengganti lahan milik pengembang Citraland dengan cara meruislag-nya dengan lahan

    yang berada di empat lokasi lain, salah satunya yaitu lahan di Kelurahan Lidah Kulon,

    Kecamatan Lakarsantri, berupa Waduk Sepat yang kini dipermasalahkan oleh warga setempat.

    Pergantian Sistem Kepala Desa menjadi KelurahanKasus waduk sepat sudah ada sejak tahun 2004, ketika muncul peraturan perundang-

    undangan baru yang memutuskan bahwa seluruh aset milik kampung akan berubah status

    kepemilikan menjadi milik Pemkot. Sistem Desa yang berganti dengan sistem Kelurahan

    menjadi lebih administratif sehingga tanah-tanah yang tidak ada klaim pemiliknya seperti

    Waduk Sepat pun diakui sebagai milik negara.

    Tujuan adanya perubahan status desa menjadi kelurahan adalah untuk lebih

    meningkatkan serta mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat, sesuai dengan tingkat

    perkembangan pembangunan dan dinamika sosial masyarakat. Berdasarkan Permendagri No.

    28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan

    Status Desa Menjadi Kelurahan, bahwa Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi

    kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan

    aspirasi masyarakat. Aspirasi masyarakat tersebut disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga)

    penduduk desa yang mempunyai hak pilih, yang teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut

    dalam peraturan desa. Perubahan status Desa menjadi Kelurahan harus memenuhi syarat:

    a. luas wilayah tidak berubah;b. jumlah penduduk paling sedikit 4500 jiwa atau 900 KK untuk wilayah Jawa dan Bali serta

    paling sedikit 2000 jiwa atau 400 KK untuk diluar wilayah Jawa dan Bali;

    c. prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai bagi terselenggaranya pemerintahanKelurahan;

    d. potensi ekonomi berupa jenis, jumlah usaha jasa dan produksi serta keanekaragamanmata pencaharian;

    e. kondisi sosial budaya masyarakat berupa keanekaragaman status penduduk danperubahan nilai agraris ke jasa dan industri; dan

    f. meningkatnya volume pelayanan.Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah

    dengan Perppu No. 3 Tahun 2005, UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008, pasal

  • 7/22/2019 KONFLIK WADUK SEPAT

    4/5

    3

    201 ayat (2) menentukan: Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan,

    kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang

    bersangkutan. Pemerintah Kota Surabaya tidak memperhatikan atau melanggar hak kelola.

    Kelola Kelurahan Lidah Kulon yang dalam hal ini pemegang haknya adalah warga Dukuh Sepat

    (sesuai dengan asal-usul pemegang haknya). Meskipun tanah waduk Sepat tersebut dapat

    dikategorikan kekayaan daerah namun eksistensi Hak Pengelolaan yang wajib diberikan

    kepada kelurahan tersebut tidak dapat dilanggar. Artinya, peralihan hak atas tanah bekas

    bondho deso termasuk dengan cara tukar guling tersebut harus dengan persetujuan pemegang

    Hak Pengelolaan yang seharusnya diberikan kepada Kelurahan.

    Perlawanan Masyarakat SetempatWarga terus melakukan perlawanan secara frontal terhadap pekerja Citraland, dimana

    konflik ini terus memanas semenjak penembang melakukan pemagaran kembali pada

    pertengahan Juni 2011. Perwakilan dari pengembang Citraland mengaku telah menjelaskan

    bahwa waduk tidak akan digusur seluruhnya, dari 6,675 m3, 6000 m3tetap menjadi telaga dan

    sisanya akan diurug sebagai perluasan perumahan Citraland. Namun, masyarakat tetap

    menolak untuk melepaskan waduk dengan berbagai alasan seperti masalah lingkungan, ideologi

    dan nilai sejarah, serta kesejahteraan sosial.

    Masyarakat belum menerima jika lahan Waduk Sepat menjadi hak milik pengembang PT.

    Citraland, dimana pada saat proses pengalihan hak milik lahan tidak melibatkan masyarakat

    setempat. Padahal lahan Waduk Sepat sudah secara resmi menjadi hak milik pengembang PT.

    Citraland dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas

    persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008.

    Perlawanan warga terhadap pengembang serta pihak-pihak terkait terlihat dalam bentuk

    tidak mau menerima dana 3 miliar yang dikucurkan oleh pengembang Citraland, bersikap sinis

    baik kepada panitia pembagian dana yang masih terhitung sebagai warga sendiri, orang-orang

    yang dianggap sebagai pekerja Citraland, kepolisian, aparat pemerintah, serta bersikap

    waspada kepada orang-orang luar yang tidak dikenal yang dicurigai berhubungan dengan

    proyek pengalihfungsian waduk, dan lain sebagainya. Selain itu, warga Perdukuhan Sepat Lidah

    Kulon juga melakukan perlawanan dalam bentuk mengadakan sebuah organisasi yang khusus

    untuk menangani konflik waduk yang dinamakan dengan Laskar Pembela Bumi Pertiwi (LPBP)

    maupun aksi frontal seperti demonstrasi dan perlawanan fisik ketika terjadi pemagaran waduk.

  • 7/22/2019 KONFLIK WADUK SEPAT

    5/5

    4

    Pelanggaran Identitas Budaya dan Hak Masyarakat TradisionalUUD 1945, Pasal 28 I ayat (3) yang menentukan: Identitas budaya dan hak masyarakat

    tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pemerintah

    Kota Surabaya telah melanggar hak masyarakat tradisional Dukuh Sepat di mana waduk Sepat

    merupakan pengikat solidaritas kehidupan kolektif mereka dan identitas budayanya sebab di

    waduk Sepat tersebut mereka biasa melakukan ritual bersih desa sejak wilayah tersebut menjadi

    desa hingga sekarang.s

    DAFTAR REFERENSI

    Amalia, Adhi. 2012. Konflik Waduk Sepat. AntroUnairDotNet, Vol. 1 No. 1, Juli-Desember 2012,Hal. 69-78.

    KontraS Surabaya. Analisis Peralihan (Tukar Guling) Hak Atas Tanah Bekas Tanah Desa di

    Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri Oleh Pemerintah Kota

    Surabaya Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan,

    Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa