konflik moral pada anak pasangan beda...
TRANSCRIPT
KONFLIK MORAL PADA ANAK PASANGAN BEDA AGAMA “STUDI KASUS PADA ANAK PASANGAN ISLAM-NASRANI”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Psikologi
Oleh :
LONG SUSAN BELINA 02 320 224
FAKULTAS PSIKOLOGI & ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
HALAMAN PENGISIAN
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya Jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi
Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S-1 Psikologi
Pada Tanggal
Mengesahkan,
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia
Dekan
Fuad Nashori Suroso, S.psi, M.Si
Dewan Penguji Tanggal
1. 2. 3.
KONFLIK MORAL PADA ANAK PASANGAN BEDA AGAMA
Long Susan Belina Qurotul Uyun
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik moral yang dialami oleh anak dalam keluarga beda agama serta dampaknya terhadap perkembangan keagamaan anak. Suatu moral yang dijalankan didalam situasi konflik dapat dikatakan sebagai konflik moral, situasi ini adalah dimana seseorang didorong untuk mengorbankan nilai demi yang lain. Konflik moral merupakan konflik psikologik dimana salah satu cara untuk menunjukan realitas ini adalah bahwa dia cenderung mengembangkan perasaan bersalah ketika dia berperilaku dengan cara yang dianggap salah oleh pendidikan sosial yang diterimanya. Dalam keluarga beda agama, agama menjadi konflik tersendiri dalam diri anak akan keberbedaan yang ada. Konflik moral menjadi salah satu problem yang muncul dalam diri anak, bagaimana terjadinya? Dan konflik moral apa saja yang terjadi? Serta dampak nya dalam perkembangan keagamaan anak? Penelitian ini akan berusaha menjelaskan fenomena yang ada Subjek penelitian ini adalah anak yang berasal dari keluarga beda agama yang berusia sekitar 18-24 tahun atau dalam masa remaja akhir sampai dewasa awal. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara mendalam. Responden wawancara berjumlah tiga orang. Dari hasil wawancara tersebut didapatkan gambaran terjadinya konflik moral serta dampak yang ditimbulkan dalam perkembangan keagamaan anak. Terjadinya konflik moral pada anak dimana ketika anak menyakini suatu nilai agama sebagai identitas dirinya, namun berbentur pada nilai lain yang berbeda dalam keluarga dan juga dipengaruhi oleh faktor kelekatan dan faktor dominasi orangtua. Dampak pada perkembangan kegamaan anak adalah timbulnya rasa ketidaknyamanan identitas agamanya dalam keluarga dan terhambatnya perkembangan keagamaan anak. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini Kata Kunci : Pernikahan beda agama, Konflik Moral
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Perkawinan lintas agama di indonesia makin menjadi gejala sosial biasa dan
dipraktekan secara lintas sosial kultural terutama pada warga dimana ikatan
indentitas formal keagamaan tidak signifikan. Pernikahan beda agama ditentang
dengan beragam alasan, baik secara teologis maupun sosial, praktek ini tidak
dipandang sebagai model pernikahan ideal tapi penyimpangan dan
pemberontakan terhadap tradisi keagamaan. Pelik dan rumit situasi yang
dihadapi pasangan perkawinan beda agama saat bersinggungan dengan
birokrasi, negara maupun agama. Tidak hanya ketika mengurus akad nikah dan
administrasi pencatatan dimana untuk melaksanakan perkawinan dengan tetap
mempertahankan agama mereka masing-masing sesuai dengan perundang-
undangan yang mengatur masalah perkawinan, dalam undang-undang
perkawinan Indonesia yaitu pasal 1 dan pasal 2 UU perkawinan No. 1 tahun 1974
disebutkan lembaga perkawinan negara tidak bersedia melayani pasangan beda
agama kecuali salah-satu dari pasangan itu pindah agama (Eoh, O.S, 1996).
Namun agama bagi sebagian orang hanya semata persoalan doktrin
transendental yang melangit tanpa akar di bumi. Masyarakat sering melakukan
negosisasi sosial-kultural terhadap doktrin agama dilevel praksis. Budaya yang
berkembang selama ini yang dianggap sebagai solusi dari keadaan ini adalah
konversi agama secara pragmatis menjelang pernikahan untuk menerobos
kebuntuan birokrasi ataupun melaksanakan perkawinan ke luar negeri yang tidak
mempersoalkan masalah perbedaan agama
Kepelikan juga berlanjut ketika penentuan agama anak. Meskipun tidak
mempermasalahkan agama pasangannya, namun ada keyakinan dalam diri
suami atau istri bahwa agamanyalah yang paling benar. Keyakinan tersebut juga
ditanamkan untuk masing-masing agama. Agama menuntut para pemeluknya
untuk menyakini kebenaran agamanya dan mendidik anak mereka sesuai dengan
agama yang dipeluk orang tua nya. Seperti halnya bagi pasangan katolik yang
berniat menikahi pasangan non-Katolik harus membuat nota kesepakatan
dengan gereja untuk terus berusaha mengkatolikkan keturunannya (disebut Anti-
nuptial Aggrement), gereja secara tentatif mengontrol apakah kesepakatan
tersebut dilaksanakan. Doktrin gereja tersebut sering membuat penganut Katolik
bersikap ekstrem dalam mendefinisikan identitas agama anak. Penganut islam
pun juga secara teologis diminta mengislamkan keturunanya. Dalam sebuah
kasus keluarga beda agama, Parta (Katolik-Jawa) dan Mala (Sunda–Islam-
agamis), tingkat kefanatikan pasangan ini menjadi faktor lain dalam membentuk
agama anak. Walau menikah ala Islam, pasangan ini harus bercerai saat suami
memaksakan status agama anaknya secara sepihak. Tidak hanya ketiga anak
mereka dimasukan sekolah Katolik, Parta juga melarang anak-anaknya belajar
mengaji (Islam). Anak disini dapat menjadi tumbal impitan normatif teologis
(Gatra, 8 oktober 2005).
Peran orang tua dalam menanamkan kepercayaan atas Tuhan kepada
anak dan remaja pastilah sangat penting. Kebenaran pandangan ini sekurang-
kurangnya disampaikan Artanto (2006) melalui penelitian yang bertopik Konsep
Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional Kongkrit. Artanto mengungkapkan
bahwa gagasan yang dimiliki anak mengenai tuhan lebih merupakan doktrin yang
dihasilkan dari pengajaran. Melalui pengajaran orang tua dan gurunya anak-anak
memiliki gambaran tentang siapa dan bagaimana Tuhan. Tittley, 2001a (dalam
Idrus, 2004) secara lebih tegas menyatakan bahwa kunci dari perkembangan
kepercayaan anak adalah rumah, tempat dibangkitkan dan diterimanya
kepercayaan (Iman).
Dalam satu keluarga anak bisa mengikuti keyakinan (agama) ayahnya atau
ibunya. Bila sepasang suami istri tersebut memiliki lebih dari satu anak,
kemungkinan anak-anaknya memilih agama yang berlainan pula antara kakak
dan adiknya. Dalam keluarga yang demokratis, anak-anak dapat secara sukarela
mengikuti suatu ajaran agama tertentu, namun tak dapat dipungkiri bahwa
pengenalan dan penanaman agama sebaiknya dilakukan semenjak anak-anak.
Pada kasus lainnya, adapula orangtua yang sudah menegoisasikan masa depan
agama anaknya sejak awal akan ikut siapa agamanya. Kondisi-kondisi tersebut
baik secara langsung atau tidak langsung tentunya akan membawa
kebinggungan pada anak, karena norma dan nilai pada masa anak-anak
diperoleh melalui dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan
sosialisasi dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat
lainnya (Lute dalam Monks, 2002). Dan orangtua sebagai awal tempat kehidupan
anak, tentu memiliki peran besar dalam hal proses penanaman nilai pada anak.
Tidak dapat dipungkiri banyaknya tekanan-tekanan secara psikologis
maupun sosial yang dirasakan oleh anak pada pasangan beda agama. Secara
psikologis anak mendapatkan tekanan dalam dirinya. Baik konflik saat anak
dihadapkan untuk memilih salah satu agama yang akan ia anut, ataupun saat
anak dihadapkan pada satu agama yang harus ia ambil (kompromi orangtua)
dan saat dihadapkan dengan perbedaan-perbedaan yang ia lihat sehari-hari, juga
dari lingkungan sosial yang memandang pernikahan beda agama adalah sesuatu
hal yang tidak dapat diterima dalam masyarakat. Pernikahan pada pasangan
yang berbeda agama adalah suatu kontroversi tersendiri dalam hidup
keberagamaan di masyarakat. Pada keluarga pasangan beda agama, masalah
agama adalah hal yang paling potensial menimbulkan konflik baik dari pihak
orang tua sendiri maupun dari pihak anak. Dari berbagai situasi, yang dialami
anak dari pasangan beda agama tersebut, peneliti merasa tertarik untuk
mengungkap lebih jauh tentang bagaimana konflik yang dialami anak dalam
keluarga beda agama, khususnya konflik moral yang dialami oleh anak dalam
proses perkembangan keagamaan dirinya, konflik moral apa saja yang dialami
dan dampaknya terhadap anak dengan situasi-situasi dalam perbedaan agama
tersebut. Agama menjadi sumber konflik yang berkepanjangan, dari proses
penanaman dan pemilihannya, agama telah menjadi awal timbulnya konflik
dalam diri anak. Anak menjadi bagian yang tidak terpisahakan dalam pernikahan
beda agama. Dalam hal ini anak tak bisa memilih dan mau tidak mau dihadapkan
pada situasi tersebut.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui konflik moral apa saja yang
dialami oleh anak pada pasangan beda agama serta dampaknya bagi anak tak
lepas dari proses perkembangan keagamaan anak.
C. Manfaat Penelitian
Bahwa penelitian ini diharapkan mampu memiliki manfaat teoritis dan praktis
bagi pembaca sehingga dapat menyimpulkan isi penelitian ini :
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap
khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan kajian ilmiah dalam
psikologi perkembangan umumnya dan khususnya dalam perkembangan
keagamaan anak.
b. Secara Praktis
Penelitian ini menjadi masukan bagi orang tua dengan status perkawinan
beda agama diharapkan mampu memahami dan memperhatikan
dampak psikologis dan menginternalisasi nilai-nilai secara tepat serta
tetap mendampingi anak-anaknya dalam perkembangannya.
Tinjauan Pustaka
A. Konflik Moral
a. Pengertian Konflik
Menurut Webster, 1983 (dalam Pruitt dan Kim, 2004) istilah konflik sendiri
memiliki arti “fight. battle, or struggle” perkelahian, pertempuran atau
perjuangan. Yang berarti konfrontasi yang secara terang-terangan diantara
beberapa pihak. Tetapi pegertian itu telah berkembang yang juga mencakup
pengertian terdapatnya ketidakcockan atau sesuatu yang berlawanan antara
minat, gagasan dan ide-ide. istilah juga mencakup secara psikologi yakni adanya
konfrontasi yang terjadinya dengan diri sendiri.
Konflik merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan individu
ketika seseorang dihadapkan pada dua atau beberapa hal yang saling
bertentangan. Konflik terjadi jika seseorang dihadapkan pada aspek-aspek yang
berbeda atau bertentangan. Freud dengan penelitian psikoanalisis menyatakan
bahwa konflik adalah bagian dari dinamika kepribadian seseorang. Melalui
pembentukan id, ego, dan super ego seseorang akan mengalami konflik antara
apa yang diinginkan dengan apa yang seharusnya diinginkan dan bagaimana
realita disekitarnya (Shantz dan Hartup, 1992)
b. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin : Mos (Moris) yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, tatacara kehidupan. Sedangkan pengertia moralitas berhubungan
dengan keadaan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau
masyarakat. Jadi suatu tingkah laku dikatatakan bermoral apabila tingkahlaku itu
sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kelompok sosial dimana anak
itu hidup. Dan tidak pada semua masyarakat nilai-nilai moral itu sama, karena
pada umumnya nila-nilai moral ini dipengaruhi oleh kebudayaan dari kelompok
atau masyarakat itu sendiri (Gunarsa, 1983)
Ada tiga tingkatan dalam teori moral yakni, standar moral, aturan moral dan
pertimbangan moral (Haricahyono,1985). Dalam standar moral yang
dimaksudkan adalah prinsip-prinsip moral dasar atau biasanya mempunyai kata-
kata kunci yang harus dibatasi secara tegas sebelum standar moral yang
bersangkutan dapat diaplikasikan, dalam standar moral egoistik misalnya salah
satu kuncinya adalah kepentingan pribadi itu sendiri. Selanjutnya mengenai
aturan moral yakni pada dasarnya memuat prinsip-prinsip moral umum yang
diderivasikan dari standar-srtandar moral. Dan yang terakhir pertimbangan moral
yakni evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan –tindakan
seseorang baik yang bersifat umum maupun spesifik.
c. Konflik Moral
Suatu moral yang dijalankan didalam situasi konflik dapat dikatakan sebagai
konflik moral. Situasi ini adalah dimana seseorang didorong untuk mengorbankan
nilai demi yang lain. Disatu situasi konflik ini adanya konfrontasi dengan pilihan
antara dua atau lebih yang satu sama lain memiliki keberbedaan nilai buruk dan
baiknya (Podimattam, 1982). Thoulles (1992) menyatakan konflik moral
merupakan konflik psikologik dimana salah satu cara untuk menunjukan realitas
ini adalah bahwa dia cenderung mengembangkan perasaan bersalah ketika dia
berperilaku dengan cara yang dianggap salah oleh pendidikan sosial yang
diterimanya.
Aturan moral sebuah kelompok berkaitan erat dengan pelaksanaan aturan
tersebut, pola pikir kelompok, dan pola penggunaan bahasa. Karena mereka
bersosialisasi dalam kelompok yang sama, para anggota kelompok belajar untuk
mendasarkan penilaian mereka terhadap nilai dan tata cara moral yang
fundamental terhadap budaya asal mereka. Kimmel (2000) menyatakan aturan
moral mereka berisi serangkaian arti-arti yang bisa mereka gunakan untuk
memahami pengalaman dan membuat penilaian tentang apa yang disebut
bernilai dan penting. Pola arti ini membentuk cara seseorang memahami fakta
dan isu dan menumbuhkan rasa beridentitas. Pearce and Littlejohn menyatakan,
realita sosial juga membentuk apa yang disebut sebagai tindakan benar
(appropriate action) dan membuat batas atas apa yang bisa dilakukan oleh
masyarakat. Bahkan, realita sosial juga mempengaruhi cara menyebut,
memahami, dan memperlakukan emosi. Hasilnya, kepercayaan, perkataan, dan
tindakan seseorang harus dipahami berdasarkan konteks keadaan sosial tertentu.
Dalam beberapa kasus, sebuah kelompok budaya mungkin akan memandang
kepercayaan dan tindakan kelompok budaya lain sebagai sebuah penyimpangan
dan tidak bisa ditoleransi secara moral. Hal ini akan berakibat pada pertikaian
dan kekerasan yang akan sangat merusak hubungan di antara keduanya (dalam
http//www.beyondintractability.org/essay/intolerable_moral_differences/13/02/0
7)
b. Ciri-ciri Konflik Moral
Untuk memahami apa itu konflik moral, perlu mengetahui ciri-ciri umum
konfllik moral, yakni :
1. Kesalahpahaman
Ciri umum pertama adalah kecenderungan masing-masing pihak untuk
terjadi salah paham atas kata-kata dan tindakan pihak yang lain. Masyarakat
dari tradisi yang tidak sebanding mungkin akan mengalami masalah dalam
berkomunikasi karena mereka bergantung ada sistem arti, norma komunikasi,
dan aturan tingkah laku yang berbeda.
2. Ketidakpercayaan
Ciri umum konflik moral yang kedua adalah kecenderungan para anggota
kelompok untuk tidak mempercayai dan curiga terhadap kelompok lain,
bahkan juga menumbuhkan rasa bahwa kelompok lain memiliki potensi untuk
membahayakan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan adanya
perbedaan dalam hal nilai dan sistem arti tersebut, tindakan yang dilakukan
oleh salah satu pihak untuk menyelesaikan konflik seringkali akan
disalahartikan sebagai tindakan mengancam bagi pihak yang lain.
3. Komunikasi yang Kaku dan Kasar
Ciri umum lain dari konflik moral adalah adanya kekakuan hubungan dan
komunikasi antar pihak. Ketika retorika komunikasi terdiri dari timbal-balik
alasan untuk membentuk kepercayaan bersama, maka pola komunikasi
dalam konflik moral justru terdiri dari serangan personal, seperti celaan dan
kata-kata kasar.
4. Stereotipe Negatif
Percakapan seringakali mengandung generalisasi terhadap anggota
kelompok lain. Pihak yang terlibat dalam konflik moral cenderung, hanya
dengan berdasarkan dugaan, mengelompokkan dan mencela kepribadian,
intelegensia, dan perilaku sosial pihak lawannya. Mereka akan membentuk
stereotipe negatif dan menyandangkan degradasi moral atau karakter negatif
lainnya kepada pihak yang tidak sesuai dengan budaya mereka, dengan
mengesampingkan anggota meyimpang dari pihaknya sendiri, dan
menganggap seluruh anggota kelompoknya sebagai berbudaya. Hal ini
seringkali disebut oleh psikolog sebagai kesalahan anggapan (attribution
error).
5. Ketiadaan Negosiasi
Sistem kepercayaan ini mengakibatkan asumsi-asumsi penting dan cara
pandang global tidak bisa dikompromikan. Keterikatan yang kuat terhadap
ideologi bisa membuat seseorang susah untuk mendekati pihak yang memiliki
cara pandang berbeda dengan pikiran terbuka
(http//www.beyondintractability.org/essay/intolerable_moral_differences/13/
02/07).
Konflik moral terjadi ketika kelompok yang bersengketa bertindak dalam
dunia sosial berbeda, menurut arti yang berbeda pula. Salah satu alasan
mengapa kelompok-kelompok yang bersengketa mengalami kesulitan
membongkar pola interaksi antar mereka adalah bahwa masing-masing
kelompok sudah terikat dengan aturan moral masing-masing. Ketika dua
kelompok memiliki cara yang sangat berbeda dalam memandang kehidupan
manusia, maka tindakan yang dianggap baik dan mulia oleh kelompok satu, akan
dianggap buruk atau jahat oleh kelompok kedua. Ini karena tindakan yang
dianggap bisa diterima oleh aturan moral sebuah kelompok, akan dianggap
sebagai hal yang buruk oleh aturan moral kelompok lain (dalam
http//www.beyondintractability.org/essay/intolerable_moral_differences/13/02/0
7)
c. Bentuk Konflik Moral
Hampshire membedakan dua bentuk konflik moral, yang keduanya
berhubungan dengan dilema pelaku tunggal (Decew, 1990), yakni :
1. Dimana dua sumber cita-cita moral saling bersaing. Adanya cita-cita abstrak
dan tanpa batas waktu yang sangatlah alamiah dan universal dan juga
memunculkan tanggung jawab-tanggung jawab yang menurut kita tidak bisa
kita abaikan sebagai manusia. Tetapi pada saat yang sama, kita juga memiliki
cita-cita yang lebih pribadi yang berasal dari tradisi atau kesepakatan, yang
kemudian memunculkan aturan-aturan moral yang beragam dan berbagai
tanggung jawab yang bisa diubah dan bersifat sementara. Begitu juga
dengan standar moral dan prinsip-prinsip yang muncul dari dua sumber
tersebut. Itulah yang menyebabkan tanggung jawab moral kita seringkali
bertentangan.
2. Ada konflik yang muncul karena pilihan moral. Setiap kali pilihan moral atau
politik dibuat, pasti ada konsekuensi etisnya. Dengan menggunakan bentuk
keadilan alternatif, Hampshire menggambarkan konflik yang dialami
seseorang saat memilih dua hal yang tampaknya sama, pada akhirnya malah
membuatnya kehilangan pilihan alternatif yang sebenarnya lebih baik.
B. Pernikahan Beda Agama
Pernikahan antar agama menurut Rusli dan Tama adalah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama,
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-
syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (Eoh, O.S, 1996).
Undang-undang Indonesia sendiri tidak ada mengatur tentang perkawinan
beda agama. Sesuai dengan Piagam Hak Hak Azasi Manusia, Undang undang
perkawinan sipil di Indonesia pada dasarnya tidak juga melarang pernikahan
antar agama. Yang menjadi kesulitan penerapan prinsip ini adalah pasal 2 UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa, Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa setiap WNI yang akan menikah
seharusnya melewati lembaga agamanya masing masing dan tunduk kepada
aturan pernikahan agamanya. Lalu apabila keduanya memiliki agama yang
berlainan, maka lembaga agama tidak dapat menikahkan mereka kecuali salah
satunya mengikuti agama lain. Pernikahan beda agama disini ialah pasangan
suami istri yang berbeda agama yang melakukan pernikahan dengan tetap
mempertahankan keyakinannya masing-masing.
D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dan teori diatas, maka dapat diajukan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana konflik moral yang terjadi pada anak pasangan beda agama dalam
proses perkembangan keagamaan anak?
2. Konflik moral apa saja yang dialami oleh anak ?
3. Bagaimana dampaknya terhadap anak ?
METODE PENELITIAN
A . Fokus Penelitian
Yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah konflik moral apa saja yang
dialami oleh anak dari pasangan beda agama dalam perkembangan
keagamaannya. Dan bagaimana proses serta dampaknya bagi anak itu sendiri,
akan ikut dibahas dalam penelitian ini.
C. Subjek Penelitian
Penelitian ini lebih difokuskan untuk memahami konflik moral yang dialami
oleh anak yang memiliki orangtua beda agama. Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti menentukan kriteria subjek penelitian adalah remaja usia 18 – 24 tahun,
laki-laki atau perempuan, status perkawinan orang tua beda agama hingga saat
ini dan belum menikah.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah metode wawancara mendalam. Wawancara kualitatif dilakukan dengan
maksud antara lain untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain kebulatan;
merekonstruksi kebulatan-kebulan demikian sebagai yang dialami masa lau;
memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk
dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan
memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun
bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas
konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota (
Moleong, 2001).
Sedangkan menurut Nazir (1988) wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dengan responden dengan menggunakan alat yang
disebut interview guide. Menurut Poerwandari (2001) wawancara adalah
percakapan atau tanya jawab yang diarahkan pada tujuan tertentu.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
wawancara adalah proses tanya jawab antara seseorang dengan tujuan tertentu
kepada orang lain dengan menggunakan interview guide sebagai panduan
percakapan.
F. Metode Analisis Data
Langkah-langkah dalam analisi data menurut Moleong (2000), pertama
adalah menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber melalui
wawancara, observasi, dokumentasi, dan sebagainya. Kedua, reduksi data yang
dilakukan dengan jalan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat
rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga agar
tetap didalamnya. Ketiga adalah koding, merupakan proses penguraian data,
pengkosepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Keempat adalah
kategorisasi, yaitu pengelompokan konsep berdasrkan kesamaannya. Terakhir
adalah pemeriksaan keabsahan data.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan tiga responden, ketiga responen berusia sekitar
remaja akhir dan dewasa awal. Yang dimana pada masa ini mereka telah
memiliki keyakinan akan nilai yakini dalam agama. Dari hasil penelitian ini
didapatkan bahwa konflik-konflik moral terjadi dalam diri mereka bersangkutan
dengan adanya perbedaan nilai dalam keluarga. Konflik-konflik moral sendiri juga
dilatar belakangi oleh emosi moral mereka, emosi moral disini bersangkutan
dengan keyakinan nilai yang ia yakini dan perasaan moral untuk menghargai
salah satu orangtua yang berbeda nilai atau menghindari hal-hal yang dapat
menyulut masalah dalam keluarga, seperti takut akan tanggapan dari anggota
keluarga lainnya, perasan bersalah pada salah satu orangtua yang berbeda
dengan agamanya dan perasaan-perasaan negatif lainnya.
Konflik moral yang terjadi pada ketiga responden didapatkan juga
dilatarbelakangi adanya konflik nilai yang terjadi dalam diri anak berkaitan
dengan nilai agama yang mereka yakini. Konflik nilai sendiri menurut Coleman
(dalam Fernando, 1993) adalah ketika asumsi nilai seseorang belum jelas dan
tidak konsisten, ia akan mengalami kesulitan untuk memutuskan pilihannya dan
mengarahkan perilakunya. Dan akan terjadi pertentangan antara nilai yang ideal
(ideal self) dan nilai pada kenyataannya (real self ). Pada responden Vin, adanya
konflik nilai dimana ada kewajiban yang ia ketahui dalam kewajiban sebagai
seorang muslim untuk memakai jilbab. Responden Tar sendiri mngalami konflik
nilai yang timbul pada hilangnya keyakinannya pada agama yang terdahulu dan
agama lain yang ia yakini. Pada responden Alp, konflik nilai yang terjadi saat dia
harus memutuskan satu nilai yang harus ia ambil dan yakini.
Pada prosesnya penanaman agama pada anak dalam suatu keluarga yang
berbeda agama berpengaruh dalam pemahaman awal anak mengenai agama,
karena dengan perbedaan pelaksanaan agama yang ada dapat memberikan
kebinggungan-kebinggungan pada anak). Pada responden Vin, mengaku bahwa
orangtuanya tidak banyak memberikan penjelasan mengenai perbedaan agama
yang ada. Saat melihat keberbedaan ibadah antara ibu dan ayahnya, dia hanya
menyatakan seperti melihat orang yang bekerja yang berbeda tempat, karena
diketahui juga kedua orangtuanya bekerja dan kurangnya keterbukaan dalam
permasalahan agama. Pada responden Tar, sebagai identitas agamanya dirinya
telah dibaptis dari kecil dan ikut sang Ayah. Keberbedaan ibadah yang
dilaksanakan dirumah menimbulkan kebinggungan dalam dirinya berkaitan
pelaksanaan ibadah yang berbeda, ibu solat sendiri dan dirinya beserta bapak
dan adik ke gereja. Pada responden Alp sendiri dimana dalam keluarga adanya
kebebasan dalam memilih agama, namun tidak lepas dari doktrin-doktrin agama
yang diberikan kedua orangtuanya sehingga membuat kebinggungan yang
dialami menjadi keraguan dan tidak memilih satu agama sampai ia dewasa.
Namun perkembangan keagamaan anak selanjutnya mengalami konflik-
konflik, pada anak keluarga beda agama terhambat oleh adanya konflik moral
yang mereka alami, dimana nilai-nilai yang mereka yakini harus berbentur
dengan nilai lainnya dan harus mengorbankan salah satu nilai yang ada. Dalam
masa ini ketika anak akan dan telah mengambil atau menyakini satu nilai agama
yang ia yakini, anak mengalami konflik moral. Disinilah konflik moral timbul
karena adanya situasi yang kurang mendukung. Peneliti mendapatkan beberapa
konflik yang dialami anak, saat mereka memutuskan sikap keagaamaan yang
mereka yakini. Pada responden Vin, timbul konflik moral saat dia menyakini nilai
islam dan ada kewajiban untuk memakai jilbab dan yang pada akhirnya
memutuskan untuk memakai jilbab sebagai indentitas dirinya sebagai seorang
muslim, namun hal ini tidak lepas dari ketakutan-ketakutan awal dan kecemasan
yang dia rasakan saat akan menunjukan pada papa dan anggota keluarga
lainnya dari pihak keluarga papa yang bebeda agama. Juga dari hasil
pendalaman dirinya terhadap agama islam, menjadikan konflik-konflik moral
tersendiri dalam dirinya akan ketidaknyamanan dari agama yang ayah jalankan.
Pada responden TR, konflik-konflik moral terjadi dimulai saat adanya
ketidakyakinan dirinya pada agama yang dijalankannya, sehingga memutuskan
dirinya menjadi sebagai seorang muslim. Dari hal ini, awalnya responden telah
menyadari bahwa apa yang diputuskannya memilki resiko besar sehingga
sementara waktu hal ini tidak diketahui oleh anggota keluarga lainnya kecuali
dari pihak ibu (seagama) dan keluarga ibu. Suatu pilihan ini telah berdampak
besar terhadap keluarganya, saat ayah yang akhirnya mengetahui dan
mendapat pertentangan dari sang ayah, sikap ayah yang tidak setuju dan juga
permasalahan-permasalahan yang mulai timbul dalam keluarga dari keputusan
untuk memilih keyakinannya tersebut. Dan dari keputusannya telah membuat
sang ayah berubah total terhadap dirinya, tidak hanya dirinya yang merasakan
itu namun juga ibunya. Tar mengalami konflik moral dimana disatu sisi memilih
keyakinannya dan disatu sisi sikap Ayah yang tidak bisa menerima. Yang disini
timbul rasa bersalah dalam dirinya bahwa dengan keputusan yang dia ambil
telah ikut menghancurkan keluarganya, namun disituasi lain nilai (agama) yang
dirinya yakini adalah kepercayaannya terhadap adanya Tuhan. Situasi-situasi ini
yang membuat dirinya mau tidak mau dihadapkan dengan resiko-resiko dari
setiap pilihan yang ada. Pada responden Alp, konflik-konflik moral terjadi disaat
dia mulai mencari dan menyakini suatu nilai. Karena sebelumnya, ia belum
memilki suatu nilai (agama) bagi dirinya, konflik moral pada Alp, ditunjukan
dengan adanya rasa bersalah saat harus memilih agama yang beda dengan
ibunya (Thoulles, 1992) dan juga situasi yang ditimbulkannya, yakni
memburuknya hubungan dengan keluarga ibu setelah ia memilih salah satu
agama yang berbeda.
PENUTUP
Kesimpulan
Konflik moral yang terjadi pada anak dalam keluarga beda agama,
dipengaruhi oleh faktor emosional (kedekatan hubungan pada anggota keluarga)
dan dominasi orangtua. Konflik moral ikut mempengaruhi bagaimana sikap
keagamaan anak kedepannya. Konflik moral yang dialami anak merupakan suatu
situasi yang mau tidak mau dia harus mengambil satu pilihan, dan adanya
perasaan negatif yang timbul seperti rasa bersalah,rasa “ga enak”, rasa takut
atas pilihan yang diambilnya dan juga konflik moral dengan reaksi negatif dari
lingkungannya, karena pilihan moral anak akan berbentur dengan nilai moral
lainnya (dilema moral) dan konflik moral yang terjadi dalam diri anak pun
cenderung akan menimbulkan cognitive dissonance. Anak harus mengorbankan
salah satu nilai yang ada. Dampak dalam konflik moral inilah yang akan
memberikan rasa ketidaknyamanan identitas agama dalam diri anak dan ikut
mempengaruhi dalam perkembangan keagamaan anak.
Dalam kesimpulan peneliti, Jika ketaatan ritual yang formalistis dan
pengetahuan keagamaan sebagai tolak ukur keberagamaan, pernikahan beda
agama gagal menghadirkan obsesi keagamaan pada anak. Tapi, jika sikap
keagamaan yang toleran sebagai indikator kesalehan sosio-teologis seseorang,
maka perkawinan lintas agama menjadi medium penting demokratisasi, walau
kadang bernuansa cuek dan sekuler.
B. Saran
Saran yang dapat disampaikan melalui penelitian mengenai konflik moral
pada anak pasangan beda agama :
1. Reponden penelitian
Untuk tetap dapat fokus pada keyakinan agama yang dimilikinya, karena
agama adalah tempat kita berpulang kembali dalam hidup ini. Responden
diharapkan dapat mengambil hikmah yang ada dan berlaku sabar. Walaupun
perbedaan agama orangtua menjadi suatu ganjalan tersendiri, tetaplah berdoa
dan bertawakkal pada Allah SWT.
2. Bagi Orangtua yang membina keluarga beda agama
Diharapkan dapat memberikan pembinaan anak yang teladan, dengan
tetap dapat mendampingi anak dalam perkembangan keagamaannya, kedua
orangtua diharapkan tetap menerima dan mendukung apapun keputusan yang
diambil anak, karena bagaimanapun keberbedaan agama yang ada yang
memberikan situasi-situasi yang sulit bagi anak.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengangkat topik ini, disarankan
untuk meneliti mengenai strategi koping anak dalam mengatasi keberbedaan
yang ada baik dalam lingkup agama yang melarang dan lingkup sosial yang tidak
dapat menerima pernikahan model ini. Strategi koping yang dilakukan anak ini,
baik dalam perkembangan dirinya dan hubungan sosialnya.
Aini, Noryamin. 2005. Laporan Khusus II: Melangit Tanpa Akar. Gatra, Nomor 47,
8 Oktober 2005. hal
Artanto, D.R. 2006. Konsep Tuhan Pada Anak Usia Akhir Operasional Konkret. Psikologika, Nomor 21, Tahun XI, Januari 2006, 5-21
Asrori S.Karni, Wibisono, A., Arifin, L. H. 2005. Laporan Khusus II: Dilema Teologi si Buah Hati. Gatra, Nomor 47, 8 Oktober 2005. hal Ati, K. 1997. Konflik, coping, dan Kualitas Pernikahan. Skripsi (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Baron, Roberta. A & Donn, Byrne. 1994. Social Psychology: Understanding
Human Interaction. Massachutes: Allyn and Bacon Eoh,O.S. 1996. Perkawinan Antar Agama: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada Fernando, P. 1993. The Spirituality of Psychological Conflicts. Jeevadhara, Vol 23,
hal 45-47 Gunarsa & Gunarsa, 1983. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia Gunarsa, 1986. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : Gunung Mulia Harricahyono, Cheppy. 1985. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press Hurlock, 1973 Maller, Allen. S. 1993. Mixed Marriages : A Rabbi’s Reflections. New Theology Review, Vol 6 No 4 Thouless, R.H. 1992. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : PT Rajawali Pers
Shantz, C.U. & Hartup, W.W. 1992. Conflict in Child and adolescnt development. Cambridge : Cambridge University Press Harahap, Farida. 2004. Penyesuaian diri Pasangan Beda Agama. Tesis Tidak Diterbitkan. Universitas Gajah mada Yogyakarta Idrus, M. 2005. Diktat Kuliah: Metode Penelitian Pendidikan dan Ilmu-ilmu sosial
( Dua Pendekatan Penelitian). Yogyakarta. Tidak Diterbitkan Idrus, M. 2006. Keraguan Kepada Tuhan pada Remaja. Psikologika, Nomor 21,
Tahun XI, Januari 2006, 27-34 King,P.E, Furrow L. James. 2004. Religion as resource for Positive Youth Development : Religion, Social Capital and Moral Outcomes. Development Psychology, Vol. 40, No. 5, 703-713. APA Journal Sarwono, S.W. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditomo, S.R. 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagian nya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Poddimattam, F. 1982. Conflict Morality: An Intrepretation. Jeevadhara, Vol 23. Santrock, John.W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja. Edisi keenam. Jakarta : Erlangga. Sarwono, S.W. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Subandi. 1995. Perkembangan Kehidupan Beragama. Buletin Psikologi. Tahun III, No 1, Agustus 1995. Diterbitkan: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Waruwu, F E. 2003. Perkembangan Kepribadian dan Religiusitas Remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE” tahun 8/No.1/2003 Wong, David B. 1992. Coping with Moral Conflict and Ambiguity. Ethics, Vol 102 No. 004
(http://www.religioustolerance.org/ifm_divo.htm30/01/07) (http://www.foreverfamilies.net/xml/articles/interfaithmarriage.aspx30/01/07).
(http//www.beyondintractability.org/essay/intolerable_moral_differences/13/02/0
7)