musik liturgi gereja katolik

102
MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ushuluddin Disusun Oleh: AJI RUSMANSYAH 104032100978 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H. / 2010 M.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

40 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ushuluddin

Disusun Oleh:

AJI RUSMANSYAH 104032100978

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H. / 2010 M.

Page 2: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur Penulis panjatkan kehadirat-

Nya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karena kekuatan-Nya.

Karena anugrah-Nyalah, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini

dengan judul: “MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK” , Shalawat dan salam

semoga Allah SWT selalu curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukan semata-

mata dari buah tangan sendiri, akan tetapi dari hamba Allah yang senantiasa

mendermakan kemampuannya dengan tulus hati dan meluangkan waktu meski

hanya meluangkan aspirasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan kirannya jika pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan besar hati dan sabar bersedia meluangkan waktunya untuk

memberikan arahan, konsultasi dan bimbingan skripsi.

2. Prof Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattullah

Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya.

3. Drs. M. Nuh HS, MA., selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama dan

Drs. Maulana, M.A selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama.

4. Para dosen yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis di

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, baik secara langsung maupun tidak.

5. Bapak dan Mama tercinta, H.M. Odjat Darojat dan Mama Iyus

Rusminah, atas pengorbanan dan cinta kasihnya berupa moril maupun

meteril, serta doa yang tidak terhingga sepanjang masa untuk

keberhasilan studi anakmu. Segala hormat dan bhakti ananda

persembahkan kepada keduanya.

6. Keluarga besar, Kakakku Jaka Sukmara dan Adik-adikku Akbar

Maulana, Akhmad Nugraha yang telah memberikan motivasi dan

memberikan kehangatan dalam keluarga.

Page 3: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

ii

7. Terima kasih yang spesial tuk Nani Zulaini “Umi” atas kesetiaan dan

ketulusannya yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada

penulis baik suka maupun duka.

8. Terima kasih untuk Mama Asmawati memberikan motivasi, dukungan

serta do’a kepada penulis.

9. Semua teman-temanku di Kampus dan di Komplek Rumah, di Kampus

khususnya Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2004 (“BiJiAn”

Ahmad Sodri, Ardian, Fahmi, Putra, beduL, Rahmat, Iwenk, Boim,

Gunawan, Oji, Rahman, Yudha, Likha, Cici, Hesty, Dhely, Rina, Diah

dll), 2005 (Samsul, Guntur, Wasil dll ), 2006 (Jabar, Syahid, Tari,

Enung, Ai dll), 2007 (Wafiq, Resa dll) dan 2008 (Totong Cs)”.

10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah

memberikan bantuannya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini

dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan

menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-

baiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat

dan dapat khazanah keilmuan kita. Amin.

Jakarta, 6 Desember 2010

Penulis

Page 4: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI.................................................................................................. iii BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................ 8

C. Tujuan Penulisan................................................................. 8

D. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 8

E. Metode Penulisan dan Tehnik Penulisan ............................ 9

F. Sistematika Penulisan ......................................................... 11

BAB II : MUSIK LITURGI

A. Pengertian dan Fungsi Musik............................................... 12

B. Pengertian Musik Liturgi..................................................... 16

BAB III : SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

A. Musik Gereja Perdana (100-900)................................. ....... 26

B. Periode Awal pada abad X (Tahun 900-1000).................... 30

C. Musik Abad Pertengahan (1000-1400) ............................... 31

D. Musik Zaman Renaissance (1400-1600)............................. 33

E. Musik Barok (1600-1750)................................................... 35

F. Musik Klasik (1750-1820) .................................................. 47

G. Musik Romantik (1800-1920)............................................. 54

H. Musik Abad ke-20............................................................... 60

Page 5: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

iv

BAB IV : BERBAGAI ASPEK DALAM MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

A. Tujuan Musik Liturgi .......................................................... 63

B. Fungsi Musik dalam Ibadah................................................ 66

C. Kedudukan Musik Liturgi Gereja Katolik………………… 73

D. Hakekat Musik Liturgi………………………………….. .. 76

E. Dimensi Musik Liturgi………………................................ 76

F. Jenis Musik Liturgi ............................................................. 79

G. Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi.......................... 88

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 92

B. Saran-saran............................................................................. 94

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki cipta,

rasa, karsa dan karya. Dengan budi dayanya ia menciptakan tata kehidupan yang

dinamik dan secara berkesinambungan manusia memiliki kecenderungan untuk

mencari, menemukan, dan mengembangkan pola dasar kehidupan, dorongan-

dorongan perasaannya, ketajaman fikirannya serta kemauannya untuk menemukan

hubungan yang bermakna. Inilah yang membedakan eksistensinya terhadap

makhluk lain.1

Manusia mempunyai akal dan tangan lalu ia menciptakan bentuk-bentuk

yang menyenangkan yang bersifat estetik untuk menerangkan kehidupan bersama.

Maka lahirlah karya-karya estetik itu yang kemudian dikenal dengan sebutan

karya seni, yang dapat dinikmati dan diserap oleh indera pendengaran,

penglihatan, perasaan atau gabungan dari kedua atau ketiga-tiganya.2

Musik menggunakan bunyi sebagai materi, mempunyai bentuk melodi.

Musik merupakan produk budaya yang tertinggi atau merupakan keindahan seni

yang tertinggi.3 Dalam kehidupan Kristiani, musik memiliki peran yang sangat

besar, bahkan sangat berperan aktif dalam setiap ritual keagamaan mereka

1 Depdikbud, pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial Remaja Kota, (Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Direktorat Jendral Kebudayaan, 1995), h. 1.

2 Abay D. Subama, et al., Islam dan Kesenian. (Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Achmad Dahlan Lembaga LITBANG: 1995), h. 215-216.

3 Tamara Adriani Salim, “ Efek Musik dalam sajak Liris Chanson D’Automne dan Serenade Karya Paul Verlane”, skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UI, 1989), h. 1.

Page 7: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

2

sehingga sulit dipisahkan dari kehidupan iman. Musik dan nyanyian menjadi

sebagian dari acara kebaktian, sama nilainya dengan doa dalam acara kebaktian.

Musik juga dianggap sebagai bagian dari upacara penyembahan, karena Allah

dipermuliakan melalui lagu-lagu pujian dari hati yang bersih dipenuhi dengan

kecintaan dan penyembahan kepada-Nya.4

Agama ini juga menyadari bahwa sebagai pelaku dan penikmat seni,

mereka harus memiliki perangkat-perangkat filosofis bahwa musik harus di

apresiasi secara intelektual, artinya menjaga musik sebagai hasil kreasi seni yang

diberikan Sang Maha Indah, harus menjadi energi, bermusik apapun jenisnya.

Sejak dari perjalanan iman umat Allah di Perjanjian Lama, sampai pada

pemunculan gereja abad permulaan Perjanjian Baru, Mazmur, nyanyian rohani

dan berbagai bentuk puji-pujian lainnya menandai kehidupan umat beriman. Suara

serta komunikasi bagi mereka adalah dua berkat pilihan Allah untuk manusia.

Suara yang manusia naikkan dalam pujian adalah satu cara terindah untuk

menghormati Allah Yang Maha Kuasa. Manusia adalah satu-satunya makhluk

Tuhan yang diperlengkapi akal budi untuk mampu memuji dan memuliakan

Tuhan melalui pujian. Musik dan pujian yang mengarah kepada Tuhan dapat

membawa perubahan dalam diri seseorang. Banyak contoh yang dapat diambil

dari Alkitab yang bisa dijadikan bahan untuk menciptakan lagu. Misalnya, I

Tarawikh 16:23, menceritakan tentang keselamatan; Mazmur 13:6, Allah berbuat

baik; Mazmur 98:1,1: adalah pencipta; hakim-hakim 5:11, Tuhan itu adil.5

Mereka percaya bahwa musik mempengaruhi kerohanian (spirit). Artinya, Roh

4 John Handel, Nyanyian Lucifer-ikhwal Penciptaan, Pengaruh terhadap Kerohanian dan Kejiwaan, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2002), h. 87.

5 Handel, Nyanyian Lucifer, h. 87.

Page 8: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

3

Kudus dapat mengobatkan orang, mempercepat pertumbuhan jiwa seorang anak

menjadi lebih dewasa, menguatkan iman melalui motivasi, tujuan dan doa. Musik

yang baik itu harus bermanfaat, memberi kenikmatan dalam tubuh, intelek, emosi

dan spirit dalam waktu yang lama.

Suara manusia dinaikkan dalam puji-pujian dan penyembahan sebagai

suatu persembahan yang berkenan. Musik dan nyayian jika tepat dibawakan juga

akan sanggup memenuhi hati yang mendengar dengan kedamaian, kegembiraan,

semangat dan suka cita melimpah. Demikian pula musik dan nyanyian yang benar

dapat membuat suasana menjadi lebih hidup untuk siap menghadap hadirat

Tuhan.6

Gereja Katolik dimulai sebagai suatu sekte Yahudi.7 Tarian dan nyanyian

pujian seperti Mazmur-mazmur merupakan salah satu bagian dari ibadat Yahudi

yang dikenal semua orang yang terbiasa mengunjungi Bait Allah di Yerussalem

pada abad pertama saat sekte Kristen mulai berkembang.8

Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai

dengan abad kesepuluh musik gereja sama dengan musik Gregorian,9 yang

diteruskan secara lisan dan improvisasi. Karena belum ada notasi musik, maka

lagu Gregorian berkembang tidak sama pada daerah yang berbeda. Musik

dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijaga keseragamannya, tetapi sebagai

6 Handel, Nyanyian Lucifer, h. 87. 7 Theo Witkamp,“Mazmur-mazmur Kekristenan Purba dalam Konteks Yahudi Abad

Pertama”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 16.

8 Witkamp, “Mazmur-mazmur Kekristenan”. h.18. 9 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi

Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.

Page 9: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

4

unsur fungsional yang disesuaikan dengan keperluan umat yang hadir dalam

ibadat.

Dengan berkembangnya musik polifon sejak abad ke-11, terciptalah aneka

bentuk musik baru yang khusus untuk paduan suara, sehingga disamping musik

liturgi, lahir lagu selingan yang dapat dipakai dalam liturgi. Musik profan yang

bermutu dipisahkan dari musik keagamaan baru sejak abad ke-17. Pius X10 dalam

Motu Proprio-nya Tra Le Sollectudine tahun 1903 membedakan antara Musik

Gereja dan Musik Sacra. Yang terakhir disamakan dengan musik Gregorian

sebagai gaya ideal dan suci. Menurut pola inilah segala musik dalam gereja

hendaknya diperbaharui.

Tidak ada musik yang dapat disebut musik ibadat Kristiani. Lagu

Gregorian adalah warisan lagu kebudayaan Yunani, himne-himne St. Ambrosius

adalah pengolahan lagu profan abad ke-4 dari Eropa Tenggara. Begitu pula lagu

gereja Abad Pertengahan merupakan pengolahan kebudayaan (= lagu bermutu)

dari abad ke-14 sampai dengan abad ke-18. Jadi yang selama ini dianggap sebagai

khas gerejani seperti khidmad, tenang, suci sebenarnya adalah soal sikap orang

yang beribadat, bukan soal jenis/bentuk/sifat musik. Namun sikap orang Kristen

lain-lain menurut zaman dan tempat, maka musik liturgi juga berbeda-beda

menurut zaman dan tempat.11

10 “Pius X menjabat sebagai Paus (1903-1914) sesuai dengan semboyannya ia ingin

membaharui segalanya dalam Kristus dan memusatkan usahanya pada masalah gereja, memajukan pembaharuan liturgi dan doa ofisi.“ lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid IV (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), h. 12.

11 Karl-Edmund Prier. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 8.

Page 10: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

5

Dalam lingkup gereja Katolik, ibadat hampir sama dengan liturgi, yang

sering disebut ibadat resmi gereja. Istilah ibadat gereja menitikberatkan pada

aspek kultus lahiriah dari liturgi, yakni upacara dan ulah kebaktian lainnya, yang

dilakukan oleh umat Allah sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus yang disusun

secara hirarkis yakni secara resmi dan di hadapan umum umat yang meluhurkan

Tuhan, bersyukur serta menyatakan bakti kepada-Nya.12

Dalam hidup sehari-hari orang Kristen tidak tampil sebagai anggota gereja

namun, bila mereka berkumpul atas nama Kristus artinya sebagai umat Kristen

mereka membentuk dan bertindak sebagai gereja, sebagai anggota Tubuh Kristus.

Segala kegiatan profan (duniawi) seluruh kehidupan sehari-hari dibawa ke

hadapan Tuhan, dimurnikan dan diperteguh dalam ibadat. Maka ibadat, khususnya

ekaristi merupakan ungkapan iman yang paling jelas menjadi dasar dan puncak

semua kegiatan Allah (bdk G 11 dan 26). Dalam arti luas, ibadat mencakup aneka

ragam bentuk kebaktian bersama, misalnya ibadat sabda, ibadat tujuh sabda Yesus

di Salib, pujian dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadat

merupakan suatu kesatuan, semua unsur yang berupa musik maupun bukan musik

dikaitkan yang satu dengan yang lain. Maka musik ibadat Kristiani tidak dapat

dipisahkan dari tempat orang berkumpul, dari gereja pembangunan (arsitektur),

dari seni rupa, bahasa, gerak-gerik, musik dan tari.

Sebagian besar yang kita ketahui tentang ibadah orang Ibrani ada dalam

kitab Perjanjian Lama. Di dalamnya kita mendapati sejumlah besar acuan yang

membuktikan pentingnya musik vokal dan instrumental dalam ibadah orang

12 Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid II (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,

1992), h. 59.

Page 11: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

6

Ibrani. Kata musik pertama-tama tertulis dalam Kejadian 4:21, di mana Yubal

disebutkan sebagai "bapa, semua orang yang memainkan kecapi dan suling".

Dalam Kitab. Suci ada kira-kira 13 instrumen yang berbeda, yang disebutkan,

yang dapat diklasifikasikan sebagai instrumen dengan senar, instrumen tiup atau

perkusi. Ada sejumlah penyanyi dan lagu disebutkan dalam Perjahjian Lama,

misalnya: Lagu Miriam (Keluaran 15:20-21) Lagu Musa (Keluaran 15:2) Lagu

Debora dan Barak (Hakim-Hakim 5:3) ` Lagu ucapan Syukur Hana (1

Samue12:1-10) Lagu ucapan syukur dan pelepasan dari kejaran Saulus yang

dinyanyikan Daud (II Samuel 22)13

Semua kata yang berkenaan dengan musik, pemusik, instrumen musik,

lagu, penyanyi dan nyanyian disebutkan 575 kali dalam seluruh isi Alkitab. Acuan

yang berkaitan dengan musik didapati dan 44 dari 66 kitab dalam, Alkitab. Kitab

Mazmur yang terdiri dari 150 pasal, dianggap berasal mula dari sebuah kitab yang

berisi nyanyian.

Sejak awal perkembangannya, Gereja Katolik telah memaknai musik

sebagai suatu bentuk komunikasi iman dalam perayaan liturgi.14 Hal ini selaras

dengan pandangan St. Agustinus, bahwa eksistensi musik bukan sebuah eksistensi

material atau yang mencakup panca indera semata, melainkan suatu eksistensi

yang bersifat spritual. Ekspresi terhadap peranan musik dalam doa dan

peribadatan Gereja, diungkapkan St. Agustinus dalam sebuah pepatah Latin, yakni

Bene cantat bis orat; yang berarti: ”Bernyanyi dengan baik adalah berdoa dua

kali”. Ungkapan ’bernyanyi dengan baik’ ini sesungguhnya menunjukkan suatu

13 Prier, Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik. h. 10. 14 Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema

Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15.

Page 12: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

7

gradasi penghayatan dari sebuah aktus bernyanyi dalam ibadat Gereja. Artinya

bernyanyi di dalam sebuah peribadatan, bukan sekedar melantunkan kata melalui

nada-nada yang indah untuk menyenangkan hati, tetapi lebih dari itu ialah untuk

membangun sebuah komunikasi iman yang dihayati melalui keindahan nada, syair

lagu dan irama yang selaras dengan jiwa liturgi. Oleh karena itu untuk menghayati

musik sebagai sarana doa yang berdaya guna, dibutuhkan juga corak musik yang

menunjang ibadat atau perayaan liturgi, yang mampu memperdalam sikap batin

kepada Allah.

Prinsip fundamental yang menjadikan musik liturgi dinilai penting adalah

relasi musik dengan aspek kebatinan dan kejiwaan manusia. Setiap manusia

mengalami musik dengan melibatkan ekspresi batin dan jiwanya. Artinya

meskipun ia memiliki kaidah-kaidah ilmiah-matematis, namun dalam

pengapresiasiannya musik mengekspresikan batin dan jiwa manusia. Hal ini

menegaskan bahwa dalam kehidupan religius dari berbagai agama, musik

memainkan peranan penting dalam ritus-ritus keagamaan, entah lewat bunyi-

bunyian instrumen musik maupun lewat nyanyian-nyanyian ritual. Dari fenomena

ini, maka adalah penting untuk mengetahui makna dan sejarah apresiasi Gereja

terhadap musik sebagai sebuah sarana peribadatan yang kini telah dikenal dengan

sebutan ’musik liturgi’.

Untuk dapat memahami secara mendalam maka penulis mengangkatnya

dalam skripsi ini dengan topik “MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK”

Page 13: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

8

B. Perumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka

di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:

Bagaimana bentuk dan praktik dari musik Liturgi Gereja Katolik?

Apakah fungsi dari musik liturgi gereja katolik?

Apakah Tujuan Musik Liturgi Gereja Katolik?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah

untuk mengetahui arti Musik Liturgi bagi jemaat atau yang melakukan Ibadat

trersebut, bagaimana bentuk konkrit hubungan manusia dengan Tuhannya. Serta

untuk mengetahui fungsi dan peranan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik.

Tujuan penulisan skripsi ini juga sebagai kontribusi kepada Fakultas

Ushuluddin dan memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk meraih gelar

kesarjanaan Strata Satu (S1) di jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin

Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum mengkaji pustaka-pustaka yang penulis pergunakan dalam

penelitian, perlu penulis ungkapkan bahwa penelitian ini merupakan

pengembangan dari berbagai penelitian dan penulisan tentang musik liturgi gereja

sebagai bagian yang fungsional. Secara tidak langsung penulis juga

mengungkapkan perbedaan musik liturgi dengan musik rohani.

Page 14: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

9

Sebagai kajian pustaka bisa diungkapkan di sini, diantaranya: buku

berjudul Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan

PML Yogyakarta, tahun 1987. Dalam buku ini Prier membahas struktur dari suatu

ibadat, setiap bagian dari acara dalam suatu upacara ibadat mempunyai maksud

tersendiri sehingga diperlukan nyanyian yang cocok. Misalnya, nyanyian yang

cocok untuk pembukaan adalah nyanyian berbait.

Kemudian Sejarah Musik Jilid 1, 2, 3, dan Perkembangan Musik Gereja

Sampai Abad ke-20 oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta, tahun

1991, 1993, 1994 dan 1995. dalam buku ini Prier membahas tentang sejarah

musik yang didalamnya ada sejarah musik gereja dari zaman kuno sampai zaman

abad ke-20.

E. Metode Penulisan dan Tehnik Penulisan

Dalam setiap penelitian pasti tidak lepas dari metode. Metode mutlak

adanya karena merupakan upaya agar penelitian dapat terlaksana dengan baik

sehingga mendapat hasil yang memuaskan. Di dalam skripsi ini, metode yang

digunakan adalah:

1. Metode Pengumpulan Data. Di dalam mengumpulkan data ini penulis

menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan

metode pengumpulan data dengan menggunakan sumber-sumber data

yang berupa dokumen, dalam hal ini adalah penelusuran atas pustaka-

pustaka yang relevan dengan tema merupakan jalan yang wajib ditempuh

guna tercakupnya data-data yang komprehensif. Hal ini disesuaikan

Page 15: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

10

dengan sifat penelitian skripsi ini yang bisa digolongkan ke dalam jenis

penelitian historis.

2. Pendekatan. Di dalam skripsi ini, pendekatan yang penulis gunakan adalah

pendekatan historis. Pendekatan historis merupakan usaha untuk

menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide agama melalui periode-

periode tertentu dari perkembangan sejarah dan juga merupakan usaha

untuk memperkirakan peranan kekuatan-kekuatan yang sangat

mempengaruhi agama.15 Dalam hal ini usaha menelusuri sejarah dan

perkembangan musik liturgi.

3. Metode Analisis Data. Data diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif-

analitik yaitu metode yang digunakan terhadap sesuatu data yang

terkumpul kemudian disusun, dijelaskan dan selanjutnya dianalisis.16

Sesuai dengan penelitian ini untuk menganalisis data yang diperoleh dari

hasil penelitian penulis menggunakan cara berfikir induktif, yaitu

pembahasan yang berdasarkan pada pemikiran yang bersifat khusus untuk

kemudian disimpulkan dalam kegiatan yang umum.17

Untuk teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada pengetahuan-

pengetahuan yaitu Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang

ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

15 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1996), h. 76-77. 16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas

Psikologi UGM, 1998), h. 42. 17 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik

(Bandung Tarsito, 1990), h.131.

Page 16: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

11

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab dengan

rincian sebagai berikut.

Bab pertama berupa pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode

penelitian dan tehnik penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab kedua membicarakan tentang Musik Liturgi Gereja Kristen Katolik,

di bagian ini akan di bahas tentang pengertian dan fungsi dari Musik.

Bab ketiga ini penulis ingin menjelaskan pengertian, Tujuan dan Sejarah

perkembangan dari Musik Liturgi, dimana didalamnya terdapat abad-abad

perkembangan Musik Liturgi dari musik gereja perdana sampai abad romantik.

Bab keempat merupakan bab inti, dimana penulis akan menguraikan

kedudukan dan unsur yang dominan dalam musik liturgi gereja katolik.

Pembahasannya meliputi bagaimana kedudukan Musik Liturgi dalam Ibadat dan

Unsur yang mempengaruhi musik liturgi. Dari mulai hakekat Musik liturgi,

dimensi-dimensi musik liturgi, jenis Musik liturgi dan Instrumen Pengiring dalam

Musik liturgi.

Bab kelima berisi penutup dan diakhiri dengan rangkuman yang dapat

terlihat dari uraian kesimpulan dan saran-saran. Kemudian tak lupa juga diakhiri

penulisan dicantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai rujukan.

Page 17: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

BAB II

MUSIK LITURGI

A. Pengertian dan Fungsi Musik

Pengertian seni banyak sekali yang ditulis oleh para pakar di dalam buku-

bukunya. Sekalipun istilah tersebut sudah cukup akrab di telinga masyarakat

Indonesia, tapi tidak menutup kemungkinan istilah tersebut masih banyak orang

belum mengetahuinya secara definitif.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seni ialah “halus, indah, dan

baik”.1 Kalau kita kaji kata “indah’ adalah jelmaan yang terdapat dalam diri

manusia karena secara fitrahnya manusia menyukai keindahaan sebagaimana

dalam penciptaannya, yaitu dengan sebaik-baiknya (seindah-indah bentuk).2

Dalam pengertian secara terminologi seni adalah kecendrungan manusia

yang mempunyai sifat suka keindahan, rasa sedih dan haru. Kecenderungan

tersebut dari Tuhan sebagai anugerah seseorang dan yang demikian berarti telah

memenuhi pembawaan manusiawinya. Maka seni adalah penjelmaan keindahan

yang terdapat dalam jiwa manusia, sebagai fitrahnya yang merupakan

kecenderungan dari Tuhan sebagai anugerah kepada hamba-hamba-Nya.3

Sedangkan istilah “musik” berasal dari bahasa Yunani mousike yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Latin musica. Kata benda mousike atau kata sifat

1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 602. 2 Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah: Analisa Isi program Syiar dan Syair TVRI

Juni-November 2001”, Skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2002), h. 12.

3 Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah” h. 22.

Page 18: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

13

mousikos dibentuk dari akar kata mousa, yaitu nama salah satu dewi kesenian dan

ilmu pengetahuan dalam mitos Yunani4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia musik dibagi menjadi dua bagian

1. Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan

kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi

suara yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan

2. Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga

menyandang irama lagu dan harmoni5

Selain itu, ada beberapa hal definisi tentang musik, yang diucapkan atau

hasil pemikiran para ahlinya. Sifatnya memang cenderung subyektif, tetapi

minimal dapat digunakan sebagai bahan perbandingan. Diantaranya adalah :

• Musik adalah ekspresi dari sesuatu yang agung (Wolfgang von

Goethe)

• Musik adalah bahasa dunia: Ia tidak perlu diterjemahkan, dalam musik

berbicara kepada jiwa (Dr. Alfred Aurbach, Universitas California)

• Musik adalah janji atau jaminan akan hidup yang kekal abadi (Roman

Rolland)

• Musik adalah suatu perwujudan yang lebih tinggi, daripada segala budi

dan filsafat (Beethoven)6

Setelah melihat beberapa definisi musik yang dikemukakan dapat ditarik

kesimpulan bahwa musik adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan

4 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogjakarta: Kanisius, 1999), h. 135.

5 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 609. 6 Abay D. Subama, et al., Islam dan Kesenian. (Majelis Kebudayaan Muhammadiyah

Universitas Achmad Dahlan Lembaga LITBANG: 1995), h. 50.

Page 19: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

14

suara beraturan baik vokal manusia maupun lewat alat-alat musik, itu berarti yang

dikatakan musik itu bukan hanya instrumen tetapi juga vokal.7

Bentuk kesenian itu dapat dikatakan musik apabila terdapat beberapa

faktor berikut: ritme, artinya dengan beraturan, misalnya: detak jantung dan detik

jarum jam, melodi atau lagu, dan yang terakhir terdapat unsur harmoni artinya

keselarasan sesuai dengan lagunya.8

Jadi, seni musik adalah ekspresi perasaan dan jiwa manusia sebagai

fitrahnya terhadap keindahan yang diungkapkan lewat nada dan irama baik vokal

maupun instrumental yang tersusun dalam melodi dan harmoni.

Musik merupakan ekspresi budaya manusia dan mengungkapkan citarasa

keindahan. Musik lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh

kecenderungan manusia pada segala yang indah. Melalui perwujudan bentuk

gagasan atau pesan, musik memiliki daya kekuatan yang langsung dapat

menggerakkan hati dan menyentuh pencipta maupun pendengarnya.9

Dilihat dari fungsinya musik adalah sarana untuk mengobyektifkan

pengalaman batin sehingga dapat difahami maknanya. Kondisi ini memberikan

fungsi lain bagi musik yaitu sebagai media komunikasi yang bersifat simbolik.

Musik adalah salah satu cabang seni yang disampaikan dengan irama, memiliki

daya komunikasi masa yang demikian tinggi dan seringkali digunakan untuk

7 Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah” h. 25. 8 FR Iwan Buana, Makalah dalam seminar “Rekontektualisasi Gagasan Musik Sebagai

Metode dan Media Alternatif Dunia Pendidikan”, (Jakarta: Aula Student Centre UIN Syarif Hidayatullah, 17 Mei, 2004), h.1.

9 Mohammad S Hali, “Unsur Musik dalam 3 buah Sajak Khalil Matran”, Skripsi Sarjana Pendidikan, (Jakarta: Perpustakaan UI, 1988), h. 8.

Page 20: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

15

menyampaikan pesan-pesan yang mengandung masalah sosial dalam kehidupan

sehari-hari.10

Seorang pakar musik Paul Hamil, didalam bukunya “The Christian and

His Music”, menulis bahwa ada bukti ilmiah betapa musik atau irama dapat

mempertajam syaraf-syaraf penca indera kita. Sebagai contoh bahwa musik atau

irama dapat berpengaruh kepada hidup manusia telah dibuktikan di sebuah

garment di Colorado, Amerika Serikat. Dengan mendengarkan ritme dari lagu-

lagu tertentu, ternyata produktivitas karyawannya meningkat 10 % dari

sebelumnya.11

Seorang ahli musik lainnya, yaitu Henver, telah melakukan serangkaian

penelitian dan percobaan sehingga ditemukanlah suatu kenyataan bahwa

harmonisasi yang buruk dan kompleks dapat menekan dan membuat sedih

seseorang, sedangkan harmonisasi yang sederhana dan senada akan membawa

seseorang bahagia, serasi, cerah dan harmonis. Melalui pengaruh musik dan

irama, mata dan paru-paru dapat dipengaruhi. Dengan mendengar musik keras

(rock and roll), pernapasan akan terengah-engah dan emosi memuncak.

Sebaliknya irama merdu dan sederhana dapat membantu menyembuhkan

penyakit-penyakit tertentu karena pernapasan berjalan dengan normal.12

Apabila seseorang mendengarkan dengan penuh penghayatan sebuah

irama artinya orang tersebut sedang memberi sambutan terhadap musik tersebut.

Selanjutnya irama tersebut merangsang thalamus atau otak dan menyalurkannya

ke seluruh tubuh. Setelah itu pernapasan dan peredaran darah akan terpengaruh

10 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.2. 11 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.2. 12 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.3.

Page 21: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

16

sehingga metabolisme tubuh akan terangsang. Apabila perubahan terjadi, maka

seseorang dapat menjadi tenang atau sebaliknya sesuai dengan jenis irama yang

didengarnya, serta penyesuaian tubuh terhadap rangsangan irama tersebut.13

Walaupun bukan merupakan dasar eksistensi hidup manusia, akan tetapi

seni musik dan lagu adalah sebagian dasar social dan cultural manusia. Eksistensi

manusia bukan sekedar hidup, akan tetapi mempunyai kesanggupan untuk

mengalami kesukaan, kepuasan, dan kegembiraan. Agar manusia itu memperoleh

segala kebutuhan kehidupannya, mereka kemudian mencari beraneka ragam seni

termasuk musik dan lagunya.

Dengan demikian jelaslah bahwa musik memang mempunyai pengaruh

yang cukup besar atas kehidupan manusia. Sebuah nyayian dapat menimbulkan

rasa sedih, rasa tenang, rasa gembira, dan sebagainya sesuai dengan iramanya dan

lagunya. Musik dengan nyayian yang kata-katanya sesuai dengan perasaan yang

ditimbulkan, sangat mengesankan dan meresap ke dalam hati orang yang

mendengarkannya.

B. Pengertian Musik Liturgi

Kata “liturgi” sendiri berasal dari bahasa Yunani Leitourgia, terbentuk

dari akar kata ergon yang berarti “karya”, dan leitus, yang merupakan kata sifat

untuk kata benda laos (bangsa).14 Secara harfiah, leitourgia berarti ‘kerja’ atau

‘pelayanan’ yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Dalam masyarakat Yunani

kuno, leitourgia dimaksudkan untuk menunjukkan kerja bakti atau kerja

13 Depdikbud, Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu, h.3. 14 Martasudjita, Pengantar Liturg, hal.8.

Page 22: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

17

pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari warga masyarakat yang

kaya, dan pajak untuk masyarakat atau Negara.15

Lantas apakah musik liturgi itu? Ditinjau dari tujuan apresiasinya, musik

secara umum terbagi dalam dua bentuk yakni musik ritual dan musik profan.

Musik ritual adalah musik yang diapresiasikan untuk mendukung upacara-upacara

ritual, seperti adat (tradisi) maupun upacara keagamaan. Dalam berbagai

kebudayaan dan agama, bunyi yang dihasilkan oleh instrumen atau alat tertentu

diyakini memiliki kekuatan magis. Begitu pula dalam berbagai agama, terdapat

jenis-jenis musik tertentu yang digunakan dalam ritus-ritus keagamaan.

Sedangkan musik profan atau musik populer, adalah musik yang bernuansa bebas

(tidak bersifat sakral) dan digemari dalam masyarakat serta diapresiasikan sebagai

sarana hiburan. Musik tersebut menggunakan irama bebas dan komposisi

melodinya mudah dicerna dan besifat inovatif. Dari uraian ini, pengertian musik

liturgi secara singkat dapat dikatakan sebagai musik sakral dalam agama Katolik,

atau musik yang dibawakan dalam liturgi Gereja Katolik.16

Namun untuk menggagas arti musik liturgi secara lebih mendasar,

pertama-tama harus bertolak dari pemahaman akan arti liturgi itu sendiri. Adapun

arti liturgi yang digagas para ahli, yakni sebagai ”perayaan keselamatan dalam

bentuk tanda dan simbol yang dilaksanakan oleh Gereja”. Dari pengertian ini,

musik liturgi adalah salah satu simbol dalam liturgi. Secara umum simbol

dipahami sebagai suatu wujud konkrit yang menyatakan dan mengungkapkan

sesuatu yang lain di luar dirinya. Demikian pun dalam liturgi, simbol memiliki

15 Martasudjita, Pengantar Liturgii, h.8. 16 Paul Widyawan, “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987.

Page 23: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

18

fungsinya sebagai sarana untuk membantu orang menghayati imannya akan

misteri penyelamatan Kristus bagi Gereja. Dengan ini, musik liturgi termasuk

suatu bentuk simbol yang digunakan sebagai sarana untuk merayakan misteri

keselamatan itu. 17

Tanpa terlepas dari arti simbolis tersebut, dalam Kamus Liturgi

Sederhana, musik liturgi didefenisikan sebagai musik yang digubah untuk

perayaan liturgi (untuk melagukan teks atau lagu liturgi dan mengiringinya)

dengan bentuknya yang memiliki suatu bobot kudus tertentu. Bobot kudus inilah

yang perlu dihayati, sehingga musik liturgi dapat berdaya guna sebagai simbol

untuk merayakan misteri keselamatan.18

“leitourgia” < leitos (umat,rakyat) + ergos (tugas) > pelayanan

Dalam Bahasa Yunani sehari-hari *tugas pegawai *tugas pelayanan mezbah

Dalam Septuaginta (PL) *tugas imam *tugas Imam besar Kristus *tugas pekabaran Injil *tugas malaikat-malaikat *tugas pemerintah *tugas membantu orang miskin

Dalam Gereja Purba Terdahulu *tugas kultus imam-imam *tugas penatua-penatua atau uskup *tugas malaikat-malaikat *”tugas” hidup secara kristen Kemudian *pelayanan perjamuan kudus

17 Paul Widyawan, “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987. h. 20. 18 Ernest Mariyanto, Kamus Musik Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004. h.

225.

Page 24: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

19

Dalam Gereja Katolik Roma *ibadah sekeliling ekaristi/misa

Dalam Gereja-Gereja Protestan *pada awalnya tidak dipakai ( Reformasi abad 16 ) *Liturgi dipakai untuk ibadat sejak 1550

(oleh pengaruh Anglikan dan Ortodoks Yunani)

Sekarang ini *lazim dipakai untuk ibadah *menjadi istilah teknis dalam ilmu

Teologi; bidang studinya mencakup tata kebaktian

Gambar I. Pengertian liturgi dalam beberapa tempat19

a. Istilah “liturgi” dalam Septuaginta20

Septuaginta disini selalu menggunakan kata “leitourgia” untuk suatu

pekerjaan yang dilaksanakan oleh para imam secara tertib dan dengan

khidmat, sesuai dengan undang-undang upacara ibadat; suatu pelayanan

yang berguna untuk seluruh jemaat.21

b. Istilah “liturgi” dalam Gereja purba

Dalam Gereja Purba kata ini sebenarnya mengandung arti yang lain.

Artinya sama seperti dalam Perjanjian Lama, yaitu menyatakan tugas

kultus imam-imam. “Leiturgia” juga dapat merujuk kepada kehidupan

sebagai orang Kristen, tugas malaikat, jabatan penatua dan uskup.

Selanjutnya dipakai pula dalam pelaksanaan ibadah, sehubungan dengan

19 G. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, (Jakarta; Yayasan Komunikasi Bina

Kasih/OMF,1995) h. 17-18. 20 Septuaginta adalah terjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa

Yunani. Disebut “Septuaginta” karena menurut cerita (yang tidak pasti ) Perjanjian Lama diterjemahkan oleh 70 orang penerjemah, kira-kira 200 SM-G. Riemer, Cermin Injil –Ilmu Liturgi, h.10.

21 Martasudjita, Pengantar Liturgi, h.10.

Page 25: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

20

perayaan Perjamuan Kudus. Dalam arti istilah ini “liturgi” makin

memperoleh tempatnya dalam teologi Katolik Roma.22

c. Istilah “liturgi” pada saat reformasi

Mula-mula para reformator sama sekali tidak memakai kata “liturgi”. Tapi

mungkin istilah ini diambil alih dari Gereja Anglikan dan gereja Ortodoks

Yunani.23

d. Istilah “liturgi” sekarang ini

Gereja masa kini biasanya menamakan ibadahnya suatu “liturgi”.

Kebiasaan ini terdapat pada banyak gereja. “liturgi” sudah menjadi istilah

teknis dalam ilmu teologi yang merujuk kepada berkumpulnya jemaat

untuk beribadat, tata kebaktian, dan sebagainya.24

Selain itu banyak hal yang mempengaruhi pembentukan liturgi itu sendiri,

bukan saja faktor-faktor lingkungan teologi, tapi juga non-teologi. Semua faktor

dengan wewenangnya masing-masing, bersama-sama membentuk pola liturgi

yang indah dan yang sesuai dengan keadaan jemaat yang merayakannya. Bagan

berikut melukiskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan liturgi

tersebut.25

22 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h.12. 23 Valerandus Pollanus disebut sebagai orang pertama yang mulai memakai istilah

“liturgi”, ia berbicara tentang liturgi Sacra (liturgi yang kudus) tahun 1551 M- G. Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 12.

24 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 12-13. 25 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 24.

Page 26: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

21

Gambar II. Faktor-faktor yang mempengaruhi Liturgi26

LITURGI

Sejarah Gereja Dunia Gereja

(politik, sosial, ekonomi)

Persekutuan Gereja (di Negara dan didunia)

Ajaran Gereja (dogma)

Alkitab

Antropologi Etnologi (sifat suku bangsa; adat;

emosi)

Kebudayaan (kesenian; musik; arsitektur)

Misiologi

1. Faktor Sejarah Gereja

Ilmu Liturgi memang wajib diteliti sejarah kebenarannya. Allah

memerintah gereja dari abad ke abad, dan memeliharanya sepanjang

perkembangan zaman. Artinya, gereja yang hidup pada masa sekarang ini

bertanggung jawab untuk mengkaji perlindungan dan pemeliharaan ini, dan untuk

belajar dari sejarah gereja. Ajaran sejarah ini merupakan nasihat yang penting

sekali untuk gereja sekarang ini.27

2. Faktor Dunia Gereja

Yang dimaksud ialah pengaruh dunia sekitar gereja, yang dapat

mempengaruhi liturgi, misalnya: bila keadaan ekonomi tidak baik dan masyarakat

umumnya miskin, maka akibatnya untuk gereja jelas; bangunan gereja

memprihatinkan, alat-alat musik tidak ada atau hanya yang sederhana saja.

26 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 24. 27 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 32-33.

Page 27: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

22

Walaupun faktor ini kadang-kadang bias menimbulkan akibat yang fatal,

tetapi jelas, faktor ini merupakan prinsip mutlak gereja. Wewenangnya bukan

berkenaan dengan prinsip, melainkan relatif (artinya terbatas, sesuai dengan

keadaan).28

3. Faktor Alkitab

Alkitab mempunyai wibawa mutlak dalam kehidupan Kristen, dalam

gereja dan dalam Ilmu Teologi. Sejalan dengan itu liturgi harus taat kepada

Firman Allah, sehingga menjunjung tinggi semua unsur, semua petunjuk atas

perintah yang diberikan Allah sendiri untuk ibadah masa kini. Tapi tidak semua

unsur liturgi yang berasal dari Alkitab merupakan perintah mutlak untuk semua

masa, ada juga yang bersifat nasihat, saran, petunjuk dan dorongan.29

4. Faktor Kebudayaan

Faktor ini sangat penting sekali, bukan saja dilihat dari segi missioner, tapi

juga dari segi pembinaan jemaat. Bila kebudayaan disangkal atau kurang

diperhatikan dalam penciptaan dan perkembangan liturgy, maka iman didalam

hati anggota jemaat akan kurang berakar. Tetapi faktor ini juga harus tunduk

kepada faktor-faktor lain yang berwenang mutlak, misalnya Alkitab dan

Dogma.30

5.

persidangan raya menentukan suatu tata ibadah, dengan maksud supaya semua

Faktor Persekutuan Gereja

Wewenang faktor persekutuan tergantung pada peraturan gereja. Apabila

28 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 35-36. 29 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 29-30. 30 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34.

Page 28: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

23

gereja memakai tata ibadah itu, maka peraturan itu bersifat perintah mutlak, yaitu

berdasarkan ketentuan bersama-sama dalam persekutuan gereja.31

6. Faktor Antropologi Etnologi

Faktor ini sebenarnya tidak begitu berbeda sifatnya dari faktor

kebudayaan. Bila hendak menciptakan liturgi, mau tidak mau kita harus

berhadapan dengan faktor ini. Dan disini diperlukan khidmat untuk menentukan

apa yang dapat dan yang harus dibuat, agar kebaktian memperoleh identitas yang

sesuai dengan identitas suatu bangsa. Tapi pada saat yang sama kebaktian itu

harus tetap bersifat “murni”, yaitu berlandaskan ajaran Alkitab yang sejati.32

7. Faktor Ajaran Gereja (dogma)

Faktor ini bukan saja berpengaruh dalam pokok ibadat Gereja Katolik

Roma, tetapi juga pada Gereja-gereja Protestan. Dalam Gereja reformasi faktor

dogma erat berkaitan dengan faktor Alkitab. Gereja Reformasi mengakui sebagai

dalil utama, bahwa dasar ajarannya adalah Firman tuhan. Sejajar dengan ini kita

dapat menilai bahwa wewenangnya bersifat mutlak. Tak heran jika dalam Gereja

Katolik Roma dogma juga merupakan faktor yang bersifat perintah mutlak. Tapi

dogma ini tidak selalu datangnya dari Alkitab, bias jnuga dari tradisi.33

8. Faktor Misiologi

Faktor misiologi untuk menciptakan liturgi adalah faktor yang penting

sekali, yaitu merupakan dorongan, terutama untuk membuat kebaktian itu hidup

dan sesuai dengan pengertian dan penghayatan setiap orang.34

31 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h.35. 32 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 35. 33 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34. 34 Riemer, Cermin Injil-Ilmu Liturgi, h. 34.

Page 29: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

24

Jelaslah bahwa ikhtisar ini menjelaskan betapa sulitnya menciptakan atau

mengubah suatu liturgi. Jika komisi liturgi yang bertanggung jawab ingin

memperbaruhi liturgi setempat, maka seharusnya ada pertimbangan dari

keseluruhan faktor yang ada itu, untuk menentukan pola liturgi. Karena perubahan

sembrono tidak akan menghasilkan kebaikan untuk jemaat.

Dikalangan umat, “liturgi” biasa dipahami sebagai upacara atau ibadat

publik gereja. Tidak heran jika orang berfikir tentang liturgi adalah urutan

upacara, para petugas, peralatan yang harus ada, dan sebagainya. Tetapi, makna

dan hakikat liturgi itu sendiri seharusnya digali dari apa yang diajarkan oleh

Konsili Vatikan II, terutama melalui konstitusi liturginya, Sacrosanctum

Concilium.35 Dokumen liturgi ini merupakan hasil perumusan dan perjuangan

panjang gerakan pembaruan liturgi yang memuat hasil refleksi dan studi liturgis

selama berpuluh-pulluh tahun sebelumnya. Definisi liturgi dirumuskan sebagai

tindakan bersama antara sang Imam Agung Yesus Kristus dan Gereja-Nya bagi

pengkudusan manusia dan pemuliaan Allah yang bersifat simbolis. Karya

keselamatan-Yesus di dalam liturgi selalu merupakan kehadiran dalam bentuk

tanda atau simbolis, seperti; jabat tangan, menepuk dada, berdiri, berlutut,

menumpangkan tangan, mencurahkan air, dan lain-lain. Selain itu juga digunakan

banyak benda simbolis, seperti altar, mimbar, roti, anggur dan lain-lain. Simbol-

simbol liturgi ini merupakan simbol yang melaksanakan bahkan menghadirkan

secara efektif apa yang dilambangkan. Salah satu simbolisasi bias terlaksana ialah

35 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgy Gereja,

khususnya perayaan Ekaristi.

Page 30: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

25

melalui tubuh, gerak-gerik atau tindakan. Identitas manusia terbentuk dan

terungkap dalam ekspresi dirinya.36

36 Martasudjita, Pengantar Liturgi, h. 103-121.

Page 31: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

BAB III

SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK LITURGI

GEREJA KATOLIK

Musik liturgi mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Berikut ini

merupakan uraian singkat mengenai sejarah musik liturgi sejak zaman kekristenan

purba hingga menjelang masa pembaharuan.

A. Musik Gereja Perdana (100-900)1

Musik merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial sekuler orang

Ibrani. Mereka tidak membedakan antara kehidupan yang rohani dan sekuler.

Kehidupan musik mereka tumbuh dari jiwa orang-orang yang kehidupan sehari-

harinya diatur oleh agama mereka. Menurut koleksi tulisan Yahudi yang ditulis

setelah penulisan kitab Injil, Raja Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan

mas kawin berupa 1000 peralatan musik. Latar belakang agama Kristen dalam

hubungannya dengan sumber utama yaitu agama Yahudi menjadi awal untuk

membicarakan sumber-sumber liturgi (tata ibadat) Kristen dan musik gerejawi.

“Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan para murid-

murid-Nya ke bukit Zaitun.” Begitulah berita Injil Matius 26:30 dan Markus

14:26 tentang perjamuan terakhir yang diadakan Yesus dan murid-murid-Nya.

1 Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema

Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15.

Page 32: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

27

Perjamuan ini pada dasarnya berbentuk perjamuan Paskah Yahudi sehingga

berakhir dengan nyanyian Hallel yakni Mazmur-Mazmur 114 sampai 118. Inilah

awal dari musik ibadat Kristen yang dilanjutkan dalam ibadat gereja Perdana.2

Dalam mitos Yunani Kuno musik dianggap sebagai ciptaan dewa-dewi

atau setengah dewa. Ada anggapan bahwa musik memiliki kekuasaan ajaib yang

dapat menyempurnakan tubuh dan jiwa manusia, serta membuat mu’jizat dalam

dunia alamiah. Seperti halnya dalam tradisi Ibrani, dalam tradisi Yunani Kuno

musik pun tidak dapat dipisahkan dari upacara-upacara keagamaan, misalnya alat

musik Iyra terkait dengan aliran Apollo, Aulos berkaitan dengan alat musik

Dionysus. Dalam musik Ibrani, syair dan lagu dikatakan lebih penting dari

musiknya dan lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari

syair dan aksen diantara kata-kata itu. Generasi Kristen mula-mula menggunakan

lagu-lagu Yahudi lama untuk penyembahan mereka.

Artinya, musik gereja Perdana berasal dari bentuk nyanyian ibadat

sebagaimana dilakukan dalam sinagoge Yahudi. Karena belum ada notasi musik

pada zaman itu, nyanyian ini berkembang lewat improvisasi seorang solis. Pada

waktu menjelang akhir Perjanjian Lama, memasuki zaman Kristus, bangsa

Yahudi membiarkan penyembahan berkembang secara leluasa. Dalam masa

Perjanjian Baru, para rasul Yesus meneruskan kebiasaan sebagai orang Yahudi

dengan mengikuti ibadat di Bait Suci di Yerussalem/Sinagoge. Kitab Mazmur

Perjanjian Lama yang selalu dinyanyikan dalam ibadat Yahudi dan lagu-lagu baru

yang memuji Yesus dalam bentuk seperti mazmur menjadi dasar liturgi yang

2 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36.

Page 33: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

28

dinyanyikan dalam ibadat Kristen awal. Musik gereja Perdana melanjutkan tradisi

nyanyian ibadat Yahudi maupun tradisi musik dari Palestina dan sekitarnya.

Pada zaman ini musik liturgi dikenal dengan istilah ‘nyanyian pujian’,

nyanyian mazmur dan kidung pujian (Bdk. Kis 16:25; Ef 5:19; Kol 3:16). Musik

dalam periode ini memiliki dua sumber utama, yang menjadi latar belakang musik

gereja, yakni musik Yahudi dan musik Yunani.3

Pertama, musik Yahudi. Musik ini berkembang dalam masa pemerintahan

raja Daud. Atas usaha raja Daud (±1012-972 SM), mazmur-mazmur disusun

dalam bentuk yang paralel, guna menyejajarkan setiap kalimat. Untuk

menyanyikan mazmur-mazmur dibutuhkan dua kor di mana mazmur-mazmur

tersebut dapat dibawakan dengan cara saling bersahutan. Musik ini berkembang

dan mencapai puncaknya pada musik kenisah di Yerusalem pada masa

pemerintahan raja Salomo (±972-929 SM).

Usaha-usaha para ahli untuk menemukan lagu yang otentik atau alat musik

yang disebut dalam Alkitab belum membawa hasil yang baik. Peninggalan-

peninggalan kuno di Mesopotamia dan Mesir masih dapat memperlihatkan

contoh-contoh alat musik kuno mereka di zaman lampau, namun tidak satu pun

alat musik dari Alkitab yang diketahui secara pasti. Hasil penelitian para

musikolog untuk menemukan notasi musik kuno di sekitar Laut Mati belum

menunjukkan gejala-gejala titik terang. Meskipun demikian, masih terdapat

keterangan yang dapat menjadi pegangan untuk bermusik, antara lain teks

nyanyian dan cara membawakan musik. Atas usaha raja Daud (1012-972 SM),

3 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37.

Page 34: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

29

telah disusun mazmur-mazmur berbentuk paralel, artinya tiap-tiap kalimat

dinyanyikan sejajar. Untuk menyanyikan mazmur-mazmur dibutuhkan dua kor

yang saling melengkapi, yaitu dengan cara saling bersahut-sahutan. Cara tersebut

kemudian mempengaruhi cara membawakan musik Gregorian, yakni nyanyian

secara ‘antiphonal’ atau ‘responsorial’.

Perkembangan musik tersebut kemudian berlanjut dalam sinagoga-

sinagoga, sesudah pembuangan di Babilonia pada abad ke-6 SM. Umat Yahudi

membangun berbagai sinagoga sebagai tempat ibadat yang tetap sesudah

pembuangan, sebab kenisah Yerusalem telah dihancurkan musuh. Mereka

membawakan doa-doa dan mazmur-mazmur yang bersifat responsorial. Ada pun

dua gaya bernyanyi dalam musik sinagoga, yaitu ‘syllabis’ dan ‘melismatis’.

Dalam gaya syllabis, tiap suku kata diberi hanya satu nada, walaupun melodinya

sangat bervariasi, misalnya pada kadens awal (initium) atau pada kadens terakhir

(finalis). Sedangkan gaya melismatis bersifat kololatur, yang dinyanyikan oleh

solo. Ciri khas gaya ini adalah pada satu suku kata diberi banyak nada atau suatu

melodi kecil. Dari cara inilah umat Yahudi sesunggunya telah mewariskan

beberapa unsur yang berharga bagi perkembangan musik Gereja khususnya musik

Gregorian.4

Kedua, musik Yunani (± 675-146 SM). Dalam masyarakat Yunani kuno,

nyanyian erat kaitannya dengan puisi dan para “minstrel” (dapat dibandingkan

dengan “pengamen” di Jawa) yang selalu berkeliling untuk membawakan lagu–

4 Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 23.

Page 35: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

30

lagu secara resitatif.5 Alat musik ’lira’ dipetik sebagai iringan dan sering

berfungsi sebagai instrument solo. Selain itu dipakai juga alat musik tiup 'aulos’

yang terbuat dari bulu.

Teori musik Yunani berkembang dalam waktu sekitar 600 tahun. Musik

Yunani dipercaya sebagai musik terbaik dan terkenal di antara musik lain dalam

sejarah musik dunia. Literatur musik Yunani sangat mempengaruhi

perkembangan teori musik di seluruh dunia, dan mempelopori lahirnya musik

keagamaan dan musik klasik di Eropa. Seperti halnya sejarah Yunani penuh

dengan kejayaan di berbagai bidang penemuan, filsafat dan peradaban rakyatnya,

demikian pun musik Yunani, ikut memberikan warna kemajuan bagi kebudayaan

Yunani, bahkan bagi perkembangan musik dunia pada umumnya. Dalam

kehidupan bangsa Yunani pada masa lampau, musik digunakan sebagai sarana

hiburan, perayaan rakyat dan juga kegiatan ritual kegamaan.

B. Periode Awal Pada Abad X (900-1000)

Mulai abad I gereja tersebar sampai kawasan Eropa selatan. Di Roma

berkembang warisan gereja Perdana. Sejak abad IV selain solis terdapat pula

schola.6 Sehingga terbuka jalan bagi lagu yang lebih kaya akan seni. Di Milano,

Italia Utara berkembang bentuk nyanyian baru yang dipelopori oleh St.

Ambrosius (333-397). Dalam perang melawan bangsa Arian (386), ia sering

terkurung dalam gereja bersama umatnya. Kemudian ia melatih mereka nyanyian

yang mudah dinyanyikan bersama-sama. Yang pertama, himne atau madah yakni

5 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 25. 6 Schola adalah sebutan bagi sekelompok penyanyi terlatih. (Karl-Edmund Prier SJ,

Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 25).

Page 36: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

31

nyanyian berbait dengan syair baru bukan dari kitab suci. Yang kedua adalah

nyanyian antiphon, refren yang diulang diantara ayat-ayat Mazmur.7

Gaya musik himne berasal dari Syria yang dibawa ke Eropa Barat pada

abad IV, kemudian dikembangkan oleh St. Ambrosius sesuai kebudayaan dan

kebutuhan setempat. Suatu bentuk penyesuaian yang saat ini dikenal dengan

istilah inkulturasi. Perkembangan pokok terjadi di Roma. Sejak abad IV perayaan

ibadat dirayakan secara resmi dalam gereja basilika, tidak lagi tersembunyi dalam

katakombe. Sampai abad VI nyanyian ibadat berkembang subur, Paus Gregorius

Agung (590-604) merasa perlu mengaturnya, kemudian lahirlah nyanyian

Gregorian. Nyanyian ini terus berkembang, sebagai tradisi dan tulang punggung

musik gereja abad pertengahan. Di Eropa Utara nada-nada melisma yang panjang

diisi dengan syair baru, tropus dan sekuensi.8

Sampai abad X musik berkembang sebagai tradisi lisan berupa musik

jemaat, dinyanyikan dalam bahasa Latin dan dimengerti oleh semua umat.

C. Musik Abad Pertengahan (1000 - 1400)

Sekitar tahun 1000 terjadi perubahan dalam musik gereja. Di Eropa

dikembangkan notasi musik, untuk keperluan didaktis. Nyanyian Gregorian

dipandang sebagai warisan yang mengikat, sehingga menjadi tantangan para

komponis untuk menciptakan musik Polifon yang bermutu tinggi. Maka lahirlah

musik gereja gaya baru, Organum. Pada abad XXII di Paris, Prancis berkembang

7 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 36. 8 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37.

Page 37: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

32

sekolah Notre Dame dengan seni ritmik yang tinggi, kemudian dengan motetus

dan conductus yang termasuk Ars Antiqua. Pada abad ke-14 digunakan ars Nova

sebagai notasi baru.9

Saat itu, musik gereja menjadi musik klerikal,10 jemaat menjadi pasif

karena penyanyi dan paduan suara hanya terdapat di seminari dan biara. Hal ini

membuat gereja berulangkali mengeluarkan peraturan tentang musik ibadat,

namun kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka sejak abad XIII

Imam harus mengucapkan semua teks liturgi, meskipun nyanyian tersebut

dibawakan oleh paduan suara.

Musik gereja dipandang sebagai tambahan, hiasan, bukan bagian integral

dari ibadat. Sehingga terbuka jurang pemisah antara liturgi resmi dan musik

gereja. Pada tahun 1300 muncul istilah Musica Ecclesiastica bagi nyanyian

Gregorian, dan Musica Mensurata bagi nyanyian Polifon. Disimpulkan

perkembangan musik gereja menjadi seni Polifon adalah hasil perkembangan

gereja di Eropa Utara dan akibat konfrontasi kebudayaan musik Eropa Selatan

(Gregorian) yang monodis (satu suara, organum).

Gereja melalui proses inkulturasi memajukan kesenian, namun di lain

pihak pendewasaan musik gereja mendatangkan konflik dengan pimpinan gereja:

gereja semakin yuridis, menegaskan ritus dari pada iman dalam perbuatan ibadat.

9 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37. 10 Musik Klerikal adalah musik yang menjadi bagian tugas atau yang dilakukan oleh

Klerus (orang-orang beriman yang menerima tahbisan diakoniat, imanat atau keuskupan).

Page 38: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

33

D. Musik Zaman Renaissance (1400-1600)11

Dibandingkan dengan musik Abad Pertengahan, musik Renesans lebih

manusiawi. Hal ini tampak dalam bunyi bulat vokal Renesans, suara yang linear

berkembang dalam Polifon menjadi harmonis. Para komponis tidak lagi

mengarang suara satu persatu namun konsep komposisi keseluruhan. Melodinya

disederhanakan dan diperindah dengan potongan-potongan yang ditentukan nafas

manusia. Ritmik Gotik yang rumit diganti dengan irama hidup yang mengalir dan

sederhana. Musik vokal diharuskan mengungkapkan isi dan perasaan yang

termuat dalam syair.

Selama abad XV di Belgia mulai terbentuk pusat-pusat musik, tempat

komponis ternama berkarya atas permintaan pangeran maupun Uskup, di istana-

istana dan gereja Katedral tertentu terbentuk paduan suara, orkes, dan kegiatan

kreatif yang cukup subur. Umumnya para komponis tersebut tidak tinggal

menetap, tetapi berkeliling, sehingga di Eropa berkembang gaya musik baru,

musik Renesans. Musik ini dikuasai bentuk motet, suatu bentuk musik yang

berpangkal dari syair dan merenungkannya dalam ulangan-ulangan potongan

secara Polifon. Disamping musik gereja, berkembang seni musik Profan12 di

Italia (Madrigal) dengan mutu yang tinggi.

Menjelang Konsili Trente (1545-1563) terdapat dua aliran musik gereja:

yang pertama, ingin membendung dan melindungi tradisi musik gereja (yakni

11 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 123. 12 Profan berasal dari kata profane dalam bahasa Inggris, yang menurut bahasa berarti

kotor, tidak senonoh, tidak sopan. Namun dalam arti yang berlawanan dengan kata sacred (suci) profan berarti duniawi, biasa.” Lihat John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 449.

Page 39: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

34

nyanyian Gregorian dan musik Polifon klasik lama), dan yang kedua, ingin

belajar perkembangan musik baru seni Madrigal dengan mencari faedah untuk

musik gereja.13

Dalam Konsili Trente14, pengolahan syair dalam komposisi motet

dianggap terlalu bebas termasuk kebiasaan solis memakai hiasan, tambahan dalam

membawakan lagu, sikap sembrono para organis yang memakai musik hiburan

sebagai selingan. Mengenai perbedaan kedua aliran, Konsili hanya menuntut agar

syair dalam musik gereja dapat ditangkap dan lagu Profan dihindari dalam ibadat.

Nyanyian Gregorian agar dipelihara secara intensif terutama di Seminari-

Seminari. Namun pelaksanaan keputusan diserahkan pada Uskup lokal.

Atas dasar ini berkembang pusat-pusat musik gereja lokal, yang diwarnai

oleh tradisi lokal dan dicap oleh pakar musik tertentu. G. P. da Palestrina

(Penyelamat musik gereja Polifon) berhasil menciptakan gaya musik Polifon yang

sangat seimbang dengan mengembangkan teknik Polifon dari sekolah Belanda

dan mengembangkannya dengan bunyi indah khas Italia. Selain itu terdapat pakar

musik lain seperti: G. Allegri dengan Miserere, W. A. Mozart, dan Orlando de

Lasso yang menyumbangkan 60 misa dan 1200 motet untuk musik gereja.

Sekitar tahun 1600 terjadi perubahan yang cukup besar, musik monodi

dengan basso continuo dan dengan akor-akor menggantikan musik modal dan

polifon. Ini dikembangkan di Italia, Jerman dalam gereja Katolik maupun

Protestan. Gaya musik monodi dengan iringan basso continuo hanya bertahan

13 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 37. 14 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 155.

Page 40: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

35

sementara sampai pertengahan abad XVII kemudian diganti dengan bentuk baru

seperti Orgelmesse, Versetti (lagu-lagu pendek untuk orgel untuk menggantikan

solis dalam membawakan ayat-ayat Magnificat dan Mazmur). Selain itu muncul

juga musik gereja yang murni instrumental seperti Sonata gereja, Epistelsonate,

elevation dan lain-lain.15

Musik gereja Katolik pada hakikatnya bersifat tradisional, untuk ibadat

masa Adven dan Prapaskah, gereja melarang bunyi instrumen meriah sehingga

digunakan musik khas gerejawi seperti Gregorian dan Polifoni a capella gaya

Palestrina.

E. Musik Barok (1600-1750)16

Waktu dari sekitar tahun 1600-1750 dalam sejarah musik merupakan satu

epoche yang sangat utuh disebut Barok atau jaman basso continuo / Generalbass,

atau jaman stilo concertante.17

Istilah ‘Barok’ untuk pertama kali dipakai sebagai nama gaya kesenian

dalam buku ‘Encyclopedie’ karangan Denis Diderot pada tahun !750 dan

diartikan menurut kata Portugis ‘borucco’ atau ‘barocco’18 sebagi bulat-

miring/loncong, kira-kira seperti bentuknya mutiara. Ternyata pada abad 18

kesenian musik dari periode tersebut tidak dinilai secara positif tetapi justru

negatif: ‘kehilangan bentuk yang normal’, eksentris’ / ‘berlebihan’, kurang

bermutu’, ‘skuril’, bahkan ‘dekaden’. Harmoni dalam musik Barok dianggap

15 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 41. 16 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 7. 17 J. Handschin, Musikgeschichte im Uberblick, Luzern 1948 (Karl-Edmund Prier SJ,

Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7). 18 Dalam bahasa Portugis berarti ‘mutiara’(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II

Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).

Page 41: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

36

kurang jelas, terdapat banyak disonasi, melodinya sulit dan kurang wajar / kaku;

pendek kata ‘barok’.19

Baru selama abad 19 musik dari tahun 1600-1750 mulai dinilai secara

baru dan lebih positif. Sedangkan istilah Barok mulai dipakai sebagai nama untuk

masa tersebut pada awal abad 20, mula-mula di Jerman (H. Riemann, Handbuch

der Musikgeschichte, 1911; H.J.Moser, Geschichte der deutschen musik, 1922; E

Bucken / R Hass, Handbuch der Musikwissenschaft, 1928). Dengan mengikuti

kebiasaan Jerman ini, maka di Amerika pun dipakai istilah ‘Barok’20, sedangkan

orang Perancis dan orang Inggris sampai sekarang berhati-hati memakai istilah

Barok21; para pakar sejarah musik di Italia malah secara eksplisit menolak istilah

Barok karena mereka lebih-lebih melihat arti negatif dari kata Barok (lihat diatas)

dan merasa bahwa ini kurang cocok untuk musik Bach, Handel dll.- Namun inilah

soal istilah saja.

Awal masa Barok di sekitar tahun 1600 cukup jelas sebagai awal gaya

musik baru; dan orang pada waktu itu merasa bahwa mulailah masa baru, dengan

perasaan dan pikiran baru. Meskipun demikian musik polifon lama dipelihara

terus juga sesudah tahun 1600 sehingga terdapat dua gaya yang berbeda-beda

pada waktu yang sama yang disebut stile antico dan stile moderno

19 Demikianlah penilaian J.J Rousseau dalam Dictionaire de musique, Geneve

1767/cetakan ke-2 Hildesheim !969; H.C. Koch, Musikalisches Lexikon, Frankfurt 1802/cetakan ke-20 Hildesheim 1964. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).

20 M.Bukofzer, Allegory in Baaroque Music, New York 1939. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).

21 Claude V. Palisca, Baroque. Dalam Stanley Sadie (e.d) The New Grove Dictionary of Music and Musicians, vol. 2, London 1980, hal. 172 (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 7).

Page 42: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

37

Sebaliknya akhir masa Barok tidak begitu jelas. Sekitar tahun 1750 (akhir

hidup J.S Bach) terjadi suatu perubahan tidak hanya dalam musik tetapi juga

dalam arsitektur, seni rupa, seni lukis dan sastra: disatu pihak suatu keinginan kea

rah lebih sederhana dan lebih wajar (Aufklarung / pencerahan); dilain pihak

keinginan kearah luwes (Rokoko / Pra kalsik). Namun kecendrungan ini

sebenarnya sudah mulai sekitar tahun 1730 dan mencapai puncaknya di sekitar

tahun 1780 yakni masa jaya Klasik.

Secara lazim, dibedakan tiga tahap dalam jaman Barok :22

• Barok Awal : kira-kira 1580-1630

• Barok tengah : kira-kira 1630-1680

• Barok akhir : kira-kira 1680-1750

Para seniman Barok tidak hanya menirukan alam seperti para seniman

Renaissance tetapi mereka berkarya secara kreatif, sebagai genius dengan

perasaan dan akal / pikiran. Proses ini kadang-kadang seakan-akan melawan alam,

misalnya bila di alam seperti hutan dan rawa dibangun istana dengan kebun yang

disusun secara geometris-matematis. Begitu pula para sastrawan menciptakan

karya sastra yang teratur dan buku ilmu yang tinggi; para pemusik menganggap

diri sebagai ‘musicus poeticus’23 yang menciptakan karya (opus) untuk

memperoleh nama. Setiap bentuk yang diciptakan oleh manusia merupakan suatu

langkah untuk mengatur alam ciptaan. Maka banyak bentuk Barok nampak

dibuat-buat dan kurang wajar: mulai dari cara menghormati sampai kebiasaan

22 Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, hlm. 7. 23 Musicus poeticus (latin) = Komponis (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid II

Yogjakarta: PML, 1993, h. 9).

Page 43: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

38

memakai rambut palsu; dari etiket sopan-santun yang kaku sampai kebisaan

kastrasi (untuk mempertahankan suara anak pada penyanyi pria dewasa). Dunia

dipandang sebagai arena sandiwara, dengan pameran, sutradara (master of

ceremony) dan musik.

Namun karena manusia menjadi kritis dalam bidang agama, filsafat dan

ilmu pengetahuan, maka pengertian diri orang terhadap dunia transenden pun

tidak utuh lagi. Dalam abad-abad pertengahan segala bidang hidup diatur oleh

hubungan dengan Tuhan / dunia transenden. Hal ini nampak secara visual pada

gedung gereja katedral yang menuju surga, dan secara auditif pada cantus firmus

yang mendapat tempat sentral dalam komposisi motet dsb. Dalam jaman Barok

hubungan dengan dunia transenden diwujudkan dalam dunia konkrit ini: nampak

secara visual dalam istana dan gereja yang indah dan mewah; secara auditif dalam

gaya konser dimana solis dan pribadi manusia menonjol. Meskipun di Inggris

sudah mulai gerakan baru, liberalisme, yang kemudian meletus dalam revilusi

Perancis dan mendatangkan masyarakat baru (republik); namun dalam jaman

Barok masih berkuasalah sistem politik Feodalisme / Absolutisme yang dengan

gigih mempertahankan orde lama. Dalam arti ini karya J.S. Bach (lebih-lebih

menjelang akhir hidupnya) dirasa sebagai “benda asing” / musik ketinggalan dari

abad pertengahan di dalam masyarakat yang sudah berpikiran baru.24

Masyarakat jaman Barok masih mempetahankan sistem golongan lama:

Raja, kaum bangsawan, kaum Rohaniawan, penduduk kota dan petani.25 Namun

sistem masyarakat abad pertengahan ini (yang dianggap diatur oleh Allah) hanya

24 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 9. 25 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 9.

Page 44: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

39

dapat dipertahankan dengan memakai kuasa. Raja Louis XIV menganggap dirinya

sebagai dewa (matahari) dan dibantu oleh kaum bangsawan, kaum rohaniawan

dan tentara. Dlam kota-kota terdapat lapisan orang kaya dan terdidik, sedangkan

orang di pedalaman menjadi makin miskin. 80% masyarakat Eropa pada jaman

Barok buta huruf. Buktinya, lagu dan tari rakyat Barok sebagian besar lenyap

karena diwariskan hanya dengan lisan; sedangkan musik yang dipakai di lapisan

masyarakat atas saja yang dicatat dan diabadikan.

Musik diciptakan dan dipentaskan terutama pada istana (disponsori oleh

bangsawan), gereja katedral (disponsori oleh uskup sebagai pimpinan gereja

lokal), dikota (disponsori oleh pemerintah lokal), sekolah (disponsori oleh

yayasan swasta), sebagai musik kamar (disponsori oleh kelompok orang kaya)

dan dalam gedung opera (disponsori oleh yayasan swasta).26

Gaya Barok mendapat titik pangkal dari Italia: Tahun 1568 di Roma

dibangun gereja II Gesu sebagai peringatan akan St. Ignasius dari Loyola yang

dimakamkan dalam gereja ini. El Greco dan Tintoretto menghias gereja gereja ini

dengan lukisan yang sangat patetis dan penuh perasaan. Maka gaya baru ini mulai

ditirukan di lain tempat, terutama dalam gereja Sri Paus di Roma, St. Petrus

(1644). Gaya bombastis ini hadir dalam arsitektur dan seni rupa, seni lukis dan

musik di Italia utara (Venesia). Dari sini musik Barok mulai meluas ke seluruh

Eropa, terutama musik opera.barok berakhir pada pertengahan abad 18 dengan

timbulnya rasionalisme serta naturalisme baru.27

26 Prier, Sejarah Musik jilid II, 1993, h. 10. 27 Prier, Sejarah Musik jilid II, 1993, h. 10.

Page 45: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

40

Barok seperti musik tradisional Indonesia senang dengan ulangan yang

sama: dirangkaikan detil-detilnya sebagai variasi dan hidup dalam siklus abadi

yang mendapat dasarnya pada kosmos; di satu pihak semuanya bergerak

(matahari dan bintang-bintang dilangit, hidup manusia dari lahir sampai mati;

para penari dan pemain alat musik) namun di lain pihak semuanya tenang pula

karena termasuk dalam peraturan yang disusun oleh Dia yang lebih tinggi

daripada manusia. Musik Barok seperti suita, variasi, passacaglia, fuga dsb.

Mencerminkan sikap dasar ini: musik cukup hidup, memiliki pola variasi, namun

tidak menuju pada suatu titik tujuan, seperti kemudian halnya dalam bentuk

sonata klasik.

Dalam jaman Barok para seniman berusaha untuk (melalui daya fantasi)

menciptakan suatu ‘ruang seni’ yang dipisahkan dari dunia alam dan realita

hidup: plafon gereja dihias dengan lukisan pemandangan alam yang fantastis; tari

pergaulan dirubah menjadi tari seni; diciptakan opera yang berlangsung beberapa

jam.28 Cita-cita ialah karya seni yang menyeluruh: arsitektur, seni rupa, seni lukis,

seni sastra, seni musik, bahkan (di sekitar istana) seni menghias kebun

diikutsertakan untuk menciptakan karya kesenian di gereja dan istana dengan

tujuan untuk mempesona manusia dengan panca inderanya.29 Dunia dipandang

sebagai suatu ‘teater’ raksasa, tinggal manusia menikmati penyajiannya yang

disatu pihak indah dan mengesankan, dilain pihak penuh arti simbolis yang

mendalam. Seni lukis dan seni rupa Barok melukiskan manusia; seni musik

mengungkapkan emosi dan perasaannya. Namun manusia Barok belum sadar

28 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 10. 29 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 10.

Page 46: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

41

akan kepribadiannya sebagai individu; ia melihat diri sebagai satu unsur dalam

kesatuan seluruh dunia. Maka dalam musik Barok tidak dilukiskan perasaan yang

dialami sendiri; perasaan dan emosi pun ditingkatkan dalam ‘gaya’ yang tak

jarang bersifat agak kaku.

Pikiran manusia pun tidak ketinggalan dalam proses ini tidak ketinggalan

dalam proses seni ini: simbolik angka main peranan sangatlah penting dalam

arsitektur maupun dalam musik; urutan akor dalam harmoni funsional, bentuk-

bentuk musik yang dibuat-buat, ilmu kontrapung yang waktu Barok dipandang

kolot namun dijunjung tinggi, sampai pembagian oktaf secara metematis (dan

berlawanan dengan alam) dalam ‘sateman seimbang’ (‘wohltemperierte

Stimmung’) oleh Werckmeister.30

Dalam jaman Barok kembali dijunjung tinggi teori Pythagoras tentang

musik angkasa.31 Pada Abad pertengahan bayangan antic tentang musik angkasa

ini telah ditingkatkan sebagai ‘musica coelestis’ (pujian alam raya kepada sang

pencipta) serta ‘musica angelica’ (pujian pada Allah oleh para malaikat di surga).

Pada Akhir Abad Pertengahan Harmoni angkasa tadi tidak dilihat secara realistis

(sebagai bunyi fisik) melainkan secara abstrak / matematis.32 Johannes Kepler

(1571-1630) menyambung tradisi ini dalam bukunya “Harmonices mundi”33.

30 Dalam ‘wohltemperierte Stimmung’ oktaf dibagi dalam 12 langkah ½ nada yang persis

sama. Dengan demikian tidak ada satu kuint lagi yang murni, semuanya berkurang sedikit. (Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 11).

31 Prier, Sejarah Musik jilid 1, h. 28-30 32 Misalnya Adam dan Fulda (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11). 33 Bahasa Latin, berarti ‘Harmoni dunia’, terbitan tahun 1619 ( Karl-Edmund Prier SJ,

Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11).

Page 47: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

42

Berdasarkan pandangan dunia baru yan heliosentris34, maka Kepler

membandingkan gerakan eliptis dari planit yang satu dengan yang lain.

Ternyata jaman Barok masih memakai istilah klasifikasi musik yang diajar oleh

Boethius, seorang teori musik Roma pada abad 6 M sbb:

- musica mundana : musik yang hadir dalam dunia nagkasa,

termasuk musim-musim dan harmoni dari makrokosmos;

- musica humana : harmoni dalam badan manusia seperti anggota

badan, emosi, hubungan antar jiwa dan badan; harmoni dalam

mikrokosmos;35

- musica instrumentalis : musik yang berbunyi secara fisik, yakni

hasil bunyi alat musik (musik instrumental) dan suara manusia

(musik vokal).36

Pada abad 13 musica mundana dan musica humana dipersatukan menjadi

musica theoritica atau musica speculativa; dan musica instrumentalis mulai

disebut musica pratica.

Musica speculativa37 biasanya diajar pada sekolah menengah dan

universitas dalam rangka pendidikan ‘seni bebas’. Yang termasuk seni bebas ialah

‘grammatica’ (tata bahasa), ‘rhetorica’ (teknik berpitado), ‘dialectica’ (filsafat),

34 Bumi dan planit-planit lain mengelilingi matahari (Prier, Sejarah Musik jilid II

Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 35 Kadang-kadang ‘musica humana’ diartikan pula sebagai musik vocal. Dalam bahasa

Portugis berarti ‘mutiara’. (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 36 Kadang-kadang ‘musica instrumentalis’ diartikan musik instrumental (Prier, Sejarah

Musik jilid II, h. 11). 37 Bahasa latin, berarti ‘filsafat tentang musik' (Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 11).

Page 48: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

43

arithmatica (ilmu pasti), ‘geometria’ (ilmu geometri), ‘astronomia’ (=astrologi /

ramalan nasib menurut bintang) dan ‘musica’ (=filsafat musik).38

Musica practica dibagikan lagi menjadi :

- Musica plana yakni musik Gregorian dengan satu suara dan irama

bebas;

- Musik mensurabilis atau musik polifon (disebut pula musica

figuralis39)

Pada jaman Renaissance dan Barok musica practica yang diutamakan,

namun musica speculativa mendapat suatu bobot baru pada jaman Barok

berhubung dengan penemuan baru dalam astronomi dan akustik (Galilei,

Mersenne, Sauveur). Bagi Heinrich Schutz (1641), filsafat musik (musica

speculativa) adalah bagaikan matahari diantara para planit. Leibniz pun

memandang musik terutama sebagai ilmu pasti dengan dikatakan (1712) Musik

adalah latihan angka dari lapisan dibawah kesadaran.

Ada juga yang disebut musica poetica adalah ‘ilmu komposisi’40.ternyata

ilmu komposisi abad 17 membahas tentang teknik mengarang motif, bentuk

komposisi keseluruhan sampai pembawaan komposisi. Maklumlah, pada jaman

Barok suatu komposisi sedikit banyak disertai improvisasi/hiasan dengan

ornament, atau diberi ‘wajah’ dengan freshing / deklamasi tertentu.

38 Tokoh yang paling terkenal adalah Johannes de Muris, dengan bukunya ‘musica

speculativa’, paris 1323 (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 11). 39 Menurut bentuk not mensural yang namanya ‘figurae’ (Prier, Sejarah Musik jilid II

Yogjakarta: PML, 1993, h. 12). 40 Dari kata latin ‘opus’ = karya/komposisi; ‘poeticus’ = yang menciptakan karya /

komponis; ‘musica poetica’ = ilmu menciptakan karya musik / ilmu komposisi (Prier, Sejarah Musik jilid II Yogjakarta: PML, 1993, h. 12).

Page 49: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

44

Menurut musica poetica suatu nada tinggi melambangkan juga tempat

yang tinggi (gunung, surga) atau selisih tinggi-rendah (misalnya lembah yang

dalam, neraka); Sekon kecil mengungkapkan derita rasa sakit; tanda istirahat yang

mendadak menunjuk pada kejutan, kematian; bila suara satu bergerak sambil

suara dua ditahan, ini diartikan sebagai ungkapan kesalahan dan dosa; vorhalt /

suspension ditafsirkan sebagai keraguan dsb. Musica poetica menyebut secara

total 150 gejala musik yang khas. Kehadirannya merupakan suatu pesan di dalam

musik.

Termasuk tujuan pokok musik Barok untuk melukiskan ‘afek’. Yang

dimaksud dengan ‘afek’ pada jaman Barok tidak sama dengan perasaan jaman

Romantik. Para pemusik Barok yakin bahwa dalam tangga nada dan interval

musik patokan-patokan sikap jiwa manusia.41

Maka tanda nada dan interval dapat mewakili keadaan jiwa manusia yang

tertentu. Artinya, dalam musik Barok komponis tidak mengekspresikan perasaan

yang ada dalam hatinya, tetapi berusaha untuk memakai patokan (patern) tertentu

(interval, motif irama dsb) secara seni sebagai sarana untuk mengekspresikan isi

kata / syair nyanyian.

Afek atau perasaan juga diungkapkan melalui alat musik yang dipakai,

bagitu pula tangga nada yang dipilih:42

Keutamaan: Tangga nada: Alat Musik:

Iman doris (dorian) D trompet

Harapan frigis (phyrgyan) E biola diskant

41 Bandingkan juga Raga dalam musik India dan pathet dalam musik gamelan Jawa. –sama halnya dengan tangga nada Yunani dan estetika Plato- lihat Sejarah Musik jilid I Yogjakarta: PML, 1991, h. 39-40.

42 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 13.

Page 50: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

45

Kasih eolis (aeolian) A biola diskant

Keadilan lidis (lydian) F flute

Kekuatan miksolidis G trombone, klarine

(mixolydian)

Kewaspadaan ionis (ionian) C schalmei

Dalam jaman Barok alat musik terus diperkembangkan. Sebenarnya

proses ini sudah dimulai pada jaman Renaissance. Bukan jenis alat musik yang

ditambah – kecuali piano (Hammerklavier)- tetapi mutu dari suara, termasuk

usaha untuk meningkatkan ungkapan ‘afek’ / perasaan. Maka alat musik yang

sukar diperbaiki keindahan bunyinya lama kelamaan lenyap.

Alat musik yang dipakai pada jaman Barok:43

1. dalam musik istana dan gereja (musik seni): biola, biola alto, cello, lute,

gitar, teorbe, harpa, cembalo / harpsichord, organ, flute, horn, trompet,

pauken.

2. dalam musik rakyat: biola sederhana (oktavgeige), drehleier (alat gesek

denagn dawai bordun), gitar, hackbrett (dulcimer, semacam sitar),

maultrommel (‘rinding’), pikolo, trekorder (blockflote), schalmei

(semacam klarinet), gendering, kastagnet, xilofon, lonceng kecil dsb. Pada

awal jaman Barok masih terdapat sejumlah alat musik tiup kayu (pommer,

fagot, raket) yang kemudian lenyap kecuali obo dan klarinet. Semua ini

dipakai dalam bermacam-macam variasi.

43 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 14.

Page 51: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

46

Terutama pada abad XVII, dalam sistem absolutisme, gereja mengalami

perkembangan lahiriah dengan arsitektur yang mewah. Begitu pula dengan

perayaan liturgi dan musik gereja. Hal ini dilatar belakangi, yang pertama karena

gengsi untuk berprestasi atau saingan antar istana, yang kedua karena situasi

perang selama 40 tahun dan rasa tidak aman dalam hidup sehari-hari mendorong

masyarakat mencari pegangan pada Tuhan. Maka tidak mengherankan

perkembangan musik gereja menjadi meriah, bahkan tidak jarang melampaui

batas yang wajar.44

Pimpinan gereja Katolik berusaha mengendalikan perkembangan musik

gereja dengan menegaskan bahwa syair liturgi tidak boleh dikurangi atau dirubah,

larangan dipergunakannya alat musik terutama flute dan piano karena dicap

sebagai musik teater, larangan jenis alat musik selama prapaskah. Namun semua

aturan ini bersifat regional. Amanat Sri Paus tentang musik gereja selalu

diarahkan kepada keuskupan Roma. Para pangeran Barok memandang musik

gereja dalam istana mereka sebagai urusan swasta, dan karena hukum gereja dan

hukum sipil dipisahkan, maka musik gereja diurus oleh instansi duniawi.

Konsili Trente (1545-1563) memutuskan untuk membaharui Nyanyian

Gregorian. Maka pada tahun 1614 diterbitkan Editio Medicea45. Nyanyian

Gregorian dibawakan oleh kelompok penyanyi khusus yang disebut schola

cantorum, umumnya diiringi dengan organ; tak jarang part vokal (ayat mazmur)

dibawakan juga secara instrumental oleh organ ; teknik ini disebut alternatim atau

canto misto, canto spezzato.

44 Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, h. 54. 45 Prier, Sejarah Musik jilid, h. 155.

Page 52: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

47

Disamping nyanyian Gregorian dalam ibadat gereja Katolik dipakai juga

lagu polifon dalam gaya lama (a capella) maupun dalam gaya baru (monodis,

secara konsertan dengan basso continou). Adapun jenis musik polifon meliputi

Misa46, Motet47, Mazmur, Te Deum48, Magnificat49, Antiphon50, Sekuensi51.

Selain itu perlu dicatat musik organ, nyanyian jemaat, serta sejumlah musik

rohani seperti oratorio, concerto ecclesiastico (artinya konser gerejani).

Konsili Trente telah mengangkat gaya Paelstrina sebagai stile ecclesiastico

/ gaya musik gereja yang ideal. Maka selama jaman Barok dan juga selanjutnya

gaya polifon lama tetap dipertahankan disamping komposisi ‘modern’.

F. Musik Klasik (1750-1820)52

Karya besar musik gereja pada abad XVIII dan musik klasik Wina

sebagian besar merupakan karya dari Joseph Haydn, W. A. Mozart, dan L. Van

Beethoven. Disamping melanjutkan tradisi Barok dengan iringan orkes yang

megah, dalam musik ini nampak cita-cita klasik Wina untuk menciptakan musik

yang bermutu setinggi mungkin, sehingga pegangan teknis, formal, dan estetis

dari musik profan klasik diambil alih dalam musik gereja.

46 Deretan nyanyian untuk ibadat misa yang meriah terdiri dari kyrie – Tuhan kasihanilah

kami; Gloria – kemuliaan; Credo – aku percaya; sanctus / Benedictus – Kudus / Terpujilah; Agnus Dei – Anak domba Allah (Prier, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38).

47 Prier, Sejarah Musik I, h. 149-150. 48 Sebuah lagu pujian dengan bentuk khusus; syairnya berasal dari St. Ambrosius. Lihat

Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik I (Yogyakarta: PML, 1991), h. 94. 49 Kidung Maria; syairnya diambil dari kitab suci Injil Lukas 2 (Karl-Edmund Prier SJ,

Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38). 50 Semacam refren; dipakai sebagai ‘kurung’ pada awal dan pada akhir sebuah Mazmur.

(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II (Yogyakarta: PML, 1993), h. 38). 51 Prier, Sejarah Musik I, h. 95 52 Prier, Sejarah Musik II, h. 74.

Page 53: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

48

Musik gereja zaman klasik mencerminkan suatu optimisme dan

pandangan yang luas. Musik gereja Mozart tidak berbeda dengan musik profan

seperti opera ciptaan Mozart. Seperti halnya seniman klasik lainnya, Haydn dan

Mozart mengabdi pada Allah dengan hati gembira. Haydn berkata: “Karena Allah

memberikan kepadaku sesuatu hati yang gembira, maka kiranya Ia akan

memaafkan daku, bila aku mengabdi kepada-Nya dengan hati gembira”.53

Manusia abad XVIII merasa satu dengan dunia sekitarnya berdasarkan

humanisme sebagaimana diajarkan oleh para filosof pada abad XVIII (Kant,

Hegel, Schopenhauer, dan sebagainya). Pada zaman ini iman begitu terbuka untuk

dunia, sehingga mengangkat semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap

terbuka ini ke dalam musik gereja.

Istilah Klasik dan Klasisisme sering dipakai untuk musik. Namun artinya

tidak begitu jelas. Semula tidak ada jaman atau gaya Klasik / Klasisisme. Menurut

Ensiklopedi Indonesia klasik adalah “suatu karya (umumnya berupa karya cipta

dari jaman lampau) yang bernilai seni serta ilmiah tinggi, berkadar keindahan dan

tidak akan luntur sepanjang masa.”54 Menurut Friedrich Blume, musik klasik

adalah “karya seni musik, yang sempat mengintikan daya ekspresi dan bentuk

bersejarah sedemikian hingga terciptalah suatu ekspresi yang meyakinkan dan

dapat bertahan terus”.55 Dalam arti ini Franz Schulbert sering disebut pencipta

klasik dari Lied Jerman, dan inipun benar, meskipun Schubert biasanya

53 Prier, Sejarah Musik I, h.93. 54 Hassan Shadily. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta 1982,

jilid 3, hal. 1793 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 76). 55 Friedrich Blume dkk, Die Musik in Geschichte und Gegenwart, Kassel 1958, Band 7,

h. 1027 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 76).

Page 54: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

49

digolongkan sebagai komponis jaman Romantik. Maksudnya ialah bahwa Lied

Jerman mencapai puncak perkembangan dalam komposisi-komposisi Franz

Schubert. Begitu pula tari klasik Jawa sama sekali tidak berkaitan dengan periode

klasik Eropa (1750-1820).

Namun salah pula bila istilah klasik hanya diartikan sebagai puncak

perkembangan dari suatu kesenian (musik, sastra, tari, arsitektur dsb). Salahlah,

kalau apa yang mendahului puncak ini hanya dipandang sebagai hasil sementara,

kurang sempurna; dan apa yang menyusul dinilai sebagai gejala pendangkalan /

klasisisme saja. Pandangan ini salah karena sejarah kini tidak dilihat lagi sebagai

perkembangan terus menerus terdiri dari unsure-unsur yang berkaitan, saling

melengkapi dan mengimbangi. Janganlah Haydn, Mozaart dan Beethoven

dianggap sebagai sebagai tokoh yang lepas dari konteksnya.56 Karena mereka pun

hidup dari warisan jaman Barok yang mereka pun diolah terus dengan cara baru

pada jaman Romantik. Memang, tidak dapat disangkal, bahwa Haydn, Mozart dan

Beethoven merupakan pencipta klasik dari kwartet gesek, sonata piano dan

sinfoni – namun ini tidak berarti bahwa perkembangan sejarah musik Eropa

seakan-akan berpuncak kepada ketiga tokoh ini. Maka dalam bagian ini Klasik

dilihat sebagai lanjutan dari jaman Barok maupun sebagai persiapan untuk

Klasisisme / Romantik artinya Klasik diartikan sejajar dengan jaman sebelumnya

dan sesudahnya.

Selama abad 19 menjadi biasa bahwa tahun 1750 (wafat J.S Bach)

dipandang sebagai awal era baru yang disebut Klasik. Namn sejak tahun 1730 di

56 Prier, Sejarah Musik II , h. 76.

Page 55: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

50

Perancis berkembanglah Gaya galan yang bergabung dengan gaya musik Italia.

Dengan demikian terdapat suatu masa peralihan yang disebut Rokoko atau Pra

Klasik (1730-1760). Tidak semua ahli sejarah musik membuat suatu pembedaan

antara Klasik awal (1760-1780) dan Klasik tinggi (1780-1820).57 Apalagi

mengenai batas akhir dari periode Klasik terdapat bermacam-macam pendapat.

Hal ini memang masuk akal karena Klasik dan Romantik di satu pihak merupakan

dua pola yang bertentangan, namun dilain pihak saling melengkapi. Maka karya-

karya Beethoven pada akhir hidupnya dapat digolongkan sebagai karya musik

Romantik; dan komposisi-kompisisi pertama dari Schubert masih dapat disebut

Klasik. Dengan kata lain, jaman Kalsik masih berlangsung terus meskipun jaman

Romantik sudah mulai.

Seperti halnya pada jaman Barok yang meupakan suatu reaksi terhadap

jaman Renaissance, begitu pula pergantian jaman Barok ke jaman Klasik. Hal ini

nampak dalam timbulnya dua gaya baru:58

1. Gaya Galan yang mulai di Perancis sejak 1730, suatu teknik komposisi

yang sengaja ingin menjauh dari teknik kontarapung / polifon (Bach,

Handel) dan bersifat lebih bebas, lebih mudah dimengerti, dengan melodi

yang enak, dengan ornamentik yang lebih halus, dengan iringan tanpa

keterikatan akan jumlah suara dsb. Musik ini ditujukan terutama kepada

para pencinta musik, ingin menghibur secara bermutu; bukan tujuannya

menciptakan komposisi berat (dengan mengikuti peraturan-peraturan ilmu

kontrapung)

57 Prier, Sejarah Musik II, h. 76. 58 Prier, Sejarah Musik II, h. 77.

Page 56: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

51

2. Gaya sensitive yang berasal dari Inggris (young, Night Thought, 1742)

pada dasarnya ingin menentang gaya Barok yang terlalu patetis dan kaku,

terlalu emosional (afek). Maka keinginan untuk mengungkapkan perasaan

pribadi. Secara kongkrit hal ini diwujudkan dalam dinamika

(crescendo)yang diperkembangkan dalam sekolah Mannheim dengan

Stamitz sebagai tokoh; pun pula di Paris dengan Gossec, Schobert, Beck

serta C. Ph. E. Bach. Sedangkan Sekolah Wina dengan Monn, Wagenseil

serta Joseph Hadyn berhasil mengungkapkan rasa suka dan duka dalam

sebuah karya musik yang sama.

Mulai pertengahan abad 18 berkembanglah Filsafat Aufklarung /

pencerahan dimana manusia lewat daya pikirnya mencapai suatu pengertian diri

baru yang makin dewasa dan bebas. Maka hancurlah keterikatan lama dan

berkembanglah cita-cita baru seperti martabat manusia dan kemerdekaan. Hal ini

nampak dalam deklarasi hak asasi manusia di AS tahun 1776; dalam Revolusi

Perancis tahun 1789; dalam berakhirnya system budak; dalam keinginan untuk

toleransi agama; dalam sekularisasi.59

Kebudayaan yang tadi sedikit banyak diperkembangkan sebagai seni

untuk golongan elite terutama di istana, gedung opera dan digereja katedral, kini

makin didampingi dengan kebudayaan rakyat dengan musik rumah, salon,

restaurant dsb. Karena hidup pada jaman Barok sedikit banyak berupa fasade

(misalnya rambut palsu), dengan pernyataan yang berkelebihan (bombastis) dan

dibuat-buat (artificial), maka timbullah keinginan ke arah hidup sederhana dan

59 Prier, Sejarah Musik II, h. 77.

Page 57: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

52

alamiah. “alam” kini dalam arti: seperti semula (jaman firdaus, jaman Klasik-

Yunani). Jean-Jaques Rousseau (1712-1778) mengungkapkan kritiknya terhadap

kebudayaan sejaman dalam tulisan Discours sur les sciences et les arts / uraian

tentang ilmu dan kesenian (1750 di Paris).60 Sebagai akibatnya, maka pendidikan

menjadi tema utama abad 18, termasuk juga pendidikan musik. Di lain pihak,

orang genius sering menolak ilmu-ilmu (misalnya ilmu kontrapung) sebagai

hambatan untuk memperkembangkan bakat. Mereka ingin bertindak sebagai

seniman merdeka dalam kebudayaan musik baru di tengah masyarakat: maupun

dalam musik rumah, musik salon, dalam konser umum serta opera dihadapan

penonton yang tidak dikenal, maupun terhadap kritik dalam surat kabar.

Perubahan jaman mendatangkan musik baru: kalau dalam Barok emosi

manusia memasuki musik, maka dalam Klasik perasaan dan sikap manusia

diungkapkan, namun selalu diangkat ke tingkat ‘obyektif’;diimbangi dalam

pandangan yang lebih menyeluruh. Musik yang baru bukan lagi patetis (dibuat-

buat) dan berat (banyak minor), tetapi wajar dan enak (banyak mayor).61 Musik

Klasik berusaha untuk menciptakan suatu ‘bahasa universal’ yang dapat

dimengeri tidak hanya secara lokal (nasional) tetapi secara internasional (maka

terdapat banyak musik instrumental). Tema-tema sonata dan sinfoni mirip dengan

lagu rakyat, yang seimbang dalam melodi, ritmik dan harmonic. Baru dalam

variasi-variasi dan ‘development’ komponis memperlihatkan kekayaan yang

tersembunyi dalam tema yang sederhana itu.

60 Prier, Sejarah Musik II, h. 77. 61 Prier, Sejarah Musik II, h. 78.

Page 58: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

53

Musik Klasik tidak mau begitu saja mengabdi pada tujuan tertentu seperti

iringan tari, hiburan, suasana pesta dan ibadat. Ia selalu ingin menyajikan musik

yang bagus, ingin mengangkat manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Maka

musik Klasik tinggi dimengerti oleh masyarakat umum, bukan hanya bagi

sekelompok elite saja.62 Pesan rasional dan perasaan seimbang; begitu pula isi

mendapat bentuk yang wajar. Bau pada musik Romantik terjadi suatu

penggeseran kea rah perasaan dan isi. Musik Klasik berusaha untuk membatasi

diri pula dalam bentuk, harmoni, instrumentasi dsb; musik Romantik tidak.

Maka teori estetika Plato yang menyatakan bahwa irama adalah “suatu

ketertiban terhadap gerakan melodi dan harmoni atau suatu ketertiban terhadap

tinggi rendahnya nada-nada”63 berlaku penuh sebagai dasar musik Klasik.

Terutama Klasik menciptakan harmoni. Seniman Klasik berusaha untuk

mengungkapkan keindahan alam dalam karya kesenian, misalnya dalam lukisan.

Maka seorang komponis berusaha untuk menirukan bunyi alam secara langsung

dalam musik program (Rousseau) maupun tidak langsung dengan mencipta musik

yang ‘alamiah’ / wajar dan indah / seni – sama seperti Sang Pencipta yang

menghasilkan alam raya.

Dengan demikian musik Klasik di satu pihak melawan jaman Barok

dimana musiknya sering artificial / dibuat-buat; dan pengertiannya kurang jelas.

Maka para seniman Klasik percaya bahwa alam sendiri belum memiliki segala

keindahan; maka seorang seniman diharap dapat menambah / meningkatkan

kesenian alamiah dengan pengolahnya menurut hukum estetika.

62 Prier, Sejarah Musik II, h. 78. 63 Prier, Sejarah Musik jilid I, h. 39-40.

Page 59: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

54

G. Musik Romantik (1800-1920)64

Kata ‘romantik’ dan romantis sebenarnya berasal dari sastra abad 18. sejak

awal abad 19 dipakai secara umum tanpa diberi arti dan batas yang jelas: apakah

yang dimaksudkan suatu gaya, suatu teknik, bentuk-bentuk tertentu-ataukah

hanya suatu sikap saja terutama dalam kesenian.65

Mula-mula istilah ‘romantis’ (Weber tahun 1821 menyebut operanya “Der

Freischutz”suatu opera romantis) karena terdapat tokoh dan peristiwa yang luar

biasa dan menarik.66 Di samping itu unsur kuno, dunia dongeng dan jauh, dunia

hantu malam, yang menakutkan dikaitkan dengan istilah ‘romantis’, meskipun

tidak semua unsure ini harus hadir. Maka sulit didefinisikan.

Jelas bahwa ‘romantis’ berhubungan dengan perasaan. Namun anehnya

komposisi piano yang dikarang pada tahun 80-an abad 18 telah diberi judul penuh

perasaan, beremosi dsb. Begitulah misalnya Sonaten und freie Fantasien

karangan C.Ph.E.Bach (1782-1787). Bahkan karya musik akhir WA.Mozart

memuat ungkapan perasaan mendadak yang kemudian oleh tokoh Romantik

(E.T.A.Hoffmann) ditafsirkan sebagai musik khas Romantik. Ini tentu

keterlaluan; namun merupakan suatu bukti bahwa suasana Romantik sudah mulai

hadir pada abad 18. namun dapat dibayangkan, andaikan Mozart tidak meninggal

dengan usia 35 tetapi mencapai umur 80, tidak mustahil bahwa kita akan memiliki

juga karya musik Mozart yang romantis, sama seperti musik Beethoven atau

oratorio Die Schopfung serta Die jahreszeiten ciptaan J.Haydn. artinya selama

64 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 125. 65 Friedrich Blume, Romantik Dlama MMG vol. 11 colom 785 dst (Karl-Edmund Prier

SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 77). 66 Prier, Sejarah Musik jilid II, h. 125.

Page 60: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

55

jaman Klasik (mulai 1780) sudah hadir pula Romantik, yang berkembang dan

menjadi makin nyata pada tahun 1830 dst.67

Dengan demikian memang makin kabur arti Romantik. Meskipun

demikian ada juga percobaan untuk membatasi Klasik dan Romantik, dimana

musik ‘Klasik’ dinilai kuno, ketinggalan jaman tanpa perasaan, rasional.

Sedangkan musik Romantik diharapkan dapat mengungkapkan sikap bathin /

perasaan / jiwa manusia. Bahkan mereka yakin bahwa ungkapan ini tidak

dilaksanakan oleh seniman / komponis tetapi oleh suatu dimensi transenden /

lebih tinggi / kosmis (oleh Novalis disebut jiwa dunia). Maka karya seni menjadi

subjektif, mengikuti tiap gerakan hati sampai jadi lembek bahkan sentimental,

atau pada ekstrim yang lain, tidak takut menjadi brutal bahkan sinting. Disini

tampak suatu cirri dari estetika Romantik dan kritik musik Romantik. Semua

orang mendengar musik pertama-tama mendengar secara subjektif, sebagai

pencint musik. Kata ‘amatir’ atau ‘diletan’ memuat kata ‘cinta’ akan sesuatu.

Maka kritik terhadap suatu pementasan pertama-tama mencerminkan rasa

subjektif dari seorang (entah entusiasme atau kebencian) bukan berdasarkan

pengetahuan atau studi terhadap maksud komponis, artinya bukan sebagai ahli

musik tetapi sebagai ‘diletan’.68

Menurut Fr. Blume musik klasik dan Romantik sebenarnya adalah dua

segi / perwujudan yang berlainan dalam satu jaman; tidak ada dua jaman yang

berlainan.69 Sedikit demi sedikit gaya musik yang terbentuk pada pertengahan

67 Prier, Sejarah Musik II, h. 125. 68 Blume, l.c.colom 793 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML,

1993, h. 125). 69 Prier, Sejarah Musik II, hlm. 125.

Page 61: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

56

abad 18 mengalami perubahan sampai akhir abad 19. “apa yang dimulai pada

Haydn dan Mozart sebagai gaya Klasik tinggi telah memuat ‘godaan-godaan’

romantis. Baru dengan unsure romantis ini gaya Klasik mendapat cirri khasnya

yang unik dan tak terhingga; dan apa yang dalam musik Schumann atau Brahms

nampak sebagai khas romantis, berlandaskan pada dasar gaya klasik ini…Dimana

keinginan romantis dicetuskan dalam bentuk klasik yang jelas dan tegas, lahirlah

apa yang belakangan disebut ‘gaya klasik tinggi’. Romantik tidak ingin

membentuk suatu gaya baru tetapi memperkembangkan tipe klasik tinggi ini.70

Demikian pula pendapat Paul Henry Lang.71

Dengan demikian boleh ditanyakan sejauh mana masih bijaksana untuk

membedakan jaman Klasik dari jaman Romantik. Keduanya memang merupakan

suatu kesatuan yang sudah mulai pada tahun 1760 dan baru berakhir pada awal

abad 20. namun di lain pihak sejarah musik tidak dapat begitu saja menghapus

istilah Romantik, karena memang ada perbedaan besar antara musik Klasik dan

musik Romantik.

Abad 19 adalah sangat kaya dalam kecendrungan, perkembangan dan

peristiwa yang sangat aneka bahkan berlawanan satu sama lain. Politik abad 19

sibuk dengan restaurasi yang berpuncak pada Kongres Wina (1814/15). Namun

karena problem tidak dipecahkan terjadilah revolusi di Jerman (1830 dan 1848)

70 Blume l.c.colom….(Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993,

h. 126). 71 P.H. Lang, Music in Western Civilization, New york 1941, h. 816 : “Romanticism

should not be taken as the antithesis of classicism nor was it a mere reaction to it, but rather a logical enhancement of certain elements which in classicism were inherent and active but tamed and kept in equilibrium…it is only in their vehemence that we feel a direct opposition to classic measure. And thereby the stylistic relationship between classicism and romanticism seems determined.” (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 126).

Page 62: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

57

berupa perang antara kekuatan konserfatif (regime kaisar dan bangsawan) dan

progresif (masyarakat buruh) yang makin menuju ke demokrasi. Industri dan

ekonomi pada abad 19 berkembang dengan cepat (kaereta api, pabrik-pabrik dsb);

namun masalah sosial pun tumbuh lebih cepat lagi (urbanisasi, kemiskinan, isolasi

dalam masyarakat yang anonim). Kesenian dan musik ditanggung oleh instansi

masyarakat, namun pada tingkat yang sangat berbeda-beda: disamping karya

musik dengan mutu tinggi terdapat musik murahan (Kitsch); musik menjadi

barang konsum (perbanyakan not, produksi piano kecil untuk dipakai di rumah);

di samping pentas di gedung konser, gedung opera dan gereja, musik juga

dipentaskan di salon dan di rumah sebagai hiburan; ketrampilan teknik permainan

piano / biola (Liszt, Paganini) menjadi dangkal karena tujuannya hanya demi

gengsi saja.

Perkembangan musik Romantik seluruhnya dapat dilihat dalam fase-fase

sbb:72

1. Romantik Awal 1800-1830

Restaurasi terutama di Jerman diwarnai dengan usaha melarikan diri

kedunia irasional: dengan menimba bahan dari dunia dongeng / ajaib (E.T.A.

Hofmann dengan undine) dan alam / hutan yang misterius (C.M.v.Weber dengan

Freischutz); bahan yang dekat dengan rakyat. Tidak hanya dalam bentuk karya

opera, tetapi juga dalam wujud musik instrumental (Beethoven) dan musik kamar

(nyanyian Schubert).

72 Menurut Michels, Atlas II, h. 435 (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II

Yogyakarta: PML, 1993, h. 126).

Page 63: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

58

2. Romantik tinggi 1830- 1850

Revolusi pada tahun 1830 mendatangkan suatu perubahan: Romantik kini

menjadi umum di seluruh Eropa; pusatnya bergeser dari Wina ke Paris dimana

terdapat macam-macam inspirasi terutama dari sastra Perancis (V.Hugo, A

Mumas dll). Symphonie fantastique ciptaan H. Berlioz mencerminkan semangat

yang baru; Chopin memikat perhatian para pencinta musik piano. Di Italia

Paganini menunjukkan kemahirannya pada biola, dan di Jerman Liszt emosinya

dalam piano. Mendelsohn menemukan kembali dan mementaskan musik Bach

secara romantis; Wagner menciptakan opera gaya baru; di Italia Verdi

mempesona dengan opera-operanya.

3. Romantik Akhir 1850-1890

Revolusi pada tahun 1848 pun merupakan suatu penggalan. Sesudah wafat

dari Mendelssohn (1847), Chopin (1848) dan Schumann (1856) diperkembangkan

bentuk musik baru, Liszt dengan Symphonische Dichtungen (sejak 1848) dan

Wanger dengan Musikdramen. Sekaligus tampil generasi baru: C.Franck,

Bruckner, Brahms dll, dengan estetika dan bentuk baru. Historisme, naturalisme

dan nasionalisme menetukan musik.

4. Musik pada pergantian abad 1890-1914

Generasi komponis dengan Puccini, Mahler, Faure, Debussy, R. Strauss

dengan karya baru merintis macam-macam arah baru sampai menjadi ekstrim.

Impresionisme Perancis ikut main peranan cukup besar. Akhir jaman Romantik

berbeda-beda di masing-masing tempat. Namun musik atonal dari Schonberg

Page 64: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

59

(1907/08) merupakan suatu garis yang cukup jelas, dan awal perang dunia I

merupakan suatu batas definitif.

Pada abad romantik sikap musik gereja mendapat kritikan karena dinilai

terlalu gembira dan terbuka. Pada awal abad XIX, E. TH. A. Hoffman, seorang

sastrawan Jerman menuntun musik liturgi gereja menjadi seni musik suci gereja

(musica sacra) yang bertujuan mengangkat hati manusia langsung kepada Allah

melalui akar-akar sederhana, murni, dengan bunyi yang indah. Dalam musik

gereja Katolik abad XIX terdapat tiga aliran:73

a. Aliran yang melanjutkan tradisi zaman klasik Wina. Cita-cita klasik Wina

dilanjutkan oleh sejumlah komponis seperti C.M. Von Weber, Franz

Schubert, Kaspar Ett, dan terutama A. Bruckner. Para komponis bekerja

secara mandiri, maka komposisi yang mereka ciptakan merupakan cetusan

iman pribadi atau berdasarkan pesanan. Bukan ibadat yang menentukan

komposisi mereka, tetapi komposisi menentukan karakter ibadat melalui

gaya komposisi, sehingga musik gereja dapat juga dipentaskan dalam

gedung konser sebagaimana missa Solemnes karya Beethoven.

b. Gerakan Cecilianisme. Cecilianisme adalah suatu organisasi di dalam

gereja Katolik Jerman, yang didirikan pada tahun 1868 oleh seorang

imam, F.X. Witt untuk mempersatukan kor-kor gereja katolik. Witt

mengambil alih cita-cita musica sacra dari E.T. Hoffmann. Tujuan ini

dimulai dengan penyegaran nyanyian Gregorian dan memperbaharui

musik Polifon gaya Palestrina. Namun para pakar Cecilianisme dalam

73 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 47-49.

Page 65: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

60

pembaharuan nyanyian Gregorian berpangkal pada Editio Medicaea dari

tahun 1614/1615, sedangkan para rahib dari Solemnes, Perancis dengan

menyelidiki naskah-naskah dari Abad Pertengahan. Maka terjadilah

persaingan yang kurang sehat di antara mereka, perselisihan ini

diselesaikan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1901 dengan membenarkan

versi Solemnes. K.G. Fellerer menilai restaurasi, pengembalian ke bentuk

historis menjadi ideal untuk musik dalam ibadat, dan musik Gregorian

dan Polifoni klasik kuno dipandang sebagai musik gereja yang ideal.

c. Aliran Musik Devosional.74 Dalam masa Romantik timbul suatu devosi

baru (subyektif dan sentimental). Namun devosi ini tidak bermuara dalam

liturgi sejati melainkan sering tersesat dalam moral dan mistisme. Selain

Cecilianisme dengan keterikatannya pada musik Polifon a capella,

individualisme telah mengakibatkan musik gereja mengalami suatu

stagnasi (kemacetan, tidak mendapat kemajuan) yang baru teratasi pada

abad XX, dimulai saat pembaharuan oleh Pius X. Sementara musik trivial

(murahan) dan sentimental berkembang biak dengan pesat, sedang musik

religius sejati diciptakan di luar gereja.

H. Musik Abad Ke-2075

Pada abad ini, musik mulai dihidupkan oleh Gereja untuk kegiatan-

kegiatan ibadat. Musik mengalami perkembangan yang pesat dan telah memiliki

74 Devosional adalah sesuatu yang bersifat kebaktian. Aliran Musik Devosional adalah

aliran yang bersifat ibadat kebaktian keagamaan dalam hubungannya dengan devosi, ketaatan. (Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik II Yogyakarta: PML, 1993, h. 153).

75 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36.

Page 66: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

61

makna yang lebih mendalam. Tahun 1903 dalam Motu Proprio Tra le

Sollecitudine (Paus Pius X) istilah musica sacra menjadi istilah umum untuk

nyanyian gregorian maupun untuk musik polifon.

Kemudian melalui Konsili Vatikan II pada tahun 1963 sampai dengan

tahun 1965, musik liturgi mendapat warna baru di mana corak musik liturgi tidak

hanya sebatas pada musik Gregorian dan polifoni tetapi juga termasuk corak

musik etnik (tradisional) yang diinkulturasikan ke dalam musik liturgi.76

Konsili Vatikan II melalui dokumen artikel 112 Konstitusi Liturgi

menegaskan bahwa musik Gereja kiranya semakin suci jika erat hubungannya

dengan upacara ibadat dengan menjadikan ungkapan doa lebih mendalam, rasa

kebersatuan hati umat semakin dipupuk dan upacara-upacara suci semakin

diperkaya dengan nuansa yang agung dan khidmat. Oleh karena itu untuk

membangun sebuah khaznah musik liturgi yang sesuai dengan prinsip tersebut,

Konsili Vatikan dalam bab ke-16 Konstitusi Liturgi menekankan sejumlah aspek

yang menunjang penataan dan pengembangan musik liturgi, seperti pendidikan

musik liturgi, komposisi musik, musik di daerah misi dan sebagainya.

Singkatnya, Konsili Vatikan II yang terjadi di abad ke-20 membawa

perubahan yang sangat besar dalam musik liturgi Gereja Katolik. Hal ini akan

dikaji secara khusus dalam bab empat.

76 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 35-36.

Page 67: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

BAB IV

BERBAGAI ASPEK DALAM MUSIK LITURGI

GEREJA KATOLIK

Ada 2 dokumen utama yang dijadikan dasar hukum untuk mengatur

masalah musik dalam liturgi, yaitu:

• SC (Sacrosanctum Concilium) disahkan pada tanggal 4 Desember 1963

Paus Paulus VI

• MS (Musicam Sacram) disahkan pada tanggal 5 Maret 1967 dalam

kongregrasi untuk Ilahi

Aneka ragam pola musik diperbolehkan dalam liturgi. Untuk itu, insan

musik gereja harus menanggapi secara kreatif dan bertanggung jawab untuk

mengembangkan musik baru dalam liturgi masa kini.

Awalnya ada dua pola dalam menyanyikan misa, yaitu:

• Misa latin: misa meriah di mana ordinarium + proporium dinyanyikan

• Misa sederhana: dimana hanya 4 nyanyian. Misalnya Pembukaan,

Persembahan, komuni dan Penutup.1

Misa tanpa nyanyian (tanpa satu lagupun) atau dengan penuh nyanyian

(seluruh misa dinyanyikan….kebayang kan imamnya…nyanyi terus,….) Misa ini

dianggap tidak cukup membantu untuk liturgi masa kini.

1 Karl-Edmund Prier, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 15.

Page 68: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

63

Sejalan dengan perkembangan jaman, kini banyak bagian Misa yang boleh

dinyanyikan, baik oleh pemimpin atau jemaat. Resiko dari perkembangan jaman

ini terutama insan musik harus memahami hakikat dan fungsi dari setiap bagian

misa tersebut

A. Tujuan Musik Liturgi

Musik liturgi adalah musik yang digubah untuk perayaan liturgi suci

dimana dari segi bentuknya memiliki suatu bobot kudus tertentu seperti

contohnya Kategori: Gregorian, polifoni suci, musik liturgi untuk organ/alat

musik yang sah, musik liturgi rakyat.2

Dari pengertian itulah, dalam Sacrosanctum Concilium diberikan batasan

tentang musik liturgi sejati yang harus memiliki ciri:3

• Bisa untuk paduan suara besar atau kelompok koor kecil,

• Memiliki peluang untuk partisipasi aktif umat (lagu sudah dikenal umat),

dan

• Syair harus selaras dengan ajaran Katolik; ditimba dari Alkitab dan

sumber-sumber liturgi.

Sebagai sarana yang merupakan bagian integral dari liturgi maka tujuan

musik liturgi berkaitan erat dengan tujuan liturgi itu sendiri yakni sebagai sarana

untuk memuliakan Allah dan mengudusan manusia. Adapun tujuan tersebut

2 Kongregrasi untuk Ilahi “Musicam Sacram”, 1967. 4. 3 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 121.

Page 69: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

64

dijabarkan dalam tiga tujuan apresiasi musik liturgi dalam perayaan liturgi Gereja,

yaitu tujuan dekoratif, unitatif dan eskatologis.4

1. Tujuan Dekoratif

Sebagai sebuah kekayaan nilai seni dalam tradisi Gereja Katolik, musik

liturgi memiliki sebuah tujuan dekoratif yakni memperkaya upacara suci dengan

kemeriahan yang lebih semarak. Bernyanyi dan bermusik adalah sebuah ekspresi

seni dalam kehidupan manusia.

Lewat bernyanyi manusia dapat menyampaikan isi hati secara lebih

mendalam dan intensif jika dibandingkan dengan sekedar berkata-kata. Oleh

karena itu, dengan memperhatikan efek psikologis dari musik dalam kehidupan

manusia maka dalam kehidupan perayaan liturgi musik dipakai sebagai sarana

untuk mengungkapkan doa-doa dan puji-pujian secara lebih menarik untuk

kemuliaan Tuhan dan pengudusan umat beriman.

2. Tujuan Unitatif

Dalam liturgi, setiap lagu yang dinyanyikan umat secara bersama memiliki

daya yang memersatukan. Musik liturgi dapat bermakna seturut identitasnya, jika

dihidupkan bersama dalam perayaan. Oleh karena itu, musik atau nyanyian liturgi

mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, sebagaimana yang diuraikan dalam

artikel 114 Konstitusi Liturgi yang menghendaki agar pada setiap upacara liturgi

yang dinyanyikan segenap umat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan

4 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 56.

Page 70: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

65

membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka.5 Dengan ini liturgi

sebagai sebuah perayaan Gereja, secara lahirian diungkapakan melalui nyanyian

bersama.

Kebersamaan inilah yang menjadikan musik liturgi lebih berdaya guna

sebagai sarana doa dan pujian bagi Allah sekaligus demi pengudusan umat

beriman.

Menyadari bahwa liturgi sendiri merupakan perayaan bersama, maka

nyanyian itu harus melayani kebutuhan semua umat beriman yang sedang

berliturgi. Yang harus dihindari adalah memilih lagu yang hanya berdasarkan

selera pribadi atau kelompok. Kriteria lagu terletak pada apa yang dapat

menjawab harapan dan kebutuhan umat agar perayaan liturgi sungguh menjadi

perayaan bersama.

3. Tujuan Eskatologis

Aktus bernyanyi untuk memuji dan memuliakan Tuhan, secara biblis

memiliki keberlanjutannya sampai pada kehidupan kekal. Kitab Wahyu Yohanes

memberikan gambaran tentang para kudus di surga yang bernyanyi untuk

memuliakan Kristus sebagai Anak Domba Allah (bdk. Why 5: 7-10). Gambaran

ini membangun suatu penghayatan tentang musik liturgi yang bernilai eskatologis.

Namun prinsip utama yang memberikan makna eskatologis bagi musik

liturgi adalah perayaan liturgi itu sendiri yang merupakan perlambangan dari

5 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 114.

Page 71: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

66

perayaan liturgi surgawi. Hal ini ditegaskan Gereja dalam Konsili Vatikan II yang

berbunyi:

“...dalam liturgi di dunia ini kita mencicipi Liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci

Yerusalem surgawi, tujuan peziarahan kita” (bdk. Why 21: 2; Kol 3: 1; Ibr 8: 2)...... bersama

dengan segenap balatentara surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan”.6

Dengan ini, musik liturgi sebagai bagian integral dari liturgi memiliki nilai

eskatologis yang perlu dihayati dalam kehidupan Gereja di dunia.

B. Fungsi Musik dalam Ibadah

Secara umum makna kata “ibadah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

mempunyai definisi sebagai berikut: “perbuatan untuk menyatakan bakti kepada

Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi

larangan-Nya.”7 The International Standard Encyclopedia mendefinisikan kata

“ibadah” sebagai: “kemuliaan dan penghormatan dalam pikiran, perasaan, atau

tindakan yang dilakukan oleh manusia, malaikatmalaikat yang ditujukan semata-

mata kepada Allah.”8

Dalam Webster Dictionary edisi kedua “ibadah” didefinisikan sebagai:

“penghargaan kepada ilahi serta pengakuan keberadaan yang tertinggi melalui

6 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 8. 7 Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.1988), “ibadah,” 318. 8 The International Standard Encyclopedia Vol. 5, “worship” 3112.

Page 72: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

67

penyembahan, pengakuan dosa, pengucapan syukur.”9 Evelyn Underhill

mendefinisikan ibadah sebagai: “penyembahan total manusia sebagai respons

kepada Allah yang kekal, yang menyatakan diri-Nya.”10

Kata ibadah itu sendiri dalam bahasa Inggris (worship) berawal dari kata

Anglo Saxon, yang secara literal adalah weorth (eorthy) dan scipe (ship).

Pengertiannya merujuk kepada kelayakan seseorang yang menerima penghargaan

dan penghormatan yang khusus. Kemudian kata ini berkembang menjadi

“worthship” dan akhirnya menjadi “worship” yang artinya beribadah kepada

Allah karena Ia layak dipuja dan disembah.11

Alkitab menyaksikan bahwa musik cukup mendapat tempat dan perhatian

yang tersendiri dan ini mengandung implikasi bahwa kehadiran musik

mempunyai tujuan dan sasaran tertentu yang perlu dicapai. Allah memberikan

perintah dan tuntutan tertentu terhadap pemanfaatan dan peran musik di dalam

kehidupan gereja-Nya. Semua ini bertolak dari pemahaman bahwa musik (dalam

ibadah) pada dasarnya merupakan ide Allah yang dikaruniakan kepada manusia

pada umumnya dan umat Allah pada khususnya untuk memperkaya kehidupan

mereka.

Dalam hal ini, Dr. Brace H. Leafblad memberikan kesimpulan yang tepat:

“Music was God’s idea… a luxurious gift to Human Beings which has enriched

9 Jean L. McKechnie, Webster’s Dictionary (USA: The World Publishing Co, 1975),

2109. 10 Warren W. Wiersbe, Real Worship (New Jersey, Nashville: Oliver Nelson, 1986), 21. 11 Walter Elwell, Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids, Michigan: Baker

Book House, 1985) 1192. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).

Page 73: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

68

our life since earliest times. In Old Testament, God melded music and worship, a

glorious union still stable today….God takes music in the church seriously….”12

Walaupun inisiatif pengadaan musik itu diperintahkan oleh Allah, namun

jika tidak sesuai dengan maksud Allah maka Allah tak berkenan atasnya. Bila

Allah sendiri menyatakan perhatian yang cukup serius terhadap pemanfaatan

musik di dalam kehidupan umat-Nya, maka sudah seharusnyalah kita yang

diwarisi peninggalan karya-karya musik yang kaya dan indah harus memikirkan

musik gereja dengan serius pula. Berikut ini beberapa konsep yang benar

mengenai fungsi musik dalam ibadah, yaitu:

1. Sebagai Sarana untuk Memuji Tuhan

Harold Best, dekan dari The Wheaton Conservatory of Music, dengan

tegas mengatakan bahwa: “Music is also an act of worship.”13 Sedangkan

seorang profesor emeritus dalam bidang musik gerejawi dari Universitas

Rochester, M. Alfred Bicheh pernah mengatakan dalam khotbahnya di Concordia

Theological Seminary Indiana, 16 Maret 1978: “Music has both sacramental and

sacrificial overtunes.”14 Musik merupakan pemberian karunia yang

dianugerahkan Allah kepada manusia, karena itu manusia harus memakainya

untuk memuji Tuhan. Hal ini merupakan prinsip dasar manusia, seperti yang

dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 11:36:

12 Brace H. Leafblad, “What Sound Church Music?,” dalam Christianity Today, 19 May 1978, 19-20. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 38).

13 Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10.).

14 Harold Best, “Music: Offerings of Creativity,” dalam Christianity Today, 6 May 1977, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).

Page 74: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

69

“sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah

kemuliaan sampai selama-lamanya!”

Pengertian seseorang terhadap konsep peranan musik dalam ibadah akan

menentukan sikap orang yang bersangkutan dalam melakukan tindakan

ibadahnya. Lovelace dan Rice mengatakan dengan keras bahwa penyalahgunaan

musik dalam ibadah pada dasarnya merupakan tindakan yang sudah menjadikan

musik sebagai “pelacur” (prostitute) dan bukan sebagai “pelayan” (handmaid of

religion).15

Mengapa demikian? Karena dengan penyalahgunaan musik dalam gereja,

musik telah “dipaksa” untuk menjalankan peranan yang tidak sesuai dengan

makna dan maksud ibadah yang sesungguhnya. Maka sebagai bagian dari ibadah,

musik harus diperankan sesuai dengan makna ibadah, dalam hubungan antara

umat Allah dan Allah sendiri.

Alasan dan tujuan pemanfaatan musik dalam relasi tersebut harus bertolak

dari Allah dan berporos kepada Allah. Dr. Leafblad menyimpulkan:

“In our ministry to the Lord, our ultimate goal is to glorify Him. The goal of

worship is not the delight of man, but the pleasure of God. Thus the ministry of music

in worship must be primarily concerned with pleasing and glorifying God. In

worship, God is the audience.”16

Tujuan akhir ibadah bukanlah kepuasan manusia melainkan kepuasan

Allah. Maka, pelayanan musik gerejawi dalam ibadah pertama-tama harus

15 Austin C. Lovelace & William C. Rice, Worship and Music in the Church (Nashville:

Abingdon, 1976), 20-21(Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).

16 Leafblad, What Sound Church Music?, 19. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).

Page 75: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

70

berusaha memuaskan dan memuliakan Allah. Di dalam Mazmur 100:2b berkata:

“Datanglah di hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Ayat ini menunjukkan bahwa

musik Allah memiliki sesuatu yang disukai-Nya ketika Dia dihampiri.17 Musik

bukan sekadar pencair suasana, bukan pula sebagai pembangkit semangat jemaat.

Karena itu tuntutan kualitas musik tidak hanya ditekankan pada aspek “science

and art” saja, melainkan juga pada aspek isi atau berita dari syair-syair nyanyian

yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah ada keselarasan

antara isi atau berita dengan realitas sifat dan eksistensi Allah beserta musiknya.

2. Sebagai Sarana untuk Persekutuan (fellowship)

Relasi pertama, yaitu antara umat dengan Allah, yang diwujudkan dalam

ibadah akan dengan sendirinya membawa mereka masuk dalam relasi kedua,

yaitu antara umat dengan sesamanya. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis, di

mana setiap orang sama-sama datang ke hadirat Allah sebagai umat yang telah

ditebus, disucikan, diperbarui. Musik memiliki daya untuk mempersatukan,

sehingga dapat berperan sebagai sarana pemersatu jemaat yang berkumpul

bersama-sama untuk menyembah Tuhan. Jemaat yang sudah dipersatukan dalam

Kristus dipanggil dan tergerak untuk mengikrarkan pengakuan, penyembahan,

pengucapan syukur bahkan puji-pujian kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan

karakteristik musik. Pengertian tentang peranan musik yang demikian akan

mempunyai akar theologis sebagaimana yang digariskan Alkitab, dan bukan

17 Lamar Boschman, Musik Bangkit Kembali (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil

Immanuel, 2001), h. 19.

Page 76: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

71

sekadar alasan fungsional belaka. Musik sakral senantiasa mempersatukan karena

pada saat ibadah dilangsungkan gereja telah menjadi satu.18

3. Sebagai Sarana untuk Pembinaan (nurture)

Peranan musik erat hubungannya dengan menasehati jemaat. Musik

sebagai sarana untuk menyampaikan nasehat, dorongan, peringatan dan

penghiburan (encouragement, comfort) kepada saudara seiman agar mereka dapat

dikuatkan untuk bertumbuh dan berani menghadapi segala realitas dan tantangan

hidup sebagai orang Kristen yang benar. Ini jelas berbeda dengan fungsi musik

yang hanya sekadar bersifat entertainment atau hiburan, di mana umumnya

membawa orang kepada dunia mimpi yang seolah-olah tidak ada persoalan dan

kesulitan hidup yang menyebabkan timbulnya rasa pesimis dan frustasi.

Walaupun musik itu sendiri memiliki aspek nilai Entertainment, namun di tengah-

tengah jemaat hal tersebut tidaklah menjadi tujuan yang paling utama.

Dengan berdasarkan pengertian di atas, maka peranan musik gerejawi

dapat dimanfaatkan sebagaimana seharusnya sehingga hal-hal yang bersifat

negatif, misalnya memanipulasi emosi yang ditimbulkan sebagai efek sampingan

dari jenis musik atau nyayian tertentu dapat dihindari. Sebaliknya, kehangatan

ekspresi persekutuan dengan Allah yang saling membangun akan tampak dan

dapat dirasakan oleh jemaat.

4. Sebagai Sarana untuk Pengajaran (education)

Pada umumnya peranan musik di sini dimengerti sebagai sarana untuk

menanamkan pengajaran-pengajaran yang terdapat dalam Alkitab ke dalam hati,

18 Best, Music: Offering of Creativity, 15. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk

Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 10).

Page 77: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

72

pikiran dan kehidupan umat-Nya. Kebenaran-kebenaran spiritual tersebut menjadi

lebih jelas, ekspresif dan komunikatif ketika dinyatakan melalui melodi, harmoni

dan ritme yang bersangkutan.

Dalam hal ini musik merupakan sarana yang amat efektif daripada

pendekatan verbal. Musik sebagai sarana pendidikan sudah lama dikenal dan

diterapkan. Di India para guru memakai musik untuk membina kerohanian atau

mental para murid atau pengikutnya.19

Begitu pula Plato dan Aristoteles amat menganjurkan penggunaan musik

sebagai mata pelajaran wajib bagi para murid mereka untuk membentuk

karakter.20 Secara pedagogis, musik juga merupakan metode pengajaran itu

sendiri (a sound teaching method).

Penjelasan di atas sebenarnya sudah dikenal sebelumnya oleh para filsuf di

abad ke-3 SM, dan khususnya berkenaan dengan integrasi keunikan peranan

musik dengan pendidikan agama Kristen, Marthin Luther mengatakan bahwa

musik adalah metode dan sekaligus kurikulum.21

Oleh karena itu, gereja-gereja liturgikal mempunyai kepekaan akan

pentingnya pengajaran doktrinal di dalam musik gerejawi. Theologi yang tidak

membawa manusia menyembah kepada Allah adalah theologi yang tidak benar

dan berbahaya. Agar makna ibadah tidak diselewengkan, maka hubungan liturgy

19 Charles R. Hoffer, The Understanding of Music (California: Wadsworth Publishing

Co.,1971), 2. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11).

20 William Lyod Hooper, Church Music in Transition (Tennessee: Broadman Press, 1963), vi. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11).

21 John F. Wilson, An Introduction to Church Music (Chicago: Moody Press, 1974), 39. (Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h. 11).

Page 78: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

73

dan ibadah harus jelas. Liturgi dipakai untuk menjaga keutuhan pengajaran yang

benar agar gereja tidak terlena dengan keindahan yang tidak menumbuhkan iman.

C. Kedudukan Musik Liturgi Gereja Katolik

Dari keseluruhan gagasan Konsili Vatikan II tentang musik liturgi dalam

Konstitusi Liturgi bab keenam, dapat ditemukan tiga pertimbangan mendasar

dalam musik liturgi. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain

pertimbangan musik, pertimbangan liturgi dan pertimbangan pastoral.

1. Pertimbangan Musik

Dalam artikel 112 Konstitusi Liturgi dinyatakan bahwa tradisi musik

Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang

dari ungkapan-ungkapan seni lainnya dan bahwa musik Liturgi semakin suci, bila

semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan

doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah

dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.22

Gagasan ini menyatakan bahwa dalam sejarah Gereja, musik liturgi

memiliki mutu kesenian yang tinggi. Mutu tersebut tidak terlepas dari bobot

estetika baik dari segi melodi, harmoni (keserasian akor), iringan, syair,

penjiwaan dan teknik bernyanyi.

22 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 112. (Karl-Edmund Prier SJ,

Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36).

Page 79: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

74

Oleh karena itu dalam pertimbangan musik, sebuah musik liturgi dituntut

untuk memiliki mutu (kualitas) musikal yang baik. Perhatian serius akan tuntutan

ini akan mendukung tujuan dasariah musik liturgi itu sendiri, sebagaimana yang

terungkap dalam Konstitusi Liturgi 112 yakni ’kemuliaan Allah dan pengudusan

umat beriman”.23

2. Pertimbangan Liturgi

Dalam pertimbangan ini musik liturgi dituntut untuk mengikuti norma

liturgi, seperti memiliki keselarasan dengan tahun liturgi, tema perayaan dan

bagian-bagian dalam liturgi. Hal ini sesuai dengan amanat Konsili Vatikan II

dalam Konstitusi Liturgi 112, yaitu bahwa Gereja menyetujui segala bentuk

kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi dan

mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah. Selain itu dalam

pertimbangan liturgi, musik liturgi dituntut untuk mendukung partisipasi umat.

Konsili Vatikan II, melalui Konstitusi Liturgi 113 menggagas bahwa upacara

Liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyayian

meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan umat ikut serta secara

aktif.

Oleh karena itu, sebagaimana liturgi merupakan perayaan seluruh umat

dalam kesatuan tubuh Gereja, maka musik liturgi harus dapat mendukung

partisipasi umat dalam menghayati iman, memuliakan Tuhan serta merasakan

pengudusan, penyelamatan dan kesatuan di dalam-Nya.

23 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 112. (Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36).

Page 80: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

75

Pertimbangan liturgi adalah suatu aspek penting untuk diwujudkan sebab

pada hakekatnya musik liturugi adalah bagian yang terintegral dalam liturgi.

3. Pertimbangan Pastoral

Di sini, musik liturgi dituntut untuk dapat mempertimbangkan

kemampuan umat, kategori umur, situasi dan sensus religius. Maka musik liturgi

harus memilki kepekaan terhadap cita rasa dan kemampuan umat dalam

menghayati serta mengungkapkan imannya.24

Selain itu, menurut pertimbangan pastoral, musik dalam liturgi juga harus

dapat disesuaikan dengan konteks kebudayaan (tradisi) yang dihidupi umat. Di

sinilah terbuka kemungkinan bagi Gereja untuk menggali khazanah musik daerah

sehingga dapat digunakan dalam perayaan liturgi. Pertimbangan ini berkaitan

dengan artikel 119 Konstitusi Liturgi, yang menyatakan bahwa musik dalam

tradisi hendaknya mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang

sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius umat beriman, maupun dalam

menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka.25

Dengan pertimbangan pastoral inilah maka musik liturgi inkulturasi

dianggap penting untuk ditumbuhkembangkan dalam Gereja Lokal.

Akan tetapi perlu dipahami, bahwa ketiga pertimbangan musik liturgi di

atas harus memiliki keterikatan satu sama lain. Artinya sebuah musik liturgi

dinyatakan layak untuk dibawakan dalam perayaan liturgi, jika dapat memenuhi

24 Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen

Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), h.10. 25 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119. (Karl-Edmund Prier SJ,

“Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 35-36).

Page 81: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

76

secara seimbang ketiga tuntutan, yakni bahwa musik tersebut baik secara musikal,

sesuai dengan jiwa liturgi dan selaras dengan cita rasa serta daya apresiasi umat.

D. Hakekat Musik Liturgi

Musik liturgi adalah musik yang mulia dan agung. Kesan ini demikian

kuat terasa, manakala kita menelusuri liku-liku sejarah pekembangannya yang

telah dihayati dalam Gereja Katolik, seperti yang telah dirumuskan dalam bab

terdahulu. Kesadaran Gereja akan kekayaan nilai musik liturgi terungkap dalam

Dekrit Sacrosantum Concilium Konsili Vatikan II, yang berbunyi:

“Musik liturgi merupakan khazanah gereja universal yang tak terduga

nilainya. Ia unggul di antara ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena ia

merupakan bagian yang “mutlak” dan integral dari liturgi yang mulia. Musik

liturgi makin luhur sejauh ia makin erat dihubungkan dengan liturgi, baik karena

mengungkapkan doa-doa dengan lebih manis, maupun karena memupuk kesatuan

serta memperkaya upacara kudus dengan kemeriahan yang lebih agung”.

Pernyataan ini mengungkapkan hakekat musik liturgi. Musik liturgi bukan

suatu unsur luar yang ditambah untuk menghias atau memperindah liturgi saja,

melainkan suatu bagian integral (pars integralis) dan elemen konstitutif dari liturgi

itu sendiri.

E. Dimensi Musik Liturgi

Musik liturgi memiliki tiga kegunaan penting berdasarkan sejumlah uraian

pokok dalam Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II. Kegunaan itu adalah liturgis,

Page 82: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

77

eklesiologis dan kristologis. Ketiga kegunaan tersebut memiliki kaitan erat satu

sama lain.26

1. Liturgis

Konsili Vatikan II menekankan bahwa musik liturgi bukan sekadar untuk

selingan, tambahan, atau dekorasi demi kemeriahan liturgi, melainkan merupakan

bagian Liturgi yang penting atau integral. Dengan kata lain, musik liturgi adalah

‘liturgi’ itu sendiri.

Jika kita bertolak dari paham tentang liturgi sebagai perayaan perjumpaan

dengan Allah, maka yang boleh menjadi musik liturgi adalah musik dan nyanyian

yang dapat membantu orang dapat mengalami perjumpaan dengan Allah. Maka

musik yang dikehendaki dalam liturgi adalah musik atau nyanyian yang dapat

menghantar orang kepada sebuah pangalaman batiniah akan Allah. Musik liturgi

yang baik dapat membangun sebuah doa atau peribadatan yang baik pula.

2. Kristologis

Dalam Konstitusi Liturgi 112, musik liturgi dipandang sebagai sarana

untuk memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman. Pemuliaan Allah dan

pengudusan umat beriman ini merupakan tujuan Gereja sebagai perwujudan karya

penebusan Yesus Kristus yang dirayakan dalam perayaan liturgi. Maka, musik

liturgi sebagai bagian integral dalam liturgi hendaknya mengungkapkan iman

akan misteri Kristus. Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus terungkap dalam

nyanyian liturgi. Dengan ini, musik liturgi dapat menjadi media yang

26 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara Liturgi Gereja,

khususnya perayaan Ekaristi. (Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), h. 45).

Page 83: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

78

memperjelas misteri Yesus Kristus dalam liturgi.27 Melalui syair-syair yang

bernuansa biblis dan teologis, nyanyian liturgi hadir untuk memperdalam misteri

iman akan Yesus kristus yang dirayakan dalam liturgi.

3. Eklesiologis

Musik liturgi dapat membantu umat dalam berpartisipasi secara aktif

dalam liturgi. Dalam artikel 114 Konsili Vatikan II dikatakan bahwa ”..upacara

liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian

meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas Liturgi, dan bila umat ikut serta secara

aktif”. 28

Berbagai nyanyian dan musik yang amat sesuai dengan tema liturgi dan

tempatnya akan membantu umat dalam memasuki misteri iman yang dirayakan

dan memungkinkan umat untuk lebih baik menangkap sabda Tuhan dan karunia

sakramen yang dirayakan. Di samping itu, nyanyian dapat ikut membangun

kebersamaan umat yang sedang beribadat. Kebersamaan itu mungkin sudah

tercipta sejak tahap persiapan seperti ketika para anggota kor dan pengiring

berlatih. Dengan ini, nyanyian liturgi akan sangat membantu untuk

mempersatukan umat dalam setiap perayaan liturgi.

27 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 121. 28 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 114.

Page 84: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

79

F. Jenis Musik Liturgi

1. Musik Gregorian29

Musik Gregorian adalah khazanah dasariah musik liturgi Gereja. Hal ini

ditegaskan dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi alinea pertama, yakni bahwa:

“Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi

Romawi. Maka dari itu bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting,

nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi”. 30

Sebagaimana telah digambarkan, corak musik Gregorian lahir dari corak

musik Yahudi. Musik ini mula-mula dikenal dengan nama musik monofoni (satu

suara). Namun pada abad pertengahan, Paus Gregorius Agung secara resmi

memperhatikan musik Gereja dengan mengumpulkan melodi-melodi yang sudah

dipakai di berbagai Gereja dan membentuk suatu kumpulan nyanyian resmi dalam

ibadat umat dengan sistematika berdasarkan tahun liturgis. Sebagai tanda

peringatan akan jasa Paus Gregorius Agung, maka nyanyian monofoni itu

dinamakan ‘Gregorian’. Nyanyian tersebut telah dirasakan dan dihayati oleh

Gereja selama berabad-abad sebagai nyanyian yang sakral, sebab menyatakan

keindahan yang mulia atas dasar sifat kontemplatifnya. Nyanyian ini diartikan

pula sebagai mistik doa Gereja yang diekspresikan dalam nuansa monofon.

29 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi

Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399. 30. Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.(Dokumen Konsili

Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003).

Page 85: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

80

Nyanyian Gregorian31 memiliki tangga nada khusus. Tangga nada ini

diperkenalkan oleh seorang musisi dari biara St. Amand, yakni Haubald (840-

930) dalam bukunya “The Harmonica Institutione” (Pengajaran Ilmu Harmoni).

Ada delapan tangga nada dalam musik Gregorian yang disusun menurut teori

modalitet Haubald, antara lain: doris, frigis, lidis, miksolidis, hipopodoris,

hipofrigis, hipolidis, hipomiksolidis.

Setiap tangga nada pada nyanyian memiliki warta dan suasana khusus.

Tangga nada doris dan hipodoris memiliki suasana yang bersifat serius dan berat.

Tangga nada firigis dan hipofrigis, suasana yang diciptakannya bersifat mistis,

lebut dan menyambung, seakan-akan tidak selesai. Tangga nada lidis dan

hipolidis memberikan suasana senang, hidup dan gembira. Sedangkan, tangga

nada miksolidis, dan hipomiksolidis memiliki kesamaan perannya dalam

menciptakan suasana yang agung dan megah. Nuansa setiap lagu justru yang

menjadikan musik Gregorian sering dirasa selaras dengan jiwa perayaan liturgis.

Dinamika suasana yang diciptakan oleh sifat tangga nada tersebut, menjadikan

musik Gregorian indah dan menawan dalam ritus-ritus peribadatan Gereja

Katolik. Bentuk-bentuk modus ini dipakai sesuai dengan suasana perayaan liturgi,

baik meriah maupun meditatif.

Selain kekhasan modusnya, musik Gregorian juga memiliki kekhasan

dalam iramanya. Dalam seni musik modern, kini dikenal dua prinsip susunan

gerakan, yaitu birama dan irama. Birama bersifat statis sedangkan irama bersifat

dinamis. Irama merupakan suatu prinsip gerakan melodis yang penuh variasi,

31 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi

Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.

Page 86: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

81

sedangkan birama merupakan prinsip gerakan yang sama (monoton). Namun hal

ini tidak berlaku dalam musik Gregorian. Susunan gerakan kalimat musik

Gregorian memiliki keunikan tersendiri. Pada musik Gregorian tidak terdapat

prinsip birama yang tetap (statis).

Keindahan musik Gregorian juga ditunjang oleh bahasa Latin yang

mempunyai keistimewaan dalam hal aksentuasi. Pada frase lagu Gregorian

terdapat istilah sastra klasik yang disebut arsis dan tesis. Arsis adalah alunan

melodi yang naik di mana nada-nada makin diangkat sampai mencapai puncak

ketinggian. Sedangkan tesis adalah alunan melodi yang turun di mana nada-nada

seolah-olah makin tenang mencapai tempat istirahat.

Selain irama, musik Gregorian juga memiliki gaya bernyanyi tersendiri.

Gaya bernyanyi ini dibentuk oleh Dom Andre Mosquereau, OSB (1984-1930),

seorang biarawan St. Piere dekat kota Solesma (Prancis).32 Ada tiga betuk gaya

bernyanyi yang dikenal dalam Gereja Katolik hingga saat ini, yaitu: pertama, gaya

sylabis, yang merupakan gaya bernyanyi yang paling mudah dan sederhana di

mana satu suku kata (sulbe) dinyanyikan dengan satu not. Kedua, gaya

melismatis, di mana satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa not. Ketiga,

gaya neumatis, yaitu gaya campran antara sylabis dan melismatis, di mana

kelompok nada yang disusun, diselingi satu nada untuk satu suku kata. Selingan

ini menjadi loncatan ke suku kata berikutnya, dengan susunan kelompok nada

dalam bentuk yang lain lagi. Gregorian di abad pertengahan menjadi semakin

“berbunga-bunga” melodinya dan semakin melismatis, terutama akhiran “a” dari

32 “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi

Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), h. 399.

Page 87: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

82

kata Alleluia. Akhirnya muncul kebiasaan di mana “a” tersebut dengan banyak

not, melodinya diisi dengan syair baru yang bersifat silabis.

Dengan gaya bernyanyi yang unik, musik Gregorian dapat dirasakan

sebagai musik sakral sebagai ‘doa yang dinyanyikan’apalagi dalam musik

Gregorian terdapat tiga bentuk nyanyian, yaitu nyanyian yang memiliki not

resitatif, nyanyian biasa seperti dalam nyayian-nyanyian ordinarium dan nyanyian

yang memiliki perulangan, seperti litani dan hymne. Maka sudah selayaknya jika

Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II menyatakan nyanyian ini sebagai

nyanyian khas dan paling utama dalam liturgi Romawi.33

2. Musik Polifoni: Musik Klasik Gerejawi34

Antara pertengahan abad IX sampai akhir abad XI, musik liturgi

mengalami suatu perkembangan baru. Pada masa ini, para komposer mulai

menambah harmoni pada lagu-lagu sehingga terbentuk lagu yang terdiri dari

banyak suara. Musik yang demikian kemudian dikenal dengan nama musik

polifoni. Giovani Perluigi seorang komponis dari Palestrina (1515-1594) adalah

perintis tentang musik polifoni dengan membuat aransemen melodi yang banyak,

sehingga setiap nada atau titik (point) bergerak secara mandiri atau berlawanan, di

sinilah lahir ‘teori kontrapun’. Istilah polifoni terbentuk dari kata poli yang berati

banyak dan fonem yang berarti bunyi, sehingga polifoni berarti bunyi yang

banyak. Dalam perspektif ilmu musik, istilah polifoni diartikan sebagai gaya

komposisi musik yang menggabungkan dua suara atau lebih.

33 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja,

khususnya perayaan Ekaristi. (Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, h. 45).

34 Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 (Yogjakarta: PML, 1991), h. 74.

Page 88: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

83

Musik polifoni kemudian berkembang sebagai cikal bakal lahirnya paduan

suara. Dengan itu, istilah polifoni yang dimaksudkan dalam Konstitusi Liturgi

Konsili Vatikan II adalah musik dan nyanyian yang dikomposiskan dengan

pembagian suara.35 Namun hal ini tidak berarti bahwa semua musik yang

bercirikan polifoni dapat digolongkan sebagai musik liturgi. Konsili Trente

menekankan bahwa Gereja melarang penggunaan nada-nada lagu sekular untuk

musik keagamaan, dan mengharuskan agar kata-kata dalam setiap lagu harus

ditonjolkan dan dibuat mudah dipahamai umat. Maka, di akhir abad XVII, musik

liturgi dikomposisi dengan aransemen orkestrasi yang dinilai mampu mendorong

umat kepada kehidupan devotif yang mendalam dengan berbasiskan teks Kitab

Suci. Gagasan konsili Trente kemudian dipertegas dalam Konsili Vatikan II, yang

menegaskan tentang syarat dasariah sebuah musik dapat disebut musik liturgi. Hal

ini tercantum dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi, yang berbunyi:

“Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang

dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi”. 36

Istilah polifoni semakin kurang digunakan, sebab khazanah polifoni sangat

berkembang sangat baik dalam musik Klasik, Barok dan Romantik. Maka dewasa

ini, salah satu bentuk musik polifoni yang dikenal adalah musik klasik Gerejawi.

Namun musik klasik dewasa ini dipandang sebagai musik yang bernilai seni

35 Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003. 36 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.(Dokumen Konsili

Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003).

Page 89: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

84

sangat tinggi sebagai warisan kebudayaan Eropa pada abad pertengahan. Sampai

saat ini musik klasik Gerejawi sering digunakan khususnya dalam perayaan-

perayaan besar. Karena nilai panghayatan akan aspek liturgis, kristologis dan

eklesiologis yang dapat ditampakan dari apresisasi musiknya, maka musik klasik

Gerejawi dianggap layak menjadi corak musik liturgi.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, kata “klasik” adalah suatu karya cipta dari

zaman lampau dengan nilai seni yang bermutu tinggi, yang keindahannya tidak

akan luntur sepanjang masa.37 Hal ini terwujud dalam seni musik klasik Gereja

yang memiliki nilai estetika yang tinggi yang mampu mengangkat kewibawaan

liturgi Gereja. Lagu dan iringan musik ‘Malam Kudus’ karya F. Gruber dan

‘Halleluya’ karya G.F. Handel misalnya, merupakan musik klasik gerejawi

dengan ‘daya mistik’ yang kuat dan menggema sepanjang masa.

Mula-mula musik klasik untuk liturgi Gereja terapresiasi dalam aspek

vokal (nyanyian), sebab yang diutamakan dalam liturgi ialah syair. Sedangkan

instrumen musik lebih dipandang sebagai unsur komplemen. Tetapi dalam

perkembangannya, keindahan musik instrumen organ pipa yang bernuansa musik

klasik dianggap penting di dalam sebuah perayaan liturgi. Pada abad ke-14 musik

instrumental organ kemudian dipakai dalam liturgi. Musik ini dipakai dalam

liturgi untuk menciptakan nuansa khidmad dalam peribadatan, entah dengan

mengiringi nyanyian, maupun dengan melantunkan instrumen-instrumen klasik

yang indah.

37 Hassan shadly. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru- Van Hoeve, Jakarta 1982,

jilid 3. h.1793.

Page 90: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

85

Musik klasik Gerejawi adalah musik yang memiliki mutu tinggi yang

mampu membentuk peribadatan yang agung dan semarak di samping musik

Gregorian. Ulrich Michels, dalam bukunya Atlas zur Musik, Band 2 berpendapat

bahwa musik klasik Gerejawi tidak sebatas pada apresiasi keindahan nuansa

musik tetapi juga memiliki pula suatu pewahyuan kebenaran yang jika

direfleksikan dapat memberikan makna yang bernilai sepanjang sejarah.38

Salah satu faktor yang menjadikan musik klasik seakan memiliki nilai

mistik yang tak terungkapkan karena para pemusik klasik mencipta musik lewat

refleksi dan penghayatan iman yang mendalam. Selain itu juga musik klasik

menjadi sangat berkesan karena diciptakan dalam situasi di mana manusia abad

ke-18 merasakan kesatuan dengan dunia (kosmos), dan berada dalam harmoni

dengan sesama, bukan berdasarkan agama tetapi berdasarkan humanisme yang

dipengaruhi oleh para filsuf eksistensial abad ke-18 seperti Kant, Hegel dan

Ashopenhauer. Pada zaman klasik tersebut, iman terbuka untuk dunia maka

semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap terbuka ini diangkat ke dalam

musik gereja (musik klasik gerejawi), sehingga musik tersebut memiliki daya

mistik dan bahkan memiliki efek psikologis yang berguna untuk ketenangan hati

dan kejernihan budi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musik klasik gerejawi dapat

dihayati sebagai khaznah musik liturgi Gereja Katolik yang memberikan inspirasi

bagi perkembangan musik Gereja. Di Indonesia misalnya, komposisi musik

Gereja bereferensi pada kaidah-kaidah komposisi musik klasik. Selain itu dalam

38 Prier, Sejarah Musik II, h. 93.

Page 91: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

86

pola iringan organ Gereja, komposisi musik klasik menjadi warna khusus iringan

organ Gereja, baik untuk mengiringi nyanyian klasik Gerejawi itu sendiri,

maupun dalam mengiringi nyanyian Gregorian dan nyanyian inkulturatif. Pada

dasarnya, iringan organ dalam musik liturgi tersebut disusun menurut pola

“kantionalsatz” (gaya klasik), yakni iringan yang menggunakan sistem

pembalikan akor dan bas berjalan. Organis Gereja yang mempelajari iringan

tersebut, akan merasakan keindahan iringan musik liturgi.

3. Musik Inkulturatif

Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam dokumen penutup sinode

para uskup “Ad Populum Dei nuntius” tahun 1979, dalam Himbauan Apostolik

Paus Yohanes Paulus II “Catechesae trandendae”. Secara etimologis inkulturasi

berasal dari kata “in”, yang berarti masuk ke dalam, dan “cultura” yang kata

kerjanya “colore” berarti pengolahan (tanah); pembinaan, budaya.39 Dari kedua

arti kata tersebut, inkulturasi berarti “masuk ke dalam budaya”. Kata ini kemudian

dipakai secara populer dalam konteks liturgi Gereja Katolik. Anscar J. Chupungco

mengartikan ‘inkulturasi liturgi’ sebagai proses di mana upacara-upacara

keagamaan pra kristen diberi arti kristen. Istilah ini dipakai dalam Gereja Katolik

Roma, yakni di mana unsur-unsur dan bentuk asli dari adat-istiadat diberi arti

baru, yaitu arti kristiani.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Penyesuaian Liturgi dalam Budaya’ ,

Anscar Chupungco menulis bahwa sebuah inkulturasi bila dilaksanakan dengan

tepat, merupakan sarana yang ideal untuk mengkristenkan segenap kebudayaan.

39 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 89.

Page 92: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

87

Namun hal ini membutuhkan tahapan yang cukup panjang. Oleh karena

itu inkulturasi harus terjadi secara berkesinambungan, sebab dalam upaya

membaharui Gereja, Konsili Vatikan II pertama-tama memugar liturgi Gereja.

Jadi Konsili Vatikan II telah menjamin unsur-unsur hakiki dari ibadat Kristen

dalam rangka memantapkan pertumbuhannya yang homogen.40

Dalam Konsili Vatikan II, salah satu bentuk inkultursi dalam bidang

liturgi yang diangkat secara khusus adalah inkulturasi musik liturgi. Hal ini

tertuang dalan artikel 119 Konstitusi Liturgi yang berbunyi:

Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa

yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam

kehidupan beragama dan bermasyarakat.41

Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang

sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam

menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan

40.42 Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya

sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan

musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.

Artikel di atas secara jelas telah memberikan sebuah rekomendasi bagi

seni musik tradisional untuk memberi warna yang khas bagi perayaan liturgi yang

40 Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003. 41 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119.(Dokumen Konsili

Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003).

42 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 39-40.(Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003).

Page 93: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

88

bercorak budaya. Hal inipun didasarkan pada iman akan misteri inkarnasi,

sehingga segala unsur kebudayaan termasuk di dalamnya adalah musik-musik

tradisi mendapat ‘bobot kudus’ dengan menyatu dalam sebuah perayaan liturgi.

Dengan demikian, musik inkulturatif dapat diartikan sebagai kesenian musik dari

berbagai tradisi kebudayaan tempat Gereja bermisi, yang dimasukkan ke dalam

liturgi sehingga memiliki ‘bobot kudus’ (nilai kesakralan) sebagai salah satu

corak musik liturgi.

Namun tentang hal ini, Gereja tetap memberikan peringatan tertentu dalam

berbagai kreativitas bermusik dalam liturgi, sehingga tidak menjadi ‘sangat bebas

dan tidak terkendali’. Melalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja

memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

mendasar yang ditekankan adalah pada alinea ketiga dokumen liturgi Romawi dan

inkulturasi nomor 40, bahwa bentuk musik, lagu dan alat-alat musik dapat

digunakan dalam ibadat asal “cocok” atau dapat disesuaikan dengan penggunaan

dalam liturgi, dan asal sesuai dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh-

sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman.43

G. Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi

1. Organ Pipa

Organ pipa merupakan musik instrumen yang secara khusus dipakai dalam

peribadatan Gereja sejak abad ke-9, yang semula merupakan instrumen musik

43 Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja,

khususnya perayaan Ekaristi.

Page 94: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

89

profan. Instrumen tersebut mulai dipakai dalam gereja, pada masa Kaisar Karel

Agung pada tahun 811. Dalam perkembangannya, organ pipa menjadi suatu

bagian perlengkapan yang dirasa penting di dalam setiap gereja katedral. Ia

bahkan dirasa menjadi musik yang mampu membangun khazanah liturgi yang

agung dalam Gereja Katolik. Dalam Konsili Konstitusi Liturgi 120 dinyatakan

bahwa:

“Dalam Gereja Latin organ pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik

tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara

mengagumkan, dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke sorga”.44

Keagungan suara organ pipa secara natural dipengaruhi sumber bunyinya,

yakni tiupan pada mulut tabung (pipa). Ada 2 macam pipa mulut tabung: pertama,

pipa labial (Seruling recorder), yakni pipa yang ujungnya kosong di mana bunyi

dihasilkan oleh getaran udara pada ‘bibir’ pipa (Latin: labia). Kedua, pipa lingual

(Trompette, Fagotte, Brass), yakni pipa yang ujungnya (bagian yang ditiup)

dilengkapi dengan ‘lidah’ (Latin: lingua). Pada saat pipa ditiup, lidah ini bergetar

dan menghasilkan suara yang kemudian diperkeras oleh pipa. Di antara kedua

pipa ini, pipa labial mempunyai variasi suara yang lebih kaya daripada pipa

lingual. Suara pipa lingual lebih keras dan lebih kasar daripada pipa labial.

Biasanya, pipa lingual digunakan untuk permainan instrumental solo, dan jarang

44 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 120.(Dokumen Konsili

Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003).

Page 95: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

90

untuk mengiringi nyanyian umat, kecuali pada kesempatan tertentu, bila semua

register yang lain dinilai kurang keras.45

Sejak abad XX orang menemukan organ elektronik, yaitu organ yang

dihasilkan dari getaran elektronis yang diperkeras melalui amplifier dan

Loudspeaker. Banyak orang menganggap bahwa suara organ pipa (orgel) lebih

alami dan menyentuh perasaan peribadatan. Maka gereja-gereja di Eropa yang

semula mencoba organ elektronik, sesudah beberapa waktu kembali

menggunakan Organ Pipa.46

Ada pun jenis organ elektronik yang cocok digunakan sebagai organ

gereja, dengan beberapa kategori antara lain memiliki keyboard berukuran 4

sampai dengan 5 Oktaf, memiliki pedal (pedal Spanyol sebagai pedal bas yang

dimainkan dengan kaki) dengan ukuran minimal 1 oktaf. Kehadiran jenis organ

gereja yang menggunakan energi listrik juga memiliki warna yang tidak jauh

berbeda dengan suara organ pipa asli. Kesan dan nuansa yang ditimbulkan tidak

jauh berbeda. Yang penting untuk diperhatikan adalah keterampilan organis untuk

mengiringi sebuah perayaan liturgis. Dalam Instruksi Musik Liturgi nomor 62

dikatakan bahwa alat musik dapat menjadi sangat bermanfaat dalam perayaan-

perayaan kudus, entah untuk mengiringi nyanyian, entah untuk dimainkan sendiri

sebagai musik instrumental tunggal.

2. Alat-alat Musik Lain

Selain organ pipa alat musik lain dalam liturgi Gereja Katolik

dimungkinkan juga sejauh dapat diselaraskan dengan jiwa liturgi. Hal ini

45 Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 90. 46 Prier, Perkembangan Musik Gereja, hlm. 68.

Page 96: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

91

diungkapkan lebih lanjut dalam nomor 120 Konstitusi Liturgi:

“Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi

setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah artikel 22 (2), 37 dan 40, alat-alat

musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat

disesuaikan dengan penggunaan dalam Liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung

gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman”. 47

Anjuran Konsili Vatikan II di atas, sesungguhnya telah memberikan

gambaran yang tegas tentang syarat utama dalam pemakaian jenis-jenis alat musik

lain dalam liturgi, yakni selaras dengan jiwa liturgi. Maka, baik organis maupun

pemain alat musik tardisional dalam liturgi sangat diharapkan memiliki

kecakapan untuk memainkan alat musiknya secara liturgis, guna memperkaya

perayaan suci dan mendorong keikutsertaan kaum beriman dalam melagukan

nyanyian liturgi.

47 Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 120.(Dokumen Konsili

Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003).

Page 97: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Musik Liturgi memilki bentuk dan praktik berubah-ubah ketika dari jaman

pertama sampai pada jaman sekarang. Sesuai dengan Konsili vatikan II yang

menyebutkan bahwasanya setiap praktik dan apapun yang mengenai tentang

Musik Liturgi sesuai dengan daerah atau budaya setempat.

Agama Katolik memang agama yang penganutnya suka bernyanyi. Musik

memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan iman Kristen. Sejak dari zaman ke

zaman dengan mengedepankan iman umat Allah di Perjanjian Lama sampai pada

permunculan-permunculan gereja pada abad permulaan Perjanjian Baru, mazmur,

nyanyian rohani dan berbagai bentuk pujian-pujian lain menandai kehidupan umat

beriman. Musik mengiringi kemajuan rohani di berbagai tempat dan zaman. Itulah

sebabnya setiap gereja yang ingin sungguh-sungguh memuji Tuhan dan

memenangkan jiwa bagi-Nya, akan menggunakan musik sebaik-baiknya.

Pernyataan Komisi Liturgi Amerika Serikat pada tahun 1972, mengusulkan tiga

pertimbangan untuk memilih nyanyian dalam liturgi, yaitu musik harus baik,

secara pastoral harus cocok, dan harus dapat memenuhi peran yang dituntut oleh

liturgi.

Page 98: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

93

Konsili vatikan II menggaris bawahi fungsi musik dalam liturgi, yakni

untuk melayani liturgi. Artinya, musik diciptakan dan di buat untuk melayani dan

mengabdi dalam liturgi. Musik harus dimasukkan dan diletakkan dalam konteks

perayaan dan pengungkapan iman gereja. Maka, konsili vatikan II menentukan

sebagai dasar pembaharuan liturgi, bahwa ‘naskah-naskah dan upacara-upacara

harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus

yang dilambangkan.

Musik dalam liturgi merupakan suatu bagian fungsional dalam liturgi,

karena bagian-bagian ibadat tertentu seharusnya dilakukan dengan bernyanyi.

Misalnya dengan bernyanyi bersama waktu pembukaan ibadat, hadirin merasa

menjadi satu umat dalam kristus, dengan nyayian ‘Tuhan Kasihanilah Kami’ umat

menyatakan tobatnya, dengan nyanyian Musik dalam Liturgi terutama mencakup

nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat, secara aklamasi. Tujuan yang

luhur menuntut suatu sikap khusus waktu bernyanyi dan bermusik, bukan naskah

yang membuat music menjadi sakral, tetapi hati manusia yang diungkapkan dalam

musik.

Musik adalah bahasa kesatuan umat manusia. Sebagian orang mengartikan

musik sebagai “cetusan ekspresi istilah” Cetusan tersebut dinyatakan dalam

bentuk bahasa bunyi. Bunyi yang harus diciptakan dalam berdoa hendaknya lebih

menyatu dengan do’a, karena bunyi-bunyi itu merupakan cara menyuarakan doa.

Doa bukanlah sekedar kata-kata. Umat menyanyi bukan untuk menyampaikan

informasi atau menerangkan kebenaran-kebenaran, tetapi umat menyanyi karena

mau mengungkapkan kehidupan, iman dan gereja. Umat dapat bersukacita, dapat

Page 99: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

94

bersedih, dapat merenung, dan dapt berharap. Tentu saja semua ini menuntut

bunyi, yakni bunyi dari suara umat dan dari alat-alat yang diciptakan manusia

mulai dari bel, tepuk tangan dan derap kaki.

Pada hakikatnya, musik dalam Liturgi bersifat simbolis. Artinya, musik

disini dapat digunakan untuk mengungkapkan peran serta aktif umat, untuk

membangkitkan suasana bagi tumbuhnya daya tangkap dan daya tanggap jiwa

terhadap sabda dan karunia Allah dalam liturgi. Musik dalam liturgi juga

berfungsi untuk memperjelas misteri Kristus, menumbuhkan kesadaran

kebersamaan, dan komunikasi antar jemaat dan memberikan kemeriahan serta

keagungan bagi liturgi.

Dan tujuan musik liturgi berkaitan erat dengan tujuan liturgi itu sendiri

yakni sebagai sarana untuk memuliakan Allah dan mengudusan manusia.

B. Saran

Musik selalu berkaitan dengan kehidupan manusia. Apapun jenis musik

yang disukai dan digemari bila didengar dan dinikmati secara terus menerus,

cepat atau lambat akan mengakibatkan pengaruh tertentu. Oleh karena itu penulis

merasa layak untuk memberikan saran-saran demi suatu harapan agar:

• Para pencinta musik dalam kalangan akademisi dapat memberikan

kontribusi yang lebih besar sebgai kajian ataupun penelitian yang integral,

sehingga musik yang pada akhir-akhir ini tidak dilihat lagi secara sepihak

dan dengan mudah di klaim sebagai perusak moral manusia.

Page 100: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

95

• Untuk masyarakat, berhentilah menganggap bahwa musik adalah milik

agama tertentu. Berhentilah memperdebatkan musik haram-musik halal.

Karena seperti kita ketahui musik mempunyai banyak peran dalam semua

kegiatan manusia di muka bumi ini tanpa memandang suatu agama pun.

Demikianlah saran-saran penulis untuk semua yang membaca karya tulis

sederhana ini, kita juga mesti berhati-hati untuk menikmati musik-musik yang

ada.

Page 101: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.

Gibran, Khalil. Musik Dahaga Jiwa. Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Hali, Mohammad S, “Unsur Musik dalam 3 buah Sajak Khalil Matran”, Skripsi Sarjana Pendidikan, Jakarta: Perpustakaan UI, 1988.

Handol, John, ML, Nyanyian Luciefer-Ikhwal penciptaan, pengaruh Terhadap Kerohanian, kesehatan dan kejiwaan, Yogjakarta: yayasan Andi, 2002.

Huck, Gabe. Liturgi Yang Anggun dan Menawan, terj. Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Huzaemah, “Musik sebagai Media Dakwah: Analisa Isi program Syiar dan Syair TVRI Juni-November 2001”, Skripsi Sarjana Pendidikan, Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2002.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Kirchberger, Georg & Bernardus Boli Ujan, (ed). Liturgi Autentik dan Relevan. Maumere: Ledalero, 2006.

KWI Komisi Liturgi. Puji Syukur. Jakarta: Obor, 1992.

Letor, Anton Sigoama. Komposisi Lagu Menuju Musik Liturgi. Ende: Nusa Indah, 1984.

Mariyanto, Ernest. Simbol: Maknanya dalam Kehidupan Sehari-hari dan dalam Liturgi. Malang: Dioma, 2001.

Mariyanto, Ernest. Kamus Musik Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Martasudjita, E., Kristanto, J. Musik dan Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial Remaja Kota, Jakarta: Proyek Pengkajian dan pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Direktorat Jendral Kebudayaan, 1995.

Page 102: MUSIK LITURGI GEREJA KATOLIK

Prier, Karl-Edmund, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20, dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja. Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994.

_________Sejarah Musik jilid 1. Yogjakarta: PML, 1991.

_________Sejarah Musik jilid 2. Yogjakarta: PML, 1993.

_________ tentang musik Ibadat. Yogjakarta: PML, 1988.

_________kedudukan nyanyian dalam Liturgi. Yogjakarta: PML, 1988.

Riemer,G. Cermin Injil-Ilmu Liturgi, Jakarta; Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995.

Saragih, Winnardo. Misi Musik: Menyembah Atau Menghujat Allah. Yogyakarta: ANDI, 2008.

Widyawan, Paul. “Istilah Musik Liturgi”. Warta Musik Liturgi, No. 120, 1987.