ajaran keselamatan (gereja katolik)

Upload: chandra-hartanto

Post on 08-Mar-2016

138 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

doktrin

TRANSCRIPT

AJARAN KESELAMATAN ( GEREJA KATOLIK )Siapa saja yang dapat diselamatkan?

Pertanyaan:

Shalom,saya ingin menyampaikan beberapa pertanyaan dari seorang teman, dia bertanya pada saya tentang konsep keselamatan katolik dan saya menyadur dari website ini. berikut ini adalah tanggapan dari teman saya itu (kata2 dia dlm bahasa inggris), mohon bpk & ibu bersedia menanggapi. terimakasih sebelumnya, Salam kasih persaudaraan dalam Kristus.

>> Well Its the doctrine of salvation, Its gonna take a while explaining it, but I have to say that if you say that the answer to that is: quote: Gereja Katolik mengajarkan bahwa , tidak mengenal Kristus,[12] dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih[13], dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.[14] Namun keselamatan mereka datang dari Yesus Kristus.[15] It is going to create new problems.

1) First problems that came to mind is: Will a really good, loving ATHEIST be saved?? one that curses at the name of God, let alone Jesus but his attitude is good morally. Hukum kasih here needs more explanation, is it moral wise?

2) points 13 i dont understand, agak ambigu. how do you know gerakan itu came from God? and some not from God? how do you differentiate them? Some atheist are better than Christian morally. how do you explain that?

3) Now If a person who know nothing about Christ can be saved by good will, then WHAT IS THE MEANING OF EVANGELISM?? (apa gunanya penginjilan?)masuk ke pedalaman, etc. and risking they rejecting Christ and have 0% chance of salvation? leave them alone and let them be saved by their good will

quote: [12] Sebagai contoh orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan, Irian Jaya, atau pedalaman di China, dll. Ada sebagian dari mereka yang tidak pernah mendengar tentang Kristus. Dan hal ini bukan akibat kesalahan mereka. Tentu saja, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka pasti masuk neraka.[16] Jadi mereka mempunyai kesatuan dengan Gereja Katolik dalam hal baptisan. LG 14 menegaskan bahwa andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.

>> I think this is another contradiction, I found this weird but please explain though, so youre saying that a person who NEVER even heard of Christ could be saved, but other Christ believing Christian who knew that catholic is built by Jesus Christ and still refuses to join inside the Catholic church can NOT be saved? regardless whatever?If Its true then I have to say that evangelism is pretty deadly Let alone granting salvation, Its a double edged sword.Its WAY better to teach them good acts than evangelizing and let them have a chance to reject, right?

Jadi:1) orang yang ga kenal kristus sama sekali tapi perbuatannya bae seperti kebanyakan ilmuwan2 atheis yang percaya teori evolusi dan big bang jaman sekarang BISA masuk surga?

2) Orang yang kenal kristus tapi menolak untuk menerima sebagai juru selamat tapi perbuatannya saleh bisa masuk surga? (contoh: mahatma gandhi) aku ga tanya dia skrg ada di mana deh, aku tanya dia BISA (memiliki kemungkinan, lewat purgatory, etc) untuk MASUK ke surga atau ngga?)

Jawaban:

Shalom Sesilia,

Terimakasih atas pertanyaannya yang cukup sulit. Memang masalah keselamatan adalah masalah yang begitu sulit, namun begitu penting. Setiap agama mempunyai konsep tentang keselamatan sendiri-sendiri. Dan konsep keselamatan dari Gereja Katolik berbeda dengan gereja Protestan, dan antara denominasi Kristen kadang juga memberikan konsep yang berbeda. Mari kita melihat konsep keselamatan yang diberikan oleh Gereja Katolik, sebuah konsep keselamatan yang begitu baik dan menyeluruh. Keselamatan diberikan kepada manusia melalui Kristus dan Gereja-Nya, Gereja Katolik, inilah sebenarnya prinsip ajaran mengenai EENS (Extram Ecclesiam Nulla Salus):

I. Konsep dan Prinsip1. Keselamatan, baik sebelum, pada waktu, dan setelah kedatangan Kristus mengalir dari misteri Paska Kristus: penderitaan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus ke Sorga. Karena dengan misteri Paska Kristus, Kristus telah menyelamatkan seluruh umat manusia dan Kristus menjadi sumber dari semua berkat yang mengalir ke seluruh umat manusia. Jadi kalau orang yang tidak mengenal Kristus diselamatkan, itu karena jasa Kristus.

2. Setiap orang, baik sebelum kedatangan Kristus, pada saat Kristus hidup, maupun setelah kedatangan Kristus diberikan berkat (grace) yang cukup untuk dapat menuju tujuan akhir atau Surga. Hal ini dikarenakan bahwa manusia secara kodrat mempunyai kemampuan untuk mengenal dan mengasihi penciptanya, yaitu Tuhan. Jadi dengan hanya mengandalkan akal budi, manusia dapat mengetahui akan keberadaan Tuhan yang satu, seperti yang saya tuliskan di artikel Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Jadi kalau sampai seseorang tidak masuk surga, itu adalah karena kesalahan sendiri dan bukan karena kesalahan Tuhan (Tuhan tidak mungkin salah).

3. Allah adalah kasih dan adil. Dengan kasih-Nya dan belas kasih-Nya, Dia menginginkan semua orang untuk masuk dalam kerajaan surga. Inilah yang disebut dengan predestination. Harap dibedakan dengan konsep double predestination, dimana dikatakan bahwa Tuhan telah menakdirkan sebagian orang masuk surga dan sebagian masuk neraka.Kita percaya bahwa sejak dari awal mula, Tuhan menginginkan agar seluruh umat manusia memperoleh kebahagiaan abadi di Surga bersama dengan Tuhan. Namun Tuhan begitu mengasihi manusia, sehingga Dia menginginkan agar manusia dapat membalas kasih Tuhan dengan bebas. Dan Tuhan memberikan keinginan bebas free will kepada manusia. Namun dengan free will ini, manusia dapat berkata ya atau tidak terhadap tawaran Tuhan.Mungkin ada yang menanyakan, kenapa Tuhan memberikan keinginan bebas? Ini adalah suatu ekpresi kasih yang begitu dalam kepada umat manusia. Bayangkan, kalau kita mengasihi pacar kita, maka kita ingin agar pacar kita bukan sebagai robot yang menuruti segala keinginan kita. Namun kita menginginkan agar pacar kita secara bebas mengasihi kita.Keadilan Tuhan juga tercermin dari seseorang yang diberi banyak akan dituntut lebih banyak.

4. Allah melihat hati kita yang terdalam. Jawaban terhadap Allah oleh manusia dilihat oleh Allah sebagai suatu pernyataan yang keluar dari dari dalam hatinya. Ini berarti bahwa Tuhan melihat sampai seberapa jauh manusia benar-benar mengasihi Allah. Apakah seseorang mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran dan kekuatan? Atau dengan kata lain, apakah seseorang menempatkan kebenaran (Tuhan) diatas kepentingan pribadi (ciptaan). Inilah sebabnya dalam Sepuluh Perintah Allah, Tuhan memberikan dua loh batu, dimana batu pertama terdiri dari perintah 1-3, yaitu perintah untuk mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu. Dan batu loh yang ke-dua memuat perintah 4-10, dimana terkandung perintah untuk mengasihi sesama.Nah, yang mengetahui sampai seberapa jauh manusia berusaha adalah Tuhan, karena Tuhan melihat jauh ke dalam hati. Dan kita juga melihat bahwa ada tiga hal untuk melihat sesuatu dianggap sebagai sesuatu yang baik secara moral, yaitu: maksud (intention), situasi (circumstances), dan objek moral (moral object). Jadi dalam hal ini, maksud (intention) yang sebenarnya untuk melakukan sesuatu, hanya Tuhan yang tahu secara persis. Itulah sebabnya Gereja tidak pernah mengatakan bahwa seseorang pasti masuk neraka, karena hanya Tuhan saja yang tahu persis kedalaman hati seseorang sampai pada saat dia dipanggil oleh Tuhan.

5. Gereja Katolik percaya bahwa Sakramen Baptis adalah mutlak untuk keselamatan, bahkan dikatakan bahwa Gereja tidak tahu ada cara lain selain Baptisan yang membuat orang dapat masuk ke kehidupan kekal di surga (Katekismus Gereja Katolik/KGK, 1257), yaitu baptis air, baptis rindu dan baptis darah, seperti diuraikan di point II di bawah ini. Lebih lanjut dikatakan bahwa Tuhan telah mengikat keselamatan pada Sakramen Pembaptisan.

Sekarang kita coba menerapkan kepada bebebapa kondisi. Saya telah menjawab beberapa kondisi di jawaban ini (silakan klik).

II. Sebelum kedatangan Kristus.1. Bagi bangsa Yahudi sebelum kedatangan Kristus: Sebelum kedatangan Kristus, bangsa Yahudi dipilih Tuhan secara khusus dan menerima wahyu Tuhan, sehingga mereka beriman kepada Tuhan yang satu. Mereka mengetahui wahyu ini melalui perantaraan para nabi. Dan wahyu ini terus-menerus berlangsung sebagai persiapan akan kedatangan Sang Sabda, Yesus Kristus, ke dunia ini. Jadi keselamatan bangsa Yahudi sebelum kedatangan Kristus, terikat oleh Hukum Taurat, yang sebenarnya juga dapat disarikan sebagai mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama (Mat 22:34-40). Hal ini disebabkan oleh 10 perintah Allah yang dapat dibagi menjadi dua: 1) Perintah 1-3: perintah untuk mengasihi Tuhan 2) 4-10, perintah untuk mengasihi sesama. Namun, keselamatan mereka tetap bersumber pada misteri Paskah Kristus.

2. Bagi bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Kristus dan juga orang-orang yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus: Dua kategori orang-orang ini terikat oleh hukum yang dituliskan oleh Tuhan sendiri di dalam hati mereka masing-masing, atau yang disebut natural law atau hukum kodrat. 10 perintah Allah adalah manifestasi yang sempurna dari hukum kodrat sehingga dengan demikian mengikat seluruh manusia, dengan tidak memandang suku, bahasa, maupun kebudayaan, karena prinsip 10 Perintah Allah ini sebenarnya ada di dalam hati semua orang. Semua suku dan bangsa yang tidak mengenal Tuhan, melihat bahwa seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya adalah berdosa, seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan adalah salah. hukum kodrat ini adalah sebagai akibat dari hakikat manusia, yang diciptakan menurut gambaran Allah, yang mampu untuk menangkap konsep sesuatu yang baik, mampu untuk mencari kebenaran, mampu untuk menemukan Pencipta-Nya, mampu untuk bersosialisasi, dll. Dan hukum alam ini mengikat manusia, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus di Rom 2:15 Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.Bagaimana mereka dapat diselamatkan? Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa orang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus,[12] dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih[13], dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.[14] Namun keselamatan mereka datang dari Yesus Kristus.[15]Sebagai contoh dari bukan karena kesalahan mereka sendiri adalah orang-orang yang hidup sebelum Kristus, dan juga orang-orang yang tidak terjangkau oleh pemberitaan tentang Kristus. Namun kita juga dapat memasukkan disini adalah orang-orang dari agama lain, yang walaupun telah dijangkau oleh pemberitaan Kristus namun pemberitaan ini tidak memberikan motive of credibility (penjelasan dasar yang meyakinkan) yang baik terhadap kekristenan, sehingga orang dari agama lain, bukan karena kesalahannya, tidak dapat percaya akan pesan Kristus.Namun saya ingin menegaskan disini, bahwa kuncinya adalah apakah orang tersebut tidak mau menjadi Kristen karena invincible ignorance (ketidaktahuan yang tidak dapat dihindari) ataukah karena memang kepentingan pribadi, misalkan untuk mendapatkan pangkat, sekolah yang baik, dll. Di sini perlu dipertanyakan apakah orang tersebut benar-benar mencari kebenaran di atas segalanya. Maksudnya adalah apakah orang tersebut di dalam kapasitasnya benar-benar mencari kebenaran atau Tuhan dengan segenap hati, segenap pikiran dan segenap kekuatan. Dan dalam hal ini hanya Tuhan yang tahu secara persis apa yang dilakukan oleh orang tersebut. Untuk itulah, maka Gereja tidak akan pernah berkata bahwa seseorang pasti masuk neraka, namun Gereja dapat berkata orang tersebut mempunyai risiko kehilangan keselamatannya. Di sinilah pentingnya bagi orang yang telah mengenal Kristus untuk hidup kudus, sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang tidak mengenal Kristus.

3. Sekarang kita masuk ke kategori yang lain, yaitu: umat Kristen Non Katolik: Dokumen Vatikan II menjelaskan, bahwa ada unsur-unsur kekudusan dan kebenaran di dalam gereja yang lain, seperti misalkan memegang nilai-nilai suci yang terdapat di Alkitab, hidup dengan kasih, dll. Bahkan gereja Katolik mengakui pembaptisan mereka.[16] Jadi mereka mempunyai kesatuan dengan Gereja Katolik dalam hal baptisan. LG 14 menegaskan bahwa andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.Dalam hal ini, Gereja Katolik menyatakan suatu kondisi bahwa orang dapat kehilangan keselamatan. Namun Gereja tidak pernah tahu secara persis apakah masing-masing pribadi benar-benar tahu bahwa Gereja Katolik adalah Sakramen Keselamatan. Kalau seseorang tahu tapi tidak melakukannya, berarti orang tersebut menempatkan kepentingan pribadi di atas Tuhan sendiri, dan ini adalah berdosa. Jawaban apakah ada keselamatan di luar Gereja Katolik, silakan klik di sini . Jika Sesilia ingin mengetahui lebih lanjut tentang konsep keselamatan menurut Gereja Katolik, silakan klik di artikel ini: Sudahkah kita diselamatkan?4. Bagaimana dengan umat Katolik sendiri? Dalam Lumen Gentium 14 ditegaskan akan pentingnya untuk terus berjuang hidup kudus, yaitu dengan mempraktekkan kasih kepada Tuhan dan sesama. Orang Katolik yang tidak mempraktekkan kasih, hanyalah menjadi anggota Gereja secara jasmaniah, namun bukan secara spiritual, tidak dapat diselamatkan.[17] Hal ini disebabkan karena mereka sudah mengetahui hal yang benar, namun mereka tidak melakukannya (Lih. Luk 12:47-48).Karena kepenuhan kebenaran ada di Gereja Katolik, umat Katolik seharusnya dapat hidup lebih kudus, karena berkat-berkat yang mengalir dari Sakramen-sakramen, seperti: Ekaristi, Pengampunan Dosa. Selanjutnya, tentang apakah hanya orang Katolik saja yang bisa diselamatkan?, silakan klik di sini.

5. Jadi kesimpulannya, kita tidak dapat mengatakan bahwa orang yang tidak dibaptis air (secara sakramen) pasti masuk neraka, sebab ada kondisi-kondisi lain (yang telah disebutkan di atas) yang diperhitungkan. Namun, satu-satunya keselamatan hanya melalui Kristus dan melalui pembabtisan. Jadi bagi orang-orang seperti yang disebutkan di atas, yang dalam kondisi bukan karena kesalahannya sendiri tidak dapat mengenal Kristus dan Gereja-Nya, dan juga mereka berbuat kasih dan mengalami pertobatan, orang tersebut sebetulnya mengalami baptism of desire (lih KGK, 1258-1259). Dan bagi orang-orang yang mengalami kematian karena iman, tanpa sebelumnya menerima Pembaptisan, mereka juga dapat diselamatkan karena mereka telah menerima Baptisan darah (KGK, 1258). Dengan penggabungan faktor-faktor tersebut di atas, maka kita juga dapat mengatakan bahwa orang yang tidak dibaptis tidak dapat masuk surga atau dikatakan bahwa Gereja tidak mengenal cara lain selain pembaptisan untuk masuk surga (KGK, 1257). Dan bagi orang yang telah dibaptis namun tidak menjalankan kasih juga dapat kehilangan keselamatannya.

6. Kalau begitu apakah kita harus membawa orang kepada Kristus? Tentu saja. Kristus adalah harta terbesar yang kita miliki. Adalah menjadi perbuatan kasih kalau kita membagikan harta terbesar ini kepada semua orang. Namun tentu saja kita harus melakukannya dengan bijasana dan penuh kasih.

III. Menjawab pertanyaan teman Sesilia.1. Apakah seorang atheis dapat diselamatkan? Jawabannya bisa ya dan tidak. Dapat diselamatkan kalau orang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus, dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih, dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi. Keselamatan mereka datang dari Yesus Kristus.

Bukan kesalahan mereka sendiri tidak mengenal Kristus dapat diartikan sebagai invincible ignorance, yaitu kesalahan yang dikarenakan oleh ignorance (ketidaktahuan) yang tidak terhindari, namun orang ini telah benar-benar berusaha untuk menemukan kebenaran dengan segenap hati, pikiran, dan kekuatannya. Dan seandainya ada orang yang dapat menerangkan kepadanya dengan baik tentang kebenaran, maka orang tersebut sebenarnya dapat berubah dan menjadi percaya kepada Kristus. Ini berarti orang tersebut menempatkan kebenaran di atas kepentingannya pribadi. Oleh karena itu, orang tersebut dapat diselamatkan.

Kelompok yang lain adalah atheis atau orang yang tidak mengenal Kristus, namun karena culpable ignorance, yang disebabkan karena kelalaian sendiri, misalnya: orang tersebut mempunyai kesempatan untuk mencari kebenaran, namun dia tidak menggunakannya dengan baik. Atau sebenarnya tidak ada alasan bagi orang tersebut untuk tidak mengenal Kristus. Ini dapat diumpamakan seseorang tetap salah dan dihukum kalau karena kelalaiannya tidak mempelajari peraturan lalu lintas, namun dia nekat untuk mengendarai mobil. Kelompok ini mempunyai resiko kehilangan keselamatan mereka.

Jadi bagaimana dengan Mahatma Gandhi? Invincible ignorance bukan berarti bahwa dia sama sekali tidak pernah mendengar tentang Kristus, namun walaupun dia pernah mendengar tentang Kristus, dan dia telah berusaha dengan segenap pikiran, hati, dan kekuatan, untuk mencoba namun tidak sampai untuk menjadi murid Kristus. Jangan lupa, bahwa orang-orang yang menjadi batu sandungan bagi Mahatma Gandhi turut berpartisipasi dalam dosa, karena menjadi batu sandungan bagi dia untuk menjadi murid Kristus. Beliau mengatakan bahwa kalau semua orang di India dapat menerapkan ajaran Kristus, maka tidak ada lagi orang Hindu di India. Jadi orang-orang saleh yang tidak mengenal Kristus, dapat masuk surga, namun hanya Tuhan yang tahu persis apakah ignorance yang mereka lakukan karena invincible ignorance atau culpable ignorance.

Kita jangan lupa, bahwa ada beberapa tingkatan atheist. Pada tingkatan yang paling parah, dimana benar-benar orang tersebut membenci Tuhan, maka orang ini dapat kehilangan keselamatannya. Namun pada tingkatan lain, orang yang morally good tidak dapat membenci orang sedemikian rupa, atau membenci Tuhan, ia hanya tidak atau belum mengenali Tuhan. Padahal keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dengan akal budi, juga termasuk oleh seorang atheis silakan melihat artikel Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada (silakan klik).

Tentu saja bagi yang tidak percaya akan Tuhan, tidak dapat menerapkan hukum kasih yang bersifat supernatural, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama untuk Tuhan. Maka akan jauh lebih sulit bagi orang yang tidak kenal Tuhan untuk menerapkan hukum kasih ini untuk masuk surga. Silakan melihat pembahasan tentang hal ini di jawaban ini (silakan klik).

Digerakkan oleh Rahmat Ilahi adalah suatu berkat yang membantu, atau dalam istilah teologi adalah actual grace. Actual grace ini merupakan gerakan dari Roh Kudus untuk membawa orang ini kepada pertobatan. Dan pada saat orang ini menanggapi dan kemudian menerima pembaptisan, maka orang tersebut menerima sanctifying grace atau rahmat kekudusan, yang membuat seseorang menjadi anak Allah.Karena Tuhan adalah maha adil, maka kita meyakini bahwa berkat dari Tuhan adalah cukup dan berlimpah bagi setiap orang. Jadi gerakan Roh Kudus ini adalah yang membawa orang pada pertobatan dan perbuatan kasih. Rasul Yohanes mengatakan Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. (1 Yoh 4:16).

Secara prinsip, seorang yang benar-benar kristen dan menerapkan ajaran Kristus pasti akan lebih baik dari orang yang bukan Kristen. Dalam membandingkan, kita harus membandingkan apel dengan apel dan tidak bisa apel dengan jeruk. Kita harus bandingkan seorang Katolik yang baik dengan seorang atheis yang baik. Bandingkan atheis yang terbaik dengan para santa-santo, seperti yang terberkati Bunda Teresa dari Kalkuta yang menolong orang karena kasihnya kepada Tuhan, atau St. Maximillian Kolbe yang rela menyerahkan dirinya untuk dibunuh menggantikan nyawa sesama tawanan NAZI.

2. Jadi apakah evangelisasi percuma? Tentu saja tidak! Malah ditekankan bahwa Gereja pada dasarnya adalah misioner. Kita semua yang telah dibaptis harus berjuang untuk membawa semua orang kepada Kristus. Kenapa? Karena bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus lebih sulit untuk mencapai keselamatan. ibaratnya mereka tidak mempunyai peta yang baik dan sempurna. Dan berkat Baptisan adalah memberikan manusia kekuatan untuk dapat hidup kudus, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama. Jadi bagi yang telah dibaptis dan menerima rahmat Allah, maka tuntutannya lebih besar dibandingkan dengan yang belum mengenal Allah. Dikatakan Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut (Luk 12:48). Kita ingin membagikan harta terbesar kita, yaitu Kristus, sehingga mereka lebih mudah untuk mendapatkan keselamatan.

IV. Kontradiksi konsep keselamatan?1. Lumen Gentium, 14 mengatakanOrang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus, dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih, dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.Jadi bagi orang yang bukan kesalahannya sendiri dapat masuk surga sejauh keadaan tidak mengenal Kristus adalah sebagai akibat dari invincible ignorance (ketidak tahuan yang tak dapat dihindari) seperti yang telah dijelaskan di atas.

2. Hal ini tidaklah bertentangan dengan Andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.Hal ini dikarenakan bahwa orang yang benar-benar tahu bahwa Kristus mendirikan Gereja Katolik namun tidak masuk di dalamnya berarti dia mendahulukan kepentingan pribadi di atas pencarian kebenaran.

3. Dan juga tidak bertentangan dengan: Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang dengan badan memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak dengan hatinya.Ini berarti bahwa orang Katolik yang mempunyai kepenuhan kebenaran harus benar-benar dapat menerapkan ajaran kasih. Bagi orang Katolik tidak ada alasan untuk tidak mengasihi Tuhan dan sesama, karena semua telah diberi berkat yang berlimpah dari sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat, yang memampukan seseorang untuk hidup kudus setelah menerima Sakramen Baptis.

4. Kita kembali kepada prinsip di awal, bahwa Tuhan adalah maha adil dan kasih. Juga rahmat Tuhan adalah cukup bagi semua orang untuk bersatu dengan Tuhan. Oleh karena hal ini adalah sangat masuk akal, bahwa semuanya mempunyai resiko dan tugas masing-masing untuk mendapatkan keselamatan. Keselamatan adalah suatu proses yang berakhir pada saat kita meninggal. Orang yang tidak mengenal Kristus, yang mengenal Kristus di luar Gereja Katolik, dan anggota Gereja Katolik, semuanya mempunyai resiko kehilangan keselamatan. Yang menjadi perbedaan adalah Gereja Katolik mempunyai kepenuhan kebenaran, gereja yang lain tidak mempunyai kepenuhan kebenaran, dan agama-agama lain mempunyai beberapa unsur kebenaran, yang harus dilihat sebagai persiapan untuk menerima pesan Injil (lih. Lumen Gentium, 16).

5. Gereja Katolik percaya bahwa keselamatan adalah suatu yang telah (past), sedang (present), dan akan datang (future):

Telah diselamatkan (Rom 8:24; Ef 2:5,8; 2 Tim 1:9; Tit 3:5).

Sedang dalam proses (1 Kor 1:18; 2 Kor 2:15; Fil. 2:12; 1 Pet 1:9).

Akan diselamatkan (Mt 10:22, 24:13; Mk 13:13; Mk 16:16; Kis 15:11; Rm 5:9-10; Rm 13:11; 1 Kor 3:15; 2 Tim. 2:11-12; Ibr. 9:28).

6. Baca juga tentang konsep keselamatan di sini: klik ini, dan juga ini, serta artikel ini.

V. Ok. Sekarang ceritakan bagaimana konsep keselamatan dari teman Sesilia.1. Kalau kita berkata bahwa semua yang tidak mengenal Kristus masuk neraka, coba terangkan hal berikut ini: Bagaimana kita begitu yakin bahwa seseorang setelah kedatangan Kristus, yang tinggal di pedalaman Irian Jaya, Kalimantan, dan sampai akhir hayatnya orang tersebut masih tidak mengenal Kristus, pasti masuk neraka. Pertanyaannya, dimanakan keadilan Tuhan? Bukan kesalahan mereka bahwa mereka tidak mengenal Kristus. Kalau saja orang tersebut mendengar tentang Kristus, ada sebagian dari mereka juga akan percaya.

2. Kalau kita berkata bahwa semua yang tidak mengenal Kristus masuk neraka, coba terangkan hal berikut ini: Bagaimana kita begitu yakin bahwa orang-orang seperti Mahatma Gandhi masuk neraka? Apakah dasarnya? Atau ada yang lebih ekstrim lagi mengatakan bahwa Bunda Teresa yang terberkati dari Kalkuta masuk neraka, karena beliau tidak maju di dalam altar call dan menerima Yesus di depan umum seperti yang terjadi di altar call.

3. Kalau kita berkata bahwa semua yang telah menerima Kristus pasti masuk surga, coba terangkan hal berikut ini:Orang-orang Kristen atau Katolik yang hidupnya bergelimang dengan dosa sampai akhir hayatnya. Bagaimana seseorang dengan yakin mengatakan sekali selamat pasti selamat.

Demikian apa yang dapat saya sampaikan untuk menjawab pertanyaan teman Sesilia. Maaf agak panjang, karena ada banyak yang bertanya tentang konsep keselamatan.

Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan Sesilia dan juga bagi para pembaca yang lain.

KOMENTAR

Dear katolisitas.orgSaya sangat meyakini apa yang disebut EENS, bahwa keselamatan hanya melalui Yesus dan khatolik-lah jalannya. Dan pernyataan konsili Vatikan II ttg bahwa keselamatan ada ditempat lain ini sangat mengganggu iman saya yang masih dan akan terus bertumbuh.

Jadi, tolong koreksi pernyataan iman saya ini jika salah; Tuhan Yesus bersabda, Langit bumi akan lenyap tapi perkataanku tidak akan lenyap Ini membuktikan bahwa setelah kematian dan kebangkitan-Nya, sabda Tuhan kita masih terus ada, tidak berhenti dan terus berlanjut melalui para orang kudus pilihanNya (ex; St. Faustina dll), dan kita umat-Nya mengimani hal tersebut.

Mengambil dari keyakinan tsb, bukankah telah disampaikan, melalui Catalina Rivas bahwa Tuhan sendiri bersabda, akan ada 2 Pintu Pengadilan di akhir nanti, dimana :1. Manusia yang tidak mengenal Yesus akan masuk melalui Pintu Pengadilan Maha Tinggi, dan diadili seadil-adilnya (menurut hukum Surga tentu) dengan hukumannya Surga atau Neraka, dan2. Manusia yang mengenal Yesus, akan masuk melalui Pintu Kasih-Nya. Dimana manusia tidak masuk melalui Api Neraka melainkan Api Penyucian, dan setelah itu akan dibawa ke Surga seperti yang tengah terjadi saat ini.

Keyakinan ini saya yakini, seyakin-yakinnya, terlebih Tuhan telah menjelaskan, bahwa Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup, dst yang menjelaskan bahwa, jika seseorang ingin menantikan Pengadilan Yang Adil itu, maka orang tidak perlu mengenal-Nya (Kasih-Nya) tetapi, jika seseorang merasa bahwa keadilan yang dimilikinya tidak dapat menyelamatkan-Nya dan meyakini bahwa melalui Pintu Belas Kasih Allah, yang telah dibuatnya melalui Karya Keselamatan Ilahi dalam sengsara wafat dan kebangkitan Putera-Nya Yesus Kristus, maka sekalipun keyakinan itu didapat pada saat-saat terakhir hidupnya, dia bisa diselamatkan.

Ini adalah sekelumit pernyataan iman yang saya miliki, jadi mohon penjelasannya. Terima kasih, damai Kristus bersama anda

Shalom Johanes,

Mungkin yang perlu diluruskan adalah dokumen Vatikan II tidak pernah menyebutkan bahwa ada keselamatan di tempat lain. Silakan melihat beberapa artikel tentang EENS ini silakan klik. Hal lain yang perlu ditekankan adalah iman kita tidak berdasarkan wahyu-wahyu pribadi, termasuk wahyu-wahyu pribadi dari santo-santa, namun berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci, yang dijaga kemurniannya oleh Magisterium Gereja.

Dalam Injil Matius dituliskan Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu (Mat 24:35). Hal ini telah ditegaskan juga di dalam Kitab Yesaya sebagai berikut: Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya. (Yes 40:8) dan Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah ke bumi di bawah; sebab langit lenyap seperti asap, bumi memburuk seperti pakaian yang sudah usang dan penduduknya akan mati seperti nyamuk; tetapi kelepasan yang Kuberikan akan tetap untuk selama-lamanya, dan keselamatan yang dari pada-Ku tidak akan berakhir. (Yes 51:6). Salah satu interpretasinya adalah Firman Allah adalah kekal dan lebih bertahan dibandingkan dengan segala hal yang bersifat material dan segala alam raya. Namun, kita juga dapat melihatnya dalam konteks bahwa yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan yang baru, seperti yang ditegaskan dalam surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus, Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. (2Kor 5:17). Dan dalam konteks Mat 24 tentang akhir zaman, maka kita juga melihat bahwa pada harinya, maka langit dan bumi akan musnah dan digantikan dengan langit dan bumi yang baru yaitu ciptaan yang baru di dalam Kristus. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Wahyu sebagai berikut, Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. (Why 21:1)

Dan tentang pengadilan khusus, maka semua orang segera setelah kematiannya akan diadili secara langsung oleh Kristus. Baik umat beriman dan umat tidak beriman akan diadili dan mempunyai tiga kemungkinan keputusan: neraka, Surga, Api Penyucian. Pada akhirnya semua orang hanya dapat memohon belas kasih Allah, berharap agar iman, pengharapan dan kasih kita yang tidak sempurna, yang telah kita lakukan di dunia ini dapat diperhitungkan oleh Allah.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef katolisitas.org

Shalom..

Seandainya Mahatma Gandhi adalah seorang Katolik, maka saya pikir dengan semua yang dilakukannya, akan sangat besar kemungkinan buat beliau untuk menjadi seorang Santo.Tapi karena beliau seorang Hindu, maka kita menyatakan bahwa itu bisa ya atau tidak, atau terserah pada Tuhan aja.

Saya pikir Gereja Katolik seharusnya menghormati tokoh seperti beliau ini. Apapun agamanya dia telah melakukan kasih dengan luarbiasa.Bahkan beliau menyindir kita umat kristiani untuk lebih melakukan kasih seperti yang diajarkan Yesus dengan baik(i like your Christ, i do not like your christian. Your christian are so unlike your Christ).Kita umat kristenlah yang tidak bisa melakukan kasih sehebat Mahatma Gandhi. Orang Kristen saat itu justru menjadi penjajah yang merampas hak orang jajahannya. Saya juga tidak tahu dibagian manakah dalam penjajahan orang kristen menunjukkan kasih yang dia pelajari di gereja.

Inilah menurut saya alasan mengapa Mahatma Gandhi tidak menjadi umat kristiani, dan akhirnya beliau lebih memilih untuk mengasihi agamanya yaitu agama hindu. Kalau kita semua bisa memahami dan melakukan kash sehebat Mahatma Gandhi, saya pikir dia tidak punya alasan untuk tidak bergabung menjadi umat kristiani yang mempunyai satu prinsip yang sama dengan dia.

Saya juga pernah mendengar Paus yang membuat perjanjian antara Spanyol dan Portugis supaya kedua negara ini tidak saling rebutan daerah jajahan. Ini berarti bahwa Paus itu mendukung gerakan penjajahan yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol saat itu.

Maaf, tapi saya pikir Mahatma Gandhi lebih mengerti tentang kasih daripada Paus yang menyetujui perjanjian tordisellas (kalau ga salah itu nama perjanjiannya). Saya pikir bahwa Mahatma Gandhi lebih menjalankan kasih daripada beberapa Paus lainnya.

Terima Kasih.

Shalom Donny,

1. Tentang Mahatma Gandhi

Mahatma Gandhi adalah salah seorang tokoh dunia yang telah mengukir sejarah dengan teladan sikapnya yang cinta damai. Walaupun ia bukan seorang Kristiani, tetapi Anda benar, sikap hidupnya itu menunjukkan buah-buah sebagaimana diajarkan oleh ajaran Kristus. Oleh karena itu, wajarlah jika semua orang yang cinta damai, menghormati dan mengenangnya. Hal ini juga ditunjukkan oleh Paus Yohanes Paulus II ketika mengunjungi India pada tanggal 1- 10 Februari 1986. Paus memulai ziarahnya itu dengan mengunjungi Raj Ghat, yang merupakan tempat mengenang Mahatma Gandhi, tempat jenasahnya dikremasi. Demikian kata Paus:

Dan hari ini sebagai peziarah perdamaian, saya telah catang ke sini untuk menghormati Mahatma Gandhi, pahlawan kemanusiaan.

Dari tempat ini, yang selamanya terikat dengan kenangan akan orang yang sangat luar biasa ini, aku ingin menyatakan kepada rakyat India dan seluruh dunia, keyakinan saya yang mendalam bahwa perdamaian dan keadilan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini akan dicapai hanya melalui jalan yang menjadi inti dari ajarannya [Gandhi]: keutamaan semangat dan Satyagraha, kekuatan-kebenaran, yang menaklukkan tanpa kekerasan dengan dinamika yang melekat dengan tindakan yang adil. (Surat Apostolik kepada Kaum Muda, n.41)

Jadi tidak benar, jika ada anggapan bahwa Gereja Katolik tidak menghormati Mahatma Gandhi. Namun penghormatan ini, tidak otomatis mengharuskan Gereja mengangkatnya menjadi Santo/ orang kudus. Sebab menurut ajaran iman Katolik, kekudusan itu bukan sesuatu yang dapat diperoleh sendiri menurut perbuatan manusia, terlepas dari iman. Menurut Sabda Allah, kekudusan pada hakekatnya adalah suatu karunia dari Allah, yang ditanggapi oleh manusia dengan iman dalam kesatuan dengan perbuatan baik yang menjadi bukti dari iman. Perbuatan baik ini sebagai bukti dari iman ini adalah perbuatan kasih, yaitu kasih kepada Allah dan kepada sesama; yang menjadi buah dari seseorang yang menerima bantuan rahmat Allah, yang secara nyata disalurkan melalui sakramen-sakramen Gereja. Tentang Apa itu kekudusan, silakan membaca di artikel ini, silakan klik2. Paus membuat perjanjian antara Spanyol dan Portugis tentang daerah jajahan?

Jika kita ingin memahami tentang hal ini, kita perlu memahami bagaimana perkembangan peran Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik sepanjang sejarah. Sampai zaman Kaisar Konstantin di abad ke-4, Kristianitas umum dipandang sebagai hal rohani/ spiritual saja, tidak berhubungan dengan kenegaraan. Namun setelah pertobatan Kaisar Konstantin dan kemudian Kristianitas dianggap sebagai agama negara, maka keadaan berubah. Gereja dan negara dipandang sebagai dua kekuatan besar, yang walaupun terpisah keduanya bersumber dari Allah, dan karena itu berhubungan secara tidak langsung. Di abad ke-10, berkembanglah pandangan yang mempertanyakan manakah yang lebih penting dari kedua kekuatan ini: Gereja atau negara? Argumen yang pertama menempatkan kedudukan imam lebih tinggi dari raja/ kaisar, karena walaupun imam harus taat kepada kaisar dalam hal-hal temporal, dan raja harus taat kepada imam dalam hal rohani, namun pada imam terletaklah tanggungjawab untuk membuat para raja melakukan tugas mereka dengan baik. Sedangkan argumen lainnya adalah bahwa raja memainkan peran yang tak kalah penting, sebab raja berkepentingan untuk melihat urusan-urusan Gereja dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian secara tidak langsung terdapat hubungan tak langsung antara keduanya.

Di abad ke 11-12, dirintis oleh Paus Gregorius VII, peran Paus sebagai pemimpin kebijakan Tahta Suci menjadi semakin besar, juga untuk memberikan pengaruhnya kepada para pemimpin dunia temporal. Paus mengacu kepada surat-surat para Rasul yang menunjukkan bahwa mereka diberi tanggungjawab untuk mengkoreksi kekuatan anarkis (lih. 1 Ptr 2:15-16; Gal 5:1; 2 Kor 3:17; 1 Tes 4:10,11,5:4). Sejarah bangsa Israel yang teokratis juga mempengaruhi, maka dikenal prinsip bahwa Allah berada di atas para kaisar. Oleh karena Paus adalah wakil Kristus Putera Allah, maka Paus melaksanakan tugas sebagai nabi untuk memimpin bangsa-bangsa umat Allah, atas dasar Yer 1:10. Karena itu Paus Gregorius mengembangkan hal sumpah pelantikan raja; dan pembatalan kepemimpinan raja juga hanya dapat dilakukan oleh Paus. Namun demikian, Paus penerusnya, Innocentius III, menyatakan, We do not exercise any temporal jurisdiction except indirectly (Epistol, IV, 17, 13). Demikianlah maka Paus tidak dapat mengatasi suatu sistem pemilihan pemimpin negara. Paus hanya dapat menilai, meneguhkan dan memutuskan penentuan kandidat, jika keadaan pemilihan terbagi, sehingga diperlukan intervensi.

Kasus seperti ini terjadi ketika Raja Inggris mengadukan kasusnya melawan saudaranya sendiri, ketika sebuah perjanjian telah dibuat, diteguhkan dengan sumpah, namun kemudian diingkari. Karena ada dosa yang terlibat dalam hal ini, dan pihak yang bertikai mengadukannya kepada Paus, maka kasus ini menjadi yurisdiksi Paus, dalam hal ini Paus Innocentius III.

Di zaman Reformasi Protestan, terdapat kecenderungan sebaliknya, yaitu bahwa negara menempatkan Gereja di bawah kakinya. Negara mengklaim kuasa untuk menentukan segalanya, baik hal temporal maupun spiritual. Sedangkan Gereja juga mengklaim haknya untuk menjadi independen, dalam segala hal yang mempengaruhi hal agama dan semacam sumber mata air bagi semua dominasi temporal (lih. St. Thomas Aquinas, Quodlibet, 12, Q. xiii, a. 19, ad 2um: Reges sunt vasalli Ecciesi). Adanya peran Gereja untuk mengarahkan, sedikit banyak membatasi kekuasaan absolut pemimpin negara, sebab ia harus mengikuti norma-norma Kristiani sebagai seorang pemimpin Kristiani. Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa nyatanya tak semua pemimpin negara Kristiani melakukan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Kristiani. Banyak di antara sesama pemimpin negara Kristen bertikai sendiri, sehingga Paus terpaksa terlibat, untuk menengahi pertikaian atau untuk mengakhiri perang, dan menentukan batasan hak kedua pihak yang bertikai. Tentang hal inilah dikenal istilah papal arbitration. Dalam konteks inilah kita menempatkan kasus perjanjian Tordesillas, antara pihak Spanyol dan Portugal.

Kedua negara itu adalah negara Katolik yang saat itu aktif mengadakan penjelajahan untuk menemukan daerah-daerah baru di belahan bumi Timur dan Barat. Hasil dari ekspedisi itu adalah penggabungan daerah-daerah yang baru ditemukan itu kepada pemerintahan negara asal mereka. Inilah yang menyebabkan adanya perselisihan terus menerus antara Spanyol dan Portugis. Untuk maksud mendamaikan kedua negara tersebutlah, Paus Alexander VI menjadi penengah. Ia mengeluarkan Bulla, Inter Ctera (14 Mei 1493) untuk menentukan batas garis meridian (100 liga di sebelah barat Azores dan Kepulauan Cape Verde) untuk membagi daerah ekspedisi Spanyol dan Portugis: Spanyol di bagian barat, dan Portugis di bagian timur garis itu. Tahun berikutnya, perjanjian Tordesillas memperbaharui garis imaginer itu menjadi 370 liga di sebelah barat Cape Verde. Dengan Paus sebagai penengah ini maka perang antara Spanyol dan Portugal dapat dihindari (Civilt Cattolica, 1865, I, 665-80; Winsor, History of America, 1886, I, 13, 592; Cambridge Modern History, I, 23-24).

Selanjutnya tentang papal arbitration, silakan membaca di sini, silakan klik. Papal arbitration ini bukan merupakan ajaran iman, tidak menyangkut Gereja universal, dan karena itu tidak melibatkan kuasa infalibilitas Paus. Silakan membaca di sini untuk apakah itu infalibilitas Paus, silakan klik.

Dalam kasus perjanjian Spanyol dan Portugis, nampaknya Paus bersedia menengahi kedua negara itu, karena melihat potensi pewartaan Injil ke daerah-daerah baru di berbagai belahan dunia yang menjadi daerah ekspedisi mereka. Namun sayang, maksud yang mulia itu tidak didukung dengan sikap dan kebijakan para pelaksana dan prajurit yang terlibat dalam ekspedisi tersebut.

Contoh yang jelas terlihat pada penunjukan St. Fransiskus Xaverius oleh Raja Portugis, Yohanes III, untuk meng-evangelisasi India. Tanggal 7 April 1541 ia berlayar di India, dan setelah perjalanan panjang dan berbahaya, mendarat di Goa, tanggal 6 Mei 1542, lebih dari setahun kemudian. Lima bulan pertama dihabiskannya untuk berkhotbah, melayani orang-orang sakit di rumah sakit dan kaum miskin, mengajar anak-anak tentang sabda Tuhan dan ajaran iman Katolik. Di tahun yang sama, St. Xaverius menuju semenanjung selatan, dengan maksud merestorasi Kekristenan yang berabad-abad lalu pernah diperkenalkan (oleh Rasul Thomas) namun yang hampir punah saat itu, karena kekurangan imam. Selama tiga tahun St. Xaverius berkhotbah di India Barat dan mempertobatkan banyak orang. Sungguh berat perjuangan St. Xaverius di India, karena tak saja menemui kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh sikap raja-raja setempat yang menganiaya orang-orang yang dibaptis, namun juga dari para prajurit Portugis, yang menunjukkan sikap dan kebiasaan yang sangat bertolak belakang dengan kekudusan St. Xaverius, sehingga ini menghambat pertumbuhan Gereja di India.

Nah, memang kita dapat berandai-andai, bahwa seandainya pada saat itu para prajurit dan pendatang tersebut mempunyai sikap yang cinta damai, maka tidak akan terjadi konflik dan kekerasan antara mereka dengan para penduduk setempat. Namun fakta menentukan tidak demikian halnya, sebab bersamaan dengan sampainya mereka ke daerah-daerah baru tersebut, terdapat kecenderungan menguasai daerah itu, baik dari hal kekayaan alam, maupun penjajahan penduduk lokal.

Hal ini berlanjut sampai kepada zaman Mahatma Gandhi (1869-1948), yaitu bahwa para pendatang dari negara Kristiani malah datang menjajah penduduk lokal, bahkan dengan kekerasan dan penganiayaan. Ini adalah sesuatu yang jelas tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Sebab walaupun perbudakan telah ada sejak zaman para rasul, dan para rasul sendiri memperjuangkan untuk menghapuskannya, namun nampaknya hal perbudakan masih berlangsung berabad-abad sesudahnya. Namun demikian, kita mengetahui bahwa sepanjang sejarah, Gereja terus berjuang untuk meniadakannya. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Silakan juga membaca tulisan Paus Leo XIII, In Plurimis (1888) tentang Penghapusan Perbudakan (On the Abolition of Slavery), silakan klik.

Donny, ada banyak hal yang tercatat dalam sejarah, yang memang tidak ideal menurut pemikiran kita sekarang. Namun hal itu sudah terjadi dan kita tak berkuasa untuk mengubahnya. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah melihatnya dengan kacamata iman, bahwa Allah mengizinkan segala hal itu terjadi, justru untuk mengajar kita. Allah menghendaki kita bertumbuh dalam kerendahan hati untuk melihat dan mengakui bahwa: 1) tidak semua pengikut Kristus dapat hidup seturut panggilan imannya; 2) Pada para anggota Gereja yang kudus, contohnya para Santo/a, kita melihat gambaran Kristus, namun sebaliknya para anggota yang berdosa menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk mengimani Kristus; 3) Allah menumbuhkan kebaikan di dalam hati semua orang, bahkan pada mereka yang tidak/ belum mengenal Kristus. Namun demikian, ini tidak menjadi alasan untuk tidak mewartakan Kristus kepada mereka yang belum mengenalnya, ataupun malah menganggap bahwa secara umum orang dapat menjadi kudus dengan sendirinya tanpa Kristus. Kenyataan ini justru harus mendorong kita untuk hidup lebih sesuai dengan panggilan kita sebagai murid-murid Kristus, dengan melaksanakan hukum kasih, sebagaimana diajarkan-Nya dengan sempurna melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Semoga dengan demikian, orang-orang yang belum mengenal Kristus dapat melihat dan mengalami kasih Kristus dan terdorong untuk mengenal Dia.

Pada akhirnya, Tuhan akan mengadili kita sesuai dengan perbuatan kita (lih. Why 20:12), dan penghakiman ini tentu adil tidak mungkin mensyaratkan sesuatu yang tidak kita ketahui sebelumnya. Atas keyakinan ini, maka mari kita serahkan ke dalam tangan Tuhan tentang penghakiman ini. Bukanlah bagian kita untuk membandingkan dan memutuskan siapa yang lebih baik daripada siapa, sebab yang paling memahami maksud dan isi hati setiap orang hanyalah Tuhan saja. Biarlah dalam hal ini Tuhan yang memutuskan.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,Ingrid Listiati- katolisitas.org

Dear KatolisitasIbu Ingrid / Bpk Stef/

Dari semua diskusi tentang EENS, dapat saya simpulkan , bahwa menjadi katolik dan tetap tinggal didalamnya serta mempergunakan rahmat yg ada didalamnya dengan benar. akan lebih cepat mentas dari purgatori di banding dengan orang2 atheis atau orang orang yang tdk mengenal Kristus dan Gereja yang bukan karena kesalahannya sendiri. betul ya Begitu ya Bu..?? hehehhehee,,,

[dari Katolisitas: Kita boleh mempunyai pengharapan yang besar untuk keselamatan kita, dan kitapun diundang untuk mengusahakan agar rahmat keselamatan Tuhan dapat menjangkau sebanyak mungkin orang. Namun selanjutnya, biarlah Tuhan yang menentukan.]Dear Ibu Ingrid / Bpk Stef.

jika seseorang oleh karena kesibukannya dalam bekerja hingga dia meninggal tanpa mengenal Kristus dan Gereja-Nya , seseorang itu termasuk invincible ignorance atau culpable ignorance ya ??

Terima Kasih.

Hormat saya,

Yohanes.

[Dari Katolisitas: Mari kita serahkan kepada Tuhan saja. Sebab ada juga kemungkinan orang tersebut tahunya adalah kerja, kerja, dan kerja, karena pendidikan ataupun tuntutan dari orang tuanya dan lingkungan sekitarnya. Sungguh kita tidak dapat mengetahui secara persis keadaan dan latar belakang pengalaman hidup setiap orang, namun Tuhan mengetahuinya, apakah seseorang tidak mengenal Dia dan Gereja-Nya karena kesalahan sendiri atau bukan karena kesalahan sendiri. Hal invincible atau culpable ignorance ini pada diri seseorang, sejujurnya, hanya Tuhan yang mengetahui dengan pasti.]sebelumnya perkenalkan, nama saya adhitya.Saya hanyalah seorang hamba yg sedang mencari kebenaran ilahi di dunia ini.Saya ada pertanyaan yg sedikit menggelitik hati saya.

1. Bagaimanakah posisi agama lain yg ada di dunia ini di hadapan Tuhan menurut iman katholik?2. Apakah menurut gereja, apabila seseorang sudah mengenal Kristus, tetapi tidak berpaling kepada-Nya melalui gereja maka dia tidak selamat?3. Saya membaca beberapa ayat yg sangat luar biasa bagi saya:>>>Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa. (Mat9:13)>>>Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku. (Mat12:50)>>>Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini. (Mark12:31)>>>Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. (Mat7:21)>>>Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan. (Mat13:19)>>>Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta. (Yoh8:44)

Dari ayat2 tsb, saya mengambil kesimpulan bahwa siapa saja yg melakukan kehendak-Nya, yaitu KASIH maka kepadanya pintu surga akan dibukakan. Tetapi ada hal yg menggelelitik juga.karena pada ayat:Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu. (Keluaran 34:14)

yang menjadi masalah disini adalah: Tuhan hanya 1, tetapi bangsa2 yg belum mengenal Tuhan maupun Yesus apakah mereka akan binasa? Karena sudah tentu mereka menyembah Tuhan menurut mereka, dan mereka juga ada kemungkinan melakukan kehendak-Nya yaitu KASIH?

Shalom Adhitya,

1. Pandangan Gereja Katoliktentang posisi agama lain yang ada di dunia:

Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. (Nostra Aetate, 2)

KGK 839 Gereja mengakui bahwa agama-agama lain pun mencari Allah, walaupun baru dalam bayang-bayang dan gambaran. Ia memang belum dikenal oleh mereka, namun toh sudah dekat, karena Ia memberi kepada semua orang kehidupan, napas, dan segala sesuatu, dan Ia menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Dengan demikian Gereja memandang segala sesuatu yang baik dan benar yang terdapat pada mereka sebagai persiapan Injil dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan (Lumen Gentium 16)

Untuk lebih jelasnya tentang hal ini, anda dapat membaca deklarasi Dominus Iesus, klik di sini, ataupun ringkasan/ penjelasannya, di sini, silakan klik.

2. Jika seseorang telah mengenal Kristus, namun tidak bergabung dengan Gereja?

Sebenarnya di sini tergantung dari apakah ia benar- benar telah mengetahui/ mengenal Kristus dan apakah ia telah mengetahui bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang didirikan oleh Kristus. Jika sudah sungguh- sungguh mengetahui tentang hal ini, namun karena satu dan lain hal ia tidak mau masuk ke dalamnya, maka ia tidak dapat diselamatkan. Konsili Vatikan II dengan jelas mengatakan hal ini:

Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan. (Lumen Gentium 14)

Namun adakalanya seseorang tidak sungguh- sungguh tahu tentang Kristus dan Gereja-Nya, dan jika ini disebabkan oleh ketidaktahuan yang tidak terhindari, maka masih ada kemungkinan baginya untuk diselamatkan jika selama hidupnya ia selalu mencari dan melaksanakan kehendak Tuhan, mengikuti tuntunan hati nuraninya dan dengan demikian menerapkan kebajikan dalam hidupnya. Konsili Vatikan II mengajarkan demikian:

Pun dari umat lain, yang mencari Allah yang tak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan dan nafas dan segalanya (lih. Kis 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih. 1 Tim 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal[33]. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja dipandang sebagai persiapan Injil[34], dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan. (Lumen Gentium 16)

3. Asalkan seseorang mempunyai kasih maka otomatis pintu surga akan dibukakan baginya?

Jawabnya adalah belum tentu. Sebab jika seseorang melakukan kasih yang tidak didasari akan penghayatannya akan Tuhan (sehingga dalam hal ini berkaitan dengan iman), maka perbuatan kasih itu tidak menyelamatkan. Perbuatan kasih yang menyelamatkan tidak terpisahkan dari iman, dan iman yang benar adalah iman akan Kristus Tuhan.

Walau ayat- ayat yang anda sertakan seolah menekankan perbuatan kasih, namun anda juga perlu melihat bahwa ada banyak ayat yang lain yang menyatakan perlunya iman kepada Kristus; dan bahwa keselamatan diberikan karena kasih karunia Allah. Dan dengan demikian, ayat- ayat tersebut tidak dapat diabaikan.

5 POKOK CALVINISME (Pdt. Yakub Tri Handoko )

Lima pokok Calvinisme : Pengantar dan Total Depravity

Setiap aliran teologi pasti memiliki keunikan dan penekanan tertentu yang menjadi ciri khas dari aliran tersebut, sekaligus membedakannya dari berbagai aliran yang lain. Begitu pula dengan aliran Teologi Reformed. Walaupun Teologi Reformed memiliki beberapa konsep yang sama dengan aliran lain dalam lingkup teologi injili (misalnya konsep tentang ketidakbersalahan Alkitab, keilahian Yesus, finalitas Kristus dalam keselamatan, dsb.), namun Teologi Reformed memiliki keunikan sendiri.

Salah satu cara paling cepat dan cukup mudah untuk memahami keunikan Teologi Reformed yang sangat luas tersebut adalah melalui Lima Pokok Calvinisme yang disingkat TULIP: T = Total Depravity (Kerusakan Total), Unconditional Election (Pemilihan Tanpa Syarat), L = Limited Atonement (Penebusan Terbatas), I = Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak), P = Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus). Walaupun TULIP dirumuskan untuk meresponi suatu problem tertentu yang spesifik, tetapi doktrin ini tetap bernilai universal. Walaupun tidak dimaksudkan sebagai ringkasan dari keseluruhan Teologi Reformed, tetapi TULIP tetap mewakili apa yang menjadi karakteristik Teologi Reformed.

Latar belakang perumusan

Perumusan TULIP tidak bisa dipisahkan dari perkembangan tradisi Reformed di Belanda (lihat Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries, 315-318). Di tengah pergumulan bangsa Belanda untuk meraih kemerdekaan nasional dari tangan Spanyol, gereja-gereja di Belanda - yang mayoritas adalah gereja Reformed - terus berbenah diri. Sebuah sinode nasional di Emden pada tahun 1571 mengesahkan sistem pemerintahan gereja presbyterian. Sinode ini juga mengadopsi Pengakuan Iman Belgia (Belgic Confession) yang dipersiapkan Guido de Bres pada tahun 1561 dan direvisi oleh Francis Junius. Pengakuan iman ini sebelumnya telah diterima dalam sebuah pertemuan di Antwerp pada tahun 1566 dan selanjutnya disahkan dalam sebuah sinode nasional di Dort tahun 1574. Dengan demikian, Pengakuan Iman Belgia dan Katekismus Heidelberg (Heidelberg Catechism) menjadi standar teologi gereja-gereja Reformed di Belanda. Mereka juga mendirikan Universitas Leyden pada tahun 1575 dan menjadikannya sebagai pusat studi teologi Reformed. Tidak heran, gereja di Belanda telah menjadi sumber dari berbagai karya teologis yang berbobot dan sebagai salah satu pusat pemikiran Reformed yang sangat berpengaruh pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 (John H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition, 38).

Beberapa waktu kemudian Belanda juga menjadi pusat perdebatan teologis terkenal. Semua ini berawal dari seorang yang bernama Yakobus Armenius (1560-1609). Ia belajar teologi di Leyden dan Genewa, di bawah bimbingan Theodorus Beza, penerus John Calvin di Genewa. Setelah 15 tahun menjadi pendeta di Amsterdam, ia mulai mengajar di Universitas Leyden pada tahun 1603. Ia menganggap ajaran Reformed telah dilebih-lebihkan oleh Theodorus Beza dan Gomarus, karena itu ia berusaha untuk memodifikasi ajaran Reformed sehingga menurut dia Allah tidak dianggap sebagai pencipta dosa maupun manusia tidak bisa berbuat apa-apa di tangan Allah. Secara khusus ia menolak konsep tentang anugerah Allah yang tidak dapat ditolak, walaupun ia meyakini bahwa tidak ada orang yang bisa datang kepada Allah kalau tidak mendapat anugerah.

Usaha ini menuai protes dari koleganya di Leyden, yaitu Francis Gomar. Armenius lalu meminta diadakan sinode nasional untuk membahas masalah ini, tetapi ia meninggal dunia lebih dahulu sebelum pertemuan itu diadakan. Para pendukung Armenius - termasuk di antaranya adalah Hugo Grotius mengumpulkan ide-ide mereka dalam Remonstrans pada tahun 1610. Armneius mengajarkan bahwa manusia dapat mengambil inisiatif dalam keselamatan setelah Allah memberikan anugerah dasar yang memampukan kehendak mereka untuk bekerja sama dengan Allah. Ia menerima doktrin predestinasi (pemilihan), tetapi ia menganggap penetapan ini didasarkan pada pra-pengetahuan Allah. Ia mengajarkan bahwa penebusan Kristus cukup untuk semua orang, tetapi hanya efektif bagi mereka yang dipilih untuk selamat. Ia meyakini bahwa manusia dapat menolak anugerah Allah. Sehubungan dengan orang percaya, Armenius berpendapat bahwa Allah akan memberikan anugerah kepada orang-orang kudus sehingga mereka tidak jatuh ke dalam dosa, namun ia mempercayai bahwa Alkitab tampaknya mengajarkan kemungkinan bagi seorang percaya untuk murtad.

Akhirnya sebuah pertemuan internasional diadakan di Dort pada tahun 1618-1619. Sekitar 130 orangd ari berbagai tradisi Reformed di Eropa menghadiri pertemuan ini. Hasil dari pertemuan ini adalah dirumuskannya Lima Pokok Calvinisme dan Kanon Dort (Canons of Dort). Selanjutnya para rohaniwan yang mengikuti Armenianisme dicopot dari jabatan mereka. Mereka yang memihak Armenius harus menghadapi penganiayaan sampai tahun 1625. Walaupun dianiaya tetapi ajaran Armenian mampu memiliki pengaruh yang cukup kuat di salah satu aliran gereja Anglikan pada abad ke-17, gerakan Methodis pada abad ke-18 dan Bala Keselamatan.

Beberapa penjelasan penting seputar TULIP

Sebagian sarjana melihat ajaran Armenian sebagai respon terhadap ajaran hyper-Calvinis yang dipopulerkan Beza. Mereka berpendapat bahwa Beza terlalu mengandalkan rasio (pemikiran logis) dalam merumuskan ajaran Reformed, sehingga dia telah salah memahami Calvin dalam beberapa aspek. Pendapat seperti ini tampaknya perlu dikaji ulang. Beza sebenarnya hanya berusaha untuk mengikat beberapa konsep Calvin yang tidak terlalu berkaitan sehingga menjadi sebuah sistem teologi yang logis dan koheren. Pendekatan ini merupakan respon Beza terhadap perubahan berpikir orang-orang waktu itu yang kembali menganut filsafat Aristotelian dengan penekanan pada koherensi dan sistematisasi konsep-konsep (Alister E. McGrath, Historical Theology, 169). Jika dibandingkan dengan pendekatan Calvin, upaya Beza ini jelas sangat berbeda, tetapi apa yang disampaikan Beza pada dasarnya sama dengan ajaran Calvin.

Hal lain seputar TULIP yang sering disalahpahami adalah istilah Lima Pokok Calvinisme. Penggunaan istilah ini bisa menimbulkan kesan bahwa semua pokok penting dari teologi Reformed sudah tercakup dalam TULIP, padahal sistem Teologi Reformed jauh lebih luas, seluas Alkitab itu sendiri (Edwin H. Palmer, Lima Pokok Calvinisme, ed. rev., vii). Akibat kesalahpahaman seperti ini, Teologi Reformed seringkali hanya diidentikkan dengan predestinasi, padahal Calvin sendiri tidak menekankan predestinasi. Ada beberapa bukti yang mengarah kepada konklusi ini:

1. Doktrin predestinasi Calvin sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus. Calvin sendiri mengakui pengaruh ini secara eksplisit dalam bukunya Treatise on Predestination.

2. Martin Luther juga memiliki konsep predestinasi yang sangat bernuansa Agustinian (De servo arbitrio, Desember 1525). Dalam perdebatannya melawan Erasmus yang menekankan kehendak bebas manusia, Luther menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk mengingini yang baik. Keselamatan hanya dimungkinkan melalui kehendak Allah yang benar-benar bebas.

3. Dalam Institutio edisi ke-1 Calvin tidak memasukkan topik predestinasi. Topik ini baru dibahas di edisi ke-2, itupun dalam kaitan dengan ekklesiologi sehubungan dengan respon terhadap pemberitaan firman Allah. Dalam edisi tahun 1559, pembahasan tentang predestinasi menjadi lebih panjang dan diletakkan setelah doktrin Allah dan dalam kaitan dengan pengudusan serta pembenaran.

4. Ketertarikan Calvin terhadap doktrin berkaitan dengan aspek praktis. Ia ingin mengoreksi pandangan beberapa orang yang salah tentang predestinasi:

1. Melanchthon predestinasi spekulatif dan tidak berguna

2. Albertus Pighius (De libero hominis arbitrio et divina gratia libri decem, 1542) kerja sama antara kehendak dan anugerah Allah.

3. Jerome Bolsec anugerah ditawarkan pada semua orang; hasil dari anugerah ditentukan oleh respon manusia.

5. Doktrin predestinasi Calvin didasarkan pada natur manusia yang sudah tercemar dan tidak mungkin bisa menginginkan Allah. Kemampuan untuk percaya pasti berasal dari anugerah Allah semata-mata. Jadi, predestinasi hanyalah konsekuensi dari konsep teologi lain yang lebih mendasar.

Istilah Lima Pokok Calvinisme masih menyisakan potensi masalah, yaitu pada istilah Calvinisme. Istilah ini terkesan memberikan penghormatan khusus pada Calvin, padahal Calvin sendiri berkali-kali menegaskan bahwa ia hanyalah mengajarkan apa yang diajarkan Alkitab. Mayoritas sarjana cenderung memilih istilah Reformed daripada Calvinisme dengan pertimbangan. Pertama, John Calvin sendiri sangat berhati-hati agar gerakan yang dimulai di Geneva tidak mengkultuskan dirinya. Ia seringkali menekankan otoritas Alkitab dalam membangun teologi. Kedua, tradisi Calvinis yang ada sekarang ini ternyata tidak identik dengan ajaran Calvin. Ia memang menjadi peletak dasar dan sistem teologi maupun kegerejaan, namun pemikiran Calvin telah dikembangkan begitu rupa oleh teman maupun pengikutnya sehingga membentuk apa yang sekarang disebut Teologi Reformed. Ketiga, teologi Calvinis tidak bermula dari John Calvin. Dalam tulisan Calvin terlihat bahwa ia sangat berhutang pada bapa-bapa gereja, terutama Agustinus. Ia sendiri mengklaim bahwa teologinya bukanlah sesuatu yang baru, tetapi hasil dari kembali pada sumber (ad fontes).

Sehubungan dengan istilah TULIP, pemakaian singkatan ini memang sedikit banyak dipengaruhi oleh pertimbangan praktis supaya mudah untuk diingat. Singkatan ini dipakai sesuai dengan nama bunga yang terkenal di Belanda. Akibat dari upaya ini, istilah-istilah dalam masing-masing poin seringkali tampak tidak terlalu tepat dan beberapa teolog Reformed telah mencoba menawarkan istilah lain yang lebih sesuai dengan isi penjelasan masing-masing poin. Walaupun dari segi istilah ada kekurangtepatan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa konsep yang diajarkan hanya sekedar disesuaikan dengan nama bunga TULIP. Konsep tersebut dirumuskan lebih sebagai respon terhadap ajaran Armenian daripada penyesuian nama bunga Tulip.

Lebih jauh, masing-masing poin dalam TULIP sudah dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah sistem pemikiran yang logis dan sistematis. Lima pokok tersebut bukanlah doktrin yang terisolasi dan independen satu dengan yang lainnya. Jika satu pokok terbukti benar, maka yang lain dengan sendirinya akan mengikuti sebagai bagian sistem yang logis dan tidak terelakkan. Begitu pula sebaliknya, jika satu pokok ternyata salah, maka yang lain juga akan gugur (Loraine Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, 59).

Total Depravity (Kerusakan Total)

Penjelasan paling tepat dan komprehensif tentang kerusakan total dapat ditemukan dalam Pengakuan Iman Westminster IX.3 manusia, melalui kejatuhannya ke dalam suatu keadaan dosa, telah kehilangan seluruh kemampuan kehendak kepada kebaikan spiritual apapun yang menyertai keselamatan; sebagai manusia alamiah - yang menolak kebaikan dan mati di dalam dosa tidak mampu mempertobatkan diri sendiri maupun menyiapkan diri untuk itu dengan kekuatan sendiri. Berdasarkan definisi di atas, ada beberapa aspek dari kerusakan total yang perlu dijelaskan secara lebih seksama.

Kejatuhan manusia ke dalam keadaan dosa

Teologi Reformed sangat menekankan status dan natur keberdosaan semua manusia yang diperoleh dari Adam. Ini biasanya disebut sebagai dosa asal. Istilah dosa asal lebih tepat dipakai daripada dosa warisan, karena istilah yang terakhir ini menyiratkan kesan bahwa dosa manusia diperoleh melalui orang tua mereka. Kenyataannya, dosa ini lebih berkaitan dengan relasi setiap manusia dengan Adam. Ketika Adam mendapat perintah dari Tuhan untuk menguji ketaatannya (Kej 2:15-17), ia bukan hanya berdiri sebagai pribadi, tetapi sebagai kepala perjanjian yang mewakili semua manusia. Apapun hasil ujian ini akan berdampak pada semua keturunan Adam.

Para teolog Reformed tradisional biasanya menyebut ini dengan sebutan perjanjian kerja (covenant of work). Penyebutan ini didasarkan pada beberapa elemen perjanjian kuno yang tersirat dalam perintah Allah di Kejadian 2:15-17. Istilah perjanjian Adam secara khusus muncul di Hosea 6:7 Tetapi mereka itu telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat terhadap Aku. Teks yang dianggap sebagai dukungan utama dari doktrin ini adalah Roma 5:12-21. Dalam teks ini Adam pertama dan Adam terakhir (Yesus) dikontraskan. Adam pertama berdosa sehingga akibat dari dosa itu diperhitungkan kepada semua keturunannya, sedangkan Yesus hidup-Nya benar secara sempurna sehingga kebenaran itu diperhitungkan kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya (band. 1Kor 15:22).

Berdasarkan doktrin di atas, semua manusia bahkan bayi sekalipun sudah berdosa (Mazmur 51:7 dalam kesalahan aku diperanakan, dalam dosa aku dikandung ibuku). Di tempat lain Paulus menyebut orang-orang di luar Kristus dengan sebutan secara natur, kami adalah anak-anak kemurkaan (Ef 2:3b, ASV/KJV/NASB/RSV we were by nature children of wrath). Kecenderungan hati manusia pada kejahatan dimulai sejak kecil (Kej 8:21).

Hal tersebut semakin diperkuat dengan fakta kematian para bayi yang secara aktual belum bisa melakukan dosa. Seandainya tidak ada dosa asal, bukankah bayi dalam kandungan seharusnya tidak bisa mengalami akibat dosa (yaitu kematian)? Fakta lain yang mendukung adalah universalitas dosa manusia. Alkitab memberikan pernyataan yang tegas dan melimpah tentang tidak adanya seorang pun di dunia ini yang tidak berdosa (1Raj 8:46; Ay 14:4; Mzm 143:2; Ams 20:9; Pkt 7:20; Rom 3:10-18). Seandainya ada satu manusia pernah ada di dunia ini yang tidak tercemar dosa, maka paling tidak di dunia ini akan ada satu atau dua orang yang mampu bertahan dalam kekudusan. Kenyataannya, semua manusia berbuat dosa. Universalitas dosa seperti ini secara logis menuntut adanya satu sumber atau keterkaitan yang sama bagi semua manusia, yang dalam Teologi Reformed dikenal sebagai dosa asal.

Akibat dosa Adam

Akibat dari keberdosaan Adam, setiap manusia lahir dalam kesalahan (guilt) dan pencemaran (pollution). Istilah pertama lebih berkaitan dengan aspek legal (hukum), sedangkan istilah kedua berhubungan dengan aspek moral (Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, 190-197). Dalam kalimat lain, istilah pertama merujuk pada status manusia di hadapan Allah sebagai orang berdosa (karena diwakili Adam), sedangkan istilah kedua lebih ke arah natur manusia yang sudah dicemari dosa.

Hoekema (Manusia, 192) membedakan aspek moral dari dosa asal menjadi dua jenis: kerusakan pervasif (pervasive depravity) dan ketidakmampuan rohani (spiritual inability), walaupun dia sendiri mengaku bahwa pembedaan ini kadangkala tumpang tindih (Manusia, 195). Pembagian ini mirip dengan versi Palmer (Lima, 8-19) walaupun istilah yang dipakai berbeda; Palmer memakai istilah positif dan negatif. Sekalipun perbedaan yang jelas antara dua jeni sini kadangkala sulit ditarik, tetapi pembedaan ini tetap bermanfaat.

Kerusakan pervasif lebih difokuskan pada kerusakan seluruh aspek natur manusia dan ketidakadaan kasih kepada Allah dalam diri manusia sebagai prinsip yang memotivasi hidupnya. Alkitab berkali-kali menegaskan kerusakan semua elemen hidup manusia, baik tubuh, rasio, kehendak, selera, motivasi, dsb. Dosa merusak pikiran, hati maupun perasaan manusia (Rom 3:10-18; Ef 4:17-19; Tit 1:15-16). Dalam diri manusia terdapat elemen kejahatan yang membuat manusia tidak mampu melakukan kebenaran (Rom 7:14-24). Yesus mengajarkan bahwa semua hal yang jahat berasal dari dalam diri manusia (Mar 7:21-23). Yeremia mengeluhkan kejahatan hati yang begitu kuat (Yer 17:9). Segala kecenderungan hati manusia adalah pada kejahatan semata-mata (Kej 6:5). Dalam sebuah ajaran-Nya Yesus menggambarkan hal ini dengan relasi antara pohon dan buah (Mat 7:17-18).

Ketidakadaan kasih Allah dalam diri manusia juga diajarkan secara eksplisit oleh Alkitab. Yesus menegur orang-orang Yahudi yang menolak Dia bahwa di dalam hati mereka tidak ada kasih Allah (Yoh 5:42). Manusia berdosa justru mengasihi kegelapan daripada terang (Yoh 3:19). Paulus menjelaskan bahwa semua orang di luar Kristus adalah seteru Allah (Rom 5:10). Dosa yang membuat mereka memuaskan daging juga merupakan perseteruan dengan Allah (Rom 8:7a). Orang tertentu yang tampaknya sangat mencari Allah pun tidak disebut sebagai orang yang mengasihi. Mereka hanyalah orang yang giat untuk Allah (Rom 10:2). Orang yang tampaknya rohani dan mengasihi Allah sekalipun ternyata terbukti mengasihi dirinya sendiri (Mat 19:16-22//Mar 10:17-22//Luk 18:18-23).

Kerusakan lain sebagai akibat dosa asal adalah ketidakmampuan rohani. Yang dimaksud istilah ini adalah ketidakmampuan manusia untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang sungguh diperkenan Allah serta mengubah arah hidupnya dari mengasihi diri sendiri menjadi mengasihi Allah. Tentang doktrin ini Alkitab memberikan dukungan teks yang cukup banyak. Dalam beberapa kasus teks-teks tersebut sekaligus mengajarkan kerusakan pervasif dan ketidakmampuan rohani. Tuntutan untuk dilahirkan kembali (bentuk pasif) sebagai syarat masuk ke dalam Kerajaan Allah mengindikasikan bahwa dengan natur alamiah manusia mereka tidak akan mampu melihat Kerajaan Allah (Yoh 3:3, 5). Hidup manusia tidak akan berbuah kecuali berada di dalam Kristus, karena di luar Kristus manusia tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:4-5). Sekalipun manusia secara kognitif mengetahui tuntutan Allah, mereka tidak mampu menaati itu, bahkan mereka justru menindas kebenaran itu (Rom 1:18, 32; 7:18-19). Manusia duniawi tidak mungkin menerima hal-hal rohani, karena baginya itu adalah kebodohan (1Kor 2:14). Mereka yang di luar Kristus berada dalam kondisi mati secara rohani (Ef 2:1; Kol 2:13) dan satu-satunya pertolongan bagi mereka adalah jika mereka dihidupkan bersama-sama Kristus (Ef 2:4-5; Kol 2:13) atau diciptakan kembali (Ef 2:10; band. 2Kor 5:17). Tanpa intervensi Allah, manusia tidak akan mampu memilih Allah (1Kor 12:3). Manusia baru dapat datang kepada Allah kalau ia ditarik oleh Bapa (Yoh 6:44), diberi karunia oleh Bapa (Yoh 6:65) atau dibuka hatinya oleh Tuhan (Kis 16:14).

Selain faktor internal dalam diri manusia kerusakan pervasif dan ketidakmampuan rohani faktor lain yang perlu diperhatikan adalah dominasi iblis atas orang-orang yang belum bertobat. Alkitab mengajarkan bahwa mereka yang berada di luar Kristus dikuasai oleh penguasa kerajaan angkasa (Ef 2:2; 6:12). Yesus menyebut orang Yahudi yang menolak Dia sebagai anak-anak iblis yang selalu menuruti keinginan bapa mereka (Yoh 8:44). Iblis adalah penguasa dunia ini atas orang-orang durhaka (Yoh 12:31).

Faktor internal dan internal inilah yang menjadikan manusia tidak mungkin mampu berpartisipasi dalam keselamatan. Semua proses keselamatan manusia dikerjakan oleh Roh Kudus. Baik kelahiran kembali maupun iman adalah pemberian Allah. Hal ini diajarkan dengan jelas di Efesus 2:8-9. Kata itu dalam dua ayat ini tidak merujuk pada iman maupun kasih karunia, karena kata itu dalam bahasa Yunani berjenis kelamin neuter (touto), sedangkan iman (pistis) maupun kasih karunia (charis) berjenis kelamin feminin. Bentuk neuter touto merujuk pada keseluruhan proses keselamatan dalam teks ini. Dengan kata lain, iman kepada Kristus pun adalah pemberian Allah.

Kesalahan umum tentang doktrin kerusakan total

Istilah kerusakan total dapat ditafsirkan dalam banyak cara, karena kata total memang sangat ambigu. Tidak heran, sebagian teolog Reformed mengusulkan beberapa istilah yang lain untuk doktrin ini, misalnya kerusakan pervasif (Hoekema, Manusia, 192) atau ketidakmampuan total (Boettner, The Reformed Doctrine, 61-82). Mengingat istilah ini sering disalahartikan, penjelasan via negativa (apa yang bukan dimaksud dengan kerusakan total) sangat dibutuhkan.

Manusia menjadi benar-benar rusak sampai serusak-rusaknya. Ini bukan kerusakan total (total depravity), tetapi kerusakan mutlak (absolute depravity).

Manusia tidak lagi memiliki hukum moral maupun hati nurani..

Manusia selalu jatuh ke dalam setiap kemungkinan dosa yang ada.

Manusia tidak dapat melakukan kebaikan yang berguan bagi orang lain.

Bagaimana hal di atas dapat dijelaskan? Pertama, semua kebaikan yang dilakukan manusia di luar Kristus adalah kebaikan relatif. Yesus mengakui bahwa orang berdosa dapat berbuat baik kepada orang lain, walaupun kasih itu terbatas pada orang lain yang berbuat baik kepada mereka (Mat 5:46-47; Luk 6:33). Seorang ayah dapat mengasihi anaknya meskipun tanpa kelahiran baru dari Roh Kudus (Mat 7:11//Luk 11:13). Orang-orang Farisi juga berbuat kebaikan (Mat 6:2, 5, 16).

Kebaikan di atas disebut relatif karena tidak diukur berdasarkan standar tertentu yang mutlak. Jika diukur dengan standar ilahi yang mutlak, kesalehan itu hanya seperti kain kotor (Yes 64:6). Katekismus Heidelberg Artikel 91 menjelaskan perbuatan-perbuatan baik sebagai hanya hal-hal yang dilakukan dari iman yang benar (Yoh 15:5; Rom 14:23; Ibr 11:6), sesuai dengan hukum Allah (Im 18:4; 1Sam 15:22; Ef 2:10) dan untuk kemuliaan-Nya (1Kor 10:31) dan tidak didasarkan pada opini atau pemahaman manusia (Ul 12:32; Yes 29:13; Yeh 20:18-19; Mat 15:7-9). Dari definisi ini terlihat dengan jelas adanya perbedaan antara kebaikan relatif (menurut pandangan manusia) dan kebaikan mutlak (menurut standar Allah). Kebaikan yang sesungguhnya hanya bisa terjadi jika didasarkan pada iman yang benar, sesuai dengan hukum Allah dan dilandasi motivasi untuk memuliakan Allah.

Kedua, Allah tetap memberikan anugerah umum kepada semua manusia. Allah menjaga mereka melalui hukum moral dan hati nurani (Rom 2:14-16). Allah juga memakai hukum dan pemerintah untuk meminimalisasi kejahatan dalam dunia (Rom 13:1-7). Dalam kasus-kasus tertentu Allah bahkan langsung intervensi dalam hati manusia, misalnya kebaikan Raja Koresh yang mengijinkan bangsa Yehuda pulang ke negeri mereka (2Taw 36:22).

Manfaat praktis dari doktrin kerusakan total

Doktrin kerusakan total tidak hanya berfungsi sebagai bahan perdebatan teologis semata. Doktrin ini bukan sekedar pemuasan rasa ingin tahu manusia. Sebaliknya, doktrin ini memiliki implikasi yang luas dan praktis bagi orang percaya. Berikut ini adalah beberapa manfaat praktis dari doktrin ini:

Memberikan jawaban yang paling masuk akal atas sumber berbagai kejahatan di dunia.

Mengingatkan kita betapa buruknya kita seandainya Tuhan dalam anugerah-Nya tidak berintervensi ke dalam hidup kita.

Kesadaran ini membuat kita semakin menyadari, memahami dan menghargai anugerah Allah.

Kesadaran ini juga menolong kita untuk tidak menjadi sombong rohani dan merasa diri lebih baik daripada orang lain.

Memberi citra diri yang sehat dan seimbang nilai diri kita bukan terletak pada apa yang kita miliki atau capai, tetapi apa yang Tuhan telah lakukan dalam hidup kita.

Memberi penghiburan dan melepaskan perasaan bersalah dalam diri kita apabila kita sudah berusaha memberitakan injil kepada orang-orang yang kita kasihi tetapi mereka masih tidak mau bertobat, bahkan jika mereka akhirnya binasa sekalipun.

Menghindarkan kita dari berbagai usaha filantropis semata-mata dalam penginjilan, karena teladan kebaikan saja tidak akan cukup untuk mempertobatkan orang. Kuasa injil (Rom 1:16-17) dan intervensi Roh Kuduslah (Yoh 16:8-11) yang dapat mempertobatkan orang.

Meyakinkan kita tentang kepastian keselamatan kalau ketika menjadi seteru Allah kita dikasihi begitu rupa, apalagi sekarang kita menjadi anak-anak-Nya (Rom 5:10).

Menyadarkan kita untuk terus bersandar pada Roh Kudus guna mengalahkan pengaruh natur manusiawi kita yang tercemar (Flp 3:13).

Mendorong kita untuk lebih serius mendidik anak-anak dalam kebenaran, karena anak-anak bukan seperti kertas putih (kontra teori tabularasa John Locke), tetapi kertas hitam.

Lima pokok Calvinisme : Sanggahan terhadap Total Depravity dan jawabannya

Doktrin kerusakan total didukung oleh argumen biblikal yang cukup kuat. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa doktrin ini diterima oleh semua orang. Sebagaimana dahulu pada abad ke-4 M bapa gereja Agustinus berdebat dengan Pelagius seputar topik kerusakan diri manusia, demikian pula sekarang doktrin ini tetap dipersoalkan oleh para teolog. Apa saja yang membuat mereka sulit menerima doktrin kerusakan total?

Peristiwa kejatuhan Adam ke dalam dosa bukanlah sebuah fakta historis

Beberapa teolog modern menolak doktrin kerusakan total dengan dasar bahwa peristiwa kejatuhan Adam ke dalam dosa (Kej 3) bukanlah sebuah peristiwa historis. Sanggahan seperti ini ternyata tidak hanya dipegang oleh para teolog liberal misalnya Karl Barth, Emil Brunner, Rudolph Bultmann tetapi juga oleh teolog Reformed, yaitu H. M. Kuitert, dosen di Free University of Amsterdam. Lebih jauh, pandangan seperti ini ternyata bukanlah hal yang baru. Baik Philo (penafsir Yahudi yang terkenal pada abad ke-1) maupun Origen (bapa gereja abad ke-3) dahulu sudah menolak historisitas Kejadian 3 dan menganggapnya hanya sebuah mitos.

Menurut mereka, kisah ini hanyalah sebuah gambaran atau metafora yang tidak sungguh-sungguh terjadi. Kisah ini hanyalah contoh atau gambaran tentang apa yang akan dialami semua orang, tetapi peristiwa kejatuhan itu sendiri tidak memiliki pengaruh negatif langsung bagi keberdosaan semua orang. Sebaliknya, kisah ini bermanfaat untuk mengajar manusia tentang universalitas dosa dan dengan demikian mereka disiapkan untuk memahami signifikansi penebusan Kristus. Pendeknya, kisah kejatuhan adalah sebuah fabel, legenda/mitos atau perumpamaan.

Implikasi dari pandangan seperti ini jelas sangat besar. Jika kejatuhan tersebut bukan peristiwa historis, maka doktrin dosa asal (kerusakan total) tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak ada kaitan apapun antara Adam dan semua manusia. Setiap manusia hanya berdosa di dalam dan bagi mereka sendiri. Yang ada ada adalah dosa aktual, bukan dosa asal.

Sanggahan di atas memiliki banyak kelemahan serius. Sebelum menyelidiki kelemahan dari sanggahan seperti ini, satu hal yang perlu dipahami adalah kesatuan cerita dalam Kejadian 1-3. Kejadian 3 tidak akan dapat dipahami tanpa mengetahui Kejadian 1-2 lebih dahulu, karena beberapa ide dalam kisah ini berasal dari kisah sebelumnya: ular adalah binatang darat yang diciptakan Allah (3:1; 1:24-25); godaan iblis melalui ular (3:1-5) berkaitan dengan perintah Allah sebelumnya (2:16-17); taman tempat manusia tinggal dan dicobai iblis adalah taman yang sama yang diciptakan Allah sebelumnya (2:8-14; 3:24). Berdasarkan kesatuan ini, jika satu kisah adalah mitos, maka kisah yang lain juga termasuk mitos. Demikian pula jika suatu kisah adalah peristiwa historis, maka kisah lain juga bersifat historis.

Sekarang mari kita menjawab sanggahan terhadap historisitas kisah kejatuhan. Pertama, cara penulisan Kejadian 1-3 menunjukkan bahwa kisah yang ada di dalamnya merupakan sebuah narasi historis (James Montgomery Boice, Genesis Vol. I, 123-124). Di Kejadian 2:8-14 penulis kitab Kejadian memberikan penjelasan geografis yang cukup detil tentang posisi Taman Eden. Dua sungai yang dicatat (Efrat dan Tigris) bahkan masih ada sampai sekarang. Seandainya Kejadian 1-3 bukan sebuah kisah historis, maka penjelasan seperti ini tidak diperlukan.

Kedua, cara pemaparan kisah di Kejadian 1-3 tidak memenuhi karakteristik sebagai sebuah fabel, legenda/mitos maupun perumpamaan (E. J. Young, In the Beginning, 80-87; Boice, Genesis Vol. I, 157-161). Sebuah fabel memaparkan dunia binatang yang semuanya bisa berbicara, namun Perjanjian Lama maupun kitab Kejadian mencatat kemampuan ular dalam berbicara merupakan sesuatu yang khusus (kisah lain tentang binatang yang dapat berbicara hanya dicatat di Bil 22:28-30). Kejadian 3 juga bukan sebuah legenda/mitos, karena tokoh yang ditampilkan (terutama Adam) muncul di kisah sebelum (Kej 1-2) maupun sesudahnya (Kej 4:1, 25; 5:1, 3, 4, 5). Jika Adam adalah tokoh mitos, bukankah itu berarti semua cerita yang melibatkan Adam hanyalah sebuah mitos? Lebih jauh, Adam dan Hawa ditampilkan sebagai nenek moyang banyak bangsa (Kej 5:1-32; 11:10-32). Jika Adam bukan tokoh historis, bagaimana dengan semua keturunannya? Berikutnya, Kejadian 1-3 juga tidak bisa dikategorikan sebagai perumpamaan, karena perumpamaan biasanya mencantumkan pelajaran rohani di awal atau akhir perumpamaan, sedangkan Kejadian 3 tidak diikuti oleh pelajaran semacam itu. Selain itu, perumpamaan biasanya tidak menceritakan tokoh tertentu yang spesifik, sedangkan Kejadian 3 menampilkan Adam dan Hawa (keduanya adalah tokoh riil, lihat pembahasan berikutnya).

Ketiga, Alkitab memberikan beberapa indikasi bahwa Adam adalah tokoh historis. Dalam daftar silsilah di 1Tawarikh 1-9 maupun Lukas 3:23-38, Adam menempati urutan pertama (1Taw 1:1; Luk 3:38). Dari cara penulisan seperti ini terlihat bahwa Adam tidak dihasilkan dari proses peranakan, melainkan penciptaan (Anthony Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, 147). Dia adalah manusia pertama yang darinya semua manusia di bmi berasal. Hal ini sesuai dengan Kejadian 1-2.

Keempat, Yesus juga pernah menggunakan Kejadian 1-2 sebagai dasar dari argumentasi ketika Ia berdebat dengan orang-orang Farisi seputar perceraian. Yesus melarang perceraian dengan dasar Allah telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan (Mat 19:4//Mar 10:6//Kej 1:27) dan mereka harus menjadi satu (Mat 19:5-6//Mar 10:7-8//Kej 2:24). Seandainya kisah penciptaan di Kejadian 1-2 hanyalah sebuah mitos, maka argumen Yesus tidak akan memiliki nilai sama sekali. Argumen Yesus akan menjadi kuat kalau Yesus sedang membicarakan dua manusia aktual (Hoekema, Manusia, 147).

Kelima, Paulus pernah memakai Kejadian 1-3 sebagai dasar argumentasinya ketika ia membahas tentang perempuan dan pengajaran. Dia melarang perempuan mengajar atau memiliki otoritas atas laki-laki karena Adam yang pertama dijadikan, bukan Hawa (1Tim 2:13//Kej 2:5-7, 21-22). Alasan lain adalah karena perempuan itulah yang tergoda (1Tim 2:14//Kej 3:6, 13). Inti dari penggunaan teks Perjanjian Lama di sini adalah kronologi. Jika Kejadian 1-3 bukan peristiwa historis, maka kronologi tidak akan memiliki makna apapun. Justru karena kisah penciptaan dan kejatuhan merupakan suatu peristiwa historis yang terjadi dalam waktu, maka kisah itu memiliki kronologi dan layak dijadikan sebagai argumen (Hoekema, Manusia, 147).

Keenam, Adam beberapa kali disejajarkan dengan Kristus dalam Perjanjian Baru. Secara khusus, perbandingan ini melibatkan keberdosaan Adam (Rom 5:12-21; 1Kor 15:21-22). Terlepas dari perdebatan seputar akibat kejatuhan Adam (lihat bagian selanjutnya), perbandingan tersebut tetap mengarah pada historisitas kisah itu. Jika Adam hanyalah tokoh mitos, maka Kristus juga dipahami sebagai tokoh mitos (Hoekema, Manusia, 148; Young, In the Beginning, 86). Karena Paulus sebelumnya memahami Kristus sebagai tokoh historis (Rom 5:5-8; 1Kor 15:1-11), maka perbandingan-Nya dengan Adam juga mengindikasikan bahwa Adam adalah tokoh historis, termasuk peristiwa kejatuhan yang dia alami.

Doktrin perjanjian kerja adalah konsep yang tidak Alkitabiah

Sanggahan lain terhadap kerusakan total didasarkan pada penolakan terhadap ide perjanjian. Sebagaimana kita ketahui, doktrin perjanjian (covenantal theology) baik perjanjian kerja di dalam Adam maupun perjanjian anugerah di dalam Kristus - merupakan salah satu ciri khas Teologi Reformed. Sejumlah besar teolog Reformed mengajarkan doktrin ini. Bagaimanapun, beberapa teolog Reformed ternyata menolak ide tentang perjanjian, misalnya G. C. Berkouwer, Herman Hoeksema, John Murray, Anthony Hoekema.

Mereka yang menolak istilah perjanjian kerja biasanya memberikan beberapa alasan (lihat Hoekema, Manusia, 154-157).

Istilah perjanjian kerja dapat mengaburkan konsep tentang anugerah. Jika Kejadian 2:16-17 adalah sebuah perjanjian kerja, maka seandainya Adam berhasil menaati perintah itu ia akan mendapat sesuatu yang baik sebagai upah bagi ketaatannya. Dengan demikian, ketaatan manusia hanya dipahami sebagai instrumen untuk memperoleh sesuatu yang menyenangkan manusia, padahal sebagai ciptaan manusia memang harus menaati Allah.

Alkitab tidak menyebut Kejadian 2:16-17 sebagai sebuah perjanjian. Hosea 6:7 yang sering dipakai untuk mendukung doktrin perjanjian kerja ternyata dapat ditafsirkan dalam banyak cara. Kata Ibrani ke adam dalam ayat ini bisa diterjemahkan seperti manusia (KJV/NKJV).

Kejadian 2:16-17 tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah perjanjian, karena tidak memiliki beberapa elemen penting perjanjian, misalnya pengesahan dengan sumpah (Kej 26:28; Ul 29:12, 14, 21; Yeh 16:59; 17:18); upacara tertentu; benda tertentu sebagai bukti; sanksi dan janji jika isi perjanjian dilanggar atau ditepati.

Kata perjanjian selalu dipakai dalam konteks penebusan, sedangkan Kejadian 2:16-17 diberikan sebelum kejatuhan ke dalam dosa.

Dari semua poin di atas terlihat bahwa argumen untuk menolak konsep maupun istilah perjanjian kerja tidak sepenuhnya meyakinkan.

Allah memang berhak menerima ketaatan ciptaan dan Dia tidak wajib memberi imbalan atas ketaatan tersebut, namun dalam beberapa kasus Allah sendiri menjanjikan imbalan apabila orang memegang perjanjian-Nya (Kel 34:10-11; Im 26:3-13; Ul 5:2, 10; 8:18; 29:9).

Terjemahan seperti manusia di Hosea 6:7 menjadikan ayat ini tampak tidak masuk akal. Hosea 6:7a akan menjadi tetapi seperti manusia mereka telah melanggar perjanjian. Bukankah mereka adalah manusia? Lalu apakah artinya seperti manusia? Lebih masuk akal jika kata adam di sini dipahami sebagai nama orang (Adam), bukan manusia.

Ide tentang perjanjian di dalam Alkitab tidak selalu harus mencakup semua elemen dari sebuah perjanjian kuno. Dalam beberapa kasus ide perjanjian muncul secara eksplisit, tetapi tanpa elemen sumpah atau upacara tertentu (Kej 17:1-14), tanpa syarat yang harus dilakukan maupun sanksi bila melanggar (Kej 9:9-17; 15:18-21).

Kata perjanjian dalam Alkitab tidak selalu dipakai antara Allah dan manusia dalam konteks penebusan. Perjanjian dapat dilakukan antar manusia (Kej 21:27; 26:28-29; 31:44). Alkitab bahkan mencatat perjanjian antara Allah dan semua makhluk (termasuk binatang), yaitu di Kejadian 9:10, 12, 15. Dari teks ini terlihat bahwa kata perjanjian tidak selalu dalam konteks penebusan.

Satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa sekalipun beberapa teolog Reformed menolak istilah perjanjian kerja, namun mereka tetap memegang teguh doktrin tentang universalitas dosa atas semua manusia akibat dari ketidaktaatan Adam (Hoeksema, Reformed, 223-226; Hoekema, Manusia, 157). Mereka tetap mengakui bahwa Adam adalah kepala dan perwakilan dari seluruh umat manusia. Yang dipersoalkan mereka sebenarnya hanyalah relasi antara Adam dan Allah, bukan Adam dan keturunannya. Jadi, terlepas dari isu apakah istilah perjanjian kerja tetap perlu dipertahankan atau tidak, hal itu tidak menyangkali fakta penerusan (pemerhitungan) dosa dari Adam kepada seluruh manusia.

Hal lain yang perlu kita tandaskan adalah konsep transmisi dosa bukan hanya didasarkan pada Kejadian 2:16-17. Kita masih memiliki teks lain yang sangat kuat mendukung gagasan tentang dosa asal, yaitu Roma 5:12-21 (band. 1Kor 15:21-22). Berikut ini adalah argumen yang dapat ditarik dari teks ini (Hoeksema, Reformed, 225):

Oleh satu orang maut telah menjalar kepada semua manusia, karena semua telah berdosa (ayat 12). Bagaimana bisa maut ditularkan kepada semua orang karena dosa satu orang, kecuali mereka semua telah berdosa secara legal di dalam diri satu orang itu dan dengan demikian direpresentasikan olehnya?

Maut berkuasa dari Adam sampai Musa dan atas semua yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama yang dilakukan oleh Adam (ayat 14). Jika pelanggaran Adam hanyalah gambaran dari pelanggaran semua orang, untuk apa dibedakan antara dosa Adam dan dosa manusia yang lain?

Pelanggaran satu orang menyebabkan maut bagi semua orang. Di sini terlihat adanya pembedaan antara suatu dosa yang dilakukan satu orang dan banyak orang. Jelas, satu orang di sini merujuk pada Adam dan dosa ini dibedakan dari dosa aktual yang dilakukan semua orang.

Ungkapan penghakiman dan hukuman (ayat 18) jelas menyiratkan ide legal (forensik).

Doktrin perjanjian kerja mengajarkan ketidakadilan

Selain perdebatan seputar istilah perjanjian kerja, sebagian orang menolak teologi perjanjian dengan alasan bahwa hal itu tidak adil. Mereka berpendapat bahwa kesalahan seseorang tidak boleh diperhitungkan kepada orang lain. Orang itu harus bertanggung-jawab sendiri terhadap apa yang dia lakukan. Jadi, kejatuhan Adam ke dalam dosa hanya memberikan pengaruh negatif bagi Adam.

Terhadap sanggahan ini kita dapat menjawab melalui beberapa cara. Alkitab memberi banyak contoh tentang dosa seseorang yang membawa akibat bagi orang lain, misalnya dosa Akhan menyebabkan bangsa Israel kalah dari bangsa Ai (Yos 7:1-4), dosa Daud membuat seluruh rakyatnya menderita (2Sam 24:10-15). Secara logis tidak ada suatu hukuman