konflik anggaran pemilihan umum kepala daerah fileseminar nasional fekon 2015 289 pendahuluan...

28
Seminar Nasional FEKON 2015 288 KONFLIK ANGGARAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH Gayatri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Denpasar ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengungkap konflik anggaran pemilihan umum kepala daerah. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipan dan dialog dengan partisipan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teori konflik Dahrendorf. Teori konflik Dahrendorf menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan oleh adanya tekanan kekuasaan dari golongan yang berkuasa kepada golongan yang tidak berkuasa. Kekuasaan adalah sumber langka. Konflik kekuasaan timbul untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan. Penelitian ini menemukan bahwa konflik tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah. Konflik pemilihan umum kepala daerah berada diseputar kekuasaan eksekutif, legislatif dan Komisi Pemilihan Umum. Salah satu sumber kekuasaan adalah anggaran. Organisasi yang mengalami konflik dapat menggunakan anggaran untuk mempertahankan kekuasaan. Konflik anggaran pemilihan umum kepala daerah terjadi pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap pertanggungjawaban anggaran. Konflik perencanaan anggaran diakhiri dengan kekuasaan tim anggaran untuk memotong honor penyelenggara. Konflik pelaksanaan anggaran ditunjukkan dengan kekuasaan petahana dan kekuasaan komisioner yang berlebihan. Dan konflik pertanggungjawaban anggaran diakhiri dengan kekuasaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengembalikan kelebihan penggunaan anggaran. Implikasi dalam penelitian ini adalah perubahan regulasi untuk menghindari konflik. Perubahan regulasi dilakukan atas sumber anggaran pemilihan umum kepala daerah dari APBD ke APBN dan perubahan kewenangan komisioner untuk mengganti pejabat struktural Komisi Pemilihan Umum. Kata kunci: kekuasaan, anggaran, dan konflik. ABSTRACT The purpose of the research is to reveal the conflict of regional election budgeting. The data were collected through observations and dialogues with participants. Data analysis was conducted using Dahrendorf’s conflict theory. Dahrendorf’s conflict theory perceives regularities in society as a result of authority from super - ordinates to sub-ordinates. Authority is a rare resource. The conflicts of authority emerge to maintain the legitimacy of authority. The research finds that conflicts cannot be separated from the regional elections. Conflicts linger in the executive, legislative, and regional election commission. Conflict occurs because the authority of the governor is restricted for five years. One of the main resources of authority is a budget. Organizations experiencing conflicts can use budget to maintain authority. The conflict occurs from the budget planning, budget implementation, and budget accountability. The conflict ended by the authority of super-ordinates to organize the sub-ordinates. The implications of this study are the changes in the regulation of budgetary resources of regional elections from local (APBD) to state expenditure budget (APBN) as well as the changes in the regulation of commissioners’ authority to replace the structural officials of the General Elections Commission. Keywords: authority, budget, and conflicts.

Upload: vodieu

Post on 18-Aug-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional FEKON 2015

288

KONFLIK ANGGARAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

Gayatri

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengungkap konflik anggaran pemilihan umum kepala daerah. Pengumpulan data

dilakukan melalui observasi partisipan dan dialog dengan partisipan. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan teori konflik Dahrendorf. Teori konflik Dahrendorf menilai keteraturan yang terdapat dalam

masyarakat disebabkan oleh adanya tekanan kekuasaan dari golongan yang berkuasa kepada golongan yang tidak

berkuasa. Kekuasaan adalah sumber langka. Konflik kekuasaan timbul untuk mempertahankan legitimasi

kekuasaan.

Penelitian ini menemukan bahwa konflik tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah.

Konflik pemilihan umum kepala daerah berada diseputar kekuasaan eksekutif, legislatif dan Komisi Pemilihan

Umum. Salah satu sumber kekuasaan adalah anggaran. Organisasi yang mengalami konflik dapat menggunakan

anggaran untuk mempertahankan kekuasaan. Konflik anggaran pemilihan umum kepala daerah terjadi pada

tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap pertanggungjawaban anggaran. Konflik perencanaan anggaran

diakhiri dengan kekuasaan tim anggaran untuk memotong honor penyelenggara. Konflik pelaksanaan anggaran

ditunjukkan dengan kekuasaan petahana dan kekuasaan komisioner yang berlebihan. Dan konflik

pertanggungjawaban anggaran diakhiri dengan kekuasaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengembalikan

kelebihan penggunaan anggaran.

Implikasi dalam penelitian ini adalah perubahan regulasi untuk menghindari konflik. Perubahan regulasi

dilakukan atas sumber anggaran pemilihan umum kepala daerah dari APBD ke APBN dan perubahan

kewenangan komisioner untuk mengganti pejabat struktural Komisi Pemilihan Umum.

Kata kunci: kekuasaan, anggaran, dan konflik.

ABSTRACT The purpose of the research is to reveal the conflict of regional election budgeting. The data were collected

through observations and dialogues with participants. Data analysis was conducted using Dahrendorf’s conflict

theory. Dahrendorf’s conflict theory perceives regularities in society as a result of authority from super-

ordinates to sub-ordinates. Authority is a rare resource. The conflicts of authority emerge to maintain the

legitimacy of authority.

The research finds that conflicts cannot be separated from the regional elections. Conflicts linger in the

executive, legislative, and regional election commission. Conflict occurs because the authority of the governor is

restricted for five years. One of the main resources of authority is a budget. Organizations experiencing conflicts

can use budget to maintain authority. The conflict occurs from the budget planning, budget implementation, and

budget accountability. The conflict ended by the authority of super-ordinates to organize the sub-ordinates.

The implications of this study are the changes in the regulation of budgetary resources of regional elections from

local (APBD) to state expenditure budget (APBN) as well as the changes in the regulation of commissioners’

authority to replace the structural officials of the General Elections Commission.

Keywords: authority, budget, and conflicts.

Seminar Nasional FEKON 2015

289

PENDAHULUAN

Kehadiran demokrasi dalam tatanan kekuasaan yang bermartabat tidak bisa dilepaskan

dari sejarah panjang pengelolaan kekuasaan yang terpusat dan sewenang-wenang.

Pengelolaam kekuasaan bisa bersumber dari keturunan, dominasi kekuatan militer maupun

oligarki politik lainnya. Suatu kebenaran menjadi milik penguasa, sehingga perbedaan

pendapat dianggap sebagai suatu tindakan kriminal atau subversi yang harus ditindak oleh

negara (Finer, 1962). Ketidakadilan politik di masa lalu semakin lama semakin dirasakan dan

menimbulkan berbagai gejolak di kalangan masyarakat yang merasa tidak puas dengan

pemerintahan orde baru (Sanderson, 2003). Ketidakadilan tersebut menyebabkan terjadinya

reformasi tahun 1998 (Rasyid, 1997). Reformasi menghasilkan Amandemen IV Undang-

Undang Dasar 1945, tentang pemilihan umum (pemilu) yang dilakukan secara langsung.

Demikian pula diadakan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) provinsi dan

kabupaten/kota. Pemilukada didukung oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

(Republik Indonesia, 2004). Pemilukada merupakan tradisi baru dalam sistem berdemokrasi.

Dikatakan baru karena mulai bulan Juni 2005 Bangsa Indonesia mulai melakukan sistem

rekrutmen pimpinan eksekutif di daerah secara langsung (Rasyid, 1997). Pemilukada akan

menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas dan memiliki akseptabilitas

politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat (Suparman, 2010).

Jabatan kepala daerah memiliki daya tarik yang hebat. Pelaksanaan pemilukada akan

membuka kesempatan bagi siapapun untuk menjadi calon kepala daerah. Adu kekuatan untuk

merebut kekuasaan terjadi. Adu kekuatan ini melibatkan pemain lokal dan pemain nasional.

Ibaratnya “power is a net and a fish”. Kekuasaan adalah jala sekaligus ikannya. Maksudnya

adalah barang siapa yang memiliki kekuasaan, dengan mudah memperoleh segalanya

Seminar Nasional FEKON 2015

290

termasuk kekayaan, kehormatan, kesenangan, kenikmatan, dan fasilitas-fasilitas yang

memungkinkan kemudahan (Kemendagri, 2010).

Perebutan kekuasaan melalui pemilukada menimbulkan kelas baru yaitu kelas

menengah. Kelas merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama

dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Marx membagi kelas menjadi dua

yaitu kelas borjuis dan kelas proletar (Robinson dan Kelley, 1979; Rummel, 1977). Untuk

memperbesar proses produksi, kelas borjuis menggunakan mesin-mesin baru (Rummel,

1977). Akibatnya terjadi dekomposisi modal dan dekomposisi tenaga kerja (Beteille, 1970).

Dekomposisi modal menyebabkan terjadinya pemisahan antara pemilik modal dan

pengendalian alat produksi. Mulai terjadi korporasi dimana saham dapat dimiliki oleh orang

banyak. Tenaga kerja juga mengalami perubahan. Buruh tidak lagi homogen. Buruh terbagi

menjadi kelompok buruh terampil yaitu kelompok profesional yang berada di jenjang atas dan

kelompok buruh biasa tetap berada di bawah. Kelompok profesional ini akan membentuk

kelas baru yaitu kelas menengah (Poloma, 1994).

Dahrendorf (1959) menggantikan konsep kelas menurut Marx dengan kelompok

kepentingan yang nyata dan semu. Kelompok ini saling bertarung untuk memperjuangkan

kepentingannya. Kelompok kepentingan mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan

serta anggota yang jelas. Pertarungan antara kelompok kepentingan melahirkan kekuasaan dan

wewenang dari kelompok yang memenangkan pertarungan (Poloma, 1994). Menurut

Dahrendorf (1959), masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan saling

memenuhi. Masyarakat juga memperlihatkan adanya konflik dan perubahan. Perubahan

masyarakat dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial individu dan kelompok yang menjadi

bagian dari masyarakat (Susan, 2010). Perubahan sosial terjadi baik pada nilai dan

strukturnya. (Wallace dan Wolf, 1995). Suasana konflik terjadi karena keterbatasan sumber

Seminar Nasional FEKON 2015

291

daya. Pada saat konflik individu cenderung mementingkan diri sendiri dibandingkan

melakukan konsensus untuk kepentingan kelompok. Sifat ini menyebabkan terjadinya

diferensiasi kekuasaan. Diferensiasi kekuasaan menimbulkan sekelompok orang menindas

kelompok lainnya (Lockwood, 1956).

Konflik terjadi karena menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan

yang saling berhadapan (Dahrendorf, 1959). Konflik hanya muncul melalui relasi sosial dalam

sistem. Relasi sosial ditentukan oleh kekuasaan (authority). Hubungan kekuasaan ini ditandai

dengan beberapa kelompok mempunyai peran untuk memaksakan (super-ordinate) kepada

kelompok lainnya (sub-ordinate). Setiap individu atau kelompok yang tidak berhubungan

dengan sistem, maka tidak akan terlibat dalam konflik. Kekuasaan memungkinkan mereka

untuk memerintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Esensi kekuasaan yang

dimaksud adalah adanya kekuasaan kontrol dan sangsi. Kelompok yang berkuasa (super-

ordinate) diharapkan dapat mengontrol perilaku kelompok yang tidak berkuasa (sub-ordinate)

melalui permintaan, perintah, peringatan dan larangan. Kekuasaan (authority) menjadi

hubungan yang terlegitimasi, tanpa protes dengan perintah otoritatif dan dapat diberi sangsi.

Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain maka kekuasaan dalam hubungan

kelompok terkoordinasi akan memeliharanya menjadi legitimate (Turner, 1991). Kekuasaan

adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing. Kekuasaan adalah

“lasting source of friction” (Wallace dan Wolf, 1995). Kesadaran kelompok sub-ordinate dari

ketertindasan menumbuhkan perjuangan untuk lepas dari ketertindasan. Pada saat inilah

terjadi pembentukan kelompok terorganisasi yang siap melakukan gerakan perlawanan

terhadap posisi dominan kelompok organisasi lainnya (Dahrendorf, 1959)

Konflik dalam kenyataannya lebih mudah di amati di bidang politik (Rauf, 2001).

Konflik politik berhubungan dengan pergantian kekuasaan. Pergantian kekuasaan di daerah

Seminar Nasional FEKON 2015

292

dilakukan melalui pemilukada (Gaffar, 1999). Pemilukada diharapkan akan menghasilkan

kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, memiliki akseptabilitas politik tinggi dan

derajat legitimasi yang kuat (Suparman, 2010). Tetapi pelaksanaan pemilukada di Indonesia

tidak bisa dipisahkan dari konflik. Sumber konflik adalah kedekatan calon kepala daerah,

karena calon merupakan tokoh-tokoh yang ada di daerah tersebut (Harris, 2005). Disamping

itu konflik terjadi karena keterbatasan sumber daya yaitu kekuasaan dan anggaran. Kekuasaan

kepala daerah dibatasi selama lima tahun (Firmanzah, 2008).

Salah satu sumber konflik dalam pemilukada adalah anggaran. Anggaran pemilukada

sangat besar, kadangkala harus dicadangkan beberapa tahun sebelumnya. Anggaran

pemilukada juga merupakan perjuangan untuk merebut kekuasaan (Wildavsky, 2004).

Anggaran merupakan substansi dan sekaligus dampak dari proses tawar menawar politik yang

berguna untuk melegitimasikan dan mempertahankan sistem kekuasaan dan kendali dalam

organisasi (Covaleski dan Dirsmith, 1986).

Proses penyusunan kebijakan anggaran dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di

lingkungan politik. Pihak yang berkepentingan atas anggaran adalah peserta pemilu yang

diwakili oleh partai politik, masyarakat dan birokrat (Brown dan Jackson, 1986). Birokrat

merupakan pemain kunci dalam proses penganggaran (Shafer et al., 2001). Kebijakan

anggaran merupakan keputusan tentang kekuasaan, siapa yang memegangnya, siapa yang

diuntungkan, dan siapa yang tidak diuntungkan (Covalesky dan Dirsmith, 1986). Organisasi

yang mengalami konflik di dalam bisa menggunakan anggaran untuk membentuk dan

mempertahankan hubungan kekuasaan (Wildavsky, 2004).

Penyusunan anggaran pemilukada didasarkan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 57 Tahun 2009 (Republik Indonesia, 2009). Penyusunan anggaran pemilukada dimulai

dengan pengajuan Rencana Kebutuhan Biaya (RKB) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Seminar Nasional FEKON 2015

293

provinsi/kabupaten/kota kepada pemerintah daerah (Pemda). Pemda akan membentuk tim

anggaran yang terdiri dari unsur Bappeda, Biro Keuangan, Biro Hukum, Biro Tata

Pemerintahan, Badan Kesbangpolinmasda. Tim anggaran bersama-sama dengan KPU akan

membahas RKB tersebut berkali-kali. Pembahasan juga dilakukan dengan legislatif yaitu

DPRD. Pada saat pembahasan inilah terjadi konflik kepentingan antara KPU

provinsi/kabupaten/kota, tim anggaran bentukan Pemda, serta DPRD provinsi/kabupaten/kota.

KPU berkepentingan agar semua anggaran pemilukada disetujui, tim anggaran lebih fokus

pada efisiensi dan efektivitas anggaran, dan DPRD berkepentingan agar calon yang diwakili

oleh partai politik memenangkan pemilukada. Konflik menjadi bertambah berat jika calon

petahana sebagai penguasa ikut maju dalam pemilukada.

Konflik anggaran pemilukada terjadi di Kabupaten Jembrana Bali Tahun 2010.

Konflik ini terjadi karena Pemda belum menyetujui anggaran pemilukada yang diajukan oleh

KPU Kabupaten Jembrana Bali. Pada saat itu Bupati Jembrana sedang mengajukan judicial

review ke Mahkamah Konstitusi untuk bisa menggunakan e-voting saat pemungutan suara.

Alasan lainnya adalah anak Bupati Jembrana akan maju sebagai calon kepala daerah. Belum

adanya anggaran pemilukada menyebabkan KPU Kabupaten Jembrana Bali mengundurkan

jadwal tahapan penyelenggaraan pemilukada. Akibatnya Kementerian Dalam Negeri melalui

surat edaran menyatakan bahwa KPU Kabupaten Jembrana Bali tidak sesuai dengan ketentuan

pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 70 ayat 1 Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah. Pemungutan suara diselenggarakan paling lambat satu bulan sebelum

masa jabatan kepala daerah berakhir (KPU Jembrana, 2010).

Konflik anggaran pemilukada juga terjadi di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan.

Konflik terjadi antar KPU Kabupaten Takalar dengan Pemda karena tidak tersedianya

Seminar Nasional FEKON 2015

294

anggaran pemilukada. Disamping itu anak Bupati Takalar akan maju dalam pemilukada.

Konflik anggaran pemilukada ini menyebabkan tahapan penyelenggaraan pemilukada harus

diundur oleh KPU Kabupaten Takalar dari bulan Juni 2012 menjadi bulan Oktober 2012.

Konflik anggaran pemilukada juga terjadi di internal organisasi KPU Provinsi Bali

dimulai tahun 2012. Konflik terjadi karena kekuasaan komisioner yang berlebihan untuk

mengganti sekretaris dan kepala bagian keuangan pada saat tahapan pemilukada sedang

berlangsung. Kedua pejabat tersebut memegang peranan yang sangat penting dalam

pengelolaan anggaran pemilukada. Sekretaris KPU Provinsi Bali menjabat sebagai Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA). Pergantian kedua pejabat ini tidak sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu (Republik Indonesia, 2011).

Akibatnya konflik internal tersebut maka organisasi KPU Provinsi Bali menjadi terganggu.

Selain itu juga terjadi konflik ekternal pada Pemilukada Provinsi Bali. Konflik terjadi

karena kedua calon petahana maju sebagai calon kepala daerah. Pada pemilukada 2008 kedua

calon petahana ini berpasangan dan didukung oleh partai terbesar di Bali yaitu PDI

Perjuangan. Pada pemilukada 2013 kedua calon petahana didukung oleh partai yang berbeda.

Kepala daerah didukung oleh koalisi delapan partai politik sedangkan wakil kepala daerah

didukung oleh PDI Perjuangan. Konflik terjadi saat pencetakan surat suara sampai dengan

rekapitulasi penghitungan suara diantara kedua calon petahana dengan penyelenggara

pemilukada. Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam

kelompok-kelompok terkoordinasi akan memeliharanya menjadi legitimate (Turner, 1991).

Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

bagaimana konflik anggaran pemilihan umum kepala daerah Provinsi Bali. Tujuan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengungkap konflik anggaran pemilihan umum

kepala daerah Provinsi Bali.

Seminar Nasional FEKON 2015

295

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena sosial

menurut apa yang dipikirkan, diyakini, dan dimengerti oleh peneliti (Hughes, 1990).

Penelitian ini dirancang untuk mengungkap fenomena aktual mengenai kekuasaan (authority)

dari proses anggaran pemilukada. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori kritis (Chua,

1986; Burrel dan Morgan, 1979), karena teori kritis mendiskusikan tentang ketersilauan atau

selubung yang membutakan manusia terhadap kenyataan sebenarnya yang perlu disobek (Carr

dan Brower, 2000). Komitmen yang tinggi diberikan oleh teori kritis terhadap tata kehidupan

sosial yang lebih adil (Muhadjir, 2000). Dengan tujuan untuk menghilangkan berbagai bentuk

dominasi dan mendorong kebebasan demi tercapainya keadilan dan persamaan.

Informan dalam penelitian ini adalah anggota dari kelompok yang diteliti yang akan

mengantarkan peneliti ke jantung persoalan yang ingin diketahui dan diselidiki (Salim, 2006).

Tehnik penentuan key informan menggunakan metode purposive, artinya pemilihan informan

didasarkan pada pertimbangan bahwa yang bersangkutan memiliki cukup informasi, memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan berkaitan dengan anggaran pemilukada

(Sugiyono, 2003). Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah ketua, komisioner, dan

sekretaris KPU Provinsi Bali, Gubernur Provinsi Bali dan Badan Pemeriksa Keuangan

Provinsi Bali.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah penyelenggaraan pemilukada Provinsi Bali.

Tempat penelitian dilaksanakan di Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali. Tahun anggaran

yang diteliti dalam penelitian ini adalah “tahun anggaran 2012 dan 2013”. Tahun anggaran

2012 dipilih karena tahap pelaksanaan pemilukada sudah dimulai sejak 1 November 2012

(KPU Bali, 2012). Provinsi Bali dipilih karena terdapat kedekatan emosional yang sudah ada

Seminar Nasional FEKON 2015

296

sejak dahulu dengan salah satu partai terbesar di Indonesia yaitu PDI Perjuangan. Disamping

itu Bali juga merupakan basis fanatik PDI Perjuangan. Keunikan lain yang ditunjukkan dalam

pemilukada adalah kedua calon petahana maju dalam pemilukada. Kedua calon petahana

didukung oleh partai politik yang berbeda.

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipan untuk mendapatkan data

penelitian melalui pengamatan dan penginderaan dimana peneliti (observer) benar-benar

berada dalam keseharian pelaku yang diteliti atau informan (Bungin, 2007). Dialog dengan

partisipan (Gadamer, 1976) juga dilakukan melalui pertanyaan terbuka (open ended) tentang

fakta-fakta dari suatu peristiwa yang terjadi. Juga dilakukan studi dokumentasi dengan cara

menyelidiki data yang didapat dari dokumen, catatan, file, dan hal-hal lain yang sudah

didokumentasikan seperti laporan kegiatan pemilukada, berita pemilukada di media massa,

undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan pemilukada.

Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori konflik Dahrendorf (1959).

Penelitian ini mencoba merespon realitas sosial yang sedang berlangsung dalam proses

penganggaran pemilukada yaitu: kekuasaan, perlawanan dan dominasi (Cresswell, 2007) dari

kelompok yang berkuasa (super-ordinate) dan kelompok yang dikuasai (sub-ordinate)

(Dahrendorf, 1959).

HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN

Perencanaan anggaran pemilukada dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi

Bali. Perencanaan anggaran pemilukada sudah dimulai sejak tahun 2009, karena anggaran

daerah tidak mampu membiayai pemilukada sekaligus sehingga harus dicadangkan dalam

APBD selama 3 tahun. KPU Provinsi Bali harus membuat perencanaan anggaran berdasarkan

Seminar Nasional FEKON 2015

297

pemilukada sebelumnya tahun 2008 dan memperhatikan kenaikan harga serta kenaikan

jumlah pemilih. Perencanaan anggaran pemilukada menggunakan regulasi Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2009 tetang Hibah Daerah. Pemerintah daerah harus

membentuk tim anggaran. Anggaran pemilukada juga dibahas di legislatif yaitu DPRD yang

dalam hal ini diwakili oleh komisi anggaran. KPU Provinsi Bali, tim anggaran dan DPRD

bersama-sama membahas perencanaan anggaran pemilukada.

Pemilukada tidak bisa dipisahkan dari konflik. Salah satu sumber konflik adalah

anggaran. Konflik perencanaan anggaran terjadi atas kenaikan anggaran pemilukada dari

tahun 2008 sebesar Rp 43 miliar menjadi Rp 132 miliar di tahun 2013. Konflik perencanaan

terjadi atas honor penyelenggara karena menyedot hampir 44% dari total anggaran. KPU

Provinsi Bali (sub-ordinate) tetap mempertahankan agar honor penyelenggara di tingkat desa

(PPS) dan di Tempat Pemungutan Suara (KPPS) agar tidak diturunkan. Tujuannya untuk

mempermudah mencari penyelenggara yang memenuhi syarat. Konflik diakhiri oleh

kekuasaan tim anggaran (super-ordinate) dengan menurunkan honor komisioner tingkat

provinsi dan menaikkan honor komisioner tingkat kabupaten/kota. Sedangkan honor di

tingkat PPS dan KPPS tidak berubah.

Konflik honor juga timbul di internal KPU antara sekretariat provinsi dengan

sekretariat KPU kabupaten/kota. Kesembilan sekretaris KPU kabupaten/kota menyatakan

bahwa perencanaan honor kurang proporsional. Karena beban pekerjaan terberat ada di

kabupaten/kota. Kabupaten/kota harus melakukan koordinasi sampai ke tingkat TPS. Wajar

jika honor kabupaten/kota dinaikkan. Konflik honor diakhiri dengan kekuasaan sekretaris

provinsi (super-ordinate) untuk menurunkan honor sekretariat provinsi dan menaikkan honor

sekretariat kabupaten/kota (sub-ordinate).

Seminar Nasional FEKON 2015

298

Konflik perencanaan juga terjadi atas pembentukan Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Sembilan KPU kabupaten/kota tidak mau merubah usulan TPS, karena mau menggunakan

semua petuga yang sudah bekerja untuk pemilu sejak tahun 2004. Sesuai dengan regulasi,

jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak 600 pemilih. Usulan yang diajukan sembilan KPU

kabupaten/kota masih memungkinkan untuk penggabungan pemilih kecuali untuk daerah

yang mengalami konflik atau secara geografis sangat jauh. Konflik diakhiri oleh kekuasaan

KPU Provinsi (super-ordinate) dengan menurunkan TPS yang ada di sembilan KPU

kabupaten/kota (sub-ordinate) demi efisiensi anggaran.

Konflik internal pelaksanaan anggaran pemilukada dimulai pada saat pembentukan tim

survei untuk mencari Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Tim survei hanya melibatkan

komisioner divisi keuangan dan logistik. Komisioner ini bertugas sebagai ketua kelompok

kerja logistik dan sudah memiliki sertifikat ahli pengadaan barang/jasa pemerintah.

Sedangkan empat komisioner lainnya bukan ahli dalam bidang keuangan dan tidak memiliki

sertifikat keahlian. Tim survei HPS bertugas melakukan survei harga logistik pemilukada.

Survei HPS sangat penting dilakukan. Kesalahan dalam penyusunan HPS akan berakibat fatal

pada anggaran pemilukada. Tugas penyusunan HPS ada pada pejabat pembuat komitmen

yaitu sekretaris KPU Provinsi Bali (super-ordinate). Konflik terjadi karena semua komisioner

(sub-ordinate) ingin dilibatkan dalam tim survei. Konflik diakhiri dengan kekuasaan

sekretaris KPU Provinsi Bali (super-ordinate) melalui surat keputusan dan hanya melibatkan

komisioner divisi keuangan dan ligistik serta PNS di lingkungan KPU Provinsi Bali (sub-

ordinate).

Konflik tim survei HPS berimbas atas pengadaan buku panduan pemilukada. Menurut

pagu anggaran pengadaan buku panduan pemilukada harus dilakukan melalui pelelangan

sederhana. Komisioner divisi sosialisasi (super-ordinate) meminta pengadaan buku panduan

Seminar Nasional FEKON 2015

299

dilakukan secepatnya karena tahapan pemutakhiran data pemilih akan segera dilakukan. Jika

lelang sederhana dilakukan maka diperlukan waktu 28 hari kerja sampai diperoleh pemenang

lelang. Alternatif lain atas pengadaan buku panduan adalah melalui pengadaan langsung.

Untuk itu sekretaris KPU Provinsi Bali (sub-ordinate) sekaligus sebagai Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) meminta perintah pleno komisioner KPU provinsi. Komisioner divisi

keuangan dan logistik menolak pleno, karena kewenangan pengadaan barang/jasa pemerintah

menurut regulasi terletak di sekretaris KPU Provinsi Bali. Komisioner divisi sosialisasi

menjadi emosional dan menyatakan sekretaris KPU Provinsi Bali tidak bisa memfasilitasi

kebijakan komisioner. Komisioner divisi sosialisasi juga menolak penyedia barang yang

ditunjuk sekretaris karena dianggap tidak bisa bekerja secara maksimal. Akhirnya konflik

pengadaan buku panduan pemilukada diakhiri dengan kekuasaan sekretaris KPU Provinsi Bali

(sub-ordinate) untuk melakukan pengadaan langsung dengan resiko ditanggung oleh

sekretaris.

Kemudian secara diam-diam empat orang komisioner melakukan rapat tertutup tanpa

melibatkan komisioner divisi keuangan dan logistik dan sekretaris KPU Provinsi. Rapat

tersebut menghasilkan keputusan dan dituangkan dalam surat Nomor: 388/KPU.Prov-

016/XII/2012 tertanggal 4 Desember 2012 tentang penyegaran pejabat sekretaris eselon IIa

serta kepala bagian keuangan eselon III. Ketua KPU Provinsi Bali melanjutkan surat tersebut

kepada Gubernur Provinsi Bali. Surat pergantian ini menyebabkan terjadinya ketegangan

hubungan antara sekretaris dengan empat orang komisioner. Surat pergantian tersebut tidak

memberikan alasan kenapa harus dilakukan pergantian secara mendadak. Sesuai regulasi pasal

58 ayat (3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2011, komisioner hanya mempunyai kewenangan

untuk mengusulkan pergantian sekretaris KPU provinsi dan terlebih dahulu berkoordinasi

dengan pemerintah daerah. Kewenangan untuk mengatur PNS dibawahnya bukan merupakan

Seminar Nasional FEKON 2015

300

kewenangan komisiner. Pergantian kepala bagian keuangan tidak sesuai dengan regulasi.

Kewenangan pergantian kepala bagian keuangan terletak di sekretaris KPU selaku atasan

langsung PNS. Komisioner divisi keuangan dan logistik sengaja tidak dilibatkan karena sudah

pasti tidak menyetujui pergantian.

Konflik internal meningkat karena empat orang komisioner sudah mempunyai calon

internal sebagai pengganti sekretaris KPU Provinsi Bali. Calon internal tersebut menjadi

orang kepercayaan dari empat komisioner. Adanya calon internal ini menyebabkan sekretariat

KPU Provinsi Bali terpecah menjadi dua yaitu berpihak kepada calon internal atau berpihak

kepada sekretaris KPU Provinsi Bali selaku atasan langsung. Mulai terjadi ketidaknyamanan

dalam bekerja karena rasa saling mencurigai antar pegawai dan saling melapor, kerjasama tim

menjadi terganggu.

Konflik bertambah berat karena mulai diketahui oleh media massa. Media massa

(super-ordinate) mulai menulis dalam headline. Konflik semakin memanas dengan “perang

pernyataan” di media massa oleh sekretaris dan lima orang komisioner. Polemik dimulai

tanggal 22 Desember 2012 berjudul “KPUD Bali Ngotot Ganti Sekretaris”; “Pelengseran

Sekretaris KPU Bali, Komisi I minta ditunda”; “BKD Tunggu Disposisi Gubernur, Kisruh

Pelengseran Sekretaris KPU Bali”; “Usulan Pergantian Sekretaris KPU Bali Digantung”;

“Satu Komisioner Ngaku Tak Dilibatkan”; “Internal KPU Bali Pecah”; ”Jelang Pilgub Bali,

KPU Provinsi Bali Bergolak. Komisioner Minta Dua Pejabat Dicopot”; “Panwaslu Sayangkan

Konflik Komisioner dan Sekretaris KPU Provinsi Bali”.

Konflik internal berlanjut ke Gubernur Provinsi Bali. Komisioner divisi keuangan dan

logistik (sub-ordinate) serta sekretaris KPU Provinsi Bali (sub-ordinate) menghadap

Gubernur Provinsi Bali (super-ordinate) tanggal 23 Desember 2012. Komisioner ini

Seminar Nasional FEKON 2015

301

menyerahkan surat pernyataan kepada Gubernur Provinsi Bali. Dalam dialog tersebut

komisioner divisi keuangan dan logistik menyatakan:

”…sekretaris KPU Provinsi Bali mempunyai peranan yang sangat penting untuk

mendukung suksesnya Pemilukada Provinsi Bali. Anggaran hibah Rp 132 miliar harus

dipertanggungjawabkan dengan benar dan akurat. Pergantian sekretaris KPU Provinsi

Bali merupakan kebijakan strategis, sehingga harus dilakukan melalui rapat pleno.

Pergantian sekretaris karena alasan pensiun tidaklah tepat saat ini. Sekretaris KPU

Provinsi Bali sudah menyatakan kesanggupannya diatas meterai untuk menjadi

pegawai KPU RI sejak tahun 2011 hanya masih dalam proses…”.

Sekretaris KPU Provinsi Bali merupakan pejabat struktural eselon IIa dengan batas

usia pensiun 60 tahun sedangkan pada saat itu usia sekretaris baru 55 tahun. KPU Provinsi

Bali sejak didirikan tahun 2003 sudah mengalami tiga kali pergantian sekretaris. Pergantian

sekretaris ini dilakukan karena terjadi konflik internal. Pergantian sekretaris KPU tidak pernah

memecahkan konflik secara permanen. Pada saat tahapan pemilukada sudah dimulai maka

tidaklah tepat untuk mengganti sekretaris KPU Provinsi Bali. Sekretaris baru tidak

mempunyai waktu lagi untuk belajar karena aktivitas penyelenggaraan pemilukada berbeda

dengan aktivitas rutin SKPD pada umumnya.

Dalam dialog tersebut, Sekretaris KPU Provinsi Bali menyatakan:

”…konflik internal KPU Provinsi Bali disebabkan oleh faktor emosional sesaat.

Gubernur Provinsi Bali selaku pembina PNS di lingkungan Pemda berwenang

melakukan mutasi PNS. Sekretaris KPU Provinsi Bali akan menerima segala

keputusan Gubernur Provinsi Bali. Sekretaris KPU Provinsi Bali bersedia dipindahkan

secepatnya di instansi manapun dalam lingkungan Pemda Provinsi Bali”.

Gubernur Provinsi Bali dalam dialog tersebut menyatakan:

“…kinerja sekretaris KPU Provinsi Bali sampai saat ini sangat baik, siapa tidak kenal

bapak sekretaris? Mari kita tunggu hasil kajian BKD”.

Empat orang komisioner (super-ordinate) dan calon internal sekretaris membawa surat

pergantian nomor 388/KPU.Prov-016/XII/2012 beserta dokumen kepegawaian tentang mutasi

PNS di lingkungan sekretariat KPU provinsi/kabupaten/kota Ke KPU RI Jakarta. Kelima

Seminar Nasional FEKON 2015

302

orang tersebut berusaha mempengaruhi KPU RI agar usulan pergantian sekretaris segera

ditindaklanjuti. Sekretaris Jenderal KPU RI (super-ordinate) akhirnya menurunkan tim

klarifikasi melalui surat Nomor 279/SJ/III/2013 tertanggal 1 Maret 2013. Tim klarifikasi

bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal KPU RI. Akhirnya Sekretaris Jenderal KPU RI

mengeluarkan dua surat keputusan; pertama, Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan

Umum Nomor 279/Kpts/setjen/Tahun 2013 menetapkan terhitung mulai tanggal 1 Maret 2013

sekretaris KPU Provinsi Bali ditetapkan sebagai PNS Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan

Umum; kedua, Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Nomor

280/Kpts/Setjen/Tahun 2013 menetapkan sekretaris KPU Provinsi Bali diperpanjang batas

usia pensiun sampai dengan 31 Oktober 2013 dalam jabatan sekretaris KPU Bali.

Konflik anggaran pemilukada menjadi semakin kacau dengan kewenangan penuh

komisioner divisi sosialisasi (super-ordinate) untuk mengatur anggaran sosialisasi.

Komisioner ini mulai menunjuk langsung penyedia barang/jasa pemerintah dengan

mengabaikan kewenangan sekretaris KPU Provinsi (sub-ordinate). Negosiasi teknis dan

negosiasi harga tidak bisa dilakukan oleh pejabat pengadaan. Penunjukan langsung penyedia

jasa tidak sesuai dengan prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu Perpres 70 tahun

2012. Pagu anggaran juga dibuka oleh komisioner ini kepada penyedia barang/jasa

pemerintah. Setelah pekerjaan dilaksanakan, komisioner ini memerintahkan sekretaris KPU

Provinsi untuk melakukan pembayaran secepatnya. Sekretaris KPU Provinsi Bali belum bisa

melakukan pembayaran sebelum semua syarat administrasi terpenuhi. Keterlambatan

pembayaran ini menyebabkan sekretaris KPU Provinsi menerima tekanan yaitu akan

memberitakan di media massa ketidakmampuan membayar tepat pada waktunya. Akhirnya

konflik diakhiri oleh Sekretaris KPU Provinsi dengan mempercepat pemenuhan syarat

administrasi.

Seminar Nasional FEKON 2015

303

Puncak konflik internal terjadi atas desain surat suara. Kelompok Kerja logistik (sub-

ordinate) dalam rapat koordinasi internal sudah menjelaskan bahwa desain surat suara

mengalami tiga kali perubahan yang dilakukan oleh tim kampanye (super-ordinate) pasangan

calon. Tim kampanye yang berhak menyetujui desain surat suara adalah ketua atau sekretaris

tim kampanye. Desain surat suara diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum.

Semenjak tahun 2005, tidak ada Peraturan KPU yang berisi gambar surat suara pemilukada

yang dikeluarkan oleh KPU RI. Persetujuan desain surat suara diatas meterai Rp 6.000 sudah

diterima dari kedua tim kampanye tanggal 11 April 2013. Paket “PAS” ditandatangani oleh

ketua tim kampanye, sedangkan paket “PASTI-KERTA ditandatangani oleh sekretaris tim

kampanye. Berdasarkan persetujuan tersebut, proses produksi mulai dilaksanakan sejak

tanggal 15 April 2013. Karena terbatasnya waktu, pemenang lelang hanya mempunyai waktu

satu minggu untuk melakukan proses produksi dan satu minggu untuk distribusi surat suara

langsung ke KPU kabupaten/kota. Kemudian KPU kabupaten/kota akan melakukan proses

sortir, pelipatan dan memasukkannya ke dalam kotak suara. Permasalahan mulai timbul sejak

tanggal 20 April 2013 dimana paket “PASTI-KERTA” menganggap desain surat suara

menyalahi peraturan KPU karena berisi logo partai di antara foto paket “PAS”.

Panwaslu Provinsi Bali (super-ordinate) yang hadir di perusahaan percetakan

menganggap keberadaan logo partai paket “PAS” bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor

66 tahun 2009 pasal 6 ayat 2 yaitu “surat suara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk

memuat atau berisi nomor, foto dan nama pasangan calon”. Panwaslu Provinsi Bali

menyatakan kata “dan” menjelaskan bahwa surat suara hanya berisi tiga hal yaitu nomor,

foto, dan nama. Panwaslu Provinsi Bali pada saat itu memerintahkan perusahaan percetakan

(sub-ordinate) untuk menghentikan proses produksi. Tim logistik tetap pada ketentuan dan

kesepakatan yang telah dilakukan tanggal 11 April 2013 oleh kedua tim kampanye. Tim

Seminar Nasional FEKON 2015

304

logistik berpatokan pada persetujuan diatas meterai yang sudah dilakukan oleh kedua calon

tersebut serta terbatasnya waktu penyediaan logistik sampai ke TPS. Proses produksi surat

suara tetap dilanjutkan karena Panwaslu Provinsi Bali tidak mempunyai kewenangan untuk

menghentikan proses produksi.

Panwaslu Provinsi Bali (super-ordinate) memanggil komisioner divisi keuangan dan

logistik (sub-ordinate) untuk memberikan klarifikasi. Komisioner divisi keuangan dan logistik

menjelaskan bahwa desain surat suara mengalami tiga kali perubahan. Perubahan desain surat

suara sudah menjadi catatan dari tim kampanye paket “PAS” sejak tanggal 30 Maret 2013.

Desain surat suara sudah disepakati sebagai satu kesatuan utuh oleh kedua tim kampanye

pasangan calon. Komisioner ini menunjukkan barang bukti yang dimiliki atas perubahan

desain surat suara. Atas klarifikasi tersebut, Panwaslu Provinsi Bali merekomendasikan:

pertama, meminta kepada KPU Bali untuk melakukan perbaikan terhadap surat suara dan/atau

melakukan langkah-langkah strategis yang diyakini dapat menjamin tidak terjadinya gugatan

terhadap keberadaan surat suara pasca pengumuman hasil pemilu kepala daerah dan wakil

kepala daerah Provinsi Bali; kedua, meminta kepada pleno KPU Bali untuk memberikan

pembinaan kepada ketua pokja logistik untuk lebih berhati-hati dalam berkoordinasi dan

mengambil keputusan.

Ketegangan berlanjut di internal organisasi KPU Provinsi Bali. Komisioner divisi

keuangan dan logistik menolak melakukan pencetakan kembali surat suara karena sudah

disepakai oleh kedua tim kampanye. Pencetakan kembali surat suara mempunyai resiko yang

sangat tinggi dan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Ketua dan tiga komisioner

KPU Provinsi Bali (super-ordinate) melarang komisioner divisi keuangan dan logistik (sub-

ordinate) untuk mengikuti acara apapun yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi Bali. Empat

orang komisioner (super-ordinate) KPU Provinsi Bali melakukan rapat pleno tanggal 27 April

Seminar Nasional FEKON 2015

305

2013 tanpa mengundang komisioner divisi keuangan dan logistik (sub-ordinate) serta

sekretaris KPU Provinsi Bali. Dalam berita acara No. 370/BA/IV/2013 tanggal 27 April 2013.

Rapat pleno tersebut memutuskan “membebastugaskan komisioner divisi keuangan dan

logistik dari tugas-tugasnya”. Tugas komisioner divisi keuangan dan logistik diserahkan

kepada divisi sosialisasi. Dominasi ketua dan tiga orang komisioner ini melanggar Peraturan

KPU tentang rapat pleno. Undangan untuk melakukan rapat pleno harus disebarkan tiga hari

sebelumnya. Undangan harus diberikan kepada lima orang komisioner dan sekretaris KPU

Provinsi Bali. Demikian pula pemberhentian sebagai komisioner KPU Provinsi hanya bisa

dilakukan oleh KPU RI. Perlawanan dilakukan oleh komisioner divisi keuangan dan logistik

atas putusan rapat pleno. Komisioner divisi keuangan dan logistik melaporkan kronologis

logistik pemilukada pada tanggal 30 April 2013 kepada Ketua KPU RI selaku atasan

langsung.

Konflik desain surat suara bertambah berat saat KPU Provinsi Bali mengundang tim

kampanye kedua pasangan calon dan Panwaslu Provinsi Bali tanggal 23 April 2013. Rapat

terbuka berlangsung panas, saling memukul meja rapat dan mengalami dead lock. Seperti

dikutip dari Chanelsatu.com (2013), Tim kampanye paket “PASTI-KERTA” menyatakan:

“… desain surat suara melanggar peraturan KPU. Logo partai dalam desain surat suara

harus dihilangkan. Surat suara harus dicetak kembali. Tim kampanye paket “PASTI-

KERTA” meminta semua pihak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Hanya saja

kesepakatan memasang logo PDI Perjuangan pada surat suara paket “PAS” telah

ditandatangani sekretaris tim kampanye paket “PASTI-KERTA”. Mengenai hal itu tim

pemenangan “PASTI-KERTA” berdalih, saat itu tidak memperhatikan dengan

seksama desain surat suara paket “PAS”. Setelah ada keberatan dari sebagian

masyarakat dan diperkuat pernyataan Panwaslu Provinsi Bali bahwa hal itu tidak baik,

tidak benar, sehingga pihaknya menyampaikan hal itu kepada KPU Provinsi Bali

dengan harapan agar pemilukada berjalan jujur dan adil …“.

Seperti dikutip dari Chanelsatu.com (2013), wakil ketua tim kampanye paket “PAS”

menyatakan:

Seminar Nasional FEKON 2015

306

“… paket “PAS” menolak perubahan desain surat suara. Saat pendaftaran di KPU

Provinsi Bali hanya gambar awal dan terus mengalami perubahan. Ada tanda tangan

kesepakatan hasil akhir diatas meterai dan mempunyai kekuatan hukum. Simbul partai

dalam desain surat suara merupakan hal “prinsip” bagi PDI Perjuangan, bahkan sudah

“harga mati”. Tidak ada landasan yang melarang penggunaan simbul partai, apalagi

sudah ada penandatanganan kesepakatan sebelumnya oleh kedua tim kampanye

tentang desain surat suara. Pemilukada Provinsi Bali yang aman dan tentram bagi PDI

Perjuangan juga sudah harga mati yang tidak bisa ditawar, namun jangan kemudian

pihaknya diotak-atik soal prinsip. Kami ingin memberi tahu soal itu. Kami akan

melakukan perlawanan jika hal itu dihilangkan. Jika mau fair, pihaknya telah memberi

toleransi dan tidak mempermasalahkan ketika warna merah dipakai pada latar

belakang paket “PASTI-KERTA” yang diusung Golkar-Demokrat. Secara etika hal itu

tidak pantas. Merah identik dengan PDI Perjuangan…”

Rapat berakhir dead lock dan ketua tim kampanye paket “PAS” mengundang media massa

untuk masuk kedalam ruang rapat KPU Provinsi Bali dan memberikan pernyataan pers

tentang desain surat suara. Ketua tim kampanye paket “PAS” juga merupakan Ketua DPRD

Provinsi Bali dan ketua DPD PDI Perjuangan.

Konflik desain surat suara berlanjut ke Jakarta KPU RI. Ketua KPU Provinsi Bali

berkoordinasi dengan ketua KPU RI (super-ordinate) melalui surat nomor 322/KPU Prov-

016/IV/2013 tanggal 24 April 2013 perihal kronologis surat suara. Koordinasi dilakukan

karena hari pemungutan suara semakin dekat sedangkan surat suara masih bermasalah.

Akhirnya Ketua KPU RI dengan surat edaran No. 277/KPU/IV/2013 tanggal 26 April 2013

menyatakan “surat suara yang, memuat foto pasangan calon yang didalamnya terdapat gambar

partai politik pengusung pasangan calon merupakan bagian dari foto pasangan calon, yang

tidak melanggar ketentuan pasal 6 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 66 tahun 2009”. KPU

Provinsi Bali dapat menggunakan surat suara yang telah dicetak dan melanjutkan distribusi

surat suara ke kabupaten/kota agar tidak mengganggu pelaksanaan hari pemungutan suara.

Akhirnya konflik logo surat suara berakhir secara eksternal.

Puncak konflik eksternal terjadi saat rekapitulasi penghitungan suara. Konflik semakin

memanas pada saat rekapitulasi dari tingkat kecamatan sampai tingkat provinsi. Mulai terjadi

Seminar Nasional FEKON 2015

307

selisih perolehan suara dari kedua calon pemilukada. Rekapitulasi di tingkat provinsi

dilakukan tanggal 26 Mei 2013. Paket “PAS” meminta agar tim asistensi sebanyak 9 orang

bisa hadir dalam ruangan rapat rapat dan membantu saksi paket “PAS” melakukan

rekapitulasi. Ketua KPU Provinsi Bali (super-ordinate) menolak karena sesuai dengan tata

tertib, yang boleh hadir sebagai saksi hanyalah dua orang. Hujan interupsi dari saksi “PAS”

dan “PASTI-KERTA” silih berganti dilakukan. Pengamanan sangat ketat terjadi. Proses

rekapitulasi berlangsung sangat tegang. Ketua KPU Provinsi Bali diserang habis-habisan oleh

saksi paket “PAS”. Rekapitulasi di tingkat provinsi bisa diselesaikan dan saksi paket “PAS”

tidak mau menandatangani berita acara. Hasil rekapitulasi penghitungan suara dimenangkan

oleh paket “PASTI-KERTA” dengan perolehan 50,02% sedangkan paket “PAS” memperoleh

49,98%. Proses rekapitulasi disiarkan secara langsung oleh TV nasional dan TV lokal

sehingga semua masyarakat mengetahui konflik pemilukada dengan jelas. Pelaksanaan

rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota sampai di tingkat provinsi dijaga sangat ketat. Demi

keamanan pemilukada berdampak pada membesarnya anggaran konsumsi rekapitulasi

penghitungan suara.

Konflik rekapitulasi dilanjutkan ke ranah hukum. Paket “PAS” mengajukan gugatan

ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (super-ordinate) atas pelanggaran yang

dilakukan oleh KPU Provinsi Bali (sub-ordinate) beserta jajarannya yaitu: lima orang

komisioner KPU Kabupaten Badung, lima orang komisioner KPU Kabupaten Tabanan, empat

orang komisioner KPU Kabupaten Buleleng, lima orang komisioner KPU Kabupaten

Karangasem, dan lima orang komisioner KPU Provinsi Bali. Sidang putusan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu (super-ordinate) menyimpulkan bahwa, “telah terbukti

terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Buleleng (sub-ordinate),

KPU Kabupaten Karangasem (sub-ordinate) dan KPU Provinsi Bali (sub-ordinate) terkait

Seminar Nasional FEKON 2015

308

perbuatan kurang memberikan akses dan tidak memberikan perlakuan layak terhadap saksi

dan tim asistensi data pengadu,". Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memberikan

teguran tertulis berupa peringatan keras kepada Ketua KPU Provinsi Bali, Ketua KPU

Kabupaten Buleleng dan Ketua KPU Kabupaten Karangasem. Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu memberikan peringatan ringan kepada empat komisioner KPU

Provinsi Bali, tiga komisioner KPU Kabupaten buleleng, dan empat komisioner KPU

Kabupaten Karangasem. Juga merehabilitasi nama baik lima komisioner KPU Kabupaten

Badung dan empat komisioner KPU Kabupaten Tabanan. Memerintahkan kepada Komisi

Pemilihan Umum Republik Indonesia dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik

Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan putusan ini (DKPP, 2013). Gugatan hukum ini

menyebabkan bertambahnya pengeluaran anggaran pemilukada terutama untuk menghadirkan

semua komisioner KPU kabupaten/kota dan KPU Provinsi sebagai teradu.

Gugatan sengketa hasil penghitungan suara juga diajukan ke Mahkamah Konstitusi

oleh paket “PAS” atas pelaksanaan rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Mahkamah Konstitusi (super-ordinate) melalui amar putusannya menolak gugatan paket

“PAS” (sub-ordinate) untuk seluruhnya. Sehingga hasil Pemilukada Provinsi Bali tetap

dimenangkan oleh paket “PASTI-KERTA”. Gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi

menyebabkan bertambahnya anggaran perjalanan dinas untuk menghadiri sidang di Jakarta

terutama untuk biaya pengacara, biaya perjalanan dinas untuk menghadirkan saksi-saksi dari

tingkat desa, kecamatan, komisioner KPU kabupaten/kota dan KPU Provinsi, biaya

penggandaan berkas persidangan.

Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Bali menandai selesainya seluruh

tahapan penyelenggaraan pemilukada. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mulai melakukan

pemeriksaan atas anggaran hibah pemilukada sejak tanggal 15 November sampai dengan 20

Seminar Nasional FEKON 2015

309

Desember 2013. Konflik terjadi atas anggaran biaya perjalanan dinas dalam negeri. Telah

terjadi perbedaan persepsi antara KPU Provinsi Bali dengan tim pemeriksa BPK. Menurut

KPU Provinsi Bali (sub-ordinate), biaya perjalanan dinas dibayar berdasarkan lump sum

kecuali untuk perjalanan dinas semester II tahun 2013. Menurut tim pemeriksa BPK (super-

ordinate), semua biaya perjalanan dinas dibayar berdasarkan at cost. Tim pemeriksa BPK

dalam dialog tersebut menyatakan:

“…sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan, semua biaya perjalanan dinas dari

APBN maupun APBD dibayar berdasarkan at cost”.

Sekretaris KPU Provinsi Bali dan seorang komisioner KPU Provinsi Bali menyatakan:

“…sesuai dengan pemahamam kami, kegiatan yang dibiayai dari APBN semuanya

sudah berdasarkan at cost. Sedangkan untuk pemilukada biaya perjalanan dinas

dibayar sesuai dengan lump sum, kecuali perjalanan dinas yang dilakukan sejak

semester II tahun 2013 dibayar berdasarkan at cost. Bendahara kami baru

dikumpulkan oleh Pemda pada bulan April 2013”.

Demikian pula konflik pembayaran honor penyelenggara pemilukada. Tim pemeriksa

BPK memeriksa apakah tidak terjadi duplikasi pembayaran honor penyelenggara pemilukada

yang bersumber dari APBD dengan uang kehormatan rutin yang bersumber dari APBN.

Dalam dialog tim pemeriksa BPK menyatakan:

“…Permendagri 57 Tahun 2009 menyebutkan, honor pemilukada bisa dibayarkan

sepanjang tidak ada duplikasi. Hasil pemeriksaan BPK di seluruh Indonesia

memberikan catatan atas pembayaran honor penyelenggara khususnya di KPU

provinsi dan kabupaten/kota”.

Sekretaris KPU Provinsi Bali menyatakan:

“…honor penyelenggara pemilukada sudah dibayar sejak tahun 2005 dan berlaku di

seluruh Indonesia. Pembayaran honor penyelenggara disesuaikan dengan honor

pemilu terakhir dan kemampuan keuangan daerah. Pembayaran honor pemilukada

juga didukung oleh Peraturan Gubernur Provinsi Bali. Jadi tidak ada duplikasi dalam

pembayaran honor penyelenggara pemilukada”.

Seminar Nasional FEKON 2015

310

Konflik anggaran honor juga terjadi atas honor kelompok kerja pemilukada. Telah

terjadi perbedaan persepsi untuk memaknai peraturan tentang keanggotaan dalam kelompok

kerja. Menurut BPK honor hanya diberikan sebagai anggota. Sedangkan KPU Provinsi Bali

membagi honor kelompok kerja sesuai dengan klasifikasi yang diberikan KPU RI yaitu

pengarah, ketua, sekretaris dan anggota. Jika klasifikasi KPU RI dipakai maka telah terjadi

efisiensi pembayaran honor kelompok kerja. Konflik pertanggungjawaban anggaran hibah

pemilukada diakhiri dengan terbitnya Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan

Keuangan Provinsi Bali (super-ordinate) dengan hasil temuan KPU Provinsi Bali (sub-

ordinate) harus mengembalikan kelebihan perjalanan dinas ke kas daerah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Konflik terjadi dalam penyelenggaraan pemilukada Provinsi Bali Tahun 2013. Konflik

kekuasaan internal partai terjadi antara kedua calon petahana karena didukung oleh partai

politik yang berbeda. Konflik internal terjadi karena keterbatasan sumber daya yaitu

kekuasaan kepala daerah. Kekuasaan kepala daerah dibatasi waktu selama lima tahun. Konflik

kekuasaan kedua calon petahana terjadi untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan. Konflik

calon petahana berimbas kepada penyelenggara pemilukada yaitu KPU Provinsi Bali. Untuk

menyelenggarakan pemilukada, KPU Provinsi Bali memerlukan anggaran yang sangat besar.

Anggaran pemilukada bersumber dari APBD. Disamping itu salah satu sumber kekuasaan

adalah anggaran. Anggaran berfungsi sebagai alat politik dan merupakan bentuk komitmen

eksekutif serta kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.

Pertarungan politik dan negosiasi antar aktor dilakukan dengan mendayagunakan basis

kekuasaannya untuk menguatkan daya tawar sebagai pemenang pemilukada.

Seminar Nasional FEKON 2015

311

Konflik anggaran pemilukada dimulai sejak pembahasan anggaran pemilukada antara

tim anggaran bentukan pemerintah daerah dengan KPU Provinsi Bali. Tarik menarik

kepentingan terjadi atas perencanaan anggaran pemilukada karena terjadi kenaikan yang

sangat besar dibandingkan dengan pemilukada sebelumnya. Konflik anggaran pemilukada

diakhiri oleh kekuasaan tim anggaran (super-ordinate) kepada KPU Provinsi Bali (sub-

ordinate) dengan penandatanganan anggaran hibah pemilukada.

Konflik internal pelaksanaan anggaran terjadi antara empat orang komisioner (super-

ordinate) melawan komisioner divisi keuangan dan logistik dan empat orang komisioner

melawan sekretaris KPU Provinsi Bali. Konflik internal ini menyebabkan keluarnya usulan

untuk mengganti sekretaris KPU Provinsi Bali dan kepala bagian keuangan (sub-ordinate).

Konflik internal ini juga menyebabkan pembebastugasan komisioner divisi keuangan dan

logistik (sub-ordinate)

Konflik eksternal terjadi diantara kedua calon petahana atas desain surat suara yang

sudah disepakati diatas meterai Rp 6.000 sebagai satu kesatuan utuh. Konflik kekuasaan

terjadi karena kekuasaan yang melekat dari kedua calon petahana. Konflik ekternal ini

menyebabkan penyelenggara menerima tekanan akan penghentian anggaran pemilukada.

Konflik eksternal diakhiri oleh kekuasaan KPU RI yang menyatakan bahwa desain surat suara

tidak melanggar Peraturan KPU dan dapat digunakan dalam pemungutan suara.

Konflik rekapitulasi penghitungan suara terjadi dari tingkat kecamatan sampai tingkat

provinsi. Konflik terjadi karena kedua calon petahana menginginkan kemenangan dalam

pemilukada. Konflik ini berakibat gugatan dari paket “PAS” kepada KPU Provinsi Bali di

Mahkamah Konstitusi dan DKPP. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan paket “PAS”. Hal

ini menegaskan bahwa paket “PASTI-KERTA” telah memenangkan pemilukada Provinsi

Bali. DKPP memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilukada

Seminar Nasional FEKON 2015

312

oleh KPU Provinsi Bali beserta jajarannya dan memberikan teguran keras dan teguran ringan

kepada KPU Provinsi beserta jajarannya.

Konflik pertanggungjawaban anggaran terjadi atas perbedaan persepsi Peraturan

Menteri Dalam Negeri antara BPK dengan KPU Provinsi Bali. Konflik terjadi atas honor

penyelenggara dan perjalanan dinas. Konflik diakhiri oleh kekuasaan BPK Provinsi Bali

untuk mengembalikan kelebihan perjalanan dinas ke kas daerah.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilukada yang terjadi di

Provinsi Bali tidak hanya menimbulkan konflik kekuasaan yang ada dalam struktur kekuasaan

(authority) tetapi juga menimbulkan konflik wewenang (power) yang dimiliki individu dalam

struktur kekuasaan tersebut. Konflik dalam struktur kekuasaan (authority) terjadi antara KPU

Provinsi Bali dengan tim anggaran (eksekutif); KPU Provinsi Bali dengan pasangan calon

kepala daerah yang didukung partai politik; KPU Provinsi Bali dengan Panwaslu Provinsi

Bali; KPU Provinsi Bali dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu; serta KPU

Provinsi Bali dengan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Bali.

Konflik pemilukada juga berhubungan dengan konflik wewenang individu (power)

yang terjadi di dalam struktur kekuasaan itu sendiri yaitu antara empat orang komisioner

dengan komisioner divisi keuangan dan logistik; antara empat orang komisioner dengan

sekretaris KPU Provinsi Bali; dan antara kedua calon petahana.

Implikasi dalam penelitian ini adalah wewenang komisioner yang berlebihan menjadi

penyebab utama konflik internal. Untuk menghindari konflik kewenangan maka regulasi yang

mengatur tentang kewenangan komisioner dalam mengusulkan pergantian sekretaris KPU

harus diubah. Kewenangan ini diberikan kepada Sekretaris Jenderal KPU selaku atasan

langsung pegawai negeri sipil.

Seminar Nasional FEKON 2015

313

Implikasi lainnya adalah sumber anggaran pemilukada dari APBD. Sumber anggaran

ini menimbulkan konflik kekuasaan pada saat petahana menjadi calon kepala daerah/wakil

kepala daerah. Kekuasaan yang melekat dengan calon petahana menyebabkan independensi

dan kemandirian KPU Provinsi sebagai penyelenggara menjadi terganggu. Untuk itu maka

regulasi yang mengatur sumber pembiayaan pemilukada dirubah dari APBD ke APBN. Dari

sisi administrasi keuangan, dengan berubahnya sumber pembiayaan pemilukada maka KPU

RI harus membuat petunjuk teknis pelaksanaan anggaran hibah pemilukada. Perubahan ini

memberikan kewenangan kepada KPU RI untuk mengontrol biaya kegiatan pemilukada yang

selama ini tidak bisa dilakukan.

Penelitian ini terbatas hanya pada penyelenggaraan pemilukada yang bersifat lokal di

Provinsi Bali. Karena keunikannya yaitu ikatan emosional yang kuat dengan salah satu partai

politik terbesar di Indonesia. Sehingga saran untuk penelitian selanjutnya dikembangkan

dengan penyelenggaraan pemilukada dengan ragam budaya yang berbeda sehingga akan

menghasilkan konflik yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California.

Brown, Charles Victor dan Peter M. Jackson. 1986. Public Sector Economics, 3rd

ed, Basil:

Blackwell-British Ltd. p. 169.

Bungin, Burhan. 2007. Metodelogi Penelitian Sosial Format-Format Kualitatif dan

Kuantitatif. Airlangga University Press. Surabaya.

Burrel, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organizational

Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. Heinemann Educational Books.

England.

Carr, J. B. dan Brower, R.S. 2000. Principled Opportunism: Evidence from the organizarional

middle. Public Administration Quarterly, 24:1

Covaleski, M. dan M.W. Dirsmith, 1986. “The Budgeting Process of Power and Politic”.

Accounting Organisation and Society.

Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing among Five

Approach. Sage Publications, California.

Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford University

Press. Stanford, California.

Seminar Nasional FEKON 2015

314

DKPP. 2013. Putusan. Tidak dipublikasi.

Finer, Herman. 1962. The Major Governments of Modern Europe. Harper & Row Publishers,

New York.

Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di

Era Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta.

Gadamer, Hans Geog. 1976. Truth and Method (trans). Continuum: xxv-xxvi

Gaffar, Affan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar Offset,

Yogyakarta.

Harris, Syamsuddin. 2005. Mengelola Potensi Konflik Pilkada. Kompas tanggal 10 Mei 2005.

Hughes, John A. 1990. The Philosophy of Social Research. Second Edition. Longman,

London and New York.

Kemendagri. 2010. Dualisme dalam Pemilukada. Naskah Akademik. Jakarta.

KPU. 2009. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 66 Tahun 2009 tentang Penetapan

Norma, Standar, Prosedur, dan Kebutuhan Pengadaan serta Pendistribusian

Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah.

----------. 2012. Surat Edaran No. 493/KPU/XII/2012. Tidak dipublikasi.

KPU Bali. 2012. Surat Nomor 388/KPU.Prov-016/XII/2012. Tidak dipublikasi.

----------. 2013. Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah Provinsi Bali Tahun 2013. Tidak dipublikasi.

KPU Jembrana. 2010. Laporan Penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Jembrana. Tidak

dipublikasi.

Lockwood, David G. 1956. Some Remarks of The Social System. British Journal of

Sociology. Vol. 7. No. 2. June: 134-146.

Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin, Yogyakarta.

Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rasyid, M. Ryass. 1997. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Masalah dan Prospeknya.

“Laporan Penelitian”. Depdagri-LIPI, Jakarta.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah.

-------. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

-------. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman

Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

-------. 2009. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Permendagri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan

Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

-------. 2011. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum.

Robinson, Robert V.dan Jonathan Kelley. 1979. Class as Conceive by Marx and Dahrendorf:

Effect on Income Inequality and Politics in The United States and Great Britain.

American Sociological Review, Vol. 44 (February): 38-58.

Rummel, R. J. 1977. Understanding Conflict and War: Conflict in Perspectives Vol. 3.

Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana, edisi Kedua,

Yogyakarta.

Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial.

Edisi Kedua. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Seminar Nasional FEKON 2015

315

Shafer, William E., Roselyn E. Morris dan Alice A. Ketchand. 2001. Effects of Personal

Values on Auditors Ethical Decisions. Journal of Accounting, Auditing, and

Accountability, Vol. 14 (3): 254.

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Pusat Bahasa Depdiknas, Bandung.

Suparman, Marzuki. 2010. Politik Hukum Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu:

Melanggengkan Impunity. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2 (17). Universitas

Islam Indonesia, Yogyakarta.

Turner, J. C. 1991. Social influence. Brooks/Cole: Pasific Grove, CA.

Wallace dan Wolf. 1995. Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to

Post-Modernity. Prentice Hall, New Jersey.

Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. Free Press, New York.

Wildavsky, A dan N. Caiden. 2004. The New Politics of The Budgetary Process. 5th

Edition,

Addison Wesley, New York.

http://www.chanelsatu.com diunduh 23 April 2013