kondisi obat generik kita
DESCRIPTION
FarmasiTRANSCRIPT
KONDISI OBAT GENERIK KITA
Bila kita mendengar kata obat generik, maka kita teringat dengan adanya obat serbu yang sempat menjadi buah
bibir masyarakat indonesia yang kemudian hilang ditelan bumi. Lalu muncullah di benak kita benarkah obat
serbu adalah obat generik? Apakah obat serbu merupakan program pemerintah? Mengapa dirasa obat serbu dan
beberapa obat generik hilang ditelan bumi? Apakah benar industri yang memproduksi obat generik mengalami
kerugian? Apakah obat generik memiliki kualitas jauh dibawah obat-obat branded dan paten?
Untuk menjawab pertanyaan itu, tentunya tidak lah cukup dengan hanya menulis post ini. Namun, penulis
mengharapkan banyak ide dan gagasan yang akan muncul. Obat serbu atau obat seribu merupakan icon dari
suatu produsen obat nasional terhadap obat tertentu yang dijual dengan harga seribu dan memang obat tersebut
merupakan obat generik. obat ini bukanlah program pemerintah walaupun diluncurkan oleh menkes. obat ini
merupakan inisiatif dari suatu produsen obat (klo mau tw produsennya sapa disearch aja di google yak)
menanggapi program desa siaga dan puskesmas di desa-desa. Maksud obat ini adalah agar masyarakat terutama
kalangan menengah ke bawah mampu mendapatkan akses obat murah sehingga besar harapan kualitas
kesehatan mereka dapat meningkat.
Namun, obat tetaplah suatu komoditi yang di dalamnya pun memerlukan modal (uang, red) untuk
memproduksinya. obat serbu maupun obat generik lainnya memerlukan modal untuk proses produksi hingga
sampai ketangan konsumen. Perlu diketahui bahwa obat generik memiliki aturan sendiri yang diatur oleh
pemerintah mulai dari HET yang memiliki margin profit sangat ketat hingga ke kemasan yang tidak boleh
terlalu mencolok sehingga tidak menimbulkan karakteristik khusus sesuai produsennya.Hal ini lah
menyebabkan obat generik menjadi suatu produk premature yang tidak mampu melakukan kompetisi-kompetisi
terutama dengan produk branded. Kondisi ini memiliki implikasi yang buruk baik terhadap produsen hingga
kepada pasien sebagai konsumen.
Obat generik yang mau tak mau harus tetap bersaing dipasar dengan harga yang sangat rendah dan added value
melalui kemasan dan lain-lain tidak boleh dilakukan, menjadikan produsen lama kelamaan enggan untuk
memproduksi obat generik. Hal ini terbukti adanya obat yang hilang dari peredaran seperti (diazepam) dan
berbagai kasus kelangkaan obat generik lainnya. Efek buruknya tentu pasien yang paling dirugikan karena
langkanya obat-obat generik tersebut, sehingga tujuan pemerintah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan
pengadaan obat generik menjadi nihil.
Bila kita lihat lebih dalam lagi, obat generik pada dasarnya memiliki kasiat, kemanan dan kualitas yang sama
dengan obat originatornya. Hal ini telah dibuktikan dengan serangkain uji BA/BE. Namun, mengapa nampaknya
dokter masih ragu melakukan peresepan menggunakan obat generik? Bahkan indonesia yang termasuk negara
yang jauh dibawah amerika, panggunaan obat generik dalam resep sangat sedikt bila dibandingkan dengan
amerika.
Hal ini tentunya ada udang di balik batu. Yap, karena margin profit yang ada pada obat generik sangat sedikit,
maka strategi pemasaran obat generik pun tidak seheboh obat branded. Apalagi perbedaan gift yang diberikan
produsen kepada dokter tidak sebagus bila meresepkan obat branded. Belum lagi pandangan menyimpang yang
ada di masyarakat tentang kualitas obat generik hingga ada yang menyebutnya obat murahan. duh sungguh
menyedihkan sekali masyarakt yang masih berfikiran seperi itu.
Nah, dengan segala seluk beluk permasalahan yang ada, sebenarnya obat generik mampu menjadi solusi terbaik
terhadap peningkatan kesehatan indonesia. Namun tentunya diperlukan pengelolaan yang baik. Obat generik
harus mendapat perhatian khusus tidak hanya dari produsen obat, tapi pemerintah harus memberikan dukungan
yang jelas dan kesadaran dokter tentang kualitas obat generik, serta strategi pemasaran obat generik sehingga
positioning di pasar benar-benar baik.
Harus adanya triangel yang kuat antara pemerintah-dokter-industri farmasi. Pemerintah harus menjalankan
perannya dengan askes untuk pembiayaan pengobatan. Bukan hanya bisa memangkas harga obat generik namun
bagaimana harga obat generik tetap terjangkau, namun industri tetap tertarik memproduksi. Hal ini bisa
diupayakan dengan adanya stimulus pemerintah melalui pembiayaan silang dan subsidi yang diatur terhadap
pengadaan obat generik, atau memberikan margin profit yang lebih realistis. Anggaran yang telah dialokasikan
untuk pembiayaan pengobatan masyarakat miskin benar-benar digunakan sebaik-baiknya dengan meniadakan
kasus korupsi di dalamnnya.
Dokter dengan IDI-nya harus mulai sadar bahwa obat generik memiliki kualitas, khasiat dan keamanan yang
sama dengan obat branded. dokter dan IDI juga harus mengubah paradigma tentang peresepan ditentukan dari
gift terbesar yang mampu diberikan oleh industri. Dokter dan IDI harus semakin meningkatkan kepatuhan
terhadap formularium obat nasional sehingga tidak adanya ketimpangan dalam peresepan.
Hal ini pula harus dibarengi dengan revolusi pemasaran obat-obatan khususnya obat generik oleh perusahaan
farmasi dengan tidak meletakkan dokter sebagai top konsumen, namun lebih meningkatkan komunikasi dengan
masyarakat dengan keterwakilan melalui askes, pemerintah, dan apoteker sebagai pemegang otoritas obat.
industri tidak lagi melakukan pemasaran yang door-to-door ke dokter tapi dengan door-to-door ke instalasi
rumah sakit, apotek, atau ke organisasi profesi.
Nah, dengan harmonisitas ini diharapkan obat generik dapat benar-benar menjadi solusi peningkatan kesehatan
dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap obat, sehingga masyarakat sehat dan negara pun dapat
sehat.