kolelitiasis

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledoktus, atau pada kedua-keduanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder 7 . Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria, wanita pada usia 18 – 65 tahun. Penderita wanita lebih banyak dengan perbandingan 3 : 1 pada usia < 40 tahun, yang menjadi seimbang pada manula 1 . Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di

Upload: ervan-handoyo

Post on 25-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

materi

TRANSCRIPT

Page 1: Kolelitiasis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam duktus koledoktus, atau pada kedua-keduanya. Sebagian

besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu

(kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu

ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder 7.

Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20

juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu

kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria, wanita pada usia 18 – 65 tahun.

Penderita wanita lebih banyak dengan perbandingan 3 : 1 pada usia < 40 tahun, yang menjadi

seimbang pada manula1.

Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia

diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun

1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi. Di negara

Barat, 80% batu empedu adalah kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen, meningkat

akhir – akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu

kolesterol, tetapi angka kejadian batu kolesteol sejak 1965 makin meningkat 7.

Sementara ini dipadat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih

umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang terdapat di

negara Barat, dan sesuai dengan angka di Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia,

Page 2: Kolelitiasis

Muangtai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram

negatif E.Coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen4.

Di Indonesia batu empedu banyak ditemukan mulai pada usia di bawah 30 tahun,

meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia di atas 60 tahun, insidens batu

saluran empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah

penderita laki-laki. Meskipun batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu,

tetapi sepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu duktus koledokus1.

Page 3: Kolelitiasis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin

terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus

(choledocholithiasis) 7.

Kolelitiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam

kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.

Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita

dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik3.

Di kenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin

dan batu campuran. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,

tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun

intrahepatik. Batu primer saluran empedu, harus memenuhi kriteria sebagai berikut : ada

masa asimtomatik setelah kolesistektomi morfologik cocok dengan batu empedu primer,

tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang 4.

Page 4: Kolelitiasis

Gambar 2.1 Batu Empedu

2.2 Anatomi Vesica Fellea

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang

terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar

30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea

dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol

dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior

abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan

visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus

cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus

hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica

fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati7.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.

Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat

kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu 7.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat

collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum

Sumber : Davey, 2003

Page 5: Kolelitiasis

sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju

kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus7.

Gambar 2.2 Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

2.3 Fisiologi Vesica Fellea

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml.

Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,

mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.

Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga

mempunyai banyak mikrovilli 2.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian

disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini

kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya

membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat

cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat

penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum 2.

Sumber : Knapp, 2003

Page 6: Kolelitiasis

Gambar 2.3 Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya.

2.3.1 Pengosongan Kandung Empedu

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak

menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian

masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama,

otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga

memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu

dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu

pencernaan dan absorbsi lemak 2. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua

hal yaitu:

a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan

merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini

yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

b) Neurogen:

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan

lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi

dari kandung empedu.

Sumber : Knapp, 2003

Page 7: Kolelitiasis

Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan

mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu

lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal

memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

Komposisi Cairan Empedu

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit -   -  

a. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam

yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah:

o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam

makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-

partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

Page 8: Kolelitiasis

o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang

larut dalam lemak.

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman

usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam

empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan

sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi

garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada

gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka

absorbsi garam empedu akan terganggu 2.

b. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan

globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi

bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma

terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)

yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan

misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak 2.

Page 9: Kolelitiasis

2.3.2 Jenis Batu Empedu (Kolelitiasis)

1. Batu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol, dan sisanya

adalah kalsiumkarbonat, kalsiumpalmitat, dan kalsium bilirubinat.

Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa batu soliter

atau multipel

Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan

empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.

Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara lain terjadi misalnya pada keadaan

obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol, dan pemakaian obat yang mengandung

estrogen atau kholifibrat.

Sekresi kandung empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan absorpsi

di ileum atau gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.

Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali bila

ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal

dari pigmen empedu, mukoprotein lendir, protein lain, bakteria atau benda asing

lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu.

Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal koesterol di atas matriks

inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan

pengendapan.

2. Batu Bilirubin

Berisi kalsium bilirubinat dan disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak

banyak bervariasi.

Berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.

Page 10: Kolelitiasis

Batu pigmen adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25 %.

Batu pigmen terbentuk dalam kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan

keseimbangan metabolik seperti anemia hemolitik, dan sirosis hati tanpa didahului

infeksi.

2.4 Etiologi kolelitiasis

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,

semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk

terjadinya kolelitiasis1. Faktor resiko tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan

pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan

eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar

esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi

dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu

dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu 1.

2. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan orang degan usia yang lebih muda 1.

3. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk

terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam

kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/ pengosongan kandung empedu 1.

Page 11: Kolelitiasis

4. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat

menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu 1.

5. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn

dengan tanpa riwayat keluarga 1.

6. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.

Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi 1.

7. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,

diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik 1.

8. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi

untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.

Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

Page 12: Kolelitiasis

2.5 Patogenesis Kolelitiasis

2.5.1 Patogenesis Pembentukan Batu

1. Batu Kolesterol

Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:

a. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang

tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk

micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya

dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol

tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam

keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi

dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio

seperti ini kolesterol akan mengendap 6.

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:

Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan

lecithin jauh lebih banyak.

Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga

terjadi supersaturasi.

Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).

Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan

tinggi.

Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada

gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan

sirkulasi enterohepatik).

Page 13: Kolelitiasis

Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar

chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan

batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain

menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

b. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu

heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel

yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal

kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam

empedu 6.

c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk

bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi

kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang

sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi

kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi

akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita

Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang

lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut

kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari

mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa

keluar 6. 

2. Batu bilirubin/Batu pigmen

Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

Page 14: Kolelitiasis

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:

a. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit

yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada

keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin

menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim

b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal

cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja

glukuronidase 6.

b. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga

oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan

bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing

ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti

batu adalah dari cacing tambang 6.

2.5.2 Patogenesis Kolelitiasis secara umum

Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu yang

terdapat di dalam saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan

kiri meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Batu

tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak, bentuknya

seperti lumpur dan rapuh 4.

Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis

oriental yang sering sulit penanganannya. Batu kandung empedu dapat berpindah ke

dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Dalam perjalanan melalui duktus

Page 15: Kolelitiasis

sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau

komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang

melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan

sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus karena diameternya

terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu

duktus sistikus 5.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Manifestasi Klinis Kolelitiasis

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok : pasien

dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien dengan

komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis) 8 :

1. Asimtomatik : 50% pasien tetap asimptomatik, batu empedu bisa ditemukan

secara kebetulan.

2. Kolik bilier : Nyeri kuadran kanan atas yang rekurens, seringkali dipicu oleh

makanan berlemak. Nyeri diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang

dari 12 jam. Nyeri terdapat pada daerah epigastrium, kuadran atas kanan atau

prekordium. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula atau ke

puncak bahu, disertai mual dan muntah.

3. Kolesistitis : Biasanya timbul dengan keluhan utama nyeri akut hipokondria kanan

disertai demam. Jika leher kandung empedu tersumbat, bisa terjadi empiema pada

kandung empedu.

4. Ikterus Kolestatik : Ikterus disertai tinja pucat dan urin gelap menunjukkan adanya

obstruksi bilier sebagai akibat masuknya batu ke dalam duktus biliaris komunis

(koledokolitiasis). Dengan tanda klinis adanya infeksi sekunder (demam,

menggigil), timbul keadaan yang disebut kolangitis.

Page 16: Kolelitiasis

5. Pankreatitis : Batu empedu merupakan penyebab utama pankreatitis di negara

berkembang, biasanya akibat bergesernya batu ke duktus biliaris komunis dan

melalui ampula Vateri.

Gambar 2.4 Manifestasi Klinis Kolelitiasis

2.6.2 Pemeriksaan fisik 5 :

1. Nyeri tekan dengan punctum maksimum di daerah letak anatomi kandung

empedu.

2. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik

nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan

pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

3. Batu Saluran Empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang.

Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Bila kadar bilirubin darah

kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu

bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis.

4. Bila muncul kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis

bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan Trias Charcot yaitu demam dan

menggigil, nyeri daerah hati dan ikterus.

Sumber : Yarris, 2007

Page 17: Kolelitiasis

5. Bila muncul kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan

timbul lima gejala “Pentade Reynold” berupa tiga gejala Trias Charcot, ditambah

syok dan kekacuan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang 8 :

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu asimptomatik umumnya tidak menimbulkan kelainan

laboratorik.

Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.

Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus

koledokus.

Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya

meningkat sedang setiap kali ada serangan akut.

2. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang

kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat

dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang

membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan

lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di

fleksura hepatica 1.

Page 18: Kolelitiasis

Gambar 2.5: Foto rongent pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding

kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh

peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal

kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG

punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih

jelas daripada dengan palpasi biasa 8.

Sumber : Davey, 2003

Page 19: Kolelitiasis

Gambar 2.6: Hasil USG pada kolelitiasis

Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada

keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi

pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat

mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian

fungsi kandung empedu 7.

Gambar 2.7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

2.7 Penatalaksanaan Kolelitiasis

2.7.1 Penanganan Kandung Empedu

Sumber : Scwartz, 2000

Sumber : Lesmana, 2006

Page 20: Kolelitiasis

Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik tidak akan mengalami

keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya

keluhan selama pemantauan 6.

Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di

dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera

dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung

kandung empedunya.

Gambar 2.8 : Kolesistektomi

2.7.2 Penanganan Batu Saluran Empedu

ERCP terapeutik dengan melakukan sfingteretomi endoskopik untuk

mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi. Selanjutnya batu di dalam saluran

empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-ekstraksi melalui muara yang

besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau

dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya 4.

Sumber : Lesmana, 2006

Page 21: Kolelitiasis

2.7.3 Batu Saluran Empedu Sulit

Batu saluran empedu sulit adalah batu besar, batu yang terjepit di saluran

empedu, atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang sempit. Diperlukan

beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan

batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi laser, electro-hydraulic shockwave litotripsy,

dan extracorporeal shock wave litotripsi 4.

2.8 Komplikasi

Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat menimbulkan

perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif kolangitis, kolangiolitis

piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan

5.

Page 22: Kolelitiasis

DAFTAR PUSTAKA

1. Davey, Patrick, 2003.At a Glance Medicine, Dalam : Penyakit Bilier. Penerbit

Erlangga, Jakarta. Hal 216-217.

2. Husadha, Yast, 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fisiologi dan Pemeriksaan

Biokimiawi. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Ed.3

3. Knapp, B Albert, 2003. Gastroenterologi, Dalam : Penyakit Vesica Biliaris dan

Saluran Empedu. PT Widya Medika, Jakarta. Hal 37 – 42.

4. Lesmana, A Laurentius, 2006. Penyakit Batu Empedu, Dalam : Ilmu Penyakit Dalam.

Ed.4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit FKUI, Jakarta. Hal 479 – 482.

5. Mansjoer, A, 2003. Kapita Selecta Kedokteran. Jilid 1, Ed.3, Penerbit Media

Aaesculapius, Jakarta.

6. Schwartz S, 2000. Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah ( Principle Of Surgery ). Ed.6. EGC.

Jakarta.

7. Sjamsuhidajat, R, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Dalam : Kolelitiasis. EGC, Jakarta.

Hal 570 – 576

8. Yarris, Lalena, 2007. Teks – Atlas Kedokteran Kedaruratan, Dalam: Kolelitiasis.

EGC, Jakarta. Hal 298-299.