klt 2 dimensi

Upload: adrian-suryawinata

Post on 10-Jul-2015

1.134 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Kamis, 22 Juli 2010

Bahan Dan Teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT)1.Penjerap/Fase diarn Penjerap yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu meka-nisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa penjerap KLT serupa dengan penjerap yang digunakan pada KCKT. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi, terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengem-bang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b. Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid. Tabel 3.1. meringkas berbagai macam agen pembacem silika141. 2. Fase Gerak pada KLT Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah dengan menggunakan campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak: Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknikyang sensitive Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Ry solut terletak antara 0,20,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai R^. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dieti! eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan se-dikit asam etanoat atau amonia masing - masing akan mening-katkan elusi solut-solut yang bersifat basa dan asam151. 3. Aplikasi (Penotolan) sampel Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain,jika sampel yang digunakan terlalu banyakmakaakan menurunkan resolusi. Penotolan (aplikasi) sampel dapat dilakukan sebagai suatu bercak, pita, atau dalam bentukzig zag

(Gambar 3.1). Sering disarankan bahwa sampel yang yang akan ditotolkan berada dalam bentuk yang sesempit mungkin. Sampel dengan pita yang sempit akan menjamin resolusi yang paling tinggi bahkan ketika sampel mengandung sejumlah kom-ponen dengan perbedaan niiai-nilai Rfyang minimal. Penotolan secara zig zag akan menghasilkan suatu bentuk yang memungkinkan sejumlah sampel dalam jumlah besar ditotolkan tanpa dilakukan pencucian lapisan tipis. Metode ini penting untuk sampel-sampel dalam air Penotolan sampel secara otomatis Penotolan sampel dalam Jumlah banyak secara manual membutuhkan waktu yang lama dan juga menghasilkan reprodusibilitas yang kurang bagus. Reprodusibilitas dan kecepatan sering dicapai dengan menggunakan penotol otomatis. Diagram skematik penotol analitik dengan kontrol mekanik ditunjukkan dalam Gambar 3.2. Motor stepper akan mengontrol kecepatan gerakan sedotan syring; dengan demikian banyaknya sampel per bercak atau per pita dapat dikontrol. Lebih lanjut motor stepper akan menggerakkan lempeng lapis tipis pada arah sumbu x. Parameter-parameter ini diprogram dan dikontrol dengan mikroprosesor.

Gambar 3.2. Diagram syring analitik dengan kontrol mekanis. 1 = sampel; 2 = syring analitik; 3 = aksi kontrol mekanik; 4 == motor stepper; 5 = kontrol motor stepper; dan 6 = lempeng lapis tipis'"". Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 ul. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 ul. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 ul maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antartotolan. 4. Pengembangan Ada beberapa teknik pengembangan pada KLTdan KLT-kinerja tingi atau High PerformanceThin Layer Chromatography (HPTLC) yang akan diuraikan di bawah ini. a.Konvensional Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending], yang mana ujung bawah lempeng diceiup-kan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan reprodusibilitas

kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber] harus dijenuhkan dengan uap fase gerak. Jarak pengembangan fase gerak biasanya kurang lebih 10-15 cm; akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih me ngembangkan lempeng pada jarak 15 - 20 cm. Untuk lempeng KLTkinerja tinggi (HPTLC), yang mempunyai ukuran partikel !e-bih kecil, maka pengembangan lempeng dilakukan pada jarak antara 3-6 cm. b.Pengembangan 2 dimensi KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkat-kan resolusi sampel ketika komponenkomponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rjuga hampir sama, sebagaimana dalam sampel asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda da-pat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama. KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penoto-lan sampel di salah satu sudut lapisan lempeng tipis dan me-ngembangkannya sebagaimana biasa dengan eluen pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber pengembang dan eluen dibiarkan menguap dari lempeng. Selanjutnya, lempeng dimasukkan dalam chamberyang meng-gunakan eluen kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama. Suksesnya pemisahan tergantung pada kemam-puan untuk memodifikasi selektifitas eluen kedua dibanding-kan dengan selekifitas eluen pertama'9'. c.Pengembangan Kontinyu Pengembangan kontinyu (pengembangan terus menerus) dilakukan dengan cara mengalirkan fase gerak secara terus-menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas tangki) melalui suatu lapisan, dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan. d.Pengembangan gradient Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan kom-posisi fase gerak yang berbeda-beda. Lempeng yang berisi analit dapat dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak tertentu lalu komponen fase gerak selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam bejana dan diaduk sampai homogen. Tujuan utama sistem ini adalah untuk mengubah polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak yang reprodusibel sangatlah sulit sehingga teknik kromatografi ini kurang begitu populer141. 5. Deteksi Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang ti-dak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisi-ka, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan dengan fluoresensi dibawah sinar ultraviolet. Fluoresensi dengan sinar ultraviolet, terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, akan membuat bercak terlihat lebih jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi, maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam karena menyerap sinar ultraviolet sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak: Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang me-ngandung gugus fungsional tertentu sehinga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahu-lu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensi-tas warna bercak.

Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang pada panjang gelombang emisi 254 atau 366 nm untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi se-ragam. Lempeng yang diperdagangkan dapatdibeli dalam ben-tuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk mem-berikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah dilakukan pengem-bangan. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai keco-klatan. Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densi-tometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas f3i-diasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak {peak) dalam pencatat (recorder). Sumber : Rohman, Abdul. 2009. Kromatigrafi Untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu.http://www.dokterkimia.com/2010/07/bahan-dan-teknik-kromatografi-lapis.html

Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography)Posted by: rgmaisyah on: Oktober 10, 2009

In: Chemistry | PhytOcHemistrY Comment!

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom. (1) Kromatografi digunakan sebagai untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponenkomponennya, misalnya senyawa Flavonoida dan isoflavonoida yang terdapat pada tahu, tempe, bubuk kedelai dan tauco serta Scoparia dulcis, Lindernia anagalis, dan Torenia violacea. Yang pada senyawa isoflavon memiliki banyak manfaat. Beberapa kelebihan senyawa isoflavon yang potensial bagi kesehatan manusia, di antaranya adalah sebagai antioksidan, antitumor / antikanker, antikolesterol, antivirus, antialergi, dan dapat mencegah osteoporosis. (2)

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending). (1) Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat. (1) Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini : (1)

Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.

Referensi :1. Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2. Kromatografi Lapis Tipis. 2009. http://greenhati.blogspot.com/2009/01/kromatografi-lapis-tipis.html . diakses 1 Oktober 2009. 3. Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung. 4. Kromatografi Lapis Tipis. 2009. http://www.chem-istry.org/materi_kimia/instrumen_analisis/kromatografi1/kromatografi_lapis_tipi s/ . Diakses 3 Oktober 2009. http://rgmaisyah.wordpress.com/2009/10/10/kromatografi-lapis-tipis-thin-layerchromatography/

Website: http://www.majalah-farmacia.com

STRES OKSIDATIF SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENYAKIT KARDIOVASKULARKOLOM - Vol.6 No.1, Agustus 2006 Enday Sukandar

Sub Unit Ginjal dan Hipertensi, Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung Pendahuluan Dialisis (hemodialisis dan CAPD) merupakan salah satu alternatif terapi pengganti ginjal (TPG) sebelum transplantasi ginjal untuk pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap akhir. Masalah yang dihadapi masa kini dan mendatang hampir di setiap negara maju dan berkembang, apalagi di Indonesia adalah kesulitan untuk mendapat ginjal dari donor hidup keluarga atau kadaver. Tidak mengherankan populasi pasien sangat meningkat. Pasien dialisis regular tidak terlepas dari berbagai komplikasi medis yang terkait dengan anemia, malnutrisi, inflamasi, gangguan metabolisme kalsium fosfor, hipertensi, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular. Beberapa masalah medis dapat dikendalikan dengan terapi ajuvan dan modifikasi dialisis (high-flux); sehingga biaya dialisis lebIh mahal. Studi epidemiologi mengungkapkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) pada pasien dialisis lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, American Heart Association 2003 mengeluarkan pernyatan ilmiah (scientific statement) untuk meninjau keterlibatan penyakit ginjal kronis sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular terkait dengan faktor risiko tradisional atau klasik (dikenal sebagai Framingham Risk Factors) dan nontradisional. Stres oksidatif merupakan salah satu faktor risiko nontradisional, diduga mempunyai peranan utama dari perkembangan aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis. Penulis melakukan studi pustaka peranan stres oksidatif sebagai faktor risiko proses penyakit kardiovaskular khusus aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis tahap 1 sampai 4 bertumpu kepada 4 definisi faktor resiko nontradisional sesuai dengan pernyataan ilmiah (scientic statement) dari American Heart Association tahun 2003. Pernyataan ilmiah mengenai 4 definisi faktor risiko penyakit kardiovaskular nontradisional pada penyakit ginjal kronis (PGK)s; meliputi (I) A biologically plausible role for the factor inpromoting CVD risk, (2) A dose-response relationship between level of the risk and severity of kidney disease, (3) An Association between the factor with CVD in patient with CKD, and (4) evidence from clinical trials that treatment of the risk decreases CVD risk. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, penulis menyajikan studi pustaka dengan beberapa materi sebagai berikut: (1) sekilas tentang fisiologi reactive oxygen species, (ROS), (2) dasar bukti studi epidemiologi penyakit kardiovaskular pasien dialisis, (3) dasar bukti observasional penyakit kardiovaskular pasien pre dialisis, (4) dasar bukti in vivo biomarker stres oksidatif pada penyakit ginjal kronis, (5) peranan stres oksidatif pada patofisiologi aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis, (6) studi uji antioksidan bertumpu kepada ilmu dasar, scietific research, dan (7) studi uji klinis antioksidanpada penyakit ginjal kronis. Fisiologi reactive oxygen species (ROS)

Stres oksidatif dapat dipandang sebagai gangguan keseimbangan antara produksi oksidan dan antioksidan defense atau destruksi reactive oxygen species (ROS); seperti anion superoksida (.O2-), radikal hidroksil (.OH), hidrogen peroksida (H2O2), radikal nitrit oksida (.NO) dan periksonitrit (ONOO-). Ketidakseimbangan preoksidan ini dapat menyebabkan oksidasi makromolekul; meliputi lipid, karbohidrat, asam amino, protein dan DNA, diikuti dengan kerusakan selular dan jaringan. Reaktivitas oksigen mempunyai peranan penting karena yang melandasi kekuatan destraksi adalah radikal bebas tersebut. Seperti diketahui, oksigen terpapar luas di lingkungan sehingga tubuh manusia akan mengonsumsi sekitar 250 gram oksigen setiap hari. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 3 - 5% dikonversi menjadi anion perioksida (.O2-) dan spesies reaktif lainnya. Oksidasi lipoprotein (oksidasi kolesterol LDL) merupakan suatu proses biologi yang diduga terlibat dalam mekanisme proses inisiasi dan akselerasi lesi arteri. Makrofag (neutrofil dan monosit aktif merupakan mediator selular utama yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi lipoprotein in vivo. Oksidasi lipoprotein oleh neutrofil dan monosit makrofag karena pengarah sel-sel tersebut, baik in vivo maupun in vitro dan menghasilkan sejumlah besar ROS; seperti anion superoksida (.O2-) yang dihasilkan melalui aktivitas flavoenzim Nicotinide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oxidase, radikal hidroksil (.NO) yang pembentukannya dikatalisis oleh inducible Nitric Oxide (iNOS) dan mengepresikan berbagai mediator biokimia yang terlibat dalam oksidasi lipoprotein seperti, myeloperoxidase (MPO) dan 15-lipoksgenase (LO). Disamping sel-sel leukosit (fagosit), ROS dalam pembuluh darah yang mengalami lesi juga dapat berasal dari berbagai macam sumber. Gambar 1, memperlihatkan beberapa macam mekanisme kunci pembentukan, interaksi dan degradasi ROS intravaskular. Gambar 1. Sumber potensial ROS di jaringan vaskular Beberapa ROS yang mempunyai peranan penting untuk disfungsi endotel; antara lain anion superoksida (.O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan peroksinitrit (ONOO-). Berbagai enzim juga terlibat untuk pembentukan anion superoksida (.O2-) di sitosol endotel terutama NADPH oksidase yang merupakan protein transmembran, dan berbagai enzim sitosolik lainnya seperti siklooksigenase (COX), nitrit oksida sintase (NOS), lipoksigenase (LO), dan sitokrom P-450. Reaksi transpor elektron di mitokondria dapat menjadi sumber pembentukan .O2-. Melalui aktivitas Mangan-superoksida-dismustase (MmSOD) pada mitokondria dan atau Cu / ZnSOD pada sitosol), superoksida (.O2-) mengalami konversi menjadi H2O2. Hidrogen peroksida (H2O2) oleh glutation peroksidase dan thioredoksin peroksidase pada sitosol dan oleh katalase diperoksisom direduksi menjadi air. Makrofag dapat memproduksi juga anion superoksida .O2melalui aktivitas NADPH oksidase, kemudian mengalarni dismutasi oleh SOD ekstraselular (Ec SOD) menjadi H2O2. Enzim myeloperoksidase yang terdapat pada makrofag terlibat juga pembentukan radikal hipoklorida (HOCL) yang lebih reaktif dari H2O2. Pembentakan ROS dalam pembuluh darah sebagian besar dimulai dengan reduksi satu elektron pada molekul oksigen untuk membentuk anion superoksida .O2- yang pembentukannya semakin meningkat pada proses aterosklerosis. Beberapa sumber penghasil anion superoksida .O2- dalam pembulah vaskular antara lain sel-sel fagosit (monosit dan makrofag) berinfiltrasi ke dalam

subendotel, sel endotel vaskular, sel-sel otot polos vaskular (vascular smooth muscle cells, VSMC) dan fibrobias. Studi terkini dengan kultur sel vaskular menunjukan NADPH oksidase yang mempunyai sifat nonfagositik merupakan sumber utama ROS. Pada situasi khusus ROS dalam vaskular dapat juga dihasilkan oleh aktivitas xanthin oksidase (XO), NOS, sitokrom P-450 dan reaksi transpor elektron pada mitokondria. Oksidasi kolesterol LDL oleh sel-sel endotel secara in vitro dapat diatasi melalui over ekspresi SOD pada sel-sel tersebut. Data ini menunjukan anion peroksida .O2- (dan/atau produk hasil reaksi dengan radikal tersebut) mempunyai peranan dalam oksidasi LDL. Anion superoksida .O2- yang keluar dari atau diproduksi di luar sel-sel endotel vaskular mengalami konversi dengan bantuan SOD ekstraselular (Ec SOD) menjadi hidrogen peroksida SE (H2O2). Sedangkan anion superoksida .O2- yang diproduksi di dalam sel endotel akan konversi dengan bantuan Cu/Zn SOD dan Mn SOD menjadi hidrogen peroksida H2O2 yang dapat langsung bergerak menembus membran sel. Hidrogen peroksida H2O2 yang berada di ruang ekstraselular kemudian akan dikonversi menjadi spesies oksigen yang sangat reaktif yaitu asam hipoklorida (HOCL), oleh enzim aktivitas myeloperoksidase dalam sel-sel fagosit pada lesi aterosklerosis pada manusia. Secara in vivo asam hipoklorida HOCL terbukti merupakan oksidator penting terhadap residu asam amino yang terdapat pada molekul kolesterol LDL. Secara in vitro, asam hipoklorida HOCL dapat cepat melakukan klorinasi gugus apolipoprotein pada molekul kolesterol LDL untuk menghasilkan produk-produk sekunder antara lain senyawa kloramin yang dapat menginduksi peroksida lipid. Modifikasi kolesterol LDL dengan pengarah HOCL dapat menyebabkan agregasi kolesterol LDL dan menghasilkan partikel kolesterol LDL yang cepat dikenali dan ditangkap makrofag. Disamping itu, myeloperoksidase mengubah Ltirosin menjadi radikal tyrosin yang dapat menginduksi peroksidase lipid pada partikel LDL. Penelitian in vivo peroksinitrit (ONOO-) yang merupakan hasil reaksi superoksida .O2- dan radikal nitrit oksida .NO juga terlibat pada oksidasi kolesterol LDL. Yang menarik studi in vitro, oksidasi protein yang diinduksi oleh ONOO- tidak tergantung dari keberadaan - tocoferol pada partikel LDL. Pada rasio ONOO-/LDL < 100: 1, peroksidasi lipid oleh oksidan tersebut dapat meningkat sesuai dengan peningkatan kandungan -tocoferol yang terikat pada LDL. Informasi ini sangat penting untuk menjelaskan vitamin E tidak efektif untak melindungi LDL terhadap proses oksidasi oleh peroksinitrat ONOO-. Peranan radikal nitrit oksida .NO pada oksidasi LDL sampai saat ini masih belum jelas dan penelitian rnasih berlanjut. Dasar bukti studi epitemiologi penyakit kardiovaskuler pasien dialisis Selama Periode 20 tahun terakhir perkembangan teknik dialisis maju pesat seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tetapi komplikasi penyakit kardiovaskular (PKV) masih merupakan penyebab utama mortalitas, diduga sekitar 40-50% dari semua penyebab mortalitas. Penelitian epidemiologi mengungkapkan insiden pasien dialisis mempunyai prevalensi tinggi

penyakit kardiovaskular: meliputi hipertrofi ventrikel kiri, kardiomiopati, gagal jantung kongestif, dan penyakit jantung iskemik. Penulis melaporkan penyakit kardiovaskular dengan presentasi klinis hipertensi 70%, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik 49% dan penyakit jantung iskemik 6% dari 356 pasien baru dengan penyakit ginjal kronis tahap akhir (tahap 5) untuk inisiasi dialisis. Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap 3 sampai 5 sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease, mempunyai resiko tinggi komplikasi aterosklerosis terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Tidak mengherankan banyak dilaporkan PGK tahap 3 sampai 5 meninggal terkait komplikasi penyakit kardiovaskular sebelum pasien memasuki PGK tahap akhir yang memerlukan tindakan dialisis. Penelitian terkini, melibatkan kelompok pasien dengan riwayat infark miokard akut, sindrom koroner akut, dan prosedur revaskularisasi mengungkapkan keberadaan penyakit ginjal kronis tahap awal sebagai prediktor independen untuk akibat lanjut bencana penyakit kardiovaskular dan mortalitas. Laporan studi epidemiologi mengungkapkan mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) disesuaikan dengan faktor umur, gender dan ras. Data ini merupakan cermin bahwa telah terjadi peningkatan insiden dan prevalensi kasus bencana PKV fatal di antara populasi pasien dialisis regular. Semua bencana PKV terkait dengan hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan perubahan kardiak paling sering ditemukan pada penyakit ginjal (PGK) dan sesuai dengan derajat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Perubahan-perubahan kardiak terkait dengan pressure overload dan volume overload. Pressure overload dicetuskan hipertensi yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik. Volume overload dicetuskan hipervolemia kronis, anemia atau sirkulasi hiperdinamik yang terkait dengan peningkatan cardiac output, berakhir dengan hipertrofi ventrikel kiri eksentrik. Hipertrofi ventrikel kiri sebagai mekanisme adaptif untuk mengakomodasi pressure overload atau volume overload tetapi dapat berakhir dengan diastolic dysfunction yang merupakan fenomena adaptif. Banyak faktor resiko PKV nontradisional yang muncul sesuai dengan penurunan LFG, antara lain anemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperaktivitas syaraf simpatetik. Homosistein, dan CRP. Hiperparatiroidisme sekunder sering menyebabkan kalsifikasi vaskular. Klasifikasi mengenai tunika intima hampir 80-90% menyebabkan atherosclerosis plaque, diikuti presentasi klinis oklusi dan nekrosis. Kalsifikasi vaskular mengenai tunika media (Monkeberg sclerosis) dapat menyebabkan arterosklerosis dengan presentasi peningkatan aortic pulse-wave velocity, rigiditas vaskular, penurunan arterial compliance dan hipertensi sistolik. Semua perubahan patofisiologi arteriosklerosis merupakan pressure overload yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik. Presentasi klinis penyakit kardiovaskular pada PGK terutama arteriosklerosis dan kardiomiopati. Peranan stres oksidatif pada proses aterosklerosis cukup menonjol pada pasien dialisis. Seperti terungkap pada gambar 2, aktivitas stres oksidatif dipengaruhi anemia, gangguan metabolisme kalsium-fosfor, angiotensin 11, peningkatan aktivitas syaraf simpatetif, hiperhomosistein, C-reactive protein dan nitric oxide NO (ADMA).

Gambar 2. Risk factors specific to renal disease and emerging risk factors Dasar bukti studi observasional penyakit kardiovaskular pasien penyakit ginjal kronis pre dialisis Hubungan antara penyakit ginjel kronis (PGK), penyakit kardiovaskular (PKV) dan faktor resiko penyakit kardiovaskur, seperti terungkap pada gambar 3. Gambar 3. PGK merupakan faktor resiko untuk PKV dan PKV mungkin sebagai faktor resiko untuk kerusakan progresif PGK. Faktor resiko PKV tradisional dapat menyebabkan perkembangan dan progresivitas baik PGK maupun PGK. Penurunan LFG terkait dengan peningkatan faktor resiko PKV tradisional dan nontradisional. Faktor resiko PKV nontradisional masih belum jelas sebagai faktor resiko penting untuk progresivitas PGK. Tabel 1. Faktor resiko kardiovaskular tradisional dan nontradisional pada penyakit ginjal kronis. Faktor risiko tradisional Faktor resiko nontradisional Usia Albuminuria / proteinuria Gender laki Hornosistein Hipertensi Lipoprotein (a) dan apolipoprotein (a) isoforms Peningkatan kolesterol LDL Lipoprotein remnants Penurunan kolesterol HDL Anemia Diabetes Gangguan metabolisme kalslum-fosfor Rokok Peningkatan volume eairan ekstraselular Inaktivitas fisik Stres oksidatif Menopause Inflamasi (RP) Riwayat keluarga Pl