klarifikasi terkait kesamaan karya ilmiah dengan …
TRANSCRIPT
Jakarta, 05 Februari 2020
Kepada Yth.
Tim Penilai Usulan Guru Besar atas nama Dr. Dwiza Riana, S.Si.,MM.,M.Kom
Di Tempat
KLARIFIKASI TERKAIT KESAMAAN KARYA ILMIAH DENGAN DISERTASI
Klarifikasi Disertasi dengan judul “PEROLEHAN CITRA SEL TUNGGAL PAP SMEAR UNTUK
DETEKSI DINI KANKER SERVIKS MELALUI PROSES PEMISAHAN SEL TUMPANG TINDIH
DAN ELIMINASI SEL RADANG” terkait kesamaan dengan artikel ilmiah yang telah dipublikasikan dengan
judul “PERBANDINGAN SEGMENTASI LUAS NUKLEUS SEL NORMAL DAN ABNORMAL PAP
SMEAR MENGGUNAKAN OPERASI KANAL WARNA DENGAN DETEKSI TEPI CANNY DAN
REKONSTRUKSI MORFOLOGI”.
Berdasarkan hasil analisa dan perbandingan yang dilakukan terhadap komponen permasalahan penelitian, tujuan
penelitian, data set yang digunakan, algoritma, metode penelitian, hasil penelitian dan kontribusi paper dan
disertasi diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Permasalahan penelitian dalam kedua penelitian ini sangat berbeda. Penelitian pada paper fokus kepada
perbandingan segmentasi dari luas nukleus sel normal dan abnormal, sedangkan permasalahan pada
disertasi mengatasi keberadaan sel tumpang tindih untuk memperoleh citra sel tunggal dan khusus pada
proses pengolahan citra sehingga kemiripan dari permasalahan penelitian sebesar 0%.
2. Terdapat perbedaan tujuan yang sangat signifikan dari kedua penelitian ini. Tujuan penelitian pada
paper adalahuntuk menemukan metode pengukuran yang cocok dengan pengukuran luas inti secara
manual. Sedangkan tujuan penelitian disertasi mendapatkan citra sel tunggal, menyelesaikan masalah
pada sel radang dan mengidentifikasi sel nukleus pada citra Pap-smear tumpang tindih. Sehingga
kemiripan tujuan penelitian antara keduanya sebesar 0%.
3. Dataset yang digunakan dalam kedua penelitian sangat berbeda dan memiliki permasalahan atau
peluang penelitian yang tidak sama. Sehingga dengan dataset yang tidak sama maka kedua penelitian
tidak memiliki kemiripan atau kemiripannya sebesar 0%.
4. Terdapat perbedaan algoritma yang digunakan dalam kedua penelitian sehingga kemiripannya 0%.
5. Dari kedua gambar metode penelitian terlihat bahwa tahapan penelitian yang dilakukan dalam kedua
penelitian ini sangat berbeda dan tentu saja sesuai dengan tujuan penelitian masing-masing. Kesamaan
kedua penelitian ini adalah bertujuan untuk mendapatkan solusi bagi deteksi dini secara otomatis citra
Pap-smear untuk menanggulangi permasalahan cervical cancer. Sehingga kemiripan pada metode
penelitian sebesar 0%.
6. Hasil penelitian dari keduanya jelas memiliki perbedaan sehingga kemiripannya 0%.
7. Masing-masing penelitian memiliki kontribusi yang berbeda sehingga dapat dinyatakan memiliki
kemiripan 0%.
Untuk rincian dari analisa kemiripan pada masing-masing paper dapat dilihat pada tabel yang disertakan dalam
surat klarifikasi ini.
Demikian klarifikasi ini saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu Tim Penilai, mohon maaf jika terdapat
hal-hal yang kurang berkenan dan atas perhatian Bapak dan Ibu diucapkan terimakasih.
Hormat saya,
Dr. Dwiza Riana, S.SI.,MM.,M.Kom
Perbandingan dan Klarifikasi Kemiripan Paper No. 15 dengan Disertasi an Dwiza Riana
No Komponen
yang
dibandingkan
Paper: Perbandingan Segmentasi Luas
Nukleus Sel Normal dan Abnormal Pap
Smear Menggunakan Operasi Kanal
Warna dengan Deteksi Tepi Canny dan
Rekonstruksi Morfologi, Jurnal TICOM,
2013
Disertasi, 28 Agustus 2015, berjudul Perolehan Citra Sel
Tunggal mikroskopik Pap Smear Melalui proses
pemisahan sel tumpeng tindih dan eliminasi sel radang
(ImageAcquisition of Pap Smear Single Cell for Early
Detection of Cervical Cancer Cells through the process
of separation of overlapping cells and elimination of
inflammatory cells )
Klarifikasi kemiripan
Paper terhadap Disertasi
1 Permasalahan
Penelitian
Skrining Pap smear secara teratur adalah upaya
ilmu dan praktik kedokteran yang paling
berhasil untuk deteksi dini kanker serviks.
Analisis manual sel-sel serviks memakan
waktu, melelahkan dan rawan kesalahan. Dalam
deteksi dini, karakterisasi inti sel berperan
penting untuk mengklasifikasikan derajat
kelainan pada kanker serviks.
Diagnosis kanker serviks pada citra Pap smear terkadang sulit
dilakukan padahal merupakan prosedur yang sangat penting.
Untuk memperoleh informasi diagnostik yang dapat
diandalkan, nukleus dan karakteristik sel harus diidentifikasi
dan dievaluasi dengan benar. Namun, kehadiran sel-sel
radang dan sel tumpang tindih dalam citra mikroskopik Pap
smear mempersulit proses deteksi. Disertasi ini difokuskan
pada pengembangan metode segmentasi citra untuk secara
efisien menangani masalah keberadaan spesifik sel-sel
radang dan sel tumpang tindih pada citra mikroskopik Pap
smear untuk mendapatkan sel tunggal bagi deteksi dini
kanker serviks. Citra mikroskopik Pap smear memiliki
kompleksitas dan karakteristik tertentu, tantangan bagi setiap
metode segmentasi untuk mengatasi kompleksitas dan
masalah citra Pap Smear, yaitu tingginya tingkat tumpang
tindih sel, kurangnya homogenitas dalam intensitas citra dan
keberadaan sel-sel radang. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah mengatasi keberadaan sel tumpang tindih dan sel
radang pada citra mikroskopik Pap smear. Membangun
teknik segmentasi pada citra sel tumpang tindih adalah
rintangan utama untuk analisis sel servik.
Permasalahan penelitian
dalam kedua penelitian ini
sangat berbeda. Penelitian
pada paper fokus kepada
perbandingan segmentasi
dari luas nukleus sel normal
dan abnormal, sedangkan
permasalahan pada disertasi
mengatasi keberadaan sel
tumpang tindih untuk
memperoleh citra sel
tunggal dan khusus pada
proses pengolahan citra
sehingga kemiripan dari
permasalahan penelitian
sebesar 0%
2 Tujuan
Penelitian
Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk
menemukan metode pengukuran yang cocok
dengan pengukuran luas inti secara manual.
Dalam pekerjaan ini, kami menggunakan
gambar Pap smear sel tunggal dari bank data
Herlev dalam mode RGB
Tujuannya untuk mencapai identifikasi akurat dari daerah
tertentu yang menjadi perhatian, dan agar mendapatkan
kesimpulan yang dapat diandalkan tentang konten dari citra
Pap smear. Pengolahan citra Pap smear terkait dengan
beberapa aspek dari bidang ilmiah pengolahan citra biomedis,
seperti deteksi objek, delinasi objek, pemisahan bagian yang
tumpang tindih dan identifikasi normal dan abnormal dari
objek sel dalam citra yang mengandung noise dan artefak.
Terdapat perbedaan tujuan
yang sangat signifikan dari
kedua penelitian ini. Tujuan
penelitian pada paper
adalahuntuk menemukan
metode pengukuran yang
cocok dengan pengukuran
luas inti secara manual.
Sedangkan tujuan penelitian
disertasi mendapatkan citra
sel tunggal, menyelesaikan
masalah pada sel radang dan
mengidentifikasi sel
nukleus pada citra Pap-
smear tumpang tindih.
Sehingga kemiripan tujuan
penelitian antara keduanya
sebesar 0%
3 Data set Dataset Herlev dalam mode RGB. Citra sel
dipilih dari 90 subjek kelas normal dan 160
subjek kelas abnormal yang meliputi: Displasia
Ringan (Ringan), Displasia Sedang, Displasia
Berat, dan Karsinoma In Situ. Inti dari setiap
citra sel dipotong secara manual untuk
dilokalisasi dari sitoplasma
Data privat dari Laboratorium Patology Bandung berupa sel
tumpang tindih sebanyak 418 citra
Dataset yang digunakan
dalam kedua penelitian
sangat berbeda dan
memiliki permasalahan atau
peluang penelitian yang
tidak sama. Sehingga
dengan dataset yang tidak
sama maka kedua penelitian
tidak memiliki kemiripan
atau kemiripannya sebesar
0%
4 Algoritma Modifikasi kanal warna dilakukan pada setiap
citra inti yang dipotong dengan cara
memisahkan kanal R, G, B, dan grayscale,
kemudian dilakukan operasi penjumlahan
berdasarkan kanal warna (R + G + B, R + G, R
+ B, G + B, dan grayscale). Deteksi tepi Canny
diterapkan pada modifikasi yang menghasilkan
gambar tepi biner. Segmentasi nukleus
dilakukan pada citra tepi dengan melakukan
pengisian daerah berdasarkan rekonstruksi
morfologi. Properti luas dihitung berdasarkan
luas inti tersegmentasi. Area inti dari metode
yang diusulkan diverifikasi ke pengukuran
manual yang ada (kebenaran dasar) dari bank
data Herlev
Dalam penelitian ini, algoritma segmentasi dikembangkan
untuk pemisahan sel tumpang tindih dan segmentasi sel
radang pada citra Pap smear. Tahapan pre-processing berupa
konversi warna, peningkatan citra, pengenalan objek dan
pembersihan latar belakang dengan rule klasifikasi tekstur
untuk menghasilkan cropping sel tumpang tindih secara
otomatis. Segmentasi sel tumpang tindih dilakukan untuk
segmentasi sitoplasma tumpang tindih dan daerah tumpang
tindih dengan graylevel thresholding. Proses selanjutnya
dilakukan delinasi sel tumpang tindih dengan empat proses
yaitu pembagian daerah tumpang tindih, pencarian jarak
terdekat dari pinggiran daerah tumpang tindih,
penyambungan pinggiran sitoplasma tumpang tindih dengan
pendekatan geometri dan proses isolasi sel tumpang tindih.
Proses ini menghasilkan perolehan citra sel tunggal. Tahap
selanjutnya dilakukan eliminasi sel radang dan deteksi
nukleus dengan kombinasi graylevel thresholding dan
defenisi aturan jarak. Akhirnya dilakukan analisa morphologi
dan identifikasi sel untuk menentukan kenormalan sel.
Metode pemisahan sel tumpang tindih dievaluasi dengan
menggunakan 21 citra yang mengandung 24 citra sel
tumpang tindih, 61 sel nukleus dan 155 sel radang dengan
lima ukuran daerah tumpang tindih yang berbeda-beda yaitu
>150x200 piksel, > 100 x 200 piksel, >150x150 piksel,
>150x200 piksel, >100x100, dan >200x200 piksel.
Terdapat perbedaan
algoritma yang digunakan
dalam kedua penelitian
sehingga kemiripannya 0%
5 Metode
penelitian
Flowchart Prosedur Eksperimen
Dari kedua gambar metode
penelitian terlihat bahwa
tahapan penelitian yang
dilakukan dalam kedua
penelitian ini sangat
berbeda dan tentu saja
sesuai dengan tujuan
penelitian masing-masing.
Kesamaan kedua penelitian
ini adalah bertujuan untuk
mendapatkan solusi bagi
deteksi dini secara otomatis
citra Pap-smear untuk
menanggulangi
permasalahan cervical
cancer. Sehingga kemiripan
pada metode penelitian
sebesar 0%.
6 Hasil Penelitian Dapat disimpulkan bahwa deteksi tepi Canny
dengancanal modification paling signifikan
untuk semua kelas abnormal. Sedangkan untuk
Normal Superficial, Normal Intermediate,
Severe Dysplasia dan Moderate Dysplasia,
deteksi tepi Canny signifikan untuk semua
modifikasi RGB dengan (r 0,314 - 0,817 range,
p-value 0,01), dan untuk Kolom Normal,
Displasia Ringan (Ringan) dan Carsinoma In
Situ, deteksi tepi Canny tidak sensitif untuk tiga
kelas
Dari analisis data uji citra mikroskopik Pap smear
menunjukkan pemisahan sel tumpang tindih dapat
menghasilkan perolehan citra tunggal Pap smear. Metode
eliminasi sel radang dapat secara signifikan menghilangkan
sel-sel radang dan mendeteksi nukleus pada 142 citra sel
tunggal yang berhasil diisolasi, di mana identifikasi berupa
fitur area, perimeter dan roundness nukleus dan sitoplasma
serta klaisikasi sel dapat dilakukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode eliminasi sel radang secara
signifikan menyederhanakan proses deteksi nukleus,
sehingga mengurangi jumlah sel inflamasi yang dapat
mengganggu Aspek-aspek yang dibahas dalam penelitian ini,
memberikan konteks yang terintegrasi untuk analisis secara
efisien bagi deteksi otomatis kanker serviks untuk segmentasi
sel radang dan pemisahan sel tumpang
tindih pada citra sel mikroskopik Pap smear.
Hasil penelitian dari
keduanya jelas memiliki
perbedaan sehingga
kemiripannya 0%.
7 Kontribusi Melakukan modifikasi pada canal warna dan
deteksi tepi menggunakan metoe Canny dan
Rekonstruksi Morfologi
Kontribusi penelitian disertasi berupa metode eliminasi sel
radang yang secara signifikan dapat menyederhanakan proses
deteksi nukleus, sehingga mengurangi jumlah sel radang
yang mengganggu deteksi nukleus. Metode yang
memberikan konteks yang terintegrasi untuk analisis secara
efisien bagi deteksi otomatis kanker serviks untuk segmentasi
sel radang dan pemisahan sel tumpang tindih pada citra sel
mikroskopik Pap smear. Kontribusi metode terdiri dari
tahapan proses pemisahan citra sel tumpang tindih dengan
pendekatan geometrik, perolehan citra tunggal Pap-smear,
kemudahan analisa morpologi dan identifikasi jenis sel,
mengatasi permasalahan keberadaan sel radang dan proses
eliminasi citra sel radang, yang belum pernah dilakukan
dalam penelitian lain.
Masing-masing penelitian
memiliki kontribusi yang
berbeda sehingga dapat
dinyatakan memiliki
kemiripan 0%.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 70
Perbandingan Segmentasi Luas Nukleus Sel Normal
dan Abnormal Pap Smear Menggunakan Operasi
Kanal Warna dengan Deteksi Tepi Canny dan
Rekonstruksi Morfologi Dwiza Riana
1, Dwi H. Widyantoro
2, Tati Latifah R. Mengko
3
Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia [email protected]
Abstrak— This paper presents a comparison of cell nucleus
segmentation and area measurement of Pap smear images by
means of modification of color canals with Canny edge detection
and morphological reconstruction methods. Regular Pap smear
screening is the most successful attempt of medical science and
practice for the early detection of cervical cancer. Manual
analysis of the cervical cells is time consuming, laborious and
error prone. In early detection, cell nucleus characterization
plays an important role for classifying the degree of abnormality
in cervical cancer. The aim of this work is to find the matched
measurement method with the manual nucleus area
measurement. In this work, we utilized Pap smear single cell
images from Herlev data bank in RGB mode. The cell images
were selected from 90 normal and 160 abnormal class subjects
that include: Mild (Light) Dysplasia, Moderate Dysplasia, Severe
Dysplasia and Carcinoma In Situ classes. The nucleus of each cell
image was cropped manually to localize from the cytoplasm. The
color canals modification was performed on each cropped
nucleus image by, first, separating each R, G, B, and grayscale
canals, then implementing addition operation based on color
canals (R+G+B, R+G, R+B, G+B, and grayscale). The Canny
edge detection was applied on those modifications resulting in
binary edge images. The nucleus segmentation was implemented
on the edge images by performing region filling based on
morphological reconstruction. The area property was calculated
based on the segmented nucleus area. The nucleus area from the
proposed method was verified to the existing manual
measurement (ground truth) of the Herlev data bank. Based on
thorough observation upon the selected color canals and Canny
edge detection. It can be concluded that Canny edge detection
with canal modification is the most significant for all abnormal
classes. While for Normal Superficial, Normal Intermediate,
Severe Dysplasia and Moderate Dysplasia, Canny edge detection
is significant for all RGB modifications with (r 0.314 – 0.817
range, p-value 0.01), and for Normal Columnar, Mild (Light)
Dysplasia and Carsinoma In Situ, Canny edge detection is not
sensitive for the three classes.
Kata Kunci— Pap smear images, nucleus, color canals, Canny
edge detection, morphological reconstruction.
I. PENDAHULUAN
Di seluruh dunia kanker serviks merupakan salah satu
kanker yang paling umum di kalangan wanita. Kanker ini
penyebab hilangnya nyawa produktif pada wanita baik karena
kematian dini serta kecacatan berkepanjangan. Lebih dari 80%
wanita di negara berkembang meninggal karena kanker
serviks [1]. Alasan utama adalah kurangnya kesadaran akan
penyakit dan akses ke layanan kesehatan. Pemeriksaan rutin
dengan Pap smear dapat membantu mencegah sejak dini
kanker serviks. Pemeriksaan terhadap squamous epithelium
dilakukan ahli patologi anatomi untuk menyatakan hasil Pap
smear seorang pasien wanita memiliki sel normal atau
abnormal. Tahap kunci dalam deteksi otomatis dini kanker
serviks adalah akurasi segmentasi sel nukleus [2]. Selama ini
segmentasi nukleus pada citra sel Pap smear banyak dilakukan
pada citra berskala abu-abu (grayscale) [3]-[10]. Tujuan
penelitian ini untuk membandingkan segmentasi pada citra
RGB dengan citra grayscale dalam menangani segmentasi
nukleus sel normal dan abnormal. Selain itu juga ingin
mengetahui metode deteksi Canny dengan rekonstruksi
morpologi apakah mampu mendeteksi tepi nukleus sel normal
dan abnormal Pap smear. Paper ini terbagi dalam beberapa
bagian. Bagian 2 membahas tentang kanker serviks. Bagian 3
tentang tentang material dan metode yang digunakan dalam
penelitian. Bagian 4 menjelaskan tentang hasil dan
pembahasan. Selanjutnya ditutup dengan kesimpulan dan
rencana penelitian lanjutan.
II. KANKER SERVIKS
Kanker adalah sekelompok penyakit yang memiliki ciri
adanya pertumbuhan dan penyebaran sel-sel abnormal (sel
kanker) yang tidak terkendali [11]. Sel merupakan penyusun
dari semua makhluk hidup. Manusia memiliki trilyunan sel,
yang memungkinkan manusia untuk bernafas, bergerak,
berpikir, dan melakukan semua fungsi yang mencirikan bahwa
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 71
manusia hidup. Namun kadang kala beberapa sel mengalami
perubahan fungsi dan perilaku, berhenti berfungsi, bahkan
menjadi perusak dalam tubuh sendiri. Sel-sel ini disebut sel
kanker. Salah satu sifat utama dari sel, baik sel normal
maupun sel kanker, adalah kemampuannya untuk
memperbanyak diri. Sel melakukan proses ini dengan cara
membelah diri [2], [12], [13].
Pemeriksaan patologi masih merupakan baku emas dalam
pemeriksaan kanker, karena merupakan alat diagnostik
terpenting yang harus dilakukan. Pemeriksaan patologi adalah
pemeriksaan sampel kecil sel di bawah mikroskop untuk
menentukan apakah terdapat kanker dengan melihat
abnormalitasnya yaitu membandingkan sel yang diamati
dengan sel yang sehat. Dilihat dari bentukan sel dan
diferensiasi melalui mikroskop [2], [12], [14]. Diferensiasi
menyatakan seberapa banyak kemiripan sel kanker ini dengan
sel jaringan asalnya yang normal, baik dalam hal morfologi
ataupun fungsi [12]. Perkembangan kanker serviks
membutuhkan waktu, sejak serviks yang sehat terinfeksi oleh
virus Human Papilloma Virus (HPV) [15] sehingga terjadi
displasia ringan. Proses lesi kanker berlangsung cukup lama
antara 3 – 17 tahun. Pada perkembangan lesi pra kanker sel
berubah menjadi displasia sedang, displasia keras, karsinoma
insitu hingga terjadi kanker serviks [16]. Pada perjalanan
penyakit kanker serviks ini dapat dihindari dengan melakukan
deteksi dini kanker serviks, sehingga tidak terlanjur
berkembang menjadi kanker serviks.
Sel-sel kanker menunjukkan peningkatan luas areal bila
dibandingkan dengan sel-sel normal. Fitur karakteristik dapat
digunakan sebagai penanda sel-sel leher rahim yang normal
atau abnormal. Gbr (1a) dan (1b) menunjukkan sel normal dan
sel yang abnormal [17] sel normal memiliki luas nukleus lebih
kecil dan luas sitoplasma yang sangat besar sedangkan sel
yang abnormal nukleus telah meningkat sehingga luas
sitoplasma menyusut [18].
Gbr (1a) Sel Normal Gbr (1b) Sel Abnormal
III. MATERIAL DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 250 citra dari 917 citra sel
tunggal data Herlev [19]. Data citra sel tunggal kanker serviks
tersebut telah diklasifikasi dalam tujuh kelas cyto-technicians
dan dokter berdasarkan pengukuran dan konfirmasi klinikal
[17].
TABEL I DATA HERLEV SEL CITRA PAP SMEAR
No Nama Kelas Jumlah Data Jumlah
Sampel
1 Normal Superficial 74 30
2 Normal Intermediate 70 30
3 Normal Columnar 98 30
4 Mild (Light) Dysplasia 182 40
5 Severe Dysplasia 146 40
6 Moderate Dysplasia 197 40
7 Carcinoma In Situ 150 40
Total Data 917 250
Database citra tunggal ini tersedia dan dapat diunduh untuk
penelitian dan dapat digunakan untuk analisis dan validasi.
Tabel 1 menjelaskan sebaran jumlah citra untuk masing-
masing kelas. Dari tujuh kelas tersebut, 3 kelas pertama
adalah kelas Normal yang terdiri dari Normal Superficial (NS),
Normal Intermediate (NI), dan Normal Columnar (NC).
Sedangkan empat kelas berikutnya kategori kelas abnormal
yaitu Mild (Light) Dysplasia (MLD), Severe Dysplasia (SD),
Moderate Dysplasia (MD), dan Carcinoma In Situ (CIS) [17].
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 90
citra sel dari kelas normal, masing-masing diambil 30 sampel
perkelas. Untuk kelas abnormal, total sampel yang digunakan
sebanyak 160, tiap kelas sebanyak 40 citra.
Pendekatan metode penelitian yang diusulkan untuk
segmentasi luas nukleus citra sel normal dan abnormal Pap
smear menggunakan operasi kanal warna dengan deteksi tepi
Canny dan rekonstruksi morfologi seperti yang ditunjukkan
pada Gbr 2 [20]. Citra yang digunakan dalam metode ini
adalah citra Pap smear konvensional yang merupakan gambar
optik mikroskopis dalam format bmp. Dalam penelitian ini
dipilih citra sel Pap smear tunggal untuk pengukuran luas
nukleus pada sel normal dan abnormal. Metode terdiri dari
proses manual cropping nukleus yang bertujuan mengambil
citra nukleus, operasi pemisahan kanal warna. Proses
selanjutnya dilakukan deteksi tepi, modifikasi kanal warna,
segmentasi dengan region filling dan hitung luas nukelus.
Gbr 2. Skema Metode Penelitian [20]
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 72
A. Proses Cropping Nukleus dan Pemisahan Kanal Warna.
Ilustrasi pemisahan nukleus dari sitoplasma pada proses
cropping ditunjukkan pada Gbr 3. Tahap berikut merubah
warna citra ke citra RGB dan grayscale. Citra terbentuk dari 3
layer matrik yaitu Red (R), Green (G), dan Blue (B). Dalam
metode grayscale, citra RGB dikonversi ke nilai grayscale
dengan mengubah komponen penjumlahan masing-masing R,
G, dan B dengan Persamaan (1).
1 gray = 0.2989 * R + 0.5870 * G + 0.1140 * B (1)
Pemisahan nukles dari sitoplasma dilakukan pada sel
normal dan abnormal. Ukuran hasil cropping berbeda-beda,
untuk sel normal nukleus lebih kecil dibandingkan dengan sel
abnormal.
Sitoplasma
Gbr 3. Ilustrasi Proses Cropping Nukleus pada Sel Normal dan Abnormal
B. Deteksi Tepi dengan Detektor Canny
Proses deteksi tepi dilakukan untuk menandai bagian yang
menjadi detail citra. Selain itu untuk memperbaiki detail dari
citra yang belum jelas, yang terjadi karena erorr atau adanya
efek dari proses akuisisi citra. Deteksi tepi juga untuk
meningkatkan penampakan garis batas suatu daerah atau
obyek di dalam citra.
Seperti diketahui citra sel Pap smear memiliki banyak derau
dan variasi bentuk. Di beberapa kondisi sulit untuk mengenali
bentuk nukleus dengan mudah. Ini membutuhkan satu deteksi
tepi yang baik. Deteksi tepi Canny termasuk operator gradien
pertama. Deteksi Tepi Canny adalah salah satu detektor yang
memiliki kemampuan anti-derau [21].
Citra (1) Citra (2) Citra (3)
Gbr 4. Hasil Citra biner dengan Detektor Tepi Canny pada
3 citra Normal Superficial [23]
Metode Canny bahkan tidak hanya mampu mengatasi derau
tetapi juga mendeteksi dengan benar tepi obyek [22].
Pemilihan metode Canny juga dikarenakan informasi dari
penelitian sebelumnya [23] sebagai penelitian awal
menggunakan 3 citra Normal Superficial. Pada penelitian
sebelumnya [23] dilakukan deteksi tepi dengan empat metode
deteksi tepi yaitu Roberts, Prewitt, Sobel dan Canny.
Citra (1) Citra (2) Citra (3)
Gbr 5. Hasil Citra Nukleus dengan Detektor Tepi Canny pada
3 citra Normal Superficial [23]
Hasil untuk tiga citra Normal Superficial menunjukkan
bahwa deteksi tepi Canny lebih sensitif mendeteksi tepi
nukleus (Gbr 4 dan 5) [23]. Diantara empat detektor yang
digunakan pada penelitian awal tersebut, detektor tepi Canny
dianggap yang paling powerful. Berikut adalah diagram blok
algoritma Canny (Gbr 6) :
Original Image Differentation
Image Smoothing
Edge Edge Nonmaximum
Image Thresholding Suppression
Gbr. 6. Diagram Blok Canny
Deteksi tepi Canny menggunakan dua threshold pada
gradien: nilai threshold tinggi untuk tepi yang rendah
sensitivitasnya. Sebaliknya nilai threshold tinggi untuk tepi
yang sensitivitasnya rendah.
C. Modifikasi Kanal Warna
Pada deteksi dini citra Pap smear, warna memegang
peranan penting dalam analisa dan evaluasi oleh ahli Patologi.
Penelitian ini mengusulkan pemisahan kanal warna RGB dan
sekaligus memodifikasi kanal warna tersebut. Dalam
penelitian ini deteksi tepi Canny digunakan pada semua
modifikasi kanal warna (R+G+B, R+G, R+B, G+B, dan
Grayscale) dan hasil deteksi dalam citra biner.
Gbr 7. Contoh hasil modifikasi kanal warna pada citra sel Normal [20].
Nukleus
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 73
Pada tahap ini dilakukan modifikasi terhadap nilai RGB
untuk 250 citra, yang terdiri dari 90 citra nukleus normal dan
160 citra nukleus abnormal. Penjumlahan hasil deteksi operasi
kanal warna RGB yang ditentukan dalam empat modifikasi
yaitu R+G+B, R+G, R+B, dan G+B. Gbr 7 menyajikan contoh citra hasil penjumlahan kanal
untuk empat modifikasi pada citra nukleus kelas normal.
Secara berurutan citra asli kelas normal diberikan pada Gbr 7, citra nukleus NS(1a), NI(2a), NC(3a). Sedangkan citra (1b, 2b,
3b) adalah hasil citra masing-masing yang telah dilakukan
modifikasi kanal warna R+G+B.
(1a) (2a) (3a) (4a)
(1b) (2b) (3b) (4b)
Gbr 8. Contoh hasil modifikasi kanal warna pada citra sel Abnormal [24]
Hal yang sama dilakukan terhadap 160 citra nukleus kelas
abnormal. Gbr 8 memberikan contoh 4 citra dari masing-
masing kelas abnormal. Citra di bagian atas adalah citra asli
tiap-tiap kelas abnormal MLD(1a), SD(2a), MD(3a), CIS(4a).
Sedangkan 4 citra di bawahnya adalah hasil penumpukan
modifikasi kanal warna R+G+B (1b, 2b, 3b,4b) pada kelas
abnormal.
D. Segmentasi dengan Region Filling
Tahap selanjutnya dilakukan segmentasi terhadap semua
citra. Segmentasi membagi citra ke dalam sejumlah region
atau obyek. Segmentasi dalam penelitian ini didasarkan pada
properti nilai intensitas diskontinuitas. Pendekatan yang
dilakukan adalah memecah atau memilah citra berdasarkan
perubahan dalam tepi citra. Tujuan segmentasi adalah
melakukan proses pengisian lubang nukleus (region filling).
Proses ini berdasarkan operasi morfologi rekontruksi terhadap
citra biner berbasis connectivity [14].
Citra biner hasil deteksi tepi Canny dari setiap operasi
modifikasi kanal warna dilakukan rekonstruksi morfologi [8].
Hasilnya akan disegmentasi sebagai luas nukleus. Pada proses
segmentasi ini digunakan region filling dengan mengisi piksel
background dari tepi citra dengan mengikuti 4-connected
ketetanggaan background.
Segmentasi yang baik harus dapat memisahkan obyek dari
background dan memperjelas wilayah yang diamati [25].
Hasil dari proses segmentasi ini adalah luas atau area yang
tersegmentasi.
Contoh hasil segmentasi dengan region filling dapat dilihat
pada Gbr 9 dan 10, masing-masing contoh untuk kelas normal
dan abnormal. Pada citra tersebut masih terdapat area di luar
nukleus yang masih terdeteksi dengan jelas. Ini
memperlihatkan kinerja deteksi tepi Canny yang over deteksi.
NS NI NC
Gbr 9. Contoh hasil segmentasi pada citra sel normal [20]
MLD SD MD CIS
Gbr 10. Contoh hasil segmentasi pada citra sel abnormal [24]
Gbr 11 dan 12 menunjukkan contoh hasil final dari segmentasi nukleus setelah garis-garis di sekeliling nukleus dihilangkan. Dari citra akhir ini, luas nukleus akan mudah dihitung dengan menghitung nilai piksel dari area yang telah tersegmentasi.
NS NI NC
Gbr 11. Contoh hasil final segmentasi demgan region filling pada citra sel
normal [20]
MLD SD
MD CIS
Gbr 12. Contoh hasil final segmentasi demgan region filling pada citra sel
abnormal [24]
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 74
E. Menghitung Luas Nukleus
Perhitungan luas nukleus menggunakan regional
deskriptor. Nilai area adalah jumlah piksel dalam region yang
dihitung dengan parameter size.
Pada hasil akhir proses segmentasi memungkinkan masih
terdapat area di luar nukleus yang masih belum hilang. Hal ini
disebabkan sensitivitas deteksi Canny yang sangat tinggi
mengakibatkan luas nukleus yang dihasilkan mungkin lebih
dari satu. Pada penelitian ini diputuskan untuk memilih luas
nukleus yang memiliki luar terbesar.
Canny_R+G+B
Luas : 1496
Canny_R+G
Luas :1488
Canny_R+B
Luas:1495
Canny_G+B
Luas:1483
Canny_Grayscale
Luas :1281
Gbr 13. Contoh hasil final dan nilai luas nukleus
Gbr 13 adalah contoh hasil final citra dari proses
segmentasi luas nukleus citra sel normal Pap smear menggunakan operasi kanal warna dengan deteksi tepi canny dan rekonstruksi morfologi untuk kelas normal.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian telah dilakukan dengan 250 citra sel tunggal
data Herlev. Sebanyak 90 citra nukleus adalah kelas normal
dan 160 citra nukleus kelas abnormal. Seluruh luas yang
dihasilkan merupakan hasil proses segmentasi menggunakan
operasi kanal warna dengan deteksi tepi canny dan
rekonstruksi morfologi.
Nilai luas tersebut dibandingkan dengan nilai luas manual
dari data Herlev. Selanjutnya dianalisis dengan korelasi
Spearman’s rho untuk mengetahui seberapa dekat luas hasil
segmentasi menggunakan operasi kanal warna dengan deteksi
tepi canny dan rekonstruksi morfologi dengan nilai luas
manual, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
TABEL II NILAI KORELASI SPEARMAN’S RHO UNTUK LUAS NUKLEUS SEL NORMAL[20]
Metode All NS NI NC
Canny_
R+G+B 0,305** 0,707** 0,817** 0,264
Canny_
R+G 0,138 0,577** 0,615** 0,212
Canny_
R+B 0,179 0,709** 0,596** 0,505**
Canny_
G+B 0,208* 0,504** 0,724** 0,103
Canny_
Grayscale 0,203 0,793** 0,414* 0,377*
Total images 90 30 30 30
** Correlation is significant at the 0.01 level (2 tailed)
* Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed)
Normal Superficial (NS), Normal Intermediate (NI), dan
Normal Columnar (NC)
Untuk citra sel normal Pap smear, jika dibandingkan
ketiga kelas, dua kelas yaitu Normal Superficial (NS) dan
Normal Intermediate (NI), memiliki nilai korelasi luas
nukleus berada pada nilai signifikan, rata-rata nilai korelasi di
atas 0,4. Menunjukkan semua metode segmentasi dengan
modifikasi Canny_R+G+B, Canny_R+G, Canny_R+G,
Canny_G+B, dan Canny_grayscale menghasilkan nilai luas
nukleus signifikan pada nilai 0.01 p-value dengan 2-tailed.
Pada ketiga kelas normal, nilai korelasi tertinggi diraih
Canny_R+G+B sebesar 0,817 untuk Normal Intermediate (NI)
(sig. 0.01 p-value 2-tailed) (Gbr 14).
Gbr 14. Grafik Nilai Korelasi Citra sel Normal
Dari grafik itu pula dapat dilihat bahwa untuk kelas
Normal Columnar(NC), hanya metode Canny_R+B p=0,505
(sig. 0.01 p-value 2-tailed) dan Canny_grayscale p=0,377
(sig. 0.05 p-value 2-tailed) yang memiliki nilai signifikan.
Sedangkan, untuk metode yang lain pada kelas Normal
Columnar (NC), nilai korelasi tidak signifikan berada pada
kisaran nilai 0,103 -0,264.
Artinya pada kelas Normal Columnar(NC), deteksi tepi
Canny dengan rekonstruksi morfologi tidak cukup sensitif
untuk mendeteksi tepi nukleus.
Tingkatan nilai signifikansi luas nukleus untuk ketiga
kelas dari tersignifikan adalah Normal Superficial (NS),
Normal Intermediate (NI), dan Normal Columnar (NC). Hal
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 75
ini diduga dipengaruhi perubahan bentuk nukleus yang mulai
bervariasi (Gbr 15).
Gbr 15. Grafik Perbandingan Nilai Korelasi Citra sel Normal untuk kelima
metode
Korelasi Spearman rho digunakan untuk perbandingan
hasil luas 160 citra dari data Herlev. Hasil perbandingan untuk
luas nukleus dari semua kelas abnormal dan setiap kelas Mild
(Light) Dysplasia (MLD), Severe Dysplasia (SD), Moderate
Dysplasia (MD), dan Carcinoma In Situ (CIS) ditunjukkan
pada Tabel 3. TABEL III
NILAI KORELASI SPEARMAN’S RHO UNTUK LUAS NUKLEUS SEL ABNORMAL [24]
Metode All MLD SD MD CIS
Canny_
R+G+B 0,518** 0,298 0,586** 0,494** 0,251
Canny_
R+G 0,358** 0,009 0,445** 0,314* 0,138
Canny_
R+B 0,489** 0,267 0,558** 0,450** 0,305
Canny_
G+B 0,397** 0,159 0,420** 0,396** 0,122
Canny_
Grayscale 0,365** 0,232 0,283 0,419** 0,226
Total images 160 40 40 40 40 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2 tailed)
* Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed)
Class; MLD =Mild (Light) Dysplasia cells; MD= Moderate Dysplasia; SD= Severe
Dysplasia; CIS= Carcinoma In Situ
Gbr 16. Grafik Nilai Korelasi Citra sel Abormal pada Keempat Kelas
Analisis korelasi menunjukkan hubungan yang sangat dekat
antara luas nukleus hasil segmentasi manual dan Canny pada
citra nukleus yang sama untuk kelas abnormal. Untuk semua
kelas abnormal dan Moderate Dysplasia (MD), deteksi tepi
Canny dengan semua metode modifikasi kanal warna
menunjukkan kinerja yang paling dekat dengan perhitungan
manual, dengan jangkauan korelasi Spearman rho antara
0,314 -0518. Semua korelasi signifikan pada 0,01 & 0,05 p-
value (2-tailed). Hasil terbaik dari Canny dengan modifikasi
warna kanal diberikan oleh Canny dengan R+G+B (0, 518
pada 0,01 p-value dengan 2-tailed).
Pada Gbr 16, grafik menunjukkan untuk kelas Severe
Dysplasia (SD) dan Moderate Dysplasia (MD), menunjukkan
kinerja terbaik dibandingkan dengan dua kelas yang lain Mild
(Light) Dysplasia (MLD), dan Carcinoma In Situ (CIS).
Pada kelas Severe Dysplasia (SD) dan Moderate Dysplasia
(MD), nilai korelasi tertinggi pada Canny dengan modifikasi
kanal warna R+B+G (0,586 dan 0,494 pada p-value 0,01
dengan 2-tailed).
Sedangkan untuk kelas Mild (Light) Dysplasia (MLD), dan
Carcinoma In Situ (CIS), memiliki berbagai nilai korelasi
Spearman rho antara 0,009 -0,251, yang tidak signifikan,
diduga detektor tepi Canny tidak sensitif untuk kedua kelas
tersebut.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 76
Gbr 17. Grafik Nilai Korelasi Citra sel Abnormal untuk metode deteksi tepi
dan modifikasi kanal warna
Dari grafik pada Gbr 17, perbandingan antara metode
deteksi Canny dengan berbagai modifikasi kanal warna
memperlihatkan bahwa metode Canny_R+G+B lebih dominan
dibandingkan dengan Canny dengan modifikasi kanal warna
lainnya.
Nilai korelasi terendah dipunyai oleh Canny_R+G pada
kelas Mild Light Dysplasia. Sedangkan nilai korelasi tertinggi
diraih Canny_R+G+B pada kelas Severe Dysplasia.
Metode deteksi tepi dengan rekonstruksi morfologi
Canny_R+G+B, menunjukkan grafik dengan nilai korelasi
terendah pada kelas Carsinoma in Situ (0,251) dan nilai ini
tidak signifikan. Sedangkan nilai tertinggi dan terbaik untuk
Canny_R+G+B diraih pada kelas Severe Dysplasia (0,586) (sig. 0.01 p-value 2-tailed).
Canny R+B sebagai metode deteksi tepi dengan
rekonstruksi morfologi berada di posisi kedua untuk kelas
Abnormal ini. Grafik menunjukkan nilai korelasi terendah
0,267 pada kelas Mild Light Dysplasia dan nilai ini tidak
signifikan. Sedangkan nilai tertinggi dan terbaik untuk
Canny_R+B diraih pada kelas Severe Dysplasia (0,558) (sig.
0.01 p-value 2-tailed).
Analisa pada metode Canny_grayscale, menunjukkan
grafik dengan nilai korelasi tertinggi pada kelas Moderate
Dysplasia 0,419 (sig. 0.01 p-value 2-tailed). Nilai ini
signifikan walaupun masih dibawah metode modifikasi kanal
warna Canny_R+G+B dan Canny R+B di kelas yang sama.
Nilai korelasi terendah pada kelas Carsinoma in Situ 0,226 dan
nilai ini tidak signifikan.
Metode deteksi tepi dengan rekonstruksi morfologi
Canny_G+B dan Canny_R+G, dari grafik menunjukkan dua
nilai yang signifikan pada kelas Severe Dysplasia dan
Moderate Dysplasia. Sedangkan untuk kelas Mild Light
Dysplasia dan Carsinoma in Situ nilai korelasi tidak signifikan.
Gbr 18. Grafik Perbandingan Nilai Korelasi untuk Seluruh Citra sel Normal dan Abnormal
Grafik perbandingan untuk kelas normal (90 Citra) dan
kelas abnormal (160 citra) menunjukkan nilai yang cukup
terbedakan (Gbr 18). Dapat dilihat fenomena bahwa nilai
korelasi untuk kelas abnormal menghasilkan nilai korelasi
yang cukup menjanjikan karena semua nilai signifikan untuk
keseluruhan metode segmentasi luas nukleus abnormal Pap
smear menggunakan operasi kanal warna dengan deteksi tepi
Canny dan rekonstruksi morfologi. Kelas abnormal memiliki
rentang nilai korelasi antara 0,358 – 0,518 (sig. 0.01 p-value
2-tailed).
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 77
Untuk kelas normal nilai korelasi hanya signifikan untuk
metode deteksi tepi dengan rekonstruksi morfologi
Canny_R+G+B sebesar 0,305.
Sedangkan untuk nilai korelasi dari metode Canny dengan
modifikasi lainnya masih memiliki nilai korelasi dibawah 0,3
dan tidak signifikan.
Gbr 19. Grafik Nilai Korelasi Citra sel Normal
Perbandingan luas nukleus hasil segmentasi dengan deteksi
tepi dan rekonstruksi morfologi yang dibandingkan untuk
ketujuh kelas secara lebih detil diperlihatkan pada Gbr 19.
Normal Superficial (NS) merupakan kelas yang 30 citranya
tersegmentasi dengan baik dan menghasilkan nilai nukleus
yang banyak mendekati luas nukleus manual. Nilai korelasi
berada pada jangkauan 0,793-0,504 (sig. 0.01 p-value 2-
tailed).
Untuk kelas kedua yaitu Normal Intermediate (NI) hasil
segmentasi luas nukleus dengan deteksi tepi dan rekonstruksi
morfologi memiliki nilai yang mendekati kelas Normal
Superficial. Bahkan di kelas ini mencapai nilai korelasi
tertinggi untuk metode Canny_R+G+B sebesar 0,817 (sig.
0.01 p-value 2-tailed).untuk keseluruhan kelas.
Analisis untuk kelas yang lain seperti Normal Columnar
(NC) dan empat kelas berikutnya kategori kelas abnormal
yaitu Mild (Light) Dysplasia (MLD), Severe Dysplasia (SD),
Moderate Dysplasia (MD), dan Carcinoma In Situ (CIS) dari
Gbr 19 menunjukkan kinerja yang belum optimal karena
hanya sebagian metode segmentasi dengan deteksi tepi dan
rekonstruksi morfologi yang memiliki nilai signifikan.
V. KESIMPULAN
Dalam peneltian ini diusulkan satu rangkaian proses
segmentasi luas nukleus sel normal dan abnormal Pap smear
menggunakan operasi kanal warna dengan deteksi tepi canny
dan rekonstruksi morfologi. Perbandingan telah dilakukan
untuk hasil luas kedua kelas normal dan abnormal.
Secara keseluruhan perbandingan menunjukkan untuk
seluruh kelas abnormal memiliki nilai korelasi Spearman’s
rho di atas 0,3 berindikasi signifikan, artinya secara bersama-
sama 160 citra memiliki nilai luas nukleus yang mendekati
nilai luas nukleus manual jika dibandingkan dengan kelas
normal secara keseluruhan.
Hasil perbandingan nilai korelasi untuk ketujuh kelas
memperlihatkan bahwa untuk kelas Normal Superficial (NS),
Normal Intermediate (NI), Severe Dysplasia (SD), dan
Moderate Dysplasia (MD) menunjukkan nilai korelasi yang
cukup tinggi dan signifikan. Maka dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa segmentasi luas nukleus sel normal dan
abnormal Pap smear menggunakan operasi kanal warna
dengan deteksi tepi canny dan rekonstruksi morfologi dapat
dipertimbangkan pada kelas-kelas tersebut.
Tetapi hal tersebut tidak berlaku sama pada kelas-kelas
Normal Columnar (NC), Mild (Light) Dysplasia (MLD), dan
Carcinoma In Situ (CIS), dimana segmentasi luas nukleus sel
normal dan abnormal Pap smear menggunakan operasi kanal
warna dengan deteksi tepi Canny dan rekonstruksi morfologi
tidak cukup sensitif untuk mendeteksi nukleus, sehingga
diperlukan alternatif metode lain untuk segmentasi dan
mendeteksi tepi nukleus.
Perbandingan operasi kanal warna pada citra sel normal
dan abnormal memperlihatkan untuk kedua kelas normal dan
abnormal, rata-rata modifikasi kanal warna (R+G+B, R+G,
R+B, G+B) yang dilakukan memiliki nilai korelasi yang
signifikan dibanding dengan operasi kanal warna grayscale.
Hal ini cukup menjanjikan dan makin mendukung bahwa
warna memainkan peranan penting dalam identifikasi citra sel
Pap smear. Lebih lanjut jika dibandingkan metode deteksi tepi
Canny dengan rekonstruksi morfologi dan modifikasi kanal
warna R+G+B lebih dominan menghasilkan nilai luas nukleus
yang signifikan dibandingkan dengan modifikasi kanal warna
lainnya. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk mengusulkan
metode segmentasi atau deteksi lain yang lebih tepat untuk
kelas-kelas yang masih belum signifikan. Hal lain adalah
perlu dipertimbangkan untuk melibatkan fitur-fitur penting
lainnya pada nukleus untuk dianalisis dan dibandingkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini menggunakan data dari Pap smear
Benchmark Data For Pattern Classification J. Jantzen1, J.
Norup, G. Dounias, and B. Bjerregaard ,University Hospital
Dept. of Pathology Herlev Ringvej 75, DK-2730 Herlev,
Denmark.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 78
REFERENSI
[1] Kusuma, Fitriyadi. “Tes Pap dan Cara Deteksi Dini Kanker Serviks
Lainnya,” Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prevention
and Early Detection of Cervical Cancer (PEACE), Jakarta, 2012.
[2] Kale, As and Aksoy, Selim,” Segmentation of Cervical Cell Images”, International Conference on Pattern Recognition, IEEE, 2010.
[3] P. Bamford and B. Lovell, “A water immersion algorithm for
cytological image segmentation,” in Proc. APRS Image Segmentation Workshop, Sydney, Australia, 1996, pp. 75–79.
[4] P. Bamford and B. Lovell, “Unsupervised cell nucleus segmentation
with active contours,” Signal Process, vol. 71, no. 2, pp. 203–213, 1998.
[5] H. S. Wu, J. Barba, and J. Gil, “A parametric fitting algorithm for
segmentation of cell images,” IEEE Trans. Biomed. Eng., vol. 45, no. 3, pp. 400–407, Mar. 1998.
[6] A. Garrido and N. P. de la Blanca, “Applying deformable templates for
cell image segmentation,” Pattern Recognit., vol. 33, no. 5, pp. 821–832, 2000
[7] N. Lassouaoui and L. Hamami, “Genetic algorithms and multifractal
segmentation of cervical cell images,” in Proc. 7th Int. Symp. Signal
Process. Appl., 2003, vol. 2, pp. 1–4.
[8] E. Bak, K. Najarian, and J. P. Brockway, “Efficient segmentation
framework of cell images in noise environments,” in Proc. 26th Int. Conf. IEEE Eng. Med. Biol., Sep., 2004, vol. 1, pp. 1802–1805.
[9] N. A. Mat Isa, “Automated edge detection technique for Pap smear
images usingmoving K-means clustering and modified seed based region growing algorithm,” Int. J. Comput. Internet Manag., vol. 13,
no. 3, pp. 45–59,2005.
[10] C. H. Lin, Y. K. Chan, and C. C. Chen, “Detection and segmentation of cervical cell cytoplast and nucleus,” Int. J. Imaging Syst. Technol., vol.
19, no. 3, pp. 260–270, 2009.
[11] Purwadi, Sigit. “Indonesian Cervical Cancer Challenge”, Divisi Oncologi Dept Obstetrics Gynecology Faculty of Medicine.
Universitas Indonesia, Prevention and Early Detection of Cervical
Cancer (PEACE) 2012 [12] Koswara, Teja, “Pathological diagnosis of cervical cancer”, Seminar
Club Biomedical Engineering, STEI ITB, Bandung, 2012. [13] Giri, Endang P. Pap smear Image Classification Based on Association
Rules for Biomedical Image Retrieval System. Thesis. Faculty of
Computer Science, University of Indonesia, 2008
[14] Univesity of Florida Shands Cancer Center. Pathology tests [Online].
2009 [cited 2009 April 15]; Available from:
URL:http://www.ufscc.ufl.edu/Patient/content.aspx?section=testing&id=31383
[15] A. Prayitno, “Cervical Cancer with Human Papilloma Virus and
Epstein Barr Virus Positive,” Journal of Carcinogenesis, vol. 5(13), May 2006, doi:10.1186/1477-3163-5-13
[16] Winarto, Hariyono, “Kanker Serviks”, Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prevention and Early Detection of Cervical
Cancer (PEACE), Jakarta, 2012.
[17] Martin, Erik. Pap-Smear Classification. Technical University of Denmark – DTU.2003.http://fuzzy.iau.dtu.dk/download/martin2003
[18] BustanurRosidi, NorainiJalil, Nur. M. Pista, Lukman H. Ismail, EkoSupriyantoTati L. Mengko “Classification of Cervical Cells Based
on Labeled Colour Intensity Distribution” International Journal of
Biology and Biomedical Engineering, Issue 4, Volume 5, 2011 [19] J. Jantzen, J. Norup, G. Dounias, and B. Bjerregaard, Pap-smear
Benchmark Data For Pattern Classification, Technical University of
Denmark, Denmark, 2005. [20] Riana, Dwiza, Ekashanti Octorina Dewi, Dyah, Widyantoro, Dwi H
and Tati, LM, “Color Canals Modification with Canny Edge Detection
and Morphological Reconstruction for Cell Nucleus Segmentation and Area Measurement in Normal Pap Smear Images”. The Fourth
International Conference on Mathematics and Natural Sciences
(ICMNS). 2012 [21] J. Canny, “A computational approch to edge detection,” IEEE
Trans.Pattern Anal. Machine Intell., vol. PAMI-8, pp. 679–714, 1986.
[22] J. Canny, “Finding edges and lines in images,” MIT Artif. Intell. Lab.,Cambridge, MA, Tech. Rep. AI-TR-720, 1983.
[23] Riana, Dwiza, Ekashanti Octorina Dewi, Dyah, Widyantoro, Dwi H
and Tati, LM, “Segmentasi Luas Nukeus Sel Normal Superfisial Pap smear Menggunakan Operasi Kanal Warna dan Deteksi Tepi”. Seminar
Nasional Inovasi Teknologi. 2012
[24] Riana. Dwiza, Ekashanti Octorina Dewi. Dyah, Widyantoro. Dwi H and Tati. LM, “Segmentation and Area Measurement in Abnormal Pap
Smear Images Using Color Canals Modification with Canny Edge
Detection”. International Conference on Women’s Health in Science & Engineering (WiSE Health), ITB, Bandung. 2012.
[25] Rafael C. Gonzalez, Richard E. Woods, ”Digital Image Processing”,
Pearson Education, Inc. and Dorling Kindersley Publications, Inc.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 79
Model Deteksi Tepi untuk Penentuan Batas Wilayah
dengan Metode Sobel dan Cartesian Gunawan Pria Utama
1, Nazori AZ
2
Magister Ilmu Komputer Program Pascasarjana Universitas Budi Luhur
Jl. Ciledug Raya Petukangan Utara 12260, Jakarta Selatan [email protected]
Abstrak— Edge Detection (Deteksi Tepi) mempunyai peran yang
penting untuk mengidentifikasi citra secara visual sepertihalnya
citra photo satelit. Pada penelitian ini akan dibangun prototype
Aplikasi Model Deteksi Tepi untuk penetapan batas wilayah laut
dengan Metode Sobel dan Cartesian. Pada penelitian ini hasilnya
berupa peta yang sudah dapat menunjukan batas wilayah laut
Daerah Otonom Baru (DOB). Penelitian ini juga hasilnya dapat
membantu Pemerintahan DOB memberikan Layanan Informasi
Publik dibidang Batas Wilayah Administrasi serta
meningkatkan Nilai Kinerja pada penilaian Evaluasi.
Kata kunci: Edge Detection, Daerah Otonom Baru (DOB), Sobel,
HPF, Cartesian, Kinerja.
I. PENDAHULUAN
Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) pada dasarnya
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dengan
demikian daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah Pusat. Evaluasi terhadap Kinerja
Perkembangan Daerah Otonom Baru adalah untuk memonitor,
menganalisa dan megevaluasi aspek pembangunan
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom baru, Salah
satu aspek yang terkait adalah Penentuan Batas Wilayah
Administrasi. Sayangnya sebagian besar DOB belum
memiliki batas wilayah administrasi yang jelas karena kondisi
geografis yang sulit.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas perlu dicari
alternatif memecahan masalah untuk dapat mengatasi kendala
diatas yaitu proses yang sulit dengan waktu yang panjang
serta biaya yang besar untuk melakukan Penetapan Batas
Wilayah peneliti mendapat gagasan untuk mempercepat
proses tersebut dengan pembuatan Model Deteksi Tepi untuk
Penetapan Batas Wilayah metode yang digunakan adalah
Metode Sobel dan Cartesian, Citra Digital dari Peta diproses
menggunakan komputer dan hasilnya dapat diketahui dengan
cepat dan hasilnya berupa Peta yang sudah menunjukan Batas
Wilayah yang dapat dicetak berkali-kali sehingga dari proses
tersebut dapat mempersingkat waktu dan DOB langsung
mendapat hasil, tanpa harus melakukan survey lapangan yang
sulit, lama dan berbiaya serta resiko yang besar.
Komputasi Citra Digital juga memiliki keuntungan, yaitu
apabila Petugas yang bertanggung jawah dengan masalah
batas wilayah hendak melihat kembali batas wilayahnya maka
sang petugas tidak perlu melakukan pembuatan ulang
disebabkan file citra digital peta sudah tersimpan dalam
storage komputer. Selain itu banyak pula kemudahan lain
yang bisa didapat
II. PENELITIAN TERKAIT
Sudah banyak penelitian yang telah dilakukan yang
berkaitan dengan Deteksi Tepi dan Citra Digital diantara
adalah Fahmi pada papernya yang berjudul “Perancangan
Algoritma Pengolahan Citra Mata Menjadi Citra Polar Iris
Sebagai Bentuk Antara Sistem Biometrik”, menjelaskan
tentang Algoritma pengolahan citra yang dirancang dibagi ke
dalam beberapa tahap. Beberapa proses seperti pengambilan
ROI Iris, deteksi tepi Canny, pencarian titik pusat, dan
perhitungan jari-jari iris dikembangkan untuk mengubah citra
menjadi bentuk antara citra polar iris. Secara keseluruhan
algoritma yang dirancang dapat dijalankan dengan baik. Akan
tetapi waktu komputasi yang dibutuhkan masih terlalu lambat
bila ingin diterapkan untuk aplikasi sebenarnya [4-1].
Hidayatno et al pada papernya yang berjudul “Analisis
Deteksi Tepi Pada Citra Berdasarkan Perbaikan Kualitas
Citra”, menjelaskan tentang Hasil deteksi tepi suatu citra
dengan jenis derau tertentu, tapis tertentu, dan deteksi tepi
tertentu memiliki indeks kualitas yang berbeda dibandingkan
dengan hasil deteksi tepi citra yang lain karena pada elemen
matrik antara citra yang satu dengan citra yang lain berbeda
[7-2]. Pujiyono et.al pada papernya yang berjudul
“Perbandingan Kinerja Metode Gradient Berdasarkan
Operator Sobel Dan Prewitt Implementasi Pada Deteksi Sidik
Jari”, menjelaskan tentang Sistem dapat mengenali sidik jari
baik operator Sobel maupun operator Prewitt dengan baik,
operator Prewitt lebih baik menganalisa dari pada operator
Sobel [9-3]. Anifah dalam paper nya yang
berjudul ”Pengenalan Plat Mobil Indonesia menggunakan
Learning Vector Quantization” menjelaskan tentang sistem
secara keseluruhan mulai dari instrumen- tasi yang coba
dikembangkan melalui kamera, metode im- age processing
serta algoritma kecerdasan buatan Learning Vector
Quantization mampu bekerja rata-rata tingkat akurasi
segmentasi plat 98,75 %, segmentasi karakter 95,789 %, dan
tingkat keberhasilan pembacaan karakter menggunakan
Learning VectoQuantization menggunakan optimum learning
rate 0,4/t rata-rata 84,43 %. Teknik pengambilan image dan
kondisi plat nomer sangat mempengaruhi tingkat keakurasian
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 80
dalam pembacaan karakter pada plat [2-4]. Harsono pada
papernya yang berjudul ”Teknik Pengolahan Citra Untuk
Mendeteksi Defect Pada Float Glass”, menjelaskan tentang
teknik pengolahan citra dapat digunakan untuk mendeteksi
defect pada float glass, tingkat keakuratan tergantung
intensitas cahaya, hasil tergantung pola dari resolusi kamera
yang digunakan [6-5].
III. TINJAUAN LITERATUR
A. Citra Digital
Istilah “citra” yang digunakan dalam bidang pengolahan
citra dapat diartikan sebagai suatu fungsi kontinu dari
intensitas cahaya dalam bidang dua dimensi. Pemrosesan citra
dengan komputer digital membutuhkan citra digital sebagai
masukannya. Citra digital adalah citra kontinu yang diubah
dalam bentuk diskrit, baik koordinat ruang maupun intensitas
cahayanya. Pengolahan digitalisasi terdiri dari dua proses,
yaitu pencuplikan (sampling) posisi, dan kuantisasi intensitas.
Citra digital dapat dinyatakan dalam matriks dua dimensi f(x,y)
dimana ‘x’ dan ‘y’ merupakan koordinat piksel dalam matriks
dan ‘f’ merupakan derajat intensitas piksel tersebut. Citra
digital berbentuk matriks dengan ukuran M x N akan tersusun
sebagai berikut:
),(...)2,()1,(
............
),2(......)1,2(
),1(...)2,1()1,1(
),(
MNfNfNf
Mff
Mfff
yxf
Gbr 1. Citra Digital
Gbr 2. Koordinat Citra
Name Size Bytes Class Attributes
I 227x452 102604 uint8
Suatu citra f(x,y) dalam fungsi matematis dapat dituliskan
sebagai berikut:
0 ≤ x ≤ M-1 0 ≤ y ≤ N-1 0 ≤ f(x,y) ≤ G - 1 (2.1)
dimana :
M = banyaknya baris pada array citra
N = banyaknya kolom pada array citra
G = banyaknya skala keabuan (graylevel)
Interval (0,G) disebut skala keabuan (grayscale). Besar G
tergantung pada proses digitalisasinya. Biasanya keabuan 0
(nol) menyatakan intensitas hitam dan G menyatakan
intensitas putih. Untuk citra 8 bit, nilai G sama dengan 2 8 =
256 warna (derajat keabuan). Jika kita memperhatikan citra
digital secara seksama, kita dapat melihat titik-titik kecil
berbentuk segiempat yang membentuk citra tersebut. Titik-
titik tersebut merupakan satuan terkecil dari suatu citra digital
disebut sebagai “picture element”, “pixel”, piksel, atau “pel’.
Jumlah piksel per satuan panjang akan menentukan resolusi
citra tersebut. Makin banyak piksel yang mewakili suatu citra,
maka makin tinggi nilai resolusinya dan makin halus
gambarnya. Pada sistem dengan tampilan citra digital yang
dirancang dengan baik (beresolusi tinggi), titik-titik kecil
tersebut tidak teramati oleh kita yang melihat secara normal.
B. Pengolahan Citra Digital
Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM)
merupakan teknik mudulasi untuk komunikasi wireless
broadband dimasa yang akan datang karena kuat melawan
frekuensi selective fading dan interferensi narrowband dan
efisien menghadapi multi-path delay spread. Untuk mencapai
hal tersebut, OFDM membagi aliran data high-rate mejadi
aliran rate yang lebih rendah, yang kemudian dikirimkan
secara bersama pada beberapa sub-carrier.
Pengolahan citra (image processing) merupakan proses
mengolah piksel-piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 81
tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan citra pada
citra digital antara lain yaitu:
Untuk mendapatkan citra asli dari suatu citra yang
sudah buruk karena pengaruh derau. Proses pengolahan
bertujuan mendapatkan citra yang diperkirakan
mendekati citra sesungguhnya.
Untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu
dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap
yang lebih lanjut dalam pemrosesan analisis citra.
Dalam proses akuisisi, citra yang akan diolah
ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Pada
proses selanjutnya reprentrasi numerik tersebutlah yang akan
diolah secara digital oleh komputer. Pengolahan citra pada
umumnya dapat dikelompokan dalam dua jenis kegiatan, yaitu:
Memperbaiki kualitas citra sesuai kebutuhan
Mengolah informasi yang terdapat pada citra
Bidang aplikasi yang kedua ini sangat erat kaitannya
dengan computer aided analysis yang umumnya bertujuan
untuk mengolah suatu obyek citra dengan cara mengekstraksi
informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi
tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara
cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer.
Dari pengolahan citra diharapkan terbentuk suatu sistem
yang dapat memproses citra masukan hingga citra tersebut
dapat dikenali cirinya. Pengenalan ciri inilah yang sering
diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari.
Gbr 3. Proses Pengolahan Citra [1-6]
Dalam pengolahan citra digital terdapat lima proses secara
umum, yaitu:
image restoration
image enhancement
image data compaction
image analysis
image reconstruction
Citra digital direpresentasikan dengan matriks sehingga
operasi pada citra digital pada dasarnya memanipulasi
elemen-elemen matriks. Ada beberapa operasi dasar pada
pengolahan citra antara lain: operasi titik, operasi global,
operasi berbasis bingkai (frame), operasi geometri dan operasi
bertetangga [13-7]. Gbr 4 memperlihatkan bagan
pengelompokkan operasi-operasi dasar pada pengolahan citra
digital.
Gbr 4. Operasi-operasi dasar pada Pengolahan Citra Digital [3-8]
Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa deteksi tepi
merupakan operasi pada pengolahan citra digital yang
merupakan salah satu jenis operasi bertetangga atau
persekitaran (neighbourhood operation).
Sebuah citra dikatakan ideal, jika mampu mencerminkan
kondisi sesungguhnya dari suatu obyek. Mempunyai
hubungan satu-satu (one to one), satu titik pada obyek
dipetakan tepat satu piksel di citra digital. Tetapi pada
kenyataannya, hubungan yang ada antara titik dalam obyek
dengan titik pada citra digital adalah hubungan satu ke banyak
(one to many) dan banyak ke satu (many to one). Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
Sinyal yang dikirim oleh obyek citra mengalami
penyebaran (divergensi), sehingga yang diterima oleh
sensor atau detector tidak lagi berupa suatu titik,
namun berupa luasan
Atau sebaliknya satu titik pada sensor atau detector
dapat menerima banyak sinyal dari beberapa bagian
C. Deteksi Tepi
Edge atau sisi adalah tempat-tempat dimana tingkat
perubahan intensitas paling tinggi [12-9]. Tempat perubahan
intensitas dan sekitarnya dikonversi menjadi bernilai nol atau
satu sehingga mengubah citra menjadi citra biner.
Kriteria untuk menentukan lokasi terjadinya tingkat
perubahan intensitas yang mendadak ada 2 jenis yaitu:
Nilai turunan pertama intensitas adalah lebih besar dari
magnitude batas ambang (threshold) tertentu
Nilai turunan kedua intensitas mempunyai sebuah
“zero crossing”.
Fungsi pendeteksian sisi pada Matlab menyediakan
sejumlah pengestimasi turunan (derivative estimator) yang
mengimplementasikan salah satu dari kriteria tersebut. Dari
beberapa pengestimasi yang ada, maka dapat ditentukan
operasi mana yang sensitif terhadap sisi horizontal atau sisi
vertical, atau kedua-duanya. Fungsi pendeteksian sisi akan
menghasilkan nilai 1 apabila sisi ditemukan dan menghasilkan
nilai 0 apabila sebaliknya.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 82
Secara umum tepi dapat didefinisikan sebagai batas antara
dua region (dua piksel yang saling berdekatan) yang memiliki
perbedaan intensitas yang tajam atau tinggi [5-10]. Tepi dapat
diorientasikan dengan suatu arah, dan arah ini berbeda-beda,
tergantung pada perubahan intensitas. Untuk lebih memahami
definisi tepi, Gbr 5 memperlihatkan model tepi dalam ruang
satu dimensi.
Gbr 5 Model Tepi Satu Dimensi [1-6]
Menurut Munir pada [1-6] ada tiga macam tepi yang
terdapat didalam citra digital, yaitu:
Tepi curam. Jenis tepi ini terbentuk karena perubahan
intensitas yang tajam, berkisar 90 0
Tepi landau. Tepi lebar, sudut arah kecil. Terdiri dari
sejumlah tepi-tepi lokal yang lokasinya berdekatan
Tepi yang mengandung noise Untuk mendeteksi tepi
jenis ini, biasanya dilakukan operator image
enhancement terlebih dahulu. Misalnya Operator
Gaussian yang berfungsi untuk menghaluskan citra.
Perbedaan ketiga macam tepi tersebut, diperlihatkan pada
Gbr 6 berikut ini
Gbr 6. Jenis-Jenis Tepi [1-6]
Deteksi tepi (edge detection) merupakan salah satu operasi
dasar dalam pengolahan citra digital. Deteksi tepi merupakan
langkah pertama untuk melingkupi informasi didalam citra.
Tepi mencirikan batas-batas obyek dan karena itu tepi berguna
untuk proses segmentasi dan identifikasi obyek di dalam citra.
Deteksi tepi pada suatu citra memiliki tujuan sebagai berikut
[1-6]:
Menandai bagian yang menjadi detil citra.
Memperbaiki detil citra yang kabur karena error atau
efek proses akuisisi.
Gbr 7. Proses Deteksi Tepi Citra [1-6]
Untuk deteksi tepinya, pada turunan pertama terdapat tiga
operator (Robert, Prewitt, Sobel) tetapi untuk penetapan batas
wilayah ini disimpulkan operator deteksi tepi mana yang
terbaik untuk mendeteksi tepi dari batas wilayah dengan
melakukan pengujian dengan mengambil sampel citra digital
peta.
Operator (Robert) adalah konversi biner dengan
meratakan distribusi warna hitam dan putih.
Robert : matriks berukuran 2×2
Mx = [1 0 ; 0 -1]
My = [0 -1; 1 0] (titik koma berarti ganti baris)
Operator (Prewitt) merupakan konversi biner yang
menghaluskan warna menjadi peta digital menjadi
Smoothing.
Prewitt : matriks berukuran 3×3, elemen diagonal
dengan elemen veritkal/horizontal diberi bobot yang
sama (1 atau -1)
Mx = [-1 0 1; -1 0 1; -1 0 1]
My = [-1 -1 -1; 0 0 0 ; 1 1 1]
Operator (Sobel) merupakan operator deteksi tepi yang
mampu mendeteksi tepi dengan baik. Sehingga
memiliki tingkat akurasi tinggi untuk penetapan batas
wilayah.
Sobel: matriks berukuran 3×3, tapi elemen yang
horizontal/vertikal, diberi bobot lebih besar (2 atau -2)
dibandingkan dengan elemen diagonal (1 atau -1).
Mx = [-1 0 1; -2 0 2; -1 0 1]
My = [-1 -2 -1; 0 0 0; 1 2 1]
Sobel ini memberikan hasil yang lebih baik, karena
perbedaan pembobotan itu seperti diuraikan di atas. Elemen
horizontal/vertikal dari suatu piksel itu “lebih dekat” daripada
elemen diagonalnya, karena itu dia diberikan bobot lebih
besar daripada elemen diagonal.
”Lebih dekat”, maksudnya adalah pada bentuk persegi
pajang maka panjang jarak diagonal pasti lebih panjang
daripada panjang jarak sisi-sisinya.
Secara lebih kompleks, bila tetangga horizontal dari piksel
yang membedakan hanya nilai x-nya, sedangkan y-nya sama.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 83
Begitu juga dengan tetangga vertikal dari piksel, nilai y-nya
saja yang berbeda, akan tapi x-nya sama. Sedangkan tetangga
diagonal nilai x ataupun y nya beda. tetangga yang dimaksud
disini adalah pixel yang berjarak 1 piksel dari piksel yang
dimaksud.
Gbr 8. Proses yang digunakan
D. Sobel
Metode Sobel merupakan pengembangan metode Robert
dengan menggunakan filter Highpass filtering (HPF) yang
diberi satu angka nol penyangga. Metode ini mengambil
prinsip dari fungsi Laplacian dan Gaussian yang dikenal
sebagai fungsi untuk membangkitkan HPF. Kelebihan dari
metode Sobel ini adalah kemampuan untuk mengurangi noise
sebelum melakukan perhitungan deteksi tepi.
Operator Sobel menggunakan kernel operator gradient 3x3:
Perhatikanlah bahwa operator Sobel menempatkan
penekanan atau pembobotan pada piksel-piksel yang lebih
dekat dengan titik pusat jendela. Dengan demikian pengaruh
piksel-piksel tetangga akan berbeda sesuai dengan letaknya
terhadap titik dimana gradien dihitung. Gradien adalah hasil
pengukuran perubahan dalam sebuah fungsi intensitas, dan
sebuah citra dapat dipandang sebagai kumpulan beberapa
fungsi intensitas kontinyu dari citra. Dari susunan nilai-nilai
pembobotan pada jendela juga terlihat bahwa perhitungan
terhadap gradien juga merupakan gabungan dari posisi
horisontal dan vertikal.
Operator Sobel melakukan deteksi tepi dengan
memperhatikan tepi vertical dan horizontal. Gradient
Magnitude dari operator Sobel adalah sebagai berikut :
Berdasarkan prinsip-prinsip filter pada citra, tepi suatu gambar
dapat diperoleh menggunakan High Pass Filter (HPF), dengan
karakteristik:
∑∑ H(x, y) = 0 (2.1)
Highpass filtering
High-pass filtering merupakan kebalikan dari low-pass
filtering, yaitu metode yang membuat sebuah sinyal atau citra
menjadi kurang halus. Metode yang digunakan adalah
melakukan pelemahan dalam domain frekuensi yang memiliki
frekuensi rendah. highpass filtering biasa digunakan untuk
Unsharp Masking, Deconvolution, Edge Detection,
mengurangi blur, atau menambah noise.
Ideal Highpass Filter (IHPF)
Ideal Highpass Filter melewatkan semua frekuensi tinggi
dan melakukan cutoff semua frekuensi rendah. IHPF 2-D
dituliskan dalam bentuk :
dimana D0 adalah konstanta positif jarak origin dan D(u,v)
adalah jarak antara titik (u,v) dalam domain frekuensi dan
pusat persegi panjang frekuensi, maka:
Butterworth Highpass Filter
Fungsi Butterworth highpass filter (BHPF) dari order n, dan
dengan cutoff frekuensi pada jarak D0 dari origin,
didefinisikan sebagai:
D(u,v) adalah jarak antara titik (u,v) dalam domain
frekuensi dan pusat persegi panjang frekuensi, dimana :
Gaussian Highpass Filter
Fungsi Gaussian highpass filter (BHPF) dari order n, dan
dengan cutoff frekuensi pada jarak D0 dari origin,
didefinisikan sebagai:
D0 merupakan jarak dari origin dan D(u,v) adalah jarak
antara titik (u,v) dalam domain frekuensi dan pusat persegi
panjang frekuensi, dimana :
E. Cartesian
Titik dalam Grafika Komputer bisa didefinisikan sebagai
suatu posisi tertentu dalam suatu sistem koordinat. Sistem
koordinat yang dipakai bisa Polar Coordinates atau Cartesian
Coordinates. Biasanya dalam pemrograman grafis, yang
paling umum digunakan adalah Cartesian Coordinates. Dalam
Cartesian Coordinates, titik didefinisikan sebagai kombinasi
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 84
dua bilangan yang menentukan posisi tersebut dalam
koordinat x dan y (2D)
Contoh Penerapan
Jika kita ingin menempatkan titiktitik A(-5,2), B(-2,5),
C(2,5), D(2,5), E(5,-2), F(2,-5), G(-2,-5) dan H(-5,-2)
Kita bisa menggambarkan sebagai berikut:
Gbr 9. Titik Dalam Cartesian Coordinates
Ada 2 definisi koordinat dalam komputer terutama dalam
Sistem Operasi Windows, yaitu Screen Coordinate, dan
Cartesian Coordinate, keduanya sering membingungkan.
Untuk lebih jelasnya seperti Gbr 10 berikut:
Gbr 10. Cartesian Coordinates dan Screen Coordinates
IV. PROPOSED FRAMEWORK
A. System Overview
Pada dasarnya yang dilakukan adalah penerapan sebuah
sistem teknologi yang dapat mejadi solusi atas persoalan yang
dihadapi oleh semua daerah otonom baru yang berasal dari
pemekaran daerah dengan letak geografis yang sulit dengan
segala keterbatasan sarana dan prasarana termasuk
infrastruktur Layanan Informasi Publik dibidang Batas
Wilayah Administrasi untuk meningkatkan kinerja dan
memberikan Layanan yang lebih baik.
Dengan segala keterbatasannya DOB dapat memilih
sebuah solusi yang simple tetapi handal untuk hal tersebut
diatas. Sistem yang digunakan dapat berupa sebuah Model
Deteksi Tepi Untuk Penetapan batas Wilayah Dengan Metode
Sobel dan Cartesian.
B. Model Deteksi Tepi
Untuk memudahkan pengolahan data dan pengujian data
maka dirancang dan dibuat sebuah prototype. Prototype dibuat
dengan membuat rancangan interface dan membuat Graphical
User Interface (GUI) yang ada pada fasilitas MATLAB.
GUI Matlab dipilih karena beberapa kelebihannya yang
sangat cocok untuk melakukan penelitian ini, diantaranya:
• GUI banyak digunakan dan cocok untuk aplikasi-
aplikasi berorientasi sains,
• GUI Matlab mempunyai fungsi built-in yang siap
digunakan dan pemakai tidak perlu repot membuatnya
sendiri
• Ukuran file, baik FIG-file maupun M-file, yang
dihasilkan relatif kecil.
• Kemampuan grafisnya cukup handal dan tidak kalah
dibandingkan dengan bahasa pemrograman lainnya.
GUI dibuat dengan menuliskan perintah ‘guide’ pada
prompt MATLAB. Pada GUI ini dibangun beberapa obyek
grafik seperti tombol (button), kotak teks, slider, menu dan
lain-lain.
Dengan menggunakan Aplikasi GUI umumnya lebih
mudah dioperasikan karena orang yang menjalankannya tidak
perlu mengetahui perintah yang ada dan bagaimana kerjanya.
GUI yang dibuat terdiri dari GUI untuk memperlihatkan
proses pembuatan Model Deteksi Tepi dan GUI yang
digunakan untuk melakukan Analisis Perbandingan
Gbr 11. Desain GUI untuk Model Deteksi Tepi
Gbr 12. Desain GUI untuk Analisis Perbandingan
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 85
Pada kedua desain prototype ini tempatkan beberapa
komponen pallete yang sesuai dengan kebutuhan untuk
menciptakan model. Untuk setiap komponen pallete yang
berbentuk PushButton ditempatkan Algoritma yang sesuai
dengan proses yang akan dijalankan dilengkapi dengan Hiden
Komponen Pallete untuk keperluan khusus yang perlu ada tapi
tidak di tampilkan.
Semua Proses a fungsi standar yang tersedia di MATLAB,
yang dijalankan dari komponen pallete PushButton.
V. HASIL
Citra Model Deteksi Tepi dan hasil akhir berupa citra asli
yang memiliki batas ditampilkan sseperti napak pada Gbr 13
di bawah ini dilakukan dengan menekan tombol Edge
Detection.
Gbr 13. GUI dengan Tampilan Deteksi tepi dan Hasil Akhir
Untuk pilihan Analisis Perbandingan, akan dimunculkan
GUI sebagai mana berikut ini, dan setelah memilih ini maka
dapat dilakukan proses proses perbandingan beberapa metode
dibandingkan dengan Motode Sobel & Cartesian.
Citra hasil analisis perbandingan berupa beberapa jenis
citra ditampilkan seperti tapak pada Gbr 14 dilakukan dengan
menekan tombol sesuai dengan pilihan analisis, Sobel &
Cartesian, Canny & Cartesian, Sobel dan Canny
Gbr 14. GUI Analisis Perbandingan
Citra hasil analisis perbandingan berupa beberapa jenis
citra ditampilkan seperti tapak pada Gbr 15 dilakukan dengan
menekan tombol sesuai dengan pilihan analisis, Sobel &
Cartesian, Canny & Cartesian, Robert & Cartesian dan Prewit
& Cartesian
Gbr 15. GUI Analisis Perbandingan
Berikut ini adalah table hasil pengujian dari beberapa
metode, baik yang berupa beberapa metode ataupun tersendiri
TABEL I
PERBANDINGAN MAGNITUDE & WAKTU PEMROSESAN YANG DIUJI
Hasil Tampilan untuk Metode Sobel & Cartesian seperti
terlihat pada Gbr 16, memenuhi kriteria, tepi terlihat jelas.
Gbr 16. Hasil Metode Sobel & Cartesian
Hasil Tampilan untuk Metode Canny & Cartesian seperti
terlihat pada Gbr 17, kurang memenuhi kriteria, karena tepi
yang tampak terlihat banyaknya noise pada tepinya
Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan
1 5598440 36,5315 9101190 38,1563 5848650 37,1094 5458120 38,0313 18445100 23,2969 13552700 22,3125
2 5598440 36,4846 9101190 37,5000 5848650 36,7344 5458120 37,6563 18445100 22,5781 13552700 22,0313
3 5598440 36,2971 9101190 37,2813 5848650 36,4375 5458120 37,3594 18445100 22,6250 13552700 22,0000
4 5598440 36,6721 9101190 37,3281 5848650 36,8359 5458120 37,7578 18445100 22,6406 13552700 22,0313
5 5598440 36,3440 9101190 37,3750 5848650 36,4844 5458120 37,4063 18445100 22,6250 13552700 22,1094
6 5598440 36,3128 9101190 37,2813 5848650 36,4063 5458120 37,3282 18445100 22,7344 13552700 22,0625
7 5598440 36,7659 9101190 37,1719 5848650 36,9141 5458120 37,8360 18445100 22,6250 13552700 22,0156
8 5598440 36,5315 9101190 37,5781 5848650 36,4766 5458120 37,3985 18445100 22,6250 13552700 22,1406
9 5598440 36,2503 9101190 37,1250 5848650 35,9689 5458120 36,8908 18445100 22,5938 13552700 23,4063
10 5598440 36,3909 9101190 37,2031 5848650 36,1485 5458120 37,0704 18445100 22,5625 13552700 22,0469
No. Uji
Meode Sobel &
Cartesian
Meode Canny &
Cartesian
Meode Robert &
Cartesian
Meode Prewitt &
Cartesian Sobel Canny
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 86
Gbr 17. Hasil Metode Canny & Cartesian
Hasil proses pengolahan citra dengan Metode Robert &
Cartesian seperti terlihat pada Gbr 18, memenuhi kriteria, tepi
terlihat jelas.
Gbr 18. Hasil Metode Robert & Cartesian
Hasil proses pengolahan citra dengan Metode Prewitt &
Cartesian seperti terlihat pada Gbr 19, memenuhi kriteria, tepi
terlihat jelas.
Gbr 19. Hasil Metode Prewitt & Cartesian
Hasil proses pengolahan citra dengan Metode Sobel seperti
terlihat pada Gbr 20, kurang memenuhi kriteria, karena tepi
yang tampak terlihat banyaknya noise baik pada obyek
maupun pada tepinya.
Gbr 20. Hasil Metode Sobel
Hasil proses pengolahan citra dengan Metode Canny seperti
terlihat pada Gbr 21, kurang memenuhi kriteria, karena tepi
yang tampak terlihat banyaknya noise baik pada obyek
maupun pada tepinya.
Gbr 21. Hasil Metode Canny
Dari hasil pengamatan citra hasil, maka yang memenuhi
kriteria dapat menghasilkan citra batas wilayah adalah Metode
Sobel & Cartesian, Metode Robert & Cartesian dan Prewitt &
Cartesian, sedangkan metode yang lain tidak dipilih untuk
perhitungan lebih lanjut.
TABEL III.
PERBANDINGAN MAGNITUDE & WAKTU PEMROSESAN YANG TERPILIH
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 87
TABEL IIIII. REKAP HASIL
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan pada kerangka
kerja yang diusulkan, maka dibuat beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
Pembuatan Model Deteksi Tepi (Edge Detection) untuk
Penetapan Batas Wilayah dengan Menggunakan Metode
Sobel dan Cartesian untuk DOB Kabupaten Saburaijua dapat
dilakukan sebagai keluaran dari Prototype Aplikasi yang
dirancang dan dibuat dengan hasil sesuai dengan yang
dimaksud.
Model Deteksi Tepi dengan Metode Sobel dan Cartesian ini
juga sudah dapat diperbandingkan dengan Model Deteksi Tepi
dengan metode yang lain.
Kinerja Metode Sobel dan Cartesian sangat baik dari sisi
kecepatan pemrosesan dan cukup untuk menghasilkan
magnitude yang cukup baik sehinggan Model Deteksi Tepi
dapat terlihat dengan jelas,
Model Deteksi Tepi dengan Metoede Sobel dan Cartesian
Memiliki Kinerja terbaik dari sisi kecepatan rata-rata
pemrosesan citra digital, diikuti Metode Robert & Cartesian
dan Metode Prewitt & Cartesian, sedangkan beberapa metode
lain tidak dianalisi lebih lanjut, karena kriteria tidak sesuai
dengan yang dimaksud.
Dari besaran magnitude Metode Robert & Cartesian lebih
besar dari Metode Sobel dan Cartesian, tetapi ini tidak terlalu
mempengaruhi, karena dengan Metode Sobel & Cartesian pun
Model Deteksi Tepi dapat dibuat dengan jelas.
Dari serangkaian penelitian yang dilakukan keakuratan
Metode Sobel dan Cartesian sebesar 87%.
REFERENSI
[1] Fahmi, S.T, M.Sc., Perancangan Algoritma Pengolahan Citra Mata
Menjadi Citra Polar Iris Sebagai Bentuk Antara Sistem Biometrik,
2007. [2] Achmad Hidayatno R., Rizal Isnanto, Bahrun Niam, Analisis Deteksi
Tepi Pada Citra Berdasarkan Perbaikan Kualitas Citra, 2011.
[3] Wahyu Pujiyono, Murinto, Irfan Adam, Perbandingan Kinerja Metode Gradient Berdasarkan Operator Sobel Dan Prewitt Implementasi
Pada Deteksi Sidik Jari, 2009.
[4] Lilik Anifah, Pengenalan Plat Mobil Indonesia menggunakan Learning Vector Quantization, 2011.
[5] Budi Harsono, Teknik Pengolahan Citra Untuk Mendeteksi Defect
Pada Float Glass, 2008. [6] Agushinta, Dewi dan Alina Diyanti, Perbandingan Kinerja Metode
Deteksi Tepi pada Citra Wajah, Jurusan Ilmu Komputer / Teknologi
Informasi, Universitas Gunadarma, http://dc427.4shared.com/doc/ DOnWVH6n/preview.html (Diakses 30 Juli 2012).
[7] Wikipedia, Edge Detection,
http://en.wikipedia.org/wiki/Edge_detection (Diakses tanggal 30 Juni 2012).
[8] Melly Br. Bangun, Analisis Kinerja Metode Canny Dalam Mendeteksi
Tepi Karies Gigi, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 30156/4/Chapter%20II.pdf (Diakses 19 Juni 2012).
[9] Marvin Ch. Wijaya, Agus Priyono, Pengolahan Citra Digital
Menggunakan Matlab, Edisi Pertama, INFORMATIKA, Bandung, 2007 .
[10] Febriani, Lussiana, Analisis Penelusuran Tepi Citra Menggunakan
Detektor tepi Sobel dan Canny. Proceeding Seminar Ilmiah Nasional
Komputer dan Sistem Intelijen, 2008.
[11] Eko Prasetyo, Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya menggunakan
MATLAB, - Ed. I. -,ANDI,Yogyakarta, 2011. [12] Portal Saburaijua, http://www.saburaijua.go.id (Diakses tanggal 4 Juni
2012).
[13] Setyawan Widyarto, Dr. Digital Image Processing, Bahan Kuliah Digital Image Processing 2012.
[14] Wikipedia, Sobel Operator, http://en.wikipedia.org/wiki/
Sobel_operator (Diakses tanggal 30 Juni 2012). [15] Wiley, Practical Image and Video Processing Using MATLAB, 2011.
[16] Zulkaryanto, Rangkuman Kuliah Deteksi Tepi, IPB,
http://zulkaryanto.files.wordpress.com/2010/01/edge-detection.pdf (Diakses tanggal 4 Juni 2012).
Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan Magnitude Kecepatan
1 5598440 36,5315 5848650 37,1094 5458120 38,0313
2 5598440 36,4846 5848650 36,7344 5458120 37,6563
3 5598440 36,2971 5848650 36,4375 5458120 37,3594
4 5598440 36,6721 5848650 36,8359 5458120 37,7578
5 5598440 36,3440 5848650 36,4844 5458120 37,4063
6 5598440 36,3128 5848650 36,4063 5458120 37,3282
7 5598440 36,7659 5848650 36,9141 5458120 37,8360
8 5598440 36,5315 5848650 36,4766 5458120 37,3985
9 5598440 36,2503 5848650 35,9689 5458120 36,8908
10 5598440 36,3909 5848650 36,1485 5458120 37,0704
5598440 36,4581 5848650 36,5516 5458120 37,4735
No. Uji
Meode Sobel & Cartesian Meode Robert & Cartesian Meode Prewitt & Cartesian
Proses Tercepat 35,96885
Proses Terlama 38,0313
Magnitude Terbesar 5848650
Magnitude Terkecil 5458120
Meode Sobel & Cartesian
Magnitude 5598440
Kecepatan 36,45807
Prosentasi Kecepatan 91,698
Prosentasi Magnitude 87,424
Meode Robert & Cartesian
Magnitude 5848650
Kecepatan 36,551585
Prosentasi Kecepatan 90,11
Prosentasi Magnitude 100,00
Meode Prewitt & Cartesian
Magnitude 5458120
Kecepatan 37,473485
Prosentasi Kecepatan 74,47
Prosentasi Magnitude 65,00
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 88
Penerapan Data Warehouse pada PT XYZ
dengan Menggunakan Metode Kriptografi
Muhammad Rifqi1, Rusdah
2, Moedjiono
3
Magister Ilmu Komputer Program Pascasarjana Universitas Budi Luhur
Jl. Ciledug Raya Petukangan Utara 12260, Jakarta Selatan
Abstract— The role of technology in order to help improving the
work performance of a company in the era of globalization
encourages firms to compete with each other to acquire existing
technology to support companies in making better and
appropriate decisions. Most companies are faced with a crisis of
information. It’s not because of insufficient data, but because the
available data are not easy to use for strategic decision making.
Data warehouse in a company can be categorized as a strategic
supporting aspect. By establishing data warehouse, we can obtain
reports to support management decision-making processes. The
research aims to formulate data warehouse model and design of
application based on the requirement analysis. The study
involved PT. XYZ as an object. The methodology used is the
methods of analysis and design. In analysis method, we
conducted literature review, surveys and interviews, identified
the information needs of executives (management) in decision-
making, defined the requirements of the data warehouse to be
built based on Nine-Steps Methodology and used cryptographic
methods in the ETL process for security data. While in the
design method we performed data warehouse application design,
which includes a display interface supporting features of the
user. As a result, we proposed a model and application of data
warehouse using encripted data.
Keywordsi: Analysis, Design, Encryption, Data Warehouse,
Model, Application
I. PENDAHULUAN
Menurut W.H. Inmon dan Richard D.H., data warehouse
adalah koleksi data yang mempunyai sifat berorientasi subyek,
terintegrasi, time-variant, dan bersifat tetap dari koleksi data
dalam mendukung proses pengambilan keputusan manajemen
[1]. Dalam membuat keputusan, para eksekutif membutuhkan
informasi yang disajikan dengan jelas, mudah dimengerti, dan
sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu dibutuhkan database yang
berisi data yang telah diolah dan dianalisis (read only) sesuai
dengan kebutuhan pengambilan keputusan [2].
Paulraj Ponniah menerangkan bahwa krisis informasi pada
suatu perusahaan bukan karena kurangnya data yang memadai,
tetapi karena data yang tersedia tidak mudah digunakan untuk
pengambilan keputusan strategis. TI (information technology)
tidak lagi diperlukan untuk membuat setiap laporan dalam
memberikan informasi kepada pengguna akhir. Tetapi IT kini
dibebankan dengan pembangunan sistem pengiriman
informasi dan mempersilakan user (pengguna akhir) untuk
mengambil informasi dalam cara-cara inovatif untuk analisis
dan pengambilan keputusan strategis [3].
II. TINJAUAN PUSTAKA
Data warehouse adalah sebuah basis data komprehensif
yang mendukung semua analisis keputusan yang diperlukan
oleh suatu organisasi dengan menyediakan ringkasan dan
rincian informasi. Sedangkan menurut Inmon [4], suatu data
warehouse merupakan kumpulan data yang bersifat subject
oriented, integrated, time variant, dan nonvolatile dalam
mendukung proses pengambilan keputusan [1]. Subject
oriented berarti bahwa data warehouse diidentifikasikan atau
disusun berdasarkan pada subjek utama dalam lingkungan
perusahaan, bukan berorientasi pada proses atau fungsi
aplikasi seperti yang terjadi pada lingkungan operasional.
Karakteristik kedua dan terpenting dari data warehouse
adalah integrasi. Data diambil dari sumber-sumber yang
terpisah, dimasukkan ke dalam data warehouse. Data yang
diambil tersebut akan diubah, diformat, disusun kembali,
diringkas, dan seterusnya. Sehingga dapat mendukung,
pengoperasian sistem data warehouse dalam menghasilkan
laporan yang terintegrasi, sedangkan data yang masuk ke
dalam data warehouse dengan berbagai cara dan mempunyai
ketidak konsistenan dengan aplikasi tidak akan dimasukkan ke
dalam sistem. Contoh konsistensi data antara lain adalah
penamaan, struktur kunci, ukuran atribut, dan karakteristik
data secara fisik.
Hasil dari integrasi data, dalam data warehouse hanya
mempunyai satu bentuk format sesuai dengan yang telah
ditentukan. Nonvolatile dapat diartikan bahwa data tersebut
tidak mengalami perubahan, walaupun data dalam operasional
mengalami perubahan. Dengan begitu, maka data yang lama
tetap tersimpan dalam data warehouse.
Karakteristik terakhir, yaitu Time Variant ini
mengimplikasikan bahwa tiap data dalam data warehouse itu
selalu akurat dalam periode tertentu. Batas waktu pada data
warehouse jauh lebih lama dibandingkan database sistem
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 89
operasional karena perbedaan batas waktu tersebut, maka data
warehouse lebih banyak menampung data historis daripada
database operasional.
Arsitektur Data Warehouse
Menurut Connolly, komponen-komponen utama dalam
sebuah data warehouse antara lain [5]:
Gbr 1. Arsitektur Data warehouse [2-5]
Pada Gbr 1 menunjukan arsitektur Data Warehouse
menurut Connoly [5] sebagai berikut :
1. Operational Data
Data untuk data warehouse berasal dari:
Mainframe data operasional yang terdapat pada
generasi pertama, yaitu hierarki dan basis data
jaringan.
Data departemen yang berada pada sistem file,
seperti SQL dan relasional DBMS.
Data yang berada pada workstation dan server.
2. Operational Data Store
Operational Data Store (ODS) merupakan tempat
penyimpanan data operasional terkini dan terintegrasi,
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan analisis.
ODS menyimpan data yang telah diekstrak dan telah
dibersihkan dari sumber data. Dengan demikian, proses
pengintegrasian dan restrukturisasi data untuk data
warehouse menjadi lebih sederhana.
3. ETL Manager
ETL manager melakukan semua operasi yang
berhubungan dengan fungsi ETL (Extract, Transform,
Loading) data ke dalam data warehouse. Data dapat
diekstrak dari sumber-sumber data atau pada umumnya
diambil dari Operational Data Store [6]. Data yang
diturunkan dari beberapa sumber database yang berbeda
sebagai contoh pada kasus di PT XYZ seperti Oracle
(SAP), SQL, MS Access, Excel macro dan lain
sebagainya dikemas menjadi text file yang nantinya akan
di upload ke dalam database warehouse sangatlah riskan
di gunakan/dimanfaatkan oleh pihak ketiga, untuk itulah
perlu untuk memastikan keamanan datanya [7]. Salah
satu metode yang penulis gunakan adalah dengan
menggunakan metode kriptogafi.
Kriptografi merupakan elemen penting dari setiap
strategi untuk mengatasi kebutuhan transmisi pesan
keamanan. Kriptografi adalah studi tentang metode
mengirim pesan dalam bentuk terselubung sehingga
hanya penerima yang dimaksudkan dapat menghapus
menyamar dan membaca pesan tersebut. Ini adalah seni
praktis mengubah pesan atau data ke dalam bentuk yang
berbeda, sehingga tidak ada seorang pun dapat
membacanya tanpa akses ke 'key'. Pesan dapat dikonversi
menggunakan 'kode' (dalam hal ini masing-masing
karakter atau kelompok karakter diganti oleh salah satu
alternatif), atau 'nol' atau 'cipher' (dalam hal ini pesan
secara keseluruhan diubah, bukan dari karakter individu).
Kriptoanalisis adalah ilmu 'breaking' atau 'cracking'
skema enkripsi, yaitu menemukan kunci dekripsi [8].
Oleh sebab itulah penulis menganggap penting data yang
ditransfer dalam bentuk text file sebelumnya telah
dilakukan enkripsi guna melindungi data dari serangan
pihak ketiga.
4. Warehouse Manager
Warehouse manager melakukan semua operasi yang
berhubungan dengan manajemen data dalam data
warehouse, seperti: analisis data untuk memastikan
konsistensi, transformasi dan penyatuan sumber data dari
media penyimpanan sementara ke tabel data warehouse,
membentuk indeks dan view pada tabel, generate proses
denormalisasi, generate aggregasi, dan melakukan back
up dan archiving data
5. Query Manager
Query manager melakukan semua operasi yang
berhubungan dengan pengaturan query yang dimasukkan
oleh user. Operasi yang dilakukan komponen ini berupa
pengarahan query pada tabel-tabel yang tepat dan
penjadwalan eksekusi query.
6. Detailed Data
Komponen ini menyimpan semua data detil dalam skema
basis data. Pada umumnya beberapa data tidak disimpan
secara online, tetapi dapat dilakukan secara aggregasi.
Secara periodik data detil ditambahkan ke data
warehouse untuk mendukung aggregasi data.
7. Lightly and Highly Summarized Data
Komponen ini menyimpan semua data yang sudah
diringkas (diaggregasi), yang digenerate oleh warehouse
manager. Data perlu diringkas dengan tujuan untuk
mempercepat performa query. Ringkasan data terus
diperbaharui seiring dengan adanya data yang baru yang
masuk ke dalam data warehouse.
8. Archive / Backup Data
Komponen ini menyimpan data detil dan ringkasan data
dengan tujuan untuk menyimpan dan backup data.
Walaupun ringkasan data diperoleh dari data detil,
ringkasan perlu dibackup juga apabila data tersebut
disimpan melampaui periode tertentu dalam penyimpanan
data detil.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 90
9. Metadata
Komponen ini menyimpan semua definisi metadata
(informasi mengenai data) yang digunakan dalam proses
data warehouse. Metadata digunakan untuk berbagai
tujuan, diantaranya: proses extracting dan loading,
metadata digunakan untuk memetakan sumber data dalam
warehouse; dalam proses manajemen warehouse,
metadata digunakan untuk mengotomatisasi pembentukan
tabel ringkasan; sebagai bagian dari proses manajemen
query, metadata digunakan untuk mengarahkan sebuah
query pada sumber data yang tepat.
10. End-User Access Tools
Tujuan utama dari data warehouse adalah mendukung
dalam proses pembuatan keputusan yang strategis dalam
berbisnis. Para pengguna berinteraksi dengan data
warehouse menggunakan end-user access tools.
Berdasarkan kegunaannya, terdapat empat kategori end-
user access tools, yaitu: Reporting and Query tools,
Application Development Tools, Online Analytical
Processing (OLAP) Tools, dan Data Mining Tools.
III. METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam mendukung pelaksanaan
penelitian ini, terdiri dari dua jenis metode, diantaranya:
a. Metode Analisis
Proses analisis dilakukan melalui beberapa tahapan,
diantaranya :
1. Studi pustaka, yakni mempelajari literatur-literatur
yang membahas mengenai metodologi pembentukan
data warehouse.
2. Melakukan survey terhadap sistem berjalan yang
dilaksanakan dengan melakukan wawancara terhadap
pihak-pihak yang mendukung operasional perusahaan
dan pihak eksekutif yang akan menggunakan sistem
data warehouse yang dibentuk.
3. Menganalisis informasi yang dibutuhkan para eksekutif
dalam pengambilan keputusan, yang nantinya akan
digunakan sebagai acuan dalam melakukan
perancangan sistem data warehouse.
4. Mengidentifikasikan prasyarat kebutuhan sistem yang
akan dibangun agar sesuai dengan requirement yang
ada.
b. Metode Perancangan Data Warehouse
Pada tahapan perancangan dilakukan perancangan model
dan aplikasi berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan
yang dihadapi. Metode perancangan data warehouse yang
digunakan terdiri dari sembilan tahap yang dikenal dengan
pendekatan Nine-Steps Methodology yang diperkenalkan oleh
Ralph Kimbal.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam proses pengambilan keputusan untuk periode waktu
jangka pendek maupun jangka panjang, para eksekutif
membutuhkan berbagai macam kolaborasi data yang
tersimpan dalam database operasional perusahaan. PT XYZ
yang terletak di Karawang, Jawa Barat sebagai sebuah
perusahaan modal asing yang memproduksi semiconductor
dengan tidak kurang dari 100 macam jenis produk yang
dihasilkan mengandalkan data warehouse dalam
mengintegrasikan berbagai data yang tersebar pada banyak
tabel dalam database operasional perusahaan. Dengan tidak
kurang dari 10 sistem yang sudah berjalan saat ini seperti:
HRMS dengan menggunakan VB.Net, GPRISM dengan PHP
+ Oracle, SAP dan beberapa system support lainnya seperti
MS Access serta beberapa program open source lainnya
sangat di butuhkan oleh pihak manajemen dalam pengambilan
keputusan dari semua system yang sudah ada dalam satu
kesatuan informasi dalam data warehouse.
Gbr 2. Campuran Berbagai Teknologi
Gbr 2 di atas menunjukkan meskipun banyak teknologi
yang digunakan, mereka semua bekerja sama dalam sebuah
data warehouse. Hasil akhirnya adalah penciptaan lingkungan
komputasi baru untuk tujuan penyediaan informasi strategis
suatu perusahaan [3].
Dalam pembentukan sistem data warehouse pada PT. XYZ,
melibatkan dua komponen utama dari sistem yang saling
berhubungan, yang terdiri dari:
Data source merupakan sumber asal dari database
perusahaan yang digunakan dalam pembentukan data
warehouse. Dalam perancangan data warehouse ini yang
menjadi data source adalah data dari database
transaksional perusahaan, namun dibatasi hanya yang
berkaitan dengan produks dan reward karyawan, pada PT
XYZ.
Data transformation merupakan proses pengubahan data
yang awalnya berasal dari database operasional diubah
menjadi bentuk yang sesuai dalam sistem data warehouse.
Proses ini dikenal dengan proses ETL (Extract,
Transform, Loading). Extract adalah proses pengambilan
data operasional dan memilih data yang akan digunakan
di dalam data warehouse. Transformasi (transformation)
dilakukan agar data memiliki sifat yang konsisten dan
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 91
terjamin integritasnya sehingga dapat menghasilkan
informasi yang tepat dan akurat. Loading merupakan
proses penyimpanan data yang telah ditransformasikan ke
dalam data warehouse.
Tahapan transformasi data dari database operasional ke
dalam data warehouse adalah sebagai berikut.
Membaca dan memilih data dari database operasional
yang berkaitan dengan proses yang mendukung performa
manajemen seperti masalah down time machine, data
karyawan dan lain-lain.
Melakukan penyeragaman data tertentu untuk membuat
data menjadi konsisten dan terintegrasi, dan melakukan
penghitungan pada data sesuai dengan output yang akan
dihasilkan oleh data warehouse.
Melakukan proses transformasi data sehingga data
tersebut siap untuk dimasukan ke dalam data warehouse.
Proses ini dilakukan dengan
Data warehouse merupakan suatu media yang digunakan
untuk menyimpan data historis dari perusahaan
berdasarkan periode atau jangka waktu tertentu yang telah
melalui tahap penyaringan dan diintegrasikan untuk
digunakan sebagai sumber analisis pada proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak
pimpinan perusahaan.
User merupakan pengguna akhir yang akan mengakses
atau menggunakan aplikasi data warehouse yang telah
dirancang. Sistem data warehouse ini akan
mempermudah dan mempercepat end user dalam
memperoleh data yang dibutuhkan dalam bentuk laporan
guna mendukung keperluan analisis pada sisi eksekutif.
Tahapan Perancangan Data Warehouse
Berikut tahapan-tahapan yang dilalui dalam proses
pembentukan sistem data warehouse pada perusahaan PT
XYZ:
1. Memilih Proses
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka
diputuskan orientasi pembentukan sistem data warehouse
dilakukan hanya pada proses pembelian material, kontrol
material, kontrol kinerja mesin produksi, juga proses lain
yang mendukung kinerja perusahaan seperti absensi
karyawan dan pemberian penghargaan.
2. Memilih Grain
Grain merupakan data dari calon fakta yang akan
dianalisis. Dengan melakukan pemilihan grain, maka
dapat diputuskan hal-hal apa saja yang akan
direpresentasikan pada record tabel fakta. Grain-grain
yang terdapat dalam perancangan sistem data warehouse
perusahaan ini meliputi:
Kontrol Down Time Machine
Perlunya usaha untuk mengontrol kemampuan
kinerja dari sebuah mesin pada area produksi, data
yang dianalisis adalah berapa lama dan berapa sering
mesin tersebut mengalami down time, sebab-sebab
mesin tersebut terjadi down time, kejadian tersebut
akan dikontrol karena mempengaruhi penurunan
kualitas maupun kapasitas suatu produk/barang.
Kontrol material
Dalam proses kontrol material ini sangat diperlukan
untuk mengetahui berapa stock material yang ada,
yang sedang digunakan dan berapa atau kapan harus
mengajukan permintaan material yang baru, seberapa
penting material tersebut harus disiapkan juga status
permintaan material tersebut sudah sampai dimana,
maksudnya adalah approval permintaan dari pihak
terkait dalam hal ini manajemen.
Kontrol Karyawan
Kontrol karyawan meliputi kehadiran karyawan juga
pemberian reward kepada karyawan yang berprestasi
dan masa kerja dalam tenggang waktu yang telah
disepakati.
3. Identifikasi dan penyesuaian dimensi
Pada tahap ini dilakukan penyesuaian dimensi dengan
grain yang ada.
Grain Business
Unit Case Status Type Time Area Desc
Down
Time V V V V V V V
Employee V V V V V V V
Material V V V V V V V
4. Pemilihan fakta
Dalam tahap ini dilakukan pemilihan fakta-fakta yang
sesuai dengan kebutuhan. Setiap fakta yang terbentuk,
terdiri dari atribut dimensi dan data measure. Fakta-fakta
yang telah diidentifikasikan selanjutnya akan diformulasi
dalam bentuk laporan, diagram, ataupun grafik yang
dapat merepresentasikan data-data dalam bentuk yang
mudah dipahami bagi pengguna.
Saya membatasi pengembangan data warehouse ini sesuai
dengan kebutuhan yang ada pada perusahaan karena
belum terkontrol secara system dan dengan program ini
dapat menurunkan biaya tidak kurang dari 50 juta/kasus,
beberapa kontrol yang dapat di terapkan pada saat ini
berupa : kontrol down time machine pada area produksi
yang dampaknya pada kinerja perusahaan pada tepat atau
tidaknya jadwal pengiriman dan kualitas produk yang di
hasilkan, absensi, KPI juga pemberian reward (Gold coin)
kepada karyawan yang telah bekerja dalam tenggang
waktu yang telah di tentukan dengan system ini berhasil
menurunkan biaya (reduce cost) tidak kurang dari
(minimal) 50 juta / kasus.
Fakta yang terbentuk dari perancangan data warehouse
ini adalah:
Kontrol Down time machine, meliputi JENIS_DT,
WAKTU, BU, AREA, KETERANGAN
Kontrol Material, meliputi WAKTU,
DEPARTEMENT, INDIRECT_NAME, ITEM,
PROCESS_ON, REMARK, NOTES.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 92
Kontrol Karyawan, meliputi NIM, TGL, START,
END, DESCRIPTION.
5. Menyimpan prekalkulasi pada tabel fakta
Prekalkulasi yang dilakukan pada perancangan data
warehouse ini meliputi:
FAKTA ATRIBUT PREKALKULASI
Down Time Jumlah_Transaksi Tanggal_Transaksi
Ktr Material Jumlah_Transaksi Tanggal_Input
Employee Jumlah_Absensi Tanggal_Absensi
6. Melengkapi tabel dimensi
Pada tahapan ini dilakukan penambahan deskripsi teks
pada dimensi. Deskripsi tersebut harus mudah dipahami
oleh user. Berikut deskripsi teks dari tabel dimensi
(contoh):
DIMENSI ATRIBUT DESKRIPSI
Status Status Laporan dapat di lihat dari status
karyawan (kontrak atau permanen, direct
atau indirect, dsb)
Waktu Kode_Waktu Keterangan
Menentukan waktu/kapan seorang karyawan jatuh tempo kontraknya atau
kapan seorang karyawan berhak
mendapatkan reward berupa gold coin pada rentang waktu yang sudah di
tentukan
KPI Kode_KPI Keterangan
Biasanya di gunakan untuk paramenter penilaian karyawan dalam pencapaian
selama satu tahun (Fiskal Year)
7. Pemilihan durasi basis data
Periode waktu dari data yang digunakan dalam data
warehouse ini adalah :
Nama
Database
OLAP
Nama
Database
OLTP
Periode
Waktu
OLTP
Transformasi
data ke Data
Warehouse
Durasi
Data
Warehouse
OLAP_ATR DB_ATR 2012 2012-2014 2 Tahun
8. Melacak perubahan dari dimensi secara perlahan
Mengamati perubahan dari dimensi pada masing-masing
tabel dimensi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu
mengganti secara langsung pada table dimensi,
pembentukan record baru pada setiap perubahan yang
terjadi, dan perubahan data yang membentuk kolom baru
yang berbeda. Dalam perancangan ini digunakan cara
yang kedua, yaitu jika terdapat perubahan atribut pada
tabel, maka akan menyebabkan pembentukan suatu
record baru. Contohnya, seperti terdapat perubahan
alamat pelanggan, maka akan mengakibatkan
penambahan record baru pada tabel dimensi dengan tetap
menyimpan record yang lama. Hal ini dilakukan untuk
menjaga data yang lama agar tetap tersimpan, sehingga
dapat diketahui perubahannya yang terjadi dari awal
sampai akhir.
9. Memutuskan prioritas dan mode dari query
Dalam tahap ini dibahas mengenai proses ETL (extract,
transform, and loading), backup yang dilakukan secara
berkala, dan analisis kapasitas media penyimpanan data.
A. Proses ETL (Extract, Transform, and Loading)
Penangggung
Jawab
Intensitas
Aktivitas
Keterangan
Divisi
Information
Technology (IT)
1 Bulan Sekali,
tergantung
permintaan (kebutuhan)
Proses ETL ke dalam tabel
dimensi dan fakta ini akan
dilakukan oleh divisi IT, setiap bulan atau berdasarkan kebutuhan
Contoh proses ETL untuk keamanan data dengan
menggunakan metode kriptografi dengan menggunakan
algoritma Caesar Chiper yang sebelumnya penulis
mengembangkan algoritma tersebut dengan menambahkan
pergerakan jam, menit, detik, mili detik dan micro detik
sebagai kunci utama dalam enkripsi data tersebut yang mana
kunci tersebut akan kirimkan melalui email kepada receiver
atau orang yang diberikan hak untuk dapat membaca atau
berwenang dalam data tersebut dari sender/pengirim melaui
grafik yang berfungsi sebagai informasi dari password
tersebut. Untuk lebih jelasnya seperti pada Gbr 3, 4, 5 berikut:
Gbr 3. Contoh data yang sudah di enkripsi
Gbr 4. Contoh data yang sudah di enkripsi
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 93
Gbr 5. Pengiriman kode password melalui email dengan grafik.
B. Proses backup
Penangggung
Jawab
Intensitas
Aktivitas
Keterangan
Divisi Information
Technology
(IT)
1 Bulan Sekali.
Proses backup terhadap data-data yang terdapat dalam data warehouse dan
database operasional dilakukan oleh
divisi IT, di luar jam kantor
C. Analisis kapasitas media penyimpanan
Dalam proses pengolahan data, kapasitas media
penyimpanan menjadi salah satu faktor yang perlu dijadikan
bahan pertimbangan. Transaksi yang terjadi setiap hari pada
data transaksional/operasional perusahaan (OLTP) akan
menyebabkan pertumbuhan data pada database operasional
perusahaan, yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan data pada data warehouse. Oleh karena itu,
perlu dilakukan analisis pertumbuhan data untuk membantu
dalam memperkirakan besarnya media penyimpanan data
yang dibutuhkan untuk beberapa periode tahun ke depan. Hal
ini dilakukan dengan melakukan perhitungan terhadap jumlah
record yang dihasilkan permasing-masing tabel yang ada
selama periode tertentu, kemudian diakumulasi dengan
penggunaan ukuran space berdasarkan jenis tipe data yang
digunakan pada masing-masing atribut yang terdapat pada
tabel yang terbentuk dalam database. Sehingga dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam proses pengimplentasian sistem
yang dilakukan nantinya.
Rancangan Skema Bintang
Pada perancangan sistem data warehouse perusahaan ini
menggunakan skema bintang, dimana tabel fakta ditempatkan
di tengah, dikelilingi oleh tabel-tabel dimensi. Penggunaan
skema bintang ini dipilih karena bentuk skema ini mudah
dipahami dan digunakan, sehingga memudahkan dalam
melakukan proses pembentukan query. Gbr 6 menunjukkan
skema bintang yang dihasilkan pada penelitian ini.
Gbr 6. Skema Bintang Pengiriman
Rencana Implementasi
Untuk implementasi sistem data warehouse ini diperlukan
spesifikasi perangkat keras dan lunak yang sesuai, sehingga
dapat mendukung operasional secara maksimal. Berikut
minimal spesifikasi yang dibutuhkan:
Komputer server: Processor: Intel® Itanium® Processor 9000
Sequence, Harddisk: 1 TB, Memory: 8GB, Monitor: LCD 20”;
Komputer client: Processor: Intel® Core 2 Duo 3,2 Ghz,
Harddisk: 500 GB, Memory: 4GB, Monitor: LCD 20”; Sistem
operasi: Windows Server 2003 Service Pack 3; DBMS: SQL
Server 2008.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisis, dan
perancangan sistem yang dilakukan pada PT XYZ, maka
dapat disimpulkan bahwa:
Melalui aplikasi data warehouse yang dibentuk, pihak
ekskutif dapat melakukan kegiatan analisis terhadap
laporan yang dihasilkan berdasarkan berbagai dimensi
yang ada.
Selain berfungsi sebagai alat penunjang pelaporan,
aplikasi data warehouse yang dihasilkan juga dapat
digunakan sebagai alat untuk menganalisis tren atau
kecenderungan yang saat ini berlangsung. Hal ini
dilakukan dengan mengimplementasikan penggunaan
dashboard.
Sistem yang dikembangkan dapat menyajikan laporan
dalam bentuk yang sangat interaktif, yaitu dengan
menyediakan tampilan grafik maupun tabel sesuai dengan
kebutuhan pihak eksekutif sehingga mempermudah dalam
pemahaman terhadap informasi yang dihasilkan.
Data warehouse merupakan suatu cara/metode dari suatu
database yang berorientasi kepada subjek, non-volatile,
time-variance dan terintegrasi yang digunakan untuk
mempermudah para pengambil keputusan dalam
menyelesaikan masalah.
Keberadaan data warehouse sangat penting sebagai tools
dari DSS, karena data warehouse memang digunakan
untuk itu. Dengan adanya data warehouse, diharapkan
suatu perusahaan dapat lebih unggul dari kompetitornya
dan lebih jeli lagi dalam melihat peluang pasar.
Employeement
PK UserID
DeptID
SectID
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Organization_Stru
PK OrgId
Name
Organization_StruCol1
Organization_StruCol2
Section_Stru
PK SecId
Name
Section_StruCol1
Employee
PK UserID
UserName
Employeement
UserID
OrgId
SecId
JoinDate
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 94
Dengan menggunakan metode kriptografi pada proses
ETL lebih menjaga keamana data dari serangan pihak ke
tiga, karena harus mengetahui algoritma untuk membuka
pesan rahasia dari data tersebut. Penulis mengembangan
metode Caesar Chiper dengan menambahkan pergerakan
jam, menit, detik, mili detik dan micro detik untuk
menyulitkan pihak ketiga untuk mencuri data tersebut dan
password tersebut dikirimkan melalui grafik yang
nantinya berfungsi sebagai decode/deskripsi isi dari data
yang akan digunakan.
Adapun saran berkenaan dengan hasil penelitian yang
dilakukan adalah :
Perlu dilakukan maintenance secara rutin agar sistem
data warehouse dapat terintegrasi dan termonitor dengan
baik.
Dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan
sistem data mining agar proses analisis perusahaan dapat
dilakukan secara lebih mendalam dan terpola berdasarkan
pendekatan yang ada dalam konsep data mining.
Penulis masih mengembangkan beberapa algoritma
tersebut untuk dipakai dalam pengiriman email rahasia
dan sistem data untuk rumah sakit pada kasus histori
penyakit pasien dengan menambahkan metode
steganografi.
REFERENSI
[1] Inmon, W.H. (2002). Building the Data Warehouse,edisi-3. Wiley
Computer Publishing.
[2] Poe, Vidette 1998. Building Data Warehouse for Decision Support, edisi-2. Prentice Hall.
[3] Ponniah, Paulraj, (2010), Data Warehousing Fundamentals For IT Professionals, 2nd Ed, John Wiley & Sons, Inc.
[4] Inmon, W. H, (2005), Building the Data Warehouse, 3rd Ed, John
Wiley & Sons, Inc., Canada. [5] Connolly, Thomas dan Begg, Carolyn, 2010, Database Systems : A
Practical Approach to Design, Implementation, and Management,
5th Ed, Pearson Addison Wesley, Boston. [6] Kimball, R., & Caserta, J. (2004). The data warehouse ETL toolkit:
practical techniques for extracting, cleaning, conforming, and
delivering data. Wiley. [7] M. Conway, (2003). “Code Wars: Steganography, Signals
Intelligence, and Terrorism”, Knowledge Technology & Policy,
Volume 16, Number 2, pp. 45-62, Springer. [8] Neha Sharma, J.S. Bhatia and Dr. Neena Gupta, “An Encrypto-Stego
Technique Based secure data Transmission System”, PEC,
Chandigarh.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 95
Implementasi Protokol S/MIME pada Layanan
E-Mail Sebagai Upaya Peningkatan Keamanan
dalam Transaksi Informasi Secara Online:
Studi Kasus PT. XYZ
Aeni Jamilia1, Moedjiono
2, Hadi Syahrial
3
Magister Ilmu Komputer Program Pascasarjana Universitas Budi Luhur
Jl. Ciledug Raya Petukangan Utara 12260, Jakarta Selatan 1 [email protected]
Abstrak-- Berkomunikasi menggunakan e-mail memiliki banyak
kelebihan namun disisi lain rentan terhadap kegiatan digital
attacker, seperti penyadapan. PT. XYZ merupakan organisasi yang
bergerak dibidang bisnis yang menangani infrastruktur TI di
kalangan instansi pemerintah maupun swasta, yang mana
kesehariannya informasi rahasia ditransaksikan menggunakan e-
mail online. S/MIME merupakan salah satu alternatif
pengamanan yang dapat diimplementasikan pada e-mail. Hasil
akhir dari penelitan ini berupa rancangan implementasi protokol
S/MIME pada layanan e-mail bagi PT. XYZ yang menerapkan
teknik kriptografi berupa tanda tangan digital dan/atau enkripsi
yang terbukti dapat memenuhi aspek keamanan informasi. Dengan
mengimplementasikan S/MIME, aspek information security seperti
confidentiality, integrity, authentication dan non-repudiation yang
diharapkan oleh PT. XYZ dapat terpenuhi.
Kata kunci: e-mail, digital attacker, security, S/MIME, information
security.
I. PENDAHULUAN
Pengguna internet di seluruh dunia sampai dengan akhir
tahun 2011 seperti yang tercatat dalam survei Internet World
Stats pada internetworldstats.com mencapai 2.267.233.742
pengguna, dengan statistik tertinggi pengguna dari Asia
mencapai 44,8% [1]. Salah satu fasilitas internet yang paling
banyak digunakan di dunia khususnya di Indonesia adalah e-
mail online, karena dengan adanya e-mail para pengguna
dapat saling bertukar informasi. Bahkan tercatat dari hasil
riset Ipsos bahwa 9 dari 10 (91%) pengguna internet di
Indonesia menggunakan e-mail online untuk kirim/terima
(transaksi) informasi [2].
Meskipun menjadi sarana transaksi informasi yang handal
dan banyak digunakan, mekanisme pengiriman e-mail
umumnya dilakukan melalui internet yang merupakan jalur
publik sehingga memungkinkan terjadinya serangan oleh
digital attacker seperti penyadapan dan modifikasi informasi.
Selain terkendala pada aspek kerahasiaan informasi, penerima
e-mail tidak dapat memastikan keaslian sumber pesan, untuk
mengetahui bahwa e-mail tersebut memang berasal dari orang
yang diajak berkomunikasi. Karena e-mail tidak memiliki
layanan untuk memverifikasi pengirim e-mail, maka pengirim
pada suatu waktu dapat menyangkal bahwa dirinya tidak
pernah mengirim e-mail tersebut. Kendala tersebut dapat
diatasi dengan teknik kriptografi berbasis sertifikat digital
kunci publik (public key) atau yang dikenal sebagai protokol
S/MIME karena terdapat dua proses yang dilakukan yaitu
proses enkripsi sebagai solusi dari ancaman kerahasiaan
informasi dan proses digital signature sebagai solusi untuk
melakukan verifikasi terhadap pengirim e-mail.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan rancangan
implementasi S/MIME pada layanan e-mail online PT. XYZ,
membuktikan aspek keamanan yang dapat terpenuhi dalam
transaksi informasi menggunakan e-mail yang menerapkan
S/MIME, serta membandingkan keamanan transaksi informasi
menggunakan e-mail online antara sebelum dan sesudah
menerapkan S/MIME.
II. LANDASAN PEMIKIRAN
A. E-mail
E-mail menggunakan suatu aplikasi berbentuk program
komputer sebagai medianya. E-mail selalu memanfaatkan
standar TCP/IP yaitu menggunakan IMF (Internet
Message Format) untuk menentukan header yang
digunakan untuk mengenkapsulasi teks e-mail, termasuk
pengiriman e-mail dengan SMTP (Simple Mail Transport
Protocol) dan pembacaannya menggunakan protokol POP
(Post Office Protocol)/IMAP (Internet Mail Access
Protocol) karena untuk mendapatkan pesan, maka akun
e-mail sebelumnya harus terdaftarkan dulu di mail server
yang akan dikontak [3].
B. Aspek Keamanan Jaringan Komputer
Keamanan jaringan komputer melingkupi empat aspek
utama yaitu privacy/confidentiality, integrity,
authentication dan availability serta dua aspek lain yang
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 96
erat kaitannya dengan keamanan komputer yang berbasis
jaringan yaitu access control dan non-repudiation [3].
1) Privacy/Confidentiality
Aspek privacy merupakan usaha untuk menjaga
informasi dari orang yang tidak berhak mengakses
suatu sistem, dan lebih ke arah data-data yang sifatnya
privat sedangkan confidentiality berhubungan dengan
data yang diberikan ke pihak lain untuk keperluan
tertentu.
2) Integrity
Integrity lebih menekankan bahwa informasi tidak
boleh diubah tanpa seijin pemilik informasi, adanya
virus, trojan, atau pemakai lain yang mengubah
informasi tanpa ijin.
3) Authentication
Aspek ini berhubungan dengan metode untuk
menyatakan bahwa informasi benar-benar asli, orang
yang mengakses atau memberikan informasi adalah
orang yang dimaksud atau server yang kita hubungi
adalah server yang asli.
4) Availability
Availability berhubungan dengan ketersediaan
informasi ketika dibutuhkan, sistem informasi yang
diserang atau dijebol dapat menghambat atau
meniadakan akses ke informasi.
5) Access Control
Access control berhubungan dengan cara pengaturan
akses kepada informasi dan biasanya berhubungan
dengan klasifikasi data.
6) Non-repudiation
Aspek ini menjaga agar seseorang tidak dapat
menyangkal telah melakukan transaksi.
C. E-mail Security
Mengetahui banyaknya kerawanan dalam komunikasi
menggunakan layanan e-mail, maka salah satu teknik yang
dapat dilakukan adalah dengan menggunakan teknik
enkripsi berbasis kriptografi yang meliputi Privacy
Enhaced Mail (PEM), SPF/SenderID, Domain Key
Identified Mail (DKIM), Pretty Good Privacy (PGP),
GNU Privacy Guard (GPG) dan Secure Multipurpose
Internet Mail Extention (S/MIME). Namun demikian,
S/MIME merupakan protokol yang paling baik karena
dianggap menambahkan layanan keamanan secara
kriptogafis pada e-mail tanpa membutuhkan perubahan
dalam mengirim dan menerima atau proses transmisi e-
mail pada MTA karena fungsinya telah ditambahkan pada
client software yang terinstal pada proses pengiriman dan
penerimaan pada client. Bentuk dasar layanan keamanan
S/MIME menyediakan otentikasi pengirim, non-
repudiation untuk pengirim, integritas pesan dan
keamanan pesan menggunakan enkripsi dan tanda tangan
digital [4].
D. Kriptografi
Dalam kriptografi terdapat dua konsep utama yakni
enkripsi/dekripsi dan tanda tangan digital.
1) Enkripsi/Dekripsi
Enkripsi adalah proses mengolah informasi/data
(plaintext) menjadi bentuk yang hampir tidak dikenali
(ciphertext) dengan menggunakan algoritma tertentu.
Dekripsi adalah kebalikan dari enkripsi yaitu
mengubah kembali ciphertext menjadi plaintext.
2) Tanda Tangan Digital
Tanda tangan digital adalah suatu nilai kriptografis
yang bergantung pada isi berkas digital dan kunci
pemilik berkas digital. Tanda tangan ini dapat dipasang
di dalam berkas digital atau disimpan untuk
membuktikan keabsahan tanda tangan digital tersebut.
Jika tanda tangan digital otentik, berarti berkas digital
masih asli dan pemiliknya adalah orang yang sah dan
tidak jika sebaliknya [5].
E. Sertifikat Digital
Kunci publik beserta keterangan yang menyertainya yang
sudah ditandatangani disebut dengan istilah sertifikat
digital. Lembaga yang menandatangani sertifikat digital
disebut dengan istilah Certification Authority (CA) [6].
Keterangan yang ada dalam standar sertifikat digital X.509
versi 3 dan di RFC 2459 meliputi:
1) Versi sertifikat
2) Nomor seri sertifikat
3) Algoritma yang dipergunakan
4) Nama pemilik sertifikat digital
5) Lembaga yang menerbitkan sertifikat digital.
6) Masa validitas
7) Extension lainnya
8) Tanda tangan CA
F. MIME
MIME (Multipurpose Internet Mail Extension) adalah
standar format e-mail, yang merupakan perluasan untuk
kerangka RFC 5321 yang dimaksudkan untuk mengatasi
beberapa masalah dan keterbatasan penggunaan SMTP
atau protokol transfer mail lain dan RFC 5322 untuk mail
elektronik [7].
G. S/MIME
S/MIME (Secure/Multipurpose Internet Mail Extension)
adalah peningkatan keamanan standar format e-mail
internet MIME, yang didasarkan pada teknologi dari
keamanan data RSA. S/MIME didefinisikan dalam
sejumlah dokumen, yang paling penting adalah RFC 3369,
3370, 3850 dan 3851. Semua tipe aplikasi baru
menggunakan Public Key Crypto System (PKCS) mengacu
pada spesifikasi kriptografi kunci publik yang dikeluarkan
oleh RSA Laboratories [7].
S/MIME menggunakan kunci publik untuk
menandatangani dan mengenkripsi e-mail. Setiap
participant memiliki dua kunci yaitu private key yang
dijaga kerahasiaannya dan public key yang tersedia untuk
setiap anggota close group [8].
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 97
Pesan yang dikirimkan pada S/MIME akan mengalami
proses penandatanganan dan enkripsi sebagai satu
kesatuan proses tak terpisahkan, kemudian setelah sampai
ke penerima dilakukan proses verifikasi tanda tangan
digital dan dekripsi pesan untuk kemudian pesan akan
dapat dibaca oleh penerima.
1) Proses penandatanganan dan verifikasi pesan
Langkah penandatangan dan verifikasi pesan S/MIME:
1. Pengirim menulis pesan sebagai cleartext.
2. Message digest dihitung menggunakan algoritma
SHA 1 atau MD5.
3. Message digest dienkripsi (ditanda tangani)
menggunakan private key penanda tangan
(pengirim) dengan algoritma DSS atau RSA.
4. Ketika sampai di alamat tujuan, penerima pesan
melakukan verifikasi dengan mencocokkan hasil
perhitungan hash pesan asli (message digest)
yang dilakukan sendiri dibandingkan dengan
message digest hasil dekripsi dari pesan yang
diterima dari pengirim pesan menggunakan public
key pengirim.
Gbr 1. Proses penandatanganan pesan S/MIME [8]
2) Proses enkripsi dan dekripsi pesan
Enkripsi/dekripsi pada S/MIME sedikit berbeda dalam
hal berikut:
1. Pesan tidak dienkripsi menggunakan public key B
akan tetapi menggunakan symmetric session key yang
dibuat secara random. Enkripsi/dekripsinya lebih
cepat dibandingkan menggunakan algoritma asimetrik.
2. Session key akan dienkripsi menggunakan public key
B sehingga hanya B yang dapat mengetahui session
key dan dapat mendekripsi isi pesan.
Langkah untuk melakukan enkripsi pesan S/MIME:
1. Pengirim menulis pesan sebagai cleartext.
2. Random session key dibuat.
3. Pesan dienkripsi menggunakan random session
key dengan algoritma TripleDES atau RC2.
4. Session key dienkripsi menggunakan public key
penerima (dengan algoritma DH atau RSA).
5. Ketika sampai di tujuan, penerima pesan akan
mendekripsi encrypted session key menggunakan
private key-nya yang kemudian digunakan untuk
membaca (dekripsi) pesan.
Gbr 2. Proses enkripsi/dekripsi pesan S/MIME [8]
III. TIJAUAN OBYEK PENELITIAN
Lokus penelitian ini adalah PT. XYZ, organisasi yang
bergerak di bidang Teknologi Informasi dan berfokus pada
infrastruktur TI berbagai instansi pemerintahan maupun
swasta. Komunikasi yang dilakukan oleh personil PT. XYZ
melalui jaringan internet berbasiskan e-mail.
Berikut deskripsi infrastruktur mail server pada PT.XYZ:
Internet
DMZ
Mail serverMail
gateway
LAN
Gbr 3. Arsitektur e-mail PT. XYZ
Berikut adalah gambar topologi infrastruktur e-mail PT.
XYZ:
Gbr 4. Topologi infrastruktur e-mail PT. XYZ saat ini
PT. XYZ memiliki mail server dan mail gateway mandiri.
Setiap user, baik itu user di dalam maupun di luar kantor
(mobile network) PT. XYZ yang akan mentransaksikan
data/informasi menggunakan e-mail perusahaan pasti akan
melalui mail server XYZ, sedangkan mail gateway XYZ
Router
Firewall
Mail Server
@XYZ.co.id
Mail Gateway
@XYZ.co.id
Switch
DMZ
INTERNET
Senior Staf
Junior Staf
Direktur TI
Kadep TI
Senman TI
Man TI Asman TI
AP Lt.3
AP Lt.2
Switch
LAN
LAN PT. XYZ
Mobile Network
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 98
difungsikan bila user PT. XYZ ingin mengirimkan e-mail ke
domain lain di luar domain perusahaan.
Pada penelitian ini, hardware yang digunakan dalam
mendukung kegiatan penelitian adalah laptop/dekstop dan
flashdisk, sedangkan software yang akan digunakan adalah
Mozilla Thunderbird dan XCA.509.
1) Mozilla Thunderbird
Mozilla Thunderbird adalah perangkat lunak klien surat
elektronik yang dikembangkan oleh Mozilla Foundation.
Pada 7 Desember 2004, versi 1.0 diluncurkan dan diunduh
lebih dari 500.000 kali dalam 3 hari pertama. Sampai 2007,
Thunderbird telah di-download lebih dari 50 juta kali.
Dalam penelitian ini, aplikasi Mozilla Thunderbird
digunakan sebagai e-mail client.
2) XCA.509
Software ini merupakan tools untuk membangun
infrastruktur kunci publik S/MIME yang berbentuk file
sertifikat digital. Aplikasi ini diinstall pada komputer
administrator CA.
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Infrastruktur E-mail PT. XYZ Saat Ini
Berdasarkan pengamatan peneliti, PT. XYZ memiliki
infrastruktur e-mail yang relatif memadai terlihat dari
kelengkapan-kelengkapan jaringan yang digunakan, termasuk
bandwidth internet yang dimiliki. Perangkat-perangkat
jaringan yang dimiliki adalah router, switch, firewall, access
point (AP), mail gateway dan mail server. Perangkat-
perangkat tersebut digunakan oleh PT. XYZ untuk koneksi
internet dan diantaranya menjalankan layanan e-mail
perusahaan. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah gambar
topologi infrastruktur e-mail PT. XYZ:
Gbr 5. Topologi infrastruktur e-mail PT. XYZ
PT. XYZ memiliki mail server dan mail gateway
mandiri. Setiap user, baik itu user di dalam maupun di luar
kantor (mobile network) PT. XYZ yang akan mentransaksikan
data/informasi menggunakan e-mail perusahaan pasti akan
melalui mail server XYZ, sedangkan mail gateway XYZ
difungsikan bila user PT. XYZ ingin mengirimkan e-mail ke
domain lain di luar domain perusahaan. Contohnya jika
terdapat user [email protected] akan mentransaksikan
data/informasi via e-mail kepada [email protected] maka hanya
akan melalui mail server XYZ saja, dan jika user
[email protected] ingin bertransaksi dengan
[email protected] maka selain melalui mail server
XYZ juga akan melalui mail gateway XYZ.
B. Proses Transaksi Data/Informasi
Proses transaksi (kirim/terima) data/informasi yang
dilakukan oleh user PT. XYZ saat ini adalah menggunakan
layanan e-mail. User melakukan kirim/terima e-mail melalui
aplikasi e-mail client, aplikasi tersebut yaitu Mozilla
Thunderbird.
Alur diagram di bawah ini untuk memperjelas mekanisme
kirim/terima e-mail antar user PT. XYZ:
Gbr 6. Alur diagram kirim/terima e-mail antar user PT. XYZ
C. Alasan Pemilihan S/MIME
S/MIME merupakan salah satu solusi alternatif yang
sesuai untuk diimplementasikan pada layanan e-mail bagi PT.
XYZ dengan alasan sebagai berikut:
1) PT. XYZ telah memiliki infrastruktur jaringan internet.
2) Tidak diperlukan biaya tambahan untuk
mengimplementasikan S/MIME karena aplikasi yang
dibutuhkan bersifat open source dan multiplatform OS.
3) Investasi S/MIME lebih ringan daripada pengadaan
jaringan pribadi (WAN) maupun VPN.
4) Keamanan yang dijamin relatif tinggi karena proses
transaksi data/informasi dilindungi menggunakan teknik
kriptografi.
5) Jumlah entitas/user yang memerlukan S/MIME tidak
dibatasi.
6) Memudahkan user untuk melakukan kirim terima e-mail
secara aman di manapun ia berada.
D. Analisa Kebutuhan Implementasi S/MIME
Dengan melihat pada aspek keamanan yang diharapkan
terhadap layanan e-mail PT. XYZ, maka kriteria rancangan
Router
Firewall
Mail Server
@XYZ.co.id
Mail Gateway
@XYZ.co.id
Switch
DMZ
INTERNET
Senior Staf
Junior Staf
Direktur TI
Kadep TI
Senman TI
Man TI Asman TI
AP Lt.3
AP Lt.2
Switch
LAN
LAN PT. XYZ
Mobile Network
Pengirim
Jalankan Aplikasi
Mozilla Thunderbird
Klik Fitur Tulis Pesan
Isi Alamat Tujuan/
Penerima, Subject,
Teks Pesan, Lampirkan
Attachment File (jika
diperlukan)
Kirim E-mail
Mail Server
SMTP Pengirim
Mengecek Alamat
Tujuan/Penerima
Menampung &
Menyimpan Data/
Informasi E-mail yang
dikirimkan
Meneruskan E-mail
yang dikirimkan ke
POP3 Penerima
Penerima
Jalankan Aplikasi
Mozilla Thunderbird
Notifikasi Inbox E-mail
Membuka E-mail yang
Masuk, Membaca pesan,
Download Attachment
(jika ada)
Selesai
Mulai
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 99
implementasi S/MIME yang dibutuhkan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1) Mail server tetap berada di kantor PT. XYZ, tidak berada
di pihak ketiga.
2) Infrastruktur e-mail yang aman harus bermediakan
jaringan internet, dikarenakan PT. XYZ tidak akan
menyewa WAN.
3) Rancangan pengamanan e-mail mencakup level direktur
TI sampai dengan staf junior.
4) Teknologi pengamanan e-mail yang digunakan tidak
memerlukan biaya yang tinggi dan bersifat multiplatform
OS.
E. Rancangan Implementasi S/MIME
Sesuai dengan analisis kebutuhan yang telah dilakukan
maka peneliti akan membuat rancangan implementasi
S/MIME yang sesuai dengan kebutuhan PT. XYZ
sebagaimana berikut ini:
1) Mail server yang digunakan untuk transaksi data/informasi
akan tetap terpusat dan diletakkan di kantor PT. XYZ,
bahkan tidak perlu merubah konfigurasi mail server seperti
yang ada saat ini.
2) Pengamanan e-mail menggunakan protokol S/MIME akan
bermediakan jaringan internet dan mail client yang saat ini
digunakan (Mozilla Thunderbird).
3) Protokol S/MIME akan diterapkan kepada user mulai dari
direktur TI sampai dengan staf junior.
4) Protokol S/MIME adalah teknologi pengamanan yang
bersifat open source dan bersifat multiplatform OS
sehingga tidak memerlukan biaya tambahan.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengusulkan
topologi infrastruktur e-mail yang mengimplementasikan
protokol S/MIME sebagai berikut:
Gbr 7. Usulan topologi S/MIME
Dari Gbr 7. dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. User PT. XYZ baik yang berada di dalam maupun di luar
kantor (mobile network) terhubung melalui jaringan
internet.
2. Masing-masing Thunderbird milik user telah dipasangkan
protokol S/MIME yang bentuk konkritnya berupa file
sertifikat digital.
3. E-mail dikirimkan secara point to point melalui mail
server XYZ, dimana setiap e-mail yang ditransaksikan
akan dienkripsi dan ditandatangani terlebih dahulu
sehingga e-mail yang ditransmisikan akan lebih terjamin
keamanannya.
4. E-mail yang telah menerapkan protokol S/MIME jika
tersimpan di mail server XYZ akan tersimpan dalam
keadaan terenkripsi sehingga administrator mail server
XYZ tidak dapat membaca isi e-mail yang sedang/telah
ditransaksikan.
5. Perangkat firewall, antivirus, antispam yang telah
terintegrasi di mail server XYZ, serta protokol S/MIME
akan saling melengkapi untuk mengamankan infrastruktur
e-mail PT. XYZ. Firewall bertugas untuk menghalau
serangan dari luar (contoh: DDoS) ke dalam jaringan PT.
XYZ, antivirus bertugas menghalau program jahat (contoh:
virus, spyware, trojan, malware, botnet) yang
masuk/keluar jaringan PT. XYZ, antispam bertugas
menghalau e-mail sampah yang bisa masuk ke mail server
PT. XYZ, sedangkan protokol S/MIME bertugas
mengamankan data/informasi e-mail dari kegiatan
penyadapan.
F. Pembangunan Implementasi Protokol S/MIME
Oleh administrator mail server XYZ, peneliti diberikan
tujuh buah account e-mail yang dapat digunakan untuk
melakukan simulasi transaksi e-mail.
TABEL I
DAFTAR ACCOUNT E-MAIL SIMULASI
User Account E-mail
Direktur TI [email protected]
Kepala Departemen TI [email protected]
Manajer Senior TI [email protected]
Manajer TI [email protected]
Asisten Manajer TI [email protected]
Staf Senior TI [email protected]
Staf Junior TI [email protected]
Selain account e-mail, hal lain yang peneliti butuhkan
adalah melakukan proses set-up protokol S/MIME yang
konkritnya berupa file sertifikat digital. Proses set-up tersebut
meliputi pembangkitan sertifikat digital, pendistribusian, dan
konfigurasi sertifikat digital di user mail client (Mozilla
Thunderbird).
1) Pembangkitan Sertifikat Digital
Pada proses ini peneliti harus membangkitkan root CA
terlebih dahulu, kemudian membangkitkan user CA yang
ditandatangani oleh root CA, Terakhir peneliti
membangkitkan S/MIME yang ditandatangani oleh user
CA untuk seluruh entitas/user yang ada di departemen TI
(Direktur TI, Kadep TI, Senman TI, Man TI, Asman TI,
Senstaff dan salah seorang Junstaff). Alat bantu yang
digunakan oleh peneliti dalam proses pembangkitan SD
adalah aplikasi XCA version 0.9.1.
Router
Firewall
Mail Server
@XYZ.co.id
Mail Gateway
@XYZ.co.id
Switch
DMZ
INTERNET
Senior Staf
Junior Staf
Direktur TI
Kadep TI
Senman TI
Man TI Asman TI
AP Lt.3
AP Lt.2
Switch
LAN
LAN PT. XYZ
Mobile Network
Administrator CA
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 100
2) Distribusi Sertifikat Digital
Pada proses ini peneliti mengkonversikan CA dan
S/MIME yang telah dibangkitkan menjadi file sertifikat
digital. Root CA dan user CA dikonversikan menjadi
rootCA.crt & userCA.crt. Sedangkan S/MIME untuk
entitas/user dikonversikan menjadi file sertifikat digital
kunci publik (*.p7b) dan file sertifikat digital kunci privat
(*.p12), contohnya entitas Direktur TI memiliki file
sertifikat digital “direktur.ti.p7b” dan “direktur.ti.p12”.
Saat konversi entitas S/MIME ke file sertifikat digital
kunci privat peneliti diminta memasukkan password untuk
sertifikat digital tersebut, hal ini bertujuan untuk mencegah
pihak yang tidak sah mengkopi sertifikat digital kunci
privat. Seluruh file sertifikat digital yang telah terbentuk
kemudian oleh peneliti di distribusikan ke masing-masing
Mozilla Thunderbird milik entitas/user.
3) Konfigurasi Sertifikat Digital di User Mail Client
Pada proses ini peneliti melakukan import sertifikat digital
ke Mozilla Thunderbird masing-masing entitas/user. Tiap
account e-mail milik entitas/user yang ada di Mozilla
Thunderbird harus meng-import sebuah sertifikat digital
kunci privat (*.p12) miliknya dan harus meng-import
sertifikat digital kunci publik (*.p7b) milik rekan-rekan
yang akan diajak transaksi e-mail secara aman
menggunakan protokol S/MIME, serta meng-import
sertifikat digital otorisasi rootCA.crt dan userCA.crt.
G. Simulasi dan Pengujian Keamanan
Simulasi dilakukan dengan cara mentransaksikan
(kirim/terima) pesan e-mail antar pengguna layanan,
sedangkan pengujian keamanan dilakukan dengan cara
melakukan penyadapan terhadap isi e-mail (body dan
attachment) yang ditransaksikan selama simulasi. Alat bantu
yang digunakan untuk pengujian keamanan e-mail adalah
aplikasi LAN Detective Professional dan Wireshark.
Berikut adalah kondisi yang akan disimulasikan dan diuji
keamanannya oleh peneliti:
1) Sebelum menggunakan S/MIME
Peneliti melakukan simulasi transaksi (kirim/terima) e-
mail yang belum menerapkan S/MIME. Kemudian peneliti
menyadap body dan attachment e-mail yang
ditransaksikan untuk membuktikan bahwa e-mail yang
belum menggunakan S/MIME adalah tidak aman, dengan
kata lain isi pesan dapat dibaca dan dipahami.
2) Setelah menggunakan S/MIME
Peneliti melakukan simulasi transaksi (kirim/terima) e-
mail yang belum menerapkan S/MIME dengan
mengaktifkan fitur digital signature dan enkripsi.
Kemudian peneliti menyadap body dan attachment e-mail
yang ditransaksikan untuk membuktikan aspek keamanan
e-mail yang dapat terpenuhi.
H. Perbandingan Pengujian Keamanan Transaksi E-mail
1) Simulasi dan Pengujian Keamanan Transaksi E-mail
Non Protokol S/MIME
Pada bagian ini peneliti berfokus kepada simulasi
transaksi e-mail antar account e-mail milik entitas/user
tanpa menggunakan protokol S/MIME, dimana e-mail
tersebut dilengkapi dengan attachment file yang
berformat dokumen (*.doc), gambar (*.jpg) dan video
(*.3gp). Di saat yang bersamaan peneliti menguji
keamanan terhadap simulasi transaksi e-mail yang
sedang dilakukan dengan cara menyadap traffic data
selama transaksi berlangsung dengan tujuan
membuktikan aman atau tidaknya transaksi e-mail
tanpa menggunakan protokol S/MIME.
TABEL II
HASIL PENGUJIAN KEAMANAN TRANSAKSI E-MAIL NON S/MIME ANTAR
ACCOUNT E-MAIL
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 101
Gbr 8. Penyadapan transaksi e-mail antara Direktur TI dengan Kadep TI Sukses
Pengujian keamanan dari proses transaksi e-mail tersebut
dengan cara melakukan penyadapan traffic data sukses
dilakukan. Hasil dari pengujian keamanan transaksi e-mail
antar account e-mail milik entitas/user PT. XYZ tanpa
menggunakan protokol S/MIME menunjukkan bahwa
simulasi transaksi e-mail berhasil dan semua konten serta
attachment e-mail dapat dibaca/dipahami.
1) Simulasi dan Pengujian Transaksi E-mail Menggunakan
Protokol S/MIME
Pada bagian ini peneliti berfokus kepada simulasi transaksi
e-mail antar account e-mail milik entitas/user
menggunakan protokol S/MIME, dimana e-mail tersebut
tersebut dilengkapi dengan attachment file yang berformat
dokumen (*.doc), gambar (*.jpg) dan video (*.3gp).
TABEL 3. HASIL PENGUJIAN KEAMANAN TRANSAKSI E-MAIL MENGGUNAKAN S/MIME
ANTAR AKUN E-MAIL
Di saat yang bersamaan peneliti menguji keamanan terhadap
simulasi transaksi e-mail yang sedang dilakukan dengan cara
menyadap traffic data selama transaksi berlangsung dengan
tujuan membuktikan aman atau tidaknya transaksi e-mail
menggunakan protokol S/MIME.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa proses transaksi e-mail
menggunakan protokol S/MIME sukses dilakukan. Sedangkan
pengujian keamanan dengan cara melakukan penyadapan
traffic data gagal dilakukan, indikasinya adalah penyadap
tidak dapat membaca konten e-mail yang ditransaksikan.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 102
Gbr 9. Penyadapan transaksi e-mail antara Direktur TI dengan Kadep TI Gagal
I. Analisis Keterkaitan Aspek-Aspek Keamanan Informasi
pada S/MIME
Berdasarkan hasil pengujian keamanan terhadap simulasi
transaksi e-mail yang sebelumnya telah dilakukan oleh
peneliti, dimana jika dibandingkan hasil pengujian keamanan
tersebut maka sangat jelas terlihat bahwa transaksi e-mail
yang mengimplementasikan protokol S/MIME keamanannya
akan lebih terjamin. Hal ini terjadi karena selama
berlangsungnya proses transaksi e-mail seluruh konten e-mail
beserta attachment file akan dienkripsi dan ditandatangani
oleh sertifikat digital, sehingga seorang attacker yang
melakukan kegiatan penyadapan hanya akan mendapatkan
rangkaian karakter acak yang tidak dapat dimengerti atau
dipahami maknanya.
Setelah simulasi dilakukan, maka dapat terlihat bagaimana
bentuk format dan karakter yang muncul apabila peneliti
mencoba untuk melakukan penyadapan menggunakan LAN
Detective Professional dan membacanya menggunakan
Wireshark. Berikut adalah salah satu format pesan yang
didapatkan dari hasil simulasi penyadapan:
Pesan pertama kali ditandatangani dan kemudian
dienkripsi. Oleh karena itu, pesan terenkripsi dan
tertandatangani terlihat persis seperti contoh pada Gbr 10.,
hanya penerima yang dapat mengetahui bahwa pesan tersebut
telah ditandatangani secara digital. Karena terenkripsi, pesan
tidak dapat dibaca oleh setiap orang yang tidak sah. Pesan teks
terenkripsi (yang sebenarnya merupakan pesan yang
ditandatangani terlebih dahulu dan kemudian dienkripsi)
sebenarnya masih dapat diganti dengan pesan teks terenkripsi
lainnya, namun tanda tangan digital (yang termasuk dalam
bagian dari pesan terenkripsi yang isinya tidak dapat
dimengerti oleh pengguna yang tidak sah) akan hilang selama
proses tersebut.
Gbr 10. Format hasil penyadapan pesan S/MIME
From - Sat Jul 21 13:33:13 2012
X-Account-Key: account1
X-UIDL: 267.Hmm,5Z6o55VGh4wuIXj,yubOQl0=
X-Mozilla-Status: 0001
X-Mozilla-Status2: 00000000
X-Mozilla-Keys:
Return-Path: [email protected]
Received: from sim.ictlab.org (LHLO sim.ictlab.org) (192.168.10.15) by
sim.ictlab.org with LMTP; Sat, 21 Jul 2012 13:23:24 +0000 (UTC)
Received: from localhost (localhost [127.0.0.1])
by sim.ictlab.org (Postfix) with ESMTP id 6C98F112546
for <[email protected]>; Sat, 21 Jul 2012 13:23:24 +0000 (UTC)
X-Virus-Scanned: amavisd-new at sim.ictlab.org
X-Spam-Flag: NO
X-Spam-Score: 1.343
X-Spam-Level: *
X-Spam-Status: No, score=1.343 tagged_above=-10 required=6.6
tests=[ALL_TRUSTED=-1, BAYES_50=0.8,
DATE_IN_PAST_06_12=1.543]
autolearn=no
Received: from sim.ictlab.org ([127.0.0.1])
by localhost (sim.ictlab.org [127.0.0.1]) (amavisd-new, port 10024)
with ESMTP id xq-k-mAxceh4 for <[email protected]>;
Sat, 21 Jul 2012 13:23:23 +0000 (UTC)
Received: from [10.0.2.156] (unknown [192.168.10.20])
by sim.ictlab.org (Postfix) with ESMTP id CE61411253C
for <[email protected]>; Sat, 21 Jul 2012 13:23:13 +0000 (UTC)
Message-ID: <[email protected]>
Date: Sat, 21 Jul 2012 13:32:59 +0700
From: "[email protected]" <[email protected]>
User-Agent: Mozilla/5.0 (Windows NT 5.1; rv:12.0) Gecko/20120428
Thunderbird/12.0.1
MIME-Version: 1.0
Subject: coba kirim email mode secure (using s/mime) dari direktur.ti ke kadep.ti
Content-Type: application/pkcs7-mime; name="smime.p7m"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-Disposition: attachment; filename="smime.p7m"
Content-Description: Pesan Terenkripsi S/MIME
MIAGCSqGSIb3DQEHA6CAMIACAQAxggV+MIICuwIBADCBojCBnDELMAkG
A1UEBhMCSUQxDDAKBgNVBAgTA0pLVDEUMBIGA1UEBxMLREtJIEpha2Fy
dGExFzAVBgNVBAoTDnNpbS5pY3RsYWIub3JnMRcwFQYDVQQLEw5zaW0ua
WN0bGFiLm9yZzEPMA0GA1UEAxMGdXNlckNBMSYwJAYJKoZIhvcNAQkBF
hdhZG1pbi50aUBzaW0uaWN0bGFiLm9yZwIBAzANBgkqhkiG9w0BAQEFAASC
AgBSDAQlBnMmHcvZlPiWGLsXfwphW1G3F91kHRCB9PJwJEyQLIX8gXDWb8
zHwTl1LERX57vd0i5H5c43dqreBFAdcVUphY75hE+Ya+VqMcSUr3X3VAFumwe
U+4G6a6LvAQMFy+axU5B/BgVylbCO1wLH9eayiP5ZYC0vbLF9LQ/vK3cwOc02
vodlHRG0/UPV+jPIrWsZ+OdEZTlsb92MmG/tEqSDwMnIRYV0Tl+IqcU4DLHTg
VCexX/6UAlQea/C6CBz4MpLsS71ljUfL+fCKCxzz296XkWOwe25L723B1bjSgsq
XXYn8xblLC91sDP58FY8nA+Dqh0wSE+f5DQ4QVaOIaUAyjflri+tD5hxuS2u8C8
VPGkB6JNyJKNRIf7TDCIY9FOulcuOLG7Kl [......]
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 103
Implementasi protokol S/MIME dapat memenuhi aspek-
aspek keamanan informasi:
1) Privacy/confidentiality
Adalah usaha untuk menjaga data/informasi dari orang
yang tidak berhak (attacker). Pada kenyataannya
data/informasi yang ditransaksikan oleh entitas/user PT.
XYZ melalui layanan e-mail berklasifikasi rahasia,
sehingga hanya entitas/user PT. XYZ saja selaku pihak
pengirim dan penerima yang berhak mengetahui isi dari e-
mail yang ditransaksikan.
Kaitan aspek privacy/confidentiality dengan protokol
S/MIME sebagai teknologi pengamanan data/informasi
pada layanan e-mail adalah adanya ancaman penyadapan
terhadap data/informasi yang terkandung di dalam e-mail
itu sendiri. Ketika e-mail ditransmisikan dari pengirim ke
penerima melalui jaringan komputer/internet, maka di saat
pentransmisian tersebut attacker melakukan penyadapan.
Cara untuk mencegah ancaman tersebut yaitu dengan
menggunakan teknik penyandian atau istilah lainnya
adalah enkripsi dimana teknik enkripsi ini dimiliki oleh
protokol S/MIME, karena dengan menggunakan enkripsi
maka penyadap hanya akan mendapatkan karakter-
karakter acak yang tidak dapat diterjemahkan atau
dipahami maknanya, yang dapat menerjemahkan hanya
pengirim dan penerima saja. Hal ini telah dibuktikan saat
pengujian keamanan transaksi e-mail yang menggunakan
protokol S/MIME. Jadi telah jelaslah bahwa protokol
S/MIME memenuhi aspek privacy/confidentiality.
2) Integrity
Aspek ini menekankan bahwa data/informasi tidak
boleh diubah tanpa seijin pemilik data/informasi.
Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa salah satu
ancaman terhadap data/informasi yang ditransmisikan
antara pengirim dan penerima di PT. XYZ adalah
terjadinya penyadapan e-mail. Proses pengiriman e-mail
disadap, selanjutnya e-mail tersebut dimodifikasi isinya
oleh attacker, kemudian baru dikirimkan ke tujuan.
Dengan kata lain, integritas dari data/informasi tersebut
sudah tidak terjaga. Penggunaan teknik enkripsi dapat
mengatasi masalah ini, karena dengan teknik enkripsi
data/informasi yang ditransaksikan dalam keadaan tersandi
dan membentuk karakter-karakter yang acak. Meskipun
karakter tersebut bersifat acak namun karakter yang satu
dengan karakter lainnya saling berkaitan sehingga bila satu
atau beberapa karakter diubah akan mempengaruhi
karakter lainnya. Akibatnya data/informasi yang tersandi
tersebut tidak dapat dikembalikan ke bentuk
original/semulanya. Oleh karena itu dengan menggunakan
teknik enkripsi maka akan mudah diketahui jika
data/informasi berubah saat ditransmisikan. Seperti
dikatakan sebelumnya bahwa protokol S/MIME memiliki
teknik enkripsi, oleh karenanya jelas bahwa protokol
S/MIME memenuhi aspek intergrity.
3) Authentication
Adalah metode untuk menyatakan bahwa
data/informasi yang diakses adalah asli, dan orang yang
mengakses atau mengirimkan data/informasi adalah yang
dimaksud. Metode yang digunakan untuk memastikan
bahwa data/informasi adalah asli yaitu dilakukan dengan
“tanda tangan” si pembuat. Dalam dunia digital “tanda
tangan” dikenal dengan istilah teknik “digital signature”,
yaitu menandatangani data/informasi dengan sertifikat
digital, dimana sertifikat digital tersebut hanya diketahui
oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja. Teknik digital
signature juga dimiliki oleh protokol S/MIME. Dalam
penerapanannya, entitas/user yang mengirimkan e-mail
akan menandatangani e-mail tersebut dengan sertifikat
digital miliknya kemudian mengenkripsinya menggunakan
sertifikat digital milik penerima dan mengirimkan e-mail
tersebut, setelah sampai di penerima maka e-mail tersebut
akan didekripsi menggunakan sertifikat digital milik
penerima kemudian mengotentikasi tanda tangan pengirim
dengan sertifikat digital milik pengirim. Dari rangkaian
proses tersebut maka dapat dinyatakan bahwa protokol
S/MIME memenuhi aspek authentication.
4) Non-repudiation
Adalah menjaga seseorang tidak dapat menyangkal
telah melakukan sebuah transaksi. Sebagai contoh,
seseorang mengirimkan e-mail untuk memesan barang
tidak dapat menyangkal bahwa dia telah mengirimkan e-
mail tersebut. Teknik enkripsi dapat digunakan untuk
menjamin aspek non-repudiation, karena formulasi dari
teknik enkripsi merupakan kesepakatan pengamanan
data/informasi antara pengirim yang sah dan penerima
yang sah, artinya bila pengirim mengirimkan
data/informasi terenkripsi maka yang bisa menerjemahkan
hanyalah si penerima, dan jika dilihat dari sisi penerima
yang menerima data/informasi, si penerima yakin bahwa
yang mengirimkan data/informasi tersebut adalah si
pengirim yang sah, ini dikarenakan si penerima mampu
menerjemahkannya. Oleh karenanya si pengirim tidak bisa
mengelak ketika si penerima mengkonfirmasi. Seperti
dikatakan di atas bahwa protokol S/MIME memiliki teknik
enkripsi, artinya dengan kata lain protokol S/MIME
memenuhi aspek non-repudiaton.
J. Manajemen Protokol S/MIME
Meskipun secara umum dengan mengimplementasikan
protokol S/MIME akan memberikan keamanan pada transaksi
e-mail, bocornya data/informasi e-mail yang ditransaksikan
harus tetap diantisipasi. Umumnya kebocoran tersebut dapat
diakibatkan oleh kelalaian administrator CA dan entitas/user.
Contoh kelalaian administrator CA adalah lupa
membangkitkan kembali sertifikat digital baru ketika yang
lama masa validitas telah habis, sehingga otomatis proses
transaksi e-mail yang dilakukan tidak terenkripsi dan
tertandatangani. Sedangkan contoh kelalaian entitas/user
adalah ketika akan mengirimkan e-mail fitur enkripsi dan fitur
tanda tangan sertifikat digital lupa diaktifkan, sehingga proses
transaksi e-mail yang dilakukan juga tidak terenkripsi dan
tertandatangani. Oleh karenanya untuk mencegah
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 104
permasalahan tersebut perlu dibuat Standar Operasional dan
Prosedur (SOP) mengenai tata cara pengaturan dan
pembangkitan sertifikat digital bagi administrator CA dan
SOP mengenai tata cara pengiriman e-mail yang aman bagi
entitas/user.
Agar manajemen protokol S/MIME lebih optimal ada
baiknya seluruh proses pembangkitan dan penyimpanan
sertifikat digital dilakukan pada sebuah Laptop/PC tersendiri,
dan juga memperhatikan masa validitas sertifikat digital.
Semakin singkat masa validitas waktu maka akan
mengganggu kenyamanan entitas/user, namun bila terlalu
lama akan menyebabkan peluang terjadinya kelalaian
administrator CA menjadi semakin besar. Memang tidak ada
ukuran yang baku untuk memformulasikan masa validitas
waktu dari sertifikat digital, hal ini tergantung dari kebijakan
organisasi atau instansi yang menerapkan protokol S/MIME
itu sendiri.
K. Rencana Implementasi S/MIME
Adapun rencana yang akan peneliti susun adalah sebagai
berikut:
1) Mengidentifikasi perangkat server, perangkat jaringan
termasuk koneksi internet, serta aplikasi mail server yang
terinstal. Namun demikian, dikarenakan saat penelitian
seluruh perangkat tersebut sudah teridentifikasi maka bisa
dilanjutkan ke rencana berikutnya.
2) Melakukan simulasi pada domain sebenarnya. Ada
perbedaan antara rencana simulasi dengan simulasi yang
dilakukan pada saat penelitian, yang membedakan adalah
domain yang digunakan untuk simulasi. Saat penelitian
domain yang digunakan adalah murni domain untuk
percobaan, bukanlah domain PT. XYZ yang sebenarnya.
3) Merekomendasikan kepada PT. XYZ untuk melakukan
penilaian risk management (manajemen resiko). Hal ini
bertujuan agar mengetahui sisi-sisi mana saja di PT. XYZ
yang memliki tingkat kerawanan bocornya informasi
berklasifikasi biasa atau rahasia.
4) Merekomendasikan kepada PT. XYZ untuk membuat
kebijakan tata kelola keamanan informasi. Hal ini
bertujuan agar seluruh entitas/user yang berada di PT.
XYZ baik itu direktur sampai dengan staf agar memiliki
kesadaran untuk menjaga aset data/informasi yang berada
di PT. XYZ.
5) Merekomendasikan kepada PT. XYZ untuk membuat
kebijakan standar kualifikasi Administrator CA, hal ini
bertujuan agar personil yang ditunjuk sebagai pihak yang
dipercaya untuk mengelola seluruh sertifikat digital yang
ada di PT. XYZ memiliki integritas dan profesional dalam
melaksanakan tugasnya. Bocornya sertifikat digital akan
sama saja dengan membocorkan isi dari e-mail rahasia.
6) Melakukan sosialisasi ke seluruh karyawan PT. XYZ
tentang pengamanan e-mail sebagai sarana bertransaksi
data/informasi menggunakan protokol S/MIME. Hal ini
bertujuan untuk memberikan wawawasan kepada
karyawan yang nantinya sebagai entitas/user mengenai apa
itu protokol S/MIME, mengapa menggunakan S/MIME
dan bagaimana cara kerja S/MIME untuk mengamankan
transaksi data/informasi melalui e-mail.
7) Melakukan training manajemen CA. Hal ini hanya
dilakukan kepada personil yang ditunjuk sebagai
Administrator CA. Training yang dilakukan meliputi
bagaimana cara membangun sertifikat digital, bagaimana
mendistribusikan sertifikat digital yang telah dibangun,
serta bagaimana mengkonfigurasikan sertifikat digital
tersebut di mail client milik entitas/user.
8) Melakukan training pengamanan e-mail menggunakan
protokol S/MIME. Hal ini dilakukan kepada personil yang
akan ditetapkan untuk melakukan transaksi data/informasi
yang berklasifikasi rahasia (asumsinya tidak semua
karyawan akan melakukan transaksi data/informasi
rahasia). Training yang dilakukan meliputi bagaimana cara
men-setting sertifikat digital yang telah dikonfigurasi oleh
Administrator CA, dan bagaimana cara mengirimkan
data/informasi rahasia melalui e-mail dengan
mengaktifkan fitur enkripsi dan tanda tangan digital.
9) Asistensi Administrator CA dalam membangun sertifikat
digital yang nantinya sertifikat digital tersebut akan
digunakan untuk operasional pengamanan e-mail.
10) Operasional pengamanan e-mail dengan cara
mengimplementasikan protokol S/MIME telah siap
dilaksanakan.
L. Implikasi Penelitian
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilaksanakan,
maka beberapa implikasi yang akan terjadi apabila rancangan
implementasi S/MIME pada layanan e-mail ini diterapkan
pada PT. XYZ adalah sebagai berikut:
1) Segi sistem
Implementasi S/MIME tidak mengubah infrastruktur LAN
milik perusahaan. Perangkat tambahan yang dibutuhkan
adalah sebuah laptop/dekstop sebagai sarana untuk
manajemen sertifikat digital, serta sebuah flashdisk sebagai
sarana pertukaran kunci dan sertifikat digital.
Implementasi protokol S/MIME tidak membutuhkan biaya
yang relatif besar karena software yang digunaka bersifat
opensource. Selain itu, software bersifat multiplatform
sehingga dapat berjalan pada berbagai jenis operating
system.
2) Segi manajerial
PT. XYZ hanya membutuhkan biaya untuk pengadaan
laptop/dekstop khusus bagi administrator CA serta biaya
pelatihan dan asistensinya. Untuk memenuhi sumber daya
manusia, dibutuhkan seorang yang ditunjuk sebagai
adminsitrator CA. Selain itu, diperlukan penyusunan
kebijakan yang berkaitan dengan penilaian manajemen
resiko, tata kelola keamanan informasi, dan standar
kualifikasi administrator CA.
3) Aspek penelitian lanjutan
Penelitian yang dilakukan ini masih memiliki kekurangan
dan memerlukan penelitian lanjutan guna
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 105
menyempurnakannya. Beberapa hal yang perlu penelitian
lanjutan yaitu perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut
dalam implementasi protokol S/MIME ini terutama dari
segi efisiensi dan efektifitas, karena konsep efisiensi dan
efektifitas pada rancangan implementasi protokol S/MIME
yang dibuat oleh peneliti belum diperhatikan secara
mendalam. Efisiensi dan efektivitas yang dimaksud
meliputi tingkat kesadaran pengamanan informasi yang
dimiliki oleh karyawan serta tingkat kesulitan manajemen
kunci untuk melakukan manajemen kunci apabila jumlah
user semakin bertambah.
V. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat diambil
kesimpulan bahwa teknologi protokol S/MIME merupakan
solusi alternatif yang sesuai bagi PT. XYZ untuk
mengamankan layanan e-mail dalam mentransaksikan
data/informasi antar entitas/user.
Saat ini PT. XYZ telah memiliki infrastruktur e-mail
mandiri yang nantinya dapat mengimplementasikan teknologi
pengamanan e-mail menggunakan protokol S/MIME.
Dari hasil simulasi yang dilakukan oleh peneliti,
didapatkan bahwa transaksi e-mail yang menerapkan protokol
S/MIME dapat sukses dilakukan. Hal ini terlihat dari
berhasilnya kegiatan kirim dan terima data/informasi via e-
mail dengan mengaktifkan fitur enkripsi dan tanda tangan
digital. Aspek-aspek keamanan informasi yang meliputi
confidentiality, integrity, authentication dan non-repudiaton
dapat terpenuhi oleh teknologi protokol S/MIME. Hal ini
didapatkan dari hasil pengujian keamanan yang telah
dilakukan oleh peneliti. Sedangkan dari hasil perbandingan
pengujian keamanan, didapatkan bahwa keamanan transaksi
e-mail yang menggunakan protokol S/MIME keamanannya
lebih terjamin. Hal ini dikarenakan seluruh konten e-mail
yang ditransaksikan akan dienkripsi dan ditandatangani saat
melewati jaringan internet. Hasil penyadapan tidak
memberikan informasi apapun kepada attacker karena terbaca
sebagai karakter acak yang tidak dapat diterjemahkan.
REFERENSI
[1] Internet World Stats. 2011. Internet Usage Statistics.
http://www.internetworldstats.com/stats.htm. 25 Mei
2012.
[2] Ipsos. 2012. Most Global Internet Users Turn to the Web
for Emails (85%) and Social Networking Sites (62%).
http://www.ipsos-na.com/. 25 Mei 2012.
[3] Cutra, Angga O., Aplikasi Pengamanan Pesan pada
Mail Client dengan Menggunakan Algoritma CAST-128,
Bandung: UNIKOM, 2007.
[4] C. Moris and S. Smith, Towards Usefully Secure E-mail,
New York: IEEE Technology and Society Magazine, pp.
25-34., 2007.
[5] D. Wibowo, Okky, dkk. 2011. Digital Signature.
http://duniaibistel.wordpress.com/. 1 Juli 2012.
[6] Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Tanda
Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik, Jakarta:
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, 2001.
[7] Hasad, Andi, Peningkatan Layanan Keamanan S/MIME,
Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2011.
[8] Moser, Heinrich, S/MIME, December 2001–January
2002.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 106
Speech Tracking untuk Konferensi Video
menggunakan Jaringan Sensor Nirkabel Ronal Chandra
#1, Setyawan Widyarto*
2
# Magister Ilmu Komputer, Program Pascasarjana, Universitas Budi Luhur,
Jalan Ciledug Raya, Jakarta, Indonesia [email protected],
*Faculty of Computer Science and Information Technology, Universiti Selangor
Jln. Timur Tambahan, Kuala Selangor 45600, Selangor, Malaysia [email protected]
Abstrak— Video conference dewasa ini sudah bukan lagi hal yang
sulit dilakukan. Beberapa universitas di dalam dan luar negeri
sudah menjadikan video conference sebagai bagian rutin dari
aktivitas pendidikan. Namun masalah sering kali ditemukan saat
kegiatan video conference dilakukan, seperti gambar tidak fokus
mengarah ke penanya atau pemberi jawaban saat terjadi tanya
jawab interaktif. Speech tracking adalah salah satu solusi untuk
mengatasi beberapa masalah video conference seperti
menampilkan zooming pada setiap pembicara saat presentasi,
tanya jawab dan aktifitas lainnya. Model yang dipilih dalam
melakukan speech tracking ini adalah dengan cara mendeteksi
suara dari pemateri, penanya serta mendeteksi active
microphone yang digunakan dengan pendekatan wireless sensor
network untuk mendeteksi user location
Kata kunci— speech tracking, video conference, wireless sensor
network, speech position
I. PENDAHULUAN
Kemajuan infrastruktur teknologi dewasa ini sudah
membuat banyak sekali kemudahan di berbagai bidang.
Dahulu melakukan komunikasi dari satu kota ke kota lain,
serta satu Negara ke Negara ke lain rasanya sangat sulit untuk
di lakukan setiap saat, namun hal itu sangat mudah di lakukan
pada dewasa ini di karenakan kemajuan teknologi yang
semakin hari semakin membaik. Manusia sudah saling
terhubung satu dengan yang lainnya dengan mudah, jarak
yang jauh juga bukan lagi hambatan untuk melakukan
komunikasi. Banyak sekali kegiatan yang dibatasi jarak dan
waktu bisa dilakukan sat ini seperti Video Conference.
Komunikasi jarak jauh secara live menggunakan video adalah
aktivitas interaksi yang dibedakan oleh jarak maupun waktu.
Namun walaupun sudah sangat mungkin di lakukan secara
langsung beberapa masalah masih sering terjadi seperti kurang
fokusnya pergerakan kamera mengarah pada si pembicara dan
si penanya sehingga sering kali dalam kegiatan Video
Conference kurang mendapatkan hasil maksimal. Dengan
metoda speech tracking based on wireless sensor network di
harapkan mampu untuk membuat aktivitas Video Conference
bisa lebih interaktif. Metoda ini memungkinkan kedua belah
pihak untuk bisa trus menyaksikan si pemberi materi maupun
si penanya dalam berdiskusi.
II. SPEECH TRACKING
Speech Tracking adalah metoda untuk mendeteksi
seseorang yang melakukan aktivitas bicara kemudian
bagaimana aktivitas bicara dari seseorang itu bisa di lihat oleh
orang lain tanpa di batasi oleh jarak dengan bantuan camera.
Metoda Speech Tracking ini semakin popular di gunakan
dalam berbagai aktivitas video conference. Metoda ini trus di
teliti dan di kembangkan untuk mendapatkan hasil terbaik.
Beberapa pendekatan dari metoda ini seperti mengarahkan
kamera hanya kepada orang yang berbicara sampai
mengarahkan kamera pada pembicara terlama sudah dan
masih trus di teliti. Pada papers ini metoda yang di
kembangkan adalah bagaimana mengarahkan kamera kepada
pembicara dengan bantuan wireless sensor network. Tentunya
untuk bisa berhasil dari penelitian ini maka pada aktivitas
video conference yang di lakukan di perlukan beberapa
wireless microphone. Kamera video akan dipadukan dengan
wireless microphone untuk bisa berkomunikasi satu dengan
yang lainnya. Saat terjadi aktivitas video conference maka
camera akan mengarah pada orang yang memegang wireless
micropone. Namun demikian beberapa masalah dalam
penelitian ini terjadi seperti jika pada saat aktivitas tersebut
ada dua wireless microphone yang aktif atau pada saat
aktivitas tersebut orang yang menggunakan wireless
microphone berbicara terlampau cepat sehingga kamera belum
sempat untuk mengarah pada pembicara.
III. WIRELESS SENSOR NETWORK
Dengan wireless sensor network (WSN) kita bisa
melakukan penginderaan atau melakukan aktifitas deteksi
dengan cara melakukan pelacakan terhadap sinyal wireless
yang di pancarkan. Pada tulisan ini kita focus untuk
melakukan pelacakan sinyal wireless yang di pancarkan dalam
ruangan untuk bisa melakukan komunikasi dengan video
camera yang sudah di sediakan. Wireless merupakan media
komunikasi tanpa kabel yang memungkinkan untuk
memancarkan dan menerima sinyal dari satu perangkat ke
perangkat lainnya. Beberapa masalah yang mungkin di
timbulkan dalam melakukan pelacakan atau deteksi dari
wireless yang aktif adalah terjadinya aktif wireless secara
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 107
bersamaan. Sebuah kasus bisa diberikan dalam tulisan ini
adalah, saat terjadi video conference maka video akan
bergerak atau mengarahkan kamera hanya kepada aktif
wireless microphone, namun demikian dimungkinkan ada 2-4
active wireless microphone saat terjadi video conference,
maka dibutuhkan pendekatan khusus untuk bisa memecahkan
masalah tersebut. Beberapa masalah teknikal dalam wireless
sensor pun perlu di ketahui untuk bisa melakukan pemecahan
masalah yang di hadapi di lapangan. Wireless sensor network
di pengaruhi oleh kekuatan sinyal dan noise sehingga kita
perlu melakukan analisa kekuatan sinyal di dalam ruangan
tersebut, kebisingan dari ruangan tersebut untuk bisa
memberikan sinyal ke video camera mengarah ke sudut
tertentu. Dalam video conference berbasis wireless sensor
network kita perlu membuat rule atau aturan aturan selama
proses video conference terjadi untuk bisa menjamin hasil
terbaik.
IV. SPEECH TRACKING BASED ON WIRELESS SENSOR
NETWORK
Pada metoda ini digunakan 2 buah video camera dengan 4
wireless microphone. Fungsi dari camera pertama adalah
melakukan perekaman secara menyeluruh. Untuk itu video
camera pertama perlu di letakkan di tempat yang bisa
melakukan perekaman seluruh ruangan. Camera kedua
berfungsi untuk melakukan zooming terhadap pembicara
ataupun penanya dalam suatu dialog. Pada keadaan normal
maka camera pertama akan trus melakukan perekaman dan
memberikan data gambar secara terus menerus dan kamera ke
dua akan melakukan zooming kepada pemateri secara trus
menerus. Hal ini bisa terjadi karena pada tahap ini pemateri
menggunakan aktif wireless microphone yang memberikan
sinyal kepada video camera sehingga kamera mengarah
otomatis kepada obyek yang sedang berada paling dekat
dengan sinyal wireless dan sedang melakukan aktivitas
berbicara.
Pada saat terjadi diskusi atau tanya jawab maka akan
terdapat 4 aktif wireless microphone dan diperlukan
pendekatan khusus untuk bisa memastikan kamera melakukan
zooming pada obyek yang tepat. Pada tahap ini di tentukan 3
peraturan utama agar kamera mengarah pada obyek yang tepat.
Kamera kedua akan melakukan zooming pada obyek yang
berbicara dan paling dekat dengan aktif wireless microphone
serta berbicara paling lama di antara lainnya. Diluar dari
peraturan yang sudah dibuat maka video camera akan
menggunakan kamera pertama untuk men-zooming ruangan
secara keseluruhan. Perhatikan Gbr 1 di bawah ini tentang
ilustrasi deteksi wireless user location.
Gbr 1. User Detection for wireless sensor network
Pada Gbr 1 di atas ada dua (2) orang user yang berdekatan
dengan tiga (3) akses point atau aktif wireless microphone.
Dengan pendekatan sinyal strength dan noise yang dihasilkan
oleh perangkat wireless maka dengan melakukan kalkulasi
perhitungan seperti Tabel I di bawah ini.
TABLE IV
PERHITUNGAN TABEL SINYAL STRENG DAN NOISE PADA WIRELESS.
Tabel I di atas menjelaskan bahwa terdapat beberapa akses
point yang memancarkan sinyal strength dan noise tertentu.
Dengan rumus perhitungan di atas dapat di simpulkan posisi
wireless aktif microphone yang paling dekat dengan user
sehingga memungkinkan video camera nomor 2 untuk bisa
melakukan zooming secara langsung.
V. KESIMPULAN DAN PENELITIAN LANJUTAN
Pada tulisan ini di uraikan tiga (3) pendekatan utama dalam
melakukan deteksi dan arah kamera pada aktivitas video
conference. Dengan menggunakan dua (2) buah video camera
dengan pengaturan satu buah video kamera melakukan
zooming ruangan secara keseluruhan dan satu buah video
camera melakukan zooming pada obyek tertentu yang
melakukan aktivitas berbicara, paling dekat dengan wireless
microphone dan paling lama berbicara, di harapkan mampu
memberikan hasil lebih baik saat di lakukannya video
conference. Namun demikian beberapa masalah dalam
penelitian terjadi seperti bagaimana membedakan sinyal
wireless yang datang dari aktif wireless microphone dengan
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 108
sinyal wireless yang datang dari perangkat lainnya seperti
handphone. Disamping itu dalam penelitian lanjutan di
perlukan untuk membuat peraturan tentang waktu minimal
lama berbicara sehingga jika waktu minimal tidak terpenuhi
maka proses zooming tidak bisa di lakukan.
REFERENCES
[1] I. Akyildiz, W. Sun, Y. Sankarasubramaniam, and E. Cayirci. A
Survey on Sensor Networks. IEEE Communications Magazine, Vol. 40, No. 8, pp.102-114, August 2002.
[2] J. Aslam, Z. Bulter, V. Crespi, G. Cybenko, and D. Rus. Tracking a
moving object with a binary sensor network. In ACM InternationalConference on Embedded Networked Sensor
Systems( SenSys), 2003.
[3] J. Broch, D.A. Maltz, D.B. Johnson, Y.C. Hu, and J. Jetcheva. A performance comparison of multi-hop wireless ad hoc network routing
protocols. In Proc. ACM Intern. Conf. on Mobile Computing and
Networking (Mobicom’98), Dallas, TX, October 1998. [4] M. Cardei, and J. Wu. Handbook of Sensor Networks,
chapterCoverage in Wireless Sensor networks. CRC Press, 2004. [5] A.
Cerpa et al. Habitat monitoring: Application driver for wireless communications technology. In 2001 ACM SIGCOMM Workshop on
Dat Communications in Latin America and Caribbean, Costa Rica,
April 2001. [5] A. Cerpa and D. Estrin. ASCENT: Adaptive self-configuring sensor
networks topologies. In Proc. of INFOCOM 2002, March 2002.
[6] E.M. Royer and C.E. Perkins. Multicast operation of the adhoc on-
demand distance vector routing protocol. In Proc.ACM Intern. Conf.
on Mobile Computing and Networking (Mobicom’99), Seattle, WA, August 1999.
[7] S. Shakkottai, R. Srikant, and N. B. Shroff. Unreliable sensor grids:
Coverage, connectivity and diameter. In Proc. of IEEEINFOCOM, pp. 1073-1083, San Francisco, CA, 2003.
[8] S. Slijepcevic and M. Potkonjak. Power efficient organization of
wireless sensor networks. In IEEE International Conference on Communication, 2001.
[9] P. Varshney. Distributed Detection and Data Fusion. Spinger- Verlag,
New York, NY, 1996. [10] Q.X.Wang, W.P. Chen, R. Zheng, K. Lee, and L. Sha. Acoustic target
tracking using tiny wireless sensor devices. In InternationalWorkshop on Information Processing in Sensor Networks(IPSN), 2003.
[11] X. Wang, G. Xing, Y. Zhang, C. Lu, R. Pless, and C. Gill.Integrated
coverage and connectivity configuration in wireless sensor networks. In ACM Sensys’03, Nov. 2003.
[12] J. Warrior. Smart Sensor Networks of the Future. Sensors Magazine,
March 1997. [13] H. Yang and B. Sikdar. A protocol for tracking mobile targets using
sensor networks. In IEEE International Workshop on Sensor Networks
Protocols and Applications, 2003. [14] F. Ye, G. Zhong, S. Lu, and L. Zhang. Energy efficient robust sensing
coverage in large sensor networks. Technical report, UCLA, 2002.
[15] [F. Ye, G. Zhong, S. Lu, and L. Zhang. Peas: A robust energyconserving protocol for long-lived sensor networks. In The 23nd
International Conference on Distributed Computing Systems (ICDCS),
2003.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 109
Kerangka Keamanan Transaksi Elektronik
Perbankan Berbasis Analisa Pola Belanja Nasabah
Harya Widiputra1, Lely Priska Tampubolon
2, Pratiwi
3
Fakultas Teknologi Informasi
Institut Keuangan Perbankan dan Informatika Asia Perbanas
Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta, Indonesia, 12940 [email protected]
Abstrak— Direalisasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada
tahun 2015 akan membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi
negara-negara ASEAN khususnya Indonesia. Hal ini tentunya
akan berdampak langsung pada peningkatan jumlah dan nilai
transaksi perbankan di Indonesia, khususnya transaksi
elektronik, yang juga diikuti dengan peningkatan jumlah
ancaman tindak kejahatan elektronik. Oleh sebab itu,
kebutuhan akan tersedianya layanan elektronik perbankan yang
aman dan terpercaya pun menjadi mutlak. Kajian ini
mengusulkan sebuah kerangka keamanan transaksi elektronik
perbankan yang dititikberatkan pada penerapan teknologi
analisa pola belanja seorang individu dalam membangun sistem
deteksi dini tindak kejahatan elektronik.
Kata kunci— keamanan transaksi elektronik, analisa pola
belanja indvidu, sistem deteksi dini tindak kejahatan elektronik
I. PENDAHULUAN
Tahapan realisasi ASEAN Economic Community (AEC)
atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) semakin
mendekati akhirnya di tahun 2015. Terwujudnya MEA
sebagai bentuk nyata kerjasama di bidang ekonomi antara
negara-negara ASEAN pada khususnya dan dengan negara-
negara lain di dunia pada umumnya tentunya membawa
peluang-peluang baru yang juga disertai dengan tantangan-
tantangannya. Beberapa peluang yang muncul dengan
terwujudnya MEA 2015 yang berhubungan erat (langsung
ataupun tidak) dengan sektor Perbankan nasional adalah: 1)
integrasi ekonomi, 2) pasar potensial dunia, dan 3) negara
tujuan investor.
Dengan adanya integrasi ekonomi antara negara-negara
ASEAN maka membuka peluang untuk pertumbuhan
ekonomi yang lebih baik dan bahkan pesat, khususnya untuk
Indonesia. Selain itu, sehubungan dengan jumlah penduduk
Indonesia yang terbesar di kawasan ASEAN (40 persen dari
jumlah penduduk ASEAN), MEA 2015 juga membuka
kesempatan bagi terbentuknya Indonesia sebagai pasar
potensial. Dengan fakta bahwa Indonesia memiliki jumlah
penduduk terbesar dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya, maka diharapkan juga Indonesia dapat
menarik investor ke dalam negeri dan memperoleh peluang
ekonomi yang lebih baik dibanding negara lainnya.
Namun selain peluang yang ada, bersama MEA 2015 juga
datang tantangan-tantangan. Tantangan utama yang timbul
dilihat dari perspektif Perbankan hubungannya dengan
Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah meningkatnya
jumlah transaksi keuangan dalam bentuk elektronik yang akan
datang/keluar tidak hanya dari/ke dalam negeri namun juga
dari/ke luar negeri.
Di masa mendatang, tidak bisa dipungkiri bahwa transaksi
elektronik akan semakin populer dan mungkin menjadi
pilihan transaksi utama para nasabah. Fasilitas transaksi
elektronik, misal kartu debit, kartu kredit, internet banking
atau mobile banking, juga memberi kemudahan bagi
masyarakat untuk tidak harus membawa uang dalam jumlah
banyak apabila ingin berbelanja. Lebih jauh lagi transaksi
elektronik memfasilitasi masyarakat untuk dapat membeli
produk darimanapun (lintas negara) tanpa mengenal batasan
geografis dan waktu.
Kajian ini membahas kondisi transaksi elektronik
perbankan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
dan praktek kecurangannya. Sebuah kerangka sistem
penunjang keamanan transaksi elektronik dan tindakan
strategis dalam rangka meningkatkan kesiapan menyambut
era MEA 2015 kemudian diusulkan untuk dapat diterapkan
oleh bank-bank di Indonesia pada khususnya.
II. KONDISI TRANSAKSI ELEKTRONIK PERBANKAN DI
INDONESIA
Perkembangan layanan perbankan yang berbasis Teknologi
Informasi dan Komunikasi di Indonesia telah meningkatkan
efektifitas dan efisiensi transakasi keuangan masyarakat.
Produk-produk layanan transaksi elektronik (e-banking)
seperti ATM, kartu kredit, kartu debit, internet banking,
SMS/mobile banking, phone banking dan lainnya,
memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk dapat
melakukan transaksi perbankan tanpa batas. Kenyataan ini
pun yang mendukung adanya peningkatan frekuensi dan nilai
transaksi keuangan secara signifikan dalam kurun waktu
setidaknya 5 tahun terakhir di Indonesia.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 110
Gbr 1. Grafik jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia dalam kurun waktu 2008 sampai dengan 2012. Terlihat adanya tren peningkatan jumlah kartu kredit dari tahun ke tahun yang juga mengindikasikan peningkatan kebutuhan masyarakat akan transaksi elektronik perbankan [5].
Namun seperti halnya pedang bermata dua, kemajuan
teknologi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi
tidak hanya memberikan peningkatan/perbaikan kualitas
layanan perbankan bagi masyarakat namun juga membuka
kesempatan dilakukannya kejahatan-kejahatan elektronik
(cybercrime) seperti halnya pencurian identitas, carding,
hacking, phising dan lainnya. Disampaikan oleh Pratiwi dan
Santoso bahwa cybercrime yang terjadi pada industri
perbankan di Indonesia cenderung meningkat di Indonesia
dari tahun ke tahun bila diamati dalam kurun waktu 2006-
2008 [1].
Seiring dengan semakin berkembangnya dan bertambahnya
tingkat kepahaman masyarakat akan keberadaan dan
kesempatan yang ditawarkan oleh internet, semakin marak
pula pertumbuhan situs-situs yang menawarkan layanan
belanja on-line. Jenis transaksi elektronik yang umumnya
digunakan untuk layanan belanja on-line adalah Card not
Present (CNP). Dengan metode CNP, untuk melakukan
pembayaran konsumen tidak perlu memperlihatkan fisik kartu
kredit namun hanya perlu memberikan data seperti nama,
nomor kartu, tanggal habis berlaku dan kode security yang
biasanya tercantum di bagian belakang kartu. CNP
memberikan kemudahan bagi konsumen untuk membeli
produk melalui internet. Namun CNP juga merupakan target
utama dari praktek kecurangan kartu kredit.
Bank Indonesia mencatat bahwa kejahatan perbankan
dengan modus CNP adalah yang paling banyak dilaporkan
dalam kurun waktu Januari sampai dengan Mei 2012.
Disampaikan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald
Waas dalam Seminar Nasional Asosiasi Sistem Pembayaran
(ASPI) bertajuk "Pencegahan dan Penanganan Kejahatan
Perbankan Elektronik", Kamis, 5 Juli 2012, ada 1.009 laporan
kasus tindak kecurangan (fraud) dengan nilai kerugian
mencapai Rp 2,37 miliar yang didominasi oleh dua kasus
yaitu kasus CNP dan kasus pencurian identitas. Kasus CNP
yang dialami 18 penerbit kartu paling banyak diadukan
dengan total aduan mencapai 458 laporan dengan nilai
kerugian mencapai Rp 545 juta [2].
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit
Indonesia (AKKI), Steve Marta juga menyampaikan bahwa
modus CNP semakin mendominasi praktek kecurangan
perbankan di Indonesia sedangkan modus counterfait
(pencurian atau pemalsuan kartu) sudah semakin ditinggalkan
[3].
Adanya ancaman tindak kejahatan elektronik sebagaimana
diuraikan di atas tentunya harus menjadi perhatian sektor
perbankan nasional. Terlebih lagi dikarenakan adanya
pertumbuhan transaksi elektronik perbankan yang signifikan
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (sebagaimana dapat
dilihat pada Gbr 2).
Disampaikan oleh Direktur Eksekutif Departeman
Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Boedi
Armanto, bahwa dalam kurun waktu 2009-2011 rata-rata
pertumbuhan instrumen transaksi melalui internet mencapai
121,53 persen pertahunnya, dimana perkembangan
transaksinya rata-rata pertahun mencapai 37,53 persen. Selain
itu juga dipaparkan bahwa transaksi perbankan melalui
telepon genggam menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan yakni mencapai 40 persen [4].
Gbr 1 dan 2 memberikan grafik pertumbuhan jumlah alat
pembayaran berupa kartu yang beredar serta jumlah dan nilai
transaksi elektronik yang menggunakan kartu kredit dalam
kurun waktu 2007/2008-2011/2012. Dapat diamati dari tren
pergerakan kedua grafik tersebut bahwa jumlah instrumen
serta jumlah dan nilai transaksi kartu kredit di Indonesia
memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat di masa
mendatang.
11.548.318 12.259.295
13.574.673
14.785.382
15.755.663
8.000.000
10.000.000
12.000.000
14.000.000
16.000.000
18.000.000
Des 2008 Des 2009 Des 2010 Des 2011 Okt 2012
Jumlah Kartu Kredit di Indonesia Tahun 2008-2012
Jumlah Kartu Kredit
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 111
Gbr 2. Grafik jumlah transaksi elektronik menggunakan kartu kredit dan nilainya (dalam jutaan rupiah) dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2011. Dari
garis tren yang didapat menggunakan regresi linear terlihat adanya kecenderungan peningkatan jumlah dan nilai transaksi dari tahun ke tahun. Data untuk tahun 2012 tidak dapat ditampilkan karena belum dipublikasikan oleh Bank Indonesia [6].
Berdasarkan paparan sebelumnya, dimana fakta-fakta yang
disampaikan adalah dalam skala nasional maka dapat
diperkirakan bahwa angka-angka pertumbuhan transaksi
elektronik perbankan akan semakin besar pada saat
terealisasinya pasar tunggal ASEAN di tahun 2015. Dimana
tentunya ancaman yang ditimbulkan oleh praktek kejahatan
elektronik juga akan semakin meningkat.
Dalam presentasinya pada Seminar Nasional ASPI 2012,
Direktur Eksekutif Departeman Akunting dan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia, Boedi Armanto, juga
menyampaikan bahwa Bank Indonesia memberikan perhatian
khusus dalam merespon adanya ancaman resiko kejahatan
transaksi elektronik perbankan. Dimana fokus Bank Indonesia
adalah pada sisi keamanan. Termasuk didalamnya keamanan
dari potensi kejahatan perbankan (elektronik maupun tidak),
efisiensi serta perlindungan konsumen [4].
III. KERANGKA KEAMANAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
PERBANKAN
Secara garis besar keamanan transaksi eletronik ditunjang
oleh adanya dua komponen besar, yaitu komponen non-teknis:
kebijakan, perilaku (harus dilakukan edukasi terhadap
masyarakat), standar pengelolaan dan komponen teknis:
infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi serta
penerapan teknologi guna mendukung usaha pencegahan,
deteksi dan penanggulangan tindak kejahatan elektronik.
Adapun kerangka keamanan transaksi elektronik yang
dibangun dari komponen-komponen tersebut dapat dilihat
pada Gbr 3.
Tiga dari lima komponen yang dijabarkan sebelumnya
dapat disebut sebagai pilar-pilar utama yang berdiri di atas
infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi yang
mendukung kegiatan transaksi elektronik perbankan. Ketiga
komponen tersebut adalah: 1) sistem pengelolaan keamanan
informasi guna menjakin dilaksanakannya tata kelola
perusahaan yang baik, 2) edukasi terhadap masyarakat
perbankan guna meningkatkan pemahaman terhadap perlunya
keamanan informasi, dan 3) penggunan teknologi untuk
pencegahan, deteksi dan penanggulan fraud. Komponen yang
terakhir, yaitu kebijakan keamanan informasi menjadi payung
yang memungkinkan seluruh komponen lainnya untuk dapat
dijalankan. Tanpa adanya definisi kebijakan keamanan
informasi maka keamanan transaksi elektronik perbankan
tidak akan dapat terwujud meskipun telah didukung dengan
infrastruktur yang handal dan teknologi terkini.
Berkaitan langsung dengan ketiga pilar yang telah
didefinisikan/digambarkan pada kerangka keamanan transaksi
elektronik perbankan berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi, ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh bank-
bank di Indonesia guna meningkatkan keamanan informasi
dalam transaksi elektronik perbankan, yaitu:
1) Implementasi sistem pengelolaan keamanan informasi
dengan mengacu pada standar internasional, misal: seri
ISO 27000, guna mendukung terwujudnya good corporate
governance atau tata kelola perusahaan yang baik.
2) Edukasi Teknologi Informasi dan Komunikasi masyarakat
perbankan, khususnya karyawan bank sebagai penyedia
jasa dan nasabah selaku pengguna jasa akan pentingnya
keamanan bertransaksi elektronik.
3) Membangun sistem deteksi dini tindak kejahatan
elektronik perbankan yang bersifat otomatis (tanpa
pemantauan manusia) dengan menggunakan teknologi
yang bersifat state-of-the art.
129.292.524
166.736.635
182.624.722
199.036.427 209.352.197
72.604.207
107.269.521
136.691.864
163.208.491
182.602.331
50.000.000
100.000.000
150.000.000
200.000.000
250.000.000
2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah dan Nilai Transaksi Elektronik dengan Kartu Kredit Tahun 2007-2011
Jumlah Transaksi
Nilai Transaksi dalam Juta Rupiah
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 112
Gbr 3. Kerangka Keamanan Transaksi Elektronik Perbankan yang dibangun oleh tiga pilar utama, yaitu: tersedia dan diterapkannya sistem pengelolaan
keamanan informasi, usaha edukasi terhadap masyarakat perbankan, dan penggunaan teknologi untuk deteksi dan penangan fraud.
Kajian ini selanjutnya akan membahas lebih jauh sistem
pencegahan dan deteksi dini praktek kejahatan elektronik
perbankan berbasis analisa pengenalan pola belanja (pattern
recognition) di atas dan skema sistemnya.
IV. SISTEM DETEKSI KEJAHATAN ELEKTRONIK PERBANKAN
BERBASIS ANALISA POLA BELANJA NASABAH
Selain mengambil langkah strategis penerapan standar
pengelolaan sistem dan keamanan informasi sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, langkah strategis lain yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan keamanan layanan elektronik
perbankan adalah dengan melakukan implemenatasi teknik-
teknik komputasi.
Pendekatan komputasi yang dapat digunakan untuk
membangun sistem cerdas deteksi dini praktek kejahatan
elektronik adalah dengan mempelajari pola belanja seorang
individu dan kemudian berusaha mendeteksi adanya anomaly
atau penyimpangan pola. Teknik ini didasarkan pada
penelitian-penelitian dibidang pattern recognition dan
anomaly detection.
Seiring dengan perkembangan teknologi maka semakin
mudah pula para pelaku kejahatan melakukan manipulasi
terhadap data transaksi elektronik misal: pencurian identitas,
pemalsuan identitas, dan lainnya. Namun demikian, berbeda
dengan data-data pribadi yang dapat dicuri ataupun
dimanipulasi, pola perilaku belanja seorang individu tidak
dapat dicuri ataupun dimanipulasi. Kenyataan inilah yang
mendorong perkembangan teknik deteksi dini praktek
kejahatan elektronik perbankan di area Teknologi Informasi
dan Komunikasi untuk lebih fokus pada kemampuan
mempelajari perilaku belanja seorang individu [7].
Beberapa tantangan atau dapat disebut kebutuhan yang
harus dipenuhi dalam membangun sistem cerdas deteksi dini
percobaan atau kejadian praktek kejahatan elektronik
perbankan adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan pengolahan data yang cepat dan dapat
menangai data yang datang terus menerus (on-line data)
2) Kemampuan beradaptasi terhadap adanya perubahan pola
transaksi seorang nasabah.
Kebijakan
Keamanan Informasi
Sis
tem
Pe
ng
elo
laa
n
Ke
am
an
an
In
form
asi
Ed
uka
si M
asya
raka
t
Pe
rba
nka
n
Sta
te-o
f-th
e a
rt
Te
ch
no
log
y
Keamanan Transaksi Elektronik Perbankan
Infrastruktur Transaksi Elektronik berbasis TIK
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 113
Gbr 4. Skema sistem deteksi dini tindak kejahatan elektronik perbankan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi menggunakan teknik pengenalan pola
perilaku belanja seseorang.
3) Memiliki tingkat akurasi yang baik dan rata-rata kejadian
false positive yang rendah. Yang dimaksud dengan false
positive adalah kejadian dimana sebuah transaksi tidak
dideteksi sebagai kejahatan elektronik (bersifat false)
namun pada kenyataannya transaksi tersebut adalah
sebuah kejahatan elektronik (pada kenyataannya positif
adalah sebuah tindak kejahatan)
Gbr 4 menampilkan skema dari sistem deteksi dini tindak
kejahatan elektronik yang dapat digunakan untuk mengatasi
kejahatan kartu kredit dan transaksi on-line yang mengadopsi
skema BLAH-FDS. Algoritma BLAH-FDS [7] merupakan
hasil dari penggabungan dua algoritma lain berbasis teknik
analisa urutan kejadian yaitu: BLAST dan SSAHA [8].
Algoritma berbasis teknik analisa urutan kejadian ini
dikatakan sebagai teknik yang paling efisien untuk mengenali
pola belanja seorang individu. Disampaikan juga oleh Raj dan
Portia bahwa BLAST dan SSAHA adalah algoritma yang
handal untuk menangani kasus kecurangan kartu kredit [7].
Langkah-langkah pemrosesan transaksi pada sistem yang
digambarkan oleh skema pada Gbr 4 dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Langkah 1: pada saat sebuah transaksi elektronik
terjadi, maka transaksi tersebut diubah bentuknya
menjadi sebuah transaksi baru yang berisikan informasi
mengenai waktu dan nilai transaksi.
Langkah 2: informasi dalam bentuk satuan transaksi
yang berisikan data mengenai waktu dan nilai transaksi
kemudian dibandingkan dengan data transaksi yang
telah dilakukan sebelumnya. Data ini tersimpan di
dalam Basis Data Profil Nasabah
Langkah 3: apabila ada kesesuaian antara pola
transaksi baru dengan transaksi-transaksi yang ada
dalam Basis Data Profil Nasabah, maka disimpulkan
bahwa transaksi tersebut bukanlah sebuah fraud.
Namun, apabila ada ketidakcocokan antara pola
transaksi baru dengan transaksi-transaksi yang ada
dalam Basis Data Profil Nasabah maka akan di-
generate data berupa urutan penyimpangan dari
transaksi terkait. Informasi ini kemudian dikirimkan
kepada modul Analisa Deviasi Perilaku.
Langkah 4: modul Analisa Deviasi Perilaku kemudian
membandingkan informasi yang diterima dengan pola-
pola transaksi yang diketahui sebelumnya sebagai
transaksi fraud yang tersimpan dalam Basis Data
Tindak Kejahatan Elektronik. Apabila ditemukan
tingkat kemiripan yang tinggi, maka modul Analisa
Deviasi Perilaku akan mengeluarkan Nilai Deviasi yang
Transaksi elektronik
(sekuensial dengan
informasi waktu dan
nilai transaksi) Analisa
Profil
Sistem
Pengambilan
Keputusan
Analisa
Deviasi
Perilaku
Deviasi urutan
kejadian pada
transaksi
Nilai Profil
Nilai Deviasi
Anomali
Normal
Deteksi Tindak
Kejahatan
Basis Data
Tindak Kejahatan
Elektronik
Basis Data
Profil Nasabah
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 114
besar dan kemudian dikirimkan ke modul Sistem
Pengambilan Keputusan.
Langkah 5: modul AP melakukan analisa profil
transaksi dengan membandingkan pola transaksi yang
dilakukan dengan pola-pola transaksi belanja nasabah
sebelumnya (Nilai Profil). Modul ADP melakukan
penghitungan Nilai Deviasi yang merepresentasikan
seberapa besar kemiripan transaksi yang dianalisa
terhadap transaksi-transaksi yang diketahui sebagai
fraud. Modul Sistem Pengambilan Keputusan kemudian
akan melakukan kalkulasi berdasarkan Nilai Profil dan
Nilai Deviasi. Keputusan bahwa sebuah transaksi
adalah fraud akan diambil apabila nilai akhir, yaitu:
Nilai Profil – Nilai Deviasi, lebih kecil dari 0 (bernilai
negatif).
Sistem ini dapat secara efektif mendeteksi adanya fraud
pada transaksi kartu kredit. Keunggulan yang ditawarkan
adalah kecepatan proses analisa transaksi yang terbantu oleh
algoritma SSAHA [9]. Namun demikian, skema sistem
deteksi dini tindak kejahatan elektronik ini tidak memiliki
kemampuan untuk mendeteksi tindak kejahatan pemalsuan
kartu kredit. Hal ini disebabkan oleh arsitektur sistem yang
memang ditujukan untuk melakukan deteksi terhadap
kejahatan kartu kredit dengan metode CNP (card not present)
dan bukan untuk pemlasuan kartu kredit secara fisik.
V. PENUTUP
Direalisasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun
2015 akan membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi
negara-negara ASEAN khususnya Indonesia. Selain itu,
dengan kenyataan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah
yang terbesar dibanding negara ASEAN lainnya maka
Indonesia memiliki peluang ekonomi yang lebih baik dalam
hal luasnya pasar dan kesempatan menarik investor dibanding
negara lainnya. Hal ini tentunya akan berdampak langsung
pada peningkatan jumlah dan nilai transaksi perbankan di
Indonesia, khususnya transaksi elektronik.
Namun demikian, seiring dengan berkembangnya teknologi
di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (yang
menawarkan kemudahan bertransaksi perbankan secara
elektronik), semakin meningkat dan beragam juga bentuk
ancaman tindak kejahatan elektronik yang berbasis teknologi
informasi, misal: kejahatan elektronik kartu kredit, pencurian
identitas melalui Internet, hacking, dan lainnya.
Oleh sebab itu, agar dapat memanfaatkan peluang yang
timbul dari terealisasinya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
guna meningkatkan aktifitas perbankan nasional, bank-bank
di Indonesia sepatutnya mulai berbenah dan mempersiapkan
diri untuk dapat menyediakan layanan elektronik perbankan
yang aman dan terpercaya.
Beberapa langkah strategi yang dapat diambil oleh bank-
bank di Indonesia guna meningkatkan keamanan layanan
transaksi elektronik adalah:
1) implementasi sistem pengelolaan keamanan informasi
yang mengacu pada standar internasional,
2) melakukan proses edukasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi baik secara internal (kepada karyawan bank)
maupun eksternal (kepada nasabah dan masyarakat
umum) kaitannya dengan keamanan transaksi elektronik,
dan
3) membangun sistem deteksi dini percobaan atau tindak
kejahatan elektronik perbankan berbasis analisa pola
belanja seorang individu.
REFERENSI
[1] A. Santoso dan D. Pratiwi. (2010, 5 Agustus). Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik Perbankan dalam Kegiatan Transaksi
Elektronik Pasca UU No. 11 Tahun 2008. [Online]. Diambil dari:
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-teknologi/665-tanggung-
jawab-penyelenggara-sistem-elektronik-perbankan-dalam-kegiatan-
transaksi-elektronik-pasca-uu-no-11-tahun-2008.html
[2] M. Thertina. (2012, 5 Juli). BI Terima 1.009 Laporan Kejahatan Perbankan. Tempo Bisnis. [Online]. Diambil dari:
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/05/087414971/BI-Terima-
1009-Laporan-Kejahatan-Perbankan [3] I. R. Putra. (2012, 5 Juli). Kejahatan perbankan makin canggih.
Merdeka. [Online]. Diambil dari: http://m.merdeka.com/uang/kejahatan-perbankan-makin-canggih.html
[4] S. Aditia. (2012, 5 Juli). Kejahatan transaksi eletronik perbankan
mengintai. SindoNews.com. [Online]. Diambil dari: http://m.sindonews.com/read/2012/07/05/33/657225/kejahatan-
transaksi-elektronik-perbankan-mengintai
[5] Bank Indonesia. (2012). Statistik Sistem Pembayaran, Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), Jumlah APMK.
[Online]. Diambil dari:
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Sistem+Pembayaran/APMK/JmlAPMK.htm
[6] Bank Indonesia. (2012). Statistik Sistem Pembayaran, Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), Transaksi. [Online]. Diambil dari:
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Sistem+Pembayaran/AP
MK/Transaksi.htm [7] B. E. Raj and A. Portia, “Analysis on Credit Card Fraud Detection
Methods,” Proceedings of the International Conference on Computer,
Communication and Electrical Technology – ICCCET2011, pp. 152-156, March, 2011.
[8] A. Kundu, S. Panigrahi, S. Sural ans A.K. Majumdar, “BLAST-
SSAHA Hybridization for Credit Card Fraud Detection,” IEEE Transactions On Dependable And Secure Computing, vol. 6, Issue no.
4, pp.309-315, October-December 2009.
[9] R. Brause, T. Langsdorf, M. Hepp, “Neural Data Mining for Credit Card Fraud Detection,” dalam International Conference on Tools with
Artificial Intelligence, 1999, pp.103-106.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 115
Kendali Jarak Jauh Melalui Wireless Application
Protocol (WAP) untuk Mengendalikan Alat
Penerangan dalam Ruangan Ronal Chandra
#1, Hanny Hikmayanti Handayani
*2, Nazori Agani
#3
#Magister Ilmu Komputer Program Pascasarjana, Universitas Budi Luhur
Jln. Raya Ciledug, Jakarta 12260 - Indonesia [email protected]
*Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Universitas Singaperbangsa Karawang
Jl. HS. Ronggowaluyo, Teluk Jambe, Karawang [email protected]
Abstrak – Penggunaan media internet untuk melakukan sebuah
kendali yang dioperasikan dari jarak jauh dengan peralatan
yang dikendalikan akan mempermudah dan membantu untuk
mengendalikan suatu alat. Saat ini penggunaan listrik di
Indonesia sudah sangat melebihi kapasitas daya tersedia.
Penyebab utamanya antara lain penggunaan listrik yang tidak
terkontrol di dalam konsumsi listrik rumah tangga. Hal ini
terjadi karena kontrol terhadap penggunaan peralatan listrik
belum tersedia. Dengan teknologi Mobile Phone yang
berkembang sekarang ini dapat dilakukan sistem kendali jarak
jauh melalui Wireless Application Protocol (WAP) untuk
mengendalikan alat penerangan dalam ruangan. Sistem ini
menggunakan sinyal GPRS/UMTS untuk mengirimkan data
perintah dari pengguna handphone. Pengguna dapat mengetahui
keadaan alat penerangan yang ingin dipantau dan mengaktifkan
atau menonaktifkan alat penerangan dari handphone yang
digunakan. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan
microcontroller. Diharapkan dengan diterapkannya aplikasi ini
kegiatan untuk menghemat konsumsi listrik yang tidak terpakai
bisa lebih mudah dilakukan.
Kata kunci— Mobile Phone, WAP, PHP
I. PENDAHULUAN
Saat ini berbagai fasilitas internet telah banyak digunakan
oleh masyarakat dan telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat modern. Cara untuk bisa mengakses internet
secara cepat pun juga mulai dicari oleh manusia agar tidak
tergantung dengan perangkat Personal Computer (PC).
Konsep mengakses internet secara cepat dan praktis ini
kemudian melahirkan suatu aplikasi, yaitu WAP (Wireless
Application Protocol).
Wireless Application Protocol atau WAP telah menjadi
standard Internasional untuk menampilkan internet bergerak
pada perangkat seluler [1] [2]. Dengan adanya WAP,
pengguna internet dapat menggunakan telepon selular untuk
mengakses internet dan memperoleh fasilitas dari masing-
masing telepon selular tanpa harus bergantung pada lokasi.
Berdasarkan hal tersebut maka dibuat aplikasi yang
menggunakan fasilitas WAP [3].
Saat ini konsumsi listrik di Indonesia sudah sangat
melebihi kapasitas daya yang tersedia. Hal ini terjadi karena
kontrol terhadap penggunaan peralatan listrik belum tersedia
sehingga perlu ditemukan suatu cara untuk menghemat
penggunaan listrik di dalam rumah. Berikut ini adalah statistik
penggunaan alat listrik di rumah dan rata-rata penggunaan
listrik dari 450 VA ke 1300 VA [4].
Gbr 1. Statistik Pengguna Listrik
Dengan teknologi Mobile Phone yang berkembang saat ini
dapat dilakukan sistem kendali jarak jauh melalui Wireless
Application Protocol (WAP) berupa perangkat telepon selular
yang bisa digunakan untuk mengendalikan penerangan dalam
suatu ruangan dimana posisi telepon selular dan alat
penerangan itu berada dalam lokasi yang berbeda atau jarak
yang berjauhan dimana data kendali dari satu perangkat
(server) ke perangkat lain (Client) yang keduanya terhubung
dalam jaringan internet. Data kendali tersebut akan
diterjemahkan untuk melakukan pengendalian input atau
output pada komputer. Data kontrol dari perangkat server ini
akan digunakan untuk mengontrol kondisi alat penerangan
dan sensor yang dipasang dan akan digunakan sebagai data
dari komputer server untuk dikirim ke perangkat telepon
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 116
seluler sehingga pengguna melalui telepon seluler mengetahui
kondisi alat penerangan lewat data sensor tersebut.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah
memudahkan untuk memonitor dan mengendalikan alat
penerangan melalui jaringan internet dengan menggunakan
telepon seluler sehingga pengendalian sistem dapat dilakukan
dari lain tempat dengan jarak yang jauh.
II. WIRELESS APPLICATION PROTOCOL
Wireless Application Protocol (WAP) merupakan protokol
bagi perangkat-perangkat nirkabel yang menyediakan layanan
komunikasi data bagi pengguna, baik dalam bentuk yang
berhubungan dengan telekomunikasi maupun aplikasi-aplikasi
berorientasi internet [5].
Sistem WAP dibangun oleh beberapa elemen tertentu
dalam suatu arsitektur yang khas seperti yang ditunjukkan
pada Gbr 2 berikut .
WAP ClientBTS
GSM/GPRS
WAP Gateway
Internet
WAP Server
Gbr 2. Arsitektur WAP
Elemen pertama adalah WAP Client. Dalam sistem WAP,
mobile device merupakan ujung dari rangkaian jaringan yang
sekaligus berperan sebagai pelanggan sistem dan disebut
WAP Client. Telepon Seluler ini tersambung ke WAP
Gateway melalui gelombang radio frekwensi tinggi
900/1800/1900 MHz GSM (Global System for Mobile
Communication). Fungsi dari WAP Gateway adalah
meneruskan permintaan informasi dari mobile device menuju
server (lewat HTTP Request) dan dari server menuju ke
telepon seluler (lewat HTTP Response). Elemen selanjutnya
adalah Server. Server merupakan tempat yang berisikan data-
data yang diakses oleh user/client. Di server inilah scrip
‘HTML’ ditempatkan.
Kelebihan dari WAP adalah: WAP menggunakan jaringan
tanpa kabel (radio) dan user interface-nya menggunakan
mobile device sebagai terminal data di sisi pengguna sehingga
mobilitasnya tinggi (dapat digunakan dalam keadaan bergerak)
[6].
Sedangkan kelemahan dari WAP antara lain karena
menggunakan mobile device maka kapasitas memorinya kecil
dan ukuran layar display-nya pun kecil [6].
Dalam penelitian ini aplikasi yang akan dibangun adalah
aplikasi berbasis web versi mobile . Aplikasi ini terdapat pada
server.
Program browser pada handphone/client mengirimkan
permintaan (request) kepada server web yang kemudian akan
dikirimkan oleh server dalam bentuk file HTML. File HTML
berisi instruksi-instruksi yang diperlukan untuk membentuk
tampilan pada layar mobile device. Perintah-perintah HTML
ini kemudian diterjemahkan oleh browser web sehingga isi
informasinya dapat ditampilkan secara visual kepada
pengguna di layar handphone.
Program ini berfungsi menjembatani lalu lintas monitoring
dan perintah dari microcontroller sebagai sumber ke modul
telepon seluler sebagai tujuan.
Tools yang dibutuhkan untuk mengembangkan program
WAP server adalah :
Apache web server
PHP
PHP merupakan bahasa interpreter yang memiliki
kesederhanaan dalam perintah. PHP dapat digunakan
bersamaan dengan HTML sehingga pembangunan situs web
site dapat dilakukan dengan cepat dan mudah [6].
Berikut ini adalah alur web dinamis dengan menggunakan
PHP:
1. Client mengakses web
2. Bila dalam web tersebut terdapat code yang mengakses
data di database, maka server akan meneruskan code
tersebut ke script interpreter untuk diterjemahkan ke
database.
3. Setelah itu akan melakukan query dalam database dan
script interpreter menghasilkan code HTML yang
diteruskan ke server.
4. Lalu server mengirimkan hasilnya ke web browser.
Server web bekerja secara langsung terhadap file yang
bersangkutan dan tidak memanggil script yang terpisah dari
file tersebut. Seluruh kode dieksekusi di server, oleh karena
itu PHP sering disebut server-side script.
Salah satu kemampuan PHP adalah dapat menuliskan data
dari client ke server dan data inilah yang kemudian dibaca
oleh microcontroller dan hasil pembacaannya tersebut
dituliskan ke port paralel [7].
Konsep client browsing ke server hingga dapat mengakses
port paralel memerlukan beberapa komponen yaitu handphone
sebagai web browser, web server, file teks yang isinya dapat
diubah-ubah sesuai dengan penulisan yang dilakukan dari
client, dokumen HTML yang dihasilkan oleh pengendalian
program dan ditampilkan bersama dengan hasil pembacaan
pengendali program dari piranti I/O. Hubungan antar
komponen dapat dilihat pada Gbr 3.
Client/ Web
BrowserWeb Server
Dokumen
HTMLFile Teks
MicrocontrollerPort Paralel
Komputer
Piranti I/O
Gbr 3. Hubungan antar komponen sistem akses port paralel
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 117
Client/Browser web meminta kepada server web dan
ditanggapi dengan mengirimkan dokumen HTML yang ada
scrip PHP nya sehingga dimungkinkan untuk mengirim suatu
data dari client. Data dikirim dari client ke file teks.
Sebelumnya permission file teks tersebut diubah dulu agar
bisa ditulis dan dibaca [8].
Microcontroller dirancang mempunyai dua tugas utama
yang selalu bekerja terus-menerus yaitu membaca isi file teks
kemudian menuliskan hasil pembacaannya ke peranti I/O ke
dokumen HTML tersebut [9]. Untuk mengetahui isi dari
dokumen HTML tersebut dilakukan permintaan dari client ke
web server, kemudian web server memberikan tanggapan
dengan mengambil dokumen HTML tersebut dan dikirim ke
client.
III. DESAIN SISTEM
Desain sistem Kendali jarak jauh melalui WAP untuk
mengendalikan alat penerangan dalam ruangan menerapkan
arsitektur client server standar dimana arsitektur Sistem terdiri
dari komponen-komponen utama sebagai berikut.
a. Handphone / Client dengan fasilitas yang mendukung
WAP.
b. Modem berfungsi sebagai penghubung komputer server
dengan internet sehinggga data-data pada komputer server
dapat diakses melalui perangkat wireless yang mendukung
WAP.
c. PC Server dimana terdapat Software WAP Server
berfungsi sebagai aplikasi yang menyediakan content di
web server dan memanipulasi data di Database.
Pembuatan aplikasi WAP diawali dengan membuat sebuah
file HTML. Apabila file HTML telah selesai dibuat maka
disimpan pada home directory dari web server yang pada
penelitian ini adalah Apache web server.
d. Microcontroller sebagai pengontrol sistem kendali jarak
jauh di lokasi. Microcontroller berfungsi menerima
perintah dari telepon seluler melalui PC server dan
mengirim perintah ke alat penerangan.
Lampu MicrocontrollerServer Modem Telepon
Selular
Internet
Gbr 4. Arsitektur Sistem Kendali Jarak Jauh melalui WAP untuk mengendalikan alat penerangan dalam ruangan.
Sistem didesain sebagai bentuk pengontrolan lampu
melalui internet dengan menggunakan telepon seluler. Sistem
ini dilengkapi dengan sensor cahaya dimana berfungsi sebagai
deteksi apabila ada kesalahan teknis misalnya lampu tidak
dapat hidup karena putus.
Pada bagian jaringan komputer, digunakan model interaksi
client/server yang berbasis WAP. Sistem pengontrolan lampu
dapat dilihat pada Gbr 4.
Client/Web Server web File bacaport.HTML
MicrocontrollerFile data.txt
Port Paralel
HTTP requestMembaca file
bacaport.HTML
Membuat file
coba.HTML
Proses baca & tulis ke port paralel
Membaca data
file dat.txt
HTTP response
Menulis ke
file data.txt
Gbr 5. Sistem kontrol lampu melalui jaringan internet
Jaringan disetting dengan web server yang selalu listening
pada port 80. Port 80 merupakan port yang digunakan untuk
hubungan client/server dengan teknologi web [10]. Seting
jaringan ini dilakukan dengan mengaktifkan web server
apache yang berada di server. Kemudian dari client akan
melakukan permintaan sambungan ke server untuk pertama
kalinya dan server memberi tanggapan dengan mengirimkan
file indext.html. Jika file ini bisa terkirim ke client maka
berarti hubungan antara client dan server telah terbentuk [11]
[12]. Selanjutnya client meminta file tulisport.php ke server
dan direspon oleh server dengan mengirimkan tampilan form
pengisian data.
Data diisikan ke form tersebut dari client kemudian
dikirimkan ke server. Data tersebut masuk ke dalam file
data.txt di server. Microcontroller dirancang untuk mengambil
data dari data.txt kemudian menuliskannya ke perangkat luar
berupa driver untuk menghidupkan lampu. Karena
microcontroler dapat tereksekusi terus menerus, maka proses
baca data dari data.txt dan proses menuliskan data dari data.txt
ke perangkat luar dilakukan secara terus menerus [13].
Sensor cahaya digunakan untuk mendeteksi cahaya dari
lampu. Hasil pembacaan melalui sensor cahaya dituliskan ke
file bacaport.html. Proses inipun dilakukan secara terus-
menerus dan isi dari file bacaport.html selalui diperbaharui.
Apabila hasil pembacaan sensor tidak sama dengan data yang
ada pada file data.txt maka yang dituliskan ke file
bacaport.html adalah file alarm [14].
Sistem Pengendalian ini terdiri dari beberapa bagian yang
dirancang menjadi satu. Bagian-bagian tersebut yaitu Client,
server, port paralel komputer, peralatan keluaran dan masukan
yang terdiri dari dua rangkaian yaitu rangkaian driver lampu
dan rangkaian sensor cahaya [15].
Sistem ini didesain menggunakan port paralel 378H untuk
proses baca dan 37AH untuk proses tulis. Pada port paralel
yang beralamat 378H digunakan pin ke-2 untuk menerima
masukan dari rangkaian sensor cahaya. Sedangkan port paralel
dengan alamat 37A menggunakan pin ke-1 untuk proses
menulis ke piranti [13].
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 118
IV. DESAIN INTERFACE
Gbr 6. Desain tampilan menu utama untuk Sistem Kontrol Lampu.
V. PENGUJIAN SISTEM PENGENDALIAN LAMPU MELALUI
JARINGAN INTERNET
Pengujian sistem pengendalian lampu melalui jaringan Internet ini disusun berdasarkan hasil pengujian tiap-tiap bagian yang telah dilaksanakan. Ada beberapa langkah dalam pengujian sistem ini yaitu: 1. Client melakukan permintaan hubungan pertamakali ke
server dengan cara mengetikkan pada browser web
(Internet Explorer) alamat server yang dituju yaitu
http://localhost/index.html. Jika server web mengirim
dokumen apache ke browser web, maka client dan server
telah terhubung dalam satu jaringan.
2. Client melakukan request ke file tulisport.php yang akan
ditanggapi server dengan mengirim hasil eksekusi dari
script file tulisport.php berbentuk dokumen isian data
3. Client mengisi angka 1 pada dokumen isian data tersebut,
kemudian klik kirim. Angka satu tersebut akan masuk dan
disimpan di file data.txt. Untuk mengetahuinya bisa dilihat
kondisi lampu yang dikendalikan.
4. Melihat kondisi hidup atau mati dari lampu.
Jika lampu hidup, maka program pengendali yang menjadi
antarmuka antara file data.txt dan port paralel berjalan
sesuai dengan rancangan yaitu mengambil isi dari file
data.txt dan menuliskannya ke port paralel.
Dua hal yang dilakukan oleh client yaitu mengendalikan lampu dan memonitor aktivitasnya. Adapun hasil pengujian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2.
TABEL V.
CLIENT MELAKUKAN PENGENDALIAN LAMPU
Angka yang ditulis pada form isian data Kondisi lampu
1 Hidup
0 Mati
TABEL VII.
CLIENT MELAKUKAN MONITORING LAMPU
Angka yang ditulis
pada form isian data
Kondisi
Lampu
Tampilan file baca port.html
setelah di-request oleh client
1 Hidup Dokumen hasil pembacaan
0 Mati Dokumen hasil pembacaan
0 Hidup Dokumen alarm
1 Mati Dokumen alarm
Pada Tabel I terlihat, saat angka ‘1’ diisikan pada form isian
data maka lampu akan hidup dan saat angka ‘0’ diisikan pada
form isian data maka lampu akan mati. Sedangkan pada Tabel
II terlihat saat kondisi lampu sama dengan penulisan angka
pada form isian data maka dokumen hasil pembacaan yang
akan ditampilkan oleh file bacaport.html dan saat kondisi
lampu tidak sama dengan penulisan angka pada form isian data
maka dokumen alarm yang akan ditampilkan
VI. KESIMPULAN
1. Sistem Kendali Jarak Jauh melalui Wireless
Application Protocol untuk mengendalikan alat
penerangan dalam ruangan merupakan Sistem
pengendalian peralatan listrik yang terintegrasi dengan
perangkat bergerak/Handphone yang dapat diakses
dimanapun dan kapanpun selama berada dalam
jangkauan jaringan operator. Sistem ini ditujukan
untuk memberikan rasa aman dan kepraktisan dalam
pengendalian peralatan listrik di dalam ruangan yang
tidak dapat dimonitor secara langsung karena faktor
lokasi dan waktu.
2. WAP tidak dapat menampung bentuk-bentuk informasi
seperti yang bisa dilakukan oleh website. Hal ini
karena keterbatasan sebuah handphone yang tidak
secanggih PC.
3. WAP merupakan aplikasi wireless yang mampu
melayani transfer data antar pengguna dengan server.
Dan dengan mengaplikasikannya dengan
microcontroller melalui WAP memudahkan kita
memantau dan mengoperasikan alat penerangan yang
berada di suatu tempat walaupun kita berada jauh dari
tempat aplikasi tersebut karena dapat diakses melalui
ponsel dimanapun dan kapanpun [16].
4. Dengan WAP tidak diperlukannya instalasi aplikasi
pada perangkat handphone dan tidak diperlukannya
driver mobile untuk koneksi.
5. Dengan menggunakan aplikasi ini di harapkan minimal
bisa terjadi penghematan penggunaan daya energy
listrik sebesar 10 persen. Pada daya 450 Volt Amphere,
jika penggunaan daya minimum adalah 23 KWh
perbulan dan maksimal 233 KWh maka dengan
pendekatan teknologi kendali jarak jauh ini di
harapkan bisa di lakukan penghematan sebesar 10%
dari daya maksimal menjadi 209.7 KWh per bulan.
Begitu pun juga pada rata-rata pengguna voltase 900.
Diharapkan bisa dilakukan penghematan sebesar 10%
dari total pemakaian sebulan menjadi 232.2 KWh.
Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Januari 2013
ISSN 2302 - 3252 119
Pada voltase 1300, penghematan yang diharapkan
menjadi 493 KWh per bulan [4]. Di bawah ini adalah
grafik dari asumsi penghematan yang bisa dilakukan
dengan menggunakan teknologi kendali jarak jauh
untuk mematikan peralatan elektronik di rumah.
Gbr 7. Grafik asumsi penghematan listrik
VII. SARAN
1. Sistem yang di kembangkan adalah prototipe dan sangat
mungkin untuk di kembangkan lebih jauh sehingga
mendapatkan hasil maksimal sesuai dengan kebutuhan.
2. Sistem yang di kembangkan belum memperhatikan faktor
keamanan dan stabilitas koneksi ke server. Diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk bisa menjadikan sistem sesuai
kebutuhan konsumen.
REFERENSI
[1] L.L. Liang, L.F. Huang, X.Y. Jiang, V. Yao, “Design and implementation of wireless smart-home sensor network based on
ZigBee protocol,” International Conference on Communications,
Circuits and Systems, 2008, pp. 434-438. [2] WAP Forum. Wireless Application Protocol Wireless Markup
Language Specification.
[3] Mallick, Martyn, Mobile and Wireless Design Essentials, Wiley Publishing, Canada, 2003.
[4] Tongam Sihol Nababan, Permintaan Energy Listrik Rumah Tangga,
Studi Kasus Pengguna Kelompok Rumah Tangga, 2008. [5] Agung, Gregorius, WAP Programming dengan WML, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2001
[6] Sanjaya, Ridwan & Purbo, Onno W, WAP dengan PHP, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001.
[7] Kadir, Abdul. Dasar Pemrograman WEB dinamis menggunakan PHP,
Andi Offset, Yogyakarta, 2002. [8] Apache HTTP Server Documentation Project, Apache HTTP Server
Version 1.3, http://httpd.apache.org/docs/w
[9] Aji, R. Kresno, Tip Dasar Pengoperasian & Trik Setting Jaringan, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001
[10] Heywood, Drew, Networking with Microsoft TCP/IP, 1st, Simon &
Schuster Pte Ltd, Asia,1996. [11] Alkar, A. Z., & Buhur, U. (2005). An Internet Based Wireless Home
Automation System for Multifunctional Devices.IEEE Consumer
Electronics, 51(4), 1169-1174. Retrieved from http://www.thaieei.com/embedded/pdf/Automation/20022.pdf
[12] Delgado, A. R., Picking, R., & Grout, V. (2006) Remote-controlled
home automation systems with different network technologies.
Proceedings of the 6th International Network Conference (INC 2006),
University of Plymouth, 11-14 July 2006, pp. 357-366. Retrieved from
http://www.newi.ac.uk/groutv/papers/p5.pdf [13] Maulana, M Arif. Bagus, Sistem Pengendali Piranti Melalui Jaringan
Internet dengan Menggunakan Bahasa Scripting PHP dan Bahasa
Pemrograman ANSI C, Universitas Diponegoro,Semarang, 1998, [14] Syukur, Mark Ade, Aplikasi Web dengan PHP, Karya Ilmiah
Universitas Gunadarma, Jakarta,1999.
[15] Bakken S. S ,Schimdt E, PHP Manual, http://www.php.net/manual/en/,2012
[10] L.N. Zhang, X.C. Hong, “The Successful Application of ZigBee
technology in the smart home,” Science & Technology Information, vol. 16, 2008, pp. 19-20. (in Chinese)
PEROLEHAN CITRA SEL TUNGGAL PAP SMEAR UNTUK
DETEKSI DINI KANKER SERVIKS MELALUI PROSES
PEMISAHAN SEL TUMPANG TINDIH DAN
ELIMINASI SEL RADANG
DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung
Oleh
DWIZA RIANA
NIM : 33211015
(Program Studi Teknik Elektro dan Informatika)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
ABSTRAK
PEROLEHAN CITRA SEL TUNGGAL PAP SMEAR UNTUK
DETEKSI DINI KANKER SERVIKS MELALUI PROSES
PEMISAHAN SEL TUMPANG TINDIH
DAN ELIMINASI SEL RADANG
Oleh
Dwiza Riana
NIM : 33211015
Diagnosis kanker serviks pada citra Pap smear terkadang sulit dilakukan
padahal merupakan prosedur yang sangat penting. Untuk memperoleh informasi
diagnostik yang dapat diandalkan, nukleus dan karakteristik sel harus diidentifikasi
dan dievaluasi dengan benar. Namun, kehadiran sel-sel radang dan sel tumpang
tindih dalam citra mikroskopik Pap smear mempersulit proses deteksi. Disertasi ini
difokuskan pada pengembangan metode segmentasi citra untuk secara efisien
menangani masalah keberadaan spesifik sel-sel radang dan sel tumpang tindih pada
citra mikroskopik Pap smear untuk mendapatkan sel tunggal bagi deteksi dini
kanker serviks. Citra mikroskopik Pap smear memiliki kompleksitas dan
karakteristik tertentu, tantangan bagi setiap metode segmentasi untuk mengatasi
kompleksitas dan masalah citra Pap Smear, yaitu tingginya tingkat tumpang tindih
sel, kurangnya homogenitas dalam intensitas citra dan keberadaan sel-sel radang.
Tujuannya untuk mencapai identifikasi akurat dari daerah tertentu yang menjadi
perhatian, dan agar mendapatkan kesimpulan yang dapat diandalkan tentang konten
dari citra Pap smear. Pengolahan citra Pap smear terkait dengan beberapa aspek
dari bidang ilmiah pengolahan citra biomedis, seperti deteksi objek, delinasi objek,
pemisahan bagian yang tumpang tindih dan identifikasi normal dan abnormal dari
objek sel dalam citra yang mengandung noise dan artefak. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah mengatasi keberadaan sel tumpang tindih dan sel radang pada
citra mikroskopik Pap smear. Membangun teknik segmentasi pada citra sel
tumpang tindih adalah rintangan utama untuk analisis sel servik. Dalam penelitian
ini, algoritma segmentasi dikembangkan untuk pemisahan sel tumpang tindih dan
segmentasi sel radang pada citra Pap smear. Tahapan pre-processing berupa
konversi warna, peningkatan citra, pengenalan objek dan pembersihan latar
belakang dengan rule klasifikasi tekstur untuk menghasilkan cropping sel tumpang
tindih secara otomatis. Segmentasi sel tumpang tindih dilakukan untuk segmentasi
sitoplasma tumpang tindih dan daerah tumpang tindih dengan graylevel
thresholding. Proses selanjutnya dilakukan delinasi sel tumpang tindih dengan
empat proses yaitu pembagian daerah tumpang tindih, pencarian jarak terdekat dari
pinggiran daerah tumpang tindih, penyambungan pinggiran sitoplasma tumpang
tindih dengan pendekatan geometri dan proses isolasi sel tumpang tindih. Proses ini
menghasilkan perolehan citra sel tunggal. Tahap selanjutnya dilakukan eliminasi
ii
sel radang dan deteksi nukleus dengan kombinasi graylevel thresholding dan
defenisi aturan jarak. Akhirnya dilakukan analisa morphologi dan identifikasi sel
untuk menentukan kenormalan sel. Metode pemisahan sel tumpang tindih
dievaluasi dengan menggunakan 21 citra yang mengandung 24 citra sel tumpang
tindih, 61 sel nukleus dan 155 sel radang dengan lima ukuran daerah tumpang tindih
yang berbeda-beda yaitu >150x200 piksel, > 100 x 200 piksel, >150x150 piksel,
>150x200 piksel, >100x100, dan >200x200 piksel. Dari analisis data uji citra
mikroskopik Pap smear menunjukkan pemisahan sel tumpang tindih dapat
menghasilkan perolehan citra tunggal Pap smear. Metode eliminasi sel radang
dapat secara signifikan menghilangkan sel-sel radang dan mendeteksi nukleus pada
142 citra sel tunggal yang berhasil diisolasi, di mana identifikasi berupa fitur area,
perimeter dan roundness nukleus dan sitoplasma serta klaisikasi sel dapat
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode eliminasi sel radang secara
signifikan menyederhanakan proses deteksi nukleus, sehingga mengurangi jumlah
sel inflamasi yang dapat mengganggu Aspek-aspek yang dibahas dalam penelitian
ini, memberikan konteks yang terintegrasi untuk analisis secara efisien bagi deteksi
otomatis kanker serviks untuk segmentasi sel radang dan pemisahan sel tumpang
tindih pada citra sel mikroskopik Pap smear.
Kata kunci: citra Pap smear images, nukleus, sel radang, sel tumpang tindih,
segmentasi, threshold, area, perimeter, roundness, cervical cancer. Total kata:
496
iii
ABSTRACT
IMAGE ACQUISITION OF PAP SMEAR SINGLE CELL FOR
EARLY DETECTION OF CERVICAL CANCER CELLS
THROUGH THE PROCESS OF SEPARATION OF
OVERLAPPING CELLS AND ELIMINATION OF
INFLAMMATORY CELLS By
Dwiza Riana
NIM : 33211015
The diagnosis of cervical cancer in Pap smear images is a difficult though
extremely important procedure. In order to obtain reliable diagnostic information,
the nuclei and their characteristics must be correctly identified and evaluated.
However, the presence of inflammatory and overlapping cells in these images
complicates the detection process. This dissertation is focused on the development
of image segmentation methods for efficiently handle specific problems presence
of inflammatory cells and cell overlapping on the Pap smear microscopic images to
obtain single cells for early detection of cervical cancer. Microscopic Pap smear
image present great complexity and particular characteristics, the challenge for any
methodology is to overcome the complexity and problems on Pap smear images,
namely, the high degree of cell overlapping, the lack of homogeneity in image
intensity and the existence of inflammatory cells. The goal is to achieve an accurate
identification of the region of interest, and as a result to obtain reliable conclusions
about the content of the Pap smear images. The processing of Pap smear images is
related with several aspects of the scientific field of biomedical image processing,
reviews such as object detection, object delineation, separation of partially occluded
or overlapping objects and identification of normal and abnormal objects in images
containing noise and artifacts.
The problem in this research is to overcome the existence of overlapping
cells and inflammatory cells in the microscopic image of the Pap smear. Develoving
segmentation techniques for overlapping cell has become a major hurdle for
automated analysis of cervical cells. In this research, the segmentation algorithms
developed for the separation of overlapping cells and inflammatory cells in the
image segmentation Pap smear. The pre-processing such as color conversion, image
enhancement, object recognition and cleaning background with rule of texture
classification to generate a cropping overlapping cell automatically. The
segmentation of overlapping cell segment such as segmentation of cytoplasm
overlapping, and segmentation of areas overlapping with graylevel thresholding.
The delineation of overlapping cell with four processes, namely the division of areas
overlapping, the search for the closest distance from the edges area overlapping,
outskirts of cytoplasmic splicing overlap with the approach of geometry and
isolation of cells overlapping. This process resulted in the acquisition of the image
of a single cell. The next stage is detection of
iv
inflammatory cells and nucleus performed by definition of distance rule. Finally,
morphological analysis and identification of the cell automatically to determine the
normality of the cell. Overlapping cell separation methods were evaluated using 21
images containing 24 images of overlapping cells , 61 cells and 155 cell nucleus
inflammation in five overlapping areas with different size are > 150x200 pixels,>
100 x 200 pixels,> 150x150 pixels,> 150x200 pixels,> 100x100, and> 200x200
pixels. Analysis of the test data Pap smear microscopy image shows the separation
of overlapping cells can produce a single image acquisition Pap smear. The method
of elimination of inflammatory cells can significantly eliminate inflammatory cells
and detect nuclei in all the image of 142 single cells of data set, where the
identification of such features area, perimeter and roundness of the nucleus and the
cytoplasm and cell classification can be done. The results show that this method
significantly simplifies the process of detection nucleus, thereby reducing the
number of inflammatory cells that can interfere. The aspects discussed in this study,
provide an integrated context for analysis efficiently for automated detection of
cervical cancer for segmentation of inflammatory cells and separation of
overlapping cell on Pap smear microscopic cell images.
Keyword: Pap smear images, nucleus, inflammatory cells, overlapping cells,
segmentation, threshold, area, perimeter, roundness, cervical cancer.
v
vi
Dipersembahkan kepada Ibunda Hj Salbiyah Saropi, Ayahanda H. Zakaria
Husein Safe’i. Suami terkasih H. Moch. Hendro Gunawan, Anak-anakku Alya
Shafira Hewiz dan Rayhan Konan Ferdion
vii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI
Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan
Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak
cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin
Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
viii
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur ke hadirat Allah SWT. Hanya berkat dan rakhmat Allah SWT
penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini, yang merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung.
Penulis sangat berterima kasih pada Prof. Dr. Ir. Tati Latifah R. Mengko, sebagai
ketua Tim Pembimbing atau promotor, atas segala saran, bimbingan dan nasehatnya
selama penelitian berlangsung dan selama penulisan disertasi ini.
Penulis juga berterima kasih atas saran, kritik dan nasehat dari anggota Tim
Pembimbing atau co promotor Dr. Ir. Dwi H. Widyantoro.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pimpinan, dosen dan staf di
lingkungan STEI ITB dan Sekolah Pasca Sarjana yang telah memberikan arahan
dan bantuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Doktor.
Penulis juga berterima kasih kepada Laboratorium Patologi Klinik Veteran
Bandung, tempat penulis mendapatkan data citra Pap smear. Kepada dr Oemie
Kalsoem, Sp. PA selaku Kepala Laboratorium Khusus Patologi Veteran Bandung
dan dokter ahli patologi atas bantuan verifikasi ilmiah serta telah berkolaborasi
dengan penulis dalam proses penelitian.
Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan Beasiswa program doktor
BPPDN angkatan 2011, Beasiswa Sandwich Program/ Program Peningkatan
Publikasi Internasional Mahasiswa S3 di Ioannina of University (2013) dan hibah
Penelitian Disertasi Doktor dari Ditlitabmas tahun 2014, yang diterima selama
pendidikan program doktor.
ix
Terima kasih kepada Prof. Christophoros Nikou, Marina E. Plissiti, PhD, dan
Vrigkas Michalis atas diskusi, masukan dan bantuan kepada penulis dalam
penulisan jurnal dan bantuan selama melakukan penelitian di Ioannina, Greece.
Ketua Yayasan Bina Sarana Informatika (BSI) dan Ketua Yayasan Indonesia Nusa
Mandiri beserta segenap pengurus yayasan yang telah memberikan kesempatan dan
bantuan baik moril maupun materiil bagi penulis untuk melanjutkan studi di
Program Doktor STEI ITB. Direktur BSI dan seluruh jajarannya. Rektor dan staf
karyawan di Universitas BSI Bandung atas kerjasama selama ini sehingga ritme
kerja dan kuliah dapat berdampingan secara dinamis.
Suamiku tercinta H. Moch. Hendro Gunawan, ST, MT, atas pengertian, perhatian,
dukungan moril dan doa’nya, semoga ALLAH membalas kebaikan mas dengan
pahala yang berlipat ganda. Putri dan putra kami tercinta Alya Shafira Hewiz dan
Rayhan Konan Ferdion atas kesabaran dan keikhlasan waktu untuk menemani di
setiap kondisi.
Papak dan Mamak, serta Mami dan Opa terima kasih atas segala doa, cinta, kasih
sayang, dan dukungan yang tiada batasnya, semoga ALLAH melimpahkan berkah
sebagai balasannya, Cak, Kak Toton, adik-adik (Triza-Kia, Andi-Tini, Fauzan- Irin)
serta seluruh keluarga besar Soedijono, Saropi dan Monasir yang senantiasa
mengiringi dengan doa, harapan dan semangat.
Teman-teman di Program Doktor STEI ITB, khususnya angkatan 2011, 2010 dan
2013 terima kasih atas semangat, kerjasama dan bantuan yang diberikan selama
menjalani perkuliahan. Pak Tohir atas waktu diskusi dan debat dalam memahami
Matlab.
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI ...................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI .......................................................... xiv
DAFTAR TABEL............................................................................................. xviii
DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI ................................................................ xx
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG .................................................... xxi
Bab I Pendahuluan .......................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
I.2 Rumusan dan Batasan Masalah ........................................................... 3
I.3 Tujuan .................................................................................................. 4
I.4 Ruang Lingkup .................................................................................... 4
I.5 Hipotesis .............................................................................................. 5
I.6 Peta Jalan Penelitian dan Kontribusi ................................................... 5
I.6.1 Peta Jalan Penelitian ...................................................................... 8
I.6.2 Kontribusi Penelitian ................................................................... 13
I.7 Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
Bab II Tinjauan Pustaka .............................................................................. 15
II.1 Penelitian Kanker Serviks dan Citra Sel Mikroskopik Pap
smear 15
II.2 Citra Tunggal dan Tumpang tindih Pap smear .................................. 16
II.3 Segmentasi pada Citra Pap smear ..................................................... 18
II.3.1 Pengaturan Thresholding ............................................................. 18
II.3.2 Deteksi Tepi (Edge Detection) .................................................... 19
II.3.3 Morphologi Matematika (Mathematical Morphology) ............... 21
II.3.4 Klasifikasi piksel (Pixel Classification) ...................................... 22
II.3.5 Pencocokan Bentuk (Template Matching) .................................. 24
II.3.6 Model Perubahan bentuk (Demorfable Models) ......................... 25
II.3.7 Segmentasi pada Citra Sel Tumpang tindih ................................ 26
xi
II.3.8 Klasifikasi Citra Sel Pap smear ................................................... 32
Bab III Akuisisi dan Komponen Citra Mikroskopik Pap smear .................... 35
III.1 Sampel Pap smear dan Permasalahannya ................................................. 35
III.2 Proses Akuisisi Sampel Mikroskopik Pap smear pada Laboratorium
Khusus Patologi Veteran Bandung ................................................................... 37
III.3 Jenis dan Komponen Citra Mikroskopik Pap smear ................................ 43
III.4 Segmentasi Area Nukleus dan Perbandingan dengan Area Sitoplasma .. 47
Bab IV Eliminasi Sel Radang dan Deteksi Nukleus pada Citra Sel Tunggal
Pap smear 54
IV.1 Material dan Metode .......................................................................... 56
IV.1.1 Pre-processing ............................................................................. 58
IV.1.2 Segmentasi Citra dan Sub Citra ................................................... 60
IV.1.3 Ekstraksi Sel Radang dan Deteksi Nukleus ................................. 63
IV.1.4 Analisa Morphologi dan Identifikasi Sel ..................................... 65
IV.2 Hasil Eksperimen ............................................................................... 68
IV.2.1 Studi Group ................................................................................. 68
IV.2.2 Evaluasi Numerik ........................................................................ 68
IV.2.3 Hasil Analisa Fitur Morphologi ................................................... 73
IV.3 Diskusi ............................................................................................... 76
IV.3.1 Evaluasi dari metode yang diusulkan .......................................... 76
IV.3.2 Perbandingan Metode Usulan dengan Metode Lain ................... 78
Bab V Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel Radang Pap
Smear 81
V.1 Delinasi Sel Tumpang Tindih. ........................................................... 83
V.2 Material dan Metode .......................................................................... 89
V.2.1 Pre-processing ............................................................................. 95
V.2.2 Cropping sel tumpang tindih otomatis ...................................... 105
V.2.3 Segmentasi Sel Tumpang Tindih ............................................... 105
V.2.4 Hasil Delinasi Sel Tumpang Tindih .......................................... 106
V.2.5 Deteksi nukleus dan sel radang pada sel tunggal ...................... 108
V.2.6 Analisa Morphologi dan Identifikasi Sel ................................... 109
V.3 Hasil Eksperimen dan Evaluasi ....................................................... 110
xii
V.3.1 Evaluasi Numerik ...................................................................... 110
V.3.2 Studi Group ............................................................................... 115
V.3.3 Hasil Analisa Fitur Tekstur dan Morphologi ............................. 118
V.4 Diskusi ............................................................................................. 124
Bab VI Kesimpulan dan Pengembangan Riset ......................................... 130
VI.1 Kesimpulan ...................................................................................... 131
VI.2 Pengembangan Riset ........................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 133
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... 141
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Makalah pada International Journal of E-Health and
Medical Communications (IJEHMC)
2. Makalah pada American Institute of Physics (AIP)
Publishing ............................................................................ 144
xiv
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI
Gambar I.1 Peta Penelitian Citra Pap smear Tahun 1981 – 2008 ....................... 6
Gambar I.2 Peta Penelitian Citra Pap smear Tahun 2009 – 2015 ………… 7
Gambar I.3 Citra (a) dan (b) adalah contoh citra yang digunakan dalam
penelitian ini yang memiliki sel tunggal, nukeus dan sitoplasma
yang tumpang tindih dan sel radang. Citra tunggal
penelitian sebelumnya citra (c) dan (d) oleh Plissiti dan
Nikou (2013) tanpa sel radang ············································8
Gambar II.1 Proses Pengambilan Sampel Pap smear (Riana, 2010) ··············· 15
Gambar II.2 Penelitian Kanker Serviks ················································· 16
Gambar II.3 Sel tunggal (a) dan tumpang tindih (b) dengan sel radang ............... 17
Gambar III.1 Contoh Sampel Pap smear konvensional ······························· 35
Gambar III.1 Sistem Berjalan Pemeriksaan Slide Pap smear di Laboratorium
Patologi Klinik Veteran Bandung ······································· 39
Gambar III.2 Proses Akuisisi Citra ....................................................................... 40
Gambar III.4 Database Citra tunggal dan tumpang tindih dengan sel radang
Pap smear (1a) Slide CV-140949 dan (1b) CV-142200 ................... 42
Gambar III.5 Contoh Citra Pap smear Konvensional Sel bertumpuk dan
Dipenuhi Sel radangRadang ·············································· 43
Gambar III.6 Contoh lactobacilli sebagai latar belakang pada citra Pap smear 47
Gambar III.7 Citra asli sel nukleus hasil cropping kelas normal dan abnormal
(1a-7a) dan hasil penggabungan citra R+G+B masing-masing
kelas (1b -7b)....................................................................................48
Gambar III.8 Contoh hasil akhir luas nukleus salah satu citra yang diterapkan
pada 4 metode deteksi tepi ............................................................. 48
Gambar III. 9 Grafik Rekomendasi Kanal Warna untuk Setiap
Kelas ................................................................................................ 52
Gambar IV.1 Contoh Citra Asli ························································· 56
Gambar IV.2 Skema segmentasi dan eliminasi sel radang pada sel tunggal ....... 57
Gambar IV.3 Citra asli dan hasil pre-processing ................................................. 59
Gambar IV.4 Citra invert binary dan hasil cropping otomatis sel ················· 61
xv
Gambar IV.5 Ilustrasi centroid dan bounding box ································· 61
Gambar IV.6 Hasil tahapan preprocessing pada sub citra.························ 62
Gambar IV.7 Kandidat Nukleus dalam Sel ········································· 63
Gambar IV.8 Ekstraksi sel radang sebuah citra setelah aplikasi metode
yang diusulkan ·························································· 64
Gambar IV.9 Proses Eliminasi sel radang··········································· 66
Gambar IV.10 Hasil eliminasi sel radang, (a) Sel radang yang telah
diekstraksi jenis sel telah diidentifikasi dan (b) Menunjukkan
nilai fitur dari nukleus terdeteksi.····································· 66
Gambar IV.11 Hasil dari metode yang diusulkan untuk ekstraksi sel radang
dan deteksi sitoplasma dan nukleus ································· 69
Gambar IV.12 Grafik yang menunjukkan perbandingan area nukleus
(kurva bawah) dan sitoplasma (kurva atas)untuk 86 citra········· 73
Gambar IV.13 Grafik perbandingan nilai perimeter 86 citra, sitoplasma
(‘+’) dan nukleus (garis kontinu) ···································· 73
Gambar IV.14 Grafik Garis Perbandingan Roundness antara Sitoplasma
dan Nukleus······························································ 74
Gambar IV.15 Citra hasil reduksi sel radang pada sel tumpang tindih. Citra
asli (a) (c) dan citra hasil dimana sitoplasma dideteksi sebagai
satu sel (b) (d) ··························································· 75
Gambar IV.16 Data latih untuk klasifikasi Bayesian ····························· 77
Gambar V.1 Ilustrasi Pemisahan Sel Tumpang Tindih. ·························· 82
Gambar V. 2 Posisi Titik Kriteria 1 ················································· 85
Gambar V. 3 Posisi Titik Kriteria 2 ················································· 85
Gambar V. 4 Posisi Titik Kriteria 3 ················································· 85
Gambar V. 5 Posisi Titik Kriteria 4 ·················································· 86
Gambar V. 6 Posisi Titik Kriteria 5 ················································· 86
Gambar V. 7 Posisi Titik Kriteria 6 ················································· 86
Gambar V. 8 Posisi Titik Kriteria 7 ·················································· 86
Gambar V. 9 Posisi Titik Kriteria 8 ················································· 87
Gambar V.10 Contoh Citra masukan ukuran 1280 x720 dengan dua sel
tumpang tindih (1) dan ukuran 1600x1200 dengan lima sel
xvi
tumpang tindih (2) ............................................................................ 89
Gambar V.11 Skema pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang 92
Gambar V.12 Citra hasil proses konversi warna dan peningkatan citra ··········· 95
Gambar V.13 Objek-objek yang dikenali dalam citra sel tumpang tindih ········· 96
Gambar V.14 Arah-arah yang ada pada GLRL ········································ 98
Gambar V.15 Proses cropping manual sel nukleus dan sel radang .................... 100
Gambar V.16 Hasil CCI untuk Decision Tree learning algorithm (J48) 135º ... 101
Gambar V.17 Rule Klasifikasi Fitur GLRLM untuk Sel Nukleus dan
Sel Radang ..................................................................................... 102
Gambar V.18 Citra sel tumpang tindih hasil dari pembersihan latar belakang 103
Gambar V.19 Hasil pre processing citra cropping sel tumpang tindih (a-c)
dan daerah tumpang tindih (d-e) ······································· 103
Gambar V.20 Hasil segmentasi citra sel tumpang tindih ··························· 104
Gambar V.21 Contoh hasil segmentasi citra daerah tumpang tindih ············· 105
Gambar V.22 Citra hasil pembagian daerah tumpang tindih menjadi
dua bagian ································································ 105
Gambar V. 23 Hasil Penyambungan Pinggiran Sitoplasma ······················· 106
Gambar V. 24 Hasil proses delinasisel dan hasil akhir citra-citra tunggal ······· 106
Gambar V. 25 Ilustrasi deteksi sel nukleus dan radang pada citra ················ 107
Gambar V. 26 Hasil akhir deteksi sel nukleus dan radang ························· 108
Gambar V. 27 Proses Citra sel tumpang tindih, sel tunggal dan sel radang ····· 109
Gambar V. 28 Contoh Hasil Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi
Sel Radang ································································ 110
Gambar V. 29 Proses Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel
Radang ····································································· 114
Gambar V.30 Ilustrasi proses isolasi citra sel tumpang tindih pada beberapa
Citra dengan ukuran daerah tumpang tindih (a) > 100 x 200,
(b) >150x200, (c) >150x150, (d) >150x200 .................................. 115
Gambar V.31 Hasil akhir fitur morphologi dan identifikasi jenis sel ············ 116
Gambar V.32 Grafik Nilai Mean Sel Nukleus dan Sel Radang .............., ......... 118
Gambar V.33 Grafik perbandingan nilai area, roundness dan perimeter
nukleus citra sel tunggal terdeteksi .............................................. 121
xvii
Gambar V. 34 Grafik perbandingan nilai area nukleus dan area
sitoplasma ······························································ 121
Gambar V.35 Sel Nukleus dan Sel Radang yang terdeteksi ............................. 123
Gambar V.36 Citra dengan lima sel tumpang tindih ......................................... 124
Gambar V.37 Hasil pre-processing sel tumpang tindih dan daerah
tumpang tindih ............................................................................. 124
Gambar V.38 Ilustrasi Proses Delinasi pada Citra Empat Sel
Tumpang Tindih ........................................................................... 125
Gambar V.39 Grafik Nilai Daerah Tumpang Tindih dan Total
Waktu Proses .............................................................................. 126
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Kelebihan dan Keterbatasan dari Metode Penentuan Sel Citra
Pap smear ····························································································· 28
Tabel II.2 Rangkuman Teknik Segmentasi ············································· 31
Tabel III.1 Karakteristik 7 Kelas Sel Tunggal Pap smear (Riana dkk. 2010) ····· 44
Tabel III.2 Data Herlev (Jantzen,J.dkk. 2005) ········································· 47
Tabel III.3 Jumlah citra pada masing-masing kelas yang luas nukleusnya
mendekati luas manual ······················································· 49
Tabel III.4 Perbandingan korelasi Spearman’s rho (r) untuk 280 luas citra
sel nukleus ······································································ 49
Tabel III.5 Perbandingan korelasi Spearman’s rho untuk modifikasi kanal
warna pada kelas normal ····················································· 51
Tabel III.6 Perbandingan korelasi Spearman’s rho untuk modifikasi kanal
warna pada kelas abnormal ·················································· 51
Tabel III.7 Rangkuman hasil nilai korelasi Spearman rho untuk kelas normal
dan abnormal ··································································· 52
Tabel III.8 Rasio Area Nukleus dan Sitoplasma pada Tujuh Kelas
(diolah dari data Herlev (jantzen, 2005)) ··································· 53
Tabel IV.1 Contoh fitur sitoplasma dan nukleus sel tunggal ························ 65
Tabel IV.2 Algoritma_Segmentasi _Sel_Radang_pada_Citra_Sel_Tunggal_
Pap_ smear ···································································· 67
Tabel IV.3 Eksekusi Citra ································································ 69
Tabel IV.4 Perhitungan Sensitivity dan Specificity 79 Citra ························ 71
Tabel IV.5 Perbandingan nilai mean dan standar deviasi fitur sitoplasma
dan nukleus ····································································· 74
Tabel IV.6 Nilai Parameter-Parameter ·················································· 77
Tabel IV.7 Perbandingan Citra Hasil dari Ketiga Metode ··························· 78
Tabel V.1 Algoritma_Pembagian_Daerah_Tumpang_Tindih ······················· 83
Tabel V.2 Algoritma_Pencarian_Jarak_Terdekat ····································· 84
Tabel V.3 Ketentuan Penyambungan Daerah Tumpang tindih Sel
Horizontal ······································································· 84
Tabel V.4 Algoritma_Penyambungan_Pinggiran_Sitoplasma ······················ 87
xix
Tabel V.5 Algoritma_Isolasi_Sel_Tumpang_Tindih ································· 88
Tabel V.6 Data Citra yang Digunakan dalam Penelitian ····························· 90
Tabel V.7 Algoritma_ Pemisahan_Sel_Tumpang_Tindih_ dan eliminasi_sel
radang ··········································································· 93
Tabel V.8 Algoritma_Mencari_Nilai_GLRLM ····································· 101
Tabel V.9 Perhitungan Nilai Sensitivity dan Specificity ····································· 111
Tabel V.10 Eksekusi Seluruh dalam Menit ·········································· 112
Tabel V.11 Nilai Parameter Deteksi Otomatis dan Pemisahan
Sel Tumpang Tindih ························································ 113
Tabel V.12 Nilai Tekstur arah 135º untuk Sel Nukleus ···························· 118
Tabel V.13 Nilai Tekstur arah 135º untuk Sel Radang ....................................... 118
Tabel V.14 Hasil Fitur Morpologi Citra Sel Tunggal Terdeteksi ················ 119
Tabel V.15 Contoh Hasil Identifikasi Sel Tunggal Terdeteksi .......................... 122
Tabel V.16 Perbandingan Metode Usulan dengan State of The Art * ................ 127
xx
DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI
No Nama Defenisi Konseptual Keterangan
1 Sel Tunggal
Satu sel yang terdiri dari
sitoplasma dan nukelus. Sel relatif
kecil, bentuk bulat, dengan inti
besar, letaknya di tengah,
sitoplasma sedikit, padat, agak
gelap, dan berwarna basofil
(Lestadi, 2009).
2 Sel
Tumpang
Tindih
Dua atau lebih sel tunggal yang
bertumpuk atau tumpang tindih.
3 Sitoplasma
Sitoplasma adalah bagian sel yang
terbungkus membran sel. Pada sel
eukariota, sitoplasma adalah
bagian non-nukleus dari
protoplasma. Pada sitoplasma
terdapat sitoskeleton, berbagai
organel dan vesikuli, serta sitosol
yang berupa cairan tempat organel melayang-layang di dalamnya
4 Sel Nukleus
Nukleus (jamak: nuklei) dalam arti
umum adalah inti atau bagian
tengah yang dikelilingi bagian-
bagian lain dalam kelompok atau
kumpulan. Dalam biologi seluler,
nukleus memiliki arti khusus yaitu
inti sel, bagian dari sel yang
mengandung kromosom (materi genetik atau DNA).
5 Sel Radang
Sel radang atau inflamasi
berbentuk bulat kecil dan
berwarna hitam dalam konteks
penelitian ini adalah sel radang
mengganggu lapang pandang
pembacaan preparat. Jika terlalu
banyak sel radang dapat
menyulitkan diagnosa ahli patologi
karena sel-sel tertutup radang dan
lapang pandang menjadi kotor. Hal
ini menyulitkan penilaian pada sel.
xxi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN Nama Pemakaian
pertama kali pada halaman
HVP
ACS
WHO
dkk
HD
C525
CH20
CH21
JPEG
GLCM
GLRLM
CV
CIN
NS
NI
NC
MLD
SD
MD
CIS
R
G
B
min
Max
ROI
RAM
Human Papilloma Virus
American Cancer Society
World Health Organization
dan kawan-kawan
Merk Kamera Logitech
Merek web cam
No Seri Mikroskop
No Seri Mikroskop
Joint Photographic Experts Group
Gray Level Co-occurrence Matrixr
Grey-Level Run-Length Matrix
Awalan nomor registrasi slide
Cervical Intraepithelial Neoplasia
Normal Superficial
Normal Intermediate
Normal Columnar
Mild (Light) Dysplasia
Severe Dysplasia
Moderate Dysplasia
Carcinoma In Situ
Red (merah)
Green (Hijau)
Blue (Biru)
minimum
Maximum
Regions of Interest
Random Access Memory
1
1
1
1
4
4
4
4
4
12
34
42
43
44
44
44
44
44
44
44
47
47
47
53
53
59
68
xxii
GB
TP
TN
FN
FP
SRE
LRE
GLN
RP
RLN
LGRE
HGRE
SRLGE
SRHGE
LRLGE
LRHGE
CCI
J 48
LAMBANG
f(x,y)
g(x,y)
fsmooth(x,y)
fsharp (x,y)
k
π
(m,n)
Si(mi,ni)
Cnj(mj,nj)
D
(Xi , Yj)
(Pi, Qi)
Gigabyte
True Positif
True Negatif
False Negatif
False Positif
Short Runs Emphasis
Long Runs Emphasis
Gray Level Nonuniformity
Run Percentage
Run Length Non-uniformity
Low Gray Level Run Emphasis
High Gray Level Run Emphasis
Short Run Low Gray-Level Emphasis
Short Run High Gray-Level Emphasis
Long Run Low Gray-Level Emphasis
Long Run High Gray-Level Emphasis
Correctly Classified Instances
Nama Algoritma
Fungsi f( x,y)
Fungsi f( x,y)
Fungsi pada rumus unsharp
Fungsi unsharp
Konstanta pada rumus unsharp
Phi
Baris dan kolom
Centroid Sitoplasma
Centroid Calon nukleus
Jarak Terdekat
Titik Boundary
Koordinat tepi tumpang tindih
68
70
70
70
70
98
98
98
98
99
99
99
100
100
100
100
101
101
59
59
59
59
59
65
67
67
67
67
89
83
xxiii
K
m
Y
X
p(i, j |θ)
Nr
Konstanta
Gradien
Sebuah fungsi garis
Variabel
Intensitas i dengan banyaknya elemen j,
dalam arah θ
Jumlah different run length
83
83
88
88
89
90
1
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan ini dirinci dalam subbab, yaitu latar belakang, masalah penelitian,
tujuan, lingkup permasalahan, dan hipotesis yang digunakan, peta jalan penelitian
dan kontribusi yang dihasilkan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan disertasi.
I.1 Latar Belakang
Kanker serviks disebabkan oleh Human Papilloma Virus atau yang lebih dikenal
dengan virus HPV. Pada tahun 2013, American Cancer Society (ACS)
memperkirakan bahwa 12.360 wanita didiagnosa kanker serviks, dan 4030 atau
hampir sepertiganya wanita akan meninggal karena penyakit kanker serviks (Siegel
dkk. (2014)). Di negara maju kejadian kanker serviks dan tingkat kematian telah
mengalami penurunan sejak diperkenalkannya test Pap oleh Papanicolaou (1942)
di pertengahan abad ke 20, dan secara kontinu mengalami penurunan sampai hari
ini (Howlander dkk. (2013)). Pada kurun waktu 2001-2010, kejadian kanker serviks
meningkat dengan rata-rata peningkatan pertahun 2.0% pada wanita dengan usia
lebih muda dari 50 tahun, dan 3.1% pada wanita usia 50 tahun dan lebih tua. Pada
periode yang sama, menurut Howlander dkk (2013) tingkat kematian rata-rata
menurun 1,3% pada wanita lebih muda dari 50 tahun dan 1.9% pada wanita usia 50
tahun ke atas. Pada tahun 2012 ACS bekerjasama dengan 25 organisasi bekerjasama
mengeluarkan panduan skrining kanker serviks untuk pencegahan dan deteksi dini
kanker serviks (Saslow dkk. 2012). Panduan skrining dibuat lebih spesifik yang
berdasarkan usia wanita, riwayat skrining, faktor resiko dan pemilihan skrining test
(Smith dkk. 2014). Sehingga memang memungkinkan terjadi penurunan angka
kematian akibat kanker serviks, selain itu di negara maju kesadaran pemeriksaan
dini sudah tinggi.
Di negara berkembang, kanker serviks adalah kanker kedua yang paling umum di
kalangan wanita, di mana lebih dari 85% dari 530 000 kasus baru kanker serviks
yang terjadi di seluruh dunia (Jemal dkk, 2011). Insiden kanker serviks menurut
World Health Organization (WHO) tiap tahun di seluruh dunia menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah kasus baru sekitar 490.000 dan 240.000 diantaranya
2
meninggal (Prayitno, 2006). Estimasi kasus kanker serviks, seluruh dunia setiap
satu menit, satu kasus baru dan setiap dua menit, satu kematian (Kusuma (2012)).
Tingkat kanker serviks di Indonesia tinggi, laporan tentang kejadian kanker serviks
dan efektivitas skrining sangat terbatas. Rumah sakit pemerintah melaporkan
kanker serviks sampai 28% di antara semua kasus kanker perempuan, mewakili
75% dari semua kanker ginekologi yang sebagian besar didiagnosis pada stadium
lanjut menurut Tjindarbumi dkk. (2002) dan Aziz (2009). Insiden kanker serviks di
Indonesia setiap hari 41 kasus kanker serviks baru dan setiap hari terdapat 20
kematian akibat kanker serviks menurut Kusuma (2012).
Tes Papanicolaou juga disebut Pap smear atau tes Pap, adalah metode tes kesehatan
yang dapat membantu mencegah kanker serviks. Tujuan utama dari Pap smear
adalah untuk mendeteksi kelainan sel yang mungkin terjadi atau sebelum kanker
berkembang. Interpretasi yang benar dari pemeriksaan mikroskopis sel dan jaringan
sangat penting untuk keputusan diagnosis akhir penyakit.
Namun proses skrining Pap smear memiliki kelemahan, terutama di banyak negara
berkembang di mana jumlah ahli patologi yang bisa memeriksa slide tidak
memadai. Di Indonesia, dengan populasi wanita usia produktif yang tersebar di 32
propinsi dengan kendala sarana dan sumber daya manusia terbatas, diperkirakan 80
% cakupan pemeriksaan akan diselesaikan dalam lima tahun dengan 7.992.486 tes
Pap smear pertahun (Kusuma (2012)). Interpretasi visual dari citra Pap smear
adalah memakan waktu dan dalam banyak kasus rawan terjadi kesalahan prosedur
(Plissiti dkk. (2011a)). Ini merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa Pap
smear konvensional menunjukkan kondisi sel yang dipenuhi sel radang dan
tumpang tindih. Selain itu, terdapat variasi dalam pencahayaan dan konsentrasi
pewarna dari sel-sel karena prosedur pewarnaan. Juga, terdapat faktor
mikrobiologis lain yang mempengaruhi, seperti pengeringan udara, darah yang
berlebihan, lendir, bakteri, atau peradangan, yang membuat penentuan dari sel-sel
yang mencurigakan menjadi tugas yang sulit menurut Plissiti dkk. (2011a). Selain
itu masih sedikitnya ahli patologi yang terampil dan berpengalaman serta prosedur
yang sangat rentan terhadap kesalahan manusia, yang menyebabkan ketidaktepatan
dan inkonsistensi dari diagnosis (Kusuma (2012), Suryatenggara
3
dkk. (2009), Purwadi (2012)). Pada deteksi dini citra sel Pap smear dilakukan
pengamatan pada citra sel tunggal. Sehingga pada kondisi sel yang tumpang tindih
diperlukan teknik pemisahan sel tumpang tindih untuk mendapatkan citra sel
tunggal. Selain itu keberadaan sel radang juga perlu dieliminasi sehingga citra sel
tunggal cukup bersih dan terdiri dari nukleus, sitoplasma dan latar belakang. Selama
ini efisiensi analisis terhadap citra Pap smear menjadi perhatian banyak peneliti.
Metode deteksi dan segmentasi banyak diusulkan oleh beberapa peneliti yang
bertujuan membuat proses dan klasifikasi citra Pap smear menjadi akurat
diantaranya Isa, M. A. (2005), Chang dkk. (2009), Plissiti dkk. (2011a), Muhimmah
dkk. (2012), Moshavegh dkk. (2012), dan Tareef dkk (2015).
Dalam disertasi ini perolehan citra sel tunggal Pap Smear dilakukan melalui metode
pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang yang bertujuan menjadikan
proses deteksi dini kanker serviks menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Hal ini
dapat membantu petugas laboratorium, ahli patologi dan dokter dalam mendeteksi
dini sel kanker serviks melalui pemeriksaan mikroskopik pada citra sel Pap smear.
I.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan dan batasan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Rumusan Masalah:
1. Bagaimana memisahkan sel tumpang tindih menjadi sel tunggal sehingga
dapat membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker serviks?
2. Bagaimana mengatasi keberadaan sel radang pada citra sel tunggal
mikroskopis Pap smear sehingga proses identifikasi sel mudah dilakukan
dan membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker serviks?
Batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Menggunakan citra dari hasil akuisisi citra sel tunggal dan sel tumpang
tindih yang memiliki sel radang dari Laboratorium Khusus Patologi Veteran
Bandung. Selain itu digunakan juga data Herlev (Jantzen, dkk, 2005). Kedua
kelompok data mikroskopik tes Pap smear tersebut sudah diverifikasi
secara manual oleh ahli patologi.
4
2. Akuisisi citra pada slide Pap smear mengikuti prosedur manual
mikroskopik cahaya seperti yang digunakan ahli patologi dengan
pencahayaan bervariasi sesuai fungsi yang ada pada mikroskop.
3. Citra analog yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi teknik
pewarnaan Pap smear dan standarisasi preparat yang telah baku dan
digunakan secara luas.
4. Program pendukung yang dibangun menggunakan personal komputer atau
laptop dengan spesifikasi yang umum digunakan di Indonesia.
I.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Memperoleh citra sel tunggal Pap smear untuk deteksi dini kanker servik
melalui pemisahan sel tumpang tindih pada citra sel mikroskopis Pap smear
sehingga dapat membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker serviks.
2. Mengeliminasi sel radang untuk menangani keberadaan sel radang sehingga
proses identifikasi nukleus pada citra sel mikroskopis Pap smear menjadi
mudah dilakukan dan membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker
serviks.
I.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian terdiri dari pemisahan citra sel tumpang tindih dan
eliminasi sel radang untuk memperoleh citra sel tunggal Pap smear untuk deteksi
dini kanker serviks. Citra sel diakuisisi dari slide Pap smear yang diperoleh dari
Laboratorium Khusus Patologi Veteran Bandung. Akuisisi citra dilakukan
menggunakan logitech camera (Logitech HD webcam C525) yang terpasang pada
mikroskop Olympus CH20 dan Olympus CX21. Pembesaran digunakan 40x dan
citra disimpan dalam format JPEG. Citra masukan yang digunakan memiliki
karakteristik yang sesuai dengan tujuan penelitian dan mewakili permasalahan yang
dihadapi oleh ahli patologi pada deteksi dini Pap smear. Berjenis squamous
5
sel, yang terdiri dari citra berkelompok, baik sel tunggal maupun sel tumpang
tindih.
I.5 Hipotesis
Hipotesa_1 : Metode pemisahan sel tumpang tindih dapat menghasilkan citra sel
tunggal mikroskopis Pap smear sehingga dapat membantu ahli
patologi untuk mendeteksi dini kanker serviks.
Hipotesa-2 : Metode eliminasi sel radang pada citra tunggal Pap smear dapat
mengatasi persoalan keberadaan sel radang dan memudahkan
deteksi sel sehingga dapat membantu ahli patologi untuk
mendeteksi dini kanker serviks.
I.6 Peta Jalan Penelitian dan Kontribusi
Selama ini banyak metode muncul dalam literatur, yang ditujukan pada deteksi
nukleus dan sitoplasma dalam citra Pap smear. Dalam konteks ini, teknik
pengolahan citra dan ekstraksi ciri serta metode klasifikasi telah dikembangkan oleh
beberapa peneliti, untuk memperoleh kesimpulan yang berguna untuk karakterisasi
citra Pap smear. Alur penelitian yang akan disampaikan mengenai jenis sel yang
telah digunakan selama ini dalam penelitian citra Pap smear. Pada bagian ini juga
akan diberikan gambaran tentang fitur-fitur yang terkait dengan karakterisasi citra
Pap smear serta beberapa teknik segmentasi dan deteksi citra sel Pap smear dalam
rangka menjelaskan peta penelitian (the state of art) dalam bidang penelitian ini.
Gambar I.1 menunjukkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sejak tahun
1981 hingga 2008 yang terkait dengan citra sel Pap smear. Dapat dilihat bahwa
sebagian besar penelitian fokus pada citra sel tunggal tanpa sel radang, dan beberapa
peneliti telah melakukan upaya penelitian pada citra sel tumpang tindih.
Gambar I.2 merupakan pengelompokan penelitian pada tahun berikutnya 2009 –
2015, dari bagian ini terlihat bahwa penelitian tentang citra sel tumpang tindih mulai
banyak dilakukan.
6
Tahun
2008 Menggunakan edge
enhancement baru untuk
perbaikan tepi nukleus dan
deteksi kontur sitoplasma.
Memperkenalkan metode
baru pengukuran error. (Yang-Mao dkk)
2005 Berdasarkan teknik Region
growing untuk menentukan
titik lokasi dengan nilai
threshold ditentukan secara otomatis (Isa dkk)
2004 Memperkenalkan sebuah
fungsi kriteria baru
berdasarkan struktur statistik
dari objek yang digunakan (Bak dkk)
2003 Memperkenalkan langkah
optimasi yang didasarkan
pada algoritma genetik
untuk meningkatkan kualitas
segmentasi (Lassouaoui dan
Hamami )
2002 Menggabungkan informasi
warna pada watershed
segmentasi.
Tingkat akurasi segmentasi
tinggi (Lezoray dan Cardot)
2000 Memperkenalkan formulasi baru tranformasi Hough.
Menggunakan deformable
model untuk perbaikan batas sel (Garrido.dkk)
1998
Memastikan batas tertutup
nukleus dan sitoplasma
Tingkat akurasi segmentasi
tinggi. (Bamford, dkk)
Menggabungkan
pengetahuan tentang
bentuk sel.
Menginvestigasi kasus
sel - sel payudara
(Wu. dkk)
1996 Segmentasi sederhana untuk
menentukan batas sel
Nukleus (Bamford, dkk)
1981 Identifikasi sel nukleus
berdasarkan kontur
nukleus dan profile densitas (Bengston,dkk)
Jenis
Sel
Sel Tunggal Sel tumpang tindih Sel Tunggal +Sel Radang
Sel tumpang
tindih+ Sel Radang
Gambar I.1 Peta Penelitian Citra Pap smear Tahun 1981 – 2008.
Bagian yang diarsir pada Gambar I.2 merupakan posisi riset atau penelitian ini,
yaitu pada kelompok sel tunggal dengan sel radang dan sel tumpang tindih dengan
sel radang. Posisi penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang tidak memperhitungkan sel radang. Pada tahun 2014 terdapat satu penelitian
7
yang juga meneliti tentang sel radang tetapi jenis citra yang digunakan berbeda
dengan penelitian ini.
Tahun
Deteksi sitoplasma
dan nukleus dengan
fungsi multi level set
(Lu dkk.).
2015 Eliinasi Sel
Radang pada citra
Pap smear
Pemisahan sel
tumpang tindih
dan eliminasi sel
radang pada citra
tumpang tindih Pap smear.
2014 Deteksi sitoplasma
dan nukleus dengan
pengelompokan dan
klasifikasi piksel
serta segmentasi
wilayah tumpang tindih (Tareef dkk)
2013 Deteksi Sitoplasma dengan
Canny dan Otsu, fitur area,
perimeter dan roundness
(Riana.dkk)
Deteksi otomatis
nukleus cervical
ephitelial Pap
smear
kemungkinan
tumpang tindih
dan sel radang (Muhimmah,dkk)
Analisa tekstur nukleus
dengan klasifikasi decision
tree (Riana.dkk)
Deteksi area/luas nukleus
dengan 4 operator dan
modifikasi kanal warna (Riana.dkk)
Deteksi nukleus dan
sitoplasma
(Ushizima,dkk)
2012 Segmentasi nukleus pada
sel epithelial menggunakan
operasi morphologi dan
transformasi watershed (Muhimmah,dkk)
Deteksi nukleus pada citra
liquid Pap smear (Malviya,dkk)
Deteksi dan segmentasi
pada sel free-lying nukleus (Moshavegh,dkk)
2011 Menggunakan
matematika
morphologi untuk
deteksi otomatis
lokasi nukleus. (Plissiti dkk)
2010 Segmentasi
kelompok nukleus (Jung dan Kim)
Menggunakan citra
binary untuk
menghitung nukleus (Jung dkk )
2009 Memastikan batas tertutup pada sel (Lin dkk)
Jenis
sel
Sel Tunggal Sel tumpang tindih Sel Tunggal
dengan Sel Radang
Sel Tumpang
tindih dengan Sel Radang
Gambar I.2. Peta Penelitian Citra Pap smear Tahun 2009 – 2015
8
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai peta jalan penelitian yang terkait dengan
Gambar I.1 dan Gambar I.2 tentang tiga bagian yaitu penelitian-penelitian yang
terkait dengan jenis sel yang digunakan dalam penelitian citra Pap smear, metode
segmentasi dan deteksi citra, serta klasifikasi citra sel Pap smear.
I.6.1 Peta Jalan Penelitian
a. Jenis Sel yang terdapat dalam Penelitian Citra Pap smear
Gambar I.3 adalah contoh citra penelitian yang digunakan dalam disertasi ini citra
(a) dan (b) yaitu citra sel tunggal dan sel tumpang tindih dengan sel radang. Salah
satu contoh citra Pap smear yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya
yaitu citra (c) dan (d) citra tunggal tanpa radang. Citra (b) dan (d) merupakan citra
hasil segmentasi manual oleh ahli Patologi.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar I.3 Citra (a) dan (b) adalah contoh citra yang digunakan dalam penelitian
ini yang memiliki sel tunggal, nukeus dan sitoplasma yang tumpang tindih dan sel
radang. Citra tunggal penelitian sebelumnya citra (c) dan (d) oleh Plissiti dan
Nikou (2013) tanpa sel radang.
9
Banyak publikasi berkaitan dengan citra Pap smear, umumnya peneliti
menggunakan citra sel tunggal, seperti Bamford dkk. (1996), (1998), Garrido dkk.
(2000), Lezoray dan Cardot (2002), Bak dkk. (2004), Isa dkk. (2005), Lassouaoui
dan Hamami (2003), Yang-Mao dkk. (2008), Lin dkk. (2009), Moshavegh dkk.
(2012), Malviya dkk. (2012), dan Muhimmah dkk. (2012), mengidentifikasi citra
Pap smear yang hanya berisi satu sel atau sel tunggal atau sel terisolasi. Tetapi
untuk semua penelitian terdahulu tentang sel tunggal masalah sel-sel radang belum
dipertimbangkan dalam banyak metode.
Beberapa penelitian fokus pada sel tumpang tindih seperti Bengston dkk. (1981),
mengenali sel nukleus tumpang tindih. Wu dkk. (1998), menyelidiki kasus tumpang
tindih tetapi pada sel-sel payudara. Jung dkk. (2010), menggunakan citra biner
untuk menghitung nukleus yang tumpang tindih. Plissiti dkk. (2012a) fokus pada
deteksi nukleus dalam citra sel konvensional Pap smear yang mengandung sel-sel
tunggal dan kelompok sel. Ushizima dkk. (2013) mendeteksi sel tumpang tindih
pada citra Pap smear juga tanpa sel radang. Seperti halnya sel tunggal untuk semua
penelitian terdahulu tentang sel tumpang tindih, masalah sel-sel radang belum
dipertimbangkan juga dalam banyak metode.
Tahun 2013, ada penelitian yang menangani sel nukleus yang tumpang tindih dan
memiliki sel radang tapi pada jenis sel ephitelial Pap smear oleh Muhimmah dkk.
(2013). Tetapi penelitian tersebut belum mencakup tentang deteksi sitoplasma
hanya deteksi nukleus. Menurut Plissiti dan Nikou (2013) deteksi sitoplasma pada
sel tumpang tindih masih permasalahan yang sulit.
Hingga Tahun 2015 terdapat penelitian tentang sel nukleus dan sitoplasma tumpang
tindih. Tareef dkk. (2015) melakukan penelitian tentang deteksi nukleus dan
sitoplasma tumpang tindih dengan pengelompokan piksel dan klasifikasi piksel. Lu
dkk. (2015) mendeteksi nukleus dan sitoplasma tumpang tindih dengan fungsi multi
level set. Tetapi kedua peneliti tersebut tidak membahas keberadaan sel radang
dalam penelitian mereka. Sedangkan penelitian disertasi ini memiliki fokus pada
sel tunggal dan sel tumpang tindih yang memiliki sel radang serta tidak fokus hanya
terhadap deteksi nukleus saja tetapi juga mendeteksi sitoplasma tumpang tindih.
10
b. Metode Segmentasi dan Deteksi Otomatis Citra Sel Pap smear.
Selama ini penelitian tentang citra sel tunggal dan tumpang tindih lebih banyak
terfokus pada isolasi nukleus. Prasyarat untuk setiap pengolahan lebih lanjut dari
citra Pap smear dan pengambilan kesimpulan untuk karakterisasi citra Pap smear
menurut Plissiti dan Nikou (2012b) adalah penentuan akurat dari daerah nukleus.
Namun, lokasi nukleus yang tepat dan penggambaran nukleus yang akurat dalam
citra tidak jelas didefinisikan dalam banyak kasus, terutama karena sel sitoplasma
yang tumpang tindih, tidak konsisten pewarnaan dan adanya banyak latar belakang.
Sehingga tidak bisa dihindari bahwa penentuan batas-batas sitoplasma juga menjadi
bagian yang penting. Menurut Plissiti dan Nikou (2013), ada dua masalah yang
terbuka untuk setiap metode yang diusulkan untuk analisa otomatis citra Pap smear,
yaitu penentuan secara akurat posisi nukleus dan penggambaran yang tepat dari
nukleus. Kedua masalah tersebut memang paling banyak dicoba diselesaikan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. Sedangkan untuk kondisi citra sitoplasma tumpang
tindih masih belum banyak diteliti. Padahal kondisi sitoplasma yang tumpang tindih
banyak menjadi masalah pada pembacaan slide oleh ahli patologi.
Kondisi sel Pap smear yang tidak selamanya tunggal, tentu menimbulkan
permasalahan lain. Pada sel yang tumpang tindih bahkan yang memiliki sel radang
tidak saja pada dua masalah tersebut yang menjadi problem. Selain nukleus,
penentuan secara akurat posisi sitoplasma dan penggambaran yang tepat
sitoplasma, serta pembersihan sel radang menjadi penting dilakukan terutama pada
sel tumpang tindih. Sehingga ada beberapa masalah terbuka yang perlu diselesaikan
dalam penelitian citra Pap smear, yaitu deteksi yang tepat dari lokasi nukleus,
penentuan akurat dari batas nukleus, deteksi yang tepat dari lokasi sitoplasma,
penentuan akurat dari batas sitoplasma dan ekstraksi sel radang. Pada penelitian
disertasi ini semua masalah tersebut dicoba diselesaikan, mengingat data citra
penelitian ini memiliki semua permasalahan di atas.
Selama ini ada enam metode deteksi dan segmentasi dalam pengolahan citra Pap
smear (Plissiti dan Nikou, 2013). Metode-metode ini berhasil memisahkan latar
belakang citra dan untuk mengenali lokasi dan batas-batas sel. Empat metode
11
pertama, yaitu pengaturan thresholding oleh Cahn dkk. (1977), Borst dkk. (1979),
Bengtsson dkk. (1979), MacAulay dan Palcic (1988), Poulsen dan Pedron (1995),
Wu dkk. (1998a), Kim dkk. (2007), Li dkk. (2007), dan Chang dkk. (2009), deteksi
tepi (edge detection) oleh Tsai dkk. (2008), Yang dkk. (2008), Malm dan Brun
(2009), dan Lin dkk. (2009), matematika morphologi (mathematical morphology)
oleh peneliti-peneliti seperti Jackway (1995) dan (1996), Bamford dan Lovell
(1996), Kim dkk. (2006), Nallaperumal dan Krishnaveni (2008), Kale dan Aksoy,
(2010), dan Plissiti dkk. (2010), (2011a), (2011b), dan metode klasifikasi piksel
(pixel classification) oleh Lassouaoui dan Hamami (2003), Lezoray dan Cardot
(2002), Bak dkk. (2004), Sobrevilla dkk. (2008), Vaschetto dkk. (2009), Mustafa
dkk. (2009), Tareef dkk (2014), dan Lu dkk(2015). Dua metode berikutnya adalah
pencocokan bentuk (template matching) oleh Wu dkk. (1998b), Garrido dan de la
Blanca (2000), dan Plissiti dkk. (2012a). Metode terakhir model Perubahan bentuk
(deformable models) oleh Bamford dan Lovell (1998), Plissiti dkk. (2010), dan
Harandi dkk. (2010).
Menurut Plissiti dkk. (2011a), metode-metode tersebut belum dapat menangani sel
yang tumpang tindih secara sempurna. Penelitian pertama tentang segmentasi sel
tumpang tindih nukleus yang berhasil dilakukan oleh Bengtsson dkk. (1981).
Penelitian yang mengusulkan algoritma yang berdasarkan informasi kontur dan
kepadatan nukleus. Perlu dicatat bahwa kontur inti pada penelitian ini diekstrak
melalui prosedur thresholding. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka dalam
penelitian ini untuk mengekstraksi sel radang dan deteksi nukleus serta sitoplasma
digunakan pula metode segmentasi thresholding.
Penelitian terkini menunjukkan segmentasi sel tumpang tindih cukup berhasil
dengan menggabungkan beberapa metode tersebut, seperti Tareef dkk. (2014)
mendeteksi cellular clump dan pengelompokan super piksel dengan klasifikasi
piksel dan pengaturan thresholding dalam proses segmentasi sitoplasma tumpang
tindih. Lu dkk. (2015) melakukan optimasi dengan fungsi multi level set untuk
deteksi otomatis dan segmentasi citra sel tumpang tindih. Walaupun belum
menghasilkan pemisahan sel tumpang tindih menjadi sel tunggal. Kedua penelitian
ini tidak mempertimbangkan keberadaan sel radang.
12
Penelitian disertasi ini mendeteksi secara otomatis segmentasi sel radang dan
pemisahan citra sel sitoplasma yang tumpang tindih. Beberapa metode dan
pengetahuan digabungkan untuk mengekstraksi sel radang dan memisahkan sel
tumpang tindih sehingga menghasilkan sel tunggal yang teridentifikasi fitur
nukleus, sitoplasma dan jenis sel.
c. Klasifikasi Citra Sel Pap smear.
Selama ini belum banyak penelitian tentang klasifikasi yang khusus untuk
membedakan citra sel nukleus dan sel radang. Banyak penelitian tentang klasifikasi
citra Pap smear bertujuan hanya untuk mengklasifikasi nukleus agar dapat
terbedakan ke dalam kelas-kelas normal dan abnormal. Penggunaan fitur kuantitatif
dan kualitatif data Jantzen (2005) dengan multiple classifier oleh Riana (2009),
penggunaan hierarchical decision approach berdasarkan importance performance
analysisis oleh Riana (2010) dan (2012a) untuk melakukan klasifikasi citra sel Pap
smear dari data Harlev (Martin, 2003) ke dalam dua dan tujuh kelas sel.
Analisa fitur berupa luas nukleus untuk penggunaan klasifikasi lebih lanjut
dilakukan oleh Riana dkk. (2012b), (2012d), (2014a) untuk citra sel normal, citra
sel abnormal (Riana dkk. (2012c)), perbandingan citra sel normal dan sel abnormal
(Riana dkk. (2013a)). Analisa fitur luas sitoplasma diteliti oleh Hasanuddin dkk.
(2012).
Analisa tekstur untuk data Herlev oleh Pratama dkk. (2013) dan Riana dkk. (2013b)
menghasilkan rule klasifikasi sel nukleus saja tetapi belum digunakan untuk
mendapatkan daerah tertentu pada sel. Penggunaan fitur-fitur yang dihasilkan dari
analisa morphologi untuk membedakan objek-objek yang ada dalam suatu citra
dilakukan oleh Soille dkk. (1999). Plissiti dkk. (2011b) menggunakan fitur
morphologi kedalaman intensitas untuk menentukan lokasi nukleus. Suryatenggara
dkk. (2009) menggunakan tiga parameter, yaitu rasio N/C, koefisien wavelet, dan
intensitas warna. Penggunaan Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) oleh
Pratama dkk. (2013), dan Riana dkk. (2013b) hanya dilakukan pada citra sel nukleus
saja. Klasifikasi yang khusus untuk membedakan
13
sel nukleus dan sel radang dengan fitur GLCM untuk ekstraksi sel radang dan
nukleus oleh Riana dkk. (2014b). Sedangkan pada penelitian disertasi ini akan
menggunakan rule klasifikasi fitur GLRM sel nukleus dan sel radang untuk
menentukan daerah region minima dari citra sel sitoplasma tumpang tindih guna
mendukung proses pemisahan sel sitoplasma tumpang tindih menjadi sel tunggal.
Pada akhirnya dilakukan identifikasi kelas sel dengan menggunakan perbandingan
area nukleus dan sitoplasma.
I.6.2 Kontribusi Penelitian
Kontribusi yang diberikan dari penelitian ini adalah proses preprocessing untuk
mendapatkan citra sel tunggal Pap smear melalui proses pemisahan sel tumpang
tindih dan eliminasi sel radang untuk deteksi dini kanker serviks. Tujuannya adalah
untuk mencapai identifikasi akurat pada daerah yang menjadi titik perhatian dalam
kasus citra Pap smear yaitu nukleus serta untuk mendapatkan konten dari citra Pap
smear. Secara rinci kontribusi yang diberikan dari penelitian ini adalah:
K-1 Proses pemisahan dua citra sel tumpang tindih menjadi citra sel tunggal Pap
smear sehingga dapat membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker
serviks.
K-1 Proses eliminasi sel radang untuk menangani keberadaan sel radang sehingga
proses identifikasi nukleus pada citra sel mikroskopis Pap smear mudah
dilakukan sehingga membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker
serviks.
I.7 Sistematika Penulisan
Dalam laporan disertasi ini digunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab awal terdiri dari latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan, ruang
lingkup, hipotesis, peta jalan penelitian dan kontribusi serta sistematika penulisan.
14
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi uraian tentang state of art disusun mulai dari penelitian kanker
serviks, jenis citra Pap smear, metode segmentasi pada citra Pap smear, segmentasi
pada citra sel tumpang tindih dan klasifikasi pada citra Pap smear.
Bab III Akuisisi dan Komponen Citra Sel Pap smear
Bab ini berisi sampel Pap smear dan permasalahannya, akuisisi sampel
mikroskopik Pap smear dan data penelitian, komponen citra sel Pap smear,
segmentasi area nukleus, dan perbandingan area nukleus dan sitoplasma.
Bab IV Eliminasi Sel Radang dan Deteksi Nukleus pada Citra Sel Tunggal
Pap smear
Bab ini berisi segmentasi dan eliminasi sel radang, material dan metode yang
digunakan, hasil-hasil eksperimen dan diskusi berupa evaluasi dari metode usulan.
Bab V Pemisahan Citra Sel Tumpang tindih dan Eliminasi Sel Radang
Bab ini berisi tentang proses pemisahan citra sel tumpang tindih dan eliminasi sel
radang untuk mendapatkan citra sel tunggal, material dan metode, hasil ekperimen
yang diperoleh dan evaluasi serta diskusi.
Bab VI Kesimpulan dan Saran.
Bagian terakhir berisi kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-
saran untuk pengembangan lebih lanjut.
15
Bab II Tinjauan Pustaka
Dalam bagian ini akan dibahas tentang penelitian kanker serviks dan citra sel
mikroskopik Pap smear, citra sel tunggal dan tumpang tindih Pap smear, fitur- fitur
penting, teknik analisa citra, deteksi tepi dan thresholding, dan teknik pengujian
data.
II.1 Penelitian Kanker Serviks dan Citra Sel Mikroskopik Pap smear
Penelitian tentang Pap smear diawali pada tahun 1930 oleh Georgeus Papanicolau
dengan menemukan mekanisme diagnosa pra-kanker rahim. Suatu mekanisme
untuk mendiagnosis sel pra kanker mulut rahim yang dikenal dengan Pap smear.
Hal ini dilakukan sebagai usaha pengukuran penyakit kanker mulut rahim, sejak
penyakit kanker mulut rahim menjadi ancaman yang serius bagi wanita. Secara
teknik Pap smear dilakukan dengan mengambil lendir dengan menggunakan
spatula dan diletakkan di preparat. Seorang ahli patologi akan memeriksa preparat
tersebut dengan mikroskop. Gambar di bawah ini menunjukkan proses pengambilan
sampel Pap smear.
Gambar I.7. Proses Pengambilan Sampel Pap smear (Riana, 2010)
Metode Papanicolau, diawali dengan peletakan spesimen sampel sel leher rahim
pada preparat. Selanjutnya menggunakan suatu cairan khusus sampel sel tersebut
diberi warna dengan tujuan untuk mempermudah diagnosis yang dilakukan di
bawah miskroskop (Gambar II.1).
16
Penelitian tentang kanker serviks dibagi menjadi dua kelompok besar, seperti
diilustrasikan pada Gambar II.2. Kelompok pertama merupakan ranah penelitian
yang dilakukan oleh dokter (Physician). Pada kelompok pertama ini dilakukan
preparation data yang melibatkan para ahli patologi (obgyn dan oncology) yang
akan melakukan tes Pap smear. Tahap ini data preparation akan diolah baik dengan
colouring atau teknik pewarnaan yang lazim digunakan dan akan memiliki
knowledge dan decision dari para ahli. Proses imaging analog akan menghasilkan
citra analog. Kelompok kedua adalah ranah penelitian yang berfokus pada teknik
(engineering), yaitu digitalisasi citra dan proses pengolahan serta analisis citra.
Gambar II.2 Penelitian Kanker Serviks
II.2 Citra Tunggal dan Tumpang tindih Pap smear
Hasil dari tes Pap smear akan didapatkan citra analog berupa citra mikroskopik sel
serviks. Umumnya slide Pap smear berisi sel tunggal dan kelompok sel. Di Negara
berkembang seperti Indonesia tes Pap smear masih dilakukan dengan
menggunakan metode konvensional. Contoh hasil dari pengambilan konvensional
seperti Gambar II.3.
17
Sitoplasma
Nukleus
Latar belakang
Sel radang
(a)
(b)
Gambar II.3 Sel tunggal (a) ,Sel tunggal dan tumpang tindih (b) dengan sel radang
Citra Pap smear (Gambar II.3), (a) terdiri atas 3 bagian wilayah, yaitu nukleus,
sitoplasma yang mengelilingi nukleus, serta latar belakang yang bukan merupakan
area sel. Sedangkan (b) menunjukkan kelompok sel tunggal dan tumpang tindih
dengan kondisi adanya sel radang.
Pada penelitian sebelumnya, permasalahan sel radang dan deteksi nukleus pada sel
yang tumpang tindih tidak dipertimbangkan dalam banyak metode. Banyak
penelitian terdahulu yang mengidentifikasi batas-batas nukleus dan sitoplasma
dalam citra serviks yang berisi sel tunggal atau sel yang terisolasi oleh Bamford
dkk. (1996) dan (1998), Garrido dkk. (2000), Lezoray dan Cardo (2002), Bak dkk.
(2004), Isa dkk. (2005), Lassouaoui dan Hamami (2003), Yang-Mao dkk. (2008),
Lin dkk. (2009), Moshavegh dkk. (2012), Malviya dkk. (2012), dan Muhimmah
dkk (2012). Sementara sel radang dan sel tumpang tindih ini banyak ditemukan ahli
patologi dalam proses skrining. Keberadaan sel radang yang terkadang berlebihan
dan ketidakmampuan mengidentifikasi nukleus pada sel yang tumpang tindih akan
mengakibatkan hasil negatif atau positif palsu cukup tinggi (Kusuma 2012), dan ini
masih merupakan kelemahan tes Pap smear (Kusuma 2012, dan Purwadi, 2012).
Sehingga segmentasi sel radang dan pemisahan sel tumpang tindih menjadi hal yang
penting.
18
II.3 Segmentasi pada Citra Pap smear
Segmentasi adalah membagi suatu citra menjadi wilayah-wilayah yang homogen
berdasarkan kriteria keserupaan yang tertentu antara tingkat keabuan suatu piksel
dengan tetangganya. Penelitian tentang citra Pap smear selalu berhubungan dengan
penentuan akurat dari daerah sel nukleus. Tetapi penentuan lokasi ini dalam
beberapa kasus menjadi tidak mudah terutama karena adanya sel tumpang tindih,
pewarnaan yang tidak konsisten, dan adanya banyak latar belakang. Bahkan di
Indonesia yang masih menggunakan metode konvensional keberadaan sel radang
menambah kesulitan dalam mengidentifikasi sel serviks. Dari kondisi tersebut
terdapat dua masalah penting yang perlu diselesaikan dalam penelitian tentang citra
Pap smear untuk setiap metode analisis otomatis yang diusulkan, yaitu deteksi yang
tepat dari lokasi nukleus dan penentuan akurat batas nukleus. Beberapa metode
yang pernah diusulkan oleh beberapa peneliti sebelumnya dalam area penelitian ini
dalam Plissiti, dan Nikou (2013), dijelaskan pada bagian ini.
II.3.1 Pengaturan Thresholding
Pengaturan thresholding digunakan untuk mengukur jumlah derajat keabuan yang
ada pada citra. Dengan thresholding maka derajat keabuan bisa diubah sesuai
dengan keinginan. Upaya pertama untuk mendeteksi dan segmentasi sel dalam citra
serviks mikroskopis berbasis pada teknik pengaturan thresholding yaitu
mengeksploitasi karakter-karakter histogram intensitas piksel-piksel yang ada oleh
Cahn dkk. (1977), Borst dkk. (1979), dan Bengtsson dkk. (1979). Secara umum,
ruang lingkup metode ini adalah secara otomatis mendeteksi nilai threshold untuk
tujuan memisahkan sel dari latar belakang dan nukleus sel dari sitoplasmanya.
Peneliti lain melakukan perbandingan dari beberapa metode pemilihan threshold
yaitu MacAulay dan Palcic, B. (1988).
Poulsen dan Pedron (1995) mengajukan sebuah metode untuk mendeteksi daerah
yang diinginkan (Region of Interest) dengan cara mereduksi resolusi citra Pap
smear. Wu dkk. (1998) melakukan penelitian tentang masalah segmentasi
ditransformasikan ke dalam proses optimisasi, dimana penentuan dari nilai
19
threshold optimal berdasarkan dari sebuah citra parametrik, yaitu pendekatan dari
citra inisial. Sebuah teknik pengaturan threshold juga diajukan Kim dkk. (2007),
untuk proses binerisasi citra dan penentuan lokasi inti sel, pada ekstraksi fitur dan
klasifikasi dari nukleus pada kelas normal atau abnormal dengan menggunakan
sebuah jaringan saraf tiruan Fuzzy Radial Basis Function. Sebuah metode multi
skala lokal untuk pengaturan penyesuaian threshold yang berdasar pada kestabilan
bentuk diajukan pada Li dan Najarian (2007) untuk mengekstraksi daerah inti sel
dari latar belakangnya, dimana nilai threshold didapatkan dari data perkiraan bentuk
dari objek hasil segmentasi citra. Chang dkk. (2009) melakukan deteksi nukleus
dengan cara menentukan threshold citra yang didapatkan setelah mengaplikasikan
‘mean filter’ dan mengatur skala dari tingkat keabuan piksel yang ada. Sebuah
algoritma ‘line-scan’ juga diajukan untuk mendeteksi inti sel yang abnormal.
Akhirnya Plissiti dkk. (2011a) menggunakan global threshold untuk menghasilkan
citra binner pada penelitian tentang deteksi otomatis sel nukleus. Nilai threshold
diperoleh untuk setiap kanal warna untuk menentukan kedalaman objek dalam citra
sehingga dapat dibedakan lokasi nukleus.
Penggunaan threshold sampai saat ini masih unggul digunakan pada tahap awal
proses untuk mengurangi tingkat kerumitan dari sebuah citra dengan cara cepat dan
sederhana. Kondisi citra sel servik biasanya memiliki tingkat kerumitan yang tinggi,
kondisi sel tumpang tindih, tidak konsisten pewarnaan dan adanya banyak latar
belakang, Plissiti dan Nikou (2013). Mengingat keberadaan sel radang pada citra
sel dalam penelitian ini maka penggunaan nilai beberapa threshold diperlukan
untuk memudahkan isolasi calon nukleus, sitoplasma, daerah tumpang tindih dari
latar belakang.
II.3.2 Deteksi Tepi (Edge Detection)
Penggunaan detektor tepi dalam menganalisis citra telah lazim digunakan. Banyak
metode segmentasi yang diusulkan untuk segmentasi nukleus dan sitoplasma
berdasarkan deteksi tepi. Beberapa metode yang telah dikembangkan untuk
mengsegmentasi nukleus dan sitoplasma berdasarkan deteksi tepi, tidak
membutuhkan pengetahuan awal tentang objek yang ingin dicari pada citra. Tsai
20
dkk (2008) mengembangkan sebuah pendeteksi sitoplasma dan kontur nukleus,
yang melakukan segmentasi pada struktur bagian-bagian dari sel servik pada citra
yang belum disegmentasi. Algortima ini mengurangi gangguan dan meningkatkan
kualitas kontur objek.
Sebuah metode semi otomatis yang mirip juga diajukan oleh Yang-Mao dkk.
(2008), dimana peningkatan kualitas tepi nukleus dan pendeteksi kontur sitoplasma
diterapkan sebelum segmentasi citra servik. Pada tahap pre processing, digunakan
teknik untuk menghilangkan gangguan dan meningkatkan perbedaan anatara warna
terang dan gelap pada citra servik untuk mendapatkan threshold optimal yang dapat
digunakan untuk segmentasi citra.
Malm dan Brun (2009) menggunakan sebuah algoritma segmentasi nukleus yang
menggunakan anisotropic dilation untuk isolasi kurva. Lebih spesifik digunakan
deteksi tepi Canny yang dilanjutkan dengan serangkaian hasil proses morphologi
pada proses deteksi perbaikan dan penentuan tepi terdekat untuk proses segmentasi
dari struktur nukleus. Metode lain yang menggunakan deteksi tepi untuk citra
serviks yang diusulkan Lin (2009). Pertama digunakan sebuah metode kesamaan
kedalaman warna yang digunakan untuk meningkatkan perbedaan terang dan gelap
diantara nukleus dan sitoplasma, Setelah itu digunakan filter Gaussian untuk
menghilangkan gangguan. Kemudian operator Sobel dan ‘non- maximum
supression’ digunakan untuk mengekstraksi gradien citra, dimana citra dibuat biner
dengan mengatur batas atas dan batas bawah tepi. Hasilnya diperoleh dua kurva
terpanjang yang terdekat dari semua tepi yang terdeteksi dan dipilih untuk
membentuk tepi nukleus dan sitoplasma.
Penggunaan beberapa deteksi tepi yaitu Sobel, Prewitt, Roberts dan Canny pada
segmentasi luas nukleus pada sel tunggal sudah dilakukan. Deteksi luas nukleus sel
normal superfisial Pap smear menggunakan operasi kanal warna oleh Riana dkk.
(2012b), menunjukkan perbandingan untuk empat metode deteksi yaitu Roberts,
Prewitt, Sobel dan Canny. Selain pada kelas normal, dilakukan juga proses
egmentasi luas nukleus pada sel abnormal Pap smear oleh Riana dkk. (2012c).
Deteksi tepi Canny terbukti lebih powerful untuk deteksi tepi sel nukleus
21
Normal Superfisial, Normal Intermediate, Severe Dysplasia dan Moderate
Dysplasia dengan hasil deteksi tepi yang lebih sensitif. Tetapi pada kelas lain
terutama kelas abnormal belum signifikan. Pada penelitian tersebut digunakan sel
nukleus dari data Herlev (Martin, (2003)) yang tidak mengandung sel radang.
Penelitian awal juga telah dilakukan untuk segmentasi sitoplasma dengan deteksi
tepi Canny oleh Hasanuddin dkk. (2012) terhadap data citra sel tunggal tanpa
radang, hanya saja untuk sitoplasma yang tumpang tindih belum dapat terdeteksi
dengan baik.
Penelitian lanjutan menggunakan deteksi tepi Canny dengan modifikasi kanal
warna dan rekonstruksi morphologi untuk segmentasi sel nukleus dan pengukuran
luas pada sel normal Pap smear dilakukan oleh Riana dkk. (2012d) dan (2014a),
menunjukkan hasil bahwa deteksi tepi Canny tidak konsisten untuk mendeteksi luas
nukleus pada kelas normal Pap smear jika dibandingkan dengan luas nukleus pada
ground truth data Herlev. Begitu pula pada penelitian tentang perbandingan
segmentasi luas ukleus sel normal dan abnormal Pap Smear dengan deteksi tepi
Canny dan rekonstruksi morfologi (Riana dkk. (2013a), masalah akurasi
pendeteksian tepi nukleus belum terselesaikan. Sehingga pada penelitian ini tidak
mempertimbangkan lebih lanjut penggunaan detektor tepi seperti Roberts, Prewitt,
Sobel dan Canny lebih lanjut.
II.3.3 Morphologi Matematika (Mathematical Morphology)
Metode mathematical morphology juga digunakan untuk tujuan menganalisa citra
serviks. Tahun 1996, Bamford dan Lovell menggunakan algoritma water
immersion untuk mendeteksi lokasi sel tertutup atau tunggal pada citra
mikroskopik. Perlu dicatat bahwa pada metode ini tidak dimaksudkan untuk
mendeteksi nukleus pada citra yang kondisi selnya berkelompok. Metode
morphologi juga diusulkan oleh Jackway (1995) dan (1996) untuk menganalisa
citra yang berisi nukleus tunggal pada sel Squamous Ephiteal dan mendeteksi sel
normal dan abnormal, namun pada metode ini permasalahan dari akurasi
pendeteksian tepi nukleus belum terselesaikan. Beberapa peneliti lain juga
menggunakan metode ini seperti sepert Kim dkk. (2006) menggunakan metode
22
fuzzy grayscale morphological operations untuk mengektraksi nukleus.
Transformasi watershed sudah digunakan juga oleh Kale dan Aksoy (2010) untuk
mendapatkan daerah sel. Sebuah metode transformasi watershed menggunakan
multi skala morphologi gradien dan kanal warna diajukan pada Nallaperumal dan
Krishnaveni (2008). Selanjutnya Plissiti dkk. (2011a) menggunakan rekonstruksi
morphologi untuk mendeteksi lokasi regional minima yang mengindikasikan
keberadaan calon nukleus pada citra sel serviks yang kondisi sel bisa tunggal
ataupun berkelompok. Tetapi kondisi sel tidak mengandung sel radang.
Penggunaan matematika morphologi berupa proses dilasi dan erosi telah dilakukan
pada penelitian awal ini untuk citra sel tumpang tindih dan ternyata menghasilkan
penyimpangan batas-batas tepi sel yang signifikan dari batas tepi sel yang
sebenarnya.
II.3.4 Klasifikasi piksel (Pixel Classification)
Cara lain mendeteksi bagian struktur sel adalah menggunakan skema klasifikasi
piksel. Lassouaoui dan Hamami (2003) menggunakan metode klasifikasi piksel
berdasarkan algoritma multifractal untuk mengklasifikasi piksel-piksel yang ada
pada latar belakang, sitoplasma atau nukleus. Kemudian, langkah optimisasi
dilakukan, dengan pembelajaran yang dilakukan dengan algoritma genetik, dan
kemudian piksel diklasifikasi ulang.
Metoda pixel classification digunakan oleh Lezoray dan Cardot (2002) untuk
menandai nukleus. Tujuannya untuk menghindari segmentasi yang berlebihan yang
mungkin terjadi jika menggunakan metode watershed. Untuk tujuan ini, digunakan
K-means dan Bayesian Classifier untuk mendeteksi nukleus dan kelas piksel yang
lain. Untuk algoritma berikutnya, sekumpulan data pembelajaran dari citra yang
mengandung data asli digunakan untuk mengestimasi parameter masing-masing
distribusi Gaussian pada penggunaan Bayesian Classifier. Hasil penelitian
menunjukan tingkat akurasi segmentasi yang tinggi dalam mendeteksi nukleus pada
sel tunggal pada pre processing dengan menggunakan kedua klasifikasi, sehingga
metode Lezoray dan Cardot (2002) akan digunakan sebagai metode pembanding
dalam penelitian ini.
23
Pendekatan lain dengan menggunakan sebuah fungsi kriteria berdasarkan statistik
dari struktur objek pada citra diajukan oleh Bak dkk. (2004), yang merefleksikan
karakteristik baik lokal maupun global dari citra. Sebuah spasial lokal didefinisikan
dan dikombinasikan dengan spasial lokal lain dari awal probabilitasnya,
menghasilkan kemungkinan spasial lokal akhir yang berfungsi sebagai fungsi
kriteria. Sebagai inisial, piksel-piksel dikluster dengan menggunakan algoritma K-
means, dan kemudian hasil segmentasi didapatkan dengan prosedur pengulangan,
dimana setiap piksel diperlakukan sebagai daerah yang paling mungkin sebagai
daerah nukleus, sitoplasma, atau latar belakang dengan menggunakan definisi awal
dari fungsi kriterianya.
Sobrevilla dkk. (2008) mendeteksi daerah yang diinginkan pada citra Pap smear
menggunakan teknik berbasis fuzzy dan klasifikasi piksel. Lalu dilanjutkan dengan
mendeteksi nukleus berdasar aturan-aturan fuzzy. Vaschetto dkk. (2008)
menggunakan sebuah algoritma berdasarkan kombinasi informasi tiga warna,
pengetahuan pakar, dan sistem fuzzy, yang bertujuan untuk meningkatkan
keakuratan metode yang diajukan oleh Sobrevilla dkk. (2008) untuk mendeteksi
dan melakukan segmentasi nukleus pada citra Pap smear.
Sebuah algoritma modifikasi Seed Bases Region Growing untuk otomasi
segmentasi sel servik diajukan oleh Mustafa dkk. (2009). Pada langkah pertama
digunakan algoritma klustering K-means untuk mengklasifikasi piksel-piksel dari
citra menjadi tiga kategori yaitu sitoplasma, nukleus, dan latar belakang. Kemudian
dari hasil ekstraksi klasifikasi dan menggunakan perhitungan momen, lokasi dari
piksel awal ditentukan dan kemudian algoritma modifikasi Seed Bases Region
Growing diterapkan. Metode ini melakukan segmentasi sel berkali-kali pada citra,
dengan menandai piksel sitoplasma, nukleus, dan latar belakang.
Plissiti (2012a) menggunakan klasifikasi piksel untuk mendeteksi centroid nukleus.
Pada tahap awal menerapkan aturan empiris yang bergantung pada jarak antar
centroid nukleus untuk mengurangi kejadian false positive. Kemudian langkah
kedua teknik klasifikasi fuzzy C-Means dan Support Vector Machines digunakan
untuk menentukan centroid nukleus yang sebenarnya.
24
Tareef, dkk (2014) menggunakan klasifikasi piksel untuk mendeteksi sel yang
tumpang tindih pada tahap awal segmentasi sel tumpang tindih. Selanjutya Lu, dkk
(2015) menggunakan klasifikasi piksel untuk mendapatkan sel yang tumpang tindih
pada tahap awal segmentasi yang disebutnya sebagai peta super piksel.
II.3.5 Pencocokan Bentuk (Template Matching)
Sel nukleus umumnya berbentuk elips. Berdasarkan bentuk nukleus ini beberapa
metode yang berdasarkan pencocokan bentuk nukleus diusulkan untuk menentukan
tepi nukleus pada citra Pap smear. Sebuah algoritma berdasarkan pencocokan
parameter untuk segmentasi citra sel dengan aplikasinya pada sebuah citra servik
pertama kali diajukan oleh Wu dkk. (1998), yang menerapkan bentuk dan informasi
daerah citra. Pada penelitian tersebut, sebuah bentuk model elips sebagai bentuk
nukleus diperkenalkan, dan parameter-parameternya dicocokkan agar sama dengan
bentuk nukleus dengan meminimalisir sebuah fungsi cost. Setelah itu dilakukan
proses optimasi untuk menemukan nilai yang optimal. Dengan cara
mengkombinasikan informasi bentuk, banyaknya parameter akan tereduksi secara
signifikan dan metode akan menghasilkan deteksi tepi nukleus.
Lebih lanjut, Garrido dan de la Blanca (2000) mengembangkan sebuah metodologi
berdasarkan pada pendekatan model perubahan bentuk yang terdiri dari tiga tahap:
1) Inisial estimasi dari lokasi sel pada citra. 2) Perhitungan pendekatan bentuk elips
dari tepi nukleus. 3) Perbaikan dari tepi nukleus menggunakan model perubahan
bentuk lokal. Lebih jelasnya, deteksi dari lokasi nukleus didapatkan dari perumusan
ulang dari transformasi Hough secara umum. Kemudian bentuk inisial dari nukleus
diestimasi dengan penentuan bentuk elips. Solusi akhir adalah dengan
menggunakan model perubahan bentuk yang akan mengerucut pada tepi nukleus
yang benar. Penggunaan metode pencocokan bentuk juga dilakukan oleh Plissiti
dkk. (2012a) dalam penelitiannya tentang ekstraksi sel nukleus dengan
mengkombinasikan bentuk, tekstur dan fitur intensitas.
25
II.3.6 Model Perubahan bentuk (Demorfable Models)
Secara umum, penerapan dari model perubahan bentuk untuk mendefinisikan tepi
nukleus dibatasi oleh pendekatan model inisial, dimana sangat penting inisial model
ini sama dengan tepi dari citra aslinya. Untuk alasan ini, metode yang diajukan
berdasarkan perubahan bentuk ini juga harus bisa menyelesaikan masalah deteksi
posisi nukleus yang benar pada citra yang mengandung sel yang banyak, atau
aplikasinya dan tidak terbatas pada citra yang hanya mengandung satu sel saja.
Bamford dan Lovell (1998) menggunakan model active countour untuk
menentukan tepi dari nukleus, dimana diinisialisasikan melalui pembentukan dari
sebuah search space, lokasi yang paling mungkin untuk nukleus didefinisikan,
dilanjutkan dengan sebuah algoritma Viterbi search-based dua active countour,
untuk menemukan tepi nukleus.
Harandi (2010) mengusulkan sebuah metode untuk melokalisasi sel pada resolusi
rendah dikombinasikan dengan deteksi tepi dari nukleus dan sitoplasma pada
resolusi tinggi. Metode kontur aktif geometri tanpa inisialisasi ulang atau
Geometric Active Contour Without Re-initialization digunakan untuk melokalisasi
sel servik pada sebuah citra dengan resolusi rendah, dimana kemudian
diklasifikasikan dengan sel free-lying, sel terhubung dan objek yang tidak relevan.
Setelah proses deteksi dari posisi pada masing-masing sel, citra asli dibagi dalam
beberapa subcitra yang mengandung sel yang telah terdeteksi, dan pada masing-
masing subcitra sebuah proses binary mask dilakukan, agar objek yang tidak
diinginkan dapat dihilangkan. Dalam rangka untuk memisahkan sel-sel yang
berbeda dalam tiap kluster, sel pertama kali dimodelkan sebagai lingkaran, yang
berlaku sebagai inisial kontur dari model ini. Harus diingat metode ini diaplikasikan
pada citra dengan resolusi tinggi, dan mengidentifikasi sitoplasma. Prosedur yang
sama dilakukan untuk menentukan tepi nukleus, yang mana diinisialisasikan juga
sebagai sebuah lingkaran. Plissiti, ME (2012a) menggunakan metode perubahan
bentuk berupa Gradient Vector Flow untuk meningkatkan keakuratan penentuan
tepi nukleus dalam proses ekstraksi sel nukleus.
26
II.3.7 Segmentasi pada Citra Sel Tumpang tindih
Terdapat beberapa teknik analisa untuk mengidentifikasi batas-batas citra sel
tunggal dan sel tumpang tindih yang telah digunakan selama ini. Segementasi pada
citra sel tumpang tindih memiliki dua fokus utama yaitu pada isolasi batas – batas
nukleus tumpang tindih dan sitoplasma tumpang tindih. Beberapa peneliti telah
berhasil mengisolasi nukleus yang tumpang tindih.
Bamford dkk. (1996), fokus pada mengidentifikasi batas-batas nukleus
menggunakan dua citra dengan ukuran 128x128 dengan kondisi sel tunggal dan
tidak tumpang tindih. Penelitian sebelumnya tentang segmentasi citra sel Pap smear
menunjukkan metode segmentasi sederhana sudah digunakan Bamford dkk. (1996)
dan (1998) untuk penentuan batas-batas sel dan memastikan batas- batas yang
tertutup pada sitoplasma dan nukleus yang terisolasi. Tingkat akurasi segmentasi
tinggi dengan jumlah tes citra yang banyak. Walau masih kurang dalam identifikasi
batas nukleus dan sitoplasma.
Wu dkk. (1998), menggabungkan pengetahuan tentang bentuk sel untuk investigasi
kasus sel-sel payudara yang tumpang tindih. Garrido dkk. (2000), memperkenalkan
formulasi baru untuk tranformasi Hough. Selain itu menggunakan deformable
model dalam segmentasi untuk memperbaiki batas sel. Segmentasi yang
menggabungkan informasi warna dengan watershed menghasilkan tingkat akurasi
segmentasi yang baik oleh Lezoray dan Cardot (2002).
Lassouaoui dan Hamami (2003), memperkenalkan langkah optimasi yang
didasarkan pada algoritma genetik untuk meningkatkan kualitas segmentasi. Pada
penelitiannya Bak dkk. (2004), memperkenalkan sebuah fungsi kriteria baru
berdasarkan struktur statistik dari objek yang digunakan.
Isa dkk. (2005), melakukan segmentasi berdasarkan teknik region growing untuk
menentukan titik lokasi dengan nilai threshold ditentukan secara otomatis. Yang-
Mao dkk. (2008), menggunakan metode edge enhancement baru untuk perbaikan
tepi nukleus dan deteksi kontur sitoplasma dan memperkenalkan metode baru
27
pengukuran error. Lin dkk. (2009) melakukan segmentasi untuk memastikan batas-
batas tertutup pada sel serviks.
Dari semua peneliti tersebut sebagian besar belum berhasil menangani segmentasi
untuk sel yang tumpang tindih. Penelitian Plissiti, M.E dkk. (2011a), sudah
menangani sel tumpang tindih. Dalam penelitian tersebut telah dideteksi intensitas
lembah-lembah nukleus dan dapat mendeteksi lokasi nukleus. Tetapi semua
peneliti-peneliti tersebut belum mempertimbangkan keberadaan sel radang, hal ini
dikarenakan kondisi citra sel yang digunakan memang tidak memiliki sel radang.
Segmentasi sel pada citra mikroskopik adalah landasan dari analisis kuantitatif.
Seperti diketahui karakteristik ganas atau abnormal sel-sel kanker terkandung dalam
nukleus, sehingga bagaimana mengisolasi nukleus ini menjadi tugas yang penting
dalam segmentasi. Isolasi nukleus menjadi semakin sulit pada kondisi sel
sitoplasma tumpang tindih.
Penelitian yang fokus pada segmentasi sitoplasma tumpang tindih tanpa
mempertimbangkan keberadaan sel radang telah dilakukan oleh Tareef, dkk (2014)
dan Lu, dkk (2015). Kedua peneliti tersebut melakukan segmentasi pada sitoplasma
tumpang tindih, sehingga dapat ditentukan batas-batas sitoplasma secara akurat.
Tareef, dkk (2014) melakukan segmentasi berdasarkan peningkatan tepi, gradien
thresholding, operasi morphologi, dan region properties untuk mendeteksi
pasangan nukleus dan sitoplasma. Lu, dkk (2015) telah berhasil melakukan
segmentasi untuk sel tunggal dan sel tumpang tindih dalam beberapa kondisi ukuran
tumpang tindih yang areanya tidak besar, dengan mengoptimasi fungsi multi level
pada segmentasi sel tumpang tindih. Perlu dicatat bahwa kedua peneliti belum
melakukan pemisahan sel tumpang tindih menjadi sel-sel tunggal. Seperti diketahui
pemisahan sel tumpang tindih menjadi sel-sel tunggal diperlukan untuk identifikasi
lebih akurat terhadap pengamatan perbandingan area nukleus dan area sitoplasma
terkait dengan penilaian abnormalitas sel.
Tabel II.1 merangkum semua kelebihan metode yang digunakan dan beberapa
keterbatasan dari penelitian yang telah dilakukan.
28
Tabel II.1 Kelebihan dan Keterbatasan dari Metode Penentuan Sel Citra Pap
smear Metode Tahun Kelebihan Keterbatasan
Bamford dkk. 1996 Metode segmentasi sederhana untuk menentukan batas sel tunggal.
Memastikan batas tertutup.
Tidak menangani sel tumpang tindih.
Kurangnya identifikasi batas
nukleus.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Bamford dkk. 1998 Memastikan batas yang tertutup pada
nukleus dan sitoplasma pada sel
tunggal.
Tingkat akurasi segmentasi tinggi.
Jumlah tes citra banyak
Tidak menangani sel yang
tumpang tindih.
Menggunakan dua gambar
sel.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Wu dkk. 1998 Menggabungkan pengetahuan
tentang bentuk sel.
Menginvestigasi kasus sel - sel
payudara yang tumpang tindih.
Banyak parameter yang
diatur.
Garrido dkk. 2000 Memperkenalkan formulasi baru
tranformasi Hough.
Menggunakan deformable model
untuk perbaikan batas sel
Metode dipengaruhi oleh
kelebihan titik atau tumpang
tindih objek dalam citra
yang kompleks.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Lezoray dan
Cardot
2002 Menggunakan klasifikasi K-Means
dan Bayessian untuk mengklasfikasi
nukleus, sitoplasma dan latar
belakang. Tingkat akurasi segmentasi tinggi.
Dibutuhkan training set
untuk mencapai hasil
terbaik.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Lassouaoui
dan Hamami 2003 Memperkenalkan langkah optimasi
yang didasarkan pada algoritma
genetik untuk meningkatkan kualitas segmentasi pada sel tunggal
Tidak menangani sel yang
tumpang tindih.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Bak dkk 2004 Memperkenalkan sebuah fungsi kriteria baru berdasarkan struktur
statistik dari objek yang digunakan.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Isa dkk. 2005 Berdasarkan teknik region growing
untuk menentukan titik lokasi dengan
nilai threshold ditentukan secara otomatis pada sel tunggal
Tidak menangani sel yang
tumpang tindih.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Yang-Mao
dkk.
2008 Menggunakan edge enhancement
baru untuk perbaikan tepi nukleus
dan deteksi kontur sitoplasma.
Memperkenalkan metode baru
pengukuran error.
Kondisi sel tanpa sel
radang.
Lin dkk. 2009 Memastikan batas tertutup pada sel
tunggal
Tidak menangani sel yang
tumpang tindih. Kondisi sel tanpa sel radang
Plissiti dkk. 2011a Menangani nukleus pada sel
tumpang tindih.
Menggunakan mathematical
morpology.
Metode baru mendeteksi otomatis
lokasi nukleus.
Hanya mendeteksi nukleus.
Gagal mendeteksi abnormal
sel
Kondisi sel tanpa sel radang
29
Tabel II.1 Kelebihan dan Keterbatasan dari Metode Penentuan Sel Citra Pap
smear (….lanjutan)
Metode Tahun Kelebihan Keterbatasan
Moshavegh
dkk.
2012 Deteksi dan segmentasi pada sel free-lying nukleus yang tunggal
Citra tunggal Tidak menangani sel
tumpang tindih dan sel tanpa radang
Plissiti dkk. 2011a Menangani nukleus pada sel
tumpang tindih.
Menggunakan mathematical
morpology.
Metode baru mendeteksi otomatis
lokasi nukleus.
Hanya mendeteksi nukleus.
Gagal mendeteksi abnormal
sel
Kondisi sel tanpa sel radang
Moshavegh
dkk. 2012 Deteksi dan segmentasi pada sel
free-lying nukleus yang tunggal Citra tunggal
Tidak menangani sel
tumpang tindih dan sel
tanpa radang
Malviya dkk. 2012 Deteksi nukleus pada citra liquid Pap smear pada sel tunggal
Tidak berhasil menangani
sel yang tumpang tindih.
Sel Pap smear tanpa sel
radang
Muhimmah dkk.
2012 Segmentasi nukleus pada sel
epithelial menggunakan operasi
morphologi dan transformasi
watershed pada sel tunggal
Tidak menangani sel tumpang tindih.
Hanya mendeteksi nukleus.
Citra berskala abu - abu.
Hasil deteksi nukleus masih
ada perbedaan dengan expert.
Ushizima dkk. 2013 Deteksi nukleus dan sitoplasma
pada sel tumpang tindih.
Belum berhasil memisahkan
sel tumpang tindih. Sel Pap
smear tanpa sel radang
Muhimmah
dkk.
2013 Menangani deteksi otomatis
cervical ephitelial dalam Pap smear
yang kemungkinan berisi sel
nukleus yang tumpang tindih dan sel radang.
Tidak mendeteksi
sitoplasma.
Masih terdapat nukleus
yang belum terdeteksi.
Menangani sel radang
Tareef dkk 2014 Deteksi otomatis dan segmentasi
pada sitoplasma tumpang tindih,
menggunakan klasifikasi piksel dan
gabungan beberapa metode untuk
peningkatan tepi, gradien
thresholding, operasi morphologi,
dan region properties untuk mendeteksi nukleus dan sitoplasma.
Tidak memperhitungkan
keberadaan sel radang dan
belum memisahkan sel
tumpang tindih menjadi sel
tunggal
Lu dkk 2015
Deteksi otomatis dan segmentasi
untuk sel tunggal dan sel tumpang
tindih dalam beberapa kondisi
ukuran tumpang tindih tertentu.
Tidak memperhitungkan
keberadaan sel radang dan
belum memisahkan sel
tumpang tindih menjadi sel tunggal
Metode segmentasi nukleus berdasarkan Water Immersion Algorithm oleh Bamford
dkk. (1996). Penelitian-penelitian sebelumnya banyak menggunakan model
tradisional active countour atau snake secara luas sebagai teknik dasar
30
boundary oleh Bamford dkk. (1998), Williams dan Shab (1992), Hu dkk. (1987).
Dalam Bamford dkk. (1996) digunakan segmentasi berdasarkan metode dual active
contour.
Penelitian tentang metode deteksi dengan memanfaatkan kesamaan bentuk nukleus
berdasarkan pada Hough Transform juga telah diperkenalkan Mouroutis dkk.
(1998), dan Garrido dkk. (2000). Kemudian, metode Generalized Hough Transform
oleh Ballard dkk. (1981) dan Davies dkk. (1989) digunakan untuk mendeteksi
bentuk elips, berdasarkan pada analisa properti dari elips. Sebuah kombinasi dari
Hough transform dan deformable model digunakan oleh Lee dan Street (2000)
untuk menemukan satu set bentuk nukleus. Suatu bentuk perubahan Hough yaitu
Compact Hough Transform, menggunakan maximum likehood disajikan dalam
Mouroutis dkk. (2000). Fuzzy Logic Engine telah diterapkan dalam Begelman dkk.
(2004) untuk membedakan nukleus dari latar belakang yang berwarna sama.
Penelitian lain melakukan segmentasi sel dengan menggunakan model statistik
Bhanu dkk. (1995), yang berasal dari distribusi fitur dan logika fuzzy dilatih sesuai
dengan distribusi dari fitur. Philip dkk. (1996), mengusulkan bentuk fuzzy dari
Hough Transform yang ditambahkan pada properti dari lingkaran dan transformasi
elips.
Genetic Algorithm telah digunakan secara luas dalam segmentasi sel oleh
Lassouaoui, dan Hamami (2003), Bhanu dkk. (1995), dan Goldberg dkk. (1989).
Kombinasi algoritma multifractal oleh Lassouaoui dan Hamami (2003), didasarkan
pada perhitungan singularity exponent pada tiap titik, dan Genetic Algorithm juga
telah diusulkan. Algoritma multifractal digunakan untuk menentukan interval
singularity exponent untuk tiap kelas seperti nukleus, sitoplasma dan
latarbelakangnya. Hal ini memungkinkan untuk meningkatkan presisi di antar kelas
sel dan untuk mengurangi kebingungan antar berbagai kelas.
Metode konvensional Seed Base Region Growing oleh Romberg dkk. (2000) telah
digunakan untuk mendeteksi tepi daerah-daerah tertentu pada citra digital. tetapi
algoritma Seed Base Region Growing tidak bisa mengatasi sel yang tidak terpisah,
sehingga menyebabkan proses deteksi tepi tidak lengkap.
31
Sebagian besar teknik segmentasi pada penelitian sebelumnya, diterapkan pada
citra mikroskopik dimana sel diperbesar dalam kotak sel dan tidak ada tumpang
tindih. Beberapa metode yang diusulkan untuk segmentasi sel tunggal pada citra
mikroskopis Bamford dkk. (1996). Namun, sel yang diperoleh dari tes Pap smear
lebih sulit untuk disegmentasi karena keragaman struktur sel yang terkandung
dalam citra, intensitas variasi latar belakang, dan tumpang tindih kelompok sel.
Tingkat kesulitan tertinggi pada sel yang tumpang tindih adalah mengidentifikasi
batas-batas yang tumpang tindih.
Tabel II.2 Rangkuman Teknik Segmentasi
Teknik
Segmentasi
Kelebihan Keterbatasan
Water Immersion Algoritm
Memastikan tertutupnya deteksi batas-batas
Tidak menangani sel yang tumpang tindih
Improved Active Contour Model
Lebih menguntungkan dari model tradisional Active Contour
Sederhana dalam komputasi
Hough Transform Mendeteksi bentuk nukleus yang sama dan yang diinginkan
Bentuk dari objek harus bulat atau hampir bulat
Generalized
Hough Transform
Lebih menguntungkan dari model
tradisional Hough Transform. Dapat mendeteksi bentuk ellips.
Tidak menangani sel yang tumpang
tindih
Compact Hought Transform
Tidak membutuhkan informasi analitis tentang kurva
Tidak menangani sel yang tumpang tindih
Fuzzy Logic
Engine
Dapat menangani ketidakpastian data
(warna, bentuk bundar, dan dimensi
objek) dengan baik
Rule Fuzzy Logic sudah tetap dan
tidak dapat mengadopsi perubahan
kondisi
Genetic
Algorithm
Pencarian yang efektif untuk parameter segmentasi pada wilayah
yang luas
Sangat lambat
Seed Base Region
Growing
Algorithm
Mendeteksi tepi dari wilayah tertentu
pada citra yang diinginkan.
Mampu menangani noise.
Algoritma memakan waktu. Hasil Deteksi tepi sangat subjektif
karena pengguna harus
mendefenisikan parameter.
Tidak dapat menangani sel yang
bentuknya terhubung.
Moving k-means Clustering
Dapat menemukan nilai threshold secara otomatis
Tidak dapat memisahkan sel yang tumpang tindih
Modified Seed
Based Region
Growing
Algorithm
Lokasi titik awal dan nilai threshold dapat ditentukan secara otomatis
Tidak dapat memisahkan sel yang
tumpang tindih
Segmentasi otomatis pada nukleus citra sel Pap smear dilakukan Plissiti dkk.
(2010). Model deformable telah digunakan untuk menentukan batas-batas nukleus
32
dalam Pap smear konvensional pada citra sel serviks. Estimasi awal dari kontur
deformable diperoleh secara otomatis dan tidak diperlukan adanya interaksi
pengguna. Sebuah teknik deteksi tepi otomatis untuk citra Pap smear menggunakan
Moving k-means Clustering oleh Holmquist dkk. (1978) dan dimodifikasi dengan
Modified Seed based Region Growing diusulkan dalam Isa dkk. (2005). Modified
Seed based Region Growing ini lebih menguntungkan dari konvensional Seed Base
Region Growing dalam mendeteksi tepi daerah-daerah tertentu yang menjadi
perhatian. Dalam penelitian tersebut, algoritma Moving k- means Clustering
digunakan untuk mencari nilai threshold dan nilai-nilai ini kemudian digunakan
dalam Modified Seed based Region Growing untuk mendeteksi daerah tepi secara
otomatis. Rangkuman teknik pada segmentasi citra mikroskopik sel diberikan pada
Tabel II.2.
Hampir seluruh metode-metode dalam Tabel II.2 tidak menangani sel tumpang
tindih. Tareef dkk. (2015) melakukan penelitian tentang deteksi nukleus dan
sitoplasma tumpang tindih dengan pengelompokan piksel dengan klasifikasi piksel
dan thresholding. Lu dkk. (2015) mendeteksi nukleus dan sitoplasma tumpang
tindih dengan optimalisasi fungsi multi level set. Walau demikian kedua peneliti
tersebut tidak membahas keberadaan sel radang dalam penelitian mereka. Tetapi
penelitian mereka telah dapat melakukan segmentasi citra sel sitoplasma tumpang
tindih. Perbedaan kedua penelitian terakhir dengan penelitian disertasi ini bahwa
penelitian ini memiliki fokus pemisahan sel tumpang tindih menjadi sel tunggal
sekaligus mengatasi keberadaan sel radang dan pada akhirnya dilakukan
identifikasi terhadap jenis sel yang sedang diamati.
II.3.8 Klasifikasi Citra Sel Pap smear
Penelitian tentang klasifikasi citra Pap smear dilakukan sebagai upaya untuk
mengidentifikasi nukleus. Sehingga penelitian tentang klasifikasi citra Pap smear
selalu berdasarkan pada perhitungan fitur yang diekstraksi dari daerah nukleus dan
sitoplasma. Tujuannya untuk mengklasifikasi nukleus. Klasifikasi yang bertujuan
untuk membedakan citra sel nukleus dan sel radang belum banyak dilakukan.
Muhimmah dkk (2013) melakukan ekstraksi fitur dan tahap seleksi
33
fitur untuk pemisahan sel radang dari nukleus. Fitur diekstraksi berdasarkan bentuk,
tekstur, dan intensitas.
Jantzen (2005) melakukan ektraksi 20 fitur terhadap sel nukleus dan sitoplasma
untuk 917 citra sel tunggal yang terdiri dari 7 kelas. Tiga kelas dikategorikan kelas
normal dan 4 kelas berikutnya adalah kelas abnormal. Nilai 20 fitur citra sel tunggal
tersebut telah banyak digunakan terutama untuk penelitian tentang klasifikasi citra
Pap smear. Penggunaan fitur kuantitatif dan kualitatif dengan multiple classifier
oleh Riana (2009), penggunaan hierarchical decision approach berdasarkan
importance performance analysisis oleh Riana (2010) dan (2012a) untuk
menganalisa klasifikasi citra sel data Harlev ke dalam dua dan tujuh kelas sel.
Penelitian tentang proses ekstraksi fitur melalui serangkaian metode usulan pada
citra sel tunggal data Herlev (Martin, 2003) dilakukan dengan melibatkan fitur luas,
sebagai upaya mengenali sel serviks. Penelitian terhadap luas nukleus dengan
menggunakan modifikasi kanal warna dengan empat operator deteksi tepi untuk
citra sel normal Pap smear oleh Riana dkk. (2012b), citra sel abnormal Riana dkk.
(2012c), penggunaan operator Canny pada sel normal Riana dkk. (2012d) dan
(2014a), serta perbandingan dengan sel abnormal oleh Riana dkk. (2013a). Untuk
mengetahui jenis konversi warna yang tepat untuk penanganan citra Pap smear
pada masing-masing kelas. Penelitian fokus pada perhitungan luas (area), keliling
(perimeter) dan kebundaraan (roundness). Selain terhadap luas nukleus juga telah
dilakukan deteksi luas citra sel sitoplasma oleh Hasanuddin dkk. (2012).
Penelitian terkait nilai tekstur dari nukleus telah pula dilakukan untuk menambah
informasi 20 fitur yang sudah ada pada data Herlev oleh Pratama dkk. (2013) dan
Riana dkk. (2013b). Analisa tekstur dapat digunakan untuk mendapatkan fitur-fitur
penting dari suatu objek dalam citra. Hasil dari analisa fitur dapat digunakan untuk
membedakan objek-objek yang ada dalam suatu citra, seperti fitur-fitur yang
dihasilkan dari analisa morphologi (Soille dkk. 1999). Penelitian sebelumnya
banyak yang menggunakan fitur morphologi dan analisa tekstur seperti contrast,
correlation, energy, homogeneity, entropy dan lain-lain. Plissiti
34
dkk. (2011b), telah menggunakan fitur morphologi dalam penelitian tentang citra
serviks berupa fitur kedalaman intensitas untuk menentukan lokasi nukleus.
Penelitian lain yang melibatkan fitur morphologi dengan menggunakan tiga
parameter, yaitu rasio N/C, koefisien wavelet, dan intensitas warna (Suryatenggara
dkk. 2009). Metode analisis tekstur yang telah digunakan dalam menganalisa citra
sel servik khususnya untuk sel tunggal adalah Gray Level Co- occurrence Matrix
(GLCM). Ada 5 parameter yang diekstrak, yaitu contrast, correlation, energy,
homogeneity dan entropy (Pratama dkk. (2013), dan Riana dkk. (2013b). Klasifikasi
yang khusus untuk membedakan sel nukleus dan sel radang telah dicoba dengan
menggunakan analisa tekstur telah dilakukan terutama untuk penggunaan GLCM
untuk ekstraksi sel radang dan nukleus oleh Riana dkk. (2014b). Pada penelitian ini
analisa tekstur Gray Level Run Leng Matriks (GLRLM) akan dimanfaatkan untuk
menentukan daerah region minima untuk mendapatkan daerah calon nukleus.
Sampai saat ini sudah terlihat usaha dari para peneliti untuk mengusulkan teknik
segmentasi yang efektif untuk citra Pap smear. Walaupun teknik-teknik yang sudah
ada memiliki performa yang tinggi, tetapi proses otomasi belum tersedia.
Diharapkan ke depannya pengembangan metode otomasi untuk interprestasi Pap
smear akan ditemukan. Pada bagian-bagian berikutnya dalam disertasi ini akan
ditunjukkan kontribusi dari penelitian ini terhadap proses otomatisasi yang
bertujuan untuk segmentasi sel radang dan pemisahan sel tumpang tindih.
35
Bab III Akuisisi dan Komponen Citra Mikroskopik Pap smear
Bab ini berisi tentang penjelasan mengenai akuisisi citra mikroskopik Pap smear
yang terdiri dari sampel Pap smear dan permasalahannya, proses akuisisi citra
mikroskopik Pap smear, komponen citra Pap smear serta pengenalan area nukleus
dan sitoplasma pada citra mikroskopik Pap smear.
III.1 Sampel Pap smear dan Permasalahannya
Pencegahan kanker serviks merupakan tindakan preventif sekunder, yaitu deteksi lesi
prakanker melalui tes Pap smear dan rangkaian tindak lanjut, misalnya pemeriksaan
kolposkopi dan biopsi. Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa konsep
tersebut baru efektif jika cakupan populasi yang diperiksa tes Pap smear mencapai
sebagian besar populasi yang beresiko. Namun, implementasi hal tersebut
membutuhkan tidak hanya biaya, tetapi juga sumber daya manusia dan logistik
peralatan yang besar.
Tes Pap atau yang lebih dikenal dengan Pap smear adalah salah satu deteksi dini
terhadap kanker serviks yang sering dilakukan. Pap smear banyak ditawarkan oleh
klinik laboratorium yang dilakukan oleh dokter dan tenaga medis. Pelaksanaannya
mudah dan murah. Pada prinsipnya, Pap smear adalah mengambil sel epitel yang ada
di leher Rahim yang kemudian dilihat kenormalannya.
Cara melakukan Pap smear konvensional adalah sebagai berikut (Samadi, 2011) :
1. Usapkan spatula eyre pada ektoserviks (bibir mulut Rahim) terlebih dahulu.
Lalu, pulas di kaca benda.
2. Usapkan cytobrush dan endoserviks. Lalu, pulas di kaca benda.
3. Rendam kaca benda dalam alkohol 96% minimal 30 menit untuk
mendapatkan sampel Pap smear konvensional.
Gambar III.1 Contoh Sampel Pap smear konvensional.
36
Selain cara konvensional terdapat cara pemeriksaan sitology serviks berbasis cairan
atau Liquid- Based Cytology (LBC). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan Pap
smear. Hasil pengambilan sel-sel mulut Rahim “dilarutkan” lebih dahulu pada suatu
cairan, kemudian di-sentrifugasi atau diambil endapannya, baru kemudian dibuat
hapusan dan dibaca di bawah mikroskopik. Dengan teknik ini, keakuratan hasil
pemeriksaan lebih tinggi walaupun biayanya lebih mahal (Samadi, 2011). Perbedaan
hasil konvensional dan hasil LBC, pada LBC keberadaan sel radang tidak
mengganggu lapang pandang pemeriksaan. Metode LBC mengurangi latar belakang
yang mengganggu. Di negara maju LCB telah luas digunakan, sedangkan di
Indonesia penggunaan LBC tidak begitu popular karena biaya pemeriksaan yang
lebih mahal.
Dilakukan pemeriksaan sel-sel serviks pada sampel untuk mengetahui karakterisasi
slide (normal atau abnormal) oleh ahli sitologi. Teknik Papanicolaou menyediakan
prosedur pewarnaan sel serviks sehingga mudah diperiksa di bawah mikroskop
optik. Namun, prosedur manual ini tetap memungkinkan terjadi keliru identifikasi
slide dianggap sel normal, padahal tidak normal (False Negative). Hal ini terutama
karena minimya pengalaman, stres atau kelelahan pengamat. Pada kondisi temuan
abnormal (baik valid atau karena kesalahan teknis) biasanya menghasilkan
kecemasan yang cukup besar. Untuk menghindari hal ini banyak upaya telah
dilakukan agar skrinning dan analisis slide Pap smear dibantu komputer.
Diharapkan sistem tersebut dapat memberikan kesimpulan yang dapat diandalkan
tentang isi slide Pap smear dalam cara yang cepat dan konsisten, walaupun itu
bukan hal yang mudah.
Plissiti dkk. (2011a) menyatakan bahwa kondisi sampel konvensional Pap smear
yang dilihat di bawah mikroskop sering terdapat variasi dalam pencahayaan dan
konsentrasi pewarna dari sel-sel karena prosedur pewarnaan. Juga, terdapat faktor
mikrobiologis lain yang mempengaruhi, seperti pengeringan udara, darah yang
berlebihan, lendir, bakteri, atau peradangan, yang membuat penentuan dari sel-sel
yang mencurigakan menjadi tugas yang sulit.
Penelitian ini menggunakan sampel sel yang berasal dari metode pengambilan
konvensional. Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli patologi sampel yang
37
diperoleh dari metode konvensional memiliki permasalahan yang sering dihadapi
oleh ahli patologi saat identifikasi sampel dan perlu untuk ditangani. Beberapa
permasalahan sampel atau slide hasil pengambilan konvensional Pap smear, yaitu:
1. Adanya sel radang yang cukup menganggu proses identifikasi sel nukleus.
2. Adanya sel yang tumpang tindih yang menyulitkan identifikasi sitoplasma
dan nukleus.
3. Sel terlihat menumpuk dan batas sitoplasma sulit teridentifikasi.
4. Adanya latar belakang yang mengandung sel darah.
5. Kesulitan membedakan sel yang abnormal dan sel menopause yang terjadi
akibat meningkatnya tingkat hormon.
6. Kesulitan mengenali sel yang terkena virus HPV. Sel HPV tampak terang di
bagian sitoplasma.
Dalam penelitian ini mencoba menyelesaikan dua permasalahan, yaitu tentang
keberadaan sel radang yang cukup menganggu proses identifikasi sel nukleus, dan
sel tumpang tindih. Penyelesaian permasalahan ini akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya. Sedangkan permasalahan lainnya memerlukan penelitian lanjutan yang
dapat dikembangkan oleh peneliti lain agar dapat memberikan solusi pada
permasalahan identifikasi sampel Pap smear konvensional.
Sebagai upaya penyelesaian permasalahan pada sampel Pap smear konvensional
maka dilakukan digitalisasi sampel Pap smear konvensional melalui proses akuisisi
citra sampel mikroskopik Pap smear.
III.2 Proses Akuisisi Sampel Mikroskopik Pap smear pada Laboratorium
Khusus Patologi Veteran Bandung.
Penelitian tentang citra sel tunggal dan tumpang tindih dengan sel radang diperoleh
dari akuisisi sampel atau slide Papsmear pada Laboratorium Khusus Patologi Veteran
Bandung dengan menggunakan mikroskop dan kamera.
Prosedur berjalan sistem pemeriksaan sampel atau slide di Laboratorium Khusus
Patologi Veteran Bandung, terdiri dari lima proses sebagai berikut:
38
1. Proses Registrasi dan Penomoran Slide.
Laboratorium atau institusi pengirim baik perorangan atau lembaga mengirimkan
slide hasil pengambilan sampel serviks dengan metode Pap smear ke
Laboratorium Patologi Veteran Bandung dengan mengisi formulir penerimaan.
Selanjutnya slide di registrasi oleh petugas dan diberi penomoran. Nomor
registrasi slide dicatat dalam Buku Nomor Registrasi Sitologi.
2. Proses Fiksasi Ulang.
Slide yang telah diregistrasi dan formulir diteruskan ke proses fiksasi ulang
dengan alkohol 95% atau 96% agar konsisi slide tetap terjaga.
3. Proses Staining (Pewarnaan)
Slide yang sudah difiksasi dilakukan proses pewarnaan dengan menggunakan
modifikasi Papnicolau. Semua proses terdata dalam formulir. Hasil dari proses
ini berupa slide yang sudah siap untuk dibaca atau dianalisa oleh ahli patologi.
4. Proses Analisa Slide
Ahli Patologi melakukan pembacaan slide dan mengidentifikasi sel dalam slide.
Hasil analisa ahli patologi akan dimuat dalam formulir jawaban. Setelah itu slide
akan diarsipkan dalam arsip slide.
5. Proses Pembuatan Laporan dan Pengiriman Laporan.
Formulir jawaban dari ahli patologi akan disusun dalam laporan berupa formulir
jawaban dalam format Bethesda dan akan dikirim ke laboratorium atau institusi
pengirim.
Prosedur sistem berjalan pemeriksaan slide Pap smear di Laboratorium Khusus
Patologi Veteran Bandung digambarkan dengan diagram alir data seperti pada
Gambar III.2.
39
Gambar III.2 Sistem Berjalan Pemeriksaan Slide Pap smear di Laboratorium
Khusus Patologi Veteran Bandung
Slide yang sudah diarsipkan menjadi objek penelitian untuk dilakukan akuisisi citra.
Pada proses ini digunakan dua jenis mikroskop optik yaitu Olympus CH21 dan
Olympus CX20. Pembesaran lensa menggunakan perbesaran 40x dan gambar yang
diperoleh disimpan dalam format JPEG. Semua proses akuisisi citra diperoleh
melalui kamera Logitech (Logitech HD web cam C525) yang terhubung dengan
mikroskop. Proses akuisisi citra dapat dilihat pada Gambar III.3 .
40
Gambar III.3 Proses Akuisisi Citra
Piranti yang digunakan dalam akuisisi citra berupa mikroskop dan camera dengan
spesifikasi sebagai berikut:
1. Mikroskop
a. Tipe : Binokular untuk mengamati bagian dalam sel.
b. Merk : Olympus CH21 dan Olympus CH20
c. Lensa : Okuler dengan perbesaran 10x, dan lensa objektif
dengan perbesaran 4x, 10x, 40x, dan 100x
d. Pencahayaan : 6 volt 20 watt lampu halogen.
e. Numerical Aperture (NA): 4x NA: 0.1, 10x NA: 0.25, 40x NA:0.65, 100x
NA: 1.25.
2. Kamera
Kamera Logitech HD web cam C525 dengan resolusi 2 MP ditempatkan pada
posisi lensa okuler mikroskop pada saat akuisisi citra.
41
Proses akuisisi yang benar untuk mendapatkan citra mikroskopik yang baik
dilakukan dengan mengikuti standar pengoperasian mikroskop secara umum.
Adapun urutan langkah sebagai berikut:
Tahap persiapan :
1. Keluarkan mikroskop dari tempatnya, lensa okuler dan lensa objektif.
2. Pasanglah lensa okuler mulai dari perbesaran lemah, kemudian pasang
semua lensa objektif masing-masing pada tempatnya.
3. Siapkan kamera yang akan digunakan untuk pengambilan citra.
4. Siapkan preparat yang akan diamati.
5. Carilah tempat yang baik agar mikroskop dapat mendapatkan cahaya yang
baik.
Tahap inti :
1. Letakkan mikroskop di atas meja, untuk memindahkan mikroskop gunakan
cara yang benar yaitu tangan kiri memagang lengan mikroskop dan tangan
kanan menopang kaki mikroskop.
2. Putar revolver sehingga lensa objektif dengan perbesaran lemah berada pada
posisinya suatu poros dengan lensa okuler yang ditandai bunyi klik pada
revolver.
3. Mengatur cermin dan diafragma untuk melihat kekuatan cahaya masuk,
hingga dari lensa okuler tampak terang berbentuk bulat.
4. Tempatkan preparat pada meja benda tepat pada lubang preparat dan jepit
dengan penjepit benda.
5. Aturlah fokus untuk memperjelas gambar objek/benda dengan cara
memutar pemutar kasar, sambil dilihat dari lensa okuler. Untuk
mempertajam putarlah pemutar halus.
6. Apabila bayangan objek sudah ditemukan, maka untuk memperbesar
gantilah lensa objektif dengan ukuran dari 10 X, 40 X atau 100 X, dengan
cara memutar revolver hingga bunyi klik.
42
7. Setelah diperoleh objek sel yang tepat pada pembesaran 40x maka lensa
okuler diganti dengan kamera Logitech HD web cam C525 dengan resolusi
2 MP yang sudah terhubung dengan komputer atau laptop.
8. Lakukan pengambilan citra dan disimpan dalam folder khusus pada laptop.
9. Apabila selesai digunakan, bersihkan mikroskop dan kamera serta simpan
pada tempat yang tidak lembab.
Gambar III.4 dan III.5 adalah contoh hasil akuisisi citra yang dilakukan dalam
penelitian ini.
(1a) CV-140949 Sel Tunggal
(1b) CV-142200 – Kelompok Sel
Gambar III.4. Database Citra tunggal dan tumpang tindih dengan sel radang Pap
smear (1a) Slide CV-140949 dan (1b) CV-142200
43
Gambar III.5 Contoh Citra Pap smear Konvensional Sel bertumpuk dan Dipenuhi
Sel radang
Proses akuisisi citra menghasilkan citra sel mikroskopik Pap smear yang berupa
citra sel tunggal mikroskopik Pap smear dengan sel radang dan citra sel tumpang
tindih mikroskopik Pap smear dengan sel radang.
Selanjutnya citra hasil akuisisi akan dilakukan proses pengenalan nukleus. Seperti
diketahui nukleus menjadi bagian penting untuk diamati dalam proses identifikasi.
Sel-sel normal dan abnormal diidentifikasi dengan mengevaluasi perubahan
kepadatan dan morfologi bagian struktural dari sel, yaitu nukleus dan sitoplasma.
Nukleus adalah bagian struktural dari sel yang menghadirkan perubahan signifikan
ketika sel dipengaruhi oleh penyakit. Perubahan ini diidentifikasi melalui
interpretasi visual dari slide oleh seorang ahli.
III.3 Jenis dan Komponen Citra Mikroskopik Pap smear
1. Jenis Sel pada Citra Mikroskopik Pap smear
Sel pada Citra Mikroskopik Pap smear dapat dikelompokkan berdasarkan
Bethesda sistem (Cibas, E.S., dan Ducatman, B.S., 2009) yaitu:
a. Sel Epitel Squamous, jenis sel ini terdiri dari :
1. Normal, terdiri dari superficial, intermediate, parabasal dan basal.
2. Atipik
44
3. CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia ).
b. Sel Epitel Glandular atau kelenjar, terdiri dari:
1. Endoserviks, terdiri dari normal, atipik dan ganas.
2. Endometrium
Selain itu, Martin (2003) dan Jantzen, dkk (2005) mengelompokkan citra Pap smear
menjadi 7 kelas yaitu tiga kelas pertama adalah Normal Superficial (NS), Normal
Intermediate (NI), Normal Columnar (NC). Sedangkan empat kelas berikutnya
adalah kelas abnormal yaitu Mild (Light) Dysplasia (MLD), Severe Dysplasia (SD),
Moderate Dysplasia (MD), dan Carcinoma In Situ (CIS). Pada penelitian ini
digunakan jenis kelas dan karateristik umum sel nukleus pada citra Pap smear
seperti pada Tabel III.1.
Tabel III.1 Karakteristik 7 Kelas Sel Tunggal Pap smear (Riana dkk. 2010)
No Nama Kelas Karakteristik Sampel Citra
1 Normal
Superficial
Sel berbentuk oval. Nukleus berukuran sangat kecil. Perbandingan luas wilayah nukleus
dengan luas wilayah sitoplasma sangat
kecil.
2 Normal
Intermediate
Sel berbentuk bulat.
Nukleus berukuran besar. Perbandingan luas wilayah nukleus
dengan luas wilayah sitoplasma kecil.
3 Normal
Columnar
Sel berbentuk seperti kolom.
Nukleus berukuran besar. Perbandingan luas wilayah nukleus
dengan luas wilayah sitoplasma sedang.
4 Mild (Ligh)t
Dysplasia
Nukleus berukuran besar dan berwarna
terang.
Perbandingan luas wilayah nukleus dan
sitoplasma sedang.
45
Tabel III.1 Karakteristik 7 Kelas Sel Tunggal Pap smear (Riana dkk. 2010)
...(lanjutan)
No Nama Kelas Karakteristik Sampel Citra
5 Moderate
Dysplasia
Nukleus berukuran besar dan berwarna
gelap.
Sitoplasma berwarna gelap. Perbandingan luas wilayah nukleus
dengan luas wilayah sitoplasma besar.
6 Severe
Dysplasia
Nukleus berukuran besar, berwarna gelap,
dan bentuknya tidak teratur.
Sitoplasma berwarna gelap. Perbandingan luas wilayah nukleus dengan
luas wilayah sitoplasma sangat besar.
7 Carcinoma
In Situ
Nukleus berukuran besar, berwarna gelap,
dan bentuknya tidak teratur.
Perbandingan luas wilayah nukleus
dengan luas wilayah sitoplasma sangat
besar.
2. Sitoplasma pada Citra Sel Pap smear
Sitoplasma adalah bagian sel yang terbungkus membran sel. Pada sel eukariota,
sitoplasma adalah bagian non-nukleus dari protoplasma. Pada sitoplasma terdapat
sitoskeleton, berbagai organel dan vesikuli, serta sitosol yang berupa cairan tempat
organel melayang-layang di dalamnya. Gambar I.3 dan II.3 adalah contoh
sitoplasma pada citra sel Pap smear. Pada pembacaan slide Pap smear diperhatikan
sitoplasma apakah mengalami eosinofilik, apakah ada tonjolan atau bentuk yang
abnornal, warna terang pada sitoplasma (prinuclea rhalo) dan lain- lain. Rasio
perbandingan area sitoplasma dan nukleus menjadi informasi yang penting dalam
penentuan abnormalitas sel.
3. Nukleus pada Citra Sel Pap smear
Nukleus (jamak: nuklei) dalam arti umum adalah inti atau bagian tengah yang
dikelilingi bagian-bagian lain dalam kelompok atau kumpulan (Gambar I.3 dan
46
II.3). Dalam biologi seluler, nukleus memiliki arti khusus yaitu inti sel, bagian dari
sel yang mengandung kromosom (materi genetik atau DNA). Dalam kasus citra
Pap smear, objek yang menarik adalah nukleus, karena merupakan bagian
struktural dari sel-sel yang menyajikan perubahan signifikan ketika sel dipengaruhi
oleh penyakit. Namun, deteksi akurat dan segmentasi nukleus dalam citra Pap
smear adalah tugas yang sulit karena beberapa alasan, diantaranya keberadaan sel
radang yang mirip dengan nukleus. Pada reduksi sel radang, deteksi sitoplasma
menjadi hal yang penting, untuk mendapatkan nukleus yang sebenarnya.
Segmentasi yang benar dari nukleus sangat penting karena mengarah ke
perhitungan fitur yang menonjol, yang dapat berkontribusi dalam identifikasi
kelainan pada bentuk atau struktur inti, untuk mengenali kategori sel normal atau
abnormal.
4. Sel Radang pada Citra Sel Pap smear
Sel radang disebut juga inflamasi. Dalam pemeriksaan slide Pap smear, sel radang
mengganggu lapang pandang pembacaan jika terlalu banyak. Sehingga bisa
menyulitkan diagnosa ahli patologi karena sel tertutup dengan sel radang dan lapang
pandang menjadi kotor. Sel radang terdiri dari beberapa jenis, diantaranya:
1. Sel polimorfonuklear (PMN), yaitu netrofil (jumlahnya paling banyak dalam
darah), eosinofil (bila terjadi alergi) dan basophil.
2. Sel monomorfonuklear (MMN), yaitu Limposit: sel-T, dan sel-B, Histiosit,
Sel datia inti ganda, dan Sel epitel
Tetapi apapun jenis sel radang bukan menjadi fokus dalam pemeriksaan Pap smear.
Sel radang dikaji lebih dalam pada teori kedokteran dan di luar konteks dari Pap
test. Tetapi keberadaannya yang cukup banyak dalam pengambilan konvensional
Pap smear menjadi masalah yang perlu ditangani.
5. Komponen Lain dalam Citra Sel Pap smear
Komponen lain dalam citra sel Pap smear konvensional adalah keberadaan bakteri
lactobacilli dan artifak (Gambar III.6). Lactobacilli bermanfaat karena menjaga
keseimbangan PH. Tetapi dalam kondisi preparat yang memiliki latar
47
belakang lactobacilli dan artifak yang cukup banyak, juga dapat mengganggu
lapang pandang.
Gambar III.6 Contoh lactobacilli sebagai latar belakang pada citra Pap smear
III.4 Segmentasi Area Nukleus dan Perbandingan dengan Area Sitoplasma
1. Segmentasi Area Nukleus.
Penelitian lebih lanjut tentang karakteristik nukleus dilakukan untuk mengetahui
kanal warna apa yang sesuai untuk masing-masing kelas dalam proses segmentasi,
sebagai rujukan bagi penelitian tentang deteksi nukleus lebih lanjut. Sebanyak 280
sampel citra nukleus untuk kelas normal dan abnormal dari data Herlev
(Jantzen,J.dkk. 2005) digunakan untuk penelitian ini. Distribusi sampel diambil
sebanyak 40 untuk setiap kelas yaitu Normal Superficial (NS), Normal Intermediate
(NI), Normal Columnar (NC), Mild (Light) Dysplasia (MLD), Severe Dysplasia
(SD), Moderate Dysplasia (MD), dan Carcinoma In Situ (CIS).
Tabel III.2 Data Herlev (Jantzen,J.dkk. 2005)
Nama Kelas Jumlah
data
Jumlah
Sampel
Normal Superficial 74 40
Normal Intermediate 70 40
Normal Columnar 98 40
Mild (Light) Dysplasia 182 40
Severe Dysplasia 146 40
Moderate Dysplasia 197 40
Carcinoma In Situ 150 40
Total Data 917 280
Proses segmentasi luas nukleus untuk sel normal dan abnormal menggunakan
operasi kanal warna (R+G+B, R+G, R+B, G+B dan grayscale) dan deteksi tepi
yang terdiri dari Roberts, Prewitt, Sobel dan Canny. Penggunaan detektor tepi
tersebut untuk mendiagnosis berbagai citra dan sudah lazim digunakan.
48
Gambar III.7. Citra asli sel nukleus hasil cropping kelas normal dan abnormal
(1a-7a) dan hasil penggabungan citra R+G+B masing-masing kelas (1b -7b).
Penelitian ini mengusulkan teknik untuk memisahkan kanal RGB dan memodifikasi
kanal warna serta melakukan segmentasi terhadap nukleus dengan menggunakan
modifikasi kanal RGB (R+G+B, R+G, R+B, G+B). Salah satu contoh hasil
modifikasi kanal warna menggunakan R+G+B pada kelas normal dan abnormal
diberikan pada Gambar III.7.
Roberts_R+G+B
Roberts_R+G
Roberts_R+B
Roberts_G+B
Roberts_Grayscale
Prewitt_R+G+B
Prewitt_R+G
Prewitt_R+B
Prewitt_G+B
Prewitt_Grayscale
Sobel_R+G+B
Sobel_R+G
Sobel_R+B
Sobel_G+B
Sobel_Grayscale
Canny_R+G+B
Canny_R+G
Canny_R+B
Canny_G+B
Canny_Grayscale
Gambar III.8 Contoh hasil akhir luas nukleus salah satu citra yang diterapkan pada
4 metode deteksi tepi.
(1a) (2a) (3a) (4a) 5(a) 6(a) 7(a)
(1b) (2b) (3b) (4b) 5(b) 6(b) 7(b)
49
Dalam penelitian ini dibandingkan empat metode deteksi tepi Roberts, Prewitt,
Sobel dan Canny digunakan untuk mendeteksi tepi citra nukleus. Contoh hasil
deteksi tepi dan luas nukleus dari keempat metode deteksi tersebut diberikan pada
Gambar III.8. Hasil perhitungan luas nukleus dari 280 citra selanjutnya diseleksi
secara manual untuk dikelompokkan nilai luas yang memiliki selisih luas nukleus
paling minimum terhadap luas manual.
Tabel III.3 Jumlah citra pada masing-masing kelas yang luas nukleusnya
mendekati luas manual
Diperoleh hasil pada Tabel III.3, yang menunjukkan bahwa deteksi tepi Canny
memiliki nilai luas nukleus yang paling banyak mendekati nilai luas manual untuk
kelas 3,4,5,6 dan 7.
Tabel III.4 Perbandingan korelasi Spearman’s rho (r)
untuk 280 luas citra sel nukleus
Metode Deteksi
Tepi dan
Modifikasi Kanal
Warna
p
Metode Deteksi
Tepi dan
Modifikasi Kanal
Warna
p
Metode Deteksi
Tepi dan
Modifikasi Kanal
Warna
p
Rs_R+G+B 0,295** Rs_R+B 0,264** Rs_Gs 0,083
Pt_R+G+B 0,433** Pt_R+B 0,376** Pt_Gs 0,060
Sl_R+G+B 0,436** Sl_R+B 0,363** Sl_Gs 0,019
Cy_R+G+B 0,454** Cy_R+B 0,355** Cy_Gs 0,106
Rs_R+G 0,355** Rs_G+B 0,210**
Pt_R+G 0,349** Pt_G+B 0,393**
Sl_R+G 0,390** Sl_G+B 0,386**
Cy_R+G 0,180** Cy_G+B 0,295**
Ket : Rs = Roberts; Pt=Prewitt; Sl= Sobel; Cy= Canny; R=Red; G=Green; B=Blue;
Gs=Grayscale
P = Nilai Spearman’s rho ** Correlation is significant at the 0.01 level (2 tailed) * Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed)
50
Pada penelitian ini juga digunakan korelasi Spearman rho untuk membandingkan
ke 280 luas citra nukleus dari data Herlev. Hasil dari perbandingan luas segmentasi
dari keempat metode dan luas manual pada Tabel III.4.
Pada Tabel III.4 untuk semua modifikasi kanal warna (R+G+B, R+G, R+B dan
G+B) menghasilkan nilai p yang signifikan pada level 0,01. Kecuali untuk
grayscale diperoleh nilai p (0,019-0,106) yang tidak signifikan untuk keempat
deteksi tepi. Dari keseluruhan nilai korelasi terlihat deteksi tepi Canny dengan
modifikasi color warna R+G+B (Cy_R+G+B ) menunjukkan nilai korelasi p =
0,454 (sig.0,01 (2 tailed)) mengindikasikan nilai luas nukleus 280 citra dengan
modifikasi kanal warna R+G+B dengan deteksi tepi Canny memiliki nilai luas yang
sangat dekat dengan luas manual.
Berdasarkan hasil ini maka dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan
metode deteksi tepi Canny dengan modifikasi color warna untuk kelas normal dan
abnormal. Tujuannya untuk melihat sejauh mana metode deteksi tepi Canny dengan
modifikasi kanal warna dapat menghasilkan pengukuran luas nukleus yang
mendekati hasil manual, pada tiap-tiap kelas normal dan abnormal.
a. Hasil Segmentasi Area Nukleus Sel Normal Menggunakan Operasi Kanal
Warna dengan Deteksi Tepi Canny
Pengamatan dilakukan untuk 90 citra nukleus yang terdistribusi masing-masing 30
citra untuk setiap kelas normal. Nilai korelasi pada Tabel III.5 menunjukkan
hubungan yang sangat erat antara luas nukleus dari hasil segmentasi manual dan
Canny pada citra nukleus yang sama. Deteksi tepi Canny dengan R+G+B dan G+B
menunjukkan kinerja paling dekat dengan perhitungan manual (0,305 untuk
R+G+B dan 0,208 untuk G+B pada 0,05 p-value dengan 2-tailed).
Kinerja yang superior dari Canny dengan modifikasi kanal warna terlihat pada kelas
Normal Superficial. Di kelas tersebut Canny dengan modifikasi kanal warna
menunjukkan deteksi nukleus yang baik di semua modifikasi, memiliki jangkauan
korelasi Spearman rho 0,504 – 0,793. Dimana nilai tertinggi berada pada hasil kanal
warna grayscale. Semua korelasi tersebut signifikan pada 0,01 p-value (2-
51
tailed). Ini berarti bahwa hasil perhitungan luas nukleus untuk kelas Normal
Superficial memiliki korelasi kuat untuk segmentasi manual.
Di kelas Normal Intermediate, kinerja terbaik diperoleh pada Canny dengan semua
modifikasi kanal warna. Semua deteksi tepi Canny dengan modifikasi kanal warna
menunjukkan korelasi yang lebih tinggi dalam tes nonparametrik. Dalam hal ini,
deteksi tepi Canny dengan R+G+B mencapai 0,817. Sedangkan untuk kelas Normal
Columnar, nilai tertinggi dicapai pada 0,505 untuk Canny dengan R+B. Temuan ini
menunjukkan bahwa detektor tepi Canny tidak sensitif untuk kelas ini.
Tabel III.5. Perbandingan korelasi Spearman’s rho untuk
modifikasi kanal warna pada kelas normal
Metode All Normal
Class
Normal
Superficial
Normal
Intermediate
Normal
Columnar Canny_R+G+B 0,305** 0,707** 0,817** 0,264
Canny_R+G 0,138 0,577** 0,615** 0,212
Canny_R+B 0,179 0,709** 0,596** 0,505** Canny_G+B 0,208* 0,504** 0,724** 0,103
Canny_Grayscale 0,203 0,793** 0,414* 0,377*
Total Citra 90 30 30 30 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2 tailed) * Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed)
b. Hasil Segmentasi Area Nukleus Sel Abnormal Menggunakan Operasi
Kanal Warna dengan Deteksi Tepi Canny
Untuk kelas abnormal, pengamatan dilakukan terhadap 160 citra yang terdistribusi
ke dalam 40 citra sel nukleus, hasil analisis korelasi diberikan pada Tabel III.6.
Tabel III.6. Perbandingan korelasi Spearman’s rho untuk
modifikasi kanal warna pada kelas abnormal
Metode All Abnormal
Class
Mil Light
Dysplasia
Severe
Dysplasia
Moderate
Dysplasia
Carsinoma
In Situ Canny_R+G+B 0,518** 0,298 0,586** 0,494** 0,251
Canny_R+G 0,358** 0,009 0,445** 0,314* 0,138
Canny_R+B 0,489** 0,267 0,558** 0,450** 0,305
Canny_G+B 0,397** 0,159 0,420** 0,396** 0,122
Canny_Grayscale 0,365** 0,232 0,283 0,419** 0,226
Total Citra 160 40 40 40 40 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2 tailed) * Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed)
All=Abnormal Class; MLD =Mild (Light) Dysplasia cells; MD= Moderate Dysplasia; SD= Severe Dysplasia; CIS= Carcinoma In Situ
52
Korelasi Spearman rho digunakan untuk perbandingan hasil luas 160 citra dari data
Herlev. Hasil perbandingan untuk luas nukleus dari semua kelas abnormal dan
setiap kelas Mild (Light) Dysplasia (MLD) dan Severe Dysplasia (SD) nilai
tertinggi pada modifikasi kanal warna R+G+B. Sedangkan pada kelas Moderate
Dysplasia (MD) dan Carcinoma In Situ (CIS), nilai tertinggi pada modifikasi kanal
warna R+B seperti terlihat pada Tabel III.6.
Dari nilai korelasi Spearman rho untuk segmentasi luas nukleus pada kelompok sel
normal dan abnormal di atas maka dapat dirangkum kesimpulan pada Tabel
III.7. Grafik rekomendasi untuk untuk modifikasi kanal warna untuk setiap kelas
diberikan pada Gambar III.9.
Tabel III.7 Rangkuman hasil kanal warna untuk kelas normal dan abnormal
Kelas Nilai Spearman rho Kanal Warna
Normal Superficial 0,793 Grayscale
Normal Intermediate 0,817 R+G+B
Normal Columnar 0,505 R+B
Mild (Light) Dysplasia 0,298 R+G+B
Severe Dysplasia 0,581 R+G+B
Moderate Dysplasia 0,450 R+B
Carcinoma In Situ 0,305 R+B
Gambar III.9 Grafik Rekomendasi Kanal Warna untuk Setiap Kelas.
53
Rekomendasi dari penelitian tentang karakteristik nukleus ini menunjukkan bahwa
pada tujuh kelas dari citra Pap smear memungkinkan untuk memiliki perlakukan
yang berbeda pada saat pengenalan nukleus pada masing-masing kelas. Untuk kelas
Normal Superficial dapat dipertimbangkan penggunaan kanal warna grayscale.
Sedangkan penggunaan modifikasi kanal warna R+G+B dapat dipertimbangkan
untuk segmentasi pada kelas-kelas Normal Intermediate, Mild (Light) Dysplasia,
dan Severe Dysplasia. Untuk kelas Normal Columnar, Moderate Dysplasia, dan
Carcinoma In Situ dapat digunakan modifikasi kanal warna R+B. Modifikasi kanal
warna RGB dibutuhkan untuk kelas-kelas lain kecuali kelas Normal Superficial.
Usulan penggunaan masing-masing kanal warna pada setiap kelas sejalan dengan
karakteristik nukleus pada Tabel III.1 dimana keabnormalan nukleus seiring dengan
perubahan bentuk nukleus dan perubahan warna.
2. Perbandingan Area Nukleus dan Sitoplasma.
Nilai rasio perbandingan antara area nukleus dan sitoplasma menjadi penilaian
utama untuk tingkat abnormalitas sel. Pada bagian ini digunakan data area nukleus
dan area sitoplasma dari data Herlev (Jantzen, 2005). Tujuannya untuk mengetahui
besarnya nilai rasio nukleus dan sitoplasma pada masing-masing kelas. Dari 917
citra data Herlev diperoleh data rasio area nukleus dan sitoplasma untuk ketujuh
kelas pada Tabel III.8. Tabel data rasio nukleus dan sitoplasma ini akan digunakan
dalam identifikasi kelas sel pada proses-proses penelitian di bab- bab selanjutnya.
Tabel III.8 Rasio Area Nukleus dan Sitoplasma pada Tujuh Kelas
(diolah dari data Herlev (jantzen, 2005))
Nilai Kelas
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Kelas 7
Max 0.032665 0.095717 0.667894 0.621777 0.758475 0.843202 0.885497
Min 0.00399 0.012663 0.153379 0.099454 0.143762 0.179315 0.230741
Average 0.011796 0.031257 0.34599 0.267897 0.378829 0.485541 0.602169
Standar
Deviasi 0.006146 0.014082 0.103219 0.102974 0.119767 0.142986 0.132108
54
Bab IV Eliminasi Sel Radang dan Deteksi Nukleus pada Citra
Sel Tunggal Pap smear
Dalam bab ini akan dibahas tentang eliminasi sel radang pada citra sel tunggal Pap
smear. Metode ini dibangun dengan menggabungkan pengetahuan tentang deteksi
sitoplasma dan nukleus. Algoritma segmentasi dikembangkan untuk mengekstrak
sel-sel radang dan memungkinkan deteksi nukleus menjadi akurat. Algoritma yang
diusulkan didasarkan pada kombinasi graylevel thresholding dan definisi aturan
jarak, yang memerlukan identifikasi sel-sel radang. Proses eliminasi sel radang ini
selanjutnya akan digunakan pada proses pemisahan sel tumpang tindih.
Meskipun ada banyak metode yang diusulkan dalam literatur untuk analisis citra
Pap smear, masalah identifikasi sel radang belum banyak ditangani. Penelitian
tentang penentuan batas nukleus dan sitoplasma dalam citra serviks yang hanya
berisi satu sel atau sel terisolasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti, (Bamford,
dan Lovell (1996), Bamford dan Lovell (1998), Lassouaoui dan Hamami (2003),
Bak dkk. (2004), Yang-Mao dkk. (2008), Lin dkk. (2009), Yung-Fu dkk. (2014).
Metode yang diusulkan dalam Plissiti dkk. (2011a), dan Plissiti dkk. (2011b) yaitu
mendeteksi lokasi nukleus dan penetapan batas masing-masing nukleus, dalam citra
sel Pap smear konvensional yang mengandung sel-sel yang terisolasi dan kluster
atau kelompok sel.
Selain itu, banyak metode tidak menggunakan informasi warna dari citra serviks.
Dalam Garrido dan de la Blanca (2000) telah mengusulkan metode menggunakan
citra grayscale untuk mendapat tepi benda tumpang tindih dalam citra yang
kompleks. Selain itu, metode lain seperti algoritma genetika oleh Lassouaoui dan
Hamami (2003), klasifikasi piksel oleh Bak dkk. (2004), region growing oleh Isa
(2005), deformable models oleh Plissiti dkk. (2010), deteksi kontur oleh Tsai dkk.
(2008), Malm dan Brun (2009) juga diusulkan untuk segmentasi citra serviks
menggunakan citra grayscale. Harus dicatat bahwa tak satu pun dari penelitian
tersebut di atas berhubungan dengan keberadaan sel-sel radang dalam citra Pap
smear.
55
Segmentasi citra sel dengan menggunakan thresholding telah diusulkan oleh
beberapa peneliti, seperti Poulsen dan Pedron (1995), Wu dkk. 1998, Riana dkk.
(2014a). Melalui teknik ini, citra biner yang diekstraksi dengan thresholding dari
citra awal menjadi sangat jelas dan sederhana untuk dianalisis dan secara signifikan
mengurangi sejumlah data. Secara umum, tujuan dari metode ini adalah secara
otomatis mengidentifikasi nilai thresholding untuk memisahkan sel dari latar
belakang dan nukleus dari sitoplasma. Perbandingan beberapa metode seleksi
thresholding dilakukan oleh Sezgin dan Sanlur (2004). Sebuah teknik thresholding
juga diusulkan dengan metode multiscale local adaptive threshold berdasarkan
stabilitas bentuk pada ekstraksi nukleus dari latar belakang oleh Li, dan Najarian
(2007).
Dalam penelitian ini mengusulkan sebuah metodologi untuk analisis citra sel Pap
smear yang mempunyai dua tujuan spesifik, yaitu:
1. Ekstraksi sel radang dalam citra yang mengandung sel-sel tunggal
2. Deteksi lokasi nukleus dan sitoplasma
Dengan demikian, kontribusi utama penelitian ini ada dua. Pertama, bagian- bagian
dari citra yang tidak termasuk temuan atau bagian yang membantu proses analisa,
seperti latar belakang, akan dibuang. Kedua, ekstraksi sel radang menyebabkan
isolasi nukleus yang sebenarnya dari masing-masing sel, memberikan informasi
tambahan dan saling melengkapi. Dengan cara ini, ahli cytologist atau patologi
dapat memperoleh keputusan diagnostik yang dapat diandalkan tentang slide Pap
smear.
Metode penelitian ini didasarkan pada teknik threshold dan menghasilkan
segmentasi citra yang efektif. Metode ini menggabungkan pengetahuan apriori
tentang posisi nukleus, yang diestimasi bergantung pada pusat massa atau centroid
sitoplasma. Secara umum, nukleus yang terletak di tengah sitoplasma. Berdasarkan
fakta ini, penelitian ini mengusulkan sebuah metode yang dapat membedakan lokasi
nukleus dalam citra Pap smear. Metode ini memanfaatkan nukleus dan karakteristik
sitoplasma melalui analisis citra morfologi. Metode ini telah dievaluasi dengan
menggunakan data tes sebanyak 222 citra Pap smear konvensional, yang
mengandung total 418 sel terisolasi dan terdapat sel-sel
56
radang di sekitarnya. Bab ini disusun sebagai berikut bagian pertama menjelaskan
secara rinci material dan metodologi yang diusulkan. Pada bagian kedua disajikan
hasil eksperimen, evaluasi numerik dan analisa fitur dan pada bagian ketiga terdapat
evaluasi dari metode dan perbandingan dengan metode lainnya.
IV.1 Material dan Metode
Dalam penelitian ini digunakan beberapa citra Pap smear yang mengandung sel-
sel tunggal atau tumpang tindih yang dikelilingi oleh sel-sel radang. Citra-citra ini
diperoleh melalui slide mikroskopis menggunakan kamera digital yang diadopsi
pada mikroskop. Citra simpan dalam format JPEG. Penelitian ini menghasilkan
sebuah database citra yang didasarkan pada hasil pengamatan laboratorium yang
diberikan oleh ahli patologi di Laboratorium Patologi di Indonesia. Total basis data
terdiri dari 222 citra.
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
Gambar IV.1 Contoh Citra Asli
Gambar IV.1 (a-f) menggambarkan beberapa contoh citra dalam penelitian ini.
Karakteristik sel di semua citra adalah sel normal dengan sel-sel radang, kecuali
(1e) yang ditandai sebagai sel yang tidak normal (kriteria atipic).
57
Citra Sel Pap smear
Gambar IV.2. Skema segmentasi dan eliminasi sel radang pada sel tunggal
Skema dari metode yang diusulkan diilustrasikan pada Gambar IV.2. Tahap
pertama adalah tahap pre-processing yang meliputi konversi warna dan
peningkatan citra untuk diproses lebih lanjut. Langkah selanjutnya adalah
Segmentasi Citra
Citra Hasil, Ekstraksi Fitur
dan Identifikasi Jenis Sel
Analisa Morphologi dan Identifikasi Sel
(Area, Perimeter, Roundness)
Ekstraksi sel radang dan deteksi nukleus
Segmentasi Sub Citra
1. Segmentasi dengan lokal
threshold
2. Cropping otomatis
kandidat nucleus
3. Perhitungan fitur kandidat
nukleus
Pre-processing
Konversi Warna
Peningkatan Citra
1. Segmentasi dengan global threshold.
2. Cropping otomatis sel
3. Perhitungan Fitur Sitoplasma
Pre-processing citra
Konversi Warna
Peningkatan Citra
58
pengolahan ditingkatkan citra, yang bertujuan untuk segmentasi satu sel dari latar
belakang dan untuk mengekstrak nukleusnya dari sel-sel radang. Selanjutnya,
proses ekstraksi fitur diterapkan, di mana beberapa fitur penting yang dihitung,
seperti area, perimeter dan kebulatan (roundness) dari nukleus dan sitoplasma.
Fitur-fitur ini diambil untuk analisa lebih lanjut. Setiap tahap dari skema metode ini
dibahsa secara rinci dalam paragraf berikutnya.
IV.1.1 Pre-processing
Tahap pre-processing mempersiapkan citra untuk diproses lebih lanjut. Citra Pap
smear adalah citra optik berwarna yang berkualitas buruk karena variasi proses
stanning digunakan untuk mewarnai sel dan pencahayaan merata di seluruh bidang
pandang. Informasi warna tidak signifikan dibandingkan dengan intensitas citra.
Oleh karena itu dalam tahap pre-processing, langkah pertama adalah mengkonversi
citra RGB ke citra grayscale. Nilai grayscale diperoleh dengan persamaan dari
komponen R, G, dan komponen B seperti yang diberikan dalam (4.1).
1 gray = 0.2989 * R + 0.5870 * G + 0.1140 *B (4.1)
Diperlukan batas yang jelas antara nukleus dan sitoplasma untuk mengekstrak
nukleus dari sel. Namun, kontras citra Pap smear sangat kurang dan perbedaan
homogenitas dalam intensitas citra membuat proses lebih lanjut menjadi sulit.
Dengan demikian, perlu untuk dilakukan peningkatan kontras citra untuk
mendapatkan tepi dan batas-batas yang jelas dari nukleus. Ini merupakan prasyarat
untuk mendapatkan segmentasi dan ekstraksi fitur yang akurat dari citra.
Penyesuaian citra (image adjustment) dan penyaringan (filtering) digunakan untuk
meningkatkan kontras citra, sehingga batas-batas sel yang jelas dapat dibedakan
dari latar belakang citra. Kualitas citra yang telah ditingkatkan lebih cocok untuk
prosedur segmentasi. Prosedur ini membuat nilai-nilai intensitas dalam citra
grayscale yang kontrasnya rendah dipetakan ke nilai-nilai baru dalam citra,
disesuaikan hingga 1%, sehingga, kontras citra meningkat. Masking unsharp
59
digunakan untuk meningkatkan ketajaman citra, yang menghasilkan citra tepi
g(x,y) dari sebuah citra input f(x, y) yang diberikan oleh:
g(x,y) = f(x,y) – fsmooth(x,y) (4.2)
Dimana fsmooth(x,y) adalah menghaluskan f(x,y). Kombinasi semua variabel dalam
persamaan, di mana k adalah nilai-nilai konstan bervariasi antara 0,2 dan 0,7,
menghasilkan persamaan penajaman citra sebagai berikut,
fsharp (x,y) = f(x,y) +k * g (x,y) (4.3)
Seperti dapat dilihat pada Gambar IV.3 (d), setelah langkah preprocessing citra
lebih jelas daripada citra awal, karena tepi dan komponen frekuensi tinggi lainnya
telah ditingkatkan. Citra yang diperoleh dari langkah preprocessing kemudian
digunakan sebagai input pada langkah berikutnya untuk ekstraksi sel radang.
Citra asli (4a) Citra Grayscale (4b)
Citra Adjust (4c) Citra Sharpened (4d)
Gambar IV.3 Citra asli dan hasil pre-processing
60
IV.1.2 Segmentasi Citra dan Sub Citra
Pada langkah ini, citra diproses agar dapat secara efektif mendeteksi ROI (regions
of interest) dalam kasus ini adalah sel dari latar belakang. Latar belakang dalam
citra ini diharapkan dapat menunjukkan karakteristik homogen, sedangkan noise
yang tinggi akan dihapus pada langkah preprocessing. Selain itu, latar belakang
memperlihatkan perbedaan yang signifikan dari daerah sel, karena umumnya
intensitas sel lebih rendah dari intensitas latar belakang. Untuk alasan ini, image
thresholding menyediakan cara yang mudah dan efektif untuk menentukan daerah
ROI dalam citra tertentu.
Hasil dari proses thresholding sangat tergantung pada pilihan nilai ambang batas.
Dalam percobaan ini, ditentukan nilai ambang batas atau thresholding 0,65 untuk
semua citra dalam database. Nilai ini telah secara empiris diperoleh dengan trial
dan error untuk 222 citra input.
Setelah penerapan proses thresholding dalam citra, diambil citra biner yang berisi
daerah ROI, yang digambarkan sebagai daerah putih yang dibangun oleh 4-
connected components. Daerah ini diharapkan menjadi citra sel-sel yang terisolasi
atau kelompok sel. Selanjutnya dapat dihitung beberapa fitur tambahan dari obyek
yang dihitung, seperti area dan pusat massa, yang kemudian akan digunakan untuk
definisi sel nukleus, seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya.
Untuk mengambil informasi yang berguna dari karakteristik citra sel, maka secara
mandiri setiap sel terdeteksi diproses dengan pemotongan (cropping) otomatis citra.
Untuk itu digunakan persegi panjang terkecil (bounding box) yang mengandung
daerah yang diamati.
Dalam penelitian ini digunakan biner invert yaitu membalikkan citra biner ketika
sel-sel ditampilkan sehingga nilai-nilai 0 akan ditampilkan sebagai putih dan 1
nilai-nilai yang ditampilkan sebagai hitam (Gambar IV.4).
Penggunaan invert binary untuk proses cropping sel, labelling dan region
properties. Pada daerah yang berwarna putih diberikan label dan diambil properti
61
citranya berupa luas dan centroid. Proses ini menggunakan 4-connected objects
untuk menemukan koneksi dalam 4 arah.
Untuk mengekstrak fitur area dari citra biner dihitung dari jumlah piksel putih pada
daerah sel. Centroid ditentukan dari pusat massa. Elemen pertama dari centroid
adalah koordinat horizontal (atau koordinat x) dari pusat massa, dan elemen kedua
adalah koordinat vertikal (atau koordinat y).
Gambar IV.4 Citra invert binary dan hasil cropping otomatis sel.
Cropping citra sel otomatis menggunakan region of interest untuk mendapatkan
area spesifik di setiap sel dan akan ditentukan pusat massa dari sel. Proses ini
menggunakan persegi panjang terkecil yang mengandung daerah sel atau yang
disebut bounding box. Gambar IV.5, menggambarkan massa dan bounding box.
Wilayah ini terdiri dari piksel putih, kotak hijau adalah bounding box, dan titik
merah adalah centroid.
62
Gambar IV.5 Ilustrasi centroid dan bounding box
Proses cropping otomatis dilakukan berulang sebanyak daerah yang dianggap
sebagai sebuah sel dalam citra. Proses cropping otomatis diulang sesuai dengan
jumlah sel dalam citra menghasilkan satu set sub citra.
Untuk setiap sub citra diekstrak, mengikuti langkah preprocessing, mirip dengan
prosedur sebelumnya (penyesuaian citra grayscale dan filtering) untuk peningkatan
karakteristik citra. Selain itu, prosedur thresholding kemudian dilakukan di setiap
sub citra, untuk mengekstraksi kandidat nukleus dalam sel.
(a) Citra Grayscale
(b) Citra Adjusted
(c) Citra Sharpened
(d) Binary images
63
Gambar IV.6 Hasil tahapan preprocessing pada sub citra.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa daerah nukleus lebih gelap dari daerah
sitoplasma di setiap sub citra. Nilai threshold diatur sebesar 0,25 untuk semua sub
citra yang dihasilkan cropping otomatis dari 222 citra asli dalam data set. Nilai ini
diperoleh secara empiris.
Pada Gambar IV.6 dapat dilihat beberapa langkah dari prosedur thresholding dalam
tiga sub citra. Pada Gambar. IV.6 (d) citra biner dihasilkan dengan kemungkinan
berisi lebih dari satu calon nukleus. Namun, diharapkan di setiap sub citra dideteksi
hanya satu sel (Gambar IV. 7), proses lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
nukleus yang benar di setiap sub citra dan untuk mengekstrak sel-sel radang.
Gambar IV.7 Kandidat Nukleus dalam Sel
IV.1.3 Ekstraksi Sel Radang dan Deteksi Nukleus
Ektraksi sel inflamasi atau radang dan deteksi nukelus didasarkan pada pengetahuan
apriori tentang fitur geometris nukleus. Dalam penelitian ini, dianggap bahwa
bentuk nukleus mengikuti pola elips dan posisi nukleus dalam sel diasumsikan
dekat dengan pusat massa sitoplasma. Dengan demikian, digunakan aturan jarak,
membandingkan jarak euclidean dari posisi pusat massa sitoplasma ke semua pusat
massa calon nukleus.
64
Definisi jarak terpendek antara inti dan pusat massa sitoplasma menunjukkan
adanya nukleus sebenarnya. Semua kandidat lain yang memiliki jarak yang lebih
besar ke pusat massa sitoplasma dibuang, dan dinyatakan sebagai sel-sel radang.
Sel-sel radang ini akan diambil dan dihilangkan dengan mengubah warna menjadi
warna yang sama dengan warna sitoplasma. Nukleus sel yang terdeteksi tersisa
dengan warna aslinya. Gambar IV.8 (b) menunjukkan hasil dari prosedur ini
dibandingkan dengan citra asli. Dalam citra ini, dapat dilihat bahwa sel-sel radang
dalam citra dapat dihilangkan.
(a) Citra asli
(b) Citra Hasil
65
Gambar IV.8 Ekstraksi sel radang sebuah citra setelah aplikasi metode yang
diusulkan.
IV.1.4 Analisa Morphologi dan Identifikasi Sel
Langkah analisa morphologi untuk sitoplasma dan nukleus adalah melakukan
analisis morphologi bentuk daerah sel yang berhasil dideteksi pada citra untuk
mengekstrak kesimpulan yang berguna. Ekstraksi fitur morphologi dilakukan,
dengan menghitung area, perimeter dan kebulatan (roundness) wilayah sitoplasma
dan nukleus. Daerah nukleus dihitung dari himpunan piksel putih untuk setiap
nukleus yang terdeteksi dalam bounding box. Demikian pula, daerah sitoplasma
dihitung dengan menghitung piksel putih di bounding box dari sitoplasma.
Perimeter adalah jumlah piksel yang terdiri dari batas objek. Sedangkan untuk
perhitungan kebulatan (roundness) digunakan rumus berikut
Kebulatan = 4π Αrea / Perimeter2 (4.4)
Contoh ekstraksi ciri morphologi pada citra dapat dilihat pada Tabel IV.1. Analisis
fitur sel morphologi tersebut adalah salah satu proses yang paling penting, dalam
rangka untuk memperoleh kesimpulan diagnostik yang handal dan mendeteksi
secara dini kanker serviks. Untuk sel yang terdeteksi sempurna dapat dihitung nilai
area, perimeter dan roundness Tabel IV.1 berisi fitur yang diperoleh dari proses
ini.
Tabel IV.1. Contoh fitur sitoplasma dan nukleus sel tunggal
Properti Sitoplasma Nukleus Sitoplasma Nukleus
Area 65447 1534 108865 3271
Perimeter 2441.454 183.4386 2188.542 236.4508
Roundness 2740.324 0.134742 4123.69 0.277703
66
Hasil akhir dari eliminasi sel radang berupa citra tunggal yang terdeteksi fitur
nukleus dan teridentifikasi jenis sel. Identifikasi jenis sel mengacu pada Tabel
III.8 tentang rasio area nukleus dan sitoplasma pada tujuh kelas data Herlev.
Gambar IV.9 menunjukan proses eliminasi sel radang dari salah satu citra. Hasil
akhir diperlihatkan pada Gambar IV.10 berupa salah satu sel yang telah diekstraksi
sel radang dan berhasil diidentifikasi kelas sel sebagai kelas satu yaitu Normal
Superficial.
Gambar IV.9 Proses Eliminasi sel radang
(a) (b)
67
Gambar IV.10 Hasil eliminasi sel radang, (a) Sel radang yang telah diekstraksi
jenis sel telah diidentifikasi dan (b) Menunjukkan nilai fitur dari nukleus
terdeteksi.
Penjelasan mengenai lima tahap dalam metode usulan telah diuraikan di atas.
Selanjutnya untuk setiap tahap dari skema metode yang diusulkan dapat ditulis
dengan algoritma seperti pada Tabel IV.2.
Tabel IV.2. Algoritma_Segmentasi _Sel_Radang_pada_Citra_Sel_Tunggal_Pap_
smear
Pseudo-code
Input : Citra Pap smear dengan sel radang
Output: Citra nukleus dan sitoplasma terdeteksi
Stage 1 : Preprocessing
1. Konversi citra dari RGB ke grayscale.
2. Tingkatkan citra dengan adjustment dan filter unsharp.
Stage 2: Segmentasi Citra
3. Terapkan global threshold 0.65 untuk mendapatkan citra hitam putih calon
sitoplasma.
4. Hitung fitur sitoplasma yaitu centroid, area, dan bounding box.
5. Cropping otomatis sitoplasma dengan bounding box >200x200 piksel.
6. if cropping otomatis calon nukleus > 200x200 piksel then S adalah citra
sitoplasma terdeteksi atau sub citra dari citra awal.
Stage 3: Segmentasi sub citra.
7. for k = 1,2,3, …, n; dimana n adalah sub citra
8. Konversi sub citra dari RGB ke grayscale.
9. Tingkatkan sub citra dengan adjustment dan unsharp.
10. Terapkan global threshold 0.25 untuk mendapatkan citra hitam putih calon
nukleus.
11. Hitung fitur calon nukleus yaitu centroid, area, dan bounding box.
12. Cropping otomatis calon nukleus dengan bounding box >13x13 piksel.
13. if cropping calon nukleus > 13x13 piksel then Cn adalah calon nukleus.
Stage 4: Ektraksi Sel Radang dan Deteksi Nukleus
14. Ekstraksi sel radang dilakukan dengan mengambil semua nilai dari proses 10.
15. Deteksi Nukleus:
for i = urutan sitoplasma; j = urutan calon nukleus; [m,n]= (baris, kolom).
16. Tentukan S1, S2, …, Si = S1(m1,n1) , S2(m2,n2),…, Si(mi,ni) sebagai centroid
sitoplasma terdeteksi.
68
i(mi,ni) + j(mj,nj)
17. Tentukn Cn1, Cn2, …,Cni = Cn1(m1,n1) , Cn2(m2,n2),…, Cnj(mj,nj) sebagai centroid
calon nukleus terdeteksi.
18. Hitung jarak terdekat D = min (S 2 Cn 2)1/2
19. end
20. D adalah nukleus terdeteksi.
21. end
Stage 5: Analisa Morphologi dan Identifikasi Jenis Sel
22. Ambil fitur area sitoplasma dan nukleus terdeteksi.
23. Hitung fitur perimeter dan roundness dari sitoplasma dan nukleus terdeteksi.
24. Hitung perbandingan area nukleus terdeteksi dengan area sitoplasma
terdeteksi.
25. Tentukan jenis sel.
IV.2 Hasil Eksperimen
IV.2.1 Studi Group
Dalam penelitian ini digunakan 222 citra database citra Pap smear dengan sel-sel
sel radang yang memiliki 418 citra cropping, yaitu 255 sel tunggal dan163 citra sel
tumpang tindih. Sebagai data pelatihan diambil sebanyak 143 citra yang setelah
dilakukan proses cropping memiliki 293 citra, dimana 169 adalah sel tunggal dan
124 sel tumpang tindih.
Selanjutnya, metode yang diusulkan diuji dalam hal penentuan akurat dari nukleus
dan batas sitoplasma pada data uji sebanyak 79 citra dengan sel-sel sel radang yang
berisi 125 citra cropping, yaitu 86 sel tunggal dan 39 sel tumpang tindih. Harus
dicatat bahwa pelatihan dan uji merupakan citra yang independen. Citra- citra ini
diperoleh melalui kamera Logitech (Logitech HD C525) dengan dua jenis
mikroskop optik Olympus CH20 dan Olympus CH31, menggunakan lensa
perbesaran 40x dan citra yang diperoleh disimpan dalam format JPEG. Citra-citra
tersebut kemudian di-cropping secara otomatis untuk mendapatkan satu sel yang
mengandung sel-sel radang atau inflamasi.
IV.2.2 Evaluasi Numerik
Penerapan metode yang diusulkan untuk data set citra menghasilkan hasil yang
menjanjikan, yang menunjukkan bahwa metode ini dapat mendeteksi sel-sel radang
dan untuk menentukan secara akurat sitoplasma dan nukleus (Gambar
69
IV.11). Hal ini dicapai untuk 86 citra sel tunggal, di mana sel-sel radang dan
segmentasi sitoplasma dan nukleus berhasil diekstrak. Dalam 39 citra, sel radang
diidentifikasi dengan benar, yang kemudian diberi warna sama dengan warna
sitoplasma.
Metode yang diusulkan seluruhnya dilakukan secara otomatis. Terdiri dari dua
tahap yaitu preprocessing, segmentasi dan penentuan nukleus. Tabel IV.3
menunjukkan waktu proses 79 citra uji dengan Matlab menggunakan Core I3
dengan RAM 3 GB. Tahap segmentasi memiliki waktu proses 0.1645 ± 0.1159
detik dan lebih lama dibandingkan dengan tahapan preprocessing. Hal ini
disebabkan pada tahap ini dilakukan segmentasi berupa deteksi sitoplasma dan sub
segmentasi yaitu ekstraksi sel radang, deteksi calon nukleus dan penentuan nukleus
berdasarkan jarak terdekat dari pusat centroid.
Gambar IV.11 Hasil dari metode yang diusulkan untuk ekstraksi sel inflamasi dan
deteksi sitoplasma dan nukleus.
70
Dalam waktu tersebut untuk 79 citra berkelompok yang mengandung sel radang
dapat dieksekusi sebanyak 125 sel dengan hasil 86 nukleus dapat dideteksi dengan
baik sedangkan 39 nukleus belum terdeteksi dengan benar. Perhitungan secara detil
untuk proses deteksi nukleus dan defenisi sel radang melibatkan 1046 sel kandidat
nukleus yang terdiri dari 188 sel nukleus dan 858 sel radang.
Tabel IV.3 Eksekusi Citra
Tahapan Prosess Waktu dalam detik
Preprocessing 0.1645 ± 0.1159
Segmentasi dan deteksi nukleus 0.9191 ± 0.4468
Tahap segmentasi dan deteksi nukleus dinyatakan berhasil jika nukleus dan sel
radang terdeteksi benar diantara sekumpulan kandidat nukleus. Pada proses ini 75
nukleus masih ditandai sebagai sel radang dan sebanyak 113 nukleus dideteksi
secara akurat atau 60,11 %. Sedangkan untuk deteksi sel radang, 278 sel masih
terdeteksi sebagai nukleus sedangkan 580 terdeteksi secara benar sebagai sel radang
atau sebesar 67,59%.
Perhitungan nilai True Positive (TP), True Negative (TN), False Positive (FP), dan
False Negative (FN) dari hasil deteksi nukleus dan sel radang digunakan dua
perhitungan statistik untuk performansi, yaitu:
1. Sensitivity yang menghitung proporsi sel nukleus yang terdeteksi dengan
benar dan didefenisikan sebagai:
Sensitivity = . TP . x 100% (4.5)
TP + FN
2. Specificity yang menghitung proporsi sel radang yang terdeteksi dengan
benar dan didefenisikan sebagai:
Specificity = . TN . x 100 % (4.6)
TN + FP
Nilai Sensitivity diperoleh sebesar 70.96 % menunjukkan masih terdapat sel nukleus
yang dianggap sel radang, ini sesuai dengan kondisi kesulitan yang dihadapi oleh
ahli patologi. Sedangkan nilai Specificity sebesar 82,54% menunjukkan bahwa sel
radang dideteksi dengan baik dan hanya sedikit sel radang yang dianggap sebagai
sel nukleus.
71
Secara lengkap nilai false negative dari hasil metode usulan diberikan pada Tabel
IV.4, berikut ini.
Tabel IV.4. Perhitungan Sensitivity dan Specificity 79 Citra
72
73
D = min (S Cn ) (4.7) ) )
Pada penentuan sel nukleus diantara sel radang atau calon nukleus digunakan
parameter jarak terdekat dari centroid calon nukleus ke centroid sitoplasma.
Parameter jarak terdekat dapat didefenisikan sebagai berikut:
Jika i = urutan sitoplasma
j = urutan calon nukleus (m,n)
= (baris, kolom)
Maka didapat nilai-nilai centroid yang terdeteksi, yaitu:
Centroid sitoplasma terdeteksi :
S1, S2, …,Si = S1(m1,n1) , S2(m2,n2),…, Si(mi,ni) dan
Centroid calon nukleus terdeteksi :
Cn1, Cn2, …,Cni = Cn1(m1,n1) , Cn2(m2,n2),…, Cnj(mj,nj)
Sehingga parameter jarak terdekat ditentukan sebagai:
2 2 1/2i(mi,ni + j(mj,nj
dimana D adalah Jarak terdekat atau minimum antara centroid sitoplasma dan
centroid calon nukleus. Sehingga nukleus yang sebenarnya adalah Cnj(mj,nj) jika D
terpenuhi.
IV.2.3 Hasil Analisa Fitur Morphologi
Selanjutnya dievaluasi 86 citra yang berhasil diekstraksi sel radang dan berhasil
dideteksi sitoplasma dan nukleusnya. Dalam citra ini, telah dihitung tiga ciri-ciri
morphologi sitoplasma dan nukleus, yaitu area, perimeter dan kebulatan atau
roundness. Dalam Gambar IV.12 dan IV.13, bisa melihat hasil dari perbandingan
daerah dan perimeter inti dan sitoplasma masing-masing. Seperti yang diharapkan,
sitoplasma memiliki area dan perimeter yang lebih besar dari nukleus.
74
Area
2.5
2
1.5
1
0.5
0
5
x 10
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Index Citra
Gambar IV.12 Grafik yang menunjukkan perbandingan area nukleus (kurva
bawah) dan sitoplasma (kurva atas) untuk 86 citra.
Perimeter
15000
10000
5000
0 0 10 20
30 40
50 60 70 80 90
Index Citra
Gambar IV.13 Grafik perbandingan nilai perimeter 86 citra, sitoplasma (‘+’) dan
nukleus (garis kontinu).
Tabel IV.5 menunjukkan fitur yang diukur dari sitoplasma dan nukleus yang
dihasilkan oleh metode ini dari 86 citra, yaitu rata-rata dan standar deviasi. Dimana
hasil untuk daerah sitoplasma adalah 122.741,9 ± 40.075,61, sedangkan hasil untuk
nukleus adalah 7.218,55 ± 9101. Tingginya nilai standar deviasi dari
75
daerah sitoplasma dapat dijelaskan sebagai intensitas nilai sitoplasma memiliki nilai
variasi yang beragam dibandingkan dengan intensitas nilai-nilai nukleus.
Tabel IV.5 Perbandingan nilai mean dan standar deviasi fitur sitoplasma dan
nukleus
Measures Sitoplasma Nukleus
Area Perimeter Roundness Area Perimeter Roundness
N 86 86 86 86 86 86
Mean 122741,9 4326,79 14455,92 7218,55 413,28 0,179
Standar 40075,61 3718,47 51482,56 9101 797,67 0,311
Deviasi
Gambar IV.14 menunjukkan nilai-nilai kebulatan setiap sitoplasma dan nukleus.
Seperti yang diamati, nukleus dari semua sel memiliki bentuk bulat; ini juga
ditunjukkan oleh hasil kebulatan, yaitu 0,179 ± 0,311. Ini menunjukkan bahwa
nukleus yang normal biasanya memiliki bentuk yang halus dan melingkar.
Sebaliknya, sitoplasma memiliki berbagai bentuk,sehingga nilai kebulatan
sitoplasma sangat bervariasi 14.455,92 ± 51.482,56.
Roundness
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
5
x 10
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Index Citra
Gambar IV.14 Grafik Garis Perbandingan Roundness antara Sitoplasma dan
Nukleus
76
IV.3 Diskusi
IV.3.1 Evaluasi dari metode yang diusulkan
Dalam penelitian ini diusulkan sebuah metode untuk ekstraksi sel radang dan
deteksi nukleus yang benar dalam citra Pap smear. Tes pada 79 citra yang
mengandung 125 sel dilakukan dan metode menghasilkan hasil yang akurat dalam
86 citra sel tunggal, di mana identifikasi sitoplasma dan inti dapat diandalkan.
Dalam 39 citra sel lainnya, berhasil diekstraksi sel radang dan terdeteksi batas
sitoplasma, tetapi belum berhasil menentukan nukleus dari setiap sel tumpang
tindih.
Seperti yang diverifikasi oleh ahli (dalam hal ini ahli patologi), metode mengarah
ke deteksi pada 86 sel dalam citra yang sesuai dari data set penelitian ini. Citra-
citra ini mengandung sel-sel pada kelas Normal Superfisial yang nukleusnya
berbentuk lingkaran dan berlokasi di pusat daerah sitoplasma. Namun, dalam 39
citra yang tersisa (Gambar IV.15) di mana metode luput untuk mengidentifikasi
beberapa nukleus, dapat diamati bahwa batas sitoplasma tidak digambarkan dengan
benar, dan terdapat sel-sel tumpang tindih.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar IV.15 Citra hasil reduksi sel radang pada sel tumpang tindih. Citra asli (a)
(c) dan citra hasil dimana sitoplasma dideteksi sebagai satu sel (b)
dan (d).
77
Dalam penelitian ini, dilakukan analisis morphologi sel terdeteksi. Dari rata-rata
dan standar deviasi dari semua hasil analisis morfologi, ada perbedaan yang jelas
antara ukuran rata-rata dan standar deviasi dari sitoplasma dan nukleus. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai gambar yang termasuk dalam kumpulan data (125 citra)
hanya berisi sel superfisial yang normal, yang menunjukkan rasio besar sitoplasma
dan nukleus. Hal ini konsisten dengan hasil perhitungan dimana perimeter dan
kebulatan, yang menunjukkan sel-sel normal superfisial dan sesuai dengan
verifikasi dari ahli.
Hasil menunjukkan bahwa metode yang diusulkan telah berhasil mendeteksi
nukleus dan sitoplasma dalam citra Pap smear, terutama sel-sel dalam kondisi
normal (normal superficial) dengan kondisi sitoplasma tidak terlipat atau tumpang
tindih. Identifikasi daerah nukleus sel serviks pada citra Pap smear konvensional
tetap menjadi masalah yang sulit, terutama pada sel-sel yang memiliki sel radang
dan tumpang tindih. Segmentasi yang akurat dari daerah nukleus merupakan
prasyarat untuk menarik kesimpulan untuk diagnostik dan karakterisasi mengenai
konten citra Pap smear.
Beberapa parameter yang digunakan dalam algoritma dapat dilihat pada Tabel
IV.6. Nilai-nilai parameter ini diambil dari citra dengan ukuran 1600x1200 dan
1280x720 yang merupakan ukuran citra dalam populasi. Nilai global threshlold
untuk mendapatkan sitoplasma adalah 0.65. Dengan nilai ini dapat dilakukan isolasi
sel dan latar belakang. Sedangkan untuk nukleus global threshlold 0.25 untuk
mendapatkan calon nukleus dalam sel. Hal ini dimaksudkan untuk proses
segmentasi selanjutnya.
Parameter ukuran sel pada saat segmentasi harus lebih dari 200x200 piksel, jika
kurang maka dianggap bukan sitoplasma. Untuk mendefenisikan nukleus
digunakan parameter jarak terdekat antara centroid sitoplasama dan centroid calon
nukleus yang diperoleh secara otomatis. Nilai-nilai area, perimeter dan roundness
untuk sitoplasma dan nukleus menghasilkan nilai rata-rata dan standar deviasi yang
menunjukan keragaman dari masing-masing nilai.
78
Tabel IV.6 Nilai Parameter-Parameter
Tahapan Metode Parameter Nilai
Preprocessing Ukuran Citra
Threshold Sitoplasma
Threshold nukleus
1600x1200 dan 1280x720
0.65
0.25
Segmentasi Ukuran sel
Ukuran Nukleus
>200x200
>13x13
IV.3.2 Perbandingan Metode Usulan dengan Metode Lain
Keberhasilan metode segmentasi radang terletak pada keberhasilan menidentifikasi
objek sel tunggal di proses awal atau pre-processing. Teknik pengenalan objek pada
metode usulan mampu memisahkan sitoplasma dari latar belakang untuk masuk
pada tahap segmentasi sel radang. Untuk mengetahui apakah proses pengenalan
objek sitoplasma ini unggul dari metode lain maka perlu dilakukan dilakukan
perbandingan dengan metode lain. Metode usulan dibandingkan dengan salah satu
metode yang ada dalam state of the art dalam penelitian citra kanker serviks yaitu
metode Lezoray, O., dan Cardot, H. (2002).
Gambar IV.16. Data latih untuk klasifikasi Bayesian
Metode Lezoray melakukan pengenalan objek sitoplasma dan nukelus berdasarkan
skema pixel classification, yaitu pada penggunaan k-means clustering dan
Bayesian. Untuk mengetahui apakah kedua metode ini cukup baik diaplikasikan ke
data set yang digunakan dalam penelitian ini dengan mengikuti prinsip Lezoray.
Sebagai catatan sebelum diujicobakan ke data set sesuai dengan prinsip Lezoray,
maka dilakukan proses penyederhaan citra dimana latar belakang citra akan dihapus
dan digunakan klasifikasi pada setiap piksel sebagai sitoplasma dan latar belakang.
Tabel IV.7 Perbandingan Citra Hasil dari Ketiga Metode
79
Citra Asli K- Means Bayesian Metode Usulan
Penerapan algoritma klasifikasi k-means clustering tidak membutuhkan data uji dan
langsung diterapkan pada setiap citra pada data set. Penerapan pada klasifikasi
Bayesian membutuhkan beberapa parameter yang harus didefenisikan
80
terlebih dahulu. Gambar IV.16 adalah citra yang digunakan untuk data latih
klasifikasi Bayesian.
Pengujian dilakukan terhadap data tes yang terdiri dari 79 citra dengan sel-sel
radang, yang berisi 125 citra cropping (86 citra sel terisolasi dan 39 citra sel
tumpang tindih). Algoritma pengujian terdiri dari 3 tahapan :
1. Penyederhaan (simplification) citra
Penyederhanaan citra dengan membuang background:
a) Citra diubah ke dalam citra hitam putih
b) Sel dan nukleus yang terdeteksi diberi warna semula, hanya background
saja yang hitam.
2. Penggunaan Klasifikasi K-means
3. Penggunaan Klasifikasi Bayesian.
Hasil dari kedua klasifikasi Bayesian dan K-means yang diuji ke 79 citra diperoleh
kondisi bahwa kedua metode ini belum mampu mendeteksi nukleus, sel radang dan
sitoplasma secara akurat jika dibandingkan dengan metode usulan. Seperti yang
ditunjukkan oleh citra pada Tabel IV.7, dalam semua citra yang diuji, untuk
klasifikasi K-Means dan Bayesian menunjukkan hasil tidak seakurat yang
diharapkan, dimana dalam beberapa kondisi sitoplasma maupun nukleus tidak
terdeteksi dengan sempurna. Sedangkan pada hasil metode usulan terlihat bahwa
sitoplasma dan nukleus berhasil dideteksi yang berhasil dibedakan dalam dua citra
hasil yaitu sitoplasma dan nukleus.
81
Bab V Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel
Radang Pap Smear
Dalam bab ini akan dibahas tentang pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel
radang. Metode ini dibangun dengan menggabungkan pengetahuan tentang
pemisahan sitoplasma tumpang tindih, eliminasi sel radang dan deteksi nukleus.
Algoritma segmentasi dikembangkan untuk memisahkan sitoplasma tumpang
tindih dan mengeliminasi sel-sel radang dan memungkinkan deteksi nukleus
menjadi akurat. Algoritma yang diusulkan didasarkan pada kombinasi graylevel
thresholding dan definisi aturan jarak, dan pendekatan geometri.
Pemisahan sel tumpang tindih tetap menjadi salah satu masalah yang paling
menantang dalam analisis citra mikroskopis. Dalam bab ini akan dibahas tentang
pemisahan citra sel tumpang tindih dan pada citra sel Pap smear. Algoritma
pemisahan sel tumpang tindih dikembangkan untuk segmentasi sel dan daerah
tumpang tindih sitoplasma. Proses pemisahan citra sel tumpang tindih akan
menghasilkan citra akhir berupa sel tunggal yang terdeteksi nukleus dan
teridentifikasi jenis selnya.
Sel yang tumpang tindih adalah fenomena yang umum dalam slide mikroskopik
Pap smear. Menurut ahli patologi salah satu problem dalam diagnosis cytopatology
Pap smear adalah penilaian terhadap sel tumpang tindih yang dapat menyebabkan
kesalahan diagnostik. Fokus utama pada bagian ini adalah pemisahan sel tumpang
tindih pada citra Pap smear. Menurut Plissiti dan Nikou (2013), sampai saat ini
deteksi sitoplasma pada sel tumpang tindih masih menjadi permasalahan yang sulit,
belum ada metode dalam literatur yang hasilnya secara otomatis dapat
menggambarkan sitoplasma dalam kelompok sel dalam kondisi tumpang tindih.
Penelitian sebelumnya fokus pada isolasi nukleus dan kondisi sel tidak mengandung
sel radang.
Segmentasi pada citra nukleus tumpang tindih sudah diteliti oleh beberapa peneliti
sebelumnya seperti Yang Mao dkk. (2008), Bamford dan Lovell (1998) dan Plissiti
dan Nikou (2012a). Lebih khusus lagi penelitian yang menggunakan teknik
segmentasi untuk memisahkan sel nukleus yang tumpang tindih, seperti
82
geometri active countours oleh Zimmer dan Olivio-Martin (2005), physically based
model oleh Plissiti dan Nikou (2012a) yang memanfaatkan pengetahuan tentang
bentuk elips untuk menduga batas nukleus tumpang tindih.
Pada sel sitoplasma yang tumpang tindih pengetahuan tentang bentuk geometri dan
fisik sel tidak bisa diterapkan dikarenakan bentuk dari sitoplasma yang tidak
beraturan.
Penelitian tentang segmentasi sitoplasma tumpang tindih telah dilakukan Tareef
dkk. (2015) dan Lu dkk. (2015). Terdapat tiga stage yang diusulkan untuk deteksi
otomatis dan segmentasi sitoplasma tumpang tindih oleh Tareef dkk, (2015) yaitu:
1. Stage satu berupa deteksi sel tumpang tindih menggunakan superpixel
clustering dan thresholding,
2. Stage dua berupa segmentasi dan deteksi nuklei dengan menggunakan
Suport Vector Machine,
3. Stage ketiga berupa segmentasi sel tumpang tindih berdasarkan proses
peningkatan tepi sel, gradien threholding, operasi morphologi dan evaluasi
region properties.
Penggunaan ketiga stage yang berisi kumpulan metode dan teknik yang jika dilihat
secara mandiri tidak menunjukkan suatu hal yang baru, tetapi ketika metode-
metode tersebut digabungkan dapat digunakan untuk segmentasi sel tumpang
tindih. Tarref dkk (2014) sebagian besar berhasil melakukan segmentasi hampir
semua sel tumpang tindih pada data set ISBI 2014, tetapi belum melakukan
pemisahan sel tumpang tindih menjadi sel-sel tunggal. Hal lain peneliti tersebut
tidak membahas keberadaan sel radang dalam penelitiannya.
Terdapat perbedaan penelitian disertasi ini bahwa penelitian ini memiliki fokus
pemisahan sel tumpang tindih menjadi sel tunggal sekaligus mengatasi keberadaan
sel radang dan pada akhirnya dilakukan analisa morphologi untuk nukleus dan
sitoplasma terdeteksi dan identifikasi terhadap jenis sel yang sedang diamati. Bab
ini disusun sebagai berikut, bagian pertama menjelaskan secara rinci proses delinasi
sel tumpang tindih, bagian kedua tentang material dan metodologi
83
yang dijelaskan secara rinci pada setiap langkahnya. Pada bagian ketiga disajikan
hasil eksperimen dan evaluasi dari metode yang diusulkan.
V.1 Delinasi Sel Tumpang Tindih.
Proses delinasi sel tumpang tindih adalah rangkaian proses pemisahan sel tumpang
tindih. Delinasi adalah menggambarkan sel tumpang tindih. Terdapat empat proses
dalam delinasi sel, yaitu pembagian daeran tumpang tindih, pencarian jarak
terdekat, penyambungan pinggiran sitoplasma dan isolasi sel tumpang tindih.
Proses delinasi sel tumpang tindih akan menghasilkan sel-sel tunggal.
Gambar V.1 Ilustrasi Pemisahan Sel Tumpang Tindih.
Ilustrasi delinasi sel tumpang tindih pada Gambar V.1, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Pembagian daerah tumpang tindih
Hal ini dilakukan dengan membagi daerah tumpang tindih menjadi dua bagian
untuk mempermudah penentuan titik sambung daerah tumpang tindih dengan
sel tumpang tindih. Proses membagi dua daerah tumpang tindih menjadi
84
bagian atas dan bagian bawah dilakukan dengan mendapatkan titik tengah
boundary. Caranya dengan menghitung tinggi boundary dan dibagi dua.
Jika diketahui Xi dan Yj dimana i =1,2,3,…., n dan j = 1,2, 3,…, m dan titik
boundary (Xi , Yj) = (X1 , Y1), (X2 , Y2), (X3 , Y3), …, (Xn , Ym), maka tinggi
boundary adalah Y1, Y2, Y3, … Ym. Sehingga titik tengah (K) diperoleh dari nilai
rata-rata dari penjumlahan nilai maxsimum dan minimum Yi. Proses pembagian
daerah tumpang tindih dibuat dalam algoritma pada Tabel V.1 berikut ini:
Tabel V.1 Algoritma_Pembagian_Daerah_Tumpang_Tindih
Pseudo-code
Input : Pinggiran (boundary) daerah tumpang tindih
Output: Pinggiran bagian atas dan pinggiran bagian bawah daerah
tumpang tindih
1. Bagi dua pinggiran daerah tumpang tindih menjadi bagian atas dan
bagian bawah. 2. if pinggiran (Xi , Yi) = (X1 , Y1), (X2 , Y2), (X3 , Y3), …, (Xn , Ym) then
tinggi pinggiran adalah Y1, Y2, Y3, … Ym.
3. Ambil Y max dan Y min 4. Tentukan titik tengah (K)= (Ymax +Ymin)/2 5. if Yi < K then pinggiran bagian atas daerah tumpang tindih = 0 6. else pinggiran bagian bawah daerah tumpang tindih =1
7. end
b. Pencarian jarak terdekat dari boundary awal (atas dan bawah).
Mencari jarak terdekat dari pinggiran sitoplasma tumpang tindih ke bagian atas
dan bawah daerah tumpang tindih. Pada proses ini dilakukan perhitungan jarak
terdekat antara pinggiran sitoplasma tumpang tindih dengan dua bagian atas dan
bawah dari daerah tumpang tindih pada proses sebelumnya. Jika diketahui
koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih (Pi, Qi), koordinat pinggiran
daerah tumpang tindih bagian atas (Xi, Yi) <= K dan koordinat pinggiran daerah
tumpang tindih bagian bawah (Xi, Yi) > K, maka diperoleh dua jarak terdekat
antara kedua koordinat yaitu:
D< = K = min ((Pi – Xi)2 + (Qj – Yj)
2)1/2 (5.12)
D> K = min ((Pi – Xi)2 + (Qj – Yj)
2)1/2 (5.13)
Algoritma pencarian jarak terdekat dibuat dalam Tabel V.2 berikut ini.
85
Tabel V.2 Algoritma_Pencarian_Jarak_Terdekat
Pseudo-code
Input : Pinggiran sitoplasma tumpang tindih, pinggiran bagian atas daerah
tumpang tindih,dan pinggiran bagian bawah daerah tumpang tindih.
Output: Jarak terdekat antara pinggiran sitoplasma tumpang tindih dengan
pinggiran bagian atas daerah tumpang tindih (D<k), dan Jarak terdekat antara
pinggiran sitoplasm tumpang tindih dengan pinggiran bagian bawah daerah
tumpang tindih (D>=K).
1. if (Pi, Qi) koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih dan (Xi, Yi) koordinat pinggiran daerah tumpang tindih then
2. D < K = min ((Pi – Xi)2 + (Qj – Yj)2)1/2 dan 3. D> =K = min ((Pi – Xi)2 + (Qj – Yj)2)1/2
4. end
c. Penyambungan pinggiran sitoplasma
Pada proses ini dilakukan penyambungan tepi sel dengan menggunakan dua
titik terdekat yang merupakan hasil dari jarak terdekat pada proses sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan penyambungan dengan ketentuan pada Tabel V.3.
Ketentuan penyambungan ini berlaku untuk posisi titik di atas dan bawah
dengan kondisi sel tumpang tindih horizontal.
Tabel V.3 Ketentuan Penyambungan Pinggiran Sitoplasma dengan Koordinat
Pinggiran Daerah Tumpang Tindih
Posisi Titik Ketentuan Penyambungan
. A (Pi, Qi)
. B (Xi, Yi)
Jika nilai Pi = Xi (Yi - Qi) adalah banyaknya
piksel , sehingga Garis (Xi, Qi) (Xi, Yi) = 1 atau
penyambungan dilakukan dengan mengisi warna
putih pada piksel.
L. . A (Pi, Qi)
. . M
B (Xi, Yi)
Jika nilai Pi > Xi dan Yi > Qi maka perlu tentukan
dua titik yaitu L = {(Xi Pi) ; Qi} dan M = {(Qi
Yi) ; Pi} sehingga membentuk daerah persegi
panjang LBMA = 1 atau penyambungan dengan
mengisi warna putih pada piksel.
Ketentuan pada Tabel V.3 dapat dirinci untuk 8 posisi titik (Gambar V.2-V.9),
sehingga diperoleh 8 kriteria. Misal (Pi,Qi) adalah koordinat pinggiran
86
sitoplasma tumpang tindih yang memenuhi kriteria jarak terdekat dan (Xi,Yi)
adalah koordinat pinggiran daerah tumpang tindih yang memenuhi kriteria jarak
terdekat, berlaku ketentuan:
1. Jika Pi < Xi dan Qi > Yi maka nilai piksel Pi sampai dengan Xi dan Yi
sampai dengan Qi =1 (diberi warna putih), atau ((Pi -Pi’) 2 +(Qi-Qi’) 2)1/2
)((Pi -Xi’) 2 +(Qi-Yi’) 2)1/2 ) diberi nilai 1.
Gambar V.2 Posisi Titik Kriteria 1.
2. Jika Pi < Xi dan Qi < Yi maka nilai piksel Pi sampai dengan Xi dan Qi
sampai dengan Yi =1 (diberi warna putih).
Gambar V.3 Posisi Titik Kriteria 2.
3. Jika Pi > Xi dan Qi > Yi maka nilai piksel Xi sampai dengan Pi dan Yi
sampai dengan Qi =1(diberi warna putih).
Gambar V.4 Posisi Titik Kriteria 3.
(Pi,Qi) (Xi’,Yi’)
(Xi,Yi)
)
(Pi’,Qi’
(Xi,Yi)
i)
(Pi,Q
(Pi,Qi)
i)
(Xi,Y
87
4. Jika Pi >Xi dan Qi < Yi maka nilai piksel Xi sampai dengan Pi dan Qi
sampai dengan Yi =1 (diberi warna putih).
Gambar V.5 Posisi Titik Kriteria 4.
5. Jika Pi =Xi dan Qi < Yi maka nilai piksel Qi sampai dengan Yi =1 (diberi
warna putih).
(Xi,Yi)
(Pi,Qi)
Gambar V.6 Posisi Titik Kriteria 5.
6. Jika Pi = Xi dan Qi > Yi maka nilai piksel Yi sampai dengan Qi =1 (diberi
warna putih).
Gambar V.7 Posisi Titik Kriteria 6
7. Jika Pi < Xi dan Qi = Yi maka nilai piksel Pi sampai dengan Xi =1 (diberi
warna putih).
Gambar V.8 Posisi Titik Kriteria 7.
(Xi,Yi)
(Pi,Qi)
(Pi, Qi)
(Xi,Yi)
(Pi,Qi)
(Xi,Yi)
88
8. Jika Pi > Xi dan Qi = Yi maka nilai piksel Xi sampai dengan Pi
=1(diberi warna putih).
Gambar V.9 Posisi Titik Kriteria 8.
Algoritma penyambungan pinggiran sitoplasma membutuhkan input berupa
koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih, dan koordinat pinggiran daerah
tumpang tindih yang memenuhi kriteria jarak terdekat. Algoritma secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel V.4.
Tabel V.4 Algoritma_Penyambungan_Pinggiran_Sitoplasma
Pseudo-code
Input : Koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih, dan koordinat
pinggiran daerah tumpang tindih yang memenuhi kriteria jarak
terdekat.
Output: Koordinat calon pinggiran sitoplasma terdeteksi dan kumpulan
piksel hasil penyambungan.
1. Misal (Pi,Qi) adalah koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih
yang memenuhi kriteria jarak terdekat dan (Pi,Qi) adalah koordinat pinggiran daerah tumpang tindih yang memenuhi kriteria jarak terdekat.
2. if Pi < Xi dan Qi > Yi then piksel Pi sampai dengan Xi dan Yi sampai
dengan Qi =1. 3. elseif Pi < Xi dan Qi < Yi then piksel Pi sampai dengan Xi dan Qi sampai
dengan Yi =1. 4. elseif Pi > Xi dan Qi > Yi then piksel Xi sampai dengan Pi dan Yi sampai
dengan Qi =1. 5. elseif Pi >Xi dan Qi < Yi then piksel Xi sampai dengan Pi dan Qi sampai
dengan Yi =1. 6. elseif Pi =Xi dan Qi < Yi then piksel Qi sampai dengan Yi =1. 7. elseif Pi = Xi dan Qi > Yi then piksel Yi sampai dengan Qi =1. 8. elseif Pi < Xi dan Qi = Yi then piksel Pi sampai dengan Xi =1. 9. elseif Pi > Xi dan Qi = Yi then piksel Xi sampai dengan Pi =1 10. end
(Xi,Yi)
(Pi,Qi)
89
d. Isolasi sel tumpang tindih
Isolasi sel tumpang tindih dilakukan dengan membuat garis lurus yang membagi
dua daerah tumpang tindih menjadi dua bagian kiri dan kanan. Garis ini
memenuhi persamaan garis lurus:
Y = m (X) + C (5.1)
dimana m adalah gradien dan nilai C adalah konstanta berupa nilai pergeseran
garis. Nilai pergeseran garis dibutuhkan untuk mendapatkan posisi garis
pemisah yang tepat saat isolasi sel tumpang tindih. Dalam penelitian ini nilai C
diperoleh sebesar 100 dari riset yang dilakukan. Nilai ini untuk mendapatkan
posisi isolasi sel tumpang tindih. Pada algoritma isolasi sel tumpang tindih input
berupa koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih yang memenuhi kriteria
jarak terdekat. Sedangkan output berupa sel tunggal yang terisolasi (Tabel V.5).
Tabel V.5 Algoritma_Isolasi_Sel_Tumpang_Tindih
Pseudo-code
Input: Koordinat pinggiran sitoplasma tumpang tindih yang memenuhi
kriteria jarak terdekat
Output: Sel tunggal terisolasi.
1. Ambil dua titik (Pi,Qi) yang memenuhi kriteria jarak terdekat.
2. Buat persamaan garis lurus Y = mX+C, dengan konstanta 100 dan m
adalah nilai gradien dua titik tersebut sebagai pembatas.
3. Isolasi sel sebelah kiri dengan menggabungkan koordinat pinggiran
sitoplasma sebelah kiri pembatas dengan koordinat daerah tumpang
tindih sebelah kanan.
4. Isolasi sel sebelah kanan dengan menggabungkan koordinat pinggiran
sitoplasma sebelah kanan pembatas dengan koordinat daerah tumpang
tindih sebelah kiri.
V.2 Material dan Metode
a. Material
Dalam penelitian ini digunakan beberapa citra Pap smear yang mengandung
memiliki seltumpang tindih dan sel-sel radang. Citra-citra ini diperoleh melalui
kamera Logitech (Logitech HD C525). Untuk citra pertama dipilih dari kelompok
data yang diambil dengan mikroskop optik Olympus CH20. Sedangkan citra
90
kedua diambil dengan mikroskop optik Olympus CH21. Pengambilan
menggunakan lensa perbesaran 40x dan citra disimpan dalam format JPEG.
(1) (2)
Gambar V.10. Contoh Citra masukan ukuran 1600x1200 dengan dua sel tumpang
tindih(1) dan ukuran 1280 x720 dengan lima sel tumpang tindih (2).
Citra pada Gambar V.10 merupakan dua contoh citra berasal dari database slide
hasil pengolahan ahli patologi dari Laboratorium Khusus Patologi Veteran
Bandung. Dalam penelitian ini digunakan citra Pap smear dari beberapa slide yang
berbeda.
Sebanyak 119 citra sel digunakan untuk riset mendapatkan tiga nilai threshold
untuk sitoplasma tumpang tindih, bagian tumpang tindih dan calon nukleus. Untuk
data tes terdiri dari 21 citra sel yang terdiri dari 61 citra sel tunggal dan diantaranya
sebanyak 24 dalam kondisi tumpang tindih. Jumlah sel radang sebanyak 155 sel dan
nukleus sebanyak 61 sel. Kondisi citra memiliki dua sel tumpang tindih atau lebih
dari dua sel tumpang tindih. Posisi daerah tumpang tindih adalah horizontal. Ukuran
citra beragam yaitu 400x300, 1600x1200, 1200x1600, dan 1280x 270. Sedangkan
ukuran daerah tumpang tindih memiliki berbagai ukuran >150x200, > 100 x 200,
>150x200, >150x150, dan >150x200. Secara lengkap data tes disajikan dalam
Tabel V.6.
91
Tabel V.6 Data Citra yang Digunakan dalam Penelitian
No
Citra sel
tumpang
tindih
Ukuran
citra
Ukuran daerah
tumpang tindih
Sel
tumpang
tindih
Sel
Tunggal
Nukleus
Sel
Radang
1
400x300
>150x200
1
2
2
2
2
1600x1200
>100x200
1
3
3
2
3
1200x1600
>150x200
1
2
2
1
4
1600x1200
>150x150
1
2
2
0
5
1600x1200
>150x200
1
2
2
5
6
1280x270
>200x200
4
5
5
19
7
1600x1200
>100x100
1
2
2
8
8
1600x1200
>150x200
1
2
2
0
9
1200x1600
>150x200
1
3
3
38
10
1200x1600
>150x200
1
3
3
10
11
1200x1600
>100x200
1
4
4
5
12
1200x1600
>150x150
1
3
3
1
13
1200x1600
>150x200
1
3
3
10
14
1200x1600
>150x200
1
3
3
11
Tabel V.6 Data Citra yang Digunakan dalam Penelitian (…lanjutan)
92
No
Citra sel
tumpang
tindih
Ukuran
citra
Ukuran daerah
tumpang tindih
Sel
tumpang
tindih
Sel
Tunggal
Sel
Nukleus
Sel
Radang
15
1200x1600
>150x200
1
3
3
12
16
1200x1600
>150x200
1
3
3
2
17
1200x1600
>150x200
1
3
3
1
18
1200x1600
>150x200
1
3
3
12
19
1200x1600
>150x200
1
3
3
2
20
1200x1600
>100x200
1
4
4
5
21
1200x1600
>100x200
1
3
3
9
Total
24
61
61
155
b. Metode
Metode usulan pemisahan sel tumpang tindih terbagi ke dalam enam stage. Gambar
V.11 menunjukkan secara rinci ke enam stage pada skema metode usulan
pemisahan sel tumpang tindih.
1. Stage 1 : Pre-processing
2. Stage 2 : Cropping sel tumpang tindih otomatis
3. Stage 3 : Segmentasi sel tumpang tindih
4. Stage 4 : Delinasi sel tumpang tindih
5. Stage 5 : Deteksi nukleus dan sel radang pada sel tunggal
6. Stage 6 : Analisa morphologi dan identifikasi sel
93
Pre-processing images
Citra Tumpang Tindih
Konversi warna
Peningkatan citra,
Pengenalan objek
Pembersihan latar belakang
Cropping sel Tumpang tindih otomatis
Gambar V.11 Skema pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang
Segmentasi Sel Tumpang Tindih
Citra hasil berupa sel tunggal
terdeteksi nukleus dan
teridentifikasi jenis sel
Analisa Morphologi dan
Identifikasi Sel
(Area, Perimeter, Roundness)
Eliminasi Sel Radang dan
deteksi nukleus
Pemisahan Sel Tumpang Tindih
Pembagian daerah tumpang tindih Pencarian jarak terdekat dari
boundary awal (atas dan bawah). Penyambunagn pinggiran
sitoplasma
Isolasi sel tumpang tindih.
Segmentasi daerah Tumpang Tindih
Boundary daerah tumpang
tindih
Labeling dan region
properties daerah tumpang
tindih
Segmentasi Sitoplasma Tumpang
Tindih
Boundary sitoplasma dan
nukleus
Labeling, region properties
dan penentuan centroid
sitoplasma dan nukleus
Pre-processing images
Peningkatan citra
Konversi warna
94
Tahapan pada skema pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang yang
diusulkan dapat dibuat dalam algoritma enam stage, seperti pada Tabel V.7.
Tabel V.7. Algoritma_ Pemisahan_Sel_Tumpang_Tindih_
dan_Eliminasi_Sel_Radang
Pseudo-code
Input : Citra Pap smear tumpang tindih dengan sel radang
Output: Citra sel tunggal nukleus dan sitoplasma terdeteksi
Stage 1 : Pre-processing
1. Konversi citra dari RGB ke grayscale.
2. Tingkatkan citra dengan adjustment dan filter unsharp.
3. Pengenalan objek, terapkan global threshold 0.72 untuk mendapatkan
bounding box citra hitam putih sitoplasma tumpang tindih, threshold 0.18
untuk mendapatkan bounding box citra hitam putih daerah tumpang tindih,
threshold 0.07 untuk mendapatkan bounding box citra hitam putih calon
nukleus.
4. if bounding box >13x13 piksel then Cn adalah calon nukleus.
5. Hitung nilai GLRM calon nukleus dengan Algoritma_Mencari_Nilai_
GLRM.
6. Gunakan rule klasifikasi tekstur GLRM untuk membedakan objek yang
mengandung bagian sitoplasma tumpang tindih dengan latar belakang.
7. if bounding box > 600x600 piksel then sitoplasma tumpang tindih
8. if bounding box >150x150 atau > 100x200 atau >150X200 atau >200x200
piksel then daerah tumpang tindih
Stage 2: Cropping sel tumpang tindih otomatis
9. Konversi citra dari RGB ke grayscale.
10. Tingkatkan citra dengan adjustment dan filter unsharp.
Stage 3: Segmentasi sel tumpang tindih
11. for i = (1,2, …, N) dimana N sitoplasma tumpang tindih.
12. Segmentasi sitoplasma tumpang tindih dengan threshold 0,72 untuk
mendapatkan citra hitam putih sitoplasma tumpang tindih.
13. Tandai citra sitoplasma tumpang tindih (labeling).
14. Hitung fitur sitoplasma tumpang tindih yaitu centroid, area, dan bounding
box.
15. Tandai pinggiran sitoplasma tumpang tindih (boundary).
16. for i = (1,2, …, N) dimana N daerah tumpang tindih.
17. Segmentasi daerah tumpang tindih dengan threshold 0,18 untuk
mendapatkan citra hitam putih daerah tumpang tindih.
18. Tandai citra daerah tumpang tindih (labeling).
19. Hitung fitur daerah tumpang tindih dengan bounding box.
20. Tandai pinggiran daerah tumpang tindih (boundary).
95
Stage 4: Pemisahan sel tumpang tindih
21. Bagi dua boundary daerah tumpang tindih terdiri dari bagian atas dan
bawah dengan Algoritma_Pembagian_Daerah_Tumpang_Tindih
22. Hitung jarak terdekat antara bagian atas dan bawah dengan boundary
sitoplasma tumpang tindih dengan Algoritma_Pencarian_Jarak_Terdekat
23. Sambung tepi sel dengan Algoritma_Penyambungan_Pinggiran_
Sitoplasma.
24. Isolasi sel tumpang tindih dengan Algoritma_Isolasi_Sel_Tumpang_Tindih
Stage 5: Eliminasi Sel Radang dan Deteksi Nukleus pada Sel Tunggal
25. Hitung region properties calon sitoplasma terisolasi berupa centroid.
26. Hitung region properties calon nukleus terisolasi berupa centroid
27. for i = urutan sitoplasma
i. j = urutan calon nukleus [m,n]
= (baris, kolom)
28. S1, S2, …, Si = S1(m1,n1) , S2(m2,n2),…, Si(mi,ni) adalah centroid sitoplasma terdeteksi.
29. Cn1, Cn2, …,Cni = Cn1(m1,n1) , Cn2(m2,n2),…, Cnj(mj,nj) adalah centroid calon nukleus terdeteksi.
30. Jarak terdekat adalah D = min (S 2 Cn 2)1/2
31. end
32. D adalah nukleus terdeteksi.
33. end
34. end
i(mi,ni) + j(mj,nj)
Stage 6: Analisa Morphologi dan Identifikasi Sel
35. Ambil fitur area sitoplasma dan nukleus terdeteksi.
36. Hitung fitur perimeter dan roundness dari sitoplasma dan nukleus
terdeteksi.
37. Hitung perbandingan area nukleus terdeteksi dengan area sitoplasma
terdeteksi.
38. Tentukan jenis sel.
V.2.1 Pre-processing
Proses pre processing dilakukan dalam beberapa tahap yaitu konversi warna dan
peningkatan citra (brightness dan filtering), pengenalan objek dan pembersihan
latar belakang.
1. Proses konversi warna dan peningkatan citra.
Tahap pre-processing mempersiapkan citra untuk diproses lebih lanjut. Langkah
pertama adalah mengkonversi citra RGB ke citra grayscale. Nilai grayscale
96
diperoleh dengan persamaan dari komponen R, G, dan komponen B seperti yang
diberikan dalam (4.1).
(a) Citra Grayscale (b) Citra adjust
(c) Citra filtering
Gambar V.12. Citra hasil proses konversi warna dan peningkatan citra
Agar batas antara sel dan latar belakang jelas perlu dilakukan peningkatan kontras
citra untuk mendapatkan tepi dan batas-batas dari sel tumpang tindih. Penyesuaian
citra (image adjustment) dan penyaringan (filtering) digunakan untuk
meningkatkan kontras citra. Kualitas citra yang telah ditingkatkan lebih cocok
untuk prosedur segmentasi. Prosedur ini membuat nilai-nilai intensitas dalam citra
grayscale yang kontrasnya rendah dipetakan ke nilai-nilai baru dalam citra.
Digunakan Masking Unsharp (persamaan 4.3) untuk meningkatkan ketajaman citra.
Gambar V.12 merupakan contoh hasil proses konversi warna dan peningkatan citra.
2. Pengenalan objek dan pembersihan latar belakang.
Pengenalan objek dilakukan untuk mendapatkan objek yang specifik dari citra sel
Pap smear. Gambar V.13 menunjukkan objek-objek yang menjadi fokus dalam
metode ini.
97
Citra masukan pada proses isolasi sitoplasma tumpang tindih memiliki
kompleksitas yang tinggi, salah satunya karena kondisi latar belakang yang tidak
rata. Sehingga diperlukan proses pembersihan latar belakang yang tujuannya untuk
mendapatkan objek sel tumpang tindih yang benar-benar terpisah dari latar
belakang.
Sel tumpang
tindih
Daerah
tumpang
tindih
Calon
nukleus
Gambar V.13. Objek-objek yang dikenali dalam citra sel tumpang tindih
Pengetahuan tentang objek sel pada citra dilakukan dengan memanfaatkan
informasi dari analisa tekstur. Tujuannya untuk mendeteksi lokasi regional minima
yang mengindikasikan keberadaan calon nukleus pada citra sel serviks dalam sel
berkelompok. Rule klasifikasi untuk mendapatkan sel nukleus dan sel radang yang
berguna untuk mendeteksi keberadaan sel yang memiliki calon nukleus. Proses ini
juga untuk mempermudah proses deteksi nukleus dan sel radang pada tahap
berikutnya.
Analisa tekstur dapat digunakan untuk mendapatkan fitur-fitur penting dari suatu
objek dalam citra. Hasil dari analisa fitur dapat digunakan untuk membedakan
objek-objek yang ada dalam suatu citra, seperti fitur-fitur yang dihasilkan dari
analisa morphologi (Soille, 1999) dan analisa tekstur (Galloway, 1975). Penelitian
sebelumnya banyak yang menggunakan fitur morphologi dan analisa tekstur seperti
contrast, correlation, energy, homogeneity, entropy dan lain-lain. Plissiti, dkk.
(2011b), telah menggunakan fitur morphologi dalam penelitian tentang citra serviks
berupa fitur kedalaman intensitas untuk menentukan lokasi nukleus. Penelitian lain
yang melibatkan fitur morphologi dengan menggunakan tiga
98
parameter, yaitu rasio N/C, koefisien wavelet, dan intensitas warna oleh
Suryatenggara dkk. (2009). Pada penelitian ini digunakan rule klasifikasi tekstur
untuk mendapatkan daerah region minima yang potensial memiliki kandidat
nukleus dalam sel.
Metode analisis tekstur yang telah digunakan dalam menganalisa citra sel servik
khususnya untuk sel tunggal adalah Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM).
Ada 5 parameter yang diekstrak, yaitu contrast, correlation, energy, homogeneity
dan entropy, Pratama dkk. (2012). Penggunaan GLCM untuk ekstraksi sel radang
dan nukleus oleh Riana dkk. (2014b) menghasilkan akurasi 82,8571 % dengan
metode klasifikasi Decision Tree learning algorithm (J48) (Riana dan Murni
(2009)), dan masih mungkin untuk ditingkatkan untuk fitur lain. Sehingga untuk
penelitian ini dilakukan klasifikasi untuk fitur Gray-Level Run-Length Matrix
(GLRM) untuk ekstraksi nukleus dan sel radang.
Grey-Level Run-Length Matrix (GLRLM) adalah sebuah matriks dimana fitur- fitur
tekstur dapat diambil untuk dianalisa. Tekstur adalah pola dari intensitas keabuan
piksel dalam arah tertentu. Run length adalah banyaknya piksel-piksel bersebelahan
yang memiliki intensitas keabuan yang sama dalam arah tertentu. Nilai statistik Run-
length dapat menunjukkan tingkat kekasaran dari suatu tekstur pada arah tertentu.
Tekstur yang halus cenderung lebih banyak memiliki short runs dengan intensitas
tingkat keabuan yang mirip, sedangkan tekstur kasar memiliki lebih banyak long run
dengan intensitas tingkat keabuan yang berbeda secara signifikan (Galloway, 1975).
Matriks Gray-Level Run-Length adalah matriks dua dimensi dimana masing-
masing elemen p(i, j |θ) adalah intensitas i dengan banyaknya elemen j, dalam arah
θ, dan Nr adalah jumlah different run length. Gambar V.14 adalah representasi dari
matriks GLRL (Grey-Level Run-Length) pada arah 0º [ P(i, j | θ = 0º ) ]. Selain
dalam arah 0º, matriks GLRL juga bisa diperoleh dalam arah 45º, 90º, atau 135º.
99
Gambar V.14. Arah-arah yang ada pada GLRL
Dari matrik GLRL dapat diambil 11 ukuran statistik sebagai parameter analisa
tekstur (Xu et al., 2004) dan Tang, X (1998), yaitu:
1. Short Runs Emphasis (SRE)
SRE mengukur distribusi dari shorts runs dan didefinisikan sebagai:
(5.1)
SRE ini sangat tergantung pada terjadinya short runs dan diharapkan bernilai
besar untuk tekstur halus.
2. Long Runs Emphasis (LRE)
LRE mengukur distribusi dari long runs dan didefinisikan sebagai
(5.2)
LRE ini sangat tergantung pada terjadinya long runs dan diharapkan bernilai
besar untuk tekstur dengan struktur kasar.
3. Gray Level Nonuniformity (GLN)
GLN mengukur kesamaan nilai tingkat keabuan seluruh citra dan
didefinisikan
sebagai:
(5.3)
GLN bernilai kecil jika nilai tingkat keabuan bernilai sama di seluruh citra.
4. Run Percentage (RP)
RP mengukur homogenitas dan distribusi runs dari sebuah citra dalam arah
100
tertentu dan didefinisikan sebagai:
(5.4)
RP diharapkan bernilai terbesar ketika length of runs bernilai 1 untuk semua
tingkatan abu-abu dalam arah tertentu.
5. Run Length Non-uniformity (RLN)
RLN mengukur kesamaan panjang dari runs di seluruh citra dan didefinisikan
sebagai:
(5.5)
RLN diharapkan bernilai kecil jika run lengths bernilai sama di seluruh citra.
6. Low Gray Level Run Emphasis (LGRE)
LGRE mengukur distribusi dari nilai tingkat keabuan rendah (low gray level
values) dan didefinisikan sebagai:
(5.6)
LGRE diharapkan bernilai besar untuk citra dengan nilai tingkat keabuan
rendah.
7. High Gray Level Run Emphasis (HGRE)
HGRE mengukur distribusi dari nilai tingkat keabuan tinggi dan didefinisikan
sebagai:
(5.7)
HGRE bernilai besar untuk citra dengan nilai tingkat keabuan yang tinggi.
Kempat fitur GLRLM berikut ini digunakan untuk mengukur hubungan distribusi
dari distribusi run dan gray level, yaitu:
101
8. Short Run Low Gray-Level Emphasis (SRLGE)
(5.8)
9. Short Run High Gray-Level Emphasis (SRHGE)
(5.9)
10. Long Run Low Gray-Level Emphasis (LRLGE)
(5.10)
11. Long Run High Gray-Level Emphasis (LRHGE)
(5.11)
Pada pembentukan rule klasifikasi digunakan data set sebanyak 169 citra yang
terdiri dari 83 citra sel tunggal nukleus dan 86 citra sel tunggal radang yang berasal
dari slide Pap smear. Citra sel tunggal nukleus dan radang diambil secara cropping
manual, seperti yang diilustrasikan pada Gambar V.15. Data set diambil dari 10
slide yang terdiri dari 67 citra Pap smear yang memiliki sel nukleus dan sel radang.
sel radang sel nukleus
Gambar V.15 Proses cropping manual sel nukleus dan sel radang
102
Selanjutnya dilakukan ektraksi fitur pada sel nukleus dan sel radang untuk
mendapatkan 11 nilai kuantitatif GLRLM untuk sel nukleus dan sel radang dari 169
citra, diperoleh kumpulan nilai GLRLM untuk semua arah 0º, 45º, 90º, dan 135º.
Tabel V.8 adalah algoritma pencarian nilai GLRLM.
Tabel V.8 Algoritma_Mencari_Nilai_GLRLM
Pseudo-code
Input : Citra cropping manual sel radang dan nuklei
Output : Fitur GLRLM untuk sel radang dan nuklei
1. Konversi citra dari RGB ke grayscale.
2. Tingkatkan citra dengan adjustment dan filter unsharp.
3. Pengenalan objek, terapkan global threshold 0.07 untuk mendapatkan
bounding box citra.
4. if bounding box >50x50 piksel then calon nukleus.
5. Buat matriks GLRLM ukuran 8x8 piksel.
6. Hitung 11 property GLRLM (grayRLprops) untuk empat arah 0º, 45º,
90º, dan 135º
Fitur GLRLM yang dihasilkan untuk sel radang dan nukleus dibentuk dalam file
arff (Ryan dkk. 2006) dengan dua kelas yaitu radang dan nukleus. Selanjutnya
diproses dengan Weka software package (Witten dkk. 2000).
Gambar V.16 Hasil CCI untuk Decision Tree learning algorithm (J48) 135º
103
Kelompok data diklasifikasikan ke dalam dua kategori nukleus dan radang dengan
menggunakan Decision Tree learning algorithm (J48) menghasilkan nilai CCI
(Correctly Classified Instances) sebesar 96,4497% untuk kelompok data GLRLM
arah 135º. Nilai ini paling baik jika dibandingkan dengan arah yang lain yang CCI
nya lebih kecil, juga untuk CCI rule klasifikasi GLCM sebesar 82,8571
% untuk data yang sama oleh Riana dkk. (2014b). Sehingga diputuskan untuk
menggunakan rule klasifikasi GLRLM dengan arah 135º (Gambar V.16).
Rule klasifikasi GLRLM untuk isolasi sel nukleus dan sel radang diperoleh seperti
pada Gambar V.17. Ada 8 fitur GLRM yang terlibat dalam klasifikasi ini yaitu
LGRE, GLN, RLN, LRLGE, SRHGE, SRLGE, LRHGE, dan RP.
Gambar V.17 Rule Klasifikasi Fitur GLRLM untuk Sel Nukleus dan Sel Radang
Rule tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan daerah region
minima yang memiliki kandidat nukleus dalam sel. Sehingga pengenalan objek sel
tumpang tindih lebih tepat dilakukan dan berguna untuk membersihkan latar
belakang. Citra hasil pengenalan objek dan pembersihan latar belakang pada
Gambar V.18. Selanjutnya nilai-nilai properti pada citra diambil untuk
mendapatkan citra cropping sel tumpang tindih dan citra cropping daerah tumpang
tindih.
104
Gambar V.18 Citra sel tumpang tindih hasil dari pembersihan latar belakang
Citra cropping sel tumpang tindih dan citra cropping daerah tumpang tindih akan
dilakukan kembali proses pre-processing (Gambar V.19).
Citra cropping sel tumpang tindih Citra cropping daerah tumpang tindih
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
Gambar V.19 Hasil pre processing citra cropping sel tumpang tindih (a-c) dan
daerah tumpang tindih (d-e)
105
V.2.2 Cropping sel tumpang tindih otomatis
Hasil Cropping sel tumpang tindih otomatis diperoleh citra sel yang memiliki
daerah tumpang tindih. Proses yang dilakukan pada sel tumpang tindih ini berupa
konversi citra dari RGB ke grayscale. Selanjutnya dilakukan peningkatan citra
dengan adjustment dan filter unsharp.
V.2.3 Segmentasi Sel Tumpang Tindih
Pada tahap ini terbagi dalam dua proses yaitu segmentasi terhadap sitoplasma
tumpang tindih dan daerah tumpang tindih.
1. Segmentasi sitoplasma tumpang tindih.
Tujuannya untuk mengenali sitoplasma pada objek sel tumpang tindih. Proses
ini terdiri dari dua langkah. Langkah pertama yaitu labeling untuk menandai
area objek dan region properties untuk mendapatkan centroid dari sitoplasma
dan nukleus. Langkah kedua dilakukan proses deteksi tepi untuk mendeteksi
tepi sel tumpang tindih. Gambar V.20 adalah hasil segmentasi citra sel
tumpang tindih.
Gambar V.20 Hasil segmentasi citra sel tumpang tindih
2. Segmentasi daerah tumpang tindih.
Citra hasil pre processing yang berupa daerah tumpang tindih dilakukan proses
labelling untuk menandai area objek dan region properties untuk mendapatkan
bounding box dan memastikan objek tersebut adalah bagian tumpang tindih.
Langkah kedua dilakukan deteksi tepi untuk mendeteksi tepi
106
daerah tumpang tindih. Hasil segmentasi daerah tumpang tindih seperti pada
GambarV.21.
Gambar V.21 Contoh hasil segmentasi daerah tumpang tindih.
V.2.4 Hasil Delinasi Sel Tumpang Tindih
a. Pembagian daerah tumpang tindih
Daerah tumpang tindih dibagi menjadi dua bagian untuk mempermudah
penentuan titik sambung daerah tumpang tindih dengan sel tumpang tindih.
Proses membagi dua daerah tumpang tindih menjadi bagian atas dan bagian
bawah dilakukan dengan mendapatkan titik tengah boundary.
Gambar V.22 merupakan citra hasil pembagian daerah tumpang tindih menjadi
dua bagian. Citra bagian atas ditandai dengan tepi bagian hitam dan citra bagian
bawah dengan warna putih.
citra bagian atas citra bagian bawah
Gambar V.22 Citra hasil pembagian daerah tumpang tindih menjadi dua
bagian
107
Proses selanjutnya dilakukan pencarian jarak terdekat dari boundary awal pada
bagian atas dan bawah daerah tumpang tindih.
b. Penyambungan pinggiran sitoplasma
Pada proses ini dilakukan penyambungan tepi sel dengan menggunakan dua
titik terdekat yang merupakan hasil dari jarak terdekat pada proses sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan penyambungan dengan ketentuan pada Tabel V.3. Hasil
berupa koordinat calon pinggiran sitoplasma terdeteksi dan kumpulan piksel
hasil penyambungan (Gambar V.23). Kumpulan piksel hasil penyambungan
ukurannya sangat kecil.
Gambar V.23 Hasil Penyambungan Pinggiran Sitoplasma
c. Isolasi sel tumpang tindih
Isolasi sel tumpang tindih dilakukan dengan membuat garis lurus yang membagi
dua daerah tumpang tindih menjadi dua bagian kiri dan kanan.
Gambar V.24 Hasil proses delinasi sel dan hasil akhir citra-citra tunggal
108
Hasil akhir dari proses delinasi, citra sel tumpang tindih akan terpisah menjadi
sel-sel tunggal. Gambar V.24 menunjukkan dua citra tunggal hasil proses
delinasi sel.
V.2.5 Deteksi nukleus dan sel radang pada sel tunggal
Untuk sel-sel tunggal yang berhasil dipisahkan selanjutnya diproses untuk ekstraksi
sel radang dan deteksi nukleus menggunakan skema segmentasi sel radang dan
deteksi nukleus pada sel tunggal pada bab sebelumnya.
(a) (b)
(c) (d)
(e)
109
Gambar V.25 Ilustrasi deteksi sel nukleus dan radang pada citra
(a) (b) Gambar V.26 Hasil akhir deteksi sel nukleus dan radang
Gambar V.25 menunjukkan proses deteksi sel radang dan nukleus. Gambar (a) dan
(b) adalah proses deteksi lima calon nukleus. Deteksi nukleus berhasil dilakukan
untuk sel sebelah kanan (c) dengan ditandai nukleus yang benar diberi tepi warna
putih. Sedangkan pada calon nukleus yang lain dianggap sebagai radang dan diberi
warna merah. Gambar (d) menunjukkan proses deteksi nukleus pada sel sebelah
kiri, warna merah pada nukleus adalah hasil dari proses sebelumnya. Gambar (e)
adalah penggabungan hasil dari proses (c) dan (d) dalam satu sel tumpang tindih.
Pendefenisian nukleus yang benar pada citra-citra sel tunggal hasil proses isolasi
sitoplasma tumpang tindih terlihat pada Gambar V.26
(f) dan (g).
V.2.6 Analisa Morphologi dan Identifikasi Sel
Tahap analisa morphologi dan identifikasi sel dilakukan setelah diperoleh citra sel-
sel tunggal. Fitur morphologi yang ditampilkan berupa area, perimeter dan
roundness dari nukleus. Ekstraksi fitur morphologi dilakukan, dengan menghitung
area, kebulatan (roundness), dan perimeter dari area nukleus dan sitoplasma.
Daerah nukleus dihitung dari himpunan piksel putih untuk setiap nukleus yang
terdeteksi dalam bounding box. Demikian pula, daerah sitoplasma dihitung dengan
menghitung piksel putih di bounding box dari sitoplasma. Perimeter adalah jumlah
piksel yang terdiri dari batas objek. Sedangkan untuk perhitungan kebulatan
(roundness) digunakan Rumus 4.4.
110
Nilai area nukleus dan area sitoplasma dihitung untuk setiap sel. Dengan acuan
rasio nukleus dan sitoplasma dari data Herlev (Tabel III.8), maka jenis sel dapat
ditentukan.
V.3 Hasil Eksperimen dan Evaluasi
V.3.1 Evaluasi Numerik
Penerapan skema metode yang diusulkan untuk citra-citra yang terdiri dari dua sel
tumpang tindih horizontal menunjukkan bahwa metode dapat mendeteksi sel-sel
radang dan menentukan secara akurat sitoplasma dan nukleus secara optimal, serta
identifikasi jenis sel dapat dilakukan dengan benar.
Gambar V.27 Proses Citra dengan sel tumpang tindih, sel tunggal dan sel radang.
111
Hasil yang diperoleh telah dikonfirmasi dengan ahli patologi. Berdasarkan hasil
pengamatan visual oleh ahli patologi, proses pemisahan sel tumpang tindih dan
eliminasi sel radang sudah sesuai dengan kondisi identifikasi manual. Aplikasi
pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang dapat dilihat pada Gambar
V.27. Sedangkan Gambar V.28 adalah contoh hasil akhir dari citra masukan yang
terdiri dari sel tumpang tindih dan sel tunggal dengan sel radang dengan hasil akhir
berupa perolehan citra sel tunggal 1, 2 dan 3.
Gambar V.28 Contoh Hasil Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel
Radang
112
Perhitungan nilai True Positive (TP), True Negative (TN), False Positive (FP), dan
False Negative (FN) dari hasil deteksi nukleus dan sel radang pada perolehan citra
sel tunggal Pap smear sebanyak 56 sel, digunakan dua perhitungan statistik untuk
performansi dari persamaan 4.5 dan 4.6.
Nilai Sensitivity diperoleh sebesar 82,56 % menunjukkan prosentase sel nukleus
berhasil diidentifikasi dengan benar. Sedangkan nilai Specificity sebesar 81,27 %
menunjukkan prosentase sel radang diidentifikasi dengan benar. Secara lengkap
nilai false negative dari hasil metode usulan diberikan pada Tabel V.9, berikut ini.
Tabel V.9 Perhitungan Nilai Sensitivity dan Specificity
Citra
Nukleus Radang Calon
Nukleus
% %
Nukleus (N)
Radang (NR)
Radang ( R)
Nukleus (RN)
Sensitivity (SE)
Specificity (SP)
TP FP TN FN (TP/(TP+FN)) (TN/(TN+FP))
1 2 0 2 0 4 100.00 100.00
2 1 0 0 0 1 100.00 0.00
3 2 1 1 0 3 100.00 50.00
4 2 0 0 0 2 100.00 0.00
5 2 0 1 0 3 100.00 100.00
6 2 1 11 0 13 100.00 91.67
7 2 0 4 0 6 100.00 100.00
8 2 0 0 0 2 100.00 0.00
9 3 0 38 6 41 33.33 100.00
10 3 0 10 0 13 100.00 100.00
11 4 1 5 0 9 100.00 83.33
12 3 0 1 0 4 100.00 100.00
13 3 0 10 1 13 75.00 100.00
14 3 1 11 5 14 37.50 91.67
15 3 0 12 2 15 60.00 100.00
16 3 0 2 2 5 60.00 100.00
17 3 0 1 1 4 75.00 100.00
18 3 0 12 4 15 42.86 100.00
19 3 0 2 1 5 75.00 100.00
20 4 0 5 0 9 100.00 100.00
21 3 1 9 1 12 75.00 90.00
Total 56 5 137 23 193 1733.69 1706.67
Rata-Rata 82.56 81.27
113
1. Performa Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel Radang
Metode yang diusulkan terdiri dari dua tahap yaitu pre processing, proses isolasi
yang terdiri dari segmentasi sitoplasma dan segmentasi daerah tumpang tindih serta
penentuan nukleus. Tabel V.10 menunjukkan waktu proses citra uji dengan Matlab
menggunakan Core I3 dengan RAM 3 GB. Tahap pre-processing membutuhkan
waktu 0.81504 menit dan tahap–tahap berikutnya berupa cropping sel tumpang
tindih, segmentasi sel tumpang tindih, delinasi sel tumpang tindih, deteksi nukleus
dan sel radang, serta analisa morphologi dan identifikasi jenis sel secara
keseluruhan mempunyai waktu proses 7.9811 dengan standar deviasi 4.5898 menit.
Dengan kondisi waktu proses seperti ini untuk citra dengan jumlah sel dan daerah
tumpang tindih yang lebih banyak akan membutuhkan waktu lebih lama. Jika
dilihat dari waktu eksekusi citra secara keseluruhan akan menggunakan waktu
8.7961 ± 4.5898 menit.
Tabel V.10 Eksekusi Seluruh Citra dalam Menit
Tahapan Prosess Waktu
Pre processing 0.81504
Segmentasi, delinasi sel tumpang tindih,
deteksi nukleus dan sel radang, analisa
morphologi dan identifikasi sel
7.9811 ± 4.5898
2. Nilai-nilai Parameter
Nilai-nilai parameter dibuat agar dapat memberikan kriteria saat penggunaan
metode usulan ini. Tabel V.11 berisi nilai-nilai parameter yang digunakan dalam
tahapan metode. Nilai-nilai parameter ini diambil dari citra ukuran 400x300,
1280x720 dan 1600x1200.
Nilai global threshlold untuk mendapatkan sel tumpang tindih pada citra 0.72.
Dengan nilai ini dapat dilakukan isolasi sel dengan latar belakang. Sedangkan untuk
mendapatkan daerah tumpang tindih digunakan threshlold 0.18.
114
Tabel V.11 Nilai Parameter Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel
Radang
Tahapan Metode (stage)
Parameter Nilai
Preprocessing
dan Cropping sel
tumpang tindih otomatis
Ukuran Citra
Threshold Sel tumpang tindih Threshold daerah tumpang tindih
400x300, 1280x720, dan 1600x1200
0.72 0.18
Segmentasi sel
tumpang tindih,
delinasi sel
tumpang tindih
Ukuran sel tumpang tindih
Ukuran sel yang memiliki daerah
tumpang tindih
Ukuran daerah tumpang tindih
Threshold Calon Nukleus
Ukuran Calon Nukleus
>200x200
>600x600
>150x200, > 100 x 200,
>150x150, >150x200,
>100x100 dan >200x200.
0.07 >50x50
Parameter ukuran sel pada saat segmentasi harus lebih dari 200x200 piksel, jika
kurang maka dianggap bukan sel. Sedangkan ukuran sel yang memiliki bagian yang
tumpang tindih lebih besar dari 600x600 piksel. Jika kurang dari dari ukuran
tersebut maka dianggap bukan sel yang memiliki daerah tumpang tindih. Kedua
nilai tersebut sama untuk semua citra masukan.
Nilai threshold sebesar 0.07 digunakan untuk mendefenisikan nukleus digunakan
parameter jarak terdekat antara centroid sitoplasama dan centroid calon nukleus
yang diperoleh secara otomatis. Pada proses pembacaan slide Pap smear mengikuti
prosedur manual mikroskop cahaya yang umum digunakan. Sedangkan untuk
tingkat pencahayaan sangat variatif tergantung dari kenyamanan mata pemeriksa
dalam hal ini ahli patologi. Penggunaan jenis mikroskop yang berbeda juga
menambah nilai variasi dari parameter sel.
Daerah tumpang tindih dibatasi untuk arah yang horizontal. Hal ini terkait dengan
ketentuan penyambungan tepi sel yang tumpang tindih. Tabel V.11 memberikan
gambaran parameter-parameter yang digunakan untuk deteksi nukleus dan
pemisahan sel tumpang tindih.
115
V.3.2 Studi Group
Dalam penelitian ini terdapat 56 citra tunggal Pap smear yang merupakan
perolehan dari metode pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang.
(Tabel V.1).
Gambar V.29 menunjukan proses pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel
radang dari salah satu citra. Dari citra awal diperoleh citra hitam putih dari
sitoplasma. Kemudian proses dilanjutkan untuk mendapatkan citra hitam putih
calon nukleus dan daerah tumpang tindih. Hasil cropping sel tumpang tindih
dilakukan proses penggambaran atau delinasi sel. Akhirnya diperoleh dua citra
tunggal yang terisolasi.
Gambar V.29 Proses Pemisahan Sel Tumpang Tindih dan Eliminasi Sel Radang
Metode yang diusulkan diuji untuk proses pemisahan sel tumpang tindih dan
eliminasi sel radang pada data citra dengan arah daerah tumpang tindih horizontal.
Beberapa hasil pemisahan sel tumpang tindih pada citra dapat dilihat pada Gambar
V.30.
Keberhasilan saat pengujian data tergantung apakah daerah tumpang tindih dapat
terdeteksi. Variasi citra yang menjadi data uji sangat tinggi terutama pada ukuran
116
daerah tumpang tindih. Sehingga parameter nilai ukuran dari daerah tumpang
tindih memiliki variasi yang cukup banyak.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar V.30 Ilustrasi proses isolasi citra sel tumpang tindih pada beberapa citra
dengan ukuran daerah tumpang tindih (a) > 100 x 200, (b) >150x200, (c)
>150x150, (d) >150x200.
117
Gambar V.30 memperlihatkan berbagai macam variasi parameter nilai daerah
tumpang tindih yang dapat diakomodir oleh metode pemisahan sel tumpang tindih.
Citra di bagian tengah adalah citra awal yang tumpang tindih, setelah diproses
menjadi citra tunggal yang terdapat di sebelah kiri dan kanan.
118
Gambar V.31 Hasil akhir fitur morphologi dan identifikasi jenis sel
Gambar V.31 merupakan contoh hasil akhir analisa morphologi dan identifikasi
jenis sel pada citra sel tunggal yang berhasil dipisahkan. Hasil dari ke 56 citra
tunggal yang berhasil dipisahkan, sel dikelompokkan dalam kelas Normal
Superficial dan Normal Intermediate. Hasil ini sesuai dengan verifikasi ahli
patologi.
V.3.3 Hasil Analisa Fitur Tekstur dan Morphologi
Pada bagian ini akan dianalisa fitur tekstur dari sel radang dan nukleus untuk
mengetahui nilai perbedaan fitur tekstur antara sel radang dan sel nukleus. Selain
itu juga akan dianalisa fitur morphologi dari sel tunggal yang berhasil diisolasi.
1. Hasil Analisa Fitur Tekstur Sel Radang dan Sel Nukleus.
119
Seperti telah dijelaskan pada tahapan metode pengenalan objek dan pembersihan
latar belakang digunakan nilai-nilai tekstur sel radang dan sel nukleus untuk
mendeteksi keberadaan sel-sel yang memiliki calon nukleus sebelum proses
segmentasi sel tumpang tindih. Evaluasi numerik untuk analisa tekstur sel radang
dilakukan dari nilai GLRLM dari 86 sel radang dan 83 sel nukleus untuk 11 fitur
tekstur. Nilai tekstur yang dianalisa diambil arah 135º.
Pada proses pengenalan objek sel radang dan sel nukleus diperoleh 8 fitur GLRM
yang dapat membedakan keduanya. Fitur-fitur tersebut adalah LGRE, GLN, RLN,
LRLGE, SRHGE, SRLGE, LRHGE, dan RP. Sedangkan tiga fitur GLRM lainnya
SRE, LRE dan HGRE tidak digunakan. Dari tiga fitur yang tidak digunakan dapat
dianalisa bahwa untuk nilai SRE dan LRE, sel radang dan nukleus tidak bisa
dibedakan dari nilai short runs yang tergantung pada struktur halus dan long runs
pada struktur kasar. Nilai rata-rata dan standar deviasi untuk kedua kelompok data
adalah rata-rata nilai SRE nukleus sebesar 0,18±0.07. Nilai ini dapat dikatakan sama
dengan nilai rata-rata SRE radang sebesar 0,18±0.05. Artinya patut diduga kondisi
struktur halus sel nukleus dan sel radang adalah mirip atau sama dan tidak bisa
dibedakan. Untuk fitur HGRE berupa nilai high graylevel untuk nilai tingkat keabuan
tinggi. HGRE bernilai besar untuk citra dengan nilai tingkat keabuan yang tinggi.
Tabel V.12 Nilai Tekstur arah 135º untuk Sel Nukleus
120
Secara keseluruhan sebaran data nilai tekstur GLRLM untuk kelompok sel nukleus
dan sel radang dapat dilihat pada Tabel V.12 dan V.13.
Tabel V.13 Nilai Tekstur arah 135º untuk Sel Radang
Untuk memudahkan membandingkan nilai rata-rata untuk kesebelas fitur tekstur
dan radang, maka dibuat grafik nilai mean atau rata-rata untuk kedua kelompok data
seperti pada Gambar V.32.
Grafik Nilai Mean Sel Nukleus dan Sel Radang
Gambar V.32 Grafik Nilai Mean Sel Nukleus dan Sel Radang
Dari grafik terlihat untuk sepuluh nilai GLRM radang dan nukleus memiliki ukuran
yang hampir sama, garis pada grafik dari kedua kelompok data nyaris berimpit.
Tetapi yang menarik adalah ada perbedaan yang cukup signifikan antara sel nukleus
dan sel radang pada fitur LRHGE, yaitu Long Run High Gray-Level Emphasis fitur
GLRLM yang digunakan untuk mengukur hubungan distribusi dari distribusi run
dan gray level yang bernilai tinggi.
121
3. Hasil Analisa Fitur Morphologi Sel Nukleus.
Nilai-nilai fitur morphologi yang didapat dari pengukuran nukleus dan sitoplasma
dari perolehan citra sel-sel tunggal yang berhasil dipisahkan dan terdeteksi
nukleusnya. Untuk penggambaran nilai fitur diambil sebanyak 41 citra sel tunggal
yang mewakili hasil perolehan citra sel tunggal, seperti pada Tabel V.14.
Tabel V.14 Hasil Fitur Morpologi Citra Sel Tunggal Terdeteksi
No
Citra sel
Tunggal
Nukleus
Area
Sitoplasma
Area
Nukleus Area Roundness Perimeter
1 1a 3344 0.80206 268.4508 230367 3344
2 1b 3193 0.76584 228.8944 222167 3193
3 2a 2958 0.7531 222.1665 188882 2958
4 3a 2338 0.5437 232.4508 172344 2338
5 4a 3933 0.40733 417.83 144300 3933
6 4b 2994 0.31008 348.333 161155 2994
7 5a 3469 0.43298 433.0437 196827 3469
8 7a 2135 0.26648 317.3036 192086 2135
9 7b 3685 0.5478 290 117710 3685
10 8a 3562 0.2058 466.3574 171522 3562
11 8b 4377 0.2529 2 152878 4377
12 9a 3344 0.80206 268.4508 230367 3344
13 9b 3193 0.76584 228.8944 222167 3193
14 9c 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
15 10a 3469 0.43298 433.0437 196827 3469
16 10b 2135 0.26648 317.3036 192086 2135
17 10c 1657 0.7608 165.4386 101942 1657
18 11a 2958 0.7531 222.1665 188882 2958
19 11c 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
20 12a 3933 0.40733 417.83 144300 3933
21 12b 2994 0.31008 348.333 161155 2994
22 12c 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
Tabel V.14 Hasil Fitur Morpologi Citra Sel Tunggal Terdeteksi (. .. lanjutan)
No
Citra sel
Tunggal
Nukleus
Area
Sitoplasma
Area
Nukleus Area Roundness Perimeter
23 13a 2338 0.5437 232.4508 172344 2338
24 13c 3256 0.371 332.0904 143524 3256
25 14c 3256 0.371 332.0904 143524 3256
26 15a 3089 0.676 239.6224 122956 3089
122
27 15b 3344 0.80206 268.4508 230367 3344
28 15c 3193 0.76584 228.8944 222167 3193
29 16a 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
30 16b 3344 0.80206 268.4508 230367 3344
31 16c 3193 0.76584 228.8944 222167 3193
32 17a 2338 0.5437 232.4508 172344 2338
33 17c 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
34 18a 3344 0.80206 268.4508 230367 3344
35 18b 3193 0.76584 228.8944 222167 3193
36 18c 1657 0.7608 165.4386 101942 1657
37 19a 2338 0.5437 232.4508 172344 2338
38 19c 3256 0.371 332.0904 143524 3256
39 20a 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
40 20b 2958 0.7531 222.1665 188882 2958
41 21a 1258 0.3368 216.6518 99737 1258
42 21b 295 0.7531 222.1665 188882 2958
Total 115532.00 22.54 11179.91 6993991.00 115532.00
Mean 2750.76 0.54 266.19 166523.60 2750.76
St Dev 17023.83 3.32 1647.43 1030271.17 17023.83
Semua nilai fitur morphologi untuk nukleus dibuat dalam Grafik V.33 untuk
menunjukkan perbandingan nilai area, roundness dan perimeter.
Hasil verifikasi ahli, kondisi perbandingan nilai morphologi nukleus mengarah
kepada bentuk morphologi sel squomous normal. Ciri-ciri nilai roundness
menunjukkan nilai standar deviasi yang cukup kecil berarti nukleus memiliki
kebundaran yang relatif sama dan normal.
Grafik V.34 menunjukkan perbandingan nilai area nukleus dan area sitoplasma.
Terlihat perbedaan nilai area yang cukup besar antara keduanya. Nilai rata-rata area
nukleus pada Tabel V.14 sebesar 2750.76 dan area sitoplasma 166523.60. Nilai
rasio perbandingan keduanya sebesar 0.016518, nilai ini jika dibandingkan dengan
Tabel III.8 tentang rasio area nukleus dan sitoplasma pada tujuh kelas yang diolah
dari data Herlev (Jantzen, 2005), nilai tersebut mendekati nilai rasio kelas 1 sebesar
0.011796 yaitu kelas Normal Superficial. Jadi sebagian besar sel diidentifikasi
sebagai kelas Normal Superficial, hasil ini memiliki kesamaan dengan verifikasi
ahli.
123
Gambar V.33 Grafik perbandingan nilai area, roundness dan perimeter nukleus
citra sel tunggal terdeteksi.
Gambar V.34 Grafik perbandingan nilai area nukleus dan area sitoplasma
Hasil analisa morphologi ini didukung dengan hasil identifikasi pemisahan sel
tumpang tindih dan eliminasi sel radang untuk 56 citra sel tunggal yang berhasil
dideteksi, beberapa contoh diberikan pada Tabel V.15.
Hasil menunjukan bahwa 52 citra sel tunggal yang teridentifikasi adalah kelas
Normal Superficial dan ada empat citra sel tunggal teridentifikasi sebagai kelas
Normal Intermediate.
124
Tabel V.15 Contoh Hasil Identifikasi Sel Tunggal Terdeteksi
No Citra sel tumpang
tindih
Ukuran
citra
Sel tumpang
tindih
Sel Tunggal
teridentifikasi
Identifiksi
Kelas
1
400x300
1
2
Normal
Superficial
2
1600x1200
1
3
Normal
Superficial
3
1200x1600
1
2
Normal
Superficial
4
1600x1200
1
2
Normal
Intermediate
5
1600x1200
1
2
Normal
Superficial
6
1280x270
4
2
Normal
Superficial
7
1600x1200
1
2
Normal
Superficial
8
1600x1200
1
2
Normal
Superficial
V.4 Diskusi
Dalam bagian ini berisi evaluasi dari metode yang diusulkan. Metode pemisahan
citra sel tumpang tindih Pap smear bertujuan menghasilkan perolehan citra sel
tunggal untuk selanjutnya dideteksi nukleus pada masing-masing sel. Deteksi
daerah tumpang tindih pada citra sel konvensional Pap smear masih merupakan
masalah terbuka. Uji coba pada 61 citra sel tunggal dengan kondisi 24 citra sel
tumpang tindih horizontal dengan ukuran daerah tumpang tindih yang berbeda-
beda >150x200 piksel, > 100 x 200 piksel, >150x150 piksel, >150x200 piksel,
>100x100, dan >200x200 piksel. Sedangkan satu citra terdiri dari lima sel tumpang
tindih (Gambar V.36). Diharapkan citra-citra ini dapat mewakili beberapa kondisi
daerah tumpang tindih yang terdapat pada citra konvensional Pap smear.
125
Seperti yang diverifikasi oleh ahli (dalam hal ini ahli patologi), metode pemisahan
sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang menghasilkan perolehan 61 citra sel
tunggal dari data set penelitian ini. Citra-citra ini mengandung sel-sel pada kelas
Normal Superfisial dan Normal Intermediate yang nukleusnya berbentuk lingkaran
dan berlokasi di pusat daerah sitoplasma.
Metode usulan mendeteksi nukleus dan sel radang pada 61 citra sel, Gambar V. 35
adalah contoh citra-citra sel tunggal terisolasi dengan nukleus berwarna hitam dan
sel radang warna merah muda.
Gambar V.35 Contoh Sel Nukleus dan Sel Radang yang terdeteksi
Pada penerapan metode pemisahan sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang
pada citra dengan empat daerah tumpang tindih (Gambar V.36) dimana citra ini
memiliki lima sitoplasma tumpang tindih horizontal dan 24 kandidat nukleus. Posisi
empat daerah tumpang tindih, yaitu di sisi kiri, dua di tengah dan di kanan pada
citra.
Gambar V.36 Citra dengan lima sel tumpang tindih
126
Hasil dari pre processing pada citra ini menghasilkan dua citra cropping yang terdiri
dari cropping sel tumpang tindih (a) dan cropping daerah tumpang tindih
(b) pada Gambar V.37.
(a) (b)
Gambar V.37 Hasil pre-processing sel tumpang tindih dan daerah tumpang tindih
Gambar V.37 (a) dan (b) menunjukkan proses delinasi sel tumpang tindih pada sel
nomor 4 dan 5. Gambar (a) adalah ilustrasi boundary bagian atas daerah tumpang
tindih dan (b) bagian bawah daerah tumpang tindih. Gambar (c) dan (d) adalah hasil
proses isolasi sel. Pada Gambar (e) terlihat dua sel yang dapat diisolasi, yaitu sel
yang terletak paling kanan atau sel nomor 1 dan paling kiri atau sel nomor 5. Pada
sel bagian tengah (nomor 2,3 dan 4) belum dapat diisolasi dengan sempurna. Dua
sel yang berhasil diisolasi selanjutnya dilakukan proses deteksi nukleus dan
hasilnya secara tepat dapat ditentukan nukleus yang benar pada kedua sel.
Namun pada Gambar V.38 di mana metode luput untuk mengisolasi tiga sel
tumpang tindih yang lain, dapat diamati bahwa batas sitoplasma dari ketiga sel yang
di tengah tidak dapat didelinasi dengan benar. Hal ini diakibatkan sel nomor 3 yang
berbentuk bulat tidak teridentifikasi sebagai sebuah sel dan cenderung terdeteksi
sebagai daerah tumpang tindih (Gambar V.19). Verifikasi dari ahli patologi
terhadap sel nomor 3 adalah sel parasabasal dan cenderung abnormal. Sehingga
dalam kondisi ini perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk dapat mengisolasi
ketiga sel tersebut.
127
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar V.38 Ilustrasi Proses Delinasi pada Citra Empat Sel Tumpang Tindih
Walaupun pada citra ini belum dapat terisolasi sempurna, tetapi deteksi pada
masing-masing nukleus untuk sel nomor satu dan lima berhasil dilakukan. Sehingga
dalam hal ini dapat disimpulkan citra ini dapat dideteksi dan dipisahkan untuk sel-
sel dengan ukuran daerah tumpang tindih >100x100.
Pada proses pengenalan objek yang memiliki kandidat nukleus yaitu sel radang dan
sel nukleus digunakan delapan fitur GLRM yang dapat membedakan keduanya.
Fitur-fitur tersebut adalah LGRE, GLN, RLN, LRLGE, SRHGE, SRLGE, LRHGE,
dan RP. Sedangkan tiga fitur GLRM lainnya SRE, LRE dan HGRE tidak
digunakan.
128
Dari tiga fitur yang tidak dimanfaatkan dalam klasifikasi yaitu SRE, LRE dan
HGRE dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiripan sel radang dan nukleus untuk
struktur halus sel nukleus dan sel radang adalah sangat mirip atau sama dan tidak
bisa dibedakan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya otomatisasi ekstraksi sel radang
dan identifikasi nukleus bukan hal yang mudah karena kondisi kemiripan dari kedua
sel.
Gambar V.39 Grafik Nilai Daerah Tumpang tindih dan Total Waktu Proses
Dalam penelitian ini, total waktu proses dibandingkan dengan ukuran daerah
tumpang tindih yang berbeda-beda yaitu >150x200 piksel, > 100 x 200 piksel,
>150x150 piksel, >150x200 piksel, dan >200x200 piksel. Grafik pada Gambar V.39
adalah nilai-nilai yang diperoleh dari proses citra-citra tersebut. Proses pemisahan
sel tumpang tindih membutuhkan waktu rata-rata 8.7961 ± 4.5898 menit. Peneliti
sebelumnya Lu dkk (2015) yang melakukan segmentasi sitoplasma tumpang tindih
menggunakan optimasi dengan Multiple Level Set Functions, waktu proses yang
dibutuhkan dalam range 5-60 menit, untuk jumlah sel 2-10 sel. Nilai waktu total
proses perlu dilakukan pengembangan sehingga dapat dihasilkan metode yang
memiliki waktu proses yang lebih singkat. Tabel V.16 menunjukkan perbandingan
metode usulan dengan metode lainnya, baik mengenai jumlah slide, jumlah citra,
jumlah sel, kriteria performa dan hasil kuantitatif.
Tabel V.16 Perbandingan Metode Usulan dengan State of The Art *
129
Metode Slide Citra Ukuran Sel Kriteria
Performansi
Hasil Kuantitatif
Bamford
dkk. (1998)
- - 128 x
128
20130 Pengamatan visual 99,64% sel
tersegmentasi
Wu dkk.
(1998)
1 1 80x100 1 Perbandingan K
means dan Bayesian dalam citra
Tingkat kesalahan
lebih kecil dari 5 %
Garrido
dkk. (2000)
- 3 - - Pengamatan visual Tidak memiliki
hasil kuantitatif
Lezoray
dan
Cardot
(2002)
- 10 - 209 Ukuran Vinet
Jumlah bagian yang
tersegmentasi
Ukuran rata-rata
Vinet 2.24 untuk
RGB dan 3.41
untuk HSL. Rata-
rata perbedaan
daerah
tersegmentasi
dengan manual 2.87
% untuk RGB dan
0.47% untuk HSL
Lassouao
ui dan
Hamami (2003)
- 2 256 x 256
Pengamatan visual Tidak memiliki
hasil kuantitatif
Bak, dkk (2004)
- 2 - - Pengamatan visual Tidak memiliki hasil kuantitatif
Isa dkk (2005)
- 3 - - Pengamatan visual Tidak memiliki hasil kuantitatif
Yang
Mao
dkk.
(2008)
- - 64x64 124 Error kesalahan
klasifikasi,
kesalahan tepi,
modifikasi
Hausdorff distance,
relative foreground
area error, relative
distance error
Rata-rata kesalahan
segmentasi sebesar
0.1145
Lin dkk
(2009)
- 10 - 10 Kesalahan
klasifikasi, relative
foreground area
error, modifikasi Hausdorff distance
Rata-rata kesalahan
segmentasi sebesar
0.1323
Plissiti,
M.E.
(2011a)
15 38 1536 x2048
5617 Sensitivity (Se)
Specificity (Sp)
Waktu proses (3 GB)
Indikasi nilai rata-
rata Se=90.57%, Sp
= 75.28% untuk
FCM dan
Se=69,86%, Sp =
92,02 untuk SVM. 83.04 ± 52.77 detik
Tabel V.16 Perbandingan Metode Usu lan dengan State of The Art * (...lanjutan)
Metode Slide Citra Ukuran Sel Kriteria
Performansi
Hasil Kuantitatif
Plissiti dan
Nikou
(2011b)
1 50 260x300 Dua sel
nukleus
tumpang tindih
Pengamatan visual,
Hausdorff distance
dan Euclidean Waktu proses (3 GB)
Hausdorff distance 19.58 dan euclidean
8.64 90.52 ± 7.36 detik
Tareef dkk
(2014)
Data
sintet is
45 512x512 270 sel tunggal
dan tumpang
tindih
Index Zijdenbos
Similarity Index (ZSI ) pixel
0.926 ± 0.047
130
ISBI
2014 (nukleus).
Index ZSI pixel
(sitoplasma) Waktu proses (8 GB)
0.914 ± 0.075
56 detik
Pemisahan 5 21 400x300, 1600 x1200
dan
1280
x720
61 sel tunggal Pengamatan visual Indikasi nilai rata-
Sel dengan 24 Sensitivity (Se) rata Se=82,56 %,
Tumpang kondisi sel Specificity (Sp) Sp = 81,27 %
Tindih dan tumpang tindih Waktu proses (4 8.7961 ± 4.5898 Eliminasi dengan 5 GB) menit
Sel Radang variasi ukuran Evaluasi fitur area, Klasifikasi kelas sel
(Disertasi) daerah perimeter dan
tumpang roundness dari
tindih. Total nucleus dan
193 sel yaitu sitoplasma
56 nukleus dan
137 se radang
* Diolah kembali dari Plissiti, M.E. (2012a)
Pemisahan sel tumpang tindih diterapkan pada 61 citra sel tunggal dengan 24
kondisi citra sel sitoplasma tumpang tindih horizontal menunjukkan bahwa seluruh
citra dapat dipisahkan. Tetapi perlu pengembangan dengan menambah citra uji
yang memenuhi paramater-parameter yang ditentukan sehingga dapat
dibandingkan performanya dengan metode lain.
Pemisahan sel tumpang tindih dari sel servik pada citra Pap smear konvensional
masih merupakan pekerjaan yang sulit terutama pada kondisi citra yang memiliki
kompleksitas dan variasi yang tinggi serta memiliki keterbatasan parameter
tertentu. Penyelesaian pada permasalahan pada penelitian ini dapat menjanjikan
bahwa analisis terhadap slide Pap smear dapat ditingkatkan melalui analisis dan
penelitian yang lebih lengkap pada bagian sel-sel dari slide Pap smear yang lebih
kompleks guna mendukung kemudahan dan efektifnya proses skrining pada kasus
deteksi dini kanker serviks.
Bab VI Kesimpulan dan Pengembangan Riset
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan beberapa
saran yang diberikan supaya dapat digunakan sebagai masukan pada penelitian
lebih lanjut.
131
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perolehan citra sel tunggal Pap smear untuk deteksi dini kanker servik dapat
dilakukan melalui metode pemisahan sel tumpang berupa melalui pembagian
daerah tumpang tindih, pencarian jarak terdekat dari pinggiran daerah tumpang
tindih, penyambungan pinggiran sitoplasma tumpang tindih dan proses isolasi
sel tumpang tindih untuk lima ukuran daerah tumpang tindih yang berbeda-
beda yaitu >150x200 piksel, > 100 x 200 piksel, >150x150 piksel, >150x200
piksel, >100x100, dan >200x200 piksel. Tahapan pre- processing berupa
konversi warna, peningkatan citra, pengenalan objek dan pembersihan latar
belakang dengan rule klasifikasi tekstur untuk menghasilkan cropping sel
tumpang tindih secara otomatis. Segmentasi sel tumpang tindih dilakukan
untuk segmentasi sitoplasma tumpang tindih dan daerah tumpang tindih
dengan graylevel thresholding. Eliminasi sel radang dan deteksi nukleus dapat
dilakukan dengan menerapkan defenisi aturan jarak. Hasil menunjukkan
bahwa metode ini berhasil memisahkan dua sitoplasma yang tumpang tindih
secara horizontal. Menghasilkan citra sel tunggal yang terdeteksi nukleus dan
sel radang yang tereliminasi, untuk ukuran parameter-parameter yang sudah
ditentukan. Hasil verifikasi ahli patologi disimpulkan bahwa proses pemisahan
sel tumpang tindih dan eliminasi sel radang ini sudah dapat memisahkan sel
sesuai dengan cytomorphology sel, sehingga dapat membantu ahli patologi
untuk mendeteksi dini kanker serviks. Metode pemisahan sehingga dapat
membantu ahli patologi dalam deteksi dini kanker serviks
2. Metode eliminasi sel radang dapat digunakan untuk menangani keberadaan sel
radang sehingga proses identifikasi nukleus pada citra sel tunggal mikroskopis
Pap smear dapat dilakukan dan diharapkan dapat membantu ahli patologi
dalam deteksi dini kanker serviks. Hasil menunjukkan secara signifikan dapat
menghilangkan sel radang dan mendeteksi nukleus secara akurat pada sel yang
berhasil diisolasi. Hasil verifikasi ahli patologi menyebutkan bahwa metode
eliminasi sel radang telah berhasil
132
meminimalkan sel radang dan membantu patolog untuk memudahkan
penilaian terhadap struktur sel dan jenis sel. Identifikasi jenis sel sudah sesuai
dengan cytomorphology secara ilmu cytopathology, sehingga dapat membantu
ahli patologi untuk mendeteksi dini kanker serviks.
VI.2 Pengembangan Riset
Berdasarkan hasil dan keterbatasan penelitian yang telah dilakukan maka masih
terbuka peluang untuk perbaikan hasil penelitian ataupun pengembangan lebih
lanjut. Beberapa pengembangan riset yang dapat dilakukan , yaitu:
1. Metode pemisahan citra sel tumpang tindih dapat dikembangkan untuk
mengakomodir posisi sel tumpang tindih selain horizontal, variasi ukuran
daerah tumpang tindih, dan sel yang tumpang tindih yang lebih dari dua sel.
Peningkatan waktu proses pemisahan sel tumpang tindih. Fitur tekstur sel
radang dan nukleus dikembangkan terutama untuk fitur yang potensial sebagai
pembeda seperti fitur LRHGE, yaitu Long Run High Gray-Level Emphasis
yang memiliki nilai rata-rata yang berbeda cukup signifikan antara sel radang
dan sel nukleus. Penggunaan jenis pengklasifikasi lain dapat dipertimbangkan
dan penggunaan data set citra tumpang tindih lain seperti ISBI 2014.
2. Penelitian ini baru menyelesaikan sebagian kecil permasalahan yang dihadapi
oleh ahli patologi dalam proses skrinning Pap smear. Terutama untuk
mengurangi keberadaan sel radang dan sel tumpang tindih yang cukup
mengganggu proses identifikasi sel. Sedangkan permasalahan lain masih
banyak yang perlu diselesaikan pada citra sel Pap smear konvensional. Riset
dapat dilanjutkan untuk mengatasi persoalan lain seperti menghilangkan latar
belakang yang mengandung sel darah, identifikasi sel tumpang tindih
kompleks dengan batas sitoplasma yang tidak jelas, dan identifikasi sel yang
abnormal, sel menopause, serta sel yang terkena virus HPV.
Beberapa usulan riset ini diharapkan akan menghasilkan satu mekanisme otomatis
identifikasi citra Pap smear agar dapat membantu ahli patologi dalam
mengidentifikasi sel mikroskopik Pap smear pada deteksi dini kanker serviks.
133
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M.F. (2009): Gynecological Cancer in Indonesia, J Gynecol Oncol, 20 (1), 8–
10
Bak, E., Najarian, K., dan Brockway, J. P. (2004): Efficient Segmentation
Framework of Cell Images in Noise Environments, in Proc. 26th Int. Conf.
IEEE Eng. Med. Biol, 1, 1802–1805.
Bamford, P., dan Lovell, B. (1996): A Water Immersion Algorithm for Cytological
Image Segmentation, Proceedings of the APRS Image
134
Segmentation workshop, University of Technology Sydney, Sydney, 75-
79.
Bamford, P., dan Lovell, B. (1998): Unsupervised Cell Nucleus Segmentation With
Active Contours, Signal Processing, 71, 12, 203-213.
Begelman, G., Gur, E., Rivlin, E., Rudzsky, M., dan Zalevsky, Z. (2004): Cell
Nuclei Segmentation Using Fuzzy Logic Engine, International Conference
on Image Processing, 5, 2937-2940.
Bengtsson, E., Eriksson, O., dan Holmquist, J. (1979): High Resolution
Segmentation of Cervical Cells, J Histochem Cytochem, 27, 1, 621–628.
Bhanu, B., Lee, S., dan Ming, J. (1995): Adaptive Image Segmentation Using A
Genetic Algorithm, IEEE Transaction on Systems, Man, and Cybernetics,
25, 1543-1567.
Borst, H., Abmayr, W., dan Gais, P. (1979): A Thresholding Method for Automatic
Cell Image Segmentation, J Histochem Cytochem, 27, 1, 180– 187.
Cahn, R.L., Poulsen, R.S., dan Toussaint, G. (1977): Segmentation of Cervical Cell
Images. J Histochem Cytochem, 25, 7, 681–688.
Chang, C.W., Lin M.Y., Harn H.J., Harn,Y.C., Chen, C.H., Tsai, K.H., dan Hwang,
C.H. (2009): Automatic Segmentation of Abnormal Cell Nuclei from
Microscopic Image Analysis for Cervical Cancer Screening. Proceeding of
The 3rd IEEE International Conference on Nano-Molecular Medicine and
Engineering, Tainan, Taiwan, 77–80.
Cibas, E.S., dan Ducatman, B.S. (2009) : Cytology Diagnosis Principles and
Clinical Correlates, 3rd ed. ISBN 978-1-4160-5329-3, Saunders Elsevier, 1-
64.
Davies, E.R. (1989): Finding Ellipses Using The Generalised Hough Transform,
Pattern Recognition Letters, 9, 87-96.
Duanggate, C., Uyannovara, B., dan Koanantakul, T. (2008): A Review of Image
Analysis and Pattern ClassificationTechniguees for Automatic Pap smear
Screening Process, The 2008 International Conference on Embedded
System Intelligent Technology, Thailand, 212-217.
Garrido, A., dan Perez de la, B.N. (2000): Applying Deformable Templates for Cell
Image Segmentation, Pattern Recognition, 821-832.
Galloway (1975): Texture Analysis Using Gray Level Run Lengths, Computer
Graphics and Image Processing, 4, 172–179.
135
Goldberg, D. E. (1989): Genetic Algorithms in Search, Optimization, and
Machine Learning, Wesley Edition.
Hasanuddin, Riana, D., Dewi, D.E.O., Widyantoro, D. H., dan Mengko, T.L.R.
(2012): Detection of Cytoplast Area of Pap SmearImage Using Image
Segmentation, International Conference on Women’s Health in Science &
Engineering (WiSE Health), ITB, Bandung, 22-26.
Holmquist, J., Bengtsson, E., Eriksson, O., Nordin, B., dan Stenkvist, B. (1978):
Computer Analysis of Cervical Cells Automatic Feature Extraction and
Classification, The Journal of Histochemistry and Cytochemistry. 26, 11,
1000-1017.
Howlander, N., Noone, A.M., dan Krapcho, M. (2013): eds. SEER Cancer Statistics
Review, 1975-2010. Bethesda, MD: National Cancer Institute.
Huttenlocher, D.P., Klanderman, G.A., dan Rucklidge, W.J. (1993): Comparing
Images Using The Hausdorff Distance, IEEE Trans. Pattern Anal.
Machine Intell. 15, 850–863.
Isa, M. A. (2005 ): Automated Edge Detection Technique for Pap Smear Images
Using Moving K-Means Clustering and Modified Seed Based Region
Growing Algorithm, International Journal of The Computer, the internet
and Management. 13, 3, 45-59.
Jackway, P. (1995): Morphological Multiscale Gradient Watershed Image
Analysis, Proceedings of the 9th Scadinavian Conference on Image
Analysis (SCIA 1995), 87-94.
Jackway, P. (1996): Gradient Watersheds in Morphological Scale Space, IEEE
Transactionson Image Processing, 5, 913-921.
Jantzen, J. N., Dounias, G., dan Bjerregaard, B. (2005): Pap-smear Benchmark Data
For Pattern Classification, Technical University of Denmark, Denmark.
Jemal, A., Bray, F., Center, M.M., Ferlay, J., Ward, E., Forman, D. (2011): Global
Cancer Statistics. CA Cancer J Clin, 61(2), 69–90.
Jung, C., Kim, C., Wan Chae, S., dan Oh, S. (2010): Unsupervised Segmentation
of Overlapped Nuclei Using Bayesian Classification. IEEE Trans Biomed
Eng. 55, 12, 2825–2832.
Jung, C., dan Kim, C. (2010): Segmenting Clustered Nuclei Using H-Minima
Transform-Based Marker Extraction and Contour Parameterization. IEEE
Trans Biomed Eng. 57, 10, 2600–2604.
136
Kale, A., dan Aksoy, S. (2010): Segmentation of Cervical Images. Proceedings of
the 20th international, 2399- 2402.
Kim, K.B., Kim, S., dan Sim, K.B. (2006): Nucleus Classification and Recognition
of Uterine Cervical Pap-Smears Using Fuzzy ART Algorithm. Proc 6th Int
Conf Simul Evol Learning, Lect Notes Comput Sci
, 4247, 560–567.
Kim, K.B., Song, D. H., dan Woo, Y.W. (2007): Nucleus Segmentation and
Recognition of Uterine Cervical Pap-smears. Proc 11th RSFDGrC, Lect
Notes Comput Sci, 4482, 153–160.
Kusuma, F. (2012): Tes Pap Dan Cara Deteksi Dini Kanker Serviks Lainnya,
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Prevention and Early
Detection of Cervical Cancer (PEACE), Jakarta
Lassouaoui, N dan Hamami, L. (2003): Genetic Algorithms and Multifractal
Segmentation of Cervical Cell Images, Proc. Of IEEE-EURASIP 7th
International Symposium on Signal Processing and its Applications, 2, 1- 4.
Lee, K.M., dan Street, W.N. (2000): Learning Shapes for Automatic Image
Segmentation. Proc. INFORMS-KORMS Conference, ,Seoul, Korea, 1461-
1468.
Lezoray, O., dan Cardot, H. (2002): Cooperation of Color Pixel Classification
Schemes and Color Watershed: A Study for Microscopic Images, IEEE
Trans. Image Process, 11, 7, 783–789.
Li, Z., dan Najarian, K. (2007): Biomedical Image Segmentation Based on Shape
Stability, Proceedings of the 14th IEEE International Conference on
Image Process (ICIP), San Antonio, 281–284.
Lin, C. H., Chan,Y. K., dan Chen, C. C. (2009): Detection and Segmentation of
Cervical Cell Cytoplast and Nucleus, Int. J. Imaging Syst. Technol, 19, 3,
260–270.
Lu, Z., Carneiro, G., dan Bradley, A.P. (2015): An Improved Joint Optimization of
Multiple Level Set Functions for the Segmentation of Overlapping Cervical
Cells, IEEE Transactions On Image Processing, 24, 4, 1261- 1272.
MacAulay, C., dan Palcic, B. (1988): A Comparison of Some Quick and Simple
Threshold Selection Methods for Stained Cells. Anal Quant Cytol Histol, 10
(2), 134–138.
Malm, P., dan Brun, A. (2009): Closing Curves with Riemannian Dilation:
Application to Segmentation Inautomated Cervical Cancer Screening.
137
Proc 5th Int Symp Visual Comput 2009, Lect Notes Comput Sci, 5875,
337–346.
Malviya, R.P.K.K., Chatterjee, J., Manjunatha, M., dan Ray, A.K. (2012):
Computer Assisted Cervical Cytological Nucleus Localization, Department
of Information Technology, Govt. of India, New Delhi.
Moshavegh, R., Ehteshami, B.B., Mehner, A., Sujathan, K., Maim., dan Bengtsson,
E. (2012): Automated Segmentation of Free-Lying Cell Nuclei in Pap
Smears for Malignancy-Associated Change Analysis, 34th Annual
International Conference of the IEEE EMBS San Diego, California USA,
5372-5375.
Muhimmah, I., Kurniawan, R., dan Indrayanti. (2012): Automatic Epithelial Cells
Detection of Pap smears images using Fuzzy C-Means Clustering, 4th
International Conference on Bioinformatics and Biomedical Technology,
122-127.
Muhimmah, I., Kurniawan, R., dan Indrayanti. (2013): Analysis of Features to
Distinguish Epithelial Cells And Inflammatory Cells in Pap smear Images,
6th International Conference on Biomedical Engineering and Informatics
(BMEI 2013), 122-127.
Mustafa, N., Isa, M.N.A., dan Mashor, M.Y. (2009): Automated Multicells
Segmentation of Thinprep® Image Using Modified Seed Based Region
Growing Algorithm. Biomed Soft Comput Hum Sci. 14 (2), 41–47.
Nallaperumal, K., dan Krishnaveni, K. (2008): Watershed Segmentation of Cervical
Images Using Multiscale Morphological Gradient and HSI Colour Space.
Int J Imag Sci Eng (IJISE), 2 (2), 212–216.
Papanicolaou, G.N. (1942): A New Procedure for Staining Vaginal Smears,
Science. 95, 2469, 438–439.
Poulsen, R.S., dan Pedron, I. (1995): Region of Interest Finding in Reduced
Resolution Colour Imageryapplication to Cancer Cell Detection. Pattern
Recognition, 28(11), 1645–1655.
Philip, K. P., Dove, E. L, McPherson, D.D, Gotteiner, N.L, Standford, W dan
Chandran, K.B. (1996): The Fuzzy Hough Transform-Feature Extraction in
Medical Images, IEEE Transactions on Medical Imaging. 15, (3), 353- 368.
Plissiti, M.E., Nikou, C dan Charchanti A. (2010): Accurate Localization of Cell
Nuclei in Pap Smearimages Using Gradient Vector Flow Deformable
Models. In: Proceeding of the 3rd internationalmconference on Bio-
inspired Signals and Systems (BIOSIGNALS), Valencia, Spain, 284–289.
138
Plissiti, M.E., Nikou, C. dan Charchanti, A. (2011a): Automated Detection of Cell
Nuclei in Pap Smear Images Using Morphological Reconstruction and
Clustering, IEEE Transactions On Information Technology In Biomedicine.
15, (2), 233-241
Plissiti, M.E., Nikou, C. dan Charchanti, A. (2011b): Combining Shape, Texture
and Intensity Features for Cell Nuclei Extraction in Pap Smear Images,
Pattern Recognition Letters, 32, (6), 838–853
Plissiti, M.E. dan Nikou, C. (2012a): Overlapping Cell Nuclei Segmentation Using
A Spatially Adaptive Active Physical Model, 11, 4568-80, doi:
10.1109/TIP.2012.2206041.
Plissiti, M.E. dan Nikou, C. (2012b): Methods for Cytological Images Analysis.
PhD Thesis, University of Ioannina, Greece, 1-113.
Plissiti, M.E dan Nikou. C. (2013): A Review of Automated Techniques for
Cervical Cell Image Analysis and Classification. Iacoviello, D. and
Andreaus, U. (eds.), Biomedical Imaging and Computational Modeling in
Biomechanics, Lecture Notes in Computational Vision and Biomechanics 4,
ISSN 2212-9391, ISSN 2212-9413 (electronic), ISBN 978-94-007-
4269-7, ISBN 978-94-007-4270-3 (eBook), DOI 10.1007/978-94-007-
4270-3_1, Springer Science+Business Media Dordrecht, 1-18.
Pratama, G.K., Riana, D., Dewi, D.E.O., Widyantoro, D.H., dan Mengko, T.L.R.
(2012): Pap Smear Nuclei Tekstur Analysis. International Conference on
Women’s Health in Science & Engineering (WiSE Health), ITB, Bandung,
18-22.
Prayitno, A. (2006): Cervical Cancer With Human Papilloma Virus and Epstein
Barr Virus Positive, Journal Of Carcinogenesis, doi:10.1186/1477-3163- 5-
13. 5, 13.
Purwadi, S. (2012): Indonesian Cervical Cancer Challenge, Divisi Oncologi Dept
Obstetrics Gynecology Faculty of Medicine. Universitas Indonesia,
Prevention and Early Detection of Cervical Cancer (PEACE).
Riana, D, dan Murni, A. (2009): Performance Evaluation of Pap Smear Cell Image
Classification Using Quantitative And Qualitative Features Based on
Multiple Classifiers. In: Proceedings of the international conference on
Advanced Computer Science and Information Systems (ACSIS’09) Jakarta,
Indonesia, 38–42.
Riana, D (2010): Hierarchical Decision Approach Berdasarkan Importance
Performance Analysis untuk Klasifikasi Citra Tunggal Pap Smear
Menggunakan Fitur Kuantitatif Dan Kualitatif, Thesis. Faculty of Computer
Science, University of Indonesia.
139
Riana, D., Dewi, D.E.O., Widyantoro, D. H., Mengko, T.L.R. (2012b): Segmentasi
Luas Nukeus Sel Normal Superfisial Pap smear Menggunakan Operasi
Kanal Warna dan Deteksi Tepi, Seminar Nasional Inovasi Teknologi,
Jakarta.
Riana, D., Dewi, D.E.O., Widyantoro, D. H., Mengko, T.L.R. (2012c):
Segmentation and Area Measurement in Abnormal Pap Smear Images
Using Color Canals Modification with Canny Edge Detection, International
Conference on Women’s Health in Science & Engineering (WiSE Health),
ITB, Bandung, 106-109.
Riana, D., Dewi, D.E.O., Widyantoro, D. H., Mengko, T.L.R. (2012d): Color
Canals Modification with Canny Edge Detection and Morphological
Reconstruction for Cell Nucleus Segmentation and Area Measurement in
Normal Pap Smear Images, The Fourth International Conference on
Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), ITB, Bandung, 414-417
Riana, D., Widyantoro, D. H., dan Mengko, T.L.R (2013a): Perbandingan
Segmentasi Luas Nukleus Sel Normal dan Abnormal Pap Smear
Menggunakan Operasi Kanal Warna dengan Deteksi Tepi Canny dan
Rekonstruksi Morfologi, Jurnal TICOM, ISSN 2302 –3252, Jakarta,
Indonesia, 1,(2), 70-78.
Riana, D., Widyantoro, D. H., dan Mengko, T.L.R (2013b): Ekstraksi dan
Klasifikasi Tekstur Citra Sel Nukleus Pap Smear, Jurnal TICOM, ISSN
2302 –3252, Jakarta, Indonesia, 1, (3), 186-193.
Riana, D., Widyantoro, D.H., Mengko, T.L.R, dan Kalsoem, O. (2014b): Ekstraksi
Fitur Kuantitatif Tekstur Dan Klasifikasi Sel Nukleus Dan Sel Radang Pada
Citra Pap Smear, Konferensi Nasional Ilmu Komputer, Aptikom, Makasar.
Ryan, S., dan Hall, M. (2006): Practical Data Mining, University of Waikato.
Samadi, H.P., (2011). Yes, I Know Everything about Kanker Serviks! Mengenali,
Mencegahnya, dan Bagaimana Anda Menjalani Pengobatannya, Women
Health Series Tumor & Kanker, Metagraf.
Saslow, D., Solomon, D., Lawson, H.W. (2012): American Cancer Society,
American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and American
Society for Clinical Pathology Screening Guidelines for The Prevention and
Early Detection of Cervical Cancer, Am J Clin Pathol, 137, 516–542.
Siegel, R., Ma, J., Zou, Z., dan Jemal, A. (2014): Cancer Statistics, CA Cancer J
Clin. In press.
140
Soille, P. (1999): Morphological Image Analysis, Principles and Applications,
Springer-Verlag, 173-174.
Smith, R.A, Baptiste, D. M, Brooks, D., Cokkinides,V., Doroshenk, M., dan
Saslow,D. (2014): Cancer Screening in the United States, 2014: A Review
of Current American Cancer Society Guidelines and Current Issues in
Cancer Screening, Ca Cancer J Clin , 64, 30–51.
Suryatenggara, J., Ane, B.K., Pandjaitan, M., Steinberg, W. (2009): Pattern
Recognition on 2d Cervical Cytological Digital Images for Early Detection
of Cervix Cancer, IEEE 978-1-4244-5612-3/09/.
Tareef, A., Song, Y., Cai1, W., Feng, D.D., dan Chen, M. (2015): Automated Three-
Stage Nucleus and Cytoplasm Segmentation of Overlapping Cells, 13th
International Conference on Control, Automation, Robotics & Vision
Marina Bay Sands, Singapore, (ICARCV 2014), 865-870.
Tjindarbumi, D., dan Mangunkusumo, R. (2002): Cancer in Indonesia, Present and
Future, Jpn J Clin Oncol, 32(Suppl), S17–S21.
Tsai, M.H., Chan,Y.K., Lin, Z.Z., Yang-Mao, S.F., dan Huang, P.C. (2008):
Nucleus and Cytoplast Contour Detector of Cervical Smear Image, Pattern
Recognit Lett, 29, 1441–1453.
Ushizima, D.M., Gomes, A.H., Carneiro, C.M., dan Bianchi, A.G.C. (2013):
Automated Pap Smear Cell Analysis: Optimizing the Cervix Cytological
Examination, 12th International Conference on Machine Learning and
Applications, 441-444.
Vaschetto, F., Montseny, E., Sobrevilla, F., dan Lerma, E. (2009) Threecond: An
Automated and Unsupervised Three Colour Fuzzy-Based Algorithm For
Detecting Nuclei in Cervical Pap Smear Images, in Proceedings of the 9th
International Conference on Intelligent Systems Design and Applications,
1359-1364.
Williams, D., dan Shab, M. (1992): A fast algorithm for active contours and
curvature estimation, Computer Vision. Graphics and Image Processing:
Image Understanding, 55, 14-26.
Witten, I.H. dan Frank, G. (2000): Data Mining: Practical Machine Learning Tools
with Java Implementations, Morgan Kaufmann, San Francisco.
Wu, H.S., Barba, J., dan Gil, J. (1998): A Parametric Fitting Algorithm for
Segmentation of Cell Images, IEEE Trans. Biomed. Eng, 45, (3), 400–407.
Xu, D., Kurani, A.S., Furst, J.D., dan Raicu, D.S. (2004): Run-length Encoding for
Volumetric Texture, The 4th IASTED International Conference on
Visualization, Imaging, and Image Processing.
141
Yang-Mao, S. F, Chan, Y. K., dan Chu, Y. P. (2008): Edge Enhancement Nucleus
and Cytoplast Contour Detector of Cervical Smear Images, IEEE Trans.
Syst. Man Cybern. B, Cybern, 38, (2), 353–366.
Yung, F. C, Po-Chi, H., Ker-Cheng. L., Hsuan-Hung. L, Li-En, W, Chung-Chuan,
C., dan John, Y. C. (2014): Semi-Automatic Segmentation and of Pap Smear
Cells, IEEE Journal Of Biomedical and Health Informatics, 18, 94- 108.
Zimmer, C dan Olivio-Martin, C. (2005): Coupled Parametric Active Contours,
IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 27, (11),
1838-1842.
Pustaka dari Situs Internet :
Martin E. (2003): Pap smear classification. Technical University of Denmark –
DTU,http://labs.fme.aegean.gr/decision/images/stories/docs/martin2003.zi
p . Download (diturunkan/diunduh) pada 20 Januari 2013.
Plissiti, M.E. (2012b) : Methods for Cytological Image Analysis, University of
Ioannina Greece, http://www.cs.uoi.gr/tech_reports/publications/PD-2012-
2.pdf. Download (diturunkan/diunduh) pada 19 November 2014.
Romberg J, Akram W and Gamiz J. (1997): Image segmentation using region
growing.Available:
http://www.owlnet.rice.edu/~elec539/Projects97/WDEKnow/index.html
Download(diturunkan/diunduh) pada 15 Mei 2013.
Riana D, Murni A, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012a): Quantitative and
Qualitative Features of Pap Smear Cell Image Using Importance
Performance Analysis for Hierarchical Decision Approach, e-journal
Aptikom, ISSN : 2088-2335 (Print) – 2088-2343 (Online) International
Conference On ICT For Better Life 2012 in Hongkong. 21 Juli 2012
http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=49408
Download(diturunkan/diunduh) pada 21 Juli 2012.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Oktober 1970 di Palembang, Sumatera Selatan.
Putri kedua dari lima bersaudara dari Bapak H. Zakaria Husein Safe’i dan Ibu Hj.
Salbiyah Saropi. Ia lulus dari SD Xaverius VII Palembang tahun 1982, SMP Negeri
15 Palembang tahun 1986 dan SMA Negeri IV Palembang pada tahun 1989.
142
Ia memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1994 di Jurusan Matematika Universitas
Sriwijaya, Palembang. Magister Manajemen konsentrasi Sistem Informasi pada
tahun 2004 di Program Studi Magister Manajemen Universitas Budi Luhur Jakarta.
Magister Ilmu Komputer pada tahun 2010 di Program Studi Pascasarjana Magister
Ilmu Komputer Universitas Indonesia dengan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana
(BPPS) DIKTI. Pada tahun 2013, memperoleh beasiswa Program Peningkatan
Program Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional (PKPI) (dh Sandwich
Program) di Departement of Computer Science, University of Ioannina, Greece.
Sejak tahun 1995 ia menjadi staf pengajar pada AMIK BSI di Jakarta. Pada tahun
2003 ia menjadi staf pengajar di Jurusan Sistem Informasi STMIK Nusa Mandiri.
Mulai Tahun 2010 aktif di Program Studi Magister Manajemen dan Fakultas
Teknik di Universitas BSI Bandung.
Penulis menikah dengan H. Moch Hendro Gunawan, ST, MT pada tahun 1997 dan
mempunyai dua orang anak, putri pertama Alya Shafira Hewiz, 16 tahun, dan putra
bungsu, Rayhan Konan Ferdion, 11 tahun.
Daftar publikasi :
1. Riana, D., Plissiti, E. M, Nikou. C., Widyantoro, D.H., Mengko, T.L.R,
Kalsoem, O. (2014) Inflammatory Cell Extraction And Nuclei Detection
In Pap Smear Images, International Journal of E-Health and Medical
Communications (IJEHMC), ISSN: 1947315x, 19473168, Vol:6, Issue:2,
27-43, April-June 2015
2. Riana. D, Dewi D.E.O, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R (2014) : Color Canals
Modification With Canny Edge Detection And Morphological
Reconstruction For Cell Nucleus Segmentation And Area Measurement In
Normal Pap Smear Images, AIP Publishing – American Institute of Physics
Suite 1 No 1, 2 Huntington Quadrangle Melville, NY 11747-4502 USA –
1589, 1589 414 (2014); doi: 10.1063/1.4818832.
http://scitation.aip.org/content/aip/proceeding/aipcp/10.1063/1.4868832
3. Riana D, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R (2013): Ekstraksi dan klasifikasi
tekstur citra sel nukleus pap smear, Jurnal TICOM Vol.1 No.3 Mei 2013,
Hal 186-193, ISSN 2302 –3252, Jakarta, Indonesia
http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=132260
143
4. Riana D, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R (2013): Perbandingan Segmentasi
Luas Nukleus Sel Normal dan Abnormal Pap Smear Menggunakan
Operasi Kanal Warna dengan Deteksi Tepi Canny dan Rekonstruksi
Morfologi, Jurnal TICOM Vol.1 No.2 Jan 2013, Hal 70-78, ISSN 2302 –
3252, Jakarta,Indonesia
http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=29237
Daftar seminar dan konferensi yang diikuti :
1. Riana, D., Widyantoro, D.H., Mengko, T.L.R, Kalsoem, O. (2014).
Ekstraksi Fitur Kuantitatif Tekstur Dan Klasifikasi Sel Nukleus Dan Sel
Radang Pada Citra Pap Smear. Konferensi Nasional Ilmu Komputer,
Aptikom, Makasar 4-6 Desember 2014.
2. Riana D, Dewi D.E.O, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012): Segmentation
and Area Measurement in Abnormal Pap Smear Images Using Color
Canals Modification with Canny Edge Detection. International
Conference on Women’s Health in Science & Engineering (WiSE Health),
ITB, Bandung. (24-11-2012)
3. Pratama GK, Riana D, Dewi D.E.O, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012):
Pap smear nuclei tekstur analysis, International Conference on Women’s
Health in Science & Engineering (WiSE Health), ITB, Bandung.
4. Riana D, Dewi D.E.O, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012): Color canals
modification with canny edge detection and morphological reconstruction
for cell nucleus segmentation and area measurement in normal pap smear
images. The Fourth International Conference on Mathematics and Natural
Sciences (ICMNS), ITB, Bandung.
5. Hasanuddin, Riana D, Dewi D.E.O, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012):
Detection of Cytoplast Area of Pap Smear Image Using Image
Segmentation, International Conference on Women’s Health in Science &
Engineering (WiSE Health), ITB, Bandung.
6. Riana D, Murni A, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012): Quantitative
and Qualitative Features of Pap Smear Cell Image Using Importance
Performance Analysis for Hierarchical Decision Approach, e- journal
Aptikom, ISSN : 2088-2335 (Print) – 2088-2343 (Online) International
Conference On ICT For Better Life 2012 in Hongkong. 21 Juli 2012
http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=49408
7. Riana D, Dewi D.E.O, Widyantoro. D. H, Mengko T.L.R. (2012):
Segmentasi Luas Nukeus Sel Normal Superfisial Pap smear Menggunakan
Operasi Kanal Warna dan Deteksi Tepi. Seminar Nasional Inovasi
Teknologi, Jakarta. 2012.
144
https://drive.google.com/a/bsi.ac.id/file/d/0BzeEZJN_MGUrNDRUUzRq
VVpaTDg/edit
8. Riana D, (2010): Prediction Image Pap Smear Web Based With Decision Tree,
Proceedings International Seminar of Information Technology- Green
Technology For Better World, ISBN 978-602-97962-0-9, 181- 185,
Jakarta Indonesia.
9. Riana D. (2010): Expert System Female Reproduction Cancer and Herbal
Treatment with certainty Factor Method, Proceedings International
Seminar Information Technology ISIT (2010) Green Technology For
Better World, ISBN 978_602-97962- 0-9. Jakarta Indonesia
10. Riana D, Murni A. (2009): Performance evaluation of Pap smear cell image
classification using quantitative and qualitative features based on multiple
classifiers. In: Proceedings of the international conference on Advanced
Computer Science and Information Systems (ACSIS’09) Jakarta,
Indonesia, 38–42.
11. Riana D, Murni A .(2009) : Classification of Pap Smear Cell Image Based On
Quantitative Features Using Multiple Classifier System, Proceedings
International Seminar of Information Technology, ISSN 2086-1796, 101-
105. Jakarta Indonesia.
Daftar hibah penelitian yang pernah diperoleh:
1. Reduksi Sel Radang dan Deteksi Nukleus pada Citra Pap Smear. Penelitian
Disertasi Doktor; Keputusan Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Nomor: 0263/E5/2014 didanai DIKTI – 2014.
2. Penggunaan E-learning Dalam Penanggulangan Penyakit Menular
Menggunakan Moodle 1.9. PKMT Research. No. SP2H
:003/SP2H/PP/DP2M/III/2007, No DIPA :0148.0/023-04.0/XI/2008 didanai
DIKTI – 2010.
3. Analisis Keunggulan Kompetitif UKM dengan Pendekatan Soft Systems
Methodology Approach. PKMT Research. No.
SP2H:003/SP2H/PP/DP2M/III/2007,No DIPA :0148.0/023-04.0/XI/2008
didanai DIKTI -2010.
4. Pengukuran Kualitas Desain Web dan Kepuasan Pengguna Transaksi Bisnis
Berjenis Kelamin Wanita No.SP2H:003/SP2H/PP/DP2M/III/2007 didanai
DIKTI -2009.
5. Pemodelan Nilai Persentil Data Antropologi Siswa untuk Pemodelan Kursi dan
Meja Sekolah Software Humancad Mannequin. No. SP2H :
003/SP2H/PP/DP2M/III/2007, didanai DIKTI-2008.
145
LAMPIRAN
1. Makalah pada Jurnal Internasional IJEHMC
2. Makalah pada American Institute of Physics (AIP) Publishing
146