kinerja pembangunan pertanian 2005pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2005_vi_07.pdf ·...

52
VI -229 KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 I. PENDAHULUAN 1. Sektor pertanian terus dituntut untuk berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain melalui kontribusi langsung tersebut, sektor pertanian juga mempunyai kontribusi tidak langsung berupa efek pengganda (multiplier effect ) melalui kaitan ke depan dan ke belakang yang dampaknya relatif besar terhadap sektor-sektor perekonomian lain sehingga layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. 2. Sebagai konsekuensi dari perubahan lingkungan strategis global seperti liberalisasi pasar internasional, perubahan sistem dan manajemen produksi, perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (millenium development goals ), kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika lingkungan domestik seperti permintaan pangan dan bahan baku industri, kelangkaan dan degradasi kualitas sumberdaya alam, serta manajemen pembangunan (otonomi daerah), maka pembangunan pertanian dihadapkan pula kepada berbagai permasalahan. A. Permasalahan Fundamental 1. Keterbatasan dan Penurunan Kapasitas Sumberdaya Alam Pertanian 3. Sumberdaya alam pertanian terdiri dari lahan dan air. Luas baku lahan pertanian terus menurun karena pembukaan lahan pertanian baru sangat lambat, sementara konversi lahan pertanian terus meningkat, terutama di pulau Jawa. Setiap tahun sekitar 40.000 hektar lahan sawah produktif di Jawa dikonversi untuk kegiatan non-pertanian. Upaya yang telah dilakukan adalah meningkatkan intensitas tanam di Jawa dan pencetakan sawah baru di luar Jawa. Ketersediaan sumber air untuk pertanian juga semakin langka karena kerusakan alam, terutama di daerah aliran sungai (DAS), sedangkan kompetisi dalam pemanfaatan air semakin ketat dengan meningkatnya penggunaan air untuk rumah tangga dan industri. 2. Sistem Alih Teknologi Masih Lemah dan Kurang Tepat Sasaran 4. Sistem alih dan adopsi teknologi masih lemah karena lambatnya diseminasi teknologi, baik hasil temuan teknologi baru (invention) maupun

Upload: truonglien

Post on 30-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

VI-229

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

I. PENDAHULUAN

1. Sektor pertanian terus dituntut untuk berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain melalui kontribusi langsung tersebut, sektor pertanian juga mempunyai kontribusi tidak langsung berupa efek pengganda (multiplier effect) melalui

kaitan ke depan dan ke belakang yang dampaknya relatif besar terhadap sektor-sektor perekonomian lain sehingga layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional.

2. Sebagai konsekuensi dari perubahan lingkungan strategis global seperti liberalisasi pasar internasional, perubahan sistem dan manajemen produksi, perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (millenium development goals), kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan

teknologi, serta dinamika lingkungan domestik seperti permintaan pangan dan bahan baku industri, kelangkaan dan degradasi kualitas sumberdaya alam, serta manajemen pembangunan (otonomi daerah), maka pembangunan pertanian dihadapkan pula kepada berbagai permasalahan.

A. Permasalahan Fundamental

1. Keterbatasan dan Penurunan Kapasitas Sumberdaya Alam Pertanian

3. Sumberdaya alam pertanian terdiri dari lahan dan air. Luas baku lahan pertanian terus menurun karena pembukaan lahan pertanian baru sangat lambat, sementara konversi lahan pertanian terus meningkat, terutama di pulau Jawa. Setiap tahun sekitar 40.000 hektar lahan sawah produktif di Jawa dikonversi untuk kegiatan non-pertanian. Upaya yang telah dilakukan adalah meningkatkan intensitas tanam di Jawa dan pencetakan sawah baru di luar Jawa. Ketersediaan sumber air untuk pertanian juga semakin langka karena kerusakan alam, terutama di daerah aliran sungai (DAS), sedangkan kompetisi dalam pemanfaatan air semakin ketat dengan meningkatnya penggunaan air untuk rumah tangga dan industri.

2. Sistem Alih Teknologi Masih Lemah dan Kurang Tepat Sasaran

4. Sistem alih dan adopsi teknologi masih lemah karena lambatnya diseminasi teknologi, baik hasil temuan teknologi baru (invention) maupun

VI-230

pengembangan teknologi yang sudah ada (innovation) di tingkat petani.

Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sistem penyampaian teknologi dilakukan oleh penyuluh melalui proses aplikasi teknologi di area percontohan, namun pada era otonomi daerah kegiatan ini menjadi kewenangan pemerintah daerah. Permasalahan menjadi lebih kompleks karena kurangnya perhatian pemerintah daerah pada fungsi penyuluhan pertanian. Disamping itu, keterkaitan antara peneliti, penyuluh dan petani

juga masih lemah.

3. Akses terhadap Layanan Usaha Terutama Permodalan Terbatas

5. Usaha pertanian yang sebagian besar dilakukan oleh petani gurem dan petani kecil dihadapkan kepada keterbatasan akses terhadap layanan usaha, terutama permodalan. Ketidakmampuan petani dalam mengakses permodalan dari lembaga keuangan formal selama ini disebabkan oleh

terbatasnya keberadaan lembaga tersebut di wilayah perdesaan, sulitnya prosedur dan beratnya persyaratan yang diminta (kolateral), serta ketidakmampuan petani mengakses permodalan dengan aturan dan suku bunga yang diterapkan pada usaha komersial di luar pertanian rakyat.

4. Rantai Tataniaga Panjang dan Sistem Pemasaran Belum Adil

6. Rantai tataniaga yang panjang berpangkal dari kondisi infrastruktur

pedesaan yang kurang memadai seperti sarana transportasi dan jalan desa serta informasi pasar. Sistem pemasaran yang berlaku juga belum adil karena keterbatasan modal petani sehingga mereka banyak yang terjebak kedalam sistem ijon. Masalah ini juga diperburuk oleh membanjirnya produk pertanian impor di pasar domestik sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan.

5. Sistem Pertanian Belum Memberi Kesempatan Bagi Berkembangnya Kualitas, Mentalitas dan Keterampilan Sumberdaya Petani

7. Sistem pertanian yang ada ternyata menghambat berkembangnya kapasitas dan kapabilitas petani. Akses petani ke berbagai sumberdaya praktis tertutup. Akibatnya kualitas, mentalitas dan ketrampilan petani kurang berkembang, yang antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek dan mengejar keuantungan sesaat. Selama sepuluh tahun terakhir tingkat kemajuan pendidikan di kalangan petani sangat lambat. Kebiasaan pemerintah dalam memberikan proyek-proyek bantuan telah menyebabkan ketergantungan petani pada bantuan pemerintah. Tingkat ketrampilan petani juga rendah karena rendahnya

VI-231

tingkat pendidikan dan kurang dikembangkan atau dimanfaatkannya kearifan lokan (indigenous knowledge)

6. Kelembagaan dan Posisi Tawar Petani Lemah

8. Keberadaan kelembagaan petani sampai saat ini masih lemah. Kelompok tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an dalam mengejar swa-sembada beras, akhir-akhir ini sudah banyak yang tidak berfungsi. Sementara itu, intensitas dan kualitas pembinaan terhadap kelompok tani dalam era otonomi daerah jauh berkurang karena sistem penyuluhan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah.

7. Koordinasi Antar Lembaga Terkait dan Birokrasi Lemah

9. Kinerja pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh keterpaduan antar subsistem, mulai dari subsistem hulu (industri agro-input, agro-kimia, agro-otomotif), subsistem budidaya/usahatani (on-farm), subsistem hilir

(pengolahan dan pemasaran) dan subsistem pendukung (keuangan, pendidikan dan transportasi). Keterkaitan antar subsistem sangat erat,

namun kebijakan penanganannya masih bersifat parsial/sektoral dan belum holistik/lintas sektoral. Departemen Pertanian sendiri hanya mempunyai kewenangan dalam aspek budidaya/usahatani.

8. Kebijakan Ekonomi Makro Belum Berpihak pada Petani

10. Salah satu faktor penting yang menentukan keberlanjutan dan kemampuan daya saing usaha pertanian adalah adanya kebijakan makro yang kondusif. Saat ini kebijakan ekonomi makro, baik fiskal, moneter, perdagangan, maupun prioritas dalam pengembangan ekonomi nasional, belum kondusif bagi keberlanjutan dan kemampuan daya saing usaha pertanian.

B. Ruh, Visi Dan Misi

11. Pembangunan pertanian tanpa dilandasi ruh yang menjadi dasar pijakan akan kehilangan arah dan tujuan pembangunan pertanian, serta semangatnya dapat menyimpang dari tujuan dan sasaran pembangunan. Ruh pembangunan pertanian sangat diperlukan agar pembangunan tidak

bersifat eksploitatif dan merusak kelestarian obyek pembangunan.

12. Seiring dengan semangat reformasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) oleh pemerintah yang bersih (clean government), maka selayaknya semangat reformasi dijadikan sebagai ruh

VI-232

pembangunan pertanian. Selain itu, kepedulian harus menjadi nilai dan orientasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Departemen Pertanian dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian Indonesia berlandaskan pada nilai dan ruh yang bersih dan peduli.

13. Pembangunan pertanian pada periode tahun 2005-2009 adalah bagian awal dari Rencana Pembangunan Pertanian Jangka Menengah periode tahun 2005-2025. Oleh karena itu, maka Visi Pembangunan Pertanian adalah terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani.

14. Untuk mencapai Visi Pembangunan Pertanian tersebut, Departemen Pertanian mengemban enam Misi yang harus dilaksanakan, yaitu:

(1) Mewujudkan birokrasi pertanian profesional dan mempunyai integritas moral tinggi.

(2) Mendorong pembangunan pertanian tangguh dan berkelanjutan. (3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan

penganekaragaman konsumsi. (4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian dalam perekonomian

nasional. (5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan

pelayanan. (6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan

pertanian dalam sistem perdagangan domestik dan global.

C. Strategi dan Kebijakan

15. Strategi dan kebijakan pembangunan pertanian pada periode tahun 2005-2009 disusun berlandaskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Agenda pembangunan ekonomi dalam RPJMN yang terkait dengan pembangunan pertanian, antara lain adalah: (1) Revitalisasi pertanian, (2) Peningkatan investasi dan ekspor non-migas; (3) Pemantapan stabilisasi ekonomi makro; (4) Penanggulangan kemiskinan; (5) Pembangunan pedesaan; dan (6) Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

16. Revitalisasi pertanian diarahkan untuk meningkatkan: (1) Kemampuan

produksi beras sebesar 90-95 persen dari kebutuhan dalam negeri; (2) Diversifikasi produksi dan konsumsi pangan; (3) Ketersediaan pangan asal

VI-233

ternak; (4) Nilai tambah dan daya saing produk pertanian; dan (5) Produksi dan ekspor komoditas pertanian.

17. Secara makro, ekonomi nasional (PDB) selama periode tahun 2005-2009 ditargetkan tumbuh rata-rata sebesar 6,6 persen per tahun, sedangkan sektor pertanian dalam arti luas (termasuk kehutanan dan perikanan) diharapkan tumbuh rata-rata sebesar 3,5 persen per tahun. Dari target pertumbuhan tersebut, sektor pertanian (di luar kehutanan dan perikanan) ditargetkan bisa tumbuh rata-rata sebesar 3,3 persen per tahun.

18. Strategi umum untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian

tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Melaksanakan manajemen pembangunan yang bersih, transparan dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

(2) Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan

manajemen pembangunan pertanian. (3) Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan. (4) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memberdayakan SDM

pertanian. (5) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian. (6) Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna.

(7) Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian.

19. Banyak kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain di luar Departemen Pertanian, yaitu: (1) Kebijakan moneter; (2) Kebijakan fiskal; (3) Kebijakan pengembangan industri; (4) Kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional; (5) Kebijakan pengembangan infrastruktur

khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan; (6) Kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan organisasi petani); (7) Kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan; (8) Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru; dan (9) Kebijakan pengembangan ketahanan

pangan.

20. Beberapa kebijakan strategis yang perlu ditekankan dan memerlukan penanganan segera adalah:

(1) Kebijakan ekonomi makro yang kondusif yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil dan suku bunga riil yang positif.

VI-234

(2) Pembangunan infrastruktur pertanian yang meliputi pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, perluasan lahan pertanian terutama di luar Jawa, pencegahan konversi lahan terutama di Jawa, pengembangan jalan usahatani dan jalan produksi serta infrastruktur lainnya.

(3) Kebijakan pembiayaan untuk mengembangkan lembaga keuangan yang khusus melayani sektor pertanian, lembaga keuangan mikro, pembiayaan pola syariah, dan lain-lain.

(4) Kebijakan perdagangan yang memfasilitasi kelancaran pemasaran di pasar dalam negeri dan ekspor. Selain itu, untuk melindungi sektor pertanian dari persaingan di pasar dunia, diperlukan: (a) Perjuangan agar konsep Strategic Product (SP) diterima dalam forum WTO; dan (b)

Penerapan tarif dan hambatan non-tarif untuk komoditas-komoditas beras, kedelai, jagung, gula, serta beberapa produk hortikultura dan

peternakan. (5) Kebijakan pengembangan industri yang lebih menekankan pada

agroindustri skala kecil di pedesaan dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani.

(6) Kebijakan investasi yang kondusif untuk lebih mendorong minat investor di sektor pertanian.

(7) Pembiayaan pembangunan yang lebih memprioritaskan anggaran untuk sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya.

(8) Perhatian pemerintah daerah pada pembangunan pertanian yang meliputi: infrastuktur pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi lingkup pertanian, menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi dayasaing pertanian, serta alokasi APBD

yang memadai.

21. Beberapa kebijakan yang terkait langsung dengan sektor pertanian dan dalam kewenangannya memerlukan masukan dari Departemen Pertanian adalah:

(1) Kebijakan dalam pelaksanaan manajemen pembangunan yang bersih,

transparan dan bebas KKN, diarahkan untuk menyusun kebijakan peningkatan kesejahteraan pegawai disertai dengan penerapan reward and punishment secara konsisten.

(2) Kebijakan dalam peningkatan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian, diarahkan untuk: (a) Peningkatan keterbukaan dalam perumusan kebijakan dan manajemen

pembangunan pertanian; (b) Peningkatan evaluasi, pengawasan, dan pengendalian manajemen pembangunan pertanian; dan (c) Penyelarasan pembangunan pertanian antar sektor dan wilayah.

VI-235

(3) Kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi secara berkelanjutan, diarahkan untuk: (a) Peningkatan investasi swasta; (b) Penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; (c) Kebijakan pewilayahan komoditas; dan (d) Penataan sistem pewarisan lahan pertanian.

(4) Kebijakan dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian, diarahkan untuk: (a) Menyusun kebijakan revitalisasi

penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan pertanian; (b) Peningkatan peran serta masyarakat; (c) Peningkatan kompetensi dan moral aparatur pertanian; (d) Penyelenggaraan pendidikan pertanian bagi petani; dan (e) Pengembangan kelembagaan petani.

(5) Kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian, diarahkan untuk: (a) Pengembangan sarana dan prasarana

usaha pertanian; (b) Pengembangan lembaga keuangan pedesaan; dan (c) Pengembangan sarana pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.

(6) Kebijakan dalam meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna, diarahkan untuk: (a) Merespon permasalahan dan kebutuhan pengguna; (b) Mendukung optimalisasi pemanfaatan sumberdaya

pertanian spesifik lokasi; (c) Pengembangan produk berdaya saing tinggi; (d) Penyelarasan dan integrasi dengan penguasaan IPTEK pertanian; dan (e) Percepatan proses dan perluasan jaringan diseminasi dan penjaringan umpan balik inovasi pertanian.

(7) Kebijakan dalam meningkatkan promosi dan proteksi komoditas pertanian, diarahkan untuk: (a) Menyusun kebijakan subsidi tepat

sasaran dalam sarana produksi, harga output, dan bunga kredit untuk modal usahatani; (b) Peningkatan ekspor dan pengendalian impor; (c) Kebijakan penetapan tarif impor dan pengaturan impor; (d) Peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha; (e) Perbaikan kualitas dan standardisasi produk melalui penerapan teknologi produksi, pengelolaan pasca panen dan pengolahan hasil; dan (f) Penguatan sistem pemasaran dan perlindungan usaha. Di samping itu, juga terdapat kebijakan khusus yang berkaitan dengan perberasan, pemanfaatan perluasan lahan pertanian dan kebijakan pembiayaan pertanian.

D. Capaian Program 100 Hari

Capaian delapan Program 100 Hari Departemen Pertanian (Akhir Desember 2004) adalah sebagai berikut.

VI-236

1. Pencegahan KKN untuk Menciptakan Tata Pemerintahan yang Baik

22. Pembinaan aparat Departemen Pertanian secara intensif dilakukan melalui pertemuan dengan mensosialisasikan Ruh (spirit) pembangunan pertanian yaitu Bersih dan Peduli. Bersih berarti bebas dari KKN, amanah, transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitasi, pelayanan,

perlindungan, pembelaan, pemberdayaan, dan keberpihakan pada kepentingan umum (masyarakat pertanian) di atas kepentingan pribadi dan golongan (demokratis) dan aspiratif.

23. Seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) telah berjalan baik. Dengan

pengawasan yang sangat ketat diharapkan kecurangan (nepotisme) bisa dihilangkan. Metode yang digunakan adalah menyeleksi 20.000 berkas pendaftar sesuai dengan persyaratan untuk bisa mengikuti ujian masuk. Dari yang memenuhi persyaratan dokumen, diseleksi 9.000 orang untuk mengikuti ujian masuk. Hasil ujian masuk diseleksi untuk mendapatkan 3.000 orang terbaik, kemudian diseleksi lagi untuk mendapatkan 1.500 orang

terbaik dengan kriteria: (1) Pengalaman/lama bekerja; (2) Prioritas untuk penyuluh; dan (3) Indeks prestasi. Dengan metode ini, ternyata bisa diseleksi 1.500 orang CPNS dengan nilai IPK diatas 3,0 yang umumnya berasal dari perguruan tinggi negeri terbaik. Telah disarankan pula untuk memberikan sanksi berupa teguran terhadap 9 orang pegawai yang tidak disiplin sesuai dengan PP 30 tahun 1990.

2. Pengamanan Ketersediaan Bahan Pangan Menghadapi Hari-Hari Besar Keagamaan

24. Penanganan program ini berjalan lancar. Ada sedikit kenaikan harga menjelang hari raya Idulfitri, tetapi tidak terjadi gejolak. Ketersediaan bahan pangan halal selama hari-hari lebaran juga dapat terpenuhi dengan baik.

3. Fasilitasi Persiapan dan Pelaksanaan Musim Tanam 2004/2005

25. Target luas tanam padi pada MT 2004/2005 adalah 3,5 juta hektar. Karena

awal musim hujan mundur 1-2 bulan, maka hingga akhir Oktober 2004 ada keterlambatan tanam sekitar 6 persen. Namun pada bulan November 2004 dapat dikejar hingga keterlambatan tanam tinggal 1 persen. Diharapkan pada bulan Desember 2004 sampai Januari 2005 target areal tanam 3,5 juta hektar dapat dicapai. Dampak gelombang Tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diperkirakan akan mengurangi luas panen padi sekitar 20.000 hektar, atau 10 persen dari 200.000 hektar areal padi di provinsi tersebut.

VI-237

4. Mengurangi Pengangguran dan Kemiskinan

26. Telah terbuka 3.000 lapangan kerja baru di provinsi NAD melalui pembukaan kebun sawit seluas 1.429 hektar dari target 1.500 hektar (dilaksanakan sebelum terjadi bencana alam). Juga telah selesai dibangun dan direhabilitasi jalan usahatani 37.100 meter dan jalan produksi 33.020 meter, yang tersebar di 12 provinsi. Program akselarasi penyaluran kredit KKP telah berhasil menyalurkan 2,3 triliun rupiah atau 95 persen dari target 2,4 triliun rupiah. Menteri Pertanian telah mengusulkan untuk memperpanjang KKP hingga tahun 2007. Telah dimanfaatkan lahan rawa dan lebak seluas 22.119 hektar atau 98 persen dari target 124.625 hektar, yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan

dan Kalimantan Timur.

5. Perumusan Kebijakan Kelembagaan Keuangan untuk Pertanian dan

Pedesaan 27. Draft kebijakan pembiayaan pola syariah telah diselesaikan setelah

mendengar masukan dari stakeholder. Departemen Pertanian telah mengajukan dana 190 miliar rupiah yang akan digunakan untuk penjamin sebesar 120 miliar rupiah dan pendampingan sebesar 70 miliar rupiah. Sedang diusulkan ke Departemen Keuangan dana “on-top” untuk

pembiayaan pola syariah.

6. Perumusan Kebijakan Infrastruktur Pertanian

28. Telah dibahas draft final rencana peraturan pemerintah (RPP) tentang irigasi yang dikoordinasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Konsep RPP saat ini sudah ada di Sekretariat Negara. Saat ini sedang dibuat konsep SKB antara Menteri Pertanian dan Menteri Pekerjaan Umum tentang

Pengembangan dan Pengelolaan Air dalam rangka pembangunan pertanian.

7. Penanganan Impor Ilegal dan Pemalsuan Sarana Produksi Pertanian

29. Instansi Karantina di Batam telah mengirim surat ke POLRI untuk memusnahkan 2,6 ton daging impor ilegal yang disita. Ditemukan sebanyak 766.000 bibit palsu kelapa sawit di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Menteri Pertanian segera melakukan shock therapy untuk memusnahkan bibit-bibit palsu di beberapa provinsi terpilih. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap CV Bina Tani yang memalsukan dokumen pendaftaran pupuk

VI-238

super phospat cap Naga. Sebagai tindak lanjut, Ketua Assosiasi Produsen Pupuk telah diminta untuk membina CV Bina Tani.

8. Perumusan Kebijakan Perdagangan Internasional

30. Resistensi terhadap konsep SP (Special Product) dan SSM (Safety Safeguard Mechanism) yang diusulkan Indonesia dalam forum WTO masih

besar terutama dari pihak Amerika Serikat. Indonesia sebagai Ketua G-33 yang mendukung konsep SP dan SSM sedang melakukan pendekatan untuk

mendapat dukungan dari G-20 dan CAIRNS Group. Untuk mempertahankan kekuatan G-33, Indonesia juga memprakarsai pertemuan KTM di sela-sela pertemuan KTT Asia Afrika yang dilakukan di Bali pada bulan April 2005.

31. Saat ini Tim Teknis WTO Nasional Bidang Pertanian yang diketuai oleh

Direktur Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian sedang menyusun draft Posisi Modalitas Indonesia yang meliputi semua elemen dari ketiga pilar Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA) dengan penekanan pada modalitas SP, SSM, Formula Penurunan Tarif, De Minimis, State Trading Enterprise (STE), dan Food Aid.

II. CAPAIAN INDIKATOR MAKRO

1. Produk Domestik Bruto Pertanian

32. PDB Sektor Pertanian (pangan, perkebunan dan peternakan) pada tahun 2004 tumbuh 4,02 persen dibanding tahun 2003. Rincian menurut subsektor adalah sebagai berikut: Subsektor Tanaman Bahan Makanan tumbuh 3,70 persen, Subsektor Perkebunan tumbuh 4,52 persen dan Subsektor Peternakan tumbuh 4,66 persen. Ketiga subsektor tersebut pada tahun 2004

tumbuh hampir sama cepatnya. Dengan laju pertumbuhan tersebut, pada tahun 2004 pangsa PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan adalah 63,35 persen, sedangkan Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan masing-masing adalah 20,30 persen dan 16,35 persen. Terlihat bahwa Subsektor Tanaman Bahan Makanan merupakan penyumbang PDB terbesar, jauh malampaui dua subsektor lainnya.

33. Untuk tahun 2005, data yang tersedia baru untuk triwulan I. Jika keadaan pada triwulan I 2005 diperbandingkan dengan keadaan triwulan I 2004, maka laju pertumbuhan PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan menjadi negatif yaitu –2,22 persen, yang berarti terjadi kontraksi. Sebaliknya, Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan masing-masing tumbuh cukup cepat yaitu masing-masing 5,51 persen dan 5,82 persen. Karena adanya kontraksi

VI-239

pada Subsektor Tanaman Bahan Makanan, maka laju pertumbuhan Sektor Pertanian secara keseluruhan (pangan, perkebunan dan peternakan) hanya mencapai 0,03 persen, yang berarti nyaris tidak meningkat. Kontraksi yang terjadi pada Subsektor Tanaman Bahan Makanan pada triwulan I 2005 mungkin disebabkan antara lain oleh musibah Tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam dan Sumatera Utara pada bulan Desember 2004, serta kekeringan dan banjir. Diharapkan pada keseluruhan tahun 2005 (Januari

sampai Desember), pertumbuhan PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan menjadi positif.

34. Dengan konstelasi laju pertumbuhan PDB tersebut di atas, maka pangsa PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan pada triwulan I 2005 menurun

menjadi 69,92 persen dari posisi trwulan I 2004 sebesar 71,53 persen. Sebaliknya, pangsa PDB dua subsektor lainnya meningkat, yaitu Subsektor Perkebunan dari 12,82 persen menjadi 13,52 persen dan Subsektor Peternakan dari 15,65 persen menjadi 16,56 persen.

2. Kesempatan Kerja

35. Pada tingkat nasional, jumlah angkatan kerja pada tahun 2004 adalah 103.973.387 orang. Dari jumlah ini, yang bekerja adalah 93.722.036 orang atau 90,14 persen, sedangkan sisanya sebesar 10.251.351 atau 9,86 persen adalah penganggur terbuka. Pada tahun 2005, jumlah angkatan kerja telah meningkat cepat menjadi 105.802.372 orang atau meningkat 1.828.935

orang (1,76%). Dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2005 ini, yang bekerja adalah sebanyak 94.948.118 orang atau 89,74 persen, sedangkan sisanya sebesar 10.854.254 orang atau 10,26 persen adalah penganggur terbuka. Tambahan angkatan kerja tersebut hanya terserap sebesar 1.226.082 orang atau 67,04 persen, sehingga sisanya sebesar 602.903 orang atau 32,96 persen masuk menjadi penganggur terbuka. Kenaikan jumlah penganggur

terbuka ini mencapai 5,88 persen dibanding tahun sebelumnya, sedangkan kenaikan jumlah yang bekerja hanya 1,31 persen.

36. Dari jumlah yang bekerja pada tahun 2004, sebanyak 40.608.019 orang atau 43,33 persen bekerja di sektor pertanian (dalam arti luas), sedangkan sisanya sebanyak 53.114.017 orang atau 56,67 persen bekerja pada sektor non-pertanian. Pada tahun 2005, jumlah yang bekerja di sektor pertanian meningkat cepat menjadi 41.814.197 orang atau meningkat 1.206.178 orang (2,97%), sehingga pangsa tenaga kerja yang bekerja di sektor ini meningkat dari 43,33 persen pada tahun 2004 menjadi 44,04 persen pada tahun 2005.

Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor non-pertanian

VI-240

pada tahun 2005 hanya meningkat 19.904 orang (0,04%) dibanding keadaan pada tahun 2004, sehingga pangsa yang bekerja di sektor ini menurun dari 56,67 persen pada tahun 2004 menjadi 55,96 persen pada tahun 2005. Dari perkembangan ini jelas bahwa sektor pertanian masih tetap mampu menyediakan tambahan kesempatan kerja dalam jumlah yang jauh lebih besar dibanding sektor non-pertanian.

37. Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut hanya pada kegiatan pertanian primer saja, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang struktur vertikal sistem agribisnis. Apabila tenaga kerja yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya diperhitungkan, maka kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja tentu akan lebih

besar lagi. Namun di sisi lain, kemampuan yang sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja menjadi beban bagi sektor yang bersangkutan dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, Departemen Pertanian telah mengupayakan semaksimal mungkin untuk menciptakan nilai tambah di luar kegiatan pertanian primer yang mampu dinikmati oleh rumah tangga tani melalui program pengembangan sistem

dan usaha agribisnis.

3. Insiden Kemiskinan

38. Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum adalah prevalensi jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di

seluruh Indonesia (kota dan desa) adalah sekitar 36,1 juta jiwa, yang merupakan 16,60 persen dari jumlah total penduduk. Jumlah ini menurun sebesar 1,3 juta jiwa atau menurun 3,48 persen jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2003 yang mencapai 37,4 juta jiwa atau 17,40 persen dari total jumlah penduduk. Hal ini menunjukan bahwa insiden kemiskinan pada tahun 2004 lebih ringan dibanding pada tahun 2003.

39. Dari data selama beberapa tahun sebelumnya dapat diketahui bahwa rata-rata proporsi jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan adalah sekitar 69,5 persen, sedangkan sisanya sebesar 30,5 persen berada di wilayah perkotaan. Dari jumlah penduduk miskin yang ada di wilayah pedesaan, sekitar 79,5 persen berada di sektor pertanian, sedangkan sisanya sebanyak 20,5 berada di sektor non-pertanian. Ini berarti bahwa insiden kemiskinan lebih banyak terjadi pada sektor pertanian.

40. Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian mempunyai kontribusi terbesar dalam penurunan jumlah penduduk miskin, baik di desa

VI-241

maupun di kota. Salah satu studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan sektor pertanian dalam menurunkan total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penurunan signifikan jumlah penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode 2003-2004 terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor pertanian.

41. Walaupun tidak dapat ditunjukkan dengan angka, jika melihat laju pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2004, maka dapat dipastikan bahwa jumlah anggota rumah tangga tani yang masih miskin pada tahun tersebut jauh lebih kecil daripada tahun 2003. Dengan demikian,

pembangunan yang dilaksanakan selama periode tahun 2003-2004 telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan.

42. Pendataan rumah tangga miskin secara nasional pada tahun 2005 oleh BPS sampai dengan 15 September 2005 baru mencapai 90 persen atau rumah

tangga miskin yang terdata baru sebanyak 13.662.594 Rumah Tangga Miskin (RTM) dari 814.525 Satuan Lingkungan Setempat (SLS). BPS memperkirakan bahwa sampai selesai pendataan, jumlah RTM secara nasional pada tahun 2005 akan mencapai 15,5 juta atau sekitar 62 juta jiwa. Namun jumlah ini bukan berarti bahwa jumlah penduduk miskin melonjak tajam. Perkiraan jumlah tersebut jauh lebih besar karena adanya perubahan

definisi, dimana data sebelumnya tidak memasukkan penduduk sangat miskin dan mendekati miskin. Namun melihat kondisi ekonomi pada tahun 2005 yang ditandai dengan kenaikan harga BBM, bahkan akan kenaikan harga BBM tahap II (rencana 1 Oktober 2005), maka jumlah penduduk miskin diperkirakan akan meningkat, baik di wilayah pedesaan (termasuk pertanian) maupun di wilayah perkotaan.

43. Penghitungan kemiskinan sekarang oleh BPS menggunakan pendekatan moneter atau pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan dasar. Ada tiga kategori rumah tangga miskin, yaitu : (1) kategori ”sangat miskin” dengan kemampuan minimum mengkonsumsi pangan sama atau kurang dari 1.900 kalori/orang/hari dan pengeluaran non makanan (PNM) senilai Rp 120.000/orang/bulan; (2) kategori ”miskin” dengan konsumsi pangan 1.900-2.100 kalori/orang/hari dan PNM senilai Rp 150.000/orang/bulan; dan (3) kategori ”mendekati miskin” dengan konsumsi pangan 2.100-2.300 kalori/orang/hari dan PNM senilai Rp 175.000/orang/bulan. Tentang kategori

rumah tangga, asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap rumah tangga miskin rata-rata memiliki empat anggota rumah tangga. Dengan demikian

VI-242

maka pengeluaran rumah tangga sangat miskin adalah sebesar 4xRp 120.000 atau Rp 480.000/orang/bulan. Cara penghitungan yang sama juga berlaku pada kategori rumah tangga miskin dan mendekati miskin. Kategori miskin dan mendekati miskin ini dimasukkan dalam penghitungan agar pada periode pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penduduk miskin tidak ”terjun” menjadi semakin miskin.

4. Nilai Tukar Petani

44. Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu rasio antara indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, berarti semakin sejahtera tingkat kehidupan petani.

45. Pada tahun 2004, NTP nasional adalah 119,19 dengan rincian di Jawa 129,52 dan di luar Jawa 108,86. Pada tahun 2005, NTP nasional menurun menjadi 99,16 dengan rincian di Jawa 103,90 dan di luar Jawa 94,52. Terlihat bahwa terjadi penurunan tingkat kesejahteraan petani cukup cepat

pada tahun 2005 dibanding pada tahun 2004. Penurunan tersebut mencapai 20,03 point atau 16,81 persen untuk tingkat nasional, 25,72 point atau 19,86 persen untuk Jawa dan 14,34 point atau 13,17 persen untuk luar Jawa. Pada tahun 2005, gejolak perekonomian yang ditandai dengan melonjaknya harga minyak dunia yang berdampak pada jalannya roda ekonomi nasional menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun, dimana harga-harga

barang yang dibayar petani meningkat lebih cepat dibanding harga-harga yang diterima petani.

5. Efektifitas Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah

46. Efektifitas kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dapat dilihat dari

dampaknya terhadap harga jual gabah di tingkat petani, yaitu apakah harga jual gabah petani meningkat, tidak jatuh pada saat musim panen raya dan stabil sepanjang tahun. Hasil-hasil analisis menunjukkan bahwa:

(1) HPP atau harga dasar gabah dalam jangka panjang (menggunakan

data tahunan) dapat meningkatkan harga jual gabah petani dengan elastisitas 0,787 yang artinya setiap HPP atau harga dasar gabah naik 10 persen maka harga jual gabah petani akan naik 7,87 persen. Ini berarti bahwa peningkatan HPP atau harga dasar gabah dapat meningkatkan harga jual gabah petani.

VI-243

(2) Selama Januari - Juni 2005, harga jual aktual GKP petani berkisar antara Rp 1.393 sampai dengan Rp 1.473 atau rata-rata Rp 1.433 per kg. Harga aktual tersebut berada di sekitar 4,77-10,81 persen atau rata-rata 7,74 persen di atas HPP. Harga aktual paling rendah yang terjadi pada musim panen raya (April-Mei) masih berada 4,77-4,79 persen di atas HPP. Ini berarti bahwa HPP pada tahun 2005 sangat efektif untuk mencegah turunnya harga aktual gabah petani pada saat

panen raya.

(3) Koefisien variasi harga gabah petani selama Januari-Juni 2005 adalah 2,21 persen, yang berarti bahwa kebijakan HPP berhasil menjaga stabilitas harga jual gabah petani.

47. Dalam jangka yang sangat pendek (bulanan), harga jual gabah petani ternyata dipengaruhi secara positif oleh harga beras di tingkat grosir (wholesale) dan secara negatif dipengaruhi oleh luas areal panen padi dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,409 dan -0,021. Artinya, setiap

kenaikan (atau penurunan) harga beras di tingkat grosir 10 persen akan meningkatkan (atau menurunkan) harga gabah petani 4,09 persen, dan setiap kenaikan (atau penurunan) luas areal panen padi 10 persen harga jual gabah di tingkat petani akan turun (atau naik) 0,21 persen (ceteris paribus).

Jika pada saat yang bersamaan harga beras di tingkat grosir turun (mungkin karena penurunan harga beras di pasar dunia dalam rupiah, meningkatnya

impor beras, meningkatnya stok atau meningkatnya pasokan dari produksi dalam negeri) dan luas areal panen padi meningkat, maka harga jual gabah di tingkat petani akan menurun lebih cepat.

48. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin meningkatkan harga gabah petani

guna memperbaiki tingkat pendapatan petani, maka HPP atau harga dasar gabah harus naik setiap tahunnya yang disertai dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat mencegah turunnya harga beras di tingkat grosir yaitu pengendalian impor beras dengan instrumen pengenaan tarif impor yang selama ini sebesar Rp 450/kg dan pengaturan impor.

49. Ketentuan tentang importasi beras, sebagaimana yang tertuang dalam SK Memperindag No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras, adalah sebagai berikut : (1) Impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP

Beras) dan importir yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Beras (IT Beras); (2) Impor beras dilarang dalam masa 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya (ditetapkan oleh Menteri Pertanian), dengan kata lain, impor beras hanya

VI-244

boleh dilakukan diluar masa-masa yang telah ditetapkan tersebut; (3) Pelaksanaan importasi beras oleh IT beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan sesuai dengan persetujuan impor yang diberikan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri; dan (4) Beras yang diimpor oleh IP Beras hanya boleh digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi industri yang dimilikinya dan dilarang diperjualbelikan atau dipindahtangankan.

50. Hasil analisis menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tarif dan pengaturan impor tersebut secara simultan berhasil mencegah turunnya harga beras di tingkat grosir dan di tingkat petani serta mencegah naiknya volume impor beras secara signifikan.

51. Upaya-upaya lain yang perlu ditempuh adalah : (1) Mencegah terjadinya impor ilegal, baik yang tanpa dokumen maupun yang menggunakan dokumen palsu; dan (2) BULOG harus mengikuti ketentuan importasi beras di atas dan perlu lebih mengutamakan melakukan pembelian beras dari dalam negeri pada saat panen raya dengan harga pembelian pemerintah

(untuk gabah dan beras) dengan jumlah yang memadai untuk menyerap kelebihan produksi.

III. BEBERAPA KONTRIBUSI PENTING DEPARTEMEN PERTANIAN PERIODE OKTOBER 2004 - OKTOBER 2005

A. Sarana/Prasarana dan Pengelolaan Lahan dan Air

1. Pengembangan Tata Air Mikro

52. Pengembangan Tata Air Mikro (TAM) adalah penataan tata air pada tingkat mikro (saluran tersier). Pengembangan TAM diprioritaskan pada lahan rawa pasang surut.

53. Pada tahun 2004, pengembangan TAM telah dilakukan di 11 provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua seluas 20.767 ha. Pemanfaatan lahan yang telah dikonstruksi dilakukan antara lain melalui Peningkatan Mutu Intensifikasi dan

atau Perluasan Areal Tanam.

54. Pengembangan tersebut telah meningkatkan Intensitas Pertanaman (IP) dari 100 menjadi 200, melalui perubahan pola tanam dari “padi – bera” menjadi “padi – padi” atau “padi – palawija”, penambahan luas areal tanam, pemberian percontohan kepada petani di sekitar lokasi, dan peningkatan produktivitas tanaman padi 10-15 kw/ha. Disamping itu, ada dampak positif

VI-245

di beberapa provinsi/kabupaten yaitu munculnya inisiatif sendiri untuk membangun TAM di daerahnya dengan swadaya daerah.

55. Pada tahun 2005, pengembangan TAM sedang dilaksanakan di 14 provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua seluas 26.300 ha, dan direncanakan berlanjut sampai dengan tahun 2006.

2. Kebijakan Subsidi Pupuk

56. Dalam rangka membantu petani memperoleh pupuk sesuai dengan prinsip

enam tepat yaitu tepat waktu, jumlah, jenis, mutu, tempat dan harga sehingga dapat menerapkan pemupukan berimbang guna meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani, maka pemerintah dalam tahun 2004-2005 tetap menerapkan kebijakan subsidi pupuk.

57. Kebijakan pemberian subsidi pupuk pada tahun 2004 terdiri dari pupuk Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan total anggaran sebesar Rp 1,35 triliun. Rencana dan realisasi penyaluran serta HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk bersubsidi pada tahun 2004 adalah sebagai berikut (Tabel 1):

Tabel 1. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk TA. 2004

Penyaluran Jenis Pupuk Rencana

(ton) Realisasi

(ton) %

Realisasi

HET (Rp/kg)

Urea 4.238.724 4.155.090 98,03 1.050 ZA 600.000 639.803 106,63 .950 SP-36 800.000 796.193 99,52 1.400 NPK 400.000 191.955 47,99 1.600

58. Kebijakan subsidi pupuk tersebut telah berdampak positif berupa perbaikan penerapan teknologi oleh petani dan peningkatan produksi pangan terutama beras.

59. Kebijakan subsidi pupuk dilanjutkan pada tahun 2005, namun hanya untuk pupuk Urea (gas) dan pupuk NPK (tidak termasuk SP-36 dan ZA) serta biaya transportasi dan biaya pengawasan dengan total anggaran subsidi sebesar Rp 1,3 triliun dengan rincian pada Tabel 2 berikut :

VI-246

Tabel 2. Subsidi Pupuk TA. 2005

Uraian Anggaran (Rp'000) Subsidi Urea (Gas) 986.195.262 Subsidi Transortasi 181.944.667 Subsisi Non Urea (NPK) 111.860.071 Biaya Pengawasan 20.000.000 Total Subsidi 1.300.000.000 Keterangan: - Kurs 1US$ = Rp. 8.600 - Harga gas ditetapkan USD 1,00/MMBTU - HET UREA = RP 1.050/KG, NPK = RP 1.600/KG

60. Dengan tidak disubsidinya pupuk SP-36 dan ZA pada tahun 2005 maka

harga kedua jenis pupuk tersebut meningkat tajam, sehingga dirasakan berat oleh petani, terutama petani tebu. Oleh karena itu, Departemen Pertanian

mengusulkan adanya subsidi pupuk SP-36 dan ZA dalam APBN 2005 sebesar Rp 533, 98 milyar, dengan rincian sebagai berikut (Tabel 3):

Tabel 3. Rencana Perubahan APBN Tahun 2005 untuk Subsidi Pupuk

Jenis Pupuk Volume (ton)

HET (Rp/kg)

Subsidi (Rp juta)

Urea 4.027.415 1.050 1.158.162 ZA 600.000 950 219.809 SP-36 750.000 1.400 212.537 NPK 230.000 1.600 141.710 Jumlah Subsidi Pupuk 1.732.219 Subsidi Distribusi Pupuk 81.761 Biaya Pengawasan 20.000 Total Subsidi 1.833.980 Usualn Tambahan Subsidi 533.980

61. Rencana dan realisasi penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian periode Januari - Juli 2005 adalah sebagai berikut (Tabel 4):

Tabel 4. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk T.A. 2005.

Penyaluran Jenis Pupuk Rencana

(ton) Realisasi

(ton) %

Realisasi

HET (Rp/kg)

Urea 4.027.415 2.257.996 56,07 1.050 ZA 600.000 392.720 65,45 .950 SP-36 750.000 465.087 62,01 1.400 NPK 230.000 151.165 65,72 1.600

VI-247

3. Pembiayaan Pertanian

62. Untuk membantu petani dalam mengakses permodalan telah dilakukan upaya pemberian kemudahan dan paket-paket kebijakan untuk akselerasi pemanfaatan dan penyaluran Kredit Ketahanan Pangan (KKP), optimasi pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan pertanian dan Skim Kredit Perbankan.

63. Khusus untuk KKP, realisasi pemanfaatan dan penyaluran telah meningkat cukup nyata, yaitu dari realisasi sebesar Rp 2,377 trilyun (Oktober 2004) menjadi Rp 2,963 trilyun pada Juli 2005 dari plafon sebesar Rp 2,082 trilyun

atau meningkat sebesar Rp 586,78 milyar. Realisasi penyaluran tertinggi berturut-turut digunakan untuk budidaya komoditas tebu, peternakan, dan tanaman pangan serta pengadaan pangan. Bank Penyalur yang menonjol adalah BRI, Bank Agro Niaga, Bank Bukopin, BPD Jatim, dan Bank Mandiri.

64. Upaya yang dilakukan untuk percepatan pemanfaatan KKP antara lain adalah meningkatkan koordinasi antar instansi terkait dengan perbankan, penyesuaian kebutuhan indikatif kredit, khususnya untuk peternakan, dan melaksanakan pola kemitraan.

65. Disamping untuk tanaman pangan, sedang dirintis upaya guna pembiayaan komoditas hortikultura. Untuk itu telah dilakukan kerjasama pembiayaan antara Departemen Pertanian dan Bank Mandiri melalui penyusunan Skim Kredit Hortikultura Mandiri (KHM). Sebagai uji coba sedang dilakukan di sembilan lokasi di sembilan provinsi.

66. Optimalisasi pemanfaatan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan non perbankan (modal ventura, laba BUMN, pegadaian, taskin Agribisnis) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), terus ditingkatkan melalui peningkatan koordinasi, sosialisasi, pemantauan dan verifikasi.

67. Disamping upaya tersebut di atas, pada awal Oktober 2004 mulai disusun kebijakan Program Penjaminan dan Pendampingan Sektor Pertanian yang bekerjasama dengan stakeholder. Sebagai tahap awal untuk TA 2005

dilakukan ujicoba program tersebut dengan dana melalui APBN TA. 2005 sebesar Rp 5 milyar. Ujicoba tersebut dilakukan di lima provinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Ke depan, program penjaminan dan pendampingan ini akan menjadi pola pokok dalam pembiayaan pembangunan pertanian.

VI-248

B. Produksi Komoditas Pertanian

1. Tanaman Pangan

68. Kondisi iklim pada tahun 2005 relatif kurang kondusif untuk produksi pangan, yaitu kejadian kekeringan dan banjir sehingga produksi beberapa komoditas tanaman pokok menurun dibandingkan pada tahun 2004. Namun penurunan produksi tersebut tidak terlalu besar. Untuk komoditas padi, penurunan produksi tidak sampai mengganggu tingkat swasembada (penjelasan lebih rinci akan diuraikan kemudian). Penurunan komoditas pangan terjadi karena adanya penurunan luas panen, sementara produktivitasnya mengalami

peningkatan.

69. Peningkatan produksi terjadi pada jagung, kedelai dan kacang hijau, sementara komoditas yang mengalami penurunan adalah padi, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar. Perbandingan produksi tanaman pangan

antara tahun 2004 dan 2005 adalah sebagai berikut:

(1) Produksi padi mencapai 53.984.590 ton GKG, menurun 103.878 ton GKG (-0,19%) dari produksi tahun 2004 sebesar 54.088.468 ton GKG.

(2) Produksi jagung mencapai 12.013.707 ton pipilan kering, meningkat 788.464 ton pipilan kering (7,02%) dari produksi tahun 2004 sebesar 11.225. 243 ton.

(3) Produksi kedelai mencapai 797.135 ton biji kering, meningkat 73.652 ton biji kering (10,18%) dari produksi tahun 2004 sebesar 723.483 ton.

(4) Produksi kacang tanah mencapai 837.633 ton biji kering, meningkat 138 ton (0,18%) dari produksi tahun 2004 sebesar 837.495 ton.

(5) Produksi kacang hijau mencapai 309.721 ton biji kering, menurun 691 ton (-0,22%) dari produksi tahun 2004 sebesar 310.412 ton.

(6) Produksi ubi kayu mencapai 19.459.402 ton ubi basah, meningkat 34.695 ton (0,18%) dari produksi tahun 2004 sebesar 19.424.707 ton.

(7) Produksi ubi jalar mencapai 1.840.248 ton ubi basah, menurun 61.554 ton (-3,24%) dari produksi tahun 2004 sebesar 1.901.802 ton

70. Penurunan produksi padi pada tahun 2005 disebabkan oleh menurunnya produksi, baik di Jawa maupun di luar Jawa, sebagai akibat dari dampak fenomena iklim, yaitu kekeringan, banjir dan yang menyebabkan pergeseran tanam pada subround I 2005 yang terjadi di beberapa provinsi sentra dan non sentra produksi padi, dan bencana gempa bumi dan Tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam. Namun penurunan ini diharapkan akan dapat

VI-249

dikoreksi melalui program peningkatan produktivitas dan peningkatan luas tanam pada Musim Tanam 2005 (April-September 2005) sehingga produksi padi pada tahun 2005 dapat meningkat atau minimal sama dengan pencapaian tahun 2004. Dengan ramalan II tersebut, Indonesia masih tetap dapat berswasembada beras sehingga larangan impor beras telah ditetapkan berlaku sampai dengan Desember 2005.

71. Peningkatan produksi jagung pada tahun 2005 disebabkan oleh kenaikan produksi hampir di semua provinsi terutama di Jawa Tengah dan Lampung. Peningkatan produksi jagung secara konsisten ini disebabkan oleh : (1) Semakin meluasnya penggunaan benih jagung hibrida terutama di provinsi-provinsi sentra produksi yang mengakibatkan produktivitas terus meningkat;

(2) Adanya insentif harga yang cukup baik; (3) Adanya tarif impor sebesar 5 persen, yang menggairahkan petani untuk meningkatkan luas tanam; dan (4) Semakin luasnya kemitraan antara petani dan pengusaha dalam agribisnis jagung.

72. Peningkatan produksi kedelai pada tahun 2005 terjadi hampir di semua provinsi terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NusaTenggara Barat. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh meningkatnya luas panen dan juga produktivitas. Produktivitas kedelai mengalami peningkatan melalui penerapan teknologi tepat guna. Membaiknya harga kedelai mendorong petani untuk menanam komoditas ini sehingga luas panennya meningkat.

73. Dengan produksi padi sebesar hampir 54,0 juta ton GKG tersebut, Indonesia masih mengalami surplus beras sekitar 3,92 juta ton dengan rincian sebagai berikut :

(1) Kebutuhan gabah untuk bibit sebesar 40,93 kg/ha dan untuk pakan sebesar 1,2 persen dan tercecer sebesar 1,6 persen dari produksi GKG, sehingga produksi padi (GKG) yang tersedia untuk konsumsi adalah sekitar 52,0 juta ton.

(2) Dengan konversi GKG ke beras sebesar 63,2 persen, maka produksi gabah tersebut setara dengan 34,1 juta ton beras.

(3) Dengan perhitungan konsumsi beras yang terdiri dari konsumsi langsung untuk manusia (konsumsi/kapita/tahun berdasarkan data Susenas 2002), permintaan antara untuk industri (10% dari konsumsi langsung) dan permintaan lainnya untuk hotel, restoran dan lain-lain (2,38% dari konsumsi langsung), maka pada tahun 2005 dibutuhkan beras sekitar 29,3 juta ton, sehingga pada tahun 2005 Indonesia

mengalami surplus beras sekitar 4,8 juta ton.

VI-250

74. Dengan memperhatikan stok beras yang ada di gudang-gudang Bulog (tidak tersedia data stok di masyarakat dan penggilingan padi) pada akhir tahun 2004 sekitar 2,1 juta ton, maka stok akhir beras pada 31 Desember 2005 diperkirakan sekitar 6,9 juta ton. Selama Januari-Desember 2005, stok akhir tiap bulannya cukup besar.

2. Tanaman Hortikultura

a. Sayur-sayuran

75. Pada tahun 2004 telah dilakukan pemantapan dan penumbuhan sentra produksi cabe merah di 20 lokasi (643 ha di 15 provinsi), bawang merah di 13 lokasi (433 ha di 11 provinsi) dan kentang di 23 lokasi (3.660 ha di 11 provinsi). Pada tahun 2005 melalui pola tersebut telah dilakukan

pengembangan dengan bentuk kawasan dan sentra produksi masing-masing untuk cabe merah di 23 lokasi, bawang merah di 17 lokasi dan kentang di 18 lokasi. Melalui kegiatan ini telah dapat dilakukan pemantapan dan penumbuhan areal produksi yaitu cabe merah 304 ha, bawang merah 439 ha dan kentang 451 ha. Dengan pola tersebut, kelompok tani yang berjumlah 294 kelompok tani sayuran utama telah dibina secara baik.

76. Untuk memenuhi kecukupan kebutuhan dan menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan sayuran utama (cabe merah, bawang merah, kentang, tomat dan kubis) termasuk dalam rangka stabilisasi harga pangan pada hari-hari besar keagamaan (puasa, Idul Fitri dan Natal 2004, serta

Tahun Baru, Idul Adha, Idul Fitri dan Natal 2005) telah dilakukan berbagai kegiatan, di antaranya :

(1) Penetapan/penentuan sasaran areal tanam dan pola produksi sayuran dan biofarmaka antar sentra produksi utama, perencanaan tambah

tanam dan prognosa produksi melalui koordinasi dan sinkronisasi antar institusi pertanian di sentra produksi sayuran utama di pulau Jawa yang memasok 70 persen dari kebutuhan nasional.

(2) Pemantapan rencana produksi secara berkala dan pemantauan secara

intensif terhadap pelaksanaan kesepakatan dengan kabupaten/kota sentra produksi sayuran utama di pulau Jawa.

(3) Pengembangan produksi dan kerjasama usaha antara petani di sentra produksi utama kentang dengan swasta (PT. Indofood Sukses Makmur) dalam rangka pemenuhan produksi kentang dan cabe merah.

(4) Pembinaan dan fasilitasi penyediaan paket teknologi tepat guna, pengenalan dan penerapan GAP/SOP sayuran kepada petani dan

VI-251

pelaku usaha di sentra produksi, khususnya dalam aplikasi pupuk organik, budidaya ramah lingkungan, pemanfaatan irigasi tetes (drip irrigation), irigasi sprinkle, fertigasi, mulsa plastik dan lain-lain.

(5) Membantu penyediaan benih unggul bermutu cabe merah dan bawang merah di sentra-sentra produksi utama, fasilitasi pengembangan penangkar benih dan institusi perbenihan setempat sehingga mampu menyediakan benih sesuai dengan permintaan, serta memantau ketersediaan benih di sentra-sentra produksi.

b. Buah-buahan

77. Departemen Pertanian telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu buah-buahan (jeruk). Pada tahun 2004, kawasan dan sentra produksi jeruk telah dikembangkan di 72 lokasi seluas 10.882 ha melalui pola BPLM. Pada tahun 2005 pola ini dilanjutkan di 72 lokasi seluas 6.441 ha di 25 provinsi. Dari upaya tersebut telah dikembangkan beberapa jenis jeruk antara lain: jeruk Pontianak/Sambas 10.600 ha, Jeruk Barito

Kuala 3.820 ha, Jeruk Tulang Bawang 2.500 ha, Jeruk Pasaman 3.500 ha, Jeruk Mamuju Utara 4.926 ha, Jeruk Barito Kuala 3.820 ha dan Jeruk Karo 17.333 ha.

78. Melalui peningkatan teknologi budidaya yang sekaligus meningkatkan mutu

jeruk, Departemen Pertanian telah menyusun Panduan Budidaya Buah yang Benar (Good Agricultural Practices). Panduan tersebut dilengkapi dengan

Standar Operational Prosedur pengembangan komoditas jeruk spesifik lokasi (SPO), pembinaan dan sosialisasi penerapan GAP/SPO di sentra-sentra produksi utama jeruk, apresiasi GAP/SOP Buah-buahan dan LSSM, serta pelatihan penerapan GAP/SOP dan teknologi maju kepada petani dan

petugas lapangan. Melalui kerjasama dengan Badan Litbang Pertanian dikembangkan agroklinik jeruk pada beberapa sentra utama jeruk yaitu Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Magetan (Jawa Timur) dan Karo (Sumatera Utara).

79. Dengan penerapan GAP/SOP diharapkan dapat dijadikan sebagai contoh dan sekaligus pembelajaran bagi petani untuk memotivasi pengembangan usahanya. Salah satu contoh penerapan GAP/SOP telah dilaksanakan di Desa Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo) dan Desa Karang Indah (Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala). Untuk memperluas

pemasaran, dilakukan penguatan kelembagaan agribisnis melalui pengembangan manajemen usaha, seperti kerjasama dan kemitraan antar pelaku usaha, serta antar sentra produksi dan sentra pemasaran.

VI-252

c. Tanaman Hias

80. Departemen Pertanian telah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan tanaman hias, khususnya anggrek. Pada tahun 2004 telah dilakukan pengembangan kawasan dan sentra anggrek di 17 lokasi (52 kelompok). Pada tahun 2005 kegiatan ini dilanjutkan di 23 lokasi (67 kelompok) melalui pola BPLM (umumnya di daerah perkotaan), diikuti dengan bimbingan intensif (teknis, manajemen dan kelembagaan usaha), pelatihan penerapan GAP/SOP dan teknologi maju. Dalam pengembangan kawasan/sentra dan jejaring usaha tanaman anggrek berbagai kegiatan yang telah dilakukan yaitu:

(1) Apresiasi Teknologi Anggrek (plant variety protection, teknik breeding,

teknik budidaya dan manajemen) dan pelatihan perbanyakan benih secara kultur jaringan kepada pelaku usaha dan nursery anggrek. Kegiatan ini dilaksanakan bekerjasama dengan IPB.

(2) Pengembangan jejaring usaha antar pelaku usaha anggrek di sentra produksi dan sentra pemasaran, dan kemitraan usaha dengan pihak pemasar (termasuk eksportir) di sentra produksi utama (Jakarta, Tanggerang, Malang, Bali, Padang Panjang, Batam, Bukittinggi dan Medan), serta pengembangan model inovarif agribisnis tanaman hias

dengan mengintegrasikan on-farm - off farm dan pelaku usaha.

(3) Promosi anggrek yang diselenggarakan di Batam dan Bali, seminar internasional anggrek dengan tema “Anggrek sebagai Citra Bangsa”, lomba tanaman anggrek, dan melakukan International Flora Show

2005 bulan September di Jakarta.

d. Penanganan Kasus Hambatan Ekspor dan Pembatasan Impor

81. Ekspor beberapa komoditas hortikultura Indonesia banyak mengalami hambatan, terutama adanya pembatasan oleh beberapa negara yang terkait

dengan peraturan SPS (disinyalir membawa OPT berbahaya). Guna mengantisipasi masuknya OPT berbahaya, telah dilakukan beberapa tindakan preventif, yaitu melakukan surveillance OPT di daerah serangan sesuai dengan standar SPS guna menyusun Host Pest List seperti di

Majalengka (Jawa Barat) dan Situbondo (Jawa Timur) untuk komoditas mangga, Garut (Jawa Barat) dan Karo (Sumatera Utara) untuk komoditas jeruk, Cianjur (Jawa Barat) untuk komoditas pisang, Karanganyar (Jawa Tengah) untuk komoditas semangka dan Bogor (Jawa Barat) untuk komoditas paprika. Disamping itu juga dilakukan pembuatan spesimen hama

VI-253

lalat buah untuk Kabupaten Majalengka, Situbondo, Karo, Garut, dan Cianjur.

82. Dalam rangka melindungi produk dan usaha petani dalam negeri, melalui kerjasama dengan Departemen Keuangan telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 591/PMK.210/2004 tentang tarif bea masuk beberapa komoditas hortikultura. Berdasarkan Peraturan tersebut tarif beberapa komoditas hortikultura yaitu jeruk mandarin, mangga, bawang merah, kentang, wortel dan anggrek, dinaikkan dari 5 persen menjadi 25 persen.

3. Perkebunan

a. Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional

83. Untuk mengatasi kekurangan produksi gula nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor, telah ditetapkan sasaran Program Akselerasi produksi gula tahun 2007 sebesar 3,0 juta ton, yang

kebutuhannya diperkirakan mencapai 3,5 juta ton. Sasaran program ini sampai dengan 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional dengan rendemen rata-rata 8,79 persen dan hablur rata-rata 7,74 ton/hektar. Modal kerja yang dibutuhkan setiap tahun mencapai Rp 2,5 trilyun dan meningkat menjadi Rp 3,7 trilyun pada tahun 2007. Untuk melaksanakan program tersebut upaya telah dilakukan melalui: (1) Rehabilitasi atau

peremajaan perkebunan tebu; (2) Rehabilitasi pabrik gula; dan (3) Peningkatan investasi untuk pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan industri gula baru di luar Jawa.

84. Departemen Pertanian di dalam Program Akselerasi tersebut melakukan

rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu melalui program “bongkar ratoon”. Kenaikan produksi tahun 2005 banyak dipengaruhi oleh stimulasi program ini, di samping adanya dukungan kebijakan proteksi dan promosi dari Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan. Apabila harga gula dinilai sebesar Rp 4.000/kg di tingkat petani, maka kenaikan produksi tahun 2004 itu setara dengan Rp 2,8 trilyun, jauh melampaui korbanan

APBN untuk program “bongkar ratoon” yang pada tahun 2003 dan 2004 mencapai Rp 139,1 milyar. Pada tahun anggaran 2005 pembangunan kebun bibit tebu direncanakan seluas 3.811,4 hektar yaitu KBP 11,4 ha, KBN 65,5 ha, KBI 429,5 ha dan KBD 3.305 ha dan bongkar ratoon direncanakan seluas 24.712,50 ha. Permasalahan yang dihadapi mencakup bidang

produksi dan produktivitas, bidang pabrik, bidang pendanaan dan bidang SDM. Untuk mencapai sasaran program Akselerasi Peningkatan produktivitas Gula Nasional diperlukan dukungan dari pihak-pihak terkait,

VI-254

yang mencakup antara lain : (1) Mempertahankan kebijakan proteksi perdagangan gula yang sudah ada saat ini dan kalau dibutuhkan penyesuaian dapat dilakukan, sepanjang memberikan insentif kepada petani tanpa membebani konsumen; (2) Mempertahankan kebijakan promosi berupa subsidi bunga kredit, subsidi pupuk dan alokasi dana APBN untuk penataan/rehabilitasi tanaman, pengairan dan alat pengolahan tanah; (3) Penegakan hukum dalam penanganan impor gula ilegal, penyerobotan lahan

HGU dan keamanan usaha; dan (4) Pendanaan untuk rehabilitasi dan modernisasi peralatan dan mesin pabrik gula milik PTPN yang berasal dari perbankan atau sumber lain.

b. Pengembangan Kelapa Sawit Terintegrasi dengan Ternak

85. Pengembangan usahatani terpadu kelapa sawit dan ternak telah dilaksanakan di Provinsi Bengkulu. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: bila diasumsikan 1 ha lahan perkebunan kelapa sawit dapat menampung 4 ekor sapi maka areal perkebunan sawit di Bengkulu seluas 82.839 ha dapat menampung 331.200 ekor sapi. Pengembangan terpadu kelapa sawit dan ternak akan memberikan manfaat antara lain : (1) Bantuan

tenaga kerja ternak meningkat dari 10 ha menjadi 15 ha per KK; (2) Menaikkan mendapatan buruh pemanen sekitar 50 persen melalui penerimaan upah panen; (3) Ternak yang terkonsentrasi di perkebunan dapat menjadi sumber bibit (bakalan); (4) Kotoran ternak sebagai sumber pupuk utama bagi kebun sawit dan tambahan pendapatan karyawan, yaitu 1 ekor sapi dapat menghasilkan pupuk 5,5-6,5 ton/tahun; dan (5) Limbah hasil

pengolahan dapat menjadi pakan ternak. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 5.291.563 ha (tahun 2004), sehingga pengembangan ternak pada kebun komoditas ini sangat potensial dan prospektif.

c. Pengembangan Kopi Terintegrasi dengan Ternak

86. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, telah dihasilkan model contoh nasional di Buleleng (Bali) yaitu Sistem dan Usaha Agribisnis berbasis Kopi Rakyat bersinergi dengan integrasi ternak (kambing) dan pemanfaatan limbah. Pemberian pakan penguat dari limbah biji kopi terfermentasi dapat menurunkan jumlah mortalitas anak kambing dari 9,52 persen menjadi 4,76 persen. Penggunaan kompos ternak meningkatkan produksi kopi gelondongan 67 persen. Pemberian pakan ternak yang berasal dari limbah fermentasi menghasilkan pertambahan bobot hidup dari 65 gr menjadi 98 gr/ekor/hari dan pertumbuhannya lebih cepat sehingga pada umur 5,54

VI-255

bulan terjadi peningkatan berat hidup 52,38 persen. Bila areal kebun kopi di Indonesia seluas 1.396.000 ha (tahun 2004), maka model pengembangan kopi terintegrasi ternak dapat menjadi model yang potensial dan prospektif. Model ini telah diminati dan mulai dikembangkan di propinsi lain.

d. Penerapan Model Peremajaan Karet Partisipatif

87. Gerakan percepatan peremajaan karet rakyat telah dilakukan dengan menerapkan Model Peremajaan Karet Partisipatif. Penerapan model ini telah dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan Selatan sejak tahun 2001-2004 dengan luas areal peremajaan 2.224 ha ( dengan kredit), demplot usahatani seluas 236 ha dan demplot pembibitan 42 paket.

88. Dua model pengembangan waralaba benih, yaitu: (1) Waralaba murni yang dibiayai sepenuhnya oleh pihak-pihak yang bersangkutan; dan (2) Waralaba berbantuan yang sebagian dibiayai oleh pemerintah sebagai pemicu pengembangan usaha. Selama tahun 2004-2005 telah dicapai hasil sebagai berikut: (1) Waralaba benih kelapa sawit, merupakan kerjasama antara

Pusat Penelitian Kelapa Sawit dengan PT. Agricinal Bengkulu di Bengkulu dan Kalimantan Timur; (2) Waralaba pembibitan, merupakan kerjasama beberapa pesantren dengan PT. Tania Selatan di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu; (3) Waralaba benih panili Bio FOB, kerjasama antara Balittro dengan beberapa penangkar benih panili di propinsi Bali, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan DI

Yogyakarta; (4) Waralaba benih lada antara Balittro dengan penangkar benih di Lampung; (5) Waralaba bibit tebu, kerjasama antara P3GI dengan penangkar bibit di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung; dan (6) Waralaba benih kapas, kerjasama antara Balittas Malang dengan penangkar benih di NTB.

e. Sarungisasi Buah Kakao dalam Upaya Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao

89. Dalam mengatasi permasalahan serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) telah dilakukan Gerakan Pengendalian Hama PBK di sentra-sentra produksi kakao. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi kehilangan produksi akibat serangan hama PBK yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah sebagai sentra produksi kakao melalui pengembangan SL-PHT.

90. Pada tahun 2004 telah dilaksanakan pengendalian hama PBK dengan dukungan anggaran APBN 2004 pada areal seluas 76.210 ha dengan teknik

VI-256

sarungisasi, masing-masing di Sulawesi Selatan 45.700 ha, Sulawesi Utara 18.610 ha dan Sulawesi Tengah 12.100 ha. Sampai saat ini melalui Proyek PHT-PR telah dilatih 24.220 orang petani kakao di 4 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pada tahun 2005 dilatih lagi 5.315 orang.

91. Dengan teknik sarungisasi, intensitas serangan hama PBK dapat dinurunkan dari 67,44 persen menjadi 25,22 persen dan produksi meningkat 65 persen yaitu dari 545,71 kg menjadi 828,57 kg/ha. Dampak positif lainnya adalah meningkatnya harga biji kakao kering menjadi Rp 11.500/kg biji kering. Harga ini jauh lebih tinggi daripada harga produksi biji kakao asalan tanpa menggunakan teknik sarungisasi yaitu hanya Rp 7.000 sampai Rp 8.500/kg

biji kering.

f. Penyusunan Peraturan Pemerintah dari Undang-Undang Nomor 18 tentang Perkebunan Tahun 2004

92. Sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan perlu diterbitkan lima Peraturan Pemerintah, satu Peraturan Presiden dan tujuh Peraturan Menteri. Perkembangan ke 18

peraturan tersebut sampai saat ini masih dalam bentuk draft dan sudah dibahas baik secara internal maupun eksternal. Untuk itu perlu ditindaklanjuti sehingga peraturan dimaksud dapat segera diterbitkan.

4. Peternakan

a. Pengendalian Penyakit Flu Burung

93. Dari Agustus 2003 sampai dengan Januari 2004 dapat disebut periode wabah penyakit flu burung (Avian Influenza, AI) gelombang pertama. Pada kurun waktu tersebut flu burung telah menyerang 108 kabupaten/kota di 17

provinsi yang menyebabkan kematian unggas sekitar 19 juta ekor. Sejak Januari sampai dengan Juli 2005 telah berjangkit kembali flu burung sebagai wabah gelombang kedua. Dalam kurun waktu ini, unggas yang mati adalah 400 ribu ekor, sedangkan provinsi yang tertular hanya 4. Pada wabah gelombang kedua telah terjadi perkembangan baru yaitu selain menyerang unggas, flu burung juga telah menyerang babi (penularan interspesies), dan

malahan telah memakan korban manusia (WHO). Dari perkembangan wabah flu burung tersebut dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan kasus karena tindakan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah Pusat

VI-257

dengan 9 langkah strategisnya yaitu : (1) Pelaksanaan tindakan biosecuriti secara ketat; (2) Tindakan pemusnahan unggas selektif (depopulasi); (3) Pelaksanaan vaksinasi; (4) Pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan unggas, telur dan produk limbah peternakan; (5) Pelakasanaan survailans dan penelusuran ulang, peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness); (6) Pengisian kembali unggas (restocking); (7) Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah

tertular baru; dan (8) Monitoring, pelaporan dan evaluasi. Selain tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Pusat, ada juga tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Daerah, antara lain : segera melakukan vaksinasi AI terhadap seluruh unggas rakyat, biosekuriti, pelaksanaan pengamatan dan survailans, pengaturan/penataan kembali tata ruang utamanya keberadaan pasar ayam/burung, rumah potong/tempat potong ayam, dan peningkatan

penyuluhan. Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan oleh masyarakat antara lain : tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan, pemilik unggas hendaknya melakukan upaya desinfeksi pada ternak dan kandang, segera melaporkan kepada aparat pemerintah setempat apabila ditemukan kecurigaan terhadap setiap unggas/burung yang sakit/mati.

94. Pada tahun 2005, masalah penyakit flu burung dapat diatasi secara baik melalui berbagai kegiatan terpadu di daerah tertular, terancam dan aman, antara lain : (1) Membentuk sebuah tim yang beranggotakan para peneliti dari Balitvet, FKH-IPB, FKH-UGM, BBV Wates, Persatuan Dokter Hewan Seluruh Indonesia (PDHI) Departemen Kesehatan, dan Dinas

Peternakan/Kelembagaan yang menangani peternakan di Provinsi dan Kabupaten; (2) Melaksanakan Surat Edaran tanggal 26 September 2005 kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia; (3) Presiden RI telah mencanangkan gerakan penanggulangan AI secara nasional dengan enam langkah yang disingkat TUMPAS AI, yaitu : (a) Tidak perlu panik dan khawatir dengan flu burung karena penyebabnya adalah

virus lemah yang mudha mati; (b) Usahakan kebersihan kandang unggas dan semprotkan disinfektan; (c) Mencuci tangan dengan air sabun setelah kontak dengan unggas atau produknya; (d) Proteksi anak-anak dan lansia dari kontak dengan unggas terutama yang terlihat sakit; (e) Amankan makanan dengan memasak terlebih dahulu daging dan telur unggas

sebelum dimakan; dan (f) Segera melaporkan kepada aparat berwenang jika ada unggas sakit atau mati mencurigakan.

VI-258

b. Pengembangan Sapi Perah Unggul

95. Departemen Pertanian telah berhasil melakukan rekayasa genetika sehingga terbentuk pejantan sapi perah unggul Indonesia. Hasil ini diperoleh setelah dilakukan percobaan-percobaan di laboratorium sejak tahun 2005 melalui program produksi dan uji zuriat calon pejantan unggul.

97. Selain itu juga telah diperoleh semen beku sexing serta pengendalian sumber genetik X dan Y, sehingga para peternak sapi perah dapat memprogram jenis kelamin yang diinginkan dari anak yang akan lahir. Sampai saat ini telah lahir pedet jantan sapi potong hasil sebanyak 32 ekor

dari 47 ekor kelahiran (68,09%) dan 18 ekor kelahiran (100%) pedet betina sapi perah hasil Inseminasi Buatan (IB).

C. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian

1. Proteksi dan Promosi Produk Pertanian

97. Dalam rangka proteksi dan promosi produk pertanian, Departemen Pertanian telah melakukan berbagai upaya, antara lain:

(1) Kerjasama regional dan internasional melalui forum WTO: Perjuangan Indonesia saat ini adalah mempertahankan beberapa komoditas pangan sensitif (Spesial Products/SP) seperti beras, jagung, kedelai, gula dan pangan sensitif lainnya untuk tidak dikenakan komitmen

penurunan tarif paling tidak hingga tahun 2015.

(2) Harmonisasi tarif produk pertanian: Dalam rangka melindungi produk domestik, sejak 1 Januari 2005 tarif produk pertanian, khususnya yang masuk kategori sensitif dan strategis, dinaikkan menjadi Rp 450/kg

untuk beras, Rp 550/kg untuk gula mentah, Rp 790/kg untuk gula putih, 5 persen untuk jagung, dan 25 persen untuk mangga, jeruk mandarin, kentang, bawang merah, wortel, anggrek dan paha ayam (CLQ). Kenaikan tarif tersebut berlaku hingga tahun 2008, dan secara bertahap akan menjadi 19 persen pada tahun 2010, kecuali untuk beras, gula mentah dan gula putih.

(3) Promosi pengembangan ekspor produk pertanian: Antara lain melalui ASEAN Trade Fair 2004 di Hanoi (Vietnam) Oktober 2004; promosi bunga dan tanaman hias di Belanda November 2004; dan Zhenzhen Expo 2004 di China. Promosi di dalam negeri antara lain adalah: bazaar produk pertanian berkualitas 2005 di Jakarta Februari 2005, Soropadan Agro Expo II di Jawa Tengah Juli 2005, dan Agribusiness

VI-259

Expo 2005 di Jawa Timur Juli 2005, serta fasilitasi gerai promosi produk pertanian dan pemasangan neon box promosi buah dan sayuran nusantara sebanyak 32 unit. Untuk meningkatkan daya serap pasar domestik akan susu, telah dilakukan fasilitasi pemasyarakatan minum susu di kalangan anak sekolah serta promosi melalui iklan layanan masyarakat.

(4) Pengembangan ekspor: Merupakan kerjasama investasi dan perdagangan melalui forum Free Trade Area (FTA) telah dilakukan perundingan intensif FTA Indonesia-Jepang dalam Economic Pertnership Agreement (EPA) Indonesia-Jepang. Kemungkinan besar jepang akan menjadi negara pertama dalam FTA bilateral dengan

indonesia. Negara lainnya antara lain adalah Amerika Serikat, India, Pakistan, Korea, Australia, dan New Zealand. Selain itu juga kerjasama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) untuk pangan halal; kerjasama BIMP-EAGA; kerjasama Indonesia-Mesir; ASEAN Cocoa Club; International Coffee Organization; ASEAN Standard for Horticulture Product; dan kerjasama Intergovernmental Group on Tea.

(5) Telah dilakukan promosi buah, sayuran dan biofarmaka, baik segar maupun olahan, antara lain berupa gerai promosi di Bandara Soekarno-Hatta, Stasiun Kereta Api Gambir selama Januari-Juni 2005, pameran pekan biofarmaka di Yogyakarta (13-8 Juli 2005), promosi di

Kereta Api Jakarta-Yogyakarta (13-14 September 2005) dan promosi di kapal penumpang Merak-Bakaheuni (25 September 2005). Promosi tersebut melibatkan sebanyak 32 pelaku usaha agribisnis di bidang budidaya, pengolahan dan pemasaran serta pemerintah daerah, PT Angkasa Pura II, PT KAI dan PT ASDP. Pada promosi tersebut terjadi kontak penjualan minuman juice buah dengan 5 perusahaan

penerbangan, serta terjadi kontrak perdagangan antar pulau untuk komoditas buah-buahan dan pengembangan pasar untuk produk yang dipromosikan seperti juice aloe vera dan produk biofarmaka.

2. Pengendalian Impor Beras

98. Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan telah mengimplementasikan kebijakan pelarangan impor beras (SK Menteri Perdagangan No.9/MPP/Kep/I/2004 dan No.442/M-DAG/6/2005). Kebijakan tersebut telah berdampak positif terhadap perkembangan perberasan nasional, antara lain:

VI-260

(1) Pada tahun 2003 pangsa pasar beras domestik di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) adalah 81,11 persen, yang pada tahun 2004 meningkat menjadi 98,15 persen, dan pada tahun 2005 menjadi 99,64 persen (sampai dengan Juli 2005).

(2) Harga gabah meningkat cukup signifikan pada tahun 2005 yang mencapai rata-rata Rp 1.410/kg dibanding tahun sebelumnya yaitu Rp 1.213/kg.

99. Dampak ekonomi dari kebijakan tersebut di atas antara lain:

(1) Penghematan devisa sebesar Rp 3,03 triliun.

(2) Kenaikan penerimaan GKP sebesar Rp 37,41 triliun dan kenaikan penerimaan beras sebesar Rp 9,6 triliun. Hal ini dapat meningkatkan

jumlah uang yang beredar dan akitivitas ekonomi di pedesaan.

(3) Kenaikan pendapatan petani sebesar Rp 557.694 per KK per tahun.

100. Implementasi ketentuan impor beras berupa larangan impor beras termasuk ketan telah membuka peluang pengembangan produksi ketan nasional, khususnya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri (besar dan kecil) yang mencapai 150.000 ton per tahun. Untuk memenuhi produksi ketan tersebut dibutuhkan lahan untuk budidaya seluas 50.000 hektar (produktivitas 3 ton/ha). Saat ini sudah berkembang buidaya ketan di

Provinsi Jawa Barat seluas 1.645 hektar (di provinsi-provinsi belum diketahui). Kemitraan petani-penggilingan padi-industri berbahan baku ketan telah dirintis di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Diharapkan program pemenuhan kebutuhan beras ketan substitusi impor dari produksi dalam negeri dapat dipenuhi secara bertahap mulai tahun 2008

3. Pengembangan Kecamatan Pasca Panen

101. Pengembangan Kecamatan Pasca Panen telah memberikan dampak pada kepedulian masyarakat tentang pasca panen dengan terbentuknya Forum Kecamatan Pasca Panen (FKPP), dan penurunan kehilangan hasil yang bervariasi antar provinsi dan wilayah yaitu 3-5 persen. FKPP ini

mengupayakan terjadinya perubahan pada sistem agribisnis perberasan sehingga petani dapat menikmati keuntungan dengan lebih transparan dan adil. Sebagai contoh, dampak di Kecamatan Kepanjen antara lain adalah tambahan keuntungan sebesar Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per hektar per panen karena perbaikan sistem tebasan dan peningkatan mutu beras,

serta mengoptimalkan pemanfaatn saran pasca panen yang ada dan kemitraan dengan Lumbung Desa Modern (LDM). Pengembangan

VI-261

Kecamatan Pasca Panen Padi tahun 2004-2005 tersebar di 8 provinsi, 11 kabupaten/kota, 14 kecamatan.

4. Pengembangan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat

102. Pada tahun 2004, Departemen Pertanian telah mengembangkan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) sebanyak 91 unit yang tersebar di tiga pura, tujuh seminari dan 81 pondok pesantren pada 32 provinsi. Bantuan berbentuk BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang umumnya dipergunakan dalam usaha budidaya tanaman pangan, hortikultura dan peternakan. Di bidang pengolahan dan pemasaran hasil, Departemen Pertanian telah memfasilitasi empat pondok pesantren, yang dua di antaranya di Jakarta dan dua lainnya di Jawa Timur, berupa usaha kecil

pengolahan hasil hortikultura dan pengrajin hasil limbah pertanian. Pada tahun 2005 telah dilakukan identifikasi dan pemetaan potensi dan kebutuhan pada 18 unit LM3 yang tersebar di 11 provinsi dalam rangka fasilitasi bantuan peralatan. Bantuan ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya usaha kecil pengolahan di sekitar LM3 dan mampu menggerakkan usaha-usaha pendukungnya.

5. Pengembangan Terminal Agribisnis dan Sub Terminal Agribisnis

103. Sampai dengan tahun 2005, Departemen Pertanian telah mengembangkan Terminal Agribisnis (TA) dan Sub Terminal Agribisnis (STA) masing-masing sebanyak 8 TA dan 56 STA yang tersebar di 23 provinsi. Dari jumlah

tersebut telah beroperasi sebanyak 33 unit STA di 10 provinsi dan tiga unit TA di tiga provinsi. Beberapa di antaranya telah terjadi transaksi antar provinsi atau antar pulau, yaitu STA Cigombong dan STA Bayongbong di Jawa Barat, STA Mantung di Jawa Timur, dan STA Soropadan di Jawa Tengah. Pada STA Soropadan, sebulan sekali juga telah dilakukan bursa komoditas terutama buah-buahan.

6. Pengembangan Sistem Jaminan Mutu Hasil Pertanian

104. Telah diprakonsensuskan rancangan SNI produk hasil pertanian sebanyak empat RSNI (4 macam produk hortikultura, yaitu: kunyit segar sebagai bahan baku obat, simplisia kunyit sebagai bahan baku obat, birpletok dan puree mangga).

VI-262

105. Penyusunan dua SPO (standar prosedur operasional) komoditas hortikultura yaitu: SPO Buah Impor (SPO di tingkat importir, tingkat gudang dan tingkat pengecer/pedagang, dan SPO RSNI temulawak).

106. Fasilitasi penerapan jaminan mutu sembilan pelaku usaha yaitu penyusunan HACCP Plan untuk minuman aloevera di Kalimantan Barat: PT Mahkota Dewa Indonesia, Kelompok Tani Pandutani, dan STA Bayongbong, dua pelaku usaha penggilingan padi, dua pelaku usaha perkebunan, dan CV Heliconia (produsen susu kambing dan yoghurt organik).

107. Fasilitasi sertifikasi kepada dua pelaku usaha hortikultura, satu di antaranya

(PT. Mahkota Dewa) telah berhasil mendapatkan sertifikasi HACCP.

108. Terlatihnya fasilitator mutu komoditas hortikultura sebanyak 25 orang dan peternakan sebanyak 30 orang; terlatihnya auditor komoditas hortikultura sebanyak 25 orang, peternakan sebanyak 25 orang dan perkebunan

sebanyak 25 orang.

109. Harmonisasi standar mutu produk pertanian dalam upaya memperlancar perdagangan pada sidang Codex Committee on Food Import and Export Inspection and Certification System di Melbourne (Australia), The First

Meeting on ASEAN Standard for Horticulture Produce di Davao City (Filipina), dan Technical Meeting on Market Access for Palm Oil di

Netherlands.

7. Dewan Komoditas

110. Departemen Pertanian telah dan sedang mengembangkan Dewan Komoditas dalm upaya mengembangkan strategi pengembangan komoditas, memperlancar koordinasi kebijakan Departemen, menyatukan kepentingan dan menjembatani perbedaan kepentingan semua stakeholder, memfasilitasi kemitraan dari hulu ke hilir, mengembangkan pemasaran dan penyediaan informasi.

111. Pembentukan Dewan Komoditas sudah dimulai sejak tahun 1982 dengan terbentuknya Dewan Gula Indonesia (DGI). Pada tahun 2003, telah dirintis pembentukan Dewan Minyak Sawit yang embrionya ditentukan melalui pembentukan Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI).

112. Dewasa ini, Departemen Pertanian sedang mengupayakan pembentukan Dewan Komoditas untuk beberapa komoditas yaitu Kakao, Karet dan Minyak Atsiri Indonesia. Sejalan dengan proses pembentukan Dewan-Dewan

Komoditas tersebut secara legal, telah dibentuk Kelompok Kerja Minyak Atsiri Indonesia (26 Mei 2003) dan Kelompok Kerja Karet Indonesia (20

VI-263

Agustus 2005). Selain telah menyusun konsep Keputusan Presiden tentang pembentukan Dewan Minyak Atsiri, Kelompok Kerja Minyak Atsiri telah mempersiapkan grand strategy pengembangan agribisnis minyak atsiri.

8. Ekspor dan Impor Hasil Pertanian

113. Selama periode 2000-2004, nilai ekspor ekspor produk pertanian primer mengalami peningkatan dari US$ 4.968.599 menjadi 9.887.590. Selama

periode Januari-Juli 2005 ekspor produk pertanian primer juga mengalami peningkatan dari US$ 726.631 menjadi US$ 831.197.

114. Selama periode 2000-2004, nilai impor ekspor produk pertanian primer sedikit mengalami peningkatan dari US$ 3.294.153 menjadi US$ 5.027.775.

Selama periode Januari-Juli 2005 impor produk pertanian primer sedikit mengalami peningkatan dari US$ 401.865 menjadi US$ 450.007

115. Namun karena nilai ekspor lebih besar dibanding nilai impor, maka selama periode 2000-2004 neraca perdagangan produk pertanian primer surplus

dari US$ 1.674.445 menjadi US$ 4.859.835. Sedangkan surplus neraca perdagangan produk pertanian primer selama periode Januari – Juni 2005 meningkat sedikit dari US$ 324.776 menjadi US$ 381.120.

D. Koordinasi Ketahanan Pangan

1. Penyempurnaan Kebijakan Perberasan Nasional.

116. Inpres No.2/2005 dikeluarkan pemerintah dengan beberapa bentuk

penyempurnaan kebijakan perberasan dalam Inpres No. 9/2002. Inpres tersebut telah dikeluarkan pada tanggal 2 Maret 2005, yaitu sehari setelah pengumuman kenaikan harga BBM oleh pemerintah. HPP gabah yang ditetapkan melalui Inpres No. 2/2005 dapat terlaksana secara efektif dan harga jual di tingkat petani relatif stabil (Tabel 5). Rata-rata harga jual gabah kering panen (GKP) di tingkat petani selama periode Maret – Juli 2005

(disesuaikan dengan berlakunya Inpres Nomor 2 Tahun 2005) mencapai Rp 1.397 per kg (105,04% dari HPP). Pada periode yang sama pada tahun 2004, rata-rata harga GKP di tingkat petani hanya mencapai Rp 1.688 per kg (96,39% dari HPP). Untuk GKG, rata-rata harga di tingkat petani pada periode Maret-Juli 2005 adalah Rp 1.801/kg (103,5% dari HPP), sedangkan pada tahun 2004 adalah Rp 1.688/kg (97,85% dari HPP). Harga GKP dan GKG pada Maret-Juli 2005 juga lebih stabil dibanding periode yang sama tahun 2004.

VI-264

Tabel 5. Perkembangan Harga Gabah di Tingkat Penggilingan dan Petani, 2004-2005 (Rp/kg).

Harga di Penggilingan Harga di Petani HPP Bulan GKP GKG GKP GKG GKP GKG

2004 : Maret April Mei Juni Juli

1.139 1.189 1.261 1.262 1.236

1.725 1.558 1.690 1.715 1.853

1.113 1.158 1.228 1.227 1.203

1.700 1.522 1.666 1.700 1.821

1.230 1.230 1.230 1.230 1.230

1.725 1.725 1.725 1.725 1.725

2005 : Maret April Mei Juni Juli

1.436 1.394 1.393 1.468 1.483

1.886 1.921 1.898 1.778 1.658

1.402 1.356 1.351 1.429 1.446

1.873 1.904 1.869 1.727 1.634

1.330 1.330 1.330 1.330 1.330

1.740 1.740 1.740 1.740 1.740

Rataan Mar-Jul 04 Rataan Mar-Jul 05 Stdev mar-Jul 04 Stdev Mar-Jul 05 CV Mar-Jul 04 CV Mar-Jul 05

1.217 1.435 53,21 41,24

4,37 2,87

1.708 1.828

105 110 6,15 6,02

1.186 1.397 49,74 42,39 4,20 3,03

1.688 1.801 96,12

116,00 5,70 6,44

1.230 1.330

1.725 1.740

117. Harga beras kualitas medium (IR-64 III) di tingkat nasional (tercermin pada harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang) sejak Januari sampai dengan September 2005 relatif stabil dengan rata-rata Rp 2.967 per kg (harga tertinggi Rp 2.967 dan terendah Rp 2.450 per kg). Seiring dengan kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah telah mengumumkan penyesuaian HPP dalam Inpres No. 2/2005 menjadi seperti pada Tabel 6. Penyesuaian harga dilakukan untuk mengatasi inflasi akibat kenaikan harga BBM dan memberikan marjin keuntungan kepada petani sebesar 30 persen.

Tabel 6. Penyesuaian HPP dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2005 (Rp/kg)

Uraian Lama (Inpres 2/2005)

Baru (Inpres 2/2005)

GKP di penggilingan 1.330 1.730

GKG di penggilingan 1.740 2.250

GKG di gudang Bulog 1.765 2.280

Beras 2.790 3.550

2. Pemberdayaan Masyarakat

118. Departemen Pertanian telah mengembangkan tujuh model utama pemberdayaan masyarakat ketahanan pangan. Pada tahun 2004, sebanyak 19.089 petani telah bergabung kedalam 909 kelompok yang tersebar di 31 provinsi. Model ketahanan pangan yang dikembangkan disesuaikan dengan

VI-265

potensi dan kemampuan masyarakat setempat. Pada tahun 2005 dalam model ini terus dilakukan pembinaan kelompok lama dan pengembangan kelompok baru.

3. Stabilisasi Harga Gabah melalui Pelaksanaan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP)

119. Untuk menjaga stabilisasi harga gabah/beras pada tingkat petani yang mengacu pada Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP), Departemen Pertanian telah melakukan kegiatan pemberian DPM-LUEP untuk Pembelian Gabah/Beras Petani. DPM yang disalurkan bersifat talangan/pinjaman modal kerja tanpa bunga untuk meningkatkan kemampuan LUEP dalam membeli

gabah/beras langsung kepada petani pada saat panen raya. Pada tahun 2004, dari alokasi dana sebesar Rp 161,55 milyar telah disalurkan dana sebesar Rp 157,545 milyar dengan nilai penjualan gabah/beras Rp 603,08 milyar atau sudah diputar sebanyak 3,97 kali. Dari dana yang disalurkan sebanyak Rp 157,545 milyar, telah dikembalikan sebesar Rp 148,035 milyar (93,98% dari alokasi DPM). Pada tahun 2005 telah disalurkan Rp 99,759

milyar bagi 19 provinsi, yang pada saat ini masih dalam proses pemanfaatan.

4. Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA)

120. Proyek PIDRA/P2LK merupakan kelanjutan dari proyek P2LK di Jawa Timur, yang dibiayai dari pinjaman IFAD dengan Loan Agreement No.539-ID, mulai dilaksanakan pada tahun 2001 di 14 kabupaten pada tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

121. Kegiatan yang dikembangkan dalam Model PIDRA tersebut adalah pemberdayaan masyarakat desa, yang difokuskan pada petani miskin yang berusahatani di lahan kering, melalui proses penumbuhan kemandirian masyarakat dengan didampingi LSM. Komponen kegiatan yang dilaksanakan antara lain adalah: (1) Pengembangan masyarakat dan jender; (2) Pengembangan pertanian dan peternakan; (3) Pembangunan prasarana dan sarana pedesaan; dan (4) Dukungan kelembagaan dan manajemen. Jumlah anggota KM PIDRA yang ditumbuhkan selama tahun 2001-2004 adalah sebanyak 41.420 KK dalam 2.290 KM yang melibatkan sebanyak 42.429 KK yang tersebar di Jawa Timur 990 KM, di Nusa Tenggara Barat 403 KM, dan di Nusa Tenggara Timur 897 KM. Kegiatan pada tahun 2005

VI-266

memasuki fase II (2005-2008) dengan fokus dan lokasi kegiatan (provinsi dan kabupaten) yang sama dan pada tahapan kontrak kegiatan.

5. Pengembangan Database Food Insecurity Atlas

122. Departemen Pertanian bersama dengan World Food Program (WFP) telah mengembangkan Peta Kerawanan Pangan Indonesia yang berisikan kumpulan peta indeks berwarna dan tabel indikator. Peta tersebut menunjukkan wilayah-wilayah yang menderita kerawanan pangan kronis, dan mengidentifikasi penyebab terjadinya kerawanan pangan tersebut, serta memberikan petunjuk dalam mengembangkan dan merancang strategi untuk mengatasi, atau paling tidak untuk meminimumkan permasalahan. Peta FIA yang dikembangkan pada tahun 2004 menggambarkan 265 kabupaten di

tingkat nasional, yang 100 kabupaten di antaranya mengalami rawan pangan. Pada saat ini, dikembangkan peta kabupaten di tingkat provinsi, termasuk kabupaten hasil pemekaran, namun pada tahun 2005 lebih diarahkan untuk kecamatan dalam provinsi. Kendala yang dihadapi adalah kesulitan untuk memperoleh data dan keabsahannya.

E. Penelitian dan Pengembangan Pertanian

1. Inovasi Teknologi

a. Tanaman Pangan

123. Telah dihasilkan HIPA-3 dan HIPA-4, yaitu padi hibrida dengan produktivitas lebih tinggi dibanding IR-64 dan lebih tahan terhadap wereng coklat tipe 2,

tungro dan hawar daun bakteri strain 4 dan 8. HIPA-3 menghasilkan gabah kering giling rata-rata 8,85 ton/ha atau 32,7 persen lebih tinggi dibanding IR-64 dan mempunyai standar heterosis yang cukup tinggi. Hasil tertinggi HIPA-3 mencapai 11,7 ton/ha. HIPA-4 memberikan hasil rata-rata 8,63 ton/ha atau 28 persen lebih tinggi dibanding IR-64. Hasil tertinggi HIPA-4 adalah sebesar 10,4 t/ha.

124. Telah dikembangkan Ubi Jalar Ungu Klon Harapan MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 dengan produktifitas rata-rata 22,5-27,5 ton/ha, tahan hama boleng dan tahan penyakit kudis. Dapat dipanen umur 4-6 bulan, warna kulit merah tua dan daging ungu tua.

VI-267

b. Hortikultura

125. Telah dikembangkan Melon hibrida unggul baru varietas Galuh, yang mempunyai ciri-ciri : bentuk buah oval, bobot buah 2–2,5 kg/buah, jala kulit buah tebal (93-94%), bentuk jala garis segi tiga segi lima rapat, tebal daging buah 5,2 cm, berwarna orange merah, aroma kuat, citarasa manis (17,5 oBrix), daya simpan 17-20 hari setelah panen.

126. Telah dikembangkan Kentang Varietas BALSA, yang memiliki ciri-ciri : produktivitas 22,4 ton/ha, umur panen 90-100 HST, bentuk umbi oblong-oval, agak tahan terhadap penyakit busuk daun (P. infestans) dan nematoda

bengkak akar, sangat cocok untuk keripik dan kentang goreng.

c. Tanaman Nilam

127. Telah dilepas varietas Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang, yang mempunyai produksi minyak (315,76-355,89 kg/ha) atau kadar minyak yang

leih tinggi (2,83-3,21%) dibandingkan dengan nilam biasa yang diusahakan petani pada umumnya (di tingkat petani produksi minyak 97,53 kg/ha atau kadar minyak 1-2%).

d. Varietas Kopi Arabika ”Sigarar Utang”

128. Telah dihasilkan dan dilepas varietas kopi arabika “Sigarar Utang” dengan karakteristik : perawakan tanaman semi katai, ruas cabang pendek, tajuk rimbun, cabang primer bagian bawah berjuntai sampai di tanah, buah berbentuk bulat memanjang berukuran besar serupa dengan varietas typica, agak rentan terhadap penyakit karat daun jika ditanam pada tempat dengan elevasi di bawah 1.000 m d.p.l, potensi produksi 800-2500 kg/ha (populasi

1.600 ph/ha), rendemen 17-18 persen, berat 20,4 g/100 biji, persentase biji normal 83 persen, dan mutu seduhan baik.

e. Klon Kakao Mulia ICCRI 01 dan ICCRI 02

129. Telah dihasilkan dan dilepas klon KW 118 dan KW 109 (varitas unggul

tersebut diberi nama ICCRI 01 dan 02) yang mempunyai produksi tinggi (>2000 kg/ha), serta toleran terhadap penyakit busuk buah Phytophthora dan hama Helopeltis.

f. Uji Vaksin Filtrat Antraks

130. Departemen Pertanian telah meneliti vaksin filtrat anthraks yang dibuat dari filtrat kultur Bacillus anthracis galur 34F2. Sampai dengan Juli 2005 telah

VI-268

dilakukan: (1) Uji efikasi pada mencit dengan hasil positif; dan (2) Uji Safety pada kambing dengan hasil positif dan tidak terjadi reaksi anafilaktik. Langkah tindak lanjut adalah perlu dilanjutkan perbaikan dosis, uji tantang pada marmot serta uji lapang.

g. Bio-Enerji

131. Dengan berkembangnya isu terbatasnya ketergantungan pembangunan pada sumber enerji minyak bumi dan potensi sektor pertanian untuk pengembangan alternatif enerji baru dan terbarukan, Departemen Pertanian telah melakukan kegiatan penelitian di bidang bio-enerji. Kegiatan yang telah dilakukan adalah: (1) Evaluasi Teknis Kinerja Traktor Tangan Menggunakan Bio-Diesel; (2) Pengembangan dan Pemanfaatan Alternatif Enerji untuk

Pertanian; dan (3) International Workshop on Biomass Energy. Sedangkan kegiatan yang sedang dilaksanakan adalah: (1) Pengembangan Mesin Pemroses Biogas dari Kotoran Sapi; dan (2) Pabrikasi Mesin Pemroses Minyak Jarak.

2. Rekomendasi Kebijakan

a. Evaluasi Kebijakan Harga Gabah Tahun 2004

132. Departemen Pertanian telah merumuskan rekomendasi kebijakan tentang Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah untuk GKP dari Rp 1.230/kg menjadi

Rp 1.330/kg. Rumusan ini merupakan usulan penyempurnaan Inpres 2/2005 mengenai Perberasan Nasional sebagai pengganti Inpres No. 9 Tahun 2003.

b. Kebijakan Komprehensif Pergulaan Nasional

133. Kebijakan merevitalisasi industri pergulaan nasional sampai saat ini masih

terus disempurnakan. Revitalisasi industri gula didasarkan pada pertimbangan ekonomi, sosial dan politik.

c. Rancangan Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2006

134. Departemen Pertanian telah menyusun kajian mengenai Rancangan

Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2006. Rancangan tersebut telah disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

3. Percepatan Diseminasi/Adopsi Teknologi

135. Pada tahun 2004 Departemen Pertanian telah menyusun kebijakan mengenai percepatan diseminasi/adopsi teknologi (PRIMA TANI).

VI-269

Implementasinya telah dimulai pada tahun 2005 yang difokuskan pada tujuh sub agroekosistem, yaitu: (1) Lahan sawah intensif; (2) Lahan sawah semi-intensif; (3) Lahan kering dataran rendah beriklim kering; (4) Lahan kering dataran tinggi beriklim kering; (5) Lahan kering dataran rendah beriklim basah; (6) Lahan kering dataran tinggi beriklim basah; dan (7) Lahan rawa pasang surut. Kegiatannya dilaksanakan di 15 provinsi yang mencakup 22 lokasi Laboratorium Agribisnis. Pada tahun 2006, lokasi Laboratorium

Agribisnis akan ditambah dengan 10 provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darusalam, Riau, Jambi, Bengkulu, Banten, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, sehingga seluruhnya berjumlah 25 provinsi yang mencakup 32 Laboratorium Agribisnis.

F. Kerjasama Luar Negeri

1. Forum Multilateral

a. Dukungan Lembaga Keuangan Internasional dan Negara Donatur

136. Telah diperoleh kesepahaman dengan Islamic Development Bank (IDB) untuk membiayai lima usulan proyek pertanian selama 2005-2009 dengan

total dana sebesar US$ 464.6 juta untuk perbaikan infrastruktur karantina pertanian di Indonesia Timur; pengembangan produksi dan ekspor ternak ruminansia kecil; rehabilitasi infrastruktur irigasi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami; pembangunan dan rehabilitasi sistem irigasi pertanian dari skim irigasi Jatiluhur; dan pembangunan usaha kolam untuk mengurangi bencana kekeringan di areal padi untuk palawija di wilayah

pantura Jawa.

137. IFAD telah bersedia mendukung pembiayaan proyek pemberdayaan pedesaan dan pembangunan pertanian di provinsi Sulawesi Tengah dengan total biaya US$ 33.8 juta.

138. ADB bersedia memberikan dana hibah sebesar US$ 300 juta melalui proyek pemulihan Aceh pasca tsunami, yang Rp 52 juta di antaranya dialokasikan untuk pertanian.

139. Sejumlah lembaga dan negara donor telah bersedia memberikan bantuan untuk rehabilitasi Aceh pasca tsunami dengan total dana sebesar US$ 3,867,505.

140. Dalam rangka memberantas dan mencegah penyakit flu burung yang mewabah selama 2004-2005, Departemen Pertanian telah menempuh

VI-270

berbagai upaya mencari bantuan asing melalui forum multilateral, regional dan bilateral dengan total dana bantuan sebesar US$ 1,405,023.

b. Perjuangan untuk SP, SSM dan De Minimis

141. Dalam pilar akses pasar, usulan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Pertanian pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) G-20 di New Delhi (India) tanggal 17-19 Maret 2005 menyuarakan kepentingan G-33 untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari G-20 terhadap proposal Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). Usulan ini telah diadopsi dalam Deklarasi Menteri G-20, yang merupakan political guide bagi

penyusunan lebih lanjut teks modalitas negosiasi pertanian sebagai bentuk implementasi dari July Package. Dalam deklarasi tersebut, usulan Indonesia

juga disebutkan yaitu bahwa negara sedang berkembang perlu diberikan fleksibilitas dalam menggunakan bantuan domestiknya (pada umumnya de minimis dan green box) dalam rangka mempromosikan pertaniannya.

142. Dalam KTM Cairns Group ke-27 di Cartagena (Kolombia) pada tanggal 30

Maret sampai dengan 1 April 2005, Indonesia menekankan pentingnya mempertimbangkan isu-isu pembangunan di negara sedang berkembang, terutama ketahanan pangan (food security), kesejahteraan petani (livehood security), dan pembangunan pedesaan (rural development). Posisi Indonesia berhasil diadopsi dalam Ministerial Communique pada KTM tersebut, yaitu pilar akses pasar, dimana aspek Special and Differential Treatment (S&D)

mencakup juga SP dan SSM untuk membantu negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dunia.

2. Forum Regional

143. Dalam sidang Tingkat Menteri Pertanian dan Kehutanan Asean (AMAF) ke

27 di Tagata City (Filipina) tanggal 29-30 September 2005, telah disetujui usulan pembentukan Asean Animal Health Trust Fund (AAHTF) untuk

pengawasan dan eradikasi penyakit ternak, khususnya flu burung dan BSE (bovine spongiform). Indonesia menyetujui memberikan kontribusinya dengan jumlah dana yang akan disampaikan dalam waktu dekat.

144. Proposal Indonesia mengenai pelatihan flu burung dengan judul “Trainning of Laboratory Analysis to Support Control and Eradication of Avian Influenza Virus in Asean Countries” dan “Surveilance and New Strain Detection of Avian Influenza Virus in Asean Countries” telah disetujui menjadi kegiatan

Asean HPAI Task Force.

VI-271

3. Forum Bilateral

145. Telah terjalin kerjasama bilateral Indonesia dan Jepang dalam menjaga kesinambungan program Second Kennedy Round (SKR) berupa hibah pupuk KCl Jepang kepada Indonesia. Pupuk tersebut dijual kepada petani dan uang hasil penjualannya disimpan dalam rekening khusus Bank Indonesia dan digulirkan kepada petani dalam berbagai program. Total dana SKR kumulatif selama 2000-2003 adalah sebesar Rp 78.226 juta. Pemanfaatan dana SKR dimulai tahun 2004 untuk mendorong produksi pangan sebesar Rp 3.499 juta, untuk produksi peternakan sebesar Rp 940 juta, dan untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebesar Rp 2.597 juta. Sampai saat ini, beberapa usulan pemanfaatan dana SKR

sedang diajukan untuk memperoleh persetujuan.

G. Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian

146. Dalam rangka meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani, salah satu upaya Departemen Pertanian yang telah dilakukan adalah pemberdayaan petani miskin yang tinggal di pedesaan. Upaya tersebut telah mendapat dukungan dari negara-negara donor (IFAD dan ADB). Pembinaan yang dilakukan selama setahun ini antara lain adalah:

(1) Pemantapan dan penumbuhkembangan Kelompok Petani Kecil di 12 provinsi, yang mencakup 126 kabupaten, 1.973 kecamatan dan 10.720 desa.

(2) Terus dilakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah terutama Bupati/Walikota untuk dilanjutkan dan diperluas oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Sampai dengan tahun 2005 telah ditandatangani kesepakatan oleh 122 Pemda Kabupaten/Kota.

(3) Selama tahun 2004-2005 Departemen Pertanian telah memantapkan pengembangan kawasan agropolitan pada 68 kabupaten/kota yang merupakan pengembangan gerakan masyarakat pada kawasan sentra produksi pertanian (kawasan agribisnis).

H. Pengembangan Karantina Pertanian

147. Departemen Pertanian pada tahun 2004-2005 telah memusnahkan dan menggagalkan masuknya (re-ekspor) produk hasil ternak dan hewan piaraan asal negara-negara yang belum bebas dari jenis penyakit hewan tertentu antara lain PMK, BSE, dan AI.

VI-272

148. Pemusnahan dan melakukan re-ekspor 164.000 bibit kelapa sawit, 2.000 batang bibit jeruk, dan 5 kontainer anggur, karena tidak dilengkapi dengan phytosanitary certicate, dan CVPD certicate.

149. Penyelesaian dua perkara pemalsuan formulir ke tingkat pengadilan, dan dua kasus lainnya sedang dalam proses penyidikan.

150. Penggagalan lima kasus usaha penyelundupan satwa langka ke luar negeri.

151. Pengembangan database Organisme Pengganggu Tumbuhan yang

dilengkapi dengan daerah sebar berdasarkan scientific based, dan saat ini sedang dinotifikasi melalui WTO-SPS.

152. Telah dilakukan kerjasama antara Departemen Pertanian dan Ditjen Bea Cukai untuk pertukaran data elektronik melalui E-Quar dalam rangka

pengawasan terpadu di pintu-pintu pemasukan dan pengeluaran.

I. Pengawasan Pembangunan Pertanian

153. Dalam satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu, Inspektorat Jenderal

Departemen Pertanian telah melaksanakan program penanganan KKN

melalui pemeriksaan khusus/investigasi baik tahun pelaksanaan anggaran

2004 maupun 2005. Penanganan KKN melalui pemeriksaan khusus satu

tahun terakhir sebanyak 31 kasus. Pada umumnya pemeriksaan khusus

yang dilaksanakan atas perintah pimpinan sebagai tindak lanjut dari

dibukannya akses pesan singkat (short message service) Menteri Pertanian

sebanyak 29 kasus, sedangkan pendalaman dari pemeriksaan kinerja

sebanyak 2 (dua) kasus.

154. Pemeriksaan kinerja bulan Oktober dan Desember tahun 2004, telah

dilakukan terhadap proyek/bagian proyek (bagpro) di pusat maupun daerah

dan anggaran rutin unit kerja eselon I. Proyek/bagpro tahun 2004 yang

diperiksa sebanyak 821 obyek pada pemeriksaan kinerja tahun 2005 telah

dilaksanakan sebanyak 5 tahap dengan cakupan pelaksanaan kegiatan

proyek/bagpro tahun 2004, dan obyek tahun 2005 sebanyak 542 obyek.

A. Hasil Pemeriksaan

A.1. Penanganan KKN

155. Dari pemeriksaan khusus/investigasi yang dilaksanakan pada periode satu

tahun terakhir sejak oktober 2004 sampai dengan Oktober 2005 sebanyak

VI-273

31 kasus. Hasil pemeriksaan khusus/investigasi telah memberikan

rekomendasi pengenaan sanksi PP No.30 tahun 1980 kepada PNS lingkup

Departemen Pertanian sebanyak 63 orang, dan kerugian negara yang harus

di setor ke kas negara sebesar Rp.21.530.558.801,40.

A.2. Pemeriksaan Reguler

156. Dari hasil pemeriksaan kinerja tahun 2004, ditemukan 5.373 kejadian dalam

kelompok temuan kerugian negara (412 kejadian) senilai

Rp.21.485.601.936,00. dan temuan administrasi (2.809 kejadian).

Sedangkan temuan penyimpangan keuangan dengan kategori tidak efisien

sebanyak 609 temuan senilai Rp.16.316.508.708,00, tidak efektif sebanyak

1.416 temuan senilai Rp.59.066.328.253,00 dan tidak hemat sebanyak 127

temuan senilai Rp.4.306.420.622,00.

157. Hasil pemeriksaan kinerja tahun 2005, ditemukan 1.786 kejadian dalam

kelompok temuan kerugian negara (142 kejadian) senilai

Rp.12.865.470.506,00 dan temuan administrasi (1.077 kejadian).

Sedangkan temuan penyimpangan keuangan dengan kategori tidak efisien

sebanyak 156 temuan senilai Rp.8.742.926.023,00, tidak efektif sebanyak

369 temuan senilai Rp.22.053.960.303,00 dan tidak hemat sebanyak 42

temuan senilai Rp.11.699.537.534,00.

B. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan

158. Tidak lanjut hasil pemeriksaan khusus/investigasi sampai dengan bulan

oktober 2005, khususnya terhadap pengenaan sanksi PP No.30 tahun 1980

kepada PNS lingkup Departemen Pertanian diserahkan kepada eselon I

dimana personil tersebut berada. Kerugian negara dari pemeriksaan

khusustelah ditindak lanjuti sebanyak Rp.17.879.751.367,40 (83,04 %) dari

total kerugian negara senilai Rp.21.530.558.801,40 dan sisa sebesar

Rp.3.650.807.434,00 masih dimonitor oleh Inspektorat Jenderal.

159. Temuan kerugian negara hasil pemeriksaan kinerja tahun 2004 telah

ditindaklanjuti sebanyak 281 kejadian senilai Rp.9.568.125.185 atau 44,53%

dari total temuan, dan masih tersisa sebanyak 131 kejadian senilai

Rp.11.917.476.751. Sedangkan temuan kerugian negara hasil pemeriksaan

VI-274

kinerja tahun 2005 telah ditindaklanjuti sebanyak 45 kejadian senilai

Rp.364.160.973 atau 2,83% dari total temuan dan masih tersisa sebanyak

97 kejadian senilai Rp.12.501.309.533.

160. Tindak lanjut penanganan KKN di lingkup Departemen Pertanian juga telah

dilakukan dengan dilaporkannya 9 (sembilan) kasus dugaan KKN kepada

pihak Kejaksaan Agung RI pada bulan Oktober 2005 yaitu : 1) Dugaan

penyimpangan permbuatan vaksin flu burung dan dugaan penyimpangan

distribusi dana kompensasi 2) Dugaan penyeludupan daging sapi dari India

dan impor dari USA pada saat ada kasus BSE/sapi gila; 3) Tunggakan,

denda keterlambatan dan penyimpangan penggunaan Dana Penguatan

Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) TA 2003 - 2005;

4) Penuyimpangan pembangunan Lumbung Desa Modern (LDM) TA 2002

oleh PT Inti Bendungan Rejeki Jakarta, dan Dugaan pemborosan keuangan

Negara karean kurang efektif pada bangunan LDM TA 2002 dan 2003 yang

belum dimanfaatkan; 5) Dugaan pemborosan keuangan negara untuk

pembangunan Sentra Produksi dan Pengembangan Ayam Buras (SPPAB)

Rural Rearing Multiplication Center (RRMC); 6) Dugaan pemborosan

keuangan negara untuk pembangunan Rumah Potong Hewan (RPH); 7)

Penjualan aset P3GI (rumah dinas, rel bekas dan besi kuningan) adanya

KKN saat pelelangan rencana penjualan tanah seluas 17 ha di Desa

Dipayung Jaya Depok dan Desa Tambun Bekasi, Pemanfaatan rumah

negara di Jl. Pertanian III Pasar Minggu seluas 3.000m2 (tanah dan

bangunan), pemanfaatan tanah oleh PNS Departemen Pertanian di

Cibinong Bogor karena tanah yang dipinjam pakai dialihkan ke pihak ketiga

serta Kerjasama Operasional (KSO) Rumah Sakit Pasar Minggu yang

berlarut-larut tanpa ada finansial; dan 8) Dugaan penyimpangan pengelolaan

dan pemanfaatan alsintan yang tidak optimal (tidak efektif, tidak efisien dan

tidak ekonomies), serta dugaan penyimpangan penerimaan uang negara

hasil pengelolaan alsintan Unit Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) di 5 (lima)

propinsi sehingga tertundanya penerimaan negara; serta 9) Pengadaan

tidak sesuai Keppres No. 80 tahun 2003.

VI-275

J. Manajemen Pembangunan Pertanian

161. Pada tahun 2004-2005 Departemen Pertanian telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pertanian 2005-2009, Rencana Kerja Tahunan 2005 dan draft Rencana Kerja Tahunan 2006, serta LAKIP Departemen Pertanian 2004. Selain itu telah dilakukan penyempurnaan Sistem Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan (SIMONEV) yang sejalan dengan perubahan penganggaran dari sistem rutin dan proyek ke sistem unified budget yang diperkuat dengan Surat Edaran Sekjen Departemen Pertanian dan dapat diakses melalui website Departemen Pertanian (www.deptan.go.id).

162. Menyiapkan program bantuan bencana alam Tsunami dari luar negeri berupa Cash for Work, peralatan, tenaga ahli, obat-obatan, dan lain-lain dan menyiapkan program bantuan penanggulangan penyakit flu burung yang berasal dari luar negeri (peralatan, obat-obatan, tenaga ahli dan pelatihan).

163. Menghasilkan Peraturan Menteri Pertanian tentang: (1) Pembinaan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (No.328/Kpts/OT.220/8/ 2005); (2) Pembinaan Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (No.329Kpts/OT.220/8/2005); dan (3) Pemberian Penghargaan Abdi Bakti Tani kepada Unit Kerja Pelayanan Publik Berprestasi di Bidang

Pertanian (No.672/Kpts/KP.450/11/2004).

164. Peningkatan kerjasama bilateral dengan negara Qatar, Kuwait dan Arab Saudi. Prioritas kerjasama dengan IDB 2005-2008 meliputi lima usulan proyek pertanian.

165. Departemen Pertanian telah melakukan Apresiasi Sistem Manajemen Mutu Laboratorium; Sinkronisasi Teknis Unjuk Kerja Laboratorium Penguji Gula Kristal Mentah dan Gula Kristal Putih sesuai SNI 0-3140.1-2001; dan Verifikasi Lembaga Sertifikasi Organik. Selain itu juga menghadiri

Sidang/Penyampaian Posisi RI pada Sidang Codex Committee – Meat Hygiene ke 11, 14-18 Februari 2005 di Christchurch (New Zealand); Penyampaian Posisi RI pada Sidang : (1) Komite SPS-WTO ke 32, 7-10 Maret 2005 di Jenewa (Swisszerland); (2) Codex Committee – Food Hygiene ke 37, 14-19 Maret 2005 di Buenes Aires (Argentina); (3) Codex Committee – Pesticide Residue ke 37, 18-23 April 2005 di Hague (the Netherlands); dan (4) Codex Committee – Fresh Fruit and Vegetables ke 12, 16-20 Mei 2005 di Mexico City (Mexico).

166. Menyampaikan Notifikasi Indonesia mengenai : (1) SK Menteri Pertanian

tentang Pupuk Organik dan Pembenah; (2) SK Menteri Pertanian tentang

VI-276

Persyaratan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah Buahan dan sayuran segar ke Indonesia kepada Sekretariat WTO; dan (3) Draft SK Departemen Kelautan dan Perikanan tentang Ketentuan Pemasukan Media Pembawa berupa Ikan Hidup sebagai Barang Bawaan ke Dalam Wilayah Negara RI kepada Sekretariat WTO.

167. Pelatihan yang terdiri dari : (1) Inspektor Keamanan Pangan produk pertanian, kerjasama Indonesia – Belanda dalam rangka PBSI Program on Strengthening Food Safety in Indonesia, Januari 2005; dan (2) Fasilitator Keamanan Pangan produk pertanian, kerjasama Indonesia – Belanda dalam rangka PBSI Program on Strengthening Food Safety in Indonesia, Juni 2005

168. Mengembangkan beberapa sistem yaitu : (1) Otomatisasi Pelayanan Perlindungan Varietas Tanaman (Penerimaan Pendaftaran Hak PVT dan Konsultan PVT); (2) Database Varietas Tanaman, yang sampai saat ini telah didokumentasikan sekitar 1.280 varietas tanaman; dan (3) Melaksanakan pelepasan Varietas Tanaman yang telah dilakukan oleh Badan Benih

Nasional.

169. Untuk kepegawaian telah dilakukan Pengangkatan Pegawai Departemen Pertanian pada tahun 2004 yang selesai diproses pada bulan Pebruari 2005. Untuk tahun 2004 dilakukan pengangkatan tenaga penyuluhan sebanyak

768 orang dari 1.700 orang, dan sisanya 932 untuk tahun 2005. Untuk tahun 2005 diusulkan pengangkatan baru 5.778 orang untuk menggantikan 379 orang yang pensiun/berhenti, pengangkatan 3.699 orang dan pengangkatan tenaga teknis 1.700 orang.

170. Untuk penyajian data dan informasi pertanian sudah dilaksanakan : survei pertanian, advokasi metode pengumpulan data, analisis proyeksi data pertanian, publikasi pertanian, menerapkan E-Government, mengembangkan sistem E-Form, farming website dan sistim informasi pasar, sistim informasi manajemen, infrastuktur jaringan, serta meningkatkan SDM di bidang statistik dan sistim informasi.

171. Dalam pemeriksaan internal, realisasi pemeriksaan kinerja yang telah dilakukan untuk TA 2004 yang mencapai 821 obyek pemeriksaan (122%) dari target sebanyak 672 obyek pemeriksaan (obrik), atau hanya mencapai 37,40 persen dari total obrik lingkup Departemen Pertanian sebanyak 2.195 obrik. Realisasi pemeriksaan kinerja TA 2005 sampai dengan periode Agustus 2005 adalah sebanyak 341 obrik (62%) dari target yang ditetapkan sebanyak 550 obrik.

VI-277

172. Jumlah penyimpangan penggunaan anggaran yang ditemukan pada pemeriksaan kinerja TA 2004 adalah ditemukannya penggunaan anggaran yang tidak ekonomis senilai Rp 4.306.420.621,80, tidak efisien senilai Rp 16.316.508.707,94, tidak efektif senilai Rp 59.066.328.252,83 dan kerugian negara senilai Rp 21.504.005.545,79. Terhadap kerugian negara tersebut, telah ditindaklanjuti sebesar Rp 9.152.737.632,61 atau masih terdapat sisa sebesar Rp 12.351.267.913,18 (57,44%). Penyimpangan penggunaan

anggaran yang ditemukan pada TA 2005 sampai dengan Agustus 2005 adalah adanya penggunaan anggaran yang tidak ekonomis senilai Rp 3.545.037.534,25, tidak efisien senilai Rp 3.652.492.420,00, tidak efektif senilai Rp 20.373.440.203,00 dan kerugian negara senilai Rp 26.861.720.506,12. Terhadap kerugian negara tersebut, telah ditindaklanjuti sebesar Rp 294.185.752,78, atau masih terdapat sisa sebesar Rp

26.567.534.753,34 (98,91%).

173. Realisasi pemeriksaan khusus/investigasi pada TA 2004 sebanyak 31 kasus, sedangkan realisasi pemeriksaan khusus/investigasi pada TA 2005 sampai dengan 31 Agustus 2005 sebanyak 55 kasus. Dari hasil pemeriksaan

khusus/investigasi terhadap penanganan KKN di lingkup Departemen Pertanian periode Program Kabinet Indonesia Bersatu yaitu 20 Oktober 2004 sampai dengan 31 Agustus 2005 telah ditemukan kerugian negara senilai Rp 20.923.114.051,40 dan telah ditindaklanjuti sebesar Rp 17.561.661.367,40 (83,93%) atau masih terdapat sisa sebesar Rp 3.361.452.684,00 (16,07%), serta sebanyak 59 orang lingkup Departemen Pertanian yang dikenakan

sanksi disiplin pegawai sesuai dengan PP No.30 Tahun 1980.

IV. PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

174. Revitalisasi pertanian difokuskan pada tujuh kegiatan yaitu: (1) Penataan sistem pasar komoditas pertanian (2) Pengembangan kelembagaan usaha pertanian; (3) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); (4) Penanganan rawan pangan/perbaikan gizi; (5) Pengembangan daerah perbatasan; (6) Penjaminan kredit pertanian; dan (7) Pengembangan infrastruktur pertanian.

175. Telah dihasilkan Road Map prospek usaha komoditas unggulan dan kebutuhan investasi terhadap 17 komoditas yang meliputi: padi, jagung, kedelai, anggrek, pisang, jeruk, bawang merah, kelapa sawit, tebu, kakao,

karet, tanaman obat, cengkeh, kelapa, sapi, unggas, dan kambing/domba serta empat bidang masalah yang meliputi: potensi lahan untuk pengembangan agribisnis komoditas unggulan, dukungan mekanisasi bagi

VI-278

pengembangan agribisnis komoditas, dukungan teknologi pasca panen bagi pengembangan agribisnis komoditas, prospek pengembangan dan perkiraan kebutuhan investasi agribisnis di Indonesia. Dokumen tersebut disajikan dalam satu seri publikasi 21 buku.

176. Telah disusun Road Map pengembangan komoditas peternakan (sapi

potong, sapi perah, kambing/domba dan unggas) dan kegiatan yang akan dilaksanakan adalah : (1) Pengembangan Sistim Perbibitan Nasional (Sisbitnas) dengan pola Village Breeding Centre (VBC) sebagai intinya; (2) Peningkatan sistim kesehatan hewan nasional (keswannas) agar lebih terintegrasi dengan instansi terkait; (3) Pengembangan sistim kesehatan masyarakat viteriner (kesmavet) yang merupakan kesatuan gerak antara

pusat/daerah dan UPT-nya; dan (4) Peningkatan sistim budidaya ternak dengan penerapan Good Farming Practice (GFP) termasuk pakan, alat dan

mesin (alsin) dan penyuluhan. Diharapkan upaya ini akan dapat menyerap tambahan angkatan kerja sebanyak 230.000 orang dan pendapatan dari usaha (skala ekonomi) peternakan dapat meningkat menjadi Rp 10 juta pada tahun 2009 dari Rp 5,3 juta/RTP/tahun.

177. Telah disusun Pembagian Tugas dan Kewenangan (Role Sharing) antara Departemen Pertanian dan Departemen Pekerjaan Umum dalam membangun dan mengembangkan sarana pertanian dan pedesaan khususnya pengelolaan air dalam rangka mendukung produksi pertanian.

178. Telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 515/Kpts/HK.060/9/2004 dan Nomor 2/SKB/BPN/2004 tentang Pelaksanaan Program Pensertifikatan Tanah dalam rangka Pemberdayaan Petani untuk Mendukung Pembangunan

Pertanian. Sebagai tindak lanjutnya, Badan Pertanahan Nasional melalui Proyek Land Management Policy Development Project (LMPDP), melaksanakan program pensertifikatan tanah sawah beririgasi khususnya pada kabupaten terpilih di lima propinsi di pulau Jawa (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur). Dalam TA. 2005 Departemen Pertanian telah mengalokasikan dana untuk model percontohan pensertifikatan tanah sawah dengan subsidi biaya sertifikasi sebesar Rp 355.000/persil di daerah sentra produksi padi. Dengan adanya sertifikat lahan, disamping ada kepastian akan hak atas tanah petani, juga nantinya akan terwujud adanya lahan abadi untuk usaha pertanian.

179. Dalam rangka Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, Departemen Pertanian telah melakukan : (1) Monitoring berkala sebagai

VI-279

bagian dari early warning system terjadinya rawan pangan; dan (2)

Pemetaan kewaspadaan pangan dan gizi.

180. Departemen Pertanian telah mengkoordinasikan Rencana Aksi Penanggulangan Kerawanan Pangan dan Gizi yang melibatkan unsur-unsur instansi terkait di Pusat dan daerah (khususnya di NTB dan NTT).

181. Penataan kembali sistem penyuluhan pertanian dengan langkah-langkah berikut: (1) Koordinasi antar instansi, konsultasi publik (pakar dan stakeholder terkait) dalam menyusun naskah akademik dan Rancangan Undang Undang (RUU) Penyuluhan Pertanian yang telah disepakati dengan

DPR RI, dan selanjutnya akan diproses sebagai hak inisiatif DPR RI; dan (2) Pengaktifan kembali penyuluhan pertanian melalui: (a) Pengaturan kewenangan dan organisasi penyuluhan pertanian, yang disesuaikan dengan UU No 32 tahun 2004 yang telah mendapatkan dukungan dari Departemen Dalam Negeri dan Kantor Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara; (b) Penguatan kelembagaan penyuluhan yang ada sampai terbitnya

UU Penyuluhan Pertanian; (c) Penyelesaian pengangkatan tenaga honorer penyuluhan pertanian, khususnya 1.634 orang penyuluh pertanian honorer yang sudah memiliki masa kerja 10 tahun; (d) Pengembangan penyuluh swakarsa; (e) Dukungan pembiayaan penyuluhan baik untuk pelatihan, uang kerja bimbingan penyuluh maupun pertemuan/forum petani; dan (f) Perbaikan persyaratan jabatan penyuluh pertanian dan sistem angka kredit.

V. PENUTUP

182. Memperhatikan permasalahan fundamental di sektor pertanian, pada periode

tahun 2004-2005 Departemen Pertanian secara langsung dan tidak langsung telah berupaya untuk dapat berperan dalam perekonomian nasional melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

183. Departemen Pertanian berupaya mengimplementasikan dalam program dan kegiatan yang dilakukan dalam agenda-agenda pembangunan pertanian yang meliputi : (1) Revitalisasi pertanian, peningkatan investasi dan ekspor non-migas; (2) Pemantapan stabilisasi ekonomi makro; (3) Penanggulangan kemiskinan; (4) Pembangunan pedesaan; dan (6) Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

184. Meskipun belum dapat memenuhi target tujuan dan sasaran pada masyarakat secara menyeluruh, Departemen Pertanian secara

VI-280

berkesinambungan dan konsisten akan terus mengawal program yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah serta perubahan lingkungan global.

185. Pembangunan pertanian secara umum tidak hanya menjadi pekerjaan sektor pertanian atau Departemen Pertanian saja, tetapi juga memerlukan komitmen dan dukungan yang kuat dari seluruh sektor atau Departemen lain yang terkait, yang berkenaan dengan infrastruktur, perbankan, perdagangan, perindustrian, perpajakan, permukiman dan prasarana wilayah, tata ruang dan semua aspek terkait lainnya yang saling mendukung. Komitmen itu harus dijabarkan secara jelas dan tegas, terpadu dan bersinergi antar sektor terkait.

D:\data\data\Anjak-2005\Kinerja Pembangunan