analisis manajemen rantai pasok ayam...

21
Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOK AYAM KAMPUNG PEDAGING: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur An Analysis of Native Broiler Supply Chain Management: A Case Study in West Java and East Java Provinces Wahyuning K. Sejati dan Saptana Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Peranian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161 E-mail: [email protected] ABSTRACT Broiler native chicken is a potential broiler to be developed, both in terms of supply and demand. The rapid development of modern market, traditional markets, and culinary industry encourage the opportunity of chicken business. The main problem were chicken farming still raised traditionally and weak linkages of supply chain management. The study aims to: (1) describe the performance of chicken supply chain from producer to consumer, (2) analyze management institutional of kampung chicken; (3) analyze the value chain of kampung chicken, and (4) identify the problem and perspective development of supply chain management. The study was conducted in West Java and East Java. The research method is a survey, with data collection through interviews and group discussion. The number of respondents interviewed were 116 respondents from various business actors and relevant institutions. Data were analyzed by using cost-benefit analysis, supply chain management analysis and value chain analysis. The research results showed that: First, the business advantages of broiler kampung chicken in West Java and East Java was Rp.867,241/cicle and Rp.1.61 million/cycle, with R/C ratio 1.07 and 1.17, respectively. Second, flow chart of supply chain for broiler kampung chicken in West Java is conducted from farmers-village traders-wholesalers-suppliers/retailers-restorants-end consumer. The flow chart in East Java is not much different from in West Java. The real difference is found in the non-member farmers’ group. In East Java, the entire (100%) products from non-member farmer’s group was marketed through traders, while in West Java, there were 30 percent of products were marketed through a farmers’group nearby. Third, the commodity supply chain management broiler largely follows the pattern of general trade, contract farming and marketing. Fourth, policy development of supply chain of broiler kampung chicken can conducted by integrating through developing pattern of partnerships that mutual benefit of both party. Keywords : native chicken, supply chain management ABSTRAK Ayam kampung merupakan salah satu ternak unggas penghasil daging yang memiliki potensi untuk dikembangkan, baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Pesatnya perkembangan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner menciptakan peluang bisnis berbasis ayam kampung. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah bahwa sebagian besar usahaternak ayam kampung masih diusahakan secara tradisional dan masih lemahnya keterkaitan manajemen rantai pasok. Penelitian bertujuan untuk (1) mendeskripsikan kinerja rantai pasok komoditas ayam kampung dari hulu hingga hilir; (2) menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas ayam kampung pedaging; 361

Upload: trinhdan

Post on 06-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOK AYAM KAMPUNG PEDAGING: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

An Analysis of Native Broiler Supply Chain Management: A Case

Study in West Java and East Java Provinces

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Peranian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Broiler native chicken is a potential broiler to be developed, both in terms of supply and demand. The rapid development of modern market, traditional markets, and culinary industry encourage the opportunity of chicken business. The main problem were chicken farming still raised traditionally and weak linkages of supply chain management. The study aims to: (1) describe the performance of chicken supply chain from producer to consumer, (2) analyze management institutional of kampung chicken; (3) analyze the value chain of kampung chicken, and (4) identify the problem and perspective development of supply chain management. The study was conducted in West Java and East Java. The research method is a survey, with data collection through interviews and group discussion. The number of respondents interviewed were 116 respondents from various business actors and relevant institutions. Data were analyzed by using cost-benefit analysis, supply chain management analysis and value chain analysis. The research results showed that: First, the business advantages of broiler kampung chicken in West Java and East Java was Rp.867,241/cicle and Rp.1.61 million/cycle, with R/C ratio 1.07 and 1.17, respectively. Second, flow chart of supply chain for broiler kampung chicken in West Java is conducted from farmers-village traders-wholesalers-suppliers/retailers-restorants-end consumer. The flow chart in East Java is not much different from in West Java. The real difference is found in the non-member farmers’ group. In East Java, the entire (100%) products from non-member farmer’s group was marketed through traders, while in West Java, there were 30 percent of products were marketed through a farmers’group nearby. Third, the commodity supply chain management broiler largely follows the pattern of general trade, contract farming and marketing. Fourth, policy development of supply chain of broiler kampung chicken can conducted by integrating through developing pattern of partnerships that mutual benefit of both party. Keywords : native chicken, supply chain management

ABSTRAK

Ayam kampung merupakan salah satu ternak unggas penghasil daging yang memiliki potensi untuk dikembangkan, baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Pesatnya perkembangan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner menciptakan peluang bisnis berbasis ayam kampung. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah bahwa sebagian besar usahaternak ayam kampung masih diusahakan secara tradisional dan masih lemahnya keterkaitan manajemen rantai pasok. Penelitian bertujuan untuk (1) mendeskripsikan kinerja rantai pasok komoditas ayam kampung dari hulu hingga hilir; (2) menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas ayam kampung pedaging;

361

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

(3) menganalisis rantai nilai ayam kampung pedaging; dan (4) mengidentifikasi permasalahan dan perspektif pengembangan manajemen rantai pasok secara terpadu dan berdayasaing. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi dan telah berkembang secara semi intensif dan intensif. Metode penelitian adalah survei, dengan pengumpulan data melalui teknik wawancara dan diskusi kelompok. Jumlah responden yang diwawancara sebanyak 116 responden dari berbagai pelaku usaha dan institusi terkait. Data dianalisis secara deskriptif dan dengan menggunakan analisis biaya dan keuntungan usahaternak, analisis manajemen rantai pasok dan analisis rantai nilai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, keuntungan usahaternak ayam kampung pedaging di Jabar dan Jatim masing-masing sebesar Rp. 867.241,-/siklus dan Rp.1.61 juta/siklus dengan nilai R/C ratio di Jabar dan Jatim masing-masing sebesar 1,07 dan 1,17. Kedua, terdapat beberapa jalur rantai pasok komoditas ayam kampung pedaging dari hulu hingga hilir: (1) peternak-kelompok peternak-pedagang pengepul/bandar-pedagang besar/supplier/grosir-pedagang pengecer-konsumen; (2) peternak-kelompok peternak- pedagang pengepul/bandar-pedagang-restoran -konsumen; (3) peternak anggota-pedagang pengumpul-pedagang pengepul atau bandar-restoran-konsumen dan (4) peternak-kelompok peternak-restoran-konsumen. Ketiga, managemen rantai pasok komoditas ayam pedaging sebagian besar mengikuti pola dagang umum, contract farming dan contract marketing. Keempat, kebijakan pengembangan rantai pasok secara terintegrasi dapat dilakukan dengan mengembangkan pola-pola kemitraan yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan produk dan antar pelaku. Kata kunci : ayam kampung, manajemen rantai pasok

PENDAHULUAN

Ayam kampung merupakan salah satu ternak unggas penghasil protein hewani yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Pada saat ini, keberadaan ayam kampung memiliki peluang besar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya di wilayah perdesaan. Besarnya populasi ayam ras belum mampu menggeser cita rasa ayam kampung. Beternak ayam kampung cukup menjanjikan, jika dilihat dari preferensi konsumen, dimana daging ayam kampung jauh lebih gurih dan lezat dibanding ayam ras. Tekstur otot yang khas dan tebal, rendah kandungan lemak dan kolesterol menjadikan daging ayam kampung lebih unggul dari ayam ras (Rohliharni, 2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak rakyat di perdesaan lebih menyukai beternak ayam kampung dengan berbagai argumen sebagai berikut: (a) dapat diusahakan secara tradisional semi intensif, dan intensif tergantung kemampuan permodalan dan teknologi yang dikuasai, (b) usahaternak unggas lokal cukup menguntungkan dan harga jual tergolong tinggi, (c) harga relatif stabil dibandingkan produk unggas komersial, (d) jika dimasak memiliki aroma bersifat khas ayam kampung, (e) panjang tulang kaki lebih panjang, dan (f) kulit agak hitam. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi pada usahaternak ayam kampung yaitu sebagian besar peternak masih mengusahakannya dengan cara tradisional.

Pengembangan usahaternak ayam kampung tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan jaminan pasar, sarana produksi serta unsur penunjang

362

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

lainnya. Salah satu unsur penting dalam keberlanjutan usahaternak ayam kampung adalah terbangunnya suatu sistem manajemen rantai pasok dari hulu sampai hilir. Indrajid dan Djokopranoto (2002) mendefinisikan rantai pasok (supply chain) sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada palanggannya. Managemen rantai pasok merupakan alat bantu pendekatan untuk mengintegrasikan efisiensi pemasok (supplier), perusahaan, distributor, pengecer (retail), sehingga alat-alat tersebut dapat menghasilkan dan menyalurkan produk dengan jumlah, lokasi dan waktu yang tepat, agar dapat mengurangi biaya keseluruhan dalam sistem rantai pasok sebagai syarat memberikan tingkat kepuasan dalam pelayanan kepada pelanggan.

Manajemen rantai pasok memberikan manfaat beragam, antara lain: mengurangi inventory barang, menjamin kelancaran penyediaan barang, dan menjamin mutu (Indrajid dan Djokopranoto, 2002). Terdapat empat manfaat dengan menerapkan manajemen rantai pasok, yaitu (Saptana dan Arief Daryanto, 2012): (a) adanya penambahan nilai yang antara lain meliputi kesesuaian dengan pesanan, ketepatan dalam distribusi, dan kesesuaian dalam pembebanan biaya produksi; (b) pengurangan biaya transaksi yang berdampak pada timbulnya respon terhadap pasar yang lebih berorientasi pada kepentingan pedagang pengecer; (c) pengurangan risiko bisnis, yaitu memberikan jaminan pemasaran produk dan pengembangan modal yang disesuaikan dengan adopsi teknologi serta peningkatan efisiensi maupun penambahan nilai produk yang dihasilkan; dan (d) SCM dalam industri perunggasan yang merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi dapat dijadikan sarana alih teknologi dari perusahaan-perusahaan yang menguasai teknologi modern kepada petani rakyat sebagai mitra kerjanya.

Dengan melihat permasalahan pokok yang dihadapi usahaternak ayam lokal yang sebagian besar masih diusahakan secara tradisional, serta masih lemahnya keterkaitan manajemen rantai pasok, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk (1) mendeskripsikan kinerja rantai pasok komoditas ayam kampung dari hulu hingga hilir; (2) menganalisis kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas ayam kampung pedaging; (3) menganalisis rantai nilai ayam kampung pedaging; dan (4) mengidentifikasi permasalahan dan perspektif pengembangan manajemen rantai pasok secara terpadu dan berdayasaing.

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi Penelitian dan Responden

Lokasi penelitian adalah di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, dengan pertimbangan: ayam lokal mempunyai daya adaptasi yang tinggi dalam berbagai bentuk agroklimat sehingga populasi ayam kampung menyebar di seluruh wilayah provinsi sampai ke perdesaan; berkembang semakin baik di wilayah sentra produksi jagung dan padi; pemeliharaan dengan sistem semi intensif dan intensif baik pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan lokasi pusat konsumsi atau wilayah yang mempunyai kelembagaan kelompok ternak ayam lokal dan kelembagaan pasar yang relatif maju.

363

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Responden penelitian meliputi semua pelaku usaha dalam agribisnis ayam kampung, yaitu peternak, pedagang, restoran dan staf Dinas terkait, dengan jumlah responden di Jawa Barat sebanyak 59 responden dan Jawa Timur sebanyak 57 responden.

Data dan Metode Analisis

Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer (primary data sources) dan sumber data sekunder (secondary data sources). Data primer dikumpulkan secara terstruktur dalam suatu survei penelitian, dan metode semi partisipatif untuk menangkap informasi kualitatif secara lebih mendalam terutama yang berkaitan dengan kelembagaan manajemen rantai pasok unggas lokal.

Data kuantitatif terkait dengan aspek supply chain management (SCM) dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik dan ekonometrik, sedangkan data kualitatif menyangkut aspek pelaku usaha dan kelembagaan dianalisis secara deskriptif. Alur kelembagaan rantai pasok, ditelusuri pada seluruh pelaku rantai pasok mulai dari peternak unggas lokal hingga berbagai tujuan pasar. Dengan analisis kelembagaan manajemen rantai pasok diharapkan dapat dibangun sistem koordinasi yang efektif antar pihak-pihak dalam satu kesatuan manajemen rantai pasok, sehingga dapat dibangun kelembagaan manajemen rantai pasok secara terpadu.

Konsep Analisis Rantai Nilai adalah bagaimana mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam suatu rantai nilai dan membagi informasi secara transparan di dalam rantai untuk memperoleh efisiensi proses aliran produk dan keuntungan yang adil bagi setiap pelakunya (Andri dan Stringer, 2010). Rantai nilai dianalisis dari sudut pandang pelaku yang terlibat di dalamnya. Analisis rantai nilai dapat membantu merancang program untuk memberikan dukungan terhadap suatu rantai nilai tertentu, untuk dapat mencapai hasil pembangunan yang diharapkan (ACIAR, 2012)

Analisis pemasaran akan dilakukan pada setiap rantai pasok (supply chain) dengan menfokuskan pada structure, performance, and conduct dari sistem pemasaran. Analisis ini mencakup analisis saluran atau rantai pemasaran, struktur dan perilaku pasar, serta analisis keragaan dan margin pemasaran dengan fokus untuk tujuan pasar modern, pasar tradisional, dan industri kuliner.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Pelaku Rantai Pasok

Kinerja Pelaku Rantai Pasok pada Tingkat Industri Bibit

Industri pembibitan perunggasan merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk mendukung penyediaan bibit ternak (day old chick) yang berkualitas. Secara umum kegiatan utama yang dilakukan industri pembibitan adalah sebagai sumber

364

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

bibit ternak, yaitu penghasil DOC. Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan masukan bahwa pasokan DOC untuk ayam kampung pedaging dilakukan oleh: (1) industri pembibitan ternak yang pengelolaannya dilakukan dibawah mandat unit kerja pemerintah, seperti BPPTU Jatiwangi, (2) Industri pembibitan ternak yang dikelola secara murni oleh swasta, dan (3) usaha penetasan DOC, yang dikelola oleh peternak dengan skala menengah.

Terkait dengan penyediaan bibit ayam kampung pedaging, pada saat ini BPPTU Jatiwangi telah mampu menyediakan DOC ayam pedaging sekitar 4000 ekor setiap bulannya. Sebagian besar DOC ini diambil dari bibit jantan. Jumlah DOC yang dihasilkan adalah berdasarkan pesanan dari peternak. BPPTU juga memelihara ayam kampung pedaging, untuk memasok pengepul di wilayah Jakarta dan Bogor, untuk kebutuhan restoran. Salah satu keunggulan dari BPPTU adalah adanya subsidi dari Pemerintah, sehingga nilai jual lebih murah (sekitar Rp.3000) dibanding harga normal di pasaran. Bobot ayam pedaging yang dijual tergantung dari permintaan pembeli, seperti untuk keperluan pasokan restoran Ampera, rata rata bobot ayam hidup yang disukai oleh pelanggan adalah yang memiliki bobot hidup sekitar 9 ons sampai 1,1 kg.

Usaha pembibitan unggas lokal lainnya yang dimiliki swasta seperti PT Unggul yang berlokasi di Bogor dan PT Ayam Kampung Indonesia (AKI) di Sukabumi. Unggul Farm dalam setiap bulan memproduksi 100.000 DOC dengan konsumen 50 persen dari daerah Bogor dan Sukabumi, dan 50 persen selebihnya untuk memenuhi kebutuhan DOC pada peternak di luar pulau Jawa.

Industri pembibitan yang juga diwawancara adalah PT Ayam Kampung Indonesia (PT AKI), yang telah melisensi ayam KUB dari Balitnak dan sudah memasok bibit ayam ke 12 propinsi. PT AKI juga telah menjalin kemitraan dengan peternak. PT AKI memantau perkembangan, kesehatan, membantu menjualkan, garansi kematian. Harga DOC pada saat ini adalah RP 6500,- per ekor.

Sementara itu peternak juga melakukan usaha penetasan dengan teknologi tradisional, yang banyak dilakukan oleh peternak Jawa Barat maupun Jawa Timur dengan menggunakan teknologi tradisional yaitu dengan sistem eram, mesin tetas manual buatan peternak sendiri, maupun dengan mesin tetas pabrikan. Model penetasan ini sangat sederhana. Peternak tidak memelihara bibit bibit unggul, namun cukup dengan membeli telur tetas dari peternak sekitar untuk ditetaskan sendiri dengan menggunakan mesin tetas. DOC yang dihasilkan dijual untuk kalangan terbatas guna memenuhi kebutuhan peternak setempat.

Kinerja Pelaku Rantai Pasok pada Tingkat Peternak

Usahaternak ayam kampung pada umumnya masih bertumpu pada usaha rakyat. Hanya sebagian kecil saja yang diusahakan secara intensif dan komersial. Meskipun demikian dari hasil survei di lapang terdapat berbagai sistem usahaternak ayam lokal kampung pedaging dilakukan oleh peternak dengan melalui berbagai cara, yaitu: (1) usahaternak secara intensif, dengan pola pemeliharaan dari DOC sampai dengan umur panen, yaitu sekitar 35-40 hari; (2) usahaternak semi intensif campuran, yaitu peternak memelihara ayam dengan

365

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

tujuan pembibitan (menghasilkan DOC) atau untuk petelur, namun DOC jantan yang lahir dipelihara untuk ayam potong; (3) pemeliharaan induk secara semi intensif untuk menghasilkan ayam potong.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kepemilikan ayam kampung pedaging yang dipelihara secara intensif di Jawa Barat adalah 1190 ekor, sementara di Jawa Timur rataan kepemilikan ayam adalah 592 ekor. Dilihat dari tingkat mortalitas, nampak bahwa di Jawa Barat tingkat mortalitas ayam pedaging yang dipanen pada umur 40 hari adalah 6,78 persen sementara di Jawa Timur angka mortalitasnya lebih rendah yaitu hanya 5,25 persen. Pada ayam pedaging, mortalitas banyak terjadi pada tahap usia muda (starter).

Peternak memelihara ayam secara semi intensif dan intensif dengan populasi kepemilikan 50 ekor hingga 500 ekor. Sebagian besar dari peternak tersebut tergabung dalam kelompok, untuk memudahkan peternak dalam memelihara ayam, baik dalam hal penyediaan bibit, pakan, budidaya maupun pemasarannya. Pakan yang digunakan adalah pakan pabrikan khususnya pada periode starter. Sementara untuk periode grower dan finisher, banyak peternak yang membuat pakan sendiri.

Pelaku Rantai Pasok pada Tingkat Kelompok Ternak dan Asosiasi

Kelompok ternak merupakan wadah bagi peternak dalam mengelola usahanya secara bersama. Beberapa alasan petani memilih tergabung dalam suatu kelompok adalah karena kelompok peternak merupakan wadah bagi para peternak, dimana dalam wadah tersebut peternak bisa mendapatkan berbagai keuntungan, seperti: mudah mendapatkan sarana produksi dan modal usaha, program program maupun bantuan pemerintah serta layanan informasi ataupun penyuluhan tentang pembangunan peternakan biasanya dilaksanakan melalui jalur kelompok. Hasil penelitian di lapang juga menunjukkan bahwa sebagian besar penjualan ayam dilakukan peternak melalui kelompok ternak, dengan alasan adanya kemudahan dan praktis pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam manajemen rantai pasok, bahwa dalam setiap pelaku dalam manajemen rantai pasok diharapkan mendapatkan tambahan nilai.

Dalam rangkaian rantai pasok peternak, selain kelompok peternak, terdapat juga asosiasi peternak yang merupakan salah satu roda penggerak dalam pembangunan peternakan. Salah satu asosiasi yang bergerak di bidang unggas lokal adalah HIMPULI yaitu Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia. HIMPULI merupakan organisasi tingkat nasional yang berkedudukan pusat di Jakarta dengan wilayah kerja di seluruh Indonesia. Tujuan organisasi HIMPULI adalah: (1) menghimpun dan menggalang kesatuan peternak unggas lokal dalam rangka pengejawantahan secara seimbang dan serasi tujuan umum pembangunan; (2) mengembangkan potensi peternakan unggas lokal ayam dan itik; (3) menjaga kelestarian plasma nutfah unggas lokal sebagai bagian kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia; (4) meningkatkan kualitas genetik sumberdaya plasma nutfah unggas lokal serta mendorong penerapan teknologi budidaya ternak unggas lokal; (5) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, kemampuan

366

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

manajerial, mengembangkan akses peternak terhadap informasi guna memperbaiki kesejahteraan sosial ekonomi peternak unggas lokal; (6) menjadikan unggas lokal sebagai salah satu sumber pendapatan utama masyarakat perdesaan melalui village breeding center (pusat pembibitan perdesaan) serta village breeding farming (budidaya unggas perdesaan) dengan menjalankan prinsip tatacara beternak yang baik (good farming practice); (7) melindungi dan memperjuangkan hak hak kepentingan anggota dalam bidang peternakan unggas lokal dengan prinsip tidak saling merugikan serta menjaga keselarasan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (8) menjadi mitra sejajar dengan pemerintah maupun lembaga lain dalam menjalankan kebijakan-kebijakan peternakan, khususnya yang berkaitan dengan unggas lokal.

Pelaku Rantai Pasok pada Tingkat Pedagang

Di tingkat pedagang ayam kampung pedaging dikenal berbagai macam jenis pedagang, diantaranya adalah pedagang keliling/pedagang pengumpul, pedagang pengepul/bandar/supplier, pedagang besar/grosir/supplier, pedagang pengecer baik di pasar tradisional. Pedagang pengumpul atau sering juga disebut pedagang keliling adalah pedagang yang bekerja berkeliling dari desa ke desa sekitarnya untuk membeli ayam langsung di rumah atau di kandang peternak. Alat transportasi yang digunakan adalah motor dengan keranjang (baik dari plastik maupun dari bambu) yang dipakai untuk membawa ayam. Jumlah ayam yang dibeli dari peternak pada umumnya dalam skala kecil, terutama pada ayam kampung umbaran yang dimiliki oleh rumahtangga yang memelihara ayam hanya sebagai sambilan, dan juga pada peternak ayam non anggota kelompok. Selanjutnya ayam yang dibeli pedagang pengumpul ini kemudian dijual ke pengepul yang biasanya berada di pasar pasar tradisional di tingkat kecamatan maupun kabupaten atau di tempat tempat tertentu.

Pengepul/bandar di tingkat kecamatan/kabupaten merupakan pedagang yang lebih besar. Pada umumnya pengepul menggunakan kendaraan mobil untuk mengangkut ayam dan memiliki tempat penampungan ayam. Ayam yang dibeli selanjutnya dijual ke pedagang besar/supplier. Pedagang besar yang dimaksud bisa pedagang dari luar kota/luar provinsi, atau supplier yang memiliki langganan untuk restoran. Dari supplier ke restoran pada umumnya dikirim dalam bentuk karkas. Sementara pedagang besar menjual produk yang dibeli ke pengecer. Pedagang pengecer yaitu para pedagang yang menjual ayam dalam jumlah terbatas di pasar pasar tradisional.

Dari hasil pengamatan tentang pasar ayam kampung di Ciamis, ditemukan beberapa bandar besar dengan kapasitas penjualan 2000 ekor per hari. Terdapat bandar yang memiliki spesialisasi dalam jual beli ayam dengan berat ayam lebih kecil 1 kg. Di lain pihak terdapat juha bandar ayam yang spesialis menjual ayam afkir dan berat ayam lebih besar 1 kg. Bandar ayam di Ciamis banyak yang memasok ayam ke Jakarta, Bandung. Sebagai bandar ayam, fasilitas yang dimiliki yaitu tempat penampungan ayam (TpnA), sepeda motor, dan mobil pickup. Pengangkutan jarak jauh dengan mobil dikemas dengan Styrofoam dan jarak dekat dengan kendaraan roda dua.

367

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Pelaku Rantai Pasok pada Tingkat Restoran atau Industri Kuliner

Restoran merupakan salah satu pelaku rantai pasok ayam kampung pedaging. Pada umumnya restoran yang menggunakan bahan baku ayam kampung merupakan restoran eksklusif yaitu menggunakan menu masakan yang hampir keseluruhannya menggunakan bahan baku ayam kampung. Sebagai contoh yaitu Ayam goreng Mbok Berek, ayam goreng Kalasan, Lodo. Konsumen restoran berbahan baku ayam kampung ini biasanya adalah dari golongan menengah atas. Selain itu, terdapat warung warung lesehan seperti warung makan Lamongan, yang salah satu menu makanannya menggunakan ayam kampung. Ayam kampung juga dijual di hampir semua restoran eksklusif berbahan baku bebek, meskipun nama restoran tersebut adalah menyebutkan nama bebek.

Masukan yang didapatkan dari beberapa restoran maupun warung lesehan berbahan baku ayam kampung pedaging adalah sebagai berikut: (1) omzet kebutuhan ayam kampung pada restoran lesehan berkisar 30-40 ekor, sementara untuk ukuran restoran dengan ukuran sedang, kebutuhan bahan baku sekitar 60 ekor, dan restoran besar bisa lebih dari 100 ekor per hari. (2) dlam membeli bahan baku, beberapa pertimbangan yang digunakan berdasarkan urutan prioritas adalah: kualitas/mutu produk, harga produk, ketersesediaan/kuantitas serta kontinuitas pasokan pembelian bahan baku untuk tingkat restoran dilakukan melalui supplier sementara untuk warung lesehan, bahan baku dibeli di pasar; (3) pada restoran, manajemen pengadaan bahan baku dilakukan dengan cara supplier yang datang setiap hari. Strategi yang diambil untuk mempertahankan hubungan dengan pemasok yaitu dengan cara barang yang datang pada pagi hari, dibayarkan kontan pada sore harinya. Bahan baku ayam ayam yang diminta adalah yang berukuran 7 ons karkas (untuk dipotong menjadi 4 potong) dan ukuran 9 ons karkas untuk ayam yang dimasak secara utuh. Ayam harus dalam kondisi sehat yaitu jengger merah, mata cerah, bulu mengkilat, dan anus nampak bersih, (3) upah karyawan antara 600 hingga 800 ribu per bulan; (4) pada saat harga bahan-bahan baku ini meningkat tajam, pemilik RM ini menjaga agar harga makanan dijual dengan harga tetap; (4) dalam menjual makanan jadi, satu ayam dipotong menjadi 4 bagian. Sedangkan hati ampela, kepala dan kaki ikut dijual dalam bentuk terpisah, (5) dari satu ayam didapatkan keuntungan sekitar 20-25% dari harga ayam hidup; (6) strategi yang digunakan untuk mepertahankan hubungan dengan pemasok yaitu melalui prinsip bahwa ada uang ada barang. Meskipun demikian pembayaran ke pedagang dilakukan dengan tunda waktu 1-2 hari setelah barang diberikan.

Kelembagaan Manajemen Rantai Pasok Komoditas Ayam Kampung Pedaging

Kelembagaan manajemen rantai pasok adalah suatu sistem pengelolaan terpadu yang terintegrasi dan saling terkait, yang meliputi: aliran barang/produk, pelayanan, aliran dana/modal, maupun informasi dari produsen awal sampai konsumen akhir. Rachmat et al. (2012) mengemukakan bahwa manajemen rantai pasok merupakan suatu upaya membangun jejaring pelaku usaha yang saling bergantung dan bekerjasama secara menguntungkan melalui pengembangan

368

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

sistem manajemen untuk perbaikan sistem penyaluran produk, informasi, pelayanan, dan dana dari pemasok ke pengguna akhir (konsumen).

Manajemen rantai pasok pada ayam kampung pedaging dilakukan melalui beberapa pola, antara lain adalah pola dagang umum yang dikoordinasi melalui mekanisme pasar atau harga, dan pola pertanian kontrak (contract farming). Berbeda dengan kelembagaan pada ayam ras pedaging yang umumnya menggunakan kelembagaan kemitraan inti-plasma, kelembagaan pemasaran pada ayam kampung pedaging di wilayah penelitian pada umumnya mengikuti model pola dagang umum. Pola kerjasama hanya terbatas pada keterlibatan peternak sebagai anggota dalam kelompok. Dalam rantai pasok ayam kampung pedaging, pola dagang umum biasanya terjadi pada transaksi antara pedagang pengecer dengan konsumen, dimana konsumen bebas melakukan transaksi dengan pedagang pengecer siapa saja, demikian juga sebaliknya. Pada pola dagang umum, terdapat dua jenis yaitu pola dagang bebas dan pola dagang dengan sistem langganan. Pola dagang bebas, penjual maupun pembeli bebas melakukan transaksi jual beli, sementara pada pola dagang dengan sistem langganan, juga dibedakan antara sistem langganan tanpa ikatan dan sistem langganan dengan ikatan.

Aliran produk rantai pasok ayam kampung pedaging dilakukan mulai dari peternak, pedagang pengumpul di tingkat desa/kecamatan , bandar/grosir, supplier dan pengecer, restoran dan konsumen akhir. Gambar 1 dan 2 menyajikan aliran produk ayam pedaging untuk kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Informasi yang didapat dari aliran produk ayam pedaging di Jawa Barat menunjukkan bahwa pemasaran ayam pedaging dimulai dari peternak anggota kelompok dan peternak mandiri yang tidak tergabung dalam kelompok. Pada peternak anggota kelompok, aliran produk dilakukan mulai dari kelompok yang kemudian sebagian besar produknya (60%) dipasarkan langsung ke pengepul. Pengepul selain mendapatkan pasokan dari kelompok juga mendapatkan pasokan dari pedagang keliling. Dari pengepul, aliran produk yang paling besar (60%) merupakan pasokan untuk restoran. Sementara itu aliran produk dari peternak non anggota kelompok, sebagian besar (80%) pemasaran dilakukan langsung ke pedagang pengumpul atau pedagang keliling dan hanya 20 persen yang dilakukan melalui kelompok terdekat.

369

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

370

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

371

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Aliran produk ayam pedaging di wilayah Jawa Timur tidak banyak berbeda dengan di Jawa Barat. Perbedaan yang nyata ditemukan pada peternak non anggota, dimana seluruh (100%) produk dari peternak non anggota dipasarkan melalui pedagang pengumpul/pedagang keliling, sementara di Jawa Barat terdapat 30 persen produk yang dipasarkan melalui kelompok terdekat. Perbedaan yang besar juga terlihat pada aliran produk dari pedagang pengepul ke pedagang besar persentasenya cukup tinggi, yaitu 60 persen. Hal ini karena banyak produk dari Jawa Timur dipasarkan ke Jakarta, baik untuk dipasarkan kembali ke pengecer (60%) maupun untuk kebutuhan restoran (4)%). Dengan perkataan lain, dapat dimaknakan bahwa ayam pedaging di pasaran tradisional dan restoran-restoran Jakarta banyak yang berasal dari produk di Jawa Timur.

Rantai Nilai Komoditas Ayam Kampung Pedaging

Dalam setiap rantai pasok terdapat proses penambahan nilai atau marjin. Oleh karena itu harga jual pada setiap rantai akan lebih besar daripada harga pembelian, sebagai akibat dari penambahan biaya transport dan penanganan pada setiap segmen rantai pasok.

Analisis Biaya dan Keuntungan di Tingkat Peternak

Untuk mengetahui biaya dan keuntungan usahaternak di tingkat peternak, dilakukan melalui analisis usahaternak ayam kampung. Perhitungan analisis diambil dengan skala pemilikan ayam pedaging pada skala usaha 500 ekor dan umur panen 40 hari (Tabel 1).

Di Jawa Barat, hasil analisis memberikan gambaran bahwa biaya usahaternak pada skala 500 ekor adalah sebesar Rp. 11,85 juta. Dari struktur biaya produksi usahaternak tersebut, terlihat bahwa proporsi biaya terbesar digunakan untuk sarana produksi (96,21%) dimana untuk DOC sebesar 2,83 juta (23,90%) dan pakan sebesar 7,72 juta (65,2%). Proporsi untuk pakan cukup besar, mengingat ayam kampung dipelihara secara intensif, yaitu dikandangkan, sehingga input pakan disediakan sepenuhmya dari peternak dengan menggunakan pakan seperti pada ayam ras. Dari komponen biaya tenaga kerja, persentasenya relatif kecil yaitu hanya 3,79 persen dari total biaya. Pada sebagian besar peternak, karena populasi yang diusahakan masih relatif kecil sehingga tenaga kerja pada umumnya dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja keluarga. Produksi utama yang dihasilkan oleh peternak ayam pedaging di Jawa Barat adalah ayam hidup dengan masa panen 40 hari. Dari total output beserta pupuk yang dihasikan didapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 867.241. per panen. Hasil R/C ratio usahaternak ayam kampung pedaging di provinsi Jawa Barat adalah sebesar 1,07 persen. Tingkat pengembalian modal usahaternak masih kurang efektif, sehingga komoditas ayam pedaging secara finansial hanya mendekati titik impas. Jika nilai penyusutan kandang tidak dihitung, maka nilai R.C rasio adalah 1.10.

372

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

Tabel 1. Analisis Usahaternak Ayam Kampung Pedaging Skala 500 ekor di Lokasi Penelitian, 2013

No Uraian Jawa Barat Jawa Timur

Nilai (Rp) Pangsa (%) Nilai (Rp) Pangsa

(%)

I Biaya Usahaternak

A Sarana Produksi 1 DOC (ekor) 2.832.500 23,90 1.856.338 19,93

2 Pakan Jadi (Kg)

1. Starter 6.129.546 51,71 5.261.120 56,50

2. Finisher 1.230.829 10,38 87.627 0,94 3 Pakan Finisher Mencampur

Sendiri (Kg) X X X X

1. Konsentrat 241.176 2,03 32.939 0,35

2. Jagung 25.950 0,22 198.226 2,13

3. Dedak 99.057 0,84 134.910 1,45

4. Limbah 2.101 0,02 99.578 1,07

5. Lainnya __________________ 126 0,00 374.578 4,02

4 Vaksinasi 570.054 4,81 57.855 0,62

5 Obat-obatan 7.953 0,07 133.727 1,44

6 Mineral/Vitamin/Feed Suplemen 9.004 0,08 94.454 1,01

7 Sanitasi 1.951 0,02 21.959 0,24

8 Biaya Variabel Lainnya 5.552 0,05 62.218 0,67

9 Penyusutan Kandang 248.194 2,09 237.872 2,55

11 Biaya Lain-lain (Pajak) 12.669 0,14

B Tenaga Kerja (HOK) X X X X

1 Dalam Keluarga 365.546 3,08 646.115 6,94

2 Luar Keluarga 83.603 0,71

Total Biaya 11.853.143 100,00 9.312.186 100,00 II Output X X

1 Ayam Hidup (Kg) 12.556.686 10.824.916

5 Pupuk (Kg)

163.697 94.306

Total Iutput 12.720.383 10.919.222 III Pendapatan 867.241 1.607.036 IV R/C ratio 1,07 1,17

373

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Di Jawa Timur, perhitungan analisis usahaterrnak pada skala usaha 500 ekor dan umur panen 40 hari, biaya usahaternak adalah sebesar Rp. 9.31 juta rupiah. Biaya ini jauh lebih murah dibanding di Jawa Barat. Perbedaan yang nyata yaitu pada harga DOC yang lebih tinggi. Disamping itu juga harga pakan jadi yang digunakan di Jawa Timur memiliki harga yang lebih rendah. Dengan mortalitas sekitar 5,6 persen, didapatkan produksi ayam hidup sampai akhir panen setara 416 kg ayam hidup, dengan harga rata rata Rp 26.000 per kg bobot hidup. Total output beserta pupuk yang dihasikan adalah sebanyak Rp 10.92 juta, sehingga didapatkan keuntungan sebanyak Rp. 1.60 juta. Hasil R/C ratio usahaternak ayam kampung pedaging di provinsi Jawa Timur adalah sebesar 1,17. Apabila penyusutan kandang tidak diperhitungkan, maka nilai R.C ratio menjadi 1,20.

Analisis Biaya dan Keuntungan di Tingkat Pedagang

Marjin tataniaga atau marjin pemasaran produk ayam kampung pedaging dari peternak sampai dengan pedagang pengecer disampaikan pada Tabel 2, dan dari petani sampai ke restoran/restoran disampaikan pada Tabel 3. Tabel 2. Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Kampung Pedaging melalui Pedagang

Pengecer di Lokasi Penelitian, 2013

No Uraian Jawa Barat Jawa Timur

Biaya/Harga (Rp/Kg)

Persentase (%)

Biaya/Harga (Rp/Kg)

Persentase (%)

I Peternak

26.588 63,30

26.000 67,53

II Pedagang Pengumpul/Keliling

1. Harga Beli 26.588 26.000 2. Biaya yang dikeluarkan 912 2,17 862 2,24 3. Harga jual 29.000 69,05 28.500 74,03 4. Keuntungan 1.500 1.638

III Pedagang Pengepul/Bandar

1. Harga Beli 29.000 28.500 3,84 2. Biaya yang dikeluarkan 1.903 4,53 1.477 3. Harga jual 32.000 76,19 31.500 81,82 4. Keuntungan 1.097 1.523

IV Pedagang Besar/Grosir

1. Harga Beli 32.000 31.500 2. Biaya yang dikeluarkan 1.980 4,71 925 2,40 3. Harga jual 35.000 83,33 33.500 87,01 4. Keuntungan 1.020 1.075

V Pedagang Pengecer

1. Harga Beli 35.000 33.500 2. Biaya yang dikeluarkan 1.493 3,55 1.478 3,84 3. Harga jual (Kg) 42.000 100,00 38.500 100,00 4. Keuntungan 5.507 3.522

374

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

Peran kelompok peternak, pedagang pengumpul, pengepul/bandar, serta pedagang besar/grosir, dan pengecer cukup besar dalam rantai tataniaga ayam kampung pedaging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jalur pertama, yaitu dari peternak hingga ke pengecer, biaya tataniaga tebesar untuk wilayah Jawa Barat terjadi pada pedagang besar yaitu 4,71 persen, sementara di Jawa Timur biaya tataniaga terbesar terjadi pada pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yaitu 3,84 persen. Besarnya biaya tataniaga di Jawa Barat yaitu pada komponen biaya transportasi yaitu Rp 1.130 per ekor, sementara di Jawa Timur biaya terbesar terjadi pada komponen biaya pakan di tempat penampungan ayam, yaitu Rp 691 per ekor. Apabila dilihat dari nilai rupiah dari keuntungan yang didapat, pada wilayah di Jawa Barat, tampaknya lebih banyak diraih oleh pedagang pengecer yaitu Rp 5.507 per ekor, demikian juga di wilayah Jawa Timur keuntungan terbesar per ekor ayam terjadi di Pengecer yaitu Rp 3.552. Tabel 3. Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Kampung Pedaging melalui

Restoran di Lokasi Penelitian, 2013

No Uraian Jawa Barat Jawa Timur

Biaya/Harga (Rp/Kg)

Persentase (%)

Biaya/Harga (Rp/Kg)

Persentase (%)

I Peternak 26.588 75,97 26.000 81,89

II Pedagang Pengumpul/Keliling

1. Harga Beli 26.588 26.000

2. Biaya yang Dikeluarkan 912 2,61 862 2,71

3. Harga Jual 29.000 82,86 28.000 88,19

4. Keuntungan 1.500 1.138

III Pedagang Pengepul/Bandar

1. Harga Beli 29.000 28.000

2. Biaya yang Dikeluarkan 544 1.122 3,53

3. Harga Jual 32.000 91,43 30.000 94,49

4. Keuntungan 1.097 878

IV Pedagang Besar/Grosir

1. Harga Beli 32.000 30.000

2. Biaya yang Dikeluarkan 2.110 6,03 925 2,91

3. Harga Jual 35.000 100,00 31.750 100,00

4. Keuntungan 890 825

V Restoran/Restoran

1. Harga Beli 35.000 31.750

2. Biaya yang Dikeluarkan 34.951 26.747

3. Harga Jual (Kg Menu Masak) 87.500 70.000

4. Keuntungan 17.549 11.503

375

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Pada jalur kedua, yaitu dari peternak ke restoran/restoran, biaya tataniaga terbesar untuk wilayah Jawa Barat terjadi pada pedagang besar/grosir yaitu 6,03 persen sementara di Jawa Timur biaya tataniaga terbesar terjadi pada pedagang pengepul/bandar yaitu 3,53 persen. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai rupiah dari keuntungan yang didapat, pada wilayah Jawa Barat sama dengan di Jawa Timur, yaitu pada restoran, dengan nilai rupiah di Jawa Barat yaitu Rp 17.549 per ekor, dan di Jawa Timur yaitu Rp 11.503 per ekor. Nilai ini dapat dijelaskan karena harga makanan di Jawa Barat relatif lebih mahal dibanding Jawa Timur.

Analisis Rantai Nilai Ayam Kampung Pedaging

Rantai nilai menunjukkan nilai jual ayam pada setiap tahapan pelaku usaha, sehingga dapat diketahui nilai yang dapat ditambahkan pada setiap tahapan. Gambar 1 menunjukkan gambaran rantai nilai ayam kampung pedaging di Jawa Barat melalui jalur restoran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tambahan nilai yang paling besar adalah di restoran yaitu Rp. 52.500. Hal ini karena ayam telah berubah bentuk, mulai dari ayam hidup menjadi masakan siap saji, sehingga membutuhkan biaya pengolahan serta tenaga kerja yang cukup banyak.

Gambar 1. Analisis Rantai Nilai Komoditas Ayam Kampung Pedaging Melalui Restoran di Jawa Barat

Pada Gambar 2 dimana rantai pasok yang dimulai dari peternak hingga pengecer, tambahan nilai yang didapatkan tidak banyak berbeda, namun bila dilihat dari besaran nilainya, nampak bahwa nilai yang ditambahkan pada pengecer paling tinggi. Meskipun nilai yang ditambahkan pada pedagang besar lebih kecil dari nilai pengecer, namun karena jumlah barang yang terjual cukup banyak maka secara keseluruhan untung yang didapat juga lebih besar.

Kelompok/ Pedagang Pengumpul

Pedagang

Besar/ Grosir

Restoran

Konsumen

Peternak

Pedagang Pengepul/

Bandar

26,588

29,000

32,000

35,000

87,500

Nilai

Nilai yang ditambahkan 2,412

3,000

3,000

52,500

376

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

Gambar 2. Analisis Rantai Nilai Komoditas Ayam Kampung Pedaging melalui Pedagang Pengecer di Jawa Barat

Gambar 3 dan Gambar 4 menyajikan rantai nilai ayam kampung pedaging di Jawa Timur. Informasi yang didapat pada Gambar 3 tidak jauh berbeda dengan Gambar 1 yaitu tambahan nilai yang paling besar adalah di Restoran, dimana pada kasus di Jawa Barat nilai jual makanan ke konsumen yaitu Rp 70.000, dengan tambahan nilai Rp 38.250. Hal ini karena ayam telah berubah bentuk, mulai dari ayam hidup menjadi masakan siap saji, sehingga membutuhkan biaya pengolahan serta tenaga kerja yang cukup banyak.

Gambar 3. Analisis Rantai Nilai Komoditas Ayam Kampung Pedaging Melalui Restoran di Jawa Timur

Kelompok/ Pedagang Pengumpul

Pedagang

Besar/ Grosir

Pedang

Pengecer

Konsumen

Peternak

Pedagang Pengepul/

Bandar

26,588

29,000

32,000

35,000

42,000

Nilai

Nilai yang ditambahkan 2,412

3,000

3,000

7,000

Kelompok/ Pedagang Pengumpul

Pedagang

Besar/ Grosir

Restoran

Konsumen

Peternak

Pedagang Pengepul/

Bandar

26,000

28,500

31,500

33,500

38,500

Nilai

Nilai yang ditambahkan 2,500

3,000

2,000

5,000

377

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

Pada Gambar 4 dimana rantai pasok yang dimulai dari peternak hingga pengecer, tambahan nilai yang didapatkan tidak banyak berbeda, namun bila dilihat dari besaran nilainya, nampak bahwa nilai yang ditambahkan pada pengecer paling tinggi. Namun mereka hanya dapat nilai tambah yang tidak besar.

Gambar 4. Analisis Rantai Nilai Komoditas Ayam Kampung Pedaging Melalui Restoran di Jawa Timur

Permasalahan dan Perspektif Pengembangan

Permasalahan yang menghambat pengembangan usahaternak ayam kampung pedaging dapat dilihat dari aspek teknis, ekonomi dan sosio kelembagaan. Masalah teknis yaitu terkait dengan yang ditemui dalam penelitian yaitu sistem seleksi indukan yang belum maksimal, belum berkembangnya industri pembibitan sehingga ketersediaan bibit unggul masih terbatas, pada beberapa peternak pakan masih bertumpu pada limbah konsumsi rumahtangga, kurang tersedianya bahan baku industri pakan perunggasan. Permasalahan terkait dengan aspek ekonomi yaitu harga bahan input yang cenderung meningkat dan harga output yang cenderung fluktuatif, permodalan peternak dan kelompok ternak, khususnya untuk investasi pembuatan kandang.

Permasalahan pengembangan ayam kampung terkait masalah sosial kelembagaan yaitu lemahnya konsolidasi kelompok ternak baik dari aspek keanggotaan/partisipasi anggota, manajemen kepengurusan/kepemimpinan kelompok. Masalah sosial kelembagaan yang terkait dengan kemitraan usaha antara pelaku usaha, yaitu kelompok peternak dengan pedagang pengepul/bandar/ pedagang besar/grosir, dan restoran yang masih belum saling memperkuat dan menguntungkan kedua belah pihak; adanya kekhawatiran peternak ayam kampung terhadap perilaku pedagang ayam yang kurang dapat menghargai ayam kampung asli dengan ayam persilangan; masih lemahnya sosialisasi dan penyuluhan tentang budidaya ayam pedaging yang baik; sistem kontrol harga pakan ternak agar tetap terjangkau oleh peternak.

Kelompok/ Pedagang Pengumpul

Pedagang

Besar/ Grosir

Pedagang Pengecer

Konsumen

Peternak

Pedagang Pengepul/

Bandar

26,000

28,500

31,500

33,500

38,500

Nilai

Nilai yang ditambahkan 2,500

3,000

2,000

5,000

378

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

Permasalahan terkait dengan kebijakan pendukung, sampai saat ini dukungan teknologi dan pengembangan dalam aspek pakan dan penanganan biosekuriti yang masih sangat lemah, yaitu masih sering terjadi wabah yang mengakibatkan kematian ayam secara yang cukup besar. Permasalahan terkait bibit, masih dalam taraf identifikasi ayam unggul lokal.

Prospek Pengembangan Ayam Kampung Pedaging

Potensi untuk mengembangkan ayam kampung pedaging sangat terbuka karena hampir seluruh rumahtangga petani memelihara ayam kampung. Selain itu di pedesaaan banyak tersedia sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, tersedia bibit unggul yang tidak perlu impor, dan adanya sumber pakan lokal meskipun masih perlu perhatian lebih untuk mengeksplorasinya. Dari sisi demand, permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat, terlihat merebaknya industri kuliner berbahan baku ayam kampung pedaging. Dari sisi pasokan (produksi) secara potensial masih tersedia lahan dan kandang, serta bahan pakan lokal yang cukup tersedia.

KESIMPULAN

Kinerja usahaternak ayam kampung pedaging di Jawa Barat dan Jawa Timur cukup baik. Beberapa indikator kinerja usahaternak ayam kampung pedaging pada skala 500 ekor adalah: (a) tingkat mortalitas usahaternak ayam kampung pedaging di Jabar dan Jatim masing-masing sebesar 6,78 persen dan 5,25 persen; (b) keuntungan usahaternak ayam kampung pedaging di Jabar dan Jatim masing-masing sebesar Rp. 867.241/siklus dan Rp.1.61 juta/siklus, yang berarti layak untuk diusahakan; dan (c) tingkat pengembalian modal yang ditunjukkan dengan nilai R/C ratio di Jabar dan Jatim masing-masing sebesar 1,07 dan 1,17, yang berarti tingkat efektivitas pengembalian modal pada level rendah hingga moderat.

Terdapat beberapa jalur rantai pasok komoditas ayam kampung pedaging dari hulu hingga hilir baik yang berakhir di pengecer maupun di restoran

Managemen rantai pasok (supply chain management) komoditas ayam pedaging di Jawa Barat dan di Jawa Timur sebagian besar mengikuti pola transaksional atau pola dagang umum, namun terdapat juga yang mengikuti pola Contract Farming.

Pembentukan harga ayam kampung pedaging dilakukan melalui proses tawar-menawar atau negosiasi dimana peternak berdasarkan pada biaya pokok usahaternak, sementara pedagang mendasarkan pada biaya pemasaran dan harga jual yang terjadi di pusat-pusat pasar. Struktur pasar yang dihadapi peternak individu umumnya cenderung bersifat oligopolistik. Namun bagi peternak yang melakukan konsolidasi melalui kelompok peternak atau gapoktan struktur pasar

379

Wahyuning K. Sejati dan Saptana

yang terbentuk adalah oligopoli kelompok peternak berhadapan dengan oligopsoni pedagang, terutama pedagang pengepul/bandar dan pedagang besar/supplier.

Hasil analisis rantai nilai (value chain analysis) komoditas ayam kampung pedaging di Jawa Barat merefleksikan: (a) nilai penjualan ayam kampung pedaging di tingkat peternak sebesar Rp 26.588/kg hidup, pedagang pengumpul Rp 29.000/kg hidup, pedagang pengepul/bandar Rp 32.000/kg hidup, pedagang besar/supplier Rp 35.000/kg hidup, dan nilai jual di restoran sebesar Rp 87.500/kg produk jadi; (b) nilai yang ditambahkan pada masing-masing pelaku adalah: dari tingkat peternak ke pedagang pengumpul sebesar Rp 2.412/kg hidup, dari tingkat pedagang pengumpul ke pedagang pengepul/bandar sebesar Rp 3.000/kg hidup, dari pedagang pengepul/bandar ke pedagang besar/supllier Rp 3.000/kg hidup, dari pedagang besar/supplier ke restoran Rp 52.500/kg produk jadi.

Hasil analisis rantai nilai (value chain analysis) komoditas ayam kampung pedaging di Jawa Timur merefleksikan: (a) nilai penjualan ayam kampung pedaging di tingkat peternak sebesar rp 26.000/kg hidup, pedagang pengumpul Rp 28.000/kg hidup, pedagang pengepul/bandar Rp 30.000/kg hidup, pedagang besar/supplier Rp 31.750/kg hidup, dan nilai jual di restoran sebesar Rp 70.000/kg produk jadi; dan (b) nilai yang ditambahkan pada masing-masing pelaku adalah dari tingkat peternak ke pedagang pengumpul sebesar Rp 2.000/kg hidup, dari tingkat pedagang pengumpul ke pedagang pengepul/bandar sebesar Rp 2.000/kg hidup, dari pedagang pengepul/bandar ke pedagang besar/ supllier Rp 1.750/kg hidup, dari pedagang besar/supplier ke restoran Rp 38.250/kg produk jadi.

Kebijakan pengembangan rantai pasok komoditas ayam kampung pedaging secara terintegrasi dapat dilakukan dengan mengembangkan pola-pola kemitraan yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan produk dan antar pelaku. Melalui manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha unggas lokal diharapkan alur informasi dapat bergerak secara efektif, pergerakan produk efisien, dan pembayaran berjalan lancar, sehingga mampu menghasilkan kepuasan maksimal bagi konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR. 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak pada Kaum Miskin. Australian Centre for Internatioanal Agricultural Research. Diterjemahkan oleh Mia Hapsari Kusumawardani. Tabros, Indonesia.

Andri, K.B. dan R. Stringer. 2010. Panduan Pedoman Pelaksanaan Penerapan VCA (Analisa Rantai Nilai) untuk Staf Peneliti BPTP dan BBP2TP. Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian. Bogor.

Indrajit, R. E. Dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Managemen Suplply Chain : Cara Baru Memandang Rantai Penyediaan Barang. Grasindo, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Rachmat, M., M. Hayati, dan D. Rachmaniar. 2012. Rantai Pasok Kentang (Stud kasus di Kabupaten Garut, Jawa barat). Bunga Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia. Ed. Erna Maria Lokollo. PT Penerbit IPB Press. Bogor.

380

Analisis Manajemen Rantai Pasok Ayam Kampung Pedaging: Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur

Rohliharni, E. 2012. Siapkah Ayam Lokal Kita Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Bibit. Media Informasi Perbibitan Ternak. Direktorat PerbibitanTernak, Direktorat Jenderal Peternaka dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.

Saptana dan A. Daryanto. 2012. Manajemen Rantai Pasok (Supply Chains Management) Melalui Strategi Kemitraan Pada Industri Broiler. Bunga Rampai Rantai Pasok Komoditas Pertanian Indonesia. Eds. Erna Maria Lokollo. IPB Press.

381