ki - penyelesaian sengketa kelautan menurut konvensi hukum laut 1982 - mei 2006
TRANSCRIPT
KARYA ILMIAH
PENYELESAIAN SENGKETA KELAUTANMENURUT KONVENSI HUKUM LAUT
TAHUN 1982
OLEH
Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
YAYASAN GMIM Ds. A.Z.R. WENASUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
FAKULTAS HUKUMTOMOHON
2006
PENGESAHAN
Panitia Penilai Karya Ilmiah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia Tomohon, telah memeriksa dan menilai karya ilmiah dari :
Nama : Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
NIDN : 0930086204
Jabatan : Asisten Ahli
Judul Karya Ilmiah : PENYELESAIAN SENGKETA KELAUTAN
MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT
TAHUN 1982.
Dengan Hasil : Memenuhi Syarat
Tomohon, Mei 2006
Dekan / Ketua Tim Penilai
JULIUS KINDANGEN, SH
ii
KATA PENGANTAR
Disadari bahwa segala sesuatu tidak akan berhasil dilakukan tanpa
campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, demikian pula dengan penulisan karya
ilmiah ini diyakini dapat terselesaikan oleh karena bimbingan dan penyertaanNya.
Untuk itu patutlah dilimpahkan puji syukur kehadiratNya.
Penulisan karya ilmiah yang berjudul "PENYELESAIAN SENGKETA
KELAUTAN MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982” ini
dimaksudkan untuk mengadakan pengkajian prosedur dan tatacara penyelesaian
sengketa antara negara di bidang kelautan menurut ketentuan Konvensi 1982.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
para pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan karya ilmiah ini dan
yang telah memberikan koreksi dan masukan-masukan terhadap karya ilmiah ini.
Sebagai manusia biasa tentu saja dalam usaha penulisan karya ilmiah ini
terdapat kekurangan dan kelemahan, baik itu materi maupun teknik penulisannya,
untuk itu maka segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif amat penulis
harapkan demi kesempurnaan penulisan ini.
Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu menyertai segala usaha
dan tugas kita.
Tomohon, Mei 2006
Penulis,
Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL .......................................................................................................... i
PENGESAHAN ............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Perumusan Masalah ..................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
E. Metode Penelitian ........................................................................ 4
BAB II. PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL ................... 5
A. Pengertian Persengketaan ............................................................ 5
B. Penyelesaian Sengketa Secara Damai .......................................... 6
C. Sengketa Kelautan ........................................................................ 11
BAB III. PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT KONVENSI
HUKUM LAUT TAHUN 1982 ......................................................... 13
BAB IV. P E N U T U P .............................................................................. 20
A. Kesimpulan .................................................................................... 20
B. Saran ............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 23
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bahwa sampai sejauh ini masyarakat internasional masih
dihadapkan pada adanya sejumlah masalah yang mengganjal terciptanya
perdamaian dan keamanan internasional. Di pelbagai penjuru dunia
masih terus berlangsung pertikaian yang dalam beberapa hal tertentu
pecah sebagai persengketaan bersenjata.
Masalah Timur Tengah, Bosnia, Chechnya, dan lain wilayah,
hingga kini masih terus mencekam oleh adanya ketidakstabilan wilayah,
karena peperangan. Namun, potensi yang tidak kalah penting dan
menarik ialah persengketaan yang muncul sebagai klaim lautan, baik
batas teritorial, landas kontinen maupun di Zona Ekonomi Ekslusif.
Dalam Hukum Laut Internasional telah diatur cara-cara
penyelesaian persengketaan. Cara penyelesaian persengketaan menurut
sistem Hukum Laut Internasional ini sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan cara-cara penyelesaian persengketaan menurut Hukum
Internasional.
Fenomena persengketaan di lautan adalah fakta sejarah yang telah
lama dikenal, bahkan menjdi bukti dari perkembangan Hukum Laut
Internasional maupun Hukum Internasional. Karena itulah laut sejak
dahulu sering juga digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan
ekspansi kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan
pertikaian antar bangsa dan karena itu pula laut merupakan salah satu
objek pengaturan hukum internasional. Hukum dalam hal ini hukum
(laut) internasional berperan sebagai alat untuk mengatasi hubungan-
1
hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
pemanfaatan laut oleh berbagai bangsa.1
Adapun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Hukum Laut tahun 1982 merupakan suatu perwujudan dari kehendak dan
usaha bersama masyarakat internasional untuk mengatur masalah yang
berhubungan dengan kelautan. Hal ini merupakan suatu kemajuan besar
dan berharga bagi masyarakat internasional yang mampu memecahkan
permasalahannya terutama menyangkut kelautan dalam suatu forum yang
bernaung di bawah PBB.
Konvensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB tahun
1982 juga mengatur cara bagaimana penyelesaian persengketaan itu.
Cara penyelesaian tersebut dapat pula mengambil ketentuan yang diatur
di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sebagai
berikut :
"The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to itu, shall apply:a. international conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting statesb. international custom, as evidence of a general practice
accepted as lawc. the general principles of law recognized by civilized nationsd. subject to the provisions of Article 59, judical decisions and
the teaching of the most hinghly qualified publicists of the determination of rules of law".2
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menulis
karya ilmiah ini dengan judul "PENYELESAIAN SENGKETA
KELAUTAN MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT TAHUN
1982".1 Atje Misbach Muhjidin, Status Hukum Perairan Indonesia dan Hak Lintas
Kapal Asing, Alumni, Bandung, 1993, hal. 1.
2 Lihat Statuta Mahkamah Internasional.
2
B. PERUMUSAN MASALAH
Yang menjadi permasalahan dalam penulisan Karya Ilmiah ini
adalah bagaimana cara-cara penyelesaian persengketaan pada umumnya,
dan penyelesaian persengketaan menurut Konvensi PBB tentang Hukum
Laut tahun 1982 serta sejauh mana Konvensi Hukum Laut 1982
mengatur tentang sengketa-sengketa tentang laut antara negara-negara.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji sejauh mana instrumen-instrumen yuridis dalam hal ini
Konvensi Hukum Laut 1982 dapat menyelesaikan sengketa-sengketa
kelautan antara negara-negara untuk mencari solusi secara damai dan
dapat diterima oleh para pihak.
2. Untuk memahami dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya sengketa kelautan serta mengkaji cara-cara penyelesaian
sengketa tersebut secara samai.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diberikan dalam penulisan karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut :
1. Merupakan sumbangan pemikiran bagi upaya penyelesaian sengketa
secara damai terhadap sengketa-sengketa kelautan.
2. Secara teknis akan memberikan petunjuk atau solusi dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa kelautan antar negara-negara.
3
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipergunakan untuk
memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang, dan
pelaksanaannya tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan
penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi data itu.
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder
atau data yang diperoleh dari hasil penelitian hukum normatif. Data-data
yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk datang pada
kesimpulan yang jelas dan tepat.
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
4
A. PENGERTIAN PERSENGKETAAN
Istilah "Persengketaan" berasal dari kata dasar "Sengketa", yang
juga dapat berarti : selisih, seteru, bertikai, dan lain sebagainya.
Dalam lingkup yang lebih luas, yakni persengketaan internasional,
oleh J.G. Starke dikemukakannya bahwa :
“istilah-istilah sengketa internasional (international disputes) mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berbeda dalam lingkungan pengaturan internasional, yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara badan-badan korporasi serta badan-badan bahkan negara di pihak lain.3
J.G. Merrills mengemukakan bahwa :
“diberikannya definisi sengketa sebagai perselisihan mengenai fakta, hukum dan politik di mana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain. Dalam arti yang lebih luas, sengketa internasional dikatakan ada bila perselisihan seperti ini melibatkan pemerintah, lembaga, juristic persons (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan”.4
Dari kedua pengertian atau definisi tersebut di atas menurut Moh.
Burhan Tsani dapatlah dijabarkan lebih lanjut ke dalam dua macam
sengketa yang mungkin timbul dalam hubungan inter nasional, yaitu :
Pertama sengketa-sengketa hukum (justiciable disputes) ; dan, kedua, sengketa-sengketa non hukum (non-justiciable disputes), yang dimaksud dengan sengketa hukum adalah sengketa yang dapat digunakan ke pengadilan atas dasar hukum internasional dan sengketa non hukum yang sering dikenal sebagai sengketa
3 J.G. Starke, Introduction to International Law, Saduran Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 645.
4 J.G. Merrills, Penyelesaian Sengketa Internasional, Saduran dari International Disputes Settle-ment, Tarsito, Bandung, 1986, hal. 1.
5
politik hanya melibatkan masalah kebijaksanaan 'policy' atau urusan lain di luar hukum, sehingga penyelesaian lebih banyak menggunakan pertimbangan politik.5
Secara garis besar, persengketaan-persengketaan internasional ini
dapat dibedakan upaya penyelesaiannya secara damai dan secara paksaan
atau kekerasan. Meskipun demikian, upaya penyelesaian sengketa secara
damai merupakan anjuran penting menurut hukum internasional.
Bahwa masyarakat internasional telah banyak menderita karena
bencana peperangan besar, misalnya Perang Dunia I dan Perang Dunia
II. Jutaan penduduk sipil dan tentara menjadi korban peperangan tersebut
sehingga diperlukan upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan
atau persengketaan yang ada dengan jalan damai.
Bagaimana cara-cara penyelesaian persengketaan dengan jalan damai,
baik oleh pakar Hukum Internasional maupun menurut ketentuan Hukum
Internasional telah diatur dan ditentukan sedemikian rupa sehingga
tergantung dari para pihak yang bertikai mana yang hendak digunakan
atau diterapkan untuk menyelesaikan persengketaan tersebut. Cara-cara
penyelesaian inilah yang diulas dan dikaji lebih lanjut di bagian
berikutnya ini.
B. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI
Menurut J.G. Starke, disebutkannya beberapa cara penyelesaian
sengketa internasional secara bersahabat atau secara damai dalam
klasifikasi sebagai berikut:
a. Arbitrasi;b. Penyelesaian yudisial;c. Negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi;d. Penyelidikan;
5 Mohd. Burhan Sani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990, hal. 104.
6
e. Penyelesaian di bawah naungan PBB.6
Meskipun dengan klasifikasi tersebut di atas, bukanlah berarti
bahwa prose-proses ini berlaku secara kaku dan terpisah sama sekali. Hal
ini tidaklah demikian dalam prakteknya.
Piagam PBB telah menggariskan ketentuan tentang langka-
langkah apa yang dilakukan atau ditaati oleh negara-negara, baik yang
menjadi anggota PBB maupun yang bukan anggota PBB jika terlibat di
dalam persengketaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1)
Piagam PBB, yakni :
a. Negosiasi
Adapun Negosiasi merupakan cara yang paling umum digunakan
untuk menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi secara esensial
berarti pertukaran pendapat dan usul antara pihak-pihak yang
bersengketa untuk mencari solusi kemungkinan dicapainya penyelesaian
sengketa tersebut.
Negosiasi merupakan suatu proses yang di dalamnya secara
eksplisit diajukan usul secara nyata untuk tercapainya suatu persetujuan.
Melalui cara Negosiasi ini terlibat diskusi langsung antar pihak
sengketa.7 Dalam Negosiasi peranan diplomasi menentukan, yang
dikenal sebagai konsultasi selama Negosiasi berlangsung. Peranan
diplomat yang pada umumnya terdiri dari wakil-wakil pemerintah akan
tercipta suatu saling pengertian guna menjembatani usul-usul yang
diajukan dengan menggunakan posisi tawar-menawar di forum
perundingan.
6 J.G. Starke, Op – Cit, hal. 646 7 Mohd. Burhan Tsani, Op – Cit, hal. 108.
7
b. Jasa-jasa Baik (Good Offices)
Adapun jasa-jasa baik merupakan metode penyelesaian sengketa
internasional yang tidak tercantum dalam ketentuan Pasal 33 Piagam
PBB, akan tetapi menjadi suatu cara atau metode yang sering digunakan
oleh PBB.
Di dalam hal pemberian jasa-jasa baik ini, pihak ketiga
menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa
serta mengusulkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa ia sendiri
secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu
penyelidikan secara saksama terhadap beberapa aspek dari persengketaan
tersebut. Dalam jasa baik, pihak ketiga hanya menawarkan saluran
komunikasi atau wadah yang mungkin dapat ditempuhn oleh para pihak
yang bersengketa.
c. Mediasi
Mediasi merupakan penyelesaian sengketa di mana akan
melibatkan pihak ketiga yang netral khusus memberikan sumbang saran
dalam penyelesaian persengketaan tersebut. Pihak inilah yang juga
disebut sebagai pihak penengah atau mediatori, yang pada negosiasi
antara pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari kompromi yang
dapat dierima oleh para pihak tersebut.
Meskipun demikian, hendaknya diperhatikan bahwa saran
mediator tidaklah mempunyai kekuatan mengikat, dan pula tidak
diperkenankan kehendaknya dipaksakan kepada para pihak yang
bersengketa, oleh karena dilanggarnya hal itu akan memberikan citra
ketidaknetralannya di antara para pihak yang bersengketa.
d. Penyelidikan (Inquiry)
8
Penyelidikan adalah cara menyelesaikan persengketaan yang
dilakukan oleh suatu misi perdamaian atau suatu tim penyelidik yang
secara khusus dibentuk untuk keperluan tersebut. Di dalam
melaksanakan tugasnya sering pula dijumpai data atau fakta yang
mendasari suatu pertentangan dan dapat menimbulkan ketidak
sepahaman. Akan tetapi, penyelesaian yang diberikan oleh tim atau misi
yang netral, sering dapat membantu penyelesaiannya.
e. Konsiliasi (Conciliation).
Adapun cara penyelesaian melalui konsiliasi mencakup berbagai
macam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai, dan
juga dengan bantuan dari pihak ketiga yang dapat berupa negara maupun
badan atau organisasi internasional, bahkan, orang-perorangan.
Yang dapat dilaksanakan oleh konsiliator di sini ialah
memberikan usul-usulan yang bersifat terbatas terhadap proses atau
prosedur tertentu yang dapat diikuti oleh para pihak yang bersengketa.
f. Arbitrasi (Arbitration)
Adapun Arbitrasi pada hakekatnya adalah prosedur konsensus.
Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka Arbitrasi
kecuali mereka setuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum
dan sebelumnya maupun ad hoc berkenan dengan suatu sengketa
tertentu.8
Dalam Arbitrasi ini pada dasarnya adalah penerapan prinsip-
prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak bersengketa. Hal-hal yang penting
8 J.G. Starke, Op – Cit, hal. 649.
9
dalam Arbitrasi adalah : Pertama, perlunya persetujuan pihak dalam
setiap tahap proses arbitrasi. Kedua, sengketa diselesaikan atas dasar
menghormati hukum, artinya, dalam menjatuhkan keputusan harus
berdasarkan hukum sehingga mempunyai kekuatan hukum.
g. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
Adapun penyelesaian sengketa berdasarkan hukum merupakan
suatu proses penyelesaian sengketa yang diajukan kepada Mahkamah
Internasional untuk mendapatkan keputusannya. Kewenangan
Mahkamah Internasional untuk memutuskan sengketa diatur dalam
Statuta Mahkamah Internasional, di mana kewenangan tersebut ialah :
1. Melaksanakan "Contention Jurisdiction", yaitu yurisdiksi atas
perkara biasa
2. Memberi "Advisory Opinion", yaitu pendapat Mahkamah yang
bersifat nasehat.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa Mahkamah
Internasinasional juga dapat memutuskan perkara tidak berdasarkan
hukum melainkan berdasarkan kepatutan dan kepantasan atau dalam
bahasa Latinnya "Ex aeque et bono", demikian dinyatakan pada ayat 2
Pasal 38. Di dalam mengadili dan memutuskan suatu perkara "Ex aequo
et bono" Mahkamah Internasional tidak memperhatikan hak-hak kedua
pihak dalam persengketaan menurut hukum, melainkan memperhatikan
apa yang di dalam perkara itu dianggap patut dan pantas.9
9 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Cetakan Ke-2, Bandung, 1978, hal.143.
10
C. SENGKETA KELAUTAN
Seperti yang diketahui bersama bahwa laut merupakan bagian
terbesar yang menutupi permukaan bumi ini, dan laut lebih luas
dibandingkan dengan daratan yang ada. Oleh karena semakin
meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan pemanfaatan
potensi yang terkandung di lautan, maka perhatian terhadap laut semakin
meningkat dan menyebabkan munculnya klaim negara-negara atas
lautan.
Negara Republik Indonesia misalnya, merupakan suatu negara
kepulauan yang sebagian terbesar dari luas wilayahnya terdiri dari lautan.
Kenyataan dari contoh inilah yang merupakan bukti bahwa wilayah
negara senantiasa terkait dari wilayah lautan, walaupun ada pula negara-
negara yang tidak mempunyai batas lautannya.
Bahwa laut merupakan salah satu wilayah dari negara, yang oleh I
Wayan Parthiana disebutkan bahwa :
“wilayah negara sebagai ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah ruang udara dimiliki oleh setiap negara, sedangkan wilayah perairan, khususnya wilayah laut hanya dimiliki oleh negara pantai atau negara yang di hadapan pantainya terdapat laut. Selanjutnya meliputi :1. Wilayah daratan termasuk tanah di bawahnya2. Wilayah perairan3. Wilayah dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di
bawah wilayah perairan4. Wilayah ruang angkasa.10
Wilayah lautan, baik perairan, lautan, landas kontinen maupun
Zona Ekonomi Eksklusif, masih terus menjadi sumber persengketaan di
kalangan negara-negara tertentu hingga kini, meskipun dalam banyak
10 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 1990, hal. 103.
11
kasus belum semuanya pecah sebagai peperangan antar negara yang
bersengketa tersebut.
Namun tidak dapat disangkal, bahwa wilayah lautan semakin
mendapatkan perhatian besar oleh sejumlah negara tertentu, baik untuk
kepentingan kemaritiman, ekonomi, politik, dan lain sebagainya di
negara tersebut. Kenyataan ini sering muncul sebagai sumber
persengketaan antar negara sebagaimana di dalam kasus Laut China
Selatan yang sampai sekarang diklaim oleh banyak negara.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT
KONVENSI HUKUM LAUT TAHUN 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 merupakan momentum
bersejarah bagi masyarakat internasional yang dapat membahas secara
12
lengkap masalah-masalah kelautan. Hasil yang dicapai dari Konvensi
PBB tahun 1982 merupakan karya besar yang patut untuk diacungi
jempol, oleh karena lebih lengkap dan sistematik dibandingkan dengan
konvensi-konvensi yang ada sebelumnya.
Sebagai gambaran menyeluruh tentang isi Konvensi PBB tentang
Hukum Laut tahun 1982 yang terdiri dari XVII Bab dan 320 Pasal, serta
IX Lampiran, secara khusus bab-babnya diatur dengan sistematika
sebagai berikut :
Bab I : PendahuluanBab II : Laut Teritorial dan Zona TambahanBab III : Selat yang Digunakan untuk Pelayaran InternasionalBab IV : Negara KepulauanBab V : Zona Ekonomi EksklusifBab VI : Landas KontinenBab VII : Laut LepasBab VIII : Regim PulauBab IX : Laut Teritorial atau Setengah TertutupBab X : Hak Negara Tak Berpantai untuk Masuk ke Dalam dan ke Luar Laut serta Kebebasan Melakukan TransitBab XI : KawasanBab XII : Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan LautBab XIII : Riset Ilmiah KelautanBab XIV : Pengembangan dan Alih Teknologi KelautanBab XV : Penyelesaian SengketaBab XVI : Ketentuan UmumBab XVII : Ketentuan Penutup.11
Dalam pasal 279 Konvensi 192 disebutkan bahwa negara-negara
peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal
interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai sesuai
dengan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan untuk
tujuan ini, harus mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana
ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam tersebut.
11 Lihat Konvensi PBB 1982.
13
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jelas bahwa cara-cara
penyelesaian sengketa yang dianjutkan ialah mengacu pada ketentuan
Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, dan para pihak yang bersengketa
hendaknya menggunakan cara-cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal
33 ayat (1) Piagam PBB tersebut.
Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, ternyata
Konsiliasi juga diatur di dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
Menurut Pasal 284 ayat-ayatnya disebutkan bahwa :
1. Suatu negara peserta yang menjadi pihak dalam suatu sengketa
perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dapat mengundang
pihak atau para pihak lainnya dalam sengketa untuk menyerahkan
sengketa itu pada Konsiliasi sesuai dengan prosedur berdasarkan
Lampiran V, Bagian 1, atau suatu prosedur Konsiliasi lainnya.
2. Apabila undangan itu diterima dan apabila para pihak sepakat
mengenai prosedur Konsiliasi yang harus ditetapkan, setiap pihak
dapat menyerahkan sengketa itu pada prosedur tersebut.
3. Apabila undangan itu tidak diterima atau para pihak itu tidak sepakat
mengenai prosedur, maka proses Konsiliasi tersebut harus dianggap
telah dihentikan.
4. Kecuali para pihak bersepakat secara lain, dalam hal suatu sengketa
telah diserahkan pada Konsiliasi, proses tersebut dapat dihentikan
hanya sesuai dengan prosedur Konsiliasi yang telah disepakati.
Bagaimanakah jikalau cara-cara dan prosedur penyelesaian
persengketaan terdiri dari banyak macamnya sehingga dihadapkan pada
alternatif yang harus ditentukan ? Menurut Pasal 287 Konvensi PBB
tentang Hukum Laut tahun 1982 disebutkan pada ayat-ayatnya sebagai
berikut :
14
1. Pada waktu menandatangani, meratifikasi atau aksesi pada Konvensi
ini atau pada setiap waktu setelah itu, suatu negara bebas untuk
memilih dengan membuat pernyataan tertulis, satu atau lebih dari
cara-cara berikut untuk penyelesaian sengketa perihal interpretasi
atau penerapan Konvensi ini :
a. Mahkamah Internasional Hukum Laut yang dibentuk sesuai
dengan Lampiran VI
b. Mahkamah Internasional
c. Suatu Mahkamah Arbitrasi yang dibentuk sesuai dengan
Lampiran VII;
d. Suatu Mahkamah Arbitrasi khusus yang dibentuk sesuai dengan
Lampiran VIII untuk satu jenis sengketa atau lebih yang tertera di
dalamnya.
2. Suatu pernyataan yang dibuat berdasarkan ayat (1) tidak akan
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kewajiban suatu negara peserta
untuk menerima yurisdiksi Kamar Sengketa Dasar Laut Mahkamah
Internasional Hukum Laut sejauh dan dengan cara yang ditentukan
dalam Bab XI, Bagian 5.
3. Suatu negara peserta, yang menjadi suatu pihak dalam suatu sengketa
yang tidak diliput oleh suatu pernyataan yang berlaku, harus dianggap
telah menerima arbitrasi sesuai dengan Lampiran VII.
4. Apabila para pihak dalam sengketa telah menerima prosedur yang
sama untuk penyelesaian sengketa, maka sengketa itu dapat
diserahkan hanya pada prosedur demikian, kecuali apabila para pihak
bersepakat secara lain.
5. Apabila para pihak dalam sengketa tidak menerima prosedur yang
sama untuk penyelesaian sengketa, maka sengketa itu dapat
15
diserahkan hanya pada Arbitrasi sesuai dengan Lampiran VII, kecuali
jika para pihak bersepakat secara lain.
6. Suatu pernyataan yang dibuat berdasarkan ayat (1) akan tetap berlaku
hingga 3 (tiga) bulan setelah pemberitahuan pencabutan didepositkan
pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
7. Suatu pernyataan baru, pemberitahuan pencabutan atau
kadaluwarsanya suatu pernyataan bagaimana juga tidak
mempengaruhi proses yang sedang berlangsung di suatu pengadilan
atau mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan Pasal 7 ini,
kecuali para pihak bersepakat secara lain.
8. Pernyataan-pernyataan dan pemberitahuan yang dimaksud pasal ini
harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang akan meneruskan salinannya kepada negara-negara
peserta.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, memang tampak perluasan
penyelesian sengketa dari yang telah penulis ungkapkan sebelumnya,
yang dalam konteks dengan penyelesaian menurut Konvensi Hukum
Laut tahun 1982 ini adalah lebih khusus dalam hal adanya persengketaan
menyangkut yang diatur dan berkaitan dengan pengaturan menurut
Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.
Praktek Konsiliasi ternyata merupakan bagian penting dari
penyelesaian sengketa menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut
tahun 1982. Pada Lampiran V Konvensi PBB tersebut, dalam Pasal 1
disebutkan jika para pihak yang bersengketa telah bersepakat sesuai
dengan pasal 284, untuk menyerahkannya kepada Konsiliasi berdasarkan
bagian ini, pihak manapun dapat memulai prosesnya dengan
pemberitahuan secara tertulis yang dialamatkan kepada pihak atau para
pihak lainnya dalam sengketa.12 Dengan demikian maka dibentuk pula 12 Lihat Lampiran V Konvensi Hukum Laut 1982.
16
Komisi Konsiliasi, yang sesuai dengan Lampiran V pasal 3 disebutkan
bahwa Komisi Konsiliasi harus, kecuali jika para pihak yang
bersengketa bersepakat secara lain, harus dibentuk sebagai berikut :
a. Dengan tunduk pada ketentuan sub-ayat (g), Komisi Konsiliasi harus
terdiri dari lima anggota.
b. Pihak yang memulai proses harus mengangkat dua orang konsiliator
yang dipilih sebaiknya dari daftar yang dimaksud dalam Pasal 2
Lampiran ini, seorang di antaranya boleh merupakan warga
negaranya, kecuali jika para pihak bersepakat lain. Pengangkatan
demikian harus dimasukkan dalam pemberitahuan yang dimaksud
dalam Pasal 1 Lampiran ini.
Pihak lain dalam sengketa harus mengangkat dua orang konsiliator
menurut cara yang ditentukan dalam sub-ayat (b) dalam waktu 21
hari setelah diterimanya pemberitahuan yang dimaksud dalam Pasal 1
Lampiran ini. Apabila pengangkatan itu tidak dibuat dalam jangka
waktu itu, maka pihak yang memulai proses dapat, dalam waktu satu
minggu setelah berakhirnya jangka waktu masa tersebut atau
menghentikan proses itu dengan jalan pemberitahuan yang
dialamatkan kepda pihak lainnya atau meminta Sekretaris Jederal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan pengangkatan sesuai
dengan sub-ayat (2).
c. Dalam waktu 30 hari setelah keempat orang konsiliator telah
diangkat, maka harus mengangkat konsiliator kelima yang dipilih dari
daftar yang dimaksud dalam Pasal 2 Lampiran ini, yang menjadi
ketua. Apabila pengangkatan itu tidak dibuat dalam jangka waktu
tersebut, maka setiap pihak dapat, dalam waktu satu minggu setelah
berakhirnya jangka waktu tersebut, meminta Sekretaris Jenderal
17
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan pengangkatan sesuai
dengan sub-ayat (e).
d. Dalam waktu 30 hari setelah diterimanya suatu permintaan
berdasarkan sub-ayat (c) atau (d), Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa harus membuat pengangkatan yang diperlukan dari
daftar yang dimaksud dalam Pasal 2 Lampiran ini dengan
mengadakan konsultasi dengan para pihak dalam sengketa.
e. Setiap lowongan harus diisi dengan cara yang ditetapkan untuk
pengangkatan semula.
f. Dua atau lebih pihak yang menentukan melalui perjanjian bahwa
mereka mempunyai kepentingan yang sama harus mengangkat dua
orang konsiliator secara bersama-sama. Dalam hal dua atau lebih
pihak mempunyai kepentingan yang berbeda atau terdapat suatu
perbedaan pendapat mengenai apakah mereka mempunyai
kepentingan yang sama, maka mereka harus mengangkat konsiliator
secara terpisah.
g. Dalam sengketa yang melibatkan lebih dari dua pihak yang
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, atau dalam hal adanya
perbedaan pendapat apakah mereka mempunyai kepentingan yang
sama, maka para pihak harus menerapkan sub-ayat (a) hingga (f)
sejauh mungkin.
Dari pembentukan Komisi Konsiliasi yang disebutkan di atas,
jelaskan bahwa Konsiliasi merupakan pilihan yang dapat ditempuh di
dalam upaya untuk menyelesaikan persengketaan antara negara-negara
khususnya yang berkaitan dengan kelautan secara damai.
Namun jika dikaji lebih mendalam, Konsiliasi ini hanyalah salah
satu cara yang dapat ditempuh, sedangkan ada lagi beberapa cara
penyelesaian persengketaan yang ditentukan dalam Konvensi Hukum
18
Laut PBB tahun 1982. Konsiliasi merupakan cara yang banyak
ditawarkan dan diatur dalam Konvensi PBB tersebut, sehingga
pengaturan-nya ditentukan tersendiri dalam Lampiran V Konvensi
tersebut.
BAB IV
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
19
1. Persengketaan internasional dapat berwujud sebagai persengketaan
mengenai politik dan persengketaan mengenai hukum. Dalam
penyelesaian sengketa internasional dikenal dua cara yakni secara
damai dan secara paksaan atau kekerasan.
Penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan pada pasal 33
ayat (1) Piagam PBB, ialah :
a) Negosiasi
b) Jasa-jasa baik
c) Mediasi
d) Penyelidikan
e) Konsiliasi
f) Arbitrasi
g) Penyelesaian sengketa secara hukum.
2. Sengketa-sengketa internasional dapat terjadi karena batas-batas
wilayah, dan laut merupakan salah satu batas wilayah yang penting
bagi setiap negara meskipun tidak semua negara mempunyai batas
laut.
Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982,
diatur cara-cara penyelesaian sengketa internasional yang juga
mengatur cara-cara yang mengacu pada Pasal 22 ayat (1) Piagam
PBB, dengan pengkhususannya pada persengketaan mengenai
kelautan.
Konsiliasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa
yang penting yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut
tahun 1982, dan Konsiliasi secara khusus diatur dalam Lampiran V
Konvensi PBB tahun 1982 tersebut.
3. Dalam penggunaan cara Konsiliasi (Conciliation) tercakup berbagai
macam metode yang digunakan dimana suatu sengketa diselesaikan
20
secara damai, dengan bantuan dari pihak ketiga, yang bisa merupakan
suatu negara, organisasi internasional, bahkan perorangan. Yang
dapat dilakukan oleh Konsiliator di sini ialah memberikan usulan-
usulan yang sifatnya terbatas tentang cara dan bagaimana
penyelesaian sengketa diajukan kepada para pihak yang bersengketa
tersebut. Sedapat mungkin Konsiliator ini mampu memberikan
alternatif yang dapat ditempuh dan memuaskan serta diterima oleh
para pihak yang bersengketa, sehingga perbedaan pandangan yang
ada sebelumnya, semakin diperkecil dan bahkan dihilangkan sama
sekali.
Penggunaan Konsiliasi menurut Konvensi Hukum Laut tahun
1982 harus dibentuk dengan Komisi Konsiliasi, yang tentu saja
berbeda dengan cara pembentukan Konsiliasi yang telah disebutkan
sebelumnya.
Wadah atau sarana Konsiliator menurut Konvensi Hukum
Laut tahun 1982 lebih khusus sifat dan tujuannya dibandingkan
dengan Konsiliasi yang tradisional sebagaimana yang telah penulis
ungkapkan sebelumnya. Meskipun demikian, tidak tertutup
kemungkinan digunakannya cara Konsiliasi yang tradisional
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.
B. SARAN
1. Perlu anggota masyarakat internasional untuk menerima dan
menerapkan hasil yang dicapai dalam Konvensi PBB tentang Hukum
Laut tahun 1982 dan menerapkannya.
2. Perlu anggota masyarakat internasional yang berkepentingan atas
lautan untuk mencari penyelesaian persengketaan di antara mereka
21
dengan cara damai, khususnya menurut yang diatur dalam Konvensi
PBB tentang Hukum Laut.
3. Perlu menyebarluaskan hasil-hasil Konvensi PBB tentang Hukum
Laut serta memperbanyak kajian dan tulisan-tulisan ilmiahnya.
4. Perlu mengkaji relevansi penggunaan cara damai bagi penentuan
batas-batas laut Indonesia dengan negara-negara tetangga.
5. Perlu meningkatkan hubungan kerjasama dan penelitian tentang
Hukum Laut baik antara perguruan tinggi maupun antara perguruan
tinggi dengan Departemen Luar Negeri dan Departemen Kehakiman.
DAFTAR PUSTAKA
Atje M. M., Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni, Bandung, 1993.
Burhan T.M., Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990.
22
Huala, A., Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
Kusumaatmadja, M., Hukum Laut Internasional, Bina-cipta, Bandung, 1978.
--------, Pengantar Hukum Internasional, Bina-cipta, Cetakan Ke-2, Bandung, 1978.
Merrills, J.G., Penyelesaian Sengketa Internasional, Diterjemahkan oleh Achmad Fauzan, Tarsito, Bandung, 1986.
Parthiana, I. W., Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 1990.
Prodjodikoro, W., Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung, 1981.
23