kewarisan beda agama (studi penetapan nomor:...
TRANSCRIPT
KEWARISAN BEDA AGAMA
(Studi Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Siti Sarah
NIM 11140430000044
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
i
KEWARISAN BEDA AGAMA
(Studi Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Siti Sarah
NIM 11140430000044
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
KEWARISAN BEDA AGAMA
(Studi Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
SITI SARAH
NIM : 11140430000044
Di Bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si Drs. Hamid Farihi, MA.
NIP. 197412172003121002 NIP. 195811191986031001
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Siti Sarah
Nim : 11140430000044
Tempat, Tanggal Lahir : Sukabumi, 16 November 1995
Program Studi : Perbandingan Mazhab
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Desember 2018
Siti Sarah
11140430000044
v
ABSTRAK
Siti Sarah. NIM 11140430000044. KEWARISAN BEDA AGAMA (Studi
Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg). Program Studi Perbandingan Mazhab,
Konsentrasi Perbandingan Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum
Positif tentang waris beda agama, dengan menganalisis pertimbangan hakim
dalam menetapkan perkara dalam penetapan Pengadilan Agama Bandung Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kasus (case approach) yang mana dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penetapan pengadilan Agama
Bandung Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, sedangkan sumber data sekundernya
adalah buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.
Berdasarkan hasil Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu
kesimpulan bahwa Jumhur ulama berpendapat bahwa ahli waris Muslim tidak
dapat mewarisi pewaris non-Muslim, atau pewaris non-Muslim tidak dapat
memberikan kewarisan pada Muslim. Sedangkan beberapa ulama lain seperti
Muadz Ibn Jabal, Muawiyah, Masruk (generasi sahabat) dan Ibnu Musayab
(generasi tabiin) serta kalangan Syiah Imamiyah, mengemukakan bahwa ahli
waris Muslim dapat mewarisi pewaris non-Muslim. Sedangkan menurut hukum
positif, Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilas Hukum Islam
yang didalamnya diatur hukum Kewarisan Islam. Dalam KHI tidak menegaskan
secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai
penghalang mewarisi. KHI hanya nenegaskan bahwa baik pewaris maupun ahli
waris haruslah beragama islam yang terdapat dalam pasal 171 huruf b dan c.
Dalam penetapan perkara Pengadilan Agama Bandung Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Bahwa hakim berpendapat lain yang berbeda dengan
Jumhur Ulama dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi mengambil pendapat
minoritas. Argumentasi hukum yang digunakan oleh Majlis Hakim adalah
kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun
secara hukmiyah. Majlis Hakim juga berpendapat bahwa hukum kewarisan Islam
di Indonesia mengandung asas egaliter.
Kata kunci : Waris, Wasiat Wajibah, non-Muslim.
Pembimbing : 1. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
2. Dr. Hamid Farihi, MA
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te خ
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z zet س
s es س
vii
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ء
apostrop
y ya ي
viii
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
a fathah ــــــــــ
i kasrah ــــــــــ
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ــــــــــ ي ai a dan i
au a dan u ــــــــــ و
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â a dengan topi diatas اـــــ
î i dengan topi atas ىـــــ
û u dengan topi diatas وـــــ
ix
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: اإلجثهاد = al-ijtihâd
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الزخصح
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعح = al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزعح 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزعح اإلسالمح 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنح المذاهة 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
x
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, الثخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
1 al-darûrah tubîhu الضزورج تثح المحظىراخ
almahzûrât
اإلقتصاد اإلسالم 2 al-iqtisâd al-islâmî
أصىل الفقه 3 usûl al-fiqh
al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah األشاء اإلتاحح األصل فى 4
المصلحح المزسلح 5 al-maslahah al-mursalah
xi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada
jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang
penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan
yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
Dengan demikian dengan kesempatan yang berharga ini penulis
mengungkapkan rasa hormat serta ucapan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc., M.A, Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Ahmad Bisyri Abdul Shomad, M.A dosen penasehat akademik penulis.
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan Bapak Dr. Hamid Farihi, M.A,
dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan
arahan, saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
xii
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Nanang Suryana dan Ibunda Yanih
Suryani yang telah merawat dan mendidik dengan baik sampai saat ini.
Dengan kasih sayangnya yang abadi, dengan do’anya yang tiada henti,
dengan kesabarannya yang tak tertandingi dan selalu memberikan penulis
support baik segi moril maupun materil. Terimakasih atas segala didikannya,
doanya, kesabarannya, jerih payahnya, serta nasihat yang selalu mengalir
tiada henti tanpa pernah jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Juga
kepada kakak penulis jakaria, Nuriana, Muhammad Nur Aripin, dan adik
penulis Muhamad Ilyas Agus Wahid yang telah menemani, memberikan doa
serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga kecilku Paraone, Buya, Mae, Oget, Apih, Delia, Uni, Awing.
Terimakasih selalu menemani, mendengarkan serta memeberi dukungan.
Semoga keluarga kecil kita selalu di rahmati Allah SWT.
8. Rani Widiastuti, Annisa Nur Aida, Ainun Mardia, Nurepisa, Husnia Laili,
Syah Ghina Rahmi Lubis, Ulpan Anggi, Zein Yudha Utama dan Andika
Chastianto Sahputra yang telah menerima penulis dan menjadi teman suka
maupun duka. Semoga persahabatan ini akan selalu terjalin sampai Jannah-
Nya.
9. Teman-teman seperjuangan Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan
2014, Terkhusus sahabat-sahabatku Ladies PMH 2014. Terimakasih sudah
memberikan arti dari sebuah persahabatan tanpa melihat harta, tahta, dan
lainnya, selama 4 tahun kita bersama.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan
amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin
Jakarta, 03 Desember 2018
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . ......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7
E. Review kajian terdahulu .............................................................. 8
F. Metode Penelitian ........................................................................ 12
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 14
BAB II KEWARISAN BEDA AGAMA dan WASIAT WAJIBAH.............. 15
A. Kewarisan Beda Agama .............................................................. 15
1. Pengertian Kewarisan Beda Agama ....................................... 15
2. Kewarisan Beda Agama dalam Hukum Islam ........................ 17
3. Kewarisan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam ...... 20
4. Kewarisan Beda Agama dalam KUHPerdata ......................... 23
B. Wasiat Wajibah ........................................................................... 25
1. Pendapat Ulama tentang Wasiat Wajibah ............................... 25
2. Wasiat Wajibah di Beberapa Negara Muslim ........................ 28
3. Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam ............... 30
xiv
BAB III PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BANDUNG
NOMOR 4/PDT.P/2013/PA.Bdg ..................................................... 33
A. Duduk Perkara ............................................................................. 33
B. Pertimbangan Hakim ................................................................... 35
C. Penetapan Hakim ......................................................................... 39
BAB IV PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KEWARISAN
BEDA AGAMA PADA PENETAPAN PENGADILAN
AGAMA BANDUNG NOMOR 4/PDT.P/2013/PA.BDG ............... 41
A. Penyelesaian Kasus Waris Beda Agama ..................................... 41
B. Pembaruan Ketentuan Wasiat Wajibah dalam Hukum
Terapan di Indonesia ................................................................... 46
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 58
A. Kesimpulan ................................................................................... 58
B. Saran .............................................................................................. 59
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 60
LAMPIRAN ........................................................................................................ 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati.
Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat
dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat
timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat
lingkungannya.1
Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat
hukum kepada diri, keluarga, dan masyarakat lingkungannya. Selain itu,
kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain pada dirinya si mayit
yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian itu
timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu
hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh
harta peninggalannya. Bahkan masyarkat dan negara (Baitulmal) pun, dalam
keadaan tertentu, mempunyai hak atas peninggalan tersebut.2
Permasalahan-permasalahan diatas dapat diselesaikan dengan
menggunakan hukum waris. Hukum waris yang mengatur segala hak dan
kewajiban yang timbul karena adanya peristiwa hukum berkaitan dengan
meninggalnya seseorang. Jadi, hukum waris menyoal tentang peralihan
berbagai hak dan kewajiban atas harta seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup agar tidak terjadi perselisihan.3
Terdapat beberapa hak yang berkaitan dengan pembagian waris yang
harus dipenuhi secara tertib. Sehingga apabila hak yang pertama atau yang
1 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002, Cet. Kedua), h.1. 2 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, h.1.
3 NM. Wahyu Kuncoro, Waris : Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta :Raih Asa
Sukses, 2015, Cet.1), h.3.
2
kedua menghabiskan semua harta waris maka tidak lagi pindah kepada hak-
hak yang lain. Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu
sebagai yang utama dari harta peninggalan itu harus diambil hak-hak yang
segera dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan berikut : pertama, Tajhiz
atau biaya penyelenggaraan jenazah . Tajhiz ialah segala yang diperlukan oleh
seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada
penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan,
mengkafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan sampai
diletakannya ke tempat yang terakhir. Kedua, melunasi hutang orang yang
meninggal, apabila si mayit mempunyai hutang atau tanggungan yang belum
dibayar ketika masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan sesama
manusia maupun kepada Allah yang wajib diambilkan dari harta
peninggalannya setelah diambil keperluan Tajhiz. Ketiga, Melaksanakan atau
membayar wasiat, jika sebelum meninggal dunia seseorang telah berwasiat,
maka dipenuhi wasiat tersebut dari harta peninggalannya dengan tidak boleh
lebih dari 1/3 harta bila dia mempunyai ahli waris dan jika dia akan berwasiat
lebih dari 1/3 harus mendapat persetujuan ahli waris.4
Tidak ditemukan pengaturan yang jelas dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) mengenai jangka waktu pelaksanaan pembagian waris, apakah
harus sesegera mungkin dilaksanakan atau bisa ditangguhkan. H. Mastur Jahri
berpendapat bahwa berdasarkan ketetapan Allah dalam Al-Quran,
pelaksanaan pembagian warisan harus dipercepat karena terdapat hak-hak
para ahli waris dalam harta warisan yang belum dibagi. Terkadang, ada anak
yatim yang menjadi salah satu ahli warisnya. Dengan segera melakukan
pembagian harta warisan dapat menghindari orang lain mengambil dan
memakan harta anak yatim secara tidak halal.5
Di indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, hukum
waris telah mendapatkan perhatian dari negara. Kewenangan Peradilan
4 Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia, cet.1 , (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 51-56. 5 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014), h. 12.
3
Agama sejak awal berdirinya kerajaan Islam di Indonesia telah menangani
sengketa kewarisan. Selanjutnya setelah Indonesia merdeka kewenangan
dibidang kewarisan dikembalikan dengan lahirnya Undag-Undang Nomor 7
Tahun 1989, tanggal 2 Desember. Keberadaan Pengadilan Agama dan
Mahkamah Agung secara konstitusional merupakan bukti konkret yudisial
perlindungan negara terhadap umat islam. Lahirnya KHI yang menjadi
rujukan di Pengadilan Agama adalah aspek penting bagi bangsa Indonesia
untuk menyelesaikan hukum kewarisan di Indonesia disamping hukum yang
hidup ditengan masyarakat sebagai sumber hukum.6
Keanekaragaman suku bangsa indonesia dengan karakteristik budaya,
norma hukum yang diyakini juga merupakan suatu fenomena yang penting
untuk dilihat dari berbagai sisi dan kepentingan. Hukum waris merupakan
bagian dari hukum keluarga yang mencerminkan sistem kekeluargaan dalam
masyarakat muslim, disamping hukum perkawinan. Dalam antropologi sosial
sistem kekeluargaan dalam masyarakat dapat didasarkan atas sistem
keturunan yang unilateral dan bilateral.7
Campuraduknya sistem hukum di Indonesia, berawal dari politik
penjajah Belanda yang hendak memberlakukan hukum Eropa. Keadaan ini
ditentang oleh para ulama yang kemudian menciptakan hukum Adat.
Dilahirkannya hukum Adat oleh pemerintahan Hindia Belanda adalah dalam
rangka menggrogoti hukum islam, dan secara halus perlahan tapi pasti
penjajah mencengkeramkan hukum Adat tersebut melalui pendidikan,
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang didirikan pemerintah
Hindia Belanda membuka jurusan hukum Adat, sekaligus mahasiswa
mendalami hukum Perdata Barat (B.W), sehingga sejak awal berdirinya
negara RI 3 (tiga) macam hukum tersebut: Islam, Adat, dan B.W.8
6 H. Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Kementrian
Agama RI, 2011), h. 10. 7 Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam Dan Perkembangan di Seluruh Indonesia,
(Jakarat: Wijaya, 1984), h. 1. 8 H. Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 11.
4
Di Indonesia, untuk menangani masalah perdata umat muslim
terutama hukum kewarisan ini maka diselesaikan di pengadilan Agama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Di pengadilan Agama rakyat bisa
mencari dan mendapat keadilan dalam bidang perdata. Karena tugas dan
wewenang pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam
dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, sadaqah, dan
ekonomi syariah.9
Eksistensi peradilan agama sebagai peradilan khusus bagi orang-
orang yang beragama Islam dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tidak
dapat dihindarkan dari persoalan penegakan keadilan bagi semua warga
negara terlepas dari agama seseorang, atau penegakan keadilan atas nama
agama (hanya bagi orang-orang Islam). Hal ini karena dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk, dengan beragam suku, agama, dan budaya,
hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang berbeda agama tidak
dapat dihindari, khususnya dalam bidang hukum keluarga.10
Keberadaan KHI yang menjadi rujukan hakim pada peradilan agama
dalam memutuskan sengketa diantara orang-orang yang beragama islam
merupakan fenomena actual yang harus dilihat secara komprehensif dengan
memerhatikan hubungan-hubungna yang ada sebagai pertimbangan ijtihad.
Di sinilah ada denyut gerak dinamik elastisitas hukum islam. Persoalan
khilafiyah diantara imam mazhab, penemuan hukum oleh yang berebeda-beda
yang berorientasi semangat menuju terciptanya kemaslahatan umat manusia
dalam menghadapi berbagai masalah kehidupannya rahmatan li al-alamin. 11
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena
pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak
menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Timbulnya sengketa
9 lihat pasal 49 undang-undang republik indonesia nomor 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama. 10
Muhamad Isna Wahyudi , Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3, (Desember 2015), h.270.
11 Habiburrahman, rekontruksi hukum kewarisan islam di Indonesia, h. 12.
5
kewarisaan dalam keadaan berlainan agama sebagai penghalang mendapatkan
warisan sering menjadi konflik diantar para ahli warisnya. Kenyataan
demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini.
Terjadinya gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negeri, menunjukkan fenomena ini.12
Belakangan ini terjadi sebuah dinamika dan kemajuan hukum terkait
dengan isu kewarisan beda agama. Pengembangan tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membuat
gebrakan baru terkait kewarisan beda agama. Gebrakan tersebut dapat dengan
nyata dilihat dari putusan-putusannya yang memberikan celah dan peluang
kepada pihak non muslim untuk dapat menerima bagian harta pewaris
Muslim.13
Sebagai contoh terjadinya gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan
Agama maupun Pengadilan Negeri. Dalam KHI (kompilasi hukum Islam),
berlainan agama sebagai penghalang untuk mendapatkan harta warisan. KHI
tidak mengatur mengenai pembagian harta warisan kepada ahli waris beda
agama. Dalam perkembangannya, ternyata wasiat wajibah tidak hanya
diberikan kepada anak angkat maupun orang tua angkat, akan tetapi diberikan
kepada ahli waris beda agama. Berdasarkan beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga
diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995,
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010,
putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan
memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris beda agama, jadi
yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris
12
A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), h.356. 13
Muhammad Rinaldi Arif , Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Beda
Agama (Kajian Perbandingan Hukum Antara Hukum Islam Dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 368.K/Ag/1995) , De Lega Lata, Volume 2, Nomor 2, (Juli – Desember 2017), h. 352.
6
yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang
beragama Islam. Beberapa putusan Mahkamah Agung diatas telah menjadi
yurisprudensi dan sebagai sumber hukum yang dipakai di Indonesia.
Mengenai pembagian harta warisan beda agama juga terjadi di
Pengadilan Agama Bandung, Hal ini sebagaimana Penetapan Pengadilan
Agama Bandung No 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, yang mana hakim memutuskan
anak yang beragama islam dapat mewarisi harta peniggalan ibunya yang
murtad/berbeda agama, Begitu pula dengan anak nya yang murtad/berbeda
agama mendapatkan warisan dengan jalan wasiat wajibah atas harta ayahnya
yang muslim.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai kewarisan beda agama, Sehingga dalam penulisan skripsi ini
penulis memilih judul “KEWARISAN BEDA AGAMA” (Studi Penetapan
Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, beberapa
masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan waris beda agama dalam hukum islam?
2. Bagaimana pengaturan waris beda agama dalam Kompilasi hukum islam?
3. Bagaimana pengaturan waris beda agama dalam KUHPer?
4. Bagaimana keefektifitasan penerapan pengaturan kewarisan beda agama di
Indonesia?
5. Bagaimana Tinjauan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia
terhadap penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksud
agar pembahasan yang penulis ingin teliti tidak terlalu meluas dan tepat
sasaran. Maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan hanya
pada seputar pembahasan mengenai pembagian waris berbeda agama.
7
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu:
Apakah Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg sesuai dengan hukum Islam
dan hukum Positif di Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Penelitian ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas akademik guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata 1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, juga didorong
beberapa tujuan yang berkaitan dengan isi pembahasan di dalamnya:
a. Mengetahui pengaturan kewarisan beda Agama menurut hukum Islam
dan hukum positif di Indonesia.
b. Mengetahui kesesuaian penetapanan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg
dengan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan
pengetahuan dalam memahami pembagian waris beda Agama,
Kemudian menambah literature perpustakaan khususnya dalam bidang
perbandingan mazhab dan hukum.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan
penjelasan yang lengkap mengenai pembagian waris beda Agama.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan
dibahas oleh penulis lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan
karya tulis terdahulu yang pembaharuannya hampir sama dengan pembahasan
yang penulis angkat. Diantaranya adalah skripsi yang berjudul Pandangan
Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim,
8
yang ditulis oleh Gita Dwi Annesa. 14
Di dalam skripsi ini Gita Dwi Annesa
membahas tentang pandangan hakim Pengadilan Agama Bekasi tentang hak
waris anak non muslim, yang mana menurut pandangan hakim Pengadilan
Agama Bekasi terhadap hak waris anak non muslim ini bahwa Pengadilan
Agama Bekasi memandang kewarisan anak non muslim ini sangatlah hal
yang benar-benar harus dipertimbangkan, hakim memandang kewarisan anak
non muslim ini adalah putusan yang diperlukan beberapa faktor pertimbangan
dahulu, apabila terjadi perkara hak waris anak non muslim, dilihat dahulu
apakah anak tersebut berbakti kepada orang tuanya, apakah anak ini berbuat
baik kepada orang tuanya, diharapkan juga anak ini apabila diberi hak waris
dia bisa mendapat hidayah untuk bisa masuk islam. Perbedaan skripsi ini
dengan skripsi penulis adalah skripsi ini memaparkan pandangan hakim
pengadian agama bekasi tentang hak waris anak non muslim, Sedangkan
skripsi penulis menganalisis tentang kewarisan beda agama dengan
menganalisis penetapan Pengadilan Agama Bandung Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, yang mana hakim memutuskan anak yang beragama
islam dapat mewarisi harta peniggalan ibunya yang murtad/berbeda agama .
Begitu pula dengan anak nya yang murtad/berbeda agama mendapatkan
warisan dengan jalan wasiat wajibah atas harta ayahnya yang muslim. Serta
kesesuaian putusan ini dengan hukum Islam dan hukum positif.
Skripsi dengan judul Mewaris Harta Orang Murtad Menurut Pendapat
Muhammad Amin Asy-Syahir Ibnu „Abidin Dalam Kitab Radd Al-Muhtar
„Ala Ad-Durr Al-Mukhtar, yang ditulis oleh Moh. Abdul Qohar.15
Dalam
skripsi ini Moh. Abdul Qohar memaparkan Mewaris Harta Orang Murtad
Menurut Pendapat Muhammad Amin Asy-Syahir Ibnu „Abidin Dalam Kitab
Radd Al-Muhtar „Ala Ad-Durr Al-Mukhtar yang mana menurut Imam Ibnu
14
Gita Dwi Annesa ,Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak
Waris Anak Non Muslim” (Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2015). 15
Moh. Abdul Qohar, Mewaris Harta Orang Murtad Menurut Pendapat Muhammad
Amin Asy-Syahir Ibnu ‘Abidin Dalam Kitab Radd Al-Muhtar ‘Ala Ad-Durr Al-Mukhtar,
(skripsi fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Kudus,
2015)
9
„Abidin berpandangan bahwa kepemilikan orang murtad terhadap hartanya
telah hilang secara mauquf sejak dia melakukan perbuatan riddah. Artinya
jika orang murtad tersebut bersedia bertaubat dan kembali memeluk agama
Islam maka hartanya akan dikembalikan. Akan tetapi jika dia menolak
kembali memeluk agama Islam maka kepemilikan terhadap hartanya akan
hilang selamanya. Imam Ibnu „Abidin berpandangan sama dengan jumhur
ulama tentang orang murtad ketika statusnya menjadi ahli waris dari orang
yang mewariskan atau muwarrits yang beragama Islam maka dia terhalang
untuk mewaris. Sedangkan jika orang murtad statusnya sebagai muwarrits
atau orang yang mewariskan maka Imam Ibnu „Abidin berpandangan bahwa
harta yang diperoleh sebelum murtad diwarisi oleh ahli waris dari kerabatnya
yang beragama Islam. Kewarisan antara orang murtad kepada ahli waris yang
muslim dianggap sama dengan kewarisan antara orang Islam kepada orang
Islam. Karena orang murtad dianggap telah mati sejak dia melakukan
perbuatan riddah. Dengan kata lain orang murtad masuk kedalam kategori
mati secara hukum (mati hukmy). Sedangkan harta yang diperoleh setelah
murtad statusnya adalah harta fai‟ yang harus diserahkan ke baitul mal yang
akan digunakan untuk kemasalahatan umat Islam, bukan diwaris oleh ahli
warisnya. Sedangkan skripsi penulis menganalisis tentang pembagian
kewarisan beda agama dengan menganalisis penetapan Pengadilan Agama
Bandung Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, yang mana hakim memutuskan anak
yang beragama islam dapat mewarisi harta peniggalan ibunya yang
murtad/berbeda agama . Begitu pula dengan anak nya yang murtad/berbeda
agama mendapatkan warisan dengan jalan wasiat wajibah atas harta ayahnya
yang muslim. Serta kesesuaian putusan ini dengan hukum Islam dan hukum
positif.
Skripsi yang ditulis oleh Arwini Muslimah dengan judul Analisis
Putusan Hakim Tentang Hak waris Karena Berbeda Agama (Studi Kasus
10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010)16
. Dalam skripsi ini
Arwini Muslimah menganalisis pemberian wasiat wajibah terhadap ahli waris
non Muslim oleh Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan demi keadilan
sebenarnya bahwa menurut Arwini tidak dapat dibenarkan dalam hukum
Islam karena tidak sesuai dengan nash dan ketentuan Hukum Kewarisan
Islam. Namun jika dilihat dari aspek sosial-geografisnya, dimana Indonesia
merupakan Negara kepulauan dengan berbagai suku dan agama serta bukan
merupakan Negara Islam, maka putusan Mahkamah Agung yang memberikan
wasiat wajibah kepada ahli waris non Muslim atas dasar keadilan tidak pula
dapat dipersalahkan mengingat banyak aturan-aturan Indonesia yang diadopsi
dari hukum Adat yang berlandaskan kepada keseimbangan dan kemaslahatan
umat tanpa memandang agamanya. Sedangkan skripsi penulis menganalisis
tentang kewarisan beda agama dengan menganalisis penetapan Pengadilan
Agama Bandung Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, yang mana hakim
memutuskan anak yang beragama islam dapat mewarisi harta peniggalan
ibunya yang murtad/berbeda agama. Begitu pula dengan anak nya yang
murtad/berbeda agama mendapatkan warisan dengan jalan wasiat wajibah
atas harta ayahnya yang muslim. Serta kesesuaian putusan ini dengan hukum
Islam dan hukum positif.
Jurnal dengan judul Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris
Beda Agama (Kajian Perbandingan Hukum Antara Hukum Islam Dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 368.K/Ag/1995), yang ditulis Muhammad
Rinaldi Arif.17
Dalam jurnal ini Muhammad Rinaldi Arif membandingan
Hukum Antara Hukum Islam Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
368.K/Ag/1995 tentang Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris
Beda Agama. Yang mana Konsep wasiat wajibah menurut hukum Islam
16
Arwini Muslimah, Analisis Putusan Hakim Tentang Hak waris Karena Berbeda
Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010), (skripsi fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013) 17
Muhammad Rinaldi Arif, “Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Beda
Agama (Kajian Perbandingan Hukum Antara Hukum Islam Dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 368.K/Ag/1995)” Volume 2, Nomor 2,(Juli – Desember 2017)
11
adalah untuk ahli waris yang tidak mendapat bagian warisan karena ada hijab
yang menghalanginya, sedangkan menurut KHI, wasiat wajibah dikhususkan
bagi anak angkat atau orang tua angkat dengan alasan rasa kemanusiaan.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 368.K/AG/1995, konsep wasiat
wajibah tidak hanya untuk anak angkat atau orang tua angkat, tetapi juga
untuk ahli waris non muslim. Pendapat Mahkamah Agung itu didasari atas
konsep keadilan dan perlindungan hukum. Perbedaan jurnal ini dengan
skripsi penulis adalah jurnal ini memaparkan perbandingan hukum Islam
dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 368.K/AG/1995, Sedangkan
skripsi penulis menganalisis tentang kewarisan beda agama dengan
menganalisis penetapan Pengadilan Agama Bandung Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, yang mana hakim memutuskan anak yang beragama
islam dapat mewarisi harta peniggalan ibunya yang murtad/berbeda agama .
Begitu pula dengan anak nya yang murtad/berbeda agama mendapatkan
warisan dengan jalan wasiat wajibah atas harta ayahnya yang muslim. Serta
kesesuaian putusan ini dengan hukum Islam dan hukum positif.
F. Metode Penelitian
Pembahasan masalah-masalah yang ada dalam penyusunan skripsi ini,
diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti dan gambaran dari masalah tersebut secara
jelas dan akurat. Terdapat beberapa metode yang penulis gunakan antara lain:
1. Jenis penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif dimana penelitian hukum ini dilakukan dengan cara mempelajari
dan meneliti bahan kepustakaan berupa buku-buku dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang dibahas.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku yang berjudul Metode
Penelitian Hukum yang menjelaskan bahwa pada penelitian hukum
12
normatif, peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi
sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan.18
2. Pendekatan Penelitian
Adapun metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini, yaitu pendekatan kasus (case approach) yang mana dilakukan dengan
cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. 19
3. Sumber Data
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian skrisi ini dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu20
:
a. Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi
bahan hukum primernya adalah Penetapan Pengadilan Agama Bandung
Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.21
4. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan
data yaitu dengan menggunakan study pustaka (library research). Studi
18
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian, 2010), h., 38 19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media,
2014), h. 134 20
Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Rajawali, 1986), h., 14 21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181.
13
pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori
tentang konsep dan pemahaman khususnya terkait dengan tema penelitian
yaitu kewarisan beda Agama. Teknik yang pertama penulis mencari
putusan tentang kewarisan beda agama, kemudian diteliti lalu disimpulkan.
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis data
secara kualitatif. Yaitu menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum
dan argumentasi rasional. Kemudian data tersebut penulis uraikan dalam
bentuk narasi, sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat dipahami.22
Data yang telah ada berupa penetapan Pengadilan Agama Bandung Nomor
4/pdt.p/2013/Pa.Bdg.
6. Teknik Penulisan
Dalam Penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan
hukum ini, maka harus diketahui alur logis dan untuk memberikan gambaran
secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis menyusun skripsi ini
dalam beberapa bab. Adapun sistematika penyusunan sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari tentang Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, review kajian terdahulu, Metode
Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II membahas tentang Kewarisan Beda Agama dan Wasiat
Wajibah yang terdiri dari Pengertian Kewarisan Deda Agama, Kewarisan
Beda Agama dalam Hukum Islam, Kewarisan Beda Agama dalam Kompilasi
22
Muri A Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), h. 400
14
Hukum Islam, Kewarisan Beda Agama dalam KUHPerdata, Pendapat Ulama
tentang Wasiat Wajibah, Wasiat Wajibah di Beberapa Negara, Wasiat
Wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam.
BAB III membahas tentang Penetapan Pengadilan Agama Bandung
Nomor 4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg, yang terdiri dari Duduk Perkara, Pertimbangan
Hakim, dan Penetapan Hakim.
BAB IV membahas tentang Penegakan Keadilan Dalam Kasus
Kewarisan Beda Agama (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Bandung
Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg), yang terdiri dari Penyelesaian Kasus Waris
Beda Agama, dan Pembaruan Ketentuan Wasiat Wajibah dalam Hukum
Terapan di Indonesia.
BAB V Penutup, yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab
rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
15
BAB II
KEWARISAN BEDA AGAMA dan WASIAT WAJIBAH
A. Kewarisan Beda Agama
1. Pengertian Kewarisan Beda Agama
Salah satu penghalang mendapatkan warisan adalah karena
perbedaan agama. Pengertian kewarisan beda agama adalah agama
pewaris berlainan dengan agama ahli waris. Misalnya pewaris beragama
Islam, sedangkan ahli warisnya beragama kristen. Demikian juga
sebaliknya.1 Kewarisan beda agama adalah istilah yang dapat digunakan
untuk mengacu kejadian di mana pihak-pihak yang terlibat dalam
kewarisan berasal dari latar belakang agama yang berlainan. Dalam kasus-
kasus seperti ini, pewaris semasa hidup menganut agama yang berbeda
dari yang dianut oleh satu atau lebih ahli warisnya.2
Persoalan muncul terutama ketika pihak yang meninggal beragama
Islam dan ingin menerapkan prinsip-prinsip hukum waris Islam dalam
pembagian harta warisan tanpa mempertimbangkan bahwa ada salah
seorang atau seluruh ahli warisnya yang tidak menganut agama Islam.
Dalam kasus seperti ini, ahli waris yang tidak beragama Islam biasanya
menderita kerugian karena jika yang diterapkan adalah hukum waris Islam,
maka mereka tidak akan memperoleh jatah harta warisan. 3
Problemnya adalah ketika pihak non-Muslim yang mengikuti hukum
waris Iain, seperti hukum waris adat atau Burgelijk Wetboek, tidak mau
kehilangan jatahnya semata karena perbedaan agama tersebut, terlebih
ketika sistem hukum yang dianutnya (yang juga diakui oleh negara) justru
mengajarkan sebaliknya. Dari sudut hukum, persoalan dalam kasus ini
bukan semata karena adanya perbedaan agama antara pewaris dengan ahli
1 Teungku muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dkk , Fiqh Mawaris, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997)., h. 46. 2 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta : Pustaka Alvabet,
2008).,h. 444 3 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,.,h. 444
16
warisnya, tapi juga karena memang sudah ada konflik hukum di antara dua
tradisi waris yang dianut oleh kedua belah pihak. 4
Di masa sekarang, masalah kewarisan diatur oleh beberapa hukum
dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah, yakni yang terangkum
dalam KUHPer (hukum Nasional) dan Kompilasi Hukum Islam (ajaran
hukum waris Islam). Jelaslah kalau gagasan yang jadi latar pemisahan
masalah kewarisan di sini adalah memisahkan orang-orang yang menaati
hukum Islam dengan mereka yang menaati hukum non-Islam. Akibat
pemisahan substantif inilah (ditambah pula dengan pemisahan tata
administrasinya) persoalan kewarisan beda agama menjadi makin rumit.5
Persoalan kewarisan beda agama diperparah oleh kenyataan bahwa
kalau dalam KUHPer tidak terdapat pernyataan yang mengizinkan atau
membatalkan kewarisan beda agama, sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam tercantum bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam, jadi
antara orang Muslim dengan non-Muslim tidak boleh saling mewarisi.6
Aturan ini memang ditetapkan untuk tidak menyalahi atau menyimpang
dari hukum Islam yang selama ini dipahami dan diyakini masyarakat
Muslim Indonesia, seperti juga aturan-aturan lain yang dicantumkan dalam
KHI. Terkait dengan aturan ini, beberapa kasus yang dibawa ke
Pengadilan Agama terkait dengan kewarisan antar-agama ini diputuskan
dengan mengacu pada aturan ini.7
Konflik hukum dalam kebanyakan kasus juga diikuti oleh kendala-
kendala yudisial karena dalam rangka mencari penyelesaian, pihak Muslim
selalu membawa perkara mereka ke Pengadilan Agama, sementara pada
saat yang sama pihak non-Muslim akan pergi ke pengadilan umum. Sikap
ini dapat dimaklumi karena masing-masing pihak ingin mengikuti hukum
waris yang lebih sesuai dengan keinginannya. Sudah barang tentu konflik
4 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.,h. 444. 5 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.,h. 445
6 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.,h. 445
7 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 94.
17
hukum bukan perkara sederhana karena negara sendiri tidak dipersiapkan
untuk melakukan berbagai upaya pencarian resolusi. Satu-satunya harapan
terletak di genggaman hakim yang bisa membuat resolusi apa pun terhadap
konflik kewarisan beda agama yang memang terbukti tidak bisa
ditanggulangi dengan undang-undang negara saja. Karena itu, perlu
kiranya dilihat bagaimana hakim mengemukakan penalaran dan
argumennya dalam proses analisis terhadap konflik kewarisan beda agama.
Lewat jalur ini, bagaimana sikap umum negara terhadap tradisi hukum
yang berkembang di tanah air juga bisa terbukti jelas.8
Menarik untuk dicatat bahwa belakangan ini telah terjadi sebuah
pengembangan dan kemajuan hukum terkait dengan isu kewarisan beda
agama. Pengembangan tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa
Mahkamah Agung telah membuat gebrakan baru terkait hal ini. Gebrakan
tersebut dapat dengan nyata dilihat dari putusan-putusannya yang
memberikan celah dan peluang kepada pihak non-Muslim untuk dapat
menerima bagian harta dari pewaris Muslim.9
2. Kewarisan Beda Agama dalam Hukum Islam
Para fuqaha telah bersepakat bahwasanya, berlainan agama antara
orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah
satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Hal ini telah
disepakati oleh semua fuqaha, Kesepakatan para fuqaha tentang aturan ini
dapat terekam pada sebuah redaski dalam sebuah buku fikih bahwa, "telah
sepakat para fuqaha bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk
mewarisi, yaitu: perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama”.10
Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi
antara satu agama dengan syariat yang berbeda. Agama ahli waris yang
berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris,
sebagaimana sabda Nabi saw :
8 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler , h. 446.
9 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, h. 94
10 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, h. 92.
18
ث نا أبو عاصم عن ابن جريج عن ابن شهاب عن علي بن حسين عن عمرو بن عثمان عن أ بن حد زيد رضي سا
هما أن 11المسلم الكافر ول ر لكاف المسلم يرث ل قال وسلم لنبي صلى اللو عليو اللو عن
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih
dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru Bin Usman
dari Usamah bin Zaid radialahu „anhuma, Nabi Shallallahu
„alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari
orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
ه عبد اللو بن عمرو، قال قال :وروى أبو داود بإسناده: عن عمرو بن شعيب، عن أبيو، عن جد
لت ين ش » رسول اللو صلى اللو عليو وسلم 12«تىلي ت وارث أىل
Artinya:“ diriwayatkan Abu Daud dengan sanadnya: dari Umar Bin Sueb,
dari Ayahnya, dari Kakeknya Abdullah Bin Umar, Dia berkata:
Rasulullah bersabda :Tidak dapat saling mewarisi antara dua
orang pemeluk agama yang berbeda.”
Isi kedua hadis tersebut selaras dengan firman Allah surat An-Nisa ayat
141:
نين سبيل 13 ولن يجعل اللو للكافرين على المؤ
Artinya:”Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi
orang-orang kafir terdapat orang mu‟min (untuk menguasai
harta orang mu‟min)”
11 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhori, Tahqiq: Muhammad Zuhair
bin Naasir An Naasir, Shahih Bukhari, hadis ke-6764,(Damaskus: Daaru Taukon Najaat,
1422)., h. 156. 12
Abu Muhammad Muafiq Addin Abdullah, Al Mughni li Ibni Qudamah, Jilid 6
( kairo: Maktabah Kairo, 1968 M/1388 H).,h. 368. 13
QS An-Nisa (4: 141)
19
Namun meskipun demikian, kesepakatan para ulama14
ternyata
hanya pada kasus di mana si pewaris adalah muslim dan ahli waris non-
Muslim. Terkait dengan boleh atau tidaknya ahli waris Muslim mewarisi
pewaris non-Muslim, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama
berpendapat bahwa ahli waris Muslim tetap tidak dapat mewarisi pewaris
non-Muslim, atau pewaris non-Muslim tidak dapat memberikan kewarisan
pada Muslim. Pendapat jumhur ini didasarkan juga pada hadis yang telah
disebutkan sebelumnya. Sedangkan beberapa ulama lain seperti Muadz Ibn
Jabal, Muawiyah, Masruk (generasi sahabat) dan Ibnu Musayab (generasi
tabiin) serta kalangan Syiah Imamiyah, mengemukakan bahwa ahli waris
Muslim dapat mewarisi pewaris non-Muslim.15
Mereka juga berargumen
dengan hadist berikut:
16ي على ول ي علو اإلسلم :وسلم عليو اللو صلى اهلل رسول قال
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: "Islam adalah tinggi dan tidak ada
yang mengunggulinya".
Dengan hadits ini, mereka berpendapat bahwa termasuk dari makna
ketinggian adalah seorang muslim dapat mewarisi harta peninggalan orang
kafir, tapi orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.
Pendapat mereka ini ditolak bahwa yang dimaksud dengan tinggi adalah
dari segi argumentasi atau dari segi kekuasaan dan kemenangan.17
Selain hadis dan ayat di atas, Nabi saw mempraktikkan, bahwa
perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak bisa saling mewarisi.
Pada saat Abu Thalib, paman kesayangan beliau, meninggal dunia. Abu
Thalib meninggal belum masuk Islam, dan meninggalkan empat orang
anak, yaitu 'Uqail dan Thalib yang belum masuk Islam, dan Ali serta Ja'far
14
Selanjutnya penulis akan menggunakan kata ulama dan tidak akan menggunakan
kata fuqaha 15
Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, h. 92. 16
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cetakan ke-10, jilid 10
(Damaskus: Darul fikr suriah damaskus, 2011)., h. 358. 17
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu., h. 359.
20
yang telah masuk Islam. Oleh Rasulullah Saw, harta warisan diberikan
hanya kepada 'Uqail dan Thalib. Sementara Ali dan Ja'far tidak diberi
bagian warisan. Apa yang Rasulullah Saw tersebut, menunjukkan dengan
bahwa perbedaan agama, antara Islam dan non-Islam, menjadi penghalang
untuk bisa saling mewarisi.18
3. Kewarisan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam terbentuk sebagai hasil dari kerja keras dari
panitia yang ditunjuk dalam SKB (Surat Keputusan Bersama), yang
berlangsung sejak tahun 1985 sampai dengan tahun 1988 dan dilakukan
melalui seminar, telaah kitab-kitab fikih dan yurisprudensi, serta studi
banding ke beberapa negara muslim. Puncaknya adalah diadakan
lokakarya di Jakarta pada tahun 1988. Bahkan berbagai upaya telah
diusahakan agar buah karya para ulama dan cendekiawan muslim tersebut
mendapat payung hukum sebagai bagian dari peraturan perundang-
undangan, namun yang diperoleh hanya berupa instruksi presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 1991.19
Sejak tahun 1991, berdasarkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, Indonesia telah memiliki Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang secara de facto maupun de jure menjadi
pegangan utama umumnya para hakim dalam lingkungan pengadilan
agama dalam menyelesaikan sengketa yang salah satunya adalah hukum
kewarisan yang diajukan oleh para pencari keadilan. 20
Buku II Kompilasi Hukum Islam, yang memuat tentang hukum
kewarisan ini terdiri atas VI Bab dan 44 Pasal, yakni mulai Pasal 171
sampai Pasal 214. Buku II KHI pada dasarnya mengatur ihwal ketentuan
18
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2015), h. 320-321
19 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011)., h. 4. 20 Muhammad Amin Suma, Keadila Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)., h. 99.
21
umum (Bab I Pasal 171), ahli waris (Bab II Pasal 172 - 175), besarnya
bagian [masing-masing ahli Waris] (Bab 111 Pasal 176 - 191), aul dan rad
(Bab IV Pasal 192-193), wasiat (Bab V pasal 194 - 209), dan hibah (Bab
VI 210-214).
Sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, khususnya Buku
II tentang Hukum Kewarisan dalam KHI, sejak awal telah menimbulkan
kontradiksi, baik teks pasal yang dianggap bertentangan dengan nash,
maupun penghapusan hukum-hukum, seperti ashabah, beda agama, hajib-
mahjub, dan lain-lain, yang turut berimplikasi kepada munculnya
disparitas putusan hakim di pengadilan agama.21
Dari ketiga contoh yang
menjadi kontradiksi di atas, penulis akan membahas tentang beda agama.
Dalam KHI tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama
antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi. Kompilasi
Hukum Islam hanya nenegaskan bahwa pewaris beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris yang terdapat dalam pasal 171 huruf b.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 huruf b)
Kemudian identitas ahli waris hanya dijelaskan dalam Pasal 171
huruf c, yaitu: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama
islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.(Pasal
171 huruf c).
Melihat isi dari pasal 171 huruf b dan c diatas, bisa di simpulkan
bahwa baik pewaris maupun ahli waris haruslah beragama islam. Melihat
peraturan yang ada dalam Pasal 171 huruf (c) dan syarat yang berhak
menjadi ahli waris menurut hukum waris Islam yakni ahli waris
mempunyai hubungan darah, hubungan perkawinan dan beragam Islam,
tentu sehubungan dengan peraturan yang ada maka ahli waris yang
21
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia., h. 4.
22
beragama non-Islam tidak berhak untuk menjadi ahli waris dari si Pewaris
karena ada salah satu syarat menjadi terhalangnya ahli waris mendapatkan
hak menjadi ahli waris.
Selanjutnya tentang halangan mendapatkan warisan terdapat dalam
pasal 173 dimana dijelaskan tentang terhalangnya ahli waris untuk
mewarisi harta benda keluarganya bisa karena ditetapkan oleh seorang
Hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu bila dia
dihukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa dalan
Kompilasi Hukum Islam jika perbedaan agama tidak termasuk kelompok
penghalang mendapatkan warisan. Namun jika dilihat dari pasal 171 huruf
c yang mengatakan bahwa pewaris dan ahli waris yang saat meninggalnya
mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama
islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Begitupula yang terdapat dalam pasal 171 huruf b bahwa pewaris harus
beragama islam, maka dapatlah di simpulkan bahwa berbeda agama tidak
boleh saling mewarisi.
4. Kewarisan Beda Agama dalam KUHPerdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku di
Indonesia adalah berasal dari BURGELIJK WETBOEK (BW) yang terdiri
dari 4 buku, yakni:
1. Buku kesatu tentang orang,
2. Buku kedua tentang kebendaan,
23
3. Buku ketiga tentang perikatan, dan
4. Buku keempat tentang pembuktian dan daluarsa.
Hukum waris diatur dalam buku II KUHPer yaitu pasal 830 sampai
dengan pasal 1130. Buku II KUHPer ini berkaitan dengan hukum
kebendaan. Di dalam KUHPer tidak ditemukan pengertian tentang hukum
waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsepsi tentang pewarisan, orang
yang berhak dan tidak berhak menerima kewarisan, dan lainnya.
Hukum waris Barat yang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
(BW) yang menganut sistem individual, di mana harta peninggalan
pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini
berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti Eropa,
Cina, bahkan keturunan Arab dan lainnya yang tidak lagi berpegang teguh
pada ajaran agamanya. Ini berarti hukum waris Barat menganut aturan
bahwa saat pewaris wafat, harta warisan langsung dibagikan kepada ahli
waris. Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan yang belum
dibagi segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan
dengan itu. Kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian
harta warisan itu disebabkan satu dan lain hal dapat berlaku atas
kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun
kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang
dengan suatu perpanjangan baru. 22
Pada dasarnya tidak semua ahli waris menerima harta warisan dari
pewaris. Dalam KUHPer orang-orang (ahli waris) yang tidak berhak
mendapatkan warisan dari pewaris karena perbuatannya yang tidak patut
(onverding) menerima warisan adalah: 23
1. Karena telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris (pasal 838
ayat 1).
22 Suqiyah Musafa‟ah, Kontekstualisasi Pemikiran Waris Abdullah Saeed Dalam
Hukum Kewarisan Di Indonesia , ISLAMICA, Volume 9, Nomor 2, (Maret 2015)., h.
450. 23
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana Prenadmedia Group, 2008)., h.267.
24
2. Karena memfitnah atau telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris
melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun (pasal
838 ayat 2).
3. Karena dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si pewaris
untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya (pasal 838 ayat 3).
4. Karena telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
pewaris (pasal 838 ayat 4).
5. Menolak untuk menjadi ahli waris (pasal 1057).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 383
memang tidak menyebutkan bahwa perbedaan agama di antara Pewaris
dan Ahli Waris menghalangi terjadinya hubungan saling mewaris. Dapat
diartikan bahwa di dalam Hukum Perdata jika anak memeluk agama yang
berbeda dari orang tua maka anak tersebut tetap dapat disebut sebagai Ahli
Waris yang sah menurut hukum dan memperoleh haknya sebagai Ahli
Waris Golongan I selama tidak melanggar ketentuan Pasal 838 KUH
Perdata.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, orang yang memeluk agama Islam dapat menggunakan
Pasal 838 KUH Perdata sebagai dasar untuk menentukan Ahli Warisnya
karena masih terdapat pilihan hukum (choice of law) dan pilihan lembaga
yang mengadili (choice of forum) dalam penyelesaian sengketa Waris
Islam. Namun sejak berlakunya undang-undang tersebut, yang mana
pilihan hukum dan pilihan lembaga yang mengadili dalam penyelesaian
sengketa Waris Islam telah dihapus, maka perihal Kewarisan pihak-pihak
yang memeluk agama Islam diselesaikan dengan Hukum Waris Islam. Jika
pihak non Islam tidak mau tunduk kepada Hukum Islam, maka hukum
yang dipakai adalah hukum agama yang dianut oleh Pewaris. Hal tersebut
sesuai dengan keputusan rakernas MA tahun 1985 yang berlangsung
tanggal 21-23 Maret 1985 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, yang
menyebutkan bahwa apabila terjadi perbedaan agama antara Pewaris dan
25
Ahli waris, yang diberlakukan adalah hukum waris yang berlaku bagi
Pewaris.24
B. Wasiat wajibah
1. Pendapat Ulama tentang Wasiat Wajibah
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi
hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat
merupakan tasharruf (semua bentuk interaksi manusia) terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang
berwasiat, dan berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.25
Pengertian wasiat juga terdapat dalam KHI Buku II Bab I Pasal 171
huruf f, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meniggal dunia.
Dasar hukum wasiat yaitu terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah
ayat 180 yang berbunyi:
حقا للوالدين والق ربين بالمع رو را الوصي كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ت رك خي على المتقين 26
Artinya:“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat secara ma‟ruf
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
24
Dhea Swasti Maharani, Akibat Hukum Anak Yang Berbeda Agama Dengan
Orang Tua Ditinjau Menurut Hukum Waris Di Indonesia(Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1582 K/Pdt/2012), Jurnal Privat Law Vol: 6 No: 1, 2018., h.
201
25
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Cet. 1, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1999), h. 237 26
QS Al-Baqarah (2:180)
26
Ayat ini menunjukan tentang diwajibkannya berwasiat untuk kedua
orangtua dan kerabat yang dekat. Tetapi menurut jumhur Ulama,
kewajiban memberi wasiat telah dinasakh (dibatalkan) setelah turunnya
ayat 7 surat An-Nisaa yang menjelaskan tentang pembagian waris.27
Menurut pandangan Ibnu Hazm berdasarkan surat Al-Baqarah ayat
180 dan ayat-ayat lain yang mengatur tentang pengalihan harta kekayaan
yang ditinggal mati pemiliknya, maka Ibnu Hazm memandang hukum
wasiat adalah wajib atas setiap oarang yang meninggalkan harta. Ibnu
Hazm berpendapat demikian karena ia mengacu pada nash secara tekstual
yang menyatakan kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut
berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta maka apabila
seseorang meninggal dunia dan oarng tersebut tidak berwasiat, hartanya
haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi kewajiban wasiat
tersebut. Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum Muslimin
adalah penguasa dan urusan wasiat termasuk salah satu urusan pada diri
setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa haruslah bertindak untuk
memberikan sebagian harta peninggalan sebagaimana tersebut diatas guna
memenuhi kewajiban wasiat. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut
maka muncullah istilah wasiat wajibah.28
Istilah wasiat wajibah tidak dikemukakan dalam kitab-kitab klasik,
sehingga sewaktu istilah ini muncul diartikan dengan wasiat yang
hukumnya wajib dilaksanakan. Istilah wasiat wajibah merupakan istilah
tersendiri yang pengertiannya hukum wasiat yang wajib.29
Jadi yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan
atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik
diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak
27
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014) h, 52 28
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, hlm, 55 29
Muchit A. Karim , problematika hukum kewarisan islam kontemporer di
indonesi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diktat Kementerian Agama RI, 2012)., hlm, 267.
27
dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat
tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau
ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-
alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus
dilaksanakan.30
Ada perbedaan pendapat tentang keberlakuannya wasiat wajibah di
kalangan para ulama, ada ulama yang memberlakukan ada pula yang tidak
memberlakukan wasiat wajibah ini. Pendapat yang memberlakukan wasiat
wajibah adalah Sebagian ulama seperti Ibnu Hazm azh-Zhahiri, ath-
Thabari, Abu Bakr bin Abdul Aziz dari golongan Hambali, mereka
berpendapat wasiat adalah kewajiban yang bersifat utang dan pemenuhan
untuk kedua orang tua serta kerabat yang tidak bisa mewarisi. Karena,
meraka terhalang untuk bisa mewarisi atau karena ada sesuatu yang
menghalangi mereka seperti perbedaan agama.31
Di samping ulama yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat
wajibah bagi orang tua dan kerabat yang tidak mendapatkan bagian
(Penerimaan) harta peninggalan, dalam ayat 180 surat al-Baqarah tetap ada
dan diberlakukan, ada pula yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut
telah dinasakh, dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Mereka yang
berpendapat demikian ialah antara Iain, Ibnu Umar dan Baidhawi. 32
Perbedaan pendapat para ulama mengenai keberadaan ketentuan
wasiat wajibah terletak pada pemberlakuan mereka mengenai nasakh
(nasakh mansukh) terhadap nash (al-Qur‟ an). Mereka yang menyatakan
ayat al-Qur‟an (termasuk ayat 180 surat al-Baqarah) dapat dinasakh, baik
oleh ayat al-Qur‟an (yang lain), al-Hadits, maupun ijma‟, sama sekali tidak
membolehkan wasiat wajibah. Sedangkan mereka yang tidak
memberlakukan nasakh, mereka yang memberlakukan nasakh tetapi
terhadap ayat 180 surat al-Baqarah tersebut hanya nasakh sebagian, dan
30
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), hlm.163 31
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, hlm, 245 32
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, hlm.169
28
mereka yang menyatakan bahwa ayat tersebut hanya ditakhshish33
oleh
ayat mawaris, membolehkan pemberian wasiat wajibah terhadap orangtua
dan kerabat yang tidak mendapatkan bagian (penerimaan) harta
peninggalan pewaris.34
2. Wasiat Wajibah di Beberapa Negara Muslim
Ketentuan wasiat wajibah ini berlaku pula di Mesir dan di beberapa
Negara Muslim lainnya. Mesir memberikan akses harta kepada cucu yatim
melalui instistusi wasiat wajibah, ketentuan wasiat wajibah di Mesir
termuat dalam “Qanunul Wasiat” yaitu Undang-Undang Wasiat Mesir
Nomor 71 Tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut dapat di simpulkan
bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu yang
orangtuanya telah meninggal lebih dahulu atau cucu yatim, cucu atau para
cucu keturunan anak perempuan (generasi pertama) dan keturunan anak
laki-laki (seluruh generasi), mereka terhijab karena adanya anak laki-laki
pewaris langsung (saudara lelaki ayah meraka). Batas maksimal wasiat
wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan.35
Prinsip-prinsip ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan di
Mesir, dengan sedikit perubahan, dimuat dalam perundang-undangan
Maroko yakni Code of Personal Status, yang tercantum pada pasal 266
sampai dengan 269.36
Perbedaan yang mendasar dari kedua perundang-
undangan tersebut terletak pada cucu yang mana sajakah yang berhak
menerima wasiat wajibah. Menurut undang-undang Maroko orang yang
berhak menerima wasiat wajibah hanyalah para cucu (dan seterusnya ke
bawah) dari keturunan anak laki-laki, sedangkan cucu atau para cucu dari
33
takhshish adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk
didalam „amm 34
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, hlm. 171 35
Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) hlm. 191 36
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, hlm.178
29
keturunan anak perempuan (sekalipun dalam tingkat pertama) tidak berhak
menerimanya.37
Ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan di Maroko tersebut
sama dengan ketentuan yang diberlakukan di Suriah. Hal ini dapat dilihat
dari pasal 257-288 Undang-undang Personal Status Suriah tahun 1953
yang menentukan bahwa wasiat wajibah diberlakukan bagi keturunan
langsung melalui garis laki-laki yang meninggal dunia lebih dahulu
daripada ayahnya (pewaris) dan tidak berlaku bagi keturunan langsung
melalui anak perempuan.38
Wasiat wajibah juga dimuat dan diberlakukan di Tunisia, yakni
dalam Qanunul Ahwalussyahsiyah (Tunisia Law Personal Status).
Perbedaannya terletak pada ketentuan yang menyatakan bahwa
penerimaan wasiat wajibah hanya diberikan kepada cucu atau para cucu,
baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan
dalam tingkat pertama (first generation).39
3. Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Di indonesia sendiri wasiat wajibah nampaknya merupakan hasil
dari pertemuan dua sistem hukum, yakni hukum islam yang sama sekali
tidak mengenal anak angkat dan hukum adat yang memperlakukan anak
angkat sebagai anak kandung.40
Wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu
membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah ini hanya kepada
37
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, hlm.179 38
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, hlm, 57 39
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, hlm.179 40
Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) hlm, 98-99.
30
anak angkat dan orangtua angkat saja.41
Dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan dalam pasal 209 :
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya
Pasal ini merupakan dasar hukum dalam KHI tentang eksistensi
wasiat wajibah dalam sistem hukum kewarisan Islam. Dari pasal tersebut,
ada beberapa ketentuan yang dapat disimpulkan mengenai wasiat wajibah,
yaitu sabagai berikut: 42
1. ketentuan mengenai pihak yang berhak mendapatkan wasiat wajibah,
yaitu orangtua angkat dan anak angkat.
2. Orangtua atau anak angkat yang berhak menerima wasiata wajibah
adalah mereka yang secara nyata tidak diberi wasiat oleh pewaris.
Dalam hal ini, wasiat yang diterima oleh kedua pihak tersebut bukan
langsung dinyatakan oleh pewaris, melainkan diberikan oleh negara
dalam bentuk wasiat wajibah.
3. Bagian yang dapat diterima oleh orangtua angkat maupun anak angkat
yaitu sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan pewaris.
41
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 168 42
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, hlm, 62
31
Secara yuridis dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
pengangkatan anak tidaklah memutuskan hubungan darah antara anak
dengan orang tuanya dan keluarga orangtuanya berdasarkan hukum hukum
yang berlaku bagi anak yang bersangkutan. Sejalan dengan hal itu KHI
juga tidak mengadaptasi dan mengkompromikannya menjadi nilai hukum
Islam. Terbukti dengan memberikan pengertian anak angkat sebatas dalam
hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari serta biaya pendidikan dan
itupun keabsahan statusnya harus berdasarkan putusan pengadilan. Status
anak angkat yang demikian tentu tetap tidak merubah kenyataan bahwa
anak angkat adalah bukan sebagai ahli waris dan karenanya tidak
memperoleh warisan. Namun sebagai wujud rasa keadilan dan maslahat
yang berkembang di Indonesia serta kompromi dengan hukum adat, anak
angkat kemudian mendapatkan wasiat wajibah paling banyak 1/3 bagian.
Dengan hubungan yang demikian maka kemudian orangtua angkat juga
mendapatkan warisan dari anak angkatnya berupa wasiat wajibah yang
sebanyak-banyaknya 1/3 bagian.43
Pemberian wasiat wajibah khususnya kepada anak angkat maupun
orangtua angkat dapat mewujudkan keadilan terutama bila ada hubungan
emosional yang sangat kuat antara anak angkat dengan orangtua angkatnya
sehingga akan menjadi sangat tidak adil bila anak angkat tidak
mendapatkan bagian atas harta waris yang dimiliki oleh orangtua
angkatnya.44
Pemberian warisan kepada anak angkat atau orangtua angkat dengan
menggunakan konsep wasiat wajibah dalam KHI, pada umumnya bukan
didasarkan kepada landasan syari‟at tetapi lebih didasarkan kepada logika
43
Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, hlm,
102. 44
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, hlm, 64
32
hukum adat dan pertimbangan kemanusian antara ahli waris untuk
memberikan sebagian harta waris kepada saudara atau anak angkat.45
45
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, h. 263
15
BAB II
KEWARISAN BEDA AGAMA dan WASIAT WAJIBAH
A. Kewarisan Beda Agama
1. Pengertian Kewarisan Beda Agama
Salah satu penghalang mendapatkan warisan adalah karena
perbedaan agama. Pengertian kewarisan beda agama adalah agama
pewaris berlainan dengan agama ahli waris. Misalnya pewaris beragama
Islam, sedangkan ahli warisnya beragama kristen. Demikian juga
sebaliknya.1 Kewarisan beda agama adalah istilah yang dapat digunakan
untuk mengacu kejadian di mana pihak-pihak yang terlibat dalam
kewarisan berasal dari latar belakang agama yang berlainan. Dalam kasus-
kasus seperti ini, pewaris semasa hidup menganut agama yang berbeda
dari yang dianut oleh satu atau lebih ahli warisnya.2
Persoalan muncul terutama ketika pihak yang meninggal beragama
Islam dan ingin menerapkan prinsip-prinsip hukum waris Islam dalam
pembagian harta warisan tanpa mempertimbangkan bahwa ada salah
seorang atau seluruh ahli warisnya yang tidak menganut agama Islam.
Dalam kasus seperti ini, ahli waris yang tidak beragama Islam biasanya
menderita kerugian karena jika yang diterapkan adalah hukum waris Islam,
maka mereka tidak akan memperoleh jatah harta warisan. 3
Problemnya adalah ketika pihak non-Muslim yang mengikuti hukum
waris Iain, seperti hukum waris adat atau Burgelijk Wetboek, tidak mau
kehilangan jatahnya semata karena perbedaan agama tersebut, terlebih
ketika sistem hukum yang dianutnya (yang juga diakui oleh negara) justru
mengajarkan sebaliknya. Dari sudut hukum, persoalan dalam kasus ini
bukan semata karena adanya perbedaan agama antara pewaris dengan ahli
1 Teungku muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dkk , Fiqh Mawaris, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997)., h. 46. 2 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta : Pustaka Alvabet,
2008).,h. 444 3 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,.,h. 444
16
warisnya, tapi juga karena memang sudah ada konflik hukum di antara dua
tradisi waris yang dianut oleh kedua belah pihak. 4
Di masa sekarang, masalah kewarisan diatur oleh beberapa hukum
dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah, yakni yang terangkum
dalam KUHPer (hukum Nasional) dan Kompilasi Hukum Islam (ajaran
hukum waris Islam). Jelaslah kalau gagasan yang jadi latar pemisahan
masalah kewarisan di sini adalah memisahkan orang-orang yang menaati
hukum Islam dengan mereka yang menaati hukum non-Islam. Akibat
pemisahan substantif inilah (ditambah pula dengan pemisahan tata
administrasinya) persoalan kewarisan beda agama menjadi makin rumit.5
Persoalan kewarisan beda agama diperparah oleh kenyataan bahwa
kalau dalam KUHPer tidak terdapat pernyataan yang mengizinkan atau
membatalkan kewarisan beda agama, sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam tercantum bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam, jadi
antara orang Muslim dengan non-Muslim tidak boleh saling mewarisi.6
Aturan ini memang ditetapkan untuk tidak menyalahi atau menyimpang
dari hukum Islam yang selama ini dipahami dan diyakini masyarakat
Muslim Indonesia, seperti juga aturan-aturan lain yang dicantumkan dalam
KHI. Terkait dengan aturan ini, beberapa kasus yang dibawa ke
Pengadilan Agama terkait dengan kewarisan antar-agama ini diputuskan
dengan mengacu pada aturan ini.7
Konflik hukum dalam kebanyakan kasus juga diikuti oleh kendala-
kendala yudisial karena dalam rangka mencari penyelesaian, pihak Muslim
selalu membawa perkara mereka ke Pengadilan Agama, sementara pada
saat yang sama pihak non-Muslim akan pergi ke pengadilan umum. Sikap
ini dapat dimaklumi karena masing-masing pihak ingin mengikuti hukum
waris yang lebih sesuai dengan keinginannya. Sudah barang tentu konflik
4 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.,h. 444. 5 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.,h. 445
6 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.,h. 445
7 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 94.
17
hukum bukan perkara sederhana karena negara sendiri tidak dipersiapkan
untuk melakukan berbagai upaya pencarian resolusi. Satu-satunya harapan
terletak di genggaman hakim yang bisa membuat resolusi apa pun terhadap
konflik kewarisan beda agama yang memang terbukti tidak bisa
ditanggulangi dengan undang-undang negara saja. Karena itu, perlu
kiranya dilihat bagaimana hakim mengemukakan penalaran dan
argumennya dalam proses analisis terhadap konflik kewarisan beda agama.
Lewat jalur ini, bagaimana sikap umum negara terhadap tradisi hukum
yang berkembang di tanah air juga bisa terbukti jelas.8
Menarik untuk dicatat bahwa belakangan ini telah terjadi sebuah
pengembangan dan kemajuan hukum terkait dengan isu kewarisan beda
agama. Pengembangan tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa
Mahkamah Agung telah membuat gebrakan baru terkait hal ini. Gebrakan
tersebut dapat dengan nyata dilihat dari putusan-putusannya yang
memberikan celah dan peluang kepada pihak non-Muslim untuk dapat
menerima bagian harta dari pewaris Muslim.9
2. Kewarisan Beda Agama dalam Hukum Islam
Para fuqaha telah bersepakat bahwasanya, berlainan agama antara
orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah
satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Hal ini telah
disepakati oleh semua fuqaha, Kesepakatan para fuqaha tentang aturan ini
dapat terekam pada sebuah redaski dalam sebuah buku fikih bahwa, "telah
sepakat para fuqaha bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk
mewarisi, yaitu: perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama”.10
Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi
antara satu agama dengan syariat yang berbeda. Agama ahli waris yang
berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris,
sebagaimana sabda Nabi saw :
8 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler , h. 446.
9 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, h. 94
10 Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, h. 92.
18
ث نا أبو عاصم عن ابن جريج عن ابن شهاب عن ع زيد رضي لي بن حسين عن عمرو بن عثمان عن أسامة بن حد
هما أن لنبي صلى اللو عليو وسلم 11المسلم الكافر ول المسلملكافر يرث ل قال اللو عن
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih
dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru Bin Usman
dari Usamah bin Zaid radialahu „anhuma, Nabi Shallallahu
„alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari
orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
ه عبد اللو بن عمرو، قال : قال وروى أبو داود بإسناده: عن عمرو بن شعيب، عن أبيو، عن جد
12«لي ت وارث أىل ملت ين شتى»رسول اللو صلى اللو عليو وسلم
Artinya:“ diriwayatkan Abu Daud dengan sanadnya: dari Umar Bin Sueb,
dari Ayahnya, dari Kakeknya Abdullah Bin Umar, Dia berkata:
Rasulullah bersabda :Tidak dapat saling mewarisi antara dua
orang pemeluk agama yang berbeda.”
Isi kedua hadis tersebut selaras dengan firman Allah surat An-Nisa ayat
141:
ولن يجعل اللو للكافرين على المؤمنين سبيل 13
Artinya:”Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi
orang-orang kafir terdapat orang mu‟min (untuk menguasai
harta orang mu‟min)”
11 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhori, Tahqiq: Muhammad Zuhair
bin Naasir An Naasir, Shahih Bukhari, hadis ke-6764,(Damaskus: Daaru Taukon Najaat,
1422)., h. 156. 12
Abu Muhammad Muafiq Addin Abdullah, Al Mughni li Ibni Qudamah, Jilid 6
( kairo: Maktabah Kairo, 1968 M/1388 H).,h. 368. 13
QS An-Nisa (4: 141)
19
Namun meskipun demikian, kesepakatan para ulama14
ternyata
hanya pada kasus di mana si pewaris adalah muslim dan ahli waris non-
Muslim. Terkait dengan boleh atau tidaknya ahli waris Muslim mewarisi
pewaris non-Muslim, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama
berpendapat bahwa ahli waris Muslim tetap tidak dapat mewarisi pewaris
non-Muslim, atau pewaris non-Muslim tidak dapat memberikan kewarisan
pada Muslim. Pendapat jumhur ini didasarkan juga pada hadis yang telah
disebutkan sebelumnya. Sedangkan beberapa ulama lain seperti Muadz Ibn
Jabal, Muawiyah, Masruk (generasi sahabat) dan Ibnu Musayab (generasi
tabiin) serta kalangan Syiah Imamiyah, mengemukakan bahwa ahli waris
Muslim dapat mewarisi pewaris non-Muslim.15
Mereka juga berargumen
dengan hadist berikut:
16ي على ول ي علو اإلسلم :وسلم عليو اللو صلى اهلل رسول قال
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: "Islam adalah tinggi dan tidak ada
yang mengunggulinya".
Dengan hadits ini, mereka berpendapat bahwa termasuk dari makna
ketinggian adalah seorang muslim dapat mewarisi harta peninggalan orang
kafir, tapi orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.
Pendapat mereka ini ditolak bahwa yang dimaksud dengan tinggi adalah
dari segi argumentasi atau dari segi kekuasaan dan kemenangan.17
Selain hadis dan ayat di atas, Nabi saw mempraktikkan, bahwa
perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak bisa saling mewarisi.
Pada saat Abu Thalib, paman kesayangan beliau, meninggal dunia. Abu
Thalib meninggal belum masuk Islam, dan meninggalkan empat orang
anak, yaitu 'Uqail dan Thalib yang belum masuk Islam, dan Ali serta Ja'far
14
Selanjutnya penulis akan menggunakan kata ulama dan tidak akan menggunakan
kata fuqaha 15
Asep Saepudin Jahar,Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, h. 92. 16
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cetakan ke-10, jilid 10
(Damaskus: Darul fikr suriah damaskus, 2011)., h. 358. 17
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu., h. 359.
20
yang telah masuk Islam. Oleh Rasulullah Saw, harta warisan diberikan
hanya kepada 'Uqail dan Thalib. Sementara Ali dan Ja'far tidak diberi
bagian warisan. Apa yang Rasulullah Saw tersebut, menunjukkan dengan
bahwa perbedaan agama, antara Islam dan non-Islam, menjadi penghalang
untuk bisa saling mewarisi.18
3. Kewarisan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam terbentuk sebagai hasil dari kerja keras dari
panitia yang ditunjuk dalam SKB (Surat Keputusan Bersama), yang
berlangsung sejak tahun 1985 sampai dengan tahun 1988 dan dilakukan
melalui seminar, telaah kitab-kitab fikih dan yurisprudensi, serta studi
banding ke beberapa negara muslim. Puncaknya adalah diadakan
lokakarya di Jakarta pada tahun 1988. Bahkan berbagai upaya telah
diusahakan agar buah karya para ulama dan cendekiawan muslim tersebut
mendapat payung hukum sebagai bagian dari peraturan perundang-
undangan, namun yang diperoleh hanya berupa instruksi presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 1991.19
Sejak tahun 1991, berdasarkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, Indonesia telah memiliki Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang secara de facto maupun de jure menjadi
pegangan utama umumnya para hakim dalam lingkungan pengadilan
agama dalam menyelesaikan sengketa yang salah satunya adalah hukum
kewarisan yang diajukan oleh para pencari keadilan. 20
Buku II Kompilasi Hukum Islam, yang memuat tentang hukum
kewarisan ini terdiri atas VI Bab dan 44 Pasal, yakni mulai Pasal 171
sampai Pasal 214. Buku II KHI pada dasarnya mengatur ihwal ketentuan
18
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2015), h. 320-321
19 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011)., h. 4. 20 Muhammad Amin Suma, Keadila Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)., h. 99.
21
umum (Bab I Pasal 171), ahli waris (Bab II Pasal 172 - 175), besarnya
bagian [masing-masing ahli Waris] (Bab 111 Pasal 176 - 191), aul dan rad
(Bab IV Pasal 192-193), wasiat (Bab V pasal 194 - 209), dan hibah (Bab
VI 210-214).
Sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, khususnya Buku
II tentang Hukum Kewarisan dalam KHI, sejak awal telah menimbulkan
kontradiksi, baik teks pasal yang dianggap bertentangan dengan nash,
maupun penghapusan hukum-hukum, seperti ashabah, beda agama, hajib-
mahjub, dan lain-lain, yang turut berimplikasi kepada munculnya
disparitas putusan hakim di pengadilan agama.21
Dari ketiga contoh yang
menjadi kontradiksi di atas, penulis akan membahas tentang beda agama.
Dalam KHI tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama
antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi. Kompilasi
Hukum Islam hanya nenegaskan bahwa pewaris beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris yang terdapat dalam pasal 171 huruf b.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 huruf b)
Kemudian identitas ahli waris hanya dijelaskan dalam Pasal 171
huruf c, yaitu: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama
islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.(Pasal
171 huruf c).
Melihat isi dari pasal 171 huruf b dan c diatas, bisa di simpulkan
bahwa baik pewaris maupun ahli waris haruslah beragama islam. Melihat
peraturan yang ada dalam Pasal 171 huruf (c) dan syarat yang berhak
menjadi ahli waris menurut hukum waris Islam yakni ahli waris
mempunyai hubungan darah, hubungan perkawinan dan beragam Islam,
tentu sehubungan dengan peraturan yang ada maka ahli waris yang
21
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia., h. 4.
22
beragama non-Islam tidak berhak untuk menjadi ahli waris dari si Pewaris
karena ada salah satu syarat menjadi terhalangnya ahli waris mendapatkan
hak menjadi ahli waris.
Selanjutnya tentang halangan mendapatkan warisan terdapat dalam
pasal 173 dimana dijelaskan tentang terhalangnya ahli waris untuk
mewarisi harta benda keluarganya bisa karena ditetapkan oleh seorang
Hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu bila dia
dihukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa dalan
Kompilasi Hukum Islam jika perbedaan agama tidak termasuk kelompok
penghalang mendapatkan warisan. Namun jika dilihat dari pasal 171 huruf
c yang mengatakan bahwa pewaris dan ahli waris yang saat meninggalnya
mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama
islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Begitupula yang terdapat dalam pasal 171 huruf b bahwa pewaris harus
beragama islam, maka dapatlah di simpulkan bahwa berbeda agama tidak
boleh saling mewarisi.
4. Kewarisan Beda Agama dalam KUHPerdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku di
Indonesia adalah berasal dari BURGELIJK WETBOEK (BW) yang terdiri
dari 4 buku, yakni:
1. Buku kesatu tentang orang,
2. Buku kedua tentang kebendaan,
23
3. Buku ketiga tentang perikatan, dan
4. Buku keempat tentang pembuktian dan daluarsa.
Hukum waris diatur dalam buku II KUHPer yaitu pasal 830 sampai
dengan pasal 1130. Buku II KUHPer ini berkaitan dengan hukum
kebendaan. Di dalam KUHPer tidak ditemukan pengertian tentang hukum
waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsepsi tentang pewarisan, orang
yang berhak dan tidak berhak menerima kewarisan, dan lainnya.
Hukum waris Barat yang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
(BW) yang menganut sistem individual, di mana harta peninggalan
pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini
berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti Eropa,
Cina, bahkan keturunan Arab dan lainnya yang tidak lagi berpegang teguh
pada ajaran agamanya. Ini berarti hukum waris Barat menganut aturan
bahwa saat pewaris wafat, harta warisan langsung dibagikan kepada ahli
waris. Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan yang belum
dibagi segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan
dengan itu. Kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian
harta warisan itu disebabkan satu dan lain hal dapat berlaku atas
kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun
kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang
dengan suatu perpanjangan baru. 22
Pada dasarnya tidak semua ahli waris menerima harta warisan dari
pewaris. Dalam KUHPer orang-orang (ahli waris) yang tidak berhak
mendapatkan warisan dari pewaris karena perbuatannya yang tidak patut
(onverding) menerima warisan adalah: 23
1. Karena telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris (pasal 838
ayat 1).
22 Suqiyah Musafa‟ah, Kontekstualisasi Pemikiran Waris Abdullah Saeed Dalam
Hukum Kewarisan Di Indonesia , ISLAMICA, Volume 9, Nomor 2, (Maret 2015)., h.
450. 23
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana Prenadmedia Group, 2008)., h.267.
24
2. Karena memfitnah atau telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris
melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun (pasal
838 ayat 2).
3. Karena dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si pewaris
untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya (pasal 838 ayat 3).
4. Karena telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
pewaris (pasal 838 ayat 4).
5. Menolak untuk menjadi ahli waris (pasal 1057).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 383
memang tidak menyebutkan bahwa perbedaan agama di antara Pewaris
dan Ahli Waris menghalangi terjadinya hubungan saling mewaris. Dapat
diartikan bahwa di dalam Hukum Perdata jika anak memeluk agama yang
berbeda dari orang tua maka anak tersebut tetap dapat disebut sebagai Ahli
Waris yang sah menurut hukum dan memperoleh haknya sebagai Ahli
Waris Golongan I selama tidak melanggar ketentuan Pasal 838 KUH
Perdata.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, orang yang memeluk agama Islam dapat menggunakan
Pasal 838 KUH Perdata sebagai dasar untuk menentukan Ahli Warisnya
karena masih terdapat pilihan hukum (choice of law) dan pilihan lembaga
yang mengadili (choice of forum) dalam penyelesaian sengketa Waris
Islam. Namun sejak berlakunya undang-undang tersebut, yang mana
pilihan hukum dan pilihan lembaga yang mengadili dalam penyelesaian
sengketa Waris Islam telah dihapus, maka perihal Kewarisan pihak-pihak
yang memeluk agama Islam diselesaikan dengan Hukum Waris Islam. Jika
pihak non Islam tidak mau tunduk kepada Hukum Islam, maka hukum
yang dipakai adalah hukum agama yang dianut oleh Pewaris. Hal tersebut
sesuai dengan keputusan rakernas MA tahun 1985 yang berlangsung
tanggal 21-23 Maret 1985 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, yang
menyebutkan bahwa apabila terjadi perbedaan agama antara Pewaris dan
25
Ahli waris, yang diberlakukan adalah hukum waris yang berlaku bagi
Pewaris.24
B. Wasiat wajibah
1. Pendapat Ulama tentang Wasiat Wajibah
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi
hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat
merupakan tasharruf (semua bentuk interaksi manusia) terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang
berwasiat, dan berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.25
Pengertian wasiat juga terdapat dalam KHI Buku II Bab I Pasal 171
huruf f, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meniggal dunia.
Dasar hukum wasiat yaitu terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah
ayat 180 yang berbunyi:
حقا را الوصية للوالدين والق ربين بالمع رو كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ت رك خي على المتقين 26
Artinya:“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat secara ma‟ruf
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
24
Dhea Swasti Maharani, Akibat Hukum Anak Yang Berbeda Agama Dengan
Orang Tua Ditinjau Menurut Hukum Waris Di Indonesia(Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1582 K/Pdt/2012), Jurnal Privat Law Vol: 6 No: 1, 2018., h.
201
25
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Cet. 1, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1999), h. 237 26
QS Al-Baqarah (2:180)
26
Ayat ini menunjukan tentang diwajibkannya berwasiat untuk kedua
orangtua dan kerabat yang dekat. Tetapi menurut jumhur Ulama,
kewajiban memberi wasiat telah dinasakh (dibatalkan) setelah turunnya
ayat 7 surat An-Nisaa yang menjelaskan tentang pembagian waris.27
Menurut pandangan Ibnu Hazm berdasarkan surat Al-Baqarah ayat
180 dan ayat-ayat lain yang mengatur tentang pengalihan harta kekayaan
yang ditinggal mati pemiliknya, maka Ibnu Hazm memandang hukum
wasiat adalah wajib atas setiap oarang yang meninggalkan harta. Ibnu
Hazm berpendapat demikian karena ia mengacu pada nash secara tekstual
yang menyatakan kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut
berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta maka apabila
seseorang meninggal dunia dan oarng tersebut tidak berwasiat, hartanya
haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi kewajiban wasiat
tersebut. Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum Muslimin
adalah penguasa dan urusan wasiat termasuk salah satu urusan pada diri
setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa haruslah bertindak untuk
memberikan sebagian harta peninggalan sebagaimana tersebut diatas guna
memenuhi kewajiban wasiat. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut
maka muncullah istilah wasiat wajibah.28
Istilah wasiat wajibah tidak dikemukakan dalam kitab-kitab klasik,
sehingga sewaktu istilah ini muncul diartikan dengan wasiat yang
hukumnya wajib dilaksanakan. Istilah wasiat wajibah merupakan istilah
tersendiri yang pengertiannya hukum wasiat yang wajib.29
Jadi yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan
atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik
diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak
27
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014) h, 52 28
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, h, 55 29
Muchit A. Karim , problematika hukum kewarisan islam kontemporer di
indonesi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diktat Kementerian Agama RI, 2012)., h, 267.
27
dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat
tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau
ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-
alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus
dilaksanakan.30
Ada perbedaan pendapat tentang keberlakuannya wasiat wajibah di
kalangan para ulama, ada ulama yang memberlakukan ada pula yang tidak
memberlakukan wasiat wajibah ini. Pendapat yang memberlakukan wasiat
wajibah adalah Sebagian ulama seperti Ibnu Hazm azh-Zhahiri, ath-
Thabari, Abu Bakr bin Abdul Aziz dari golongan Hambali, mereka
berpendapat wasiat adalah kewajiban yang bersifat utang dan pemenuhan
untuk kedua orang tua serta kerabat yang tidak bisa mewarisi. Karena,
meraka terhalang untuk bisa mewarisi atau karena ada sesuatu yang
menghalangi mereka seperti perbedaan agama.31
Di samping ulama yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat
wajibah bagi orang tua dan kerabat yang tidak mendapatkan bagian
(Penerimaan) harta peninggalan, dalam ayat 180 surat al-Baqarah tetap ada
dan diberlakukan, ada pula yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut
telah dinasakh, dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Mereka yang
berpendapat demikian ialah antara Iain, Ibnu Umar dan Baidhawi. 32
Perbedaan pendapat para ulama mengenai keberadaan ketentuan
wasiat wajibah terletak pada pemberlakuan mereka mengenai nasakh
(nasakh mansukh) terhadap nash (al-Qur‟ an). Mereka yang menyatakan
ayat al-Qur‟an (termasuk ayat 180 surat al-Baqarah) dapat dinasakh, baik
oleh ayat al-Qur‟an (yang lain), al-Hadits, maupun ijma‟, sama sekali tidak
membolehkan wasiat wajibah. Sedangkan mereka yang tidak
memberlakukan nasakh, mereka yang memberlakukan nasakh tetapi
terhadap ayat 180 surat al-Baqarah tersebut hanya nasakh sebagian, dan
30
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), h.163 31
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h, 245 32
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, h.169
28
mereka yang menyatakan bahwa ayat tersebut hanya ditakhshish33
oleh
ayat mawaris, membolehkan pemberian wasiat wajibah terhadap orangtua
dan kerabat yang tidak mendapatkan bagian (penerimaan) harta
peninggalan pewaris.34
2. Wasiat Wajibah di Beberapa Negara Muslim
Ketentuan wasiat wajibah ini berlaku pula di Mesir dan di beberapa
Negara Muslim lainnya. Mesir memberikan akses harta kepada cucu yatim
melalui instistusi wasiat wajibah, ketentuan wasiat wajibah di Mesir
termuat dalam “Qanunul Wasiat” yaitu Undang-Undang Wasiat Mesir
Nomor 71 Tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut dapat di simpulkan
bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu yang
orangtuanya telah meninggal lebih dahulu atau cucu yatim, cucu atau para
cucu keturunan anak perempuan (generasi pertama) dan keturunan anak
laki-laki (seluruh generasi), mereka terhijab karena adanya anak laki-laki
pewaris langsung (saudara lelaki ayah meraka). Batas maksimal wasiat
wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan.35
Prinsip-prinsip ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan di
Mesir, dengan sedikit perubahan, dimuat dalam perundang-undangan
Maroko yakni Code of Personal Status, yang tercantum pada pasal 266
sampai dengan 269.36
Perbedaan yang mendasar dari kedua perundang-
undangan tersebut terletak pada cucu yang mana sajakah yang berhak
menerima wasiat wajibah. Menurut undang-undang Maroko orang yang
berhak menerima wasiat wajibah hanyalah para cucu (dan seterusnya ke
bawah) dari keturunan anak laki-laki, sedangkan cucu atau para cucu dari
33
takhshish adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk
didalam „amm 34
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, h. 171 35
Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) h. 191 36
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, h.178
29
keturunan anak perempuan (sekalipun dalam tingkat pertama) tidak berhak
menerimanya.37
Ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan di Maroko tersebut
sama dengan ketentuan yang diberlakukan di Suriah. Hal ini dapat dilihat
dari pasal 257-288 Undang-undang Personal Status Suriah tahun 1953
yang menentukan bahwa wasiat wajibah diberlakukan bagi keturunan
langsung melalui garis laki-laki yang meninggal dunia lebih dahulu
daripada ayahnya (pewaris) dan tidak berlaku bagi keturunan langsung
melalui anak perempuan.38
Wasiat wajibah juga dimuat dan diberlakukan di Tunisia, yakni
dalam Qanunul Ahwalussyahsiyah (Tunisia Law Personal Status).
Perbedaannya terletak pada ketentuan yang menyatakan bahwa
penerimaan wasiat wajibah hanya diberikan kepada cucu atau para cucu,
baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan
dalam tingkat pertama (first generation).39
3. Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Di indonesia sendiri wasiat wajibah nampaknya merupakan hasil
dari pertemuan dua sistem hukum, yakni hukum islam yang sama sekali
tidak mengenal anak angkat dan hukum adat yang memperlakukan anak
angkat sebagai anak kandung.40
Wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu
membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah ini hanya kepada
37
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, h.179 38
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, h, 57 39
Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, h.179 40
Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) h, 98-99.
30
anak angkat dan orangtua angkat saja.41
Dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan dalam pasal 209 :
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya
Pasal ini merupakan dasar hukum dalam KHI tentang eksistensi
wasiat wajibah dalam sistem hukum kewarisan Islam. Dari pasal tersebut,
ada beberapa ketentuan yang dapat disimpulkan mengenai wasiat wajibah,
yaitu sabagai berikut: 42
1. ketentuan mengenai pihak yang berhak mendapatkan wasiat wajibah,
yaitu orangtua angkat dan anak angkat.
2. Orangtua atau anak angkat yang berhak menerima wasiata wajibah
adalah mereka yang secara nyata tidak diberi wasiat oleh pewaris.
Dalam hal ini, wasiat yang diterima oleh kedua pihak tersebut bukan
langsung dinyatakan oleh pewaris, melainkan diberikan oleh negara
dalam bentuk wasiat wajibah.
3. Bagian yang dapat diterima oleh orangtua angkat maupun anak angkat
yaitu sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan pewaris.
41
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 168 42
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, h, 62
31
Secara yuridis dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
pengangkatan anak tidaklah memutuskan hubungan darah antara anak
dengan orang tuanya dan keluarga orangtuanya berdasarkan hukum hukum
yang berlaku bagi anak yang bersangkutan. Sejalan dengan hal itu KHI
juga tidak mengadaptasi dan mengkompromikannya menjadi nilai hukum
Islam. Terbukti dengan memberikan pengertian anak angkat sebatas dalam
hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari serta biaya pendidikan dan
itupun keabsahan statusnya harus berdasarkan putusan pengadilan. Status
anak angkat yang demikian tentu tetap tidak merubah kenyataan bahwa
anak angkat adalah bukan sebagai ahli waris dan karenanya tidak
memperoleh warisan. Namun sebagai wujud rasa keadilan dan maslahat
yang berkembang di Indonesia serta kompromi dengan hukum adat, anak
angkat kemudian mendapatkan wasiat wajibah paling banyak 1/3 bagian.
Dengan hubungan yang demikian maka kemudian orangtua angkat juga
mendapatkan warisan dari anak angkatnya berupa wasiat wajibah yang
sebanyak-banyaknya 1/3 bagian.43
Pemberian wasiat wajibah khususnya kepada anak angkat maupun
orangtua angkat dapat mewujudkan keadilan terutama bila ada hubungan
emosional yang sangat kuat antara anak angkat dengan orangtua angkatnya
sehingga akan menjadi sangat tidak adil bila anak angkat tidak
mendapatkan bagian atas harta waris yang dimiliki oleh orangtua
angkatnya.44
Pemberian warisan kepada anak angkat atau orangtua angkat dengan
menggunakan konsep wasiat wajibah dalam KHI, pada umumnya bukan
didasarkan kepada landasan syari‟at tetapi lebih didasarkan kepada logika
43
Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h, 102. 44
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, h, 64
32
hukum adat dan pertimbangan kemanusian antara ahli waris untuk
memberikan sebagian harta waris kepada saudara atau anak angkat.45
45
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, h. 263
33
BAB III
PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BANDUNG NOMOR
4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg
A. Duduk Perkara
Salah satu kasus perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia
terkait dengan isu kewsarisan beda agama adalah Penetapan Pengadilan
Agama Bandung Nomor 4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg. Berawal dari Para pemohon
adalah R. Agus Prabowo (PEMOHON I), dan R. Mikro Sundoto
(PEMOHON II), melalui kuasa hukum para pemohon mengajukan
permohonan penetapan ahli waris dari R. Soewarkoesno (ayah dari para
pemohon) dan Ni Made Rai Ningsih (ibu dari para pemohon).
Ayah dari para pemohon (R. Soewarkoesno) yang lahir di Cilacap
tanggal 9 April 1937 telah menikah dengan ibu para pemohon (Ni Made Rai
Ningsih) lahir di Singaraja tanggal 4 Februari 1947, dan telah dikaruniai 4
(empat) orang anak, yaitu Ni Luh Eksi Sundari (sudah meninggal), anak
pertama, perempuan, lahir pada tanggal 23 Maret 1963, agama Hindu,
beralamat di Banyuning Singaraja. Anak yang kedua bernama R. Agus
Prabowo, laki-laki, lahir pada tanggal 11 Agustus 1968, agama Islam,
bertempat tinggal di Kuta, Badung (PEMOHON I). Anak yang ketiga
bernama R. Endro Prakoso, laki-laki, lahir tanggal 13 April 1970, agama
Hindu, bertempat tinggal di Kuta, Bandung. Anak yang keempat R. Mikro
Sundoto, laki-laki, lahir tanggal 28 juni 1972, agama Islam, alamat di
Sidoharjo, kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Kini tinggal di Kalimantan
(PEMOHOM II).
Pada tanggal 20 Mei 2004, Ni Made Rai Ningsih (ibu kandung para
Pemohon) meninggal dunia karena sakit, Ni Made Rai Ningsih yang
sebelumnya beragama islam namun meninggal dalam keadaan Hindu. Ni
Made Rai Ningsih meninggal seorang suami (R. Soewarkoesno) dan 4 orang
34
anaknya, yaitu Ni Luh Eksi Sundari, R. Agus Prabowo, R. Endro Prakoso, R.
Mikro Sundoto. Kemudian Pada tanggal 17 februari 2010, R. Soewarkoesno
(Ayah kandung para Pemohon) meninggal dunia dalam keadaan Islam.
Semasa hidupnya ayah para Pemohon (R. Soewarkoesno) tidak
mempunyai isteri lain, dan tidak mempunyai anak angkat. Ayah para
Pemohon dan ibu para Pemohon juga tidak pernah membuat surat wasiat
semasa hidupnya. Kemudian disamping meninggalkan ahli waris, ayah para
Pemohon dan ibu para Pemohon para Pemohon pun meninggalkan 2 bidang
tanah yang kini disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa:
a. Tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak
di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No.767, Gambar Situasi No.
1413/1978 tanggal 20 September 1979, atas nama Ni Made Rai Ningsih.
b. tanah seluas 350 m2 ( tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak
di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No.768, Gambar Situasi No.
176/1978 tanggal 26 Februari 1979, atas nama R. Soewarkoesno.
Selain Ni Made Rai Ningsih (ibu kandung para Pemohon) , ternyata Ni
Luh Eksi Sundari (Anak pertama Pewaris) juga berpindah agama, yang
mulanya beragama islam, telah berpindah agama ke agama Hindu karena
mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan hukum Islam,
maka Ni Luh Eksi Sundari tidak lagi menjadi ahli waris dari orang tuanya (R.
Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih). Demikian juga dengan R. Endro
Prakoso (Anak ketiga Pewaris), di depan persidangan perkara Nomor
20/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah pindah agama dan
kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut membuktikan
bahwa R. Endro Prakoso tidak berhak lagi atas harta warisan dari orang
tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih.
Di dalam perkara ini, para Pemohon tidak ada permasalahan
mengenai pembagian harta peninggalan dan para Pemohon telah sepakat
35
untuk membagi harta warisan secara adil dan merata. Para Pemohon ingin
membagi kedua bidang tanah warisan tersebut, sehingga untuk proses dan
pengurusan atas pembagian kedua bidang tanah tersebut haruslah dipenuhi
syarat-syaratnya yang salah satunya adalah ada penetapan ahli waris dari
Pengadilan Agama. Penetapan ini untuk mengurus penjualan harta
peninggalan dari R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih, karena pihak
Notaris tidak mau mengeluarkan akta jual beli sebelum ada penetapan ahli
waris dari Pengadilan Agama
B. Pertimbangan Hakim
Di dalam putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor
4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg yang mana para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya
mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih
dalam halmana di saat meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga
para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari R.
Soewarkoesno yang juga telah meninggal dunia dalam keadaan beragama
Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga
bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alas hak bagi
ahli waris Ni Made Rai Ningsih dan ahli waris R. Soewarkoesno terhadap
tanah dengan Sertipikat Hak Milik No.767, tanggal 20 September 1979 atas
nama Ni Made Rai Ningsih dan Sertipikat Hak Milik No.768, tanggal 26
Februari 1979, atas nama R. Soewarkoesno.
Di dalam pertimbangannya Majelis Hakim Menimbang sebagai berikut:
pertama, karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan
pewaris yang bernama R. Soewarkoesno beragama Islam, meskipun
pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih disebutkan beragama Hindu,
Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan
absolute Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1
huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
36
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.
Kedua, karena Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara
secara voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Bandung, maka perkara
ini secara relative menjadi kewenangan Pengadilan Agama Badung. Bahwa
perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka yang perlu
dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan
apakah meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang
secara syar’i untuk ditetapkan sebagai ahli waris.
Ketiga, karena dari dalil permohonan para Pemohon yang dikuatkan
dengan keterangan para saksi di bawah sumpahnya yang menerangkan
melihat dan tahu perkawinan R. Soewarkoesno dengan Ni Made Rai Ningsih
dilakukan secara Islam di KUA Denpasar, dan antara R. Soewarkoesno
dengan Ni Made Rai Ningsih tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim
berkesimpulan bahwa sampai meninggalnya Ni Made Rai Ningsih, antara Ni
Made Rai Ningsih dengan R. Soewarkoesno masih terikat dalam pernikahan .
Keempat, dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan
para saksi, Ni Made Rai Ningsih telah meninggal dunia dalam keadaan
beragama Hindu meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut
Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991,
seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama Islam. Bilamana
dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara
eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama,
yakni agama Islam untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam
tidak mengatur bagaimana sekiranya pewaris itu murtad (keluar dari
Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah tidak.
Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat
hukum sebagai berikut:
37
Menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam menganut
sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama
sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung
unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah.
Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus
sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu
kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama
dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan
hubungan horizontal dengan non-Muslim, terlebih-lebih mereka itu ada
pertalian darah.
Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena berbeda
agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan
semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli
waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, jangan sekali-kali
berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim Sekiranya hal itu terjadi,
maka non-Muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli
waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam.
Di dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih
sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian
meninggal dunia dalam keadaan non-Muslim sementara kerabat terdekatnya
tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi
ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih
pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
Muhammad bin Ali dan Al Masruq, dan lebih spesifik Majelis Hakim
mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua
peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli
warisnya yang Islam.
38
Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya, melihat dari keterangan
saksi-saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum, ternyata Ni Made Rai
Ningsih yang kemudian menjadi non-Muslim telah meninggal dunia
dalam keadaan non-Muslim pada tanggal 29 September 2004 dengan
meninggalkan seorang suami bernama R. Soewarkoesno yang
beragama Islam , dan 4 (empat) orang anak yakni Ni Luh Eksi Sundari
(sudah meninggal) beragama Hindu, R. Agus Prabowo beragama Islam, R.
Endro Prakoso beragama Hindu, dan R. Mikro Sundoto beragama islam, oleh
karena itu dengan menunjuk uraian pertimbangan hukum yang
dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari
Ni Made Rai Ningsih adalah R. Soewarkoesno, R. Agus Prabowo dan R.
Mikro Sundoto.
Sedangkan dalam kasus R. Soewarkoesno ini, Majelis Hakim menilai
sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan
umum yang terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum
Islam. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka Majelis Hakim
menyimpulkan bahwa ahli waris dari R. Soewarkoesno adalah R. Agus
Prabowo dan R. Mikro Sundoto.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka
diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris Ni Made Rai Ningsih dan R.
Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoto. Meskipun
demikian, karena hukum kewarisan Islam di Indonesia mengandung
asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah Ni
Luh Eksi Sundari dan R. Endro Prakoso tetap berhak mendapat bagian waris
dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengannya.
Dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka penetapan
ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari Ni
39
Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno, dan karena yang mengajukan
permohonan ini adalah para Pemohon secara voluntair, maka seluruh biaya
yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak yang mengajukan
perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam
amar penetapan ini
C. Penetapan Hakim
Di dalam penetapannya, Majelis Hakim Menetapkan, pertama, Majelis
Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua,
Majelis Hakim Menetapkan ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan R.
Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoto. Ketiga,
Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,-
(seratus delapan puluh enam ribu rupiah ).
Dengan ditetapkannya putusan diatas, Majelis Hakim menetapkan R.
Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoto adalah ahli waris dari R. Soewarkoesno
dan Ni Made Rai Ningsih (ibu para Pemohon) yang semula Islam
kemudian berpindah agama menjadi Hindu dan meninggal dalam keadaan
Hindu. Penetapan ini berdasarkan dengan pertimbangan bahwa Menurut
pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem
kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama
sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung
unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah.
Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus
sekalipun agama mereka itu berbeda. Kemudian penetapan Majelis Hakim
ini sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal,
Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al
Masruq, dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat
Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang
keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam.
40
Begitupula dengan R. Endro Prakoso yang semula Islam kemudian
berpindah agama menjadi Hindu berbeda agama dengan R. Soewarkoesno
(Ayah para Pemohon) yang beragama Islam tetap berhak mendapat bagian
waris dengan jalan wasiat wajibah. Penetapan Majelis Hakim ini dengan
pertimbangan bahwa hukum kewarisan Islam di Indonesia mengandung
asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah Ni
Luh Eksi Sundari dan R. Endro Prakoso tetap berhak mendapat bagian waris
dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengannya.
41
BAB IV
PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KEWARISAN BEDA AGAMA
PADA PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BANDUNG NOMOR
4/PDT.P/2013/PA.BDG
A. Penyelesaian Kasus Waris Beda Agama
Pada dasarnya anak-anak yang ditinggal mati oleh orangtuanya berhak
mendapatkan harta warisan, namun dikarenakan adanya perbedaan agama
antara pewaris dengan ahli waris maka status sebagai ahli waris tersebut
menjadi gugur. Sebagaimana kententuannya telah dijelaskan dalam al-Quran
dan Hadist bahwa salah satu faktor yang menggugurkan hak waris seseorang
adalah perbedaan agama. Sesuai dengan hal tersebut di atas jelas bahwa anak
yang seharusnya sebagai ahli waris menjadi gugur haknya untuk mewarisi
harta orangtuanya jika berbeda agama.
Kasus kewarisan yang terjadi di keluarga R. Soewarkoesno (Ayah para
Pemohon) ini merupakan kasus kewarisan beda agama, yang mana R.S
beragama Islam dan meninggal dalam keadaan Islam, sedangkan Ni Made Rai
Ningsih (istri R.S) yang sebelumnya beragama islam kemudian berpindah
agama menjadi Hindu dan meninggal dalam keadaan beragama Hindu. R.S dan
NM meninggalkan ahli waris (anak-anaknya) R. Agus Prabowo, R. Mikro
Sundoto yang beragama Islam, dan R. Endro Prakoso yang semula islam
kemudian berpindah agama menjadi Hindu. Semasa hidupnya R.S dan NM
mempunyai dua bidang tanah yang menjadi harta warisan, yaitu tanah seluas
250 m2 atas nama Ni Made Rai Ningsih, dan tanah seluas 350 m2 atas
nama R. Soewarkoesno.
Di dalam kasus diatas, Majelis Hakim menetapkan R. Agus Prabowo
dan R. Mikro Sundoto yang diketahui beragama Islam, berhak menerima
warisan dari harta ibunya (NM) yang diketahui telah berpindah agama menjadi
Hindu dan meninggal dalam keadaan Hindu.
42
Menurut penulis penetapan Majelis Hakim ini tidak sesuai dengan
pendapat mayoritas ulama yang menyatakan tidak saling mewarisi antara orang
Muslim dan orang kafir. Perbedaan agama juga termasuk salah satu penghalang
kewarisan. Penetapan ini juga tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam KHI pasal 171 huruf b dan c yang menyatakan bahwa pewaris dan ahli
waris beragama Islam.
Argumentasi hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim adalah
kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun
secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan
dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum
kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung
unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak
akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap
mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu
agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan
memutuskan hubungan horizontal dengan non-Muslim, terlebih-lebih mereka
itu ada pertalian darah.
Namun, nampaknya penetapan Majelis Hakim ini sejalan dan mengambil
pendapat dari Muadz Ibn Jabal, Muawiyah, Al Hasan, Muhammad bin Ali,
Masruq serta kalangan Syiah Imamiyah yang berpendapat bahwa ahli waris
Muslim dapat mewarisi pewaris non-Muslim. Lebih spesifik Majelis Hakim
mengambil pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan
wanita yang keluar dari Islam (Murtad) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam.
Penetapan hukum diatas, tidak berarti Majelis Hakim menyalahi aturan
dalam kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dan c yang mana pewaris
dan ahli waris harus beragama islam, Majelis Hakim memandang pasal pasal
171 huruf b dan c tersebut diatas harus dipahami sebagai aturan umum dalam
kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat
insidental (terjadi atau dilakukan hanya pada kesempatan atau waktu tertentu,
sewaktu-waktu).
43
Dalam penetapan Hakim ini penulis sependapat dengan majelis hakim,
bahwa Hakim telah melakukan sebuah terobosan hukum dimana Hakim di
Pengadilan Agama Bandung ini berani untuk melakukan sebuah penetapan
diluar dari norma-norma hukum positif atau positivisme hukum yang ada
dalam Kompilasi Hukum Islam. Kenapa dikatakan berani, karena didalam KHI
tersebut bahwa pewaris dengan ahli waris yang berlainan Agama itu secara
mutlak tidak pernah ada dalam KHI hutuf b dan c, artinya adalah apabila ada
perbedaan Agama antara pewaris dan ahli waris secara otomatis tidak
mendapatkan harta waris atau tidak saling mewarisi. Akan tetapi dalam konteks
penetapan ini Hakim melihat bahwa Hakim tidak memakai KHI tetapi Hakim
lebih mementingkan kepada sebuah kesaman derajat manusia yaitu sistem
kerabat bahwa warisan itu dibangun bukan atas dasar agama tetapi atas dasar
kekerabatan, artinya adalah Hakim lebih mementingkan sisi keadilan bagi para
pemohon dimana keadilan itu tidak melihat jenis warna, jenis kulit, dan jenis
Agama. Tetapi hakim itu lebih menekankan sisi keadilan bagi para pencari
keadilan itu.
Penulis melihat bahwa Hakim tidak terpengaruh oleh paham positivisme
Hukum, hakim tidak terikat kepada paham positivisme hukum dimana hukum
itu dibangun dari validitas norma yang legalistic yang kaku menurut undang-
undang. Tetapi Hakim berani untuk keluar dari paham positivisme hukum itu,
hakim berani untuk meninggalakn sebuah norma hukum positif yaitu
Kompilasi hukum Islam yang tidak lengkap, tetapi hakim lebih mementingkan
sebuah keadilan. Oleh karena itu hakim yang seperti ini adalah hakim yang
sangat progresif, Hakim yang lebih mementingkan keadilan di Masyarakat.
Dengan menetapkan demikian juga, berarti hakim telah sesuai dengan UU no
48 thn 2009 pasal 5 angka 1 yang berbunyi:
“Hakim dan Hakim Konstitusional wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hokum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”
44
Oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus
yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama islam, Majlis Hakim
merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu dalam
halmana pewarisnya Murtad (telah keluar dari Islam), Majlis Hakim akan
merujuk kepada pendapat Hukum yang Majlis Hakim uraikan diatas.
Penetapan Majelis Hakim tersebut juga sudah sesuai dengan kaidah
fiqhiyah yang berbunyi :
لحة 1 ط بلأمصأ مام على الراعية من وأ تصرف الأ
Artinya: Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan
kemaslahatan
Maksud dari pemimpin disini juga bisa dikatakan Majelis Hakim yang
memimpin persidangan. Jadi jika peristiwa di atas dihubungkan dengan
kaidah ini yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat naka
itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan
dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang mendatangkan
mafsadat dan memudaratkan rakyat itulah yang harus disingkirkan.2
Adapun orang yang murtad menurut hukum islam mempunyai
kedudukan tersendiri, disebabkan seseorang murtad dianggap telah melakukan
tindak kejahatan terbesar, karena dia merusak shilah syar'iyah (hubungan
syariat). Berbeda halnya dengan ketentuan orang kafir, bahwa mereka sejak
semula memang sudah kafir, bukan pada mulanya Islam, kemudian menjadi
kafir. Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa orang murtad tidak berhak
menerima harta warisan dari siapa pun, baik pewarisnya itu seorang Muslim
atau kafir ataukah sama-sama murtad. Dikatakan bahwa orang murtad tidak
berhak menerima harta warisan dari pewarisnya yang Muslim, dikarenakan
orang murtad dianggap rendah akibat perlakuannya. Demikian juga kepada
pewarisnya yang kafir, dikarenakan orang murtad tidak beragama sedangkan
1 Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), cet-II h. 61 2A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
yang Praktis, (Jakarta, Kencana; 2006), cet-4, h. 148.
45
orang kafir beragama. Selanjutnya orang murtad tidak berhak memperoleh
harta warisan dari pewarisnya yang murtad pula, sekalipun pewaris ini awalnya
beragama Islam, sesuai pandangan bahwa orang yang murtad tidak beragama,
berbeda dengan seorang Muslim dengan yang Muslim sejak awalnya. 3
Tidak ada perbedaan, antara laki-laki atau perempuan yang murtad, tidak
bisa mewarisi yang agamanya berbeda. Tidak pula dari orang Muslim atau
orang kafir. Sebab, orang murtad itu menjadi tidak mempunyai hak muwalah
(saling melindungi) antara dirinya dan orang lain. Islam tidak mengakui
kemurtadannya. Hukumannya dalam Islam hanya dibunuh. Namun, orang
murtad perempuan tidak dibunuh menurut Hanafiyyah. Sebab, Rasulullah saw
melarang membunuh perempuan. Dia ditahan sampai masuk Islam lagi atau
meninggal. Hanabilah mengecualikan, jika orang yang murtad kembali Islam
sebelum pembagian warisan maka dia mendapatkan bagian. 4
Adapun warisan dari orang murtad, di sini ada perbedaan pendapat:
1. Abu Hanifah mengatakan, ahli waris Muslim mewarisi laki-laki murtad, apa
yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun yang diperoleh pada saat
murtad maka menjadi fai' (rampasan) Baitul mal. Perempuan murtad semua
peninggalannya untuk ahli waris yang Muslim.
2. Dua murid Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan As-
Shaybani) tidak membedakan antara laki-laki murtad dan perempuan
murtad. Keduanya mengatakan bahwa semua peninggalannya pada saat
Islam dan murtad menjadi hak ahli waris mereka yang Muslim. Sebab, orang
murtad tidak diakui keyakinannya, tetapi dipaksa untuk kembali kepada
Islam. Hukum Islam menganggap hak orang murtad itu bukan apa yang
dimanfaatkan olehnya, tetapi apa yang dimanfaatkan oleh ahli warisnya.
3. Mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah) mengatakan
bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak diwarisi sebagaimana kafir
3Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum
Islam dan Implementasinya Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).,
h. 77. 4Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu., h.360.
46
asli. Hartanya menjadi fai' (rampasan) untuk Baitul mal, baik dia
memperolehnya pada saat Islam atau pada saat murtad. Sebab, dengan
kemurtadannya dia menjadi musuh umat Islam. Status hartanya seperti
status harta kafir harbi. Ini jika dia meninggal dalam keadaan murtad, kalau
tidak maka hartanya diwakafkan, Oleh karena itu, jika dia kembali kepada
Islam maka harta itu menjadi haknya. 5
Terlihat sangat jelas bahwa dalam memutuskan perkara dimana
pewarisnya non-Muslim (Murtad) sedangkan ahali warisnya Muslim, Majlis
Hakim pengadilan Agama Bandung dalam kasus kewarisan beda agama ini
mengikuti pendapat Abu Hanifah yang mengatakan Perempuan murtad semua
peninggalannya untuk ahli waris yang Muslim.
Namun nampaknya dalam penetapan ini terdapat ketidak jelasan asal
usul harta milik ibu parapemohon, apakah harta itu benar-benar milik ibu para
pemohon apa bukan. apakah setelah ibu parapemohon meninggal, harta ibu
parapemohon dibagikan terlebih dahulu kepada ahli warisnya karena ibu
parapemohon meninggal terlebih dahulu daripada ayah parapemohon. Barulah
setelah ayah parapemohon meninggal dibagikan harta milik ayahnya. Jadi
setelah ayah meninggal sudah tidak ada lagi harta ibu parapemohon, karena
sudah dibagikan terlebih dahulu. Didalam penetapan ini tidak dijelaskan harta
ibu parapemohon sudah dibagikan terlebih dahulu setelah ibu parapemohon
meninggal apakah tidak.
B. Pembaruan Ketentuan Wasiat Wajibah dalam Hukum Terapan Kewarisa
di Indonesia
Faktor agama sebagai penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan
warisan sendiri sudah merupakan kesepakatan sebagian ulama yang
menyatakan bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu
perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Dari ketentuan tersebut maka
5 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu., h.360.
47
faktor agama merupakan salah satu penghalang bagi seorang ahli waris untu
mendapatkan bagian warisan.
Penerapan faktor penghalang bagi ahli waris khusus mengenai perbedaan
agama diimplementasikan berbeda dalam praktik pengadilan. Salah satunya
dalam penetapan pengadilan Bandung Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, yang
mana R. Endro Prakoso yang semula Islam kemudian berpindah agama
menjadi Hindu berbeda agama dengan R. Soewarkoesno (Ayah para Pemohon)
yang beragama Islam.
Majelis Hakim berpendapat bahwa hukum kewarisan Islam di Indonesia
mengandung asas egaliter (persamaan derajat pada setiap manusia), maka
kerabat yang beragama selain Islam yang mempunyai hubungan darah dengan
pewaris tetap berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah.
Maka dari itu dalam perkara a quo adalah RE tetap berhak mendapat bagian
waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris
yang sederajat dengannya. Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris Non
Muslim ini tidak disebutkan dalam Amar Putusan, namun menjadi bahan
pertimbangan hakim agar ahli waris Non Muslim mendapatkan haknya melalui
wasiat wajibah dari pewarisnya yang Muslim.
Penetapan Majelis Hakim di atas tidak sesuai dengan dengan ketentuan
yang terdapat dalam KHI pasal 209 yang menyatakan bahwa wasiat wajibah di
berikan kepada orangtua angkat atau anak angkat pewaris. Pendapat Majelis
Hakim juga tidak sesuai dengan pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada
wasiat bagi ahli waris. Namun penetapan Majelis Hakim ini sejalan dengan
pendapat Ibnu Hazm azh-Zhahiri, ath-Thabari, Abu Bakr bin Abdul Aziz, Abi
Abdillah Muhammad bin Umar al-Razi, Sayyid Quthb, Muhammad Abduh,
Said bin Jabir, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Ibnu Abbas, dan
al-Hasan yang berpendapat bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan
pembayaran kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat
karena terhalang dari mewarisi, seperti yang terjadi pada RE yang terhalang
48
mendaptakan harta warisan karena berbeda agama dengan pewaris. Maka dari
itu Majlis Hakim menetapkan RE berhak mendapatkan wasiat wajibah.
Memang, bagi sebagian kalangan, perluasan penggunaan wasiat wajibah
untuk orang non-Muslim ini tidak dapat diterima. Kelompok ini biasanya
terdiri dari hakim-hakim yang mengikuti praktik pelarangan pemberian hak
waris berdasarkan wasiat kepada ahli waris. Dengan demikian, menurut
pandangan kelompok ini, penggunaan Wasiat Wajibah bagi ahli waris non-
Muslim nyata-nyata telah melanggar prinsip Penggunaan Wasiat wajibah
dalarn Islam karena ahli waris non-Muslim memang tetap dianggap sebagai
ahli waris meski tidak punya hak sama sekali untuk menerima harta warisan
akibat perbedaan agamanya. Keberlakuan wasiat wajibah terutama didasarkan
pada perintah Tuhan bagi orang Muslim untuk membuat wasiat yang harus
dibagikan kepada orangtua dan karib kerabatnya sebelum meninggal
Walaupun dalam pandangan sebagian besar ahli hukurn Islam, ayat tentang
wasiat (dinyatakan dalam Q.S. al-Baqarah :180) telah dinasakhkan oleh ayat
lain yang secara khusus menetapkan ketentuan warisan (Q.S. an-Nisa 7),
namun kewajiban untuk membuat wasiat tetap tidak hilang. Bahkan ayat lain
dalam al-Quran (yakni, Q.S. al-Baqarah [2]: 240), tetap melegalkan wasiat bagi
setiap orang Muslim. Ayat yang dikutip terakhir ini jelas-jelas memberikan hak
pada orang Muslim untuk membuat pernyataan wasiat dalam hal pembagian
harta warisan. Jadi aspek legal wasiat ini tidak dapat dipersoalkan lagi. Akan
tetapi, sebagian ahli hukum Islam yang lain berkesimpulan bahwa penasakhan
al-Quran Surat al-Baqarah [2]: 180 berlaku bukan pada kewajiban membuat
wasiat itu sendiri, akan tetapi bahwa spesifikasi wasiat harus diperluas
sehingga mencakup kelompok-kelompok tertentu dari anggota keluarga yang
sebelumnya tidak tercakup. Maka, walaupun orangtua tetap tidak berhak
mendapat wasiat (karena mereka akan menerima jatah bagian harta warisan
karena status mereka sebagai ahli waris), maka saudara-saudara dekat lain yang
tidak termasuk ke dalam ahli waris bisa memperoleh wasiat tersebut.
Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180, salah seorang ahli hukum Islam
ternama, Ibn Hazm, menyimpulkan bahwa berwasiat bagi kerabat dekat yang
49
tidak berhak mendapat warisan adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim,
dan jika pewaris tidak memenuhi kewajiban ini semasa hidupnya, maka
pengadilan boleh menetapkan keputusannya bahwa wasiat seakan-akan telah
dibuat ketika dia hidup. Inilah yang nampaknya jadi landasan hukum
pemakaian "wasiat wajibah".6
Dengan keputusan itu, bisa dikatakan jika hakim sepakat dengan
pandangan ahli hukum yang menerima wasiat sebagai sarana yang diwajibkan
bagi setiap Muslim untuk memberikan sebagian harta peninggalan kepada
kerabatnya yang karena satu dan lain hal tidak mendapatkan jatah warisan.
Selain itu, mengingat kenyataan bahwa kerabat-kerabat yang non-Muslim
dalam kasus RE di atas, memiliki hubungan darah yang sangat dekat dengan
pewaris, maka hakim harus membawa makna "kerabat dekat" dalam Q.S. al-
Baqarah (2): 180 ke dalam suatu tafsiran tertentu sehingga mengacu pada
seluruh pihak dalam keluarga yang karena motif-motif tertentu terhalang untuk
memperoleh bagian harta warisan. Karena ahli waris non-Muslim tersebut
tidak berhak mendapat harta warisan, maka mereka dapat dikatakan berhak
mendapatkannya melalui jalur wasiat, dan karena pewaris tidak pernah
membuat wasiat tentang hal ini semasa hidupnya, maka pengadilan memiliki
hak untuk membuatkan wasiat pewaris tersebut. Dan karena pewaris tidak
pernah membuat wasiat tentang hal ini semasa hidupnya, maka pengadilan
memiliki hak untuk membuatkan wasiat pewaris tersebut. Tampaknya dengan
logika seperti inilah Majelis Hakim memutuskan untuk memandang ahli waris
non-Muslim berhak pula memperoleh harta warisan yang sama jumlahnya
dengan ahli waris Muslim. Dari segi ini, pengadilan memperlihatkan
keberanian luar biasa karena mau mengeluarkan keputusan berlawanan dengan
praktik umum yang berlaku dalam masyarakat Muslim yang cenderung masih
menolak ahli waris non-Muslim untuk mendapat jatah warisan. 7
6Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta : Pustaka Alvabet,
2008).,h. 459
7 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,h. 460
50
Namun dengan keputusan ini, para hakim sangat berhati-hati untuk tidak
mengambil langkah yang keras dan melampaui batas, karena mereka juga tidak
ingin mengusik rasa keadilan para Pemohon yang Muslim. Dengan
memanfaatkan ruang interpretasi yang dimungkinkan dalam kasus ini
khususnya dalam yurisprudensi Islam umumnya (di mana reinterpretasi atas
sumber-sumber hukum Islam diizinkan untuk memenuhi tuntutan dan kondisi
sosial yang baru), para hakim berusaha sedapat mungkin menghindari
kontroversi. Maka, walaupun pengecualian ahli waris non-Muslim didasarkan
pada ajaran hadits Nabi, hakim tetap bisa mengelak darinya dengan memakai
interpretasi baru atas wasiat. Semua ini dilakukan dengan satu tujuan memberi
ahli waris non-Muslim bagian harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
Muslim.8
Di balik argumen yang diturunkan dari logika yurisprudensi Islam,
pemberian bagian harta warisan kepada ahli waris non-Muslim sepenuhnya
sesuai dengan agenda perluasan spirit hukum waris nasional dalam proses
pembuatan sebuah keputusan. Di sini, hakim mencoba memecahkan masalah
kewarisan antar-iman dengan menggunakan prinsip norma-norma hukum
waris nasional yang memandang seluruh ahli waris memiliki hak yang sama
atas harta warisan, terlepas dari perbedaan agama yang memisahkan pewaris
dan ahli warisnya. Selama ada hubungan darah antara pewaris dengan ahli
warisnya, tidak satu pun anggota keluarga yang bisa dikecualikan dari
pembagian harta warisan. Berdasarkan prinsip ini, afiliasi9 keagamaan tidak
menjadi kriteria untuk memutuskan apakah seseorang berhak mendapat jatah
warisan atau tidak. Sejalan dengan norma hukum nasional inilah ikatan
kekeluargaan menjadi kriteria utama dalam kasus-kasus diatas, peminggiran
ahli waris tertentu berdasarkan agama atau sekte berarti pelanggaran terhadap
norma tersebut. Jika norma ini dapat dilaksanakan, maka kasus-kasus
kewarisan antar-iman bisa ditangani tanpa kesulitan. Maka dapat dimaklumi
8 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,h. 460 9 Afiliasi adalah bentuk kerjasama antara dua lembaga yang masing-masing berdiri
sendiri, dalam hal ini hukum Islam dan hukum Nasional
51
kalau berdasarkan prinsip ini pengadilan tidak mendukung argumen religius
yang digunakan untuk menghilangkan hak waris seseorang. 10
Dengan menggunakan wasiat wajibah, para hakim nampaknya telah
berhasil memperkenalkan spirit norma-norrna kewarisan nasional, yang
dirancang untuk netral terhadap masalah agama atau sekte. Maka, walaupun
Kompilasi Hukum Islam secara formal mengadopsi larangan kewarisan antar-
iman tetapi di sisi lain mau menggunakan wasiat wajibah untuk memberikan
bagian waris. Namun tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Penggunaan
wasiat wajibah sebagai alat untuk memecahkan kasus kewarisan adalah
kamuflase dari ketidakinginan memutuskan kasus-kasus berdasarkan ajaran
hukum Islam tetapi berdasarkan norma hukum negara. Karena pemberian
bagian kepada ahli waris non-Muslim bertentangan dengan ajaran hadits, tidak
bisa dimungkinkan kalau hakim telah melenceng dari prinsip hukum waris
Islam. Akibatnya, sejauh mana hukum Islam bisa selaras dengan prinsip hukum
nasional sebenarnya sangat bersifat kondisional, yaitu selama hukum religius
menyediakan sarana hukum yang diberlakukan untuk memecahkan persoalan-
persoalan yang dibawa ke pengadilan.11
Bisa jadi sudah menjadi pola umum jika dalarn kasus-kasus kewarisan
seperti tadi, hakim cenderung memilih prinsip hukurn negara sebagai landasan
untuk memecahkan persoalan, walaupun dengan konsekuensi keputusannya
bisa jadi berlawanan dengan aturan yang tercantum dalam aturan-aturan tertulis
Islam. Nampaknya ini adalah konsekuensi logis dari penekanan negara
terhadap nilai-nilai hukum nasional, yang dipandang sebagai sendi-sendi
hukum nasional yang mampu menjembatani berbagai aturan-aturan hukum
sektarian (baik yang faktual maupun yang potensial) yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia.12
Dilihat dari aspek metodologis, dapat dipahami bahwa persoalan wasiat
wajibah adalah persoalan Ijtihadi yang ditetapkan berdasarkan argumen hukum
10 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,h. 461 11 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,h. 461-462 12 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,h. 462
52
maṣlahah al-murṣhalah yang berorientasi untuk mempromosikan nilai-nilai
keadilan dan kemaslahatan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat muslim Indonesia. 13
Di Indonesia, pemberian Wasiat wajibah bagi ahli waris non-Muslim ini
merupakan penemuan hukum baru, karena wasiat wajibah yang terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam dan berlaku di Indonesia ini diberikan kepada anak
angkat atau orangtua angkat. Penemuan hukum adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas lainnya yang diberi tugas melaksakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkret hakim selalu dihadapkan
pada peristiwa konkret, konflik, atau kasus yang harus diselesaikan atau
dipecahkan dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya Proses untuk menemukan
hukum tersebut dilakukan dengan mencarikan aturan yang sesuai untuk dapat
diterapkan pada suatu peristiwa nyata dalam sistem hukum nasional. Hasil
penemuan hukum itulah yang akan diwujudkan dalam putusan.14
Ada beberapa metode yang bisa dilakukan dalam proses penemuan
hukum. Metode tersebut dibagi sesuai dengan tujuan penemuan hukum sendiri.
Berdasarkan tujuannya, ada dua kategori metode penemuan hukum, yaitu
sebagai berikut: 15
1. Metode penemuan hukum untuk menjelaskan peraturan yang tidak jelas.
Metode ini dikenal dengan metode penafsiran atau interpretasi. Metode
penafsiran terdiri dari beberapa metode, yaitu interpretasi gramatikal,
interpretasi sistematis, interpretasi historis, dan interpretasi sosiologis.
2. Metode penemuan hukum untuk menemukan hukum yang tidak ditemukan
dalam peraturan yang ada. Metode ini dikenal dengan metode penalaran
atau argumentasi. Metode argumentasi terdiri dari beberapa metode, yaitu
13 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indoneṣia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h., 148 14Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, h, 74-75 15 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, h, 74
53
argumentum per analogium, argumentum a contrario, dan penyempitan
hukum.
Dari beberapa metode diatas, sesuai dengan hasil penelitian, maka
pembahasan akan difokuskan pada metode interpretasi historis, interpretasi
sosiologis, dan argumentum per analogium, yang akan dirangkum sebagai
berikut:16
1. Interpretasi Historis
Penggunaan interpretasi historis dilakukan terhadap suatu peristiwa
konkrit yang peraturan formal tentangnya tidak lengkap atau tidak jelas.
Dalam hal ini, peristiwa tersebut telah memiliki peratuan formal yang
mengikatnya, namun peraturan tersebut masih harus dilakukan penafsiran
dalam penerapannya. Dalam metode interpretasi historis, penafsiran
dilakukan dengan meneliti sejarah terjadinya suatu ketentuan hukum,
meliputi sejarah hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang.
Interpretasi historis yang digunakan hakim terhadap putusan wasiat
wajibah pada ahli waris yang seharusnya terhalang menerima bagian waris
karena perbedaan agama dilakukan dengan melihat sejarah terbentuknya
aturan tersebut. Secara historis, halangan diterapkan pada masa peperangan
antara kaum muslim dan orang-orang kafir, sehingga keadaan tersebut tidak
lagi sesuai dengan kondisi pada masa sekarang. Selain itu, secara historis,
telah ada praktik di kalangan sahabat yang menghilangkan halangan
dimaksud, dimana antara seorang muslim dengan non-muslim ditetapkan
untuk dapat saling mewaris. Dari kenyataan historis ini kemudian hakim
memutuskan untuk menyampingkan alasan perbedaan agama dan
menyelesaikan perkara waris yang salah satu ahli warisnya bukan seorang
muslim melalui penetapan wasiat wajibah.
16 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, h, 75-77
54
2. Interpretasi Sosiologis.
Sama seperti interpretasi historis, penggunaan metode interpretasi
sosiologis juga dilakukan terhadap suatu peristiwa konkrit yang peraturan
formal tentangnya tidak lengkap atau tidak jelas. Peraturan mengenai
peristiwa tersebut sebenarnya sudah ada, namun perlu dilakukan penafsiran
untuk lebih menjelaskan peristiwa hukum yang terjadi di dalamnya.
Interpretasi sosiologis lebih ditekankan pada tujuan peraturan tersebut.
Dalam melakukan interpretasi sosiologis, hakim akan menafsirkan
aturan yang masih belum jelas sesuai dengan tujuan yang dituntut oleh
masyarakat pada masa ini Peraturan perundang-undangan disesuaikan
dengan hubungan dan kondisi sosial yang baru. Keadaan yang terjadi ketika
pembentukan peraturan tersebut tidak menjadi pertimbangan terutama bila
dianggap tidak lagi mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat pada
masa sekarang.
Dalam memutuskan wasiat wajibah bagi ahli waris yang seharusnya
terhalang karena perbedaan agama, hakim menggunakan, interpretasi
sosiologis dengan melihat kondisi nyata masyarakat Indonesia saat ini
dimana perbedaan agama dianggap sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia
dan bukan merupakan kejahatan. Ketentuan yang menghalangi seseorang
untuk menerima warisan dianggap tidak lagi sesuai dengan keadaan pada
saat ini sehingga dapat ditinggalkan dan disimpangi. Berdasarkan
pertimbangan tersebut lalu kemudian hakim memutuskan memberikan
Wasiat Wajibah pada ahli waris bersangkutan.
3. Argumentum per analogium
Berbeda dengan metode interpretasi historis dan sosiologis, metode
argumentum per analogium baru akan digunakan ketika hakim tidak
menemukan peraturan mengenai peristiwa tertentu. Metode ini menekankan
pada penalaran hakim dalam memutuskan hukum dimana hakim akan
melakukan perluasan ketentuan perundang-undangan sehingga mampu
menjangkau peristiwa dimaksud. Melalui metode ini, hakim berusaha
55
mengadopsi ketentuan hukum yang sudah ada namun mengatur hal yang
sejenis atau mirip dengan apa yang harus diselesaikannya pada saat ini.
Penggunaan metode argumentum per analogium dalam penetapan
wasiat wajibah dilakukan dengan menarik ketentuan yang sudah ada dan
dianggap sejenis yaitu ketentuan Wasiat Wajibah bagi anak angkat atau
orang tua angkat. Dalam menyelesaikan perkara waris yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berdasarkan nasab berhak atas bagian waris, namun
terhalang akibat adanya perbedaan agama, hakim ternyata tidak menemukan
ketentuan untuk menyelesaikan hal tersebut. Selanjutnya, hakim
menggunakan metode argumentum per analogium dan menemukan
ketentuan sejenis, yaitu wasiat wajibah bagi anak angkat dan orang tua
angkat. Ketentuan ini lalu diterapkan bagi ahli waris yang terhalang akibat
perbedaan agama, sehingga muncul perluasan hukum melalui putusan
hakim.
Dari penggunaan ketiga metode penemuan hukum tersebut, terlihat
adanya ketidak sesuaian penggunaan bila dikaitkan dengan hasil penelitian
tentang dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara
kewarisan yang memberikan hak pada seseorang yang sebenarnya terhalang
menjadi ahli waris untuk mendapatkan bagian waris melalui wasiat wajibah,
khususnya penggunaan metode interpretasi historis dan sosiologis.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, metode interpretasi digunakan
terhadap penyelesaian suatu peristiwa konkrit yang sebenarnya telah ada aturan
hukum formalnya, namun aturan tersebut tidak jelas sehingga perlu dilakukan
penafsiran dengan metode tertentu. Melihat pada penetapan wasiat wajibah
bagi ahli waris yang terhalang untuk menerima warisan karena perbedaan
agama, dalam kenyataannya tidak ada aturan hukum formal yang mengatur hal
tersebut, khususnya dalam sistem hukum waris Islam di Indonesia.
Kekosongan hukum tidak bisa diselesaikan dengan metode interpretasi, baik
itu secara historis maupun sosiologis, karena metode interpretasi hanya akan
menjelaskan aturan yang sudah ada namun masih bersifat umum, dan bukan
menemukan aturan hukum baru. Dari tujuan penggunaan metode interpretasi,
56
baik historis maupun sosiologis, dikaitkan dengan keberadaan aturan formal
wasiat wajibah bagi ahli waris yang terhalang akibat perbedaan agama, maka
metode intrepretasi tidak dapat digunakan dalam keadaan tersebut. 17
Kekosongan hukum dalam aturan ahli waris yang berbeda agama harus
diselesaikan dengan metode penalaran atau argumentasi. Terkait dengan hasil
penelitian, maka penggunaan metode argumentum per analogium lebih tepat
digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Metode argumentum per analogium
memang ditujukan untuk menemukan hukum yang tidak ada melalui perluasan
hukum dengan cara menganalogikannya dengan aturan lain yang sejenis.
Dalam hal ini, hakim melakukan analogi atas dasar kesesuaian objek, yaitu ahli
waris yang seharusnya terhalang menerima warisan dalam ketentuan waris
umum, sehingga terhadap kedua peristiwa ini harus diterapkan aturan yang
sama, yaitu dengan menetapkan wasiat wajibah Melalui analogi ini, maka
sudah tepgt bagi hakim untuk menggunakan metode argumentum per
analogium. 18
Pertimbangan dalam memberikan wasiat wajibah ini adalah untuk
menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial
masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan
keyakinan. Serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan. Pemberian
wasiat wajibah kepada suami/istri atau anak dan orang tua serta saudara
kandung non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam
pembaharuan hukum Islam di Indonesia. 19
Akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa wasiat wajibah
mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian
kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namun nash tidak
17 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, h, 77 18 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, h, 78 19 Kamaruddin, Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim (Studi Kasus
PerkaraNo. 16 K/AG/2010), Mizani, Vol.25 No. 2, (Agustus 2015), h. 23.
57
memberikan bagian semestinya, atau orangtua angkat dan anak angkat yang
mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris namun tidak diberikan bagian
dalam ketentuan hukum waris Islam. Jalan keluar yang dapat ditempuh, yakni
dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian
dari harta si pewaris.20
20 Abdul Ghofur Anshori, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h, 103
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang kewarisan beda agama dengan menganalisis
penetapan Pengadilan Agama Bandung Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg
berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan dalam
bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan beberapa hal diantaranya
sebagai berikut:
1. Dalam penetapan Pangadilan Agama Bandung Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ditetapkan bahwa ahli waris yang beragama islam
berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya yang non-Muslim (murtad),
penetapan Majelis Hakim ini tidak sesuai dengan pendapat mayoritas ulama
yang menyatakan tidak saling mewarisi antara orang Muslim dan orang
kafir. Perbedaan agama juga termasuk salah satu penghalang kewarisan.
Penetapan ini juga tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KHI
pasal 171 huruf b dan c yang menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris
beragama Islam. Akan tetapi penetapan Majelis Hakim ini sejalan dan
mengambil pendapat dari Muadz Ibn Jabal, Muawiyah, Al Hasan,
Muhammad bin Ali, Masruq serta kalangan Syiah Imamiyah yang
berpendapat bahwa ahli waris Muslim dapat mewarisi pewaris non-Muslim.
Lebih spesifik Majelis Hakim mengambil pendapat Imam Abu Hanifah
yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam
(Murtad) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam. Argumentasi hukum yang
digunakan oleh Majelis Hakim adalah kewarisan Islam menganut sistem
kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama
sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain
mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur
muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan
pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap
59
mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu
agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan
memutuskan hubungan horizontal dengan non-Muslim, terlebih-lebih
mereka itu ada pertalian darah.
2. Majelis Hakim juga menetapkan ahli waris yang non-Muslim mendapatkan
warisan dengan jalan wasiat wajibah dari pewarisnya yang beragama Islam,
dalam pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat bahwa hukum
kewarisan Islam di Indonesia mengandung asas egaliter (persamaan derajat
pada setiap manusia), maka kerabat yang beragama selain Islam yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris tetap berhak mendapat bagian
waris dengan jalan wasiat wajibah. Penetapan Majlis Hakim ini tidak sesuai
dengan dengan ketentuan yang terdapat dalam KHI pasal 209 yang
menyatakan bahwa wasiat wajibah di berikan kepada orangtua angkat atau
anak angkat pewaris. Pendapat Majelis Hakim juga tidak sesuai dengan
pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada wasiat bagi ahli waris. Akan
tetapi Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm yang memberikan
wasiat wajibah kepada ahlli waris non-Muslim.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan penulisan
skripsi ini, yaitu:
1. Diharapkan agar pemerintah dapat membuat aturan atau menyempurnakan
aturan yang sudah ada secara lebih jelas dan terperinci khususnya dalam
mengatur Kewarisan beda agama. pengadilan agama hendaknya memiliki
suatu pedoman yang jelas dan rinci bagi hakim yang memuat tentang
teknis pemberian wasiat wajibah yang mencakup kriteria apa saja dan
siapa saja yang bisa dipertimbangkan untuk diberikan wasiat wajibah.
2. Diharapkan agar para penegak hukum dalam mempertimbangkan suatu
putusan perkara agar lebih cermat sehingga putusan tersebut dapat
membawa rasa keadilan bagi para pihak dan tidak bertentangan dengan
aturan yang berlaku.
60
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’anul Karim
Abdullah, Abu Muhammad Muafiq Addin, Al Mughni li Ibni Qudamah, Jilid 6,
kairo: Maktabah Kairo, 1968 M/1388 H.
Ahmadi, Fahmi Muhammad - Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian, 2010.
Annesa, Gita Dwi ,Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak
Waris Anak Non Muslim”. Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015.
Anshori, Abdul Ghofur, filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Arif, Muhammad Rinaldi, Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Beda
Agama (Kajian Perbandingan Hukum Antara Hukum Islam Dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 368.K/Ag/1995) , De Lega Lata, Volume 2,
Nomor 2. Juli – Desember 2017.
Arif, Muhammad Rinaldi, Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Beda
Agama (Kajian Perbandingan Hukum Antara Hukum Islam Dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 368.K/Ag/1995), Volume 2, Nomor 2, Juli –
Desember 2017.
Bukhori, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al, Shahih Bukhari. Damaskus:
Daaru Taukon Najaat, 1422.
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Kementrian
Agama RI, 2011.
Jahar, Asep Saepudin, Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013.
Kamaruddin, Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim (Studi
Kasus PerkaraNo. 16 K/AG/2010), Mizani, Vol.25 No. 2. Agustus 2015.
Kamil, Ahmad - M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indoneṣia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
61
Karim, Muchit A, problematika hukum kewarisan islam kontemporer di indonesi.
Jakarta: Badan Litbang dan Diktat Kementerian Agama RI, 2012.
Kuncoro, NM Wahyu, Waris : Permasalahan dan Solusinya, Jakarta :Raih Asa
Sukses, 2015.
Lukito Ratna, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta : Pustaka Alvabet, 2008.
Maharani, Dhea Swasti, Akibat Hukum Anak Yang Berbeda Agama Dengan
Orang Tua Ditinjau Menurut Hukum Waris Di Indonesia(Studi Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1582 K/Pdt/2012), Jurnal Privat Law
Vol: 6 No: 1, 2018.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana Prenada Media,
2014.
Muhibbin, Moh - Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Musafa’ah, Suqiyah, Kontekstualisasi Pemikiran Waris Abdullah Saeed Dalam
Hukum Kewarisan Di Indonesia , ISLAMICA, Volume 9, Nomor 2, Maret
2015.
Muslimah, Arwini, Analisis Putusan Hakim Tentang Hak waris Karena Berbeda
Agama (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010).
skripsi fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013.
Nugraheni, Destri Budi - Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014.
Qohar, Moh. Abdul, Mewaris Harta Orang Murtad Menurut Pendapat
Muhammad Amin Asy-Syahir Ibnu ‘Abidin Dalam Kitab Radd Al-Muhtar
‘Ala Ad-Durr Al-Mukhtar. skripsi fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Kudus, 2015.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998.
62
Salihima, Syamsulbahri, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam
Hukum Islam dan Implementasinya Pada Pengadilan Agama. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Shiddieqy, Teungku muhammad Hasbi Ash, dkk , Fiqh Mawaris. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997.
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam Dan Perkembangan di Seluruh Indonesia.
Jakarat: Wijaya, 1984.
Soekanto, Soerjono - Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali, 1986.
Suma, Muhammad Amin, Keadila Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks
dan Konteks. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana Prenadmedia Group, 2008.
Umam, Dian Khairul, Fiqih Mawaris, Cet. 1. Bandung : CV Pustaka Setia, 1999.
Usman, Suparman - Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002.
Wahyudi, Muhamad Isna , Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3. Desember, 2015,
Yusuf, Muri A, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Prenadamedia, 2014.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. cetakan ke-10, jilid 10. Damaskus:
Darul fikr suriah damaskus, 2011.
LAMPIRAN
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Badung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara Permohonan Penetapan Ahli
Waris yang diajukan oleh :
1. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung, selanjutnya disebut PEMOHON I;
2. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, sekarang tinggal di Kalimantan, selanjutnya disebut sebagai
PEMOHON II;
Pemohon I dan Pemohon II (selanjutnya disebut Para Pemohon) telah memberikan Kuasa
Khusus kepada KUASA HUKUM I PEMOHON I DAN II., KUASA HUKUM II
PEMOHON I DAN II dan KUASA HUKUM III PEMOHON I DAN II Para Advokat
dan Advokat yang berkantor di Kota Denpasar berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal
X Februari 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Badung tanggal
XX Februari 2013;
Pengadilan Agama tersebut;
Setelah membaca berkas perkara;
Setelah mendengarkan keterangan pihak-pihak dan saksi-saksi;
Setelah memeriksa bukti-bukti di persidangan;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan
permohonan Penetapan Ahli Waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON
I DAN II, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa ayah para Pemohon yakni BAPAK PEMOHON I DAN II lahir di Cilacap
tanggal X April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama IBU
PEMOHON I DAN II, lahir di Singaraja tanggal X Februari 1947;
2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai
berikut;
a. SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II (sudah meninggal), anak pertama,
perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning,
Singaraja;
Page 1 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b. PEMOHON I , anak kedua, laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama Islam, bertempat
tinggal di Kuta, Badung;
c. SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX
April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung;
d. PEMOHON II, anak keempat, laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972, agama Islam,
alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan;
3. Bahwa mendiang SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II semasa hidup telah
menikah dengan SUAMI SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan
memiliki 3 orang anak yaitu;
3.1 ANAK KE I SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir tanggal X Mei
1986, agama Hindu;
3.1 ANAK KE II SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, laki-laki, lahir XX Mei 1996,
agama Hindu;
3.2 ANAK KE III SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir XX Mei 2004,
agama Hindu;
4. Bahwa PEMOHON I menikah dengan ISTRI PEMOHON I, memiliki 5 orang anak
yaitu;
4.1 ANAK KE I PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
4.2 ANAK KE II PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
4.3 ANAK KE III PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
4.4 ANAK KE IV PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
5.5 ANAK KE I PEMOHON V dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
5. Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II menikah dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, memiliki 3 orang anak:
5.1. ANAK KE I SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, perempuan,umur 17 tahun;
5.2. ANAK KE II SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 15 tahun;
5.3. ANAK KE III SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 8 tahun;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6. Bahwa PEMOHON II menikah dengan ISTRI PEMOHON II, memiliki 2 orang anak
yaitu;
6.1 ANAK KE I PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama Islam;
6.2 ANAK KE II PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama
Islam;
7. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para
Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei 2004 karena sakit, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012,
bapak kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari 2010, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012
dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara;
8. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah
membuat surat wasiat;
9. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini
disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa:
9.1 tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX
tanggal XX September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II;
9.2 tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXX/XXXX tanggal
XX Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II;
10. Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II telah berpindah agama ke
agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, maka SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II tidak lagi menjadi
ahli waris dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II;
11. Bahwa demikian juga dengan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, di depan
persidangan perkara Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah
pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut
membuktikan bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II tidak berhak lagi
atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan
IBU PEMOHON I DAN II;
12. Bahwa di antara para Pemohon tidak ada permasalahan mengenai pembagian harta
peninggalan dan para Pemohon telah sepakat untuk membagi harta warisan secara adil
dan merata;
Page 3 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
13. Bahwa para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan tersebut, sehingga
untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua bidang tanah tersebut haruslah
dipenuhi syarat-syaratnya yang salah satunya adalah ada penetapan ahli waris dari
Pengadilan Agama;
Bahwa dari uraian-uraian di atas, para Pemohon bermohon agar kiranya Bapak Ketua
Pengadilan Agama Badung berkenan membuka suatu persidangan untuk keperluan itu,
memeriksa permohonan ini serta menetapkan/memutuskan sebagai berikut:
PRIMAIR
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan:
a. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung;
b. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah;
Adalah ahli waris yang sah dari almarhum BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II;
3. Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada para
Pemohon;
SUBSIDAIR
Apabila Bapak Ketua Pengadilan Agama Badung berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa para hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon I hadir di
persidangan secara inperson didampingi Kuasanya;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah menjelaskan mengenai akibat penetapan ini
ahli waris bukan saja mewarisi harta warisan tapi juga mewarisi hutang pewaris, namun
Pemohon I menyatakan tetap melanjutkan permohonannya;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan surat permohonan Pemohon, atas
pertanyaan Majelis Hakim, Pemohon I memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
• Bahwa Pemohon I beragama Islam;
• Bahwa ayah para Pemohon yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama
Islam;
• Bahwa ibu para Pemohon yang bernama IBU PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II bernama XXXXXXX dan
XXXXXX sudah meninggal dunia lebih dahulu;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa Pemohon I lupa nama orang tua Ni Made Rai Ningsih, namun keduanya sudah
meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
mempunyai anak angkat;
• Bahwa para Pemohon memerlukan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama untuk
mengurus penjualan harta peninggalan dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II, karena pihak Notaris tidak mau mengeluarkan akta jual beli
sebelum ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa kemudian Pemohon I melalui Kuasanya mengajukan alat bukti
sebagai berikut :
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk nomor XX.XXXX.XXXXXX.XXXX atas nama
PEMOHON II dan Nomor:XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama PEMOHON I,
bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan
ternyata cocok dengan aslinya (bukti P.1);
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor: XXX/XX/XXX/2008 atas nama PEMOHON II
dan ISTRI PEMOHON II, dikeluarkan oleh KUA Sidoharjo Kabupaten Sragen
tanggal XX Desember 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.2);
3. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor XXX/XX/XXXX/2008 atas nama PEMOHON I
dan ISTRI PEMOHON I, dikeluarkan oleh KUA Kuta Kabupaten Badung tanggal XX
Agustus 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah
diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.3);
4. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
keluarga PEMOHON II, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Sragen
tanggal XX Juli 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.4)
5. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
keluarga PEMOHON I, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Badung
tanggal X Agustus 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.5);
6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama IBU
PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.6);
7. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama
BAPAK PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
Page 5 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.7);
8. Fotokopi Surat Pernyataan Waris tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.8);
9. Fotokopi Surat Pernyataan Silsilah tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.9);
10. Fotokopi Surat Pernyataan Pembagian Waris tanpa tanggal yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.10);
11. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.11);
12. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.12);
13. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atas nama wajib pajak BAPAK
PEMOHON I DAN II, Kuta, Kabupaten Badung, dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Badung tanggal X Januari 2012, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.13);
Menimbang, bahwa Kuasa Pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut;
1. SAKSI PERTAMA, umur 70 tahun, agama Hindu, pekerjaan ibu rumah tangga,
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan
sebagai berikut;
• Bahwa saksi kenal dengan BAPAK PEMOHON I DAN II, yang merupakan suami
dari saudara misan saksi yang bernama IBU PEMOHON I DAN II;
• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
PEMOHON I DAN II di Denpasar, menikahnya secara agama Islam;
• Bahwa saksi pernah ikut tinggal bersama BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
PEMOHON I DAN II di Kuta, Badung;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa dari pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU PEMOHON I
DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
• Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, ikut
suaminya;
• Bahwa PEMOHON I beragama Islam;
• Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
• Bahwa PEMOHON II beragama Islam;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 karena sakit;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dikuburkan di pekuburan Hindu, namun
sebelumnya beragama Islam;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II juga telah meninggal dunia tahun 2010 karena
sakit, dalam keadaan beragama Islam;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
bercerai;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
mempunyai anak angkat;
• bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II mempunyai 2
buah rumah di Kuta yang ditempati anak-anaknya;
• bahwa saksi mendengar rumah tersebut akan dijual;
2. SAKSI KEDUA, umur 68 tahun, agama Hindu, pekerjaan purnawirawan polisi,
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan
sebagai berikut;
• Bahwa saksi adalah kakak kandung IBU PEMOHON I DAN II;
• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK
PEMOHON I DAN II di KUA Denpasar;
• Bahwa dari perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I
DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 dalam keadaan
beragama Hindu dan dikuburkan di pekuburan Hindu;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2010 dalam
keadaan beragama Islam;
• Bahwa anak-anak BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II ada
yang beragama Islam yaitu PEMOHON I dan PEMOHON II, dan ada yang beragama
Page 7 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hindu yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA
PEMOHON I DAN II;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
bercerai;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain juga tidak
mempunyai anak angkat;
• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
meninggalkan dua buah rumah di Kuta;
• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
tidak meninggalkan hutang;
• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa orang tua IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa setahu saksi pengajuan penetapan ahli waris ini untuk keperluan penjualan
harta peninggalan tersebut oleh ahli warisnya;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon I memberikan kesimpulan secara lisan
tetap pada dalil permohonannya dan mohon segera dijatuhkan penetapan;
Menimbang, bahwa seluruh jalannya persidangan, tercatat dalam Berita Acara
Persidangan ini dan merupakan satu kesatuan dari dan telah turut dipertimbangkan dalam
penetapan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan
permohonan Penetapan Ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dalam halmana di saat
meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan
Penetapan Ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II yang juga telah meninggal dunia
dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga
bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alas hak bagi ahli waris IBU
PEMOHON I DAN II dan ahli waris BAPAK PEMOHON I DAN II terhadap tanah dengan
Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September 1979 atas nama IBU PEMOHON I
DAN II dan Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama BAPAK
PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan
pewaris yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama Islam, meskipun pewaris
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
yang bernama IBU PEMOHON I DAN II disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim
berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama;
Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara
voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi
kewenangan Pengadilan Agama Badung;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka
yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah
meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang secara syar’i untuk
ditetapkan sebagai ahli waris.
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis (P1 sampai dengan P13) berupa fotokopi bermeterai cukup
serta telah dicocokkan dan ternyata sesuai dengan aslinya, maka majelis Hakim menilai alat
bukti tersebut sah sebagai alat bukti berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
2000 tentang Perubahan tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan harga Nominal
Yang Dikenakan Bea Meterai jo Pasal 1888 KUH Perdata jo Pasal 301 RBG;
Menimbang, bahwa meskipun saksi-saksi yang dihadirkan Para pemohon berasal
dari kerabat semenda dengan para Pemohon, namun menurut Majelis Hakim tetap memenuhi
syarat formil karena keterangan yang diberikan saksi adalah mengenai kedudukan/status
keperdataan para Pemohon dengan pewaris, serta keterangan saksi tersebut diberikan di bawah
sumpah dan di persidangan (vide Pasal 171, 172 ayat 2 dan 175 RBG jo Pasal 1905, 1910 ayat
2 dan Pasal 1911 KUH Perdata). Demikian pula secara materil keterangan para saksi tersebut
dapat diterima karena para saksi memberikan keterangannya berdasarkan pengetahuan dan
penglihatannya sendiri (vide Pasal 308 RBG jo Pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata). Oleh karena
itu apa yang diterangkan saksi-saksi menurut pendapat Majelis Hakim dapat meneguhkan dalil
permohonan Para Pemohon;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon yang dikuatkan dengan
keterangan para saksi di bawah sumpahnya yang menerangkan melihat dan tahu perkawinan
IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II dilakukan secara Islam di
KUA Denpasar, dan antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II
tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa sampai meninggalnya IBU
Page 9 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PEMOHON I DAN II, antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN
II masih terikat dalam pernikahan;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan dua orang saksi serta bukti P4, P5, dan P9, diperoleh fakta hukum bahwa dari
perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II diperoleh 4
(empat) orang anak yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, PEMOHON I,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5, diperoleh fakta hukum bahwa
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama
Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II
beragama Islam;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para
saksi, IBU PEMOHON I DAN II telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu
meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama
Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara
eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam
untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya
pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah
tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai
berikut;
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam
menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang
mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga
mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan
pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu
kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak
mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim,
terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena
berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata
kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta
warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi
ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam;
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama IBU PEMOHON I
DAN II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia
dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka
kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan
mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad Saw ى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى) وال يعل و م يعل ال Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul)اإلس
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih
pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari
Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);
Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim
menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim
memandang Pasal 171 huruf b dab c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum
dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam
kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan
merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya
murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang
Majelis Hakim uraikan di atas;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum,
ternyata IBU PEMOHON I DAN II yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal
dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal XX September 2004 dengan meninggalkan
seorang suami bernama BAPAK PEMOHON I DAN II yang beragama Islam, dan 4
(empat) orang anak yakni SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu,
PEMOHON I beragama Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama
Hindu, dan PEMOHON II beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian
pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli
waris dari IBU PEMOHON I DAN II adalah BAPAK PEMOHON I DAN II, PEMOHN I
dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan
keterangan para saksi dan bukti P7, diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II telah meninggal dunia karena sakit pada tanggal XX Februari 2010 dalam keadaan
beragama Islam;
Page 11 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan bukti P9
dan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak
mempunyai isteri lain dan tidak mempunyai anak angkat, dan kedua orang tuanya telah
meninggal dunia lebih dahulu, maka diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II ketika meninggal dunia hanya meninggalkan 4 (empat) orang anak yakni SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama Islam,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II beragama
Islam;
Menimbang, bahwa dalam kasus BAPAK PEMOHON I DAN II ini, Majelis Hakim
menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang
terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II adalah
PEMOHON I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka
diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim
berpendapat, permohonan Pemohon dalam perkara ini harus dinyatakan terbukti dan patut
dikabulkan;
Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di
Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, tetap
berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli
waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan bukti
P11 dan P12, maka diperoleh fakta hukum bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
PEMOHON I DAN II meninggalkan harta warisan sebagaimana dalam bukti P11 dan P12
tersebut;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon dan keterangan Pemohon
I di persidangan diperkuat keterangan para saksi bahwa para Pemohon memerlukan Penetapan
Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk mengurus penjualan harta peninggalan dari IBU
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka
penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari IBU
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon
secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak
yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam
amar penetapan ini;
Mengingat segala peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yang
berkenaan dengan perkara ini;
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON
I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus
delapan puluh enam ribu rupiah);
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada
hari ini Kamis tanggal X Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal XX Rabiul Akhir 1434
H oleh kami, HAKIM KETUA. sebagai Ketua Majelis, HAKIM ANGGOTA I dan
HAKIM ANGGOTA II., masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan tersebut
diucapkan pada hari itu juga oleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan terbuka untuk
umum dengan dibantu oleh PANITERA PENGGANTI. sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon;
Hakim Anggota Ketua Majelis
ttd ttd
ttd
Panitera Pengganti
ttd
Page 13 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Rincian biaya perkara :1. Biaya administrasi Rp. 30.000,-2. Biaya Proses Rp. 50.000,-3. Biaya panggilan Rp. 95.000,-4. Biaya redaksi Rp. 5.000,- 5. M e t e r a i Rp. 6.000,-J u m l a h Rp. 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14