maqashid al-syari’ah dalam hukum kewarisan islam …

22
Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 125 MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM Oleh: Sri Lum’atus Sa’adah Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Jember Email: [email protected] Abstrak Tak terpungkiri lagi, bahwa mashlahah merupakan kata kunci dalam upaya merumuskan secara filosofis, kaitan teks wahyu dengan realitas konteks kehidupan umat beragama sehari-hari. Hukum Allah pasti mempunyai tendensi kemaslahatan. Secara etimologis, mashlahah mempunyai makna identik dengan manfaat, yaitu keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu. Namun, pada tataran substansinya, boleh dibilang sampai pada titik penyimpulan bahwa mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya mendatangkan sesuatu berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madlarat). Berkaitan dengan hukum kewarisan islam,jika dikaitkan dengan konsep mashlahah, maka mashlahah yang ingin dilindungi adalah perlindungan akan eksistensi agama (hifdh al-din), keturunan (hifdh al-nasl) dan juga perlindungan harta(hifdhla-mal) yang semuanya berada pada peringkat sekunder (hajiyyat) atau tersier (tahsiniyyat). Kata Kunci: Maqashid la-Syari’ah, Mashlahah, Kewarisan Islam Pendahuluan Al-mashlahah Sebagai Tujuan Hukum Islam Secara etimologis, maqashid merupakan bentuk jama’ dari al maqshudyang berarti tujuan, sehingga al maqashid al-syari’ahdapat diartikan sebagai tujuan dari syari’at. 1 Ulama ushul fikih 1 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir :Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),112

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 125

MAQASHID AL-SYARI’AH

DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM

Oleh:

Sri Lum’atus Sa’adah

Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Jember

Email: [email protected]

Abstrak

Tak terpungkiri lagi, bahwa mashlahah merupakan kata kunci

dalam upaya merumuskan secara filosofis, kaitan teks wahyu

dengan realitas konteks kehidupan umat beragama sehari-hari.

Hukum Allah pasti mempunyai tendensi kemaslahatan. Secara

etimologis, mashlahah mempunyai makna identik dengan manfaat,

yaitu keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya

yang dapat mendatangkan hal itu. Namun, pada tataran

substansinya, boleh dibilang sampai pada titik penyimpulan bahwa

mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya mendatangkan sesuatu

berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal

yang berdimensi negatif (madlarat). Berkaitan dengan hukum

kewarisan islam,jika dikaitkan dengan konsep mashlahah, maka

mashlahah yang ingin dilindungi adalah perlindungan akan

eksistensi agama (hifdh al-din), keturunan (hifdh al-nasl) dan juga

perlindungan harta(hifdhla-mal) yang semuanya berada pada

peringkat sekunder (hajiyyat) atau tersier (tahsiniyyat).

Kata Kunci: Maqashid la-Syari’ah, Mashlahah, Kewarisan Islam

Pendahuluan

Al-mashlahah Sebagai Tujuan Hukum Islam

Secara etimologis, maqashid merupakan bentuk jama’ dari al

maqshudyang berarti tujuan, sehingga al maqashid al-syari’ahdapat

diartikan sebagai tujuan dari syari’at.1Ulama ushul fikih

1 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir :Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997),112

Page 2: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

126 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

mendefinisikanmaqashid al-syari’ah dengan “makna dan tujuan

yang dikehendaki syara‘ dalam mensyariatkan hukum bagi

hambanya (manusia). Setiap hukum yang diciptakan syari‘ pasti

mengandung kemaslahatan bagi hamba Allah, baik kemaslahatan

yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.Oleh karena itu, setiap

mujtahid ketika akan mengistimbatkan hukum harus berpatokan

pada tujuan-tujuan syari‘dalam mensyari’atkan hukum, sehingga

hukum yang akan ditetapkannya sesuai kemaslahatan umat

manusia.2

Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa tujuan utama

dari pensyari’atan hukum yang telah ditetapkan Allah SWT

adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yakni

dengan memenuhi semua kebutuhannya baik yang bersifat

primer (dlaruriyyat), kebutuhan sekunder(hajiyyat), maupun

kebutuhan tersier (tahsiniyyatt).3

Tak terpungkiri lagi, bahwa mashlahahmerupakan kata

kunci dalam upaya merumuskan secara filosofis, kaitan teks

wahyu dengan realitas konteks kehidupan umat beragama sehari-

hari. Secara etimologis, mashlahah mempunyai makna identik

dengan manfaat, yaitu keuntungan, kenikmatan, kegembiraan

atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu.4 Namun,

pada tataran substansinya, boleh dibilang sampai pada titik

penyimpulan bahwa mashlahah adalah suatu kondisi dari upaya

mendatangkan sesuatu berdampak positif (manfaat) serta

menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif

(madlarat).

Sebagai kata kunci, kajian tentang mashlahahdapat

memberikan kepastian akademik bagi penyelesaian alotnya

perdebatan para juris Islam di seputar ta’lil alahkam: apakah

hukum-hukum Tuhan mempunyai hubungan kausalitas dengan

2 Abdul Aziz Dahlan et. al (ed), EnsiklopediHukumIslam 4 (Jakarta: PT Ichtiar

Baru Van Hoeve, 2001),1008 3 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait:Dar al-Millah, 1978), 197 4 Said Ramadhan al Buthi, Dlawabith al mashlahah, (Beirut:Muassasah al-

Risalah, tt), 27.

Page 3: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 127

kepentingan hamba?, apakah hukum-hukum yang tidak

disebutkan secara tersurat oleh teks wahyu, dapat dianalogikan

pada teks lain yang mempunyai ‘illat (reason) hukum sama?; dan

apakah seorang mujtahid boleh memberikan simpulan hukum

karena pertimbangan mashlahah tanpa pijakan teks?

Kaitan hukum Tuhan dengan konteks mashlahah ini,

kemudian memiliki momentum ketika berhadapan dengan

gagasan institusionalisasi hukum Islam dan formalisasi agama.

Kalangan formalis, selalu berupaya menaklukkan setiap

perubahan yang terjadi di bawah otoritas hukum Tuhan.

Sementara, kalangan substansialis menawarkan performa egaliter

dengan memaknai hukum Tuhan secara lebih luas menyangkut

perwajahan Islam secara kaffahdanrahmatan li al ‘alamin.Untuk

mengetahui lebih jelas lagi pendapat para ulama (juris Islam)

tentang mashlahah, dan boleh tidaknya mashlahahdigunakan

sebagai hujjah atau patokan dalam penetapan hukum, di bawah

ini diuraikan pemikiran al-Ghazali, al-Syatibi dan al Thufi5

tentangmashlahah.

Dalam bentangan sejarah hukum Islam, tepatnya sejak al-

Syafi’i(w. 204 H.) menulis kitab al-Risalah, ushul al-fiqh disepakati

sebagai seperangkat metodologis dalam legislasi hukum Islam.

Salah satu tema yang banyak diperdebatkan di kalangan ulama

5 Penulis memilih tiga tokoh tersebut dengan pertimbangan: pertama, al-Ghazali (w. 505 H.), al-Syatibi (w. 790 H.), dan al-Thufi (w. 716 H.) berlatar belakang madzhab fiqih yang berbeda, yakni al-Ghazali (w. 505 H.) berlatang belakang Syafi’iyyah yang dalam ijtihadnya menekankan ada konsep qiyas, sedangkan al-Syatibi (w. 790 H.) berlatar belakang Malikiyyah yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai dalil terdepan setelah al-Qur’an dan al-Hadits, sementara al-Thufi (w. 716 H.) adalah bermadzhab Hanbali yang menekankan pada pemahaman leteral teks al-Qur`an dan al-Hadits serta mendahulukan atsar al-Shahabah dari pada qiyas dan dalil hukum lainnya dalam penggalian hukum Islam. Karakter madzhab Hanbali tetap terlihat dalam pandangan al-Thufi (w. 716 H.) tentang mashlahah dalam ranah ibadah dan muqaddarat. Sedangkan dalam ranah mu’amalah, al-Thufi (w. 716 H.) mencukupkan mashlahah sebagai dalil hukum andalannya; Selain

itu, elabora dari pemikiran tokoh tersebut dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menganalisis pelaksanaan hukum kewarisan Islam.

Page 4: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

128 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

ushul, adalah pembahasan tentang mashlahah, apakah termasuk

dalam perangkat istinbath al-hukm atau tidak. Kontroversi tersebut

terjadi karena mereka berbeda dalam melihat sejauh mana akal

(ra’yu) ditolerir ikut bermain dalam memahami pesan teks.

Al-Syafi’i (w. 204 H.) adalah ulama yang paling keras

menolak penggunaan nalar dalam berbagai bentuknya, baik

melalui istihsan atau mashlahah mursalah dalam penggalian hukum

Islam. Pendapat tersebut diikuti oleh ulama sesudahnya seperti al-

Juwaini (w. 478H.) dan al-Ghazali (w.505 H.). Namun demikian,

dua tokoh tersebut mengembangkan sedemikian rupa konsep

mashlahah. Al-Juwaini (w. 478 H.) disinyalir sebagai bapak

maqashid pertama. Dialah tokoh yang melahirkan konsep ta’lil

dalam tiga kategori: dlaruriyyat, hajat dan mahasin.

Konsep al-Juwaini (w. 478 H.) inilah yang memberikan

inspirasi al-Ghazali dalam mengemas mashlahah dengan wajah

baru yaitu maqashid al-syari’ah dalam bingkai al-ushul al-khamsah

(lima hal pokok), yakni pemeliharaan pada agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta, walaupun cara aplikasinya masih “nyantol”

dengan teori ijtihad andalan Syafi’iyan, yaitu qiyas.

Berbeda dengan al-Ghazali (w. 505 H.) yang bermadzhab

Syafi’iyyah, al-Syatibi (w. 790 H.) memformulasikan sedemikian

rupa konsep mashlahah yang dirintis al-Juwaini (w. 478 H.) dan al-

Ghazali, dan menjadikannya sebagai sebuah metode istinbath

hukum Malikiyyah, yakni metode mashlahah mursalah, yang

sejatinya tingkat keterikatannnya dengan teks masih begitu

kental.6 Mirip dengan al-Ghazali (w. 505 H.), al-Syatibi (w. 790 H.)

menegaskan bahwa maqashid al-mukallaftidak boleh menabrak

rambu-rambu maqashid al-syari’, keduanya harus sesuai, dan

apabila terjadi pertentangn antara keduanya, maka yang harus

rela mengalah adalah maqashid al-mukallaf.7

Pasca al-Syatibi, dalam rentan waktu tidak kurang dari

enam abad, hadir tokoh maqashid baru, Muhammad al-Thahir Ibn

‘Asyur (w. 1393 H) dengan kitabnya yang terkenal, Maqashid al-

6Ibid.,65 7Ibid.

Page 5: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 129

Syari‘ah al-Islamiyyah, dan dalam waktu yang hampir bersamaan

juga hadir tokoh lain, yakni ‘Alal al-Fasi (w. 1394 H.) dengan

kitabnya yang bernama Maqashid al-Syari‘ah wa Makanatuha.

Kemudian muncullah para pengkaji mashlahah seperti

Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, dengan kitabnya, Dlawabith

al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Musthafa Zaid, dengan

bukunyaal-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami, Musthafa Syalabi,

dengan kitabnya, Ta’lil al-Ahkam, Husain Hamid Hassan, dengan

kitabnya, Nadhariyat al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islami. 8

Konsep mashlahah juga dikembangkan oleh al-Thufi (w.

716), seorang ulama yang bermadzhab Hanbali, sebuah madzhab

yang secara tegas dan keras menolak campur tangan nalar dalam

istinbathhukum. Bagi al-Thufi, mashlahah adalah dalil hukum

terdepan dan terkuat, khususnya dalam ranah mu’amalah. Dalil

apapun yang berlawanan dengan semangat mashlahah harus

ditolak, karena hukum bukan untuk kemaslahatan Tuhan, tetapi

semata-mata untuk menghantarkan manusia dalam menggapai

mashlahah, yaitu memperoleh kebaikan dan sekaligus terhindar

dari bahaya, baik di kehidupan di dunia maupun kehidupan di

akhirat kelak.

8 Ahmad al-Raisuni, Nadhariyat al-Maqashid, 68-69.

Ibid, hlm, 68-69

Page 6: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

130 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

Al-Mashlahah Menurut Sudut Pandang Beberapa Pemikir

Mashlahah al-Ghazali9 (450 H - 505 H/1058 M-1111 M)

Menurut pandangan al-Ghazali, hukum Allah (syari’at)

yang ada dalam al-Qur’an dan al-Haditsmengandung suatu

tujuan (maqashid). Melalui maqashid, ide pokok Tuhan yang

tersembunyi di balik firman-firman tertulisnya dapat dijadikan

landasan untuk memahami apa sebenarnya yang diinginkan

Tuhan dari setiap aturan yang ditetapkan untuk makhluk-Nya.

Ia memandang suatu kemaslahatan harus sejalan dengan

tujuan syari’, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia.

Dengan demikian,mashlahah yang dijadikan pertimbangan hukum

adalah tujuan atau mashlahah menurut pandangan Tuhan, bukan

semata mashlahah dalam persepsi manusia. Kemaslahatan tersebut

bukan berarti untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk

kemaslahatan dan kebaikan umat manusia dalam menjalani hidup

di dunia hingga akhirat kelak10.

Menurut al-Ghazali, tujuan Syara’yang digunakan untuk

menciptakan kemaslahatan manusia tersebut adalah mewujudkan

pemeliharaan terhadap lima prinsip dasar: agama (din), jiwa (nafs),

9Imam al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafi’i lahir pada tahun 450 H / 1058 M di sebuah kota kecil di Khurasan (Iran) bertepatan dengan setelah tiga tahun kaum Saljuk berkuasa di Baghdad. Orang tua al-Ghazali adalah seorang pemintal benang dari bulu dan dikenal sebagai orang yang saleh dan hidup sederhana. al-Ghazali menimba ilmu pada Ahmad bin Muhammad al-Razikani. Kemudian dia mengembara ke Nisabur untuk belajar di Madrasah Nidhamiyah yang dipimpin oleh al-Haramayn al-Juwaini al-Syafi’i (478 H.). Di madrasah ini al-Ghazali mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti tasawuf, fiqh, tauhid, filsafat dan logika. Kecerdasan dan kedalaman ilmu pengetahuan al-Ghazali, menghantarkannya untuk mendapatkan kepercayaan sebagai tenaga pengajar di Madrasah Nidhamiyah pada tahun 484 H. Dan lima tahun kemudian al-Ghazali diangkat menjadi kepala madrasah tersebut. Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus, tempat al-Ghazali dilahirkan, dan dikebumikan di tanah kelahirannya juga. Lihat, Abdul Aziz Dahlan et al (ed), Ensikopedi Hukum Islam 4, (Jakarta:Ichtiar van

Hoeve), 1147 10Ibid, 287.

Page 7: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 131

akal (‘aql), keturunan (nasab) dan harta (mal). Apabila seseorang

melakukan suatu perbuatan yang intinya memelihara kelima

aspek tersebut, maka perbuatannya tersebut dinamakan

mashlahah. Begitu pula upaya untuk menolak terhadap hal

menimbulkan kemadharatan juga disebut mashlahah. Sebaliknya

setiap sesuatu yang dapat menyebabkan terabaikannya terhadap

perlindungan kelima hal tersebut disebut mafsadat.11Lima prinsip

di atas oleh al-Ghazali dibedakan menjadi tiga peringkat, al-

dlarurat, al-hajat dan al-tahsinat12. Pengelompokan ini didasarkan

pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Maqashid al-

dlaruriyyat (tujuan-tujuan primer) didefinisikan sebagai tujuan

yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat

menghancurkan kehidupan secara total13.

Maqashid al-hajiyyat (tujuan-tujuan sekunder) didefinisikan

sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempermudah

mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk ke dalam

katagori dlaruriyyat14. Karena fungsinya yang mendukung dan

melengkapi tujuan primer tersebut, maka kehadiran tujuan

sekunder ini dibutuhkan (sebagai terjemahan harfiah dari

hajiyyat), bukan niscaya (sebagai terjemahan langsung dari

dlaruriyyat). Artinya, Jika hal-hal hajiyyat tidak ada, maka

kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi

berbagai kekurang-sempurnaan, bahkan kesulitan.15

Sementara maqashid al-tahsiniyyat (tujuan-tujuan tersier)

didefinisikan sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya

maupun dibutuhkan, tetapi bersifat akan memperindah (sebagai

terjemahan harfiah dari kata tahsiniyyat) proses perwujudan

kepentingan dlaruriyyat dan hajiyyat.16 Sebaliknya,

ketidakhadirannya tidak akan menghancurkan maupun

11Ibid., 287. 12Ibid.,289. 13Ibid., 290 14Ibid.,291 15Ibid.,230 16Ibid., 292.

Page 8: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

132 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan

etika.

Al-Ghazali juga mengklasifikasikan mashlahah dari aspek

adanya legalitas atau tidaknya dari Syari’ (Allah dan Rasul) dalam

tiga katagori: mashlahahmu’aththirah, yaitu kemaslahatan yang

yang dijelaskan secara langsung dalam teks; mashlahah mulghah

(sia-sia) dan gharibah (asing), yaitu kemaslahatan yang

keberadaanya ditolak oleh teks; dan mashlahah mursalah, yaitu

kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam teks secara langsung

namun memilki kesesuaian spirit dengan mashlahah yang

dijelaskan dalam teks17. Satu hal yang perlu ditegaskan di sini,

menurut al-Ghazali, bahwa mashlahah hajiyyah (sekunder) dan

mashlahah tahsiniyyah (tersier) tidak dapat dijadikan landasan

hukum kecuali bila diperkuat oleh ashl (sesuatu yang hukumnya

dijelaskan oleh teks). Dengan demikian, cara kerja mashlahahala al-

Ghazali adalah cara kerja qiyas, sebab bila tidak didukung oleh

syara’ , maka sama saja dengan istihsan.18

Sedangkan mashlahah dlaruriyyah (kepentingan primer,

mendesak) bagi al-Ghazali dapat dijadikan pijakan hukum,

apabila memenuhi syarat-syarat berikut: Pertama, tidak

bertentangan dengan nash qath’i. Bagi al-Ghazali, nash qath’i lebih

kuat dari mashlahah mursalah. Sementara pertentangan (ta’arudl)

yang terjadi antara mashlahah dengan nashdhanni, maka yang

diprioritaskan adalah mashlahah, tanpa menafikan teks sama

sekali. Dengan kata lain, yang berlaku dalam kasus ini adalah

mashlahahmen-takhshish keumuman teks; Kedua, mashlahah yang

bersifat universal (kulliyat), bukan mashlahah yang bersifat juziyyat;

Ketiga, diyakini atau diduga kuat akan benar-benar

mencerminkan kemaslahatan, bukan mashlahah utopis, praduga

atau sangkaan belaka19.

17Ibid., 310-311. 18 A. Halil Tahir, Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur: Pendekatan Maqas{id al Shari’ah, (Disertasi IAIN Sunan Ampel, 2012), 74-75. 19 Ibid 75.

Page 9: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 133

Mashlahahal-Syatibi20 (w. 790 H /1388 H.)

Secara geneologis rancang bangun pemikiran maqashid

bukanlah temuan hal yang baru. Maqashid bukanlah hasil capaian

ulama kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik,

kendati term maqashid secara eksplisit belum ditemukan dalam

kitab-kitab “anggitan” para ulama klasik, hal itu sudah banyak

terangkum dalam pembahasan di term-tern lain misalnya tentang

qiyas.Namun, pembahasannya belum sistematis sebagaimana

yang telah disajikan oleh al-Syatibi. Dalam pembahasannya

tentang mashlahah al-Syatibi lebih sistematis, tertata sehingga

dapat diterima oleh semua kalangan.

Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan syari’at (aturan

hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan

menghindari kemadaratan (jalb al- mashalih wa dar’ al- mafasid).

Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang

telah ditentukan Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu

sendiri baik di dunia dan akhirat sekaligus.21 Kemaslahatan

tersebut dapat terwujud, apabila lima unsur pokok berikut

terpenuhi, yakni:pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan

harta.22

20Nama lengkap al-Shatibi adalah Abu Ishaq bin Musa al-Gharnathi, dan dikenal dengan sebutan al-Syathibi. Nama al-Syatibi berasal dari nama negeri keluarganya, Syatibah (Xativa atau Jativa).Al-Syatibi dilahirkan di Granada. Menurut Hamka Haq, sampai saat ini, tanggal kelahiran al-Syatibi masih mesterius. Pada umumnya orang banyak menyebut tahun wafatnya, yakni 790 H./1388 M. Namun demikian, dapat diduga kuat, al-Syatibi lahir dan menghabiskan hidupnya di Granada pada masa kekuasaan Yusuf Abu al-Hajjaj (1333-1354 M.) dan Sultan Muhammad IV (1354-1391). Nama Syatibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Syathibah), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia. Pada tahun 1247M, keluarga Imam al-Syatibi mengungsi ke Granada setelah Sativa, tempat asalnya, jatuh ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih 9 tahun sejak tahun 1239M. Periksa Abdul Aziz Dahlan et.al (ed),Ensiklopedi Hukum Islam 5, 1699. 21Ibid. 22 Urutan kelima dlaruriyyat ini bersifat ijtihadi bukan naqly. Artinya. Ia

disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra’ (induktif). Dalam merangkai kelima dlaruriyyat ini (al-

Page 10: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

134 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa serangkaian

aturan yang telah digariskan Allah dalam syari’ah adalah untuk

membawa manusia dalam kondisi baik dan menghindarkannya

dari segala yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak

saja di kehidupan dunia namun juga di akherat. Kata kunci yang

kemudian kerap disebut oleh para sarjana muslim adalah

mashlahah.

Untuk menjaga yang lima sebagaimana yang telah dirinci

al Ghazali tersebut diatas dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:

a. Dari segi adanya (min nahiyyat al-wujud), yaitu dengan cara

menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan

keberadaannya.

b. Dari segi tidak adanya (min nahiyyat al-‘adam), yaitu dengan

cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.23

Urutan kelima dlaruriyyat ini bersifat ijtihadi bukan naqli.

Artinya, ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap

kulliyat al khams) terkadang ada yang yang mendahulukan al nasl dari pada al-aql, atau ada yang mengakhirkan al-din, dsb. Bagi al- Zarkasyi, urutannya adalah; al nafs, al mal, al nasab,al din dan al aql.22Sedangkan menurut al- Amidi urutannya dalah; al-din, al-nafs, al-nasl, al-aql dan al-mal. Dan menutut al- Qarafi, urutannya: al-nufus, al-adyan, al- ‘uqul, al-amwal, dan al-a’radh. Sementara al- Ghazali urutannya, al-din, al-nafs, al-‘aql al-nasl dan al-mal. Namun urutan yang dikemukakan al- Ghazali ini adalah urutan yang

paling banyak dipegang para ulama ushul fiqh berikutnya. Cara kerja kelima dlaruriyyat tersebut harus sesuai dengan urutannya. Periksa,al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Kuwait:Wizarat al Auqaf wa al Syu’un al Islamiyyah, 1993 juz VI), 612, al- Amidi, Al Ahkanm fi Ushul al Ahkam, (Muassasah al Halaby,1991 Juz IV), 252,Al -Qarafi, Syarh Tanqih al Fushul, (Maktabah al Kulliyah al Azhariyah, tt), 391, al- Ghazali, al-Mustashfa,

(Beirut: Dar al-Fikr,1997 Juz I), 258 23 Contoh penerapannya sebagai berikut: menjaga agama dari segi al-wujud, misalnya shalat, zakat. Menjaga dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi pemurtad. Menjaga jiwa dari segi al- wujud, contohnya makan dan minum, dari segi al -‘adam qishas dan diyat. Menjaga aqal dari segial-wujud contohnya mencari ilmu, dari segi al-‘adam contonya had bagi peminum khamar. Menjaga nasl dari segi al-wujud contohnya,nikah, dari segi al-‘adam contohnyahadbagipezinadanmuqadzif. Menjaga harta dari segi al- wujud contohnya jual beli dan mencari rezeki, dari segi al- ‘adam

misalnya dilarang riba, had potong tangan bagi pencuri.

Page 11: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 135

nash yang diambil dengan cara istiqra’ (induktif). Dalam

merangkai kelima dlaruriyyatini (al kulliyat al-khams) terkadang ada

yang mendahulukan al- nasl dari pada al-aql, atau ada yang

mengakhirkan al-din, dsb. Bagi al Zarkasyi, urutannya adalah; al-

nafs, al- mal, al-nasab,al-din dan al-aql. Sedangkan menurut al-

Amidi24 urutannya adalah; al- din, al- nafs, al-nasl, al-aql dan al-mal.

Menurut al Qarafi25, urutannya: al-nufus, al- adyan, al-‘uqul, al-

amwal, dan al a’radh. Sementara menurut al Ghazali26 urutannya, al

din, al nafs, al-‘aql, al-nasl dan al-mal. Urutan yang dikemukakan al

Ghazali ini adalah urutan yang paling banyak dipegang para

ulama ushul fiqh berikutnya. Cara kerja kelima dlaruriyyat

tersebut harus sesuai dengan urutannya.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, ulama Malikiyyah dan

Syafi’iyyah mengurut lima hal pokok (al-ushul al-khamsah) dengan

urutan sebagai berikut: agama, jiwa, akal, keturunan, kemudian

harta. Sementara ulama Hanafiyyah mengurutnya dengan urutan:

agama, jiwa, keturunan, akal, kemudian harta27.

Dalam usaha merealisaikan dan memelihara lima unsur

pokok tersebut, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid,

yaitu28:

a. al-maqashid al-dlaruriyyat (primer, pokok)

b. al-maqashid al-hajiyyat (sekunder, kebutuhan)

c. al-maqashid al-tahsiniyyat (tersier, keindahan).

Klasifikasi mashlahah seperti tersebut di atas dapat

memudahkan pengkaji hukum Islam dalam menganalisis kasus

hukum yang di dalamnya terdapat pertentangan antara beberapa

mashlahah. Ketika yang bertentangan adalah mashlahah yang sama-

sama dalam peringkat dlaruriyyat , maka penyelesaiannya adalah

dengan mendahulukan urutan yang paling tinggi dalam lima

24 Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam IV, (Muassasah al Halaby,1991 ), 252. 25 Al-Qarafi,Syarh Tanqih al- Fushul, (Maktabah al Kulliyah al Azhariyah, tt),391 26 Al-Ghazali, al-Mustashfa I,(Beirut: Dar al- Fikr,1997 ), 258 27 Periksa, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol. 2, (Bairut: Dar al-

Fikr, 1986), 752-753. 28 Al-Syathibi, al-Muwafaqat, Vol. 2…, 6

Page 12: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

136 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

unsur pokok (al-ushul al-khamsah), dimana peringkat tertinggi

adalah agama, kemudian secara berurutan diikuti dengan jiwa,

akal, keturunan, dan harta.

Mashlahah al-Thufi (675 H/1276 M-. 716 H/ 1316 M.)

Nama lengkap al-Thufiadalah Najm al-Din Abu al-Rabi’

Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa’id al-Thufial-

Sarsari al-Baghdadi al-Hanbali, yang kemudian dikenal dengan al-

Thufi29. Al-Thufi nisbat pada Tawfa, nama desa yang terletak di

daerah Sarsar Irak, dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan.

Disamping tokoh tersebut terkenal dengan namaal-Thufi, juga

popular dengan nama Ibn Abi ‘Abbas.Al-Thufi lahir pada tahun

673 H (1274 M) dan meninggal pada tahun 716 H (1316 M) di

Palestina.30

Al-Thufi mempunyai karya tulis yang banyak sekali. Dari

sekian banyaknya karya al-Thufi, yang paling menonjol dan

menjadi kontroversi adalah tentang konsep mashlahah, yang

terdapat dalamKitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arba’in, sebuah kitab syarh

(penjelasan makna kata dan dan kalimat berikut kandungan)

terhadap kitab Al-Hadits al-Arba’in al-Nawawiyyah.

Dalam kitab tersebut, tepatnya pada penjelasan hadis ke

32, yakni hadisla dlarara wala d}irara (tidak boleh ada bahaya pada

diri sendiri dan tidak boleh pula ada bahaya pada orang lain),al-

Thufi menulis gagasannya tentang mashlahah sebagai dalil mustaqil

(berdiri sendiri) dalam penggalian hukum Islam. Mashlahah

merupakan hujjah yang terkuat yang secara mandiri dapat

digunakan sebagai landasan hukum. Menurutnya, ajaran yang

diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunnah

Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, dalam segala aspek

persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan

29Ibn al-‘Imad, Syadzarat al-Dhahab fi Akhbai Man Dhahab, Vol. 5, (Bairut: al-

Maktabah al-Tijari, t.th.), 39. 30 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, Terj. Anas Mahyuddin,

(Bandung: Pustaka, 1983), 37-38

Page 13: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 137

pertimbangan adalah kemaslahatan. Apabila pekerjaan itu sesuai

dengan kemaslahatan, maka harus dikerjakan oleh manusia,31

sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan ini.

Pada dasarnya, sebelum al-Thufi, tidak ada seorang

ulamapun yang menerima mashlahah sebagai dalil hukum

independen (mustaqil), baik para imam madzhab besar, yakni Abu

Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H/767 M), Malik bin Anas

(w. 179 H/795 M), Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w.204 H/819

M), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), maupun para

ulama pengikut empat madzhab tersebut.

Pandangan al-Thufi tentang mashlahah sebagaimana

penulis dikemukakan adalah berasal dari pembahasan (syarh})

hadis nomor 32 dari kitabhadisal-Arba’in al-Nawawiyyah.hadis

dimaksud berbunyi:

ضرار ولا ضرر لا

“Tidak boleh merugikan orang lain dan tidak boleh membalas

kerugian dengan kerugian yang lain”.32

Tanpa memperdulikan kuat atau lemahnya rangkaian

periwayatan (sanad) atau otentik tidaknya penisbatan pada Nabi,

al-Thufi memandangnya sebagai representasi yang valid dari

tujuanal-Qur’an untuk melindungi kebaikan dan kemaslahatan

manusia.

Al-Thufi membangun pemikirannya tentang mashlahah

tersebut berdasarkan atas empat prinsip33:

a. Akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui

kebaikan dan keburukan. Hanya saja kemandirian akal untuk

31M. al Husain al Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum Najm al din Al T}ufi, terj. Abdul Basir (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004),49 32Al-Thufi, Kitab al-Ta’yin, 234. Al-Hadits tersebut terdapat dalam al-

Muwaththa` nomor 1234, Sunan Ibn Majah nomor 2331 dan 2332. Periksa, Malik bin Anas, al-Muwaththa`, Vol. 5, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th.), 37. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Vol. 7, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

t.th.), 143. 33 Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof.Dr.H. Munawir Sjadzali

(Jakarta:IPHI dan Paramadina, 1995), 254-257.

Page 14: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

138 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

mengetahui baik dan buruk terbatas dalam ranah mu’amalah

dan adat istiadat;

b. Sebagai kelanjutan pendapatnya yang pertama di atas, ia

berpendapat bahwa mashlahah merupakan dalil syar’i mandiri

yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nash,

tetapi tergantung pada akal semata. Bagi al-Thufi, untuk

menyatakan sesuatu itu mashlahah adalah atas dasar adat-

istiadat dan eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash;

c. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,mashlahah} menjadi dalil

syar’i hanya dalam bidang mu’amalat (hubungan sosial) dan

adat-istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadat dan muqaddarat

(sesuatu yang ukurannya telah ditentukan dalam nash,

mashlahah} tidak dapat dijadikan dalil. Dalam kedua hal ini,

nash danijma’-lah yang harus diikuti.

d. Bagi al-Thufi, secara mutlakmashlahah merupakan dalil syara’

yang paling kuat. Baginya, mashlahah bukan hanya hujjah

semata ketika tidak terdapat nash dan ijma’, melainkan ia harus

didahulukan atas nash dan ijma’ ketika terjadi pertentangan

antara keduanya dengan cara takhshish dan bayan.

Mengutamakan dan mendahulukan mashlahah atas nash berlaku

dalam seluruh karakteristiknya; baik qath’i dalam sanad dan

matan-nya ataupun dhanni.

Berdasarkan keempat asas ini, al-Thufi menyusun tiga

argument dalam mendahulukan mashlahah atas nash dan ijma’

sebagaimana berikut:34

a. Kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum diperselisihkan di

kalangan ulama’. Sementara mashlahah telah disepakati,

termasuk oleh mereka yang menentang ijma’. Ini berarti bahwa

mendahulukan sesuatu yang disepakati (mashlahah) atas hal

yang diperselisihkan (ijma’) adalah lebih utama35.

b. Nash mengandung banyak pertentangan, dan hal inilah salah

satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Sedangkan

memelihara mashlahah merupakan sesuatu yang disepakati;

34Ibid. 35Ibid.

Page 15: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 139

c. Terdapat nash dalam Sunnah yang ditentang oleh mashlahah,

seperti sikap sahabat Umar yang melarang menyampaikan al-

Hadits Nabi tentang “garansi” masuk surga bagi orang yang

mengucapkan kalimah tauhid. Larangan itu didasarkan pada

kemaslahatan umat Islam, yaitu kekhawatiran sahabat Umar

terhadap sikap bermalas-malas untuk beramal dengan dasar

al-Hadits tersebut.36 Sementara dalam ranah mu’amalah,

menurut al-Thufi, yang dijadikan pedoman istidlal adalah

mashlahah. Mashlahahdan dalil-dalil hukum yang lain seperti

nash, ijma’ dan qiyas, dalam melihat hukum sesuatu ada dua

kemungkinan: sama atau berbeda. Dalam mengaplikasikan

dua kemungkinan ini al-Thufi menawarkan langkah-langkah

istidlal sebagaimana berikut37:

Jika mashlahah dan dalil-dalil hukum yang lain sama dalam

menetapkan hukum, maka tidak ada masalah dan baik sekali,

seperti sepakatnya nash, ijma’ dan mashlahah dalam menetapkan

lima hukum yang bersifat mendesak (dlaruri), yakni: qisas

terhadap pembunuh, membunuh orang murtad, memotong

tangan pencuri, had penuduh zina (qadzif), dan had terhadap

peminum khamar.38

Apabila mashlahah dan dalil hukum lainnya berbeda, maka

diupayakan untuk mengkompromikan antara keduanya (al-jam’u

bainahuma), misalnya dengan membawa sebagian dalil pada

sebagian hukum, tidak pada yang lain, selagi tidak menabrak

mashlahah dan tidak mempermainkan dalil. Tetapi apabila

melakukan kompromi tidak memungkinkan, maka yang harus

didahulukan dari dalil lain adalah mashlahah, sebagaimana pesan

Nabi dalam haditsnya: la dlarara wa la dlirara. Makna al-Hadits ini,

menurut al-Thufi, khusus dimaksudkan untuk menghilangkan

mafsadat (kerusakan) dan memelihara mashlahah yang menjadi

tujuan utama syara’. Sedangkan dalil-dalil lainnya tidak ubahnya

sebagaimana sarana (wasail). Oleh karena itu, tujuan harus

36Ibid. 37 Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Reaktualisasi, 277. 38Ibid., 227

Page 16: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

140 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

diutamakan dari pada sarana.39 Bila langkah kompromi tidak

memungkinkan, maka yang diprioritaskan adalah mashlahah yang

paling urgen, atau dengan cara diundi apabila dari sekian

mashlahah sama-sama pentingnya40.

Suatu kasus hukum yang di dalamnya hanya ada unsur

mafsadat, maka mafsadat tersebut dihindari, dan membuang

seluruh mafsadat kalau memang terdapat beberapa mafsadat dan

memungkinkan untuk menghindari semuanya. Bila langkah

tersebut tidak mungkin dilakukan, maka cukup mengerjakan

yang mungkin saja. Ketika tingkat mafsadat-nya tidak sama, maka

yang dihindari adalah mafsadat yang lebih berat (irtikab akhaf al-

dlararayn). Tapi bila kadar mafsadah-nya sama, makaharus memilih

salah satu atau dengan cara diundi untuk menghindari tuhmah

(prasangka buruk)41.

Maqashid al-syari‘ah Dalam Hukum Kewarisan Islam

Sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan maqashid al-

syari‘ah, bahwa pada dasarnya ajaran Islam,tentu juga tentang

pembagian warisdimaksudkan untuk mendatangkan

kemaslahatan dan sekaligus menolak kemafsadatan bagi

kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Kemaslahatan dalam maqashid al-syari‘ah mencakup lima hal

pokok (al-ushul al-khamsah), yakni: perlindungan terhadap agama,

jiwa, akal, keturunan, dan harta. Masing-masing dari lima hal

pokok tersebut mempunyai peringkat dlaruriyyat (primer, pokok),

hajiyyat (sekunder, kebutuhan), dan tahsiniyyat (tersier,

keindahan).42

39Ibid. 40Ibid. 41Ibid., 279. 42 Pembagian mashlahah dengan tiga katagori: dlaruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat dalam lima hal pokok tersebut adalah perspektif al-Ghazali dan

al-Syatibi. Sedangkan bagi al-Thufi, mashlahah bersifat mutlak, tanpa batas. Kekuatannya berkisar pada katagori: rajih/qawiy dan arjah/aqwa, dan mencakup masalahah dunyawiyyah dan mashlahah ukhrawiyyah

Page 17: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 141

Sejauh penelusuran penulis dalam beberapa literatur,

belum didapati pembahasan maqashid al-syari‘ah pembagian

warisyang sistematika pembahasannya mengikuti sistematika

maqashid al-syari‘ah al-Ghazali dan al-Syatibi, khususnya dalam

mengklasifikasikan mashlahah pada tiga ranah dlaruriyyat, hajiyyat,

dan tahsiniyyat. Namun demikian, penjelasan tentang maqashid al-

syari‘ah tentang pembagian waris tersebut masih dapat

dicarikanrujukan dalam ranah perlindungan lima hal pokok (al-

ushul al-khamsah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta., melalui

hikmah dari pembagian waris Islam.

Hikmah pembagian waris berdasarkan hukum Islam

adalah:

a. Islam mendudukkan anak bersamaan dengan orang tua

pewaris serentak sebagai ahli waris. Dalam sistem kewarisan

di luar Islam, orang tua dimungkinkan mendapat hak warisan

kalau pewaris meninggal dengan tidak meninggalkan

keturunan. Suami istri mendapat hak saling mewarisi. Hal ini

bertentangan dengan tradisi Arab jahiliyah yang menjadikan

istri sebagai harta warisan.

b. Memelihara keutuhan keluarga. Pembagian warisan berkaitan

langsung dengan harta benda, apabila tidak diberikan

berdasarkan ketentuan-ketentuan (rincian bagian) sangat

mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Hal ini

dikarenakan secara fitrah manusia itu sangat senang terhadap

harta.

c. Sebagai sarana untuk mencegah kesengsaraan atau

kemiskinan ahli waris. Hal ini terlihat bahwa dalam sistem

kewarisan Islam memberi bagian sebanyak mungkin kepada

ahli waris dan kerabat.Harta warisan bukan saja terhadap

anak-anak pewaris, tetapi orang tua, suami-istri, saudara-

saudara, cucu bahkan kakek dan nenek.

d. Sebagai sarana pencegahan dari kemungkinan penimbunan

harta kekayaaan pada seseorang. Dengan dirincinya aturan

tentang pembagian waris, diharapkan tiap ahli waris

mendapatkan hak yang semestinya secara proporsional.

Page 18: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

142 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

e. Mewujudkan kemaslahatan anggota keluarga dalam hidup

bermasyarakat. Hal ini dikarenakan pembagian waris dalam

Islam tidak hanya ditunjukkan kepada seseorang tertentu dari

keluarga tanpa memberi kepada anggota keluarga lain dan

tidak pula diserahkan kepada Negara.43

Berdasarkan hikmah pembagian waris tersebut, dapat

ditarik ke ranah maqashid al-syari‘ah sebagai berikut:

a. Untuk menjalankan syari’at Islam. Dengan melaksanakan

ketentuan Allah tentang pembagian waris merupakan simbol

ketundukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Hal ini

sebagaimana telah disebutkan dalam QS al-Nisa ayat 13,

artinya:

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan

dari Allah. Orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang

mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di

dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar”.

b. Untuk memelihara keutuhan dan kerukunan keluarga. Dengan

membagi harta peninggalan dengan sistem kewarisan Islam,

diharapkan tidak lagi ada perpecahan antara keluarga

dikarenakan memperebutkan bagian-bagiannya. Hal ini secara

rinci telah disebutkan dalam al-Qur’an khususnya surat al-Nisa

ayat 11 dan 12.

c. Memberi jaminan terhadap ahli waris, dapat hidup

berkecukupan, setelah ditinggalkan oleh si pewaris.

d. Untuk memelihara harta, khususnya berkaitan dengan

pendistribusian harta. Dengan sistem waris Islam, diharapkan

tidak ada penimbunan harta bagi sesorang. Harta dapat

didistribusikan secara adil kepada seluruh ahli waris.

Mencermati fungsi atau hikmah pembagian waris tersebut

di atas, maka maqashid al-syari‘ahpembagian waris, lebih

didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifdh al-nasl) dari

43Muhammad Syah Ismail, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara,

1992), 235.

Page 19: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 143

pada perlindungan terhadap harta (hifdh al-mal), itupun tidak ada

yang menempati pada peringkat dlaruriyyat (primer), melainkan

semuan berada pada peringkat hajiyyat (sekunder) atau tahsiniyyat

(tersier). Hal ini seperti yang digambarkan dalam tabel fungsi

pembagian waris kaitannya dengan maqashid al-syari‘ah berikut ini:

Tabel 3.4

Pembagian Waris Islam

Dan Kaitannya Dengan maqashid al-syari‘ah

No. Fungsi/hikmah

pembagian waris

Aspek Mas}lah}ah

yang Dilindungi

Peringkat

Mas}lah}ah

1 Simbol ketundukan

kepada Allah

Hifdh al-din

(perlindungan

terhadap agama)

dalam pelaksanaan

hukum waris

Hajiyyat/

Tahsiniyyat

2 Sebagai sarana

menjaga keutuhan

keluarga

Perlindungan terhadap

keturunan (hifdh al

nasl)

______

Perlindungan terhadap

harta (hifdh al mal)

3 Sebagai sarana

pendistribusian

harta secara adil

Uraian tentang hikmah pembagian waris di atas,

dapat kita pahami bahwa mashlahah yang ingin dilindungi adalah

perlindungan akan eksistensi agama (hifdh al-din),keturunan (hifdh

al-nasl) dan juga perlindungan harta(hifdh al mal) yang semuanya

berada pada peringkat sekunder (hajiyyat) atau tersier(tahsiniyyat).

Page 20: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

144 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

Kesimpulan

Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan beberapa

hal:

1. Tujuan utama dari pensyari’atan hukum yang telah ditetapkan

Allah SWT adalah untuk merealisasikan kemaslahatan

manusia, yakni dengan memenuhi semua kebutuhannya baik

yang bersifat primer (dlaruriyyat), kebutuhan sekunder

(hajiyyat), maupun kebutuhan tersier (tahsiniyyatt).

2. Tujuan utama, fungsi,dan hikmah pembagian waris, lebih

didominasi perlindungan terhadap keturunan (hifdh al-nasl)

dari pada perlindungan terhadap harta (hifdh al-mal), itupun

tidak ada yang menempati pada peringkat dlaruriyyat (primer),

melainkan semuanyaberada pada peringkat hajiyyat (sekunder)

atau tahsiniyyat (tersier).

Page 21: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Kewarisan Islam

Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 145

Daftar Pustaka

Al-Amidi, Al- Ahkam fi Ushul al Ahkam, (Muassasah al

Halaby,1991).

Al-Amiri, M. al Husain, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam:

Pemikiran Hukum Najm al-Din al- Thufi, terj. Abdul Basir

(Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004).

Al-Buthi, Said Ramadhan, Dlawabith al-

Mashlahah,(Beirut:Muassasah al Risalah, tt).

Al-Ghazali, al- Mustashfa I,i(Beirut: Dar al- Fikr,1997).

Al-Qarafi, Syarh Tanqih al Fushul, (Maktabah al Kulliyah al

Azhariyah, tt).

Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Kuwait:Wizarat al Auqaf wa al

Syu’un al Islamiyyah, 1993).

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol. 2, (Bairut: Dar al-

Fikr, 1986).

Anas, Malik bin, al-Muwaththa`, Vol. 5, (Bairut: Dar al-Kitab al-

‘Arabi, t.th).

Dahlan, Abdul Aziz et. al ed , EnsiklopediHukumIslam 4 (Jakarta: PT

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).

Hosen, Ibrahim, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum

Islam”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 tahun

Prof.Dr.H. Munawir Sjadzali (Jakarta:IPHI dan

Paramadina, 1995).

Ibn al-‘Imad, Syadzrat al-Dzahab fi Akhbai Man Dzahab, Vol. 5,

(Bairut: al-Maktabah al-Tijari, t.th).

Ismail,Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bina

Aksara, 1992).

Khalaf ,Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait:Dar Al Millah,

1978).

Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, Terj. Anas

Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983).

Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Vol. 7, (Bairut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.th).

Page 22: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM …

Sri Lum’atus Sa’adah

146 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015

Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir:Kamus Arab-

Indonesia,(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).

Tahir, A. Halil, Pakaian Perempuan Menurut Muhammad Shahrur:

Pendekatan Maqas{id al Shari’ah, (Disertasi IAIN Sunan

Ampel, 2012).