maqashid al-syari’ah dalam penetapan hukum islam...

14
MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM Muhammad Rifqi Hasan Abstrak Salah satu kajian utama bidang ushul fiqh adalah tentang maqashid al-syari‟ah, tujuan diturunkannya hukum. Kajian ini terfokus pada kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh manusia. Kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap, yang oleh Imam al-Ghazali disebut sebagai dharury, hajy dan tahsiny. Maqashid as-syari‟ah adalah upaya “terjemahan“ kehendak pembuat hukum (Allah) dan realitas kehidupan manusia. Dalam memahami dinamika hukum Islam yang berkaitan dengan maqashid yang mengandung ke- maslahatan duniawi dan ukhrawi, secara hakiki kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan dalam hukum Islam. Oleh karena itu dengan pemahaman maqashid al-syari‟ah maka ijtihad dapat dikembangkan terutama dalam menghadapi berbagai permasalahan baru yang tidak disebutkan dalam nash untuk menjawab terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. Kata Kunci : Maqashid al-Syari‟ah Pendahuluan Penilaian dan pemahaman terhadap syariah tentu saja merupakan proses pemikiran dan penalaran manusia, baik dalam bentuk pengenalan terhadap maksud aturan Alquran yang di tunjuk secara jelas maupun dalam bentuk analogi (menganalogkan aturan baru dengan aturan Alquran ). Kedua sifat dan dampak dari keseluruhan proses pemahaman terhadap hukum Tu-han ini yang secara harfiah berarti usaha seseorang dengan mengarahkan daya pikirannya dia-tur oleh teori hukum. Agama Islam membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum- hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat yang terus berkembangmengikuti perubahan zaman. Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras dan agama), rasional (akal dari hati nurani manusia sebagai partner dialog) dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Oleh karenanya, dalam memahami ajaran Islam

Upload: others

Post on 20-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM

Muhammad Rifqi Hasan

Abstrak

Salah satu kajian utama bidang ushul fiqh adalah tentang maqashid al-syari‟ah, tujuan

diturunkannya hukum. Kajian ini terfokus pada kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh

manusia. Kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap, yang oleh Imam

al-Ghazali disebut sebagai dharury, hajy dan tahsiny. Maqashid as-syari‟ah adalah upaya

“terjemahan“ kehendak pembuat hukum (Allah) dan realitas kehidupan manusia. Dalam

memahami dinamika hukum Islam yang berkaitan dengan maqashid yang mengandung ke-

maslahatan duniawi dan ukhrawi, secara hakiki kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan dalam

hukum Islam. Oleh karena itu dengan pemahaman maqashid al-syari‟ah maka ijtihad dapat

dikembangkan terutama dalam menghadapi berbagai permasalahan baru yang tidak disebutkan

dalam nash untuk menjawab terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.

Kata Kunci : Maqashid al-Syari‟ah

Pendahuluan

Penilaian dan pemahaman terhadap syariah tentu saja merupakan proses pemikiran

dan penalaran manusia, baik dalam bentuk pengenalan terhadap maksud aturan Alquran yang

di tunjuk secara jelas maupun dalam bentuk analogi (menganalogkan aturan baru dengan

aturan Alquran ). Kedua sifat dan dampak dari keseluruhan proses pemahaman terhadap

hukum Tu-han ini yang secara harfiah berarti usaha seseorang dengan mengarahkan daya

pikirannya dia-tur oleh teori hukum.

Agama Islam membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum-

hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau

keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan

ummat yang terus berkembangmengikuti perubahan zaman.

Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras

dan agama), rasional (akal dari hati nurani manusia sebagai partner dialog) dan necessary

(suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Oleh karenanya, dalam memahami ajaran Islam

Page 2: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

pemahaman terhadap teks-teks fikih harus selalu memperhatikan tuntutan realitas social, agar

tercapai pemahaman yang applicable dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.1

Islam diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah)

yang diperuntukkan untuk manusia. Berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara

fungsional dan dalam makna yang konteks yang ditujuan untuk mengarahkan kehidupan

manusia, baik secara individual maupun secara social (kolekti kemasyarakatan).

1

1 Mahsun, dkk., Metodologi Fiqh Sosial: Dari Qouli Menuju Manhaji, (Pati: Fiqh Social Institute STAI

Mathali’ul Falah, Januari 2015), hlm.77.

Page 3: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

Dalam proses sejarah aturan-aturan syariah mengalami berbagai ragam interpretasi se-

hingga melahirkan berbagai konsep. Di antara konsep yang paling masyhur ialah konsep al-

Syatibi tentang maqashid al-syaria‟ah yang secara literar berarti tujuan penerapan hukum.

Se-jak terbitnya kitab al-Muwafaqat karya gemilang al-Syatibi, maqashid al-syariah menjadi

suatu konsep baku dalam ilmu ushul fiqh yang berorientasi kepada tujuan hukum syariah.

Kajian terhadap Maqashid al-Syariah itu sangat penting dalam upaya istibath hukum,

karena Maqashid al-Syariah bisa menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini

menjadi suatu keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam

Nash.

Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqasid syari’ah

merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama’

serta pakar hukum Islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu

pula perintah dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat

bahwa semuanya mempunyain tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya

mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia. Pada pembahasan kali ini penulis akan

membahas tentang definisinya, hujjah, cara mengetahui dan tujuan mengetahui maqashid

syari’ah, macam -macamnya, dan contoh penerapannya.

Pengertian Maqashid Asy-Syari’ah

Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-

hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat

manusia.1

Maqashid al-Syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al-Syari’ah yang

berhubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk mudhaf dan mudhafun ilaih. Kata maqashid

adalah jamak dari kata maqshad yang berarti adalah maksud dan tujuan. Kata Syariah yang

sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah, maupun ditetapkan Nabi

sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan

apa yang ditetapkan Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan kepada kata

syari’at itu adalah kata “maksud”, maka kata syari’ah berarti pembuat hukum atau

1 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. I, Cet. 6, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), h. 233.

2

Page 4: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

syar’i, bukan hukum itu sendiri. Dengan demikian, kata maqashid al-syari’ah berarti apa yang

dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan

hukum atau apa yang ingin di capai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.

Dari segi bahasa maqâshid al-syarî’ah berarti maksud atau tujuan disyariatkannya

hukum dalam Islam. Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan

kajian yang menarik dalam bidang ushul fikih. Kajian itu juga identik dengan kajian filsafat

hukum Islam.2 Sebab pada kajian ini akan melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang

tujuan ditetapkannya suatu hukum.

Menurut Syatibi, “Sesungguhnya Syari‟at itu bertujuan untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat ’’.

Ibnu Qoyyum Al-Jauziyah, “ Syariah itu berdasarkan kepada hikmah hikmah dan

maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang

berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat

mendatangkan maslahat ”.3

Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga

agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid Syariah

adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara‟ dalam semua atau

sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syariat, atau rahasia dibalik

pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar‟i (Pemegang otoritas syariat, Allah dan rasul-nya).4

Menurut Yusuf Qordhowi, Syariat adalah hukum yang ditetapkan Allah oleh hamba-

Nya tentang urusan Agama. Atau hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh

Allah. Maqashid Syariah adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum

partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan

dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.5

Ada juga yang memahami maqashid sebagai lima prinsip islam yang asas yaitu

menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di satu sudut lain, ada juga ulama klasik

yang menganggap maqashid itu sebagai logika pensyari;atan suatu hukum.6

2 Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philoshoppy, (Delhi: Internasional Islamic Publishera, 1989), hal. 325.

3 Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I‟lam al-Muwaqqi‟in (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), Jilid 3, h. 37.

4 Wahbah al Zuhaily, Ushul al Fiqh al Islami (Damaskus: Dar al Fikr, 1998), Juz II, h. 1045.

5 Yusuf Qordhowi, Fiqih Maqashid Syariah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 13

6 Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqashidi (qatar: 1998). H. 50

3

Page 5: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

Para Ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslah dan sebab

sebab yang menjadi dasar syariattelah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi

dalam dua golongan sebagai berikut:

a. Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan

langsung antara manusia dan Khaliq, yang satu persatunya telah dijelaskan oleh Syara’.

b. Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali kepada maslahah-maslahah dunia.

Akal dapat mengetahui maksud Syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat

dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala mafsadat ialah haram. Namun ada

beberapa ulama, diantaranya Daud azh-Dzahiri tidak membedakan antara Ibadah dan

Muamalah.7

Maqashid Syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-

hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam Ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah

sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat

manusia.8

Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran

hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang

kasusnya tidak diatur, perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah terhadap suatu kasus

masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau, karena adanya perubahan struktur sosial,

hukum tersebut tidak dapat lagi diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang maqâshid al-

syarî’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.

Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan

pentingnya memahami maqashid al-syarî’ah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas

menyatakanbahwa seorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam,

sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-

laranganNya.9

Oleh karena itu mengetahui tujuan umum syariat merupakan hal yang pokok dalam

kerangka melakukan ijtihad apalagi dalam upaya melakukan perubahan penerapan dan

pemahaman hukum Islam. Segala macam kasus hukum yang muncul baik yang secara ekplisit

diatur dalam al-Qur’an dan hadits maupun yang dihasilkan ijtihad harus bertitik tolak dari tujuan

tersebut. Dalam kasus hukum yang secara nyata dijelaskan dalam kedua sumber hukum

7 Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Usul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2001), h. 125

8 Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), Cet. Ke-6, h. 233

9 Al-Juwaini, Al-Burhân fî Ushûl al-Fikih, (Kairo: Dar Anahar), Juz 1, hal. 295

4

Page 6: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

fiqih yang utama, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika kemaslahatan itu

ternyata tidak dijelaskan secara ekplisit oleh kedua sumber utama fikih tersebut maka

peranan mujtahid, fuqaha untuk menggali dan menemukan kemaslahatan tersebut sangat

dibutuhkan. Penemuan maslahat yang digali oleh mujtahid tadi akan diterima selama tidak

bertentangan dengan maslahat yang dijelaskan dalam nash.

Perubahan kondisi sosial masyarakat akan menyebabkan terjadinya perubahan tentang

apa yang dipertimbangkan sebagai kemaslahatan dan keadilan yang ingin dicapai, dan

merupakan tujuan hukum Islam. Maka dengan sendirinya kenyataan terjadinya perubahan

dalam mempertimbangkan hal-hal yang terjadi berkaitan dengan kemajuan zaman dan

berubahnya kondisi kehidupan. Perubahan tersebut mencakup dua bidang yaitu ibadah dan

muamalah. Di samping ibadah, para ahli fikih sepakat bahwa tetap berlaku dan berubahnya

hukum semata-mata tergantung keputusan wahyu, sekalipun mengenaitahsîniyat ibadat ada

juga perubahan sesuai dengan perubahan kondisi. Sedangkan di bidang muamalat perubahan

hukumnya bisa berdasarkan wahyu dan atau adat. Cara Memahami Dan Tujuan Mengetahui Maqashid Syari’ah

Maqashid adalah sesuatu yang tersembunyi dalam diri yang bermaksud dan tidak

dapat dilihat dari luar. Begitu pula maksud Allah, terutama yang berkenaan dengan penetapan

hukum adalah sesuatu yang tersembunyi. Oleh karena itu, hanya Allah yang mengetahui

maksud-Nya, yang mungkin dilakukan oleh manusia hanyalah “mengira” berdasarkan

petunjuk yang ada, yang hasilnya tentu tidak meyakinkan atau dzanni.

Dalam Pendahuluan di atas, telah dipaparkan bahwa sumber utama ajaran islam

adalah Al-Qur’an dan AsSunnah. Disamping pemahaman terhadap ayat – ayat Al-Qur’an,

perlu pula memahami terhadap Sunnah nabi sebagai sumber hokum islam kedua setelah Al-

Qur’an. Dalam dua sumber inilah Maqoshid al-Syari‟ah dilakukan.

Memahai maqoshid al Syariah adalah suatu tuntutan yang harus dilakukan dalam

rangka mengetahui masalah dari setiap hokum yang ditetapkan oleh Allah swt. Dikatakan

demikian karena pemahaman terhadap Maqoshid al Syari’ah memberikan kontribusi yang

besar dalam pengembangan hokum islam. Sementara itu, pengembangan hokum islam

merupakan codition sine quanon yangharus dilakukan agar hokum islam mampu merespon

segala perubahan dan perkembangan zaman. Pada gilirannya hokum islam senantiasa

adaptable dengan segala bentuk zaman keadaan dan tempat.

5

Page 7: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

Dalam kaitan dalam upaya pemahaman maqoshid al Syari‟ah menurut al syatibi, para

ulama terbagi kepada tiga kelompok dengan corak pemahaman yang berbeda-beda:

Pertama, ulama yang berpendapat bahwa Maqoshid al Syari’ah adalah suatu yang

abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk dari tuhan dari bentuk zahir lafadz

yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian yang pada gilirannya bertentangan

dengan kehendak Bahasa. Petunjuk dalam zahir lafdz itu, baik disertai ungkapan bahwa taklif

tidak berkaitan kemaslahatan dengan hamba., atau sebaliknya, dengan mengatakan keharusan

urgensi kemaslahatan. Pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyas. Kelompok ulama’

ini disebut ulama al-zahiriyah. Contoh: Allah telah menegaskanhukum-hukumnya, berupa

wajib, haram, sunah dan sebagainya makruh. Selain dari hokum-hukum tersebut dengan

sendirinya mubah. Jika segenap hokum telah disebutkan dalam lahir nash, baik dalam bentuk

umum maupun khusus, maka dengan sendirinya taka da lagi hukm qiyas, sebab qiyas itu

digunakan oleh pemakainya dalam hal yang tidak memiliki nash.

Kedua, Ulama yang tidak menempuh zahir lafadz dalam mengetahui maqashid al-

Syari’ah. Kelompok ini terbagi Kelompok ulama berpendapat bahwa Maqashid al-Syari’ah

bukan dalam bentuk zahir dan bukan pula yang dipahami dari petunjuk zahir lafadz itu.

Maqashid al-Syari‟ah merupakan hal lain yang ada di balik tunjukan zahir lafadz yang

terdapat dalam semua aspek syari’ah, sehingga tak seorang berpegang dengan zahir lafaz

yang memungkinkan ia memperoleh pengertian Maqashid al-Syari‟ah. Kelompok ini disebut

ulama bathiniyah.

Kelompok yang berpendapat bahwa Maqashid al-Syari‟ah harus dikait-kaitkan

dengNan pengertian-pengertian lafadz. Artinya zahir lafaz tidak harus mengandung tunjukan

mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahir lafadz dengan nalar, maka yang diutamakan

dengan yang didahulukan adalah pegertian nalar, baik atas dasar keharusan menjaga

kemaslahatan atau tidak. Kelompok ini disebut kelompok al-mutammiqin fi al-qiyas. Contoh:

pembagan harta warisan 2:1 ini petunjuk Al-qur’an. Akan tetapi pembagian ini bias saja

berubahdengan melihat situasi kekinian. Misalnya, seorang ayah yang memiliki usaha

kemudian yang banyak terlibat membantu usaha ayah tersebut adalah seorang aak

perempuannya, sementara anak lelakinya tidak banyak membantu dalam pengembangan

usaha ayah tersebut. Maka anak perempuan bias mendapat dua bagian.

Ketiga, ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafadz dan

pertimbangan makna) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafaz dan tidak

6

Page 8: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

pula merusak kandungan makna/illa agar syari’ah tetap berjalan sesuai harmoni tanpa

kontradisi-kontradisi. Kelompok ini disebut ulama Ar-rasikhin.10

Contoh : Tuhan memperintahkan hamba-Nya untuk shalat dan zakat, maka perintah

Tuhan disini bersifat esensial dan universal, sehingga lafaz –lafaz yang mengandung perintah

tersebut dengan mudah memberikan pemahaman tentang maksud dan tujuan syariat yang

dikandungnya. Berbeda halnya larangan Tuhan melakukan shalat dalam keadaan mabuk

dalam QS. Al – Nisa/4: 43.

Larangan bershalat di sini tidak bersifat esensial, tetapi hanya bersifat kasuistik (juz’iy),

sehingga larangan bershalat itu bukanlah maksud syariat yang sesungguhnya. Menyangkut shalat,

syariat bermaksud memerintahkan manusia melakukannya dalam keadaan tidak mabuk, sejalan

dengan perintah umum dalam ayat – ayat lain. Maka di ayat yang melarang shalat tersebut Tuhan

mempunyai maksud lain, yakni haramnya mabuk, bukan haramnya shalat.

Dalam memahami maqasid al – syari‟ah ini, tampaknya al-syatibi termasuk dalam

kelompok ketiga ( ulama ar rasikhin) yang memadukan dua pendekatan (zahir lafaz dan

pertimbangan makna/illa) yang menurutnya sangat berkaitan. Pengejewantahan pemikiran ini

tampak dalam tiga cara yang dikemukakannya dalam upaya memahami maqasid al-syariah.

Macam-Macam Maqasid Syariah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari

mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:

a). Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia

(Maqashid al- Dharuriyat).

Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan

adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan

harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin

realisasinya dan pemeliharaannya. Lantaran jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia

kebutuhan primernya.

1) Agama

10 Al-syatibi, al-Muwafakat Fi Ushuli al syari’ah, juz II (Beirut: Dar al-Ma’rifah,tth), h.391-393.

7

Page 9: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan

berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya, ia

tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau madzhab lain, juga tidak

boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam.11

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah

disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya

(hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). Agama

Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan

dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu

agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi

agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung

jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah, akhlaknya, atau yang akan

mencampur adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil.

2) Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman

Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan). Sehingga dengan

demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam

terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut

juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang

seimbang dengan perbuatannya.

Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam

wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu

hukum islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan

melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan

kemaslahatan hidupnya.12

3) Memelihara Akal

11 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: Amzah, t. th.), h. 1.

12 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005), H. 63.

8

Page 10: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan

Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan

melengkapi bentuk itu dengan akal. Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang

minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang

yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.

Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan

menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada

seluruh hal yang ada di bumi ini. Termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah,

seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66 : “Dan sesungguhnya pada binatang

ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada

apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang

mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”

4) Memelihara Keturunan

Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan

zina. Menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan

itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi. Sehingga perkawinan itu dianggap

sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan

anakanak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya.

Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang

dapat membawa pada zina. QS, al-Isra’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina;

Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus

diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam

hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini diatur lebih rinci dan pasti

dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan

kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.13

5) Memelihara harta benda

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah. Namun Islam juga

mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan 13 Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), h. 64.

9

Page 11: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi

bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan

mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai-menggadai dan lainnya.14

b). Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia

(Maqashid al-Hajiyat).

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu

yan dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang menyulitkan

mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi

mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah,

muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan

dan meringankan beban manusia.

Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,

kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan

hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan

ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan

urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti jual beli, syirkah (perseroan),

mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dan lainnya.

c). Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia

(Maqashid al-Tahsini).

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan

bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika

Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di

dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan

membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna. Ketika Islam menganjurkan derma

(infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal.

Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara

kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya,

14 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi aksara, 1992), h. 67.

10

Page 12: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan

tersebut.15

Peran Maqashid Syari’ah Dalam Kehidupan.

Ilmu maqashid Asy Syari’ah adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki peranan

penting dalam kehidupan manusia. Tanpa ilmu tersebut, manusia akan kehilangan arah dalam

menentukan tujuan disyari’atkannya suatu hukum dalam kehidupan mereka. Tentunya akan

mengalami kesulitan. Diantara peran Maqashid Syari’ah dalam kehidupan adalah:

1. Al Maqashid Asy Syari’ah dapat membantu mengetahui hukum hukum yang

bersifat umum ( kuliyyah) maupun khusus( juz’iyyah)

2. Memahami nash nash syar’i secara benar dalam tataran praktek.

3. Membatasi makna lafadz yang dimaksud secara benar, karena nash yang berkaitan

dengan hukum sangatlah variatif baik lafadz maupun maknanya, maka Maqashid Syari’ah berperan dalam membatasi makna tersebut.

4. Ketika tidak terdapat dalil dalam Al Qur’an maupun As Sunnah dalam perkara

perkara yang kontemporer, maka para mujtahid menggunakan maqashid syari’ah dalam istinbath hukum setelah mengkombinasikan dengan ijtihad, istihsan, istihlah, dan sebagainya.

5. Al Maqashid Asy Syari’ah membantu mujtahid unntuk mentarjih sebuah hukum

yang terkait dengan perbuatan seorang hamba sehingga menghasilkan hukum yang sesuai

dengan kondisi masyarakat.16

Penutup

Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan, dan

Syariah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jadi, Maqashid Syari’ah adalah

maksud Allah selaku pembuat syariah untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia di

dunia dan akherat. Yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan dlaruriyah, hajuyah, dan tahsiniyah

agar manusia bisa hidup dalam kebaikan dan dapat menjadi hamba Allah yang baik.

Kerangka Maqashid Syari’ah dibagi menjadi; (1) Dlaruriyah, adalah penegakan

kemaslahatan agama dan dunia. Selanjutnya, Dlaruriyah terbagi menjadi lima poin yang biasa 15 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 333.

16 Muhammad Mushtafa Az Zuhaili, Maqashid Syari’ah Al Islamiyah, Maktabah syamilah, h. 19.

11

Page 13: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

dikenal dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu; (a) penjagaan terhadap agama (Hifz al-Din), (b)

penjagaan terhadap jiwa (Hifz al-Naf), (c) penjagaan terhadap akal (Hifz al-„Aql), (d)

penjagaan terhadap keturunan (Hifz al-Nasl), (e) Penjagaan terhadap harta benda (Hifz

alMal). (2) Hajiyah, adalah didefinisikan sebagai hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan

kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat menyebabkan bahaya dan ancama. (3)

Tahsiniyah, adalah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari yang buruk

sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh akal sehat.

Daftar Pustaka

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005

al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟in, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996

al-Juwaini, Al-Burhân fî Ushûl al-Fikih, Kairo: Dar Anahar, Juz 1,

al-Khadimi, Nuruddin Mukhtar, al-Ijtihad al-Maqashidi, qatar: 1998

al-Zuhaily, Wahbah Ushul al Fiqh al Islami, Damaskus: Dar al Fikr, 1998.

Az Zuhaili, Muhammad Mushtafa, Maqashid Syari‟ah Al Islamiyah, Maktabah syamilah,

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Ed. I, Cet. 6, Jakarta: Prenadamedia Group, 2005

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah, t.

Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Mas’ud, Kholid, Islamic Legal Philoshoppy, Delhi: Internasional Islamic Publishera, 1989

Mahsun, dkk., Metodologi Fiqh Sosial: Dari Qouli Menuju Manhaji, (Pati: Fiqh Social

Institute STAI Mathali’ul Falah, Januari 2015), hlm.77.

Qordhowi, Yusuf, Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006

Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi aksara, 1992

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008

Umam, Khairul dan Aminudin, Ahyar, Usul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2001

Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 2009,

12

Page 14: MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM ...if-pasca.walisongo.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/...HUKUM-ISLA… · Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip

13