penerapan maqashid al-syariah dalam pernikahan usia...
TRANSCRIPT
1
PENERAPAN MAQASHID AL-SYARIAH DALAM
PERNIKAHAN USIA DINI
(Analisis Penetapan Perkara 141/Pdt.P/2018/Pa.Ckr)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Windia Indri Virsada
NIM. 11150440000094
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
iv
iv
ABSTRAK
Windia Indri Virsada Nim 11150440000094. PENERAPAN MAQASHID
AL-SYARIAH DALAM PERNIKAHAN USIA DINI (Analisis penetapan perkara
141/P.dt.P/2018/PA.Ckr) progam studi hukum keluarga (Ahwal Syakhsiyyah),
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayyatullah
Jakarta, 1440 H/2019 M (xvii halaman + 64 halaman + 17 lampiran).
Penelitihan ini bertujuan untuk mengetahui metode ijtihad hakim dalam
memberikan dispensasi nikah penetapan perkara nomor 141/P.dt.P/2018PA.Ckr,
serta untuk mengetahui Pernikahan usia dini di pandang dari konsep teori Maqashid
al-Syariah Dan UU No. 1 tahun 1974.
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
pendekatan yuridis normatif yaitu metode ini ditujukan dan di lakukan pada praktik
pelaksanaan hukum terhadap undang-undang yang tertulis serta praktiknya serta
dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia.
Hasil penelitian penetapan perkara dispensasi ini bahwasannya majelis
hakim menggunakan metode Maqasid al-Syariah dalam memutuskannya, karena
hakim tidak ingin merusak kemaslahatan atau keadilan antara pihak yang
bersangkutan, majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon dan memberi
izin dispensasi nikah kepada anak pemohon supaya tidak ada hal yang tidak di
inginkan terjadi atau kemudharatan, akan tetapi perlu adanya tambahan syarat-
syarat yang dibebankan kepada pelaku pernikahan usia dini guna terjaganya tujuan
dari pernikahan itu sendiri. Seperti sudah matangnya dalam aspek agama, fisik
maupun psikisnya. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah
cukup mengupayakan dengan mencantumkan syarat-syarat pelaku pernikahan usia
dini agar pernikahan yang kelak dilaksanakan akan berujung pada terwujudnya
pernikahan yang sakinah, mawadah dan rahmah
Kata kunci : Pernikahan usia dini, Maqashid Al-syariah
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A.
Daftar Pustaka : 1976-2017
v
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam
penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
vi
vi
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
vii
vii
Apostrof ` ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ـ
i Kasrah ـ
u Dammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـ ai a dan i
و ـ au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dan garis di atas ـا
î i dan garis di atas ـي
û u dan garis di atas ـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
viii
viii
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd )ـ( dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya (الضرورة)
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ix
ix
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أن ال إله إال هللا
Maulânâ Malik al-Sâlih موالان ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم هللا
Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
x
x
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
xi
xi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji dan
syukur di panjatkan kepada Allah SWT, Sebuah kesyukuran atas segala nikmat
yang diberikan oleh Allah SWT, Karena tuhan lah yang sudah mengatur seluruh
kehidupan dan penguasa seluruh kehendak hati manusia, sholawat serta salam
selalu kita panjatkan kepada uswah hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW,
yang sudah mengajarkan umatnya bagaimana menjalani dan memaknai kehidupan,
tak lupa kepada keluarganya sahabat dan umatnya yang senantiasa kukuh dan
istiqomah dalam memegang sunnahnya sampai hari pembalasan.
penyusunan Skripsi ini penulis menyelesaikannya sebagai tugas akhir dalam
jenjang pendidikan S1 Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayattullah Jakarta, Penulis banyak mendapatkan bantuan
dan motivasi dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar besarnya dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Prof. Dr. Amany Burhanudin
Umar Lubis Lc, MA.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil Dekan I, II dan III Fakultas
Syariah dan Hukum
3. Ibu Dr. Hj Mesraini, M.AG. dan Bapak Ahmad Chairul hadi, M.A Sebagai
ketua program Studi Hukum Keluarga dan Seketaris Program Studi Hukum
Keluarga.
4. Ibu Dr. Hj Azizah, M.A. Sebagai Dosen pembimbing saya, ditengah
kesibukan beliau telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.
5. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku Dosen Penasehat Akademik yang tak kenal
lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan keikhlasan
sampai pada tahap semester akhir.
xii
xii
6. Ibu Dra. Hj. Sahriyah. SH. MSi sebagai Hakim Pengadilan Agama Cikarang
yang sudah banyak membantu untuk memberi data-data penetapan perkara
untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Segenap bapak dan ibu dosen fakultas Syariah dan Hukum dan Staf
Perpustakaan karyawan-karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah yang telah banyak memberi ilmu dan memfasilitaskan dalam
menyelesaikan penulisan skripsi.
8. Kedua orang tua penulis, ayahku tersayang Hendri Yanto dan ibuku tercinta
Nurpurnawati terimakasih sudah memberi nafkah untuk anakmu serta
bimbinganmu dan kasih sayangmu yang tiada tara. Pengertianmu yang
membuat penulis bahagia, semangtmu yang membuat penulis bangkit untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini, doa-doamu yang tak pernah terlupakan
setiap selesai shalat, serta didikanmu selama ini, sehingga karena kalian
berdualah ananda terinspirasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Adik-adikku tersayang fiqih Nurhalizzah dan Farurrozy yang sudah
memperhatikan penulis disaat penulis mengerjakan skripsi sampai larut
malam, karena kalian lah penulis bergegas untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Kawanku Abul Husain yang sudah banyak mendukung dan memberi
semangat positif serta menjadi tempat berkeluh kesah.
11. Kakak sepupuku Kurniawan Dwi Febriyanto yang sudah menganter penulis
untuk meminta data penyelesaian skripsi ini di Pengadilan Agama Cikarang.
12. Teman seperjuangan dan teman sepermainan penulis, Ilham Ramdani R,
S.H., Siti Dzul Rahmat Al-istiqlali, Ghina Husna,Suci Nurindah, Siti
Nurmuhalillah, Kisai Khalaf Muhammad, Maulvi, Muhammad Helmi
Damas, Muhammad Zaky Mubarok, Mohammad Syarifuddin Amarullah,
Satria Erlangga, Marshanda Egydya Tamara, Amlan, Lutfi zakariah,
Alawiyah, Puput Nadia Sapitri, Vania Utamai, Nurdiana Ramadhan, S.H.,
Mutrap, Rahmah, Kiki, Eni Purwaningsi, BAPER, USE, Keluarga hukum
Keluarga 15, Keluarga Lapenmi Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI
Hukum Keluarga, KKN 056 OASE, Keluarga Besar Persatuan Mahasiswa
Bekasi, Keluarga besar TASMANIA Crew 11, dan masih banyak lagi
xiii
xiii
teman-teman penulis yang tidak tercantum disini, akan tetapi tidak
mengurangi rasa hormat dan sayang penulis terhadap mereka,Terimakasih
penulis ucapkan atas do’a dukungannya dan semangat serta rasa bahagia
sedih dan susah selama ini kita tempuh bersama, dan berkat kalian semua
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan mudah
mudahan semua yang telah penulis lakukan mendapatkan Ridha Allah SWT,
dan semoga skripsi ini berkah dan banyak manfaat bagi para pembaca walaupun
masih ada kekurangan dan belum sempurna.
Jakarta, 14 Agustus 2019
xiv
xiv
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN.................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................ xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Identifikasi Masalah. ........................................................ 6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................. 6
D. Tujuan dan kegunaan penelitian ....................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................ 7
F. Review Studi Terdahulu ................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ...................................................... 11
BAB II PERNIKAHAN USIA DINI DAN MAQASYID AL-
SYARI’AH
A. Pernikahan usia dini
1. Pengertian Pernikahan usia dini................................. 13
2. Pernikahan Usia dini dalam pandangan hukum Islam 19
3. Batasan umur menikah.............................................. 22
xv
xv
B. Maqasid al-Syari’ah
1. Pengertian Maqasid al-Syari’ah ................................. 28
2. Dasar Hukum Maqashid al-Syariah ........................... 33
3. Kedudukan Maqashid al-Syari’ah.............................. 35
4. Metode Penetapan Maqashid al-Syari’ah ................... 38
BAB III PENGADILAN AGAMA CIKARANG DALAM
PENETAPAN PERKARA 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr
TENTANG PERNIKAHAN USIA DINI
A. Profil dan Data Dispensasi nikah di Pengadilan Agama
Cikaran ............................................................................ 43
B. Deskripsi Perkara Pada Penetapan Nomor
141/Pdt.P/2018/PA.Ckr .................................................... 43
1. Duduk Perkara Nomor 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr ........... 43
2. Yang di Mohonkan..................................................... 45
3. Proses Persidangan ..................................................... 46
BAB IV ANALISIS PENETAPAN DALAM PERSPEKTIF
MAQASHID AL-SYARI’
A. Analisis Perbandingan Pertimbangan Hakim dalam
Penetapan Nomor 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr .............................. 52
B. Analisis Penetapan Nomor 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr dalam
Perspektif Maqashid al-Syariah ............................................... 55
xvi
xvi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 59
B. Saran ............................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 61
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................... 65
xvii
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan
2. Surat Permohonan Data Pernikahan Usia Dini
3. Surat permohonan pembimbing
4. Salinan Penetapan Perkara 141/Pdt.P/PA.Ckr
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan kebutuhan hidup dan aspek penting dalam
manusia, bahkan menjadi hubungan yang normal untuk manusia normal dalam
kehidupan manusia akan menjadi hampa dan tidak sempurna jika tidak adanya
pernikahan antara manusia yang lawan jenis karena pernikahan adalah
kebutuhan duniawi, menyalahi fitrahnya1 bahwasannya perkawinan
merupakan aturan-aturan syari’at Islam yang telah di anjurkan memiliki
kesejahteraan hidup di dunia ataupun di akhirat.
Pernikahan di anggap sah apabila sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan aturan-aturan hukum, perkawinan yang ada serta kepercayaan
masing-masing dan tercatat di lembaga yang berwenang menurut perundang-
undangan yang berlaku di indonesia, Tujuan adanya pernikahan dalam
kehidupan manusia normal untuk memnuhi petunjuk agama untuk mendirikan
keluarga yang harmonis,sejahtera dan bahagia.2 Jadi suatu pernikahan harus di
pertahankan oleh kedua belah pihak dan mencapai tujuan pernikahan. Maka
dari itu suatu pernikahan bukan hal yang main main ataupun tidak adanya niat
yang terbesit kepada diri sendiri, tetapi pernikahan adalah suatu tujuan yang di
capai bersama oleh kedua belah pihak yang memang memiliki niat secara
mental ataupun material. tujuan pernikahan menciptkan keluarga yang
harmonis, bahagia dan sejahterah. terkadang semua ini akan menjadi kandas di
perjalanan kehidupan manusia terkadang hal seperti ini sering terjadi karena
adanya suatu pernikahan yang belum mencukupi umur disebabkan kerenanya
pemangku tanggung jawab karena belum cukup dewasa baik secara fisik
ataupun mental.3
1 Andi syamsu Alam, Usia ideal untuk kawin, ( Jakarta : Kencana Mas Publishing
House, 2006), h 3 2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,( Bogor : Kencana, 2003), h 22 3 Andi Syamsu Alam, usia Ideal Untuk Kawin, h 10
2
Pernikahan juga merupakan suatu hal yang memang sangat sakral dalam
kehidupan manusia dan pernikahn pun terbagai beberapa macam ada
pernikahan sirri, pernikahan kontrak, dan pernikahan usia dini, yang sangat
marak terjadi di Desa ataupun Daerah yaitu pernikahan usia dini sudah menjadi
kasus lebih banyak terjadi di perdesaan, ada bebrapa faktor yang terjadi pada
pernikahan usia dini yaitu faktor ekonomi faktor pendidikan dan faktor
pergaulan sehingga orang tua mengizinkan anaknya untuk menikah dengan
usia yang belum matang atau di perbolehkannya untuk menikah tanpa di tolak
dengan KUA. Jika memang sering terjadinya pernikahan usia dini dan di
hubungan keluarga ada yang melakukan pernikahan usia dini maka akan terjadi
kepada keluarga yang lainnya pasti akan melakukan hal yang sama, karena
lingkungan dan peran masyarakat atau peran keluarga itu sangat memiliki
pengaruh besar untuk pembentukan konsep diri seorang remaja. 1
Pernikahan menurut hukum Islam yaitu merupakan praktek yang
merupakan akadnya sangat kuat dan sakral untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah suatu ibadah dan di izinkan oleh Allah dan
pernikahan adalah suatu perbuatan yang terhormat dan mulia.2 menurut Yayan
Sopyan pernikahan iyalah kebutuhan hidup manusia dari zaman dulu sampai
sekrang, bahwasannya islam memandang pernikahan iyalah suatu ikatan yang
kuat dan ikatan yang suci bukan untuk main main dan pernikahan ini adalah
kejadian suatu akad yang sakral tidak secara main main atau hanya karena
nafsu saja. Tetapi pernikahan adalah suatu perjanjian yang kekal dan bukan
kontrak dalam keperdataan biasa saja, tetapi suatu hubungan yang
menghalalkan melakukan hubungan badan dengan pasangan suami istri
sebagai kebutuhan biologis atau penyaluran libido seksual manusia secara
terhormat dan tidak melakukan zinah ataupun maksiat prilaku seperti ini di
pandang oleh Allah suatu ibadah setalah melakukan pernikahan.3
1 http://garuda.ristekdikti.go.id/journal/view/6444 di akses pada Selasa 04
Desember 18 jam 07:29 2 Pasal 2 kompilasi hukum islam
3 Yayan Sopyan, Islam-Negara : Transformasi hukum perkawinan islam dalam
hukum Nasional, ( Jakarta: Penerbit RMBooks PT. Wahana Semesta
3
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan memang sering
terjadi permasalahan dalam pelaksanaan pernikahan karenanya tentang
pembatasan umur seseorang untuk melaksanakan pernikahan, batasan umur
dalam pernikahan memang sangat penting sekali karena suatu pernikahan
harus memahami dang sudah menguasai dari segi biologis dan psikologis,
maka dari itu dalam undang-undang perkawinan dinyatakan bahwasannya
pernikahan itu harus sudah siap mental, jiwa dan raga untuk pernikahn supaya
tidak terjadinya perceraian dalam perjalanan kehidupan suami istri, hingga
memiliki keturanan yang baik dan sehat ataupun harmonis dalam rumah
tangga. pembatasan umur dalam pernikahn itu sangat baik karena supaya
mencegah terjadinya praktek pernikahan usia dini yang sering terjadi di
perdesaan karena akibat terjadinya suatu hal yang negatif4
Pernikahan akan menjadi haram jika terjadinya pernikahan yang memang
belum mencukupi umur, belum bisa mengerti arti kehidupan berkeluarga
memberi nafkah ataupun mengurus rumah tangga. apabila seseorang lawan
jenis menikah di usia yang belum cukup umur pasti akan terjadinya
pertengkaraan dalam rumah tangga memang dalam keadaan ini tidak berdosa
kalau menjalankan berumah tangga, tetapi perbuatannya untuk menikah adalah
perbuatan yang tercela karena belum mencukupi usianya.5 oleh karena itu harus
adanya penundaan perkawinan sampai usianya cukup sehingga menghasilkan
kematengan fisik, psikis, ekonomis dan mental yaitu suatu ihktiar manusia
yang patut di hargai dan dapat bertanggung jawab, dalam hal seperti ini sudah
terbukti bahwasannya pernikahan di usia dini banyak membawa derita tetapi
sedikit pula yang mengalami penceraian, begitupun dengan kita menikah
dengan usia yang sudah cukup akan mengalami kemaslahatan dan manfaat baik
untuk pasangan suami istri, ataupun masyarakat sekitar karena telah
berhasilnya suatu progam kedudukan ataupun keluarga berencana dalam
Intermedia,2012) hal. 125.
4 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta; Balai Askara,
1987), h 26. 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2,h.4-5.
4
menempuh kesejahteraan hidup.
Jika belum mencukupi umur untuk menikah maka harus adanya dispensasi
pernikahan di pengadilan, dan memenuhi izin dari orang tua atau wali yang
bersangkutan. Pengadilan adalah salah satu badan hukum yang memiliki
wewenang untuk masyarakat, yang ingin meminta izin untuk menikah di umur
yang belum mencukupi dewasa dan telah di terapkan dalam Undang- Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang di terapkan dalam
Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diijinkan jika pria mencapai umur 19 tahun
dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun”. Sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat (1) “Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga. Perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur, yang di tetapkan dalam pasal 7 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.6
Masalah pembatasan umur untuk menikah itu sangat penting karena
mencegah terjadinya pernikahan anak-anak, yang belum mencupupi umur
ataupun dengan umur yang belum terlalu dewasa. hal yang sering terjadi
dengan pernikahan usia dini itu terkadang terjadinya beberapa alasan, dari
faktor ekonomi ataupun pergaulan ada juga karena sudah hamil duluan maka
dari itu dinikahi. Hal seperti ini terjadi karena kurangnya informasi ataupun
pergaulan bebas, ataupun kurangnya penyuluhan terhadap masyarakat
sehingga pernikahn usia dini sering terjadi. Dalam Undang-undang
perlindungan anak Nomor 35 Tahun 2014 pasal 1 di jelaskan bahwa dispensasi
anak adalah yang usianya belum mencapai 18 tahun pasal 26 ayat (1) poin (c)
yaitu tentang orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah
terjadinya pernikahn usia dini7 akan tetapi di indonesia batas umur pernikahan
relatif rendah dalam pelaksanaannya. sering terjadi perkawinan pada anak anak
yang masih di bawah umur akibat tidak dipatuhi dengan orangtua masalah usia
6 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Perundang-
undangan Dalam Lingkungan Agama , h 133 7 Undang-undang Perlindungan anak no,23 tahun 2002
5
dalam pernikahnnya, sebenarnya dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
pasal 7 ayat (1) bahwasnnya menghimbau dan mendorong supaya masyarakat
melakukan pernikahan di atas batas umur terendah ataupun cukup umur.8
Ketentuan dalam pengadilan agama telah mengatur tentang dispensasi
pernikahan terhadap anak dibawah umur (belum mencapai batas usia
pernikahan) berlaku sejak di sahkannya Undang-undang perkawinan, dalam
peraturan menteri agama Nomor 3 tahun 1975 adapun tentang peraturan
ataupun perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaan ini kurang
terperinci, dalam memberi alasan-alasan dalam mengabulkan dispensasi
pernikahan pada anak yang belum mencukupi umur hanya di dasarkan dalam
putusan hakim saja jika seperti ini maka banyak sekali dan mudah anak-anak
untuk melakukan dispensasi pernikahan.
Pernikahan usia dini yang nantinya akan diizinkan oleh Majelis Hakim
yang sudah meminta dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama yang sesuai
dengan tujuan syariah atau hukum islam. Juhaya S. Praja telah menjelaskan
bahwasannya tujuan tujuan hukum islam yaitu seusai dengan fitrah manusia
dan fungsi-fungsi manusia untuk daya manusia berfikir dari segala fikiran
manusia dan semua tentang kebaikan bersama untuk mencapai kebahagian
hidup ataupun kemaslahatannya manusia9 oleh karena itulah kita harus
memahaminya arti pernikahan ataupun setia kepada pasangannya tidak adanya
pemutusan tali silaturahmi para pakar ahli filsafat hukum islam dengan kata
istilah Al-tahsil wa al-ibqa dan karena itulah tujuan hukum islam adalah al-
tahsil wa al-tahsil wa al-ibqa ataupun mengambil kemaslahatan untuk kebaikan
bersama dan mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut dan bisa disebut jalb
al-mashalih wa daf’u al-mafasid10
Penyusun merasa tertarik dengan melakukan penelitian ini untuk lebih
memahami dan mengetahui, tentang apa sebenarnya yang menjadi
8 Undang-udang No, 1 tahun 1974 9 Juhaya S Praja, Filsafat hukum islam, (Bandung: Pusat Penerbitan
Universitas Islam Bandung,1995),hal. 100 10 Abdul Manan, Reformasi hukum islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada) hal, 105.
6
pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara tentang dispensasi
pernikahan di bawah umur di Pengadilan Agama Cikarang. Hal ini karena
daerah Kabupaten Bekasi berada pada daerah yang memang banyak dan terjadi
pernikahan usia dini yang di sebabkan karena terjadinya hamil diluar nikah (19
tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan) dengan pemberian
dispensasi pernikahan lebih mengarah untuk kemaslahatan bersama dalam
membangun kehidupan berumah tangga ataupun sebaliknya, sehingga penulis
tertarik untuk membahas lebih dalam tentang bagaimana proses hakim dalam
memutuskan dispensasi pernikahan usia dini dalam bentuk skripsi dengan
judul “PENERAPAN MAQASHID AL-SYARIAH DALAM
PERNIKAHAN USIA DINI (ANALISIS PENETAPAN
PERKARA 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr) ”.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pernikahan usia dini menurut hukum islam?
2. Bagaimana kolerasi pernikahan usia dini berpengaruh dengan
perceraian?
3. Bagaimana Metode ijtihad hakim dalam dispensasi pernikahan usia
dini karena telah melakukan zinah?
4. Bagaimana pernikahan usia dini dipandang dari konsep teori
maqashid al-syariah dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974?
5. Bagaimana Pernikahan Usia dini dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan masalah
Dengan melihat latar belakang masalah, bahwa dalam sistem keluarga
sering terjadi permasalahan yaitu dari pernikahan, talak, rujuk, hadhonah
dan lainnya, namun dalam hal ini hanya membatasi tentang pernikahan
usia dini berdasarkan metode ijtihad hakim dan teori maqashid syariah.
7
2. Rumusan masalah
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi
nikah pada penetapan perkara nomor 141/P.dt.P/2018PA.Ckr.?
2. Bagaimana Pernikahan usia dini di pandang dari konsep teori
Maqashid al-Syariah dan UU No. 1 tahun 1974?
D. Tujuan dan Kegunaan Peneliti.
Peneliti bertujuan untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang bagaimana
sistem pernikahan dini dan penerapan maqashid syariah tujuan ini dapat di
paparkan berikut ini:
1. Untuk mengetahui metode ijtihad hakim dalam memberikan dispensasi
nikah pada penetapan perkara nomor 141/P.dt.P/2018PA.Ckr.
2. Untuk mengetahui Pernikahan usia dini di pandang dari konsep teori
Maqashid al-Syariah Dan UU No. 1 tahun 1974.
Apabila tujuan-tujuan penelitian telah dapat di capai, penelitian ini
dapat diharapkan dapat berguna untuk:
1. Memberi informasi ilmiah kepada masyarakat, untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan memperluar berpikir tentang hukum islam
contohnya dalam permasalahan yang berkaitan dengan masalah
perkawinan.
2. Hasil penelitihan ini semoga bermanfaat khususnya bagi kalangan
remaja untuk menambah ilmu pengetahuan dan khazanah ilmiah
mengenai permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan usia dini.
E. Metode Penelitian
Dalam membahas penelitian ini, maka diperlukan suatu metode untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas
secara jelas. Terdapat beberapa metode yang penulis gunakan antara lain:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang di maksud dengan penelitian
kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan
8
cenderung menggunakan analisis. Didukung dengan studi kepustakaan
(Library Research) yakni dengan mempelajari literatur-literatur pertauran
perundang-undangan. suatu penelitian gabungan antara penelitian
normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan
mempelajari, data skunder berupa buku-buku dan perundang-undangan
yang terkait dengan permasalahan yang ada, sedangkan penelitian empiris
dilakukan dengan menganalisa penetapan perkara di Pengadilan Agama
Cikarang.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan Permasalahan ini adalah pendekatan yuridis normatif
yaitu metode ini ditujukan dan di lakukan pada praktik pelaksanaan hukum
terhadap undang-undang yang tertulis serta praktiknya serta dokumen-
dokumen hukum yang ada di Indonesia.
3. Sumber data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data
yaitu sebagai berikut:
a) Data Primer
Sumber data primer yaitu bahan bahan hukum yang mengikat
sumber data primer yang digunakan adalah berupa berkas-berkas surat
permohonan dispensasi pernikahan usia dini hasil penetapan perkara
di Pengadilan Agama Cikarang
b) Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang didukung oleh sumber-
sumber syariat islam menurut Al-Qur’an, hadist buku-buku ilmiah,
dan artikel, Undang-undang, serta peraturan-peraturan lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran
Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber.
9
Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan
dengan cara membaca, mempelajari dan menganalisis literatur, buku-
buku serta, sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitihan.
5. Teknis Analisis Data.
Data yang sudah di perolah dan diuraikan dihubungkan
sedemikian rupa sehingga agar menjadi sistematis. Dalam menjawab
permasalahan yang ada dan telah dirumuskan data-data yang ada di
analisis dan untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyelesaikan, dan
bisa dapat memberi jawaban atas persoalan yang telah diteliti yaitu
sebab adanya diepensasi pernikahan usia dini yang di perbolehkan,
dan bagaimana hakim memutuskan perkara ini di Pengadilan Agama
Cikarang.
6. Teknik Penulisan.
Metode penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
F. Review Studi Terdahulu.
Dari hasil penelusuran pada penelitihan yang berkaitan dengan
pernikahan usia dini ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda.
Baik itu secara tematik serta objek kajian yang diteliti. Adapun kajian
terdahulu yang penulis temukan diantaranya:
Soraya Nurjannah, menjelaskan tentang tradisi perkawinan bawah
umur di kelurahan Pamenang, Kec. Pamenang, Kab. Merangin Jambi.
Bahwa berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pelaku perkawinan di
bawah umur, 7 orang tidak merasakan dampak apa-apa setelah mereka
kawin. Sedangkan 7 orang lainnya merasakan dampak setelah mereka
kawin seperti jadi bahan omongan masyarakat yang berfikiran negative
terhadap mereka, suami yang suka marah dan ringan tangan, dan ada juga
yang sulit untuk mendapatkan surat-surat penting seperti akta kelahiran
10
anak. Ditemukan ada 1 orang yang merasakan dampak dari perkawinan
bawah umur setelah bercerai dengan suami karena harus mengurus dan
membiayai anak sendiri, karena mantan suami tidak pernah memberikan
nafkah buat anak setelah bercerai.11
Ahmad Fauzi Syahputra, menjelaskan tentang pernikahan dini
penyebab putusnya pendidikan di Desa Cibitung Wetan Kec. Pamijahan
Kab. Bogor. Bahwa perkawinan usia muda yang ditemukan dalam
penelitian ini secara umum merupakan kombinasi dari faktor-faktor tersebut
yang satu sama lain saling terikat dan mendukung akan terjadinya
pernikahan dini. Para pelaku perkawinan itu hampir seluruhnya hanya
lulusan Sekolah Dasar (SD) bahkan ada juga di antara mereka yang tidak
lulus SD. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu: faktor ekonomi,
dimana rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Kedua
karena faktor malas, yang sifatnya telah mengikuti orang sebelum mereka
seperti budaya yang tidak bisa terpisahkan dari pemikiran mereka. Ketiga
berdasarkan hasil penelitian yang di peroleh di lapangan menunjukkan
bahwa pernikahan usia dini yang dilakukan sebagian masyarakat Cibitung
Wetan dapat menyebabkan putusnya pendidikan, selain itu putusnya
pendidikan disebabkan oleh adanya pandangan dan pola fikir masyarakat
untuk tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Keempat, karena
masih adanya anggapan yang dipegang yaitu bahwa seorang anak
perempuan meskipun ia sekolahnya sampai ketingkat atas nantinya akan
kedapur-dapur juga.12
Yulianti, menjelaskan tentang Pemberian Dispensasi Nikah yang
mana banyak terjadi pemohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama
Tigaraksa Kabupaten tangerang dikarenakan terjadinya kemerosotan moral
11 Syoraya Nurjannah, “Tradisi Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan
Pamenang Kec. Pamenang, Kab. Merangin Jambi” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014)
12 Ahmad Fauzi Syahputra, “Pernikahan Dini Penyebab Putusnya Pendidikan (Studi Kasus Desa Cibitung Wetan Kec. Pamijahan Kab. Bogor)”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2012)
11
(banyak pergaulan bebas) yang mengakibatkan hamil sebelum nikah,
karena faktor ekonomi dalam keluarga yang memaksa untuk menikah
sedangkan usianya yang belum memenuhi syarat. Dalam penelitihan ini
berdasarkan pertimbangan hakim pada ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan berdasarkan kaidah fiqhiyyah.13
Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu penelitian ini lebih di
fokuskan kepada pernerapan Maqashid al-Syariah dalam pernikahan usia
dini dan analisis penetapan perkara 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka
penulis menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bab pertama : bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang meliputi
latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode
penelitian, Studi terdahulu, sistematika penulisan dari pembahasan ini
sebagai pengantar untuk mengetahui hal apa yang akan dibahas dalam
skripsi ini.
2. Bab kedua : bab ini tentang pengertian pernikahan usia dini dari
perspektik hukum Islam dan hukum positif dengan menggunakan dari
studi pustaka dan sumber lainnya .
3. Bab ketiga : bab ini tentang duduk perkara atas pertimbangan hakim
dan amar putusan dari penetapan perkara Pengadilan Agama
Cikarang.
4. Bab keempat: yaitu bahasan utama dalam skripsi ini, yaitu
menganalisis perkara dispensasi pernikahan dalam penerapan teori
Maqasid al- Syariah dan bagaimana penanganan hakim Pengadilan
Agama Cikarang dalam menangani perkara tersebut.
13 Yulianti, “Praktik Pemberian Dispensasi Nikah (Studi penetapan
Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun 2013)” (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayattulah Jakarta: 2014)
12
5. Bab lima : merupakan bab akhir dari penelitian ini, terdiri dari penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun
bagi penyempurnaan penelitian ini.
13
BAB II
PERNIKAHAN USIA DINI DAN TEORI MAQASID SYARIAH
A. Pernikahan Usia Dini
1. Pengertian
Pernikahan dikatakan sah, apabila dilakukan berdasarkan hukum
yang dipercaya oleh masing-masing agama. Seseorang yang akan
melakukan suatu pernikahan apabila belum mencapai usia 21 tahun harus
mendapatkan izin terlebih dahulu dari kedua orang tua. Pernikahan dapat
dilakukan dan diizinkan apabila laki-laki yang akan menikah telah
mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun (pasal 7 ayat 1 UU nomor
1 tahun 1974). Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal
1 disebutkan bahwa pernikahan merupakan ikatan secara lahir batin antara
laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang
Maha Esa.1
Perkawinan dibawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu hak
wali mengawinkan anak perempuannya tanpa harus mendapatkan
persetujuan atau izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya yang
akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda.2 Majelis
Ulama Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan
adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada dan
ahliyyatul wujub) Ahliyyatul Ada yaitu sifat kecakapan bertindak hukum
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung
jawabkan seluruh perbuatan baik, perbuatan yang positif maupun negatif.
Ahliyyatul wujub adalah sifat kecakepan seseorang untuk menerima hak-
hak yang menjadi haknya dan belum cakap untuk dibebani seluruh
1Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan 2 Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddiey,2001, Hukum-Hukum Fiqh
Islam (Tinjauan Antara Madzhab): Pustaka Rizki Putra, Cet Iv, Semarang,
h.232
14
kewajibannya.1
Perkawinan di bawah umur melalui penetapan dispensasi kawin,
baru diperbolehkan jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua
calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai pewujudan menghindari
mudharat yang lebih besar.2 Dalam hubungan suami istri juga dilandasi
atas dasar rasa cinta dan kasih sayang sesama pasangan satu sama lain,
tidak adanya paksaan untuk mencintai satu sama lain, tujuan terpenting
untuk menikah yaitu mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawadah
dan rahmah3
a. Faktor pernikahan Usia dini
Ada beberapa faktor yang terjadi akibat terjadinya pernikahan usia dini.
1. Faktor Pendidikan
Bahwasannya orang tua harus tahu dan mengerti bahwa
pendidikan yaitu upaya untuk anak harus mempunyai pendidikan,
karena pendidikan adalah salah satu memberi bimbingan, tuntunan dan
pembinaan pada generasi bangsa dengan karakter sesuai dan cita-cita
bangsa dan negara tetapi pada zaman sekarang tingkat pendidikan
maupun tingkat pengetahuan orang tua itu rendah, maka dari itu
kecenderungan menikahkan anaknya yang masih berusia di bahwah
umur ataupun belum tamat sekolah itu sangatlah banyak, maupun di
perdesaan ataupun perkotaan, Tidak mengetahui akibat buruk
perkawinan yang terlalu muda baik untuk mempelainya ataupun
keturunan nantinya, tingkat pendidikan yang tinggi akan membuat
seseorang berfikir secara matang dan paham untuk mengambil
keputusan, jika pernikahan di langsungkan dibawah minium usia
1 Majelis Ulama Indonesia, 2009, ijma’ Ulama (Keputusan Ijtima’
Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III Tahun 2009), Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, h.78
2 Ahmad Rofiq, 2011, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
Gama Media, Yogyakarta, h.11 3 Mohammad Asmawi, Nikah dalam perbincangan dan perbedaan,
(Yogyakarta, Darusalam, Cetakan 1 maret 2004), h.18
15
menikah akan terjadinya keemosian remaja yang masih ingin
berpetualang mencari jati dirinya.
Kurangnya pendidikan juga bisa terjadi karena faktor ekonomi,
dari faktor ekonomi yang bisa anyang mempengaruhi kurangnya
pendidikan, misalkan di daerah sekitar tergolong rendah pendidikan,
maka bisa menyebabkan remaja sekitar malas untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
2. Faktor psikologis
Menurut teori psikologis seseorang dikatakan sudah memasuki
usia remaja yaitu usia 16 tahun atau 17 tahun Dan berakhir pada usia
21 tahun. Seseorang disebut pada masa remaja apabila ditandai dengan
kematangan seksual maupun identitasnya, sebagai individu yang
bertanggung jawab pada diri sendiri, begitupula dengan menentukan
masa depannya dan mencapai usia yang matang secara hukum.
Pada masa remaja sangat banyak perjalan hidup dan peralihan
suatu hal dari masa sebelumnya yang belum dicapai, perkembangan
dari setiap tahap dari masa pubertas ke masa dewasa suatu perubahan
dari satu tahap yang akan memberikan perkembangan tahap dan
dampak pada tahap berikutnya, anak remaja banyak mengalami suatu
perubahan maupun dari segi fisik, psikologis atau sosial.Perubahan
fisik pada anak remaja akan semakin sempurna dan menyerupai anak
dewasa, begitupula dengan perkembangan intelektual, Psikis, dan
social, akan menjadi lebih bertanggung jawab pada diri sendiri dan pola
pergaulan yang sudah mengarah kepada heteroseksual
3. Hamil sebelum menikah
Faktor inilah yang berbedah dari faktor-faktor sebelumnya
karena jika kondisi seseorang perempuan sudah dalam keadaan hamil,
maka akan segera dinikahkan, banyak kasus ini terjadi walupun sering
terjadi sehingga membuat orang tua tidak setuju terhadap
pernikahannya ataupun karena tidak setuju dengan calon suaminya
yang sudah melakukan sehingga membuat perempuannya hamil, tetapi
16
hal yang seperti inilah orang tua harus tetap mensetujui hubungan dan
pernikahan anaknya, jika anaknya belum mencukupi minimum usia
menikah maka dengan sangat terpaksa orang tua harus mengajukan
dispensasi nikah.
Hal seperti ini sangat dilematis, baik anak gadisnya ataupun
orang tua bahkan majelis hakim yang ada pada persidangannya, karena
hal yang seperti ini hal yang jelas-jelas harus segera dinikahkan bukan
lagi pernikahan yang diamanatkan oleh Undang-Undang dan Agama.
Tentu saja karena pernikahan yang atas dasar sama-sama suka tidak
adanya keterpaksaan saja dikemudian hari akan bisa goyah, apalagi
pernikahan yang atas dasar keterpaksaan karena sudah hamil duluan.
4. Faktor Ekonomi
Hal seperti ini sering terjadi di perdesaan ataupun perkotaan,
karena orang tua dari perempuan mempunyai hutang dengan nominal
yang sangat tinggi dan orang tua tidak bisa membayar utangnya, pada
akhirnya anaklah yang menjadi korban, adanya penjodohan antara anak
dan pemberi peminjaman uang, akan segera dinikahkan, dengan
menikah maka hutang-hutang orang tua akan terbilang lunas.
Banyak juga terjadinya kasus orang tua, yang dengan menikahkan
anaknya maka beban ekonomi akan berkurang dan akan membantu
biyaya kehidupan orang tua dan keluarga, tanpa berpikir dampak positif
ataupun negatif atas pernikahan anaknya yang belum mencukupi
minimum umur menikah.
5. Faktor Perintah Orang Tua
Banyak orang tua yang melakukan keinginan untuk menikahkan
anak-anaknya, waktu berusia yang relatif muda yaitu belum mencapai
minimum usia menikah yang sudah diatur dalam Undang-undang
Perkawinan, hingga anaknya tidak mempunyai pilihan lain karena
keinginan orang tua dan ingin mematuhi perintah orang tua, dan
anaknya akan dinikahkan oleh laki-laki hasil jodohan orang tua
sehingga anaknya belum sama sekali mengenal laki-laki yang akan
17
dijodohkannya.
Ada juga orang tua yang ingin menikahkan anaknya supaya tidak
terjadinya perawan atau perjaka tua, maka dari itu mereka berasumsi
menikah atas dasar orang tua karena ingin melihat anaknya bahagia
setelah menikah, padahal anaknya belum mencukupi minimum usia
menikah, mereka berfikir bahwa menikah pada usia yang sudah
mencukupi umur adalah aib dan di khawatirkan tidak adanya minat
laki-laki untuk menikahkan anaknya.
Faktor lain dari penyebab pernikahan dibawah umur yaitu:
1. Kurangnya pemahaman dan perhatian tentang hukum Islam yang
menekan kan bahwa pernikahan yaitu hal yang sangat sakral
2. Kurangnya pengetahuan tentang Undang-Undang Perkawinan
3. Bahwa perceraian itu adalah suatu hal yang sudah biasa dan bukan hal
yang tercela, bahkan banyaknya di suatu daerah yang menikah
kemudian bercerai, hal seperti ini sering terjadi dan bahkan dijadikan
tradisi di suatu daerah.
3. Banyak yang belum mengerti pentingnya pendidikan, dan bahkan
banyak orang tua yang tidak paham dampak negatif pernikahan usia
dini.
b. Dampak Pernikahan Usia Dini
Dampak dari perkawinan dibawah umur, sebagian besar keburukan
yang akan timbul dalam beberapa masalah setelahnya, sehingga dampak
negatif yang terlihat sangatlah jelas, bahwa perkawinan pada usia dini
sebagai perempuan akan menimbulkan berbagai resiko, baik bersifat
biologis seperti kerusakan organ-organ produksi kehamilan muda, dan
resiko psikologis berupa ketidak mampuan mengemban fungsi-fungsi
reproduksi dengan baik, Indonesia tercatat sebagai Negara yang sangat
tinggi angka kematian ibu melahirkan, hal seperti ini harus di hindari karena
faktor kekurangan gizi dan kurang sehatnya organ-organ reproduksi, tetapi
18
juga banyak pemahaman keagamaan yang kurang tepat dengan kita.4
Dampak dari pernikahan usia dini mempunyai dua dampak yaitu
dampak positif dan dampak negatif yaitu:5
Dampak positif pernikahan usia dini sebagai berikut:
1) Supaya terhindar dari pergaulan bebas atau tidak terjerumus dalam
perzinahan.
2) Meringankan benban hidup salah satu pihak dari keluarga atau kedua
belah pihak.
3) Belajar bertanggung jawab terhadap keluarga.
Dampak negatif terhadap pernikahan usia dini sebagai berikut:
1) Dampak biologis yaitu pasangan yang akan menikah usia muda
biasanya rentan terhadap resiko kehamilan terhadap perempuan karena
organ perempuan masih terlalu muda dan belum siap terhadap apa yang
masuk dalam tubuhnya sebab alat-alat reproduksi anak masih belum
dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk
melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai
hamil duluan.
2) Dampak psikologis karena anak belum mengerti apa arti dari hubungan
seks, sehingga membuat anak tersebut trauma psikis berkepanjangan
dalam jiwa anak yang kemungkinan sulit untuk disembuhkan, anak akan
murung dan menyesali hidupnya yang berakhir akibat pernikahan usia
dini, karena sudah menghilangkan hak anak untuk memperoleh
pendidikan ataupun hak bermain.
3) Dampak sosiologis yaitu pernikahan diusia dini dapat mengurangi
harmonisan dalam keluarga, hal ini disebabkan oleh emosi yang labil,
gejolak darah muda dan cara berpikir yang belum matang. Serta
pernikahan usia dini membuat ketidak mampuan suami dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga menimbulkan
4 Muhammad Zein dan Mukhtar Alshhodiq, membangun Keluarga
Harmonis (jakarta: Grahacipta,2005), cet. Ke-1, h.34-35 5 Mega Rezky, Jurnal vol.1, no 1 Juni 2016
19
penyimpangan-penyimpangan dalam lingkungan masyarakat. Adanya
masalah yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga hasil pernikahan
usia dini terkadang mengedepankan ego masing-masing. Tingkat
kemandirian pasangan masih rendah bahkan masih belum stabil dan
lambat laun akan menimbulkan banyak masalah seperti perselisihan
atau percekcokan dengan berakhir perceraian.
4) Dampak kependudukan, menikah di usia dini tenyata masih saja
menjadi pilihan alternatif para pemuda-pemudi, sehingga menimbulkan
dampak kepadatan penduduk dan jumlah penduduk di suatu daerah yang
semakin bertambah karena salah satu pemicu pernikahan usia dini akan
menjadi meningkat dalam perkembangan penduduk.
2. Pernikahan Usia Dini Dalam Pandangan Hukum Islam
Melihat dari segi hakikat perkawinan merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan untuk menikah dan melakukan
suatu hal yang tidak di perbolehkan sebelum menikah maka setelah
menikah akan diperbolehkan. Hukum perkawinan itu adalah boleh
ataupun mubah melihat dari sifat yaitu sunnah Allah dan sunnah Rasul,
hukum perkawinan tidak bisa dilihat bahwasannya Mubah bahwasannya
perkawinan di perbolehkan oleh agama untuk melaksanakan akad
perkawinan maka pergaulan laki-laki dan perempuan akan menjadi mubah
6
Pernikahan sangat dianjurkan bagi mereka yang menginginkan, siap
lahir batin dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban dalam berumah
tangga. Karena pelaksanaan pernikahan tidak hanya sebatas pada hasrat atau
keinginan seksual, melainkan harus memenuhi kewajiban dan tanggung
jawab sebagai suami-istri. Pernikahan usia dini sudah menjadi persoalan
dan bahan perdebatan.7 Menurut Husein Muhammad, salah satu faktor yang
menjadi perhatian fuqaha menilai hukum perkawinan yaitu ada atau
6 Prof. Dr. Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di indonesia
antara fiqih munakahat dan undang-undang perkawinan, h. 43 7 De Jure, Jurnal Hukum dam Syari’ah Vol. 8, No 2, 2016, h.68
20
tidaknya unsur kemaslahatan atau kekhawatiran terjadinya hubungan
seksual di luar menikah. Jika di khawatirkan ini tidak dapat dibuktikan maka
perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab perkawinan pada usia
dini dapat menimbulkan kemudharatan seperti munculnya ganguan fungsi
reproduksi pada perempuan.8
Menurut pandangan ulama Ibnu Syubromah bahwa agama melarang
pernikahan usia dini yang terjadi kepada seseorang yang belum baligh,
karena pernikahan membutuhkan biologis dan memperbanyak keturunan,
tetapi bebrapa ulama tidak setuju dengan Ibnu Syubromah karena kontruksi
hukum yang dibangunnya itu sangat rapuh dan mudah terpatahkan, karena
sebagian ulama membolehkan pernikahan dibawah umur.9 Pada
hakekatnya, pernikahan usia dini juga mempunyai sisi positif bahwasannya
kita sudah sering melihat saat ini gaya pacaran yang dilakukan pemuda-
pemudi seringkali tidak bagus terhadap Norma Agama, kebebasan yang
sudah melampaui batas dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai
tindakan asusila di dalam kehidupan masyarakat. Fakta ini menunjukan
betapa moral bangsa sudah sampai sangat memprihatikan maka dari itu
pernikhan usia dini positifnya untuk menghindari agar tidak terjerumus
kedalam pergaulan yang sudah di prihatinkan. Sesungguhnya Allah SWT
sangat tidak menginginkan makhluknya memiliki prilaku yang sama dengan
mahluk lain yang senang mengumbar hawa nafsu dan melampiaskan
dengan bebas hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa
ikatan.10
Pernikahan disyariatkan oleh agama yang sejalan dengan hikmah
manusia yang diciptakan oleh Allah, yaitu memakmurkan dunia dengan
jalan terpeliharanya perkembangbiakan manusia dan para ulama juga
8 Husein Muhammad, Fiqh perempuan refleksi Kiai atas wacana Agama
dan gender (Yogyakarta: LKIS,2004), h.34 9 Uswatun Khasamah, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Vol. 1,
2 Desember 2014, h.308 10 Uswatun Khasamah, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Vol.
1, 2 Desember 2014, h.309
21
berpendapat bahwasannya pernikahan itu disyari’atkan oleh agama dan
perselisihan mereka dalam hal hukum menikah11 dalam masalah hukum
pernikahan sesungguhnya terdapat perselisihan pendapat terhadap ahli
hukum Islam yang terbagi tiga kelompok yaitu, hukum menikah adalah
wajib karena perintah untuk menikahi. Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat
3 dan perintah untuk menikahi pada kedua hadist riwayat Bukhari- Muslim
sebagaimana, telah disebut telah menunjukan bahwa pernikahan itu adalah
wajib dan pada kaidah pada setiap sighat “amar” bertujuan wajib secara
kawin sekali untuk seumur hidup walupun yang bersangkutan impoten;
Ibnu Hazm, hukum hanyalah wajib ditujukan kepada mereka yang tidak
impoten dan juga di pelopori oleh Imam Ahmad.12
Untuk memperhatikan keadaan tertentu untuk melaksanakan
pernikahan dan akan adanya tujuan mulia yang akan di hendaki untuk
menikah dan yang melakukan pernikahan itu berbeda kondisinya serta
situasi yang melingkupi suasana pernikahan itu berbeda pula, maka hukum
pernikahan untuk seseorang dan keadaan tertentu itu berbeda-beda13 yang
dapat di kemukakan dalam pernikahan iyalah menghalangi mata dari
melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan dan menjaga kehormatan diri
dari kerusakan seksual. Masyrakat perdesaan ataupun perkotaan yang sering
melakukan pernikahan usia dini secara umum banyak. Faktor berpengaruh
terhadap masyarakat untuk melakukan pernikahan usia dini baik dari
pendidikan, ekonomi, keluarga, ataupun kebiasaan masyarakat di suatu
daerah. Untuk saat ini masih sangat tinggi angka perkawinan usia dini.
Terutama tingkat kesadaran dan pendidikan masyarakat yang rendah
dan mengambarkan praktik pernikahan usia dini yang tidak jauh berbeda
dengan negra-nega lain, begitupula dengan kecenderuangan masyarakat
11 Dr. Drs. Shomad. Abd, S.H., M.H., Hukum Islam Penormaan prinsip
Syariah Dalam Hukum Indonesia,( Edisi Revisi, Kencana, Jakarta,2010) h. 268 12 Dr. Drs. Shomad. Abd, S.H., M.H., Hukum Islam Penormaan prinsip
Syariah Dalam Hukum Indonesia,h.269 13 Prof. Dr. Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di indonesia
antara fiqih munakahat dan undang-undang perkawinan,h.45
22
yang lebih mengikuti Agama dari beberapa faktor lain karena dalam (fikih
konvensional) tidak adanya larangan menikah jika belum mencukupi umur
yang sudah di tentukan.14 Tetapi jika ditinjau dari segi perspektif ilmu
psikologis pernikahn yang dilaksanakan pada usia muda ataupun belum
mencukupi umur susungguhnya, tidak menguntungkan dari segi apapun,
terutama dalam segi kematangan mental dalam memasuki kehidupan yang
luas untuk bersosialisai dan berintegrasi sosial terhadap masyrakat sekitar
yang akan dihadapinya nanti.15
3. Batasan Usia Perkawinan
Hukum Islam tidak pernah menyebutkan secara rinci mengenai
kriteria “Dewasa” atau “layak” untuk menikah bagi laki-laki ataupun
perempuan, pernikahan bukan hanya dari segi biologis saja tetapi
psikologis dan sosialnya juga patut di pikirkan secara matang.16 Hubungan
perkawinan oleh agama telah di atur bahwasannya dalam syariat islam
telah mengajarkan syarat keabsaan dalam perkawinan, yaitu calon
pasangan suami istri maupun laki-laki ataupun perempuannya sudah akil
baligh sebenarnya inilah yang akan menjadi pertimbangan, dalam islam
untuk menikah dan dalam islam juga tidak adanya batasan umur yang
definitive pada usia berapa seseorang di anggap sudah dewasa.17
Selain itu juga pembatasan umur untuk menikah juga penting
supaya untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang sering terjadi
di perdesaan akibat sesuatu yang negatif. Dan tetapi hukum menikahi
perempuan di bawah umur itu tidak apa-apa dan bahkan diperbolehkan,
menurut para mazhab meskipun tanpa meminta izin terlebih dahulu
kepada perempuan yang akan dinikahinya, namun orang yang berhak
untuk menikahkannya adalah hanya orang yang memilki kedudukan
14 Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,h.215 15 Asmawi Mohammad, Nikah dalam perbincangan dan perbedaan,h.88 16 Muhammad Zain dan Mukhtar alshodiq, Membangun Keluarga
humanis, ( Jakarta : grahacipta,2005),Cet, Ke-1 h.33 17 Husein Muhammad, fiqih perempuan : Refleksi kiai atas wacana Agama dan
Gender, ( Yogyakarta,LKSI,2001) Cet. Ke-1 h.86
23
sebagai wali mujbir, sedangkan jika di wakilkan dengan wali-wali yang
lain itu tidak bisa18, seperti hadist nabi yang berbunyi sebagi berikut :
سنين جني النبي صلى للا عليه وسلم وأنا بنت ست عن عائشة قالت تزو
وبنى بي وأنا بنت تسع سنين “Dari Aisyah r.a yang berkata, “ Nabi muhammad Saw menikahi
aku sejak aku berumur enam tahun, mengumpuli aku ketika aku sebagai gadis yang telah berumur sembilan tahun.” (HR.Muslim).
Dalam hadist lain di sebutkan juga :
)سبع( سنين وأدخلت جعاوهي بنت ست أن النبي صلى للا عليه وسلم تزو
ع سنين عليه وهي بنت تس “ Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw menikahi Aisyah ketika dia
berumur enam tahun (tujuh) tahun, dan ia di masukkan kerumah Nabi
ketika ia berumur sembilan tahun.” (HR. Bukhari-Muslim). a. Perpsektif Hukum Islam
Pendapat Ibnu Hazm dari kalangan ulama ahli zhahir dan Ibnu
Syubrumah yang menyatakan bahwasannya seorang ayah tidak boleh
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan berusia muda tetapi
jika anak perempuannya sudah baligh seorang ayah berhak untuk
menikahkan anak perempuannya, tetapi seorang ayah harus meminta izin
terlebih dahulu kepada anak perempuannya untuk menikahkannya.19 Dalam
kitab-kitab hukum keluarga yang lampau seorang laki-laki dapat
melaksankan perkawinan jika sudah “mimpi basah” dan perempuan juga
sudah menstruasi ini semua bertanda bahwasannya laki-laki ataupun
perempuan sudah akil baligh maka dari itu dibolehkan untuk melaksanakan
pernikahan, untuk menstruasi dan mimpi basah ini biasanya sering terjadi
pada masyrakat laki-laki ataupun perempuan kisaran umur 13 tahun ataupun
14 tahun.
Tetapi dengan umur yang masih muda ini belum diizinkan untuk
melaksanakan pernikahan, maka dari itu orangtua harus bisa menahan
anaknya dan mekontrol anaknya dalam bergaul supaya tidak terjadinya
18 Asmawi Mohammad, Nikah dalam perbincangan dan perbedaan, H.86
19 Asmawi Mohammad, Nikah dalam perbincangan dan perbedaan,h.87
24
pernikahan usia dini, dan hendaklah menikah dengan batasan umur yang
telah di tentukan di Indonesia.20 Mengenai batas usia menikah, yaitu pada
persoalan ini oleh fiqh tidak dibahas secara rinci, tidak ada nash tertentu
yang menjelaskan sebetulnya pada batas usia berapa seseorang boleh
melangsungkan pernikahan? Bahkan dalam beberapa kitab fiqh yang
mengizinkan pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang masih kecil,
atau bisa disebut dengan nikah shighar, yang terdapat dalam kitab fath al-
qhodir yang didalam kitabnya menyebutkan “boleh terjadi perkawinan
antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau
“boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih
kecil” kebolehan ini dikarenakan tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadist
yang secara tegas menyebutkan aturan batas usia menikah. Bahkan Nabi
saat menikahi Siti Aisyah pada saat usia 6 tahun dan baru menggaulinya
ketika usianya 9 tahun.21
Menurut para ulama, usia menikah sangat lah mengacu kepada
hubungan dan kecakapan dalam bertindak, hal seperti ini adalah hal yang
seharusnya kita harus mengerti karena perkawinan merupakan perbuatan
hukum yang harus meminta tanggung jawab dan harus dibebani kewajiban-
kewajiban tertentu, maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta
kemampuan secara utuh dan kemampuan yang dihubungkan dengan hukum
dan kesangupan, kecakapan atau kewenangan yang ada22 adapun hukum
melakukan pernikahan dibawah umur, untuk masalah perkawinan baligh
ataupun berakal bukan sebagai persyaratan dari keabshan argumentasi lain
yang dikemukaan sebagai berikut23:
ئي أشهر ثلثة فعدتهن ارتبتم إن نسائكم من المحيض من يئسن والل
20 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta:
Raja grafindo persada,2002) Cet. Ke-2, h. 96 21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Pernada Media Group, 2009), h.66 22 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta :Bumi
Aksara,1992),Cet.Ke-2,h.159 23 Muhammad Husen, fiqih perempuan: refleksi kyai atas wacana agama
dan gender, ( Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet,ke1, h.68
25
ئي يتق ومن حملهن يضعن أن أجلهن الحمال وأولت يحضن لم والل للا
يسرا أمره من له يجعل “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu sampai selesai melahirkan, dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusan.” (QS. Atthalaq (65 : 4 ) b. Batasan Usia Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ada bebrapa aturan hukum yang mengatur tentang batas usia
dewasa di Indonesia.24 Batasan usia perkawinan di Indonesia telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang harus ditaati oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Secara tegas mengenai batas usia menikah
telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 7
ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan mencapai 16
tahun’’.25 Setelah di sahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
kemudian disusul dengan terbitnya Intruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991, tentang penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam Indonesia ke seluruh Ketua Pengadilan Agama dan
Ketua Pengadilan Tinggi Agama, maka telah memberikan warna baru
24 Dalam KUHPerdata Pasal 330 “Belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh tahun, dan lebih dahulu telah kawin ‘’. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 9 ayat (1) “ Batas usia anak yang mampu
berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut
tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan’’. Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47 ayat (1), “ Anak
yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak di cabut dari kekuasaaanya’’. Dan pasal 50 ayat (1) “Anak adalah seorang yang belum
berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan’’. Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden pasal
7, “Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan sudah
berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin yang mempunyai hak memilih. 25 Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan & Kompilasi Hukum
Islam (Bandung Citra Umbara Cet 1, 2007), h.5
26
dalam pemikiran Hukum Islam di Indonesia.
Adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak lain salah satunya
untuk mengatasi keberagaman keputusan yang ada di Peradilan Agama
mengigat selama ini pemikiran Hukum Islam hanya merujuk pada kitab-
kitab fiqh klasik. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu suatu himpunan
bahan-bahan Hukum Islam dalam suatu buku atau lenih tept lagi himpunan
kaidah-kaidah Islam yang disusun oleh sistematis selengkap mungkin
dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal yang lazim
digunakan dalam peraturan perundangan. KHI terdiri dari tiga buku: Buku
I tentang hukum perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku
III tentang Hukum pewakafan.
Ketentuan mengenai batas usia menikah yang tertera dalam Undang-
Undang Perkawinan juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 15 ayat (1) yang menyatakan “Untuk kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 pasal 7 yaitu calon suami berumur 19 tahun dan calon istrinya
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun’’.26 Calon mempelai laki-laki
ataupun perempuan dewasa menurut Hukum Perdata seperti pasal 330
KUHPerdata “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21
tahun dan lebih dahulu telah kawin’’. dari pasal tersebut dapat diartikan
dewasa yaitu ketika seseorang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah
sudah dapat dikatakan dewasa.
Seperti disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang perkawinan
angka empat huruf d calon suami dan istri harus telah matang jiwa dan
raganya sebelum melangsungkan perkawinan, agar dapat mencapai tujuan
perkawinan sesungguhnya dan jauh dari perceraian juga dapat mewujudkan
perkawinan sesungguhnya jauh dari perceraian juga dapat mewujudkan
perkawinan yang harmonis dan abadi. Kematengan dari segi emosi ataupun
26 Abdul Ghani Abdullah, penganter Kompilasi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani pres, 1994, Cet. Pertama), h.82
27
cara berfikir baik suami atau istri adalah faktor yang paling penting
memnentukan keberhasilan dalam membina rumah tangga, baik calon
suami ataupun istri harus faham apa tujuan menikah dan hendak dibawa
kemana pernikahan tersebut, maka aturan batas usia menikah diciptakan
berdasarkan asas kematangan calon mempelai.27
Ketentuan lain tentang batas usia menikah terdapat dalam Undang-
Undang Perkawinan adalah bahwa calon mempelai yang belum mencapai
usia 21 tahun, harus mendapatkan izin dari orang tua. Hal ini dijelaskan
dalam hukum positif yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 pasal 6 ayat (2). Artinya sebelum seseorang mencapai usia 21 tahun,
ia membutuhkan izin dari orang tua jika ingin melangsungkan perkawinan.
Dan disisi lain jika belum mencapai 19 tahunbagi laki-laki, dan 16 tahun
bagi perempuan juga harus mendapatkan izin dari Pengadilan. Adanya
keharusan meminta izin berdasarkan ketentuan-ketentuan usia karena
menyebabkan timbulnya ketidak jelasan, pada usia berapa hukum positif
memberikan batasan usia perkawinan.
Selain didalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam, didalam Undang-Undang Perlindungan Anak
dijelaskan mengenai batas usia perkawinan yaitu terdapat dalam pasal 26
ayat (1) huruf c bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk mencegah terjadinya Perkawinan pada usia anak. Usia anak yang
dimaksud disini adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) ialah
seseorang yang belum berusia 18 tahun.28 Jika kita lihat dari kacamata
psikologis, Usia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan belum
mencapai usia yang matang atau dewasa. Usia 19 tahun dan 16 tahun pada
27 Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974
adalah (1) asas sukarela, (2) partisipasi keluarga, (3) perceraian dipersulit, (4)
poligami dibatasi secara ketat, (5) kematangan calon mempelai, (6) memperbaiki derajat kaum wanita. Lihat H. Sosroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan, h. 35 28 Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlinduangan
Anak.
28
umumnya masih digolongkan dengan usia remaja dimana masa remaja akan
berbeda dengan masa dewasa terutama dari segi emosional. Kematengan
usia dini adalah akumulasi dari kesiapan baik ekonomi, fisik, mental, sosial,
agama, dan budaya.29
Baik Undang-Undang Perkawinan ataupun Undang-Undang
Perlindungan Anak keduanya sama-sama menolak perkawinan dibawah
umur, namun secara tidak langsung Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 pada pasal 7 ayat (2) mengenai dispensasi nikah dari pengadilan
untuk melaksanakan pernikahan dibawah umur yang telah ditentukan,
melalui perizinan atau prosedur yang di tentukan. Sedangkan seperti yang
kita ketahui di dalam Undang-Undang Anak melarang secara tegas untuk
melaksanakan pernikahan usia dini sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Perlindungan Anak pasal 26 ayat (1) poin c yang menyebutkan
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab atas pencegahan pernikahan
usia anak-anak.
B. Konsep Dasar Maqasid al-Syari’ah
1. Pengertian Maqasid al-Syari’ah
Secara etimologi, Maqashid al-Syariah merupakan istilah gabungan dari
dua kata yaitu al-maqashid dan al-syariah, maqashid adalah bentuk plural dari
maqshud, qashd maqshd atau qushud yang merupakan istilah gabungan dari kata
kerja qashada yaqshudu, dengan banyak makna yaitu seperti banyak menuju
suatu arah ataupun tujuan tengah-tengah adil dan tidak melampaui batas jalan
yang lurus. Tengah-tengah atau berlebihan dan kekurangan Syariah secara
etimologi bermakna sebagai jalan yang lurus menuju mata air ataupun menjadi
arti jalan kearah sumber pokok kehidupan syariah secara terminologi adalah al-
mushuh al-muqasaddasah (teks-teks suci) dari al-quran dan
al-sunnah yang mutawatir belum sama sekali di campur dengan pemikiran
manusia muatan syariah dalam arti mencakup aqidah amaliyyah dan
khuluqiyah.30istilah maqashid syariah berkembang mulai dari yang sederhana
29 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta:
Andi Yogyakarta, 2004 cet 2), h.28 30 Moh. Toriquddin, teori Maqashid al-Syariah Prespektif Al-syathibi,
29
sampai pada istilah secara menyeluruh atau dan holistik. Dengan berbagai macam
variasi definisi dan makna lain dari para ulama usul fikih mengindifikasikan
bahwasannya ada hubungan yang erat antara maqashid al-syariah oleh hikmah,
ilat, niat, tujuan dan kemaslahatan31 menurut istilah lain Maqashid Al-syariah
dalam usul fikih yaitu. Maksud dan tujuan-tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum islam32 ulama usul fiikih sering menyebut dengan kata asrar
al-syariah yang artinya yaitu rahasia-rahasia, manusia yang terdapat pada suatu
hukum yang di tetapkan oleh syariat islam yang mewujudkan suatu kemaslahatan
umat manusia untuk mencapai suatu kebaikan.33
Imam al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat berkata: “Sekali-kali
tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di
dunia maupun di akhirat dan dalam rangka mencegah kemafsadatan yang
akan menimpa mereka.34 Tujuan umum dari hukum syariat adalah untuk
merealisasikan kemaslahatan hidup manusia dengan manfaat dan
menghindari mudharat. Kemaslahatan yang hakiki yang berorientasi
kepada terpeliharanya lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan
keturunan. Dengan kelima perkara inilah manusia dapat menjalankan
kehidupannya yang mulia.35
Sapiudin Shidiq dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh
menjelaskan tentang 5 (lima) perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan
keturunan adalah sebagai berikut:36
Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 6 No .1, Juni 2014, h. 33-34
31 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan
Evolusi Maqasid al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: PT LKis
Printing Cemerlang, 2010), Cet. 1, h. 179. 32 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 7, h. 213. 33 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 1997), cet. 1, h. 1108. 34 Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998),
Cet.1, h. 268.
35 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, t.th), h.
367. 36 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 1, h. 227-
230.
30
a. Memelihara Agama (Hifz al-Din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1. Memelihara agama dalam tingkat dharuriyat (pokok), yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk
tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau
shalat ini diabaikan maka akan terancamlah keutuhan agama.
2. Memelihara agama dalam tingkat hajiyyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti
shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian. Kalau
ketentuan itu tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam
eksistensi agama melainkan hanya mempersulit orang yang
sedang dalam berpergian.
3. Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada
Tuhan. Misalnya, menutup aurat baik dalam shalat maupun
diluar shalat, membersihkan pakaian, dan badan. Kegiatan ini
erat hubungannya dengan akhak terpuji. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka tidak akan mengancam keutuhan agama dan
tidak mempersulit orang yang melakukannya. Artinya jika tidak
ada penutup aurat maka seseorang boleh saja shalat jangan
sampa meninggalkan shlat yang termasuk daruriyyat.
b. Memelihara Jiwa (Hifz an-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan peringkat kepentingannya dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
1. Memelihara jiwa dalam tingkat daruriyyat seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
31
hidup. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan
mengakibatkan terancamnya jiwa manusia.
2. Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyyah seperti dibolehkannya
berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat.
Kalau kegiatan ini diabaikan makan akan mengancam eksistensi
manusia melainkan hanya akan mempersulit hidupnya saja.
3. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyah seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Hal ini hanya
berhubungan dengan masalah kesopanan dan sama sekali tidak
akan mengancam jiwa manusia maupun mempersulit kehidupan
manusia.
c. Memelihara Akal (Hifz al-Aql)
Memelihara akal dilihat dari segi kepentingannya dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1. Memelihara akal dalam tingkat dharuriyyah seperti
diharamkannya meminum minuman keras. Jika hal ini tidak
diindahkan, maka akan berakibat rusaknya akal.
2. Memelihara akal dalm tingkat hajiyyah seperti anjuran untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal ini tidak dilakukan
maka tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit hidup
seseorang.
3. Memelihara akal pada tingkat tahsiniyyah seperti
menghindarkan diri dar mengkhayal dan mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini, berkaitan erat dengan etika dan
tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
d. Memelihara keturunan (Hifz al-Nasl)
Memelihara keturunan dilihat dari segi tingkat kebutuhannya
dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
32
1. Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyah seperti
disyariatkannya nikah dan larangan berzina. Kalau aturan ini
tidak dipatuhi maka akan mengancam keutuhan keturunan.
2. Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyyah seperti
ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad
nikah dan diberikan hak talak kepada sang suami. Jika hal ini
tidak dilakukan maka menyulitkan suami karena harus
membayar mahar missil. Adapun dalam masalah talak suami
akan mengalami kesulitan jika ia tidak menggunakan hak
talaknya sedangkan situasi rumah tangganya sudah tidak
harmonis lagi.
3. Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyyah seperti
disyariatkannya khitbah (meminang) atau walimah dalam
perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi
kegiatan perkawinan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak
akan mengancam keutuhan keturunan tetapi hanya sedikit
mempersulit saja.
e. Memelihara Harta (Hifz al-Mal)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan amtara lain:
1. Memelihara harta dalam tingkat dharuriyyah seperti
disyariatkannya tata cara pemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Jika
aturan ini dilanggar maka akan mengancam keutuhan harta.
2. Memelihara harta dalam tingkat hajiyyah seperti
disyariatkannya jual beli dengan cara salam. Apabila tidak
dipakai maka tidak akan mengamcam eksistensi harta
melainkan akan mempersulit orang yang membutuhkan modal.
3. Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyyat, seperti adanya
ketentuan agar menghindarkan dir dari usaha penipuan. Hal ini
33
erat kaitannya dengan masalah etika bermuamalah atau etika
bisnis.
Wujud dari kemaslahatan yaitu untuk mencapai manfaat dan
menolak bahaya dan kerusakan bagi umat manusia didunia dan akhirat.
Maksud tersebut mewujudkan kehidupan manusia didunia dan akhirat
yang penuh dengan suatu keamanan, kedamaian keharmonisan,
ketertiban dan kesejahteraan, dan tidak sering merasakan kekacauan
san kerusakan selanjutnya pada kehidupan manusia pada akhirat nanti
mencapai kebahagian yang abadi di surga bebgai kenikmatan dan
selamat dari azab Allah yang sangat mengerikan di neraka yang penuh
dengan azab dan kesengsaraan akhirat.37
2. Dasar Hukum Maqashid al-Syariah
Dasar hukum maqashid al-syariah tercantum dalam nash-nash Al-
Qur’an dan sunah nabi SAW. Dan Allah telah mengutus kepada para rosul
secara keseluruhan untuk mencapaikan syariat sebagai pedoman manusia
untuk diamalkan, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an38
Surrah An-Nisa QS (4) : 165)
د ع ب ة ج ح لى للا ناس ع ل ون ل ك ي ل ئ ين ل ر ذ ن م ين و ر ش ب ل م س ر
ا يم ك ا ح يز ز ع ان للا ك و ل س الر
Artinya: “ (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi
manusia membantah Allah sesudah di utusnya rasul-rasul itu diutus. Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’. QS (4): 165).
Kandungan ayat ini memberitahukan bahwa Allah SWT dalam
37 Ahmad Qorib, Ushul fiqh 2, (Jakarta: PT. NIMAS MULTIMA, 1997),
Cet. 2, h. 170-171. 38 Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. NIMAS MULTIMA, 1997),
Cet.2, h.171-173
34
menentukan suatu hukum-hukumNya senantiasa menghendaki
kemaslahatan untuk manusia supaya manusia terhindar dari hal-hal yang
,mudhirat dan merugikan39
Kemudia dipertegas dan di tindak lanjutkan pelaksanaaan syariat
secama umum yaitu oleh firman Alla
نس إل ليعبدون ﴿ ﴾ ٥٦وما خلقت الجن وال
Artinya: “Dan aku tidaklah menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Al- Dzariyat Q.S (51): 56.
الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عمل وهو العزيز الغفور
Artinya: “ (Dia) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di anatara kamu yang lebih baik amalnya. Dan
dia maha Perkasa lagi maha pengampun.” (QS.Al-Mulk: 2)
Kandungan dari ayat-ayat diatas telah menjelaskan
bahwasannya manusia dibebani kewajiban menjalankan syariat
Islam dan maka Allah akan menguji perbutan mereka ataupun
ketaatan manusia keikhlasan manusia dalam menjalankan suatu
perbuatan syariat islam maka Allah SWT akan membalas perbuatan-
perbuatan manusia kelak40 memahami dan mengetahui tentang
Maqashid Al-syariah iyalah merupakan suatu hal yang penting
dalam suatu rangka untuk memhami nash-nash syara,
mengistimbatkan suatu hukum dan menerapkan pada kasus-kasus
yang telah terjadi dan beristidlal pada suatu hukum sesuatu hal yang
39 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), cet. 1, h.1109. 40 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Aqidah, syari‟ah, dan
Manhaj Jilid 15, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Depok: Gema Insani, 2014), Cet. 1, h. 36-37.
35
tidak ditemukan nashnya, sebab lafaz-lafaz terhadap makna
seringkali mengandung dari suatu alternatif. Terkadang hal seperti
ini sering menimbulkan kesalah pahaman dan suatu pengertian yang
saling bertentangan, maka dari itu mempelajari Maqashid al-syari’ah
sangat penting untuk memahami dan mengetahui maksud dari nash-
nash dalam Al-qur’an ataupun hadish. Sehingga menjadi suatu
pedoman dan bekal bagi para peneliti untuk mengetahui suatu hukum
dan menerapkan pada suatu kasus yang nantinya tidak ditemukan
nashnya.
3. Kedudukan Maqashid Al-Syariah
Dari zaman kezaman perkembangan maqashid al-syar’iah
mengalami perkembangan yang besar dan melalui tiga tokoh yaitu:
Imam al-Haramayn, Abu ishaq al-Shatibi, dan Muhammad al-Tahir.
Imam Al-haramayn yang mengegas proses awal terjadinya Maslahah
sebagai Maqashid Al-syari’ah dengan tingkatan daruriyyah,
hajiyyah, tahsiniyyah, ketiga tingkatan tersebut menjadi asas
ataupun suatu perinsip yang Maqasid al-syari’ah kemudian
dikembangkan konsep seperti ini oleh muridnya Al-Ghazali. Dengan
menganalisis dan mendalami prinsip-prinsip tersebut terbagi
menjadi lima hal yang terkenal sebagai Daruriyatu al-khamash, lalu
dilanjutkan dan diperbarui oleh Imam Abu Ishaq al-shatibi dengan
meletakan dasar-dasar teoritik yang cukup matang tentang maqashid
ini dan nama ketiga tokoh tersebut menjadi tonggak penting dalam
merumuskan teori Maqashid al-syariah41 menurut pendapat Imam
al- syathibi, Maqashid al-Syariah akan berwujudnya suatu
41 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna
Fiqh dan Ushul Fiqh, Jurnal Asy-Syir‟ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325.
36
kemaslahatan manusi yang terdiri tiga bagian:42 primer (daruriyyah),
sekunder (hajiyyah), dan tersier ( tahsiniyyah).
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta
memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok perkara inilah syariat
Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan
pembentukannya yang tidak lain untuk memelihara lima pokok diatas.43
a. Kemaslahatan Hajiyyah
Hajiyyah berarti hal-hal yang diperlukan, akan tetapi tidak sampai
ke tingkat yang primer dan mendesak. Dengan demikian, kemaslahatan
hajiyyah ialah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk
memudahkan merek dan menghilangkan kesulitan yang memberati
mereka melebihi beban yang sewajarnya dan sanggup dipikulnya.
Jelasnya, kalau sekiranya hal tersebut tidak terpenuhi tidak sampai
berakibat fatal berupa rusaknya tatanan kehidupa mereka, akan tetap
mereka akan menanggung resiko kesulitan yang berat.44
b. Kemaslahatan Tahsiniyyah
Tahsiniyyah ialah tingkat kebutuhan apabila tidak terpenuhi tidak
mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok yaitu agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan keturunan, tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-
Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat,
menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias
42 Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan
Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 57.
43 Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet.7, h.213. 44 Ahmad, Ushul Fiqh 2, h.178.
37
dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.45
Kemaslahatan agama dan dunia ditegagkan melalui pemeliharaan
kelima hal pokok tersebut begitu pula kebahagiaan kebahagiaan manusia
dapat terwujud pabila kelima pokok tersebut terlindungi. Apabila kelima
hal poko itu salah maka akan satunya rusak maka suatu hubungan kepada
Allah berserta tugasnya sebagai hamba maka akan sulit terlaksana dengan
baik.
Demi mewujudkan harapan kebaikan diakhirat, maka kelima hal
pokok tersebut juga harus dipenuhi, karena apapbila suatu akal tidak
berfungsi, maka pembelajaran tugas-tugas agama tidak akan terlaksana.
Seandainya agama tidak ada, derajat pahala sudah tidak ada lagi artinya,
jika jiwa tidak ada, maka tidak ada manusia manusia yang memeluk
agama. Kalau keturunan sudah tidak ada lagi, maka kehidupan itu akan
menjadi punah. Dan jika hartapun sudah tidak ada maka kehidupan pun
akan menjadi hampa.46
Mengetahui kedudukan Maqashid al-Syariah, maka secara
pemikirannya yaitu suatu kemaslahatan dan menghindari dari hal
kemudratan maka dari itu kemaslahatan manusia harus bersandar kepada
dalil-dalil al-Qur’an maupun hadist. Jika maslahat berdiri sendiri dari
pemikiran manusia maka Maqashid al-Syariah tidak akan di ketahui
kedudukan Dan kebenarannya.47
Suatu kemaslahatan yang di lakukan oleh para mujtahid yaitu
dapat dilakukan melalui beberapa metode yaitu metode ijtihad di saat
45 Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, h.215. 46 Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan
Keluwesan Syariat Islam untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, Ed. 2, Cet. 1, h. 58.
47 Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 174.
38
menghadapi suatu kasus yang penerapan suatu hukumnya tidak
diterapkan dan dijelaskan secara jelas dalam al-qur’an ataupun
Sunah. Maka terdapat dua metode ijtihad yang dikembangkan para
mujtahid untuk menentukan suatu kemaslahatan yaitu sebagai
berikut:48 metode ta’lili (metode analisis substansif) yang terdiri dari
qiyas dan istihsan. Yang kedua yaitu metode istislahi ( metode
analisis kemaslahatan) yang terdiri dari maslahah mursalah dan sadd
al-dzari’ah.
4. Metode Penetapan Maqashid al-Syariah
Dari pakar hukum untuk menjawab persoalan-persoalan yang
terjadi bisa melalui dan memakai konsep Maqashid al-Syariah untuk
menjawab persoalan-persoalan suatu permasalahan. Yang terjadi
pada hukum islam kontemporer yang belum terjawab dalam
kandungan Al-qur’an dan hadis maupun dalil-dalil yang ada pada
hukum islam yaitu seperti ijma, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
urf, istishab, syar’u man qablana, dan sadd az-zariah.49
Menurut tahir bin asyur metode penetapan Maqashid al-
Syari’ah ada tiga macam cara yaitu.50
a. Meneliti kebijakan suatu perbuatan hukum (tassarrufat al-
Syari’ah). Dan juga terdiri dari dua bentuk yaitu:
1) Meneliti hukum-hukum yang sudah diketahui ilatnya
melalui metode masalik al-illah yang berguna sebagia
48 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya
Dengan Metode Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19
No. 3 Agustus 2017, h. 554. 49 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. 3, h. 223. 50 Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-
Islamiyah, (Yordania: Dar an-Nafais, 2001), hlm. 190-192.
39
mempermudah suatu pemahaman manusia dalam
mengetahui hikmah dibalik suatu perintah ataupun larangan
syariat islam.
2) Meneliti suatu hal secara induktif pada dalil-dalil hukum
yang memiliki ilat yang sama, sehingga memiliki keyakinan
bahwa ilat tersebutlah yang dikehendaki Maqashid al-
syariah.
b. Mengetahui dan memahami suatu dalil al-qur’an yang dalalah-
nya jelas dan tanpa keraguan, walaupun akan adanya suatu
kemungkinan adanya maksud lain selain yang tampak dari dalil-
dalil qur’an tersebut.
c. Memahami sunnah mutawatiroh, yang terdiri dari tawatir
ma’nawi dan tawatir amali.
Terdapat dua metode ijtihad yang dikembangkan oleh para
mujtahid dalam menggali ataupun menetapkan suatu perkara dan
menetapkan maslahat. Kedua metode tersebut yaitu adalah metode
Ta’ lili ( metode analisis subtantif) dan metode Istislahi (Metode
Analisis Kemaslahatan).51 Untuk melihat lebih jauh tentang
hubungan antara Maqashid al-Syariah dengan bebrapa metode
penetapan suatu hukum akan dijelankan metode satu persatu metode
tersebut.
a. Metode Ta’lili ( metode analisis Substansif)
Metode ini pengalihan hukum yaitu metode Ta’lili analisis
hukum melihat dari segi kesamaan illat atau nilai-nilai subtansi dari
perorangan dan kejadian yang harus diunkapkan dalam nas. Metode
51 Ali Mutakin, Hubungan maqashid al-syariah dengan metode
istinbath hukum, Analisi Vol.3,No 1, Juni 2017, h. 121-125
40
ini telah dikembangkan oleh para mujtahid yang dikemukankan oleh
qiyas dan istihsan.
b. Metode Istislahi ( Metode analisis kemaslahatan)
Merupakan metode yang merupakan pendekatan istinbath
atau penetapan hukum yang permasalhannya tidak di atur secara
eksplisit dalam al-qur’an dan sunnah.hanya saja metode ini lebih
menekankan pada aspek maslhat secara langsung, metode analisis
kemaslahatan yang dikembangkan oleh para mujtahid ada dua yaitu
al-maslahah al-mursalah dan sadd al-zari’ah maupun fath alzari’ah.
Sementara menurut Imam al-Syatibi terdapat empat metode
penetapan Maqashid al-Syariah yaitu sebagai berikut:52
a. Mujarrad al’amr an nahy al ibtida’i tarsihi maksud dari ini yaitu
sebuah metode dengan berupaya menganalisis suatu
ungkapan,maksud ataupun rahasia eksplit suatu perintah ataupun
larangan dari suatu nash yang eksitensi atau berdiri sendiri
(ibtida’i) penetapan dengan metode ini bisa di katagorikan
sebagai suatu penetapan yang berdasarkan literal nas.yang di
dasari dari penahaman mendasar bahwa dalam perintah syari’at
pasti akan terdapat unsur maslahat dan setiap larangan pasti akan
ada unsur mafsadat.
b. Menelaah konteks ilat dari setiap larangan ataupun perintah
bermaksud sebagai metode yang melakukan pelacakan ilat
dibalik perintah dan larangan pada tataran ini yang dijelaskan
bahwasnnya suatu ilat ada kalanya tertulis secara jelas dalam
52 Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-
Syariah: Studi Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-172.
41
nas. Dan ada juga yang tidak tertulis. Apabila ilatnya tertulis
maka harus mengikuti yang tertulis, jika ilatnya tidak tertulis
maka harus dilakukannya tawaqquf terlebih dahulu agar tidak
gegabah dalam menyimpulkan maksud dalam nas.
c. Memperhatikan maqasid turunan (at-tabi’ah) maksudnya adalah
mendalami syari’at dengan berbagai caradan
mempertimbangkan tujuan-tujuan yang bersifat pokok
(maqshud al-aslih). Lalu bersifat turunan (maqashid at-tabi’ah)
pokok maksud dalam syariat pernikahan misalnya, maksud dari
maqshud al aslih iyalah kelestarian manusia melalui
perkembang-biakan (at-tanasul) setelah itu adalah terdapat
beberapa maqashid turunan (tabiah) yaitu seperti mendapatkan
ketenangan (al-sakinah), tolong menolong dalam kemaslahatan
duniawi dan ukhrawi, membentengi diri dari berbagai fitnah dan
masih banyak lagi, semua itu iyalah merupakan perhimpunan
dari maqasid at atbi’ah dalam syariat nikah.
d. Sikap diam terhadap syariat, maksudnya yaitu tidak adanya
keterangan yang nasnya mengenai sebab hukum ataupun
disyariatkannya perkara-perkara yang terjadi pada kasus, baik
yang memiliki dimensi ubudiyah maupun muamalah. Maka
menurut al-Syatibi, sesuatu yang di diamkan oleh syariat maka
akan otomatis bertentangan oleh syariat maka makna dari
seseorang yang akan menjernikah permasalahan ini iyalah
menelaah dimensi maslahat dan mudaratnya. Jika nanti adanya
maslahat. Maka hal ituakan bisa diterima, begitupula sebaliknya
jika hal ini menjadi mudarat terindikasi didalamnya maka secara
otamatis hal ini tertolak.
Maka akan tercapai tujuan inti dari syariat sebagaimana yang
42
diutarakan oleh syeikh Muhammad Abu Zahra dalam kitabnya,
yaitu Ushul Fiqh memakai tiga tujuan atas kehadiran syariat yaitu
sebagai berikut: mencoba memperbaiki dari setiap individu untuk
menjadi lebih baik dan menjadi sumber kebaikan untuk orang lain,
menegakkan suatu keadilan dan kesamaan masyarakat baik sesama
muslim ataupun non muslim untuk mencapai kemaslahatan umat53
53 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1,
Cet. 3, h. 224.
43
BAB III
PENGADILAN AGAMA CIKARANG DALAM PENETAPAN PERKARA
141/P.dtP/2018/PA.Ckr TENTANG PERNIKAHAN USIA DINI
A. Profil dan Data Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Cikarang
Pengadilan Agama Cikarang (PA Cikarang) dibentuk oleh
Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Natuna, Tulang Bawang,Tanggamus,
Cikarang, Kajen, Giri Menang, Badung, Ermera, Mana Tuto, Sentani,
Mimika, dan Paniai guna pemerataan dan peningkatan pelayanan hukum
kepada masyarakat.
Pada mulanya, PA Cikarang menempati bangunan yang disewa di
Jl. Gatot Subroto no. 32. Namun sejak tahun 2008, Gedung Kantor
Pengadilan Agama Cikarang yang baru diresmikan penggunaannya oleh
Ketua Mahkamah Agung RI saat itu, Bagir Manan, SH. Gedung PA
Cikarang tersebut beralamat di Komplek Pemerintah Daerah Kabupaten
Bekasi Blok E2, Sukamahi Cikarang Pusat.1
Berdasarkan data SIPP yang penulis akses, tercatat bahwa sejak
tahun 2016 hingga sekarang, Pengadilan Agama Cikarang telah menerima
perkara Dispensasi Nikah sebanyak 43 perkara.2
B. Deskripsi Perkara Pada Penetapan Nomor 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr
1. Duduk Perkara
Pokok persoalan pada penetapan ini yaitu mengenai Dispensasi
Nikah diajukan oleh pemohon, berstatus janda, umur 32 tahun,
beragama Islam, pendidikan tidak sekolah, Pekerjaan Wiraswasta, dan
1http://www.pa-cikarang.go.id/tentang-pengadilan/profile-pengadilan/sejarah-
pengadilan, diakses pada tanggal 19 Juli 2019, pada pukul 22.00 WIB. 2http://sipp.pacikarang.go.id/list_perkara/page/1/YnVmNXc1T1QrbllVMzdHZ
DNiUVErVDI3VlZsdnJITkd2KzlKZWZESlg5dEdNUG4yRTBNSVdlL0gra3RUTWRv
OW9tNlZnc3lnN0V1ZUtCSGJiUm00Wmc9PQ==/UGxCZkhYU21XK2Q0S0J0bUhHOFkzZEsvQ1dXUHJVZkZSQ2VGWkpmTGZsRWlFVi9XWTdEZVArSm1DeGd1WUxh
aXRkU29Qc3hSbFlQYWhweVBmUzRET0E9PQ==/col/6, diakses pada tanggal 19 Juli
2019, pada pukul 23.00 WIB.
44
Tempat tinggal di Kampung Pasirandu RT.010 RW.005 Desa
Sukasari Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi.1
Bahwa pemohon dalam surat permohonannya pada tanggal 31 Juli
2018 sudah mengajukan permohonanya Dispensasi Nikah dan telah
terdaftar pada kepaniteraan Pengadilan Agama Cikarang di bawah
register Nomor 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr. Kronologinya adalah
pernikahan yang belum mencukupi umur untuk menikah, pemohon
hendak menikahkan anaknya lahir di Bekasi, 16 Mei 2003, umur 15
tahun, Agama Islam, Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah, Perkerjaan
buruh harian lepas.
Akan menikah dengan calon istrinya lahir di Bekasi, 11 April 2002,
umur 16 tahun, Agama Islam, Pendidikan Terakhir tidak Sekolah,
pekerjaan belum Berkerja, rencananya akan dilaksakannya dan dicatat
di hadapan Pegawai Pencatatan Nikah, Kantor Urusan Agama
Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, dalam
waktu sedekat Mungkin.2
Syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan sudah baik menurut
ketentuan Hukum Islam maupun Peraturan Perundang-undangan
memenuhi tetapi hanya saja syarat usia bagi anak pemohon yang belum
mencapai usia 19 tahun, tetapi pernikahan ini sangat mendesak untuk
tetap di langsungkannya. Alasan pemohon yang ingin segara
menikahkan anaknya dengan calon istri anak pemohon di karenakan
anak pemohon dan calon istrinya sudah menjalin hubungan sejak
tanggal 27 April 2017 sampai sekarang, dikhawatirkan hubungan
mereka lebih jauh dan melanggar norma-norma Agama jika tidak segera
dinikahkan.3
Untuk kepentingan proses pernikahan, pemohon dan keluarga calon
istri anak pemohon telah mengurus administrasi dan pendaftaran
1 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr h. 1 2 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr h. 2 3 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr, h.2
45
rencana pernikahan anak pemohon dengan calon istrinya pada Instansi
yang terkait, akan tetapi pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan
Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, belum bisa untuk
menyelengarakan pencatatan pernikahan dengan alasan umur anak
pemohon belum memenuhi syarat minimum umur diizinkan untuk
menikah sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1), Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974, dan pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Karena yang bersangkutan baru berumur 15 tahun dan di tolak oleh
Kantor Urusan Agama sesuai dengan surat penolakan pernikahan Model
N-8 dan di keluarkan Oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Serang
Baru Nomor: 483/KUA.10.16.18/VIII/18 pada tanggal 27 juli 2018.4
Antara anak pemohon dan calon istrinya tidak mempunyai
hubungan darah, sepersusuan dan tidak ada larangan untuk melakukan
pernikahan, anak permohon berstatus perjaka dan belum pernah
menikah, anak pemohon sudah akil baliq dan sudah siap untuk menjadi
seorang suami atau kepala keluarga begitupula calon istrinya juga
berstatus perawan yang belum pernah menikah juga sudah akil baliq
serta sudah siap untuk menjadi seorang istri dan juga ibu rumah tangga.5
Bahwa keluarga pemohon dan orang tua calon istri anak pemohon sudah
setuju untuk melangsungkan pernikahan, pernikahan ini tidak ada pihak
ketiga yang keberatan untuk berlangsungnya pernikahan, pemohon juga
sanggup untuk membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.
2. Yang dimohonkan
Pemohon mohon agar ketua Pengadilan Agama Cikarang segera
memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan
penetapan yang amarnya berbunyi:
a. Mengabulkan pemohonan, pemohon;
4 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr,h.2 5 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.CKR,h.3
46
b. Memberikan izin kepada pemohon yang bernama ( M. Engki
Suhendra bin Asep Sugih Mukti) untuk menikah dengan
perempuan yang bernama ( Ersih binti Narin);
c. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang berlaku;
Atau Apabila majelis hakim berpendapat lain mohon penetapan lain
yang seadil-adilnya.6
3. Proses Persidangan
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, pemohon telah hadir
sendiri di persidangan, kemudian ketua majelis memberikan nasihat
kepada pemohon agar pemohon menunda pernikahan anaknya sampai
cukup umur (19 tahun) tetapi tidak berhasil, maka pemeriksa perkara
dimulai dengan membacakan pemohonan pemohon yang isinya tetap
dipertahankan oleh pemohon;
Bahwa anak pemohon yang bernama telah hadir di persidangan dan
memberikan keterangan, bahwa bener ia adalah anak kandung pemohon
sekarang berumur 15 tahun. yang akan menikah dengan perempuan
yang dicintainya, alasannya ingin segera menikah karena hubungan
mereka sudah lama dan sudah sangat erat bahkan sudah perna
melakukan 4 (empat) kali hubungan badan layaknya suami istri namun
belum hamil, sehingga sangat di khawatirkan terjadinya perbuatan yang
kurang baik dan dilarang dalam hukum islam apabila tidak segera
menikah.7
Anak pemohon dan calon istrinya tidak ada hubungan saudara atau
mahram anak pemohon berstatus jejaka begitupula istrinya berstatus
perawan dan beragama Islam. Anak pemohon sekarang sudah berkerja
sebagai buruh bangunan dengan penghasilan Rp2.800.00,00 (dua juta
delapan ratus ribu rupiah) setiap bulan, sudah siap menikah dan
mengerti hak serta kewajiban sebagai suami dan kepala rumah tangga.
6 Salinan penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr,h.3 7 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr,h.4
47
rencana pernikahan ini antara ia dan calon istri tidak ada paksaan dari
pihak lain dikarenakan atas dasar suka sama suka. pernikahan ini dari
pihak keluarganya sudah melamar calon istri an lamarannya diterima.8
Bahwa calon istri anak pemohon telah hadir di persidangan, telah
memberikan keterangan, bahwa bener beliau adalah calon istri anak
pemohon dan akan segera menikah, alasannya ingin segera menikah
karena hubungan mereka sudah lama dan sudah sangat erat bahkan
sudah perna melakukan 4 (empat) kali hubungan badan layaknya suami
istri namun belum hamil sehingga sangat di khawatirkan terjadinya
perbuatan yang kurang baik dan dilarang dalam hukum islam apabila
tidak segera menikah, antara beliau dan calon suaminya tidak ada
hubungan saudara ataupun mahram, juga sudah siap untuk menikah
menjadi istri dan ibu rumah tangga, bahwasannya beliau sudah dilamar
oleh calon suaminya dan lamarannya telah diterima.9
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat yang bermaterai cukup berupa:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) atas nama pemohon
Nomor 3216214101860012 tanggal 08 September 2012 (bukti P.1)
b. Fotocopy kartu keluarga atas nama pemohon Nomor
3216212211100200 tanggal 04 Oktober 2012 yang aslinya
dikeluarkan oleh kepala dinas kependudukan dan pencatatan sipil
Kabupaten Bekasi (bukti P.2);
c. Fotokopi Kutipan Akta nikah atas nama pemohon nomor
653/38/IX/2002 tertanggal 16 September 2002 yang aslinya
dikeluarkan oleh pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Serang, Kabupaten Bekasi (bukti P3)
d. Fotocopy surat keterangan kelahiran atas nama anak pemohon
Nomor 474.1/185/VII/2018 Tanggal 30 juli 2018 yang aslinya
8 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr,h. 4 9 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr,h.5
48
dikluarkan oleh kepala Desa Sukasari Kecamatan Serang Baru
Kabupaten Bekasi (bukti P.4)
e. Fotokopi Surat Keterangan Kelahiran atas nama Ersih binti Narin
(Calon isteri anak Pemohon) Nomor-tanggal 27 Juli 2018 yang
aslinya dikeluarkan oleh kepala Desa Jayasampurna Kecamatan
Serang Baru Kabupaten Bekasi (bukti P.5);
f. Asli surat keterangan kematian atas nama Asep Sugih Mukti
(Suami pemohon) Nomor 474.3/80/VIII/2018 Tanggal 30 Agustus
2018 yang dikeluarkan oleh kepala Desa Sukasari Kecamatan
Serang Baru Kabupaten Bekasi (bukti P.6)
g. Fotokopi penolakan pernikahan Nomor
624/KUA.10.16.18/VIII/18 Tanggal 23 Agustus 2018 yang
Aslinya dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Penghulu)
Kantor Urusan Agama Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi
(bukti P.7).10
Pemohon mengajukan saksi-saksi sebagai berikut;
a. Saksi 1, Umur 28 tahun, Agama Islam, Perkerjaan Ibu Rumah
Tangga, Tempat Tinggal di Kampung Pasirandu RT. 010. Rw.005
Desa Sukasari Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi, di
hadapan Persidangan memberikan keterangan dibawah sumpah,
saksi kenal dengan Pemohon, saksi sebagai adik kandung
pemohon, juga mengatakan bahwa anak pemohon belum
mencukupi umur untuk menikah dan anak pemohon dan calon
istrinya mempunyai hubungan yang sangat erat dan bahkan sudah
sering melakukan hubungan badan layaknya suami istri.
b. Saksi 2, Umur 63 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Buruh, Tempat
tinggal di Kampung Kongsi RT.012 RW.006 Desa Jayasampurna
Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi, Dihadapan
Persidangan memberikan keterangan dibawah Sumpah, saksi kenal
10 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr, h. 5-6
49
dengan pemohon saksi sebagai ayah kandung calon isteri anak
Pemohon (Calon besan Pemohon), bahwa anak pemohon dan calon
istrinya sudah memiliki hubungan yang sangat erat, dan sudah
sering melakukan hubungan badan layaknya suami istri, tidak
adanya hubungan saudara ataupun mahram, siap untuk menikah
dan calon suaminya sudah berkerja sebagai buruh harian lepas,
pernikahan ini tidak adanya paksaan.
Pemohon mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya tetap pada
pemohon semula, kemudian memohon kepada Majelis hakim untuk
dapat mengabulkan permohonannya.
4. Amar Putusan
Kemaslahatan manusia merupakan suatu hal yang relatif.
Relativitasinya terkait dengan sudut pandang yang sering berbeda. Oleh
karena itu, kemaslahatan yang menjadia acuan dalam maqasid syariah
mempunyai beberapa kriteria yang menjadi tolak ukur dalam
menegaskan keberadaannya. Keriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Berdasarkan hal hal tersebut diatas maka Majelis hakim dapat
menyimpulkan fakta, bahwa pemohonan pemohon telah memenuhi
ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, anak
pemohon dengan calon istrinya telah sama-sama setuju untuk menikah,
hal ini telah memenuhi syarat perkawinan sesuai ketentuan pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 16 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam. Antara anak Pemohon dengan calon istrinya
tidak ada hubungan darah, hubungan keluraga, hubungan persusuan,
sehingga tidak ada larangan untuk menikah sesuai ketentuan pasal 8
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 39 sampai pasal 44
Kompilasi Hukum Islam calon suami atau keluarganya telah
melaksanakan lamaran atau peminangan, maka hal ini telah memenuhi
tata cara pra nikah sesuai ketentuan pasal 1 huruf (a) dan pasal 11 sampai
50
pasal 13 Kompilasi Hukum Islam. Bahwa Kantor Urusan Agama
setempat telah menolak melangsungkan pernikahan karena umur anak
pemohon yang belum mencapai 19 tahun.11
Oleh karena itu pemohon telah bertekad bulat untuk
melangsungkan pernikahan anaknya, demikian juga anaknya pemohon
dan calon istrinya telah bertekad bulat untuk melangsungkan
pernikahan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa jika menunda-
nunda pernikahan tersebut hingga anak pemohon berusia 19 tahun,
padahal hubungan mereka sudah sangat erat bahkan sudah sering
melakukan hubungan badan layaknya suami istri, maka kemadlaratan
akan lebih nampak jika ditunda-tunda dari pada manfaatnya, mengigat
kaidah fiqhiyah yang berbunyi
درءالمفاسد مقد م على جلب المصالح
“ Menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”.
ج فإنه أغض للبصر وأحصن باب من استطاع منكم الباءة فليتزو يا معشر الش
وم فإنه له وجاء للفرج ومن لم )رواه البخارى( يستطع فعليه بالص
Artinya : “Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu telah
sanggup memenuhi kewajiban belanja dalam perkawinan, hendaklah
kamu kawin. Sesungguhnya kawin itu dapat menutup pandangan mata
dan meredakan syahwat. Dan barangsiapa tidak sanggup hendaklah
berpuasa sebab puasa itu menjadi perisai baginya”;
Majelis hakim mengambil alih isi dan maksud dalil-dalil tersebut
sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan ini, berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, maka terdapat cukup alasan mengabulkan
permohonan pemohon;
Dengan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun
11 Salinan Penetapan PA Cikarang Nomor: 141/Pdt.P/2018/PA.Ckr,h.11
51
2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009,maka kepada pemohon di bebani Untuk membayar biyaya perkara
yang timbul dari perkara ini
Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan ketentuan hukum Syar’i yang berkaitan dengan perkara ini:
1. Mengabulkan pemohonan pemohon
2. Memberi dispensasi kepada anak pemohon yang bernama M. Engki
Suhendra bin Asep Sugih Mukti untuk menikah dengan seorang
perempuan yang bernama Ersih binti Narin;
3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 171.000.00 (seratus tujuh puluh ribu rupiah);
Demikianlah ditetapkan dalam rapat pemusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Cikarang pada hari Kamis tanggal 30 Agustus
2018 M Bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 1439 H Oleh kami
Muhammad Arif S.Ag., MSI., Hakim yang ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Agama Cikarang sebagai ketua Majelis Drs. M.
Anshori,SH.,MH. Dan Ikin, S. Ag. Masing-masing sebagai hakim
Anggota dan diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk
umum oleh ketua majelis dan didampingi oleh para hakim anggotanya,
serta di bantu oleh Dra Nia Sumartini sebagai Panitera Pengganti dangan
dihadiri Pemohon.
52
BAB IV
A. Analisis perbandingan pertimbangan Hakim dalam penetapan Nomor
141/P.dt.p/2018PA.Ckr
Setelah penulis membaca jalannya perkara pada putusan Nomor
141/P.dt.p/2018PA.Ckr dapat dipahami bahwasannya pada tanggal 31 juli
2018 pemohon mengajukan dispensasi nikah untuk menikahi anak
pemohon. Hal ini dilakukan karena pada saat anak pemohon hendak
mendaftarkan dirinya untuk menikah dengan calon istrinya di Kantor
Urusan Agama (KUA) Serang Baru, pihak KUA menolak hal tersebut
dikarenakan pemohon belum memenuhi syarat usia menikah yang terdapat
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal
7 ayat (1) dan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 15 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam karena yang bersangkutan baru umur 15 tahun
sesuai dengan surat penolakan pernikahan oleh Kantor Urusan Agama.
Anak pemohon dengan calon istrinya tidak memiliki halangan untuk
menikah secara hukum Islam, baik hubungan sedarah, persusuan dan Akan
tetapi anak pemohon terhalang untuk menikah karena belum memenuhi
persyaratan di dalam Undang-undang Perkawinan, yaitu syarat usia anak
pemohon belum mencapai 19 tahun. Sehingga berdasarkan Pasal 7 ayat (2)
jika ada penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat (1) maka dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita.
Pernikahan tersebut sangat mendesak untuk tetap dilangsungkan,
alasannya karena pemohon ingin segera menikahi anaknya dengan calon
istrinya. Karena keduanya telah menjalankan hubungan yang sangat lama
sejak 27 april 2017 sampai dengan sekarang, karena kedekatan yang telah
begitu lama antara anak pemohon dengan calon istrinya. Sudah pernah
melakukan 4 (empat) kali hubungan badan layaknya suami istri namun
belum hamil. Sangat dikhawatirkan akan terjadinya lagi perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum islam apabila tidak segera
menikah. Atas dasar alasan tersebut pemohon meminta agar majelis hakim
53
memberikan izin, terhadap pemohon untuk diberikan izin dispensasi nikah
bagi anak pemohon oleh Pengadilan Agama Cikarang.
Anak pemohon berstatus perjaka dan calon istri pemohon berstatus
perawan, keduanya juga telah akil balig dan sudah siap untuk menjadi
kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga. Anak pemohon juga sudah
memiliki perkerjaan sebagai buruh bangunan dengan penghasilan Rp
2.800.000,00 (dua juta delapan ratus ribu rupiah) setiap bulan. Rencana
pernikahan ini dilakukan atas dasar suka sama suka serta tidak ada unsur
paksaan, dari pihak keluarga anak pemohon maupun keluarga calon istri
anak pemohon.
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf (a) Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah di ubah dengan undang-undang
Nomor 3 tahun 2006 dan telah diubah dengan undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, perkara ini merupakan kewenangan
absolut Peradilan Agama.
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan dengan dihadiri oleh
pemohon, dan juga anak pemohon, anak pemohon Ketua Majelis pengadilan
Agama Cikarang sudah menyarankan untuk menunda pernikahan anak
pemohon hingga cukup umur 19 tahun. Sesuai dengan ketentuan yang
berlaku yaitu pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan pasal
15 ayat (1) Kompilasi hukum Islam. Akan tetapi dari pihak pemohon
didalam persidangan tetap pada permohonannya karena dikhawatirkan akan
terulang perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum islam, apabila tidak
di langsungkan pernikahannya.
Majelis hakim juga telah mendengar keterangan-keterangan yang
terjadi terhadap anak pemohon dan calon menantunya, dan juga ada dua
saksi yang juga memberikan keterangan dibawah sumpahnya. Dalam
keterangan dua saksi ini mereka mengaku melihat atau mendengar dan
mengalami sendiri fakta-fakta yang di terangkannya.
Bahwa berdasarkan hal-hal sebagai berikut maka majelis hakim dapat
menyimpulkan bahwa permohonan pemohon sudah memenuhi ketentuan
54
pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Anak pemohon dan calon istrinya sudah sama-sama setuju untuk menikah,
maka dari itu telah memenuhi syarat perkawinan dalam pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan serta pasal 16
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Bahwa anak pemohon dan calon istrinya
tidak ada hubungan darah, hubungan persususan, sehingga tidak ada
larangan untuk menikah sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 sampai pasal 44
Kompilasi Hukum Islam. Selain itu antara anak pemohon dengan calon istri
pemohon sudah melaksanakannya lamaran peminangan, hal ini sudah
memenuhi tata cara pra nikah sesuai dengan ketentuan pasal 1 huruf (a) dan
pasal 11 sampai 13 Kompilasi hukum Islam.
Bahwa oleh karena itulah pemohon sudah bertekad bulat untuk
melaksankan pernikahan anaknya, demikian pula anak pemohon dan calon
istri anak pemohon juga sudah bertekad bulat untuk melaksanakan
pernikahan, majelis hakim berpendapat bahwa jika pernikahannya di tunda
sampai menunggu anak pemohon berusia 19 tahun padahal hubungan
mereka sudah sangat erat bahkan sudah sering melakukan hubungan badan
layaknya suami istri. Maka dikhawatirkan terjadi kemudharatan yang lebih
besar apabila pernikahan tersebut ditunda.
Pada akhirnya penetapan perkara ini dibacakan oleh majelis hakim
mengambil alih bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut terdapat cukup
jelas. Alasan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan
menggunakan metode maqashid syariah, bahwa berdasarkan ketentuan
pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan terakhir telah diubah oleh
Undang-undang nomor 50 tahun 2009, dan majelis hakim mengabulkan
permohonan pemohon, memberikan dispensasi kepada anak pemohon.
55
B. Analisis penetapan Nomor 141/P.dt.p/2018PA.Ckr dalam perspektif
Maqashid al-Syariah
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya tentang maqashid syari’ah
menurut al-Syathibi yaitu tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum
adalah untuk kemaslahatan hambanya, baik di dunia ataupun akhirat. Tidak
ada satupun hukum Allah SWT yang tidak memiliki tujuan, pandangan ini
diperkuat oleh Muhammad Abu zahrah yang memandang bahwa tujuan
hakiki hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Tidak ada satu
pun hukum yang di syariatkan kecuali terdapat kemaslahatannya.1
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori
ini, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta
memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok perkara inilah syariat
islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan
pembentukannya yang tidak lain untuk memelihara lima pokok diatas.2
Berkenan dengan kasus yang penulis teliti yaitu tentang pernikahan
usia dini yang hendak dilakukan dengan meminta izin dispensasi nikah
kepada Pengadilan Agama untuk mengabulkan dispensasi pernikahannya,
maka jika dilihat dari konsep Maqashid al-Syariah maka kasus ini berada
pada tingkat dharurriyat yaitu menyelamatkan agama (hifz al-din) dan
keturunan (hifz al-nasal).
Selanjutnya jika penetapan perkara ini di analisis menggunakan
metode Maqashid al-Syariah, dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Putusan tersebut bisa di analisis dengan melihat kesamaan ilat atau
nilai-nilai subtansial dari contoh persoalan tersebut dengan dalil-
dalil hukum yang telah di ungkapkan dalam nas atau pertimbangan
hukum yang lain dalam kasus ini
1 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-fiqh, (kairo: Dar al Fir al Arabi.
1958).h. 336
2 Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet.7,
h.213.
56
2. Putusan tersebut dapat dianalisis dengan dengan melakukan
istinbath atau penetapan hukum yang permasalahannya tidak diataur
secara eksplisit dalam al-qur’an dan sunnah. Akan tetapi lebih
menekankan pada aspek kemaslahatan dalam kasus ini.
Ditinjau dari segi konsep dan metode penetapan Maqashid al-
Syariah menurut penulis dalam penetapan Nomor 141/P.dt.p/2018PA.Ckr
sudah memenuhi kemaslahatan sesuai dengan tujuan Maqasid al-Syari’ah
karena tujuan Maqasid al-Syari’ah yaitu mendatangkan kemaslahatan dan
menjauhkan kemudaratan sebagaimana kaidah fikih
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu sebelum
upaya mendapatkan manfaat (mashlahat)”
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada
pilihan itu yang menolak kemafsadatan. Karena menolak kemafsadatan
yaitu sama juga sebagai meraih kemaslahatan, karena tujuan utama
Maqasid al-Syari’ah menurut ulama fikih yaitu meraih kemaslahatan
didunia ataupun di akhirat3
Dalam putusan inilah menurut penulis, hakim telah memenuhi
tujuan Maqasid al-Syariah yaitu menyelamatkan dan melindungi
kemudharatan yang akan terjadi pada hubungan pasangan tersebut, untuk
mencapainya kemaslahatan anak pemohon dan calon istrinya, agar tidak
lagi melakukan hubungan yang tidak selayaknya dilakukan oleh anak
pemohon dan juga calon istrinya, agar terlindung dari hal-hal yang tidak
di inginkan dan terjadinya kemudhoratannya.
Dilihat dari segi Maqasid al-Syariah yang dapat diorientasikan
dalam kasus ini yaitu kemaslahatan untuk anak pemohon dan calon
istrinya, karena dalam kasus ini sangat jelas bahwa anak pemohon dan
calon istrinya membawa kemudaratan yang besar untuk keluarga dan
3 Ahmad djazuli, kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah hukum islam dalam
menyelesaikan masalh-masalah yang praktis,(Jakarta: Kencana,2011).h.164.
57
kehidupannya jika tidak segera menikah sebaikya majelis hakim bisa
mengabulkan permohonan pemohon, untuk kemaslahatan sesuai dengan
metode Maqasid al-Syariah.
Bahwa apabila dihadapkan kepada pilihan untuk menolak
kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka kita harus meraih
kemaslahatan karena tujuan Maqasid al-Syariah menurut ulama fikih yaitu
untuk meraih kemaslahatan didunia maupun diakhirat4
Dalam kaidah fikih yang lain menjelaskan mengenai larangan untuk
berbuat sesuatu yang membahayakan yaitu:
ل ضرر ول ضرار
“ Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan”
رريزال الض
“Kemudharatan harus dihilangkan”
Dalam kaidah ini menegaskan bahwa seseorang tidak boleh
menimpakan suatu bahaya ataupun membahayakan untuk orang lain,
maka dari itu kita tidak boleh menghalangi niat baik seseorang untuk
melakukan pernikahan sedangkan sudah cukup jelas alasan-alasan yang
tertera.
Selain kaidah ushul fiqh diatas, Rasulullah SAW pernah bersabda:
باب من استطاع منكم الباء ج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع يا معشر الش ة فليتزو
وم فإنه له وجاء )رواه البخارى( فعليه بالص
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup memenuhi kewajiban belanja dalam perkawinan, hendaklah kamu
kawin. Sesungguhnya kawin itu dapat menutup pandangan mata dan meredahkan syahwat. Dan barangsiapa tidak sanggup hendaklah
berpuasa sebab puasa itulah menjadi perisai baginya”. (HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad).
4 Ahmad, Djazuli. Kaidah-kaidah fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana,2011),
h.164.
58
Majelis Hakim mengambil alih isi dan maksud dari dalil tersebut
sebagai bahan pertimbangan, bahwa terdapat sangat cukup alasan yang
mengabulkan permohonan pemohon, bahwa berdasarkan ketentuan pasal
89 ayat (1) undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah
dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan terakhir di ubah dengan
undang-undang nomor 50 tahun 2009 maka kepada pemohon dibebani
untuk mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ketentuan hukum Syar’i yang berkaitan dengan perkara ini.
Pada penetepannya Majelis hakim mengabulkan permohonan
pemohon dan memberikan dispensasi kepada anak pemohon untuk
menikah dengan calon istrinya, penetapan ini di tetapkan di Pengadilan
Agama Cikarang pada hari Kamis tanggal 30 Agustus 2018 M bertepatan
dengan tanggal 18 Dzulhijjah 1439 H.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam penetapan perkara dispensasi ini bahwasannya majelis hakim
menggunakan metode Maqasid al-Syariah dalam memutuskannya, karena
hakim tidak menghalang-halangi dan merusak kemaslahatan atau keadilan
antara pihak yang bersangkutan, majelis hakim mengabulkan permohonan
pemohon dan memberi izin dispensasi nikah kepada anak pemohon supaya
tidak ada hal yang tidak di inginkan terjadi atau kemudharatan yang sangat
tidak baik.
2. Pernikahan usia dini sudah selaras dengan tujuan teori maqasid syariah
yaitu menjaga agama dan keuturnan, akan tetapi perlu ditambahkan dengan
syarat-syarat yang dibebankan kepada pelaku pernikahan usia dini guna
terjaganya tujuan dari pernikahan itu sendiri. Seperti sudah matangnya
dalam aspek agama, fisik maupun psikisnya. Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sudah cukup mengupayakan dengan
mencantumkan syarat-syarat pelaku pernikahan usia dini agar pernikahan
yang kelak dilaksanakan akan berujung pada terwujudnya pernikahan yang
sakinah, mawadah dan rahmah. Akan tetapi di dalam Undang-undang ini
masih terdapat celah bagi seorang anak yang sekiranya belum siap untuk
menikah, namun terbuka baginya untuk mendapatkan dispensasi nikah.
B. Saran
1. Bagi pemerintah setempat sebaiknya memberikan edukasi terhadap seluruh
masyarakat terhadap dampak negatif yang bisa terjadi terhadap pelaku yang
menikah di usia dini, baik dari segi fisik maupun psikisnya.
2. Bagi masyarakat setempat sebaiknya turut ikut aktif dalam
mensosialisasikan apa yang telah disampaikan oleh pemerintah dalam
upaya pencegahan pernikahan usia dini.
3. Bagi orang tua sebaiknya bisa mengontrol pergaulan dan perduli terhadap
pendidikan anaknya serta memahami undang-undang perkawinan tentang
usia minimum pernikahan.
60
4. Bagi Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan fakta
hukumn dan jangan hanya terpaku pada ketentuan peraturan perundang-
undangan saja. Selain itu hakim harus berupaya menggali nilai keadilan
dalam kehidupan masyarakat, serta harus bisa menyesuaikan kemaslahatan
atas dasar musyawarah para pihak, sehingga hakim dapat menemukan
solusi terbaik, dan menjamin keputusan yang adil untuk para pihak supaya
terhindarnya kemudharatan yang bisa terjadi.
61
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor : Kencana, 2003.
http://garuda.ristekdikti.go.id/journal/view/6444 di akses pada Selasa 04 Desember 18 jam 07:29
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), cet. 1
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Depok: Gema Insani, 2014), Cet. 1
Abdul Manan, Reformasi hukum islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada) Mohammad Asmawi, Nikah dalam perbincangan dan perbedaan,
(Yogyakarta,Darussalam,Cetakan 1 Maret 2004)
Agama R.I. Direktorat jendral Pembinaan kelembagaan Agama Islam,
tahun 1997/1998)
Ahmad djazuli, kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah hukum islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana,2011).
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqasid al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: PT
LKis Printing Cemerlang, 2010), Cet. 1
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2
Al- Qur’an Dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh,(Edisi pertama, Jakarta,
Kencana,2003)
Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di indonesia antara fiqih
munakahat dan undang-undang perkawinan (Kencana, Edisi pertama, Cetakan ke-2, Jakarta,2007)
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (cet.1, Jakarta: sinar grafika,2013)
Andi syamsu Alam, Usia ideal untuk kawin, Jakarta : Kencana Mas Publishing House, 2006.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Agama
Mardani, Hukum keluarga islam di Indonesia ( edisi pertama, Jakarta, Kencana,2016)
62
Husein Muhammad, fiqih perempuan : Refleksi kiai atas wacana Agama
dan Gender, ( Yogyakarta,LKSI,2001) Cet. Ke-1
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta :Bumi
Aksara,1992),Cet.Ke-2
Juhaya S Praja, Filsafat hukum islam, (Bandung: Pusat Penerbitan
Universitas Islam Bandung,1995)
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta; Balai Askara,
1987)
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998), Cet.1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, t.th)
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah:
Studi Pemikiran Abu
Muhammad Husen, fiqih perempuan: refleksi kyai atas wacana agama dan
gender, ( Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet,ke1
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyah,
(Yordania: Dar an-Nafais, 2001).
Muhammad Zain dan Mukhtar alshodiq, Membangun Keluarga humanis, (
Jakarta : grahacipta,2005),Cet, Ke-1
Muhammad Zain dan Mukhtar alshodiq, Membangun Keluarga humanis, (
Jakarta : grahacipta,2005),Cet, Ke-1
Nuansa Aulia, Kompilasi hukum islam: (hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia,2008)
Saleh Wantjik K, Hukum Perkawinan, (Ghalia Indonesia,jakarta 1976)
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 1
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 7
Shomad. Abd, Hukum Islam Penormaan prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia,( Edisi Revisi, Kencana, Jakarta,2010)
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, ( Edisi pertama,
63
Kencana,Jakarta,2016)
Sopyan, Yayan, Islam-Negara : Transformasi hukum perkawinan islam dalam hukum Nasional, ( Jakarta: Penerbit RMBooks PT. Wahana
Semesta Intermedia,2012)
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Aqidah, syari‟ah, dan Manhaj Jilid
15, Terj.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat
Islam untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1
Undang-Undang
Intruksi presiden R.I. Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi hukum islam di
Indonesia, ( Departemen
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
Undang-undang Perlindungan anak no,23 tahun 2002
Referensi Jurnal
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh, Jurnal Asy-Syir‟ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014
Ali Mutakin, Hubungan maqashid al-syariah dengan metode istinbath hukum, Analisi Vol.3,No 1, Juni 2017.
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3
Agustus 2017.
Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013.
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Prespektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 6 No. 1, Juni 2014
64
Referensi Internet
http://www.pa-cikarang.go.id/tentang-pengadilan/profile-pengadilan/sejarah-pengadilan, diakses pada tanggal 19 Juli 2019,
pada pukul 22.00 WIB.
http://sipp.pacikarang.go.id/list_perkara/page/1/YnVmNXc1T1QrbllVMz
dHZDNiUVErVDI3VlZsdnJITkd2KzlKZWZESlg5dEdNUG4yRTBNSVdlL0gra3RUTWRvOW9tNlZnc3lnN0V1ZUtCSGJiUm00
Wmc9PQ==/UGxCZkhYU21XK2Q0S0J0bUhHOFkzZEsvQ1dXUHJVZkZSQ2VGWkpmTGZsRWlFVi9XWTdEZVArSm1DeGd
1WUxhaXRkU29Qc3hSbFlQYWhweVBmUzRET0E9PQ==/col/6, diakses pada tanggal 19 Juli 2019, pada pukul 23.00 WIB.