kewajiban pembayaran pajak
TRANSCRIPT
KEWAJIBAN PEMBAYARAN
A. Dasar Hukum
1. Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. PP No 80 Tahun 2007 tanggal 28 Desember 2007 tantang Tata Cara Pelaksaan
Hak dan Kewajiban Perpajakan.
3. Peraturan Menteri Keuangan No PMK-184/PMK 03/2007 tanggal 28 Desember
2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran
Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak.
4. Peraturan Menteri Keuangan No PMK-187/PMK 03/2007 tanggal 28 Desember
2007 tentang Jangka Waktu Pelunasan Surat Tagihan Pajak, SKPKB, dan SKPKB
Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah bagi Wajib Pajak Usaha Kecil dan Wajib
Pajak di Daerah Tertentu.
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-38/PJ/2009 tanggal 23 Juni 2009
tentang Bentuk Surat Setoran Pajak.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-38/PJ/2008 tanggal 24 September
2008 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran
Pajak.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-15/PJ/2006 tanggal 6 Maret 2008
tentang Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak serta Pelayanan
Penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Surat
Pemberitahuan Masa Sehubungan dengan Hari Libur dan Cuti Bersama dalam
Tahun 2008.
1
B. Surat Setoran Pajak (SSP)
Sarana pembayaran/penyetoran pajak adalah Surat Setoran Pajak (SSP).
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang
telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara
lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. (Pasal 1 angka 14 UU KUP)
Surat Setoran Pajak berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. (Pasal 10 ayat 1a UU KUP)
Jenis-jenis Surat Setoran Pajak
a. SSP Standar
SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke
Kantor Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran
dengan bentuk, ukuran dan isi yang ditetapkan.
SSP Standar dapat digunakan untuk pembayaran semua jenis pajak yang
dibayar melalui Kantor Penerima Pembayaran yang belum terhubung secara
on line tapi masih berhak menerima pembayaran pajak, dan untuk
penyetoran/pemungutan PPh Pasal 22 Bendaharawan dan atau PPN
Bendaharawan.
Wajib pajak dapat mengadakan sendiri SSP standar sepanjang bentuk,
ukuran dan isinya sesuai dengan PER - 01/PJ./2006. SSP standar dibuat
dalam rangkap lima yang peruntukan sebagai berikut :
Lembar ke-1 : Untuk Arsip Wajib Pajak;
Lembar ke-2 : Untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui KPPN;
Lembar ke-3 : Untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke KPP;
Lembar ke-4 : Untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran;
Lembar ke-5 : Untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan
ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.
2
b. SSP Khusus
SSP Khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke
Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima
Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan atau alat lainnya
yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar
dalam administrasi perpajakan.
SSP Khusus dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah
mengadakan kerja sama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3)
dengan Direktorat Jenderal Pajak.
SSP Khusus dicetak :
1. pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2
(dua) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-
3 SSP Standar;
2. terpisah sebanyak 1 (satu) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar
ke-2 SSP Standar untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar
Nominatif Penerimaan (DNP).
SSP Khusus dapat diperbanyak yang berfungsi sama dengan lembar ke-5 SSP
Standar sebagai pengganti bukti potong/bukti pungut, dengan diberi cap dan
tanda tangan oleh pejabat yang berwenang oleh Kantor Penerima
Pembayaran.
c. SSPCP
SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor) adalah
SSP yang digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor.
SSPCP digunakan untuk melakukan penyetoran penerimaan negara dalam
rangka impor.
SSPCP dibuat dalam rangkap 8 (delapan) yang peruntukannya
sebagai berikut :
Lembar ke-1a : untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
Lembar ke-1b : untuk Penyetor/Wajib Pajak;
3
Lembar ke-2a : untuk KPBC melalui KPPN;
Lembar ke-2b dan ke-2c : untuk KPP melalui KPPN;
Lembar ke-3a dan ke-3b : untuk KPP melalui Penyetor/WP atau KPBC;
Lembar ke-4 : untuk Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi
atau PT Pos Indonesia.
d. SSCP
SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau
Buatan Dalam Negeri) adalah SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk
cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
SSCP digunakan untuk melakukan penyetoran penerimaan negara dari cukai
atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
SSCP dibuat dalam rangkap 6 (enam) yang peruntukannya sebagai berikut :
Lembar ke-1a: untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
Lembar ke-1b: untuk Penyetor/Wajib Pajak;
Lembar ke-2a: untuk KPBC melalui KPPN;
Lembar ke-2b: untuk KPP melalui KPPN;
Lembar ke-3 : untuk KPP melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
Lembar ke-4 : untuk Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia.
C. Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-
masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak.(Pasal 9 ayat 1 UU KUP)
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. (Pasal 9 ayat 2 UU KUP)
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
4
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan (Pasal 9 ayat 3 UU KUP). Bagi
WP usaha kecil dan WP di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan tersebut dapat
diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Catatan :
Pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan terutang berdasarkan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak
Badan (PPh Pasal 29) harus dilakukan sebelum SPT Tahun Pajak Penghasilan
tersebut disampaikan, paling lama sesuai dengan batas waktu penyampaian
SPT Tahunan Pajak Penghasilan (SE-35/PJ/2009)
Bagi Wajib Pajak Usaha Kecil dan Wajib Pajak di daerah tertetu jangka waktu
pelunasan STP, SKPKB dan SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan
banding dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal
diterbitkan. Yang dimaksud dengan Wajib Pajak usaha kecil adalah (Pasal 2
PMK-187/PMK.03/2007):
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
WP Orang Pribadi Dalam negeri; dan
Menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha
atau menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun
Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp. 600.000.000 (enam ratus juta
rupiah)
2. Wajib Pajak Badan kecil yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
Modal WP Badan 100% (seratus persen) dimiliki oleh WNI
Menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak
sebelumnya tidak lebih dari Rp. 900.000.000 (sembilan ratus juta
rupiah)
Yang dimaksud Wajib Pajak di Daerah tertentu adalah Wajib Pajak
yang tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan
5
usahanya di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak
bertepatam dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur
nasional (baik dalam rangka penyelenggaraan pemilu maupun cuti
bersama yang ditetapkan pemerintah) maka pembayaran pajak dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya (Pasal 3
PMK-184/PMK.03/2007).
Pemotong dan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 21, 22 dan 23/26
harus memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti
pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani
membayar Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut, dan
khusus untuk karyawan atau pegawai tetap, hanya diberikan bukti
pemotongan Tahunan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah
kalender berakhir.
D. Batas Waktu Pembayaran/Penyetoran Pajak
Dalam Pasal 1 PMK No. 184/PMK.03/2007, diatur tentang batas waktu
pembayaran/penyetoran pajak, sebagai berikut:
No Jenis Pajak Paling Lambat
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang
dipotong oleh Pemotong Pajak
Penghasilan
harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.
2. Pasal 4 ayat (2) yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
harus disetor paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.
3. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh
Pemotong PPh
harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
6
Pajak berakhir.
4. PPh Pasal 15 yang harus dibayar
sendiri
harus disetor paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
5. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
Pemotong PPh
harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir
6. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26
yang dipotong oleh Pemotong
PPh
harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
7. PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
8. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan
PPnBM atas impor
harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea
Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal
22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor
harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor.
9. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan
PPnBM atas impor yang dipungut
oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai
harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu)
hari kerja setelah dilakukan pemungutan
pajak.
10. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh
bendahara
harus disetor pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan
barang yang dibiayai dari belanja Negara
atau belanja Daerah, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara.
11. PPh Pasal 22 atas penyerahan harus disetor paling lama tanggal 10
7
bahan bakar minyak, gas, dan
pelumas kepada penyalur/agen
atau industri yang dipungut oleh
Wajib Pajak badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
12. PPh pasal 22 yang
pemungutannya dilakukan oleh
Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak
harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
13. PPN atau PPN dan PPnBM yng
terutang dalam satu Masa Pajak
harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
14. PPN atau PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan oleh
Bendahara Pemerintah atau
instansi Pemerintah yang
ditunjuk
harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
15. PPN atau PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut PPN selain Bendahara
Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk
harus disetor paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
16. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3b) Undang-Undang KUP
yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa
harus dibayar paling lama pada akhir Masa
Pajak terakhir.
8
17. Pembayaran masa selain PPh Pasal
25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-
Undang KUP yang melaporkan
beberapa masa pajak dalam satu
Surat Pemberitahuan Masa
harus dibayar paling lama sesuai dengan
batas waktu untuk masing-masing jenis
pajak.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Hari libur nasional tersebut termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara
nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran dan penyetoran pajak harus
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain
yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
E. Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak
Dirjen Pajak atas permohonan WP dapat memberikan persetujuan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat 4 UU KUP). Wajib Pajak terlebih dahulu
mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam Pasal 9 PMK No. 184/PMK.03/2007, permohonan tersebut harus
diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum saat jatuh tempo
pembayaran utang pajak berakhir disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak
yang dimohon diangsur atau ditunda. Apabila ternyata batas waktu 9 (sembilan)
hari kerja tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar
9
kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat dipertimbangkan oleh
Direktur Jenderal Pajak sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran
keadaan di luar kekuasaannya tersebut.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan
tersebut berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak, paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan. Apabila jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi
suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
Surat keputusan yang menerima seluruhnya atau sebagian, dengan jangka
waktu masa angsuran atau penundaan tidak melebihi 12 (dua belas) bulan dengan
mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib
pajak.
Pembayaran pajak yang dapat dilakukan dengan cara mengangsur atau
menunda pembayaran adalah atas:
pajak yang masih harus dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan,
SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah; dan
PPh Pasal 29.
F. Tempat Pembayaran
Tempat pembayaran pajak adalah di Kantor Penerima pembayaran yaitu
Kantor Pos atau bank Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah atau tempat pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
sebagai penerima pembayaran atau penyetoran pajak.
Tempat Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang untuk selanjutnya
disebut TP-PBB adalah Bank Pemerintah/Bank Swasta Nasional Kantor Pos
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB
sector Pedesaan dan Perkotaan dan memindahbukukan hasil penerimaan PBB
ke Bank/Pos.
Direktorat Jenderal Pajak tidak dibenarkan menerima setoran pajak dari Wajib
Pajak.
10
Untuk pembayaran Faktor Luar Negeri selain ditempat-tempat tersebut di atas
dapat dilakukan pada loket-loket pembayaran yang telah disediakan di
Pelabuhan Keberangkatan.
G. Sarana Pembayaran
1. Sarana untuk melakukan pembayaran pajak adalah SSP yaitu bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
2. Wajib Pajak melakukan penyetoran penerimaan pajak dalam rangka impor,
termasuk penyetoran kekurangan pembayaran pajak atas impor saham yang
ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak dengan
menggunakan formulir SSPCP.
3. SSP dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang peruntukkannya sebagai berikut:
Lembar ke-1: Untuk Arsip Wajib Pajak
Lembar ke-2: Untuk Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
Lembar ke-3: Untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke KPP
Lembar ke-4: Untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran
Apabila SSP dibuat rangkap 5 (lima) maka Lembar ke-5untuk arsip Wajib
Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang
berlaku.
4. Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak
dan untuk satu Masa Pajak atau satu Tahun Pajak/surat ketetapan pajak/Surat
Tagihan Pajak dengan menggunakan satu kode akun Pajak dan satu Kode Jenis
Setoran, kecuali Wajib Pajak dengan criteria tertentu dapat membayar Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.
5. Pembayaran dan/atau penyetoran pajak dengan SSP dinyatakan sah (PER-
145/PJ/2007):
- setelah mendapatkan NTPN dan NTB untuk pembayaran ke Bank
- setelah mendapatkan NTPN dan NTP untuk pembayaran ke Kantor Pos
11
- setelah mendapatkan NTPN dan NPP untuk pemotongan/pemungutan
pajak melalui KPPN
- dan telah dilakukan rekonsiliasi oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan
6. Untuk setoran yang menggunakan US Dolar Wajib Pajak mentransfer
pembayaran melalui Bank Wajib Pajak di luar negeri atau bank Deviasi di
dalam negeri ke Rekening Giro Kas Negara Nomor: 600.500411 sesuai dengan
jangka waktu pembayaran, dengan ketentuan (KEP-306/PJ/1999):
- Wajib Pajak diwajibkan memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia dan Direktorat PBN bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan akan
melakukan transfer pembayaran PPh dalam mata uang Dollar Amerika
Serikat ke Rekening Giro Kas Negara Nomor: 600.500411
- Wajib Pajak diwajibkan meminta bukti transfer pembayaran dari Bank
Wajib Pajak di luar negeri atau Bank Devisa
- SSP dibuat rangkap dua (2):
a. SSP lembar ke-1 digabungkan dengan asli bukti transfer untuk arsip
Wajib Pajak yang bersangkutan
b. SSP lembar ke-2 dilampiri fotokopi bukti transfer pembayaran
disampaikan ke KPP di tempat Wajib Pajak terdaftar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
H. Sanksi Administrasi Pembayaran Pajak
1. Sanksi administrasi untuk keterlambatan pembayaran/ penyetoran pajak
terutang pada suatu masa pajak
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (Pasal 9 ayat
2a UU KUP)
Contoh:
12
Angsuran masa PPh Pasal 25 Tahun 2008 sejumlah Rp10juta per bulan.
Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan
dilaporkan tanggal 19 Juni 2008. Tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan
Pajak.
Sanksi bunga dalam STP dihitung 1 (satu) bulan = 1x 2% x Rp10.000.000,00 =
Rp200.000,00
2. Sanksi administrasi untuk keterlambatan pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh
Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (Pasal 9 ayat
2b UU KUP)
Contoh:
SPT Tahunan PPh badan Tahun Pajak 2008 PT Roda Tiga yang melaporkan PPh
terutang sebesar Rp100juta dengan kredit pajak sebesar Rp80juta disampaikan
tanggal 10 Mei 2009. Pajak yang kurang dibayar sebesar Rp20juta dibayar pada
tanggal 9 Mei 2009.
Disamping dikenai sanksi administrasi karena terlambat menyampaikan SPT,
atas keterlambatan pembayaran pajak yang kurang dibayar tersebut dikenai
sanksi administrasi berupa bunga 2% dengan masa 1 bulan (1 Mei 2009 – 9 Mei
2009):
1x 2% x Rp20.000.000,00 = Rp400.000,00
13
3. Sanksi administrasi karena pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding atau Putusan PK tidak/kurang dibayar
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat
jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (Pasal 19
ayat 1 UU KUP). Contoh:
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober
2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah
pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00.
Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan
perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp 6.000.000,00 (-)
Kurang dibayar =Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) =Rp80.000,00
Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, Wajib Pajak
membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5
Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa
bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp10.000.000,00 (-)
Kurang dibayar =Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00) =Rp200.000,00
14
4. Sanksi administrasi karena mengangsur atau menunda pembayaran pajak
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (Pasal 19 ayat 2 UU KUP)
Contoh:
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar
Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas
akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan
untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan
(dimulai tgl 28 Februari 2009) dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00.
Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sbb:
angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
Apabila Wajib Pajak di atas diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak
sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Sanksi administrasi berupa bunga atas
penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5
x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
I. Sanksi Pidana Tidak Menyetorkan Pajak yang Telah Dipotong
atau Dipungut
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP)
15
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan. (Pasal 39 ayat 2 UU KUP).
J. PEMINDAHBUKUAN
Dasar Hukum1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 88/KMK.04/1991 tanggal 24 Januari
1991 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan2. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-965/PJ.9/1991 tanggal 17 Oktober 1991
tentang Pelaksanaan Teknis Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-522/PJ./2002 tanggal 16 Desember 2002 tentang Peleksanaan Teknis Tata Cara Pemindahbukuan atas Kekeliruan Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Mata Uang dollar Amerika Serikat.
4. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-26/PJ.9/1991 tentang Petunju Teknis Pemindahbukuan.
Dasar dilakukan Pemindahbukuan1. Adanya Kelebihan Pembayaran Pajak yang besarnya dinyatakan dalam
SKKPP2. Telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang
besarnya dinyatakan dalam SKKP Pajak yang seharusnya tidak terutang.3. Karena adanya surat keputusan lainnya menyebabkan timbulnya kelebihan
pembayaran pajak yaitu antara lain; Surat Keputusan atas permohonan keberatab/banding yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.
4. Adanya pembayaran yang lebih besar dari pajak terutang dalam surat ketetapan pajak yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.
5. Adanya pemberian bunga terhadap Wajib Pajak akibat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
6. Adanya kesalahan dalam mengisi SSP baik yang menyangkut Wajib Pajak Sendir meupun Wajib Pajak lain.
7. Adanya pemecahan setoran pajak yang berasal dari SSP menjadi beberapa jenis pajak atau setoran dari beberapa Wajib Pajak.
Syarat Formal:1. Diajukan kepada Kepala KPP yang berwenang melaksanakan
pemindahbukuan
16
2. Diajukan secara tertulis dengan melampirkan:a. Asli SSP yang dipindahbukukanb. Asli PIUD dalam hal PBK dilakukan untuk pembayaran PPh Pasal 22 atau
PPN Imporc. Daftar Nominatif Wajib Pajak yang menerima PBK untuk pemecahan SSP
oleh Bendaharawan/pemotong/pemungutd. Fotokopi SPT Masa/Tahunan yang setorannya diajukan
pemindahbukuan beserta pembetulannyae. Bukti potong asli PPh Pasal 23 dan surat pernyataan tidak pernah
membuat bukti potong PPh Pasal 23 dalam hal bukti tersebut belum pernah dibuat.
f. Alasan pengajuan PBK secara jelas disertai bukti-bukti pendukung lain yang diperlukan.
3. Dalam hal nama dan pemegang asli SSP (yang mengajukan PBK) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP, maka pada permohonan disamping harus dilampiri tersebut pada huruf a sampai f juga harus dilampiri surat pernyataan dari wajib pajak yang nama dan NPWP-Nya tercantum dalam SSP bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak untuk kepentingan sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan kepada wajib pajak yang mengajukan PBK.
17