ketika jurnalisme dibungkam
TRANSCRIPT
Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara….(SGA)
Santa Cruz, 12 November dua belas tahun lalu.
Di sebuah pemakaman, ribuan anak muda memenuhi ruas jalan. Tak lama berselang, rentetan tembakan terdengar. Menyalak dengan garang. Ratusan orang bersimbah darah, tertelungkup, tak berdaya, menemui maut tanpa sempat melakukan perlawanan. Kalaupun sempat, apa yang bisa mereka perbuat. Desingan mesiu jauh lebih kuat ketimbang mereka yang bertangan kosong…
Keesokan harinya, orang-orang yang dijemput tanpa pernah kembali terus bertambah jumlahnya.
Kecelakaan biasa. Begitu pemerintah menamainya. Dan pengawasan ekstra ketat diambil sebagai langkah untuk membungkam banyak mulut. Rakyat tak perlu tahu…
Ribuan kilometer dari Santa Cruz, seorang redaktur di satu majalah merasa tak cukup dengan hanya berdiam diri dan memalingkan nurani. Berani bertatapan langsung dengan penguasa kala itu, ia bersama dengan dua sejawatnya, menurunkan tulisan pandangan mata tentang apa yang terjadi pada selasa kelabu.
Tulisan yang akhirnya berujung pada pencopotan ketiganya dari rumah berita yang mereka kelola. Pencopotan yang tak lantas membungkam suara hati…
Lima tahun berlalu. Dengan anggun, ia sebarkan kabar duka melalui caranya sendiri. Bertajuk “Jazz, Parfum dan Insiden”, buku ini menjadi pernikahan antara fiksi dengan unsur realitas. Santa Cruz kemudian hadir menyeruak dan menyelusup kembali dalam ingatan.
Santa Cruz hanya bagian kecil dari sejarah kelam negeri kita tercinta. Negeri yang tak pernah belajar dari masa lalu. Negeri yang pongah dan tak pernah sadar… Bahwa kekerasan, apapun bentuknya, tak akan pernah bisa menjawab masalah. Bahwa deretan mesiu dan senjata yang mereka punya tak akan cukup membutakan mata hati…
Dear All,
Apakah kalian tahu atau pernah dengar tentang film BALIBO yang dilarang
diputar di Indonesia?
Balibo Five, adalah film tentang insiden terbunuhnya 5 wartawan Australia di
Balibo tahun 1975. Pihak Australia, melalui Pengadilan Glebe Coroners NSW
menyatakan bahwa TNI adalah pihak yang membunuh lima wartawan Australia secara
sengaja dan mereka bukan tertembak saat terjadi kontak senjata antara TNI dan
Fretelin.
Lima wartawan Australia yang terbunuh pada insiden Balibo Five adalah Greg
Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters, Malcolm Rennie, dan Gary Cunningham.
Namun lima wartawan tersebut di bunuh untuk menutupi bukti invasi Indonesia
atas Timor Timur. Lembaga Sensor Film (LSF) melarang pemutaran Film tersebut
karena di dalamnya mengandung SARA.
Memang benar film tersebut terlalu provokatif dan belum jelas kebenarannya.
Selain itu banyak keanehan yang terdapat di dalam film tersebut bila
disandingkan dengan LOGIKA.
Contohnya saja, apakah memang benar 5 orang Australia tersebut adalah Wartawan
bukannya intelejen Australia?
Kalau memang wartawan, mengapa indepedensi jurnalistik sebagai pers yang tidak
memihak tak terlihat di dalam peliputan ke 5 Wartawan Australia tersebut.
Mereka terlalu sibuk berada dan memihak di kubu FRETILIN, kubunya Xanana
Gusmao dan Hose Ramos Horta.
Bisa saja Pemerintah Indonesia menuduh mereka melakukan kegiatan mata2 atau
spionase lalu kemudian dibunuh dan mayatnya dibakar beserta pita filmnya.
Adanya pembantaian warga sipil secara sporadic dan tidak mengenal
prikemanusiaan, ditunjukkan di dalam film tersebut.
Bagiku itu adalah hal yang MIRIS. Sebab pembantaian yang ada di film itu tidak
memakai cara2 militeristik lagi. Melainkan cara2 barbar. Tidak melihat dari
benar atau salah, dari tua atau muda, dewasa atau anak2, wanita atau pria,
orang Timor atau orang Australia, semuanya dibantai dengan sadis oleh Kopassus
yang ada di film tersebut.
Bahkan ketika para jurnalis Australia itu berteriak menyerah dan mengangkat
kedua tangannya, mereka masih tetap ditembak mati. Apa benar kejadiannya
seperti itu?
NAMUN FAKTA SEJARAH MEMBENARKAN BAHWA PEMBANTAIAN MASSAL OLEH TNI KERAP
TERJADI DI TIMOR LESTE.
Kasus pembantaian dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur,
memang sudah terjadi sejak 1975 sampai 1999. Kejadian itu bermula dari operasi
militer Indonesia pada 7 Desember 1975 ke wilayah seluas 14.615 kilometer
persegi atau 0,76 persen dari luas Indonesia itu.
“Operasi Seroja adalah sandi untuk invasi Indonesia ke Timor Timur yang
dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Pihak Indonesia menyerbu Timor Timur
karena adanya desakan Amerika Serikat dan Australia yang menginginkan agar
Fretilin yang berpaham komunisme tidak berkuasa di Timor Timur. Selain itu,
serbuan Indonesia ke Timor Timur juga karena adanya kehendak dari sebagian
rakyat Timor Timur yang ingin bersatu dengan Indonesia atas alasan etnik dan
sejarah.
Angkatan Darat Indonesia mulai menyebrangi perbatasan dekat Atambua tanggal 17
Desember 1975 yang menandai awal Operasi Seroja. Sebelumnya, pesawat-pesawat
Angkatan Udara RI sudah kerap menyatroni wilayah Timor Timur dan artileri
Indonesia sudah sering menyapu wilayah Timor Timur. Kontak langsung pasukan
Infantri dengan Fretilin pertama kali terjadi di Suai, 27 Desember 1975.
Pertempuran terdahsyat terjadi di Baucau pada 18-29 September 1976. Walaupun
TNI telah berhasil memasuki Dili pada awal Februari 1976, namun banyak
pertempuran-pertempuran kecil maupun besar yang terjadi di seluruh pelosok
Timor Timur antara Fretilin melawan pasukan TNI. Dalam pertempuran terakhir di
Lospalos 1978, Fretilin mengalami kekalahan telak dan 3.000 pasukannya
menyerah setelah dikepung oleh TNI berhari-hari.
GALERY FOTO GERILYAWAN FRETILIN
Proklamasi Kemerdekaan Timor Leste Nov 1975
Operasi Seroja berakhir sepenuhnya pada tahun 1978 dengan hasil kekalahan
Fretilin dan pengintegrasian Timor Timur ke dalam wilayah NKRI. Selama operasi
ini berlangsung, arus pengungsian warga Timor Timur ke wilayah Indonesia
mencapai angka 100.000 orang. Korban berjatuhan dari pihak militer dan sipil.
Warga sipil banyak digunakan sebagai tameng hidup oleh Fretilin sehingga
korban yang berjatuhan dari sipil pun cukup banyak. Pihak Indonesia juga
dituding sering melakukan pembantaian pada anggota Fretilin yang tertangkap
selama Operasi Seroja berlangsung.
Selama itu FRETILIN membantai lebih dari 60.000 dari kelompok integrasi yg
notabene adalah orang Timor Timur sendiri (ini adalah data resmi dari laporan
PBB).
Lalu muncul juga apa yang dikenal sebagai "masalah Timor Timur", termasuk
pembunuhan masal di Lacluta pada 1981 dan Kraras pada 1983, pembantaian di
pekuburan Santa Cruz, dan puncaknya pada 1999.
Sejumlah kasus yang paling menonjol adalah pembantaian di gereja Liquica,
pembunuhan warga Kailako di Bobonaro, penghadangan rombongan Manuel Gama,
eksekusi penduduk sipil di Bobonaro, dan penyerangan rumah Manuel Carrascalao.
Selain itu juga kerusuhan di Dili, penyerangan Diosis Dili, penyerangan rumah
Uskup Belo, pembakaran rumah penduduk di Maliana, penyerangan kompleks gereja
di Suai, pembunuhan di Polres Maliana dan pembunuhan wartawan Belanda, Sander
Thoenes, serta pembunuhan rombongan rohaniawan di Lospalos.
Satu insiden yang paling terkenal adalah Insiden Santa Cruz
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12
November 1991.
Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap
pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang
ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya.
Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari
Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan
karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah
seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan
Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan
nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana
Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai
menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382
terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga
Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM
berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan
Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam
membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera
berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya
kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh
pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan
melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba
di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In
Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada
Januari 1992.
Saksikan Video tersebut di link di bawah ini.
http://www.youtube.com/watch?v=8NYdGad-0bs&feature=related
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang
keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes
keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis
telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran
yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena
dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia,
dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang
pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye
diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata
menteri luar negeri Gareth Evans, 'suatu penyimpangan'.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah
Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada
1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak
bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.
Kejadian ini kini diperingati sebagai Hari Pemuda oleh negara Timor Leste yang
merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai
salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan
perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.