ketahanan klien metadon dalam menjalani terapi …
TRANSCRIPT
PENELITIAN KUALITATIF DIVISI ADIKSI
KETAHANAN KLIEN METADON DALAM MENJALANI
TERAPI DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH
Penulis:
dr. Novera Pembriyani
Pembimbing:
dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ (K)
Dibawakan Pada Acara Ilmiah
Di Bagian/SMF PsikiatriFK UNUD/RSUP SanglahDenpasar
Desember 2016
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka
monograf Ketahanan Klien Metadon Dalam Menjalani Terapi di PTRM Sandat
RSUP Sanglah, dalam rangkaian tugas PPDS-1 Ilmu Kedokteran Jiwa stase divisi
adiksi dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan monograf ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. A.A Sri Wahyuni, SpKJ, selaku Kepala Bagian/ SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
2. dr. L. N Alit Aryani, SpKJ (K), selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UNUD sekaligus dosen pembimbing yang telah membimbing dan
mendorong saya untuk menyelesaikan tugas ini.
3. dr. Nyoman Hanati, SpKJ (K), selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan-masukan demi kemajuan dan penyelesaian tugas ini.
4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNUD yang telah
membimbing dan memberi masukan dalam penyelesaian tugas adiksi.
5. Seluruh pihak yang bertugas di Klinik PTRM Sandat RSUP Sanglah Denpasar
dan klien-klien metadon, atas bantuannya selama saya menyelesaikan stase
divisi adiksi.
6. Seluruh rekan residen yang tidak sempat saya sebutkan satu-persatu atas
bantuan dan dukungannya secara moral maupun material.
3
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan monograf ini masih jauh dari
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya
penulis mengucapkan terima kasih.
Denpasar, Desember 2016
Novera Pembriyani
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4
BAB II GAMBARAN UMUM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON 8
2.1 Metadon .......................................................................................... 8
2.2 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) .................................. 9
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Klien Metadon … 13
BAB III PROFIL KUNJUNGAN KLIEN METADON DI PTRM SANDAT .. 16
3.1 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Sandat ……………. 16
3.2 Profil Kunjungan Klien Metadon PTRM Sandat …….................. 17
BAB IV ILUSTRASI KASUS ……………………………………………….. 19
BAB V. PEMBAHASAN ……………………………………………………. . 30
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… . 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 43
5
BAB I
PENDAHULUAN
Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) sudah
menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global, yang menimbulkan
dampak buruk bagi fisik, mental, emosional serta sosial bagi penggunanya. Dampak
buruk yang lebih luas, penyalahgunaan zat ini dapat merusak masa depan sebuah
bangsa (Damayanti, 2015; Pratiwi, et al., 2014).
Dampak buruk penggunaan NAPZA menyebabkan: a) Gangguan-gangguan
fisik (berat badan turun drastis, mata cekung dan merah, muka pucat, warna bibir
kehitam-hitaman, tangan dipenuhi bintik-bintik merah, buang air besar dan kecil
kurang lancar, sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas); b) Dampak serius
terhadap kesehatan (HIV (Human Immunodeficiency Virus)/AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome), hepatitis B dan C); c) Perubahan emosi (sangat
sensitif, mudah bosan, sikap membangkang, emosi tidak stabil); d) Timbul perilaku
negatif (malas, sering melupakan tanggung jawab, sikap tidak peduli, menjauh dari
keluarga, mencuri uang di rumah/sekolah/tempat kerja, menggadaikan barang-
barang berharga di rumah, sering menyendiri, manipulatif, sering berbohong dan
ingkar janji); e) Konsekuensi sosial (gangguan mental, anti-sosial dan asusila,
dikucilkan lingkungan, menjadi beban keluarga, pendidikan terganggu, masa depan
suram, dan tersangkut masalah hukum) (Anggreni, 2015; Fareed, et al., 2011; Sun,
et al., 2015).
6
Laporan perkembangan situasi narkoba dunia tahun 2014 menyatakan angka
estimasi pengguna narkoba tahun 2012 adalah 162 juta-324 juta orang (3.5%-7%).
Jenis paling banyak digunakan ganja, opioid, kokain, amfetamin dan kelompok
stimulan lainnya. Sekitar 27 juta orang dengan masalah penggunaan zat, hampir
setengahnya (12.19 juta) mengkonsumsi dengan cara suntik dan estimasi tahun
2013 sekitar 1.65 juta dari populasi pengguna zat dengan suntikan mengidap HIV.
Di Indonesia, jumlah penyalahguna narkoba dalam satu tahun terakhir sekitar 3.1
juta-3.6 juta orang atau setara dengan 1.9% populasi dunia penduduk yang berusia
10-59 tahun pada tahun 2008. Hasil proyeksi angka prevalensi meningkat sekitar
2.6% di tahun 2013 (Damayanti, 2015; UNODC, 2015).
Narkoba dengan cara suntik yang dipakai bersama yaitu heroin, menjadi isu
penting saat ini, karena menjadi jalur pintu masuk penularan berbagai penyakit
menular seperti hepatitis dan HIV/AIDS. Berdasarkan laporan perkembangan
situasi masalah HIV-AIDS Nasional oleh Kemenkes RI sampai dengan September
2014, jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor resiko kelompok pengguna
narkoba suntik (penasun) pada tahun 2013 menempati urutan kedua yaitu sebanyak
8.462 kasus (Kemenkes RI, 2013; Damayanti, 2015; Pratiwi, et al., 2014).
Provinsi Bali sebagai pulau wisata merupakan salah satu provinsi yang rentan
terhadap penyalahgunaan narkoba jenis heroin dan penyebaran HIV/AIDS.
Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali tahun
2009, estimasi jumlah penasun di Provinsi Bali pada tahun 2010 adalah 700 – 800
orang dan pada tahun 2012 adalah 1.959 penasun. Jumlah kumulatif kejadian
HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2014 yang disebabkan faktor
7
resiko kelompok penasun berdasarkan data dari KPA Provinsi Bali adalah 819
kasus. Faktor risiko penularan HIV/AIDS melalui penasun di provinsi Bali
menempati urutan kedua setelah penularan melalui heteroseksual yaitu sebesar
15,2% (Kemenkes RI, 2013).
Besarnya dampak buruk akibat penggunaan narkoba suntik membuat
pemerintah segera mengambil langkah untuk melakukan intervensi, diantaranya
melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). PTRM merupakan terapi
substitusi menggunakan metadon, diperlukan sebagai pendekatan harm reduction
atau pengurangan dampak buruk penularan hepatitis dan HIV/AIDS melalui
narkotik suntik. Metadon adalah opioid agonis sintetik, dipakai untuk detoksifikasi
ketergantungan morfin atau heroin, dengan harapan seseorang tidak kembali pada
ketergantungan heroin dan yang paling penting, mengurangi perilaku beresiko
dengan menggunakan suntikan (RI, 2013). Studi penelitian di Cina nmelaporkan
terapi metadon dapat mengurangi perilaku beresiko menggunakan heroin seperti
mencegah penularan HIV, virus hepatitis B dan C, dan penyakit menular lainnya
dengan mengurangi penggunaan narkotika suntik terkait dengan berbagi jarum
suntik tidak steril (Lambdin, et al., 2014).
PTRM terdapat di berbagai negara termasuk di Indonesia. Data Kemenkes RI
jumlah PTRM di Indonesia sampai tahun 2011 telah mencapai 87 klinik. Layanan
ini tersebar di dua belas (12) provinsi. Secara nasional, layanan PTRM di Indonesia
telah dimanfaatkan rata-rata oleh 2000-an klien metadon aktif setiap harinya
(Kemenkes RI, 2013).
8
Di provinsi Bali terdapat PTRM Sandat, yang berada di Rumah Sakit Umum
Pendidikan (RSUP) Sanglah Denpasar, berdiri sejak tahun 2003. Data lima tahun
terakhir menunjukkan penurunan jumlah klien metadon aktif, dimana pada awal
berdiri tahun 2003 berjumlah kurang lebih 80-an orang, tahun 2004 sampai 2005
naik menjadi kurang lebih 100-an orang, namun data terakhir tahun 2015 dengan
jumlah sekitar 50 orang, menunjukkan adanya penurunan. Terapi rumatan metadon
suatu terapi jangka panjang sehingga perlu pengawasan ketat dari petugas
kesehatan, karena resiko untuk putus terapi atau drop out cukup tinggi. Kepatuhan
klien sangat diperlukan dalam terapi rumatan metadon, agar retensi atau
bertahannya dalam proses terapi cukup tinggi. Secara umum ketidakpatuhan dapat
meningkatkan resiko memperburuk atau memperpanjang sakit yang diderita
(Pratiwi, et al., 2014; Data Tahunan PTRM Sandat RSUP Sanglah).
Tujuan penulisan monograf ini untuk mencari informasi dari berbagai sumber
baik kepustakaan berupa buku teks, jurnal penelitian, review, artikel maupun dari
hasil wawancara, mengenai Ketahanan Klien Metadon Dalam Menjalani Terapi di
PTRM Sandat RSUP Sanglah. Manfaatnya bagi peserta didik, untuk memberi
penyegaran kembali dan menambah pengetahuan mengenai program rumatan
metadon dan faktor-faktor yang mempengaruhi retensi bertahannya mengikuti
terapi metadon. Secara luas, sebagai sumber informasi bagi praktisi kesehatan di
PTRM Sandat RSUP Sanglah, yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
memberikan pendekatan atau penanganan yang lebih optimal dan efektif, bagi klien
metadon di PTRM Sandat RSUP Sanglah.
9
BAB II
GAMBARAN UMUM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON
2.1 Metadon
Metadon merupakan agonis sintetik, obat jadi dalam bentuk sediaan tunggal,
termasuk ke dalam jenis narkotika golongan II. Metadon dibuat pertama kali di
Jerman saat perang dunia kedua, oleh seorang ilmuwan yang telah menemukan
petidin beberapa tahun sebelumnya. Pertama kali dinamakan polamidon, yang
diproduksi selama perang dunia II namun tidak untuk komersial. Perang dunia
berakhir, pabrik pembuat metadon jatuh ke tangan Amerika dan mereka kemudian
melakukan uji klinis pertama kali tahun 1947. Dokter-dokter yang ada saat itu
berpikir metadon merupakan pengembangan painkiller baru, kemudian pada awal
tahun 1950-an diketahui obat ini sulit diaplikasikan untuk pengobatan. Tahun 1964
dr. Marie Nyswander dan Vincent Dole sedang mencari obat-obatan untuk
menolong pengguna heroin di New York saat mereka membaca tentang metadon
dalam literatur medis. Mereka kemudian menemukan bahwa metadon dapat
menolong pasien mereka untuk berhenti menggunakan heroin dengan efek toleransi
yang lambat – dan terapi rumatan metadon pun mulai dikenal. Metadon kemudian
diakui penggunaannya oleh US Food and Drug Administration (FDA) pada tahun
1972 sebagai terapi ketergantungan opioid (Kreek, et al., 2011; Kemenkes RI, 2013;
UNODC, 2015).
Metadon merupakan opiat yang kuat, memiliki 2 kriteria penting sebagai
terapi rumatan yaitu bioavalaibilitas sistemik yang tinggi (>90%) bila diberikan oral
10
dan waktu paruh yang panjang dengan terapi jangka panjang. Metadon digunakan
di bawah pengawasan dokter, untuk terapi pengguna heroin. Mekanisme kerja
farmakologi secara kualitatif mirip dengan morfin dan bisa diberikan aktif baik
secara oral maupun parenteral. Primer bekerja pada reseptor mu (µ) secara agonis
penuh, dengan efek puncak 1 hingga 2 jam setelah diminum. Paruh waktu metadon
umumnya sekitar 24 sampai 36 jam. Efek analgesik akan timbul 30 hingga 60 menit
setelah minum metadon, dengan konsentrasi puncak di otak satu hingga dua jam
setelah minum metadon. Metadon dilepas dari lokasi ikatan ekstra vaskular ke
plasma secara perlahan, sehingga penghentian penggunaan metadon secara
mendadak tidak langsung menimbulkan gejala putus zat. Efek samping penggunaan
metadon adalah sedasi, konstipasi, berkeringat, bisa sampai bengkak pada
persendian dan perubahan libido. Penggunaan metadon pada dosis yang memadai
dapat mencegah atau membalikkan gejala penarikan sehingga dapat mengurangi
kebutuhan untuk menggunakan heroin. Metadon berlaku kurang lebih 24 jam dalam
dosis tunggal di bandingkan 3-4 kali sehari pada pengguna heroin. Metadon dapat
memblok efek euforia heroin, mengurangi penggunaan secara ilegal,
menghilangkan keinginan pengguna untuk mencari heroin terutama jalur suntik
(Kemenkes RI, 2013; Kreek, et al., 2011).
2.2 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)
Program Terapi Rumatan Metadon atau disingkat PTRM adalah rangkaian
kegiatan terapi yang menggunakan metadona (sebagai obat legal), yang dikonsumsi
dengan diminum sebagai pengganti NAPZA yang dikonsumsi dengan cara suntik,
11
disertai dengan intervensi psikososial bagi pasien ketergantungan opioid sesuai
kriteria diagnostik Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa ke-III
(PPDGJ-III) (Kemenkes RI, 2013).
Latar belakang program ini dibentuk berdasarkan adanya angka kejadian
pengidap HIV/AIDS yang diakibatkan pengguna narkotika suntik cukup besar.
Beberapa negara industri dan daerah tertentu di negara berkembang menunjukkan
pengguna narkotika suntik merupakan pemeran utama dalam penularan HIV. Data-
data yang ada membuktikan bahwa penularan melalui penggunaan jarum suntik
tidak steril menjadi penularan utama, dan mungkin hal tersebut akan terus menjadi
pola penularan utama (Lambdin, et al., 2014).
Seiring dengan hal tersebut, muncul pemikiran bahwa sudah saatnya
Indonesia melakukan suatu intervensi dalam mencegah penularan dan
penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok pengguna narkotika suntik (penasun).
Usaha tersebut perlu pengembangan dan perpaduan beberapa pendekatan, yaitu
pengurangan pemasokan (supply reduction), pengurangan permintaan (demand
reduction), dan pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu kegiatan
pendekatan harm reduction adalah terapi substitusi dengan metadon dalam sediaan
cair, dengan cara diminum. Pendekatan ini dikenal sebagai Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM) yang dulunya dikenal dengan Program Rumatan
Metadon (PRM). PRM merupakan salah satu terapi pengganti opiat (Opiate
Replacement Therapy) yang diperlukan bagi pecandu opiat untuk mengendalikan
perilaku ketergantungannya dan juga sebagai salah satu upaya pengurangan
dampak buruk penularan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2013; UNODC, 2015).
12
Program pengurangan dampak buruk (harm reduction) di Indonesia secara
resmi dimulai pada tahun 2004. PTRM ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 350/Menkes/SK/IV/2008 tentang Penetapan Rumah Sakit
Pengampu dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman Program
Terapi Rumatan Metadon. Tujuan pedoman dibentuk untuk menyediakan standar
pedoman pelaksanaan pengurangan dampak buruk NAPZA dan memperluas serta
meningkatkan kualitas pelaksanaan program tersebut. PTRM merupakan program
jangka panjang, dengan dosis individual, artinya setiap klien diberi dosis metadon
sesuai tingkat keparahannya hingga sembuh. Pemakaian dengan cara diminum,
tidak menggunakan jarum suntik (Kemenkes RI, 2013; Pratiwi, et al., 2014).
Data Kementrian Kesehatan RI dari tahun 2006 sampai 2011 menunjukkan
terdapat 87 klinik PTRM yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kepulauan Riau (RSKO, 4 RSJ, 30
RSU, 42 Puskesmas, 10 lapas/rutan). Data kunjungan pasien ke PTRM di Indonesia
sejak tahun 2003-2010 adalah mencapai jumlah 2545 orang (Kemenkes RI, 2013).
Tujuan akhir secara umum yang diharapkan dari PTRM adalah:
1) Mengurangi penggunaan/ketergantungan zat; 2) Mengurangi aktivitas kriminal;
3) Mengurangi mortalitas; 4) Memperbaiki kesehatan fisik dan mental; 5)
Mengurangi perilaku beresiko terhadap dan menularkan HIV, hepatitis; 6)
Memperbaiki fungsi sosial dan kualitas hidup; 7) Menjaga kehamilan dan proses
melahirkan; 8) Retensi terapi (Jamieson, et al., 2002).
13
Salah satu studi systematic literature review dari PubMed database
melaporkan dari kumpulan 16 artikel, tujuh studi melaporkan dengan PTRM dapat
mengurangi craving terhadap heroin, empat studi melaporkan klien di PTRM masih
beresiko mengalami craving terhadap heroin, satu studi melaporkan metadon dapat
meningkatkan craving heroin, dan sisanya empat studi memiliki efek netral
terhadap craving heroin. Studi lain di Cina menunjukkan delapan pilot project
klinik PTRM melaporkan hasil yang sesuai dengan fungsi penting dari PTRM yaitu
adanya perbaikan fungsi sosial secara signifikan pada klien-klien rumatan metadon
baik pada pekerjaan (dari 22.9% menjadi 40.6%), perbaikan keharmonisan keluarga
(dari 49.6% menjadi 65.8%), kriminal menurun (dari 20.7% menjadi 3.8%). Efek
PTRM juga dilaporkan serupa di negara lain seperti Malaysia dan Inggris, sejauh
ini memberikan hasil positif (Fareed, et al., 2011; Sun, et al., 2015).
Semua intervensi yang diberikan pada PTRM dengan tujuan klien metadon
sembuh. Definisi sembuh adalah suatu proses perubahan melalui perbaikan
kesehatan individual dan berusaha untuk mencapai kembali potensinya secara
penuh. Terdapat 4 dimensi utama kesembuhan, yaitu:
Kesehatan – menanggulangi salah satu penyakit atau gejala-contohnya, pada
pecandu zat terlarang perlu menjauhkan diri dari penggunaan alkohol, zat
terlarang, dan medikasi yang harus dengan resep dokter-dan, setiap orang yang
sembuh, memberikan informasi bahwa memilih hidup sehat akan membuat fisik
baik dan perasaan bahagia (tidak lagi menggunakan zat/abstinence).
Rumah-memiliki tempat tinggal yang stabil dan aman.
14
Tujuan-melakukan aktivitas sehari-hari yang bermanfaat, seperti pekerjaan,
sekolah, menjaga keluarga, kreatif, dan mandiri, menghasilkan, dan
berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial (perbaikan Quality of Life (QOL)).
Komunitas-memiliki hubungan dan jaringan sosial yang menyediakan
dukungan, persahabatan, cinta dan harapan (Laudet, 2007).
Sembuh dicapai melalui terapi klinis berbasis bukti (misal terapi metadon pada
pecandu heroin) dan dukungan pelayanan kesembuhan untuk semua populasi (misal
Program Rumatan Metadon). Sembuh pada ketergantungan zat menurut para ahli
adalah abstinence secara total baik pada penggunaan alkohol dan semua obat
terlarang (Laudet, 2007).
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Klien Metadon
Terapi metadon membutuhkan kesungguhan dalam menjalaninya, misalnya
harus diminum tiap hari di depan petugas. Kenyatannya masih banyak klien
metadon yang tidak patuh dalam menjalani terapi (Pratiwi, 2014).
Kepatuhan merupakan kata kunci dalam suatu proses terapi, agar proses
terapi bisa terus berlanjut sesuai dengan manajemen perawatannya sampai selesai.
Proses ini membutuhkan partisipasi aktif dari pasien. Definisi kepatuhan secara
singkat menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana
pasien mengikuti intruksi medis, dalam lingkup terapi jangka panjang, lebih luas
lagi, kepatuhan adalah suatu keadaan dimana perilaku seseorang – melakukan
terapi, mengikuti diet, dan/atau melakukan perubahan gaya hidup, menyetujui
rekomendasi dari penyedia perawatan (WHO, 2003).
15
Studi-studi penelitian sebelumnya telah melaporkan kepatuhan klien dalam
mengikuti PRM dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
a) Faktor klien yaitu motivasi mengikuti PTRM, terbagi menjadi dua yaitu faktor
internal dan eksternal
Faktor Internal : keinginan untuk sembuh dari ketergantungan narkoba, hidup
lebih baik dan lebih produktif, bisa melanjutkan studi, takut terkena penyakit
menular seperti HIV dan hepatitis, takut tertangkap polisi.
Faktor eksternal : faktor keuangan dan lingkungan sosial.
b) Faktor program berupa kemudahan prosedur mengikuti PTRM, tingkat kepuasan
terhadap petugas kesehatan dan PTRM, kemudahan mengakses lokasi PTRM,
dan sikap petugas PTRM.
c) Faktor sosial berupa dukungan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan
(Fathollahi, et al., 2015; Budiyani & Mahkota, 2013).
Efek dari tingkat kepatuhan yang tinggi akan memberikan angka retensi terapi
cukup tinggi. Retensi terapi adalah bertahannya klien/pasien dalam proses terapi,
merupakan kunci utama dalam menghasilkan outcome terapi yang positif. Fokus
terhadap retensi terapi merupakan faktor penting pada PTRM. Studi-studi
pendahuluan tentang retensi terapi menyatakan retensi lama dalam terapi metadon
berhubungan dengan perbaikan pasca terapi meliputi berkurangnya penggunaan zat
dan aktivitas kriminal serta perbaikan kualitas hidup (pekerjaan, sekolah, memiliki
tempat tinggal). Efek timbal baliknya adalah retensi terapi lebih banyak berhasil
pada pasien penyalahgunaan zat dengan terapi metadon, dimana setelah 3 bulan
adalah 68%, dibandingkan pasien rawat jalan hanya dengan konseling tanpa terapi
16
metadon, yaitu sekitar 36% atau program rawat inap tanpa terapi metadon berkisar
45% (Jamieson, et al., 2002).
BAB III
PROFIL KUNJUNGAN KLIEN METADON PTRM SANDAT
17
3.1 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Sandat
PTRM Sandat berada di Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) Sanglah.
PRM ini merupakan salah satu dari 2 rumah sakit yang merupakan pilot project,
kerjasama antara World Health Organization (WHO) dengan pemerintah
Indonesia. Uji coba ini berkaitan dengan harm reduction, resmi dimulai di RS
Sanglah pada tanggal 17 Februari 2003 dan mampu bertahan hingga saat ini. PTRM
Sandat awalnya berada di jalan Pulau Aru, sejak tahun 2014 pindah ke dalam area
RSUP Sanglah. Kepala ruang metadon saat itu adalah Ns. Gde Suarta Putra M,
SKep, dengan 2 orang psikiater yaitu dr. Nyoman Hanati, SpKJ (K) dan dr. Wayan
Westa, SpKJ (K). Seiring meningkatnya jumlah klien yang ingin menjalani terapi
substitusi metadon, maka dibangunlah klinik satelit pelayanan metadon, salah
satunya di Puskesmas Kuta 1 (Kemenkes RI, 2013).
PTRM Puskesmas Kuta 1 berdiri sejak 5 September 2006, hingga saat ini
memiliki 28 klien yang aktif memperoleh terapi substitusi metadon, sedangkan
klien yang teregistrasi dari awal berdiri sebanyak 369 orang. Berdasarkan Laporan
Pemetaan dan Estimasi Langsung Penasun Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh KPA
Kabupaten Badung, jumlah penasun yang mengikuti program terapi rumatan
metadon di PTRM Puskesmas Kuta I sebesar 15,25% dari jumlah penasun di
Kabupaten Badung. Unit ini seperti di PTRM Sanglah, memberikan pelayanan
terapi substitusi metadon bagi klien yang menggunakan heroin suntik. PTRM Kuta
I dipilih karena mudahnya akses bagi para klien yang kebanyakan bekerja dan
bermukim di daerah Kuta sehingga akses mudah untuk mendapatkan terapi
18
metadon. Kondisi ini secara otomatis akan meningkatkan kepatuhan dalam
menjalani terapi metadon.
3.2 Profil Kunjungan Klien Metadon PTRM Sandat
Sejak awal dibentuk, jumlah kunjungan klien metadon aktif ke PTRM Sandat
berjumlah kurang lebih 80-an orang, kemudian meningkat pada tahun 2004, stabil
sampai tahun 2006. Tahun 2007 menurun cukup signifikan, kemudian menurun lagi
angkanya pada 2012 dan 2014, menetap sampai tahun 2015. Data penurunan jumlah
kunjungan klien metadon terlihat pada grafik 3.1 di bawah ini dan jumlah klien
metadon aktif di PTRM Sandat dalam 5 tahun terakhir, terlihat dalam grafik 3.2.
3.1 Grafik Jumlah Kunjungan Klien Metadon PTRM Sandat 5 Tahun Terakhir
Sumber Data Tahunan PTRM Sandat RSUP Sanglah
3.2 Grafik Jumlah Klien Metadon Aktif PTRM Sandat dalam 5 Tahun Terakhir
0
5000
10000
15000
2011 2012 2013 2014 2015
Tahun
14985
11752
9269 8852 9053
Jumlah Kunjungan Klien Metadon PTRM Sandat 5 Tahun Terakhir
Jumlah kunjungan klien metadon
19
Sumber Data Tahunan PTRM Sandat RSUP Sanglah
Profil klien metadon PTRM Sandat secara kuantitatif dalam 5 tahun terakhir
terlihat seperti tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1 Profil Klien Metadon PTRM Sandat dalam 5 Tahun Terakhir
2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah
Kunjungan baru 72 43 44 49 37 236
Klien metadon aktif 70 54 56 50 50 280
Drop Out (DO) 29 25 10 12 6 82
Pulih 4 5 1 4 3 17
Rujuk ke layanan
metadon lain
57 32 48 45 47 229
Meninggal 3 1 1 2 0 7
Pindah program Subutek 0 1 1 2 1 5
235 161 161 164 144 865
Sumber Data Tahunan PTRM Sandat RSUP Sanglah
2011 2012 2013 2014 2015
Tahun
70
54 5650 50
Jumlah Klien Metadon Aktif PTRM Sandat 5 Tahun Terakhir
Jumlah Klien Metadon Aktif
20
BAB IV
ILUSTRASI KASUS
Subyek pada ilustrasi kasus adalah dua orang klien metadon aktif yang rutin
kontrol di Poliklinik Metadon RSUP Sanglah dan satu orang petugas kesehatan
yang sudah lama bertugas di PTRM Sandat RSUP Sanglah, yang bersedia
diwawancara. Kegiatan wawancara dilakukan di Poliklinik Metadon RSUP
Sanglah, selama kurang lebih tiga minggu (akhir bulan Oktober-bulan November
2016). Isi wawancara berhubungan dengan terapi metadon yang dijalani, kendala,
pengetahuan dan harapan ke depan.
I. Klien metadon PTRM Sandat
Subyek I
Tn MS, 43 tahun, alamat rumah di daerah Denpasar Utara, lulusan SMP,
belum menikah, dan saat ini tidak bekerja. Merupakan anak ketiga dari 3
bersaudara, namun memiliki saudara angkat 2 orang. Klien diwawancara posisi
duduk berhadapan di poliklinik metadon RSUP Sanglah. Klien menggunakan baju
kaos oblong putih dengan celana kain warna hitam setinggi lutut, menggunakan
kalung perak cukup besar, memakai gelang-gelang perak di lengan kanan dan kiri,
dan cincin besar di beberapa jari tangan. Membawa tas kulit coklat dengan posisi
diselempang arah kanan ke kiri. Rambut tersisir rapi dan beberapa gigi terlihat
tanggal. Klien mengatakan sangat bersedia diwawancara setelah dijelaskan maksud
dan tujuan wawancara ini.
21
Mengatakan perasaannya hari ini baik, tidak ada gangguan tidur dan nafsu
makan, sehari-hari lebih banyak di rumah, atau berkumpul dengan teman-
temannya. Klien saat ini tidak bekerja karena masih merasa trauma akan pendapat
orang lain terhadap masa lalunya, namun keinginan untuk bekerja masih ada. Klien
kemudian menceritakan pertama kali terapi metadon di PTRM Sandat tahun 2005,
diantar oleh seorang teman yang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia
datang atas keinginan sendiri karena niat ingin sembuh dari ketergantungan obat,
namun sebelumnya sudah mendapat informasi dari temannya tentang terapi
metadon ini. Klien mengakui sejak tahun 1990-an, mulai menggunakan obat-obatan
terlarang seperti pil koplo, magadon, dan lain-lain, yang diberikan oleh temannya,
kemudian mulai mencoba heroin suntik juga. Klien mengakui sejak saat itu sulit
melepas kebiasaan memakai obat-obatan tersebut. Klien juga mengatakan sempat
menjadi pemasok obat-obatan saat di Jakarta selama 3 tahun (1990-1993).
Terapi awal di PTRM Sandat menggunakan subutek, disarankan dokter untuk
oral, namun klien tetap menggunakan dengan cara suntik karena merasa sulit lepas
dari suntikan. Tiga bulan kemudian tes HIV atas saran dokter, hasilnya positif,
namun klien tidak mempercayai hasilnya, 3 bulan kemudian tes ulang lagi dan
hasilnya tetap positif. Klien mengatakan sulit menerima saat itu, sehingga semakin
sering dan kuat memakai subutek, kemudian kembali memakai heroin. Klien terapi
dengan subutek selama 1.5 tahun, dan seluruh badan penuh bekas suntikan sehingga
hampir tidak ada tempat lagi untuk tempat suntikan. Klien mengakui pernah
overdosis heroin tahun 1997. Klien pernah menjalani detoksifikasi di RS Sanglah
dengan seorang psikiater, dirawat 10 hari, namun setelah keluar, klien mengakui
22
memakai heroin lagi, mengakui sulit untuk berhenti. Tahun 2000, klien ditangkap
dan ditahan, selama 5 bulan clear tidak memakai obat-obatan, kemudian keluar dari
lembaga pemasyarakatan (lapas), namun relapse lagi. Tahun 2002, klien ditangkap
lagi selama 1 tahun. Klien sempat bekerja setelah keluar dari lapas, dibantu teman
untuk membuka bengkel variasi kendaraan, bertahan selama 2 tahun dan maju,
namun kemudian berhenti karena klien merasa difitnah dan ada pandangan buruk
terhadap latar belakangnya sebagai pecandu.
Tahun 2005 pertengahan, klien mulai memutuskan ikut terapi metadon dan
tahun 2010 mulai mendapat terapi ARV. Klien mengakui tetap memakai obat-
obatan selama terapi metadon, karena tidak bisa menolak tawaran teman, mengakui
beberapa kali relapse dengan mengkonsumsi putaw dan “boti” (obat-obatan bentuk
tablet bukan serbuk). Klien mengakui sampai saat ini masih sering ada keinginan
memakai heroin dan banyak teman yang menawarkan, namun memiliki rasa takut
yang lebih besar karena ia mengetahui dampak buruknya dan berpikir dulu bila
ingin memakai heroin lagi. Klien saat ini masih mengkonsumsi “boti” kadang-
kadang untuk membantu bila tidak bisa tidur. Terapi metadon saat ini 50 mg pagi
dan 100 mg malam disertai clozapin 100 mg malam. Klien mengatakan alasan
mendapat clozapin karena menurut dokter, masih ada sugesti kuat memakai heroin
lagi dan adanya toleransi terhadap pemakaian “boti”, dimana klien selalu ada
keinginan menaikkan dosis setiap kali pemakaian.
Klien mengatakan tidak pernah putus terapi metadon, namun mengakui
beberapa kali keinginan berhenti terapi metadon muncul, karena beberapa alasan.
1) Sering merasa jenuh. Klien memulai terapi metadon sejak tahun 2005, dengan
23
dosis awal kecil. Klien kemudian mulai mendapat terapi ARV tahun 2010. Saat
mendapat terapi ARV, dosis metadon dinaikkan menjadi 150 mg dan bertahan
sampai saat ini. Klien mengatakan terapi metadon dan terapi ARV secara
bersamaan membuat proses terapi menjadi lebih lama, karena obat metadonnya
“kalah” oleh ARV, sehingga dosis metadon dinaikkan, otomatis turun dosis
metadon perlu waktu lama. Perjalanan terapi yang lama ini yang membuat klien
sering jenuh. Alasan lain klien merasa jenuh adalah sudah tidak pernah ada lagi
kegiatan yang dilakukan bersama seperti Tirtayatra dan sebagainya, seperti yang
pernah dilakukan dulu.
2) Jarak yang cukup jauh dari rumah ke lokasi PTRM. Klien berangkat menuju
PTRM Sandat memakai kendaraan roda dua, dan memerlukan bensin, hal ini pun
cukup menjadi kendala karena klien tidak memiliki pekerjaan, sehingga
mengeluarkan uang untuk keperluan setiap hari menuju PTRM Sandat dirasa cukup
menjadi beban.
3) Jumlah teman di PTRM Sandat yang sama-sama mengikuti terapi metadon mulai
berkurang. Klien mengatakan beberapa alasan yang diketahuinya seperti
kemungkinan ada yang ditangkap karena merupakan pecandu atau pengedar,
namun klien tidak mengungkapkan lebih lanjut mengenai teman-teman yang
ditangkap dan ditahan.
4) Ada yang beralih ke minuman alkohol dan zat lain misalnya sabu-sabu, atau zat
lain yang saat ini dikenal dengan tembakau gorila (ganja sisntetis) serta “boti”
(semua obat berbentuk tablet/pil bukan bentuk serbuk). Khusus “boti” mudah
didapat, harga tidak jauh berbeda, namun tidak perlu memakai banyak karena hanya
24
untuk meningkatkan stamina atau saat tidak bisa tidur. Klien mengatakan
kemungkinan alasan lain beralih memakai zat lain, dosis terapi metadon rendah,
sehingga dirasakan tidak cukup untuk mengatasi gejala putus zat.
5) Tempat dirasa kurang nyaman untuk berkumpul bersama teman dan terasa panas.
Klien mengatakan bila dibandingkan dengan lokasi PTRM yang lama jauh berbeda.
Klien merasa lebih nyaman di tempat yang lama, selain halamannya lebih luas,
terasa lebih sejuk, dan di lokasi lama mereka bisa sama-sama bermain tenis meja.
6) Teman yang tidak datang tanpa alasan dan tidak bisa dihubungi lagi juga ada,
dan klien tidak mengetahui lagi keberadaannya.
Klien mengatakan tidak ada masalah dengan dukungan keluarga, dimana
ayah, kakak dan adiknya memberi dukungan 100%, terutama setelah klien memulai
terapi ARV. Dukungan yang diberikan berupa nasihat, dorongan dan finansial
(makan, tempat tinggal dan uang), sehingga menurut klien dirinya bisa berhasil
mengikuti terapi sampai saat ini. Klien menceritakan pada awalnya keluarga tidak
memperdulikan dirinya mengikuti terapi metadon, hanya memberikan dukungan
seadanya. Mereka sudah terlanjur memberi “cap” jelek pada dirinya terutama
keluarga besar. Klien sering bertengkar dengan ayahnya karena masalah dirinya
yang seorang pecandu, sehingga memerlukan waktu lama untuk membuat ayahnya
mempercayai dirinya lagi. Keluarga akhirnya mulai perduli ketika dirinya
menceritakan bahwa dirinya terkena HIV sehingga perlu mendapat terapi ARV.
Terapi ini membutuhkan dana sehingga klien memohon bantuan saudara-
saudaranya, dan akhirnya mereka mulai memberikan perhatian dan dukungan
kepada klien, sampai saat ini.
25
Dukungan dari teman-teman yang sering kumpul bersama di PTRM Sandat
juga dirasa sangat membantu, Biasanya dalam bentuk memberi masukan dan saran,
juga tempat berkeluh kesah, dan membantu menghilangkan perasaan jenuh.
Harapan klien saat ini menjaga supaya bisa clean terus dan tidak lagi relapse.
Saran untuk PTRM Sandat agar kembali seperti saat di PTRM Sandat bangunan
lama, dimana: 1) Klien sebelum dan sesudah minum obat metadon, diberikan
konseling terlebih dahulu. Misalnya menanyakan bagaimana kondisi saat ini,
bagaimana dengan pola makan dan tidurnya, apakah ada masalah saat ini? Klien
merasa dengan diberikan konseling mereka diperhatikan, sehingga bisa menjadi
salah satu cara membantu klien untuk mengurangi pemakaian obat-obatan lain. 2)
Klinik meluangkan waktu untuk mengadakan kegiatan santai bersama, sehingga
klien-klien metadon yang tersisa bersemangat dan termotivasi untuk terus
menjalani terapi.
Klien cukup puas dengan pelayanan petugasnya, ramah dan sabar, namun
diharapkan bisa memberikan konseling lebih sering, terutama saat klien dalam
keadaan “mumet”.
Subyek II
Tuan RST, 26 tahun, tinggal di daerah sesetan, pendidikan terakhir SMA,
belum menikah, saat ini berstatus sebagai mahasiswa karena sedang kuliah di Unud,
belum bekerja. Klien saat ini tinggal di kos, bersama pacarnya dengan status belum
menikah, sudah memiliki satu orang putri berusia 7 bulan. Klien diwawancara
posisi duduk berhadapan, mengenakan kaos oblong putih ditutupi jaket coklat,
26
mengenakan celana panjang bahan “jeans” warna biru muda, mengenakan alas
kaki. Rambut rapi, tampak diikat satu di bagian atas. Mengatakan datang untuk
kontrol rutin minum obat metadon dengan dosis 14 mg pagi dan minta resep obat
dumolid 5 mg malam. Klien mengatakan tidak ada keluhan saat ini, tidur cukup,
nafsu makan baik, aktivitas perkuliahan berjalan lancar, dan tidak ada masalah
gangguan fisik.
Klien menceritakan pertama kali mengikuti terapi metadon saat menjalani
rehabilitasi di lapas Jakarta, sekitar 2.5 tahun yang lalu, dengan dosis awal 60 mg
terbagi. Ia sempat berhenti terapi metadon selama ± 2 bulan karena kedua orang
tuanya tidak setuju dirinya menjalani terapi metadon. Orang tua klien memahami
bahwa terapi metadon sama dengan menggunakan obat terlarang, menurut mereka
metadon adalah narkotika golongan heroin sintetis. Klien kemudian disuruh
detoksifikasi saja, menurut mereka detoksifikasi lebih aman, tanpa harus
menggunakan narkotika lagi. Detoksifikasi rawat inap 1 kali tahun 2013 dan rawat
jalan 2 kali tahun 2014, keduanya di Jakarta. Saat menjalani proses detoksifikasi,
klien mengaku tidak tahan karena saat prosesnya tidak diberikan obat pengganti
sehingga ingin memakai narkotika lagi. Klien kemudian memakai obat golongan
lain yaitu alprazolam.
Riwayat memakai heroin sejak tahun 2008 selama 2 tahun hanya dihisap
melalui hidung, setelah itu menggunakan suntikan karena lebih irit namun gejala
“sakaw” terasa lebih berat. Klien pernah ditangkap 3 kali karena pemakaian heroin
dan sabu, pertama tahun 2009 namun tidak ditahan, kedua tahun 2011 kembali
lolos, dan ketiga pada bulan Oktober 2013 ditangkap dan ditahan selama 3 bulan,
27
setelah itu diputuskan menjalani rehabilitasi di Bogor. Rehabilitasi saat itu hanya
dijalani selama 22 hari saja, karena biaya yang sangat mahal.
Klien pernah mencoba melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di
Jakarta, namun tidak diterima, diberi saran melanjutkan kuliah di Universitas
Udayana Denpasar. Klien kemudian ke Bali, dan memulai perkuliahan tahun 2014.
Di Bali, klien kembali melanjutkan terapi metadon di PTRM Sandat RS Sanglah
tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, dengan dosis awal 20 mg, naik bertahap,
sampai dosis puncak 50 mg. Dosis mulai diturunkan mulai bulan Maret 2015,
bertahap sampai sekarang, dan saat ini sudah turun dosis menjadi 14 mg. Kedua
orang tua klien saat ini sudah mengetahui klien menjalani terapi metadon lagi. Klien
mengalami “relaps” lagi tahun 2015 sekitar 3 sampai 4 kali, kembali memakai
heroin karena sulit melawan keinginan kuat untuk memakai lagi.
Kedua orang tua klien selalu menghubungi dokter yang bertugas di PTRM
Sandat yaitu dr. L untuk mengetahui kemajuan terapi anaknya, serta meminta agar
dosis metadon mulai diturunkan bertahap. Kedua orang tuanya ingin klien cepat
menyelesaikan proses terapi dengan metadon, sehingga klien saat ini sampai pada
dosis 14 mg.
Klien mengakui terapi saat ini tidak hanya metadon saja, namun juga minum
obat dumolid 5 mg malam hari. Ia mengakui mulai minum obat golongan
benzodiazepin sejak ± 3 tahun terakhir sejak klien berhenti memakai putaw, dimana
klien mengalami gangguan tidur, sehingga mencari obat lain untuk membantu
keluhan gangguan tidurnya. Klien mengakui mengkonsumsi alprazolam 1 mg yang
dibeli sendiri di apotik tanpa sepengetahuan petugas kesehatan di PTRM Sandat,
28
dan baru mengakui secara jujur dengan dokter di PTRM Sandat pada bulan
September 2014, sehingga diberikan obat clobazam 10 mg malam dan alprazolam
1 mg bila tetap tidak bisa tidur. Klien mengatakan bila tidak minum alprazolam
merasa gelisah, gemetar, merasa cemas dan tidak bisa tidur. Klien saat ini mulai
mencoba mengurangi dosis obat dumolid yang diminum dan tidak ada keluhan.
Klien mengatakan sampai saat ini masih bertahan untuk mengikuti terapi
walaupun ada perasaan jenuh karena datang setiap hari ke klinik ini. Dukungan
paling besar yang membuat klien bertahan adalah berasal dari pasangan hidupnya
dan seorang putri berusia 7 bulan. Kedua orang tua serta kakak dan adiknya sangat
mendukung namun klien mengeluh mereka lebih sering mengkritik dan mengingat-
ingat kesalahannya, sehingga sering membuat klien merasa tidak nyaman. Ia
mengatakan setiap dirinya relapse orang tuanya selalu memarahi dan menyalahkan
dirinya, dan menyalahkan terapi metadon yang dijalani klien membuat dirinya
selalu “ketagihan”. Dukungan dari beberapa teman cukup membantu, biasanya
mereka akan memberi nasihat dan saran sekaligus tempat bercerita. Klien mengakui
teman-teman dan dosen di kampusnya mengetahui dirinya saat ini menjalani terapi
untuk ketergantungan dan mereka sangat mendukung, walaupun ada beberapa
teman yang seperti tidak menyukai dirinya.
Klien mengatakan tidak mengetahui pasti apakah memang jumlah klien
metadon aktif di PTRM Sandat menurun, namun dari beberapa informasi yang
didapat, jumlah klien metadon sekarang tidak sebanyak sebelumnya. Beberapa
faktor yang menjadi penyebabnya paling banyak adalah karena relapse, saat relapse
mereka akan mencari zat lain seperti “boti”, sabu-sabu, rokok gorila, alkohol dan
29
lain-lain, yang mudah didapat dan kebanyakan akan mempengaruhi motivasi untuk
datang ke PTRM. Klien mengatakan cukup puas dengan pelayanan yang diberikan
di PTRM Sandat. Petugasnya ramah dan sabar.
Harapannya saat ini, ingin cepat menyelesaikan program terapi metadon,
sehingga bisa kembali fokus menyelesaikan kuliah, bekerja dan segera menikahi
pacarnya. Klien juga berharap dirinya bisa benar-benar lepas dari ketergantungan
obat.
Petugas kesehatan di PTRM Sandat
Tn. KT, 47 thn, beralamat di Tabanan, pendidikan terakhir D3 keperawatan,
menikah dan telah memiliki 2 orang anak. Tn. KT saat ini bekerja sebagai PNS di
RSUP Sanglah sejak tahun 1992, awalnya bertugas di ruang Nusa Indah dan sejak
tahun 2009 dipindahtugaskan ke PTRM Sandat yang berada di jalan Pulau Aru.
Kepala ruang metadon saat itu adalah Ns. DKA, Skp., dengan 2 orang psikiater
yaitu dr. NH, SpKJ (K) dan dr. WW, SpKJ (K), serta 3 orang perawat.
Tn. KT mengatakan saat mulai bertugas di PTRM Sandat, jumlah klien
metadon aktif saat itu cukup banyak, namun beliau lupa jumlah pasti, beliau minta
pewawancara untuk melihat data tahunan PTRM Sandat mengenai jumlah klien
metadon sejak tahun 2003. Klien-klien metadon yang cukup banyak saat itu
membentuk IKLIM (Ikatan Klien Metadon), dimana kegiatannya antara lain
pertemuan-pertemuan, Tirtayatra, dan lain-lain. PTRM Sandat pun saat itu
beberapa kali mendapat kunjungan tamu baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
30
Tn. KM mengakui beberapa tahun terakhir, kunjungan klien metadon aktif
berkurang. Menurutnya ada beberapa alasan: a) Beberapa klien ditangkap dan
dipenjara di lembaga pemasyarakatan sehingga tidak pernah datang lagi ke PTRM
Sandat; b) Beberapa klien mengejar target untuk cepat selesai terapi metadon,
sehingga memaksa untuk menurunkan dosis metadon dengan cepat, sehingga cepat
selesai proses terapi, setelah itu tidak diketahui lagi keberadaan dan kondisinya; c)
Beberapa klien selama masa terapi menggunakan zat lain atau beralih
menggunakan jenis zat lain terutama sabu-sabu dan golongan benzodiazepin; d)
Masalah keuangan (Tn. KM mengistilahkan dengan uang saku), terutama pada
klien dengan terapi ARV pengeluaran uang menjadi ganda, sehingga Tn. KM
berasumsi, masalah dana bisa menjadi salah satu alasan beberapa klien yang tidak
datang lagi ke PTRM Sandat tanpa alasan jelas; e) Beberapa klien dirujuk kembali
ke daerah atau negara asal.
Tn. KM mengungkapkan kendala yang bisa timbul dalam menghadapi klien
metadon adalah menghadapi perilaku mereka yang mudah marah, sehingga sangat
diperlukan kesabaran dan kewaspadaan dalam menghadapinya.
31
BAB V
PEMBAHASAN
Wawancara yang dilakukan terhadap kedua klien metadon aktif dan seorang
petugas kesehatan poliklinik Metadon PTRM Sandat RSUP Sanglah menghasilkan
beberapa pernyataan mengenai beberapa alasan tentang profil kunjungan klien
metadon aktif di PTRM Sandat.
Pernyataan dari klien metadon I dalam wawancaranya menyatakan beberapa
hal, antara lain : a) Sering merasa jenuh; b) Jarak yang cukup jauh dari rumah ke
lokasi PTRM; c) Jumlah teman di PTRM Sandat yang sama-sama mengikuti terapi
32
metadon mulai berkurang; d) Mengakui kadang-kadang masih mengkonsumsi
“boti” (semua obat berbentuk tablet/pil bukan bentuk serbuk), hanya bila tidak bisa
tidur; e) Teman yang tidak datang tanpa alasan dan tidak bisa dihubungi lagi serta
tidak diketahui keberadaannya, kemungkinan relapse beralih ke zat terlarang
lainnya seperti “boti”, minuman alkohol, sabu-sabu, atau zat lain yang saat ini
dikenal dengan tembakau gorila (ganja sintetis); f) Tempat dirasa kurang nyaman
untuk berkumpul dan terasa panas; g) Tidak ada masalah dengan dukungan
keluarga, mereka sangat mendukung; h) Dukungan dari teman terutama sesama
klien metadon di PTRM Sandat dirasa cukup dan sangat membantu; i) Klien
memiliki harapan kuat untuk sembuh; j) Saran untuk PTRM Sandat agar sebelum
dan sesudah minum obat metadon diberikan konseling terlebih dahulu dan PTRM
meluangkan waktu untuk mengadakan kegiatan santai bersama.
Hasil wawancara dengan klien kedua: a) Klien merasa jenuh; b) Dukungan
paling besar dari pasangan hidup dan anak; c) Dukungan keluarga cukup namun
pengetahuan keluarga kurang; d) Dukungan teman cukup; e) Klien relapse dengan
mencari zat lain seperti “boti”, sabu-sabu, rokok gorila, alkohol dan lain-lain; f)
Klien cukup puas dengan pelayanan PTRM Sandat, petugas kesehatannya ramah
dan sabar; g) Harapan ingin cepat menyelesaikan program terapi metadon dan lepas
dari ketergantungan obat.
Pernyataan dalam wawancara dengan petugas kesehatan menyatakan : a) Ada
klien ditangkap dan dipenjara sehingga tidak pernah datang lagi ke PTRM Sandat;
b) Beberapa klien mengejar target cepat selesai terapi metadon, meminta
menurunkan dosis metadon dengan cepat; c) Beberapa klien menggunakan zat lain
33
atau beralih ke zat lain (sabu-sabu, golongan benzodiazepin); d) Masalah keuangan
(uang saku), terutama klien dengan terapi ARV pengeluaran uang menjadi ganda;
e) Beberapa klien dirujuk kembali ke daerah atau negara asal; f) Kendala dalam
menghadapi klien metadon adalah menghadapi perilaku mereka yang mudah marah,
sehingga sangat diperlukan kesabaran dan kewaspadaan dalam menghadapinya.
Semua pernyataan tersebut sesuai dengan teori yang sudah disebutkan
sebelumnya, dimana terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan retensi
terapi klien dalam mengikuti terapi rumatan metadon, yaitu faktor individual, faktor
program dan faktor sosial.
I. Faktor klien/individual terbagi dua yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal :
Motivasi: klien merasa jenuh karena proses terapi yang panjang.
Kedua klien mengatakan dalam wawancarnya sering merasa jenuh selama mengikuti
terapi metadon, karena proses terapi yang lama.
Perilaku penggunaan zat: saat relapse terjadi perubahan trend dalam
pemilihan penyalahgunaan zat sedikit/tidak memakai heroin atau putaw lagi.
Kedua klien mengakui bahwa selama terapi metadon kadang-kadang masih
menggunakan zat lain yaitu “boti”, hanya bila tidak bisa tidur.
Mereka juga menyatakan teman-teman sesama klien metadon berkurang
kemungkinan karena relapse dan memilih menggunakan zat lain selain heroin
maupun putaw, seperti sabu-sabu, alkohol, ganja sintetis (rokok gorila).
Aktivitas kriminal/riwayat: klien terkena masalah hukum terkait
penyalahgunaan zat.
34
Petugas kesehatan dalam wawancaranya mengatakan ada beberapa klien yang
tertangkap dan masuk penjara sehingga tidak datang lagi ke PTRM Sandat.
Beberapa diketahui dengan pasti, namun beberapa yang lain tidak ada
informasi.
Asal: klien dirujuk kembali ke daerah atau negara tempat asalnya berada.
Petugas kesehatan mengatakan cukup banyak jumlah kunjungan ke metadon
berasal dari kota atau negara lain. Mereka biasanya datang untuk berlibur,
sehingga saat melakukan penyalahgunaan zat dan datang ke PTRM Sandat,
kemudian akan dirujuk kembali ke daerah asalnya.
Faktor eksternal :
Dana/keuangan.
Kedua klien menyatakan masih belum bekerja dan sampai saat ini masih
didukung secara finasial oleh keluarganya. Klien pertama menyatakan,
ketergantungan dana ini membuat dirinya malu menjadi beban keluarganya.
Tempat/lokasi kurang nyaman.
Klien pertama mengatakan lokasi PTRM sekarang berbeda dengan lokasi
PTRM pertama kali di jalan Pulau Aru, dimana terasa sempit dan panas,
sedangkn klien kedua tidak merasa adanya masalah dengan lokasi PTRM
yang sekarang.
II. Faktor program
Fleksibilitas kurang terutama dalam hal dosis bawa pulang.
35
Klien kedua mengatakan terkadang bila diperlukan untuk membawa dosis
pulang lebih dari biasanya, tidak diberikan, sehingga klien merasa kadang-
kadang menyulitkan mereka, terutama bila mereka rencana keluar kota.
Konseling individual sudah sangat jarang dilakukan.
Menurut klien pertama dan petugas kesehatan, sekarang sudah sangat jarang
dilakukan konseling pribadi sebelum atau sesudah minum metadon.
Sikap petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan
Menurut kedua klien, petugas ramah dan sabar. Petugas kesehatan
menyatakan menghadapi setiap klien dengan karakter masing-masing yang
unik harus sabar, terutama menghadapi perilaku agresif dan mudah
tersinggung.
III. Faktor Sosial
Kurangnya pengetahuan keluarga terkait penyalahgunaan zat dan terapi
metadon.
Klien pertama dan kedua mengatakan dalam wawancaranya, pengetahuan
keluarga tentang penyalahgunaan zat dan terapi metadon kurang.
Stigma lingkungan sosial terhadap pecandu.
Kedua klien dan petugas kesehatan menyatakan, lingkungan sosial
memandang negatif terhadap pecandu.
Terapi metadon merupakan proses terapi yang panjang, kemungkinan klien
akan mengalami rasa jenuh, dan mengalami relapse yang biasanya disebabkan
pengaruh lingkungan. Rasa jenuh yang dirasakan beresiko tinggi membuat klien
tidak bertahan dalam mengikuti terapi metadon. Proses terapi yang panjang salah
36
satunya pada klien yang mendapat terapi Anti Retroviral Virus (ARV). Seseorang
dengan terapi substitusi metadon yang juga menderita HIV, dianjurkan untuk
mendapat terapi ARV. Beberapa jurnal penelitian menyatakan, interaksi antara
metadon dan ARV akan mengganggu metabolisme metadon sehingga konsentrasi
plasma metadon rendah dan bisa menyebabkan gejala-gejala putus zat seperti
cemas, kram otot perut, nyeri otot dan sendi. Solusi untuk mengatasinya, dosis
metadon perlu ditingkatkan, namun dengan dosis metadon yang tinggi, perlu waktu
lama penurunan dosis sampai akhirnya berhenti terapi metadon. Klien metadon
PTRM Sandat yang sudah melakukan tes HIV sampai saat ini terdapat 218 orang
dengan 134 orang (54.3%) yang positif, dan data terakhir tahun 2015 menunjukkan
jumlah klien yang mendapat terapi ARV sebanyak 20 orang (Data Tahunan PTRM
Sandat RSUP Sanglah).
Jumlah ini menunjukkan hampir setengah klien metadon aktif di PTRM Sandat saat
ini akan menjalani proses terapi metadon yang lama. Waktu yang lama beresiko
membuat klien merasa jenuh, menjadi tidak patuh dan drop out bisa terjadi (Gruber
& McCance-Katz, 2010).
Klien mengatakan alasan lain penyebab ketidakpatuhan adalah kemungkinan
terjadinya relapse pada beberapa klien. Selama proses terapi, pengaruh lingkungan
sangat mempengaruhi, misalnya teman-teman yang mengajak memakai kembali
heroin, atau sedang mengalami konflik pribadi yang membuat klien ingin
menenangkan pikiran dengan menggunakan kembali heroin. Perubahan trend
dalam penggunaan zat dari heroin ke zat lain berperan cukup signifikan dalam
ketidakpatuhan terapi metadon. Hasil wawancara mengungkapkan, pemilihan zat
37
yang digunakan kembali adalah zat selain heroin, karena heroin semakin sulit
didapat, mahal, dan mereka sudah mengetahui dampak buruk terhadap kesehatan
apabila memakai heroin suntik kembali. Golongan amfetamin seperti sabu-sabu dan
golongan benzodiazepin adalah zat yang banyak dipilih apabila klien relapse
(Baxter, 2014).
Beberapa tahun terakhir, derifat amfetamin baru yang banyak beredar dan
dikonsumsi sebagai penyalahgunaan zat baru disebut dengan New Psychoactive
Substance (NPS). Data BNN tahun 2013 menyatakan pasar global heroin dan
morfin ilegal menurun sebesar 6,4% dari tahun 2012 hingga 2013, begitu juga
kokain.Pasar global narkoba sintetis masih didominasi oleh metamfetamin dan
semakin meluas di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Jumlah sitaan
amphetamine-type stimulants (ATS) seperti ekstasi dan metamfetamin meningkat
hampir 2 kali lipat semenjak tahun 2009 dan masih relatif sangat tinggi di tahun
2013 (Baxter, 2014).
Metamfetamin paling banyak menggantikan penggunaan heroin yang dikenal
sebagai obat paling bermasalah di Asia, dan mulai booming tahun 2011. Beberapa
tahun terakhir, jenis narkoba yang paling banyak disalahgunakan hampir di semua
wilayah di Indonesia adalah ganja, sabu, dan ekstasi, sedangkan di beberapa daerah
lain, mengkonsumsi obat daftar G dengan atau tanpa resep dokter, menjadi trend di
beberapa kota, seperti stesolid, faldimex, dan elsigan. Ada juga beberapa jenis
narkoba dengan nama jalanan seperti sevia atau java-java di Bali, hango di
Pontianak, sombie di Manado, crocodile di Bandung dan Jakarta. Akses
mendapatkan zat ini lebih mudah dibandingkan heroin dan kokain yang pasar
38
globalnya menurun, sehingga pilihan obat yang dipakai pengguna pun berubah,
terjadi perubahan trend dalam pemilihan zat yang dikonsumsi, sehingga klien
merasa tidak perlu lagi untuk mengikuti terapi metadon karena sudah beralih
memakai zat lain (Damayanti, 2015; UNODC, 2015).
Klien yang sedang menjalani terapi jangka panjang metadon membutuhkan
dukungan sosial. Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah
dipelajari secara luas, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan ini,
merupakan salah satu prediktor kuat dari kepatuhan. Dukungan sosial adalah suatu
informasi dari orang lain bahwa dia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri
dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban
bersama. Sumber dukungan sosial selain keluarga adalah teman dekat atau akrab
dengan individu-individu yang dekat, yang biasanya membentuk kelompok.
Anggota kelompok akan berinteraksi keterdekatan fisik, memecahkan konflik dan
memudahkan koordinasi. Komponen dukungan sosial dari teman antara lain
bimbingan (nasihat), keterikatan, penghargaan atau pengakuan, integrasi sosial
(minat dan pemikiran yang sama). Sangat efektif karena hambatan-hambatan
komunikasi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dari bukan teman sesama.
Dukungan teman sesama efektif dalam mendukung perubahan sikap kearah yang
lebih positif (Kelly, et al., 2010).
Dukungan sosial lain berasal dari keluarga. Dukungan dan pengetahuan
keluarga adalah faktor lain yang bisa mempengaruhi kepatuhan klien metadon.
Keluarga memegang peranan sangat penting dalam proses pemulihan dan dalam
rencana program perawatan pecandu, terutama disadari bahwa umumnya pecandu
39
yang datang ke tempat terapi masih bertahan hidup karena adanya dukungan
finansial dari keluarga. Salah satu metode paling efektif dalam mendukung klien
menjalani pengobatan adalah melalui orang yang berarti bagi klien, seperti suami
atau istri, orang tua, saudara kandung, dan anak. Keluarga dapat menjadi kunci
untuk memaksa klien berhenti menyangkal dan menghindar, serta mulai serius
menangani masalah ketergantungannya (Kelly, et al., 2010).
Dukungan keluarga adalah suatu bentuk dukungan sosial dalam bentuk
hubungan interpersonal yang melindungi seseorang dari efek stres yang buruk.
Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah sikap, tindakan penerimaan
keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasional, penilaian,
instrumental dan emosional. sehingga anggota keluarga merasa ada yang
memperhatikan. Klien mengatakan dalam wawancaranya bahwa dukungan
keluarga sangat penting, mereka mengetahui beberapa teman sesama klien metadon
tidak seberuntung mereka, tidak ada dukungan keluarga yang cukup, sehingga tidak
heran ada yang tidak pernah kembali untuk terapi atau kembali menggunakan zat.
Pengetahuan keluarga juga penting dalam mendukung keberhasilan terapi metadon
dan signifikan mempengaruhi perubahan perilaku ksesehatan. Upaya-upaya
peningkatan pengetahuan perlu dilakukan untuk meningkatkan derajat kepatuhan
klien dalam mengikuti terapi metadon serta mendapatkan dukungan dari keluarga.
Klien mengakui dalam wawancaranya anggota keluarga mereka memahami bahwa
metadon juga adalah narkotika, sehingga tidak mau anggota keluarganya
terjerumus lebih jauh lagi pada ketergantungan zat. Pengetahuan keluarga yang
40
kurang mengakibatkan kurangnya dukungan keluarga sehingga mempengaruhi
kepatuhan klien terhadap terapi metadon (Andita, 2012).
Provinsi Bali merupakan tempat wisata yang indah dan terkenal, sehingga
banyak turis baik domestik maupun mancanegara yang datang berkunjung untuk
bersenang-senang. Perilaku bawaan turis pun bermacam-macam, salah satunya
perilaku mengkonsumsi zat terlarang, sehingga akhirnya sampai ke PTRM Sandat
untuk mendapat terapi metadon. Salah satu tujuan PTRM mengurangi aktivitas
kriminal dan kemungkinan ditangkap, namun beberapa klien metadon ada yang
tidak lagi mengikuti terapi metadon di PTRM Sandat. Hasil wawancara
mengungkapkan, kemungkinan ada yang tertangkap dan telah ditahan di lembaga
pemasyarakatan, namun jumlahnya tidak signifikan. Beberapa klien metadon di
PTRM Sandat, selain terapi metadon juga menggunakan zat lain seperti golongan
benzodiazepin atau narkotika lainnya. Dua orang klien yang diwawancara
mengakui mereka juga mengkonsumsi zat lain, selain terapi metadon, sehingga
resiko terlibat hukum atau tertangkap karena penyalahgunaan zat lain selalu ada.
Literatur review mengenai terapi rumatan metadon menyatakan klien dengan
riwayat aktivitas kriminal berhubungan dengan retensi terapi yang buruk (Sun, et
al., 2015; Jamieson, et al., 2002).
Hasil wawancara menyatakan klien cukup puas dengan pelayanan yang
diberikan oleh petugas kesehatan di PTRM Sandat. Ramah dan sabar. Mereka
hanya mengeluhkan kurangnya fleksibilitas dalam pemberian dosis bawa pulang
(take home dose/THD).
41
Klien mengungkapkan konseling sudah sangat jarang dilakukan, padahal
dengan dilakukannya konseling, mereka merasa diperhatikan. Penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya mengindikasikan bahwa konseling adakah intervensi yang
sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam proses terapi rumatan metadon,
sehingga konseling ditambahkan dalam intervensi psikososial pada terapi rumatan
metadon (Kemenkes RI, 2013; Gruber & McCance-Katz, 2010).
Sikap petugas kesehatan terhadap klien metadon juga memberi pengaruh
terhadap kepatuhan terapi. Hasil wawancara dengan petugas kesehatan pun
mengungkapkan menghadapi klien metadon yang memiliki keunikan masing-
masing harus dihadapi dengan kesabaran, apalagi karakteristik secara tipikal klien
metadon tidak sabar, sensitif, dan mudah marah. Peningkatan pemahaman petugas
kesehatan terhadap dunia pecandu perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi
cara pemberian pelayanan. Pelayanan yang dianggap memuaskan oleh para klien
metadon, menunjang kepatuhan klien dalam mengikuti terapi. Empati dari petugas
pelayanan kesehatan dapat memberikan kepuasan yang cukup pada klien yang
menjalani terapi. Contohnya melayani dengan ramah, bersedia meluangkan waktu
dalam memberikan konseling, rutin melakukan penyuluhan dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan mereka dan memberikan motivasi dalam melakukan
terapi metadon sampai selesai (Andita, 2012).
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
42
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) adalah salah satu metode terapi
paling efektif di seluruh dunia dalam mengatasi ketergantungan opioid. Terapi ini
merupakan terapi jangka panjang, sehingga mempertahankan klien tetap dalam
proses terapi (retensi terapi) merupakan faktor utama keberhasilan program ini
untuk mencapai kesembuhan. Efek dari PTRM berkorelasi dengan positive
outcome, antara lain mengurangi resiko kekambuhan penggunaan zat (abstinence),
perilaku resiko tinggi dan memperbaiki fungsi sosial serta kualitas hidup (Quality
of Life). Jauh berbeda dengan hasil yang ditimbulkan terhadap klien yang tidak
mengikuti proses terapi jangka panjang atau meninggalkan terapi.
Ketahanan atau retensi dalam terapi berhubungan erat dengan kepatuhan,
dimana definisi kepatuhan secara singkat adalah suatu keadaan dimana pasien
mengikuti intruksi medis. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor
individual, faktor program dan faktor sosial. PTRM Sandat sejak awal berdiri
sampai saat ini mengalami pengurangan jumlah klien metadon aktif. Hasil
eksplorasi dengan melakukan wawancara menemukan beberapa faktor penyebab
kurangnya ketahanan klien metadon dalam mengikuti terapi. Faktor-faktor yang
cukup signifikan mempengaruhi antara lain dari: a) Faktor individual seperti
perasaan jenuh dan motivasi yang kurang, perilaku penggunaan zat multipel dan
aktivitas kriminal, kemudian; b) Faktor program dimana klien merasa kurangnya
fleksibilitas terutama berhubungan dengan dosis bawa pulang, sangat jarang
dilakukan konseling lagi setelah minum metadon. Terakhir adalah c) Faktor sosial,
dimana kurangnya pengetahuan keluarga tentang perilaku penyalahgunaan zat dan
43
terapi metadon, sehingga mempengaruhi pemberian dukungan yang cukup dari
keluarga selama klien menjalani terapi jangka panjang metadon.
SARAN
Saran untuk klien metadon :
1. Meningkatkan motivasi dalam menjalani terapi metadon terutama klien dengan
terapi ARV, karena proses terapi yang panjang bisa menimbulkan kejenuhan.
2. Rutin kontrol untuk mendapatkan konseling dan psikoterapi.
3. Menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga terutama komunikasi yang
berhubungan dengan terapi metadon, agar pengetahuan keluarga bertambah dan
siap mendukung klien dalam menjalani terapi.
4. Klien tidak menggunakan zat lain saat sedang menjalani terapi metadon
misalnya golongan benzodiazepin atau golongan zat lain agar proses terapi
metadon bisa optimal.
Saran untuk keluarga klien :
1. Selalu memantau aktivitas klien selama di rumah dan lingkungannya, agar tidak
terjerumus lagi melakukan penyalahgunaan zat.
2. Selalu siap meluangkan waktu untuk mendampingi klien dalam menjalani terapi
dan konseling.
3. Selalu memberikan semangat dan motivasi selama klien mengikuti terapi
metadon.
44
Saran untuk petugas kesehatan/PTRM Sandat :
1. Menumbuhkan sikap empati terhadap klien metadon dan mencari tahu
kebutuhan unik setiap masing-masing individu.
2. Berusaha membuat aturan yang dianggap fleksibel bagi klien metadon, dengan
tetap berpegang pada pedoman yang ada.
3. Meningkatkan keaktifan memantau klien yang kurang mendapat dukungan
keluarga.
4. Memantau jalannya terapi terutama untuk klien-klien yang sering melanggar
peraturan.
5. Rutin memberikan konseling bagi klien dan keluarga klien metadon untuk
mendukung semangat dan motivasi klien dan klien merasa diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Andita, L. 2012. Dukungan Sosial terhadap Pasien Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM) (Studi Kasus pada Tiga Orang Pasien PTRM di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur). Tesis.Universitas Indonesia.
Anggreni, D. (2015). Dampak bagi Pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif (NAPZA) di Kelurahan Gunung Kelua Samarinda Ulu. eJournal
Sosiatri-Sosiologi, 3(3):37-51.
Baxter, J. (2014). Changing the Market Culture for Methamphetamines Models of
Demand Reduction – An Australian Perspective.Drug Free Australia, pg.1-
8.
45
Budiyani, P. I. R., Mahkota, R. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Ketidakpatuhan pada Pengguna NAPZA Suntik yang Mengikuti Program
Terapi Rumatan Metadon di Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Cibubur
Jakarta Timur Tahun 2013.FKM UI, pg 1-20.
Damayanti, R. 2015. Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan Penyalahguna
Narkoba Tahun Anggaran 2014, hal. 1-63. Jakarta: BNN RI.
Fareed, A., Vayalapalli, S., Stout, S., Casarella, J., Drexler, K., Bailey, S. P. (2011).
Effect of Methadone Maintenance Treatment on Heroin Craving, a Literature
Review. Journal of Addictive Diseases, pg. 27-38.
Fathollahi, M. S., Torkashvand, F., Najmeddin, H., Rezaeian, M. (2015). Predictors
of One-Year Retention in Methadone Maintenance Treatment. International
Journalof High Risk Behaviors & Adicction, pg. 1-7.
Gruber, V. A., McCance-Katz, E. F. (2010). Methadone, Buprenorphine, and Street
Drug Interactions with Antiretroviral Medications.Curr HIV/AIDS Rep,
7:152-160.
Jamieson., Beals., Lalonde. 2002. Factors that Influence the Effectiveness of MMT
dalam Literature Review Methadone Maintenance Treatment, pg. 15-18,
Ontario: Health Canada.
Kelly, S. M., O’Grady, K. E., Schwartz, R. P., Peterson, J. A., Wilson, M. E.,
Brown, B. S. (2010). The relationship of social support to treatment entry
andengagement: The Community Assessment Inventory. Subst Abus,
31(1):43-52.
Kreek, M. J., Borg, L., Ducat, E., Ray, B. (2011). Pharmacotherapy in the Treatment
of Addiction: Methadone. Journal of addictive disease, 29(2): 200-216.
Lambdin et al. (2014). Methadone Treatment for HIV Prevention-Feasibility,
Retention, and Predictorsof Attrition in Dar es Salaam, Tanzania:A
Restropective Cohort Study. Clinical Infectious Diseases, pg. 735-742.
Laudet, A. B. (2007). What does recovery mean to you? Lessons from the recovery
experience for research and practice. J Subst Abuse Treat, 33(3):243-256.
Pratiwi, I., Arsyad, D. S., Ansar, J. (2014). Faktor yang Berhubungan dengan
Kepatuhan Berobat Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Kassi Kassi Kota
Makasar.Hal.1-10.
RI, K. K. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 57
Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan
Metadon. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sun, H-M., Li, X-Y., Chow, E. P. F., Li, T., Xian, Y., Lu, Y-H., Tian, T., Zhuang,
X., Zhang, L. (2015). Methadone Maintenance Treatment Programme
46
Reduce Criminal Activity and Improves Social Well-being of Drug Users in
China: a Systematic Review and Meta-analysis. BMJ Open, pg. 1-12.
UNODC. 2015. World Drug Report 2015, pg. 1-75. New York: United Nations
publication.
WHO. 2003. Defining Adherence dalam ADHERENCE TO LONG-TERM
THERAPIES; Evidence for Action, pg. 1-3. Geneva: World Health
Organization.
47