kesiapan indonesia dalam afta 2010
DESCRIPTION
Banyak pihak menantikan Januari 2010 dengan harap-harap cemas, karena pada saat itulah genderang perang “laissez faire” akan menggema di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China. Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai “terlalu memaksakan diri” bergabung dengan rejim perdagangan bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. Terkait dengan dinamika tersebut, artikel ini dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira kesiapan Indonesia dalam AFTA+China yang implementasinya akan efektif sejak 1 Januari 2010 yang akan datang.TRANSCRIPT
MENYONGSONG IMPLEMENTASI AFTA 2010: KESEMPATAN DAN TANTANGAN BAGI INDONESIA
Oleh: Dodik Ariyanto
Banyak pihak menantikan Januari 2010 dengan harap-harap cemas,
karena pada saat itulah genderang perang “laissez faire” akan
menggema di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota
ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi
seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul
implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota
ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu
China. Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan
komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai
“terlalu memaksakan diri” bergabung dengan rejim perdagangan
bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama
di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan
memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah
kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. Terkait dengan
dinamika tersebut, artikel ini dimaksudkan untuk memberi gambaran
bagaimana kira-kira kesiapan Indonesia dalam AFTA+China yang
implementasinya akan efektif sejak 1 Januari 2010 yang akan datang.
Regionalisasi ekonomi di Asia tenggara dan kemunculan AFTA
Sejak tahun 1980an, terjadi serangkaian perubahan fundamental di
dunia, antara lain : 1) Munculnya lingkungan ekonomi dunia yang
kompetitif dan terjadinya perubahan cepat menuju ekonomi
Penulis adalah PhD candidate bidang Ilmu Politik di University of Canterbury
berorientasi pasar khususnya di Eropa eks-sosialis dan juga di Asia
yang ditandai dengan adanya reformasi ekonomi melalui privatisasi,
deregulasi dan liberalisasi; 2) Terjadinya revolusi teknologi informasi
yang memungkinkan peningkatan secara luar biasa traksaksi
perdagangan dan saling ketergantungan antar negara di dunia ; 3)
Meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya
pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di
berbagai belahan dunia. Pada saat yang sama, negara-negara Asia
pada umumnya mulai menerima prinsip-prinsip liberalisasi yang
disertai dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang
berbasis daya tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya
kesadaran di kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat
kerja sama ekonomi guna menghadapi tekanan komparatif dari luar
kawasan. Berbagai kecenderungan tersebut kemudian mendorong
para pemimpin negara Asia, khususnya negara-negara anggota
ASEAN, untuk mendirikan suatu organisasi ekonomi regional di Asia
tenggara.
Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perdebatan yang panjang,
pada Millenium Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992,
ASEAN yang saat itu masih beranggotakan 6 negara (Brunei,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) sepakat
membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam
rentang waktu 15 tahun dimulai sejak 1 Januari 1993. Dengan adanya
kawasan perdagangan bebas tersebut maka seluruh negara anggota
ASEAN akan mengurangi hambatan arus perdagangan dan investasi
antar mereka secara bertahap hingga tahun 2008 yang diletakkan
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 2 [email protected]
dalam skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Vietnam
yang bergabung dengan ASEAN pada tahun 1995 disusul oleh Laos
dan Myanmar dua tahun kemudian serta Kamboja pada tahun 1999
secara otomatis tergabung dalam keanggotaan AFTA bersamaan
dengan masuknya mereka ke organisasi regional tersebut.
Melihat latar belakang dibentuknya kawasan perdagangan bebas
ASEAN, oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa keberadaan AFTA
lebih dilandasi oleh tujuan ekonomi dan bukan tujuan lain seperti
keamanan ataupun politik, di mana main goals-nya adalah guna
menarik investasi asing langsung dalam rangka menopang
pertumbuhan ekonomi di kawasan, mempertahankan keunggulan
komparatif, serta untuk menjaga hubungan ekonomi dengan negara-
negara partner utama Asia yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.
Disamping itu, seperti halnya organisasi serupa di kawasan lain,
terdapat tujuan lain yang lebih spesifik yakni guna menggairahkan
hubungan ekonomi dan perdagangan antar sesama anggota ASEAN
yang sebelumnya menunjukkan level kurang menggembirakan (grafik
2). Sekedar ilustrasi, sebagai sebuah kawasan ekonomi strategis,
ASEAN pada tahun 1995 (sebelum bergabungnya Laos, Myanmar
dan Kamboja) memiliki pangsa pasar lebih dari 420 juta jiwa, namun
perdagangan antar anggotanya tidak pernah melampaui angka 20%.
Sebaliknya, hubungan perdagangan negara-negara ASEAN justru
lebih dominan dijalin secara unilateral dengan negara-negara partner
di luar Asia tenggara, sehingga AFTA pada dasarnya dapat dilihat
sebagai « stimulus » yang dimaksudkan guna mengintensifkan
perdagangan internal antar anggota ASEAN.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 3 [email protected]
Krisis ekonomi regional
Sejak awal tahun 1990an, ekonomi Indonesia sangat sustainable dan
attractive bagi investasi asing hingga terjadinya krisis moneter di Asia
pada 1997. Selama tiga dekade sebelumnya, ekonomi Indonesia
tumbuh rata-rata 7% dan GDP riil rata-rata 7-8 % hingga tahun 1996.
Pertumbuhan ekspor sangat sehat dan balance of payments dalam
tataran aman, sehingga apabila dibandingkan dengan negara lain di
lingkup regional, Indonesia adalah salah satu yang memiliki defisit
anggaran paling rendah dan rasio cadangan devisa yang paling tinggi.
Trend positif tersebut berubah ketika terjadi gelombang moneter di
Asia yang bermula pada tanggal 2 Juli 1997 ketika Bank sentral
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 4 [email protected]
Thailand menyerah terhadap tekanan yang menyerang kurs nasional-
nya. Thailand memutuskan untuk memotong tali yang
menghubungkan Baht dengan US dollar sehingga memprovokasi
jatuhnya Baht vis-à-vis US$. Beberapa hari kemudian, Filipina
mengikuti langkah yang ditempuh Thailand. Dengan maksud
memproteksi cadangan devisanya, Filipina melepaskan standard
tukar mata uangnya--biasa disebut ‘peg’-- terhadap US$, sehingga
Peso Filipina jatuh hingga sepersepuluh dari nilai sebelumnya. Efek
domino tersebut kemudian mempengaruhi Malaysia dan Indonesia
beberapa waktu setelahnya. Pada Juli 1997, tekanan yang kuat
terhadap kurs tukar Rupiah disambut dengan keputusan Bank Sentral
Indonesia dengan menaikkan level peg tertinggi dan menurunkan
level peg terendah hingga 12%. Namun, pertahanan atas rupiah
tersebut hanya bertahan sebulan karena pada tanggal 14 Agustus
1997 Bank Indonesia memutuskan untuk menghentikan upaya
mempertahankan diri dari gempuran moneter tersebut sehingga nilai
rupiah tiba-tiba jatuh terhadap US$. Dalam beberapa minggu, nilai
Rupiah merosot dari 2.449 pada 30 Juni menjadi 3.800 per US$ pada
minggu kedua Oktober 1997.
Badai ekonomi tersebut berlanjut pada tahun berikutnya. Pada akhir
Mei 1998, kurs nilai tukar rupiah jatuh bebas pada level Rp.11.000 per
US$ dari Rp 2.300 per US$ atau setara dengan sepertujuh dari nilai
sebelum krisis. Sebagai konsekuensi, barang-barang impor menjadi
luar biasa mahal dalam takaran rupiah, memicu penyerbuan barang-
barang impor dan komoditas utama di pasar-pasar perkotaan. GDP riil
menurun hingga 10-20%, inflasi mencapai 70-100%, pengangguran
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 5 [email protected]
meningkat, dan kemiskinan menyapu hampir seluruh prestasi
ekonomi yang dibangun selama tiga dekade sebelumnya. Masih lagi,
pemerintah harus menghadapi persoalan lain yaitu jatuhnya harga
minyak hingga hanya mencapai level 10-12$ per barrel. Dapat
dibayangkan kondisi keuangan negara pada saat tax revenue
menurun drastis sedangkan expenditure meningkat tajam. Kondisi
inilah yang dikenal sebagai era runtuhnya infrastruktur ekonomi
Indonesia, sebuah tragedi yang sampai saat ini masih terus
diupayakan pemulihannya.
Krisis moneter tersebut sudah pasti mempengaruhi kesiapan masing-
masing anggota ASEAN dalam menghadapi AFTA, namun cukup sulit
untuk memprediksi kesiapan aktual peserta AFTA berdasarkan
perspektif ini. Terdapat paling tidak tiga alasan yang mendasarinya,
yaitu: Pertama, masing-masing anggota ASEAN memiliki tingkat
kecepatan recovery ekonomi yang bervariasi. Sebagai misal, Malaysia
dan Singapura saat sekarang bisa dikatakan telah pulih hampir 100%
namun Indonesia mungkin masih dikisaran 90% atau bahkan kurang;
Kedua, menggunakan indikator yang ada sekarang akan
menimbulkan bias mengingat beberapa negara masih berada dalam
proses recovery sementara negara lain telah berada pada titik balik
(berdasarkan teori conjunctur ekonomi), dan; Ketiga, seluruh negara
anggota ASEAN mengalami krisis moneter, sehingga Indonesia
bukanlah satu-satunya negara yang terkena dampaknya. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut maka analisis komparatif
kapasitas Indonesia terhadap anggota ASEAN lainnya lebih
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 6 [email protected]
difokuskan pada indikator-indikator pada sekitar awal berdirinya
AFTA.
Prospek AFTA Bagi Indonesia
Inti dari CEPT dalam persetujuan AFTA adalah pengurangan berbagai
tarif impor dan penghapusan hambatan non-tarif atas perdagangan
dalam lingkup ASEAN. Hal ini membawa implikasi bagi Indonesia
berupa perubahan harga relatif produk-produk Indonesia yang
diekspor ke negara-negara ASEAN disamping akan menjadi insentif
bagi masuknya investasi asing yang selama ini menjadi salah satu
pilar untuk memutar roda perekonomian nasional. Oleh karena itu,
dalam hal ini profil perdagangan dan investasi Indonesia, dengan
perbadingan profil negara-negara anggota lainnya, sangat penting
diketahui guna melihat sejauh mana AFTA akan membawa dampak
positif bagi Indonesia.
Pertama dan yang paling penting dalam sistem ekonomi pasar adalah
perdagangan. Tabel 1 menunjukkan Index keunggulan komparatif
produk ekspor andalan anggota-anggota ASEAN yang dinyatakan
dalam skema CEPT. Dalam tabel tampak bahwa Indonesia tidak
cukup dominan dalam hal keunggulan comparatif produk-produk
ekspornya, bahkan dibandingkan dengan Kamboja yang terhitung
sebagai pemain baru dalam transaksi perdagangan regional. Dari
seluruh produk unggulan, hanya produk kayu lapis dan plywood yang
tidak tersaingi oleh anggota lainnya dengan index 37, disusul
kemudian oleh produk karet alam dimana Indonesia hanya menduduki
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 7 [email protected]
tempat ketiga setelah Kamboja dan Thailand. Prestasi peningkatan
volume ekspor Indonesia pada tahun 2000 seperti diuraikan di atas
tiada lain lebih merupakan hasil transaksi perdagangan Indonesia
dengan pihak di luar ASEAN, khususnya dengan Jepang dan Amerika
Serikat. Sementara itu, dalam transaksi perdagangan di kawasan,
sepertinya Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak. Terlebih jika
mengingat bahwa produk kayu lapis dan plywood berbahan dasar
kayu hutan, dan bukan rahasia lagi bahwa luas hutan di Indonesia
mengalami penyusutan yang sangat drastis dari tahun ke tahun.
Dengan kata lain, secara ekonomi produk tersebut tidak akan dapat
dijadikan produk andalan dalam jangka menengah apalagi jangka
panjang, mengingat semakin langkanya bahan baku kayu.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 8 [email protected]
Tabel 1Revealed Comparative Advantage of Export Index: Indonesia and ASEAN Countries
SITC Description Indonesia Philippine Thailand Malaysia Sgpore Brunei C-bodia Myanmar Vietnam
036 Shellfish: fresh, frozen 7 9 13 - - - 3 12 38037 Fish: prepared, preserved - 20 - - - - - - -042 Rice - - 33 - - - - 60 65054 Vegetables: fresh, preserved - - - - - - - 30 -057 Fruits, nuts: fresh, dried - 6 - - - - - - 4071 Coffe and subtitudes - - - - - - - - 11222 Seeds for ‘soft’ fixed oils - - - - - - 12 12 9223 Seeds for other fixed oils - - - - - - 10 - -232 Natural rubber, gum 27 - 30 22 - - 94 - -233 Rubber: Synthetic, reclaimed - - - - - - 63 - -245 Fuel wood, charcoal - - - - - - 59 - -247 Wood: roughed, squared - - - 18 - - 175 71 -248 Wood: shaped, sleepers - - - 7 - - 12 12 7269 Waste of textile fabrics - - - - - - 15 - -287 Base metal ores 7 - - - - - - - -332 Coal, lignite and peat - - - - - - - - 9333 Crude petroleum 4 - - 2 - 10 - - 6334 Petroleum products: refined 2 - - - 6 2 - - -341 Gas: natural, manufactured 13 - - 3 - 41 - - -424 Fixed vegetable oil: non-soft - 34 - 43 - - - - -634 Veneers, plywood 37 - - - - - 8 - -653 Woven man-made fibre
fabrics5 - - - - - - - -
667 Pearl, precious, semi-precious stones
- - 4 - - 0 - 13 0
752 Automatic data processing equipment
- - - - 7 - - - -
759 Offices machines: parts, accessories
- - 3 3 3 - - - -
761 Relevision receivers - - - - 5 - - - -
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 9 [email protected]
Continued….
SITC Description Indonesia Philippine Thailand Malaysia Sgpore Brunei C-bodia Myanmar Vietnam
762 Radio broadcast receivers - - - 12 8 - - - -763 Sound recorders,
phonographs- - - - 4 - - - -
764 Telecom equipment, parts, accessories
- 2 - 2 2 - - - -
772 Switch gears, parts - - - - 1 - - - -773 Electrical distributing
equipment- 5 - - - - - - -
776 Transistors, valves - 5 2 7 4 - - - -778 Electrical machinery - - - - 1 - - - -842 Men’s outerwear, not knitted - - - - - 0 16 - 8843 Womens outerwear, not
knitted3 4 4 - - 0 5 3 6
844 Undergarments, not knitted - -- - - - - 45 9 -845 Outerwear, knitted non
elastic- 4 - - - 1 4 - -
846 Undergarments, knitted - 8 - - - 1 5 - -851 Footwear 5 4896 Works of art 0 18931 Special transactions 8 0 8
Sumber: UNCTAD (1996)
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 10 [email protected]
Hal lain yang menghambat peningkatan volume perdagangan intra
regional dan pada gilirannya kurang menguntungkan Indonesia
khususnya, adalah fakta dimana produk-produk ekspor andalan
negara anggota AFTA secara umum lebih bersifat ‘subtitutif’ daripada
‘komplementer’, dalam arti produk-produk yang dihasilkan cenderung
serupa sehingga sulit diharapkan agar masing-masing anggota dapat
menyerap produk mereka satu sama lain. Bahkan di pasar produk-
produk mereka akan bersaing dan dapat mematikan produk yang
tidak unggul secara komparatif. Seperti terlihat pada tabel, dari
seluruh anggota AFTA hanya Singapura yang relatif memiliki produk
unggulan berbeda, yaitu di sektor-sektor menyangkut penggunaan
teknologi elektronik dan informatika, sisanya lebih menekankan pada
pertanian dan hasil alam. Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana
agar di dalam pelaksanaan AFTA negara anggota yang kurang
memiliki variasi produk unggulan tidak tenggelam dalam persaingan,
dimana hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan awal
dibentuknya organisasi ini. Tantangan inilah diantara yang harus
dijawab oleh AFTA dan anggota-anggotanya, khususnya Indonesia.
Apabila pemerintah mampu memecahkan persoalan ini dan dapat
secara jeli memetakan dan kemudian memanfaatkan pasar regional
ASEAN yang saat ini mencapai lebih dari setengah milyar jiwa,
terdapat dua peluang besar terbuka bagi Indonesia terkait dengan
perdagangan, yaitu kesempatan untuk fully-recovered pasca krisis
ekonomi; dan yang kedua adalah kesempatan untuk memacu
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 11 [email protected]
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan signifikan sebagaimana yang
terjadi pada periode tahun 1970an hingga menjelang krisis ekonomi
1997.
Di sisi lain, dengan adanya pengurangan hambatan dan tariff
perdagangan, sudah barang tentu akan terjadi peningkatan volume
transaksi perdagangan antar anggota AFTA, namun muncul
pesimisme bahwa peningkatan tersebut akan mencapai jumlah yang
signifikan dan mampu bertahan dalam waktu yang lama. Sejauh ini
kekhawatiran tersebut memang belum cukup terbukti dan memang
untuk sementara ini secara umum AFTA telah menunjukkan
efektifitasnya. Sebagai misal, pada tahun 1994, setahun setelah
percobaan implementasi AFTA, total perdagangan ASEAN dengan
dunia tumbuh sebesar 21% (dari US$ 448 milyar pada tahun 1993
menjadi US$ 543 milyar pada tahun 1994, dan perdagangan Intra
ASEAN juga meningkat dari US$ 89 milyar tahun 1993 menjadi US$
110 milyar tahun 1994 atau naik sebesar 24%. Terlebih mengingat
keunggulan komparatif bukanlah satu-satunya indikator penentu
keberhasilan perdagangan suatu negara. Namun demikian tidak ada
salahnya, khususnya bagi Indonesia, untuk memperkirakan berbagai
kemungkinan di masa datang di dalam AFTA, dan yang lebih utama
lagi guna meyakinkan manfaat organisasi ini bagi masing-masing
anggotanya.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 12 [email protected]
Selain perdagangan, yang juga vital adalah investasi. Ketika Sukarno
memerintah mulai awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun
1960an, perekonomian nasional dirangsang dengan fiscal stimulus
yang dibiayai dengan cara mencetak uang dan mendevaluasikan
mata uang. Akibatnya terjadi inflasi yang parah hingga mencapai
1,500 persen disertai dengan langkanya barang-barang produksi dan
meroketnya pengangguran. Ketika Suharto mulai memerintah pada
tahun 1966, strategi ini dirubah 180 derajad. Perekonomian nasional
disusun berdasarkan program nasional terencana dengan rentang
waktu 5 tahun dengan menekankan pertanian dan hasil alam sebagai
mesin penggeraknya. Mulai tahun 1986, seiring dengan kuatnya
tekanan ekonomi yang berorientasi pasar dan kebijakan ekonomi
nasional Indonesia yang memperlebar peran swasta dalam
perekonomian, investasi asing langsung mulai mengambil peran
menentukan dalam pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Seperti
tampak dalam Grafik 3, Investasi asing terus mengalami peningkatan
secara drastis dari tahun ke tahun dan mencapai puncaknya pada
tahun 1996, setahun sebelum krisis ekonomi. Sebagai gambaran
peran penting investasi ini, dalam grafik terlihat bahwa pertumbuhan
GDP nasional cenderung meningkat dengan peningkatan nilai
investasi yang masuk, dan sebaliknya menurun drastis seiring dengan
penurunan angka investasi. Seperti diketahui, pada saat terjadi krisis
ekonomi tahun 1997 terjadi pelarian modal dari tanah air secara
besar-besaran dari tanah air yang dikenal dengan capital flight.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 13 [email protected]
Secara common sense, ada dua manfaat investasi yang mungkin bagi
perekonomian Indonesia, yaitu: pertama, sebagai penggerak
perekonomian nasional. Pada tataran yang lebih teknis, untuk
menggerakkan perekonomian diperlukan capital yang pembiayaannya
dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya pendapatan
pemerintah, investasi, tabungan, atau dengan privatisasi aset-aset
negara. Namun diantara sumber-sumber tersebut, yang paling mudah,
praktis, efektif, dan memungkinkan bagi Indonesia saat ini adalah
investasi karena disamping sifatnya yang langsung, sumber-sumber
pembiayaan lain masih sulit diandalkan. Krisis multidimensional
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 14 [email protected]
terburuk dalam sejarah Indonesia pasca-1998 telah mengurangi
secara drastis kemampuan pemerintah untuk membiayai
pembangunan. Pada saat yang sama, tuntutan pihak-pihak donor
agar pemerintah Indonesia memperkecil defisit anggaran biaya
negara sebagai prasyarat pengucuran paket bantuan, telah
meniadakan kemungkinan pemerintah memberikan stimulus fiskal dari
sumber APBN. Usaha pemerintah yang memprivatisasi perusahaan-
perusahaan milik negara sejak tahun 1999 memang cukup membantu
mengangkat perekonomian, tetapi masih jauh dari target yang
diinginkan; dan, kedua, investasi berperan sebagai sarana untuk
memfasilitasi terjadinya transfer kemampuan dan tehnologi yang
biasanya menyertai investasi. Keuntungan kedua ini memang tidak
cukup mendesak dalam jangka pendek bagi Indonesia karena
prioritas recovery economy tentunya lebih utama dan pada periode
boom investasi sejak tahun 1980-an transfer kemampuan dan
tehnologi tersebut telah terjadi, bahkan sempat membawa Indonesia
pada status negara semi-industri di kawasan Asia. Namun dalam
jangka menengah pasca krisis, penguasaan Indonesia atas teknologi
khususnya tehnologi produksi akan sangat vital apabila tidak ingin
ditinggalkan oleh negara lain di kawasan. Apalagi dengan pesatnya
perkembangan tehnologi informasi yang demikian dahsyat selama
satu dekade terakhir.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 15 [email protected]
Namun ternyata tidak mudah bagi Indonesia menarik minat para
investor asing untuk masuk ke Indonesia. Meskipun gebrakan-
gebrakan pemberantasan korupsi, reformasi hukum, dan good
governance semakin gegap gempita digalakkan, hingga saat ini trend
investasi asing langsung masih menunjukkan grafik naik turun.
Berbagai upaya menarik kembali para investor telah dilakukan
pemerintah, seperti misalnya restrukturisasi sistem perbankan
nasional, perbaikan sistem hukum, dan privatisasi asset negara.
Namun sejauh ini berbagai upaya tersebut belum membuahkan hasil
seperti yang diharapkan dan mungkin adanya kekhawatiran akan
efektifitas kebijakan desentralisasi yang digulirkan sejak tahun 2001
tampaknya merupakan penyebab Indonesia belum cukup menarik di
mata investor.
Di sinilah tampaknya Indonesia akan berharap banyak dengan
keberadaan AFTA. Tidak dapat dipungkiri bahwa AFTA secara tidak
langsung telah menjadi penghubung yang dapat diandalkan antara
kawasan Asia Tenggara dengan dunia luar. Potensi pasar kolektif
yang demikian besar dan pertumbuhan ekonomi yang relatif signifikan
selama beberapa dekade terakhir memungkinkan hal tersebut dapat
terealisasi. Jika selama masa sebelum berdirinya AFTA, tiap-tiap
anggota cenderung bergerak secara individual, sehingga dalam
perekonomian dunia secara keseluruhan mereka kurang memiliki
daya tawar signifikan, maka dengan keberadaan AFTA tiap-tiap
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 16 [email protected]
anggota, atas nama kolektif, dapat “memaksa” dunia luar untuk lebih
berpihak pada kepentingan mereka. Singkatnya, keberadaan AFTA
diharapkan akan mampu meningkatkan daya tawar masing-masing
anggotanya terhadap dunia luar kawasan sekaligus meningkatkan
image di mata investor.
Sebagai konsekuensi logis sistem perdagangan bebas, Indonesia
sudah barang tentu akan dihadapkan pada negara-negara partner
ekonomi di dalam organisasi AFTA yang menjanjikan berbagai
peluang keuntungan, namun pada saat yang sama Indonesia juga
akan mempunyai pesaing-pesaing baru karena prinsip perdagangan
bebas (yang menjadi landasan AFTA) akan mendorong tiap-tiap
anggota untuk memperbesar keunggulan komparatif masing-masing,
di mana pada akhirnya hanya negara yang punya keunggulan
komparatif terbesarlah yang cenderung meraih keuntungan optimal.
Dalam kerangka ini, perlu kiranya kita melihat profil makro ekonomi
Indonesia dan negara-negara partner, sehingga kita akan dapat
melihat sampai dimana sesungguhnya kesiapan Indonesia
dibandingkan dengan anggota lainnya dalam free market di Asia
Tenggara. Sehubungan dengan hal itu, analisis berdasarkan data-
data pada tabel 2 kiranya cukup memberi gambaran obyektif.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 17 [email protected]
Tabel 2Indikator Ekonomi Indonesia (1997-2000)
KATEGORI 1997 1998 1999 2000
Pertumbuhan ekonomi (%) 4.7 -13.01 0.31 4.54PDB (nominal US$ milliar) 208 99 130 183
PDB per kapita (US$) 1,030 487 693 847Inflasi (%) 11.05 77.63 2.01 9.35Ekspor (US$ milliar) 56,29 50,37 46,37 51,6(**)Impor (US$ milliar) 46,22 31,94 29,99 26,53(**)Surplus perdagangan (US$ m) 10,07 18,43 17,38 25,07Penjualan mobil (unit) 386.709 58.033 933.814 275.307(*)Penjualan motor (unit) 1.801.066 431.485 487.759 790.463(*)Penjualan semen (juta ton) 27,9 21,1 27,9 24,4(***)Konsumsi semen DN (juta ton) 27,4 19,3 18,8 20,0(***)Konsumsi listrik (gWh) 64,295 65.357 72,680
* Per Oktober 2000** Per November 2000*** Per Agustus 2000
Sumber: Biro Pusat Statistik
Pertama berdasarkan indikator pendapatan perkapita dan
pertumbuhan GDP tahun 1970 -1997. dari pendapatan perkapita
tahun 1995, di situ tampak bahwa Indonesia bersama-sama dengan
Filipina, Thailand, dan Vietnam termasuk negara miskin di kawasan,
bahkan dalam daftar masuk urutan ke dua terbawah setelah Vietnam
atau setara dengan sepertigapuluh pendapatan perkapita Singapura.
Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber
daya alam mulai dari minyak hingga kekayaan tropis yang beraneka
ragam, kenyataan ini terkesan kontradiktif dan memprihatinkan.
Disamping karena besarnya jumlah penduduk, tentu ada faktor-faktor
lain yang tidak perlu diuraikan dalam tema ini. Sementara
pertumbuhan GDP relatif stabil dari tahun ke tahun dengan rata-rata
7.3% pertahun. Berdasarkan indikator ini, dibandingkan dengan
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 18 [email protected]
negara anggota lainnya, Indonesia bisa dibilang cukup siap, setara
dengan Malaysia dan Singapura. Begitu pula dengan saving ratio dan
investasi, dimana Indonesia termasuk yang cukup berhasil
menggalang saving dan investasi dengan ukuran rata-rata anggota
AFTA. Yang mengkhawatirkan dan selalu menjadi bahan pemikiran
para pakar ekonomi Indonesia adalah persoalan hutang luar negeri,
dimana jumlahnya telah mencapai angka diatas 50% dari GDP. Angka
tersebut hingga 1997 sebenarnya telah masuk dalam kategori “kritis”
berdasarkan ukuran ekonomi, namun krisis ekonomi yang diikuti
dengan penurunan secara drastis nilai tukar rupiah pada kurun waktu
1997-1999 telah membengkakkan hutang negeri Indonesia yang
mayoritas dalam bentuk US$ (Sebagai catatan: di antara anggota
AFTA, hanya Indonesia, Vietnam dan Filipina yang dicekam persoalan
hutang luar negeri).
Serangkaian kebijakan telah diterapkan, termasuk rescheduling
hutang luar negeri dan konversi capital. Akan tetapi dengan cara ini
bukan berarti persoalan hutang luar negeri telah selesai karena
recheduling hutang pada dasarnya hanya merupakan upaya
penundaan kewajiban dan bahkan justru dapat memperberat
perekonomian Indonesia di masa setelahnya. Hal ini-lah yang
sebenarnya menjadi tugas terberat tim ekonomi pemerintah yang saat
ini masih harus terbebani oleh persoalan-persoalan semi-politis.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 19 [email protected]
Persoalan inflasi juga tak kalah pelik. Seperti tampak pada tabel 3,
dapat diasumsikan bahwa budaya inflasi telah melekat dengan
Indonesia. Sejak tahun 1990, inflasi selalu mencapai angka hampir
dua digit. Apabila dianalisa, fenomena inflasi tergolong unik. Berdasar
teori ekonomi, inflasi terjadi karena suplay barang dan jasa yang lebih
rendah daripada uang beredar. Namun yang dominan terjadi di
Indonesia adalah inflasi rutin menjelang hari-hari besar agama tiap
akhir tahun. Jadi inflasi lebih di picu oleh ekspektasi inflasi oleh
masyarakat.
Tabel 3Pergerakan angka inflasi (1997-2000)
Bulan 1997 1998 1999 2000
Januari 1.03 6.88 2.97 1.32Februari 1.05 12.76 1.26 0.07Maret -0.12 5.49 -0.18 -0.45April 0.56 4.770 -0.68 0.56Mei 0.119 5.24 -0.28 0.84Juni -0.17 44.64 -0.34 0.50Juli 0.66 8.56 -1.05 1.28Agustus 0.88 6.30 -0.93 0.51September 1.29 3.75 -0.66 -0.06Oktober 1.99 -0.27 -0.06 1.16Nopember 1.65 0.08 0.25 1.32Desember 2.04 1.42 1.73 1.94
Total 11.05 77.63 2.01 9.35
Sumber: Biro Pusat Statistik
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 20 [email protected]
Tabel 2Data Ekonomi Makro Indonesia dan ASEAN-6
A. Income Per Kapita dan Pertumbuhan GDP
Per CapitaGDP1995(US$)
GDP Growth(average % per annum)
GDP Growth(% per annum)
1970-80 1981-90 1990 1991 1992 1993 1994
Indonesia 980 7.2 6.0 9.0 8.9 7.2 7.2 7.5Malaysia 3,890 7.9 5.2 9.7 8.6 7.8 8.4 9.4Philippines 1,050 5.9 1.0 3.0 -0.6 0.3 2.1 4.4Singapore 26,730 8.3 6.5 9.0 6.7 6.3 10.4 10.3Thailand 2,740 7.1 7.9 11.2 8.4 7.8 8.3 8.8Vietnam 275 0.5 5.0 4.9 6.0 8.6 8.1 8.8
B. Savings-Rasio GDP, 1991-1997 (% dari GDP)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Indonesia 33.5 35.3 35.3 35.3 35.8 37.4 30.0Malaysia 32.0 35.0 35.4 37.6 37.2 37.5 35Philippines 16.6 14.9 13.8 14.9 14.7 16.1 16.9Singapore 44.0 47.2 48.5 51.3 52.0 55.9 56.4Thailand 35 .2 35.2 35.0 35.2 36.5 35.0 32.0Vietnam 9.1 16.9 17.4 16.9 17.0 16.7 17.7
C. Investasi-Rasio GDP, 1991-1997 (% dari GDP)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Indonesia 32.0 32.4 33.2 34.0 37.8 39.0 -Malaysia 35.8 33.6 35.3 38.4 40.6 41.5 42.8Philippines 20.2 21.3 24.0 24.1 22.3 23.2 24.7Singapore 35.1 36.4 38.4 32.2 33.9 34.5 35.4Thailand 42.2 39.9 40.9 41.6 43.1 41.7 35.0Vietnam 11.6 17.6 24.9 25.5 27.1 27.9 25.4
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 21 [email protected]
D. Current Account, 1991-1997 (% dari GDP)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Indonesia -3.3 -2.0 -1.3 -1.6 -3.5 -3.4 -3.8Malaysia -8.9 -3.8 -4.5 -5.9 -9.9 -4.9 -4.8Philippines -2.3 -1.9 -5.5 -4.6 -2.7 -4.7 -4.0Singapore 5.1 9.5 6.3 15.0 18.0 18.0 17.2Thailand -7.7 -5.7 -5.1 -5.7 -8.1 -7.9 -2.2Vietnam -2.3 -0.7 -12.4 -8.9 -10.0 -11.0 -10.0
E. External Debt Ratios, 1991-1997 (% dari GDP)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Indonesia 62.1 63.3 56.4 54.6 53.6 48.7 50.5Malaysia 38.6 34.3 40.7 40.7 39.3 29.1 28.3Philippines 71.4 62.3 66.1 62.4 53.2 52.6 52.4Singapore 11.1 9.5 9.5 10.8 9.8 14.9 15.8Thailand 38.4 37.6 34.2 33.6 33.9 48.8 46.5Vietnam 86.0 130.1 138.9 149.0 181.3 - -
F. Budget-GDP Ratio, 1990-1995 (% dari GDP)
1990 1991 1992 1993 1994 1995
Indonesia 1.8 -0.7 -0.4 -0.4 0.2 -0.2Malaysia -3 -2 -0.8 0.2 2.4 0.3Philippines -3.5 -1.8 -1.2 -1.4 1.0 0.5Singapore 2.7 4.7 5.5 4.4 3.6 5.1Thailand 4.9 4.0 2.6 1.9 2.7 2.8Vietnam -8.0 -3.7 -3.7 -6.0 -2.5 -1.1
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 22 [email protected]
G. Consumer Price Inflation, 1991-1997 (% per tahun)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Indonesia 9.0 8.3 9.3 8.5 9.3 6.5 11.6Malaysia 4.0 4.8 3.6 3.7 3.4 3.5 2.6Philippines 19.0 8.4 7.8 9.4 7.9 8.4 5.1Singapore 3.4 2.3 2.3 3.1 1.7 1.4 2.0Thailand 6.0 3.8 3.6 5.3 5.0 5.8 5.6Vietnam 67.6 17.5 5.2 14.5 12.7 4.5 4.4
Sumber : Asian Development Bank (1996)
Bertarung dalam lumpur AFTA
AFTA bagi Indonesia adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi,
perdagangan bebas menyediakan sederet peluang dan harapan,
namun di sisi lain berpotensi menggilas yang tidak siap melalui
persaingan tanpa ampun. Beberapa hal, oleh karenanya perlu
ditekankan kembali agar setiap kebijakan ekonomi ke depan dapat
selalu diproyeksikan pada peningkatan daya saing sembari
memperhatikan ketahanan ekonomi nasional, yaitu bahwa: 1)
ketergantungan antar berbagai kekuatan ekonomi di kawasan akan
semakin besar dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian
domestik Indonesia, khususnya yang paling perlu diwaspadai adalah
transaksi perdagangan dan arus investasi asing langsung; 2) melihat
berbagai indikator yang ada, Indonesia tidak dapat berharap terlalu
banyak dari AFTA kecuali Indonesia dapat menciptakan terobosan-
terobosan di bidang perdagangan secara cukup spektakuler.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 23 [email protected]
Keunggulan komparatif yang relatif rendah, kemiripan produk-produk
ekspor andalan di antara sesama anggota AFTA, adalah antara lain
yang mendasari asumsi ini; 3) Indonesia masih cukup dapat berharap
banyak dari transaksi perdagangan unilateral maupun perdagangan
melalui media lain seperti APEC, dimana partner-partner dagang
tradisional Indonesia berada. Namun hal ini bukan berarti Indonesia
harus meninggalkan AFTA karena bagaimanapun AFTA adalah
fenomena regional yang menyiratkan lebih banyak ketidakpastian
apabila dihindari. Belajar dari pengalaman Inggris dalam konteks
masyarakat ekonomi eropa, yang kiranya perlu dilakukan adalah
menyiasati agar lahan yang sebenarnya “menjanjikan” tersebut dapat
bermanfaat seoptimal mungkin bagi perekonomian nasional; 4)
dibidang investasi, keberadaan AFTA menjadi penting bagi Indonesia
untuk menarik kembali sepenuhnya capital flight yang terjadi selama
periode krisis ekonomi. Oleh karenanya, disamping perlu menciptakan
suasana kondusif di dalam negeri, Indonesia juga perlu semakin aktif
melakukan promosi keluar. Meskipun faktor kekayaan alam yang
melimpah serta jumlah pasar yang besar (210 juta orang) secara
natural akan memposisikan Indonesia sebagai lahan subur bagi
investasi, namun perlu diingat bahwa investasi selalu bergerak
berdasarkan motivasi profit dari revenue. Perlu diingat bahwa negara-
negara lain seperti China, India, Thailand, Vietnam, dan bahkan
Kamboja dapat menjadi lebih menarik di mata investor jika Indonesia
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 24 [email protected]
tidak jeli menangkap peluang yang ada. Dalam rangka ini AFTA
tampaknya akan dapat diandalkan sebagai mediator yang efektif.
Akhir kata, impian untuk menjadi kekuatan ekonomi yang solid di
kawasan Asia Tenggara dengan berbasis pada kekayaan sumber
daya alam, jumlah penduduk (pasar) yang besar, dan pertumbuhan
ekonomi yang stabil tampaknya masih memerlukan kerja keras dan
kecerdasan extra. Menurut teori pembangunan terencana Suharto dan
berbagai fakta pertumbuhan selama masa pemerintahannya,
semestinya Indonesia sudah berada dalam tahap tinggal landas
dalam artian telah lepas dari berbagai bentuk keterbelakangan
ekonomi sekaligus confident dalam mengantisipasi fenomena-
fenomena strategis semisal perdagangan bebas. Namun
kenyataannya, memasuki tahun kesepuluh millenium kedua ini
Indonesia masih berjuang dengan krisis-krisis multidimensi yang tidak
hanya cenderung melemahkan performance ekonomi melainkan juga
meniadakan kemampuan untuk memanfaatkan setiap peluang yang
ada sekaligus menyisakan perasaan khawatir akan terlindas roda
ekonomi global yang semakin hari semakin berputar cepat.
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 25 [email protected]
Referensi:Asian Development Bank (ADB), Key Indicators of Developing Asian and Pacific
Countries 1996, Manila, 1996ASEAN Website (2002), http//www.asean.or.idASEAN Secretariat, AFTA Reader, Question and Answer on the CEPT for AFTA,
Jakarta, 1995ASEAN Secretariat, AFTA Reader, Vol IV: The fifth ASEAN Summit, Jakarta,
1996AFTA Watch, ‘Regional Cooperation: Vision 2020 Plan Take Shape’, AFTA
Monitor 5 N°7, Juli 1997AFTA in the Changing International Economy, Institute of Southeast Asean
Studies, 1996AFTA in the Changing International Economy, Institute of Southeast Asean
Studies, 1996Baldwin, P., Planning for ASEAN: How to Take Advantage of Southeast Asia’s
Free Trade Area, Economic Intellegence Unit, London, 1997Boisseau du Rocher, Sophie, l’ASEAN et la Construction Régionale en Asie du
Sud-Est, l’Harmattan, 1998Coopération et Intégration Régionales en Asie, Organisation de Coopération et
de Développement Economiqiques, Asian Development Bank, 1995_____, The Economic Transformation of Asia, Times Academic Press, 1997_____, Asian Development Outlook 1996-1997, Manila, 1997Defarges, Philippe Moreau, La Mondialisation Vers la Fin de Frontières ?,
DUNOD 1993De Sacy, Alain S., l’Asie du Sud-Est: l’unification à l’épreuve, Gestion
Internationale, HEC Eurasia Institute, 1999
Tan, Gerald, ASEAN Economic Development dan Cooperation, Times Academic Press, 1996
Gray, Malcolm, Foreign Direct Investment and Recovery in Indonesia: Recent Events and Their Impacts, Institute of Public Affairs Ltd., Melbourne, 2002
Henriot, Alain & Rol, sandrine, l’Europe Face à la Concurrence Asiatique, l’Harmattan, 2001
Raychaudory, B., Probable Enlargement of the ASEAN Free Trade Area and Implications for Investment Flows in Southeast Asia, paper presented at the conference on “Enhancing of Trade and Investment Cooperation in Southeast Asia: Challenges and Opportunities for ASEAN-10 and Beyond”, organisé par ESCAP, au Jakarta, 19-21 Fevrier 1996
UNCTAD, Handbook of Economic Integration and Cooperation Groupings of Developing Countries, Volume 1, 1996
World Bank, World Development Report, 1992, OxforUniversity Press for World Bank, 1992
Dodik Ariyanto (Rowo Thole) Page 26 [email protected]