kesiapan hukum perbankan dalam...

31

Upload: lamdang

Post on 04-May-2018

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KESIAPAN HUKUM PERBANKAN DALAM MENGANTISIPASI ALTERNATIF

PEMBIAYAAN PERUMAHAN MELALUI MUSYARAKAH MUTANAQISAH

ABSTRAK

Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia, dari tahun ke tahun kebutuhan

akan perumahan semakain meninggkat, sementara kemampuan daya beli tidak selalu

tinggi. Prinsip syariah memberikan alternatif pembiayaan pemilikan rumah yang berasas

keadilan dan keseimbangan dengan menyediakan pembiayaan perumahan melalui

Musyarakah Mutanaqisah (MMQ), yakni pembiayaan berbasis kepemilikan bersama

antara bank dan nasabah. Kepemilikan tersebut akan semakin menurun pada pihak bank,

namun akan semakin besar bagi nasabah sesuai proporsi pembayaran yang dilakukan.

Dalam implementasinya, pembiayaan melalui MMQ ini menghadapi hambatan regulasi

dan prinsip kehati-hatian perbankan. Oleh karena itu,penelitian ini bermaksud menjawab

permasalahan : 1) bagaimana kesiapan perbankan mengantisipasi pembiayaan perumahan

melalui MMQ?; 2) Apakah regulasi perbankan dan regulasi yang terkait dengan

pembiayaan MMQ dapat mengantisipasi implementasi MMQ.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif

dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis, yakni dengan menekankan analisa pada

bahan hukum primer dan selanjutnya hasil analisanya dipaparkan setelah terlebih dahulu

dianalisa secara yuridis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut : 1). Pembiayaan

perumahan MMQ yang berbasis akad saling menanggung masih dianggap berpotensi

melanggar prinsip kehati-hatian (risk taker), hal ini terbukti dengan adanya klausul

jaminan dalam akad MMQ. Di sisi lain, pemahaman tentang MMQ sebagai alternative

pemilikan rumah dengan metode penurunan porsi kepemilikan bank terhadap asset

bersama belum tinggi, sehingga dalam prakti sangat sulit membedakan antara MMQ

dengan metode konvensional; 2) Esensialia dari akad MMQ adalah adanya kepemilikan

bersama atas asset, yang porsi kepemilikan nasabahnya akan terus membesar sesuai

pembelian, sehingga menyebabkan timbulnya kepemilikan bersama. Regulasi yang ada

saat ini belum harmonis untuk mengantisipasi praktik MMQ di Indonesia. Bukti

kepemilikan bersama atas tanah dan rumah belum terakomodasi dalam hukum positif,

serta mekanisme penjaminan menjadi hambatan regulasi. Dalam akad MMQ jaminan

yang dibutuhkan adalah kepastian nasabah untuk memenuhi janji membeli, bukan

sebagai debitur. Hal ini memerlukan penafsiran terhadap fungsi jaminan dalam akad

MMQ. Dalam UU Hak Tanggungan, sangat jelas bahwa yang akan membuat perjanjian

Hak Tanggungan adalah debitur (nasabah) dan kreditur (bank), sedangkan dalam akad

MMQ nasabah dan bank adalah mitra.

I. PENDAHULUAN

Salah satu kebutuhan dasar manusia, khususnya dalam masyarakat Indonesia adalah

ketersediaan rumah sebagai tempat tinggal keluarga, tempat keluarga berinteraksi dan

membina hubungan antar anggota keluarga. Saat ini kebutuhan akan perumahan semakin

meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, namun berbanding terbalik dengan daya

beli dan ketersediaan perumahan.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan kredit properti untuk 10

tahun terakhir meningkat secara signifikan antara 12-15 %. Dari sisi pasokan perumahan,

berdasarkan informasi dari Kementerian Perumahan Rakyat, Back log perumahan setahun

(ratio kekurangan pasokan rumah baru setiap tahun terhadap jumlah pertumbuhan rumah

tangga baru) adalah sebagai berikut 1:

a. Jumlah rumah tangga baru yang membutuhkan rumah sebanyak 800.000 setiap

tahun

b. Jumlah pasokan rumah baru rata-rata sebanyak 300.000 unit per tahun

c. Rasio kepemilikan rumah adalah dari 8 rumah tangga baru yang ter cover hanya 3

unit.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan akan perumahan masih

merupakan problem yang harus dicarikan jalan keluarnya. Fakta lain yang harus dihadapi

adalah krisis global yang memicu runtuhnya kepercayaan masyarakat, khususnya investor

untuk menanamkan uangnya pada bisnis properti. Kasus rekayasa finansial melalui subprime

mortgage mengakibatkan para pelaku usaha, termasuk properti berupaya mengembangkan

1 Hanawijaya, Kesiapan Perbankan Dalam PelaksanaanSecara Teknis Konsep Akad Pembiayaaan Musyarakah

Mutanaqishah (MMQ) Untuk Pembiayaan Pemilikan Rumah Berdasarkan Shirkahtul Al Milk /Kepemilikan

Bersama (Co Ownership Asset), Makalah disampaikan pada Workshop Akad Pembiayaan Musyarakah

Mutanaqishah (MMQ) Sebagai Media Pengikatan Syariah, Jakarta, 2010

sistem pembiayaan perumahan yang aman, pasti dan bersahabat, baik dengan pemilik dana

maupun dengan mereka yang membutuhkan rumah.

Sejalan dengan terjadinya transformasi sistem ekonomi global dari konvensional ke

syariah 2, maka saat ini berkembang pula konsep pembiayaan perumahan syariah melalui

musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) yakni bentuk kerjasama antara dua

pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dalam Musyarakah Mutanaqisah

(MMQ) hak kepemilikan salah satu pihak akan berkurang, sementara pihak yang lain

bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme

pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan

beralihnya seluruh porsi kepemilikan asset dari Bank kepada nasabah.

Musyarakah Mutanaqishah adalah akad pembiayaan perumahan yang diturunkan dari akad

musyarakah. Berdasarkan kamus perbankan syariah yang dikeluarkan Bank Indonesia,

musyarakah berasal dari kata syirkah , yang berarti kerjasama, perusahaan atau

kelompok/kumpulan. Selanjutnya Bank Indonesia mendefinisikan musyarakah sebagai

berikut :

“akad antara dua pemilik modal atau lebih untuk menyatukan modalnya pada usaha

tertentu, sedangkan pelaksanaannya dapat ditunjuk salah satu dari mereka. Akad ini

diterapkan pada usaha/ proyek yang sebagiannya dibiayai oleh lembaga keuangan

sedangkan selebihnya dibiayai oleh nasabah.”

2 Dualisme hukum perbankan di Indonesiasecara tegas ditandai dengan berlakunya UU No : 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syariah. Kehadiran UU ini sebelumnya sudah diamanatkan oleh UU No : 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan UU No : 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, khusunya Pasal 1 angka 3.

Pembiayaan perumahan dengan pola MMQ dalam implementasi perbankan syariah

diwujudkan dalam akad antara Bank syariah dengan nasabah untuk pembelian atau

pengadaan suatu barang (benda), dimana aset tersebut menjadi milik bersama. Selanjutnya

nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana kepada Bank untuk membeli

bagian atau porsi tertentu dari objek yang diperjanjikan. Perpindahan kepemilikan dari porsi

bank kepada nasabah seiring dengan pembayaran nasabah sebagai pembelian aset. Pada saat

pembayaran harga asset lunas, maka secara hukum kepemilikian barang atau benda tersebut

sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank terhadap barang atau

benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.

Mekanisme pembiayaan perumahan melalui MMQ ini sangat berbeda dengan sistem KPR

yang konvensional. Dalam pembiayaan perumahan melalui KPR, pemilikan atas rumah

sebagai objek KPR, sudah berpindah sejak awal akad kredit, sementara pembayaran

dilakukan secara mencicil. Untuk memastikan bahwa debitur (pemilik rumah) akan

melunasi, Bank pemberi KPR akan meminta agar rumah yang menjadi objek KPR dijadikan

jaminan pokok. Atas dasar itu, apabila debitur (pemilik rumah) wanprestasi, maka Bank

dapat mengeksekusi rumah tersebut sebagai pelunasan utang.

Dari sudut pandang hukum positif di Indonesia, implementasi pembiayaan perumahan

melalui MMQ ini terkendala oleh beberapa hal, yakni :

a. Eksistensi yuridis dari sistem kepemilikan aset bersama (co ownership) yang harus

dituangkan dalam bukti kepemilikan aset. Mengingat aset bersama ini berwujud

rumah dan tanah, maka benturan paling tajam adalah sistem sertifikasi tanah dan

rumah.

b. Hambatan yuridis lainnya adalah, bagaimana Bank mengamankan atau memastikan

bahwa nasabah akan tetap melanjutkan pembayaran cicilan untuk porsi

kepemilikannya?

c. Risiko lain yang berpotensi muncul dalam pembiayaan MMQ ini adalah

diperlukannya ijin dari mitra untuk pengalihan kepemilikan pada pihak ketiga, jika

salah seorang partner wanprestasi.

d. Selain itu, mengingat aset MMQ merupakan aset bersama, maka diperlukan regulasi

terkait dengan potensi pelimpahan beban-beban biaya transaksi, pajak serta biaya

lain yang mungkin akan menjadi beban aset tersebut.

e. Berkurangnya pendapatan bank syariah dari fee yang berasal dari sewa yang

dibebankan pada objek akad.

f. Cicilan atas beban angsuran yang dirasakan akan memberatkan nasabah pada awal

akad, dan menjadi ringan pada tahun-tahun berikutnya.

Selain problem spesifik yang terkait dengan pembiayaan melalui pola MMQ ini, maka

secara umum dunia perbankan akan menghadapi permasalahan sebagai berikut :

a. Keterbatasan sumber daya manusia yang profesional dan kompeten untuk

menangani mekanisme pembiayaan melalui MMQ.

b. Pemahaman masyarakat yang masih belum baik tentang produk perbankan syariah

termasuk MMQ.

c. Jaringan perbankan yang belum merata diberbagai daerah, sementara kebutuhan

perumahan merupakan kebutuhan pokok masyarakat sampai ke pelosok.

d. Kesiapan regulasi yang kokoh untuk mendukung implementasi pembiayaan melalui

MMQ.

Beberapa regulasi yang akan berkaitan dengan pembiayaan MMQ antara lain adalah

sistem hukum yang dapat mengakomodasikan konsep pemilikan bersama, UU Hak

Tanggungan yang dapat menerima pembebanan atas pemilikan bersama, dan tentunya

prinsip syariah yang harus ditaati.

Berdasarkan kendala-kendala yang telah diuraikan, perlu dikaji kesiapan perbankan,

khususnya kesiapan hukum perbankan dan bidang hukum yang terkait dengan sistem

pembiayaan perumahan melalui MMQ.

II. PENGATURAN PEMBIAYAAN PERUMAHAN MELALUI MUSYARAQAH

MUTANAQISAH DI INDONESIA

A. Perbankan sebagai intermediary dalam pembiayaan melalui MMQ

Mengacu pada pasal 3 UU Perbankan, fungsi utama perbankan Indonesia adalah

sebagai lembaga intermediary , yakni menghimpun dana dari masyarakat yang

memiliki kelebihan dana (surplus of fund) untuk selanjutnya disalurkan lagi dalam

bentuk jenis-jenis kredit bagi pihak yang membutuhkannya (lack of fund).

Sejalan dengan fungsi tersebut, sejak diberlakukannya Undang-Undang No : 21

tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya ditulis UU Perbankan Syariah),

perbankan Indonesia mengalami perubahan yang fundamental yakni terjadinya

dualisme hukum di bidang hukum perbankan sebagai konsekuensi dianutnya konsep

dual banking system dimana bank dapat menjalankan aktivitasnya baik dengan sistem

konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.3

3 Pengembangan perbankan syariah dilakukan dalam kerangka dual banking system berdasakan Arsitektur

Perbankan Indonesia (API) yang bertujuan memberikan pelayanan jasa perbankan yang semakin lengkap kepada

masyarakat Indonesia.

Menyikapi perubahan tersebut Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No : 3 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Undang-Undang No : 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya

ditulis UU BI) menyusun Strategi Pentahapan Pencapaian Sasaran Pengembangan

Perbankan Syariah Nasional periode tahun 2002- 2011 tentang pengembangan

perbankan syariah dan menargetkan sasaran yang harus dicapai oleh perbankan

syariah pada phase ke 3 (2008-2011) sebagai berikut :

1. Meningkatkan kinerja Bank Syariah agar minimal setara dengan Bank

konvensional dan Bank syariah internasional.

2. Meningkatkan service exelent dan ketaatan terhadap prinsip syariah.

3. Mendorong peningkatan pembiayan profit and loss sharing dengan performa

yang baik.

Berdasarkan sasaran di atas, maka pengembangan pola pembiayaan perumahan melalui

MMQ merupakan salah satu upaya untuk mencapai target yang sudah dicanangkan.

Diharapkan perbankan syariah dapat menyediakan alternaitif pembiayaan perumahan

melalui MMQ.

B. Prinsip Ekonomi Islam sebagai Dasar Pembiayaan Perumahan melalui MMQ

Pembiayaan sebagai salah satu aktivitas ekonomi merupakan salah satu unsur

pendukung dalam menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Di Indonesia,

aktivitas ekonomi semata-mata ditujukan pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

banyak, bukan pada kemakmuran individu. Hal ini tegas diamanatkan dalam Pasal 33

UUD 1945. Namun demikian, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang

terbuka, artinya bersifat kooperatif dan responsif terhadap berbagai pengaruh sistem

hukum yang ada. Pengaruh ini tidak dapat dihindari, terlebih lagi Indonesia

merupakan bagian dari organisasi perdagangan dunia, dan sebagai konsekuensinya

berbagai aktivitas ekonomi mengikuti regulasi, setidaknya mengadopsi dan

mengadaptasi aturan di berbagai negara atau yang sudah disepakati oleh berbagai

organisasi internasional yang Indonesia menjadi bagiannya.

Dualisme hukum ekonomi yakni konvensional dan syariah,, termasuk di

Indonesia tidak dapat dihindari. Mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung RI No :

2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku I Ketentuan Umum

Angka 1, Ekonomi syariah diartikan sebagai :

“ Usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan, kelompok orang, badan

usaha yang berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat

komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah”.

Namun demikian, kompilasi hukum ekonomi syariah tidak secara eksplisit

menyebutkan rumusan prinsip syariah, oleh karena itu rumusan dalam Pasal 1 Angka

12 UU No : 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberikan gambaran

tentang prinsip syariah, yakni :

“ Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan

berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam

menetapkan fatwa di bidang syariah “

Berdasarkan pengertian prinsip syariah di atas, dapat disimpulkan 2 hal bahwa :

1. Prinsip syariah adalah Prinsip Hukum Islam.

Terkait dengan aktivitas ekonomi, bertumpu pada 3 pilar yakni Aqidah, Shariah

dan Akhlaq.4 Hal inilah yang membedakannya dengan ekonomi konvensional.

Ekonomi Islam mengedepankan unsur Ketuhanan (aqidah), menjaga agar tetap

berakhlak (tidak boleh menipu, berspekulasi) dan bermuamalah sesuai syariah.

2. Prinsip Hukum Islam tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dalam

bentuk Fatwa. Pembentukan fatwa merujuk pada semua sumber hukum Islam

yakni Al-Quran, Hadis, Ijma, Qiyas, Istishsan, Istihlab, dll.

3. Fatwa ini dikeluarkan oleh lembaga yang diberi kewenangan mengeluarkan fatwa

yaitu Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional.

Secara konseptual, prinsip Syariah diyakini ideal sebagai cara berpikir yang bersifat

komprehensif dan universal 5 . Hal ini terlihat dari filosofi dasar yang membedakan

antara aktivitas ekonomi konvensional dan syariah. Aktivitas ekonomi konvensional

mendudukkan uang sebagai komoditi, bukan alat tukar. Dalam konsep ekonomi Islam,

uang hanya berfrungsi sebagai medium of exchange, storage dan measure of value.

Dengan kata lain profit hanya dihasilkan dari 2 cara yaitu : perdagangan dan kerjasama

usaha (capital dan skill).

Selain itu, transaksi- transaksi keuangan konvensional didasarkan pada aksi ingin

cepat mendatangkan keuntungan, sehingga akhirnya menyebabkan terjadinya bubble

economic yang pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang tidak hanya

berdampak negatif terhadap sektor finansial tetapi juga merambat ke sektor riil.

4 Ekonomi Islam bertumpu pada 3 Pilar yakni : Aqidah, Shariah dan Akhlaq dalam Mehmet Asutay, An Introduction

to Islamic Moral Economy, Durham Islamic Finance Summer School, Durham University, 2009 5 Mustafa E Nasution, Ekonomi Syariah : Dari Pemikiran Ke Implementasi ( Strategi Pengembangan Sektor Riil),

Seminar dan Lokakarya Nasional Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, 12 Maret

2009.

Implementasi sistem ekonomi konvensional yang menempatkan uang sebagai komoditi

inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya krisis global. Berdasarkan prinsip

syariah, sektor keuangan tidak bisa dipisahkan dari sektor rill. Penerapan prinsip syariah

secara konsisten pada sektor keuangan akan berpengaruh secara positif serta mampu

mendorong sektor riil. Keterkaitan sektor riil dan sektor keuangan dalam Islam dapat

dilihat dari beberapa hal 6:

1. Dalam Islam, keberadaan sektor keuangan adalah pendukung sektor riil sehingga

bukan sesuatu yang lepas namun saling terkait.

2. Keterkaitan antara sektor riil dan sektor keuangan dalam ekonomi Islam,

ditandai dengan mekanisme dimana setiap transaksi keuangan yang dilakukan

harus didasarkan pada underlying asset.

3. Keterkaitan antara sektor riil dan sektor keuangan ini, dan juga adanya akhlak

dalam pengelolaan keuangan mengakibatkan sektor keuangan tidak tumbuh

sendiri yang seperti saat ini membentuk kondisi bubble.

4. Akhlak dalam hal ini antara lain melarang transaksi dalam bentuk riba, maysir,

gharar dan sesuatu yang membawa mudharat manusia dan lingkungan di

sekitarnya.

Pemahaman terhadap ekonomi syariah masih ditafsirkan secara beragam, namun secara

umum ekonomi syariah ini bersumber dari ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi yang

mandiri, jadi bukan merupakan ekonomi liberal, komunis, sosialis maupun sistem ekonomi

6 Ibid.

campuran. Beberapa perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi yang

lain adalah7 :

1. Asumsi dasar/norma pokok ataupun aturan main dalam proses maupun

interaksi kegiatan ekonomi yang diberlakukan. Dalam sistem ekonomi Islam

asumsi dasarnya adalah Syariah Islam diberlakukan secara menyeluruh baik

terhadap individu, keluarga, kelompok masyarakat, usahawan maupun

pengusaha/pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk

keperluan jasmaniah maupun rohaniah.8

2. Prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan

tetap menjaga kelestarian lingkungan alam. Motif ekonomi Islam adalah

mencari keberuntungan di dunia dan di akhirat selaku Khalifatullah dengan

jalan beribadah dalam arti luas.

3. Prinsip syariah yang berupa muamalat atau hubungan antara sesama manusia

pada prinsipnya membolehkan semua kecuali ada larangannya. Dalam

pandangan ekonomi, bersyariah harus dimaknai sebagai cara menciptakan

wealth transfer dan wealth creation.9

Oleh karena itu, dalam prinsip syariah, yang harus dihindari adalah larangan-larangan yang

tidak boleh ada dalam hubungan antar manusia. 10 . selanjutnya larangan tersebut meliputi :

7 Suroso Imam Zadjuli, Sistem Pendidikan dan Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan

Ketidakadilan Dalam Rangka Membangun Masyarakat Madhani Secara Kafah, Seminar Nasional Ekonomi

Syariah, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran , Bandung, 12 Maret 2009 8 Bandingkan dengan Mehmet Asutay, op.cit, hlm : 7, bahwa pendekatan Islam dilihat sebagai suatu sistem yang

terdiri dari Tawhid; Al-adl wa’l ihsan;ikhtiyar; Fard, Rubbubiyah; Tazkiyah; Khilafah and Human Accountability

before God dan Maqasid-al shariah. 9 Mills Paul and Presley John, Islamic: Finance Theory and Practices. 10 Prudential, Pengenalan Syariah, 2008.

1. Riba : yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah ( batil) antara lain dalam

transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan

waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang

mempersyaratkan Nasabah penerima Fasilitas mengembalikan dana yang

diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah).11

2. Maisir : transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan

bersifat untung-untungan.;

3. Gharar : transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak tidak dimiliki, tidak

diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi

dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

4. Haram : yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau

5. Zalim : yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Terkait dengan pelaksanaan prinsip syariah ini, Bank Indonesia mengeluarkan Buku

Kodifikasi Produk Perbankan Syariah dalam bentuk Surat Edaran Bank Indonesia yang

mewajibkan setiap bank yang menjalankan aktivitas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

melaporkan bahwa produknya termasuk dalam buku kodifikasi produk syariah tersebut.12

11 Pelarangan riba karena riba dalam sistem konvensional zero sum game (ada yang kalah dan menang), sedangkan

dalam syariah positif sum game atau negatif sum game ( keduanya untung atau keduanya rugi) 12 Lihat SEBI no : 10/31/DPbS yang merupakan penegasan kembali dari SEBI no : 9/DpG/DPbS tertanggal 4

Oktober 2007.

C. Praktik Pembiayaan Perumahan melalui Musyarakah Mutananqisah di

Indonesia

Diperkenalkannya altenatif pembiayaan perumahan melalui MMQ dimaksudkan

menyediakan alternatif bagi nasabah untuk memilih sistem pembiayaan perumahan yang

dianggap sesuai. Berdasarkan kajian sementara, skim MMQ dianggap paling dekat dengan

prinsip syariah yang berlandaskan asas keadilan.

Mengingat bahwa MMQ merupakan salah satu jenis akad, maka tentu secara syariah

MMQ dimaksudkan untuk mengikat para pihak dan ditujukan untuk menimbulkan akibat

hukum tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian akad yaitu “ keterkaitan atau pertemuan

ijab kabul sebagai pernyataan kehendak ke dua belah pihak atau lebih untuk melahirkan

akibat hukum pada objek akad.13 Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak,

dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap

penawaran pihak pertama.

Eksistensi MMQ sebagai alternatif pembiayaan perumahan secara yuridis dikukuhkan

oleh Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (selanjutnya ditulis DSN) No :

73/DSN-MUI/XI/2008 yang antara lain menetapkan bahwa MMQ diperbolehkan.

Selanjutnya berdasarkan Fatwa tersebut ditetapkan ketentuan akadnya, yaitu :

1. Akad MMQ terdiri dari akad Musyarakah/ syirkah dan Bai’(jual beli)

13 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Kitab al Muamalat

fi Asy-Syariah al Islamiyah wa al-Qawnin al- Mishriyah, I, hlm 139 dikutip dari Uswatun Hasanah,Aspek Hukum

Islam Pada Akad Musyarakah Mutanaqisah, Makalah pada Worshop MMQ Sebagai Pilihan yang tepat Untuk

Pembiayaan Pemilikan Rumah,Jakarta, 2010.

2. Dalam MMQ berlaku kaidah kaidah tentang hak dan kwajiban para pihak

sebagaimana diatur dalam fatwa DSN No : 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

pembiayaan Musyarakah. Beberapa ketentuan tersebut mengatur bahwa :

a. Memberikan modal kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad

b. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad

c. Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.

3. Dalam akad MMQ, pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah

nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.

4. Jual beli dilaksanakan sesuai kesepakatan

5. Setelah pelunanasan penjualan, seluruh hishshah beralih kepada syarik lainnya (nasabah).

Selain ketentuan akad di atas, terdapat ketentuan khusus terkait dengan MMQ, yaitu :

a. Aset MMQ dapat diijarahkan kepada syarik atau pihak lain

b. Apabila aset menjadi objek jarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut

dengan nilai ujrah yang disepakati.

c. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah

disepakati dalam akad, sedangkan keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi

kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.

d. Porsi kepemilikan aset musyarakah yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik

(nasabah) harus jelas dan disepakati dalam akad.

e. Biaya perolehan aset musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan

kepemilikan menjadi beban pembeli.

Selanjutnya, dalam fatwa DSN –MUI tersebut ditegaskan bahwa dalam hal terjadi

sengketa para pihak maka penyelesaian sengketa nya tunduk pada ketentuan yang berlaku

dan sesuai dengan prinsip syariah.

III. PEMBIAYAAN PERUMAHAN MELALUI MUSYARAKAH MUTANAQISAH

ALTERNATIF PEMBIAYAAN YANG BERKEADILAN

A. Kesiapan Perbankan Syariah dalam Pembiayaan Perumahan melalui MMQ

1. Perbankan Syariah sebagai lembaga intermediary dalam praktik pembiayaan perumahan

melalui MMQ

Praktik pembiayaan MMQ sebagai alternatif pembiayaan perumahan mendapatkan

landasan hukumnya ketika diterbitkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia ( DSN-MUI) no : 73/DSN-MUI/XI/2008 tanggal 14 November 2008

TentangMusyarakah Mutanaqisah (MMQ). Berdasakan Fatwa tersebut MMQ diartikan

sebagai “musyarakah atau syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu

pihak (syarik) berkurang disebabkan oleh pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya”.

Terkait dengan transaksi atau akad MMQ, maka dalam mekanisme MMQ

berdasarkan Fatwa DSN No : 73/DSN-MUI/XI2008 diharuskan memenuhi ketentuan sebagai

berikut :

a. Akad MMQ terdiri dari akad musyarakah/syirkah dan Ba’I (jual beli).

b. Berlaku ketentuan tentang pembiayaan musyarakah sebagaimana diatur dalam Fatwa

DSN No : 08/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para pihaknya

berkewajiban sebagai berikut :

1) Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad.

2) Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad.

3) Menanggung kerugian sesuai proporsi modal

4) Dalam akad MMQ pihak pertama (syarik) wajib berjanji utnuk menjula seluruh

hishshah nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.

5) Jual beli dilaksanakan sesuai kesepakatan

6) Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah beralih kepada syarik

lainnya (nasabah)

7) Apabila asset MMQ menjadi objek ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa

asset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.

8) Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang

telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi

kepemilikan. Nisbah keuntungan akan mengikuti perubahan proporsi kepemilikan

sesuai kesepakatan para syarik.

9) Kadar/ukuran bagian/porsi kepemilikan asset MMQ syarik yang berkurang akibat

pembayaran oleh syarik (nasabah) harus jelas dan disepakati dalam akad.

10) Biaya perolehan asset MMQ menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan

kepemilikan menjadi beban pembeli.

Mengacu pada prinsip syariah yang berlaku pada pembiayaan melalui MMQ tersebut,

perbankan syariah dapat menggunakan MMQ tersebut untuk membiayai kebutuhan akan pemilikan

rumah (home financing). Disamping itu, perbankan dapat melakukan inovasi dalam pembiayaan

perumahan MMQ dengan menawarkan akad ijarah yang akan menjadi sumber keuntungan bagi

nasabah. Dengan demikian, selain memperoleh rumah pada akhirnya, nasabah akan

mendapatkan porsi keuntungan secara proporsional terhadap bagian asset yang sudah

dibelinya.

2. MMQ memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak

Pembiayaan MMQ secara teori lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi

nasabah yang berkeinginan memiliki rumah. Hal ini dapat disimpulkan dari mekanisme

MMQ :

1. Akad MMQ yang dibuat antara Bank dan Nasabah

2. Modal yang disediakan Bank untuk pembiayaan perumahan dan kepemilikan

3. Nasabah membeli secara proporsi sesuai akad

4. Nasabah memperoleh kepemilikan secara bertahap

5. Nasabah dapat memanfaatkan rumah dengan akad akad ijarah;

Mengacu pada mekanisme MMQ, maka akad MMQ mememiliki beberapa keunggulan

antara lain :

1. Bank dan nasabah memiliki asset MMQ secara bersama-sama, sehingga ke dua belah

pihak akan bertanggungjawab atas asset tersebut.

2. Ke dua belah pihak akan menerima pembagian keuntungan berdasarkan bagi hasil secara

proporsional

3. Bank dan nasabah dapat menyepakati perubahan harga sewa sesuai dengan harga pasar,

mengingat asset tersebut milik bersama dan untuk kepentingan bersama.

4. Dapat menyesuaikan terhadap perubahan harga pasar dan biaya yang harus dikeluarkan.

Prinsip keadilan dan kepastian hukum terlihat dari porsi kepemilikan atas MMQ yang akan

menjadi milik nasabah sesuai dengan pembayaran pembelian asset secara bertahap, dan

bagian keuntungan serta kerugian sesuai porsi kepemilikan. Berdasarkan mekanisme MMQ,

nasabah diharapkan berkeinginan kuat membeli secara bertahap sesuai harga yang disepakati,

mengingat sebagian rumah tersebut sudah menjadi miliknya. Selain itu, nasabah dapat

memanfaatkan rumah tersebut dengan membuat akad ijarah dengan Bank, dan mendapatkan

bagian keuntungan dari ujrah tersebut.

B. Hambatan dalam implementasi MMQ di Indonesia

1. Penerapan prinsip kehati-hatian yang rigid

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sampai dengan Juni 2010, praktik

pembiayaan perumahan melalui MMQ oleh perbankan syariah di Indonesia belum optimal.

Hal ini terlihat dari karakteristik jenis pembiayaan syariah yang digunakan oleh Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana tabel di bawah ini :

Tabel 1 :

Data jenis pembiayaan syariah oleh BUS dan UUS

Rp Miliar

Jenis akad Jumlah pembiayaan %

1. Akad Mudharabah (bagi hasil) 63.453 3%

2. Akad musyarakah ( bagi hasil) 178.137 10%

3. Akad murabahah ( jual beli) 1.487.086 79%

4. Akad salam (jual beli) 160 0%

5. Akad istishna (jual beli) 33.376 2%

6. Akad ijarah (sewa) 9.725 1%

7. Akad Qard 64.401 3%

8. Multi jasa 39.232 2%

Jumlah 1.873.570

Sumber : Hanawijaya, paper dlm workshop akad MMQ sbg media pengikatan KPRS, 2010.

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa baik Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha

Syariah masih sangat berhati hati menggunakan akad berbasis profit loss sharing (bagi

hasil). Bagian terbesar dalam praktik perbankan syariah masih didominasi oleh akad-akad

berbasis marjin (margine based income) dan berbasis komisi (fee based income).

Berdasarkan data di atas, akad mudharabah (3%) dan musyrakah (10%) yang berbasis bagi

hasil masih belum optimal. Dapat difahami mengingat perbankan masih mengacu pada

prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan inovasi-

inovasi yang diperbolehkan baik berdasarkan regulasi yang ada tanpa mengabaikan prinsip

syariah untuk meningkatkan MMQ di masa yang akan datang.

2. Antisipasi perbankan syariah dalam implementasi MMQ

Pengertian penerapan prinsip kehati-hatian perbankan harus ditafsirkan secara baik dengan

melakukan inovasi-inovasi, khususnya pengembangan sumber daya manusia yang benar2

profesional berdasarkan prinsip syariah. Kesalahan pembiayaan syariah, khususnya MMQ

yang berbasis profit loss sharing based yang dapat berujung pada kerugian ,masih

ditafsirkan sebagai pelanggaran prinsip kehati-hatian. Perbankan syariah perlu

mengantisipasi dan meminimalisasi potensi kerugian dengan melakukan beberapa hal :

a. Menyiapkan sumber daya manusia yang secara komprehensif memahami prinsip dan

mekanisme MMQ.

SDM menjadi sangat urgen dalam implementasi MMQ sebagai alternative pembiayaan

pemilikan rumah. Pola pembiayaan perumahan selama bertahun-tahun menggunakan

pola perjanjian KPR berbasis pada utang piutang, sedangkan MMQ menggunakan pola

saling menanggung untung dan rugi, sehingga benar2 diperlukan ketelitian dan

kehandalan SDM dalam menghitung porsi kepemilikan bank dan nasabah terhadap asset

MMQ.

b. Pengelolaan risiko sesuai dengan regulasi manajemen risiko, khususnya risiko hukum.

Hal ini perlu diantisipasi mengingat banyak aspek yuridis yang memerlukan penyelesaian

baik dalam tataran praktis maupun teoritis. Kepemilikan bersama atas asset MMQ akan

berpotensi menimbulkan sengketa apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.

Kesulitan untuk mengeksekusi objek MMQ apabila terjadi wanprestasi harus diberikan

jalan keluar dalam kontrak/akad berdasarkan prinsip syariah yang disepakati oleh para

pihak. Eksekusi objek tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan pihak lain, mengingat

sebagian objek MMQ adalah milik nasabah. Hal ini berbeda dengan Kredit pemilikan

rumah, dimana rumah objek KPR wajib menjadi jaminan utang nasabah debitur kepada

kreditur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka Bank selaku pemegang jaminan

kebendaan (hak tanggungan) memiliki parate eksekusi untuk mengambil pelunasan

utang.

c. Partisipasi aktif bank sebagai pemilik asset/sebagian asset MMQ.

Perbankan perlu mengubah posisi dari kreditur dalam KPR menjadi mitra nasabah, olej

karena itu bank dalam memberikan pembiayaan melalui MMQ perlu memberikan

penjelasan dan pemahaman yang benar pada nasabah bahwa pola saling menanggung

secara fundamental berbeda dengan KPR. Pemahaman nasabah secara benar ini sangat

relevan karena dalam praktik perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional

yang menekankan pada bunga. Hal ini terlihat dari jenis pembiayaan syariah yang

polanya memeliki karakter yang dekat dengan karakter konvensional selalu mengacu atau

setidaknya mendekati pola konvensional.

d. Kerjasama anatara Bank dan nasabah secara proporsional.

Kerjasama antara Bank dan nasabah dalam mekanisme MMQ sangat diperlukan

mengingat kedudukan bank dan nasabah adalah kemitraan. Pemahaman yang sama

terhadap pola MMQ harus sama, sehingga prinsip saling menanggung dapat berjalan

dengan baik.

3. Hambatan Regulasi terkait dengan implementasi MMQ.

Regulasi yang menjadi landasan mekanisme MMQ saat ini masih menggunankan beberapa

aturan yang belum sinkron dengan mekanisme MMQ. Beberapa regulasi yang terkait dengan

mekanisme MMQ adalah :

a. Hukum perdata, terkait dengan konsep kepemilikan bersama atas asset tidak bergerak,

khususnya bukti kepemilikan atas kepemilikan bersama. Hukum positif Indonesia masih

mencantumkan nama pemilik pada bukti kepemilikan. Hal ini akan sangat menyulitkan

untuk pendaftaran asset MMQ, yang sifatnya berubah selama masa akad.

b. Hukum Jaminan, khususnya Hak Tanggungan terkait dengan klausul jaminan objek

MMQ dalam akad MMQ.14

14 Akad MMQ antara Bank Syariah ( tanpa nama) dengan nasabah .

Berkaitan dengan kepemilikan bersama atas rumah dan tanah, hal ini juga berhubungan

dengan hukum jaminan atas asset tidak bergerak. Dalam praktik akad MMQ, dalam akad

MMQ antara Bank Syariah dengan Nasabah terdapat klausul jaminan, dimana objek

MMQ menjadi jaminan. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang menjaminkan dan

untuk kepentingan siapa? Dalam sistem hukum jaminan di Indonesia,objek jaminan

selalu benda milik debitur yang dipergunakan untuk memberikan kepastian bagi kreditur

bahwa debitur akan membayar utang-utangnya pada kreditur. Hal ini bertentangan

dengan konsep MMQ dimana asset adalah milik bersama antara bank dan nasabah; bank

dan nasabah tidak berkedudukan sebagai kreditur dan debitur melainkan mitra yang akan

saling menanggung. Mengacu pada akad MMQ yang digunakan oleh perbankan syariah

saat ini dapat dikatakan bahwa praktik perbankan syariah belum mengacu pada pola

MMQ berdasarkan prinsip syariah.

c. Hukum Pajak, khususnya biaya pajak balik nama khusus untuk nasabah dengan akad

MMQ.15

C. Strategi optimalisasi Pembiayaan Perumahan melalui MMQ

1. Kesiapan regulasi untuk mengantisipasi implementasi MMQ di Indonesia.

Bank Indonesia selaku otoritas perbankan di Indonesia perlu mengeluarkan aturan yang

secara spesifik digunakan oleh perbankan untuk mengatasi hukum positif yang tidak

mengakomodasikan MMQ. Beberapa masalah yang memerlukan pengaturan secara

spesifik baik dalam akad maupun melalui regulasi sesuai dengan hasil kajian Bank

Indonesia adalah hal –hal yang berkaitan dengan pemenuhan unsur musyarakah /prinsip

15 Hanawijaya (Direktur Bank Syariah Mandiri), Kesiapan Perbankan Dalam Pelaksanaan Secara Teknis Konsep

AKad MMQ Untuk Pembiayaan Pemilikan Rumah Berdasarkan Shirkahtul Al Milk/Kepemilikan Bersama (Co

Ownership Asset), Workshop AkadPembiayaan MMQ Sebagai Media Pengikat KPRS, Jakarta, 2010.

syariah; legalitas dan likuidasi; harga dan mekanisme pembayaran; hak dan kewajiban

para pihak; akuntansi dan pelaporan.

2. Sistem pencatatan MMQ yang didukung oleh sistem dan teknologi.

Berdasarkan pengalaman praktik MMQ pada perbankan syariah , pencatatan akuntansi

MMQ merujuk kepada pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) yang mengatur

tentang akuntansi musyarakah no.ED PSAK no: 106 Tahun 2006 yang didalamnya

mengatur tentang pencatatan transaksi MMQ. Berdasarkan PSAK tersebut, hal yang perlu

dicatat adalah mengenai akuntansi mitra pasif ( Bank) dan mengenai akuntansi mitra aktif

( nasabah). Salah satu pencatatan sistem akuntansi pada MMQ antara lain : penurunan

porsi kepemilikan; pengakuan hasil usaha dan perlakuan jika nasabah gagal bayar

(default)

3. Perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam pembiayaan

perumahan melalui MMQ

Kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap para pihak dalam akad MMQ

diawali dengan pemahaman yang benar tentang MMQ itu sendiri. Dengan demikian,

sosialisasi secara berkelanjutan merupakan salah satu upaya mengoptimalisasi sistem

MMQ ini. Penekanan keuntungan pembiayaan perumahan melalui MMQ merupakan hal

yang sangat penting, namun demikian potensi timbulnya sengketa, khususnya ketiadaan

regulasi yang harmonis harus diberikan jalan keluarnya. Penylesaian sengketa non

litigasi, khususnya medaiasi perbankan untuk sementara waktu lebih memberikan

jaminan perlindungan hukum dibandingkan jalur litigasi.

4. Kepastian Hukum atas Objek MMQ berdasarkan hukum positif di Indonesia.

a. Berdasarkan objeknya, pembiayaan perumahan dengan MMQ akan bersentuhan

dengan hukum pertanahan dan hukum jaminan di Indonesia. MMQ atau transaksi

pengambilalihan kepemilikan atas tanah/rumah secara bertahap menimbulkan

kepemilikan bersama atas asset (rumah dan tanah) untuk kurun waktu tertentu.

Secara yuridis, dalam masa akad, status kepemilikan atas objek MMQ adalah

milik bersama. Hal ini akan berdampak terhadap akad atau perjanjian yang akan

dibuat , khususnya berkaitan dengan hak-hak para pihak. Beberapa klausul yang

harus dimuat sesuai dengan prinsip syariah antara lain adalah : pengaturan porsi

secara menurun selama masa akad; perjanjian kepemilikan bersama atas objek

MMQ; pengaturan objek MMQ sebagai agunan untuk menjamin kepastian

pembelian asset oleh nasabah; pengaturan persetujuan pengalihan kepada pihak

ketiga dalam hal nasabah wanprestasi. Dan pendaftaran tanah dan rumah sebagai

prosedur untuk membuktikan kepemilikan atas objek MMQ.

Berkaitan dengan klausul-klausul yang seharusnya dimuat dalam akad MMQ tersebut,

maka perlu diperhatikan aspek hukum pertanahan dan hukum jaminan yang berlaku

sebagai hukum positif di Indonesia.

5. Kepastian hukum Hak atas Tanah.

Berdasarkan Pasal 19 UU No : 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria ( UUPA),

pemerintah diamanatkan untuk mengadakan pendaftaran tanah semua bidang tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Selanjutnya, mengacu pada Peraturan Pemerintah No : 24 tahun 1997 tentang

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, diatur hal sebagai berikut :

a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan

yaitu : pengukuran dan perpetaan; pembuktian hak yaitu menentukan siapa yang

berhak atas tanah serta batas-batasnya; pembukuan data secara yuridis dan data

fisik dalam daftar umum yaitu daftar tanahh, daftar nama, buku tanah dan daftar

surat ukur; penerbitan sertifikat (salinan buku tanah dan surat ukur) yang berlaku

sebagai alat bukti yang sah.

b. Pemeliharaan dan pendaftaran tanah : merupakan pencatatan/pendaftaran

peralihan, pembebanan dan perubahan data pendaftaran tanah pada daftar umum

dan pada sertifikat hak atas tanahnya. Hal ini dimaksudkan agar objek yang telah

didaftarkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Mengacu pada norma di atas, maka objek MMQ berupa tanah dan rumah seharusnya

memenuhi persyaratan di atas. Meskipun sistem perndaftaran tanah di Indonesia

bersifat negative, dalam arti nama yang terdaftar tidak menutup kemungkinan

seseorang yang benar-benar pemilik tanah menggugat, namun permasalahan dalam

MMQ adalah bahwa selama masa akad objek MMQ dimiliki bersama. Hal ini lah

yang belum diakomodasikan dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia.

6. Pembebanan atas objek MMQ berdasarkan UU No : 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan atas Tanah dan Benda-benda yang terkait dengan Tanah (UUHT).

Berdasarkan UUHT, pihak yang berhak membuat perjanjian pembebanan Hak

Tanggungan adalah Debitur dan Kreditur untuk memberikan kepastian hukum bagi

kreditur bahwa debitur akan membayar utangnya. Berdasarkan kedudukan para pihak

tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu pihak dalam hal ini Bank menjadi

kreditur dan nasabaha berkedudukan sebagai debitur. Secara hukum, berdasarkan

Pasal 6 UUHT, bank selaku kreditur berhak mengeksekusi objek HT apabila debitur

wanprestasi.

Permasalahan dalam MMQ adalah bahwa para pihak dalam akad MMQ bukanlah

kreditur dan debitur melainkan sebagai pemilik bersama atas objek MMQ. Oleh

karena itu, UUHT tidak dapat diperlakukan sepenuhnya dalam praktik MMQ. Dalam

praktik, klausul jaminan yang mengikat objek MMQ semata-mata dibuat untuk

memastikan bahwa nasabah akan membeli sesuai tahapan yang diperjanjikan. Oleh

karena itu perlu dibuat klausul bahwa sifat penjaminan harus lah disetujui , dan

nasabah memberikan kepercayaan kepada bank untuk menyimpan jaminan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Terhadap permasalahan hukum yang timbul dalam implementasi Musyarakah

Mutanaqisah dalam pembiayaan perumahan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Perbankan Indonesia belum secara optimal menggunakan Musyarakah

Mutanaqisah sebagai alternative pembiayaan perumahan. Hal ini terlihat dari

kecilnya persentase akad bagi hasil, baik mudharabah maupun musyarakah (

termasuk MMQ) dalam praktik perbankan syariah sebesar 13 %. Fakta ini

menunjukkan bahwa perbankan masih sangat mengutamakan prinsip kehati-

hatian. Pembiayaan perumahan MMQ yang berbasis akad saling menanggung

masih dianggap berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking

principle), hal ini terbukti dengan adanya klausul jaminan dalam akad MMQ. Di

sisi lain, pemahaman tentang MMQ sebagai alternatif pemilikan rumah dengan

metode penurunan porsi kepemilikan bank terhadap asset bersama belum tinggi,

sehingga dalam praktis sangat sulit membedakan antara MMQ dengan metode

konvensional.

2. Esensialia dari akad MMQ adalah adanya kepemilikan bersama atas asset, yang

porsi kepemilikan nasabahnya akan terus membesar sesuai pembelian, sehingga

menyebabkan timbulnya kepemilikan bersama. Regulasi yang ada saat ini belum

harmonis untuk mengantisipasi praktik MMQ di Indonesia. Bukti kepemilikan

bersama atas tanah dan rumah belum terakomodasi dalam hukum positif, serta

mekanisme penjaminan menjadi hambatan regulasi. Dalam akad MMQ jaminan

yang dibutuhkan adalah kepastian nasabah untuk memenuhi janji membeli, bukan

sebagai debitur. Hal ini memerlukan penafsiran terhadap fungsi jaminan dalam

akad MMQ. Dalam UU Hak Tanggungan, sangat jelas bahwa yang akan membuat

perjanjian Hak Tanggungan adalah debitur (nasabah) dan kreditur (bank),

sedangkan dalam akad MMQ nasabah dan bank adalah mitra.

B. SARAN

1. Diperlukan harmonisasi dan penafsiran hukum positif yang diperluas terhadap

legalisasi kepemilikan dan penjaminan atas asset bersama dalam MMQ, agar

tercipta landasan hukum bagi MMQ sebagai alternatif pembiayaan perumahan

secara syariah.

2. Perlu dibangun sistem yang mampu bersifat transparan dan akuntabel guna

memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak, khususnya

nasabah, terkait dengan porsi kepemilikan dan pembayaran.

3. Diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan untuk memberikan pemahaman yang

benar dari keuntungan mekanisme MMQ bagi para nasabah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bank Indonesia, Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Jakarta, 2007

Mervyn K lewis & Latifa M Algaoud, Perbankan Syariah, Serambi, 2001.

Mills Paul and Presley John, Islamic: Finance Theory and Practices.

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945;

Undang-undang No : 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria.

Undang-undang No : 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-benda

yang terkait dengan tanah.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No : 23 Tahun

1999 Tentang Bank Indonesia

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang No : 7 Tahun

1992 tentang Perbankan.

Undang-undang No : 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Peraturan Pemerintah No : 24 tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Surat Edaran Bank Indonesia No : 10/31/DPbS Tentang Penyampaian Buku Kodifikasi

Produk Perbankan Syariah.

Jurnal, Makalah , Artikel

Hanawijaya, Kesiapan Perbankan Dalam PelaksanaanSecara Teknis Konsep Akad

Pembiayaaan Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) Untuk Pembiayaan

Pemilikan Rumah Berdasarkan Shirkahtul Al Milk /Kepemilikan Bersama (Co

Ownership Asset), Makalah, Jakarta, 2010

Gemala Dewi, Peran Perbankan Dalam Melaksanakan MMQ dan Permasalahannya,

Makalah, Workshop Tentang Program Pembiayaan Perumahan Secara Syariah

Khususnya Terkait MMQ, Jakarta, 2010

Mehmet Asutay, An Introduction to Islamic Moral Economy, Durham Islamic Finance

Summer School, Durham University, 2009

Prudential, Pengenalan Syariah, 2008.

Suroso Imam Zadjuli, Sistem Pendidikan dan Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan

Kemiskinan dan Ketidakadilan Dalam Rangka Membangun Masyarakat

Madhani Secara Kafah, Seminar Nasional Ekonomi Syariah, Fakultas

Ekonomi Universitas Padjadjaran , Bandung, 12 Maret 2009

Uswatun Hasanah,Aspek Hukum Islam Pada Akad Musyarakah Mutanaqisah, Makalah pada

Worshop MMQ Sebagai Pilihan yang tepat Untuk Pembiayaan Pemilikan

Rumah,Jakarta, 2010.