kembali ke agraria · padjadjaran, bandung, dan sosiologi pedesaan di sekolah pascasar-jana ipb...

500

Upload: lynhan

Post on 03-Apr-2018

265 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan
Page 2: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

Kembali

ke Agraria

Page 3: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 2 :

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyakciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurutperaturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaanatau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana denganpidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

Kembali

ke Agraria

Usep Setiawan

Prolog: Noer Fauzi

Epilog: Dianto Bachriadi

Page 5: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

Kembali ke Agraria©Usep Setiawan

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia(Agustus 2010) oleh:

STPN PressJl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, SlemanYogyakarta, 55293Tlp. (0274) 587239Faxs: (0274) 587138

Bekerjasama dengan

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)Jl. Duren Tiga No. 64 Jakarta SelatanTlp. (021) 79191703Faxs: (021) 79190264E-mail: [email protected]: www.kpa.or.id

Sajogyo InstituteJl. Malabar 22 Bogor, jawa BaratTlp/Faxs: (022) 8374048E-mail: [email protected]

Penulis : Usep SetiawanEditor : Tim SainsLayout/Cover : Aqil NF

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Kembali ke AgrariaKPA, STPN, SAINS, 2010xvii + 481 hlm.: 15 x 23 cmISBN: 978-6208-1295-58-3

Page 6: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

v

Kata PengantarKetua Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional

Pertama-tama kami menyambut gembira atas terbitnya bukukarangan rekan Usep Setiawan berupa kumpulan tulisan di ber-

bagai media cetak, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalamistilah pengarangnya buku ini disebut sebagai ‘cermin kesaksian diri‘dalam mendorong perlaksanaan reforma agraria sebagai agendapenting bangsa guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatdi Indonesia.

Bagi kalangan pegiat pergerakan agraria tentu saja nama dankiprah rekan Usep Setiawan sudah tak asing lagi, karena di situlahtitian pelibatan perjuangannya sejak awal. Namun kini, terutamasemenjak tahun 2005, nama dan kiprah rekan Usep Setiawan telahmelewati batas genting, yaitu dikenal makin akrab dan bahkanmenjadi salah satu tokoh mitra yang berdampingan dan bergerakaktif bersama para pejabat birokrasi agraria, khususnya Badan Perta-nahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) untuk bersama-sama‘menggenapi’ perjuangan yang dikenal dengan ‘reforma agraria’.

Di lingkungan para scholar, kehadiran dan peran tokoh UsepSetiawan juga patut dicatat. Di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional(STPN) Yogyakarta misalnya, yang adalah Perguruan Tinggi Kedi-nasan di bawah BPN RI, pernah diselenggarakan acara duduk bersa-

Page 7: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

vi

Usep Setiawan

ma menekuni pelatihan metodologi studi agraria yang melibatkanpara pihak, masing-masing pejabat struktural BPN RI, dosen/stafpengajar, dan para pegiat pergerakan. Peristiwa yang sesungguhnyasederhana, namun bermakna dalam karena untuk ‘pertama kalinyadalam sejarah republik’ para pihak yang semula ‘berseberangan’ da-pat duduk bersama. Peristiwa itu tidak mungkin terjadi tanpa kontri-busi dan peran Usep Setiawan yang pada saat itu menjabat sebagaiSekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Kehadiran dan keterlibatan para pegiat gerakan agraria berhasilmemampukan pelatihan metodologi studi agraria tersebut untukmengungkap data dan kejadian konflik agraria yang selama ini belumdirekam oleh kantor-kantor pertanahan di daerah. Sebaliknya, parapegiat gerakan agraria dapat mempelajari lebih dalam metode pengo-lahan data untuk menampilkan problematika agraria di wilayahdampingannya masing-masing. Lebih jauh lagi, kedua belah pihaksemakin terang memandang apa yang dimaksud Kepala BPN RIdengan menjabarkan ‘Reforma Agraria = asset reform + access reform’.Atas prakarsa dan dukungan rekan Usep Setiawan pula para pegiatgerakan agraria secara aktif telah memberikan masukan dan pemi-kiran alternatif dalam menggagas bentuk analisa dan pengembanganpemahaman tentang keterkaitan antara kemiskinan, konflik danreforma agraria di wilayah Jawa bagian Selatan.

Momentum dan proses sepenting itu sepatutnya memperolehkesempatan untuk dapat dilanjutkan di masa-masa yang akan datang,dengan harapan bahwa titik temu dan ketegangan antara para pihakyang ‘berseberangan’ tersebut dapat menghasilkan dinamika yangkonstruktif. Berangkat dari kesadaran bahwa kompleksitas persoalanagraria di Indonesia tidak mungkin diselesaikan sendiri-sendiri, makasuatu keniscayaan bahwa reforma agraria berdiri sebagai agendabangsa, yakni agenda bersama untuk mewujudkan keadilan dankemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai pemulai dari munculnya dinamika konstruktif itu, rekanUsep Setiawan yang sampai saat ini masih konsisten berkiprah dalam

Page 8: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

vii

Kembali ke Agraria

mendinamisasi gerakan menuju pembaruan agraria di Indonesia,tentunya diharapkan dapat berkontribusi penuh sebagai pelanjut.Kami percaya, penerbitan buku ini merupakan salah satu titik temulanjutan bagi proses pembangunan kesadaran dan pemilikan agendaReforma Agraria sebagai agenda bersama; Agenda Bangsa. ***

Yogyakarta, Agustus 2010

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA

Page 9: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

viii

Sekapur SirihMari Kembali ke Agraria

Oleh Usep Setiawan

SETIAP tulisan merupakan refleksi pikiran dan pengalamanpenulisnya. Buku ini, cermin dari kesaksian penulis dalam men-

dorong pelaksanaan reforma agraria sebagai agenda penting bangsaguna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.

Buku Kembali ke Agraria ini jadi pengingat bahwa negeri ini masihnegeri agraris yang kejayaannya sangat tergantung pada keadaanagrarianya. Pengembangan bangsa mesti berlandaskan keadilanagraria. Negara harus memihak petani, pertanian dan keagrariaan.Batu bata buku ini berasal dari kumpulan artikel opini penulis yangdimuat di media massa sepanjang tahun 2000 hingga 2010, dengantopik seputar agraria, gerakan petani, dunia pertanian dan reformaagraria.

Tuhan menghendaki penulis lahir di sebuah dusun di Ciamis(Jawa Barat), dari keluarga yang lekat dengan pertanian. Ketika penu-lis kuliah di Bandung, lebih dari separuh perhatian dan aktivitastercurah demi gerakan petani dan agraria. Tahun 1992, penulisbergabung dengan kelompok mahasiswa lintas kampus pembelapetani Bandung Utara yang digusur pembangunan. Sejak itu, takada jalan kembali. Ajaran seorang guru, “Rubuhkan jembatan yangtelah kau seberangi!”. Tak bisa kita kembali, kecuali maju terus sampai

Page 10: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

ix

Sekapur Sirih

jembatan berikutnya, dan seterusnya.Penulis berproses dalam dinamika gerakan petani, pertanian

dan agraria. Dengan dada sesak, penulis kerap menyaksikan rakyatdigusur, terusir dari kampungnya, rumahnya dirobohkan, kebunnyadibabat. Penulis kerap marah saat menyaksikan rakyat dirampastanahnya dengan cara kekerasan, bahkan tak sedikit yang gugur saatberjuang. Banyak petani berlahan sempit bahkan tak bertanah samasekali. Sedikit saja anak desa yang bisa sekolah tinggi dan menggapaicita-citanya. Begitu panjang daftar penderitaan hidup kaum tani. Nah,penderitaan petanilah alasan utama penulis tak berpaling ke lainsoal. Derita petani, derita kita jua.

Pada akhir tahun 1995, penulis bergabung dengan KonsorsiumPembaruan Agraria (KPA)—koalisi dari organisasi gerakan sosialyang memperjuangkan reforma agraria—sebagai relawan. AnggotaKPA ialah serikat petani, masyarakat adat, nelayan, buruh, dan NGOdari berbagai daerah. Setelah menjalani aneka posisi dan peran,Munas KPA tahun 2005 di Prapat Sumut memilih penulis sebagaiSekretaris Jenderal sekaligus Koordinator Dewan Nasional, danpenulis terpilih sebagai Ketua Dewan Nasional melalui Munas KPAtahun 2009 di Puncak Bogor.

Selama lima belas tahun lebih berproses, penulis beruntung bisabertemu dan berdialog langsung mengenai reforma agraria denganbanyak kalangan. Penulis kerap bergumul dengan para aktivis gerakansosial dari berbagai isu dan warna perjuangan, dengan para pemimpinorganisasi rakyat dari gerakan tani, buruh, nelayan dan masyarakatadat di Nusantara. Sesekali penulis berdiskusi dengan para wakil rakyatdari berbagai komisi dan fraksi di parlemen, dengan para guru besardan pakar ternama dari berbagai kampus. Ada kalanya penulis bertemumenteri atau pejabat setingkat menteri dan para pejabat di berbagaiinstansi pemerintahan, serta pernah bertemu langsung dengan PresidenRI dalam mendorong komitmen politik atas pelaksanaan reforma agraria.

Hasil dari pergaulan itu, buahnya ialah kesadaran bahwa bagipenulis ternyata reforma agraria lebih dari sekedar pengetahuan, me-

Page 11: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

x

Usep Setiawan

lainkan keyakinan hidup yang hanya satu-dua inci saja di bawahgaris ketauhidan. Diyakini, memperjuangkan reforma agraria seja-tinya tugas kekhalifahan manusia di bumi dan jalan menuju surga.Untuk itu, penulis menginsyafi, reforma agraria hanya mungkinmewujud jika ada komitmen kuat dan nyata dari banyak pihak. Awal-nya didongkrak oleh kebutuhan dan inisiatif rakyat di bawah, kemu-dian gayung bersambut dengan komitmen politik para pemegangkuasa Negara. Reforma agraria ialah agenda bangsa, bukan kepen-tingan satu-dua kelompok semata.

***Kita harus kembali ke agraria karena telah terlalu lama Indone-

sia mengabaikannya. Bangsa ini memerlukan perwujudan keadilanagraria sebagai realisasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone-sia. Aneka persoalan klasik maupun kontemporer kian menunjukkanrelevansi dan urgensi pelaksanaan reforma agraria. Awetnya ketim-pangan struktur agraria, maraknya konflik agraria, kerusakan ling-kungan hidup, serta tingginya kemiskinan dan pengangguran diTanah Air merupakan gunungan masalah yang harus ditumpas olehreforma agraria.

Jika saat KPA dideklarasikan (1994), reforma agraria masihberupa wacana yang dibangkitkan kembali oleh para aktivis gerakansosial saja, kini ia telah didiskusikan terbuka di berbagai forum. Refor-ma agraria makin sering menghiasi media massa. Berita atau artikeltentangnya kini tak susah lagi ditemukan. Gagasan dan gerakan refor-ma agraria terus mengalami perkembangan dinamis dan mendekatiawal realisasinya, bergerak dari wacana ke praktek. Seiring itu,kebangkitan serikat tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat kianmenggeliat, tumbuh menjamur dan bergairah mendongkrak reformaagraria lewat arus bawah. Muncul harapan baru di tengah buramnyanasib petani, pertanian dan agraria.

Dalam merespon berbagai perkembangan politik dan kebijakanserta situasi dan kondisi agraria aktual, sesekali penulis menyem-patkan diri menuangkan gagasan di media massa. Isinya tak melulu

Page 12: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xi

Sekapur Sirih

pandangan pribadi. Tak sedikit bersumber dari kawan lain, atau darisikap dan pandangan organisasi. Pertautan erat antara pandanganpenulis dengan pandangan kawan atau sikap organisasi jelas takbisa disangkal. Namun, keseluruhan kandungan buku ini tentu tetaptanggung jawab penulis.

Selain guna sosialisasi gagasan, media massa juga ruang aktua-lisasi diri. Menulis di media massa adalah hal menyenangkan seka-ligus penuh tantangan. Dibutuhkan fokus pemikiran untuk tentukantopik yang mau diangkat, senantiasa mendasarkan diri pada dataakurat dan analisis tajam, menjaga aktualitas dan kehangatan isu dimeja publik, menimbang kecenderungan kepentingan umum pem-baca dan redaksi media yang disasar, membungkus kepentingan‘ideologi’ ke dalam bahasa ringan tanpa kehilangan roh, memilihkalimat dan kata berdaya pikat unik guna menaikan bobot pemak-naan, membangkitkan optimisme dan empati publik, meluluhkanhati pihak yang ‘diserang’ dan meneguhkan rasa yang dibela, danseterusnya. Selain kesenangan, menulis juga kebutuhan.

***Dengan hidmat, buku ini dipersembahkan bagi kedua orang tua

penulis: emak Enung Haryati dan bapak Suparman. Emak bukanhanya mengandung, melahirkan dan membesarkan, tapi juga,bersama bapak telah mendidik dan mematrikan kearifan hidup dalamkalbu penulis. Terima kasih kepada beberapa keluarga yang telahmenyediakan tempat berteduh dan menolong penulis, seperti kelu-arga ibu Su’eb di Ciamis, ibu Eneung dan ceu Mimin di Parigi, ibu Ajidi Sekeloa, serta teh Nina di Ciputat. Rasa sayang sepenuh hati penu-lis bingkiskan bagi istri tersayang Eulis Nurfaidah, dan HizqiaNadhira serta Tierra Kresna buah hati, juga seluruh sanak familiyang tak henti menaburkan kasih dan doa.

Terima kasih bagi ketulusan para guru SD, SMP dan SMA sertaguru mengaji di Ciamis, dan para guru Antropologi di UniversitasPadjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima

Page 13: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xii

Usep Setiawan

kasih khusus kepada Prof. Oekan S. Abdoellah dan Drs. Budi Rajab(pembimbing skripsi di Antropologi FISIP-UNPAD), Prof. EndriatmoSoetarto dan Dr. Satyawan Sunito (pembimbing thesis di SosiologiPedesaan FEMA-IPB), Prof. Maria S.W. Sumardjono (UGM), Prof. ArieS. Hutagalung (UI), Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, Prof. Sajogyo,Joyo Winoto, PhD (IPB), Prof. Achmad Sodiki (UNIBRAW), Prof. BoediHarsono (USAKTI), Prof. Soetandyo Wignjosoebroto (UNAIR), Dr.(HC) Gunawan Wiradi (Ketua Dewan Pakar KPA), Dr. SoedjarwoSoeromihardjo (Ketua Umum KPPAP), Liliana Arif, SH (Ketua UmumLPP Indonesia), Sri Rachma, SH (Ketua Umum IPPAT), dan Ir. LukmanPurnomosidi (Wakil Ketua KADIN). Dari para guru penulis menimbabanyak ilmu pengetahuan, pengalaman, dan kearifan serta menga-malkannya dengan tulus dalam keseharian.

Hormat dan terima kasih bagi duet guru utama penulis, NoerFauzi dan Dianto Bachriadi yang menggembleng penulis dan menun-jukkan jalan pada perjuangan tanpa jemu. Sengaja atau tidak, Fauzitelah mengajarkan ketekunan, keluwesan dan kesahajaan. Diantomendidik penulis agar selalu kritis, tegas, dan berani dalam mene-gakkan prinsip. Keduanya sosok yang senantiasa layak dituakan.Hormat yang setara juga dihaturkan bagi Erpan Faryadi, AiriyantoAssa, Radhar Tribaskoro, Gatot Rianto, Paskah Irianto, Susbiantoro,Boy Fidro, Boy Syahbana, Hidayat Mukti, Ikhwan Akil, HerizalEffendi, Julius Hendra, Asep Kusmana, dan juga sahabat Asep Kur-niawan, Chandra Kusuma, Ivan Garda, Firkan Maulana, Muham-madan, Dodi Rokhdian, Andri Wahyudi, Wisnu Timbul, serta kawanaktivis Bandung yang telah menabur benih pemikiran dan merawatkonsistensi pada kepentingan rakyat sebagai ibu kandung gerakan.Penulis belajar beragam cara dan gaya berorganisasi.

Hormat kepada kawan seperjuangan pemimpin gerakan sosial,seperti: Agustiana (SPP), Idham Arsyad (KPA), Henry Saragih (SPI),Erpan Faryadi (AGRA), M. Nurrudin (API), Solikhin K. (PETANIMandiri), Ferry Juliantono (DTI), Abdon Nababan (AMAN), DidiRamanta (KNTI), Dwi Astuti (Bina Desa), Patra M. Zein (YLBHI),

Page 14: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xiii

Sekapur Sirih

Gunawan (IHCS), Berry N. Furqan (WALHI), Sapei Rusin (Pergera-kan), Asep Y. Firdaus (HuMA), Laksmi Savitri (SAINS), Riza Damanik(KIARA), Kasmita Widodo (JKPP), Himawan S. Pambudy (LAPPERA),Budiman Sudjatmiko (Presiden KIM), Sandra Moniaga (ELSAM),Syaiful Bahari (mantan Bindes), Munir (alm), Munarman (mantanKONTRAS), dan Johnson Panjaitan (mantan PBHI). Bersama merekapenulis mengembangkan diri dalam gerakan sosial guna mengubahkebijakan Negara dan memperkuat posisi rakyat agar keadilan dankesejahteraan bersama mewujud.

Terima kasih bagi para petinggi pemerintahan sebagai mitrakritis, diantaranya: Prof. Achmad Sodiki (Wakil Ketua MahkamahKonstitusi), Dr. Achmad Suryana (Kepala Badan Ketahanan Pangan,Kementan), Ir. Deddy Koespramoedyo, MSc (Direktur Tata Ruang danPertanahan, BAPPENAS), Dr. Sudjana Royat (Deputi Menkokesra),Ir. Teguh Juwarno, MSi (Ketua Timja Pertanahan, Wakil Ketua KomisiII DPR RI), Ifdhal Kasim, SH (Ketua Komnas HAM), dan Joyo Winoto,PhD (Kepala BPN RI). Dari mereka penulis mendapat ‘kehormatan’memahami kekuasaan dan dunia birokrasi serta peranannya dalamkehidupan bernegara.

Disampaikan terima kasih banyak kepada para sahabat di me-dia massa yang telah menyediakan ruang bagi penulis untuk menu-angkan gagasan, seperti mas Kristanto Hartadi dan pak Daud Sinjal(Sinar Harapan); mas Sabar Subekti dan bang Pandapotan Simorangkir(Suara Pembaruan); mas Very Hardiman dan Jan Prince (Jurnal Nasional),serta para redaktur dan reporter: Kompas, Pikiran Rakyat, Republika,Media Indonesia, Seputar Indonesia, Opini Indonesia, Bandung Pos, ForumKeadilan, Hukum Online, Gaung Demokrasi, dan lainnya. Kesempatanyang diberikan kalangan media membuat penulis bisa seperti sekarang.

Terima kasih bagi keluarga besar KPA yang telah menempapenulis agar terus tegak berdiri, khususnya kepada tim kerja Sekre-tariat KPA yang telah bekerja bersama penulis (2005-2009): IrwanNirwana, Idham Arsyad, Iwan Nurdin, Joko Purwanto, ImamBambang, Untung Saputra, Asriwati, Kinan, Bambang Teguh, Dewi

Page 15: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xiv

Usep Setiawan

Kartika, Diana dan Ade Mutaqin. Terima kasih juga kepada timSeknas KPA sekarang maupun yang lama: D.D. Shineba, Agus, Zaenal,Kent, Adang, Deni, Wawan, serta Hilma, Linda, Bekti, Gina, Nuy,Noni, dan (alm.) Meda, serta kepada seluruh anggota Dewan Na-sional KPA. Bersama mereka semua penulis tumbuh, saling mengu-atkan, dan memantapkan diri dalam semangat kolektif.

Hormat bagi “DB” atas menulis provokatifnya, dan “BR” denganjurus sistematis-logisnya, serta “DJ” dengan resep menulis: menu-lislah! Ketiganya inspirator saya untuk rajin menulis di koran. Terimakasih khusus bagi Iwan Nurdin dan Idham Arsyad yang telah menulissejumlah artikel di koran bersama saya. Terima kasih khusus bagiDewi Kartika yang banyak membantu dan bersedia mengetik ulangsejumlah naskah yang nyaris hilang, serta Diana yang mengatur logis-tik dengan cermat.

Kepada Fauzi yang menulis prolog di Amerika, dan Dianto yangdi Australia menulis epilog buku ini, disampaikan penghargaan se-tingginya. Berkat kontribusi keduanya perspektif kita jadi lebih luas,memahami konteks, dan dapat lebih mantap memaknai isi buku ini.Terima kasih untuk Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), SekolahTinggi Pertanahan Nasional (STPN), dan Sajogyo Institute (SAINS)yang telah bersedia menyisihkan perhatian, tenaga dan dana bagipenerbitan buku ini. Terima kasih dan mohon maaf bagi semua namayang tak sempat tertulis. Kepada bumi, langit, udara, sungai, danau,lembah, hutan dan lautan serta segala yang ada, terima kasih telahturut taburkan makna.

Semoga buku ini menginspirasi kita agar turut berbuat nyatademi terlaksananya reforma agraria sejati di negeri tercinta. Maafatas segala khilaf dan salah. Semua kita kembalikan kepada YangMaha Kuasa. ***

Pamulang, 17 Agustus 2010Penulis,

Usep Setiawan

Page 16: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xv

Kata Pengantar Ketua STPNSekapur SirihPrologKembali ke Agraria:

Presiden Abdurrahman Wahid Versus PetaniWajah Paradoks AgribisnisOtonomi Daerah: Buah Simalakama?Reforma Agraria: Menggali Akar Guna Menemukan Konteks BaruFormat Baru Pembangunan PertanianDari Jeda Balak ke Paradigma BaruSekelebat Analisis Hukum Sumber Daya AirPotret Kampung Naga Jawa BaratMengurai Konflik dan Ketimpangan Kasus AgrariaBercermin dari Kasus BulukumbaMembangun Tanpa MenggusurMenimbang Penyempurnaan UUPALekuk-liku Politik AgrariaMenjaring Komitmen demi Keadilan AgrariaBelasan Pasal UUPA Masih Relevan dan PerluMenanti Presiden Pro AgrariaPemerintah Baru dan Konflik AgrariaAgenda Agraria untuk Pemerintah BaruKekayaan Alam di Tangan Segelintir OrangImajinasi Baru tentang Tanah dan Kekayaan AlamDualisme Hukum atas Tanah Harus DiakhiriHak Asasi Manusia dan Bangsa BerdikariRevitalisasi Pertanian dan PedesaanHak Asasi Petani, Kenapa Perlu?

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.

45505560667276818895

100105108113118122126131135139143147151155

vviii

143

Daftar Isi

Page 17: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xvi

Usep Setiawan

Velasco, Soekarno, dan Yudhoyono 17 April, Hari Perjuangan Petani SeduniaPertanian di Era GlobalisasiHeboh Perpres Penunjang PenggusuranPembangunan Infrastruktur untuk Siapa?Perpres 36/2005: Membangun atau Menggusur?Perpres No 36/2005: Dijalankan atau Dibatalkan?Legalisasi Tanah RakyatProblem Paradigmatis Perpres 36/2005Menyiapkan Reforma AgrariaKemerdekaan Bangsa AgrarisMenanti Lahirnya Badan Pertanahan Nasional BaruMenagih Janji Reforma AgrariaKado Pahit di Hari TaniMengidamkan Reformasi AgrariaTangkal Krisis Tumpas KemiskinanWTO, Pertanian dan Reforma AgrariaMemimpikan Ekspor BerasMenunggu “Ratu Adil” AgrariaMenunggu Realisasi Pembaruan AgrariaRepot Karena FreeportAkhiri Kemiskinan dan KelaparanKrisis Kelembagaan Pertanahan?HGU Perkebunan, Masihkah Relevan?Militer dan AgrariaSegera Bikin Perpu untuk Reforma AgrariaMomentum Baru Reforma AgrariaKekayaan Hayati-Genetika dan KebangsaanOperasi Pasar vs Kedaulatan PanganMewaspadai Jerat Kuasa ModalJika HGU 95 Tahun!Nasib Buruh dan Reforma AgrariaKabinet Pro-Ekonomi KerakyatanHak Guna Usaha untuk Siapa?Meruyaknya Tanah MeruyaUU Modal Memicu Kontestasi Atas TanahMorales, SBY, dan NagabonarDari Pasuruan ke Reforma AgrariaLembaga Reforma AgrariaReforma Agraria Akhirnya Konflik TanahMeruya, Pasuruan, dan Reforma Agraria

25.26.27.28.29.30.31.32.33.34.35.36.37.38.39.40.41.42.43.44.45.46.47.48.49.50.51.52.53.54.55.56.57.58.59.60.61.62.63.64.65.

159163166170174179183187190195199203207211217218221225228231234237240246250253257260263267271274277281285288291295300306310

Page 18: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

xvii

Daftar Isi

66.67.68.69.70.71.72.73.74.75.76.77.78.79.80.81.82.83.84.85.86.87.88.89.90.91.92.93.94.95.96.97.98.99.100.101.102.103.

Kelembagaan Penuntas Konflik AgrariaLahan Pertanian dan Hak Asasi PetaniAgar Reforma Agraria Tepat Sasaran, Tanpa KorbanMembumikan Reforma AgrariaIndonesia (Raya) BaruCegah Reforma Agraria GagalKado Manis Hari Tani?Reforma Agraria Jalan Paling Tepat Atasi KonflikTanah Terlantar dan PengangguranMengabadikan Lahan PertanianPendekatan Antropologi Bagi Konflik AgrariaReforma Agraria di PersimpanganDari Naga Menghormati Para LeluhurHantu Liberalisme PertanahanJadilah Bangsa Penghasil KedelaiKuasa Modal dan Reforma AgrariaBelajar dari Serikat Petani PasundanPengusaha dan PetaniMemastikan Kesejahteraan PetaniDesa Sekedar Jadi Tempat MudikReforma Agraria Yudhoyono Gagal?Reforma Agraria dan Pemilu 2009Nasib Buruh di Negeri AgrarisLandreform, Mencegah Kemiskinan StrukturalKabinet Baru, Kemiskinan, dan Reforma AgrariaMasalah Pertanian KitaMerawat Niat Reforma AgrariaMencegah Legislasi PenggusuranRegulasi Baru Tanah TelantarTanah TelantarTanah Telantar Demi Reforma AgrariaKiat Mengakhiri Kontroversi “Food Estate”Mencegah Diskriminasi Petani di Ladang PanganPembangunan Pertanian yang Adil dan BerkelanjutanQuo Vadis Peran Keagrariaan Perguruan Tinggi?Sudahi Politisasi PetaniKondisi Hutan dan Gerakan Petani

Tiupan Peluit Melawan Kelaparan Global

315319323327331334339342347351354358361366370374377381385389393397401404410414417420423427430434438442446450453457

EpilogTentang Penulis

461480

Page 19: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

sdasdasdasd

Page 20: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

1

PrologPerjalanan Aktivis Agraria:

Dari Turba, Aksi Protes hinggaKolaborasi Kritis

Oleh Noer Fauzi*)

Usep Setiawan adalah salah satu dari banyak aktivis organisasinon-pemerintah yang ikut membesarkan gerakan agraria dan

mempromosikan reforma agraria (aktivis agraria). Bedanya denganyang lain, Usep Setiawan sangat rajin menulis di surat-surat kabarnasional. Buku ini adalah buktinya. Dengan artikel-artikelnya, iamemperluas pengaruhnya sebagai pemimpin Konsorsium PembaruanAgraria (KPA) yang terus-menerus mengiringi proses kebijakanagraria pemerintah dengan analisis, kritik, dukungan dan tentunyajuga usulan. Artikel-artikelnya bukan saja membuatnya menjadi dike-nal, melainkan juga membuka pintu-pintu untuk dirinya masuk lebihdalam proses pembentukan kebijakan agraria selanjutnya. Dengan

*) Pendiri dan Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) 1994-1998, salah satu dari tiga Ketua BP-KPA 1998-2002. Dewan Pakar KPA2002-2005. Saat ini adalah PhD Candidate di Departement Environmental Science,Policy, and Management (ESPM), University of California, Berkeley. Penulisberterima kasih pada Usep Setiawan dan Idham Arsyad yang memberi komentar danusulan atas versi draft dari naskah ini. Namun, seperti biasanya tanggungjawabsepenuhnya naskah ini berada pada penulis.

Page 21: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

2

Usep Setiawan

memasuki pintu itu, dirinya, dan aktivis KPA lainnya, bisa ikut meng-amati dan juga pada sebagian kegiatan dapat berperan mempenga-ruhi proses kebijakan itu, mulai dari pembuatan hingga implemen-tasinya.

Pengaruh Usep Setiawan dan KPA yang dipimpinnya juga diben-tuk oleh artikel-artikel yang terbit di surat-surat kabar ini. Pada satusaat ketika saya sedang melakukan penelitian lapangan denganmengikuti kegiatan seminar formal Badan Pertanahan Nasional(BPN) di tengah tahun 2007 dalam rangka mengevaluasi peraturanpemerintah mengenai tanah terlantar, Usep Setiawan diperkenalkanoleh moderator, Managam Manurung, SH (yang kemudian menjadiSekretaris Utama BPN, pejabat tertinggi kedua di BPN) dan diakuireputasinya sebagai penulis masalah agraria di surat-surat kabarnasional yang tulisannya senantiasa dibaca oleh pejabat-pejabat BPN.

Pada kesempatan lain, saya membaca naskah-naskah pidatoKepala BPN, Joyo Winoto, dan menemukan ungkapan-ungkapanpenghormatan dari pimpinan tertinggi di BPN itu terhadap UsepSetiawan dan perannya sebagai pemimpin KPA. Misalnya, pada satukesempatan acara resmi BPN, Usep Setiawan disebutnya sebagai“kader bangsa” yang berperan dalam mengusung salah satu agendabangsa yakni reforma agraria. Dengan akses langsung pada proseskebijakan di BPN, dan lembaga pemerintahan lainnya, Setiawan da-pat menganalisa, menilai, mengkritik dan memberi usulan, sekaligusmengukuhkan dirinya sebagai “perwakilan” publik.

Usep Setiawan pula yang menjadi salah satu anggota delegasiresmi Indonesia dalam The International Conference on Agrarian Reformand Rural Development (ICARRD) in Porto Alegre, Brazil, yang diorga-nisir oleh the Food and Agriculture Organization of the United Nations(FAO), dan Pemerintah Brazil, 7-10 Maret 2006. Lebih dari itu, tanpaandil Usep Setiawan, partisipasi, susunan, persiapan dan tampilandelegasi Indonesia di konferensi itu akan berbeda. Di bawah kepe-mimpinannya, KPA menjadi simpul pertemuan dari berbagai organi-sasi pedesaan akar-rumput, ornop-ornop, dan akademisi yang meng-

Page 22: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

3

Prolog

anggap konferensi ini sebagai momentum penting dalam membentukkomitmen badan-badan pemerintah Indonesia (cq BPN dan Depar-temen Pertanian) untuk kebijakan reforma agraria yang mereka tuntut.Usep Setiawan pula yang memprakarsai tersedianya rubrik laporankhusus dalam salah satu surat kabar nasional untuk melaporkanproses dan hasil konferensi ini.

Saya percaya cara bagaimana suatu pengetahuan dihasilkanbergantung pada posisi si pembuatnya dalam hubungannya denganposisi-posisi lain, dan bagaimana suatu pengetahuan disajikan jugabergantung bagaimana posisi si penyajinya dalam hubungan dengancara dan bentuk bagaimana pengetahuan itu disajikan, dan juga si-dang penikmat/pembaca (audience) yang disasar.1 Tentunya keca-kapan Usep Setiawan dalam menulis artikel opini, relevansi tulisan-nya, dan reputasinya yang dipelihara terus menerus dalam berhu-bungan dengan redaktur dan jurnalis surat kabar merupakan penentuakhir dari tulisan-tulisannya yang tersaji di surat-surat kabar itu.

Sebagai artikel dalam surat kabar, secara individual tiap tulisan-nya diabdikan untuk menanggapi masalah kongkrit yang dihadapirakyat, kebijakan agraria, atau posisi kelembagaan tertentu dalammenyikapi masalah agraria rakyat pedesaan atau perkotaan. Pengan-tar ini pertama-tama hendak menunjukkan posisi yang dipilih dankemudian diemban Usep Setiawan. Sikap dan pandangan yang tertu-ang dalam keseluruhan artikel Usep Setiawan akan terlihat bersifatkondisional, sesuai argumen yang dia hendak ditandingi, atau hen-dak dipromosikan, dan panggung yang sedang dimainkannya. Disejumlah artikel pembaca bisa menemukan apresiasi positif atas niatdan rencana serta langkah pemerintah untuk merumuskan konsepdan menjalankan kebijakan yang sejalan dengan reforma agraria.

1 Dasar inilah yang membuat para penganut ilmu sosial refleksif berpendirianbahwa ilmu sosial tidak bisa netral, dan senantia disituasikan oleh diri, posisi, hubungansosial dan ruang dimana para pelakunya bekerja dalam hubungannya dengan pelakulainnya. Kajian mengenai hal ini dapat ditemukan misalnya pada karya Haraway (1988),Rose (1997), and Cook et al. (2005).

Page 23: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

4

Usep Setiawan

Namun tak jarang pula kita temukan artikel yang mengkritik, meng-gugat bahkan menolak rancangan-rancangan dan produk-produkkebijakan yang dinilainya tak sejalan atau bahkan bertentangandengan semangat dan tujuan reforma agraria. Usep Setiawan meya-kini bahwa dengan artikelnya, ia turut menumbuhkan kepercayaandiri para pelaku gerakan reforma agraria atas jalur tempuh perju-angan yang dipilihnya. Ia berharap kalangan akar rumput dalamgerakan agraria, seperti serikat tani, nelayan, buruh dan masyarakatadat, secara tak langsung terungkap dan dibenarkan perannya mela-lui pengaruh dari tulisan-tulisan yang mengangkat masalah yangmereka perjuangkan. Selain itu, ia meyakini pula dengan artikelnyaakan merangsang segelintir akademisi untuk terus mengamati dankemudian memikirkan masalah agraria rakyat dan agenda reformaagraria.

Di bagian selanjutnya, saya akan menyajikan rute perjalananmulai dari babak pengorganisasian bawah tanah rakyat pedesaankorban perampasan tanah hingga artikulasi protes dan tuntutan“kembalikan tanah kami”, hingga advokasi kebijakan pembaruanagraria, hingga kebijakan ‘reforma agraria’ sekarang ini. Usep Setia-wan terlibat di sebagian besar perjalanan ini, dan mengamati keselu-ruhkannya. Secara berbeda-beda, artikel-artikel opini Usep Setiawandisituasikan oleh panggung-panggung dimana ia berperan dalambabak-babak yang masing-masing punya plot cerita yang berhu-bungan satu sama lain.

Apa yang telah ditunjukkan oleh Usep Setiawan dalam limabelas tahun lebih perjalanannya bersama KPA memberi jalan untukmemikirkan dan merenungi kembali apa yang mungkin dan telahdiperankan oleh aktivis dan ornop-ornop ini. Melalui naskah-naskahSetiawan dalam buku ini, saya diberi jalan untuk menunjukkan batas-batas dari peran yang ditampilkan oleh aktivis kota terpelajar danornop-ornop yang dimana mereka bekerja di dalam hubungannyadengan masalah rakyat pedesaan, perkembangan kapitalisme, dankebijakan pemerintah.

Page 24: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

5

Prolog

Di bagian akhir pengantar ini akan disajikan renungan sayamengenai perlunya kembali kita mempelajari sebab-sebab darimasalah agraria secara sungguh-sungguh. Mau tidak mau kita haruskembali memahami apa itu kapitalisme, bagaimana kapitalisme itubekerja memasukkan tanah dan kekayaan alam sebagai bagian darisistem produksinya, dan menciptakan kondisi-kondisi dan ruangbaru bagi kelangsungan hidupnya. Memahami kesemua hal ini ada-lah salah satu syarat perlu bagi bisa dijalankannya reforma agrariasebagai jalan utama mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rak-yat Indonesia” (Sila ke 5 Pancasila!).

Dari ‘perampasan tanah’ ke kebijakan ‘reforma agraria’

Dengan dikumpulkannya artikel-artikel itu, dan disajikan secarakronologis dalam buku ini, pembaca dapat mengikuti bagaimanaUsep Setiawan memandang masalah agraria, gerakan agraria, danarena pembentukan kebijakan agraria dalam kisaran sepuluh tahunterakhir ini. Analisisnya tak dapat dilepaskan dari posisinya sebagaisalah satu pemimpin KPA. Tahun 1998-2002 ia adalah ManagerAdvokasi Kebijakan di Badan Pelaksana KPA. Tahun 2002-2005, iaadalah Deputi Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA bidang Advokasi.Sementara itu periode selanjutnya (2005-2009) ia menjabat sebagaiSekjen KPA. Selanjutnya untuk periode 2009-2012 ia menjabat KetuaDewan Nasional KPA.

Tulisan-tulisan Usep Setiawan ini dapat lebih baik dipahamidengan latar belakang pemahaman mengenai rute perjalanan dariprotes-protes perampasan tanah hingga ke kebijakan ‘reforma agraria’sekarang ini. Dalam bagian berikut, pengantar ini akan menyajikansecara selintas rute itu dimana Usep Setiawan aktif terlibat, denganresiko melewatkan kelengkapan dan detil-detil dari peristiwa diantara babak-babak, dalam rute perjalanan itu. Melalui rute ini UsepSetiawan menempa diri dan menjadi bagian yang tak terpisahkandengan suatu perjalanan kolektif kepemimpinan KPA.

Pada mulanya “aktivis agraria” adalah barang asing. Kategori

Page 25: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

6

Usep Setiawan

“aktivis agraria” dalam dunia aktivisme di jaman Indonesia di bawahrejim otoritarianisme Orde Baru memiliki asal-usul sejak tahun awal1980an, sebelum Usep Setiawan mulai berkiprah. Pada waktu itukategori “aktivis mahasiswa”, “aktivis hak asasi manusia” dan “akti-vis lingkungan” sudah terlebih dahulu hadir dan tampil dalam pang-gung-panggung sosial-politik. Melalui kategori-kategori ini lah “akti-vis agraria” muncul. Para aktivis agraria ini membedakan diri setelahmelalui pengalaman kunjungan-kunjungan ke desa, tinggal sewaktu-waktu bersama korban perampasan tanah untuk memahami situasihidup mereka. Pada waktu itu dikenal istilah Turba, turun ke bawah.

Sejak tengah tahun 1980-an di berbagai kota mulai dari Medan,Padang, Palembang, Lampung di pulau Sumatera; hampir semuakota universitas di Jawa; hingga kota Mataram di Lombok, Menado,Palu, Ujung Pandang di Pulau Sulawesi, Samarinda, Banjarmasin,Pontianak di pulau Kalimantan hingga Biak dan Jayapura di IrianJaya, merebak komite-komite aktivis mahasiwa dan juga organisasinon-pemerintah (waktu itu dikenal dengan nama LSM, LembagaSwadaya Masyarakat) melakukan pembelaan atas korban peram-pasan tanah akibat bekerjanya perusahaan-perusahaan kehutanan,pertambangan dan perkebunan, dan juga proyek-proyek raksasaseperti waduk, transmigrasi dan sebagainya. Melalui apa yang dikon-sepsikan sebagai bantuan hukum struktural, Yayasan Lembaga Ban-tuan Hukum Indonesia (YLBHI), 14 kantor-kantor LBH dan sejumlahPos LBH-nya memiliki andil menjadi pemulai, promotor, pembelapetani korban dan teman kerja bagi aktivis yang mengorganisir danmengartikulasikan protes-protes.2 Selain itu, ornop-ornop lain di ber-

2 Buku-buku Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia yang terbit setiap tahunsemenjak 1979 menjadi tempat di mana kasus-kasus agraria yang terjadi di kampung-kampung seantero kepulauan Indonesia dituliskan. Sekaligus, juga tempat dimana sebab-sebab dari penderitaan rakyat ditunjukkan, dan tuntutan penegakan hak asasi manusiadikedepankan. Buku-buku Laporan itu terbit hampir setiap tahun dan ada kalanya duatahun digabung menjadi satu buku. Laporan yang tersedia mulai tahun 1979, 1980, 1981,1982-1983, 1984-1985, 1986-1987, 1989, 1990, 1991, 1992, 1993, 1994, dan terakhir 1996.Kecuali untuk buku pertama yang dibuat tahun 1979, yang hanya berjudul Laporan

Page 26: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

7

Prolog

bagai kota memiliki andil serupa.Tuntutan utama yang terkemuka saat itu adalah pengembalian

tanah yang dirampas dan pemulihan dari tindakan-tindakan represifseperti intimidasi, teror hingga penggusuran. Memang melalui kerja-kerja pembelaan, solidaritas atas korban, kasus-kasus perampasantanah terangkat menjadi berita media massa, sehingga publik menge-tahuinya. Lebih dari itu, pemahaman atas kasus-kasus perampasantanah ini memungkinkan para aktivis mempelajari konsentrasipenguasaan tanah secara besar-besaran pada perusahaan-perusahaan kapitalis, proyek pembangunan dan badan-badan peme-rintah.3

Bergesernya tuntutan pengembalian tanah yang dirampas ketuntutan akan kebijakan penataan struktur agraria (land reform) terjadidi awal 1990an, seiring dengan berkembangnya analisis tentangstruktur agraria, dan kritik yang tajam mengenai orientasi kapitalistikdari politik agraria yang dijalankan secara otoritarian oleh badan-badan pemerintah secara terpisah satu sama lain, maupun rejim OrdeBaru secara keseluruhan. Di tahun 1991 terkenal di kalangan aktivistema “Tanah untuk Rakyat”—sebagaimana judul suatu poster-kalen-der yang terkenal pada saat itu yang dibuat oleh aktivis, pelukis dariBandung, Yayak Yatmaka, yang juga disertai puisi Wiji Tukul didalamnya.4 Rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, pub-

Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia 1979, setiap buku laporan memiliki judultersendiri dengan anak judul. Misalnya, buku kedua, berjudul Langit Masih Mendung,dengan anak judul Laporan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, 1980. Semenjaktahun 1991, istilah “laporan” diganti menjadi “catatan”.

3 Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia 1991 menulis: “... proses akumulaipenguasaan tanah akan semakin terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil wargamasyarakat dari hari ke hari. Kaum tani, dalam kaitan ini, akan tinggal berdesakan ditanah-tanah yang telah digerogoti secara progresif oleh para tuan-tuan tanah baru.Tentunya keadaan ini akan menjadi semakin memburuk, dan akan menimbulkankonsekwensi yang tidak sederhana, tetapi jelas kaum tani akan semakin menjadi miskindan terbelakang terus-menerus.” (YLBHI 1991: 113).

4 Poster ini menjadi terkenal karena aparat kepolisian menetapkan Yayak Yatmaka,si pelukis pembuat poster ini untuk tuduhan penghinaan dan menjelek-jelekan

Page 27: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

8

Usep Setiawan

likasi yang dilakukan aktivis organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria danpelaksanaan land reform (lihat misalnya Harman et al 1995; Fauziand Fidro 1998; Fauzi dan Faryadi 1998).

Usep Setiawan yang pada saat itu adalah mahasiswa jurusanAntropologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung menempadiri menjadi aktivis agraria semenjak awal tahun 1990-an. Aktivis-menya berangkat dari persentuhannya dengan sejumlah korban pe-rampasan tanah di Jawa Barat, yang terlebih dahulu dipelopori olehkelompok aktivis yang lebih terdahulu melakukan kunjungan-kun-jungan ke desa, mengungkap kasus-kasus itu melalui protes-protesatas penindasan yang terjadi dalam sejumlah kasus tanah tersebut.Usep Setiawan mulai bersentuhan langsung dengan korban-korbankasus tanah, antara lain, Mekarsaluyu dan Ciburial (Bandung), Jatige-de (Sumedang), Lengkong dan Gunungbatu (Sukabumi), Tapos (Bo-gor), Badega, Cisaruni dan Kampung Dukuh (Garut), Cimerak danPasawahan (Ciamis), Cigalontang dan Kampung Naga (Tasikma-laya).

Konsorsium Pembarauan Agraria (KPA) didirikan pada tahun1994 oleh organisasi-organisasi non-pemerintah, kelompok-kelompokaktivis mahasiswa, dan organisasi akar rumput rakyat lokal untukmenjadi koalisi yang bekerja menjadi penyebar gagasan pembaruanagraria dan mengusahakan perubahan kebijakan dan politik agraria,serta mengembangkan kapasitas organisasi-organisasi rakyat. Studi-studi mengenai keadaan agraria wilayah, politik agraria nasional,dan agenda pembaruan agraria yang dilakukan sejumlah aktivis pe-neliti agraria memberi dasar penting bagi kelahiran KPA yang secara

Presiden dan Istrinya. Memang dalam poster itu terdapat karikatur yang figurnyadengan mudah dikenali sebagai figur Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.Surat Kabar dan majalah mempublikasikan berita ini, termasuk majalah berita JakartaJakarta edisi 25 Mei 1991 yang secara mencolok memuat foto paspor si pelukisdengan menutup matanya bagaikan figur kriminal, disertai latar belakang poster-kalender yang disamarkan.

Page 28: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

9

Prolog

khusus mengusung agenda pembaruan agraria (Lihat antara lainKasim dan Suhendar 1996; Bachriadi et al 1997, Fauzi 1997a, 1999,Suhendar dan Winarni, 1997).

Pada saat KPA didirikan, Usep Setiawan aktif di Huria Maha-siswa Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung, danmengelola pendidikan aktivis mahasiswa di Keluarga Aktivis Unpad(KAU). Dia menjadi bagian dari panitia pelaksana lokakarya agrariadi kampus Universitas Padjadjaran, yang menjadi kegiatan pendahu-luan dari Musyawarah Nasional Pertama KPA di bulan Desembertahun 1995. Setelah itu, ia aktif bekerja sama dengan pengurus BadanPelaksana KPA, sambil terus mengelola Yayasan Pengkajian danPengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS).

Sepanjang awal periode pertama kepemimpinan KPA (1995-1998), tuntutan-tuntutan keadilan agraria yang dijalankan oleh pen-duduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan mo-mentum yang pas untuk melakukan dan meluaskan aksi-aksi pendu-dukan tanah atau reklaiming, yakni saat mundurnya Presiden Jende-ral Soeharto (1998) akibat ketidakpuasan massa dan tekanan de-monstrasi yang meluas, meluruhnya dukungan dari faksi-faksi elitemiliter, teknokrat dan politisi akibat perpecahan satu sama lainnya,tekanan krisis finansial internasional yang terasakan melalui menu-runnya nilai rupiah, dan last but not least hilangnya legitimasi kepe-mimpinannya. Begitu salah satu penguasa rejim otoritarian terkuatdan terlama itu turun dari tampuk kekuasaannya, dan proses demok-ratisasi dimulai, para pemimpin-pemimpin ornop memajukankerangka analisis dan juga kerangka kerja yang mampu menghu-bungkan aksi-aksi lokal okupasi tanah atau reklaiming itu denganagenda perubahan kebijakan agraria (lihat antara lain Fauzi 2000,Bachriadi dan Lucas 2001, Wijardjo and Perdana 2001).

Pada masa ini, melalui posisinya sebagai staf dalam KPA, UsepSetiawan banyak mempelajari bagaimana pengorganisasian rakyat,pembangunan jaringan antar aktivis, dan advokasi kebijakan dilaku-kan (Lihat: kerangka advokasi yang popular di kalangan aktivis,

Page 29: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

10

Usep Setiawan

Topatimasang et al 2000). Pada masa itu ia juga memperluas wawasandan daya jangkau: lokal, nasional, internasional. Tahun 1997, ia ikutdalam koalisi aktivis yang dibentuk untuk mempelajari dan meng-kritik pembentukan kawasan pertumbuhan ekonomi Brunei-Indone-sia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), dankoalisi aktivis inilah yang memungkinkannya untuk pertama kalinyaia menjelajah ke luar negeri, yakni ke Davao, Filipina.

Pada masa yang sama, dilakukan pula pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal sampai nasional,yang ditulangpunggungi oleh aktivis-aktivis agraria. Selain Konsor-sium Pembaruan Agraria (KPA), pada masa itu kita menyaksikantampil ke panggung nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN), FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia), dan lainnya. Paraaktivis ornop melakukan penempaan diri melalui kursus-kursus,seminar, dan latihan kampanye dan advokasi kebijakan (lihat antaralain, Topatimasang et al 2000). Sejak sebelum rejim otoritarian jatuhdi tahun 1998, Usep Setiawan adalah salah satu manajer latihan dankursus agraria yang handal di KPA, dan melalui keaktifannya sebagaimanager latihan dan kursus itu ia memiliki kontak dan jaringan yangluas di kalangan aktivis dan ahli agraria baik yang lebih junior mau-pun lebih senior. Lebih dari itu, dengan minat dan kapasitasnya un-tuk mengikuti substansi pengetahuan dan debat-debat dalam acara-acara itu, ia memiliki bekal penguasaan yang baik mengenai ruanglingkup dan kedalaman tematik mulai dari konsep-konsep yangabstrak, makro, dan global hingga yang kongkrit, mikro dan lokal.

Dengan terbukanya ruang-ruang demokrasi yang baru, para akti-vis menggencarkan praktek pengorganisasian dan mobilisasi massa,kampanye publik, perumusan usulan-usulan atau draft-draft tan-dingan mengenai kebijakan tententu, hingga proses-proses perun-dingan, litigasi dan hingga ikut aktif dalam perumusan kebijakanbadan-badan baru. Salah satu kesempatan politik yang terbuka dalamrangka merunding agenda reformasi adalah dilakukannya sidangumum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap tahun untuk

Page 30: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

11

Prolog

mengubah Undang-undang Dasar, dan menghasilkan ketetapan-ketetapan MPR. Para pimpinan KPA memilih arena utama perubahankebijakan adalah pembentukan TAP MPR. Sebagai bagian dari timkerja di bawah kepemimpinan KPA, Usep Setiawan adalah ujungtombak pengorganisasian berbagai aksi untuk kampanye publik, ter-masuk bentuk-bentuk aksi teatrikal di gedung parlemen dengan mela-kukan mogok makan dan berbagai rangkaian yang menyertainya ditengah suasana sidang MPR tahun 1999 dan 2000. Itu semua dilaku-kan mereka sebagai bagian dari upaya mendapatkan perhatian me-dia massa, pemerintah, dan elite politisi mengenai agenda pembaruanagraria, dan begitu pentingnya memasukkan pembaruan agraria seba-gai salah satu yang perlu dibuatkan TAP MPR tersendiri.

Usep Setiawan meyakini situasi politik nasional sangat mem-pengaruhi pilihan posisi kepemimpinan KPA, strategi yang ditetap-kan dan jalan yang ditempuh untuk mempromosikan pembaruanagraria/reforma agraria.5 Sikap politik rezim Orde Baru yang jelastegas anti-reforma agraria telah dihadapi KPA dengan strategi kon-frontatif tanpa kompromi. Sewaktu Usep Setiawan memimpin KPA,ia menilai pemerintah di masa reformasi–di bawah Presiden Abdurah-man Wahid, Megawati dan SBY–cenderung lebih terbuka danmemungkinkan gagasan dan agenda reforma agraria dirundingkan,sehingga dipilihlah sikap yang lebih dialogis yang memungkinkandikembangkannya kolaborasi kritis KPA dengan apa yang dinilainya“unsur progresif” di pemerintahan.

Perlu dipahami pada masa ini aktivisme agraria dan aktivismelingkungan terasa merupakan dunia yang terpisah satu sama lain,dan dihubungkan oleh di antaranya adanya aktivis-aktivis yangmelintas batas keduanya. Pembaruan agraria merupakan tema dariaktivis agraria. Organisasi gerakan agraria yang bergerak di tingkat

5 Tanpa prakarsa dari Gunawan Wiradi, tidak mungkin istilah reforma agrariayang berasal dari bahasa spanyol ini menjadi popular di kalangan pegiat gerakansosial, yang pada gilirannya sampai juga ke para peneliti dan dosen perguruan tinggi,dan para pejabat dan pegawai pemerintah. Lihat: Wiradi, Gunawan (2000).

Page 31: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

12

Usep Setiawan

nasional bekerjasama dengan Komnas HAM menyelenggarakanKonferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan danPemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Cibubur, takjauh dari kota Jakarta. Selain mendeklarasikan rumusan hak asasipetani, diserukan juga kepada panitia ad-hoc MPR untuk membentukTAP MPR tentang Pembaruan Agraria dengan mengacu padaUndang-undang Pokok Agraria 1960. Sementara itu, sebelumnya,para aktivis lingkungan memprakarsai Konferensi Nasional Pengelo-laan Sumber Daya Alam yang salah satunya merekomendasikanperlunya Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Jakarta,23-25 Mei 2000).

Kedua bidang aktivisme ini bertemu untuk menyatukan langkahmenghadapi kesempatan politik yang terbuka berupa sidang tahunanMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang di mulai tahun 1999hingga 2001. Para promotor reforma agraria dan aktivis gerakan ling-kungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pemba-ruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pem-buatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No.IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sum-ber Daya Alam.

Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalanganornop (Fauzi 2001, Bey, 2002; 2003; Bachriadi, 2002; Wiradi, 2002;serta Ya’kub, 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggakbersejarah, yang membentuk rute selanjutnya agenda reforma agraria,baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi, 2002; Soemardjono, 2002, 2006;Winoto, 2007). Usep Setiawan merupakan salah satu aktivis agrariayang turut terlibat dalam usaha merapatkan dua arus gerakan inidan bekerja menindaklanjuti kerjasama dari kedua dunia aktivismeini, dan menjadi salah satu kordinator Kelompok Kerja Ornop untukPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PokjaOrnop PA-PSDA).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengimplemen-

Page 32: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

13

Prolog

tasikan TAP MPR ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manu-sia (Komnas HAM) dalam konteks transitional justice untuk menye-lesaikan pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Ujung dari usaha iniadalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penye-lesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang disampaikan kepada Presi-den Megawati Soekarnoputri dan kemudian juga pada PresidenSusilo Bambang Yudhoyono (Bachriadi, 2004b; dan Tim kerjaKNuPKA, 2004). Usep Setiawan juga menjadi panitia pengarah dansekaligus motor dari usaha pembentukan KNuPKA ini, sebagai Koor-dinator Panitia Pelaksana Tim Kerja Menggagas PembentukanKNuPKA. Pada posisi ini, Usep Setiawan bersama tim dari KPA,BPN dan Kementerian Kehutanan mempelajari kelembagaan Com-mission on Restitution of Land Right di Afrika Selatan dalam rangkapenyelesaian klaim-klaim hak atas tanah dari rakyat yang tanahnyadirampas semasa rejim Apartheid berkuasa sejak 1914. Setelah timKNuPKA ini bertemu Presiden Megawati, dan juga Presiden SBYakhirnya putusan datang melalui Menteri Sekretaris Negara YusrilIhza Mahendra di tahun 2005. Isi putusan itu adalah menolak pem-bentukan KNuPKA dan merekomendasikan penguatan kelembagaanBadan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menye-lesaikan perkara, konflik dan sengketa agraria.

Pimpinan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia(BPN-RI) pada periode 2001-2005 menggunakan TAP MPR itu untukmelakukan pengusulan undang-undang baru pengganti Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA) dengan “merede-finisi prinsip-prinsipnya” (Sumardjono, 2002, 2006, 2008). Hal inimenangguk pro dan kontra yang berkepanjangan, baik di kalanganornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, sepertihalnya berbagai usulan revisi UUPA sebelumnya (untuk sketsamengenai hal ini lihat Bagan 1 Konstelasi Upaya-upaya untuk Mengu-bah UUPA 1960, Bachriadi 2004b, 2006, 2007). Aliran energi yangbesar dan kontroversi ini terus berlangsung hingga Kepala BPN baru,Joyo Winoto, yang diangkat oleh Presiden RI pada tengah tahun 2005

Page 33: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

14

Usep Setiawan

membuat keputusan, dan kemudian membuat kesepakatan denganKomisi II DPR-RI pada Rapat Konsultasi akhir Januari 2007 untuktidak mengubah UUPA. Pembaruan hukum akan dilakukan terhadapproduk perundang-undangan di bawah UUPA.

Pengangkatan Joyo Winoto dimungkinkan oleh keberhasilannyabersama para sarjana di Brighthen Institute untuk mempengaruhi(calon) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla mema-sukkan reforma agraria ke dalam buku visi-misi dan program yangdibuat dalam rangka pencalonan dan kampanye pemilu presidendan wakil presiden di tahun 2004. Setelah diangkat menjadi KepalaBPN, Joyo Winoto melakukan overhaul organisasi, memimpin peru-bahan yang drastis terhadap visi-misi, organisasi dan personaliaBPN-RI. Ia juga mengangkut agenda reforma agraria dari arenagerakan sosial, dan dari TAP MPR RI No. IX/2001, dan menjadikan-nya kerangka kebijakan BPN. Pada masa inilah Usep Setiawan mulaimemasuki arena pembuatan kebijakan di dalam BPN, baik sebagainarasumber maupun menjadi bagian dari tim perumus kebijakan.Tak jarang Usep Setiawan memfasilitasi pertemuan-pertemuanlangsung antara Kepala BPN dengan para aktivis organisasi non-pemerintah dan tokoh-tokoh organisasi lokal. Pada konteks ini pula-lah, Joyo Winoto hadir memberikan pandangan sebagai pembicarakunci dalam Seminar Nasional Pra-Musyawarah Nasional IV,Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Medan, 12 September 2005.Munas IV KPA inilah yang kemudian memilih Usep Setiawan menjadiSekretaris Jenderal KPA untuk periode 2006-2009. Di akhir pidatonya,Joyo Winoto secara eksplisit mengakui dan menempatkan KPA sebagaisalah satu pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakanreforma agraria, “terutama yang berkaitan langsung dengan pengu-atan hak-hak rakyat atas tanah serta penyelesaian perkara, masalah,sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara siste-matis”.

Tanpa Joyo Winoto tidak mungkin Presiden RI, Susilo BambangYudhoyono, dapat memiliki kebijakan reforma agraria. Joyo Winoto

Page 34: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

15

Prolog

lah yang mendorong Presiden mengumumkan bahwa program refor-ma agraria akan dijalankan dengan prinsip “Tanah untuk Keadilandan Kesejahteraan Rakyat”, seiring dengan dilakukannya percepatanpersertifikatan tanah-tanah. Sebagai tindak lanjutnya dilansir Pro-gram Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dimulai denganmengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar(8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal daritanah di bawah kewenangan langsung BPN) plus 8 juta hektar lebihtanah yang terlantar dari badan-badan usaha raksasa (Winoto, 2007a,2007b).

Presiden Republik Indonesia pada 31 Januari 2007 telah berpi-dato mengenai kemutlakan pelaksanaan Reforma Agraria,6 dan jugabeberapa bulan sebelumnya telah ada pertemuan khusus antara Presi-den SBY dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto,Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban dan Menteri Pertanian Anton Apri-yantono mengenai usaha-usaha mengurangi pengangguran danmengatasi kemiskinan,7 serta juga sudah dilakukan Rapat KabinetTerbatas khusus mengenai Reforma Agraria pada tanggal 22 Mei2007,8 bahkan land reform telah masuk dalam Rencana PembangunanJangka Panjang 2005-2025 (Undang-Undang No 17/2007). Namunbadan-badan pemerintah bukanlah unit-unit yang seragam dengankepentingan yang sama. BPN menghadapi apa yang dikenal di ka-langan pejabat pemerintah Indonesia sebagai “ego sektoral”, suatukecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi

6 “Pidato Presiden RI pada Awal Tahun 2007”. 31 Januari 2007. Website resmiPresiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html

7 “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan,Program Reforma Agraria”. 28 September 2006. Website resmi Presiden RepublikIndonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html

8 “Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website ResmiSekretariat Negara Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55

Page 35: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

16

Usep Setiawan

kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perdulidengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Departemen Kehu-tanan dan Departemen Pertanian menolak ikut serta dalam programreforma agraria itu.

Walhasil, agenda pengalokasian kawasan hutan 8,15 juta hektar(hutan produksi konversi) sebagai sumber tanah yang akan diredis-tribusikan macet karena Departemen Kehutanan menolaknya. Depar-temen Kehutanan tetap mempertahankan diri sebagai tuan tanahnegara terbesar, melalui penguasaan tanah negara berupa “KawasanHutan”. Menurut BPN, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi(HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, di dalamnya telah dikuasaimasyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, lebih dari 60 persen.Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan masyarakatadat, KPA dan berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, sepertiAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agra-ria dan lingkungan hidup menantang klaim Departemen Kehutananini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat dimasukkan dalam“Kawasan Hutan”, baik itu Hutan Produksi dan Produksi Terbatas,Hutan Lindung, maupun Hutan Konservasi.9

Di dalam Departemen Kehutanan sendiri, masalah akses rakyatatas “Kawasan Hutan” negara merupakan masalah kebijakan terus-menerus yang belum ada penyelesaiannya yang tuntas dan terpadusebagai akibat dari terus dipergunakannya konsep politik hukum“Kawasan Hutan”, dimana hutan ditentukan bukan berdasarkanfungsi ekologisnya, melainkan berdasarkan penetapan suatu wilayahsebagai “kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan. Banyak masalahkonflik kehutanan bersumber pada konflik akibat dihilangkannya

9 Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay(2005), Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Re-form, tidak semua klaim itu telah absah secara hukum birokrasi. Menurut studi ituklaim Departmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan oleh Menteri Kehutanan, dan hinggaawal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah memiliki BeritaAcara Tata Batas (BATB, Forest Delineation Process Document) (hal 11).

Page 36: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

17

Prolog

hak kepemilikan rakyat sebagai akibat dari dimasukkannya tanahmilik rakyat dalam “kawasan hutan”. Berbagai ragam bentuk kebi-jakan perhutanan sosial (Social Forestry), seperti Kawasan DenganTujuan Istimewa, Hutan Kemasyarakatan (HKM), Pengelolaan HutanBersama Masyarakat (PHBM), dan yang terakhir adalah Hutan Adat,adalah suatu pengaturan hak dan kewajiban pemanfaatan (use rightand obligation) suatu “kawasan hutan” tertentu pada periode waktutertentu saja. Kendali dan Hak milik atas kawasan itu tetap berada diDepartemen Kehutanan. Banyak juga ornop lingkungan skala lokalmaupun nasional bekerja dengan format-format kebijakan itu di ba-wah bendera umum pengelolaan hutan berbasis masyarakat (commu-nity based forest management). Hal ini berbeda dengan agenda land re-form kehutanan yang didasari atas pengakuan adanya hak kepemi-likan rakyat di dalam kawasan hutan, dan dikeluarkannya tanah (un-tuk rakyat) dari “kawasan hutan” dan diredistribusi untuk masyara-kat adat, petani, petani tidak bertanah dan pekerja pedesaan lainnya.

Di pihak lain, Departemen (sekarang Kementerian) Pertanian RImerupakan suatu sektor tersendiri yang terpisah dengan agendaReforma Agraria ini. Kementerian Pertanian yang berkonsentrasi pa-da peningkatan produksi pertanian pangan, khususnya padi, melaluiberbagai skema lama dan baru di antaranya yang popular sebagaiSystem of Rice Intensification (SRI). Alih-alih melakukan kordinasidengan BPN atau Departemen Kehutanan dalam agenda ReformaAgraria, Kementerian Pertanian c.q. Dirjen Pengelolaan Lahan danAir, memprogramkan pembuatan Rancangan Undang-UndangPerlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bekerja ber-sama Badan Legislasi DPR RI, yang diajukan antara lain untukmengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.Menurut Naskah Akademik RUU itu, selama periode 1979-1999, kon-versi lahan sawah di Indonesia mencapai 1.627.514 Ha atau 81.376ha/tahun. Khusus untuk konversi lahan sawah, 1.002.005 Ha (61,57%) atau 50.100 Ha/tahun terjadi di Jawa, sedangkan di luar Jawamencapai sekitar 625.459 Ha (38,43 %) atau 31.273 Ha/tahun.

Page 37: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

18

Usep Setiawan

Usep Setiawan mengamati proses kebijakan di BPN, di Kemen-terian Pertanian, dan Kementerian Kehutanan itu. Ia melihat bahwabadan-badan pemerintah tidaklah berada dalam satu kepentinganyang sama dan terkordinasi. Mereka masih merupakan aktor-aktoryang bertindak untuk kepentingan sektornya sendiri-sendiri, ataumungkin melayani kepentingan pihak lainnya, dan juga memerankandiri sebagai arena dimana berbagai kekuatan sosial saling memper-tarungkan dan merundingkan kepentingannya masing-masing.

“Kolaborasi Kritis” dalam proses kebijakan reforma agraria

Dalam mengemban tanggungjawab sebagai pimpinan KPA,Usep Setiawan mengarahkan KPA berperan sebagai apa yang dise-butnya “kolaborator-kritis”, khususnya terhadap Badan PertanahanNasional (BPN) —dalam makna mengawal konsep dan praktek kebi-jakan reforma agraria yang digulirkan dengan tidak meninggalkandaya kritis terhadapnya.10 Dalam suatu komunikasi jarak jauhdengan penulis, ia menyatakan bahwa pilihan peran itu merupakankonsekuensi dari tanggungjawabnya sebagai pimpinan KPA. Iamengemukakan bahwa konteks politik yang berbeda perlu disikapioleh pemosisian KPA yang berbeda, sehingga strategi dan jalan tem-puhnya pun berbeda dengan sebelumnya. Dengan berperan sebagai“kolaborator-kritis”, KPA di bawah kepemimpinannya diabdikan“untuk memastikan Reforma Agraria kembali menjadi agenda utamaBPN, dan lebih dari itu KPA terlibat secara aktif dalam proses-prosesperumusan kebijakan pertanahan hingga implementasinya”. Ia me-lanjutkan, “Kolaborasi demikian dijalankan dengan kesadaranbahwa reforma agraria membutuhkan komitmen dari Negara—yangdirepresentasikan oleh pemerintah—dan dalam hal ini BPN telahditugaskan oleh Presiden RI melalui Perpres 10/2006, diantaranyauntuk menjalankan reforma agraria. Selain itu, karena besarnya

10 Dalam satu dua tulisannya kita bisa menemukan pula interaksi denganDepartemen Pertanian dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas).

Page 38: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

19

Prolog

kerinduan dan kebutuhan pada adanya badan pemerintah yangmengusung Reforma Agraria, sekaligus pelaksanaan kewajiban un-tuk ikut membentuknya.”

Meski demikian, perlu dipahami bahwa keseharian KPA diling-kungi oleh pengalaman berlimpah dari para korban perampasantanah dan aktivis gerakan sosial pedesaan yang geram menyaksikanmasih jauhnya jarak antara retorika Reforma Agraria yang dirumus-kan dan diimplementasikan BPN, dengan problem agraria yang mere-ka urus sehari-hari. Usep Setiawan berpendirian bahwa “konsep danpraktek PPAN selama ini belumlah ideal sebagaimana dibayangkansebagai reforma agraria sejati. Dalam optik minimum, PPAN cukupdiletakkan sebagai momentum untuk memperkuat prasyarat-prasya-rat bagi kemungkinan pelaksanaan reforma agraria yang sejati itu. …Konsepsi reforma agraria yang lebih tepat tentu saja mestilah merujukpada semangat konstitusi (Pasal 33) dan pemihakan yang jelas kepadagolongan ekonomi lemah (UUPA 1960) serta semangat zaman untukmenentang neo-imperialisme di lapangan agraria.”

Setelah aktif masuk ke relung-relung dan mengamati pembuatankebijakan reforma agraria di BPN selama ini, ia berkesimpulan, “bahwareforma agraria itu tidak sekedar butuh diakomodir sebagai agendanyaNegara. Melainkan lebih dari itu, perlu dirumuskan dalam konsep yangtepat, kebijakan yang benar, dan dijalankan oleh lembaga yang kuatbeserta jajaran birokrasi yang paham, berkomitmen serta mampu bekerjanyata dalam mempraktekan reforma agraria dari atas, dari teks ke dalamkonteks sosialnya. Untuk ke depan, tampaknya dibutuhkanrekonseptualisasi reforma agraria yang dikembangkan oleh pemerintah,sekaligus reposisi kelembagaan pelaksana reforma agraria.”

Sehubungan dengan hal itu, ia mendorong pula perlunya konso-lidasi substansi dan gerakan di kalangan pendorong reforma agrariaitu sendiri. “Konsolidasi di kalangan gerakan sosial yang pro-reformaagraria akan memastikan bahwa kebijakan pemerintah itu selaludalam pengawalan ketat dari pihak-pihak yang seharusnya menge-cap keuntungan dari dijalankannya reforma agraria, petani tak berta-

Page 39: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

20

Usep Setiawan

nah, petani gurem, buruh tani, nelayan kecil, masyarakat adat dankaum miskin kota—laki-laki maupun perempuan.”

Sepanjang saya mengikuti apa yang Usep Setiawan jalankandari waktu-ke-waktu, pemeranannya sebagai “kolaborator kritis” iniselain dijalankan sebagai konsekuensi dari posisinya sebagai SekjenKPA, juga karena tersedia kondisi-kondisi yang memungkinkannya,terutama ruang kebijakan yang terbuka. Semenjak tengah tahun 2005,ruang kebijakan itu terbuka dengan diangkatnya Joyo Winoto sebagaiKepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang melakukan perom-bakan organisasi dan personil besar-besaran, dan seiring denganitu, mengangkat reforma agraria sebagai salah satu kerangka resmikelembagaan BPN.

Dalam akhir periode Badan Pertanahan Nasional (BPN) di ba-wah kepemimpinan Joyo Winoto, PhD, telah menunjukkan pilihan-nya memformat reforma agraria dalam konteks legalisasi aset tanah.Jumlah bidang tanah yang dilayaninya melalui berbagai jenis proyekmeningkat sangat tajam. Masa sebelum kepemimpinannya di tahun2004, jumlah bidang tanah yang dilegalisasi hanyalah 269.902 bi-dang. Di tahun 2008 jumlahnya mencapai 2.172.507, lebih dari 800persen dibanding tahun 2004 itu. Bila ditambah dengan bidang yangdibiayai sendiri oleh perorangan, kelompok maupun badan usahamaka jumlahnya mencapai 4.627.039 bidang. Sepanjang lima tahunbelakangan, BPN telah melakukan penataan kelembagaan, peram-pingan prosedur, peningkatan alokasi APBN hingga 500%, dan mem-perbanyak bidang tanah yag disertifikatkan melalui berbagai skemayang secara administrasi diberi nama PRONA (Proyek NasionalAgraria), redistribusi tanah, dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Peng-gunaan dan.Pemanfaatan Tanah). Selain itu, BPN juga membuat tero-bosan baru yang diberi nama Larasita berupa perluasan daya jangkaupelayanan kantor pertanahan melalui kantor bergerak (mobile landservice), dengan mobil, sepeda motor maupun perahu serta teknologiinformatika dan komunikasi. Sudah 60 persen wilayah Indonesiatelah dapat dijangkau oleh kantor bergerak ini.

Page 40: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

21

Prolog

Berbagai perubahan itu berujung pada percepatan layananpemerintah sedemikian rupa sehingga diperkirakan hanya diperlu-kan waktu delapan belas tahun saja untuk melegalisasi seluruhbidang tanah di Indonesia, sementara itu tanpa kesemuanya diper-lukan waktu seratus sepuluh tahun! Klaim-klaim keberhasilan yangspektakuler itu adalah bagian utama dari iklan satu halaman “Perta-nahan untuk Rakyat. Bukan Omong Kosong” dari Tim Sukses pa-sangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di KoranMedia Indonesia tanggal 24 Juni 2009.11 Iklan itu hadir tepat ketika188 organisasi anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)12 mela-kukan musyawarah nasional kelima di Puncak, kabupaten Bogor,untuk pertanggungjawaban mandat yang diberikan pada Usep Setia-wan dan kepemimpinan KPA lain tiga tahun sebelumnya. Munas inipula adalah arena untuk menetapkan sasaran dan program strategisdan sekaligus untuk menetapkan kepemimpinan tiga tahun yangakan datang. Dalam Munas ini, Usep Setiawan dipilih dan ditetapkanmenjadi Ketua Dewan Nasional KPA.

Klaim keberhasilan itu ditanggapi secara kritis oleh SekretarisJenderal KPA yang baru terpilih. Dalam siaran persnya tanggal 3 Juli2009, Sekjen KPA yang baru terpilih, Idham Arsyad menilai “adalahkeliru jika Pemerintahan SBY menganggap diri telah menjalankanprogram pertanahan untuk rakyat, apalagi menjalankan Reforma Ag-raria (Pembaruan Agraria)”. Selanjutnya ia menekankan, “(K)enyata-annya, program ini telah menyeret petani yang bertanah kecil semakincepat kehilangan tanahnya, karena tanah tersebut semakin mudahdijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanahsempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani,maka sertifikasi pertanahan … tanpa didahului oleh Pembaruan

11 Juga pada sajian Kepala BPN dalam acara Save Our Nation di MetroTV padaRabu, 15 Juli 2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dan disiarkan ulang pada Senin, 20 Juli2009, pukul 16.00 – 17.00 WIB.

12 KPA membagi dua kategori anggota, masing-masing 103 organisasi rakyat,dan 85 lembaga swadaya masyarakat.

Page 41: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

22

Usep Setiawan

Agraria adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanahpetani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehing-ga ketimpangan tanah pun semakin lebar. Itulah sebabnya tanahpertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok nonpetani yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadiburuh tani.”13

Para pejabat dan pegawai di BPN menilai antara agenda lega-lisasi aset tanah dan reforma agraria bukan lah dua hal yang berten-tangan dan perlu dipertentangkan. Petugas BPN di lapangan tidakmembeda-bedakan antara pendaftaran tanah melalui apa yangdikenal dengan istilah “ajudikasi” (pendaftaran tanah yang dijalan-kan melalui Land Management and Program Development Project seba-gian yang dibiayai dari hutang Bank Dunia) maupun “redistribusitanah” (yang dijalankan melalui Proyek Pembaruan Agraria Nasionalyang sepenuhnya dibiayai oleh APBN). Bahkan, pejabat penanggung-jawab proyek lapangan dari kedua proyek itu bisa sama. Tentu sajakeduanya memiliki perbedaan sumber dan mekanisme anggaran,prosedur dan sejumlah pelaksanaan teknis di lapangan. Namunkedua-duanya umumnya dipahami sebagai berujung pada legalisasiaset tanah dengan jalur dan prosedurnya sendiri-sendiri. Yang perta-ma melalui “jalur ajudikasi”, yang lain melalui “jalur redistribusi”.

13 Lihat: “Keliru Jika SBY Dianggap Telah Melakukan Pembaruan Agraria”Siaran Pers KPA 3 Juli 2009. Website resmi KPA. http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=300&Itemid=1. Last download 28Juli 2009. Joyo Winoto bukan tidak menyadari kritik-kritik semacam ini bahwalegalisasi aset sering mengarah ke lepasnya tanah tersebut dari genggamanpemegangnya, karena tak mampu memanfaatkan secara optimal terutama bagi merekatidak memiliki modal dan ketrampilan. Karena itu, BPN memprogramkan apa yangdisebutnya sebagai GEMARA (Gerakan Masyarakat Reforma Agraria), suatu upayapemberdayaan kelompok-kelompok rakyat penerima tanah yang diredistribusikanoleh BPN. Namun, hal ini menimbulkan perdebatan tersendiri di kepemimpinanKPA saat ini. Sebagian menanggapi secara sinis karena pengorganisasian danpemberdayaan rakyat adalah jalan yang panjang dan penuh pengorbanan dan komitmenkerakyatan yang tinggi, dan hal inilah bukanlah sesuatu kualitas yang dimiliki birokrasiBPN.

Page 42: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

23

Prolog

Asal-usul status tanah dari keduanya berbeda. Untuk “jalur ajudi-kasi” asal usul status hukum tanah tersebut adalah tanah milik yangdibuktikan melalui bukti-bukti kepemilikan adat, warisan, jual-beli,hibah, atau transaksi lain atas tanah milik itu; sedangkan untuk jalurredistribusi asal-usul status hukum tanahnya adalah tanah negarayang telah ditegaskan sebagai objek redistribusi tanah oleh KepalaBPN. Muara keduanya sama-sama sertifikat tanah dengan kekuatanhukum yang sepenuhnya sama.

Sementara itu, bagi Idham Arsyad, gagasan untuk memperten-tangkan keduanya berangkat dari suatu yang diharuskan oleh posisidan cara bagaimana kedua agenda itu dihasilkan. Agenda legalisasiaset tanah dipahaminya bersumber dari suatu agenda global untukmempercepat dan memperluas pasar tanah. Selain dimotori oleh BankDunia, suatu argumen utama pentingnya kepastian hak tanah untukpertumbuhan ekonomi, agenda formalisasi hak-hak atas tanah mela-lui layanan pendaftaran tanah oleh pemerintah memperoleh pembe-naran ideologis dari visi yang dipromosikan oleh Hernando de Soto,seorang ekonom yang berasal dari Peru. Reputasinya telah tersohorsebagai pemikir pembangunan yang mempromosikan resep seder-hana dan sangat menggoda, yakni integrasikan aset tanah rakyatmiskin ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi aset secaramasif yang dijalankan oleh pemerintah. De Soto yakin, pada saat inimayoritas aturan yang menjadi dasar kepemilikan dan transaksi aset-aset di Negara-negara non-Barat terjadi di luar sistem hukum formal.Untuk memoderisasikannya, negara-negara non-Barat, seperti Indo-nesia, musti mengkonversi dan mengubah semua aturan yang ekstra-legal itu ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semuapihak. Pendek kata, semua kontrak-kontrak sosial di luar sistem for-mal, harus diintegrasikan dalam satu sistem hukum property yangmencakup semuanya. Hanya dengan cara inilah tanah-tanah rakyatadalah modal mati (dead capital) yang berada di luar sistem hukum(extra-legal), dapat dihidupkan melalui pendaftaran tanah dan masukdalam sistem. Jadi yang de Soto lakukan adalah meredefinisikan dan

Page 43: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

24

Usep Setiawan

mempromosikan sistem pasar kapitalisme sebagai instrumen untukrakyat keluar dari kemiskinan.

Pemikiran de Soto ini ikut mendasari cara kerja program perta-nahan pemerintah selama lima tahun belakangan ini.14 Berbedadengan Joyo Winoto yang memakai pemikiran de Soto sebagai dasaruntuk menunjukkan pentingnya legalisasi aset tanah rakyat, sejumlahpemikir di dalam KPA, termasuk Noer Fauzi15 dan Dianto Bachriadi16,menempatkan de Soto adalah bagian dari jaringan intelektual neoli-beral yang memuja-muja keutamaan dari private property rights, sistemhukum positif dan mekanisme pasar kapitalis. Kritik mereka berangkatbahwa integrasi aset tanah ke dalam sistem pasar yang dihidupkanmelalui pendaftaran tanah merupakan bagian dari strategi pem-bangunan neoliberal dalam menciptakan kondisi berikutnya bagibekerjanya sistem kapitalisme.17

14 Kepala BPN, Joyo Winoto pernah menyambut gagasan de Soto denganramah dan mengkombinasinya dengan “reformasi akses ala Amartya Sen” dalam majalahTempo Edisi 10 September 2006 yang melansir suatu publikasi khusus tentang“Hernando De Soto: Gagasan Kontroversial dari Dunia Ketiga” dalam enam halaman(halaman 75 – 81). De Soto pun pernah diberi kesempatan untuk presentasi padatangal 7 November 2006 di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersamasekitar sepuluh menteri dan pejabat setingkat menteri, plus dua Juru BicaraKepresidenan. “Bahas Pengentasan Kemiskinan, SBY Diskusi Dengan Hernandode Soto”, 7 November 2006. Situs resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H.Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/11/07/1216.html

15 Fauzi dan Malone (2007) menulis bahwa apa yang dilakukan oleh de Sotoadalah “dalam rangka misi menciptakan kondisi agar perluasan pasar kapitalis diterimadengan ramah, tanpa mempersoalkan bagaimana akumulasi kekayaan terjadi denganpelepasan aset utama kaum miskin yang berlangsung baik secara brutal maupunsecara halus, siapa yang telah dan dapat berpartisipasi dalam pasar kapitalis dan siapayang telah dan akan disingkirkan lagi, serta siapa yang diuntungkan dan siapa yangdirugikan”.

16 Bachriadi (2007) menulis “(p)rogram redistribusi tanah ala SBY tidak lebihmerupakan suatu instrumen untuk memperkuat kebijakan penciptaan pasar tanahyang didahului dengan penciptaan kepastian hukum terhadap pemilikan tanah melaluisertifikasi17. Redistribusi tanah dapat meningkatkan jumlah sertifikat tanah yang padadasarnya menjadi salah satu fondasi dari Program Manajemen/Administrasi Pertanahandalam kerangka menciptakan “pasar tanah yang bebas” (free land market) … sertifikasi

Page 44: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

25

Prolog

Penutup

Panggung-panggung yang diurai di atas dari waktu-ke-waktutentu saja panggung dari banyak aktivis agraria dahulu dan sekarang.Di bagian penutup ini saya hendak menyajikan perjalanan aktivismeagraria itu dalam rentang perjalanan yang lebih panjang, yakni perja-lanan kapitalisme dan proses pembentukan negara. Saya mulaidengan cuplikan cerita ketika Badan Pelaksana KPA untuk pertamakalinya hendak menerbitkan sebuah buku (1997) bekerja sama denganLembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LP-FEUI).Pada mulanya buku utama KPA Reformasi Agraria: Perubahan Politik,Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia adalah naskahyang siap dicetak dengan judul Buah-buah Kapitalisme Agraria: Peru-bahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. R.Yando Zakaria yang pada waktu itu bekerja di Lembaga PenyelidikanEkonomi dan Masyarakat–Universitas Indonesia (LPEM-UI) mem-bawa naskah itu ke LP-FEUI untuk diterbitkan. Atas persetujuanDorojatun Kuntjorojakti, Dekan Fakultas Ekonomi UI, naskah itu bisaditerbitkan, dengan permintaan untuk mengganti judul Buah-buahKapitalisme Agraria menjadi Reformasi Agraria. Pengurus BP-KPA danpara penyunting buku ini (Dianto Bachriadi, Bonnie Setiawan, danErpan Faryadi) menerima usulan itu. Buku itu terbitlah di tahun 1997,tiga tahun setelah rangkaian studi agraria dan konsultasi wilayahdigagas dan dipimpin oleh Bonnie Setiawan semenjak awal tahun1994.

Sekelumit cerita ini saya kemukakan untuk mengedepankanpesan bahwa sekelompok orang pemulai KPA memahami perubahan

(yang membuka pintu untuk mempelajari sejarah geografi per-kembangan kapitalisme dan pembentukan negara melalui persoalanagraria)

tanah dalam kerangka penciptaan “pasar tanah yang bebas” adalah suatu kebijakanglobal yang didorong oleh sejumlah lembaga keuangan internasional, seperti BankDunia misalnya, untuk memberikan landasan bagi intensifikasi penetrasi kapital yanglebih leluasa dalam era globalisasi saat ini.”

Page 45: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

26

Usep Setiawan

politik, dan sengketa agraria itu sebagai konsekuensi dari bekerjanyakapitalisme. Dadang Juliantara dalam Jurnal Suara Pembaruan AgrariaNo. 3 Tahun 1997, pernah menulis, “Agraria adalah Akibat, Kapitalis-me adalah Sebab!” Ya, disini saya perlu mengeksplisitkan perlunyamengedepankan kembali cara kita memahami kapitalisme. Kita tidakbisa menghindar darinya, seperti diingatkan oleh Fernand Braudel,Sejarawan Perancis pemimpin dari Aliran Annales (Annales School)dalam ilmu sejarah. Ia menulis kalimat yang penting dalam salahsatu karya klasiknya Civilization and Capitalism 15th–18th Century Vo-lume II: the Wheels of Commerce: “Manakala kapitalisme diusir keluardari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Ia melanjutkan,“(S)uka atau tidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomi yangtak bisa dihindari memanggil ingatan kita pada kata ini, dan tidakbisa tidak” (Braudel 1979:231).

Diperlukan suatu kerja keras terus menerus untuk memahamiapa itu kapitalisme, bagaimana kapitalisme berkembang secara ber-beda-beda di satu wilayah dengan wilayah lainnya, dan bagaimanaperkembangan kapitalisme itu menghancurkan hubungan kepemili-kan dan cara produksi yang terdahulu, dan pada saat yang samamembentuk yang baru. Selain sebagai suatu cara berpoduksi yangkhusus, kapitalisme juga begitu besar dan kuat pengaruhnya padaapa yang dalam ilmu sosial disebut proses pembentukan (state forma-tion). Dengan begitu, saya mengajak pembaca menempatkan pang-gung-panggung pembentukan kebijakan agraria yang saya uraiandi bagian-bagian sebelumnya itu, dalam rentang yang lebih panjang,dan konteks yang lebih luas, yakni perkembangan kapitalisme danpembentukan negara.

Para pelajar sejarah agraria Indonesia, lebih-lebih mereka yangmempelajari sejarah agraria Eropa, Amerika, Amerika Latin hinggaAfrika, akan banyak menemukan contoh-contoh di mana pemberla-kukan hukum agraria baru, termasuk di dalamnya yang disebut seba-gai hukum kehutanan atau pertambangan merupakan suatu caraagar perusahaan-perusahaan kapitalis dapat memperoleh hak pe-

Page 46: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

27

Prolog

manfaatan yang eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yangkemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaanitu. Perubahan dari alam menjadi sumber daya alam ini berakibatsangat pahit bagi rakyat yang tidak lagi dapat menguasai, memanfa-atkan bahkan memperoleh layanan dari alam itu. Pemerintah danperusahaan-perusahaan itu telah menutup, memagarinya, danmengeluarkan rakyat setempat dari wilayah itu. Hubungan dan caramereka menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melaluipemberlakuan hukum, dan berbagai penggunaan kekerasan, pema-garan wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baruyang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangkuoleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan tindakan-tin-dakan untuk menguasai dan menikmati kembali, akibatnya sangatnyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birok-rasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibe-narkan secara hukum. Pada kontek ini bisa kita pahami, bahwa keke-rasan demikian ini merupakan cara dimana modal bertindak.18

Pemagaran dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalahpenghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alamtertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk menjadibagian modal perusahaan-perusahaan kapitalistik.19 Pada pihak lain

17 Selanjutnya lihat uraian Fauzi dan Mallon (2006), Bachriadi (2007). Pelajari jugaFauzi (2003), Bacriadi (2009). Untuk suatu review kritis mengenai bagaimana kedu-dukan dan pengaruh Hernando de Soto, silakan pelajari karya Mitchell (2005, 2007,2009). Untuk review karya terbaru Mitchell (2009) lihat Fauzi dan Tata (2009).

18 Kita tahu bahwa negara ada pemegang yang sah untuk melakukan kekerasandan terus menerus mengembangkan kapasitas aparat kekerasan. Dalam kontekshubungan antara hukum, kekerasan dan perkembangan kapitalisme, Walter Ben-jamin, salah seorang anggota Frankfurt School, pernah membedakan antara kekerasanyang dilakukan untuk melestarikan hukum (law-perserving violence) dengan kekerasanyang melahirkan hukum (law-making violence) (lihat Blomley 2003:126). Dalampengalaman perjalanan sejarah tumbuhnya kapitalisme, kita bisa melihat bagaimanakedua bentuk kekerasan ini hadir saling menguatkan satu sama lainnya.

19 Adam Smith dalam karya terkenalnya The Wealth of Nations menuliskanbahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja” (1776,

Page 47: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

28

Usep Setiawan

terjadi proses paksa untuk menciptakan orang-orang yang tidak lagibekerja terikat pada tanah dan alam, tetapi pada tenaga kerja yangmelekat pada dirinya saja, lalu mereka menjadi para penganggurpekerja bebas, proses itu juga disertai berbagai gejala lain yang menyer-tainya, seperti pergi menjadi pengungsi dari tanah mereka berasal(land refugee) ke kota-kota. Kantung-kantung kemiskinan di desa-desadan di kota-kota tidak lain dan tidak bukan juga dilahirkan oleh prosesdemikian ini, baik yang berjangka waktu pendek maupun panjang.20

Cerita sejarah penindasan atas golongan-golongan rakyat pede-saan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin bukanlah ceritabaru, terutama bagi mereka yang meneliti, menulis, membaca danmengajar sejarah. Tema penindasan dan perlawanan ini telah mengisiwajah pedesaan yang merentang dari dulu hingga sekarang (untukkasus Jawa lihat Kartodirdjo 1971, 1973, untuk Asia Tenggara lihatJacoby 1961 dan Adas 1979). Protes-protes agraris ini, dan kekerasannegara yang dipergunakan untuk menaklukkan mereka, perlu dipa-hami dalam hubungan dengan politik dan hukum agraria yang ikutmenghasilkannya, dan lebih luas dari itu adalah dalam konteks per-kembangan kapitalisme dan pembentukan negara (Fauzi 1999).

I.3:277). Berangkat dari teorisasi Adam Smith ini, Karl Marx mengembangkan kon-sepsi teori mengenai apa yang kemudian disebut sebagai primitive accumulation,yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dankemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas(Marx, Das Capital, 1867). Uraian menarik mengenai konsep “original accumula-tion” dari Adam Smith dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, dan relevansinyauntuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalamPerelman (2000) dan De Angelis (2007).

20 Menurut De Angelis, modal (capital) harus dipahami sebagai sebuah kekuatan(force). Sehingga sehubungan dengan karakter utama dari modal yang senantiasamelakukan pelepasan paksa hubungan antara rakyat dengan tanah dan sumber dayaalam, maka modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59,n . 5). Ia mengelompokan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: “(i)enclosure adalah sebuah rancangan yang didasar pada adanya “kekuasaan atas” (powerover) kelas sosial lainnya, dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat yang tak direncanakan(unintended by-product) dari proses akumulasi. Dalam bahasa ekonomi hal itu dikenalsebagai “negative externalities” (De Angelis 2004:77-78).

Page 48: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

29

Prolog

Perjuangan agraria memberi bentuk bagi perjuangan kemerdekaannegara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Tak heranbila Eric Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in SoutheastAsia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelasbahwa sesungguhnya struktur agraria yang bersifat merusaklah yangmemberi jalan bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuanganpolitik (selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemer-dekaan melalui perjuangan tanah” (1961:50).21 Struktur agraria yangtidak adil dan perjuangan konkrit rakyat tani untuk keadilan agrariamerupakan basis sosial dari aspirasi kebangsaan. Selanjutnya ia me-nulis “… pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat untukperwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan nege-ri-negeri Asia Tenggara; dan bahwa hal itu, untuk sebagian besar,merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasimasyarakat yang berhasil.” (1961:253)22

Untuk Indonesia sendiri, ketetapan “untuk membentukpemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa In-donesia dan seluruh tumpah darah Indonesia … dengan mewujud-kan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”23 telahmendasari “perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang)berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri daricengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya per-juangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangansistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.”24

21 Kalimat aslinya, “… it can be asserted that it was the defective agrarianstructure which paved the way for the national idea, and political developments haveconfirmed the emotional identity of the fight for freedom with the cry for land”(Jacoby 1961:50).

22 Bahasa Inggris aslinya “… the solution of the land problem is a pre-requisite forthe full realization of the national aspirations of the countries of Southeast Asia andthat, to a large extent, is the key to economic development and a sound re-organizationof society” (Jacoby 1961:253).

23 Kalimat dalam Pembukaan UUD 1945.24 Pidato Pengantar Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) di dalam sidang DPR-GR

tanggal 12 September 1960, dalam Harsono, Boedi (1994:53).

Page 49: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

30

Usep Setiawan

Secara berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya banyak elitnegara paska-kolonial, termasuk presiden Soekarno, benar-benardipengaruhi oleh naskah resmi FAO (Food and Agricultural Organi-zation) Land Reform - Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Eco-nomic Development yang dikeluarkan pada 1951. Apa yang dilakukanoleh FAO kemudian beresonansi dengan cara bagaimana negara-negara paska-kolonial menjadikan Reforma Agraria bagian dari agen-da bangsanya hingga pada puncaknya tahun 1979 pada World Con-ference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD), di manaIndonesia mengirim delegasi yang sangat besar (Wiradi 1999). Konfe-rensi dunia yang menghasilkan Peasant Charter (Piagam Petani) itusayangnya menjadi “upacara kematian” Reforma Agraria, yang dige-rus oleh model-model Pembangunan Pedesaan (termasuk pertanian)yang baru, seperti revolusi hijau, agroindustri/agribisnis, produksikomoditi untuk ekspor, dan lainnya. Secara gamblang, setelah meng-evaluasi praktek pembangunan pertanian di 26 (dua puluh enam)negara, John Powelson and Richard Stock (1987) menyimpulkanbahwa petani telah dikhianati oleh banyak elit negara-negara paskakolonial. Dalam buku yang berjudul The Peasant Betrayed: Agricultureand Land Reform in the Third World itu, kedua peneliti itu sampai padakesimpulan yang kelam bahwa setelah landreform dijalankan, pro-gram-program selanjutnya yang dijalankan rezim/pemerintahan baikyang Kiri maupun Kanan, “telah dan terus menyengsarakan petanidaripada menolong mereka”. Lebih penting lagi, setelah kedua pene-liti ini menggolongkan dua jenis landreform berdasar (a) kekuatanpemerintahan yang budiman, dan (b) kekuatan petani, mereka mene-gaskan, bahwa hanya pada kondisi di mana petani bersandar padakekuatan diri sendiri lah mereka dapat melanjutkan menikmati hasil-hasil land reform yang dijalankan.

Ini adalah cerita mengenai bagaimana pemerintahan negara-negara paska-kolonial mengkhianati petani di banyak negara “DuniaKetiga” seiring dengan dianutnya modernisasi dan developmentalis-me sebagai teori, strategi dan kerangka dasar kebijakan dan praktek

Page 50: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

31

Prolog

rejim-rejim penguasa negara. Dalam hal ini kita juga perlu mempe-lajari bagaimana perkembangan kapitalisme perlu dibedakan dandihubungkan dengan Pembangunan sebagai suatu proyek interna-sional dan nasional yang dijalankan badan pembangunan interna-sional dan pemerintah negeri-negeri paska kolonial, untuk menanganisebagian dari akibat-akibat dari bekerjanya kapitalisme itu, atauuntuk melancarkan jalan bagi kapitalisme itu bekerja.25

Kita menyaksikan begitu banyak cerita perampasan tanah dansumber daya alam yang merupakan akibat langsung dari dijalan-kannya modernisasi dan Pembangunan yang berbasiskan pemerin-tahan yang kuat (state-led development). Jaman neoliberalisme dimulaiketika badan pembangunan internasional, seperti Bank Dunia danIMF (International Monetary Fund) mulai memberlakukan apa yangdisebut program-program penyesuaian struktural (structural ajustmentprogram) yang mengurangi kuasa pemerintah dalam mengatur ekono-mi dan masyarakat. Di lain pihak, perusahaan-perusahaan transna-sional menginginkan kebebasan lebih besar dalam berusaha. Padamasa inilah para ilmuan sosial mulai bicarakan mengenai globa-lisasi.26

25 Sudah menjadi pegangan dalam pengajaran Studi Pembangunan bahwaPembangunan adalah suatu proyek internasional merupakan suatu bentuk intervensiyang khusus yang dijalankan secara masif setelah Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka. Perang Dingin maupun hubungan internasional setelahitu sangat kuat memberi pegaruh pada bentuk-bentuk dari proyek Pembangunan(Lihat misalnya Craigh and Porter 2006, McMichael 2008). . . . . Gillian Hart, dosen diFakultas Geography -University of California, Berkeley, mengembangkan pembedaanantara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development, sebagai “suatuproyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), denganpembangunan kapitalis, capitalist development, (atau pembangunan dengan “p” kecil)yang merupakan sebagai suatu rangkai proses sejarah yang dipenuhi dengan beragamkontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu wilayahdengan wilayah lainnya” (Hart 2001, 2002, 2004, 2006, 2010).

26 Mengikuti David Harvey (1990), penulis membedakan globalisasi sebagaiproses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya ditandai oleh“semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat

Page 51: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

32

Usep Setiawan

David Harvey (2003, 2005) berteori bahwa karakteristik utamadari neoliberalisme sekarang ini adalah suatu konsolidasi kekuasaankelas, dan apa yang diistilahkannya accumulation by dispossession (aku-mulasi melalui pengambilan barang kepemilikan). Ini dibedakandengan akumulasi modal secara meluas melalui produksi, perda-gangan dan perluasan konsumsi. Ekonomi pasar kapitalistik bekerjasama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjaditukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yangdiperantarai oleh uang. Tanah (atau lebih luasnya: alam) sesung-guhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapatsepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi. Tanah terikat danmelekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yangmemperlakukan tanah sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnyabertentangan dengan hakekat tanah itu sendiri. Alam dibayangkansebagai komoditi walaupun sesungguhnya tidak bisa sepenuhnya.Polanyi dalam karya klasiknya The Great Transformation (1967 [1944)(2001 [1944), mengistilahkannya fictitious commodity (barangdagangan yang dibayangkan). Menurut Karl Polanyi memperlakukantanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dariikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscayaakan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkansendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akanada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakanyang lebih parah. Tanah (dan juga tenaga kerja) tak lain dan takbukan merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah(dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkanhakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu sajapengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal inidengan sendirinya, demikian Polanyi, menimbulkan gejolak perla-wanan.

Polanyi menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapathidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaandari masyarakat; ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah

Page 52: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

33

Prolog

lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkanlagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi1944:3). Dalam bagian lain bukunya, ia menulis “selama berabaddinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (doublemovement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan(pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermove-ment) menghadang ekspansi ini agar berjalan ke arah yang berbeda.Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk me-lindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu)itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dandengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri”(Polanyi 1944:130).

Demikianlah. Memahami masalah agraria dari perspektif yangpanjang demikian akan membantu kita untuk di satu pihak meng-hargai inisiatif gerakan-gerakan protes agraria yang bertumbuh,hidup-mati selama ini, dan kemudian semoga kesadaran itu ikutmengubah protes-protes itu menjadi kekuatan penggerak bagi peru-bahan kebijakan pemerintah yang harus menjalankan kewajiban-nya melindungi rakyat dari kerusakan yang telah dan akan ditim-bulkan dari tabiat buruk ideologi, kebijakan dan praktek ekonomipasar kapitalistik.

Masalah utama dari perspektif Karl Polanyi ini adalah anggapanbahwa dalam menghadapi gerakan pasar, masyarakat itu sebagaisatu kesatuan yang bersatu, tidak terdiferensiasi berdasarkan kelas,ras, jender, dan budaya.27 Dalam hal ini kita perlu kembali mempelajarisumbangan karya-karya studi-studi agraria yang terdahulu maupun

perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); danneoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi dan politik yang menomorsatukanprinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, danakumulasi modal skala dunia. Untuk uraian mengenai pengaruh neoliberalisme inibisa dilihat pada karya-karya Fauzi (2001); Wibowo dan Wahono (2003), Setiawan(2003), Khudori (2004), Ya’kub (2004), dan Herry-Priyono (2006).

27 Untuk kritik terhadap bagaimana Polanyi menganggap masyarakat bersatukepentingan menghadapi gerakan pasar, lihat Hart (2002, 2006).

Page 53: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

34

Usep Setiawan

yang baru, dalam rangka mengerti di antaranya mengenai (a) berbagaiproses pembentukan kelas-kelas sosial agraris, dan berbagai alat ana-litik baru yang sanggup melihat ras, jender, dan budaya termasukidentitas sebagai pembentuk pengelompokan masyarakat; (b) basis-basis sosial, bentuk-bentuk baru dan kondisi-kondisi yang memung-kinkan gerakan-gerakan politik pedesaan; dan (c) interaksi antaranegara dan masyarakat dalam proses-proses kebijakan reformaagraria.28 Dalam konteks globalisasi, dimana proses-proses di dalamdan antara keluarga, kampung, desa, wilayah, negara, reginal, danglobal tidak bisa lagi dipahami secara terpisah satu sama lainnya,persoalan agraria semakin merumit dan memerlukan alat-alat baruuntuk memahaminya.29

Namun, bukan maksud dari pengantar ini untuk masuk ke dalam-nya. Dengan mengemukakan hal di atas, saya bermaksud mengemu-kakan kembali pentingnya mempertemukan studi agraria dengangerakan reforma agraria, antara mereka yang melakukan studi agrariadengan para pemimpin gerakan untuk reforma agraria. BenjaminWhite, seorang pengajar sosiologi pedesaan dari Institut of SocialStudies (ISS), the Hague, Belanda, yang meneliti masalah agraria In-donesia sejak tahun 1970-an menganjurkan dengan nada bertanya,“Kapan tiap Kabupaten akan memiliki Pusat Kajian Agraria tersen-diri, dan cabang Konsorsium Pembaruan Agraria tersendiri, ataubasis lain yang mampu mendukung penelitian, dokumentasi, advoka-si dan kebijakan yang matang tentang reforma agraria?” (2005:132).Ia juga menganjurkan kita untuk merintis tersedianya bahan penga-jaran “teori dan praktek reforma agraria”, suatu kebutuhan yangsungguh mendesak bukan hanya untuk pendidikan tinggi Indone-

28 Pelajari karya-karya tulis dalam Hart et al (1989), juga Li (1999). Untuk suatureview mengenai sumbangan The Journal of Peasant Studies dalam studi-studi petanidan perubahan agraria, lihat: Bernstein, dan Byres (2001), juga Brass (2005).

29 Pelajari review mengenai literature terbaru mengenai persoalan agraria di jamanglobalisasi sekarang ini dalam Borras (2009) dan Akram-Lodhi and Kay (2009, 2010a,2010b).

Page 54: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

35

Prolog

sia saat ini, tapi juga untuk dijadikan bahan-bahan kursus, latihan,dan studi agraria untuk kalangan aktivis agraria, dan pembuat kebi-jakan agraria (lihat juga White 2002). Adalah ironis bila pengalamangerakan agraria sepanjang dua puluh lima tahun terakhir ini, danproses kebijakan reforma agraria sepanjang sepuluh tahun terakhirini, tidak sanggup kita olah menjadi bahan-bahan pengajaran, pela-tihan dan penelitian yang berguna bagi para pelajar, peneliti, aktivis,dan birokrat yang menginginkan keadilan agraria terwujud. ***

Berkeley, 7 Juni 2010

Page 55: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

36

Usep Setiawan

Daftar Pustaka

Adas, Michael. 1979. Millenarian Protest Movements against the Euro-pean Colonial Order. Chapel Hill, University of North Caro-lina Press.

Akram-Lodhi, A. Haroon and Cristobal Kay (Eds). 2009. Peasants andGlobalization, Political Economy, Rural Transformation and theAgrarian Question. London: Routledge.

Akram-Lodhi, A.H. and Cristobal Kay. 2010a. “Surveying the Agrar-ian Question (part 1). Unearthing Foundation, Exploring di-versity.” Journal of Peasant Studies 37(1):177-202.

_____. 2010b, Surveying the Agrarian Question (part 2). Current De-bates and Beyond.’ Journal of Peasant Studies 37(2):255-84

Bachriadi, Dianto, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (eds.), 1997,Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pem-baruan Agraria di Indonesia. Jakarta: LP-FE Universitas Indo-nesia dan KPA.

Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat:Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta, Kepustakaan Populer Gra-media.

Bachriadi, Dianto, 2002. “Lonceng Kematian atau Tembakan TandaStart? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 - Komentar untuk Idham Samudra Bey”, Kompas, 11Januari 2002.

_____. 2004a. “Konstelasi Upaya-upaya untuk Mengubah UUPA1960”, bahan presentasi di Institute of Global Justice (IGJ),September 2004.

_____. 2004b. “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di In-donesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untukPenyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”, dalam JurnalDinamika Masyarakat Vol. III, No. 3, November 2004, pp. 497-521.

_____. 2007, “Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritistentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atauRedistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY”, http://agra-rianrc.multiply.com/journal/item/19 Last accessed 31/05/2010.

Page 56: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

37

Prolog

_____. 2009. “Australian Overseas Development Assistance and theRural Poor. AusAid and the Formation of Land Markets inAsia-Pacific.” Land Policy Series 7. Amsterdam: Transna-tional Institute.

Bernstein, Henry and Byres, Terry J. 2001. “From Peasant Studies toAgrarian Change.” Journal of Agrarian Change 1(1):1-56.

Bey, Idham Samudera. 2002. “Lonceng Kematian UUPA 1960Berdentang Kembali - Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001”,Kompas, 10 January 2002.

_____. 2003. “UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelo-laan Sumber Daya Alam”, Kompas, 10 May 2003.

Blomley, Nicholas. 2003. ‘Law, Property, and the Geography of Vio-lence: The Frontier, the Survey, and the Grid.’ Annals of theAssociation of American Geographers 93(1):121-41.

Borras Jr., Saturnino (Ed). 2009. Critical. Perspectives in Rural Develop-ment Studies. London: Routledge.

Brass, Tom. 2005. “The Journal of Peasant Studies: The Third De-cade”, Journal of Peasant Studies 32(1):153-180.

Braudel, Fernand. 1979. Civilization and Capitalism 15th–18th Cen-tury. Vol. 2. The Wheels of Commerce. New York: Harper & Row.

Cook, Ian et al. 2005. “Positionality/Situated Knowledge”. In DavidAtkinson, Peter Jackson, David Sibley and Neil Washbourne,(eds) Cultural Geography: A Critical Dictionary of Key Concepts.London: I.B. Tauris. Pp. 16-26.

Craig, David dan Douglas Porter. 2006. Development Beyond Neoli-beralism: Governance, Poverty Reduction and Political Economy.New York: Routledge.

De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value Strugglesand Global Capital. London: Pluto Press.

Fauzi, Noer dan Boy Fidro (Eds), Pembangunan Berbuah Sengketa: Kum-pulan Kasus Pertanahan. Medan: Yayasan Sintesa dan SerikatPetani Sumatera Utara, 1995.

Fauzi, Noer dan Erpan Faryadi (Eds), Perlawanan Kaum Tani: Analisisterhadap Gerakan Petani di Indonesia Sepanjang Orde Baru. Me-dan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, 1995.

Fauzi, Noer (Ed). 1997a. Tanah dan Pembangunan: Risalah dari KonferensiINFID. Jakarta: Sinar Harapan.

Fauzi, Noer, 1997b, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan

Page 57: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

38

Usep Setiawan

Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolo-nial”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, danAgenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: LP-FEUI danKPA.

_____. 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria beker-jasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Fauzi, Noer. 2000. “Keadilan Agraria di Masa Transisi : MewujudkanPengakuan Atas Hak-hak Agraria Penduduk dan PemulihanKondisi Korban-korban Sengketa Agraria”, dalam KeadilanDalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Jakarta, 2000, hal. 204-220.

_____. 2001. “Revisi UUPA Perlu Dipikirkan.” Kompas, 27 Septem-ber 2001.

_____. 2003, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria, Yogyakarta: Karsa.Fauzi, Noer and Kim Malone. 2006. “Membangun Jaringan Intelektual

Neoliberal: Kasus Hernando de Soto” http://indoprog-ress.blogspot.com/2006/11/membangun-jaringan-intelektual.html, juga dimuat dalam http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=99&Itemid=53.Last accessed 31/05/2010.

Fauzi, Noer dan Elizabet Tata. 2010.” “How Neoliberalism Makes ItsWorld. The Urban Property Rights Project in Peru” karyaTimothy Mitchell” http://ikhtisarstudiagraria.blogspot.com/2010/04/how-neoliberalism-makes-its-world-urban.html.Last accessed 31/05/2010.

Haraway, Donna, 1988, “Situated Knowledges: The Science Ques-tion in Feminism and Privilege of Partial Perspective”, Femi-nist Studies 14(3):575-99.

Hardijanto, Andik. 1998. Agenda Land reform di Indonesia. Bandung,Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INPI-PACT.

Harman, Benny K., Paskah Irianto, dan Noer Fauzi (eds.), 1995, Plu-ralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Pertanahan, Ja-karta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Harsono, Boedi. 1993. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Hart, Gillian, Andrew Turton, and Benjamin White, eds. 1989. Agrar-

Page 58: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

39

Prolog

ian Transformations : Local Processes and the State in SoutheastAsia. Berkeley: University of California Press.

Hart, Gillian. 2001. “Development Critiques in the 1990s: Culs de Sacand Promising Paths”. Progress in Human Geography 25 (4):649-658.

_____. 2002. “Development after Neoliberalism Culture, Power, Po-litical Economy.” Progress in Human Geography 26(6):812-830

_____. “Geography and Development: Critical Ethnography.” Progressin Human Geography 28:91–100.

_____. 2006. “Denaturalising Dispossession: Critical Ethnographyin the Age of Resurgent Imperialism.” Antipode 38(5): 977–1004.

_____. 2010. “D/development after Meltdown”. Antipode 41(1):117-141.

Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into theOrigins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.

_____. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press._____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford Univer-

sity Press.Herry-Priyono, B. 2006. “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan”,

naskah refleksi yang disampaikan dalam acara Pidato Kebu-dayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki,Jakarta, 10 November 2006.

Jacoby, Erich H. 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia. 2nd ed. Lon-don, Asia Publishing House.

_____. Man and Land, the Essential Revolution. New York, RandomHouse.

Kartodirdjo, Sartono. “Agrarian Radicalism in Java”. In Culture andPolitics in Indonesia. Edited by Claire Holt. Ithaca and London:Cornell University Press. Pp. 71-125.

_____. 1973. Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Un-rest in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Singapore:Oxford University Press.

Kasim, Ifdhal dan Suhendar, 1996, Tanah sebagai Komoditas Strategis:Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan Pertanahan Orde Baru, Jakarta:ELSAM.

Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: ResistBook.

Page 59: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

40

Usep Setiawan

McMichael, Philip. 2008. Development and Social Change: A Global Per-spective. 4th edition. Thousand Oaks, CA: Sage/Pine Forge.

Li, Tania (ed). 1999. Transforming the Indonesian Uplands. Amsterdam:Harwood Academic Publishers.

Mitchell, Timothy. 2005. “The Work of Economics: How a DisciplineMakes its World”. European Journal of Sociology, 46(2):297-320

_____. “The Properties of Markets”, in Donald MacKenzie (ed.) DoEconomists Make Markets? On the Performativity of Economics.Princeton: Princeton University Press. Pp 244–275.

______. 2009. “How Neoliberalism Makes Its World. The Urban Prop-erty Rights Project in Peru”. The Road from Mont Pèlerin: TheMaking of the Neoliberal Thought Collective. Philip Mirowski,Dieter Plehwe (Eds). Harvard, Harvard University Press. Pp.386-416.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical PoliticalEconomy and the Secret History of Primitive Accumulation. Dur-ham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political andEconomic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and EconomicOrigins of Our Time. Boston: Beacon Press.

Rose, Gillian. 1997. “Situated Knowledges: Positionality, Reflexivityand Other Tactics,”. Progress in Human Geography 21: 305-20.

Ruwiastuti, Maria, Noer Fauzi, dan Dianto Bachriadi. 1988. Peng-hancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah. Bandung, Konsor-sium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INPI-PACT.

Ruwiastuti, Maria. 2000. ‘Sesat Pikir’ Politik Hukum Agraria. Mem-bongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak-hak Adat. Yogya-karta, Insist Press.

Setiawan, Bonnie, 2003, Globalisasi Pertanian, Jakarta: The Institutefor Global Justice.

Soemardjono, Maria S.W. 2002, “Implementasi Ketetapan MPR RINo. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Penge-lolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalahpada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasionaldi Malino, 25-28 Maret 2002.

_____. 2006. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,Edisi revisi, Jakarta: Penerbit Kompas.

Page 60: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

41

Prolog

_____. 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,Jakarta: Penerbit Kompas.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni, 1997, Petani dan KonflikAgraria, Bandung: Akatiga.

Tim Kerja KNuPKA, 2004, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Penyele-saian Konflik Agraria”, hasil lokakarya Persiapan MenujuPembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian

Topatimasang, Roem, Mansour Fakih, Toto Rahardjo (eds), 2000.Mengubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi. Yog-yakarta: Insist Press.

Ya’kub, Ahmad, 2004, “Agenda Neoliberal Menyusup Melalui Kebi-jakan Agraria di Indonesia”, dalam Jurnal Analisis Sosial 9(1):47-64, Bandung: Yayasan Akatiga.

YLBHI. 1980. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1979, T.Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (Eds), Jakarta: YLBHI, 1981

_____. 1981. Langit Masih Mendung, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusiadi Indonesia 1980, T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (Eds),Jakarta: YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.

_____. 1982. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981, T.Mulya Lubis, Fauzi Abdullah dan Mulyana W. Kusumah(Eds), Jakarta: YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.

_____. 1986. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1982-1983, Mulyana W. Kusumah (Ed), Jakarta: YLBHI.

_____. 1987. Potret Keadilan Indonesia, Laporan Keadaan Hak AsasiManusia di Indonesia 1984-1985, Mulyana W. Kusumah, dkk(Eds). Jakarta: YLBHI.

_____. 1989. Remang-remang Indonesia, Laporan Keadaan Hak AsasiManusia di Indonesia 1986, Paul S. Baut (Ed), Jakarta: YLBHI.

_____. 1990. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989,Mulyana W. Kusumah (Ed), Jakarta: YLBHI.

_____. 1991. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1990,Ruswandi dkk (Eds), Jakarta: YLBHI, 1990.

_____. 1992. Demokrasi Masih Terbenam, Laporan Keadaan Hak AsasiManusia di Indonesia 1991, Mulyana W. Kusumah dkk (Eds),Jakarta: YLBHI, 1991.

_____. 1993. Demokrasi di Balik Keranda, Catatan Keadaan Hak AsasiManusia di Indonesia 1992, Mulyana W. Kusumah (Eds),Jakarta: YLBHI.

Page 61: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

42

Usep Setiawan

_____. 1994. Demokrasi Antara Represi dan Resistensi, Laporan KeadaanHak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Mulyana W. Kusumah(Eds), Jakarta: YLBHI.

_____. 1995. Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1994,Benny K. Harman dkk (Eds), Jakarta: YLBHI.

_____. 1996. 1996: Tahun Kekerasan – Potret Pelanggaran HAM di Indo-nesia, A. Made Tony Supriatma (Ed), Jakarta, YLBHI: 1997.

Wijardjo, Boedhi, dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming danKedaulatan Rakyat. Jakarta: YLBHI-RACA Institute.

Winoto, Joyo, 2007a, “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”, OrasiIlmiah di Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 September 2007.

_____. 2007b. “Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi danHukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilandan Kesejahteraan Rakyat.” Kuliah Umum Balai Senat Uni-versitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 22 Novem-ber 2007.

White, Benjamin. 2002, “Agrarian Debates and Agrarian Research inJava, Past and Present”, dalam Endang Suhendar, SatyawanSunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, danArya Hadi Dharmawan (Eds.), Menuju Keadilan Agraria: 70tahun Gunawan Wiradi. Bandung, Halaman 41-83, Bandung:Yayasan Akatiga.

_____. 2005. “Between Apologia and Critical Discourse: AgrarianTransitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, dalamVeri R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (Eds.), Social Science andPower in Indonesia, Halaman 107-142, Jakarta: Equinox andISEAS.

Wibowo. I. And Francis Wahono (Eds.), 2003, Neoliberalisme, Yogya-karta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria: Perjalanan yang BelumBerakhir, Noer Fauzi (Ed.), Yogyakarta: Insist Press and Pus-taka Pelajar.

_____. 2002, “Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria ‘Post’ TAP-MPR No. IX/2001", Jurnal Analisis Sosial 7(3):1-10, Bandung:Yayasan Akatiga.

Page 62: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

Kembali

ke Agraria

Page 63: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan
Page 64: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

45

Pikiran Rakyat, 31 Maret 2000

Presiden Abdurrahman Wahid vs PetaniPerlukah Mengubah Petani Menjadi

Masyarakat Industri?

BUKAN Gus Dur kalau pernyataannya tidak membuat orangtercengang. Ini terjadi, misalnya ketika dialog Gus Dur dengan

tokoh agama non-Islam dan tokoh organisasi perempuan disiar-kan langsung oleh TVRI, Selasa 21 Maret 2000 (pukul 19.30 - 21.00WIB).

Pernyataan mencengangkan Gus Dur terlontar saat menanggapipertanyaan seorang peserta dialog tersebut tentang sikap pemerintah(Gus Dur) menghadapi ancaman petani yang akan mogok tanampadi jika pemerintah tidak mengendalikan perdagangan beras impor.Tentu saja, selain mencengangkan tanggapan Gus Dur juga tetapmenarik untuk disantap secara kritis.

Berikut ini pokok-pokok tanggapan Gus Dur yang dimaksud:Pertama, Indonesia tidak mungkin lepas dari mekanisme pasar inter-nasional yang di dalamnya ada perjanjian perdagangan bebas (freetrade) yang secara ketat telah diatur oleh organisasi perdagangandunia WTO (World Trade Organization) dan lembaga moneter inter-nasional IMF (International Monetary Fund).

Karena saat ini Indonesia tidak cukup punya uang untuk mem-biayai pembangunan, maka jalan tercepat adalah meminjam ke IMF,dan sebagainya. Jika IMF menghendaki adanya pengurangan (peng-hapusan) subsidi untuk petani maka tidak ada jalan lain itu pula

Page 65: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

46

Usep Setiawan

yang akan dilakukan pemerintah sekarang. Kedua, pemerintah secarasistematis akan mengurangi jumlah petani, khususnya yang me-nanam padi. Lebih lanjut, masyarakat petani secara umum akan di-ubah menjadi masyarakat industri.

Di samping itu pemerintah juga akan mendorong petani penanampadi untuk melakukan diversifikasi penanaman produk pertanianlain. Bahkan, dengan dibentuknya Kementerian Eksplorasi Kelautan,pemerintah ingin menggiring petani kita untuk bekerja di laut, untukmencari ikan dan kekayaan alam lain di dalamnya.

Catatan kritis

Ketika menyimak secara langsung lontaran Gus Dur tadi, sejenakpenulis terhenyak. Seriuskah apa yang dikatakan orang nomor satuRI ini? Ah, tampaknya memberikan catatan kritis atas pernyataanGun Dur merupakan pilihan maksimal yang bisa dibuat penulis disini.

Catatan kritis yang dimaksud meliputi: Pertama, jika memangperjanjian perdagangan internasional telah terbukti mengorbankanmayoritas bangsa sendiri, kenapa tidak dibatalkan saja perjanjianitu, meminjam celoteh Gus Dur sendiri: kok repot-repot! Demikianhalnya kalau mereka (rezim kapitalis global) mengancam akan meng-hentikan pinjamannya ke Indonesia jika subsidi bagi petani tidakdikurangi atau dihapus, bukankah lebih ’baik’ kita telan saja an-caman itu? Bagi rakyat kecil tidak mendapat utang luar negeri dirasalebih bijak ketimbang mayoritas anak bangsa (petani) sendiri menjadimakin terpuruk dan menjerit-jerit. Memangnya selama ini siapa yangmenikmati utang luar negeri itu, selain para pengusaha besar danelit penguasa sendiri?

Kedua, mengubah masyarakat petani kita jadi masyarakat indus-tri tampaknya merupakan pemikiran yang mengabaikan sejarah (a-historis) mengingat kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indone-sia adalah petani. Kenyataan ini tentu saja tidak semata-mata angkastatistik belaka. Sudah barang tentu kehidupan petani tersangkut

Page 66: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

47

Kembali ke Agraria

juga soal sistem sosial-budaya masyarakat agraris yang sangat ber-beda dengan sistem sosial-budaya masyarakat industri.

Lagi pula, pemikiran ini sama halnya mengulang kesalahan la-ma. Orde Baru secara konsisten telah mengambil orientasi dan mene-rapkan kebijakan pembangunan yang kapitalistik yang bertumpupada industri. Hasilnya? Sudah terbukti bahwa orientasi pem-bangunan tersebut telah memarjinalisasi rakyat kecil seperti petani.Belum lagi, mengubah petani menjadi skrup (buruh) dalam industridapat pula diartikan sebagai upaya menyediakan objek eksploitasibaru bagi kaum pemilik modal besar (baik asing maupun domestik)untuk mengejar kepentingan akumulasi kapital sebagai satu-satunyaorientasi industri.

Ketiga, untuk melakukan diversifikasi produk pertanian, sangatmustahil bisa dijalankan jika kebijakan pengadaan sarana dan pra-sarana produksi untuk petani tetap tidak dibuat. Perlu diingat, bahwauntuk menjalankan proses produksi pertanian hingga menghasilkandan memasarkan produk pertanian selain tanaman padi jelas mem-butuhkan kecukupan modal dan tanah, serta manajemen usaha taniyang handal.

Demikian halnya dengan menggiring petani untuk ganti matapencaharian dari tani ke nelayan. Orang awam juga tahu bahwauntuk bekerja di laut perlu kemahiran tertentu yang tidak dipunyaipetani yang biasa bekerja di darat, misalnya bagaimana pun mencang-kul tanah petanian dan menebar jala di lautan adalah dua pekerjaanyang jauh dari sama. Dengan demikian, upaya me-nelayan-kan petanitampaknya bukan pilihan yang tepat. Jika dibandingkan potensiberhasil dan gagalnya pemikiran ini, penulis cenderung melihatpotensi kegagalannya lebih besar.

Jalan lain

Persoalan yang dihadapi petani Indonesia sekarang memangterbilang sangat kompleks. Saking kompleksnya sehingga perlu upa-ya penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Penyelesaian

Page 67: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

48

Usep Setiawan

masalah jelas sangat berbeda pengertiannya dengan menghindarimasalah. Jika dicermati dengan jeli, pemikiran Gus Dur tadi tak ubahcermin dari upaya menghindari masalah yang sebenarnya ketimbangmenyelesaikannya secara jernih dan bijaksana.

Hemat penulis, ada sejumlah jalan lain yang tidak mustahil un-tuk ditempuh, yakni, Pertama, soal ketergantungan Indonesia terha-dap utang luar negeri yang sudah sedemikian kuatnya merupakanpenyakit ekonomi-politik lama (Orde Baru) semestinya menjadi prob-lem krusial yang dikoreksi total oleh pemerintah baru. Untuk itu,negosiasi-negosiasi untuk mendapatkan pinjaman dari IMF, BankDunia, dan sebagainya perlu segera diperbarui dengan mempertim-bangkan kondisi petani Indonesia yang semakin parah. PemerintahGus Dur sebaiknya menghindari tindakan serampangan dalammengabulkan berbagai persyaratan para pemberi pinjaman yang tidakmemperhatikan kedaulatan nasional Indonesia.

Kedua, dampak politis agraria nasional Orde Baru adalah telahterjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah pertanian, kon-sentrasi penguasaan tanah, dan sengketa tanah yang tak berkesu-dahan. Fakta menunjukkan bahwa semakin banyak petani yangkehilangan tanah dan makin menyempitnya tanah pertanian yangmenyebabkan usaha petani menjadi tidak bernilai ekonomis lagi.Untuk itu, perlu dikaji kemungkinan pelaksanaan penataan srtukturpenguasaan tanah pertanian sekaligus penyelesaian sengketa tanah,baik yang baru muncul maupun warisan orde baru. Kedua agendaini merupakan fondasi bagi upaya pemberdayaan petani kecil danpetani tak bertanah yang kuantitasnya kian membengkak.

Ketiga, bahwa sepanjang berkuasanya Orde Baru telah terjadialih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian secara massif.Dalam 10 tahun saja (1980-1990) Indonesia, khususnya Jawa, telahkehilangan sekitar satu juta hektar lebih lahan pertanian untuk kebu-tuhan lain di luar pertanian, seperti untuk perumahan mewah (real-estate), industri manufaktur, sarana pariwisata, fasilitas umum, dansebagainya. Untuk itu, upaya sistematis melalui kebijakan politik

Page 68: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

49

Kembali ke Agraria

pemerintah untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan agenda mendesak untuk menjaga keamananproduksi pertanian (pangan) nasional sekaligus menjamin pengu-asaan tanah petani.

Keempat, pembangunan pertanian Orde Baru menunjukkan mi-nimnya pengadaan sarana dan prasarana produksi pertanian yangmudah dan murah untuk diakses petani. Modal pertanian yang dike-mas dalam program Kredit Usaha Tani (KUT) telah banyak dikritikorang karena menyulitkan petani, tidak tepat sasaran, bocor di sana-sini, dan lepas kontrol dalam pengelolaannya. Untuk itu, perlu diru-muskan program penataan produksi pertanian secara menyeluruh.Program dimaksud meliputi tiga fundamen; (1) penguatan institusitani lokal yang independen untuk bekerja kolektif, (2) menyediakanmodal dengan prinsip tidak memberatkan petani dan memperbaikimanajemen usaha tani, dan (3) menyediakan tanah pertanian yangcukup bagi petani kecil dan petani tak bertanah (tuna kisma).

Maka dari itu, pemikiran untuk mengubah masyarakat petanikita menjadi buruh industri jelas bukan pilihan yang tepat danbijaksana. Pilihan ini hanya mungkin dilakukan ketika kita memangtelah kehilangan akal sehat untuk memperbaiki hidup kaum petaniyang kini mengenaskan. Bukanlah tidak logis jika kita membakarlumbung hanya untuk membunuh seekor tikus di dalamnya.

Adapun realisasi dari apa yang diucapkan Gus Dur masih perluterus kita pantau sama-sama. Bukan mustahil kenyataanya akanbicara lain. Wallohualam.***

Page 69: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

50

Bandung Pos, 3 April 2000

Wajah Paradoks Agribisnis

DEWASA ini wacana mengenai agrobisnis atau agroindustrisebagai alternatif pengembangan sektor pertanian di masa

depan cukup mengemuka di sejumlah media massa. Dalam tang-gapan menulis, pemikiran yang dilontarkan sejumlah ahli di bidangpertanian paling tidak mengandung dua fondasi paradigmatik yangkuat.

Pertama, kompleksitas krisis ekonomi Indonesia dewasa ini telahmenempatkan posisi sektor usaha pertanian menjadi signifikansebagai altematif penyelesaian krisis dan pemulihan dampak-dam-paknya. Kedua, kebijakan ekonomi-politik negara (pemerintah) yangberpihak pada agrobisnis diyakini dapat secara simultan menye-lesaikan sejumlah problem sosial-ekonomi yang dilahirkan krisisekonomi. Misalnya saja, problem ketenagakerjaan atau pengangguranyang kini menggejala dan ancaman kerawanan pangan dapatdielakan jika agrobisnis dijalankan.

Bagi banyak pihak, agrobisnis merupakan jalan lapang bagiupaya membenahi pembangunan di sektor pertanian. Banyakpenganjur agrobisnis yang menandaskan pertumbuhan, pemerataan,dan kestabilan adalah bagian dari sumbangan dari agrobisnis dalampembangunan ekonomi sekarang. Keyakinan ini menyiratkan ada-nya landasan paradigma pembangunan pertanian yang bertumpupada kekuatan modal besar serta hitungan-hitungan ekonomi makrodari model agrobisnis yang ditawarkan. Lantas apa yang kurang?

Page 70: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

51

Kembali ke Agraria

Gagasan yang dilontarkan sejumlah kalangan pemikir pertanianberperspektif agrobisnis sering tidak menyertakan pengungkapanfakta mengenai kondisi objektif mengenai usaha kontemporer yangberkembang di lapis masyarakat bawah (grassroot level). Dalam tulisanringkas ini, penulis menawarkan beberapa catatan yang seyogyanyatidak dikesampingkan begitu saja dari wacana pengembangan perta-nian di negeri agraris ini. Jika kita cermati potret sosial kaum taniIndonesia dengan segera kita menyaksikan hal-hal yang mempriha-tinkan.

Pertama, sudah diketahui umum bahwa kaum tani di negeriagraris ini berada dalam lapisan sosial yang tidak menguntungkan.Penghisapan surplus yang diraih petani oleh kelompok sosial lainyang ada di atas-nya menjadi kenyataan sosial yang sulit dibantah.Rendahnya harga produk-produk pertanian yang tidak diimbangioleh murahnya sarana-sarana produksi telah menyebabkan ongkosproduksi yang dikeluarkan kaum tani menjadi tidak seimbang. Con-toh aktual, anjloknya harga gabah (padi) petani telah menyudutkanpetani hingga ke titik yang membuat mereka frustrasi. Tidak heranjika semua petani kita kini mengancam mogok tanam padi jikakebijakan politik beras tidak diperbaiki.

Kedua, potret lain yang mendera petani adalah ketimpanganpenguasaan tanah yang semakin menajam. Penelusuran data statistik(BPS 1993) menunjukan bahwa semakin banyak petani kehilangantanahnya (43%). Di lain sisi, semakin luas tanah pertanian (69%)yang dikuasai oleh sedikit orang saja (16%). Kenyataan ini tentu sajasangat relevan untuk ditinjau saat kita bicara pengembangan modelusaha tani yang tepat untuk Indonesia. Lebih jauhnya, faktor ketim-pangan ini bisa menentukan; siapa yang akan diuntungkan olehusaha tani (agrobisnis) yang dijalankan di atas struktur penguasaantanah yang timpang?

Ketiga, maraknya drama penggusuran tanah petani untukberbagai keperluan di luar pertanian; Pertanian tanah petani untukberagam keperluan yang mengatasnamakan ‘pembangunan

Page 71: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

52

Usep Setiawan

nasional’, dan ‘kepentingan umum’ yang digarap pemerintah, swastaatau kolaborasi keduanya. Proyek lapangan golf, kawasan pariwisata,real estate, industri dan sebagainya adalah pemangsa tanah-tanahpertanian. Penggusuran lahan pertanian tidak hanya telah menciut-kan luas lahan pertanian (sawah) secara massif, tapi juga menghi-langkan akses petani terhadap tanahnya.

Kemudian apa yang mungkin terjadi jika kita abai pada kenya-taan tadi? Bisa dipastikan (hipotetik) bahwa pemerintah baru dibawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) danWakil Presiden Megawati Soekarnoputri dengan dalih ‘pem-bangunan’ seenaknya menggasak kekayaan agraria seperti lahanpertanian yang subur, hutan yang perawan, gunung menjulang, dankekayaan alam lainnya untuk dijadikan sebagai objek eksploitasidan komoditi bernilai ekonomis.

Perlu dicatat, bahwa semangat membangun dengan mengejarpertumbuhan ekonomi inilah yang telah melegitimasi proses peram-pasan hak-hak kaum tani secara masif. Kalau kita mau jujur, lumatnyakaum tani sesungguhnya karena diterapkannya model pengem-bangan pertanian yang berpihak kepada kekuatan modal besar.Ujungnya suka tidak suka petani kecil menjadi tumbal pembangunan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa usaha tani merupakanlapangan kerja utama bagi anak bangsa, tetapi kita jangan lupa tidaksedikit di antara mereka (tani) yang bekerja di lahan milik orang lain.Pada umumnya, petani penggarap biasa memperoleh pendapatanyang nilainya jauh di bawah perolehan para pemilik tanah dari usahatani yang sama. Belum lagi nasib kalangan buruh tani, yang hidupnyasemata-mata menjual tenaga dalam usaha tani, sebagian besar mene-rima upah yang jauh dari rata-rata upah yang biasa diterima kaumburuh di sektor lainnya. Minimnya pendapatan kaum tani mencer-minkan adanya hubungan yang asimetris atas usaha tani selamaini.

Oleh sebab itu, ketika konsep agrobisnis yang bias kapitalistikdiimplementasi dalam kondisi grass root semacam itu, maka bisa

Page 72: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

53

Kembali ke Agraria

dimengerti jika esensi keadilan usaha tani malah menyingkirkanmereka yang berstatus sebagai petani kecil, kaum tani penggarapdan buruh tani. Agrobisnis atau agroindustri belum tentu menja-dikan surplus usaha tani dinikmati mereka yang bekerja di atas tanahpertanian. Potensinya justru surplus akan masuk ke kantung parapemilik tanah (modal) yang mungkin hidupnya tidak mesti berhu-bungan dengan cangkul dan tanah—sering disebut petani berdasi.Model pembangunan agrobisnis atau agroindustri berpeluang besaruntuk melegitimasi penggedutan ‘tuan-tuan tanah bermodal besar’sembari memperkurus kaum tani yang telah mengabdikan totalitashidupnya bagi pertanian. Inilah wajah paradoks agrobisnis yangpatut diwaspadai.

Mengingat peran ekonomi yang strategis dari sektor pertanian,pemihakan yang jelas dari pemerintahan Gus Dur - Megawati kepadapengembang sektor petanian memang tidak bisa ditawar lagi. Namunyang tidak kalah penting dari itu, diperlukan perhatian sepenuhnyahati dan komitmen yang tinggi untuk terlebih dahulu menjalankanpenataan struktur penguasaan tanah seadil-adilnya dan penyele-saian sengketa agraria yang hingga sekarang belum juga dituntaskan.

Konsep struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang dike-nal luas sebagai pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarianreform) dalam arti yang lebih terbatas disebut landreform, sebagai jalanyang relevan untuk mencari formulasi ideal dari program reformasiekonomi-politik di bidang petanian dan agraria pada umumnya.Dengan distribusi sumber-sumber produksi yang vital bagi usahatani maka kesempatan yang luas untuk mewujudkan keadilan dankesejahteraan pun semakin terbuka.

Menyitir pidato Bung Kamo berjudul Berdikari (17 Agustus 1965);“Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan tanpaalas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan gedungtanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagianmutlak dari Revolusi Indonesia”. Walaupun tema yang trend sekarangbukan revolusi, melainkan reformasi, pada esensinya tetap sama

Page 73: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

54

Usep Setiawan

yakni mencapai kemerdekaan sepenuh-penuhnya dari cengkramankemiskinan, kebodohan, penindasan dan keterbelakangan.

Landasan kontitusional untuk implementasi landreform di Indo-nesia sebenamya telah dibuat, yakni UU No. 2 tahun 1960 tentangPerjanjian Bagi Hasil (UUPBH) dan UU No. 5 tahun 1960 tentangPokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) – hingga kini belum dicabut. Sub-stansi UUPA 1960 setidaknya mengandung 4 prinsip dasar berikut:(1) tanah pertanian adalah untuk petani penggarap, (2) hak utamaatas tanah, misalnya hak milik pribadi, adalah khusus untuk warganegara Indonesia, (3) pemilikan guntai (absentee) tidak dibenarkan,kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalampengecualian lain, dan (4) petani-petani yang ekonominya lemahharus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat.Terlepas dari adanya kritik terhadap UU tersebut, sesungguhnyaprinsip-prinsip dan semangat para pendahulu kita masih tetap rele-van untuk kita pegang.

Semangat UUPA 1960 menyiratkan bahwa landreform bertujuanmenumpas eksploitasi dan ketergantungan yang absolut dari ka-langan penggarap (client) terhadap para pemilik (patron) lahan perta-nian. Oleh karena itu, mengembangkan usaha tani yang berbasiskanpenguasaan sumber-sumber agraria dan faktor-faktor produksi pen-dukung bagi kaum tani senyatanya lebih berharga daripada sekadarmendongkrak angka pertumbuhan ekonomi nasional melalui perta-nian yang masih fatamorgana.

Soalnya sekarang, cukup besarkah hati kita untuk membukacatatan lama mengenai agenda landreform di republik ini? Ibarat pepa-tah herang caina beunang laukna (jernih airnya dapat ikannya), berke-nankah kita mengupas hutang sejarah dengan jernih dan menjauhkandiri dari prasangka yang kontra produktif bagi perbaikan hidup petanikita? Wallahualam.***

Page 74: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

55

Pikiran Rakyat, 16 Mei 2000

Otonomi Daerah: Buah Simalakama?

NYARIS semua kalangan kini menjadikan tema otonomi daerahsebagai menu pembicaraan. Lirik saja media massa, seminar,

lokakarya, pelatihan, diskusi, bahkan warung kopi semarak membin-cangkan isu seksi nan hangat bernama otonomi daerah. Asal muladatangnya kegandrungan orang terhadap isu otonomi daerah tidaklepas dari lahirnya dua UU pada era Habibie, yakni Undang-UndangNo. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah—selanjutnyadisebut UU No. 22/1999—dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perim-bangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Yang dimaksud dengan otonomi daerah oleh UU No. 22/1999adalah: “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan menguruskepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berda-sarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan”Pasal 1 poin (h). Lebih dari itu, UU ini memberi kewenangan kepadadaerah, mencakup dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalambidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneterdan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain—Pasal 7 Ayat (1).

Tulisan ini mencoba menangkap kecenderungan perdebatanpublik mengenai otonomi daerah dan menggagas peluang peman-faatan kebijakan otonomi daerah sebagai momentum pengembalianhak-hak kedaulatan rakyat. Kita identifikasi pendapat masyarakat(publik) secara umum. Kini tengah berkembang perdebatan yangsengit antara pihak yang menilai otonomi daerah secara optimistik

Page 75: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

56

Usep Setiawan

dan pesimistik.Secara tegas, golongan yang optimis merupakan pendukung uta-

ma otonomi daerah baik dari sisi ide dasar maupun strategi imple-mentasinya. Bagi golongan ini, otonomi daerah adalah jawaban ataskritik terhadap model hubungan pusat-daerah yang selama ini sangatsentralistik. Bahkan dengan otonomi, kemajuan dan kesejahteraanrakyat di daerah akan seperti mimpi yang menjadi kenyataan (dreamcomes true).

Hal ini berlaku sebaliknya bagi yang pesimis. Bagi golongan ini,otonomi daerah dinilai hanya akan mengalihkan ‘raja-raja’ (pengu-asa) dari pusat (Jakarta) ke daerah. Belum lagi, kekuatan politik didaerah sekarang masih berkemampuan rendah (under skill) yang bisamemicu kemungkinan salah arah (disorientasi) pengembangan daerah.Golongan pesimis melihat bahaya otonomi daerah justru lebih besarketimbang peluang positilnya. Hal ini terutama jika dikaitkan denganrekomendator kelahiran UU ini adalah kalangan rezim kapilalis glo-bal, seperti IMF dan Bank Dunia. Golongan pesimistik memperkirakanproses penetrasi kapital ke desa-desa di daerah akan kian mulus danmassif. Jika ini yang terjadi, maka dampaknya mudah ditebak:penyingkiran rakyat dari akses sosio-ekonomi dan eksploitasi terhadapsumber-sumber penghidupan masyarakat akan makin menguat.

Di luar dua golongan di atas, tidak dipungkiri ada (banyak) pulayang apatis merupakan golongan tidak peduli dan ogah ambil pusingterhadap isu otonomi daerah. Besar kemungkinan alasan golonganini muncul akibat kekurangan informasi sehingga tidak cukup untukmengambil sikap tertentu. Hemat penulis, perdebatan tentang oto-nomi daerah seyogianya mendapat tempat yang cukup di hadapanwacana publik. Tentu saja, dialog mengenai perbedaan pendapat inimesti dilakukan secara terbuka, rasional, dan sepanjang bertujuanuntuk menjadikan Indonesia lebih baik. Masalahnya sekarang,bagaimana kita mengolah perbedaan pendapat itu sehingga jadi rah-mat, bukannya laknat.

***

Page 76: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

57

Kembali ke Agraria

Menyikapi kecenderungan kebijakan otonomi daerah, dalampandangan penulis perlu dibedah terlebih dahulu mengenaiperumusan orientasi (yang dilatari oleh visi dan misi) pengembangandaerah. Orientasi ini penting sebagai fondasi dari bangunan yangbernama daerah otonom. Kita bisa belajar dari masa lampau bahwaorientasi pembangunan daerah sama sebangun dengan yang diru-muskan di pusat.

Rezim Orde Baru sebagai penganut pembangunan kapitalistik(mengutamakan kepentingan modal besar) yang mendorong pertum-buhan ekonomi setinggi-tingginya, maka begitu pula yang berlakudi daerah. Dengan otonomi daerah, terbuka ruang yang lebar bagilahirnya orientasi baru dari pengembangan suatu daerah. Prinsipdari orientasi baru mestinya mengutamakan kepentingan mayoritasrakyat kecil di daerah.

Langkah lanjutan setelah ditemukan orientasi pengembangandaerah adalah penentuan strategi apa yang akan diambil dalampengembangan daerah tersebut. Dulu, Orde Baru menerapkan strategimassa mengambang (floating mass) dan mengontrol secara ketat dankeras (represif) kehidupan masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi ditopang pendekatan keamanan (secu-rity approach) untuk menjaga stabilitas kekuasaan politik nasionalyang mantap. Sekarang, strategi semacam ini telah digugat banyaksekali pihak, termasuk oleh pendukung fanatiknya dulu. Otonomidaerah memberi peluang dipilih dan digunakannya strategi pengem-bangan daerah yang jauh dari praktek eksploitasi, manipulasi,pemaksaan, dan kekerasan.

Orientasi dan strategi tadi penting untuk diaktualisasikan kedalam rumusan kebijakan-kebijakan pokok daerah. Kalau di era OrdeBaru daerah punya posisi melulu sebagai pelaksana kebijakan yangtelah diputuskan dari pusat (top down), sekarang terbuka peluanguntuk menggali kebijakan-kebijakan pokok yang dinilai tepat untuksuatu daerah (bottom up). Dengan begitu tidak pantas lagi diterap-kannya kebijakan di satu daerah yang mutlak dari pusat dengan

Page 77: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

58

Usep Setiawan

mengabaikan aspirasi, kebutuhan dan potensi di daerah yang ber-sangkutan. Kebijakan yang dirumuskan dan dijalankan di suatu da-erah sekarang mestinya mencerminkan aspirasi murni rakyat, kebu-tuhan aktual dan potensi nyata dari daerah itu.

Yang tak kalah krusialnya adalah memilih orang yang tepat seba-gai pemimpin pemerintahan daerah. Pemilihan kepala pemerintahandaerah secara otonom merupakan salah satu sisi positif otonomidaerah. Kalau dulu, sistem politik ala Orde Baru menghasilkan prosespolitik yang anti demokrasi dalam pemilihan kepala pemerintahandaerah, sedangkan otonomi daerah memberi peluang bagi legislatifdaerah (DPRD) untuk secara leluasa menentukan orang yang tepatuntuk duduk di kursi kepala pemerintahan daerah sesuai denganaspirasi dan kebutuhan daerahnya sendiri.

Pada era sekarang, pimpinan pemerintahan daerah sepatutnyaadalah individu yang sungguh-sungguh punya kredibilitas tinggi,bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), punya kapasitas kepe-mimpinan yang mumpuni (capable), moralitas individu yang, tinggi(morality), dan berpihak pada kepentingan rakyat kecil pada umum-nya (populis).

***Sebagai catatan akhir penulis menyodorkan tiga agenda strategis

guna menepis ancaman otonomi daerah. Agenda tersebut meliputi:Kesatu, semua kalangan di daerah perlu melakukan pengkajian yangmendalam atas problem pokok yang dihadapi masyarakat dan poten-si serta kekuatan yang dimiliki daerahnya.

Hasil kajian inilah yang akan menjadi bahan baku perumusanorientasi kebijakan (ekonomi-politik-hukum-sosial) serta untuk me-nentukan prioritas kebijakan apa yang relevan. Semangat menguta-makan rakyat kecil hendaknya menjadi prioritas utama yang meman-du kinerja lembaga-lembaga pemerintah maupun legislatif di daerah.

Kedua, pentingnya memperketat mekanisme pengawasan dankontrol dari legislatif daerah (DPRD) terhadap pemerintah daerah.Melakukan pengawasan dan kontrol secara sistematis terhadap jalan-

Page 78: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

59

Kembali ke Agraria

nya roda pemerintahan merupakan tugas pokok DPRD yang tidakbisa disepelekan. DPRD wajib menjalankan fungsi pengawasanseperti yang dimandatkan UU No. 2/99 Pasal 18 Ayat (1) poin f (4):mengawasi kebijakan daerah. Untuk menjalankan fungsi ini, tentusaja DPRD penting untuk meningkatkan kapasitas personal dankelembagaan, serta tetap menjaga jarak terhadap kekuasaan peme-rintah daerah untuk menghindari praktek konspirasi politik antaraeksekutif dan legislatif yang merugikan rakyat di daerahnya.

Ketiga, menyediakan ruang publik yang selebar-lebarnya bagipartisipasi dan kontrol masyarakat dalam setiap kebijakan yang diam-bil di daerah. Partisipasi dan kontrol langsung dari masyarakat akanefektif mencegah kemungkinan penyelewengan kekuasaan olehinstitusi maupun aparat di daerah. Jika ruang publik sudah terkuaklebar maka peluang munculnya ’raja-raja’ di daerah akan makin kecil.

Lebih dari itu, dengan kontrol langsung rakyat maka otonomidaerah tidak lagi bak buah simalakama—dimakan ayah mati tak di-makan bunda mati—melainkan menjadi buah apel yang indah ben-tuknya dan manis rasanya. Wallohualam.***

Page 79: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

60

Kompas, 20 Oktober 2000

Reforma Agraria:Menggali Akar Guna Menemukan

Konteks Baru

SIAPA menguasai tanah maka ia menguasai makanan, demikianMochammad Tauchid, tahun 1952. Dalam sejarah peradaban ma-

nusia, masalah tanah (agraria) telah menjadi sumber persoalan yangsenantiasa hangat di segala penjuru dunia. Kondisi tiga pilar yaknipenguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan hasil dari tanah, sertasumber-sumber agraria lainnya diketahui selalu mengalami peruba-han baik pola maupun dampak sosial yang ditimbulkannya. Peru-bahan ketiga pilar agraria di atas telah pula didorong dan disertaiupaya redefinisi konsepsi dan reorganisasi dari strategi implemen-tasinya, yang dalam bahasa “resmi” dikenal dengan istilah “reformaagraria” (agrarian reform) atau pembaruan agraria.

Di banyak negara seperti Korea, Jepang, India, Inggris, Jerman,Amerika, dan Perancis, reforma agraria telah dengan sengaja dicip-takan secara terencana dan sistematis. Di hampir semua negara“maju”, agenda reforma agraria dijalankan secara sadar akan urgen-sinya bagi perkembangan serta kemajuan negara tersebut. Hasilnya,di negara-negara yang menjalankan reforma agraria bisa ditemukankualitas kesejahteraan rakyatnya dengan basis keadilan agraria.

Sebaliknya, banyak pula negara yang ogah menjalankan reformaagraria. Bahkan tidak sedikit kalangan penguasa negara yang alergiterhadap inisiatif gerakan reforma agraria yang didesakkan oleh

Page 80: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

61

Kembali ke Agraria

rakyatnya sendiri. Di negara-negara semacam ini biasanya akansegera kita temukan dua hal pokok: (1) maraknya sengketa dan konfliktanah (agraria) yang nyaris tanpa penyelesaian, dan (2) munculnyaketimpangan struktur agraria pemicu kemiskinan dan ketidakadilan.

Kedua hal pokok itu oleh banyak pihak diyakini merupakanpenyumbang utama bagi keterbelakangan suatu negara. Lebih jauh-nya, dengan tidak dijadikannya reforma agraria sebagai fondasi pem-bangunan, maka “bangunan” negara itu akan keropos, mudah ter-guncang, dan rentan terkena krisis.

Lalu, termasuk kelompok negara yang manakah Indonesia?Semua orang sudah tahu bahwa Indonesia di masa lalu sudah ber-upaya membuat dasar hukum bagi dijalankannya perombakan struk-tur penguasaan tanah, yang dikenal sebagai Undang-Undang PokokAgraria (UUPA) 1960. Dengan UUPA inilah Indonesia pada era BungKarno mencoba melaksanakan landreform sebagai salah satu inti darireforma agraria. Sayang upaya itu kandas di tengah jalan, terhentisebelum terciptanya keadilan dalam penguasaan tanah.

Setelah rezim populis yang dipimpin Bung Karno digantikanOrde Baru yang dikomandani Jenderal Soeharto, seketika itu konsepdan program landreform masuk keranjang sampah. Sepanjang keku-asaan Orba, jangankan berusaha menjalankan landreform, sedangkanmembicarakannya pun telah menjadi barang yang “haram”.

Begitulah, rezim populis telah digulingkan oleh rezim kapitalisyang memiliki visi dan orientasi yang sama sekali bertolak belakangdalam hal penanganan masalah-masalah agraria. Jika semangatUUPA 1960 adalah mengutamakan tanah untuk kepentingan rakyat(petani) kecil, maka sebaliknya produk hukum dan kebijakan politikpenguasa Orba lebih mengutamakan kepentingan sindikat kaumpemodal besar.

***Begitu rezim Orba runtuh, media massa banyak memberitakan

tindakan “sepihak” rakyat (petani) yang mengambil kembali tanah-tanah yang sebelumnya dijarah untuk kepentingan kaum pemilik

Page 81: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

62

Usep Setiawan

modal dan atau pemerintah dengan dalih pembangunan.Berbarengan dengan tindakan rakyat tersebut, kini terbit sejum-

lah buku dan dokumen-dokumen lain yang mencuatkan tema-temaperjuangan kaum tani dan wacana reforma agraria. Salah satu bukuterpenting yang baru saja terbit adalah yang ditulis Gunawan Wiradi(pakar agraria dari IPB) yang disunting Noer Fauzi (salah satu KetuaBP-KPA) dengan judul Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir.

Buku ini terbilang lengkap dalam menelusuri sejarah reformaagraria, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Lebih dari itu, bukuini juga berhasil menyajikan tema yang sesungguhnya “amat berat”menjadi terasa ringan dan mudah dicerna.

Berangkat dari penelusuran sejarah dunia yang sangat panjangdari apa yang disebut sebagai reforma agraria (pembaruan agraria),Wiradi memulai paparannya dari pengalaman penataan tanah dizaman Yunani Kuno yang disusul dengan dinamika Romawi Kuno.Pada masa berikutnya diulas enclosure movement di Inggris, RevolusiPerancis, Revolusi Rusia, dan pascaperang dingin.

Bagian awal buku ini ditutup dengan ulasan yang sangat jitumengenai sumbangan Piagam Petani (The Peasants’ Charter) padatahun 1981 yang menunjukkan pengakuan internasional terhadapurgensi reforma agraria. Dengan lahirnya piagam petani, maka diha-rapkan mereka yang semula ragu-ragu dapat menjadi sadar bahwatelah ada pengakuan dunia mengenai perlunya program reformaagraria sebagai dasar pembangunan (hlm 55).

Saking pentingnya tonggak Piagam Petani ini, Dr. EdouardSaouna (Dirjen FAO) menyebut piagam ini pada hakikatnya meru-pakan piagam rakyat miskin (hlm 54). Wiradi mendefinisikan “ge-rakan reforma agraria” sebagai usaha, upaya, dan kegiatan yangdilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merom-bak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggaptidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejah-teraan rakyat (hlm 196).

Pada bagian berikutnya, buku ini menyajikan tentang rationale

Page 82: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

63

Kembali ke Agraria

reforma agraria yang berinti perdebatan klasik dan kontemporermengenai transisi agraris. Debat itu adalah sebuah jalan pencariangagasan dan diwujudkan dalam suatu kebijakan reforma agraria yangselalu mengalami perkembangan baik dari sisi substansi, sifat, tujuan,maupun konsepsi ilmiahnya. Dengan cukup jernih, Wiradi jugaberhasil menunjukkan rationale untuk reforma agraria yang beranjakdari fakta maraknya konflik agraria. Masih dalam bagian ini, dihadir-kan juga pro-kontra mengenai reforma agraria sembari mencari jalurtransformasi untuk Indonesia dan skenario reforma agraria secarakhusus untuk petani di Jawa.

Dalam konteks keindonesiaan, bagian selanjutnya buku ini telahmenunjukkan tonggak-tonggak perjalanan kebijaksanaan agraria.Secara padat, tonggak yang dimaksud meliputi zaman Raffles denganteori domein-nya yang menerapkan sistem penarikan pajak bumi(1811); zaman kolonialisme Belanda yang dipelopori GubernurJenderal Van den Bosh yang menerapkan cultuurstelsel atau sistemtanam paksa (1830); dan kemenangan kaum liberal di Belanda yangingin mengubah sistem tanam paksa di negeri jajahannya menjadidalam bentuk undang-undang yang disebut Regerings Reglement(1848).

Tonggak berikutnya yang terpenting adalah tahun 1870 ketikalahir Agrarische Wet 1870 yang di antaranya memuat agrarische besluit(keputusan tentang pertanahan) yang menyatakan domein verklaring(pernyataan tentang kepemilikan) yang mengalami legalisasi domi-nasi negara atas sumber-sumber agraria di Indonesia. Kemudian,baru pada tahun 1960 Republik Indonesia sebagai negara merdekaberhasil memiliki undang-undang yang mengatur sumber-sumberagraria. Pada masa pemerintahan Soekarno telah lahir apa yangdikenal sebagai UUPA 1960 sebagai peraturan pokok agraria secaranasional.

Tentang keagrariaan pada era Orba, banyak pengamat menyim-pulkan bahwa rezim Orba dengan sadar dan sistematis memandul-kan semangat populisme yang dikandung UUPA 1960. Lebih jauh-

Page 83: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

64

Usep Setiawan

nya, penguasa Orba dengan sangat kasat mata mengkhianatisemangat yang diamanatkan UUPA 1960 yakni “tanah untukpenggarap”. Itu tampak dalam tindakan Orba mengeluarkan berbagairegulasi (UU dan peraturan pelaksanaannya) untuk memfasilitasikaum pemodal besar ketimbang melindungi kepentingan rakyat kecilyang mati-hidupnya nyata-nyata dari hasil pengolahan tanah, sepertikaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Tanah mereka itulah justruyang digusur untuk kepentingan pemodal besar.

Menyadari kesesatan konsep dan praktik pembangunan yangdiusung rezim Orba, Wiradi dalam buku ini mencoba menawarkankonsep alternatif yang substansial. Pada bagian IV, diketengahkankonsep reforma agraria sebagai dasar pijakan bagi dijalankannyapembangunan. Uraian bagian ini diawali dengan mempertanyakanera reformasi sebagai pintu baru yang relevan pascakejatuhan Orba.Wiradi juga menyuratkan pentingnya perubahan paradigma pem-bangunan yang diharapkan bisa membendung ancaman baru dariarus besar globalisasi. Ditandaskan bahwa pembaruan agraria meru-pakan perjuangan yang terus-menerus, berkelanjutan, yang setiaplangkahnya ke depan perlu dibentengi, terutama terhadap kekuatanpasar bebas yang semakin meningkat yang lahir dari kegiatan yangsemakin meluas dari perusahaan-perusahaan transnasional (hlm.203).

Untuk menggenapkan gagasannya, ia juga membedah tujuandan model reforma agraria yang tepat untuk Indonesia, misalnyadalam bentuk nyata perlunya badan otoritas khusus pelaksana refor-ma agraria. Menutup keseluruhan isi buku, Wiradi menggagas pen-tingnya menjadikan reforma agraria sebagai gerakan sosial yang berti-tik tumpu pada reforma agraria berbasis kesadaran dan kekuatankolektif dari rakyat sendiri (agrarian reform by leverage). Agar peransebagai dongkrak (leverage) itu efektif, maka semuanya harus dirun-dingkan dan diputuskan bersama secara demokratis mulai dari ting-kat lokal, wilayah, sampai tingkat nasional (hlm 204-206).

***

Page 84: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

65

Kembali ke Agraria

Buku ini pantas dan penting untuk dibaca oleh siapa pun. Bagikalangan yang sudah sering merambah wacana reforma agraria bukuini dapat membantu merekonstruksi asal muasal dan dinamika ga-gasan serta seluk beluk reforma agraria yang kini tampaknya akanmenjadi trend. Sedangkan bagi kalangan “pemula” pemerhatimasalah tanah, buku ini sama sekali jauh dari “menyeramkan”.Selain gaya bahasanya sedemikian bersahaja, sistematika temadisusun dengan tertib sehingga mudah untuk diikuti.

Secara sederhana buku ini boleh juga diberi julukan; “PengantarPembaruan Agraria” atau “Pembaruan Agraria bagi Pemula”. Tambahmenariknya buku ini, ketika di bagian akhirnya disertakan bonusberupa glossary yang dapat membantu pembaca memahami secarapersis istilah-istilah khusus yang sering digunakan dalam wacanareforma agraria.

Sayangnya buku ini tidak memberi jawaban atas pertanyaan:bagaimanakah upaya yang harus dilakukan agar perjalanan reformaagraria berakhir dengan kemenangan massa rakyat? Atau mungkinjawabannya tidak lagi harus berupa tulisan, melainkan dalam bentukkerja nyata semua kalangan pro-rakyat untuk mendukung perjuanganreforma agraria agar rakyat kecil memperoleh hak-hak hidupnya.Dan, ... bisa jadi inilah reforma agraria dalam konteks baru.***

(Sumber: Resensi Buku “Reforma Agraria Perjalanan yang BelumBerakhir”, Pengarang: Gunawan Wiradi, Penyunting: Noer Fauzi,Pengantar: Prof Dr Ir Sajogyo, Penerbit: Insist Press, KPA dan PustakaPelajar, Edisi: September 2000, Tebal: (xvii + 247 halaman).

Page 85: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

66

Pikiran Rakyat, 20 November 2000

Format Baru Pembangunan Pertanian

SULIT dipungkiri bahwa potret kehidupan masyarakat petani kitamasih dalam kondisi memprihatinkan. Banyak pengamat sudah

mengatakan tentang tingkat pendapatan petani yang berbanding ter-balik dengan tingkat kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Sebagai ilustrasi, jika saja harga-harga produk petani disanding-kan dengan kebutuhan mereka—misalnya untuk membeli saranaproduksi pertanian (saprotan), lauk-pauk, pakaian, perbaikan papan,kesehatan, pendidikan dan hiburan yang layak—dapat dipastikanperbandingannya ibarat bumi dengan langit. Keadaan yang dimak-sud tentu saja tak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada sebabmusabab yang berdiri di belakangnya.

Tulisan ini menyorot dua faktor utama yang melahirkan keadaanyang dialami petani: (1) tidak adanya kebijakan yang jelas daripemerintah dalam hal peningkatan produksi pertanian dan kesejah-teraan petani. Kalaupun ada kebijakan yang terkait dengan sektorpertanian kerap dirasakan bahwa kebijakan itu belum sepenuhnyaberpihak kepada kepentingan petani itu sendiri; (2) pola pertanianyang dikembangkan petani kita masih bercorak “tradisional”. Harusdiakui bahwa mayoritas petani kita masih menganut pola pertaniansubsisten dengan mengandalkan pengelolaan pertanian individual.Sejumlah kajian menunjukkan bahwa pola subsisten-individualdalam usaha tani tidak bisa diandalkan bagi peningkatan produksipertanian maupun kesejahteraan petani pada umumnya.

Page 86: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

67

Kembali ke Agraria

Dengan demikian, kedua faktor tadi mestilah mendapat perha-tian yang seksama dari kita yang menginginkan pesatnya laju pertum-buhan sektor pertanian kita sekaligus mendambakan perbaikan mutuhidup kaum tani. Sebelum mencari solusi ke depan, ada perlunyakita menengok secara lebih rinci mengenai fakta-fakta lapangan yanghingga hari ini masih “menyelimuti” kehidupan petani di pedesaan.

Masalah

Dari banyak kajian dan pengalaman lapangan diketahui adabeberapa masalah yang dihadapi petani, meliputi: organisasi; mana-jemen dan teknik pertanian; modal usaha; sarana produksi; dan tanahpertanian. Organisasi tani yang mandiri sebagai wadah atau alatpetani dalam mengaktualisasi kepentingan-kepentingannya masihbelum seperti yang diharapkan. Ketiadaan organisasi bagi sebuahkelompok masyarakat tertentu dapat memicu terjadinya marginalisasiyang sistematis terhadap kelompok tersebut.

Tiadanya organisasi juga memperlemah posisi tawar kelompoktersebut di hadapan kekuatan/kepentingan pihak lain. Demikianhalnya dengan peningkatan kapasitas individu petani menjadi sulitdilakukan jika wadah bersama tidak dimiliki. Di beberapa wilayahmemang sudah terdengar berdirinya organisasi tani. Yang patut disa-yangkan adalah bahwa organisasi tani tersebut biasanya hanyaberbasis pada komunitas petani yang selama ini mengalami konflikpenguasaan atas tanah dengan pihak lain. Sedangkan inisiatif pem-bentukan organisasi tani di kalangan petani yang tidak berkonflikmasih belum lagi terdengar kehadirannya.

Berkaitan dengan manajemen dan teknik pertanian yang biasadijalankan, petani kita masih terhitung lemah. Kondisi ini sangatmungkin berhubungan dengan orientasi usaha tani mayoritas petanikita yang masih subsisten dan sangat individual tadi. Manajemenusaha tani di pedesaan selama ini boleh dibilang masih mengandal-kan feeling sehingga kerap kali mengabaikan hitung-hitungan “ra-sional”. Rasionalisasi dalam usaha tani sebenarnya dimaksudkan

Page 87: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

68

Usep Setiawan

untuk memungkinkan terjadinya peningkatan surplus dan peman-faatannya untuk kesejahteraan petani sendiri.

Manajemen dan teknik pertanian yang selama ini masih terlihatlemah berkisar pada masalah berikut: pengelolaan usaha yang tidakterencana dengan matang; pemilihan jenis komoditi yang sedangtrend di pasaran; penggunaan sarana produksi pertanian (saprotan)seperti bibit, pupuk, pestisida, dsb. masih tergantung pada input dariluar; pemeliharaan tanaman yang tidak intensif; dan pengelolaanpemasaran hasil tani yang nyaris tidak pernah dikembangkan denganserius, dst.

Langkanya modal bagi usaha tani juga masalah yang sangatberat. Modal usaha tani—dalam pengertian sempit diartikan sebagaiuang—nantinya dimanfaatkan untuk menyediakan berbagai sapro-tan dan kebutuhan lain yang terkait dengan proses produksi perta-nian. Beberapa program pemerintah yang berupaya menyediakanmodal bagi kalangan petani selama ini dipandang tidak lagi efektifuntuk mendongkrak produksi dan apalagi meninggikan kesejahteraanpetani. Misalnya program kredit usaha tani (KUT) yang disinyalirhanya menguntungkan petani “kaya” berlahan luas.

Yang lebih tragis, konon dana KUT banyak disunat di sana-sinioleh mereka yang menjadi ’penyalur’-nya dan dijadikan ajang bagi-bagi ’kue’ atas nama kepentingan petani. Sehingga tak heran jikaprogram ini disimpulkan sebagai gagal karena terbukti banyak bo-cornya, sering tidak kembali lagi, dan nyaris selalu tidak kena sa-saran. Padahal kelangkaan modal telah menempatkan petani dalamposisi yang sangat terjepit—khususnya bagi mayoritas petani gurem(kecil) yang berlahan sempit, buruh tani atau para petani penggaraplainnya—karena di satu sisi mereka bersemangat untuk menjalankanusaha tani, tapi di sisi lain tidak ada kemampuan untuk membeliberbagai kebutuhan untuk usaha tersebut.

Masalah saprodi pertanian masih jadi kendala pula. Sebagai-mana telah disinggung sebelumnya, perbandingan antara kebutuhanpetani untuk menyediakan saprotan dengan tingkat penghasilan

Page 88: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

69

Kembali ke Agraria

yang didapat dari usaha tani sangat tidak seimbang. Tidak terjang-kaunya harga-harga saprotan oleh petani menimbulkan pola danproduk pertanian berkualitas rendah. Pada titik ekstrem, mahalnyasaprotan seperti bibit, pupuk, pestisida, dan alat produksi lain men-dorong petani untuk bekerja secara asal-asalan. Bahkan pada titikyang paling ekstrem, karena saprotan tidak terbeli maka petani tidaklagi mau bekerja di atas tanahnya.

Soal lain yang menjadi masalah pelik berkaitan dengan penye-diaan saprotan adalah asal datangnya saprotan tersebut. Revolusihijau yang menjadi kojo Orde Baru dalam membangun sektor perta-nian diketahui telah menghasilkan mentalitas petani yang selalutergantung pada input dari luar. Ketergantungan ini, selain membu-ahkan ketidakmandirian petani tetapi juga telah memicu kerusakanekosistem lingkungan pertanian (tanah dan tanaman jadi tergantungpada input luar) dan lenyapnya kearifan lokal (indigenous knowledge)yang dipandang lebih inklusif dengan dimensi sosio-kultural masya-rakat petani setempat. Dengan demikian, walaupun dalam setiapusaha tani yang ideal disyaratkan ketersediaan saprotan yang murah,namun lebih dari itu kategori saprotan yang selama ini dipatok dariluar lebih banyak menjerat leher petani dan merusak tanah pertanian.

Masalah lain berhubungan dengan ketersediaan tanah perta-nian. Berbagai sumber data mengenai pola penguasaan dan peman-faatan tanah pertanian menunjukkan ketimpangan yang luar biasa.Ketimpangan ini terjadi baik dari segi penguasaan sesama (keluarga)petani maupun dari segi pemanfaatan lahan pertanian dengan zona-pertanian. Secara khusus, dalam hal penguasaan tanah di kalanganpetani, strukturnya mencermin kenyataan bahwa semakin banyakpetani berlahan sempit yang kehilangan tanahnya dengan berbagaialasan. Tanah pertanian yang sempit—biasanya di bawah 2 hektar—tentu saja tidak bernilai ekonomis bagi usaha tani. Jangankan untukmemperoleh surplus, kebutuhan sehari-hari pun tidak bisa dipenuhioleh petani dengan tanah sesempit itu. Tidak jarang petani kecil ter-paksa bekerja sambilan atau malah menjual tanahnya untuk nombokin

Page 89: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

70

Usep Setiawan

(memenuhi) kebutuhan hidupnya.Faktor ‘penyerahan’ tanah oleh petani kecil kepada kalangan

petani ‘kaya’ atau kelompok berduit lainnya dapat menciptakankonsentrasi (baca: monopoli) penguasaan tanah pertanian. Kondisiinilah yang melahirkan buruh-buruh tani atau tenaga kerja ‘mengam-bang’ yang biasanya terpaksa ‘mengungsi’ ke kota-kota besar untukbekerja sebagai tenaga kerja kasar. Lantas apa dan bagaimana solu-sinya?

Solusi

Untuk perbaikan ke depan, tidak ada pilihan lain kecualimenjawab semua fakta masalah yang telah diuraikan sebelumnya.Pokok-pokok jawaban yang dimaksud meliputi: pertama, perluditumbuhkan dan dikuatkannya organisasi tani yang mandiri diseluas mungkin komunitas pertanian. Ini penting mengingat orga-nisasi petani dapat mengartikulasikan segala kepentingannya danmelalui organisasi pula petani bisa membiasakan diri untukmenjalankan usaha tani secara bersama, sehingga keuntungan pundapat dinikmati bersama oleh petani sendiri.

Kedua, perlunya pendidikan dan pelatihan yang sistematismengenai manajemen dan teknik bertani yang baik. Pola pendidikandan latihan bagi petani kecil ini hendaknya bersifat partisipatif danmengacu pada kearifan lokal. Muara dari pendidikan ini adalah ber-gesernya kesadaran orientasi bertani dari subsisten-individual kearah komersial-kolektif serta meningkatnya keterampilan bertani.

Ketiga, penyediaan modal usaha tani secara cukup merupakankebutuhan yang juga mendesak. Negara (c.q. pemerintah) sudahsewajarnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyediakan ber-bagai skim (alokasi anggaran) permodalan bagi petani kecil denganpersyaratan yang seringan dan sesimpel mungkin. Modal yangdimaksud sebaiknya disalurkan kepada kelompok-kelompok taniyang memang sudah siap menjalankan usaha tani secara bersamadengan mekanisme yang transparan dan bebas dari unsur korupsi.

Page 90: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

71

Kembali ke Agraria

Keempat, demikian halnya harga-harga saprotan agar diturunkansehingga terjangkau oleh petani kecil dan rasional bagi dijalankannyausaha tani. Di samping itu diperlukan juga pengkajian yang men-dalam terhadap kearifan lokal yang di dalamnya mengandungkekayaan pengetahuan dan sarana produksi internal dari komunitassetempat. Saprotan yang murah dan ramah lingkungan adalah kri-teria kuncinya.

Kelima, hal yang mutlak untuk segera dilakukan adalah pemba-gian atau penyediaan tanah pertanian yang cukup kepada petanikecil. Karena usaha tani tidak akan efektif jika dilakukan di lahanyang sempit—apalagi tanpa adanya tanah—jelas usaha tani tidakmungkin dijalankan, maka penyediaan tanah adalah fondasi bagipengembangan dunia pertanian dan peningkatan kesejahteraankaum tani.

Tentu saja agenda-agenda di atas perlu menjadi perhatian kitabersama. Kalangan akademisi kampus dan organisasi non-pemerin-tah (LSM) sebaiknya mengambil peran secara intens dalam membe-rikan kritik dan masukan kepada para pengelola negara. Hal ini pen-ting karena sekarang ini pemerintah masih kelihatan gamang dalammerumuskan kebijakan pertanian yang tepat dan efektif dalam men-dongkrak produksi pertanian sekaligus meninggikan kesejahteraankaum tani.

Terakhir, semua agenda perbaikan dunia pertanian hendaknyamenggunakan dua tanah medan perjuangan: (1) membuat berbagaikebijakan politik yang menguntungkan pertanian dan petani kita,dan (2) memperkuat masyarakat petani agar mampu memperbaikinasibnya secara mandiri. Kedua hal ini bisa jadi merupakan formatbaru pembangunan pertanian paska Orde Baru yang mengandungmisi meningkatkan kesejahteraan petani dan mendorong petani agarmampu berdiri di atas kakinya sendiri. Wallohua’lam. ***

Page 91: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

72

Warta FKKM, 21 Maret 2002

Dari Jeda Balak ke Paradigma Baru

KONTROVERSI pelarangan sementara penebangan pada hutantertentu (jeda balak) oleh Gubernur Jawa Barat baru-baru ini telah

memicu perdebatan sengit soal pengelolaan hutan di Jabar. Tidakkurang, Gubernur Jabar, belasan Bupati, pihak DPRD, petinggi PTPerhutani, dan tokoh-tokoh masyarakat terlibat dalam perdebatanyang beraroma ketegangan kepentingan. Namun, tentu saja publik(khususnya yang concern pada tema kehutanan) perlu kritis dalammenangkap esensi perdebatan. Apa makna esensial dari perdebatanitu?

Melalui artikel singkat ini, penulis terusik untuk menginterupsiperdebatan. Persoalan pengelolaan hutan senyatanya persoalan ber-sama masyarakat luas, dan karenanya mesti ditilik dari berbagaisudut pandang. Di sini, jeda balak jadi titik masuk bagi penulis untukmenengok paradigma pengelolaan hutan yang tampaknya masih sepidari isi perdebatan yang ada. Ini penting, mengingat konflik kepen-tingan (conflict of interests) dalam pengelolaan hutan merupakancermin dari problem agraria dan SDA yang paradigmanya menantiperombakan.

Sejumlah pakar telah mensinyalir adanya sesat pikir dalam para-digma politik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini.Untuk itu, kontroversi pengelolaan hutan (sebagai bagian dari sum-berdaya alam) di Jabar dewasa ini penting untuk diletakkan sebagaipintu masuk bagi penemuan paradigma baru pengelolaan hutan di

Page 92: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

73

Kembali ke Agraria

masa depan. Paradigma lama perlu dibongkar agar diketahui secaracermat titik lemahnya. Setelah itu, kita perlu menemukan segera alter-natif paradigmatik yang lebih baik.

Pilihan paradigma pengelolaan kawasan hutan bisa dipinjamdari pemikiran Ton Dierz (1996). Menurut Dierz, pada dasarnya adatiga pilihan paradigma kebijakan yang bisa dan biasa diambil, yakni(i) yang menempatkan lingkungan dan sumber-sumber alam sebagaiobjek eksploitasi (eco-developmentalism), (ii) yang membuat isolasi ter-tentu terhadap suatu kawasan agar bebas dari intervesi manusiasama sekali (eco-totalism atau eco-fasism), atau (iii) yang menempatkanrakyat di sekitar suatu kawasan sebagai subjek utama (eco-populism).

Paradigma pengelolaan hutan yang dianut selama ini semata-mata melihat hutan sebagai objek eksploitasi. Pilihan paradigmapengelolaan hutan rezim Orba sejatinya cermin dari paradigma eco-developmentalism. Melalui paradigma ini, Orba menelurkan berbagaikebijakan yang menempatkan sumber-sumber alam, termasuk hutan,sebagai objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasimodal. Paradigma pengelolaan kawasan hutan semacam ini ditandaipula dengan tidak diberikannya ruang yang memadai bagi keter-libatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Faktanya,justru pilihan ini telah membuahkan konflik antara negara dan/ataupemodal besar yang diberi mandat mengelola versus penduduk yangpunya klaim sejarah budaya yang bersifat kosmologis atas kawasandi sekitarnya.

Buah yang sekarang kita temukan di depan mata adalah dishar-moni, karena tidak ditemukannya kesatuan pandang antara negaradan/atau para “pengelola formal” kawasan hutan dengan aspirasipenduduk yang hidup dan berkembang di sekitar kawasan tersebut.Selain itu, dampak nyata yang memprihatinkan adalah tidak adanyaupaya penanganan yang efektif dalam mencegah perusakan dan me-mulihkan kerusakan hutan ternyata telah membuahkan berbagai tra-gedi bencana alam yang mengerikan, seperti banjir besar yang seka-rang melanda.

Page 93: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

74

Usep Setiawan

Lantas, solusi apa yang bisa ditawarkan? Sudah waktunya, si-kap kritis ditembakkan terhadap paradigma lama yang telah terbuktimengabaikan kepentingan penduduk di sekitar kawasan hutan.Paradigma lama yang menyebabkan tidak terkendalinya eksploitasiyang menyebkan perusakan lingkungan alam dan meminggirkanhak rakyat sudah waktunya ditinggalkan. Perlu dicari paradigmabaru yang lebih kontekstual dengan tuntuan zaman, yang di anta-ranya terkait dengan kecenderungan penataan hubungan-hubunganpemerintahan yang lebih terdesentralisasi melalui otonomi daerah.

Era otonomi daerah telah memberi peluang yang cukup bagipemerintahan daerah untuk mengambil peran lebih besar dalampengelolaan hutan. Kewenangan yang ada dalam UU No. 22 tahun1999 tentang pemerintahan daerah, secara transisional dapat menjadijembatan menuju penyerahan pengelolaan hutan oleh masyarakatdi sekitar hutan. Jika jembatan ini dapat ditempuh dengan mulus,maka manfaat dari keberadaan pengelolaan hutan bisa lebih dekatdan lebih cepat dinikmati oleh masyarakat di sekitar hutan.

Kehendak para founding fathers negeri ini sudah jelas, sebagaimanaBung Hatta pernah mengatakan: “Memberikan otonomi daerah tidaksaja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkem-bangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melak-sanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri,melaksanakan sendiri yang dianggap penting bagi lingkungansendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yangdimaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan olehrakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendirimelainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri.”

Untuk ke depan kita ditantang untuk mampu membuka jalanbagi pemenuhan syarat sosial dan ekologis secara sekaligus. Masya-rakat di sekitar hutan jangan lagi dijadikan objek atau penontonapalagi korban. Karenanya mereka wajib diajak bicara mengenaikemauan dan kebutuhannya. Masyarakat harus dilindungi dan dido-rong untuk memiliki kemampuan memenuhi keselamatan dan

Page 94: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

75

Kembali ke Agraria

kesejahteraan hidupnya.Model pengelolaan hutan secara bersama yang hasilnya dinik-

mati secara adil bagi semua adalah dambaan kita. Karena keadilanbersama dapat efektif mencegah perusakan hutan, sehingga bisamemperpanjang layanan alam. Mendorong kemampuan kolektifrakyat di suatu kawasan dalam menghasilkan syarat-syarat kese-lamatan dan kesejahteraan hidupnya. Dengan produksi kolektif, nilaikemakmuran dinilai berdasar tingkat kesejahteraan bersama.

Tak pelak, sekarang kita tidak sekedar butuh model pengelolaanhutan yang memungkinkan terjadinya pemulihan dan mencegahperusakan hutan, melainkan, kita juga butuh model pengelolaanhutan yang lebih berkeadilan sosial dan demokratis. Dalam konteksinilah, paradigma eco-populism layak menjadi pilihan. Wallohu’alam. ***

Page 95: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

76

Republika, 18 Maret 2003

Sekelebat Analisis Hukum Sumber Daya Air(Catatan Agraria, rubrik hasil kerjasama

Republika Jabar dengan KPA dan LBH Bandung)

PENGHANCURAN sumberdaya air dan hutan sehagai daerahresapan merupakan bentuk lain dari terorisme. Penyangkalan

akses rakyat miskin atas air melalui privatisasi distribusi air danpolusi industri serta sungai juga merupakan terorisme. Dalam konteksekologi perang air, teroris tidak hanya mereka yang bersembunyi dibukit-bukit dan gua Afganistan. Banyak di antaranya bersembunyidi ruangan direksi korporasi dan di belakang hukum pasar bebasseperti WTO, NAFTA dll.

Mereka bersembunyi di belakang persyaratan privatisasi dibadan-badan seperti IMF dan Bank Dunia. Dengan menolak protokolKyoto pun, Presiden Bush mendeklarasikan dirinya sebagai terorisekologi bagi berbagai komunitas yang terancam kehidupan olehpemanasan global. Di Seattle, WTO dikatakan oleh para pemrotessebagai World Terorist Organizations karena aturan-aturannyamenyangkal hak jutaan rakyat atas kehidupan yang berkelanjutan.

Seperti pernah dikatakan Gandhi, “Bumi dapat mencukupisemua kebutuhan kita, tetapi tidak dapat mencukupi ketamakansegelintir orang”. Siklus air menghubungkan kita semua dan dari airkita dapat belajar menapaki jalan perdamaian dan menuju pembe-basan. Kita dapat belajar mentransendenkan perang air yang dicip-takan oleh ketamakan, limbah dan ketidakdilan yang melahirkan

Page 96: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

77

Kembali ke Agraria

kelangkaan di atas planet yang berlimpah air. Kita dapat bekerjadengan siklus air untuk mereklaim kelimpahan air sekaligusmenumbuhkan demokrasi. Jika kita dapat membangun demokrasi,kita akan membangun perdamaian. (Disadur dari Vandana Shiva,Water War: Privati-zation, Pollution and Profit 2002.)

Hukum sumber daya air: Dulu dan sekarang

Salah satu sumber daya alam terpenting setelah tanah adalahair. Para pendiri Republik ini merangkaikan kalimat “Bumi, air, ruangangkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, sebagaikarunia Tuhan bagi Bangsa Indonesia. Setelah pemberlakuan UUPokok Agraria (UUPA) kemudian pemerintah mengeluarkan UU No.11/1974 tentang Pengairan sebagai respon atas pasal 47 UUPA yangmemberikan pengaturan tentang hak guna air. Setelah 28 tahun ber-lakunya UU Pengairan, saat ini pemerintah sedang mempersiapkanRUU mengenai Sumber Daya Air sebagai pengganti UU No. 11/1974yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkem-bangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat. UUNo. 11/1974 dikonstruksi untuk mendukung paradigma `pem-bangunan positivistik’ orde Soeharto.

Berikut ini menunjukkan beberapa ciri menonjol paradigmapembangunan masa Orba (lihat Shepherd, 1998): Pertumbuhan eko-nomi adalah segala-galanya. Berapa pun harganya, segala dana dandaya dikerahkan untuk itu. Tidak peduli, hasil pertumbuhan itu untuksiapa. Salah satu harga yang harus dibayar adalah pemerintah yangotoriter dan represif pun ditolerir demi stabilitas, karena stabilitasadalah sarana utama bagi pertumbuhan ekonomi.

Peranan negara/pemerintah sangat besar: sebagai produsen,sebagai penyedia berbagai sarana, dan sebagai pengatur dan penge-lola. Tetapi di lain pihak ekonomi pasar dipromosikan. Perencanaanmerupakan pusat pemikiran, tetapi sifatnya top-down, karenaber-tumpu kepada yang kuat. Pandangannya fragmentaris, sektoral,tidak holistik, dan tidak partisipatif. Dapat dikatakan bahwa UU No.

Page 97: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

78

Usep Setiawan

11/1974 tidak memenuhi kelayakan materiil suatu peraturan perun-dang-undangan yang faktanya lebih banyak digiring oleh pilihan-pilihan politis daripada desakan kebutuhan pengelolaan sumberdaya air yang berpihak pada rakyat.

Setelah memasuki era reformasi, tendensi perubahan hukumkeagrariaan mulai bergulir. Salah satu yang sedang didorong Peme-rintah Megawati-Hamzah Haz adalah penyusunan RUU SumberDaya Air yang dipromosikan oleh Kementerian Pemukiman danPrasarana Wilayah (Kimpraswil). Walau menurut pemerintah inimerupakan upaya pemberdayaan rakyat untuk melakukan pengelo-laan sumber daya air secara mandiri, ternyata RUU itu tidak seindahcita-citanya.

Secara umum, RUU ini hanya dapat berlaku efektif jika diikutioleh sejumlah peraturan perundangan di bawahnya, berupa 33Peraturan Pemerintah (PP), satu Keputusan Presiden (Keppres) dansatu Keputusan Menteri (Kepmen). Cara ini kerap dilakukan olehpemerintah Orba yang bermuara pada lahirnya berbagai kebijakansentralistik yang dilakukan oleh eksekutif—terutama Presiden (mela-lui Keppres). Ini didukung oleh ketidakberdayaan lembaga yudikatifdalam melakukan kontrol terhadap eksekutif. Terutama jika diketahuidi kemudian hari bahwa proses pembuatan RUU ini minus kontrolpublik.

Secara khusus, substansi yang diatur dalam RUU ini merupakanreplika dari UU No. 11/1974. RUU ini tetap mempertahankan karakterpemerintahan yang sentralistik dan otoritarian dalam pengelolaansumber daya air. Karakter-karakter itu terbaca melalui istilah/idiomyang muncul dalam beberapa pasal dan kontroversi pengaturan, yangterjadi antar substansinya. Seperti layaknya pengaturan otonomidaerah yang hingga saat ini masih menjadi tarik-ulur kepentinganantar level dalam pemerintahan, RUU ini juga menampakkan kewe-nangan pengelolaan sumber daya air yang samar-samar bagi peme-rintah daerah terutama bagi masyarakat lokal/masyarakat adat.

Salah satu hal menarik yang bisa dibaca dari RUU Sumberdaya

Page 98: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

79

Kembali ke Agraria

Air, pemerintah mulai menempatkan desain berpikir partisipatorydengan mengadopsi pola pemberdayaan yang dilakukan OrganisasiNon Pemerintah (Ornop/LSM/NGO). Jika membaca bangunansubstansi RUU. Sumberdaya Air, ada dua isu krusial yang ingin dires-pon pemerintah. Yaitu isu mengenai otonomi daerah dan konservasilingkungan.

Kedua isu ini dapat distimulan oleh beragam variabel. Pertama,menunjuk pada desakan atas kepentingan negara-negara maju ke-pada negara-negara dunia ketiga untuk mempertahankan bumi daribahaya kehancuran akibat aktivitas produksi massal hasil revolusiindustri yang dilakukan negara-negara maju. Kedua, tuntutan yangdatang dari rakyat melalui dinamika-dinamika politik yang terjadisejak keruntuhan rezim Orba. Ketiga, usaha pemerintah pusat untukmenurunkan konflik dari tingkat pusat ke level daerah. Keempat, kebu-tuhan daerah untuk memperbesar kantong-kantong Pendapatan AsliDaerah.

Sejumlah variabel stimulan menunjukkan bahwa ada dua skena-rio paradoksial yang harus dimainkan pemerintah dalam pengelo-laan sumber daya air. Skenario pertama, menuntut pemerintah untukmemaksimalkan pemanfaatan sumber daya air sebagai sumber PAD.Skenario kedua, menunjukkan bahwa pemerintah didesak untuk me-mainkan peran sebagai pengendali kerusakan alam. Caranya denganmelakukan konservasi lingkungan untuk mendukung industrialisasidi negara-negara maju dalam sebuah struktur kapitalisme global.

RUU Sumber Daya Air banyak mengandung kelemahan. Antaralain, adanya dualisme definisi pengusahaan dan komersialisasi; absur-ditas partisipasi lokal; inkonsistensi konservasi air; tidak memberikanperlindungan yang tegas terhadap warga negara; peletakankewenangan yang terlalu besar kepada negara; idiom-idiompembangunan positivistik Orba; pasal-pasal karet; pengulangan aturandengan substansi yang sama; mahalnya pelayanan publik; absurditasfungsi sosial; tidak melihat konteks kebutuhan agraris terhadap SDA;penyelesaian sengketa konvensional; kontroversi antar pasal.

Page 99: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

80

Usep Setiawan

Rekomendasi

Kehadiran Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang sempat membawaangin segar, ternyata belum mampu mengubah paradigma danpraktek politik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Alih-alihmelakukan pembaruan, Rezim Mega-Hamzah malah merancangsebuah kebijakan yang bertentangan dengan Tap MPR itu. Hinggakini, belum pernah dilakukan peninjauan ulang (review) terhadapseluruh peraturan perundang-undangan sebagaimana salah satuamanat Tap MPR. Bahkan, kini sedang terjadi pelanggengan paradig-ma kapitalisme dan sektoralisme di lapangan agraria dan pengelo-laan SDA, termasuk terhadap sumber daya air.

Dari kajian terhadap isi maupun proses penyusunan RUUSumberdaya Air itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaannya jelas-jelas bertentangan dengan maksud yang dikandung oleh Tap MPRNo. IX/MPR/2001. Penyusunan RUU tersebut bisa dikatakan sesatlangkah, karena sebelumnya tidak pernah dilakukan peninjauanulang dan koreksi yang komprehensif serta mendasar terhadap pera-turan perundang-undangan perairan yang ada.

Untuk itu penyusunan RUU Sumberdaya Air seharusnya ditun-da terlebih dahulu sebelum adanya review menyeluruh terhadapperaturan perundang-undangan agraria/SDA yang ada. Penyu-sunan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait denganagraria dan SDA selalu melibatkan organisasi-organisasi rakyat yangsejati dan independen, serta mengutamakan partisipasi politik yangseluas-luasnya dari kalangan rakyat.***

Page 100: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

81

Republika, 25 Maret 2003

Potret Kampung Naga Jawa Barat(Catatan Agraria, rubrik hasil kerjasama

Republika Jabar dengan KPA danLBH Bandung)

KAMPUNG Naga adalah salah satu komunitas masyarakat adatdi Nusantara yang hingga kini masih kukuh mempertahankan

tradisi karuhun (leluhur)-nya. Orang Naga adalah bagian dari etnisSunda yang menjadi etnis terbanyak di Jawa Barat. Walaupun OrangNaga memiliki sistem nilai yang berakar pada tradisi karuhunnya,mereka tergolong penganut Islam yang cukup taat.

Dalam struktur masyarakat adat Kampung Naga dikenal pim-pinan yang sering disebut sebagai sesepuh (tetua) adat Naga yangmenjalankan fungsi kepemimpinan dan penerus pelestarian adatnya.Sesepuh Naga merupakan keturunan langsung dari sesepuh adatasli yang memimpin Naga secara turun temurun. Dalam menjalankanfungsi kepemimpinan adatnya, sehari-hari sesepuh ini didampingi(diwakili) oleh Kuncen. Tugasnya antara lain menerima tamu danmenjelaskan tentang adat istiadat Naga kepada tamu yang inginmengetahuinya. Kedua pimpinan adat ini tidak bisa dipisahkan jikatengah berlangsung suatu upacara adat di Kampung Naga.

Wilayah adat Naga meliputi lahan di sekitar aliran SungaiCiwulan dari hulu (Gunung Karacak) sampai ke hilir (daerah Sala-wu). Secara administratif, wilayah Naga meliputi tiga kecamatan.Yaitu Kecamatan Cigalontang, Salawu, dan Cilawu, di dua kabupaten

Page 101: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

82

Usep Setiawan

yaitu Tasikmalaya dan Garut - Jawa Barat. Luas lahan masyarakatadat Naga (yang sesungguhnya) diperkirakan sekitar 16 ribu hektare.Tiga garis pinggir dari wilayah adat ini meliputi sekitar daerahSalawu, Cilawu, Cigalontang. Kampung ini juga dikelilingi tigagunung, yakni Gunung Cikuray, Gunung Karacak, dan GunungGalungggung. Di sekeliling dalam wilayah adat Kampung Nagaterdapat makam-makam tua (keramat).

Masalah paling mendasar di Kampung Naga adalah hilangnyatanah karuhun yang diambil oleh pihak lain sejak zaman penjajahBelanda. Menurut cerita karuhun, Orang Naga mempunyai lahangarapan dari batas Sungai Ciwulan sampai Sungai Cipaingeun. Yaituuntuk ladang, sawah, dan perkampungan keturunan Naga yangpindah dari Kampung Naga. Yang disebut Kampung Naga sendirihanya sebatas lahan 1,5 hektare untuk pemukiman saja.

Ada tiga jenis pemanfaatan tanah di Naga, yaitu: (1) tanahgarapan, yakni tanah yang boleh dimanfaatkan untuk kegiatan per-tanian masyarakat, seperti kebun, ladang (tirtir) dan sawah; (2)leuweung larangan, yakni tanah yang tidak boleh diganggu samasekali, jangankan mengambil sesuatu dari atasnya, menginjakkankaki pun sangat dipantang oleh adat; (3) lahan cadangan meliputidaerah sepanjang Sungai Cipaingeun sampai Sungai Cihanjatan.Lahan ini dapat dipakai jika lahan garapan pertanian atau pemu-kiman sudah tidak mencukupi lagi. Tanah hutan larangan adalahdari Sungai Cihanjatan sampai Sungai Cikole, yang dilarang untukdigarap.

Namun kini, sebagian besar tanah adat Orang Naga sudahdijadikan hutan pinus oleh Perhutani (perusahaan milik negara) danperkebunan teh (milik swasta). Pengalihan fungsi ini sudah berlang-sung lama, ketika penjajahan masuk dan mengembangkan sektorperkebunan di Indonesia. Kini, lahan yang diakui oleh pemerintahsebagai tanah Orang Naga hanyalah tanah seluas 1,5 hektare. Diatasnya berdiri 110 bangunan yang dijadikan perkampungan olehsebanyak 104 KK (325 jiwa) sampai dengan September 2002.

Page 102: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

83

Kembali ke Agraria

Upaya mempertahankan adat

Berdasarkan wangsit leluhur yang selalu disampaikan darigenerasi ke generasi, Orang Naga mengenal sejumlah falsafah hidup.Falsafah ini juga mempengaruhi mereka dalam mempertahankankelestarian hutan larangan. Misalnya, falsafah : Ulah bogoh ku ledokna,ulah kabita ku datarna. Makaya na luhur batu, disaeuran ku taneuh moalluput akaran. Legana saukuran tapak munding, sok mun eling moal lu-putmahi. Artinya: Jangan tergoda oleh kesuburannya, jangan terpikatoleh luasnya. Bercocok-tanam di atas batu, ditimbun tanah takkansampai tak berakar. Walau luasnya seukuran telapak kerbau, asalingat aturan adat pasti mencukupi (menurut adat Naga, falsafah hi-dup seperti ini tidak boleh diucapkan pada hari-hari tabu, yakni:Selasa, Rabu dan Sabtu).

Selain itu ada juga sanksi non-fisik yang disediakan bagi OrangNaga yang melanggar tanah adat. Bentuknya, amanat, wasiat, danakibat. Sanksi ini terkandung dalam falsafah berikut BandungParakan Muncang Mandala Cijulang, ana saseda satapa, baeu tunggalseuweu putu. Kulit ka-sasaban ruyung, keureut piceun bisi nyeri. Maknanya:Dari mana pun orang lain berasal, mereka adalah saudara. Kalauada yang melanggar adat maka buang atau singkirkan saja sebabmerugikan dan membuat sakit.

Secara turun-temurun, adat Kampung Naga dipertahankan olehincu-buyutnya. Caranya dengan mempertahankan jumlah, bentukdan bahan bangunan yang berasal dari alam sekitar. Rumah danbangunan lain yang ada di Kampung Naga seluruhnya mengguna-kan bahan utama kayu, bambu, ijuk dan batu sungai yang semuanyatersedia di sekitar pemukiman mereka. Orang Naga menolak ma-suknya listrik ke perkampungan mereka. Alasannya patuh pada la-rangan dari karuhun, atau karena takut perumahan mereka keba-karan. Seperti diketahui rumah mereka terbuat dari bahan yang rentankebakaran seperti ijuk, kayu dan bambu.

Jika digali lebih dalam, sebenarnya mereka tidak anti ‘kemajuán’.Mereka juga tidak ketinggalan berita perkembangan zaman dan

Page 103: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

84

Usep Setiawan

dunia luar. Ini dikarenakan mobilitas sosial ke luar kampung yangcukup tinggi. Di beberapa rumah warga pun sudah ‘dihiasi’ pesawatteve hitam putih dengan tenaga aki dan radio dengan energi baterai.Resep yang dipakai Orang Naga dalam mempertahankan adatnyasekaligus juga mengikuti perkembangan zaman adalah falsafah:Hirup mah kudu miindung ka waktu mibapa ka zaman, yang artinya: bah-wa dalam hidup kita mesti mengikuti perjalanan waktu dan janganmau ketinggalan zaman, walau begitu jangan sampai kabawa kusa-kaba-kaba (terbawa oleh pengaruh negatif yang ditimbulkan perkem-bangan zaman).

Dalam hal etika dan kearifan (moralitas) hidup, Orang Nagasecara ketat patuh terhadap larangan yang ditetapkan leluhur. Tigalarangan utama adalah berjudi (ngadu), mabok (ngamadat) dan melacur(ngawadon). Jika larangan dilanggar, si pelaku tinggal menunggu ‘hu-kuman’ dari leluhur. Menurut sesepuh setempat, hingga kini belumpernah (diketahui) ada warga adat yang melanggar larangan di atas.

Untuk memelihara kelangsungan adat, setiap tahun OrangKampung Naga mempunyai enam upacara adat yang mengikuti hari-hari keramat dalam bulan suci Islam. Yaitu setiap bulan Muharram,Mulud, Jumadil Akhir, Sa’ban, Idul Fitri dan Idul Adha. Setiapmenjelang Maulid Nabi Muhammad (muludan), dikumandangkanshalawat nabi dengan diiringi musik terbang (khas Naga). Upacaraadat dilakukan dengan melakukan ziarah (jarah) ke makam leluhurdi Kampung Naga. Yaitu makam karuhun pertama Naga yang ber-nama Eyang Singaparna. Ada lima pihak yang tidah boleh ikut sertadalam jarah, yaitu: perempuan, anak kecil, non-muslim, haji, danpejabat pemerintah (mester).

Setahun sekali, secara rutin di Kampung Naga biasa diseleng-garakan sunatan massal. Acara ini menarik perhatian, karena selainmelibatkan puluhan anak kecil keturunan Naga yang disunat, adajuga hiburan tradisional yang digelar selama kira-kira tiga hari. Tidakjarang, warga mengundang kerabat dan kenalan dari luar Nagauntuk menyaksikan.

Page 104: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

85

Kembali ke Agraria

Soal tanah adat

Dari hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadapkampung-kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokokyang dihadapi hampir seluruh kampung adat. Yakni berpindahtangannya tanah yang menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar.Di Pulau Jawa, sampai hari ini, sejumlah komunitas masyarakat adatyang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih bertahan.Beberapa komunitas masyarakat adat itu, Kasepuhan Banten Kidul,Ciptarasa (Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga(Tasikmalaya), Kampung Kuta (Ciamis) dan Baduy (Lebak).Sedangkan di Jateng ada Orang Samin (Sleman, Yogyakarta), dan diJatim dikenal Orang Tengger (Malang dan Purbalingga) serta OrangOsing (sekitar tapal kuda, Banyuwangi).

Dengan mengambil sampel kasus hilangnya wilayah adat OrangNaga, sebenarnya kita sedang bercermin pada kenyataan yang lebihbesar. Bahwa dewasa ini memang tengah terjadi perubahan sosialdalam masyarakat Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia tengahmengalami perubahan. Titik penting yang mendorong terjadinyaperubahan itu adalah hilangnya akses dan kontrol masyarakat adatatas sumber-sumber agraria yang secara tradisi mereka kuasai dankelola secara arif. Di sisi lain, hingga kini, tema masyarakat adatkurang populer di kalangan masyarakat luas.

Meski begitu, perhatian terhadap masyarakat adat di kalangantertentu perlahan-lahan mulai tumbuh. Terutama dari kalangan orga-nisasi non-pemerintah dan akademisi. Membesarnya perhatian ituterutama didorong oleh karena terjadinya berbagai kasus yang meru-gikan eksistensi masyarakat adat. Berdasarkan hasil studi Konsor-sium Pembaruan Agraria (KPA) pada 1997-1998, tentang hak-hakmasyarakat adat atas sumber-sumber agraria, diketahui bahwakenyataan yang sebenarnya terjadi pada masyarakat adat Indonesiaadalah sebuah proses penghancuran yang sistematis. Ini terjadimelalui intervensi berbagai kebijakan pembangunan yang memihakmodal besar (kapitalisme) dalam sejumlah proyek pembangunan yang

Page 105: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

86

Usep Setiawan

dilancarkan oleh negera ataupun swasta.Dalam konteks ini, masyarakat adat Kampung Naga dapat dipan-

dang sebagai salah satu korban ‘pembangunan’ yang terjadi sejakzaman kolonialisme Belanda. Sementara pemerintah Republik Indo-nesia, seperti diungkapkan tokoh Naga, hanya meneruskan kebijakanagraria yang dibuat para penjajah. Terbukti, tanah/wilayah adatmereka yang pada zaman Belanda dirampas untuk dijadikan perke-bunan hingga kini tidak pernah dikembalikan.

Masalah lain yang dihadapi oleh Orang Kampung Naga adalahkeengganan mereka dijadikan objek pariwisata. Hingga kini, peme-rintah masih menempatkan Kampung dan Orang Naga sebagai objekwisata, baik domestik maupun mancanegara. Padahal, mereka tidaksenang diperlakukan seperti itu. Jika boleh memilih, Orang KampungNaga (menurut tokoh adat) lebih memilih dijadikan sebagai cagarbudaya, karena masyarakatnya masih mempertahankan adat yangdiwariskan para leluhur sekaligus melaksanakan falsafah hidupturun-temurun.

Hal lain yang sering dikeluhkan sejumlah tokoh adat Naga ada-lah hilangnya catatan sejarah Naga yang dikenal dengan ’PiagamNaga’. Konon piagam itu dipinjam pemerintah kolonial Belanda dantidak dikembalikan hingga hari ini. Orang Naga punya keyakinanbahwa suatu saat, tanah adat mereka akan kembali. Hal ini diisya-ratkan oleh leluhur dalam pesan yang mengandung harapan untukkembalinya tanah adat Naga. Karuhun berpesan : Jaganing jaga dimana pamarentah geus bener, eta tanah bakal dipulangkeun. Artinya, diakhir kemudian ketika pemerintah sudah benar, maka tanah tersebutakan dikembalikan. Yang menjadi soal, ukuran benar menurut adatdan benar menurut pemerintah itu masih belum bertemu di satu titikyang sama hingga kini.

Catatan akhir

Tidak dapat dipungkiri, perhatian dan energi kalangan yangconcern atas pembelaan terhadap masyarakat adat Indonesia selama

Page 106: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

87

Kembali ke Agraria

ini terpusat ke komunitas masyarakat adat yang hidup di luar PulauJawa. Misalnya, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya.Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa di Pulau Jawa, soal masya-rakat adat (dan petani) yang kehilangan tanahnya tidak kalah banyak.Bahkan bisa lebih kompleks sejarahnya.

Masalah tanah adat Orang Naga sebenarnya merupakan peker-jaan rumah sisa-sisa kolonialisme dulu, di mana kapitalisme dijalan-kan dengan cara paksa dan brutal. Pertanyaannya sekarang, adakahproblem pokok yang dihadapi masyarakat adat (termasuk di PulauJawa) mempunyai celah penyelesaian? Apakah era reformasi menyi-sakan peluang bagi masyarakat yang ingin mengembalikan kedau-latan atas wilayah adatnya?

Kalau ditinjau dari sisi peluang hukum, sebenarnya cukuptersedia. Yakni telah terbukanya kesempatan bagi komunitas masya-rakat adat untuk ‘kembali’ ke sistem asal-usulnya melalui UU No. 22tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, lahirnya TAPMPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelola-an Sumberdaya Alam, khususnya yang menyuratkan prinsip ‘menga-kui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dankeragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdayaalam’, pasal 4 poin (j).

Kedua dasar hukum di atas potensial untuk digunakan sebagaijembatan menuju pengakuan kedaulatan masyarakat adat atassumber-sumber agraria, termasuk wilayah adatnya. Kunci keber-hasilannya adalah kerja keras dari masyarakat adat itu sendiri dalammerebut kedaulatannya. Langkah ini didukung dengan kemauan dankomitmen politik negara dalam mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat sepenuh-penuhnya. Wallahu alam.***

Page 107: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

88

Republika, 15 April 2003

Mengurai Konflik dan KetimpanganKasus Agraria

(Catatan Agraria, rubrik hasil kerjasamaRepublika Jabar dengan KPA dan LBH Bandung)

Prolog

KINI tengah muncul kecenderungan baru yang meletakkankonsultasi publik sebagai salah satu langkah strategis dalam

mendorong terjadinya ‘Perubahan Kebijakan’. Kecenderungan inihinggap juga pada proses penyusunan kebijakan atas tanah dankekayaan alam lainnya. Konsultasi di sini mengandung makna perluadanya pelibatan secara aktif dari sebanyak mungkin pihak yangberkepentingan dalam proses penyusunan kebijakan.

Dengan proses konsultasi, berbagai masalah yang dihadapi akandiserap, beragam pengalaman hidup pun diungkap serta berbagairumusan formula solusi atas masalah yang ada pun diusulkan. Per-tanyaannya, siapakah yang paling pokok untuk diajak dan diberiruang terlebar bagi proses konsultasi ini?

Jika mengacu kepada visi pembaruan agraria yang berpihakkepada massa rakyat, maka pihak rakyatlah yang harus diprioritas-kan dalam proses konsultasi ini. Selain pertimbangan ketergan-tungan pokok rakyat terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya,kita tahu bahwa selama ini rakyatlah yang paling lemah posisi

Page 108: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

89

Kembali ke Agraria

tawarnya di hadapan pihak-pihak lain. Rakyat kerap menjadi korbandari penggunaan kekuasaan yang dimiliki para penyelenggara negarayang condong kepada para pemodal besar.

Dengan mendahulukan dan mengutamakan konsultasi denganrakyat, maka kekuatan rakyat untuk berhadapan dengan pihak-pihakdi luar dirinya bisa dipersiapkan sebaik-baiknya. Dengan konsultasiini, diharapkan ada upaya membangun keseimbangan kekuatan dilapangan agraria, yang sejatinya merupakan lapangan ‘pertempuran’beragam kepentingan baik ekonomi, politik, hingga sosial-budayadari berbagai lapisan masyarakat. Konsolidasi yang dilancarkanmelalui organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas terorganisirmerupakan bentuk pemaknaan ulang atas pemahaman konsultasipublik. Berbagai bentuk pertemuan, diskusi, rapat, dan aksi-aksi disegala tingkatan penting untuk digencarkan. Begitu pula denganberagam inisiatif untuk mencari titik temu di antara organisasi-organisasi rakyat yang sudah ada, perlu dirintis dan dipelihara.

Penting pula untuk disadari bahwa konsultasi dan konsolidasiadalah upaya yang perlu dilangsungkan terus-menerus, karena dialogdan penyatuan adalah pekerjaan yang tidak harus ada akhirnya.

Proses konsultasi dan peta masalah di Jawa Barat

Sejak Desember sampai Maret 2003, telah digelar KonsultasiPublik (KP) untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang menge-nai Pengelolaan Sumberdaya Alam (RUU-PSDA). Untuk diketahui,Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI telah mendapatkan izinprakarsa dari Presiden RI berdasarkan Undang-Undang Propenas(2000) untuk menyusun RUU-PSDA tersebut.

Walaupun KLH adalah pemegang izin prakarsa, namun ka-langan gerakan non-pemerintahan mencoba terlibat dalam prosespenyusunan berbagai agenda legislasi nasional. Ini merupakan salahsatu wujud pelaksanaan dari Ketetapan MPR No. IX/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Kegiatan KP ini merupakan buah dari kerja bersama antara Pokja

Page 109: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

90

Usep Setiawan

Ornop PA-PSDA dengan sejumlah ornop serta organisasi rakyat dienam region. Yakni Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, NusaTenggara dan Papua. Di Jawa Barat, KP RUU-PSDA telah digelaroleh KPA dengan beberapa ornop, organisasi pemuda-mahasiswa,dan organisasi tani di delapan kabupaten: Ciamis, Tasikmalaya, Ga-rut, Sumedang, Cianjur, Subang, Karawang dan Bandung. Fokus uta-ma dari KP di Jawa Barat adalah menggali persoalan agraria danpengelolaan SDA berikut alternatif solusi dari persoalan yang diha-dapi kaum tani. Subjek utama yang terlibat dalam KP ini adalahkalangan petani yang sudah tergabung dalam berbagai tingkatanorganisasi, dari yang berbasis lokal hingga kabupaten.

Sejumlah isu kritis (critical issues) yang dapat dipetik dari hasilKP di Jawa Barat dan Pulau Jawa pada umumnya meliputi butir-butir sebagai berikut: Pertama, isu penguasaan dan konflik yangmenonjol; banyaknya praktek penggusuran tanah rakyat untukkepentingan investasi; adanya ketimpangan penguasaan lahan,terutama yang diakibatkan penguasaan secara berlebihan oleh badanusaha besar pekebunan dan kehutanan; sebagian besar peraturanperundang-undangan dan kebijakan lama tidak berpihak kepadarakyat kecil—seperti kaum tani.

Kedua, isu konflik agraria yang mencerminkan: konsepsi pengu-asaan tanah dan kekayaan alam lainnya oleh negara secara salahkaprah menyebabkan konflik; masyarakat kecil biasanya menjadikorban konflik; tidak ada mekanisme dan kelembagaan penyelesaiankonflik.

Ketiga, isu hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lain-nya; konsepsi negara yang menguasai tetapi yang memiliki adalahmasyarakat (adat/lokal); semakin menguatnya pengakuan danpenghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal dalam UUDyang baru; namun, masih banyak praktek politik dari para penye-lenggara negara yang tidak mencerminkan pengakuan dan perlin-dungan atas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lain-nya.

Page 110: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

91

Kembali ke Agraria

Tentang Isi RUU-PSDA

Dari draft RUU-PSDA, secara umum, baik pada klausul konsi-deran ataupun di dalam batang tubuhnya, belum menunjukkan satusikap yang tegas untuk melindungi dan memprioritaskan rakyat yangtermarjinalkan (petani miskin, buruh tani, nelayan, buruh, kaum mis-kin kota, dan rakyat marginal lainnya) dalam mengakses terhadapsumber-sumber agraria/sumberdaya alam.

Visi pembaruan agraria (reforma agraria) sebagai komitmen poli-tik nasional seperti tertuang dalam TAP MPR IX/MPR/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) ataubahkan UUPA No. 5/1960 dan UUPBH tidak tercermin di dalamRUU-PSDA tersebut. Bahkan, RUU-PSDA ini masih mengandungtendensi membenarkan nilai-nilai produktivitas sehingga potensiuntuk kembali terjadinya eksploitasi dan kerusakan terhadap sumber-sumber agraria atau sumber daya alam sangat besar.

Selain itu, kuat pula tendensi untuk mempermudah laju ekspansidan penetrasi modal ke kawasan ataupun kelompok masyarakatmarginal/rentan. Dampaknya, potensi peminggiran secara ekonomidan akses terhadap sumber-sumber agraria dan SDA bagi rakyat yangseharusnya mendapatkan perlindungan sangat tinggi. Di dalamkonsideran ataupun di dalam batang tubuh RUU-PSDA pun belummenunjukkan sikap yang tegas dalam memberikan perlindungannyaterhadap komunitas rakyat marginal. Alasannya, prinsip ini masihmendasarkan pada asumsi bahwa semua stakeholder atau pihak-pihakyang memiliki kepentingan terhadap SDA/sumber-sumber agrariamemiliki tingkat kemampuan yang sama. Sementara, realitasnya adaketidakseimbangan dari elemen-elemen rakyat itu. Prinsip demokratisitu masih mengandung tendensi demokrasi ekonomi secara liberal.

Pasal resolusi konflik juga menunjukkan sebuah potensi bagipengingkaran dan pelemahan partisipasi politik rakyat. Yaitu, denganadanya kewenangan berlebihan untuk melakukan pencegahan kon-flik dengan prinsip peringatan dan penanggapan dini (conflict earlywarning & response). Begitu juga, pasal kelembagaan Dewan Pem-

Page 111: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

92

Usep Setiawan

bangunan Berkelanjutan Nasional, baik mengenai konsepsi, tugas danwewenang maupun mekanisme yang belum cukup jelas diatur. Bahkankeanggotaannya pun tidak secara tegas menempatkan keterwakilanmasyarakat sebagai elemen atau unsur yang harus diprioritaskan.

Rekomendasi

Dari ketiga isu kritis di atas, dapat dipetik beberapa rekomendasiumum yang penting untuk diperhatikan dan dijalankan denganseksama. Rekomendasi itu meliputi: Pertama, dalam hal penguasaan;dipandang penting untuk diselenggarakannya penataan penguasaanlahan (landreform), khususnya menyangkut redistribusi tanah kepadapetani tak bertanah dan petani kecil lainnya. Bersamaan dengan itu,perlu didahulukan pengkajian ulang (review) terhadap seluruh kebi-jakan agraria dan pengelolaan SDA sebelum menyusun kebijakanbaru. Adapun kebijakan (termasuk UU) baru harus memastikan kuat-nya perlindungan hak petani dan masyarakat kecil lain.

Kedua, dalam hal penanganan konflik agraria, ke depan diperlu-kan pembatasan dan pengaturan yang jelas mengenai hak menguasaidari negara agar tidak menenggelamkan hak rakyat atas tanah dankekayaan alam lainnya. Begitu juga dengan pengaturan penyelesaiankonflik yang perlu diprioritaskan sebelum membuat pengaturan (sema-cam UU) hal-hal lainnya. Sekali lagi, perlu dikembangkan mekanismepenyelesaian konflik yang mengutamakan pemulihan hak-hak korban.

Ketiga, bagi isu hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokallainnya, diidealkan peran negara sebagai fasilitator dan regulatordalam menerapkan kebijakan pengelolaan SDA yang menjunjungtinggi asas keadilan dan keberlanjutan. Diperlukan juga penegasanpengakuan dan perlindungan atas hak-hak rakyat dalam berbagaiperaturan perundang-undangan.

Adapun pengakuan atas pluralisme hukum mutlak dibutuhkanmengingat keragaman budaya bangsa, tanpa sama sekali menihilkanfungsi dan peran hukum nasional dalam pengelolaan SDA di masadepan.

Page 112: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

93

Kembali ke Agraria

Penutup

Mengingat perkembangan terakhir dari penyusunan RUU-PSDA,perlu kiranya beragam temuan dan pandangan yang muncul darikalangan yang terlibat dalam konsultasi publik RUU-PSDA wilayahJawa (termasuk Jawa Barat) itu dijadikan acuan pokok. Ini penting,karena jangan sampai proses Konsultasi Publik ini menjadi prosesbasa-basi. Yakni proses pura-pura melibatkan kalangan masyarakat,sehingga ketika RUU itu masuk ke dalam pembahasan dan penge-sahan di DPR kelak, pemegang izin prakarsa (KLH) dapat menyata-kan ke pihak DPR bahwa RUU tersebut telah mendapatkan masukandari masyarakat. Artinya, telah mengalami proses konsultasi meski-pun sebenarnya belum.

Dari proses konsultasi publik di wilayah Jawa, dan sejumlahwilayah lainnya, tampak bahwa RUU-PSDA bukan merupakanundang-undang yang prioritas dibutuhkan oleh rakyat tani. Yanglebih mereka butuhkan adalah suatu undang-undang yang mampumenyelesaikan sengketa tanah yang sehari-hari mereka hadapi. Jadiyang dibutuhkan rakyat sesungguhnya di lapangan yang setiap harimenghadapi persoalan tanah dan kekayaan alam, adalah adanyakerangka hukum formal dalam bentuk undang-undang yang ber-pihak pada rakyat dalam konfliknya dengan pihak-pihak lain. Karenaitu, jika ternyata dalam proses konsultasi itu malah lahir sikap peno-lakan terhadap RUU PSDA, hal ini semata-mata dikarenakan RUUini telah mengabaikan persoalan-persoalan nyata yang sedang diha-dapi rakyat tani di Jawa. Sehari-hari mereka tergusur dari tanah-tanahnya dengan kehidupan yang makin melarat.

Jika penyelesaian konflik dan ketimpangan tidak mendapattempat, maka proses-proses konsultasi publik terhadap RUU PSDAini tidak bisa dikatakan sebagai proses penyerapan aspirasi masya-rakat. Karena sesungguhnya aspirasi masyarakat yang berkembangadalah menolak RUU PSDA ini. Alasannya, karena RUU PSDA tidakrelevan dan tidak penting bagi kehidupan mereka sekarang. Yangrelevan dan penting bagi mereka saat ini adalah adanya un-

Page 113: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

94

Usep Setiawan

dang-undang yang mampu menyelesaikan konflik dan ketimpanganatas tanah dan kekayaan alam lainnya.

Dalam hemat kata, hasil konsultasi di Jawa Barat menyerukan:“Selesaikan dahulu konflik dan ketimpangan penguasaan, barulahkemudian ditetapkan pengaturan baru atas sistem pengelolaan tanahdan kekayaan alam lainnya secara adil dan berkelanjutan”.Wallahua’lam. ***

Page 114: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

95

Kompas, 11 September 2003

Bercermin dari Kasus Bulukumba:Bagaimana Konflik Agraria Harus Ditangani?

TANAH, tanah, dan tanah pemicu kasus Bulukumba; Jangan beritanah secara cuma-cuma. Demikian dua judul liputan secara

mencolok dimuat koran ini, (Kompas, 3/9/03).Di Bulukumba telah terjadi konflik agraria yang membawa

korban jiwa. Sejumlah petani dan aktivis ditahan di kantor polisi.Banyak penduduk yang ketakutan dan terpaksa mengungsi karenatakut dikejar aparat. Begitu kentalnya keterlibatan aparat dalam kasusini. Di lain sisi, terkesan muncul kebimbangan dari pemerintahandaerah di Sulawesi Selatan (baik kepala daerahnya maupun DPRDprovinsi ataupun kabupaten) dalam mencari solusi atas kasus ini.Terdapat begitu banyak persoalan yang kini melilit kasus Bulukumba.

Sebagaimana diberitakan, sejumlah media massa pada 21 Juli2003 di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, telah terjadikonflik tanah antara rakyat tani/masyarakat adat dengan PT Lon-don Sumatera (Lonsum) penanam kebun karet yang mengakibatkanenam orang tewas, puluhan terluka, 20-an ditangkap, puluhan jadiburonan polisi, dan ratusan lainnya mengungsi ke hutan karenaketakutan, trauma, dan dikejar aparat keamanan (polisi).

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini? Penulis mencatatada tiga pelajaran terpenting: (1) makin kuatnya konflik kepentingandalam penguasaan tanah antara penduduk/rakyat dengan perusa-haan bermodal besar; (2) berkelanjutannya kekeliruan dalam

Page 115: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

96

Usep Setiawan

kebijakan pengelolaan sumber daya alam, dan (3) kecenderungandigunakannya kembali pendekatan keamanan dalam menanganikasus konflik agraria.

Tulisan ini hendak mengurai ketiga pelajaran di atas sehinggaditemukan alternatif solusi, khususnya di tataran kebijakan.

Konflik penguasaan

Sudah menjadi kenyataan sosial yang sulit dibantah bahwa kon-flik penguasaan atas alat produksi (tanah) menjadi wajah sehari-hari di lapangan agraria. Konflik agraria yang terjadi saat ini sesung-guhnya adalah warisan dari masa lalu. Kasus Bulukumba merupa-kan contoh nyata dari upaya sistematis pemerintah, aparat keamanan,dan badan usaha bermodal besar untuk membendung perjuanganrakyat untuk mendapatkan haknya atas tanah dan kekayaan alamlainnya dengan cara represif. Padahal, perjuangan rakyat inibukanlah tindakan kriminal yang melanggar hukum, melainkan usa-ha langsung yang sah untuk dilakukan ketika rakyat tidak mendapatperhatian penguasa dalam mencukupi kebutuhan pokok bagi peme-nuhan kebutuhan hidupnya, yakni tanah.

Konflik di Bulukumba bukanlah kejadian pertama, bukan satu-satunya, dan dikhawatirkan bukan kasus yang terakhir. Jauh sebelumini, ketika Orde Baru berkuasa (1966-1998), telah terjadi ribuan kasustanah yang berskala luas. Untuk menyebut contoh, Komnas HAMmencatat lebih dari 5.000 pengaduan kasus tanah yang mereka terima,dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang OrdeBaru telah terjadi 1.700 lebih kasus tanah di seantero Tanah Air-pada kenyataannya di lapangan bisa sampai puluhan ribu kasus.

Hingga saat ini, konflik agraria belum ditangani secara sistematisdan menyeluruh. Konflik di lapangan telah mendorong rakyatmengambil langkah sendiri dalam mengambil kembali haknya atastanah. Motivasi rakyat ini didorong rasa ketidakpercayaan merekapada kebijakan, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflikselama ini.

Page 116: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

97

Kembali ke Agraria

Pendekatan keamanan

Kasus Bulukumba menyadarkan kita bahwa pendekatankeamanan telah kembali digunakan secara efektif dalam penanganankasus konflik agraria. Pada zaman Orde Baru, pendekatan ini diang-gap sesuatu yang lumrah, karena memang rezim yang berkuasa dike-nal sebagai otoriter. Namun, begitu masuk era reformasi, pendekatanini serta-merta dipandang sudah usang.

Faktanya kita bisa saksikan, sepanjang tahun 1998-2000, keter-libatan aparat keamanan (polisi dan tentara) dalam kasus tanah terbi-lang jarang terjadi. Dalam periode ini, gerakan penguasaan kembalitanah yang dilakukan rakyat (reclaiming) tidak begitu mendapathambatan dari aparat keamanan. Dalam banyak kasus yang mencuat,kaum milisi dan preman sempat tampil ’menggantikan’ peran aparatkeamanan negara dalam kasus konflik agraria. Sejenak kita mengam-bil kesan, militer telah kembali ke barak.

Dengan meledaknya tragedi Bulukumba, kita tersadar bahwaaparat keamanan tidak sungguh-sungguh menarik diri sepenuhnyadari konflik agraria. Ketika reformasi mulai kehilangan arah (2001-sekarang), aparat keamanan kembali turun gunung dan berhadapandengan rakyat yang memperjuangkan haknya atas tanah. Tampilnyakembali aparat keamanan ini membawa implikasi buruk bagi pene-gakan hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan kasus konflikagraria. Berbagai perlakuan kekerasan yang dilakukan aparat kepo-lisian dalam kasus Bulukumba diduga kuat melanggar HAM-seba-gaimana hasil investigasi Komnas HAM (Agustus 2003) maupunKontras (September 2003).

Padahal, menurut Tap MPR No IX/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, perlakuan “menghor-mati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” merupakan salahsatu prinsip yang wajib diterapkan oleh (aparatus) negara dalampenanganan konflik agraria.

Page 117: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

98

Usep Setiawan

Kekeliruan kebijakan

Sejauh ini, kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alamkita masih tidak berubah dari kebijakan di masa Orde Baru. Berdasar-kan kajian terdahulu atas kebijakan yang ada, ditemukan sejumlahkarakter: Peraturan perundangan tersebut berorientasi pengerukan (use-oriented); lebih berpihak kepada pemodal besar; bercorak sentralistik yangditandai dengan pemberian kewenangan yang besar kepada negara;tidak memberikan pengaturan yang proporsional terhadap pengakuandan perlindungan HAM; dan bercorak sektoral dengan tidak melihatsumber daya alam sebagai sistem ekologi yang terintegrasi.

Dari kasus Bulukumba kita temukan bahwa hak-hak rakyat dapatdipatahkan untuk kepentingan investasi pemodal besar, pengelolaperkebunan. Ketiadaan bukti legal penguasaan dan pemilikan tanahrakyat menjadi sasaran empuk untuk melancarkan pencaplokan ta-nah rakyat untuk operasi perkebunan besar. Rakyat yang sudah ber-puluh-puluh tahun dan bahkan turun-temurun menguasai tanah diBulukumba, seketika dianggap penduduk haram di atas tanahnyasendiri. Oleh kasus Bulukumba kita diingatkan bahwa konsep hakmenguasai negara (HMN) atas tanah dan kekayaan alam lainnya ternya-ta masih disalahkaprahkan untuk kepentingan investasi modal besar.

Hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya di Bulu-kumba telah diperhadapkan dengan kebijakan yang condongmengutamakan penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis perke-bunan. Orientasi politik agraria semacam ini sudah banyak digugat.Pengutamaan penyediaan tanah bagi rakyat (petani) kecil yang mem-butuhkannya, dan pengembalian tanah-tanah rakyat yang sempatdirampas di masa lampau telah menjadi semangat zaman. Namun,kasus Bulukumba mengingatkan kepada kita bahwa semangat zamanitu sedang diuji. Akankah bandul reformasi ini kembali ke lagu lama:mendewakan investor sambil menyalahkan rakyat.

Solusi

Bercermin dari kasus Bulukumba, penulis terdorong untuk me-

Page 118: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

99

Kembali ke Agraria

nampilkan solusi yang layak ditempuh: Pertama, perlu segera dihen-tikannya pendekatan keamanan dalam penanganan kasus konflikagraria. Segala bentuk kriminalisasi, penangkapan, penahanan, dankekerasan terhadap petani adalah tindakan yang menambah mas-alah, bukan menyelesaikannya. Di era demokrasi dan reformasi saatini, semua “operasi keamanan” dalam penanganan kasus tanah sung-guh sudah tidak populer lagi dan bertentangan dengan rasa keadilanserta prinsip HAM.

Kedua, pentingnya upaya damai melalui meja perundingan antarapenduduk yang berkonflik dengan pemerintahan daerah untuk mencarisolusi bersama. Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian perbedaankepentingan secara adil dan tuntas dengan mengutamakan kepentingandan hak-hak rakyat atas tanah. Pihak lain yang terlibat konflikhendaknya dilibatkan pada tahap berikutnya, setelah masyarakat danpemda punya kesepahaman atas persoalan yang terjadi di lapangan.

Ketiga, dalam menyelesaikan kasus tanah semacam ini, pemdahendaknya menggunakan instrumen Ketetapan (Tap) MPR NomorIX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SumberDaya Alam, UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Agraria(UUPA), UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan KeppresNo 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yangpada esensinya memberi kewenangan/ruang yang besar bagi peme-rintah daerah dalam menuntaskan masalah agraria, termasuk penye-lesaian konflik tanah.

Keempat, sekarang ini, kebutuhan pembentukan kelembagaan danmekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah makinmendesak. Kemendesakan ini terutama disebabkan oleh cenderungmeningkat dan mengerasnya konflik di lapangan. Untuk itu, di tingkatnasional perlu dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian SengketaTanah (Agraria) yang dibarengi dengan pembentukan komisi sejenisdi daerah dengan menggunakan pendekatan transisional (transitionaljustice). Keberadaan mekanisme dan badan alternatif ini tidak perlumenunggu jatuhnya korban lebih banyak lagi.***

Page 119: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

100

Sinar Harapan, 24 September 2003

Membangun Tanpa Menggusur

BEBERAPA hari belakangan ini, hampir setiap hari layar kacadan media cetak dihiasi berita tentang penggusuran di per-

kotaan. Kita menyaksikan ratusan orang korban tak mampu menahanmarah dan duka ketika mereka dipaksa untuk kehilangan rumahdan harta benda. Kemarahan dan kedukaan mereka ini dipicu operasi“penertiban” (baca: penggusuran) oleh pemerintah terhadap pemu-kiman “liar” dan “kumuh” di sejumlah kawasan DKI Jakarta.

Hampir seluruh korban penggusuran itu kaum miskin dan ber-status sebagai pendatang. Mereka digusur karena dianggap men-duduki tanah pihak lain secara tidak sah menurut hukum sertamenggangu ketertiban dan keindahan kota. Tidak disangkal bahwasebagian besar penduduk miskin di perkotaan tidak memiliki bukti-bukti legal formal atas penguasaan tanah yang dijadikannya sebagaitempat bermukim. Tetapi, apakah atas dasar itu semua kaum miskindi perkotaan dapat dibenarkan untuk diperlakukan semena-mena?

Secara lugas, Tajuk Rencana harian ini telah mengulas tentangmaraknya penggusuran kaum miskin di Jakarta (Sinar Harapan, 20/9/03) menarik untuk disambut. Peneropongan orientasi, model danstrategi pembangunan perkotaan yang dikaitkan kondisi pedesaanakan menjadi fokus khusus tulisan ini.

Akar persoalan

Fenomena penggusuran kaum miskin di perkotaan yang

Page 120: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

101

Kembali ke Agraria

sekarang ini menjadi trend erat kaitannya dengan strategi pem-bangunan perkotaan yang diskriminatif dan kenyataan kemiskinanitu sendiri sebagai akar persoalan. Fenomena penggusuran adalahanak kandung dari pembangunan dan kemiskinan di perkotaan.

Dalam konteks maraknya operasi “penertiban” pemukimankaum miskin, pendekatan keamanan (security approach) kembalidigunakan secara efektif oleh penguasa. Ini merupakan cermin daripilihan strategi pembangunan kota yang melecehkan rasa kemanu-siaan dan keadilan bagi kaum kecil. Padahal, jika kita mau konsistendan konsekwen dengan semangat zaman reformasi dan demokrasi,maka strategi semacam itu sudahlah usang dan ketinggalan zaman.

Yang membuat hati terenyuh, ketika seorang Gubernur membe-narkan penggusuran hanya gara-gara penduduk yang bersangkutantidak memiliki kartu tanda penduduk kota setempat. Pembenaran initerasa merendahkan martabat bangsa secara keseluruhan. Betapayang namanya kebebasan warga untuk tinggal di mana saja di seluruhwilayah negaranya sendiri telah direduksi hanya menjadi urusanselembar surat keterangan. Alasan semacam ini, sekali lagi menun-jukkan sikap pemerintah yang sangat kaku dan tidak arif dalammemandang persoalan kebangsaan.

Pemerintah sudah semestinya memahami kemiskinan sebagaiakar persoalan yang memaksa kaum miskin membangun dan tinggaldi pemukiman kumuh. Sempitnya akses kaum miskin terhadap lahanuntuk pemukiman di perkotaan mesti diakui sebagai buah dari orien-tasi pembangunan perkotaan yang pada umumnya lebih memanja-kaan kaum berduit. Kita tahu, peruntukan lahan di perkotaan lebihdiprioritaskan untuk pengembangan kawasan bisnis, perkantoran,fasilitas umum, dan perumahan kelas menengah ke atas. Tapi kitajuga tidak bisa menutup mata atas tingginya gejala penelantarantanah di sekitar perkotaan. Sebagian lahan di kawasan kota Jabotabektelah dikuasai dan digunakan oleh pemodal besar sebagai objekspekulasi tanah. Kenyataan ini menjadi ironi yang gamblang ditengah kian terbatasnya akses kaum miskin kota atas lahan untuk

Page 121: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

102

Usep Setiawan

kebutuhan pemukimannya.Dari setumpuk persoalan pembangunan di perkotaan dengan

segala eksesnya, kini tengah diperlukan rumusan baru orientasi,model dan strategi pembangunan kota yang mengutamakan kepen-tingan kaum ekonomi lemah, berkeadilan sosial dan manusiawi.

Jalan keluar

Penanganan pemukiman kaum miskin di perkotaan dan penye-lesaian akar dari persoalan tersebut menjadi pekerjaan rumah yangsedang ditunggu-tunggu. Ada beberapa hal yang layak dijadikanjalan keluar. Pertama, penghentian cara-cara kekerasan harus segeradilakukan dan menggantinya dengan cara persuasif. Mengedepan-kan musyawarah yang setara antara pemerintah kota, pemilik “sah”tanah yang dijadikan pemukiman, dan kaum miskin yang mendiami-nya merupakan mekanisme paling gentle dan beradab dalammenyelesaikan konflik. Prinsip yang penting dipegang adalah kaummiskin memiliki hak yang sama dengan kaum yang tidak miskindalam mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan di perkotaan.Tempat tinggal dan pekerjaan yang layak untuk kehidupan merupa-kan dua sendi hak asasi manusia setiap warga negara yang harusdijamin dan dipenuhi oleh setiap (pemerintahan) negara.

Kedua, memandang persoalan penguasaan tanah oleh kaummiskin kota semata-mata dengan menggunakan asas legalitas meru-pakan sikap yang jauh dari arif. Perlu pengkajian terlebih dahuluatas akar penyebab kenapa mereka memilih tinggal di kawasan yangbukan miliknya itu. Yang patut disegerakan sekarang adalah dilun-curkannya kebijakan penyediaan sejumlah kawasan yang bisadiakses (dipakai dan dimiliki) kaum miskin untuk tinggal sekaligusmengembangkan kehidupannya secara bebas dan adil di sekitar per-kotaan.

Bagi kaum miskin di perkotaan, negara seyogyanya memberikanjaminan (1) adanya perlindungan kepastian hak penguasaan danpemanfaatan lahan dan pemukiman; (2) peningkatan kesejahteraan

Page 122: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

103

Kembali ke Agraria

bagi yang hak atas lahannya dialihkan atas permusyawaratan yangberadab untuk kepentingan publik; dan (3) terbebas dari segala tindakkekerasan ketika terjadi konflik penguasaan dan pengelolaan lahan.Untuk itu, pemerintah dan aparatusnya hendaknya menggunakanmakna asli dari kata “penertiban”, yakni suatu usaha menempatkanpenduduk miskin sehingga mendapat tempat tinggal yang lebih amandan layak.

Ketiga, gagasan untuk memanfaatkan lahan-lahan “tidur” yangditerlantarkan oleh para pemiliknya potensial untuk diabdikan bagikepentingan kaum miskin kota sangat layak untuk dijalankan. Lahanterlantar yang berada di sekitar kota Jabotabek hendaknya dijadikanobjek redistribusi bagi mereka yang membutuhkannya—menurut dataolahan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berjumlah ribuan hek-tar. Lahan terlantar itu bisa diprioritaskan untuk digunakan sebagaikawasan pemukiman kaum miskin dan lahan pertanian bagi kaumtani tak bertanah di sekitar perkotaan.

UU Pokok Agraria 1960 yang berwatak populis masih relevanuntuk dijadikan rujukan dalam penyediaan tanah untuk kaum mis-kin. Adapun Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional diBidang Pertanahan, dan Tap MPR No. IX/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan SDA dapat menjadi payung (politik) hukumyang sah bagi pemerintah dan rakyat termasuk kaum miskin kota,untuk mendorong “dibangunkannya” lahan yang telah “tertidur”pulas selama ini.

Pembaruan agraria

Menyelesaikan persoalan kaum miskin dan kemiskinan di kotatidak bisa dilepaskan dari usaha menyelesaikan masalah yangberkembang di pedesaan. Dalam wacana mengenai orientasi, modeldan strategi pembangunan pedesaan yang dikenal luas, pelaksanaanPembaruan Agraria merupakan pilihan paling tepat. Pembaruanagraria (reforma agraria) merupakan fondasi yang kokoh bagipembangunan sosial.

Page 123: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

104

Usep Setiawan

Pembaruan agraria dalam arti luas adalah upaya perubahanatau perombakan sosial dengan melakukan perubahan terhadapstruktur agraria yang timpang. Tujuan dari dijalankannya pembaruanagraria adalah untuk mencapai keadilan agraria yang tercermindalam bentuk keadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah dankekayaan alam lainnya. Terwujudnya keadilan agraria ini akan ber-pengaruh pada penciptaan struktur sosial yang sehat dan menjaminkebebasan bagi semua pihak. Dalam pengertian khusus, pembaruanagraria bermakna penyediaan tanah bagi kaum miskin desa (petani)agar dapat memperluas lapangan kerja sehingga mengurangi angkakemiskinan di pedesaan.

Untuk itu, Presiden dan DPR perlu mempercepat pelaksanaanprogram pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan Tap MPRNo. IX/2001. Hanya dengan komitmen yang kuat dari pemerintahandalam menciptakan keadilan agraria maka kemiskinan dan ketidak-adilan di pedesaan maupun di perkotaan akan terjawab secara seka-ligus. Secara hakiki, mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bagikaum miskin di desa dan kota kiranya menjadi bukti keberadabankita sebagai sebuah bangsa.***

Page 124: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

105

Sinar Harapan, 29 September 2003

Menimbang Penyempurnaan UUPA

TANGGAL 24 September 1960, Presiden Soekarno mengesahkanUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria (UUPA). Selama masa berlakunya, pelaksanaanUUPA mengalami pasang surut seiring pilihan orientasi politik agra-ria yang dianut penguasa.

Di akhir era kepemimpinan Soekarno, UUPA 1960 menjadi dasarbagi penyediaan tanah untuk petani miskin di pedesaan saat itu.Catatan sejarah menunjukkan, ketika UUPA dan PP tersebut dija-lankan (1962-1964), aksi pendudukan tanah oleh petani marak disejumlah daerah. Namun aksi pendudukan ini memancing konflikkarena keengganan pemilik tanah luas untuk menyerahkan tanahnya.Ujung dari peristiwa ini adalah gejolak sosial politik. Ketegangansosial di pedesaan itu telah menaikkan tensi politik secara nasional.Puncak ketegangan adalah tergulingnya Soekarno (1965). Sejak itu,program land reform otomatis terhenti total. UUPA 1960 secara praktisdibekukan. Yang lebih miris, jutaan kaum tani yang sempat menikmatihasil landreform diburu, ditangkapi, dan dipenjarakan tanpa prosespengadilan.

Di era Soeharto, UUPA 1960 “dikhianati” dengan munculnyasejumlah produk peraturan perundangan sektoral yang berkaitandengan kekayaan alam. Misalnya, UU Kehutanan, Pertambangan,Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pengairan, Perikanan, dansebagainya. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung

Page 125: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

106

Usep Setiawan

semangat memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hakrakyat banyak. Posisi UUPA 1960 kemudian terpinggirkan. BahkanUUPA 1960 seakan hanya mengatur soal administrasi pertanahansaja, yang kewenangannya hanya mencakup 30 persen saja dari luasseluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat UU Kehutanan(1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999 dan undang-undang sektoral lain.

Sementara itu, politik sentralisme dan sektoralisme hukum sertakelembagaan pendukung telah memuluskan proses perampasan hak-hak rakyat atas tanah untuk kepentingan “pembangunan” ala OrdeBaru.

Arah baru

Turunnya Soeharto pada Mei 1998, memunculkan sejumlah peru-bahan dalam kebijakan agraria. Kelahiran Tap MPR No. IX/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam padaSidang Tahunan MPR 2001 membawa angin segar. Pada 31 Mei lalu,Presiden Megawati Soekarnoputri juga telah mengeluarkan Keppres34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yangmemberikan mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untukmenyempurnakan UUPA 1960.

Ada sejumlah kelemahan dalam UUPA 1960 yang memang perludiperbaiki. Kelemahan utama adalah terlalu dominannya konsepsihak menguasai dari negara (HMN) atas tanah dan kekayaan alam.Pada kenyataan, konsep HMN ini telah banyak dimanipulasi pengu-asa untuk menyingkirkan dan menegasikan hak-hak rakyat atastanah dan kekayaan alam lain. Pengakuan hak-hak masyarakat adatoleh UUPA 1960 sangat lemah. Sekalipun hak-hak ulayat berulangkali disebut dalam klausulnya, namun hampir seluruhnya memakaisyarat yang justru melemahkan hak-hak adat itu sendiri. Misalnya,hak adat diakui sepanjang tidak bertentangan dengan “kepentingannasional yang lebih luas”.

Terkait dengan mandat penyempurnaan UUPA berdasarkan

Page 126: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

107

Kembali ke Agraria

Keppres 34/2003, penulis mencatat sejumlah hal yang patut diper-hatikan. Pertama, penyempurnaan UUPA mestilah bermakna mengu-atkan semangat kerakyatan yang terkandung di dalamnya. Penyem-purnaan mestilah menambah baik isi UUPA, bukannya menghapusatau menggantikannya dengan undang-undang yang semangat danisinya sama sekali baru.

Kedua, menyempurnakan UUPA 1960 mestilah dilakukan secarahati-hati agar tidak terseret kepentingan globalisasi kapitalisme yanghendak mengukuhkan kepentingan ekonomi-politiknya di lapanganagraria.

Ketiga, penyempurnaan UUPA hendaknya meneguhkan posisi-nya sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan agraria.Pengaturan atas sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan,perairan, pertanian, pesisir dan laut, dan sebagainya mestilah menga-cu pada UUPA.

Keempat, proses penyempurnaan UUPA hendaknya dijalankansecara demokratis dan partisipatif. Selain melibatkan departemendan lembaga negara, juga pakar dan organisasi non-pemerintah (LSM)yang integritasnya teruji. Dan yang terpenting diajak bicara adalahrakyat yang paling berkepentingan atas agraria, yakni serikat petani,nelayan, masyarakat adat dan rakyat kecil pada umumnya.

Kelima, penyempurnaan UUPA 1960 harus diikuti dengan penyi-apan basis sosial bagi pelaksanaan pembaruan agraria. Gerakanpenyadaran, pendidikan politik dan pengorganisasian rakyat (petani)dan sosialisasi gagasan kepada publik secara luas mutlak dilakukanuntuk memastikan agenda pembaruan agraria menjadi agenda ber-sama bangsa. Dengan demikian konflik horizontal sesama anak bang-sa akibat dijalankannya pembaruan agraria dapat kita hindari sejakdini.***

Page 127: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

108

Kompas, 14 Oktober 2003

Lekuk-liku Politik Agraria(Catatan atas Artikel Khudori)

ARTIKEL Khudori, Masa Depan Pembaruan Agraria (Kompas,23/9/03) telah “memindahkan” beberapa kalimat yang ditulis

Erpan Faryadi (Sekjen KPA) dalam makalah Masa Depan PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Indonesia, yangdisajikan dalam seminar 30 Juli 2003 di Jakarta. Bahkan Khudoritelah “memindahkan” analisis dan rekomendasi yang dirumuskanPokja Ornop PA-PSDA.

Beberapa bagian tulisan Khudori sama persis dengan yang tertuangdalam Kertas Posisi Pokja bertajuk Pertahankan dan Jalankan Mandat-mandat yang Terkandung dalam Tap MPR No IX/2001, tertanggal 27Juli 2003. Kertas Posisi ini adalah rujukan Pokja dalam advokasi SidangTahunan MPR (Agustus 2003). Kami menghargai Khudori dalammemublikasikan gagasan tentang pentingnya pembaruan agrariadengan mengacu dokumen yang telah dirumuskan individu/lembagayang selama ini bekerja pada tema PA-PSDA. Namun, kami jugamengkritik Khudori yang tidak menyebut sumber tulisan. Akan lebihelok jika Khudori menyebutnya sebagaimana etika penulisan yang lazim.

Tulisan ini tidak bermaksud berpanjang lebar mengkritik kekhi-lafan Khudori, namun mengulas lekuk-liku dinamika perubahankebijakan agraria yang mempengaruhi wajah politik agraria dewasaini. Pada bagian akhir, penulis menawarkan arah pembaruan kebi-jakan agraria yang layak ditempuh.

Page 128: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

109

Kembali ke Agraria

Dinamika kebijakan

Sebagaimana telah ditulis banyak pihak—terakhir Prof MariaS.W. Sumardjono (Kompas, 24/9)—payung politis Pembaruan Agrariatelah dirumuskan dalam Tap MPR No IX/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan SDA.

Ketetapan ini memandatkan penataan ulang struktur pengu-asaan tanah, penyelesaian konflik, dan pemulihan ekosistem melaluipembaruan peraturan perundang-undangan. Namun berdasar hasilpemantauan Pokja Ornop PA- PSDA dalam dua ST MPR (2202-2003),kenyataannya Presiden dan DPR belum membuat langkah nyata yangkomprehensif. Dalam progress report Presiden pada ST MPR 2002 dan2003, implementasi Tap ini tidak dilaporkan.

Setelah didesak berbagai pihak, baru dalam Tap No VI/2002tentang Rekomendasi pada ST 2002 dituangkan rekomendasi kepadaPresiden untuk: “Menyiapkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur redistribusi dan pemanfaatan sumber dayaalam, termasuk Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya serta menyelesaikan berbagai konflik pe-manfaatan sumber daya alam dan agraria yang timbul selama ini,sekaligus mengantisipasi konflik masa datang guna mencapaikeadilan dan kepastian hukum sebagaimana telah ditetapkan dalamTap IX/MPR/2001”.

ST MPR 2003 kembali mengukuhkan keberadaan Tap MPR NoIX/2001. Berdasar Tap MPR No I/2003 tentang hasil peninjauanmateri dan status hukum ketetapan MPR/MPRS, Tap No IX/2001termasuk kategori ketetapan yang masih “berlaku sampai adanyaundang-undang”, dan “...tetap berlaku sampai terlaksananya seluruhketentuan dalam ketetapan tersebut” (Pasal 4 poin 11).

Lebih jelas lagi, Tap MPR No V/2003 tentang Saran kepadaPresiden dan DPR, bagi pelaksanaan Reformasi Agraria, diantaranyamenyarankan untuk “Menyelesaikan berbagai konflik danpermasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulaidari persoalan hukum sampai implementasinya di lapangan dan

Page 129: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

110

Usep Setiawan

bersama-sama DPR membahas Undang-Undang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang akan berfungsi sebagaiUU Pokok”.

Masih dalam Tap MPR No V/2003, antara lain menyarankan,“Membentuk lembaga atau institusi independen lain untuk menyu-sun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dansumber daya alam guna menyelesaikan sengketa agraria dan sumberdaya alam agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan,masyarakat adat, dan rakyat umumnya sehingga berbagai konflikdan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi”.

Dinamika kebijakan itu seyogianya memberi peluang kian lebarbagi persiapan pelaksanaan Pembaruan Agraria. Untuk itu, peluangini harus ditangkap dengan menyiapkan aneka rumusan pembaruankebijakan komprehensif dan basis sosial di tingkat rakyat secara lebihsistematis dan solid.

Kepungan RUU sektoral

Belum ada perubahan berarti dalam merealisasi perintah, penu-gasan, maupun saran MPR. Sebaliknya, yang berlangsung adalah(1) diteruskannya watak sektoralisme dalam mengurus tanah dankekayaan alam melalui inisiatif penyusunan RUU sektoral; dan (2)terjadi pembiaran atas meningkatnya tindakan kekerasan aparat nega-ra terhadap petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kotayang mengalami konflik agraria dengan badan usaha swasta maupunmilik negara.

Pembaruan Agraria seharusnya menjadi prioritas utama pem-bangunan ekonomi dan sosial politik bangsa Indonesia. Tetapi,tantangan kolaborasi modal dan negara kian mengental yang ditandaipenyusunan berbagai RUU sektoral. Gagasan awal sejumlah RUUini didorong kepentingan kaum neo-liberal yang menghendaki priva-tisasi dan liberalisasi tanah dan kekayaan alam milik bangsa Indo-nesia guna kepentingan kapitalisme global. Sejumlah RUU kini tengahantre menunggu pembahasan dan pengesahan, seperti RUU Perke-

Page 130: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

111

Kembali ke Agraria

bunan, RUU Sumber Daya Air, RUU Sumber Daya Genetika, RUUPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU Pertam-bangan, RUU Perikanan, RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN),dan aneka rancangan perundang-undangan lainnya.

Selain secara substansi banyak mengandung kelemahan, prosespenyusunan RUU ini tidak didasarkan konsep yang integratif. Penga-juan RUU sektoral yang baru juga dapat dikatakan melompati prosespeninjauan kebijakan yang masih berlaku dan potensial melanggeng-kan sektoralisme dalam pengelolaan sumber daya alam. Yang diper-lukan kini adalah pengkajian ulang peraturan perundang-undangan(kebijakan) yang ada sebagaimana secara tegas tertuang dalam TapMPR No IX/2001, Pasal 6.

Jalan tengah

Bagaimana pun, ketetapan MPR yang diuraikan itu baru bersifatpayung politik yang perlu dijabarkan ke dalam berbagai bentuk kebi-jakan nyata sehingga berdampak nyata pada perubahan di lapangan.Lahirnya berbagai UU yang seideal apa pun belum menjamin Pemba-ruan Agraria yang berpihak kepada rakyat dapat terlaksana. Inilahtantangan utamanya. Adanya kebijakan negara dan keterlibatan aktifrakyat memastikan keberhasilan pembaruan agraria. Inilah pem-baruan agraria jalan tengah, seperti diperkenalkan Noer Fauzi (2001).Tampaknya “jalan tengah” yang paling mungkin ditempuh di Indo-nesia saat ini, yang mensyaratkan hubungan antara pemerintahanyang berpihak pada rakyat dengan rakyat yang berkesadaran sertaberpartisipasi dalam Pembaruan Agraria.

Pembaruan Agraria Jalan Tengah merupakan sebuah prosesberdimensi ganda: (i) perubahan pemerintahan, dari fungsi lama yangmerupakan alat dari penguasa yang antirakyat, kembali ke fungsiasal, sebagai badan kekuasaan milik rakyat, yang karenanya wajibmengabdikan diri pada rakyat; dan (ii) membuka jalan bagi proses-proses pendidikan politik yang menemukan pengetahuan-penge-tahuan baru melalui pengalaman nyata berpartisipasi dalam peru-

Page 131: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

112

Usep Setiawan

bahan sebagai akibat keterbukaan yang dimungkinkan oleh peme-rintahan bervisi baru (Fauzi, 2003).

Secara khusus, setelah memahami lekuk-liku politik agrariaterkini kita perlu mengingatkan pengelola negara (Presiden dan DPR):Pertama, agar amanat Tap MPR No IX/2001, sebagaimana dikukuh-kan oleh Tap MPR No VI/2002, Tap MPR No I/2003, dan Tap MPRNo V/2003, segera dijalankan. Presiden dan DPR dalam waktu satutahun (2003-2004) dituntut menyusun aneka peraturan pelaksanaandari aneka ketetapan MPR, terutama terkait penyusunan peraturanpayung, penataan struktur agraria, penyelesaian konflik, dan pemu-lihan kerusakan ekosistem.

Kedua, agar bijaksana dalam menyempurnakan UUPA 1960.Penyempurnaan UUPA yang diamanatkan Keppres No 34/2003 ha-rus dilakukan secara hati-hati. Para penyempurna UUPA hendaknyatetap menjaga semangat kerakyatan dari UUPA 1960 sambil meng-hindari intervensi/infiltrasi dari kekuatan kapitalisme asing maupunkapitalisme bangsa sendiri yang nyata-nyata piawai menghisap rak-yat dan gemar mengeksploitasi kekayaan alam kita.

Ketiga, aktif melibatkan organisasi rakyat sejati dalam penyu-sunan langkah persiapan hingga pelaksanaan Pembaruan Agraria,termasuk dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan rakyat secarakualitatif akan memperkuat basis legitimasi sosial dari pelaksanaanpembaruan agraria dan pengelolaan kekayaan alam. Pelibatan rakyatmenjadi hal prinsip karena kepada mereka segala upaya pembaruandiabdikan.***

Page 132: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

113

Kompas, 17 November 2003

Menjaring Komitmen demiKeadilan Agraria

KOMITMEN pemerintah untuk menjalankan pembaruan agrariamerupakan syarat mutlak keberhasilan pembaruan agraria.

Keberpihakan pemerintah kepada rakyat menjadi keharusan yangtak bisa ditawar karena makna hakiki pembaruan agraria yang asliadalah menyediakan keadilan bagi segenap rakyat.

Beberapa waktu lalu, Badan Pertanahan Nasional bersama Uni-versitas Gadjah Mada di Yogyakarta (18/10) menggelar Diskusi PanelHarmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang SumberDaya Agraria dalam Rangka Pelaksanaan Tap MPR No IX/2001 yangberhasil membuka cakrawala baru. Diskusi ini merupakan langkahpenting untuk mempercepat perubahan kebijakan sebagai dasar le-gal pembaruan agraria.

Diskusi diikuti seratus lebih peserta utusan dari berbagai depar-temen sektoral, juga sejumlah pakar dari berbagai perguruan tinggidan aktivis organisasi nonpemerintah (LSM), bahkan dari kalanganasosiasi bisnis pengelolaan kekayaan alam. Secara substansi, diskusiini penting dalam konteks menjaring komitmen bersama bagi pem-bentukan kebijakan agraria yang komprehensif dan harmonis.

Kekeliruan kebijakan

Kekeliruan kebijakan agraria selama ini bukan pada implemen-tasi, tetapi pada ideologi, paradigma, konsep, dan orientasi politiknya.

Page 133: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

114

Usep Setiawan

Berbarengan dengan itu, sejumlah peraturan perundangan-undanganagraria disusun sendiri-sendiri sehingga memicu disharmoni kebi-jakan sebagai implikasinya. Bahkan, berbagai kebijakan agraria telahmenuai ketegangan yang menjurus konflik antarkebijakan.

Penetapan visi, misi, dan program sektoral yang sendiri-sendirihanya dapat dipahami (disetujui) lingkaran dalam departemen sek-toral bersangkutan. Kenyataan ini terpantul dari berbagai rumusanperaturan perundang-undangan yang parsial dan menempatkankekayaan alam secara eksklusif, tidak integrated sebagai satu kesatuanekosistem yang semestinya diurus secara holistik. Kekeliruan kebi-jakan agraria terutama tercermin pada fenomena konsentrasi pengu-asaan tanah dan kekayaan alam di tangan sekelompok kecil orangberduit, sementara puluhan juta petani dibiarkan tak bertanah dantergusur terus.

Kebijakan yang ada sudah carut-marut, kini sejumlah departe-men sektoral malah mengajukan agenda legislasi baru berupapenyusunan RUU sektornya sendiri-sendiri. Sering dikatakan, penga-juan RUU tanpa pengkajian ulang atas kebijakan yang masih berlaku(policy review) bukan saja tidak menjadi solusi, tetapi akan melang-gengkan kekeliruan kebijakan. Yang dinantikan ialah persamaankesadaran akan pentingnya platform bersama yang meletakkan tanahdan kekayaan alam sebagai milik bersama dan milik bangsa, memin-jam Prof Maria S.W. Sumardjono (2003), sebagai public goods atausocial goods. Karena itu, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatantanah dan kekayaan alam hendaknya mencerminkan semangat“untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sebagaimana dipahatPasal 33 Ayat 3 konstitusi kita.

Dalam kenyataan inilah gagasan tentang pembaruan kebijakanagraria hendak diletakkan. Namun, ide harmonisasi kebijakan agrariayang diajukan BPN- UGM tidak perlu menjebak kita masuk perangkapperubahan yang tambal sulam sehingga tidak efektif mengubah prob-lem agraria yang sebenarnya.

Page 134: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

115

Kembali ke Agraria

Lemahnya komitmen

Selain kekeliruan kebijakan, lemahnya komitmen pemerintahuntuk menjalankan pembaruan agraria terpantul dari ungkapanpemikiran yang sektoral dan tidak sensitif terhadap krisis agraria.Ketidakmaupahaman atas kenyataan di lapangan dan ketidakmau-mengertian aparat pemerintahan atas langkah yang seharusnyaditempuh untuk memperbaiki kenyataan agraria menjadi gejala yangmencolok. Faktor ini dapat menjadi batu sandungan bagi pembaruanwatak suprastruktur pemerintahan.

Ketidakadilan akibat ketimpangan penguasaan tanah dankonflik agraria tidak ditangkap pemerintah sebagai kenyataan, tetapisebatas “kasus”. Masih banyak pejabat yang menganggap ketim-pangan dan konflik agraria sebagai isapan jempol yang diembuskankalangan yang “pada dasarnya tidak suka” pemerintah, contoh terba-ru, kasus gugatan seorang kepala polda atas aktivis LSM di SulawesiSelatan gara-gara si aktivis menuntut pencopotan kepala polda yangdianggap bertanggung jawab atas tragedi Bulukumba.

Padahal, mengubah secara total kebijakan yang rusak denganmengubah watak pelaksana kebijakan adalah dua hal yang samapentingnya dan sama nilainya dalam merealisasikan tujuan peru-bahan itu sendiri. Kebijakan yang benar dan aparat yang baik melekatpada satu keping mata uang yang sama. Perubahan kebijakan agrariatanpa watak baru aparat pemerintahan hanya menjadikan peru-bahan berhenti pada teks tanpa konteks. Pembaruan agraria punmenjadi tak ubahnya macan kertas.

Sejumlah watak lama aparat yang harus segera ditumpas tuntasdi antaranya merasa paling benar sendiri, mengabaikan rakyat, reladisogok golongan berkantong tebal, dan memasabodohkan kehan-curan ekologi. Kebijakan yang lahir dari watak aparat semacam inimestilah antirakyat dan antikelestarian alam.

Watak baru yang seharusnya melekat di sanubari aparat hendak-nya tertuang dalam konsepsi kebijakan yang terpantul dalam praktikpelayanan kepemerintahan, berupa menerima perbedaan, sudi men-

Page 135: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

116

Usep Setiawan

dengar suara pihak terlemah, mengutamakan kepentingan rakyatbanyak-khususnya kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, danmiskin kota-serta menjaga kelangsungan layanan alam demi masadepan bangsa.

Syarat perombakan

Guna menjawab kekeliruan kebijakan dan lemahnya komitmenaparat di atas, maka mengubah sedikit-sedikit kulit kebijakan danmemperbaiki bagian tertentu saja dipastikan bukan jawaban tepat.Yang diperlukan lebih dari itu, yakni perombakan total dan mendasaryang mengubah akar-akar ideologis, paradigmatik, konsepsi sekali-gus orientasi politik yang melekati sekujur tubuh kebijakan danmengaliri darah-nadi aparatnya.

Perombakan kebijakan dimaksudkan untuk menjawab tiga prob-lem agraria (ketimpangan, konflik, dan kehancuran ekologis) seka-ligus. Hemat penulis, untuk melancarkan perombakan kebijakan perlusyarat. Pertama, keberanian mengubah ideologi pembangunanpertumbuhan ekonomi kapitalistis ke kerakyatan yang berkeadilan.Perlu kehendak kuat untuk memilih ideologi dan orientasi politikagraria baru yang jauh dari watak eksploitatif, diskriminatif, sentra-listis, dan kapitalistis.

Kedua, perlu kesungguhan politik pemerintah (presiden danmenteri serta pejabat pembantunya) dan legislatif guna membongkartotal seluruh bangunan peraturan perundang- undangan agrariaproduk Orba lalu meletakkan dasar-dasar kebijakan baru yangmengabdi rakyat. Dibutuhkan keteguhan menolak segala diktekekuatan kapitalisme global dalam pembentukan kebijakan meskidiiming-imingi kemudahan meraup bantuan (baca: utang) luar negeri.

Ketiga, perlu kesiapsiagaan aparat pembentuk maupun pelak-sana kebijakan agraria dalam merespons dinamika sosial di lapangan.Para menteri dan pejabat di tiap departemen/institusi sektoral daripusat hingga daerah harus menghayati betul arah perombakan kebi-jakan agraria yang akan ditempuh. Aparat yang antirakyat sebaiknya

Page 136: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

117

Kembali ke Agraria

diamputasi dan yang tak mau ikut gerbong, dirumahkan saja.Hemat penulis, inilah langkah drastis guna mempercepat terwu-

judnya keadilan agraria. Tanpa itu semua, selain berjalan lamban,perubahan terancam tinggal sekadar mimpi belaka.***

Page 137: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

118

Sinar Harapan, 15 Juni 2004

Belasan Pasal UUPA Masih Relevandan Perlu

BADAN Pertanahan Nasional (BPN) tengah menyusun “RUUtentang Sumberdaya Agraria” sebagai pengganti Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria (UUPA). Penulis pernah mengajukan catatan yang patutdiperhatikan dalam rangka penyempurnaan UUPA ini melalui artikel“Menimbang Penyempurnaan UUPA” (Sinar Harapan, 29/9/2003).Namun tampaknya catatan tersebut tidak sanggup mempengaruhiBPN sebagai pemegang amanat untuk penyempurnaan sebuah“pusaka” yang teramat penting bagi negeri agraris ini.

Belum lama ini, BPN menggelar dua putaran konsultasi publikRUU tentang Sumberdaya Agraria, yakni pada tanggal 27 April diJakarta, dan 2 Juni 2004 di Yogyakarta. Karena kehadiran RUU inipotensial meruntuhkan sendi-sendi politik hukum agraria populistikyang dikandung UUPA, maka kritik perlu dilancarkan. Tulisan inikhusus mengkritik segi proses dari RUU tentang Sumberdaya Agra-ria—dengan keyakinan, tanpa proses yang baik mustahil terbentukhukum yang baik. Secara detail, penulis bersama lima sejawat(Gunawan Wiradi, Sediono M.P. Tjondronegoro, Noer Fauzi, DiantoBachriadi dan Erpan Faryadi) telah melayangkan “Kritik TerhadapNaskah Rancangan Undang-Undang tentang Sumberdaya Agraria”(27 April 2004).

Dari hasil penelusuran terhadap naskah RUU tentang Sum-

Page 138: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

119

Kembali ke Agraria

berdaya Agraria, dapatlah disimpulkan bahwa RUU ini bukan upayamenyempurnakan UUPA seperti yang dimaksud para pendorongrevisi UUPA—salah satunya KPA sejak 1995. RUU ini sangat gam-blang berniat mengubah dan mengubur UUPA. Perhatikan pasal 67RUU itu, “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan tidak berlaku”.

Belasan pasal masih relevan

Dalam hal prosedur perubahan, seperti ditekankan AhmadSodiki (2004), pembaruan yang dipilih oleh konseptor RUU ini adalahdengan perubahan total atau penggantian tanpa mempertimbangkanaspek positif UUPA. Dengan demikian RUU tentang SumberdayaAgraria bukanlah upaya untuk menyempurnakan, melainkanmengubah dan mengganti secara keseluruhan UUPA. Suatu upayaberbahaya, karena ada belasan pasal dalam UUPA yang masih relevandengan kebutuhan bangsa sehingga perlu dipertahankan.

Di sisi lain, upaya mengganti UUPA sesungguhnya dapat dika-takan bertentangan dengan Tap MPR No. IX/2001, yang (dalam pasal6) “menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengaturlebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semuaundang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalandengan Ketetapan ini” (–cetak miring dari penulis). Jika dikajisaksama, UUPA bukanlah UU “yang tidak sejalan”, ia justru signi-fikan dijadikan dasar bagi praktik pembaruan agraria sebagaimanadimandatkan TAP itu.

BPN sangat eksklusif. Proses penyusunan RUU SumberdayaAgraria tak dapat dikatakan legitimate. Departemen/instansi terkaitagraria lain sekadar dikonsultasi oleh BPN. Hal ini berbeda jauhdengan proses panjang dan terbuka yang dilakukan penyusun UUPA,di bawah kepemimpinan Soekarno. Perumusan Rancangan UUPAdigarap Panitia Negara yang terdiri dari pejabat pemerintah, anggota

Page 139: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

120

Usep Setiawan

parlemen dan organisasi rakyat (tani) sejak 21 Mei 1948 hingga UUPAdiundangkan 24 September 1960. Bayangkan, hasil kerja puluhantahun itu hendak dihapus dalam hitungan bulan dengan proses yangpenuh kelemahan.

Langkah korektif

RUU ini pun tidak diawali kajian menyeluruh atas peraturanperundang-undangan agraria yang ada oleh seluruh instansi sektoralterkait agraria. Padahal TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang pemba-ruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, telah menggariskanarah kebijakan yang mestinya bersendikan kaji ulang kebijakan dansinkronisasi kebijakan antarsektor (lihat: Pasal 5 1 (a) dan [2 (a). Kon-sultasi publik yang dilakukan BPN sangat terbatas, baik dari sisikuantitas maupun kualitas metodologinya.

Agar penyempurnaan UUPA dapat mendekati kesempurnaan,maka pemerintah hendaknya segera mengambil langkah korektifdengan menolak RUU tentang Sumberdaya Agraria. Daripada me-maksakan RUU ini menjadi undang-undang maka lebih baik UUPA1960 tetap dipertahankan apa adanya. Jika mau dilanjutkan, jelasdiperlukan waktu yang lebih cukup. RUU ini jangan terburu-burudisahkan, sekalipun Keppres 34/2003 mematok 1 Agustus 2004 seba-gai batas waktu penyempurnaan UUPA.

Ada beberapa langkah praktis yang mestinya dilakukan. Pertama,mendesak untuk disusun ulang perencanaan kerja penyempurnaanUUPA yang lebih terbuka dan melibatkan seluruh instansi terkaitagraria. Kalangan petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskindi perkotaan perlu diutamakan keterlibatannya. Demikian puladengan pelibatan ahli agraria dan organisasi non-pemerintah yangpunya kapasitas dan komitmen. Mekanisme konsultasi publik, debatpublik dan berbagai forum penyerapan aspirasi secara lebih banyakdan luas hendaknya menjadi bagian dari desain baru itu. Kepanitiaannasional/negara yang multipihak dalam penyusunan R-UUPA(1948-1960) patut ditiru untuk menyempurnakan UUPA.

Page 140: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

121

Kembali ke Agraria

Kedua, penyempurnaan UUPA hendaknya dalam format aman-demen. Idealnya adalah usaha menjadikan UUPA lebih baik ataulebih jelas dari naskah aslinya. Penyempurnaan itu diarahkan padaketentuan-ketentuan hukum yang perlu perubahan, penggantian,penambahan atau pengurangan. Karena, meminjam Wiradi (2004),makna penyempurnaan yang sejati adalah selected correction. Pasal-pasal yang masih berlaku dicantumkan apa adanya, dengan kemung-kinan tata urut pasal yang diubah, sehingga terjadi restrukturisasipasal (Sodiki, 2004).

Ketiga, bagaimana pun menyempurnakan UUPA butuh perhatiansaksama dari semua pihak, terutama komitmen politik dari Presiden-Wakil Presiden dan jajarannya di kabinet serta kalangan DPR. Parapucuk pimpinan negara hendaknya menyadari arti penting penye-diaan payung politik hukum agraria yang kondusif bagi praktikpembaruan agraria melalui UUPA yang lebih sempurna.***

Page 141: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

122

Sinar Harapan, 5 Juli 2004

Menanti Presiden Pro Agraria

SIAPA pun yang bercita-cita menjadi pemimpin bangsa Indonesia, hendaknya menyadari betul bahwa negeri yang akan

dipimpinnya adalah negeri agraris yang dihuni mayoritas pendu-duk yang tergantung pada sumber-sumber agraria, yakni petani,nelayan dan masyarakat adat. Karenanya, setiap calon pemimpinnasional sudah sewajarnya mengetahui secara persis persoalan dasaryang tengah dihadapi bangsa agraris ini. Lantas memiliki komitmenserta kapasitas mumpuni dalam menjawab tali-temali persoalantersebut.

Mengacu naskah “Kerangka Pelaksanaan Pembaruan Agraria”karya penulis bersama Sediono M.P. Tjondronegoro, GunawanWiradi, Dianto Bachriadi, Noer Fauzi, Dadang Juliantara, ErpanFaryadi, dan Agustiana (15 Juni 2004), tulisan ini hendak menyisipkanpesan kepada capres dan cawapres yang bertarung pada Pemilu 2004.

Ketimpangan penguasaan, konflik atas sumber-sumber agrariadan menurunnya kualitas lingkungan hidup menjadi problem fak-tual yang mendorong perlunya pembaruan agraria. Sedikit orangyang menguasai sangat banyak versus begitu banyak orang yangmenguasi sedikit menjadi potret ketimpangan di lapangan agrariawarisan masa lalu, sejak feodalisme, kolonialisme, kemerdekaanhingga Orde Baru. Ribuan konflik agraria yang menjatuhkan banyakkorban di atas jutaan hektar tanah sengketa menjadi kenyataan yangjuga belum ditemukan solusinya.

Page 142: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

123

Kembali ke Agraria

Demetrio Cristodolou (1990), seorang mantan pejabat senior FAO(Food and Agriculture Organisation) menyimpulkan bahwa land re-form atau reforma agraria adalah anak cucu dari konflik agraria.Namun, reforma agraria tidaklah sesempit penyelesaian konflikagraria. Tujuan umumnya adalah penciptaan keadilan sosial, pening-katan produktivitas dan kesejahteraan rakyat, khususnya kaum tani.

Dalam pelaksanaan reforma agraria, peran negara (khususnyapemerintah) tidaklah tergantikan. Seorang ahli pembaruan agraria,Solon Baraclough menunjukkan bahwa pembaruan agraria tanpapartisipasi negara adalah suatu “contradiction in terms”. Ahli lainnya,Hung-chao Tai (1974), menandaskan bahwa agar mujarab, programland reform bukan hanya membutuhkan usaha pemerintah, melain-kan harus disusun sebagai operasi paksa mengubah struktur agrariasecara drastis dalam waktu yang cepat.

Program pokok

Untuk memuluskan pembaruan agraria, ada banyak hal yangmesti diurus dan disiapkan. Kita dapat mendasarkan diri padapengalaman 12 negara—Chile, Ekuador, Mexico, Nicaragua, Mesir,Siria, Libya, Tunisia, Kenya, Spanyol, Italia dan Taiwan, sebagaimanadilaporkan Sein Lin (1974) dalam buku Land Reform Implementation: AComparative Perspective. Ada sepuluh aspek utama: mandat konstitu-sional, hukum agraria dan penegakannya, organisasi pelaksana, sis-tem administrasi agraria, pengadilan, desain rencana dan evaluasi,pendidikan dan latihan, pembiayaan, pemerintahan lokal, dan orga-nisasi petani.

Dalam konteks inilah, peran kepemimpinan nasional untukmembuka jalan yang lapang bagi praktik pembaruan agraria dibu-tuhkan—bahkan tak tergantikan. Mengikis habis ketimpangan, me-nuntaskan konflik sekaligus memulihkan lingkungan hendaknyamenjadi tiga agenda pokok kepemimpinan nasional Indonesia masadepan.

Setelah secara konsepsi, pembaruan agraria dijadikan bagian

Page 143: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

124

Usep Setiawan

dari “ideologi” kepemimpinan nasional masa depan, maka perluditurunkan ke dalam kerangka kerja programatik. Untuk konteks In-donesia, sebenarnya kita masih punya Undang-Undang No. 5 tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagaidasar legal pelaksanaan pembaruan agraria.

Namum sayang selama 30 tahun lebih, Orde Baru menyeleweng-kannya untuk kepentingan modal besar dan kekuasaan belaka. Kitajuga punya Ketetapan MPR No. IX tahun 2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, namun juga sayang,pemerintahan produk reformasi belum sanggup menjalankannya.

Terdapat tiga langkah strategis yang patut diperhatikan kepe-mimpinan nasional mendatang. Pertama, melakukan kaji ulang terha-dap seluruh peraturan perundang-undangan keagrariaan yang adauntuk sinkronisasi kebijakan antarsektor. Kedua, menyusun strategipelaksanaan reforma agraria melalui inventarisasi penguasaan, pemi-likan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam. In-ventarisasi ini berguna terutama untuk penyelesaian konflik danpenataan kembali struktur agraria, mempermudah akses informasibagi masyarakat, dan memulihkan ekosistem yang rusak. Ketiga, mem-persiapkan prakondisi pelaksanaan seluruh kegiatan dengan mengu-atkan kelembagaan, kewenangan organisasi pelaksanaannya, danpenyediaan pembiayaannya.

Agenda operasional

Agar lebih operasional, setelah kepemimpinan nasional terbentukmelalui Pemilu 2004, hendaknya dilakukan langkah konkret berikut.Pertama, mengupayakan pembentukan suatu Panitia Negara untukmengkaji ulang peraturan perundang-undangan agraria yang tum-pang tindih dan/atau bertentangan satu sama lainnya. MenjadikanUUPA sebagai dasar sekaligus payung dari kajian tersebut.

Atas dasar hasil kaji ulang itulah kemudian dilakukan: (a)penyempurnaan UUPA agar masalah-masalah keagrariaan saat inidapat diatasi dengan dasar hukum yang lebih kuat dan komprehensif,

Page 144: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

125

Kembali ke Agraria

(b) menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan keagra-riaan lainnya dengan UUPA yang telah disempurnakan itu.

Kedua, mengusahakan lahirnya Kementerian Negara ReformaAgraria atau Badan Otorita Reforma Agraria yang bertanggung jawablangsung kepada Presiden. Tugas utama kementerian/badan ini me-liputi: (a) menyiapkan prakondisi berupa pembiayaan dan kelemba-gaan, merumuskan strategi dan merencanakan pelaksanaan reformaagraria, (b) mengkoordinasikan departemen-departemen terkait danbadan-badan pemerintahan lainnya, termasuk pemerintah daerahdan organisasi masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan reformaagraria, dan (c) menangani konflik agraria warisan masa lalu maupunkonflik yang muncul akibat pelaksanaan reforma agraria.

Persoalannya kini, apakah para capres dan cawapres yang tengahbertarung cukup menyadari akan seriusnya problem agraria seka-ligus meyakini realistisnya solusi reforma agraria yang ditawarkandi atas? Tampaknya, kita masih harus menunggu sambil berharapcemas.***

Page 145: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

126

Kompas, 24 September 2004

Pemerintah Baru dan Konflik Agraria

KONFLIK agraria di Indonesia merupakan soal super serius.Namun penyelenggara negara tak pernah serius menanganinya.

Dampaknya, pemenuhan rasa keadilan bagi korban kian mengawang-awang. Absennya keadilan agraria menjadi kisah berulang setiapkita merayakan Hari Tani Nasional, 24 September.

Pembentukan pemerintahan baru melalui Pemilu 2004 mengha-dirkan peluang untuk mendesakkan penyelesaian konflik agraria ketubuh negara. Hasil Pemilu 2004 layak menjadi pembuka jalanpenyelesaian konflik agraria sebagai bagian pembaruan agraria. Un-tuk itu diperlukan keutuhan gagasan bagaimana konflik agraria dise-lesaikan, sekaligus strategi jitu pelibatan seluruh komponen bangsayang terkait di dalamnya.

Artikel ini mengurai realitas konflik agraria di Indonesia kini,dikaitkan urgensi pembaruan agraria. Dikupas pula gagasan KomisiNasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), mengacunaskah akademik pembentukan KNuPKA (Juli 2004) karya Tim Kerjayang dibentuk Komnas HAM.

Konflik agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753 kasus konflikagraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan pendu-duk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen nega-ra. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga

Page 146: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

127

Kembali ke Agraria

sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflikagraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masya-rakat sipil “melawan” dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektorbisnis dan/atau negara.

Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebardi 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabu-paten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasussengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yangpaling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan(243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehu-tanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus),bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus).

Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah,badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer)kerap muncul sebagai “lawan” rakyat. Tampilnya pemerintah sebagailawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa:pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunanbesar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan,sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer.

Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyatpada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, ka-wasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi),pengembangan kawasan industri dan pabrik.

Relevansi pembaruan agraria

Konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana pemba-ruan agraria. Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pemba-ruan agraria tergantung watak konflik yang mendorong dijalankan-nya pembaruan. Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi,dan de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbul-

Page 147: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

128

Usep Setiawan

kan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa dijalan-kannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional),di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruansendiri.

Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasakeadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnyadari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum tani, nelayan, danmasyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syaratkeselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara konflik ag-raria, syarat keberlanjutan hidup itu porak-poranda.

Komitmen politik untuk menyelesaikan segala konflik menjadiprasyarat yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka politik hukum,sebenarnya kita sudah punya Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ke-tetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikananeka konflik agraria yang diwariskan rezim masa lalu yang telahdan masih berlangsung hingga kini.

Membangun jembatan

Dari macetnya penyelesaian konflik agraria selama ini, gagasanKomisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)dikedepankan. Tetapi, pembentukan KNuPKA bukan tujuan akhir.Pembentukan KNuPKA adalah jembatan menuju pelaksanaanmenyeluruh pembaruan agraria.

Kita dapat mengacu Tap MPR No V/MPR/2003 tentang Sarankepada Lembaga-lembaga Negara. Dituangkan, “menyelesaikan ber-bagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsionaldan adil mulai dari persoalan hukum sampai dengan implementa-sinya di lapangan...”, serta: “Membentuk lembaga atau institusiindependen lainnya untuk penyelesaian konflik agraria dan sumber-daya alam, agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan,masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga berbagai konflikdan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi; mempercepat pem-

Page 148: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

129

Kembali ke Agraria

bahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria,…. RUU penataanstruktur agraria serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumber-daya alam”.

Jika terbentuk, KNuPKA diharapkan menyebarluaskan gagasan,prinsip, dan tatacara penyelesaian konflik agraria yang berkeadilandan dalam rangka menjalankan pembaruan agraria. Perlu juga disu-sun prosedur pendaftaran tuntutan dan verifikasinya, serta metodepenyelesaian konflik yang tepat. Tak kalah penting pendataan konflikagraria yang terjadi selama ini, serta menerima pendaftaran danmemverifikasi aneka tuntutan kelompok masyarakat guna penye-lesaian konflik agraria yang dialaminya.

Pada akhirnya, KNuPKA harus mengupayakan penyelesaiankonflik dengan cara alternatif (alternative dispute resolution), mediasi,negosiasi, arbitrase, dan/atau mengeluarkan rekomendasi penyele-saian atas sengketa/konflik itu. Dalam prosesnya, dilakukan tinjauanke lapangan untuk verifikasi maupun penyelesaian sengketa dengancara alternatif. Berbarengan dengan itu, KNuPKA harus menyusunRUU Penyelesaian Konflik Agraria yang di dalamnya terkandungmuatan pembentukan Pengadilan Khusus Agraria, serta menyiapkanRUU Pembaruan Agraria yang di dalamnya terkandung muatan ten-tang kelembagaan pelaksana pembaruan agraria.

Setelah pemilu

Konstalasi politik setelah Pemilu 2004 hendaknya membukapeluang bagi upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhanhak-hak korban konflik agraria. KNuPKA kiranya dapat dijadikankendaraan penghubung menuju implementasi pembaruan agrariamenyeluruh. KNuPKA ialah gagasan yang layak tempuh pada kon-teks Indonesia kini.

Untuk itu, penyelesaian konflik agraria sewajarnya menjadi salahsatu agenda pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Siapa pun yangterpilih menjadi Presiden RI (dan anggota parlemen di pusat maupundaerah), hendaknya memperhatikan urgensi dan kemanfaatan penye-

Page 149: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

130

Usep Setiawan

lesaian konflik agraria bagi pengembangan bangsa di masa datang.Mumpung merayakan Hari Tani, mari saling merangsang kepe-

dulian bagi kaum penghasil makanan yang jumlahnya mayoritas dinegeri agraris ini. Kepedulian elite politik hasil Pemilu 2004 untukmenyelesaikan konfik agraria kiranya dapat jadi pembeda antaradirinya dengan rezim penguasa lampau yang gemar menciptakandan melanggengkan konflik agraria di Indonesia. Selamat Hari Tanike-44.***

Page 150: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

131

Sinar Harapan, 25 September 2004

Agenda Agraria untuk Pemerintah Baru

UNDANG-UNDANG tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 berada di persimpangan

jalan. Terancam dikubur dalam-dalam dan digantikan oleh UU Sum-berdaya Agraria sebagaimana dirancang Badan Pertanahan Nasional(BPN). Betapa tidak, pasal terakhir dari RUU yang disusun BPN inimenandaskan bahwa “sejak ditetapkannya UU ini maka UUPAdinyatakan tidak berlaku”.

Sebelumnya, penulis sudah wanti-wanti agar penyempurnaanUUPA tidak sampai mengubah semangat kerakyatan dan orientasikerakyatan yang dikandungnya (“Menimbang PenyempurnaanUUPA”, Sinar Harapan, 29 September 2003). Penulis juga pernahmengajukan format alternatif berupa amandemen untuk membendungRUU versi BPN (“Belasan Pasal UUPA Masih Relevan dan Perlu”,Sinar Harapan, 15 Juni 2004).

Kini, di tengah peringatan yang ke-44 kelahiran UUPA (24 Sep-tember 2004) kekhawatiran sejumlah pihak yang pro-UUPA sedangmemuncak-muncaknya. Pasalnya pemerintah melalui BPN sudahselesai menggodok draft yang akan menggantikan eksistensi UUPA,yakni RUU Sumberdaya Agraria. Selepas dari BPN, naskah RUUtersebut kini berada di lingkaran istana presiden, menjelang dikirimke senayan (DPR). Kita punya pertanyaan, apakah UUPA harus sung-guh dikubur atau sebaliknya dibangkitkan?

Berdasarkan kajian dan usaha alternatif yang dilakukan penulis

Page 151: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

132

Usep Setiawan

melalui Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sejumlah pasal da-lam UUPA masih layak untuk dipertahankan. Memang ada bebe-rapa pasal yang perlu diamandemen dengan sifat penambahan danpenyempurnaan substansi maupun redaksional. Dalam kajian KPAterhadap UUPA, dengan tidak mengutak-atik bagian “mengingat’dan “menimbang” serta bagian akhir yang mengatur tentang “pera-lihan”, setidaknya terdapat 29 pasal yang layak dipertahankan apaadanya, 22 pasal yang disempurnakan, dan ada dua usulan penam-bahan bab.

Keseluruhan usaha revisi UUPA yang diusulkan KPA (sejak tahun1995) tidaklah sama sekali bermaksud untuk merombak total isi danstruktur, apalagi menggantinya dengan sebuah RUU yang baru. Dalampandangan KPA, menyempurnakan UUPA sama artinya denganmembuat suatu UU yang sudah baik menjadi semakin baik.Penyempurnaan UUPA mengandung makna menambah baik isi UUPA.

Jasmerah

Di sinilah letak perbedaan pandangan antara KPA dengan BPNdalam memaknai tugas penyempurnaan UUPA yang tercantumdalam Keppres 34/2003. Sekalipun akhir-akhir ini (setelah reformasi)KPA dikenal “cukup dekat” dengan para petinggi BPN, namun padatitik ini jelas KPA berseberangan dengan BPN. Menariknya, jika kubupenyusun RUU Sumberdaya Agraria “hanya” didukung oleh Univer-sitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang “dipimpin” Prof. MariaS.W. Soemardjono, sementara pakar agraria berpengaruh yangsependirian dengan pro-amandemen UUPA cukup banyak, sebut sajaProf. Boedi Harsono dan Prof. Arie Sukanti (Universitas Trisakti),Prof. Ahmad Sodiki (Universitas Brawijaya), Prof. Sediono M.P.Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (IPB).

Hemat penulis, penggantian UUPA secara total dan kemudiandigantikan oleh RUU Sumberdaya Agraria merupakan tindakan yangdapat dikategorikan sebagai sikap yang “melupakan sejarah”.Terngiang di telinga sepatah pesan dari pendiri negeri, “jasmerah:

Page 152: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

133

Kembali ke Agraria

jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Generasi sekarang dan yangakan datang mestilah menyadari bahwa UUPA adalah bagian darisejarah perjuangan bangsa ini untuk keluar dari cengkeraman kapita-lisme dan imperialisme. Menghapuskannya dapat diartikan sebagaiupaya membuka jalan kembalinya kapitalisme dan imperialisme dilapangan agraria kita.

Memang di era globalisasi dewasa ini, kekayaan alam kita sudahbanyak yang digadaikan untuk kepentingan modal besar, sepertisumber daya air, perkebunan, pertambangan, kehutanan, bahkan lautdan pulau-pulau kecil pun tak ketinggalan. Beragam legislasi telahdibingkaikan untuk memuluskan penetrasi modal besar di hampirseluruh jengkal tanah dan air kita. Terakhir kita bisa mencatat disah-kannya UU Sumberdaya Air, UU Perkebunan dan Perpu No. 1/2004yang melegalkan penambangan di kawasan yang mestinya dilin-dungi dan dilestarikan.

Agenda yang belum tuntas

Agar maksud mulia dari para pembentuk UUPA tidak sungguh-sungguh terkubur, maka diperlukan langkah-langkah pencegahandan jalan keluar yang lebih mantap. Penulis menawarkan sejumlahagenda, sebagai berikut: Pertama, pembahasan dalam rangka penyu-sunan RUU Sumberdaya Agraria hendaknya dihentikan dan olehkarenanya RUU ini tidak perlu disahkan menjadi UU. Pemerintah danDPR hendaknya mempelajari kembali sejarah keagrariaan kita,khususnya mengenai konteks kelahiran UUPA 1960 agar tidak tersesat“menyalahkan” UUPA dan bernafsu untuk “membunuhnya”.

Kedua, presiden yang terpilih pada Pemilu Presiden 2004 (pu-taran kedua) hendaknya menghidupkan kembali KementerianNegara Agraria untuk memastikan seluruh kebijakan agraria nasionalada dalam satu garis koordinasi yang sinergis dalam kerangka me-mastikan jalannya pelaksanaan pembaruan agraria. Ketiga,pemerintahan yang terbentuk melalui Pemilu 2004 hendaknya me-wujudkan pelaksanaan pembaruan agraria sebagaimana arah dan

Page 153: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

134

Usep Setiawan

agendanya sudah digariskan dalam Ketetapan MPR No. IX/2001tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yangdikuatkan oleh Ketetapan MPR No. IV/2002, Ketetapan MPR No. I/2003, dan Ketetapan MPR No.V/2003. Keempat, presiden yang terpi-lih, hendaknya segera membentuk mekanisme dan kelembagaanalternatif bagi penyelesaian konflik agraria yang kasusnya berjumlahribuan dan melingkupi hampir seluruh wilayah di Tanah Air. Ribuankorban konflik agraria sudah terlalu lama menunggu penuntasannya.

Selain demi memenuhi rasa keadilan bagi korban, mekanismedan kelembagaan alternatif ini dapat menjalankan fungsi sebagaiwahana persiapan pelaksanaan pembaruan agraria sebagaimanadicita-citakan para pendiri negeri. Pemerintahan dan elite politik hasilPemilu 2004 hendaknya menyadari bahwa pendahulu kita yangmerumuskan UUPA 1960 belum menuntaskan pekerjaannya dalammembongkar akar-akar feodalisme dan imperialisme di lapanganagraria kita. Tertundanya penuntasan agenda penataan ulang ta-tanan kebangsaan menuju keadilan agraria bukan karena UUPA yangout of date, melainkan karena interupsi yang memakan waktu 30 tahunlebih oleh rezim Orde Baru yang kapitalis, korup, dan birokratik.

Akhirnya, semuanya berpulang kepada komitmen elite politikyang duduk di kursi pemerintahan sekarang—khususnya Presiden,anggota DPR dan DPD. Akankah meloloskan RUU Sumberdaya Agra-ria yang menggantikan sama sekali UUPA, atau mau bersabarmenjalani proses penyempurnaan UUPA melalui jalan amandemen?Dulu, waktu yang diperlukan untuk melahirkan UUPA lebih darisepuluh tahun (1948-1960). Maka untuk menyempurnakan UUPAperlu waktu yang cukup alias jangan tergesa. Dulu ada “panitianegara” untuk merumuskan UUPA. Apa susahnya di zaman sede-mokratis ini juga dibikin panitia yang multipihak seperti itu.

Semoga, para pemimpin bangsa agraris ini dapat menangkappesan-pesan tersembunyi di balik UUPA itu, yang secara keseluruhanmemihak mereka yang lemah, terutama kaum tani penyedia makanankita. Selamat Hari Tani 2004! ***

Page 154: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

135

Sinar Harapan, 5 Oktober 2004

Kekayaan Alam di TanganSegelintir Orang

Menyongsong Konferensi InternasionalPenguasaan Tanah (1)

ISU penguasaan tanah dan kekayaan alam bagi bangsa agrarissebesar Indonesia tidak akan pernah basi. Bahkan, dalam era peru-

bahan dewasa ini makin relevan dikedepankan. Sejak reformasi(1998), telah terjadi perubahan-perubahan penting dalam tata kuasatanah dan kekayaan alam seperti hutan, tambang, air, laut, dan seba-gainya. Perubahan konteks “siapa memiliki, menggunakan, menge-lola, mengontrol akses, dan yang memperoleh manfaat atas tanahdan kekayaan alam” perlu mendapat perhatian saksama semuapihak.

Curahan pikiran dari pemerintahan maupun non-pemerintahandi pusat dan daerah, baik dari belakang meja maupun di lapangantengah menjadi kebutuhan mendesak. Artikel ini ditulis untukmenyongsong Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah(11-13 Oktober 2004). Bagian ini merupakan bagian pertama daridua tulisan, dengan fokus orientasi pembangunan yang berbuah:kebijakan yang tumpang tindih, ketimpangan, konflik, kerusakanlingkungan, serta perlunya rembuk bersama. Sejak rezim populisSoekarno digantikan rezim kapitalis Soeharto, berbagai UU (1967sampai 1997) terkait tanah dan kekayaan alam diberlakukan. Berbagai

Page 155: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

136

Usep Setiawan

UU itu misalnya tentang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi,Pengairan, Pemerintah Desa, Perikanan, Konservasi, dan LingkunganHidup, dan lain-lain.

Yang memeras kekayaan alam

Beberapa UU bahkan sudah diperbaharui dengan tetap meme-lihara semangat memfasilitasi eksploitasi dengan investasi skalabesar, ketimbang membela rakyat banyak dan lingkungan hidup.

Belum lama ini (2003-2004), penguasa telah mengesahkan UUPerkebunan, UU Sumberdaya Air, dan UU Pertambangan di KawasanLindung, UU Perikanan, dan sebagainya. Baik substansi maupunpraktik implementasinya di lapangan, sebagian besar produk hukumdi atas telah menjadi alat pembenar bagi upaya “pembangunan”yang memeras kekayaan alam.

Hingga saat ini, Presiden dan DPR belum mengkaji ulang pera-turan perundang-undangan yang ada. Padahal mandat untuk itusudah tertuang dalam Tap MPR No. IX/2001. Pemerintah juga belummencabut, mengubah atau mengganti peraturan perundang-un-dangan yang tidak sejalan dengan Tap MPR ini. Presiden juga takpernah mengeluarkan kebijakan yang mempersiapkan pelaksanaanpembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Singkatnya, pemerintahan produk reformasi belum melaksana-kan mandat “wakil rakyat” untuk memperbaiki kebijakan di bidangpertanahan dan kekayaan alam lainnya. Ketimpangan penguasaantanah dan kekayaan alam masih terjadi. Mayoritas penduduk mengu-asai sedikit, sementara kaum pemodal besar (yang minoritas) mengu-asai secara melimpah ruah.

Petani tak bertanah

Di sektor pertanian, berdasarkan perbandingan hasil empat kaliSensus Pertanian (SP) diketahui bahwa rata-rata penguasaan tanaholeh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 hektar (1963) men-jadi 0,99 hektar (1973), lalu turun menjadi 0,90 hektar (1983) dan

Page 156: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

137

Kembali ke Agraria

menjadi 0,81 hektar (1993). Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa 21,2juta rumah tangga di pedesaan, 70%-nya menggantungkan diri padasektor pertanian. Dari jumlah itu, 3,8% atau sekitar 0,8 juta merupakanrumah tangga penyakap yang tidak punya tanah, 9,1 juta rumahtangga menjadi buruh tani, dan diperkirakan jumlah petani tak berta-nah di Indonesia ada sekitar 9,9 juta atau sekitar 32,6% dari seluruhrumah tangga petani (Bachriadi dan Wiradi, 2003).

Di sektor kehutanan, hingga 1998, menurut catatan MenteriKehutanan dan Perkebunan, ada sekitar 500 buah HPH yang berope-rasi di sekitar 55 juta hektar hutan produktif di Indonesia. Menurutcatatan PDBI, sampai tahun 1994 ada 20 kelompok pengusaha yangmenguasai 64.291.436 juta hektar (lebih dari 50%) jumlah hutan yangdiberikan HPH-nya.

Di sektor pertambangan tidak kalah spektakulernya, misalnyaPT Freeport Indonesia yang mengeruk emas di Papua memiliki arealkonsesi melalui Kontrak Karya seluas 2,9 juta hektar (1991). Sektorperkebunan melalui HGU menduduki peringkat tertinggi dalamkonsentrasi penguasaan tanah. Menurut Sensus Perkebunan Besar(1990-1993) ada sekitar 3,80 juta hektar tanah perkebunan yangdikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 21 koperasi, dengan rata-rata3.096, 985 hektar dikuasai tiap perusahaan (Fauzi dan Bachriadi,1998).

Konflik 1.189.482 KK

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat 1.753 kasus konflikagraria struktural terjadi sejak tahun 1970 hingga 2001. Kasus konflikini tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286daerah (Kabupaten/Kota), dengan luas tanah yang dipersengketakantidak kurang dari 10.892.203 hektar dan telah mengorbankan seti-daknya 1.189.482 KK.

Kompleksitas konflik berhubungan erat dengan faktor politikkarena penyebab utama terjadinya konflik itu justru berasal dari kebi-jakan pemerintah. Indonesia selepas otoritarianisme dan memasuki

Page 157: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

138

Usep Setiawan

fase konsolidasi demokrasi, mutlak butuh penyelesaian konflik agra-ria sebagai anak kandung pembangunan di masa lalu. Jika bangsaagraris ini mau bergerak maju, maka tidak bisa lagi konflik atas tanahdan kekayaan alam diselesaikan dengan setengah hati, ditunda-tunda, apalagi diabaikan begitu saja.

Pemerintahan baru hasil Pemilu 2004 segera terbentuk. Sebagaibangsa agraris, kita butuh perbaikan dalam penguasaan tanah dankekayaan alam. Diperlukan rembuk bersama untuk mengkaji ulangkebijakan tanah dan kekayaan alam dan perumusan konsepsi utuhuntuk menjawab persoalan. Disyaratkan pula pemahaman yang be-nar mengenai kondisi lapangan yang berujung pada komitmen ber-sama untuk berbenah.

Untuk itu, akan digelar “Konferensi Internasional tentang Pengu-asaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah:Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, pada tanggal 11-13Oktober 2004 di Hotel Santika, Jakarta. Pelaksana konferensi adalahYayasan Kemala bersama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), LembagaStudi dan Advokasi HAM (ELSAM), Perkumpulan untuk PembaruanHukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), KARSA, RACAInstitute, JKPP, ICRAF, PKWJ-UI, dan INDIRA Project.***

Page 158: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

139

Sinar Harapan, 12 Oktober 2004

Imajinasi Baru tentang Tanah danKekayaan Alam

Menyongsong Konferensi InternasionalPenguasaan Tanah (2)

ARTIKEL ini adalah lanjutan dari tulisan “MenyongsongKonferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah” (11-13

Oktober 2004). Bagian pertama telah mengupas orientasi pem-bangunan dan buahnya berupa kebijakan yang tumpang tindih,ketimpangan, konflik, kerusakan lingkungan, serta perlunya rembukbersama. Pada bagian ini kita akan mencoba membangun imajinasidalam rangka perbaikan kebijakan atas tanah dan kekayaan alam dimasa depan.

Adapun alasan pemilihan tema “Penguasaan Tanah dan Keka-yaan Alam di Masa Indonesia yang Sedang Berubah” (Land and Re-source Tenure in Changing Indonesia) didasari sejumlah pertimbangan.Pertama, tanah sebagai pemangku dari sumber daya kehidupan lain-nya, masih terus jadi rebutan. Di masa reformasi tidak ada perubahankebijakan yang berarti, justru kian menguatnya kapital besar di la-pangan agraria.

Kedua, di masa reformasi justru konflik yang diwarnai aksi-aksipenduduk berhadapan dengan para pihak yang hendak mengubahrelasinya dengan tanah dan sumber-sumber alam lainnya itu, sema-kin menjadi-jadi. Ketiga, pengaturan tentang tanah dan kekayaan

Page 159: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

140

Usep Setiawan

alam serta kelembagaannya masih belum beranjak dari dualisme anta-ra hukum negara dan hukum adat. Bahkan, saat ini perlakuan hukumnegara terhadap hukum adat lebih buruk dibanding masa pascako-lonial.

Keempat, agenda desentralisasi (otonomi daerah) tidak disertaidengan pengaturan yang jelas mengenai kewenangan dalam landand resource tenure. Ketiadaan pengaturan itu membuat pemerin-tahan dinilai tidak mampu memperbaiki kondisi hidup rakyat ke-banyakan. Kelima, berbagai jawaban berupa kebijakan yang dijalan-kan badan-badan pemerintahan terhadap masalah tenurial selamaini terbukti tidak efektif menjawab persoalan yang berkembang dilapangan.

Imajinasi ke depan

Yang tengah kita perlukan adalah mengubah orientasi pem-bangunan dari yang menempatkan tanah dan kekayaan alam sebagaikomoditi dan objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi, menjadipembangunan yang lebih berpihak pada rakyat kecil dan lingkunganhidup.

Untuk itu diperlukan pengkajian ulang seluruh kebijakan, ter-masuk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tanahdan kekayaan alam lainnya. Perlu dipikirkan betul model koordinasibaru yang menghindari tumpang tindih kewenangan dan adu kepen-tingan antarsektor di pemerintahan yang selama ini merugikan rakyatdan lingkungan. Agenda ini sudah diamanatkan oleh para wakilrakyat melalui Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang pembaruan agra-ria dan pengelolaan sumber daya alam.

Mengingat fakta ketimpangan penguasaan yang semakin gawat,maka agenda untuk menata ulang penguasaan tanah dan kekayaanalam lainnya mesti segera dirumuskan. Mengurangi ketimpangandapat memberi kontribusi positif bagi pemenuhan hak-hak dasar rak-yat sekaligus membuka jalan bagi pengurangan angka kemiskinandan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada titik akhir, pengurangan

Page 160: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

141

Kembali ke Agraria

ketimpangan berarti mengantarkan bangsa ini ke arah kemajuan,keadilan dan kegemilangan.

Dalam menghadapai konflik atas penguasaan tanah dan keka-yaan alam (agraria) mestinya dibuat respons supercepat. Ketidak-adilan yang sangat berat dan lama dirasakan para korban konflikmesti segera dijawab dengan pembentukan mekanisme dan kelem-bagaan alternatif bagi penyelesaikan sengketa/konflik agraria.

Adapun kerusakan lingkungan yang mendekati kehancuranakibat praktik pembanguan mesti ditempatkan sebagai tanggungjawab kita kepada generasi mendatang. Agenda pemulihan ling-kungan hidup mestilah menjadi tanggung jawab bersama, terutamabagi mereka yang selama ini menjadi penyebab (atau turut terlibat)dalam perusakannya.

Untuk itu semua pihak perlu melakukan sesuatu untuk perbai-kan. Siapa melakukan apa harus dipertegas. Pemerintah, wakil rakyat,akademisi, dunia usaha, jurnalis dan masyarakat pada umumnyamesti mengambil porsi yang tepat dalam menjawab berbagai perso-alan terkait tanah dan kekayaan alam kita.

Ujung dari upaya bersama ini tentulah akan dirasakan sebagaikeuntungan dan kemaslahatan bersama pula. Yang ingin dicapaidari semua gerakan perbaikan adalah keadilan dalam penguasaan,keterpaduan dalam pengelolaan, produktivitas rakyat, kesejahteraansegenap rakyat, dan kelestarian lingkungan hidup.

Penutup

Tema konferensi ini dapat dikaitkan dengan sejumlah tema yangtercantum dalam dokumen visi, misi dan program yang disusun olehSusilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (SBY-MJK)sebagai capres dan cawapres terpilih dalam Pemilu 2004. Dalam do-kumen berjudul “Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejah-tera”, tercantum agenda dan program ekonomi dan kesejahteraanyang mengedepankan kebijakan, di antaranya: revitalisasi pertaniandan aktivitas ekonomi pedesaan; melaksanakan reforma agraria;

Page 161: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

142

Usep Setiawan

penghapusan kemiskinan; penghapusan ketimpangan dalam ber-bagai bentuknya; perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan peles-tarian mutu lingkungan hidup (Jakarta, 10 Mei 2004, hlm. 55-69).

Oleh karena itu, pesan-pesan maupun hasil-hasil konferensi inidiharapkan dapat disampaikan secara langsung ke meja pemerintahbaru hasil Pemilu 2004. Dengan demikian, presiden, wakil presidendan tim kerjanya yang terpilih dapat mengakomodasi rekomendasi-rekomendasi yang ditelurkan dalam konferensi guna menjawab soalpertanahan dan kekayaan alam lainnya di masa depan.***

Page 162: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

143

Sinar Harapan, 21 Oktober 2004

Dualisme Hukum atas TanahHarus Diakhiri

SEUSAI “Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah danKekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah” (Jakarta,

11-13 Oktober 2004), banyak hal bisa diangkat. Walau masalah dansolusi yang ditawarkan terbilang lagu lama, namun memang pantasdinyanyikan ulang. Bahkan lagu ini perlu dibunyikan keras kepadaaktor baru pemegang kuasa negara. Tulisan ini adalah catatan kecilhasil konferensi tentang penguasaan tanah dan kekayaan alam itu.

Setiap panel diskusi dalam konferensi ini merefleksikan sejumlahrekomendasi. Dari panel yang dikelola KPA (isu konflik agraria);pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria(KNuPKA) perlu disegerakan. Namun KNuPKA bukanlah langkahakhir perjalanan penyelesaian konflik. Pembetukan KNuPKA meru-pakan simbol keberpihakan negara kepada rakyat yang mengalamipenindasan. KNuPKA sebagai simbol kemenangan rakyat sekaligusawal pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia.

Dari panel HuMA (isu pluralisme hukum), untuk situasi sepertiIndonesia, itikad untuk membuat sistem hukum atas tenurial yangunifikatif hanya boleh sepanjang pada level asas, bukan pada levelnorma. Negara bisa membuat hukum yang mengatur tenurial yangberfungsi sebagai payung, namun tiap komunitas memiliki hukumyang variatif. Sementara itu, dari Panel CIFOR (isu kehutanan),inisiatif masyarakat yang terbukti mampu mengelola hutan secara

Page 163: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

144

Usep Setiawan

adil dan lestari perlu mendapat dukungan dan pengakuan dari pe-merintah.

Panel Elsam (isu kekerasan dan HAM) merekomendasikan pem-buatan code of conduct penggunaan kekerasan oleh aparatus negara,penyusunan standar operasional prosedur dalam menghadapi kon-flik agraria, dan amendemen peraturan perundang-undangan yangmemicu konflik. Perlu memperkuat kewenangan Komnas HAM.Larangan keterlibatan militer/polisi dalam bisnis kekayaan alam.

Dualisme hukum

Panel tentang isu kemiskinan dan ketahanan pangan menekan-kan perlunya konsep penguasaan kekayaan alam yang memihakkaum lemah dalam peraturan. Harus diakhiri dualisme hukum atastanah antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan DepartemenKehutanan. Sebagai langkah transisi, perlu lembaga khusus me-nangani agraria. Upaya-upaya lokal untuk mendapat kepastianpenguasaan kekayaan alam harus dilanjutkan.

Panel isu miskin kota mengajak pemerintah, rakyat miskin danswasta duduk bersama menuntaskan masalah pertanahan dan me-rancang lembaga alternatif yang menjamin masyarakat miskin untukmandiri. Membuat kebijakan pertanahan yang lebih adil denganmengganti paradigma “ganti rugi” menjadi “ganti untung”. Penggu-suran yang tidak adil seharusnya tidak lagi dilakukan, tapi perlupengaturan bersama dan duduk bersama.

Suara dari panel tentang inisiatif penataan penguasaan memintapemerintah menjadi fasilitator dan rakyat melakukan kontrol. Inter-vensi harus sesuai kebutuhan dasar rakyat agar jawaban baru berda-sar kondisi yang sebenarnya. Panel Walhi (isu ekonomi politik danperubahan lingkungan), merekomendasikan perpanjangan matarantai industri berbasis mineral dalam negeri untuk meningkatkannilai tambah, merekalkulasi aset mineral, dan mengembangkan energialternatif. Membebaskan negara dari ketergantungan kepada pasaruntuk menciptakan kemandirian. Organisasi rakyat dan masyarakat

Page 164: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

145

Kembali ke Agraria

sipil berkonsolidasi melawan agenda modal dengan strategi cerdas.Di ujung konferensi, panitia pengarah mengeluarkan pernyataan

kepedulian bertajuk: “Dituntut Kepeloporan Pemerintah Baru untukMenetapkan Reforma Agraria sebagai Basis Pembangunan” (Jakarta,13 Oktober 2004). Pernyataan ini merupakan kristalisasi kesaksianatas berbagai perubahan tata kuasa tanah dan kekayaan alam danmencermati diskusi sepanjang konferensi.

Fokus keprihatinan panitia tertuju pada empat titik: Pertama,transisi politik dari Orde Baru (1998), telah memberi jalan intervensikekuasaan global ke dalam proses politik-ekonomi hingga kebijakandan praktik yang mempengaruhi lingkungan, ketimpangan, sertakonflik agraria di Indonesia. Neo-liberalisme telah mengkomodifikasitanah dan kekayaan alam yang mengalihkan sumber daya dari simiskin ke elite.

Malah menguatkan sektoralisme

Kedua, sekalipun telah lahir TAP MPR No. IX/2001 tentang Pem-baruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, namun tidakada perbaikan yang berarti. Malah banyak kebijakan yang diproduksiselama reformasi, justru tidak memihak rakyat kecil, tumpang tindih,dan saling bertentangan (seperti UU Sumber Daya Air, dan UU Perke-bunan). Regulasi baru malah menguatkan sektoralisme yang melang-gengkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan strukturpenguasaan/pemanfaatan tanah, serta memicu konflik.

Ketiga, otonomi daerah telah jadi ajang konflik kepentingan antar-pusat-daerah dan antardaerah. Terjadi kerancuan kewenangan peme-rintahan dalam tata kuasa tanah dan kekayaan alam. Ini lagi-lagimemperparah perusakan lingkungan, memperuncing ketimpangandan konflik agraria. Keempat, kelompok-kelompok masyarakat kor-ban telah melakukan protes, klaim balik secara langsung hinggatuntutan perubahan kebijakan. Namun, upaya masyarakat tidakditanggapi serius oleh pemerintah sepanjang masa reformasi.

Mencermati kecenderungan di atas, panitia konferensi melayang-

Page 165: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

146

Usep Setiawan

kan seruan berikut. Pertama, agar Presiden dan Wakil Presiden terpi-lih, memelopori keputusan politik untuk menjalankan reforma agrariasebagai basis pembangunan. Tanpa reforma agraria (dalam arti: pena-taan ulang penguasaan tanah dan kekayaan alam yang berpihakkepada rakyat), maka usaha penanggulangan kemiskinan dan per-baikan kualitas lingkungan tak banyak berarti. Reforma agrariaadalah conditio sine qua non dari penciptaan pemerataan, keberlan-jutan, dan keadilan.

Kedua, komponen gerakan sosial dan masyarakat sipil agar terusmendorong perwujudan reforma agraria ini. Inisiatif dapat dilakukanberupa penataan langsung di lapangan, pendidikan dan pengorga-nisasian rakyat, advokasi kebijakan di lembaga pemerintahan mau-pun parlemen (pusat/daerah). Kita perlu terus menuntut agar peme-ritahan baru mengurus masalah ini secara sungguh-sungguh.

Ketiga, para akademisi dan peneliti-pemikir agar mengusahakanpenciptaan infrastrukur produksi pengetahuan yang membantumemahami kondisi struktur agraria, konflik agraria serta kerusakanlingkungan yang terjadi. Diperlukan desain pelaksanaan reformaagraria dengan sumbangan pengetahuan interdisipliner yang dimilikioleh semua kelompok intelektual yang berpihak pada kaum miskin.

Seruan untuk menjalankan reforma agraria sejati hendaknyasegera ditangkap dan diterjemahkan oleh pemerintahan baru ke da-lam agenda jangka pendek (100 hari pertama), jangka menengah(tahunan), dan jangka panjang (lima tahun).***

Page 166: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

147

Sinar Harapan, 13 Desember 2004

Hak Asasi Manusia dan Bangsa Berdikari

PERINGATAN Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia kali ini(10 Desember 2004) diwarnai mencuatnya wacana mengenai

pentingnya membangun kemandirian bangsa dan pengelolaansumber daya alam. Hal ini, misalnya, mencuat seiring pernyataanWakil Presiden Jusuf Kalla yang dilontarkan pada Pertemuan Sau-dagar Bugis Makassar VI pada 19 - 21 November. Terpantul kesan,dengan modal kekayaan alam, kita bisa menjadi bangsa mandiri dandapat memenuhi hak-hak dasar rakyat.

Lantas muncul pandangan yang menekankan kemandirian darisegi ideologis-politis sebagai gerakan “berdiri di atas kaki sendiri(berdikari)” bangsa-bangsa yang tengah atau pernah dicengkeramkekuatan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Bersamaan denganitu, untuk kemandirian bangsa banyak pihak melirik faktor optima-lisasi sumber daya alam. Mungkinkah pemerintahan baru memprak-tikkan politik-ekonomi berdikari dengan mengandalkan sumber dayaalam. Bagaimana pula nasib pelaksanaan HAM di tengah ketim-pangan, konflik dan kehancuran lingkungan yang tengah melanda?

Jika kita cermati arah kebijakan ekonomi-politik yang dikede-pankan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kitamengalami kesulitan untuk membedakannya dengan model pem-bangunan gaya Orde Baru hingga rezim Megawati kemarin. Modelpembangunan dimaksud adalah yang pro modal besar.

Dengan pilihan model pembangunan semacam ini maka

Page 167: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

148

Usep Setiawan

paradigma pembangunan yang dianut pun mestilah berjiwaeksploitatif yang mendewakan akumulasi modal besar, baik lewatinvestasi asing maupun domestik. Memang pembangunan menjan-jikan tetesan ke bawah untuk dinikmati mayoritas rakyat. Namunpengalaman Orde Baru menunjukkan bahwa tetesan itu tidaklahsampai kepada yang berhak melainkan kembali mengalir ke pundi-pundi penguasa ekonomi yang lengket dengan pemegang kuasanegara.

Reforma agraria

Tidak heran jika model pembangunan yang pro-modal besardianggap hanya menggendutkan perut para “kapitalis’ dan “birok-rat” yang menggunakan maupun menyalahgunakan kewenanganyang dimilikinya “demi kepentingan pembangunan”. Sementararakyat kecil harus rela menjadi korban pembangunan. Praktik pelang-garan HAM pun merajalela.

Gencarnya elite politik bicara tentang pentingnya pertumbuhanekonomi melalui investasi bermodal besar menjadi pertanda yanggamblang bahwa lagu lama masih dilantunkan. Adapun statement“ekonomi yang didasarkan pada kekuatan sendiri” tak ubahnyaisapan jempol karena tiada alternatif paradigma pembangunan yangnon-kapitalistik serta nihilnya strategi dan program pemandirianbangsa dan perlindungan HAM bagi rakyat jelata.

Di lain sisi, bangsa ini tengah menanti langkah-langkah nyatadari pemimpinnya untuk mewujudkan keadilan agraria. PemikiranSBY dalam naskah visi, misi dan program yang bertajuk “Mem-bangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera” (Jakarta, 10 Mei2004), agenda reforma agraria disebut dua kali. Reforma agrariadiletakkan sebagai bagian dari agenda dan program ekonomi dankesejahteraan, khususnya terkait kebijakan perbaikan dan penciptaankesempatan kerja (halaman 56), dan revitalisasi pertanian dan pede-saan (halaman 69). Tiada uraian lebih lanjut bagaimana itu akandijalankan.

Page 168: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

149

Kembali ke Agraria

Program 100 hari pertama pemerintahan SBY yang disusunKabinet Indonesia Bersatu, “peningkatan akses pemilikan atas tanahbagi golongan ekonomi lemah” ditempatkan sebagai upaya mengatasi“kemiskinan” dan meningkatkan “kesejahteraan” (Koran Tempo, 29Oktober 2004).

Untuk mewujudkannya, menurut sumber-sumber yang bisadipercaya, pemerintah sedang mempercepat revisi PeraturanPemerintah No. 224/1961 yang dikenal sebagai PP Landreform. Soal-nya, apakah reform yang akan dijalankan berangkat dari paradigmaalternatif dan sungguh akan dijalankan untuk pemenuhan hak-hakrakyat banyak?

Lorong atau jalur tempuh reform yang dipilih tiap negara berbeda-beda. Lorong reformasi agraria yang dikenal adalah: kapitalisme,sosialisme, dan populisme. Lorong kapitalisme (pro-modal besar)diisi agenda pembaruan yang ramah pasar (market friendly agrarianreform). Reformasi semacam ini senantiasa disokong kebijakan yangakomodatif terhadap investasi berskala raksasa tanpa batas negara.Globalisasi ekonomi kapitalis menjadi orientasi politik agraria yangkapitalistik. Komoditisasi tanah dan kekayaan alam sebagai objekeksploitasi demi pertumbuhan ekonomi menjadi ajaran utamanya.

Kita layak khawatir

Lorong reforma agraria SBY belumlah terang. Penulis khawatiryang akan ditempuh adalah yang semata pro-modal besar, walaudengan dalih demi “mengenjot pertumbuhan ekonomi” dan “pemu-lihan krisis ekonomi” yang “suka tidak suka butuh investor” bermo-dal besar untuk mengelola sumber-sumber agraria kita. Kita layakkhawatir, karena kapitalisme agraria akan kian menjauhkan rasaaman, adil, dan kesejahteraan rakyat yang hidupnya tergantung padatanah dan kekayaan alam. Politik agraria pro-pasar cenderungmemanjakan kaum berkantong tebal ketimbang memenuhi hak-hakdasar rakyat jelata.

Ketimpangan tidak saja dianggap wajar, melainkan suatu kenis-

Page 169: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

150

Usep Setiawan

cayaan sejarah. Bahkan, model ini mestilah ekstraktif dan eksploitatifterhadap kekayaan alam yang dapat memperparah laju kerusakanlingkungan hidup kita. Jika kekhawatiran ini terbukti, SBY malahmengukuhkan ketimpangan dan ketidakadilan sembari meneruskantradisi pelanggaran HAM tanpa koreksi yang berarti.

Menuju kemandirian bangsa dan perlindungan hak-hak dasarrakyat mestilah diletakkan dalam konteks koreksi atas paradigmadan praktik pembangunan. Ketergantungan kepada investor dalammemutar roda pembangunan menjadi biang keladi yang harus di-akhiri. Kita mesti saling meneguhkan bahwa kita tak akan hancurlebur tanpa investasi asing. Paling esensial, kita harus menguburmental budak yang ditanamkan kaum penjajah berabad-abad.

Tanpa perubahan paradigma pembangunan maka kemandiriandan perlindungan HAM yang dicita-citakan hanyalah ilusi belaka.Tanpa strategi dan program nyata menuju kemandirian maka keter-gantungan dan praktik-praktik pelanggaran HAM yang merendah-kan martabat kemanusiaan akan dirasakan anak bangsa ini secaraberkelanjutan.

Maka, berhentilah menganggap bumi, air, dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya pantas diobral ke haribaan pemodalbesar. Mesti disadari bahwa kekayaan alam kita adalah titipan darigenerasi mendatang. Kalaupun berniat memanfaatkannya, mestilahdalam kadar seperlunya dengan tingkat kehati-hatian saksama. Kitamesti merawat kearifan leluhur terhadap keberlanjutan layanan keka-yaan alam kita sebagai aset bangsa sepanjang masa.

Agar dapat mandiri dan HAM terlindungi, kini justru dibutuhkanpenataan ulang struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatantanah dan kekayaan alam sehingga lebih adil. Menuju kemandirian,kita mesti memastikan kekayaan alam benar-benar dikuasai dan digu-nakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keadilan agrariainilah fondasi kokoh bagi bangsa yang ingin mandiri dan berniatmemenuhi hak-hak dasar warga negaranya.***

Page 170: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

151

Sinar Harapan, 4 Januari 2005

Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan

MENYERTAI pergantian tahun 2004 ke 2005, bangsa ini masihdilanda keprihatinan. Salah satunya menyangkut kehidupan

petani, sektor pertanian dan pedesaan. Kita perlu strategi baru gunamemenuhi hak-hak petani sekaligus memperkuat sektor pertanianyang menyangkut hidup mayoritas rakyat di pedesaan. Dalam bahasaSusilo Bambang Yudhoyono (2004), bangsa ini butuh “revitalisasipertanian dan pedesaan”.

Bukan rahasia jika kehidupan petani kita masih jauh dari mak-mur. Kaum tani masih berkubang dalam kemiskinan dengan tingkatkesejahteraan kian merosot. Meroketnya biaya produksi yang takdiikuti perbaikan pendapatan telah memperburuk kondisi petani.Apalagi jika BBM jadi dinaikkan pemerintah awal 2005 ini, bebanpetani pastilah melipat-ganda. Selama ini, ketergantungan petaniterhadap input luar masih kuat. Revolusi Hijau telah menciptakanketergantungan petani yang “permanen” terhadap bibit, pupuk, pesti-sida, teknologi, kredit, sarana dan input produksi yang serba dariluar.

Hal ini tidak memandirikan juga makin melemahkan posisitawar petani. Pembangunan pertanian Orde Baru malah menyubur-kan “proletarisasi” yang mendorong arus urbanisasi serta buruhmigran. Tak heran jika petani kian sulit berusaha, susah memenuhikebutuhan hidup, tak mampu menyekolahkan anak, tak menjangkaubiaya kesehatan, sulit mendapat rumah yang layak, dan seterusnya.

Page 171: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

152

Usep Setiawan

Menjadi petani dianggap tidak lagi menarik hati, bahkan bagi ketu-runan petani sekalipun.

Penataan produksi

Yang dibutuhkan kini adalah penataan ulang sistem produksipertanian sehingga lebih adil (selanjutnya disebut: penataan produk-si).

Intervensi pokoknya adalah penataan manajemen produksipertanian secara holistik serta pendampingan yang menguatkaninstitusi rakyat tani. Input manajemen termasuk penyediaan modalproduksi atau kredit pertanian mestilah terutama bersumber dari ne-gara.

Modal yang dikucurkan hendaknya dikelola bersama petanimelalui organisasi kolektif produksi. Model ini menjamin alokasi,pengawasan dan evaluasinya ada di tangan organisasi tani sendiri.Kredit untuk petani mekanismenya harus dipermudah dengan bungasupermurah. Sedangkan penguatan institusi diarahkan untuk mela-hirkan kolektif-kolektif produksi berbasis lokal yang mandiri danmempunyai kapasitas mumpuni dalam menjalankan produksi danberagam aktivitas pendukung sebelum dan setelah produksi.

Mengubah corak produksi perlu mengagendakan perubahanstruktur kepemilikan/kepenguasaan faktor-faktor produksi. Bilasebelumnya beragam faktor produksi dimonopoli individu/institusitertentu dengan jumlah besar/luas, maka perubahan corak produksidemokratik dan populis berarti mengubahnya menjadi berwatak sosialyang kolektif-komunalistik.

Dengan prinsip bahwa perubahan corak produksi akan mengu-bah banyak hal dalam hubungan sosial kemasyarakatan, maka peru-bahan corak produksi pertanian perlu diletakkan sebagai pintu ma-suk bagi perubahan sosial yang lebih luas. Yang jelas, corak produksibaru jangan sampai melahirkan eksploitasi baru terhadap kaum tanidan rakyat kecil pada umumnya.

Menata produksi pertanian tidaklah semudah menganggukkan

Page 172: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

153

Kembali ke Agraria

kepala. Kesulitannya sangat dipengaruhi oleh beragam tantangan.Pertama, belum berkembangnya organisasi tani yang menghimpunkekuatan petani secara masif, independen dan berkemampuan men-jalankan produksi pertanian secara kolektif. Padahal, penataan pro-duksi membutuhkan organisasi lokal, regional, nasional bahkaninternasional yang siap menjalankan proses produksi dan distribusihasil pertanian secara terintegrasi.

Kedua, kelangkaan modal dan buruknya manajemen sangat mem-persulit usaha pertanian. Walaupun hampir semua desa mengenalKoperasi Unit Desa (KUD), tapi kebanyakan petani tetap tak leluasamengakses kebutuhan modal, manajemen dan sarana produksi lain-nya. Kredit Usaha Tani (KUT) terbukti tak dinikmati oleh petani yangmembutuhkan. Cerita penyelewengan dan kebocoran kredit untukpetani di masa lalu harus disudahi dan jangan diulangi.

Ketiga, sempitnya lahan pertanian telah menyulitkan petani ber-produksi. Puluhan juta petani hanya menguasai tanah di bawahsetengah hektar dan sebagian lainnya malah tak menguasai tanahsama sekali. Padahal kebutuhan atas tanah dalam usaha tani jelastak tergantikan faktor produksi lain. Kecukupan lahan subur meru-pakan penentu mulusnya proses produksi dan optimalnya produksipertanian.

Tiga pilar

Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, maka keberadaanorganisasi, modal dan tanah sebagai tiga pilar pokok penataan pro-duksi mesti jadi perhatian serius. Pembentukan organisasi kolektifproduksi perlu disertai akses petani terhadap modal dan sarana pro-duksi lain, serta dicukupinya tanah pertanian bagi petani kecil danburuh tani. Ke depan, instansi/aparat pemerintahan terkait mestimengambil peran lebih guna revitalisasi pertanian dan pedesaankita.

Tumbuh suburnya kolektif produksi pertanian yang mandiri danmampu mengembangkan usahanya secara berkelanjutan dapat me-

Page 173: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

154

Usep Setiawan

ningkatkan kesadaran berorganisasi, berkoperasi dan bekerja samadi kalangan petani. Secara ekonomi, hal ini dapat membuka danmemperluas lapangan kerja di pedesaan sehingga urbanisasi punterbendung. Karena pendapatan petani terus meningkat secara ber-arti, maka kesejahteraan rakyat di pedesaan bukanlah sekedar mimpi.

Dengan keberhasilan penataan produksi maka posisi tawarpetani kian menguat dan kesulitan hidup yang selama ini dihadapipetani pun dapat dieliminasi secara signifikan. Yang tak kalah pen-ting, penataan produksi pertanian yang sukses tentu akan menjaminkeamanan pangan (food security), sekaligus menjadi jembatan emasmenuju kedaulatan pangan (food soverignity) bangsa agraris ini.Selamat tinggal 2004, dan selamat datang 2005 yang penuh tan-tangan.***

Page 174: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

155

Sinar Harapan, 26 Februari 2005

Hak Asasi Petani, Kenapa Perlu?

MENGAITKAN hak asasi manusia dengan kemandirian bangsa(Sinar Harapan, 13/12/2004), makin signifikan jika diletakkan

dalam konteks sosiologis bangsa ini. Elemen masyarakat yang pokokmendapat perhatian dalam pengakuan hak asasinya adalah kaumtani. Selain karena mayoritas, kaum tani merupakan kelompok rentanpelanggaran HAM.

Kita layak mengingat buah “Konferensi Nasional PembaruanAgraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani”(17-20 April 2001) di Cibubur Jakarta berikut deklarasi dan resolu-sinya. Belum lama ini, Komnas HAM melalui semiloka di CikampekPurwakarta (9-12 Desember 2004), telah menguatkan kembali buahkonferensi ini.

Naskah Deklarasi Hak-hak Asasi Petani Indonesia hasil Konfe-rensi Cibubur, telah merinci peta situasi dan kondisi serta argumen-argumen pokok sebagai dasar pijakan hak asasi petani. Mukadimahdeklarasi ini menyatakan: “… sesuai dengan Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Negara wajib menga-kui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupan yang layakbagi diri dan keluarganya, dan hak untuk bebas dari kelaparan, mela-lui tindakan pembaruan agraria”. Pemerintah dan DPR hendaknyasegera meratifikasi kovenan Ekosob ini yang sejatinya tak boleh lepasdari Kovenan Sipil-Politik.

Deklarasi hak asasi petani mencakup delapan bagian dan enam

Page 175: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

156

Usep Setiawan

puluh tujuh butir. Bagian-bagian tersebut meliputi hak-hak petaniatas hidup dan atas penguasaan dan pemakaian sumber daya alamdan kemampuan pribadinya. Diidentifikasi pula hak petani atasproduksi dan konsumsi, serta pemasaran produk, pengadaanasupan, dan jaminan mutu akan produknya. Diuraikan pula hakpetani untuk berorganisasi, dan pelanjutan keturunannya serta makh-luk hidup lainnya yang menjamin kelangsungan hidupnya, dan hakatas pengungkapan.

Keseluruhan isi deklarasi ini dapat dijadikan indikator dalammengukur kondisi hak asasi petani di Indonesia dari masa ke masa.

Hambatan dan peluang

Perjuangan menuju pengakuan hak asasi petani bukanlah tanpahambatan. Pertama, belum kuatnya komitmen penyelenggara negarayang ditandai nihilnya peraturan perundang-undangan yang menga-kui hak asasi petani. Gagasan perlunya pembentukan UU Hak AsasiPetani sama sekali belum mendapat lirikan pemerintah. Kedua, belumkuatnya kesadaran kaum tani untuk mendesakkan hak asasi petani.Hal ini terjadi karena belum menyatunya pandangan, belum adanyasinergi strategi dan tindakan dari aktor-aktor gerakan petani, ditam-bah perhatian yang ada masih parsial dengan pola perjuangan yangjuga dilancarkan sendiri-sendiri.

Ketiga, belum ada lembaga khusus yang mengadvokasi hak asasipetani. Komnas HAM dinilai terlalu luas cakupan kerjanya, sehinggasering “memarjinalisasi” advokasi hak petani. Jika Komnas untukperempuan dan anak telah ada, kenapa untuk petani tidak. Keempat,masih berlakunya pembangunan pertanian propasar bebas yangbanyak merugikan petani. Menurut Bonnie Setiawan (2003), WorldTrade Organization dan Agreement On Agriculture telah memaksa In-donesia untuk: membuka pasar domestiknya bagi masuknya komo-ditas pertanian dari luar dan sebaliknya (market access); mengurangidukungan dan subsidi terhadap petani (domestic support) dan mengu-rangi dukungan dan subsidi bagi petani untuk mengekspor (export

Page 176: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

157

Kembali ke Agraria

competition).Selain beragam tantangan di atas, kita punya beberapa peluang.

Pertama, adanya Piagam Petani (The Peasants Charter) hasil KonferensiSedunia Mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan(FAO-PBB, Roma, Juli 1979). Piagam yang disepakati 145 negara ter-masuk Indonesia, menekankan: “... pengembangan kelompok-kelom-pok petani, koperasi, dan bentuk-bentuk lain dari organisasi petanidan buruh tani yang bersifat sukarela, otonom, dan demokratis”(Wiradi, 1984). Kedua, adanya pengakuan negara bagi penegakanHAM dalam amendemen UUD 1945, serta berbagai UU yang terkaitdengan HAM. Sejalan dengan itu, makin menguat pula posisi KomnasHAM sebagai lembaga negara yang khusus mengadvokasi HAM.Komnas HAM sudah selayaknya mengarus-utamakan penangananmasalah petani secara lebih kuat.

Ketiga, adanya Deklarasi Hak-hak Asasi Petani Indonesia sebagaihasil Konferensi Cibubur (2001). Deklarasi ini telah mencakup hal-hal pokok yang dihadapi petani Indonesia sekaligus detail mengenaijenis dan bentuk hak asasi yang harus dilindungi dan ditegakkan.Keempat, telah tumbuhnya kesadaran di kalangan petani yang ter-kristalisasi dalam berbagai serikat tani dari tingkat kampung/desasampai nasional. Hanya melalui organisasi yang solid dan kuatlahperjuangan petani dapat menghasilkan dampak signifikan.

Upayakan pengakuan

Mengingat kompleksnya perjuangan pemenuhan hak asasipetani, maka diperlukan upaya yang sistematis, komprehensif danberjangka panjang oleh semua kalangan yang peduli. Kalangan orga-nisasi tani mestilah mengambil peranan lebih besar ketimbangsebelumnya. Tak ayal diperlukan konsolidasi kekuatan organisasitani yang ada.

Komnas HAM perlu membentuk “sekretariat bersama” danmengambil peran sebagai fasilitator atau mediator dalam advokasihak petani, termasuk mendorong ratifikasi kovenan internasional

Page 177: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

158

Usep Setiawan

tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintahan yangdikomandani Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK),hendaknya mengubah gagasan dan praktik politik pertanian/agrariayang pro-pasar bebas menjadi pro-rakyat kecil. Jika liberalisme per-tanian terus digencarkan maka rasa aman, adil dan kesejahteraanmasyarakat yang tergantung pada tanah dan kekayaan alam mestilahkian jauh dari kenyataan.

Dalam naskah bertajuk Membangun Indonesia yang Aman, Adildan Sejahtera (Jakarta, 10 Mei 2004), di bidang Hak Asasi Manusia(HAM), SBY-JK menjanjikan “Agenda Program Keadilan Hukum,HAM dan Demokrasi” termasuk “penghormatan dan pengakuan atasHak Asasi Manusia”. Dalam uraiannya, dikatakan bahwa “Peme-nuhan HAM merupakan suatu keharusan agar warga negara dapathidup sesuai dengan kemanusiaannya”. Lingkup HAM yang dimak-sud SBY-JK mencakup: “Hak atas kebebasan berpendapat, hak ataskebebasan berorganisasi, hak atas keyakinan agamanya, hak ataskecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan danpekerjaan, dan hak atas hidup yang sehat”.

Agar janji ini dapat terwujud dan mumpung masa pemerintahanmasih seumur jagung, maka SBY-JK hendaknya segera menyiapkanimplementasi reforma agraria menyeluruh, termasuk membentuk ke-lembagaan penyelesaian konflik agraria.

Secara khusus, pemerintahan perlu mempercepat penyusunanUU tentang hak asasi petani dan membahasnya melalui konsultasipublik, terutama kepada serikat-serikat tani. Apa yang hendak ditujudari penegakkan hak asasi petani? Dimuliakannya kaum penghasilmakanan sekaligus berkurangnya kemiskinan dan ketimpangan yangselama ini mendera sebagian besar anak bangsa, inilah yang patutkita usahakan dengan saksama.***

Page 178: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

159

Sinar Harapan, 19 Maret 2005

Velasco, Soekarno, dan Yudhoyono

SETELAH seratus hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyonoberlalu, agenda reforma agraria yang dijanjikan seperti karam ke

dasar laut. Tak ada skenario luar biasa dalam peningkatan kese-jahteraan rakyat. Tak ditemukan program kongkrit untuk menye-diakan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, revitalisasi perta-nian dan pedesaan lewat jalan pembaruan agraria.

Sementara itu, belum lama ini penulis telah mempelajaripengalaman reforma agraria di Peru, sebuah negeri bekas jajahanSpanyol di Amerika Selatan. Banyak hal bisa dijadikan pelajaranberharga bagi kemungkinan pelaksanaan pembaruan agraria diTanah Air. Reforma agraria di Peru dijalankan ketika Juan VelascoAlvarado memimpin Peru (1968 - 1975). Di bawah Velasco, jenderalyang militeristik namun populis, terbit dan berlaku Undang-UndangReforma Agraria No. 17716 yang terbilang komprehensif.

Dibentuk pengadilan khusus untuk menangani konflik agrariadan bank agraria yang menyediakan modal usaha bagi petani. Di-bentuk pula ratusan koperasi produksi agraria yang menghimpunrakyat penerima manfaat reforma agraria. Objek reformnya adalahtanah-tanah perkebunan (tebu, jagung, meisena, kapas, dll.) yangsebelumnya dikuasai tuan tanah sebagai sisa-sisa feodalisme danimperialisme di masa lalu.

Oleh Velasco, para tuan tanah dipaksa menyerahkan tanahnya,kemudian dibagikan kepada rakyat melalui koperasi produksi yang

Page 179: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

160

Usep Setiawan

beranggotakan petani yang sebelumnya bekerja sebagai buruh(budak) di perkebunan itu. Melalui koperasi, petani Peru mengem-bangkan kemampuannya. Koperasi jadi media untuk mengaksesmodal, sarana produksi, keterampilan teknis hingga akses pema-saran bagi produk pertanian mereka.

Lebih dari itu, koperasi menjadi tangga bagi rakyat jelata untuk“naik kelas” menjadi manusia pemilik yang berharga diri seutuhnya.Reforma agraria di Peru berjalan dengan dukungan kuat rakyatnyakarena mereka dilibatkan dalam setiap tahapnya.

Reforma agraria di Peru relatif berhasil dalam mengatasi ketim-pangan penguasaan tanah di pedesaan. Selain itu, telah meningkat-kan produksi kolektif petani Peru yang berlandaskan kerja bersamamelalui koperasi yang mengangkat rakyat dari kubangan kemiskinan.Bahkan, reforma agraria telah meredam pemberontakan petani takbertanah yang sebelumnya terkenal sangat kuat—seperti gerakanrevolusioner Tupac Amaru.

Pengalaman kita

Pada tahun 1960-an Indonesia telah berusaha menjalankanreforma agraria atau landreform. Di bawah Undang-undang No. 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA),Presiden Soekarno mencanangkan landreform sebagai bagian mutlakdari revolusi Indonesia. Objek utama tanah yang diredistribusi ialahtanah-tanah kelebihan maksimum dan tanah guntai atau absentee.Subjek penerimanya ialah buruh tani dan petani kecil di sekitarnya—saat itu, kaum tani terfragmentasi ke dalam organisasi tani yangbernaung di bawah bendera partai politik (seperti BTI, GTI, Petanu,Petani, dll).

Ketika dijalankan, terjadi ketegangan sosial politik di tingkatakar rumput. Para tuan tanah menolak program landreform danmenggalang kekuatan untuk menghambat redistribusi tanah mereka.Di sisi lain, karena desakan kebutuhan dan militansi berlebih, seba-gian kelompok tani terdorong melancarkan “aksi sepihak” mendu-

Page 180: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

161

Kembali ke Agraria

duki tanah-tanah yang diidentifikasi sebagai objek landreform.Konflik sosial di pedesaan pecah. Korban pun berjatuhan, kononribuan rakyat tak berdosa menemui ajalnya —jumlah korban peristi-wa 1960-an hingga kini masih teka-teki.

Akhirnya, belum lima tahun landreform dijalankan (1962-1964),Soekarno yang sipil-populis itu terguling dan digantikan Soeharto.Berbeda dengan Soekarno, jenderal Soeharto dikenal sebagaipemimpin yang militeristik dan kapitalistik.

Tidak heran jika landreform kemudian dikubur oleh Soehartodan diatasnya didirikan menara politik agraria pro kapital yang dise-but “pembangunan”. Sejak Soeharto berkuasa hingga lengser (1966-1998), reforma agraria praktis terpinggirkan bahkan masuk kategori“lagu” terlarang untuk didendangkan.

Setelah Soeharto tumbang, Indonesia memasuki era reformasidan demokrasi. Pada tahun 2001 negara secara resmi mengakui(kembali) pentingnya reforma agraria melalui Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.Setelah Soeharto digantikan Habibie, Wahid, Megawati, dan kiniYudhoyono, agenda reforma agraria tetap saja tak mendapat perhatianserius dari pucuk pimpinan negara.

Presiden Yudhoyono menjanjikan reforma agraria, namun tetapmenerbitkan izin usaha bagi puluhan kontrak karya usaha pertam-bangan besar, hak guna usaha untuk pengusaha perkebunan, danhak pengusahaan hutan bagi pengusaha kehutanan. Ia juga tak kun-jung mengoreksi kebijakan pertanahan yang pro-pasar.

Memetik pelajaran

Ada tiga pelajaran dari pengalaman Peru. Pertama, pelaksanaanreforma agraria hanya mungkin terjadi jika pucuk pimpinanpemerintahan berkomitmen tinggi untuk mengakhiri ketidakadilanagraria. Kedua, muculnya komitmen pemerintah terhadap reformaagraria akan lebih mantap jika didorong kekuatan gerakan rakyat.Ketiga, kombinasi kuatnya komitmen pemerintah dengan sokongan

Page 181: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

162

Usep Setiawan

rakyat adalah kunci sukses agenda reforma agraria.Mengacu pengalaman Peru, Yudhoyono sebenarnya potensial

mempimpin pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Jika di Peru,Velasco menyadari betul faedah latar belakang kemiliterannya untukmemaksa tuan-tuan tanah menyerahkan tanahnya untuk dibagikankepada kaum tani, maka Yudhoyono pun dapat “memaksa” setiappemonopoli tanah dan kekayaan alam bagi kepentingan puluhanjuta rakyat yang membutuhkannya.

Tentu saja ia tak perlu menonjolkan kemiliterannya sebagaimanaVelasco. Ia dapat berfikir lebih jernih untuk merealisasikan populis-menya ke dalam kebijakan penyediaan tanah bagi petani. Lalu mem-bentuk komisi khusus berikut pengadilan khusus untuk penyelesaiankonflik agraria, bank khusus untuk menyediakan modal bagi petani,merangsang tumbuhnya koperasi-koperasi produksi pertanian, danmemberi ruang bagi terbentuknya serikat petani untuk terlibat aktifdalam reforma agraria.

Ini semua mungkin, karena selain pensiunan jenderal, Yudho-yono juga doktor pertanian yang pasti memahami seluk beluk agra-ria—disertasinya di IPB mengenai revitalisasi pertanian danpedesaan. Ia bisa jadi demokrat yang populis dengan melaksanakanreforma agraria di Indonesia sekarang. Patutlah dia berguru padaVelasco dan Soekarno, sembari mereduksi kelemahan keduanyadalam menata ulang masyarakat Indonesia yang masih penuh ketim-pangan dan ketidakadilan ini.***

Page 182: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

163

Sinar Harapan, 16 April 2005

17 April, Hari Perjuangan Petani Sedunia

TANGGAL 17 April 1996, petani Brasil berduka dan petanisedunia pun turut berkabung. Di kota Eldorado dos Carajos,

telah terjadi pembantaian terhadap petani yang sedang menuntuthak-haknya. Saat itu aparat keamanan Brasil memuntahkan pelurupanasnya ke para demonstran yang menjatuhkan 19 tewas dan 60orang luka berat.

Tindak kekerasan ini turut mengukuhkan pikiran para ahli dankalangan gerakan sosial untuk memperkuat perjuangan pembaruanagraria. Tragedi ini pula yang belakangan dijadikan tonggak sejarahgerakan kaum tani se-dunia. Oleh La Via Campesina—organisasi gera-kan tani lintas negara—17 April ditetapkan sebagai International Dayof Farmers Struggle.

Di Indonesia, kisah duka petani menjadi bagian yang lekat dalamsejarah bangsa. Penindasan feodalisme yang disambung kolonialismedan pembangunanisme menjadi fakta tak terbantahkan. Konflik agra-ria yang berkepanjangan telah mempertontonkan ribuan kasus tanahtanpa penyelesaian. Konflik agraria meluas dan melebar menjadikonflik kepentingan ekonomi-politik petani dengan kepentingangolongan lainnya.

Demikian halnya dengan ketimpangan struktur agraria yangmenampilkan ilustrasi piramida terbalik—mayoritas petani mengu-asai/memiliki sebagian kecil luas lahan pertanian dan di atasnyasegelintir orang yang dekat kuasa ekonomi/politik telah menguasai

Page 183: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

164

Usep Setiawan

sebagian besar darinya. Mayoritas rakyat terpaksa tunduk pada mi-noritas yang lainnya. Ketimpangan ini memicu kemiskinan di ka-langan rakyat, terutama petani di pedesaan. Ketimpangan ini pulayang memproduksi kecemburuan dan potensi konflik sosial yangberkepanjangan.

Era reformasi yang telah bergulir tujuh tahun ternyata menyi-sakan dilema bagi petani. Harapan akan terbitnya tatanan masyara-kat dan negara yang baru masih tinggal harapan. Jatuhnya Soeharto(1998) semula dipandang sebagai syarat pokok bagi kelahiranIndoneisa baru itu, termasuk perubahan kebijakan pertanian ke arahperbaikan dan peningkatan kualitas hidup petani. Namun, sekalilagi semua itu sekedar harapan belaka.

Celakanya, dinamika pentas politik Indonesia sepeninggal rezimSoeharto yang otoriter dan kapitalistik telah menciptakan situasi poli-tik nasional yang labil karena persaingan politik di tingkat elite yangtak berkesudahan. Bagi petani, pertikaian elite yang tidak menyentuhagenda kerakyatan tak ayal membawa dampak: (1) tertundanyapenyelesaian konflik dan ketimpangan agraria warisan masa lalu,(2) tertundanya peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup, dan(3) memudarnya kepercayaan petani kepada negara.

Di luar itu semua, terdapat peluang untuk dioptimalkan bagipercepatan gerakan petani Indonesia. Pertama, terbukanya ruangpolitik berupa kebebasan berserikat dan berkumpul serta menyatakanpendapat setelah lama dibungkam Orde Baru. Kedua, telah mulaitumbuhnya organisasi tani yang independen dari politik praktis.Ketiga, menguatnya perhatian dan dukungan kalangan menengahkota terhadap gerakan petani yang dapat ‘membantu’ mengembang-kan berbagai kapasitas.

Pengorganisasian

Untuk ke depan, perlu ditemukan agenda stategis gerakan taniIndonesia. Pilihan untuk menjalankan kerja-kerja pengorganisasiandi kalangan petani kiranya perlu menjadi prioritas. Selama ini, tak

Page 184: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

165

Kembali ke Agraria

terorganisirnya petani menjadi cikal bakal dari lemah dan kalahnyapetani di hadapan pihak lain. Melalui kerja tekun yang terus menerusdalam melahirkan, memperkuat, menata dan merawat organisasi taniyang sejati akan menjadi pintu gerbang bagi pertumbuhan kesadaranbaru, semangat baru dan kekuatan baru di kalangan petani.

Organisasi tani tidak melulu bicara sosial-politik petani, melain-kan juga menggarap segi sosial-ekonomi petani. Meningkatkan posisitawar secara politik mestilah disertai pengembangan kapasitas petanidalam ekonomi pertanian mereka. Kuat secara politik dan mandiridalam ekonomi adalah idealisme yang disasar oleh kerja pengorga-nisasian petani. Pendek kata, hanya melalui kerja terorganisirlahgerakan kaum tani dapat mencapai tujuan dan cita-citanya. Denganorganisasi yang baik pula, kalangan petani dan masyarakat padaumumnya dimungkinkan untuk menempuh jalur damai, dialogis danbermartabat dalam menyelesaikan beragam persoalan sosial, eko-nomi, dan politik yang dihadapinya. Untuk itu, konsolidasi antarorganisasi tani yang punya cita-cita sama menjadi kebutuhan men-desak.

Diperlukan juga pembukaan hati nurani dan akal sehat elitepolitik untuk secara serius mengabdikan posisi politiknya bagi ke-menangan petani, yang berarti kemenangan seluruh bangsa. Hatidan pikiran elite yang tengah manggung di kursi eksekutif, legislatifmaupun yudikatif sudah saatnya disterilkan dari pragmatisme politikelitis yang kerap kali tak sebangun, bahkan berseberangan dengankepentingan petani. Dengan hati jernih dan pikiran cerdaslah kebi-jakan yang menyentuh hidup petani akan mungkin terbangun.

Tragedi di Brasil 17 April sembilan tahun lalu, sebagaimanatragedi-tragedi sejenis yang seringkali berulang di tanah air kita—semacam kasus Bulukumba (Sulsel) dan Manggarai (NTT)—hendak-nya menjadi peringatan bahwa komitmen untuk memihak petanisedang ditunggu-tunggu. Dan komitmen ini mestilah dimiliki semuapihak yang menyatakan mencintai bangsanya sekaligus menghormatikemanusiaan asasi secara universal.

Page 185: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

166

Kompas, 18 April 2005

Pertanian di Era Globalisasi

TANGGAL 17 April kemarin dikenang sebagai Hari Tani se-Dunia. Kisahnya berawal dari sebuah tragedi di kota Eldorado

dos Carajos, Brasil, menyusul bentrok massal antara aparat keamanandan rakyat setempat. Dikabarkan 19 petani tewas dan 60 orang lukaberat pada tragedi yang meletus tanggal 17 April 1996 itu.

Tragedi ini kelak melahirkan gerakan rakyat di Brasil dalam ben-dera Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST), semacamgerakan rakyat tak bertanah yang gencar memperjuangkan reforma agrariaatas inisiatif rakyat. Gerakan rakyat tak bertanah di Brasil belakanganmenginspirasi gerakan tani di berbagai belahan dunia. Sebagai krista-lisasi dari kerja konsolidasi lintas negara, kini di tingkat internasionaltelah terbentuk organisasi gerakan tani bernama La Via Campesina.

Bagaimana dengan Indonesia? Setelah memasuki era reformasi,di Indonesia telah berdiri puluhan serikat tani di berbagai level. Diluar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), di tingkat nasio-nal ada organisasi gerakan tani, seperti Federasi Serikat Petani Indo-nesia (FSPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Tani Nasional (STN),Persatuan Tani Nelayan Indonesia (PETANI) Mandiri, dan AliansiGerakan Reforma Agraria (AGRA). Sekalipun masing-masing punyakarakteristik, namun agenda pokoknya sebangun, yakni memperju-angkan reforma agraria sejati di bumi Indonesia. Bagi bangsa yangbaru mengecap kemerdekaan berserikat dan berkumpul setelah OrdeBaru merampasnya lebih kurang 30 tahun, kehadiran berbagai organi-

Page 186: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

167

Kembali ke Agraria

sasi tani ini ibarat pelita di tengah kemuraman hidup petani Indonesia.Kita telah mafhum bahwa hanya melalui organisasi yang kuat, solid,

dan memihak petanilah, maka harapan petani untuk meningkatkanmartabatnya sebagai manusia utuh maupun penghasil makanan bagiumat manusia jadi lebih mungkin untuk tercapai. Bak sapu lidi, denganpersatuan yang diikat kuat, kita akan lebih ampuh menyingkirkansampah ketimbang hanya lidi sebatang yang pastilah rentan patah.

Globalisasi

Ketika mengingat tragedi 17 April di Brasil, kehidupan petanidan sektor pertanian sekarang sedang menghadapi tantangan yangtidak semata di tingkat lokal dan nasional, namun tantangan yangterbesar dan terberat mengepung dari tingkat global. Sektor pertaniannegara berkembang kini dikangkangi kebijakan ekonomi-politiknasional yang diikatkan erat secara global. Bonnie Setiawan dalamGlobalisasi Pertanian menandaskan bahwa pertanian sesungguhnyaadalah fondasi dan hidup-matinya sebuah negara. Namun, celaka-nya, kita sudah masuk ke dalam tahap perkembangan dunia terbaru,yaitu globalisasi pertanian, di mana AoA (Agreement on Agriculture)sebagai bagian dari WTO (World Trade Organization) sejak 1 Januari1995 akan mengatur semua subyek pertanian kita. AoA juga akanmengatur bagaimana sektor pertanian diurus negara (2003, hal. 4).

Berdasar pengalaman, liberalisasi pertanian menghasilkan kecen-derungan negatif bagi petani dan pertanian kita. Beberapa dampakyang sudah mulai dirasakan, pertama, liberalisasi itu menempatkanpetani sebagai obyek yang disetir oleh kepentingan modal yangditanamkan di sektor pertanian. Kedua, tidak adanya proteksi yangsubstansial bagi petani agar dapat tetap aman dalam kegiatan perta-nian. Ketiga, dihapuskannya subsidi bagi sektor pertanian yang menye-babkan melemahnya dukungan negara bagi petani. Keempat, memban-jirnya produk pertanian impor yang menggerus daya saing produkpetani kita. Kelima, menjadikan sektor pertanian menjadi urusan eliteekonomi sembari mempercepat urbanisasi dan proletarisasi.

Page 187: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

168

Usep Setiawan

Ini peringatan dini atas ancaman kedaulatan pertanian kita danbangsa agraris secara keseluruhan. Posisi negara kini tengah beradadi pusaran neoliberalisme yang menghendaki pengurangan bahkansejauh mungkin penghapusan peran negara dalam mengatur danmenentukan kebijakan pertanian sekalipun menyangkut mayoritaswarganya sendiri.

Walau demikian, kita tak perlu patah arang. Sebagaimana dise-mangati Bonnie, kini adalah saat terbaik untuk mengangkat kembalimasalah-masalah dasar pertanian ke permukaan, di tengah-tengaharus deras globalisasi dan liberalisasi. Sekaranglah saatnya yangtepat untuk menetapkan kembali reforma agraria sebagai tuntutandasar pembaruan pertanian dan pedesaan kita, sebagai bagian pokokdari gerakan reformasi total (2003, hal 5). Oleh karena itu, ke depankita tak boleh lengah. Kesigapan menghadapi arus globalisasi per-tanian sembari mencari alternatif solusi jadi pilihan bajik nan bijak.Selain mengingat sektor pertanian masih menjadi andalan dalammenyerap tenaga kerja kita yang terus membengkak, kesigapan ini pen-ting agar bangsa kita tidak (terus-menerus) menjadi bangsa kelas tigayang cocok sekadar jadi konsumen hasil-hasil pertanian bangsa lain.

Kedaulatan pangan

Hari Tani se-Dunia tahun 2005 hendaknya menginspirasi kitauntuk segera menyusun dan menerapkan strategi alternatif pem-bangunan pertanian yang mengutamakan kaum tani, sekaligusmemajukan sektor pertanian keseluruhan. Mengutamakan petanibukan berarti menegasikan kepentingan golongan masyarakat lain-nya, melainkan bersinergi secara positif. Memajukan pertanian bukan-lah memundurkan sektor lain, tetapi meletakan pertanian sebagaidasar menuju industrialisasi nasional yang tangguh di hadapan ge-lombang global.

Salah satu konsep alternatif yang layak dikedepankan menyertaiagenda reforma agraria—program negara bersama rakyat—dalammenata ulang struktur penguasaan tanah dan pemenuhan berbagai

Page 188: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

169

Kembali ke Agraria

sarana pendukungnya adalah agenda kedaulatan pangan (food sov-ereignty). Kedaulatan pangan hendaknya menjadi alternatif paradig-ma ketahanan pangan (food security) yang selama ini menjadi bagiandari konsep pembangunan pertanian konvensional. Makna kedau-latan pangan lebih luas dan dalam ketimbang ketahanan pangan.

Kedaulatan pangan, meminjam La Via Campesina, adalah hakrakyat yang mencakup: (1) memprioritaskan produksi pertanian lokaluntuk memberi makan rakyat, akses petani dan tunawisma atas tanah,air, benih, dan kredit melalui dijalankan landreform dan berbagaiprogram pendukungnya, (2) hak petani untuk memproduksi ma-kanan dan hak konsumen untuk menentukan apa yang dikonsumsi,bagaimana diproduksi, dan siapa yang memproduksi, (3) hak sebuahnegara untuk melindungi dirinya dari harga pangan dan pertanianimpor yang murah, (4) harga pertanian terkait dengan biaya produksi,misalnya, dengan mengenakan pajak atas impor berlebihan yangmurah, (5) rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakanpertanian, dan (6) pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yangmemegang peran utama dalam produksi pertanian dan pangan(Bonnie Setiawan, 2003, hal 124-125).

Program revolusi hijau gaya Orde Baru dalam berbagai segi telahdivonis gagal oleh banyak pihak. Revolusi hijau telah gagal men-jadikan kita sebagai bangsa yang berdaulat pangan—terbukti kitamenjadi salah satu negara pengimpor bahan pangan terbesar didunia, sekaligus turut mendemoralisasi kaum tani kita. Model pem-bangunan pertanian hendaknya direformasi total dengan meletakanreforma agraria plus kedaulatan pangan di atasnya.

Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) danWakil Presiden Jusuf Kalla (JK) hendaknya mencermati kebijakanberbagai departemen atau lembaga pemerintahan yang terkaitpertanian dan agraria. Mumpung belum terlambat, SBY-JK sebaiknyasegera merealisasikan janji reforma agraria, revitalisasi petanian danpedesaan sebagaimana menjadi visi, misi dan program mereka ketikakampanye Pemilu 2004 lalu.***

Page 189: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

170

Sinar Harapan, 11 Mei 2005

Heboh Perpres Penunjang Penggusuran

MENGETAHUI Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 3 Meilalu, meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun

2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunanuntuk Kepentingan Umum, hati penulis tergetar. Pikiran kusam meng-gelayuti isi kepala, membayangkan akan kian memburuknya kondisiagraria di Tanah Air tercinta. Betapa tidak, demi “pembangunan”dan “kepentingan umum”, Perpres ini memberi kewenangan kepadaPresiden untuk mencabut hak rakyat atas tanah.

Tak berlebihan jika dikatakan Perpres ini sejatinya sarana penun-jang penggusuran. Padahal kita rindu berhentinya penggusuranterhadap rakyat, berdalih pembangunan kepentingan umum seka-lipun. Perpres ini tak pelak bikin heboh karena berpotensi mengu-kuhkan cakar kapitalisme yang jadi biang krisis agraria, juga poten-sial membangkitkan otoritarianisme di lapangan agraria akibat makinringan tangannya penguasa menggusur tanah untuk pembangunan.Makin banyak dan kerasnya penggusuran tanah rakyat menjadi sesu-atu yang sangat mungkin terjadi jika Perpres ini dijalankan.

Latar belakang dan motif di balik Perpres ini sudah banyak dibe-ritakan dan dianalisis media massa. Liputan dan tajuk rencana koranini jadi contoh baik (lihat Sinar Harapan, 9/5/05). Perpres yang berisi24 pasal ini tidak secara gamblang memastikan keharusan tiap proyekpembangunan melindungi dan menghormati hak rakyat atas tanah.Perpres ini hanya merinci 21 jenis proyek berkategori pembangunan

Page 190: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

171

Kembali ke Agraria

untuk kepentingan umum (Pasal 5), yakni: (a) Jalan umum, jalan tol,rel kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuanganair dan sanitasi, (b) waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan ba-ngunan pengairan lainnya, (c) rumah sakit umum dan pusat kese-hatan masyarakat, (d) Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta apidan terminal, (e) peribadatan, (f) pendidikan atau sekolah, (g) pasarumum.

Selain itu; (h) fasilitas pemakaman umum, (i) fasilitas kesela-matan umum, (j) pos dan telekomunikasi, (k) sarana olah raga, (l)stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, (m) kan-tor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB,dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB.Juga mencakup; (n) fasilitas TNI dan POLRI sesuai tugas pokok danfungsinya, (o) lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, (p) ru-mah susun sederhana, (q) tempat pembuangan sampah, (r) cagaralam dan cagar budaya, (s) pertamanan, (t) panti sosial, dan (u) pem-bangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik.

Penulis mencatat ada delapan jenis yang paling kerap menuaikonflik; (a), (b), (d), (m), (n), (q), (r), dan (u). Sekedar contoh; kasusproyek jalan tembus Gunung Leuser Ladia Galaska di Aceh, wadukJatigede di Sumedang Jabar, perluasan Bandara Hasanuddin diSulsel. Lantas, banyak pembangunan kantor pemerintah bermasalahdi daerah, penyerobotan tanah rakyat untuk latihan perang maupunsarana militer lain, TPA sampah Bojong di Bogor, taman nasionalMoronene di Sultra, dan kasus SUTET transmisi listrik di banyaktempat.

Jelas harus ditolak

Data-base KPA merekam 1.753 kasus konflik agraria sepanjangOrba. Secara akumulatif konflik paling kerap terjadi pada proyek“pembangunan untuk kepentingan umum”, yakni 431 kasus (24,6%),dengan rincian: sarana umum atau fasilitas kota (243), bendunganatau pengairan (77), sarana militer (47), konservasi atau lindung (44),

Page 191: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

172

Usep Setiawan

dan perairan (20).Perpres ini jelas akan membawa implikasi luas di tengah

masyarakat, meliputi berbagai segi kehidupan, baik sosial, ekonomi,politik, hukum, maupun keamanan. Setidaknya ada enam potensiimplikasi pokok. Pertama, akan makin maraknya konflik agraria/sengketa tanah di kota, desa bahkan pedalaman. Konflik ini akandiwarnai makin tingginya represivitas yang dipertunjukkan aparatsehingga pelanggaran hak sipil-politik rakyat kian rawan terjadi.

Kedua, akan menguatkan komoditisasi tanah untuk kepentinganinvestasi, tanah diperlakukan sebagai dagangan objek spekulasidengan difasilitasinya agenda-agenda industrialisasi yang kapita-listik. Ketiga, akan semakin berkurangnya akses rakyat terhadappenguasaaan dan pemilikan tanah sehingga pelanggaran HAM segiekonomi, sosial dan budaya jadi makin gencar. Keempat, akan men-dorong percepatan pelepasan hak atas tanah dari rakyat yang memicukonsentrasi penguasaan tanah di kaum elite politik, ekonomi, bahkanmiliter. Kelima, akan melipatgandakan alih fungsi lahan produktifpertanian yang mengancam keamanan dan kedaulatan pangan.Keenam, akan memicu penggenjotan eksploitasi kekayaan alam yangmemperparah laju kerusakan lingkungan hidup.

Perpres ini jelas harus ditolak. Pakar/akademisi pro-rakyat,mahasiswa dan aktivis pro-reforma agraria, aktivis serikat tani, nela-yan, masyarakat adat dan kaum miskin kota, wakil rakyat dan aparatnegara yang jujur dan amanah, jurnalis sejati, serta publik mestibersatu membendung penggusuran dengan dalih pembangunanuntuk kepentingan umum.

Organisasi rakyat yang terdidik, militan dan bermassa luas hen-daknya maju di garda depan menentang perampasan tanah rakyatlewat Perpres 36/2005. Desakan massa akan efektif didengar pengu-asa yang mabuk kekuasaan, sehingga otoritarianisme agraria dapatditangkal. Secara legal, dengan sokongan kuat dari elemen publikyang peduli, layak diajukan permohonan judicial review atau kajiulang atas substansi dan potensi implikatif dari Perpres ini kepada

Page 192: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

173

Kembali ke Agraria

MA, sekaligus desakan penundaan pelaksanaannya.Yang diperlukan kini Perpres reforma agraria sebagai jawaban

atas ketiadaan kebijakan pembangunan yang memprioritaskan ma-yoritas rakyat. Pemerintahan sewajarnya menemukan solusi cerdasdalam membangkitkan bangsa melalui penyediaan, perlindungandan penghormatan hak rakyat atas tanah. Piawai menggusur rakyatbukan sekedar tak manusiawi, tapi juga cermin sebuah rezim yangkehilangan akal sehat dalam mengurus rakyatnya sendiri.***

Page 193: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

174

Kompas, 26 Mei 2005

Pembangunan Infrastruktur untuk Siapa?(Catatan atas Artikel Prof. Maria S.W.

Sumardjono)

ARTIKEL “Pembangunan Infrastruktur”, Prof Maria S.W.Sumardjono (Kompas, 29/4/05), telah membangkitkan wacana

seputar kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan. Tanpamengurangi hormat atas kepakaran beliau dalam hukum agraria,saya tergerak menaikkan wacana ke arah paradigma pembangunanterkait pertanahan.

Prof. Maria menulis, untuk mendukung pembangunan jalan tolsaat ini telah disiapkan perubahan/penyempurnaan Keppres Nomor55 Tahun 1993 menjadi Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) ten-tang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Ke-pentingan Umum. Menurutnya, substansi penyempurnaannya diha-rapkan lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait. Lebih lanjut beliau mengabarkan bahwa sekarang peme-rintah telah menyiapkan RUU tentang Perolehan Tanah untuk Ke-giatan Pembangunan. Jika perpres tadi diterbitkan, seyogianya dipan-dang untuk memenuhi kebutuhan sementara sambil mengupayakanterbitnya undang-undang tersebut.

Wacana penyediaan “tanah untuk pembangunan” tampaknyamemang perlu dihangatkan. Di era Soeharto, wacana ini merajai,bahkan jadi pilihan strategi pemerintah saat itu. Tanah untukpembangunan, selama tiga dekade secara dramatis telah menggeser

Page 194: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

175

Kembali ke Agraria

paradigma populer di era Soekarno: “tanah untuk rakyat”. Pem-bangunan infrastruktur mutlak butuh tanah dan infrastruktur men-jadi prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan berikutnya. Di zamanSoeharto, aspek pertanahan harus tunduk pada kemauan pem-bangunan. Jika perlu, pemilik tanah digusur tanpa kompensasiseperak pun. Dulu, ketika jalan digelar, waduk dibendung, jaringanlistrik dibentangkan, pabrik industri didirikan, kerap kita dengarrakyat merintih. Kekerasan sering dipakai untuk menggusur rakyatdemi pembangunan.

Di era Soeharto, barang siapa tak mau menyerahkan tanahnyauntuk pembangunan, maka distempel antipembangunan. Siapaberani menggalang kekuatan menolak proyek pembangunan yangmenggusur tanah rakyat, maka tudingan perongrong pemerintahan,subversif, makar, dan tuduhan seram lainnya segera ditimpakan.Kisah tragis di era Soeharto ini kembali membayang saat ruh pem-bangunan yang semirip kini digencarkan. Demi mulusnya investasimasuk ke Tanah Air, kini pemerintah menyiapkan infrastruktur danmenyediakan berbagai kemudahan bagi investor (asing)—termasuksegepok dasar legalnya—agar tertarik menanamkan modalnya. Tidakheran jika pembangunan jalan tol, kereta api, bandara, pelabuhan,bendungan, listrik, dan sebagainya kini digelorakan.

Bagi rakyat yang tanahnya terpakai untuk pembangunan infra-struktur, terimalah ganti rugi dari pemerintah/pelaksana proyek. Dimasa lampau, ganti rugi bermakna kerugian rakyat, materi maupunnonmaterial. Perbaikan sistem ganti rugi inilah yang dengan tangkasdipromosikan Prof. Maria dalam artikelnya tadi.

Komoditisasi tanah

Jika ditelusuri, wacana “tanah untuk pembangunan” berakarpada paradigma “tanah sebagai komoditas”—barang dagangan. Eko-nomi sebagai panglima—membutuhkan kepastian dan perlindunganhukum atas pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah untukpembangunan. Rezim pembangunan menghendaki jaminan kuat

Page 195: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

176

Usep Setiawan

secara legal formal. Dalam konteks ini, penyusunan perpres dan RUUtentang tanah untuk pembangunan patut diduga merupakan aspeklegalisasi dari skenario besar politik pembangunan yang mendewakaninvestor asing sekaligus tanda digencarkannya kembali pem-bangunan yang kapitalistik.

Telah dimaklumi, ekspansi kapitalisme global senantiasa butuhinfrastruktur yang memungkinkan pemilik modal lebih mudahmenyedot sumber daya dan gampang memasarkan berbagai produk-nya. Dengan infrastruktur yang mantap, maka penyedotan sumberdaya kian kuat dan pemasaran produk mereka makin deras memban-jiri negeri-negeri konsumennya.

Pembangunan infrastruktur biasanya dibiayai utang luar negeri.Berbagai syarat mestilah dibingkai dalam pagar kepentingan pemberiutang. Setelah infrastruktur tersedia, para pemilik modal akan ber-bondong-bondong datang untuk menancapkan modalnya dan mera-suki industri yang bergerak di berbagai lini, semisal, industri manufak-tur, substitusi impor, barang konsumsi, perakitan mobil, motor, mesin-mesin, alat listrik, elektronik, perminyakan, pertambangan, kehu-tanan, perkebunan, pariwisata, perbankan, dan sebangsanya.

Tujuan manis yang kerap disodorkan dari semua proyekpembangunan di atas ialah guna menyerap tenaga kerja, memangkaspengangguran, mengurangi kemiskinan, sekaligus membantutumbuhnya ekonomi Indonesia. Timbul kesan, tiada yang kelirudengan itu semua. Namun, investasi lazimnya mencerabut sejumlahhak tanah rakyat melalui mekanisme pasar maupun campur-tanganpemerintah. Diprediksi, merangseknya kapital ke negeri ini akan kianmendorong pemusatan penguasaan tanah dan menjadikan rakyatbanyak makin kehilangan aksesnya atas tanah. Kebijakan menujukomoditisasi tanah terus bergulir melalui Proyek Administrasi Perta-nahan (land administration project/LAP) yang didanai utang BankDunia. LAP menjadi instrumen modal internasional untuk menguasaiTanah Air kita secara harfiah. Kemudahan mendapat sertifikat tanahserta iming-iming kredit bank menjadi siasat pemodal untuk mengu-

Page 196: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

177

Kembali ke Agraria

asai tanah rakyat melalui mekanisme pasar.Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, dalam “Tanah Sebagai

Komoditas” (1996), menganalisis fenomena pertumbuhan kapitalismeOrde Baru. Darinya diketahui, fenomena tergesernya petani dari pemi-likan dan penguasaan tanah dan meningkatnya konflik pertanahanterjadi karena watak kapitalisme yang cenderung terus melakukaneksploitasi, akumulasi, dan ekspansi kapital di atas kesenjanganstruktur pemilikan faktor-faktor produksi, termasuk tanah dan dis-tribusi pendapatan (hlm. x-xi). Patut diwaspadai, pembangunan infra-struktur yang digiatkan sekarang merupakan lanjutan dari skenariopembangunan kapitalistik Orba yang sempat terinterupsi “krisis”maupun “reformasi”.

Jika gelagat ini terbukti, dipastikan ketimpangan sosial akanmelebar dan mencabik-cabik harmoni sosial bangsa. Dalam suatuseminar di Jakarta, Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro (1999) mengingat-kan bahwa penataan ulang struktur agraria yang timpang dan tidakadil diperlukan guna menghindari revolusi sosial yang anarkis.

Untuk siapa?

Lantas, siapakah yang akan paling diuntungkan dari pem-bangunan infrastruktur? Hemat penulis, pemodal besarlah yang akanmeraup keuntungan terbesar. Dengan infrastruktur yang lebih baik,maka pembangunan yang dimotori pemodal besar yang eksploitatif,akumulatif, dan ekspansif akan berjalan lebih mulus. Pembangunaninfrastruktur sejatinya jembatan menuju penguatan gurita kapitalis-me global.

Pembangunan mungkin meningkatkan pendapatan nasionalsecara makro. Namun, kesuksesan ini semu belaka karena akanmenyisakan ketimpangan sosial-ekonomi, terkurasnya aneka sumberdaya, kerusakan lingkungan, diskriminasi jender, ketidakadilanmultidimensi pemicu krisis, dan pemantik konflik sosial. Yang tepatdipikirkan sekarang ialah menemukan model pembangunan ekonomiyang bertumpu pada kekuatan bangsa sendiri. Industrialisasi nasio-

Page 197: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

178

Usep Setiawan

nal hendaknya berpangkal tolak pada sumber daya sendiri.Presiden dan DPR hendaknya menindaklanjuti amanat Kete-

tapan MPR No V/2003 untuk: “menyelesaikan berbagai konflik danpermasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulaidari persoalan hukumnya sampai dengan implementasinya dilapangan…” serta “mempercepat pembahasan RUU pelaksanaanpembaruan agraria, RUU penataan struktur agraria, serta RUUpenyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam”.

Karenanya, pembangunan infrastruktur sebaiknya digencarkansetelah penataan ulang struktur agraria dijalankan terlebih dahulu.Keadilan agraria akan meningkatkan taraf hidup mayoritas rakyat,menjadi dasar stabil dan kokoh bagi pembangunan, serta merangsangpembentukan modal dalam negeri yang melandasi industrialisasinasional.***

Page 198: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

179

Suara Pembaruan, 15 Juni 2005

Perpres 36/2005:Membangun atau Menggusur?

BERAGAM sikap bermunculan menyertai terbitnya PeraturanPresiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, 3 Mei 2005.Kalangan pengusaha dan pemerintah menyambut girang Perpresyang diasumsikan akan mempermudah pembebasan tanah untukkepentingan yang mereka rancang.

Di lain pihak, opini publik bereaksi kritis terhadapnya. KalanganOrnop dan organisasi rakyat bahkan bersiap melancarkan serang-kaian aksi massa penolakan serta gugatan secara hukum. KalanganDPR, khususnya Komisi II yang membidangi pertanahan secara alotmengkritisi Perpres ini. Sebagian fraksi tegas menolak, yang lainnyadapat memahami, lantas komprominya adalah meminta penundaandan revisi. Melalui rekomendasi sebuah seminar nasional di UnhasMakassar, Komnas HAM pun sudah meminta pencabutan Perpresini.

Sulit menampik bahwa ke-21 objek kepentingan umum yangdiatur Perpres ini ialah kebutuhan publik. Namun, agenda tersem-bunyi di balik Perpres ini sudah gamblang membawa kepentinganpembangunan pro-modal besar yang berwatak eksploitatif sekaligusrepresif. Hal ini potensial memperbanyak konflik karena maraknyapenggusuran tanah rakyat dengan dalih “pembangunan kepentinganumum”. Perpres 36/2005 ini memberi kewenangan kepada Presiden

Page 199: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

180

Usep Setiawan

untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Presiden telah memberi ke-wenangan sangat besar kepada dirinya sendiri untuk mencabut hakmilik atas tanah (Psl. 3 dan 10).

Perpres ini pantas dikritisi publik karena potensi implikasi sosial,politik, ekonomi, yuridis bahkan keamanan yang ditimbulkannya.Perpres ini dapat memproduksi konflik sosial yang dipicu konflikagraria/sengketa tanah di kota, desa, hingga pedalaman.

Perlu kewaspadaan

Sebelum Perpres ini, terdapat Keppres No 55/1933 yang menga-tur substansi yang sama. Jadi, isi Perpres ini sesungguhnya bukanperkara yang sama sekali baru. Perpres ini dapat dikatakan sebagaipenguatan isi Keppres tersebut, dengan kadar potensi represivitasyang jauh lebih tinggi. Kita sudah tahu bahwa Keppres No 55/1993di masa Soeharto telah menyebabkan banyak tragedi penggusurantanah rakyat untuk kepentingan “pembangunan kepentinganumum”. Saat itu, penggusuran dianggap “legal” karena dipayungihukum (Keppres). Perpres 36/2005 akan mengulangi bahkan mem-perdahsyat tragedi penggusuran yang memilukan seperti terjadi diera Soeharto.

Terdapat dua hal penting yang perlu diwaspadai. Pertama, Per-pres ini bisa menjadi jembatan bagi masuknya investasi secara lebihgencar. Ini bisa kita lacak dari kronologis keluarnya Perpres yangmerupakan tindaklanjut dari infrastructur summit (Januari 2005) yangmenghendaki fasilitasi atau kemudahan bagi investor mendapatkantanah untuk kepentingan investasi. Bisa dikatakan Perpres ini meru-pakan “jalan tol” bagi kepentingan modal raksasa (asing) yang hen-dak membiakan kekayaannya di negeri kita. Kedua, Perpres ini dapatdijadikan alat legitimasi praktik politik otoriter di bidang pertanahan(agraria). Otoritarianisme berupa kewenangan pemerintah (c.q. Presi-den) yang begitu besar untuk mencabut hak rakyat atas tanah bisajadi preseden buruk. Kelakukan represif yang dipertontonkan peme-rintahan produk pemilu demokratis sudah di pelupuk mata.

Page 200: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

181

Kembali ke Agraria

Kombinasi kapitalisme dengan otoritarianisme di lapanganagraria ini dipastikan memproduksi konflik agraria yang makin beratdan keras di lapangan. Dan kita tahu, konflik agraria terdahulu belumterselesaikan. Perpres ini diprediksi melipatgandakan intensitas kon-flik agraria di berbagai tempat yang potensial melanggar HAM.Perdebatan lain yang menyeruak bersama lahirnya Perpres ini adalahpemaknaan “pembangunan kepentingan umum”. Kepentingan siapayang diperjuangkan Perpres 36/2005? Kita layak trauma dengan “ke-pentingan umum” ala Orba, yakni kepentingan pemerintah dan/atau investasi.

Sekadar contoh, pembuatan jalan tol yang dibutuhkan untukpeningkatan efisiensi mobilitas. Siapa yang menerima keuntunganpaling besar dari dibangunnya jalan tol? Tentu saja perusahaan yangmengelola jalan tersebut dan pemodal yang memperdagangkanproduk industri mereka sambil mengangkut kekayaan beragam sum-berdaya kita. Bagaimana pun, penyediaan infrastruktur yang kemu-dian dijadikan sarana untuk masuknya investasi dan kepentinganindustrialisasi hendaknya tidak mengesampingkan, apalagi meram-pas kepentingan dan hak rakyat. Kaum tani di pedesaan, kaum mis-kin kota, masyarakat adat di pedalaman, dan kelompok rentan yangmarginal lainnya harus dijamin keamanan dan keselamatannya dariancaman penggusuran berdalih Perpres 36/2005 ini.

Prioritas dan keberpihakan pembangunan infrastruktur yangadil dan proporsional-lah yang kita idamkan. Mendahulukan infra-struktur bagi mereka yang serba berkecukupan—apalagi pihak asing—bukanlah kebijakan tepat dan pantas ketika mayoritas rakyat masihterjerat kemiskinan. Yang perlu diperjuangkan ialah terbitnya kebi-jakan pembangunan yang memihak dan memakmurkan rakyat. Hasilpembangunan dipersembahkan bagi rakyat jelata. Penyediaan infra-struktur yang paling dibutuhkan mayoritas rakyatlah yang mestinyadiutamakan. Misalnya, kepentingan umum di pedesaan bagi kepen-tingan petani adalah penyediaan tanah, modal, teknologi, dan saranaproduksi serta pasar pertanian. Bagi kaum miskin kota ialah tempat

Page 201: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

182

Usep Setiawan

tinggal layak dan pekerjaan manusiawi. Bagi kaum buruh adalahupah wajar dan jaminan sosial yang menyeluruh. Bagi masyarakatadat di pelosok pedalaman perlu pengakuan kedaulatan atas wilayahdan hukum adatnya.

Pemerintahan ditantang menyediakan infrastruktur penunjangproduktivitas dan kesejahteraan mayoritas rakyat yang memperkuatgolongan ekonomi lemah dan membela kaum yang paling memer-lukan pertolongan. Kebijakan pertanahan (agraria) pun akan sangatideal jika diabdikan bagi kepentingan mereka, yang nota bene menjadipemilih terbanyak dari pasangan persiden dan wakil presiden dalampemilu demokratis lalu.

Sekaranglah saatnya Yudhoyono untuk membangun, bukanmenggusur. Realisasi janji Yudhoyono untuk menerbitkan kebijakanpro-rakyat, seperti reforma agraia, revitalisasi pertanian dan pedesaansedang dinanti. Yudhoyono hendaknya jangan tergiur rayuan kaumberkantong tebal yang doyan menggusur tanah rakyat dengan berlin-dung di bawah selimut “kepentingan umum”. Sulit menemukanalasan kuat untuk tetap mempertahankan Perpres yang potensialmenggerogoti kredibilitas pemerintah sekaligus memicu konflik sosialini. Kemauan politik dari Yudhoyono untuk sesegera mungkin menca-butnya adalah pilihan bijak yang tengah kita nanti.

Jika tidak, gugatan hukum melalui uji materi ke MahkamahAgung untuk pembatalan Perpres ini kini tengah disiapkan KoalisiOrnop yang didukung sejumlah pakar handal di bidang hukum agra-ria. Aksi-aksi massa organisasi rakyat pun dipastikan akan berge-lombang menyertai tuntutan pencabutan Perpres ini. Pilihannya:cabut segera atau rakyat melawan.***

Page 202: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

183

Sinar Harapan, 2 Juli 2005

Perpres 36/2005:Dijalankan atau Dibatalkan?

KONTROVERSI mengitari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pem-

bangunan untuk Kepentingan Umum (3 Mei 2005). Tulisan ini merabakemungkinan ke depan mengacu kontradiksi pandangan dan sikapyang berkembang.

Komisi II DPR merekomendasikan penundaan pelaksanaan danrevisi Perpres 36/2005 dalam dua bulan (7 Juni 2005) – ada 10 dari24 pasal isi perpres yang diminta direvisi. Rekomendasi DPR diawalikesimpulan yang intinya: Diskriminasi kepentingan umum hanyakepentingan sebagian besar masyarakat; Pengadaan tanah memberipeluang kesewenang-wenangan; Ketidakjelasan yang mengabaikanhak asasi pemegang hak atas tanah; Membuka ruang kolusi antarapemerintah dengan pembeli tanah bermodal besar; Memperkecil ha-rapan rakyat memperoleh keadilan karena pemerintah memonopolipanitia pengadaan tanah; dan Represivitas pada pembatasan waktumusyawarah 90 hari dan konsinyasi dalam ganti kerugian.

Ketua Komnas HAM melayangkan surat bernomor 168/TUA/VI/05 kepada Presiden (21 Juni 2005). Jika DPR “hanya” minta pe-nundaan dan revisi, Komnas HAM lebih tegas: mendesak pencabutanPerpres 36/2005 karena potensial melanggar HAM. Dewan Per-wakilan Daerah juga mengkhawatirkan perpres ini. Laode Ida (DPDSultra) menemukan kasus penggusuran di Korumba Kendari yang

Page 203: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

184

Usep Setiawan

memakai Perpres 36/2005 ini. DPD berencana segera mempertanya-kannya kepada presiden.

Tutup mata dan telinga

Menarik mencermati respon balik pemerintah terhadap kritikdan usulan berbagai pihak terhadap perpres ini. Andi Malarangeng,Jubir Presiden, beberapa kali berusaha meyakinkan publik bahwaperpres ini tak seburuk yang disangka. Bukannya menjernihkan, kla-rifikasi Malarangeng malah makin membingungkan publik.

Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian, — yang pengusaha itu— juga tampil membela perpres, malah disisipi pernyataan sinis bah-wa penolak perpres pastilah spekulan tanah. Tak ketinggalan WapresJusuf Kalla (JK), yang juga saudagar, pernah berujar yang menolakPerpres 36/2005 hanyalah segelintir orang. Gubernur DKI Jakarta,Sutiyoso, bersikukuh akan menjalankan Perpres 36/2005 untuk me-lancarkan proyek infrastruktur, seperti Banjir Kanal Timur dan jalantol yang tertunda. Sikap Sutiyoso menuai kecaman karena dianggaparogan dan otoriter.

Sofyan Djalil, Menteri Infokom, datang menghentak—setelahrapat khusus dengan Jusuf Kalla, Menteri PU, Kepala BPN, MenteriPerumahan Rakyat, dan Gubernur DKI Jakarta—bahwa pemerintahtidak berencana menunda, merevisi, apalagi mencabut Perpres 36/2005. Rapat ini “menantang” penolak untuk menguji materi perpreske MA. Setelah lama ditunggu, dari Kalimantan Presiden angkatbicara. Intinya, Presiden menganggap penolakan terhadap Perpres36/2005 karena kurangnya sosialisasi. Presiden minta menteri danpemerintah daerah mensosialisasikan dan menjabarkan lebih lanjut.Perpres 36/2005 bukan untuk Presiden atau Wakil Presiden, atauinvestor, tapi untuk kepentingan umum. Begitu tandas Presiden.

Jalankan atau ralat?

Penulis memprediksi dua kemungkinan, bila tak ditemukan jalantengah. Pertama, jika perpres ini dipaksakan dilaksanakan, peme-

Page 204: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

185

Kembali ke Agraria

rintah akan segera “membebaskan” tanah-tanah milik rakyat untuk“kepentingan umum”. Banyak proyek infrastruktur mungkin segeradibangun. Namun, berbarengan dengan itu, kemungkinan besar akanterjadi ketegangan, benturan bahkan bentrok fisik karena sengketatanah. Tak mustahil korban jiwa akan berjatuhan menyertai praktikpenggusuran. Hal ini memicu delegitimasi politik pemerintah yangdipilih rakyat secara demokratis tetapi menerapkan kebijakan yanganti-demokrasi. Ini memupuk ketidakpercayaan rakyat serta meman-cing pembangkangan sosial terhadap rezim yang berkuasa.

Kedua, kalau perpres ini ditunda (atau dicabut/diralat sendiri)pelaksanaannya, pembangunan kepentingan umum dapat menggu-nakan Keppres No.55/1993. Sembari menyusun RUU pengadaantanah bagi pembangunan, pemerintah dan DPR menyempurnakanUUPA No. 5/1960 secara transparan melalui suatu kepanitiaan nega-ra. Pemerintah juga menyiapkan strategi komprehensif pelaksanaanpembaruan agraria atau reforma agraria. Lebih baik menangani penye-lesaian konflik agraria ketimbang menjalankan perpres yang poten-sial memicu konflik agraria baru. Kebijakan ini akan mengukuhkanlegitimasi politik pemerintah di mata rakyat.

Ralat sendiri Perpres 36/2005 bukanlah aib yang memalukanpemerintah (khususnya Presiden), melainkan sikap elegan daripenguasa yang rendah hati meralat kebijakan yang dinilai keliruoleh banyak pihak.

Tekanan massa dan uji materi

Selain kemungkinan di atas, kini aksi massa dan rencana ujimateri untuk mendesak pencabutan Perpres 36/2005 terus bergulir.Aksi bersama ribuan petani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskinkota, mahasiswa, aktivis, akademisi, seniman dan budayawan digelardi Istana Negara. Aksi sejenis dirancang di daerah (provinsi maupunkabupaten). Bahkan di lapangan digencarkan penentangan penggu-suran, juga didorong aksi-aksi reklaiming dan okupasi oleh berbagaikelompok masyarakat. Jika aksi massa ini berjalan mulus maka

Page 205: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

186

Usep Setiawan

tuntutan reforma agraria menyeluruh kian menemukan konteksnya.Uji materi Perpres 36/2005 kepada Mahkamah Agung (MA) yang

dilakukan oleh puluhan pengacara handal yang disokong pakar hu-kum agraria dan ribuan surat kuasa gugatan dari publik bisa berujungpada pembatalan Perpres 36/2005 oleh MA karena dinilai berten-tangan dengan perundang-undangan, termasuk UUD 1945. JikaPerpres 36/2005 dibatalkan oleh MA maka pemerintah mengalamikekalahan hukum. Ini preseden buruk yang merongrong pemerintah“kehilangan muka”. Citra politik pemerintah, khususnya Presiden,pun di ambang kepudaran. Inilah segi politis Perpres 36/2005 yangbisa diolah jadi peluru politik macam-macam pihak.

Apabila Perpres 36/2005 dibenarkan oleh MA maka pemerintahmemiliki legalitas yang kuat untuk menggusur tanah rakyat. Secarayuridis formal pemerintah menang. Tapi ini bom waktu bagi meledak-nya konflik sosial yang dipicu pendekatan legal formal versus terusik-nya rasa keadilan rakyat dalam pembebasan tanah untuk pem-bangunan.

Tampaknya, kemauan dan keberanian presiden meralat sendiriPerpres 36/2005 adalah pilihan tepat yang paling kecil risikonya.***

Page 206: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

187

Kompas, 14 Juli 2005

Legalisasi Tanah Rakyat

KONTROVERSI Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum (3 Mei 2005) merangsang kita untukmendiskusikan urgensi reforma agraria di Indonesia. Yang diperlu-kan adalah pengakuan dan perlindungan tanah rakyat. Pengakuanhak rakyat atas tanah adalah upaya serius pemerintah untuk menga-kui hak rakyat atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanahserta kekayaan alam lain, yang disebut legalisasi hak rakyat atastanah.

Reclaiming dan okupasi

Reclaiming dan okupasi awalnya sporadik dan lokalistik. Seba-gian mengembalikan tanah rakyat yang sebelumnya dirampas.Namun, pelaku dan pendukung menganggap bahwa ini pengemba-lian hak. Lantas, apa hukumnya mengambil kembali harta milik yangdicuri orang lain?

Yang berhasil akan menggarap dan memanfaatkannya hinggamenjadi sumber penghasilan. Mereka menikmati kesejahteraan karenaterbebas dari kemiskinan. Busung lapar dan kekurangan gizi dianti-sipasi secara mandiri. Sebagian reclaiming berjalan mulus, tetapi ke-banyakan harus “bertempur” dengan aparatus negara, bahkan pre-man. Banyak petani ditangkap dan ditahan. Korban jatuh, bahkansejumlah nyawa petani, yang mempertahankan dan memper-

Page 207: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

188

Usep Setiawan

juangkan hak atas tanahnya, melayang.Reclaiming dan okupasi kian me-massal dan lebih sistematis.

Metamorfosis aksi sporadik ke gerakan sistematis menjadi indikasimenguatnya kebutuhan reforma agraria. Tanah-tanah perkebunanmenjadi sasaran empuk reklaimer dan okupier. Perkebunan telantar,yang hak guna usahanya cacat hukum atau (hampir) habis, menjadidalil pemicu reclaiming dan okupasi. Aksi ini wujud kebutuhanrakyat atas lahan pertanian.

Secara legal, aksi ini “melanggar” hukum. Namun secara sosio-politik menjadi keniscayaan karena reforma agraria tak dijalankan.Reclaiming dan okupasi diistilahkan para ahli sebagai agrarian re-form by leverage, pembaruan agraria yang didongkrak rakyat bawah.

Kenapa legalisasi?

Legalisasi bukan tujuan akhir, tetapi jembatan antara pengu-asaan tanah langsung (de facto) menuju pengabsahan tata kuasa (dejure) rakyat, lalu revitalisasi sistem pertanian, serta pembangunanpedesaan melalui reforma agraria. Jembatan ini perlu agar tindakanrakyat dilindungi negara secara legal, seperti dijamin konstitusi. Nilaipositif legalisasi ialah untuk memastikan status hak kepemilikan,penguasaan, dan pemanfaatan tanah rakyat, lebih menjamin ke-amanan penguasaan tanah (security of land tenure) rakyat, dan gerbangpengembangan ekonomi rakyat serta revitalisasi pertanian.

Legalisasi hendaknya menjamin tercapainya keadilan agrariaseperti dituju reforma agraria. Prinsip-prinsip berikut perlu diper-timbangkan. Pertama, memakai pendekatan pengutamaan hak rakyatyang menduduki dan menggarap tanah. Pendekatan transitional jus-tice dalam wacana HAM layak diterapkan. Kedua, legalisasi dikerang-kakan dalam reforma agraria. Kepeloporan organisasi tani kecil,buruh tani dan penggarap, mutlak perlu untuk memastikan legalisasibenar untuk rakyat. Ketiga, harus dipastikan legalisasi ini sampai keyang berhak. Perlu dicegah “penumpang gelap” yang mengail di airkeruh untuk kepentingan pribadi. Keempat, tanah yang sudah dile-

Page 208: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

189

Kembali ke Agraria

galisasi tidak boleh diperjualbelikan. Organisasi tani harus menyiap-kan perangkat untuk menghindari komersialisasi tanah setelahlegalisasi. Kelima, diperlukan data obyek dan subyek penerima man-faat. Riwayat, posisi, dan luas tanah yang akan dilegalisasi harustepat. Siapa penerima manfaatnya pun harus akurat.

Berbagi peran

Perlu organisasi tani yang kuat dan mandiri, bercita-cita luhur-jelas, punya program nyata-terukur, ditopang kader terdidik-militan,bermassa sadar-luas. Organisasi tani yang sudah menduduki tanah(bekas) perkebunan harus berperan aktif.

Ornop dan akademisi layak menjadi mediator aktif dalamlegalisasi. Pemerintah berperan sentral dalam legalisasi. Pejabat danaparat pemerintah perlu memahami problem nyata agraria, pro-reforma agraria untuk rakyat, terbuka dan dekat dengan rakyat.Pejabat dan aparat pemerintah terkait hendaknya berperan sebagaipelayan rakyat, bukan penguasa yang hobinya dilayani.

Mengenai format dan detail teknis legalisasi adalah urusansetelah komitmen politiknya tersedia. Komitmen melegalisasi tanahrakyat bermakna pemenuhan langsung harapan rakyat yang de factomenguasai “tanah negara” tetapi belum memperoleh pengakuan.Legalisasi dijalankan sambil menyiapkan berbagai prasyarat reformaagraria menyeluruh.***

Page 209: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

190

Pikiran Rakyat, 20 Juli 2005

Problem Paradigmatis Perpres 36/2005

ARTIKEL Prof. Budiman Rusli bertajuk “Peraturan PresidenNomor 36/2005 Menggusur Rakyat?” (Pikiran Rakyat, 16/7/

05) menarik dicermati. Argumen akademis nan jernih Prof. Budimanseputar Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang PengadaanTanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum terasa lancardikunyah nalar.

Di hujung karyanya, Prof. Budiman menyimpulkan, “Tampak-nya Perpres 36/2005 jika diberlakukan dengan proses yang baik,melalui sosialisasi yang cukup dan pendekatan yang dilakukan ada-lah pendekatan manusiawi bukan pendekatan kekerasan, serta adajaminan ganti rugi yang mengedepankan rasa keadilan, maka masihada peluang Perpres 36/2005 ini bukan sebagai kebijakan menggusurrakyat kecil”.

Pembaca dapat berkesan bahwa jika perpres ini dijalankan denganbaik, tidak akan ada penggusuran tanah rakyat. Kesan ini menekankanaspek “implementasi” ketimbang “substansi” dan “konteks” kebijakantersebut. Dari buah pikiran Prof. Budiman, saya bertanya. Pertama,seberapa besar peluang tidak terjadinya penggusuran akibatimplementasi Perpres 36/2005? Kedua, sejauh mana paradigma politikagraria sebagai konteks lahirnya perpres ini dipertimbangkan?

Peluang menggusur

Sampai saat ini, pemerintah tetap bertekad untuk menjalankan

Page 210: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

191

Kembali ke Agraria

Perpres 36/2005 guna mempercepat pembangunan infrastrukturuntuk kepentingan umum. Apabila ditelusuri kronologis pener-bitannya, “kepentingan umum” dalam perpres ini kental dengankepentingan investor yang ikut infrastructure summit (Januari 2005).Konteks ini telah menggeser makna kepentingan umum dari Keppres55/1993 yang digantikan oleh Perpres 36/2005.

Menurut Keppres 55/1993, kepentingan umum ialah “kepen-tingan seluruh masyarakat” yang “dilakukan” dan selanjutnya“dimiliki” oleh pemerintah serta “tidak digunakan untuk mencarikeuntungan (profit)”. Sedangkan Perpres 36/2005 memaknai kepen-tingan umum sebagai “kepentingan sebagian besar masyarakat”.Titik.

Tak jelas kriteria kepentingan umum tersebut. Penambahanobjek, dari 14 (Keppres) menjadi 21 (Perpres) tak menjawab batasankepentingan umum. Kaburnya definisi ini bisa dimanfaatkan kepen-tingan bisnis/swasta. Jaminan bahwa Perpres 36/2005 tak akanmenggusur rakyat amat layak kita ragukan mengingat budayabirokrasi dan aparaturnya yang mayoritas masih bermental “raja”ketimbang “pelayan”. Benih otoritarianisme dan represivitas yangdikandung perpres ini akan menjadi senjata para birokrat dan aparatpemain “projek pembangunan kepentingan umum”.

Walaupun Gubernur Jabar telah menepis anggapan bahwaPerpres 36/2005 bakal mempertajam konflik agraria dan bahkanmerampas hak rakyat atas tanah mereka, kita tetap layak sangsi.“Pemerintah tidak akan gegabah dan begitu saja melakukan pem-bebasan lahan yang dihuni masyarakat, tanpa didahului publikasiluas rencana tata ruang wilayah. Selain itu, juga bakal melakukansosialisasi dini penjabaran sarana pelayanan publik (kepentinganumum), sebagaimana didefinisikan dalam Perpres 36/2005,” (PikiranRakyat, 16/7/05).

Mengacu Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005 (29/7/05), repre-sivitas perpres ini ditemukan pada berbagai segi. Pertama, penga-turan ganti rugi. Mestinya tak hanya menilai materiil, tetapi immateriil.

Page 211: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

192

Usep Setiawan

Perpres ini hanya mengatur ganti rugi atas nilai tanah. Tak disebutkanganti rugi tanam tumbuh di atasnya atau nilai bangunan. Tak adaketentuan pemberian ganti rugi menjamin kehidupan rakyat yangkehilangan haknya jadi lebih baik.

Kedua, proses pengadaan tanah. Jangka waktu 90 hari untukmusyawarah yang diatur perpres ini tak memungkinkan pemeganghak atas tanah untuk menentukan pilihan-pilihan lain, kecualidipaksa menerima ganti rugi yang ditetapkan. Setelah waktu nego-siasi terlewati, pemerintah (presiden) bisa mencabut hak atas tanahitu.

Ketiga, panitia pengadaan tanah. Yang dimaksud panitia inihanya mewakili pemerintah. Panitia pengadaan tanah ini dipastikantak akan netral dan objektif dalam bernegosiasi dan membebaskanlahan. Tak ada jaminan bahwa oknum dalam panitia pengadaantanah ini bermain mata dengan investor yang menyediakan modaluntuk pembebasan lahan.

Keempat, pencabutan hak atas tanah. Posisi rakyat makin dile-mahkan dengan perpres ini. Perpres ini menjadi alat paksa peme-rintah untuk mencabut hak atas tanah rakyat yang dianggap meng-hambat pembangunan kepentingan umum. Sebaliknya, rakyat takmemperoleh perlindungan hukum untuk mempertahankan tanahmiliknya lewat jalur hukum yang adil.

Soal paradigma

Pada Infrastructure Summit 2005, pemerintah berjanji untuk menge-luarkan 14 peraturan dan ketentuan pendukung investasi. Janji iniditebar guna meyakinkan mitra bisnis dari luar negeri yang akanberinvestasi di Indonesia. Perpres 36/2005 menjadi pembuka jalanbagi projek-projek pembangunan bermodal besar.

Menko Perekonomian mengungkapkan, kebutuhan dana untukpembangunan infrastruktur mencapai Rp 1.305 triliun. Sejumlah Rp810 triliun akan dicari dari pengusaha swasta domestik dan luarnegeri. Untuk tahap pertama pemerintah menawarkan 91 projek seni-

Page 212: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

193

Kembali ke Agraria

lai Rp 202,5 triliun kepada investor—pernyataan bersama KoalisiOrnop (9/5/2005).

Di balik semua itu, paradigma politik agraria yang menjadi rohPerpres 36/2005 adalah “tanah bagi sebesar-besarnya kemakmurangolongan ekonomi kuat”. Paradigma ini mensyaratkan komoditastanah, pasar tanah, dan investasi modal besar di lapangan agraria.Pembangunan infrastruktur menjadi pembuka jalan bagi masuknyainvestasi yang lebih luas. Paradigma ini bersaing dengan ajaran “ta-nah untuk rakyat” yang dicapai melalui reformasi agraria sebagaijawaban kuncinya. Mengikuti rumusan Forum Kajian dan GerakanReforma Agraria (Oktober, 2004), reforma agraria diletakkan sebagaidasar dari visi, misi, dan program pemerintahan. Reforma agrariasebagai basis dari revitalisasi pertanian dan pedesaan sekaligus lan-dasan pembangunan nasional.

Pengertian reforma agraria adalah penataan ulang atau restruk-turisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumberagraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, danrakyat kecil pada umumnya. Inti dari reforma agraria adalah land-reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaantanah. Meskipun demikian, landreform perlu didukung oleh programpenunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan,pemasaran, dan sebagainya. Jadi reformasi agraria adalah landreformplus yang bertujuan menciptakan keadilan sosial, peningkatan pro-duktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Paradigma popu-listik reforma agraria inilah yang terancam oleh paradigma kapi-talistik yang menjadi urat nadi Perpres 36/2005 ini.

Problem paradigmatik perlu dibenturkan pada dinamika sosial-politik yang melingkupinya. Perpres 36/2005 kini dihadapkan padagelombang besar penolakan dari berbagai penjuru mata angin. Bukanhanya dari kalangan organisasi non-pemerintahan atau LSM, namunpetani, kaum miskin kota, pemuda, mahasiswa, akademisi, senimanbudayawan, politikus, parlemen, Komnas HAM, agamawan dalamberbagai bentuk dan media. Sebagaimana diberitakan, DPR mere-

Page 213: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

194

Usep Setiawan

komendasikan penundaan pelaksanaan dan revisi Perpres 36/2005dalam dua bulan, terhitung sejak 7 Juni 2005. Rekomendasi DPR diantaranya berintikan kesimpulan, Perpres 36/2005 bersifat diskri-minatif, memberi peluang kesewenang-wenangan, mengabaikan hakasasi, membuka ruang kolusi, dan represif.

Lantas sikap tegas apa yang pantas diambil terhadap Perpres36/2005? Hemat penulis, Perpres 36/2005 seyogianya dicabut. Untuksementara bisa kembali ke Keppres 55/1993, sembari menyiapkanRUU khusus untuk itu. Yang penting, segera susun berbagai regulasiuntuk memayungi implementasi pembaruan (reforma) agraria. Sikapdan agenda ini bentuk penghargaan atas kecemasan publik sekaliguspenangkal konflik sosial akibat sengketa tanah.

Kiranya lebih bermanfaat membangun komitmen bersama untukmelaksanakan reforma agraria demi kemakmuran segenap rakyat,ketimbang mendiamkan atau membenarkan penggusuran tanahrakyat berdalih “pembangunan untuk kepentingan umum”. Wallahua’lam.***

Page 214: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

195

Suara Pembaruan, 28 Juli 2005

Menyiapkan Reforma Agraria(Bingkisan untuk Kepala BPN Baru)

TULISAN ini bingkisan bagi Kepala Badan Pertanahan Nasional(BPN) baru. Semoga bingkisan ini bukan kategori yang

diharamkan oleh sumpah jabatan sebagaimana dilafalkan Bapak JoyoWinoto sewaktu dilantik Mendagri atas nama Presiden RI, 22 Juli2005.

Sepengetahuan penulis, Mas Joyo (begitu akrab disapa) ialahintelektual populis-nasionalis yang dekat secara ideologis-politisdengan Susilo Bambang Yudhoyono. Simbol kedekatan Mas Joyodengan Yudhoyono mewujud dalam Brighten Institute. SebelumnyaMas Joyo, dikenal sebagai doktor (PhD) yang mengajar di InstitutPertanian Bogor.

Bingkisan ini mengambil fokus pentingnya penerjemahan visi,misi dan program Presiden RI, terkait reforma agraria di dalam tubuhBPN sebagai lembaga pemerintahan yang berwenang di bidang perta-nahan sebagai unsur pokok keagrariaan.

Visi reforma agraria

Reforma agraria yang dicanangkan Yudhoyono ketika menjadicalon presiden, memerlukan langkah konkret. Dalam naskah“Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera” (10 Mei 2004)karya Yudhoyono-Kalla, agenda reforma agraria tersurat dua kali,yakni pada agenda dan program perbaikan dan penciptaan

Page 215: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

196

Usep Setiawan

kesempatan kerja, dan revitalisasi pertanian dan aktivitas pedesaan(hlm 55-69).

Reforma agraria perlu kesiapan banyak hal. Pengalaman di Chile,Ekuador, Mexico, Nicaragua, Mesir, Siria, Libya, Tunisia, Kenya,Spanyol, Italia dan Taiwan, seperti dilaporkan Sein Lin (1974) dalambuku Land Reform Implementation: A Comparative Perspective, ada 10aspek utama: mandat konstitusional, hukum agraria dan penegakan-nya, organisasi pelaksana, sistem administrasi agraria, pengadilan,desain rencana dan evaluasi, pendidikan dan latihan, pembiayaan,pemerintahan lokal, dan organisasi petani.

Dalam hal ini, peran dan komitmen politik Presiden RI danjajarannya dalam reforma agraria dibutuhkan, bahkan tak tergantikan.Muara dari reformasi agraria adalah mengikis ketimpangan, mengu-rangi kemiskinan, menyediakan pekerjaan, memperkuat ekonomirakyat, menuntaskan konflik/sengketa agraria, sekaligus memulih-kan lingkungan hidup. Reforma agraria perlu kelembagaan pelaksa-nanya serta pembiayaan. Institusi khusus di bidang agraria dalamstruktur kabinet dibutuhkan untuk memastikan seluruh kebijakanagraria nasional terkoordinasi sinergis dalam track pembaruan agra-ria. Selagi institusi ini belum tersedia, posisi dan peran BPN layakdikembangkan dan diarahkan ke arah itu.

Perlu disusun strategi pelaksanaan reforma agraria melaluiinventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatantanah dan kekayaan alam. Inventarisasi berguna untuk penyelesaiankonflik dan penataan kembali struktur agraria, mempermudah aksesinformasi bagi masyarakat, serta memulihkan ekosistem yang rusak.

Kerangka dan agenda

Kerangka kerja reforma agraria di Indonesia mestilah mengacupada Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai dasar legal pembaruan agraria.UUPA memiliki jiwa dan semangat kerakyatan yang mendahulukankepentingan golongan ekonomi lemah. Sekalipun UUPA kini sedang

Page 216: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

197

Kembali ke Agraria

disempurnakan, semangat populismenya masih tetap relevan di erasekarang.

Ketetapan MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah menugaskan kaji ulangperaturan perundang-undangan terkait agraria dan pengelolaansumber daya alam—Pasal 5 (1a) dan (2a). Tap MPR ini juga meme-rintahkan pelaksanaan penataan ulang struktur penguasaan tanah(land reform) sehingga lebih adil sebagai inti reformasi agraria—Pasal5 (1b). Pembaruan agraria hendaknya mengacu Tap MPR No IX/2001, yang dikuatkan oleh Tap MPR No IV/2002, dikukuhkan TapMPR No I/2003, dan ditegaskan Tap MPR No V/2003.

Hendaknya dilakukan kaji ulang kebijakan agraria dan penge-lolaan sumber daya alam. Penyempurnakan UUPA perlu dilakukanmelalui format amendemen. Atas dasar hasil kaji ulang dan amen-demen UUPA maka masalah keagrariaan dapat diatasi dengan dasarhukum yang kuat, komprehensif, adil dan berkelanjutan. Perlu jugapenyesuaian seluruh peraturan agraria dan sumber daya alammengacu UUPA yang telah diamendemen itu. Penyusunan RUUSumberdaya Agraria yang merombak total format dan isi UUPA, hen-daknya dihentikan. Mengupayakan penyempurnaan UUPA dalamformat amandemen menjadi alternatif yang layak tempuh, sebagai-mana telah disepahami oleh sejumlah Fraksi di DPR yang beraudiensidengan KPA (Mei-Juli 2005).

Sebagai mekanisme alternatif penyelesaian konflik agrariawarisan masa lalu, perlu diupayakan terbentuknya Komisi Nasionaluntuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Gagasan ini sudahdirumuskan Komnas HAM, bahkan sudah disampaikan langsungke meja dua Presiden RI, di era Megawati Soekarnoputri (Juli 2004)dan Yudhoyono (Maret 2005). Hendaknya dirintis pula pembentukanBadan Otorita Reformasi Agraria (BORA) yang bertanggung untukmenyiapkan pembiayaan, kelembagaan, merumuskan rencana danstrategi reforma agraria. BORA juga mengoordinasi departemen danbadan pemerintahan terkait, termasuk Pemda dan organisasi

Page 217: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

198

Usep Setiawan

masyarakat dalam kerangka reformasi agraria. BORA pun menanganikonflik agraria akibat reform, bersama Peradilan Khusus Agraria.

Terkait Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pem-bangunan untuk Kepentingan Umum, seyogyanya BPN bersikapsuper hati-hati. Sikap ini penting sebab publik tengah gencar menolakdan menuntut pencabutan perpres kontroversial ini.

Kita bisa kembali ke Keppres 55/1993, sembari menyiapkan RUUkhusus untuk itu mungkin bisa menjadi jalan tengah. Kecaman publikdan konflik sosial sengketa tanah akibat ‘pembangunan kepentinganumum’ adalah titik kritis yang perlu senantiasa diwaspadai Joyodan timnya.

Amanah

Semuanya berpulang kepada komitmen Mas Joyo dan timnya diBPN baru. Akankah reforma agraria mewujud dalam praktik atausekadar wacana? Saat ini publik menaruh harap kepada Joyo karenakemampuan, integritas dan kompetensinya untuk menjalankan ama-nah ini. Semua amanah perlu usaha seksama merealisasikannya.

BPN strategis untuk digunakan bagi implementasi reformaagraria. Joyo sebagai nakhoda baru BPN, hendaknya berjuang menja-di lokomotif reforma agraria di pemerintahan. Disadari amanah initidaklah ringan. Tantangan akan datang dari luar dan dalam tubuhBPN sendiri. Tapi yakinlah, musuh terbesar adalah diri sendiri. Makajangan ragu dan gentar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Rakyat akan mencintai pemimpinnya yang membawa peru-bahan menuju perbaikan. Jika tidak, rakyat pula yang akan menilai-nya kemudian. Selamat berjuang Mas Joyo! ***

Page 218: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

199

Kembali ke Agraria

Suara Pembaruan, 19 Agustus 2005

Kemerdekaan Bangsa Agraris

TANGGAL 17 Agustus, enam puluh tahun lalu, para pendirirepublik telah menyatakan kemerdekaan bangsa dari segala

bentuk penindasan dan penjajahan. Berbarengan dengan itu, merekajuga menyadari makna kemerdekaan yang sejati bagi rakyat Indone-sia yang agraris adalah kembalinya kedaulatan atas tanah dan keka-yaan alam lainnya.

Mohammad Hatta (1943), memberi masukan kepada “PanitiaPenyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha Lama”, bahwa, “Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnyadapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggiperadaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang,politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyatasekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanahfaktor produksi yang terutama, maka hendaknya peraturan miliktanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuranbagi rakyat umumnya” (Bachriadi dan Fauzi, 2002). Inilah esensicita-cita kemerdekaan.

Bagi pendiri republik, ketidakadilan agraria hanya bisa diakhirimelalui perombakan struktur agraria—yang kemudian dikenal denganpembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform atau land-reform). Pada periode 1960-an Bung Karno kerap mengatakan bahwa“Landreform adalah bagian mutlak dari revolusi kita” dan “Revolusitanpa landreform ibarat membangun gedung tanpa alas”.

Page 219: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

200

Usep Setiawan

Pembaruan agraria kini telah menjadi agenda resmi negaramelalui Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan dijanjikan SusiloBambang Yudhoyono, Presiden RI. Setelah masa kelam Orba, masuk-nya agenda pembaruan agraria ke dalam tubuh negara jadi tandakemajuan berarti.

Energi pendorong

Untuk menjadikan pembaruan agraria terlaksana diperlukanenergi pendorong. Pendorong yang utama adalah mereka yang akandiuntungkan oleh pembaruan agraria dan mereka yang bersimpatipadanya. Namun, pembaruan agraria tak mungkin dijalankan tanpapartisipasi negara. Bahkan, sebagai sumber kekuasaan publik, kekua-saan negara harus diarahkan untuk pelaksanaan pembaruan agraria.Pemerintahan secara konstitusional dibentuk untuk menjalankan ke-wajiban-kewajibannya dalam menyejahterakan rakyat, termasukmenjamin kepastian “tanah untuk para penggarap” (land to the tillers).

Sering diargumentasikan bahwa pembaruan agraria, khususnyalandreform tidak bisa dijalankan, karena tidak tersedia tanah-tanahluas yang dapat dibagikan kepada penduduk yang bekerja di bidangpertanian (petani). Argumen ini mencerminkan suatu pemahamanyang terbatas mengenai landreform. Memahami landreform hanya redis-tribusi tanah tidaklah cukup. Landreform dapat berbentuk koperasiatau kolektivisasi untuk mencapai tingkatan economic scale, di manaperimbangan antara faktor-faktor produksi menjadi lebih baik. Bisajuga ia berbentuk satu penataan hubungan sewa-menyewa dan/ataubagi-hasil yang dapat memberikan kepastian penguasaan tanah ga-rapan bagi penggarapnya.

Landreform itu merupakan operasi penataan ulang hubunganantar-manusia mengenai tanah sebagai dasar untuk mengaturpemanfaatan tanah itu beserta kekayaannya untuk menjadi lebih baik.Patut dipahami, seperti pernah dikemukakan oleh Prof. S.M.P.Tjondronegoro (1982) bahwa pelaksanaan reforma agraria sebaiknya

Page 220: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

201

Kembali ke Agraria

dilakukan secara sentral, integral dan serentak. Unsur keserentakanini sebenarnya mengandung unsur yang positif, karena pelaksanaanpembaruan agraria untuk golongan penguasa tanah di mana punjuga tidak menyenangkan dan merupakan pengorbanan.

Oleh karena itu, pembaruan agraria sebaiknya dilakukan seren-tak dan dalam periode yang sesingkat mungkin. Semakin baik aparatperencana, pelaksana dan pengawas—termasuk pengadilan yang“bersih”, semakin besar wibawa penguasa, dan kemungkinan akandituruti oleh masyarakat luas. Disadari bahwa pembaruan agrariasesungguhnya arena pemerdekaan kehidupan petani dan kaum mar-ginal lainnya.

Dikemukakan Gunawan Wiradi (2000) bahwa hampir semuapembaruan agraria yang dilakukan atas dasar kedermawanan peme-rintahan di berbagai negara menemui masalah keberlanjutan sehing-ga begitu minat dan kepentingan pemerintah berubah, habislah hasil-hasil positif dari pembaruan agraria.

Agenda inklusif

Untuk itu perlu dipikirkan suatu pembaruan agraria yang tidakmeninggalkan rakyat, sekaligus menggunakan momentum politikyang tersedia untuk mempercepat pembaruan agraria. Ini penting,mengingat pembaruan agraria tidak berhenti pada fase landreformdalam arti redistribusi penguasaan tanah belaka, melainkan upayayang lebih menyeluruh, yakni pengaturan pemanfaatan, terutamapenyediaan dan perlindungan atas infrastruktur untuk kebutuhanproduksi dan konservasi yang berkelanjutan.

Langkah-langkah pembaruan kebijakan (policy reform), ditem-patkan sebagai anak tangga untuk memperkuat rakyat. Oleh sebabitu, pengorganisasian masyarakat, dalam makna membangun serikat-serikat rakyat petani dan nelayan di desa-desa, revitalisasi lembagaadat yang demokratis, penguatan kaum miskin di perkotaan, danlainnya menjadi mutlak seiring perubahan kebijakan. Organisasirakyat inilah yang akan menjadi penopang dan pendorong gerak

Page 221: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

202

Usep Setiawan

maju pembaruan agraria.Pilihan strategi ini merupakan suatu gerak dari atas ke bawah

dan dari bawah ke atas. Pembaruan agraria model ini pada dasarnyabersifat kooperatif yang didasari kesadaran bahwa pembaruan agra-ria bukanlah agenda yang bersifat eksklusif, melainkan inklusif denganperjuangan (mengisi) kemerdekaan bangsa agraris ini.

Jika saja Negara Republik Indonesia yang kini genap berumur60 tahun tak kunjung menjalankan pembaruan agraria sejati; apakahkemerdekaan yang sesungguhnya akan dapat kita raih? Ketika ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia lewat keadilan agrariabelum juga mewujud; masih pantaskah kita merasa diri merdeka?

Karena kemerdekaan sejati masih impian, maka marilah kitabangkit bersama. Kita sadar, perjalanan masih panjang, perjuangankian berat dan rumit. Apa boleh buat, para pendiri bangsa terlanjurmenyerahkan tongkat estafet ke tangan kita. Dirgahayu negeriku! ***

Page 222: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

203

Sinar Harapan, 3 September 2005

Menanti Lahirnya Badan PertanahanNasional Baru

AKHIR Juli lalu jabatan Kepala Badan Pertanahan Nasional(BPN) telah diserahterimakan dari Lutfi Nasution kepada Joyo

Winoto (Mas Joyo). Tulisan ini—semacam kado buat Mas Joyo—berisicerita empat babak hubungan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)dengan BPN. Pembabakannya meliputi: babak tegang, babak titikbalik, dan babak mesra. Ketika Mas Joyo duduk di kursi Kepala BPN,tibalah babak penuh pertanyaan.

Pada periode awal KPA (1995-1998) konsep pembaruan agrariadi Indonesia mulai dirumuskan. Karena pemerintahan saat itu otoriterdan represif, apa yang dikerjakan KPA kerap dianggap ancaman.KPA pernah menemukan penyimpangan dalam salah satu proyekBPN (land administration project-LAP). Janji sertifikasi tanah secaramurah dan cepat ternyata isapan jempol. Proyek LAP dijalankan tidaktransparan, tak partisipatif dan lepas kontrol. Berdasar ini, KPAmenyusun memorandum dan menyampaikannya ke Bank Dunia,pemberi utang proyek ini.

Sikap KPA menolak LAP dan mendesak penghentian proyektersebut karena penuh penyimpangan. Pejabat BPN kala itu reaktif,KPA dituduhnya pengacau kebijakan, pelanggeng sengketa tanah,kekiri-kirian, dan tuduhan miring lainnya.

Ketegangan antara KPA dan BPN tak terelakkan. Kantor KPAdiancam akan di-sweeping. Represivitas dan stigma negatif yang

Page 223: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

204

Usep Setiawan

dipicu oleh sikap pejabat BPN kala itu sulit dilupakan. Pahit nan-membekas.

Babak titik balik

Periode 1999-2001, KPA punya konsep kuat dan organisasi yangcukup untuk mendorong pelaksanaaan reforma agraria. Upayamembantu pemerintah untuk menempuh reforma agraria segeradilancarkan.

Terbitnya Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam tak lepas dari usahayang dilakukan KPA dan organ rakyat lainnya. Tap MPR ini jadidasar legal baru bagi reforma agraria selain UUPA 1960.

Presiden Abdurrahman Wahid nyaris membubarkan BPN.Departemen Sosial dan Departemen Penerangan ditiadakan di eraGus Dur. BPN lolos setelah mengadopsi konsep pembaruan agrariasebagaimana dirumuskan KPA di babak tegang tadi. BPN pernahmempublikasikan gagasan pembaruan agraria—isinya mirip yangdirumuskan KPA, dan kenapa BPN masih relevan. Hal inilah yangmengubah sikap Gus Dur atas BPN sehingga BPN selamat dan ber-tahan hidup hingga sekarang. Di satu sisi luka masih mengangaakibat perlakuan pejabat BPN di masa lalu. Tapi di lain sisi, KPAsenang gagasannya diadopsi.

Dilema kembali menghantui BPN saat pembagian kewenanganPusat dengan Daerah. UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerahmengantarkan BPN ke persimpangan. BPN dituntut mendesentra-lisasi diri untuk menyerahkan kewenangannya ke daerah. Namun,kuat juga kehendak tetap sentralisisasi dengan proporsionalisasipembagian kewenangan pusat-daerah. Keppres 34/2004 tentangKebijakan Nasional di Bidang Pertanahan produk Presiden MegawatiSoekarnoputri merinci kewenangan BPN pusat dan daerah. Namuninterpretasi beragam atas Keppres ini masih berlanjut. Konflik kewe-nangan kebijakan pertanahan pusat dan daerah menyeruak. Tarikmenarik kepentingan dalam tubuh BPN membuahkan disorientasi

Page 224: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

205

Kembali ke Agraria

kelembagaan, sehingga pelayanan kepada masyarakat terbengkalai.Ini tak menguntungkan, bahkan citra BPN kian terpuruk.

Babak mesra

Relasi KPA-BPN, perlahan-lahan masuk fase pemulihan. Konseppembaruan agraria yang diusung KPA semakin diserap BPN. Inilahbabak titik balik yang mengantar pada relasi yang lebih mesra. Periode2002-2005 (sebelum Mas Joyo dilantik), KPA punya hubungan yangsangat mesra dengan BPN. Dalam makna, terjalin komunikasi intensif,terbuka dan egaliter. Tidak jarang juga KPA jadi penghubung bagikomunitas rakyat yang mengalami kasus tanah kepada BPN untukmendapat perhatian dan penyelesaian.

Terlepas dari selesai tidaknya kasus tersebut, KPA memandangpositif BPN karena mulai cepat tanggap menyikapi problem di la-pangan. Hubungan saling berbagi dan mengisi dalam rangka meng-ongkretkan gagasan pembaruan agraria ke dalam tubuh negara, terusbergulir dan kian mengerucut.

Namun, kemesraan ini terganggu ketika KPA berbeda pan-dangan dengan BPN dalam hal format penyempurnaan UUPA No5/1960. KPA berpandangan UUPA masih relevan untuk dipertahan-kan. Kalau pun ada penyempurnaan mestilah melalui amendemen.Sementara BPN merombak total UUPA. Struktur, format dan isi UUPAdiganti dengan RUU yang sama sekali baru. BPN menyusun RUUtentang Sumberdaya Agraria sebagai pengganti UUPA. Perbedaanpandangan inilah yang memicu kerenggangan KPA dengan BPN.KPA mengkritik keras RUU yang disusun BPN, bahkan sampai padapenolakan RUU tersebut.

Babak pertanyaan

Periode 2005 (sejak pelantikan Mas Joyo) ke depan, adalah babakpenuh pertanyaan. Apakah hubungan baik BPN dengan kelompok-kelompok pro-pembaruan agraria akan berlanjut? Akan lebih mesra?Ataukah sebaliknya? Paradigma politik agraria yang dianut dan pro-

Page 225: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

206

Usep Setiawan

gram kongkret yang dijalankan Mas Joyo dan timnya akan jadi ukuranpublik dalam menilai. Muncul harapan lahirnya BPN baru yang me-mahami dan siap menuntaskan problem agraria saat ini. Kemiskinanmayoritas anak bangsa akibat ketimpangan penguasaan, pemilikandan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya disadari pim-pinan BPN sekarang.

Konflik agraria juga mendesak ditangani serius BPN baru. Sudahlama rakyat menunggu penyelesaian adil setelah letih menyaksikanelite berganti tanpa perubahan berarti. Dibutuhkan komitmen politikdan kemampuan operasional dalam merumuskan serta menjalankankebijakan agraria pro-rakyat melalui reforma agraria.

Sikap terbuka, dekat dengan rakyat, dan tak alergi kritik, menjadipenunjang penting dalam menjalin relasi dengan kelompok pro-reforma agraria.***

Page 226: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

207

Suara Pembaruan, 24 September 2005

Menagih Janji Reforma Agraria

JANJI adalah utang. Setahun lalu, saat kampanye pemilu, SusiloBambang Yudhoyono berjanji, jika terpilih sebagai presiden akan

menjalankan reforma (pembaruan) agraria. Janji ini disampaikansecara lisan yang disiarkan televisi dan radio, serta dalam naskahvisi, misi dan program Susilo Bambang Yudhoyono-MuhammadJusuf Kalla (Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera, Mei2004, hlm. 55-69).

Janji seorang calon presiden tentu bukan janji orang sembarang.Menagihnya pun tidak seperti anak kecil menagih janji ayahnya untukbertamasya di kala liburan. Ketika janji ditebar seorang calon pemim-pin, ribuan bahkan jutaan rakyat menaruh harap akan adanya per-baikan mutu hidup melalui realisasi janji-janji para pemimpinnya.Tidak heran jika parameter utama dalam menilai kualitas seorangpemimpin di manapun adalah sejauh mana dia bersikap amanah.Amanah tak lain ialah usaha sungguh-sungguh mewujudkan janji-janjinya. Karena janji manislah, rakyat memilih figur pemimpinnyadalam pemilu lalu.

Sembari memperingati Hari Tani Nasional 2005 yang jatuh padatanggal 24 September, sebagai bangsa dan warga negara, kita patutmenagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menja-lankan pembaruan agraria. Kenapa kita perlu menagihnya? Selainkarena negeri ini memang tengah membutuhkan penataan ulangstruktur dan sistem agraria nasional sehingga lebih berkeadilan

Page 227: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

208

Usep Setiawan

sosial, terdapat sejumlah alasan penting berikut. Pertama, sampai hariini belum ada pandangan resmi dari presiden tentang format danstrategi pelaksanaan reforma agraria sebagaimana dijanjikan. Ke-tiadaan format dan strategi ini mudah melahirkan pandangan publikbahwa janji untuk reforma agraria hanyalah sekedar janji belaka tan-pa niat tulus dan sungguh untuk menjalankannya. Dalam programpembangunan lima tahun ke depan dari kabinet pun agenda ini raibentah kemana.

Kedua, masih tetap diberlakukannya berbagai peraturan perun-dang-perundangan yang mengganjal tujuan mulia dan agenda-agenda pokok pembaruan agraria. Peraturan yang mengukuhkanketimpangan dan melanggengkan konflik agraria belum juga ditinjau-ulang, belum direvisi dan belum diganti dengan peraturan baru yangbisa lebih membuka jalan bagi pemerataan akses dan kontrol rakyatterhadap tanah dan kekayaan alam lainnya.

Ketiga, belum dibentuknya lembaga khusus yang menanganisengketa tanah atau konflik agraria. Kita tahu bahwa sepanjang kon-flik agraria dibiarkan berlarut-larut, keadilan agraria sebagaimanadituju oleh pembaruan agraria akan senantiasa ibarat pepesan ko-song, kehilangan makna. Untuk itu, usulan pembentukan komisinasional untuk penyelesaian konflik agraria (KNuPKA) oleh KomnasHAM hendaknya diperhatikan seksama oleh presiden dan jajaran-nya. Pembentukan KNuPKA jadi kebutuhan amat sangat mendesak.

Keempat, tindak kekerasan terhadap rakyat, khususnya petaniyang tengah memperjuangkan haknya atas tanah dan kekayaan alamlainnya masih kerap terjadi. Tragedi kekerasan di Bulukumba (Sula-wesi Selatan) dan Manggarai (Nusa Tenggara Timur) belum tuntas,disusul kemudian oleh tindak kekerasan aparat terhadap massaSerikat Tani NTB di Lombok Tengah (18 September 2005). Kekerasanini telah menjatuhkan korban fisik, mental bahkan jiwa di pihak peta-ni. Kelakuan ini mutlak harus dihentikan jika kita masih ingin disebutbangsa beradab yang mampu menyelesaikan perbedaan dengandamai dan dialog, bukan sangkur dan senapan.

Page 228: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

209

Kembali ke Agraria

Setelah memperhatikan berbagai kecenderungan di atas, penulismemandang perlu segera diadakannya presentasi/pemaparan kom-prehensif mengenai rencana pelaksanaan pembaruan agraria olehPresiden Susilo Bambang Yudhoyono. Paparan ini dapat menjadipintu gerbang bagi usaha berbagai komponen bangsa dalam mem-persiapkan semua prasyarat yang dibutuhkan bagi pelaksanaanreforma agraria. Banyak aspek yang perlu disiapkan —lihat artikelopini penulis, Menyiapkan Reforma Agraria, di Suara Pembaruan, 28Juli 2005.

Bersamaan dengan itu, presiden kiranya perlu memberikanpenguatan kelembagaan terhadap institusi yang semula ditujukanuntuk mengawal pelaksanaan pembaruan agraria, khususnya land-reform sebagai agenda inti dari reforma agraria. Dalam hal ini, BadanPertanahan Nasional (BPN) patut diberi kewenangan yang lebih luasdalam mempersiapkan berbagai prasyarat yang dimaksud. BPNjangan lagi diposisikan hanya sebagai pengurus administrasi perta-nahan, apalagi sekadar instansi yang mengeluarkan sertifikat hakatas tanah atau hak guna usaha untuk perusahaan pengelolaan perke-bunan bermodal besar.

BPN di bawah kepemimpinan Presiden Susilo BambangYudhoyono, hendaknya direformat untuk memenuhi tujuan dan agen-da-agenda pembaruan agraria sebagaimana dijanjikan. Transformasidari “BPN Lama” ke “BPN Baru” yang memenuhi asas dan tujuanreform tak lain ialah merombak BPN menjadi BORA (Badan OtoritaReforma Agraria). Sebagaimana sering diungkapkan Gunawan Wira-di (Penasihat KPA), BORA hendaknya bertanggung jawab langsungpada presiden, dengan tugas utama: (a) menyiapkan pra-kondisiberupa pembiayaan dan kelembagaan, merumuskan strategi danmerencanakan pelaksanaan reforma agraria; (b) mengoordinasikandepartemen-departemen terkait dan badan-badan pemerintah lain-nya, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat untuk memper-cepat pelaksanaan reforma agraria; (c) menangani konflik-konflikagraria warisan masa lalu yang masih menjadi masalah selama ini,

Page 229: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

210

Usep Setiawan

dan konflik-konflik agraria yang muncul akibat pelaksanaan reformaagraria.

Tanpa persiapan kelembagaan yang cepat, tepat, dan kuat, makapembaruan agraria dikhawatirkan akan berhenti sekadar janji danmandeg berupa konsep-konsep umum tanpa kaki yang mampu menu-runkannya ke dalam praktik di lapangan.

Persiapan kelembagaan di tingkat pemerintahan ini idealnyadisertai pula oleh tindakan kolektif bangsa untuk memperkuat orga-nisasi-organisasi serta komunitas-komunitas yang berbasis massarakyat luas yang paling berkepentingan atas pembaruan agraria.Penguatan kaum tani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskindi perkotaan menjadi kian mendesak untuk digiatkan dan dige-lorakan. Selamat hari tani 2005! ***

Page 230: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

211

Kompas, 26 September 2005

Kado Pahit di Hari Tani

BENTROK petani dengan polisi yang terjadi di lokasi bakalbandara di Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB (Kompas, 19/9),

menjadi kado pahit menjelang Hari Tani Nasional, 24 September 2005.Tragedi Tanak Awu sekaligus isyarat represifnya Peraturan Presiden(Perpres) No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunanuntuk Kepentingan Umum.

Berbagai indikasi membuat kita ragu pada kebaikan hati peme-rintah kepada kaum tani. Selain tak jelasnya strategi revitalisasi perta-nian dan tetap bercokolnya politik agraria yang kapitalistik, tahun2005 dihebohkan Perpres No 36/2005. Perpres No 36/2005 menuaibanyak kritik. Setelah organisasi nonpemerintah, petani, kaum miskinkota, pemuda, mahasiswa, akademisi, seniman, budayawan, politisi,Komnas HAM, dan parlemen (DPR), belakangan suara kritis munculdari agamawan.

Hasil Munas Ke-7 MUI merekomendasikan revisi perpres ini.Dari perspektif fatwa tentang tanah, jelas pandangan agama danberdasarkan agama, Perpres No 36/2005 perlu ditinjau, direvisi, tidakboleh mengabaikan kepentingan rakyat (Kompas, 30/7/05). ForumSilaturrahmi Pesantren dan Petani (10/7) merekomendasikan pem-batalan Perpres No 36/2005.

Forum di Ponpes Sunan Pandanaran Yogyakarta yang diikuti150 kiai dari Jawa dan Luar Jawa memutuskan, pencabutan hak atastanah, sebagaimana diatur Perpres No 36/2005 itu tidak sah, karena

Page 231: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

212

Usep Setiawan

kepentingan umum di dalamnya tak mengakomodasi kepentinganpemilik tanah dan kepentingan rakyat. Karena itu, hukum penggu-suran secara paksa, intimidasi, ganti rugi tak adil, dan tak kontanadalah haram.

Pembangkangan

DPR merekomendasi penundaan dan revisi Perpres No 36/2005dalam dua bulan (sejak 7 Juni 2005).

Rekomendasi lahir karena perpres diskriminatif, berpeluangsewenang-wenang, mengabaikan hak asasi, membuka ruang kolusi,dan represif. Hingga kini rekomendasi DPR tidak ditunaikan peme-rintah. Presiden, menteri, dan gubernur malah ngotot menerapkanperpres. Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005 telah mengajukan ujimateri (judicial review) ke Mahkamah Agung (20/9/05).

Apabila kritik dan masukan ini tak jua digubris penguasa, benihdelegitimasi terhadap pongahnya kekuasaan telah ditanamkan. Apa-kah pemerintah tetap tutup mata dan telinga serta memilih istikamahdalam kekeliruannya? Prahara apa yang akan menimpa jika kebijakanyang potensi mudaratnya lebih besar dibandingkan maslahatnyadipaksakan?

Jika Perpres No 36/2005 dijalankan, keresahan agraria merebak.Pemerintah tak elok bermain api dengan suara rakyat. Delegitimasipolitik bisa menimpa pemimpin yang dipilih secara demokratis. Dele-gitimasi politik dapat mengarah ke pembangkangan sipil. Rakyatbisa menolak proyek berkedok kepentingan umum dan tak maumenyerahkan tanahnya. Jika pembangkangan sosial masif, kita akanmenyaksikan merenggangnya kekuasaan dengan rakyat. Kekuasaantak lagi melayani rakyat.

Cegah keresahan

Pembangkangan sosial secara esensial akan menghambatpembangunan. Presiden Yudhoyono perlu menyadari, konflik akibatpenggunaan dan penyalahgunaan Perpres No 36/2005 akan melibas

Page 232: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

213

Kembali ke Agraria

popularitasnya, sekaligus dapat memicu instabilitas nasional. Sikapdon’t care tak elok ditampilkan dalam soal tanah (agraria), sebabmenyangkut mati-hidupnya mayoritas anak bangsa. SBY disarankanuntuk tak ragu meralat kebijakan yang dinilai banyak pihak keliru.Perpres No 36/2005 ditolak parlemen hingga pesantren.

Jika perpres ini dicabut, bukan hanya popularitas SBY (dan peme-rintah) yang meroket. Citra bangsa Indonesia pun terangkat karenaberhasil membuang kerikil tajam dari sepatu kehidupannya secaradamai.

Strategi pembaruan agraria (agrarian reform) yang prorakyat mestimenggantikan kerikil tajam agar bisa melangkah maju dalam mem-bangun bangsa. Setahun lalu, SBY telah menjadikan reforma agrariadalam kampanyenya. Kini saatnya kita menagih. Menangkal kere-sahan dengan mewujudkan keadilan agraria sejatinya membanguntanpa menggusur.

Membatalkan Perpres No 36/2005 disertai keseriusan menyiap-kan reforma agraria bisa menggantikan kado pahit menjadi kadomanis Hari Tani Nasional, 24 September 2005.***

Page 233: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

214

Pikiran Rakyat, 28 September 2005

Mengidamkan Reforma Agraria

SENIN (26/9/05) Kota Bandung didatangi ratusan petani yangbermaksud memperingati Hari Agraria atau Hari Tani Nasional

2005. Selain di Bandung, peringatan hari tani digelar di banyaktempat dalam berbagai cara.

Secara umum, peringatan Hari Agraria 2005 bermuara padatuntutan pelaksanaan reforma (pembaruan) agraria, penyelesaiankonflik agraria, dan penghentian kekerasan terhadap rakyat —kaumtani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kaum miskin kota.

Di penghujung 1998, Deklarasi Pembaruan Agraria KPAmenggariskan bahwa: “Kekeliruan pembangunan yang mendasaradalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria yang berupapenataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, perun-tukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai prakondisidari pembangunan”. Pembaruan agraria dipercayai pula sebagaiproses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial ma-syarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasarpertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanahbagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, sistem kesejah-teraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggu-naan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Terdapat empat hal mendasar agraria yang menurut hematpenulis sungguh harus memperoleh jalan keluar. Pertama, soalpenguasaan tanah dan kekayaan alam yang didasari pada sekto-

Page 234: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

215

Kembali ke Agraria

ralisme hukum di bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.Selama ini sektoralisme hukum tersebut yang diperkokoh denganpolitik otoritarian telah menghasilkan sejumlah tindak kekerasan danpraktik dominasi penguasaan dan eksploitasi terhadap sumber dayaalam yang meminggirkan posisi dan hak-hak rakyat.

Kedua, persoalan penurunan kualitas lingkungan dan kehidupanmasyarakat akibat eksploitasi yang berlebihan dan tidak terkendaliharus mendapat perhatian serius. Kerusakan lingkungan telah men-ciptakan kemiskinan karena hilangnya sumber penghidupanmasyarakat yang tergantung pada tanah dan kekayaan alam. Keru-sakan lingkungan juga memicu maraknya bencana alam yang banyakmenimbulkan korban harta maupun jiwa. Ketiga, soal ketimpanganpenguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber dayaalam lainnya. Selama ini izin dan hak untuk eksploitasi hutan, barangtambang, perkebunan besar, pertambakan raksasa, perumahan, fasi-litas wisata dan hiburan, termasuk lapangan golf telah menciptakanmunculnya tuan-tuan tanah baru. Di sisi lain, hingga saat ini rata-rata penguasaan tanah oleh petani tidak lebih dari 0,8 hektare perrumah tangga petani.

Keempat, soal sengketa tanah dan konflik agraria. Baik akibatproses penggusuran yang dilakukan dengan kompensasi amat ren-dah, maupun akibat munculnya dampak lingkungan yang menyeng-sarakan masyarakat setempat setelah eksploitasi berlangsung. Sejak1970 hingga 2001, berdasarkan data-base KPA, ada 1.753 kasussengketa tanah struktural. Kasus kekerasan yang dilakukan aparatterhadap petani di Lombok Tengah NTB tanggal 18 September lalujadi contoh terbaru.

Inilah soal-soal mendasar yang memerlukan arahan politik peme-rintah sekarang untuk menyelesaikannya. Kita mengidamkanpemerintah yang mewujudkan reforma agraria.

Hambatan

Inti reforma agraria ialah landreform dalam pengertian redistribusi

Page 235: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

216

Usep Setiawan

pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian, programredistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi(kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalamsistem pemasaran dan perdagangan hasil pertanian, penyuluhanpertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecah-kan masalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yangmenunjang.

Untuk melaksanakan reforma agraria, pimpinan nasional perlumemahami hambatan-hambatan yang masih menghadang. Pertama,hambatan psikologis/politis karena masih banyak orang yangenggan atau takut untuk mempelajari, membahas dan membicarakanmasalah agraria karena selama pemerintahan masa lalu ditanamkanpersepsi bahwa membicarakan masalah agraria sama dengan “PKI”.Kedua, hambatan di bidang hukum agraria meliputi kelemahan sub-stansi hukum yang masih belum dikaji, aparat hukumnya yang perludibenahi karena pemahaman mengenai reforma agraria masih tidakutuh (parsial), dan pelaksanaan hukumnya masih lemah sehinggaakan menyulitkan pelaksanaan reforma agraria.

Ketiga, hambatan ilmiah terjadi karena pemahaman semua la-pisan masyarakat baik awam, menengah maupun elite, termasuk paraakademisi di lingkungan perguruan tinggi, mengenai masalahagraria masih sangat kurang. Keempat, hambatan historis karenakesenjangan pemahaman kesejarahan/historis yang dimiliki masya-rakat terutama generasi muda mengenai masalah keagrariaan yangdisebabkan oleh penghapusan pelajaran-pelajaran mengenai keag-rariaan di sekolah, termasuk perguruan tinggi, dan sebagai akibatdari hambatan politis-psikologis tadi. Kelima, hambatan peraturanperundangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan. Kajiulang peraturan tak dilakukan komprehensif. Orientasi pem-bangunan masih pada pertumbuhan ekonomi dan memihak pasarbebas. Sektoralisme departemen dan badan pemerintah, serta jauhdari reforma agraria, lemahnya kapasitas dan kapabilitas pemerintah.

Page 236: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

217

Kembali ke Agraria

Otonomi daerah yang belum mantap serta tiada institusi yang menya-tukan visi.

Terdapat sejumlah prasyarat pelaksanaan reforma agraria(Russell King, 1977). Pertama, kemauan politik atau komitmen politik.Kemauan politik tak berhenti pada pernyataan di atas kertas sepertihalnya pada undang-undang, tapi diwujudkan dalam tindakan nyatasehingga seluruh dana dan daya dikerahkan untuk melaksanakanreforma agraria. Kedua, data keagrariaan yang lengkap dan akuratdiperlukan untuk memastikan objek-objek dan subjek reforma agrariadapat diketahui secara tepat. Jenis dan luas objeknya dapat ditentukandengan pasti, serta kategori dan jumlah subjek penerima manfaatdapat diketahui.

Ketiga, organisasi tani yang kuat harus ada. Melalui organisasiyang kuat kesadaran, militansi, tertib organisasi, dan solidaritas, sertakepemimpinan yang bertanggung jawabnyalah petani dapat mem-punyai posisi tawar kuat untuk menghadapi hal-hal yang merugikanmereka. Keempat, elite politik dan elite bisnis harus terpisah. Jika seseo-rang jadi birokrat maka jangan sekaligus jadi pengusaha. Sebaliknyajika seseorang jadi pengusaha, maka dia harus meninggalkan jabatanbirokratnya. Ini untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme.Kelima, dukungan dari angkatan bersenjata dan kepolisian sebagaiaparat penegak hukum. Berdasarkan pengalaman berbagai negara,reforma agraria yang berhasil adalah yang mendapat dukungan dariangkatan bersenjata dalam bentuk penegakan hukum yang melin-dungi rakyat. Ini mensyaratkan angkatan bersenjata dan kepolisianpro-rakyat.

Apakah kelima prasyarat di atas sudah tersedia? Adalah tugaskita bersama untuk mengupayakan agar semua prasyarat tersebutsegera tercipta. Bagaimana pun, pemenuhan hak-hak rakyat atastanah dan kekayaan alam lainnya senantiasa diidamkan anak bang-sa. Selamat Hari Agraria 2005. Bangkitlah kaum tani Indonesia!***

Page 237: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

218

Suara Pembaruan, 15 November 2005

Tangkal Krisis Tumpas Kemiskinan

NAIKNYA harga BBM menandai terjadinya krisis energi. Ketikadaya beli dan kesejahteraan rakyat yang mengenaskan diha-

dapkan pada kenaikan harga-harga barang/jasa, pemerintah menya-lurkan dana kompensasi sebagai solusi darurat.

Selain sarat kontroversi, kebijakan kompensasi sejatinya tak akanpernah menghilangkan akar masalah. Kita ditantang menghadirkanalternatif solusi substansial jangka panjang guna menuntaskankemiskinan sebagai akar soal. Rendahnya kemampuan masyarakatmemenuhi kebutuhan hidup menjadi buah nyata kemiskinan. Kemis-kinan struktural mestilah dilahirkan oleh kekeliruan pengelolaanNegara yang menjauhkan rakyat dari keadilan dan kesejahteraan.Karena dililit kemiskinan maka kemajuan dan kemakmuran bangsaterhambat.

Krisis energi dan kemiskinan struktural menjadi tantangan aktualbangsa agraris ini. Reforma agraria amat relevan dijadikan salahsatu solusi paten dalam menangkal krisis dan menumpas tuntas akarkemiskinan. Dalam Kebijakan Pertanahan Nasional yang Berkeadilan:Maju Bersama, Makmur Bersama (12/09/2005), Joyo Winoto, KepalaBadan Pertanahan Nasional telah menggariskan esensi, arah danagenda kebijakan pertanahan nasional ke depan. Diyakini, reformaagraria menjadi jawaban tepat memajukan dan memakmurkan bang-sa, secara bersama.

Reforma agraria pada hakikatnya proses penataan kembali

Page 238: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

219

Kembali ke Agraria

struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan ta-nah untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini adalahupaya besar seluruh komponen bangsa. Kita secara bersama-samaharus mengusahakan tersedianya semua syarat yang diperlukan.

Lima agenda

Di kesempatan lain, dalam “Sambutan Kepala BPN padaUpacara Bendera dalam Rangka Peringatan UUPA ke-45 dan BulanBhakti Agraria Tahun 2005” (24/09/05), telah diguratkan sebelasagenda konkret untuk lima tahun ke depan. Saya menggarisbawahilima agenda mendesak dengan dibubuhi elaborasi ringkas. Pertama,memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah. Ini diperlukankarena rakyat selalu berposisi lemah dalam memenuhi haknya.Rakyat rentan digusur dan didera kesewenangan di lapangan agraria.Redistribusi tanah bagi kaum tani (rakyat) miskin dan legalisasi tanahyang digarap rakyat relevan dalam agenda ini.

Kedua, menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, seng-keta, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis.Sering diungkap penyelesaian konflik agraria ialah agenda pokokreforma agraria. Desain kerja yang jelas-sistematis, kelembagaan yangkuat-kredibel, serta sumberdaya yang mahir-terpercaya jadi pra-sya-rat agenda ini. Ketiga, menangani masalah KKN serta meningkatkanpartisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Korupsi, kolusi dannepotisme adalah musuh bersama. Birokrasi harus terbebas darikorupsi dan aparat yang korup mesti diamputasi agar tak berlakupepatah “akibat nila setitik rusak susu sebelanga”. Partisipasi danpemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan melibatkan aktiforganisasi rakyat dalam reforma agraria.

Keempat, membangun data-base penguasaan dan pemilikan tanahskala besar. Keberadaan dan akurasi data objek-objek reform menjadipra-syarat keberhasilan reform. Pengadaan data dan informasi objekdan subjek reform mesti dilakukan dengan sistematis dan proses sertahasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun sosial,

Page 239: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

220

Usep Setiawan

dan menggali fakta sesungguhnya di lapangan.Kelima, mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan

kebijakan pertanahan. Reforma agraria memerlukan aspek legal dankonstitusional. Implementasi reform akan lebih kokoh jika dilandasidan dipayungi politik, hukum dan kebijakan agraria yang kondusif.Meninjau ulang peraturan agraria perlu disegerakan. Substansi danformat hukum agraria baru ditata agar lebih menjamin keadilan sosial,kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Makmur bersama

Jika agenda di atas dipraktikkan maka jalan menuju tata agrariabaru terbuka untuk melepaskan rakyat dari belenggu kemiskinansehingga mampu bertumpu di atas kaki sendiri. Sekalipun BBM danharga-harga membumbung, jika pendapatan dan kemampuan ekono-mi rakyat meningkat maka anak bangsa tak akan terlalu menjerit. Ditengah krisis energi dan kemiskinan yang menggenapi krisis multi-dimensi, kita perlu bekerja serius memformulasi perwujudan reformaagraria yang sungguh memihak rakyat di dalam praktik. Kita sepakat,untuk maju dan makmur bersama perlu usaha bersama dalam me-nangkal krisis sekaligus menumpas kemiskinan hingga ke akar-akar-nya.

Sehingga tema Bulan Bhakti Agraria 2005: “Dengan SemangatPembaruan Agraria, Kita Pastikan Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahanyang Adil bagi Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat”, tidak menjadi slo-gan di awang-awang.***

Page 240: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

221

Suara Pembaruan, 15 November 2005

WTO, Pertanian dan Reforma Agraria

DI TENGAH kontroversi kebijakan impor beras dan simpangsiurnya agenda revitalisasi pertanian dan perdesaan di Tanah

Air, pada 13-18 Desember 2005 akan digelar Konferensi TingkatMenteri (KTM) ke-6 World Trade Organization (WTO) di Hong Kong.Pertemuan kali ini menjadi sangat penting bagi basis legitimasi WTO,sebab KTM sebagai badan tertinggi pengambilan keputusan di dalamWTO tercatat telah tiga kali gagal memperoleh kesepakatan.

Dalam setiap putaran KTM WTO, setidaknya ada tiga agendapokok yang menjadi bahan perundingan: pertanian, NAMA (NonAgriculture Market Access), dan GATS (General Agreement on Tarif inServices). Dari ketiganya, yang paling sulit mencapai titik kesepakatanadalah pada sektor pertanian. Sulitnya sektor pertanian mencapaikesepakatan berdampak terhadap berbagai perundingan yang terjadidi sektor-sektor lainnya. Sebab prinsip single under taking adalah jalanpengambilan keputusan dalam putaran perundingan WTO.

Menjadi rahasia umum, bagi negara-negara berkembang, per-tanian merupakan sektor yang paling krusial. Selain mempekerjakanhampir 75 persen penduduk di negara-negara berkembang, sektorini juga menyumbang lebih dari setengah produk domestik bruto(PDB) negara-negara tersebut. Selain itu, sulitnya mencapai kesepa-katan di sektor pertanian disebabkan oleh sebuah kenyataan bahwanegara-negara maju yang selalu mendorong liberalisasi perdagangan,menghapus subsidi, menginginkan akses pasar yang lebih luas di

Page 241: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

222

Usep Setiawan

negara-negara berkembang ternyata tetap mempertahankan subsidibesar-besaran kepada para petani mereka.

Bahkan, dengan cara-cara tertentu negara-negara maju menutuppasar mereka dari produk pertanian negara berkembang lewat berba-gai macam hambatan non-tarif dan perangkat UU, semisal Farm Billdi AS dan Common Agriculture di Uni Eropa.

Kepentingan Indonesia

Ada beberapa isu pokok yang mencerminkan kepentingan utamarakyat Indonesia di bidang pertanian yaitu: perlindungan terhadaplahan pertanian, akses air dan pengamanan dari barang-barang perta-nian impor, menciptakan kedaulatan pangan, penghapusan kemis-kinan dan pembangunan kawasan pedesaan yang berkelanjutan,upaya peningkatan kesejahteraan dan pendapatan petani.

Melihat kepentingan utama petani di atas, sangat mustahil WTOmenjadi jalan keluar. Sebab, sepuluh tahun setelah negara kita berga-bung menjadi anggota WTO, kebijakan-kebijakan liberalisasi perda-gangan di sektor pertanian justru lebih banyak merugikan kepen-tingan utama sektor pertanian kita. Misalnya liberalisasi pasar beras,kedelai dan jagung yang menyebabkan petani kita mengalami keru-gian pada setiap musim panen.

Contoh nyata lainnya ialah liberalisasi air. Beberapa dekade lalu,isu air sebagai komoditas terasa tak masuk akal dibahas dalam fo-rum internasional. Sebab, hampir semua negara memandang bahwaakses terhadap air adalah hak asasi manusia. Namun, dalam forumWTO air telah disahkan sebagai komoditas yang harus diliberalisasi.Padahal, 70 persen air bersih digunakan sebagai pengairan pertaniandan hanya 8 persen digunakan sebagai konsumsi rumah tangga(Greenfield, 2005). Menjadi jelas bahwa raksasa korporasi pertaniandunialah yang mengambil keuntungan dari kesepakatan WTO ini.

Sampai sekarang, dalam setiap perundingan KTM WTO tidakpernah diadakan sebuah agenda berupa evaluasi menyeluruh daripengalaman negara-negara anggota khususnya negara berkembang

Page 242: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

223

Kembali ke Agraria

dan belum berkembang (Least Development Countries/LDCs) tentangakibat-akibat yang dirasakan oleh rakyat selama liberalisasi perda-gangan yang dijalankan.

Praktis dalam perundingan semua delegasi peserta akan disibuk-kan dengan debat mengenai kapan waktu yang tepat bagi negaramembuka pasar sebuah sektor kemudian sebagai imbalan negarayang lainnya akan memberi konsesi berupa dibukanya pasar di sektorlain. Hal yang demikian juga berlaku bagi tarif jasa. Berkaca padacara dan mekanisme perundingan yang lazim dilakukan di WTOtersebut, hampir mustahil bahwa kepentingan sektor pertanian In-donesia dapat dimajukan.

Reforma agraria

Telah menjadi tradisi dalam komunitas masyarakat sipil dunia,saat ini untuk berkumpul dan melakukan sebuah aksi besar-besarandi negara manapun KTM WTO dilaksanakan. Bahkan, saat ini diHong Kong puluhan ribu masyarakat sipil dari segenap penjuru duniatelah berkumpul dalam satu tujuan yaitu menggagalkan KTM WTO(!). Bahkan, di dalam internal WTO sendiri sebenarnya saat ini telahmuncul pemahaman dari berbagai negara anggota untuk merombakorganisasi WTO supaya lebih akomodatif bagi negara-negara berkem-bang dan belum berkembang.

Bagi masyarakat sipil, perombakan WTO bukanlah jalan keluar.Sebab, persoalan utama dalam WTO adalah dasar pasar bebas yangdijadikan prinsip dasar organisasi. Sedangkan, cara-cara lain tidakdikenal. There Is No Alternatif/TINA demikian slogan utama badanutama perdagangan dunia ini. Seorang kawan berseloroh WTO taklain adalah World Trouble Organization.

Akibat tidak dikenalnya alternatif selain perdagangan bebas ada-lah semakin terdesaknya masyarakat miskin dunia. Contoh nyatayang diungkapkan oleh Greenfield (2005) bahwa putaran uang sektorpertanian dunia tahun ini telah mencapai US$ 45 miliar. Ironisnya,pada tahun ini terdapat 850 juta penduduk dunia mengalami rawan

Page 243: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

224

Usep Setiawan

pangan dan kelaparan 8 juta di antaranya mati, dan sebagian besardari mereka adalah petani. Kelaparan yang terjadi saat ini bukankarena di dunia tidak ada stock pangan yang cukup, melainkan ketia-daan akses pangan juga ketiadaan akses bagi petani untuk mempro-duksi tanaman pangan.

WTO telah gagal menjadi sebuah upaya internasional mencip-takan perdagangan antar bangsa yang adil dan meningkatkan kese-jahteraan masyarakat dunia. Wacana dan tuntutan dari masyarakatsipil dunia termasuk di Indonesia untuk membubarkan saja WTO,bahkan pandangan paling moderat saat ini saja adalah mengeluar-kan pertanian dari perundingan WTO sangat layak untuk dipikirkan.

Maka, bagi delegasi Indonesia yang berangkat ke Hong Kongberkaca dari kepentingan seluruh sektor terutama petani di Indone-sia sepatutnya tidak membuat kesepakatan apapun, terlebih kese-pakatan yang bakal menjepit kaum tani kita.

Yang kini tengah dibutuhkan bangsa ini adalah pelaksanaanreforma agraria yang menyeluruh dengan agenda pokok menataulang struktur agraria yang timpang sehingga menjadi lebih adildan merata. Dengan keadilan agraria, kemiskinan dapat dikikis,pengangguran bisa dikurangi, jerat ketergantungan terhadap panganimpor dapat diputus, dan kesejahteraan segenap rakyat tak lagi seka-dar mimpi di atas mimpi.

Terlebih lagi Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya—sebagaidimensi HAM tak terpisah dari Hak Sipil dan Politik—baru-baru initelah diratifikasi Pemerintah RI, sehingga alas hukum dan politikuntuk reforma agraria menjadi kian tak elok untuk diabaikan.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh 2Usep Setiawan dan IwanNurdin adalah aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria)

Page 244: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

225

Sinar Harapan, 31 Desember 2005

Memimpikan Ekspor Beras(Refleksi Politik Pertanian Akhir Tahun 2005)

KEBIJAKAN pemerintah mengeluarkan izin impor beras belumlama ini menutup tahun 2005 dengan kontroversi. Kebijakan

ini dinilai merugikan rakyat. Dalam berbagai bentuk ekspresi protesseperti diwartakan media massa, kaum tani sebagai penghasil beraskembali mengeluhkan nasib suram yang kian menghimpit.

Tersiar kabar, dalam rapat koordinasi teknis di kantor MenkoPerekonomian jumlah beras yang perlu diimpor tidak lebih dari250.000 ton dengan jadwal November 2005 sebanyak 75.000 ton,130.000 ton bulan Desember dan Januari 2006 sebanyak 45.000 ton.

Kran impor beras dibuka ketika stok beras dalam negeri dinilaimelimpah. Belum lagi, impor beras digelontorkan saat kondisi petanitergencet dampak kenaikan BBM yang digenapi anjloknya hargaproduk pertanian, sementara harga sarana produksi (saprodi) terusmerambat naik. Saat izin impor beras diterbitkan, sebenarnya petanitengah menikmati harga gabah/beras yang membaik sejak izin imporberas dicabut, sekitar Rp 3.500,00/kg.

Harga beras atau gabah yang baik ini diprediksi akan jatuh dipasaran seiring masuknya beras impor. Berbagai pihak, menyatakanstok beras di pasar dalam negeri masih cukup, sehingga seharusnyapemerintah mempertimbangkan untuk tidak mengimpor beras.

Artinya, saat ini kita mempunyai cadangan beras yang cukupsehingga tak cukup alasan bagi pemerintah mengimpor beras.

Page 245: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

226

Usep Setiawan

Seharusnya pemerintah bukan membeli beras dari luar tapi membelidari sentra produksi beras yang tersebar di berbagai wilayah negeri ini.

Tulang punggung

Berkaca dari kasus impor beras ini, pemerintah mestinyamendorong sektor pertanian untuk berkembang lebih maju. Peme-rintah berkewajiban melindungi petani dari permainan harga dipasaran, perlindungan atas alat produksi petani (tanah), terjangkau-nya harga saprodi oleh petani, dan penyediaan akses permodalanyang mudah dan berbunga rendah untuk petani.

Tercium aroma kepentingan politik dan ekonomi dari kelompokdi sekitar kekuasaan dalam kebijakan impor beras ini. Kesimpang-siuran data dan analisa mengenai kondisi perberasan dalam negeriterindikasi dimanfaatkan para pengejar keuntungan jasa impor beras–-seorang kawan menyebutnya “pengusaha hitam”. Jika pemerintahtetap memberikan izin impor beras, dikhawatirkan akan semakinmenambah jumlah orang miskin mengingat sebagian besar masya-rakat kita adalah petani. Jika ini terjadi, tentu kebijakan impor berassejatinya bertentangan dengan program pemerintah sendiri dalammengurangi kemiskinan.

Sektor pertanian mampu bertahan ketika terjadi krisis ekonomi 1997.Sebab itu sudah selayaknya sektor pertanian menjadi tulang punggungperekonomian negeri. Agar sektor pertanian dapat diandalkan dalammemastikan keamanan dan kedaulatan pangan kita, maka agendareforma agraria mutlak dilaksanakan. Reforma agraria pada dasarnyapra-kondisi atau pra-syarat bagi industrialisasi dan perkembanganekonomi pertanian dan pedesaan. Program utama dari reforma agrariaadalah landreform atau redistribusi tanah. Distribusi tanah yangberkeadilan akan menciptakan kinerja sektor pertanian yang lebih baikseiring kondisi perekonomian di pedesaan akan terus membaik.

Dari impor ke ekspor

Mengacu Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin (2005), ada

Page 246: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

227

Kembali ke Agraria

enam dampak ganda dari pelaksaaan landreform sebagai inti reformaagraria. Pertama, melalui pemerataan tanah, tercipta kekuatan dayabeli yang artinya juga kekuatan pasar. Melalui kekuatan pasar pro-duksi akan berkembang lebih luas.

Kedua, petani dengan aset tanah yang terjamin dan memadaiakan mampu menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya danmenghasilkan surplus untuk ditabung. Tabungan pertanian inisangat di perlukan guna mendanai pembangunan pertanian maupunpengembangan sektor lain. Ketiga, dengan berkembangnya kegiatanekonomi pedesan berkat kinerja pertanian yang baik maka pajakpertanian juga dapat ditingkatkan.

Keempat, memungkinkan terjadinya diferensiasi yang meluas daripembagian kerja di pedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaanitu sendiri. Diferensiasi yang terjadi tanpa landreform bersifat terbatas,menimbulkan jurang kelas yang tajam dan berwatak eksploitatif. Kelima,tanpa landreform tak akan terjadi investasi di dalam pertanian olehpetani sendiri. Malah akan terjadi disinvestasi karena lama kelamaanpetani akan kehilangan tanah dan kemiskinan pun meluas. Akibatnya,sektor industri kecil dan rumah tangga, perdagangan, jasa dan sirkulasiuang di pedesaaan akan melemah dan hanya bisa bergantung dariintervensi modal dari kota. Sebaliknya, landreform akan menumbuhkannon-farm activities karena kebutuhan dari dalam sehingga desa akanmampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

Keenam, tanah dapat dimanfaatkan secara produktif oleh petanidan tidak menjadi objek spekulasi. Petani tetap memegang kedulatanatas alat produksinya dan mampu memanfaatkannya untukkepentingan produktif. Landreform akan mengantar kita menujusistem ekonomi modern dan berkelanjutan. Tanpa landreform takakan tercipta demokrasi ekonomi dan politik di pedesaan.

Dengan reforma agraria kita tak perlu impor beras karena dapatmemenuhi kebutuhan dalam negeri. Melalui reforma agraria, kita bisajadi pengekspor beras yang tangguh di dunia mengingat lahan maupunmanusia agrarisnya. Apakah mimpi ini jadi kenyataan di tahun 2006?

Page 247: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

228

Pikiran Rakyat, 3 Januari 2006

Menunggu “Ratu Adil” Agraria

WAJAH agraria yang mencuat sepanjang 2005 adalah konflikagraria yang mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik agra-

ria datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah ko-munitas masyarakat adat—seperti di Kontu, Muna, Sulawesi Teng-gara, dan kaum tani seperti di Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB.Tidak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulan peng-gusuran dari sepetak tanah dan tempat tinggalnya.

Komnas HAM bersama sejumlah organisasi nonpemerintahmencatat setidaknya 50 kasus konflik agraria berdimensi pelanggaranHAM berlangsung di tahun 2005. Kasus ini mencakup sektor-sektoragraria penting seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehu-tanan, fasilitas umum, konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi,serta kelautan, dan pesisir. Konflik agraria yang diwarnai kekerasanmenjadi bukti sahih masih bercokolnya otoritarianisme di lapanganagraria. Reforma agraria sebagai jawaban kunci atas problem agrariamasih ibarat macan kertas.

Mengacu Soetarto dan Shohibuddin (2005), ada enam dampakganda (multiplier effect) dari pelaksaaan reforma agraria. Pertama, akanmenciptakan pasar atau daya beli. Melalui pemerataan tanah, makatercipta kekuatan daya beli yang artinya juga kekuatan pasar. Kedua,petani dengan aset tanah yang terjamin dan memadai akan mampumenciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan sur-plus untuk ditabung. Ketiga, dengan berkembangnya kegiatan ekonomi

Page 248: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

229

Kembali ke Agraria

pedesaan berkat kinerja pertanian yang baik maka pajak pertanianjuga dapat ditingkatkan.

Keempat, memungkinkan terjadinya diferensiasi yang meluas daripembagian kerja di pedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pede-saan itu sendiri. Kelima, tanpa reforma agraria tak akan terjadi inves-tasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malah akan terjadi disin-vestasi karena lama kelamaan petani akan kehilangan tanah dankemiskinan pun meluas. Keenam, tanah dapat diproduktifkan petanidan tak jadi objek spekulasi. Petani tetap memegang kedulatan atasalat produksinya dan mampu memanfaatkannya untuk kepentinganproduktif. Reforma agraria akan mengantar sistem ekonomi moderndan berkelanjutan. Tanpa reforma agraria tak akan tercipta demokrasiekonomi dan politik di pedesaan.

Konsepsi ideal di atas masih dihadapkan pada kenyataan pahit.Di tahun 2005 kita dikejutkan oleh terbitnya Perpres 36/2005 tentangPengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.Perpres ini disimpulkan banyak pihak sebagai cermin dari watakpenguasa yang represif dan otoriter. Perpres ini potensial memper-parah keadaan dan menyulitkan penemuan muara penyelesaiankonflik agraria. Dalam konflik agraria, kerap terjadi penaklukan danpenindasan aparat negara terhadap rakyat. Sering bukti-bukti hakrakyat atas tanah tak diakui. Penetapan ganti rugi sepihak. Manipu-lasi aspirasi rakyat agar “rela” menyerahkan tanahnya. Jika rakyatprotes dituduh pembangkang atau anti pembangunan. Rakyat kerapmenerima intimidasi, teror, dan kekerasan fisik.

Akar dari konflik agraria yang menampilkan wajah ketidakadilanmerupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng daripolitik agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya Orba ini masihkuat diterapkan dalam rangka mengamankan “pembangunan”. Pun-cak dari otoritarianisme adalah penggunaan senjata dan alat keke-rasan negera (bahkan premanisme) dalam mengusir rakyat daritanahnya sehingga korban di pihak rakyat berjatuhan.

Menuntaskan ketimpangan dan konflik agraria melalui reforma

Page 249: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

230

Usep Setiawan

agraria merupakan perjuangan inklusif meluruskan sejarah bangsa.Reforma agraria adalah agenda demokratisasi sejati yang substantif.Perjuangan memberangus otoritarianisme agraria dan menegakkandemokrasi di atasnya akan kehilangan makna jika reforma agrariadiabaikan.

Kita butuh demokrasi guna memastikan kekuasaan tertinggi ditangan rakyat. Tetapi kita juga perlu reforma agraria untuk memas-tikan tanah dan kekayaan alam sungguh dikuasai, dikelola dandipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Inilah rajutan harapan di tahun baru. Siap-siap jadi “ratu adil”yang mampu menyelamatkan keadaan kritis ini. Atau ini ibarat me-nunggu “godot” yang memang tak akan pernah datang. Selamatdatang 2006. Wallohualam.***

Page 250: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

231

Sinar Harapan, 13 Maret 2006

Menunggu Realisasi Pembaruan Agraria(Laporan Khusus Catatan dari ICARRD 2006)

Pengantar Redaksi:

Sebuah konferensi akbar gerakan pembaruan agraria digelar di Porto Alegre,Brasil, 7-10 Maret 2006. Delegasi dari 93 negara terlibat dalam konferensiyang difasilitasi Organisasi Pangan PBB (FAO) ini. Konsorsium PembaruanAgraria (KPA) adalah salah satu delegasi Indonesia yang hadir di sana. Dibawah ini, laporan tim KPA tentang konferensi tersebut.

PORTO ALEGRE – Kota Porto Alegre, Brasil jadi saksi sejarahbagi gerakan pembaruan agraria sedunia. Di kota ini, 7-10 Maret

2006 digelar perhelatan akbar bertajuk International Conference onAgrarian Reform and Rural Development (ICARRD) yang dihadiri dele-gasi dari 93 negara.

Dalam konferensi ini, Indonesia mengirim delegasi campurandari pemerintahan dan non-pemerintahan. Departemen Pertanian(Deptan) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama KedutaanBesar Republik Indonesia Washington (AS), KBRI Roma (Italia), danKBRI Brasilia (Brasil) datang mewakili unsur pemerintah. SedangkanKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengirimkan empat orangutusan yang tergabung secara resmi dalam Delegasi Republik Indo-nesia (Delri). Selain delegasi resmi, Federasi Serikat Petani Indonesia(FSPI) sebagai salah satu elemen masyarakat sipil berupa organisasi

Page 251: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

232

Usep Setiawan

gerakan tani di Indonesia juga turut hadir dan mewarnai konferensiini.

Organisasi gerakan tani se-dunia yang tergabung dalam La ViaCampesina bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil lainnyapun menggelar “konferensi tandingan” di arena yang sama sehinggaparalel dengan ICARRD. Sejumlah delegasi resmi berbagai negaradan kalangan gerakan masyarakat sipil rakyat pada intinya meng-hendaki kepastian komitmen semua pihak untuk pelaksanaan pemba-ruan agraria sejati. Sebuah pembaruan yang memihak rakyat kecilyang didera kemiskinan dan kelaparan.

ICARRD menelurkan deklarasi bersama yang berisi 27 butirpandangan, sebuah rumusan visi, dan 11 prinsip yang di dalamnyaterkandung empat butir janji dan sikap bersama untuk menjalankanpembaruan agraria dan pembangunan pedesaan.Dalam konferensitersebut, delegasi Indonesia mengakui bahwa masalah konversi lahanpertanian ke non-pertanian telah mengakibatkan berkurangnya lahanproduktif. Diungkapkan bahwa antara 1992-2002, konversi lahanpertanian sawah sekitar 64.000 hektar per tahun (atau 0,8% per tahundari total luas sawah yang ada). Dari jumlah itu, 41% dialihfungsikanmenjadi non-padi, kompleks perumahan 29%, kompleks industri 5%,perkantoran 8% dan lainnya 17%.

Komitmen Yudhoyono

Konferensi ini mengingatkan kepada program kerja yang dita-warkan Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu kampanye tahun 2004yang menumbuhkan harapan bahwa pembaruan agraria akan diprio-ritaskan. Perlu dipahami bahwa pembangunan pertanian tidak dapatmensejahterakan semua lapisan masyarakat tani apabila masalahagraria tidak segera dipecahkan secara tuntas. Karenanya, aksesterhadap tanah dan sumber daya alam yang adil serta merata adalahlangkah pertama yang mutlak diperlukan. Selain itu, pembangunanpertanian tanpa memberikan sebidang tanah dan sumber air kepadapetani, sama dengan mengusahakan industrialisasi tanpa membe-

Page 252: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

233

Kembali ke Agraria

rikan mesin dan peralatan teknologi.Perlu dicatat bahwa pada September 2005 PBB bertekad mengu-

rangi 50% dari 1,9 miliar penduduk yang kekurangan pangan didunia dalam dasa warsa mendatang (2005-2015). Karena panganbersumber dari pertanian, maka hal ini tidak terlepas dari pertanahandan air.

Pemerintah hendaknya memiliki komitmen politik yang kuatuntuk pembaruan agraria guna mengatasi persoalan pangan danpertanian. Semula penulis membayangkan, alangkah mantapnya jikahal ini disuarakan langsung oleh Menteri Pertanian (Mentan) dan/atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI dalam ICARRD2006 di Brasil.

Terlepas dari itu, deklarasi yang ditelurkan ICARRD 2006 hen-daknya diletakkan sebagai energi pendorong tambahan untukmelangkah pasti guna melaksanakan pembaruan agraria yang didu-kung penuh semua unsur pemerintahan. Deklarasi ini juga mestilahdikawal oleh organisasi rakyat (tani) dan LSM yang punya kepedulianatas masalah agraria dan pedesaan. Semoga saja ketidaksertaan Men-tan dan Kepala BPN dalam ICARRD 2006 ini tidak mengurangi, apa-lagi melunturkan komitmen politik pemerintah untuk menjalankanpembaruan agraria yang memihak kaum tani dan rakyat miskin padaumumnya.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Prof.Sediono M.P. Tjondronegoro)

Page 253: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

234

Pikiran Rakyat, 4 April 2006

Repot Karena Freeport

MEDIA massa mengabarkan geger kasus PT Freeport Indonesia yang kian meruncing. Aksi massa di depan kampus Uni-

versitas Cenderawasih, Abepura, Jayapura hari Kamis (16/3/06)mengakibatkan empat aparat tewas dan 19 lainnya luka-luka. Daripihak massa, empat orang luka-luka, dan 40 orang lainnya ditahan.

Penulis menyorot tendensi pelanggaran HAM dalam kasusFreeport dari kronologis masuknya PT Freeport (Juni 1966). Ketikaitu, Freeport Sulphur melakukan negosiasi dengan pemerintah untukmelakukan penambangan di Irian bagian barat. Pada Maret 1967, PTFreeport Indonesia Incorporated (PT FII) menandatangani kontrakkarya (KK) untuk usaha penambangan di wilayah pegunungan Jaya-wijaya Selatan, tepat di Gunung Erstberg dan sekitarnya.

Sejak awal rakyat Papua menebar protes yang terutama darimasyarakat adat yang sudah hidup ratusan tahun sebelumnya. Sum-ber protes terkait digunakannya konsepsi hak menguasai negara yangmendelegitimasi penguasaan agraria masyarakat sehingga mereng-gut sumber penghidupan rakyat. Terjadi pula pengambilan kepu-tusan yang tak demokratis dalam penetapan usaha tambang di wila-yah mereka.

Dalam konteks perebutan sumber agraria, negara (pemerintah)memiliki andil besar dalam pelanggaran HAM. Hal ini sejalan denganlaporan investigasi Komnas HAM terhadap tendensi pelanggaranHAM dalam kasus Freeport (1995). Laporan tersebut sampai pada

Page 254: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

235

Kembali ke Agraria

kesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM di sana, yang meliputi:pembunuhan indiskriminatif, penganiayaan, dan perlakuan yangmerendahkan martabat manusia, penangkapan tidak berdasarkanhukum dan penahanan yang semena-mena, penghilangan orang,pengawasan yang berlebih-lebihan, serta perusakan harta milik yangdilakukan oleh aparat keamanan.

Laporan di atas diperkuat hasil studi Dianto Bachriadi (1997-1998) yang menyuguhkan fakta: dilanggarnya hak untuk menentukannasib sendiri, pemaksaan alih fungsi lahan; dilanggarnya hak untukhidup; penghilangan orang dan penangkapan secara sewenang-we-nang; hilangnya hak untuk bebas dari rasa takut; hilangnya hakuntuk tidak mendapatkan penyiksaan atau tindak kekerasan.

Dalam kasus Freeport, Dianto juga menemukan pencabutan hakseseorang atas sumber penghidupan subsistensinya; kehilangan hakanak-anak untuk mendapatkan perlindungan, dan lenyapnya stan-dar kehidupan yang layak serta pencapaian tingkat kesehatan yangoptimal. Saat baru mulai, PT Freeport menginvestasikan modalnyaUS$ 75 juta dengan areal wilayah KK seluas 100.000 hektare. Kiniaset PT Freeport membengkak jadi sekitar US$ 3 miliar dengan luasareal konsesi berlipat 260 kali menjadi 2,6 juta hektare—berdasarkanKK yang ditandatangani 1991. Areal wilayah KK ini membentangdari pegunungan Weyland di bagian Barat, Membramo sampai pegu-nungan Bintang Timur pada garis perbatasan antara Indonesiadengan Papua Nugini—alangkah luasnya!

Di dalam areal seluas itu, terdapat gunung Grastberg yang diya-kini mengandung 51,8% kandungan emas yang ada di seluruh Indo-nesia. Dapat dibayangkan jumlah kekayaan yang akan diraup darisana. Banyak pihak telah menunjukkan fakta tentang usaha tambangemas tersebut telah menginjak-injak rasa keadilan. Bagaimana tidak,Indonesia yang pemilik kekayaan mesti mencicipi sedikit (sekira 12%)keuntungan dibanding yang diperoleh perusahaan (tak kurang dari88%). Apalagi pendapatan dan kesejahteraan rakyat setempat, bukan-nya untung malah buntung.

Page 255: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

236

Usep Setiawan

Agar tak repot

Pelanggaran HAM dan ketidakadilan agraria kini terus menuaiprotes rakyat Papua. Munculnya protes erat kaitannya dengan ter-ganggunya eksistensi historis dan persepsi kultural mereka atassumber-sumber agraria. Sebagian besar orang Papua memandangtanah (wilayah kehidupan) mereka seperti ibu kandung sendiri. Dapatdibayangkan kemarahan dan kedalaman luka hati mereka ketikawilayah hidup (ibu) mereka diobrak-abrik dan dikeruk seisi perutnya.

Agar Freeport tak lagi bikin repot, solusi holistik hendaknya me-mungkinkan rakyat Papua merdeka dari segala penindasan danpengisapan. Ada sejumlah langkah strategis. Pertama, di tingkat kebi-jakan perlu peninjauan ulang konsepsi hak menguasai negara yangterdapat dalam sejumlah perundang-undangan, untuk kemudiandibatasi. Kedua, pemerintah “terpaksa” harus berunding ulang(renegosiasi) dengan Freeport, dan melibatkan masyarakat setempatuntuk penyelesaian adil. Renegosiasi bisa berujung penghentian(sementara) investasi sambil mengusut pelanggaran HAM.

Ketiga, pemerintah harus menghentikan keterlibatan militerdalam pengamanan pertambangan guna meminimalisasi potensipelanggaran HAM oleh alat negara dan sebagai upaya strategismengembalikan militer kepada fungsi pokok pertahanan negara.Keempat, diperlukan segera pemulihan kondisi masyarakat setempatsetelah terkena perampasan agraria, yang meliputi pengakuan pemi-likan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan keka-yaan alam. ***

Page 256: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

237

Sinar Harapan, 12 April 2006

Akhiri Kemiskinan dan Kelaparan

INTERNATIONAL Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) telah berlangsung sukses pada 7-10 Maret 2006 di

Kota Porto Alegre, Brasil. Di kota ikon negara Rio Grande do Sul(negara bagian Republik Federasi Brasil) ini delegasi dari 93 negaraberbagi pengalaman pembaruan agraria dan pembangunan pede-saan.

Konferensi lintas negara yang difasilitasi Food and AgricultureOrganization (FAO) PBB ini mencoba menumbuhkan saling belajardan pengertian. Perbedaan yang ada justru makin menyatukan tekaduntuk bersama mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Konferensi inioleh pemerintah Brasil didedikasikan untuk mengenang ProfesorJosue de Castro (1908-1973), seorang tokoh dunia yang pernah me-mimpin FAO. Profesor Castro dikenal sebagai pejuang yang gigihmemobilisasi perhatian dunia memerangi kelaparan dan kemiskinan.Sidang dipimpin Miguel Rossetto (Menteri Pembangunan Agraria).Setiap pimpinan delegasi menyampaikan pandangan umum tentangkondisi dan dinamika kebijakan agraria dan pembanguan desa dinegara masing-masing. Setiap pimpinan delegasi menjelaskan sikapdan pandangannya terhadap ICARRD.

Jafar Husein (Wakil Kepala Perwakilan KBRI Roma Italia) sebagaipimpinan delegasi Indonesia juga menyampaikan pandangan umum.Terdapat beberapa hal penting dari pandangan delegasi Indonesia.Pertama, adanya pengakuan selama 30 tahun terakhir Indonesia

Page 257: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

238

Usep Setiawan

mengalami banyak kesulitan dalam menjalankan pembaruan agraria.Disadari masih ada inkonsistensi antara hukum dengan penerapan-nya. Kedua, periode 2004-2009, Indonesia meletakkan revitalisasi per-tanian sebagai salah satu prioritas pembangunan ekonomi nasionalyang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligusmembangun fundamental ekonomi yang kokoh. Ini juga dimaksud-kan sebagai strategi dalam mengatasi pengangguran, kemiskinandan ketidakmerataan pembangunan.

Ketiga, dalam semangat itulah delegasi Indonesia mendukunguntuk melaksanakan pembaruan agraria dan pembangunan pede-saan. Keempat, melalui ICARRD, delegasi Indonesia mengharapkandapat membangun kerja sama strategis dengan berbagai negara untukmenjalankan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan mela-lui berbagi pengalaman, dialog konstruktif dan sistematis.

Laporan nasional

Setiap negara peserta konferensi menyusun laporan nasional.Dalam laporan nasional delegasi Indonesia, dipaparkan sejumlahsubstansi yang dianggap penting sebagai bahan refleksi dan pembe-lajaran bersama. Laporan Indonesia meliputi: Pertama, sikap Indone-sia berkaitan dengan penyelenggaraan ICARRD 2006; gambaranumum tentang Indonesia, dan; landasan filosofis pembaruan agrariadan pembangunan pedesaan di Indonesia.

Kedua, gambaran umum permasalahan agraria, membedah ke-timpangan pemilikan dan penguasaan tanah; alih fungsi tanahpertanian ke non-pertanian, dan konflik agraria. Ketiga, kebijakanpembaruan agraria dan pelaksanaannya, yang menguraikan: pelak-sanaan pembaruan agraria, dan pembangunan pertanian dan pede-saan. Keempat, agenda pembaruan agraria dan pembangunan pede-saan di Indonesia; agenda pembangunan pertanian; agenda pemba-ruan agraria, dan; hubungan antara keduanya. Kelima, pada bagianpenutup ditegaskan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaansebagai pekerjaan besar yang membutuhkan komitmen berbagai

Page 258: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

239

Kembali ke Agraria

pihak. Diperlukan pemahaman dan gerak langkah yang sama darisemua pihak, karena hal itulah yang akan menentukan keberhasilanpembaruan agraria dan pembangunan pedesaan.

Spirit global

Kelaparan yang terus mengancam manusia di berbagai belahandunia, khususnya di negara-negara miskin dan yang sedang mem-bangun memaksa pimpinan berbagai negara putar otak. Beragamcara ditempuh tapi kelaparan/kemiskinan masih saja belum mampudiakhiri.

Tantangan masih membentang dari ranah lokal, nasional, re-gional hingga global. Relasi tak adil dan jauh dari seimbang dalamtata ekonomi-politik dunia menjadi keprihatian sebagian pesertakonferensi. Keprihatinan bersama lintas bangsa inilah yang mem-bangkitkan spirit global untuk secara sinergis menggalang kerja samadalam mengatasi sumber sebab kemiskinan dan kelaparan. Konfe-rensi menghasilkan deklarasi bersama yang berisi 27 pandangan,sebuah rumusan visi, dan 11 prinsip yang di dalamnya terkandung4 janji dan sikap bersama untuk menjalankan pembaruan agrariadan pembangunan pedesaan.

Substansi positif yang dikandung deklarasi ini hendaknya mene-guhkan spirit para pemimpin dan rakyat berbagai negara di duniadalam merebut uma visao para o futuro atau new vision for future. Parapemimpin Indonesia tak boleh luput. Visi baru untuk masa depan ituterwujudnya sebuah tatanan dunia baru yang bebas dari kemiskinandan kelaparan, melalui pembaruan agraria sejati. ***

Page 259: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

240

www.hukumonline.com, 28 Juli 2006

Krisis Kelembagaan Pertanahan?(Catatan atas Kontroversi Perpres No. 10 Tahun2006 tentang Badan Pertanahan Nasional RI)

Ketika persoalan agraria semakin kompleks, Presiden Susilo BambangYudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006tentang Badan Pertanahan Nasional.

PERPRES No. 10 Tahun 2006 (selanjutnya Perpres 10/2006)menggariskan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai

Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan ber-tanggungjawab kepada Presiden (Pasal 1). Garis ini mengakhiri posisidilematik BPN yang pernah berwujud Kementerian Agraria, lalu dibawah Departemen Dalam Negeri, bahkan nyaris dibubarkan. BPNkini langsung di bawah RI-1.

Hal yang mengejutkan, sebagian unsur pemerintahan sendiriternyata menunjukkan resistensi kuat terhadap kebijakan Presidenitu. Misalnya, Sekjen Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indone-sia (APPSI) Ferry Tinggogoy menilai permasalahan investasi yangpaling parah adalah masalah pertanahan. Dengan keluarnya Perpres10/2006, bidang pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.Padahal, tegas Ferry, pertanahan merupakan kewenangan daerah.

Aturan yang disahkan Presiden pada 11 April 2006 itu dinilaimengurangi kewenangan daerah dan bertentangan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ferry menambahkan

Page 260: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

241

Kembali ke Agraria

dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan kewenangan pusathanya enam bidang, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan,hukum, moneter, dan agama, sedangkan daerah mempunyai 30bidang kewenangan (Hukumonline, 29/6/06).

Ketua Dewan Pengurus Asosiasi DPRD Kota Seluruh IndonesiaSoerya Respationo juga mengatakan secara logika hukum, pertanahanberkait dengan tata ruang daerah. Karena itu bila pertanahan sepe-nuhnya jadi wewenang pusat, akan muncul persoalan yang serius.Bukan hanya mereka yang memprotes Perpres 10/2006, Depdagripun memperjuangkan sebagian kewenangan pertanahan untukdaerah. Hampir satu tahun, draf revisi Peraturan Pemerintah No. 25Tahun 2000 tak juga selesai. Salah satu penyebab, alotnya pemba-hasan kewenangan bidang pertanahan antara BPN dan Depdagri.

Sekjen Depdagri Progo Nurdjaman mengatakan ada perbedaaninterpretasi di antara kedua instansi, Depdagri menggunakan UUNo 32/2004, sementara BPN menggunakan UU No. 5 Tahun 1960tentang Pokok- pokok Agraria (Kompas, 16/6/06).

Krisis kelembagaan?

Secara kasat mata publik dihadapkan pada tendensi situasi krisiskelembagaan pertanahan. Terlepas dari kekisruhan pendapat di da-lam tubuh pemerintahan, penulis mencoba bersikap objektif danoptimistik dengan meletakkan kehadiran Perpres 10/2006 sebagaiupaya Presiden menjawab tuntutan masyarakat atas pembaruanagraria, yang di antaranya ditempuh melalui penataan kelembagaanpertanahan yang ada. Terbitnya Perpres ini layak diapresiasi sebagaimomentum untuk memperkokoh niat guna memperbaiki kondisiagraria.

Jika kita cermati, cakupan kewenangan BPN menurut perpresini tampak kian luas karena kini BPN bertugas melaksanakan tugaspemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dansektoral (pasal 2). Semangat nasionalisme tergurat jelas pada bagianMenimbang (b); “bahwa tanah merupakan perekat NKRI, karenanya perlu

Page 261: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

242

Usep Setiawan

diatur dan dikelola secara nasional...”.Sektoralisme kebijakan agraria di dalam tubuh pemerintahan

sebagai sandungan dalam penyelesaian masalah pertanahan jugadieliminir. Kewenangan BPN yang mencakup “nasional”, “regional”,dan “sektoral” perlu penjabaran dan kelugasan dalam meletakkansinergi antara kebijakan pertanahan dengan sektor terkait—semisalkehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, dst.

Mengacu pada pasal 3 Perpres, BPN memiliki 21 fungsi, di anta-ranya; melaksanakan reformasi agraria [poin h], pemberdayaan ma-syarakat [poin m], dan penanganan konflik pertanahan [poin n]. Keti-ga tugas/fungsi ini dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaanagenda penataan ulang struktur agraria sebagai problem pokokagraria.

Struktur BPN pun kini berubah. Di BPN Pusat terdiri dari seorangKepala yang memimpin BPN, Sekretaris Utama sebagai unsur pim-pinan, dan Inspektorat Utama sebagai unsur pengawasan, serta limaorang deputi—salah satunya adalah Deputi Bidang Pengkajian danPenanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (sebelumnya tidakada). Adapun struktur BPN di daerah menurut Perpres 10/2006meliputi Kantor Wilayah (provinsi) dan Kantor Pertanahan (kabu-paten/kota) yang menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di daerah.Hal ini menegaskan pilihan struktur organisasi pemerintah di bidangpertanahan sekarang adalah bersifat vertikal.

Struktur vertikal ini hendaknya menyudahi silang pendapatmengenai perlu-tidaknya masalah pertanahan didesentralisasikanatau diotonomikan. Semangat Perpres ini mengindikasikan urusanpertanahan adalah urusan pusat yang dibantu jajarannya di daerah,bukan menjadi urusan yang (sepenuhnya) diserahkan kepadapemerintahan daerah. Hal terpenting, sentralisasi kebijakan pokokpertanahan ini mestilah terkait penataan agraria nasional yang mestidipastikan ada dalam bingkai negara Republik Indonesia yang masihmenjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Sentralisasi untuk perubahanke arah keadilan agraria mestinya lebih pokok ketimbang desentra-

Page 262: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

243

Kembali ke Agraria

lisasi tapi prakteknya memperparah kondisi agraria di lapangan.Tantangannya adalah bagaimana koordinasi dan sinergi BPN

yang vertikal ini dengan pemerintahan daerah yang persoalanagrarianya pastilah beragam dengan konstalasi politik yang jugacenderung pelangi. Dalam hal ini, perlu kepiawaian politik dankesediaan berbagi peran secara proporsional antar sesama penye-lenggara negara yang mengurus hajat hidup khalayak ramai, apalagimenyangkut tanah sebagai urusuan yang asasi.

Menangani konflik

Selama ini BPN tak memiliki organ khusus yang berwenang kuatdalam mengurai dan menangani konflik/sengketa/perkara perta-nahan. Perpres 10/2006 memastikan ada kedeputian khusus yangmenangani konflik/sengketa/perkara pertanahan. Kedeputian initentu menjadi unsur terpenting dalam menjawab kehausan korbankonflik agraria di Tanah Air.

Kasus-kasus sengketa tanah sering mengalami kebuntuan tanpapenyelesaian gara-gara tak sesuainya kapasitas kelembagaan diban-ding beban persoalan. Kedeputian ini secercah harapan bagi penun-tasan ribuan kasus tanah. Syaratnya, kedeputian ini hendaknya jadibenteng tangguh yang kapabel dan kredibel dalam menghadirkanrasa keadilan sekaligus kepastian dalam setiap penyelesaian konflik/sengketa/perkara pertanahan.

Bagian lain yang penting dari Perpres 10/2006 adalah dibentuk-nya “Komite Pertanahan” (Pasal 35-41). Anggota komite yang berasaldari pakar pertanahan dan tokoh masyarakat diharapkan dapatmenggali pemikiran dan pandangan secara objektif sebagai bahanmasukan, saran dan pertimbangan kepada BPN dalam perumusankebijakan.

Keanggotaan komite yang maksimal 17 (tujuh belas) orang iniideal jika diisi orang-orang yang punya kapasitas, kredibilitas danloyalitas kepada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Komite ini hen-daknya memprioritaskan reforma agraria yang memihak rakyat

Page 263: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

244

Usep Setiawan

sebagai agenda pokok untuk segera digali, dirumuskan dan diper-juangkan.

Sinergi untuk pembaruan

Setelah BPN selesai direnovasi melalui Perpres 10/2006, kerjabesar selanjutnya adalah memastikan seisi rumah (BPN) dapatbertugas sesuai fungsinya. Tim kerja yang berjiwa kerakyatan, bijak-sana, tangguh dan solid tentu menjadi syarat pokok yang akan meng-gerakkan BPN ke arah yang tepat, demi kemaslahatan segenap rakyat.

Bekal yang hendaknya dimiliki pengisi struktur BPN adalahpemahaman objektif atas persoalan agraria yang dihadapi bangsadan semangat juang untuk menjalankan reforma agraria yang me-mihak rakyat jelata. Untuk itu, diperlukan juga kesiap-sediaan untukdekat dan bekerja sungguh untuk kemakmuran rakyat yang selamaini melarat. Hemat penulis, tarik ulur kewenangan bidang pertana-han antara pusat dan daerah ini sebenarnya tidak terlalu penting.Pembagian kewenangan yang jelas akan menjadi percuma, tanpareforma agraria dengan perubahan struktur organisasi pemerintahan.Berbagai persoalan sengketa pertanahan tetap saja tidak bisadiselesaikan.

Reforma agraria membutuhkan kebijakan nasional. Karenaitulah, tidak bisa semua kewenangan bidang pertanahan diberikankepada daerah. Pemerintah perlu membagi kewenangan secara pro-porsional. Berhentilah tarik-menarik kepentingan pusat dan daerah,lupakan kepentingan internal pemerintahan. Mulailah memikirkansolusi terbaik kondisi agraria di lapangan sehingga berbagai perso-alan agraria yang banyak memakan korban dapat segera diselesaikan(Kompas, 16/6/06).

Diperlukan sinergi antara BPN bersama seluruh unsur peme-rintahan terkait lainnya dengan berbagai komponen sosial menujupenataan agraria menyeluruh. Para pelaku gerakan reforma agraria—seperti gerakan tani, nelayan, masyarakat adat dan kaum kiskinkota bersama para pendukungnya, hendaknya meletakkan Perpres

Page 264: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

245

Kembali ke Agraria

10/2006 ini sebagai tantangan untuk menyiapkan pra-kondisi sosialdi lapangan menuju implementasi reforma agraria sejati.

Melompati kontroversi atas Perpres 10/2006, penulis melon-tarkan gagasan untuk memperkuat kelembagaan yang dibutuhkanguna reforma agraria melalui pembentukan Badan Otorita ReformAgraria (BORA) yang dibentuk khusus untuk reforma agraria dandipimpin langsung oleh Presiden. Sedangkan kelembagaan yangmengelola tanah dan kekayaan alam lainnya perlu dibentuk Depar-temen Agraria yang dipimpin Menteri Agraria. Keberadaan BPN yangsekarang dapat secara langsung dilekatkan pada Departemen Agrariatersebut.

Akankan kontroversi krisis kelembagaan pertanahan ini ber-lanjut atau mengkerucut ke arah konsensus nasional baru? Mestilahsejarah yang akan mencatatnya kemudian.***

Page 265: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

246

Sinar Harapan, 6 September 2006

HGU Perkebunan, Masihkah Relevan?

TIDAK lama lagi kita akan merayakan Hari Agraria Nasionalyang ke-46 pada 24 September. Di momentum bersejarah tersebut,

penulis bermaksud merefleksi salah satu sumber ketidakadilan agra-ria di Tanah Air, yakni keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) bagiperkebunan-perkebunan besar.

HGU untuk perkebunan-perkebunan besar mulai dikenal di In-donesia seiring dengan ditetapkan dalam UU PA No 5/1960. Asal-muasal hak ini adalah konversi dari hak erfpacht yang dikenal diBarat dan digunakan pada masa kolonial. Sejarah mencatat bahwaselama penggunaan hak erfpacht ini, kekayaan atas sumber-sumberagraria Indonesia tersedot oleh dan untuk kepentingan pengusahadan mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi miskin. Karenanyatidak mengherankan kalau banyak kalangan mengatakan bahwa seba-gian konflik agraria di Indonesia adalah warisan kolonial. Saya kirasalah satu jejaknya adalah hak erfpacht ini yang dikonversi mejadiHak Guna Usaha. Namanya beda, tapi praktiknya sama, yakni mem-beri jaminan hukum untuk penguasaan tanah skala luas pada pihakasing.

Dalam perkembangannya, sengketa agraria di tanah-tanah ber-HGU tidak hanya dari tanah-tanah ex erfpacht yang dikonversi, tetapijuga HGU yang terbit karena penetapan pemerintah. Hal ini dimung-kinkan karena politik hukum agraria nasional kita memberi ruangyang disebut hak menguasai negara.

Page 266: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

247

Kembali ke Agraria

Modus operasi HGU semakin melebar dengan keluarnya PPNo.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yangbukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Begitu banyaksengketa agraria disebabkan oleh Hak Guna Usaha. Sampai tahun2001, kasus di areal perkebunan yang sempat terekam berjumlah 344kasus. Jumlah ini kita bisa bandingkan dengan aksi re-claiming yangdilakukan petani atau masyarakat adat pascareformasi.

Data yang ditunjukkan oleh Imam Koeswahyono yang diolahdari data Direktorat Jendral Perkebunan, sampai bulan September2000, sebanyak 118.830 Ha perkebunan milik negara yang telah di-re-claiming dengan kerugian sekitar 46,5 miliar rupiah, sedangperkebunan swasta 48.051 Ha.

Merampas dan menggusur

Tanah-tanah HGU jadi konflik karena sejak penetapannyadiawali dengan manipulasi, dan seringkali dengan cara kekerasan.Akibatnya, rakyat kehilangan tanah, dan petani tak bertanah atauberlahan sempit pun semakin meluas. Penetapan lahan untuk arealHGU juga tidak menguntungkan secara ekonomi. Di era otonomidaerah, banyak perkebunan yang sama sekali tidak berkontribusipada peningkatan PAD, misalnya kasus perkebunan teh PT Pagilarandi Batang, Jawa Tengah. Pajak hasil dan maupun pajak tanahnyajustru dinikmati pemerintah Yogyakarta.

Begitu pun dari segi ekologi sangat merusak lingkungan, karenapenggunaan pestisida yang tinggi. Jenis tanaman yang berjangkapanjang mengakibatkan kesuburan tanah menjadi hilang. Banyaknyahutan yang dikonversi menjadi areal HGU telah mengakibatkan keba-karan (pembakaran?) hutan yang akhir-akhir ini menghebohkan, bah-kan ekspor asapnya hingga ke negeri jiran. Karena salah satu agendapenting dari pembaruan agraria adalah penataaan soal penguasaan,peruntukan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, kami mere-komendasikan beberapa hal pokok.

Pertama, HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht dihapuskan,

Page 267: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

248

Usep Setiawan

dan dijadikan tanah negara dan menjadi objek landreform. Dasarnyaadalah bahwa masa HGU ex erfpacht ini sudah habis, karena keten-tuan konversi dalam UU PA No 5/1960 disebutkan bahwa “hakerfpacht untuk perkebunan besar yang ada pada mulainya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha Pasal 28Ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht ter-sebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.” Ini artinya sejak tahun 1980lalu, HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht sebenarnya harus sudahtidak ada.

Kedua, HGU yang bukan ex erfpacht dilakukan audit total yangmeliputi: (1) produktif/dikelola sendiri secara aktif atau tidak pro-duktif/tidak dikelola sendiri secara aktif. Yang tidak produktif dantidak dikelola oleh pemiliknya sendiri, diambil alih oleh negara dandijadikan objek land reform. Hal ini didasarkan atas kenyataan bah-wa banyak HGU yang ditelantarkan oleh pemiliknya, serta tidakdikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara aktif; (2) berdasarkan asal-muasal HGU, yang terbit dengan cara merampas dan menggusurtanah-tanah rakyat, atau ganti rugi tapi tidak sesuai, dikembalikanpada pemilik sebelumnya.

Ketiga, HGU jangan diterbitkan di atas tanah-tanah yang sudahdikuasai dan digarap oleh rakyat. Fenomena maraknya reclaimingdan okupasi yang dilakukan rakyat atas tanah-tanah perkebunanpasca-reformasi hendaknya menjadi indikasi perlunya pengakuansecara legal formal atas tanah rakyat tersebut. Legalisasi tanah rakyathasil reclaiming dan okupasi mesti diupayakan serius.

Perekat NKRI

Keempat, HGU untuk perkebunan besar hanya untuk usaha ber-sama dan dalam bentuk koperasi. Perombakan tata produksi dantata kelola di sektor perkebunan besar mestilah diletakkan dalamkerangka reforma agraria sejati. Keberadaan perkebunan-perkebunanbesar mestilah menganut semangat pelibatan rakyat di sekitar danyang bekerja di dalamnya sebagai sama-sama pemilik atas aset

Page 268: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

249

Kembali ke Agraria

perkebunan tersebut. Pola kemitraan yang adil dan serasi layakdikembangkan.

Belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menan-datangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang BadanPertanahan Nasional (11 April)—lihat kolom penulis di MajalahHukumonline, edisi 3 Agustus 2006. Perpres ini layak diapresiasisebagai momentum untuk memperkokoh niat guna memperbaikikondisi agraria. Perpres itu menggariskan bahwa BPN berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Cakupan kewenangannya juga kian luas karena kini badan itumelaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secaranasional, regional, dan sektoral (Pasal 2). Semangat nasionalismetergurat jelas pada bagian Menimbang (b); “bahwa tanah merupakanperekat NKRI, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasio-nal...”.

BPN kini memiliki 21 fungsi, di antaranya melaksanakan refor-masi agraria (poin h), pemberdayaan masyarakat (poin m), danpenanganan konflik pertanahan (poin n). Ketiga tugas/fungsi inidapat menjadi pintu bagi penataan ulang struktur agraria sebagaiproblem pokok agraria. Kedeputian khusus yang menangani sengke-ta/konflik/perkara pertanahan hendaknya jadi benteng tangguhyang kapabel dan kredibel dalam menghadirkan rasa keadilan ditengah rakyat, termasuk menyelamatkan rakyat korban konflik HGU.

Kemerdekaan terasa hampa tanpa kedaulatan dan keadilanhakiki di lapangan agraria. Mengkongkretkan makna kemerdekaansebagai jembatan emas menuju kemajuan dan kemakmuran bangsahendaknya menjadi komitmen bersama menyertai HUT Proklamasisekaligus menjelang Hari Agraria Nasional 2006. Semoga.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan IdhamArsyad)

Page 269: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

250

Forum Keadilan, No.40/13-19 Februari 2007

Militer dan Agraria

BENTROK antara rakyat (petani) dengan aparat militer (TNI-AU)pada tanggal 21-22 Januari 2007 di kampung Cibitung desa

Sukamulya, kecamatan Rumpin, Bogor-Jawa Barat mendorong kitamerefleksikan kembali peran militer dalam urusan agraria.

Kasus Rumpin membuktikan otoritarianisme di lapangan agrariamasih bercokol. Kasus Rumpin juga cermin penegakan HAM yangmasih runyam. Pembaruan (reforma) agraria masih berupa niat suciyang belum mewujud dalam nyata. Menjadi rahasia umum, militer(tentara dan polisi) sepanjang Orde Baru kerap berdiri di belakangkasus-kasus konflik agraria struktural. Aparat Negara bersenjata itubiasa jadi backing proyek pembangunan yang menggusur rakyat.Bahkan tak sedikit proyek instansi militer sendiri yang memper-hadapkan rakyat dengan moncong senjata.

Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970-2001), pihak militertermasuk yang paling sering berhadapan dengan rakyat. Tak kurang29% kasus telah mengakibatkan rakyat bergulat dengan kaum beram-but cepak ini. Analisis terhadap pola konflik agraria menampilkanwajah penaklukan dan penindasan oleh aparat negara terhadaprakyat. Sering bukti-bukti hak rakyat atas tanah tak diakui. Jika tanahrakyat dibutuhkan untuk “pembangunan”, penetapan ganti rugiselalu merugikan. Penindasan yang dialami rakyat berupa intimidasi,teror, dan kekerasan fisik. Sering terjadi penangkapan hingga pemen-jaraan tokoh rakyat yang memperjuangkan haknya atas tanah. Bah-

Page 270: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

251

Kembali ke Agraria

kan, penggunaan senjata dan alat kekerasan negera dan premanismeyang mengorbankan rakyat.

Jika rakyat protes, tuduhan pembangkang, pengacau, anti pem-bangunan segera dicapkan. Konflik agraria yang menampilkanketidakadilan agraria ini telah menyembulkan wajah carut marutnyakondisi HAM bangsa. Semua itu, merupakan ekspresi politik agrariayang otoritarian sebagai benteng dari paradigma dan praktek politikagraria kapitalistik yang membuahkan struktur agraria yang kiantimpang dan represivitas sangat tinggi.

Ketimpangan penguasaan dan kekerasan konflik agraria sebagaiproblem pokok agraria di Indonesia merupakan buah perkawinankapitalisme dengan otoritarianisme politik agraria. Ini adalah warisanOrba, bahkan residu era feodalisme, kolonialisme dan imperialisme.Ketika otoritarianisme bergeser ke demokrasi, perubahan paradigmadan praktik agraria perlu mendapat perhatian khusus. Karenanya,menuntaskan ketimpangan dan konflik agraria melalui reforma agra-ria dapat dikatakan sebagai perjuangan inklusif meluruskan sejarahbangsa.

Perjuangan memberangus otoritarianisme agraria, menegakkandemokrasi dan HAM tak akan bermakna jika reforma agraria diabai-kan. Kita butuh demokrasi guna memastikan kekuasaan tertinggi digenggaman rakyat. Tetapi kita juga perlu reforma agraria untuk me-mastikan tanah dan kekayaan alam lainnya benar-benar dikuasai,dikelola dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuranrakyat.

Semua itu hendaknya berujung pada penanganan problem agra-ria secara adil dan manusiawi, sehingga seluruh konflik agraria mam-pu diatasi secara paten. Reforma agraria akan menjadikan demokrasilebih bermakna keadilan dan kemanusiaan. Rencara pelaksanaanreforma agraria—ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonodalam pidato awal tahun 2007 (31/01), hendaknya sekaligus ber-makna reposisi militer dari “aktor pemicu konflik” menjadi “penga-wal terbitnya keadilan”. Niat luhur ini mesti disertai langkah nyata

Page 271: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

252

Usep Setiawan

menamatkan otoritarianisme agraria.Pengalaman bangsa-bangsa mengajarkan bahwa reforma agraria

yang berhasil selalu menyertakan pihak militer sebagai backing-nyarakyat sekaligus pengawal setia pemerintah yang sedang menabur-kan benih kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi raknyat.Militer perlu segera mereposisi diri untuk terlibat mensukseskanpelaksanaan reforma agraria. Skenario ini mensyaratkan adanyainstruksi yang tegas dari panglima tertinggi militer (Presiden) menge-nai agenda ini. Prasyaratnya, Presiden punya keyakinan penuh untukmemimpin langsung pelaksanaan reforma agraria.

Pimpinan militer di semua level dikondisikan untuk tugas baruini. Pendidikan dan pelatihan khusus untuk kalangan militer hen-daknya dilakukan guna memastikan semua jajaran memahami kon-sep yang cukup mengenai reforma agraria. Militer mesti paham tujuanreforma agraria sehingga dapat mengawalnya secara konstruktif.Reforma agraria yang intinya landreform—yang mengandung agendaredistribusi tanah, bagi rakyat kecil haruslah berlangsung mulus.Redistribusi tanah yang diawali “pengambilan tanah” dari penguasatanah luas, lalu “pembagian tanah” kepada rakyat miskin rentanbenturan. Peran militer sangat diperlukan terutama pada tahap ini.

Militer harus mengamankan proses landreform secara tegasnamum jernih supaya rakyat kecil benar-benar mendapatkan haknya.Militer harus mencegah para penumpang gelap mengail di air keruh.Militer harus menghadang gerakan kontra reform yang dilakukanoleh siapa pun. Prinsipnya, militer berdiri di belakang rakyat yangakan menerima manfaat reforma agraria.

Apabila ini terjadi, potensi konflik agraria akan dapat diminima-lisir dan citra militer pun meroket di mata rakyat. Sebaliknya, apabilamasih berperilaku seperti di Rumpin, kaum pemanggul senapan initak ubahnya awan kelabu penghambat terbitnya fajar keadilan ag-raria.***

Page 272: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

253

Sinar Harapan, 15 Februari 2007

Segera Bikin Perpu untukReforma Agraria

MEMBUKA lembaran 2007, ada dua kabar penting terkaitkebijakan agraria nasional, yakni dibatalkannya rencana

perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dan dicetuskannya rencanapelaksanaan reforma agraria pada pidato awal tahun 2007 PresidenRI. Kedua kabar ini dapat dijadikan pijakan bagi pengembanganagenda strategis lanjutan.

Dipertahankannya UUPA telah meneguhkan amanat pendiribangsa untuk memakmurkan rakyat melalui penguasaan negara atastanah kekayaan alam lainnya. Adapun rencana pelaksanaan reformaagraria—melalui program redistribusi jutaan hektare tanah bagi ka-um miskin—meniupkan angin segar bagi penuntasan problem agra-ria yang masih melilit. Reforma agraria ialah jembatan emas keadilanagraria.

Setelah mengalami pergulatan sengit, pemerintah bersamaDewan Perwakilan Rakyat akhirnya sampai pada kesepakatan mem-pertahankan UUPA (Senin, 29 Januari 2007). Undang-undang terse-but dinilai bukan saja relevan melainkan urgen untuk dijalankan.Rencana penggantiannya dikhawatirkan mengubur agenda pemba-ruan agraria. Karena itu, penghentian upaya perubahannya patutdisyukuri. Ini merupakan momentum untuk kembali ke khittahsemangat UUPA. Kini kita ditantang meneruskan amanat undang-

Page 273: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

254

Usep Setiawan

undang itu secara konsekuen.Semangat dan filosofi UUPA yang masih sangat relevan seti-

daknya ada 10 (sepuluh) prinsip dasar: nasionalisme, hak menguasaidari negara, tanah untuk penggarap, landreform, fungsi sosial,pengakuan hak adat, kesetaraan gender, kelestarian lingkungan,usaha bersama rakyat, dan lintas sektor.

Undang-undang operasionalnya

Kini, pemerintah dan parlemen hendaknya berkonsentrasi padapelaksanaan UUPA dengan menerjemahkan mandat-mandat UUPAke dalam peraturan perundang-undangan turunannya secara lebihoperasional. Revisi dan pencabutan aturan yang nyeleweng dariUUPA perlu dilakukan. Idealnya, reforma agraria diatur dalam pera-turan setingkat UU agar memiliki legitimasi politik dan kekuatanhukum penuh. Namun, penyusunan UU memakan waktu lama danproses panjang (perlu koordinasi intensif dengan parlemen dan kon-sultasi publik luas). Belum lagi risiko “nyeleweng” dari semangatUUPA juga amat riskan.

Untuk itu, percepatan reforma agraria dapat diatur dalamPeraturan Pengganti UU (Perpu) atau Peraturan Pemerintah (PP).Legislasi itu hendaknya mengatur mengenai: argumen pentingnyareforma agraria; pengertian, tujuan dan arah reforma agraria; objekdan subjek reforma; mekanisme pelaksanaan; kelembagaan pelak-sana; program pendukung; pembiayaan; dan, jadwal pelaksanaan.

Sangat baik jika Perpu dan PP ini terbit di awal tahun 2007,sehingga komitmen Presiden untuk menjalankan reforma agraria—sebagaimana dipidatokan 31 Januari lalu,—dapat segera mewujuddalam kebijakan kongkrit. Menggeser wacana ke dalam praktik—sejatinya tantangan terbesar pemerintahan sekarang.

Yang juga mesti dikenali adalah arus deras neoliberalisme diberbagai sektor agraria dan pengelolaan kekayaan alam. Arus inihendaknya dicegah dengan jalan konsisten teguh pada amanatUUPA. Penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemafaatan tanah

Page 274: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

255

Kembali ke Agraria

dan kekayaan alam lainnya harus tetap dalam garis sebesar-besarnyakemakmuran rakyat. Monopoli penguasaan tanah oleh pemodal besarhendaknya dicegah. Negara berkewajiban membatasi penguasaantanah berlebihan baik oleh pribadi maupun korporasi. Negara wajibmemastikan rakyat miskin punya akses cukup atas tanah dan keka-yaan alam serta dipenuhinya program pendukung melalui reformaagraria sejati.

Ketepatan konsep, objek dan subjek reform menjadi syarat refor-ma agraria taat asas kerakyatan. Ada tiga hal yang perlu diingatklanterkait dengan recana redistrubusi tanah jutaan hektar kepada rakyat.Pertama, per-definisi redistribusi tanah tak sebangun dengan reformaagraria. Urut-urutan yang tepat ialah: redistribusi tanah merupakanbagian dari landreform, dan landreform adalah bagian (inti) darireforma agraria.

Landreform mutlak guna mengakhiri ketimpangan penguasaantanah. Sedangkan reforma agraria, selain mengandung landreformjuga mencakup program pendukung pasca landreform. Reformaagraria ialah landreform plus program pendukung. Karenanya, reformaagraria lebih luas dari landreform, apalagi sekedar redistribusi tanah.

Menarik garis tegas

Kedua, objek redistribusi tanah mestinya tanah-tanah yangdikuasai secara luas dan monopolistik—baik oleh negara maupunswasta, baik individu maupun badan usaha—yang selama ini menye-babkan ketimpangan dan ketidakadilan. Untuk itu diperlukan inden-tifikasi cermat seluruh objek reform yang potensial untuk didistri-busikan kepada rakyat kecil. Haruslah dipastikan posisi lahan (objek)berada di sekitar orang (subjek) penerima manfaat. Harus dihindaritransmigrasi, contact farming atau inti-plasma yang di masa lampauterbukti gagal, sudah pasti bukan reforma agraria sejati, malah memi-cu konflik sosial baru. Penyediaan data objek dan subjek ini harusmelibatkan rakyat calon penerima manfaat melalui organisasinyayang sejati. Tanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat diintegrasikan

Page 275: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

256

Usep Setiawan

sebagai objek reform dan prioritas dilegalisasi.Ketiga, pihak yang menerima manfaat dari reforma agraria mes-

tilah mereka rakyat kecil/miskin. Data statistik BPS mengenai jumlahdan identitas rakyat miskin hendaknya menjadi salah satu rujukanuntuk diidentifikasi dan diverifikasi lebih lanjut yang dilakukansecara partisipatif di lapangan. Hanya yang ekonomi lemah dan perlupertolonganlah subjek reform itu. Disinilah petani kecil (gurem),buruh tani, masyarakat adat (lokal) dan rakyat miskin pada umumnyamendapat tempat istimewa.

Pemerintah harus berani menarik garis tegas dalam menentukansubjek reform sebagai sikap konsisten pada amanat UUPA. Reformaagraria juga dapat mendorong peningkatan produktivitas pertanian,perwujudan ketahanan dan kedaulatan pangan, serta memperkuatekonomi dan pembangunan pedesaan. Juga merupakan mekanismejitu penyelesaian tuntas sengketa/konflik agraria yang menguta-makan rakyat korban. Hanya dengan kesetiaan pada semangat kerak-yatan UUPA-lah pelaksanaan reforma agraria tidak saja akan mengi-kis kemiskinan dan pengangguran, melainkan mencabut akar ke-tidakadilan sosial bagi rakyat jelata.

Oleh karena itu, pelaksanaan pembaruan agraria yang kompre-hensif dan berorientasi pada kaum miskin hendaknya jadi dasardalam menindaklanjuti pidato Presiden tadi. Tanpa pembaruanagraria yang komprehensif dan memihak si kecil, niscaya kemiskinandan pengangguran akan terus mendera rakyat kita, dan keadilansosial serta kemakmuran bangsa pun entah kapan dicapai.***

Page 276: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

257

Kompas, 23 Februari 2007

Momentum Baru Reforma Agraria

REALISASI reforma agraria kini menemukan momentum baru.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan

memulainya tahun 2007.Presiden beberapa waktu lalu menyebutkan, program reforma

agraria, yakni pendistribusian bertahap tanah untuk rakyat, dilak-sanakan mulai 2007. Dialokasikan tanah bagi rakyat termiskin darihutan konvesi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan diIndonesia boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Presidenmenyebutnya sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahte-raan rakyat (Kompas, 12/2/2007). Rencana besar ini patut diapresiasidan menuntut persiapan matang.

Batang terendam

Sebelumnya, Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winotomenegaskan, pemerintah akan melaksanakan reforma agraria pada2007 hingga 2014. Untuk tahap awal, pemerintah mengalokasikan8,15 juta hektar tanah untuk diredistribusi. Disebutkan, tanah yangakan dibagikan berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi,tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis,maupun tanah bekas swapraja.

Reforma agraria dimaksudkan untuk memberi rakyat akses atastanah sebagai sumber ekonomi, mengatasi sengketa, dan konflikpertanahan. Pemberian tanah bagi keluarga miskin diharapkan

Page 277: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

258

Usep Setiawan

meningkatkan taraf hidup mereka (Kompas, 13/12/2006). Riwayatpembaruan (reforma) agraria di Indonesia panjang berliku. Sejakmerdeka, reforma agraria telah mengisi benak Bung Karno yang lalumeluncurkan gagasan land reform sebagai inti reforma agraria.

Pertengahan tahun 1960 land reform dipraktikkan. Saat itu landreform bertujuan menumpas ketimpangan penguasaan tanah sisafeodalisme dan kolonialisme. Masa keemasan raja-raja pribumi danpenjajah asing pra-Indonesia dalam penguasaan tanah-air di Nusan-tara coba dikikis. Tanah-tanah yang kepemilikannya melewati batasmaksimum dan dikuasai di luar ketentuan Undang-Undang PokokAgraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dijadikan objek landreform.

Sayang, landreform yang menurut Bung Karno “bagian mutlakrevolusi kita” ternyata ternoda konflik vertikal dan horizontal. Keri-cuhan sosial dipengaruhi polarisasi ideologis-politis massa rakyatyang terkotak-kotak bingkai ideologi dan partisan. Kelompok “kiri”pendukung landreform bersitegang dengan “kanan” penolak landre-form. Stabilitas politik nasional terguncang.

Pada era Bung Karno, landreform yang baru dimulai terhenti akibatpergantian rezim. Kolaborasi kepentingan elite dalam negeri dengankekuatan asing anti-reform mengganjal landreform. Jika Soekarnomenganut politik agraria pro-rakyat kecil, Soeharto pro-modal besar.Sepanjang 30 tahun Orde Baru, landreform tak hanya diabaikan, tetapidimusuhi, ide maupun penganut-penganjurnya. Kini, PresidenYudhoyono membangkitkan “batang yang terendam”.

Kematangan bersama

Perlu pengkajian pengalaman mempraktikkan landreform padamasa lampau dan menjadikannya pelajaran berharga. Kita kenalicita-cita pendiri bangsa sambil membedah ulang bentuk dan modelreforma agraria, agar tidak terjerembap ke lubang kekeliruan yangsama.

Kita harus berangkat dari kesadaran reforma agraria sebagaikeniscayaan bagi bangsa. Karena itu, birokrasi dan masyarakat perlu

Page 278: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

259

Kembali ke Agraria

disiapkan paralel terintegrasi. Perlu keuletan kerja dan komunikasiintensif semua pihak. Khalayak luas diberi pengertian utuh-jernihmengenai agenda ini. Salah pengertian dan gesekan yang tak perluantarkomponen masyarakat dan masyarakat-pemerintah harusdicegah.

Mustahil reforma agraria dapat dijalankan seorang presiden,satu-dua pejabat, maupun tiga-empat instansi. Reforma agraria ialahpanggilan mendesak bagi segenap anak bangsa. Pejabat dan instansipemerintah yang terkait urusan tanah dan kekayaan alam harus be-kerja keras, tepat, cepat. Ketegasan dan konsistensi presiden memangwajib. Namun, juga harus dipastikan para gubernur, bupati/walikota, dan pemerintahan daerah menggulirkan agenda reforma agra-ria. Arah, prinsip, tujuan, dan garis besar program reforma agrariaperlu ditetapkan pemerintah pusat sebagai guideline. Kekhasan modelimplementasi reforma agraria di daerah tetap diakomodasi. Perbedaanteknis sejatinya kekayaan kebhinekaan bangsa.

Agar pembaruan agraria berhasil, jajaran pemerintahan mestitahu, mau, dan mampu menjawab akar problem agraria. Keikutser-taan rakyat melalui organisasi yang sejati perlu ditumbuhkem-bangkan. Tanpa kematangan pemerintah dan rakyat, reforma agrariaterancam menyimpang dari tujuan dan gagal sasaran. Setelah pidatopada awal tahun diucapkan, kini publik menanti langkah nyataPresiden dan jajarannya. Waktunya tak lama. Detik sekarang hinggaPemilu 2009 ialah pertaruhan menyiapkan (memulai) reforma agrariasecara lebih matang.

Kemauan Presiden memulai reforma agraria adalah momentumbaru yang harus dioptimalkan. Kita tak tahu kapan momentum ber-ulang. Begitu momentum menguap, mimpi reforma agraria patutdigantungkan kembali di bibir langit.***

Page 279: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

260

Jurnal Nasional, 3 Maret 2007

Kekayaan Hayati-Genetika danKebangsaan

KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro telah mendeklarasikanpermasalahan lingkungan sebagai isu utama yang berpengaruh

pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruhdunia.

Salah satu konvensi hasil KTT Rio adalah Konvensi Keaneka-ragaman Hayati sebagai perjanjian multi-lateral untuk mengikatnegara peserta konvensi dalam menyelesaikan masalah-masalah glo-bal terkait keanekaragaman hayati. Konvensi ini sebagai wujudkekhawatiran manusia atas makin berkurangnya nilai keanekara-gaman hayati yang disebabkan laju kerusakan keanekaragamanhayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk mema-dukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidupalam dan umat manusia selanjutnya.

Hal ini tidak terlepas dari sektoralisme pegelolaan kekayaanalam, termasuk pemanfaatan keanekaragaman hayati. Keaneka-ragaman hayati kita masih belum dipetakan dengan baik, sehinggabanyak potensi kekayaan alam yang hilang. Kondisi ini diperparahdengan kesadaran khalayak masih belum tumbuh sehingga potensiyang ada belum dimaksimalkan. Kemauan dan kemampuan kitadalam mengembangkan potensi kekayaan alam secara berkelanjutanmasih lemah.

Seringkali pemanfaatan jangka pendek yang eksploitatif lebih

Page 280: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

261

Kembali ke Agraria

ditonjolkan. Atau, kalau menjalankan konservasi seringkali menutupakses rakyat terhadap kekayaan alam. Indonesia memiliki potensikeanekaragaman hayati yang sangat besar jika dibandingkan dengannegara lain. Misalnya, penelitian LIPI membuktikan bahwa kita kayaakan mikroorganisme yang dapat dijadikan obat-obatan(arios.wordpress.com, 20/12/2006).

Perdagangan genetika

Akses terhadap sumberdaya genetik berarti kesempatanmendapatkan, peluang memperoleh, atau jalan menuju sesuatu untukmendapatkannya. Selain untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,sumberdaya genetik juga dapat digunakan dalam industri, perda-gangan, dan manfaat lainnya. Pemanfaatan semacam ini dapat mem-berikan keuntungan bagi yang memanfaatkannya.

Sumberdaya genetik tersebar tidak merata di dunia. Di suatutempat terdapat banyak macam sumberdaya ini, di tempat lain sangatjarang. Macam sumberdaya genetik yang terdapat di suatu daerahbelum tentu terdapat di daerah lain. Pada kenyataannya, pusat-pusatsebaran sumberdaya genetik yang utama terdapat di daerah tropik.Pada umumnya, negara-negara tropik adalah negara berkembang.Di negara berkembang ini, terdapat sumberdaya genetik melimpah,tetapi kemampuan teknologinya rendah. Sementara negara industrimenguasai teknologi canggih, tetapi tidak memiliki keanekaragamansumberdaya genetik. Akibatnya adalah banyaknya permintaan darinegara maju akan sumberdaya genetik dari negara berkembang.

Kenyataan ini menimbulkan ketidakimbangan dalam peman-faatan. Pemanfaatan secara industri ini menghasilkan keuntunganyang tidak kecil. Akan tetapi, dengan segala dalih, negara maju engganmembagikan keuntungan yang diperolehnya dari pemanfaatan inidengan negara asal sumberdaya genetik yang dimanfaatkannya.

Relevansinya bagi bangsa?

Perdagangan genetika dan konservasi keanekaragaman hayati

Page 281: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

262

Usep Setiawan

tak lepas dari kecenderungan globalisasi. Dengan masuknya Indo-nesia ke dalam Perjanjian Pertanian (AoA) WTO maka terjadi prosesliberalisasi pertanian yang radikal. Liberalisasi pertanian menyerah-kan sistem pertanian dan nasib petani Indonesia kepada mekanismepasar bebas, liberalisme pertarungan bebas (free-fight liberalism). Siapayang kuat, dia yang menang. Siapa yang lemah, dia yang kalah(Bonnie Setiawan, 2003).

Salah satu bentuk liberalisasi pertanian ialah pertanian biotek-nologi melalui rekayasa genetika yang menghasilkan transgenik-Revolusi Hijau Jilid Kedua. Melalui kecanggihan teknologi, kini ber-bagai tanaman bisa diambil gen-nya kemudian disisipi gen dari tanamanlain atau dari makhluk lainnya sehingga menghasilkan varietas baru.

Rekayasa genetika atau genetically modified organism (GMO) telahberkembang pesat dan menciptakan monopoli teknologi. ContohnyaMonsanto yang mendapatkan hak paten nomor 6.174.724 sebagaihak paten pertama untuk teknologi rekayasa genetika dalam kaitan-nya dengan riset tanaman trasgenik, yaitu menggunakan teknik anti-biotic-resistant marker gene. Dampak negatif GMO bagi kesehatan kon-sumen dan efek buruk terhadap lingkungan hidup masih terus jadikontroversi.

Perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati me-mang harus dilakukan, namun diletakan dalam konteks pencapaiankesejahteraan rakyat, keadilan sosial, sekaligus kelestarian ling-kungan. Konservasi juga harus dimaknai sebagai pemanfaatan berke-lanjutan, bukan tak boleh digunakan sama sekali. Kita harus cegahmonopoli perdagangan genetik yang hanya menguntungkan korpo-rasi multinasional tetapi merugikan kepentingan nasional. Kita jugaharus menghindari konservasi keragaman hayati yang semata-matamelindungi sumberdaya yang menunggu giliran untuk dieksploitasipemodal besar.

Yang dibutuhkan segera adalah penataan struktur dan sistemagraria dan pengelolaan kekayaan alam kita secara menyeluruhsehingga memakmurkan rakyat.***

Page 282: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

263

Sinar Harapan, 12 Maret 2007

Operasi Pasar vs Kedaulatan Pangan

MELALUI media massa, di sejumlah tempat kita saksikan rakyatberjejal-jejal dalam antrean panjang untuk mendapatkan beras

murah dalam operasi pasar yang digelar pemerintah. Inilah potretteranyar yang mencerminkan buruknya ketahanan pangan kita.Sementara itu, mewujudkan ketahanan pangan (food security) adalahpersoalan besar di dunia saat ini. Data menunjukan, setiap hari ku-rang-lebih 24.000 orang meninggal karena lapar dan tiga perempatnyaadalah anak-anak (The Hunger Project PBB, 2005). Di seluruh duniasaat ini terdapat 800 juta penderita kelaparan dan malnutrisi (FAO,2005).

Dalam menjaga ketahanan pangan, operasi pasar adalah salahsatu langkah darurat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun,ketika operasi pasar menjadi treatment rutin setiap tahun, tentu kitapatut mempertanyakan langkah-langkah jangka menengah danjangka panjang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan panganyang cukup, murah dan bergizi bagi rakyat. Persoalan ini mesti kitaungkapkan kembali mengingat setahun lalu telah terjadi bencanakelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Setahun yang lewat ber-jangkit berbagai penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh kela-paran dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia Timur. Peme-rintah perlu memperbarui strategi ketahanan pangan nasional yangdijalankan selama ini. Agar lebih mendasar, sebaiknya pemerintahmenggeser strategi “ketahanan” pangan menjadi “kedaulatan” pangan.

Page 283: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

264

Usep Setiawan

Alokasi tanah

Kedaulatan pangan adalah sebuah alternatif yang diajukan olehkalangan gerakan masyarakat sipil dunia dalam mengatasi persoalankelaparan. Kedaulatan pangan juga sekaligus kritik terhadap isu keta-hanan pangan (food security) yang dikampanyekan oleh badan pangandunia (FAO).

Pandangan badan tersebut selama ini memunculkan anggapanluas bahwa kebutuhan rakyat terhadap pangan dapat ditempuhdengan membuka pasar domestik pangan secara bebas dan luas.Fakta menunjukkan bahwa laju kemiskinan dan pengangguran dinegara-negara yang sedang membangun semakin meninggi semenjakbergabung dengan rezim pasar bebas sehingga daya beli terhadapproduk pangan semakin hilang.

Menurut Kaman Nainggolan, kemandirian pangan pada tingkatnasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk men-jamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutuyang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatandan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Terwujudnyakemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara mak-ro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitasgizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupunsecara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masya-rakat dan rumah tangga (Sinar Harapan, 16/10/2006).

Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanahkepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan. Sementara itu,rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas,telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secaraefektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi meman-faatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorongpengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditasekspor non pangan.

Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuktanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor

Page 284: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

265

Kembali ke Agraria

ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkanterwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menu-ju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reformaagraria) yang sejati.

Kini diperlukan sistem ketahanan pangan yang secara filosofisharus menghindari ketergantungan terhadap situasi eksternal (pasarbebas) dan pola kebijakan pangan yang reaktif terhadap persoalaninternal (operasi pasar). Dengan menyadari persoalan agraria yangbercirikan struktur agraria yang sangat timpang maka kebutuhanmendesak yang harus secepatnya dilakukan adalah menata kembalistruktur agraria melalui pembaruan (reforma) agraria.

Lebih adil

Kewajiban pemerintah menjalankan pembaruan agraria telahdipayungi oleh UUPA 1960 (yang belum lama ini disepakati peme-rintah dan DPR untuk dipertahankan) dan Tap MPR No. IX/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.Rencana pemerintah yang akan mendistribusikan lahan seluas 8,15juta hektare kepada rakyat mulai tahun ini patut disambut baik seka-ligus dikawal secara intensif oleh masyarakat luas. Media massaperlu menyoroti dan memberitakan secara intensif dinamika imple-mentasinya karena agenda ini menyangkut hajat hidup orang banyak.

Setelah penataan struktur agraria tuntas, barulah dimungkinkanuntuk memasuki upaya sistematis lebih lanjut dalam meraih kedau-latan pangan. Dalam pemikiran, Kaman Nainggolan (2006), keman-dirian pangan masa depan harus dipenuhi terutama melalui perbai-kan produktivitas. Ke depan diperlukan revolusi bioteknologi untukmemperbaiki sifat genetika guna meningkatkan produktivitas.

Indonesia harus mampu mandiri dalam bioteknologi tersebutsesuai dengan kondisi lokal guna melepas ketergantungan terhadapbenih yang saat ini dimonopoli oleh para pengusaha multinasionaldengan harga mahal. Upaya-upaya tersebut harus disertai denganinvestasi dalam perbaikan irigasi, infrastrukur pedesaan, akses

Page 285: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

266

Usep Setiawan

modal, peningkatan produktivitas di lahan-lahan marjinal, perbaikanmutu, gizi dsb. (Sinar Harapan, 16/10/2006).

Tanpa struktur agraria baru yang lebih adil dan merata bagikaum miskin, niscaya cita-cita meraih kedaulatan pangan akan terge-lincir menjadi “makan roti dalam mimpi”. Hal pokok yang mestidicegah adalah reforma agraria jangan dijadikan kedok untuk proyekekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan-perkebunan besar danagroindustri yang merupakan kepentingan tuan tanah dan pemodalbesar.

Petani miskin tanpa daya hanya dijadikan alat manipulasi. Tanpapengawalan rakyat melalui organisasi dan nihilnya pemantauanpublik terhadap program redistribusi tanah sebagai bagian pokoklandreform (lebih luasnya: reforma agraria), agenda besar ini rentandibelokkan ke skema pasar bebas yang kelak menjerat rakyat danbangsa ini.

Untuk itu, diperlukan rekonseptualisasi yang tepat dan mendasardisertai uji coba dalam praktek nyata dalam usaha meninggikanproduktivitas pertanian rakyat guna memenuhi kebutuhan panganseluruh anak bangsa. Segala sumber daya nasional, regional danlokal harus diarahkan dan dikerahkan demi terlaksananya reformaagraria sejati guna mencapai kedaulatan pangan yang semestinya.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)

Page 286: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

267

Suara Pembaruan, 2 April 2007

Mewaspadai Jerat Kuasa Modal

DEWAN Perwakilan Rakyat dan Pemerintah akan segeramengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Mo-

dal. RUU ini terlalu penting untuk diabaikan. Ada empat alasankenapa jeratan RUU-PM perlu diwaspadai dan diteliti secara tajam.Pertama, arah dan strategi pembangunan nasional kita secara para-digmatik semakin liberal. Kedua, draf RUU-PM memberi legitimasibagi praktik buruk investasi selama ini sehingga membahayakanseluruh sendi kehidupan rakyat. Ketiga, RUU-PM menjauhkan negaradan pemerintah dalam mencapai tujuan nasional. Keempat, RUU-PMsangat berlawanan dengan konstitusi nasional.

Salah satu indikasi kuat RUU-PM melegalkan praktik buruk in-vestasi adalah di lapangan agraria. Menurut RUU ini, pemerintahakan memberi fasilitas bagi korporasi dengan memberikan Hak GunaUsaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 tahun,Hak Pakai (HP) 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dandiperpanjang di muka sekaligus. Hal itu bertentangan dengan UUPokok Agraria (UUPA) 1960.

RUU ini mencadangkan tanah untuk usaha perkebunan jauhlebih lama dari hukum agraria kolonial Belanda, bandingkan denganAgrarische Wet 1870, pemerintah kolonial hanya membolehkan pe-makaian tanah selama 75 tahun. RUU ini tak mendorong kemandirianekonomi rakyat. DPR dan Pemerintah seperti tak yakin petani mampumembangun perkebunan, pertanian, dan perikanan melalui peru-

Page 287: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

268

Usep Setiawan

sahaan bersama milik mereka. Inilah ciri utama hukum agraria kolo-nial yang dihidupkan kembali atas nama investasi, membiarkanpetani tanpa tanah, modal, dan teknologi.

Terkesan pemerintah gelap mata terhadap investasi. Daftarperilaku gelap mata terhadap invetasi ini masih dapat diperpanjangseperti: “ketentuan perlakuan sama bagi perusahaan nasional danasing, kemudahan pengalihan aset, larangan nasionalisasi, dankemudahan tenaga kerja asing”.

Poin-poin itu menjauhkan peran negara dalam mencapai tujuankemerdekaan nasional seperti tertuang dalam pembukaan konstitusi.

Trauma Orba

Selama Orde Baru berkuasa, pembangunan ekonomi nasionalmengandalkan utang dan investasi. Namun, pengalaman mengajar-kan investasi asing dan utang luar negeri malah semakin menjauh-kan bangsa dari kemandirian. Investasi langsung (FDI) di Indonesiaadalah corak investasi yang mengandalkan kedatangan industri yangmerelokasi usaha mereka karena kebijakan upah, pajak, dan isulingkungan di negara asalnya. Tak heran jika FDI yang datang danbahkan keluar negara kita karena alasan pembanding itu (compara-tive advantage).

Tujuan investasi selama ini pertumbuhan ekonomi. Angka per-tumbuhan secara mudah dapat diukur dengan melihat peningkatanPDB nasional. Secara statistik, investasi yang meningkat pada sektorriil (FDI) akan meningkatkan PDB sebuah negara. Meskipun secarapraktik, total peningkatan PDB ini hanyalah hasil produksi daribeberapa gelintir perusahaan asing atau nasional semata. Padahal,operasi perusahaan ini bersandarkan pada upah buruh murah (yangdisubsidi pertanian) dan menghancurkan industri rakyat. Ekonomliberal percaya terpusatnya produksi nasional pada beberapa peru-sahaan bukan hal yang mengkhawatirkan, sebab dengan mekanismealamiah trickle down effect, keuntungan pengusaha besar akan meneteske bawah.

Page 288: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

269

Kembali ke Agraria

Kenyataannya, teori itu tak terbukti. Keuntungan perusahaantersebut tak pernah ditabung dalam bank-bank nasional, melainkanditransfer ke negara asal. Sementara keuntungan pengusaha lewatpasar saham dan pasar uang juga demikian. Liberalisasi memudah-kan pelarian modal dari dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi selaludisertai korban di desa dan kota, di lapangan industri rakyat maupunpertanian.

Sementara, pembaruan atau reforma agraria bermaksud untukmerestrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruhtani, rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah sesuai UUPA 1960.

Politik investasi

Sudah lama perusahaan-perusahaan besar mengeksploitasikekayaan alam di Indonesia, seperti kuasa pertambangan perusahaanasing yang mengabaikan semangat konstitusi (Pasal 33). Sebagainegara merdeka dan berdaulat, amanat konstitusi itu mesti dijalan-kan. Perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orangbanyak seharusnya dinasionalisasi. Nasionalisasi berarti orientasiproduksi dan keuntungan dari perusahaan dipergunakan sebagaimodal nasional untuk melakukan pembangunan nasional yang lebihterencana dan berorientasi ke rakyat banyak. Dengan demikian,nasionalisasi juga berarti kepemilikannya ada pada negara.

Pemerintah mesti membangun politik investasi yang memihakrakyat. Politik investasi adalah mengarahkan modal untuk berpro-duksi dan membangun kekuatan atas sumber-sumber ekonominasional baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pihakluar hanya ditujukan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Selama ini, politik investasi berupa liberalisasi investasi keuangandan investasi langsung terbukti membawa dampak buruk secaranasional.

Ke depan, politik investasi, khususnya di lapangan agraria mesti-lah mencakup pengaturan yang jelas sektor-sektor investasi langsung

Page 289: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

270

Usep Setiawan

yang boleh dimasuki sektor privat nasional dan asing, serta sektorinvestasi yang dilarang dikuasai dan dimasuki privat sesuai menga-cu konstitusi. Kepentingan industri kecil dan menengah, koperasidan industri rakyat lainnya juga harus dikembangkan ketimbangmemperkuat pengusaha besar, apalagi investasi asing. Modal nasio-nal diperkuat guna membangun perekonomian nasional yang kokoh.Investasi pemakan tanah luas bagi usaha skala besar harus dihenti-kan. Tanah yang ada haruslah diperuntukkan bagi petani disertaipembentukan badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa(koperasi) sebagai bagian program pembaruan agraria.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)

Page 290: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

271

Kompas, 10 April 2007

Jika HGU 95 Tahun!

AKHIRNYA Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUUPenanaman Modal menjadi UU, 29 Maret 2007. UU itu disetujui

delapan fraksi. Tetapi, dua fraksi menolak dengan alasan, substansiUU Penanaman Modal dinilai bertentangan dengan UU PokokAgraria (Kompas, 30/3/2007).

Pemerintah berharap mayoritas fraksi di DPR mendukungnya,sebagai kiat menggairahkan iklim investasi, memutar lebih cepat rodaekonomi pembangunan, dan memacu pertumbuhan ekonomi nasio-nal. Karpet merah bagi investor asing dan domestik telah digelar.Pemodal asing boleh tenang melenggang ke Indonesia, menanamhartanya secara nyaman di bumi Nusantara.

Namun, sejumlah kalangan memandang UU Penanaman Modalmenyisakan banyak masalah di masa depan. Kritik tajam ditujukanpada kesesatan substantif UU, terutama menyangkut hak atas tanahPasal 22.

Pasal kontroversial

Pasal 22 Ayat 1 (a) UU ini menyatakan, “Hak Guna Usaha dapatdiberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengancara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60(enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima)tahun”. Siapa yang tak tertohok?

Pasal ini mengesahkan penguasaan tanah, selama nyaris satu

Page 291: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

272

Usep Setiawan

abad. Pemberian hak guna usaha (HGU) 95 tahun kepada pemodalmerupakan kebijakan yang mengguncang rasa keadilan, kerakyatan,dan kebangsaan, serta patut diperkarakan secara filosofis, ideologis,historis, politis, dan ekonomis.

Pemberian HGU 95 tahun—termasuk Pasal 22 Ayat 1 (b) yangmemberikan HGB 80 (delapan puluh) tahun serta Ayat 1 (c) HakPakai 70 (tujuh puluh) tahun—menjadi pertanda masuknya kita keera penjajahan baru. Bahkan, hukum agraria kolonial Belanda seka-lipun hanya memberi izin 75 tahun bagi penanam modal kala itu.Diduga daya tekan penjajahan baru terhadap kedaulatan rakyat,bangsa, dan negara jauh lebih dahsyat dari penjajahan model lama.

Jika ketentuan HGU, HGB, dan HP disandingkan, UU Pena-naman Modal menabrak UU No 5/1960 tentang Peraturan DasarPokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA sejatinya amanat pendiri bang-sa untuk memakmurkan rakyat, berakar pada Pasal 33 konstitusi.Sepanjang era reformasi, UUPA diupayakan berbagai pihak untukdiubah. Namun, pada 29 Januari 2007, pemerintah dan DPR sepakatuntuk tetap mempertahankan UUPA.

Prinsip dasar, semangat, dan filosofi UUPA seolah dilumat UUPenanaman Modal. Soal HGU, Pasal 29 UUPA menggariskan, “Hakguna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untukperusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hakguna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaanpemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktuyang dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang denganwaktu yang paling lama 25 tahun”. Yang harus dicamkan, menurutUUPA, “Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah: (a) warga-negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan menurut hukumIndonesia dan berkedudukan di Indonesia” (Pasal 30, Ayat 1).

Perlu diingat, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.Untuk tidak merugikan kepentingan umum, pemilikan dan pengu-asaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Hanyawarga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepe-

Page 292: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

273

Kembali ke Agraria

nuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa…” (Pasal 6,7 dan 9,Ayat 1).

Uji materi

Setelah UU Penanaman Modal disahkan DPR, pemerintah segeramengsosialisasikan dan menjalankan. Tetapi, sejumlah pihak yangkeberatan menyiapkan gugatan uji materi (judicial review) kepadaMahkamah Konstitusi.

Selain argumen hukum, gugatan atas UU ini terkait kekhawa-tiran terjadi gejolak sosial-politik yang dipicu mengerasnya konflikagraria akibat penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan investasiyang dilandasi UU ini.

Banyak pihak cemas, implementasi UU ini akan menyanderarencana pemerintah menjalankan pembaruan agraria. UU Pena-naman Modal yang melegitimasi monopoli dan konsentrasi pengu-asaan tanah di tangan golongan ekonomi kuat berhadapan denganagenda reforma agraria untuk golongan ekonomi lemah.***

Page 293: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

274

Kompas, 7 Mei 2007

Nasib Buruh dan Reforma Agraria

NASIB suram masih menyelimuti kaum buruh Indonesia. Aksiburuh di beberapa kota pada peringatan Hari Buruh Interna-

sional 1 Mei lalu mengisyaratkan masih beratnya beban hidup danabainya negara melindungi kaum buruh.

Pemenuhan atas tuntutan upah layak, pesangon, jaminan kese-hatan, cuti hamil, kebebasan berserikat, tunjangan hari raya, danberbagai hak normatif lain masih sebatas wacana. Ancaman pemu-tusan hubungan kerja terus merongrong kalangan buruh. Selain isuperburuhan, satu dari sembilan tuntutan Aliansi Buruh Menggugat(ABM) dalam aksi di depan Istana Negara adalah desakan agar refor-ma agraria segera dilaksanakan (Kompas, 2/5/2007). Tuntutan inibisa ditafsirkan mulai merapatnya gerakan buruh-tani, bibit menya-tunya isu industri dan agraria.

Memang, akar masalah buruh berkelindan dengan bekerjanyasistem ekonomi liberal dan diabaikannya reforma agraria. Liberalismeekonomi mengendurkan tanggung jawab sosial pengusaha atas bu-ruh dan menjadikan industri (kota) tak lagi nyambung dengan reali-tas agraria (desa).

Kuatkan posisi buruh

Masalah utama dunia ketenagakerjaan kita ialah tak sesuainyalaju angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia. Dampaknya,angka pengangguran tiap tahun melonjak. Dalam 20 tahun terakhir

Page 294: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

275

Kembali ke Agraria

penyerapan tenaga kerja terus menurun. Tahun 2006, dari 106,28juta jiwa angkatan kerja, yang terserap di bursa kerja hanya 95,18juta jiwa. Sisanya menganggur (Kompas, 28/4/2007).

Pemerintah mencoba memperbaiki iklim investasi melalui refor-masi kebijakan ketenagakerjaan, seperti rencana mereformasi Un-dang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Namun, rencana reformasi ini memicu ketegangan baru pengu-saha versus buruh. Sumber protes buruh ialah kekhawatiran reformasikebijakan ketenagakerjaan akan menciptakan pasar tenaga kerja yangfleksibel (labour market flexibility) di mana hak-hak kaum buruh kianrentan (Idham Arsyad: 2007).

Disinyalir, penyerapan pasar tenaga kerja yang fleksibel hanyamenguatkan posisi pengusaha dalam mengembangkan modal denganbiaya produksi dan upah rendah. Dengan sistem ini, pengusaha mu-dah mengontrol dan mendepak tenaga kerja sesuka hati dengan mene-rapkan skema sistem kerja kontrak (outsourcing).

Jika reformasi kebijakan ketenagakerjaan hanya menguatkanpasar tenaga kerja dan menepis hak buruh ke jurang ketidakpastian,cita-cita membangun industri nasional yang kuat sulit tercapai.Dalam pengembangan dunia industri dan reformasi, kebijakan kete-nagakerjaan yang menguatkan posisi buruh mutlak perlu diuta-makan.

Agraria sebagai fondasi

Kompleksitas persoalan buruh yang muncul dewasa ini sebagianmerupakan cermin diabaikannya masalah agraria. Gejala urbanisasiyang meninggi disebabkan aktivitas ekonomi pedesaan tidak memberisurplus dan tak menyediakan ruang memadai bagi penyerapan tena-ga produktif.

Derasnya urbanisasi disebabkan terlemparnya tenaga kerja desatanpa transformasi ekonomi dan ketenagakerjaan secara wajar. Kesu-litan hidup di desa menjadi faktor pendorong laju urbanisasi digenapigemerlap kota. Oleh karena itu, penting menyinergikan kebijakan

Page 295: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

276

Usep Setiawan

ketenagakerjaan (dan industri) dengan kewajiban pemerintahmenjalankan reforma agraria. Urgensinya tidak hanya untuk mena-han laju urbanisasi dan menciptakan lapangan pekerjaan di desa,tetapi untuk memperkokoh pembangunan industri nasional.

Tujuan ekonomi reforma agraria yang menguatkan basis industrinasional antara lain didapat melalui pembangunan pertanian yangefisien dan responsif terhadap industri, misalnya kebutuhan tenagakerja, bahan pokok, bahan baku industri, modal, dan mata uang asing(Noer Fauzi: 2003). Reforma agraria memungkinkan orang desa tetapbekerja di desa lewat pemanfaatan tanah dan pengolahan hasil bumisehingga berkontribusi bagi kemajuan ekonomi bangsa.

Bung Karno menandaskan, “Revolusi tanpa land reform ibaratmembangun gedung tanpa alas, ibarat pohon tanpa buah.” Jika di-maknai: menata agraria di desa itu fondasi pembangunan industrinasional agar kelak kita memetik kesejahteraan bersama. Bangsa iniharus meninggalkan gaya lama dalam membangun ekonomi nasio-nalnya yang menghalalkan penyediaan tenaga kerja berupah murah,eksploitasi kekayaan alam, dan stabilitas politik kekuasaan yangdipaksakan.

Selain tidak manusiawi, cara lama itu juga menciptakan pereko-nomian bangsa yang keropos dan ilusif. Dengan agraria tertata adil,tersedia dasar kokoh industri nasional dan integrasi utuh ekonomidesa-kota.***

Page 296: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

277

Suara Pembaruan, 8 Mei 2007

Kabinet Pro-Ekonomi Kerakyatan

PEKAN ini perhatian publik tercurah pada perombakan (reshuffle)Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono. Apakah figur-figur baru yang masuk kabinetakan membuahkan angin segar bagi perbaikan berbagai sendi kehi-dupan berbangsa dan bernegara yang berujung pada peningkatankesejahteraan dan kemakmuran rakyat? Atau justru sebaliknya?

Sementara itu, belum lama berselang, Yayasan Indonesia Forummeramalkan bangsa ini baru dapat mencapai kemakmuran pada 2030.Dalam 23 tahun ke depan, melalui cara yang ditawarkan sebuah yayasanyang disponsori sejumlah pengusaha berkantong tebal itu, pendapatanper kapita Indonesia mencapai 18.000 dolar AS, dan terdapat 30perusahaan nasional yang masuk dalam 500 perusahaan elite dunia.

Sebenarnya, kalau kita tengok sejarah, ukuran simplistik ekonomissemacam itu pernah kita capai pada masa penjajahan. Di era kolonial,pembangunan di Batavia, Semarang, Medan, dan Makassar, berhasilmemosisikan Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila terasa kampungan.Bahkan, raja gula Oei Thiong Ham asal Semarang adalah konglomerattop kelas dunia saat itu. Tapi masyarakat luas tak merasakan faedahnya.Di sisi yang lain, angka statistik pertumbuhan ekonomi sesungguhnyatidak mencerminkan distribusi angka-angka tersebut (D. Joesoef: 2006).Bagi kita, soalnya bukan pada mungkin tidaknya mencapai Visi 2030itu, tapi paradigma pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi itulahyang pantas digugat karena keliru alamat bagi bangsa merdeka ini.

Page 297: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

278

Usep Setiawan

Para pendiri bangsa mengartikan kemerdekaan sebagai koreksitotal tata cara ekonomi kolonialis-imperialis. Pembangunan ekonomiditempatkan sebagai bagian dari proses perubahan sosial bangsasecara keseluruhan yang berarti mempercepat disintegrasi susunanmasyarakat lama dan keharusan untuk mencapai integrasi masyara-kat baru yang berkeadilan sosial dan sejahtera (Soedjatmoko: 1983).

Susunan masyarakat lama melahirkan segelintir elite yang dapatbegitu leluasa menikmati perkembangan ekonomi, sehingga merekamemperoleh status sosial dan politik yang tinggi bahkan perlin-dungan hukum secara paripurna. Susunan masyarakat seperti ini,digambarkan Bung Hatta sebagai ciri utama masyarakat sosial kitaakibat penjajahan beratus-ratus tahun lamanya.

Langgengnya keadaan itu bertali-temali dengan masih bercokol-nya paradigma pembangunan ekonomi yang sebangun dengan yangberlaku di masa penjajahan, yang diperburuk skenario hegemonisistematis yang menihilkan partisipasi rakyat dalam pembangunantelah berpuluh tahun dicekokkan penguasa Orba.

Ekonomi kerakyatan

Sesungguhnya, kelahiran era reformasi 1997 juga didasarkanpada kehendak mengoreksi total paradigma pembangunan politikekonomi Orba. Ketika belakangan reformasi malah melahirkanneoliberalisme ekonomi (berintikan kolonialisme-imperialisme baru),ini dikarenakan adanya pembajakan terhadap reformasi oleh parareformis gadungan (free riders). Karena itulah reformasi ekonomisebagai upaya menggeser paradigma pembangunan ekonomi “per-tumbuhan” menjadi ber-”kerakyatan” terasa kian menguap dari arusutama kebijakan yang ditempuh pemerintah.

Ekonomi kerakyatan bukanlah skala usaha ekonomi menengahdan kecil. Ekonomi kerakyatan adalah semangat membangun pereko-nomian yang didasarkan pada tata cara produksi dan orientasi pro-duksi usaha yang dijalankan. Cara produksi sistem ekonomi kerak-yatan bertumpu pada kerja sama dan kerja bersama dari kalangan

Page 298: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

279

Kembali ke Agraria

rakyat itu sendiri, yang menjauhkan diri dari praktik monopoli danpengisapan, misalnya melalui koperasi dan badan usaha yang didi-rikan bersama oleh rakyat.

Orientasi produksi sistem ekonomi kerakyatan diutamakan bagipemenuhan kebutuhan domestik rakyat dan bangsa sendiri dankeuntungannya diredistribusi secara adil untuk meningkatkan kese-jahteraan dan kemakmuran bersama.

Adapun bentuk usaha besar, menengah ataupun kecil sesung-guhnya hanya merupakan pilihan yang didasarkan pada ukurankeefektifan ekonomi, kemampuan manajerial dasar yang dapatdijalankan masyarakat, sehingga roadmap transformasi usaha bersa-ma tersebut bisa terpetakan dengan baik dan proses ini akan selalumembuka peluang partisipasi rakyat. Bentuk usaha dari sistem ekono-mi kerakyatan bisa kecil, menengah, bahkan skala besar denganmengacu prinsip cara dan orientasi produksi tadi.

Tujuan ekonomi kerakyatan adalah membangun kesejahteraanrakyat dan kemandirian bangsa. Proses mewujudkan kesejahteraanrakyat diletakkan sebagai bagian dari perjuangan menegakkankemandirian bangsa secara ekonomi, berdaulat secara politik, danberkepribadian kokoh dalam kebudayaan nasional kita (ingat Trisak-tinya Bung Karno!). Dalam menggapai kesejahteraan, kita pantangtunduk takluk pada kepentingan asing. Membangun kesejahteraanbangsa harus senapas dengan pembangunan nasionalisme kita.

Rangkul si miskin

Membangun ekonomi kerakyatan mesti disandarkan padarealitas sebagian besar warga negara kita dalam keadaan miskin.Sebagian besar yang masih terjerat kemiskinan adalah kaum taniyang hidup dan tinggal di pedesaan. Penyelenggara negara wajibmerangkul dan menjadikan mereka sebagai sasaran utama sekaliguspusat pertumbuhan ekonomi kerakyatan kita.

Membangun ekonomi kerakyatan tentu saja harus didahuluipelaksanaan pembaruan agraria secara sejati. Rakyat miskin yang

Page 299: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

280

Usep Setiawan

selama ini tuna-aset dan minim akses terhadap sumber-sumber eko-nomi dan sumber-sumber kesejahteraan hendaknya segera ditolongnegara. Konstitusi yang mengamanatkan negara untuk menyediakan“pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian” tetap men-jadi koridor konstitusional dari upaya menata struktur agraria kita.

Rakyat miskin, terutama dalam hal ini buruh tani, petani peng-garap, dan petani gurem, perlu segera difasilitasi negara, sehinggamemiliki dan menguasai lebih luas berbagai sarana dan prasaranapenunjang produktivitas ekonomi mereka. Dengan pemilikan danpenguasaan berbagai alat produksi (terutama tanah, modal, bibit,pupuk dan teknologi) dan beragam infrastruktur penunjang lainnyaitulah rakyat miskin akan memutar roda pembangkit ekonomi kerak-yatan yang dicita-citakan.

Untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi kerayatan modelini, perlu digencarkan pembentukan koperasi-koperasi usaha bersamamilik rakyat dan badan-badan usaha bersama milik desa yang dike-lola kolektif bersendikan semangat gotong-royong. Jika bergulir mu-lus, awal babak perbaikan fondasi pertanian dan pengembanganpedesaan sebenarnya tengah kita gelindingkan di atas rel yang tepat.

Geliat dari koperasi rakyat dan badan usaha bersama dalam halpra-produksi, produksi, pengolahan, produk turunan hingga pema-saran hendaknya dipadukan dalam pendekatan kewilayahan secaraterintegrasi. Dengan demikian, pembaruan agraria sejati dapat secaraefektif berkontribusi pada perombakan struktur masyarakat agrarisyang menindas bin mengisap menuju susunan masyarakat sosialbaru yang dilumuri kesejahteraan, kemakmuran, dan kemandirian.

Akankah reshuffle kabinet awal Mei ini menerbitkan harapanbaru bagi realisasi sistem ekonomi kerakyatan? Tampaknya, jika wa-jah-wajah baru di kabinet ternyata alam pikirnya tak jauh beda denganyang sudah-sudah, harapan itu pastilah tinggal harapan.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)

Page 300: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

281

Sinar Harapan, 12 Mei 2007

Hak Guna Usaha untuk Siapa?

DISAHKANNYA Undang-Undang Penanaman Modal oleh DPR(29 Maret 2007) dikhawatirkan berbagai pihak akan mem-

perkeras pertarungan beragam kepentingan dalam memperebutkanhak atas tanah sebagai sumber utama agraria. Dengan lugas, Rev-risond Baswir mengecam UU ini sebagai kesesatan pikir penyu-sunnya dalam memfasilitasi kepentingan neo-kolonialisme. Memang,menganggap tanah sebagai komoditas dan fasilitas insentif bagipenanaman modal asing maupun domestik ialah bagian dari carapandang yang sesat itu. Cara pandang sesat inilah yang jadi keke-liruan fatal dari UU Penanaman Modal.

Mestinya disadari bahwa tanah sebagai resources bukan sematalandscape fisik geografik, melainkan sarat hubungan sosial danekonomi. Tanah bukan hanya sumber daya penghasil surplus pro-duksi, melainkan akar pengetahuan (knowledge) bahkan identitasbudaya masyarakat. Di atas tanah itulah hubungan kemanusiaandibangun (Siti F. Khuriyati, 2007). Di atas tanah masyarakatmenganyam relasi sosial, menata produksi dan membangun budaya.Bangsa agraris ini membentuk identitas sosial dalam landscape sosio-kultural secara holistis di atas tanah sebagai satu kesatuan jiwa ragabangsa.

Dalam bahasa UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA): “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuantanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Page 301: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

282

Usep Setiawan

Indonesia… karunia Tuhan Yang Maha Esa … dan merupakan keka-yaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, airserta ruang angkasa… adalah hubungan yang bersifat abadi” (Pasal1 ayat 1,2,3).

Merampas dari masyarakat

Kerasnya perlawanan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) 95tahun yang dikandung UU Penanaman Modal terus menguat.

Bahkan, kalangan organisasi petani, akademisi, dan masyarakatsipil di Indonesia merasa penting untuk segera melakukan judicialreview ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam UUPA, HGU diatur dalam Pasal 28-30 dan aturan kon-versi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hakbaru juga merupakan “kelanjutan” dari erpacht Agrarische Wet 1870dan peraturan consessie. Namun, dalam penjelasan umum dan pen-jelasan pasal per pasal UUPA, HGU diperuntukkan untuk koperasibersama milik rakyat bukan korporasi.

Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomidualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu ada-lah adanya perkebunan modern di satu sisi bersanding dengan perta-nian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal di sisi yanglain. Lebih lanjut, hak erpacht yang dikonversi ke dalam HGU diberijangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikankepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam pidato sebelumpengesahan UUPA (September 1960) merasa perlu memberi catatanbahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht tersebut dahulu-nya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Se-hingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelahhabis masanya. Jadi, semestinya keruwetan hak barat atas tanahsemestinya sudah selesai pada tahun 1980-an.

Pemerintah Orde Baru enggan mengembalikan tanah-tanahtersebut dengan mengeluarkan Keppres No. 32/1979 tentang Pokok-Pokok Kebiaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah

Page 302: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

283

Kembali ke Agraria

Asal Konversi Hak-Hak Barat, dan Peraturan Menteri Dalam NegeriNo.3/1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan danPemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakanumumnya perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikanBUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksidan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggiatau perwira militer yang dirasa penting diberi privilese. Hilanglahkesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dualisme ekonomi pertanian

Di lain pihak, korporasi swasta juga telah diberi keleluasaanlebih luas dalam mendapatkan HGU di atas tanah yang diklaim seba-gai tanah negara. Inilah bentuk pengulangan praktek DomeinVerklaring dalam AW 1870 yang memanipulasi Hak Menguasai Nega-ra atas tanah dalam UUPA yang seharusnya dipandu oleh kewajibandiabdikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mem-punyai fungsi sosial.

Pemberian HGU selama ini telah mempertahankan dualismeekonomi pertanian kita. Modus pemberian HGU semakin melebardengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkandi atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasanhak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat adatsemakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hu-kum pertanahan oleh rakyat.

Penelusuran singkat ini, membuktikan bahwa praktek pemberianHGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” dalam pandanganmasyarakat sekitarnya dan secara nyata berdiri di atas pelanggaranterhadap hak asasi manusia. Identiknya perkebunan sebagai simbolperselingkuhan hukum dan modal menjadikan perusahaan perke-bunan sasaran okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini menje-laskan bahwa umumnya perusahaan perkebunan berdiri di atasperlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan

Page 303: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

284

Usep Setiawan

konflik sosial.Pemerintah dan DPR mestilah bersepakat untuk segera mem-

bentuk sebuah badan independen yang bersifat adhoc untukmelakukan audit terhadap seluruh HGU yang ada dan menyele-saikan segenap persoalan di dalamnya. Sebagai langkah awal, BadanPertanahan Nasional RI (lembaga pemerintah yang berwenangmengatur HGU) perlu segera mengidentifikasi dan mengklasifikasiulang HGU yang ada untuk kemudian diadakan evaluasi total terha-dapnya sebagai bagian dari program pembaruan agraria nasional.

Pemberian fasilitas dan kemudahan berlebih kepada penanammodal akan menjauhkan rasa keadilan sosial dalam sanubari rakyat.Pelaksanaan UU Penanaman Modal dapat memicu kontestasi (per-tarungan) dalam bentuknya yang paling konkrit, yakni konflik agrariayang semakin massif.

Agar konflik ini urung terjadi, pembatalan UU Penanaman Modaloleh Mahkamah Konstitusi jalan keluarnya. Sedangkan terkait HGU,untuk ke depan (lihat: Setiawan dan Arsyad, Sinar Harapan, 06/09/06), haruslah hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rak-yat sehingga terdapat desain nasional bagi petani kita untuk mem-bentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersamamilik desa.

Dengan begitu, reforma agraria akan membuka jalan bagi pem-bangunan ekonomi kerakyatan yang dimotori kaum tani menujukeadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan Iwan Nurdin)

Page 304: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

285

Forum Keadilan, No.05/22-28 Mei 2007

Meruyaknya Tanah Meruya

BARU pertama kali dalam sejarah, seorang gubernur yang dikenal“tangan-besi” siap pasang badan membela rakyatnya yang

teracam penggusuran. Jarang-jarang kasus sengketa tanah menyitaperhatian lembaga setingkat Komisi Yudisial bahkan DPR RI.

Kasus sengketa tanah antara ribuan warga Meruya Selatan,Jakarta Barat dengan PT Portanigra sontak menghiasi media massabeberapa pekan ini. Meruyaknya kasus Meruya berawal dari kepu-tusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan ekse-kusi PT Portanigra, yang mengklaim lahan 78 hektare di kawasantersebut sebagai miliknya. Padahal sebagian besar lahan disana su-dah puluhan tahun dihuni warga.

Dilaporkan Sinar Harapan (12/05/07) keputusan eksekusi meru-juk permintaan PT Portanigra dalam sengketa melawan H Juhri binHaji Geni, Muhammad Yatim Tugono dan Yahya bin Haji Geni. PNJakarta Barat mengabulkan permohonan eksekusi PT Portanigra (9April 2007) berdasarkan putusan PN Jakarta Barat (24 April 1997)No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR jo Putusan PT DKI Jakarta (29Oktober 1997) No.598/PDT/1997/PT.DKI dan jo Putusan MA (26Juni 2001) No:2863 K/Pdt/1999.

Pemilik tanah yang terancam eksekusi sebanyak 5.563 keluargaatau sekitar 21.760 jiwa. Meliputi warga di perumahan karyawan Wa-li Kota Jakarta Barat, Kompleks Perumahan DPR 3, Perumahan Mawar,Meruya Residence, kompleks Perumahan DPA, Perkaplingan BRI,

Page 305: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

286

Usep Setiawan

kompleks Perkaplingan DKI, Green Villa, PT Intercon Taman KebonJeruk dan Perumahan Unilever. Bisa dibayangkan gelepar keresahanribuan warga Meruya mendapati keputusan ini. Tak heran jika wargakini berancang-ancang melakukan perlawanan hukum maupun tarungsecara fisik di lapangan. Mirip situasi darurat Negara, Meruya kini Siaga-1.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari meruyaknya kasus tanahMeruya? Pertama, kasus Meruya menunjukan masih kusutnya admi-nistrasi pertanahan kita. Kepastian dan perlindungan pemilikan hakatas tanah masyarakat ternyata masih rentan dimentahkan oleh pro-ses hukum yang bergulir di meja hijau. Tak pelak, BPN mendapatsorotan karena diduga menerbitkan sertifikat di atas tanah yang se-dang diperkarakan secara hukum di pengadilan. Sorotan ini tentuharus diklarifikasi oleh pejabat BPN Jakarta.

Kedua, kuatnya sinyalemen adanya permainan di balik putusanpengadilan juga sulit ditutupi. Dugaan adanya kong-kalikong antarapihak penggugat dengan majelis hakim yang memutus perkara inimenebarkan aroma menyengat. Tak heran jika dugaan ini menarikperhatian khusus Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi hakim.Ketua KY bahkan berniat memanggil hakim yang memutus perkaraMeruya. Benar tidaknya sinyalemen ini menjadi catatan tersendiriyang harus dibuktikan.

Ketiga, tampilnya back-up politis terhadap warga dari pejabat pe-merintah dan parlemen mengisyaratkan persoalan tanah begitu lekatdengan urusan politik. Kesediaan Gubernur Sutiyoso untuk pasangbadan membela warga memberi arti kuasa politik tak selalu seiringdengan putusan hukum formal. Penyelesaian kasus sengketa tanahmendapat bobot politik berbeda ketika pejabat pemerintah mau ber-sikap jujur dan setia pada fakta di lapangan. Ancaman penggusuranyang dihadapi rakyat ternyata dengan mudah ditepis ketika adapejabat bersedia memasangkan badannya membela warga.

Dari kasus Meruya kita memimpikan tampilnya para pemimpinpemerintahan yang sudi berjuang bersama rakyat dalam memper-tahankan haknya. Lebih jauh, kita merindukan para pemimpin bangsa

Page 306: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

287

Kembali ke Agraria

yang berkeringat bersama rakyat “merebut” hak atas tanah sebagai bagiandari hak asasi warga Negara. Seorang karib berseloroh: mungkinkahgubernur pasang badan bagi pedagang kaki lima dan kaum miskin kotayang kerap dikejar Satpol PP atau Tramtib, saat gubuknya dirobohkandan tanahnya digusur karena si miskin tak kuat “beli” sertifikat?

Untuk penyelesaian kasus Meruya, mestinya dicoba dikedepankanmusyawarah antara warga dan perusahaan yang sama-sama mengang-gap punya bukti kekuatan hukum atas pemilikan tanah di Meruya.

Mungkin ide ini dinilai sebagian pihak terlambat mengingat pro-ses hukum sudah mengalir jauh. Tapi, dalam musyawarah kemung-kinan diraihnya solusi yang memenangkan semua pihak lebih besar.

Jika musyawarah tak lagi mungkin, atau gagal mencapai mufakat,sebaiknya MA meninjau kembali keputusannya. MA dapat menda-sarkan diri pada temuan-temuan baru yang menyediakan dasar for-mal bagi penundaan atau bahkan pembatalan eksekusi atas tanahMeruya. Upaya hukum lebih lanjut yang ditempuh warga tergugattentu juga merupakan pilihan sah yang patut dicoba.

Untuk solusi jangka panjang—yang mencakup penanganan selu-ruh kasus konflik/sengketa pertanahan (agraria) di Tanah Air—pen-ting kiranya dilakukan pembenahan sistem administrasi pertanahansehingga mampu menutup celah mal-administrasi. Agenda ini seyog-yanya menjadi bagian penting dari program pembaruan (reforma)agraria nasional yang sedang akan dijalankan pemerintah. Sekalipunterkesan sekedar soal teknis administratif, perihal ketertiban danakuntabilitas serta kredibilitas sistem administrasi pertanahan padagilirannya turut menentukan sukses atau gagalnya reforma agraria.Data-base dan sistem informasi pertanahan harus diperkuat untukmengakomodir kepentingan masyarakat.

Pemerintah wajib memberikan kepastian hukum sertaperlindungan optimal atas pemilikan tanah masyarakat sehinggatidak mudah didelegitimasi oleh proses hukum yang seringkali serbagulita dan penuh tanda tanya. Dari meruyaknya tanah Meruya,semoga bangsa ini masih bisa merayakan pekik “Merdeka”! ***

Page 307: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

288

Jurnal Nasional, 30 Mei 2007

UU Modal Memicu Kontestasi Atas Tanah

DISAHKANNYA UU Penanaman Modal oleh DPR pada 29Maret 2007 diduga akan memicu kontestasi (mengerasnya per-

tarungan beragam kepentingan) atas tanah sebagai sumber utamaagraria kian massif.

Dengan lugas, Revrisond Baswir mengecam UU ini sebagai kese-satan pikir penyusunnya dalam memfasilitasi kepentingan neo-kolo-nialisme (Republika, 10/04/07). Hemat saya, menganggap tanah sebagaikomoditas dan fasilitas insentif bagi penanaman modal asing mau-pun domestik ialah bagian dari cara pandang yang sesat. Cara pan-dang sesat inilah yang jadi kekeliruan fatal dari UU Penanaman Modal.

Mestinya disadari bahwa tanah sebagai resources bukan sematalandscape fisik geografik, melainkan sarat hubungan sosial dan eko-nomi. Tanah bukan hanya sumber daya penghasil surplus produksi,melainkan akar pengetahuan (knowledge) bahkan identitas budayamasyarakat. Di atas tanah/lahan itulah hubungan kemanusiaan di-bangun (Siti F. Khuriyati, 2007).

Di atas tanah masyarakat menganyam relasi sosial, menata pro-duksi dan membangun budaya. Bangsa agraris ini membentuk iden-titas sosial dalam landscape sosio-kultural secara holistis di atas tanahsebagai satu kesatuan jiwa raga bangsa.

Kontestasi di parlemen dan lapangan

Perdebatan di parlemen tentang pemberian fasilitas hak atas

Page 308: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

289

Kembali ke Agraria

tanah kepada penanam modal berupa hak guna usaha (HGU) selama95 tahun, hak guna bangunan 80 tahun, dan hak pakai 70 tahun—Pasal 2 ayat (1)—ditandai minderheids nota fraksi PDIP dan PKB.Kedua fraksi memandang UU Penanaman Modal tak sejalan denganUUPA yang berakar pada Pasal 33 UUD 1945.

Para ‘nasionalis’ di parlemen terlihat gigih membela UUPA seba-gai salah satu warisan terpenting pendiri bangsa yang masih relevanuntuk dijalankan menuju kedaulatan dan kemandirian bangsa agra-ris ini. Puncaknya, fraksi “Ciganjur” memberi catatan sangat kritis,bahkan fraksi “moncong putih” walk-out sesaat menjelang palu penge-sahan diketukkan Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR) yang me-mimpin sidang.

Tidak bulatnya suara parlemen menunjukkan kerasnya kontes-tasi kepentingan politik. Potensi pertumburan kepentingan secaranyata di dalam landscape yang riil akan terjadi ketika pemerintahmenyerahkan kuasa atas tanah kepada pemodal. Pada saat itu otoritasnegara atas tanah pindah ke tangan kuasa modal. Namun demikian,sesungguhnya otoritas tak lagi selalu identik dengan kuasa politik.Para pemegang kuasa baru atas tanah harus menyadari bahwa diri-nya tidak serta merta dilekati oleh kekuasaan sepenuhnya atas tanahkarena pada kenyataannya massa rakyat bisa membangun counterkuasa terhadap mereka.

Sulit membayangkan rakyat akan sukarela menerima klaim pena-nam modal atas penguasaan lahan yang diberikan pemerintah. Peme-rintah (plus pemodal) memiliki cara pandang berbeda dengan petaniterhadap lahan. Bagi petani lahan bukanlah komoditi atau insentiffasilitas, melainkan sumber pokok kehidupan. Kehidupan petanisangat bergantung pada akses terhadap lahan. Mengambil lahandari petani berarti juga mengambil sari-pati kehidupan mereka. Wajarbila kemudian petani melakukan perlawanan. Tumburan kuasa ‘nega-ra’ dengan kuasa rakyat inilah yang kelak memarakkan konflik agra-ria.

Konflik merupakan manifestasi dari kontestasi kekuasaan antar

Page 309: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

290

Usep Setiawan

aktor. Sepanjang Orde Baru berkuasa, konflik agraria terjadi dalamintensitas yang sangat tinggi—KPA mencatat setidaknya 1.753 kasus.Sebagian besar terjadi di wilayah perkebunan, di mana pemodal besarmenikmati kuasa atas tanah selama puluhan tahun sambil meng-alienasi akses ribuan keluarga petani terhadap resources. Kuasa terse-but didapatkan pengusaha melalui HGU. Dengan HGU, pengusahamendapatkan akses atas lahan perkebunan untuk kemudian diper-gunakannya membangun pola produksi intensif. Nancy Peluso (2003)memahami akses adalah kontrol atas lahan, orang (buruh), dan insti-tusi. Dengan memiliki HGU 95 tahun, penanam modal dapat memilikiakses terhadap ketiga hal tersebut selama hampir satu abad.

Ketimpangan penguasaan dan terbatasinya akses rakyat atastanah akan memancing konflik di sektor perkebunan. Petani danpengusaha dipastikan akan berebut akses atas lahan. Kontestasi punberderak kencang meramaikan arena konflik agraria.

Perlawanan rakyat

Pemberian fasilitas dan kemudahan berlebih kepada penanammodal akan menjauhkan rasa keadilan sosial dalam lubuk sanubarirakyat jelata. Meletupnya konflik sosial yang dipicu konflik agrariaakan terbuka lebar ketika UU Penanaman Modal dijalankan. Pelak-sanaan UU Penanaman Modal dapat memicu kontestasi dalam ben-tuknya yang paling konkrit, yakni konflik agraria yang semakin mas-sif.

Pemerintah dan pemodal yang siap-siap masuk Indonesiadengan menggunakan karpet merah UU Penanaman Modal hendak-nya mawas diri terhadap kemungkinan bangkitnya perlawanan rak-yat yang mempertahankan tanah sebagai wilayah kelola, ruanghidup, sekaligus landscape kebudayaan mereka.

Agar kontestasi berbuah konflik ini urung terjadi, pembatalanUU Penanaman Modal oleh Mahkamah Konstitusi jalan keluar-nya.***

Page 310: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

291

Suara Pembaruan, 7 Juni 2007

Morales, SBY, dan Nagabonar

MATA dunia kini tertuju ke Bolivia karena keberanian PresidenEvo Morales melancarkan reforma agraria yang berintikan

tanah, minyak, dan gas, untuk rakyatnya di saat globalisasi kapita-lisme menderas. Morales bak Nagabonar yang sukses “mencopet”kekayaan negerinya dari tangan asing bagi kepentingan bangsa dannegaranya.

Seorang sahabat berkirim pesan singkat: “Bolivia hari ini, Indo-nesia tahun 1957. Bolivia hari ini, Indonesia masa depan. Rengkuhlahhari ini, Bolivia!” Inspirasi Bolivia penting direfleksikan bagi agendanasional kita. Kesuksesan Morales menasionalisasi migas merupakanbukti keberhasilan membumikan sosialisme di alam nyata, bukanhanya retorika. Nasionalisasi perusahaan asing di Bolivia tak sekadarmengalihkan kepemilikan, tetapi bertujuan memperbaiki kehidupanrakyat banyak. Morales mewujudkan sosialisme dengan menciptakanpekerjaan, menghapus kemiskinan, menghilangkan kesenjanganpendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Sejumlah pihak mendesak Presiden Yudhoyono untuk “belajar”kepada Morales. Ketika agenda pemerintah dalam mengurangi kemis-kinan dan pengangguran masih kusut, Yudhoyono sebaiknya menja-dikan Morales sebagai rujukan etis dan model kebijakan nasionalisasimigas serta kekayaan alam lain. Yudhoyono diminta membuat gebra-kan mendasar untuk mengembalikan kekayaan alam yang telah pulu-han tahun dikuasai asing agar kembali dikuasai negara untuk digu-

Page 311: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

292

Usep Setiawan

nakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dasar konstitu-sionalnya, Yudhoyono dapat mencantolkan diri pada Pasal 33 (3)UUD 1945.

Desakan itu sampai sekarang belum direspons Yudhoyono. In-donesia membutuhkan jalan baru seperti ditempuh Bolivia. Nasio-nalisasi migas dan redistribusi tanah bagi rakyat miskin mesti diya-kini tidak akan menghilangkan kepercayaan negara lain kepada kita.Keberanian kita menegakkan kedaulatan atas kekayaan adalah buktitingginya kualitas kebangsaan kita, tanpa bermaksud mengisolasidiri dari pergaulan antarbangsa.

Tampaknya kita perlu menyegarkan kembali keyakinan kolektifbangsa atas ideologi nasional yang melandasi kebangkitan nasionalkita. Apalagi sampai saat ini kita seperti terus saja gamang dan terusmencari working-ideology sebagai kompas pemandu arah perjalananbangsa ke depan. Pendiri republik mewariskan ajaran “SosialismeIndonesia” sebagai rumusan asli yang digali dari budaya sendiridan diabdikan bagi kaum lemah karena dilemahkan oleh sistem danstruktur sosial-ekonomi-politik produk kolonial. Bagi pendiri republikini, sosialisme Indonesia dianggap jalan yang paling tepat dianutdan ditempuh bangsa yang telah dua abad dicengkeram kolonialis-imperialis asing.

Sosialisme Indonesia bukanlah sekadar sosialisme yang jamakditerapkan negara lain. Sosialisme Indonesia bukanlah komunisme,tapi bersarikan antikapitalisme asing maupun kapitalisme bangsasendiri. Kapitalisme menjadi musuh bersama karena ia tak ubahnyaibu kandung kolonialisme-imperialisme, yang terbukti menindas danmengisap. Penindasan dan pengisapan inilah yang hendak kita ku-bur dari Bumi Nusantara.

Kristalisasi dari semangat mewujudkan nasionalisme dansosialisme Indonesia bagi bangsa ini bermuara pada sebuah konsen-sus nasional tertinggi yang dipantulkan secara utuh dalam lima siladasar negara, yakni: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerak-yatan, dan Keadilan. Oleh Bung Karno, rangkuman dari kelima nilai

Page 312: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

293

Kembali ke Agraria

luhur itu kemudian diistilahkan sebagai Pancasila. Sebegitu sakral-nya Pancasila, sejak kecil kita ditanamkan untuk menempatkan Pan-casila sumber dari segala sumber hukum.

Sepanjang Orde Baru berkuasa, Pancasila diangkat ke langit ting-gi sehingga mengalami sakralisasi ideologi tapi kering-kerontang da-lam realisasi praktis bernegara. Penataran Pedoman, Penghayatandan Pengamalan Pancasila (P4) bukannya jadi metoda pencerahananak bangsa, malah terjerumus jadi alat penjinakan dan pengendalianpotensi kritis warga negara di tengah tingkah rezim otoriter dan tota-liter. Sejauh ini, kita masih berkeyakinan tak ada soal dengan isiPancasila. Hanya saja kerap kali kita kedodoran dan melakukaninkonsistensi pengamalannya dalam praktik kehidupan berbangsa-bernegara sehari-hari.

Keadilan sosial

Orientasi sosial dalam konteks sosiologis Indonesia sebagainegeri agraris, oleh pendiri Republik dipahatkan dalam Konstitusi1945 yang memastikan penguasaan negara atas bumi, air, ruang ang-kasa dan segala isinya, sebagai mekanisme untuk mencapai tujuansebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33, ayat 3). Pasal iniditurunkan secara konsisten dalam UU No 5/1960 tentang PeraturanDasar Pokok Agraria (UUPA): “...Pemerintah dalam rangka sosialismeIndonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukandan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yangterkandung di dalamnya” (Pasal 14).

Sekalipun kuasa negara ditinggikan dalam hukum agraria, na-mun hak milik individu dan hak komunal/kolektif masyarakat tetapdiakui. Pasal 16 UUPA mengakui hak milik sebagai salah satu jenishak. Bahkan Pasal 20 (ayat 1) menyatakan: “Hak milik adalah hakturun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orangatas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Pasal 6memagari: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dewasa

Page 313: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

294

Usep Setiawan

ini masih berupa asa, maka langkah strategis yang patut diambilIndonesia ialah melaksanakan reforma agraria. Pilihan strategi yangditempuh Evo Morales di Bolivia saat ini dan Bung Karno di Indone-sia masa lalu, hendaknya menginspirasi kebangkitkan nasionalismedan sosialisme Indonesia baru. Reforma agraria sejati plus nasiona-liasi aset bangsa sebagai salah satu agenda strategis bangsa hen-daknya dijauhkan dari stigma “kiri” atau “kanan” karena kita telahbulat menggenggam teguh Pancasila dalam pikiran, ucapan dantindakan.

Presiden Yudhoyono sudah saatnya berbahasa lebih terang da-lam merealisasikan reforma agraria sebagaimana dijanjikan akandimulai tahun 2007 ini. Di saat yang sama, Presiden sebagai PanglimaTertinggi TNI harus mengendalikan seluruh jajaran tentara agar taklagi menjadi pihak yang berhadapan dengan rakyat dalam kasustanah. Kekerasan aparat yang terjadi 30 Mei 2007 di Pasuruan JawaTimur hingga menewaskan empat warga, harus menjadi tragedi yangterakhir.

Walaupun Jenderal Yudhoyono bukan “Jenderal” Nagabonar,tapi ada perlunya Yudhoyono bercermin dari gaya Nagabonar dalammempertahankan nasionalismenya yang sering kali menghentak takterduga. Dalam Nagabonar Jadi 2 garapan Dedy Mizwar, Nagabonarmenolak dan marah besar ketika Bonaga, sang anak Nagabonar, ber-niat melego tanah leluhur yang di dalamnya ada makam keluargamereka kepada investor asing.

Saat globalisasi menderas, kita harus menyelamatkan jati dirikebangsaan kita. Saat kapitalisme menggurita, segera kita amalkansosialisme Indonesia (Pancasila). Jika terlambat berbenah, celotehNagabonar: “Apa kata dunia?!” ***

Page 314: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

295

Seputar Indonesia, 10 Juni 2007

Dari Pasuruan ke Reforma Agraria

SIAPA tak tersentak menyimak sengketa tanah antara wargadengan pihak TNI AL di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan, Jawa Timur

(30 Mei 2007) yang menewaskan 4 petani, 8 terluka tembak, danratusan menderita? Ini adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan.

Sejumlah anak bangsa terkapar akibat direpresi alat pertahanannegara ketika memperjuangkan haknya atas tanah. Tragedi Pasuruanmembuktikan otoritarianisme di lapangan agraria belum goyah, per-lindungan HAM bagi rakyat masih jauh, dan rencana pelaksanaanpembaruan (reforma) agraria dikhawatirkan tersandera oleh perilakurepresif aparat.

Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970–2001), tak kurangdari 29% kasus melibatkan kaum berambut cepak. Konflik agrariayang melibatkan militer banyak dilatari pengambilalihan tanah-tanahrakyat untuk kepentingan pembangunan infrastruktur militer sepertiperumahan dan tempat latihan tempur serta bisnis militer di la-pangan agraria–seperti di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertam-bangan.

Keterlibatan militer dalam konflik agraria selama ini kerapmenimbulkan kekerasan karena aparat pertahanan-keamanan lebihcondong jadi “pengawal” mesin birokrasi dan modal daripadamelindungi rakyat yang berhak atas rasa aman. Sebagai contoh ter-hangat, setelah Pasuruan bergolak, belum lama ini dikabarkan aparatBrimob telah menangkap secara paksa dan menganiaya sejumlah

Page 315: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

296

Usep Setiawan

tokoh petani Lengkong, Sukabumi, Jawa Barat yang bertahun-tahunmemperjuangkan haknya atas tanah yang bersengketa dengan sebu-ah perusahaan perkebunan swasta. Sepanjang Januari–April 2007saja (sebelum Tragedi Pasuruan meletus), KPA mencatat peningkatankekerasan terhadap petani.

Dalam 13 kasus terbaru terjadi penangkapan dan penahanansedikitnya 143 petani disertai kekerasan seperti penembakan, pen-culikan, pemukulan, dan intimidasi.Tercatat 33 orang mendekam ditahanan kepolisian dan 1 orang tewas di Mamuju, Sulawesi Selatan.Juga terjadi pengusiran rakyat akibat konflik agraria antara perusa-haan dengan masyarakat di sejumlah tempat.

Tercatat, 556 KK atau sedikitnya 1.200 jiwa—sebagian besarperempuan dan anak-anak—mengungsi selama konflik terjadi. Inten-sitas kekerasan ini terkait pula dengan diberlakukannya berbagaiproduk kebijakan yang membuka pintu represi terhadap rakyatseperti UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan, UUPertambangan, dan Perpres 65/2006. Disahkannya UU PenanamanModal belum lama ini juga tengah mengintai korban.

Hentikan otoritarianisme agraria

Rentetan peristiwa konflik agraria yang disertai kekerasan aparathendaknya menjadikan pemerintah serius dalam menghentikanmiliterisme dan otoritarianisme di lapangan agraria yang diawalidengan mengevaluasi dan mengambil tindakan tegas terkait denganpenguasaan tanah untuk kepentingan sarana militer, apalagi kepen-tingan bisnis militer. Pemerintah harus kita dorong untuk segeramelakukan langkah strategis. Pertama, mengidentifikasi, mengeva-luasi, dan menertibkan segala bentuk penguasaan tanah serta sum-ber-sumber agraria oleh militer di atas tanah milik rakyat atau yangsedang dikuasai rakyat. Tak boleh lagi ada penguasaan tanah olehmiliter, baik untuk kepentingan resmi militer apalagi untuk bisnis dilapangan agraria, dengan cara merampas tanah rakyat.

Kedua, seiring dengan rencana pemerintah untuk menjalankan

Page 316: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

297

Kembali ke Agraria

reforma agraria, tanah-tanah yang dikuasai oleh militer yang berasaldari tanah-tanah rakyat yang penguasaannya diperoleh dari cara-cara tidak sah dan disertai kekerasan dan tanah itu sedang dituntutrakyat hendaknya dijadikan objek land reform dan dikembalikan ke-pada rakyat. Sangat penting bagi pemerintah untuk segera mengem-balikan tanah rakyat yang dirampas militer dan menjauhkan tempatlatihan tempur militer dari tanah rakyat dan permukiman penduduk.

Ketiga, sebagai bagian dari reformasi militer, TNI/POLRI tak bo-leh lagi terlibat dalam konflik agraria yang memperhadapkan rakyatversus pengusaha maupun warga versus pemerintah dan BUMN.Penggunaan kekerasan dan keamanan (repressive and security approach)dalam penanganan konflik agraria tidak akan pernah menyelesaikankonflik agraria, malah akan melahirkan pelanggaran hak asasi ma-nusia. Pimpinan TNI harus bersikap tegas kepada anggotanya.Dengan dalih apa pun, penembakan terhadap rakyat itu biadab, takpantas dibela, apalagi dibenarkan. Jangan lindungi pelaku kekerasankarena bisa jadi preseden bagi yang lain untuk melakukan hal sama.Panglima TNI tak cukup minta maaf. Panglima mestinya segera me-manggil komandan yang bertanggung jawab di lapangan, memintaketerangan utuh dan segera menjatuhkan sanksi keras kepada pelaku.

Keempat, untuk mengatasi dan menyelesaikan ribuan konflikagraria di Indonesia, diperlukan lembaga khusus penanganan danpenyelesaian konflik agraria yang bersifat komite nasional indepen-den. Selama ini konflik agraria yang diproses dalam peradilan umumhanya menempatkan rakyat pada pihak yang selalu kalah dan tertu-tupnya ruang bagi rakyat untuk mengambil kembali tanahnya. Selainuntuk menangani kasus lama dirancang pula strategi antisipatif agarkasus tanah struktural baru tak lagi bermunculan.

Kelima, kekerasan dan konflik agraria di Pasuruan harus jadiyang terakhir. Pihak berwenang harus mengusut tuntas pelanggaranhak asasi manusia dan menyelesaikan proses hukum melalui meka-nisme peradilan HAM, bukan peradilan militer yang bersifat eksklusifdan serba tertutup. Komnas HAM dan kepolisian perlu membentuk

Page 317: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

298

Usep Setiawan

tim investigasi dan segera mengumpulkan bukti serta keterangantentang apa yang sesungguhnya terjadi. Dengarkan kesaksian wargadi lapangan, catat secara cermat, lalu jadikan sebagai dasar pe-nanganan lebih lanjut. Wakil rakyat di DPR juga harus memberi per-hatian serius atas tragedi ini dan mengambil langkah-langkah politisjangka panjang, misalnya inisiatif menyusun RUU Perlindungan HakAsasi Petani.

Percepat reforma agraria

Yang paling mendasar adalah perlunya penyelesaian sengketatanah berprinsip keadilan sosial yang mengutamakan hak rakyat(petani) sebagai korban. Pemerintah harus memperhatikan sejarahpemilikan tanah di lapangan dan tidak terpaku hanya pada buktiformal. Pendekatan yang sifatnya sosio-historis dan mengutamakangolongan ekonomi lemah hendaknya membuka kemungkinandikembalikannya tanah ke tangan rakyat. Langkah penanganankasus tanah selama ini dirasa tak lagi efektif dan belum menunjukkanhasil kerja menggembirakan.

Selagi kita belum punya kelembagaan khusus sebagaimana di-usulkan di atas, struktur dan aparat BPN yang bertugas menanganiperkara/konflik/sengketa tanah mesti bergerak lebih proaktif, cepat,dan sistematis. Pemerintah pusat dan daerah harus mengerahkankemampuan dan sumber daya secara optimal sehingga hambatanmekanisme birokrasi tak perlu menunda, apalagi mengabaikan akarpersoalan. Penanganan sengketa tanah tak akan berdampak banyakjika akar persoalan ketidakadilan agraria tidak dituntaskan.

Solusi utuh mengatasi sengketa tanah adalah merombak strukturpenguasaan dan pemilikan tanah sehingga lebih berkeadilan. Pas-tikan rakyat miskin mendapatkan akses utuh atas tanah dan sumber-sumber kesejahteraannya. Berkaca pada Tragedi Pasuruan, gagasanuntuk menghidupkan kembali Departemen Agraria, dan PeradilanAgraria serta membentuk Komisi Nasional untuk PenyelesaianKonflik Agraria tampaknya patut kembali dicuatkan.

Page 318: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

299

Kembali ke Agraria

Komprehensifnya kelembagaan pengurus agraria ini akanmenjamin kapasitas negara dalam menjadikan tanah dan kekayaanalam diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Semoga saudara-saudara kita yang wafat akibat Tragedi Pasuruanditerima di sisi-Nya dan kita kenang sebagai pahlawan rakyat. Yangterluka segera sehat dan kembali bangkit meneruskan perjuangan.Yang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang segera dibe-baskan demi keadilan dan kemanusiaan.

Reforma agraria sejati yang sudah lama dinantikan jangansampai terhambat oleh Tragedi Pasuruan dan yang sejenisnya. Justrureforma agraria sejati harus cepat direalisasi demi keadilan sosialbagi seluruh anak bangsa.***

Page 319: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

300

Tabloid Opini Indonesia, Tahun II/Edisi 054/11–17 Juni 2007

Lembaga Reforma Agraria

POLITIK agraria yang dianut pemerintah sejak Orde Baru dan yangsampai sekarang belum mengalami perubahan mendasar adalah

politik agraria yang condong kepada kepentingan modal besar, danmenegasikan hak-hak rakyat kecil atas pemilikan dan penguasaantanah. Politik agraria semacam ini menghasilkan tiga fenomena dilapangan yang paling menonjol. Pertama, fakta terjadinya ketim-pangan penguasaan dan pemilikan tanah, sebagian besar rakyat didesa tidak punya akses yang cukup terhadap tanah. Di sisi lain tanahdikuasai segelintir orang saja yang punya akses terhadap ekonomidan politik (kapital dan kekuasaan). Setiap dekade, kecende-rungannya jumlah petani tak bertanah terus meningkat, di sisi lainkonsentrasi penguasaan tanah di beberapa gelintir orang semakinmenguat. 30 juta lebih petani kita tidak mepunyai tanah sama sekali.Dia bekerja di sektor pertanian hanya sebagai buruh tani.

Kedua, konflik agraria, konflik agraria itu lebih luas dari sekedarsengketa tanah. Konflik agraria selama masa Orde Baru sampai hariini terjadi karena penggunaan dan penyalahgunaan kewenangannegara dalam mengatur kebijakan pertanahan. Seringkali pemerintahatas nama negara menerbitkan ijin-ijin usaha bagi investasi asingatau dalam negeri untuk menguasai dan memiliki tanah. Pemerintahsering menerbitkan HGU, gemar mengeluarkan HPH untuk kong-lomerat besar. Di sektor pertambangan lebih parah lagi, mayoritasperusahaan tambang yang beroperasi di tanah air kita dikuasai oleh

Page 320: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

301

Kembali ke Agraria

pengusaha/investor asing.Data KPA menjelaskan, sengketa tanah paling menonjol ada di

4 sektor, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan fasilitas-fasilitaspemerintah dan militer. KPA mencatat sepanjang Orde Baru ada 1.753kasus sengketa tanah struktural karena kebijakan negara, di antara-nya sebanyak 29% dari angka itu melibatkan pihak militer baik TNImaupun Polri. Modusnya, pihak militer berkepentingan menjalankanbisnisnya, atau jadi backing bagi perusahaan yang mau menanamkaninvestasinya, dan militer berhadapan dengan rakyat karena bermak-sud membangun sarana militer yang ada kaitannya dengan perta-hanan dan keamanan.

Ketiga, kerusakan lingkungan, banyak data menunjukkan di loka-si-lokasi dimana perusahaan pertambangan besar menjalankanoperasinya, kerusakan lingkungan terjadi sangat dahsyat, misalnyaterjadi di Papua, ada satu wilayah yang setelah beroperasinya sebuahperusahaan tambang, sebuah gunung berubah menjadi danauberacun, dan sungai jadi tercemar.

***Dalam hal politik agraria, sebenarnya kita sudah punya UU No.

5/1960 yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria(UUPA). Sepanjang Orde Baru, UUPA dalam prakteknya dimandul-kan, dan dikalahkan oleh undang-undang sektoral yang mengatursumber-sumber agraria, UU kehutanan, UU pertambangan, UU per-kebunan, dan UU sumber daya air. Kesemua UU itu punya semangatdan orientasi yang tidak sejalan dengan UUPA. Padahal UUPA meru-pakan payung hukum bagi semua sektor yang terkait dengan bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai pasal33 konstitusi kita. Di situ disebutkan, ada hak milik individu, hakguna usaha bagi badan-badan hukum/usaha, ada hak pakai danhak guna bangunan.

Lebih dari itu UUPA mengatur pentingnya penataan pemilikandan penguasaan tanah. Landreform 1961-1965 mendasarkan diri pada

Page 321: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

302

Usep Setiawan

UUPA, prinsip terpenting tanah untuk rakyat. UUPA menekankankebijakan agraria diorientasikan bagi golongan ekonomi lemah.Landreform jaman Bung Karno belum selesai dan tuntas dijalankankeburu terjadi pergantian rezim. Jika Bung Karno dan kawan-kawanpunya orientasi politik agraria yang populis, sementara rezim pim-pinan Jenderal Soeharto condong kepada kepentingan modal besar(kapitalistik). Persoalan agraria kemudian menjadi rumit dankompleks. Orientasi politik agraria yang kapitalistik ini didasari olehberbagai peraturan perundangan yang mereka buat.

Ketika Orde Baru berlalu, seharusnya reformasi 1998 itu di da-lamnya termasuk reformasi di bidang pertanahan, lebih luasnyabidang agraria. Reforma agraria yang diusulkan KPA sejak tahun1995 sebenarnya diharapkan bisa menjadi agenda resmi negara,karena program itu hanya bisa dilaksanakan oleh negara. Pintu untukmemulai reforma agraria itu kembali muncul ketika tahun 2001 MPRmenerbitkan TAP No. IX tentang Pembaruan Agraria dan PengelolaanSumber Daya Alam. Mestinya ketika UUPA masih ada dan TAP No.IX terbit, ini bisa jadi momentum baru menggulirkan reforma agrariasecara menyeluruh.

***Rezim yang berkuasa dari Habibie, Gus Dur, Mega, hingga SBY

belum menyentuh perubahan mendasar politik agraria nasional. Padapemerintahan SBY-JK sebenarnya ada sinyal ketika dalam dokumenresmi kampanye SBY 2004 ada satu agenda menjalankan reformaagraria, dalam rangka menangani kemiskinan dan pengangguran,serta dalam rangka revitalisasi pertanian dan pedesaan.

Momentum terakhir pidato awal tahun SBY, 30 Januari 2007,salah satu isinya tentang rencana memulai reforma agraria. Ada duaprogram yang disampaikan SBY, pertama, pembagian tanah secaragratis, dan kedua, sertifikat gratis bagi rakyat miskin. Program bagi-bagi tanah ini bagi rakyat menjadi angin segar, namun harus diper-siapkan secara matang oleh pemerintah maupun rakyatnya.

Page 322: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

303

Kembali ke Agraria

Inti reforma agraria adalah landreform, redistribusi pemilikan danpenguasaan tanah bagi tanah bagi rakyat miskin itu bagian landreform.Bagi-bagi tanah adalah program konkrit redistribusi itu. Ketika bicarapeningkatan kesejahteraan petani, landreform saja tidak cukup, diaharus disertai dan diikuti program pendukung di bidang pertanian.Landreform harus disertai dengan penguatan posisi tawar petani,petani sebagai subyek, dan harus dipastikan sarana dan prasaranapertanian bagi petani itu dipermudah oleh pemerintah.

Solusinya satu, program ini harus dipimpin langsung oleh pre-siden, tidak bisa diserahkan kepada satu menteri atau BPN, karenamelibatkan banyak sektor dan kepentingan. Kedua, secara kelemba-gaan diperlukan kelembagaan khusus untuk menghimpun depar-temen terkait. Di negara yang pernah menjalankan reforma agrariaselalu disertai dasar hukum yang kuat dan kelembanggaan yangkuat pula. Konstitusi kita, khususnya pasal 33 menjadi rujukan utamareforma agraria, turunannya UUPA, TAP MPR No. IX/2001 memper-kuat. Idealnya memang perlu ada UU khusus mengatur reformaagraria itu, setidaknya PERPPU atau PP paling minimal.

Soal kelembagaan, idealnya memang perlu ada Badan OtoritaReforma Agraria (BORA). Gambarannya, BORA harus dipimpin olehpresiden, anggotanya para menteri terkait. Fungsinya ada tiga: (1)menjalankan penataan pemilikan dan penguasaan tanah termasukredistribusi, (2) menyelesaikan konflik agraria, dan (3) melakukanharmonisasi dan koodinasi lintar sektor antar lembaga. Apakah itumungkin? Itu pertanyaan politik, tergantung komitmen presiden.

***Kalau kita serius menjalankan reforma agraria, kita perlu memiliki

tiga lembaga: (1) departemen atau kementerian agraria, (2) pengadilanagraria, dan (3) KNuPKA (Komisi Nasional untuk PenyelesaianKonflik Agraria). Ketika UUPA diterbitkan maka menteri agraria ituada. Zaman Soeharto berubah-rubah kelembagaan agraria ini. Pernahada Kementerian Negara Agraria, kemudian dikerdilkan menjadi

Page 323: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

304

Usep Setiawan

Dirjen Agraria di bawah Depdagri, kemudian menjadi BadanPertanahan Nasional (BPN). Kewenangan BPN semakin menciut soalagraria ini, karena hanya punya wewenang teknis administrasipertanahan dan tak punya kewenangan pengurusan tata ruang danperuntukan lahan. BPN seolah hanya seperti toko yang mengeluarkansertifikat, siapa yang mampu membeli sertifikat akan dilayani BPN.

Ketika mau menjalankan reforma agraria berdasarkan UUPA,Departemen atau Kementerian Agraria harus dihidupkan lagi. Kesem-patannya ada dalam pembahasan RUU Kementerian Negara, seti-daknya kementerian. Artinya nanti ada menteri agraria yang punyaposisi tawar sejajar menteri-menteri lain bukan subordinasi departe-men lain. Perpres No. 10/2006 tentang BPN, posisi BPN langsungada di bawah presiden dan bertanggungjawab langsung kepada pre-siden dan melaksanakan reforma agraria. Mengapa setengah-se-tengah? Langsung saja BPN sekarang ini menjadi Departemen Agra-ria, dengan syarat perlu ada reorientasi dari struktur pejabat danaparat BPN sendiri. Cara berfikir lama yang hanya sebagai petugasadministrasi pertanahan yang bertugas mengeluarkan sertifikat sema-ta itu bisa dikikis.

Kita juga perlu Komisi Nasional untuk Penyelesaian Agraria(KNuPKA) untuk menyelesaikan sengketa tanah dan agraria diuta-makan di luar pengadilan, secara kekeluargaan atau secara adat.Prinsipnya ada transitional justice untuk soal KNUPKA, satu pende-katan HAM dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat yangselama ini menjadi korban sengketa tanah.

Berkaitan dengan Pengadilan Agraria, di era Soeharto adapengadilan landreform namun undang-undangnya dihapus. Semuakasus sengketa tanah akhirnya masuk mekanisme hukum pengadilanumum. Kasus tanah dihadapi rakyat dalam pengadilan, rakyat lemahdan selalu dikalahkan pihak yang mempunyai kekuatan politik danekonomi. Penyiapan pengadilan agraria ini jadi penting ketikapemerintah bermaksud mulai menjalankan reforma agraria. Karenaada dua hal yang perlu diantisipasi sebelum menjalankan landreform

Page 324: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

305

Kembali ke Agraria

atau reforma agraria itu. Pertama, kasus sengketa tanah ribuan ituharus diselesaikan. Kedua, setiap reform itu punya potensi melahirkankonflik agraria baru. Ini harus diantisipasi sejak awal, dan diatasioleh pengadilan khusus untuk itu.

Ketiganya harus efektif berjalan, kalau tidak, kita harus siap-siap menghadapi konflik yang lebih besar. Itu yang harus dicegah.Keberanian pemerintah untuk menjalankan reforma agraria harusdiuji dalam praktek. Kita berharap pemerintah berani dan serius,sebab program sepopulis ini akan mendapat dukungan luas masya-rakat selama dipersiapkan matang, dan potensi konfliknya dianti-sipasi secara ketat sejak awal.

Program ini bisa berjalan dengan baik, asal ada keseriusan peme-rintah dalam arti melibatkan betul organisasi rakyat, serikat tani,termasuk masyarakat adat. Keterlibatan rakyat banyak itu menjadipenting karena pemerintah tidak bisa jalan sendiri. ***

Page 325: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

306

Gaung Demokrasi, Edisi 36/Tahun ke-7/11-18 Juni 2007

Reforma Agraria Akhirnya Konflik Tanah

INISIATIF berbagai pihak untuk menyusun berbagai kebijakan danperaturan perundang-undangan (legislasi) terkait agraria dan

pengelolaan sumberdaya alam kini makin mendesak dilakukan.Kemendesakan ini terutama dikaitkan dengan makin marak dankerasnya sengketa tanah atau konflik agraria yang terjadi di lapangan.

Siapa yang tak tersentak ketika menyimak sengketa tanah antarawarga dengan pihak TNI AL di Pasuruan Jawa Timur (30 Mei 2007)yang menewaskan empat petani, delapan orang terluka tembak danratusan menderita. Ini tak cukup disebut insiden, tapi tragedi! Ya,tragedi kemanusiaan.

Tragedi Pasuruan meledak saat pemerintah menyiapkan pelak-sanaan reforma agraria yang berintikan pengadaan tanah bagi rakyatmiskin. Tragedi Pasuruan mengingatkan pentingnya penyelesaiansengketa tanah melalui reforma agraria sejati. Oleh karena itu, segenapusaha membentuk kebijakan legislasi baru terkait agraria dan penge-lolaan sumberdaya alam mestilah diabadikan untuk mengakhiri kon-flik dan ketimpangan agraria sekaligus.

Potret kebijakan agraria

Dalam praktik semasa Orde Baru, kedudukan negara yang do-minan dalam perundang-undangan, terbukti telah dimanfaatkanuntuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usahapeningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk ber-

Page 326: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

307

Kembali ke Agraria

prestasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agrariaitu serta untuk menikmati hasilnya. Lebih dari itu, politik agrariayang demikian menghasilkan konflik agraria yang luar biasa banyak-nya.

Konflik agraria yang diwarisi saat ini adalah buah dari politikagraria Orba. Politik agraria itu bukan hanya tidak secara konsekuenmenjalankan pembaruan agraria (agrarian reform) tetapi justru me-nampilkan semangat anti pembaruan agraria dan menggagalkanperwujudan keadilan agraria. Politik agraria Orde Baru tersebutbermula dari digesernya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)1960 dari posisinya sebagai undang-undang induk menjadi undang-undang sektoral, dengan ditetapkannya berbagai undang-undangpokok lainnya, seperti ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUNo. 5 tahun 1967).

Dengan sektoralisme ini, kebijakan manajemen dan praktik pem-bangunan agraria dilakukan secara terpusat dan diabdikan untukkepentingan pertumbuhan dan akumulasi modal, dengan menga-baikan dan melanggar hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria.Dengan dijadikannya hukum sebagai alat untuk memfasilitasikepentingan dan pertumbuhan akumulasi modal, lembaga-lembagapemerintahan sektoral telah memberikan berbagai hak-hak baru atassumber-sumber agraria untuk proyek-proyek bermodal besar di atassumber-sumber agraria yang telah dimuati hak-hak rakyat. Konflikagraria yang kemudian terjadi ialah konflik agraria struktural yangdi dalamnya sangat menonjol manipulasi dan kekerasan terhadaprakyat.

Memperhatikan pendekatan tersebut, di masa reformasi ini sudahwaktunya dilakukan koreksi yang mendasar terhadap politik agrariaorde baru. Koreksi tersebut harus mengedepankan kedaulatan rakyatatas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Secaraideal, koreksi ini tetap meneguhkan visi bahwa penguasaan dan pe-manfaatan sumber-sumber agraria dijalankan untuk mencapai kema-juan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat—sebagaimana yang

Page 327: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

308

Usep Setiawan

telah diletakkan dasar-dasarnya oleh UUPA 1960 dengan konsepsipembaruan agraria (agrarian reform).

Hakikat dari koreksi ini tentu bukan hanya teknis melainkandimulai dari koreksi filosofis tentang hubungan negara dan rakyatyang intinya kekuasaan negara terbatas dan dibatasi. Koreksi iniakan dan harus diefektifkan untuk memberikan dasar keabsahanhukum (legalitas) dan sekaligus pembenaran (legitimasi) bagi rakyatagar mereka secara lebih bermakna dan berpartisipasi dalam setiapaktivitas pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan ikhwalpemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber agraria.

Dengan dasar-dasar tersebut, fungsi sumber agraria ditempatkansebagai sarana pemberdayaan rakyat untuk melepaskan diri dariketergantungan atau dari kemungkinan tereksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi besar. Keadaan yang hendak diwujudkan adalahkeadilan agraria yakni suatu keadaan di mana terjamin tidakterjadinya konsentrasi penguasaaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria.

Konflik agraria

Ada dua gejala yang dikhawatirkan “mengganggu” upayamenyusun legislasi pro reforma agraria yakni terbitnya berbagai UUyang masih pro modal besar dan kekerasan dalam konflik agraria dilapangan. Ketika pemerintah menyiapkan pelaksanaan reforma agra-ria mengacu pada UU Pokok Agraria 1960, pada saat yang samaDPR menerbitkan UU Penanaman Modal sebagai karpet merah melu-luskan “penjajahan” baru di tanah air. Tragedi Pasuruan membukti-kan otoritarianisme di lapangan. Perlindungan atas HAM bagi rakyatmasih jauh dari yang diharapkan. Pelaksanaan pembaruan agraria(reforma agraria) dikhawatirkan tersandera oleh perilaku represif apa-rat. Dari 1.753 kasus yang direkam Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA) pada 1970-2001 tak kurang 29% kasus melibatkan militer.

Beranjak dari tingginya keterlibatan militer dalam konflik agrariadi Indonesia dan hampir semua konflik berujung kekerasan dan

Page 328: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

309

Kembali ke Agraria

jatuhnya korban dari pihak rakyat maka KPA menyatakan beberapahal. Pertama, agar pemerintah segera untuk mengidentifikasi dan me-nertibkan segala penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria olehmiliter di lapangan agraria yang sedang dikuasai rakyat. Kedua,seiring dengan reforma agraria maka tanah-tanah yang dikuasai mili-ter yang berasal dari tanah rakyat, yang penguasaannya diperolehdengan cara kekerasan dan sedang dituntut oleh rakyat agar dija-dikan objek landreform harus dikembalikan kepada rakyat. Ketiga,sebagai realisasi proses reformasi TNI/Polri maka TNI/Polri tidakboleh lagi melibatkan diri dalam konflik agraria yang melibatkanrakyat versus pengusaha.

Keempat, untuk menyelesaikan ribuan konflik agraria di Indone-sia maka diperlukan lembaga khusus yang menangani penyelesaiankonflik agraria yang bersifat komite nasional. Dan terakhir, terkaitdengan kekerasan dan konflik agraria di Pasuruan, KPA mendesakagar DPR dan Komnas HAM untuk mengusut secara tuntas pelang-garan HAM serta menyelesaikan proses hukum dalam mekanismeperadilan HAM bukan peradilan militer. Selanjutnya segera mengem-balikan tanah rakyat dan merelokasi tempat latihan tempur dari tanah-tanah milik rakyat.

Agar pembaruan agraria berhasil, jajaran pemerintahan mestitahu, mau dan mampu menjawab akar problem agraria. Keikutsertaanrakyat melalui organisasi-organisasinya yang sejati perlu didorongdan ditumbuhkembangkan. Tanpa kematangan pemerintah dan rak-yatnya, reforma agraria terancam menyimpang dari tujuan dan gagalsasaran. Setelah pidato pada awal tahun diucapkan, kini publik me-nanti langkah nyata presiden dan seluruh jajarannya untuk menyiap-kan dan mulai menjalankan reforma agraria secara lebih matang. ***

Page 329: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

310

Suara Pembaruan, 19 Juni 2007

Meruya, Pasuruan, dan Reforma Agraria

MERUYAKNYA sengketa tanah Meruya di Jakarta yang turutmenaikkan tensi politik Ibukota dan meletusnya tragedi

Pasuruan Jawa Timur yang menjatuhkan empat korban jiwa di pihakrakyat (30/05/07) telah melambungkan isu agraria ke puncak per-hatian publik. Tersedotnya perhatian publik atas hal itu nyarismenenggelamkan isu strategis lain terkait kebijakan agraria nasional.

Pemerintah berniat memulai reforma agraria tahun 2007 denganmenyiapkan tanah seluas 9,25 juta ha, untuk dibagikan gratis kepadakaum miskin. Ini terobosan strategis dalam mengurangi kemiskinandan pengangguran. Sebanyak 40 juta orang miskin, 67 persen terkon-sentrasi di pedesaan dan sekitar 90 persen yang bergantung padapertanian. Itulah kenyataan yang hendak diatasi program reformaagraria ini. Joyo Winoto (Kepala BPN RI) berkali-kali mengutarakanprogram ini tak sekadar bagi-bagi tanah, tetapi land reform plus accessreform. Rakyat tak sekadar diberi tanah, tapi diberi kemudahan dalammengakses sumber ekonomi, seperti kredit, pendidikan, bibit, pupuk,penataan produksi, hingga distribusi dan konsumsinya.

Artikel ini mencermati “kembali” rencana pemerintah memulaireforma agraria, dengan menjadikan Meruya serta Pasuruan sebagaicermin pembelajaran.

Page 330: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

311

Kembali ke Agraria

Meluaskan makna

Reforma agraria dimaksudkan mengatasi masalah sosial eko-nomi pedesaan terkait penguasaan tanah dan sumber daya alam.Restrukturisasi penguasaan, penggunaan, pemanfaatan tanah, dankekayaan alam ialah unsur penting reforma agraria. Tujuannya, agartidak terjadi konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan tanah dankekayaan alam, memastikan hak rakyat atas tanah dan kekayaanalam, serta menjamin keberlangsungan dan kemajuan sistem pro-duksi rakyat setempat.

Praktik penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatantanah dan kekayaan alam yang melahirkan ketimpangan di masalalu jelas melahirkan kelompok rakyat tak bertanah, petani gurem,dan termasuk kaum miskin di perkotaan. Akibat lainnya adalahmaraknya konflik dan sengketa agraria yang bersifat struktural.

Dalam catatan KPA terdapat 1.753 kasus dengan luas tanah yangdisengketakan 10.892.203 ha dan melibatkan 1.189.482 keluargadalam periode 1970-2001. Sepanjang Januari-April 2007 saja—sebelumtragedi Pasuruan—, KPA mencatat 13 kasus terbaru yang menyebab-kan penangkapan dan penahanan sedikitnya 143 petani disertai keke-rasan seperti penembakan, penculikan, pemukulan, dan intimidasi.Setidaknya 33 orang mendekam di tahanan kepolisian dan satu or-ang tewas di Mamuju, Sulawesi Selatan. Terjadi pula pengusiranrakyat akibat konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat disejumlah tempat. Paling tidak 556 keluarga atau sedikitnya 1.200jiwa sebagian besar perempuan dan anak-anak mesti mengungsiselama konflik terjadi.

Sementara BPN sendiri mengidentifikasi 2.810 kasus tanah dimasa lalu yang belum terselesaikan. Sepanjang pemerintah tak men-jalankan reforma agraria, konflik agraria ini terus bertambah dancenderung mengeras. Karenanya, program reforma agraria yang hen-dak dijalankan harus diluaskan maknanya dari sekadar redistibusilahan dan sertifikasi menjadi Reforma Agraria Sejati.

Perluasan makna itu mencakup berapa hal strategis. Pertama,

Page 331: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

312

Usep Setiawan

tanah seluas 9,25 juta ha yang akan dibagikan kepada rakyat takhanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi mencakup tanah-tanah yang dikuasai monopolistik oleh negara maupun swasta.Kenapa tidak tanah-tanah yang dikuasai badan usaha yang izinnyadiperoleh dari kebijakan politik agraria kapitalistik dan sering kalimelanggar rasa keadilan sosial rakyat di sektor perkebunan besar,kehutanan, pertambangan, kita proyeksikan sebagai objek reformaagraria? Mengingat saat ini banyak tanah yang diduduki dandikuasai rakyat melalui okupasi maupun re-claiming, maka tanah-tanah itu harusnya terintegrasi dengan program reforma agraria yanghendak dijalankan melalui legalisasi penguasaannya.

Kedua, penerima manfaat (subjek reform) program reforma agrariaharus diutamakan dan sungguh bagi rakyat miskin. Dalam identi-fikasi penerima manfaat akan lebih baik bila pemerintah tetap menja-dikan PP No 224 Tahun 1961 sebagai acuan utama. Sebab PP ini taatasas pada UUPA No 5/1960 yang berprinsip tanah untuk rakyat.Dalam PP ini terdapat sembilan penerima prioritas pembagian tanahyang bila dikelompokkan: petani penggarap, buruh tani, petani gurem,petani tak bertanah. Melihat kenyataan sosial sekarang, kemiskinantak hanya pada petani. Karenanya kaum nelayan, miskin kota, buruh,dan masyarakat adat serta korban konflik/sengketa agraria, harusjuga jadi penerima manfaat reforma agraria.

Hanya dengan kepastian objek dan subjek inilah, harapan refor-ma agraria akan efektif mengurangi kemiskinan dan pengangguranserta menuntaskan ribuan konflik agraria struktural dapat jadi lebihmungkin.

Matangkan prasyarat

Kemauan politik pemerintah menjalankan reforma agraria men-jadi syarat utama. Syarat lainnya organisasi rakyat (tani) yang kuat,data agraria yang lengkap dan akurat, terpisahnya elite politik denganelite bisnis, dan dukungan militer (Gunawan Wiradi; 2000). Sekalipunprasyarat ini belum sepenuhnya tersedia, hendaknya reforma agraria

Page 332: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

313

Kembali ke Agraria

tak ditunda. Kita harus memulai sambil mematangkan prasyarat yangdibutuhkan. Peran pemerintah mutlak dalam reforma agraria karenamustahil ada reforma agraria tanpa peran penyelenggara negara.Solon Baraclough menyatakan reforma agraria tanpa melibatkannegara adalah contradiction in term (Noer Fauzi; 2003).

Di sisi lain, keterlibatan organisasi rakyat (tani) sangat menen-tukan berhasil tidaknya reforma agraria. Kita tak boleh bergantungpada kedermawanan pemerintah dan pasar politik yang ada. Penga-laman negara yang menjalankan reforma agraria atas kedermawananpemerintah, hasilnya tidak berkelanjutan dan mudah dibalikkan.Keterlibatan organisasi rakyat tak boleh semu dan setengah-setengah.Organisasi rakyat harus terlibat mulai perencanaan, pelaksanaan,pengawasan, dan evaluasinya. Saat ini, puluhan organisasi rakyattumbuh di level nasional, regional, sampai lokal. Umumnya orga-nisasi rakyat lahir dari konflik agraria. Sebagian sudah memprak-tekkan pembaruan agraria, merombak struktur, menata produksi danmemberdayakan pemerintah lokal.

Tak ada alasan bagi pemerintah demokratis yang hendak menja-lankan reforma agraria untuk tidak melibatkan organisasi rakyat.Pemerintah yang baik dan organisasi rakyat yang kuat merupakanpilar utama reforma agraria. Pekerjaan awal yang mendesak dilaku-kan bersama antara pemerintah dan rakyat adalah menentukansubjek dan objek reform, merumuskan mekanisme pelaksanaan,membentuk serta mengisi kelembagaan pelaksana reforma agraria.

Sengketa tanah Meruya dan Pasuruan memang harus dituntas-kan dengan prinsip keadilan sosial bagi rakyat. Dari kasus Meruyakita ditantang merumuskan reforma agraria di perkotaan yangmenjamin kehidupan warga kota serta menertibkan sistem adminis-trasi pertanahan. Dari tragedi Pasuruan kita perlu menyiapkanreforma agraria di pedesaan untuk keadilan petani sekaligus reposisimiliter di dunia agraria.

Solusi nasional yang diyakini mampu mencabut akar sebabseluruh sengketa/konflik tanah adalah mempercepat pelaksanaan

Page 333: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

314

Usep Setiawan

reforma agraria sejati sembari mematangkan berbagai prasarat yangdiperlukan. Mengerasnya konflik agraria harus jadi suluhmempercepat terbitnya fajar keadilan sosial berbasis keadilanagraria.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan IdhamArsyad)

Page 334: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

315

Sinar Harapan, 25 Juni 2007

Kelembagaan Penuntas Konflik Agraria

SAMPAI saat ini belum jelas ujung penyelesaian konflik agrariadi Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur, (30/5/7) yang menewaskan

empat warga sipil dan melukai tujuh lainnya. Belajar dari kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan militer sebelumnya, penye-lesaiannya diserahkan ke pengadilan militer yang tertutup dan penuhteka-teki.

Tampaknya hal ini akan terulang dalam penanganan kasus Pasu-ruan, padahal kita mengidealkan tindak kekerasan aparat negaraterhadap warga negara dibawa ke pengadilan HAM atau ke peradilanumum. Di sisi lain, sengketa tanah yang memicu kekerasan terhadapwarga juga belum jelas penyelesaiannya. Pihak TNI dalam dialogbersama 11 kepala desa yang difasilitasi oleh Pemda Pasuruan sempatmenawarkan relokasi warga, tetapi masyarakat tidak menerima. TNIngotot dengan tawarannya sedangkan masyarakat tetap kukuh meng-inginkan tanahnya utuh dikembalikan.

Jika diurut sebab kekusutan persoalan agraria kita, salah satunyakarena tidak terdapat instrumen mekanisme dan kelembagaan penye-lesaian konflik agraria. Dulu, di masa Soekarno kita punya pengadilanlandreform, tetapi dihapuskan di masa Soeharto tahun 1970. Sejaksaat itu, seluruh konflik agraria dilarikan ke peradilan umum. Pera-dilan umum tak bisa menyelesaikannya, bukan hanya karena kewe-nangan dan kecakapan hakim, tetapi karakter konflik agraria kitayang berubah seiring dengan tidak dijalankannya reforma agraria

Page 335: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

316

Usep Setiawan

selama 30 tahun lebih.Konflik agraria adalah konflik struktural, yakni yang timbul

karena kebijakan pemerintah. Yang berkonflik bukan antar rakyatdengan rakyat, tetapi rakyat versus pemodal besar, dan/atau rakyatversus pemerintah termasuk BUMN. Umumnya konflik agraria bera-wal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasaidan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, peme-rintah kemudian memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan barubagi badan-badan usaha swasta atau pemerintah. Jadi, konflik agrariaini warisan dari kebijakan masa lalu, yang belum kunjung ditanganiserius oleh pemerintah produk reformasi.

Kekerasan dan intimidasi

Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan yangbersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoserantanah dan tanaman, penangkapan, isolasi warga, dsb. Sedang polapenaklukannya sering dilakukan delegitimasi hak rakyat, penetapanganti rugi sepihak, manipulasi kehendak rakyat, dicap PKI atau antipembangunan, dsb.

Memahami karakter konflik agraria di atas, maka proses hukumyang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik agraria(termasuk sengketa tanah) tidak pernah bisa mampu menyelesai-kannya secara tuntas. Proses yang ada menempatkan rasa kemanu-siaan dan keadilan sosial rakyat korban konflik/sengketa masih jauhdari harapan. Oleh karena itu, kini tengah dibutuhkan mekanismedan kelembagaan baru yang khusus menangani dan menyelesaikanseluruh konflik agraria di masa lalu sekaligus mengantisipasi konflikdi masa depan. Rencana dimulainya pelaksanaan reforma agrariatahun 2007 ini jelas membutuhkan kelembagaan khusus untuk me-nangani konflik yang dimungkinkan muncul akibat dijalankannyareform.

Perspektif baru yang penting dijadikan dasar penyelesaian

Page 336: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

317

Kembali ke Agraria

konflik agraria adalah bagaimana hukum mampu menjawab danmemenuhi kebutuhan akan keadilan substantif bagi rakyat yangselama ini menjadi korban konflik agraria. Pendekatan pembuktianlegal-formal atas pemilikan tanah yang dipersengketakan terbuktigagal menghadirkan keadilan bagi korban. Kenapa pemenuhan rasakeadilan ini harus didahulukan? Karena proses perampasan danpenggusuran tanah-tanah rakyat untuk berbagai kepentingan pengu-saha maupun penguasa pada umumnya menempatkan pihak rakyatsebagai korban yang nyaris tanpa perlindungan. Tindakan kekerasanaparat seperti di Alas Tlogo, Pasuruan, bukanlah insiden tunggal,melainkan konsekwensi logis dari diterapkannya politik dan kebi-jakan agraria masa lalu yang kapitalistik dan otoriter—condong mem-bela ekonomi—politik kuat.

Dalam persprektif keadilan bagi korban, walaupun pemilikantanah oleh TNI AL di Pasuruan secara legal-formal dianggap sahkarena ada alas hak yang bernama Hak Pakai sebagaimana diaturUUPA No.5/1960, tapi yang perlu dicermati serius adalah proseslahirnya hak tersebut dan dampak sosial-ekonominya bagi wargasekitar. Dari catatan kronologis kasus Pasuruan diperoleh bukti ada-nya represi yang dilakukan aparat kepada warga dan indikasipenyimpangan prosedur penerbitan hak atas tanahnya.

Negara tidaklah memiliki

Faktanya, dalam banyak kasus sengketa tanah struktural sejakOrde Baru konsep hak menguasai dari negara atas tanah dan sumberagraria lainnya telah secara salah dimaknai dan dipraktikkan selaik-nya asas domeinverklaring yang menempatkan pemerintah sebagaipenyelenggara negara seolah-olah pemilik tanah. Konsepsi barat initelah dikubur UUPA No.5/1960, kemudian diteguhkan bahwa bang-sa Indonesialah pemilik tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Perlu diingatkan, bahwa negara tidaklah “memiliki” tanahmelainkan “menguasai” tanah untuk kemakmuran rakyat. Konsepmemiliki dan menguasai jelas beda. Penguasaan negara pun telah

Page 337: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

318

Usep Setiawan

diberi rambu-rambu yang tegas. Pasal 2 (3) UUPA menggariskan:“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara ter-sebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraandan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesiayang merdeka berdaulat, adil dan makmur”. Inilah keadilan substantifpolitik agraria yang diamanatkan para pendiri republik. Oleh karenaitu, ketika kita mendorong lahirnya mekanisme dan kelembagaankhusus untuk menyelesaikan konflik agraria, sebenarnya ini meru-pakan bagian dari usaha mengembalikan posisi negara ke dalamkonteks pelayan kepentingan rakyat.

Beberapa hal strategis yang harus bisa dicapai kelembagaanpenyelesaian konflik agraria ini meliputi: (1) memungkinkan rakyatmengadukan tanahnya yang dirampas pada masa lalu, (2) menguat-kan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, (3) memungkinkanrakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantianterhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masalalu, dan (4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadipintu masuk untuk mendekontruksi sistem hukum yang tidak meme-nuhi rasa keadilan rakyat (lihat: Kertas Posisi KPA No.10/2001).

Konflik agraria yang menelan banyak korban di pihak rakyat,hendaknya membuka mata hati dan pikiran semua pihak yang ber-wenang untuk menyelesaikannya secara tuntas. Karena instrumenhukum yang ada terbukti tidak lagi memadai, maka pembentukanlembaga Negara yang khusus bertugas menangani dan menuntaskankonflik agraria menemukan relevansi dan urgensinya.

Kita ditantang untuk membuka kemungkinan pembentukanPeradilan Agraria dan/atau Komisi Nasional untuk PenyelesaianKonflik Agraria guna memenuhi keadilan sosial sekaligus membe-rikan kepastian hukum yang mensejahterakan bangsa.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan IdhamArsyad)

Page 338: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

319

Suara Pembaruan, 19 Juli 2007

Lahan Pertanian dan Hak Asasi Petani

PENYUSUNAN Rancangan Undang-Undang (RUU) tentangPengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi yang diprakarsai

oleh Departemen Pertanian RI bersama DPR RI menarik untuk dicer-mati, seiring dengan rencana pemerintah untuk mulai melaksanakanreforma agraria di tahun 2007 ini.

Keberadaan RUU ini merupakan respons pemerintah atasmenyusutnya lahan pertanian yang mengancam ketahanan pangannasional. Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkat-nya produktivitas pertanian dibutuhkan untuk mencukupi keterse-diaan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani sebagaiinti dari revitalisasi pertanian.

Draf II (14 Juni 2007) RUU Lahan Pertanian Pangan Abadimengandung lima poin pertimbangan, dua poin mengingat, men-cakup 12 bab, dan 40 pasal. Konsideran RUU ini, mengingat padaUUD 1945 (Pasal 20 ayat [1], Pasal 21, dan Pasal 33) dan UU No 26/2007 tentang penataan ruang. Pada bagian menimbang digariskan;“bahwa dengan semakin meningkatnya pertambahan penduduk dankebutuhan perumahan serta perkembangan ekonomi, mengakibatkan terja-dinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, sehingga mempengaruhikedaulatan dan ketahanan pangan”.

Kita memang tengah membutuhkan komitmen nasional untukmencegah laju konversi lahan pertanian, menciptakan kedaulatanpangan, sekaligus melindungi hak-hak asasi petani.

Page 339: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

320

Usep Setiawan

Cegah Konversi

Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan bahwadalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi ber-tumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produk-tivitas padi tumbuh 3,53 persen dan periode 2000-2005 tumbuh 1,22persen. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78persen dan pada periode 2005 minus 0,17 persen. Peningkatan padimenunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984.

Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi.Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, sangat mungkin dalam10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padiakan sangat berkurang. Menurut Badan Pusat Statistik, konversi lahanke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (1992-2002). Konversilahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3 persen) berupa alih gunajadi permukiman. Di Sumatera dan pulau lainnya, 50,6 persen beralihfungsi menjadi lahan pertanian nonsawah.

Pasal 3 RUU ini mengungkap 9 tujuan pengelolaan lahan perta-nian pangan abadi: (a) menjamin tersedianya lahan pertanian pangansecara berkelanjutan, (b) mewujudkan ketahanan dan kedaulatanpangan; (c) meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masya-rakat; (d) mencegah alih fungsi lahan pertanian pangan; (e) mendo-rong pengalihan fungsi lahan non-pertanian pangan ke pertanianpangan serta mendorong pembukaan lahan baru pertanian panganabadi; (f) memperkuat jaring pengaman sosial ekonomi kerakyatan;(g) memperkuat penyediaan lapangan kerja produktif; (h) mempe-tahankan keseimbangan ekologis; dan (i) mempertahankan multi-fungsi pertanian.

Politik agraria nasional akan menentukan corak peraturan per-undang-undangan dan praktik kebijakan agraria di lapangan. Sepan-jang Orde Baru, pengkhianatan terhadap UU Pokok Agraria No 5/1960 (UUPA) dilakukan secara konsisten. Hal ini tercermin dari

Page 340: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

321

Kembali ke Agraria

orientasi dan praktik politik agraria yang ditopang oleh berbagaiproduk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengankekayaan alam yang abai prinsip populisme UUPA.

Implikasinya, di sektor pertanian terjadi ketidakadilan agrariayang akut. Hasil lima kali Sensus Pertanian (SP) menunjukkan rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari1,05 ha (1963) menjadi 0,99 ha (1973), lalu jadi 0,90 ha (1983), lantas0,81 ha (1993), dan tahun 2003 sudah di bawah 0,5 ha. Jumlah petanigurem pada 1983 mencapai 40,8 persen, tahun 1993 jadi 48,5 persen,dan 2003 berjumlah 56,5 persen. Sempitnya penguasaan lahan jadifaktor penting penyebab kemiskinan petani.

Secara substansi, draf RUU ini ternyata tidak bersangkut pautdengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria.RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hu-kum atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkan-dung di dalamnya. Dengan tak terkaitnya substansi RUU ini denganreforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara)bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakanpertanian yang belum mencerminkan kehendak menuntaskan prob-lem pokok agraria dengan mengacu cita-cita para pendiri republik.

Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan darisejumlah masalah yang tengah melilit pertanian kita: penyediaanlahan untuk produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan.Dua problem utama agraria, ketimpangan penguasaan/pemilikan tanahdan maraknya konflik/sengketa pertanahan tak tersentuh RUU ini.Ketimpangan dan konflik harus diselesaikan terlebih dulu, atau dibuatterintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaanlahan pertanian pangan abadi. Tanpa didahulukannya penyelesaianketimpangan dan konflik, dikhawatirkan RUU ini tak efektif mengatasisumber persoalan, malah berpotensi memperkusut keadaan.

Hak Asasi Petani

Di luar soal ketersediaan lahan (objek), legislasi untuk melin-

Page 341: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

322

Usep Setiawan

dungi hak-hak petani (subjek) juga tak kalah penting dipikirkan.Untuk itu, pemerintah dan DPR hendaknya mulai mengambil lang-kah nyata merumuskan RUU perlindungan hak asasi petani—sebagaimana tercantum dalam daftar Prolegnas DPR. Untuk ituDeklarasi Cibubur layak dirujuk.

Hasil “Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlin-dungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani” (Komnas HAM, dkk,17-20 April 2001) di Cibubur Jakarta telah merinci peta situasi dankondisi serta argumen-argumen pokok sebagai dasar pijakan hakasasi petani. Mukadimah Deklarasi Cibubur menyatakan: “... sesuaidengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,Negara wajib mengakui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupanyang layak bagi diri dan keluarganya, dan hak untuk bebas dari kelaparan,melalui tindakan pembaruan agraria”.

Deklarasi hak asasi petani mencakup 8 bagian dan 67 tujuh butir,meliputi: hak-hak petani atas hidup dan atas penguasaan dan pema-kaian sumber daya alam dan kemampuan pribadinya; hak petaniatas produksi dan konsumsi, serta pemasaran produk, pengadaanasupan, dan jaminan mutu akan produknya. Diuraikan pula hakpetani untuk berorganisasi, dan melanjutkan keturunannya sertamakhluk hidup lainnya yang menjamin kelangsungan hidupnya,dan hak atas pengungkapan.

Selain pemerintah dan legislatif, M. Ridha Saleh (aktivis ling-kungan dan agraria) dkk yang baru terpilih sebagai anggota KomnasHAM (2007-2012) sewajarnya menaruh perhatian serius terhadaphak asasi petani sebagai bagian dari pelaksanaan reforma agrariasejati. Semakin terlindungi dan terpenuhi hak petani, makin majupenegakan HAM di Indonesia. ***

Page 342: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

323

Sinar Harapan, 3 Agustus 2007

Agar Reforma Agraria Tepat Sasaran,Tanpa Korban

SALAH satu persoalan rumit di bidang pertanian yang hinggakini belum dapat dipecahkan adalah maraknya alih fungsi (kon-

versi) lahan pertanian ke non-pertanian. Banyak data menunjukkanbetapa konversi lahan pertanian ini telah terjadi begitu massif dannyaris tak ada cara mujarab untuk menghentikannya.

Kita mafhum, tersedianya lahan pertanian yang cukup adalahprasyarat bagi terjaganya produktivitas pertanian dalam rangkamencukupi ketersediaan pangan. Tak terkendalinya konversi lahanpertanian menjadi batu sandungan yang potensial terhadap (rencana)pelaksanaan reforma agraria, karena salah satu tujuan dari reformaagraria adalah penyediaan lahan pertanian yang cukup bagi keluargatani, terutama petani miskin.

Dalam konteks inilah, inisiatif Departemen Pertanian RI bersamaDPR RI menyusun RUU tentang Pengelolaan Lahan Pertanian PanganAbadi (PLPPA) patut diapresiasi. RUU PLPPA ini sebagai responpemerintah atas menyusutnya lahan pertanian yang mengancamketahanan pangan nasional. Di dalamnya terkandung 5 poin pertim-bangan, 2 poin mengingat, mencakup 12 bab, dan 40 pasal. Keduabelas bab dimaksud meliputi: ketentuan umum, asas tujuan danruang lingkup, perencanaan dan penetapan, pembinaan dan peman-faatan, pengendalian dan perlindungan, pengawasan, penelitian danpengembangan. Dicakup juga sistem informasi, partisipasi masya-

Page 343: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

324

Usep Setiawan

rakat, pembiayaan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup. Konsi-derannya, mengingat Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 UUD1945, dan UU No.26/2007 tentang penataan ruang (Draft II, 14 Juni2007).

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan konversi lahan kenonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (1992-2002). MengutipBomer Pasaribu (2007), ketersediaan lahan untuk usaha pertanianmerupakan conditio sine-qua non untuk mewujudkan pertanianberkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangannasional.

Kehilangan produksi dan kemiskinan baru

Meminjam data Badan Pertanahan Nasional (BPN), Agus Wa-riyanto mengabarkan lebih dari 50.000 ha sawah irigasi teknis telahmenjadi lahan nonpertanian. Bila diasumsikan yang sudah beralihfungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun denganproduksi lima ton gabah/ha, maka kehilangan produksi mencapai500.000 ton gabah setiap tahun (Suara Merdeka, 4/5/07).

Abdul Haris (2003) mencatat dampak dari konversi lahan perta-nian adalah semakin sempitnya atau bahkan hilangnya lahan suburuntuk lahan pertanian produktif yang dapat menghasilkan panganyang cukup bagi sekira 228 juta penduduk Indonesia yang tetap tum-buh dengan pesat. Hilangnya lahan pertanian sebagian petani guremini dapat menghasilkan kemiskinan baru di perdesaan dan perko-taan. Alasannya, tenaga kerja pertanian kehilangan pekerjaannya,di lain pihak mereka tidak punya keahlian untuk masuk sektor indus-tri, sektor jasa, atau sektor lainnya (Pikiran Rakyat, 20/5/03).

Untuk memperkuat kemampuan produksi beras, Mentan AntonApriyantono menegaskan perlunya kebijakan pengendalian lajukonversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara men-cetak lahan pertanian baru. DPR pun membuat keputusan No.07A/DPR-RI/I/2006-2007 tentang Program Legislasi Nasional (Progleg-nas) yang menempatkan RUU PLPPA sebagai prioritas 2007, di

Page 344: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

325

Kembali ke Agraria

urutan 29 (Bisnis Indonesia, 03/4/07).Selain merumuskan RUU PLPPA, Deptan juga mencanangkan

Panca Yasa sebagai landasan fundamental pembangunan pertanian2007 dan masa depan. Panca Yasa berisi rencana perbaikan infra-struktur pertanian, pengaktifan kembali kelompok tani, perbaikansistem penyuluhan, fasilitasi pembiayaan pertanian dan pemasaranhasil pertanian yang memfasilitasi kelancaran pemasaran, baik pasardalam negeri maupun ekspor.

Sejumlah pihak tak terlalu berharap RUU PLPPA menyelesaikanmasalah. Wariyanto (2007) mengingatkan landasan hukum sajatidaklah cukup untuk mengamankan keberadaan lahan panganabadi. Arus alih fungsi lahan tak mungkin bisa dibendung hanyadengan kebijakan, manakala faktor nilai tambah ekonomi dari lahanterhadap pemiliknya tidak menjanjikan. Tuntutan mewujudkanketahanan pangan harus didukung sistem agribisnis berkelanjutanberupa jaminan PLPPA, yang berarti penataan kembali strategi tataruang.

Sinergi utuh

Dibutuhkan kemauan politik super kuat penyelenggara negarauntuk merombak total paradigma dan praktek politik pertanian, dariyang semata-mata pro-pertumbuhan dan produktivitas pertanianmenjadi lebih pro-pembangunan pertanian rakyat yang menguta-makan kaum tani sebagai subjek utama pelaku pertanian.

Legislasi mengenai lahan pertanian pangan abadi akan relevanjika padu dengan upaya menata struktur penguasaan dan menyele-saikan konflik pertanahan. Klausul tentang pengelolaan lahan perta-nian dapat dimasukan dalam legislasi yang mengatur pertanahansecara utuh dalam kerangka reforma agraria sejati. Sementara itu,pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI tengahmenyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agra-ria (RPP RA). Nantinya PP RA ini akan menjadi payung hukum bagipelaksanaan program pembaruan agraria nasional (PPAN). Hingga

Page 345: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

326

Usep Setiawan

akhir Juli 2007 ini, belum ada “lampu hijau” kapan dan bagaimanarealisasi dari rencana pelaksanaan reforma agraria atau PPAN ini.

Sebelumnya, kita mencatat rencana pemerintah setelah rapatkabinet terbatas mengenai reforma agraria (Mei 2007), yakni rencanaPresiden RI untuk menandatangani RPP RA; akan diadakan per-temuan presiden dengan para gubernur, bupati dan wali kota; dan,dipuncaki rencana launching PPAN oleh presiden. Tampaknya kitamasih harus menunggu.

Menurut Kepala BPN RI Joyo Winoto, pemerintah akan mengalo-kasikan secara bertahap lahan seluas 8,15 juta hektare untuk diba-gikan ke 17 provinsi dengan 104 kabupaten. Lahan itu berasal darikawasan hutan produksi konversi. Selain itu, dialokasikan tanahseluas 1,1 juta hektare yang berasal dari sumber lain, seperti daritanah kelebihan maksimum, tanah absentee yang telah ditetapkanUU, tetapi belum diredistribusikan, tanah negara yang haknya telahberakhir dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan surat keputusanpemberian hak, serta tanah yang secara fisik dan hukum terlantar(Jurnal Nasional, 21/5/07).

RPP RA (draft keenam, 14 Mei 2007) mengandung tujuh tujuanreforma agraria, yakni: menata kembali ketimpangan penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; mengurangi kemis-kinan; menciptakan lapangan kerja; memperbaiki akses masyarakatkepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; mengurangi seng-keta dan/atau konflik pertanahan dan keagrariaan; memperbaiki danmenjaga kualitas lingkungan hidup; dan, meningkatkan ketahananpangan.

Belum jelas keterkaitan RUU PLPPA dengan RPP RA. Reformaagraria memang mendesak untuk segera dijalankan. Tapi janganabaikan sinergi antar-unsur pemerintahan secara utuh, mulai dariarah kebijakan, agenda legislasi hingga program praksisnya. Agarreforma agraria cepat dijalankan, tepat sasaran, tanpa korban.***

Page 346: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

327

Sinar Harapan, 22 September 2007

Membumikan Reforma Agraria

DENGAN jernih, Joyo Winoto Kepala Badan Pertanahan Nasional(BPN) RI telah menuangkan pemikirannya secara utuh mengenaireforma agraria dikaitkan dengan perwujudan keadilan sosial. Pemi-kiran orang nomor satu di BPN RI ini dipaparkan baru-baru ini dalamorasi ilmiah di Institut Pertanian Bogor (01/09/07) dan di Universi-tas Padjadjaran Bandung (10/09/07).

Untaian pemikirannya diawali kutipan pidato Presiden RI (31/01/07); “Program reforma agraria... Inilah yang saya sebut sebagaiprinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat... (yang) sayaanggap mutlak untuk dilakukan.” Selanjutnya dikupas mengenaikeadilan sosial sebagai tujuan mendasar; kemiskinan, penganggurandan colonial mode of production, akhir dari end pipe policies, langkah kearah kebijakan untuk memecahkan persoalan mendasar.

Lalu dibahas mengenai tanah, kebangsaan dan pembangunan,dan reforma agraria sebagai kebijakan pembangunan yang mendasar.Untuk memudahkan pemahaman, Joyo merumuskan: reforma agrariasama dengan landreform plus access reform (RA=LR+AR). Penulis mem-beri apresiasi atas keterbukaan Kepala BPN yang memaparkan pemi-kiran utuhnya secara ilmiah. Artikel ini mencoba memberikan catatankecil untuk lebih membumikan substansi yang ditawarkan Joyo.

Ketika diwartakan pemerintah segera memulai reforma agrariadengan prinsip dasar: “tanah untuk keadilan dan kesejahteraanrakyat”, kita harus mencari titik temu antara “isyarat bagus dari atas”

Page 347: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

328

Usep Setiawan

dengan “fakta menyayat di bawah” yang dicerminkan kerasnya kon-flik agraria dan tajamnya ketimpangan agraria. Harus dijembataniantara konsep ideal reforma agraria untuk keadilan sosial bagi rakyatIndonesia dengan realitas di lapangan yang masih jauh dari adilakibat absennya keadilan agraria.

Konsep dan praktek

Reforma agraria memerlukan langkah kongkrit. Selain komitmenpolitik Presiden RI dan jajarannya tak tergantikan, reforma agrariajuga perlu kelembagaan pelaksana serta pembiayaan yang kuat. Perlustrategi pelaksanaan reforma agraria yang diawali inventarisasipenguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dankekayaan alam, serta warga akan menerima manfaat (beneficiaries).Inventarisasi berguna untuk mengetahui keadaan nyata objek dansubjek reform di lapangan.

Visi ideologis reforma agraria mestilah mengacu Undang-Un-dang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria(UUPA) yang memiliki jiwa dan semangat kerakyatan yang men-dahulukan kepentingan golongan ekonomi lemah. UUPA yang padatanggal 29 Januari 2007 disepakati pemerintah dan DPR untuk takdiubah, makin urgen dijalankan. Kita angkat topi kepada Joyo danjajarannya yang memegang teguh UUPA.

Orientasi kepada kaum miskin sebagai konsekwensi dari komit-men pemerintah dalam memberantas kemiskinan, sudah benar. Refor-ma agraria memang banyak modelnya. Tapi rakyat miskin sepertiburuh tani, petani gurem, petani penggarap dan masyarakat adat dipedesaan mutlak jadi subjek utama penerima manfaat. Para“penguasa” dan “pengusaha” perlu dikelola agar berkontribusi posi-tif dalam reform, bukan malah jadi penghalang. Harus dicegah ka-langan di luar si miskin mendompleng dan curi kesempatan dalamkesempitan.

Wacana dan konsep mantap reforma agraria perlu dibuktikandi lapangan. Pemerintah perlu merumuskan formula-formula praktis

Page 348: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

329

Kembali ke Agraria

reforma agraria. Perlu juga digalang konsolidasi nasional sehinggareforma agraria untuk mengakhiri ketidakadilan sosial yang lahirdari rahim ideologi, politik, hukum dan praktek kebijakan yang pro-modal besar jadi agenda bersama.

Reforma agraria, selain mengacu konstitusi UUD 1945 danUUPA yang pro-golongan ekonomi lemah, juga Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber DayaAlam, yang dikuatkan Tap MPR No IV/2002, dikukuhkan Tap MPRNo I/2003, dan ditegaskan Tap MPR No V/2003. Esensinya, perlupenataan ulang struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan danpenggunaan tanah (land reform) [Tap IX/01, Pasal 5 (1b)].

Sinergi dan koordinasi lintas sektor

Terkait kelembagaan pelaksana reforma agraria, BPN oleh Per-pres 10/2006 diberi kewenangan melaksanakan reforma agrariahendaknya segera menyediakan berbagai instrumen untuk meme-nuhi tujuan agenda ini. Lebih lanjut, kelembagaan baru yang menja-min sinergi dan koordinasi lintas sektor perlu diwujudkan.

Kelembagaan ini mestilah bertugas: (a) menyiapkan pra-kondisi,pembiayaan, kelembagaan, strategi dan perencanaan; (b) mengkor-dinasikan departemen dan badan pemerintah terkait, pemerintahdaerah, dan organisasi masyarakat; (c) menangani konflik agrariamasa lalu dan konflik agraria yang muncul akibat pelaksanaan refor-ma agraria; dan (d) menjalankan penataan penguasaan, pemilikan,pemanfaatan dan penggunaan tanah serta fasilitasi program pendu-kungnya.

Organisasi serta komunitas rakyat yang paling berkepentinganatas pembaruan agraria perlu diperkuat. Serikat-serikat tani dan ko-perasi-koperasi rakyat sebaiknya segera dikondisikan untuk terlibatpenuh dalam agenda besar ini. Biaya reforma agraria mesti dialoka-sikan dalam APBN dan APBD. Jangan gunakan utang luar negeri.Selain jadi beban dan menyebabkan ketergantungan kepada pihakasing, utang membuka ruang intervensi pemberi utang atas agenda

Page 349: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

330

Usep Setiawan

nasional kita. Disadari agenda ini besar dan berat. Dialog sehat dankerjasama sinergi berbagai komponen bangsa niscaya dapat menepiskelemahan dan ancaman di depan mata. Kita harus mengubah tiapkelemahan jadi kekuatan, segenap ancaman jadi peluang.

Saya yakin Joyo memahami konteks sosial catatan kecil ini. Se-moga beliau istiqomah dan tetap penuh gairah menapaki jalan terjalpenuh faedah ini. Tugas Joyo dan jajarannya serta seluruh pemimpinbangsa sebenarnya tak jauh beda dengan tugas kenabian di mukabumi.

Semoga hikmah bulan suci ramadhan dan Hari Tani Nasionalmakin mematangkan niat baik dan rencana bagus memulai reformaagraria tahun 2007 ini, sehingga perjuangan mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat Indonesia terhindar dari godaan, cobaandan ujian yang tak sanggup bangsa ini menanggungnya. Selamathari tani! ***

Page 350: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

331

Forum Keadilan, No. 23 / 24-30 September 2007

Indonesia (Raya) Baru

JAUH sebelum orang ramai membincangkan keaslian lagukebangsaan Indonesia Raya, Gunawan Wiradi –seorang pakar se-

nior politik agraria, dalam Jurnal Analisis Sosial (Vol.9, No.1, April2004), dan dalam buku “Reforma Agraria Untuk Pemula” (2005) telahmenguraikan bahwa Indonesia Raya itu memang ada tiga stanza.

Bahkan, Wiradi sebagai anak bangsa berusia 75 tahun memberikesaksian sejarah yang dialami di masa lampau. Bagi generasi muda,selain berkhidmat, pentingnya kiranya mengail hikmah dari Indone-sia Raya versi lengkap. Sejarah yang objektif adalah obor penerang danpemandu arah dalam membela Indonesia Raya lintas generasi. MenurutWiradi, generasi tua banyak yang tahu bahwa Indonesia Raya itu tigastanza. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar jaman kolonial, sebelumpendudukan Jepang, generasi tua sudah menyanyikan ketiga stanza itu.

Untuk mengetahui kenyataan sejarah, sebaiknya kita menengokMuseum Surakarta (Solo), karena di sana tersimpan piringan hitamrekaman lagu Indonesia Raya tahun 1944. Ada juga arsip media cetakterbitan jauh sebelum Jepang datang. Menurut Radar Banyumas (5Agustus 2007), lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza itu dimuatKoran “Soeloeh Rakyat” terbitan 17 Oktober 1928, dan “Sin Po”, 27Oktober 1928.

Wiradi menguraikan, secara resmi PP No.44/1958 memang me-netapkan bahwa jika dinyanyikan dengan musik, yang dinyanyikanhanya satu stanza, dan jika tanpa musik boleh dinyanyikan satu atau

Page 351: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

332

Usep Setiawan

tiga. Memang ada perubahan kata dalam tahun 1944 dan mungkinjuga tahun 1958. Bahkan “noot” lagunya pun ada perubahan walau-pun tak terasa (karena hanya perbedaan amat kecil), sehingga sedikitberbeda dari yang pernah dinyanyikan sewaktu SD jaman kolonial.

Namun semuanya itu tidak mengubah semangat dan jiwaaslinya. Penetapan resmi tersebut di atas tak mengubah kenyataan—bahkan justru mencerminkan pengakuan—bahwa Indonesia Raya itusejak awal (1928) memang terdiri dari tiga stanza. Ditegaskan Wiradi,bahwa ini bukan hasil propaganda Jepang ! Yang menduga itu dibi-kin Jepang, mungkin belum menelusuri bahan sejarah secara teliti,atau mungkin bertujuan lain.

***Mengapa ketiga stanza Indonesia Raya perlu dikenali ? Karena

ketiganya merupakan suatu rangkaian utuh yang mengandung mak-na tak terpisah. Bahkan, ketiga stanza Indonesia Raya menunjukkanarah dan tujuan berdirinya Negara ini.

Jika stanza pertama baru berisi seruan untuk bersatu dan bangun,sedangkan stanza kedua berisi landasan moral dengan lirik “Marilahkita mendo’a, Indonesia bahagia. Sadarlah hatinya, sadarlah budinya…”dan seterusnya, maka stanza ketiga merupakan janji kongkrit untukmelakukan langkah nyata berupa reforma agraria. Ini juga cerminhati dan budi kita telah sadar bahwa NKRI perlu kita jaga agar abadi.

Stanza ketiga isinya teramat penting, selengkapnya berbunyi:“Indonesia tanah yang suci/ tanah kita yang sakti. Di sanalah aku berdiri/menjaga Ibu Sejati. Indonesia tanah berseri/ tanah yang aku sayangi. Marilahkita berjanji/ Indonesia abadi. Selamatlah rakyatnya/ selamatlah puteranya/pulaunya/ lautnya/ semuanya. Majulah negerinya/ majulah pandunya/untuk Indonesia Raya”.

Di dalam “pulau” itu tentu ada tanah, air, barang tambang, hutandan kekayaan alam lainnya. Di “laut” juga tak kalah melimpah ruahkekayaan alam kita. Karena itulah, lirik pada stanza ketiga ini dapatditafsirkan sebagai “amanat agraria”. Sebagai bangsa merdeka, kita

Page 352: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

333

Kembali ke Agraria

wajib menyelamatkan lingkungan alam dan sumber-sumber agrariademi keselamatan rakyat dan “putera”-nya, yang berarti menyela-matkan generasi mendatang.

Setelah imperialisme asing lama hengkang, kini kita harusmewaspadai neo-imperialisme di bumi Indonesia. Salah satu caraefektif mencegah penjajahan baru adalah dengan menjalankanreforma agraria sejati.

***Ketidakpahaman anak muda tentang Indonesia Raya versi

lengkap bukan salah mereka. Pelajaran sejarah di sekolah-sekolahlahyang paling bertanggungjawab, sehingga patut ditinjau ulang dandisesuaikan dengan realitas sejarah yang sejujurnya. Ada baiknyakenyataan sejarah ini kembali dibuka, diakui dan diajarkan di seko-lah-sekolah dasar agar generasi muda paham hal-hal krusial yangmelandasi keberdirian bangsa dan negaranya.

Polemik Indonesia Raya ini barangkali menjadi “hadiah” bagi Indo-nesia yang kini telah berusia 62 tahun. Hadiah ini hendaknya mendorongkita mengail hikmah untuk meluruskan sejarah guna kelurusan masadepan bangsa. Kabut yang menyelimuti misteri Indonesia Raya menambahpanjang daftar kabut sejarah yang sering ditemui dalam perjalanansejarah bangsa ini. Seperti peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun1965 sampai sekarang tetap kontroversial. Siapa dalang sesungguhnya?Apa yang sebenarnya terjadi? Semua masih gelap gulita!

Cerita “G30S” belum tuntas, muncul teka-teki “Supersemar”. Diera reformasi pun tak jauh beda: ada kabut tragedi “Trisaksi”, “Se-manggi”, juga “Pembunuhan Munir”, dst. Seperti kisah novel fiksiyang tragis, sejarah bangsa kita seolah bisa ditulis dengan sejutaversi tanpa ada yang bisa memastikan mana yang asli/benar.

Kebenaran sejarah pun tak pelak dipertaruhkan objektivitasnya.Padahal, bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.Agar mampu menghargai sejarah, tentu bangsa ini harus jujur padasejarahnya sendiri. ***

Page 353: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

334

Suara Pembaruan, 24 September 2007

Cegah Reforma Agraria Gagal(Renungan Hari Tani Nasional, 24 September

2007)

SEKALIPUN rencana pemerintah untuk menjalankan reformaagraria mulai tahun 2007 ini disambut baik, ada yang khawatir

dalam praktiknya akan menemui kebuntuan sehingga tertunda.Bahkan, ada yang menduga, jika rencana pemerintah itu dijalankansekarang, hasilnya pastilah kegagalan. Aroma harapan yang berbaurdengan berbagai kekhawatiran terhadap program reforma agrariaini menjadi suguhan unik saat kita memperingati Hari Tani Nasionalyang jatuh pada 24 September 2007—sebagai pengingat atas terbitnyaUndang-Undang Pokok Agraria No 5/1960.

Kalangan yang skeptik senantiasa menyandarkan argumen padaenam prasyarat reforma agraria, yakni kemauan politik pemerintah,data yang lengkap dan teliti, organisasi rakyat yang kuat, elite pengu-asa terpisah dari elite bisnis, adanya pemahaman minimal tentangagraria, dan, adanya dukungan militer dan polisi.

Keenam prasyarat itu—seperti kerap disampaikan GunawanWiradi (pakar politik agraria), menjadi rambu-rambu untuk menilaimungkin tidaknya reforma agraria yang sejati dapat terlaksana disuatu negara. Diasumsikan, reforma agraria akan gagal jika salahsatu syarat tadi tak terpenuhi. Apalagi kalau seluruh syarat tak terse-dia, reforma agraria dipastikan mustahil bisa berjalan.

Penulis setuju reforma agraria memerlukan enam prasyarat seba-

Page 354: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

335

Kembali ke Agraria

gai landasan idealisasi atas gerakan reforma agraria yang sejati (genu-ine agrarian reform). Muncul pertanyaan: sejauh mana kondisi prasya-rat di Indonesia saat ini? Kalau mau jujur, keenam prasyarat tadipada kenyataannya memang belum sepenuhnya mantap tersedia.Ada dua pilihan. Pertama, menunggu semua prasyarat terpenuhiterlebih dahulu baru reforma agraria dijalankan. Atau, kedua, segeralaksanakan dengan kekuatan yang ada sambil berusaha memenuhiprasyarat yang diperlukan?

Penulis condong tidak (lagi) menunggu. Setidaknya, kemauanpolitik pemerintah dan kekuatan organisasi rakyat kini mulai tumbuhberkembang maju. Keduanya batu pijak untuk memenuhi prasyaratlainnya.

Komitmen pemerintah

Kemauan politik Presiden RI untuk memulai pelaksanaan refor-ma agraria dan keseriusan Badan Pertanahan Nasional RI meru-muskan model praktis reforma agraria sebagaimana ditugaskanPerpres 10/2006, patut diapresiasi positif. Presiden Susilo BambangYudhoyono dalam pidato politik (31 Januari 2007), menyatakan bang-sa ini menghadapi tiga masalah mendasar: tingginya tingkat kemis-kinan, pengangguran, dan besarnya utang pemerintah. MenurutPresiden, ketiga masalah itu mengalir dari masa lalu yang menjaditantangan bersama masa kini.

Lalu, presiden mengabarkan: mulai tahun ini pemerintah akanmembagikan tanah bagi rakyat miskin. Tanah yang dibagikan tersebutberasal dari hutan konversi maupun tanah-tanah lain yang secarahukum bisa dibagikan. Kebijakan reforma agraria akan dilakukandengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ring-kasnya, “Reforma agraria mutlak untuk dilakukan...,” demikiankomitmen RI-1.

Agenda strategis pemerintah ini perlu diapresiasi, dikaji substan-sinya sekaligus dikawal kritis implementasinya. Yang juga cukupmelegakan, ditengarai juga kecenderungan meningkatnya perhatian

Page 355: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

336

Usep Setiawan

sejumlah menteri, para gubernur, bupati/wali kota dan jajarannyauntuk menyukseskan reforma agraria.

Para pejabat pusat-daerah mulai berupaya menjadikan reformaagraria sebagai bagian dari agenda dan program kerja di lingkupkelembagaan mereka. Penulis mendengar sendiri kesediaan GubernurGorontalo, Bengkulu, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan bebe-rapa yang lain untuk menjalankan reforma agraria di provinsinya.

Dinamika ini tentu mesti kita letakkan sebagai upaya menujuterciptanya keadilan agraria, di mana tidak ada ketimpangan dalampemilikan penguasaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alamlainnya, sebagai wujud nyata keadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia. Komitmen ini tampak mulai tumbuh subur di jajaran pe-merintahan sepanjang 2006-2007 ini. Soalnya, sejauh mana komitmenini diaktualisasikan ke dalam program konkret secara nasional sam-pai di daerah? Bagaimana reforma agraria tak sekadar wacana, tapimembumi nyata di lapangan. Inilah tantangan pokok sebenarnya.

Penulis percaya kekuatan rakyat selalu terjaga. Jangan pernahmeremehkan kekuatan rakyat dalam agenda nasional menyangkuthajat hidup bangsa. Tak pantas menganggap rakyat bodoh hanyakarena jarang bicara tentang reforma agraria. Rakyat terjaga, sehinggatak ada satu pun kebijakan negara yang lolos dari mata hati mereka.Rakyat adalah ibu kandung dari negara, sehingga tak mungkin adanegara jika rakyat tak pernah ada. Karenanya, reforma agraria yangkita maksud harus meletakkan kekuatan rakyat sebagai penentu, bu-kan pelengkap apalagi penderita.

Sejumlah indikasi positif menandai kemajuan kalangan rakyatyang kondusif bagi pelaksanaan reforma agraria. Mulai meluasnyapembentukan serikat-serikat petani nasional, regional dan lokal men-jadi isyarat penting pemenuhan prasyarat kekuatan rakyat bagi refor-ma agraria. Sekadar contoh, di level nasional telah berdiri: FederasiSerikat Petani Indonesia, Serikat Tani Nasional, Aliansi Petani Indo-nesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Dewan Tani Indonesia, danAliansi Masyarakat Adat Nusantara. Tiap organisasi tani nasional

Page 356: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

337

Kembali ke Agraria

ini punya fokus perhatian, namun semuanya punya plattform sama,yakni: mendorong terlaksananya reforma agraria sejati.

Di tingkat wilayah ada Serikat Petani Pasundan di Jabar, Orga-nisasi Tani Jawa Tengah di Jateng, Serikat Tani Independen di Jatim,Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia di Sumut, Serikat TaniBengkulu, Serikat Petani Lampung, Serikat Tani NTB, Serikat PetaniKabupaten Sikka di NTT, Serikat Tani dan Nelayan di Sulsel, danlainnya. Walau kondisi serikat tani ini variatif tapi pokok perjuangan-nya reforma agraria sejati.

Penulis menganggap penting organisasi rakyat yang adamengambil peran strategis dalam pengawalan reforma agraria secarakritis konstruktif. Konsolidasi dan penguatan organisasi rakyat sertapara penyokongnya diperlukan untuk memastikan program inimengarah pada reforma agraria sejati—sebuah pembaruan yangbenar-benar untuk rakyat miskin, terutama kaum tani, buruh, nelayan,masyarakat adat dan kaum miskin kota.

Jangan gagal

Rencana pelaksanaan reforma agraria sekarang ini sejatinyatiupan peluit tanda dimulainya gerakan besar penghadiran keadilansosial. Untuk menghindari kegagalan, pemerintah dan rakyat ditan-tang untuk segera memenuhi syarat-syarat utama yang diperlukanbagi reforma agraria. Perjuangan reforma agraria tak boleh layu sebe-lum berkembang, tak pantas busuk sebelum matang. Niat baik yangsudah ada di tubuh pemerintah dan rakyatnya harus terus dimatang-kan agar reforma agraria tercegah dari penundaan dan kegagalan.

Reforma agraria harus jadi konsensus kolektif bangsa (KoranTempo, 18/12/06). Reforma agraria harus mengisi benak, hati dantindakan nyata pemerintah bersama segenap rakyatnya. Tak perluada yang merasa paling pintar, karena yang diperlukan adalah sinergiantarkomponen bangsa. Jangan saling melemahkan, bersikaplah sa-ling menguatkan dan meneguhkan.

Kematangan bangsa ini akan menjadi penentu mulusnya reforma

Page 357: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

338

Usep Setiawan

agraria atas inisiatif rakyat yang didukung penuh komitmen peme-rintah (siapa pun rezimnya). Reforma agraria harus dicegah darikegagalan. Jika gagal, bukan hanya para penggagas dan pelaksana-annya yang merugi, tapi bangsa ini secara keseluruhan rugi. Semogatidak. Selamat merayakan hari tani! ***

Page 358: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

339

Kompas, 24 September 2007

Kado Manis Hari Tani?

PADA Hari Tani 2007 kita mengharapkan ada kado manis berupaterlaksananya reforma agraria. Harapan ini berbeda dari kenya-

taan yang muncul pada Hari Tani Nasional 2005 sehingga membuatsaya memberi judul artikel “Kado Pahit di Hari Tani” (Kompas, 26/9/2005).

Tahun 2007 boleh dibilang istimewa bagi perjuangan reformaagraria di Indonesia. Beragam dinamika penting dalam konteks peru-musan kebijakan agraria nasional satu per satu muncul pada tahunini. Dinamika ini ikut mewarnai kontekstualisasi Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA) yang terbit 24 September 1960. Reforma agraria yang tersuratdalam UUPA kini menemukan momentum baru di tengah tak sedikitduri.

Tonggak baru

Tonggak baru yang menjadikan reforma agraria kembali mene-mukan konteksnya mencuat setelah rapat Presiden RI dengan MenteriKehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BPN (28/9/2006). Dipero-leh kabar rencana alokasi tanah untuk rakyat miskin melalui distribusidan redistribusi tanah sebagai bagian inti reforma agraria.

Pemerintah menegaskan akan mengalokasikan lahan seluas 8,15juta hektar untuk dibagikan di 17 provinsi, 104 kabupaten. Lahan ituberasal dari kawasan hutan produksi konversi. Dialokasikan pula

Page 359: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

340

Usep Setiawan

tanah seluas 1,1 juta hektar yang berasal dari sumber lainnya (JurnalNasional, 21/5/2007). Dalam konteks legislasi, pemerintah dan DPRsepakat mempertahankan UUPA (29/1/2007). UUPA dinilai relevandan mendesak dijalankan. Hal ini jadi momentum kembali ke khitahsemangat UUPA secara konsekuen. Dalam rumusan Joyo Winoto,Kepala BPN, UUPA adalah payung hukum dan dasar dari pelaksa-naan reforma agraria di Indonesia (Reforma Agraria dan KeadilanSosial, 2007:18).

Yang paling luar biasa, dalam pidato politik Presiden RI (31/1/2007) dicetuskan rencana pelaksanaan reforma agraria mulai 2007.Presiden menegaskan, reforma agraria akan dijalankan dengan prin-sip “tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”. Komitmen Pre-siden ini kunci yang mutlak dibutuhkan di negara mana pun. Telahpula digelar rapat kabinet khusus membahas reforma agraria (22/5/2007). Ini sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Rapat kabinetyang berujung pada komitmen jajaran kabinet jadi jembatan sinergitaspemerintahan dalam menyukseskan reforma agraria.

Pemerintah melalui BPN menyusun Rancangan Peraturan (RPP)Pemerintah Reforma Agraria. RPP ini di antaranya bertujuan menatakembali ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pe-manfaatan tanah dan mengurangi sengketa dan/atau konflik perta-nahan dan keagrariaan. Nantinya, PP Reforma Agraria jadi payunghukum operasional bagi Program Pembaruan Agraria Nasional. Apa-kah dengan demikian reforma agraria segera berjalan?

Kerikil dan duri

Ternyata dinamika yang istimewa itu belum memastikan reformaagraria terlaksana. Berbagai sinyal positif yang menyala tahun 2007masih dihadapkan pada kerikil dan duri. Sementara payung hukumoperasional reforma agraria belum tuntas, lahir aneka produk legislasiyang menyandera reforma agraria. Misalnya, UU Nomor 25 Tahun 2007tentang Penanaman Modal, yang memberi hak atas tanah bagi investordalam waktu nyaris seabad, jelas menutup akses rakyat atas tanah.

Page 360: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

341

Kembali ke Agraria

Sinergi antarinstansi pemerintahan pun masih menjadi tandatanya. Di lapangan, konflik agraria/sengketa tanah bukannya mere-da, tetapi malah mengeras. Misalnya, kekerasan aparat di Alas Tlogo,Pasuruan, Jawa Timur, mengusik kebeningan semangat reforma ag-raria.

Sementara itu, hiruk-pikuk panggung politik kekuasaan men-jelang Pemilu 2009 kini mulai terasa. Ada yang khawatir jika realisasireforma agraria dipaksakan dalam pasar politik yang gonjang-gan-jing, itu akan terjebak sekadar gincu pemanis politik penguasa dalammenarik simpati. Lebih jauh, reforma agraria dicemaskan akan menye-leweng dan gagal akibat tarik-menarik politik praktis.

Kepastian

Tak pelak, saat reforma agraria akan dimulai tahun 2007, padadetik yang sama tersimpan sejumlah tantangan yang menuntut pe-nuntasan. Tentu saja, selain perlu tekun dan sabar, penuntasannyajuga butuh kepastian.

Karena mempercepat realisasi reforma agraria itu kebutuhanbangsa, perlu sinergi dari komitmen pemerintah, pemerintah daerah,parlemen, kampus, rohaniwan, pers, parpol, LSM, ormas tani, danpendukungnya. Kita tak bisa sekadar menuntut pemerintah saat bu-tuh uluran tangan dalam memuluskan reforma agraria.

Pejabat dan aparat pemerintah pun tak boleh menganggap remehpartisipasi publik dalam menyukseskan reforma agraria. Bangsa iniharus dewasa, saling mengisi dalam menghadirkan kado manis bagirakyat jelata. ***

Page 361: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

342

Kompas, 27 Oktober 2007

Reforma Agraria Jalan Paling TepatAkhiri Konflik

TANAH adalah hak milik sampai mati. Namun, kondisipertanahan di Indonesia karut-marut, masalah bertambah dari

waktu ke waktu. Rakyat kecil semakin kehilangan akses pada pengu-asaan tanah. Di sisi lain, penguasaan aset oleh bangsa lain membuatkita menjadi kuli di negeri sendiri. Kabar gembira muncul ketikapemerintah menjanjikan akan melaksanakan program ReformaAgraria Nasional mulai tahun ini.

Lahan seluas 8,15 juta hektar akan dibagikan pemerintah mulai2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar untuk masyarakat mis-kin dan 2,15 juta hektar untuk pengusaha guna usaha produktif yangmelibatkan petani perkebunan.

Upaya yang layak diapresiasi sekalipun bagi Sekretaris JenderalKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan semuanyaharus ditunggu realisasinya di lapangan. Berikut kutipan wawancaraKompas dengan Usep yang dilakukan dalam berbagai kesempatan.

Bagaimana peta pertanahan di Indonesia?

Kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubahdari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan sertapenguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Bung Karno dankawan-kawan pada 1960-an sudah merintis usaha mengakhiri wujudnyata dari feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme itu melalui

Page 362: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

343

Kembali ke Agraria

penataan ulang struktur penguasaan tanah (landreform). Sayangnya,keburu terhenti akibat jatuhnya Bung Karno. Jika Bung Karno dikenalsebagai pemimpin yang populistik dan Bapak Marhaen yang menga-nut politik agraria populistik, Pak Harto dipersonifikasikan sebagaiBapak Pembangunan yang boleh jadi merupakan penghalusan daripenganut setia politik agraria kapitalistik.

KPA pernah melansir data kasus pertanahan yang mencapairibuan. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Data-base KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah ataukonflik agraria yang sifatnya struktural—artinya disebabkan olehpenggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yangdijalankan pemerintahan: bukan sengketa antarwarga yang sifatnyaindividual. Faktanya di lapangan bisa sepuluh kali lipat banyaknya.Konflik agraria ini terus terjadi tanpa ada upaya saksama pemerintahdalam menyelesaikannya. Rakyat terus berjatuhan sebagai korban,sementara aparat yang melakukan kekerasan selalu lolos dari jerathukum.

Apa akar persoalan pertanahan itu?

Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa.Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otori-tarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi.Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agrariakita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat (kapitalis)menjadi progolongan ekonomi lemah.

Adakah kaitannya dengan “tuan tanah”? Atau karena faktorpertambahan penduduk?

Jika ditelisik, telah terjadi pergeseran aktor dari tuan tanah diera Indonesia masa lampau dengan realitas sekarang. Dulu, tuantanah itu perusahaan besar kolonial yang bergerak di berbagai sektorkeagrariaan dan juga kaum feodal pribumi yang berwujud tuan tanahpribadi individual. Sedangkan di era “pembangunan” dewasa ini,

Page 363: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

344

Usep Setiawan

para tuan tanah itu mengerucut menjadi perusahaan besar yangmenanamkan modalnya di berbagai sektor. Persoalan agraria yangpokok tidak serta-merta disebabkan oleh pertambahan alamiah jum-lah penduduk. Faktor demografis turut memengaruhi peta persoalanagraria, namun bukan faktor penentu. Yang menentukan, sekali lagiadalah politik agraria yang dianut rezim yang berkuasa.

Bagaimana konsep reforma agraria yang “benar”?

Reforma agraria adalah jawaban paling tepat. Inti dari reformaagraria adalah landreform, yakni penataan ulang struktur pengu-asaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melalui landreform,rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergantung padapenggarapan tanah, dipastikan akan mendapatkan akses pemilikantanah. Fobia atas istilah landreform hendaknya segera diakhiri. Padamasa lalu isu landreform menjadi momok menakutkan akibat stigmanegatif dari rezim yang memang anti-landreform, namun saat inilandreform merupakan keharusan sejarah. Negara mesti mengerah-kan segenap kemampuan membantu rakyat penerima manfaat refor-ma agraria itu dengan berbagai kemudahan dan akses. Ringkasnya,reforma agraria adalah program landreform yang disertai program-program penunjang berikutnya. Dalam bahasa (Kepala BadanPertanahan Nasional) Joyo Winoto, reforma agraria adalah landreformplus acces reform. Mengutip (mantan Ketua Konsorsium PembaruanAgraria) Noer Fauzi, masih harus diperhitungkan kekuatan resistensidari golongan yang antireforma agraria. Negara mana pun yang kinimaju, selalu diawali dengan pelaksanaan reforma agraria dalam faseawal pembangunan bangsanya. Reforma agraria bukanlah isu ideo-logis “kiri” atau “kanan” atau “tengah”.

Serba mungkin

Ketertarikan pada masalah pertanahan ibarat perjalanan tanpajalan pulang, mesti lurus tanpa henti. Kehidupan di kampungnya dikawasan selatan Ciamis membuatnya sangat dekat dengan soal

Page 364: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

345

Kembali ke Agraria

pertanian. Kehidupan petani miskin di sekitarnya mendidiknya tidakasing dengan isu pertanahan. “Tapi saya memang tidak pernahpegang cangkul,” aku bapak dua anak ini.

Saat mulai kuliah di Universitas Padjadjaran pada awal 1990-an, saat itulah kasus sengketa tanah di Jawa Barat mulai mencuat.Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, aktivis pendamping kasustanah sangat mudah dicap sebagai “kelompok kiri”. Bermula dengankelompok mahasiswa lintas kampus, Usep kemudian bergabungdengan KPA mulai dari relawan sampai kini dipercaya sebagaisekjen. Organisasi ini merupakan gerakan rakyat yang bersifat terbukadan independen.

Bagaimana tanggapan soal program reforma agraria yang hendakdijalankan pemerintah?

Kita perlu mengapresiasi rencana pemerintah untuk memulai(kembali) pelaksanaan reforma agraria. Setelah Bung Karno, baruPresiden yang sekarang inilah yang berani berjanji untuk melaksa-nakan reforma agraria dan secara eksplisit menyatakan akan melaksa-nakannya mulai 2007 ini. Ini sinyal menguatnya komitmen peme-rintah. Namun masih harus diuji, kita harus tetap kritis dan hati-hati. Jika Presiden serius, segera kerahkan aneka sumber daya. Presi-den sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus memim-pin langsung pelaksanaan reforma agraria. Selain itu, reforma agrariajuga akan ditentukan oleh sejauh mana rakyat siap. Strategi umumyang tepat adalah “matang atas” dan “matang bawah”.

Mungkinkah program itu dijalankan?

Sepanjang pemerintah dan rakyatnya serius menyiapkan diri,program ini akan dapat dijalankan. Program ini mungkin dijalankandan berhasil, tapi juga mungkin dijalankan tapi nyeleweng. Ataubahkan mungkin jika dijalankan akan gagal total. Keserbamungkinanini hendaknya tidak menjadikan kita mundur lagi.

Kita menghargai apa yang sudah dan sedang dilakukan Badan

Page 365: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

346

Usep Setiawan

Pertanahan Nasional—yang oleh Perpres No 10/2006 ditugaskanuntuk melaksanakan reforma agraria, dalam merumuskan naskahawal konsep, strategi, dan model reforma agraria. Namun, reformaagraria itu agenda besar yang lintas sektor dan lintas kepentingansehingga butuh kelembagaan yang juga bisa menjembatani beragamkepentingan dan sektor-sektor yang ada. Idealnya, reforma agrariaitu dipimpin Presiden melalui suatu lembaga khusus yang melibat-kan banyak pihak yang punya kapasitas dan kepentingan sejalan.***

(Sumber: Wawancara Usep Setiawan dalam Rubrik Sosok danPemikiran, ditulis oleh Sidik Pramono, wartawan Kompas)

Page 366: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

347

Suara Pembaruan, 29 Oktober 2007

Tanah Telantar dan Pengangguran

BADAN Pertanahan Nasional (BPN) menggelar konsultasi publikmengenai revisi peraturan pemerintah tentang penertiban dan

pendayagunaan tanah telantar, belum lama ini. Forum ini merupakanrangkaian dari Hari Agraria Nasional 2007. Apa perlunya memper-baiki prosedur dan mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanahtelantar?

Ternyata luas tanah yang diindikasikan telantar sangat tidaksedikit. Menurut data BPN, pada 2006 (per Juni) luasnya1.218.554,7300 ha dan pada 2007 (per Juni) seluas 1.578.915,0620 ha.Jika diidentifikasi lebih seksama dan sistematis tentu kenyataannyadi lapangan bisa lebih luas lagi. Meluasnya tanah telantar adalahfenomena yang bertolak belakang dengan terus menyempitnya luaspemilikan dan penguasaan tanah di tangan rakyat, khususnya tanahpertanian kaum tani. Tendensi luas tanah telantar dari waktu kewaktu terus meningkat, sementara pemilikan tanah pertanian petanikian menyusut.

Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan jumlah rumah tanggapetani gurem (yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) meningkat2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7juta rumah tangga (2003). Imbas dari minimnya akses pemilikan tanahmemperparah realitas kemiskinan. Inilah cermin retak pertanian danagraria kita.

Keberadaan tanah telantar selama ini telah menjadi persoalan

Page 367: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

348

Usep Setiawan

pelik pemicu konflik agraria (sengketa tanah). Penelantaran tanahkerap mengandung motif spekulasi untuk mendapatkan keuntunganmudah atas selisih jual beli tanah. Dalam banyak kasus rakyat men-coba masuk dan menggarap tanah-tanah yang secara fisik telantar.Namun, secara legal formal rakyat disalahkan karena menggaraptanah yang secara hukum masih hak pihak lain. Penggarapan tanah-tanah “telantar” oleh rakyat yang memicu persoalan hukum hen-daknya disikapi secara arif dan bijaksana. Menyalahkan langsungtindakan rakyat harus dihindari. Penggunaan dasar-dasar juridisformal semata tak akan menjawab persoalan sengketa ini. Alasan-alasan sosio-historis dan sosio-ekonomis hendaknya dipertimbang-kan dalam penanganan sengketa tanah telantar.

Ada korelasi positif antara pentingnya menertibkan dan menda-yagunakan tanah telantar dengan keperluan menutup defisit kebu-tuhan lahan bagi rakyat, khususnya petani miskin. Perbaikan pro-sedur dan mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanah telantarakan memastikan keberadaan tanah-tanah telantar sebagai objekpotensial reforma agraria.

Langkah pemerintah, melalui BPN merevisi PP 36/1998, sangattepat dan perlu disegerakan karena terkait dengan persiapan pelak-sanaan reforma agraria mulai 2007. Selama ini, PP 36/1998 sebagaiaturan tanah telantar dianggap menyulitkan pelaksana kebijakan.Banyak celah yang bisa “dimainkan” para pemegang hak atas tanahuntuk berkelit agar tanahnya yang secara fisik telantar, tapi secarayuridis sulit dinyatakan telantar. Menurut Puslitbang BPN (2000),kendala implementasinya, pertama, belum ada kesamaan persepsiatas tujuan pengaturan. Kedua, kriteria objek tanah telantar belumjelas. Ketiga, masalah keperdataan bekas pemegang hak. Keempat,jangka waktu penilaian tanah telantar.

Langkah terobosan

Merevisi PP 36/1998 pada intinya bermakna terobosan aturanagar penetapan suatu bidang tanah “telantar” menjadi telantar jadi

Page 368: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

349

Kembali ke Agraria

lebih mudah dan cepat. Tentu saja kemudahan dan kecepatan pene-tapan tanah telantar ini mesti disertai ketelitian dan kejujuran parapihak dalam praktiknya. Materi yang perlu disempurnakan dari PP36/1998, pertama, definisi dan kriteria tanah telantar. Kedua, ruanglingkup tanah telantar. Ketiga, tata cara penertiban tanah terlantar.Keempat, tindakan terhadap tanah telantar.

Jelas, revisi PP 36/1998 harus taat asas pada UU Pokok Agraria(UUPA) No. 5/1960. Sejumlah pasal yang menggariskan hal-hal prin-sipil wajib dicamkan. Pasal 2 (ayat 3) UUPA memberikan rambu-rambu bahwa: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasaidari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk menca-pai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kese-jahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukumIndonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.”

UUPA menggariskan bahwa: “Setiap orang dan badan hukumyang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnyadiwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,dengan mencegah cara-cara pemerasan” (Pasal 10, ayat 1). Dan untukpenguasaan yang melebihi ketentuan, ditekankan bahwa “Hubunganhukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air danruang angkasa, serta wewenang-wewenang yang bersumber padahubungan hukum itu akan diatur agar tercapai tujuan yang disebutdalam Pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan danpekerjaan orang lain yang melampaui batas.” (Pasal 11, ayat 1).

Mengenai pemihakan kepada kaum lemah, UUPA mengamanat-kan: “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukumgolongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepen-tingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindunganterhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah” (Pasal 11,ayat 2).

Sementara Pasal 13, ayat 1 memberikan tugas: “Pemerintahberusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatursedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran

Page 369: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

350

Usep Setiawan

rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjaminbagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai denganmartabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. DanPasal 13, ayat 2 menyebutkan, “Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseo-rangan yang bersifat monopoli swasta”.

Selain konsisten pada amanat UUPA, substansi revisi PP 36/1998 haruslah seiring sejalan dengan penyusunan peraturan opera-sional UUPA untuk pelaksanaan reforma agraria—dalam hal ini Ran-cangan PP tentang Reforma Agraria. Revisi tanah telantar akan turutmemastikan tersedianya tanah-tanah segar objek reforma agraria.

Semua objek reforma agraria jelas harus layak secara sosial, eko-nomi, ekologis, dan yuridis. Tanah jangan jadi komoditas. Tanah takboleh jadi objek spekulasi dan dihindarkan dari penyia-nyiaan. Pene-lantaran tanah, apapun alasannya, tak bisa ditoleransi karena poten-sial menutup akses dan kesempatan bagi bangsa ini untuk membe-baskan diri dari belenggu pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan.Agar aturan baru mengenai penertiban dan pendayagunaan tanahtelantar dapat efektif dijalankan mutlak perlu kejujuran dan konsis-tensi semua pihak.

Pemegang hak atas tanah harus ikhlas menyerahkan kembalitanah yang “dikuasainya” tapi tak digarapnya kepada negara untukdigunakan bagi kepentingan bangsa secara lebih luas. Petani sebagaipenerima manfaat pun harus setia mengerjakan tanah dan pantangmemperjualbelikannya.

Menelantarkan tanah pertanda kita tak pandai mensyukuri nik-mat. Karena tanah tidur bikin rakyat menganggur dan tanah telantarbikin rakyat lapar. Maka permudahlah cara penetapan tanah telantarlalu jadikan sebagai objek reforma agraria guna memindahkan rakyatdari bencana pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan. ***

Page 370: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

351

Jurnal Nasional, 1 November 2007

Mengabadikan Lahan Pertanian

ANCAMAN krisis pangan memaksa Departemen Pertanian RIbersama Badan Legislasi DPR RI merumuskan RUU penge-

lolaan lahan pertanian pangan abadi. Sementara itu, Badan Perta-nahan Nasinal RI menyusun RPP reforma agraria. Keduanya kelaksangat mempengaruhi kehidupan mayoritas rakyat (petani) dan per-tanian. Lebih jauh, keduanya akan turut mewarnai wajah bangsaIndonesia masa depan.

Gunawan Wiradi (2007) berpendapat, masalah “lahan abadi”terkait erat reforma agraria, bahkan hakekatnya merupakan bagiandari reforma agraria. Karena itu, isi RUU Lahan Abadi seharusnyatidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan desain refor-ma agraria. RUU Lahan Abadi harus sinkron dengan program refor-ma agraria.

Penyelarasan atau sinkronisasi kebijakan lahan abadi denganreforma agraria harus dilakukan mendasar. Hemat penulis, substansiyang penting diselaraskan itu terkait tujuan, payung hukum, obyek,subyek, dan kelembagaan.

Arah pembangunan

Sebelum menengok substansi rancangan kebijakan, menurutWiradi, sebaiknya ditinjau landasan makro pembangunan pertaniandan pembangunan keseluruhan. Ada tiga pandangan. Pertama, yangmendasarkan diri pada kenyataan hampir semua negara maju itu

Page 371: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

352

Usep Setiawan

negara industri maka arah pembangunan nasional haruslah menujunegara industri.

Kedua, pandangan yang ingin mempertahankan ciri agraris ma-syarakat yang didasarkan atas pertimbangan kondisi wilayah negarakita yang kaya sumber-sumber alam sebagai keunggulan komparatifdalam persaingan global. Ketiga, pandangan jalan tengah, sekalipunmenuju industrialisasi namun tak harus melenyapkan ciri agraris.Pertanian harus jadi tulang punggung penopang industri. SebelumOrde Baru, landreform basis pembangunan disertai “Pancalogi”:edukasi, irigasi, intensifikasi, industrialisasi, dan transmigrasi.

Wiradi menilai gagasan lahan abadi cermin pemikiran prag-matis, didorong kondisi yang menuntut solusi segera. Ini wajar danbaik, namun perlu diberi landasan arah pembangunan dan titik tolak-nya agar implikasinya dapat diantisipasi dan tak menabrak agendareforma agraria.

Penyelarasan substansi

Klausul tujuan kedua draft kebijakan ini punya banyak irisanpenting. Tujuan RUU Lahan Abadi (draft ke-V) dan RPP ReformaAgraria (draft ke-VI) mengandung sejumlah kata kunci: lahan;pangan; petani; lapangan kerja; ekologis/lingkungan; ketimpangan;kemiskinan; sengketa/konflik. Karena keduanya memiliki banyakirisan tujuan, maka sinergi dan sinkronisasi jadi sangat logis danobjektif.

Sayangnya payung hukum kedua rancangan ini “bermasalah”.Dalam RUU Lahan Abadi, yang diingat hanya UUD 1945 (Pasal 20ayat [1], Pasal 21, Pasal 33), dan UU No 26/2007 tentang PenataanRuang, sementara UU No.5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) takdirujuk. Adapun RPP Reforma Agraria, walaupun UUPA dirujuk,namun banyak UU yang substansinya kontroversial dan meng-gunting UUPA malah dirujuk. Eksistensi UUPA tak pantas diabaikandalam penyusunan kebijakan pertanahan dan “perlahanan”.Eksistensi UUPA juga riskan jika dicampuradukkan dengan produk

Page 372: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

353

Kembali ke Agraria

legislasi yang isinya tak simetris dengan UUPA. Idealnya UUPA jadiruh yang menjiwai.

Karena kedua kebijakan ini mengatur objek yang sama (tanah)maka keduanya wajib sinkron. Walaupun RUU Lahan Abadi khususakan mengatur tanah yang digunakan sebagai lahan pertanianpangan, tapi tak boleh abai desain makro kebijakan penatagunaanpertanahan melalui reforma agraria. Jangan ada tumpang tindih objekkarena bisa meletupkan konflik. Perumus kebijakan perlu meletakkanpengaturan objek tanah (lahan) dalam rangka menuntaskan ketim-pangan dan sengketa pertanahan.

Kedua rancangan kebijakan ini juga dipastikan akan menyentuhsubjek yang sama, yakni kaum tani. Keduanya mesti melindungi danmeningkatkan kesejahteraan petani, terutama petani tak bertanahdan petani gurem. Diperlukan pengaturan yang memastikan perlin-dungan dan penyejahteraan petani itu dilakukan menyeluruh. Mestidihindari adanya “anak emas” dari suatu kebijakan yang hanyamenguntungkan “petani berdasi”, sementara “petani miskin” makintersingkir karena jadi “anak tiri”. Pemihakan perlu dipertegas bagipetani terbawah, yang asetnya terbatas, dan aksesnya minim.

Dibutuhkan kelembagaan kuat untuk memproteksi lahan per-tanian dari gerusan konversi. Kerangka kebijakan lahan pertanianyang disusun pemerintah pusat efektivitasnya akan sangat diten-tukan oleh kemauan dan kemampuan pemerintah daerah. Hal yangsama juga dengan pelaksanaan reforma agraria. Walapun butuh lem-baga khusus yang merancang persiapan dan memimpin pelak-sanaannya, tetap saja peran aktor pemerintahan di berbagai levelmenentukan keberhasilan reforma agraria.

Bagaimana pun, kebijakan ini hendaknya mudah ditempuh,diterima banyak kalangan dan efektif mengapai tujuan. Mengingatdan menimbang begitu banyak kemiripan substansial antara RUULahan Abadi dengan RPP Reforma Agraria, kenapa tak diputuskansaja satu produk legislasi yang komprehensif, semisal UU ReformaAgraria di bawah naungan UUPA 1960. ***

Page 373: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

354

Sinar Harapan, 15 Desember 2007

Pendekatan Antropologi bagiKonflik Agraria

MENGIRINGI ulang tahun emas Antropologi Universitas In-donesia, telah digelar lokakarya bertajuk “Konflik dan Dishar-

moni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan PemikiranAntropologi untuk Pembangunan Demokrasi”, 11-12 Desember 2007,di Kampus UI, Depok.

Pada hajatan yang didukung koran Sinar Harapan ini, hadirpuluhan antropolog dari Papua hingga Aceh. Kata dosen saya dulu,antropologi itu sejenis “ilmu dewa” karena mempelajari segala aspekterkait manusia dan kebudayaannya. Maka, ketika para antropologdari berbagi penjuru berkumpul dan berdiskusi, forum ini saya ibarat-kan pertemuan “para dewa”.

Dalam forum ini, penulis turut menyumbang pemikiran terkaitfenomena konflik agraria berikut usulan solusinya. Menurut panita,konflik yang terkait dengan permasalahan akses, alokasi, dan distri-busi sumber-sumber daya baik itu terkait dengan sumber daya alam,modal usaha, dan sumber-sumber kehidupan lainnya patut menda-pat perhatian serius. Kenapa konflik agraria tak pernah tertanganidengan baik? Penulis menawarkan kombinasi pendekatan politik,hukum, dan kebudayaan secara holistik dalam usaha menyelesaikankonflik agraria di Indonesia kontemporer.

Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang saat ini

Page 374: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

355

Kembali ke Agraria

ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulanAgustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian seng-keta pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan per-karan pertanahan 2.052 kasus. Dari 7.491 kasus tersebut, prosentaseberdasarkan tipologi masalahnya adalah; (a) Penguasaan dan pemi-likan 59,61%; (b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%; (c)Batas dan letak bidang tanah 6,81%; (d) Ganti rugi eks-tanah partikelir3,48%; (e) Tanah ulayat 1,78%; (f) Tanah objek landreform 2,27%; (g)Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%; (h) Pelaksanaan putusanpengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di Denpasar Bali, 14 No-vember 2007).

Konflik struktural

Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenaipertanahan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan seng-keta lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertamamaupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidangpertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkaraperdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007).

Jauh sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria telahmerekam 1.753 kasus konflik agraria struktural sepanjang Orde Baru,yaitu konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan keku-atan modal dan/atau instrumen negara. Konflik agraria strukturaladalah sengketa atau konflik yang disebabkan oleh penggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerin-tahan, bukan antarwarga yang sifatnya individual.

Umumnya konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi”tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atasnama hak menguasai dari negara, pemerintah memberikan alas klaimatau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha. Akar konflikagraria ialah politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yangberkuasa. Politik agraria jadi landasan perumusan dan pelaksanaanberbagai regulasi, peraturan perundang-undangan dan program

Page 375: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

356

Usep Setiawan

pembangunan yang dijalankan pemerintah. Sepanjang dianut politikagraria yang kapitalistik, otoritarian dan represif, maka sengketa/konflik agraria struktural akan terus terjadi.

Selama hak-hak rakyat kecil terus dianaktirikan, dan kemudahandiberikan kepada pemilik modal besar, konflik dan ketimpangan yangtak adil sulit diakhiri. Maka, sebelum bicara mekanisme dan kelem-bagaan penyelesaian konflik, kita mesti terlebih dahulu mengubahpolitik agraria, dari yang pro-golongan ekonomi kuat jadi pro-go-longan ekonomi lemah—seperti kaum tani, buruh, nelayan, masya-rakat adat, dan kaum miskin kota.

Konflik agraria tak pernah tertangani dengan baik, selain karenapolitik agraria, ketiadaan mekanisme serta kelembagaan yang me-nanganinya, juga karena pemerintah tidak punya cukup komitmendan kemampuan. Yang menggenapi kebuntuan penyelesaian konflikagraria ialah diabaikannya pendekatan budaya dalam memandang,menangani, mencegah, dan mengantisipasinya.

Politik, hukum dan budaya

Mengingat kompleksitas persoalan yang mengitari konflik ag-raria, penulis menawarkan kombinasi trilogi pendekatan, yakni:politik, hukum dan budaya. Pertama, perubahan paradigma dan orien-tasi politik agraria nasional, dari politik yang pro “Si Kuat” menjadipro “Si Lemah”. Diasumsikan perubahan itu akan membuka pintubagi dilakukannya pengkajian ulang (review) seluruh peraturanperundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam. Denganitu, dimungkinkan dibentuknya konsensus baru yang mewujuddalam aturan hukum baru yang lebih melindungi hak-hak rakyatatas tanah dan kekayaan alam. Inilah perubahan politik agraria dariyang kapitalistik, otoritarian dan represif menjadi populistik, demok-ratis dan menghargai hak-hak rakyat.

Kedua, pendekatan hukum secara progresif dengan mengedepan-kan terpenuhinya rasa keadilan substansial—kerap disuarakan Prof.Satjipto Rahardjo—bagi para korban konflik agraria. Pendekatan

Page 376: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

357

Kembali ke Agraria

hukum yang mengandalkan legalisme/formalisme dalam menanganikonflik agraria terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampumenuntaskan akar persoalan. Untuk itu, tepat kiranya diadopsi ga-gasan yang dikembangkan dalam wacana hak asasi manusia yangdikenal sebagai konsep transitional justice—suatu pendekatan keadilantransisional, yang mengutamakan hak-hak korban konflik agrariadalam bentuk pemulihan—kompensasi dan restitusi hak asasimereka.

Ketiga, pendekatan budaya yang menempatkan institusi danmekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalammasyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaian sengketa ta-nah/konflik agraria. Karenanya diperlukan pemahaman utuh danmenyeluruh atas eksistensi kultural suatu komunitas masyarakatsebagai pihak yang berkonflik dengan pihak lainnya (bisnis/negara).Pemahaman sosio-budaya akan memastikan posisi masyarakat,termasuk masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya sebagaisubjek utama perancang sekaligus pelaku penyelesaian konflik agra-ria secara sosio-kultural.

Dengan kombinasi ketiga pendekatan ini, kita memiliki peluangmendekati, menangani dan mencegah konflik sosial akibat konflikagraria secara utuh dan menyeluruh (holistik). Kunci pembukanya,pertama kali dibutuhkan kemauan politik yang super kuat dari parapenyelenggara negara untuk menghargai antropologi sebagai indukilmu dan pendekatan yang meletakkan keragaman budaya bangsasebagai potensi berharga bagi upaya penyelesaian aneka konflik ditengah masyarakat, bangsa dan negara.

Akhirnya, forum yang digelar para antropolog di akhir 2007 inirelevan dengan upaya mengingatkan Presiden RI akan janjinya untukmemulai reforma agraria tahun 2007, sebagaimana beliau pidatokanpada 31 Januari 2007. ***

Page 377: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

358

Jurnal Nasional, 27 Desember 2007

Reforma Agraria di Persimpangan

TAHUN 2007 segera berlalu dan 2008 menjelang. Banyak catatandapat kita alamatkan kepada beragam kemajuan dan keman-

dekan agenda-agenda pemerintah yang dipimpin Presiden SusiloBambang Yudhoyono. Salah satu agenda penting yang layak men-dapatkan “evaluasi” adalah rencana pemerintah untuk memulaipelaksanaan reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilandan kesejahteraan rakyat (31/01/07).

Reforma agraria yang dimaksudkan untuk mengatasi kemis-kinan struktural dan membuka kesempatan kerja baru di pedesaanini ibarat tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, niat politikpemerintah mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang berarti.Tapi di lain sisi, gejala stagnasi dalam realisasi praktis juga sulit ditutupi.

Penulis apresiatif atas kemajuan yang dicapai dalam mengkris-talisasi niat politik di jajaran pemerintahan, merumuskan konsepsiutuh reforma agraria, dan persiapan sosial di kalangan masyarakat.Sekalipun agenda besar ini belum terealisasi, namun komitmen,konsepsi dan persiapan yang ada merupakan batu-bata vital bagiproses lebih lanjut.

Untuk berbagai kemandegan yang ada, penulis mengajak publikuntuk turut memberikan dorongan agar niat politik yang sudah adatak layu sebelum berkembang. Tentu saja, selalu dibutuhkan kritikdan saran agar pada tahun 2008 segala persiapannya dapat lebihdikembangkan lebih maju.

Page 378: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

359

Kembali ke Agraria

Memupus kecemasan

Menutup tahun 2007 dan membuka lembaran baru 2008 taksedikit pihak yang dilanda kecemasan. Reforma agraria dicemaskanjadi “jualan” rezim yang berkuasa untuk meraup untung dalamPemilu 2009. Kecurigaan politis semacam itu dapat dimaklumi dalamkonteks persaingan politik kekuasaan yang kini mulai menghangat.

Bisa saja kecurigaan ini dilontarkan oleh kelompok kepentinganyang sebenarnya pro-reforma agraria, tetapi dia bukan bagian darirezim yang berkuasa. Mereka menolak reforma agraria karena prob-lem eksistensi, bukan karena hal substansial. Kecemasan berat jugapasti datang dari kelompok kepentingan yang anti-reforma agraria,terutama dari yang merasa kepentingannya terganggu. Mereka tentuberusaha dengan segala cara mencegah terlaksananya agenda popu-lis ini. Kelompok yang anti memiliki sumberdaya dan jaringan yangtak sedikit untuk mengganjal reforma agraria.

Kemungkinan-kemungkinan ini tentu perlu mendapat perhatianpemerintah dalam rangka meluruskan niat, namun tak perlu terlalumembuat risau. Bagaimanapun pemerintah harus tetap fokus danserius mewujudkan janji-janjinya yang sekaligus sebagai amanatkemerdekaan. Motif politik jangka pendek perlu dikesampingkan.Memang pemeritah yang melaksanakan program populis reformaagraria secara teoritik berpeluang besar mendapatkan (kembali)dukungan publik atau legitimasi politik rakyat yang tercermin dalampemilu demokratis. Sebenarnya, sah saja ketika kepentingan rakyatuntuk mendapatkan tanah (dan kemakmuran hidup) bertautandengan kebutuhan rezim untuk merawat kepercayaan rakyatnya.

Yang layak membuat pemerintah cemas, apabila pandangankritis terhadap rencana reforma agraria datang dari khalayak ramaisetelah melihat bukti-bukti nyata bahwa gaung reforma agrariaternyata hanya sekedar wacana. Karenanya pemerintah punya peker-jaan rumah untuk menunjukan bukti bukan sekedar janji. Melaluikesungguhan merealisasikan janji itulah maka kecurigaan politisterhadap pemerintah (khususnya presiden) akan dapat dipatahkan.

Page 379: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

360

Usep Setiawan

Bagi rakyat, tak terlalu jadi soal siapa presidennya, yang prinsip,presiden/pemerintah harus memihak rakyat, seperti melalui realisasireforma agraria.

Merawat harapan

Jika pemerintah serius mau menjalankan reforma agraria makaperlu segera dikerahkan aneka sumberdaya yang ada di dalam tubuhnegara ini. Ketulusan, ketegasan dan kepeloporan presiden jadi kuncikeberhasilan. Presiden tak usah terlalu memikirkan soal kelang-gengan kekuasaan, karena hati rakyat tak pernah tidur.

Presiden (kepala negara/kepala pemerintahan) itu pemimpinutama pelaksanaan reforma agraria. Semua menteri/pejabat harusdipastikan ikut gerbong reforma agraria. Jangan ada menteri yangpunya desain sendiri yang tak sejalan. Jika ada pejabat terbukti mem-belokkan, menghambat apalagi anti reforma agraria, maka rumah-kanlah. Ganti dengan menteri/pejabat yang loyal dan mampu. Bagai-mana kalau pejabat yang digeser itu resisten? Tenang, rakyat ada dibelakang pemimpinnya yang berani karena benar.

Agar rakyat efektif konstruktif terlibat, maka perlu penguatandan pemberdayaan yang menjadikan rakyat sebagai subjek penerimamanfaat. Keterlibatan rakyat hendaknya melalui asosiasi/organi-sasinya yang independen. Misalnya, kaum tani didorong berserikatyang nantinya akan terlibat dalam praktek reforma agraria. Memasukitahun 2008, pemerintah harus lebih terang mempraktekkan reformaagraria. Optimismisme harus tetap ditebarkan, kesempatan emasmencetak kebaikan bagi rakyat jangan menguap. Harapan rakyatharus dirawat agar tak pupus tanpa bekas.

Di tengah persimpangan, segeralah ambil arah jelas, lalu jalanlurus dan tancap gas menuju tersedianya aneka kesempatan bagirakyat melepas jerat kesulitan hidup yang telah lama melilitnya. Bagai-mana dengan 2009? Biarlah rakyat yang jadi hakimnya! ***

Page 380: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

361

Kompas, 12 Januari 2008

Dari Naga Menghormati Para Leluhur

ORANG Naga dikenal memiliki kearifan yang melestarikanlingkungan hidupnya. Berdasarkan wangsit (petuah leluhur

yang disampaikan lewat mimpi tetua adat) yang diteruskan lintasgenerasi, Orang Naga mengenal sebuah falsafah agraria yang pamali(tabu) diucapkan pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.

Bunyinya: Ulah bogoh ku ledokna, ulah kabita ku datarna. Makaya naluhur batu, disaeuran ku taneuh moal luput akaran. Legana saukuran tapakmunding, sok mun eling moal luput mahi (Jangan tergoda oleh kesu-burannya, jangan terpikat oleh luasnya. Bercocok tanam di atas batu,ditimbun tanah pasti berakar. Walau luasnya seukuran telapak ker-bau, asal ingat aturan adat pasti mencukupi).

Wilayah adat Naga meliputi lahan di sekitar aliran SungaiCiwulan dari hulu (Gunung Karacak) sampai ke hilir (daerah Salawu).Secara administratif, wilayah Naga meliputi tiga kecamatan: Ciga-lontang, Salawu, dan Cilawu, di Kabupaten Tasikmalaya dan Garut,Jawa Barat. Luas lahan “milik” masyarakat adat Naga yang sesung-guhnya diperkirakan 16.000 hektare—hasil pemetaan YayasanPengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS) dan Kon-sorsium Pembaruan Agraria (KPA), 2003. Kampung Naga dikelilingitiga gunung menjulang: Cikuray, Karacak, dan Galunggung. OrangNaga mempunyai lahan garapan dari batas Sungai Ciwulan sampaiSungai Cipaingeun yang digunakan sebagai ladang, sawah, danperkampungan keturunan Naga yang pindah dari Kampung Naga.

Page 381: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

362

Usep Setiawan

Masalah paling mendasar di Kampung Naga adalah hilangnyatanah karuhun (leluhur) yang diambil penjajah Belanda. Sebagianbesar tanah adat Orang Naga kini dijadikan hutan pinus oleh Per-hutani (perkebunan milik negara) dan perkebunan teh (swasta).Pengalihan penguasaan dan fungsi kawasan ini sudah berlangsungsejak penjajah masuk dan mengembangkan perkebunan diNusantara.

Kini, lahan yang diakui pemerintah sebagai tanah Orang Nagahanyalah tanah seluas 1,5 hektar yang di atasnya berdiri 110bangunan perkampungan sekitar 150 keluarga. Masyarakat adatkerap jadi korban, sejak masa kolonialisme hingga era “pembanguna-nisme”. Hilangnya tanah adat membuat eksistensi masyarakat adatterguncang. Pemerintah RI, seperti diungkapkan tokoh Naga, hanyameneruskan kebijakan penjajah. Buktinya, tanah adat mereka hinggakini belum dikembalikan.

Transformasi berkeadilan

Hasil pengamatan (YP2AS, 1997) terhadap kampung-kampungadat di Pulau Jawa menemukan problem pokok yang dihadapihampir seluruh kampung adat adalah berpindah tangannya tanahyang menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawaterdapat sejumlah komunitas masyarakat adat yang masih setia padaaturan leluhurnya, seperti Kasepuhan Banten Kidul, Ciptarasa(Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga (Tasikma-laya), Kampung Kuta (Ciamis), dan Baduy (Lebak). Sedangkan diJawa Tengah ada Orang Samin (Sleman, Yogyakarta), dan di Jatimdikenal Orang Tengger (Malang dan Purbalingga), serta Orang Osing(sekitar tapal kuda, Banyuwangi).

Masyarakat adat (indigenous peoples) tak mungkin pupus darisketsa kultural bangsa Indonesia karena ia adalah unsur utamapembentuknya. Masyarakat adat, sebagai suatu kelompok masyarakatyang mengatur interaksi antar mereka dan dengan alam berdasarkankaidah, norma, dan hukum adat. Masyarakat adat hidup dalam

Page 382: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

363

Kembali ke Agraria

persekutuan-persekutuan yang dilandasi ikatan asal-usul leluhursecara turun-temurun di wilayah geografis tertentu dengan sistemnilai, ideologi, ekonomi, politik, dan wilayah sendiri.

Suatu komunitas masyarakat termasuk kategori masyarakat adatjika masyarakat tersebut mempunyai sistem tersendiri dalammenjalankan kehidupan (livelihood) mereka dan mempunyai wila-yah/teritori sendiri. Pemilikan teritori sendiri memungkinkan sistemnilai yang mereka yakini diterapkan dan berlaku dalam persekutuanmasyarakat tersebut (KPA, 1998). Pada umumnya, sistem dan mekanis-me adat sarat dengan kearifan yang menjaga keseimbangan fungsipokok tanah: sosial, ekonomi, dan ekologi.

Biarkan komunalisme

Sejak Orde Baru berkuasa, sistem pengelolaan tanah adat menga-lami banyak perubahan, terutama karena kegiatan “pembangunan”yang acap kali “menggusur” tanah masyarakat adat dengan segalakearifan hidupnya. Terbitnya izin-izin usaha sektor ekstraktif daneksploitatif seperti pertambangan, perkebunan, dan kehutanan diatas tanah adat telah menjungkirbalikkan eksistensi masyarakat adatkita. Ketidakadilan agraria menjadi “bom waktu” konflik sosial danpotensial menabur benih disintegrasi bangsa.

Hasil kajian KPA (1998) menunjukkan kenyataan yang terjadipada masyarakat adat Indonesia ialah sebuah proses penghancuransistematis yang terjadi melalui intervensi berbagai kebijakan pem-bangunan. Kebijakan yang notabene memihak modal besar (kapi-talisme) dengan menggunakan pendekatan keamanan dalam sejum-lah proyek pembangunan yang dilancarkan negara ataupun swasta.

Karena itu, jika kini kita ingin memberdayakan masyarakat adat,perlu ditegaskan terlebih dahulu mereka mempunyai hak atas tanah/wilayahnya, dan negara (pemerintah) berkewajiban menghormati danmelindunginya untuk kehidupan dan perkembangan budaya mereka.

Masyarakat adat mesti diberi pilihan untuk mengembangkanmode produksi yang mereka nilai cocok dengan nilai-nilai budaya

Page 383: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

364

Usep Setiawan

dan kebutuhan nyata mereka sehari-hari. Prinsip komunalisme dalampenguasaan dan pengelolaan tanah hendaknya dicerminkan dalamcara produksi yang kooperatif, demokratis, dan adaptif dengan kulturmereka sendiri. Jika komunalisme, demokrasi, dan koperasi tak (lagi)tersedia, maka tugas negara memfasilitasi transformasi sosial komu-nitas masyarakat adat dengan tetap menempatkan mereka sebagaipelaku utama perubahan yang berkeadilan.

Muara dari pengelolaan tanah dan kekayaan alam masyarakatadat bersama pihak lain yang disepahami/disepakatinya adalahmasyarakat dapat turut serta dalam proses dan menikmati hasil usahayang dilakukan atas pengelolaan kekayaan alam secara berkeadilan.Dalam memberdayakan masyarakat adat, hendaknya kita jangansampai terjerumus pada arus pemikiran dan kebijakan yang “memo-dernisasi” budaya masyarakat adat secara otoriter.

Adat kemajuan

Stereotip masyarakat adat yang serba “tertinggal”, “terbelakang”,dan “terasing” hendaknya tidak menjadikan para pembuat kebijakanuntuk memaksa masyarakat adat “pindah budaya”. Jika dipaksakan,culture shock dan anomali sosial yang mengancam stabilitas sosialserta melemahkan integrasi kebangsaan.

Pemberdayaan masyarakat adat tak perlu terjebak dalam “ro-mantisme” untuk mempertahankan “keaslian” yang justru membe-lenggu masyarakat untuk mengembangkan kebudayaannya. Kebuda-yaan selalu berubah, seiring perubahan yang berkembang pada dirimanusia dan lingkungannya. Karena itu, pemberdayaan masyarakatadat hendaknya menggunakan pendekatan partisipatif dengan mema-hami dan mendengar aspirasi masyarakat adat sebagai dasar penentutujuan, agenda, dan cara pemberdayaannya.

Yang mesti disadari, sebenarnya masyarakat adat tak antikema-juan dan tak ingin ketinggalan zaman atau isolatif dari dunia luar.Resep yang dipakai Orang Naga dalam mempertahankan adatnyasekaligus mengikuti perkembangan zaman adalah falsafah: Hirup

Page 384: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

365

Kembali ke Agraria

mah kudu miindung ka waktu mibapa ka zaman (Hidup mesti mengikutiwaktu dan perkembangan zaman). Walau begitu, jangan kabawa kusakaba-kaba atau terbawa pengaruh negatif yang dibawa perkem-bangan zaman itu.

Tugas kita yang mengaku “modern” adalah memperkokohpengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakatadat sebagai bagian dari anggota tubuh bangsa. Menghayati kearifanmasyarakat adat Nusantara menuju Indonesia yang bhinneka, damai,adil, dan makmur. Semoga. ***

Page 385: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

366

Sinar Harapan, 18 Februari 2008

Hantu Liberalisme Pertanahan

MENYUSUL kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari2007) untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), kini pemerintahmelalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI sedang menggodokRUU tentang Pertanahan. Inisiatif penyusunan RUU Pertanahanperlu dicermati dalam dua konteks yang paradoksal.

Pertama, sebagai upaya lebih lanjut pemerintah dalam menyiap-kan dasar hukum baru bagi pelaksanaan reforma agraria, sebagai-mana dijanjikan Presiden Yudhoyono mulai tahun 2007. Yang kedua,bagian dari grand design liberalisasi pertanahan lewat produk legislasiyang justru menghambat realisasi reforma agraria. Keduanya sepertiair dan minyak, namun keduanya potensial.

Di koran ini, penulis pernah mengingatkan jika pemerintahkonsisten ingin melaksanakan reforma agraria, memang dibutuhkanlegislasi (setingkat UU) yang secara operasional mengatur apa danbagaimana reforma agraria dijalankan (Sinar Harapan, 15/02/07).Eksistensi UUPA, terutama menyangkut pasal-pasal prinsipilnyatetap relevan dijadikan rambu-rambu dasar bagi reforma agraria (SinarHarapan, 15/06/04).

Yang patut diwaspadai ialah substansi legislasi pertanahanjangan sampai jadi produk politik yang mengganjal reforma agraria.Harus dicegah bahwa pertanahan jadi urusan sektoral yang lepaskonteks dari keagrariaan utuh yang menyangkut semua bidang

Page 386: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

367

Kembali ke Agraria

kehidupan, dan hindari pengarusutamaan kepentingan investasiskala besar melalui liberalisasi pertanahan yang selama ini memicumassifnya konflik agraria yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arusderas neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relungpikiran elit politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arahneo-imperialisme alias penjajahan baru yang membiaskan maknakemerdekaan republik ini.

Perlu diwaspadai

Untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang menghantui politikagraria nasional selama ini, dan mungkin kelak menjangkiti RUUPertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting, jika peme-rintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU Pertanahansebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan sebaliknya.

Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangatdan substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan men-dasar yang menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak dipemerintahan maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, pengu-asaan, dan pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golonganekonomi lemah/miskin haruslah diprioritaskan.

Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 Septem-ber 2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: “Reformaagraria membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangunkonsensus. Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dankeagrariaan kita—untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepadaPancasila, UUD 1945, dan UUPA. Itu komitmen awal yang didapat.Itulah langkah awal yang tersepakati dengan DPR-RI. Kita berprosesmenyusun undang-undang pertanahan di bawah payung UUPA”.Jika disimak, tampak jelas arah penyusunan RUU Pertanahan akankonsisten dan konsekuen dengan UUPA sebagai payung politik-hukum agraria nasional. Namun pertanyaannya, ke arah mana arus

Page 387: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

368

Usep Setiawan

utama kecenderungan ideologis elit politik dan konstalasi kekuatanpolitik penyusun legislasi yang kini duduk di eksekutif maupun dilegislatif saat ini?

Kalau kita cermati sejumlah undang-undang baru terkait agrariayang dihasilkan eksekutif-legislatif periode 2004-2009, tampak kitatak bisa terlalu berharap akan lahirnya produk legislasi yang meme-nuhi dua semangat dasar sebagaimana penulis singgung di atas–anti-sektoralisme dan anti-liberalisme, sehingga lebih pro-integralis-me agraria dan pro-populisme kerakyatan.

Sekadar contoh, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal telahsecara telanjang menunjukkan komitmen ideologis-politik elite dieksekutif/legislatif yang mengutamakan kepentingan modal besartanpa membedakan asing atau domestik. Hak atas penggunaan danpemakaian tanah untuk investor diberikan nyaris setengah abad.Inkonsistensi UU Penanaman Modal dengan UUPA, dan bahkanUUD 1945, telah menyeret UU ini ke meja Mahkamah Konstitusi untukdiuji materi—kini sedang menunggu putusan.

Konteks politik

Belum lagi kita lihat UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, dan UU Sumberdaya Air jugakontroversial karena sektoralisme dan liberalismenya yang begitukental. Liberalisme yang membuka ruang lebar bagi berkuasanyakekuatan kapital akan menggerogoti kewibawaan dan kewenangannegara dalam mengatur urusan agraria kita. Berbagai produk legislasiyang liberalistik ini disimpulkan bukan solusi atas akar soal agraria,melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentinganlintas tataran yang menempatkan rakyat/bangsa sebagai korban.

Mumpung masih cukup waktu, agar legislasi pertanahan melaluiRUU Pertanahan terhindar dari jebakan sektoralisme dan liberalisme,disarankan beberapa langkah strategis. Pertama, perlu dibentuk Pani-tia Negara yang terdiri dari unsur pemerintah, parlemen, akademisi,organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang

Page 388: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

369

Kembali ke Agraria

bertugas khusus: (a) mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria atau tanah dan kekayaan alam lainnya(hutan, tambang, kebun, pertanian, kelautan, dlsb), dan (b) Mere-komendasikan grand design rancangan pembaruan hukum agrariasecara menyeluruh agar konsisten dengan semangat dan isi UUD1945 dan UUPA 1960.

Kedua, mendesak dilakukannya konsultasi publik secara luas,sehingga aspek partisipasi publik terakomodir dalam proses penyu-sunan RUU Pertanahan. Konsultasi bukan hanya terhadap “ka-langan atas” di hotel-hotel berbintang, tapi juga dilakukan di kampus-kampus yang melibatkan cerdik cendekia, hingga kampung-kam-pung yang merangkul rakyat kecil yang tergantung pada tanah.

Ketiga, dari segi waktu, periode 2008-2009 tampaknya terlalusempit untuk melahirkan produk legislasi sestrategis UU Pertanahan.Untuk itu, RUU Pertanahan yang tengah digodok pemerintah, pem-bahasan dan pengesahannya lebih tepat dilakukan setelah Pemilu2009. Pemerintah dan legislatif baru produk Pemilu 2009 akan memi-liki legitimasi politik lebih kuat untuk mengarahkan politik-hukumagraria nasional melalui berbagai produk legislasinya.

Agar dongkrak politik reforma agraria kian kuat, maka partai-partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 kita doronguntuk mengadopsi agenda reforma agraria ke dalam platform danprogram politiknya. Peran partai politik dalam sistem demokrasi amatvital, sehingga memungkinkan reforma agraria dapat digiring ke jan-tung kekuasaan negara untuk kemudian dilaksanakan secara teguh.***

Page 389: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

370

Suara Pembaruan, 19 Februari 2008

Jadilah Bangsa Penghasil Kedelai

INDONESIA memang negeri ironis. Negeri agraris dengan jutaanhektare lahan subur, mayoritas penduduk petani, punya depar-

temen dan menteri pertanian, anggaran tebal dan program pertaniangempita. Lantas, mengapa kedelai saja harus kita impor? Untuk men-cukupi kebutuhan 1,9 juta ton kedelai pada 2007 kita masih menu-tupnya dengan impor sebanyak 1,3 juta ton. Sementara target produksihanya 950.000 ton, yang ditanam di atas target lahan seluas 740.740hektare, namun hanya terealisasi 362.390 hektare.

Krisis kedelai saat ini memang dipicu oleh gejolak harga kedelaidunia yang melambung tinggi, sehingga berpengaruh pada hargadalam negeri. Salah satu inti persoalannya ialah karena sudah sejaklama Indonesia bergantung pada kedelai impor. Saat ini 60 sampai70 persen kebutuhan kedelai domestik Indonesia harus dipasok dariluar negeri. Untuk menghadapi situasi ini, pemerintah telah menge-luarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi krisis kedelai. Secaraumum kebijakan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi pengaruhgejolak harga kedelai dunia terhadap kelangkaan kedelai dalam negerimelalui jaminan ketersediaan yang menjadi kebutuhan dalam negeri.

Kita mencatat beberapa kebijakan pemerintah atas kedelai, yaknimembebaskan bea masuk, penurunan PPh impor kedelai dari 2,5persen, industri tempe dapat subsidi kedelai Rp 1.000 /kg selamaenam bulan, peningkatan produksi kedelai, dan memberikan utangmurah kepada 50.000 pengrajin tahu tempe masing-masing Rp 2 juta.

Page 390: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

371

Kembali ke Agraria

Kisah berulang

Gonjang-ganjing langkanya ketersediaan, meroketnya harga, dankontroversi seputar impor pangan—kemarin beras, sekarang kedelai,besok entah apa—menjadi kisah berulang. Potensi alam dan modalsosial yang melimpah ruah ternyata belum sanggup menjadikanbangsa ini mandiri dalam mencukupi kebutuhannya. Kejadian iniselalu berulang, kita selalu terperosok ke lubang yang sama.

Yang paling resah akibat kelangkaan kedelai tentu ribuanprodusen tempe yang sangat bergantung pada kedelai sebagai bahanbakunya. Sudah banyak pengusaha tempe gulung-tikar dan terpaksamerumahkan karyawannya. Pihak lain yang resah adalah masyara-kat penikmat tempe dan makanan olahan lain yang berbahan kedelai.Tanpa perlu survei, dapat dipastikan pelahap tempe di Indonesiabisa puluhan juta orang.

Tak heran, saat harga kedelai goyang seketika rakyat terguncang.Dampak politik dari “krisis kedelai” ini menjadikan arena kontestasimenjelang Pemilu 2009 kian membara. Meroketnya kedelai bisa melo-rotkan dukungan publik kepada pemerintah. Pilihannya, atasi gejolakkedelai atau selamat tinggal. Langkah menurunkan bea impor kedelaijelas bukan solusi paten yang menyelesaikan akar masalah. Ibaratobat, ini hanyalah salep yang tak akan mencabut akar penyakitnya:ketergantungan pada produk bahan pangan impor. Bahkan, kebi-jakan ini potensial melahirkan kepincangan dalam tata niaga pangandan melanggengkan ketergantungan itu sendiri.

Berkaitan dengan itu, penulis mendorong presiden dan segenapjajaran pemerintahan yang terkait sektor pertanian dan pedesaanuntuk kembali memfokuskan kebijakannya pada agenda “revitalisasipertanian” dan “reforma agraria”. Kini, dibutuhkan strategi alternatifpembangunan pertanian yang lebih sistematis dan menyeluruh da-lam usaha mewujudkan kemandirian pangan. Langkah drastis da-lam menyediakan lahan (tanah) pertanian untuk petani kecil diper-lukan agar ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dapatdieliminasi.

Page 391: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

372

Usep Setiawan

Selanjutnya, pastikan kaum tani sebagai produsen mendapatinsentif dan proteksi dari pemerintah (negara) agar berkemampuanmemproduksi bahan pangan (termasuk kedelai) dalam kapasitas,kuantitas dan kualitas jempolan. Bibit, pupuk, modal, sarana/pra-sarana penunjang harus dilipatgandakan. Diperlukan penataanulang sistem produksi pertanian kedelai sebagai bagian dari upayamengatasi krisis kedelai dalam jangka panjang. Penataan produksikedelai yang dikerjasamakan dengan serikat tani jadi langkah siste-matis untuk mengikis ketergantungan terhadap kedelai impor. Selainuntuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sekaligus tahapmewujudkan reforma agraria dan mencapai kedaulatan pangan.

Langkah praktis untuk mengatasi kemelut yang mengiringi krisispangan (kedelai) yang disarankan adalah, pertama, memberikanstimulus untuk meningkatkan minat petani mengembangkan perta-nian kedelai dengan memberi jaminan kepastian harga untuk pening-katan kesejahteraan petani. Kedua, menguatkan akses kepemilikandan pengelolaan lahan bagi petani sebagai alat produksi utama. Keti-ga, menjamin ketersediaan bibit serta peningkatan kapasitas petanimelalui pendidikan dan pelatihan. Keempat, jaminan harga melaluipengaturan ulang mekanisme distribusi hasil pertanian yang melin-dungi dan berpihak kepada petani.

Pengalaman

Terkait dengan hal itu, sejumlah pengalaman penataan produksipertanian, yang dilakukan secara terbatas oleh kelompok atau serikat-serikat tani, dapat menjadi pelajaran berharga untuk mengembangkanmodel penataan produksi dalam skala lebih luas. Kalau selama inipenataan produksi oleh serikat tani hanya untuk memenuhi kebu-tuhan pangan anggotanya, diharapkan hasil produksi pertanian da-pat memasok kebutuhan pasar secara lebih luas.

Kegagalan program “revitalisasi pertanian” yang diindikasikandengan berlanjutnya impor bahan pangan dapat dipicu oleh pejabatyang berwenang tak cukup tahu, mau, dan mampu menyukseskan

Page 392: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

373

Kembali ke Agraria

agenda tersebut. Pelaksanaan sejumlah agenda dan program yangdicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kesejahte-raan rakyat tampaknya tersendat-sendat. Untuk itu, Presiden Yudho-yono perlu mengevaluasinya secara tuntas, kemudian menempatkanpejabat baru yang ahli di bidangnya, dengan daya kepemimpinankuat, pro-perubahan, merakyat, serta terbebas dari kepentingan politikjangka pendek yang sempit.

Tanpa jemu kita mengingatkan Presiden agar tidak lupa akanjanji untuk memulai realisasi reforma agraria. Segera disediakan tanah(lahan) pertanian bagi petani miskin melalui penataan struktur agra-ria yang berkeadilan sosial. Program “revitalisasi pertanian denganreforma agraria” harus disinergikan agar kita mencapai kemandirianpangan yang berkeadilan sosial.

Reforma agraria itu prasyarat revitalisasi pertanian dan pem-bangunan pedesaan (Soetarto, 2004). Melalui reforma agraria kitamuliakan petani yang mengabdikan hidup bagi pemenuhan bahanpangan kita. Petani dan produsen pangan sejatinya pahlawan kema-nusiaan yang menjamin peradaban berlanjut. Bangsa ini harus menja-di “bangsa kedelai”, yang sanggup memproduksi kedelai secaramassif dengan kualitas jempolan untuk memenuhi pangannya sen-diri, syukur-syukur mampu ekspor.

Asal kita serius, konsisten, dan konsekuen dengan realitas istime-wa keagrariaan bangsa, maka kita optimistis bisa swasembadapangan. Modal utamanya selain tanah dan kekayaan alam melimpah,kita masih punya puluhan juta petani yang tetap setia pada peker-jaannya. ***

Page 393: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

374

Kompas, 17 April 2008

Kuasa Modal dan Reforma Agraria

TANGGAL 25 Maret 2008, Mahkamah Konstitusi memutuskanuntuk memenuhi sebagian dari tuntutan judicial review UU No

25/2007 tentang Penanaman Modal. Mahkamah Konstitusi (MK)hanya membatalkan Pasal 22, terkait hak atas tanah yang tertuangdalam UU ini. Selebihnya, UU ini dianggap konstitusional.

Keputusan MK ini ditanggapi seragam. Uniknya, yang kecewabukan hanya penggugat, tetapi juga yang mendukung UU ini. Ka-langan investor menganggap keputusan MK ini memupuskan ha-rapan mereka untuk menanamkan modal di lapangan agraria (Kontan,26/5/2008).

Penggugat pun kecewa. Keputusan ini dinilai tidak secara kese-luruhan menganulir “kesesatan” ideologis yang tercermin dalamtubuh UU. Dikhawatirkan, Indonesia dengan mudah masuk ke alampenjajahan baru yang memanjakan investasi asing.

Tidak cermat

Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme(GERAK LAWAN)—koalisi lembaga-lembaga penggugat—meman-dang putusan para hakim konstitusi itu tidak cermat. Pertama, perla-kuan sama yang tidak membedakan asal negara (Pasal 3) dianggapkonstitusional. Seharusnya, arah pembangunan lebih memprioritas-kan kepentingan nasional. UUD 1945 tegas menyatakan cabang pro-duksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara

Page 394: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

375

Kembali ke Agraria

untuk kemakmuran rakyat dalam sistem perekonomian berbasis eko-nomi kerakyatan.

Kedua, kekhawatiran berlangsungnya capital flight karena dibo-lehkannya pemindahan aset kapan dan di mana pun (Pasal 8) diang-gap tidak beralasan oleh MK. Padahal, fakta di lapangan menunjuk-kan, repatriasi aset berkorelasi langsung dengan kebijakan pemutusanhubungan kerja secara massal. MK menyatakan, masalah penguasaanatas tanah akan dikembalikan pada UUPA 1960. Dalam praktik, UUPA1960 tak pernah dicabut, tetapi tidak pula dijalankan. Yang justruberjalan adalah UU sektoral yang lebih menguntungkan modal inter-nasional.

GERAK LAWAN mengingatkan para hakim konstitusi, peme-rintah, parlemen, partai politik, dan pengusaha agen modal inter-nasional untuk bertanggung jawab atas terjajahnya Indonesia, masif-nya konflik agraria, PHK massal, kelaparan dan penderitaan rakyat,menyusul putusan atas UUPM ini.

Kembali ke UUPA

Bagi penulis, pembatalan klausul UUPM yang secara langsungmenyentuh substansi UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) patut diapresiasi dan diberi jalan alternatif.Paling tidak, pembatalan ketentuan tentang hak guna usaha (95 ta-hun), hak guna bangunan (80 tahun), dan hak pakai (70 tahun) seba-gai pintu masuk bagi raksasa kapital asing di republik ini kini tertu-tup sudah.

Lebih lanjut, pembatalan Pasal 22 UUPM membawa konsekuensiyang menuntut perhatian para pembentuk kebijakan (legislasi)nasional. Setidaknya tiga tantangan menanti di depan mata. Pertama,perlu pengukuhan kembali semangat, posisi, dan eksistensi UUPAsebagai dasar hukum segala legislasi dan peraturan operasional ter-kait tanah, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam-nya.

Kedua, karena UUPA adalah payung, maka seluruh produk

Page 395: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

376

Usep Setiawan

legislasi terkait perlu ditinjau ulang. Bagi UU yang bertentangandengan semangat dan isi UUPA harus dicabut atau diganti. Untukyang belum utuh perlu penyesuaian sehingga konsisten denganUUPA. Untuk kebolongan-kebolongan hukum yang ada perlu ditam-bal dengan pembentukan peraturan perundang-undangan baru yangsifatnya mengoperasionalkan amanat UUPA.

Ketiga, salah satu agenda mendesak adalah penyusunan UUReforma Agraria guna menambal kebolongan hukum terkait opera-sionalisasi program reforma agraria. Program pembaruan agrarianasional yang direncanakan pemerintah membutuhkan dasar hukumkuat dan konprehensif. Karena itu, penyusunan UU reforma agrariaharus segera menjadi agenda prioritas pemerintah bersama parlemen.

Kemenangan kecil

Tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akanmulai menjalankan reforma agraria (31/1/2007). Hingga kini, belumterwujud. Dari segi momentum, reforma agraria dikhawatirkan kianmemudar. Memudarnya rencana reforma agraria, terkait ketidaktegas-nya kepemimpinan politik nasional dalam mengarahkan reformaagraria. Tidak solidnya jajaran pemerintahan pusat dan daerah,melambatkan agenda besar ini.

Suhu politik menjelang Pemilu 2009 pasti akan menunda hampirsemua agenda besar, seperti reforma agraria. Tajamnya perbedaan danlebarnya spektrum kepentingan dalam konfigurasi politik lokal dannasional memacetkan agenda populis yang dicetuskan presiden. Darisisa waktu, di tengah kemacetan politik, sulit mengharapkan peme-rintahan mampu mewujudkan reforma agraria sebagai strategi alternatifmenanggulangi kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.

Satu hal yang perlu dirawat adalah berkecambahnya harapanbahwa keadilan sosial lewat perwujudan keadilan agraria adalahsolusi tak terbantahkan. Yang layak digencarkan, mendorong keku-atan rakyat untuk meraih aneka kemenangan kecil, meski terbatastetapi terukur, sambil menunggu hasil Pemilu 2009. ***

Page 396: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

377

Sinar Harapan, 12 Agustus 2008

Belajar dari Serikat Petani Pasundan

BELUM lama ini, ratusan petani dari Jawa Barat menuntutpembubaran Perhutani, karena Perhutani telah menjadikan

kaum petani sebagai kambing hitam yang dituduh melakukan aksipembalakan liar (23/06/08). Agustiana dan Serikat Petani Pasundan(SPP) yang dipimpinnya sontak menjadi sumber pembicaraan publiksetelah dituduh sebagai dalang pembalakan liar di Jawa Barat olehKapolda Jawa Barat Susno Duadji (Pikiran Rakyat, 18/06/08).

Ikhwal operasi pemberantasan illegal logging yang digencarkanKepolisian Daerah (Polda) Jabar tak seorang pun antipati. Terlebihlagi, pemulihan hutan yang rusak parah tengah jadi fokus perhatianpemerintah provinsi Jabar di bawah pemimpin baru, Ahmad Herya-wan (gubernur) dan Dede Yusuf (wakil gubernur). Yang perlu dijer-nihkan ialah cap negatif terhadap gerakan rakyat (tani) yang memper-juangkan haknya atas tanah melalui jalan reforma agraria. Ketau-ladanan Agustiana dan SPP selama belasan tahun dalam memper-juangkan reforma agraria tak boleh hancur oleh tuduhan busuksebagai perusak hutan.

Bagi penulis, perdebatan mengenai pengelolaan hutan adalahpersoalan bersama yang harus ditilik dari berbagai sudut pandang.Berangkat dari polemik tentang siapa dalang perusakan hutan diJabar, kita perlu menengok paradigma kebijakan pengelolaan hutansebagai cermin dari problem agraria dan sumber daya alam (SDA)yang menanti perombakan total.

Page 397: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

378

Usep Setiawan

Pertarungan paradigma

Aneka paradigma pengelolaan sumberdaya alam (termasukhutan), bisa dipinjam dari Ton Dierz (1996), terdapat tiga pilihanparadigma kebijakan, yakni (i) yang menempatkan lingkungan dansumber-sumber alam sebagai objek eksploitasi (eco-developmentalism),(ii) yang membuat isolasi tertentu terhadap suatu kawasan agar bebasdari intervensi manusia sama sekali (eco-totalism atau eco-fascism), atau(iii) yang menempatkan rakyat di sekitar suatu kawasan sebagai sub-jek utama (eco-populism).

Paradigma pengelolaan hutan Indonesia selama ini menempat-kan hutan sebagai objek eksploitasi yang sejatinya cermin dari para-digma eco-developmentalism. Melalui paradigma ini, Orba menelurkanberbagai kebijakan yang menempatkan hutan sebagai objek eksploi-tasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal. Paradigmapengelolaan kawasan hutan semacam ini dilengkapi pula dengantidak diberikannya ruang yang memadai bagi keterlibatan masyarakatsetempat dalam pengelolaan hutan. Disimpulkan, paradigma kehu-tanan yang berlaku adalah kombinasi eco-developmentalism denganeco-fascism.

Faktanya, pilihan ini telah membuahkan konflik antara negaradan/atau pemodal besar yang diberi mandat mengelola hutan ver-sus penduduk yang punya klaim sejarah budaya yang bersifat kosmo-logis atas kawasan sekitarnya. Buah yang sekarang kita temukan didepan mata adalah disharmoni, karena tidak ditemukannya kesatuanpadang antara negara dan/atau para “pengelola formal” kawasanhutan dengan aspirasi penduduk yang hidup dan berkembang disekitar kawasan tersebut.

Selain itu, dampak nyata yang memprihatinkan adalah tidakadanya upaya penanganan yang efektif dalam mencegah perusakandan memulihkan kerusakan hutan yang membuahkan tragedi ben-cana alam yang mengerikan, seperti banjir besar yang sekarang kerapmelanda (Warta FKKM, Mei 2002). Belakangan disinyalir, dalampraktiknya paradigma lama ini telah melahirkan senyawa korupsi

Page 398: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

379

Kembali ke Agraria

di dalam korporasi pengelolaan hutan, laju perusakan hutan secaramassif, dan disertai pelanggaran hak asasi manusia.

Paradigma lama sudah waktunya ditinggalkan. Perlu paradig-ma baru yang kontekstual zaman dan selaras kepentingan simultansosial, ekonomi dan ekologis. Masyarakat sekitar hutan jangan jadiobjek atau penonton, apalagi korban. Karenanya, wajib diajak bicaratentang kemauan dan kebutuhannya. Mereka harus dilindungi dandidorong kemampuannya dalam memenuhi keselamatan dankesejahteraan hidupnya.

Model pengelolaan hutan oleh rakyat yang hasilnya dinikmatisecara adil bagi semua adalah dambaan kita. Karena keadilan bersa-ma dapat efektif mencegah perusakan hutan, sehingga bisa memper-panjang layanan alam. Mendorong kemampuan kolektif rakyat dalammenghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan hidup-nya.

Dengan produksi kolektif, nilai kemakmuran dinilai berdasartingkat kesejahteraan bersama (Sangkoyo, 2000). Sekarang kita butuhmodel pengelolaan hutan yang memungkinkan terjadinya pemulihandan mencegah perusakan hutan sekaligus lebih berkeadilan sosial.Untuk itulah, paradigma eco-populism layak dipilih.

Belajar dari SPP

Kerumitan terhampar dari paradigma yang tegang antara refor-ma agraria dengan kukuhnya kuasa rezim kehutanan. Kekusutanjuga melekati peraturan perundangan dan kelembagaan, bahkan dibalik sumsum kultur dan psikologis birokrat kehutanan. Dalam sebu-ah diskusi, penulis terhenyak mendengar seorang pejabat kehutananberujar: “Reforma agraria: Yes!, tapi distribusi tanah kehutanan: No!”.Penataan ulang sektor kehutanan itu padahal keniscayaan jika maumerombak struktur ketimpangan penguasaan tanah/kekayaan alam.

Secara operasional, perlu audit menyeluruh terhadap segala jenisusaha kehutanan yang selama ini ada. Keberadaan Perhutani, Inhu-tani, dan seluruh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan

Page 399: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

380

Usep Setiawan

(HPH) dan sejenisnya mendesak diaudit sebagai langkah awal dalammeletakkan dasar baru penguasaan dan pengelolaan hutan di TanahAir.

Hemat penulis, kita perlu belajar dari Serikat Petani Pasundan—organisasi tani independen berbasis di Garut, Ciamis dan Tasikma-laya—Jawa Barat, yang mencoba mencari jawaban sendiri atas keru-mitan pelaksanaan reforma agraria di kawasan hutan. SPP telahberusaha melakukan pemulihan kerusakan hutan, sehingga sulitmenyimpulkan ia sebagai biang kerusakan hutan. SPP juga akanterus melakukan penataan lingkungan dalam upaya mengembalikanfungsi hutan. Beberapa wilayah yang dianggap berhasil mengemba-likan fungsi hutan secara swadaya: Desa Sagara, Kaledong, danCipaganti (Garut), Desa Nagrog, Cigalontang, Cipatujah, Cikatomas,dan Taraju (Tasikmalaya), Desa Cikujang, Margaharja dan Bangun-karya (Ciamis).

Setelah sempat berseteru di media massa, akhirnya Agustiana(Sekjen SPP) dan Susno Duadji (Kapolda Jabar) bersepakat untuksaling bahu-membahu dalam mencegah laju kerusakan hutan di Jabardan mengembalikan fungsi ekologisnya. Dan dalam hal ini, SPP akanmenjadi garda terdepan penyelamatan hutan di Jabar. SPP akan mem-bangun kerja sama dengan semua pihak dalam mengembangkanprogram reboisasi atau penghijauan, serta secara khusus akan mendi-dik dan membentuk Laskar Penyelamat Hutan (Siaran Pers SPP, 25/06/08).

Dengan begitu, SPP telah memberi contoh yang baik dalampengelolaan lahan secara mandiri sehingga membanggakan secarasosial, produktif secara ekonomis dan lestari secara ekologis. Dalamkonteks yang lebih luas, selama ini SPP telah jadi contoh inisiatifrakyat realisasi reforma agraria secara partisipatif.***

Page 400: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

381

Pikiran Rakyat, 24 September 2008

Pengusaha dan Petani

KETIKA kita mengenang Hari Tani Nasional atau Hari AgrariaNasional (24 September 2008), bangsa ini dihantui krisis

pangan dan energi yang amat memprihatinkan. Pemerintah, di anta-ranya melalui Dewan Ketahanan Pangan dan Badan KetahananPangan mencoba memformulasi kebijakan komprehensif untukmenjaga dan meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Masyarakat umum di tataran akar rumput, melalui berbagaikelembagaan sosial yang dimilikinya mencoba terus bertahan dariancaman krisis pangan dan energi yang sedang menggejala secaraglobal itu. Penghematan dan solidaritas sosial di masyarakat menjadistrategi efektif dalam mencegah dampak buruk dari krisis yangmerongrong.

Kalangan pengusaha pun tak mau ketinggalan. Misalnya, artikelArifin Panigoro di sebuah media menandaskan, “Untuk mengatasikrisis pangan, gagasan yang akan segera saya uji coba adalah pemi-likan lahan penuh oleh warga setempat meskipun yang membeli lahanitu pengusaha.” Selain itu, petani dibantu biaya mendirikan perse-roan terbatas atas nama petani, pelatihan manajemen dan bibit yangdiperlukan. Hasil panen dijual sesuai harga pasar kepada mitra usa-ha yang memberikan modal kerja.

Bagi Panigoro, dengan model ini petani bertransformasi daripetani tanpa lahan jadi “pengusaha” lokal sektor pertanian. Ini modellandreform yang akan meningkatkan taraf hidup masyarakat

Page 401: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

382

Usep Setiawan

khususnya petani. Menyeruak pertanyaan, bagaimana hubunganpengusaha, petani, dan pemerintah dalam agenda landreform?

Kucing dan tikus

Dari polemik peran konglomerat dalam pengembangan sektorpertanian, saya mencatat empat kata kunci yang saling berkelindan:tanah, pangan, petani, dan pengusaha. Tanah adalah faktor produksiutama dalam sistem pertanian yang memproduksi bahan pangan.Selama ini, sempitnya lahan pertanian yang dimiliki/dikuasai petanijadi soal struktural utama yang belum teratasi. Ketimpangan pemili-kan dan penguasaan tanah juga jadi sumber ketidakadilan.

Adapun bahan pangan diproduksi oleh sistem pertanian yangberalaskan struktur agraria. Ketika lahan pertanian menyusut danketimpangan tak teratasi, krisis ketersediaan pangan di depan mata.Ketahanan pangan sebagai tujuan dari pembangunan pertanianpada gilirannya sangat tergantung pada ketersediaan lahan pertaniandan keadilan pemilikan dan penguasaan serta pemanfaatannya bagipetani.

Petani itu produsen utama pangan. Dari sawah dan ladangpetanilah dihasilkan berbagai bahan pangan yang dibutuhkan manu-sia. Petani bekerja di atas tanahnya sendiri untuk memproduksi bahanpangan. Sementara “petani” yang bekerja di atas tanah pertanianmilik orang lain, dengan bagi hasil (petani penggarap) maupundibayar upah berupa uang (buruh tani) bukanlah petani sejati.

Dalam konteks pertanian, pengusaha ialah pihak yang menanammodalnya di bidang pertanian, sebagai penyedia tanah, modal, bibit,pupuk, dan teknologi (sarana produksi) pertanian. Kalangan pengu-saha juga berperan kuat dalam distribusi produk pertanian. Pengu-saha dapat menjadi pengumpul, penyalur, pengolah atau penjualproduk pertanian yang dihasilkan petani.

Selama ini, relasi pengusaha dengan petani ibarat “kucing dantikus”, jarang akur. Petani yang mayoritas berlahan sempit dan tergo-long subsisten, berorientasi mencukupi kebutuhan keluarga sendiri,

Page 402: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

383

Kembali ke Agraria

sulit masuk ke dalam logika pasar yang dibangun pengusaha. Dengandemikian, masuknya konglomerat ke sektor pertanian jadi dilema.Pengusaha mungkin bisa menstimulus petani agar bekerja lebih pro-duktif, efektif, efisien, dan memasukkan skala ekonomi ke dalamusaha tani. Intervensi pengusaha juga dapat membuka peluang barubagi petani dalam mengakses kebutuhan dasar pertanian.

Jika mulus, peran pengusaha ini akan menyumbang pada pening-katan taraf hidup masyarakat khususnya petani. Namun di lain sisi,masuknya pengusaha dikhawatirkan akan menjadikan petanisebagai “penggarap” atau “buruh” di atas tanahnya sendiri. Dice-maskan, petani jadi sapi perah pengusaha yang bergerak di sektorpertanian.

Petani kita pernah menelan pil pahit dalam pola pertaniandengan sistem contract farming yang menjadikan petani sebagai satelit(plasma) yang diisap para pengusaha (inti). Relasi berkedok“kemitraan” yang tak seimbang dan tak adil telah menempatkan peta-ni sebagai objek eksploitasi para pengusaha pertanian.

Konsep dan praktik agrobisnis atau agroindustri pun selama inidisinyalir sesat karena mensubordinasi petani tanpa posisi tawaryang cukup di hadapan pengusaha pertanian. Konsep umum agro-bisnis atau agroindustri menempatkan pemilik modal sebagaipemegang kendali utama atas proses produksi dan distribusi hasilpertanian. Sementara kaum tani disulapnya menjadi tenaga kerjaupahan, alias buruh tani.

Bangsa mandiri

Hemat penulis, bagi negeri agraris sekaya Indonesia—lahan luasdan subur serta penduduk mayoritas sebagai petani—krisis pangandan energi sejatinya merupakan momentum yang tepat bagi kita,khususnya pemerintah, untuk berpikir dan bekerja lebih serius dalammerealisasikan land reform sebagai bagian inti dari reforma agraria.

Pada 2008, pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RImenargetkan meredistribusikan tanah objek land reform 332.930

Page 403: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

384

Usep Setiawan

bidang/hektare di seluruh provinsi selain DKI Jakarta. Target inihendaknya diperluas bukan hanya menyangkut tanah objeklandreform yang ditetapkan di masa lalu. Pemerintah mesti lebihbersungguh-sungguh dalam mengidentifikasi tanah-tanah yangpotensial dijadikan objek reforma agraria. Instruksi Presiden SBYuntuk segera menertibkan tanah telantar guna menjawab krisispangan mestinya segera diikuti dengan penyempurnaan PP No. 36/1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.

Lantas, jutaan tanah yang diidentifikasi telantar mesti segeradikembalikan penguasaannya ke tangan negara dan didistribusikankepada petani dan rakyat miskin yang membutuhkannya melaluikoperasi-koperasi produksi pertanian. Koperasi jadi wadah ideal peta-ni dalam mengakses pemilikan/penguasaan tanah dan sarana pro-duksi lainnya, sekaligus memupuk solidaritas kerja produktif ber-sendikan gotong royong. Penguasaan dan pemanfaatan faktor-faktorproduksi secara kolektif inilah “ideologi” yang jadi sumsum koperasipertanian dalam reforma agraria sejati.

Semoga saja Indonesia bisa segera menjadi bangsa mandiri yangmampu mencukupi kebutuhan pangan dan energinya sendiri sebagaicermin dari kemerdekaan bangsa dalam arti sesungguhnya. SelamatHari Tani! ***

Page 404: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

385

Suara Pembaruan, 24 September 2008

Memastikan Kesejahteraan Petani(Refleksi Hari Tani Nasional, 24 September 2008)

SEIRING dengan kabar krisis pangan dan kusutnya sektorpertanian, Hari Tani Nasional 24 September 2008 diselimuti per-

tanyaan, bagaimana masa depan nasib petani kita? Dalam khazanahilmu ekonomi pertanian, kesejahteraan merupakan variabel sentral.Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan tercermin dari arahperubahan indikator kesejahteraan yang digunakan, apakah mening-kat atau menurun. Baik-buruknya sistem pengelolaan dan peman-faatan sumber daya alam tercermin dari meningkat atau menurunnyaindikator kesejahteraan rakyat.

Tinggi-rendahnya pendapatan petani, merata-timpangnya dis-tribusi pendapatan petani versus nonpetani, lestari-terdegradasinyakondisi sumber daya pertanian, mengindikasikan berhasil atau gagal-nya kebijakan pembangunan pertanian. Pemikiran utuh mengenaimasa depan kesejahteraan petani dapat kita telusuri dalam bukuberjudul, Mungkinkah Petani Sejahtera? (Brighten Press, Bogor, Januari2008). Politik pertanian dalam sistem politik ketatatanegaraan dikupaspada bagian pertama buku ini. Dielaborasi arah perkembangan masadepan ekonomi pertanian Indonesia dan konsentrasi industri danpasar tidak sempurna di sektor pertanian. Digagas jalan menuju ke-daulatan pangan dan tantangan dari siklus politik dan respons per-tanian.

Ekonomi pertanian dalam dinamika sumber daya alam dan

Page 405: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

386

Usep Setiawan

pemanasan global (global warming) terkait peran ilmu ekonomi perta-nian dalam dinamika penggunaan lahan pertanian dengan kesejah-teraan petani. Menantang pemikiran mengenai pembangunan perta-nian integratif berwawasan lingkungan dan pasar, serta sajian ekono-mi pedesaan, dinamika sumber daya alam dan reforma agraria diIndonesia.

Kupasan ekonomi pertanian dalam dinamika bisnis, perda-gangan dan pembiayaan, dikaitkan dengan serbuan impor pangan,yang minim perlindungan di era liberalisasi. Peranan dan pengem-bangan hortikultura melalui pendekatan klaster dan contract farming,serta pembiayaan pertanian dalam dinamika ekonomi pertanianmelalui pembangunan lembaga keuangan mikro berkelanjutan bagipelaku usaha pertanian.

Ekonomi pertanian dan revitalisasi pertanian erat kaitannyadengan kesejahteraan petani. Posisi ekonomi pertanian dalam erarevitaliasi pertanian melalui harmonisme mikroekonomi denganmakrokebijakan. Dikupas pula ekonomi pertanian dalam era revita-lisasi pertanian yang dikembangkan pemerintah sekarang dan sum-bangan akademik kajian ekonomi pertanian.

Persoalan Negara

Kembali ke pertanyaan awal yang jadi judul buku, mungkinkahpetani sejahtera? Jawabannya, bergantung pada sejauh mana bangsaini punya pengetahuan, kemauan, dan kemampuan menyediakanberbagai prasyarat dan strategi jitu dalam mewujudkan kesejahteraankaum tani. Apa prasyaratnya dan bagaimana strategi menghadirkanprasyarat tersebut, sehingga kesejahteraan petani tak lagi sekadarkemungkinan, melainkan menjadi kenyataan? Untuk itu, pentingmemosisikan pertanian sebagaimana ditegaskan Agus Pakpahan(2008), bahwa pertanian harus dipandang sebagai persoalan negara,bukan sekadar persoalan sektoral, mengingat kehidupan pertanianakan menentukan mati-hidupnya suatu negara.

Kita tengah dihadapkan pada banyaknya tantangan dan bahkan

Page 406: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

387

Kembali ke Agraria

ancaman bagi kemuskilan terwujudnya kesejahteraan petani.Tantangan mulai dari kecenderungan global, berupa perdaganganinternasional yang tak memihak kaum tani dan pertanian di negaraberkembang. Tantangan internal juga muncul dari keterbatasankemampuan institusi dan aparatus pemerintahan yang bertugasmerevitalisasi pertanian. Sisa-sisa paradigma dan gaya lama modelpembangunan pertanian ala Orde Baru belum pupus sepenuhnya.Bahkan, fokus kebijakan pertanian pemerintah sekarang dipandangmasih belum menunjukkan konsepsi yang terkonsolidasi dan imple-mentasi praktis kebijakan pertanian baru yang nyata dan efektif.

Tantangan lain, lemahnya kelembagaan sosial masyarakat peta-ni sebagai subyek utama pembangunan pertanian. Petani kita mayori-tas jumlahnya, namun tak terorganisasi dengan baik. Belum lagiancaman dari alam yang tengah mengintai berupa perubahan iklimsecara global yang sangat mempengaruhi model dan strategi pem-bangunan pertanian kita. Bencana alam makin sering terjadi danmengambil tempat di mana-mana. Gejala alam dan dinamika ekologistak bisa diabaikan dalam perumusan strategi pembangunan perta-nian.

Membalik arus

Kerangka besar agenda strategis sekaligus prasayarat utamapembangunan pertanian nasional untuk menyejahterakan petani taklain dan tak bukan ialah keperluan dilaksanakannya pembaruanatau reforma agraria (agrarian reform). Reforma agraria harus sesegeradan sematang mungkin dijalankan untuk mendongkrak kesejah-teraan petani. Keberhasilan menjalankan reforma agraria di sampinguntuk mencapai dan mempertahankan skala ekonomi dan mening-katkan nilai tambah, juga akan memperbaiki ketimpangan kesejah-teraan sosial-ekonomi sesama petani maupun antarpetani dan nonpe-tani. Ini merupakan syarat mutlak mewujudkan keadilan sosial(Winoto dan Siregar, 2008).

Inti reforma agraria ialah landreform, yakni penataan ulang

Page 407: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

388

Usep Setiawan

struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melaluilandreform, rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergan-tung pada penggarapan tanah, dipastikan mendapatkan akses pemi-likan tanah disertai program-program penunjang.

Kini, tengah ditunggu kebijakan ekonomi-politik pertanian/agraria yang memihak petani miskin dengan dasar hukum kukuhyang mengedepankan pertanian dan menempatkan petani sebagaisubjek utama pembangunan pertanian. Perlu strategi baru/beda pem-bangunan pertanian yang bermisi menyejahterakan petani dan men-dorong petani jadi mandiri.

Mengutip Sjarifudin Baharsjah: “Harus ada keberanian untukmengakui kemampuan yang sebenarnya sudah ada pada petani danmemberdayakan kemampuan itu. Sudah waktunya kita ‘membalikarus’ pendekatan kita dalam kebijaksanaan pembangunan pertaniandengan mengubah pendekatan yang melulu diluncurkan dari atasdengan pendekatan yang memanfaatkan modal kapital yang dimilikimasyarakat di akar rumput. Membalik arus akan menumbuhkankemandirian petani.”

Semoga Hari Tani Nasional 2008 merangsang elite politik yangakan bertarung dalam Pemilu 2009 memahatkan visi, misi, danprogramnya untuk memastikan perbaikan nasib petani dan mening-katnya kesejahteraan bangsa agraris ini. Selamat Hari Tani! ***

Page 408: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

389

Sinar Harapan, 14 Oktober 2008

Desa Sekedar Jadi Tempat Mudik

BELUM lama ini, 24 September 2008 petani Indonesia merayakanHari Tani Nasional yang disusul Hari Raya Idul Fitri 1429 H.

Hari kemenangan, sebagaimana tradisi, dirayakan kebanyakan or-ang Indonesia dengan mudik ke kampung halaman, berkumpulbersama sanak famili dan berbagi kebahagiaan dengan handai taulan.

Fenomena mudik lebaran yang secara kasat mata memperton-tonkan mengalirnya penduduk dari kota ke desa secara temporal,menjadi indikator bahwa kota telah menghisap tenaga produktif daripedesaan sehingga desa hanya sekedar jadi tempat mudik untukkemudian ditinggalkan kembali, dan akan dijenguk kembali padalebaran tahun berikutnya. Begitu seterusnya.

Orang desa berbondong mengadu nasib ke kota disebabkan per-temalian faktor internal dan eksternal desa. Urbanisasi dapat dise-babkan daya tarik kota yang menjanjikan lebih banyak peluangmeningkatkan kualitas hidup masyarakat (pull factor), atau bisa jugakarena desa tak lagi bisa diharapkan mensejahterakan (push factor).

Sebuah fenomena sosial belum lama ini mencuat yang mengge-napi kecenderungan merosotnya sektor pertanian dan bangkrutnyapedesaan. Koran-koran mengabarkan, hasil seleksi nasional masukperguruan tinggi tahun 2008 menyisakan 2.894 kursi kosong padaprogram studi pertanian dan peternakan di 47 perguruan tinggi nege-ri. Kasat mata nampak minat kaum muda terhadap pertanian begiturendah.

Page 409: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

390

Usep Setiawan

Jika menengok keadaan di pedesaan, kenyataan tak kalah mem-prihatinkan. Malah memilukan. Banyak pemuda desa tak lagi sukamenjejakkan kakinya di ladang/sawah. Tak sedikit pemudi desamemilih ke kota mengadu nasib jadi pembantu rumah tangga. Bilaperlu, terbang ke negeri orang jadi tenaga kerja wanita/Indonesia.

Sosiologi pedesaan

Kaum muda desa tak lagi punya harapan pada pertanian. La-dang dan sawah sebagai pangkal penghasil produk pertanian panganmulai ditinggalkan, karena tak lagi menjanjikan pendapatan cukup.Untuk kebutuhan primer pun tak bisa mengandalkan hasil pertanian.Para orang tua di desa tak berkeinginan punya anak petani. Daripadamenyaksikan anaknya menganggur, para orang tua lebih mendoronganak-anaknya jadi buruh di kota, sekalipun berupah murah dan per-lindungan kerja alakadarnya.

Orang desa rela pergi kota untuk jadi apa saja, asal jangan keli-hatan menganggur karena itu aib. Sering orang miskin dari desaterpaksa “mengungsi” jadi kaum miskin di kota sebagai gelandangan,pengemis, pemulung, pengamen dan sejenisnya. Mengecilnya minatgenerasi muda terhadap studi pertanian dan bangkrutnya masa de-pan pedesaan, yang dilengkapi tak tertahannya laju deras arus urba-nisasi merupakan dampak dari kebijakan pertanian dan pedesaandi masa lalu. Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, pakar agraria dansosiologi pedesaan menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negaraagraris yang mengingkari agraria (pertanian).

Dalam bukunya yang berjudul “Negara Agraris Ingkari Agraria”(Akatiga, April 2008) Prof. Tjondronegoro menegaskan sikapnya dalammeletakkan agraria sebagai masalah pokok bangsa dan menjadikanreforma agraria sebagai solusi sekaligus strategi dasar pembangunannasional yang seharusnya dijalankan. Ia mengaitkan masalah pem-bangunan dan masyarakat desa, dengan cara menunjukkan kete-gangan konseptual antara pembangunan pertanian versus indus-trialisasi, dan kebijakan pembangunan pedesaan versus urbanisasi.

Page 410: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

391

Kembali ke Agraria

Yang menjadi tema sentral solusi masalah pokok agraria adalahreforma agraria. Untuk memahami kaitan antara rendahnya minatkaum muda terhadap bidang pertanian, merosotnya pamor pedesaandan derasnya urbanisasi kita dapat meminjam kacamata sosiologipedesaan.

Buku Sediono M.P. Tjondronegoro lainnya, berjudul “RanahKajian Sosiologi Pedesaan” (suntingan Soeryo Adiwibowo, MelanieA. Sunito, dan Lala M. Kolopaking; DKPM IPB, Bogor, Mei 2008) dapatmenjadi rujukan segar yang memberi suguhan tentang tali temaliyang kuat antara sosiologi pedesaaan dengan eksistensi desa, perma-salahan agraria, kelembagaan, kemiskinan, kependudukan danlingkungan hidup.

Studi sosiologi pedesaan membantu memahami apa yang sedangterjadi di pedesaan dan kaitannya dengan masalah struktural di luardesa. Dalam hal ini, jelas menunjukkan keterkaitan antara aras mikrodan makro pedesaan, sehingga desa (dan pertanian) tak bisa dibahasterlepas dari konteks struktural dan kulturalnya.

Pidato Bung Karno

Pemikiran Prof. Tjondro fokus pada studi sosiologi pedesaan,desa, agraria, kelembagaan, kependudukan dan lingkungan hidup,golongan lemah pedesaan, perubahan sosial, dan metodologi pene-litian sosial. Kita sadar, merosotnya minat manusia Indonesia terha-dap bidang pertanian dan bangkrutnya pedesaan serta fenomenaarus urbanisasi erat kaitannya dengan paradigma, orientasi danpraktek pembangunan pertanian dan pedesaan yang tak lagi mem-berikan harapan “keunggulan” bagi para pelaku dan penghuni didalamnya.

Diperlukan reorientasi pembangunan pertanian yang dilandasiparadigma reforma agraria sebagai strategi alternatif dalam revita-lisasi pertanian dan pembangunan pedesaan secara mendasar danmenyeluruh. Kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga me-nengah hendaknya menampilkan daya tarik dan urgensi pertanian

Page 411: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

392

Usep Setiawan

bagi bangsa kita. Pemerintah mesti segera menyediakan berbagaiinsentif bagi petani, subsidi dalam proses produksi yang diterimalangsung petani, proteksi terhadap produk pertanian dan distribusitanah bagi petani berlahan sempit dan tak bertanah. Kita ditantangmemastikan petani tetap aman dan nyaman di ladang dan sawahmereka, serta tersedianya aneka pilihan pengembangan pertaniandan pedesaan yang lebih inovatif dan berkeadilan.

Dalam pidato peresmian Kampus IPB (27 April 1952), BungKarno mengingatkan, “Engkau pemuda-pemudi, engkau terutamasekali harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari kemudian adalahhari mu, alam kemudian adalah alam mu; bukan alam kami kaumtua ... Tiap tahun zonder kecuali, soal beras (pangan) akan datangdan makin lama makin hebat, selama tambahnya penduduk yangcepat tak diimbangi tambahnya bahan makanan yang cepat pula!”

Generasi muda Indonesia harus terus dirangsang agar (kembali)mencintai petani dan pertanian sebagai wujud cinta Tanah Air. Denganbegitu, Indonesia akan turut mempertinggi peradaban dunia.***

Page 412: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

393

Sinar Harapan, 13 Februari 2009

Reforma Agraria Yudhoyono Gagal?

KORAN ini pernah mengabarkan, “Reforma agraria gagal, 24juta petani terancam kehilangan lahan.” Revitalisasi pertanian

yang dijanjikan Presiden Yudhoyono juga telah gagal dipenuhi, hing-ga menjelang akhir kekuasaannya. Masalah reformasi lahan perta-nian (landreform), yaitu distribusi lahan untuk petani tanamanpangan, praktis tak terselesaikan.

Padahal, Yudhoyono telah berkomitmen melaksanakan reformaagraria. Revitalisasi hanya slogan dan seolah tidak ada harapan un-tuk mencapai landreform itu. Padahal, hanya Presiden yang dapatmemulainya, karena upaya reformasi itu melibatkan lintas sektoral(Sinar Harapan, 21/01/09).

Komitmen politik pemerintahan yang dipimpin Presiden SusiloBambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla untuk melaksanakanreforma agraria terbukti masih jauh dari memadai. Misalnya, sinya-lemen yang dicetuskan Presiden Yudhoyono (31 Januari 2007) tentangkeinginan mendistribusikan jutaan hektare tanah bagi rakyat miskin,hingga kini masih jauh panggang dari api.

Di lain pihak, sejumlah regulasi, kebijakan dan program pem-bangunan yang dijalankan pemerintah masih saja cenderung mene-gasikan agenda-agenda pokok reforma agraria dan tidak cukup res-ponsif untuk menangani dan menyelesaikan ribuan kasus sengketadan konflik agraria yang memperhadapkan rakyat miskin denganpemodal besar yang disokong aparatus negara.

Page 413: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

394

Usep Setiawan

Jika demikian, benarkah reforma agraria di era Yudhoyono ga-gal? Yang tepat, mengutip seorang pakar agraria dalam sebuah dis-kusi, Yudhoyono belum menjalankan reforma agraria, sehingga sulituntuk menilai “gagal” atau tidaknya sesuatu yang belum dijalankanitu.

Resesi dan pemilu

Belum tuntas dengan pekerjaan rumah yang lama, bangsa inisedang dihadapkan pada dua tantangan baru yang datang sekaligus:(1) Resesi ekonomi yang dipicu krisis finansial global dengan segalaimplikasi negatifnya bagi kehidupan bangsa, dan (2) PelaksanaanPemilu 2009 yang akan mensirkulasi elite pemerintahan pusatdengan seluruh potensi ketegangan sosial-politik yang menyertainya.

Kondisi agraria saat ini makin terancam akibat krisis ekonomiglobal yang bermula dari krisis finansial di negara-negara maju. Dapatdipastikan bahwa konsekuensi dari krisis ini akan semakin mem-perparah kehidupan kaum tani, buruh, nelayan dan rakyat yang ber-penghasilan rendah. Penurunan konsumsi dunia terhadap hasil daripertanian komoditas mengakibatkan anjloknya harga komoditasperkebunan (kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dll) hingga level yangterendah akan membuat jutaan petani komoditas di Indonesia menga-lami depresi dan ancaman kelaparan.

Demikian pula, gelombang PHK bagi buruh-buruh industri ma-nufaktur, tekstil, perkebunan besar, pertambangan, industri pulp dankertas, serta menurunnya daya beli masyarakat akan semakin mem-perparah perekenomian nasional. Ancaman kelaparan juga akanterjadi di sektor pedesaan dan perkotaan, akibat runtuhnya produk-tivitas rakyat dan tiadanya akses kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria (Idham Arsyad, 2008). Baik resesi ekonomi sebagaipemicu krisis maupun pemilu sebagai potensi pemantik keteganganpolitik hampir dipastikan akan menguras energi bangsa ini. Dam-paknya, hampir semua agenda mendasar yang seharusnya segeradijalankan malah tertunda. Pun begitu dengan upaya menata ulang

Page 414: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

395

Kembali ke Agraria

struktur dan sistem keagrariaan kita melalui reformasi agraria besarkemungkinan masuk ke jalur lambat, lalu terhenti total di persim-pangan ketidakpastian.

Menjelang Pemilu 2009, para “calon pemimpin” sedang mene-barkan seribu satu cara untuk merangsang publik calon pemilihdengan motif untuk mendapat simpati yang berujung pada dukunganpemilih. Semua kandidat bermimpi dipercaya dan dipilih rakyat padahari-H pemilu. Tak pelak, pemilu menjadi arena kontes politik yangpanas dan menegangkan. Situasi sosial politik ini menyisakan potensigesekan horizontal yang perlu diwaspadai bersama. Pemilu sebagaimekanisme demokratis dalam membentuk pemerintahan yang mela-yani kepentingan publik haruslah dihindarkan dari arena pertum-bukan kepentingan sempit yang bisa mengoyak kebersamaan kitasebagai bangsa.

Empat prasyarat

Adapun tertundanya pelaksanaan reforma agraria akibat resesiekonomi dan pemilu, mestinya menantang kita untuk kreatif mene-mukan pintu-pintu baru guna terus menggulirkan urgensi realisasireformasi agraria. Sebagai bangsa yang cerdas, kita ditantang untukmengubah resesi ekonomi dan gejolak politik praktis sebagai mo-mentum mengukuhkan agenda reformasi agraria di negeri tercinta.Bisakah kita kreatif menjadikan “bencana” berubah “anugerah”?Dari “ancaman” jadi “peluang”?

Bagi penulis, resesi ekonomi dan Pemilu 2009 akan memberimakna positif jika diikuti empat prasyarat berikut. Pertama, harusada calon presiden yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 yangmemiliki visi, misi dan program yang utuh dan kongkret untuk men-jalankan reformasi agraria. Kesungguhan dan kesiapan capres untukmenata sistem dan struktur agraria sehingga menjadi lebih adil danpro rakyat kecil akan menjadi perawat harapan dapat melajunyakembali agenda reformasi agraria seusai Pemilu 2009.

Kedua, harus ada partai politik yang menempatkan reforma agraria

Page 415: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

396

Usep Setiawan

sebagai agenda politik strategisnya yang disertai hadirnya sekum-pulan politisi baru yang pro reforma agraria yang masuk ke parlemen(DPR RI) melalui Pemilu 2009, sehingga terbangun kaukus politisilintas partai yang akan mengontrol pemerintah baru, membuat APBNdan menyusun legislasi baru yang pro reforma agraria. Ketiga, perluada konsolidasi kekuatan rakyat, khususnya petani yang secara poli-tik terus melakukan tuntutan dan tekanan kepada para elite politikdi pemerintahan (eksekutif maupun legislatif) hasil Pemilu 2009,sehingga aspirasi massa rakyat dari ujung timur-barat sampai utara-selatan republik ini secara kuat dan konsisten menyuarakan urgensipelaksanaan reforma agraria.

Keempat, perlu juga dukungan publik yang lebih luas dan kuatbagi pelaksanaan reforma agraria, terutama dari kalangan akademisi,tokoh agama, tokoh masyarakat, jurnalis dan lembaga swadaya ma-syarakat.***

Page 416: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

397

Media Indonesia, 5 Maret 2009

Reforma Agraria dan Pemilu 2009

BAGAIMANA dinamika terkini agenda reforma agrariapemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla? Ba-

gaimana potensi eksistensi agenda reforma agraria pada peme-rintahan baru hasil Pemilu 2009?

Perkembangan akhir agenda reforma agraria pemerintahan SBY-JK dapat dikatakan menuju stagnasi. Reforma agraria yang dijanjikanSBY-JK dalam kampanye Pemilu 2004 terancam berhenti pada waca-na dan konsepsi, jauh dari praktek menyeluruh dan sejati. Sampaisaat ini belum terbit UU, PP atau Perpres/Keppres yang secara khususmengatur reforma agraria.

Redistribusi versus sertifikasi

Reforma agraria dalam pidato politik SBY (31-1-2007) dijanjikanakan mulai dilaksanakan dengan agenda pokok redistribusi tanahbagi rakyat miskin. Kabarnya ada jutaan hektare “tanah negara” yangakan “dibagikan” pada rakyat miskin sebagai bagian upaya menga-tasi kemiskinan dan pengangguran. Saat ini realisasi agenda tanahbagi kaum miskin makin kehilangan momentum politiknya. Tanahyang mana dan kepada siapa ia akan didistribusikan masih tetapjadi tanya tak terjawab.

Secara teoritik, redistribusi tanah memang menjadi bagian krusialdari penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah (landreform)supaya tercipta struktur agraria baru yang lebih adil. Landreform

Page 417: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

398

Usep Setiawan

dikenal sebagai agenda inti dari reformasi agraria sejati. Landreformtanpa distribusi dan redistribusi tanah tentu saja kehilangan makna.Kaum miskin (buruh tani, petani penggarap, petani gurem, dan rakyatkecil) yang sangat tergantung pada penguasaan dan pemanfaatantanah harus jadi subjek penerima manfaat reformasi agraria. Sejauhini belum ada upaya serius untuk mengakhiri peningkatan jumlahpetani gurem dengan skala penguasaan tanah di bawah 0,5 hektare.

Lain halnya dengan agenda sertifikasi tanah massal secara gratisyang gencar digalakkan pemerintah. Presiden Yudhoyono telah me-launching program layanan rakyat untuk sertifikasi tanah. Programitu dinilai positif dari sisi penertiban sistem administrasi pertanahansehingga pelayanan pemerintah di bidang pertanahan jadi lebih efek-tif dan efisien. Namun, sejumlah kalangan melontarkan kritik atasprogram sertifikasi ini. Ada yang menilai program itu bukan kebu-tuhan mendesak di tengah maraknya konflik agraria dan sengketatanah, serta tajamnya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah.Bahkan, dikhawatirkan program itu hanya akan mengukuhkan danmelanggengkan ketimpangan struktur agraria.

Lebih jauh, sertifikasi tanah massal dipandang sebagai jembatanyang memperlancar sistem ekonomi neoliberal yang masuk melaluimekanisme pasar tanah (land market). Dengan sertifikasi tanah secaramassal (walaupun gratis), eksistensi tanah yang telah besertifikat itusegera bergeser jadi “komoditas” sehingga menjadi barang daganganyang lebih gampang diperjualbelikan dan masuk ke sektor perbankan.

Alih-alih menertibkan administrasi pertanahan sehingga pela-yanan pemerintah di bidang pertanahan, sertifikasi tanah secaramassal dalam jangka panjang berpotensi menambah rumit strukturagraria kita karena ketimpangan dan ketidakadilan telanjur terlega-lisasi melalui sertifikat tanah sebagai bukti terkuat pemilikan tanah.

Setelah Pemilu 2009

Potensi eksistensi agenda reforma agraria pada pemerintahanbaru hasil Pemilu 2009 akan sangat tergantung beberapa faktor penen-

Page 418: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

399

Kembali ke Agraria

tu. Ada empat faktor yang akan menentukan masa depan reformaagraria, pertama, tergantung presiden terpilih. Jika presidennya masihSBY, ia harus secara signifikan mengubah arah dan strategi mereali-sasikan reforma agraria. SBY harus lebih tegas dan berani mengubahsumber ketidakadilan struktur agraria seperti perkebunan besar dankehutanan. SBY harus lebih tegas pemihakannya pada rakyat miskindan menunjuk menteri-menteri serta pembantunya yang paham dansehaluan dalam merealisasikan reforma agraria.

Jika yang terpilih bukan SBY, ada dua kemungkinan. Pertama,pengganti SBY lebih buruk karena tak mau atau tak tahu relevansidan urgensi reforma agraria. Kedua, penggantinya lebih progresif:mempunyai visi reforma agraria, memiliki strategi serta langkah-lang-kah konkret yang lebih jitu. Siapa pun presiden yang terpilih nanti,hendaknya segera menghidupkan kembali Kementerian NegaraAgraria dan membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria. Bagipenanganan konflik, perlu dibentuk Peradilan Agraria dan/atauKomisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.

Kedua, tergantung dukungan politik parlemen. Posisi DPR seba-gai pembuat undang-undang, penyusun anggaran negara, danpengontrol pemerintahan mestinya mengarahkan dukungan politikterhadap realisasi reformasi agraria. DPR jangan jadi penghambatpolitik. DPR hasil Pemilu 2009 hendaknya memprioritaskan pem-bentukan UU khusus untuk reforma agraria dengan merujuk UUD1945 (Pasal 33), Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta UU No 5/1960 TentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Ketiga, tergantung dorongan dari kekuatan gerakan rakyat yangterkonsolidasi di akar rumput. Reforma agraria sejati yang diperju-angkan berbagai kalangan dan organisasi gerakan selama ini adalahreforma agraria yang didasarkan atas prakarsa dan kekuatan rakyat,yang diistilahkan agrarian reform by leverage.

Keempat, perlu dukungan publik. Kalangan yang memiliki kepe-dulian pada masa depan bangsa dan memiliki pemihakan pada go-

Page 419: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

400

Usep Setiawan

longan ekonomi lemah perlu memberikan dukungan. Dalam hal ini,tokoh agama, akademisi, jurnalis, dan pegiat organisasi non-peme-rintahan sebaiknya berdiri di belakang gerakan rakyat untuk reformaagraria sejati.

Jika keempat hal tersebut tersedia secara memadai setelah Pemilu2009, kita boleh berharap reforma agraria akan terus bergulir danmenguat. Sebaliknya, jika salah satu atau beberapa hal tersebut absen,ibarat kendaraan, reforma agraria terancam masuk ke area parkiryang tak diketahui kapan akan berangkat lagi.***

Page 420: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

401

Suara Pembaruan, 1 Mei 2009

Nasib Buruh di Negeri Agraris

KOMPLEKSITAS persoalan buruh sebenarnya cermin daridiabaikannya persoalan agraria. Urbanisasi terus meningkat

setiap tahun disebabkan oleh ekonomi pedesaan tidak memberi sur-plus. Tenaga kerja kota saat ini merupakan tenaga kerja desa yangterlempar ke kota dengan tidak melalui proses transformasi ekonomi/pekerjaan yang wajar.

Di sinilah urgensi reformasi kebijakan ketenagakerjaan dengankewajiban pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. Urgen-sinya tidak hanya untuk menahan laju urbanisasi, menciptakan la-pangan pekerjaan di desa, tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari reformaagraria akan mendukung pembangunan industri nasional yangkokoh. Demikian pokok pikiran yang dipahatkan panitia bersamayang akan menggelar Konferensi Nasional Reforma Agraria, akhirMei 2009 ini. Tulisan ini, selanjutnya menyelami kaitan antara nasibkaum buruh dan problem agraria dan reforma agraria.

Jika kita cermati persoalan perburuhan di Indonesia saat ini, bolehdisimpulkan bahwa pada kenyataannya belum ada perubahan yangberarti. Kaum buruh sebagai kelas pekerja yang ‘menjual’ tenaganyakepada pihak lain, yang menguasai faktor-faktor produksi, masihdiperhadapkan pada problem-problem mendasar dan tradisionalnya.Sedikit saja yang membedakan nasib buruh di era Soeharto denganera reformasi, yakni adanya kebebasan berserikat atau berorganisasi.

Sementara itu, bangsa ini masih dihadapkan pada berbagai per-

Page 421: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

402

Usep Setiawan

soalan struktural yang belum terselesaikan, seperti: kemiskinan yangmerata di pedesaan serta di perkotaan, tingginya angka penganggu-ran, terjadinya krisis ekologi, krisis pangan, krisis energi, serta tinggi-nya intensitas konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hakasasi manusia, dan lain-lain. Belum lagi, ancaman krisis ekonomi glo-bal yang bermula dari krisis finansial di negara-negara maju. Dapatdipastikan bahwa konsekuensi dari krisis ini akan semakin memper-parah dan mempersulit kehidupan kaum tani, buruh, nelayan, masya-rakat adat, warga miskin kota, dan rakyat yang berpenghasilan rendah.

Kemandekan ekonomi di pedesaan dan sektor pertanian adalahgejala umum yang menandai de-agrarianisasi, yang bercirikan sema-kin menyempitnya lahan rumah tangga pertanian dan meluasnyapenguasaan tanah untuk usaha perkebunan, kehutanan, dan pertam-bangan. Hasil pertanian menjadi unsur tambahan dari keseluruhankehidupan rumah tangga petani, melemahnya identitas politik petaniberhadapan dengan kekuatan dan pengaruh ekonomi neoliberal, sertasemakin membesarnya laju arus urbanisasi. Sedangkan kemandekansektor industri ialah gejala de-industrialisasi, yang ditandai melam-batnya pertumbuhan sektor industri yang diikuti rendahnya penye-rapan tenaga kerja di sektor industri.

Menuju solusi

Dalam konteks inilah kita perlu reforma agraria sebagai gerakanyang bertujuan untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi melaluipenataan sumber-sumber agraria, yaitu keadaan di mana tidak dite-mukan konsentrasi penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, sertapemeliharaan sumber-sumber agraria yang melahirkan akumulasidan monopoli kekayaan pada segelintir orang.

Reforma agraria sebagai jalan perubahan sosial, ekonomi, politik,dan budaya untuk mencapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahte-raan bagi rakyat Indonesia (amanat konstitusi) telah menjadi kesepa-katan dan ketetapan dari pelaku gerakan reforma agraria di Indone-sia melalui “Deklarasi Pembaruan Agraria 1998” yang kemudian dite-

Page 422: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

403

Kembali ke Agraria

gaskan kembali pada “Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia 2001”.Untuk mencapai jalan perubahan tersebut, beberapa agenda

pokok reforma agraria adalah koreksi mendasar terhadap hukumkeagrariaan yang mengukuhkan kepemilikan sumber-sumber agrariasecara kapitalistik dan monopolistik, serta peninjauan ulang konsepsimengenai hak menguasai negara yang menempatkan kekuasaan ne-gara yang lebih dominan dan menyingkirkan kuasa rakyat atas sum-ber-sumber agrarianya.

Diperlukan juga koreksi mendasar atas asas sektoralisme hukum,untuk membentuk sistem hukum terpadu, yang memberikan ruanghidup pada sistem-sistem hukum adat yang beragam. Pembatasandan peninjauan ulang atas penguasaan tanah dan sumber-sumberagraria oleh badan-badan usaha untuk mencegah konsentrasi jugaharus dilakukan. Tentu saja, dijalankannya landreform secara menye-luruh dan menjamin kepastian penguasaan dan penggarapan tanahkepada buruh tani, petani kecil, dan pekerja pedesaan lainnya takbisa ditawar lagi.

Tetap penting untuk menyelesaikan seluruh sengketa dan konflikagraria dengan mengedepankan rasa keadilan dan kepentingan rakyat,serta penataan ulang produksi pedesaan dan disusun perencanaanekonomi pedesaan yang menempatkan kepentingan pengembanganekonomi rakyat, bukan kepentingan ekonomi pengusaha. Untuk itu,perlu ditegakkan lembaga peradilan agraria yang independen, dandibentuk badan khusus untuk pelaksanaan agenda reforma agraria.

Untuk itu, perlu dibaca ulang capaian-capaian dari gerakanreforma agraria yang ada selama ini, untuk menentukan posisi barudi hadapan kekuatan ekonomi dan politik rezim yang (akan) berkuasa.Dari sinilah kita berpijak untuk memperbaiki nasib kaum buruh dinegeri agraris ini. Satukan tekad sambil memperingati hari buruhsedunia hari ini. Selamat hari buruh.***

(Artikel ini ditulis bersama oleh Usep Setiawan dan IdhamArsyad)

Page 423: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

404

Suara Pembaruan, 31 Juli 2009

Land Reform: Menata Penguasaan Tanah,Mencegah Kemiskinan Struktural

INDONESIA memiliki lahan tanah yang begitu luas. Itu sebabnya,masalah tanah bernilai strategis bagi kemakmuran rakyat. Dan

hal itu sudah diamanatkan UUD 1945, bahwa pemerintah harusmengelola tanah untuk kemaslahatan bagi rakyat secara lebih meratadan berkeadilan. Dan, pembaruan di bidang agraria pun dicanang-kan agar tidak semakin bertambah deretan buruh tani sebagai cermindari kemelaratan di negeri ini. Bagaimana kenyataannya?

Berikut petikan wawancara SP dengan Ketua Dewan NasionalKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Usep Setiawan di kantornyadi Jakarta, baru-baru ini.

Apa yang telah dilakukan Pemerintahan SBY - JK terkait pembaruanagraria?

Ada tiga fase yang terjadi dalam pemerintahan SBY - JK terkaitpembaruan agraria. Pertama, SBY - JK menjanjikan akan menjalankanpembaruan agraria. Sejak 2004, pembaruan agraria masuk dalamnaskah visi dan misi serta program SBY - JK. Mereka secara resmibahkan mengkampanyekannya secara lisan terbuka di media massabahwa kalau terpilih tahun 2004 pembaruan agraria akan dijalankan.

Kedua, fase merumuskan konsepsi dan kebijakan. Dari peman-tauan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Presiden pernahmemimpin rapat kabinet khusus tentang pembaruan agraria, pernah

Page 424: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

405

Kembali ke Agraria

berpidato secara khusus juga menyatakan pembaruan agraria akandijalankan tanggal 31 Januari 2007, dan pemerintah sudah menyusunRancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai pembaruanagraria. Ujung fase ini ialah kebijakan yang berbentuk RPPPembaruan Agraria yang sampai hari ini belum ditandatangani.Artinya belum ada kebijakan yang khusus dibikin SBY - JK untukpembaruan agraria.

Ketiga, fase ini sebenarnya mengecewakan kita. Ini merupakanfase berjanji, fase mewacanakan, fase implementasi. Yang terjadiadalah kita menyebutnya pembelokan konsep pembaruan agrariayang sejati. Konsep pembaruan agraria yang sejati yang kita maksudadalah satu upaya perombakan struktur pemilikan penguasaan tanahuntuk kepentingan rakyat kecil golongan ekonomi lemah, khususnyapetani di pedesaan yang dijalankan dengan semangat kolektif,semangat gotong royong. Yang terjadi, pembaruan agraria SBY - JKjustru digencarkannya kebijakan-kebijakan pertanahan dankebijakan lain terkait sumberdaya alam yang mempunyai ciri-ciribertolak belakang dengan semangat pembaruan agraria itu sendiri.Contoh program Larasita (Pelayanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah).Pemerintah menggelar proyek itu dengan cara membagi-bagikansertifikat tanah individu secara mudah, murah, prosesnya cepatbahkan gratis untuk puluhan ribu rakyat.

Bagi KPA, sertifikat tanah secara individual tidak lain adalahinstrumen yang akan secara efektif menjadikan tanah sebagai barangdagangan, sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan denganmudah melalui mekanisme pasar. Pasar tanah (land market) inimerupakan satu ideologi yang sejak awal ditentang KPA.Kesimpulannya, pembaruan agraria sepanjang SBY - JK lima tahunmemimpin kemarin belum menjalankan pembaruan agraria yangsejati.

Apa substansi dari Rancangan Peraturan Pemerintah tentangPembaruan Agraria?

Rancangan Peraturan Pemerintah ini disusun pemerintah

Page 425: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

406

Usep Setiawan

melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam prosesnya, KPAmemang diminta untuk memberikan masukan-masukan substansialmelalui berbagai forum seperti lokakarya dan seminar terbuka. Jadisecara proses, KPA turut merumuskan naskah awal RancanganPeraturan Pemerintah (RPP) Pembaruan Agraria.

Kalau isi RPP itu, KPA telah menerbitkan buku mengenai ran-cangan program pembaruan agraria nasional. Intinya dari RPP itukita melihat secara substansi sudah masuk beberapa urusan mendasarmengenai pembaruan agraria. Khususnya terkait dengan landreform-nya. Sebab, landreform itu agenda intinya pembaruan agraria.Misalnya, hal-hal yang terkait dengan identifikasi obyek atau tanahyang akan dijadikan obyek landreform sudah ada di situ. Kedua, iden-tifikasi subyek. Siapa yang akan menerima tanah dalam programlandreform itu, juga ada di situ.

Kemudian mekanismenya. Bagaimana tanah itu didistribusikanke rakyat, ada di situ. Kemudian kelembagaannya. Bagaimana ditingkat pusat (nasional), provinsi, kabupaten/kota ada struktur pelak-sana pembaruan agraria itu, sehingga ada dewan pembaruan agrarianasional, dewan pembaruan agraria provinsi, dewan pembaruanagraria tingkat kabupaten/kota. Masing-masing dipimpin oleh pim-pinan pemerintah setingkatnya. Presiden di tingkat pusat, gubernurdi tingkat provinsi, bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota. Disampingnya juga ada badan eksekutifnya.

Sebenarnya apa yang akan dituju dalam landreform itu?

Yang hendak dituju sebenarnya menata struktur ketimpangandalam penguasaan pemilikan tanah. Oleh karena itu identifikasiobyek landreform menurut kita adalah tanah-tanah yang selama inimenjadi sumber dari ketimpangan itu yang seharusnya masuk dalamobyek. Lalu, siapa subyeknya? Para petani miskin, petani yang tidakmempunyai tanah sama sekali atau tanahnya sempit, buruh tani ataupetani gurem. Itu adalah subyek prioritas yang seharusnya menda-patkan tanah.

Page 426: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

407

Kembali ke Agraria

RPP ini, dari unsur positifnya, sudah mengandung unsur-unsurpokok bagi landreform. Skema pembiayaan juga ada dalam RPP itu.Tapi RPP ini belum menunjukkan ciri landreform yang memangditujukan untuk mengatasi struktur ketimpangan tanah di satu sisidengan memenuhi kebutuhan rakyat tak bertanah, untuk buruh tanidan petani gurem. Materi RPP masih bisa ditafsirkan macam-macam.

Pada kondisi dewasa ini, tanah cenderung menjadi komoditi. Lantasbagaimana dengan fungsi sosialnya?

Sepertinya wajib mempertahankan fungsi sosial tanah dalamkekayaan alam kita. Karena itulah yang menjadi benteng bagi kitauntuk tidak membiarkan Tanah Air dan kekayaan alam lepas ke meka-nisme pasar dan penguasaannya hanya pada pihak-pihak yangmemiliki kemampuan ekonomi kuat dan posisi politiknya kuat.

Sebenarnya ada tiga fungsi tanah yang harus dijalankan seim-bang yakni fungsi sosial, fungsi ekonomi dan fungsi ekologi (ling-kungan). Fungsi sosial yang dimaksud sebenarnya kalau semangatUUPA terlihat jelas bahwa penguasaan dan pemilikan dan peman-faatan tanah itu harus memprioritaskan golongan ekonomi lemah.Rakyat yang miskin. Petani tak bertanah. Nelayan tradisional. Masya-rakat adat yang ada di pedalaman. Kaum miskin di perkotaan.

Pemerintah kini gencar menelorkan kebijakan (regulasi) investasi.Dalam praktiknya sering tumpang tindih dari aspek agraria dan kurangmenguntungkan rakyat di pedesaan yang bergantung pada pertanian.Kondisi ini sering dituding sebagai stimulus bertambahnya deretanjumlah buruh tani. Bagaimana KPA mengkritisi hal tersebut?

Ada tiga isu yang saya tangkap. Pertama, isu investasi di lahanagraria, khususnya investasi asing. Kedua, isu proletarisasi di manapetani kita menjadi buruh di lahannya. Ketiga, isu sektoral di dalamperundang-undangan. Dalam isu investasi, memang sejak Orde Baruhingga kini yang namanya orientasi politik agraria kita bisa dikatakanbukan politik ekonomi agraria yang pintu terbuka. Tapi rumah

Page 427: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

408

Usep Setiawan

terbuka. Apalagi bila dikaitkan adanya UU Penanaman Modal. Inimemang menunjukkan sejak politik investasi era Soeharto berkuasahingga SBY - JK berkuasa, dengan memperbarui UU Penanaman Mo-dal, benang merahnya masih tetap sama. Politik investasi rumahterbuka itu menjadikan investasi asing begitu mudah masuk ke rumahkita, begitu mudah menguasai tanah air kita, dan begitu mudah meng-hisap kekayaan alam kita untuk kepentingan investasi mereka.

Dan, hasil yang kita dapatkan kemiskinan rakyat di sekitar sum-ber daya yang melimpah itu atau melarat di tengah kelimpahan itu.Kalau kekayaan alam kita sudah tersedot ke negara lain, memperkayabangsa lain, kemudian kerusakan alam menjadi dampak yang men-jadi beban anak cucu kita. Jadi politik investasi di lapangan agrariasudah sedemikian rupa menghancurkan sendi kehidupan bangsakita. Dan kalau saya menyebutnya dengan UU Penanaman Modalyang terakhir, kita memasuki masa neokolonialisme yang sempurna.Jadi penjajahan bentuk baru yang paripurna.

Perjuangan formal KPA untuk melawan hal itu ke MahkamahKonstitusi (MK). Kita mengajukan uji materi UU Penanaman Modal,dan pasal yang kita sorot adalah pasal 22 tentang hak atas tanahyang akhirnya dibatalkan oleh MK. Yang dibatalkan jangka waktu-nya yakni dari 95 tahun hak guna usaha, menurut MK melanggarkonstitusi pasal 33 ayat (3) dikembalikan ke UUPA No 5 Tahun 1960yang menentukan bahwa maksimal HGU hanya 35 tahun.

Apa kongkret proletarisasi yang Anda maksud?

Tentang proletarisasi, komentar saya bahwa pemerintah kitasejak Orde Baru hingga kini tidak mempunyai politik pertanahanyang memuliakan petani kita. Kalau memuliakan petani di pedesaanmestinya membereskan akses dan kebutuhan agar bertahan di desaketimbang menjadi tenaga di luar negeri atau buruh migran.

Saya kira politik agraria yang memanjakan investasi asing itusecara tidak langsung menyebabkan proletarisasi terjadi. Karenayang menguasai dan mengelola tanah dan kekayaan alam kita bukan

Page 428: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

409

Kembali ke Agraria

petani-petani lagi. Sudah korporasi-korporasi di sektor perkebunan,kehutanan, dan pertambangan. Jadi, hukum dan undang-undangdibuat compatible dengan kepentingan investasi di berbagai sektoragraria.

Kenapa idealisme “landreform” sulit diejawantahkan?

Penyebab intinya, pertama, pemegang pucuk pimpinan di peme-rintahan atau presiden tidak pernah mempunyai kemauan politikyang sungguh-sungguh untuk menjalankan pembaruan agraria.Kemauan politik dari presiden adalah kunci pertama. Kedua, kesa-daran dan kemauan rakyat. Sekalipun presiden dan pemerintah mem-punyai komitmen tapi rakyat tak sadar dan tidak terorganisir memper-juangkan hak-haknya, pembaruan agraria juga tidak bisa berjalan.

Sedangkan kombinasi antara pertama dan kedua inilah yangakan menjamin pembaruan agraria bisa berjalan sukses. Di levelpemerintahan, kondisi sekarang, sedang menghadapi situasi yangkompleks. Belum tentu kebijakan presiden bisa operasional diSenayan (baca: DPR), operasional di tingkat provinsi, di tingkat kabu-paten/kota bahkan di tingkat desa. Demokrasi kita, menurut penga-mat, masih menganut demokrasi yang tidak jelas arahnya ke mana.

Begitu juga di DPR. Di satu sisi pembaruan agraria belum men-dapat dukungan dari parlemen, seperti UU Khusus Pembaruan Agra-ria, di sisi budgeting, DPR harus menyusun APBN yang pro pembaruanagraria. DPR harus mengontrol presiden supaya pemerintah menja-lankan pembaruan agraria yang sejati.***

(Sumber: Wawancara Usep Setiawan dalam Rubrik Tamu,ditulis oleh Pandapotan Simorangkir dan R.G. Windrarto,keduanya wartawan Suara Pembaruan)

Page 429: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

410

Sinar Harapan, 20 Oktober 2009

Kabinet Baru, Kemiskinan, danReforma Agraria

PELANTIKAN Susilo Bam-bang Yudhoyono (SBY) sebagaiPresiden RI, hari ini, untuk periode kedua dan pembentukan

kabinet baru yang akan bekerja untuk lima tahun ke depan, berlang-sung dalam kondisi bangsa yang belum cukup menggembirakan.

Salah satu masalah yang belum juga teratasi adalah kemiskinan.Kemiskinan yang mendera bangsa masih saja jadi kenyataan pahittak berkesudahan. Sementara penguasa politik, di atas singgasana-nya, baru pandai menebar janji yang tak kunjung terlunasi. Sudahbanyak kajian ilmiah, prakarsa masyarakat dan tak sedikit programpemerintah yang diklaim guna mengatasi kemiskinan, tapi angkakemiskinan tetap saja tinggi dan tak menyentuh akar penyebabnya.

Dalam paparan visi dan misinya, SBY bertekad untuk melanjut-kan keberhasilan pembangunan Indonesia seperti yang telah dilak-sanakan dalam periode lima tahun yang lalu, meneruskan yangsudah baik dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk hal-hal yang belum berhasil dilaksanakan. Tentunya untuk mencapaihasil yang lebih baik lagi untuk memajukan bangsa dan negara danmemberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. ProgramPembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan yang inklu-sif serta berkeadilan (www.presidenku.com).

Salah satu fokus utama yang dijanjikan SBY dalam lima tahunke depan adalah menurunkan angka kemiskinan. Menurut BPS

Page 430: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

411

Kembali ke Agraria

(2009), penduduk miskin di Indonesia telah turun sebesar 2,43 jutajiwa. Meski begitu, jumlah penduduk miskin masih sangat besar,yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angkatersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenalisiapa kaum miskin itu sesungguhnya.

Bantuan Langsung Tanah

Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggaldi perdesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani.Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia,terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tak memiliki lahan samasekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa.

Sedangkan bagi mereka yang memilikinya, rata-rata pemilikanlahannya hanya 0,36 hektare. Jadi, dengan kata lain, saat ini terdapatsekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 jutajiwa adalah petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Mereka belumpernah menikmati program nyata yang tepat dari pemerintah untukmenyelesaikan problem utama berupa ketiadaan lahan.

Awal 2007, SBY menjanjikan redistribusi lahan seluas 8,1 jutahektare kepada rakyat miskin. Program ini oleh Badan PertanahanNasional RI kemudian diperkenalkan sebagai Program PembaruanAgraria Nasional (PPAN). Sampai sekarang, program ini masih jalandi tempat dan seolah kalah pamor dengan program BLT, KUR danPNPM dan sebagainya (Iwan Nurdin, 2009).

Padahal, bukan BLT dalam bentuk uang tunai yang paling dibu-tuhkan rakyat miskin itu, melainkan BLT dalam arti “bantuan lang-sung tanah” sebagai matriks dasar kehidupan manusia dalam men-capai kesejahteraan hidupnya secara paripurna. Di negeri agraris,menyediakan tanah bagi rakyat miskin itu jalan keluar utama darirealitas kemiskinan.

Jika negara ini hendak mengentaskan kemiskinan di perdesaan,maka mau tidak mau rakyat miskin harus diberikan aset tanah. Selan-jutnya, tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses terhadap

Page 431: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

412

Usep Setiawan

modal, teknologi, dan pasar. Dalam kerangka inilah pentingnyamenjalankan reforma agraria sebagai jalan keluar untuk mengatasipersoalan struktural yang dihadapi oleh petani.

Melunasi utang

Ada beberapa penyebab utama mengapa PPAN tak segera ter-laksana. Pertama, program ini disandarkan pada BPN, sebuahlembaga pemerintah nondepartemen yang kurang kuat untuk men-jalankan agenda besar ini. Kedua, telah terjadi ego sektoral antar-departemen yang mengelola sumber daya alam sehingga hambatanbirokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukumuntuk menjalankan program yang lintas sektoral tersebut. Keempat,lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPANyang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat(KPA, 2009).

Ini menandakan dua hal yang saling berkelindan, yakni tak cukupkuatnya komitmen Presiden SBY terhadap program yang telahdiucapkannya, dan lemahnya Kabinet Indonesia Bersatu dalammenerjemahkan agenda reforma agraria ke dalam langkah aksi danimplementasi di masing-masing sektor/bidang.

Khusus terkait peran para menteri di kabinet sebagai pembantupresiden, tentu saja perlu dipilih orang-orang yang satu garis komit-men, pemikiran dan praktik dengan presiden untuk menjalankanreforma agraria. Ketidakpahaman atau ketidakmauan satu atausejumlah menteri untuk merealisasikan reforma agraria hendaknyatak terjadi lagi pada kabinet baru yang dibentuk SBY untuk limatahun ke depan.

Beberapa langkah utama mestinya dilakukan. Presiden SBY me-mimpin langsung program ini dan segera mengeluarkan UU atau PPpelaksanaan pembaruan agraria yang dijanjikan. Presiden juga mem-bentuk lembaga ad hoc pelaksana pembaruan agraria. Komposisi kabi-net yang mengelola sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan,kelautan, perkebunan dan pertanahan harus satu visi dalam membe-

Page 432: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

413

Kembali ke Agraria

rantas kemiskinan struktural melalui realisasi pembaruan agraria.Di tengah puluhan juta rakyat miskin, tak elok jika pemerintahan

SBY Jilid II masih saja ragu dan menyianyiakan potensi berupa jutaanhektare tanah objek landreform, tanah telantar, lahan hutan produksikonversi dan tanah kategori lainnya yang layak dinikmati rakyatjelata. Pemerintahan SBY-Boediono punya kesempatan emas untukmelunasi utang bagi rakyat miskin yang memilihnya dengan jalanmelanjutkan program pembaruan agraria nasional—tentu sajadengan perbaikan arah, konsep dan kebijakannya. Untuk menjadikanreforma agraria bergerak dari wacana ke dalam praktik, dari per-siapan menuju pelaksanaan.

Hendaknya, pembaruan agraria yang akan dilaksanakan menem-patkan kaum miskin sebagai subjek utama yang terlibat secara aktifdan menerima manfaat dari program ini. Prasyaratnya, tentu sajasemua menteri di kabinet baru yang dibentuk SBY dan seluruh jajaranpemerintahan pusat hingga daerah juga mesti sepenuhnya mendu-kung pelaksanaan reforma agraria sejati, demi rakyat miskin.***

Page 433: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

414

Kompas, 23 November 2009

Masalah Pertanian Kita

BERBEDA dengan para menteri pertanian sebelumnya yang inginmenggenjot produktivitas pertanian, mentan yang baru memulai

visinya dengan urgensi pelaksanaan reforma agraria. Menyempitnyaluas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani ataslahan pertanian menegaskan gejala “konversi” lahan pertanian kenon-pertanian berbanding lurus dengan “ploretarisasi” petani.

Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru,mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan ber-janji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan BadanPertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).

Selama ini, reforma agraria “dititipkan” Presiden Yudhoyonoke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salahsatu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yangsetelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, ko-mitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkaiturusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.

Agenda lanjutan

Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lan-jutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat programreforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yanglahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakatadat/lokal harus diprioritaskan. Kedua, identifikasi tanah yang layak

Page 434: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

415

Kembali ke Agraria

dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek mis-kin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan “pemiliknya”perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin.Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agendamendesak untuk dituntaskan.

Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisi-patif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dankonsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuanserta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkankeadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaanalam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.

Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, danprogram pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung “pro-duktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunanpertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlurumusan lebih berkeadilan dengan “produktivitas mengutamakanpemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produk-tif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskindesa.

Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser para-digma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatanpangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyedia-kan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuh-kan petani miskin mengiringi program landreform.

Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empatdan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasidengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perludiperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks “penataan ruang”,guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agrariaagar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.

Perlu lompatan

Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang

Page 435: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

416

Usep Setiawan

(2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar.Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengu-rus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dantindak melompat jauh ke depan.

Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke bela-kang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal mem-bangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksis-tensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatandengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan pena-taan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatantanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.

Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria.Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentandan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor per-tanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyatdari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambilmengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi ling-kungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistemperdagangan yang tak adil.

Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagra-riaanlah makna hakiki dari “demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan”yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alamnyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.***

Page 436: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

417

Jurnal Nasional, 28 Januari 2010

Merawat Niat Reforma Agraria

ADA yang berbeda di Marunda - Jakarta Utara pada hari Jumat,15 Januari 2010. Sekitar tiga ribu warga berkumpul. Di kawasan

ujung utara Kanal Banjir Timur yang sehari-hari dikenal sebagai kawa-san industri itu, datang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono besertasejumlah pejabat negara. Penulis dan beberapa kawan turut hadir diantara ribuan undangan, mengingat kerinduan akan adanya kete-gasan presiden untuk realisasi reforma agraria. Dengan hati penuhharap tapi cemas, penulis duduk menyimak kata demi kata pidatoRI-1 ini.

Di Marunda, dalam acara yang digelar Badan Pertanahan Nasio-nal RI, Presiden SBY meresmikan lima program strategis pertanahanuntuk keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang meliputi: (1) Reformaagraria dalam pengertian landreform plus. Rakyat harus punya pelu-ang untuk memiliki tanah dan memiliki akses-kases lain yang dibu-tuhkannya. Sukseskan reforma agraria oleh BPN dan pemerintahdaerah; (2) Tertibkan tanah-tanah terlantar. Seolah-olah banyak tanahyang tak bertuan, padahal banyak tuan yang tak bertanggung jawabsehingga tanah tidak bisa digunakan; (3) Percepat penyelesaian seng-keta pertanahan; (4) Percepat legalisasi asset masyarakat dan peme-rintah; dan (5) Percepat pelayanan pertanahan melalui LARASITA.Permudah prosesnya, permurah ongkosnya, dan pastikan akura-sinya.

Secara khusus, presiden menegaskan revisi PP tanah terlantar

Page 437: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

418

Usep Setiawan

sudah selesai dan segera ditandatangani. Untuk itu, tidak perlu adakeraguan lagi untuk menertibkan tanah-tanah terlantar, terutamaterhadap tanah-tanah yang dikuasai secara luas. Terkait pengadaantanah untuk infrastruktur, jangan terhambat gara-gara satu-dua kelu-arga karena mematok harga yang terlalu tinggi atau karena calo-calotanah yang meresahkan. Ini semua harus ditertibkan agar rakyatjangan dirugikan. Pada akhir pidatonya, Presiden SBY mintaprogram-program strategis pertanahan disukseskan. Dengan opti-misme, kata presiden, semua dapat diwujudkan, sehingga Negarajadi lebih adil, ekonomi makin kuat dan rakyat makin berdaya.

Apresiasi dan kritik

Penulis memberikan apresiasi dan kritik atas substansi dari acaraini. Apresiasi diberikan mengingat acara ini jadi pertanda masihhidupnya wacana reforma agraria di panggung kekuasaan negara.Pidato Presiden SBY menunjukkan niat dan kemauan politik untukmenjalankan reforma agraria masih terbetik. Diresmikannya reformaagraria sebagai bagian dari program strategis pertanahan jadi tong-gak baru dari pemerintah untuk melanjutkan upaya merealisasikanreforma agraria. Kehendak Presiden SBY untuk melanjutkan pelak-sanaan reforma agraria adalah “alat tagih baru” bagi segenap rakyat,khususnya bagi kalangan gerakan sosial pro-reforma agraria.

Adapun beberapa kritik yang segera dapat dijadikan sebagaipekerjaan rumah bagi berbagai pihak, di antaranya: Kemajuan yangdicapai pemerintah di bidang pertanahan baru sebatas penguatandan penertiban pada aspek teknis dan sistem administrasi perta-nahan, belum masuk ke substansi perubahan politik pertanahan daripropasar menuju prorakyat. Makin menguatnya program-programlegalisasi aset yang diartikan sebagai sertifikasi tanah secara massifyang dikritik tidak relevan dan membahayakan di tengah timpangnyastruktur agraria di tengah-tengah masyarakat, dan kultur masyarakatyang cenderung permisif terhadap komoditisasi dan komersialisasitanah.

Page 438: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

419

Kembali ke Agraria

Reforma agraria, baru sekedar jadi pelengkap dari politik perta-nahan/agraria, belum diletakkan sebagai arus utama yang dirujukdan menuntun keseluruhan program pertanahan dan keagrariaannasional.

Merawat niat

Secara khusus, rencana penertiban tanah terlantar tidak secarategas diperuntukkan bagi perluasan objek reforma agraria bagi kepen-tingan rakyat miskin. Ini bisa menuai masalah di kemudian hari kare-na penggunaannya dikhawatirkan tidak tepat sasaran. LARASITAyang menurut kebijakan resminya dinyatakan sebagai kantor berjalan(mobille office) yang terutama dimaksudkan untuk menyiapkan pelak-sanaan reforma agraria, masih dimaknai sempit sebagai instrumenteknis percepatan sertifikasi tanah individual yang cenderung kon-tradiktif dengan maksud reforma agraria.

Instruksi presiden untuk menjalankan reforma agraria kepadaBPN RI dan pemerintah daerah saja, menihilkan arahan dan kete-rikatan yang jelas bagi departemen terkait untuk mensukseskannya,seperti kehutanan, pertanian, pertambangan, dsb. Reforma agrariabukan hanya tugas BPN dan Pemda, tetapi seluruh instansi terkaittanah, agraria dan sumberdaya alam lainnya, bahkan mutlak mem-butuhkan partisipasi aktif dari rakyat.

Sementara itu, belum ada kepastian PP atau UU tentang pelaksa-naan reforma agraria menjadi prioritas bagi pemerintah. Komitmenpolitik untuk reforma agraria perlu segera menemukan dasar hukumoperasionalnya di bawah payung Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33Ayat 3), UUPA No.5/1960, dan TAP MPR No.IX/2001. PP ini menjadiindikator nyata dari komitmen politik pemerintah untuk segeramerealisasikan reforma agraria.

Acara di Marunda dapat merawat niat dalam mempercepat per-wujudan keadilan agraria, asal presiden dan seluruh jajaran peme-rintahan lebih tegas dan serius melaksanakan reforma agraria sejatiyang sungguh untuk kepentingan rakyat miskin dan tertindas.***

Page 439: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

420

Kompas, 16 Februari 2010

Mencegah Legislasi Penggusuran

PUBLIK mesti waspada. Dalam Program Legislasi Nasional 2010tercantum rencana penyusunan RUU Pengambilalihan Tanah

untuk Kepentingan Pembangunan. Legislasi ini potensial melegalisasipenggusuran.

Pemerintah juga sedang merumuskan RUU Pengadaan Tanahbagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Meski beda redaksijudul, tampaknya secara substansial, baik pemerintah maupun parle-men memiliki itikad sama untuk menyusun legislasi yang mengaturpenyediaan tanah untuk kepentingan “pembangunan” atau“umum”. Kesulitan investor dalam pembebasan tanah yang dibu-tuhkan untuk pembangunan infrastruktur jadi alasan utama perlunyaRUU ini. Para investor berulang kali mengeluh ke pemerintah karenaproyek mereka kerap terhambat gara-gara rumitnya pembebasantanah.

Tahun 2005, pemerintah menggelar Infrastructure Summit, yangmenghasilkan desakan kebijakan untuk mempermudah pengadaantanah bagi pembangunan infrastruktur. Tak lama setelah itu, Presidenmenerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentangPengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,yang menuai badai protes, termasuk dari DPR kala itu. Akhir 2009,digelar National Summit. Melalui forum ini, para investor di bidanginfrastruktur kembali mendesak pemerintah membuat regulasi atashal yang sama, dengan legislasi yang lebih kuat.

Page 440: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

421

Kembali ke Agraria

Setelah itu, sejumlah pejabat beramai-ramai mendorong RUUini masuk ke Program Legislasi Nasional 2010-2014. Menteri Pe-kerjaan Umum, Menteri Perindustrian, Menko Perekonomian, bahkanWakil Presiden Boediono bersahutan menyampaikan pernyataanurgensi RUU ini. “Untuk kelancaran pembangunan infrastruktur”,eksplisit terlontar dari mulut pejabat negara.

Kontroversi baru

Penyusunan RUU ini dapat memicu kontroversi serupa dengansaat Perpres No 36/2005 terbit. Kontroversi ini dapat menyangkutkonteks paradigmatik, konteks ekonomi-politik, dan konteks sub-stansi hukum. Atau, karena proses, prosedur dan mekanisme penyu-sunan dinilai tak cukup demokratis.

Dalam konteks ekonomi-politik, rencana penerbitan RUU inimerupakan refleksi dari arah dan orientasi pembangunan yangsedang dan akan dilanjutkan pemerintah dalam kerangka ekonomipolitik neoliberal yang kapitalistik. Kebijakan pertanahan dan keag-rariaan diarahkan guna mempermudah masuknya investasi skalabesar lewat pintu pembangunan sarana dan prasarana atau infra-struktur yang dibutuhkan kalangan pemodal besar, dari dalam danluar negeri.

Sementara masyarakat Indonesia umumnya kini butuh penga-kuan dan penguatan hak atas tanah. Bahkan, bagi sebagian besaryang lain, lebih mendasar dari itu, yakni membutuhkan “tanah untukkehidupan”. Kaum tani di pedesaan dan kaum miskin di perkotaanmayoritas berlahan sempit dan tak punya tanah sama sekali. Persisdalam konteks semacam inilah RUU Pengadaan Tanah bagi Pem-bangunan untuk Kepentingan Umum menyeruak. Jika memang refor-ma agraria benar-benar akan dijalankan pemerintahan Yudhoyonopada periode kedua (2009-2014) ini, kenapa tak segera disusun RUUtentang Pelaksanaan Reforma Agraria?

Mengingat penataan ulang struktur agraria yang timpang belumdijalankan—karena belum ada dasar hukum yang operasional—

Page 441: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

422

Usep Setiawan

penyusunan RUU Pelaksanaan Reforma Agraria hendaknya didu-lukan dan diutamakan sebelum agenda legislasi keagrariaan danpertanahan lainnya.

RUU Pengadaan Tanah hendaknya menjawab: pembangunanuntuk siapa dan dijalankan dengan cara bagaimana? Jika pem-bangunan lebih diprioritaskan untuk infrastruktur bagi pemodalbesar dengan mengesampingkan golongan lemah dan “membenar-kan” praktik penggusuran, RUU ini layak ditolak tegas. Proses penyu-sunan RUU Pengadaan Tanah membutuhkan konsultasi publik luasdari tingkat kampung hingga kampus, yang mencakup kepentingansebanyak mungkin kelompok yang kemungkinan besar menerimadampaknya kelak.

Sejumlah agenda dan langkah strategis patut dikedepankan. Per-tama, perumusan ulang makna “pembangunan” dan “kepentinganumum” dengan prinsip kewenangan negara untuk mengatur tanah,tanpa mengorbankan hak warga. Kepentingan umum bukanlah un-tuk bisnis dan hak rakyat harus dilindungi maksimal. Kedua, prosedurdan mekanisme pengadaan tanah yang demokratis, emansipatif danmanusiawi dengan menempatkan rakyat sebagai subyek pelaku yangturut menentukan arah dan bentuk kegiatan pembangunan.

Ketiga, perlu pembangunan infrastruktur yang benar-benar dibu-tuhkan golongan lemah sekaligus memicu pembangunan ekonomirakyat yang berlandaskan pada kekuatan sendiri, demi kedaulatandan kemandirian bangsa. Keempat, perlu pengembangan orientasidan praktik pembangunan ekonomi bersemangat kolektif dalammenggalang kekuatan sosial ekonomi internal bangsa sebagai batupijak sistem ekonomi kerakyatan yang kokoh, adil, dan berkelanjutan.Pelaksanaan reforma agraria sejati ialah dasar dari pembangunanuntuk kepentingan umum dalam makna paling hakiki.***

Page 442: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

423

Sinar Harapan, 10 Maret 2010

Regulasi Baru Tanah Telantar

ADA kabar baik yang tak tersiarkan secara memadai. Tanggal22 Januari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. PP ini meru-pakan pengganti PP 36/1998.

PP 11/2010 merupakan regulasi baru tanah telantar, yang isinyamengandung delapan bab, 20 pasal, dan dilengkapi bagian penje-lasan. Kedelapan bab itu meliputi ketentuan umum, objek penertibantanah telantar, identifikasi dan penelitian, peringatan, penetapantanah telantar, pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar,ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Penulis termasuk pihak yang mendorong dan menantikanperbaikan regulasi tanah telantar ini. Setelah mempelajari substansiPP 11/2010, berikut ulasan kritis yang perlu mendapat perhatiansaksama.

Segi penertiban

Semua jenis hak yang diatur dalam UU No 5/1960 (UUPA) men-jadi objek tanah yang disasar PP ini, meliputi: “Objek penertibantanah telantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negaraberupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidakdiusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai

Page 443: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

424

Usep Setiawan

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasarpenguasaannya,” (Pasal 2).

Sementara itu, objek yang dikecualikan (Pasal 3) meliputi: “Tidaktermasuk objek penertiban tanah telantar sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2 adalah: (a) tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunanatas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergu-nakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan(b) tanah yang dikuasai pemerintah, baik secara langsung maupuntidak langsung, dan sudah berstatus maupun belum berstatus BarangMilik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuaidengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.”

Persis di bagian inilah titik terlemah PP 11/2010. Hal ini berpo-tensi menyulitkan upaya penertiban tanah-tanah telantar dalam skalaluas yang dikelola perusahaan negara/daerah. Padahal, selama inikawasan yang dikelola perusahaan negara di sektor kehutanan mau-pun perkebunan merupakan penyebab penting lahirnya ketimpanganpenguasaan dan pemilikan tanah. Hal ini kerap melahirkan konflikdan sengketa pertanahan dengan warga miskin di sekitarnya, memi-cu penurunan kualitas layanan alam, dan diduga menjadi sarangkorupsi.

Akan tetapi, penertiban tanah telantar yang penguasaan danpengusahaannya pada perusahaan negara, menurut PP ini harusbisa dibuktikan “ketidaksengajaannya”. Untuk itu, lubang sempitberupa “sengaja” atau “tidaknya” ini harus diperjelas agar dapatmenjadi instrumen dalam menertibkan tanah yang ditelantarkanBUMN/D. Inilah pekerjaan rumah krusial dalam pengaturan lebihlanjut operasionalisasi PP 11/2010, yang disertai keberanian, kete-gasan, dan konsistensi pejabat dan aparat dalam implementasinya.

Terhadap tanah terindikasi telantar akan diidentifikasi danditeliti oleh Kanwil BPN bersama panitia (Pasal 7, Ayat 4, 5, 6, dan 7).Setelah proses identifikasi dan penelitian selesai dan ada fakta tanahtelantar, lalu masuk ke proses peringatan. Dalam hal peringatan,pemerintah akan memberikannya sebanyak tiga kali dalam tiga bulan

Page 444: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

425

Kembali ke Agraria

(Pasal 8, Ayat 1, 2, dan 3). Rentang waktu peringatan ini kita catatsebagai kemajuan, mengingat dalam PP lama, peringatan diberikanselama tiga kali dalam tiga tahun. Menurut PP ini, tanah yang dinya-takan dalam keadaan status quo tak dapat dilakukan dikenai tindakanhukum sampai diterbitkan penetapan tanah telantar yang memuatjuga penetapan penghapusan hak atas tanah, sekaligus memutuskanhubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai lang-sung oleh negara.

Segi pendayagunaan

Lantas, untuk apa dan untuk siapa tanah yang sudah dinyatakantelantar? Perlu dicermati pengaturan segi pendayagunaannya. Me-nurut Pasal 15, “Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakanuntuk kepentingan masyarakat dan negara melalui pembaruan agra-ria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lain-nya.” Peruntukan dan pengaturan peruntukan bekas tanah telantarini dilakukan Kepala BPN RI.

Uraian merujuk bagian penjelasan Pasal 15 Ayat 1: ReformaAgraria sebagai kebijakan pertanahan yang mencakup penataansistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset dan aksesmasyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 KetetapanMPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelo-laan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UU No 5/1960 tentang Pera-turan Dasar Pokok-pokok Agraria. Penataan aset dan akses masya-rakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanahnegara bekas tanah telantar.

Sementara itu, program strategis negara, antara lain untukpengembangan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rang-ka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun kepentingancadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhantanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan,kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemu-

Page 445: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

426

Usep Setiawan

kiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepen-tingan umum.

Menurut hemat penulis, alokasi bagi reforma agraria mestinyamenjadi prioritas. Sebagaimana disampaikan Presiden Yudhoyonodalam pidato peresmian program-program srategis pertanahan diMarunda, Jakarta (15/1), salah satu pelaksanaan pembaruan agrariaadalah dalam makna landreform plus penyediaan akses yang me-mungkinkan rakyat memiliki dan memanfaatkan tanah, serta akses-akses lain yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, PP 11/2010 sejalandengan kehendak menjalankan landreform plus tadi. Di luar sub-stansi regulasi baru tanah telantar ini, demi kesuksesan pelaksana-annya, mutlak dibutuhkan pemimpin dan aparat pemerintah (khu-susnya BPN dan pemda) yang jujur, amanah, paham pembaruanagraria, mampu bekerja efektif, dan senantiasa memihak rakyat lemah.

Pertanyaannya, akankah pembaruan agraria jadi arus utamakebijakan dalam menata keagrariaan di negeri agraris ini? Jika tidak,operasi penertiban dan pendayagunaan tanah telantar akan sulitmembongkar akar penyakit struktural agraria yang akut, yakni ketim-pangan dan ketidakadilan sosial. ***

Page 446: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

427

Republika, 13 April 2010

Tanah Telantar

SETELAH proses yang cukup panjang, regulasi baru mengenaitanah telantar akhirnya terbit juga. Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menandatangangi Peraturan Pemerintah Nomor 11Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar(22 Januari 2010) menggantikan PP 36/1998. Revisi PP 36/1998 diper-lukan untuk mempercepat penyelesaian masalah akut terkait tanahtelantar di Indonesia.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menuntaskan identi-fikasi tanah telantar di seluruh Indonesia. Sebanyak 7,3 juta hektarelahan telantar yang sudah diidentifikasi itu akan didayagunakanagar lebih bermanfaat bagi masyarakat. Kepala BPN, Joyo Winoto,mengatakan, tanah telantar itu harus didayagunakan sesuai perintahPP 11/2010. Pemerintah berencana memanfaatkan tanah telantar itu,di antaranya, untuk reforma agraria (land reform), kepentingan strategisnegara dan pemerintah seperti ketahanan pangan, energi, danpengembangan perumahan rakyat (Republika, 22/03/2010).

Setelah PP 11/2010 terbit, maka siapa pun terbukti menelantarkantanah harap bersiap sedia untuk ditertibkan demi kepentingan rakyat,bangsa dan negara. Selama ini, penelantaran tanah telah menjadikanakses masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha terhadap tanah men-jadi tertutup. Kerugian negara yang lahir dari hilangnya manfaatkarena penelantaran tanah sangatlah besar. Setiap tahunnya diper-kirakan lebih besar dari total anggaran pembangunan publik. Maka

Page 447: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

428

Usep Setiawan

dari itu, tanah-tanah telantar ini harus ditertibkan, kemudian dima-sukkan ke dalam sistem ekonomi dan politik sebagai sumber barukesejahteraan rakyat.

Menurut hemat penulis, Revisi PP 36/1998 boleh dipandang seba-gai terobosan untuk mempercepat dan mempermudah penyelesaiantanah telantar sebagai bagian dari program reforma agraria. Sejak awal,penulis mendorong agar regulasi mengenai tanah telantar diletakkansebagai bagian dari reforma agraria. Adapun program reforma agrariaperlu diletakkan sebagai agenda bangsa dan strategi dasar mem-bangun struktur politik, ekonomi, dan sosial yang lebih sehat.

Menurut PP 11/2010, ‘’Peruntukan penguasaan, pemilikan,penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantardidayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melaluireforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangannegara lainnya’’ (Psl 15). Peruntukan dan pengaturan peruntukanbekas tanah telantar dilakukan Kepala BPN RI.

Regulasi yang ditunggu

Kondisi agraria di Tanah Air memerlukan operasi besar dengankemauan politik kuat dari penyelenggara Negara dalam membongkarstruktur agraria lama dan membangun tatanan agraria baru yanglebih berkeadilan sosial. Jika ada kemauan politik yang amat sangatkuat dari Presiden SBY dan seluruh jajarannya, penertiban dan penda-yagunaan tanah telantar ini dapat menjadi pintu masuk bagi reformaagraria. Pendayagunaan tanah telantar yang kewenangannya adadi pemerintah mestilah sungguh-sungguh diabdikan bagi upayamengatasi ketimpangan struktur agraria, kemiskinan rakyat, danpengangguran yang masih mendera sebagian penduduk negeri.

Terbitnya PP 11/2010 merupakan sesuatu yang ditunggu meng-ingat regulasi mengenai tanah telantar yang lama mandul dalamkonsep maupun dalam praktiknya di lapangan. PP yang lama amatsulit untuk diberlakukan mengingat proses yang sedemikian panjang,rumit, dan mempersulit pelaksanannya. Alhasil, sejak PP tersebut

Page 448: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

429

Kembali ke Agraria

disahkan hingga diganti, tak ada satu pun bidang tanah yang secaraformal dinyatakan telantar. Dampaknya, jutaan hektare tanah yangsecara fisik telantar, tapi secara hukum tak dapat dinyatakan telantar.

Secara keseluruhan, isi PP 11/2010 ini meliputi 8 bab dan 20pasal, serta dilengkapi penjelasan. Kedelapan bab tersebut adalah;Ketentuan umum; Objek penertiban tanah telantar; Identifikasi danpenelitian; Peringatan; Penetapan tanah telantar; Pendayagunaantanah negara bekas tanah telantar; Ketentuan peralihan, dan; Keten-tuan penutup. Kepastian adanya perbaikan dalam prosedur danmekanisme operasional penertiban dan pendayagunaan tanah telan-tar sangat diperlukan agar tanah-tanah telantar itu otomatis sebagaiobjek reforma agraria. Sehingga, penertiban dan pendayagunaantanah telantar berguna bagi keperluan menutup defisit kebutuhanrakyat miskin atas tanah sebagai faktor produksi utama.

Reforma agraria menjadi jawaban tepat memajukan dan memak-murkan bangsa, secara bersama. Reforma agraria, hakikatnya prosespenataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, danpemanfaatan tanah untuk mencapai kesejahteraan dan keadilansosial. Ini adalah upaya besar seluruh komponen bangsa. Di sinilahrelevansi menempatkan seluruh pengertian, ruang lingkup, dan kegu-naan dari pengelolaan ‘’tanah negara bekas tanah telantar’’ dalamrealisasi reforma agraria sejati, yang salah satunya dimaksudkanuntuk mengatasi kemiskinan struktural yang dihadapi mayoritasrakyat Indonesia, khususnya kaum tani di pedesaan.

Reforma Agraria tanpa kebijakan pemerintah ialah kemustahilan.Sementara itu, reforma agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat akangagal dalam mencapai tujuannya. Keberadaan organisasi rakyat (tani)yang kuat ialah prasyarat pokok keberhasilan reforma agraria. Perandan keterlibatan organisasi rakyat dalam pelaksanaan reforma agrariasangat penting. Pada akhirnya, upaya penertiban dan pendayagunaantanah telantar hanya akan berkontribusi pada penanggulangankemiskinan jika ia diletakkan dalam bingkai pelaksanaan programreforma agraria untuk kepentingan rakyat miskin. Wallahu ‘alam.***

Page 449: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

430

Jurnal Nasional, 13 April 2010

Tanah Telantar Demi Reforma Agraria

TANAH telantar selama ini jadi persoalan pelik dalam realitasagraria kita. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah melu-

kiskan; “Kalau kita terbang melihat lahan telantar... hati ini rasanyajuga ikut telantar atau serasa ditebang” (Jurnal Nasional, 3/12/09).

Menurut catatan Badan Petanahan Nasional, luas tanah yangdiidentifikasi telantar di Indonesia mencapai 11,1 juta hektar. Rin-ciannya, tanah yang ditelantarkan memiliki hak guna usaha (HGU)dan hak guna bangunan (HGB) luasnya mencapai 1,191 juta hektar.Tanah negara hasil pelepasan kawasan hutan yang luasnya jika diga-bung dengan HGU dan HGB mencapai 8,1 juta hektar. Dan tanahtelantar yang tidak memilik status peruntukan seluas 3 juta hektar.

Lebih lanjut, sebagaimana diungkapkan Joyo Winoto (KepalaBPN), untuk menata aset masyarakat, BPN menempuh beberapa lang-kah utama, dua di antaranya melalui penataan tanah telantar danmenjalankan reforma agraria (Jurnal Nasional, 17/07/08). Setelahmelalui proses yang cukup panjang, akhirnya Presiden menanda-tangi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertibandan Pendayagunaan Tanah Telantar (22 Januari 2010) pengganti PPNo.36/1998 yang mengatur hal yang sama.

Keseluruhan PP 11/2010 ini mengandung 8 bab dan 20 pasal,serta dilengkapi penjelasan. Kedelapan bab tersebut meliputi; Keten-tuan umum; Objek penertiban tanah telantar; Identifikasi dan peneli-tian; Peringatan; Penetapan tanah telantar; Pendayagunaan tanah

Page 450: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

431

Kembali ke Agraria

negara bekas tanah telantar; Ketentuan peralihan, dan; Ketentuanpenutup.

Memaknai konteks

Beragam konteks melatari lahirnya kebijakan tanah telantar ini.Secara filosofis, konsepsi “tanah telantar” tak lepas dari konsep“tanah negara”, yang bersumber pada konsep “hak menguasai negaraatas tanah” (HMN) yang tertera di Konstitusi dan UUPA 1960. Negarasebagai organisasi rakyat tertinggi yang mengatur keagrariaan, me-miliki peran kunci dalam “menguasai” dan “menetapkan hubunganhukum” atas tanah, serta “mengatur peruntukkan dan penggunaan”tanah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan, kemakmuran dan ke-adilan rakyat.

Dalam konteks penyediaan aneka akses terhadap sarana danprasarana yang dibutuhkan rakyat miskin (akses reform) tak mung-kin terwujud jika tanah sebagai faktor produksi utama tak terlebihdahulu didistribusikan dan diredistribusikan secara adil (landreform).Untuk itu, realisasi landreform—termasuk yang objeknya bersumberdari tanah negara bekas tanah terlantar—kian urgent dijalankan agarakses lainnya segera dinikmati para subjek reforma agraria.

Penyediaan tanah bagi rakyat miskin hendaknya diikuti denganlangkah konkret yang memastikan “tanah negara bekas tanah telan-tar” itu benar-benar ditetapkan sebagai objek Reforma Agraria Sejatiuntuk kepentingan rakyat miskin. Kemudian, pengelolaan “tanahnegara bekas tanah telantar” perlu dikembangkan dalam model kolek-tif dengan mengandalkan kekuatan gotong-royong masyarakat, mela-lui badan usaha milik rakyat, koperasi produksi dan distribusi perta-nian, dan sejenisnya.

Peran organisasi rakyat perlu diperkuat dengan cara menggen-carkan agenda dan program pendidikan yang sistematis guna mela-hirkan kesadaran baru, memberdayakan kepemimpinan, dan meng-organisir kader serta massa luas dalam organisasi rakyat yang soliddan mandiri. Perlu kebijakan dan strategi pembaruan agraria yang

Page 451: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

432

Usep Setiawan

memberikan ruang lebih luas bagi keterlibatan rakyat sehingga dalampraktiknya dapat didongkrak oleh kemauan rakyat yang sadar dankemampuan rakyat yang terorganisir (agrarian reform by leverage).

Konteks politik dari implementasi PP 11/2010 erat kaitannyadengan keperluan adanya ketegasan komitmen Presiden RI untukbenar-benar menjalankan reforma agraria. Jajaran eksekutif, legislatif,yudikatif, dan militer di pusat maupun daerah, harus mengerahkanenerginya dalam mewujudkan penyediaan tanah dan akses strategisbagi rakyat miskin melalui reforma agraria. Regulasi khusus, berupaUU/PP tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria, serta pembentukankelembagaan Komite Nasional Pembaruan Agraria, KementerianKompartemen Agraria, dan Peradilan Agraria, merupakan indikatornyata dari wujud komitmen tadi.

Langkah strategis

Peneropongan substansi PP 11/2010 dalam beragam konteks diatas dapat diletakkan sebagai bahan pertimbangan bagi perumusanstrategi kebijakan negara dan gerakan sosial ke depan. Keseluruhanlangkah ini, dibingkai reforma agraria sebagai agenda bangsa danstrategi dasar membangun struktur politik, ekonomi dan sosial yanglebih sehat dan kuat.

Agar penertiban dan pendayagunaan tanah telantar berjalanefektif dan dapat mengatasi problem-problem pokok agraria, perlusejumlah langkah strategis: Pertama, perlu aturan yang lebih opera-sional untuk memperjelas tanah-tanah yang dapat segera diprosesdan dinyatakan sebagai tanah telantar. Kedua, perlu kejujuran, kete-gasan dan konsistensi aparatur pelaksana dengan menghindari kolu-si dengan pihak penelantar tanah. Ketiga, perlu koordinasi efektifinstansi/aparat BPN dengan Pemda yang lebih dekat subjek sertapunya kewenangan yang relatif lebih luas di era otonomi daerah.Keempat, perlu dukungan politik yang kuat dari parlemen pusat mau-pun daerah melalui legislasi, anggaran (APBN/D), dan kontrol sertaantisipasi kemungkinan resistensi atas penerapan peraturan ini.

Page 452: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

433

Kembali ke Agraria

Kelima, perlu mengembangkan pemberdayaan dan pengorganisasianrakyat penerima manfaat agar sadar, tahu, mau dan mampu menataagraria bercorak kolektif melalui pengembangan “gerakan masya-rakat untuk reforma agraria”.

Isi PP 11/2010 tak sepenuhnya ideal seperti yang diinginkanoleh organisasi rakyat pendorong reforma agraria. Disadari bahwaPP ini lahir sebagai buah pertarungan dan kompromi dari aktor-aktor di pemerintahan sekarang. Lepas dari itu, implementasi PP iniharus diupayakan sebagai pintu masuk baru bagi penyiapan batu-bata pelaksanaan reforma agraria sejati untuk kepentingan rakyatyang melarat. Regulasi baru tanah terlantar ini hendaknya jadi ke-bijakan yang terang benderang untuk kepentingan rakyat miskin,jangan samar-samar atau malah sayup tak sampai.***

Page 453: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

434

Sinar Harapan, 17 April 2010

Kiat Mengakhiri Kontroversi “Food Estate”Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional

DUNIA pertanian, agraria, dan lingkungan di dunia kini sedangmenghadapi ancaman baru dari praktik penguasaan dan

penggunaan tanah secara masif dan intensif dalam skala luas olehpihak asing di suatu negara. Ini dilakukan dengan dalih demi pro-duktivitas pertanian untuk ketahanan pangan dunia, yang diistilah-kan dengan land grabbing untuk tujuan food colonialism.

Sambil mengenang Hari Perjuangan Petani Internasional 17April 2010, penulis menyorot kebijakan mengenai food estate di Indo-nesia dalam kaitannya dengan tantangan baru di atas. Melalui me-dia massa, kita memahami bahwa kontroversi telah mengiringi pelun-curan food estate sebagai kebijakan pembangunan pertanian terbaruyang digencarkan pemerintahan SBY jilid II. Salah satunya, hal inidipicu terbitnya regulasi baru di bidang pertanian berupa PeraturanPemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Ta-naman, yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono28 Januari 2010.

Food estate dinisbatkan sebagai konsep pengembangan produksipangan terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peter-nakan di suatu kawasan dengan lahan yang luas. Adapun hasilpengembangan food estate yaitu pasokan ketahanan pangan nasionaldan untuk ekspor. Beberapa hal yang diatur ialah soal luas lahan,jangka waktu usaha, penggunaan subsidi, ketentuan fasilitas kredit,

Page 454: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

435

Kembali ke Agraria

saham maksimum yang bisa dimiliki asing, dan sebagainya.Konon, ada beberapa keuntungan dari food estate, yaitu, pertama,

pemerintah bisa membuka lahan tanaman pa-ngan baru dengan lebihcepat dan meningkatkan produksi tanaman pangan. Kedua, peme-rintah bisa menarik minat investor untuk menggerakkan kegiatanekonomi, khususnya di luar Pulau Jawa. Ketiga, bisa menambah pen-dapatan pemerintah dan meningkatkan pendapatan petani di ka-wasan food estate. Keempat, meningkatkan ketahanan pangan di In-donesia (jika pemerintah benar-benar bisa mengontrol distribusi hasilpertanian (Cahyono, 2009).

Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menyebutkan, satu per-soalan fundamental yang dihadapi sektor pertanian ialah sempitnyapenguasaan lahan oleh petani. Tidak mudah membuat petani sejah-tera dengan kepemilikan lahan yang sempit ini. Salah satu alternatifsolusinya, seperti yang dinyatakan Mentan, ialah dengan pengelo-laan lahan telantar seluas 2,2 juta hektare untuk dikelola bidangpertanian.

Adapun food estate di luar Jawa implementasinya melalui du-kungan mekanisasi pertanian, sedangkan di Jawa diintegrasikandengan program yang sudah berjalan. Ini dapat membuka peluangtransmigrasi untuk menambah luas lahan melalui pemanfaatan lahanterlantar. Pengembangan food estate diarahakan untuk memperkuatketahanan pangan dan ekspor.

Banyak bahayanya

Sejumlah pihak mensinyalir banyaknya bahaya food estate. SerikatPetani Indonesia (SPI), sebuah organisasi gerakan tani di tingkatnasional yang tergabung di La via Campesina, menyesalkan pilihankebijakan pemerintah mendongkrak produksi dengan food estate. Ne-geri ini makin terbelenggu kapital asing dan liberalisasi akan mengan-cam kedaulatan pangan. Permasalahan utama pertanian ialahrendahnya kepemilikan lahan pertanian. Pemerintah hanya fokuspada kepentingan investor. Food estate akan menarik minat pemodal

Page 455: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

436

Usep Setiawan

asing karena akan diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” danmengelola lahan yang ada di Indonesia.

Food estate ini bisa mengarah pada feodalisme karena peran petanipribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal difood estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membukapeluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya pendapatannonpajak. Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petaniakan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikankepada asing, hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan hek-tare “tanah tidur” bisa dikelola petani Indonesia (www.spi.or.id).

Diidentifikasi kerugian food estate yaitu, pertama, potensi lahanyang dimiliki rakyat Indonesia tak bisa maksimal dimiliki dan dikelolapenuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkanpemerintah tentang food estate lebih berpihak pada pemodal daripadapetani, kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar akanterjadi juga dalam food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan kemu-dahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modaluntuk mengelola food estate, maka karakter pertanian dan panganIndonesia makin bergeser dari peasant based and family based agricul-ture menjadi corporate based food and agriculture production, yang mele-mahkan kedaulatan pangan Indonesia. Keempat, jika pemerintah tidakmampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate, makapara pemodal akan jadi penentu harga pasar karena penentu dijualdi dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagipemodal (Cahyono, 2009).

Food estate juga menjadi isu kritis yang memperparah kerusakanekologis. Deforestasi menampilkan potret kerusakan hutan dan ling-kungan gara-gara legal maupun illegal logging. Keserakahan manusiatelah dijawab alam dalam beragam bencana, seperti banjir/longsordi kala musim hujan, serta kekeringan di kala kemarau. Laju kerusa-kan hutan Indonesia seluas 13 lapangan bola per menit, atau setara3,6 juta hektare hutan setiap tahunnya. Menurut data yang tercatatdi Departemen Kehutanan (2003), hutan yang rusak atau tidak dapat

Page 456: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

437

Kembali ke Agraria

berfungsi optimal telah mencapai luasan 43 juta hektare dari totalhutan Indonesia seluas 120,35 juta hektare. Dengan digencarkannyafood estate, laju kerusakan hutan dan lingkungan hidup diprediksiakan makin menghebat. Watak usaha pertanian pangan dengan ba-sis modal besar membutuhkan lahan yang sangatlah luas, sehinggamereka lapar tanah.

Lantas, apa kiat jitu mengakhiri kontroversi food estate dan mene-pis ancaman land grabbing serta food colonialism? Tiada lain, peme-rintah harus kembali fokus merealisasikan pembaruan agraria (agrar-ian reform) menjadi kebijakan yang didahulukan sebagai fondasi pem-bangunan, termasuk pembangunan pertanian guna mewujudkanketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Selamat Hari Per-juangan Petani Sedunia, semoga perjuangan petani terus menguat!***

Page 457: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

438

Sinar Harapan, 7 Mei 2010

Mencegah Diskriminasi Petanidi Ladang Pangan

DALAM beberapa hari ini, Kementerian Pertanian membuatheboh. Hal ini dipicu beredarnya draf Peraturan Menteri

Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perizinan dan Usaha BudiDaya Tanaman Pangan yang oleh sejumlah kalangan dinilaimengandung banyak masalah.

Koalisi Anti-Diskriminasi terhadap Petani (Sikap Tani)—yanganggotanya terdiri dari belasan organisasi tani dan organisasi non-pemerintah di tingkat nasional, yang mendorong pelaksanaan pem-baruan agraria sejati di Indonesia—memandang draf Permentan inisebagai wujud dari kebijakan yang memanjakan pengusaha besardan mendiskriminasikan petani kecil (Jakarta, 26 April 2010).

Draf Permentan ini merupakan turunan dari Peraturan Peme-rintah No 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman, yangjuga turunan dari Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang SistemBudi Daya Tanaman (SBT). Dalam UU SBT telah diatur beberapa hakpetani, peranan pemerintahan dan pengusahaan budi daya tanamanyang bisa diberikan izin kepada perorangan, BUMN/BUMD, badanhukum, dan koperasi.

Namun, bukan realisasi perlindungan dan pemenuhan hak-hakpetani yang diatur, tapi justru realisasi pengaturan pengusahaanbudi daya tanaman lewat PP dan draf Permentan ini, yang menem-patkan modal semakin berpotensi untuk melakukan ekspansi ke

Page 458: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

439

Kembali ke Agraria

lahan-lahan petani. Dampaknya, produsen pangan yang utama tidaklagi petani dan nelayan kecil, melainkan korporasi atau perusahaanbesar.

Permentan “permen” pahit

Sejumlah substansi yang diatur draf Permentan ini ibarat permenpahit bagi petani. Sikap Tani mencatat beberapa poin substansi yangperlu dikritisi dari draf Permentan ini. Di antaranya, pertama, menge-nai jenis usaha dalam produksi yang diawali penyiapan lahan hing-ga pascapanen dan diakhiri dengan pemasaran yang berpotensimenimbulkan monopoli swasta atas produksi dan distribusi perta-nian pangan (Pasal 3). Kedua, pelaku usaha bisa melakukan budidaya tanaman pangan yang berpotensi menimbulkan sengketa denganpetani, petambak, dan masyarakat adat (Pasal 4). Ketiga, tak ditentu-kan persentase modal asing dan modal dalam negeri berpotensimenimbulkan dominasi modal asing, meski memakai badan hukumIndonesia. Keempat, menggunakan tenaga kerja lebih dari sepuluhorang. Ini berpotensi menjadikan petani sebagai buruh tani di tanah-nya sendiri. Padahal, statusnya sebagai subjek pembaruan agrariaseharusnya mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannyadengan pelaku usaha adalah bagi hasil (Pasal 6 dan 7).

Kelima, penggunaan batasan kurang dari 25 hektare, luas mak-simum 10.000 hektare, dan di Papua bisa dua kali lipat, berpotensibertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960, UU Penataan Ruang,UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU KawasanEkonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian PanganBerkelanjutan, serta UU Otonomi Khusus yang berlaku di Aceh,Papua, dan DIY (Pasal 6, 7, 9). Keenam, kemitraan justru akan mencip-takan corporate farming di mana petani menjadi buruh dan menye-babkan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya (Pasal 11, 12,18). Ketujuh, seharusnya masyarakat juga memiliki hak menolak danhak mengguggat, bukan hanya dimintai masukannya (Pasal 37).

Sikap Tani menyatakan menolak draf Permentan ini dan menun-

Page 459: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

440

Usep Setiawan

tut perubahan PP No 18/2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman,UU No 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, dan UU No 7/1996 tentang Pangan. Sikap Tani juga mendesak pelaksanaan pemba-ruan agraria dan mengeluarkan UU perlindungan petani.

Kembangkan koperasi petani

Penulis mendorong pemerintah, khususnya KementerianPertanian, untuk segera merancang usulan legislasi dan regulasi yangmenempatkan kaum tani (terutama yang miskin) sebagai pelakuutama pertanian kita. Hendaknya, ada rancangan legislasi dan regu-lasi yang dapat memastikan hak-hak dasar kaum tani yang dibu-tuhkan untuk mengembangkan produksi pertanian secara kolektifdapat segera disiapkan dan dilempar ke publik untuk dikritisi.

Jika sungguh-sungguh ingin memihak rakyat miskin, pemerintahmestinya mengarahkan segala produk kebijakan yang pro-poor men-jadi lebih pokok. Penyusunan RUU Pelaksanaan Pembaruan Agraria,serta RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Petani, Nelayandan Masyarakat Adat, semestinya masuk ke dalam daftar prioritasprogram legislasi nasional yang disusun pemerintah bersama parle-men. Di dalam rancangan legislasi dan regulasi operasionalnya kelak,kebutuhan kaum tani, nelayan dan masyarakat adat atas sarana pro-duksi yang utama dan penunjang lainnya harus dipastikan terhidangsecara signifikan di dalam anggaran pendapatan dan belanja negaradi tingkat nasional maupun daerah. Agenda legislasi yang pro-poorharus dicerminkan pula dalam anggaran (budget) negara yang me-mihak kaum miskin.

Mengatasi kontroversi program food estate, hendaknya dilakukandengan mengembangkan corak produksi alternatif yang lebih mem-buka ruang bagi kaum tani miskin mengakses berbagai kebutuhanguna melancarkan proses produksi, pengolahan hasil, hingga distri-busi hasil-hasil pertaniannya. Pembentukan dan pengembangankoperasi-koperasi produksi dan distribusi pertanian yang berbasispetani miskin (buruh tani, petani kecil/gurem, petani penggarap)

Page 460: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

441

Kembali ke Agraria

yang dikelola dengan manajemen yang andal dapat menjadi badanusaha kolektif yang dikreasi dari, oleh, dan untuk petani kecil.

Koperasi yang berintikan usaha gotong royong secara bersama—yang dalam bahasa almarhum Gus Dur sebagai kaya bareng danmelarat bareng—harus menjadi tumpuan utama peningkatan produk-tivitas pertanian pangan sebagai bagian dari strategi pengembanganketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan secara keseluruhan.Dalam konsep food estate, pada umumnya tanah dikuasai oleh peru-sahaan besar dan modal dimiliki kaum pengusaha. Adapun tenagakerja profesional biasanya didatangkan perusahaan dari luar, semen-tara petani miskin hanya akan menjadi buruh upahan di ladangpertanian skala luas, yang hanya akan diperas keringatnya.

Sementara itu, melalui koperasi, tanah sebagai faktor produksiyang pokok dikuasai dan dikelola bersama. Dalam koperasi, modaldicari, digunakan, dan dipertanggungjawabkan secara bersama pula.Demikian halnya dengan tenaga kerja, sumbernya adalah dirinyasendiri beserta keluarga dan saudara-saudaranya sesama petani kecil,yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. ***

Page 461: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

442

Sinar Harapan, 1 Juni 2010

Pembangunan Pertanian yang Adildan Berkelanjutan

SUBSTANSI yang diangkat dalam diskusi bertajuk “AlternatifPembangunan Pertanian yang Berkelanjutan” di meja redaksi

Sinar Harapan, bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB)pada 25 Mei 2010 lalu, telah menghidangkan pencerahan tersendiri.Secara tersirat, diskusi ini berhasil mengurai ketegangan antarakonsep pembangunan pertanian arus utama berhadapan dengankritik dan alternatifnya.

Ada empat narasumber yang angkat bicara. Dari KementerianPertanian hadir Prof. Irsal Las (Kepala Balai Besar Litbang SumberdayaLahan Pertanian), yang di antaranya menekankan pentingnya perwu-judan food estate untuk mengamankan ketahanan pangan kita. Setelahitu, Dwi Andreas Santoso (Dosen Ilmu Tanah dan Sumber Daya LahanIPB) menyajikan fakta dan data yang justru mementahkan konsepketahanan pangan dan food estate-nya. Menurut Andreas, urusanpangan kita masih disetir perusahaan besar lintas negara atau multi-national corporation.

Sementara itu, Aceng Hidayat (Ketua Departemen EkonomiSumber Daya dan Lingkungan IPB) menyodorkan konsep alternatifpembangunan pertanian yang dinamai agro-ekologi. Pada intinya,Aceng menghendaki model pembangunan pertanian yang mene-kankan keseimbangan antara produktivitas dengan keberlanjutanlingkungan hidup.

Page 462: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

443

Kembali ke Agraria

Pembicara pamungkas, Prof. Bustanul Arifin (Guru Besar IlmuEkonomi Pertanian Universitas Lampung/Unila), menyuguhkansejumlah hasil penelitiannya yang menggambarkan kondisi keta-hanan pangan kita yang masih sangat rentan. Sekalipun cukup baikdari segi konsep, Bustanul mengingatkan, tantangan di lapanganuntuk mewujudkan “agro-ekologi” itu tidak kecil dan sangatkompleks.

Kritik “food estate”

Dalam diskusi ini, penulis hadir, namun tak sempat bicara.Melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi pandangan dalam rangkamenemukan arah, konsep, kebijakan, dan praktik baru pembangunanpertanian yang lebih adil dan berkerlanjutan. Penulis merasa lebihnyaman jika tema diskusi dilengkapi menjadi “Alternatif PembangunanPertanian yang Adil dan Berkelanjutan.” Keadilan sosial ialah aspekpokok yang tak layak dinihilkan sebelum membicarakan isu keber-lanjutan.

Sebagaimana diketahui, demi menggenjot produktivitas perta-nian pangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menan-datangani Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentangUsaha Budi Daya Tanaman (28 Januari 2010). Terbitnya PP No 18/2010—yang secara implisit jadi dasar hukum bagi food estate ini—telah memicu kontroversi di ruang publik. Penulis telah membericatatan kritis guna mengakhiri kontroversi food estate (Sinar Harapan,17/4/10).

Sejumlah pihak mensinyalir, penerapan PP ini bakal menim-bulkan problem baru dalam kebijakan pertanian dan keagrariaan.Misalnya dalam hal permodalan food estate. Pasal 15 menegaskanpenanaman modal asing yang akan melakukan usaha budi dayatanaman wajib bekerja sama dengan pelaku usaha dalam negeridengan membentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia.Batas modal asing maksimun 49 persen. Inilah pintu gerbang domi-nasi asing di lapangan food estate.

Page 463: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

444

Usep Setiawan

Secara konsepsi, pembangunan pertanian model food estatebertumpu pada kekuatan modal besar dengan penguasaan tanahdan pengusahaan skala luas. Umumnya, pendukung food estatemenganggap pertanian rakyat tak bisa diandalkan karena tanahnyaterlampau sempit. Pertanyaannya, kenapa pemilikan dan pengua-saan tanah kaum tani tak ditingkatkan terlebih dahulu? Denganbegitu, petani punya luasan tanah yang memadai dengan usaha taniyang ekonomis sebagai penyangga utama penyediaan pangan.

Pemikiran yang menganggap food estate sebagai jalan cepat mewu-judkan ketahanan pangan dengan mengabaikan ketimpanganstruktur agraria menjadi pertanda masih kuatnya pragmatisme dankapitalisme dalam pembangunan pertanian kita.

Menurut hemat penulis, model pertanian yang dikembangkanmestilah tunduk pada kepentingan pokok kaum tani sebagai aktorutama pertanian. Segala arah dan bentuk kebijakan mestilah diukuroleh sejauh mana kaum tani kita diuntungkan atau sebaliknya.

Arah dan haluan baru

Agenda penataan keagrariaan, termasuk dan terutama penataanpemilikan lahan pertanian pangan mestilah jadi program pokok yangdidahulukan sebelum peningkatan produktivitas pangan. Pening-katan produktivitas pangan tanpa dilandasi keadilan pemilikan danpenguasaan tanah pertanian berpotensi besar membiarkan ketidak-adilan, ketimpangan, dan pengisapan atas petani sebagai produsenbahan pangan.

Dalam konteks penyediaan tanah untuk food estate, ini disinyalirakan menuai konflik agraria yang lebih meluas. Idham Arsyad (KPA,2010) memprediksi, perampasan tanah ini tidak hanya akan menim-bulkan konflik agraria yang makin intensif, tetapi dalam jangka pan-jang bakal terjadi pembunuhan petani dan dunia pedesaan secarasistematis. Perlu kemauan politik pemerintah untuk mengurangi bah-kan menghilangkan petani gurem melalui program politik ekonomibernama pembaruan agraria. Ini merupakan mekanisme penataan

Page 464: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

445

Kembali ke Agraria

penguasaan dan pemilikan lahan yang timpang, sekaligus diikutiprogram pembaruan akses produksi.

Dengan demikian, perdebatan terkait food estate hendaknya dige-ser menjadi keseriusan untuk menyiapkan pelaksanaan pembaruanagraria dan pembaruan agraria (agrarian reform) sebagai dasar daripembangunan nasional, termasuk pembangunan pertanian yang adildan berkelanjutan. Pembaruan agraria sejatinya merupakan fondasikokoh bagi pembangunan pertanian demi ketahanan, kemandirian,dan kedaulatan pangan lintas zaman dan lintas generasi.

Untuk itu, diperlukan rancangan legislasi dan regulasi yangdapat memastikan hak-hak dasar kaum tani untuk mengembangkanproduksi pertanian secara kolektif. Jika sungguh ingin memihakrakyat miskin, pemerintah mesti mengarahkan segala produk kebi-jakan yang pro-poor jadi lebih utama daripada pro-growth. RUU pelak-sanaan pembaruan agraria, dan RUU pengakuan dan perlindunganhak asasi petani, nelayan dan masyarakat adat mestinya masukprioritas program legislasi nasional.

Pembangunan pertanian tengah memerlukan arah dan haluanbaru. Setelah menyadari bahaya yang diidap model pembangunankapitalistis dan neoliberalistik sebagaimana tercermin dalam konsepfood estate, kita ditantang untuk membangkitkan model pertanian yangbertumpu pada semangat gotong royong petani, koperasi-koperasisejati petani, dan badan-badan usaha milik rakyat yang memastikankedaulatan pangan diwujudkan.

Jika pembaruan agraria dijalankan, akan tersedia struktur agrariayang kondusif bagi pengembangan pertanian dan keagrariaan yangbukan sekadar meninggikan produktivitas, tapi lebih berkeadilansosial, mensejahterakan segenap rakyat, dan berkelanjutan secaraekologis. ***

Page 465: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

446

Sinar Harapan, 19 Juni 2010

“Quo Vadis” Peran KeagrariaanPerguruan Tinggi?

SALAH satu kekuatan penting yang cukup lama absen perannyadari percaturan keagrariaan ialah dunia perguruan tinggi. Seolah

ingin bangkit dari tidurnya, Dewan Guru Besar Universitas Indone-sia menggelar simposium nasional bertema “Tanah untuk Keadilandan Kesejahteraan Rakyat” (12/5/10) yang mengangkat urgensipelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia.

Simposium yang dibuka pidato Rektor UI Gumilar RusliwaSumantri telah memberikan angin segar bagi meningkatnya perhatiankampus atas dunia keagrariaan kita. Selama 30-an tahun terakhir,perhatian kalangan kampus terbilang minim dan kering.

Forum ini dihadiri tak kurang dari 500 insan akademis darisekitar 17 perguruan tinggi se-Indonesia. Seolah ingin ditegaskan,pentingnya dunia akademik turut mengurai persoalan dasar agraria,sekaligus merumuskan formula jalan keluar keruwetan agraria secarailmiah, objektif, sistematis, ideal, namun realistis.

Pandangan para guru

Dalam ceramah umum di bagian awal simposium ini, Joyo Wino-to, Kepala Badan Perta-nahan Nasional RI, mengabarkan bahwapemerintah sedang melakukan persiapan dan mulai melaksanakanpembaruan agraria, dalam pengertian penataan sistem politik danhukum pertanahan. Selain itu, juga pembaruan agraria dalam makna

Page 466: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

447

Kembali ke Agraria

penataan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah sertapenyediaan berbagai akses yang dibutuhkan rakyat (landreform plusaccess reform).

Winoto—yang dalam forum ini menyebut diri “Guru Kecil” ditengah para Guru Besar—mendorong tujuh agenda strategis, yakni:(1) Membangkitkan pemikiran kritis keagrariaan, (2) Mengisi tuntutankeagrariaan, (3) Memperluas dan memperkaya pemikiran mengenaikeadilan dan kesejahteraan, (4) Menggugat paradigma dominan, (5)Reposisi intelektual dan akademisi dalam perjuangan, pemikiran,penegakan keadilan, dan tuntutan publik akan kesejahteraan, (6)Membangun kesadaran baru keagrariaan di dunia kampus melaluipendidikan dan penelitian, dan (7) Melakukan gerakan intelektualdalam pembenahan sistem keadilan dan kesejahteraan.

Selanjutnya, dalam presentasi Prof. Arie Sukanti Hutagalung(Guru Besar Hukum Agraria UI), ia mencatat bahwa secara akademiktimbulnya disharmoni UU agraria seharusnya tak perlu terjadi jikaUUPA dilaksanakan secara konsisten. Ini dilakukan dalam wujudpengaturan sektor-sektor agraria yang mengikutinya kemudian,dengan berpegang pada doktrin hukum “lex priori derogat legi apriori”.

Hutagalung lantas memberikan saran sekaligus usul untukstrategi jangka pendek berupa kajian akademik terhadap sinkronisasipelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam sektor keagrariaan.Ia juga memberikan solusi kepada presiden agar lebih maksimaldalam menjalankan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.

Berbicara tentang kesejahteraan sosial, Prof. Susetiawan (GuruBesar Antropologi UGM) menekankan perlunya membangkitkankembali kekuatan komunitas. Membangun institusi sosial yangdianggap mendukung kesejahteraan bagi komunitas jadi sangat pen-ting artinya untuk pembangunan bangsa. Bukannya menghilangkaninstitusi tradisional yang berbasis komunitas jadi berbasis individu.

Susetiawan menambahkan, diperlukan kajian mendalam menge-nai institusi macam apa yang sekarang ini masih tersisa dan efektif

Page 467: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

448

Usep Setiawan

untuk menjamin ketahanan sosial masyarakat, termasuk apa yangmereka pikirkan tentang sejahtera dan mengutamakan kembali carakomunitas untuk menjaga kehidupan bersama.

Sementara itu, Prof. Maria S.W. Sumardjono (Guru Besar HukumAgraria UGM) memandang pentingnya komitmen pemerintah danlembaga legislatif untuk melakukan sinkronisasi antarberbagai pera-turan perundang-undangan sektoral dengan berlandaskan pada prin-sip “hukum sebagai suatu sistem.”

Selanjutnya, Sumardjono merekomendasikan perlunya kejelasaninstansi yang berwenang untuk mengoordinasikan kebijakan di bi-dang sumber daya alam dan implementasinya. Secara khusus, dewa-sa ini masih ditunggu cetak biru politik hukum pertanahan nasionalyang akan memberikan arah bagi pembangunan hukum pertanahannasional ke depan untuk mengacu pada UUD 1945, UUPA, UU RPJM,dan lain-lain.

Terakhir, Prof. Robert M.Z. Lawang (Guru Besar Sosiologi UI)menawarkan pikiran sosiologis untuk pembangunan yang butuhalternatif habitus baru. Lawang menyadari bahwa sosiologi pedesaantidak antikebijakan pemerintah yang memperhatikan skalapembangunan ekonomi makro, tetapi tak setuju kalau kebijakantersebut mengabaikan pembangunan ekonomi mikro di pedesaan.Cendikiawan perlu memihak negara dan rakyat tanpa memihak salahsatunya.

Menurut Lawang, kita harus menyusun habitus baru yang takmengganggu NKRI, tapi juga memberi peluang kepada orang desauntuk berkembang sesuai struktur sosialnya, agar jadi struktur alter-natif. Dibutuhkan konsistensi dalam menatap masa depan bangsa.

Kampung dan kampus

Penulis memandang pentingnya pertemuan dan kolaborasi kritistiga aktor utama pembangkit reforma agraria, yakni akademisi, birok-rasi, dan aktivis. Melalui kearifan, para akademisi kita dapat mema-hami situasi dan kondisi agraria di lapangan secara relatif lebih jernih,

Page 468: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

449

Kembali ke Agraria

sehingga solusinya pun dapat ditemukan dengan relatif tepat dan akurat.Dengan kewenangan yang ada di tangan para birokrat, kebijakan

pelaksanaan reforma agraria dapat dirumuskan dan dijalankan seca-ra masif dan legal. Segenap perangkat hukum, program, anggaran,dan infrastruktur lainnya dari pusat hingga daerah diarahkan untukmemastikan penataan struktur agraria dapat efektif dialirkan.

Sementara itu, aktivis atau pegiat agraria menjadi jembatan kreatifpengembangan pemahaman massa rakyat atas masalah agraria,menggali akar-akar penyebabnya, dan merumuskan solusinya mela-lui gerakan bersama. Pendidikan, pelatihan, dan pengembanganorganisasi rakyat dapat digalang bersama kalangan aktivis, pegiat,dan lembaga pendukung lainnya.

Menghubungkan aspirasi “kampung” dengan peran otoritatifkeilmuan “kampus” juga diperlukan. Mempertautkan gerakan kam-pung dan kampus niscaya dapat mengurai benang kusut dunia keag-rariaan, pertanian, dan pedesaan kita secara mendasar dan ilmiah.Kaum cerdik cendikia ditantang untuk segera mengembangkan ber-bagai kajian, publikasi, jejaring, dan kerja sama guna mengembangkankonsep dan praktik reforma agraria yang memihak rakyat miskin.

Setelah simposium UI tuntas, itu perlu dilanjutkan dengan sege-nap langkah yang lebih nyata dan bermakna, guna menjawab per-tanyaan: quo vadis peran keagrariaan perguruan tinggi? ***

Page 469: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

450

Kompas, 16 Juli 2010

Sudahi Politisasi Petani

RIAK-RIAK tak sedap mencuat dalam Musyawarah Nasional VIIHimpunan Kerukunan Tani Indonesia, Bali, 12-15 Juli 2010.

Alih-alih berhasil merumuskan agenda nyata bagi petani, munas initerjebak pertarungan elit dalam perebutan posisi puncak organisasi.

Sejauh ini, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dikenalsebagai organisasi massa tani yang dibentuk di era Orde Baru denganmisi terselubung untuk mengontrol dan mengendalikan gerakan tani.Dulu, HKTI jadi organisasi tunggal petani Indonesia. Tak boleh adaorganisasi lain selain HKTI. Petani diorganisir untuk dikuasai, bukandicerdaskan dan dibebaskan.

Setelah Soeharto tumbang, kiprah HKTI kian politis. Belakanganormas ini cenderung jadi kendaraan politik dari elit ekonomi-politikyang mengatas-namakan petani untuk mencapai tujuannya sendiri.Contoh yang benderang, pencalonan Ketua Umum HKTI dalam ja-batan politik tertinggi pemerintahan melalui Pemilu 2004 dan 2009.

Dampak lebih jauh petualangan politik para elit, HKTI kian ter-pasung sebagai organisasi “atas nama” petani. Sulit dibantah, HKTIbukanlah ormas tani sejati. Mayoritas pegiatnya bukanlah petanisebenarnya. Amat jarang pimpinan yang berasal dari petani. Pengu-rusnya sebagian besar bukanlah petani. Petani hanya dipinjam nama-nya dan diatas-namakan kepentingannya untuk kepentingan lain,di luar kepentingan petani.

HKTI kerap digunakan sebagai kendaraan atau alat kaum elit

Page 470: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

451

Kembali ke Agraria

untuk mencapai tujuan-tujuan bermotif ekonomi maupun politik elityang tak mesti sejalan dengan tujuan perjuangan petani. Selama ini,eksistensi HKTI yang membawa nama besar petani, tapi tingkah po-lahnya tak selalu mencerminkan gambaran sebagai wadah perju-angan petani.

Diakui atau tidak, HKTI barulah sebagai ormas tani seolah-olah.Seolah-olah ormas tani. Disinyalir, gerak-geriknya pun kerap taksebangun dengan kepentingan nyata petani.

Perlu transformasi

Jika menemukan peran sejarahnya secara signifikan, tak adapilihan lain kecuali HKTI harus merumuskan ulang jati dirinya.Tersedia pilihan, apakah akan tetap jadi seperti selama ini–ormasatas nama sekaligus kendaraan politik elit yang mengatas-namakankepentingan petani? Ataukah mau bertransformasi jadi ormas tanisejati. Jika pilihan kedua yang diambil, ada sejumlah prasyarat yangtak mungkin dielakkan. Kepemimpinan ormas tani mestilah diisi figuryang memiliki rekam jejak yang cemerlang sejak dalam pikiran, per-kataan maupun perbuatannya dalam memperjuangkan hak-hakpetani.

Selain itu, secara kelembagaan ormas tani juga mestilah mampumerumuskan agenda dan program perjuangan yang benar menyentuhkepentingan dan kebutuhan kaum tani. Misalnya, jika ormas tanimenyadari problem petani yang pokok ialah ketidakadilan agraria,maka reforma agraria sebagai jawaban harus jadi agenda utama per-juangannya.

Aneka program pun mestilah lebih membumi sehingga menyen-tuh kebutuhan dasar petani. Hak ekonomi, sosial dan budaya petanipenting diterjemahkan ke dalam program kerja nyata. Jika reformaagraria jadi agenda utama, maka landreform yang bermakna perom-bakan struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah seca-ra berkeadilan harus jadi program pokok perjuangan petani Indone-sia.

Page 471: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

452

Usep Setiawan

Cermin kesejatian

Lebih lanjut, struktur organisasi dan kepengurusan pun hendak-nya direformulasi agar lebih mencerminkan kesejatiannya. Masuknyakader-kader petani dan pemimpin dari kalangan petani sendiri kedalam struktur pengurus di berbagai level akan jadi indikator pentingdalam mengukur legitimasi sosial ormas tani.

Jika di masa lampau ormas tani diisi wajah-wajah nirpetani dantak punya jalan hidup yang menandakan kesungguhan dalam mem-perjuangkan hak petani, maka ke depan sosok baru dari kalangangerakan petani sendiri yang sepantasnya memimpin ormas tani.Pengurus dan anggota ormas tani jangan hanya petani berdasi, me-lainkan mencakup pula dan terutama petani miskin, yang berlahansempit atau tunalahan sama sekali.

Inilah sejumlah tantangan mendasar. Sayangnya penulis takbegitu yakin solusinya terfasilitasi penuh oleh Munas VII HKTI ini.Apabila ternyata masih jauh panggang dari api, dan orang-orangdalam HKTI masih merasa nikmat dengan realitas sekarang, makaamat beralasan bagi kita—terutama kaum tani Indonesia—untukberseru: selamat tinggal HKTI!

Tantangan selanjutnya ialah bagaimana melahirkan kelemba-gaan alternatif petani yang secara sosial, ekonomi dan politik lebihmurni mewakili kepentingan petani. Petani perlu wadah yang sang-gup menaungi dan memperjuangkan kepentingannya di tingkat lo-kal, regional hingga nasional, bahkan internasional secara hakikiminus politisasi.

Dari ribut-ribut perebutan posisi kunci di ormas tani yang sesung-guhnya tak sejati, inilah saat bertindak menyudahi politisasi petanidemi syahwat elit.

Politik petani ialah politik kebangsaan yang memampukan diri-nya berdiri di atas kaki sendiri. ***

Page 472: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

453

Sinar Harapan, 21 Juli 2010

Kondisi Hutan dan Gerakan Petani

PENULIS pernah mengajak untuk memetik pelajaran dariperjuangan Serikat Petani Pasundan (SPP) dalam memperjuang-

kan aksesnya atas tanah (Sinar Harapan, 12/08/08). Belum lama ini,ribuan massa SPP kembali berdemo di depan Gedung Sate Bandung.SPP menolak tuduhan sebagai dalang perusakan, perambahan hutandan kebun di Jawa Barat.

Sebelumnya, di sebuah koran nasional, Kepala Dinas KehutananJabar Anang Sudarna menyatakan perambahan hutan sukar diatasikarena harus berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan yangmenghimpun warga, seperti Serikat Petani Pasundan yang ditemuidi Tasikmalaya dan Ciamis (11/05/10).

Berangkat dari kasus ini, penting kiranya kita melihat akar perso-alan kehutanan di Pulau Jawa, sebagai pulau yang tanahnya tersuburdengan penduduk terbanyak di Indonesia. Benarkah kondisi hutandan kerusakannya terjadi akibat gerakan petani seperti SPP?

Menyoal Perhutani

Mengacu pernyataan sikap yang ditandatangani Sekjen SPPAgustiana (Mei 2010), sejak didirikan tahun 2000 hingga sekarang,SPP tak pernah melakukan perambahan dan perusakan hutan seba-gaimana yang dituduhkan Kadishut Jabar. SPP justru menganut danmenerapkan konsep pelayanan alam yang dilakukan dengan caramemelihara fungsi optimalisasi lingkungan hidup sebagai peme-

Page 473: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

454

Usep Setiawan

nuhan kebutuhan manusia dan ekosistem secara adil, layak, danberkelanjutan. Keseimbangan fungsi sosial, ekonomi, dan ekologidianut oleh gerakan SPP.

SPP telah melakukan kajian mendalam atas sistem keagrariaan,termasuk kehutanan, yang ada di Jawa Barat (2005). Perencanaandan penunjukan kawasan hutan tahun 1905 sampai 1933 dasarklaimnya adalah tanah negara yang berbentuk hutan di Jawa Barattelah diklaim Perhutani. Berdasarkan perencanaan tahun 1972, pe-nunjukan atas perencanaan hutan tak sesuai lagi dengan kondisisekarang, karena luasan tanah pada waktu itu sangat luas, sedang-kan tingkat kebutuhan dan jumlah penduduk masih sangat sedikit.

Dalam hal fungsi hutan, Perhutani lebih berorientasi pada profitdan jenis tanamannya ialah komoditas yang memiliki keterbatasanmasa tebang. Perhutani selama ini tak berhasil menjaga pemulihanfungsi hutan dan menyebabkan masyarakat sekitar jadi tersingkir.Fakta di lapangan menunjukkan, angka kemiskinan di sekitar wilayahPerhutani sangat tinggi. Di sekitar 43.000 desa di Jawa, sekitar 70persen masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kondisinya miskin.

Selama ini, program kehutanan yang dilakukan, termasukprogram pengembangan ekonomi sosial maupun pengelolaan hutanbersama masyarakat (PHBM) yang bersifat project oriented, telahmenempatkan rakyat tetap pada posisi subordinat yang terpinggir-kan. Perhutani bertanggung jawab terhadap dampak pemiskinan,konflik, dan kerusakan lingkungan di kawasan dan sekitar kawasanhutan Jawa.

Adapun alas hak atas tanah yang selama ini diklaim Perhutanijuga tidak kuat. Merujuk UU No 41/1999, tidak ada satu pasal punyang menyebutkan Perhutani sebagai pemilik tanah kawasan hutan.Klaim Perhutani yang dalam argumentasinya selalu berdasarkan be-rita acara tata batas (BATB) tahun 1929 sebagai dasar klaim dan alashak (title), seharusnya direvisi minimal 10 tahun sekali. Sampai saatini, Perhutani belum pernah merevisinya sekali pun.

Yang perlu dievalusi ialah pembenaran legalitas penguasaan

Page 474: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

455

Kembali ke Agraria

lahan oleh Perhutani. Seharusnya, pengukuhan kawasan hutan,sebagaimana diatur ayat (1) UU No 41/1999 tentang Kehutanan,dilakukan melalui tahapan: (a) Penunjukan kawasan hutan; (b) Pena-taan batas kawasan hutan; (c) Pemetaan kawasan hutan; dan (d)Penetapan kawasan hutan. Menurut berbagai sumber, sampai hariini baru 9 persen yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Juga perlu evaluasi kebutuhan tanah untuk hunian, lahan per-tanian, sarana pembangunan, fasilitas umum, industri, niaga, perkan-toran, dan infrastruktur. Dari sisi struktur dan tata guna tanah, luasantak sesuai lagi dan harus direvisi. Menurut Badan Pertanahan Nasio-nal (BPN), areal yang diklaim Perhutani 60 persen berbentuk dataran,40 persen tebing, dan hampir 20 persen ada di wilayah perkotaandan sarana pertanian yang ditunjang irigasi teknis. Inilah realitasyang ironis.

Klaim Perhutani atas status tanah kawasan hutan selama initidak benar. BPN sebagai institusi pertanahan/keagrariaan belumpernah mengeluarkan keputusan mengenai siapa yang paling berhakuntuk memiliki/menguasai tanah-tanah kawasan hutan tersebut.Sampai saat ini, status tanah tersebut masih tanah negara, konseku-ensi yuridisnya, setiap warga negara punya hak sama untuk memo-hon tanah tersebut menjadi tanah milik melalui mekanisme yangberlaku.

Perlu pembaruan

Setelah mencermati kaitan masalah kehutanan dengan gerakanpetani, ke depan patut ditimbang beberapa hal. Pertama, terkait per-nyataan Kadishut Jabar Anang Sudarna, SPP menganggapnya seba-gai bentuk pembusukan, pembunuhan karakter, serta pencemarannama baik yang tak berdasar dan fitnah yang sangat keji. Oleh karenaitu, SPP telah melayangkan gugatan secara hukum melalui PoldaJabar (20/05/2010).

Kedua, perlu diusut segera secara tuntas adanya dugaan praktikmafia kehutanan dan perkebunan sampai tuntas lewat perizinan

Page 475: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

456

Usep Setiawan

alih fungsi lahan. Kebijakan yang digulirkan oleh Dinas kehutananharus memihak rakyat kecil dan tidak terlalu memanjakan pemodalbesar agar terhindar dari cap sebagai agen neoliberalisme dan impe-rialisme baru di lapangan agraria.

Ketiga, petani penggarap yang tergabung dalam serikat-serikattani independen harus diprioritaskan untuk dapat menggarap tanahnegara berupa hutan dan perkebunan yang ditelantarkan atau karenahak guna usaha (HGU)-nya kedaluwarsa. Pemerintah mestinya mem-fasilitasi petani miskin di sekitar hutan untuk berserikat dan mengem-bangkan koperasi produksi pertanian kolektif, serta badan usahabersama pengelola hutan secara adil dan lestari.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah hendaknya segera menyi-apkan desain dan melaksanakan program pembaruan agraria berupapenyediaan tanah yang cukup bagi petani miskin, buruh tani, danpetani penggarap, serta mengadakan berbagai sarana-prasarana pen-dukung yang dibutuhkannya. Dalam konteks itulah, penertiban danpendayagunaan tanah-tanah telantar, tak terkecuali tanah bekas ka-wasan hutan yang diklaim Perhutani untuk kepentingan rakyat mis-kin, harus dipercepat dan dipermantap. ***

Page 476: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

457

Sinar Harapan, 4 Agustus 2010

Tiupan Peluit Melawan Kelaparan Global

SEKITAR seribu orang serempak meniup peluit dengan kencangdi Auditorium Kementerian Pertanian RI, Jakarta (Jumat, 23 Juli

2010). Tiupan peluit kali ini tak ada kaitannya dengan sepakbola,melainkan simbol gerakan perlawanan terhadap ancaman kelaparansecara global.

Dengan lantang disuarakan pentingnya kepedulian dan langkahnyata untuk memberantas kelaparan dan kemiskinan di muka bumi.Lewat peluncuran “petisi untuk mengentaskan kelaparan” yangdifasilitasi organisasi pangan sedunia (FAO), Indonesia berikraruntuk mengatasi kemiskinan absolut dan kelaparan ekstrem bersamamasyarakat global.

FAO menjelaskan penger-tian kelaparan, kenapa terjadi kela-paran, siapa yang lapar, dan yang dapat dilakukan guna mengatasi-nya. Menurut FAO, bagi ratusan juta orang di dunia yang tak berun-tung dan tak punya cukup pangan untuk dimakan tiap hari, laparmembuat mereka merasa lemah, letih, tak dapat berkonsentrasi danbahkan sakit. Lapar dapat merusak kesehatan sementara maupunpermanen. Mereka tidak punya cukup pangan untuk tetap bekerjadan sehat. Karena kurangnya vitamin dan mineral, kelaparan kronisterjadi dan bisa berubah menjadi ekstrem.

Sebab kelaparan

Sekitar 1,02 miliar warga bumi kekurangan gizi. Penyebab kela-

Page 477: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

458

Usep Setiawan

paran bukan gagal panen, tetapi karena harga pangan domestik tinggi,pendapatan rendah, dan meningkatnya pengangguran karena krisisglobal. Banyak orang tak mampu beli makanan yang diperlukan.Memprihatinkan.

Yang menarik, FAO menegaskan kelaparan bukan disebabkankekurangan pangan. Sebab terpentingnya yaitu kemiskinan. Kela-paran terjadi karena penduduk miskin tak punya akses atas tanahatau infrastruktur pertanian yang kuat untuk mendukung kontinuitaspanen, beternak, atau bekerja dengan tetap yang membuat merekapunya akses terhadap pangan.

Sebagian besar penduduk miskin ialah penduduk di pedesaandi Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Kepulauan Karibia. Pendudukyang tak punya tanah merasakan kelaparan yang lebih parah. Merekatak punya akses terhadap pendapatan tetap, sehingga mereka takmampu membeli pangan yang cukup guna memenuhi kebutuhannutrisinya. Perempuan paling rentan, karena kurang gizi saat hamilberpeluang besar melahirkan bayi kurang gizi. Gejala alam sepertibanjir, gempa bumi dan kekeringan memperparah ancaman kela-paran.

Lantas, apa yang dapat dilakukan? Pertama-tama, menurut FAO,kita harus berbagi visi tentang terciptanya dunia tanpa kelaparan.Mengatasi kelaparan harus jadi prioritas negara-negara miskin. Eko-nomi pedesaan perlu tumbuh untuk memperluas kesempatan kerjadan memperlambat arus migrasi dari desa ke kota.

Selain itu, sumber daya alam perlu dikelola dengan baik untukmemastikan tanah tak digunakan berlebihan. Harus ada kerja samamengentaskan kemiskinan dan mengakhiri ketidaksetaraaan sertameningkatkan akses atas pangan yang aman bagi semua orang.

Kini kita perlu menata ke dalam. Menurut Achmad Suryana (Kepa-la Badan Ketahanan Pangan), kita punya kabar gembira. Jikadisandingkan dengan realitas kelaparan global, Indonesia tak parah.Tapi diingatkan, kita punya banyak tantangan yang harus diselesai-kan agar dapat berperan dalam percaturan ketahanan pangan global.

Page 478: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

459

Kembali ke Agraria

Sejauh ini dikenal konsepsi ketahanan, kemandirian, dan kedau-latan pangan. Terlepas dari perdebatan paradigmatik atas ketigaistilah ini, penting kiranya menemukan fokus agenda nasional untukmencegah kelaparan dan mengurangi kemiskinan secara tepat danakurat.

Setelah peluit ditiup

Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 meletak-kan tiga arah kebijakan: meningkatkan ketersediaan dan penanganankerawanan pangan, meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasiharga pangan, dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsidan keamanan pangan. Menurut hemat penulis, ketiganya perlu terje-mahan praktis operasional yang sanggup menjawab persoalanpangan dari hulu hingga hilir. Aspek produksi, distribusi, dan kon-sumsi pangan harus dibuat seiring sejalan. Prinsipnya, kedaulatankebijakan agraria, pangan, pertanian, dan perdagangan diperlukanuntuk meraih kemandirian serta mewujudkan ketahanan pangan.

Bagi Indonesia yang masih mengalami persoalan akut di sektorhulu (bahkan pada aspek praproduksi), perlu ada langkah yang pastidan nyata dalam menuntaskan fondasi, yang pada gilirannya me-mungkinkan ketahanan pangan nasional tercapai secara mantap.Merujuk KUKP 2010-2014, pada bagian meningkatkan ketersediaanpangan terdapat agenda menata pertanahan dan tata ruang wilayahmelalui pengembangan pembaruan agraria. Maknanya, kebijakanpangan dan pertanian mesti diletakkan di atas struktur pemilikan,penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertata adilsebagai fondasi kokoh.

Hal ini sejalan dengan isu krusial yang diangkat FAO bahwaketiadaan akses penduduk miskin di pedesaan terhadap tanahmerupakan penyebab penting kemiskinan yang memicu kelaparan.Adapun pembaruan agraria telah jadi konsensus nasional sejak 1960–ditandai dengan lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan DasarPokok-pokok Agraria, 24 September. Memasuki era reformasi kita

Page 479: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

460

Usep Setiawan

punya TAP MPR No. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan penge-lolaan sumber daya alam, yang hingga kini tetap relevan dan mende-sak diimplementasikan.

Komitmen untuk menjalankan pembaruan agraria juga telah ber-ulang kali disampaikan Presiden RI. Langkah-langkah persiapanpun terlihat telah dijalankan. Kini segera dibutuhkan arah kebijakandan regulasi khusus mengenai pelaksanaan reforma agraria, agaragenda ini bisa lebih justified serta efektif menumpas akar-akarkemiskinan dan kelaparan.

Di samping itu, perlu dipastikan adanya sinergi dan sinkronisasikebijakan keagrariaan, pertanahan, pertanian, dan perdagangandalam rel yang searah bagi ketahanan, kemandirian dan kedaulatanpangan. Jadi, ini merupakan pekerjaan bersama penyelenggara ne-gara. Masyarakat tentu amat penting untuk terlibat dalam memberi-kan input, kritik dan kontrol, serta praktik langsung untuk menyuk-seskan niat luhur mengatasi kelaparan dan kemiskinan ini.

Ketika peluit sudah ditiup kencang dan petisi mengakhiri kela-paran ditandangani, saatnya kita bekerja nyata menyediakan syarat-syarat sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan rakyat lepasdari kemiskinan dan kelaparan melalui pelaksanaan reforma agrariasejati. Dengan sepenuh hati, mari kita tumpas kemiskinan dan kela-paran! Priiiiiittt… ***

Page 480: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

461

EpilogKetika Aktivis Menulis untuk Umum

(Membaca Kumpulan Tulisan Usep Setiawantentang Agraria dan Petani)

oleh Dianto Bachriadi1

SULIT untuk mengatakan ‘tidak’ ketika Sekjen KPA, Idham Arsyad,melayangkan surat elektronik yang isinya meminta saya menulis

‘catatan akhir’ (epilog) terhadap buku kumpulan tulisan Usep Setia-wan. Ada beberapa alasan untuk tidak mengatakan ‘tidak’, terutamadikarenakan saya juga yang pernah menyampaikan kepada Usepuntuk mencoba menulis buku menyusul terbitnya artikel-artikel yangbersangkutan di sejumlah media massa sejak beberapa tahun lampau.Meskipun pada akhirnya yang pertama hadir adalah reproduksitulisan-tulisan tersebut dalam bentuk buku kumpulan tulisan sepertisekarang ini.

Semoga ‘epilog’ ini masih sempat terbaca oleh pembaca setelahmelewati lebih dari 400 halaman pemikiran Usep tentang agraria,

1 Pernah jadi aktivis mahasiwa di Bandung tahun 80-90-an, dan bagian daripimpinan eksekutif KPA periode 1995-2002. Saat ini jadi peneliti di Agrarian Re-source Center (ARC) Bandung. Menyelesaikan sekolah sebagai sarjana Antropologidi Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia; dan doktor bidang politik di Sekolahuntuk Kajian-kajian Internasional (School of International Studies), Universitas Flin-ders di Adelaide, Australia Selatan.

Page 481: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

462

Usep Setiawan

petani dan keharusan untuk dijalankannya reforma agraria di Indo-nesia. Untuk itu, pertama-tama, patutlah dipuji produktivitasnya seba-gai penulis artikel lepas di media massa (: koran dan majalah). Jikakita lihat rentang waktu penerbitan tulisan-tulisan ini yakni sejaktahun 2000 hingga 2010, dapat dibayangkan ‘kehebatan’ penulisnyadi tengah-tengah kesibukan terlibat dalam kelompok gerakan sosial(KPA) dan menyelesaikan kuliah pasca sarjananya di IPB (dalam 2-3 tahun belakangan ini) selalu menyempatkan diri menuangkan ga-gasan dan pikirannya dalam bentuk tulisan untuk dibagi kepadapublik.

Kedua, tidak mudah untuk mencapai bagian ‘epilog’ ini jika harusmelewati 400-an halaman naskah utama terlebih dahulu. Sebagaisebuah kumpulan tulisan, buku ini terlalu tebal dan terlalu bervariasikandungan ulasan-ulasannya. Akan lebih baik, dalam pandangansaya, jika kumpulan tulisan Usep diterbitkan dalam 2-3 buah bukuyang masing-masing terfokus pada 1-2 tema, disertai dengan satutulisan pengantar yang baru untuk mengikat kembali argumen-argu-men pokok dari masing-masing tulisan. Sehingga kita lebih bisa mene-mukan bangunan utuh dari buku kumpulan tulisan tersebut: bukansekedar tumpukan tulisan yang dijilid kembali menjadi sebuah buku.

Sebelum memberikan beberapa ulasan yang sifatnya lebih sub-stantif terhadap gagasan yang disampaikan Usep dalam buku ini,saya hendak mengajak pembaca kembali ke tahun 1991. Kala itu sayamasih berstatus mahasiswa, sedang menunggu jadwal ujian sarjana(: tepatnya sedang menyelesaikan bagian-bagian akhir dari skripsisebelum ‘setor’ ke jurusan untuk disidangkan). Salah satu kegiatanyang kerap saya lakukan kala itu adalah nongkrong di kantin fakultas,ngopi sambil bercengkrama dengan kawan-kawan atau berdikusitentang apa saja dengan mereka. Satu ketika, seorang karib, seorangaktivis mahasiswa sohor di Bandung yang juga kawan satu angkatandi jurusan Antropologi Unpad, menghampiri dan mengatakan “suatuhari aku akan mengenalkanmu dengan seorang anak-baru yang sangatpotensial”, sebelum kami terlibat dalam obrolan panjang-lebar

Page 482: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

463

Epilog

macam-macam topik. Janji itu dipenuhinya beberapa hari kemudian:ia datang lagi ke kantin, tapi kali ini ditemani seorang anak-baru (:ma-hasiswa baru) yang dikenalkannya bernama Usep. Anak ini menge-nalkan namanya lebih lengkap: Usep Setiawan; dan dia sebagaimanabiasanya anak baru di jurusan kami pada waktu itu, memanggil sayadengan sebut ‘kang’. Ia sangat kaku, kikuk tepatnya melihat keakrabansaya dengan karib aktivis yang mendampinginya. Ia lebih banyakdiam, hanya bicara jika ditanya: Jadilah pertemuan itu seperti sebuah‘wawancara’ tidak imbang, saya bertanya banyak dan ia menjawabseperlunya saja.

Karib yang membawanya ke hadapan saya kali ini tidak lama‘nongkrong’ di kantin, dia segera pergi dengan alasan masih banyakyang hendak dikerjakan; tetapi sebelum pergi ia mengatakan suatuhal yang terus tertancap di benak dan hati saya: “Tolong kau jagadan didik anak ini, ini anak ‘bagus’, anak baik, dan calon pemimpingerakan di masa depan”. Sejak hari itulah, entah disadari atau tidakoleh Usep, saya melakoni peran sebagai ‘seniornya’ sekaligus ‘penjagadan berusaha keras menjadi pendidiknya’, yang saya lakoni dengancara menjadi kawan dan lawannya berdiskusi untuk tema apa sajakhususnya soal gerakan petani, gerakan sosial dan reforma agraria.Saya pula yang biasanya tertimpa ‘kerepotan’ jika ia, sebagai manaumumnya aktivis, membuat ‘ulah’. Mungkin karena itu pula, per-hatian saya yang ‘agak berlebih’ terhadap Usep telah membuat ‘iri’beberapa ‘adik-adik’ mahasiwa lainnya.

Sejak perkenalan hari itu, kami memang jadi akrab, malah sangatakrab. Sayalah yang mengajak Usep pada tahun 1995 untuk ‘bantu-bantu’ menyiapkan banyak hal ketika saya diminta oleh sejumlahdeklarator KPA menjadi Ketua Panitia Pelaksana Munas KPA yangpertama. Itulah kali pertama pula Usep ‘berkenalan’ dengan organi-sasi yang bernama KPA yang dikemudian hari menjadikannya salahseorang tokoh penting dalam organisasi gerakan sosial ini.

Seperti dikatakannya dalam pengantar buku ini, sejak tahun1991 ia memang telah terlibat dalam berbagai aksi untuk membela

Page 483: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

464

Usep Setiawan

petani-petani, khususnya di seputaran Jawa Barat, yang tergusurkarena kebijakan pemerintah dalam berbagai ‘proyek pembangunan’.Tetapi, dalam pengamatan saya, di KPA-lah ia mematangkan semuapikiran-pikirannya sebagaimana yang tertuang di dalam sejumlahtulisan yang sebagian besar disatukan dalam buku ini. Kiprahnyadalam membela kepentingan petani dan menjadikan gagasan reformaagraria seolah-olah sebagai ‘kata-kata suci’ dalam penggalan hidup-nya saat ini ‘semakin menjadi-jadi’ sejak dia aktif sejak masa-masaawal pembentukan KPA.

Sikap pembelaannya terhadap petani dan keyakinannyabahwa reforma agraria adalah sebuah keniscayaan yang harusdijalankan untuk menjawab berbagai masalah agraria di Indone-sia tidak perlu diragukan lagi. Jadi, meskipun dengan rendah hatidalam pengantar buku ini ia menyebut dirinya sebagai “saksi” daridinamika gerakan petani dan gerakan reforma agraria di Indonesia,maka saya tidak terlalu setuju dengan “kesaksiannya” itu: Usep bukanhanya sekedar saksi, ia adalah salah satu aktor penting dalamdinamika gerakan tersebut! Kumpulan tulisan yang merupakanlontaran-lontaran pemikiran, gagasan juga refleksi kritisnya terhadapmasalah-masalah agraria dan pertanian di Indonesia masa kini hanyasatu bagian saja hasil dari intensitas ‘penyerahan’ dirinya terhadaptujuan mulia untuk menjadikan petani kembali sebagai soko gurupenting dalam pembangunan bangsa Indonesia hari ini dan di masadepan.

Relatif tak ada perbedaan mendasar antara pandangan-pan-dangan Usep dengan saya tentang perlunya pembaruan agraria dija-lankan di Indonesia masa kini. Satu-satunya perdebatan ‘hebat’ yangpernah berkembang di antara kami hanya di seputar penyikapantentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dilon-tarkan oleh Kepala BPN, Joyo Winoto, beberapa tahun yang silamsebagai perwujudan dari ‘komitmen politik’ Presiden SBY untuk men-jadikan agraria (: tepatnya penyediaan tanah) sebagai landasan da-lam menegakan keadilan sosial dan mewujudkan kemakmuran

Page 484: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

465

Epilog

bangsa.2 Usep dan beberapa kawan di KPA pada saat itu sangatmendukung gagasan Joyo Winoto sebagaimana yang tertuang dalamrencana PPAN. Sementara saya dengan tegas menolak gagasan inidan menganggap PPAN hanyalah ‘lip service’ dari rejim SBY untukmeraih simpati politik dari petani dan kelompok-kelompok gerakansosial yang pro pada reforma agraria yang sejati.3 Sebagaimana terli-hat dalam tulisan-tulisannya di buku ini akhirnya dapat disimpul-kan bahwa perbedaan pandangan kami terletak lebih pada soal stra-tegi untuk memperjuangkan pembaruan agraria itu sendiri.

Usep dan kawan-kawan lainnya yang ‘pro PPAN’ menganggapprogram nasional ini sebagai peluang politik yang sangat pentinguntuk dimanfaatkan dalam rangka mendorong pelaksanaan reformaagraria sejati yang selama ini diperjuangkan oleh KPA dan kelompok-kelompok gerakan sosial lainnya. Peluang politik ini, dalam pan-dangan Usep dan kawan-kawan lainnya yang ‘pro PPAN’, harusdimanfaatkan dengan masuk lebih jauh untuk mempengaruhi isidari rencana program maupun implementasinya di kemudian hari.Sementara saya menganggap niatan baik dan kalkulasi politik itutidak terlalu tepat, karena manfaatnya hanya akan lebih dinikmatipara elit politik dalam rejim SBY untuk kepentingan-kepentinganpolitik mereka ketimbang sungguh-sungguh mewujudkan pemba-ruan agraria sebagaimana yang dicita-citakan bersama oleh berbagaiorganisasi gerakan sosial di Indonesia. Dengan tegas saya mengata-kan sebaiknya kawan-kawan yang pada saat itu ‘pro PPAN’ menarikmundur dukungan mereka, dan mengambil garis oposisional yang

2 Presiden SBY menyatakan ‘komitmen politiknya’ ini melalui Pidato Presidendi awal tahun 2007 (10 Januari 2007) yang disiarkan televisi. Sementara Joyo Winoto,dengan mendahului pidato presiden telah mulai mempromosikan PPAN dalam berbagaipernyataannya di media massa sejak tahun 2006.

3 Untuk lebih jelasnya kritik saya terhadap PPAN, lihat Bachriadi, Dianto(2007) Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pemba-ruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY,makalah dipresentasikan dalam forum ‘Konsolidasi untuk Demokrasi’, Magelang 6-7 Juni 2007.

Page 485: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

466

Usep Setiawan

tegas, terhadap rencana program nasional ini. Sikap saya ini dilan-dasi oleh beberapa pemikiran dan analisa terhadap watak rejim SBYitu sendiri yang menurut pandangan saya tidak lebih dari rejimpenguasa yang hendak memantapkan Indonesia sebagai negaraneoliberal.4 Bagi saya, pembaruan agraria yang sejati seperti yangdicita-citakan oleh sejumlah aktivis dan organisasi gerakan sosial diIndonesia tidak mungkin terwujud jika rejim yang berkuasa adalahrejim pro kapitalisme neoliberal. Jadi, ketimbang terjebak dalam ko-optasi, saya lebih setuju jika para ‘pejuang’ pembaruan agraria yangsejati mengambil sikap oposisi terhadap berbagai gagasan yang mun-cul dari rejim ini.5

Dalam buku ini, meskipun terdiri dari puluhan tulisan popular,ada beberapa hal yang menonjol yang menjadi pokok bahasan seka-ligus argumen-argumen pokok Usep. Pertama, pembangunan perta-nian dan pedesaan haruslah menempatkan kesejahteraan dan kepen-tingan petani sebagai subyek utama, bukan sekedar peningkatan ang-ka-angka produksi dan/atau pertumbuhan ekonomi. Kedua, pem-bangunan janganlah menggusur, apalagi menggusur masyarakatyang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Ketiga, tanah-tanahyang dikuasai oleh masyarakat adat harus diakui secara tegas. Keem-pat, konflik-konflik agraria yang telah terjadi selama ini harus disele-saikan secara tuntas dalam perspektif keadilan sosial. Kelima, peme-rintah harus mengurangi secara signifikan ketergantungannyakepada bantuan asing yang secara jelas telah mendikte pilihan corakpembangunan dan pembentukan kebijakan-kebijakan ekonomi.Keenam, neoliberalisme bukanlah pilihan yang tepat untuk mensejah-terakan rakyat Indonesia, malah sebaliknya. Ketujuh, dan ini yang

4 Tentang negara neoliberal lihat misalnya Harvey, David (2005) A Brief His-tory of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press, khususnya hal. 64-86.

5 Sesungguhnya perbedaan pandangan dan sikap saya ini telah memicu ‘perde-bataan hebat’ tidak hanya dengan Usep yang saat itu memimpin KPA, tetapi jugadengan karib-karib lainnya baik yang ada di KPA maupun yang sudah tidak lagi aktifdi KPA maupun karib-karib aktivis gerakan sosial lainnya.

Page 486: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

467

Epilog

pamungkas dan terpenting, reforma agraria harus dijalankan di In-donesia untuk menyelesaikan beragam persoalan di bidang agrariadan pembangunan pertanian selama ini. Tidak bisa ditawar: reformaagraria harus dijalankan.

Secara umum, pokok-pokok pikiran yang disampaikan Usepadalah terjemahan dari pandangan-pandangan KPA tentang keha-rusan dijalankannya pembaruan agraria serta berbagai implikasinyadalam kehidupan petani, strategi pembangunan, dan penegakan hakazasi manusia. Dengan menggunakan contoh-contoh aktual, Usepdengan baik menterjemahkan pikiran-pikiran tersebut dalam bahasayang lebih populer dan mudah dicerna. Meskipun demikian darisekian banyak topik dalam buku ini ada beberapa hal yang patut kitaberi catatan.

Reforma Agraria: Tak Bisa Ditawar dan Harus Dijalankan, TapiApa Tujuannya?

Ada satu tulisan yang sangat mengusik perhatian saya dalambuku ini, apalagi tulisan itu ditempatkan sebagai tulisan pembuka(tulisan pertama). Dalam tulisan tersebut Usep mengomentari pernya-taan Gus Dur. Menurutnya Gus Dur pada saat menjabat sebagaiPresiden pernah menyatakan hendak mengurangi jumlah petani, khu-susnya yang menanam padi. Selain itu, pemerintah akan berupayauntuk mengubah masyarakat petani menjadi masyarakat industri.6

Usep mengkritisi pandangan Gus Dur di atas dengan menga-takan bahwa cara pandang Gus Dur a-historis mengingat kenyataanbahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Selanjutnya,menurut Usep, ketimbang mengubah masyarakat petani menjadi buruhindustri, yang dalam tulisannya ini dipersamakan dengan pengertianmasyarakat industri, pemerintah lebih baik menyelenggarakanbeberapa program yang dapat lebih mensejahterakan dan memperkuat

6 Saya tidak tahu persis apakah benar Gus Dur mengatakan hal tersebut karenatidak memperhatikan acara televisi yang menyiarkan acara dialog antara Gus Dur dengantokoh-tokoh agama dimana ia melontarkan pernyataannya.

Page 487: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

468

Usep Setiawan

keberadaan petani termasuk penataan struktur penguasaan tanahdan penyelesaian konflik agraria yang secara umum dapat kita kata-kan di sini sebagai bagian dari program reforma agraria.

Sebagai seorang yang terlatih di bidang ilmu sosial, agak anehjuga penyederhanaan yang dilakukan oleh Usep mengenai pengertianmasyarakat industri sebagai kumpulan buruh industri. Buruh industriadalah satu kategori sosial yang didasarkan atas jenis pekerjaan,yang tentu saja merupakan kelompok mayoritas dalam suatu masya-rakat industri. Lebih jauh, kita dapat saja melihatnya sebagai bagiandari suatu kelas sosial tertentu, yakni kelas buruh, yang menjadi ba-gian dari kaum proletar dalam sudut pandang kaum kiri. Dalamsuatu transisi agraria, khususnya yang berorientasi mengubahmasyarakat agraris menjadi masyarakat industri, bisa jadi tidak terhin-darkan terjadinya peralihan kaum tani menjadi bagian dari kelasburuh. Saya bisa berempati dengan maksud tulisan Usep yang tidakhendak melihat kaum tani – khususnya kaum tani yang menguasaitanah – berubah menjadi kelas buruh. Tetapi saya kira persoalannyabukan di situ.

Ada dua hal yang patut kita diskusikan di sini. Pertama adalahperalihan agraria macam apa yang dimaksud Usep ketika ia menya-takan ada ’jalan lain’, yakni ’jalan reforma agraria’, pada saat mengo-mentari ucapan Gus Dur. Kedua adalah sikap ’romantisme antropologklasik’ yang secara tidak langsung ditunjukkannya melalui pernya-taan bahwa kehidupan petani tersangkut juga soal sistem sosial-budaya masyarakat agraris yang sangat berbeda dengan sistem sosial-budaya masyarakat industri.

Baik Usep (dalam buku ini) maupun KPA tidak pernah secaratuntas mengulas (dan menentukan dengan jelas!) ’jalan reformaagraria’ yang bagaimana yang hendak dilalui, jika program ini dapatdiselengarakan. Secara umum KPA biasanya hanya menyebut ’bukanreforma agraria jalan kapitalis’ dan sesekali menyebut ’reforma agra-ria dalam jalan sosialis’. Gunawan Wiradi, sekarang Ketua DewanPakar KPA, sering mengundang untuk membahas jalan lain, jalan

Page 488: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

469

Epilog

ketiga (?) yang sering disebutnya dengan jalan neo-populis denganmerujuk pada pikiran-pikiran seorang scholar-activist Rusia, A. V.Chayanov.7

Satu hal yang harus dicatat di sini adalah, apa pun jalan tempuh-nya, reforma agraria adalah salah satu cara yang sistematik untukmengarahkan transisi agraria dari masyarakat agraris menjadi masya-rakat industri! Tentu saja dalam hal ini para pengusung reformaagraria meyakini perubahan tersebut bukan dalam rangka mengor-bankan petani, atau industrialiasi yang bertumpu pada peminggirandan eksploitasi kaum tani– seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.Tetapi para pengusung reforma agraria hendak mengubah ketim-pangan sosial akibat ketimpangan penguasaan tanah, yang biasanyamuncul pada masyarakat agraris, sehingga menimbulkan eksploitasituan tanah terhadap petani-petani kecil dan tak bertanah, di satusisi, dan telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tidakrelatif merata dengan dampak rendahnya kemampuan masyarakatdesa dalam pembentukan modal untuk mendorong pertumbuhanekonomi, pada sisi yang lainnya.

Dalam perspektif ekonomi dan perubahan sosial, reforma agrariadilakukan dalam rangka, terutama, membangun industrialisasi yangkuat yang bertumpu pada kemampuan pembentukan modal di pede-saan dan daya beli masyarakat desa yang relatif merata yang tumbuhsecara pasti hingga mampu mendorong tumbuhnya industri-industribaik di pedesaan maupun di perkotaan yang kokoh; dan terutamasekali adalah industri-industri yang tumbuh dari modal domestik(bukan modal asing yang hasil akumulasinya akan terbang ke negerilain). Sebagaimana yang terjadi di Jepang, Korea Selatan dan Taiwanmisalnya, pasca land reform tumbuh industri domestik yang kuat yangdisertai dengan mulai berkurangnya secara nominal jumlah petanipurna waktu (full time peasants). Banyak petani purna waktu yang

7 Mengenai hal ini lihat Wiradi, Gunawan (2000) Reforma Agraria: Perjalananyang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

Page 489: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

470

Usep Setiawan

menggantungkan hidupnya pada sektor non pertanian kemudianberubah menjadi petani paruh waktu (part time peasants).

Bagian terpenting dari proses perubahan ini yang patut diper-hatikan bukanlah pada berkurangnya jumlah petani, maupun padareforma agraria jalan kapitalis yang ditempuh ketiga negara tersebutdi atas. Tetapi yang patut kita perhatikan adalah suatu proses redis-tribusi alat produksi dan kekuasaan di pedesaan dari sekelompokkecil orang yang selama ini menguasai tanah dalam jumlah besarsehingga perputaran ekonomi desa hanya berpangkal pada mereka.Redistribusi alat produksi ini yang menjadi kunci dari tumbuhnyakemampuan pembentukan modal di pedesaan secara lebih meratauntuk mendorong proses industrialisasi yang lebih kokoh.

Sayangnya dalam kumpulan tulisan populer ini, Usep tidak per-nah mengulas secara jelas ’jalan reforma agraria’ yang bagaimanayang dimaksudkannya dan terutama sekali apa tujuan reforma agra-ria yang dimaksudnya. Dari puluhan tulisan yang tersaji dalam bukuini, kita hanya akan menemukan sasaran-sasaran antara dari programreforma agraria, seperti redistribusi tanah, penyelesaian konflik agra-ria, penataan produksi dan sebagainya. Tetapi kita tidak menemukansecara jelas tujuan akhir dari reforma agraria yang selalu diidam-kannya dapat terwujud di Indonesia.

Ini juga adalah satu ’urusan yang hingga kini belum tuntas’digarap oleh kelompok-kelompok gerakan sosial penyokong reformaagraria di Indonesia, yakni merumuskan jalan tempuh atau ’trajektori’dari perubahan agraria yang hendak didorong secara sistematik mela-lui program perubahan stuktur penguasaan tanah tersebut. Kebanya-kan argumen-argumen yang dikembangkan oleh kelompok gerakansosial di Indonesia tentang perlunya reforma agraria berangkat darisudut pandang hukum, hak azasi manusia, dan politik. Belum munculsuatu naskah utuh yang menjelaskan mengenai reforma agraria yang’semestinya’ dijalankan, dimana di dalamnya tergambar jelas ’trajek-tori’ perubahan sosial yang hendak dituju dan implikasi-implika-sinya pada aspek sosial, politik, ekonomi, hukum, hak azasi manusia,

Page 490: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

471

Epilog

pengelolaan lingkungan hidup, dan pengorganisasian gerakan untukmenyokong upaya mendorong perubahan di dalam ’trajektori’tersebut. ’Akibat serius’ dari absennya dokumen atau naskah sema-cam ini adalah kelompok-kelompok gerakan sosial pro reforma agra-ria dapat dengan mudah terjebak dalam aksi-aksi reaksioner untukmerespon perubahan-perubahan hukum, kebijakan, dan politik keku-asaan dengan harapan dapan ’menitipkan’ atau menyodorkan ga-gasan penerapan reforma agraria di tengah-tengah dinamika peru-bahan-perubahan tersebut.

Dari komentarnya terhadap Gus Dur tentang perlunya ’memeli-hara’ masyarakat petani atau masyarakat agraris dengan segalasistem sosial-budayanya, karena sebagian besar penduduk Indone-sia masih mengandalkan hidupnya pada bidang agraria, kita dapatberasumsi bahwa reforma agraria dimaksudkan oleh Usep untuk’memelihara’ keberlanjutan masyarakat agraris di Indonesia. Tidakada gambaran yang cukup jelas di keseluruhan buku ini soal bentukdan karakteristik masyarakat agraris yang bagaimana yang hendak’dipelihara’ melalui perubahan struktural dalam penguasaan tanah;kecuali suatu penegasan tentang dikotomi ’masyarakat agraris’ dan’masyarakat industri’.

Sebagai seorang yang terlatih dalam bidang ilmu antropologi,kuat kesan Usep masih belum berhasil ’membebaskan’ dirinya darisikap romantisme antropolog tentang masyarakat petani, masyarakatpedesaan, atau masyarakat agraris. Nilai-nilai ’keguyuban, harmoni,dan kearifan lokal kaum tani’ serta perspektif nir-konflik dalam masya-rakat desa sendiri tampaknya masih mendominasi cara berfikir Usepdalam memandang perlunya mendorong perubahan sosial padamasyarakat desa. Dari semua tulisannya di dalam buku ini, baik yangmemberikan penekanan kepada soal petani, pertanian dan agraria,ia luput memberikan penekanan kepada kenyataan kelas-kelas sosialdi pedesaan yang menjadi satu dasar penting dalam membentuk ke-timpangan sosial di pedesaan dan menjadi alas dari proses eksploi-tasi yang berlipat-lipat yang terjadi di pedesaan Indonesia.

Page 491: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

472

Usep Setiawan

Jika dalam tulisan awal pembuka buku ini Usep resah dengankemungkinan berubahnya kaum tani menjadi kelas buruh di per-kotaan, yang disebutnya dengan buruh industri, maka kita tidak mene-mukan keresahan yang sama mengenai kenyataan terus meningkat-nya kaum proletar desa, petani tak bertanah atau nyaris tak bertanah,dari waktu ke waktu. Kaum proletar desa ini terus bertambah bukanhanya akibat maraknya aksi-aksi penggusuran atau alih fungsi lahan,tetapi juga akibat transaksi lahan dari petani kecil kepada tuan tanahatau keluarga kaya, baik yang tinggal di desa maupun di perkotaan.8

Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, menja-di penting memberikan penekanan soal ketimpangan penguasaantanah ini secara agak rinci (dalam salah satu tulisannya Usep telahmenyinggungnya tetapi kurang dibahas secara mendalam). Satuaspek penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini, selain soalketunakismaan (landlesness), adalah memperhatikan dinamika per-kembangan penguasaan tanah yang melebihi batas-batas maksimalseperti yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang adaserta penguasaan tanah-tanah guntai. Sebagian besar tulisan dalambuku ini yang berkaitan dengan reforma agraria menyoroti soalkonflik dan hilangnya tanah-tanah yang dikuasai oleh petani sertakemungkinan dijalankannya kebijakan redistribusi tanah. Meskipunada disinggung soal ketimpangan penguasaan tanah, penekananbanyak diberikan kepada perlunya petani tak bertanah dan petanigurem diberikan tanah untuk perbaikan kehidupannya; sementarapembatasan penguasaan tanah berlebihan tidak mendapatkan pe-nekanan yang sama.

Bukan hanya Usep di dalam buku ini, banyak tulisan dari aktivis

8 Satu ulasan ringkas tetapi padat mengenai hal ini, yakni dinamika penguasaantanah di pedesaan khususnya dengan memanfaatkan data statistik dari hasil SensusPertanian yang dilakukan sejak tahun 1963 hingga 2003, disajikan oleh Bachriadi,Dianto dan Gunawan Wiradi (segera terbit) ‘Land Problems in Indonesia: TheNeed for Reform’, dalam Land Tenure, Laws and Livelihood in Indonesia, AntonLucas dan Carol Warren (ed.), Athens: Ohio University Press.

Page 492: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

473

Epilog

gerakan sosial yang mendorong reforma agraria dijalankan di Indo-nesia yang tidak memberikan penekanan kembali kepada pentingnyamengurangi jumlah tanah yang dikuasai melebih batas atau tanah-tanah yang dikuasai secara guntai. Implikasinya banyak bahasanmengenai pelaksanaan land reform di Indonesia saat ini cenderungberkonsentrasi kepada redistribusi tanah-tanah, bahkan sebetulnyahanya sertifikasi tanah, yang berasal dari Tanah Negara. Pentingnyatanah-tanah kelebihan dan guntai yang dikuasai oleh individu untukdikurangi dan diredistribusi banyak ditanggalkan dalam pemba-hasan praktek land reform di Indonesia saat ini.

‘Agrarian Reform by Leverage versus by Grace’

Dari tulisan-tulisannya dalam buku ini kita dapat berkesan Usepadalah penyokong konsepsi ‘agrarian reform by leverage’ yang lunak,untuk tidak mengatakan ia nyaris menjadi scholar-activist yang mene-lan bulat-bulat diperlukannya ‘kedermawanan’ negara (=pemerintah)untuk menjalankan reforma agraria. Dari cara pandangnya terlihatadanya kepercayaan penuh akan ada rejim penguasa yang budimanuntuk menjalankan program perubahan struktural ini di Indonesia.Bahkan dalam beberapa tulisannya, Usep nyaris percaya rejim yangbudiman itu hampir mewujud dalam kepemimpinan presiden SBY.

Mengapa perlu mengulas hal ini, khususnya ‘mengkerangkeng’tulisan Usep dalam perdebatan ‘agrarian reform by leverage versusby grace’? Di sini saya hendak menempatkan pikiran-pikiran Usepdalam konteks promosi KPA yang sejak awal pendiriannya meng-gaungkan perlunya dijalankan ‘agrarian reform by leverage’ atauyang sering juga diterjemahkan secara bebas (dan mungkin kurangtepat) dengan ‘reforma agraria berdasarkan inisiatif rakyat’. Hal inipenting, mengingat dua hal: Pertama, sebagai pengusung konsepsi‘agrarian reform by leverage’ sesungguhnya KPA juga belum pernahmemiliki rumusan operasional yang jelas tentang bagaimana konsepini seharusnya diterapkan. Kedua, perdebatan mengenai dua konsepsiini, dan khususnya nanti di dalam merumuskan praktek ‘agrarian

Page 493: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

474

Usep Setiawan

reform by leverage’ kita akan berhadapan pada masalah menempat-kan peran negara dan pada rejim penguasa yang bagaimana kitabisa berharap reforma agraria itu dijalankan.

Pada intinya, tanpa mengutip secara langsung pernyataanPowelson dan Stock (1987) yang pertama kali memperkenalkan istilah‘land reform by leverage’ maupun pernyataan Wiradi (1997) yangmempromosikan istilah ini di Indonesia,9 kita dapat mengartikankonsepsi ‘land reform atau pun agrarian reform by grace’ sebagai suatuprogram penataan struktur penguasaan tanah yang didasari oleh‘kedermawanan’ pemerintah dengan berbagai alasan yang ditetap-kan oleh pemerintah atau perencana pembangunan, bukan olehpetani sendiri.10 Bisa jadi alasannya adalah untuk meningkatkan pro-duktivitas pedesaan atau bisa juga alasannya untuk dapat lebihmengontrol kaum tani dan kegiatan produksi mereka. Sementara kon-sepsi ‘land reform atau pun agrarian reform by leverage’ pada intinyaadalah program untuk perubahan struktural dalam penguasaantanah dan kegiatan produksi pertanian dimana petani mengambilperan dominan untuk mengarahkan dan mengontrolnya.

Dalam hal ini bisa terjadi dua kemungkinan: bisa jadi program

9 Jika hendak mengetahui lebih jelas, lihat Powelson, John dan Richard Stock(1987) The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World,Bolton: Oelgeschlager, Gunn & Hain; dan Wiradi, Gunawan (1997) ‘PembaruanAgraria: Masalah yang Timbul Tenggelam’, dalam Reformasi Agraria: PerubahanPolitik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi,Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (ed.), Jakarta: KPA dan LP-FE UI, hal. 39-43.

10 Dalam khasanah pembahasan mengenai praktek land reform, sesungguhnyaistilah ‘land reform by grace’ kurang dikenal. Istilah ‘state-instigated’ atau ‘state-ledland reform’ (atau land reform yang dilakukan sepenuhnya oleh negara) merupakanistilah yang lebih banyak digunakan yang dalam hal ini sepadan dengan pengertian‘land reform by grace’. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengertian ‘state-instigated’ atau ‘state-led land reform’ lihat Borras Jr. Saturnino M., Christóbal Kaydan A. Haroon Akram-Lodhi (2007) ‘Agrarian Reform and Rural Development:Historical Overview and Current Issues’, in Land, Poverty and Livelihoods in an Eraof Globalization: Perspectives From Developing and Transition Countries, A. HaroonAkram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr, dan Christóbal Kay (ed.), London: Routledge,khususnya hal. 22-23.

Page 494: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

475

Epilog

itu dijalankan sepenuhnya oleh petani, tanpa keterlibatan atau bah-kan mengabaikan pemerintah; bisa juga program itu merupakan pro-gram pemerintah tetapi keterlibatan petani dalam perencanaan,pelaksanaan dan pengawasan menjadi kuncinya. Pada intinya, didalam konsepsi ‘land reform atau pun agrarian reform by leverage’yang disodorkan oleh Powelson dan Stock (1987) dan diperkuat olehWiradi (1997), yang terutama adalah dalam pelaksanaan reformaagraria atau pun lebih sempit sebagai land reform saja diperlukanorganisasi tani yang kuat yang dapat mengarahkan dan mengawalproses dan tujuan-tujuan dari perubahan struktural tersebut.

Jika kita berpegang saja pada pengertian ‘agrarian reform byleverage’ seperti di atas, maka satu hal yang jarang sekali diperde-batkan adalah rejim penguasa atau pemerintah yang bagaimana yangkita harapkan untuk menjalankan reforma agraria di Indonesia.Belajar dari proses panjang upaya KPA dalam mendorong pelaksa-naan reforma agraria sejak masa Orde Baru hingga kini, saya berke-simpulan kita tidak bisa dengan serta merta mempercayai begitu sajarejim-rejim penguasa pasca Orba akan menjadi rejim ‘penguasa budi-man’ seperti yang diharapkan oleh Usep tanpa menelisik orientasidan agenda-agenda politik-ekonomi yang diusungnya. Tak lama sete-lah Orba berganti sesungguhnya semakin jelas bahwa rejim penguasapasca Orba semakin tidak memiliki sensitivitas kepada kepentinganorang banyak dan kaum miskin khususnya, tetapi sebaliknya lebihmementingkan kepentingan kaum pemodal dan/atau kepentinganekonomi-politik dirinya sendiri.

Dalam konteks ini, sulit dipahami jika masih muncul argumenuntuk mendukung retorika politik dari rejim penguasa yang menga-takan akan menjalankan reforma agraria yang populis. Sebaliknyagagasan reforma agraria, bahkan bisa jadi kelompok-kelompok ge-rakan sosial itu sendiri, dikooptasi menjadi bagian dari kampanyepolitik mereka untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan demikian,gerakan sosial pro-pembaruan agraria populis seharusnya juga sema-kin tegas mengambil jarak dengan rejim penguasa saat ini dan melan-

Page 495: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

476

Usep Setiawan

jutkan upayanya untuk mengubah struktur penguasaan tanah dengan‘caranya sendiri’. Bagian terpenting dari tugas kelompok gerakansosial pro-pembaruan agraria populis saat ini adalah merumuskandengan jelas praktek ‘agrarian reform by leverage’ yang dimaksud-kannya di tengah-tengah negara yang sedang dikuasai oleh rejimyang relatif demokratik tetapi tidak pro kepada kepentingan orangbanyak apalagi kepada kaum miskin.

Menulis Populer untuk Kampanye dan Advokasi

Bagian terakhir yang hendak saya kemukakan untuk menutupbuku dari sahabat saya ini adalah soal menulis di media massa untuktujuan kampanye dan advokasi—satu bidang yang pernah digawangioleh Usep ketika ia aktif di Badan Pelaksana KPA. Dalam hal ini sayamau menyoroti satu kemungkinan interpretasi yang lain atas tulisan-tulisan Usep yang terkumpul dalam buku ini. Intepretasi ini berangkatdari asumsi menulis suatu artikel untuk bisa diterbitkan oleh mediamassa tidak sepenuhnya ditentukan oleh keyakinan teoritik maupungagasan yang dimiliki oleh penulis. Faktor pihak-pihak yang ada didapur redaksi dari media massa tersebut seringkali justru menentukanke arah mana dan bagaimana bentuk suatu tulisan bisa diterbitkanoleh media bersangkutan.

Dalam hal ini bisa dipahami bahwa menulis secara popular un-tuk konsumsi media massa mengenai pelaksanaan dan konsep-kon-sep ‘agrarian reform by leverage’ bukan perkara mudah. Sekalipunmungkin ada tulisan tersebut, belum tentu akan sesuai dengan seleraredaksi. Redaksi media massa, walau bagaimana pun, akan memilihtulisan-tulisan yang sifatnya aktual yang membahas persoalan-per-soalan kekinian dalam kehidupan masyarakat dengan bahasa yangpopular. Seringkali pula, redaksi akan senang jika tulisan tersebutmerupakan suatu analisa terhadap kebijakan tertentu. Dengan katalain, mempromosikan gagasan dan praktek ‘agrarian reform by le-verage’ walaupun itu sangat penting dan (mungkin) menarik untuksejumlah kalangan pembaca, khususnya yang berminat dengan per-

Page 496: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

477

Epilog

kembangan diskursus tentang reforma agraria, belum tentu akandianggap ‘menarik’ oleh redaksi media massa.

Apalagi isu atau tema agraria bukanlah tema yang mudah untukdikemukakan ke publik kota, dimana sebagian besar pembaca mediacetak dengan muatan artikel-artikel semi-ilmiah-semi-populerbertempat tinggal. Media cetak semacam ini lebih senang menampil-kan tulisan-tulisan atau berita yang berkaitan dengan masalah agra-ria khususnya jika hal itu terkait atau bisa dikaitkan dengan kasus-kasus penggusuran. Berita atau contoh-contoh dari kasus penggu-suran dapat dikategorikan sebagai ‘news’, sementara masalah-mas-alah agraria lainnya yang tidak kalah penting seperti ketimpanganpenguasan tanah misalnya sangat sulit diolah menjadi ‘news’ tanpamenampilkan kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan ‘pende-ritaan’ orang-orang yang tak bertanah atau memiliki lahan sempit.

Meskipun banyak berita dan kasus tentang kemiskinan merupa-kan ‘news’ bagi media massa, maka sangat jarang ditampilkan akardari persoalan kemiskinan itu yang letaknya ada pada masalah agra-ria. Belum lagi jika kita melihat besarnya kemungkinan bias kotadalam media massa di Indonesia. Untuk pembaca kelas menengahkota, dan mungkin juga para anggota redaksi dan pemilik mediamassa, yang juga banyak dari mereka adalah para tuan tanah, prob-lem ketimpangan penguasaan tanah adalah problem yang terlaluspesifik dan sering dianggap sebagai problem yang ‘sulit untukdipahami’. Kelas menengah kota, juga tuan-tuan tanah mungkindengan alasan kemanusiaan atau hak azasi manusia dapat menaruhsimpati dan perhatian terhadap hilangnya hak seseorang atau seke-lompok orang atas tanah yang selama ini mereka kuasai; tetapi jikasuatu ulasan atau kampanye yang menyangkut pembatasan pengu-asaan tanah, kecil kemungkinan mereka akan bersimpati.

Itu sebabnya banyak sekali tulisan-tulisan yang sangat bagus,bermutu, kritis tetapi sekaligus cukup radikal mengenai gerakanpetani dan pembaruan agraria yang tidak dapat dimuat di mediamassa seperti koran, sehingga hanya menjadi konsumsi kalangan

Page 497: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

478

Usep Setiawan

terbatas. Dalam beberapa tulisan Usep sebenarnya berhasil menya-jikan contoh-contoh yang berkaitan dengan gerakan tani, tetapi tentusaja dilihat dari kuantitasnya dibanding dengan tulisan yang lebihmenyoroti kebijakan dan promosi reforma agraria yang dijalankanoleh Negara, jumlahnya sangat sedikit.

Akhirnya terlepas dari segala kekurangannya, kelebihan bukuini telah memperkaya kembali bahan-bahan untuk terus menggu-lirkan pendalaman wacana reforma agraria hingga menjadi sebuahwacana-yang-terterap, tidak hanya sekedar wacana yang berkibar-kibar dalam arena diskusi dan perbincangan. Tulisan-tulisan popu-lar semacam karya Usep ini, di satu sisi, telah berkontribusi secaralangsung untuk membuat publik ‘menyadari’ ada masalah yang pen-ting tetapi sangat jarang mengemuka dalam wacana publik; di sisilain, dimuatnya tulisan-tulisan Usep telah turut membantu ‘melu-ruskan’ cara pandang jurnalis ketika mewartakan soal masalah agra-ria di negeri ini. Contoh terbaik adalah ketika aksi-aksi pendudukantanah merebak beberapa tahun yang lalu, jurnalis tanpa melakukanpemeriksaan yang mendalam mengenai alasan-alasan yang ada dibalik aksi-aksi tersebut langsung ‘menuduh’ pelaku aksi dengan la-bel ‘penjarah tanah’ atau ‘penjarah hutan’ seperti layaknya pemegangotoritas memberikan label.

Tidak bisa dipungkiri buku karya Usep ini akan menjadi bahanyang sangat berguna untuk mencapai tujuan itu. Sambil, tentu saja,kita menanti karya-karya hasil olah pikirnya lebih lanjut! Buku inijuga menjadi bukti baru bahwa keresahan-keresahan yang kerapmuncul dari generasi aktivis-pemikir agraria yang ‘lebih senior’tentang minimnya pemikir-pemikir pembaruan agraria di Indonesiasemakin menemukan jawaban positif: Generasi baru aktivis-pemikir(scholar-activist) di bidang agraria di Indonesia terus tumbuh danberkembang; Usep adalah salah seorang diantaranya.

Bravo Bung Usep, maju terus! … (kau pasti tidak bisa lagi mundur,karena setiap jembatan terakhir telah kau rubuhkan sendiri) … sebuahpenyikapan yang mulia dan luar biasa yang membuat saya merasa

Page 498: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

479

Epilog

harus terus ‘menemani’ dan belajar kembali agar selalu dapat menjadikawan yang setara. ***

Adelaide, 20 Mei 2010

Page 499: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

480

Tentang Penulis

Usep Setiawan lahir di Ciamis, 11 September 1972, anak dariEnung Haryati dan Suparman, saudara dari Atit Nurhayati

dan Cucu Supartiasih. Kini tinggal di Pamulang-Tangerang Selatan(Banten) bersama Eulis Nurfaidah (istri), Hizqia Nadhira dan TierraKresna (anak). Menamatkan pendidikan dasar dan menengah diCiamis (Jawa Barat), dan pada tahun 1998 mendapat gelar SarjanaSosial (S.Sos) dari jurusan Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran,Bandung. Sejak 2008 mendalami sosiologi pedesaan di SekolahPascasarjana IPB, Bogor.

Sejumlah organisasi dan aktivitas yang pernah dijalaninya: Ke-tua Umum Huria Mahasiswa Antropologi Unpad (1993-1994); KetuaDivisi Pendidikan Keluarga Aktivis Unpad (1993-1994); Staf BadanPelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (1996-2002); DeputiSekjen KPA Bidang Advokasi (2002-2005); Ketua Yayasan Pengkajiandan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS) Bandung (1999-2009);Koordinator Pokja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan PengelolaanSDA (2002-2003); Anggota Dewan Pengarah Perhimpunan GerakanAdvokasi Kerakyatan (PERGERAKAN) 2003-2004; KoordinatorPelaksana Tim Kerja Mengagas Pembentukan Komisi Nasional untukPenyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)-Komnas HAM (2003-2005);Sekretaris Jenderal KPA (2005-2009); Sekretaris Lembaga PengkajianPertanahan Indonesia sejak 2006; Koordinator Sekretariat Pokja

Page 500: Kembali ke Agraria · Padjadjaran, Bandung, dan Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasar-jana IPB yang membuka pintu kemuliaan ilmu pengetahuan. Terima. xii Usep Setiawan

481

Tentang Penulis

Khusus Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat (PKPM) sejak2008, dan; Ketua Dewan Nasional KPA (2009-2012).

Karya tulisnya telah dimuat: Kompas, Suara Pembaruan, SinarHarapan, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Republika, Forum Keadilan, JurnalNasional, Seputar Indonesia, Hukum Online, Opini Indonesia, Media Indo-nesia, di berbagai terbitan Ornop. Selain aktif sebagai kontributor mau-pun editor sejumlah buku keagrariaan, serta menulis di sejumlahjurnal ilmiah, penulis juga aktif jadi narasumber seminar atau fasili-tator lokakarya dan pelatihan keagrariaan yang diselenggarakan pe-merintah, legislatif maupun kalangan non-pemerintahan. Kontakpenulis di alamat email: [email protected]. ***