kemampuan tumbuhan terna dalam menekan potensi …hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan...

39
81 ISSN: 0215-7950 Volume 13, Nomor 3, Mei 2017 Halaman 81–88 DOI: 10.14692/jfi.13.3.81 *Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Fitopatologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Jalan Palembang-Prabumulih Km.32 Indralaya, Palembang 30662 Tel: 0711-580663, Faks: 0711-580663, Surel: [email protected] Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi Inokulum Rigidoporus microporus Suppression Ability of Herbaceous Plants on Inoculum Potential of Rigidoporus microporus Sika Yulianti, Suwandi*, Nurhayati Universitas Sriwijaya, Palembang 30662 ABSTRAK Penyakit akar putih yang disebabkan oleh Rigidoporus microporus ialah penyakit penting pada tanaman karet yang sukar dikendalikan. Kemampuan beberapa jenis tumbuhan terna dalam menekan potensi inokulum dan infeksi R. microporus diuji pada percobaan dalam pot kantong plastik. Tumbuhan terna yang diuji ialah garut (Marantha arundinacea), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), lidah mertua (Sansevieria fasciata), lengkuas hutan (Alpinia malaccensis), lengkuas (A. galanga), ganyong (Canna indica), kunyit (Curcuma longa), talas (Colocasia esculenta), dan uwi (Dioscorea alata). Inokulum patogen yang berupa miselium pada potongan kayu karet dibenamkan selama 90 hari pada tanah yang ditanami tumbuhan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak, lidah mertua, ganyong dan talas. Penekanan viabilitas inokulum dan pertumbuhan rizomorf terjadi pada seluruh perlakuan tumbuhan terna uji, kecuali lidah mertua. Pengamatan lebih lanjut, tidak ditemukan kolonisasi rizomorf dan nekrosis akar tunggang pada bibit karet pada perlakuan tumbuhan terna, kecuali pada perlakuan lengkuas hutan dan lidah mertua Kata Kunci: karet, penyakit akar putih, potensi inokulum, rizomorf ABSTRACT White root disease caused by Rigidoporus microporus is an important disease of rubber tree and is very difficult to control. The ability of some herbaceous plant species to suppress inoculum potential and infection of R. microporus was studied in a pot trial. Nine species of herbaceous plants were examined, i.e. arrowroot (Marantha arundinacea), java curcumin (Curcuma xanthorrhiza), sansevieria (Sansevieria fasciata), Mallaca galangal (Alpinia malaccensis), greater galangal (Alpinia galanga), Indian shot (Canna indica), curcumin (Curcuma longa), wild taro (Colocasia esculenta), and water yam (Dioscorea alata). Pathogen’s inocula as mycelial colonizing rubber wood sticks were buried for 90 days in soil planted with tested plants. The results showed that formation of R. microporus rhizomorph in the soil was lower in pots planted with arrowroot, java cucurmin, sansevieria, Indian shot, and wild taro. All herbaceous plants, except sansevieria, caused suppression of inoculum viability and rhizomorph development. Further observation showed no colonization of rhizomorph nor necrosis of the root was found, except on Mallaca galangal and sansevieria. Key words: inoculum potential, rhizomorph, rubber, white root disease

Upload: others

Post on 16-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

81

ISSN: 0215-7950

Volume 13, Nomor 3, Mei 2017Halaman 81–88

DOI: 10.14692/jfi.13.3.81

*Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Fitopatologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Jalan Palembang-Prabumulih Km.32 Indralaya, Palembang 30662 Tel: 0711-580663, Faks: 0711-580663, Surel: [email protected]

Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi Inokulum Rigidoporus microporus

Suppression Ability of Herbaceous Plants on Inoculum Potential of Rigidoporus microporus

Sika Yulianti, Suwandi*, NurhayatiUniversitas Sriwijaya, Palembang 30662

ABSTRAK

Penyakit akar putih yang disebabkan oleh Rigidoporus microporus ialah penyakit penting pada tanaman karet yang sukar dikendalikan. Kemampuan beberapa jenis tumbuhan terna dalam menekan potensi inokulum dan infeksi R. microporus diuji pada percobaan dalam pot kantong plastik. Tumbuhan terna yang diuji ialah garut (Marantha arundinacea), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), lidah mertua (Sansevieria fasciata), lengkuas hutan (Alpinia malaccensis), lengkuas (A. galanga), ganyong (Canna indica), kunyit (Curcuma longa), talas (Colocasia esculenta), dan uwi (Dioscorea alata). Inokulum patogen yang berupa miselium pada potongan kayu karet dibenamkan selama 90 hari pada tanah yang ditanami tumbuhan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak, lidah mertua, ganyong dan talas. Penekanan viabilitas inokulum dan pertumbuhan rizomorf terjadi pada seluruh perlakuan tumbuhan terna uji, kecuali lidah mertua. Pengamatan lebih lanjut, tidak ditemukan kolonisasi rizomorf dan nekrosis akar tunggang pada bibit karet pada perlakuan tumbuhan terna, kecuali pada perlakuan lengkuas hutan dan lidah mertua

Kata Kunci: karet, penyakit akar putih, potensi inokulum, rizomorf

ABSTRACT

White root disease caused by Rigidoporus microporus is an important disease of rubber tree and is very difficult to control. The ability of some herbaceous plant species to suppress inoculum potential and infection of R. microporus was studied in a pot trial. Nine species of herbaceous plants were examined, i.e. arrowroot (Marantha arundinacea), java curcumin (Curcuma xanthorrhiza), sansevieria (Sansevieria fasciata), Mallaca galangal (Alpinia malaccensis), greater galangal (Alpinia galanga), Indian shot (Canna indica), curcumin (Curcuma longa), wild taro (Colocasia esculenta), and water yam (Dioscorea alata). Pathogen’s inocula as mycelial colonizing rubber wood sticks were buried for 90 days in soil planted with tested plants. The results showed that formation of R. microporus rhizomorph in the soil was lower in pots planted with arrowroot, java cucurmin, sansevieria, Indian shot, and wild taro. All herbaceous plants, except sansevieria, caused suppression of inoculum viability and rhizomorph development. Further observation showed no colonization of rhizomorph nor necrosis of the root was found, except on Mallaca galangal and sansevieria.

Key words: inoculum potential, rhizomorph, rubber, white root disease

Page 2: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

82

PENDAHULUAN

Penyakit akar putih merupakan penyakit penting pada tanaman karet yang disebabkan oleh jamur akar putih (JAP), yaitu Rigidoporus microporus (sinonim Rigidoporus lignosus) (Semangun 2007). Penyakit ini menyerang tanaman karet di berbagai negara terutama daerah tropis seperti Indonesia dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Patogen ini menginfeksi dan menyebabkan pelapukan akar sehingga menyebabkan kematian baik tanaman muda yang belum menghasilkan maupun tanaman yang sudah menghasilkan. Di Indonesia, penyakit akar putih diperkirakan menyebabkan kematian pada tanaman karet di perkebunan antara 3% dan 5 %. Natawijaya (2007) menduga nilai kerugian sekitar Rp300 miliar pertahun untuk perkebunan karet rakyat.

Metode pengendalian penyakit akar putih telah banyak ditemukan, tetapi belum mampu mengatasi masalah penyakit secara efektif dan ekonomis. Membersihkan lahan dari tunggul dan sisa akar dari areal perkebunan secara mekanik efektif menekan penyakit, tetapi belum dapat diadopsi oleh kebanyakan petani karena biaya yang mahal (Natawijaya 2007; Hashim dan Malik 2007). Mikrob antagonis seperti cendawan Trichoderma spp., Paecilomyces lilacinus, dan bakteri Bacillus subtilis dilaporkan dapat secara parsial mengendalikannya (Fairuzah et al. 2014; Kusdiana et al. 2015), tetapi keefektifannya tidak konsisten dan tidak bertahan lama (Suwandi 2008). Tindakan pencegahan berupa pengurangan jumlah inokulum pada tunggul seperti penggunaan bahan kimia untuk meracuni tunggul tua juga kurang efektif (Fox 1977).

Tumbuhan terna diketahui dapat bersifat antagonis atau alelopati terhadap JAP sehingga berpotensi dikembangkan untuk pengendalian hayati. Pengendalian dengan tumbuhan terna mudah diterapkan oleh petani dan murah, bahkan pengendalian bersifat terus-menerus sepanjang tanamannya hidup. Tumbuhan terna yang dilaporkan mampu menekan penyakit akar putih ialah temu lawak (Curcuma

xanthorrhiza), lengkuas (Alpinia galanga), kunyit (Curcuma longa), garut (Marantha arundinacea), lidah mertua (Sansevieria fasciata), sigsag (Pedilanthus tithymaloides), cocor bebek (Kalanchoe pinnata), pandan (Pandanus sp.), dan sambiloto (Andrographis paniculata) (Situmorang et al. 2007). Meskipun dilaporkan dapat menekan serangan patogen, tetapi belum diketahui peranan tumbuhan terna dalam pengurangan potensi inokulum patogen.

Potensi inokulum merupakan energi pertumbuhan yang tersedia bagi patogen untuk menginfeksi inang. Potensi inokulum R. microporus bergantung dari ukuran alas makanan, yaitu kayu yang dikoloni oleh miselium yang hidup (Liyanage et al 1980). Pada penelitian ini potensi inokulum diduga berdasarkan kemampuan pembentukan rizomorf dalam tanah, viabilitas inokulum, kecepatan pertumbuhan rizomorf, panjang keseluruhan rizomorf dan pelapukan kayu inokulum. Penelitian ini mengevaluasi potensi tumbuhan golongan terna dalam penekanan potensi inokulum patogen dan dampaknya pada bibit karet.

BAHAN DAN METODE

Penelitian disusun dengan rancangan acak kelompok menggunakan 10 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri atas 9 jenistumbuhan terna dan tanpa tumbuhan terna (kontrol). Tumbuhan terna yang diuji ialah temu lawak, lengkuas, kunyit, garut, lidah mertua, lengkuas hutan (Alpinia malaccensis), ganyong (Canna indica), talas (Colocasia esculenta), dan uwi (Dioscorea alata).

Penanaman Tumbuhan Uji Tumbuhan uji (tanaman karet dan

tumbuhan terna) diperoleh dari kebun karet atau tanaman pekarangan di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan. Bibit terna yang digunakan ialah akar rimpang, umbi atau anakan yang bertunas. Bibit karet uji yang digunakan ialah bibit asal biji sapuan dengan diameter pangkal batang 4−5 mm. Bagian ujung batang dipotong sepanjang 15 cm dari pangkal batang dan

Page 3: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

83

bagian ujung akar tunggang dipotong sehingga menyisakan akar tunggang sepanjang 15 cm. Akar lateral dibersihkan sehingga diperoleh bibit yang berupa stump karet (Suwandi 2008). Tumbuhan uji ditanam pada tanah yang diambil dari kebun karet yang terinfeksi R. microporus. Uji menggunakan pot kantong plastik transparan ukuran 1 kg (untuk mempermudah pengamatan pembentukan rizomorf dalam tanah), kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Setiap pot kantong plastik ditanam satu bibit terna dan dua bibit karet. Pot ini diletakkan di kebun percobaan di bawah naungan 50%. Selanjutnya tumbuhan uji dipelihara dengan penyiraman dan penyiangan gulma, tetapi tidak dilakukan pemupukan.

Penyiapan Inokulum Inokulum R. microporus diperoleh dari

akar tanaman karet yang sakit dari satu kebun karet di PALI, yaitu tanaman karet yang telah mati, lapuk dan bagian kulit akarnya dikoloni oleh rizomorf R. microporus dan bagian kayu mengalami pelapukan. Akar tanaman sakit dipotong-potong sehingga dihasilkan inokulum berbentuk potongan kayu dengan ukuran 5 cm × 0.5cm × 0.5 cm. Jumlah potongan kayu inokulum JAP yang disiapkan ialah sebanyak 1760 buah. Pertumbuhan miselium atau rizomorf R. microporus pada potongan kayu terlebih dahulu dipicu dengan cara dimasukkan dalam kantong plastik transparan berklip, ditambahkan air secukupnya (kelebihan air dibuang dengan cara menekan kantong plastik sehingga seperti menjadi hampa udara), kemudian diinkubasi ditempat gelap selama 7 hari (Suwandi 2008). Potongan kayu yang bermiselium selanjutnya ditanam dalam tanah di sekeliling tumbuhan uji pada jarak 5 cm, dan setiap tumbuhan uji ditanam 10 buah inokulum.

Pembentukan Rizomorf dalam Tanah Rizomorf yang terbentuk dalam tanah

pada sisi kantong plastik diamati pada 45 dan 90 hari setelah pembenaman. Persentase pembentukan rizomorf (PPR) dihitung menggunakan rumus:

×100%, dengan nNPPR =

n, jumlah potongan kayu yang membentuk rizomorf; N, jumlah potongan kayu yang dibenamkan.

Viabilitas dan Pertumbuhan Inokulum Viabilitas dihitung sebagai persentase

potongan kayu inokulum yang masih membentuk miselium/rizomorf dengan rumus seperti pada perhitungan persentase pembentukan rizomorf. Penghitungan dilakukan saat akhir penelitian (setelah 90 hari pembenaman). Rizomorf dipicu pertumbuhannya selama 15 hari dengan cara seperti saat penyiapan inokulum. Inokulum dinyatakan masih hidup jika terjadi pertumbuhan benang-benang miselium R. microporus pada potongan kayu. Rizomorf yang tumbuh diukur panjangnya setiap 3 harisekali untuk menentukan kecepatan per-tumbuhannya. Kecepatan pertumbuhan rizomorf dihitung sebagai koefisien kemiringan dari persamaan hasil analisis regresi linier antara hari pengamatan (sumbu X) dan panjang rizomorf (sumbu Y) pada program Microsoft Excel (Er et al. 2014). Total panjang rizomorf dihitung setelah 15 hari inkubasi dengan menjumlahkan panjang rizomorf dari setiap inokulum yang masih hidup.

Keagresifan PatogenPengujian dilakukan berdasarkan

kolonisasi rizomorf dan jumlah nekrosis pada akar tunggang bibit karet. Setelah 90 hariinokulasi dan penanaman tumbuhan terna, bibit dibongkar dan diamati persentase kolonisasi rizomorf pada pangkat batang. Akar tunggang yang mengalami nekrosis bagian pangkal batang dipotong melintang dan dihitung persentase nekrosis akar tunggang (PNA) menggunakan rumus:

×100%, dengan nNPNA =

n, panjang akar tunggang yang melapuk; N, panjang penampang melintang akar tunggang yang diamati (Suwandi 2008).

Page 4: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

84

Pelapukan Kayu Uji pelapukan ini dilakukan pada 90 hari

setelah pembenaman. Potongan kayu karet yang digunakan sebagai inokulum R. microporus dibongkar dari dalam tanah, dicuci, dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 24 jam untuk mendapatkan bobot keringnya. Sebelumnya sudah dihitung bobot kering awal kayu inokulum. Bobot kering awal ditaksir dari 30 buah potongan kayu yang dipilih secara acak dari potongan kayu inokulum. Pelapukan potongan kayu dihitung berdasarkan kehilangan bobot kering menggunakan rumus:

P = 1 – ×100, dengan BKt90BKt0[ ]

P, persentase pelapukan; BKt90, bobot kering potongan kayu setelah 90 hari; BKt0, bobot kering awal (Jasalavich et al. 2000).

Analisis DataData dianalisis dengan sidik ragam dan

jika perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) maka dilakukan uji lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Agar asumsi sidik ragam terpenuhi, data persentase pembentukan rizomorf, viabilitas dan pelapukan di-transformasi menggunakan Arcsin. Analisis menggunakan paket program Agricolae and Rcmdr pada R statistical software (versi3.3.1;

R Foundation for Statistical Computing, Vienna).

HASIL

Pembentukan Rizomorf dalam TanahPerlakuan tumbuhan terna tidak

berpengaruh nyata terhadap pembentukan rizomorf dalam tanah pada 45 hari setelah penanaman, tetapi berpengaruh pada 90 hari setelah penanaman. Pembentukan rizomorf R. microporus secara nyata lebih rendah pada perlakuan penanaman garut, temu lawak, lidah mertua, ganyong dan talas (Gambar 1).

Viabilitas dan Pertumbuhan Inokulum Perlakuan tumbuhan antagonis ber-

pengaruh nyata dalam menekan viabilitas miselium setelah dibenamkan dalam tanah selama 90 hari. Penekanan viabilitas inokulum terjadi pada seluruh perlakuan tumbuhan terna uji, kecuali lidah mertua (Tabel 1). Miselium yang mengoloni potongan kayu karet menjadi mati sehingga keseluruhan panjang rizomorf menjadi berkurang. Total panjang rizomorf secara nyata lebih rendah pada semua tumbuhan terna uji, kecuali lidah mertua dan nilai terendah ditemukan pada talas dan ganyong (Tabel 1). Namun, perlakuan tumbuhan antagonis tidak memengaruhi kecepatan pertumbuhan (Tabel 1) dan morfologi rizomorf (Gambar 2).

Gambar 1 Pembentukan rizomorf Rigidoporus microporus di dalam tanah yang ditanami tumbuhan terna. Grafik batang yang dilabeli huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata terkecil (BNT) pada α 5% dari data yang ditransformasi arcsin. Pembentukan rizomorf setelah 45 hari tidak berbeda nyata pada P ≥ 0.05. , 45 hari setelah pembenaman; , 90 hari setelah pembenaman.

Tanpa tumbuhan terna

Garut Temulawak

Lidahmertua

Lengkuashutan

Lengkuas Ganyong Kunyit Talas Uwi

Perlakuan

a

abb

ab abab

bb

bb

50

40

30

20

10

0

Pem

bent

ukka

n riz

omor

f(%

)

Page 5: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

85

Keagresifan PatogenPenanaman tumbuhan terna berpengaruh

nyata terhadap keagresifan R. microporus saat 90 hari setelah inokulasi. Sampai 90 hari setelah penanaman, tidak ditemukan kolonisasi rizomorf dan nekrosis akar tunggang pada bibit karet pada perlakuan tumbuhan terna, kecuali pada perlakuan lengkuas hutan dan

lidah mertua. Nekrosis perlakuan lidah mertua lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa tumbuhan terna (Tabel 2).

Pelapukan KayuPenanaman tumbuhan terna tidak

berpengaruh nyata terhadap pelapukan potongan kayu yang digunakan sebagai

Perlakuan Viabilitas (%)*

Total panjang rizomorf (mm)

Kecepatan tumbuh(mm per hari)

Tanpa tumbuhan ternaGarutTemu lawakLidah mertuaLengkuas hutanLengkuasGanyongKunyitTalasUwi

70 a 33 b 37 b 60 a 33 b 33 b 20 b 23 b 27 b 37 b

2620 a1207 cd1143 cd2093 ab1118 cd1193 cd793 d902 cd768 d

1575 bc

30.827.926.329.128.327.727.931.327.933.6

Tabel 1 Viabilitas dan pertumbuhan rizomorf Rigidoporus microporus pada potongan kayu karet setelah dibenamkan selama 90 hari di dalam tanah yang ditanami berbagai tumbuhan terna

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada α 5%. *Data viabilitas ditransformasi Arcsin

Gambar 2 Pertumbuhan rizomorf Rigidoporus microporus dalam kantong plastik berklip dari potongan kayu karet yang telah dibenamkan selama 90 hari dalam tanah yang ditanami tumbuhan terna. a, Tanpa tumbuhan terna; b, Garut; c, Temu lawak; d, Lidah mertua; e, Lengkuas hutan; f, Lengkuas; g, Ganyong; h, Kunyit; i, Talas; dan j, Uwi.

a b c d e

f g h i j

Page 6: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

86

Tabel 2 Kolonisasi rizomorf Rigidoporus microporus dan nekrosis akar tunggang bibit karet setelah 90 hari inokulasi pada berbagai perlakuan penanaman tumbuhan terna

Perlakuan Kolonisasi rizomorf(%)

Nekrosis (%)

Tanpa tumbuhan ternaGarutTemu lawakLidah mertuaLengkuas hutanLengkuasGanyongKunyitTalasUwi

15.0 0.0 0.0 5.0 11.9 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

14.5 a 0.0 b 0.0 b 4.0 b10.8 a 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yangsama tidak berbeda nyata berdasarkanuji BNT pada α 5% dari data yang ditransformasi Arcsin

Perlakuan Pelapukan kayu pada hari ke- ..... setelah pembenaman45 90

Tanpa tumbuhan ternaGarutTemu lawakLidah mertuaLengkuas hutanLengkuasGanyongKunyitTalasUwi

32.934.730.829.031.431.036.037.233.234.9

37.842.438.037.139.537.740.441.339.742.8

Tabel 3 Pelapukan kayu karet (%) yang dikoloni Rigidoporus microporus di dalam tanah yang ditanami berbagai tumbuhan terna

inokulum JAP saat 45 dan 90 hari setelah pembenaman (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tumbuhan terna uji memiliki satu atau beberapa aktivitas penekanan potensi inokulum di dalam tanah yang akhirnya dapat mencegah atau menekan infeksi R. microporus. Penekanan potensi inokulum oleh tumbuhan terna membuktikan bahwa tumbuhan tersebut dapat bersifat antagonis atau alelopati terhadap miselium R. microporus secara in vivo. Ganyong dan talas merupakan terna yang paling efektif menekan potensi inokulum karena menyebabkan rendahnya pembentukan rizomorf dalam tanah, viabilitas inokulum dan total panjang rizomorf R. microporus.

Penekanan pembentukan rizomorf oleh ganyong juga ditemukan pada percobaan menggunakan inokulum JAP yang mengoloni cangkang buah karet (Sari 2015). Ganyong dan talas memiliki perakaran yang paling ekstensif dibandingkan dengan terna uji lainnya dan hal ini diduga menyebabkan rizomorf sukar berkembang. Sejauh ini belum dilaporkan aktivitas alelopati akar ganyong dan talas terhadap JAP secara in vitro. Penekanan penyakit akar putih setelah penanaman ganyong dan talas juga belum pernah dilaporkan dan oleh karenanya perlu diteliti lebih lanjut.

Tumbuhan terna uji lainnya, yaitu garut, lidah mertua, temu lawak, lengkuas, dan kunyit telah diketahui dapat bersifat alelopati terhadap miselium R. microporus. Situmorang et al. (2007) melaporkan adanya

Page 7: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

87

pengurangan kolonisasi miselium JAP pada potongan kayu karet yang ditempatkan pada eksudat tanaman terna tersebut. Hambatan kolonisasi tertinggi ditemukan pada garut dan lidah mertua. Prasetyo dan Aeny (2013) juga melaporkan adanya hambatan pertumbuhan miselium JAP pada medium agar-agar dekstrosa kentang yang ditambahkan eksudat akar garut dan lidah mertua. Pada penelitian ini lidah mertua menunjukkan aktivitas penekanan pembentukan rizomorf dalam tanah, tetapi tidak dapat menekan viabilitas dan pertumbuhan inokulum yang mengoloni kayu karet. Lidah mertua juga tidak dapat mencegah kolonisasi dan infeksi JAP pada akar karet. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas antagonis atau alelopati bukanlah satu-satunya mekanisme tumbuhan terna dalam menekan potensi inokulum dan akhirnya mencegah kolonisasi dan infeksi patogen.

Penekanan potensi inokulum JAP oleh tumbuhan terna dapat terjadi melalui aktivitas percepatan pelapukan kayu karet. Situmorang et al. (2007) melaporkan adanya peningkatan pelapukan kayu tunggul karet setelah ditanami dengan tumbuhan terna selama 2 tahun. Seluruh tumbuhan terna dapat meningkatkan pelapukan. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya aktivitas tersebut selama 3 bulan pengujian. Hal ini diduga karena kayu yang diuji menggunakan inokulum yang telah terlebih dahulu dikolonisasi oleh patogen sehingga mikrob pelapuk menjadi kalah berkompetisi.

Hasil penelitian ini menunjukkan manfaat tumbuhan terna sebagai tanaman sela pada budi daya karet. Percobaan lapangan yang dilakukan oleh Situmorang et al. (2007) menunjukkan tumbuhan terna tidak mengganggu pertumbuhan karet. Tidak hanya dapat mencegah dan menekan penyakit, tumbuhan terna dapat bernilai ekologis dan ekonomis. Manfaat garut sebagai tumbuhan sela dalam budi daya karet telah dirasakan selama era 1980-an di Bangka. Pada periode tersebut, garut tumbuh endemis pada kebun karet dan serangan JAP hampir tidak pernah ditemukan. Peranan tumbuhan terna sebagai tanaman sela atau tumpang sari sebanding

dengan manfaat sistem agroforestri budi daya karet.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tumbuhan terna dapat menghambat secara parsial pembentukan rizomorf dalam tanah, viabilitas inokulum, total panjang rizomorf serta akhirnya dapat mencegah kolonisasi dan infeksi R. microporus pada akar tunggang bibit karet. Penekanan potensi inokulum tersebut membuktikan bahwa tumbuhan tersebut dapat bersifat antagonis atau alelopati terhadap miselium R. microporus secara in vivo.

DAFTAR PUSTAKA

Er HL, Hendricks K, Goss EM, Smith M, Schubert TS, Roberts PD, Van Bruggen AHC. 2014. Isolation and biological characterization of Guignardia species from citrus in Florida. J Plant Pathol. 96(1):43−55.

Fairuzah Z, Dalimunthe CI, Karyudi, Suryaman S, Widhayati W. 2014. Keefektifan beberapa fungi antagonis (Trichoderma sp.) dalam biofungisida endohevea terhadap penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus) di lapangan. J Penelitian Karet. 32(2):122–128. DOI: https://doi.org/10.22302/jpk.v32i2.158.

Fox RA. 1977. The impact of ecological, cultural and biological factors on the strategy and cost of controlling root disease in tropical plantation crops as exemplified by Hevea brasiliensis. J Rubb Res Inst Sri Lanka. 54(2):329–362.

Hashim I, Malik A. 2007. Research on white root disease of hevea rubber: achievements and future direction. Di dalam: Proceedings Internasional Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber; 2006 Nov 28−29; Salatiga (ID): Indonesian Rubber Research Institute. hlm 127–137.

Jasalavich CA, Ostrofsky A, Jellison J. 2000. Detection and identification of decay fungi in spruce wood by restriction fragment length polymorphism analysis of amplified genes encoding rRNA. App Environ Microbiol Maine. 66(1):4725–4733. DOI:

Page 8: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Yulianti et al

88

https://doi.org/10.1128/AEM.66.11.4725-4734.2000.

Kusdiana APJ, Munir M, Suryaningtyas H. 2015. Pengujian biofungisida berbasis mikroorganisme antagonis untuk pengendalian penyakit jamur akar putih pada tanaman karet. J Penelitian Karet. 33(2):143–156. DOI: https://doi.org/10.22302/jpk.v33i2.179.

Liyanage NIS, Peries OS, Liyanage AdeS, Warnapura SS. 1980. Studies on the spread of white root disease caused by Rigidoporus lignosus in Sri Lanka. J Rubber Res Ins Sri Lanka. 57:26–36.

Natawijaya H. 2007. Government policy on the control of white root disease Rigidoporus. Di dalam: Proceedings Internasional Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber; 2006 Nov 28−29; Salatiga (ID): Indonesian Rubber Research Institute. hlm 3–13.

Prasetyo J, Aeny TN. 2013. The preventive control of white root rot disease in small holder rubber plantation using botanical, biological and chemical agents. J HPT Tropika.13(1):69–74.

Sari A. 2015. Efektivitas tanaman antagonis dalam menekan perkembangan inokulum jamur akar putih (Rigidoporus microporus) [skripsi]. Indralaya (ID): Universitas Sriwijaya.

Semangun H. 2007. White root disease of rubber: Some of its biological aspects. Di dalam: Proceedings Internasional Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber; 2006 Nov 28−29; Salatiga (ID): Indonesian Rubber Research Institute. hlm 60–67.

Situmorang A, Suryaningtyas H, Febbianti TR. 2007. The control of white root disease using antagonistic plant on rubber plantation. Di dalam: Proceedings Internasional Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber; 2006 Nov 28−29; Salatiga(ID): Indonesian Rubber Research Institute. hlm 82–86.

Suwandi. 2008. Evaluasi kombinasi isolat Trichoderma mikroparasit dalam mengendalikan penyakit akar putih pada bibit karet. JHPT Tropika. 8(1):55–62.

Page 9: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

73

ISSN: 0215-7950

Volume 13, Nomor 3, Mei 2017Halaman 73–80

DOI: 10.14692/jfi.13.3.73

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680 Tel : 0251-8629364, Faks: 0251-8629362 ; Surel: [email protected]

Identifikasi Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae dari Tanaman Padi di Sulawesi Selatan

Pathotype Identification of Xanthomonas oryzae pv. oryzae Isolates from South Sulawesi

Asysyuura1, Abdjad Asih Nawangsih1*, Kikin Hamzah Mutaqin1, Sudir2

1Institut Pertanian Bogor, Bogor 166802Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi

ABSTRAK

Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu faktor penting dalam penurunan produksi padi. Bakteri patogen ini dikenal memiliki banyak patotipe yang dapat menyebabkan kendala dalam upaya pengendalian. Penelitian dilakukan untuk menentukan penyebaran patotipe X. oryzae pv. oryzae di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Pengelompokan patotipe mengikuti metode Kozaka yang didasarkan pada respons varietas tanaman padi diferensial. Infeksi X. oryzae pv. oryzae dari sampel tanaman padi bergejala dideteksi dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer spesifik XOR-R2/XOR-F. Dari 36 galur bakteri, sebanyak 29 galur bakteri positif X. oryzae pv. oryzae yang terbagi atas 3 patotipe, yaitu patotipe III (6 isolat), patotipe IV (21 isolat), dan patotipe XII (2 isolat). Hasil identifikasi menunjukkan X. oryzae pv. oryzae patotipe IV merupakan patotipe yang tersebar luas di Sulawesi Selatan.

Kata kunci: hawar daun bakteri, PCR, varietas diferensial

ABSTRACT

Xanthomonas oryzae pv. oryzae is the causal agent of bacterial leaf blight (BLB), one of important constraint in rice production. The pathogen is known to have many pathotypes which caused difficulties in disease control. This research was conducted to determine the distribution of X. oryzae pv. oryzae’s pathotypes in seven districts in South Sulawesi. Grouping of pathotypes was performed according to Kozaka method, i.e. based on the response of differential rice varieties. Infection of X. oryzae pv. oryzae was confirmed by PCR using specific primers XOR-R2/XOR-F. Out of 36 isolates, 29 isolates were identified as X. oryzae pv. oryzae which belong to pathotype III (6 isolates), pathotype IV (21 isolates),and pathotype XII (2 isolates). This result indicated that X. oryzae pv. oryzae pathotype IV was distributed widely in South Sulawesi.

Key words: bacterial leaf blight, differential varieties, PCR

Page 10: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

74

PENDAHULUAN

Bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun (HDB) pada padi diketahui memiliki keragaman patotipe. Keragaman patotipe ini menyebabkan mudah patahnya suatu ketahanan varietas tanaman padi (Sudir et al. 2012). Penggunaan varietas padi yang tahan terhadap infeksi patogen X. oryzae pv. oryzae masih menjadi komponen utama dalam tindakan pengendalian. Selain efektif, penggunaan varietas tahan juga lebih murah dan mudah dilakukan oleh petani. Permasalahan yang muncul dalam penggunaan varietas tahan ialah terbentuknya patotipe baru seiring dengan perkembangan varietas yang digunakan. Suryadi et al. (2006) melaporkan bahwa X. oryzae pv. oryzae memiliki tingkat variabilitas virulensi dan pembentukan galur baru di lapangan yang menyebabkan terjadinya pergeseran patotipe.

Penyakit HDB menjadi salah satu penyakit padi yang penting dan tersebar di berbagai ekosistem penghasil padi di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Kehilangan hasil karena X. oryzae pv. oryzae dapat mencapai 50–70% (Mew et al. 1982). Pada umumnya petani mengandalkan penggunaan varietas padi yang tahan untuk mengendalikan penyakit tersebut. Pengetahuan tentang jenis patotipe yang ada di wilayah tersebut menjadi penting untuk diketahui sebagai dasar penentuan langkah pengendalian yang tepat. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menentukan sebaran patotipe bakteri X. oryzae pv. oryzae di pertanaman padi di wilayah Sulawesi Selatan. Teknik identifikasi secara molekuler dilakukan untuk mendapatkan galur yang positif X. oryzae pv. oryzae dengan tingkat akurasi yang lebih baik.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel Tanaman PadiSampel tanaman padi diambil dari

7 kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Barru, Bone, Pangkep, Maros, Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng. Sampel yang diambil berupa daun padi yang bergejala

hawar dimulai dari ujung daun hingga bagian tengah. Ciri hawar daun ialah berwarna kuning hingga putih keabu-abuan. Sampel disimpan dalam kantung kertas dan diberi label identitas berupa jenis varietas, daerah/lokasi, dan tanggal pengambilan.

Isolasi dan Identifikasi BakteriIsolasi bakteri X. oryzae pv. oryzae

dilakukan pada medium agar-agar Wakimoto (1000 mL ekstrak dari 300 g kentang, 17 g sukrosa, 7 g pepton, 0.5 g Ca(NO3)2·4H2O, 1 g Na2HPO4·12H2O, 17 g agar-agar bakto). Daun bergejala dipotong berukuran 1 cm × 1 cm dan direndam dalam etanol 70% selama 2 menit. Potongan daun dibilas air steril dan direndam kembali dalam air steril selama 2 menit; selanjutnya suspensi bakteri diencerkan secara berseri sampai pengenceran 10-5. Sebanyak 100 µL suspensi disebar pada medium agar-agar Wakimoto dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3–5 hari. Bentuk koloni tunggal yang tumbuh dan menunjukkan morfologi berwarna kuning, bulat, dan tepian rata diduga sebagai bakteri X. oryzae pv. oryzae. Koloni tersebut dimurnikan pada medium agar-agar Wakimoto dan dibuat biakan stok untuk identifikasi secara molekuler.

Identifikasi bakteri dilakukan dengan teknik PCR koloni. Sebanyak 100 µL ddH2O dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1.5 mL, ditambahkan 1 loop bakteri, dan diinkubasikan pada suhu 95 °C selama 10 menit. Metode ini merupakan modifikasi dari metode Dafa’alla et al. (2000) yang di-tambah dengan proses inkubasi pada penangas air pada suhu 65 °C selama 2 jam (setiap 10 menit dibolak-balik). Supernatan yang diperoleh digunakan sebagai templat DNA. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan 1 pasang primer spesifik, yaitu XOR-F (5’-GCATGACGTCATCGTCCTGT-3’) dan XOR-R2 (5-CTCGGAGCTATATGCC GTGC-3’) (Adachi dan Oku 2000; Keshavarz et al. 2011). Reaksi PCR tediri atas 10.5 µLGo Taq® green Master Mix (Promega), 9.5 µL ddH2O, 2 µL templat DNA, 1.5 µL primer forward XOR-F pada 10 pM, 1.5 µL primer reverse XOR-R2 pada 10 pM. Amplifikasi

Page 11: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

75

PCR dilakukan pada suhu denaturasi awal 95 °C selama 2 menit sebanyak 1 siklus, selanjutnya berturut-turut denaturasi pada suhu 95 °C selama 30 detik, penempelan pada suhu 63 °C selama 30 detik, dan pemanjangan DNA pada suhu 72 °C selama 1 menit sebanyak 29 siklus; pemanjangan DNA terakhir selama 7 menit pada suhu 72°C. Hasil amplifikasi dianalisis menggunakan elektroforesis pada gel agarosa 1.5% dengan tegangan 100 Volt DC selama 30 menit. Hasil elektroforesis divisualisasi menggunakan gel doc (UVITEC) (Cambridge). Galur bakteri yang teramplifikasi pada 470 pb dinyatakan positif X. oryzae pv. oryzae.

P e n g e l o m p o k a n P a t o t i p e B a k t e r i Xanthomonas oryzae pv. oryzae

Galur bakteri yang positif X. oryzae pv. oryzae dari hasil amplifikasi DNA diperbanyak dan digunakan untuk inokulasi pada 5 varietas padi diferensial yang masing-masing telah memiliki gen ketahanan yang berbeda (Kozaka 1969). Inokulasi bakteri dilakukan dengan cara clip-method, yaitu memotong ujung daun tanaman padi sekitar 2–3 cm menggunakan gunting yang telah dicelupkan dalam suspensi X. oryzae pv. oryzae berumur 48 jam dengan konsentrasi 108–109 cfu mL-1. Tanaman padi tersebut disungkup plastik dan diinkubasi pada suhu ruang. Pengamatan terhadap kemunculan gejala penyakit dilakukan 14 hari setelah inokulasi (HSI). Peubah yang diamati ialah panjang bercak dan panjang daun. Nisbah panjang bercak dibandingkan dengan panjang daun yang diinokulasi merupakan intensitas penyakit (IP).

IP = ab ×100%, dengan

a, panjang gejala/bercak HDB (cm); dan b, panjang daun yang diinokulasi (cm). Tanaman yang memiliki IP < 11% dikategorikan tahan, sedangkan ≥ 11% dikategorikan rentan.

Analisis Sikuen DNADNA bakteri hasil amplifikasi positif X.

oryzae pv. oryzae dikirim ke Laboratorium First Base Asia, Malaysia. Runutan nukleotidanya dianalisis dengan bantuan

program basic local alignment search tool (BLAST) pada situs national center for biotechnology information (NCBI).

Sebanyak 7 produk PCR dari hasil identifikasi galur X. oryzae pv. oryzae, yang masing-masing mewakili kabupaten tempat pengambilan sampel digunakan sebagai bahan input untuk analisis filogenetika guna menentukan kemiripannya dengan galur pada pusat data GenBank. Konstruksi pohon filogenetika dilakukan menggunakan program Mega 6.

HASIL

Galur Xanthomonas oryzae pv. oryzaeSebanyak 75 galur bakteri diperoleh

dari sampel daun padi. Galur bakteri dikelompokkan berdasarkan warna koloni, yaitu: 33 putih, 3 oranye, dan 39 kuning. Galur bakteri yang berwarna kuning diidentifikasi lanjut menggunakan teknik molekuler. Berdasarkan hasil pembandingan dengan program BLAST menunjukkan tingkat homologi yang mencapai 99.5–100% terhadap bakteri X. oryzae pv. oryzae yang berasal dari negara lain seperti Cina, Korea, India, Jepang, dan Amerika.

Berdasarkan hasil identifikasi molekulerdiketahui tidak semua galur yang berwarna kuning ialah X. oryzae pv. oryzae. Hasil amplifikasi DNA terhadap 39 galur bakteri berwarna kuning menunjukkan hanya 29 galuryang menghasilkan pita DNA berukuran 470 pb (Gambar 1). Galur-galur tersebut tersebar di 7 kabupaten di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis filogenetika terhadap 7 galur yang masing-masing mewakili satu kabupaten, terlihat bahwa 7 galur bakteri X. oryzae pv. oryzae memiliki kemiripan dengan X. oryzae pv. oryzae dari Amerika Serikat, Cina, Korea, Jepang dan India dengan nilai bootstrap 0.000–0.001 (Gambar 2).

Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzaePengelompokan patotipe dari 29 galur

menghasilkan 3 kelompok patotipe yang berbeda. Patotipe III menginfeksi 5 varietas padi, yaitu: Cisadane, Ketan, Cigeulis,

Page 12: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

76

Gambar 1 Hasil amplifikasi produk PCR koloni menggunakan primer XOR-R2/XOR-F terhadap galur yang diduga Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Angka di atas pita DNA menunjukkan nomor kode isolat seperti tercantum pada Tabel 1; M, Penanda DNA 100 pb; Nomor 29–36 berturut-turut ialah Xo113Jpt, Isolat (Iso) 101Mrs, Kontrol +, Iso069Bn, Iso080Btg, Iso066Br, Iso052Tkl dan Iso053Tkl.

M20 6 7 18 16 25 17 12 21 22 26 23

470 pb

M11 9 5 8 15 10 13 14 27 29 28 19

470 pb

470 pb

M1 2 4 3 29 30 31 32 33 34 35 36

Gambar 2 Pohon filogenetika bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae asal Sulawesi Selatan dengan negara lain berdasarkan logaritma UPGMA (bootstrap 1000 kali ulangan).

Page 13: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

77

Cisantana, dan Membramo (Tabel 1). Patotipe IV menginfeksi 14 varietas padi, yaitu: Cisantana, Ciliwung, Cisadane, Inpari 31, Inpari 4, Inpari 28, Inpari 3, Inpari 23, Inpari 9, IR64, Camindi, Cigeulis, Ciherang, dan Ketan; dan patotipe XII pada 2 varietas padi, yaitu: Cisadane dan Inpari 9. Padi varietas Cisadane dapat diinfeksi oleh ketiga patotipe tersebut (Tabel 1).

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi 2017) menyatakan bahwa padi varietas Inpari 3 dan 9 agak tahan terhadap patotipe III, tetapi agak rentan terhadap patotipe IV dan VII. Varietas Inpari 4 dinyatakan agak tahan patotipe III dan IV, tetapi agak rentan terhadap patotipe VIII. Varietas Inpari 23 memiliki sifat tahan terhadap patotipe III, agak tahan terhadap patotipe IV, tetapi rentan terhadap patotipe VIII. Varietas Inpari 28 tahan terhadap patotipe III tetapi agak rentan terhadap patotipe IV dan VII. Varietas Inpari 31 dinyatakan tahan terhadap patotipe III dan agak tahan terhadap patotipe IV dan VIII.

PEMBAHASAN

Galur X. oryzae pv. oryzae pada medium Wakimoto mempunyai koloni bakteri dengan ciri berwarna kuning. Hal tersebut merupakan ciri yang mendasar dari genus Xanthomonas yang mengandung xantomonadin sehingga menghasilkan pigmen berwarna kuning, demikian juga pada X. oryzae pv. oryzicola (Lang et al. 2010; Onasanya et al. 2010). Selain Xanthomonas terdapat bakteri lain yang juga mampu menghasilkan pigmen berwarna kuning sehingga diperlukan teknik lain untuk menunjang keakuratan identifikasi. Oleh karena itu, identifikasi dengan teknik molekuler menggunakan primer spesifik diperlukan untuk mengidentifikasi X. oryzae pv. oryzae.

Berdasarkan hasil sikuen DNA yang dianalisis dengan program BLAST, terlihat bahwa galur bakteri asal Sulawesi Selatan menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi terhadap galur X. oryzae pv. oryzae yang terdapat di Cina, Korea, India, Jepang, dan Amerika dengan nilai homologi 95–100%.

Besarnya persentase kelompok patotipe IV yang ditemukan menunjukkan bahwa patotipe ini dominan menginfeksi tanaman padi di Sulawesi Selatan. Berbeda halnya dengan Kabupaten Pangkep dan Takalar ditemukan patotipe baru yang muncul, yaitu patotipe XII, meskipun patotipe IV tetap mendominasi. Patotipe XII merupakan patotipe yang tingkat virulennya diduga lebih tinggi daripada patotipe yang sudah ada karena gen virulennya dapat mengatasi banyak gen ketahanan yang dimiliki oleh tanaman. Gen tersebut adalah PthXo1, PthXo2, dan PthXoS yang dikode oleh kelompok gen AvrBs3/PthA yang mampu berkontribusi secara spesifik untuk mematahkan banyak gen ketahanan tanaman inang seperti Xa5, Xa7, dan Xa21 (Hifni dan Kardin 1998).

Pergeseran patotipe X. oryzae pv. oryzae terjadi disejumlah daerah yang berbeda di daerah Sulawesi Selatan seperti di Kabupaten Bone yang awalnya didominasi oleh patotipe III (Khaeruni dan Wijayanto 2013) sekarang berubah dan didominasi oleh patotipe IV. Beberapa daerah ternyata tidak mengalami perubahan jenis patotipe X. oryzae pv. oryzae, seperti yang terjadi di kabupaten Maros yang masih didominasi oleh patotipe IV (Yuliani et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan wilayah tidak memengaruhi keberadaan atau infeksi patotipe pada padi.

Setiap wilayah pertanaman padi yang terinfeksi X. oryzae pv. oryzae dalam penelitian ini tidak diinfeksi oleh satu jenis patotipe meskipun ada kelompok patotipe yang dominan. Adanya dominasi patotipe yang terjadi membuktikan bahwa perkembangan dan perubahan patotipe dapat terjadi disetiap wilayah pertanaman yang memungkinkan patogen dapat berkembang dan tidak memiliki kisaran wilayah tertentu.

Sudir dan Suprihanto (2006) melaporkan perubahan patotipe dapat terjadi dalam jangka waktu dua musim tanam. Namun hasil penelitian mereka tidak melaporkan perubahan patotipe meskipun dihasilkan patotipe XII yang tergolong baru terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. Tingkat persentase patotipe tersebut di Kabupaten Pangkep dan

Page 14: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

78

Tabe

l 1 K

elom

pok

pato

tipe

Xant

hom

onas

ory

zae

pv. o

ryza

e pa

da b

eber

apa

varie

tas p

adi a

sal S

ulaw

esi S

elat

an

T, T

ahan

: Int

ensi

tas p

enya

kit <

11%

; R, R

enta

n: In

tens

itas p

enya

kit ≥

11%

.

No.

Kod

e ga

lur

Varie

tas p

adi

Kab

upat

enIn

tens

itas p

enya

kit p

ada

varie

tas p

adi d

ifere

nsia

l Jep

ang

(%)

Kel

ompo

k pa

totip

eTe

tep

Java

14

Kin

mas

eK

ogyo

kuW

ase A

ikok

u 1

xo 1

10C

isad

ane

Bar

ru14

.68

R8.

84 T

16.5

5 R

11.6

6 R

7.76

TII

I 2

xo 1

11C

isan

tana

Bar

ru13

.49

R11

.06

R34

.26

R14

.61

R13

.67

RIV

3xo

112

Cis

anta

naB

arru

11.8

8 R

12.5

7 R

17.1

2 R

18.6

2 R

13.3

3 R

IV 4

xo 1

13C

iliw

ung

Bar

ru13

.23

R20

.79

R21

.87

R19

.24

R17

.91

RIV

5xo

114

Cis

adan

ePa

ngke

p13

.01

R16

.66

R14

.11

R23

.79

R13

.51

RIV

6xo

115

Cis

adan

ePa

ngke

p8.

35 T

8.41

T10

.73

T8.

98 T

18.4

RX

II 7

xo 1

16K

etan

Pang

kep

12.3

5 R

10.3

5 T

13.6

1 R

12.0

6 R

10.6

8 T

III

8xo

117

Cis

adan

ePa

ngke

p12

.04

R20

.36

R15

.94

R13

.84

R12

.87

RIV

9xo

118

Inpa

ri 31

Mar

os11

.18

R17

.5 R

23.4

7 R

11.3

4 R

41.4

4 R

IV10

xo 1

19In

pari

4M

aros

17.9

1 R

16.0

3 R

12.3

2 R

12.6

9 R

34.8

1 R

IV11

xo 1

20In

pari

28M

aros

13.4

1 R

18.1

6 R

17.4

2 R

13.6

9 R

12.9

0 R

IV12

xo 1

21C

igeu

lisM

aros

19.7

1 R

10.9

4 T

16.9

3 R

16.0

3 R

10.6

9 T

III

13xo

122

Cili

wun

gM

aros

19.1

8 R

22.8

2 R

25.3

3 R

12.7

2 R

14.8

2 R

IV14

xo 1

23In

pari

3M

aros

16.0

2 R

13.0

6 R

18.9

8 R

14.6

5 R

29.1

2 R

IV15

xo 1

24In

pari

23M

aros

12.9

4 R

13.8

6 R

15.4

6 R

11.6

6 R

11.9

5 R

IV16

xo 1

25In

pari

9Ta

kala

r6.

32 T

8.26

T7.

26 T

10.6

1 T

15.2

6 R

XII

17xo

126

Cili

wun

gTa

kala

r18

.01

R24

.36

R29

.78

R16

.35

R22

.48

RIV

18xo

127

Inpa

ri 9

Taka

lar

12.2

9 R

14.4

4 R

25.2

2 R

14.1

8 R

20.1

6 R

IV19

xo 1

28C

isan

tana

Taka

lar

14.9

2 R

10.3

5 T

13.4

2 R

13.3

R9.

03 T

III

20xo

129

IR 6

4Ta

kala

r16

.17

R15

.05

R16

.23

R15

.61

R38

.29

RIV

21xo

130

Cam

indi

Bon

e14

.28

R12

.47

R36

.77

R16

.39

R19

.35

RIV

22xo

131

Cig

eulis

Bon

e12

.79

R17

.97

R17

.47

R19

.02

R20

.33

RIV

23xo

132

Mem

bram

oJe

nepo

nto

11.6

8 R

10.5

4 T

12.6

7 R

14.1

8 R

9.45

RII

I24

xo 1

33C

iher

ang

Jene

pont

o14

.1 R

12.8

7 R

14.7

8 R

13.7

8 R

15.5

3 R

IV25

xo 1

34K

etan

Jene

pont

o12

.77

R16

.39

R19

.33

R14

.15

R13

.05

RIV

26xo

135

Cig

eulis

Jene

pont

o14

.93

R15

.17

R12

.0 R

14.2

1 R

33.4

1 R

IV27

xo 1

36M

embr

amo

Ban

taen

g14

.07

R10

.28

T29

.12

R12

.18

R10

.76

TII

I28

xo 1

37In

pari

4B

anta

eng

11.7

6 R

13.6

3 R

13.5

7 R

12.1

2 R

26.4

7 R

IV29

xo 1

38In

pari

4B

anta

eng

17.0

7 R

13.9

R12

.68

R13

.27

R23

.32

RIV

Page 15: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

79

Takalar hanya 6.8%. Munculnya patotipe XII pada area pertanaman padi di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan menunjukkan adanya pergeseran patotipe yang berkembang pada lahan pertanian meskipun tidak besar. Hal tersebut menjadi perhatian baru dalam proses evaluasi perkembangan patotipe bakteri dalam pergeseran patotipe di lapangan.

Berdasarkan kondisi yang ditemukan dalam penelitian ini, evaluasi perkembangan patotipe bakteri X. oryzae pv. oryzae senantiasa diperlukan sebagai acuan dalam pengendalian penyakit tanaman padi. Besarnya pengaruh varietas tanaman padi yang menjadi komponen utama dalam teknik pengendalian merupakan acuan dalam tindakan evaluasi terhadap pergeseran patotipe yang sewaktu-waktu dapat berubah sehingga pemantauan tetap perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Adachi N, Oku T. 2000. PCR-mediumted detection of Xanthomonas oryzae pv. oryzae by amplification of the 16S-23S rDNA spacer region sequence. J General Plant Pathol. 66(4):303–309. DOI: https://doi.org/10.1007/PL00012969.

[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2017. Inbrida Padi Sawah (Inpari). bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/varietas/inbrida-padi-sawah-irigasi-inpari [diakses 22 Maret 2017].

Dafa’alla TH, Hobom G, Zahner H. 2000. Direct colony identification by PCR-miniprep. J Mol Biol. 1(3):65–66.

Hifni HR, Kardin K. 1998. Pengelompokan isolat Xanthomonas oryzae pv. oryzae dengan menggunakan galur isogenik padi IRRI. J Hayati. 5(3):66–72.

Keshavarz K, Sijam K, Abidin MHZ, Habibudin H, Nazerian E. 2011. Rapid identification and differentiation of Xanthomonas oryzae pv. oryzae strain with primer 16S-23S rDNA from the rice fields in Peninsular Malaysia. J Plant Pathol. 5:93–99. DOI: https://doi.org/10.3923/ajppaj.2011.93.99.

Khaeruni A, Wijayanto T. 2013. Pathotype grouping of Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates from South Sulawesi and Southeast Sulawesi. J Agr Sci Agrivita. 35(2):138-144. DOI: https://doi.org/10.17503/Agrivita-2013-35-2-p138-144.

Kozaka T. 1969. Control of rice disease with resistant varieties. J Agr Hort. 44(1):208–212.

Lang JM, Hamilton JP, Diaz MGQ, Sluys V, Burgos MRG, MC Cruz V, Buell CR, Tisserat NA, Leach JE. 2010. Genomic-based diagnostic marker development for Xanthomonas oryzae pv. oryzae and Xanthomonas oryzae pv. oryzicola. J Ame Phytopathol Soc. 94(3):311–319. DOI: https://doi.org/10.17503/Agrivita-2013-35-2-p138-144.

Mew TW, Vera C, Rayes RC. 1982. Interaction of Xanthomonas campestris oryzae and resistance of rice cultivar. Phytopathology. 72(7):786–789. DOI: https://doi.org/10.1094/Phyto-72-786.

Onasanya A, Basso A, Somado E, Gasore ER, Nwilene FE, Ingelbrecht I, Lomo J, Wydr K, Ekperigin MM, Langa M. 2010. Development of combined molecular diagnostic and DNA fingerprinting technique for rice bacteria pathogens in Africa. J Biotech. 9(2):89–105. DOI: https://doi.org/10.3923/biotech.2010.89.105.

Sudir, Nuryanto B, Triny. 2012. Epidemiologi, patotipe, dan strategi pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. J Tanaman Pangan. 7(2):79–87.

Sudir, Suprihanto. 2006. Perubahan virulensi strain Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. J Penelitian Tanaman Pangan. 25(2):100–107.

Suryadi Y, Kadir TS, Machmud M. 2006. Deteksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab hawar daun bakteri pada tanaman padi. J Tanaman Pangan. 25(2):108–115.

Yuliani D, Faizal A, Sudir. 2012. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri

Page 16: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Asysyuura et al

80

padi di sentra produksi padi di Sulawesi Selatan. Di dalam: Buku I: Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2011. 2011 Jul 27–28. Sukamandi (ID): Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm 121–130.

Page 17: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

ISSN: 0215-7950

89

Volume 13, Nomor 3, Mei 2017Halaman 89–97

DOI: 10.14692/jfi.13.3.89

*Alamat penulis korespondensi: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Jalan Brigjend Katamso No. 51, Medan 21058Tel: 0261-7862488, Surel: [email protected]

Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma yang Berasosiasi dengan Penyakit Layu Kelapa Di Pulau Derawan, Kalimantan Timur

Detection and Identification of Phytoplasmas Associated with Coconut Wilt Disease in Derawan Island, East Kalimantan

Agus Eko Prasetyo1*, Kikin Hamzah Mutaqin2, Giyanto2

1Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan 210582Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Kelapa merupakan komoditas utama yang berperan sebagai penambah pendapatan petani di Pulau Derawan. Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi fitoplasma yang berasosiasi dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan. Penyakit layu kelapa ditunjukkan dari gejala daun menguning, pelepah maupun daun kelapa terlihat memendek, daun tua mengering dan lunglai, serta buah menjadi gugur. Tanda penyakit fitoplasma diamati dari jaringan floem batang menggunakan mikroskop fluoresen dan elektron. Identifikasi fitoplasma dilakukan dengan metode nested-PCR dan perunutan DNA sikuen gen 16S rRNA.DNA fitoplasma berukuran 1.25 kpb berhasil diamplifikasi secara molekuler dengan nested -PCR menggunakan pasangan primer P1/P7 yang dilanjutkan dengan pasangan primer R16F2n/R16R2. Analisis runutan DNA fitoplasma tersebut menunjukkan bahwa fitoplasma yang berasosiasi dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan termasuk dalam kelompok 16SrII (witches broom phytoplasma) dan 16SrXI (ca. Phytoplasma oryzae).

Kata kunci: gen 16SrRNA, jaringan floem, nested -PCR, perunutan DNA

ABSTRACT

Coconut is a major commodity in Derawan island as source of additional income for the farmers. Research was conducted to detect and identify phytoplasmas associated with coconut wilt disease in Derawan island. Coconut wilt disease was indicated by the typical symptoms, i.e. leaf yellowing, shorten of coconut sheaths and leaves, necrosis and collapse of old leaves, and also nut fall. The presence of phytoplasmas in phloem tissues of coconut stem was observed using fluorescence and electron microscope. Identification of phytoplasmas was carried out by nested-PCR and sequencing of the 16S rRNA gene. DNA fragment of phytoplasma with the size of 1.25 kbp was successfully amplified using primer pairs P1/P7, followed by primer pairs R16F2n/R16R2. Sequence analysis of the amplified fragments showed that phytoplasma associated with coconut wilt disease in Derawan island belongs to 16SrII (witches broom phytoplasma) and 16SrXI (ca. Phytoplasma oryzae) groups.

Key words: DNA sequencing, 16SrRNA gene, nested PCR, phloem tissue

Page 18: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

90

PENDAHULUAN

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan komoditas sosial kedua setelah padi di Indonesia dengan luas areal sekitar 3.7 juta ha atau setara dengan ⅓ luas penanaman kelapa dunia (Deptan 2007). Di Pulau Derawan, kelapa ditanam untuk penambah pendapatan masyarakat dan nilai eksotis pantai yang menjadi maskot pariwisata di provinsi Kalimantan Timur. Keberadaan tanaman kelapa ini mulai berkurang karena penyakit layu kelapa yang diduga disebabkan oleh fitoplasma.

Di Indonesia, penyakit serupa dikenal dengan penyakit layu Kalimantan yang menyerang tanaman kelapa di daerah Sampit (Kalimantan Tengah) yang disebabkan oleh ca. Phytoplasma oryzae (Warokka et al. 2006). Galur yang berbeda, yaitu ca. Phytoplasma cynodontis juga dilaporkan menyebabkan penyakit coconut lethal decline di Malaysia (Nejat et al. 2009). Galur fitoplasma yang diketahui menyebabkan kerugian sangat besar pada tanaman kelapa di daerah Amerika dan Afrika ialah ca. Phytoplasma palmae, penyebab penyakit lethal yellowing (Tymon et al. 1998; Harrison et al. 2002; Myrie et al. 2006) dan penyakit ini merupakan organisme penganggu tanaman karantina A1 di Indonesia. Oleh karena lethal yellowing dapat juga menyerang kelapa sawit di Indonesia maka adanya infeksi fitoplasma pada tanaman Palmae lainnya perlu segera diidentifikasi penyebabnya.

Deteksi dan identifikasi fitoplasma penyebab penyakit layu kelapa di Pulau Derawan penting dilakukan untuk mencegah terjadinya ledakan penyakit. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan gejala morfologi dan histopatologi penyakit layu kelapa di Pulau Derawan, mendeteksi keberadaan fitoplasma menggunakan teknik nested PCR (nPCR), dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan fitoplasma yang diperoleh berdasarkan sikuen gen 16S rRNA.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel TanamanSampel diambil berdasarkan pada

pengamatan visual morfologi daun, pelepah,

batang, buah, dan akar yang berbeda dari tanaman sehat. Sampel untuk pengamatan histopatologi tanaman sakit diambil menggunakan bor besi berlubang untuk mendapatkan potongan batang berbentuk seperti pensil berdiameter sekitar 0.5 cm.

Sampel berupa serbuk batang untuk ekstraksi DNA diperoleh dengan cara mengebor batang pada ketinggian sekitar 1 mdari permukaan tanah sedalam 15–20 cm (Oropeza et al. 2002). Jenis tanaman yang dijadikan sampel menunjukkan gejala ringan (daun menguning dan mulai klorosis), berat (daun klorosis, mengering dan tidak memproduksi buah), dan tanaman yang tidak bergejala penyakit. Masing-masing gejala diambil dari 6 tanaman dengan 3 sisipengeboran yang berbeda per tanaman, jadi ada 54 sampel. Sebagai kontrol digunakan sampel tanaman kelapa terserang penyakit layu Kalimantan dari daerah Sampit dan beberapa sampel tanaman kacang tanah dan kedelai yang terserang penyakit sapu dari Bogor.

Pengamatan HistopatologiStudi histopatologi pada jaringan

pengangkutan floem dilakukan dengan menggunakan mikroskop fluoresen dan elektron. Metode pewarnaan 4,6-diamino-2-phenylindole (DAPI) digunakan pada pengamatan fitoplasma menggunakan mikroskop fluoresen (Schaad 2001). Sampel batang dipotong sepanjang 0.5 cm kemudian difiksasi dengan larutan glutaraldehida (5% dalam bufer fosfat 0.1 M pH 7) dan disimpan di dalam lemari pendingin. Batang yang telah difiksasi dicuci dengan bufer fosfat 0.1 M, lalu dipotong dengan freezing microtome setebal 10 µm dan diwarnai dengan cara meneteskan larutan DAPI (0.1 mg DAPI dalam 100 mL bufer fosfat) pada gelas preparat dan simpan selama 30 menit pada ruangan yang gelap. Pengamatan dilakukan segera atau kurang dari 48 jam.

Pengamatan dengan scanning electron microscopy (SEM) dilakukan dengan memotong sampel batang 3–5 mm, kemudian difiksasi dengan larutan glutaraldehida 6% serta OsO4 2%. Spesimen diwarnai menggunakan larutan uranil asetat 2%, diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37 °C,

Page 19: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

91

dan didehidrasi secara berseri dengan larutan etanol 10% sampai etanol absolut. Spesimen batang diinfiltrasi dengan larutan CO2 sampai kering serta dilapisi dengan 5 nm karbon dan 20–25 nm emas di dalam mesin pengering berputar (Musetti dan Favali 2004).

Ekstraksi DNA dari tanamanMetode ekstraksi DNA yang digunakan

berdasarkan metode yang digunakan Zhang et al. (1998). Sebanyak 300 mg serbuk batang digerus dalam nitrogen cair sampai menjadi bubuk halus. Bubuk gerusan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1.5 mL dan ditambahi bufer CTAB 0.8 mL suhu 60 °C. Suspensi sampel lalu diinkubasi pada suhu yang sama selama 20 menit (dicampur rata dengan membolak-balikkan tabung 3-4 kali secara perlahan), lalu didinginkan dalam es. Kemudian ke dalam suspensi ditambahkan kloroform:isoamilalkohol (24:1 v/v) sebanyak 0.7 mL, dicampur rata dengan vortex dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 g pada suhu 4 °C selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung eppendorf baru dan ditambahkan kloroform:isoamilalkohol dengan volume yang sama dan disentrifugasi kembali. Supernatan yang didapatkan dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan ditambahi isopropanol dingin sebanyak 0.6 mL, kemudian DNA dipresipitasi dengan kecepatan 10 000 g pada suhu 4 °C selama 7 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang dan selanjutnya pelet DNA dicuci dengan ethanol 70% dingin sebanyak dua kali; setiap kali pencucian DNA dipresispitasi dengan cara sentrifugasi. Pelet DNA diresuspensi dalam 0.1 mL bufer TE dan disimpan di lemari pendingin pada suhu -20 °C sampai siap digunakan.

Amplifikasi DNA dengan metode nested PCR

DNA hasil ekstraksi diamplifikasi menggunakan pasangan primer universal fitoplasma, P1 (5’-AAG AGT TTG ATC CTG GCT CAG GAT T-3’) / P7 (5’-CGT CCT TCA TCG GCT CTT-3’) (Deng dan Hiruki 1991). Produk PCR diamplifikasi menggunakan

pasangan primer R16F2n (5’-GAA ACG ACT GCT AAG ACT GG-3’) / R16R2 (5’-TGA CGG GCG GTG TGT ACA AAC CCC G-3’) (nested PCR) yang menempel pada bagian dalam sikuen DNA produk PCR pertama sehingga amplikon DNA yang didapatkan berukuran lebih pendek (Gundersen dan Lee 1996).

Reaksi PCR dilakukan dengan volume total 10 mL yang terdiri atas 1 mL template DNA, 1 mL 2 mM dNTPs, 0.6 mL 25 mM MgSO4, 1 mL primer forward (2 pmol), 1 mL primer reverse (2 pmol), 0.1 mL Taq KOD plus Neo (Toyobo, Jepang) dan 4.3 mL dH2O. Siklus PCR disajikan pada Tabel 1. Sebanyak 1 mL produk PCR pertama digunakan sebagai cetakan DNA untuk PCR kedua dengan pasangan primer R16F2n/R16R2. Program PCR yang digunakan sama seperti PCR pertama hanya berbeda pada suhu penempelan primer, yakni 57 °C.

Perunutan DNA dan AnalisisnyaDNA hasil nested PCR (nPCR) dikirim

First BASE (Malaysia) untuk perunutan DNA. Homologi sikuen DNA fitoplasma dari sampel kelapa dibandingkan dengan sikuen DNA yang terdeposit pada GenBank dianalisis menggunakan program basic local alighment search tool (BLAST) pada National Centre For Biotecnological Information (NCBI). Pohon filogenetika runutan sikuen 16S RNA dikonstruksi dengan piranti lunak PAUP 4.0 menggunakan nilai bootstrap 1000 kali.

HASIL

Morfologi dan Histopatologi Penyakit Layu Kelapa

Penyakit layu kelapa di Pulau Derawan ditandai oleh daun yang menguning, pelepah

Tabel 1 Siklus PCR dengan pasangan primer P1/P7

Tahapan Suhu (°C)

Waktu (detik)

Siklus

Denaturasi awal 94 120 1 Denaturasi 94 15 35 Penempelan primer 54* 30Ekstensi 68 150

*Nested PCR suhu penempelan primer 57 °C

Page 20: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

92

maupun daun kelapa yang muncul terlihat lebih pendek daripada tanaman kelapa yang sehat, nekrosis daun dimulai dari bagian daun yang tua (bawah), pangkal pelepah tua lunglai, terjadinya penguguran buah kelapa yang masih muda atau jika masih ada buah kelapa yang tersisa sampai besar dan masak, biasanya hanya 1 atau 2 biji saja. Gejala akhir penyakit ini ialah mengeringnya seluruh pelepah dan daun kelapa, rontok dan terlihat hanya seperti tonggak batang kayu (Gambar 1).

Hasil pengamatan jaringan pengangkut batang dan akar dengan pewarnaan DAPI menunjukkan ada akumulasi fitoplasma pada jaringan floem. Bagian-bagian yang menyala fluoresensi pada jaringan floem batang tanaman bergejala diduga merupakan DNA fitoplasma (Gambar 2a), sedangkan pada jaringan tanaman sehat bagian fluoresensi tidak terlihat (Gambar 2b). Pengamatan

jaringan dengan SEM menunjukkan sel-sel yang diduga fitoplasma tampak melekat pada dinding-dinding sel floem, walaupun tidak terlihat menggerombol (Gambar 2c). Bentuk sel fitoplasma pleomorfik dengan diameter berkisar antara 0.5 μm dan 0.9 μm.

Identifikasi dan Karakter Molekuler Fitoplasma

Hasil amplifikasi DNA pada PCR yang pertama menunjukkan bahwa pasangan primer P1/P7 hanya mengamplifikasi kontrol positif DNA fitoplasma yang berasal dari kacang tanah dan kedelai (Gambar 3a, lajur 14–15); DNA fitoplasma kelapa tidak teramplifikasi. Setelah dilakukan nested PCR dengan pasangan primer R16F2n/R16R2, semua sampel dari tanaman kelapa bergejala layu ringan dan berat dari Pulau Derawan menunjukkan positif teramplifikasi, sedangkan pada tanaman yang

Gambar 1 Gejala penyakit layu kelapa di Pulau Derawan. a, Daun kelapa menguning; b, Gejala akhir penyakit yang tampak hanya batang tanpa daun.

a b

Gambar 2 Potongan melintang jaringan pengangkutan pada batang kelapa. a, Batang kelapa sakit dengan pewarnaan DAPI, bagian menyala fluoresen (panah) yang tampak pada floem diduga merupakan fitoplasma; b, Batang kelapa sehat dengan pewarnaan DAPI; dan c, Sel floem batang kelapa yang diduga mengandung fitoplasma (panah) yang terlihat menggunakan SEM.

a b c

Page 21: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

93

tidak bergejala hanya 3 tanaman yang positif (Gambar 3b).

Hasil analisis BLAST runutan DNA menunjukkan 77.78% dari 36 sampel (termasuk tanaman bergejala berat, ringan dan tidak bergejala) identik dengan DNA beberapa galur fitoplasma dan sisa 22.22% sampel lainnya teridentifikasi bukan merupakan fitoplasma. Sebanyak 6 sampel DNA fitoplasma asal kelapa Pulau Derawan berhasil terunut sikuen 16S RNA-nya berukuran 1247 pb.Dari 6 sampel DNA yang dirunut, 5 sampel (Derawan 1–5) menunjukkan homologi yang tinggi terhadap kelompok witches broom phytoplasma (grup 16SrII) dengan nilai homologi 99% terhadap sikuen gen 16S rRNA Echinacea witches’-broom phytoplasma galur EWB6 dari Australia (JF340080.1). Sedangkan satu sampel sikuen DNA (Derawan 6) memiliki homologi yang tinggi terhadap ca. Phytoplasma oryzae (grup 16SrXI) dengan nilai homologi 96% terhadap sikuen gen 16S rRNA ‘Psammotettix cephalotes’flower stunt phytoplasma galur BVK (HQ589192) (Tabel 2). Hal ini menunjukkan penyebab layu kelapa di Pulau Derawan merupakan 2 kelompok fitoplasma yang berbeda.

Analisis filogenetika keenam sikuen 16S RNA fitoplasma kelapa asal Derawan terhadap berbagai galur fitoplasma yang digunakan Hodgets dan Dickinson (2010) menunjukkan bahwa lima sikuen DNA fitoplasma (Derawan 1–5) memiliki kekerabatan yang tinggi dengan kelompok witches broom phytoplasma (grup

16SrIIA-D) sikuen DNA Derawan 6 dan sikuen DNA kalimantan wilt dari Sampit mempunyai hubungan kekerabatan yang tinggi, tetapi relatif jauh dari witches broom phytoplasma dan ca. Phytoplasma oryzae (Gambar 4).

Pada penelitian ini, sikuen DNA yang mirip dengan spesies bukan fitoplasma meliputi Bacillus megaterium, Bacillus spp., Clostridium sp., Friedmaniella lacustris, dan Lagionella birminghamensis memiliki nilai homologi 93–96%, dan termasuk ke dalam bakteri Gram positif (Tabel 2).

PEMBAHASAN

Menurut Leon et al. (1996), pada stadia perkembangan penyakit lethal yellowing awal pada tanaman kelapa, konduktansi stomata menurun pada kedua sisi atas daun, tengah dan pangkal pelepah. Perilaku stomata ini memengaruhi pertukaran gas, fotosintesis, dan transportasi air. Akibatnya daun kelapa menguning dengan penurunan laju fotosintesis, kandungan protein, klorofil, dan karotenoid. Aguilar et al. (2009) meneliti terjadinya penurunan kandungan sitokinin yang drastis pada daun yang bergejala penyakit lethal yellowing yang mengakibatkan perilaku stomata cenderung menutup. Leon et al. (1996) juga berpendapat bahwa tanaman kelapa yang sakit akan menghasilkan asam absisat dan etilena yang sangat tinggi yang berakibat terjadi ketidakseimbangan hormon. Hormon-hormon ini akan memacu penuaan

a bGambar 3 Amplifikasi sampel yang diduga terinfeksi fitoplasma menggunakan dua primer. a, Primer P1/P7; dan b, Primer R16F2n/R16R2. M, penanda DNA λ Eco T14I digest; 1–2, Sampel kelapa tidak bergejala dari Pulau Derawan; 3–6, Sampel kelapa bergejala ringan dari Pulau Derawan; 7–10, Sampel kelapa bergejala berat dari Pulau Derawan; 11–13, Sampel kelapa bergejala dari Sampit; 14, Sampel kedelai; 15, Sampel kacang tanah.

19 329 pb6223 pb3472 pb1882 pb925 pb

Page 22: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

94

daun dan mengakibatkan pelepah lunglai serta gugurnya buah yang masih muda (Musetti 2010).

Pewarnaan DAPI dan pengamatan SEM merupakan metode deteksi fitoplasma yang relatif mudah dan cepat, meskipun

kurang kuat untuk membedakan antara sel mikroorganisme lain atau komponen sel tumbuhan dari sel fitoplasma (Schaad 2001; Franova et al. 2007). Oleh karena itu, teknik ini hanya digunakan sebagai deteksi awal keberadaan patogen (Arismendi et al. 2009).

Gambar 4 Pohon filogenetika fitoplasma sampel dari kelapa di Pulau Derawan terhadap galur fitoplasma dari setiap grup berdasarkan 16S rRNA (Hodgets dan Dickinson 2010) yang tersimpan di GenBank menggunakan program PAUP 4.0 dengan nilai bootstrap 1000 kali.

Acholeplasma laidlawi (M 23932)16 SrVA Ca. Phytoplasma ulmi (AY197655)16 SrVC Alder yellow (AY197642)16 SrVB Ca. Phytoplasma ziziphin (AB052876)16 SrVG Ca. Phytoplasma ziziphin (AB052879)16 SrVIA Ca. Phytoplasma trifolii (AY390261)16 SrVIIA Ca. Phytoplasma fraximini (AF092209)16 SrVIIIA Loofah witches broom (AF353090)16 SrXIXA Ca. Phytoplasma castanae (AB054986)16 SrXXIA Ca. Phytoplasma pini (AJ632155)16 SrXXIVA Sorghum buchy shoot (AF509322)16 SrXXIIA Nigerian coconut lethal decline (Y14175)16 SrIVA Coconut lethal yellowing (AF498307)16 SrIVB Phytoplasma sp. Lfy5 (AF500334)16 SrIVC Palmate leaf yellowing (AF237615)16 SrXXVIA Mauritius sugarcane yellows (AJ539179)16 SrXXVIIA Mauritius sugarcane yellows (AJ539180)16 SrXIA Ca. Phytoplasma oryzae (AB052873)16 SrXIVA Ca. Phytoplasma cynodontis (AJ550984)16 SrIXD Ca. Phytoplasma broom (AF248957)16 SrIXD Ca. Phytoplasma phonicium (AF51563616 SrIIIA western X disease (L04682)16 SrIIB Clover yellow edge (AF189288)16 SrXXVA Weeping tea witches-broom (AF521672)16 SrXVA Ca. Phytoplasma brasiliense (AF147708)16 SrIIA Peanut witches-broom (L33765)16 SrIID Ca. Phytoplasma australasiae (Y10097)Witches broom phytoplasma (grup 16Srll) Drwn-1)Witches broom phytoplasma (grup 16Srll) Drwn-3)Witches broom phytoplasma (grup 16Srll) Drwn-4)Peanut witches broom, BogorWitches broom phytoplasma (grup 16Srll) Drwn-5)Witches broom phytoplasma (grup 16Srll) Drwn-2)16 SrIID Ca. Phytoplasma aurantifolia (U15442)16 SrIIA Cactus witches-broom (AJ293216)ca. Phytoplasma oryzae (grup 16SrXI) Drwn-6Kalimantan wilt, Sampit16 SrXA Ca. Phytoplasma mali (AJ542541)16 SrXC Ca. Phytoplasma pyri (AJ542543)16 SrXF Ca. Phytoplasma prunorum (AJ542544)16 SrXD Ca. Phytoplasma spartii (X76431)16 SrXXA Ca. Phytoplasma rhamni (X76431)16 SrID Aster yellow PaWB (AY265206)16 SrIB Ca. Phytoplasma asteris (NC005303)16 SrIE Blueberry stunt (AY265213)16 SrIA Aster yellow Witches broom (NC007716)16 SrIF Aster yellow ACLR-AY (AY265211)16 SrIC Clover phyllody (AF222065)16 SrXXVIIIA Derbid phytoplasma (AY744945)16 SrXXIIIA Grapevine yellows (AY083605)16 SrXIIIA Mexican periwinkle virescence (AF248960)16 SrXIID Ca. Phytoplasma japonicum (AB010425)16 SrXIIE Ca. Phytoplasma fragariae (DQ086423)16 SrXVIIIA Ca. Phytoplasma americanum (DQ174122)16 SrXIIB Ca. Phytoplasma australiense (L76865)16 SrXIIC Strawberry lethal yellows (AJ243045)16 SrXVII Ca. Phytoplasma caricae (AJ243045)16 SrXVIA Ca. Phytoplasma graminis (AY725228)16 SrXIIA Ca. Phytoplasma solani (AJ964960)

Page 23: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

95

Tabel 2 Hasil analisis BLAST 16S RNA fitoplasma dari Pulau Derawan terhadap DNA fitoplasma pada GenBank asal tanaman kelapa, kacang tanah, dan kedelai

∑ sikuen yang sama

Ukuran (pb)

Asal contoh Subspesies yang mirip dari uji BLAST (no aksesi)

Kemiripan (%)

2 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma (JN885462.1) 995 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma (JN885462.1) 997 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma (JN885462.1) 993 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma (JN885462.1) 994 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma (JN885462.1) 992 1247 Kelapa Pulau Derawan Ca. P. oryzae (D12581.2) 951 1246 Kelapa Sampit Ca. P. oryzae (D12581.2) 952 1247 Kacang tanah Bogor WB Phytoplasma (JN885462.1) 992 1247 Kedelai Bogor WB Phytoplasma (JN885462.1) 991 1292 Kelapa Pulau Derawan B. megaterium (HQ336301.1) 961 1292 Kelapa Pulau Derawan B. megaterium (CP003017.1) 951 1292 Kelapa Sampit B. megaterium (GU125638.1) 941 1228 Kelapa Pulau Derawan Clostridium sp. (AB550230.1) 931 1256 Kelapa Sampit Clostridium sp. (DQ978215.1) 941 1298 Kelapa Pulau Derawan Bacillus spp. (JN800333.1) 941 1233 Kelapa Pulau Derawan F. lacustris (NR_028884.1) 961 1252 Kelapa Sampit L. birminghamensis (NR_044953.1) 95

WB, witches broom

Deteksi lanjutan yang lebih baik ialah secara molekuler menggunakan metode PCR.

PCR dengan primer P1/P7 merupakan teknik identifikasi fitoplasma paling umum yang menghasilkan sikuen DNA berukuran sekitar 1.8 kb yang di dalamnya terkandung gen yang dekat dengan awal 16S rRNA, daerah interspacer (ITS), dan bagian ujung 5’ gen 23S rRNA. Deteksi lanjut dengan nPCR dari hasil amplikon PCR pertama yang memperlihatkan adanya fragmen DNA dari sampel kelapa yang berukuran sekitar 1.25 kb yang mengandung internal gen 16S rRNA (Gundersen dan Lee 1996). Nested PCR diperlukan untuk memperpendek ukuran produk PCR sehingga fitoplasma lebih mudah diidentifikasi sesuai dasar klasifikasi fitoplasma berdasarkan gen 16S rRNA (Hodgets dan Dickinson 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan juga bahwa tanaman kelapa yang tidak menunjukkan gejala/belum bergejala terdeteksi positif terinfeksi fitoplasma dengan nPCR. Hal ini membuktikan bahwa metode nPCR dapat digunakan untuk mendeteksi fitoplasma pada tanaman bergejala maupun tanaman yang tidak bergejala.

Fitoplasma erat berhubungan dengan bakteri Gram positif khususnya grup Bacillus

dan Clostridium yang menjadi nenek moyang fitoplasma (Bai et al. 2006). Hal ini berarti banyak sikuen gen fitoplasma dan bakteri Gram positif yang akan memiliki kesamaan. Terdeteksinya berbagai galur bakteri Gram positif ini juga mengindikasikan bahwa primer fitoplasma yang digunakan belum spesifik mendeteksi fitoplasma sehingga hasil deteksi nPCR memerlukan konfirmasi melalui perunutan DNA.

Hasil identifikasi molekuler menunjukkan bahwa 6 sikuen DNA yang dirunut asal tanaman bergejala layu di Pulau Derawan disebabkan oleh 2 kelompok fitoplasma yang berbeda, yaitu 5 sampel DNA dari kelompok witches broom phytoplasma (grup 16SrII) dan satu sampel DNA memiliki homologi yang tinggi dengan ca. Phytoplasma oryzae (grup 16SrXI).

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar MI, Espadas F, Maust B, Saenz L. 2009. Endogenous cytokinin content in coconut palms affected by lethal yellowing. J Plant Pathol. 91(1):141–146.

Arismendi NS, Andrade NS, Riegel RS, Carrilo RL. 2010. Presence of a phytoplasma

Page 24: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

96

associated with witches’ broom disease in Ugni molinae Turcz. and Gaultheria phillyreifolia (Pers.) Slemuer determined by DAPI, PCR and DNA sequencing. Chilean J Agric Res. 70(1):26–33. DOI: https://doi.org/10.4067/S0718-58392010000100003.

Bai XD, Zhang JH, Ewing A, Miller SA, Radek AJ, Shevchenko DV, Tsukerman K, Walunas T, Lapidus A, Campbell JW, Hogenhout SA. 2006. Living with genome instability, the adaptation of phytoplasmas to diverse environments of their insect and plant hosts. J Bacteriol. 188:3682–3696. DOI: https://doi.org/10.1128/JB.188.10.3682-3696.2006.

Deng S, Hiruki C. 1991. Amplification of 16S rRNA genes from culturable and non culturable mollicutes. J Microbiol Methods. 14:53–61. DOI: https://doi.org/10.1016/0167-7012(91)90007-D.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Ed ke-2. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

Franova J, Petrzik K, Paprstein F, Kucerova J, Navratil M, Valova P. 2007. Experiences with phytoplasma detection and identification by different methods. Bull Insectol. 60:247–248.

Gundersen DE, Lee IM. 1996. Ultrasensitive detection of phytoplasmas by nested PCR assays using two universal primer pairs. Phytopathol Mediterrania. 35:144–151.

Harrison NA, Myrie W, Jones P, Carpio ML, Castilo M, Doyle MM, Oropeza C. 2002. 16S rRNA interoperon sequence heterogeneity distinguishes strain populations of palm lethal yellowing phytoplasma in the Carribean region. Ann Appl Biol. 141:183–193. DOI: 1https://doi.org/10.1111/j.1744-7348.2002.tb00211.x.

Hodgets J, Dickinson M. 2010. Phytoplasma phylogeny and detection based on genes other than 16S rRNA. Di dalam: Weintraub PG, Jones P, editor. Phytoplasmas: Genomes, Plant Hosts and Vectors. Wallingford (UK): CAB International. hlm 108–128.

Leon R, Santamaria JM, Alpizar L, Escamilla JA, Oropeza C. 1996. Physiological and biochemical changes in shoots of coconut palms affected by lethal yellowing. New Phytologist. 134:227–234. DOI: https://doi .org/10.1111/j .1469-8137.1996.tb04627.x.

Musetti R, Favali MA. 2004. Microscopy techniques applied to study of phytoplasma diseases: traditional and innovative methods. Di dalam: Mendez-Vilas A, Labajos-Broncano L, editor. Current Issues on Multidiciplinary Microscopy Research and Education. hlm 72–80.

Musetti R. 2010. Biochemical changes in plant infected by phytoplasma. Di dalam: Weintraub PG, Jones P, editor. Phytoplasmas: Genomes, Plant Hosts and Vectors. Wallingford (UK): CAB International. hlm 132–146.

Myrie WA, Paulraj L, Dollet M, Wray D, Been BO. 2006. First report of lethal yellowing disease of coconut palms caused by phytoplasma on Nevis Island. Plant Dis. 90(6):834. DOI: https://doi.org/10.1094/PD-90-0834A.

Nejat N, Sijam K, Abdullah SNA, Vadamalai G, Dickinson M. 2009. Molecular characterization of a phytoplasma associated with coconut yellow decline (CYD) in Malaysia. Am J Appl Sci. 6(7):1331–1340. DOI: https://doi.org/10.3844/ajassp.2009.1331.1340.

Oropeza C, Cordova I, Narvaez M, Harrison N. 2002. Palm Trunk Sampling for DNA Extraction and Phytoplasma Detection. Florida (US): University of Florida.

Schaad NW. 2001. Initial identification of common genera. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W, editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Edisi ke-3. St. Paul (US): APS Pr. hlm 1–6.

Tymon AM, Jones P, Harrison NA. 1998. Phylogenetic relationships of coconut phytoplasmas and the development of specific oligonucleotide PCR primers. Ann Appl Biol. 132:437–452. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1744-7348.1998.tb05220.x.

Page 25: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Prasetyo et al.

97

Warokka JS, Jones P, Dickson MJ. 2006. Detection of phytoplasma associated with kalimantan wilt disease of coconut by the polymerase chain reaction. J Littri. 12(4):154–160.

Weintraub PG, Wilson MR. 2010. Control of phytoplasma disease and vectors. Di dalam: Weintraub PG, Jones P, editor. Phytoplasmas: Genomes, Plant Hosts and Vectors. Wallingford (UK): CAB International. hlm 233–266.

Zhang YP, Uyemoto JK, Kirkpatrick BC. 1998. A small-scale procedure for extracting nucleic acids from woody plants infected with various phytopathogens for PCR assay. J Virol Methods. 71:45–50. DOI: https://doi.org/10.1016/S0166-0934(97)00190-0.

Page 26: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

98

ISSN: 0215-7950

Volume 13, Nomor 3, Mei 2017Halaman 98–104

DOI: 10.14692/jfi.13.3.98

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680. Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Deteksi dan Identifikasi Spesies Meloidogyne Penyebab Umbi Berbintil pada Kentang Asal Sulawesi Utara

Detection and Identification of Meloidogyne Species, Pimple-like Knot Pathogen of Potato Tuber From North Sulawesi

Budi Sri Utami, Supramana*, GiyantoInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) adalah salah satu penyebab menurunnya produksi kentang di Sulawesi Utara. Hingga saat ini spesies Meloidogyne pada kentang di Sulawesi Utara belum diidentifikasi. Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi spesies Meloidogyne pada kentang dan mengetahui hubungan kekerabatannya dengan spesies dari negara lain. Sampel umbi kentang bergejala bintil dikumpulkan dari 3 sentra produksi kentang di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu Kakenturan (Minahasa Selatan), Purworejo, dan Singsingon (Bolaang Mongondow Timur). Identifikasi morfologi dilakukan berdasarkan pola perineal nematoda betina. Identifikasi molekuler dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik untuk mengamplifikasi daerah ITS-rDNA, dilanjutkan dengan sikuensing fragmen DNA dan analisis filogenetika. Dua spesies Meloidogyne berhasil diidentifikasi, yaitu M. javanica (sampel asal Kakenturan, Purworejo, Singsingon), dan M. incognita (sampel asal Purworejo). M. javanica dan M. incognita sampel asal Sulawesi Utara memiliki tingkat homologi berturut-turut hingga 97.5% dan 100 % dengan spesies yang sama asal Cina.

Kata kunci: homologi, identifikasi molekuler, ITS-rDNA, morfologi

ABSTRACT

Root-knot nematode (Meloidogyne spp.). is one of the main constraint of potato production in North Sulawesi. Little is known about Meloidogyne species infecting potatoes in North Sulawesi. Therefore, research was conducted to identify Meloidogyne spp. on potatoes in North Sulawesi and further study their relationship with related species from other countries. Infected potato tubers with pimple-like knot symptom were collected from three potato production centers, i.e. Kakenturan (South Minahasa), Purworejo, and Singsingon (East Bolaang Mongondow). Morphological identification was conducted based on the perineal pattern of the female; whereas molecular identification was conducted by PCR using specific primer for ITS-rDNA, followed by DNA sequencing and phylogenetic analysis. Two Meloidogyne species were identified i.e. M. javanica (samples form Kakenturan, Purworejo and Singsingon) and M. incognita (samples from Purworejo). M. javanica and M. incognita from North Sulawesi are similar to the related species from China with homology level of 97.5 % and 100 %, respectively.

Key words: homology, ITS-rDNA, morphology, molecular identification

Page 27: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Utami et al

99

PENDAHULUAN

Nematoda puru akar (NPA) atau Meloidogyne spp. merupakan nematoda yang banyak menyerang tanaman kentang. Gejala khas infeksi NPA pada kentang ialah adanya bintil atau puru di permukaan umbi, tanaman menjadi kerdil, layu, dan klorosis (Bacic et al. 2016).

M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. fallax dan M. chitwoodi merupakan nematoda yang merugikan secara ekonomi pada pertanaman kentang (Adam et al. 2007). Tiga spesies Meloidogyne ditemukan menginfeksi pertanaman kentang di Pulau Jawa, yaitu M. javanica, M. incognita dan M. arenaria (Aprilyani et al. 2015). NPA secara morfologi sangat mirip satu dengan lain dan beberapa spesies nematoda puru akar sering ditemukan bersamaan menginfeksi tanaman.

Penyakit umbi berbintil pada kentang merupakan salah satu kendala produksi kentang di Sulawesi Utara. Belum ada informasi mengenai spesies Meloidogyne yang menginfeksi kentang di Sulawesi Utara dan kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi nematoda. Deteksi dan identifikasi spesies NPA perlu dilakukan secara morfologi yang didukung oleh teknik molekuler. Metode identifikasi NPA secara molekuler dengan amplifikasi bagian DNA ribosom pada daerah internal transcribed spacer selain lebih cepat juga lebih akurat (Zijlstra et al. 2000).

Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi spesies Meloidogyne penyebab umbi berbintil kentang di Sulawesi Utara berdasarkan karakter morfologi dan molekuler, serta menentukan kekerabatan spesies Meloidogyne berdasarkan analisis filogenetika.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel UmbiPengambilan sampel dilakukan di 3

lokasi, yaitu Desa Kakenturan, Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan Kabupaten Minahasa Selatan yang terletak pada ketinggian 1181 m dpl (S: 0o47’21.79’

E: 124o28’52.67’); Desa Purworejo, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur yang terletak pada ketinggian 1144 m dpl(S: 0o43’31.07’ E: 124o26’31.45’); Desa Sinsingon, Kecamatan Pasi Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow yang terletak pada ketinggian 1205 m dpl (S: 0o48’00.27’ E: 124o23’13.99’). Pada setiap wilayah contoh diambil 5 lokasi pertanaman kentang yang berbeda. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu memilih sampel berdasarkan pada gejala penyakit tanaman yang spesifik. Tanaman kentang sakit bagian tajuknya menguning, kerdil dan layu pada saat siang hari, serta umbinya bergejala puru/bintil.

Identifikasi Spesies Meloidogyne Nematoda betina dipisahkan dari jaringan

umbi menggunakan jarum preparat dan diletakkan di dalam cawan sirakus yang telah diberi air. Pembuatan preparat pola perineal nematoda betina dilakukan pada 100 nematoda per wilayah pengamatan. Meloidogyne diidentifikasi dengan kunci identifikasi Eisenback dan Triantaphyllou (1991).

Identifikasi spesies Meloidogyne dengan teknik PCR dilakukan dengan mengamplifikasi daerah 18S-28S ITS rDNA nematoda betina, kemudian dilakukan sikuensing. Selanjutnya sikuen yang diperoleh dibandingkan dengan sikuen standar yang terdaftar di GenBank. Ekstraksi DNA nematoda betina menggunakan metode Tesarova et al. (2003) yang telah dimodifikasi dengan menambahkan NaOAc untuk presipitasi DNA. Amplifikasi DNA dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik untuk M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan primer multipleks untuk M. hapla, M. fallax, dan M. chitwoodi (Tabel 1). Setiap reaksi diperlukan 12.5 μL 2x Go Taq® Green Master mix (Promega), 1 μL primer forward 10 μM, 1 μL primer reverse 10 μM, 2 μL templat DNA, dan 8.5 μL air bebas nuklease sehingga volume menjadi 25 μL.

Perunutan Nukleotida dan Analisis Filogenetika

Perunutan susunan nukleotida dilakukan di First Base, Singapura. Hasil

Page 28: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Utami et al

100

sikuen dianalisis menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST) dengan program optimasi untuk mendapatkan sikuen DNA yang terdapat dalam situs National Center For Biotechnology Information (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blast.cgi). Runutan nukleotida kemudian disejajarkan dengan perangkat lunak Clustal W (Larkin et al. 2007) pada program bioedit sequence alignment editor v 7.0.5.3 (Hall 1999). Pohon filogenetika dibentuk dengan piranti lunak molecular evolutionary genetic analysis software (MEGA) 6 (Tamura et al. 2013) dengan boostrap 1000 kali ulangan.

HASIL

Gejala Infeksi NPA Tanaman kentang yang diduga terinfeksi

NPA menunjukkan gejala pada bagian tajuk tanaman layu, pertumbuhan tanaman yang terhambat dan kerdil, daun klorosis (Gambar 1). Gejala khas Meloidogyne spp. terlihat pada umbi kentang berupa bintil atau puru pada permukaan, berbintil dan bergelombang, dan permukaan tidak rata bahkan sering disertai dengan adanya infeksi patogen lain sehingga umbi mengalami kerusakan lebih parah (Gambar 2). Bagian umbi yang terinfeksi NPA bila kulit luarnya dikupas akan terlihat adanya titik-titik berwarna putih kekuningan yang merupakan nematoda betina bila dilihat di bawah mikroskop (Gambar 3).

Spesies Meloidogyne Berdasarkan pengamatan pola perineal

Meloidogyne spp. betina ditemukan 2 spesies,yaitu M. javanica dan M. incognita. M. javanica ditemukan dari semua lokasi pengambilan sampel dengan ciri adanya garis lateral yang memisahkan bagian striae dorsal dan ventral (Gambar 4a). M. incognita hanya ditemukan pada sampel asal Purworejo dengan ciri lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian striae terlihat jelas (Gambar 4b).

Perunutan asam nukleat hasil amplifikasi daerah ITS rDNA digunakan untuk mengetahui tingkat kekerabatan suatu spesies yang sudah tersimpan pada database GenBank. Fragmen DNA dengan ukuran 720 pb berhasil diamplifikasi dengan primer spesifik M. javanica pada sampel asal Purworejo, Sinsingon, dan Kakenturan (Gambar 5a); sedangkan primer spesifik M. incognita berhasil mengamplifikasi fragmen DNA berukuran 999 pb pada sampel asal Purworejo (Gambar 5b).

Runutan nukleotida M. javanica dari Purworejo, Kakenturan dan Sinsingon telah disejajarkan dengan M. javanica dari negara lain yang tersedia di GenBank. M. javanica asal Purworejo memiliki homologi paling tinggi dengan spesies M. javanica dari Cina dan India dengan nilai 97.5%, M. javanica asal Kakenturan homologi paling tinggi

Spesies KodePrimer

Runutan 5’- 3’ Target DNA(pb)

SumberRujukan

M. incognita MI-F GTGAGGATTCAGTCTCCCAG ± 999 Meng et al. (2004)MI-R ACGAGGAACATACTTCTCCGTCC

M. arenaria Far TCGGCGATAGAGGTAAATGAC ± 420 Zijlstra et al. (2000)Rar TCGGCGATAGACACTACAACT

M. javanica Fjav GGTGCGCGATTGAACTGAGC ± 420 Zijlstra et al. (2000)Rjav CAGGCCCTTCAGTGGAACTATAC

M. haplaM. chitwoodi

JMV1 GGATGGCGTGCTTTCAAC ± 440 Wishart et al. (2002)JMVhapla AAAAATCCCCTCGAAAAATCCACC ± 540

M. fallax JMV2 TTTCCCCTTATGATGTTTACCC ± 670

Tabel 1 Pasangan primer yang digunakan untuk identifikasi spesies Meloidogyne dengan teknik polymerase chain reaction

Page 29: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Utami et al

101

Gambar 1 Gejala tanaman kentang terinfeksi Meloidogyne spp. a, Tanaman layu; b, Tanaman kerdil dan; c, Klorosis pada daun.

a b c

Gambar 2 Variasi gejala serangan Meloidogyne spp. pada umbi kentang. a, Malformasi bentuk; b, Bintil kecil dan tidak rata dan; c, Tonjolan dan umbi bergelombang.

a b c

Gambar 3 Gejala dan tanda infeksi Meloidogyne spp. a, Nekrosis pada jaringan umbi (→) ; b, Meloidogyne sp (1, betina dewasa; dan 2, massa telur).

a b

1

2

Gambar 4 Pola perineal Meloidogyne javanica dan M. incognita asal Purworejo (Perbesaran 400x) (a dan b) dan acuannya (c dan d), yaitu Eisenback et al. (1981). (→) menunjukkan ciri garis lateral yang memisahkan bagian striae dorsal dan ventral (a dan c); ciri lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit (b dan d). a dan c, M. javanica; b dan d, M. incognita.

a b c d

Page 30: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Utami et al

102

dengan spesies M. javanica dari Cina dan India dengan nilai 91.8%, dan M. javanica asal Sinsingon nilai homologi yang paling tinggi dengan isolat M. javanica dari Cina yaitu sebesar 91.3 % (Tabel 2). Analisis filogenetika menunjukkan bahwa ketiga isolat M. javanica asal Purworejo, Kakenturan, dan Sinsingon memiliki kekerabatan dengan M. javanica asal Cina, Thailand, India dan Malaysia (Gambar 6).

Setelah dilakukan penyejajaran dengan isolat M. incognita dari negara lain, runutan nukleotida M. incognita asal Purworejo memiliki tingkat homologi 100% dengan M. incognita dari Cina. Berdasarkan analisis filogentika M. incognita asal Purworejo juga diketahui berkerabat dekat M. incognita dari Cina, India, Thailand dan Malaysia (Gambar 7).

PEMBAHASAN

Dua spesies Meloidogyne, yaitu M. javanica dan M. incognita, berhasil diidentifikasi secara morfologi. M. javanica

ditemukan pada seluruh lokasi pengambilan sampel, sedangkan M. incognita hanya ditemukan pada sampel asal Purworejo. Dropkin (1991) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara iklim dan karakter tanah terhadap distribusi Meloidogyne. Suhu optimum untuk perkembangan M. incognita ialah 15–25 °C. M. javanica dapat berkembang dan bereproduksi pada suhu optimum sekitar 20–30 °C. Keberadaan spesies Meloidogyne spp. di Sulawesi Utara berkaitan erat dengan kondisi iklim, suhu tahunan daerah pengambilan sampel yang berkisar 16–30 °C.

Identifikasi molekuler menggunakan primer SCAR Fjav dan Rjav berhasil mengamplifikasi M. javanica asal Purworejo, Kakenturan dan Sinsingon dengan ukuran pita DNA sekitar 720 pb. Zijlstra et al. (2000) menggunakan wilayah ITS rDNA sebagai target PCR untuk mengidentifikasi M. arenaria, M. javanica dan M. incognita dengan primer SCAR dengan sampel DNA dari massa telur, juvenil, dan nematoda betina. Primer spesifik MI-F dan MI-R untuk M. incognita

Gambar 5 Hasil amplifikasi DNA spesies Meloidogyne menggunakan primer spesifik. a, Meloidogyne javanica; dan b, Meloidogyne incognita. M, penanda DNA 1 kb (Biolabs); 1, sampel Purworejo; 2, sampel Kakenturan; 3, sampel Sinsingon.

M 1 2 3

720 pb

a b

999 pb

M 1 2 3

Tabel 2 Homologi (%) runutan nukleotida M. javanica asal Sulawesi Utara dengan M. javanica dari beberapa negara lain yang ada di GenBank

Meloidogyne javanica (GenBank)

Meloidogyne javanicaasal Sulawesi Utara

Asal No. Aksesi Purworejo Kakenturan SinsingonIndia KP411877.1 97.5 91.8 92.9India2 KP411878.1 97.5 - 92.7Cina JN005834.1 97.5 91.8 93.1Thailand KF913681.1 97.1 91.4 92.7Malaysia KF041327.1 95.6 91.1 -

Page 31: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Utami et al

103

Gambar 6 Pohon filogentika Meloidogyne javanica asal Purworejo, Kakenturan, dan Singsingon dengan M. javanica negara lain yang terdapat pada GenBank berdasarkan runutan nukleotida menggunakan program MEGA v 6.06 dengan pendekatan UPGMA. Skala di bawah gambar adalah skala nilai koefisien jarak genetik yang menggambarkan jumlah rata-rata perubahan nukleotida di antara isolat.

JN005834.1_M. javanica CinaKP411877.1_M. javanica IndiaKF913681.1_M. javanica ThailandKF041327.1_M. javanica MalaysiaM. javanica PurworejoM. javanica KekenturanM. javanica SinsingonM. incognita_KF481971.1 Cina

Gambar 7 Pohon filogentika Meloidogyne incognita asal Purworejo dengan M. incognita dari negara lain yang terdapat pada GenBank berdasarkan runutan nukleotida menggunakan program MEGA v 6.06 dengan pendekatan UPGMA. Skala di bawah gambar adalah skala nilai koefisien jarak genetik.

M. incognita_Purworejo

KP411873.1_M. incognita IndiaJN005841.1_M. incognita Cina

KF041337.1_M. incognita Malaysia

JX024148.1 _M. hapla Cina

KF913680.1_M. incognita Thailand

yang dirancang oleh Meng et al. (2004) hanya dapat mengamplifikasi M. incognita yang berasal dari Purworejo dengan ukuran pita DNA sekitar 999 pb.

Identifikasi molekuler memperkuat hasil identifikasi secara morfologi keberadaan spesies utama NPA, yaitu M. javanica dan M. incognita penyebab umbi berbintil kentang di Sulawesi Utara. Dua spesies Meloidogyne tersebut juga telah dilaporkan menginfeksi pertanaman kentang di Pulau Jawa (Aprilyani et al. 2015), sedangkan pada tanaman wortel di Pulau Jawa dan Gowa, Sulawesi Selatan telah berhasil diidentifikasi M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla (Taher et al. 2012; Hikmia et al. 2012; Halimah et al. 2013; Mirsam et al. 2015). Berdasarkan hasil wawancara di lokasi pengambilan sampel, bibit kentang yang ditanam di Sulawesi Utara berasal dari Pengalengan, Jawa Barat. Diduga bibit kentang yang berasal dari Jawa Barat tersebut merupakan medium pembawa M. javanica dan M. incognita ke Sulawesi Utara. M. javanica dan M. incognita yang

menginfeksi kentang merupakan laporan pertama di Sulawesi Utara.

Analisis filogentika M. javanica dan M. incognita asal Sulawesi Utara berkerabat dekat dengan spesies yang sama asal Cina, Thailand, India, dan Malaysia. Kedekatan kekerabatan antara M. javanica dan M. incognita asal Sulawesi Utara dengan M. javanica dan M. incognita asal Cina menunjukkan kemungkinan adanya faktor pemasukan umbi (kentang dan wortel) dari negara tersebut sebagai penyebab tersebarnya nematoda puru akar ini. Pusdatin (2013) mencatat bahwa Cina termasuk salah satu negara pengekspor benih kentang ke Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberi beasiswa (kepada penulis pertama). Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ifa Manzila dan Fitrianingrum Kurniawati atas bantuan dan bimbingannya.

Page 32: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Utami et al

104

DAFTAR PUSTAKA

Adam MAM, Phillips MS, Blok VC. 2007. Molecular diagnostic key for identification of single juveniles of seven common and economically import species of rootknot nematode (Meloidogyne spp.). Plant Pathol. 56:190–197. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.2006.01455.x.

Bacic J, Stare BG, Strajnar P, Sirca S, Urek G. 2016. First report of a highly damaged potato crop from serbia caused by Meloidogyne incognita. APS Journal 100(5): 1021. DOI: htpp://dx.doi.org/10.1094/PDIS-09-15-1072-PDN.

Aprilyani, Supramana, Suastika G. 2015. Meloidogyne incognita penyebab umbi berbintil pada kentang di beberapa sentra produksi kentang di Jawa. J Fitopatol Indones 11(5): 143–149. DOI: https://doi.org/10.14692/jfi.11.5.143.

Dropkin VH. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Ed ke-2. Supratoyo, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant Nematology.

Eisenback JD, Hirschman H, Sasser JN, Triantaphyllou AC. 1981. A Guide to The Four Most Common Spesies of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne spp.), With a Pictural Key. Washington DC (US): Cooperative Publication Department of Plant Pathology an US Agency International Development.

Hall TA. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor a analysis program for Windows 95/98/ NT. Nucleic Acids Symposium Series. 41:95–98.

Halimah, Supramana, Suastika G. 2013. Identifikasi spesies Meloidogyne pada wortel berdasarkan sikuen nukleotida. J Fitopatol Indones. 9(1):1–6. DOI: https://doi.org/10.14692/jfi.9.1.1.

Hikmia Z, Supramana, Suastika G. 2012. Identifikasi spesies Meloidogyne spp. penyebab umbi bercabang pada tanaman wortel di Jawa Timur. J Fitopatol Indones. 8(3):73–78.

Larkin MA, Blackshields, Brown NP, Chenna R, McGettigan PA, Mc William H,

Valentin F, Wallace IM, Wilm A, Lopez R, Thompson JD, Gibson TJ, Higgins DG. 2007. Clustal W and Clustal X version 2.0. Bioinformatic. 23(21):2947–2948. DOI: https://doi.org/10.1093/bioinformatics/btm404.

Meng QP, Long H, Xu JH. 2004. PCR assay for rapid and sensitive identification of three major root-knot nematodes, Meloidogyne incognita, M. javanica, and M. arenaria. Acta Phytopathol Sinica. 34(3):204–210.

Mirsam H, Supramana, Suastika G. 2015. Deteksi dan identifikasi spesies Meloidogyne pada tanaman wortel dari Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. J Fitopatol Indones 11(1): 1-8. DOI: https://doi.org/10.14692/jfi.11.1.1.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Kentang. Buletin Konsumsi Pangan 4(1):15–24.

Taher M, Supramana, Gede S. 2012. Identifikasi Meloidogyne penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel di Dataran Tinggi Dieng. J Fitopatol Indones. 8(1):16–21. DOI: https://doi.org/10.14692/jfi.8.1.16.

Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, Kumar S. 2013. MEGA6 : Molecular evolutionary genetics analysis version 6.0. Mol Biol Evol. 30(12):2725–2729. DOI: https://doi.org/10.1093/molbev/mst197.

Tesarova B, Zouhar M, Rysanek P. 2003. Development of PCR for specific determination of root-knot nematode Meloidogyne incognita. Plant Protect. 39(1):23–28.

Wishart J, Philips MS, Bblok VC. 2002. Ribosomal intergenic spacer: a polymerase chain reaction diagnostic for Meloidogyne chitwoodi, M. fallax, and M. hapla. Phytopatology 92 (8): 884–892. DOI: https://doi.org/10.1094/PHYTO.2002.92.8.884.

Zijlstra C, Dorine TH, Donkers-Venne M, Fargette M. 2000. Identification of Meloidogyne incognita, M. javanica, and M. arenaria using sequence characterised amplified region (SCAR) based PCR assay. Nematology. 2(8):847–853. DOI: https://doi.org/10.1163/156854100750112798.

Page 33: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

105

ISSN: 0215-7950

Volume 13, Nomor 3, Mei 2017Halaman 105–111

DOI: 10.14692/jfi.13.3.105

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia.Tel: +62251-8622833, Faks: +62251-8622833, Surel: [email protected]

KOMUNIKASI SINGKAT

Penapisan dan Identifikasi Bakteri Kitinolitik Penghambat Pertumbuhan Ganoderma boninense in Vitro

Screening and Identification of Chitinolitic Bacteria Inhibiting Ganoderma boninense in Vitro

Risky Hadi Wibowo, Nisa Rachmania Mubarik*, Iman Rusmana, Maggy ThenawidjayaInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Bakteri kitinolitik memiliki kemampuan menghasilkan enzim kitinase dan banyak dilaporkan sebagai agens biokontrol. Penelitian ini bertujuan memperoleh bakteri kitinolitik yang bersifat antagonis terhadap pertumbuhan Ganoderma boninense penyebab busuk pangkal batang pada kelapa sawit. Sebanyak 63 galur bakteri penghasil enzim kitinase berhasil diisolasi dari tanah di Taman Nasional Bukit Dua Belas dan dari perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi. Seluruh galur diseleksi untuk melihat potensinya menghambat pertumbuhan G. boninense secara in vitro. Tiga galur TB04-05, SW01-11, dan SW02-08 paling potensial menekan dan menghambat pertumbuhan miselium G. boninense secara in vitro. Berdasarkan uji aktivitas spesifik, ketiganya memiliki aktivitas masing-masing sebesar 6.3072 U mg-1 protein, 6.0385 U mg-1 protein, dan 6.1279 U mg-1 protein setelah diinkubasi 24 jam. Identifikasi 16S RNA menunjukkan galur TB04-05 berkerabat dekat dengan Bacillus cereus, sedangkan SW01-11 dan SW02-08 berkerabat dekat dengan Bacillus thuringiensis.

Kata kunci: busuk pangkal batang, Elaeis guineensis, kelapa sawit, kitinase, 16S RNA

ABSTRACT

Chitinolytic bacteria have been reported as biocontrol agents and have the ability to produce chitinase enzymes. The objective of the research was to obtain chitinase producing bacteria that had antagonistic activity to Ganoderma boninense, a causal agent of basal stem rot on oil palm. A total of 63 isolates of chitinase producing bacteria were isolated from soil of Bukit Dua Belas National Park and oil palm plantation in Jambi Province; all was screened for their potency in inhibiting G. boninense in vitro. Three isolates designated TB04-05, SW01-11, and SW02-08 were potentially suppressed and inhibited the mycelium growth of G. boninense in vitro. Based on their specific chitinase activity, these three isolates produced the highest level of chitinase enzyme of 6.3072 U mg-1 protein, 6.0385 U mg-1 protein and 6.1279 U mg-1 protein, respectively after 24 hr incubation. Based on 16S RNA identification, strain TB04-05 had similarity with Bacillus cereus, whereas strains SW01 and SW02-08 had similarity with Bacillus thuringiensis.

Key words: basal stem rot, chitinase, Elaeis guineensis, oil palm, 16S RNA

Page 34: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Wibowo et al

106

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman andalan Indonesia penghasil devisa nonmigas. Salah satu kendala dalam budi dayakelapa sawit ialah penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense, terutama pada perkebunan yang sudah tua. Penyakit ini dilaporkan menyebabkan kerugian sekitar 50–80% per ha (Cooper et al. 2011). Banyak upaya untuk pengendalian penyakit BPB dengan fungisida kimia, tetapi keamanan lingkungan menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan. Alternatif yang dapat dilakukan ialah menggunakan agens pengendali hayati. Beberapa mikrob mampu menekan pertumbuhan G. boninense dan cendawan patogen lainnya. Bacillus cepacia, Enterobacter spp., dan Pseudomonas aeruginosa mampu menghambat pertumbuhan G. boninense (Bivi et al. 2010; Suryanto et al. 2012).

Pengendalian hayati menggunakan berbagai mikroorganisme seperti bakteri kitinolitik sudah banyak digunakan (Duffy 1995). Bakteri kitinolitik mampu menghasilkan enzim kitinase dan banyak dilaporkan sebagai agens biokontrol. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang berperan penting dalam menghidrolisis kitin. Kitinase diproduksi secara alami pada berbagai organisme seperti bakteri, artopoda, vertebrata, dan tanaman. Fungsi fisiologis dari kitinase bergantung pada sumbernya. Pada tanaman, umumnya kitinase diinduksi oleh adanya faktor cekaman seperti infeksi patogen yang mengandung kitin. Pada organisme yang mengandung kitin pada dinding selnya atau struktur yang lainnya seperti fungi, kitinase diketahui berperan dalam germinasi spora, pertumbuhan hifa dan percabangannya serta perkembangan miselium (Lopes et al. 2008). Substrat utama dari kitinase ialah kitin yang merupakan senyawa biopolimer berantai panjang dan tidak bercabang (Sanjaya dan Yuanita 2007). Tiap rantai polimer umumnya terdiri atas 2000–5000 unit monomer N-asetil-D-glukosamin yang terpaut melalui ikatan β (1-4) glukosa, yang merupakan polimer kedua melimpah di alam setelah selulosa (Patil et al. 2000).

Penelitian sebelumnya telah melaporkan penapisan bakteri kitinolitik dari tanah

perakaran kelapa sawit di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen penyebab hawar kelapa sawit, baik menggunakan sel, enzim kasar dan kitinase hasil pengendapan (Haryanto 2013; Asril et al. 2014). Namun demikian masih belum banyak laporan penghambatan kitinase terhadap G. boninense. Tujuan penelitian ini untuk menapis dan mengidentifikasi bakteri penghasil kitinase asal tanah TNBD dan perkebunan kelapa sawit dalam menghambat pertumbuhan G. boninense secara in vitro.

Pengambilan sampel tanah dilakukan di tanah sekitar TNBD dan perkebunan sawit PT Humusindo Tbk, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sebanyak 250 g tanah diambil pada masing-masing plot area dengan memakai paralon pada kedalaman 0–10cm.

Sebanyak 3 g tanah dari tiap lokasi dicampur di dalam 30 mL medium kitin cair (0.3% koloidal kitin, 0.1% MgSO4·7H2O, 0.02% K2HPO4, 0.1% ekstrak khamir) dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 24 jam. Semua suspensi diencerkan berseri dari 10-

6–10-8 di dalam NaCl 0.85%. Suspensi disebar pada medium agar-agar kitin (komposisi sama dengan kitin cair ditambah 2% agar-agar) dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam. Setiap koloni dari bakteri yang berbeda dimurnikan pada medium kitin sebagai biakan tunggal dan dipilih berdasarkan adanya zona bening di sekitar medium kitin. Zona bening terbentuk karena terjadinya pemutusan ikatan β−1,4 homopolimer N-asetilglukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetilglukosamin dan glukosa yang selanjutkan akan digunakan kembali oleh sel bakteri sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya (Thompson 2001).

Galur bakteri kemudian diinkubasi pada inkubator goyang pada suhu 37 °C dengan kecepatan 120 rpm selama 72 jam, disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 3400 × g pada suhu 4 °C (Sentrifuge Hermle dengan rotor 220.97). Supernatan yang diperoleh merupakan enzim ekstrak kasar yang selanjutnya diukur aktivitas kitinase dan kadar proteinnya. Galur yang memiliki

Page 35: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Wibowo et al

107

aktivitas spesifik kitinase terbaik ditetapkan sebagai galur terpilih.

Aktivitas antagonis terhadap G. boninense diuji menggunakan biakan sel 24 jam dan ekstrak kasar kitinase dari galur bakteri dengan metode agar well diffusion. Galur G. boninense yang diuji merupakan koleksi dari PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Marihat, Pematang Siantar. Sebanyak 100 μL biakan sel atau ekstrak kasar kitinase dimasukkan ke dalam sumur yang dibuat 3 cm dari pinggir cawan petri dan 3 cm dari miselium G. boninense umur 3 hari pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK). Akuades steril digunakan sebagai kontrol. Hambatan pemanjangan miselium G. boninense yang mengarah ke cakram yang berisi biakan sel atau enzim dan akuades (kontrol) diamati secara visual setiap hari selama 7 hari pada suhu 25 °C. Persentase penghambatan G. boninense diukur dengan menggunakan persamaan:

×100%, dengan r1-r2

r1% Penghambatan =

r1, panjang pertumbuhan miselium ke arah tepi petri (3 cm); r2, panjang miselium ke arah sumur (Fokkema 1983).

DNA genom bakteri terpilih yang menghasilkan zona hambat paling besar terhadap G. boninense diekstraksi dengan menggunakan PrestoTM Mini gDNA Bacteria Kit (Genaid). Amplifikasi gen dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik 63F (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan 1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al. 1998). Produk PCR dimurnikan dan diurutkan DNAnya. Hasil pengurutan DNA dianalisis menggunakan program Bioedit kemudian disejajarkan dengan data base Gen 16S rRNA menggunakan program BLAST-N. Analisis filogenetika dilakukan menggunakan program MEGA 6.

Sebanyak 63 galur bakteri kitinolitik berhasil diisolasi (Tabel 1). Dari 63 galur kitinolitik hanya 10 galur yang berpotensi menghambat pertumbuhan hifa G. boninense setelah diuji antagonis (Tabel 2). Kitinase umumnya diproduksi oleh bakteri pada fase stasioner pada 24–72 jam inkubasi (Mubarik et al. 2010; Asril et al. 2014). Indeks zona bening yang dihasilkan dari 10 galur kitinolitik sekitar 0.2–4.0 sedangkan

Lokasi sampel Jumlah titik/plot sampel

Kode sampel

Total bakteri (cfu g-1)

Total galur bakteri kitinolitik

Taman Nasional Bukit 12 3 TB04 55 × 105 18Taman Nasional Bukit 12 3 TB03 38 × 104 14Perkebunan sawit PT Humusindo 3 SW01 10 × 104 12Perkebunan sawit PT Humusindo 3 SW02 40 × 105 19Total galur 63

Tabel 1 Galur bakteri kitinolitik asal Taman Nasional Bukit Dua Belas dan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi

Bakteri kitinolitik

Indeks kitinolitik Aktivitas spesifik(U mg-1)

Aktivitas antagonis terhadap G. boninense

TB04-05 4.00 6.3072 PositifTB04-06 3.33 5.5151 PositifTB04-08 0.15 4.2732 PositifTB04-13 2.85 5.6744 PositifTB04-15 1.20 5.2599 PositifTB04-17 0.63 4.5350 PositifTB04-18 1.13 5.4407 PositifSW02-08 0.50. 6.0385 PositifSW02-19 0.20 5.4670 PositifSW01-11 0.67 6.1279 Positif

Tabel 2 Hasil penapisan bakteri kitinolitik terhadap Ganoderma boninense

Page 36: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Wibowo et al

108

aktivitas spesifik kitinase dari 10 galur kitinolitik berkisar 4.27–6.30 U mg-1 protein (Tabel 2). Aktivitas spesifik kitinase diperoleh dari nisbah antara aktivitas enzim dan kadar protein dari ekstrak kasar. Galur TB04-05, SW01-11, dan SW02-08 memiliki aktivitas enzim spesifik yang tinggi dibandingkan dengan galur lainnya. Uji antagonis galur SW01-11 terhadap G. boninense secara in vitro memperlihatkan aktivitas penghambatan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 1). Enzim ekstrak kasar dari 3 galur terpilih memiliki persentase penghambatan lebih tinggi terhadap pertumbuhan miselium G. boninense dibandingkan dengan uji langsung terhadap galurnya (Gambar 2).

Besarnya persentase penghambatan galur bakteri dan enzim ekstrak kasarnya sejalan dengan besarnya zona hambat antara bakteri

dan G. boninense. Zona hambat di sekitar koloni bakteri diduga karena hidrolisis kitin yang dikeluarkan oleh bakteri pada dinding sel G. boninense. Hal ini menyebabkan miselium G. boninense tidak dapat tumbuh mendekati koloni bakteri dan terlihat mengalami kerusakan. Kitinase dan enzim hidrolitik lainnya seperti β-glukanase merupakan enzim kunci dalam melisiskan dinding sel cendawan yang bekerja secara sinergis (Bormann et al. 1999). Bakteri kitinolitik mempunyai aktivitas antagonisme yang kuat terhadap cendawan patogen dengan mekanisme hiperparasitisme dan antibiotiknya. Beberapa enzim kitinolitiknya toksik pada cendawan patogen penyebab penyakit tanaman budi daya, tetapi tidak pada mikroorganisme lain dalam tanah dan tumbuhan inang (Kloepper 1989). Mekanisme antagonisme pada ketiga

Gambar 1 Uji antagonis isolat SW01-11 dan ekstrak kasarnya terhadap Ganoderma boninense setelah inkubasi 5 hari. a, isolat SW01-11; b, Kitinase ekstrak kasar SW01-11; c, Kontrol akuades.

a b c

Gambar 2 Penghambatan biakan sel bakteri 24 jam dan ekstrak kasar dari ketiga galur terpilih TB04-05, SW01-11, dan SW02-08 terhadap Ganoderma boninense yang diukur pada hari kelima.

, Kultur sel 24 jam; , Ekstrak enzim kasar.

70

60

50

40

30

20

10

0

52.5

62.1

35.7

46.35

37.5

47.25

Galur bakteri terpilih

Peng

ham

bata

n (%

)

Page 37: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Wibowo et al

109

galur uji kemungkinan bertindak sebagai mikoparasit yang sangat aktif. Mikoparasitik terdiri atas empat tahapan, yaitu pertumbuhan kemotropis yang menuju stimulus kimia, pengenalan antara galur bakteri kitinolitik dan patogen tanaman inang yang bersifat spesifik, perlekatan dan pelilitan bakteri pada hifa patogen sasaran, dan proses yang terakhir ialah degradasi dinding sel patogen (Sutanto et al. 2004). Untuk keperluan ini bakteri mengeluarkan enzim kitinase dan glukanase karena komponen utama dinding sel cendawan ialah kitin dan glukan.

Amplifikasi gen 16S rRNA menggunakan primer 63F dan 1387r menghasilkan pita berukuran sekitar 1300 pb (Gambar 3). Analisis sikuen gen penyandi 16S rRNA dengan data pada GenBank dengan program BLAST-N menunjukkan bahwa galur TB04-05 memiliki kekerabatan dengan Bacillus cereus galur DB33 dengan kemiripan 99%, Galur SW01-11 memiliki kekerabatan dengan B. thuringiensis galur SK783 dengan kemiripan 100% dan galur SW02-08 memiliki kekerabatan dengan B. thuringiensis galur J1 dengan kemiripan

100% (Tabel 3). Analisis pohon filogenetika juga menunjukkan bahwa galur SW01-11 dan galur SW02-8 berkerabat dekat dengan B. thuringiensis dan galur TB04-05 berkerabat dekat dengan B. cereus (Gambar 4).

Bacillus cereus telah banyak dilaporkan sebagai agens biokontrol pada Alternaria solani dan Corynespora cassiicola, Rhizopus

Galur No. aksesi Deskripsi Quary cover E-Value IdentitasTB04-05 KX506717.1 Bacillus cereus galur_DB33 100% 0.0 99%SW01-11 KX595331.1 Bacillus thuringiensis galur SK783 100% 0.0 100%SW02-08 KX935870.1 Bacillus thuringiensis galur J1 100% 0.0 100%

Tabel 3 Analisis sikuen gen penyandi 16S rRNA 3 galur bakteri terpilih menggunakan program BLAST-N

Gambar 3 Amplifikasi DNA galur bakteri terpilih berdasarkan gen 16S RNA pada gel agarosa 1%. M, Penanda DNA 1kb; 1, TB04-05; 2, SW01-11; 3, SW02-08.

M 1 2 3

1300 pb1000 pb

500 pb

2000 pb

Gambar 4 Pohon filogenetika gen 16S rRNA dari galur TB04-05, SW01-11, dan SW02-08 menggunakan metode Neighbor Joining (NJ) dengan boostrap 2000x.

Page 38: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Wibowo et al

110

stolonifera, Colletotrichum acutatum (Romeiro et al. 2010; Wang et al. 2013; Wang et al. 2014). Bacillus thuringiensis juga dilaporkan sebagai agens biokontrol yang potensial pada Curvularia affinis dan C. gloeosporioides ( Asril et al. 2014).

Penelitian ini mengklasifikasikan tiga galur memiliki aktivitas spesifik kitinolitik tinggi dan galur yang dapat menghambat pertumbuhan G. boninense dan dapat dijadikan sebagai acuan sebagai agens biokontrol. Galur ini dapat diuji secara in planta pada kelapa sawit dan kelak dapat diaplikasikan pada perkebunan kelapa sawit.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Dirjen DIKTI melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) 2013, PhD Grant DIPA Biotrop 2016 nomor: 0044.26/PSRP/SC/SPK-PNLT/III/2016 kepada Risky Hadi Wibowo, dan hibah PUPT Dirjen DIKTI Indonesia 2016 nomor: 079/SP2H/LT/DRPM/II/2016 kepada Nisa Rachmania Mubarik.

DAFTAR PUSTAKA

Asril M, Mubarik NR, Wahyudi AR. 2014. Partial purification of bacterial chitinase as biological control of leaf blight on oil palm. Res J Microbiol. 9(6):265–277. DOI: https://doi.org/10.3923/jm.2014.265.277.

Bivi MR, Farhana MSN, Khairulmazmi A, Idris A, 2010. Control of Ganoderma boninense: a causal agent of basal stem rot disease in oil palm with endophyte bacteria in vitro. Int J Agric Biol. 12:833–839.

Bormann C, Baier D, Ho I, Raps C, Berger J, Jung G, Schwarz H. 1999. Characterization of a novel, antifungal, chitin-binding protein from Streptomyces tendae Tü901 that interferes with growth polarity. J Bacteriol. 181(24):7421–7429.

Cooper RM, Flood J, Rees RW. 2011. Ganoderma boninense in oil palm p lan ta t ions : cu r ren t th ink ing on epidemiology, resistance and pathology. Planter. 87(1024): 515–526.

Duffy BK, Andrew S, DM Weller. 1995. Combination of Trichoderma koningii with fluorescent Pseudomonads for control of take-all on wheat. Phytopathology. 86(2):160–168.

Fokkema NJ. 1973. The role of saprophytic fungi in antagonism against Drechslera sorokiniana (Helminthosporium sativum) on agar plates and on rye leaves with pollen. Phys Plant Pathol. 3(2):195–205. DOI: https://doi.org/10.1016/0048-4059(73)90082-9.

Haryanto A. 2013. Isolation of chitinolytic bacteria used as biological control of suspected pathogenic fungi on oil palm seedlings [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kloepper JW, Lifshitz R, Zablotowicz RM. 1989. Free-living bacterial inocula for enhancing crop productivity. Trends Biotechnol. 7:39–43. DOI: https://doi.org/10.1016/0167-7799(89)90057-7.

Lopes MA, Gomes DS, Koblitz MGB, Pirovani CP, Cascardo JCDM, Es-Net AG, Michelia F. 2008. Use of response surface methodology to examine chitinase regulation in the Basidiomycetes Moniliophthora Perniciosa. J Mycol Res. 112(4): 399–406. DOI: https://doi.org/10.1016/j.mycres.2007.10.017.

Marchesi JR, Sato T, Weigtman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade WG. 1998. Design and evaluation of usefull bacteria spesific PCR primers that amplify genes coding for bacteria 16S rRNA. Appl Environ Microbiol. 64(2):795–799.

Mubarik NR, Mahagiani I, Anindyaputri A, Santoso S, Rusmana I. 2010. Chitinolytic bacteria isolated from chili rhizosphere: chitinase characterization and its application as biocontrol for whitefly. Am J Agric Biol Sci. 5(4):430–435. DOI: https://doi.org/10.3844/ajabssp.2010.430.435.

Patil RS, Ghormade V, Deshpande MV. 2000. Chitinolytic enzymes: an exploration. Enz Microbiol Technol. 26:473–483. DOI: https://doi.org/10.1016/S0141-0229(00)00134-4.

Page 39: Kemampuan Tumbuhan Terna dalam Menekan Potensi …Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan rizomorf R. microporus dalam tanah nyata lebih rendah pada perlakuan garut, temu lawak,

J Fitopatol Indones Wibowo et al

111

Romeiro RS, Filho RL, Macagnan D, Garcia FAO, Silva HAS. 2010. Evidence that the biocontrol agent Bacillus cereus synthesizes protein that can elicit increased resistance of tomato leaves to Corynespora cassiicola. Tropic Plant Pathol. 35(1):11–15. DOI: https://doi.org/10.1590/s1982-56762010000100002.

Sanjaya I, Yuanita L. 2007. Adsorpsi Pb (II) oleh kitosan hasil isolasi kitin cangkang kepiting bakau (Scylla sp). J Ilmu Dasar. 8(1):30–36.

Suryanto D, Wibowo RH, Siregar EBM, Munir E. 2012. A possibility of chitinolytic bacteria utilization to control basal stem disease caused by Ganoderma boninense in oil palm seedling. Afr J Microbiol. 6(9):2053–2059. DOI: https://doi.org/10.5897/ajmr11.1343.

Sutanto E, Yenny Y, Asmono D, 2004. Hiperparas i t i sme beberapa agens biokontrol terhadap Ganoderma boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang

kelapa sawit. J Penel Kelapa Sawit. 10(2–3):63–68.

Thompson SE, Smith M, Wilkinson MC, Peek K. 2001. Identification and characterization of a chitinase antigen from Pseudomonas aeruginosa strain 385. Appl Environ Microbiol. 67(9):4001–4008. DOI: https://doi.org/10.1128/AEM.67.9.4001-4008.2001.

Wang X, Wang L, Wang J, Jin P, Liu H, et al. 2014. Bacillus cereus AR156-induced resistance to Colletotrichum acutatum is associated with priming of defense responses in loquat fruit. PloS ONE 9(11):e112494. DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0112494.

Wang XL, Xu F, Wang J, Jin P, Zheng YH. 2013. Bacillus cereus AR156 induces resistance against Rhizopus rot through priming of defense responses inpeach fruit. Food Chem. 136:400–406. DOI: https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2012.09.032.