kelirumologi kurikulum isi buku

206
KELIRUMOLOGI KURIKULUM Wendie Razif Soekno, S.Si., MDM KURIKULUM 2006 atau KURIKULUM 2013?

Upload: indra-mulia-marpaung

Post on 15-Apr-2016

175 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Kurikulum

TRANSCRIPT

Page 1: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

KELIRUMOLOGI KURIKULUM

Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM

KURIKULUM 2006 atau KURIKULUM 2013?

Page 2: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

KELIRUMOLOGI KURIKULUM

Penulis : Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDMEditor : YoenPerwajahan Isi : SimagesDesain Sampul : Simages

Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangDilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh

isi buku ini ke dalam bentuk apa pun, secara elektronismaupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit dan penulis.

All Rights Reserved

Diterbitkan oleh:Sibuku MediaAlamat : Ngringinan, Palbapang, Kec. Bantul, Kab. Bantul, Yogyakarta.Hp. : 085643895795E-mail : [email protected] : www.sibuku.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM, Kelirumologi Kurikulum; Editor: Yoen—Cetakan 1—Yogyakarta: Sibuku Media, 2015xii+ 194; 21 x 29 cm

ISBN: 978-602-6814-02-9

Cetakan 1, 2015

Page 3: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

1

Pendidikan kita masih mengajarkan ketaatan pada kekuasaan,

bukan pada nilai,

serta tidak mengembangkan kreativitas.

(Ignas Kleden)

Page 4: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

10

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR (Telaah Kesalahan “Mind Set”) 2

PENDAHULUAN (Telaah Legalistik) 10

BAB I FILOSOFI PENDIDIKAN (Telaah Filosofis) 39

BAB II PENDIDIKAN vs PERSEKOLAHAN (Kebijakan vs Tehnik

Implementasi) (Telaah Paedagogis)

67

BAB III DUALISME PRANATA (Telaah Sosiologis) 81

BAB IV KURIKULUM vs KOMPETENSI (Telaah Etimologis) 102

BAB V KOMPETENSI vs PENILAIAN (Telaah Metodik) 113

BAB VI KURIKULUM vs PENGAJARAN (Telaah Didaktis) 123

PENUTUP (Telaah Demokratisasi Pendidikan) 143

KILAS BALIK (Telaah Sejarah Pendidikan) 144

KESIMPULAN 148

DAFTAR PUSTAKA 150

i

1

39

72

93

118

137

149

180

181

186

189

Page 5: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

i

2

KATA PENGANTAR

Ada beberapa kekeliruan yang mendasar : Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) secara harafiah berarti kurikulum tingkat sekolah sehingga sejalan dengan arti harafiahnya,

kurikulum setiap sekolah akan berbeda sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing. Hal ini

sudah lama dipraktekkan di Perguruan Tinggi dan di sekolah-sekolah internasional di Indonesia.

Sama-sama belajar iptek dan terakreditasi A, tapi kurikulum ITB akan berbeda dengan kurikulum

ITS sehingga masyarakat mempunyai alternatif pilihan untuk masa depan putra putrinya. Sama-sama

sekolah internasional yang terakreditasi secara internasional, tetapi segera nampak bedanya antara

Binus International School di Simpruk, Jakarta (yang menggunakan Kurikulum IB), dan Gandhi

Memorial School di Kemayoran, Jakarta, (yang menggunakan Kurikulum Cambridge), bukan saja

karena kurikulum masing-masing sekolah itu berbeda, tetapi yang lebih dapat ditonjolkan adalah

sekolah-sekolah tersebut dapat menentukan ciri khasnya sendiri berdasar model kurikulum yang

dipilihnya, sehingga Visi dan Misi dapat dirumuskan sesuai kondisi sekolahnya.

Dalam perbedaan itu, selalu ada sesuatu hal yang sama sehingga dengan cepat kita dapat

menyatakan bahwa suatu institusi termasuk dalam institut teknologi atau bukan, atau suatu lembaga

dapat disebut SMA atau bukan. Sudah tentu tidak dilihat dari papan namanya, tapi dari benang

merah persamaan dasariahnya. Kemampuan dasar tentang apa yang minimal harus dikuasai seorang

siswa atau mahasiswa itu sama (dengan kata lain, Standar Pelayanan Minimalnya sama (SPM-nya

sama), tetapi masing-masing sekolah atau perguruan tinggi mencari keunggulan lokalnya sendiri,

yang akan menjadi ciri khasnya (brand image). SPM dalam bidang engineering di ITB dan ITS itu

sama, tetapi masing-masing perguruan tinggi akan menonjolkan keunggulan lokalnya masing-

masing. SPM Binus International School dan Gandhi Memorial School sama, yaitu penguasaan

dasar-dasar pengetahuan (foundation) atau pemahaman ilmu-ilmu dasar, sebagai bekal agar siswa

dapat mengikuti kuliah dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik di perguruan

tinggi, namun masing-masing sekolah akan unjuk keunggulan lokalnya yang menjadi ciri khas dan

jati diri sekolahnya. Dengan kata lain, yang “dijual” oleh perguruan tinggi dan sekolah adalah

kurikulum yang diusung dengan keunggulan lokal pada model evaluasinya (yang menentukan

kualitas lulusannya), serta SDM yang mengampu kurikulum itu. Hal inilah yang membentuk budaya

ilmiah di perguruan tinggi atau budaya pembelajar di sekolah. Budaya pembelajar sekolah Taman

Siswa : ing ngarso sung tulodo (emong), ing madya mbangun karsa (among), tut wuri handayani

(pamong), (di depan memberi teladan (tuntun), di tengah menyemangati (bimbing), dan memberi

dorongan dari belakang (dukung), akan sangat berbeda dengan budaya pembelajar SMA Seminari St

Page 6: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

ii3

Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang : sanctitas (kesucian), sanitas (sehat), dan scientia

(pengetahuan).

Dengan analogi itu, sesungguhnya KTSP mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika (unity

in diversity). Jadi seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, karena

hal itu berarti Kemdikbud menjadi inisiator, implementor dan eksekutor serta regulator pendidikan,

bahkan sampai menjadi evaluator keberhasilan proyek launching kurikulum baru, suatu hal yang

melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi

yang digaungkan oleh pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.

Yang selalu dikuatirkan oleh para birokrat Kemdikbud adalah : “Apa tidak menjadi terlalu

liberal?” Tidak, sebab :

(1) Pertanyaan itu sebenarnya tidak relevan lagi diajukan sejak pemerintah mengeluarkan PP

No.77 Tahun 2007 yang mengijinkan pemodal asing (PMA) berinvestasi di sektor pendidikan

(pemerintah sudah lama membuka pintu bagi liberalisasi pendidikan).

(2) Kurikulum selalu menganut azas kebhinekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2

UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolahnya,

potensi daerahnya dan keadaan siswanya.

Sedangkan kewajiban pemerintah (yang mencerminkan azas keikaan) sudah dirumuskan dalam Pasal

38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum.

Kita semua pernah mengalami penerapan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas ini, yaitu pada Kurikulum

1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 : kurikulum setiap sekolah berbeda

sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing, sehingga ciri khas sekolahnya akan nampak

jelas, Kurikulum Sekolah Taman Siswa akan berbeda dengan Kurikulum Sekolah Muhammadiyah,

bahkan kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda. Akibatnya, para guru terasah untuk

berlomba-lomba menggali keunggulan lokal sekolah masing-masing sehingga mau tidak mau,

kompetensi (kemampuan) gurunya akan terbaca oleh masyarakat. Keunggulan sekolahnya adalah

pembeda yang menjadi ciri khas sekolah tersebut. Apa akibatnya? Para guru akan terpacu untuk

menyusun kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking). Kualitas pendidikan

meningkat dan Ujian Nasional (EBTANAS) hanya dipandang sebagai salah satu bentuk tes biasa

saja. Tidak ada istiqosah atau “pengarahan” menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (EBTANAS)

saat itu. Ijazah sekolah kita diakui di luar negeri (siswa tidak perlu menempuh kelas persiapan

(foundation) di pre-university. Malaysiapun pernah meminta guru-guru dari Indonesia untuk

mengajar di berbagai sekolah di sana.

Situasi mulai berubah ketika ada upaya untuk menyeragamkan kurikulum di tingkat nasional

seiring dengan wacana digulirkannya dana 20% dari APBN untuk pendidikan pada sidang-sidang

Page 7: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

iii

4

MPR tahun 2000. Pertanyaannya adalah : “untuk apa anggaran yang begitu besar itu?”, “bagaimana

kalau anggaran itu tidak terserap habis, bukankah kinerja kementerian dinilai dari banyaknya

program yang mencerap anggaran itu?”. Sehingga solusinya adalah pelaksanaan “program yang

konsumtif” (sekedar menghabiskan anggaran), seperti acara bagi-bagi uang melalui program

sertifikasi guru yang tidak terkait dengan profesionalitas guru, pemberlakuan UN dan

peluncuran kurikulum baru, karena ketiga program ini pasti meliputi banyak proyek yang akan

mencerap anggaran sangat besar, sekali tepuk dapat beberapa lalat, mulai dari diklat sertifikasi untuk

jutaan guru, biaya UN : pencetakan jutaan lembar soal dan pendistribusiannya ke seluruh Indonesia,

sampai biaya peluncuran kurikulum baru : proyek pelatihan guru secara massal, proyek pencetakan

buku baru dan anggaran untuk proyek monitoring bagi para Pengawas di daerah serta pencetakan

ijazah/rapor baru. Mulai saat itu dicanangkanlah program sertifikasi guru yang tidak terkait dengan

uji kompetensi guru (UKG) dan kinerja guru, pemberlakuan Ujian Nasional sebagai satu-satunya

penentu kelulusan, dan peluncuran kurikulum baru, seperti Kurikulum 2004 (KBK), yang dikoreksi

melalui Kurikulum 2006, KTSP Bimtek (2008), lalu makin nampak instruksional pada tahun 2013

(Kurikulum 2013). Akibatnya segera terasa, pendidikan yang diproyekkan menyebabkan kualitas

pendidikan kita makin merosot, yang tercermin dari makin rendahnya score para siswa kita dalam

pemahaman IPA dan Matematika pada TIMSS (Trends in International Mathematics and Science

Study), rendahnya score pengetahuan umum dan kemampuan bernalar siswa kita dalam PISA

(Programme in International Students Assessment), serta rendahnya score siswa kita dalam

kemahiran membaca apa yang tersirat melalui test PIRL (Progress in International Reading

Literature) (Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 b, yang dicabut dalam

Permendikbud No. 57 Tahun 2014, tapi anehnya isinya persis sama (copy paste) dengan Lampiran

Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab I A No. 2 b. Jadi pencabutan permendikbud ini hanya untuk

melegalkan pembuatan silabus oleh pemerintah dan memangkas kewenangan guru sebagaimana

tercantum dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen)

Kekeliruan kedua, Kurikulum 2006 (KTSP awal) sering disamakan dengan KTSP Bimtek

(2008), padahal konsepnya berbeda. Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengacu pada Pasal 36 ayat 2

UU Sisdiknas, dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjunjung azas diversifikasi kurikulum,

disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya. Oleh sebab itu, para

guru harus menyusun kurikulumnya sendiri, sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan

Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang diperkuat dengan ketentuan turunannya pada Pasal 20

PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal itu dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2 tentang dasar

hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Dengan kata lain, Kurikulum 2006 (KTSP awal)

mengusung semangat otonomi guru dan otonomi sekolah. Sedangkan KTSP Bimtek (KTSP

Page 8: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

iv

5

Bimbingan Teknis (2008) yang muncul setelah portofolio guru tidak lagi digunakan dalam proses

sertifikasi guru, adalah kurikulum hasil pelatihan guru yang seragam dalam Diklat sertifikasi guru.

Diklat sertifikasi guru ini juga tidak menyertakan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dan

PPPG (Pusat Pengembangan dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) atau Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan

yang ada di daerah (semua sudah ditentukan dari pusat, bahkan penatarpun ditunjuk dari pusat),

sehingga sifat penyeragaman kurikulum ini makin menonjol. Jadi KTSP Bimtek (2008) adalah

kurikulum tunggal dan seragam secara nasional yang menunjukkan hegemoni pemerintah, yang

dikemudian hari juga dipakai sebagai acuan dalam akreditasi sekolah. Di DKI Jakarta,

penyeragaman kurikulum ini terlihat melalui program SAS (Sistim Administrasi Sekolah) dan SIP

(Sistim Informasi Pendidikan) yang menjadi wahana untuk mengontrol dan “mengendalikan”

sekolah secara ketat sehingga semua sekolah di DKI Jakarta (termasuk mantan sekolah RSBI)

kehilangan daya saingnya menghadapi sekolah-sekolah internasional yang makin menjamur.

Para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran1 membuat semuanya berjalan makin paralel

dan seragam, tidak boleh melenceng sedikitpun dari ketentuan yang sudah digariskan oleh

Kemdikbud, dengan demikian ciri khas sekolah menjadi hilang. Visi dan Misi sekolah hanya menjadi

slogan dan hiasan dinding saja. Dengan kata lain, KTSP Bimtek (2008) telah menafsirkan kata

“bimbingan teknis” itu menjadi kata “wajib dibimbing”. Inilah saat hegemoni pemerintah mulai

merasuki dunia pendidikan kita, lengkap dengan UN sebagai penentu kelulusan dan para pengawal

hegemoni itu, yaitu para Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat

Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b).

Kekeliruan ketiga adalah menganggap Kurikulum 2013 sebagai perbaikan dari Kurikulum

2006 (KTSP awal), padahal Kurikulum 2013 secara sengaja menghapus frasa penting dari Pasal 20

PP No.19 tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan

pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode

pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”; Pasal yang menunjuk pada

profesionalitas guru ini diubah menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :

“Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

untuk setiap muatan pembelajaran”.

1 Jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran ini tidak tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen (artinya guru dan dosen tidak perlu diawasi/otonom). Guru dan dosen itu otonom sesuai amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen. Bahkan kalau mengacu pada Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : fungsi pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru (Menurut PP ini, Kurikulum 2013 seharusnya tidak mengenal adanya jabatan Pengawas) Pada Pasal 10 UU Sisdiknas : pengawasan itu bukan diartikan sebagai watch dog, tetapi sebagai capacity building (membimbing dan membantu) komunitas guru. Pengawas sebagai watch dog baru muncul pada Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator pendidikan)

Page 9: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

v

6

Jadi nampak jelas bahwa Kurikulum 2013 memangkas kewenangan guru dalam menyusun

silabus, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar, dan

mengerdilkannya menjadi hanya menyusun RPP saja. Guru diturunkan martabatnya menjadi

hanya sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran. Fungsi pendidik

profesional sebagaimana dituntut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU

Guru dan Dosen menjadi sumir. Proses panjang monitoring proses belajar dan penilaian hasil belajar

menjadi tidak berarti, karena test sesaat (UN) adalah penentu kelulusan, lalu sekarang ditambah

dengan menghilangkan kemampuan guru untuk menyusun Silabus, diktat (bahan ajar/materi/sumber

belajar) dan menilai hasil belajar tidak menurut situasi dan kondisi sekolahnya. Sejak awal, “proyek

besar penyerapan anggaran” dalam bentuk Kurikulum 2013 didisain untuk penyerapan anggaran

sebesar-besarnya (untuk menghabiskan dana 20% dari APBN yang dialokasikan untuk pendidikan)

melalui (1) pelaksanaan sertifikasi guru secara massal yang abai pada kinerja guru, (2) pemberlakuan

UN dan (3) launching kurikulum baru (pelatihan guru secara massal untuk aplikasi kurikulum baru,

dropping silabus, membuat buku ajar bagi siswa (karena materi ajar/sumber belajar sekarang

ditentukan oleh Kemdikbud), menyosialisasikan metode baru (metode 5 M) dan membuat buku

pegangan guru (menentukan buku panduan proses pembelajaran di kelas), serta merumuskan sistim

penilaian yang berkali-kali diubah itu (tanpa penjelasan yang memadai kenapa program penilaian itu

diubah lagi). Dengan demikian, Kemdikbud mempunyai legitimasi untuk meluncurkan program

sinterklas sertifikasi guru, evaluasi tunggal bersama (UN) dan menyosialisasikan kurikulum baru

yang seragam dan sama secara nasional, mengabaikan fungsi LPMP dan PPPG/PPPPTK atau Kepala

Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat, serta mengabaikan ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU

Sisdiknas serta Pasal 17 PP No. 19 tahun 2005, oleh sebab itu secara jelas memotong kewenangan

guru, yang disebut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, dan

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2

tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)

Kewenangan LPMP juga dipangkas menjadi sekedar pengawas EDS (Evaluasi Diri Sekolah)

: pemerhati administratif yang tidak mempunyai otoritas seperti Pengawas, dan fungsi supervisi

akademik LPMP digantikan oleh Pengawas Mata Pelajaran, sedangkan fungsi supervisi manajerial

LPMP digantikan oleh Pengawas Sekolah (lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab

VI No. 2 : Sistim dan Entitas Pengawasan).

Pelatihan guru yang seragam secara nasional yang dilengkapi dengan dropping buku ajar

siswa, buku pegangan guru, metode yang seragam dan program penilaian yang salah, lalu diubah

berkali-kali itu, sebenarnya melanggar dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu sendiri, yaitu PP

No. 32 Tahun 2013. Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan

Page 10: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

vi

7

Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-

masing satuan pendidikan. Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : : Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan

Pengerdilan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 serta

pengabaian Pasal 77 M PP No.32 Tahun 2013 ini secara kasat mata merupakan proyek

penghamburan uang rakyat demi penyerapan anggaran, yang mencoba mengaburkan apa yang sudah

ditanam pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bukan saja

mempertaruhkan kualitas pendidikan Indonesia di masa lalu yang sudah diakui di luar negeri, tetapi

juga menjauhkan kita dari tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan

UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas

(Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa). Jadi, jelas

bukan untuk meningkatkan kompetensi orang per orang, seperti yang diusung oleh KBK (2004) dan

Kurikulum 2013 (Lihat Lampiran Permendikbud No 67 Tahun 2013 II B Landasan Teoritis :

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang dicabut

dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 tapi ajaibnya, isinya persis sama (copy paste) dengan

Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bab II D Landasan Teoritis (Catatan * : Permendikbud

No. 67 Tahun 2013 ini diulang pada Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit

sekolahnya (SD, SMP, atau SMA/SMK) dan dicabut (sebenarnya diperbarui (di copy paste) dalam

Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60

tergantung pada unit sekolahnya (isi Permendikbud itu sama, kecuali bagian yang melegalkan

pembuatan Silabus oleh Kemdikbud dan pemangkasan hak mendidik guru menjadi hanya sekedar

hak mengajar dan petugas administrasi sekolah, pemangkasan hak yang sebelumnya merupakan

wewenang dan hak kewajiban guru (lihat Catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan).

Jadi Kurikulum 2013 itu tidak lain adalah pengembangan KBK. Padahal Kurikulum

2004 (KBK) itu sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) karena adanya problematik

pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa. Jadi problematik pengukuran kompetensi

(kemampuan) siswa atau problem sistim penilaian, pasti akan berulang pada Kurikulum 2013.

Maka tidak heran kalau sampai saat ini, Kemdikbud tidak berani mencetak buku rapor (LHB) untuk

Kurikulum 2013 dan terlambat mencetak ijazah, sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun

Indonesia merdeka.

Kurikulum 2006 (KTSP awal) mewajibkan para guru untuk bisa membuat kurikulumnya sendiri,

termasuk mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar sendiri, seperti pada kurikulum-kurikulum

sebelumnya. Namun kalau guru mahir dalam penyusunan kurikulum dan evaluasi hasil belajar,

Page 11: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

vii

8

pemerintah akan kehilangan “proyek penyerapan anggaran 20% dari APBN” melalui (1) program

bagi-bagi uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru dan tanpa check & recheck

kinerja guru, (2) pemberlakuan UN, (3) launching kurikulum baru melalui pelatihan guru, pembuatan

buku ajar (materi ajar/sumber belajar) dan penentuan buku pegangan guru (buku panduan proses

pembelajaran di kelas). Maka Kemdikbud kemudian memilih tetap melanjutkan acara tebar uang

untuk guru, melestarikan UN dan meluncurkan KTSP Bimtek di tahun 2008, yang berlanjut pada

Kurikulum 2013, demi pencitraan kinerja kementerian melalui kecepatan penyerapan anggaran.

Seperti biasa, Kemdikbud mengabaikan begitu banyak kritik dari para pakar pendidikan yang banyak

dimuat di media massa dan melupakan sejarah panjang dunia pendidikan kita, seolah-olah semuanya

dimulai lagi dari nol.

Kekeliruan keempat adalah memaksakan melanjutkan penerapan Kurikulum 2013

meskipun rezim telah berganti, pemaksaan dengan ancaman sanksi ini melupakan :

- Isi Surat Edaran Mendikbud No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014 dan isi

Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014

yang mengijinkan permberlakuan kembali Kurikulum 2006, dan mengabaikan dasar hukum

Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013

- Isi dari Nawa Cita No.8 : pemerintah akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional

(bukan melanjutkan kurikulum 2013 yang mengandung banyak kesalahan) yang terbukti

menyebabkan pendidikan kita makin merosot (lihat hasil survey berbagai lembaga

internasional tentang rendahnya kualitas pendidikan RI di bagian akhir dari Bab Pendahuluan

- Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 ini melanggar prinsip kebebasan mimbar

akademik yang dijunjung dalam Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen)

: guru harus bebas dari ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi, yang

dirinci pada Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan butir (g), serta Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen

Kekeliruan kelima adalah menganggap apapun kurikulumnya pasti compatible dengan SKS

(sistim kredit semester), padahal penerapan SKS memerlukan kemampuan (kompetensi) guru dalam

penyusunan diktat, LKS, dan modul, serta monitoring proses belajar + evaluasi hasil belajar, yang

dilengkapi dengan keahlian guru dalam menyusun program pengayaan, sehingga program

prerequisite pengambilan angka kredit pada IP tertentu, dapat berjalan secara simultan. Misalnya

untuk belajar statistika, prerequisitenya : para siswa harus sudah diajar tentang parabola, sehingga

para guru tidak perlu menerangkan dari awal tentang pengertian kurva normal dan statistika tidak

hanya dipandang sebagai sekumpulan rumus-rumus belaka. Guru Biologi yang ingin menerangkan

tentang membran sel, harus yakin bahwa difusi dan osmose sudah diajarkan di Fisika. Dengan kata

lain, penerapan analisis vertikal dan analisis horizontal pada Analisis Kurikulum harus sahih (valid).

Page 12: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

viii

9

Jelas sekali hal ini tidak mungkin dicapai bila profesionalitas guru dipangkas pada Kurikulum 2013

melalui Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (guru hanya menyusun RPP saja). Bisa-bisa yang muncul

adalah penerapan paket SKS (bukan penerapan sistim baku SKS) yang tidak lain adalah penerapan

kelas akselerasi yang sudah banyak diterapkan di berbagai sekolah unggulan atau sekolah-sekolah

mantan RSBI dulu.

Kekeliruan keenam adalah upaya Kemdikbud untuk membendung arus globalisasi dan

liberalisasi pendidikan. Karena Kemdikbud abai pada amanat Perpres No. 77 Tahun 2007 dimana

sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing (PMA) dan ketentuan Pasal 5

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : sekolah yang terakreditasi A, dapat menerapkan SKS (sistim

kredit semester). (Bukan penerapan paket SKS, tetapi penerapan sistim baru yaitu SKS).

Tanpa melihat konteksnya dengan WTO (World Trade Organization) dan ACMW (ASEAN

Committee on Migrant Workers), Kemdikbud mencoba melakukan pembatasan arus masuk modal

asing dan lalu lintas SDM asing itu melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, sesuatu yang absurd

ditengah arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang sudah kita ratifikasi dalam AFTA 2015

dan APEC 2020. Apalagi ide pembatasan arus lalu lintas SDM asing itu hendak dijabarkan melalui

“pengakuan sertifikasi keahlian tenaga kerja” yang bisa menjadi bumerang bagi tenaga kerja kita

sendiri yang kebanyakan unwell-educated dan unskilled labour (lihat score siswa kita dalam TIMSS,

PISA dan PIRL yang tak kunjung membaik). Kenapa? Karena sesuai dengan perjanjian WTO,

AFTA dan APEC, suatu keputusan itu selalu bersifat resiprokal (negara lain berhak melakukan dan

menerapkan peraturan yang sama). Negara lain bisa menuntut sertifikasi keahlian dari TKI/TKW

kita yang akan bekerja di luar negeri, seperti yang kita tuntut.

Maka tak ada jalan lain, dunia pendidikan kita harus mengadopsi e-learning melalui Disain

Kurikulum Digital dan TQM (Total Quality Management) agar dapat memenuhi standar ISO

9001:2008 sehingga kita dapat menjalankan amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Pasal 5 Permendikbud

No. 158 Tahun 2014. Dengan demikian, kita mewujudkan komitmen kita dalam bersaing secara

kreatif pada era global saat ini.

Harapannya agar pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menjamin

terselenggarakannya pendidikan yang bermutu, sesuai amanat Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas,

sehingga dapat menjadi rujukan bagi negara-negara lain seperti yang sudah pernah terjadi dimasa

lalu, dan para diplomat kita dan tenaga kerja migran kita sudi mengirim kembali anak-anaknya

bersekolah di Sekolah Indonesia di luar negeri.

Pemenang Indonesia MDGs Award 2011

Penggagas e-learning dengan Disain Kurikulum Digital

Finalis untuk Asian CSR Award Category Education Improvement 2015, Bangkok, Sept 2015

Page 13: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

1

11

PENDAHULUAN Tahun ajaran baru sudah dimulai pada bulan Juli 2015, namun Kemdikbud malah

memaksakan kelanjutan penerapan Kurikulum 2013, lupa akan adanya Surat Edaran Mendikbud

No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5-12-2014 dan Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal

11-12-2014, yang memberlakukan Kurikulum 2006 dan hendak mengkaji ulang Kurikulum 2013

sesuai Nawa Cita No.8 (bukan melakukan perubahan tambal sulam terhadap Kurikulum 2013)

Dua kurikulum yang sangat berbeda, yaitu Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan Kurikulum 2013 :

1. Kurikulum 20062 mengusung ide “bhineka tunggal ika” (unity in diversity) dan otonomi

pendidikan (otonomi sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) serta

desentralisasi pendidikan.

2 Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah kurikulum kontekstual berbasis local wisdom yang mengusung azas kebhinekaan : Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”. Diperkuat dengan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : “KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik”. Azas keikaan nampak dalam kewajiban pemerintah yang sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Kerangka dasar dan struktur kurikulum ditetapkan oleh pemerintah”. (bukan merambah sampai ke Silabus, Buku Ajar, buku Pegangan Guru dan metode pembelajaran (5 M); Karena guru harus membuat semuanya sendiri, maka guru tersebut disebut guru profesional sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan”. (guru adalah konseptor dan inisiator kurikulum) Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) : “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran”. ; Dielaborasi dengan turunannya yaitu Pasal 19 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”. Yang dirinci secara detail dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. (Jadi pembuatan silabus dan penentuan materi ajar serta pemilihan sumber belajar mencerminkan otonomi guru (hak guru). Hal ini diperkuat oleh Pasal 52 ayat 1 (a) PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Silabus”. Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 : “Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (a) diputuskan oleh rapat Dewan Pendidikan dan ditetapkan oleh Kepala Satuan Pendidikan”. Penetapan kurikulum oleh kepala sekolah mencerminkan otonomi sekolah. Lokalitas kurikulum terlihat dalam Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005 : “Kurikulum dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal”. (kurikulum menjadi kontekstual, tidak lagi kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas; Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No.22 Tahun 2006 : “Standar Isi mencakup lingkup materi minimal, dan tingkat kompetensi minimal, untuk mencapai tingkat kelulusan minimal”. (pemerintah menyusun SPM (standar pelayanan minimal ) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS”. (manajemen berbasis sekolah), bukan manajemen ala Kemdikbud atau Dinas Pendidikan); dan Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : “Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi”. (bukan kurikulum seragam apapun visi dan misi sekolahnya)

Page 14: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

212

Dasar pemberlakuan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah Pasal 1 dan Pasal 2 ayat

3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014. Yang sebenarnya juga

termaktub dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang ditanda tangani

oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013 (dalam tata perundangan : PP setingkat di atas

Permendikbud sehingga Permendikbud seharusnya mengacu pada PP)

Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing

satuan pendidikan”.

(Secara harafiah, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) itu bukan kurikulum tunggal dan

seragam secara nasional, tetapi kurikulum tingkat sekolah, maka dari itu kurikulum setiap sekolah

seharusnya berbeda, seperti yang sudah kita alami pada Kurikulum 1968, Kurikulum 1975,

Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994 dimana ijazah kita diakui di luar negeri, oleh karenanya para

guru kita diakui kualifikasinya sehingga banyak yang diminta mengajar di luar negeri). Kenapa?

Karena kebebasan mimbar akademik di sekolah dijaga (pemerintah hanya menyusun kerangka

dasar dan struktur kurikulum saja). Fungsi Dinas Pendidikan adalah men-supervisi apakah kurikulum

sungguh-sungguh dikembangkan sesuai ketentuan Standar Proses, sehingga bisa bersaing dengan

standar negara tetangga (siswa familiar dengan soal-soal GMAT, TOEFL, SAT, dll) (Lihat Pasal 38

ayat 2 UU Sisdiknas). Maka dari tahun ke tahun, para guru harus bisa menunjukkan adanya

perubahan pada Silabus dan RPP sebagai wujud pengembangan kurikulum (lihat Standar Proses

Kurikulum 2006). Akibat kontinuitas pengembangan Silabus dan RPP ini, kualitas pendidikan

meningkat, Sekolah Indonesia di luar negeri juga diminati warga asing, tidak seperti sekarang,

diplomat Indonesia dan para buruh migranpun tak mau menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia

di luar negeri karena kualitasnya terus merosot.

Para asesor akreditasi sekolah dan Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat saat

itu, bekerja bahu membahu untuk suksesnya penerapan Pasal 11 UU Sisdiknas : “Pemerintah dan

Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya

pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Para guru selalu diarahkan

untuk dapat mengembangkan Silabus dan RPP sehingga guru terdorong menjadi manusia

pembelajar (kualitas pendidikan makin meningkat). Masyarakat tahu dan bisa menilai, mana sekolah

yang sungguh-sungguh ‘bermutu” : artinya menjalankan semua ketentuan dalam Standar Proses dan

mana sekolah yang bersikap minimalis. Tanpa memasang iklan seperti sekarang, peminat ke

sekolah-sekolah yang mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of

Thinking), selalu diserbu (dalam arti harafiah) oleh masyarakat.

Page 15: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

313

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa KTSP itu harus disusun sendiri oleh para guru (bukan

menunggu dropping silabus, buku ajar, dan buku pegangan guru, serta penetapan metode

pembelajaran tunggal dan seragam, seperti metode saintifik (5 M), maka seharusnya KTSP

dilaksanakan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing). Guru bukan sekedar petugas

administrasi pengajaran (hanya sekedar membuat RPP), yang tunduk pada arahan instruktur

Kurikulum 2013 dan petunjuk para Pengawas. Harap diingat bahwa RPP bukan barang baru bagi

para guru. RPP sudah dikenal dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008). Jadi jelas, pelatihan

Kurikulum 2013 yang hanya bertumpu pada pembuatan RPP dengan segala kelengkapannya,

melecehkan program pendidikan S-1 para guru (menganggap program pendidikan calon guru di

LPTK : FKIP/PGSD itu jelek), dan menisbikan program diklat sertifikasi guru yang telah

menghasilkan jutaan guru bersertifikat. Kemampuan guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri

menunjukkan profesionalitas guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas

dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005

dan Pasal 52 ayat 1 PP No. 19 Tahun 20053 (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki

No.2 pada Bab Pendahuluan). Harap diingat, istilah KTSP tetap dipakai dalam Kurikulum 2013,

sehingga maknanya tidak boleh digeser menjadi berlawanan dengan ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP

No. 32 Tahun 2013 (kurikulum yang disusun oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah) dan

dilaksanakan di masing masing satuan pendidikan (sekolah). Sebab ada upaya keras untuk

mengubahnya menjadi “kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan harus dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah)” yang berarti Kemdikbud menjadi

inisiator, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator pendidikan, suatu hal yang

melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi

yang dicetuskan pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.

Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan”.

(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini ditetapkan oleh kepala sekolah, artinya

Kurikulum 2006 (KTSP awal) itu sebenarnya mengakomodasi otonomi sekolah, yang dieksplisitkan

dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki

No.2 di Bab Pendahuluan). Fungsi Dinas Pendidikan adalah menjamin terlaksananya Standar Proses

(pengembangan Silabus, pengembangan RPP, implementasi PAKEM/PAIKEM/PAIKEM

GEMBROT, dan penerapan pendidikan yang kontekstual (contextual teaching learning) seperti yang

3 Jadi profesionalitas guru ditentukan dari kemampuannya membuat kurikulum sendiri, bukan melalui kelulusan pada program Diklat sertifikasi guru (lihat ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen

Page 16: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

4

14

sudah diuraikan di atas. Dengan efektivitas penerapan Standar Proses, pengadopsian Pasal 11 UU

Sisdiknas menjadi lebih mudah dilaksanakan.

Karena menjunjung azas otonomi sekolah ini, maka dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak

pernah disebut adanya para pengawas4 dalam artian Pengawas sekarang (baik Pengawas Sekolah

maupun Pengawas Mata Pelajaran), karena fungsi pengawasan dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal)

itu inheren dengan tugas profesional guru dan mencerminkan otonomi guru (Lihat Catatan kaki

No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab ini, dan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen). Keberadaan Pengawas Sekolah saat ini menafikan kepemimpinan (leadership) kepala

sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (Lihat Catatan kaki no.4). Keberadaan Pengawas saat ini

betul-betul menjadi watch dog kebijakan sekolah, melupakan fungsi pembinaan sekolah untuk

mempercepat pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 10 UU Sisdiknas (pengawasan sebagai capacity building bagi kepala sekolah dan guru :

“membantu dan membimbing”). Pengawasan gaya watch dog ini mempersulit sekolah dalam

menerapkan azas diversifikasi kurikulum sesuai amanat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas karena

Pengawas hanya berpegang pada peraturan yang lebih rendah yaitu Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013

(Defungsionalisasi guru : guru hanya menyusun RPP saja, guru bukan lagi pendidik, tetapi hanya

sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran) Bandingkan Catatan kaki No.2 dan

peraturan yang lebih rendah lagi yaitu Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b (supervisi

akademik oleh Pengawas Mata Pelajaran dan supervisi Manajerial oleh Pengawas Sekolah,

sedangkan LPMP dikerdilkan menjadi sekedar pengawas administrasi : pengawas EDS saja).

4 Kurikulum 2006 tidak mengenal adanya jabatan Pengawas (baik Pengawas Sekolah maupun Pengawas Mata Pelajaran sebagaimana adanya sekarang) karena pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru : Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”, yang isinya sama dengan Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 (pengawasan itu inheren dalam KBM sehingga Kurikulum 2013 itu seharusnya juga tidak mengenal adanya pengawas eksternal atau Pengawas Manajerial/Pengawas Akademik. Guru itu otonom sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Jadi Pengawas yang dimaksud dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 bertentangan dengan dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri, yaitu Pasal 19 ayat 3 PP 32 Tahun 2013 Kriteria Kepala Sekolah sebagai pengawas internal pendidikan dan manajer sekolah juga sudah dibakukan dalam Pasal 38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) – Peraturan turunan dari PP ini sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 tentang prasyarat menjadi kepala sekolah. Permendiknas ini menguatkan eksistensi LPPKS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang didirikan atas dasar Permendiknas No.6 Tahun 2009 – jadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak mengenal jabatan pengawas eksternal. Dengan kata lain, Kurikulum 2006 menjunjung azas otonomi pendidikan. Pengawas sebagai watch dog kebijakan sekolah muncul dalam peraturan yang lebih rendah : Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Lihat juga Catatan kaki No. 1) : Pengawas dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 b adalah wujud dari inisiator, konseptor, implementor, eksekutor, regulator dan evaluator proyek pendidikan yang menyalahi sepuluh prinsip good governance yang diusung dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.

Page 17: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

5

15

Sayang sekali, semua ayat penting yang mendukung pelaksanaan otonomi pendidikan ini tidak

tersosialisasikan dengan baik kepada para kepala sekolah dan para guru. Nampaknya hal ini sudah

dipatronkan oleh Mendikbud M.Nuh saat meluncurkan Kurikulum 2013 tanggal 28 November 2012

di Hotel Mega Anggrek Jakarta : “Tidak ada pertanyaan”, lalu beliau pergi dari tempat pertemuan

begitu saja, meninggalkan para undangan dengan 5 M (melongo, menganga, mengernyitkan dahi,

yang berujung pada mengekor dan membebek apapun yang diputuskan). Saat itu, mulailah

dikumandangkan pemujaan pada pendangkalan (cult of philistinism). Banyak pihak selalu lupa

makna harafiah dari KTSP5, apalagi makna filosofisnya.

Makna filosofisnya tercermin dari diusungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi

pendidikan, serta azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) pada Kurikulum 2006, sehingga

Kurikulum 2006 sering juga disebut KTSP dalam arti harafiah (KTSP awal).

Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) dijabarkan

menjadi azas kebhinekaan yang mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas : diversifikasi

kurikulum sesuai dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya, yang diperkuat

dengan peraturan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : KTSP dikembangkan sesuai

dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik

Penjabarannya terlihat di Pasal 52 ayat 1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005, dan Pasal 52 ayat 2 PP No.

19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.5 tentang kurikulum sekolah (KTSP)

Sedangkan azas keikaan digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya

berkewajiban menyusun kerangka dasar dan struktur kurikulum (tidak merambah kemana-mana,

sampai ikut menyusun Silabus, buku ajar (materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku

pedoman pelaksanaan proses pembelajaran), tidak merambah penilaian (yang terbukti salah) serta

penentuan metode pembelajaran (5 M), karena hal itu berarti menjadikan Kemdikbud sebagai

inisiator dan konseptor, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator program sekaligus,

menyalahi azas good governance dan debirokratisasi dan deregulasi yang digaungkan pemerintah

sendiri. Maka langkah Mendikbud Anies Baswedan untuk menghentikan fungsi UN sebagai satu-

satunya penentu kelulusan itu sudah benar : mengembalikan otonomi sekolah dalam proses kelulusan

5 KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kurikulum sekolah), kurikulum tiap sekolah akan berbeda sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing, mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum dan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas tentang tugas profesional guru, yang diperkuat dengan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005, serta Pasal 52 ayat 1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur KTSP dan Silabus”, yang dirinci dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 : “Pedoman dimaksud diputuskan oleh rapat dewan pendidikan dan ditetapkan oleh kepala sekolah”, serta Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No.24 Tahun 2006 : “Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi”. (bukan kurikulum seragam). Hal ini sejalan dengan tugas profesional seorang guru sesuai ketentuan Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 yang dirinci dalam Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.9), yang diperkuat dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 (lihat Catatan kaki No.26)

Page 18: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

6

16

Kemdikbud harusnya bergerak di tataran policy, bukan mencampuri urusan implementasi

(pemerintah mengakui otonomi sekolah dalam proses penentuan kelulusan). Sedangkan dalam

Kurikulum 2013 : Pemerintah sekaligus bertindak sebagai konseptor, pelaksana sekaligus pelaku

monev (monitoring dan evaluasi), sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang oleh fungsi pengawasan

DPR/DPRD. Kalau mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, seharusnya penetapan

kurikulum oleh kepala sekolah itu juga harus dihormati oleh Kemdikbud.

Azas bhineka tunggal ika dalam kurikulum ini sudah lama diterapkan dalam Kurikulum 1968,

Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dan pada penerapan Kurikulum 1994, dimana kurikulum lama ini

masih mengembangkan 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika

dan sinoptis. Oleh sebab itu, pendalaman tentang sejarah pendidikan di Indonesia itu penting

sekali dikaji agar kurikulum kita tidak menjadi makin miskin (lihat Catatan * di Kata Pengantar,

yang tercermin dari perubahan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20

PP No. 32 Tahun 2013 (defungsionalisasi guru : wewenang guru dipangkas hingga hanya tinggal

penyusunan RPP) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No.2 : dasar hukum

Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)(Lihat juga Catatan kaki No.21)

2. Sedangkan Kurikulum 20136 dalam prakteknya, justru menegasikan dan menafikan otonomi

pendidikan serta menegakkan hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran,

oleh karenanya mencoba menyentralisasi kembali pendidikan dan pengajaran kita sehingga

menabrak ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen yang

sudah mengatur tugas profesional seorang guru, serta melanggar azas desentralisasi pendidikan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas (lihat Catatan kaki No.2)

Kurikulum 2013 juga abai pada dasar hukumnya sendiri, yaitu PP No.32 Tahun 2013 yang ditanda

tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013. (Otonomi pendidikan tertuang dalam Pasal 77 M

ayat 1 : menjunjung otonomi guru, karena kurikulum disusun oleh guru di masing-masing sekolah,

dan Pasal 77 M ayat 3 : menjunjung otonomi sekolah, karena kurikulum ditetapkan oleh kepala

sekolah), namun pasal ini kurang disosialisasikan, bahkan kurang dikenal isinya di kalangan para

birokrat Kemdikbud cq Puskurbuk Balitbang Kemdikbud. Dasar hukum Kurikulum 2013 hanya

setingkat Peraturan Menteri (ada 28 permendikbud terkait dengan Kurikulum 2013, tapi anehnya

6 Dasar hukum dari Kurikulum 2013 ternyata hanya setingkat 28 Peraturan Menteri (terakhir menurut laman Kemdikbud adalah Permendikbud No.108 Tahun 2014) yang justru menabrak perundangan di atasnya (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Juga Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum, dan merampas hak dan kewenangan guru yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen (lihat Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang justru mendefungsionalkan guru yang sudah diatur dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005) Permendikbud terakhir yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh terkait dengan Kurikulum adalah Permendikbud No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014, Pasal 5 justru menyebut pemberlakuan SKS, bukan Kurikulum 2013

Page 19: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

7

17

semua permendikbud itu menyebut KTSP, padahal KTSP punya arti dan konotasi khusus, seperti

yang sudah diuraikan di Catatan kaki No.5). Karena dasar hukumnya peraturan menteri, maka

menyalahi tata urutan perundangan yang berlaku (Permen (peraturan menteri) seharusnya mengacu

pada PP (peraturan pemerintah) yang ditanda tangani oleh Presiden, sebab Menteri adalah pembantu

Presiden) : 28 Permendikbud terkait Kurikulum 2013 itu seharusnya mengacu pada PP No.32 Tahun

2013 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2013.

Penegasian dan penafian otonomi pendidikan ini tercermin dari :

pelatihan guru dalam menyusun kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, padahal

menurut ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : kurikulum harus disusun sendiri

oleh para guru di masing-masing sekolah, sesuai dengan makna harafiah KTSP dan makna

filosofis KTSP (lihat Catatan kaki No. 5 tentang kurikulum sekolah (KTSP). Pelatihan ini

mengabaikan kualitas pendidikan S-1 para guru di FKIP/PGSD dan menisbikan pengakuan

profesionalitas guru lewat program sertifikasi guru, yang juga sudah melewati diklat khusus.

munculnya Pengawas Sekolah sebagai supervisor manajerial dan Pengawas Mata Pelajaran

sebagai supervisor akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2

: Sistim dan Entitas Pengawasan), padahal pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan

kurikulum-kurikulum sebelumnya, fungsi pengawasan itu melekat pada tugas profesional

guru (Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005, yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3

PP No. 32 Tahun 2013) (rincian isi Pasal-pasal ini dapat dilihat catatan kaki No. 9).

Keberadaan Pengawas saat ini sebagai watch dog kebijakan sekolah juga mengacaukan arti

Pasal 10 UU Sisdiknas (fungsi pengawasan sebagai capacity building kepala sekolah dan

guru : “membantu dan membimbing”) serta merendahkan hakekat kepemimpinan

(leadership) kepala sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (lihat Catatan kaki No.4),

akibatnya budaya organisasi sekolah juga tidak teraktualisasikan dengan baik, karena

Kemdikbud sekaligus berfungsi sebagai konseptor, inisiator, implementor, eksekutor dan

regulator serta evaluator, sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang dalam era reformasi ini,

karena melanggar sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi serta deregulasi yang

digaungkan pemerintah sendiri, melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009

guru itu seharusnya otonom (mempunyai kebebasan mimbar akademik, sesuai ketentuan

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen). Kebebasan mimbar

akademik juga dijamin melalui Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen (yang dijabarkan dalam

Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), sehingga tugas

pengawasan itu melekat pada tugas profesional seorang guru. Maka jabatan pengawas itu

Page 20: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

8

18

tidak pernah disebut dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan

Dosen). Sayangnya, hal ini hanya dipraktekkan di dunia perguruan tinggi (dosen itu tidak

mempunyai pengawas), padahal UU yang mengatur guru dan dosen itu sama.

pemangkasan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No.32

Tahun 2013 melalui pemberlakuan silabus tunggal dan seragam, buku ajar (buku teks/materi

pelajaran/sumber belajar) dan buku pegangan guru (buku panduan proses pembelajaran di

kelas) yang sama meskipun kondisi sekolah dan keadaan siswanya berbeda, padahal

seharusnya penetapan semuanya itu bukan dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh kepala

sekolah sendiri sesuai dengan amanat Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Pasal 77 M

ayat 3 ini mencerminkan diakuinya otonomi sekolah). Akibat pemangkasan itu, sekolah tidak

mempunyai pilihan, kecuali menghamba pada kekuasaan. Wewenang kepala sekolah selaku

manajer sekolah juga dipangkas melalui Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI

No.2 : Sistim dan entitas pengawasan

pemberlakuan model pendekatan yang seragam yaitu pendekatan saintifik (metode 5 M),

padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model pembelajaran yang lain yang

lebih kontekstual dan situasional. Ukuran kinerja guru menjadi sangat terbatas, karena

metode hanya bisa diaplikasikan untuk peningkatan prestasi/kemampuan akademik siswa,

sesuai dengan Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy

paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.3 (Lihat Catatan * di Kata

Pengantar). Padahal metode tidak bisa mengatasi kemalasan siswa atau kebosanan/kejenuhan

belajar siswa. Kemalasan belajar siswa harus diatasi dengan penerapan strategi pembelajaran,

sedangkan kebosanan/kejenuhan belajar siswa harus diatasi dengan model pembelajaran.

Akibat penerapan metode tunggal (5 M) ini, kinerja guru dalam manajemen kelas menjadi

sangat terkungkung dalam satu tafsir. Manajemen berbasis sekolah (MBS) seturut Pasal 51

ayat 1 UU Sisdiknas, hanya tinggal kenangan saja.

karena Kurikulum 2013 itu dasarnya adalah KBK (2004)7 , maka masalah KBK berulang

pada Kurikulum 2013 yaitu pada masalah pengukuran capaian kompetensi siswa (program

penilaian). Program penilaian yang berkali-kali diubah8 dan tetap salah secara matematis itu

menurunkan wibawa akademik Kemdikbud. Tidak heran bila kemudian Perguruan Tinggi

diminta keluar dari naungan Kemdikbud dan bergabung dengan Kemristek, dengan harapan

agar Kemdikbud fokus pada pencapaian Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas.

7 Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis )(lihat Catatan * di Kata Pengantar) 8 Penilaian Kurikulum 2013 ada di Permendikbud No. 66 Tahun 2013, diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, lalu diubah lagi menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014, tanpa penjelasan matematis yang memadai kenapa penilaian diubah

Page 21: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

9

19

Kecerdikan Presiden SBY untuk menyelipkan pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013

yang mengusung semangat otonomi pendidikan ini ternyata tidak diikuti oleh Mendikbud M.Nuh

dan jajarannya, yang masih berkutat dengan semangat hegemoni pemerintah melalui “proyek

penyerapan anggaran 20% dari APBN” sehingga melanggar Pasal 38 ayat 1 UU No.20 Tahun

2003 (UU Sisdiknas) dimana kewajiban pemerintah hanyalah sebatas menyusun kerangka dasar

dan struktur kurikulum saja, dan menabrak azas diversifikasi kurikulum, kurikulum yang

disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Sesuai dengan makna

harafiah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), maka guru adalah penyusun kurikulum

(tugas profesional guru sudah dirumuskan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU

Sisdiknas) dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), maka dari itu,

tugas pemerintah sudah dirumuskan dengan baik dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu

menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Dengan kata lain, porsi terbesar pembuatan

kurikulum seharusnya mengacu pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013,

kurikulum disusun oleh guru sendiri di masing-masing sekolah.9

Jadi sebenarnya pemberlakuan Kurikulum 2013 itu melanggar undang-undang, menabrak

10 prinsip good governance, abai pada debirokratisasi dan deregulasi, dan tidak mempunyai pijakan hukum.10 (pijakan hukumnya sangat lemah, hanya setingkat Peraturan Menteri yang

justru mengabaikan PP No. 32 Tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (lihat Pasal

77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dan

otonomi pendidikan direnggut dengan memangkas profesionalitas guru melalui pemangkasan isi

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (lihat

catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)

Permendikbud No. 81 A tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (pada saat

gencar-gencanrya pelatihan guru dalam Kurikulum 2013), ternyata hanyalah menyebut tentang SKS

(Lampiran I C Permendikbud No. 81A Tahun 2013) dan pedoman penilaian dalam Kurikulum 2013

9 Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien” , yang dirinci dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. (Lihat juga Catatan kaki No.4 dan Catatan kaki No.5) 10 Bandingkan dengan dasar hukum dari Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan. Dasar hukum Kurikulum 2013 adalah 28 Peraturan Menteri (yang terakhir adalah Permendikbud No.108 Tahun 2014) Permendikbud No. 158 Tahun 2014 justru tidak menyebut Kurikulum 2013, tapi SKS (lihat Pasal 5). Seharusnya 28 Permendikbud itu gugur menghadapi peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 77M PP No. 32 Tahun 2013 (28 Peraturan Menteri itupun juga hanya menyebut KTSP, bukan kurikulum baru atau KTSP 2013)

Page 22: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

10

20

(Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013) yang kemudian diubah beberapa kali. Padahal

penerapan SKS memerlukan prasyarat tumbuhnya kebebasan (mimbar) akademik, yang dijunjung

tinggi dalam otonomi pendidikan dan bertolak belakang dengan hegemoni pemerintah. Memang

pemerintah meng-claim sudah menjalankan SKS di beberapa sekolah, tetapi hal itu bukan penerapan

SKS dalam arti sesungguhnya seperti di sekolah-sekolah internasional atau di perguruan tinggi, yang

membutuhkan prerequisite mata pelajaran lanjutan yang akan diambil siswa dan mengenal

penambahan angka kredit untuk siswa yang mendapat IP tinggi (yang diwujudkan dengan

disiapkannya modul berkelanjutan, adanya moving class dan micro teaching), tetapi SKS yang

diterapkan di beberapa sekolah itu adalah SKS paket (1 semester 24 SKS, tak ada moving class dan

prerequisite penambahan angka kredit untuk IP yang berbeda-beda). SKS paket ini tak ubahnya

seperti penerapan kelas akselerasi yang sudah umum dilakukan pada sekolah unggulan dan RSBI.

Dengan demikian, nampak kebingungan birokrat Kemdikbud dengan Kurikulum 2013 :

a. Dicabutnya Permendikbud No. 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur

Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan

Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Implementasi Kurikulum 2013 di SD), dimana terlihat

jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi

guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SD

terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SD terdiri atas Pedoman Mata

Pelajaran dan Pembelajaran Tematik Terpadu) , juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata

pelajaran Agama dan Budi Pekerti dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3

(Silabus tematik terpadu dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan

muatan lokal oleh pemerintah daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dan

pembelajaran Tematik Terpadu dikembangkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah

Daerah).

Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas11 dan

kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas12 agar

pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada

Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS

11 Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : “Pemerintah hanya menyusun kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum saja”. 12 Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas : Pemerintah Daerah hanya berfungsi sebagai koordinator dan supervisor dalam pengembangan kurikulum (sesuai Standar Proses Kurikulum 2006), bukan malah sibuk mengikuti instruksi Pusat atau sibuk menyusun dan mengembangkan kurikulum menurut penafsiran sendiri, sehingga ketika terjadi keterlambatan pembagian ijazah lulusan sekolah saat ini, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan tidak tahu mesti berbuat apa.

Page 23: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

11

21

b. Dicabutnya Permendikbud No. 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur

Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan

Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMP, dimana

terlihat jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan

otonomi guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013

SMP terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMP terdiri atas Pedoman

Mata Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A

dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok

B dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah

daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan

atau Pemerintah Daerah).

Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan

kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar

pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada

Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS

c. Dicabutnya Permendikbud No. 69 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (yang

sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan Permendikbud No.

59 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMA, dimana terlihat jelas

hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi guru,

yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri

atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri atas Pedoman Mata

Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A dikembangkan

oleh pemerintah), Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok B dikembangkan

oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah daerah), Pasal

9 ayat 4 (Silabus mata pelajaran peminatan Kelompok C dikembangkan oleh pemerintah),

serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan atau

Pemerintah Daerah).

Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan

kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar

pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada

Pasal 11 UU Sisdiknas dan perumusan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM

dan MBS

Page 24: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

12

22

Dengan demikian, nampak jelas bahwa pencabutan Permendikbud No.67, No.68, No.69 dan No.70

Tahun 2013 hanya untuk memuluskan jalan bagi Kemdikbud dalam pembuatan Silabus tunggal

dan seragam serta dropping buku siswa dan buku pegangan guru, karena isi Bagian I A sampai

Bagian II D Permendikbud No.57, No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014 itu persis sama (copy paste)

dengan permendikbud yang dicabut tersebut. (Lihat Catatan * di Kata Pengantar). Di sinilah

pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism) mulai diterapkan dalam pendidikan.

Pemaksaan pemberlakuan kembali Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa jajaran

Kemdikbud bersikukuh pada visi dan misinya sendiri, meskipun rezim telah berganti, yang

mengabaikan Surat Edaran Mendikbud No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember

2014 dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember

2014. Pemaksaan itu sebenarnya adalah bentuk pembangkangan terhadap visi dan misi

Presiden RI yaitu Nawa Cita No. 5 (peningkatan kualitas pendidikan), dan Nawa Cita No. 8 (akan

menata ulang kurikulum pendidikan nasional) : lihat hasil survey berbagai lembaga internasional

terhadap rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia di bagian akhir dari Bab Pendahuluan.

Jadi kontradiksinya adalah ketidak-sinkronannya peraturan menteri dengan peraturan

perundangan di atasnya, berbagai ketentuan dalam pasal-pasal permendikbud di atas ini jelas-

jelas melanggar Undang-undang yaitu :

Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) tentang batas yang boleh dilakukan

oleh pemerintah agar tidak terjebak menjadi Kementerian Persekolahan atau Dinas

Persekolahan (hanya sebatas menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja).

Kemdikbud terjebak menjadi konseptor, eksekutor, implementor dan regulator. Kemdikbud

merambah sampai ke jantung persekolahan, sehingga keterlambatan pembagian ijazah

lulusan hanya dianggap sebagai masalah administrasi, bukan masalah pelanggaran hak azasi

siswa yang akan bekerja atau melanjutkan ke pendidikan berikutnya (para lulusan tidak

dibekali ijazah asli yang justru dituntut oleh semua lembaga penyeleksi para lulusan itu).

Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dengan pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005

: tentang diversifikasi kurikulum yang kontekstual (azas bhineka tunggal ika (unity in

diversity)

Jadi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam untuk seluruh Indonesia itu

yang disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam dan dikontrol oleh

para Pengawas itu, mengabaikan prinsip diversifikasi kurikulum (tidak

kontekstual dan abai pada aspek lokalitas (local wisdom) (Lihat catatan kaki No.4)

Sesuai dengan prinsip good governance, sesuatu yang sifatnya top down selalu

bermasalah (hal itulah yang hendak dicegah melalui PP No.19 Tahun 2005 pada Pasal

Page 25: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

13

23

19 ayat 3, Pasal 20, Pasal 52 ayat 1 dan Pasal 52 ayat 2). Pasal-pasal penting dalam

PP No.19 Tahun 2005 ini justru dihapus dalam Kurikulum 2013 (tidak ada lagi dalam

PP No.32 Tahun 2013). Namun Pasal 19 ayat 3 tetap dipertahankan, artinya

pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru, tapi anehnya : ada jabatan

Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, padahal di daerah sudah ada LPMP

(Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dengan tugas dan wewenang yang persis sama

dengan Pengawas itu (lihat Pasal 1 ayat 31 PP No. 32 Tahun 2013).

Kontradiksi mulai dimunculkan lagi di Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013

Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan :

i. Pengawas Sekolah melakukan supervisi manajerial

ii. Pengawas Mata Pelajaran melakukan fungsi supervisi akademik

iii. LPMP melakukan pengawasan administratif melalui EDS (Evaluasi Diri

Sekolah)

Maka Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 : Sistim dan

Entitas Pengawasan, ini bertentangan dengan dasar hukum Kurikulum 2013 yaitu isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Lihat juga catatan kaki No.4)

Banyak pihak yang salah mengartikan : dikira Pengawas ini sudah ada sejak dulu karena

mengacu pada Pasal 10 UU Sisdiknas. Padahal pengawasan oleh Dinas Pendidikan di masa

lalu, sesuai dengan bunyi lengkap Pasal 10 UU Sisdiknas, bukan hanya berfungsi sebagai

capacity building (koordinator dan supervisor pengembangan kurikulum) tetapi juga

membimbing dan membantu sekolah, bukan watch dog kebijakan sekolah, yang memastikan

bahwa Standar Proses dilaksanakan di tiap sekolah (Pengembangan Silabus, Pengembangan

RPP, implementasi PAKEM, dan pelaksanaan Pendidikan yang Kontekstual), tolok ukurnya

adalah sekolah berhasil menyusun Silabus dan RPP yang makin lama makin menunjukkan

kualitas pengembangan intelektual (sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking),

sehingga memastikan bahwa sekolah siap go international menjadi SBI (bukan sekedar

RSBI) yang ditunjukkan dengan siswa yang terbiasa dengan kurikulum internasional,

termasuk soal-soalnya (GMAT, SAT, TOEFL). Bukankah hal ini yang ditekankan pada

sekolah-sekolah unggulan dulu? Dengan demikian fungsi pengawasan oleh Dinas

Pendidikan adalah memastikan agar pertemuan rutin Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP)

menghasilkan pendidikan kolaboratif dan partisipatif sesuai prinsip PAKEM (bukan

supervisi manajerial atau supervisi akademik). Kalau di lapangan terbukti bahwa pertemuan

MGMP itu tidak lebih dari pertemuan arisan, maka yang perlu diperbaiki adalah pola

recruitment calon guru di PGSD/FKIP. Para calon guru SD harus lulusan SMA IPA karena

Page 26: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

14

24

mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang hari di kelas, terbiasa

dengan kegiatan praktikum IPA yang diperlukan dalam pembimbingan metode 5 M, dan

terpola untuk berpikir deduktif yang diperlukan dalam abstraksi tematik integratif di SD.

Dalam hal ini, kita harus belajar dari sekolah Pelita Harapan, Dian Harapan, dan Lentera

Harapan (Lippo Grup) yang kurang mempercayai kualitas calon guru di PGSD/FKIP yang

ada dan mendidik calon gurunya sendiri melalui Teacher College di Universitas Pelita

Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang. Atau Prof. Yohanes Surya yang kecewa dengan

menurunnya kualitas guru sains hingga mendidik calon guru sains sendiri melalui STKIP

Surya Institute di Sumarecon, Tangerang Selatan. Atau Sampoerna Academy Boarding

School, yang kecewa dengan kualitas cara mengajar guru sains dan matematika hingga

menyiapkan tenaga guru sendiri berbekal STEM (Science, Technology, Engineering dan

Mathematics) melalui Mathematics Education di Sampoerna University. Namun masalah

belum selesai karena mereka menghadapi persoalan baru yaitu turunnya minat generasi muda

berkualitas untuk menjadi guru (satu-satunya profesi yang mempunyai banyak pengawas

resmi).

Lalu Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 diamputasi menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :

guru hanya menyusun RPP (hak untuk menyusun silabus, menentukan materi ajar dan

sumber belajar (buku teks pelajaran), serta pelaksanaan proses pembelajaran (buku

pegangan guru) dirampas demi “proyek penyerapan anggaran”. Hak untuk menyusun

RPP itu juga dikebiri melalui pelatihan guru secara seragam di tingkat nasional yang

dikontrol ketat oleh para Pengawas, mengabaikan fungsi PPPG (Pusat Pengembangan

dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan

Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP, serta Kepala Seksi Kurikulum Dinas

Pendidikan di daerah, seolah-olah RPP adalah “barang baru” yang belum dikenal guru

Padahal Kurikulum 2006 sudah mengenal pembuatan Silabus dan RPP oleh guru

sendiri. Hal ini nampak dari Pasal 52 PP No. 19 Tahun 2005 tentang pedoman

penyusunan dan penetapan silabus, yang dihapus karena isi PP No. 32 Tahun 2013

langsung melompat dari Pasal 43 terus ke Pasal 64 (Pasal 52 dihapus). Dengan

demikian, guru bisa tidak tahu lagi cara membuat Silabus. Kalau guru tidak menguasai

pembuatan Silabus, bahayanya guru tidak lagi tahu cara membuat diktat dan modul

(sekolah tidak dapat menerapkan sistim baku SKS (bukan paket SKS). Kualitas guru

bukannya ditingkatkan untuk menghadapi era globalisasi dan liberalisasi

pendidikan saat ini, tetapi profesionalitas guru malah dipangkas dan guru

menjadi subordinasi Pengawas (supervisor akademik guru), bahkan dikesankan

Page 27: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

15

25

menjadi subordinasi para instruktur : harus mengikuti semua omongan instruktur : otonomi guru hilang. Nampak jelas bahwa Kemdikbud menganut

pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), sebab profesionalitas guru

sudah dirumuskan dengan baik pada Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir

(a) UU Guru dan Dosen. (Isi pasal-pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki No.2).

Profesionalitas guru ini diamputasi melalui ketentuan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013

(isinya memangkas kewenangan guru sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 PP No.

19 Tahun 2005) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat Catatan kaki No.2 di

Bab Pendahuluan). Dalam Kurikulum 2013 ini, Kemdikbud bukan saja

bertindak sebagai inisiator dan konseptor, tetapi sekaligus bertindak sebagai

implementor dan eksekutor, serta regulator, bahkan kebablasan sampai

menjadi evaluator keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 (survey kepuasan

publik atas Kurikulum 2013 juga dilakukan dan dibiayai oleh Kemdibud sendiri) :

betul-betul top down yang abai pada partisipasi publik (demokrasi “dibunuh” di

jantungnya sendiri : di sektor pendidikan, di sektor penyiapan generasi muda) suatu

hal yang menyalahi ketentuan Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas : tentang tugas profesional seorang guru

Jadi guru tidak boleh menunggu dropping silabus, buku ajar, buku pegangan

guru dan menunggu arahan bagaimana menerapkan metode pendekatan

saintifik (5 M), semuanya harus disusun sendiri, agar mampu membuat diktat,

LKS dan modul sendiri, sehingga siap maju ke SKS sebagaimana tertulis dalam

Lampiran I Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 dan Pasal 5 Permendikbud No.

158 Tahun 2014 Setelah keberadaan RSBI dihapus oleh MK (Mahkamah Konstitusi) melalui Keputusan MK

No.5/PUU-X/2012, Kemdikbud bukannya mendorong sekolah-sekolah agar maju ke SBI,

agar supaya bisa menerapkan SKS (sehingga kurikulumnya terakreditasi secara internasional

dan manajemen sekolah tersertifikasi ISO 9001:2008), tetapi Kemdikbud seperti

kehilangan arah, malah memangkas kewenangan guru melalui penetapan Pasal 20 PP No.

32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal menyusun RPP saja : guru menjadi sekedar tukang

mengajar dan petugas administrasi pengajaran). Kemdikbud malah terjebak dalam “pemujaan

terhadap kedangkalan” (cult of philistinism), luput menjadikan sekolah sebagai center of

excellence, dan lalai menjadikan pendidikan untuk “memanusiakan manusia muda”

Kemdikbud alpa untuk memberdayakan bonus demografi dalam penciptaan strong human

capital dan culture of excellence.

Page 28: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

16

26

Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen : tentang kewajiban profesi guru;

Menjadi guru profesional berarti guru yang mampu merencanakan semua

kegiatan belajar-mengajar (KBM) sendiri, termasuk mampu menilai secara

benar 13 Guru profesional jangan dikerdilkan menjadi guru yang lulus Diklat

sertifikasi guru selama 3 hari itu, tapi guru yang mampu memenuhi ketentuan isi Pasal

1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : guru yang mampu mengembangkan

kurikulum dengan standar yang lebih tinggi

Dengan diberlakukannya AFTA 2015 dan APEC 2020 maka profesionalitas guru

ditentukan dari kelulusan dalam sertifikasi internasional, kalau tidak memenuhi

ketentuan intenasional itu, kita akan terlindas dalam era globalisasi ini

Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 dan ayat 3 tentang otonomi guru dan otonomi

sekolah (kurikulum disusun sendiri oleh guru dan ditetapkan oleh Kepala Sekolah) sehingga

eksistensi Kurikulum 2013 dapat dipertanyakan, terutama dalam persiapan kita menyongsong

MEA 2015 dan APEC 2020, yang memerlukan kurikulum yang go international yang

diterapkan di SBI (sekolah Indonesia yang terakreditasi secara internasional)

Masalah SBI (sekolah bertaraf internasional) hendaknya tidak diartikan sebagai

sekedar memasang papan nama, tetapi sungguh-sungguh menyiapkan e-learning dan

digital library, termasuk keberadaan Bank Soal yang valid, kesemuanya itu

memerlukan kebebasan mimbar akademik dan otonomi pendidikan (otonomi sekolah

dan otonomi guru) seperti yang sudah dikembangkan pada era sekolah RSBI dulu dan

era sebelum Kurikulum 1994, yang seharusnya diacu pada penerapan SKS (Pasal 5

Permendikbud No.158 Tahun 2014).

Rujukan dasar hukum yang secara eksplisit tidak menyebut adanya Kurikulum 2013 tercermin dalam

Lampiran I C butir 1 b dan Lampiran I C butir 2 b Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang justru

menyebutkan adanya SKS, bukan adanya kurikulum baru.

Padahal Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum ini ditanda tangani

oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 27 Juni 2013, pada saat sibuk-sibuknya pelaksanaan pelatihan

Kurikulum 2013 (rupanya M. Nuh mengacu pada dasar hukum dari Kurikulum 2013, yaitu Pasal 77

M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : kalau guru mampu menyusun kurikulumnya sendiri,

maka guru juga dapat membuat diktat, LKS dan modul, hingga mampu melakukan monitoring proses

belajar (penilaian berbasis kelas), serta ahli dalam menyusun program pengayaan sendiri, oleh

karenanya bisa melangkah maju ke SKS), yang dikuatkan dengan ketentuan Pasal 5 Permendikbud

13 Lihat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 20 PP No.19 tahun 2005

Page 29: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

17

27

No.158 tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 17 Oktober 2014 : “sekolah

yang terkareditasi A, dapat menerapkan SKS”.

28 Permendikbud tentang Kurikulum 2013 kalau diteliti dengan cermat, sama sekali tidak

memuat adanya kurikulum baru, yang ada adalah KTSP, lalu kenapa pemerintah cq Kemdikbud

sibuk dengan kurikulum baru? Bukankah KTSP itu sudah dirumuskan dengan baik dasar hukumnya dan panduannya? (Lihat catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di

Bab Pendahuluan)

Kurikulum 2013 baru disebut dengan jelas dalam Pasal 2 ayat 1 Permendikbud No. 160 Tahun

2014 (istilah Kurikulum 2013 justru muncul setelah pergantian Mendikbud dan setelah penghentian

pelaksanaan Kurikulum 2013 lewat implementasi Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160

Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 itu), sebelumnya Kurikulum 2013 ini dikenal sebagai

KTSP 2013 (sebagaimana sudah diuraikan di atas, secara harafiah KTSP itu adalah kurikulum

sekolah, bukan kurikulum tunggal di level nasional. KTSP itu sifatnya lokal dan kontekstual. Jadi

istilah KTSP 2013 itu rancu, karena pengertian KTSP yang benar adalah KTSP awal (Kurikulum

2006) (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat 28

permendikbud terkait Kurikulum 2013 yang semuanya menyebut KTSP)(Lihat Catatan kaki No.5).

Akibat pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini, muncullah :

- (Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan sistim baku SKS (bukan paket SKS) yang mengusung

otonomi pendidikan, serta

- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 yang mengusung hegemoni pemerintah,

maka kerancuan dan kekeliruan terus membayangi dunia pendidikan dan pengajaran kita, lupa pada

Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007, yang

menyatakan bahwa pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) dan abai pada

pemberlakuan pasar bebas ASEAN (AFTA : ASEAN Free Trade Agreement) dimana sektor jasa

pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi arus modal asing dan lalu lintas SDM (sumber daya

manusia) dari negara lain. Apalagi menghadapi APEC 2020, dianggap masih jauh dan tak terbayang.

Pembatasan akses modal asing dalam sektor pendidikan dilakukan melalui Permendikbud No.31

Tahun 2014 14 yang justru bisa memancing reaksi negatif dari WTO dan menegasikan mekanisme

Badan Sektoral Khusus Buruh Migran (ACMW : ASEAN Committee on Migrant Workers) : hak

guru untuk bermigrasi ke negara lain adalah hak azasi manusia yang harus dilindungi. Pembatasan

melalui Permendikbud No.31 Tahun 2013 itu justru menunjukkan ketidak mampuan kita dalam

menyiapkan strong human capital dan culture of excellence dalam menghadapi era globalisasi ini.

14 Permendikbud No.31 Tahun 2014 tentang Kerja sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing

Page 30: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

18

28

Jadi kita harus siap menerima para guru asing yang terlatih dalam pembuatan silabus, penyusunan diktat (materi ajar/sumber belajar) dan modul, e-learning, dll, sementara guru kita

justru :

- makin konsumtif (akibat penghamburan dana sertifikasi untuk kegiatan non pendidikan),

karena program sertifikasi guru tidak terkait dengan uji kompetensi guru dan kinerja guru

- tidak lagi menguasai teknik pembuatan silabus, buta cara menyusun diktat, dan modul

- kurang memanfaatkan digital library (dikira digital library itu sama dengan e-book), serta

- kurang menguasai program penilaian menggunakan excell

Memang pemerintah pernah melaksanakan UKG (Uji Kompetensi Guru) beberapa tahun yang lalu

dan akan melaksanakan lagi di bulan November 2015, namun mengingat profesionalitas guru sudah

dipangkas melalui Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, maka hasilnya bisa ditebak, semua guru akan

dibuat lulus UKG (seperti semua siswa akan dibuat lulus UN). Sebab hasil UKG itu bisa

mendelegitimasi program sertifikasi guru (atas dasar apa tunjangan sertifikasi selama ini dikucurkan)

Sinyalemen yang penulis tuturkan pada peluncuran Cetakan 1 di bulan September 2015 ini sekarang

terbukti. Direktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

IPA, Kemdikbud, Sudiono, meminta guru tak mengkhawatirkan perolehan nilai. Hasil UKG tidak

akan mempengaruhi apa pun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan

kompetensi. “Ini hanya akan menjadi dasar pemberian materi atau modul dan bentuk diklat untuk

masing-masing guru,”, katanya. Jadi program tebar uang melalui sertifikasi guru yang tak terkait

dengan kompetensi atau kinerja guru memang terbukti. Bahkan melalui sertifikasi guru bisa

dirancang proyek baru yang berkelanjutan : diklat baru (jangan tanya diklat yang dulu itu untuk apa)

Pemerintah mencoba menyiasati MEA 2015 ini melalui pemberlakuan sertifikasi tenaga ahli

yang boleh bekerja di Indonesia, lupa pada ketentuan azas resiprokal dalam WTO. Kalau program

sertifikasi ini diterapkan oleh negara lain bagi TKI/TKW kita yang bekerja di luar negeri, akan

menjadi “senjata makan tuan” dan berakibat fatal bagi diri kita sendiri. Jutaan TKI/TKW kita akan

dipulangkan karena termasuk dalam uncertified workers, padahal lapangan kerja yang tersedia di

tanah air sudah semakin sempit. Dampak sosialnya akan sangat besar bagi negara kita.

Kerancuan berpikir ini hanya menunjukkan bahwa Kemdikbud selalu sibuk dengan misinya

sendiri, yaitu “penyerapan anggaran sebesar-besarnya” melalui 3 program besar : (1) program tebar

uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait dengan kompetensi dan kinerja guru, (2) pemberlakuan

UN manual, meskipun sudah digagas pemberlakuan UN Online yang logikanya bertolak belakang

dengan penghapusan Mata Pelajaran TIK di sekolah, dan (3) pemaksaan keberlanjutan Kurikulum

2013, abai pada Nawa Cita (Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8), serta abai pada Nawa Kerja.

Page 31: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

19

29

Pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini akhirnya :

Membiaskan tujuan pendidikan nasional, dari mencerdaskan kehidupan bangsa15 menjadi

meningkatkan kompetensi konseptual orang per orang16, yang nampak dari rumusan kerangka

dasar kurikulum (Kurikulum 2013), yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD),

yang tidak koheren dan ambigu17 Rumusan KI dan KD dalam Kurikulum 2013 yang sudah

disosialisasikan (dengan menambahkan kata SPIRITUAL pada KI dan KD) ternyata

dikembalikan lagi menjadi rumusan SK dan KD pada Kurikulum 2006 melalui Lampiran

Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab III A No. 1 c : “Kompetensi Inti merupakan gambaran

secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan dan ketrampilan

yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas atau mata pelajaran”.

(Kata “spiritual” yang tercantum eksplisit dalam Pasal 77 C PP No. 32 Tahun 2013, dihapus

(sikap sosial dan spiritual disatukan), dan Bab III A No. 1 d : “Kompetensi Dasar merupakan

kemampuan spesifik yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang terkait

dengan muatan atau mata pelajaran”. (Kata “spiritual” yang tercantum eksplisit dalam

Pasal 77 D PP No. 32 Tahun 2013, dihapus (sikap sosial dan spiritual disatukan)

Puskurbuk Kemdikbud berdalih : sikap adalah penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial. Jadi

bukan sikap yang dipahami sebagai afektif dalam KTSP awal (Kurikulum 2006) dan KTSP

Bimtek (2008)

Pendekatan ini menimbulkan masalah baru :

Sikap sebagai penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial, mengandung arti pendidikan

nilai, pengukuran sikap spiritual seharusnya menggunakan Spiritual Quotient (SQ),

sedangkan pengukuran sikap sosial seharusnya menggunakan Civic Quotient (CQ).

Sedangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dalam KTSP itu yang dimaksud adalah nama

lain dari afektif, kognitif dan psikomotor, mengandung arti pendidikan holistik. Sikap

(afektif) sendiri adalah pengembangan daya cipta, pengukurannya menakar afeksi yang

15 Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas 16 Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D Landasan Teoritis (lihat juga pada Catatan * tentang Permendikbud ini di Kata Pengantar) 17 Rumusan Kompetensi Inti mirip dengan rumusan Standar Kompetensi (Kurikulum 2006), hanya ditambah kata : SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 C PP No.32 Tahun 2013), sedangkan rumusan KD Kurikulum 2013 mirip dengan rumusan KD Kurikulum 2006, hanya ditambah kata : SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 D PP No.32 Tahun 2013, sehingga pengukurannya seharusnya menggunakan pengukuran Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam Multiple Intelligence. Namun rumusan ini diubah lagi melalui Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab III A No 1 c (untuk KI) dan Bab III A No. 1 d (untuk KD) : sikap spiritual dan sikap sosial disatukan sehingga rumusan KI dimirip-miripkan dengan SK, dan rumusan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan KD pada Kurikulum 2006

Page 32: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

2030

tercermin pada pemilihan Kata Kerja Operasional dengan skor pada Analisis Esensi Materi.

Dua pengertian yang berbeda jauh, yang membawa konsekuensi pada perbedaan pengukuran

keberhasilannya.

Rumusan KI dan KD yang baru ini membawa Kurikulum 2013 di simpang jalan : sebenarnya

Kurikulum 2013 itu ada atau tidak? Kalau KI pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan

dengan SK pada Kurikulum 2006, dan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan

KD pada Kurikulum 2006, maka nampaknya Kemdikbud berhasrat atau ingin

mengimplementasikan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 itu, tapi mata

anggaran di dalam APBN untuk pelatihan guru, pembuatan silabus, penyusunan buku ajar

dan buku pegangan guru nampaknya sudah terlanjur cair, the show must go on (at all cost).

Akibat sikap ambigu itu adalah kacaunya pedoman penilaian (beberapa kali harus diubah

tanpa penjelasan yang memadai dan tanpa memperhatikan bahwa rapor terdahulu sudah

terlanjur dibagikan ke orang tua) sehingga menyulitkan penulisan rapor siswa (rapor masih

manual dengan tingkat subyektivitas tinggi (tidak computerized), hingga rapor bukan lagi

penilaian otentik, karena narasi tidak berkorelasi secara langsung dengan capaian nilai

(dalam Rapor Lembar I : Evaluasi Hasil Belajar), dan narasi juga tidak berkaitan langsung

dengan hasil pengamatan (observasi) guru (dalam Rapor Lembar II : Monitoring Proses

Belajar), hingga mengacaukan arti KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal) sebagai batas

bawah kompetensi siswa18 dan KKI (Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal) sebagai batas atas

kompetensi siswa. Dalam beberapa kali perubahan penilaian (Permendikbud No.66 Tahun

2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan Peraturan Bersama Dirjen

Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014) terlihat bahwa

KKM tidak lagi digunakan pada program penilaian Kurikulum 2013 (KKM : 75 ≠ C, dan

KKM : 75 ≠ IP : 2). Kemdikbud membuat acuan baru, yaitu batas lolos adalah B ~ 2,67 atau

2,67~75%, yang justru membuat penilaian makin rancu, lihat Bab V Kompetensi vs Penilaian

Itulah sebabnya Kemdikbud sampai hari ini tidak berani mencetak buku rapor (Laporan Hasil

Belajar) Lembar I (evaluasi hasil belajar) dan Lembar II (monitoring proses belajar).

Kalau melihat pergantian istilah “Tugas Terstruktur” menjadi “Proyek” dan mengkaji

implementasi metode saintifik (metode 5 M), maka sebenarnya Kurikulum 2013 ini mengacu

pada PBL (project-based learning) sehingga penilaiannya seharusnya mengacu pada

18 Beberapa kali Pedoman Penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, tapi masih salah, lalu diubah lagi dengan Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 : kesalahannya dapat dilihat di Bab V, sehingga diubah lagi lewat Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas Hamid Muhammad dan Dirjen Dikmen Achmad Jazidie No. 5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang juga salah secara matematis, oleh karenanya program penilaian tidak bisa dilakukan secara computerized (interval nilai, konversi nilai dan predikat, serta KKM tidak terumuskan secara benar), padahal kita sudah memasuki era digital

Page 33: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

2131

Penilaian Rubrik, dimana kinerja siswa dihargai sebagai capaian paedagogisnya – padahal

Kurikulum 2013 masih menggunakan soal-soal Pilihan Ganda yang tidak cocok sama sekali

untuk penilaian rubrik yang sebenarnya mengukur tahap-tahap perkembangan kinerja siswa.

Portofolio (yang merujuk pada grafik kemajuan belajar siswa), dan monitoring proses belajar

siswa (yang menunjukkan daya serap siswa) tidak terukur, sehingga pendidikan holistik tetap

hanya menjadi slogan (rumusan kata-kata “sikap”, “pengetahuan” dan “ketrampilan” pada KI

dan KD itu tidak dapat serta merta ditafsirkan sebagai “afektif”, “kognitif” dan

“psikomotor”)19 Narasi pada rapor menjadi subyektif dan kualitatif, bahkan masih banyak

yang ditulis secara manual (bukan authentic assessment lagi).

Akibatnya, SPM, MBS dan manajemen kelas berdasarkan pemetaan potensi siswa (multiple

intelligence) menjadi terabaikan. Apa saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 6 SD ? Apa

saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 9 SMP sebagai bekal untuk penentuan jurusannya di

kelas 10 SMA? Apa saja yang mesti dikuasai anak kelas 12 SMA sebagai bekal untuk masuk

ke perguruan tinggi ? 20

Kalau SPM tidak kunjung ditetapkan, jangan heran kalau Bimbel (bimbingan belajar) dan les

privat menjamur dimana-mana. Orang tidak percaya lagi pada kualitas sekolah kita. Dengan

kata lain, mengirim anak ke sekolah hanya dipahami agar anak tidak menganggur di rumah,

sedangkan perkara intelektualitasnya diurus diluar jam sekolah melalui Bimbel/les privat. Hal

ini nampak jelas pada anak-anak yang akan melanjutkan studi ke luar negeri, mereka harus

menempuh kelas persiapan khusus (foundation) di berbagai lembaga pre-universities yang

makin menjamur, baru kemudian anak itu bisa menempuh test GMAT, SAT, TOEFL, dll

Padahal sampai satu dasa warsa yang lalu, ijazah kita masih diakui di luar negeri karena bobot

kurikulum kita yang sangat tinggi.

Puskurbuk berkilah bahwa SPM itu sudah ditetapkan dalam Permendikbud No.23 Tahun

2013, padahal kalau kita kaji, isinya adalah standar sarana dan prasarana yang minimal harus

ada di suatu sekolah, bukan SPM akademik yang dapat menjawab kenyataan : “kenapa

banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum kita?” 21

19 Rumusan “kognitif”, “psikomotor”, dan “afektif” pada KTSP selalu dikaitkan dengan pemilihan ranah Kata Kerja Operasional, bukan dipatok sejak awal melalui rumusan KI dan KD dimana sikap adalah gabungan dari sikap spiritual dan sikap sosial yang sukar terukur (sikap spiritual harus diukur melalui SQ dan sikap sosial melalui CQ) 20 Bandingkan dengan kurikulum internasional yang secara jelas mencantumkan SPM, seperti IB (International Baccalaureate), CIE (Cambridge International Examination), ACT (Australian Capital Territory Certification), SAT (Scholastic Aptitude Test atau Scholastic Assessment Test dari USA) 21 Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian IA No 2 b Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b Tantangan Eksternal (lihat Catatan * pada Kata Pengantar)

Page 34: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

22

32

(Uraian lebih rinci tentang SPM Akademik dapat dibaca pada Bab I Filosofi Pendidikan dan

Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM)

PTK dan PTS menjadi kegiatan yang berdiri sendiri, lepas dari konteksnya dalam strategi

pemecahan masalah pada pencapaian target kurikulum dan model belajar (siswa mau

diarahkan ke kognitivisme, behaviorisme, atau ke konstruktivisme, atau tidak kemana-mana)

Akibat dari pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional pada KTSP

Bimtek dan Kurikulum 2013 ini, ciri khas sekolah menjadi hilang, semua menjadi serba sama,

(Silabus sama, buku ajar sama, buku pegangan guru sama, bahkan metode pembelajarannya

(Metode 5 M) sama. Dengan demikian Visi dan Misi sekolah kehilangan konteksnya dalam

pembelajaran di kelas. Masing-masing guru mengajar tanpa menghiraukan Visi dan Misi

sekolah yang telah menjadi hiasan dinding itu. Beberapa sekolah mencoba merumuskan

ciri khas dan keunggulan komparatifnya melalui pendidikan humaniora dan

religiositas, namun terkendala cara pengukuran keberhasilannya dan bagaimana

mengintegrasikannya dalam rapor yang mengukur kompetensi siswa.

Melihat problematika SPM dan MBS yang tak kunjung diselesaikan ini, (SPM Akademik

belum terumuskan dan para Pengawas tidak mendorong agar sekolah dapat memperoleh

sertifikasi manajemen ISO 9001:2008), ditambah dengan rancunya menakar urgensi otonomi

pendidikan dan kebebasan mimbar akademik di sekolah, maka beberapa lembaga kemudian

berinisiatif mendidik tenaga gurunya sendiri. (Teacher College Universitas Pelita Harapan

untuk melayani kebutuhan guru sekolah-sekolah Lippo Grup (Sekolah Pelita Harapan, Dian

Harapan dan Lentera Harapan di berbagai kota), STKIP Surya Institute untuk melayani

kebutuhan guru sains dan matematika yang mampu membimbing siswa dalam Olimpiade

Sains dan Matematika, Mathematics Education Sampoerna University untuk melayani guru

yang memenuhi kualifikasi STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) bagi

Sampoerna Academy Boarding School. Masalahnya, generasi muda yang berkualitas

terlanjur tidak tertarik untuk menjadi guru, sehingga harus “dipancing” dengan beasiswa.

(Uraian lebih rinci tentang SPM dan MBS dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan

pada bagian MBS dan SPM)

Mengapa peluncuran Kurikulum 2013 ini memunculkan resistensi tinggi hingga perlu pemaksaan dari Dinas Pendidikan setempat ? Karena rumusan KI (KI 1 – KI 4) sangat berbeda

dengan rumusan KI universal (KI 1 – KI 6) (lihat penjelasan tentang KI yang harus dikuasai siswa

pada Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi), akibatnya KI dan KD tidak koheren, serta pijakan

hukumnya rancu :

Page 35: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

23

33

PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing

satuan pendidikan”) dan ayat 3 (“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh

kepala satuan pendidikan”) tidak pernah disosialisasikan. Kemdikbud tetap

melaksanakan pelatihan guru secara seragam dengan pengawasan ketat dari para Pengawas

(Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator kurikulum), melupakan sejarah

pendidikan dimana kualitas pendidikan kita pernah diakui di luar negeri dan para guru kita

pernah diminta mengajar di luar negeri. Pengambil-alihan wewenang sekolah dalam

menyusun kurikulumnya sendiri di sekolahnya sendiri memancing reaksi : apakah para guru

inti (instruktur) itu mempunyai kompetensi (apakah mereka spesialis disain kurikulum) dan

apakah rekam jejaknya (track record) memadai untuk menjalankan fungsi implementor dan

eksekutor “proyek”, karena yang dipertaruhkan adalah masa depan generasi muda kita.

Istilah “instruktur” juga memunculkan konotasi “subordinasi” (para instruktur merasa

mempunyai wewenang untuk mengharuskan macam-macam hal kepada para guru, padahal

banyak guru S-2 mempunyai jam terbang yang cukup tinggi dalam mengajar di sekolah

unggulan atau mantan RSBI atau kelas akselerasi, tapi sekarang mereka yang mumpuni ini

menjadi subordinasi instruktur yang hanya mendapat pelatihan beberapa hari itu), Apakah

para instruktur itu peduli dengan kemerosotan score para siswa kita dalam TIMSS (Trends in

International Mathematics and Science Study), PIRL (Progress in International Reading

Literacy) dan PISA (Programme in International Students Assessments)? (Banyak materi

yang diujikan dalam TIMSS dan PISA tidak ada dalam kurikulum kita (Lihat Bagian I A No.

2b Tantangan Eksternal pada Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013, yang di copy

paste dalam Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).

Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang ditatar lewat para instruktur itu makin miskin

materi. Apakah mereka peduli dengan makin menurunnya jumlah siswa yang mendapat

beasiswa dalam sains dan iptek ke luar negeri yang mencerminkan kualitas luaran kurikulum

kita yang tidak mampu bersaing di era global? Mengapa pertanyaan ini diajukan? Karena

para instruktur itu selalu menjalankan lurus-lurus apa yang didapat hanya dalam beberapa

hari pelatihan di tingkat nasional tanpa peduli bahwa dikemudian hari, permendikbud-nya

bisa berubah lagi. Karena permendikbud yang baru harus mengacu pada tata perundangan

yang lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013, terutama harus mengacu pada Pasal 77 M

ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 serta Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir

(a) UU Guru dan Dosen yang sudah mengatur profesionalitas guru. Harap diingat bahwa

permendikbud yang baru juga harus mengacu pada Nawa Cita No. 8 : “Akan menata kembali

Page 36: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

24

34

kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan

kewarganegaraan” dan Presiden Jokowi sudah menyatakan : “Tidak ada lagi visi dan misi

kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden” (Pidato Presiden Jokowi pada

pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014). Ada upaya Kemdikbud

untuk “melupakan” dan mengabaikan Nawa Cita No. 8 dan Pidato Presiden Jokowi

pada pelantikan menteri ini, lalu sibuk dengan misi Kemdikbud sendiri (meskipun

rezim sudah berganti), yaitu menggolkan Kurikulum 2013 bikinan rezim lama at all

cost.

Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 tidak sinkron dengan Pasal 38 UU Sisdiknas

Didalam Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 : “Silabus merupakan rencana

pembelajaran pada mata pelajaran atau tema tertentu dalam pelaksanaan kurikulum”, dalam

ayat 3 : “Silabus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikembangkan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah dan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing”.

Sedangkan kewenangan pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Kerangka dasar dan

struktur kurikulum ditetapkan oleh pemerintah”. (tidak merambah sampai ke silabus, buku

ajar, buku pegangan guru, dll)

Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai koordinator dan supervisor pengembangan

kurikulum, juga sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah

dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan

dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau

kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk

pendidikan menengah”.

Jadi dropping Silabus tunggal dan seragam melalui pelatihan guru yang seragam secara

nasional itu melanggar kewenangan satuan pendidikan (sekolah) serta hak koordinasi dan

supervisi dari Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten atau Dinas Pendidikan Propinsi, untuk

mengembangkan kurikulum yang relevan bagi daerahnya (azas diversifikasi kurikulum

seharusnya dipertahankan). Kenapa potensi daerah tidak tergarap? Karena wewenang Kepala

Seksi Kurikulum di Dinas Pendidikan tumpang tindih dengan tugas para Pengawas, dan tugas

LPMP telah diambil oleh Pengawas, sehingga penjaminan mutu pendidikan tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, penjaminan mutu hanya bisa

berjalan bila guru mampu mengembangkan Silabus dan RPP sendiri sesuai Standar Proses.

Di lain pihak tugas pemberdayaan guru yang diemban oleh PPPG/PPPPTK sudah diambil

Page 37: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

25

35

alih para instruktur nasional, para guru diharuskan menerapkan lurus-lurus instruksi para

instruktur. Tugas dan wewenang Kepala Sekolah yang sudah dibina melalui LPPKS

dimentahkan oleh keberadaan Pengawas Sekolah (Lihat Lampiran Permendikbud No.65

Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan). Aplikasi Kurikulum 2013 tidak

boleh melenceng sedikitpun dari bahan tatar. (Lihat Catatan kaki No. 4 dan Catatan kaki

No.5). Inilah saatnya, Kemdikbud melakukan reformasi birokrasi, bila Kemdikbud mau

melaksanakan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8

Akhirnya, isi Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014 dilupakan, Kemdikbud tidak

mempersiapkan sekolah menuju ke SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan para Pengawas

tidak mempersiapkan sekolah meraih sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, padahal era

globalisasi dan liberalisasi pendidikan sudah diberlakukan di tahun 2015 ini (strong human

capital dan culture of excellence tidak tersentuh dalam Kurikulum 2013).

Kenapa silabus tidak boleh diurus oleh pemerintah?

Alur filosofinya jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak KBK (2004), KTSP Bimtek (2008) dan kini

pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu perpaduan antara:

Silabus Pemelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi pada tugas (taks-based

syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus) dan Silabus kontekstual

(situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau dari penataran Kemdikbud

yang seragam itu karena mengingkari hakekat Silabus kontekstual (situational syllabus). Kalau

silabus dirumuskan oleh pemerintah, maka kelompok penyusun silabus bentukan pemerintah ini,

yang terdiri dari orang-orang dengan bermacam-macam latar belakang, yang tidak mendalami sejarah

pendidikan Indonesia, akan cenderung kompromistis untuk mengejar tenggat waktu, sehingga

banyak bahan ajar/materi yang hilang dari silabus (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun

2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste di Lampiran Permendikbud

No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b) (lihat Catatan * di Kata Pengantar)

Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (“Silabus dikembangkan oleh pemerintah,

pemerintah daerah, dan satuan pendidikan sesuai kewenangan masing-masing”), ayat ini

tidak mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas yang menjunjung otonomi sekolah

(“Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip

diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik”).

Jadi jelaslah, bahwa Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 ini sejak semula digunakan untuk

melegitimasi pembuatan silabus oleh pemerintah (memangkas otonomi sekolah) sehingga

Page 38: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

26

36

pemerintah merasa punya hak untuk membuat juga buku ajar dan buku pegangan guru (mengebiri

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005), namun maksud hegemoni pemerintah ini justru melanggar UU di

atasnya. Kalau guru tidak lagi bisa membuat Silabus, maka guru tidak mungkin bisa membuat diktat

dan modul, penerapan SKS menjadi angan-angan saja (Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014

itu menjadi utopia). Yang ada adalah penerapan paket SKS yang sudah lama dilakukan pada sekolah-

sekolah RSBI dulu dan kelas akselerasi, yang tidak mungkin diakreditasi secara internasional.

Pasal 77 F ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 ini secara jelas menunjukkan bahwa

Kemdikbud sebagai inisiator Kurikulum 2013 juga bertindak sebagai implementor dan

regulator, serta evaluator pendidikan. Suatu rangkap jabatan yang sangat ditentang dalam

era reformasi karena menyalahi sepuluh prinsip good governance, yang tertuang dalam Pasal

4 UU No.25 Tahun 2009.

Kenapa kekeliruan ini bisa terjadi?

Karena sejak awal rupanya Kemdikbud bermaksud meniadakan otonomi pendidikan (otonomi

sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) demi “proyek penyerapan anggaran 20%

dari APBN untuk sektor pendidikan” Kalau besaran APBN kita lebih dari Rp.2.000 trilyun, maka

anggaran untuk sektor pendidikan kurang lebih adalah Rp.400 trilyun. Untuk pendidikan dasar dan

menengah di lingkup Kemdikbud saja Rp. 45 trilyun. Bingung, kan bagaimana penyerapan dana

sebesar itu? Kenapa tidak dirupakan kelengkapan sarana dan prasarana sekolah? Karena spec

alatnya mudah dimonitor sehingga tidak mungkin di mark up. Disamping itu, pembelian peralatan

hanya sesaat (tidak berkelanjutan), sekolah yang sudah mempunyai peralatan CCTV tidak mungkin

membeli CCTV yang baru. Maka digagaslah program berkesinambungan yaitu program tebar uang

melalui sertifikasi guru yang tidak terkait uji kompetensi guru dan kinerja guru, sistim evaluasi

tunggal (UN) dan peluncuran kurikulum baru, dengan mengubah peraturan (Lihat Catatan kaki No.25

: mengubah peraturan sebagai modus pencairan dana)

Lihatlah rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : “Perencanaan pembelajaran merupakan

penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran”.

Bandingkan dengan rumusan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum

Kurikulum 2006 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana

pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi

ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.

Page 39: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

27

37

Jadi jelas bahwa Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 ini menghapus kewenangan guru dalam membuat

silabus, menentukan materi ajar dan sumber belajar. Dengan kata lain, kewenangan untuk membuat

silabus sendiri, memilih sendiri buku ajar dan buku pegangan guru dirampas.

Guru dikerdilkan hanya menjadi penyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), itupun RPP

yang seragam lewat pelatihan guru yang seragam dan sama secara nasional, terjadi pendangkalan

makna profesi guru dan wewenang keguruan (cult of philistinism)

Jadi pendidikan selama 4 tahun di FKIP itu dikerdilkan hanya menjadi kemampuan menyusun

RPP, dan juga banyak guru dari mantan sekolah RSBI itu berpendidikan S-2, wajarkah bila

mereka juga harus mengikuti pelatihan penyusunan RPP dalam Kurikulum 2013?

Jelas sekali bahwa proyek pelatihan guru ini adalah proyek penghamburan uang rakyat (porsi

terbesar postur APBN kita diperoleh dari pajak yang dibayar oleh rakyat)

Harap diingat, sebenarnya PP No. 19 tahun 2005 ini masih berlaku dengan diberlakukannya

Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh

Mendikbud Anies Baswedan tanggal 11 Desember 2014, namun “proyek besar penyerapan

anggaran” melalui Kurikulum 2013 ini tetap meneruskan dan melestarikan hegemoni pemerintah

melalui pelatihan guru secara seragam dan sama secara nasional, yang dilengkapi dengan keberadaan

Pengawas, yang menghapus kebebasan mimbar akademik para guru

Isi ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), yang dijabarkan

dalam Pasal 7 butir (h) dan Pasal 14 butir (c ) UU Guru dan Dosen : guru berhak mendapat

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan sehingga bebas dari

ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi (hanya karena guru tersebut mau

melaksanakan Kurikulum 2006 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3

Permendikbud No.160 Tahun 2014). Ternyata kebebasan mimbar akademik ini digerus

dengan dikeluarkannya peraturan yang lebih rendah, yaitu Lampiran Permendikbud No.65

Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan, yang memberi wewenang penuh

kepada :

- Pengawas Sekolah untuk mengontrol manajemen sekolah (mengabaikan MBS yang sudah

diatur dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)

- Pengawas Mata Pelajaran untuk mengontrol guru mata pelajaran (mengabaikan

profesionalitas guru yang sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20

butir (a) UU Guru dan Dosen

Page 40: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

28

38

Fungsi kepengawasan ini dengan sengaja dirancang untuk penyeragaman kurikulum dan

pemberlakuan kurikulum tunggal (Kurikulum 2013) dengan pendekatan kekuasaan, yang menabrak

azas diversifikasi kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan

pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005.

Secara sadar dan terencana, Kemdikbud telah menurunkan harkat dan martabat guru sebagai

pendidik, menjadi sekedar tukang mengajar dan petugas administrative, demi mengejar

misinya sendiri (abai terhadap Nawa Cita No.8). Kemdikbud lupa akan “proyek yang lebih

besar” yaitu menyiapkan sekolah dan para guru dalam menyongsong era globalisasi dan liberalisasi

pendidikan yang sudah dimulai tahun 2015 ini agar memenuhi aspirasi yang diusung oleh Nawa Cita

No.5 (Kemdikbud harus menyiapkan strong human capital dan menciptakan culture of excellence).

Pengucuran anggaran yang begitu besar untuk sosialisasi Kurikulum 2013 dan

pencetakan buku ajar, serta buku pegangan guru telah membuat sarana dan prasarana pendidikan kita terbengkalai. Masih banyak bangunan sekolah yang rusak, sarana

laboratorium yang kurang memadai untuk kegiatan intra kurikuler : praktikum IPA dan

praktikum akuntansi, laboratorium Bahasa yang menjadi barang langka di banyak sekolah,

peralatan olah raga dan musik terbengkalai, dll Bagaimana mungkin dengan kondisi

persekolahan yang kurang memadai ini, sekolah dapat diharapkan menerapkan moving class

dan micro teaching agar mampu melaksanakan pembelajaran mandiri dalam SKS

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 ?

Sejak disosialisasikannya KTSP Bimtek (2008) yang berbeda dengan Kurikulum 2006 (KTSP awal),

dan kemudian dilanjutkan dalam Kurikulum 2013, di lapangan muncul adanya Pengawas Sekolah

dan Pengawas Mata Pelajaran sebagai cerminan hegemoni pemerintah dalam pengajaran dan

pembelajaran di kelas (bukan sekedar hegemoni pendidikan), padahal jabatan pengawas itu tidak

dikenal dalam UU Guru dan Dosen (guru dan dosen tidak perlu diawasi)22 tapi muncul dalam

peraturan yang lebih rendah yaitu Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 : Sistim dan Entitas

Pengawasan (Permendikbud tentang Pengawas ini menyalahi tata urutan perundangan yang

ada, kalau Permendikbud menyalahi aturan yang lebih tinggi, harusnya gugur demi hukum)

(Lihat catatan kaki No.4)

Dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 malah disebut fungsi pengawasan internal itu

melekat pada setiap satuan pendidikan (sekolah) dan tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.

22 Isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 itu sama dengan isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : pengawasan itu inheren dalam tugas professional guru (lihat juga Catatan kaki No. 4)

Page 41: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

29

39

32 Tahun 2013 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,

pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses

pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”.

Sudah layak kita mengikuti analogi pergantian jabatan rektor perguruan tinggi, setelah seseorang

tidak lagi menjabat rektor, maka dia kembali mengajar sebagai dosen biasa. Bahkan mantan

Mendikbud Prof Dr. Fuad Hasan telah memberi contoh, setelah tidak lagi menjabat menteri, beliau

kembali mengabdi sebagai dosen UI. Kenapa untuk mantan Kepala Sekolah harus disediakan jabatan

khusus : Pengawas Sekolah ? Lebih aneh lagi adalah Pengawas Mata Pelajaran : apakah mereka itu

para doktor yang lulus cum laude sehingga merasa berhak mengawasi pelaksanaan mata pelajaran di

kelas dan mengatur guru S-1 atau S-2 mata pelajaran yang sudah dididik di PGSD/FKIP serta sudah

disertifikasi ?

Sebab kalau kita rujuk pada Pasal 23 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32

Tahun 2013) dinyatakan bahwa supervisi juga dilakukan oleh sekolah (bukan oleh pengawas) :

“Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 3 meliputi

pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang

diperlukan”.

Hal ini sudah lama dipraktekkan, supervisi guru dilakukan oleh Kepala Sekolah masing-masing, tapi

tiba-tiba muncul Pengawas Mata Pelajaran, sehingga guru mempunyai dua atasan, yaitu Kepala

Sekolahnya dan Pengawas Mata Pelajaran. Dualisme ini harus segera diakhiri kalau kita ingin

menegakkan otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik, yang pada masa lalu telah memantik

kreativitas guru dan menjadikan pendidikan di negara kita sebagai rujukan bagi negara lain.

Demikian juga halnya dengan keberadaan Pengawas Sekolah, padahal kriteria untuk menjadi

Kepala Sekolah sudah dirumuskan dengan jelas dalam Pasal 38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak

diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) dan peraturan turunannya yaitu Permendiknas No.28 Tahun

2010, lalu kenapa ada Pengawas Sekolah ? Bukankah hal ini melanggar azas otonomi sekolah (Pasal

77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013)? (lihat juga Catatan kaki No.4)

Kemdikbud berkilah bahwa keberadaan Pengawas ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU

Sisdiknas, padahal bunyi lengkap pasal ini adalah “Pemerintah dan Pemerintah daerah berhak

mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan”, padahal arti

sebenarnya adalah :

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi

penyelenggaraan pendidikan, yang artinya mengarahkan, membimbing, membantu dan

Page 42: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

30

40

mengawasi standarisasi proses pendidikan, bukan mengarahkan, membimbing, membantu

dan mengawasi penyelenggara pendidikan atau mengawasi sekolah.

Artinya, sesuai dengan UU, Pengawas seharusnya tidak mempunyai fungsi komando ke

sekolah

Jadi keberadaan Pengawas seharusnya terkait dengan Standar Proses (Pengembangan RPP,

Pengembangan Silabus, Penerapan PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT, serta aplikasi

pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning)

2. Pengawas bukan saja menjalankan fungsi pengawasan an sich, tetapi juga mengarahkan,

membimbing dan membantu tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) secara lebih

cepat.

Kehadiran para Pengawas ini juga mengacaukan arti SKM (Sekolah Kategori Mandiri) :

mandiri dalam hal apa? Kenyataannya, sekolah secara finansial masih didukung oleh dana BOS dan

macam-macam dana pemerintah yang lain; secara paedagogik : kurikulumnya ditentukan oleh

Kemdikbud; secara didaktik : metode dan sistim konversi nilai juga sudah digariskan oleh

Kemdikbud. Jadi SKM ini tidak lebih dari slogan kosong, sama kosongnya seperti rumusan Visi dan

Misi sekolah, karena semua sekolah sudah dibuat seragam, seragam bajunya dan seragam

kurikulumnya, apapun Visi dan Misi sekolahnya.

Munculnya Pengawas ini dulu seiring dengan dikucurkannya dana BOS mengabaikan fungsi

pengawasan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai aparat

sampai ke daerah dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) atau Inspektorat Wilayah Propinsi

(Itwilprop) dan Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab)

Mungkin ada pejabat yang menyalah-artikan kata penilik sekolah dan menyamakan dengan

pengawas, padahal dalam Pasal 40 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 (dan tidak diubah dalam PP No. 32

Tahun 2013) : penilik sekolah itu adalah pengawas pendidikan non formal, bukan pendidikan formal

“Pengawasan pada pendidikan non formal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan”.

Mungkin pula ada pejabat yang menyatakan : bukankah pengawas itu sudah ada sejak dulu?

Tidak benar, yang ada adalah Dinas Pendidikan menjalankan fungsi supervisi pengembangan

kurikulum sebagai amanat dari Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan mandat Pasal 1 ayat 2

Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan

standar yang lebih tinggi (bukan kurikulum seragam, apapun visi dan misi sekolahnya) (Dinas

Pendidikan mensupervisi apakah Isi Standar Proses Kurikulum 2006 : Pengembangan Silabus,

Pengembangan RPP, PAKEM dan Pendidikan yang konstektual, sudah dijalankan atau belum), maka

kurikulum sekolah Taman Siswa bisa berbeda dengan kurikulum sekolah Muhammadiyah, bahkan

kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda, sehingga orang tua mempunyai pilihan terbuka.

Page 43: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

31

41

Sama halnya kalau orang tua memilih menyekolahkan anaknya ke ITS atau ke ITB, pilihan terbuka

karena kurikulumnya berbeda, meskipun kedua perguruan tinggi itu sama-sama menawarkan studi

sains dan iptek.

Jadi fungsi supervisi Dinas Pendidikan di masa lalu justru memacu tumbuhnya keunggulan

lokal dari setiap sekolah, bukan menyeragamkan kurikulum seperti yang dilakukan para Pengawas

sekarang. (lihat Catatan kaki No.4)

Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia, Cucu Saputra, mengatakan bahwa peran

pengawas selama ini, di sekolah lebih banyak berorientasi pada hal-hal yang berkaitan dengan

administrasi guru, tidak pada substansi pengembangan dan inovasi pembelajaran. Bahkan,

cenderung menjadi perpanjangan tangan kebijakan nasional di bidang kurikulum yang ujungnya

bersifat administratif. Menurut Cucu, pengawas seharusnya membimbing sekolah guna

mempercepat pencapaian standar nasional pendidikan. Pengawas juga perlu mendorong sekolah

mengedepankan manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel. (KOMPAS, Selasa 11 Agustus

2015 halaman 11 : "Beban Pengawas Berat – Orientasi Masih Administrasi")

Keberadaan Pengawas yang justru memasung kebebasan mimbar akademik itu juga

melanggar ketentuan Pasal 7 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru

dan Dosen) karena mengingkari prinsip prosefionalitas guru : “Pendidik memiliki jaminan

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” – jadi guru tidak boleh diancam

akan dicabut tunjangan sertifikasinya hanya karena guru tersebut tidak mau melaksanakan

Kurikulum 2013 dan lebih memilih menerapkan Kurikulum 2006 yang dasar hukumnya secara jelas

sudah terumuskan dalam Catatan kaki No.2

Guru yang kreatif (yang mampu berpikir out of the box dalam era digital ini), guru yang bisa

melihat alternatif lain dari arus pemikiran mainstream (arus maninstream nekad melaksanakan

Kurikulum 2013 tanpa perbaikan), atau guru yang mampu melihat alternatif lain dari SAS dan SIP

di Prov DKI Jakarta) atau guru yang mampu melihat kemungkinan peluang lain ini seharusnya

dianggap sebagai aset bangsa, karena memberi nuansa baru dalam era liberalisasi dan globalisasi

pendidikan dewasa ini : Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (c) UU Guru dan Dosen : “Pendidik memperoleh

perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual” Mereka ini adalah

perintis jalan untuk digitalisasi kurikulum dan e-learning, dari tangan merekalah terlahir kurikulum

berbasis kearifan lokal. Mereka seharusnya didukung, bukan malah diancam akan dikeluarkan dari

sistim, hanya karena sikap kritis mereka terhadap Kurikulum 2013 atau Ujian Nasional (Kurikulum

2013 atau SAS dan SIP. Kurikulum 2013 beserta semua perangkatnya bukan kitab suci yang wajib

diikuti dan ditaati dan instruksi Pengawas bukan kebenaran yang harus dilaksanakan, dunia

pendidikan sejak lama dikerdilkan dengan tafsir tunggal dan sistematik.

Page 44: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

32

42

Para guru yang menjunjung semangat elaborasi substansi pendidikan ini seharusnya dilindungi,

sesuai ketentuan Pasal 14 ayat 1 butir (g) UU Guru dan Dosen : “Pendidik memperoleh rasa aman

dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas” - mereka seharusnya bebas dari intimidasi para

Pengawas dan Dinas Pendidikan, sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen :

“Perlindungan hukum mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman,

perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi” Namun melalui

legitimasi peraturan yang lebih rendah (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2

b) semua pasal UU ini menjadi tidak berarti karena kedudukan guru justru dikukuhkan sebagai

subordinasi Pengawas (Kemdikbud secara sengaja telah mendefungsionalkan jabatan guru hanya

demi penerapan Kurikulum 2013) dengan sanksi pencabutan tunjangan sertifikasi atau mengelirukan

data pendidik dalam Dapodik sehingga pendidik sulit mengurus hak-haknya. Pengawas dan Dapodik

menjadi “penguasa baru” dalam mengontrol sekolah dan para guru.

Apa bahayanya bila jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata pelajaran ini dilestarikan?

Anggaran Kemdikbud akan habis hanya untuk memberi tunjangan dan fasilitas bagi PNS non guru,

birokrat non struktural, serta belanja pegawai, sehingga infrastruktur pendidikan terbengkalai (tidak

cukup anggaran untuk up dating dan upgrade laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium

komputasi, laboratorium akuntansi, sarana prasarana olah raga dan musik, serta logistik kepramukaan

dan kelengkapan UKS/UKGS). Akibatnya pendidikan holistik hanya menjadi slogan. Praktikum di

laboratorium yang sebenarnya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa diturunkan menjadi

kegiatan visual melalui demonstrasi di depan kelas, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan

peralatan lab. Laboratorium komputasi yang sebenarnya ditujukan untuk melatih siswa menjadi

programmer telah dihapus dan diturunkan derajatnya : siswa hanya menjadi sekedar user. Prestasi

olah raga kita makin memburuk dan siswa kita cenderung makin gemuk karena kurang gerak, akibat

minimnya fasilitas olah raga di sekolah, sedangkan di rumah mereka hanya sibuk dengan gawai

(gadget), atau menonton sinetron di TV, dll Dengan kata lain, kurikulum adalah pertaruhan masa

depan generasi muda kita, bukan proyek yang abai terhadap arus globalisasi dan liberalisasi

pendidikan (yang dicoba ditahan dengan Permendikbud No.31 Tahun 2014 tanpa merujuk pada

ketentuan WTO dan mekanisme ACMW)

Seandainya para penyusun Kurikulum 2013 itu berorientasi pada Finlandia, dan bukan

kepada negara-negara OECD, maka mereka pasti menyadari pentingnya tut wuri handayani dan tidak

mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli 23 melalui keberadaan pengawas, dan tidak akan

23 Tut wuri handayani : “memberi support dari belakang”. Tut wuri hanggondeli : “menelikung dari belakang”.

Page 45: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

33

43

mengubah Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 201324 Ketidak

acuhan jajaran Kemdikbud terhadap kunjungan Presiden Finlandia awal November 2015 ini ke

Indonesia, jelas menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri,

melupakan visi dan misi Presiden RI yang tertuang dalam Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8.

Pengubahan isi ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 ini jelas-jelas untuk memuluskan rencana

pemerintah dalam “proyek penyerapan anggaran” melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar

(materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku panduan pelaksanaan proses pembelajaran

di kelas) dan pencetakan format rapor yang baru. Kita memasuki era pendangkalan (cult of

philistinism).

Pengubahan peraturan setingkat PP ini di kementerian lain bisa memancing persoalan hukum yang

serius 25 dan masuk dalam ranah penyelidikan KPK, karena pengubahan peraturan itu sudah menjadi

modus yang dikenal luas untuk pengucuran dana. (Inisiator tidak boleh sekaligus menjadi

implementor atau eksekutor dan regulator, apalagi menjadi evaluator keberhasilan proyek. Hal ini

jelas-jelas melanggar sepuluh prinsip good governance (tata kelola yang baik) sebagaimana sudah

diatur dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009 dan tuntutan Nawa Cita No.1.

Oleh sebab itu, secara cerdik, Presiden SBY menyisipkan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32

Tahun 201326 untuk memotong hegemoni pemerintah ini, sekaligus mempertahankan isi Pasal 20 PP

No. 19 Tahun 2005 ini. Sebenarnya Presiden SBY ingin mempertahankan fungsi guru sebagai

pendidik (bukan sekedar tukang mengajar, atau petugas administratif RPP, yang hanya tahu arahan

pembuatan RPP dengan metode tunggal (5 M), tetapi guru sebagai konseptor, inisiator, disainer

kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, sayang sekali “proyek besar” telah membuat

orang gelap mata.

Mengapa disebut “gelap mata” ? Karena meskipun sudah ada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3

Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, orang

tetap melanjutkan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang bertolak belakang dengan Kurikulum

2006 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di catatan kaki No. 2 pada Bab Pendahuluan), semata-mata

24 Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. Bandingkan dengan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : “Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran”. 25 Ingat kasus Bank Century, yang diawali dengan pengubahan PBI (Peraturan Bank Indonesia) untuk memuluskan bail out (dana talangan) Bank Century 26 Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan”. Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan Pendidikan”.

Page 46: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

34

44

demi kelangsungan dan keberlanjutan “proyek besar”, lalu melupakan ketentuan Pasal 5

Permendikbud No.158 Tahun 2014, karena Kurikulum 2013 tidak compatible dengan sistim baku

SKS yang memerlukan prasyarat khusus, mulai dari moving class sampai pembuatan diktat, LKS,

dan modul. Kurikulum 2013 ini hanya cocok untuk paket SKS, yang tidak lain adalah baju baru dari

kelas akselerasi di sekolah unggulan atau mantan sekolah RSBI dulu.

Kalau guru tidak bisa membuat silabus, tidak bisa lagi menyusun diktat (karena buku

ajar/materi/sumber belajar sudah ditentukan oleh pemerintah) dan bingung dengan proses penilaian,

bagaimana mungkin para guru bisa membuat LKS, dan modul serta mampu melaksanakan

monitoring proses belajar dan evaluasi hasil belajar sebagaimana dituntut dalam sistim baku SKS ?

Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan dasar hukum, tercermin pula pada Mendikbud Anies

Baswedan :

Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : “Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum

2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri”.

Bagaimana mungkin Kurikulum yang diluncurkan tahun 2006, aturannya baru akan

disusun tahun 2015 ? Kalau Mendikbud Anies Baswedan merujuk pada tata perundangan,

maka seharusnya tidak boleh ada Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini karena sudah

ada peraturan yang satu tingkat lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013. Dalam Pasal 77 M

ayat 1 dinyatakan bahwa kurikulum itu adalah wewenang guru.

Kurikulum disusun oleh guru sendiri dan dilaksanakan di sekolahnya sendiri. Bukan disusun

oleh pemerintah dan dilaksanakan di semua sekolah. Ketentuan ini selaras dengan isi

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2006. Pasal 6

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini seharusnya juga tidak boleh ada bila Mendikbud

Anies Baswedan mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum itu

ditetapkan oleh kepala sekolah, bukan ditetapkan oleh pemerintah atau Puskurbuk.

Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan

menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat Catatan kaki No. 2

tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Kenapa mesti membuat

peraturan baru yang memaksakan pemberlakuan Kurikulum 2013 dan abai pada

Nawa Cita No.8 ?

Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : “Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006

paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020”.

Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan

Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.

Menghadapi AFTA 2015 saja kita tidak siap : tidak melihat bahwa migrasi guru adalah hak

Page 47: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

35

45

azasi yang harus dilindungi sesuai dengan mekanisme ACMW, bagaimana kita akan bersaing

dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri Indonesia, bila kita berkukuh

pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini, dan tidak menyiapkan guru-

guru kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong pemberlakuan sistim baku SKS

(bukan paket SKS) menuju ke SBI, yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO

9001:2008? Bukankah pemberlakuan KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 telah

membuat pendidikan kita terpuruk? (lihat survey di bagian akhir dari Bab Pendahuluan ini)

Melanjutkan kembali Kurikulum 2013 pada saat ini atau nanti pada tahun pelajaran

2019/2020 jelas-jelas mengabaikan amanat Nawa Cita No.8 : “Akan menata kembali

kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan

kewarganegaraan” dan melupakan pidato Presiden Jokowi saat pelantikan Menteri Kabinet

Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Presiden mengingatkan para menteri bahwa visi dan misi

Presiden adalah yang utama dan tak ada lagi visi kementerian”

Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang

hendak membatasi masuknya modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi

negatif WTO dan ACMW. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kualitas pendidikan kita

melalui e-learning berbasis kurikulum digital sehingga kita sungguh-sungguh menyiapkan generasi

muda kita dalam menghadapi MEA 2015.

Simpulan, kalau kita kaji lagi secara mendalam :

28 peraturan menteri terkait Kurikulum 2013 yang dibuat oleh Mendikbud M.Nuh selama

kurun waktu 2013-2014, terlihat bahwa yang selalu disebut berulang-ulang adalah KTSP.

Oleh sebab itu kita perlu mengenali arti harafiah KTSP (kurikulum tingkat sekolah) dan arti

filosofisnya yaitu dijunjungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi pendidikan.

Dasar hukum dari Kurikulum 2013 yaitu PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (otonomi

guru), dan ayat 3 (otonomi sekolah) mendukung premis di atas.

Wewenang guru dalam Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005 yang dipangkas menjadi kerdil dalam

Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : guru diturunkan harkatnya menjadi sekedar penyusun RPP,

padahal dalam Standar Proses Kurikulum 2006 : sudah termaktub kewajiban untuk

mengembangkan Silabus dan RPP. Jadi dalam Kurikulum 2013, RPP-nya bukan makin

dikembangkan, malah dimulai lagi dari nol, seolah-olah semuanya baru diketahui hingga para

guru perlu dilatih/ditatar lagi.

Dualisme kepemimpinan sekolah dengan munculnya Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun

2013 Bab VI No. 2 B : supervisi manajerial oleh Pengawas Sekolah dan supervisi akademik

Page 48: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

36

46

oleh Pengawas Mata Pelajaran, mengabaikan pengawasan yang melekat pada tugas

profesional guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013

Kalau mau menerapkan KTSP 2013 : Prasyarat menjadi Kepala Sekolah dalam kaitan dengan

KTSP sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 dan

pemberdayaan serta pengembangan potensi Kepala Sekolah adalah tupoksi dari LPPKS

(Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang didirikan atas dasar

Permendiknas No.6 Tahun 2009 (Lihat Catatan kaki No.4). Kenapa ada lagi Pengawas

eksternal (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran)? Lalu apa arti SKM (sekolah

kategori mandiri) dan kapan pemerintah mempersiapkan dunia pendidikan menghadapi era

globalisasi dan liberalisasi pendidikan (kapan pemerintah memfasilitasi pembentukan SBI

yang terakreditasi internasional dan penerapan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008)

Guru yang otonom, yang menjunjung azas kebebasan mimbar akademik adalah keniscayaan,

sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan

Dosen. Jadi kemampuan guru dalam menyusun silabus dan RPP serta diktat sendiri itu, yang

menunjukkan profesionalitas seorang guru itu, diakui sebagai hak kekayaan intelektual yang

dilindungi hukum (Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), bukan malah dicabut dengan

ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013. Pemberlakuan Kurikulum 2013 telah

memberangus kreativitas guru.

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal :

banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam

kurikulum kita, sehingga siswa sukar mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA. Banyaknya

materi yang hilang dari kurikulum kita ini tidak kunjung dicari solusinya karena abai pada

sejarah pendidikan kita. Alih-alih mencari solusi, Kemdikbud bahkan menganulir

Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini dengan menerbitkan Permendikbud No. 57 Tahun 2014

yang justru merupakan copy paste lampiran permendikbud terdahulu, hanya menyisipkan

semangat pembuatan silabus dan penyusunan buku siswa dan buku pegangan guru oleh

Kemdikbud, hingga mengaburkan inti permasalahan yang ada pada Kurikulum 2013.

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013

dikembangkan atas teori KBK – padahal KBK (2004) itu sudah lama dikubur seiring

pemberlakuan Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008), yang diulang dalam Lampiran

Permendikbud No.57 Bagian II D Landasan Teoritis (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).

Kenapa KBK dulu ditinggalkan? Karena bermasalah pada cara pengukuran kompetensi

(kemampuan) siswa. Namun orang sudah lupa, sehingga KBK dimunculkan lagi dalam baju

baru, yaitu Kurikulum 2013. Oleh sebab itu, masalah klasiknya muncul lagi, yaitu masalah

Page 49: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

37

47

pengukuran/penilaian. Penilaian yang tercantum dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013,

kemudian diubah menjadi Lampiran IV Permendibud No. 81 A Tahun 2013, dan diubah lagi

menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen

No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/KP/2014 yang ternyata masih salah secara matematis.

Apakah Kemdikbud tidak melihat konsekuensi standar penilaian yang berbeda dan bentuk

rapor yang berlainan rumus itu bagi masa depan para siswa? Perubahan-perubahan yang terus

terjadi ini (tanpa melibatkan Puspendik : Pusat Penilaian Pendidikan) jelas menurunkan

wibawa akademik Kemdikbud dalam sosialisasi Kurikulum 2013. Pemerintah berdalih

bahwa Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini telah diganti dengan Permendikbud No. 57

Tahun 2014, namun kalau kita buka permendikbud itu, isinya persis sama, hanya menyisipkan

masalah hegemoni pemerintah melalui pembuatan silabus , pembuatan buku siswa dan buku

pegangan guru, sehingga penentuan tingkat kompetensi dan pembakuan rumus evaluasi hasil

belajar, tetap tak terpecahkan. Hal ini nampak pada ketidak beranian pemerintah mencetak

buku rapor (Laporan Hasil Belajar) yang berujung pada keterlambatan pencetakan ijazah,

sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun Indonesia merdeka.

Maka masihkah kita memerlukan pemaksaaan pemberlakuan Kurikulum 2013? (Padahal 28

permendikbud yang melandasinya hanya menyebut KTSP (bukan kurikulum baru). Bukankah

alasan-alasan diatas mendukung premis telah terjadinya euphoria pendangkalan (cult of philistinism)

Kenapa tidak merujuk saja pada Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 dan pasal 2 ayat 3 yang

memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (yang sudah lengkap pedoman dan dasar hukumnya (lihat

Catatan kaki No. 2) sehingga kita bisa maju ke SKS (bukan paket SKS)?

Kalau kita tetap berkukuh ingin mengikuti terus Kurikulum 2013, harap diingat bahwa

permendikbud-nya akan berubah terus (masih banyak bolong-bolong pada Kurikulum 2013 (Lihat

Catatan kaki No.5) sehingga ada kemungkinan kita harus mengkaji ulang semuanya lagi seturut

Nawa Cita No.8, padahal pembelajaran di kelas terus berlangsung tanpa bisa ditunda atau dikoreksi

lagi. Ada jurang yang dalam antara Kurikulum 2013 dan penerapan sistim baku SKS (bukan paket

SKS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014. Kalau hal ini tidak

diperhatikan, maka lupakan saja SBI (sekolah bertaraf internasional) dan sertifikasi manajemen ISO

9001:2008

Lupakan pula Nawa Cita No.5, yang penting proyek penyerapan anggaran jalan terus. Pertaruhan

yang sangat besar bagi masa depan putera-puteri kita yang sedang menyongsong era liberalisasi dan

globalisasi pendidikan, tanpa persiapan yang memadai, bahkan tanpa kesadaran bahwa kualitas

pendidikan kita makin merosot.

Page 50: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

38

48

Kemdikbud berkilah bahwa semuanya sudah diantisipasi dan upaya peningkatan kualitas pendidikan

telah digariskan dalam RPJM, namun marilah kita simak kenyataan yang ada :

Survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultant) menyimpulkan,

pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia. Studi yang dilakukan

ASPBAE dan Global Campaign for Education pada tahun 2005 (saat diberlakukannya KBK) di 14

negara menunjukkan, Indonesia mendapat nilai 42 dari nilai 100 dengan nilai rata-rata E. Dalam

aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia memperoleh nilai rata-rata C dan menduduki

peringkat ke-7. Dalam aspek aksi negara, Indonesia memperoleh nilai F dan menduduki peringkat

ke-11. Untuk aspek kualitas pengajar, Indonesia mendapat nilai F dan menduduki peringkat

terbawah.

Laporan pemantauan global tentang kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan UNESCO

pada tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 dari 14 negara

berkembang di kawasan Asia Pasifik. Survei yang dilakukan firma pendidikan Pearson di 40 negara

menunjukkan hasil serupa. Pada tahun 2013, sistim pendidikan di Indonesia terendah di dunia

bersama Brasil dan Meksiko. Pada tahun 2014, kualitas pendidikan Indonesia merosot dan Indonesia

berada di urutan ke-40 dari 40 negara. (Kompas, Selasa 18 Agustus 2015, halaman 6 : “Pungguk

Merindukan Bulan”).

Jadi perubahan ke Kurikulum 2013 justru membuat pendidikan di Indonesia makin terpuruk

karena kita memuja pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada penyiapan sekolah yang

terakreditasi secara internasional (SBI) yang menerapkan sistim manajemen ISO 9001:2008

Dengan kata lain, penerapan Kurikulum 2013 ini, menunjukkan bahwa Kemdikbud sibuk

dengan misinya sendiri, mengabaikan visi dan misi Presiden yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita

No.8, dan melalaikan tugas Kemdikbud untuk menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of

excellence seturut Nawa Cita No.5

Page 51: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

3949

BAB I

FILOSOFI PENDIDIKAN

Pendidikan yang abai terhadap filosofi pendidikan seperti tercermin dari dihapuskannya mata

kuliah Filsafat Pendidikan pada LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yaitu

PGSD/FKIP) telah menyebabkan pendidikan kehilangan rohnya yaitu “mencerdaskan kehidupan

bangsa” (bukan meningkatkan kompetensi orang per orang 27), yang berarti pendidikan seharusnya

bertujuan menyempurnakan akal budi 28 (akal budi ini menunjukkan daya-daya intelektual dan

emosional yang terpadu). Akibat kehilangan “roh pendidikan” ini, maka kita terjebak dalam

kekeliruan utama yaitu menganggap semua masalah yang terkait pendidikan dapat dipecahkan

melalui pendidikan, misalnya : Income gap hendak dipecahkan melalui link and match pendidikan

dan dunia kerja, lupa pada penanaman sikap inovatif, kreatif dan entrepreneurship; Rendahnya score

siswa dalam TIMSS, PISA dan PIRL hendak dipecahkan melalui peningkatan kompetensi siswa

(kemudian hendak ditunjukkan capaiannya melalui Olimpiade Sains), lupa bahwa banyak materi uji

pada TIMSS, PISA, dan PIRL itu yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia 29 dan belum

pernah dipikirkan solusinya; Masalah iman dan taqwa hendak dipecahkan melalui pendidikan

karakter, lupa pada fungsi ulama, peran suri teladan dari para tokoh masyarakat dan pendidikan budi

pekerti yang harus dimulai dari rumah. Akibat cara pandang bahwa semua masalah yang terkait

dengan pendidikan dapat dipecahkan melalui pendidikan ini, pernah muncul ide pembentukan

Direktorat Keayah-Bundaan, yang kemudian diwujudkan menjadi Direktorat Pembinaan Pendidikan

Keluarga, nampaknya Kemdikbud ingin merambah sampai ke ruang privat, lupa pada tugas

pokoknya yang sudah dirumuskan di Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas 30 Kemdikbud sering berkilah

bahwa SPM sudah dirumuskan dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013, tapi kalau kita kaji isinya,

SPM itu adalah prasyarat minimal kelengkapan sarana dan prasarana suatu sekolah, bukan SPM

akademik. Bentuk SPM akademik itu misalnya apa yang harus dikuasai oleh anak kelas V SD, apa

yang harus dikuasai oleh anak kelas IX SMP sebagai bekal penentuan jurusan di kelas X SMA, apa

yang harus dikuasai oleh siswa kelas XII SMA agar siap memasuki lingkungan akademik di

perguruan tinggi? Kemdikbud berdalih bahwa “apa yang harus dikuasai siswa pada jenjang

tertentu” sudah terumuskan dalam SOLO Taxonomy melalui penentuan Tingkat Kompetensi 0 – 6

27 Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 28 Kamus Besar Bahasa Indonesia Vol IV : mencerdaskan = menyempurnakan akal budi 29 Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar) yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 30 Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS

Page 52: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

40

50

(Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II). Padahal “Tingkat Kompetensi” itu sejak awal

sudah bermasalah, yaitu pada rumusan :

Perbedaan kualifikasi antar tingkat, karena tingkat kompetensi itu merujuk pada dua jenjang

pendidikan, misalnya Tingkat Kompetensi 1 meliputi Kelas 1 dan Kelas 2 SD (Lalu apa beda

kelas 1 dan kelas 2 SD? Dengan kata lain, masih perlukan kriteria kenaikan kelas dari kelas

1 ke kelas 2 SD itu kalau tingkat kemampuannya disama-ratakan ?

Kompetensinya : Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang di setiap Tingkat Kompetensi

itu tidak koheren serta pengukurannya harus menggunakan penilaian rubrik, yang justru tidak

dipraktekkan dalam Kurikulum 2013

Kerancuan antara pengertian tingkat kompetensi dan kompetensi, serta kompetensi generik

dengan KI dan kompetensi spesifik dengan KD

Sedangkan banyaknya materi uji penalaran kritis dalam matematika dan sains pada TIMSS,

penalaran halus (fine tuning) pada PISA dan kemampuan membaca yang tersirat pada PIRL yang

tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, tidak terdeteksi, hanya akan berujung pada complaint ke

penyelenggara test (banyaknya bahan uji yang tidak terdapat dalam kurikulum : Lampiran

Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 c, yang diulang pada Permendikbud No.68, No.69,

dan No.70, tergantung unit sekolahnya, yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud

No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59, dan No.60, tergantung unit

sekolahnya), hingga tak ada waktu untuk memikirkan perumusan SPM akademik ini. Untuk

perumusan SPM akademik ini, mau tidak mau kita harus mengkaji sejarah pendidikan kita, dimana

kurikulum kita pernah mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari prasyarat yang dituntut dalam

GMAT, SAT dan TOEFL, sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal TIMSS, PISA dan PIRL.

Para guru kita diakui kemampuannya (kompetensinya) sehingga banyak yang diminta mengajar di

luar negeri. Sekolah Indonesia di luar negeri diminati juga oleh warga asing. Tidak seperti sekarang,

para diplomat Indonesia dan TKI-pun tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah Indonesia

karena kualitasnya terus merosot. Tapi semua prestasi pendidikan kita di masa lalu tersaput oleh

awan “proyek pemanfaatan anggaran 20% dari APBN”.

Puskurbuk berkilah, SPM itu sudah ditentukan lewat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun

2013 Bab II Tingkat Kompetensi. Namun kalau kita kaji isinya, ternyata hanya menyangkut hirarki

penentuan KD yang semestinya cukup mudah dilakukan melalui Analisia Vertikal pada Analisis

Kurikulum. Inilah isi selengkapnya Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II :

“Tingkat Kompetensi disusun berdasarkan taksonomi struktur capaian belajar terobservasi

(Structure of The Observed Learning Outcomes (SOLO) Taxonomy). Berdasarkan taksonomi ini,

Page 53: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

4151

capaian belajar dikelompokan dalam 5 kategori yakni: Pre-Structural (0), Uni-Structural (1), Multi-

Structural (2), Relational (3), dan Extended-Abstract (4 dan 5). (Collis and Biggs: 1976)

Di atas kategori Extended-Abstract secara teoritis ada tiga tingkat yang lebih kompleks yakni

Psychodelia, Illumination, dan Creativity (Gowan and Erikson: 1981) yang kesemua itu merupakan

capaian belajar yang lebih abstrak.

Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan secara adaptif Tingkat Kompetensi menjadi 0, 1, 2,

3, 4, 5, dan 6. Masing-masing Tingkat Kompetensi mencakup 2 (dua) tingkat kelas, kecuali

Tingkat Kompetensi 4A dan 6 hanya mencakup 1 (satu) tingkat kelas. Tingkat Kompetensi

4A merupakan kemampuan peralihan jenjang pendidikan dasar ke pendidikan menengah

dan Tingkat Kompetensi 6 merupakan kemampuan peralihan pendidikan menengah ke

jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan Tingkat Kompetensi ditetapkan Kompetensi yang

bersifat generik yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan

Kompetensi yang bersifat spesifik dan ruang lingkup materi untuk setiap muatan kurikulum.

Secara hirarkis, kompetensi lulusan digunakan sebagai acuan untuk menetapkan

Kompetensi yang bersifat generik pada tiap Tingkat Kompetensi. Kompetensi yang bersifat

generik ini kemudian digunakan untuk menentukan kompetensi yang bersifat spesifik untuk

tiap muatan kurikulum.

Selanjutnya, Kompetensi dan ruang lingkup materi digunakan untuk menentukan Kompetensi

Dasar pada pengembangan kurikulum satuan dan jenjang pendidikan”

Kalau melihat rumusan tingkat kompetensi diatas, nampak jelas bahwa tingkat kompetensi ini

menyangkut klasifikasi jenjang kognisi : batas penguasaan bahan/materi yang harus dikuasai siswa

secara individual (siswa hendak difasilitasi sampai ke taraf tertentu), sedangkan SPM (standar

pelayanan pendidikan minimal) menyangkut target kurikulum yang harus diraih semua siswa, yaitu

pemenuhan Indikator keberhasilan.

Sedangkan kompetensi (kemampuan) itu menyangkut tujuan pembelajaran : untuk apa seorang guru

berdiri di depan kelas, maka kompetensi selalu harus dirumuskan ulang tergantung pada rumusan

KD-nya, sedangkan tingkat kompetensi itu sifatnya tetap karena menyangkut batas peralihan jenjang

pendidikan.

Untuk lebih jelasnya dapat dikaji contoh berikut :

Kompetensi (kemampuan) Tingkat 1 atau kompetensi (kemampuan) siswa kelas 1 SD adalah

: Siswa mengenal konsep bilangan bulat (bilangan genap, bilangan ganjil dan bilangan prima)

Ini yang disebut kompetensi yang bersifat generik. Lalu kompetensi yang bersifat spesifiknya

adalah : Siswa mampu menghitung sampai bilangan 100. Capaian pengukurannya adalah

siswa secara individual mampu menguasai 75 % materi itu (karena ukuran keberhasilan sudah

Page 54: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

42

52

dipatok sejak lama melalui KKM = 75). Meskipun siswa hanya mampu menghitung sampai

bilangan 75, siswa itu tetap dinyatakan sudah memenuhi kompetensi spesifiknya. Seorang

siswa yang hanya mampu menghitung sampai bilangan 50, harus diremedial. Seorang siswa

yang tidak mampu mencapai target perhitungan sampai bilangan 75, dicap “kurang

menguasai materi”, dan harus menempuh remedial berulang sampai target spesifiknya

terpenuhi, yaitu mampu menghitung sampai bilangan 75. Jadi kompetensi spesifiknya : Siswa

mampu menghitung sampai bilangan 100, menjadi batas atas (kompetensi maksimal) yang

harus dikuasai siswa, batas bawah (kompetensi minimalnya) adalah setara KKM : siswa

cukup menguasai perhitungan sampai bilangan 75. Dengan demikian, kompetensi berjenjang

di atas (kompetensi 0-6) menargetkan agar setiap siswa kompeten dalam bidang yang

dipelajarinya (competency-based curriculum)31 dengan tujuan : pengembangan kognisi

siswa32

Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas minimal yang harus dikuasai oleh

semua siswa (batas bawah yang harus dikuasai oleh semua siswa adalah penguasaan 100%

bahan/materi) : semua siswa harus mampu menghitung sampai 100. Meskipun siswa sudah

menguasai perhitungan sampai 75, dia harus tetap diremedial (lihat penjelasan rinci di bawah)

Dengan demikian, KD (Kompetensi Dasar) harus disusun berjenjang (makin ke atas,

makin sulit, tidak boleh ada KD yang berulang). Masalahnya : ada begitu banyak KD yang

berulang, misalnya Matematika, di jenjang kompetensi 1 (SD kelas 1 dan kelas 2) sudah diajar

tentang bilangan bulat, hal sama diulang lagi di SMP : jenjang kompetensi 4 (tapi deret

harmonis malah dihilangkan dari kurikulum matematika), lalu di SMA : jenjang kompetensi

5 : diulang lagi tentang bilangan bulat (tapi hiperbola, parabola dan elips malah dihilangkan

dari kurikulum matematika SMA, sehingga Mata Pelajaran Ilmu Bumi Falak (Astronomi)

terpaksa dihapus dari kurikulum SMA).

Contoh lain : Jenjang kompetensi 5 Kelas X SMA Kimia : diajar tentang Susunan Berkala

(Sistim Periodik), masalah ini diulang lagi di Kelas XI, dan diulang lagi di jenjang kompetensi

6 Kelas XII SMA, sehingga pemahaman tentang Susunan Berkala (sistim Periodik) di Kelas

X SMA menjadi tidak utuh, akibatnya siswa sukar memahami Materi Ikatan Kimia, sehingga

Materi Penggaraman dan Kimia Analitik terpaksa dihapus dari Kimia SMA.

31 Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Lndasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 32 Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A Landasan Filosofis : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang diulang (di copy paste) pada Permendikbud No.57 Tahun 2014

Page 55: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

43

53

Kompetensi bertingkat (Kompetensi 0-6) di atas memerlukan kelengkapan sarana dan

prasarana agar siswa mampu memenuhi kompetensi spesifiknya. Untuk itulah dikucurkan

dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk mencukupi kebutuhan sarana dan prasarana

pembelajaran di kelas. Bila dana BOS dipakai untuk hal-hal diluar penunjang kegiatan

pembelajaran di kelas, maka sukar diharapkan kompetensi spesifik itu akan tercapai (Siswa

di remedial berulang, hasilnya bukan makin membaik, justru makin buruk). Misalnya,

kebanyakan sekolah membelanjakan dana BOS untuk pembelian CCTV, bukannya

melengkapi peralatan laboratorium IPA (Lab Fisika, Kimia dan Biologi) atau melengkapi

laboratorium Bahasa dan laboratorium akuntansi. Sehingga program KBM di kelas tidak

ditunjang dengan kegiatan intra kurikuler yang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita

tidak kunjung membaik. Akibat lanjutannya adalah monev (monitoring dan evaluasi)

pendidikan terlepas dari konteksnya. Evaluasi pada Tingkat Kompetensi ini seharusnya

menggunakan penilaian rubrik yaitu penilaian berbasis kinerja dilengkapi dengan kriteria

terukur tentang cara penilaiannya. Hal ini justru tidak dilakukan dalam Kurikulum 2013

Sedangkan SPM akademik menyangkut rumusan kompetensi spesifik sebagai batas bawah

(batas minimal), jadi Indikator Keberhasilannya adalah : Siswa kelas 1 SD harus menguasai

100% perhitungan sampai bilangan 100. Kalau siswa hanya mampu menghitung sampai

bilangan 75, maka SPM dari kelas 1 itu tidak terpenuhi. Siswa harus tetap diremedial,

meskipun sudah mencapai batas KKM-nya, bukan dengan mengikuti program remedial

berulang, tapi guru harus mengganti strateginya, karena mungkin saja bakat siswa itu bukan

di bidang matematika, tetapi di bidang musik. Jadi siswa dapat tetap mengembangkan bakat

musikalnya, tetapi harus menguasai prasyarat dasar pengetahuan Matematika di kelas 1.

Dengan demikian, SPM memerlukan pemetaan potensi siswa melalui Multiple Intelligence,

siswa yang tidak bisa matematika, barangkali bakatnya di bidang Bahasa. Pengukuran

kognisi siswa bukan satu-satunya ukuran keberhasilan belajar, SPM lebih menekankan pada

pendidikan holistik melalui pengukuran daya serap di PBK (penilaian berbasis kelas)

SPM juga menyangkut kreativitas guru dalam memenuhi standar sarana dan prasarana,

misalnya siswa dalam pelajaran Kimia hendak mengukur kadar vitamin C dalam jeruk

(kompetensi spesifiknya sebagai batas bawah), maka apapun situasi dan kondisinya, siswa

harus mampu menghitung kadar vitamin C dalam jeruk. Kalau tidak ada buret untuk titrasi,

siswa dapat menggunakan botol susu berskala yang biasa digunakan bayi, kalau botol susu

ini dibalik, maka fungsinya sudah sama dengan buret. Kalau tidak ada botol susu bayi, siswa

dapat menggunakan pipet tetes sebagai pengganti buret (1 ml = 20 tetes).

Page 56: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

44

54

Kalau tidak ada jeruk, siswa dapat mencari buah dari pohon asam. Kalau tidak ada buah dari

pohon asam, siswa dapat menggunakan buah jambu monyet, dll

Kalau melihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 (lihat Catatan * tentang permendikbud

ini pada Kata Pengantar), yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, maka

penulis kawatir bahwa yang dimaksud dengan kompetensi generik itu adalah Kompetensi Inti (KI),

dan yang dimaksud dengan kompetensi spesifik itu adalah Kompetensi Dasar (KD), yang makin jauh

melenceng dari makna SOLO Taxonomy. Padahal yang dimaksud adalah bahan ajar/materi yang

dipersyaratkan harus dikuasai oleh siswa di jenjang kompetensi tertentu (KD lebih luas dari bahan

ajar/materi, satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar/materi). Bahan ajar berjenjang yang

mensyaratkan siswa harus menguasai sepenuhnya suatu materi sebelum berpindah tingkat

kompetensinya adalah bahan ajar/materi pada Kurikulum 1975, dimana batas ketuntasannya adalah

100% (Kurikulum 1975 menerapkan Analisa Horizontal dan Analisa Vertikal secara ketat : KKM =

KKI = 100). Maka sebenarnya SOLO Taxonomy kurang sesuai untuk diterapkan pada Kurikulum

2013 karena tidak bisa membedakan pengertian KI dan KD (KI untuk semua jenjang hampir sama

rumusannya, akibatnya KI dan KD tidak koheren)

Penjelasan lebih rinci dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM

Disinilah peran filosofi pendidikan yang dipilih yang dapat sangat mempengaruhi penentuan

arah dan tujuan pendidikan kita. Bekerja dengan batas atas (batas kemampuan maksimal), filosofi

yang digunakan adalah filsafat esentialisme33 , atau bekerja dengan batas bawah (batas kemampuan

minimal), filosofi yang digunakan adalah filsafat perenialisme34. Bila bekerja dengan batas atas

(batas kemampuan maksimal) ada bahaya bahwa batas atas ini akan diturunkan dengan asumsi

supaya tidak terlalu memberatkan siswa, sehingga bahan ajar/materi/sumber belajar makin lama

makin berkurang (banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum

Indonesia) (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No 2 b, yang juga tersurat

(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014).

Bila pemerintah memilih Filsafat Perenialisme35, maka sebagai batas bawah, bahan

ajar/materi tidak boleh diganggu (tidak boleh dikurangi, bahkan seharusnya bahan ajar/materi itu

dikembangkan terus menerus sesuai dengan tuntutan jaman). Kewajiban pemerintah hanya

merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 38 ayat

1 UU Sisdiknas. Namun pemerintah cq Kemdikbud lebih memilih Filsafat Eklektisme, yang

kemudian diubah menjadi Filsafat Esentialisme, sehingga terpaksa menurunkan batas kemampuan

33 Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 34 Lihat catatan kaki No.40 tentang Filsafat Perenialisme 35 Lihat catatan kaki No. 40 tentang Filsafat Perenialisme

Page 57: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

45

55

maksimal (dengan alasan agar tidak terlalu membebani siswa) dengan konsekuensi : banyak materi

yang hilang dari kurikulum (kurikulum makin miskin), oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yang baru

yang ditambahkan pada Kurikulum 2013 (pada jaman teknologi komputasi awan dan android ini,

justru TIK dihilangkan; pada jaman bioteknologi dan rekayasa genetik ini, justru IPA dihapus dari

masa peka perkembangan intelegensi anak (kelas 1 – kelas 3 SD). Terjadi legalisasi pendangkalan

(cult of philistinism). Karena tidak ada sesuatu yang baru, maka 28 permendikbud terkait Kurikulum

2013 juga tidak menyebutkan adanya kurikulum baru, hanya menyebut berulang kali KTSP, lupa

akan makna harafiah dan makna filosofis KTSP.

Kekeliruan kedua adalah menganggap apapun kurikulumnya, manajemen kelasnya sama,

yaitu menumbuhkan cara belajar siswa aktif, padahal dasar filosofisnya berbeda. Kurikulum 2006

(KTSP awal) dan SKS bertumpu pada filsafat perenialisme dengan model belajar konstruktivisme 36

berbasis multiple intelligence, sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 berdasar pada filsafat

eklektik37 (kemudian diubah menjadi filsafat esensialisme) berbasis otoritarian.38 Kurikulum 2006

(KTSP awal) dan SKS memang didisain untuk mengembangkan potensi siswa seoptimal mungkin,

melalui pendekatan pendidikan berbasis keunggulan lokal yang mengutamakan fleksibilitas

penggunaan metode, model dan strategi pembelajaran untuk mencapai taraf manusia pembelajar

(anak yang berkembang kemampuannya dalam learning to learn, learning to live together, dan

learning to be).39 Bahan ajar yang sesuai dengan prinsip ini adalah bahan ajar berjenjang sesuai

dengan perbedaan tingkat kompetensinya yaitu bahan ajar pada Kurikulum 197540 dimana sains dan

matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana siswa dilatih menemukan

metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam

administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk

kehidupan sehari-hari.

36 J.Piaget : Pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa tergantung pada keaktifannya berinter-aksi dengan alam 37 Cicero dan Philo : Menggabungkan ide-ide yang ada, tapi kurang memperhatikan konteks dan kesahihan ide itu 38 Karena banyaknya kritik terhadap Filsafat eklektik yang dipilih ini, filosofinya kemudian diubah menjadi Filsafat esentialisme (Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : Landasan Filosofis) : diulang secara eksplisit pada Permendikbud No.57 Tahun 2014 39 UNESCO : Education for All (EFA), 1968

40 Kurikulum 1975 menganut Filsafat pendidikan perenialisme atau tradisionalisme : intinya ingin mengatakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah ada dari dulu. Prinsip ini berlaku sepanjang masa—di mana pun dan kapan pun—sebab telah teruji keampuhannya bagi peradaban umat manusia. Maka, tugas pendidikan mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan yang berlaku universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Fakta-fakta akan berubah, tetapi prinsip pendidikan tetap. Inilah yang harus diajarkan di sekolah.

Page 58: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

46

56

Maka dalam Kurikulum 1975 masih diajarkan pendekatan deduktif melalui matematika geometrik

(Ilmu Ukur Analitika, Stereometri dan Ilmu Ukur Melukis (BM). Aljabar diperdalam sampai

Kalkulus II, dll. Sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal GMAT. Masih diajarkan juga

Astronomi (Ilmu Bumi Falak) sebagai makro kosmos dan Fisika Teoritis serta Kimia Teoritis (bukan

sekedar Fisika dan Kimia empiris) sebagai mikro kosmos, lalu menggambar ornamen, prespektif dan

proyeksi, sebagai jembatan pemahaman aspek geometri dari matematika. Masih diajar pula

mendongeng dan mencongak di SD untuk melatih daya abstraksi siswa, permainan tradisional yang

sarat filosofi pedagogik (bukan hanya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa, tetapi juga untuk

menanamkan nilai-nilai universal: kerja sama, fairness, fun (pembelajaran yang menyenangkan) :

misalnya aritmatika dapat disimulasi melalui permainan dakon (congklak), entik, engklek, ular

tangga dll. Pelajaran seni suara dan musik masih berbasis not balok. Praktikum masih inheren dalam

mata pelajaran dan pengajaran bahasa asing masih bertumpu pada acuan standar internasional (masih

diajar 16 tenses dalam Bahasa Inggris secara intens dan menyenangkan menggunakan Living English

Structure) sehingga siswa SMA mudah mencapai score 550 dalam TOEFL paper based. Masih

disediakan jam khusus untuk belajar logika melalui Persamaan Tersamar sehingga siswa mudah

mengerjakan soal-soal Verbal Test GMAT. Kimia masih diajar penggaraman dan Kimia Analitik,

sehingga Kimia baru diajarkan di SMA (bukan di SMP), karena memerlukan prerequisite

matematika dan fisika yang cukup mendalam. Siswa juga masih dikenalkan dengan Sejarah Dunia

sehingga pengetahuan umumnya mencukupi untuk dapat meraih score yang tinggi dalam PISA

Bahan-bahan di atas tidak lagi diajarkan pada KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 (batas

kemampuan maksimal diturunkan) sehingga siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal TIMSS

dan PISA (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang

juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, akibatnya score siswa kita

dalam TIMSS, PISA dan PIRL dari tahun ke tahun terus merosot. Pokok permasalahannya karena

bahan testnya (materi uji) sudah tidak ada di kurikulum kita, bagaimana mereka bisa memecahkan

soalnya (memahami bahannya) bila mengenalinya saja tidak bisa ?

Kurikulum 1975 tidak hanya kaya akan bahan elementer, tetapi juga sangat memperhatikan :

* Analisa vertikal : Bahan berjenjang, makin tinggi kelasnya, bahannya makin sulit. Tidak seperti

KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 : bahan KWn (PKn), Sejarah, Bahasa, aritmatika berulang

terus dari SD, SMP dan SMA. Atau bahan Biologi terus yang berulang di SD, SMP dan SMA :

tumbuhan, hewan, manusia sehingga menyulitkan siswa dalam pemahaman kultur jaringan (tissue

culture), yang berakibat siswa sukar mengerjakan proses pemuliaan tumbuhan atau breeding

hewan. Padahal materi kultur jaringan itu diajarkan dalam Kurikulum 2013.

Page 59: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

47

56

Maka dalam Kurikulum 1975 masih diajarkan pendekatan deduktif melalui matematika geometrik

(Ilmu Ukur Analitika, Stereometri dan Ilmu Ukur Melukis (BM). Aljabar diperdalam sampai

Kalkulus II, dll. Sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal GMAT. Masih diajarkan juga

Astronomi (Ilmu Bumi Falak) sebagai makro kosmos dan Fisika Teoritis serta Kimia Teoritis (bukan

sekedar Fisika dan Kimia empiris) sebagai mikro kosmos, lalu menggambar ornamen, prespektif dan

proyeksi, sebagai jembatan pemahaman aspek geometri dari matematika. Masih diajar pula

mendongeng dan mencongak di SD untuk melatih daya abstraksi siswa, permainan tradisional yang

sarat filosofi pedagogik (bukan hanya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa, tetapi juga untuk

menanamkan nilai-nilai universal: kerja sama, fairness, fun (pembelajaran yang menyenangkan) :

misalnya aritmatika dapat disimulasi melalui permainan dakon (congklak), entik, engklek, ular

tangga dll. Pelajaran seni suara dan musik masih berbasis not balok. Praktikum masih inheren dalam

mata pelajaran dan pengajaran bahasa asing masih bertumpu pada acuan standar internasional (masih

diajar 16 tenses dalam Bahasa Inggris secara intens dan menyenangkan menggunakan Living English

Structure) sehingga siswa SMA mudah mencapai score 550 dalam TOEFL paper based. Masih

disediakan jam khusus untuk belajar logika melalui Persamaan Tersamar sehingga siswa mudah

mengerjakan soal-soal Verbal Test GMAT. Kimia masih diajar penggaraman dan Kimia Analitik,

sehingga Kimia baru diajarkan di SMA (bukan di SMP), karena memerlukan prerequisite

matematika dan fisika yang cukup mendalam. Siswa juga masih dikenalkan dengan Sejarah Dunia

sehingga pengetahuan umumnya mencukupi untuk dapat meraih score yang tinggi dalam PISA

Bahan-bahan di atas tidak lagi diajarkan pada KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 (batas

kemampuan maksimal diturunkan) sehingga siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal TIMSS

dan PISA (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang

juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, akibatnya score siswa kita

dalam TIMSS, PISA dan PIRL dari tahun ke tahun terus merosot. Pokok permasalahannya karena

bahan testnya (materi uji) sudah tidak ada di kurikulum kita, bagaimana mereka bisa memecahkan

soalnya (memahami bahannya) bila mengenalinya saja tidak bisa ?

Kurikulum 1975 tidak hanya kaya akan bahan elementer, tetapi juga sangat memperhatikan :

* Analisa vertikal : Bahan berjenjang, makin tinggi kelasnya, bahannya makin sulit. Tidak seperti

KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 : bahan KWn (PKn), Sejarah, Bahasa, aritmatika berulang

terus dari SD, SMP dan SMA. Atau bahan Biologi terus yang berulang di SD, SMP dan SMA :

tumbuhan, hewan, manusia sehingga menyulitkan siswa dalam pemahaman kultur jaringan (tissue

culture), yang berakibat siswa sukar mengerjakan proses pemuliaan tumbuhan atau breeding

hewan. Padahal materi kultur jaringan itu diajarkan dalam Kurikulum 2013.

57

Analisa vertikal bukan hanya menyangkut derajat kesulitan materi, tetapi juga meliputi jenjang

kesulitan soal. Soal-soal yang jatuh di nomer-nomer kecil selalu lebih mudah diselesaikan,

sedangkan soal-soal yang jatuh di nomer-nomer besar, memang hanya diperuntukkan bagi siswa

yang pandai, sehingga setiap siswa dapat mengukur sendiri kapasitasnya. Variasi soal dapat dilihat

di Catatan kaki No.48. Siswa tidak akan menyontek, baik dalam mengerjakan ulangan maupun

dalam mengerjakan PR. Pendidikan karakter inheren dalam analisa vertikal. Soal tidak

campur aduk seperti sekarang dan pendidikan karakter tidak dipaksakan masuk ke pelajaran,

seperti pemaksaan penerapan KI 1 dan KI 2 saat ini, atau diformalkan melalui Permendikbud

No.23 Tahun 2015 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang hanya memancing kontroversi

(Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : Budi Pekerti, NILAI “DITEMPELKAN TANPA

RASIONALITAS”).

* Analisa horizontal : bahan ajar/materi saling berkait, prerequisite suatu bahan dirumuskan

dengan terukur, misalnya guru Kimia yang akan mengajarkan derajat keasaman (pH) harus

memastikan bahwa siswa sudah mendapat pelajaran logaritma dalam matematika (sekarang

penggunaan buku logaritma malahan dihapus dari kurikulum, sehingga siswa selalu kesulitan

mengerti tentang Kesetimbangan Kimia dan pengukuran derajat keasaman (pH). Guru SD yang

akan mengajar notasi musik dengan not balok, harus memastikan bahwa siswa sudah belajar

tentang bilangan pecahan dan deret harmonis dalam Matematika sebelumnya.

Kalau analisa horizontal diabaikan seperti sekarang, maka pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai

art, tetapi sebagai konsep yang membebani siswa (siswa tidak belajar untuk hidup dan kehidupan,

tetapi belajar untuk kompetensi, belajar untuk lulus Ujian Nasional).

Sedangkan Kurikulum 2013 menganut filsafat eklektik 41 : cenderung meramu semua hal

baik dari pendidikan holistik, pendidikan karakter dan pendidikan kontekstual melalui pendekatan

saintifik (5 M) untuk mencapai taraf behaviorisme (perubahan perilaku siswa). Ketercapaiannya

membutuhkan ketrampilan para guru, bukan hanya dalam pembimbingan siswa, tetapi juga dalam

pendampingan siswa (Bahasa Jawa : mbombong). Untuk itu diperlukan pendidikan yang

membebaskan. Sebab pendidikan hanya akan berhasil kalau ada suasana kebebasan, terutama

dibukanya ruang bagi tumbuhnya kebebasan mimbar akademik. Oleh karenanya, kurikulum 2013

harus membuka kesempatan bagi guru dan murid untuk mengaktualisasikan kebebasannya dan

kreativitasnya. Tanpa ruang kebebasan akademik itu, maka filsafat eklektik 42 akan cenderung

41 Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Gramedia Pustaka Utama, 2000, halaman 181-182 42 Eclecticism is a conceptual approach that does not hold rigidly to a single paradigm or set of assumptions, but instead draws upon multiple theories, styles, or ideas to gain complementary insights into a subject, or applies different theories in particular cases. It can sometimes seem inelegant or lacking in simplicity, and eclectics are sometimes criticized for lack of consistency in their thinking (Wikipedia)

Page 60: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

48

58

menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama lain, menjadi satu

mosaik tersendiri.

Pendekatannya tidak melihat bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan

dapat diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan.

Karena itu, pendekatan eklektik 43 sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan,

gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali

dianggap tidak memiliki konsistensi dalam pemikiran. Apalagi sifat eklektik ini dikacaukan dengan

menguatnya semangat monolitik otoritarian melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar dan

buku pegangan guru yang kejar tayang sehingga merusak system of knowledge dari matematika dan

sains & iptek. Ada begitu banyak kesalahan konsep dan gagasan pada buku ajar (sumber belajar)

dan buku pegangan guru itu. Suara kontra dari pakar pendidikan terhadap pelaksanaan Kurikulum

2013 bertitik tolak dari sini.

Oleh sebab itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam matematika adalah seperti ini:

”Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan

pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.”

Bukankah aritmatika mempunyai kaidah tersendiri untuk menentukan hasilnya benar atau salah, yang

tidak ada kaitannya dengan kepatuhan atau ketertiban? Siswa yang bandel dan nakal tetap dapat

menjawab benar dalam aritmatika. Dengan kata lain, siswa yang pandai dalam matematika tidak

berarti siswa tersebut secara otomatis berperi laku luhur. Lalu bagaimana mengukur keberhasilan

pendidikan karakternya tanpa menggunakan SQ (Spiritual Quotient)? Bukankah keberhasilan

pemahaman aritmatika tergantung pada pengertian bahan ajar (materi) Basis Bilangan dan Sifat

Bilangan? (bukan pada kepatuhan dan ketertiban mengikuti azas atau aksioma yang bisa kehilangan

konteksnya? Bisa jadi siswa yang taat azas atau hafal aksioma sebenarnya hanya menghafal rumus,

belum tentu bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang mensyaratkan analisis dan logika)

Misalnya : Bilangan 11 itu berarti sebelas kalau basis bilangannya 10, tetapi 11 dapat berarti setara

enam (dalam basis bilangan 10) bila basis bilangannya 5. Belum lagi kesalahan konsep, seperti 2 x

2 = 4 itu adalah fakta, tidak ada kaitannya dengan kejujuran. Hasil perhitungan 6 x 4 atau 4 x 6 akan

sama saja, tidak ada kaitannya dengan proses menghitung : 6 x 4 itu berarti 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 atau

4 x 6 itu adalah 6 + 6 + 6 + 6, sama saja karena matematika bicara tentang fakta.

43 Eclecticism, (from Greek “eklektikos”, “selective”), in philosophy and theology, the practice of selecting doctrines from different systems of thought without adopting the whole parent system for each doctrine. It is distinct from syncretism—the attempt to reconcile or combine systems—inasmuch as it leaves the contradictions between them unresolved (Encyclopedia Britanica)

Page 61: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

49

59

Jadi menghitung luas : mulai dari panjang dikalikan lebar, akan sama saja dengan lebar dikalikan

panjang (tidak ada hubungannya dengan kedisiplinan atau proses menghitungnya)

Pilihan filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan

pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan

menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari pilihan materi

pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa

dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik !44

Laman Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud di Facebook hanya menunjukkan

justifikasi dan rasionalisasi Kurikulum 2013 meskipun ada berbagai argumen yang menyanggahnya.

Penanggung jawab Kurikulum 2013 ngotot melanjutkan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi

Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang memberlakukan kembali

Kurikulum 2006, dan lupa pada isi Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 yang menjunjung azas otonomi

guru (ayat 1) dan otonomi sekolah (ayat 3) dan secara sistematis melupakan Nawa Cita No.8 : akan

menata kembali kurikulum pendidikan nasional, dan menganggap visi dan misi Presiden sebagai

yang utama, terutama isi Nawa Cita No.5 : meningkatkan kualitas pendidikan (bukan malah membuat

pendidikan di Indonesia terpuruk, seperti yang telah diulas di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)

Karena banyaknya kritik terhadap penerapan Filsafat ekliktik ini, maka dalam Lampiran

Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab II A. Landasan Filosofis No. 3 (yang diulang dalam

Permendikbud No.68 dan No.69, serta No. 70 Tahun 2013, yang secara eksplisit juga disebut dalam

Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun

2014), dinyatakan adanya perubahan filosofi dari eklektisme, menjadi esentialisme :

“Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik

melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu

dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini mewajibkan

kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan

untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik”.

Namun perubahan filosofis ini tidak diikuti perubahan “mind set” dan kerangka dasar

kurikulum (KI dan KD), penyesuaian silabus, penggantian buku ajar dan buku pegangan guru

serta pergantian metode saintifik (5 M). Tidak adanya perubahan “mind set” tercermin dari :

masih diberlakukannya tematik dan tematik integratif di SD, serta IPA Terpadu atau IPS

Terpadu di SMP, padahal filsafat esentialisme mensyaratkan nama mata pelajaran yang sama

dengan disiplin ilmunya.

44 KOMPAS, 5 April 2013 halaman 7 : “Eklektisme Kurikulum 2013” : Doni Kusuma

Page 62: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

50

60

dikeluarkannya Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang

hanya sekedar tempelan pada kurikulum (Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa

Rasionalitas”, Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12) sehingga Kurikulum 2013

sebenarnya tetap menganut filsafat eklektik.

Tidak adanya perubahan kerangka dasar kurikulum (KI dan KD), tidak adanya penyesuaian silabus

dan tidak adanya penggantian buku ajar dan buku pegangan guru serta tetap digunakannya metode

saintifik (5M) menunjukkan bahwa tujuan Kurikulum 2013 ini : “mengembangkan kemampuan

intelektual dan kecemerlangan akademik” tersebut tidak mempunyai arti apa-apa (ilusif). Hal ini

nampak pada lanjutan isi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 (yang diulang dalam

Permendikbud No. 68 dan No. 69, serta No. 70 Tahun 2013), yaitu Bab II B Landasan Teoritis :

“Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-

based curriculum)” (yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014,

yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014)

Bukankah KBK (2004) ini sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 karena bermasalah dalam

pengukuran capaian kompetensinya? Kalau Kurikulum 2013 ini dikembangkan dari KBK, maka

tidak heran kalau masalah pengukuran/penilaian ini berulang kembali saat ini. Berkali-kali program

penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV

Permendikbud No. 81 A, terus diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen

Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014), tanpa penjelasan matematis yang memadai,

kenapa program penilaian itu diubah.

Jadi Kurikulum 2013 tidak bisa dikatakan sebagai kurikulum yang berlandaskan pada filsafat

esentialisme karena syarat perlu dan syarat cukupnya tidak terpenuhi45

Sedangkan Kurikulum 2006 ini juga sudah diberlakukan kembali melalui Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 dan kurikulum 2006 ini tidak menggunakan filsafat esentialisme,

tetapi filsafat perenialisme, sehingga kita mengalami penerapan dua kurikulum dengan dua

logika pemikiran yang berbeda.

Tingkat kompetensi dalam Kurikulum 2013 mengacu pada SOLO Taxonomy (Structure of

the Observed Learning Outcomes) Taxonomy (lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013

Bab II) yang bermasalah pada pengukuran keberhasilannya (penilaian/evaluasi yang harus

dilaporkan kepada orang tua murid), serta bermasalah pada penetapan Tingkat Kompetensi 0 sampai

Tingkat Kompetensi 6.

45 Syarat perlunya adalah validitas penentuan kompetensi (kompetensi 0-6) (lihat di bagian SOLO Taxonomy di atas) dan syarat cukupnya adalah pengukuran capaian kompetensi (penilaian) itu yang terus bermasalah sampai kini

Page 63: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

51

61

Tingkat kompetensi itu memerlukan perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) sebagai batas

bawah capaian kognisi siswa46, yang sebenarnya termaktub dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,

namun sampai sekarang belum terealisasi. Anak kelas 9 SMP itu harus menguasai apa saja sebagai

bekal pemilihan jurusan di kelas X SMA ? Bahasa Indonesia sampai tingkat mana yang harus

dikuasai oleh siswa kelas 6 SD? Anak kelas XII itu harus menguasai apa saja sebagai bekal

melanjutkan ke universitas? Kimia sampai tingkat apa yang perlu dipahami agar siswa dapat lolos

tes masuk Fakultas Kedokteran? (Yang ada adalah SPM untuk prasyarat minimal sarana dan

prasarana pada Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan SPM akademik)

Dengan kata lain, penentuan Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat Kompetensi 6 itu akhirnya

dijadikan batas atas kemampuan yang harus dikuasai siswa. Karena tidak semua siswa sanggup

menguasai 100% suatu bahan/materi, maka batas atas ini sering diturunkan, sehingga pergantian

kurikulum itu sejatinya makin memiskinkan isi kurikulum. Dengan demikian, kompetensi tidak

koheren dengan Kerangka Dasar Kurikulum (KI dan KD), isi Silabus, isi buku ajar dan isi buku

pegangan guru. Mau bukti? Dengan dihapuskannya TIK dan Logika pada Matematika, siswa sudah

diarahkan untuk menjadi user, bukan programmer. Meskipun siswa sudah duduk di kelas XII IPA

SMA, siswa tidak mengerti beda analog dan digital, apa yang dimaksud dengan komputasi awan dan

yang membuat teknologi android makin lama makin murah. Dengan diajarkannya Kimia di SMP,

maka dipandang Kimia tidak lagi memerlukan prerequisite Matematika dan Fisika, sehingga

praktikum-praktikum kimia dasar harus dihapus, seperti Menghitung bilangan Avogadro dengan

menggunakan lingkaran benang, menyepuh, mengisi aki, dll. Mata Pelajaran Kimia yang sifatnya

empirik telah diturunkan menjadi Kimia sastra. Dengan kata lain, Silabus dan buku ajar itu tidak

menjawab kemerosotan score anak-anak kita dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Masih banyak bagian

kurikulum yang hilang seperti matematika geometrik (stereometri, Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Ukur

Melukis (BM), penggaraman dan Kimia Analitik, dll yang terangkum dalam Kurikulum 197547,

dimana STEM (Science, Technology, Engineering dan Mathematics) dipahami secara 3 F (fun,

fearless dan fantastic). Fun karena pelajaran saling terintegrasi, misalnya dalam pelajaran Prakarya,

siswa diajak membuat alat peraga dan penerapan praktikum lab (misalnya untuk memahami segi 36,

siswa diajak membuat lampion; untuk memahami tentang kalor dan Hukum Hess, siswa diajak

membuat es krim). Fearless karena yang diajarkan adalah logika (matematika tanpa rumus dan fisika

tanpa rumus). Bahan-bahan ini dicoba dihidupkan kembali oleh Prof Yohanes Surya melalui Fisika

Gasing (Fisika gampang, asyik dan menyenangkan). Fantastic karena siswa mulai dibimbing untuk

46 Lihat tulisan selengkapnya tentang SPM, yang ditunjukkan pada Catatan kaki No. 31 dan No.32 47 dimana siswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari

Page 64: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

52

62

melakukan penelitian dan membuat karya tulis di akhir kelas XII sebagai prasyarat kelulusannya.

Hasilnya adalah eksplorasi ilmu yang tiada habisnya (yang muncul sebagai karya inovatif dalam

Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Kemdikbud atau Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI-TVRI), yang

kelak mereka perdalam di perguruan tinggi dan menjadikan mereka sebagai sarjana diaspora yang

mumpuni di manca negara. Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan

mundur? Kenapa laor (Lysidice oele) hanya muncul pada bulan Maret-April di perairan Maluku

Tengah? dll. karya ilmiah siswa yang mencerahkan. Maka dapat dimengerti bahwa dengan silabus

dan buku ajar seperti KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 itu, siswa kelas XII SMA tetap akan

kesulitan mengerjakan soal-soal Verbal GMAT, TOEFL, dan SAT yang diperlukan untuk

menunjukkan bahwa siswa kita mampu bersaing di era global (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun

2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal : banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS

dan PISA yang tidak ada dalam kurikulum Indonesia (tidak ada di KTSP Bimtek dan Kurikulum

2013, adanya di Kurikulum 1975). Permendikbud ini di copy paste pada Permendikbud No.57 Tahun

2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar). Perbedaan SPM menurut ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU

Sisdiknas dengan SPM menurut Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II (Kompetensi 0

-6) juga sudah diuraikan di atas. Dari uraian di atas nampak bahwa SPM merupakan syarat perlu

untuk menuju ke SKS. Siswa harus menguasai 100% suatu bahan ajar/materi yang dipersyaratkan

untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya (bukan hanya menguasai 75%). Dengan demikian, SPM

adalah jembatan untuk menuju ke pendidikan yang transformatif. Pelajaran apa yang bisa ditarik

dari karut marut ini? Memperbaiki pola rekrutmen para calon guru. Selama di SD masih

diberlakukan konsep tematik dan tematik integratif, maka para calon guru SD yang akan diterima di

PGSD seharusnya adalah para lulusan SMA IPA, karena mereka kelak akan mengampu IPA dan

matematika sepanjang hari di kelas (basic science dan matematikanya harus kuat). Lalu

pembelajaran Filsafat Pendidikan, Cara Mendisain Kurikulum, dan Praktek Mengajar harus

dihidupkan lagi di PGSD/FKIP, dengan demikian para guru akan terbiasa berpikir kritis menurut azas

5 W + 1 H dan berpikir analitis melalui pendekatan deduktif serta berorientasi pada proses belajar-

mengajar PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan,

Gembira serta Berbobot) melalui model pembelajaran konstruktivisme. Orientasi pendidikan

seharusnya mengacu pada Finlandia sebagai negara dengan sistim pendidikan terbaik di dunia.

Karena negara itu mempercayai kualitas penyiapan para calon guru di PGSD/FKIP mereka dan

program sertifikasi guru mereka selalu terkait dengan kinerja guru. Kalau mengacu pada kearifan

lokal, model pemetaan siswa seturut multiple intelligence itu sudah diterapkan pada Kurikulum

Page 65: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

53

63

197548, yang mengusung prinsip edukasi : “tidak ada murid yang bodoh, yang ada adalah guru yang

kurang baik” sehingga kita unggul di masa lalu, dimana sains dan matematika dipahami sebagai

art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana kurikulumnya masih mengembangkan 6 wilayah makna

yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis. Acuannya adalah sekolah

sebagai center of excellence. Guru adalah suri teladan (di gugu dan di tiru).

Lewat penerapan Kurikulum 1975 saat itu, para guru mengasah inisiasi kurikulumnya dengan tolok

ukur keberhasilan siswanya dalam mengikuti tes beasiswa kuliah di luar negeri (karena saat itu hanya

diberlakukan Ujian Sekolah, tidak ada Ujian Nasional sehingga masing-masing sekolah berupaya

menciptakan brand image-nya sendiri). Guru menghayati betul panggilannya sebagai guru yaitu

menghidupi profesinya (profesi = janji publik, profesi guru adalah membuat anak yang tidak bisa

menjadi bisa). Maka saat itu tidak ada Bimbel, meskipun GMAT , SAT dan TOEFL menjadi acuan

para guru dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini hanya mungkin kalau pemerintah setia pada

tugasnya yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sehingga tugas pemerintah di dalam penyusunan

kurikulum hanya sebatas menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Oleh sebab itu

membuat kurikulum menjadi kontekstual dan membumi. Untuk itu diperlukan birokrasi yang fokus

pada tupoksinya, tidak tumpang tindih seperti sekarang (BNSP dan Dewan Pendidikan, Puskurbuk

dan Puspendik, Pengawas dengan LPMP, Instruktur Nasional dengan PPPG/PPPPTK dan Kepala

Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat). Anggaran bisa dihemat dan disalurkan untuk menatar

bahan-bahan yang tidak ada dalam kurikulum nasional tapi justru menjadi materi uji di TIMSS, PISA,

GMAT, termasuk melengkapi sarana-prasarana untuk memperdalam materi tersebut.

Dengan demikian siswa dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya dalam jurusan

Ilmu Pasti (Jurusan PAS), IPA (Jurusan PAL), Ilmu-ilmu Sosial (Jurusan SOS) dan jurusan Budaya

(Jurusan BUD, bukan sekedar Jurusan Bahasa). Rangkuman dari kesemuanya ini sebenarnya sudah

disosialisasikan enam tahun yang lalu lewat Disain Kurikulum Digital, dimana guru bukan saja

berlatih menyusun kurikulumnya sendiri yang kontekstual, tetapi juga mengacu peningkatan taraf

48 Kurikulum 1975 juga unggul dalam pengukuran holistik. Soal-soal kognitif berupa Pilihan Ganda biasa; soal psikomotor adalah soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila jawab No. 1, 2 , 3 benar; Pilihlah B, bila jawab No. 1 dan 3 benar; Pilihlah C, bila jawab No. 2 dan 4 benar; Pilihlah D bila hanya jawab No. 4 saja yang benar; Pilihlah E, bila semua jawaban benar. Lalu soal-soal afektif, yaitu soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila sebab benar, alasan benar, ada hubungan sebab-akibat; Pilihlah B, bila sebab benar, alasan benar, tidak ada hubungan sebab-akibat; Pilihlah C, bila sebab benar, alasan salah; Pilihlah D bila sebab salah, alasan benar; dan pilihlah E, bila sebab salah dan alasan salah. Bandingkan dengan Kurikulum 1994, KBK, KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 yang hanya mengenal soal-soal kognitif dalam Pilihan Ganda dan soal-soal kognitif dalam esai (uraian), tidak ada soal-soal Pilihan Ganda psikomotor dan Pilihan Ganda afektif seperti pada Kurikulum 1975. Soal-soal afektif dalam esai di Kurikulum 1975 memerlukan penilaian rubrik.

Page 66: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

54

64

berpikir kritis sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking), sebab hanya dengan pendidikan

kritislah, pendidikan dapat berubah menjadi pendidikan transformatif 49 dimana potensi siswa

dikembangkan seoptimal mungkin untuk mencapai taraf manusia pembelajar. Transformasi

pendidikan ini juga disebut sekilas dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b 50

(hanya mengembangkan kognisi siswa, tidak menyentuh masalah etika dan multikulturalisme

(keberagaman budaya dan pandangan hidup), yang diulang pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014

Ada 9 ciri pendidikan kritis yang transformatif :

1. Pendidikan harus diformulasikan kembali

Pendidikan tidak hanya bersangkut paut dengan disiplin ilmu, tetapi dengan pembentukan

identitas, dan dengan tanggung jawab sebagai warga Negara (yang dijabarkan Presiden

Jokowi dalam Nawa Cita No.8)

Maka dari itu, penggabungan religiositas dengan disiplin ilmu tidak bisa dilakukan

melalui pendekatan filsafat eklektik, tetapi dengan askese pengetahuan (mesu budi)

2. Etika harus menjadi kepedulian dalam pendidikan kritis

Etika dimengerti sebagai tugas dan tanggung jawab terhadap liyan (yang menolak bahwa

kesengsaraan dan eksploitasi harus diterima). Etika melawan ketidak samaan (inequality)

: diskursus untuk memperluas HAM, bukan malah mempersempitnya

Maka pengejawantahannya melalui pendidikan budi pekerti tidak bisa disatukan dengan

mata pelajaran Pendidikan Agama karena bisa terjebak dalam “kesalehan penampilan”

(bukan Civics atau pembentukan keadaban publik). Hak dan wewenang guru (HAM

guru) tidak boleh dipersempit melalui keharusan mengikuti Pasal 20 PP No.32 Tahun

2013 atau meninggalkan Kurikulum 2006.

3. Pendidikan kritis perlu membahas masalah keberagaman

Pendidikan multikultural tidak bisa dilaksanakan hanya dengan membuat daftar

keberagaman, tetapi bagaimana keberagaman itu ditegaskan dan ditransformasikan dalam

demokrasi, kewarganegaraan dan ruang public. Intimidasi kepada para guru hanya karena

perbedaan penafsiran kurikulum adalah bibit dari anti pati pada keberagaman

Analisa konteks yang meliputi analisa sosial dan kekayaan daerah yang sudah mulai

diterapkan dalam Kurikulum 2006, hendaknya terus dikembangkan, bukan malah

dihapus. Analisa konteks ini membuat keberagaman menjadi kontekstual, bukan sekedar

diketahui atau dipahami saja.

49 Pendidikan Transformatif, Makalah Prof.Dr. M Sastrapratedja SJ dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28 Mei 2015 di Ruby Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta 50 Tidak untuk membentuk manusia pembelajar, tetapi hanya mengembangkan kognisi siswa : mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecermelangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu

Page 67: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

5565

4. Pendidikan kritis tidak membekukan pengetahuan

Pendidikan tidak menjadi dogmatis. Pendidikan tidak membuat pengetahuan, kurikulum,

ajaran, narasi menjadi beku, tetapi terbuka untuk diintrepretasikan kembali. Kurikulum

bukan “teks sakral”, tetapi sarana mencapai tujuan 51

Keberadaan Pengawas Mata Pelajaran telah mengacaukan makna literer kurikulum

(menurut KBBI Vol.IV dan kamus Webster, yang diuraikan pada awal Bab IV).

5. Pendidikan kritis membuka penciptaan pengetahuan baru

Batas-batas disiplin ilmu perlu dibuka (bukan malah ditutup dan dipersempit, seperti

diintegrasikannya TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA (di kelas 1-3 SD) dalam

tematik integratif di Kurikulum 2013), sehingga memungkinkan terciptanya ruang baru

untuk pengetahuan baru, yang dapat menyumbang terbentuknya budaya kritis.

Pendidikan kritis memberi tempat untuk ingatan kolektif terhadap mereka yang

dilupakan, melepaskan mereka dari diskursus yang monolitik dan mentotalkan.

Seolah-olah Kurikulum 2013 adalah pilihan terbaik bagi siswa saat ini, dengan

melecehkan sejarah panjang pendidikan kita (menganggap kurikulum lama sudah kuno

dan irrelevan), lupa pada hakekat filsafat perenialisme (Lihat Catatan kaki No.40).

Padahal nuansa monolitik dan totaliter ini sangat nampak antara lain dari perubahan istilah

penatar dari “guru inti” (tutor sebaya) menjadi “instruktur” (orang yang memberi

instruksi) : relasi subordinasi dalam Kurikulum 2013. Perubahan istilah ini erat

kaitannya dengan diubahnya ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20

PP No.32 Tahun 2013 (wewenang guru dipangkas menjadi hanya sekedar penyusun

RPP). Perubahan ini makin dieskalasi dengan munculnya Pengawas sebagai watch dog

6. Pendidikan kritis meninjau kembali pengertian rasionalitas

Pengertian rasio yang berasal dari masa pencerahan, yang menganggap rasio dapat

menemukan kebenaran (rasionalitas instrumental), menyangkal sifat historis dan

ideologis dari kebenaran. Semua pengetahuan secara historis dan sosial dikonstruksikan

secara rasional dengan memperhitungkan efek bola saljunya (snow balls effects) (ingat

putusan Hakim Sarpin Rizaldi dan hakim Harwandi yang mengkonstruksikan kembali

pengertian ilmu hukum tanpa meninjau rasionalitas terbukanya kotak Pandora “status

tersangka” pada kasus pra-peradilan BG (Budi Gunawan) dan HP (Hadi Purnomo).

Batas-batas rasionalitas harus diperlihatkan, untuk itu diperlukan selalu dialog

pengetahuan dalam Kurikulum 2013 (bukan monolog yang ditentukan oleh Pusat, melalui

51 Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : Mencerdaskan kehidupan bangsa

Page 68: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

5666

pelatihan yang searah dan dropping buku ajar dan buku pegangan guru, cerminan azas

top down) dengan guru sebagai “pelaksana instruksi” dari para instruktur nasional.

7. Pendidikan kritis mementingkan kritik sekaligus kemungkinan baru

Pendidikan kritis tidak hanya melontarkan kritik, tetapi harus memunculkan harapan,

horizon “kebeluman” (criticism and contributing)

Misalnya bagaimana menerapkan e-learning dalam era globalisasi dan liberalisasi

pendidikan dewasa ini, sejalan dengan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 201452

Bagaimana siswa di pelosok nun jauh di sana, dimana gurunya tidak ada atau jarang hadir

di kelas, siswa tersebut tetap dapat belajar secara teratur seperti rekan-rekannya di kota-

kota besar – horizon “kebeluman” ini harus selalu diperjuangkan menjadi “asa”.

8. Dalam pendidikan kritis, guru adalah intelektual transformatif 53

Dalam pendidikan kritis, peran guru hendaknya tidak dilihat dengan bahasa sempit

“profesional”

Guru dapat memproduksi ideologi, mengkaitkan teori dengan praksis, sehingga

memungkinkan transformasi sosial54 dan sebagai intelektual publik yang mampu

melontarkan kritik sosial dengan keberanian moral.

Guru bukan robot-robot yang setia menunggu instruksi Dinas/Pengawas/instruktur

dengan ganjaran tunjangan sertifikasi (tunjangan ini sebenarnya merupakan hak guru,

bukan sebagai bentuk kewajiban untuk melaksanakan instruksi Pengawas/Dinas). Guru

bukan sekedar nomor dalam Dapodik/Padamu Negeri, tetapi guru adalah konseptor dan

inisiator pendidikan (dulu sering disebut bahwa guru adalah soko guru masyarakat)

9. Pendidikan kritis mengembangkan kemampuan “bersuara”

Praktek pendidikan kritis mendorong siswa menemukan identitas dirinya dan tempat dia

dalam masyarakat, nasional dan global.

Pendidikan kritis menumbuhkan idealisme untuk membangun masyarakatnya menjadi

adil, sejahtera, manusiawi dengan bahasa transformatif dan penuh harapan. Bukan

sekedar generasi visual, tetapi generasi yang mampu berpikir out of the box.

Bukan generasi yang hanya menjadi user dari gawai (gadget) tanpa tahu teknologinya,

tetapi gen flux, generasi pendobrak kebuntuan dan kebekuan sistim.

52 Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), bukan paket SKS 53 Pendidikan transformatif bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional 54 Pendidikan transformatif menjadikan Pancasila orientasi bagi pendidikan sehingga menjadi humanistik, dialogik, reflektif menuju tercapainya masyarakat adil, berkepribadian dan bermartabat

Page 69: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

57

67

Jalan Keluar Bila Dinas Pendidikan setempat melalui para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran

berkukuh ingin menerapkan “proyek besar” Kurikulum 2013 (mengabaikan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat

3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013),

maka langkah “win win solution” yang tidak mengorbankan tujuan pendidikan nasional dan tidak

menjadikan siswa sebagai sekedar “peserta didik” (namun sebagai “subyek didik”) adalah melalui

jalan sinkretisme, yaitu suatu proses perpaduan dari berbagai paham-paham untuk mencari

keserasian dan keseimbangan, dengan demikian menegaskan suatu kesatuan pendekatan yang

memungkinkan untuk berlaku inklusif. Sinkretisme antara apa yang sudah diyakini baik adanya

(sudah teruji), dengan apa yang diharapkan akan menjadi baik di kemudian hari (belum teruji)

A. Contoh : Kompetensi Inti 1 (KI 1) : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang

dianutnya

KI 1 ini terdapat di semua Mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan, sehingga ada kemungkinan

tidak nyambung (tidak koheren) dengan Kompetensi Dasar 1 (KD 1) atau KD manapun di jenjang

tertentu, maka langkah pertama adalah mencari “kata kunci” dari KI itu : “Menghayati dan

mengamalkan ajaran agama yang dianutnya” itu kata kuncinya apa? Kata kunci yang disodorkan

oleh Kemdikbud adalah “sikap spiritual”. Namun kalau kita dalami, maka kita akan sampai pada

kata kunci yang lebih mendasar : “mengapa kita beragama”, karena ada “kebenaran” di situ, hingga

kata yang lebih dalam dari “sikap spiritual” adalah “kebenaran”, maka kata “kebenaran” ini dapat

digabung dengan SK (Standar Kompetensi) dari Kurikulum 2006, misalnya SK 1 : Memecahkan

masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar, dan logaritma.

Kenapa perlu digabung dengan SK 1 dari Kurikulum 2006 ? Untuk mencari bahan ajar yang

hilang (yang tidak tercantum lagi dalam Silabus baru, padahal bahan ajar itu penting), maka hasil

penggabungan itu akan menjadi : “MEMECAHKAN MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN

BENTUK PANGKAT, AKAR DAN LOGARITMA SECARA BENAR”

Akibat penambahan satu kata “SECARA BENAR” itu, maka para guru akan terpaksa mencari mata

rantai yang hilang dari bentuk akar, pangkat dan logaritma itu. Ternyata sejak SD tidak diajarkan :

1. Konsep Basis Bilangan, siswa langsung diperkenalkan dengan basis sepuluh, padahal banyak

operasi hitung tidak menggunakan basis 10, seperti algoritma computer programming

menggunakan basis bilangan 1 (hanya mengenal 0, dan 1), kartu domino : basis bilangannya

6 (ada kartu 0,0 dan 6,6); kartu remi : basis bilangannya 13 (ada kartu 2 sampai 10, ditambah

dengan kartu As, King, Queen dan Jack); dadu basis bilangannya 6; jarimatika basis

Page 70: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

5868

bilangannya 10; dakon (congklak) basis bilangannya 10. Permainan kubus rubrik

menggunakan basis bilangan 6.

2. Sifat bilangan, bahwa perkalian itu sebenarnya adalah penjumlahan biasa, misalnya 1 + 3

terdiri dari dua bilangan, maka hasilnya adalah 2 x 2, jadi 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + 13 + 15 +

17 + 19 + 21 + 23 + 25 itu terdiri dari 13 bilangan, maka hasilnya adalah 13 x 13, akibatnya

6 x 4 bisa dibaca sebagai 4 enam kali (4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4) atau 6 empat kali (6 + 6 + 6 + 6)

Luas bisa dihitung dari panjang x lebar atau lebar x panjang

Dengan memasukkan “konsep bilangan” dan “sifat bilangan”, siswa dapat dilatih berpikir abstrak

melalui “mencongak”, sesuatu yang hilang dari kurikulum kita sehingga anak-anak sekarang

dibentuk menjadi anak visual (dulu tergantung pada kalkulator, sekarang tergantung pada gawai

(gadget), daya abstraksinya tidak berkembang. Mau bukti? Ajaklah mereka berdebat. Debat dengan

mudah bisa berubah jadi debat kusir yang menganggap orang yang berbeda pendapat sebagai lawan

Maka, dengan menggabungkan KI dan SK, bagian kurikulum yang hilang dari khasanah kurikulum

kita akan dapat digali lagi, misalnya dalam matematika akan didapat lagi Ilmu Ukur Ruang

(Stereometri) yang juga menjadi jembatan pemahaman garis bujur dan garis lintang pada bola dunia

dalam Geografi atau letak dan jarak bintang dalam Astronomi. Dengan demikian siswa secara

bertahap akan diajar untuk berpikir satu dimensi melalui garis lurus, dua dimensi melalui lingkaran

dan tiga dimensi melalui bola. Siswa tidak bingung dengan dimensi dua dari segitiga, karena segitiga

apapun juga pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari lingkarannya. Siswa juga tidak akan bingung

dengan bentuk kerucut, prisma dll, karena benda itu pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari bolanya.

Dengan demikian, kita bisa mengajarkan kembali menggambar perspektif dan proyeksi pada siswa

SMA atau menggambar ornament pada siswa SD atau origami advance pada siswa SMP, sehingga

daya abstraksi siswa makin lama makin berkembang. Jadi, dimensi matematika yang begitu besar

dapat dipelajari dalam (1) Ilmu Ukur Analitika (lingkaran dan lingkaran tak hingga (hiperbola), elips

dan elips tak hingga (parabola) : siswa tidak langsung belajar statistika tanpa tahu parabola secara

mendalam) (2) Ilmu Ukur Ruang (stereometri) : tiga dimensi dan (3) Ilmu Ukur Melukis : empat

dimensi, serta (4) Trigonometri, yang juga sangat diperlukan dalam Ilmu Pesawat (gerak peluru,

gerak lenting pegas, gerak timba (kerekan) : sekarang adalah gerak angkat dari forklift ) dan (5)

Aritmatika (Ilmu Hitung), sehingga orang tidak bingung lagi hitung cepat (quick count) setelah

Pemilu/Pilkada karena cara menghitungnya sama dengan menghitung buah mangga dalam keranjang

tanpa mengeluarkan mangga itu dari keranjang dan menghitungnya satu per satu). Mata Pelajaran

Matematika akan menjadi art karena melatih imajinasi siswa sehingga pelajaran menggambar

ornament, perspektif dan proyeksi akan merupakan pelengkap dari kemampuan prediksi dan analisis

siswa. Peningkatan kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi tujuan utama dari pembelajaran

Page 71: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

5969

Matematika. Dengan asumsi itu, Pramuka yang telah diwajibkan dalam ekstra kurikuler55 sekolah

mempunyai pijakannya yang kuat dalam “mencari tanda jejak” dan “jurit malam” melalui membaca

arah seturut kemunculan rasi bintang biduk/beruang besar sebagai penunjuk arah utara. Garis-garis

imajiner yang membentuk citra beruang besar itu hanya bisa dimengerti kalau siswa belajar tentang

rasi bintang, dan bisa membedakannya dengan rasi bintang lain (sayang sekali, pelajaran Ilmu Bumi

Falak (Astronomi) yang ada di Kurikulum 1975 ini dihapus dari kurikulum kita

Oleh sebab itu, siswa dapat mengenali rasi bintang pemburu/orion/ waluku sebagai penunjuk arah

Barat, sehingga mereka tidak akan tersesat dalam “jurit malam” dan mereka akan tahu, dimana

matahari akan terbit (kemana harus menyongsong fajar).

Semua garis-garis imajiner itu hanya bisa dipelajari melalui mata pelajaran astronomi (dalam

Kurikulum 1975, dikenal sebagai Ilmu Bumi Falak, yang justru sudah dihapus seiring dengan

55 UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka (UU Kepramukaan) Pasal 38 butir (a) : “Setiap peserta didik berhak mengikuti pendidikan kepramukaan”, tetapi harus diingat pula bahwa hak itu bisa tidak digunakan oleh peserta didik, mengingat sifat sukarela dari gerakan kepanduan sedunia, yang tercermin dalam Pasal 20 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2010 : “Gerakan pramuka bersifat mandiri, suka rela dan non politis”. Analog dengan hal ini adalah hak memilih dan hak dipilih dalam Pemilu. Warga bisa tidak menggunakan hak pilihnya dan tidak boleh dipaksa memilih

Page 72: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

60

70

dihapusnya Stereometri (Ilmu Ukur Ruang) dari kurikulum kita sejak 1994, sehingga para siswa kita

akan kesulitan dalam mengikuti Olimpiade Astronomi, atau memahami penentuan hilal dan rukyat

sebagai tanda dimulainya awal puasa ( 1 Ramadhan) atau saat penentuan akhir puasa yang kita kenal

sebagai Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal).

Tanpa pemahaman akan adanya garis-garis imajiner di langit selatan (karena sebagian besar dari kita

berada di bawah garis katulistiwa), maka semua bintang akan terlihat sama saja

Maka tanpa pemahaman astronomi, kegiatan “mencari tanda jejak” dan “jurit malam” di Pramuka

hanya menjadi kegiatan hura-hura saja. Kegiatan Pramuka bahkan bisa berlangsung tanpa SKK

(syarat kecakapan khusus). Tanpa mempunyai SKK, siswa sudah bisa menggunakan seragam dan

atribut Pramuka, yang sebenarnya menyalahi UU No.12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, Pasal

7 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 6 tentang SKK (Syarat Kecakapan Khusus) dan SKU (Syarat Kecakapan

Umum) serta tanda/sertifikat SKK/SKU

Hal ini juga berlaku untuk Mata Pelajaran lain, dengan menambahkan satu kata kunci :

“SECARA BENAR”, maka di dalam Mata Pelajaran Agama yang dogmatis itu dapat ditambahkan

Etika dan Etiquette (Etiket) : bagian penting dari Budi Pekerti.

Dalam Biologi, saat pembahasan mengenai Tumbuhan atau Konservasi, dapat ditambahkan tentang

pembuatan Apotek Hidup, Dapur Hidup dan Arboretum (Kebun Raya Mini) atau dalam skala mikro,

siswa dapat diajar membuat terrarium. Dalam Ilmu Kimia, dapat ditambahkan dua bagian penting

dari Kimia yang hilang dari kurikulum kita, yaitu penggaraman dan Kimia Analitik (penggaraman

adalah jembatan untuk memahami asidi-alkali metri dan sifat amfoter suatu zat)

Contoh lain adalah mencari kata kunci dari KI 2, KI 3 dan KI 4. Pemerintah sudah

membuatkan kata kunci untuk KI 2 yaitu SIKAP SOSIAL, kata kunci untuk KI 3 yaitu

PENGETAHUAN dan kata kunci untuk KI 4 yaitu KETRAMPILAN 56. Maka tugas guru adalah

56 Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi

Page 73: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

61

71

mendalami kata kunci itu sehingga dapat KI tersebut dapat digabung dengan SK dari Kurikulum

2006, sekali lagi, tujuannya adalah mencari bahan ajar/materi ajar yang hilang dari kurikulum. Oleh

karenanya, kata kunci dari KI 2 akan menjadi AFEKTIF, kata kunci dari KI 3 akan menjadi

KOGNITIF dan kata kunci dari KI 4 adalah PSIKOMOTOR

Penggabungan KI dan SK ini bukan saja memunculkan lagi bagian kurikulum yang hilang, tetapi

juga menghasilkan soal-soal pilihan ganda kognitif, soal-soal pilihan ganda psikomotor dan soal-soal

pilihan ganda afektif (lihat catatan kaki no. 48 tentang keunggulan pengukuran holistik Kurikulum

1975) Kalau ada masalah dalam penyusunan soal-soal pilihan ganda ini, maka yang perlu dibenahi

adalah peningkatan kompetensi guru dalam penyusunan soal-soal spesifik itu, bukan malah

menghapusnya, karena tujuan pembuatan soal-soal pilihan ganda holistik itu adalah melatih

penalaran halus (fine tuning) siswa dan melatih guru dalam Penilaian rubrik untuk soal-soal esai.

Peningkatan kompetensi guru ini adalah tupoksi dari LPMP dan PPPG/PPPPTK di daerah

(pemerintah pusat tidak perlu ikut sibuk mencampuri evaluasi hasil belajar siswa ini, agar pemerintah

fokus pada pelaksanaan Pasal 3, dan Pasal 11, serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)

B. Contoh : Kompetensi Inti 2 (KI 2) Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Menghayati dan

mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,

damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas

berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta

dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

Kata kuncinya adalah AFEKTIF

Sedangkan SK 1 Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Memahami siaran atau cerita yang disampaikan

secara langsung /tidak langsung

Maka gabungan dari KI 2 dan SK 1 ini adalah : MEMAHAMI YANG TERSIRAT DARI SIARAN

ATAU CERITA YANG DISAMPAIKAN SECARA LANGSUNG/TIDAK LANGSUNG

Dengan memasukkan kata afektsi (memahami yang tersirat, bukan yang tersurat) maka akan muncul

tiga bahan yang hilang dari kurikulum Bahasa Indonesia untuk memahami siaran atau cerita yaitu :

(1) penyusunan kronik, hingga dapat : (2) merangkai kronologi kejadian yang melatar-belakangi

munculnya siaran atau cerita itu sehingga siswa bisa : (3) menyusun kaleidoskop untuk memahami

trend apa yang menarik perhatian masyarakat atau menjadi sorotan publik. Dengan demikian, siswa

bisa memisahkan antara isu dan siaran atau cerita yang terverifikasi (menghindari gossip atau

subyektivitas) Oleh sebab itu, siswa belajar untuk tidak terlalu cepat menarik kesimpulan, yang bisa

saja terjebak dalam kesalahan penafsiran.

Page 74: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

62

72

C. Contoh Kompetensi Inti 3 (KI 3) IPS Terpadu kelas VII SMP : Memahami pengetahuan (faktual,

konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,

seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

Cukup banyak yang keliru mencari kata kunci KI 3 ini, mengira kata kuncinya adalah “ketrampilan”,

karena terpengaruh kata “terkait fenomena dan kejadian tampak mata” yang hakekatnya adalah

“pengamatan atau observasi”, tetapi yang dimaksud di sini adalah observasi sebagai langkah

pengumpulan fakta untuk memahami alur pikir sains, sehingga kata kunci yang betul adalah

“kognitif”

Sedangkan SK 3 IPS Kelas VII SMP : Memahami usaha manusia memenuhi kebutuhan

Maka gabungan dari KI 3 dan SK 3 ni adalah : MEMAHAMI USAHA DAN KINERJA MANUSIA

DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN

Dengan memasukkan kata “kognitif”, maka “usaha” bukan dipahami sebagai “sekedar berusaha”,

tapi harus dilihat juga tingkat keberhasilan usahanya (kinerjanya). Dengan demikian, akan diperoleh

dua bahan yang hilang dari kurikulum, yaitu manusia bukan saja sebagai mahluk sosial dan mahluk

ekonomi, tetapi juga mahluk budaya dan mahluk politik

Maka dari itu, bahan IPS Terpadu akan diperkaya dengan mahluk budaya yang mengupas masalah

sistim/tata nilai, sikap mental, pola tingkah laku dan dehumanisasi yang akan memperkaya dimensi

sejarah dalam IPS. Kinerja mahluk berbudaya adalah ketertiban dan kebersamaan (public order dan

esprit de corps). Sebagai mahluk politik, IPS akan diperkaya dengan strategi untuk penentuan atas

pilihan-pilihan dalam menjalani hidupnya hingga bisa merencanakan tindakan-tindakan politis, yang

akan memperkaya dimensi ekonomi (political economy) dalam IPS. Kinerja mahluk politik adalah

terwujudnya kesejahteraan umum (public welfare).

Bahan-bahan IPS Terpadu di SMP akan diperkaya, bukan saja dengan menerjemahkan kebutuhan

ekonomi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, tetapi juga menjadikan siswa tidak

“buta politik” dan menjadi manusia muda yang beradab (tidak terlibat “gang motor”, tawuran, atau

menganggap liyan yang berbeda pendapat sebagai musuh)

D. Kompetensi Inti 4 (KI 4) IPA kelas V SD : Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual

dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang

mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan

berakhlak mulia

Cukup banyak kata yang merujuk pada aktivitas, yaitu kata-kata “menyajikan ….”, “dalam karya

…..”, “dalam gerakan …..”, “dan dalam tindakan …..” Sehingga cukup mudah untuk

mengasumsikan bahwa kata kuncinya adalah “action” (ketrampilan), maka simpulan harus selalu

melihat kalimat lengkapnya yaitu “menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam Bahasa

Page 75: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

63

73

yang jelas dan logis dan sistematis” yang arti harafiahnya adalah “bekerja berdasarkan pengetahuan

yang dikuasai” sehingga kata kunci yang benar adalah “psikomotor”

Standar Kompetensi 1(SK 1) IPA kelas V SD : Mengidentifikasi organ tubuh manusia dan hewan

Maka gabungan antara KI 4 dan SK 1 IPA kelas V SD adalah : MENGIDENTIFIKASI PREPARAT

ORGAN TUBUH MANUSIA DAN HEWAN

Dengan menambahkan kata kunci “preparat” , maka para guru akan tertolong untuk memperkaya

ketrampilan psikomotorik siswa melalui tindakan bedah pada hewan yang memerlukan contoh

(teladan) ketrampilan bedah guru. Bila guru kurang trampil dalam bedah, para guru bisa

menggunakan YouTube untuk melihat film kinerja preparat suatu organ terutama preparat manusia.

Melalui penambahan kata “preparat”, bahan IPA SD akan diperkaya dengan kaburnya/memudarnya

pembagian antara hewan dan tumbuhan dengan diketemukannya mahluk bersilia (tergolong hewan),

tetapi juga bersimbiosis dengan alga (tergolong tumbuhan) yaitu Mesodimium chamaeleon, atau

Elysia chlorotica, sebangsa siput yang mempunyai chlorofil seperti tumbuhan, tapi juga bisa bergerak

seperti hewan

Siswa SD sejak dini sudah diajak mengeksplorasi alam semesta yang masih banyak belum terungkap

sehingga daya abstraksi dan imajinasinya akan terus berkembang. Fungsi IPA sebagai jembatan

untuk memahami keteraturan dalam alam semesta akan tercapai (bukan sekedar memahami “rantai

Page 76: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

64

74

makanan”/”rantai energi” melalui biologi molekuler, atau kompleksitas hereditas melalui “Teori

evolusi Darwin”/”Teori Mendel”)

Bahan IPA SD akan diperkaya dengan kinerja sel-sel organ (hewan atau manusia) yang

bekerja berdasarkan prinsip fisika (kapilaritas (tegangan permukaan), difusi dan osmose (larutan

isotonis dan hipotonis), dan energi atau prinsip kimia (kerja enzim, perubahan kimiawi dalam

mitochondria, dll) sehingga sejak dini, siswa SD sudah dipersiapkan untuk mempelajari IPA Terpadu

Apakah tidak terlalu sulit untuk anak SD ? Tidak, karena saat mempelajari tumbuhan (botani), siswa

sudah mengenal cara tumbuhan menyerap unsur hara dari dalam tanah melalui prinsip pipa kapiler

(tegangan permukaan), mengukur pertumbuhan kecambah kacang hijau menggunakan

auksanometer, dll

Dengan menambahkan kata kunci “kebenaran”, “afektif”, “kognitif” dan “psikomotor” pada

SK dari Kurikulum 2006, maka materi uji TIMSS dan PISA yang tidak ada di kurikulum

Indonesia, akan dapat digali lagi (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 b :

Tantangan Eksternal) (lihat Catatan * tentang permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga

tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b

Apa perlunya mempelajari Filsafat Pendidikan ?

Pertama, Agar dapat melakukan refleksi secara benar. Sebab tanpa bekal pemahaman

Filsafat Pendidikan, refleksi dengan mudah akan terjerumus ke dalam pencarian umpan balik (feed

back), yaitu melakukan refleksi seperti saat hening doa malam : “menggali kembali apa yang sudah

kita alami sepanjang hari tadi”57 Bukan itu yang dimaksud, sebab umpan balik memerlukan tindak

lanjut (follow up), sedangkan refleksi pedagogis memerlukan strategi baru agar proses pembelajaran

lebih membumi.

Contoh : bila guru mengarahkan “refleksi” itu sebagai “mengingat kembali apa yang sudah dialami

atau dipelajari murid sepanjang hari tadi”, maka yang muncul adalah complaint murid terhadap sikap

guru dan cara guru mengajar atau complaint murid terhadap kelengkapan sarana dan prasarana

sekolah : kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti, maka refleksi paradigma pendidikan reflektif (PPR) itu

bisa bubar di tengah jalan.

Sebaliknya, bila “refleksi” dipahami sebagai upaya mencari strategi baru, maka yang pertama dan

utama harus melakukan refleksi adalah gurunya, bukan muridnya

57 Umpan balik (feed back) ini muncul dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab II A No. 3 c (seharusnya bukan umpan balik, tetapi refleksi, sehingga terukur)

Page 77: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

65

75

Refleksi guru itu harus dilakukan bila :

Rerata daya serap siswa < KKM, maka rumusan Indikator Keberhasilan di Silabus harus

diubah

Jumlah siswa yang tuntas < 50 %, maka ranah Kata Kerja Operasional (KKO) harus

diperbaiki

Jumlah siswa yang tidak tuntas > 50 %, maka jumlah “soal yang diterima” dalam Analisis

Soal harus diperbanyak (“Soal yang harus direvisi” dan”soal yang ditolak” dikeluarkan dari

Bank Soal). Untuk Analisis Soal ini, para guru dapat menggunakan ANATest (ITB)

(berbayar), atau SPS Sutrisno Hadi (UGM) (berbayar) atau Analisis Soal yang disediakan

dalam Disain Kurikulum Digital (gratis)

Kemudian, guru baru melanjutkan ke “refleksi” siswa, misalnya : “Apakah saya bisa bekerja sama

dengan teman?” Kalau murid menjawab : “ya”, maka seharusnya prestasi murid itu membaik karena

murid yang bersangkutan dapat mengambil banyak manfaat dari belajar berkelompok (tutor sebaya).

Bila murid menjawab “ya” tapi prestasinya justru memburuk, maka ada inkonsistensi dalam

menjawab pertanyaan-pertanyaan pedagogis itu, Guru Mata Pelajaran dapat menggali faktor-faktor

lain penghambat belajar murid itu. Salah satu penyebab memburuknya prestasi itu kemungkinan

besar disebabkan oleh ketidak-cocokan siswa dalam belajar berkelompok (tutor sebaya), maka guru

dapat mencari strategi lain (tidak lagi menggunakan strategi UILG (Using Interdependent Learning

Group) atau tutor sebaya itu lagi, tapi guru dapat memilih strategi pembelajaran individual, seperti

SSRL (Supported Self-Regulated Learning) sehingga guru cukup hanya menyediakan dukungan

yang perlu agar siswa bergerak dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar yang independen,

misalnya begitu mendengar kata : “Puting beliung”, siswa tanpa disuruh – mencari sendiri makna

kata “puting beliung” itu dari ensiklopedia, surfing internet (googling) atau mencari di kamus,

wikipedia dll Memang untuk masuk dalam PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif), guru harus

menguasai bahan yang diajarkannya, sekaligus menguasai metode didaktik pedagogik (guru-guru

lulusan Program Akta IV akan mudah menerapkan PPR bila dilatih), oleh sebab itu, kita dapat

memahami upaya pemerintah untuk mengubah pola pemberian sertifikasi guru yang baru, yaitu

melalui “pendalaman materi” dengan pembelajaran selama 2 semester (bukan lagi lewat pelatihan 1

minggu), karena para guru lulusan PGSD/FKIP akan kesulitan dalam penerapan PPR ini.

Masalah berikutnya adalah di SD, para calon guru yang belajar di PGSD atau FKIP harus

berlatar SMA IPA, karena mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang

hari di kelas dalam Tematik Integratif di SD. Tanpa pengalaman praktikum yang memadai, para

guru SD itu akan kesulitan membimbing pendekatan saintifik (5 M) . Oleh sebab itu, tidak lagi boleh

ditolerir, adanya Pengawas yang mengijinkan pendekatan 5 M itu dipotong saja menjadi 3 M. Hal

Page 78: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

66

76

ini bukan saja menyalahi arti pendekatan saintifik, tapi juga merusak system of knowledge dari ilmu

pengetahuan itu sendiri. Ilmu Pengetahuan tidak lagi merupakan art, tapi menjadi sekumpulan

hafalan dan rumus-rumus/aksioma58 yang mendorong sikap tidak kreatif dan tidak imajinatif.

Masalah serius terjadi di SMP, dengan program sertifikasi, maka guru pengampu IPA

Terpadu harus berijazah S-1 IPA Terpadu (bukan berijazah S-1 Biologi, atau S-1 Fisika, atau S-1

Kimia), padahal FKIP yang mempunyai jurusan IPA Terpadu hanya ada di UNY di Yogya.

Problemnya adalah calon guru yang akan mengikuti perkuliahan IPA Terpadu harus sungguh-

sungguh pandai karena harus sanggup mempelajari sains lintas disiplin tanpa kehilangan hakekat

Biologi, Fisika dan Kimia an sich. Disinilah problem utamanya, orang yang sungguh-sungguh

pandai itu akan memilih masuk ke Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. FKIP/PGSD bukan

ideal mereka. Dengan demikian, peraturan linieritas dalam program sertifikasi itu bisa menghasilkan

calon guru IPA Terpadu yang kualitasnya kurang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita bisa

makin merosot.

Kedua, Agar para guru mudah merumuskan Tujuan Pembelajaran sehingga dapat fokus

dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas (tidak tersesat dengan mengajarkan materi lembar demi

lembar dari buku ajar/sumber belajar, lalu kehilangan intinya/target kurikulumnya). Tujuan

pembelajaran ini sering dikacaukan dengan Indikator Pembelajaran, hanya karena kedua tema ini

menggunakan kata awal : “siswa dapat”

Misalnya : KD (Kompetensi Dasar) 2.1 Matematika Kelas X SMA : Melatih diri memiliki pola hidup

yang disiplin, konsisten dan jujur sebagai dampak mempelajari konsep dan aturan eksponen dan

logaritma serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari

Maka Tujuan pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan konsep algoritma, logaritma (log)

dan log naturalis (ln), yang akan sangat berbeda dengan rumusan Indikator pembelajaran yang rinci,

mulai dari : Siswa dapat mengkonversi akar menjadi pangkat, sampai siswa dapat menyelesaikan

masalah mempergunakan ln (ada 6 Indikator dalam KD 2.1 ini dengan alat bantu Buku Logaritma,

tidak bisa menggunakan kalkulator). Contoh perhitungan yang tidak bisa menggunakan kalkulator

adalah 2015 pangkat -2015. Penyelesaian secara cepat hanya bisa kalau menggunakan buku

logaritma. Namun ada juga pejabat Kemdikbud yang menyatakan, anak tidak perlu menghitung

58 Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” (Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tanggal 11 November 2013) : Model pendidikan yang dipandu oleh logika utilitarianism in extremis, yang sibuk mengejar ranking nilai atau KKM, tentu tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif kebudayaan yang antara lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit membayangkan bagaimana pemahaman instrumental tentang ilmu sanggup menghasilkan pengalaman eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk mengubah cara pandang kita terhadap realitas

Page 79: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

67

77

angka-angka besar itu, mereka lupa bahwa dalam Ilmu Kimia akan banyak menggunakan

perhitungan dengan angka-angka besar itu (Bilangan Avogadro untuk menghitung jumlah atom atau

molekul dalam suatu zat, perhitungan dengan mengunakan konstanta asam atau konstansta basa

dalam kesetimbangan kimia, perhitungan derajat keasaman, dll). Juga perhitungan energi dalam

Fisika (Joule, erg, KwH, HP (PK). Angka-angka besar itu juga sangat diperlukan dalam perhitungan

jarak bintang pada Astronomi (tahun cahaya), perhitungan dalam komputasi (Mb, Gb, Tb, dll).

Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 1.1 IPS kelas VII SMP : Menghargai karunia Tuhan YME

yang telah menciptakan waktu dengan segala perubahannya

Maka Tujuan Pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan waktu berdasarkan koordinat suatu

tempat, dengan 5 Indikator yaitu dimulai dari : Siswa dapat membedakan gerak rotasi dan gerak

revolusi bumi, sampai pada : Siswa dapat menentukan waktu berdasarkan garis bujur suatu tempat

di bumi

Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 3.2 IPA kelas V SD : Mengenal organ tubuh manusia dan

hewan serta mendeskripsikan fungsinya

Maka tujuan pembelajarannya adalah : Siswa dapat membedakan organ hewan berdarah panas

dengan organ hewan berdarah dingin, (Siswa akan sampai pada kesimpulan : organ manusia dengan

simpanse itu sama, hanya beda ukuran otaknya). KD ini bisa dilengkapi dengan 6 Indikator, mulai

dari : Siswa dapat mengenal ciri-ciri organ hewan, lalu : Siswa dapat melihat cara kerja suatu organ

manusia dalam film animasi di YouTube, sampai ke : Siswa dapat mencari di internet mahluk yang

dapat digolongkan kedalam hewan maupun tumbuhan

Mudah-mudahan dengan contoh-contoh di atas, dapat dilihat dengan jelas perbedaan antara Tujuan

Pembelajaran dan Indikator

Tujuan Pembelajaran berkaitan dengan kompetensi (kemampuan)59 siswa yang ingin

dikembangkan, sedangkan Indikator berkaitan dengan target kurikulum 60 yang ingin dicapai

Dengan demikian kita tidak akan terpengaruh perubahan yang terjadi (Jawa Pos 27 Juni 2015 hal 12.

Dikatakan oleh Ramon Mohandas Kepala Puskurbuk bahwa Revisi Utama Kurikulum 2013 adalah

KD untuk KI 1 dan KD untuk KI 2). Harapan kita, KD yang akan direvisi harus dapat menambahkan

lagi bagian kurikulum yang hilang. Namun kalau penggabungan kata kunci seperti yang dicontohkan

di atas tidak dilakukan, maka harapan itu hanya akan tinggal menjadi harapan. Yang ada adalah

perbaikan tambal sulam Kurikulum 2013, yang mengabaikan isi Nawa Cita No.8

59 Kemampuan yang ingin dikembangkan itu mengarah ke kognitivisme, behaviorisme atau ke konstruktivisme 60 Target kurikulum : konseptual, faktual, procedural, atau meta kognitif

Page 80: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

68

78

tanpa mengkaji kenapa 28 permendikbud yang melandasi Kurikulum 2013 itu selalu

menyebut berulang kali kata “KTSP”,

kenapa Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang menjadi dasar hukum dari

Kurikulum 2013 itu tidak kunjung diimplementasikan?

Kenapa hanya muncul excuse tanpa solusi, seperti nampak pada Lampiran Permendikbud No.

67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b Tantangan Ekstrnal : banyaknya materi uji TIMSS dan

PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, yang juga tersurat (di copy paste)

dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b

Dengan contoh di atas, apa urgensinya belajar memperdalam lagi Filsafat Pendidikan?

Dimensi filsafat dalam pendidikan mempersoalkan pernyataan dasar mengenai apakah

pendidikan itu? Dengan demikian, dimensi filsafat mencoba menjawab persoalan pendidikan pada

dirinya sendiri atau pendidikan qua pendidikan. Dewasa ini persoalan mendasar tentang pendidikan

qua pendidikan tampaknya kurang diminati, karena dianggap tidak menyumbangkan pemikiran yang

bisa dipakai untuk pemecahan langsung terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat

menyangkut praktik pendidikan.

Atau, barangkali masyarakat sudah sedemikian terobsesi oleh begitu banyaknya persoalan pragmatis

dan terjerat dalam labirin persoalan praktis, sehingga tidak mampu lagi keluar untuk mencari ujung

benang kusut dari seluruh persoalan pendidikan.

Kalau demikian, dimensi filsafat sebetulnya justru memperlihatkan urgensinya yang nyata saat ini.

Tentu saja pembicaraan tentang pendidikan pada tataran filsafat tidak berorientasi pada

manfaat, hasil atau kegunaan, melainkan pada visi yang memberi wawasan. Karena itu pembicaraan

ini mempunyai scope yang berbeda dari pembicaraan pragmatis. Namun, paham filsafat pendidikan

sangat penting untuk memberi dasar yang benar bagi penyelesaian-penyelesaian persoalan praktis.

Memang, filsafat pendidikan tidak serta merta bisa diterapkan untuk memecahkan persoalan-

persoalan dalam pendidikan yang begitu luas, karena seperti sudah disinggung di atas, filsafat tidak

menjawab persoalan secara pragmatis melainkan menjawab persoalan secara visioner dan memberi

wawasan.61 Langkah visioner sebenarnya sudah ditunjukkan oleh Mendikbud Anies Baswedan

melalui Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : tidak ada kurikulum 2013 itu (lihat Pasal 1 dan Pasal 2

ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014)62, namun di tengah perjalanan, ada pihak-pihak yang

selalu memaksakan “proyek penyerapan anggaran” untuk tetap menerapkan Pasal 2 ayat 1 dan juga

61 A. Sudiarja, Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius, 2014 62 Pasal 1 : Sekolah yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 dapat kembali menerapkan Kurikulum 2006 Pasal 2 ayat 3 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, dapat berganti menerapkan Kurikulum 2006, cukup dengan melapor pada Dinas Pendidikan setempat

Page 81: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

69

79

Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu63 , melupakan isi Pasal 5 Permendikbud No. 158

Tahun 201464

Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan filosofi, tercermin pula pada Mendikbud Anies

Baswedan dan jajaran birokrat Kemdikbud :

Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum

2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri

Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan

menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat catatan kaki No. 2 dasar

hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)

Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006

paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020

Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan

Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.

Bagaimana kita akan bersaing dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri

Indonesia, bila kita berkukuh pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini,

dan tidak menyiapkan guru-guru kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong

pemberlakuan sistim baku SKS (bukan paket SKS), yaitu melangkah ke SBI (sekolah bertaraf

internasional) yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008?

Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 di tahun pelajaran 2019/2020 itu juga mendistorsi

isi Nawa Cita No.8 tentang perlunya penataan kembali kurikulum pendidikan nasional

Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang

mau membatasi modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi negatif WTO

dan ACMW. Sebelum kita kena sanksi WTO dan ACMW, apa yang harus kita lakukan untuk

meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas 65 dan Pasal 5

ayat 1 UU Sisdiknas 66? Kembali menggali filosofi yang tepat dan sesuai dengan tujuan pendidikan

63 Pasal 2 ayat 1 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, tetap melaksanakan Kurikulum 2013 (boleh berganti ke Kurikulum 2005 atau tidak? ) Pasal 3 : Sekolah yang belum menerapkan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan untuk pelaksanaan Kurikulum 2013 (apakah artinya tidak boleh menerapkan Kurikulum 2006 dan tidak boleh ke SKS? 64 Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), tapi jembatan untuk pindah dari Kurikulum 2013 ke SKS tidak disediakan (guru tidak dilatih cara menyusun diktat, LKS dan modul) serta manajemen moving class dan micro teaching). Jembatan ini justru ada di Kurikulum 2006, kalau guru mampu menyusun kurikulumnya sendiri (sesuai Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013), maka guru pasti mampu menyusun modul sendiri 65 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab 66 Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu

Page 82: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

70

80

nasional kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (bukan meningkatkan kompetensi orang per

orang, seperti yang dirujuk oleh KBK). Filsafat pendidikan yang tepat dengan strategi pelestarian

budaya adiluhung kita, sekaligus dapat mengakomodasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa

melalui penggalian local wisdom kita (tut wuri handayani)67 adalah filsafat perenialisme68 Tanpa

pemahaman ini, kita akan dengan terjebak dalam anomali pola pikir, mengira bahwa pembelajaran

kognitif (calistung) itu lebih sulit dari pembelajaran afektif (pendidikan karakter), lalu menunda

pendidikan kognitif pada usia emas anak untuk belajar dan menggantinya dengan pendidikan karakter

: “Anak hingga usia 7- 8 tahun atau kelas I dan II SD belum bisa langsung diisi dengan berbagai

pelajaran, seperti berhitung dan baca tulis, yang diajarkan serius ……..Usia 7 – 8 tahun juga masih

usia bermain bagi anak-anak”, kata Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo (Langkan, “Pelajaran Baca

Tulis Diganti Pendidikan Karakter”, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015 halaman 11) Maka langkah

pragmatis untuk memenuhi azas tut wuri handayani yang diperkuat dengan filosofi perenialisme dan

sekaligus memenuhi tuntutan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 adalah menerapkan e-

learning melalui Disain Kurikulum Digital. Dalam kaitan dengan Disain Kurikulum Digital, praksis

yang penting adalah terbangunnya kesadaran akan wawasan hakiki dalam mengimplementasikan

refleksi dan merumuskan tujuan pembelajaran demi kualitas pendidikan yang lebih baik. Kenapa

bisa dipastikan bahwa kualitas pendidikan kita akan membaik ? Karena melalui Disain Kurikulum

Digital ini, bagian kurikulum yang hilang akan dapat tergali lagi. Kurikulum kita akan makin kaya.

Salah satu keunggulan dari Disain Kurikulum Digital adalah digunakannya Taksonomi

Bloom, dimana guru harus memberi Teladan, jadi guru yang mengampu Biologi, harus mahir dalam

bedah (sectio) sehingga siswa dapat melakukan bedah hewan secara baik, guru yang mengampu Seni

suara/Musik paling tidak harus mampu memainkan satu alat musik sehingga dapat memberi

pemahaman tentang not secara tepat. Bayangkan kalau guru Bahasa Indonesia mengajar tentang

cerpen, tapi sang guru sendiri belum pernah menulis cerpen yang diterbitkan di media lokal, pelajaran

akan menjadi sangat teoritis dan menjemukan bagi siswa. Dengan kewajiban untuk selalu memberi

teladan, maka mau tidak mau, guru akan terus terasah belajar sepanjang hayat (harus membuat

persiapan mengajar secara benar), tidak bisa lagi guru masuk kelas hanya berbekal buku ajar/sumber

belajar (Teladan/contohnya nanti bagaimana?) atau menuntut siswa melakukan presentasi, tanpa

teladan/contoh dari guru tentang presentasi yang persuasif. Kualitas pendidikan akan membaik

karena guru telah menjadi manusia pembelajar (profesionalitas guru bukan ditentukan dari kelulusan

mengikuti diklat selama 3 hari). Dengan teladan/contoh dari guru, budaya organisasi yaitu budaya

67 Tut wuri handayani : memberi dorongan/dukungan dari belakang (memberdayakan guru) : jelas menolak hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan 68 Lihat catatan kaki no. 40 tentang filsafat perenialisme

Page 83: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

71

81

ilmiah atau budaya pembelajar akan terpola dengan baik. Sekolah dapat beriktiar menjadi center of

excellence

Keunggulan lain dari Disain Kurikulum Digital dapat disimak pada bab-bab berikutnya, sementara

kita bicara tentang prakarsa dan inisiatif dalam Disain Kurikulum Digital, sistim pendidikan nasional

yang berlangsung selama ini justru menciptakan jiwa tunduk pada kuasa. Meski pendidikan

Indonesia bermutu rendah, pemerintah tetap tutup mata dan mempertahankan orientasi proyek dalam

pengelolaan pendidikan. Berbagai hasil survei terkait kualitas pendidikan, guru dan siswa tidak

mendapat perhatian. Padahal hasil survei yang kaya informasi itu sebenarnya bisa dimanfaatkan

sebagai basis evaluasi kebijakan. Kita dipaksa menerima kenyataan bahwa sistim pendidikan

nasional tak ditujukan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka. Mendamba lahirnya jiwa merdeka

dari praktik pendidikan yang dikelola dalam kerangka proyek ibarat pungguk merindukan bulan.

(“Pungguk Merindukan Bulan”, Kompas, Selasa 18 Agustus 2015 halaman 6).

Page 84: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

72

82

BAB II

Pendidikan vs Persekolahan (Kebijakan vs Teknis Implementasi)

Kekeliruan pemaknaan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang

mengabaikan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8, bisa mengubah hakekat Kementerian Pendidikan

menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas Pendidikan menjadi Dinas Persekolahan.

Sebenarnya pemerintah cq Kemdikbud berfungsi merumuskan :

- arah dan tujuan pendidikan nasional ( Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistim

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab)”.

Hal ini paralel dengan Nawa Cita No.5 yaitu menciptakan strong human capital dan

menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of excellence.

- dan kebijakan pengelolaan pendidikan (Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang

Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia

dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar

pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah)”.

Hal ini sejalan dengan isi alinea keempat Pembukaan UUD 1945 : pembentukan pemerintahan itu

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan meningkatkan kompetensi orang per orang (bukan

sekedar hanya mengembangkan kognisi siswa atau mengembangkan kemampuan intelektual dan

kecemerlangan akademik, sebagaimana tertera dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013

Bab II B Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab II A

No. 2 dan No.3), karena pengembangan kemampuan intelektual dan kecermerlangan akademik itu

akan “meninggalkan yang bodoh” dan “yang tidak trampil” sehingga menyalahi prinsip penciptaan

strong social capital yang dirujuk pada Nawa Cita No.5. Dari kekeliruan pemaknaan arah dan tujuan

pendidikan nasional ini, dapat dimengerti kalau rumusan kerangka dasar kurikulum dan struktur

kurikulumnya menjadi tidak kontekstual dan situasional. Oleh sebab itu, potensi peserta didik

(potensi siswa) tidak terpetakan melalui Multiple Intelligence. Kalau potensi (bakat dan minat) siswa

tidak kita ketahui secara pasti karena sifat pembelajaran yang klasikal, bagaimana mungkin kita bisa

mengembangkan potensi peserta didik seturut amanat Pasal 3 UU Sisdiknas di atas?

Page 85: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

7383

Akan menjadi lebih rancu lagi kalau Kemdikbud tidak merumuskan policy pengelolaan

pendidikan nasional sesuai amanat Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas sehingga seharusnya pemerintah cq

Kemdikbud wajib merumuskan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan MBS (Manajemen Berbasis

Sekolah), bukan SPM sarana prasarana sekolah berbasis manajemen ala Dinas Pendidikan, jadi :

- bukan SPM berdasar Permendikbud No.23 Tahun 2013 yang kemudian diperbarui melalui

Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II, tetapi SPM Akademik yang mengasah

penalaran halus (fine tuning) siswa

- bukan MBS seperti manajemen yang diatur oleh Dinas Pendidikan atau Pengawas Sekolah,

tetapi manajemen yang disertifikasi ISO 9001:2008.

Perumusan SPM dan MBS ini seharusnya bertujuan mengembangkan potensi siswa sehingga sekolah

seharusnya menerapkan pengembangan minat dan bakat siswa selaras dengan 9 kecerdasan (multiple

intelligence) sejak dini. Sebab tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah anak

yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. “Kita semua berbeda karena

kita semua memiliki kombinasi kepandaian yang berbeda. Bila kita mampu mengenalinya, saya kira

kita akan mempunyai setidaknya sebuah kesempatan yang bagus untuk mengatasi berbagai masalah

yang kita hadapi di dunia”. - Howard Gardner

Kebijakan Kemdikbud untuk mendorong semua siswa SD agar terus naik kelas itu sudah

benar dan sejalan dengan prinsip multiple intelligence.

Melalui pengenalan akan Multiple Intelligences, kita dapat mempelajari kekuatan atau kelemahan

siswa dan memberikan mereka peluang untuk belajar melalui kelebihan-kelebihannya.

Tujuan pemetaan siswa dalam multiple intelligence : siswa memiliki kesempatan untuk

mengeksplorasi dunia, bekerja dengan ketrampilan sendiri dan mengembangkan kemampuannya

sendiri. Oleh sebab itu, kurikulumnya harus sesuai dengan azas multiple intelligence, yaitu

kurikulum kontekstual dan mengakomodasi perbedaan minat dan bakat siswa (sesuai Pasal 36 ayat

2 UU Sisdiknas) yang terakomodasi dalam Kurikulum 2006

Dalam KTSP Bimtek (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan Bimbingan Teknis

(2008) dan Kurikulum 2013, Kemdikbud jelas-jelas melanggar MBS dan tak hirau dengan penerapan

multiple intelligence. Apa buktinya? Siswa yang tidak bisa Matematika atau IPA langsung dicap

bodoh (tidak tuntas), padahal mungkin saja bakat dan minat siswa itu di bidang musik. Karena nilai

kognitif matematika dan IPA jelek (nilainya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal),

siswa itu dipaksa mengikuti remedial (perbaikan nilai kognitif) Matematika dan IPA, yang berakibat

tidak tersedianya waktu yang cukup untuk mengembangkan bakat dan minat siswa itu sendiri (bakat

dan minatnya “dimatikan” demi mengejar ketuntasan nilai kognitif Matematika dan IPA).

Matematika dan IPA tetap tidak dikuasai, sedangkan bakat dan minatnya terlanjur mati.

Page 86: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

74

84

Kita sadar bahwa banyak anak dan orang dewasa tidak bisa menyanyi dan betapapun mereka di

remedial ratusan kali, mereka tidak akan pernah bisa menjadi artis. Banyak orang tidak bisa

menggambar, meskipun sudah diremedial ribuan kali, tetap saja tidak bisa menjadi pelukis. Anehnya

hal ini kita terapkan dalam Matematika dan IPA, kita remedial anak-anak sampai berkali-kali, dengan

harapan mereka akan bisa menguasai Matematika dan IPA.

Hal ini nampak jelas pada penulisan rapor dan perumusan kriteria kenaikan kelas yang sudah

digariskan oleh Dinas Pendidikan. Penilaian hanya bertumpu pada ketuntasan belajar (pencapaian

KKM (Kirteria Ketuntasan Belajar Minimal), sedangkan penilaian aspek psikomotor dan afektif

tidak tergali dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Yang lebih fatal adalah terpisahnya monitoring

proses belajar dan evaluasi keberhasilan belajar dari MBS. MBS menjadi tidak terukur. Proses

pembelajaran di kelas bisa tidak berkait dengan capaian visi dan misi sekolah, para guru jalan sendiri-

sendiri menurut tafsirnya sendiri tentang pendidikan, sehingga berpotensi melanggar ketentuan Pasal

51 ayat 1 UU Sisdiknas. Pendidikan holistik hanya sebatas slogan saja.

Hal ini diperparah dengan kebijakan pemberlakuan satu model pendekatan tunggal dan

seragam di Kurikulum 2013 yaitu model pendekatan saintifik (metode 5 M) yang diimplementasikan

untuk semua mata pelajaran, yang jelas-jelas melanggar azas desentralisasi manajemen kelas, seolah-

olah metode 5 M ini dapat memecahkan semua masalah yang terjadi di kelas.

Lalu bagaimana bila muncul problem di kelas ? Yang pertama-tama harus dilakukan adalah memetakan problem apa saja yang mungkin timbul dan

bagaimana cara mengatasinya.

1. Problem rendahnya prestasi belajar siswa, seyogyanya diatasi dengan mengganti metode

pembelajaran, sehingga nilai siswa bisa membaik. Dalam hal penerapan metode ini,

Kurikulum 2013 sudah benar. Dengan menetapkan metode saintifik (5 M), maka kemampuan

intelektual dan kecemerlangan akademik siswa dapat dikembangkan (tapi para penyusun

Kurikulum 2013 lupa bahwa masih ada strategi dan model pembelajaran (metode bukan satu-

satunya penyelesai masalah di kelas dan tidak semua guru berlatar belakang IPA yang

memang sejak awal terbiasa dengan metode saintifik). Untuk bisa mengampu Tematik

Integratif di SD, maka para calon guru SD di PGSD harus berlatar belakang SMA Jurusan

IPA, sebab para lulusan PGSD itu akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika

sepanjang hari di sepanjang minggu selama satu tahun penuh. Artinya, guru SD itu harus

“mumpuni” : menguasai 4 keahlian sekaligus : Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia. Sebab

pemelajaran di SD itu merupakan dasar/fondasi untuk jenjang selanjutnya. Bila ada kesalahan

di SD, akan sulit diperbaiki di tingkat selanjutnya. Pada masa Mendikbud Prof Dr Fuad

Hasan, hal ini sudah dicoba diatasi melalui crash program pengadaan guru MIPA melalui

Page 87: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

7585

program D-3 FMIPA, dan program D-IV (sarjana dari berbagai disiplin ilmu akan menempuh

satu tahun pendidikan didaktis dan metodik sebelum ditempatkan sebagai guru), sayang

sekali program ini tidak diteruskan. Alasan utama yang sering dikemukakan adalah : guru

tidak harus ahli dalam bidang yang diampunya, tetapi guru wajib memberi teladan (digugu

dan ditiru), namun Taksonomi Bloom yang mengharuskan guru memberi teladan, juga sudah

dihapus, diganti dengan SOLO taxonomy. Akibatnya kualitas pendidikan kita makin merosot

(lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian

akhir dari Bab Pendahuluan).

Data prestasi belajar itu termasuk dalam “evaluasi hasil belajar” yang didokumentasikan di

CK (Catatan Kompetensi).

2. Problem kemalasan belajar, seyogyanya diatasi dengan mengganti strategi pembelajaran,

sehingga motivasi belajar siswa bisa terpacu. Siswa yang termotivasi akan rajin bertanya

pada guru atau mampu menjawab dengan antusias pertanyaan yang diajukan oleh guru. Data

frekuensi Tanya – Jawab ini termasuk dalam “monitoring proses belajar” yang

didokumentasikan di PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Sampai sekarang, masih banyak guru

yang lebih senang kelasnya diam atau pasif, seolah-olah siswa memperhatikan pengajaran

guru, padahal sebenarnya kelas yang pasif itu menunjukkan bahwa siswa tidak belajar.

3. Problem kenakalan siswa, karena siswa bosan atau jenuh belajar, seyogyanya diatasi dengan

mengganti model pembelajaran, sehingga siswa tertantang untuk maju. Siswa yang bosan di

kelas akan cenderung melakukan aktivitas negatif (membolos, bolak-balik ijin ke toilet,

mengganggu teman atau mengantuk di kelas, mencoret-coret meja atau dinding WC, dll).

Data tentang frekuensi aktivitas negatif ini termasuk dalam “monitoring proses belajar” yang

didokumentasikan di PBK

4. Problem tidak mengerjakan sendiri tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, seyogyanya

diatasi dengan mengganti tugasnya, disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Misalnya siswa

yang tidak bisa membuat puisi, tidak diminta berulang-ulang menulis puisi, karena memang

siswa itu tidak mungkin menjadi penyair, tapi siswa diminta untuk mengamati suatu puisi :

masalah apa yang ingin diungkap oleh sang penyair dan apa latar belakang penyair itu

menorehkan puisinya ? (Menangkap yang tersirat). Dengan pola lama (remedial berulang)

pada tugas praktek itu, besar kemungkinan, siswa tidak membuat tugasnya sendiri, tetapi

siswa menyuruh orang lain membuatkan tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, oleh

sebab itu tugasnya perlu diganti dengan tugas yang meningkatkan partisipasi siswa melalui

tugas yang dapat mengembangkan daya abstraksinya.

Page 88: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

76

86

Frekuensi penyerahan tugas yang dilakukan sendiri oleh siswa ini termasuk dalam

“monitoring proses belajar”, yang didokumentasikan di di PBK

5. Problem tidak menyerahkan tugas proyek atau Tugas Terstruktur, seyogyanya diatasi dengan

mengganti tugasnya disesuaikan dengan kemampuan (kompetensi dari siswanya). Misalnya

siswa yang tidak bisa membuat bola sebagai alat peraga matematika, maka tugasnya diganti

dengan tugas yang dapat mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa, misalnya melalui

soal-soal yang berbentuk cerita (persamaan tersamar) atau mencari gambar pintar yang dapat

mengasah daya imajinasi kreatif siswa. Frekuensi penyerahan tugas yang dapat

meningkatkan daya analisis siswa ini termasuk dalam “evaluasi hasil belajar” yang

didokumentasikan di CK.

Contoh gambar pintar : ada berapa orang dalam gambar ini?

Harap diingat bahwa generasi muda sekarang cenderung hanya berkembang dalam ranah visual

karena dulu mereka terbiasa menonton TV dan sekarang mereka tergila-gila dengan gawai (gadget)

sehingga daya abstraksinya kurang berkembang karena bukan termasuk dalam generasi yang gemar

membaca. Itulah alasan utama dari Kemdikbud untuk menghapus mata pelajaran berbasis tiga

dimensi : Ilmu Ukur Ruang (Stereometri), Menggambar Perspektif dan Proyeksi, Ilmu Ukur Melukis

(BM), Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Bumi Falak (Astronomi), dll. Lihatlah kicauan dangkal para siswa

pada era ini di Twitter atau posting remeh temeh mereka di Facebook atau foto-foto selfie mereka

yang tidak bermakna apa-apa bagi orang lain di Instagram, yang banyak dikeluhkan sebagai sampah

elektronik. Terjadi pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), menyia-nyiakan masa

emas untuk pertumbuhan daya nalar dan pembelajaran kritis.

Page 89: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

7787

Maka pemetaan bakat dan minat melalui Multiple Intelligence dan manajemen berbasis kelas

mutlak diperlukan untuk menghindari generasi muda yang hanya fasih menjadi user atau konsumen

saja, bukan gen flux yang mampu membuka alternatif baru dan mencerahkan dunia.

Setelah pemetaan kelas dan menentukan langkah intervensinya, maka mencari solusi terbaik dapat

dilakukan lewat PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sehingga langkah solusinya terukur.

1. Guru yang ingin mengatasi masalah rendahnya prestasi belajar siswa akan menjadikan CK

sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data Sekunder, dengan intervensi

pada penggantian metode pembelajaran

2. Guru yang ingin mengatasi problem kelas yang pasif (karena siswanya tidak belajar atau

malas belajar, sehingga tidak tahu apa yang mesti dilakukan di kelas), maka guru akan

menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,

dengan intervensi pada penggantian strategi pembelajaran

3. Guru yang ingin mengatasi kebosanan atau kejenuhan belajar siswa (yang tercermin dari

gangguan belajar atau aktivitas negatif yang ditimbulkannya), maka guru yang bersangkutan

akan menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,

dengan intervensi pada penggantian model pembelajaran.

4. Guru yang ingin agar setiap siswa membuat Tugas Tidak Terstrukturnya sendiri, maka guru

tersebut harus menggunakan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data

Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan bakat dan

minat siswa yang sudah terpetakan dalam multiple intelligence.

5. Guru yang ingin agar setiap siswa mampu mengerjakan Tugas Terstruktur secara benar, maka

guru itu harus menggunakan CK sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data

Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan

(kompetensi) siswa

Melalui penelitian yang terukur, maka masalah siswa dapat dipecahkan sebelum siswa menerima

rapor semester (tidak ditunggu sampai berlarut-larut sehingga siswa mengalami masalah pada

kenaikan kelas atau kelulusan)

Jadi monitorimg dan evaluasi keberhasilan belajar berkait langsung dengan MBS dan pendekatan

holistik mempunyai dasar pijakan implementasi yang terukur

Solusi yang ditawarkan dalam PTK itu akan menjadi bahan refleksi guru dalam penyusunan

ulang indikator keberhasilan di Silabus dan bobot soal di RPP (lihat bagian Refleksi pada Bab I

Filosofi Pendidikan)

Dengan demikian, tidak mungkin ada penyeragaman Silabus atau RPP karena sifat dan kondisi

kelas selalu dinamis (MBS itu sifatnya situasional)

Page 90: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

78

88

Jadi kalau Dinas Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta memberlakukan SAS (Sistim

Administrasi Sekolah) atau SIP (Sistim Informasi Pendidikan), maka sesungguhnya Dinas

Pendidikan telah menyeragamkan perumusan KD (Kompetensi Dasar), Bahan Ajar (Materi

Pelajaran), penentuan Indikator, dan Alokasi Waktu, bahkan sampai batas bawah KKM, yang

mengakibatkan Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) semua sekolah menjadi

seragam, maka hal itu telah mengubah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) menjadi MBAD

(Manajemen Berbasis Arahan Dinas Pendidikan). MBAD ini belum tentu cocok dan selaras untuk

diterapkan di suatu sekolah yang kondisinya sangat heterogen. Hasilnya, proses pembelajaran tidak

membantu mencerahkan siswa atau mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa dan sama sekali

tidak membantu sekolah mensinkronkan MBS dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008.

Akibatnya, demi mengejar pemberkasan rapor yang seragam agar compatible dengan SAS atau SIP,

maka Dinas Pendidikan lupa pada kewajiban penjaminan mutu sekolah, yang sudah digariskan dalam

isi Pasal 59 ayat 1 butir (d) dan Pasal 60 ayat (k) PP No. 19 Tahun 2005 juncto Pasal 5 ayat 1 butir

(b) PP No. 32 Tahun 2013 : perumusan kualifikasi Kompetensi Indonesia

Prinsip MBS juga dilanggar melalui penerapan EEK (Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi)

dalam KTSP Bimtek dan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M) dalam Kurikulum 2013

karena penerapan kedua hal tersebut sesungguhnya memerlukan pendalaman dalam Analisis Esensi

Materi (AEM), tidak bisa sembarang diterapkan untuk semua KD (Kompetensi Dasar). Penerapan

EEK itu meninggalkan dua aspek penting lain dari rangkaian satu siklus Paradigma Pendidikan

Reflektif (PPR) yaitu Refleksi dan Aksi, sedangkan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M)

untuk topik atau tema yang abstrak, bisa mengganggu system of knowledge dan daya serap dari mata

pelajaran itu. Misalnya guru PKn akan menerangkan tentang Proklamasi Kemerdekaan RI. Melalui

langkah 1 dari pendekatan saintifik yaitu MENGAMATI, akan timbul kendala : siswa tidak

mengalamai secara langsung detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, sehingga guru harus

membimbing siswa agar siswa dapat mengembangkan daya abstraksinya (Mengapa proklamasi

dilakukan jam 10 pagi, bukan jam 8 pagi? Kenapa proklamasi dilakukan di halaman rumah Bung

Karno, tidak di lapangan Ikada, yang letaknya tidak jauh dari rumah Bung Karno? Kenapa para

pemuda menculik Bung Karno dan membawanya ke Rengasdengklok, tidak ke rumah Raden Saleh

yang lebih dekat dan lebih secure di Cikini? dll). Bila guru tidak mampu membimbing siswa untuk

menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, maka penggunaan metode 5 M (yang dimulai

dengan MENGAMATI) bisa merusak system of knowledge dari ilmu ketatanegaraan seputar masalah

proklamasi kemerdekaan negara kita.

Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa dengan pelanggaran azas desentralisasi manajemen

kelas yang berwujud dalam campur tangan pemerintah sampai ke dapur sekolah melalui penetapan

Page 91: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

79

89

metode tunggal itu, Kementerian Pendidikan sejatinya telah bermetamorfosa menjadi Kementerian

Persekolahan dan Dinas Pendidikan telah berganti peran menjadi Dinas Persekolahan (pemerintah

memasuki masalah-masalah teknis operasional sehari-hari di kelas, lupa pada kewajiban untuk

merumuskan SPM dan MBS dalam dunia pendidikan).69

Kenapa SPM dan MBS ini penting?

Proses pembelajaran formal membiasakan siswa mencari bimbingan teoritis dalam usaha

memecahkan masalah. Namun ada sesuatu yang essentially antagonistic antara kebiasaan pikiran

mencari bimbingan teoritis dan kebiasaan atau kebutuhan pikiran menemukan the successful conduct

of doing something atau solving real problems. Dalam kenyataan sehari-hari, bimbingan teoritis

untuk pemecahan masalah itu adalah soal pendidikan dan pemaparan (deliberation) dan sama sekali

bukan soal pelaksanaan atau eksekusi pemecahan masalah, apalagi hal itu bukanlah soal eksekusi

kurikulum baru

Misalnya : dalam soal-soal Matematika, masalahnya bukan pada penerapan rumus-rumus matematis

(bukan menggali eksekusi pemecahan masalah), tetapi masalahnya ada pada aplikasi logika (mencari

bimbingan teoritis untuk memecahkan masalah itu) dan logika itu membebaskan (deliberation)

matematika dari seperangkat rumus-rumus. Maka pendidikan matematika adalah pemaparan yang

mengasah logika (penalaran). Matematika menjadi seni untuk berpikir logis. Tanpa pemahaman

tentang hal ini, siswa akan sukar mengerjakan soal-soal verbal dalam GMAT.

Contoh lain, dalam Biologi, masalahnya bukan pada menghafal (eksekusi pemecahan masalahnya

bukan dengan menghafal), misalnya bukan menghafal apa beda hewan berdarah panas dan hewan

berdarah dingin, tetapi dengan mencari bimbingan teoritisnya : ada satu zat yang sangat menentukan

perbedaan itu : ada zat yang sangat sensitif pada suhu yaitu enzim. Kalau siswa sampai pada

kesimpulan “enzim” pada pembeda hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin, maka

pendidikan biologi mendapatkan jalan terangnya yaitu mendapatkan “benang merah” keteraturan

alam. Tanpa pemahaman ini, garis Wallacea yang membujur di Selat Makasar menjadi tidak punya

arti apa-apa bagi siswa, atau heboh tentang penemuan manusia kerdil dari Liang Bua (homo

floresiensis) hanya dianggap sebagai salah satu cerita fiksi saja.

Pendidikan yang membebaskan (deliberation) dari segala bunga rampai fakta yang tidak

perlu ini sejalan dengan pemikiran Prof Dr Driyarkara SJ, pendidikan itu bertujuan memanusiakan

manusia muda. Sehingga masalah pembangunan nasional adalah pembangunan manusia,

pembangunan daya analisis manusia. Sedangkan apa-apa yang human adalah sekaligus psikis,

sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Maka penting sekali bahwa aspek-aspek tersebut tidak

69 Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS

Page 92: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

80

90

terpisah tetapi saling menunjang ke arah visi poliokuler. Hidup manusia bukan biologis tetapi

biografis. Untuk ini para guru terpanggil, lebih menjadi pendidik ketimbang pengajar, menemukan

metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi

politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.

Agar bisa ikut mengalir tetapi tidak hanyut (ngeli mung ora keli) dalam arus internasionalisasi dan

globalisasi, kita perlu mengembangkan a vision of survival yang seyogyanya dirumuskan dalam

MBS dan SPM

A. Lalu bagaimana bentuk konkrit dari MBS ?

Karena MBS itu adalah :

(1) pengelolaan unit kerja satuan pendidikan secara profesional, dan

(2) untuk melaksanakan demokratisasi pendidikan.

Maka konsep dasarnya adalah desentralisasi dan otonomi daerah, yang berarti kewenangan dan

kemandirian untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, menurut prakarsa sendiri, yang sebenarnya

sudah dirintis oleh pemerintah dengan pendirian Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di daerah.

Hanya Kemdikbud selalu ragu dalam hal ini, di satu sisi, Kemdikbud mendorong sekolah agar

mandiri (melalui KTM : sekolah kategori mandiri), tetapi di lain pihak, Kemdikbud menghapus

Direktorat Sekolah Swasta, padahal sejak dulu, sekolah swasta ini mandiri (swadana dan swakelola),

akibatnya : sekolah swasta sekarang cenderung menjadi beban negara (pemerintah harus ikut

mengucurkan dana BOS untuk sekolah swasta dan memenuhi tunjangan sertifikasi guru-guru

swasta). Sarana dan prasarana sekolah-sekolah negeri menjadi kurang terurus lagi. Keberadaan para

Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) ikut merunyamkan ketersendatan

kemandirian suatu sekolah, campur tangan mereka terlalu dalam. Memang harus diakui bahwa tiap

pemerintahan memerlukan birokrasi. Namun birokrasi sering menimbulkan efek negatif, lamban,

berbelit-belit karena harus “mengikuti aturan” yang banyak lika-likunya. Lalu muncul keluhan

“jangan terlalu birokratis”. Untuk itulah diperlukan reformasi birokrasi, bahkan ada Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang khusus mengurus penataan ulang

birokrat agar sesuai dengan Nawa Cita sehingga dapat mendukung ketercapaian Trisakti :

- Berdaulat di bidang politik

- Berdikari dalam bidang ekonomi

- Berkepribadian dalam kebudayaan

Apa kaitannya dengan kurikulum?

Kita sudah tidak berdaulat di bidang politik akibat keterjajahan kita dalam bidang teknologi.

Ketergantungan kita pada teknologi asing sangat besar, terutama dalam bidang teknologi komunikasi

Kita bukannya mengejar ketertinggalan teknologi ini, malahan menghapus Mata Pelajaran TIK dari

Page 93: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

81

91

kurikulum. Mata pelajaran TIK yang sangat sulit dan cakupannya sangat luas ini hendak

diintegrasikan ke mata pelajaran lain. Mana mungkin? Jadilah bangsa ini sejak dini sudah diprogram

untuk hanya menjadi sekedar user yang konsumtif.

Akibat lanjutannya, bangsa ini sudah diprogram hanya menjadi sekedar konsumen, bukan produsen,

sehingga kita juga terjajah secara ekonomi.

Sebagai bangsa yang konsumtif, kita juga mudah terpengaruh oleh kebudayaan asing, gejala kebarat-

baratan, kearab-araban, dan ke korea-koreaan telah menjadikan kita tidak lagi berkepribadian dalam

bidang kebudayaan.

Untuk itulah diperlukan MBS (manajemen berbasis sekolah) agar pendidikan dikembalikan ke roh

asalinya, yaitu pendidikan kontekstual berbasis kearifan lokal (bukan penyeragaman kurikulum

secara nasional yang dikawal oleh para Pengawas, yang justru menggerus kearifan lokal dan

keunggulan lokal). Untuk mengatasi manajemen ala birokrat ini diperlukan reformasi birokrasi.

Untuk memahami pola baru reformasi birokrasi itu, dibuatlah dikotomi berikut :

POLA LAMA POLA BARU

Subordinasi Otonomi

Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif

Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes

Pendekatan birokratis Pendekatan profesional

Sentralistik Desentralistik

Serba diatur Motivasi diri

Regulasi berlebihan Deregulasi

Mengontrol Mempengaruhi

Mengarahkan Memfasilitasi

Menghindari resiko Mengelola resiko

Gunakan semua dana Efisiensi pemakaian dana

Individu-individu Tim

Informasi terpusat Informasi terbagi

Pendelegasian Pemberdayaan

Organisasi berjenjang Organisasi mendatar

Otonomi pendidikan ini sebenarnya sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,

Pasal 20 PP No.19 tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 tahun 2013

Page 94: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

82

92

Tanpa otonomi, tidak ada MBS70 yang ada adalah manajemen ala Kemdikbud atau Pengawas.

Kemdikbud sibuk dengan urusan persekolahan, sehingga Kemdikbud lupa pada dilema terbesar

bangsa ini, yaitu tingginya angka drop out dan besarnya pekerja anak

(Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Terlihat

bahwa jumlah anak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar,

meskipun sudah diluncurkan program sekolah gratis dan telah dikucurkan macam-macam program

bea siswa) Pasti ada sesuatu yang salah hingga angka drop out ini masih sangat tinggi. Inilah tugas

pokok dari pemerintah sehingga Kemdikbud bisa memenuhi tuntutan Pasal 3 UU Sisdiknas

(pemerataan pendidikan tanpa diskriminasi), bukan malah sibuk dengan program tebar uang melalui

sertifikasi guru yang tak terkait dengan kinerja guru dan kompetensi guru, pemberlakuan UN dan

kurikulum baru yang menghabiskan anggaran besar, padahal di berbagai ketentuan dalam

permendikbud masih digunakan kata “KTSP” (berarti masih berputar-putar di pemaknaan kata

“KTSP” atau Kurikulum keluaran tahun berapa ?) Kalau melihat arti harafiah dari KTSP :

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka sebenarnya pemerintah tidak perlu meluncurkan

Kurikulum 2013 (lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 pada PP No. 32 Tahun 2013). Pemerintah

cukup menambahkan bahan-bahan/materi yang hilang dari kurikulum, hingga para siswa dapat

mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA dengan baik71 Untuk itu diperlukan kajian sejarah

pendidikan Indonesia, pernahkah kurikulum kita menjadi rujukan negara tetangga? Kapan

kurikulum kita sangat lengkap dalam menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan?

Dari kajian sejarah pendidikan Indonesia ini akan terlihat jelas, bahwa setiap kali ada

pergantian kurikulum, bahan ajar/materi justru makin berkurang, karena pemerintah berkukuh

berupaya meningkatkan kemampuan (kompetensi) generasi muda Indonesia sehingga dapat

menjawab kebutuhan tenaga kerja usia produktif. Kompetensi selalu terkait dengan batas atas (batas

maksimal) materi/bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual. Supaya tidak terlalu

membebani siswa, maka batas atas ini selalu diturunkan, materi makin berkurang agar tidak

memberatkan siswa. Mula-mula di tahun 1984, pemerintah menghapus “benang merah”

aktualisasi penajaman fungsi otak kiri, yaitu menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi),

Matematika tiga dimensi (Stereometri, Analit dan Kalkulus I + Kalkulus II), serta Menggambar

Teknik (ornament, perspektif dan proyeksi) dan menghapus “benang merah” penajaman fungsi

otak kanan : Pengetahuan Umum dengan menghapus Peta Buta dan Sejarah Dunia, Kreativitas

70 Implementasi MBS diukur melalui ISO 9001:2008 71 Banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam Kurikulum Indonesia disebut dalam Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada Permendikbud No.68, No.69 dan No.70 Tahun 2013 tergantung unit sekolahnya)

Page 95: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

83

93

dengan menghapus Prakarya, kepekaan indrawi dengan menghapus not balok dalam musik diganti

dengan menyanyi (seni suara) menggunakan not angka. Lalu di tahun 1994 merembet ke

pengurangan bahan ajar/materi di dalam Mata Pelajaran, dengan dihapuskannya Logika (Persamaan

Tersamar) dari Matematika, Pemberdayaan Masyarakat Madani (Civics) dari PKn, Enam Belas

Tenses dari Bahasa Inggris, Penggaraman dan Kimia Analitik dari Kimia, Mendongeng dan Membuat

Karya Tulis Ilmiah dari Bahasa Indonesia, dll Nampak bahwa bahan ajar/materi itu makin lama

makin miskin. Hakekat pendidikan di sekolah, yaitu “membentuk manusia pembelajar” dan

“menjadikan sekolah sebagai rumah kedua” makin jauh dari angan-angan, karena “benang

merah” lintas ilmu terputus (ada begitu banyak bahan ajar/materi yang hilang) sehingga siswa bukan lagi belajar untuk kehidupan tetapi belajar untuk lulus Ujian Nasional. Budaya

organisasi menjadi samar, misalnya budaya ilmiah dan budaya pembelajar tergantikan budaya visual

(dulu dengan seringnya menonton TV, sekarang dengan main gawai (gadget), yang ditopang dengan

budaya instant : mau cepat memperoleh hasil, tanpa perlu kerja keras.

Apa yang salah dari Kurikulum 2013 terkait dengan kajian sejarah pendidikan Indonesia ini ? Dari

paparan penanggung jawab Kurikulum 2013, yang dirujuk oleh para guru inti dan sekarang dijadikan

pedoman oleh para instruktur nasional, nampak bahwa perubahan kurikulum dimaknai sebagai

“kaleidoskop” tahun pergantian kurikulum (Kaleidoskop itupun dimulai dari tahun 1984, tidak

merujuk sampai ke tahun 1968 dan tahun 1975 : saat kurikulum kita masih sangat lengkap dalam

menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri). Akibatnya kajian tentang “apa sebabnya kurikulum itu

diganti” dan “apa dampaknya bagi dunia pendidikan Indonesia” terlewatkan, menjadi hanya sekedar

urutan peristiwa (kaleidoskop), Sebagai sekedar urutan peristiwa (kaleidoskop), maka manajemen

kelasnya tidak ikut terteropong, dikira hanya terdiri dari kelas pasif (metode ceramah) dan kelas aktif

(metode cara belajar siswa aktif), padahal hakekat menajemen kelas yang sesungguhnya adalah

upaya penyeimbangan otak kiri dan otak kanan (menumbuhkan budaya kritis dalam bingkai

keadaban publik). Hakekat MBS yang sesungguhnya bertumpu pada hal ini.

Road map penyusunan MBS yang menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan sebenarnya sudah

dirumuskan dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 c :

No. 7 Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan

memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik

Ketentuan ini mengharuskan guru untuk membuat pemetaan kelas berdasar minat dan bakat siswa

dengan menggunakan multiple intelligence. Siswa yang kurang menguasai Matematika, barangkali

bakatnya di bidang musik, sehingga strategi pembelajaran matematika harus diubah agar siswa yang

berbakat di bidang musik, tetap dapat memperoleh pengetahuan matematika minimal yang

Page 96: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

84

94

dipersyarakatkan untuk dapat naik kelas (pindah jenjang kompetensi), bukan dengan menyuruhnya

mengikuti remedial berulang, yang hasilnya bisa kontraproduktif

No. 8 Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi

pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines);

Ketentuan ini mengharuskan guru menyusun Analisa Horizontal secara benar. Misalnya guru Bahasa

Inggris yang mengajar tentang greetings harus yakin bahwa etiket sudah diajarkan di Pelajaran

Agama dan Budi Pekerti, serta guru Bahasa Indonesia sudah mengajar “kalimat” (Kalimat Tanya,

Kalimat Intransitif, Kalimat Seruan, dll) sehingga sinambung dengan greetings; Guru seni suara yang

mengajar lagu-lagu kebangsaan harus yakin bahwa guru sejarah sudah mengupas tentang sejarah

Sumpah Pemuda sampai Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Dengan Analisa Horizontal yang benar,

maka siswa akan terbiasa belajar lintas ilmu, suatu modal penting untuk belajar multi disiplin, seperti

tematik integratif atau IPA Terpadu/IPS Terpadu.

No. 1 Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada

peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang

dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;

Ketentuan ini mengharuskan guru melakukan Analisa Vertikal. Bahan ajar/materi disusun

berjenjang, mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sukar. Siswa dapat memilih bahan

ajar/materi dari bawah ke atas secara langsung (dari mudah ke sukar), atau zigzag (mengambil semua

yang mudah dulu, baru kemudian mengambil semua yang agak sukar, lalu terakhir : mengambil

semua bahan/materi yang sukar) sesuai dengan kebutuhannya. Pola ini adalah pola pemberlakuan

SKS (bukan paket SKS). Guru perlu menyiapkan modul yang berkelanjutan, program pengayaan

yang mencerahkan, dan monitoring proses belajar yang tepat sehingga setiap siswa dapat belajar

menurut irama dan kecepatannya sendiri.

Dengan demikian, MBS yang diacu oleh Kurikulum 2013 seharusnya sejak awal bertumpu

pada multiple intelligence. Hanya saja, selalu ada gap antara gagasan dan implementasi, gagasan-

gagasan bagus itu hanya ditempelkan pada Kurikulum 2013, sehingga Kurikulum 2013 disebut

menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme.

Pemerintah sebagai pendidik masyarakat ?

Kementerian Pendidikan telah bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas

Pendidikan telah memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan. Apakah pemerintah mau

mengambil alih peran sekolah dan pemerintah hendak terjun langsung sebagai pendidik masyarakat?

Kenapa pertanyaan ini penting diajukan? Karena sekolah sudah dibebani dengan berbagai

macam isian dan tabel dalam Dapodik, Padamu Negeri, dll formula pengisian segala macam laporan,

evaluasi diri, portofolio, semuanya dengan lampiran, selalu tentang hal yang sama, tetapi dengan

Page 97: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

85

95

kode, urutan, dan logika yang berbeda. Sering terjadi, Kemdikbud mengubah sistim, dan sekolah

harus mengirim data sekali lagi, lagi, dan lagi. Sebetulnya keluhan semacam ini bukan sesuatu yang

baru, karena dalam pengelolaan pendidikan kita, sudah lama ada kesan bahwa pemerintah

cenderung bersikap birokratis dari pada visioner dan inovatif, cenderung melakukan instruksi

dan pengontrolan rutin dengan penggandaan formulir-formulir resmi untuk diisi dari pada menawarkan visi pendidikan yang baru dalam tataran akademis, sehingga tugas pokok

pemerintah cq Kemdikbud seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas menjadi

terbengkalai.

Contoh : Kemdikbud yang lalai pada Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan sibuk berkemas memasuki

ruang privat yang sebenarnya mengingkari motto Kemdikbud sendiri (tut wuri handayani) dan

mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli : Direktur Pembinaan PAUD Ella Yuleawati

menambahkan, sekolah yang terpilih sebagai penyelenggara program pendidikan keluarga akan

mendapat pelatihan tentang pendidikan keluarga, misalnya cara mendidik anak. “Pelatihan untuk

para pendidik dan tenaga kependidikan serta kepada para orang tua dan wali murid di sekolah”,

ujarnya. (Pendidikan Keluarga Sasar 5000 lembaga, Kompas, Kamis 13 Agustus 2015 halaman 11)

Jikalau pendidikan dibawahkan pada kepentingan pemerintah, pendidikan akan cenderung

menjadi ideologi dan tidak mengacu pada kepentingan “kemanusiaan” yang menjadi tolok ukur

pendidikan par excellence. Hal ini bukannya menafikan peran negara modern untuk mengatur

pendidikan, melainkan menegaskan bahwa perannya seharusnya hanya sebatas memfasilitasi saja

penyelenggaraan pendidikan oleh dan untuk masyarakat. (lihat Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)

Memang negara yang taraf demokrasinya masih rendah biasanya cenderung mengkooptasi

semua kegiatan masyarakat di bawah sayapnya. 72 Kecenderungan seperti itu tampak sekali dalam

awal-awal munculnya negara-bangsa (nation-state) di Eropa yang secara alami bersifat absolut dan

rupanya masih mengena pada negara-negara yang masih muda dewasa ini. Negara lalu bersifat

totaliter karena mau mengatur segala sesuatu, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun

sosial, termasuk orientasi pendidikan tentu saja,73 dengan pengandaian bahwa rakyat atau masyarakat

belum mampu berpikir sendiri atau belum dewasa untuk mengatur hidup bersama74

Prinsip itulah yang selalu dikemukakan oleh para pejabat Kemdikbud. “Para guru selalu disalahkan

sebagai pihak yang tidak becus membuat kurikulum, padahal selama ini para guru selalu patuh pada

72 Lihat perubahan dramatis isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 73 Pemerintah tidak lagi fokus pada arah dan tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 UU Sisdiknas) dan kebijakan pengelolaan pendidikan nasional dan layanan pendidikan yang bermutu (Pasal 11 UU Sisdiknas) serta perumusan SPM dan MBS (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas) 74 Ingat wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang dikukuhkan menjadi Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga

Page 98: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

86

96

arahan Dinas Pendidikan setempat dan selalu melaksanakan semua instruksi dari Dinas Pendidikan

dan para Pengawas” (Kompas, 29 November 2012, “Ini Alasan Dirombaknya Kurikulum”). Kalau

kita tengok ke belakang, sampai dengan tahun awal 1984, kurikulum dan persekolahan kita selalu

menjadi rujukan dari negara tetangga. Para guru kita banyak yang diminta untuk mengajar di

Malaysia dan Sekolah Indonesia di berbagai kota di luar negeri diminati juga oleh warga asing.

Semuanya berubah merosot drastis sejak pemerintah berupaya mengkooptasi semua kegiatan

dibawah ketiak sayapnya, didukung oleh membanjirnya dana (20% dari APBN itu harus mampu

diserap oleh Kemdikbud). Kemdikbud lalu tergoda untuk membuat program bagi-bagi duit melalui

sertifikasi guru yang tak terkait kinerja guru, penyelenggaraan UN dan kurikulum tunggal serta

seragam secara nasional, lupa pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, lalu ikut menyusun buku ajar dan

buku pegangan guru serta ikut merumuskan sistim penilaian, lupa pada isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun

2005.75 Pemerintah lupa pada adagium universal : segala sesuatu yang sifatnya top down dan

massal, pasti kualitasnya sulit terkontrol. Itulah sebabnya muncul cabang baru dalam ilmu

manajemen yaitu TQM (Total Quality Management). Sayangnya, Kemdikbud abai menerapkan

TQM di unit-unit kerjanya. Lihat saja kasus keterlambatan pembagian ijazah saat ini, yang hanya

dianggap sebagai urusan administrasi saja, bukan perkara hak azasi lulusan untuk memperoleh ijazah

asli seperti yang dituntut berbagai lembaga untuk studi lanjut atau untuk bekerja.

Kemdikbud memang merencanakan untuk mengubah tunjangan sertifikasi guru menjadi

tunjangan kinerja guru, namun masalahnya sudah terlanjur rumit dengan adanya :

- Perubahan dari Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang

memangkas wewenang dan hak guru : guru hanya dijadikan tukang mengajar dan petugas

administrasi pengajaran saja.

- Munculnya Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b tentang Pengawas

Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, yang menjadikan Kemdikbud sebagai konseptor,

inisiator, implementor, dan eksekutor serta evaluator keseluruhan proyek Kurikulum 2013,

sesuatu yang menyalahi sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi dan deregulasi

yang sudah lama digaungkan oleh pemerintah sendiri. Sekolah sungguh-sungguh terkooptasi

dibawah ketiak Kemdikbud dan Dinas Pendidikan. Kreativitas guru menjadi beku.

Kehadiran para Pengawas ini sejatinya melanggar ketentuan Pasal 10 UU Sisdiknas :

“Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan

mengawasi penyelenggaraan pendidikan”, bukan mengawasi penyelenggara pendidikan

(sekolah), tetapi hanya mengawasi penyelenggaraan pendidikan (proses pendidikan)

75 Bandingkan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 dengan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013

Page 99: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

87

97

Dengan sikap kooptasi ini, banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu

menganggap kurikulumnya kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari

kenyataan, yang lain lagi mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman,

kurang memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,

menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya

sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.

Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya. Sekolah harus

diubah. Beranikah kita mengubahnya?

Sekolah harus kembali pada Visi dan Misi sekolah masing-masing, tidak bisa seperti

sekarang, apapun Visi dan Misi sekolahnya, kurikulumnya sama. Ingat, kita pernah mengalami

kejayaan pendidikan pada saat pemerintah menjamin kebebasan mimbar akademik sejak pendidikan

dini. Kebebasan mimbar akademik ini pula yang memacu perguruan tinggi untuk terus berinovasi

dan meningkatkan rankingnya dalam Webometrics Ranking of World Universities – namun

semuanya sirna di level pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Untuk itulah, di PGSD/FKIP perlu diajarkan Sejarah Pendidikan dimana kita dapat merunut

kenapa pendidikan kita makin lama makin merosot, materi ajar makin miskin dan bentuk soal makin

konseptual (bukan metakognitif). Padahal kurikulum kita pernah menjadi rujukan negara tetangga

dan Sekolah Indonesia di luar negeri pernah sangat diminati warga asing (sekarang, diplomat

Indonesiapun tidak sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia karena kualitasnya merosot)

Apa perlunya kebebasan mimbar akademik itu tetap dilestarikan di pendidikan dasar dan

menengah ?

Kebebasan akademik merupakan asas yang mendorong berlangsungnya proses-proses penelitian

tindakan kelas (PTK) dan penelitian tindakan sekolah (PTS), debat, pembelajaran dan publikasi

ilmiah melalui blog atau laman yang diakui secara luas (seperti guraru dan quipper school)76 yang

tak terbelenggu di sekolah. Dengan demikian, guru terasah untuk belajar seumur hidup (long life

education)

Oleh sebab itu, bila kebebasan mimbar akademik ini dikembangkan, maka akan tumbuh kesadaran

para guru untuk mengembangkan profesionalitasnya sendiri, seperti yang sudah terjadi pada

kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dengan kata lain, kebebasan mimbar akademik sudah

ditunjukkan pada Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : kebebasan mimbar akademik dieksplisitkan

dalam kebebasan dalam pembuatan silabus, penentuan materi ajar dan sumber belajar, serta

76 Guraru (Guru era baru) : www.guraru.org dan Quipper school : www.quipperschool.com

Page 100: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

88

98

penentuan buku pegangan guru sehingga guru dapat melaksanakan penilaian secara benar. Dalam

proses penyusunan secara mandiri itu, guru harus memperhatikan kondisi sekolah, potensi siswa dan

daya dukung lingkungannya. Kebebasan mimbar akademik ini dirampas melalui Pasal 20 PP No. 32

Tahun 2013. Kemdikbud tidak boleh bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan supaya

fokus pada Visi dan Misi Kemdikbud, yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaan Pasal 3 UU

Sisdiknas77 , dan Pasal 11 UU Sisdiknas78, serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas79. Dalam kaitan inilah,

keberadaan para Pengawas menjadi tidak relevan (fungsi pengawasan adalah bagian inheren dari

profesionalitas guru), sedangkan keberadaan Pengawas adalah simbol hegemoni pemerintah yang

selalu mengontrol, cermin dari sentralisasi pendidikan (Lihat Catatan kaki No.4). Padahal Presiden

Gus Dur sudah memulai desentralisasi pendidikan (pendidikan yang kontekstual dan kondisional,

sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing)

Dari sebab itu, untuk mengeliminir peran Pengawas, tanggung jawab untuk sertifikasi guru

merupakan tanggung jawab pribadi, bukan lagi urusan negara, sehingga anggaran besar untuk

penyelenggaraan program Diklat sertifikasi itu dapat dialihkan untuk pengembangan sarana dan

prasarana pendidikan di tanah air.

Maka langkah Kemdikbud untuk menjadikan program pelatihan sertifikasi guru menjadi satu tahun

(bukan Diklat 3 hari) dan menjadikannya tanggung jawab pembiayaan pribadi guru patut diapresiasi.

Bukankah profesi yang lain melakukan hal yang sama? Misalnya ujian advokat adalah urusan

pribadi masing-masing lulusan Fakultas Hukum, bukan diurus dan dibiayai oleh negara. Pendidikan

profesi dokter spesialis adalah urusan pribadi para dokter umum, bukan diurus dan dibiayai oleh

negara . Kalau guru mau disebut sebagai profesi, maka peningkatan profesionalisme seorang guru

adalah urusan pribadi, bukan urusan negara.

Dengan demikian, anggaran program sertifikasi guru yang begitu besar, dapat dialihkan untuk

pembinaan dan supervisi Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Kelas, sehingga

sekolah kategori mandiri itu bukan hanya slogan atau spanduk kosong, tapi betul-betul menciptakan

kemandirian sekolah dalam artian swadana dan swakelola. Bukankah sekolah-sekolah ternama di

77 Pasal 3 UU Sisdiknas : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 78 Pasal 11 ayat 1 UU Sisdiknas : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. 79 Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS).

Page 101: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

89

99

luar negeri selalu memegang teguh tradisi swadana dan swakelola ini? Misalnya Sekolah De La Salle

Manila, Bangkok, HongKong semuanya tidak membebani pemerintah (swadana dan swakelola).

Independen dan menghindar dikooptasi. Hanya dengan modal itu, kebebasan manajemen berbasis

sekolah bisa ditegakkan di sekolah, menuju pada sertifikasi manajemen ISO 9001:2008 Tugas

pemerintah adalah memenuhi terlaksananya Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu terumuskannya SPM

berbasis MBS.

B. Apa tolok ukur keberhasilan perumusan SPM itu ?

- Para guru tahu target kurikulumnya. Apa yang mesti diupayakan agar standar pelayanan

minimal itu tercapai, syukur kalau bisa terlampaui

- Para guru merujuk lagi ke bahan-bahan dari Kurikulum 1975 dimana penyeimbangan otak

kiri dan otak kanan dijaga secara tangible (tidak ada lagi bahan yang tidak ada dalam

kurikulum kita sebagaimana disinyalir dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A

No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014

Bagian I A No.2 b), maka para siswa kita mampu bersaing di era global, yang ditunjukkan

dengan kemampuan mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA secara benar, sebab tolok ukur

kualitas pendidikan itu sampai sekarang masih menggunakan score capaian test pada TIMSS,

PISA dan PIRL

- Para guru dapat menyusun Analisa Konteks sehingga pendidikan menjadi kontekstual dan

situasional. Guru kembali kepada harkatnya yaitu menjadi pendidik dan pendamping

generasi muda, bukan melayani penguasa (Pengawas dan Kemdikbud/Dinas Pendidikan)

- Melalui implementasi MBS, manajemen sekolah dapat terstandarisasi hingga memperoleh

sertifikat ISO 9001:2008

Dengan terjaganya kebebasan mimbar akademik, SPM dapat diolah oleh masing-masing sekolah

(bottom up) secara spesifik sesuai Analisa Konteksnya, seperti misalnya apa prasyarat yang harus

dipenuhi agar seorang anak dapat naik ke kelas 5 SD? Apa prasyarat yang harus dipenuhi agar

seorang anak dapat lulus SMP sehingga cukup bekalnya dalam penentuan jurusan di SMA? Dengan

kata lain, SPM yang dimaksud adalah SPM yang melalui Analisis vertikal pada Analisis Kurikulum.

Bahan apa yang diperlukan di jenjang bawah untuk melancarkan program pembelajaran di kelas di

atasnya. Misalnya untuk dapat bermain ular tangga di kelas 5 SD, maka dikelas 4 SD, anak sudah

diajar Basis Bilangan, dan sudah paham bahwa basis bilangan dadu itu adalah 6, sehingga anak sudah

belajar teori peluang (probabilitas) di kelas 4 SD. Kalau ada 6 bilangan (1, 2, 3, 4, 5, 6) maka peluang

(probabilitas) untuk mendapat angka 1 adalah 1/6 (satu dari enam kemungkinan yang ada). Begitu

juga peluang untuk mendapat angka yang lain. Lalu dibuktikan dengan melempar dadu di kelas.

Page 102: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

90

100

Di Kelas 5 SD, anak belajar permutasi dan kombinasi, sehingga permainan ular tangga mempunyai

dasar pencerahan bagi anak, bukan sekedar main-main.

Kalau SPM disusun secara top down 80, maka ada bahaya bahwa yang dipersyaratkan adalah

sarana dan prasarana minimal yang harus ada di sekolah, yang justru menafikan pepatah “tak ada

rotan, akarpun jadi” (tanpa tersedianya kelengkapan minimal itu, seharusnya proses pembelajaran

tetap bisa berjalan dengan baik). Kreativitas guru dalam menyiasati keterbatasan sarana dan

prasarana tidak terasah. Misalnya kalau tidak ada dadu, apakah pelajaran teori peluang (probabilitas)

akan terhenti ? Tentu saja tidak, para guru dapat mencari kartu domino, basis bilangannya juga 6.

Kalau tidak ada kartu domino, bagaimana? Para guru bisa menggunakan permainan bola bekel, basis

bilangannya juga 6. Kalau tidak ada bola bekel, bagaimana? Para guru dapat menyuruh muridnya

menebak, ada berapa isi biji di dalam buah manggis, tanpa membuka buahnya (basis bilangannya

juga 6). Dengan menggunakan SPM yang bottom up (disusun sendiri) oleh sekolah, maka semua

permainan tradisional yang mencerahkan akan tergali lagi (tidak tergantung pada sarana dan

prasarana “modern”). Analisa konteks membuat pelajaran membumi. Dana BOS tidak terhambur

untuk membeli berbagai peralatan canggih, yang tidak kita ketahui teknologinya, sehingga kalau

rusak, tidak bisa kita diperbaiki.

SPM (standar pelayanan pendidikan minimal) merupakan batas bawah (batas minimal) bahan

ajar/materi yang harus dikuasai siswa. Misalnya : Bahasa Indonesia : Indikator : Siswa dapat

membuat puisi. Indikator keberhasilannya : Siswa dapat membuat kalimat yang mempunyai rima

dan irama. SPM : Siswa dapat menyusun kalimat dengan ragam bunyi euphony. Artinya : semua

siswa tanpa kecuali harus mampu menyusun puisi yang menggambarkan perasaan cinta, riang dan

semangat. Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke materi lain, yaitu membuat pantun.

Mengapa? Karena membuat puisi lebih mudah dari membuat pantun. Kalau siswa tidak sungguh-

sungguh menguasai pembuatan kalimat yang mempunyai rima dan irama, akan sukar baginya untuk

membuat sampiran dan isi yang homofon, yang dituntut dalam pantun

Contoh lain : Kimia : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan reaksi penggaraman. Indikator

keberhasilannya : Siswa dapat menyusun tata nama garam kompleks. SPM : Siswa dapat menyusun

tata nama garam basa sekunder dan garam asam sekunder. Artinya : semua siswa tanpa kecuali harus

mampu mereaksikan asam monovalen + basa polivalen atau basa monovalen + asam polivalen.

Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke topik lain, misalnya asidi alkalimetri. Kalau KKM-

nya : 75, maka tuntutan ketuntasan pada SPM tetap 100%, artinya siswa yang hanya mampu mengerti

75% bahan ajar/materi itu tetap tidak tuntas. Mengapa?

80 SPM yang top down : Permendikbud No. 23 Tahun 2013 untuk SD dan SMP

Page 103: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

91

101

Karena bahan ajar itu merupakan prerequisite untuk bahan ajar/materi berikutnya. Kalau siswa tidak

sungguh-sungguh mengerti bahan ajar.materi ini, akan sukar bagi siswa untuk memahami materi

berikutnya. Rantai pemahamannya putus. Kalau siswa tidak menguasai keseluruhan konsep

bahan/materi itu (tidak menguasai 100% bahan/materi itu), maka siswa harus mengikuti program

peningkatan pemahaman melalui penerapan strategi baru.

Dari contoh di atas, nampak bahwa SPM itu berbeda dengan tingkat kompetensi. SPM

merupakan batas bawah (batas minimal) yang harus dikuasai semua siswa : siswa harus tuntas 100%

(harus sungguh-sungguh mengerti) sebelum pindah ke topik lain. SPM adalah pintu masuk ke sistim

baku SKS (bukan paket SKS). Sedangkan tingkat kompetensi adalah batas atas (batas maksimal)

yang bisa dicapai oleh siswa secara individual. Kalau KKM-nya : 75. Siswa yang pandai bisa tuntas

100%, siswa yang lain, sekurang-kurangnya harus menguasai 75% bahan/materi. Kalau siswa baru

menguasai 50% bahan/materi, siswa tersebut harus mengikuti mengulang lagi (remedial) sampai dia

mengerti 75% dari bahan itu (tidak perlu menguasai sampai 100% dari bahan itu). Tingkat

Kompetensi digunakan dalam paket SKS (bukan sistim baku SKS). Paket SKS sudah jamak

dilakukan pada sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah mantan RSBI dulu atau pada

sekolah-sekolah yang mempunyai kelas akselerasi.

Masalah serius timbul di TK. Karena (1) TK disamakan dengan play group dan disebut

PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). (2) Karena penyamaan itu, Dinas Pendidikan dan Pengawas,

melarang keras pengajaran “calistung” di PAUD, padahal di kelas 1 SD, siswa langsung dihadapkan

dengan KI 1 dan KD 1.1. Tanpa kemampuan membaca, menulis dan berhitung di kelas 1 SD, usia

emas pembelajaran anak (balita) akan terlewati dengan sia-sia.

Tanpa perumusan SPM akademik, para siswa tidak tahu lagi apa tujuan dan target dia belajar,

sehingga belajar menjadi nir makna. Waktu luangnya bukan dipakai untuk menambah wawasannya,

tapi dipakai untuk sosial media yang uncontrolled sehingga segala paham bisa masuk tanpa filter.

Simpulan : Selama arah dan tujuan pendidikan nasional tidak dijabarkan secara operasional

dalam rumusan SPM dan MBS yang kontekstual dan situasional, maka yang terjadi bukan penajaman

fungsi otak kanan dan otak kiri, tapi justru pengabaian prinsip transparansi dan akuntabilitas publik

dalam perumusan kebijakan pendidikan81, sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan menjadi

uncontrolled (pemerintah mengharap peningkatan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan

81 Eksistensi Pengawas muncul di Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b, mengabaikan ketentuan Pasal 66 ayat 2 UU Sisdiknas : “Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik” (bukan pengawasan menurut selera dan kriteria Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat Catatan kaki No. 4)

Page 104: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

92

102

akademik82 , yang terjadi justru pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai art, akibatnya

pembelajaran di luar kelas marak melalui bimbel dan sosial media , segala paham dan ide bisa masuk

tanpa filter. Misalnya paham bahwa Biologi adalah hafalan (padahal Biologi termasuk dalam sains

yang memerlukan logika), Fisika adalah kumpulan rumus-rumus sehingga perlu dicontek atau ditulis

di meja siswa (padahal dengan menggunakan SPM, dapat diajarkan Fisika tanpa rumus). Pelajaran

Agama dihayati sebagai pembeda terhadap liyan, dll

Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual83 akan

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang

yang berijazah, tetapi tidak “berilmu” (Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7 : Kaum Cerdik Pandai,

Antara Ilmu dan “Ngelmu”)

Kemdikbud sungguh-sungguh abai pada Nawa Cita No.5 : menciptakan strong human capital dan

menjadikan pendidikan sebagai center of excellence.

82 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar) 83 Penajaman fungsi otak kanan dan otak kiri, melalui pencarian materi yang hilang dari kurikulum kita

Page 105: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

93

103

BAB III

DUALISME PRANATA

A. Desentralisasi vs Sentralisasi Pendidikan

Kekeliruan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan

langsung berimbas pada layanan pendidikan ke siswa. Kekeliruan yang tidak diperbaiki ini bisa

dirunut dari pemaknaan tugas Tim Transisi dimana Dr.Anies Baswedan juga duduk didalamnya.

Seharusnya sejak awal Tim Transisi mendalami sampai seberapa jauh kewenangan pemerintah pusat

cq Kemdikbud dalam membina dan mengembangkan pendidikan di Indonesia dalam era otonomi

daerah ini dengan mengkaji ketentuan pasal 50 ayat 5 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar

dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Melalui pasal

ini sebenarnya keberadaan UN itu dipertanyakan. Dengan UN, keunggulan lokal menjadi tidak

bermakna apa-apa. Pasal ini masih mempunyai “gigi” karena adanya kata “mengelola”.

Kata”mengelola” dalam pasal ini diberi kekuatan hukum yang bersifat memaksa yaitu ketentuan

Pasal 62 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) :

“Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut ijin pendirian satuan pendidikan”.

Dengan kewenangan Pemda untuk memberi atau mencabut ijin pendirian sekolah ini, maka azas

desentralisasi pendidikan mempunyai pijakan yang kuat. Oleh sebab itu, semua program terpusat

seperti diklat/pelatihan guru yang seragam (yang mengabaikan situasi dan kondisi daerah yang

beragam), serta program penyusunan kurikulum secara tunggal dan seragam di tingkat nasional

seperti yang sudah dilakukan dalam Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) itu, jelas menabrak azas

desentralisasi ini.

Padahal kewenangan pemerintah dalam penyusunan kurikulum hanya sebatas penetapan

kerangka dasar dan struktur kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagaimana sudah ditunjukkan dalam Kurikulum 1968,

Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan dicoba diusung kembali pada Kurikulum

2006 (KTSP awal)

Sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah dalam kurikulum adalah sebatas koordinator dan

supervisor pengembangan kurikulum oleh sekolah (bukan ikut sibuk menyusun kurikulum sendiri

atau sibuk “memaksa” sekolah-sekolah untuk mengikuti Kurikulum 2013, tapi kewajiban Pemda

adalah mengembangkan apa yang sudah ada di sekolah : Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas :

“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap

kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi

Page 106: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

94

104

dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan

Propinsi untuk pendidikan menengah”.

Koordinator dan supervisor untuk hal apa?

Koordinator dan supervisor untuk pengembangan kurikulum seturut rumusan Standar Proses pada

Kurikulum 2006 (KTSP awal) (Pengembangan Silabus, Pengembangan RPP, pelaksanaan

PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT84 , dan Penerapan Pembelajaran Kontekstual) karena

pemerintah pusat (Kemdikbud) hanya menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja,

sesuai ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas.

Maka dari itu, Tim Transisi seharusnya sejak awal membatalkan pemberlakuan Kurikulum

2013 karena kurikulum ini menisbikan hakekat desentralisasi pendidikan sebagaimana ditunjukkan

dalam Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang menabrak Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun

2013 (ayat 1 : otonomi guru, dan ayat 3 : otonomi sekolah), sehingga 28 Permendikbud yang

dikeluarkan oleh Mendikbud M.Nuh dalam rangka mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 harus

batal demi hukum karena melanggar peraturan tata perundangan di atasnya yang menjadi dasar

hukumnya (PP No.32 Tahun 2013) 85. Maka penting sekali untuk mengingat lagi Pidato Presiden

saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Tidak ada lagi visi

kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden”. Jadi :

- Kemdikbud seyogyanya tidak melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang dirancang oleh

rezim lalu dan mengandung begitu banyak kesalahan, yang telah menyebabkan kualitas

pendidikan kita makin terpuruk (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang

kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)

- Kemdibud fokus pada Nawa Cita No. 8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional

Oleh sebab itu dapat dimengerti bila Mendikbud Anies Baswedan kemudian mengeluarkan

“penghentian” pelaksanaan Kurikulum 2013 melalui ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun

2014 : “Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan Kurikulum 2013

sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan Kurikulum Tahun 2006

84 PAKEM : Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibilitas penggunaan Model Pembelajaran PAIKEM : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibiltas penggunaan Teknologi dan Model Pembelajaran PAIKEM GEMBROT : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot : Fleksibilitas penggunaan Teknologi, Model Pembelajaran, Strategi Pembelajaran dan Metode Pembelajaran 85 PP No. 32 Tahun 2013 ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013, saat gencar-gencarnya penyelenggaraan pelatihan guru dalam Kurikulum2013; 28 permendikbud yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh hanya melegitimasi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, abai pada Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, padahal menteri itu adalah pembantu presiden (tidak boleh menyimpang dari kebijakan presiden)

Page 107: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

95

105

mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk

melaksanakan Kurikulum 2013”.

Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 secara hukum mengandung dua pengertian pokok yaitu

- Pemerintah membatalkan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang baru menerapkan

Kurikulum 2013

- Pemerintah akan mengkaji ulang Kurikulum 2013 sesuai amanat Nawa Cita No.8 (bukan

melakukan perbaikan tambal sulam pada Kurikulum 2013, misalnya tidak boleh

menggunakan istilah “KTSP 2013” lagi dan perbaikan program penilaian)

Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang

menyatakan bahwa “Satuan pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah untuk

melaksanakan Kurikulum 2013 hingga sudah melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester)

dapat berganti melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 dengan melapor kepada dinas pendidikan

provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya”.

Dengan demikian, pelaksanaan Kurikulum 2006 (kurikulum yang disusun sendiri oleh

para guru : KTSP awal) mempunyai legalitas dan pijakan formal yang jelas, bila dikaitkan dengan azas desentralisasi (simak kata “cukup melapor” pada Dinas Pendidikan setempat). Namun

semua ketentuan ini menjadi “masuk angin” ketika Dinas Pendidikan memaksa semua sekolah

kembali melaksanakan Kurikulum 2013, seolah-olah tidak tahu dan tidak mau tahu akan Nawa Cita

No.8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional

Masalah timbul pada sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal

yaitu sekolah rintisan dan sekolah-sekolah yang dengan inisiatif sendiri sudah melaksanakan

Kurikulum 2013 sejak awal :

- Sekolah tetap melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang kontroversial ini

- Atau menunggu hasil kajian ulang Kurikulum 2013 yang sampai saat ini belum juga ada

Akibat ketidak-tegasan pemerintah ini, maka muncul ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Permendikbud

No. 160 Tahun 2014 yang tetap memberlakukan Kurikulum 2013 bagi sekolah-sekolah yang sudah

ditunjuk sejak awal (yang menunjukkan bahwa Kemdikbud masih mengusung visi dan misinya

sendiri (abai pada visi dan misi Presiden baru, meskipun rezim sudah berganti) dan masih kukuhnya

semangat sentralisasi pendidikan melalui bentuk tunggal kurikulum di tingkat nasional, yang abai

pada Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013). Implikasinya, satuan pendidikan

(sekolah) akan menghadapi adanya dualisme sistim pendidikan di Indonesia (bukan sekedar

dualisme kurikulum). Sesuatu hal yang belum pernah terjadi dimanapun 86.

86 Dualisme sistim pendidikan ini makin nyata kalau melihat isi Pasal 4 dan Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 (lihat uraiannya di Bab I : Filosofi Pendidikan)

Page 108: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

96

106

Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengusung semangat otonomi pendidikan (didukung oleh

azas desentralisasi pendidikan) sehingga keberadaan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata

Pelajaran menjadi tidak relevan lagi 87, sedangkan Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) adalah upaya

untuk memberlakukan kurikulum tunggal dan seragam di seluruh Indonesia (sentralisasi pendidikan)

melalui pemberlakuan Silabus yang tunggal dan buku-buku ajar yang seragam untuk semua sekolah,

serta penerapan metode tunggal (metode saintifik (5 M), abai pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 dan

ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, yang sebenarnya merupakan dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu

sendiri. Dengan mengabaikan ketentuan Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ini, sebenarnya

pemerintah menerapkan hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran dan proses pembelajaran

di kelas (didukung oleh azas sentralisasi pendidikan melalui penetapan kurikulum oleh pemerintah

pusat, penetapan kurikulum bukan oleh kepala sekolah). Jelaslah bahwa keberadaan Pengawas

Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran itu yang ditunjukkan dalam Lampiran Permendikbud No.65

Tahun 2013 Bab VI No.2, merupakan perpanjangan tangan dari sentralisasi dan hegemoni

pemerintah.

Solusi Kemdikbud agar tidak ada dualisme sistim pendidikan di Indonesia adalah

memaksa semua sekolah yang melaksanakan Kurikulum 2006 itu untuk kembali menerapkan

Kurikulum 2013, pintu masuknya adalah Pasal 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : “Satuan

pendidikan yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan

untuk meningkatkan kompetensi dan penyiapan pelaksanaan Kurikulum 2013”.

Jadi sekolah-sekolah yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 itu, tidak harus kembali

melaksanakan Kurikulum 2006 atau menunggu pelatihan dan pendampingan dalam Kurikulum 2013

sehingga dana pelatihan guru dapat kembali dikucurkan?

Ketentuan Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 di atas menjadi rancu dan bertolak belakang

dengan ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : sekolah-sekolah yang belum

melaksanakan Kurikulum 2013 itu kembali menerapkan Kurikulum 2006 atau menunggu

pelatihan dan pendampingan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 ? Sementara menunggu

pelatihan dan pendampingan itu, apa yang mesti dilakukan oleh pihak sekolah ?

- Kembali melaksanakan Kurikulum 2006 (KTSP awal), seperti ketentuan Pasal 1

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu

87 Di Perguruan Tinggi, mereka yang habis masa tugasnya sebagai Rektor, biasa kembali menjadi dosen. Kenapa hal yang sama tidak berlaku bagi para Kepala Sekolah? Setelah selesai masa tugasnya sebagai Kepsek, sebaiknya jadi guru biasa, bukan dibentuk jabatan yang mengada-ada seperti “pengawas” itu, yang akhirnya mengacaukan hakekat otonomi pendidikan yang diusung Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Lihat juga Catatan kaki No. 4)

Page 109: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

97

107

- Atau ikut menerapkan Kurikulum 2013 yang sekarang berlaku, tanpa menunggu adanya

pelatihan dan pendampingan yang akan diselenggarakan, padahal sekolah menghadapi awal

masa studi baru, karena sampai menjelang tahun ajaran baru 2015/2016 ini belum juga ada

pengumuman resmi apa yang mesti dilakukan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3

Permendikbud No. 160 Tahun 2004 itu. Malah yang muncul adalah adanya pelatihan

Kurikulum 2013 melalui instruktur nasional (baju baru dari “guru inti”) : pemerintah

melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 dan memperluas cakupannya dengan menunjuk

sekolah-sekolah yang tadinya melaksanakan Kurikulum 2006, menjadi sekolah-sekolah

piloting Kurikulum 2013

Babak baru pelatihan Kurikulum 2013 makin jelas menunjukkan hegemoni pemerintah dan

sentralisasi pendidikan yang abai pada Nawa Cita No.8, karena istilah “instruktur (nasional)”88

menunjukkan subordinasi guru dibawah ketiak instruktur dan pengawas.

Profesionalitas guru sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a)

UU Guru dan Dosen, sirna dengan adanya pelatihan guru yang sama dan seragam secara nasional

ini. Apalagi dasar hukum dari amputasi profesionalitas guru ini adalah perubahan signifikan

ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang mengerdilkan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 201389

(Profesionalitas guru dalam Kurikulum 2013 bukannya dikembangkan, malah dikerdilkan

menjadi hanya penyusun RPP, itupun RPP yang ditatar secara sama dan seragam di tingkat

nasional)

Silabus, Buku ajar/materi/sumber belajar, dan Buku pegangan guru, serta Metode pembelajaran (5

M), sudah diatur oleh Pusat (Puskurbuk) secara sentralistis. Pemerintah secara sadar telah

menurunkan harkat dan martabat guru : dari pendidik menjadi sekedar tukang mengajar,

yang diawasi secara ketat oleh Pengawas Mata Pelajaran yang bertindak sebagai supervisor akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 b) Kemdikbud nampak

sangat memuja pendangkalan (cult of philistinism)

Nampaknya masalah dualisme sistim pendidikan ini tidak dipandang sebagai pelanggaran UU

secara serius, tetapi hanya dipandang sebagai proyek yang tertunda (menunggu pencairan APBN-P)

lalu Kemdikbud saat ini telah membuatnya menjadi sistim pendidikan monolitik kembali melalui

pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 (penerapan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan

kekuasaan rezim lama, alpa pada Nawa Cita No.8), mengabaikan sisi positif dari Kurikulum 2006 :

88 KBBI Vol IV : instruktur : orang yang memberi instruksi, relasi penerima instruksi (guru) adalah subordinasi dari si pemberi instruksi (instruktur) 89 Rincian aneka pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki no. 2 : dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan

Page 110: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

98

108

1. Karena Kurikulum 2006 (KTSP awal) ini dibuat oleh para guru sendiri, maka

Kurikulum 2006 ini berkesesuaian dengan ketentuan baru pemerintah yang menyatakan

bahwa kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah. Ujian Nasional (UN) bukan lagi

penentu kelulusan siswa. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : tentang kewajiban guru

sebagai pendidik profesional untuk menilai sendiri hasil pembelajaran, yang diperkuat

dengan ketentuan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen).

Ketentuan yang menyatakan bahwa penilaian adalah hak guru, sebenarnya mencerminkan

penghormatan pada azas desentralisasi pendidikan.

2. Hal ini sekali lagi menegasikan adanya Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran.

Para Pengawas ini selalu menjalankan lurus-lurus instruksi dari Pusat, lupa bahwa

permendikbud itu bisa diubah lagi sewaktu-waktu untuk disesuaikan dengan Nawa Cita

No.5 dan Nawa Cita No.8

Karena itu para guru dianjurkan untuk tidak menelan bulat-bulat arahan dari Pusat

(termasuk pelatihan guru yang seragam dan sama, tidak peduli kondisi daerahnya

berbeda), tetapi sekolah harus mengembangkannya sendiri dibawah koordinasi dan

supervisi dari Pemda/Dinas Pendidikan (Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas) agar tidak

keluar dari Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas).

Pengembangan kurikulum ini merujuk pada Standar Proses (Pengembangan Silabus,

Pengembangan RPP, PAKEM, dan Pendidikan kontekstual). Dengan kemampuan

menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri, guru akan mampu

mengaplikasikan kebebasan mimbar akademik yang menopang kinerja dan otoritas guru.

3. Otonomi guru ini juga diamanatkan dalam Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) : yang menujukkan bahwa kewajiban guru

itu melekat pada seluruh proses pendidikan, termasuk dalam masalah monitoring proses

belajar dan evaluasi hasil belajar.

Maka yang perlu ditekankan adalah implementasi azas desentralisasi pendidikan

itu memerlukan penguatan otonomi guru. Untuk mencapai tahapan otonomi guru

yang ideal, kualitas LPTK (PGSD dan FKIP) harus diperbaiki, bukan dengan

menelurkan kurikulum baru.

4. Maka ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang

memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) menunjukkan bahwa Pemerintah

Jokowi-JK sebenarnya ingin menerapkan Nawa Cita No.8 dan mengembalikan roh

pendidikan, yaitu menerapkan otonomi guru dan otonomi sekolah dalam pendidikan

Page 111: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

99

109

(mengusung otonomi pendidikan, kebebasan mimbar akademik, dan desentralisasi

pendidikan). Oleh sebab itu, mengartikan kembalinya Kurikulum 2006 sebagai

pemberlakuan kembali KTSP Bimtek (2008) sungguh menyesatkan karena seperti telah

disinggung di atas, KTSP Bimtek (2008) itu mengusung semangat sentralistik dan

hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan.

KTSP Bimtek (2008) ini muncul seiring dengan kewajiban para guru peserta program

sertifikasi guru untuk mengikuti Diklat, dimana para guru dilatih menyusun kurikulum

tunggal dan seragam secara nasional, lupa pada dasar hukum Kurikulum 2006 (KTSP

awal) seperti tertera di Catatan kaki No 2 pada Bab Pendahuluan

5. Kurikulum 2006 (KTSP awal) juga didukung oleh Pasal 17 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005

: “Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,

SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai

dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya

masyarakat setempat, dan peserta didik”.

Jadi Kurikulum 2006 itu sangat spesifik, harus disesuaikan dengan keadaan sekolah,

karakteristik daerah dan situasi kondisi masyarakat dan siswanya (bukan sentralistik

berupa penyeragaman kurikulum secara nasional seperti KTSP Bimtek (2008) dan

Kurikulum 2013 itu)

6. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No. 22 Tahun 2006

: “Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut

Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk

mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.

Nampak bahwa kata “minimal” ini diulang tiga kali, yang menunjukkan bahwa

sekolah harus mengembangkannya sendiri sampai ke tingkat maksimal (HOT :

Higher Order of Thinking). Pemerintah hanya menetapkan prasyarat paling mendasar

saja yang dikenal sebagai SPM (Standar Pelayanan Pendidikan Minimal) yang dulu

mencakup 7 prinsip pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum.

Sayang sekali, Standar Isi pada Kurikulum 2006 ini dihapus pada Kurikulum 2013,

tanpa penganti yang jelas.

Namun, dalam perjalanan waktu : standar minimal ini diartikan sebagai penyeragaman dan

diubah menjadi standar maksimal, sekolah tidak boleh keluar dari ketentuan yang sudah

digariskan oleh para penatar KTSP Bimtek, Dinas Pendidikan dan Pengawas. Alhasil, orang

lupa pada prinsip diversifikasi kurikulum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Page 112: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

100

110

Perubahan dari standar minimal menjadi standar maksimal ini memunculkan masalah baru,

yaitu standar maksimal ini dianggap memberatkan siswa, sehingga standar maksimal ini

diturunkan. Dengan kata lain, materi/bahan ajarnya dikurangi. Akibatnya, materi/bahan ajar

pada Kurikulum 2013 lebih miskin dari materi/bahan ajar pada Kurikulum 2006.

Pendangkalan (cult of philistinism) bukan lagi menjadi isu, tetapi sudah menjadi road map

Kekeliruan ini berlanjut pada pembentukan kembali Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan,

melupakan penghapusan Ditjen ini lima belas tahun yang lalu seiring dengan penerapan otonomi

daerah, dimana pendidik (guru) dan tenaga kependidikan termasuk tenaga yang di desentralisasi.

Sosialisasi pembentukan kembali Ditjen ini tanpa merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah), menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan

visi dan misinya sendiri, lalai pada visi dan misi Presiden (Nawa Cita), dan dapat memantik konflik

terbuka dengan para Bupati dan Walikota yang mendapat amanah untuk menjalankan ketentuan Pasal

50 ayat 5 UU Sisdiknas : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Sebagai “pengelola”

pendidikan, Pemkab dan Pemkot berhak mengurus dan membina SDM pendidikan dasar dan

menengah (mengurus dan membina guru). Maka berlandaskan ketentuan Pasal 50 ayat 5 UU

Sisdiknas ini, tenaga pendidik (guru) sudah lama di desentralisasikan. Upaya Kemdikbud untuk

menyentralisasi tenaga pendidik (guru) ini akan menyebabkan porsi anggaran terbesar terserap ke

sektor rutin (biaya operasional dan gaji pegawai). Akibatnya sektor sarana dan prasarana pendidikan

menjadi termarginalkan. Kemdikbud tidak bisa berkilah : mata pelajaran TIK sudah dihapus,

sehingga Kemdikbud merasa tidak perlu lagi menyediakan Lab komputasi; atau mata pelajaran

Fisika, Kimia dan Biologi telah diintegrasikan dalam suatu tema tertentu (tematik integratif) sehingga

Kemdikbud merasa tidak perlu menyediakan peralatan Lab IPA hanya karena Kemdikbud secara

sengaja telah mengubah kegiatan praktikum yang sifatnya intra kurikuler menjadi kegiatan

kokurikuler : kegiatan praktikum IPA tidak lagi dipandang sebagai kegiatan psikomotor, tetapi hanya

dianggap sebagai kegiatan penunjang pemahaman kognitif. Hal serupa juga terjadi SMP dengan

diterapkannya IPA Terpadu dan IPS Terpadu, yang tidak diampu oleh linieritas ijazah para guru,

sehingga menyulitkan penyusunan kegiatan praktikum lintas ilmunya (bukan berarti Kemdikbud lalu

merasa tidak perlu lagi menyediakan peralatan Lab IPA Terpadu). Dengan demikian, hanya daya

kognisi rendah saja yang berkembang, kegiatan motorik halus siswa tidak berkembang (banyak

siswa mengetik di laptop dengan satu jari, atau siswa salah dalam memperlakukan thermometer

badan (thermometer di ketrek-ketrek sebelum digunakan padahal tahu bahwa suhu 0° C hanya akan

tercapai kalau thermometer dimasukkan dalam es yang sedang mencair). Tanpa alat peraga yang

memadai dan praktikum yang intens, suatu tema/topik yang abstrak akan tetap sulit dimengerti oleh

Page 113: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

101

111

siswa yang terpola secara visual (dulu mereka keseringan menonton TV, sekarang mereka tergila-

gila dengan gawai (gadget) yang makin menjadikan mereka sebagai generasi visual, bukan generasi

literer (bukan generasi yang gemar membaca) : Kemdikbud perlu melihat Harian Media

Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus

Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar ( lihat rendahnya score anak-anak kita dalam

kemampuan membaca yang tersirat pada tes PIRL (Progress in International Reading Literature).

B. Tingkat Kompetensi vs SPM

Perubahan serius terjadi pada Kurikulum 2013, SPM akademik di Kurikulum 2006 ini (7 prinsip

pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum) diubah di Kurikulum 2013 menjadi

SPM sarana dan prasarana sekolah lewat Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan lagi SPM

akademik (Tolok ukur keberhasilan penerapan SPM akademik ini sudah diuraikan di Bab II :

Pendidikan vs Persekolahan ( Kebijakan vs Teknik Implementasi). Isi Permendikbud No.23 Tahun

2013 ini kemudian diubah menjadi Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II Tingkat

Kompetensi.

Dari uraiannya, tingkat kompetensi dibedakan atas :

- Kompetensi yang bersifat generik (kompetensi inti (KI), lengkap dengan penjabarannya yang

isinya hampir sama untuk semua jenjang pendidikan (meliputi sikap spiritual, sosial,

pengetahuan dan ketrampilan). Kompetensi generik ini menjadi rancu ketika sikap spiritual

dan sikap sosial ini disatukan sesuai ketentuan Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013

Bab III A No. 1 c dan d : padahal sikap spiritual memerlukan pengukuran berdasar SQ

(Spiritual Quotient) dan sikap sosial membutuhkan pengukuran berdasar CQ (Civic Quotient)

- Kompetensi yang bersifat spesifik (kompetensi dasar (KD), yang masih memunculkan

masalah yang sama (dari sejak awal peluncuran Kurikulum 2013), yaitu KD tidak koheren

dengan KI sehingga menyulitkan pengukuran capaian kompetensinya.

- Tingkat kompetensi ini kemudian dirinci menjadi Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat

Kompetensi 6, namun tingkat kompetensi ini tidak mencerminkan tingkat capaian siswa agar

dapat berpindah dari satu jenjang ke jenjang pendidikan berikutnya.

Masalah kemudian muncul di sini :

- kalau dimaknai bahwa kompetensi yang bersifat generik itu sebagai KI, maka kompetensi

generik itu diartikan tidak lagi terkait dengan core skills, sebab core skills itu ada enam

kemampuan, sedangkan KI hanya ada empat kemampuan (lihat di Bab IV : Kurikulum vs

Kompetensi)

Page 114: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

102

112

- dan kompetensi yang bersifat spesifik itu dimaknai sebagai KD, maka kompetensi spesifik

itu diartikan tidak lagi terkait dengan bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual,

karena KD lebih luas dari bahan ajar (satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar)

- kalau dimaknai bahwa Tingkat Kompetensi 1 itu adalah kemampuan apa yang harus dikuasai

oleh siswa kelas 1 dan kelas 2 SD, dan Tingkat Kompetensi 6 itu adalah kemampuan apa

yang mesti dikuasai oleh siswa kelas 12 SMA, maka pemaknaan ini harus didistingsi dari

makna SPM, sebab Kompetensi (kemampuan) terkait dengan Tujuan Pembelajaran,

sedangkan SPM terkait dengan Target Kurikulum : lihat uraian di Bab II

Tingkat Kompetensi dalam Kurikulum 2013 adalah batas atas (batas maksimal) dari kemampuan

yang harus dikuasai oleh siswa secara individual : siswa tetap bisa lolos meskipun tidak mencapai

batas atas (cukup menguasai sampai batas KKM).

Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas bawah (batas minimal) dari kemampuan

total (keseluruhan) yang harus dikuasai oleh semua siswa. Siswa hanya bisa lolos kalau sudah

menguasai keseluruhan bahan. Meskipun nilainya sudah memenuhi standar KKM, siswa tetap harus

mengikuti remedial sampai keseluruhan (100%) bahan dikuasai, bukan sekedar menguasai 75%

bahan.

Grafik di bawah ini adalah kurva normal yang menunjukkan bahwa siswa yang “amat pandai” itu

ada di daerah kanan (jumlahnya ± 5% : nilai antara 95 - 100) dan siswa yang “amat bodoh” itu ada

di sebelah kiri (jumlahnya ± 5% : nilai antara 0 – 5), siswa yang mempunyai kepandaian rata-rata

ada di daerah tengah kurva, SD antara -1 sampai +1, jumlahnya ± 60%.

Maka kalau kita menggunakan kriteria SPM, semua siswa harus sunguh-sungguh memahami suatu

topik, baru bisa melanjutkan ke topik berikutnya. Kalau siswa belum berhasil 100% memahami suatu

topik, maka dia harus mengulang topik itu (topik itu merupakan syarat perlu untuk dapat melanjutkan

ke topik berikutnya)

Grafiknya akan terlihat condong ke kanan : semua siswa (termasuk siswa yang “bodoh”) harus

melewati titik 0 : semua siswa harus menguasai 100% bahan/materi.

Page 115: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

103

113

Semua siswa harus mencapai KKI, bukan sekedar bisa mencapai KKM

0

SPM menggunakan KKI (Kriteria Ketuntasan Ideal) : siswa harus menguasai 100% suatu bahan,

sebagai prerequisite untuk dapat melanjutkan ke bahan berikutnya. Untuk mengatasi siswa yang

kurang pandai (tidak menguasai 100% bahan yang dipersyaratkan), maka guru harus merumuskan

strategi pembelajaran yang baru (bukan meremedial siswa tersebut).

Sedangkan Tingkat Kompetensi adalah batas maksimal yang harus diketahui siswa (batas maksimal

itu hanya untuk siswa pandai), siswa yang mempunyai kecerdasan rata-rata (kurang dari capaian

maksimal itu : letaknya di titik KKM = 75), masih bisa melanjutkan ke topik berikutnya, tapi siswa

yang “kurang pandai” harus mengulang (mengikuti program remedial : letaknya antara 0 - KKM),

grafik di bawah ini akan terlihat condong ke kiri (ada sebagian siswa tidak dapat melewati titik KKM)

(titik KKM itu sama dengan KKM-nya (75) : siswa cukup menguasai 75% bahan/materi) Meskipun

hanya sedikit siswa yang mampu menguasai 100% bahan/materi, siswa-siswa itu tetap dapat

melanjutkan ke topik berikutnya. Titik 0 adalah batas antara siswa yang “amat bodoh” dan siswa

yang “kurang pandai” (kepandaiannya dibawah rata-rata, tapi masih di atas siswa yang “amat bodoh”

Titik KKM : 75 merupakan syarat cukup untuk dapat melanjutkan ke bahan/materi berikutnya.

0 KKM :75

Contoh : bahan ajar (materi) yang harus dikuasai siswa Kelas 11 SMA dalam Biologi adalah

Perbiakan Vegetatif, maka SPM-nya siswa harus menguasai 100% apa yang dimaksud dengan

Perbiakan vegetatif pada hewan, Perbiakan vegetatif pada tumbuhan dan Perbiakan vegetatif buatan.

Page 116: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

104

114

Kalau siswa kurang memahami apa yang dimaksud dengan Perbiakan vegetatif buatan (hanya

menguasai 75% bahan/materi) maka siswa tidak berhak melanjutkan ke topik berikutnya yaitu

Perbiakan generatif. Siswa harus mengulang Perbiakan vegetatif buatan dengan strategi baru

(barangkali minat dan bakatnya bukan di Biologi, tapi di bidang Bahasa), maka bahan/materi

Perbiakan vegetatif buatan disajikan dalam bentuk film cerita (YouTube), sehingga siswa dapat

belajar mandiri secara aktif.

Sedangkan Kompetensi generiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan generatif dan

perbiakan vegetatif, agar siswa memperoleh gambaran umum apa yang dimaksud dengan reproduksi.

Kompetensi spesifiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan vegetatif pada hewan dan

perbiakan vegetatif pada tumbuhan, karena umumnya perbiakan vegetatif buatan itu dilakukan pada

tumbuhan. Kalau siswa tidak memahami apa yang dimaksud dengan parthenogenesis dan

fragmentasi (siswa hanya menguasai 75% bahan/materi) siswa tetap dinyatakan berhasil. Siswa yang

tidak memahami parthenogenesis, fragmentasi dan okulasi (hanya menguasai 60% bahan) harus

mengulang (harus mengikuti program remedial) sampai mencapai taraf penguasaan 75% materi.

Dari contoh ini, nampak jelas bahwa SPM adalah batas minimal dari materi yang harus dikuasai

semua siswa sebelum diperbolehkan melanjutkan ke topik berikutnya, sedangkan Tingkat

Kompetensi adalah batas maksimal dari materi yang harus dikuasai siswa secara individual. Karena

Tingkat Kompetensi itu adalah batas maksimal dari materi, maka Kemdikbud cenderung

menurunkan batas maksimal itu, dengan alasan supaya tidak terlalu memberatkan siswa, akibatnya

materi/bahan ajar makin lama makin berkurang. Dapat dimengerti kalau ada banyak materi dalam

kurikulum 2013 tidak tercantum sebagai materi uji dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Siswa tidak akan

siap menyonsong era globalisasi pendidikan karena siswa akan tetap kesulitan mengerjakan soal-soal

GMAT, SAT dan TOEFL.

Dari uraian diatas, karena tingkat kompetensi yang bersifat spesifik itu terkait dengan KD,

maka kompetensi terkait dengan Tujuan Pembelajaran (tujuan pembelajaran tercapai kalau sebagian

besar siswa sudah menguasai bahan ajar/materi : tidak perlu semua siswa tuntas), sedangkan SPM

terkait dengan Indikator, sehingga SPM itu terkait dengan target kurikulum (target kurikulum harus

dapat dicapai oleh semua siswa).

Dengan kata lain, Kompetensi itu diukur melalui tingkat ketuntasan siswa (penilaian hasil belajarnya

ada di CK: Catatan Kompetensi), sedangkan SPM itu diukur melalui daya serap (monitoring proses

belajarnya ada di PBK : Penilaian Berbasis Kelas)

7. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : “Satuan

pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar

yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Page 117: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

105

115

Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar

Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”.

Jelaslah bahwa sekolah harus mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT

(Higher Oder of Thinking), bukan menelan mentah-mentah instruksi Dinas

Pendidikan, dan para Pengawas yang berupaya menyeragamkan kurikulum

Timbulnya dualisme pengelolaan pendidikan (sentralisasi atau desentralisasi, dan tujuan

pembelajaran atau target kurikulum), yang mengakibatkan munculnya dualisme kurikulum

(Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013), telah menyebabkan sifat transformatif dari pendidikan

tidak terwujudkan. Karena itu salah satu fungsi pendidikan transformatif yang membahas

keberagaman (multikulturalisme) tidak terealisasikan : “Bagaimana keberagaman itu

ditegaskan dan ditransformasikan dalam demokrasi, kewarganegaraan dan ruang publik”, tidak

terlihat secara nyata gaungnya. Apalagi pada Kurikulum 2013, Analisa Konteks malah dihapus

karena Silabus sudah dibuatkan oleh pemerintah.

Akibat pengabaian Analisa Konteks pada kurikulum ini, berimbas pada lunturnya keragaman

di sekolah-sekolah90 Sekolah-sekolah mengarah pada penyeragaman, terutama penyeragaman

kebijakan pengasuhan dan pendampingan siswa. Sekolah yang seharusnya berfungsi menyemai

keragaman dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan, ternyata lambat laun mulai menjauh dari fungsi

tersebut. Dampaknya secara bertahap paham radikal mulai masuk ke sekolah dan diterima dan diikuti

oleh sebagian guru dan siswa (tawuran pelajar, gang motor dan perundungan (bullying) makin marak.

Dalam LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) pada tahun 2012 juga

menemukan fakta sebagai berikut :

- Pemahaman radikal dan anti toleransi sudah masuk ke ruang pendidikan formal melalui

kegiatan ROHIS/ROKRIS

- Dari 100 SMP serta SMA umum di Jakarta dan sekitarnya (993 siswa) atau sekitar 48,9 %

setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama dan moral.

- Dari 590 guru agama, 28,2 % menyatakan setuju aksi kekerasan agama

Dari kegiatan Pelatihan guru dan kepala sekolah yang diselenggarakan BNPT (Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme) ada hal-hal yang perlu dicermati : Apakah mulai muncul istilah-istilah

“kafir”, “thogut” dan “penolakan menghormati yang lain selain Allah” dalam percakapan para siswa?

90 Makalah Retno Listyarti, Sekjen FSGI, dalam Diskusi Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28 Mei 2015 di Ruby Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta

Page 118: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

106

116

Apakah kegiatan Rohis/Rokris di sekolah mulai eksklusif (bagi pergaulan, nara sumber, maupun

pembiayaan)? Apakah beberapa siswa mulai tidak mau hormat ketika upacara bendera berlangsung?

Menurut Saud Usman Nasution, Kepala BNPT (Badan Nasional Penganggulangan

Terorisme), pencegahan penyebaran terorisme atau radikalisme ini harus terus intens dilakukan

sebagai cara pencegahan terorisme, karena paham radikalisme melahirkan tindakan terorisme.

Termasuk penyebaran paham melalui media sosial yang dianggapnya mempunyai potensi bahaya

bagi penyebaran paham terorisme.

“Penyebaran paham itu banyak melalui sosial media. Banyak anak anak kita, putra putri kita pelajar

SMA/SMK yang pemahaman agamanya masih dangkal ini mencari jati diri, belajar mencari agama

dari sosial media, dari tempat tidur dia bisa baca sosial media, bagaimana cara membuat bom. Adik

adik inilah yang berpotensi terpengaruh ajaran paham yang sesat. Karena dari kelompok

radikalisme ini memberikan pemahaman-pemahaman tentang jihadis ini dikembangkan melalui

media. Ini yang harus kita cegah,” terang Saud pada acara peluncuran buku yang berjudul “Revision

of the Jihandists dan Islamic Movements in Egypt” di Hotel Century Park, Jakarta , tanggal 8 Juli

2015

Dengan kata lain, kalau pemerintah abai menata desentralisasi dan sentralisasi pendidikan

atau abai mengkritisi perbedaan antara tujuan pembelajaran dan target kurikulum, lalu hanya

berkonsentrasi menata kurikulum baru, maka unintended intensions 91 akan mulai memasuki dunia

pendidikan kita.

Daerah-daerah yang menerapkan Perda khusus dengan mudah akan terperosok menyalah-gunakan

Pasal 50 ayat 5 : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”, dan Pasal 62 ayat 3 UU No.

20 tahun 2013 (UU Sisdiknas)92 : “Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut

izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

91 Hal-hal baik yang justru memunculkan sesuatu yang kurang baik, misalnya kegiatan keagamaan yang diharapkan menjadi pendorong sikap saleh dan kesalehan justru memunculkan sikap eksklusif dan intoleran, bahkan kepada sesama penganut agama yang berbeda pandangan dan berlainan paham 92 Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” (Teater Jakarta, Taman ismail Marzuki Jakarta, 11 November 2013) Pelajar atau konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional (hanya sampai tataran konseptual : lihat hasil TIMMS, PISA dan PIRL dari para siswa kita yang makin merosot). Ada baiknya kita menyimak informasi mengenai kegemaran dan kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja

Pelajar atau konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.

Page 119: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

107

117

Kalau hal ini tidak disikapi secara benar, maka kita bisa hidup dalam nir budaya. Sebab hidup

dalam kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak menurut bingkai pengetahuan

dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun, kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh

perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa

mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan masalah-

masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah “kemiskinan,

kebodohan dan keterbelakangan peradaban” dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan

yang sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang

lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan

langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita

bangsa bermoral.

Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama

kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Mereka yang berbeda pendapat langsung

dianggap “musuh” . Pendidikan itu sejatinya harus menyadarkan manusia agar menghormati

kehidupan. Setiap manusia akan menuju kematian. Karena itu, pendidikan harus didorong agar

setiap warga menyadari bahwa kehidupan adalah anugerah. Berlomba dalam kebajikan dalam hidup

merupakan tugas mulia yang harus dilakukan setiap manusia. Di sini pendidikan harus

menegaskan bahwa tugas manusia adalah mengisi kehidupan dengan kebajikan, bukan justru

menebar kejahatan.

Maka pemerintah wajib mengembangkan pemahaman multikultural di dalam pendidikan

untuk memperluas pemahaman siswa atau warga dalam tata dunia baru yang terus berubah sekarang

ini. Sebab Indonesia, bukan sebuah negeri antah-berantah, pasif, tak berjiwa. Negeri ini adalah

suatu negara-bangsa, yang terdiri atas sekelompok manusia yang berkumpul tidak secara

sembarangan. Pengelompokan ini berupa suatu asosiasi sejumlah besar manusia berdasar

suatu kesepakatan mengenai keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan kebahagiaan

bersama. Sebab pertama dan utama dari asosiasi seperti ini bukanlah kelemahan individual tetapi

suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan alam dalam diri manusia, diri kita, spirit multikultural,

spirit penghargaan atas liyan. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir

abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-

bangsa.

Oleh sebab itu, proses belajar-mengajar harus bermutu 93 yang memenuhi syarat :

93 Pasal 5 UU Sisdiknas : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu

Page 120: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

108

118

- Berlangsung secara manusiawi (tidak ada kekerasan (bullying), sindiran, penghinaan, dll),

tidak ada diskriminasi atas nama mayoritas, tidak ada subordinasi oleh kelompok elite

- Guru dan siswa dalam posisi yang sejajar dalam melakukan “transaksi” pedagogis (yang

membedakan adalah fungsi masing-masing : guru “mengajar” dan siswa “belajar” 94

- Guru lebih bertindak sebagai seniman (yang kreatif) dan intelektual (yang profesional) 95,

sebagai seorang dirigen dalam pentas simfoni pembelajaran dimana semua siswa aktif-kreatif

memainkan peran masing-masing, ketimbang sebagai penceramah, pengkhotbah, dan

pemberi perintah96

- Guru adalah transformer keberagaman (multikulturalisme) melalui kelas partisipatif dengan

kurikulum yang kontekstual (menggunakan perangkat Analisa Konteks) sehingga siswa dapat

dengan mudah menghubungkan pengetahuan yang diperoleh dengan historisiositas

budayanya. Pendidikan menjadi berpusat pada siswa (siswa bukan sekedar “peserta didik”,

tapi “subyek didik”).

Dalam hal ini, sekolah harus mampu melakukan pengkoordinasian, penyerasian dan pemaduan

secara harmonis terhadap semua unsur yang ada di sekolah. Sesudah 70 tahun merdeka, negara

Indonesia seharusnya sudah tumbuh ke arah demokrasi dengan memberi peluang kepada masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Sejauh mana negara memberi peluang kepada

masyarakat untuk semakin mandiri dan berpartisipasi dalam pembangunan manusia

Indonesia melalui pendidikan dapat diukur dari produk-produk hukum dan perundang-

undangan, serta kurikulum yang ditawarkannya. Untuk pengembangan demokrasi dan

partisipasi masyarakat, serta memperkuat terbentuknya masyarakat warga (civil society) , negara

perlu mempromosikan topik-topik demokratisasi, multikulturalisme, dan dialog agama, dalam

rancangan kurikula pendidikan. Pengembangan topik-topik ini juga akan mencegah merebaknya

kekerasan karena konflik-konflik yang diakibatkan kurangnya saling pemahaman dan intoleransi

dalam perbedaan-perbedaan. Inilah legitimasi dari diversifikasi kurikulum yang kontekstual (Pasal

36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan desentralisasi yang membuat Visi dan Misi sekolah menjadi membumi.

C. Dilema peserta didik atau subyek didik

Pemerintah tampaknya berdiri antara keinginan melaksanakan demokratisasi, juga di bidang

pendidikan disatu pihak (yang tercermin dari disisipkannya Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32

Tahun 2013), tetapi di pihak lain masih kuat pula, terutama di jajaran birokratnya untuk menentukan

94 Tjokorde Raka Joni : Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti, 1984 95 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2003 96 Debbie de Proter, Quantum Teaching, Bandung, Kaifa, 2008

Page 121: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

109

119

segala-galanya bagi masyarakat sipil. Indikasinya, sejauh mana misalnya, rencana undang-undang,

perjanjian dengan negara lain atau keputusan yang mengikat generasi muda, termasuk kebijakan

tentang pendidikan, disosialisasikan? Murid dan orang tua tidak punya pilihan dalam keputusan

apapun yang diambil oleh Kemdikbud. Murid hanya dianggap sebagai “peserta didik”, bukan

“subyek didik”. Bahkan sempat ada wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang

diwujudkan dalam pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang menunjukkan

bahwa aparat Kemdikbud ingin masuk sampai ke ruang privat. Di lain pihak, kaum mudanya sering

kali diam saja ketika peluang mereka untuk menentukan hidupnya ke depan semakin ditutup,

Misalnya di era smart phone dengan teknologi android atau di era televisi digital ini, pemerintah

justru menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komputasi)

Mari kita simak bagian akhir dari novel Susanna Tamaro, “Pergilah ke Mana Hati Membawamu”

(Jakarta, Gramedia, 2005), penulis melalui tokoh utamanya Olga, memberi pesan kepada cucunya,

……” di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus

kau ambil, janganlah memilihnya asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas

dalam dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan

biarkan apapun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam

dirilah, tetap hening, dan dengarlah hatimu. Lalu ketika hati bicara, beranjaklah dan pergilah

kemana hati membawamu ………”. Pesan ini begitu tandas, yakni supaya cucunya mencari jalannya

sendiri, tidak perlu ikut-ikutan neneknya atau ibunya yang telah melahirkannya. Dia mempunyai

kebebasan. Dengan demikian, novel itupun menyampaikan pesan agar generasi tua di Kemdikbud,

ikhlas memberi ruang pilihan untuk generasi muda dalam menentukan masa depan mereka sendiri.

Di sisi lain, novel ini juga menggambarkan kegamangan para pelajar di kala masih sangat belia,

dalam memilih jurusan pada saat akan masuk ke kelas X SMA, tanpa bekal yang memadai. Inilah

pokok pikiran dari desentralisasi pendidikan. Memberi kebebasan pada siswa untuk menentukan

masa depannya sendiri. Meskipun sudah dikucurkan trilyunan dana untuk BOS, tapi hanya sedikit

sekolah negeri yang menjalankan program akselerasi, apalagi yang menerapkan sistim baku SKS,

belum ada satupun sekolah negeri yang mampu menyelenggarakannya (yang ada adalah sistim paket

SKS). Kenapa SKS ini penting? Karena SKS ini mengakomodasi kepentingan siswa sesuai dengan

prinsip Multiple intelligence. Cara kita memandang dan memperlakukan siswa yang hanya dilihat

sebagai “peserta didik” (bukan “subyek didik”) harus dikoreksi (Lihat Bab I Pasal 1 ayat 4 dan Bab

V Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional). Kesalahan sistemik ini

juga disorot dalam Seminar Hari Kependudukan Dunia “Investing in Young People in Indonesia”

yang diselenggarakan oleh Dana Kependudukan PBB (UNFPA), BKKBN, Kemenpora dan Ikatan

Praktisi dan Ahli Demografi Indonsia (IPADI) pada hari Senin 17 Juli 2014 di Jakarta.

Page 122: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

110

120

Menurut Kepala Perwakilan UNFPA untuk Indonesia, Jose Ferraris, potensi generasi muda ini tidak

tergarap maksimal karena mereka selalu hanya menjadi obyek dan bukan pemegang peran

penting sebagai subyek pendidikan. Padahal anak muda merupakan sumber daya utama untuk

pembangunan. Mereka dapat berperan sebagai agen kunci perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi

dan inovasi teknologi sebagaimana dicontohkan oleh para creative junkies (kelompok anak muda

yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, seperti Raditya Dika (penulis best seller remaja),

Nancy Margried (penggiat batik fractal), kelompok pekerja seni muda (para musisi dan sineas muda),

para disainer muda, dll.

Pendidikan partisipatif dan kolaboratif bagi generasi muda ini masih jauh dari angan. Model-

model metode baru seperti quantum teaching and learning, engagement learning, dll. tenggelam

dalam pemberlakuan metode pembelajaran saintifik (5M) yang di endorse dalam Kurikulum 2013.

Padahal melalui pendidikan partisipatif dan kolaboratif yang memandang siswa sebagai subyek

didik, kreativitas siswa akan meningkat dan dunia ekonomi kreatif terbuka lebar bagi kaum muda,

dan justru dalam bidang ekonomi kreatif inilah, generasi tua kurang menguasai secara intens.

Itulah pentingnya diversifikasi kurikulum (Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan otonomi

sekolah (Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), serta otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas

dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013) :

menjadikan kurikulum yang relevan dengan peserta didik dan kondisi sekolah (desentralisasi

pendidikan), cermin dari diakomodasikannya kebebasan mimbar akademik.

Namun sebuah paradoks baru muncul : ketika anak menjadi mahluk spesial, mereka juga

jadi proyek. Mereka diharapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka

tidak dibayangkan mandiri sebagai pembaharu, apalagi pembangkang. Kontrol diberlakukan, dan

kadang-kadang tak jelas, mana bimbingan, mana penganiayaan.

“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak ……… tapi hanya sedikit yang ingat itu”

(Antoine de Saint-Exupery, Pangeran Kecil)97

Mau bukti? “Kasus-kasus perundungan anak di sekolah yang berakibat kematian karena

anak tersebut dikeroyok sesama siswa. Terlihat bahwa orang tua dan guru abai menangkap tanda-

tanda kekerasan, padahal perundungan memiliki indikasi berbeda dari keisengan biasa” (Erlinda

dalam ”Jutaan Anak Alami Kekerasan, Pola Asuh Perlu Memperhatikan Hak-hak Anak”, KOMPAS,

Kamis 23 Juli 2015 halaman 12).

97 Catatan Pinggir : BOCAH, Gunawan Muhammad, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015

Page 123: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

111

121

Jajaran Kemdikbud yang terus berupaya melanjutkan proyek penerapan Kurikulum 2013

sehingga abai akan pembagian ijazah tepat waktu telah menempatkan hak-hak siswa sebagai sekedar

urusan administrasi saja, tak hirau akan tuntutan berbagai lembaga studi lanjut dan lembaga penyelia

tenaga kerja agar siswa dapat menunjukkan ijazah aslinya. Siswa telah benar-benar dikorbankan

untuk proyek : kurikulum 2013 yang kontroversial karena tidak sinkronnya 28 permendikbud yang

melandasinya dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, pelaksanaan UN yang

amburadul tahun 2013, dan pembagian ijazah yang sangat terlambat yang abai pada hak azasi siswa.

Atau, mari kita simak Draft Permendikbud No.21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti

yang dikeluarkan tanggal 10 Juli 2015, yang kemudian dibakukan menjadi Permendikbud No.23

Tahun 2015

- Bagian Penanaman Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan

Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu daerah, lagu wajib nasional maupun lagu terkini yang bernuansa patriotik atau cinta tanah air.

- Bagian Penumbuhan Potensi Unik dan Utuh Setiap Anak

Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata

pelajaran

Dalam prakteknya, sekolah akan mengambil kemudahan pelaksanaan menyanyikan lagu

nasional, yaitu melalui apel pagi untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan melalui apel

siang untuk menyanyikan lagu wajib. Supaya tidak mengurangi jam belajar sesuai ketentuan

di atas, maka siswa akan masuk lebih pagi untuk mengikuti apel pagi + kewajiban membaca

buku, dan akan pulang lebih siang untuk mengikuti apel siang. Kalau siswa datang terlambat,

akan kena sanksi, namun bagaimana dengan guru-guru yang akhir-akhir ini makin sering

datang terlambat? Para guru bukan hanya sering terlambat tiba di sekolah tetapi juga sering

terlambat masuk kelas karena terlalu lama mengobrol di ruang guru

Pada pagi hari, saat guru dan siswa masih segar, bukan langsung memulai pelajaran, tetapi

harus berpanas-panas dulu mengikuti apel pagi, lalu dilanjutkan dengan waktu membaca

buku 15 menit yang sebenarnya hanya membuang waktu, tidak mungkin siswa membaca

yang tersirat dalam buku/koran hanya dalam 15 menit.

Kemdikbud perlu melihat Harian Media Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara

dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar

Page 124: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

112122

Maka benar apa yang dikatakan Gunawan Muhammad di atas : “kadang-kadang tak jelas,

mana bimbingan, mana penganiayaan”

- Bagian Interaksi Positif dengan Guru dan Orang tua :

Sekolah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru untuk

mensosialisasikan: a) visi; b) aturan; (c) materi; dan (d) rencana capaian belajar siswa agar

orangtua turut mendukung keempat poin tersebut

Bukankah melalui ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, Silabus, buku

ajar/materi/sumber belajar, sistim penilaian dan metode sudah ditentukan oleh pemerintah

dan sudah disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam secara nasional, apapun visi

dan misi sekolahnya (mengabaikan azas diversifikasi kurikulum sebagaimana diamanatkan

oleh Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas). Jadi apakah masih ada gunanya Visi dan Misi sekolah?

Bukankah selama ini para guru mengajar menurut arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas

yang abai pada Visi dan Misi suatu sekolah?

- Pemeliharaan Lingkungan Sekolah

Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat. Ide ini bagus, kalau siswa dan guru secara ketat memisahkan sampah organik dan sampah

anorganik, yang dilengkapi dengan pembuatan kompos. Sampah anorganik ini juga harus

didaur ulang. Kalau mengandalkan Dinas Kebersihan, maka sampah yang telah terpilah itu

akan dicampur lagi. Hal ini tidak bagus bagi internalisasi lingkungan sehat untuk siswa.

Permendikbud ini langsung memancing kontroversi karena nilai-nilai baik itu ditempelkan tanpa

rasionalitas (KOMPAS, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : “ Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa

Rasionalitas” : Guru Besar Antropologi UGM, Heddy Ahimsa Putra, “Kegagalan internalisasi nilai-

nilai Pancasila, kebangsaan dan kebhinekaan terjadi karena pengajarannya cenderung abstrak dan

kurang dielaborasi menjadi nilai-nilai yang lebih konkrit”). Permendikbud ini makin meyakinkan

orang bahwa Kurikulum 2013 itu sebenarnya menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme,

semuanya hanya tempelan.

Sebenarnya Mendikbud Anies Baswedan dan jajarannya cukup melihat “18 nilai dalam

Pendidikan Karakter” yang sudah diterapkan dalam Kurikulum 2006 karena proses monitoring sudah

cukup terukur di dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas) dan tidak perlu mengeluarkan Sambutan

Mendikbud pada hari pertama sekolah No.59388/A/KR/2015 dan Surat Edaran tentang MOS (Masa

Orientasi Sekolah) No.59389/MPK/PD/2015 – yang diabaikan oleh banyak sekolah. Jadi malah

menunjukkan kegagalan proses internalisasi pendidikan karakter dan nilai-nilai agama pada siswa

dan pada para Pembina OSIS, sehingga MOS selalu saja diartikan sebagai perpeloncoan (pembakuan

Page 125: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

113123

mental “budak” dan “pembodohan” dalam pendidikan nasional). Hal ini melestarikan azas senioritas

dalam pendidikan, bukan azas meritokrasi.

Dari contoh-contoh di atas, nampak bahwa pengakuan atas perbedaan invidual dan latar

belakang budaya siswa 98 tidak tercermin dalam KI dan KD pada Kurikulum 2013, juga tidak muncul

dalam penentuan buku ajar (materi/sumber belajar) dan buku pegangan guru, serta penentuan metode

saintifik (5M) – semuanya sifatnya massal, menafikan adanya perbedaan individual dan budaya

siswa.

Berdasar berbagai penjelasan tentang otonomi pendidikan dan desentralisasi di atas, dimana

otonomi dinyatakan sebagai sejauh mana negara memberi peluang kemandirian masyarakat, maka

sebenarnya istilah “peserta didik” sudah harus diganti dengan “subyek didik”, dan istilah “Opsdik”

(Organisasi Peserta Didik) harus dikembalikan lagi menjadi OSIS. Istilah MOPD (Masa Orientasi

Peserta Didik Baru) harus dikembalikan menjadi MOS (Istilah MOPD muncul dalam Permendikbud

NO. 55 Tahun 2014 yang berisi “larangan melaksanakan masa orientasi peserta didik yang

mengarah kepada tindakan kekerasan, pelecehan dan/atau tindakan destruktif lainnya yang

merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar

sekolah”. Namun pembodohan siswa dengan mengenakan atribut yang melecehkan nalar tetap saja

berlangsung. Sidak yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan pada hari pertama sekolah, Senin

27 Juli 2015 menunjukkan bahwa jajaran birokrat selama ini membiarkan perpeloncoan terus terjadi

dalam kegiatan MOS di lapangan. Hal ini merupakan contoh kasat mata bahwa jajaran Kemdikbud

sebenarnya hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tidak memikirkan masa depan anak didik

(karena perpeloncoan ini sudah merupakan gejala sistemik yang sengaja dibiarkan terjadi oleh Dinas

Pendidikan dan Pengawas, meskipun mereka sudah mengetahui penyimpangan ini selama bertahun-

tahun, tapi karena tidak menyangkut “kepentingan” mereka, praktek perpeloncoan ini dibiarkan

terjadi. Bahkan setelah adanya Surat Edaran Mendikbud tentang MOS, yaitu Surat Edaran

No.59389/MPK/PD/2015, praktek perpeloncoan tetap saja terjadi).

98 Lihat lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14

Page 126: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

114

124

Lihat hasil liputan media massa pasca keluarnya Surat Edaran Mendikbud itu

Pergantian istilah OPSDIK dan MOPD ini bukan sekedar mengganti kata per kata atau mengubah

definisi, tapi mempunyai rujukan yang panjang seperti yang sudah diuraikan di Bab III ini.

Prinsip desentralisasi ini sebenarnya sudah diakomodasi dalam Permendikbud No.67 Tahun 2013

Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I A. 2. Penyempurnaan pola pikir, yang

diulang pada Permendikbud No.68 Tahun 2013, Permendikbud No.69 Tahun 2013 dan

Permendikbud No.70 Tahun 2013 , yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 (lihat

Catatan * di Kata Pengantar)

Point 1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta

didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari

untuk memiliki kompetensi yang sama

Point 7. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan

memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik

Bukankah hal ini yang menjadi impian dari Olga dalam novel Susanna Tamaro di atas? Pembelajaran

menggunakan Multiple Intelligence. Masalahnya hal ini tidak bisa dicapai melalui pelatihan guru

secara massal dan seragam di tingkat nasional, dengan silabus, buku ajar dan buku pegangan guru

serta metode pembelajaran yang seragam. Pemetaan kelas melalui pengenalan akan bakat dan minat

siswa yang berbeda dengan Multiple Intelligence, hanya dapat dicapai dalam kurikulum yang

kontekstual dan situasional yang melayani keberagaman.

Page 127: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

115

124

Lihat hasil liputan media massa pasca keluarnya Surat Edaran Mendikbud itu

Pergantian istilah OPSDIK dan MOPD ini bukan sekedar mengganti kata per kata atau mengubah

definisi, tapi mempunyai rujukan yang panjang seperti yang sudah diuraikan di Bab III ini.

Prinsip desentralisasi ini sebenarnya sudah diakomodasi dalam Permendikbud No.67 Tahun 2013

Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I A. 2. Penyempurnaan pola pikir, yang

diulang pada Permendikbud No.68 Tahun 2013, Permendikbud No.69 Tahun 2013 dan

Permendikbud No.70 Tahun 2013 , yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 (lihat

Catatan * di Kata Pengantar)

Point 1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta

didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari

untuk memiliki kompetensi yang sama

Point 7. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan

memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik

Bukankah hal ini yang menjadi impian dari Olga dalam novel Susanna Tamaro di atas? Pembelajaran

menggunakan Multiple Intelligence. Masalahnya hal ini tidak bisa dicapai melalui pelatihan guru

secara massal dan seragam di tingkat nasional, dengan silabus, buku ajar dan buku pegangan guru

serta metode pembelajaran yang seragam. Pemetaan kelas melalui pengenalan akan bakat dan minat

siswa yang berbeda dengan Multiple Intelligence, hanya dapat dicapai dalam kurikulum yang

kontekstual dan situasional yang melayani keberagaman.

125

Dalam kurikulum yang seragam secara nasional, nuansa desentralisasi dan kebebasan mimbar

akademik tidak muncul, yang muncul justru adalah hegemoni pemerintah sampai ke ruang kelas,

yang dilengkapi dengan kendali para Pengawas di daerah.

Kenapa sampai muncul dua kurikulum (Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013) yang

menyebabkan tarik ulur fungsi pemerintah daerah dalam mengontrol pendidikan melalui

pembelajaran di kelas lewat Pengawas Mata Pelajaran sehingga pengembangan potensi siswa sebagai

subyek didik terabaikan?

Ternyata Kurikulum 2013 itu dikembangkan atas teori KBK (kurikulum berbasis kompetensi

: competency-based curriculum) yang sebenarnya sudah tidak diberlakukan lagi dengan berbagai

alasan, seiring pemberlakuan Kurikulum 2006 (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 II B

Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 II D Landasan

Teoritis (lihat Catatan * di Kata Pengantar) : maka kita harus merujuk kembali kenapa KBK itu

dahulu dihentikan. Masalahnya ada pada kesulitan pengukuran kompetensi yang dicapai siswa

secara kuantitatif.

Maka untuk menyiasati seandainya Dinas Pendidikan di daerah berkukuh melanjutkan

penerapan Kurikulum 2013, adalah “meniti buih” :

- Tanpa meninggalkan aspek student centered learning sebagaimana diamanatkan dalam

Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14 : Pengakuan atas perbedaan

invidual dan latar belakang budaya siswa,

- Tanpa meninggalkan prinsip desentralisasi yang sebenarnya sudah diakomodasi dalam

Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I

A. 2. Penyempurnaan pola pikir (yang diulang pada Permendikbud No. 68 Tahun 2013,

Permendikbud No. 69 Tahun 2013 dan Permendikbud No. 70 Tahun 2013) Poin 1 dan Poin

7 di atas,

yang perlu dilakukan adalah menerapkan Analisis horizontal pada Analisis Kurikulum untuk

melihat keterkaitan antar berbagai mata pelajaran pada jenjang kelas yang sama sehingga siswa dapat

belajar integrasi lintas ilmu untuk mengerti konsep multi disiplin (yang sebenarnya sudah dimulai

dengan diberlakukannya Tematik Integratif di SD dan Mata Pelajaran IPA Terpadu dan IPS Terpadu

di SMP).

Misalnya : seorang guru Biologi di SMA hendak mengajarkan Teori Mendel, maka guru tersebut

harus yakin bahwa Teori Peluang (Probabilitas) yang mencakup Permutasi dan Kombinasi sudah

diajarkan sebelumnya di Matematika. Seorang guru kelas 6 SD yang akan mengajar materi Fisika

Optik dalam IPA-Fisika pada minggu kedua Agustus, harus yakin bahwa pada minggu pertama

Page 128: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

116

126

Agustus, guru Matematika kelas 6 SD sudah mengajarkan materi perhitungan luas lingkaran dan

volume bola.

Dengan demikian, sains dan iptek akan dipahami sebagai art, bukan sekumpulan dalil, rumus

atau aksioma yang harus dihafal. Pembelajaran menjadi menyenangkan karena siswa dapat merunut

ketersinambungan antar topik atau tema. Proses pembelajaran menjadi pembuka wawasan dan

horizon cakrawala pengetahuan siswa yang tidak bisa didapat dalam bimbel atau les privat.

Rapat kerja para guru pada awal tahun ajaran baru harus memastikan bahwa langkah

sinkronisasi antar mata pelajaran melalui Analisis horizontal ini dijalankan dengan efektif,

tanpa itu, belajar hanya akan menjadi beban bagi siswa sehingga pengembangan potensi siswa

itu masih tetap jauh panggang dari api. Analisa horizontal ini juga perlu dilengkapi dengan Analisa

Konteks, yang juga sudah diberlakukan dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008).

Rincian dari Analisa Konteks ini selalu dituntut bukti fisiknya dalam akreditasi sekolah, yaitu

akreditasi penyelenggara dan penyelenggaraan pendidikan.

Disinilah peran vital Pengawas (sesuai Pasal 10 UU Sisdiknas) : pengawas membantu dan

membimbing pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) agar mampu memenuhi 8 standar nasional

pendidikan (8 standar SNP), bukan malah sibuk memaksa sekolah untuk menerapkan Kurikulum

2013 (demi proyek), lupa pada isi Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013

Misalnya guru Biologi yang akan mengajar Teori Mendel, dapat melakukan Analisa konteks sebagai

berikut :

KONDISI ALAM SOSIAL BUDAYA KEKAYAAN DAERAH

Lihat berapa % kemungkinan

munculnya itik albino

Lihat keberadaan manusia

albino, kenapa langka, tetapi

pasti ada

Lihat persilangan tanaman

yang khas daerah itu, misalnya

singkong Mukibat

Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa :

- Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka guru tersebut telah menerapkan CTL

(contextual teaching learning)

- Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka azas multikulturalisme dalam

pembelajaran, juga akan terpenuhi

Page 129: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

117

127

Atau Guru Fisika yang akan mengajar Fisika Optik, dapat melakukan Analisa Konteks sebagai

berikut :

KONDISI ALAM SOSIAL BUDAYA KEKAYAAN DAERAH

Daerah-daerah berkapur,

umumnya orang kekurangan

vitamin A, karena sukar

mendapat sayur mayur, seperti

wortel, seledri, dll, hingga

umumnya mereka menderita

rabun jauh (myopi). Maka

titik berat guru Fisika ini

adalah pada materi lensa

(supaya paralel dengan kaca

mata) dan teropong (supaya

paralel dengan rabun jauh),

dengan program pengayaan :

“teropong bidik malam”

Karena myopik, mereka tidak

terbiasa menggunakan lampu

senter, tetapi menggunakan

penerang jarak dekat (obor,

lampu petromaks, dll)

Masyarakat daerah kapur

bukan masyarakat visual,

tetapi masyarakat audio,

mereka peka pada bunyi/suara.

Radio cukup akrab dengan

mereka, dan kesenian diatonis

menjadi pembeda dengan

masyarakat agraris yang

pentatonis.

Pengukuran jarak pandang

dihitung dari kemampuan

lensa mata myopik, yaitu :

“sudah dekat” atau “tidak

jauh”, padahal jaraknya masih

jauh, karena ukurannya adalah

sudut elevasi jarak pandang.

Masyarakat daerah kapur

(masyarakat audio)

mengembangkan melodi yang

bertumpu pada nada

suara/bunyi (seruling,

terompet , dll)

Melalui Analisa Konteks, keberagaman (multikulturalisme) dapat diakomodir. Maka

kerancuan kurikulum dapat dihindari : mau menerapkan Kurikulum 2006 (KTSP awal) atau mau

merevitalisasi kembali Kurikulum 1975, hasilnya akan sama yaitu pengembangan bakat dan minat

siswa. Itulah inti dari desentralisasi dan SPM : pendidikan yang berpusat pada siswa (student

centered learning) (siswa bukan sekedar “peserta didik”, tapi “subyek didik”), yang mengakomodasi

keberagaman (multikulturalisme).

Itulah pentingnya menata ulang kurikulum pendidikan nasional kita sebagaimana

diamanatkan dalam Nawa Cita No.8

Page 130: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

118

128

BAB IV

Kurikulum vs Kompetensi

Kekeliruan pertama dalam kaitan dengan kompetensi adalah pada masalah

pengukurannya. Kurikulum 2013 yang dikembangkan dari KBK (2004)99 menyisakan masalah

pengukuran kompetensi yang ingin dicapai. Perumusan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di

tahun 2004 ternyata tidak disertai pengukuran kompetensi sehingga setiap penatar menafsirkan

sendiri kompetensi yang hendak dicapai, terpisah dari rumusan :

- Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 : “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik”, dan

- Pasal 51 UU No. 20 Tahun 2003 : “Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan

berdasarkan SPM dengan prinsip MBS”. Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang

menyangkut kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa (pengukurannya menggunakan

KKI), dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang antara lain berisi pengukuran

kompetensi dan kinerja guru ini, sekarang tidak lagi dipraktekkan akibat dikeluarkannya

Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan.

Seandainya kompetensi dalam KBK itu dikaitkan dengan kemampuan/kompetensi minimal

“calistung” (baca-tulis-hitung), yaitu kemampuan berpikir kritis dalam Matematika dan Sains pada

TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study), kemampuan membaca yang

tersirat pada PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), dan kemampuan bernalar

dalam PISA (Progamme in International Students Assessment), maka KBK tidak perlu diganti pada

tahun 2006. Akibat tidak terukurnya kompetensi secara valid ini menyebabkan timbulnya kesalahan

pemaknaan kurikulum dan kesalahan pedoman penilaian pada Kurikulum 2013 (kesalahan pedoman

penilaian diuraikan secara khusus dalam Bab V)

Kekeliruan kedua dimulai dari kesalahan pemaknaannya. Menurut KBBI Vol IV,

kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan tertentu.

Karena artinya “hanya sekedar” perangkat pembelajaran maka sifatnya sangat teknis dan spesifik

untuk diterapkan di kelas, seperti pembuatan silabi dan persiapan mengajar, penyediaan alat peraga

dan pengukuran hasil belajar, sehingga kurikulum itu lekat dengan lokalitas dan situasional pada

lembaga penidikan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum di setiap sekolah itu seharusnya berbeda

dan kontekstual.

99 Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum), yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D (lihat Catatan * di Kata Pengantar)

Page 131: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

119

129

Menurut kamus Webster : kurikulum itu adalah the courses offered by an educational institution,

atau a set of courses constituting an area of specialization. Dengan kata lain, kurikulum menurut

kamus Webster adalah the courses that are taught by a school, college, etc.

Karena perangkat pembelajaran ini harus dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi satuan

pendidikan (sekolah) masing-masing, maka sifatnya khas dan situasional. Oleh karenanya,

seharusnya tidak ada uniformitas kurikulum di tingkat nasional, yang diproses melalui pelatihan guru

dengan bahan yang sama di semua daerah. Sekali lagi, tugas pemerintah sebenarnya sudah diatur

dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas yaitu hanya sebatas menetapkan kerangka dasar dan struktur

kurikulum. Dalam Kurikulum 2013, pemerintah bahkan sampai kebablasan menyusun kurikulum

dari hulu sampai ke hilir, mulai dari penentuan materi /bahan ajar (silabus, buku siswa, lalu

menghapus mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA di kelas 1, 2, 3 SD) sampai

menetapkan pola penyampaian materi/bahan ajar itu di kelas (metode pengajaran (metode saintifik

(5 M), dan membuat buku pegangan guru), dilengkapi dengan pedoman pengukuran hasil belajar

(menyusun pedoman konversi nilai (yang ternyata secara matematis salah), yang anehnya tidak

dilengkapi dengan pedoman monitoring proses belajar. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini

mengusung semangat pembakuan tunggal dan hegemoni sehingga menabrak azas diversifikasi

kurikulum sebagaimana termaktub dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas.

Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas ini, seharusnya kurikulum yang berlaku

di Papua akan berbeda dengan kurikulum yang berlaku di Jawa, karena harus disesuaikan dengan

kondisi sarana prasarana sekolah, potensi lokal dan keadaan siswanya.

Semuanya menjadi rancu hanya karena pemerintah mengejar “penyerapan anggaran 20% dari

APBN”. Yang disalahkan selalu gurunya (defungsionalisasi guru), bukan LPMP atau

PPPG/PPPPTK, padahal para guru hanya menjalankan instruksi Pengawas dan arahan dari Dinas

Pendidikan setempat

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/29/11113348/Ini.Alasan.Dirombaknya.Kurikulum).

Di DKI Jakarta, upaya uniformitas (penyeragaman) yang mengabaikan azas diversifikasi ini muncul

dalam Sistim Administrasi Sekolah (SAS) dan Sistim Informasi Pendidikan (SIP). Di daerah lain,

upaya penyeragaman ini dieksekusi dengan kehadiran para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata

Pelajaran yang nilai uji kompetensinya justru dibawah nilai uji kompetensi para guru (Tentang

Pengawas ini, lihat Catatan kaki No.4). Hal ini semakin menegaskan bahwa proyek sertifikasi guru

itu adalah proyek tebar uang yang tak ada hubungannya dengan kompetensi dan kinerja guru, semata-

mata demi memenuhi penyerapan anggaran. Hal ni sudah nampak beberapa tahun yang lalu, saat

diterapkannya UKG (uji kompetensi guru) yang tidak jelas tujuannya itu dan akan diulang pada bulan

November 2015 ini : UKG yang tidak jelas untuk apa dilaksanakan dan bagaimana Kemdikbud akan

Page 132: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

120

130

menyikapi hasilnya nanti : membentuk lembaga pelatihan guru yang baru atau membuat program

pelatihan guru terpusat lagi. Kalau guru yang tidak lolos UKG itu kemudian dicabut tunjangan

sertifikasinya, bagaimana argumen Kemdikbud menghadapi gugatan para guru itu kelak di PTUN :

“bukankah selama ini mereka selalu mengikuti arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas dan telah

dinyatakan lulus diklat sertifikasi guru”, dan “apakah tes sesaat bisa mengukur seluruh kompetensi

guru?”

Ternyata terbukti kemudian bahwa UKG itu memang tidak terkait dengan kata “uji” dan “uji

kompetensi” tetapi hanya merupakan proyek baru untuk mengadakan diklat baru bagi para guru,

seolah-olah para guru belum pernah menempuh pendidikan didaktik metodik dan pedagogik di

PGSD/FKIP.

Seandainya Mendikbud M. Nuh mengacu pada Finlandia (sebagai kiblat pendidikan dunia)

dan bukan pada negara-negara OECD, maka Kurikulum 2013 tidak akan pernah ada.

Kalau menaati UU dan pemaknaan harafiahnya, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai

dengan situasi dan kondisi satuan pendidikan (sekolah), sehingga kurikulum ini dikenal sebagai

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya kurikulum yang disusun sendiri oleh para

guru dan disahkan oleh kepala sekolah (Pasal 77 ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Dengan

kata lain, otonomi guru dan otonomi sekolah dalam penyusunan kurikulum, memonitor proses

belajar, serta mengevaluasi hasil belajar ini mempunyai payung hukum yang kuat yang

tereksplisitkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005

(UU Guru dan Dosen) seperti yang sudah diuraikan dalam Bab Pendahuluan. Dengan demikian,

menyama-ratakan kurikulum dan memberlakukan kurikulum nasional secara tunggal jelas keliru,

karena melanggar pemaknaan (arti) kata “kurikulum” dan menabrak UU (lihat penjelasan lebih

rinci dalam Bab Pendahuluan)

Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang membakukan pembuatan silabus tunggal, pembuatan buku

siswa dan buku pegangan guru yang seragam serta keluarnya Pedoman penilaian Permendikbud No.

66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang

diperbarui dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas No. 5496/C/KR/2014 dan Dirjen Dikmen No.

7915/D/KP/2014 tentang penilaian (penilaian pada Kurikulum 2013 seharusnya menggunakan

penilaian rubrik agar sesuai dengan SOLO Taxonomy), semuanya itu justru mengaburkan

terbentuknya budaya organisasi di lingkungan sekolah. Sebab pedoman penilaian dari Kemdikbud

yang berubah-ubah ini justru menabrak azas otonomi pendidikan yang diusung oleh Pasal 39 ayat 2

UU Sisdiknas dan Pasal 20 (a) UU Guru dan Dosen dan mengabaikan arti kata “kurikulum” secara

harafiah (letterlijk). Untuk internalisasi arti kata “kompetensi” dan makna “kurikulum”, para guru

harus menyadari arti panggilan hidupnya. Bukan menjadi guru untuk kurikulum, bukan menjadi

Page 133: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

121

131

guru untuk Dinas Pendidikan, bukan menjadi guru untuk aturan-aturan, tetapi menjadi guru untuk muridnya. Tanpa murid, guru hanyalah seorang “pengangguran”. Karena ketidak pedulian

akan murid ini dan hanya terpaku pada proyek penyerapan anggaran (sertifikasi guru, UN dan

peluncuran kurikulum baru), maka keterlambatan pembagian ijazah hanya dianggap sebagai proyek

administrasi yang tertunda, bukan pada pelanggaran atas hak-hak anak. Dengan kata lain,

Kemdikbud abai pada kebutuhan murid. Kebutuhan murid ditengah jaman yang lari tunggang

langgang ini adalah mengerti dan dimengerti oleh dunianya, tidak teralineasi ditengah dunia yang

tergopoh-gopoh ini. Murid dapat mengerti apa itu komputasi awan (cloud computing), rekayasa

genetik (genetic engineering), perubahan dari 3 G ke 4 G, atau perubahan dari analog ke digital, dll.

Untuk itu, Kemdikbud jangan terjebak dalam kontradiksi “mengerti banyak hal tetapi tidak

mendalam (generalis)” atau “mengerti sedikit hal tetapi mendalam (spesialis)”, tetapi menyajikan

dasar-dasar pengetahuan (basic knowledge) secara menyenangkan, hingga siswa dapat membangun

sendiri system of knowledge-nya untuk memperkuat pilihan hidupnya. Bukankah hal ini merupakan

dasar dari SKS yang tertuang dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014? Bukan dengan

menghapus bagian integral penting dari suatu mata pelajaran, misalnya menghapus Kalkulus I dan II

dari bahasan Matematika, atau menghapus Kimia Analitik dari kajian Kimia, atau mengintegrasikan

mata pelajaran IPA di kelas 1, 2, dan 3 SD itu ke mata pelajaran lain. Semuanya itu hanya akan

mengacaukan system of knowledge dari sains itu sendiri. Siswa tidak akan mampu lagi menjawab

pertanyaan mendasar seperti “kenapa begini?”, “kenapa begitu?”, meskipun guru menggunakan

metode saintifik (5 M). Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan mundur?

Sebab dengan berjalan mundur, larva undur-undur itu sedang membuat sarang berbentuk kerucut

terbalik. Bentuk kerucut terbalik dari sarang larva undur-undur itu sebenarnya untuk memudahkan

mangsanya tergelincir masuk kesarang dan sukar untuk keluar atau melarikan diri lagi. Bukankah

undur-undur ini sudah menggabungkan prinsip Matematika dari kerucut dengan prinsip gaya dalam

Fisika. Kenapa ular berdarah dingin, sedangkan berang-berang (Lutra sumatrana) yang juga

membuat sarang di dalam tanah, justru berdarah panas? Kenapa langit berwarna biru?, dll

Kekeliruan pemahaman tentang makna kurikulum ini harus cepat dikoreksi oleh Mendikbud Anies

Baswedan, misalnya penerapan tematik integratif di SD dilakukan dengan mengintegrasikan IPA

pada mata pelajaran lain itu adalah keliru. Disamping menyulitkan siswa membangun system of

knowledge-nya sendiri (seperti sudah diuraikan di atas), pengintegrasian ini juga menyebabkan

terpelesetnya penerapan pendekatan saintifik (5 M) ini menjadi pendekatan logika. Misalnya siswa

yang bertanya kenapa bentuk atap rumah selalu miring? Akan dijawab gurunya dengan logika (bukan

dengan metode 5 M). Jawab yang umum muncul adalah supaya atap dapat mengalirkan air hujan

dengan cepat ke tanah. Salah besar. Padahal kalau guru mengamati kemiringan atap rumah dan

Page 134: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

122

132

menganalisa warna genting yang coklat itu, guru akan mengerti fungsi genting itu, yaitu menyerap

panas, sehingga jawab yang benar, kenapa atap rumah selalu miring adalah agar rumah tidak lembab,

oleh sebab itu kasur, pakaian, dan kamar mandi tidak berjamur.

Kesalahan pemaknaan arti kata “kurikulum” dan “kompentensi” bila tidak cepat dikoreksi,

dapat menjerumuskan Kemdikbud pada pencampur-adukan paedagogis dan didaktis, dan oleh

karenanya Kemdikbud bisa terjerumus mengamputasi undang-undang otonomi pendidikan

(meniadakan otonomi sekolah dan otonomi guru, seperti yang tertera dalam Pasal 77 M ayat 1 dan

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013) (Kemdikbud bisa menghapus semua ketentuan di Catatan kaki No.2)

Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena

banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu, otonomi

sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup terganggu.

Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam apapun visi dan

misinya. Apa yang mesti dikoreksi ?

1. Mendudukkan arti kata “kurikulum” yang sebenarnya, yaitu seperangkat pembelajaran yang

dipilih untuk diterapkan di suatu sekolah tertentu (sangat memperhatikan aspek lokalitas dan

kondisional suatu sekolah), karena ada upaya keras untuk “menyamarkan” arti kata

“kurikulum” menjadi “sistim pembelajaran yang dibuat oleh Kemdikbud dan wajib

dilaksanakan oleh semua sekolah”.

2. Merestrukturisasi system of knowledge dari berbagai mata pelajaran itu, karena pembaruan

kurikulum selama ini selalu diartikan sebagai imbuhan langkah inovatif dalam pembelajaran,

seperti penggunaan multi media dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga pembaruan

kurikulum selalu dikaitkan dengan ketersediaan LCD, TV dan komputer di kelas, dimana

guru tetap berceramah, paling-paling dilengkapi dengan metode diskusi atau presentasi siswa.

3. Merumuskan ulang perbedaan kompetensi dan tingkat kompetensi, perbedaan antara

kompetensi generik dengan KI dan perbedaan antara kompetensi spesifik dengan KD

sehingga pola penilaian atau evaluasi hasil belajar menjadi jelas, tidak berkali-kali diubah

(Lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A tahun 2013,

Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan

No.7915/D/KP/2014)

Bagaimana mengukur apakah system of knowledge itu terwadahi atau tidak, dalam perancangan

kurikulum baru ? Cukup melihat apakah masih ada materi/bahan ajar yang tidak ada di kurikulum

kita, padahal materi/bahan ajar itu merupakan mata uji di TIMSS, PISA dan PIRL. Dengan kata lain,

pembaruan kurikulum tidak boleh membuat kurikulum itu makin miskin. Pengetahuan

Page 135: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

123

133

mengenai sejarah pendidikan di negara kita merupakan prasyarat penting dalam penyusunan

kurikulum baru. Pemerintah perlu disadarkan bahwa apa yang sudah bagus di masa lalu, jangan

dihapus, karena penggantinya belum pasti lebih bagus dan belum teruji.

Bahan ajar/materi tidak boleh dikurangi, justru harus selalu ditambah, sesuai dengan tuntutan

jaman, sehingga mutu makin meningkat. Kemdikbud rupanya terjebak dalam dikotomi ini : “menguasai banyak hal, tetapi tidak mendalam”,

atau : “menguasai sedikit, tetapi mendalam”. Masalahnya bukan di situ, tetapi : “menguasai hal yang

mendasar secara mendalam”, misalnya teknologi informasi memang berkembang dengan sangat

cepat, dari sistim analog ke digital, namun ada teknologi mendasar yang harus dikuasai yaitu

tegangan ke frekuensi dan tegangan ke lebar pulsa sebagai system of knowledge yang tetap dan paten.

Ilmu Kimia berkembang sangat pesat, tetapi Kimia Dasar itu sifatnya tetap dan paten. Bahasa

Indonesia itu selalu berkembang, tetapi hukum k, p, t, s akan luluh bila mendapat imbuhan itu

sifatnya tetap. (Sisir kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menyisir (s luluh). Tari

kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menari (t luluh). Namun karena materi/bahan ajar

dalam Kurikulum 2013 makin miskin, maka hukum ini bisa tidak digubris lagi. Lihatlah : perkosa

kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi memperkosa (p tidak luluh), padahal seharusnya

adalah “memerkosa” (p luluh). Secara panjang lebar, hal ini sudah diuraikan dalam filsafat

perenialisme (lihat catatan kaki no. 40) di Bab I : Filosofi Pendidikan.

System of knowledge merupakan kegiatan pembelajaran holistik yang memerlukan perangkat

pendukung mengingat keterbatasan waktu penyampaian materi pokok yang sifatnya abstrak di kelas

Perangkat pendukung yang pertama adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak

di kelas itu menjadi riil (membumi), yang dikenal sebagai kegiatan ko-kurikuler. Misalnya guru

Fisika yang mengajar tentang listrik statis dan listrik dinamis, bisa langsung membuat demo tentang

listrik statis (adanya muatan listrik di setiap benda) dan menjelaskan listrik dinamis melalui gambaran

fungsi bendungan dalam PLTA (makin tinggi dinding bendungannya, makin besar energi potensial

air (Energi potensial = mgh), maka kalau pintu bendungan dibuka, air akan terjun mengalir deras

menggerakkan turbin yang ada di bagian bawah dan putaran turbin yang cepat itu akan menghasilkan

listrik (Energi kinetik = ½ mv² ). Namun kegiatan ko-kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan

Kurikulum 2013 dilakukan di rumah sehingga tidak bisa dikontrol siapa pembuatnya. Oleh sebab

itu, perubahan dalam shifting dari pemahaman konseptual ke pemahaman faktual kurang terasa

efektivitasnya (pemahaman siswa hanya sebatas konsep saja, semua rumus dihafal oleh siswa).

Perangkat pendukung yang kedua adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di

kelas itu menjadi mudah diasosiasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan intra

kurikuler. Misalnya guru Biologi yang mengajar tentang sistim peredaran darah akan membimbing

Page 136: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

124

134

praktikum bedah hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin sehingga siswa dapat melihat

langsung beda sistim peredaran darahnya. Guru Bahasa Indonesia yang akan memperkenalkan

musikalisasi puisi sebaiknya membimbing siswa untuk mencari lagu-lagu Franky and Jane di

YouTube (semua lagunya adalah puisi yang dinyanyikan (tembang puitik), seperti Musim Bunga,

Kepada Angin dan Burung-burung, dll), setelah siswa menemukan “pesan” dari tembang puitik ini,

baru kemudian mencari musikalisasi puisi yang lebih “berat” seperti musikalisasi puisi “Aku”

(Chairil Anwar) di YouTube. Tetapi sayangnya, kegiatan intra kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan

Kurikulum 2013 diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler, sehingga efeknya dalam mengasah cara

berpikir induktif dan deduktif kurang terasa manfaatnya karena kekurangan waktu (shifting dari

pemahaman konseptual ke pemahaman prosedural kurang terlihat efektivitasnya) Siswa sukar

menarik kesimpulan dari analisis hubungan antar berbagai fakta yang ada.

Perangkat pendukung yang ketiga adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di

kelas itu menjadi mudah diaplikasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan ekstra

kurikuler mata pelajaran/ekskursi (pengamatan di luar kelas). Misalnya guru Ekonomi yang

mengajar tentang beda antara monopoli dan oligopoli, tidak bisa dengan berceramah di kelas, mau

tidak mau, siswa harus ke pasar tradisional dan ke super market. Di pasar tradisional, siswa

mengamati siapa sebenarnya pemasok utama barang-barang yang dijual di sana, dan di super market,

siswa mengamati produk merk apa saja yang dipajang di rak. Tidak sembarang merk bisa masuk ke

super market. Tetapi kegiatan ekskursi ini dalam KTSP Bimtek dihapus dan dalam Kurikulum 2013

diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler melalui metode 5 M, sehingga efeknya dalam shifting dari

pemahaman konseptual ke pemahaman meta-kognitif kurang terasa manfaatnya. Siswa sukar

menerapkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, siswa

belajar tentang konservasi alam dalam Biologi tetapi lingkungan hidup tetap rusak, alam terus

menerus terdegradasi. Atau siswa membuat lubang biopori di daerah yang tidak ada air, lalu yang

mau diresapkan ke dalam tanah itu apa? Oh, nanti menunggu hujan. Kalau begitu jangan

menggunakan biopori, tapi back to nature, alam menyediakan hewan dan tanaman yang bukan sja

membantu peresapan air, bahkan mampu mengikat air, seperti cacing tanah (Ascaris lumbricoides),

jangkrik (Gryllus assimilis), capung (Neurothemis sp.), pohon kelor (Moringa oliefera), pohon

belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L), lamtoro gung/petai cina (Leucaena leucocephala), pinus

(Pinus merkusii), bambu (Bambusa arundinacea) tetapi tidak boleh menanam bunga bougenville

(Bauhinia purpurea L), kelapa sawit (Elaeis gunineensis), cemara (Casuarina equisetifolia) :

tanaman-tanaman yang banyak menghabiskan air tanah dan membuat lingkungan menjadi panas.

Perangkat pendukung yang keempat adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak

di kelas menjadi terinternalisasi dalam diri siswa, yang dikenal sebagai kegiatan anjangsana (kegiatan

Page 137: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

125

135

luar sekolah yang memerlukan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya). Misalnya guru Agama

mengajar tentang agama sebagai pembawa rahmat kehidupan (rahmatan lil ‘alamin), maka guru itu

tidak bisa berceramah, dia harus meminta muridnya mengamati tetangganya yang petani : panen 30

kuintal beras (3 ton beras), kalau harga gabah itu Rp.6.000 per kg, maka petani itu akan mendapat

Rp 18 juta per panen atau Rp 18 juta per 4 bulan. Berarti pendapatannya sebulan hanya Rp. 4,5 juta,

kalau dikurangi ongkos produksi (beli benih, beli pupuk, beli insektisida, dll), barangkali

pendapatannya hanya sekitar Rp. 1,5 juta per bulan atau Rp 50.000 per hari. Kalau petani itu

mempunyai dua anak yang masih sekolah, bagaimana mencukupkan uang itu untuk uang transport

dua anaknya ke sekolah, uang belanja bagi istrinya dan uang untuk kebutuhan pribadi sang petani

sendiri (beli solar untuk mesin bajaknya dll), lalu siswa diajak merenung : kalau begitu, siapa yang

masih mau jadi petani? Untuk memahami kenapa terjadi urbanisasi, tidak bisa dengan sekali atau

dua kali pengamatan, tapi perlu waktu yang cukup lama : “sementara sang suami mengadu nasib ke

kota, bagaimana si istri bisa bertahan hidup ?”. Maka kesadaran siswa untuk selalu bersandar pada

kerahiman Ilahi, tidak bisa hanya diperoleh melalui kegiatan kognitif pembelajaran Agama di kelas.

(bukan dengan memaksakan masuknya KI 1 dan KI 2 di semua mata pelajaran). Justru

kegiatan anjangsana yang penting untuk mengasah aspek afektif dan aspek kecakapan hidup siswa

ini yang malahan dihapus dalam KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013, sehingga kepekaan sosial siswa

tidak berkembang. Sudah jamak kita lihat, semua anggota keluarga duduk di ruang TV, tapi masing-

masing sibuk dengan gawainya (gadget-nya), tidak mengobrol dan tidak juga menonton TV, padahal

mereka duduk bersama. Bagaimana kepekaan sosial mau dikembangkan bila kemampuan untuk

berkomunikasi menurun drastis. Disinilah terlihat pentingnya kurikulum yang kontekstual

sebagaimana dituntut dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005.

Penghapusan mata pelajaran IPA di jenjang awal dan TIK pada semua jenjang di Kurikulum 2013

menunjukkan bahwa pemerintah tidak peka pada perkembangan sains dan iptek yang begitu pesat,

yang bisa menyebabkan negeri ini terjajah secara ekonomi dan tergantung secara teknologi dari

negara lain.

Maka dari itu, kompetensi etis menjadi jauh lebih penting dari kompetensi inti 1 (KI-1)100.

100 Kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah “kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban” dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan yang sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral. Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. (Pidato Kebudayaan Dr Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita”, TIM, 11 November 2013)

Page 138: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

126

136

Kompetensi etis itu mencakup :

- Compassion (kemampuan berbela rasa) Berempati dan membela mereka yang

termarginalkan, tersingkir dan tertindas. Bila kemampuan bela rasa ini dikembangkan, tidak

akan ada lagi perundungan (bullying) atau memusuhi mereka yang berbeda pendapat

- Kemampuan bekerja sama : masalah dalam dunia modern ini sangat kompleks dan tidak

mungkin dapat dipecahkan sendiri. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah

dunia yang lari tunggang langgang. 101

Dalam konteks inilah, pendidikan dapat berfungsi membebaskan, mencerahkan dan

menginternalisasikan nilai-nilai. Pengukuran kompetensi etis ini dalam PBK (penilaian berbasis

kelas) juga jauh lebih mudah dari KI-1 karena kompetensi etis ini sudah dirumuskan pada “18 Nilai

dalam Pendidikan Karakter”

Jadi tugas pokok pendidikan dalam kaitan dengan kompetensi adalah menciptakan

siswa yang mampu berpikir kritis. Untuk itu, sekolah membentuk dalam diri siswa disiplin dan keteraturan pikiran. Dengan demikian, kurikulum adalah sarana untuk memperkembangkan

dan memperdalam ilmu-ilmu sehingga dunia siswa menjadi semakin diperluas. Dalam arti ini, pada

tempatnya kalau kurikulum sekolah bicara tentang pentingnya “studium generale”, yaitu pengajaran

ilmu-ilmu dasar. Tanpa pemahaman ini, ada bahaya bahwa siswa yang menguasai bidangnya dan

mampu mengerti bidangnya (seturut “nomenklatur” kecerdasan dalam multiple intelligence), tetapi

tidak tahu menempatkan dirinya dalam konstelasi dunia yang utuh. Misalnya, Mayjen (Purn)

Bardosono, selaku Ketua PSSI di era Ore Baru, pernah mewacanakan adanya “sepak bola Pancasila”.

Atau mantan Mendikbud, Prof. Dr.Yahya Muhaimin, dengan disertasi yang berjudul “Bisnis dan

Politik di Indonesia” yang dipertahankan di MIT, ternyata ketahuan menyontek disertasi Dr Richard

Robinson : “Capitalism and Bureaucratic State in Indonesia”, kasus plagiarism ini sudah

dipublikasikan dalam buku “Plagiat-plagiat di MIT, Tragedi Akademis di Indonesia”, yang ditulis

oleh Dr. Ismet Fanany, diterbitkan oleh CV Haji Mas Agung, Jakarta, 1992, dengan ISBN : 979-

412-205-X. Di bagian inilah, kompetensi etis mempunyai peran vitalnya.

Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan membahayakan

konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang yang berijazah,

tetapi tidak “berilmu”. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrak-

imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.

101 Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 1

Page 139: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

127

137

Jadi kurikulum seyogyanya mengembangkan analisis esensi materi, yaitu bagian tentang

bagaimana kemampuan akademik itu diperoleh, apa syarat-syarat dan bukti-bukti kelulusannya,

sehingga penerapan ilmu itu dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Maka Kemdikbud tidak

bisa menghapus Ilmu Ukur Ruang (Stereometri) dari Matematika, karena konsekuensi lanjutannya

adalah menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi). Ilmu Bumi Falak (astronomi) tidak bisa dipelajari

tanpa mengerti dimensi ruang suatu benda. Begitu juga dengan penghapusan Kimia Analitik, yang

menyebabkan fungsi kimia dalam menganalisa komposisi suatu benda/zat menjadi hilang, akibatnya

kemasan makanan/obat yang mencantumkan komponen kimiawinya menjadi sekedar pemanis etiket

atau brosur. Dihilangkannya Ilmu Pesawat dari Fisika, yang menyebabkan siswa sukar mengerti apa

beda “gaya” dan “daya”, apa kaitan “gerak balistik” dan “gerak rotasi bumi”, dll. Fisika menjadi

sekumpulan rumus-rumus yang perlu dihafal sampai muncul buku “Kumpulan Rumus-rumus

Fisika”. Adanya lompatan logika dalam Biologi pada Kurikulum 2013, yang menyebabkan rantai

makanan sukar dipahami keterkaitannya dengan perubahan iklim (climate change) dll. yang hanya

menjadikan sains nir makna. Misalnya, penghapusan Kimia Analitik dari silabus Kimia akan

menjadikan Kimia eksperimental itu menjadi Kimia sastra, karena siswa tidak lagi bisa menentukan

kadar suatu zat (kadar perak dalam cincin emas yang dikenal sebagai karat akan dihafal). Tanpa

belajar Ilmu Pesawat, siswa akan bingung kenapa kalau dia berdiri di rel kereta, suara kereta yang

akan lewat tidak terdengar, sehingga dia bisa tertabrak kereta, Fisika hanya menjadi kumpulan dalil

dan aksioma.

Dalam kaitan dengan kompetensi ini, Indonesia mempunyai sejarah gemilang pada aplikasi

Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984, serta awal Kurikulum 1994, ketika

kurikulum kita menjadi rujukan bagi negara lain karena menjunjung tinggi kebebasan mimbar

akademik (seperti yang sekarang berlaku bagi dunia perguruan tinggi), dan ijazah kita diakui di luar

negeri karena kompetensi para guru kita juga memenuhi kualifikasi akademik yang “mumpuni”

sehingga diminta melalui perjanjian G to G untuk mengajar di negara lain.

Semuanya merosot sejak pemerintah mengupayakan :

- Penyederhaan waktu tempuh studi di FKIP/IKIP, dari 5 tahun menjadi 4 tahun, yang

kemudian dilanjutkan dengan pembubaran IKIP di seluruh Indonesia

Beberapa mata kuliah penting ikut dihapus : Filsafat Pendidikan, Manajemen Berbasis Kelas,

Praktek Mengajar dan penyederhaan praktikum (dari praktikum perorangan menjadi

praktikum beregu, dari praktikum seminggu sekali menjadi praktikum dua minggu sekali)

Sementara profesi lain menambah rentang studinya, calon guru justru studinya

diperpendek. S.Ked (Sarjana Kedokteran) tidak bisa serta merta menangani pasien, dia

Page 140: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

128138

harus menempuh pendidikan lagi untuk dapat dilantik sebagai dokter. SH (sarjana hukum)

tidak bisa langsung berdiri membela terdakwa di pengadilan, dia harus menempuh pendidikan

lanjutan untuk dapat menjadi advokat (pengacara). Tapi anehnya pendidikan untuk calon

guru yang akan mempengaruhi masa depan bangsa justru diperpendek dan IKIP justru

dibubarkan. Para instruktur yang hanya mendengar pelatihan selama 2 atau 3 hari,

sekonyong-konyong merasa mampu untuk mencampuri tupoksi dari LPMP dan mengubah

kebebasan prinsip otonomi pendidikan menjadi hegemonik.

Terjadi pendangkalan (cult of philistinism) dalam bidang didaktik dan pedagogik.

- Perubahan dari SMP menjadi SLTP, dan SMA menjadi SMU yang membawa konsekuensi

ciri khas sekolah menjadi hilang, karena sifatnya yang umum, semuanya serba sama, baik

dalam seragam sekolah maupun dalam proses pembelajaran di kelas

- Pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional mengabaikan tumbuhnya

kebebasan mimbar akademik 102 Bukan hanya implementasi kurikulumnya sama (Silabusnya

seragam, dan juga buku ajar/materi/sumber belajar, serta proses pembelajaran dibuat uniform

(buku pegangan guru, bahkan sampai ke metode pengajaran semuanya sama), lengkap dengan

pengawasan tahapan implementasi itu oleh Pengawas (lihat Catatan kaki No.4)

- Penghapusan Direktorat Pendidikan Swasta sehingga anggaran pemerintah membengkak

(mengurus guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta, dan dana BOS untuk sekolah

swasta, padahal sebelumnya sekolah swasta itu swadana dan swakelola, tidak membebani

pemerintah, bahkan menjadi pembayar pajak yang kontinu). Akibatnya pemerintah terbebani

pula dengan urusan administratif karena jumlah guru di sekolah swasta itu jauh lebih besar

dari guru PNS. Oleh karenanya pemerintah sibuk dengan urusan administratif (Dapodik,

Padamu Negeri) sehingga tidak sempat memikirkan dan menyusun SPM dan MBS

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas (SPM yang sudah disusun

hanya menyangkut persyaratan minimal kelengkapan sarana dan prasarana sekolah)103

Apalagi mengembangkan kurikulum, kurikulum kita justru makin miskin, baik dari segi

materi pelajaran, maupun dari didaktik-metodik (banyak guru tidak lagi tahu beda antara

metode, strategi dan model pembelajaran dan kapan masing-masing hal itu boleh diterapkan)

Hal ini makin dipersempit melalui penerapan metode tunggal : metode pendekatan saintifik

(5 M) pada Kurikulum 2013, padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model

pembelajaran dengan kegunaan yang bervariasi.

102 Kewajiban pemerintah sudah digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : hanya sebatas menentukan Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, seperti pada kurikulum-kurikulum sebelumnya 103 SPM yang top down hanya berisi persyaratan minimal kelengkapan proses belajar-mengajar : Permendikbud No. 23 Tahun 2013

Page 141: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

129139

- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 terlalu bertumpu pada pengembangan otak kiri. KTSP Bimtek (2008) bertumpu pada ketuntasan kognisi yang diukur dari ketercapaian

KKM, sedangkan Kurikulum 2013 bertolak dari pengembangan kecerdasan intelektual dan

kecemerlangan akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A

No. 3). Padahal Kurikulum 1975 sudah memasukkan penyeimbangan otak kanan dan otak

kiri (lihat kajian sejarah pendidikan Indonesia di Bab II Pendidikan vs Persekolahan).

Akibatnya pemahaman guru dan siswa dalam estetika menjadi minim. Susunan dan suasana

kelas nyaris sama di seluruh Indonesia, dinding kosong dan lingkungan yang kering.

Dari diagram di atas, nampak jelas bahwa Kemdikbud terlalu fokus berpijak pada otak kanan

(penyatuan kurikulum, intuisi untuk bersandar pada KBK dan bukan inspirasi yang mengacu

pada Nawa Cita No.5, imajinasi untuk peningkatan kompetensi siswa dan bukan pada analisa

hasil UKG dan analisa hasil uji kompetensi Pengawas, dll), padahal Kurikulum 2013 berpijak

pada otak kiri (Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3 : pendidikan

ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik)

Hasilnya adalah kebingungan :

* Membedakan makna harafiah “kurikulum” dengan makna didaktis pedagogis “kurikulum”

*Rumusan kompetensi dan tingkat kompetensi, kompetensi generik dengan KI dan

kompetensi spesifik dengan KD itu rancu

*SOLO Taxonomy tidak disertai dengan penilaian rubrik, tetapi tetap memakai Soal Pilihan

Ganda

*Sistim evaluasi berkali-kali diubah, tanpa menyertakan monitoring proses belajar

- Desentralisasi pendidikan yang menyebabkan pemerintah pusat cq Kemdikbud tidak punya

tangan lagi ke Dinas Pendidikan Propinsi (yang merupakan aparat Gubernur) dan Dinas

Pendidikan Kabupaten/Kota yang merupakan aparat Bupati/Walikota). Akibat kebijakan

yang berbeda-beda yang diambil masing-masing daerah, pendidikan menjadi subordinasi

Page 142: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

130140

kepentingan politik penguasa di daerah, yang perlu dimobilisir saat Pilkada, maka

kemerosotan pendidikan makin menurun tajam (lihat hasil survey berbagai lembaga

internasional tentang kualitas pendidikan kita pada bagian akhir dari Bab Pendahuluan)

Nampaknya pemerintah ingin menyentralisasi kembali dunia pendidikan ini melalui :

o pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional, mengabaikan azas

diversifikasi kurikulum

o pembentukan Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan, tanpa merevisi UU otonomi

Daerah, padahal para guru ada dibawah “kendali” BKD (Badan Kepegawaian Daerah)

cq Bupati/Walikota

Maka untuk meningkatkan kompetensi pengawas, guru dan siswa, yang pertama-tama harus

dilakukan adalah mengkaji ulang sejarah pendidikan kita. Dengan demikian, kita bukan saja akan

mendapat gambaran degradasi kurikulum kita dari waktu ke waktu, namun juga akan melihat tidak

adanya road map apa yang hendak kita kejar dengan anggaran 20% dari APBN itu, dan efek jangka

panjang dari suatu keputusan sesaat (pembubaran IKIP dan penghapusan program Akta IV (diganti

dengan Diklat sertifikasi (3 hari) yang hanya menyuburkan semangat konsumerisme dan konsumtif

para guru). Kemdikbud yang digembar-gemborkan telah membuat road map pendidikan Indonesia

untuk mengantisipasi bonus demografi melalui RPJM, ternyata tidak menjawab tantangan yang

paling mendasar yaitu banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA yang tidak

terdapat dalam kurikulum Indonesia 104 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang

makin merosotnya kualitas pendidikan kita sampai ke titik nadir, di bagian akhir Bab Pendahuluan)

Kita semua sadar bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk peningkatan harkat dan

martabat bangsa, namun mengapa kita terus terpuruk, juga dalam masalah moral dan etika. Kuncinya

adalah : kita tidak membangun masyarakat pembelajar.

Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Dicipline banyak orang terhenyak dan

menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada

pembelajaran. Kitapun terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah

merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita

sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari

sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau

menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta ”awareness” yang kurang terhadap

kemanusiaan, lingkungan, moral dan etika yang pada akhirnya membawa perlambatan

104 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada Lampiran Permendikbud No. 68 Tahun 2013 dan Lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2013

Page 143: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

131141

pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan . Misalnya semua orang sibuk berbelanja

gadget (gawai) meskipun tidak menguasai teknologinya. Bagaimana ekonomi Indonesia akan

membaik kalau penduduk suka berbelanja (kurang menabung) sehingga korupsi meraja lela karena

orang sibuk menutupi ”besar pasak dari tiang”. Bagaimana moral dan etika dapat dibangun bila para

anggota keluarga sibuk bermain gadget meskipun duduk bersama (tidak ada komunikasi meskipun

duduk berhadapan)? Pembaruan harus dimulai dari jenjang pendidikan dasar, celakanya justru di

pendidikan dasar, pemerintah merusak system of knowledge dari IPA dan Komputasi (TIK).

Menurut Francis Fukuyama, kalau mau bersaing secara global, sekolah harus mempunyai

keunikan tersendiri (harus bisa menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan sekolah-

sekolah internasional yang makin menjamur) Banyak sekolah yang berkilah bahwa keunggulannya

adalah dalam terapan aspek humaniora (disiplin, kejujuran, empati pada kelompok yang kurang

beruntung, dll) namun masalahnya semua hal itu tidak terukur sehingga hanya berhenti sebagai

slogan. Misalnya suatu sekolah menunjung tinggi nilai kejujuran tapi nyatanya kantinnya tetap dijaga

(tidak ada kantin kejujuran) atau ulangan tetap dijaga. Dengan kata lain, pendidikan karakter di

sekolah-sekolah tidak terintegrasi dalam program penilaian hasil belajar sehingga tidak sejalan

dengan ketentuan dalam Lampiran 1 (untuk SD), Lampiran 2 (untuk SMP) dan Lampiran 3 (untuk

SMA/SMK) dari Permendiknas No.23 Tahun 2006, serta Pasal 3 ayat 2 Permendiknas No. 39

Tahun 2008 yang meminta sekolah memformulasikan pendidikan karakter itu secara

kuantitatif (terukur). Yang muncul kemudian adalah tempelan Pendidikan karakter dalam

kurikulum melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 (Kompas, Kamis 23 Juli 2013 halaman 12 :

Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa Rasionalitas”). Akibat permendikbud ini yang

mewajibkan para orang tua untuk mengantar anaknya sampai ke ruang kelas, maka pada hari pertama

masuk sekolah tanggal 27 Juli 2015 yang lalu, di sejumlah tempat, orang tua berebutan bangku untuk

anak-anaknya. Mereka menduduki bangku di kelas terlebih dahulu, seperti para calo di gerbong

kereta jaman dulu. Itulah pelajaran budi pekerti pertama untuk anak-anak : saling serobot (Kompas,

Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa – Akal Sehat)

Pendidikan karakter ini bukan penilaian sesaat sehingga tidak tergolong dalam evaluasi hasil

belajar. Tapi pendidikan karakter ini harus selalu dimonitor terus menerus sehingga termasuk dalam

proses monitoring proses belajar yang berwujud pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Karena

pendidikan karakter itu tergolong dalam penilaian proses, maka penilaiannya tidak bisa diterabas,

penilaian itu bukan ilusi (bahwa anak yang pandai itu sekaligus diharapkan akan menjadi anak yang

saleh. Belum tentu. Ada proses yang harus dilalui). “Dunia entertainment memberi andil,

bagaimana ilusi menjadi imajinasi. Di televisi, orang tua mendorong anak-anaknya untuk jadi

penyanyi, penari, pelawak, dan lain-lain pelaku dunia hiburan. Realitas gadungan dunia

Page 144: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

132

142

entertainment telah membuat ilusi melampaui kenyataan sehari-hari, melampaui kesadaran bahwa

sejatinya ada yang tak bisa ditinggalkan dalam penjadian seseorang, yakni proses”. (Kompas,

Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa – Akal Sehat).

Masalahnya banyak guru tidak familiar dengan PBK (rapor lembar kedua pada rapor

Kurikulum 2013) sehingga penilaian pendidikan karakter ini dilakukan secara manual dan subyektif

(tidak computerized), oleh karenanya kompetensi siswa hanya diukur melalui capaian pemahaman

kognitif melalui nilai ulangan (UH, UTS dan UAS), serta capaian nilai ketrampilan/psikomotor (nilai

tugas : nilai proyek dan nilai praktek) saja, nilai afektif (pendidikan karakter) itu dikarang.

Pendidikan holistik dan penilaian pendidikan holistik masih belum terumuskan dengan baik dan

terukur. Kenapa ? Karena Indikator Keberhasilan belum terumuskan dengan baik. Indikator

Keberhasilan itu seharusnya ada di Silabus, sedangkan Silabus dalam Kurikulum 2013 sudah dibuat

oleh pemerintah cq Kemdikbud. Celakanya dalam Silabus yang dibuat oleh pemerintah itu tidak

mencantumkan adanya Indikator Keberhasilan sehingga Silabusnya tidak berbeda dengan Silabus

KBK (2004). Lalu selama bertahun-tahun setelah KBK (2004), dalam Kurikulum 2006 dan KTSP

Bimtek(2008), para guru diwajibkan untuk mengembangkan Silabus sesuai tuntutan Standar Proses

dalam Kurikulum 2006, dan KTSP Bimtek (2008). Semuanya hilang dalam Kurikulum 2013, seolah-

olah sesuatu yang baru. Apa akibatnya? Karena Indikator keberhasilan terkait dengan perumusan

materi uji (soal test), maka soal test dalam Kurikulum 2013 menjadi tak terkait dengan target

kurikulum, sehingga program penilaiannya membingungkan (Program penilaian dalam Kurikulum

2013 ini berkali-kali diubah : lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu Lampiran IV

Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan terakhir Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen

Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 yang secara matematis kesemuanya salah)

Dengan kata lain, Kurikulum 2013 mencampur adukkan proses belajar dan evaluasi hasil belajar.

Misalnya : Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA

SK 1 : Memahami yang tersirat dari siaran/cerita yg disampaikan langsung/tidak langsung 105

KD 1.1 : Siswa dapat menyusun kronik 106

Indikator 1.1.1.: Siswa dapat menyusun buku harian (diary) secara runtut

Indikator Keberhasilan 1.1.1. : Siswa dapat membuat jadwal kegiatan yang rinci sepanjang

hari selama 1 minggu dan menceritakan secara ringkas apa yang sudah dilakukan

Tugas praktek : Membuat resume (misalnya membuat ringkasan setelah membaca buku

harian Raditya Dika : Kambing Jantan, yang sudah diterbitkan Gramedia dan sudah

105 Perumusan SK mengacu pada Kurikulum 2006 dan bagaimana merumuskan SK yang terdiri atas penggabungan kata kunci KI pada Kurikulum 2013 dan SK pada Kurikulum 2006, dapat dilihat di Bab I : Filosofi Pendidikan 106 KD yang hilang dari kurikulum (lihat caranya mencari KD yang hilang tersebut dalam Bab I : Filosofi Pendidikan)

Page 145: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

133

143

dibuat filmnya)

Tugas Proyek : Membaca buku harian yang paling terkenal di dunia : The Diary of Young

Girl oleh Anne Frank, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan

judul “Buku Harian Anne Frank”, filmnya juga bisa dilihat di YouTube, lalu

menceritakannya kembali secara singkat sehingga teman-temannya yang belum sempat

membacanya mendapat gambaran bahwa disamping menyimpan heroisme, perang juga

selalu menyisakan kepedihan.

Dengan demikian, setelah 1 minggu, siswa dapat membedakan apa itu kronik (chronicle), kronologi

dan grafis informasi (infografis) – siswa dapat melanjutkan ke KD berikutnya karena telah menguasai

KD 1.1. : siswa telah kompeten (kompetensi siswa terukur) karena telah melewati proses untuk

memahami apa yang tersirat (bukan hanya yang tersurat).

Kompetensi siswa dapat diukur kalau silabus dikembalikan ke wewenang guru sebagaimana

disebut dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005. Selama silabus dibuat oleh pemerintah seperti pada

Kurikulum 2013, selama itu pula pengukuran kompetensi siswa akan selalu kacau, karena rangkaian

logikanya terputus, bahkan besar kemungkinan, para guru tidak bisa membedakan makna harafiah

“kurikulum” dengan makna didaktis-paedagogis “kurikulum”, serta tidak bisa lagi membedakan

kompetensi dan tingkat kompetensi, yang sudah diuraikan secara panjang lebar di Bab I Filosofi

Pendidikan.

Jadi kompetensi (kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa : - bukan berupa KI 1 (sikap spiritual), KI 2 (sikap sosial), KI 3 (pengetahuan) dan KI 4

(ketrampilan) yang tidak koheren dengan rumusan KD-nya

- tetapi berupa 6 kompetensi) inti yaitu : berpikir kritis dan solutif

kolaborasi dan komunikasi

kreatif dan imajinatif

menjadi warga negara yang baik

literasi digital

kemampuan memimpin

namun keenam kompetensi (kemampuan) ini kerap luput dalam pembahasan Kurikulum 2013

Ada kecemasan, bila guru kreatif mengembangkan metode pembelajaran, akan dinilai tidak sesuai

standar oleh pihak yang lebih tinggi (Pengawas dan Dinas Pendidikan). Dampaknya, murid tidak

mampu berinovasi. (Gumawang Jati, ITB, dalam lokakarya Core Skill yang diselenggarakan oleh

GESS Indonesia (Global Education Service and Solution ) pada hari Jumat 2 Oktober 2015 yang lalu.

Bahaya serius yang lain adalah sikap menutup diri dari sekolah swasta yang berciri khas

keagamaan, setelah kompetensi siswanya menurun. Mereka berkilah, perguruan swasta yang berciri

Page 146: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

134

144

khas keagamaan itu lebih menitik beratkan pada pendidikan humaniora. Lagak sok moralis ini hanya

menunjukkan kegagapan sekolah swasta dalam menghadapi perubahan (Catatan kaki No.92+ No.100

Hal ini mengingkari :

1. Hakekat sekolah swasta yang berciri khas keagamaan, yang berazaskan pendidikan berbasis

masyarakat, dengan dasar hukum Pasal 1 ayat 16 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) :

“Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan

kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan

pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat”, dan Pasal 55 ayat 1 UU Sisdiknas :

“Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan

formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk

kepentingan masyarakat”.

2. Dari rincian dasar hukum di atas, nampak jelas bahwa eksistensi sekolah swasta berciri khas

keagamaan itu adalah “untuk masyarakat” , bukan untuk kelangsungan eksistensi dirinya

sendiri. Lalu apa kepentingan masyarakat? “Memperoleh pendidikan yang bermutu, yang

kualitasnya dijamin oleh negara”, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 11 : “Pemerintah dan

Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”

3. Dengan demikian, bila sekolah swasta yang berciri khas keagamaan mengingkari tanggung

jawabnya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu, dan kemudian lebih

menekankan pada pendidikan humaniora, maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan

itu sebenarnya sudah bergeser jati dirinya dari “lembaga pendidikan berbasis masyarakat”

menjadi “lembaga pendidikan keagamaan” sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat 2 UU

Sisdiknas : “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya”. Sebagai

konsekuensi dari perubahan orientasi pendidikan ini, dari “sekolah swasta yang bermutu”

menjadi “sekolah swasta berbasis humaniora” (nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan),

maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan itu bisa ditinggalkan oleh konsumennya,

yang menuntut pendidikan yang bermutu sesuai dengan sejumlah uang yang dibayarkannya.

Sekolah swasta tidak boleh bermain-main dengan visi dan misinya (untuk turut serta

mencerdaskan kehidupan bangsa), sehingga dapat mempertanggung jawabkan dana BOS dan

tunjangan sertifikasi guru yang telah diterimanya, yang nota bene merupakan uang rakyat.

Pengembangan inovasi adalah salah satu prasyarat untuk dapat memanfaatkan bonus demografi yang

akan terjadi antara tahun 2010 dan 2030, ketika penduduk usia produktif merupakan proporsi

Page 147: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

135

145

terbanyak dari populasi Indonesia. Prasyarat lainnya adalah memperbaiki kualitas pendidikan

melalui peningkatan kompetensi generasi muda sesuai dengan Nawa Cita No.5

Untuk memperbaiki fondasi ekonomi, Jokowi mencanangkan 16 komitmen ekonomi dalam

Nawacita. Salah satunya adalah peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan 12 tahun.

Pertanyaannya, apakah kita mampu menjalankan 15 komitmen ekonomi dengan pendidikan hanya

12 tahun? Bagaimana mungkin kita menargetkan pendidikan hanya sampai 12 tahun, sementara

fakta menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penduduk yang pendidikannya kurang maju

dengan kemampuan berinovasi. Tak mungkin kita bisa meraih bonus demografi dengan hanya

mengandalkan pendidikan 12 tahun. Perlu ada program ekstra mengingat kondisi faktual SDM kita.

Sampai Sensus tahun 2010, hampir 70 persen penduduk berpendidikan SMP kebawah, yang

berpendidikan SLTA tidak sampai 30 persen. Selain kualitas SDM yang rendah, komitmen

pemerintah dalam mendorong kemampuan penduduk untuk berinovasi juga rendah. Terlihat dari

nilai investasi Indonesia di bidang penelitian yang hanya 0,08 persen dari PDB, sementara Korea

Selatan, investasinya hampir 4 persen.

Pada akhirnya, yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi sekarang adalah memperkuat

kelemahan modal manusia dengan bertumpu pada peningkatan ketrampilan dan kompetensi

penduduk pada umumnya. Salah satu upayanya adalah memperluas pendidikan yang menghasilkan

tenaga kerja trampil melalui program diploma (D-3) dan S-1, serta secara selektif mengembangkan

pendidikan tinggi. Ada banyak potensi dan nilai strategis Indonesia, ia tidak menjadi apa-apa

bila tidak dikelola oleh mereka yang kompeten. (Kompas, Selasa 6 Oktober 2015, halaman 7 :

Menimbang Masa Depan).

Justru dalam rumusan kompetensi inilah titik lemah dari Kurikulum 2013. Rumusan

Kompetensi Inti tidak memenuhi kriteria pengembangan daya saing siswa sebagaimana sudah

dirumuskan guru besar Harvard, Tony Wagner : From The Global Achievement Gap: Why Even Our

Best Schools Don’t Teach The New Survival Skills Our Children Need—And What We Can Do About

It (Basic Books, 2008) dan tidak memenuhi kriteria GESS (Global Education Service and Solution)

sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Dengan kata lain, pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 saat ini sungguh-sungguh tidak sejalan

dengan Nawa Cita No.8 : “akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan

mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan” Ada bahaya, kegagalan “revolusi mental”

bisa ditimpakan ke jajaran Kemdikbud, karena Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya

sendiri (terus memaksakan penerapan barang basi (Kurikulum 2013 yang sebenarnya berbasis KBK)

bikinan rezim yang lama, dan abai pada visi Presiden (Nawa Cita), lupa pada Pidato Presiden saat

pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Para menteri mesti mengutamakan

Page 148: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

136

146

visi dan misi Presiden, bukan menjalankan visi dan misi kementeriannya sendiri” Jadi, penataan

kembali kurikulum pendidikan nasional mutlak harus dilakukan (lihat Nawa Cita No.8)

Kenapa kompetensi dan tingkat kompetensi ini kurang diperhatikan oleh Puskurbuk

Kemdikbud? Karena suburnya kelompok pseudo nalar (iklim akademik semu yang memuja

formalisme gelar) dalam jajaran Kemdikbud yang pelan-pelan mengubah lembaga pendidikan

(sekolah) menjadi tempat pemujaan gelar akademik. Semua guru memang sudah bergelar sarjana,

tapi dibina untuk menjadi sekedar robot (guru hanya tinggal menyusun RPP saja, lupa pada Pasal 77

M PP No.32 Tahun 2013) Sekolah hanya disibukkan dengan pengisian Dapodik dan mengejar

tunjangan sertifikasi yang tak terkait dengan kompetensi atau kinerja guru, tapi sangat terkait dengan

ijazah atau gelar akademik yang didapat. Guru yang berpengalaman menyusun kurikulum dan

mengajar selama puluhan tahun dikalahkan oleh sekelompok orang muda yang merasa berkompeten

menjadi instruktur, meskipun mereka tidak pernah berinter aksi di ruang-ruang kelas pendidikan

dasar dan menengah (hanya sekedar mengajar di perguruan tinggi dan tidak menulis di jurnal-jurnal

ilmiah internasional). Para empu kesenian dan sosiologi yang tak bergelar dianggap tidak layak

berbagi ilmu (mengajar). Dilain pihak, para “ahli” di jajaran birokrasi Kemdikbud, bukannya sibuk

dengan riset dan terbuka pada pengetahuan baru, pada ciptaan akal budi yang mencerahkan agar

generasi muda kita dapat menghadapi MEA 2015 dan APEC 2020, tapi malah sibuk dengan masalah

administrasi dengan pendekatan kekuasaan. Lihatlah narasi Direktur Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA, Kemdikbud, Sudiono, yang meminta guru

tak mengkhawatirkan perolehan nilai dalam Uji Kompetensi Guru. Hasil UKG tidak akan

mempengaruhi apapun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan kompetensi

(Kompas, Rabu 11 November 2015 halaman 11)

- Terminologi “uji” dan “uji kompetensi” sudah kehilangan maknanya. Terjadi pemujaan pada

pendangkalan (cult of philistinism) secara masif dan terstruktur

- Hasil UKG hanya akan menelurkan proyek baru yaitu diklat baru, lalu diklat yang sudah

diselenggarakan saat sertifikasi guru dulu itu untuk apa?

- Kita hanya menghargai gelar, bukan isi kepala. Memang semua guru sudah bergelar S-1 tapi

tidak ada tuntutan apapun dari Kemdikbud agar para guru itu lolos UKG

Kita menutup mata pada hasil implementasi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal

menyusun RPP) yang tercermin pada hasil UKG 2015 yang kesulitan dijawab guru. Kalau gurunya

tidak kompeten, bagaimana dengan murid-muridnya yang harus menghadapi MEA 2015 dan APEC

2020? Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang

yang berijazah, tetapi tidak “berilmu”

Page 149: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

137

147

BAB V

Kompetensi vs Penilaian

Banyak yang terkaget-kaget dengan perubahan baru dalam dunia pendidikan kita :

(1) Setiap anak SD harus naik kelas, bukan saja akibat penerapan Wajib Belajar, tapi yang lebih

penting adalah penerapan Multiple Intelligence sejak dini (Tidak ada anak yang bodoh atau

pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan).

Jadi anak hanya perlu mengulang (remedial) untuk mata pelajaran yang belum dikuasainya.

Bila ditambah dengan perubahan konversi nilai rapor menjadi IP, bukankah hal ini merupakan

cikal bakal dari penerapan SKS di SD ? (EDUCARE No.6/IV/2007 halaman 36-38 :

“SEHABIS KTSP LALU APA? SKS!”).

(2) Perubahan rumus KKM dengan dihapuskannya tes masuk ke SMP dan dibukanya penjurusan

sejak awal di SMA (Intake sekarang diambil dari rerata nilai ulangan pertama di kelas VII di

SMP atau kelas X di SMA). Lalu untuk mudahnya KKM ditetapkan melalui kesepakatan

Dewan Guru (tidak lagi dihitung berdasar ranah Indikator) sehingga KKM kehilangan

konteksnya dengan esensi materi.

Oleh sebab itu, sungguh menarik untuk membaca berita : “Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 –

Kemdikbud dinilai Lamban Melatih Guru” (Kompas, 24 Januari 2014 hal.12), dimana Wapres

mengakui, masih ada sejumlah persoalan dan kekurangan dalam Kurikulum 2013 ini, terutama terkait

penilaian guru terhadap peserta didik. Mencermati berita ini, nampak bahwa permasalahan

kurikulum dipersempit menjadi kekurang pahaman pada prosedur penilaian (evaluasi hasil belajar).

Kalau masalahnya hanya dilihat pada penguasaan metode evaluasi hasil belajar, maka ada tiga

kemungkinan yang terjadi : pedoman penilaian yang digariskan Kemdikbud itu salah secara

substansi, para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai, atau para guru menerapkan paradigma

model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada

Kurikulum 2013.

A. Pedoman Penilaian Salah Secara Substansi

Kalau kita menyimak halaman 38 Buku Pedoman Penilaian yang digariskan Balitbang

Kemdikbud atau Pedoman Penilaian yang dikeluarkan MKKS , atau rumus dari Puskurbuk

Balitbang Kemdikbud, ada 4 kesalahan mendasar :

1. Kesalahan pertama adalah pada konversi nilai : Konversi nilai dari 0-100 menjadi IP : 0-4

memunculkan masalah rumus konversi.

Page 150: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

138

148

Pada Buku Pedoman Penilaian Balitbang Kemdikbud tertulis : Rumus konversi = Nilai/100

x 4 atau Nilai/25, dengan contoh Nilai : 80, IP-nya = 80/100 x 4 = 3,20 atau 80/25 = 3,20

dengan predikat B⁺

Sedangkan dalam pedoman MKKS tertulis : Nilai 80, IP-nya = 3, tanpa menyertakan rumus konversi

(dengan asumsi IP : 2,66 setara capaian daya serap 71% atau KKM : 71 itu setara predikat C. Maka

asumsi kalau IP : 2,66 setara dengan daya serap 75% atau KKM-nya tetap 75 itu salah, karena berarti

nilai 80 ≠ IP : 3). Ada pula rumus yang diajukan oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud yang

menyatakan bahwa guru tidak usah mengkonversi nilai, cukup membuat soal dengan jumlah

kelipatan 4, jadi kalau soal = 40, maka kalau siswa salah menjawab di 10 soal, nilainya: 3. Hal terbaru

adalah rumus yang diajukan oleh Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen melalui Peraturan Bersama

Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N

= n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x 100 (untuk angka puluhan)

Sudah tentu keempat pedoman di atas salah karena :

(a) kalau mengikuti rumus Balitbang Kemdikbud (hal.38 Buku Pedoman Penilaian) : bila Nilai

= 50, maka konversinya adalah 50/100 x 4 = 2 atau 50/25 = 2 dengan predikat C, artinya

siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial), meskipun nilai 50

itu, jauh dibawah KKM (KKM menurut Kemdikbud/Dinas Pendidikan = 75).

Bila Kemdikbud berkilah bahwa batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi,

karena untuk lolos, siswa harus meraih IP : 2,67 (padahal secara internasional dan juga lazim

dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)

(b) kalau mengikuti rumus dari MKKS : bila Nilai = 60, maka konversinya adalah 2,25 dengan

predikat C⁻ , artinya siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial),

meskipun nilainya dibawah KKM (nilainya cuma 60) (KKM menurut MKKS adalah 75 atau

KKM asumsi yaitu 71). Logika yang sama dengan butir (a) di atas, MKKS berkilah bahwa

batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi, karena untuk lolos, siswa harus

meraih IP : 2,66 (padahal secara internasional dan juga dipakai di perguruan tinggi, batas

lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)

Mari kita kaji lebih rinci : 2,66 atau lazimnya ditulis 2,67 ~ 75 %

3,00 ~ 80 %

3,33 ~ 85 %

3,67 ~ 90 %

4,00 ~ 95 %

?? ~ 100 %

Page 151: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

139

149

(c) Sedangkan kalau mengikuti rumus Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, maka siswa yang

menjawab salah di 20 nomer dari 40 nomer soal akan mendapat nilai 2 (lolos tanpa perlu

remedial). Padahal dimana-mana, kalau siswa salah 50% (nilainya hanya 50, adalah siswa

yang tidak mengerti, seharusnya tidak lolos (Nilai 50 : dibawah KKM yang digariskan sendiri

oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, yaitu : 75) Untuk lolos, sebenarnya kriterianya sudah

diturunkan, siswa hanya perlu menguasai 75% dari materi ajar. Dalam kurikulum lama

(Kurikulum 1968 dan Kurikulum 1975) dan juga dalam SKS, siswa seharusnya menguasai

100% bahan ajar/materi, baru bisa melanjutkan ke topik atau KD berikutnya. Jadi penguasaan

75% dari materi/bahan ajar itu sudah diturunkan dari standar Kurikulum 1968, Kurikulum

1975 dan SKS yang mensyaratkan penguasaan materi/bahan ajar 100% sebelum bisa

melanjutkan ke topik berikutnya.

(d) Kesalahan dari Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014

dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N = n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x

100 (untuk angka puluhan)

N = n/4 x 10 N x 4 = n x 10 N/10 x 4 = n ,rumus ini sama dengan IP = N/10 x 4

N = n/4 x 100 N x 4 = n x 100 N/100 x 4 = n,rumus ini sama dengan IP = N/100 x 4

Kesalahannya persis sama dengan butir (a) di atas

Kesalahan lebih mendasar terletak pada interpretasi tabel (siswa merugi)

Tabel 1 (untuk SD) : C : 51 – 64 dengan IP : 2,18 – 2,50

Interval C : 51 – 64 itu masih dibawah KKM : 75

Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 65 – 86), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)

Tabel 2 (untuk SMP) : C : 4,63 – 5,44 dengan IP : 1,85 – 2,17

Interval C : 4,63 – 5,44 itu masih dibawah KKM : 7,50

Kalau digunakan KKM : 7,50 (interval nilai 7,13 – 7,94), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)

Tabel 3 (untuk SMA/SMK) : C : 47 – 55 dengan IP : 1,85 – 2,17

Interval C : 47 – 55 itu masih dibawah KKM : 75

Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 70 – 77), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)

Siswa merugi, untuk lolos, sesuai batas KKM, siswa harus mencapai IP yang tinggi (IP > 2)

padahal secara internasional dan juga lazim dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP

= 2 dengan KKM =75 atau C (bukan IP = 2,85 atau B). Kalau tidak digunakan batas KKM,

interval nilai C-nya tidak memenuhi kaedah didaktik (nilainya < 60)

Page 152: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

140

150

2. Kesalahan kedua adalah pada Tabel Konversi Nilai : setiap jenjang perubahan nilai berskala

5, maka KKM menjadi : ± 5 (KKM : 71-75), sehingga Nilai : 80 itu ~ B (2,66), bukan 3,20

(seperti kesalahan perhitungan Balitbang Kemdikbud) atau 3 (seperti kesalahan perhitungan

MKKS) atau 3,2 (menurut kesalahan perhitungan Puskurbuk Balitbang Kemdikbud).

Dengan demikian, kalau menggunakan rumus Disain Kurikulum Digital, semua siswa yang

mendapat nilai > KKM (nilai > 75), otomatis akan mendapat B (masuk di rentang nilai 76 -

80 dengan IP : 2,34 – 2,66). Maka IP : 2,67 ~ nilai : 81 (B⁺) Bandingkan dengan rumus

MKKS di atas : 2,66 ~ 75% (siswa rugi, karena dalam rumus Disain Kurikulum Digital : 2,66

~ 80%)

3. Kesalahan ketiga adalah pada bobot nilai Proyek yang disamakan dengan bobot nilai

Praktek, padahal guru tidak pernah tahu (uncontrolled) : siapa yang sebenarnya membuat

tugas praktek itu, bisa saja siswa menyalin dari temannya atau tugas praktek itu dibuatkan

orang lain sebagai konsekuensi dari tugas praktek yang dibawa pulang (dikerjakan di rumah).

Oleh sebab itu, bobot nilai Proyek harus berbeda dengan bobot nilai Praktek. Biasanya bobot

Tugas Tidak Terstruktur itu maksimal 15% dari bobot Tugas Terstruktur, sesuai dengan

pedoman yang digariskan dalam Diklat Sertifikasi guru.

Penyebutan kata “proyek” menandakan bahwa Kurikulum 2013 itu kurikulum yang berbasis

proyek (project-based learning) sehingga seharusnya penilaiannya menggunakan penilaian

rubrik (penilaian kinerja siswa), dan tidak bisa menggunakan soal Pilihan Ganda lagi.

Dalam revisi terbaru, Nilai Ketrampilan diganti menjadi Nilai Praktek, karena rupanya

Puskurbuk rancu dengan penilaian pada SMK (Nilai Pengetahuan dianggap sama dengan

Nilai Teori dan Nilai ketrampilan dianggap sama dengan Nilai Praktek).

Padahal ada istilah khusus pada sekolah umum : Nilai Tugas Terstruktur (KTSP Bimtek

(2008) diganti menjadi Nilai Proyek (Kurikulum 2013) dan Nilai Tugas Tidak Terstruktur

(KTSP Bimtek (2008) diganti menjadi Nilai Praktek (Kurikulum 2013)

Guru-guru dari sekolah umum (SD, SMP dan SMA) pasti bingung dengan kerancuan istilah

ini (Nilai Ketrampilan disamakan dengan Nilai Praktek dalam revisi terbaru)

4. Kesalahan keempat adalah dikaitkannya Sikap Sosial dan Spiritual dengan Nilai, sehingga

siswa dengan nilai Matematika tinggi : bisa dianggap saleh, atau siswa dengan nilai IPA

rendah : bisa dianggap kurang beriman. Padahal di halaman 40 Buku Pedoman Penilaian

Kemdikbud secara tegas dinyatakan bahwa penilaian sikap diperoleh dari hasil observasi guru

(Penilaian Berbasis Kelas yang datanya diambil secara langsung oleh guru sendiri), penilaian

siswa sendiri (portofolio siswa), penilaian teman (Tutor sebaya menggunakan Penilaian

Berbasis Kelas) dan penilaian rekan sejawat (yang datanya diperoleh dari Penilaian Berbasis

Page 153: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

141

151

Kelas yang diambil oleh guru lain pada kelas yang terkait), serta jurnal guru. Penilaian sikap

spiritual seharusnya menggunakan SQ (spiritual quotient) dan penilaian sikap sosial

semestinya memakai kecerdasan kewargaan : CQ (civic quotient) yaitu pengembangan rasa

“empati” dan ”bela rasa” yang dimonitor dalam live in.

Dengan demikian, penilaian Sikap tidak boleh dikaitkan dengan nilai (evaluasi hasil belajar), tapi

diperoleh dari monitoring proses belajar pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas).

Lalu bagaimana benarnya? Sesuai dengan namanya : evaluasi hasil belajar terfokus pada capaian

kompetensi hingga harus mengacu pada Catatan Kompetensi (konversinya menggunakan CK Nilai

Rapor, CK Pengetahuan dan CK Ketrampilan) dan monitoring proses belajar harus mengacu pada

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) berbasis SKL dan Pendidikan Karakter. Semuanya harus

menggunakan program excell sehingga narasinya terprogram (computerized), narasi tidak boleh

dikarang-karang, karena akan menjadi sangat subyektif, bukan penilaian otentik lagi.

B. Para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai

Perubahan paradigma dari penilaian per KD pada KTSP menjadi penilaian berbasis KI pada

Kurikulum 2013 menyebabkan para penatar gamang akan apa yang menjadi basis datanya, yang

tercermin dari kesalah-pahaman tentang makna penilaian portofolio.

Kalau para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai dalam penilaian guru, penilaian siswa

dan penilaian rekan sejawat, serta penilaian portofolio : apakah penilaian itu menggunakan penilaian

kompetensi (mengingat kurikulum mencantumkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar

(KD) (harus menggunakan statistik nonparametrik dan program excell dengan konversi pada

nilai rapor, nilai pengetahuan dan nilai ketrampilan (nilai praktek), atau penilaian kinerja

(mengingat kurikulum mencantumkan penilaian potensi siswa)(harus menggunakan penilaian

rubrik), atau penilaian performance siswa (mengingat kurikulum mencantumkan penilaian aspek

sikap sosial dan spiritual)(harus menggunakan excell untuk monitoring proses belajar), maka

akar masalahnya harus ditelusur pada perumusan Indikator Keberhasilan di dalam Silabus. Jika

Kegiatan Pembelajaran di Silabus Kurikulum 2013 tidak diiringi dengan rumusan Indikator

Keberhasilan, maka bagaimana mungkin guru dapat menyusun soal-soal (evaluasi hasil belajar) yang

memenuhi skala dalam program ITEMAN (program untuk menganalisis butir soal)? Bisa-bisa

proporsi jawaban pada setiap option dan tingkat kesukaran butir soal tidak jauh berbeda (soal-soal

UH, UTS atau UAS tidak bisa membedakan siswa yang kemampuannya dibawah rata-rata, siswa

yang mempunyai kemampuan rata-rata, dan siswa yang kemampuannya diatas rata-rata). Akan ada

banyak soal yang harus direvisi atau ditolak oleh komputer melalui program ITEMAN (ANATES

Page 154: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

142

152

dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital). Kerumitan

ini akan berlanjut bila guru tidak mampu membedakan antara Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal

(KKM) dan Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal (KKI) sehingga siswa siswi dari kelompok “sedang”

disatukan dalam program remedi bersama siswa siswi dari kelompok “kurang”, dan siswa yang sejak

awal sudah mencapai KMM, atau lebih dari KKM, ternyata tidak mendapat program pengayaan.

Padahal kebanyakan masalah pembelajaran timbul karena tidak adanya tindakan yang

diambil untuk mengatasi kelemahan atau kelebihan siswa sejak awal. Oleh karena itu,

pembelajaran yang dirancang oleh guru sebaiknya mempunyai mekanisme untuk membetulkan

kelemahan dan memacu kelebihan yang ada, sehingga siswa dapat menguasai pembelajaran dengan

baik. Pemetaan kelas dengan menggunakan Multiple Intelligence mutlak harus dilakukan. Pola

manajemen kelas inilah yang hilang dalam pelatihan penerapan Kurikulum 2013 sehingga guru tidak

tahu apa yang harus dinilai. Penilaian aspek kognitif disamakan dengan penilaian pengetahuan

(knowledge), penilaian aspek psikomotor disamakan dengan penilaian ketrampilan (skill) dan

penilaian aspek afektif disamakan dengan penilaian sikap (attitude). Anak yang tidak menguasai

Matematika dianggap “bodoh”, padahal mungkin bakatnya di bidang musik. Kerancuan lain muncul

pada penilaian Kompetensi Inti 1 (KI 1) yang berbunyi : “Menghargai dan mengamalkan ajaran

agama yang dianutnya”. Tafsir yang berkembang bisa menjadi modus baru penggabungan aspek

kognitif dan akhlak mulia, sehingga anak yang mendapat nilai matematika bagus bisa “dianggap”

sebagai anak yang saleh atau anak yang sangat jujur. Belum tentu kenyataan di lapangan

menunjukkan hal itu! Bisa saja siswa yang mendapat nilai tinggi dalam matematika itu karena

menyontek perkerjaan temannya, atau soalnya kebetulan mudah, bukan karena siswa itu mendapat

ridho Allah.

Hal ini diperparah dengan konversi nilai rapor dari dua digit menjadi satu digit (dari skala

nilai : 0-100 menjadi skala IP (Indeks Prestasi) : 1-4) (lihat di atas) Oleh sebab itu, penguasaan

statistik nonparametrik dan program excell mutlak diperlukan agar para guru dapat menampilkan

kurva normal dari data nilai per kelas sehingga penilaian portofolio dapat dikaji dan ditegakkan.

Itulah sebabnya dalam perkembangan terbaru, jabatan guru inti (yang merupakan penatar

Kurikulum 2013) itu dihapuskan, tetapi dimunculkan kembali dengan istilah instruktur107, yang

justru MENUNJUKKAN ADANYA SUBORDINASI, yang mengacaukan arti Pasal 39 ayat 2 UU

Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen.

107 Instruktur = orang yang memberi instruksi (KBBI Vol IV) – jabatan instruktur dan pengawas itu sebenarnya tidak ada dalam UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen (mengacaukan hakekat otonomi guru dan otonomi sekolah (otonomi pendidikan)

Page 155: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

143

153

Maka soalnya bukan pada masalah kurangnya pemahaman pada proses penilaian yang baru,

tapi pada pemahaman akan arti profesi guru, yaitu janji publik para guru untuk membuat siswa yang

“tidak bisa” menjadi “bisa”. Jadi guru bukan sekedar tukang mengajar yang mentransfer

pengetahuan dengan Silabus, RPP dan buku yang didrop dari pemerintah, atau pendidik yang

mentransfer nilai-nilai akhlak mulia, tetapi guru adalah pemegang janji publik : memanusiakan

manusia muda. Hal inilah yang tidak termaknai dalam Kurikulum 2013.

C. Paradigma lama

Hal berikutnya yang luput dari perhatian pemerintah adalah masih diterapkannya paradigma

model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada

Kurikulum 2013, yaitu ketuntasan dalam tes kognitif dianggap sebagai indikator penguasaan

materi/bahan ajar. Padahal pendidikan holistik yang tercermin dalam KI 1 sampai KI 4

membutuhkan tes psikomotor, tes afektif dan tes kecakapan hidup sebagai penyeimbang

pengembangan otak kiri dan otak kanan, yang memerlukan penilaian rubrik (penilaian kinerja siswa).

Dengan demikian, guru tidak bisa lagi menggunakan soalsoal berbentuk pilihan ganda elementer

(lihat Catatan kaki No. 48 tentang soal-soal Pilihan Ganda holistik).

Belum lagi kerancuan penerapan tugas terstruktur yang mestinya bersifat intra kurikuler (penunjang

pemahaman yang dilaksanakan diluar jam tatap muka), telah diubah menjadi kegiatan kokurikuler di

pagi hari sehingga kurang efektif karena kekurangan waktu, akibatnya fungsinya sebagai sarana

pelatihan penalaran halus (fine tuning) hilang; sedangkan tugas tidak terstruktur yang seharusnya

bersifat kokurikuler (melekat pada pelaksanaan tatap muka) telah diubah menjadi kegiatan ekstra

kurikuler yang dibawa pulang sehingga tidak terkontrol lagi siapa pembuatnya (proses belajar

menjadi tidak termonitor). Maka kriteria naratif : SB (Sangat Baik), B (Baik), C (Cukup) dan K

(Kurang) seyogyanya tidak diturunkan dari rerata nilai kognitif, tapi dihasilkan dari penilaian

proses (monitoring) belajar yang dipantau melalui Penilaian Berbasis Kelas, dimana semua aspek

kegiatan harian siswa dimonitor, mulai dari aktivitas umum, kegiatan kognitif, kegiatan psikomotor,

sampai kegiatan afektif sebagai perwujudan pendidikan karakter yang terukur. Dilema muncul ketika

para guru tidak terbiasa mengkonversi daya serap (yang sebenarnya merupakan hasil monitoring)

menjadi penilaian hasil uji kompetensi KI dan KD (yang hakekatnya adalah evaluasi hasil belajar)

sehingga penilaian proses belajar tidak termaktub dalam rapor. Dengan demikian, pendidikan

holistik yang dirumuskan dalam KI 1 sampai KI 4 tidak lagi mempunyai pijakan sebagai pentransmisi

budaya cerdas. Dampaknya, luaran penerapan kurikulum yang diharapkan, seperti meningkatnya

kemampuan olah pikir dan membaiknya kemampuan mengekspresikan diri : tidak beranjak

(stagnan), sehingga PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai upaya awal untuk perbaikan

Page 156: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

144

154

kehilangan narasi substantif (Lihat ranking TIMMS (Trends in International Mathematics and

Science Study) dan PISA (Program of International Student Assessment), serta PIRL (Progress in

International Reading Literacy) dari para siswa kita yang tidak kunjung membaik dan tidak kunjung

diantisipasi cara perbaikannya).

Masalah KI dan KD yang tidak koheren, disamping menyulitkan analisis vertikal dan analisis

horizontal dari materi/bahan ajar, juga menyulitkan perumusan kaitan tataran konseptual dan

metakognitif karena model pemetaan taksonomi Bloom tidak dilakukan. Kemdikbud justru

menyandarkan pada SOLO taxonomy, yang bertumpu pada capaian kognitif 108, (tanpa keharusan

guru memberikan Teladan, Pemberian Tugas terkait dan Penilaian performance siswa), akibatnya,

abai pada pemetaan Multiple Intelligence. Hal ini menyebabkan penilaian portofolio dan penilaian

sejawat kemudian diabaikan. Padahal KI 1 sampai KI 4 membutuhkan penelusuran tingkat kemajuan

belajar siswa. Tanpa grafik portofolio ini, KI 1 sampai KI 4 akan dibaca sebagai Standar Kompetensi

(SK) dengan baju baru.

Maka magnitude soalnya bukan pada penjabaran penilaian capaian kompetensi siswa tapi lebih

kepada pemahaman pendidikan holistik yang sampai saat ini tetap diartikan sebagai penilaian

ketuntasan belajar. Oleh sebab itu, agar para guru tidak kembali ke pola lama, para guru perlu melihat

kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS

(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :

- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu

manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru

penanggung jawab tiap bidang.

- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga

kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.

- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan

Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua

hal baik yang sudah ada sebelumnya.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari perubahan pedoman penilaian yang dilakukan berulang

kali itu?

Kemdikbud perlu disadarkan bahwa penilaian itu bukan hanya penilaian (evaluasi) untuk siswa,

tetapi juga penilaian (evaluasi) untuk guru, sehingga guru dapat terbantu dalam merefleksikan proses

pembelajaran (KBM) (lihat Bab I Filosofi Pendidikan bagian Refleksi)

108 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian IIA No. 3 : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu

Page 157: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

145

155

Evaluasi untuk guru sebenarnya sudah jamak dilakukan sejak Kurikulum 1975 melalui ITEMAN

yaitu ANATes (ITB) (program berbayar), SPS Sutrisno Hadi (UGM)(program berbayar) atau Analisa

Soal pada Disain Kurikulum Digital (gratis). Dengan menggunakan perangkat di atas, soal-soal dapat

diuji validitasnya. Soal-soal yang valid akan “diterima” oleh uji komputasi itu (soal yang valid adalah

soal yang bisa memisahkan “anak yang tidak mengerti” dengan “anak yang pandai”), sedang soal-

soal yang kurang valid, harus “direvisi” (soal-soal yang kurang valid adalah soal-soal yang tidak

bisa memisahkan “anak yang tidak mengerti” dengan “anak yang sedang-sedang saja”), dan soal-

soal yang tidak valid akan”ditolak” oleh uji komputasi itu (soal-soal yang tidak valid adalah soal-

soal yang tidak bisa memisahkan “anak yang sedang-sedang saja” dengan “anak pandai”).

Bila kebanyakan soal harus direvisi atau ditolak, maka soal ulangan harian (UH) atau soal mid

semester (UTS) atau soal ulangan umum (UAS) harus dibatalkan. Dengan demikian, guru akan

terbiasa untuk belajar seumur hidup (long life education). Bukan hanya belajar perkembangan

terbaru tentang materi yang diampunya dan belajar menerapkan metode, strategi atau model

pembelajaran yang cocok bagi pengajaran materi tersebut, tetapi belajar juga tentang cara

mengevaluasi hasil belajar secara benar, belajar memverifikasi soal yang akan diujikan.

Melalui Analisa Soal ini, para guru “dipaksa” untuk cermat dalam pembuatan soal, tidak bisa copy

paste dari buku cetak (buku Erlangga, buku Yudhistira, dll yang mempunyai banyak kumpulan soal

di dalamnya), karena soal-soal itu belum tentu valid karena belum teruji di kelas lewat ITEMAN.

Semua soal “yang diterima” dikumpulkan menjadi satu, itulah yang disebut Bank Soal (kumpulan

soal-soal yang valid)

Guru akan “dipaksa” membuat soal yang kontekstual dan teruji validitasnya, sehingga

profesionalitasnya terasah (sesuai dengan amanat Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005). Sebenarnya

pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk dengan Diklat sertifikasi guru yang

menghabiskan anggaran besar itu, bila sejak awal pemerintah cq Kemdikbud mewajibkan

setiap guru mempunyai Bank Soal

Dilain pihak, pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk membuat pedoman penilaian, yang diubah

berkali-kali itu 109, sebab konversi nilai secara benar itu sudah ada dalam Catatan Kompetensi,

sehingga kewibawaan pemerintah cq Kemdikbud terjaga, karena hanya fokus pada perumusan

kebijakan pendidikan nasional (Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas).

109 Pedoman penilaian ada di Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan diubah lagi dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014

Page 158: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

146

156

Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) tidak boleh mengambil alih wewenang

Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) sehingga mengacaukan apa yang disebut evaluasi

(penilaian) hasil belajar (nilai/IP) dan apa yang dimaksud dengan monitoring proses belajar (daya serap) 110

Sebenarnya kalau mengkaji pada tingkat kompetensi yang mengacu pada SOLO Taxonomy111

di Kurikulum 2013, maka penilaian yang cocok untuk tingkat kompetensi ini bukan authentic

assessment, tetapi seharusnya penilaian rubrik. Penilaian rubrik adalah deskripsi terperinci tentang

tipe kinerja tertentu dan kriteria yang akan digunakan untuk menilainya. Hanya saja untuk penilaian

rubrik ini, guru harus menguasai pemahaman materi sedalam-dalamnya, karena rubrik perlu memuat

daftar karakteristik yang diinginkan yang perlu ditunjukkan pada siswa disertai panduan untuk

mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut. Jadi kedua pihak (guru dan siswa) akan

mempunyai pedoman bersama yang jelas tentang tuntutan kinerja yang diharapkan.

Misalnya guru Biologi memberi tugas siswa untuk membuat poster tentang kepedulian akan

degradasi lingkungan, maka guru tersebut harus sungguh-sungguh tahu bahwa :

(1) pembuatan poster itu memerlukan 10 langkah yang bisa langsung di observasi sehingga

penentuan nilainya menjadi terpola dengan jelas.

(2) guru juga harus paham betul tentang degradasi lingkungan sehingga tahu pesan apa yang

harus disampaikan ke masyarakat untuk mengatasi degradasi lingkungan.

Sepuluh langkah pembuatan poster itu adalah :

1. Pemilihan kertas (ukuran, type kertas). 2. Alat-alat gambar. 3. Sketsa. 4. Pilihan kata.

5. Harmonisasi kata dan gambar. 6. Waktu pembuatan poster. 7 Hasil (eye catching, pesan).

8. Penempatan (pameran). 9. Umpan balik. 10. Perbaikan

Kriteria penilaiannya adalah : 1. Belum disiapkan. 2. Sudah disiapkan tetapi tidak sesuai dengan

ketentuan. 3. Sudah disiapkan sesuai ketentuan tetapi belum lengkap. 4. Sudah disiapkan dengan

baik. 5. Draft tidak disiapkan. 6. Draft disiapkan tetapi tidak sesuai ketentuan. 7. Draft disiapkan

dngan baik. 8. Hasil : Gambar bermakna, tetapi kata tidak menunjukkan pesan yang jelas. 9. Hasil

: Kata mengandung pesan, tetapi gambar latar belakang tidak mendukung. 10. Hasil : kata dan

gambar harmonis

110 Lihat formula konversi nilai dari Puskurbuk : Jumlah soal harus kelipatan 4, misalnya jumlah soalnya 40, kalau siswa salah 10, maka nilainya 3. Rumus yang salah secara matematis dan secara paedagogis (lihat uraian di atas) 111 Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II : Tingkat Kompetensi

Page 159: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

147

157

Maka nilai dari Andy tinggal melihat pada tabel berikut :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kertas x

Alat-alat x

Sketsa x

Pilihan Kata x

Harmonisasi x

Lama waktu buat x

Hasil x

Pameran x

Umpan balik x

Perbaikan x

Sehingga Nilai Andy adalah rerata nilai di atas : 78/10 = 7,8. Melalui penilaian rubrik ini, terlihat

dengan jelas, bahwa siswa akan sungguh-sungguh menguasai teknik pembuatan poster (bukan

pelajaran seni rupa karena ada pesan lingkungan dan harmonisasi pesan dengan gambar : tugas

pembuatan poster ini akan membuat pelajaran Biologi membumi). Penilaian rubrik ini juga

digunakan dalam penilaian ulangan esai (UH, UTS dan UAS) dengan pola seperti diatas, mulai dari

(1) siswa menulis nama, nomor dan kelas pada lebar jawaban, (2) siswa menulis apa yang diketahui

dari soal itu pada lembar jawaban, (3) siswa menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan

dari soal itu dalam lembar jawaban, sampai (10) siswa menjawab dengan lengkap dan betul. Tapi

penilaian rubrik tidak bisa diterapkan untuk soal-soal Pilihan Ganda biasa, seperti yang biasa

dipraktekkan dalam KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Penilaian rubrik masih mungkin

diterapkan pada soal-soal Pilihan Ganda holistik, seperti yang sudah dipaparkan dalam Catatan kaki

No.48

Oleh sebab itu, penilaian rubrik yang seharusnya digunakan dalam Kurikulum 2013 ini bukan

saja merupakan evaluasi hasil belajar tetapi juga pendampingan proses belajar dan sangat sesuai

dengan pendekatan saintifik (metode 5 M) Pembelajaran berbasis proyek (PBL : project-based

learning). Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti Permendikbud No.66 Tahun 2013 karena pasti

salah, sehingga perlu diubah lagi melalui rumus Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013,

yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen

Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang masih salah juga

secara paedagogis. Dari berbagai perubahan penilaian ini, nampak bahwa KKM tidak lagi dipakai,

28 permendikbud tentang Kurikulum 2013 selalu menyebut KTSP, tapi KTSP tanpa KKM, ada apa?

Page 160: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

148

158

Yang lebih urgen diperhatikan adalah perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini

tanpa penjelasan yang memadai kenapa rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa

akademik Kemdikbud. Maka kalau pemerintah berkukuh tetap melaksanakan Kurikulum 2013, yang perlu menjadi

bahan tatar bukan pembuatan RPP (untuk memenuhi amanat Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, karena

guru sudah terbiasa membuat RPP dan sudah disertifikasi), tetapi yang harus disosialisasikan adalah

penilaian rubrik ini (untuk memenuhi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B :

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang di copy paste

dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D (Lihat Catatan * di Kata Pengantar), yaitu

kembali menerapkan Pilihan Ganda holistik seperti ada di Catatan kaki no. 48 dan memberlakukan

kembali soal-soal esai seperti telah diaplikasikan sejak lama dalam EBTANAS. Untuk ini Puspendik

perlu dilibatkan (tidak cukup mengandalkan Puskurbuk) supaya penilaian rubrik ini bisa

computerized (tidak dilakukan manual oleh guru, sehingga tidak merupakan penilaian subyektif)

hingga penilaian otentik itu mempunyai pijakan eksakta secara jelas.

Mengingat rumitnya proses penilaian rubrik ini (apalagi soal-soal Pilihan Ganda holistik dan

esai sudah dihapus dari UN) (lihat Catatan kaki No.48), maka sebaiknya pemerintah kembali

menerapkan pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 tahun 2014 (kembali ke Kurikulum

2006) Hanya yang perlu diperhatikan adalah penilaian kognitif dan psikomotor harus dilakukan

melalui Catatan Kompetensi, hasilnya adalah nilai/IP yang muncul dalam Rapor Lembar I, sedangkan

penilaian sikap dilakukan melalui Penilaian Berbasis Kelas, hasilnya adalah daya serap yang muncul

dalam Rapor Lembar II. Sebab siswa yang memperoleh nilai tinggi, belum tentu karena dia

mengerti/memahami materi/bahan ajar, tetapi mungkin saja karena siswa itu nyontek dan tidak

ketahuan guru, atau siswa itu belajar dari soal yang keluar tahun sebelumnya, yang biasanya

dikeluarkan lagi pada tahun-tahun berikutnya dengan sedikit perubahan di sana sini atau siswa

beruntung karena soal-soal yang disajikan tergolong mudah..

Hal berikutnya yang perlu diingat adalah : evaluasi bukan saja ditujukan untuk siswa, tapi juga untuk

gurunya melalui ITEMAN/Analisa Soal (ANATest dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau

Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital), seperti yang sudah diuraikan di atas. Ujungnya adalah

: sekolah mempunyai Bank Soal yang valid (soal-soal yang dapat memisahkan siswa yang “kurang

pandai”, siswa yang sedang-sedang saja”, dan “siswa yang pintar”, yang hasil analisa datanya

membentuk kurva normal) (Lihat bagian Refleksi pada Bab I Filosofi Pendidikan, di bagian : “Apa

Perlunya Mempelajari Filsafat Pendidikan”)

Dalam konteks Penilaian inilah nampak jelas terjadinya pendangkalan (cult of philistinism), bukan

saja pada pendangkalan soal-soal Pilihan Ganda (lihat Catatan kaki No.48), tetapi juga pada soal esai

Page 161: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

149

159

BAB VI

Kurikulum vs Pengajaran

Kekeliruan berikutnya adalah membiarkan munculnya 6 varian kurikulum yang diterapkan

saat ini sehingga mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik dan capaian Nawa Cita No.3

Keenam varian itu adalah :

(1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan tahun 2006

(Kurikulum 2006 atau KTSP Awal)

(2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket melalui Bimbingan Teknis dari

Kemdikbud (KTSP Bimtek (2008)

(3) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan pada akhir

November 2012 (Kurikulum 2013) : Kurikulum yang dikembangkan dari KBK112 yang

mengulang permasalahan pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa pada KBK 2004

(4) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pasca keluarnya Permendikbud No. 160 Tahun 2014

(Kurikulum 2013 dengan perbaikan tambal sulam, yang tidak sesuai dengan Nawa Cita No.8

(5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan paket SKS (Sistim Kredit Semester) yang

tidak lain merupakan baju baru dari kelas akselerasi yang sudah lama dipraktekkan di sekolah

unggulan atau sekolah mantan RSBI dulu.

(6) Kurikulum dengan sistim baku SKS dengan kurikulum internasional yang diakreditasi secara

internasional dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang bersertifikat ISO 9001:2008

(sesuai dengan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014)

Karena pembiaran ini, maka kekeliruan berlanjut pada anggapan bahwa semua kurikulum itu sama,

padahal ideologi yang diusung berbeda. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya,

Kurikulum 2006 (KTSP Awal) menjunjung otonomi pendidikan, melalui penerapan otonomi guru

dan otonomi sekolah (penyusunan kurikulum, pelaksanaannya (termasuk monitoringnya) dan

evaluasinya dilakukan sendiri oleh para guru, serta disahkan oleh kepala sekolah), sesuai dengan

bunyi ketentuan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 sehingga kurikulum tiap sekolah akan berbeda,

tergantung kondisi sekolah, potensi daerah dan keadaan siswa.113 Bukan hanya sekedar berbeda, tapi

guru harus mengembangkan standar isi yang lebih tinggi (mengembangkan kurikulum sampai ke

112 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2007 Bagian II B : Landasan Teoritis : Kurkulum 2013 dikembangkan atas teori Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum) 113 Sebenarnya ketentuan guru harus menyusun kurikulumnya sendiri di sekolah masing-masing juga termaktub dalam PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1, dan ketentuan bahwa kurikulum itu adalah urusan sekolah karena ditetapkan oleh kepala sekolah (bukan oleh pemerintah) tertuang dalam Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, yang juga menjadi dasar hukum dari Kurikulum 2013 (lihat juga catatan kaki No.5)

Page 162: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

150

160

tingkat Higher Order of Thinking 114 . Oleh sebab itu, varian ke-5 dan ke-6 yaitu SKS adalah

konsekuensi logis dari kemampuan guru menyusun kurikulumnya sendiri sehingga guru juga mampu

menyusun diktat, LKS dan modul pembelajaran sendiri. Oleh karenanya, Kurikulum 2006 (KTSP

awal) dan SKS menjamin terlaksananya penerapan azas kebebasan mimbar akademik 115 ;

sedangkan KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 itu mengusung hegemoni

pemerintah terhadap dunia persekolahan melalui pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam

untuk seluruh Indonesia dengan menggunakan tangan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata

Pelajaran (karena Silabus, buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru, serta metode

pembelajarannya sama, meskipun kondisi siswa dan potensi daerahnya berbeda) 116. Akibatnya

KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 (KTSP 2013) itu berpotensi membungkam

kreativitas guru dalam menerapkan PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif,

Efektif dan Menyenangkan, Gembira serta Berbobot). Bagaimana para guru dapat berinovasi kalau

semuanya sudah digariskan oleh Puskurbuk dan dikawal secara ketat oleh para Pengawas?

Kehadiran para Pengawas ini menghilangkan juga makna dari Visi dan Misi sekolah. Apapun visi

dan misi sekolahnya, kurikulumnya tetap sama, sehingga ciri khas sekolah menjadi hilang :

pakaian seragam antar sekolah itu sama, dan isi kepalanyapun sama.

Alur filosofi Silabus yang selama ini dibuat itu sangat jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak

KBK/KTSP dan kini pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu

perpaduan antara: Silabus Pembelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi

pada tugas (taks-based syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus)

dan Silabus kontekstual (situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau

dari penataran Kemdikbud/Dinas Pendidikan yang seragam itu karena mengingkari hakekat

Silabus kontekstual (situational syllabus). Apalagi silabus yang kontekstual ini seharusnya juga

dilengkapi dengan Analisa Konteks sehingga sifat lokalitas dan situasionalnya nampak dengan jelas.

Alasan yang lebih teknis mengapa silabus harus kontekstual (tidak seragam) adalah:

1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda, karena

tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran dan evaluasinya

akan berbeda

2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis Esensi Materi,

akan menghasilkan Silabus yang berbeda.

114 Lihat Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 115 Lihat Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Pasal 20 butir a UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) (Lihat juga Catatan kaki No. 5) 116 Lihat rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang mengamputasi isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (rincian isi pasalnya dapat dilihat di Catatan Kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat juga catatan kaki No. 4)

Page 163: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

151

161

3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda, sehingga

Silabusnya tidak mungkin sama.

4. Pembuatan Silabus oleh guru sendiri adalah amanat dari UU Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003)

Pasal 39 ayat 1 dan ayat 2; serta UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005) Pasal 14 ayat 1

butir e, f, i juncto Pasal 14 ayat 1 butir c; serta PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1

Penjelasannya :

1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda,

karena tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran

dan evaluasinya akan berbeda

Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang puisi Sitor Situmorang : “Malam Lebaran”

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah C2 (pemahaman)

maka guru cukup memfasilitasi siswa bahwa puisi ini unik (hanya terdiri dari satu baris) : “Bulan

di atas kuburan” dan puisi ini ditulis oleh Sitor Situmorang untuk sahabatnya : Pramudya Ananta

Tur, yang baru dibebaskan dari Pulau Buru. Puisi ini mempunyai makna yang dalam sehingga

mendapat penghargaan SEA Literature Award

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah C5 (sintesis) maka

guru mendorong siswa mencari tahu siapa itu Pramudya Ananta Tur (sehingga Sitor sampai secara

spesial mengarang puisi untuk dia), kenapa dia ditahan di Pulau Buru dan apa peran keduanya

dalam dunia sastra Indonesia, sehingga siswa mulai mendapat benang merah persahabatan mereka

(Sitor menulis puisi ini bukan tanpa resiko pada jaman Orde Baru) Persahabatan yang tulus (yang

mengabaikan semua resiko) selalu menggetarkan, oleh karena itu, puisi ini mendapat penghargaan

internasional.

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah P1 (persepsi), maka

guru mulai memfasilitasi siswa cara menafsir pesan puitik : dari judulnya atau dari isinya (dari

baris-baris puisinya)? Mengapa tidak boleh menafsir makna puitik dari judulnya? Kalau menafsir

dari baris puisinya : “Bulan di atas kuburan”, lalu menafsirkannya dari keseluruhan kalimat, dari

depan kalimat, atau dari belakang kalimat? Kalau siswa sudah dapat menangkap makna yang

tersirat itu dari bagian belakang kalimat yaitu “kuburan”, maka siswa dibimbing sampai mendapat

makna terdalam dari “kuburan” yaitu “kematian”. Lalu apa hubungannya dengan “bulan” ? Bulan

mati (malam yang gelap gulita) itu terjadi pada tanggal tua atau tanggal muda ? Dengan demikian,

siswa diajak mengamati siklus bulan, kapan bulan mati (malam gelap gulita), kapan bulan sabit

muncul, kapan bulan purnama terjadi, kemudian akan muncul bulan sabit lagi, hanya arah sabitnya

berlawanan dengan arah sabit pada awal bulan, lalu bulan mati lagi menjelang akhir bulan. Jadi

Page 164: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

152

162

melalui kata “menjelaskan” dalam ranah P1 (persepsi) : siswa diajak sampai pada simpulan bahwa

“bulan di atas kuburan” itu adalah “bulan mati”, artinya “tanggal tua” (menjelang akhir bulan).

Apa yang terjadi pada “tanggal tua”? Orang hanya punya sedikit uang (tongpes : kantong

kempes). Jadi makna puisi ini mulai bisa dirangkai : “Malam Lebaran” : “orang tidak punya

uang”. Pada saat orang berpesta di malam takbir, ada orang yang tidak punya uang, karena baru

dibebaskan dari Pulau Buru. Sekarang terlihat benang merah antara Pramudya Ananta Tur dan isi

puisi ini. “Pada malam takbir, dimana semua orang bersuka ria, ada makanan lezat berlimpah,

ada baju baru, ada suasana rumah yang baru, ada juga Pramudya Ananta Tur yang tidak punya

uang, tapi orang tidak peduli, (orang tidak peduli bahwa Pramudya adalah sastrawan besar, yang

tetraloginya : Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, tersebar

secara luas dan diam-diam di foto copy dalam era Orde Baru), sama tidak pedulinya orang-orang

itu pada siklus bulan, mau bulan purnama kek, mau bulan mati kek, emangnya gua pikirin ?

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah P2 (kesiapan), maka

siswa didorong untuk merenung, apa bentuk kepedulian kita pada orang miskin? Apakah dengan

memberi sedekah, misalnya Rp. 5.000,- yang tidak cukup untuk sekedar membeli makan dan

minum? Ataukah para siswa diajak memiliki semangat berbagi, apa yang dipunyai siswa (baju,

makanan, uang saku, dll) dibagi kepada mereka yang miskin, sehingga orang miskin bisa ikut

menikmati kerahiman Allah? Kalau cuma sedekah, tidak cukup untuk membeli apapun, apalagi

kalau sedekahnya berbentuk uang receh : Rp. 500, - atau Rp. 1000,- Bisa untuk apa? Siswa diajak

untuk tidak serta merta berkilah : “Kan yang memberi sedekah banyak, sedikit-sedikit lama-lama

jadi bukit”. Tapi siswa diajak mulai memikirkan tanggung jawab pribadinya di dunia ini (bukan

merujuk pada orang lain), apa yang sudah saya lakukan secara pribadi? Cukup bermanfaat atau

tidak bagi kehidupan ini?

Kalau guru menetapkan kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah A3 (penilaian), maka guru

mendorong siswa untuk mencari arti terdalam : pada Malam Lebaran, saat semua orang berpesta,

apakah kita masih memikirkan bahwa ada orang miskin di sekitar kita, dan kita sama sekali tidak

ambil pusing karena kita sibuk dengan diri kita sendiri? Jadi renungan yang terdalam adalah

apakah kita sebagai orang yang beragama, tidak bersikap munafik? Saat kita berdoa memohon

ampunan Allah, kita bersikap bengis pada orang yang menyakiti hati kita (kita tidak memberi

ampunan pada orang yang bersalah kepada kita). Saat kita berdoa memohon penyelesaian suatu

soal kepada Allah, apakah kita tidak meletakkan persoalan pada bahu orang lain?

JADI, DARI CONTOH-CONTOH DI ATAS, NAMPAK JELAS BAHWA : BILA RANAH

(DOMAIN) BERBEDA, MAKA BAHAN AJAR/MATERI AKAN BERBEDA, KEGIATAN

PEMBELAJARANNYA AKAN BERBEDA DAN BENTUK EVALUASI HASIL

Page 165: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

153

163

BELAJARNYA JUGA AKAN BERBEDA, dengan kata lain, silabusnya akan berbeda,

bagaimana mungkin silabus bisa diseragamkan secara nasional ?

Dari contoh-contoh diatas, terlihat bahwa pendidikan karakter dapat dimasukkan dalam

pelajaran secara natural, (harap diingat bahwa 18 nilai dalam pendidikan karakter itu sudah lazim

dipraktekkan dalam Kurikulum 2006 (KTSP Awal), jadi tidak usah dipaksa-paksakan masuk ke

kurikulum lewat KI 1 : menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Lagak saleh dan sok moralis

justru mejauhkan dari hakekat sains, akan terlihat jelas bahwa KI 1 itu akan menjadi sekedar

tempelan yang nir makna. Misalnya : “Malam Lebaran, Bulan di atas kuburan” itu ditafsirkan

sebagai : “hendaknya selalu mengingat akherat pada malam takbir”, atau 4 x 4 = 16 itu dikaitkan

dengan kejujuran. Mengatasinya : lihat di langkah win win solution di Bab I Filosofi Pendidikan.

Tujuannya : mencari materi/bahan ajar yang hilang dari kurikulum kita (banyaknya materi uji

yang tidak terdapat dalam kurikulum nasional kita : Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A

No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang diulang pada PermendikbudNo.68, No.69 dan No.70

tergantung unit sekolahnya dan di copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bagian I A

No.2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60

tergantung unit sekolahnya (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)

2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis

Esensi Materi, akan menghasilkan Silabus yang berbeda. Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang pemanfaatan Teori Probabilitas dalam

pengambilan keputusan

Substansi Masalah : Teori Probabilitas bagi siswa kelihatan sukar karena disajikan dalam bentuk

rumus-rumus himpunan, tanpa memasuki konsep basis bilangan

Masalah Paedagogis : Siswa sulit mengaitkan Matematika (Teori Probabilitas) yang abstrak

dengan kehidupan sehari-hari (pengambilan keputusan)

Penyelesaian (harus bisa mengatasi kedua masalah itu sekaligus (substansi masalah dan masalah

paedagogis) : Siswa memanfaatkan Teori Probabilitas (Teori Peluang), Permutasi dan Kombinasi

dalam permainan dadu (ular tangga, bola bekel) : dalam permainan dadu : basis bilangannya : 6,

jadi dalam satu kali lempar dadu, peluang untuk mendapat angka 2 adalah 1/6 (peluang untuk

mendapat angka 2 adalah 1 kemungkinan dari 6 kemungkinan yang ada); Permainan kartu (remi,

empat satu, truf, bridge) : dalam permainan kartu : basis bilangannya 13, jadi dalam satu kali

kocok kartu, peluang untuk mendapat kartu As adalah 1/13 (peluang untuk mendapat kartu As

adalah 1 berbanding 13); Permainan strategi (halma, karambol dan bilyar, catur) : halma

sesungguhnya menunjukkan dasar pengertian segitiga Pascal, karambol dan bilyar menunjukkan

Page 166: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

154

164

penerapan segitiga Pascal dalam teori peluang, kombinasi dan permutasi, sedangkan catur

menunjukkan penerapan basis bilangan 8 dengan teori peluang. Misalnya, bisakah dalam 10

langkah, kita memakan satu kuda lawan?

Langkah penyelesaian ini akan muncul sebagai bentuk Kegiatan Pembelajaran di Silabus.

Dengan demikian, kalau perumusan Substansi Masalah dan Masalah Paedagogisnya berbeda,

maka rumusan Penyelesaiannya akan berbeda. Akibatnya Kegiatan Pembelajaran di Silabus juga

akan berbeda. Jadi Silabus tidak mungkin sama dan seragam.

Penugasan : Alat peraga : Ular Tangga : Siswa menghitung peluang untuk naik tangga bila dadu

dilempar satu kali.

Alat peraga : Bola bekel : Siswa menghitung berapa kombinasi angka yang terlihat bila 3 dadu

berhasil dibalik saat melempar bola.

Alat peraga : Catur : Siswa menghitung langkah kombinasi yang mungkin diambil untuk

mematikan lawan (skak mat) dalam 5 langkah.

Penugasan ini akan menjadi Sumber Belajar yang baru (diluar penggunaan buku teks) yang dapat

memperkaya wawasan siswa di Silabus. Penugasan ini merangsang kreativitas guru untuk

memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya, sehingga dana BOS tidak dihabiskan untuk

membeli peralatan yang mahal, yang tidak kita ketahui teknologinya (kalau rusak, tidak tahu

cara membetulkannya)

Misalnya : Penggunaan Ular Tangga, Bola Bekel atau Catur untuk belajar teori peluang,

permutasi dan kombinasi, guru tidak usah menggunakan LCD untuk menerangkan teori

himpunan yang penuh rumus itu dalam menjelaskan teori probabilitas.

RUMUSAN PENUGASAN BISA BERBEDA, ALAT PERAGA YANG DIPILIH BISA

BERLAINAN, MAKA RUMUSAN PENUGASAN TIDAK BISA SAMA, AKIBATNYA

RUMUSAN SUMBER BELAJAR DI SILABUS BISA BERBEDA. Bagaimana mungkin

Silabus bisa sama dan seragam atau bagaimana mungkin Silabus ditentukan oleh Pusat

(Puskurbuk) (sementara Pusat tidak tahu alat peraga apa yang nantinya akan dipilih oleh guru dan

bagaimana rumusan penugasannya)

3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda,

sehingga Silabusnya tidak mungkin sama

Analisa konteks terdiri dari KONDISI ALAM, KEKAYAAN DAERAH, SOSIAL BUDAYA

Misalnya : Kelas 1 SD : Indikator : Siswa dapat menghitung bilangan 1 sampai 100

Kondisi Alam (agraris) : Siswa menghitung menggunakan biji jagung dengan permainan dakon

(congklak) yang mempunyai 9 lobang yang saling berhadapan (alat peraga berbasis bilangan 10)

Page 167: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

155

165

Kalau Kondisi Alamnya maritim : maka yang digunakan untuk permainan dakon (congklak)

adalah rumah keong laut yang kecil dan ukurannya hampir sama, yang banyak terdapat di pantai

Kekayaan daerah (sesuatu yang khas di daerah tertentu, tidak dijumpai di daerah lain) : Siswa di

Jawa Timur, menghitung menggunakan permainan entik (batang pendek yang dipukul, yang

terdiri dari 1 ruas batang singkong, yang dipukul oleh pemukul batang panjang, yang terdiri dari

3 ruas batang singkong)

Sosial budaya : Siswa di Kalimantan Barat menghitung menggunakan sempoa (swiepoa)

Siswa di Jawa menghitung menggunakan jari (jarimatika)

DENGAN RUMUSAN ANALISA KONTEKS YANG BERBEDA, MAKA PENGUKURAN

INDIKATOR KEBERHASILANNYA DI SILABUS AKAN BERBEDA, jadi tidak mungkin

Silabus itu diseragamkan, harus melihat situasi daerah dan kondisi sekolah di daerah yang

bersangkutan. Itulah dasar dari rumusan diversifikasi kurikulum pada Pasal 36 ayat 2 UU

Sisdiknas dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32

Tahun 2013, yang dilupakan dalam Kurikulum 2013

Dari contoh-contoh diatas, terlihat jelas bahwa pemberlakuan kurikulum tunggal telah

menurunkan derajat guru dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer kurikulum,

menjadi sekedar petugas administrasi dan tukang mengajar, yang menjalankan Silabus dari

buku atau Silabus drop-dropan dari Kemdikbud atau guru yang hanya sibuk dengan Dapodik saja.

Tanpa kreativitas guru, sukar diharap sekolah akan bisa menjadi pelopor inovasi yang dapat

menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box dan merajut impian : apa yang bisa saya

sumbangkan untuk masyarakat. Suatu generasi yang mencoba mengaplikasikan pengetahuannya bagi

kemajuan lingkungannya, yang muncul dalam semangat volunterisme di mana-mana. Lihat karya

gen flux dalam berbagai kreasi di sosial media yang memecah kebuntuan di masyarakat, seperti

Kawal Pemilu (www.kawalpemilu.org) atau wadah dunia untuk perubahan (www.change.org)

Dengan demikian, nampak jelas bahwa pengajaran erat hubungannya dengan kemampuan

mengaitkan teori dan praksis sehingga dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap cara bahan

ajar/materi itu disajikan. Itulah sebabnya, siswa yang pandai sebaiknya diminta untuk mengajar

temannya yang belum mengerti (tutor sebaya). Dengan berbagi, daya ingatnya akan meningkat tajam

dan daya serapnya akan makin besar. Ilmu yang disimpan untuk dirinya sendiri juga akan lebih

mudah dilupakan. Dengan analogi itu, Bahan Ajar (Materi) dapat dianalisa berdasarkan retensinya

atau ingatan yang tersimpan di memori :

Page 168: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

156

166

Artinya, dari hasil metode ceramah, hanya 5% yang diingat, atau bila porsi ceramah hanya 5%,

maka kreasi akan lebih optimal. Dengan kata lain, bila porsi praktek atau langsung mengerjakan itu

mencapai 75% , maka hal itu akan sangat membantu kita untuk lebih mengingat dan mengerti materi.

Bila porsi mengajar orang lain (tutor sebaya : mampu mengaitkan teori dan praksis) itu sampai

mencapai 90%, maka hal itu akan sangat membantu kita untuk mengingat materi-materi yang

penting. Dengan kata lain, pengajaran erat kaitannya dengan pembelajaran dan pemelajaran. Hanya

dengan modal pemelajaran yang ekstensif, kita dapat mengajar orang lain, dalam arti orang akan

mendapat pengalaman belajar yang baru, hanya dan hanya jika kita terus menerus mengasah diri

menjadi manusia pembelajar melalui askese pengetahuan (mesu budi) yang tertuang dalam analisis

esensi materi/bahan ajar yang sahih (valid).

Berbekal diagram diatas, kita akan lebih mudah memahami pentingnya (esensi) suatu materi,

tingkat kerumitannya (kompleksitas) dan tingkat kesulitan (kesukarannya) melalui AEM (Analisis

Esensi Materi). Misalnya, guru IPS SMP yang akan menyampaikan keragaman bentuk muka bumi,

melalui metode ceramah (yang dilengkapi dengan penerapan macam-macam gambar/foto kontur

bumi menggunakan model pembelajaran PAP (Picture And Picture), maka yang mampu diingat

siswa hanya 5% dari keseluruhan materi. Namun bila siswa dapat mengumpulkan macam-macam

contoh batuan, maka daya serapnya terhadap keragaman bentuk muka bumi akan meningkat cukup

signifikan (75%). Selanjutnya, bila siswa mampu menjelaskan kepada temannya (tutor sebaya), apa

beda topografi dan geografi serta kartografi, maka daya serap (pemahaman) tentang keragaman

bentuk-bentuk muka bumi akan meningkat sampai 90% (pemahamannya melampaui KKM (kriteria

ketuntasan minimal) : 75%) dan mendekati KKI (kriteria ketuntasan ideal) : 100%). Sayangnya,

AEM ini tidak dilakukan dalam pengkajian Kurikulum 2013.

Page 169: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

157

167

Masalah lain yang timbul akibat pembiaran adanya 6 varian kurikulum di lapangan adalah

kerancuan baru dalam menerjemahkan Permendikbud No. 160 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 1 dari

Permendikbud No. 160 Tahun 2014, yaitu kembali menerapkan Kurikulum 2006 diartikan sebagai

kembali menerapkan KTSP Bimtek (2008) itu.117 Lalu ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 dari

Permendikbud No.160 Tahun 2014 tentang pemberlakuan Kurikulum 2013 diartikan sebagai tetap

melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang sedang berjalan, tanpa menghiraukan banyaknya

kesalahan, yaitu :

(1) Pemberlakuan secara menyeluruh dan seragam itu melanggar azas diversifikasi kurikulum

(Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013).

(2) Penyeragaman melalui pelatihan singkat itu melanggar otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU

Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal

77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013) (Lihat rincian Pasal-pasal ini di Catatan kaki No.2)

(3) Kompetensi Inti (KI) harus dirumuskan ulang, mengingat KI untuk semua jenjang

pendidikan itu sama (berarti menyamakan kompetensi anak SD setaraf dengan kompetensi

anak SMA, sesuatu yang sangat absurd) . Menurut Wagner, ada enam kompetensi

(kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa (bukan empat dan rumusannya sangat berbeda

itu) (lihat bagian tentang pembahasan Kompetensi Inti di Bab ini)

(4) KI tidak koheren dengan KD (Kompetensi Dasar), sehingga sulit menentukan Indikator

Keberhasilannya.

(5) Silabus tidak sinkron dengan buku siswa dan buku pegangan guru.

(6) program penilaian yang sudah beberapa kali diubah itu harus ditinjau ulang karena

menjadi penilaian subyektif, bukan penilaian otentik lagi.

(7) penggunaan satu-satunya model pembelajaran yaitu model saintifik (5 M) telah

mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik, karena masih banyak metode, strategi

dan model pembelajaran lain yang lebih situasional dan kontekstual.

(8) penghapusan mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan telah mengacaukan system

of knowledge dari iptek. Anak-anak dan guru banyak yang menggunakan gawai (gadget)

namun buta teknologinya, kalau gawai rusak, harus beli yang baru (tidak tahu cara

117 Padahal dalam Diklat sertifikasi guru yang hanya 3 hari itu sudah mulai diperkenalkan adanya silabus dan RPP yang seragam yang dikemas dalam KTSP Bimtek, dengan alasan harus ada panduan penyusunan kurikulum secara nasional

Page 170: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

158

168

reparasinya). Kemdikbud telah menurunkan derajat generasi muda dari programmer menjadi

user saja (menjadi konsumen dari teknologi informatika). Memang dalam penerapan terbaru

Kurikulum 2013, ada tanda-tanda bahwa mata pelajaran TIK boleh diajarkan lagi, tapi hanya

berfokus pada teknologi informasi, bukan pada teknologi komunikasi (gawai/gadget) yang

sekarang menjadi hajat hidup orang banyak., sehingga siswa tetap ketinggalan jaman.

(9) Penghapusan IPA di kelas 1, 2, 3 SD telah merusak system of knowledge dari sains,

merusak penalaran halus (fine tuning) siswa. Siswa akan mengira bahwa Biologi itu hafalan

dan Fisika itu adalah kumpulan rumus/dalil yang mesti dihafal.

(10) Pemaksaan dilanjutkannya Kurikulum 2013 pada saat ini telah mengabaikan Nawa Cita

No.3 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kemerosotan kualitas

pendidikan kita, di bagian akhir dari Bab Pendahuluan). Melanjutkan Kurikulum 2013 tanpa

menyimak pro kontra yang timbul, jelas-jelas mengabaikan Nawa Cita No.8 : pemerintah

akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional.

Dengan demikian, sampai saat ini, para kepala sekolah diarahkan untuk tetap mengusung

hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran kita, melupakan ketentuan Pasal 5

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M. Nuh pada tanggal 17

Oktober 2014 : sekolah yang terakreditasi A, menerapkan sistim kredit semester (SKS)118 dan Perpres

No. 77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) -

Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007 itu

menyokong arus deras globalisasi dan liberalisasi pendidikan, yang nampak pada Lampiran II119 :

Arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan itu adalah buah dari kesepakatan kita dalam WTO dan

ACMW, yang tercermin dalam pemberlakuan pasar bebas : MEA 2015 (ASEAN Economic

Community 2015) dan APEC 2020 (Asia-Pacific Economic Cooperation 2020), dimana sektor jasa

pendidikan akan terbuka bagi lalu lintas barang dan orang (SDM), tidak boleh ada restriksi lagi.

Permendikbud No. 31 tahun 2014 justru bisa menimbulkan masalah dengan WTO dan ACMW.

118 Dalam rumusan ini dijumpai kata “dapat”, sehingga secara hukum, kalimatnya harus dibaca : sekolah yang terkareditasi A, bisa langsung menerapkan SKS (bukan menerapkan paket SKS, tapi menerapkan sistim baku SKS) 119 - a. Dicadangkan untuk UMKMK : No.18 Education Building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum) - c. Kepemilikan modal : No.66 Education building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum) No.72 Pendidikan Dasar dan Menengah (KBLI 80121, 80122, 80123, 80221, 80222 sektor Pendidikan Nasional No.73 Pendidikan Tinggi (KBLI 80321, 80322 sektor Pendidikan Nasional) No.74 Pendidikan Non Formal (KBLI 80921, 80922, 80923 80929 sektor Pendidikan Nasional)

Page 171: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

159

169

Yang sekarang terjadi adalah pergeseran makna dari kurikulum menjadi pengajaran, seperti

yang nampak dalam Surat Keputusan Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk menunjuk sekolah-

sekolah tertentu sebagai sekolah piloting Kurikulum 2013 (melupakan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2

ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014), atau melanjutkan

penerapan Kurikulum 2013 tanpa revisi dengan mengabaikan suara pro-kontra soal Kurikulum 2013.

Betapa pendeknya ingatan sejarah para birokrat kita. 120 Harapannya hanyalah semoga ada dana

yang dikucurkan untuk memulai lagi pelatihan Kurikulum 2013 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal

3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 (mental proyek tak pernah sirna, 121 mengorbankan ketentuan

Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 untuk melangkah ke SKS), sehingga kalau Mendikbud

tahun 2016 nanti ingin mencanangkan UN Online, situasinya tak akan jauh berbeda dengan ketidak-

siapan melaksanakan UN Online sekarang ini (bukan saja karena mata pelajaran TIK baru akan

diterapkan tahun ini, karena memang baru dicantumkan lagi dalam “Kurikulum 2013 baru” dengan

peralatan komputer seadanya, tetapi terlebih-lebih karena masih banyak pihak yang berkepentingan

dengan UN tertulis sebagai proyek abadi Kemdikbud). Maka hasil UKG Online-pun sudah bisa

ditebak, semua guru akan lolos uji kompetensi guru (UKG) (Lihat Kompas, Rabu 11 November 2015

halaman 11 : Guru Kesulitan Jawab Soal)

Kurikulumnya belum digital, bagaimana bisa membuat UN digital (UN Online) dimana nilai

ujian dan Analisa Soal bisa diperoleh secara langsung begitu ujian terselesaikan (on the real

time)122

Bagaimana kalau ternyata banyak soal-soal UN itu setelah diuji menggunakan Analisa Soal ternyata

tidak valid ? (banyak soal harus direvisi atau ditolak) Artinya penyusunan soal tidak memperhatikan

kisi-kisi konsep SPM dan bobot soal tidak memperhatikan ketercapaian strategi pembelajaran?

Apakah hasilnya tetap akan diterima atau dianulir ? Soal-soal yang diterima oleh program Analisa

Soal ini kemudian dikumpulkan dalam Bank Soal. Jadi Bank Soal berisi soal-soal yang telah diuji

coba dan terbukti dapat memisahkan kelompok “siswa yang sudah menguasai suatu topik/tema

tertentu” dengan kelompok “siswa yang belum menguasai topik/tema tertentu”. Apakah Kemdikbud

sudah mempunyai Bank Soal sehingga tetap meneruskan penyelenggaraan Ujian Nasional meskipun

120 Kurikulum 2006 dan SKS memerlukan kebebasan mimbar akademik sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I, sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 justru menegasikan otonomi pendidikan dan mengusung semangat hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran di kelas (dua kutub yang berbeda tidak bisa berjalan bersamaan karena dasar filosofisnya berbeda jauh) 121 Dengan Kurikulum 2013, sekolah tidak akan pernah bisa menerapkan SKS, karena guru tidak terlatih menyusun kurikulumnya sendiri, sebagaimana terlihat pada Catatan Kaki No.2 Dasar Hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan 122 Buku Disain Kurikulum Digital, Wendie Razif Soetikno, Smart Writing, Yogya, 2009, Cetakan ke-7 oleh Bank Mandiri diajukan dalam Asian CSR Award 2015 di Manila untuk kategori Education Improvemnet (Lihat juga Catatan kaki No.5)

Page 172: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

160

170

sudah ada putusan inckracht Mahkamah Agung (MA) No. 2596 K/PDT/2008 yang meminta

pemerintah membatalkan Ujian Nasional sampai sarana dan prasarana sekolah terpenuhi dan

kompetensi guru ditingkatkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan aanmaning

(teguran) kepada Mendikbud M. Nuh karena dianggap melalaikan putusan MA final (kasasi) terkait

Ujian Nasional. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil Mendikbud untuk mendengarkan

aanmaning pada hari Rabu tanggal 10 April 2012, namun Mendikbud M. Nuh tetap ngotot

menyelenggarakan Ujian Nasional. Mendikbud telah mengabaikan putusan MA agar memperbaiki

sarana dan prasarana sekolah dan meningkatkan kompetensi guru, Mendikbud M.Nuh memilih tetap

melanjutkan proyek tebar uang melalui program sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru

(UKG) dan kinerja guru, serta tetap berkukuh melaksanakaan Kurikulum 2013 dan UN, hanya demi

proyek penyerapan anggaran, bukan untuk kemashalatan bersama.

Harap diingat, bahwa banyak sekolah mempunyai Analisa Soal type ANATES (yang

dikeluarkan oleh ITB) atau SPS Sutrisno Hadi (yang dikeluarkan UGM) , atau Analisa Soal

dari Disain Kurikulum Digital, sehingga validitas soal Ujian Nasional bisa langsung di cek di

masing-masing sekolah secara real time.

Pertanyaan penting tentang validitas soal ini tak akan terjawab tahun ini karena pemerintah sibuk

dengan penerapan Kurikulum 2013 (berkukuh pada penerapan proyek sebagaimana tercermin dalam

Pasal 2 ayat 1 + Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan lupa pada ketentuan Pasal 1 + Pasal

2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014), abai pada keputusan penting dalam menghadapi

globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang tercermin pada Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun

2014 123 dan Perpres No. 77 Tahun 2007 yang membuka akses pendidikan bagi modal asing (PMA)

Kurikulum adalah perangkat demokratisasi

Esensi pembangunan dalam term ruang sosial adalah “Pancasila in action”, bukan ucapan

atau hafalan. Tanpa menyebut sila demi sila, pembangunan khas ini mewujudkan kemanusiaan yang

adil dan beradab dengan jalan meminta setiap warga dewasa ikut aktif membahas kehadiran setiap

proyek yang akan dibangun di komunitasnya (termasuk pemberlakuan kurikulum baru, seperti

Kurikulum 2013). Dengan kata lain, dia “diwongke”, diakui martabatnya selaku manusia, bukan

sekedar warga yang ber-kartu-penduduk, bukan sekedar guru yang tercantum dalam Dapodik atau

Padamu Negeri.

Berdasarkan pendidikan dan pengalaman, mungkin efektivitas dan intensitas partsipasi warga bisa

berbeda. Bila pemerintah, pusat atau daerah, menganggap ada warga yang belum cukup enlightened

123 Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS

Page 173: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

161

171

atau matang secara intelektual, obatnya bukan merenggut keotonomian individual dari orang yang

bersangkutan (atau merenggut otonomi guru dan otonomi sekolah), tetapi menginformasikan

kekurangannya melalui bimbingan dan penyuluhan (tutorship). Inilah fungsi yang diemban oleh

LPMP dahulu. Dalam konsep pembangunan ini otonomi individu bukan hanya berupa “aims” tetapi

lebih-lebih “the principal means” untuk mewujudkan keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan

kebahagiaan bersama.

Pembangunan dalam term ruang sosial membuat demokrasi (kerakyatan) bisa berjalan, bahkan secara

langsung bagai di zaman Yunani Purba, melalui musyawarah pembahasan proyek yang tidak

mengizinkan peserta mewakili atau diwakili. Guru tidak bisa diwakili melalui guru inti atau

instruktur. Begitu juga, para guru inti dan instruktur tidak boleh merasa mewakili para guru.

Inilah yang disebut demokrasi kontinu di mana warganegara diminta memberi pendapat atau

suaranya tidak hanya di pilpres, pilleg, pilkada. Maka keberadaan sistem demokrasi kontinu (juga di

dalam dunia pendidikan melalui demokrasi kontinu pendidikan) di mana ada demokrasi langsung di

dalam sistem demokrasi-tak-langsung dewasa ini, adalah suatu manifestasi dari demokrasi

modern.124 Oleh sebab itu hak guru untuk berserikat dijamin oleh Undang-undang125 Melalui

perserikatan itu, sebenarnya bargaining power para guru hendak ditingkatkan dalam menghadapi

para Pengawas dan birokrat Dinas Pendidikan, sehingga para guru tidak perlu takut, tunjangan

sertifikasinya akan dicabut bila dia mempertanyakan kebijakan publik, seperti pelaksanaan

Kurikulum 2013 yang tergesa-gesa ini dan pelaksanaan Ujian Nasional yang soalnya belum teruji

(Lihat UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) Pasal 14 ayat 1 butir (c) : “guru memperoleh

perlindungan dalam melaksanakan tugas”, dan Pasal 14 ayat 1 butir (g) : “guru memperoleh jaminan

keselamatan dalam melaksanakan tugas”, serta Pasal 39 ayat 3 : “Perlindungan hukum bagi para

guru mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan (termasuk kekerasan tutur),

ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi”).

Sayang sekali, semua ketentuan baku ini yang menjamin otonomi guru dan kebebasan mimbar

akademik ini tidak disosialisasikan oleh para Pengawas dan Dinas Pendidikan di daerah, sehingga

guru selalu ada di pihak yang lemah dalam mengkritisi kebijakan birokrat. Apalagi demokrasi dalam

dunai pendidikan ini telah dipasung melalui keberadaan Pengawas yang tidak mengacu pada Pasal

10 UU Sisdiknas (capacity building), tetapi mengacu pada Lampiran Permendikbud No.65 Tahun

2013 Bab VI No.2 (watch dog). Akibatnya, sifat Kurikulum 2013 yang top down yang dikawal oleh

para Pengawas ini telah menghancurkan fungsi inspiratif dari kurikulum.

124 Makalah Dr. Daud Yusuf dalam Seminar Pendidikan Nasional : Pembelajaran Holistik, Inklusif dan Berkelanjutan dalam Memasuki Renaisance Baru, Kamis 4 Juni 2015, Sumba Room, Hotel Borobudur 125 Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen : guru bebas berserikat dalam organisasi profesi

Page 174: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

162

172

Fungsi deliberasi dari pengajaran

Selama ini kita mengenal peralatan yang disebut “mikroskop” dan “teleskop”. Mikroskop

merupakan suatu terobosan ilmiah merasuk dunia dari yang serba kecil-tak-terhingga (the world of

the infinitely small). Ia memungkinkan manusia mendalami hidup, menemukan sel-sel termasuk

DNA, mikroba dan virus, yang mendorong kemajuan biologi dan kedokteran. Teleskop merupakan

terobosan ke alam yang infinitely big. Ia membuka spirit ke kesemestaan alam, keluasan kosmos,

menjajaki rute planet dan bintang dan menyiapkan mahluk manusia menguasai ruang angkasa.

Sayangnya, pemahaman yang infinitely big melalui Ilmu Bumi Falak (astronomi) ini justru dihapus

siswa mengalami “rabun jauh” dalam memahami hakekat alam semesta. Matahari terbit di Timur dan

tenggelam di Barat dipahami sebagai sesuatu yang baku, padahal hal itu harus dipahami melalui

gerak rotasi dan gerak revolusi bumi. Bintang-bintang menjadi tidak punya arti dalam kehidupan

siswa modern, padahal bintang merupakan penanda arah, penanda dimensi dll. Jadi mikroskop

adalah jalan untuk menghayati “jagad cilik” sedangkan teleskop adalah jembatan untuk menghayati

“jagad gede”. Melalui pemahaman “jagad cilik” dan “jagad gede”, siswa akan diajak memahami

bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta (Siswa seharusnya tidak teralienasi dari alam, saat

ini siswa tidak lagi peka membaca tanda-tanda alam). Siswa akan mengerti bahwa dirinya adalah

spesifik, bukan cloning dari satu sistim pendidikan atau kurikulum tertentu. Itulah fungsi deliberasi

pengajaran, yaitu menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box. Misalnya kelangkaan

BBM tidak diatasi dengan memproduksi bahan bakar alternatif, seperti etanol, tapi dengan

memanfaatkan energi matahari : seperti menciptakan mobil yang menggunakan panel surya.

Sayangnya, kedua alat ini tidak pernah diajukan dalam penganggaran BOS di SD, padahal di

SD-lah diterapkan pembelajaran tematik integratif, setidak-tidaknya kedua alat ini harus dianggarkan

dalam dana BOS di SMP karena di SMP-lah diajarkan IPA Terpadu, sehingga fungsi deliberasi

pengajaran tidak hilang. Sebab kalau fungsi deliberasi pengajaran itu hilang, siswa akan selalu

memecahkan suatu masalah dengan cara klasik, misalnya bila siswa hendak memecahkan soal-soal

Archimedes, maka yang dicari adalah rumus Archimedes : Fa = ρcair Vb g , bukan mencari dasar

logikanya : kenapa kalau benda dimasukkan ke dalam air, bisa terapung, melayang atau tenggelam;

contoh lain, bila listrik padam, maka siswa secara business as usual langsung mencari genset, bukan

mencari teropong bidik malam/periskop pelihat malam, yang harganya setara genset, sehingga siswa

tetap dapat melihat di dalam kegelapan malam.

Maka bila fungsi deliberasi itu hilang, kata “profesi” guru dan “profesional” seorang guru

menjadi nir makna. Kata profesi (professio dari Bahasa Latin) artinya adalah janji atau ikrar kepada

publik atau masyarakat. Janji seorang guru kepada masyarakat adalah membuat anak yang

Page 175: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

163

173

“bodoh” menjadi “pintar”. Bukan saja pintar secara psikologis, tetapi yang lebih penting adalah

pintar dalam menghadapi kehidupan ini (gen flux)

Sebab profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam

bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan

suatu tugas khusus secara tetap/permanen". Hidup untuk menghidupi kehidupan, hidup yang

memanusiakan manusia muda (bukan menjadikannya sekedar seorang “peserta didik”)

Karena fungsi pengajaran adalah memanusiakan manusia muda, maka mengajar bukanlah

memberi pengetahuan, karena yang diberi, yakni subyek didik, belum tentu menganggapnya berguna.

Bukan mengalihkan pengetahuan kepada orang lain, yakni subyek didiknya, karena subyek itu adalah

manusia yang sudah “berisi”, bukan botol kosong yang bisa diisi seenaknya oleh guru. Mengajar

bukan menanamkan ilmu pada diri subyek didik karena sang subyek bukan obyek mati yang mudah

ditanami. Mengajar bukan menggurui karena subyek didik bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri

(siswa dapat menjadi tutor sebaya). Mengajar pada hakekatnya adalah menciptakan lingkungan

belajar : menyediakan kondisi untuk membelajarkan subyek didik. Bagi filsafat konstruktivisme

yang menjadi landasan Kurikulum 2006, mengajar adalah kegiatan yang memungkinkan siswa

membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam

membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan menuntun bersikap kritis.

Mengajar adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Di

titik inilah Kurikulum 2013 memancing kontroversi, karena Kurikulum 2013 masih menggunakan

istilah “peserta didik”, bukan “subyek didik” dan buku ajar/materi/sumber belajar yang ditetapkan

oleh Kemdikbud, telah jauh membatasi wawasan siswa.

Jadi yang dipertanyakan oleh guru bukanlah “Bagaimana saya mengajarkan bahan ajar ini?”

atau “Bagaimana saya mengajar murid saya?”, melainkan “Bagaimana agar murid saya bisa belajar

dan mempelajari bahan ini?” Dengan kata lain, pengajaran berkaitan dengan strategi

pembelajaran, bukan dengan metode pembelajaran, apalagi kalau dipersempit menjadi hanya

menggunakan metode 5 M, seperti pada Kurikulum 2013, hasilnya pasti diskusi, ceramah, presentasi,

tidak lebih dari itu. Kegiatan itu bukan inquiry atau discovery, tetapi sekedar menggali dan

merekonstruksi apa yang sudah tertulis dalam buku atau apa yang sudah di upload di internet, tidak

sampai ke meta kognitif, bahkan menurut Dr Karlina Supeli hanya sampai kognitif rendah 126

Maka mengajar harus sesuai dengan road map pembuatan RPP yaitu Taksonomi. Kurikulum

2013 menggunakan SOLO Taxonomy (Structure of the Observed Learning Outcomes Taxonomy)

126 Lihat Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli pada catatan kaki No. 58, No. 92 dan No. 100

Page 176: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

164

174

dengan target mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui

pendekatan disiplin ilmu 127 yang diukur melalui penilaian rubrik (Lihat Bab I Filosofi Pendidikan).

Sedangkan Kurikulum 2006 menggunakan Taksonomi Bloom dengan target mengembangkan model

belajar konstruktivisme yang diukur melalui penilaian holistik (Lihat Catatan kaki No.5)

Dua pendekatan yang berbeda : Kurikulum 2013 secara gamblang menyebut capaian kognitif sebagai

acuannya (yang menjadikan KI 1 dan KI 2 nir makna), sedangkan Kurikulum 2006 mengacu pada

pendidikan holistik sehingga dilengkapi dengan penerapan 18 nilai dalam pendidikan karakter yang

dimonitor dalam Penilaian Berbasis Kelas (PBK)

Banyak yang mengkritik Taksonomi Bloom sudah terlalu kuno. Kenapa masih digunakan?

Karena masih relevan dalam meningkatkan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa. Taksonomi

Bloom mengharuskan para guru memberi TELADAN, lalu langsung memberi TUGAS pada siswa,

dan hasil tugasnya (penampilan kinerja siswa/PERFORMANCE ) harus langsung dinilai. Misalnya,

guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan sedang masuk dalam topik “LOMPAT JAUH”, maka

gurunya yang pertama-tama harus memberi teladan : bagaimana mengambil ancang-ancang, lari dan

melompat dengan posisi jatuh yang benar, agar siswa tidak cedera saat melompat nanti. Setelah para

siswa paham bahwa lompat jauh memerlukan sprint sebelum melompat, lalu memerlukan pelipatan

kaki untuk mengatur jauhnya lompatan dan untuk mengatur posisi jatuh, maka guru dapat memberi

tugas kepada para murid untuk melompat, penampilan anak (performance anak) langsung dinilai.

Contoh lain, guru Matematika akan memberi tugas PR pada para siswanya, maka guru tersebut yang

pertama-tama harus memberi teladan, begini cara menyelesaikan soal berdasar logika (tanpa rumus),

lalu beberapa siswa diminta maju ke papan tulis dan diberi tugas memecahkan soal di papan tulis,

sementara itu, guru berkeliling untuk melihat pekerjaan para siswa di buku masing-masing/di meja

masing-masing siswa, saat itu juga keberhasilan/kegagalan siswa dalam memecahkan soal di papan

tulis itu dinilai (performance siswa dalam menyelesaikan soal langsung dinilai). Setelah yakin bahwa

penjelasan guru dimengerti oleh siswa, maka guru dapat memberi tugas PR. Jadi fungsi PR sebagai

kegiatan kokurikuler yang memperdalam pemahaman siswa dapat terealisir. Kalau langkah ini tidak

dituruti, ada bahaya bahwa PR itu akan bergeser menjadi kegiatan ekstrakurikuler (dibawa pulang

tanpa siswa mempunyai pemahaman yang cukup) sehingga pembuatnya tidak dapat dikontrol (anak

mengumpulkan PR secara lengkap padahal yang membuat adalah orang tuanya atau menyalin dari

temannya).

127 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 bagian II A No. 3 (yang diulang dalam Permendikbud No. 68 Tahun 2013 (untuk SMP) dan Permendikbud No. 69 Tahun 2013 (untuk SMA)

Page 177: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

165

175

SOLO Taxonomy yang diterapkan dalam Kurikulum 2013 tidak secara eksplisit menyebutkan

perlunya TELADAN dari guru, hingga guru bisa kembali ke pola lama, yaitu mengartikan Metode 5

M itu sebagai diskusi dan presentasi, sebab SOLO taxonomy ini berkutat pada masalah

KOMPETENSI dan TINGKAT KOMPETENSI, KOMPETENSI YANG BERSIFAT GENERIK

dan KOMPETENSI YANG BERSIFAT SPESIFIK. Masalahnya adalah :

- Ada empat rumusan KI (KI 1 – KI 4), padahal kalau mengikuti rumusan kompetensi inti

universal, seharusnya ada enam KI (lihat Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi). Kalau

Kemdikbud berkukuh pada empat rumusan KI, maka masalahnya terletak pada

pengukurannya : KI 1 (sikap spiritual) seharusnya menggunakan pengukuran SQ (spiritual

quotient), dan KI 2 (sikap sosial) seharusnya menggunakan pengukuran CQ (civic quotient)

- Rumusan KI untuk semua jenjang itu sama, artinya menyamakan kompetensi (kemampuan)

inti siswa SD dengan siswa SMA itu muskil, akibatnya KI dan KD itu tidak koheren.

- Pengukuran pencapaian KD itu tidak jelas, kalau menggunakan SOLO taxonomy, seharusnya

para guru tidak lagi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, tetapi menggunakan penilaian

rubrik (penilaian kinerja siswa).

- Banyak KD memerlukan TELADAN dari guru, terutama pada KBM di SD, dan hal ini tidak

eksplisit muncul dalam SOLO taxonomy, persiapan mengajar guru akan berjalan seperti biasa

(business as usual) dengan resiko seperti yang dipaparkan di bagian Taksonomi Bloom di

bab ini.

Di dalam Taksonomi Bloom inilah diterapkan PBL (project-based learning) dalam arti

sesungguhnya. Dapat dibayangkan bagaimana situasi pembelajaran, bila guru Bahasa Indonesia

memberi tugas membuat puisi, padahal gurunya belum pernah mencoba membuat puisi sendiri, atau

Page 178: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

166

176

guru Biologi memberi tugas pengamatan organ hewan padahal gurunya sendiri geli saat memegang

katak, bagaimana siswa dapat membedakan hewan berdarah dingin dan hewan berdarah panas ?

Atas dasar upaya terus menerus untuk peningkatan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa itulah,

Kurikulum 2006 memilih menggunakan Taksonomi Bloom (bukan SOLO Taxonomy yang lebih

baru). Sedangkan Kurikulum 2013 menggunakan SOLO taxonomy tetapi lupa merumuskan

kompentensi generik dan kompetensi spesifik, sehingga menimbulkan masalah pada evaluasi hasil

belajarnya (evaluasi tidak menggunakan pengukuran Indikator Keberhasilan di silabus dan penilaian

rubrik) serta tidak menggunakan SQ (spiritual quotient) untuk mengukur ketercapaian KI 1 dan CQ

(civic quotient) untuk mengukur capaian KI 2, karena menurut para penggagas Kurikulum 2013,

Kurikulum 2013 itu tidak lebih dari baju baru KBK (2004) yang dianggap sesuai dengan tujuan

pendidikan Kurikulum 2013128

Kalau guru gagal dalam memberi TELADAN, maka kesalahan akan dibawa siswa seumur

hidup. Mau bukti? Pergilah ke poliklinik/RS : lihatlah bagaimana perawat memperlakukan

thermometer badan. Sebelum memasang thermometer di ketiak pasien, perawat itu akan mengetrek-

ketrek thermometer lebih dulu, baru memasangnya pada ketiak pasien. Kalau para perawat itu

ditanya, kenapa thermometer itu diketrek-ketrek, jawabnya adalah supaya thermometer kembali

menunjuk angka nol. Jelas hal ini salah. Secara kognitif, perawat itu tahu bahwa suhu nol itu hanya

akan dicapai bila thermometer itu dimasukkan dalam es yang mencair, tapi kenapa thermometer tetap

dikretek-ketrek sebelum digunakan? Karena gurunya dulu tidak pernah memberi TELADAN saat

menerangkan tentang pengukuran suhu : pada topik “macam-macam thermometer“ (Thermometer

Celsius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin). Bayangkan kalau guru juga tidak memberi TELADAN

pada permainan bola besar : sepak bola, pasti banyak siswa akan mudah cedera pada tulang kering

kakinya atau permainan sepak bola bukannya menyehatkan badan, malah membuat badan terasa sakit

semua.

Disamping dilengkapi dengan Taksonomi Bloom, Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan

Analisis Esensi Materi dan Strategi Penyelesaian Masalah berbasis multiple intelligence. Analisis

Esensi Materi sudah dijelaskan di bagian atas, bahwa kalau Substansi Masalah dan Masalah

Paedagogisnya berbeda, silabusnya akan berbeda pula.

Strategi Penyelesaian Masalah penting untuk memberikan rasa keadilan pada “siswa pintar” dan

“siswa yang kurang pintar” . Kalau “siswa yang kurang pintar” berhak mendapat tambahan

perbaikan nilai melalui program remedial, maka “siswa yang pintar” juga berhak mendapat tambahan

128 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : “Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu”, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)

Page 179: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

167

177

nilai melalui program pengayaan (enrichment). Dengan kata lain, apabila “siswa yang kurang pintar”

itu, setelah menempuh program remedial, akhirnya memperoleh nilai setara KKM : 75 (batas bawah

ketuntasan belajar), maka siswa yang sedari awal sudah memperoleh nilai 75 ke atas, berhak untuk

mendapat tambahan nilai setelah menempuh program pengayaan. Bagaimana dengan siswa yang

sejak awal sudah mendapat nilai 100 atau A, siswa yang bersangkutan tetap harus menempuh

program pengayaan, bila berhasil, maka siswa tersebut dapat naik kelas lebih cepat (kelas akselerasi)

atau siswa tersebut dapat langsung masuk ke topik yang lebih sulit atau tema yang lebih sukar (sistim

kredit semester). “Siswa yang pintar” mengikuti program pengayaan melalui PENDALAMAN

MATERI, sedangkan “siswa yang kurang pintar” mendapat upaya peningkatan pemahamannya

melalui perubahan strategi mengajar guru (PENDALAMAN STRATEGI). Kenapa “siswa yang

kurang pintar” tidak boleh mengulang materi yang sama yang belum dikuasainya dengan metode

yang sama? Karena belum tentu minat dan bakatnya di bidang yang diujikan itu. Misalnya, siswa

yang bodoh dalam Matematika, barangkali bakatnya di bidang musik, biarpun disuruh remedial

Matematika berulang kali, tidak akan mampu mengerjakan soal-soal Matematika yang rumit itu,

maka strateginya yang harus diubah (bukan dengan mengikuti program remedial berulang kali).

Contoh yang sering dipakai adalah siswa yang mendapat nilai jelek dalam seni suara atau musik,

biarpun dia diremedial ratusan kali, tidak mungkin dia dapat menjadi artis. Tapi kenapa hal itu kita

terapkan pada Matematika dan Sains ? Kita minta siswa mengikuti program remedial Matematika

dan Sains dengan harapan : mereka akan memahami matematika dan Sains, apakah mungkin (karena

bakat dan minatnya ada di bidang lain)? Maka guru harus mengubah strategi pembelajaran melalui

Pendalaman Strategi. Sehingga siswa dapat memenuhi SPM dalam bidang yang sedang digelutinya,

tanpa mematikan minat dan bakatnya sendiri.

Misalnya : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan permainan bola besar : sepak bola (bola kaki).

Maka guru harus mencari kata kunci (key word) dari sepak bola. Sepak bola, sama halnya seperti

ballet, memerlukan kelenturan pergelangan kaki, yang harus dilatih sejak kecil. Itu sebabnya, klub-

klub sepak bola di luar negeri selalu mempunyai sekolah sepak bola yang melatih sepak bola sejak

usia dini. Kelenturan pergelangan kaki tidak bisa dikuasai saat anak sudah remaja. Memang mereka

dapat tetap bermain bola, tapi pasti akan kalah terus dalam pertandingan.

Maka siswa yang sudah mahir dalam permainan sepak bola dapat mengikuti program

pengayaan yaitu free style street soccer (free style football), sedangkan siswa yang belum mahir

dalam sepak bola harus mengikuti strategi baru (tidak mengulang bermain sepak bola atau futsal)

tapi bisa mengikuti senam lantai dengan menggunakan bola untuk melatih kelenturan kaki dan

mendapat feeling tentang (permainan) bola besar.

Page 180: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

168

178

INDIKATOR MATERI STRATEGI PENDALAMAN

MATERI

PENDALAMAN

STRATEGI

Siswa dapat mempraktekkan permainan bola besar : sepak bola

Permainan bola besar : sepak bola

Inquiry (menemukan sendiri tehnik menyepak, menggocek dan mengoper bola yang sesuai dengan kelenturan kakinya)

Free style street soccer (free style football)

Using Multiple context (mempelajari ilmu dalam bermacam-macam konteks) belajar kelentur-an kaki dalam “mengolah” bola melalui senam lantai mengguna-kan bola

Hal yang sama berlaku untuk matematika dan sains. Siswa yang tidak bisa memecahkan problem

matematika (strategi awal : Problem based) maka siswa itu tidak diminta mengikuti program

remedial berulang, tapi guru mengganti strategi Problem based dengan strategi baru yaitu :

Employing Authentic Assessment (menghubungkan dengan kehidupan nyata), guru mengganti soal

matematika dengan soal-soal cerita (persamaan tersamar), misalnya ada seorang petani hendak

membagi harta warisnya yaitu 17 ekor sapi. Anak pertama (Budi) mendapat ½ dari hartanya itu,

anak kedua (Rudi) mendapat 1/3 dari hartanya itu, dan anak ketiga (Dudi) mendapat 1/9 dari

hartanya. Tapi petani itu berpesan, sapi itu harus dibagi sesuai jatah masing-masing, tidak boleh ada

yang dipotong, tidak boleh ada yang dijual dan tidak boleh mencari pinjaman sapi dari tetangga,

karena tetangganya belum tentu punya sapi (mungkin hanya punya kambing), bagaimana cara

membaginya ?

(Soal-soal persamaan tersamar ini ada di Kurikulum 1975 (dialokasikan jam yang dikhususkan untuk

membahas persamaan tersamar, terpisah dari jam aritmatika). Persamaan Tersamar dihapus pada

Kurikulum 1984, lalu buku Persamaan Tersamar ini ikut dibuang, padahal soal-soal persamaan

tersamar ini penting dalam mengasah logika dan selalu muncul dalam bentuk Verbal Test GMAT.

Kekeliruan mendasar yang lain adalah menganggap apapun kurikulumnya, pasti compatible

dengan SKS. Padahal untuk dapat menyusun diktat, LKS dan modul (sebagai prasyarat dasar dalam

penyusunan Analisa vertikal dan Analisa horizontal pada SKS), guru harus mampu membuat Silabus

sendiri. Bagaimana mungkin guru dapat membuat Silabus sendiri bila kewenangan guru ini dikebiri

(semua yang berkaitan dengan proses KBM di drop oleh Kemdikbud) melalui tafsir baru dari Pasal

10 UU Sisdiknas (tentang eksistensi dan kewenangan Pengawas) dan amputasi tugas profesional dan

kewenangan guru dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32

Page 181: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

169

179

Tahun 2013? 129 Guru juga tidak akan mampu menyusun Analisa vertikal dan Analisa horizontal

bila materi/bahan ajar sudah ditentukan oleh pemerintah melalui pencetakan buku siswa (sumber

belajar) secara seragam di tingkat nasional. Apakah materi/bahan ajar itu berulang di kelas berikutnya

atau antar tema tidak nyambung (analisa vertikal tidak dilakukan) atau apakah materi/bahan ajar itu

saling terkait satu sama lain atau topik terpisah satu sama lain (analisa horizontal tidak dijalankan),

guru tidak bisa melakukan apapun lagi, tinggal menerima buku siswa dan tinggal menjalankan saja

instruksi dari instruktur atau arahan dari Pengawas yang mengharuskan guru mengikuti lurus-lurus

buku siswa (sumber belajar) itu, dengan alasan buku siswa (sumber belajar) itu sudah disusun oleh

tim ahli. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini menghilangkan kreativitas dan inisiatif para guru.

Untuk dapat menyusun modul, maka guru harus menguasai perumusan Keunggulan Lokal

dan Keunggulan Global serta menguasai Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum yang termaktub

dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006. Perumusan Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global ini

dimulai dengan mencari kata kunci (key word) dari KD sehingga guru bisa fokus dalam mengajar

“inti masalah” dan tidak terjebak mengajarkan keseluruhan materi yang ada di buku siswa

(materi/buku sumber belajar). Target kurikulumnya jelas yaitu memisahkan bagian yang dapat

dibaca oleh siswa sendiri (di rumah) dan membuka dimensi kebeluman.

Misalnya : kata kunci dari KD 5.1 : Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan

sistematis untuk memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik, adalah “observasi” sehingga

guru fokus mengajar : “bagaimana melakukan observasi yang dapat dibenarkan secara ilmiah”,

bukan sekedar “mengamati”, tetapi mencatat fakta-fakta yang ada, lalu menganalisis “benang merah”

dari semua fakta yang tersaji. Dengan kata lain, observasi melatih siswa untuk shift dari berpikir

deduktif ke induktif

Hanya sayangnya, ketiga hal penting ini (perumusan Keunggulan Lokal, dan Keunggulan Global

serta penguasaan Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum) justru dihapus dalam Kurikulum 2013.

Tanpa kemampuan menyusun modul, penerapan SKS sesuai ketentuan Pasal 5 Permendikbud

129 Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan pembelajaran meliputi Silabus dan RPP yang sekurang-kurangnya memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Lihat juga catatan kaki No.5) Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan RPP untuk setiap muatan Pembelajaran (penyusunan materi ajar/sumber belajar diambil alih pemerintah melalui penerbitan buku ajar (buku siswa), proses belajar diatur pemerintah melalui penerbitan buku pegangan guru, dan metode ditentukan pemerintah (harus menggunakan metode 5 M), serta penilaian dirumuskan pemerintah melalui Permendikbud No. 66 Tahun 2013, lalu diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No. 81 A, dan diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014, yang masih salah secara matematis.

Page 182: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

170

180

No.158 Tahun 2014 hanya akan menjadi utopia, dan kita akan terjebak pada penerapan paket SKS,

seperti yang sudah lama dipraktekkan dalam kelas akselerasi dan mantan sekolah RSBI dulu.

Misalnya : Mata Pelajaran IPA Terpadu - Biologi SMP Kelas VII

Kompetensi Dasar Kata Kunci

5.1 Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan sistematis untuk memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik

Observasi

5.3 Menggunakan mikroskop dan peralatan pendukung lainnya untuk mengamati gejala-gejala kehidupan

Preparat

5.4 Menerapkan keselamatan kerja dalam melakukan pengamatan gejala-gejala alam

Penelitian lapang

6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk hidup Karakteristik

6.2 Mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki Taksonomi

6.3 Mendeskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan mulai dari tingkat sel sampai organisme

Diversifikasi

7.1 Menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem Ekologi

7.2 Mengindentifikasikan pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem

Plasma nuftah

7.3 Memprediksi pengaruh kepadatan populasi manusia terhadap lingkungan Densitas

7.4 Mengaplikasikan peran manusia dalam pengelolaan lingkungan untuk mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan

Konservasi

Kenapa mencari kata kunci ini penting? Supaya guru fokus pada target kurikulum dan tujuan

pembelajaran dan tidak tersesat mengajarkan semua yang ada di buku ajar/materi/sumber belajar

(halaman demi halaman). Tidak ada lagi seruan guru : “Buka halaman sekian ….”. Dengan kata

lain, guru dapat memilah dan memilih mana yang primer dan mana yang sekunder. Tidak semua

bahan yang ada di buku siswa itu penting (ada bagian yang dapat dibaca sendiri oleh siswa di rumah),

karena itu di Silabus selalu dicantumkan “materi pokok”, materi yang dianggap penting dan berguna

dalam meletakkan dasar pemahaman teoritis siswa. Celakanya, Silabus sekarang ini disusun oleh

Kemdikbud, sehingga para guru kehilangan keterkaitan antara “materi pokok” dan materi sekunder,

serta rumusan Indikator Keberhasilannya Akibatnya, bobot soal tidak lagi memperhatikan urgensi

suatu materi/bahan ajar. Soal-soal yang diujikan bisa ditolak dalam ITEMAN (ANATES dari ITB,

SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital. Bahkan kesalahan

fatal bisa terjadi, Kurikulum 2013 yang mengadopsi SOLO taxonomy ternyata tidak menggunakan

penilaian rubrik, tetapi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, dengan konversi yang aneh (jumlah

soal : kelipatan 40, salah 10 : IP-nya 3, salah 20 : IP-nya 2) (lihat Bab V : Kompetensi vs Penilaian).

Page 183: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

171

181

Mari kita simak, pola pencarian “kata kunci” yang mengusung kemampuan berpikir kritis, kreatif

dan imajinatif

Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum Kata Kunci

1. Berpusat pada potensi,perkembangan, kebutuhan dan kepentingan siswa dan lingkungannya

Siswa

2. Beragam dan terpadu Terintegrasi

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Responsif

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Relevan

5. Menyeluruh dan berkesinambungan Komprehensif

6. Belajar sepanjang hayat Pembelajar

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah Balans

Kalau kedua kata kunci itu kalau digabungkan akan menghasilkan pemetaan siswa menurut Multiple

Intelligence, apa pengetahuan dasar yang harus dikuasai siswa dan apa yang tidak perlu dipaksakan

harus dikuasai siswa mengingat bakat dan minatnya berbeda (penyusunan SPM Akademik)

KD 5.1 Obser-

vasi

KD 5.3 Prepa-

rat

KD 5.4 Peneli-

tian lapang

KD 6.1 Karak-teristik

KD 6.2 Takso-nomi

KD 6.3 Diver-sifikasi

KD 7.1 Eko-logi

KD 7.2 Plasma nuftah

KD 7.3 Densi-

tas

KD 7.4 Konser-

vasi

Siswa

x x x x x x

Terinte-grasi

x x x x x x x x

Respon-sif

x x x x x x x x x x

Rele- van

x x x x x x x x

Kompre-hensif

x x x x x x x x

Pembe-lajar

x x x x x x x

Balans

x x

Dari tabel di atas, mengapa siswa tidak perlu menguasai 4 KD : karakteristik, taksonomi,

diversifikasi, dan ekologi? Karena keempat hal itu adalah bidang biologi murni, siswa yang berbakat

di bidang Bahasa tidak perlu menguasai hal-hal sangat teknis dalam biologi.130

130 Bakat dan minat siswa berbeda-beda sesuai dengan pemetaan Multiple Intelligence, siswa yang kurang menguasai Biologi bukan berarti bodoh, mungkin bakat dan minatnya di bidang bahasa

Page 184: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

172

182

Dengan demikian, tabel ini sekaligus menunjukkan SPM akademik (bukan sekedar SPM sarana dan

prasarana seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2013).

Maka untuk bahan penyusunan Diktat Bab I terdiri dari beberapa kata kunci (lihat di tabel diatas):

Siswa Observasi Preparat Penelitian lapang Plasma Nuftah Densitas Konservasi

penelitian hereditas

ekosistem

Jadi gabungannya adalah : SISWA MENELITI TENTANG HEREDITAS DAN DAMPAK

POPULASI MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM

Dengan menggunakan prinsip 5 W + 1 H , guru dapat menyusun isi diktat :

1. What : Apa yang dimaksud dengan hereditas?

2. Why : Mengapa populasi manusia bisa berdampak negatif pada ekosistem?

3. Who : Siapa penyusun teori pola keteraturan hereditas mahluk hidup?

4. Whom : Kepada siapa kesalahan mengenai AMDAL dapat diadukan?

5. When : Bilamanakah kesimpulan suatu penelitian dapat dikatakan tidak sahih?

6. How : Bagaimana pola rantai makanan dalam lingkungan di sekitarmu dapat dirumuskan?

Apa yang tertulis di atas hanya contoh, pertanyaan bisa diajukan beberapa kali (untuk What bisa 5

pertanyaan, untuk Why bisa 6 pertanyaan, dst)

Dengan menjawab pertanyaan di atas secara lengkap akan didapat isi diktat, yang tidak terdapat

dalam buku ajar/buku teks, sehingga siswa mau datang ke sekolah dengan curiosity karena dia tahu,

banyak bahan yang tidak akan dia peroleh di luar kelas (kehadirannya di kelas tak tergantikan oleh

bimbel/les privat). Disinilah wibawa akademik seorang guru ditegakkan, bukan dengan marah-

marah, bukan dengan menunjukkan kelulusan pada Diklat sertifikasi guru, tetapi dengan

menunjukkan keluasan wawasannya melalui diktat yang disusunnya. Kemampuan menyusun diktat

ini sudah lama sirna, sejak Kemdikbud membentuk tim penilai buku ajar/materi yang layak

digunakan dan sekolah tinggal menerima buku yang direkomendasikan Dinas Pendidikan setempat

pada awal tahun 1994 (pada awal pelaksanaan Kurikulum 1994).

Dari contoh diatas, pencarian kata kunci bisa berbeda, penggabungannya dapat berlain-lainan,

penyusunan Kalimat Tanya dalam 5 W + 1 H bisa berbeda, sehingga isi diktat bisa jauh berlainan,

tergantung keluasan wawasan guru, bagaimana mungkin materi/bahan ajar mau diseragamkan seperti

pada Kurikulum 2013 ?

Page 185: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

173

183

Diktat + LKS = Modul, kalau guru tidak bisa menyusun silabus sendiri, lalu diktat (buku

ajar/materi/sumber belajar) dibuatkan oleh pemerintah, bagaimana guru bisa membuat modul ?

Kalau guru tidak bisa membuat modul sendiri, bagaimana sekolah bisa maju ke SKS ? Ada yang

berkilah bahwa kurikulum SKS dapat mengandalkan franchise kurikulum IB atau Cambridge,

masalahnya adalah tanpa pembuatan modul oleh guru sendiri, keunggulan lokal tak pernah dapat

dirumuskan, sehingga beda antar sekolah menjadi tidak nampak, akibatnya sekolah bersaing dengan

berbagai cara untuk mendapatkan murid baru (menarik pendaftar)

Intinya, kurikulum harus bisa mendorong guru menjadi manusia pembelajar sehingga

tunjangan sertifikasi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan wawasan para guru. Bila kurikulum

hanya menjadikan guru seorang manusia yang pasif (hanya menunggu arahan pengawas atau

menunggu pelatihan guru dalam penyusunan RPP) seperti yang dipolakan dalam Kurikulum 2013,

jangan heran kalau hasil uji kompetensi guru rendah : 1,3 juta guru mendapat nilai uji kompetensi

dibawah 60 dari rentang nilai 0-100 (Kompas, Kamis 9 Juli 2015 halaman 12, PENGEMBANGAN

GURU MASIH SETENGAH HATI) : "Bahkan selama bertahun-tahun saya menyaksikan pelatihan

guru yang kerap berbau proyek, asal diselenggarakan tanpa memikirkan hasilnya berkualitas atau

tidak. Saya pernah mengikuti pelatihan tahun 1999 dan 2003 yang seharusnya berlangsung lima

hari, tetapi baru dua hari peserta dibubarkan. Kami diberi transportasi tiga hari, tetapi tanda

tangannya lima hari. Menurut kawan-kawan dari berbagai daerah, hal ini juga terjadi di

wilayahnya," tutur Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.

Dari paparan diatas nampak jelas bahwa pengajaran tidak bisa diproyekkan.

Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayan, tetapi

juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang, melewati titian proses pengajaran

yang mencerahkan. Sebagian tidak menyadari (bahwa pengajaran menunjukkan profesionalitas

guru), sebagian lainnya menyesali atau mengingkarinya (mengingkari sejarah panjang pendidikan

Indonesia), seperti pengebirian Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP

No. 32 Tahun 2013131 sehingga budaya ilmiah tidak pernah terbentuk di lingkungan sekolah, yang

muncul adalah pendidikan yang menghamba pada kekuasaan. Segala aktivitas guru selalu dikaitkan

dengan pencairan tunjangan sertifikasi. Sudah lama guru tidak lagi menikmati kebebasan mimbar

akademik, guru bukan lagi merupakan panggilan hidup, tetapi merupakan pencari kerja/orang upahan

yang sangat tergantung pada pengupahnya (Kemdikbud) dan Kemdikbud memanfaatkan betul

keadaan ini untuk mendefungsionalkan guru.

131 Lihat Catatan Kaki No. 129, Catatan kaki No.5 dan Catatan kaki No. 48

Page 186: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

174

184

Pengajaran dan pengukuran capaiannya

Mengingat Silabus dibuat oleh Kemdikbud (bukan lagi menjadi tugas profesional seorang guru

seperti ketentuan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005), maka dampaknya adalah :

- Guru tidak tahu lagi cara merumuskan Indikator Keberhasilan dari suatu Kegiatan

Pembelajaran

Misalnya : KD 4.1 : IPS – Sejarah Kelas VII SMP :

Menyajikan hasil pengamatan tentang hasil-hasil kebudayaan dan fikiran masyarakat

Indonesia pada masa praaksara, masa hindu buddha dan masa Islam dalam aspek

geografis, ekonomi, budaya dan politik yang masih hidup dalam masyarakat sekarang

Kegiatan Pembelajaran Indikator Keberhasilan

Kronologi masuknya pengaruh asing di

Indonesia

Siswa dapat membuat infografis tentang

masuknya pengaruh asing di Indonesia

Melihat perubahan yang dibawa oleh

pengaruh asing

Siswa dapat melihat penyesuaian

masyarakat terhadap pengaruh asing

(akulturasi)

Reaksi masyarakat terhadap infiltrasi

pengaruh asing

Siswa dapat melihat bagaimana masyarakat

menyerap yang baik dan membuang yang

kurang baik (inkulturasi)

Relevansi dengan masa sekarang Siswa dapat menunjukkan kearifan lokal

dalam menghadapi perubahan

- Guru tidak bisa lagi membedakan antara Indikator dan Indikator Nilai-nilai Kemanusiaan

Indikator terkait dengan target kurikulum yang hendak dicapai, pengukurannya melalui

evaluasi hasil belajar di Catatan Kompetensi (CK) atau Rapor Lembar I, sedangkan Indikator

Nilai-nilai Kemanusiaan terkait dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi titik berat

dalam edukasi, pengukurannya melalui monitoring proses belajar di penilaian berbasis kelas

(PBK) atau Rapor Lembar II.

Masalahnya adalah PBK itu terkait langsung dengan manajemen kelas yang mensyaratkan

azas lokalitas dan kontekstual (otonomi guru), bukan manajemen ala pengawas atau

manajemen ala Dinas Pendidikan yang tidak kontekstual dan menunjukkan hegemoni

pemerintah dalam pendidikan.

Page 187: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

175

185

Akibatnya, monitoring proses belajar (Rapor Lembar II) dianggap tidak penting, sehingga

sampai sekarang, Kemdikbud hanya sibuk merumuskan bagaimana mengkonversi nilai dalam

Rapor Lembar I

- Guru kehilangan konteks antara EEK (eksplorasi, elaborasi dan konformasi) dengan metode

5 M

Misalnya : KD 3.1 Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X SMA

Menganalisis perkembangan kasus-kasus pelindungan dan pemajuan HAM sesuai dengan

konsep dan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Konteks EEK-nya adalah :

KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA EKSPLORASI

Kasus perlindungan dan pemajuan HAM di banyak tempat masih sebatas utopia

Siswa belajar tentang semangat altruisme dalam diri para pejuang HAM

Kedaulatan individu dan institusi (prestige) masih diunggulkan

Siswa mencari contoh altruis : Salim Kancil (Forum Petani Anti Tambang Desa Selok Awar-awar) – ada 24 tersangka pembunuhan dan 9 tersangka penambangan illegal

Menunjukkan banyaknya pejuang HAM yang rela mati demi perjuangannya

Siswa mencari contoh ideal : Nelson Mandela, Munir

ELABORASI

Menunjukkan para pejuang kemanusiaan seperti para pemenang Hadiah Nobel untuk perdamaian

Siswa mencari para pejuang kebebasan, seperti para mahasiswa korban tragedi Tiananmen (1989)

Menunjukkan para pembela kaum papa dan miskin seperti Kick Andy Heroes, From Zero to Hero, dll

Siswa mencari para filantropis baru, seperti Dato Sri Prof Dr Tahir (Bank Mayapada)

KONFIRMASI

Target Kurikulum : metakognitif : guru membimbing siswa agar sampai pada penerapan konsep HAM : penghargaan atas liyan

Siswa berusaha sampai pada tahap “melaksanakan” penghormatan atas hak-hak azasi yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights)

Model pembelajaran : konstruktivisme : guru membimbing siswa agar sampai pada perubahan sikap : toleran pada perbedaan pendapat, tidak menganggap mereka yang berbeda pendapat sebagai musuh

Siswa mencari TELADAN atau contoh dari para pejuang hak-hak anak, seperti Dr Sofyan Tan (Medan) perintis sekolah gratis bagi anak-anak tidak mampu

Page 188: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

176

186

Sedangkan konteks metode 5 M dengan EEK adalah :

Mengamati (lihat Analisis Esensi Materi), Menanya (lihat di Strategi Penyelesaian Masalah),

Menalar (lihat di Model Pemetaan Taksonomi Bloom), Mengasosiasi (lihat di Refleksi di RPP

(diuraikan secara rinci dalam bagian Refleksi di Bab I Filosofi Pendidikan) dan Aksi (lihat di Lembar

Kerja Siswa)

KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA

EKSPLORASI

Guru MENGAMATI masalah yang timbul pada Bahan Ajar & masalah pada Siswa serta mengamati cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu

Siswa MENGAMATI sumber/bahan apa saja yang dapat memperkaya pengetahuannya

ELABORASI

Guru MENANYA bahan apa saja yang dapat dipergunakan dalam PROGRAM PENGAYAAN dan Strategi apa saja yang dapat dipakai untuk mengganti PROGRAM REMEDIAL

Siswa MENANYA bahan apa saja yang dapat memperdalam pemahamannya dan MENANYA cara apa yang bisa dilakukan dalam mengejar ketertinggalannya

KONFIRMASI

Guru MENALAR Kata Kerja Operasional apa yang cocok diterapkan untuk situasi kelas dan kondisi siswanya

Siswa MENALAR Kegiatan Pembiasaan apa yang dapat mengejar target kurikulum sehingga tujuan pembelajarannya tercapai

Dengan contoh di atas, nampak jelas kaitan antara pola EEK pada KTSP Bimtek (2008) dan

keterkaitannya dengan metode 5 M dalam Kurikulum 2013, sehingga metode 5 M tidak dipandang

sebagai sesuatu yang baru dalam penyusunan RPP.

Jadi guru tidak dibingungkan dengan berbagai pelatihan baru dalam Kurikulum 2013 yang tidak jelas

konteksnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Ingat, bahwa 28 permendikbud terkait

Kurikulum 2013 itu, tidak satupun yang menyebut adanya kurikulum baru, kesemuanya selalu

menyebut KTSP (lihat Catatan kaki No.2 dan No.5)

Problem pengajaran, pembelajaran dan pendidikan karakter

Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar

dengan visi yang kabur. Krisis multi dimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada

pengajaran pendidikan karakter. Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis IQ dianggap tak memadai

Page 189: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

177

187

menjawab krisis kedirian, program pendidikan berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain,

terutama yang berbasis SQ (spiritual quotient) seperti terlihat dalam rumusan Kompetensi Inti 1 (KI

1) di semua jenjang pendidikan dalam Kurikulum 2013. Usaha menyelesaikan persoalan pendidikan

dengan ukuran-ukuran itu memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ dan SQ itu

sudah tepat menyasar sisi terlemah dari pendidikan kita?

Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa manusia terdiri atas dua

bagian : kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas, serta kedirian publik (public

self) yang melibatkan relasi sosial. Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem pendidikan

di Indonesia tidaklah bersumber pada kecerdasan privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah

kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari prestasi para siswa kita

dalam ajang Olimpiade Sains internasional. Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan

emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (tidak lebay), dan ketahanan

menghadapi kesulitan. Kecerdasan spiritual juga relatif kuat, manusia Indonesia pada umumnya

bersifat religius, lihatlah pembangunan rumah ibadah yang sangat masif di kompleks sekolah-sekolah

negeri dan aktifnya kegiatan ROHIS/ROHKRIS di sekolah-sekolah negeri.

Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik.

Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus

keburukan begitu terjun ke aksi kolektif. Kita juga bisa menyaksikan bahwa hampir semua hal yang

bersifat kolektif mengalami dekadensi : partai politik sakit, birokrasi sakit, lembaga perwakilan sakit,

aparat penegak hukum sakit.

Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dalam

mengembangkan kecerdasan kewargaan (civic quotient). Mata pelajaran Civics yang diakomodasi

dalam Kurikulum 1975 malahan dihapus. Pendidikan terlalu menekankan pada kecerdasan personal

(lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy paste dalam

Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (lihat catatan * di Kata

Pengantar). Kemdikbud abai dalam menautkan kecerdasan personal ini dengan kecerdasan kolektif

kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret “huruf” dalam NISN (nomor induk siswa

nasional) atau Dapodik/Padamu Negeri, tanpa disusun ke dalam “kata” dan “kalimat” bersama.

Padahal bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya,

tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan

penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama.

(Kompas, Selasa 6 Oktober 2015 halaman 15 : Kecerdasan Kewargaan). Oleh karena itu, alih-alih

menjustifikasi pendidikan karakter melalui KI 1, yang paling diperlukan saat ini adalah merevitalisasi

Page 190: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

178

188

mata pelajaran Civics itu sehingga bersesuaian dengan Nawa Cita No.8. Namun hal ini memerlukan

“teladan” dari guru sehingga guru sebaiknya menerapkan Taksonomi Bloom (bukan SOLO

Taxonomy) dan peretas kegelapan itu adalah daya kreatif guru dan siswa yang hanya mungkin

terwadahi melalui otonomi pendidikan dan kebebasan mimbar akademik.

Tantangan globalisasi, pasar bebas (MEA 2015) dan liberalisasi pendidikan tidak bisa dihadapi

dengan indoktrinasi yang sifatnya pasti top down (guru harus begini, sekolah harus begitu : yang

digariskan oleh para instruktur atau Dinas Pendidikan, dan diawasi ketat oleh para Pengawas). Di era

inilah diperlukan inspirasi

Jalan pintas

Ada sementara kalangan yang berpendapat, mau menerapkan Kurikulum 2006 atau

Kurikulum 2013, yang paling penting adalah menyiapkan pembelajaran yang membuat siswa aktif.

Mereka lupa akan kegagalan CBSA dulu. Karena cara belajar siswa aktif atau penerapan metode

saintifik (5M) itu memerlukan prasyarat diberlakukannya pendidikan yang berpusat pada siswa

(student centered learning) (siswa bukan sekedar “peserta didik”, tapi “subyek didik”), yang

mengakomodasi keberagaman (multikulturalisme). Hal ini hanya dapat dicapai bila guru melakukan

Analisa Konteks (yang sebenarnya termaktub dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006 (KTSP awal)

dan KTSP Bimtek (2008), hanya sayangnya hal ini sudah dihapus dalam Kurikulum 2013. Hal ini

sebenarnya juga diusung dalam Standar Proses yang ada di Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan KTSP

Bimtek (2008) yang meliputi PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif,

Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot) dan CTL (contextual teaching learning)

Jadi keaktifan siswa dalam belajar memerlukan prasyarat :

- Diterapkannya Standar Proses dalam Kurikulum 2006 (Pengembangan RPP, Pengembangan

Silabus, PAIKEM GEMBROT dan CTL). Hal ini tidak mungkin dicapai melalui

pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam ala Kurikulum 2013, karena praktis guru tidak

bisa mengembangkan Silabus (Silabus sudah di drop oleh Kemdikbud) : wawasan guru

menjadi terbatas, bagaimana bisa mendampingi siswa secara intens? Guru juga tidak

mungkin mengembangkan RPP karena guru harus mengikuti arahan dari para instruktur dan

diawasi secara ketat oleh para Pengawas Mata Pelajaran

Dengan kata lain, pembelajaran siswa aktif memerlukan otonomi pendidikan dan kebebasan

mimbar akademik, tanpa itu, kita akan mengulangi kegagalan CBSA dulu

- Untuk membuat siswa aktif, entah dengan metode saintifik (5 M) atau dengan CTL,

memerlukan penguasaan materi secara mendalam yang hanya bisa dicapai bila guru

melakukan Analisis Esensi Materi (AEM).

Page 191: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

179

189

Misalnya KD 3.4 pada Mata Pelajaran Sosiologi SMA Kelas X :

Mengkaji adanya berbagai bentuk perilaku menyimpang atau sub-kebudayaan menyimpang

sebagai konsekuensi dari ketidakharmonisan hubungan sosial

Indikator

Masalah

Penyelesaian

Penugasan Substansi Pedagogis

3.4.1.Siswa

dapat

membedakan

dengan tajam

macam2 atau

jenis2

perilaku

masyarakat

Masyarakat

produsen berubah

menjadi

masyarakat

konsumen

(hedonis)

Menguatnya

budaya instan

Mengenal

budaya artificial

(pencitraan)

Melakukan

analisis terhadap :

pencitraan politik

menjelang Pilkada,

atau pencitraan

prestige, atau

pencitraan “darah

biru” (snobbish)

Dari contoh di atas, terlihat bahwa fungsi PENUGASAN memang membuat siswa belajar

aktif, tanpa membuat teori yang muluk-muluk, seperti kompetensi yang bersifat spesifik atau

kompetensi yang bersifat generik; Penyusunan Indikator Keberhasilan dan pembuatan

soalnya menjadi lebih mudah (siswa bukan saja diharapkan mencapai KKM, tetapi juga

mampu memenuhi KKI)

Siswa yang kurang berminat dalam Sosiologi tetap terbantu untuk menguasai SPM Sosiologi

tanpa mengorbankan bakat dan minatnya dalam bidang lain.

Hanya saja AEM ini sudah dihapus pada KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Tanpa

panduan AEM ini, guru hanya membuat siswa makin bingung, melongo, dan menganga saja

dalam paradigm shifting dari faktual ke metakognitif

Maka pembelajaran siswa aktif yang mutlak diperlukan dalam penerapan SKS (sesuai Pasal

5 Permendikbud No.158 Tahun 2014) harus menerapkan Disain Kurikulum Digital yang

mencakup 22 langkah penyusunan kurikulum kontekstual yang bersandar pada pendidikan

holistik dan berlandaskan multiple intelligence

Potong kompas atau jalan pintas hanya akan menjebak para guru dalam kerancuan demi

kerancuan seperti yang sudah diuraikan dalam Bab I – Bab VI

Oleh sebab itu, semangat otonomi pendidikan yang sudah disodorkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 hendaknya menjadi titik tolak menuju pemanusiaan manusia muda

sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Nawa Cita No.8

Page 192: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

180

190

PENUTUP Kita dapat mendiskripsikan hegemoni pemerintah di dunia pendidikan dan pengajaran kita,

melalui analogi landskap Appadurai,132 sehingga kita dapat memahami mengapa Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan mentransformasikan diri menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas

Pendidikan memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan.

Sementara para pendiri republik (para bapa bangsa) mati-matian menolak hegemoni

pemerintah Belanda dan Jepang dalam dunia pendidikan kita pada masa penjajahan (melalui suatu

gerakan politik, seperti Pendidikan Nasional Indonesia yang dikumandangkan oleh Mohammad

Hatta) demi memperjuangkan kesetaraan dalam akses pendidikan, sistim pendidikan kita dewasa

ini cenderung melakukan hal sebaliknya. Saat para bapa bangsa melegitimasi perspektif lokalitas

dalam pendidikan. Sistim pendidikan kita dewasa ini mendelegitimasi semua hal itu. Sementara

kearifan lokal sangat relevan diterapkan secara luas dalam sistim pendidikan kita saat itu, pada saat

ini, kearifan lokal itu diremehkan sebagai sesuatu yang picik, mengganggu, tidak relevan, tidak

ilmiah dan tidak logis. Lihatlah matinya perguruan INS Kayutanam di Sumbar, sekolah Sriwedari di

berbagai kota di Jawa, dll. tanpa disesali oleh pemerintah, atau memudarnya perguruan Taman Siswa

di tanah air kita tanpa kepedulian pemerintah, dll Pemerintah hanya sibuk membangun sekolah-

sekolah negeri baru yang seragam dan tidak lagi mempunyai visi dan misi sekolah, yang hanya repot

dengan Dapodik atau Padamu Negeri (cerminan sentralistik pendidikan, abai pada desentralisasi

pendidikan yang diusung dalam UU Otonomi Daerah) dan abai pada banyaknya anak yang putus

sekolah yang tercermin dari bentuk piramida kuantitas sekolah kita : Jumlah SD : 148.361, jumlah

SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Dari data ini terlihat bahwa jumlah anak

yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar. Meskipun sudah

diluncurkan program pendidikan gratis dan Kartu Indonesia Pintar serta telah disosialisasikan

macam-macam dana beasiswa, namun angka DO (drop out) masih tetap tinggi.

Hal ini seharusnya dipecahkan melalui e-learning sehingga murid-murid di pelosok tetap

dapat mempunyai akses ke guru-guru yang “mumpuni” kapan saja (any time) melalui internet

(pengajaran berbasis laman (web), atau lewat HP-nya (pengajaran berbasis android), bukan dengan

meluncurkan kurikulum yang hegemonik, yang mencoba membendung arus globalisasi dan

liberalisasi pendidikan melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, yang bisa kontra produktif dengan

Perpres No. 77 Tahun 2007 dan ratifikasi perjanjian WTO serta ACMW.

132 We can describe the hegemony in the field, borrowing the analogy of Appadurai’s scapes, as “eduscapes”, which approximate to “ideoscapes”, that is a global flow ideas about the practices in education. This ideas include the philosophical outlooks which serves as the basis of education system, curricula, approaches to and methods of teaching, teaching materials, certification, and assessment systems (Arjun Appadurai : Modernity at Large, Cultural Dimension of Globalization, Minneapolis, Univ of Minnesota Press, 1996)

Page 193: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

181

191

KILAS BALIK

Negara kita mempunyai jejak sejarah pendidikan yang panjang, yang di masa lalu telah

menjadi rujukan bagi negara-negara tetangga, bahkan sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri di

masa lalu diminati juga oleh warga asing. Dewasa ini, para diplomat kita di luar negeri dan para

terdidik diaspora, tidak lagi sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia di luar negeri.

Tahun 1975 adalah masa jaya dunia pendidikan kita dengan digagasnya Kurikulum 1975 :

matematika dan sains dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan, dimana siswa dilatih

menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam

administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari.

Penafian kajian sejarah pendidikan ini telah membuat kualitas pendidikan kita makin lama

makin merosot133 dan kesinambungan orientasi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (seperti

yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945) dan ketercapaian misi Kemdikbud (seperti yang

tercantum Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional 134) serta

strategi untuk ketercapaian program “pendidikan untuk semua” (Education for all) melalui program

“wajib belajar” 12 tahun makin hari makin makin kabur.135 Tiba-tiba bisa muncul Pasal 5

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014136 padahal seluruh sumber daya

sedang dikerahkan untuk implementasi Kurikulum 2013. Kemdikbud lupa pada tugasnya dalam

kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas) dan pada misinya (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas), lebih-

lebih lupa pada Nawa Cita No.1, dan Nawa Cita No.5

133 Tanpa kajian sejarah pendidikan, kita lupa dampak besar penghapusan IKIP dan program Akta IV (lupa bahwa jumlah guru IPA kita masih sangat terbatas sehingga pemerintah pernah membuat crash program D-3 guru IPA di berbagai perguruan tinggi non IKIP), pergantian SMP menjadi SLTP dan SMA menjadi SMU, tidak diantisipasinya otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) dengan akibat Kepala Dinas Pendidikan bisa dijabat orang parpol, dan yang paling penting tidak adanya analisis kurikulum, yang menunjukkan bahwa kurikulum kita dari 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013 makin lama makin miskin (materi ajar makin banyak berkurang), misalnya pada Kurikulum 1994 Mata pelajaran Ilmu Bumi Falak dihapus dan sekarang pada Kurikulum 2013 Mata Pelajaran TIK dihapus 134 Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 : Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu 135 Jumlah sekolah yang mengerucut mencerminkan tingginya angka drop out meksipun sudah dikucurkan Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Indonesia Pintar (Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 atau ada sekitar 5 juta pendaftar SD per tahun, yang berhasil lulus S-1 hanya 408.000 orang) 136 Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan Sistim Kredit Semester (SKS)

Page 194: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

182

192

(abai pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11

Desember 2014). 137

Profesionalitas guru bukan ditingkatkan dalam era globalisasi ini, tetapi justru dipangkas 138

sehingga para guru akan sulit membuat diktat, LKS, dan modul, serta penilaian berbasis kelas (PBK)

: empat prasyarat penting bagi terlaksananya ketentuan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014

Pemangkasan profesionalitas guru ini, disamping melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun

2005 tentang Guru dan Dosen, juga menimbulkan hegemoni pemerintah 139 (menafikan otonomi

pendidikan)140 sehingga memunculkan banyak kerancuan di lapangan, mulai dari kerancuan negara

rujukan (bukan mengacu ke Finlandia, tapi ke negara-negara OECD), kerancuan filosofi, dan

kerancuan pengertian pengajaran (yang selalu dikaitkan dengan metode), sampai ke kerancuan

program penilaian (hanya berkutat pada evaluasi terhadap siswa, lupa pada monitoring proses belajar

(PBK) dan evaluasi profesionalitas guru yang berwujud pada terbentuknya Bank Soal). Terjadi

pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) : guru cukup membuat RPP saja (guru hanya menjadi

tukang mengajar), program sertifikasi guru dan program penyiapan calon guru di PGSD/FKIP

menjadi nir makna.

137 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 : Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan Kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan Kurikulum 2006 mulai semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk melaksanakan Kurikulum 2013 Permendibud No. 160 Tahun 2014 Pasal 2 ayat 3 : Satuan Pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester) dapat berganti melaksanakan Kurikulum 2006 dengan melapor kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya 138 Pemangkasan profesionalitas guru dapat dilihat dari ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran Bandingkan dengan ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar 139 Pemerintah sibuk dengan implementasi Kurikulum 2013, lupa pada kewajibannya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 dan Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistim Pendidikan Nasional 140 Otonomi pendidikan dihapus lewat penghapusan fungsi pengawasan internal sekolah melalui penghapusan Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Fungsi pengawasan ini kemudian diambil alih oleh Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran (dua jabatan yang tidak disebut dalam UU Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005, bahkan dalam PP No. 32 Tahun 2013) Penjabaran isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 dapat dilihat di Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005

Page 195: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

183

193

Kerancuan yang merusak adalah tumpang tindihnya fungsi LPMP (Pasal 1 ayat 31 PP No. 32

Tahun 2013) dan LPPKS, dengan fungsi Pengawas (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013

Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan). Fungsi Pengawas ini justru bertentangan dengan isi

Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. Melalui campur tangan yang terlalu dalam yang dilegalkan

lewat Permendikbud No.65 Tahun 2013 itu, telah terjadi penyeragaman kurikulum yang bertentangan

dengan azas diversifikasi kurikulum (lihat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 77 M ayat 1 dan

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan kita makin merosot (lihat

hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab

Pendahuluan). Kemdikbud bisa dihujat banyak kalangan sebagai pihak yang abai pada Nawa Cita

No.5 (peningkatan kualitas pendidikan).

Akibat ketidak-sinambungan orientasi (disorientasi) road map dunia pendidikan kita yang

hanya terpaku pada implementasi Kurikulum 2013 at all cost 141, bisa memunculkan Permendikbud

No. 31 Tahun 2014142 yang mencoba membendung globalisasi dan liberalisasi sektor pendidikan,

abai pada Perpres No. 77 Tahun 2007 143 dan MEA 2015 serta APEC 2020.

Pemerintah bukannya menggali keunggulan lokal dan kearifan lokal yang sebenarnya bisa

dilakukan lewat Kurikulum 2006, lalu maju ke penerapan SKS, tapi pemerintah justru

bertransformasi menjadi pengurus sekolah144 Dengan pemaksaan pemberlakuan Kurikulum

2013, maka kalau terjadi kegagalan dalam pengejawantahan “revolusi mental”, Kemdikbud

bisa menjadi tertuduh utama penyebab kegagalan karena abai pada Nawa Cita No.8 (menata

ulang kurikulum pendidikan nasional), bukan meneruskan barang basi Kurikulum 2013

bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan itu. (disebut barang basi karena

Kurikulum 2013 itu hakekatnya adalah KBK (2004) yang sudah dicabut pada tahun 2006) : lihat

Catatan kaki No.27

Banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu menganggap kurikulumnya

kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari kenyataan, yang lain lagi

mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman, kurang

141 Kurkulum 2013 at all cost memangkas profesionalitas guru, sehingga menafikan azas diversifikasi kurikulum sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 dan melanggar dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 142 Permendikbud No. 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing 143 Lampiran II Perpres No. 77 Tahun 2007 : yang terbuka bagi PMA : Education building dan Kepemilikan modal dalam Education building, Pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Non formal 144 Lihat pemangkasan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 Lihat Pedoman Penilaian yang berkali-kali diubah rumusnya dan tetap salah itu. Pedoman penilaian itu juga hanya berkutat dengan evaluasi hasil belajar siswa, abai pada terbentuknya Bank Soal dengan soal-soal yang terverifikasi melalui Analisa Soal

Page 196: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

184194

memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,

menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya

sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.

Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya.

Kurikulum 2006 sebenarnya sudah mulai merumuskan tanggung jawab pemerintah dalam

kebijakan pengelolaan pendidikan (pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)

Dengan demikian diharapkan agar para guru tidak kembali ke pola lama. Para guru perlu melihat

kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS

(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :

- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu

manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru

penanggung jawab tiap bidang.

- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga

kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.

- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan

Keterpenuhan dokumen-dokumen ini memungkinkan sekolah memperoleh sertifikasi sistim

manajemen internasional melalui sertifikat ISO 9001 : 2008

Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua

hal baik yang sudah ada sebelumnya.

Yang belum dilakukan adalah menentukan SPM (standar pelayanan minimal) akademik145 :

Di kelas berapa, kegiatan membaca selama 15 menit sebelum jam sekolah dimulai (sesuai ketentuan

Permendikbud No.23 Tahun 2015) mempunyai makna literasi ? Kapan metode demonstrasi di kelas

harus dialihkan menjadi metode eksperimen di laboratorium ? Kapan siswa sudah bisa diwajibkan

membuat resume atau ikhtisar dari materi/bahan ajar? dll. Penyusunan SPM ini mendesak dilakukan,

bukan eksekusi kurikulum baru, hanya karena kurikulum itu tercantum dalam Standar Isi, sehingga

pemerintah tidak kehilangan arah dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 3 UU Sisdiknas. Apa buktinya bahwa pemerintah mulai kehilangan orientasi pendidikan ?

- Terjadi pemaksaan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi Surat Edaran Mendikbud

No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014, dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3

Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 yang memberlakukan

145 Yang ada adalah SPM sarana-prasarana minimal (Permendikbud No. 23 Tahun 2013)

Page 197: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

185195

kembali Kurikulum 2006, serta abai pada Nawa Cita No.8 : “penataan kembali kurikulum

pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan”

- Pelatihan guru untuk penerapan Kurikulum 2013 saat ini, justru memunculkan relasi sub

ordinasi yang nampak dari perubahan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi sangat

kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (paralel dengan itu adalah perubahan isitilah

dari penatar menjadi instruktur (orang yang memberi instruksi) dan sifat top down dalam

dropping silabus,buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru) yang merampas

wewenang guru sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20

butir (a) UU Guru dan Dosen serta dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M

ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. (Kemdikbud perlu disadarkan akan urutan tata

perundangan : permendikbud ada di bawah PP dan PP ada dibawah UU,

PERMENDIKBUD TIDAK BOLEH MELANGGAR ISI PP, apalagi menabrak isi UU)

Kemdibud juga harus mengingat pidato Presiden saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja

tanggal 27 Oktober 2014 : “Tidak ada lagi visi dan misi kementerian, yang utama adalah visi

dan misi presiden ” yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita

Dengan pengerdilan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, maka pendidikan kita makin miskin.

Ada banyak topik/tema penting yang hilang dari kurikulum kita.146 Kalau semua orang diam, maka

kita memasuki era pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada Nawa Cita No. 5 :

peningkatan kualitas pendidikan. (lihat hasil survey internasional pada bagian akhir dari Bab

Pendahuluan). Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang

yang berijazah, tetapi tidak “berilmu” 147

146 Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia (kurikulum makin miskin), yang diulang (di copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014) (:ihat Catatan * di Kata Pengantar) 147 Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7

Page 198: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

186196

KESIMPULAN

Kurikulum 2013 yang abai terhadap otonomi pendidikan, desentralisasi pendidikan dan

kebebasan mimbar akademik, serta Nawa Cita No.1, No.5 dan Nawa Cita No.8, telah menyebabkan

lemahnya tiga pilar penting dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas148 :

- Kepemimpinan (leadership) Kepala Sekolah yang disubordinasi oleh Pengawas Sekolah

dengan kewenangannya melakukan supervisi manajerial (Lihat Lampiran Permendikbud

No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b), sehingga MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) bukannya

mengacu ke sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, tetapi mengacu pada selera Pengawas

Sekolah. Kewenangan kepala sekolah untuk melakukan supervisi kepada para guru di

lingkungan sekolahnya juga diamputasi melalui kehadiran Pengawas Mata Pelajaran dengan

kewenangannya melakukan supervisi akademik, sehingga Kepala Sekolah sukar menjalankan

visi dan misi sekolahnya serta sukar merumuskan keunggulan sekolahnya (brand image-nya)

Kemdikbud abai menjadi sekolah sebagai center of excellence sesuai amanat nawa Cita No.5

- Budaya organisasi dinisbikan melalui amputasi otonomi pendidikan, dan sentralisasi

pendidikan, akibatnya apapun visi dan misi sekolahnya, kurikulumnya pasti seragam dan

kegiatan belajar-mengajarnya akan melewati proses pembelajaran yang sama (dengan

penerapan pendekatan saintifik) : CTL (contextual teaching learning) hanya menjadi utopia.

Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena

banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu,

otonomi sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup

terganggu. Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam

apapun visi dan misinya.

- Kinerja guru dikerdilkan dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer

kurikulum, menjadi sekedar petugas administrasi pembuatan RPP, itupun RPP yang

seragam secara nasional, guru telah diturunkan harkatnya menjadi sekedar tukang mengajar.

Diklat program sertifikasi guru dan program pendidikan calon guru di PGSD/FKIP menjadi

148 Pasal 3 : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pasal 11 : “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

Page 199: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

187197

nir makna. MBS yang juga merinci kinerja guru sebagaimana tercantum dalam Permendiknas

No. 19 Tahun 2007 dibuang. (Lihat juga isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang dikerdilkan

menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013)149 Kebebasan mimbar akademik menjadi sirna. Hal

ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU

Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013.

Terjadi pemujaan pendangkalan (cult of philistinism), abai pada perwujudan strong human

capital dan culture of excellence, sesuai amanat Nawa Cita No.5

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum)150 sehingga masalah

penilaian pada KBK berulang lagi pada Kurikulum 2013. Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti

Permendikbud No. 66 Tahun 2013 karena salah, sehingga perlu diubah lagi melalui Lampiran IV

Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi

melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.

7915/D/KP/2014 yang masih salah juga secara matematis. Yang lebih urgen diperhatikan adalah

perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini tanpa penjelasan yang memadai kenapa

rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa akademik Kemdikbud.

Kurikulum 2013 itu sebenarnya melanggar dasar hukumnya sendiri yaitu PP No. 32 Tahun

2013 (Lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3)151 Pemaksaaan pelaksanaan Kurikulum 2013 bisa

menyebabkan Kemdikbud menjadi tertuduh utama kegagalan “revolusi mental” karena seharusnya

Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tetapi mengutamakan visi dan misi Presiden

RI yang terinci dalam Nawa Cita No. 8 : akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional. Bukan

meneruskan barang basi : Kurikulum 2013 bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan

ini. Kenapa disebut barang basi? Karena Kurikulum 2013 mengacu pada KBK (2004) yang sudah

diganti dengan Kurikulum 2006 (lihat Catatan kaki No.27).

Keduapuluh delapan Permendikbud terkait Kurikulum 2013 sebenarnya hanya menyebut

KTSP, tapi Kemdikbud lupa pada arti harafiah KTSP, apalagi arti filosofisnya. KTSP kemudian

149 Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : “Perencanaan Pembelajaran merupakan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan Pembelajaran”. 150 Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis (Permendikbud ini diulang lagi pada Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit sekolahnya) Lihat Catatan * pada Kata Pengantar 151 Pasal 77 M ayat 1 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan Pasal 77 Mayat 3 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan

Page 200: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

188

198

digeser maknanya dan diartikan sebagai kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh

pemerintah serta wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan (sekolah), abai pada isi Pasal

36 ayat 2 UU Sisdiknas

Melihat karut marut dan pemutar-balikan fakta ini, maka tidak ada jalan lain, pemerintah

mesti menerapkan e-learning dengan konten Disain Kurikulum Digital (dengan merevitalisasi

kembali kurikulum terlengkap yang telah mengakomodir GMAT, dan TOEFL serta SPM + KKI,

yaitu Kurikulum 1975152) yang dilengkapi dengan TQM bersertfikasi ISO 9001:2008, sehingga

Kemdikbud bisa menjalankan amanat Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8. Dengan harapan bahwa

Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri yaitu menggolkan “proyek penyerapan

anggaran 20% dari APBN”, supaya sekolah siap menyongsong era liberalisasi dan globalisasi

pendidikan sesuai dengan amanat WTO, MEA 2015 dan APEC 2020, yang sudah diakomodir melalui

Perpres No.77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi PMA

(penanaman modal asing). Counter yang dilakukan Kemdikbud melalui Permendikbud No.31 Tahun

2014153 dan pembatasan lalu lintas SDM asing melalui sertifikasi tenaga kerja, hanya akan

memancing pembalasan (aksi resiprokal) dari negara-negara anggota WTO (World Trade

Organization) dan ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers)154 yang akan menyebabkan

dipulangkannya jutaan TKI dan TKW kita di luar negeri yang unwell-educated dan unskilled labour

karena termasuk dalam uncertified workers. Dampak sosialnya pasti akan sangat luas mengingat

keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.

152 Kurikulum 1975 : Sains dan Matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana sswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari 153 Permendikbud No. 31 Tahun 2014 : Kerja sama Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan Indonesia 154 ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) menyatakan bahwa migrasi tenaga kerja (termasuk guru) adalah hak asasi yang harus dilindungi

Page 201: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

189

199

DAFTAR PUSTAKA

Appadurai, Arjun, 1996

Modernity at Large, Cultural Domension of Globalization, Minnesota, University of

Minnesota Press.

Bagus, Loren, 2000

Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, halaman 181-182

De Porter, Debbie, 2008

Quantum Teaching, Bandung, Kaifa.

Kusuma, Doni, 2013

Eklektisme Kurikulum 2013, Kompas, 5 April 2013 halaman 7

Mohandas, Ramon, 2015

Revisi utama Kurikulum 2013 adalah KD untuk KI 1 dan KI 2, Jawa Pos, 27 Juni 2015

halaman 12

Muhammad, Gunawan, 2015

Bocah, Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015

Raka Joni, Tjokorde, 1997

Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti

Sastrapratedja, M, 2015

Pendidikan Transformatif, Makalah dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, Ruby Room,

Gedung Kompas, 28 Mei 2015

Soetikno, Wendie Razif, 2007

Sehabis KTSP lalu Apa? SKS!, Majalah Educare No. 6/IV/2007 halaman 36-38

Soetikno, Wendie Razif, 2010

Disain Kurikulum Digital, Yogya, Smart Writing

Sudiarja, A, 2014

Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius

Sumarsono, 2004

Otonomi Pendidikan, Singaraja, IKIP Negeri

Suparno, Paul, 1997

Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogya, Kanisius

Page 202: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

190

200

Supeli, Karlina, 2013

Kebudayaan dan Kegagapan Kita, Pidato Kebuayaan, TIM, 11 November 2013

Wagner, Tony, 2008

From The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don’t Teach The New

Survival Skills Our Children Need—And What We Can Do About It , Connecticut, Basic Books

Kompas, 2015

Beban Kewargaan, Kompas, Selasa, 6 Oktober 2015 halaman 15

Kompas, 2015

Beban Pengawas Berat – Orientasi Masih Administrasi, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015

halaman 11

Kompas, 2015

Udar Rasa – Akal Sehat, Kompas, Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13

Kompas, 2015

Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa Rasionalitas”, Kompas, Kamis 23 Juli 2015

halaman 12

Kompas, 2014

Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 – Kemdikbud Dinilai Lamban Melatih Guru, Kompas,

Jumat 24 Januari 2014, halaman 12

Kompas, 2008

Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7

Page 203: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

191

201

Wendie Razif Soetikno, lahir di Surabaya, 21 Juli 1954. Menyelesaikan D-3 Kimia IKIP Malang tahun

1976 (Nrp 24416), Sarjana Sains di IPB th 1994 (Nrp G26.1748) dan Master in Development Management di AIM, Manila atas bantuan Eugene Lopez Foundation tahun 1999 (MDM 99) Selama 17 tahun mengajar Kimia, Praktikum Kimia dan Pembimbing KIR di suatu sekolah di Bogor,lalu melakukan hal yang sama di Jakarta dan Bekasi

Mengikuti International Youth Day 1997 di Paris bersama Paus Yohanes Paulus II (kini Santo Yohanes Paulus II) atas dukungan dari Bapak Jakob Oetama (CEO Kelompok Kompas Gramedia). Kegiatan ini dipublikasikan dalam seri tulisan Tahun Pemuda Internasional di KOMPAS tanggal 14 – 22 Agustus 1997.

Mengikuti TOT (Training for the Trainers) tentang Project Based Learning (pembelajaran berbasis proyek, yang kini digunakan dalam Kurikulum 2013), atas dukungan dari PT Oracle Indonesia, Februari 2008 di NUS, Singapore.

Dalam rangka haul Gus Dur, menulis puisi : Tidak Menjadi Apa-apa, Tidak Berarti Bukan Apa-apa, yang dimuat dalam buku SEJUTA DOA BUAT GUS DUR, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010, halaman 316-317. Puisi wajib yang dibacakan dalam setiap haul Gus Dur di kantor PB NU, Jl Kramat Raya, Jakarta dan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, di desa Cukir, Kecamamtan Diwek, Kabupaten Jombang.

Pemenang Lomba Inspirasi Majalah INTISARI - Pengumuman pemenang dimuat dalam Majalah INTISARI, edisi September 2011 (No. 583) halaman 159. Petikan pengalaman itu antara lain: "Artikel "Temulawak Para Pelawak" (Intisari, September 1990) mengubah hidup saya sebagai guru Kimia. Materi yang sulit mampu disajikan majalah ini secara bersahaja, tanpa kehilangan nilai ilmiahnya. Sejak itu, seperti Intisari, saya selalu berusaha membuat sains lebih membumi".(Wendie Razif Soetikno, pembaca Intisari) dan Petikan artikel di atas dimuat di KOMPAS, Senin 22 Agustus 2011 halaman 32: "48th ANNIVERSARY Intisari SMART & INSPIRING”.

Setelah menulis “Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!” di Majalah Educare No 6/IV/September 2007, kemudian diminta untuk mempersiapkan beberapa sekolah agar dapat menerapkan SKS, melalui pelatihan mendisain kurikulum secara digital. Buku panduannya, yaitu buku DISAIN KURIKULUM DIGITAL, (ISBN : 978-602-7858-10-7), penerbit Smart Writing, Yogya, 2009, edisi keenam Juni 2015 dicetak dengan sponsor Bank Mandiri, dikhususkan untuk perpustakaan lembaga negara, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan daerah.

Pengalaman melatih guru-guru di berbagai daerah dalam penyusunan kurikulum secara digital tertuang di tulisan: “Melatih Guru, Meretas Masa Depan Ribuan Anak Indonesia” yang berhasil masuk nominasi sepuluh besar Lomba Menulis Jiwa Nusantara 2012 dan telah dibukukan dengan judul: “Jiwa Nusantara dalam Tulisan” halaman 198-205, terbitan Anyes Bestari Komunika ([email protected]). Pengalaman melatih guru dalam mendisain kurikulum secara digital di berbagai daerah agar siap menerapkan e-learning diajukan dalam Asian CSR Award category Education Improvement 2015

Page 204: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

192

202

Ikut berjuang menghapus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) melalui tulisan yang diterbitkan dalam buku “TERSERET ARUS GLOBALISASI, Bunga Rampai Reportase Dampak Globalisasi” (Penerbit Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia) bekerja sama dengan Development and Peace) yang menambah amunisi untuk menghapus keberadaan RSBI melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-X/2012 . Tulisan itu muncul di halaman 114 – 124, dengan rincian : “Berlomba Pasang Label Internasional” halaman 111, “Ingin Berkelas Global” halaman 114, “Bandung Setengah Hati” halaman 117, “Malang Adem Ayem” halaman 119, dan “Bersaing Mengejar Atribut” halaman 121.

Pengalaman membimbing pembuatan diktat dan modul telah mendapat IMA 2011 (Indonesia Millenium Development Goals Award 2011) yang telah diabadikan dalam buku: “PENCERAH NUSANTARA, Best Practices untuk Mencapai MDGs” pada halaman 73-82 (penerbit: Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals). Penyerahan hadiah dilakukan tanggal 1 Februari 2012 oleh Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs : Ibu Prof Dr Nila Djuwita F. Moeloek (sekarang Menteri Kesehatan Kabinet Kerja) dalam seremoni yang dihadiri oleh Wapres Boediono di Balai Kartini.

Keterikatan Wendie Razif Soetikno dengan sekolah selama bertahun-tahun dipamerkan dalam KURIKULAB, Assemblage of Democracy : Share Room : kolaborasi – diskusi – riset – presentasi, di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 16 – 30 Oktobr 2014. Dalam Focus Group Discussion 2 dibahas : “Sekolah, Cara dan Tujuan”, sedang dalam Focus Group Discussion 3 dibahas : “Sistim dan Kebijakan Pusat vs Inisiatif Lokal”. Berbagai pembahasan, gagasan, pernyataan maupun pertanyaan menjadi karya yang akan dipresentasikan dalam bentuk pameran seni rupa. Pameran ini menampilkan artefak dan rekaman yang terjadi selama proses FGD berlangsung, seperti video, foto, coretan, teks dan gambar. Pameran ini secara tidak sadar merupakan proses demokratis. Melalui kolaborasi dan partisipasi tersebut, mengukuhkan kembali ruang kebebasan berbagi dan berpendapat yang dapat disinergikan satu sama lain. Salah satu hal yang menarik dalam kerja kolaborasi ini, publik telah menjadi salah satu penentu artistik. Secara tidak langsung, publik telah dapat memberikan penawaran tersendiri pada persoalan hari ini.

“How can we talk about research if, in practice, we are still inscribed within a normative curriculum” Lilian L’Abbate Kellan

Renungan pengalaman mengajar selama lebih dari 30 tahun tertuang dalam tulisan MENJADI TUKANG MENGAJAR ATAU MENDIDIK (terbit dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Guru-guru Pembelajar 3, halaman 107 – 112), penerbit Lingkar Antar Nusa, Yogya, 2015 Tuturan tentang Manajemen Kelas tertuang dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Pengelolaan Kelas 2, halaman 133 – 136 : MURIDKU TERTOLONG DENGAN PAIKEM GEMBROT, penerbit Lingkar Antar Nusa, Yogya, 2015

Berdasar pengalaman panjang sebagai guru, pernah diundang sebagai nara sumber Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR RI :

a. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.02/01677/DPR RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Sistem Peradilan Pidana Anak di depan Komisi III DPR RI pada hari Selasa, 21 Februari 2012 pk. 10.00 – 12.00

b. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.01/01960/DPR RI/II 2012 tertanggal 27 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Penyiaran di depan Komisi I DPR RI pada hari Rabu, 7 Maret 2012 pk. 10.00 – 13.00

Masuk 10 besar Lomba Penulisan Artikel “Potret Indonesia 2014” Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Rusia, dengan judul tulisan “Why Did Somebody Engage in High Cost/Risk Activism?” (laporan hasil penelitian tentang konflik horizontal di Poso Jilid I, Jilid II dan Jilid III) : http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2705-detail-muhammadiyah-rusia-umumkan-pemenang-sayembara-internasional-penulisan-.html

Penulis juga mengadvokasi petani sejak tahun 2008 melalui tulisan : “ASURANSI UMUM DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN, UPAYA MENUJU KETAHANAN PANGAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN YANG BELUM DILIRIK” (Harian Online KABAR INDONESIA (HOKI) (http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20080719225222). Siaran METRO TV, Rabu 13 Oktober 2010 pk. 19.00-20.30 : SUARA ANDA - 1 TAHUN KINERJA KIB II - MENYOROT KINERJA MENTERI PERTANIAN : SUSWONO.

Page 205: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

193

203

Dalam acara ini Menteri Pertanian Suswono menyatakan perlunya ASURANSI PERTANIAN agar petani tidak terus merugi dalam ketidak-pastian musim sekarang ini, TAPI HAL INI MASIH WACANA, sehingga ide ini masih harus terus diperjuangkan. Hal ini seolah-olah akan diwujudkan pada tahun 2012 lalu : “BUDI DAYA PADI DIASURANSIKAN” (KOMPAS, Jumat 29 Juni 2012 halaman 19) . Namun sampai bencana kekeringan melanda di tahun 2015 ini, asuransi pertanian ini BELUM JUGA TERWUJUD, dan baru mau akan diwujudkan lagi melalui paket kebijakan ekonomi ketiga Jokowi–JK tertanggal 7 Oktober 2015, dimana pemerintah akan menanggung 80% premi asuransi pertanian dan petani cukup membayar premi sebesar 20% atau setara Rp.30 ribu dengan nilai claim sebesar Rp 6 juta bila petani gagal panen hingga kebutuhan sehari-hari tercukupi. (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/10/08/nvvljr382-cukup-bayar-rp-30-ribu-sawah-petani-sudah-dilindungi-asuransi).

Page 206: Kelirumologi Kurikulum Isi Buku

194