kel a2-1 diskusi 1

53
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DISKUSI I Obat Sistem Saraf Otonom KELOMPOK A2-1 AKHYAR NUR U (010710108) PRASIDA MUSTIKA I (010710112) CINDY SHEEREN A (010710113) KANDITA ARJANI (010710114) PRIMIARY RIZKY (010710115)

Upload: melisa-purnamasari

Post on 03-Jul-2015

469 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kel A2-1 Diskusi 1

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

DISKUSI I

Obat Sistem Saraf Otonom

KELOMPOK A2-1

AKHYAR NUR U (010710108)

PRASIDA MUSTIKA I (010710112)

CINDY SHEEREN A (010710113)

KANDITA ARJANI (010710114)

PRIMIARY RIZKY (010710115)

M HELMI A (010710117)

SAFINAZ (010710119)

ALEXANDER A (010710124)

KEVIN C B (010710125)

YULIANTO W (010710126)

Page 2: Kel A2-1 Diskusi 1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Ny.Tarminem (40 tahun) akhir-akhir ini merasa gelisah, berat badannya turun terus,

sering berkeringat, denyut jantung meningkat dan sering merasakan palpitasi. Oleh dokter ahli

penyakit dalam, dia didiagnosis mengidap penyakit hipertiroid. Pada waktu berkunjung ke rumah

saudaranya, tiba-tiba Ny.Tarminem mengalami sesak napas akut dan napasnya berbunyi.

Serangan ini merupakan yang pertama kaliny bagi Ny Tarminem.

Asma seringkali didefinisikan sebagai penyempitan jalur nafas. Penyempitan jalur nafas

ini seringkali disebabkan oleh berbagai macam hal, baik berasal dari endogen maupun eksogen.

Gambaran patologik asma berupa kontraksi otot polos saluran nafas dan penebalan mukosa

akibat edema dan infiltrasi selular yang akhirnya berujung pada penyempitan lumen saluran

nafas. Pengendalian melalui obat-obat yang mengontrol otot polos saluran nafas telah menjadi

acuan utama dalam dasar terapi asma.

Terdapat berbagai macam obat dengan cara kerja yang berbeda pula yang sering

digunakan pada terapi asma akut, seperti β2 agonis, anti muskarinik dan golongan methyl

xantine. Hingga saat ini, penggunaan kortikosteroid untuk terapi asma akut masih diteliti

manfaatnya, namun penggunaannya sebagai terapi jangka panjang asma kronis baik sebagai

pencegah (profilaksis) asma telah banyak digunakan. Kromolin dan Nedokromil tidak bermanfaat

untuk terapi asma akut, hanya bekerja sebagai profilaksis dari asma.

Dari berbagai macam golongan obat yang telah disebutkan di atas, P-drug yang sesuai

untuk kasus Ny Tarminem adalah obat-obatan yang tidak memperparah kondisi hipertiroid Ny.

Tarminem. Golongan obat asma yang dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung

(tachicardia) maupun status metabolisme tidak boleh digunakan. Pemilihan obat tersebut perlu

diperkirakan efeknya selain terhadap asma namun juga terhadap gejala-gejala lain yang diderita

oleh NyTarminem.

Page 3: Kel A2-1 Diskusi 1

1.2 Rumusan Masalah

Apakah P-drug yang tepat untuk pasien asma dengan hipertiroid?

1.3 Tujuan Diskusi

1.3.1 Tujuan Utama

Menentukan P-drug yang sesuai untuk pasien asma dengan hipertiroid.

1.3.2 Tujuan Khusus

Memberikan obat asma yang sesuai untuk mengatasi sesak napas akut tanpa memperparah

rasa gelisah, produksi keringat berlebih, peningkatan denyut jantung dan palpitasi yang

merupakan gejala umum dari hipertiroid.

1.4 Manfaat Diskusi

1.4.1 Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi mengenai pemberian obat asma pada pasien dengan

hipertiroid.

1.4.2 Manfaat Praktis

Untuk memberikan dasar penanganan pemberian obat asma pada pasien dengan

hipertiroid.

Page 4: Kel A2-1 Diskusi 1

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Patofisiologi Asma

Definisi

Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana

trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah suatu

penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan

dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah

baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic Society ).

Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,

yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,

seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.

Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka

akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak

spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi

saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan

berlalunya waktu dan dapat berkembangmenjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa

pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan

Page 5: Kel A2-1 Diskusi 1

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik

dan non-alergik.

Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma

bronkhial.

a. Faktor predisposisi

Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana

cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga

dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas

saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi

Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi

2. Ingestan, yang masuk melalui mulut

ex: makanan dan obat-obatan

3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit

ex: perhiasan, logam dan jam tangan

Perubahan cuaca

Page 6: Kel A2-1 Diskusi 1

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir

yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang

serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal

ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa

memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera

diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk

menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya

belum bisa diobati.

Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan

dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil,

pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani

atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma

karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Patofisiologi

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan

sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-

benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara

sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah

antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila

reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast

Page 7: Kel A2-1 Diskusi 1

yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.

Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi

dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan

berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan

leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-

faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi

mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga

menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama

inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar

bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah

akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada

penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali

melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume

residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan

udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

Page 8: Kel A2-1 Diskusi 1

2.2 Obat-obat yang Digunakan untuk Asma

2.2.1 Obat-obat Beta Agonis

a. Epinephrine / Adrenalin

Suatu bronkodilator yang efektif dan mempunyai mula kerja cepat pada pemberian

subkutan (0,4 ml dari solusi 1:1000) atau sebagai mikroaerosol perinhalasi dari

pressurized canister (320 mg per puff). Bronkhodilatasi maksimal dapat tercapai 15 menit

setelah inhalasi dan berakhir 60-90 menit. Epinephrine digunakan untuk status asmatikus,

epinephrine merupakan agen aktif pada banyak obat yang tidak diresepkan (seperti

Prematene Mist), tetapi sekarang sudah jarang diresepkan (Katzung, 2001).

- Farmakodinamik :

Vaskuler

- merangsang rec. α dan β1

- kontraksi jantung meningkat

- tacycardia, arrhytmia, angina pectoris

- tek.darah meningkat

Otot Polos Saluran Cerna

- melalui res. α dan β

- tonus & motilitas usus maupun lambung turun.

- sphingter pilorus & ileocecal kontraksi (rec.α1)

Otot Polos Uterus

- melalui res.α1 dan β2

- respon berbeda tergantung usia kehamilan

- menghambat tonus & kontr.uterus melalui res. β2

- efektif untuk menunda kelahiran prematur

Otot Polos Vesica Urinaria

- menimbulkan kesulitan miksi karena res.β2 relaksasi ;

Page 9: Kel A2-1 Diskusi 1

res.α1kontr.sphincter

Otot Polos Bronkus

- Rec. β2 relaksasi; efek ini dapat terjadi bila sudah ada

kontraksi bronkus

Mata

- me tek.intra oculer aman utk px. Glaukoma

Efek Metabolisme

- glukosa res. 2 ( sel hati & otot.rangka ) menstimulasi

sekr.Insulin

- res. > dominant menghbt sekr.insulin

- res. 3 me activitas lipase trigliserida dlm jar.lemak.

- Farmakokinetik :

- Oral mudah dipecah oleh enzim COMT & MAO

- I.V./ SC/ IM

- Kontra Indikasi :

- asma + hipertensi

- asma + emphysema anoksia

- asma + angina pectoris

- Efek Samping :

• gelisah, sakit kepala berdenyut, tremor

• Aritmia ventrikel, palpitasi,takhikardia

• Tek.darah meningkat

•Perdarahan otak karena pecahnya pemb.drh (pemberian i.v terlalu cepat)

Page 10: Kel A2-1 Diskusi 1

b. Isoproterenol

- Poten untuk bronchodilator

- Efek Samping: arrhytmia me angka kematian pd px asma

- Mek.kerja :

- pd res. otot polos bronkus

- menghbt pelepasan mediator akibat rx. Ag-Ab

- Pemberian secara inhalasi

c. Ephedrine

- Preparat : Ephedrine Sulfate injeksi

- Pemberian : sc, i.m,i.v

- efek : menstimulasi res.1, 2,1,2

- Efek klinik : • relaksasi otot polos

• merangsang jantung;

• syst & diast ;mergs SSP insomnia;

• glikogenolisis hyperglikemia

- O.O.A lebih lambat & lebih panjang, D O A lebih panjang

- Farmakokinetik :

• pemberian i.m, s.c. 100 % diabsorbsi

• sebagian kecil mengalami metabolisme dihepar, metabolitnya

adalah p-hydroxyephedrine, p-hydroxynorephedrine;

norephedrine

• ekskresi diginjal

- Kontra Indikasi :

Page 11: Kel A2-1 Diskusi 1

• Kelainan Jantung

• Hipertiroidism

• Diabetes Mellitus

• hipertensi

- Efek Samping :

• meningkatkan tekanan darah perdarahan otak

• tremor, palpitasi, kelelahan

d. β2 Agonis selektif

Agonis-β2 merupakan simpatomimetik yang paling banyak digunakan untuk

pengobatan asma pada saat ini. Agonis-β2 efektif per inhalasi atau per oral serta memiliki

masa kerja yang panjang dan selektivitas β2 yang bermakna. Dalam golongan ini

termasuk: Albuterol (Salbutamol), Metaproterenol, , Terbutaline,Pirbuterol, Fenoterol,

formoterol, prokaterol, Salmeterol, Bitolterol, Isoetarin, Ritodrin.

- Mekanisme Kerja :

menstimulasi enzim adenylil cyclase dan meterbtknya CAMP pd otot polos

Efek thdp β2 lebih kuat daripada β1

Pemberian inhalasi langsung bronkudilatasi

- Indikasi

Obat pilihan untuk terapi gejala-gejala asma akut dan untuk mencegah asma

yang diinduksi oleh latihan. Keampuhan bronkodilator banyak berkurang pada pasien

hipoksia dan asidosis.

- Interaksi obat:

Penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan simpatomimetik lain menguatkan

efek simpatomimetik, dapat menginduksi toksisitas, bloker beta menghanbat aktivitas.

- Efek Samping : Sedikit menyebabkan tremor dan sakit kepala, vasodilatasi, takikardi,

stimulasi SSP, perubahan metabolik.

Page 12: Kel A2-1 Diskusi 1

Albuterol, terbutaline, metaproterenol, pirbuterol, dan bitolterol tersedia dalan

inhaler berkalibrasi, menyebabkan bronkodilatasi setara dengan isoprotenol.

Bronkodilatasi maksimal tercapai dalam 30 menit dan bertahan selama 3-4 jam (Katzung,

2001; FKUI, 2007).

Albuterol, terbutaline dan metaproterenol juga tersedia dalam bentuk tablet. Satu

tablet 2-3 kali sehari merupakan regimen yang lazim. Efek samping utama tremor pada

otot rangka, gelisah dan kadang kelelahan. Hanya terbutaline yang mempunyai bentuk

injeksi subkutan (0,25 mg). Indikasi permberian sama dengan indikasi pemberian

epinephrine subcutan. Tetapi harus diingat bahwa masa kerja terbutaline yang lebih

panjang bermakna bahwa efek kumulatif dapat terjadi pada pemberian injeksi yang

berulang.

Salmetrol dan formoterol merupakan agonis kuat β2-selektif yang memiliki masa

kerja panjang (12 jam atau lebih). Fungsi pelarutan obat tersebut sebagai tempat rilis yang

lambat. Obat-obat tersebut tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat tunggal dalam

mengatasi asma.

Walaupun agonis adrenoseptor dapat diberikan per inhalasi, per oral atau

parenteral, penggunaan per inhalasi menghasilkan efek lokal terbesar pada otot polos

jalan napas dengan toksisitas sistemik paling kecil (Katzung, 2001).

2.2.2 Obat-obat Anti Muskarinik

Obat otonom yang bersifat antimuskarinik bekerja menghambat reseptor muskarinik

dengan afinitas berbeda untuk berbagai subtipe reseptor muskarinik. Lebih jelasnya obat

antimuskarinik akan mengikat reseptor muskarinik (inhibitor kompetitif dengan Asetilkolin),

setelah berikatan dengan reseptor muskarinik maka obat antimuskarinik ini akan menghambat

adenilil siklase dan mencegah release dari inositol trifosfat (IP3) Adapun penghambatan yang

terjadi bersifat reversibel.

Obat antimuskarinik dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Alkaloid antimuskarinik, contohnya atropin, dan skopolamin

2. Derivat semisintesis

Page 13: Kel A2-1 Diskusi 1

3. Derivat sintesis

Obat antimuskarinik bekerja dengan afinitas berbeda untuk berbagai reseptor muskarinik, oleh

karena itu obat antimuskarinik sekarang ini digunakan untuk :

1. Memperoleh efek perifer tanpa adanya efek sentral, misalnya antispasmodik

2. Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum

3. Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit Parkinson

4. Bronkodilatasi

5. Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna

Pada penderita asma pemberian obat antimuskarinik akan menghambat efek dari

Asetilkolin apabila berikatan dengan reseptor muskarinik. Obat antimuskarinik menghambat

kontraksi dari otot polos saluran pernafasan dan juga menghambat sekresi mukus yang

merupakan efek dari persarafan nervus vagus sehingga diharapkan bisa menghambat terjadinya

bronkospasme.

Terdapat 2 pilihan obat antimuskarinik pada asma yaitu ipratropium bromid dan

tiotropium. Ipratropium berguna untuk menghambat bronkokonstriksi, penggunaan Ipratropium

dirasa cocok bagi penderita asma dengan intoleransi terhadap inhalasi beta agonis. Sedangkan

tiotropium dapat meningkatkan kapasitas fungsi paru pasien dan bisa mengurangi frekuensi

kekambuhan pada penderita PPOK. Ipratropium bekerja dengan efek samping yang minimal

daripada tiotropium. Efek samping dari Tiotropium antara lain adalah takikardi, reaksi

hipersensitivitas, retensi urin dan batuk, selain itu Tiotropium tidak digunakan pada serangan

asma akut.

Indikasi obat antimuskarinik ini pada penderita asma adalah dapat menyebabkan dilatasi

otot polos bronkus dan menghambat produksi sekresi mucus yang timbul oleh adanya “allergen”

sehingga tidak terjadi bronkospasme dan cairan mucus yang berlebihan tidak menyebabkan

obstruksi pada bronkus.

Kontraindikasi antimuskarinik, penggunaan obat antimuskarinik ini biasanya digunakan

untuk pengobatan terhadap satu sistem organ dan biasanya selalu disertai dengan efek yang tidak

diingini pada sistem organ lain. Pada dosis tinggi obat antimuskarinik ini dapat memblok semua

Page 14: Kel A2-1 Diskusi 1

fungsi parasimpatis, kejadian ini dapat menyebabkan keracunan yang berupa mulut kering,

midriasis, takikardia, kulit merah, dan panas. Pada anak-anak sangat sensitif terhadap

peningkatan dosis obat anti muskarinik, terutama terhadap efek hipertremik. Jadi patut

dipertimbangkan untuk pemberian terhadap bayi dan anak-anak.

2.2.3 Methyl Xantine

Tiga methylxanthine yang penting adalah theophylline, theobromine, dan caffeine.

Sumber utamanya berturut-turut adalah teh, coklat, dan kopi. Manfaat theophylline dalam

pengobatan asma berkurang karena efektivitas obat-obat adrenoreseptor per inhalasi untuk asma

akut dan obat-obat antiinflamasi per inhalasi untuk asma kronis telah ditemukan, tetapi harga

murah theophylline memiliki keuntungan untuk pasien dengan ekonomi lemah.

Mekanisme Kerja

Beberapa mekanisme kerja methylxanthine telah diajukan, tetapi tidak ada yang ditetapkan

sebagai penanggung jawab terhadap terjadinya efek bronkodilatasi. Beberapa mekanisme kerja

methylxanthine :

1. Methylxanthine pada konsentrasi tinggi, dapat menghambat enzim fosfodiesterase in vitro

namun belum jelas pada penelitian in vivo. Penghambatan enzim fosfodiesterase oleh

methylxanthine menyebabkan meningkatnya kadar cAMP intraseluler. Peningkatan

cAMP memberikan efek stimulasi kardiak dan relaksasi otot polos.

2. Methylxanthine memberikan hambatan terhadap reseptor-reseptor permukaan sel untuk

adenosine, dimana reseptor-reseptor tersebut berfungsi untuk memodulasi aktivitas

adenylyl cyclase dan adenosine. Aktivitas adenylyl cyclase dan adenosine telah terbukti

dapat menyebabkan kontraksi otot polos jalan napas dan menyebabkan rilis histamine dari

sel-sel mast jalan napas. Methylxanthine (khususnya theophylline) melawan efek-efek

tersebut dengan cara menyakat reseptor adenosine permukaan sel.

Page 15: Kel A2-1 Diskusi 1

+

+

+

+

-

- -

Ket : Bronkodilatasi dipromosikan oleh cAMP. Kadar cAMP intraseluler dapat ditingkatkan oleh

agonis adrenoseptor-β, yang meningkatkan laju sintesis oleh adenylyl cyclase (AC); atau oleh

penyakat fosfodiesterase (PDE) seperti theophylline yang memperlambat laju degradasinya.

Bronkokonstriksi dapat dihambat oleh antagonis muskarinik dan kemungkinan oleh antagonis

adenosine.

Farmakodinamika Methylxanthine

A. Efek pada Sistem Saraf Pusat

Pada dosis rendah dan sedang, methylxanthine (khususnya caffeine) menyebabkan sedikit

cortical arousal dengan peningkatan kewaspadaan dan pengurangan rasa lelah. Pada dosis

yang sangat tinggi, dapat terjadi stimulasi medular dan kejang. Kegelisahan dan tremor

Bronchodilatation

Bronchial Tone

Bronchoconstriction

ATP

AD

cAMP

PDE

AMP

Beta agonist

Theophylline

Acetylcholine Adenosine

Muscarinic antagonists

Theophylline

Page 16: Kel A2-1 Diskusi 1

merupakan efek samping utama pada pasien yang menggunakan aminophylline dosis

tinggi untuk asma.

B. Efek Kardiovaskular

Methylxanthine memiliki efek kronotropik dan inotropik positif langsung pada jantung.

Pada konsentrasi rendah, efek tersebut terjadi karena peningkatan rilis catecholamine

yang disebabkan oleh hambatan reseptor adenosine prasinaps.

C. Efek pada Saluran Cerna

Methylxanthine menstimulasi sekresi baik asam lambung maupun enzim pencernaan.

D. Efek pada Ginjal

Methylxanthine (khususnya theophylline) merupakan diuretika lemah. Efek tersebut

terjadi dengan melibatkan peningkatan filtrasi glomerular dan penurunan reabsorbsi

natrium di tubular.

E. Efek pada Otot Polos

Bronkodilatasi merupakan efek utama methylxanthine dalam pengobatan. Tidak terjadi

toleransi, tetapi efek yang tidak diinginkan khususnya pada sistem saraf pusat, membatasi

dosis pada penggunaannya. Sebagai tambahan pada efek langsungnya di otot polos jalan

napas, pada konsentrasi yang cukup, dapat juga menghambat rilisnya histamine dari

jaringan paru pada induksi antigen.

F. Efek pada Otot Rangka

Methylxanthine mampu memperkuat kontraksi otot rangka, dan mempunyai efek kuat

baik dalam memperbaiki kontraktilitas maupun dalam memperbaiki kepenatan

diagfragma pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis. Theophylline mempunyai

kemampuan untuk meningkatkan respons ventilasi pada keadaan hipoksia dan

mengurangi sesak, bahkan pada pasien dengan obstruksi aliran udara yang ireversibel.

Penggunaan Klinis

Page 17: Kel A2-1 Diskusi 1

Dari berbagai xanthine, theophylline merupakan bronkodilator yang paling efektif dan

telah terbukti berulang kali dapat meringankan obstruksi aliran udara pada asma akut. Sebagian

besar preparat dapat diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna, tetapi absorpsi pada supositoria

rektal tidak menentu.

Efek terapi dan toksisitasnya berhubungan dengan konsentrasinya di dalam plasma.

Perbaikan fungsi paru berkorelasi dengan konsentrasi plasma pada 5-20 mg/L. Anoreksia, mual,

muntah, rasa tidak enak di perut, sakit kepala, dan kecemasan terjadi pada konsentrasi 15 mg/L

pada beberapa pasien dan lazim pada konsentrasi yang lebih besar dari 20 mg/L. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi (40 mg/L), dapat terjadi kejang atau aritmia; efek tersebut dapat terjadi tanpa

didahuluyi gejala peringatan dari saluran cerna atau saraf.

Theophylline memperbaiki kontrol jangka panjang asma jika diberikan sebagai terapi

pemeliharaan tunggal atau apabila ditambahkan pada corticosteroid per inhalasi. Theophylline

tidak mahal, dan dapat digunakan per oral. Untuk pemberian oral, dosis yang diguakan adalah 3-4

mg/kg theophylline setiap 6 jam. Perubahan dosis menyebabkan steady-state concentration yang

baru selama 1-2 hari samapai konsentrasi plasma didapatkan (10-20 mg/L) atau sampai terjadi

efek samping.

2.2.4 Corticosteroid

Seperti epinefrin, kortisol (kortikosteroid atau glukokortikosteroid) adalah hormon

endogen yang diproduksi oleh kelenjar adrenal (Asthma Center Manual,). Setiap pagi hari,

banyak kortisol yang dilepaskan ke aliran darah. Kortikosteroid telah digunakan untuk

pengobatan asma sejak tahun 1950, namun mekanisme kerjanya yang tepat masih belum

diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat mengurangi obstruksi

saluran napas dengan mempotensiasi efek agonis reseptor beta, tetapi kebanyakan penelitian

menunjukkan bahwa obat-obat ini juga bekerja dengan menghambat atau dengan kata lain

memodifikasi respon peradangan dalam saluran napas.

Kortikosteroid mempunyai kapasitas mengurangi peradangan secara dramatis. Ini

disebabkan oleh efeknya yang hebat terhadap konsentrasi, distribusi, dan fungsileukosit perifer

serta penghambatan aktifitas fosfolipase A2, yang mengakibatkan turunnya sintesa prostaglandin

Page 18: Kel A2-1 Diskusi 1

dan leukotrien (Katzung, 1997). Prostaglandin dan Leukotrien merupakan bahan-bahan yang

dapat memicu timbulnya bronkhospasme yang berakhir dengan gejala asma. Semua mekanisme

ini dapat menyimpulkan fungsi kortikosteroid sebagai pencegah timbulnya asma atau sebagai

terapi asma kronis, bukan untuk terapi dari asma yang terjadi secara akut. Meskipun beberapa

penelitian menunjukkan bahwa pemeberian kortikosteroid secara intra vena atau peroral bersama

obat beta adrenergik dapat sebagai terapi asma akut, namun karena mekanisme yang belum jelas,

maka perlakuan kepada pasien sering diragukan keamanannya.

Kortikosteroid untuk penyakit asma dapat digunakan secara peroral ataupun secara

inhalasi. Prednison dengan dosisi per oral 30-60 mg / hari sering digunakan pada pasien-pasien

yang dengan terapi adekuat bronkhodilator tidak menimbulkan efek yang adekuat atau tidak

membaik dengan pemberian bronkhodilator. Supresi adrenal seringkali terjadi pada pasien yang

menggunakan kortikosteroid oral dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengurangi efek

samping kortikosteroid atau memperkecil efek samping kortikosteroid sering digunakan

kortikosteroid yang dalam bentuk aerosol atau penggunaan secara inhalasi. Beklometason,

triamsinolon, budensoid, dan flunisolid adalah kortikosteroid yang larut dalam lipid dengan

langsung bekerja pada saluran napas dan dengan efek sistemik yang minimal. Dengan

penggunaan kortikosteroid secara inhalasi menunjukkan menurunnya reaktivitas bronkhial pada

beberapa pasien asma, yang biasanya efek ini tampak setelah 2-4 minggu, tergantung pada dosis

dan waktu pemberian.

Penggunaan dosis-dosis yang tinggi dari corticosteroids untuk periode waktu yang

panjang dapat mempunyai efek-efek sampingan yang serius, termasuk osteoporosis, patah/retak

tulang, diabetes mellitus, hipertensi, penipisan kulit dan memar-memar, insomnia (sulit tidur),

perubahan-perubahan emosi, dan penambahan berat badan (TKA, 2008)

2.3 Patofisiologi Hiperthyroid

Kelenjar tiroid, yang terletak di bawah pangkal tenggorokan di sebelah anterior trakea

merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar, dengan berat 15-20 gram pada orang dewasa.

Tiroid mengeluarkan dua hormon utama, tiroksin dan triiodothyronine, biasanya disebut T4 dan

Page 19: Kel A2-1 Diskusi 1

T3 masing-masing. Kedua hormon ini berfungsi meningkatkan laju metabolisme tubuh.

Kurangnya sekresi tiroid biasanya menyebabkan laju metabolisme turun 40-50 persen di bawah

normal dan sekresi berlebih dari tiroid dapat meningkatkan tingkat metabolisme dasar ke 60-100

persen di atas normal. Sekresi tiroid dikendalikan terutama oleh Thyroid Stimulating Hormone

(TSH) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Kelenjar tiroid juga mengeluarkan

kalsitonin, suatu hormon penting untuk metabolisme kalsium.

Fungsi

Fungsi umum hormon tiroid ialah untuk mengaktifkan transkripsi sejumlah besar gen. Oleh

karena itu, dalam hampir semua sel-sel tubuh, sejumlah besar protein enzim, protein struktural,

transportasi protein, dan zat lain selalu disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan merata

dalam semua kegiatan fungsional metabolisme tubuh.

Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik pada hampir semua jaringan tubuh. Laju

metabolik basal dapat meningkat hingga 60-100 persen di atas normal ketika sejumlah besar

hormon disekresikan. Tingkat pemanfaatan energi makanan sangat dipercepat. Meskipun laju

sintesis protein meningkat, pada saat yang sama laju katabolisme protein juga meningkat. Tingkat

pertumbuhan anak-anak menjadi sangat dipercepat. Proses mental juga dirangsang, dan kegiatan

dari sebagian besar kelenjar endokrin lainnya ditingkatkan.

Hormon tiroid mempunyai efek umum dan efek khusus pada pertumbuhan. Misalnya, telah

lama diketahui bahwa hormon tiroid sangat penting untuk perubahan kecebong menjadi katak.

Pada manusia, efek hormon tiroid pada pertumbuhan terlihat nyata terutama dalam pertumbuhan

anak-anak. Pada orang-orang yang hipotiroid, laju pertumbuhan kurang begitu baik. Pada orang-

orang yang hipertiroid, pertumbuhan tulang yang berlebihan sering terjadi, menyebabkan anak

menjadi jauh lebih tinggi pada usia dini. Namun, tulang-tulang menjadi lebih cepat matang dan

epiphyses menutup pada usia dini, sehingga durasi pertumbuhan tinggi orang dewasa sebenarnya

menjadi lebih pendek. Efek penting lainnya dari hormon tiroid adalah meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan otak janin selama hidup dan untuk beberapa tahun pertama

setelah kelahiran. Jika janin tidak cukup mengeluarkan hormon tiroid, pertumbuhan dan

pematangan otak baik sebelum kelahiran dan setelah itu buruk, dan otak tetap lebih kecil dari

biasanya. Tanpa terapi tiroid spesifik dalam beberapa hari atau minggu setelah kelahiran, anak

tanpa kelenjar tiroid akan tetap mengalami kekurangan (mental) sepanjang hidup.

Page 20: Kel A2-1 Diskusi 1

Hormon tiroid disintesis dan disimpan sebagai residu asam amino tiroglobulin, protein yang

menyusun sebagian besar koloid dalam folikel kelenjar tiroid. Proses utama dalam hal sintesis,

penyimpanan, pelepasan, dan interkonversi hormon tiroid terjadi melalui proses berikut:

1. Uptake Iodida

Iodine yang diperoleh melalui diet mencapai sirkulasi dalam bentuk ion iodida (I -). Dalam

kondisi normal, konsentrasinya dalam darah sangat rendah, namun kelenjar tiroid mampu

mentranspor ion tersebut secara efektif dan efisien melalui suatu protein-terikat-membran

spesifik yang dikenal sebagai sodium-iodide symporter (NIS). Sistem transporter ini dapat

dihambat oleh berbagai jenis ion seperti tiosianat dan perklorat. Tirotropin (thyroid stimulating

hormone / TSH) bekerja menstimulasi NIS dengan dikendalikan oleh suatu mekanisme

otoregulatoris, sehingga penurunan kadar iodine dalam kelenjar tiroid akan menyebabkan

peningkatan uptake iodida dan sebaliknya, administrasi iodida akan menurunkan ekpresi

protein NIS.

2. Oksidasi dan Iodinasi

Seperti halnya proses halogenasi cincin aromatik, proses iodinasi residu tirosin memerlukan

suatu kondisi dimana ion iodida lebih banyak terdapat dalam kondisi teroksidasi (asam

hipoiodat) daripada dalam bentuk anion. Oksidasi iodida menjadi bentuk aktifnya diperantarai

oleh enzim peroksidase tiroid, suatu enzim yang mengandung heme, yang menggunakan H2O2

sebagai senyawa oksidannya. Enzim peroksida ini merupakan suatu enzim yang terikat

membran dan terkonsentrasi pada atau dekat permukaan apikal sel tiroid. Hasil reaksinya

adalah pembentukan residu monoiodotirosil dan diiodotirosil pada tiroglobulin, yang

selanjutnya akan disimpan pada lumen ekstraselular folikel tiroid.

Pembentukan H2O2 yang merupakan substrat untuk enzim peroksidase dirangsang oleh

peningkatan kadar Ca2+ sitosol. Reseptor TSH terutama menonjol dalam fungsinya

menstimulasi keempat famili G protein, termasuk Gq, yang menjalankan jalur transduksi sinyal

PLC-IP3-Ca2+. Dengan demikian, sifat produksi H2O2 yang tergantung Ca2+ merupakan cara

TSH meregulasi organifikasi iodida dalam sel tiroid.

3. Pembentukan Tiroksin dan Triiodotironin dari Iodotirosin

Tahap selanjutnya merupakan proses kopling 2 residu diiodotirosil untuk membentuk tiroksin,

atau residu monoiodotirosil dan diiodotirosil untuk membentuk triiodotironin. Reaksi oksidatif

ini dikatalisis oleh enzim peroksida yang sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Page 21: Kel A2-1 Diskusi 1

Mekanismenya mencakup proses transfer gugus fungsi (dalam bentuk radikal bebas iodotirosil

atau ion positif) di dalam tiroglobulin. Konformasi protein tiroglobulin diperkirakan dapat

memfasilitasi proses kopling tersebut. Laju relatif dari proses ini tergantung pada konsentrasi

TSH dan ketersediaan iodida. Hal ini memberi dampak pada hubungan antara perbandingan

tiroksin dan triiodotironin yang dibentuk dalam sel tiroid, dengan ketersediaan iodida atau

dengan jumlah relatif kedua jenis iodotirosin. Penurunan jumlah iodida dan peningkatan

jumlah monoiodotirosin akan lebih mengarah pada pembentukan triiodotironin daripada

tiroksin, namun defisiensi diiodotirosin akan dapat mengganggu pembentukan kedua jenis

hormon tersebut.

4. Resorpsi, Proteolisis Koloid, Sekresi Hormon Tiroid

Karena T4 dan T3 disintesis dan disimpan di dalam tiroglobulin, maka proteolisis merupakan

tahapan penting dalam proses sekresi kedua hormon ini. Proteolisis diawali dengan endositosis

koloid dari lumen folikel pada permukaan apikal dari sel ke dalam sel tiroid, dengan bantuan

reseptor tiroglobulin, megalin. Tiroglobulin yang masuk akan tampak sebagai droplet koloid

intrasel yang akan mengalami fusi dengan lisosom yang mengandung enzim proteolitik.

Tiroglobulin harus mengalami pemecahan lengkap menjadi asam amino penyusunnya agar

hormon tersebut dapat dilepaskan. TSH membantu mempercepat degradasi tiroglobulin

dengan cara meningkatkan aktivitas beberapa endopeptidase thiol lisosom. Endopeptidase ini

memecah tiroglobulin secara selektif, menghasilkan senyawa antara yang mengandung

hormon, yang kemudian akan diproses oleh eksopeptidase.

Hormon yang telah dilepaskan kemudian akan keluar melalui membran basalis sel tiroid.

Ketika tiroglobulin dihidrolisa, monoiodotirosin dan diiodotirosin juga akan dilepaskan,

namun umumnya tidak akan keluar dari kelenjar tiroid. Keduanya akan dimetabolisme secara

selektif. Iodine yang dilepaskan dalam bentuk iodida, akan dikembalikan ke dalam protein

koloid dan umumnya akan digunakan kembali.

5. Konversi Tiroksin menjadi Triiodotironin pada Jaringan Perifer

Jumlah produksi normal tiroksin adalah antara 70-90 μg/hari, sedangkan triiodotironin antara

15-30 μg/hari. Meskipun triiodotironin disekresi oleh kelenjar tiroid, namun metabolisme

tiroksin melalui proses monodeiodinasi menyumbang sekitar 80% triiodotironin dalam

sirkulasi. Area utama untuk proses konversi nontiroidal T4 menjadi T3 adalah hepar.

Kebanyakan organ target perifer mengutilisasi T3 yang beredar dalam sirkulasi. Konsentrasi

Page 22: Kel A2-1 Diskusi 1

normal T4 dalam plasma adalah antara 4.5-11 g/dL, sedangkan T3 jauh lebih rendah, yaitu

antara 60-180 ng/dL.

Enzim yang mengubah tiroksin menjadi triiodotironin adalah iodotironin deiodinase, yang

terdapat dalam 2 bentuk isoenzim: tipe I (D1) ditemukan dalam hepar, ginjal, dan kelenjar

tiroid, menghasilkan T3 yang akan diutilisasi oleh kebanyakan organ target perifer. D1 dapat

dihambat oleh berbagai faktor, termasuk obat antitiroid propylthiouracyl. Pada

hipertiroidisme, D1 mengalami up-regulation dan mengalami down-regulation pada

hipotiroidisme. Tipe II (D2) terdistribusi pada otak, pituitari, otot skeletal dan jantung.

Perannya terutama untuk memberikan suplai triiodotironin intrasel pada jaringan tersebut. D2

memiliki nilai Km yang lebih rendah untuk tiroksin daripada D1 dan aktivitasnya tidak

dipengaruhi oleh propylthiouracyl.

Hormon tiroid ditranspor dalam darah melalui ikatan nonkovalen kuat dengan protein

plasma tertentu. Thyroxine-binding globulin (TBG) merupakan protein pembawa utama untuk

hormon tiroid. Tiroksin, tapi tidak triiodotironin, juga terikat pada transthyretin (thyroxine-

binding prealbumin), suatu protein pengikat retinol. Ikatan hormon tiroid dengan plasma protein

melindungi hormon tersebut dari metabolisme dan ekskresi, menghasilkan waktu paruh yang

panjang dalam sirkulasi.

Hormon bebas hanya terdapat dalam persentasi kecil (sekitar 0.03% tiroksin dan 0.3%

triiodotironin), namun demikian hanya hormon bebas yang memiliki aktivitas metabolik. Dengan

demikian, karena hormon tiroid terikat pada protein plasma dalam derajat tinggi, maka perubahan

pada konsentrasi protein plasma atau pada afinitas hormon tersebut akan memberikan efek besar

pada konsentrasi total hormon dalam serum. Beberapa obat jenis tertentu dan berbagai kondisi

baik fisiologis maupun patologis dapat mempengaruhi ikatan hormon tiroid dengan protein

plasma dan jumlah protein plasma tersebut. Namun demikian, karena pituitari merespon dan

meregulasi kadar hormon bebas dalam sirkulasi, maka hanya akan tampak sedikit perubahan pada

konsentrasi hormon bebas dalam sirkulasi.

Tiroksin mengalami eliminasi lambat, dengan waktu paruhnya berkisar antara 6-8 hari.

Pada hipertiroidisme, waktu paruhnya akan mengalami pemendekan menjadi 3 atau 4 hari,

sedangkan pada hipotiroidisme menjadi 9-10 hari. Perubahan ini dapat menunjukkan perubahan

laju metabolisme hormon. Pada kondisi yang terkait dengan peningkatan ikatan pada TBG

(seperti pada masa kehamilan), proses clearance hormon akan berkurang (sebagai akibat

Page 23: Kel A2-1 Diskusi 1

penurunan clearance TBG). T3, yang mengalami ikatan lemah dengan protein plasma, memiliki

waktu paruh sekitar 1 hari.

Hepar merupakan organ utama yang mendegradasi hormon tiroid melalui jalur non-

deiodinatif: T4 dan T3 dikonjugasikan dengan asam glukuronat dan asam sulfat lalu diekskresi

melalui empedu. Sejumlah hormon tiroid dibebaskan dari konjugatnya melalui hidrolisa di usus

halus dan mengalami reabsorbsi.

Hormon tiroid menyebabkan perubahan selular pada pituitari, area otak yang

mengendalikan sekresi TSH melalui mekanisme negative-feedback oleh hormon tiroid. TSH

disekresi dalam suatu pola circadian dan kadarnya dalam sirkulasi mencapai puncaknya pada saat

tidur di malam hari. Sekresi TSH dikendalikan secara tepat oleh peptida yang disekresi

hipotalamus, thyrotropin-releasing hormone (TRH), dan oleh konsentrasi hormon tiroid bebas

dalam sirkulasi. Kadar hormon tiroid berlebih akan menghambat baik gen TRH maupun gen yang

mengkode TSH, yang akan menekan sekresi TSH dan menyebabkan kelenjar tiroid menjadi

inaktif. Mekanisme lain efek hormon tiroid terhadap sekresi TSH adalah melalui reduksi sekresi

TRH oleh hipotalamus akibat penurunan jumlah reseptor TRH pada sel pituitari.

TRH disintesis oleh hipotalamus dan dilepaskan ke dalam sirkulasi hipofiseal-portal,

dimana selanjutnya akan berinteraksi dengan reseptor TRH pada thyrotropes. Ikatan TRH pada

reseptornya, suatu G protein coupled receptor (GPCR), akan merangsang jalur Gq-PLC-IP3-Ca2+

dan mengaktivasi protein kinase C, yang akan menstimulasi sintesis dan pelepasan TSH oleh

thyrotropes. Somatostatin, dopamin, dan glukokortikoid dalam dosis farmakologis menghambat

sekresi TSH akibat stimulasi TRH.

Efek TSH terhadap metabolisme hormon tiroid adalah peningkatan sekresi yang segera

dapat diamati dalam hitungan menit.Terjadi peningkatan pada seluruh fase sintesis hormon:

uptake iodida dan organifikasi, sitesis hormon, endositosis, serta proteolisis koloid. Efek tersebut

dihasilkan melalui pengikatan TSH pada reseptornya pada membran plasma tiroid, dimana ikatan

TSH dengan reseptornya akan merangsang jalur Gs-adenilil siklase-siklik AMP (cAMP). TSH

dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan mengaktivasi jalur Gq-PLC.

Hormon tiroid bekerja memberikan efek perkembangan dan efek spesifik jaringan dengan

diperantarai oleh reseptor inti. Triiodotironin berikatan dengan reseptor inti yang memiliki

afinitas tinggi, yang kemudian akan berikatan dengan sekuens DNA (thyroid response elements /

TREs) pada area regulator atau promoter pada gen target. Melalui cara inilah triiodotironin

memodulasi transkripsi gen dan sintesis protein. Secara umum, reseptor T3 yang tidak terikat

ligan berada dalam kondisi terikat pada TREs pada kondisi basal. Umumnya, keadaan ini

Page 24: Kel A2-1 Diskusi 1

menyebabkan penekanan transkripsi gen, meskipun terjadi pula beberapa aktivasi gen. Ikatan T3

akan menyebabkan aktivasi gen dengan cara melepaskan sifat represi dari TREs.

T4 juga berikatan dengan reseptor yang sama, namun dengan afinitas yang lebih rendah

daripada T3. Meskipun memiliki kemampuan untuk terikat pada reseptor inti, tiroksin tidak

menunjukkan kempuan untuk mengubah transkripsi gen. Dengan demikian, T4 lebih banyak

berperan sebagai prohormon, dimana seluruh aktivitas transkripsi dari hormon tiroid dipegang

oleh T3.

Terdapat homologi antara reseptor hormon tiroid dengan reseptor hormon tiroid, yang

membangun superfamili gen yang termasuk reseptor asam retinoat dan vitamin D. Sebagai

tambahan terhadap aktivitas kerja yang diperantarai oleh reseptor inti, terdapat pula beberapa

aktivitas nongenomik hormon tiroid, termasuk yang bekerja di tingkat membran plasma, sito-

arsitektur selular, atau pada mitokondria, dimana pada beberapa dari proses tersebut, tiroksin

menjadi hormon yang menghasilkan respon:

1. Pertumbuhan dan Perkembangan

Hormon tiroid memberikan efeknya yang paling besar terutama melalui kontrol transkripsi

DNA dan sintesis protein, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal

secara bermakna. Hormon tiroid juga memegang peranan penting dalam perkembangan otak.

Hilangnya hormon troid selama periode neurogenesis aktif (sampai usia 6 bulan postpartum)

akan mengarah pada retardasi mental yang bersifat ireversibel (kretinisme) dengan diikuti oleh

berbagai perubahan morfologis pada otak sebagai akibat terganggunya migrasi neuronal,

proyeksi aksonal, dan penurunan sinaptogenesis. Aktivitas kerja hormon tiroid pada sintesis

protein dan aktivitas enzimatisnya tidak hanya terbatas pada otak. Banyak jaringan juga

mengalami perubahan setelah mendapat administrasi hormon tiroid, atau akibat defisiensinya.

Defek ekstensif pada pertumbuhan dan perkembangan pasien dengan kretinisme

mengilustrasikan secara jelas efek hormon tiroid pada individu normal.

2. Efek Kalorigenik

Respon khas dari hewan homeotermis terhadap pemberian hormon tiroid adalah peningkatan

konsumsi O2. Kebanyakan jaringan perifer ikut berperan dalam memberikan respon ini:

jantung, otot skeletal, hepar, dan ginjal mengalami stimulasi secara signifikan oleh hormon

tiroid, dimana 30-40% peningkatan konsumsi O2 disebabkan oleh peningkatan kontraktilitas

otot jantung. Beberapa organ lain seperti otak, gonad, dan limpa tidak menunjukkan efek

kalorigenik terhadap rangsangan hormon tiroid. Meskipun gambaran umumnya masih belum

Page 25: Kel A2-1 Diskusi 1

jelas, namun hormon tiroid dapat meregulasi set-point keluaran energi dan mempertahankan

proses metabolik yang dibutuhkan untuk mencapainya.

3. Efek Kardiovaskular

Hormon tiroid mempengaruhi kerja jantung baik secara langsung maupun tak langsung. Pada

penderita hipertiroid terjadi tachycardia, peningkatan stroke volume, peningkatan indeks

jantung, hipertrofi jantung, penurunan resistansi vaskular perifer, dan peningkatan tekanan

nadi (pulse pressure).

Hormon tiroid meregulasi ekpresi gen myocardial secara langsung. T3 menyebabkan

upregulation pada gen yang mengkode isoform rantai berat myosin sarkoplasma dan

sarcoplasmic reticulum Ca2+-ATPase. Keduanya memegang peranan penting dalam kontraksi

otot jantung. Gangguan kontrakstilitas otot jantung sebagai akibat gangguan pada regulasi

kedua gen tersebut dapat diamati pada keadaan hipo dan hipertiroid.

Perubahan sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin (meningkat pada hipertiroid)

dianggap sebagai efek tak langsung dari hormon tiroid, disebabkan oleh perubahan ekspresi

reseptor β-adrenergik jantung. Hal ini menjadi dasar penggunaan senyawa antagonis β-

adrenoceptor dalam meringankan manifestasi jantung pada hipertiroidisme.

Pada akhirnya, T3 menyebabkan efek hemodinamik perifer yang mengubah kondisi

kronotropik dan inotropik myocardium. T3 tampak menunjukkan efek nongenomik langsung

terhadap vasodilatasi otot polos vaskular.

4. Efek Metabolik

Hormon tiroid menstimulasi metabolisme kolesterol menjadi asam empedu, meningkatkan

ikatan hepatosit dengan low density lipoprotein (LDL). Jumlah reseptor LDL pada permukaan

hepatosit merupakan determinan penting konsentrasi kolesterol plasma. Hormon tiroid juga

meningkatkan respon lipolisis sel lemak terhadap hormon lain (seperti katekolamin), sehingga

peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dapat ditemukan pada hipertiroidisme. Berlawanan

dengan hormon lipolitik lainnya, hormon tiroid tidak meningkatkan akumulasi cAMP secara

langsung, namun meregulasi kapasitas hormon lain untuk meningkatkan akumulasi cAMP

dengan cara menurunkan aktivitas fosfodiesterase mikrosomal yang menghidrolisa cAMP.

Tirotoksikosis merupakan suatu kondisi resistansi insulin. Defek postreseptor pada hepar dan

jaringan perifer, dimenifestasikan oleh penurunan simpanan glikogen dan peningkatan

glukoneogenesis, akan mengarah pada insensitivitas terhadap insulin. Sebagai tambahan,

Page 26: Kel A2-1 Diskusi 1

terjadi peningkatan absorbsi glukosa dari usus. Kondisi-kondisi tersebut dapat merangsang

terjadinya diabetes klinis.

Hipertiroidisme adalah keadaan di mana fungsi sekresi tiroid terlalu aktif, yang

menyebabkan produksi berlebihan hormon tiroid triiodothyronine (T3) dan / atau tiroksin (T4).

Ketika hormon tiroid mengendalikan beberapa fungsi tubuh, termasuk metabolisme, kelebihan ini

menyebabkan stimulasi ekstra yang kecepatan beberapa sistem tubuh. Tirotoksikosis digunakan

untuk menggambarkan hipertiroidisme yang menyajikan gejala-gejala klinis.

Hipertiroidisme terjadi akibat peningkatan sintesis dan sekresi hormon-hormon tiroid

(tiroksin [T4] dan triiodothyronine [T3]) dari kelenjar tiroid, yang disebabkan oleh stimulator

tiroid dalam darah atau oleh hyperfunction tiroid otonom. Selain itu hipertiroidisme dapat dihasil

dari pelepasan berlebihan dari hormon tiroid tanpa peningkatan sintesis. Rilis seperti biasanya

disebabkan oleh perubahan destruktif dari berbagai jenis tiroiditis. Berbagai sindrom klinis juga

memproduksi hipertiroidisme:

Graves' disease (toxic diffuse goiter)

Penyakit ini disebabkan oleh tiroid autoantibody terhadap reseptor untuk thyroid-stimulating

hormone (TSH). Tidak seperti kebanyakan autoantibodies, yang merupakan penghambatan,

autoantibody ini justru merupakan stimulasi, sehingga terus-menerus menghasilkan sintesis dan

sekresi kelebihan T4 dan T3. Graves 'disease (seperti Hashimoto tiroiditis) kadang-kadang terjadi

dengan kelainan autoimun lainnya, termasuk diabetes mellitus tipe 1, vitiligo, rambut beruban

pada usia dini, anemia pernisiosa, penyakit jaringan ikat, dan sindrom defisiensi polyglandular.

Patogenesis dari infiltrative ophthalmopathy (bertanggung jawab atas exophthalmos pada

penyakit Graves) kurang dipahami, tetapi dapat diakibatkan dari imunoglobulin yang diarahkan

dengan reseptor spesifik di orbit fibroblas dan lemak yang mengakibatkan pelepasan sitokin

properadangan, peradangan, dan akumulasi glycosaminoglycans. Ophthalmopathy mungkin juga

terjadi sebelum timbulnya hipertiroidisme atau saat mencapai 20 tahun sesudahnya, dan sering

memperburuk atau memperbaiki independen dari perjalanan klinis hipertiroidisme.

Sekresi TSH yang Abnormal

Pasien dengan hipertiroidisme umumnya mempunyai TSH yang tidak terdeteksi kecuali bagi

mereka dengan adenoma hipofisis anterior atau orang-orang dengan penolakan terhadap hormon

Page 27: Kel A2-1 Diskusi 1

tiroid. Tingkat TSH tinggi, dan TSH yang dihasilkan dalam kedua gangguan secara biologis lebih

aktif daripada TSH normal. Kenaikan α-subunit TSH dalam darah (membantu dalam diagnosis

diferensial) terjadi pada pasien dengan adenoma hipofisis.

Molar pregnancy, choriocarcinoma, and hyperemesis gravidarum

Kondisi ini menyebabkan tingginya produksi serum human chorionic gonadotropin (hCG),

stimulator tiroid yang lemah. Tingkat hCG yang tertinggi selama trimester pertama kehamilan

dan mengakibatkan penurunan dalam serum TSH dan peningkatan ringan serum T4 bebas

kadang-kadang diamati pada saat itu. Stimulasi tiroid yang meningkat dapat disebabkan oleh

meningkatnya kadar hCG desialated sebagian, sebuah varian hCG yang dapat menjadi stimulator

tiroid yang lebih kuat daripada sialated hCG. Hipertiroid dalam kehamilan molar,

koriokarsinoma, dan hiperemesis gravidarum adalah sementara; fungsi tiroid normal dilanjutkan

bila kehamilan molar dievakuasi, yang koriokarsinoma diperlakukan dengan tepat, atau

hiperemesis gravidarum abates.

Drug-induced hyperthyroidism

Hipertiroid ini dapat disebabkan oleh Amiodarone dan interferon-α, yang dapat menyebabkan

tiroiditis dengan hipertiroid dan gangguan tiroid lainnya. Meskipun lebih sering menyebabkan

hipotiroidisme, litium juga dapat menyebabkan hipertiroidisme. Pasien yang menerima obat ini

harus diawasi secara ketat.

Struma ovarii

Hipertiroid terjadi ketika teratoma ovarium mengandung jaringan tiroid yang cukup untuk

menyebabkan hipertiroidisme.

Pada hipertiroidisme, T3 serum biasanya meningkat lebih tinggi daripada T4 karena

peningkatan sekresi T3 serta konversi dari T4 ke T3 di jaringan tepi. Pada beberapa pasien, hanya

T3 yane meningkat (T3 toksikosis). T3 toksikosis dapat terjadi di salah satu gangguan yang biasa

menghasilkan hipertiroidisme, termasuk penyakit Graves, gondok multinodular, dan berfungsi

Page 28: Kel A2-1 Diskusi 1

otonom nodul tiroid soliter. Jika T3 toksikosis tidak diobati, pasien biasanya juga

mengembangkan kelainan laboratorium khas hipertiroidisme (yaitu, peningkatan T4 dan

pengambilan 123I). Berbagai bentuk tiroiditis umumnya memiliki fase hipertiroid diikuti oleh fase

hipotiroid.

2.4 Obat-obat Anti Hiperthyroid

Sejumlah besar senyawa dapat digunakan untuk menghambat, baik secara langsung maupun tak

langsung, sintesis, pelepasan, maupun aktivitas hormon tiroid. Beberapa memiliki nilai klinis

yang besar untuk pengobatan baik jangka pendek maupun jangka panjang hipertiroid. Inhibitor

utama hormon tiroid dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori:

1. Obat antitiroid, yang langsung bekerja menghambat sintesis hormon tiroid.

2. Inhibitor ionik, yang memblok mekanisme transpor iodida.

3. Iodine konsntrasi tinggi, yang menghambat pelepasan hormon tiroid dari kelenjarnya dan

menurunkan sintesis hormon.

4. Iodine radioaktif, yang merusak kelenjar dengan radiasi ionisasi.

Tiga kategori besar obat antitiroid adalah: (1) thioureylene, yang mencakup seluruh

senyawa yang digunakan di klinik hingga saat ini; (2) derivat anilin, yang mana sulfonamid

menjadi golongan besarnya, memiliki peran menghambat sintesis hormon tiroid; dan (3)

polihidrat fenol, seperti resorsinol.

Thiourea dan derivat alifatik sederhananya, serta senyawa heterosiklik yang mengandung

gugus thioureylene merupakan agen antitiroid yang paling dikenal dan paling banyak digunakan

secara efektif pada manusia. Dari seluruh senyawa heterosiklik, bahan aktif yang mewakili

kerjanya adalah derivat sulfur dari imidazole, oxazole, hydantoin, thiazole, uracil, dan asam

barbiturat.

Obat antitiroid bekerja menghambat pembentukan hormon tiroid pada tahapan

penggabungan iodine ke dalam residu tirosil tiroglobulin. Obat ini juga menghambat proses

kopling residu iodotirosil dalam membentuk iodotironin. Hal ini menunjukkan bahwa obat

antitiroid bekerja menghambat proses oksidasi ion iodida dan gugus iodotirosil. Diperkirakan

bahwa obat tersebut menghambat enzim peroksidase dan dengan demikian menghambat oksidasi

iodida atau gugus iodotirosil menjadi kondisi aktif yang diperlukan. Selama beberapa waktu,

Page 29: Kel A2-1 Diskusi 1

proses inhibisi sintesis hormon tersebut mengarah pada penurunan kadar cadangan tiroglobulin

teriodinasi akibat hidrolisa protein untuk melepas hormon bebas ke dalam sirkulasi. Namun

demikian, efek klinik baru akan tampak hanya pada saat telah terjadi penurunan kadar preformed

hormone dan konsentrasi hormon tiroid dalam sirkulasi.

Ketika Grave’s disease diterapi dengan obat antitiroid, konsentrasi thyroid-stimulating

immunoglobulin dalam sirkulasi juga seringkali menurun, menunjukkan bahwa beberapa agen

antitiroid juga berperan sebagai imunosupresan. Sebagai tambahan dari efek blokade sintesis

hormon, propylthiouracyl juga menghambat deiodinasi perifer T4 menjadi T3. Methimazole tidak

memiliki efek ini.

Preparat antitiroid yang saat ini banyak digunakan adalah propylthiouracil dan

methimazole. Beberapa sifat farmakologis dari kedua obat tersebut adalah:

Propylthiouracyl Methimazole

Ikatan protein plasma 75% nil

Waktu paruh 75 menit 4-6 jam

Volume distribusi 20 liter 40 liter

Frekuensi pemberian dosis 1-4 kali/hari 1-2 kali/hari

Transmisi transplacental Rendah Rendah

Kadar pada ASI Rendah Rendah

Pengukuran yang dilakukan pada laju organifikasi iodine radioaktif oleh tiroid

menunjukkan bahwa absorbsi jumlah efektif propylthiouracil terjadi dalam waktu 20-30 menit

setelah administrasi oral dengan durasi kerja umumnya rendah. Efek pemberian dosis 100 mg

propylthiouracil akan menghilang dalam waktu 2-3 jam. Methimazole sejumlah 0.5 mg juga

menurunkan organifikasi iodine radioaktif pada kelenjar tiroid, namun dosis tunggal sebesar 10-

25 mg dibutuhkan untuk memperpanjang efek inhibisinya sampai 24 jam.

Angka kejadian munculnya efek samping pada penggunaan propylthiouracil dan

methimazole umumnya relatif rendah. Reaksi paling serius yang dapat muncul pada penggunaan

methimazole adalah agranulositosis. Munculnya reaksi agranulositosis pada penggunaan

methimazole mungkin bersifat tergantung dosis, namun kondisi tersebut tidak tampak pada

penggunaan propylthiouracil. Reaksi agranulositosis biasanya ditandai dengan munculnya sakit

Page 30: Kel A2-1 Diskusi 1

tenggorokan atau demam, dan bersifat reversibel melalui penghentian konsumsi obat. Perhatian

dan penghitungan leukosit dengan demikian juga harus sering dilakukan.

Efek samping yang paling sering muncul adalah munculnya bercak kemerahan gatal yang

akan hilang dengan sendirinya melalui penghentian terapi, atau bisa juga diintervensi dengan

administrasi antihistamine, kortikosteroid, atau dengan mengganti obat terapi dengan obat lain.

Komplikasi lain yang cukup jarang terjadi adalah kaku dan nyeri sendi, parestesi, nyeri kepala,

mual, pigmentasi kulit, serta kerontokan rambut.

Dosis awal yang biasanya diberikan untuk propylthiouracil adalah 100 mg setiap 8 jam,

atau 150 mg setiap 12 jam. Jika dibutuhkan dosis lebih dari 300 mg/hari, maka dibutuhkan

pembagian waktu administrasi menjadi setiap 4-6 jam. Methimazole efektif jika diberikan sebagai

dosis tunggal harian karena waktu paruhnya yang panjang, baik di dalam plasma maupun dalam

tiroid, dan durasi kerjanya yang panjang. Penggunaan obat antitiroid dapat dikurangi, namun

tidak dihentikan, ketika kondisi eutiroid tercapai, yaitu umumnya setelah 12 minggu.

Iodida merupakan obat tertua yang banyak digunakan untuk pengobatan kelainan pada

kelenjar tiroid. Sebelum obat antitiroid digunakan, iodida merupakan satu-satunya senyawa yang

tersedia untuk mengendalikan tanda dan gejala hipertiroidisme.

Iodida konsentrasi tinggi menunjukkan pengaruh hampir pada seluruh aspek metabolisme

iodine oleh kelenjar tiroid. Inhibisi akut terhadap sintesis iodotirosin dan iodotironin oleh iodida

juga telah diketahui dengan baik (efek Wolff-Chaikoff). Mekanisme efek Wolff-Chaikoff akut

memang masih belum jelas, namun dipostulatkan sebagai hasil pembentukan senyawa iodo

organik di dalam kelenjar tiroid.

Pada individu dengan kondisi eutiroid, adminidtrasi dosis iodida mulai dari 1.5-150 mg/hari

menghasilkan sedikit penurunan pada konsentrasi tiroksin plasma dan triiodotironin, serta sedikit

peningkatan kompensatoris pada TSH serum, dengan seluruhnya berada dalam batas rentang nilai

normal. Obat yang mengandung iodine yang paling sering diresepkan adalah ekspektoran,

antiseptik topikal, dan agen kontras radiologis.(Goodman & Gilman, 2008)

Page 31: Kel A2-1 Diskusi 1

BAB III

Pembahasan

3.1 Keluhan Utama

Sesak napas akut

3.2 Kata Kunci

Wanita

40 tahun

Gelisah

Berat badannya terus menurun

Sering berkeringat

Denyut jantung meningkat

Sesak napas akut

Napas berbunyi

3.3 Diagnosis

Asma akut disertai hipertiroidisme

3.4 Tujuan Pengobatan Spesifik

Mangobati gejala asma akut tanpa memperberat gejala hipertiroid.

3.5 Inventarisir Kelompok Obat yang Efektif

Simpatomimetis: β2-agonis, antimuskarinik

Metilxanthine

Cara kerja obat-obat Asma

Kelompok Mekanisme kerja Efek Samping

Page 32: Kel A2-1 Diskusi 1

β2-agonis Menstimulasi enzim adenilil siklase sehingga meningkatkan terbentuknya cAMP pada otot polos, efek pada β2>β1

Menyebabkan sedikit tremor, sakit kepala, vasodilatasi, takikardi, menstimulasi SSP, meningkatkan metabolisme

Antimuskarinik Menghambat reseptor Ach sehingga merupakan inhibitor kompetitif (vagus), menghambat sekresi mukus

Menghambat bradikardi

Metilxanthine Bronkodilator, menghambat kerja histamin di jaringan paru

Takikardi, menyebabkan gelisah, ada efek tremor, kronotropik dan ionotropik positif langsung pada jantung, butuh dosis yang tepat(dosis kecil tidak berpengaruh tetapi pada dosis besar bisa menyebabkan halusinasi)

3.6 P-drug (pilihan obat yang rasional)

P-drug(pilihan obat yang rasional):

Pilihan kelompok obat berdasarkan kriteria

Kelompok Efficacy Safety Suitability Cost Score

70% 20% 5% 5% 100%

β2-agonis 8

(560)

3 7 9 700

antimuskarinik 7,5 6 8 5 710

metilxanthine 6 4 7 7 585

Pilihan P-drug berdasarkan kriteria

Kelompok Efficacy Safety Suitability Cost Score

Page 33: Kel A2-1 Diskusi 1

70% 20% 5% 5%

Ipratropium 8 7 8 5

Tiotropium 6 5 8 6

3.7 Alasan Farmakologis Pilihan P-drug

Ipratropium Bromide (Atrovent) merupakan salah satu pilihan obat anti muskarinik yang

dirasa cukup efektif untuk menyembuhakan gejala asma akut Ny Tarminem. Hal tersebut

dikarenakan efek Ipratropium sangat minimal atau hampir tidak ada pada kardiovaskular. Seperti

telah diketahui bahwa keadaan hipertiroid dari Ny Tarminem menyebabkan palpitasi dan

peningkatan sensitivitas reseptor beta adrenergik. Oleh karena itu, obat asma dari golongan beta

adrenergik tidak dapat dipakai untuk kasus asma Ny Tarminem.

Efek samping : Efek samping minimal seperti yang umumnya muncul dari

obat golongan atropin, seperti mulut kering dan sedasi

Kontraindikasi : Triwulan pertama kehamilan

Cara pemberian : inhalasi

Dosis : 0.02 mg tiap semprot, dewasa 3-4 x sehari 1-2 semprotan

Harga rata-rata : 10 ml MDI Rp 93.830,- dan botol 20 ml aerosol Rp

120.560,-

Tiotropium (Spiriva) juga merupakan golongan anti muskarinik yang sering digunakan

pada terapi asma, tetapi penggunaannya untuk menangani asma akut masih diragukan serta dapat

menyebabkan reaksi hipersensitivitas mendadak. Penggunaan Tiotropium juga menyebabkan

takikardi, yang akan semakin memperparah kondisi Ny Tarminem.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami menyimpulkan bahwa P-drug yang tepat untuk

mengatasi asma akut yang diderita Ny Tarminem adalah dengan menggunakan preparat aerosol

dari Ipratropium Bromide (Atrovent), yaitu dengan rute pemberian per inhalasi. Efek samping

yang dapat terjadi adalah sedasi dan mulut kering, dengan kontraindikasi tidak dapat digunakan

pada ibu hamil trimester awal, kecuali efek menguntungkan lebih banyak.

Page 34: Kel A2-1 Diskusi 1

BAB IV

Kesimpulan

Page 35: Kel A2-1 Diskusi 1

4.1 Kesimpulan

Untuk mengatasi kondisi asma akut kita menggunakan obat anti asma yang termasuk

golongan anti muskarinik, dengan preparat Ipratropium Bromide (Atrovent) yang meminimalkan

efek dari kardiovaskular.

4.2 Saran

P-treatment :

1. Lebih banyak istirahat

2. Mengurangi hal-hal yang dapat memicu stress

3. Mengurangi paparan dengan alergen seperti debu, pollen, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Page 36: Kel A2-1 Diskusi 1

Departemen Farmakologi dan Terapik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru

Goodman & Gilman. 2008. Manual of Pharmacology and Therapeutics. United States of

America: Appleton and Lange.

ISFI. 2009. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Volume 44. Yogyakarta-Indonesia. Berlico

Mulia Farma

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi ke VI. Jakarta. EGC.

TKA. 2008. Obat-obatan untuk Merawat Asma. Retrieved October 5, 2009, from :

http://www.totalkesehatananda.com/asma6.html

The Asthma Center Manual. Understanding Asthma. Retereived October 5, 2009, from :

http://www.theasthmacenter.org/manual/part2-12.html