kedudukan ombudsman sebagai lembaga pengawas...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS
PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
NAUFAL EL RAMADHIAN
NIM:109048000037
KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
i
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2014
Naufal El Ramadhian
iv
ABSTRAK
NAUFAL EL RAMADHIAN. NIM 109048000037. KEDUDUKAN
OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK
DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA. Program Studi Ilmu
Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. xi + 91
halaman + halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan Ombudsman
sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
serta tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menangani
kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach) pada
norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai
kedudukan Ombudsman lembaga pengawas pelayanan publik dan UU No. 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan Ombudsman sebagai
lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sudah
jelas dan final dengan dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia (ORI) dan diperkuat dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, sehingga tugas dan wewenang ORI dalam menangani kasus berupa
dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan optimal.
Kata kunci: Kedudukan Ombudsman, Lembaga Pengawas pelayanan Publik,
Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan Tugas serta Wewenang
Ombudsman Republik Indonesia, Dugaan Pelanggaran,
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum
Dwi Putri Cahyawati, SH, MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berbagai macam nikmat yang diantaranya nikmat iman, islam, ihsan dan
nikmat sehat wal-afiat serta rahmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN
OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK
DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA” ini merupakan salah
satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan,
nasehat, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Ketua dan
Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan
masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
vi
3. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum., dan Dwi Putri Cahyawati, SH, MH., dosen
Pembimbing 1 dan 2 yang telah memberikan arahan dan masukan serta
bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Nur Rohim Yunus, LLM., dan Fitria SH, MR., dosen penguji 1 dan 2 yang telah
memberikan saran, masukan, serta arahan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Segenap staf Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf
Perpustakaan Universitas Indonesia, yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi ilmu hukum, yang telah memberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu
pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat, mendapat rahmat dari Allah SWT
dan menjadikan keberkahan bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa
membalas jasa-jasa beliau dengan menjadikan semua kebaikan dan keikhlasan ini
sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
7. Kedua orang tuaku ayahanda Ateng Sukmayadi dan Ibunda Cucun Sunoarti yang
ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a,
bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda. Serta
Adik-adikku Nawafi El Bikri, Naila Aufa El Silmi dan Ryhan Maulana Akbar
yang selalu menghibur, memotivasi dan memberikan arti penting sebagai seorang
putra sulung.
vii
8. Keluarga besar alm. H. Aswad Bin Saih, H. Ujang Djumhaedin, pak Budi, dan
pak Odih Hendramadji serta Keluarga Besar alm. Moh. Syafei baik itu Uwa, para
Om dan tante yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril, materil dan
spiritual bagi penulis.
9. Sahabat hatiku Dwi Astuti Handayani Putri (Wiwid) yang selalu disampingku,
memberikan perhatiannya kepadaku, memberikan motivasi dan dukungan serta
do’a dalam proses penyusunan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang kucintai, khususnya prodi Ilmu Hukum
angkatan 2009 (Ilham, Fajri, Fandi, Wawan, Fuji, Budi, Rizky,Taufan, Silmi,
Iffah, Alin, Affidah, Sisca, Vera, Luspina, Gagat, Zaki, Jajang, Holil Imam,
Maul, Saddam dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu).
Terimakasih yang tak terhingga atas kebersamaannya, memotivasi, dan selalu
menghibur dikala sedang gelisah.
11. Sahabat-sahabat Futsal Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan sahabat Futsal Kecret-Kocrot FC yang selalu memberikan dorongan
dalam proses skripsi.
12. Sahabat-sahabat kosan Inun, Ilham, Wawan, Daqoiq, Lili, Doblenk, Fiman, Oye,
Rezha, Riko, Teqie, Radi, Indra, Soleh, Taufik, Zay, Long, dan semua sahabat
kosan inun yang tidak bisa penulis sampaikan satu-persatu. Karena selalu
menghibur dengan candaan, bantuan dan motivasi selama proses pembuatan
skripsi ini.
viii
13. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amien).
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 31 Desember 2013
Penulis,
Naufal El Ramadhian
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………………. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 5
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... 5
E. Kerangka Konseptual ...................................................................... 7
F. Metode Penelitian............................................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 14
BAB II KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN
A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan ................................. 16
B. Konsep Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia .......................................................................................... 30
x
C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik ................................................. 35
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK
INDONESIA
A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman ............................................ 44
B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia ...................... 48
C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia ..................... 55
D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia................. 56
BAB IV KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA
PENGAWAS PELAYAN PUBLIK DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Ombudsman Republik Indonesia dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia ........................................................................................... 64
B. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam
Menangani Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik
Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara ................................. 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 84
B. Saran ................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 87
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Bagan alur penyelesaian laporan pengaduan kepada Ombudsman Republik
Indonesia
2. Alur penanganan laporan masyarakat atas tindakan maladministrasi oleh
penyelenggara negara kepada Ombudsman Republik Indonesia
3. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia
4. Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa ini, hukum merupakan sebuah instrumen untuk memperoleh
sebuah keadilan. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan
yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah
laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam
hidup serta untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam
hidup.
Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki
konstitusi yang dikenal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.1 Bertujuan
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2 Sebagaimana ada dalam
makna alinea ke-4 pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
1 A. Abdullah dan Abdul Rozak, Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani),
(Jakarta: ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. 3), h. 68.
2 Makna alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2
Indonesia. Ironisnya, pada saat ini hukum tidak berjalan sesuai dengan das sein
(apa yang seharusnya).
Pada dasarnya yang bertanggung jawab atas ketidaksesuaian hukum yang
telah terjadi saat ini adalah pemerintah, karena pemerintah merupakan
organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum
serta Undang-undang di wilayah tertentu. Fungsi utama pemerintah adalah
memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan dan
menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya,
dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan
mensejahterakan masyarakatnya3. Selaras dengan prinsip-prinsip pokok Good &
Clean Governance bertujuan merealisasikan pemerintahan yang professional dan
akuntabel, baik, bersih dan berwibawa. Kemudian sejalan dengan prinsip
demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan tujuan utama dari implementasi
good and clean governance.
Pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai
aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah
3 Lihat Hardiyansyah Ahmad, dalam Artikel Pelayanan Publik, di akses pada 24 Agustus
2013 melalui www.google.com,
3
dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara
Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.4
Namun peraturan yang mengatur Ombudsman ini telah banyak menuai
kontroversi yang mengakibatkan kurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap
lembaga pemerintah yang mengatur semua jenis pengawasan peyelenggaraan
pelayanan publik. Seperti halnya UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia yang substansi materi muatan hukumnya hampir sama
dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara
kontinuitas akan menimbulkan dualisme kewenangan.
Masyarakat memiliki peranan dalam proses membangun penegakan
Hukum untuk memperoleh keadilan, karena mereka adalah bagian, dan juga
sasaran, dari keadilan itu sendiri. Masyarakat adalah komponen yang semestinya
merasakan keadilan, dan bukan sebaliknya, menjadi obyek serta korban
ketidakadilan.
Masyarakat juga memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena
penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang berdasarkan
atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan
oleh Ombudsman adalah pengawasan riil, yaitu pengawasan untuk memperoleh
pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah.
4 Antonius Sujata, dkk, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang,
(Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 14.
4
Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dijelaskan, penulis tertarik
untuk membahas penelitian ini dengan judul “KEDUDUKAN OMBUDSMAN
SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM
STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, Penulis akan membatasi
permasalahan yang akan dibahas hanya Kedudukan Ombudsman sebagai
lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia kemudian tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia
dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang dan
permasalahan yang penulis sudah batasi, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
a. Bagaimana kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas
pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia ?
5
b. Bagaimana tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani
kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan
publik ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Selaras dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui kedudukan Ombudsman sebagai lembaga
pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Ombudsman dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas dan wewenang Ombudsman
dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan
penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di
beberapa sumber yang Penulis temukan, penelitian tersebut yaitu :
6
1. Judul Skripsi : PERAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
PERWAKILAN PROPINSI JAWA TIMUR DALAM PENYELESAIAN
LAPORAN ATAS DUGAAN MAL ADMINISTRASI PENYELENGGARA
PELAYANAN PUBLIK. (Studi Kasus di Wilayah Kerja Kota Surabaya).
Penulis : Heru Prasetyo / Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur / 2012
Penelitian ini didasarkan Permasalahan tentang Peran Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas
Dugaan Mal-administrasi Penyelenggara Pelayanan Publik. Sedangkan penulis,
menitikberatkan permasalahan tentang Kedudukan Ombudsman Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan
publik
2. Judul Skripsi : PERANAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA.
Penulis : Lina Rubiyanti/ UMY/ 2010
Penelitian ini didasarkan pada permasalahan Peranan Ombudsman RI Untuk
mewujudkan Good Governance di Indonesia dan mengkaji Ombudsman RI
dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam kinerja penanganan laporan.
Sedangkan penulis didasarkan pada permasalahan tentang Kedudukan
Ombudsman Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta
7
wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
E. Kerangka Konseptual
Institusi pengawasan yang bernama “Ombudsman” pertama kali lahir di
Swedia, namun demikian sebenarnya Swedia bukanlah Negara pertama yang
membangun Sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Romawi telah
terdapat intitusi “Tribunal Plebis” yang tugasnya hampir sama dengan
Ombudsman yaitu melindungi hak masyarakat lemah dan penyalahgunaan
kekuasaan oleh para bangsawan. Model yang demikian juga dapat dijumpai pada
kekaisaran Cina Dinasty Tsin pada tahun 221 SM.5
Ombudsman menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang
diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
5 Jeremi Pope, Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1999) h. 115.
8
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Kemudian dalam menaungi Lembaga Ombudsman yang pada awalnya
telah dibentuk Komisi Ombudsman Nasional, yang diuraikan pada Pasal 2
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman
Nasional yang dikatakan “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan
masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang
melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat
mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur
pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, maka hal-hal yang diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sudah
dihapus dan digantikan dengan Undang-undang terbaru.
Dalam literatur peraturan perUndang-undangan, Perbedaan Keputusan
Presiden dengan Peraturan, yakni suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat
individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu
peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus
menerus (dauerhaftig). Keputusan Presiden adalah norma Hukum yang bersifat
9
konkret, individual, dan sekali selesai. Begitupun dengan Ombudsman yang
menurut Undang-undang terbaru Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia membaharui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang
Komisi Ombudsman Nasional.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, Sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
Sistematis adalah berdasarkan suatu Sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.6
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.7
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif/normatif yuridis, yaitu penelitian yang
dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986, Cet. III), h. 42.
7 Ibid., h. 42.
10
perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang
berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.8
2. Pendekatan penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian
yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan
pendekatan perndang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.9 Penelitian ini dilakukan untuk meneliti aturan-aturan
yang penormaannya tentang Kedudukan Ombudsman dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia dan wewenang Ombudsman dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
b. Pendekatan konsep (conceptual approach)
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep
tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik sehingga diharapkan penormaan
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18. 9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia,
2008, Cet. IV), h. 303.
11
dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang
bermakna ganda.
c. Pendekatan historis (historical approach), dan
Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah
memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih
mendalam tentang suatu lembaga. Dengan mengetahui latar belakang
dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa
saja yang dihadapi dan mempengaruhi lembaga tersebut.10
d. Pendekatan perbandingan (comparative approach).
Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode
perbandingan. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara
yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan
salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang
satu dengan lembaga hukum yang lain.11
Dari perbandingan itu, maka dapat ditemukan unsur-unsur
persamaan dan perbedaan kedua Sistem hukum itu. Persamaan-
persamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang
diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya
10
Ibid., h. 318.
11
Hal tersebut karena sejak semula seorang ilmuwan harus dapat mengadakan identifikasi
terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet.VII), h. 81.
12
perbedaan suasana, iklim, budaya, dan sejarah masing-masing bangsa
yang bersangkutan.12
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim13
.
Dalam penelitian ini yang termasuk bahan Hukum primer adalah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia, Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi
Ombudsman Nasional, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Pubik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, naskah
akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ombudsman Republik
Indonesia, dan Peraturan Perundang-undangan terkait dengan
Ombudsman Republik indonesia.
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum (Malang: Bayumedia Publishing,
2006, Cet. II),h. 313.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010, Cet.VI), h. 141.
13
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.14
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat
berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan
non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.15
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam mengumpulkan Bahan hukum, yakni bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan
itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan
diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih Sistematis untuk
menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 141.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 143.
14
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi16
. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis
terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana
Kedudukan Hukum dalam Sistem kelembagaan Negara dan Tugas dan
Wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun penulis berdasarkan buku petunjuk “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012” dengan Sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing
bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Adapun sistematikanya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah; Batasan
dan Rumusan Masalah; Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu; Metode
Penelitian; dan Sistematika Penulisan.
BAB II : KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN
Bab ini Menjelaskan Mengenai Teori Pembagian dan Pemisahan
Kekuasaan; Konsep Checks and Balances Dalam Sistem
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006, Cet. II), h. 393.
15
Ketatanegaraan Indonesia; dan Urgensi Kewenangan Ombudsman
Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK
INDONESIA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai sejarah berdirinya
Ombudsman; yang terdiri atas pengertian, sejarah singkat sifat, asas
dan tujuan, falsafah, visi dan misi, kemudian struktur organisasi; serta
fungsi tugas dan wewenang lembaga Ombudsman.
BAB IV: OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS
PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA
Dalam bab ini menjelaskan tentang Ombudsman Republik Indonesia
sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman
Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan
pelanggaran terhadap penyelengaraan pelayanan publik.
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan
pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
16
BAB II
KEKUASAN LEMBAGA INDEPENDEN
A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan
Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state
atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut
rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraaan
kekuasaaaan Negara. Meskipun kedua istilah rechstsstaat dan rule of law itu
memiliki latar belakang sejarah dan pengertian berbeda, tetapi sama-sama
mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum
yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.17
Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal
sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan
kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa barat sebagai
antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad pertengahan, yaitu
antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18,
lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk menarik kekuasaan membuat peraturan
dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri
17
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h. 281.
17
sendiri. Begitu pula pada akhir abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman
telah diserahkan kepada suatu badan perwakilan.18
Istilah “Pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri
urusan masing-masing.19
Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup
panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah “Trias Politica”.
Istilah trias politica awalnya oleh Emmanuel Kant, begitu pula secara substansi
pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dan ditulis oleh Aristoteles.
1. Teori Pemisahan Kekuasaan John Locke
John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas
ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya adalah seorang tuan
tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir
Locke.20
18
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1990), h. 2.
19
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h. 285.
20
Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2007), h. 13.
18
John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari
inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan
willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak
terbatas.21
Memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama
ajarannya tentang negara dan hukum.
John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang terbit Tahun
1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan
pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga bidang: pertama,
kekuasaan membentuk Undang-Undang (legislatif), kedua, kekuasaan eksekutif,
dan ketiga, kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk
melaksanakan Undang-Undang mencakup juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan
federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk
dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.22
2. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu
Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara ahli-
ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari perancis. Nama lengkapnya
adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. Dia adalah seorang
sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu
21
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 106.
22
Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h. 140.
19
seorang yang dengan pemikiran dan tenaganya sendiri telah memperoleh
kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan.23
Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti Undang-
Undang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang menyebabkan
berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah
perbedaan yang terdapat dalam situasi bangsa masing-masing, sifat
kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti
iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain.24
Montesquieu membangun suatu ajaran atau teori pemisahan kekuasaan yang
mengilhami teori John Locke. Hal itu tergambar dengan jelas dalam bukunya
“De L’esprit Des Lois” yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut
dirumuskan “The Doctrine Of Separation Of Power States That The Legislative,
Executive, And Judicial Functions Of Government Should Be Independent”.
(doktrin pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang
independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
3. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner
Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven
Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara
itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan
dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur
23
Soehino, Ilmu Negara, h. 116.
24
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Ilmu Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 159.
20
(penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv)
fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.25
Catur praja yang pertama adalah regeling (pengaturan) yang kurang lebih
identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu, Bestuur yang identik fungsi
pemerintahan eksekutif, rechtspraak (peradilan) dan politie yang menurutnya
merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan
peri kehidupan bernegara.26
Dari 3 teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke
dengan Montesquieu27
kemudian perbedaan pendapat dengan C. van Vollenhoven
Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang
mendasar antara Locke dan Montesquieu. Bagi John Locke, berpendapat bahwa
kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan
oleh John Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai
pelaksanaan Undang-undang.
Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan dua-
duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam
pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari,
25
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 34.
26
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h. 284.
27
Nama lengkap Montesquieu yang sebenarnya adalah Charles Secondat, baron de Labrede et
de Montesquieu.
21
sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum
dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.
Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut Van
Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-undang saja tugasnya, karena
dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas
negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah
mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili
(menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).28
Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public
administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua
fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah : (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy
making function); dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing
function).29
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak
secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica
mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-
negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis.
Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya
adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila
28
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h.147.
29
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h. 284.
22
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ
negara penunjang.30
Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum
digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada
kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara
penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis
lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih
“lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang
berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional.
Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-
lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga
non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau
NGO non-governmental organization).
Lembaga negara bantu sekilas memang menyerupai NGO karena berada
di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat
publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk
kepentingan publik,31
membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti
sebenarnya.32
Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam
30
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006 ). h. 8. 31
31
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 11.
32
Ibid., h. 9
23
ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang
menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan
pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp :33
“Regulatory and monitoring bodies are a new type autonomous
administration which has been most widely develoved in the United States
(where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the
government). It takes the form of what are generally known as
Independent Regulatory Commisions”
Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara
untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari
unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus
menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari
keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat,
rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi,
meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara
bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui
lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.
33
Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain,
France, Italy, Germany, 3rd
edition, (Oxford: Oxford University Press, 1998), h. 281.
24
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu
adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian
dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder
mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:
(1) Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi
terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan
(2) Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada
pemerintah;34
Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and
Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi
dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu
adalah sebagai berikut.35
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan
yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan
politik.
2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat
non-politik.
34
John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD,
1989), h. 232-233.
35
Ibid., h. 225.
25
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen,
seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.
4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat
teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute
resolution/ alternatif penyelesaian sengketa).
Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah
terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan
lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di
negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir
lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan
perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah
tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga
negara.
Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga
negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan
pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya.
Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam
tiga kelompok.36
Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah
36
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca AmandemenUUD
1945, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 184
26
UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted
power). Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan
presiden.37
Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara
umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-
lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain
itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil
memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan
perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya
paham demokrasi di Indonesia.38
Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat
mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada
sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang
mengakar dan sulit diberantas
37
Jimly Asshidiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan
Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”. (makalah disampaikan pada seminar dan
lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan
pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004), h. 7
38
T.M. Lutfhi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,
(makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca amandemen
UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2.
27
2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan
tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.
3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam
melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju
demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal.
4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan
beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan,
baik yang disebut sebagai state auxiliary institutions/organs/agencies
maupun institutional watchdog (lembaga pengawas), yang dianggap
sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara
yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki.
5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk
lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju
demokratisasi.
Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia,
maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik
Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi
berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga
negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan
lainya.
28
Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik
yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada dibawah kendali presiden.
Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukan kemampuan berdiri
sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya
pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau
ketidaktergantungan dengan suatu lembaga kepada lembaga lainnya.
Menurut Jimly Asshidiqie bahwa independensi lembaga-lembaga Negara
sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan
demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga
sekarang ini menikmati kedudukan independen, diantaranya pada tingkatan
pertama, yaitu Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central. Pada tingkatan
kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi
Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Komisi peniyaran Indonesia
(KPI).
Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua
kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara
yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD
seringkali disebut lembaga negara tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga
29
negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat
dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang (regulatory body).
Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan
masyarakat dewasa ini dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah
yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat
kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman
Republik Indonesia.
Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung
konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan
cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-
undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah
Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan
yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki
kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat,
investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam
menangani laporan.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya
memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah
dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak
melakukan tindakan sewenang-wenang, menjamin hak-hak warga negara, dan
30
memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan
kemerdekaan.39
B. Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya
konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu
cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka
dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh
John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan
politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative
power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif
(federative power).
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk undang-
undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan
dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga,
aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.
Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron
Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya,
kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
39
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD
Dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2009), h. 31.
31
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang
berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan
hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman.
Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara
tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ
hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan
masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.
Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut
tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga
cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan
ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari
sinilah dikembangkan teori checks and balances.
Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang
memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.40
Judicial
review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan,
demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling
mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and
balances.
40
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 63.
32
Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945,
banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi,
berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu
membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini
menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik
ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga
selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan.41
Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan
tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan
ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya
dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU
misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun
pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif
DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk
disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan
bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam
membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem
politik yang executive heavy42
karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan
UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang
41
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-
2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 67.
42
Executive heavy, adalah kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif
dan kekuasaan legislatif). melalui http://www.siputro.com/2012/09/sejarah-amandemen-uud-1945/,
diakses pada tanggal 14 Januari 2014.
33
dikenal sebagai judicial review atau (constitutional review) seperti sekarang.
Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative
review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden.43
Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak
mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat
Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga
lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh
dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut
sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang
berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk
dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang
dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika
Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan
diturunkan dari kursi kepresidenannya.
Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD
1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi
pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar
tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan
43
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-
2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 68.
34
lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang
pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan
sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga
tinggi lainnya.
Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya
amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah
memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga
eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR,
maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam
waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU
dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif
dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar
lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini
pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan
pengujian isi (uji materi) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal).
Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah
Agung menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap perundang-
undangan yang diatasnya.44
44
Ibid.
35
C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan
kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya
terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-
orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang
urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu
onderdil tertentu saja.45
Sedangkan pengawasan, Secara harfiah dari segi tata bahasa, kata “kontrol”
berarti pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian.46
George R.Terry memberi
arti dari pengawasan (control) adalah menentukan apa yang telah dicapai,
mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil
yang sesuai dengan rencana.47
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan
dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan
yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara
efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang
45
Prajudi Atmosudirdja, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII
(edisi revisi) cet. Ke-10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 78.
46
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, Perum dan Percetakan, (Jakarta: Balai Pustaka,
1955), h. 523 dan 1134.
47
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
(Bandung: PT.Alumni, 2004), h.89.
36
berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan
kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi seluas apa kebijakan
pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan
merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai
bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada
pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai
tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan
mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan
unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang
dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” atau “suatu usaha agar suatu
pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan
dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan
hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan
tindakan perbaikannya.”
Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai
sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,
atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan.
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat
kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang
37
muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang
bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan
merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan
sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama
pentingnyadengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya
dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk
membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik
pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external
control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya
penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat
dilakukan adalah:
a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang
bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang
secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia.
Selain itu juga terdapat Organisasi Non Pemerintah ataupun Lembaga Swadaya
38
Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan
pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.
Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas
Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat diberikan beberapa
catatan sebagai berikut:48
1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris
merupakan bagian dari kelembagaan terkait. Dalam menghadapi dan
ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula
pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang
dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu
sendiri.
2. Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun
substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama
masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya
tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik
yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain
Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang
memperhatikan penyimpangan-penyimpangan yang sering menjadi
48
Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang,
(Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 70.
39
keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan
merupakan kegiatan rutin.
3. Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi
memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang
diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili
kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas
dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan
Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup
luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun
pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit
karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain
dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi kepentingan-
kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan
penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan.
4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah
menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan
kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap “acuh tak
acuh”. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan
lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan
fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun “jurang”
yang cukup jauh dan dalam antara aparat pemerintah dengan organisasi non
40
pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka
masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari
masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara secara formal dilandasi
oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari
landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain.
Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan
konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata
yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara
Organisasi Non Pemerintah mendekati permasalahan berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis
karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural.
Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan
bahwa ternyata masih terdapat celah-celah secara mendasar yang belum
merupakan sasaran pengawasan dari Ombudsman Republik Indonesia. Dari aspek
kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh
pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang
dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem
struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme pendek dari suatu organisasi
yang tidak struktural hierarkis.
Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu
sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural
hierarkis serta kepentingan pengemban sistem non struktural, namun pada sisi lain
41
mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati
sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.
Oleh karena itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat
mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas
dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan,
prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan
salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat
merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan
seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara
memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman
Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah
mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki
Ombudsman tentunya mereka merasakan perlunya institusi ini dalam
penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat.49
Sekarang ini Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri
dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan
pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas
praktek-praktek korupsi.
49
Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h.
72.
42
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kewenangan Ombudsman Republik Indonesia memiliki kapasitas dalam bentuk
pengawasan terhadap pelayanan publik oleh penyelenggara Negara. Karena
pengawasan merupakan indikator pelayanan publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat itu sejatinya seperti apa.
Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia selain melakukan pengawasan juga memiliki
kewenangan sebagai berikut:
- Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak
pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait dengan suatu laporan,
keluhan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah.
- Memeriksa semua keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada
pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait, untuk
mendpatkan kebenaran dari laporan, keluhan, dan atau informasi.
- Atas inisiatif sendiri memanggil dan meminta keterangan secara lisan atau
tertulis, kepada penyelengggara negara, pemerintah daerah atau penegak
hukum berkaitan dengan dugaan pelanggaran asas-asas penyelenggaraan
negara, pemerintah daerah atau penegak hukum yang bersih dan bebas dari
KKN, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan yang sewenang-wenang.
- Membuat rekomendasi atas usul-usul dalam rangka penyelesaian masalah
antara pihak pelapor dan pihak terlapor serta pihak-pihak lainnya yang
terkait.
43
- Mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi untuk diketahui oleh
masyarakat.
Kemudian kewenangan Ombudsman Republik Indonesia relevan dengan
konsep Islam yang menjelaskan tentang kewenangan yang seharusnya dilakukan
oleh setiap manusia yang dengan kata lain dikatakan sebagai aparatur
penyelenggaraan Negara yang seharusnya melihat rencana apa yang akan
dilakukan dikemudian hari, agar tidak menyalahgunakan kewenangannya,
sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al Hasyr (59): 18 yang
berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[Q.S. Al-Hasyr(59): 18]
44
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman
Istilah Ombudsman pertamakali dikenalkan dalam konstitusi Swedia
pada tahun 1718 dengan sebutan Ombudsman yang berarti “perwakilan”,
yaitu menunjuk seorang pejabat atau badan yang independen bertugas
menampung keluhan warga negara atas penyimpangan atau pekerjaan buruk
yang dilakukan pejabat atau lembaga pemerintahan. Sebelumnya, fungsi
pengawasan atas tindakan penyelenggara negara dan perlindungan terhadap
hak-hak warga juga telah diperkenalkan dalam sistem tata negara kekaisaran
Romawi dengan Tribunal Plebis melindungi hak-hak masyarakat lemah dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan.50
Model seperti ini terjadi
pula pada Kekaisaran China 221 SM dengan membentuk Control Yuan
bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran
(pemerintahan) dan bertindak sebagi perantara bagi masyarakat yang ingin
melaporkan keluhan dan aspirasi kepada Kaisar, kekhalifahan Umar Bin
Khathab (634-644 M) yang memposisikan diri sebagai muhtasib (orang yang
menerima keluhan) kemudian membentuk Qadi al Quadat (Ketua Hakim
50
Jeremi Pope, Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1999) h. 115.
45
Agung) dengan mandat khusus melindungi masyarakat dari tindakan
sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan.51
Pada mulanya institusi Ombudsman dikenal di Swedia, dan baru
setengah abad belakangan ini sistem Ombudsman menyebar ke seluruh
penjuru dunia.52
Ombudsman parlementer kedua dibentuk 1919 di Finlandia,
dan tahun 1955 di Denmark. Sistem Ombudsman telah mencantumkan
institusi Ombudsman kedalam konstitusinya.53
Berdasarkan beberapa aspek Ombudsman dapat dibagi menjadi
beberapa jenis.54
Dari kurun waktu pembentukannya, dapat dibedakan
menjadi Ombudsman klasik dan Ombudsman modern. Ombudsman klasik
dapat ditelusuri sejak pertama kali Raja Charles XII membentuk Highest
Ombudsman, Chief Justice di Turki dan Qadi Al Qudat di zaman Umar Bin
Khattab. Ombudsman modern berdiri sejak 1953 di Denmark dan 1962 di
New Zealand. Ombudsman di Swedia di kategorikan sebagai Ombudsman
modern.
Apabila dilihat dari mandat dan mekanisme pertanggungjawabannya,
dibedakan menjadi dua jenis, yakni pertama Ombudsman parlementer, yakni
51
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h.
45.
52
Antonius Sujata dan Surachman, Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman
Internasional (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2007), h. 29.
53
Budi Masthuri, Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, diakses pada tanggal 15
Januari 2014 melalui www.hukumonline.com.
54 Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, h. 6-8.
46
Ombudsman yang dipilih oleh parlemen, dan bertanggungjawab (laporan)
kepada parlemen. Contohnya Swedia, Finlandia, dan Denmark. Dan kedua,
Ombudsman eksekutif, yakni yang dipilih oleh Presiden, Perdana Menteri
atau Kepala Daerah. Contohnya Indonesia dan Australia.
Sekarang ini institusi Ombudsman di seluruh dunia telah diakui
sebagai ciri negara yang penuh semangat untuk memberantas korupsi, sebagai
ciri negara yang ingin menegakkan demokrasi serta sebagai ciri negara yang
bertekad menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, bukan
hanya perbuatan administrasi pemerintahan yang bertentangan dengan hukum
dan undang-undang yang merupakan tindakan/perilaku “mal-administrasi”
tetapi juga perilaku, yang sekalipun berdasarkan dan sesuai dengan undang-
undang, namun yang menimbulkan akibat ketidakadilan (injustice) atau
hardship (kesulitan yang sangat besar dan/atau tidak seimbang). Intinya,
setiap negara yang memiliki Ombudsman, ingin melindungi hak rakyatnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Dennis Pearce, Ombudsman Australia:55
the Ombudsman is undoubtedly the most valuable institution from the
viewpoint of both citizen and bureaucrat that has evolved during this century
(Ombudsman tanpa ragu-ragu merupakan lembaga yang paling berharga yang
berkembang di abad ini; baik dari sudut pandang warga negara, amupun dari
sudut pandang birokrat). Sebabnya ialah karena :
55
Linda C. Reif, The International Ombudsman Anthology (Netherlands: International
Ombudsman Institute, 1999), h. 97.
47
The office of Ombudsman is (Lembaga Ombudsman adalah):
1. Quick by comparison with other review bodies; (Cepat pelayanannya
dibanding lain-lainnya lembaga pengawasan).
2. Informal and therefore more accessible to complainants. (Informal,
dan karena itu lebih mudah terjangkau oleh pelapor).
3. Cheap for both complainant and decision maker; and (Murah untuk
pelapor maupun terlapor; dan)
4. Not threatening to decision makers-or not as threatening as other
review mechanism. (Tidak mengancam pengambil keputusan/aparat
negara, atau Tidak sebegitu mengancam dibanding dengan lain-lain
mekanisme pengawasan).
Jadi, sebab mengapa di lain-lain negara lembaga Ombudsman segera
diterima sebagai lembaga pengawas, adalah karena Ombudsman:
1. Lebih cepat hasilnya dari pada penyelidikan atau investigasi oleh lain-
lain lembaga yang ada;
2. Caranya tidak berbelit-belit, tidak formal dan lebih mudah
dicapai/didatangi oleh para pelapor;
3. Murah (gratis), baik bagi pelapor maupun pengambil keputusan;
4. Tidak mengancam, tetapi menghimbau (merekomendasi) alat atau
aparat negara/pemerintah; sehingga aparat tidak merasakan campur
48
tangan Ombudsman sebagai ancaman, tetapi justru sebagai bantuan
bagi birokrasi untuk memperbaiki kinerja para penyelenggara negara
pemerintahan.
B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia
1. Pengertian Ombudsman Republik Indonesia
Menurut pasal 2 keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang
Komisi Ombudsman Nasional, yang dimaksud dengan “Ombudsman Nasional
adalah Lembaga Pengawasan masyarakat yang berasaskan pancasila dan
bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau
pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara
khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga
peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.”
Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud dengan
“Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan
mengawasi penyelenggaraan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggaraan negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan
oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan
Hukum Milik Negara serta Badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan belanja daerah.”
49
2. Sejarah Singkat Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman di Indonesia sudah ada sejak 2000, pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang membentuk Komisi
Ombudsman Nasional (KON) melalui Keppres Nomor 44/2000, sebagai
bagian dari program pembangunan demokrasi di Tanah Air dengan jalan
menghidupkan mekanisme Checks and Balances, di mana setiap warga negara
(civil society) diberi kesempatan berperan dalam melakukan kontrol terhadap
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dikenal sebagai tokoh yang sangat pro demokrasi, dan di masa
pemerintahannya (yang singkat) itu telah dilahirkan berbagai gagasan,
program dan lembaga untuk membangun dan memperkuat demokrasi di
Indonesia.
Pada 2001 dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan KKN yang
menyebutkan bahwa sebagai upaya pemberantasan KKN direkomendasikan
antara lain membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
dan Ombudsman melalui undang-undang. Berdasarkan fakta tersebut, jika
ditinjau dari perspektif politik hukum, maka eksistensi KPK dan Ombudsman
adalah amanat rakyat untuk memberantas korupsi.
Sebagai tindak lanjut dari Tap MPR tersebut dibentuklah UU Nomor
30/2002 tentang KPK dan UU Nomor 37/2008 tentang Ombudsman RI.
50
Melalui UU Nomor 37/2008, terjadi penguatan kelembagaan terhadap
Ombudsman yang semula berstatus sebagai Komisi Ombudsman Nasional
(KON) berubah status menjadi lembaga negara dengan nama Ombudsman
Republik Indonesia.
3. Sifat, Asas dan Tujuan Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan
tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia selanjutnya disebut (UU ORI) dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya memiliki 8 asas yang dijelaskan hanya beberapa seperti
asas keadilan yang menghendaki agar dalam melakukan tindakan
pemerintahan tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku tidak layak.
Artinya pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang atau
menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk kepentingan
pribadinya. Kemudian asas akuntabilitas, yang bermakna pertanggungjawaban
dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai
lembaga pemerintahan sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan
sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances
51
system) dan asas keseimbangan artinya ada keseimbangan antara pemberian
sanksi terhadap suatu kesalahan seseorang pegawai, janganlah hukuman bagi
seseorang berlebihan dibandingkan dengan kesalahannya.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman bertujuan:
a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan
efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme;
c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga
negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan
yang semakin baik;
d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan
dan pencegahan praktek- praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi,
korupsi, serta nepotisme;
e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan
supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
52
4. Falsafah Ombudsman Republik Indonesia56
Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu
mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip yang dianutnya sehingga menjadi
jati diri yang melekat bagi setiap anggotanya.
Tujuh falsafah tersebut yaitu :
- Saling Menghargai
Melayani setiap pribadi dengan prinsip - prinsip kesopanan dan saling
menghargai sebagai manusia sederajat.
- Keteladanan
Menjadi teladan dan pelopor dalam prinsip keterbukaan, kesederajatan,
tidak memihak, serta pelopor dalam pembaharuan dan selalu konsisten
dalam keputusan.
- Kesetaraan
Mempelopori adanya kesetaraan dan selalu membuka akses bagi setiap
orang tanpa memandang status ekonomi, keluarga, bahasa, agama,
56
Falsafah Ombudsman Republik Indonesia di akses pada 25 Agustus 2013 melalui
http://www.ombudsman.go.id/index.php/en/tentangkami/falsafah.html
53
kesukuan dan ras, termasuk juga tidak memandang dari segi kondisi fisik,
jenis kelamin, umur ataupun status perkawinan.
- Pemberdayaan Masyarakat
Mendorong dan membantu masyarakat yang menggunakan sarana publik
dalam mencari pemecahan bagi setiap masalahnya.
- Pembelajaran yang Berkesinambungan
Menjadi pelopor dan pendorong dalam hal pembelajaran yang
berkesinambungan bagi setiap staf, pemerintahan dan masyarakat.
- Kerjasama
Selalu menggunakan prinsip-prinsip kerjasama, empati dan niat baik
dalam setiap tugas.
- Kerjasama Tim
Mengkombinasikan perbedaan latar belakang dan pengalaman dalam
mencapai satu tujuan dan komitmen untuk sukses.
54
5. Visi dan Misi Ombudsman Republik Indonesia57
Sebagai institusi publik yang bersifat mandiri, Komisi Ombudsman
Nasional bersikap independen dalam melaksanakan tugas serta fungsinya.
Untuk menunjang kerja secara optimal Komisi Ombudsman Nasional
dibutuhkan sistem dan mekanisme yang efisien dan efektif agar sasaran (goal)
yang hendak dicapai dapat terwujud. Komisi Ombudsman Nasional
memerlukan suatu Visi dan Misi dalam membangun institusi Ombudsman
agar menjadi pedoman dasar dalam mencapai tujuan. Tujuan pembentukan
Komisi Ombudsman Nasional sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah
untuk mencegah para penguasa menyalahgunakan wewenangnya atau
menyalahgunakan diskresinya ; dan membantu penguasa agar menjalankan
kinerjanya secara efektif dan efisien, serta mendorong penyelenggara negara
selalu mempertahankan akuntabilitas dan kejujuran.58
- Visi
Mewujudkan Pelayanan Publik Prima yang Menyejahterakan dan Berkeadilan
bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
- Misi
57
Visi dan Misi Ombudsman Republik Indonesia diakses pada 26 Agustus 2013 melalui
http://www.ombudsman.go.id/index.php/en/tentangkami/visimisi.html
58
Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h.
30.
55
1. Melakukan tindakan pengawasan, menyampaikan saran dan rekomendasi
serta mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan public
2. Mendorong penyelenggara negara dan pemerintahan agar lebih efektif dan
efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme
3. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaraan hukum masyarakat dan
supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan
4. Mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi
berbasis teknologi informasi
C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia
Menurut Peraturan Ombudsman RI No.4 Tahun 2010, Struktur
Organisasi Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas:
a. Ketua, Wakil, dan Anggota Ombudsman;
Ketua Ombudsman terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap
anggota, kemudian 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7
(tujuh) orang anggota. Dalam hal Ketua Ombudsman berhalangan, Wakil
Ketua Ombudsman menjalankan tugas dan kewenangan Ketua
Ombudsman.
b. Sekretariat Jenderal;
Ombudsman dibantu oleh sebuah sekretariat yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal diangkat dan
56
diberhentikan oleh Presiden. Adapun Syarat dan tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepegawaian.
c. Asisten Ombudsman ; dan
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ombudsman dibantu
oleh asisten Ombudsman. Asisten Ombudsman diangkat atau
diberhentikan oleh Ketua Ombudsman berdasarkan persetujuan rapat
anggota Ombudsman. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata
cara pengangkatan dan pemberhentian serta tugas dan tanggung jawab
asisten Ombudsman diatur dengan Peraturan Ombudsman.
d. Perwakilan Ombudsman
Perwakilan Ombudsman adalah kantor Ombudsman di provinsi atau
kabupaten/kota yang mempunyai hubungan hierarkis dengan
Ombudsman.
D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman Republik Indonesia berfungsi mengawasi tugas
penyelenggaraan negara untuk melindungi masyarakat berkenaan dengan
pelayanan kepada masyarakat. Tugas yang harus dilakukan oleh Ombudsman
meliputi kegiatan melayani, menerima dan menindaklanjuti laporan dari
masyarakat berkaitan dengan keluhan terhadap pelayanan umum oleh
penyelenggara negara, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga-
57
lembaga negara, lembaga swadaya masyarakat dan badan kemasyarakatan
dalam rangka memaksimalkan fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman,
sosialisasi Ombudsman, mempersiapkan jaringan, organisasi dan tenaga
Ombudsman Daerah, melakukan tugas-tugas lain untuk mencapai tujuan
Ombudsman Republik Indonesia maupun melakukan investigasi atas inisiatif
sendiri.59
Ombudsman Republik Indonesia berwenang menerima laporan dan
mempelajari laporan tersebut apakah termasuk dalam ruang lingkup
kewenangan, meminta keterangan secara lisan atau tertulis kepada para pihak,
memeriksa dan meminta dokumen-dokumen serta meminta fotocopy,
membuat rekomendasi dan bila perlu mengumumkan kepada publik.
Ombudsman juga dapat menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak
terkait misalnya Presiden, Kepala Daerah atau DPR dalam rangka perbaikan
peraturan atau perbaikan layanan umum.
Selain kewenangan di atas Ombudsman menyampaikan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi sebagai tindaklanjut apabila terdapat laporan
yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman bertugas:
59
Antonius Sujata, dkk, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang,
(Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 22.
58
a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik;
b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan
Ombudsman;
d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan
Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau
lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan
perseorangan;
f. Membangun jaringan kerja;
g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik; dan
h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang- undang.
Selanjutnya dalam menjalankan fungsi dan tugas, menurut ketentuan
Pasal 8 UU No. 38 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia,
Ombudsman berwenang:
59
a. Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan Pasal 7, Ombudsman berwenang:
b. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor,
atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada
Ombudsman;
c. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada
Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
d. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau photocopy dokumen yang
diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi
Terlapor;
e. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang
terkait dengan Laporan;
f. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para
pihak;
g. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk
Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada
pihak yang dirugikan;
h. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan
Rekomendasi.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman
berwenang:
60
a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan
Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan
organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar
terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya
diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan oleh Ombudsman, menurut
ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, menyatakan bahwa :
(1) Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
(2) Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat
kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor
untuk melengkapi Laporan;
(3) Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus
melengkapi berkas Laporan;
(4) Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pelapor dianggap mencabut Laporannya.
61
Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan :
(1) Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan
substantif;
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman:
a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau
b. berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya mekanisme
pengawasan Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan, untuk
selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya
laporan, maka pengawasan Ombudsman bersifat pasif.
Dalam memeriksa Laporan tersebut Ombudsman tidak hanya
mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan,
namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif
kepada para pihak agar penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai
kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan
62
ini berarti tidak semua laporan harus diselesaikan melalui mekanisme
rekomendasi.
Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak
hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan. Dalam melakukan
pemeriksaan atas laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil
terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor dan saksi
telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan
alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa
(subpoena power). (Penjelasan UU 37/2008).
Untuk menegakkan UU 37/2008, diatur pula mengenai pemberian
sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi
terlapor dan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi
Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi setiap orang yang
menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan.
Di berbagai negara, rekomendasi Ombudsman hanya bersifat mengikat
secara moral (morally binding), di Indonesia bersifat mengikat secara
hukum (legally binding). Apabila ada warga negara Indonesia atau
penduduk yang merasa ada pelayanan publik yang tidak baik, maka berhak
menyampaikan laporan kepada Ombudsman secara gratis dengan ketentuan:
63
- Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
- Laporan pengaduan harus disertai kronologi kasus yang dijabarkan
secara jelas dan sistematis serta ditandatangani.
- Mencantumkan identitas diri, antara lain fotokopi KTP/ SIM/paspor.
- Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
- Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar
langsung ke kantor Ombudsman Republik Indonesia, atau melalui
website (www.ombudsman.go.id)
64
BAB IV
KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS
PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Ombudsman Republik Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Amandemen UUD 1945 menetapkan lembaga-lembaga negara di
pemerintahan pusat adalah :60
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Presiden/Wakil Presiden dan Kementerian Negara;
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
6. Mahkamah Agung (MA);
7. Mahkamah Konstitusi (MK).
Lembaga-lembaga negara di pemerintahan daerah menurut amandemen
UUD 1945, adalah :
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
2. Pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota).
60
Saiful Anwar, Sendi-sendi Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi), (Medan: Gelora
Madani Press, 2004), h. 101.
65
Ketatanegaraan Indonesia menurut amandemen UUD 1945 juga
menempatkan “lembaga negara penunjang” (Auxilary Institutional Constitution),
yaitu lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi untuk membantu
lembaga negara yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi negara demi
terwujudnya tujuan negara.
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
menegaskan bahwa kedudukan Ombudsman adalah lembaga negara yang bersifat
mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas
dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dari kedudukan ini, perlu diperjelas dimanakah posisi Ombudsman
Republik Indonesia dalam ketatanegaraan RI. UUD 1945 hasil perubahan
menempatkan semua lembaga negara berada dalam posisi yang saling imbang dan
kontrol (check’s and balances). Tidak ada lembaga negara yang lebih dominan dari
pada lembaga Negara lainnya, seperti masa supremasi MPR sebelum perubahan
UUD 1945.
Teori-teori klasik menjabarkan bahwa lembaga negara adalah alat
kelengkapan negara yaitu institusi-institusi yang melaksanakan fungsi-fungsi
negara. Teori ini terkenal dengan nama Trias Politica yang membagi beberapa
fungsi negara ke dalam fungsi pembuat undang-undang (legislatif), fungsi
penyelenggara pemerintahan (eksekutif), dan fungsi peradilan (yudikatif). Dalam
perkembangan ketatenegaraan, teori ini sudah tidak lagi memadai untuk
66
melakukan analisis hubungan antar cabang kekuasaan negara. Ketatanegaraan
Indonesia sendiri, terutama setelah perubahan UUD 1945 telah berkembang begitu
pesat sebagai upaya mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Tidak
hanya itu, lembaga-lembaga negara lain dan komisi-komisi negara juga telah
tumbuh diluar UUD 1945.
Dengan kata lain kelembagaan negara di Indonesia tak bisa lagi dianalisis
dengan pendekatan pemisahan kekuasaan model Trias Politica. Secara garis besar
lembaga negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok, yaitu lembaga negara
yang dibentuk melalui UUD 1945 dan lembaga negara yang dibentuk di luar UUD
1945.
Lembaga negara yang pembentukannya diluar UUD 1945 seringkali
disebut lembaga negara tambahan (extra auxiliary) atau lembaga negara
secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam
konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang. Karena itu memahami
kelembagaan negara Indonesia harus dilakukan melalui pendekatan tugas dan
fungsinya. Tidak lagi seperti dulu, yang mengarah hanya kepada lembaga-lembaga
yang pembentukan dan fungsinya diberikan oleh UUD 1945.
Ombudsman Republik Indonesia selanjutnya disebut ORI merupakan
lembaga negara yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Kelahirannya dilakukan
oleh Undang-undang dalam rangka pengawasan kinerja aparatur negara dan
pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat. Lembaga yang menjalankan
fungsi seperti ini belum diatur dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, dalam sistem
67
pemisahan kekuasaan, ORI dapat dikatagorikan sejajar dan tidak dibawah
pengaruh satu kekuasaan lain. Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan
ORI sangat vital dalam pemenuhan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat
sebagai bagian tujuan bernegara.
Sehubungan dengan kedudukan ORI seperti di atas, maka Ombudsman
bukan lagi menjadi domain pemerintah seperti halnya masa berlakunya Keppres
No. 44 Tahun 2000. Pemerintah sudah tidak dapat lagi membentuk Ombudsman
atau61
Untuk menjangkau tugas dan fungsi pengawasan, serta menampung keluhan
masyarakat sampai ke daerah, oleh UU No. 37 Tahun 2008, ORI diberi
keleluasaan membentuk Perwakilan di Daerah. Ombudsman daerah atau dengan
istilah lain yang badan-badan dengan nama lain yang secara prinsip menjalankan
tugas dan fungsi ORI. Tugas mengawasi kinerja lembaga negara dan pemerintahan
serta menampung keluhan masyarakat telah beralih dan dilakukan oleh lembaga
negara tersendiri dan menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri. ada
sekarang secara bertahap harus diintegrasikan menjadi kepanjangan (perwakilan)
ORI.
Dengan demikian pengawasan akan terstruktur dan terkoordinasi dengan
baik mengenai standar, meknisme, prosedur, dukungan fasilitasi, dan lain-lain.
Menyangkut peran dan kewenangan Ombudsman yang perlu diperkuat, salah satu
caranya adalah dengan menegaskan posisi dan kewenangannya secara
61
Ibnu Tricahyo, Posisi Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia, makalah ini
disampaikan pada Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP tanggal 12 Pebruari 2009.
68
konstitusional (constitutional organ and authority). Dalam sejarahnya, Komisi
Konstitusi pernah memasukkan usulan Pasal 24 G yang mereka susun dan telah
diserahkan kepada MPR periode 1999-2004. Namun, gagasan memberikan
landasan konstitusional Ombudsman telah gagal, dan faktor inilah yang
menyebabkan melemahnya posisi dan wewenang Ombudsman dalam menjalankan
fungsi-fungsinya. Memberikan landasan konstitusional terkait dengan posisi dan
wewenang Ombudsman sangatlah penting, mendesak dan perlu diperluas tidak
sekadar pengawasan atas pelayanan publik penyelenggara negara, melainkan pula
terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang efektif dan profesional.
Dalam kaitan terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang
efektif dan profesional, Ombudsman bisa diberikan fungsi untuk memantau
penyelenggaraan persidangan yang independen (atas dasar pengaduan masyarakat)
serta aktif dalam proses pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Dengan jangkauan meluas wewenang Ombudsman, maka eksistensi
Komisi Yudisial perlu dipertimbangkan kembali dengan penegasan fungsi yang
bisa (digantikan) dimiliki Ombudsman, yang selaras dengan penamaan dan fungsi
kekuasaannya.62
62
Herlambang Perdana Wiratraman, Sinkronisasi Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam
Sistem Presidensial. POLITIK HUKUM AMANDEMEN KELIMA UUD 1945, Makalah disampaikan
pada Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara dengan tema: “Memperkuat Kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah Melalui Perubahan Kelima UUD Negara Republik Indonesia 1945”,
diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PusKon) Universitas 45 Makassar dengan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Makassar 29 Juni-1 Juli 2007.
69
Perubahan UUD 1945 perlu pula mengatur secara tegas dan progresif
tanggung jawab utama negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Konsepsi progresifitas atau
pemajuan hak-hak asasi manusia menjadi penting agar penyelenggara negara lebih
memprioritaskan tanggung jawabnya, baik terhadap hak-hak sipil dan politik
maupun hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dalam UUD 1945, tanggung jawab
negara tidak diatur secara khusus terkecuali rumusan dalam Pasal 28I ayat (4)
UUD 1945) sebagaimana kewajiban individu dalam hak-hak asasi manusia (Pasal
28J UUD 1945).
Usulan kongkritnya, Pasal-pasal tentang tanggung jawab negara dalam
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia haruslah
dibuat secara khusus, yang menjadi landasan konstitusionalnya (misalnya:
memasukkan klausul ”terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia” dalam
Pasal 7A UUD 1945). Selain itu, perlu dipertimbangkan pula bila hendak
melakukan perubahan total UUD 1945 (bukan bersifat amandemen), yakni
menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia terlebih dahulu
dalam Pasal-Pasal pembuka atau awal dalam struktur konstitusinya sebelum
Perubahan UUD 1945 perlu pula mengatur secara tegas dan progresif tanggung
jawab utama negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Konsepsi progresifitas atau pemajuan hak-
hak asasi manusia menjadi penting agar penyelenggara negara lebih
memprioritaskan tanggung jawabnya, baik terhadap hak-hak sipil dan politik
70
maupun hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dalam UUD 1945, tanggung jawab
negara tidak diatur secara khusus terkecuali rumusan dalam Pasal 28I ayat (4)
UUD 1945) sebagaimana kewajiban individu dalam hak-hak asasi manusia (Pasal
28J UUD 1945), pengaturan tentang kekuasaan dan kelembagaan negara yang
menjalankan kekuasaannya.
Untuk memperkuat kedudukan dan kewenangannya, Ombudsman telah
melakukan kerjasama dengan beberapa instansi pemerintahan lainnya, seperti :
1. Ombudsman Republik Indonesia dengan Mabes POLRI melakukan
penandatanganan MoU terkait kerjasama pelaksanaan kewenangan
Ombudsman pada tanggal 26 Mei 2011. Dengan menggandeng POLRI, peran
Ombudsman ke depan bisa lebih optimal.63
Kerjasama ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan penyidikan tindak
pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2008 tentang
ORI, yang menjadi bagian pengawasan eksternal untuk mengawasi masalah
laporan dari masyarakat. Jadi, bagian pengawas eksternal POLRI adalah
Komisi Kepolisian. Sedangkan pengawas internal adalah Irwasum (Inspektur
Pengawasan Umum). Selain diawasi oleh lembaga Ombudsman, POLRI juga
membantu Ombudsman melaksanakan tugas-tugasnya sesuai peraturan
perundang-undangan yg berlaku. Di dalam pelaksanaan di lapangan Komisi
Ombudsman dan POLRI bekerja sama, dengan komitmen apabila ada
63
Polri dan Ombudsman Tandatangani MoU, diakses pada tanggal 15 Januari 2014 melalui
http://news.liputan6.com/read/336267/polri-dan-ombudsman-tandatangani-mou.
71
permasalahan dalam kepolisian, maka wajib ditindaklanjuti dan diawasi oleh
Ombudsman. Jika ada kesulitan-kesulitan dalam pengawasan Ombudsman
dapat meminta bantuan kepada kepolisian negara.64
Dalam Pasal 13 dan 44 UU No. 37 Tahun 2008, Ombudsman tidak dapat
dilakukan sendiri dalam hal pemanggilan paksa, untuk itulah Ombudsman
membutuhkan bantuan POLRI dalam mengatasi masalah ini. Kemudian, MoU
ini berisikan peningkatan kualitas koordinasi dalam rangka penyidikan tindak
pidana.
Sedangkan kerja sama yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan
laporan pengaduan dari masyarakat yang dialami korban tindakan kesewenang-
wenangan yang telah dilakukan aparat pemerintah, penyelenggara negara,
BUMN, BUMD, dan siapapun yang menyelenggarakan misi pelayanan publik
di seluruh sektor lingkungan POLRI atas bantuan KaPOLRI. Selama ini
Ombudsman mengalami kesulitan dalam hal memanggil pihak terlapor karena
tidak adanya upaya paksa. Sesuai kewenangannya dalam UU 37 tahun 2008
Komisi Ombudsman wajib menindaklanjuti pejabat instansi terlapor. Apabila
pejabat instansi terlapor yang dipanggil Ombudsman tidak mengindahkan
panggilan itu tiga kali berturut-turut maka Ombudsman bersama POLRI akan
memanggil paksa.
64
Pidato KAPOLRI Timur Pardopo, pada Penandatanganan MoU POLRI dan Komisi
Ombudsman di Mabes POLRI, Jl. Trunojoyo, Jaksel, Kamis 26 Mei 2011.
72
2. Kerjasama Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK).65
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan
pembahasan rencana kerjasama tahap awal dengan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) pada hari Senin, 11 Juli 2011. Bertempat di Ruang
Abdurrahman Wahid Lt.7 Kantor Ombudsman, pembahasan yang langsung
dipimpin oleh Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Ketua LPSK
Abdul Haris Semendawai membahas beberapa poin kerjasama yang sedianya
akan dilakukan bersama-sama ORI dan LPSK. Kerjasama antara ORI dan
LPSK tidak terbatas pada Inpres No.09/2011 melainkan juga meliputi aspek-
aspek lain seperti mekanisme yang akan dijalankan terkait kesepakatan-
kesepakatan yang telah dibuat antar lembaga penegak hukum. Mekanisme
tersebut merupakan sarana implementasi dari kesepakatan-kesepakatan yang
telah dibuat LPSK dengan lembaga-lembaga lain. Semendawai mencontohkan
LPSK telah membuat kesepakatan dengan Mahkamah Agung (MA) yang
menghasilkan komitmen Pimpinan MA H.Arifin Tumpa untuk membuat Surat
Edaran kepada pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia untuk memberikan
penanganan berbeda terhadap para kolaborasi keadilan (Justice Collaborator).
Abdul Haris Semendawai mengajak ORI untuk melakukan kemitraan
dalam bentuk kerjasama kantor (Join Office) dengan kantor-kantor perwakilan
ORI didaerah, perlindungan bagi pelapor-pelapor Ombudsman. Menurut
65
Ombudsman RI Teken Kerja Sama dengan LPSK, diakses pada tanggal 15 Januari 2014
melalui http://news.okezone.com/read/2011/08/18/339/493513/ombudsman-ri-teken-kerja-sama-
dengan-lpsk.
73
Danang Girindrawardana hubungan LPSK dan Ombudsman dapat lebih dalam
lagi yakni menciptakan sistem informasi dan konsolidasi lembaga-lembaga
dengan tetap berada pada koridor Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban. Wakil Ketua Ombudsman Azlaini Agus menambahkan bahwa
Ombudsman telah melakukan perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan
pelapor, namun tampaknya pada beberapa kasus tertentu perlindungan
kerahasiaan tersebut dirasakan belum cukup. Hasil dari pembahasan tahap awal
ini adalah pembentukan tim serta penyusunan substansi-substansi kerjasama
ORI dan LPSK, kerjasama dengan media massa sebagai penggalang dukungan
masyarakat, sosialisasi internal. Kegiatan tindak lanjut ini akan dirancang
sesegera mungkin dengan terfokus pada penandatanganan MoU, konsolidasi
antar lembaga KPK, LPSK, ORI dan lembaga-lembaga lain yang terkait dan
pembangunan system informasi dan kerjasama antar lembaga.
3. Kerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.66
Dalam
rangka pelaksanaan Nota Kesepakatan Bersama dengan Direktorat Jenderal
Lembaga Pemasyarakatan, Ombudsman juga telah melaksanakan beberapa
kegiatan terkait pengawasan terhadap pelayanan publik di Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan. Salah satu kegiatan yang dilakukan
adalah Roadshow ke beberapa Lembaga Pemasyarakatan di Semarang, Salatiga,
Solo, dan Yogyakarta pada bulan April 2010. Periode bulan November 2010
66
Ombudman Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2010, Ombudman Republik Indonesia:
Jakarta, 2010. h. 57.
74
Ombudsman telah melakukan kerjasama dengan dua instansi yaitu Direktorat
Jenderal Lembaga Pemasyarakatan dan Kementerian Dalam Negeri.
Menindaklanjuti Nota Kesepahaman dengan Direktorat Jenderal Lembaga
Pemasyarakatan dalam upaya melindungi hak-hak narapidana dan penghuni
rumah tahanan, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi dengan instansi
penegak hukum di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Kepolisian, Kejaksaan,
Lembaga Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, pada tanggal 23
November 2010 bertempat di Hotel Akmani, Jakarta.
B. Tugas Dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia Dalam Menangani
Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik Yang Dilakukan Oleh
Penyelenggara Negara
Dalam menjalankan tugas dan fungsi, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman berwenang:
ayat (1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang:
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor,atau
pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada
Ombudsman;
b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada
pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;
75
c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan
dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor;
d. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang
terkait dengan laporan;
e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para
pihak;
f. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk
rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak
yang dirugikan;
g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman
berwenang:
a. Menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau pimpinan
penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan
organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah agar terhadap
undang- undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan
perubahan dalam rangka mencegah Mal-administrasi.
Kewenangan yang dimiliki penyelenggara pemerintah sering
disalahgunakan oleh aparatur pemerintahan atau oknum yang tidak
76
bertanggungjawab sehingga mengakibatkan buruknya institusi atau lembaga dalam
menjalankan kewenangannya yang menimbulkan terjadi krisis kepercayaan pada
masyarakat terutama dalam segi pelayanan publik.
Oleh karena itu, Ombudsman Republik Indonesia dibentuk untuk
menindaklanjuti perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan
atau oknum yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan pelayananan
publiknya. Penulis menganalisis Pembentukan Ombudsman Republik Indonesia
dilatarbelakangi beberapa landasan:
1. Pertama, fungsi dan tugas penyelenggaraan negara pada hakikatnya adalah
mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
2. Kedua, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan
adil oleh penyelenggara negara.
3. Ketiga, dalam praktik, banyak sekali penyimpangan, penyelenggara negara
tidak melayani tetapi minta dilayani dan rakyat menjadi objek/menjadi
korban/menjadi abdi penyelenggara Negara, serta tidak ada tolak ukur yang
jelas mengenai pemberian pelayanan.
4. Keempat, pelaksanaan pelayanan oleh penyelenggara negara perlu diawasi
karena lanyaknya penyimpangan, juga untuk mencegah penyimpangan.
Dengan demikian, konsep mengenai Ombudsman yang pada intinya adalah
untuk melakukan pengawasan terhadap pemberian pelayanan yang diberikan
oleh penyelenggara negara; secara langsung atau tidak langsung akan
77
berdampak bagi upaya untuk memberantas Korupsi Kolusi dan Nepotisme
(KKN).
Konsep Ombudsman Republik Indonesia memandang korupsi secara lebih
luas, yaitu tidak hanya dari aspek hukum melainkan aspek sosiologis yaitu segala
bentuk perilaku yang bersifat koruptif. Dalam perkembangan terakhir, konsep
tentang Ombudsman telah dilandasi dengan UU No 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia bahkan diperkuat dengan UU No 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
Ombudsman Republik Indonesia diperlukan untuk menghadapi
penyalahgunaan kewenangan dan dugaan maladministrasi oleh aparatur
pemerintah dan sekaligus membantu aparatur negara melaksanakan
penyelenggaraan negara secara efisien dan adil. Ombudsman akan mendorong
pemegang kekuasaan negara melaksanakan pertanggungjawaban secara baik.
Beberapa alasan mendasar mengapa banyak negara termasuk Indonesia
membentuk Lembaga Ombudsman:
- Pertama, secara institusional Ombudsman bersifat independen baik struktural,
fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi
efektivitasnya karena dalam bertindak senantiasa bersikap objektif, adil, dan
tidak berpihak.
- Kedua, sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan. Artinya dalam
bertindak, aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlakukan
sebagai subjek, bukan objek/korban pelayanan.
78
- Ketiga, prosedur atau mekanisme yang digunakan dalam proses pengawasan
tidak berbelit-belit dan juga dimungkinkan proses penyelesaian melalui mediasi
dengan prinsip saling memberi saling menerima.
- Keempat, Lembaga Ombudsman dengan tegas dan terbuka menyatakan
pengawasan yang dilakukan atau laporan yang ditindaklanjuti tidak dipungut
biaya. Kelima, Ombudsman juga menganut prinsip bahwa dalam
menyelesaikan laporan senantiasa mendengarkan dua pihak oleh karena itu
tidak melayani surat kaleng.
Konsep tentang lembaga Ombudsman sangat mengakomodasi partisipasi
masyarakat, dengan cara memberikan peran yang seimbang antara penyelenggara
negara yang memiliki kewajiban memberi pelayanan dengan masyarakat yang
memiliki hak memperoleh pelayanan. Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik dinyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan
sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Peran serta masyarakat
diwujudkan dalam bentuk kerjasama pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat
serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik juga masyarakat
dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik.
Masyarakat berhak mengadukan pelayanan publik kepada Ombudsman
Republik Indonesia. Pejabat yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan,
yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa pembebasan dari jabatan,
79
penurunan pangkat, atau sanksi administrasi lainnya. Jika melanggar ketentuan
pidana, dapat dituntut hukuman badan ataupun ganti rugi.
Implementasi UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia dan juga UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik merupakan
salah satu terobosan yang cukup revolusioner dan inovatif dalam sistem hukum di
Indonesia. Pejabat negara yang melakukan penyimpangan dan direkomendasikan
oleh Ombudsman maka, wajib melaksanakan rekomendasi tersebut.
Harus diketahui pula, sekalipun diberi wewenang yang sangat luas, hampir
semua Ombudsman menggunakan daya persuasif (power of persuasion).67
Cara
yang demikian itu disebabkan kenyataan bahwa rekomendasi-rekomendasi
Ombudsman tidak mengikat secara hukum. Oleh sebab itu pula Institusi
Ombudsman dijuluki “Mahkamah Pemberi Pengaruh” (Magistrature of
Influence)68
atau seperti dikemukakan oleh Donald C. Rowat Ombudsman tidak
lebih dari anjing penjaga pihak Legislatif. Ia boleh menggonggong, tetapi tidak
boleh menggigit.69
Berkaitan dengan mekanisme kewenangan oleh Ombudsman, menurut
ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI,
menyatakan bahwa :
67
Penjelasan Sheila Gottehrer pada sesi informal Lokakarya Dua Hari tentang Ombudsman
Daerah (Denpasar, Bali, 21-22 February 2002).
68
Antonius Sujata dan RM Surachman, dalam makalah “Pengantar Peluncuran Ombudsman
Indonesia di tengah Ombudsman Internasional (sebuah Antologi oleh Antonius Sujata dan RM
Surachman), (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 117.
69
Ibid.,
80
(1) Ombudsman memeriksa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
(2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat
kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada pelapor
untuk melengkapi laporan;
(3) Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus
melengkapi berkas laporan;
(4) Dalam hal laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pelapor dianggap mencabut laporannya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan :
(1) Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan
substantif;
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) , Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman:
a. Tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau
b. Berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya mekanisme pengawasan
Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan, untuk selanjutnya
ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya laporan, maka
pengawsan Ombudsman bersifat pasif.
81
Dalam memeriksa laporan tersebut Ombudsman tidak hanya
mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan,
namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada
para pihak agar penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran
sendiri dapat menyelesaikan laporan atas dugaan mal-administrasi dalam
penyelenggaraan semua laporan harus diselesaikan melalui mekanisme
rekomendasi.
Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum
atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan. Dalam melakukan pemeriksaan
atas laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil terlapor dan saksi
untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali
berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman
dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power).
Untuk menegakkan UU No. 37 Tahun 2008, diatur pula mengenai
pemberian sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan
bagi terlapor dan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi
Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi setiap orang yang
menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. Dengan demikian,
kekuatan hukum atas rekomendasi Ombudsman semakin dipertegas, demi
terwujudnya keadilan bagi masyarakat Indonesia. Di berbagai negara, rekomendasi
82
Ombudsman hanya bersifat mengikat secara moral (morally binding), di Indonesia
bersifat mengikat secara hukum (legally binding).
Untuk masalah yang telah ditangani oleh Ombudsman kebanyakan
mengenai persoalan yang tidak dapat terselesaikan secara internal di dalam
instansi-instansi sendiri yang menjadi kewenangan Ombudsman adalah sebagai
berikut :
1. Menunda pelayanan
2. Tidak sopan,
3. Menyalahgunakan kekuasaan,
4. Tidak adil,
5. Minta imbalan, dan
6. Di luar peraturan yang berlaku.
Apabila ada warga negara Indonesia atau penduduk yang merasa ada
pelayanan publik yang tidak baik, maka berhak menyampaikan laporan kepada
Ombudsman secara gratis dengan ketentuan:
a. Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Laporan pengaduan harus disertai kronologi kasus yang dijabarkan secara jelas
dan sistematis serta ditandatangani.
c. Mencantumkan identitas diri, antara lain fotokopi KTP/ SIM/paspor.
d. Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
e. Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke
Kantor ORI, atau melalui website.
83
Perlunya akses publik yang mudah bagi masyarakat, maka Ombudsman
menyediakan sistem pelaporan via internet. Ombudsman telah melakukan reach
out (peninjauan) ke masyarakat, agar lebih banyak masyarakat mengetahui dan
melapor pada Ombudsman. Namun, cara masyarakat untuk melapor ke
Ombudsman harus mudah. Tidak seperti ketika melapor kepada polisi yang harus
dituliskan dalam BAP (berita acara pemeriksaan) yang kadang malah membuat
takut. Untuk itu, saat ini Ombudsman telah mendesain sistem pengaduan
masyarakat lewat internet. Tujuannya, agar masyarakat bisa mengajukan
pengaduan dari mana saja. Mengingat fungsi Ombudsman sebagai lembaga
penguatan masyarakat, efektifitasnya juga dinilai dari sejauh mana aksesibilitas
masyarakat terhadap lembaga tersebut.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1. Kedudukan Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas
pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan
organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, dapat
dikatakan sebagai lembaga independen, serta dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Ombudman
Republik Indonesia (ORI) merupakan lembaga negara yang tidak terdapat
dalam UUD 1945. Kelahirannya dilakukan oleh Undang-undang dalam
rangka pengawasan kinerja aparatur negara dan pemerintahan serta
menampung keluhan masyarakat. Lembaga yang menjalankan fungsi
seperti ini belum diatur dalam UUD 1945. Lembaga negara yang
pembentukannya diluar UUD 1945 seringkali disebut lembaga negara
tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga negara secondary, dalam artian
merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun
dibentuk melalui Undang-undang. Oleh sebab itu, dalam sistem pemisahan
kekuasaan, ORI dapat dikatagorikan sejajar dan tidak dibawah pengaruh
satu kekuasaan lain. Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan ORI
sangat vital dalam pemenuhan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat
85
sebagai bagian tujuan bernegara. Dilandasi oleh kondisi baik yang
mencakup substansi pengawasan, prosedur maupun kelembagaan maka
Ombudsman Republik Indonesia merupakan salah satu alternatif untuk
mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus
melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.
2. Tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia menurut UU No. 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia justru tidak
bertumpang tindih dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Bahkan, dalam perkembangan terakhir, konsep tentang
Ombudsman telah dilandasi dengan UU No 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang diperkuat dengan UU No 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman Republik Indonesia telah
menjadi salah satu ciri dari suatu negara yang ingin menegakkan
demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan yang baik, menghormati Hak
Asasi Manusia serta memberantas praktek-praktek korupsi. Konsep UU
tentang Ombudsman Republik Indonesia dan juga UU tentang Pelayanan
Publik merupakan salah satu terobosan yang cukup revolusioner dan
inovatif dalam sistem hukum di Indonesia. Semua Ombudsman
menggunakan daya persuasif (power of persuasion). Cara yang demikian
itu disebabkan kenyataan bahwa rekomendasi-rekomendasi Ombudsman
tidak mengikat secara hukum (not legally binding). Oleh sebab itu pula
86
Institusi Ombudsman dijuluki “Mahkamah Pemberi Pengaruh”
(Magistrature of Influence).
B. Saran
Dari hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran dan masukan
terhadap tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelengaraan pelayanan
publik lebih baik kedepannya nanti. Dalam menangani kasus berupa dugaan
pelanggaran dalam penyelengaraan pelayanan publik, tugas dan wewenang
Ombudsman Republik Indonesia hendaknya:
1. Mengikutsertakan masyarakat agar berpartisipasi dalam konteks pelayanan
publik sehingga meminimalisir terjadinya krisis kepercayaan pada
masyarakat.
2. Rekomendasi-rekomendasi ombudsman untuk kedepannya nanti diharapkan
dapat mengikat secara hukum (legally binding) agar rekomendasi-
rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia dapat memiliki kekuatan
hukum yang kuat selama tidak bertentangan dengan hukum dan asas hukum
yang berlaku di Indonesia.
87
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci Al Qur’an
B. Buku-Buku
Abdul Rozak dan Abdullah. Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani), Cet. Ke-3. Jakarta: ICCE bekerjasama dengan Kencana
Prenada Media Group, 2008.
Alder, John. Constitutional and Administrative Law, London: The Macmillan
Press LTD, 1989.
Anwar, Saiful. Sendi-Sendi Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi),
Medan: Gelora Madani Press, 2004.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010.
_______________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
_______________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Atmosudirdjo, Prajudi. Administrasi dan Manajemen Umum, Seri Pustaka Ilmu
Administrasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
_________________. Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu
Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994.
Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung: PT.Alumni, 2004.
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. IV.
Malang: Bayumedia, 2008.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan
Antara DPRD Dan Kepala Daerah, Bandung : Alumni, 2009.
88
Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Perum dan Percetakan, Cet. Ke-4. Jakarta:
Balai Pustaka, 1955.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Ilmu Negara, Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, Cet. VI. Jakarta: Kencana, 2010.
Masthuri, Budhi. Mengenal Ombudsman Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita,
2005.
MD, Moh. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen
Konstitusi), cet. Ke-2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Meny, Yves dan Andrew Knapp. Government and Politics in Western Europe:
Britain, France, Italy, Germany, 3rd
edition, Oxford: Oxford University
Press, 1998.
Pope, Jeremi. Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1999.
Reif, Linda C. The International Ombudsman Anthology, Netherlands:
International Ombudsman Institute, 1999.
Soehino. Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Cet. VIII.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986.
Sujata, Antonius, dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa
Mendatang, Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002.
89
Sujata, Antonius dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia ditengah
Ombudsman Internasional, Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional,
2007.
Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2010.
Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru,
1990.
Wattimena, Reza A. A. Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2007.
Zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
C. Makalah, Artikel dan Koran.
Asshidiqie, Jimly. “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD
1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”,
Makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional
perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan
pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004.
Effendi, Sofyan. Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance,
Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi
Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 September 2005.
Gottehrer, Sheila, dalam Lokakarya ”Ombudsman Daerah”, Denpasar, Bali, 21-
22 February 2002).
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik, diakses pada tanggal 13 Oktober
2013.
http://news.liputan6.com/read/336267/polri-dan-ombudsman-tandatangani-mou
diakses pada tanggal 15 Januari 2014.
http://news.okezone.com/read/2011/08/18/339/493513/ombudsman-ri-teken-
kerja-sama-dengan-lpsk diakses pada tanggal 15 Januari 2014.
http://www.scribd.com/doc/11319551/Pengertian-Pelayanan-Publik, diakses
pada tanggal 12 Oktober 2013.
90
http://www.siputro.com/2012/09/sejarah-amandemen-uud-1945/, diakses pada
tanggal 14 Januari 2014.
Masthuri, Budi, Urgensi Pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, diakses pada
tanggal 15 Januari 2014 melalui www.hukumonline.com.
Sujata, Antonius dan RM Surachman, dalam makalah “Pengantar Peluncuran
Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional (sebuah
Antologi oleh Antonius Sujata dan RM Surachman), Jakarta: Komisi
Ombudsman Nasional, 2002.
Tricahyo, Ibnu, dalam makalah “Posisi Ombudsman Dalam Ketatanegaraan
Republik Indonesia”, Jakarta: Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP,
2009.
Wiratraman, Herlambang Perdana, dalam makalah “Sinkronisasi Hubungan
Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Presidensial. POLITIK HUKUM
AMANDEMEN KELIMA UUD 1945”, pada Pertemuan Ahli Hukum
Tata Negara dengan tema: “Memperkuat Kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah Melalui Perubahan Kelima UUD Negara Republik
Indonesia 1945”, Makassar: Pusat Studi Konstitusi (PusKon)
Universitas 45 Makassar dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
2007.
Yazid, T.M. Lutfhi. “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara
Hukum”, Makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi
kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, Jakarta, 9
September 2004.
D. Peraturan Perundang-undangan
Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional;
Laporan Tahunan 2010, Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta: Ombudman
Republik Indonesia, 2010.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang
Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Perwakilan Ombudsman
Republik Indonesia di Daerah;
Rancangan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia oleh DPR pada
periode 1999-2004;
91
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan;
ALUR PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT ATAS TINDAKAN
MALADMINISTRASI OLEH PENYELENGGARA NEGARA KEPADA
OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
Adukan keluhan Anda atas
pelayanan publik oleh
Penyelenggara Negara1
GRATIS (tanpa biaya)
Anda sebagai
Pelapor2
Melaporkan kepada
Ombudsman3
Atas tindakan Maladministrasi4 oleh
Penyelenggara Negara (sebagai Terlapor5)
Syarat (Pasal 24): • Memuat nama lengkap, tempat dan
tanggal lahir, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamt lengkap
Pelapor;
• Memuat uraian peristiwa, tindakan,
atau keputusan yang dilaporkan
secara rinci;
• Sudah menyampaikan Laporan
secara langsung kepada pihak
Terlapor atau atasannya, tetapi
Laporan tersebut tidak mendapat
penyelesaian sebagaimana
mestinya;
• Peristiwa, tindakan atau keputusan
yang dikeluhkan atau dilaporkan
belum lewat 2 (dua) tahun sejak
peristiwa, tindakan, atau keputusan
yang bersangkutan terjadi;
• Dalam keadaan tertentu,
penyampaian Laporan dapat
dikuasakan kepada pihak lain; dan
dalam keadaan tertentu, nama dan
identitas Pelapor dapat dirahasiakan
Paling lambat 30 hari Pelapor melengkapi
Jika lewat 30 hari, Pelapor dianggap
mencabut laporannya.
Pasal 25 :
• Ombudsman lebih lanjut memeriksa
Laporan;
• Dalam hal laporan terdapat kekurangan;
• Ombudsman memberitahukan secara
tertulis kepada Pelapor untuk
melengkapi Laporan;
• Pelapor dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
Pelapor menerima pemberitahuan dari
Ombudsman harus melengkapi berkas
Laporan;
• Dalam hal Laporan tidak dilengkapi
dalam waktu 30 hari, Pelapor dianggap
mencabut Laporannya.
Jika lengkap, Ombudsman
RI segera memeriksa secara
substansial. Pasal 26 ayat (1)
Jika kurang lengkap, Ombudsman
RI akan memberitahukan secara
tertulis kepada pelapor
Ombudsman RI
Memeriksa Laporan
Dari hasil pemeriksaan, Ombudsman
RI dapat menetapkan :
- Berwenang melanjutkan
- Tidak berwenang melanjutkan
Pasal 28 ayat (1) Dalam hal Ombudsman berwenang melanjutkan pemeriksaan,
ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat :
a. memanggil secara tertulis Terlapor, saksi, ahli, dan/atau penerjemah untuk dimintai
keterangan;
b. meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor; dan/atau
c. melakukan pemeriksaan lapangan.
Pasal 28 ayat (2) Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan substantif dapat melihat
dokumen asli dan meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan
• Dalam hal Ombudsman tidak
berwenang melanjtukn pemeriksaan,
Ombudsman memberitahukan secara
tertulis kepada Pelapor dalam waktu
paling lambat 7 9tujuh) hari terhitung
sejak tanggal hasil pemeriksaan
ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
• Pemberitahuan dapat memuat saran
kepada Pelapor untuk menyampaikan
Laporannya kepada instansi lain yang
berwenang.
• Dalam memeriksa Laporan, Ombudsman
wajib berpedoman pada prinsip inddependen,
nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak
memungut biaya.
• Selain prinsip tersebut, Ombudsman wajib
mendengarkan dan mempertimbangkan
pendapat para pihak serta mempermudah
Pelapor dalam menyampaikan penjelasannya.
Sumber : Pembahasan Ombudsman RI dalam Brosur Layanan ORI.
1. Penyelenggara Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Pelapor adalah warga Negara Indonesia atau penduduk yang memberikan Laporan kepada Ombudsman.
3. Ombudsman adalah lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber darii anggaran pendapatan dan belanja Negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
4. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenanng untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan
5. Terlapor adalah Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman.
REKOMENDASI OMBUDSMAN RI
Dalam hal ditemukan Maladministrasi Ombudsman RI memberikan Rekomendasi*
Sumber : Pembahasan Ombudsman RI dalam Brosur Layanan ORI
* Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada
atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang baik.
Rekomendasi memuat sekurang-kurangnya Rekomendasi disampaikan kepada pelapor, terlapor,
atasan pelapor
Pasal 37 ayat (2)
Rekomendai memuat sekurang-kurangnya : uraian tentang
Laporan yang disampaikan kepada ombudsman ;
• Uraian tentang hasil pemeriksaan;
• Bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan
• Kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-
hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan
Terlapor.
Pasal 39
Terlapor dan atasan Terlapor yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 38
• Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan
Rekomendasi Ombudsman
• Atasan Terlapor wajib menyampaikan laporan kepada
Ombudsman tentang pelaksanaan Rekomendasi yang telah
dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya Rekomendasi.
• Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor dan/atau
atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk
memastikan pelaksanaan Rekomendasi.
• Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan
Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh
Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan
Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan
menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden.
Pasal 37 ayat (3)
Rekomendai disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan
Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2008
TENTANG
OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyeleggara negara dan pemerintahan;
c. bahwa dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat agar terwujud aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlu dibentuk lembaga Ombudsman Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang . . .
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2. Penyelenggara . . .
- 3 -
2. Penyelenggara Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
4. Laporan adalah pengaduan atau penyampaian fakta yang diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh setiap orang yang telah menjadi korban Maladministrasi.
5. Pelapor adalah warga negara Indonesia atau penduduk yang memberikan Laporan kepada Ombudsman.
6. Terlapor adalah Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi yang dilaporkan kepada Ombudsman.
7. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.
BAB II
SIFAT, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan:
a. kepatutan;
b. keadilan;
c. non-diskriminasi;
d. tidak memihak;
e. akuntabilitas;
f. keseimbangan;
g. keterbukaan; dan
h. kerahasiaan.
Pasal 4
Ombudsman bertujuan:
a. mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
b. mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
c. meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
d. membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
e. meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
BAB III
TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 5
(1) Ombudsman berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ombudsman . . .
- 5 -
(2) Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja perwakilan Ombudsman di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Fungsi dan Tugas
Pasal 6
Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Pasal 7
Ombudsman bertugas:
a. menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b. melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. membangun jaringan kerja;
g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Bagian Kedua . . .
- 6 -
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 8
(1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang:
a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang:
a. menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Pasal 9 . . .
- 7 -
Pasal 9
Dalam melaksanakan kewenangannya, Ombudsman dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan.
Pasal 10
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.
BAB V
SUSUNAN DAN KEANGGOTAAN OMBUDSMAN
Bagian Kesatu
Susunan
Pasal 11
(1) Ombudsman terdiri atas:
a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota;
b. 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota; dan
c. 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Dalam hal Ketua Ombudsman berhalangan, Wakil Ketua Ombudsman menjalankan tugas dan kewenangan Ketua Ombudsman.
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ombudsman dibantu oleh asisten Ombudsman.
(2) Asisten Ombudsman diangkat atau diberhentikan oleh Ketua Ombudsman berdasarkan persetujuan rapat anggota Ombudsman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tugas dan tanggung jawab asisten Ombudsman diatur dengan Peraturan Ombudsman.
Pasal 13
(1) Ombudsman dibantu oleh sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris . . .
- 8 -
(2) Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab Sekretariat Jenderal diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Ketentuan mengenai sistem manajemen sumber daya manusia pada Ombudsman diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 14
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden.
Pasal 15
(1) Sebelum mengajukan calon anggota Ombudsman kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden membentuk panitia seleksi calon anggota Ombudsman.
(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat.
(3) Panitia seleksi mempunyai tugas: a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon
anggota Ombudsman;
b. melakukan pendaftaran calon anggota Ombudsman dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja;
c. melakukan seleksi administrasi calon anggota Ombudsman dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman pendaftaran berakhir;
d. mengumumkan daftar nama calon untuk mendapatkan tanggapan masyarakat;
e. melakukan . . .
- 9 -
e. melakukan seleksi kualitas dan integritas calon anggota Ombudsman dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal seleksi administrasi berakhir;
f. menentukan dan menyampaikan nama calon anggota Ombudsman sebanyak 18 (delapan belas) orang kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal seleksi kualitas dan integritas berakhir.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia seleksi bekerja secara terbuka dengan memperhatikan partisipasi masyarakat.
Pasal 16
(1) Dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak menerima nama calon dari panitia seleksi, Presiden mengajukan 18 (delapan belas) nama calon anggota Ombudsman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf f kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat wajib memilih dan menetapkan 9 (sembilan) calon yang terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden.
(3) Calon Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman terpilih disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden.
(4) Presiden wajib menetapkan pengangkatan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 17
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 18 . . .
- 10 -
Pasal 18
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman berhak atas penghasilan, uang kehormatan, dan hak-hak lain yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Untuk dapat diangkat menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman seseorang harus memenuhi syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. sarjana hukum atau sarjana bidang lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum atau pemerintahan yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik;
e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun;
f. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
g. memiliki pengetahuan tentang Ombudsman;
h. tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; dan
j. tidak menjadi pengurus partai politik.
Pasal 20
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dilarang merangkap menjadi: a. pejabat negara atau Penyelenggara Negara menurut
peraturan perundang-undangan;
b. pengusaha;
c. pengurus atau karyawan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah;
d. pegawai negeri;
e. pengurus partai politik; atau
f. profesi lainnya.
Pasal 21 . . .
- 11 -
Pasal 21
(1) Sebelum menduduki jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman harus mengangkat sumpah menurut agamanya atau mengucapkan janji di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya untuk memperoleh jabatan ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun”.
“Saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Ketua Ombudsman/Wakil Ketua Ombudsman/anggota Ombudsman dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji akan memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
“Saya bersumpah/berjanji akan memelihara kerahasiaan mengenai hal-hal yang diketahui sewaktu memenuhi kewajiban saya.”
Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombusman berhenti dari jabatannya karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. mengundurkan diri;
c. meninggal dunia.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dapat diberhentikan dari jabatannya, karena :
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. tidak lagi memenuhi persyaratan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji;
d. menyalahgunakan . . .
- 12 -
d. menyalahgunakan kewenangannya sebagai anggota Ombudsman, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. terkena larangan merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20;
f. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya.
(3) Apabila Ketua Ombudsman berhenti atau diberhentikan, Wakil Ketua Ombudsman menjalankan tugas dan wewenang Ketua Ombudsman sampai masa jabatan berakhir.
(4) Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dari jabatan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Presiden.
BAB VI
LAPORAN
Pasal 23
(1) Setiap warga negara Indonesia atau penduduk berhak menyampaikan Laporan kepada Ombudsman.
(2) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya atau imbalan dalam bentuk apa pun.
Pasal 24
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat lengkap Pelapor;
b. memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci; dan
c. sudah . . .
- 13 -
c. sudah menyampaikan Laporan secara langsung kepada pihak Terlapor atau atasannya, tetapi Laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.
(2) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas Pelapor dapat dirahasiakan.
(3) Peristiwa, tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2 (dua) tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi.
(4) Dalam keadaan tertentu, penyampaian Laporan dapat dikuasakan kepada pihak lain.
BAB VII
TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN LAPORAN
Pasal 25
(1) Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan.
(3) Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan.
(4) Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor dianggap mencabut Laporannya.
Pasal 26
(1) Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif.
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman: a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan;
atau
b. berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Pasal 27 . . .
- 14 -
Pasal 27
(1) Dalam hal Ombudsman tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat saran kepada Pelapor untuk menyampaikan Laporannya kepada instansi lain yang berwenang.
Pasal 28
(1) Dalam hal Ombudsman berwenang melanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b, Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat:
a. memanggil secara tertulis Terlapor, saksi, ahli, dan/atau penerjemah untuk dimintai keterangan;
b. meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor; dan/atau
c. melakukan pemeriksaan lapangan.
(2) Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melihat dokumen asli dan meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan.
Pasal 29
(1) Dalam memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya.
(2) Selain prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak serta mempermudah Pelapor dalam menyampaikan penjelasannya.
Pasal 30 . . .
- 15 -
Pasal 30
(1) Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan wajib menjaga kerahasiaan, kecuali demi kepentingan umum.
(2) Kewajiban menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak gugur setelah Ombudsman berhenti atau diberhentikan dari jabatannya.
Pasal 31
Dalam hal Terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.
Pasal 32
(1) Ombudsman dapat memerintahkan kepada saksi, ahli, dan penerjemah mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan kesaksian dan/atau menjalankan tugasnya.
(2) Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan sungguh- sungguh menyatakan kebenaran yang sebenar-benarnya mengenai setiap dan seluruh keterangan yang saya berikan”.
(3) Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh ahli dan penerjemah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas saya dengan tidak memihak dan bahwa saya akan melaksanakan tugas saya secara profesional dan dengan sejujur-jujurnya”.
Pasal 33 . . .
- 16 -
Pasal 33
(1) Dalam hal Ombudsman meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, Terlapor harus memberikan penjelasan secara tertulis dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan penjelasan.
(2) Apabila dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Terlapor tidak memberi penjelasan secara tertulis, Ombudsman untuk kedua kalinya meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor.
(3) Apabila permintaan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari tidak dipenuhi, Terlapor dianggap tidak menggunakan hak untuk menjawab.
Pasal 34
Dalam melaksanakan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c, Ombudsman dapat melakukan pemeriksaan ke objek pelayanan publik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban, dan kesusilaan.
Pasal 35
Hasil pemeriksaan Ombudsman dapat berupa:
a. menolak Laporan; atau
b. menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi.
Pasal 36
(1) Ombudsman menolak Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal:
a. Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan;
b. Substansi . . .
- 17 -
b. substansi Laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan;
c. Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu yang patut;
d. Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan;
e. substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman;
f. substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau
g. tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dan Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
Pasal 37
(1) Ombudsman menerima Laporan dan memberikan Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dalam hal ditemukan Maladministrasi.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. uraian tentang hasil pemeriksaan;
c. bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan
d. kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor.
(3) Rekomendasi . . .
- 18 -
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
Pasal 38
(1) Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.
(2) Atasan Terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan Rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Rekomendasi.
(3) Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan Rekomendasi.
(4) Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Pasal 39
Terlapor dan atasan Terlapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dilarang turut serta memeriksa suatu Laporan atau informasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan dirinya.
Pasal 41 . . .
- 19 -
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan penyelesaian Laporan diatur dengan Peraturan Ombudsman.
BAB VIII
LAPORAN BERKALA DAN LAPORAN TAHUNAN
Pasal 42
(1) Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Laporan berkala disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan tahunan disampaikan pada bulan pertama tahun berikutnya.
(3) Ombudsman dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden selain laporan berkala dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden oleh Ombudsman.
(5) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya memuat mengenai:
a. jumlah dan macam Laporan yang diterima dan ditangani selama 1 (satu) tahun;
b. pejabat atau instansi yang tidak bersedia memenuhi permintaan dan/atau melaksanakan Rekomendasi;
c. pejabat atau instansi yang tidak bersedia atau lalai melakukan pemeriksaan terhadap pejabat yang dilaporkan, tidak mengambil tindakan administratif, atau tindakan hukum terhadap pejabat yang terbukti bersalah;
d. pembelaan atau sanggahan dari atasan pejabat yang mendapat Laporan atau dari pejabat yang mendapat Laporan itu sendiri;
e. jumlah dan macam Laporan yang ditolak untuk diperiksa karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1);
f. laporan . . .
- 20 -
f. laporan keuangan; dan
g. kegiatan yang sudah atau yang belum terlaksana dan hal-hal lain yang dianggap perlu.
BAB IX
PERWAKILAN OMBUDSMAN DI DAERAH
Pasal 43
(1) Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Perwakilan Ombudsman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan.
(3) Kepala perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh asisten Ombudsman.
(4) Ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman secara mutatis mutandis berlaku bagi perwakilan Ombudsman.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
Setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Komisi . . .
- 21 -
a. Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional dinyatakan sebagai Ombudsman menurut Undang-Undang ini;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Ombudsman yang baru;
c. semua Laporan yang sedang diperiksa oleh Komisi Ombudsman Nasional tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-Undang ini;
d. dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini, susunan organisasi, keanggotaan, tugas, dan wewenang serta ketentuan prosedur pemeriksaan dan penyelesaian Laporan Komisi Ombudsman Nasional harus disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 46
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, nama “Ombudsman” yang telah digunakan sebagai nama oleh institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan Undang-Undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap menggunakan nama “Ombudsman” secara tidak sah.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 22 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 139
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2008
TENTANG
OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
I. UMUM
Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yaitu kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, menciptakan keadilan, dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek Maladministrasi antara lain terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur Penyelenggara Negara dan pemerintahan dan penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik dan penegakan hukum diperlukan keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara efektif mampu mengontrol tugas Penyelenggara Negara dan pemerintahan.
Pengawasan internal yang dilakukan oleh pemerintah sendiri dalam implementasinya ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, baik dari sisi obyektifitas maupun akuntabilitasnya. Dari kondisi di atas, pada Tahun 2000, Presiden berupaya untuk mewujudkan reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Komisi Ombudsman Nasional bertujuan membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme serta meningkatkan perlindungan hak masyarakat agar memperoleh pelayanan publik, keadilan, dan kesejahteraan.
Untuk . . .
- 2 -
Untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan undang-undang.
Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik hanya disampaikan kepada instansi yang dilaporkan dan penanganannya sering dilakukan oleh pejabat yang dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk menyelesaikan pengaduan pelayan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya. Ombudsman Republik Indonesia tersebut merupakan lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dalam Undang-Undang ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan tersebut, antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan berdasarkan kontrak yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Dalam Undang-Undang ini ditentukan mengenai pedoman Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dengan mendasarkan beberapa asas yakni kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai tugas Ombudsman, antara lain memeriksa Laporan atas dugaan
Maladministrasi . . .
- 3 -
Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dalam pelaksanaan tugas memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya serta wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak dan mempermudah Pelapor. Dengan demikian Ombudsman dalam memeriksa Laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan Laporan.
Dalam melakukan pemeriksaan atas Laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil Terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila Terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power).
Dalam Undang-Undang ini ditentukan pula bahwa Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan, atau dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang dapat dijadikan bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden untuk mengambil kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik.
Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman di daerah, jika dipandang perlu Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota yang mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan.
Untuk menegakkan Undang-Undang ini diatur mengenai pemberian sanksi administratif dan pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi Terlapor dan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan
bagi . . .
- 4 -
bagi setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “hubungan organik” adalah hubungan yang bersifat struktural atau hierarkis dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud “negara hukum” adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan bertanggung jawab.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 . . .
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan mengenai pengumuman hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi bukan merupakan kewajiban bagi Ombudsman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ketentuan ini tidak berlaku apabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini mengenai asisten Ombudsman jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
- 6 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat, keanggotaannya dipilih berdasarkan kemampuan dan keahlian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam ketentuan ini, usia dihitung sejak tanggal yang bersangkutan mendaftar.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
- 7 -
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “pengurus partai politik” adalah pengurus harian, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Syarat tidak menjadi pengurus partai politik dilakukan dengan surat pernyataan kesediaan untuk mengundurkan diri apabila diangkat menjadi anggota Ombudsman.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pengusaha” adalah orang yang mempunyai usaha yang bidang usahanya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas dan wewenang Ombudsman.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undang di bidang kepegawaian.
Huruf e
Lihat penjelasan Pasal 19 huruf j.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”profesi lainnya”, antara lain, dokter, akuntan, advokat, notaris, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 . . .
- 8 -
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap”, antara lain, sakit atau melalaikan tugas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sebagaimana mestinya” adalah pihak Terlapor memperlambat penyelesaian, tidak dilakukan penyelesaian menurut prosedur internal di instansi Terlapor, tanggapan atau tindak lanjut belum
menyelesaikan . . .
- 9 -
menyelesaikan Maladministrasi yang terjadi atau sama sekali tidak memperoleh tanggapan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dapat dikuasakan kepada pihak lain”, adalah dalam menyampaikan Laporan Pelapor dapat menguasakan kepada pihak lain dimana penerima kuasa tidak harus advokat atau orang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana dipersyaratkan dalam beracara di pengadilan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak” adalah dilakukan dengan seksama dan penuh perhatian, dengan mengutamakan pendekatan persuasif.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31 . . .
- 10 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak” adalah pejabat dan/atau instansi yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyampaian Laporan yang dilakukan oleh orang yang sama mengenai persoalan yang sama yang telah diselesaikan oleh Ombudsman, antara lain, dengan cara mediasi dan konsiliasi.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 . . .
- 11 -
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”mempublikasikan” dalam ketentuan ini dilakukan melalui media masa baik cetak maupun elektronik.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Dalam ketentuan ini pengaturan mengenai tata cara pemeriksaan dan penyelesaian Laporan yang diatur dengan peraturan Ombudsman termasuk pengaturan pelaksanaan Rekomendasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Laporan yang disampaikan Ombudsman bukan merupakan bentuk pertanggungjawaban baik kepada Dewan Perwakilan Rakyat maupun Presiden. Namun, dapat dijadikan bahan baik bagi Dewan Perwakilan Rakyat maupun Presiden untuk mengambil kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “laporan khusus”, antara lain, Laporan yang menjadi perhatian masyarakat dan laporan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang
segera ditindak lanjuti.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 12 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mutatis mutandis” adalah ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman yang berlaku bagi Ombudsman juga berlaku bagi perwakilan Ombudsman dengan melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4899