kecacingan pada kukang sumatera...

31
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 KECACINGAN PADA KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) NAFISATUL ULFA

Upload: lelien

Post on 11-Mar-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

KECACINGAN PADA KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang)

DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN

INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI)

NAFISATUL ULFA

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kecacingan pada

Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata

Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Nafisatul Ulfa

NIM B04100039

ABSTRAK

NAFISATUL ULFA. Kecacingan pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang)

di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue

Indonesia (YIARI). Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan RP AGUS

LELANA.

Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) adalah satwa primata dilindungi

yang statusnya adalah rentan punah. Satwa ini semakin berkurang jumlahnya di

alam karena perburuan untuk perdagangan serta kerusakan habitat. Penyakit

kecacingan dapat menyebabkan kematian dan menurunkan populasi sehingga

diperlukan pemeriksaan terkait penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui prevalensi cacing saluran pencernaan pada kukang Sumatera

(Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International

Animal Rescue Indonesia (YIARI). Sebanyak 13 sampel feses kelompok dikoleksi

setiap hari selama 6 hari. Sampel yang diperoleh diperiksa berdasarkan jenis dan

jumlah telur cacing berdasarkan metode McMaster, flotasi sederhana dan saringan

bertingkat selama bulan Februari – Mei 2014. Hasil pemeriksaan 13 sampel,

semua sampel (100%) positif kecacingan dengan nilai prevalensi Ascaris

(84.61%), Hymenolepis (76.92%), strongylid (61.54%), Oxyuris (15.38%) dan

Trichuris (7.69%). Rataan derajat infeksi adalah sebesar 11-1555 TTGT.

Kata kunci: cacing saluran pencernaan, derajat infeksi, Nycticebus coucang,

prevalensi

ABSTRACT

NAFISATUL ULFA. Gastrointestinal Parasites in Sumateran Slow Loris

(Nycticebus coucang) in The Center of Primate Rehabilitation at International

Animal Rescue Indonesia. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and RP AGUS

LELANA.

According to the International Union Conservation of Nature and natural

Resources (IUCN), Sumateran slow loris (Nycticebus coucang) is protected

primates which was vulnerable animal. Their population in wildlife decreased

cause hunting for trade and destructive habitat. Helminthiasis can caused dead

regularly and its so identification of this disease needed. The study was conducted

to know prevalence of gastrointestinal helminth infection of slow loris (Nycticebus

coucang) in The Center of Primate Rehabilitation of International Animal Rescue

Indonesia (YIARI). Total of 13 fecal sampel from captive group of Nycticebus

coucang were collected for 6 days and analysed from February-May 2014 by

using McMaster, flotation and Baermann technique to identified morphology of

the eggs. All fecal sampel was examined based on its fecal pool. Out of 13 fecal

sampel examined, all of sampel (100%) was infected with five types of helminth

Ascaris (84,61%), Hymenolepis (76,92%), Strongylid (61,54%), Oxyuris (15,38%)

and Trichuris (7,69%). The average number of egg per gram (EPG) was 11-1555.

Keywords: fecal, helminth, Nycticebus coucang, parasite, prevalence, slow loris

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

NAFISATUL ULFA

KECACINGAN PADA KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang)

DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN

INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 ini

ialah cacing saluran pencernaan, dengan judul Kecacingan pada Kukang Sumatera

(Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International

Animal Rescue Indonesia (YIARI). Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas

Kedokteran Hewan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada :.

1 Ibu Santi Mustakimah Suhada, bapak Syaiful Anam, Kurnia Yuliasih dan

Salamun Afiat yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan

kebahagiaan tak terkira.

2 Ibu Dr Drh Elok Budi Retnani, MS dan Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP

MSi selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan

dukungan tiada henti guna penyelesaian skripsi ini.

3 Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku pembimbing akademik

yang banyak mendukung selama penulis sebagai mahasiswa.

4 Drh Prameswari Wendi serta Drh Nur Purba Priambada dari Yayasan

International Animal Rescue Indonesia (YIARI) yang banyak membantu dan

memberikan saran, serta staf YIARI yang banyak membantu dalam

terlaksananya penelitian ini.

5 Hernawan Prassetyo yang selalu menemani, mendengarkan keluhan, memberi

semangat dan mendukung pada setiap kesempatan.

6 Teman-teman Fakultas Kedokteran Hewan angkatan 47 tersayang yang

memberikan kebahagiaan selama 4 tahun masa perkuliahan, IMAPEKA,

HIMPRO SATLI, Ash Showa, CC United.

7 Teman-teman yang selalu mendukung dan memberikan semangat. Teman

seperjuangan Mirzan atas kerjasamanya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

Teman menumpahkan segala keluh kesah Shine, Cibi, Dince, Upeh, Mance

terima kasih karena mau berbagi hal-hal yang indah. Mamad, Andra, Fajar,

Riris, Puti, Asfi, Maya dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu

persatu yang telah mendukung. Teman kosan Vida, Ersa, Kiki, Ayen, Wilda,

Wita, Uju, Ima.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Nafisatul Ulfa

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Nycticebus coucang 2

Morfologi dan Klasifikasi 2

Status Konservasi 3

Zoogeografi 4

Pakan 4

Tingkah Laku 4

Medik Konservasi 5

Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal

Rescue Indonesia (YIARI) 5

Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata 5

Trichuris trichiura 6

Ascaris lumbricoides 7

METODE PENELITIAN 7

Tempat dan Waktu 7

Bahan dan Alat 7

Rancangan Penelitian 8

Teknik Parasitologi 8

Teknik Sampling Feses 8

Metode McMaster 8

Metode Flotasi Sederhana 9

Metode Saringan Bertingkat 9

Identifikasi Jenis Telur Cacing 9

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Temuan Jenis Telur Cacing berdasarkan Gambaran Tipe Telur 9

a Ascaris 10

ii

b Strongylid 11

c Oxyurid 11

d Trichurid 11

e Hymenolepid 11

Prevalensi 12

Derajat Infeksi 13

Faktor Lingkungan 14

Kecukupan Sinar Matahari 14

Aktivitas Manusia 15

Jumlah Hewan Jantan dan Betina dalam Kandang 15

SIMPULAN 15

SARAN 15

DAFTAR PUSTAKA 16

RIWAYAT HIDUP 21

DAFTAR TABEL

1 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata 6

2 Jenis telur cacing yang ditemukan 10

3 Prevalensi kecacingan menurut jenis pada kandang non sanctuary

dan sanctuary 12

4 Jumlah telur per gram tinja (TTGT) setiap tipe telur cacing pada

kandang non sanctuary dan sanctuary 14

DAFTAR GAMBAR

1 Ciri-ciri Nycticebus coucang 3

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta kandang Nycticebus coucang di Yayasan IAR Indonesia 19

2 Kondisi kandang kukang di Yayasan IAR Indonesia 20

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sebanyak

300.000 jenis satwa liar atau 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia. Menurut

Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2009 satwa liar adalah semua binatang yang

hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat

liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Primata

merupakan satwa liar dari kelas mammalia yang terdiri atas prosimian, kera dan

monyet (Purnama 2007). Di dunia terdapat 200 jenis primata dan 40 jenis atau

25% diantaranya hidup di Indonesia. Salah satu primata endemik Indonesia yang

keberadaanya semakin langka adalah kukang atau Nycticebus sp. Kukang

merupakan primata yang masuk dalam kelompok Prosimian famili Lorisidae

(Purnama 2007).

Kukang atau Nycticebus sp. terdiri dari 5 spesies yang tersebar di Asia

Tenggara. Tiga dari 5 spesies tersebut terdapat di Indonesia yaitu Nycticebus

javanicus, Nycticebus menangensis dan Nycticebus coucang (IAR 2011).

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN)

memasukkan kukang Sumatera (Nycticebus coucang) ke dalam kategori

vulnerable (rentan kepunahan) (IUCN 2013), sedangkan Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

memasukkan kukang ke dalam Appendix I (CITES 2013). Di Indonesia satwa ini

sudah masuk hewan dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7

tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (Purnama 2007).

Populasi kukang di alam tidak diketahui secara pasti, tetapi jumlah ini

diduga akan terus menurun karena perburuan, perdagangan dan kerusakan habitat

asli akibat perubahan penggunaan hutan. Penurunan jumlah kukang menyebabkan

diperlukan suatu tindakan konservasi. Salah satu tindakan konservasi yang dapat

dilakukan adalah rehabilitasi kukang sitaan berdasarkan medik konservasi. Salah

satu lembaga konservasi tersebut adalah Yayasan International Animal Rescue

Indonesia (YIARI).

Medik konservasi merupakan wujud dari serangkaian tindakan medik

veteriner berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang

diterapkan dalam menunjang program pelestarian satwa liar serta mencegah satwa

terserang penyakit (Ciwi 2007). Primata yang hidup di alam liar maupun di

kandang dapat terserang berbagai penyakit termasuk infeksi parasit. Kukang

sendiri mempunyai peluang untuk tertular berbagai jenis endoparasit baik

protozoa maupun cacing. Tingginya infeksi oleh parasit dan kerugian yang

ditimbulkan seperti kematian yang menyebabkan menurunnya jumlah hewan

menyebabkan perlu dilakukan identifikasi mengenai infeksi dan tingkat

kesakitannya.

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing saluran

pencernaan, prevalensi serta derajat infeksi. Jenis cacing diketahui berdasarkan

telur yang ditemukan. Temuan cacing diidentifikasi menurut jenis maupun

kandang A dan kandang B pada Nycticebus coucang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumentasikan jenis cacing

saluran pencernaan pada Nycticebus coucang. Pengetahuan ini dapat digunakan

sebagai acuan untuk mempelajari bioekologi transmisi cacing stadium infektif

pada inang sebagai landasan strategi pengendaliannya satwa primata kukang

Sumatera. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam

melaksanakan program pengendalian penyakit. Selain itu dapat memberikan

informasi ilmiah guna kepentingan ilmu pengetahuan.

TINJAUAN PUSTAKA

Kukang Sumatera (Nycticebus coucang)

Morfologi dan Klasifikasi

Klasifikasi Nycticebus coucang menurut red list International Union for

Coservation of Nature (IUCN) (2013) :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Sub-ordo : Prosimian

Famili : Lorisidae

Genus : Nycticebus

Spesies : Nycticebus coucang

Terdapat lima jenis kukang di dunia yaitu kukang Sumatera (Nycticebus

coucang), kukang Kalimantan (Nycticebus menangensis), kukang Jawa

(Nycticebus javanicus), kukang Bengal (Nycticebus bengalensis), kukang Pygmy

(Nycticebus pygmaeus). Tiga diantaranya terdapat di Indonesia yaitu kukang

Sumatera (N.coucang), kukang Kalimantan (N.menangensis) dan kukang Jawa

(N.javanicus). Seluruh spesies yang ada di Indonesia memiliki kesamaan yaitu

mata yang besar, namun masih dapat dibedakan dari ukurannnya, berat, tanda

garis pada muka serta susunan warna atau kolorasi dan kemungkinan juga dari

perilaku. Pada dasarnya seluruh jenis kukang memiliki ukuran tubuh yang sama.

Kukang muda agak sulit diidentifikasi karena mirip yaitu memiliki tubuh yang

lembut dan halus dilapisi oleh rambut berwarna putih. Selain itu pergerakannya

3

Gambar 1 Ciri-ciri Nycticebus coucang

(Photo by Benedict Laura 2013)

masih kaku, daya cengkramannya masih lemah dan kepalanya masih terlihat lebih

besar dari tubuhnya (IAR 2011).

Kukang Sumatera memiliki warna rambut kemerahan atau coklat. Ukuran

sedang sepanjang 240-295 mm dengan berat 480-710 gram. Pola garpu pada

kepalanya coklat kemerahan dengan pola dahi tidak jelas (IAR 2011).

Status Konservasi

Lima jenis kukang telah teridentifikasi tahun 2006 dan pada tahun 2007

semua kukang telah masuk ke dalam Appendix I Convention on International

Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi

tentang perdagangan internasional jenis flora dan fauna terancam. Masuknya

kukang ke dalam Appendix I berarti semua jenis perdagangan satwa ini dilarang.

Perdagangan internasional yang berasal dari alam harus dikontrol dengan ketat

dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersial tertentu. International

Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2013) adalah

lembaga internasional untuk pelestarian alam. IUCN (2013) mengkategorikan

kukang Sumatera dan Kalimantan ke dalam vulnerable (rentan) sedangkan

kukang Jawa termasuk endangered (terancam punah).

Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, hewan ini masuk dalam daftar satwa yang

dilindungi selanjutnya diperbaharui melalui Undang-Undang RI Nomor 5 tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

(KSDAHE) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan

jenis tumbuhan dan satwa liar. Pelanggar dari ketentuan ini dapat dikenakan

hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Walaupun belum ada data ilmiah yang pasti mengenai populasi kukang di alam,

tetapi berdasarkan survey dan monitoring yang dilakukan ProFauna sejak tahun

2000 hingga 2006, diperkirakan setiap tahunnya sekitar 6000 hingga 7000 ekor

kukang ditangkap dari alam untuk diperdagangkan (Nursahid dan Purnama 2007).

Mengingat jumlah anak yang dilahirkan umumnya satu ekor, hal ini merupakan

ancaman serius bagi kelestarian kukang di alam (Dahrudin dan Werdateti 2008).

4

Zoogeografi Daerah penyebaran kukang terbatas di Asia Tenggara. Kukang Bengal

tersebar dari Myanmar, Thailand dan Laos sedangkan kukang Pygmy tersebar di

Vietnam dan Kamboja. Kukang Sumatera, kukang Jawa dan kukang Kalimantan

merupakan jenis yang hidup di Indonesia (IAR 2011). Di Indonesia kukang

Sumatera (Nycticebus coucang) tersebar di daerah Jawa (Barat dan Tengah),

Sumatera (Jambi, Palembang, Riau, Bangka, dan Natuna), dan Kalimantan (Barat,

Timur, Tengah, dan Selatan). Kukang ini juga terdapat di Malaysia, Thailand dan

Singapura (Setyorini dan Werdateti 2005).

Habitat asli kukang adalah hutan hujan tropis, hutan primer dan hutan

sekunder pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut, hidupnya di atas

pohon/arboreal. Kukang dijumpai pada pohon karet. Keberadaan kukang pada

pohon karet kemungkinan untuk mencari serangga, karena pada saat pemanenan

getah banyak serangga yang ikut terperangkap pada tampungan getah. Kukang

juga ditemukan pada pohon bambu. Biasanya kukang menggunakan pohon

tersebut sebagai tempat beristirahat pada siang hari yaitu pada pertautan daun

bambu yang lebat (Dahrudin dan Werdateti 2008).

Pakan

Kukang tergolong hewan omnivora. Berbagai jenis tumbuhan pakan seperti

kulit buah pinang (Areca catechu) yang masak, buah kayu hirang (Walsura

pinnata), cempedak (Artocarpus champeden), pisang hutan (Musa acuminate) dan

beberapa jenis buah hutan. Selain tumbuhan, kukang juga memakan cecak pohon,

kodok, dan anak burung (Dahrudin dan Wedateti 2008). Smuts et al. (1987),

menyatakan makanan utama kukang terdiri dari serangga (50-60%) dan buah-

buahan kecil (30%). Kukang memakan serangga yang merupakan inang antara

beberapa parasit sehingga mempunyai peluang untuk tertular berbagai jenis

endoparasit baik protozoa maupun cacing.

Tingkah Laku

Kukang merupakan primata yang aktif pada malam hari atau satwa

nocturnal. Kukang merupakan satwa arboreal karena hidup di pepohonan. Siang

hari kukang tidur di atas pohon dengan ketinggian 1.8 – 3.5 meter diatas tanah.

Kukang merupakan satwa soliter dengan tempat tinggal dalam satu kelompok

sharing home range. Kukang dapat hidup sendiri, berpasangan (jantan betina)

maupun bertiga (jantan, betina, anak) dalam satu kelompok. Kukang merupakan

hewan monogami tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa kukang jantan

dapat kawin dengan lebih dari satu betina atau kukang betina dapat kawin dengan

lebih dari satu jantan (Wiens 2002).

Pada kondisi perkandangan, merambat adalah alternatif kukang berpindah

tempat atau menggantung dengan kedua kaki pada atap kandang yang berjeruji.

(Asnawi 1991). Hewan jantan dan betina yang dipasangkan dalam satu kandang

pada umunya akan berinteraksi sosial selama beberapa waktu namun diperlukan

keselarasan antar individu dalam pasangan untuk muncul perilaku reproduksi.

Selain itu kukang dapat hidup dalam satu kandang yang terdiri dari satu jantan

dan beberapa betina dan terjadi sosialisasi antar betina dalam kandang (Wiens

2002).

5

Medik Konservasi

Medik konservasi merupakan wujud dari serangkaian tindakan medik

veteriner berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang

diterapkan dalam menunjang program pelestarian satwa liar. Di dalamnya

termasuk aspek sumber daya manusia dan alat-alat pendukung lain yang

menunjang satwa dapat hidup normal dan sehat. Peran dokter hewan dalam

otoritas medik konservasi terwujud melalui beberapa kontrol dalam penanganan

satwa, yaitu kontrol fisiologi, kontrol mikrobiologi, kontrol tingkah laku

(behavior), kontrol genetik, kontrol reproduksi, kontrol kualitas, dan kontrol

adaptasi (Ciwi 2007).

Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue

Indonesia (YIARI)

YIARI berlokasi di Jalan Curug Nangka Blok Pasir Loji RT 04 RW 05

Kampung Sinar Wangi, Kelurahan Sukajadi Kecamatan Taman Sari Ciapus

Bogor. YIARI adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang penyelamatan

satwaliar Indonesia. Yayasan ini dimulai pada tanggal 29 Januari 2007 dan

memfokuskan kegiatannya pada satwa primata, yaitu kukang, monyet ekor

panjang dan beruk di Ciapus dan orangutan di Ketapang. Kegiatan utama YIARI

yaitu 3R yaitu rescue (penyelamatan), rehabilitation (rehabilitasi) dan release

(pelepaliaran). Tujuan utama dari program YIARI adalah menghentikan

perdagangan satwaliar dan memperjuangkan kesejahteraan yang lebih baik bagi

satwa di seluruh dunia (Adrianna 2013).

Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata

Cacing yang dapat menginfeksi satwa primata adalah dari kelas Nematoda,

Cestoda dan Trematoda. Struktur tubuh nematoda secara umum berbentuk

silindris, tubuh dilapisi kutikula, jantan dan betina terpisah dan siklus hidup dapat

langsung atau melibatkan inang antara. Pada beberapa nematoda, siklus hidupnya

membutuhkan tanah untuk perkembangan telur dan larva. Larva juga dapat

mengalami migrasi paru-paru. Migrasi larva melalui paru tidak terjadi pada

Trichuris tetapi telur membutuhkan tanah untuk perkembangannya. Telur Ascaris

membutuhkan tanah untuk perkembangannya dan larva melalui migrasi paru.

Tapeworms atau cestoda merupakan cacing hermaprodit yang mempunyai scolex

atau kepala yang biasanya disertai adanya sucker atau kait, memiliki strobila yang

berisi segmen proglotida. Setiap segmen memiliki organ reproduksi jantan dan

betina dimana segmen matang terdapat uterus yang berisi telur yang akan

melepaskan diri dan mengeluarkan telur. Tubuh trematoda biasanya pipih

dorsoventral walaupun beberapa berbentuk agak tebal. Trematoda merupakan

hermaprodit kecuali Schistosoma. Siklus hidup dapat langsung atau melalui inang

antara untuk perkembangannya (Bogitsh et al. 2005).

6

Tabel 1 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata

No. Jenis cacing parasit Spesies satwa primata Sumber

Nematoda

1 Ascarididae sp. Leontopithecus rosalia, Simias concolor

siberu, Presbytis potenziani siberu

3,7

2 Oxyuridae sp. Leontopithecus rosalia 3

3 Enterobius sp. Nycticebus coucang 8

4 Ancylostomatidaesp. Macaca, Leontopithecus rosalia 3,5

5 Oesophagostomum Stump-tailed macaque 2

6 Hookworm Pongo pygmaeus, Leontopithecus rosalia,

BabooA, Monkeys

1,3,5,6

7 Strongyloides sp. Pongo pygmaeus, Wild long-tailed Macaque 1, 4

8 Trichostrongylidae

sp.

Pongo pygmaeus 1

9 Trichuris spp. Golden langur, Hylobates hoolock, Macaca 2,5

10 Trichuris trichiura BabooA, Chimpanzees, Patas monkeys 6

Cestoda

1 Hymenolepis sp. Pongo pygmaeus 1

Trematoda

1 Schistosoma sp. Macaca fascicularis 9

1.Labes et al. 2010; 2. Nath et al. 2012; 3. Monteiro et al. 2003; 4. Rahmi et al. 2010; 5. Engel et

al. 2004; 6. Dawet et al. 2013; 7. Rahayu 2008; 8. Setyorini dan Werdateti 2005; 9.Chrisnawaty

2008.

Trichuris trichiura

Cacing ini bersifat kosmopolitan yang banyak ditemukan pada daerah panas

dan lembab termasuk Indonesia. Cacing ini tersebar di Amerika Serikat, Amerika

Selatan, Chili dan Spanyol (Bogitsh et al. 2005, Noble et al. 1989). Cacing ini

memiliki tubuh panjang pada bagian ke tiga-lima anterior dengan bagian tubuh

berisi esofagus. Bagian ke dua-lima posterior tubuh lebih tebal dan berisi usus

serta organ reproduksi. Cacing jantan dewasa memiliki tubuh yang melingkar

pada bagian kaudalnya dan berukuran (30-45x0,6) mm. Terdapat spikula tunggal

pada bagian ekor yang keluar dari tubuh dan dilindungi oleh suatu pelindung.

Cacing betina dewasa berukuran (35-50x0,7) mm dengan vulva terletak di bagian

anterior tubuh (Noble et al. 1989).

Telur dari genus trichurid memiliki karakteristik berbentuk seperti lemon

atau tong dengan garis lengkung sisi-sisinya yang dalam, memiliki dinding telur

yang tebal dan berwarna kuning sampai kecoklatan (Bogitsh et al. 2005).

Siklus hidup Siklus hidup cacing ini adalah secara langsung dimana telur akan diletakkan

di usus besar oleh betina dewasa. Telur kemudian akan keluar bersama feses dan

berembrio di dalam tanah selama beberapa minggu. Inang akan terinfeksi dengan

memakan makanan atau minuman yang mengandung telur berembrio. Telur ini

akan menuju usus kecil dan berkembang menjadi larva. Larva akan berkembang

menjadi dewasa di usus besar (Noble et al. 1989).

7

Ascaris lumbricoides

Cacing ini tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih sering berada pada negara

dengan iklim hangat. Selain Nigeria, Ghana dan Amerika, Afrika dan Asia

merupakan negara dengan prevalensi tertinggi (Bogitsh et al. 2005). Panjang

cacing jantan dewasa 15-30 cm dengan lebar 3 mm. Ukuran cacing jantan lebih

kecil dari betina dengan ujung posterior melengkung ke arah ventral. Terdapat

spikulum yang muncul dari permukaan ventral tubuh cacing pada ujung duktus

ejakulatorius. Tidak terdapat gubernakulum tetapi memiliki beberapa papila dan

pos anal. Panjang cacing betina dewasa 27-50 cm. Pada keduanya terdapat tiga

buah bibir yang mengelilingi mulut dengan sepasang papila kecil pada tepi lateral.

Telur Ascaris lumbricoides berukuran (45-75x35-50) µm, berbentuk ovoidal

dengan kulit yang tebal, transparan dan sebuah selubung di luar yang berbenjol-

benjol kasar, bersifat albuminosa. Telur ini belum berembrio ketika dikeluarkan

bersama tinja. Bentuk telur yang tidak dibuahi lebih panjang, lebih besar, lebih

elips dan biasanya memiliki selubung albuminosa yang tidak teratur (Noble et al.

1989).

Siklus hidup

Telur-telur yang telah dibuahi di dalam tubuh cacing betina dikeluarkan di

usus halus. Pertumbuhan dan perkembangan embrio terjadi di dalam telur. Setelah

embrio berkembang manjadi larva stadium kedua, telur menjadi infektif. Larva

yang keluar dari telur akibat tercerna di usus akan bermigrasi ke organ tubuh

seperti jantung, paru-paru, pembuluh darah dan limfe. Larva dari paru-paru akan

menuju rongga udara, menuju trakea dan faring kemudian tertelan. Larva yang

tertelan akan menuju usus dan menjadi dewasa (Noble et al. 1989).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan pada bulan Februari – Mei 2014. Penelitian dilakukan

di area kandang dan laboratorium Yayasan International Animal Rescue

Indonesia, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan adalah es balok, jelly pack beku, feses Nycticebus

coucang, air, dan larutan gula garam jenuh. Alat yang digunakan adalah botol

plastik, spidol permanen, label nama, cooler box, tisu gulung, pipet, kamera

digital, timbangan digital, gelas plastik, saringan, vortex, penyemprot, filter

bertingkat (400 µm, 100 µm dan 40 µm), mikroskop cahaya, pipet, label nama,

cawan petri bergaris, tisu gulung, gelas obyek dan penutup, kamera digital, gelas

sedimentasi (gelas Baermann).

8

Rancangan Penelitian

Penelitian terdiri atas tahap pengambilan sampel kelompok feses di area

kandang dan tahap pemeriksaan sampel kelompok feses di laboratorium

diagnostik parasitologi. Tahap pengambilan sampel kelompok feses dilakukan

dengan memilih secara acak sederhana 10 dari 30 kandang A dan 3 dari 9

kandang B. Setiap kandang dilakukan 6 kali pengulangan pengambilan sampel

feses kelompok. Kandang A berisi satwa yang memiliki potensi untuk

dilepasliarkan sedangkan kandang B merupakan kandang yang berisi satwa yang

tidak memiliki potensi untuk dilepasliarkan dan akan selamanya hidup di

kandang. Tahap pemeriksaan sampel kelompok feses dilakukan dengan teknik

koprologi untuk mengetahui adanya telur dan jenisnya, derajat infeksi serta

prevalensi kecacingan. Derajat infeksi diketahui berdasarkan jumlah telur cacing

dalam tiap gram feses. Prevalensi kecacingan adalah jumlah kandang yang

terinfeksi dari total jumlah kandang yang diperiksa.

Teknik Parasitologi

Teknik Sampling Feses

Sampel yang diambil adalah sampel feses segar yang berumur kurang dari

dua jam. Jumlah sampel yang dikoleksi adalah 3-5 gram. Pengambilan sampel

segar dilakukan untuk menghindari telur cacing yang menetas yang akan

mengganggu identifikasi (Bowman dan Forster 2010). Sampel feses dari satwa

diare tidak digunakan untuk penghitungan karena akan mempengaruhi hasil

penghitungan (AAEP 2013). Sampel feses yang didapat dimasukkan dalam botol

penampung disertai data tentang waktu pengambilan dan lokasi kandang,

kemudian disimpan dalam cooler box yang berisi jelly pack beku. Botol

penampung disimpan dalam refrigerator untuk menghindari perkembangan telur.

Metode McMaster

Sebanyak tiga gram feses dilarutkan ke dalam 57 mililiter larutan gula

garam jenuh. Selanjutnya dihomogenkan, disaring menggunakan saringan teh dan

dihomogenkan kembali. Suspensi yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke

dalam kamar hitung McMaster sebanyak 0.3 ml dengan menggunakan pipet

Pastur. Selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop setelah 10 menit dengan

pembesaran 100x (okuler x objektif). Nilai telur dalam tiap gram tinja (TTGT)

diperoleh dengan rumus:

Keterangan :

n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung

Vk : volume kamar hitung (0,3 ml)

Vt : volume sampel total

Bf : berat feses (3 g)

(Cringoli et al. 2004)

n x Vt

TTGT =

Vk x Bf

9

Metode Flotasi Sederhana

Feses sebanyak tiga gram dihomogenkan dengan 57 cc larutan gula garam

kemudian disaring menggunakan saringan teh. Filtrat dimasukkan ke dalam

tabung reaksi sampai tersisa sedikit cairan dari tabung agar dapat tertangkap oleh

kaca penutup. Tabung ditutup menggunakan kaca penutup dan ditunggu selama

15 menit. Setelah 15 menit penutup diangkat dan ditempatkan pada gelas obyek.

Hasil ini diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Rinaldi et al.

2014).

Metode Saringan Bertingkat

Feses sebanyak tiga gram dihomogenkan dengan menggunakan 57 ml air

dan disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat disaring kembali

menggunakan filter bertingkat berukuran 400, 100 dan 45 µm. Residu pada filter

ukuran 100 dan 45 µm dibilas dengan larutan aquades dibantu menggunakan botol

penyemprot. Larutan ditampung pada gelas Baermann modifikasi dan dipipet ke

dalam gelas obyek modifikasi. Setelah 15 menit diperiksa di bawah mikroskop

dengan perbesaran 100x.

Identifikasi Jenis Telur Cacing

Identifikasi telur cacing berdasarkan warna, bentuk, ketebalan dinding,

ketebalan lapisan albumin, adanya polar plug, serta ciri khas yang lain menurut

Levine (1990), Noble et al. (1989), serta Bogitsh et al. (2005).

Analisis Data

Hasil pengamatan morfologi telur cacing yang ditemukan (jenis telur

cacing), prevalensi, serta derajat infeksi pada kandang A dan B ditabulasi

menggunakan Microsoft Excel 2007 dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan Jenis Cacing berdasarkan Gambaran Tipe Telur

Berdasarkan identifikasi 13 sampel kelompok feses ditemukan dua kelas

telur yaitu Cestoda (hymenolepid) dan Nematoda (Ascaris, strongylid, oxyurid

dan trichurid). Morfologi jenis telur beserta gambar telur yang ditemukan

disajikan pada Tabel 2. Pemeriksaan menggunakan metode McMaster dan flotasi

sederhana teridentifikasi 5 jenis cacing : Ascaris, strongylid, oxyurid, trichurid

dan hymenolepid. Pemeriksaan menggunakan saringan bertingkat tidak ditemukan

adanya cacing.

10

Tabel 2 Jenis telur cacing yang ditemukan

No Jenis telur

cacing Morfologi Gambar telur yang ditemukan

1 Ascaris

yang tidak

dibuahi

Berwarna kuning kecoklatan,

berbetuk bulat, mempunyai lapisan

albumin yang tebal, tiap kutub telur

yang berbentuk lonjong atau bulat

terdapat rongga udara berbentuk

seperti bulan sabit.

2 Ascaris

yang

dibuahi

Berwarna coklat, berbentuk

lonjong, berdinding tipis dengan

lapisan albumin yang tidak teratur,

tidak ditemukan adanya rongga

udara.

3 Strongylid Berbentuk oval, warnanya

kekuningan, dinding tipis dan

traAparan.

4 Oxyurid Berbentuk memanjang, tidak

simetris dengan salah satu

dindingnya rata dan yang lain

melengkung.

5 Trichurid Berbentuk seperti buah lemon

dengan kedua ujung menonjol,

dinding telur terlihat tebal, lapis

luar berwarna kekuningan. Kutub-

kutub polar terlihat sangat jelas

6 Hymeno-

lepid

Berbentuk bulat atau agak oval,

berwarna kuning, memiliki

oncosphere berkait enam, adanya

filamen polar pada jarak antara

oncosphere dengan membran luar.

a. Ascaris

Telur Ascaris yang ditemukan pada sampel feses ada dua jenis yaitu telur

Ascaris yang tidak dibuahi dan telur Ascaris yang dibuahi. Telur yang dibuahi

berwarna kuning sampai coklat, berbentuk bulat, mempunyai lapisan albumin

yang tebal serta dinding yang bergelombang tidak teratur. Di dalam kulit telur

cacing masih terdapat suatu selubung vitelin tipis, tetapi lebih kuat dari pada kulit

telur. Selubung vitelin ini meningkatkan daya tahan telur cacing Ascaris terhadap

lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai 1 tahun. Telur yang

dibuahi ini mengandung sel telur (ovum) maupun larva yang akan keluar bersama

tinja. Telur yang tidak dibuahi berwarna coklat, berbentuk lonjong, berdinding

tipis (Soedarto 1995).

Telur Ascaris ditemukan pada kandang A dan kandang B. Genus cacing ini

juga ditemukan pada Macaca fascicularis, simakobu (Simias concolor siberru)

dan joja (Presbytis potenziani siberu) (Abduh 2013, Chrisnawaty 2008, Rahayu

2008).

11

b. Strongylid

Telur strongylid yang ditemukan berbentuk oval, warnanya kekuningan,

dinding tipis dan transparan, serta di dalamnya terdapat sel. Sel ini berjumlah 2,4

sampai 8 sel atau terkadang terlihat adanya embrio dimana telur kemudian akan

memasuki mukosa intestinal, menetas dan bergerak ke lumen (CDC 2013).

Telur strongylid ditemukan pada kandang A dan kandang B. Genus

strongylid ini juga ditemukan pada Macaca fascicularis, Macaca nigra, Macaca

tonkeana (Chrisnawaty 2008, Engel et al. 2004).

c. Oxyurid

Telur oxyurid berbentuk memanjang, tidak simetris dengan salah satu

dindingnya rata. Dinding telurnya tipis dan tidak berwarna, Telur biasanya berisi

larva atau embrio pada saat keluar bersama feses (Levine 1990).

Telur ini ditemukan pada kandang B. Menurut Chrisnawaty (2008), telur

oxyurid juga ditemukan pada Macaca fascicularis. Selain itu, Rahayu (2008) juga

melaporkan terdapat genus Enterobius sp. pada simakobu (Simias concolor

siberru) dan joja (Presbytis potenziani siberu).

d. Trichurid

Telur trichurid yang ditemukan berbentuk seperti buah lemon dengan kedua

ujung menonjol, dinding telur terlihat tebal, lapis luar berwarna kekuningan,

kutub-kutub polar terlihat sangat jelas dan mukosa tampak mengisi masing-

masing ujung kutub. Menurut Levine (1990), telur trichurid mempunyai kulit

tebal kecoklatan dengan sumbat (polar plug) di kedua ujungnya, dan belum

bersegmen ketika dikeluarkan.

Telur trichurid ditemukan pada kandang B. Spesies T.trichiuria merupakan

cacing yang dapat menginfeksi manusia dan Simian primates (Levine 1990).

Selain itu jenis ini juga ditemukan pada Baboons, Chimpanzees, Patas monkeys

(Dawet et al. 2013).

e. Hymenolepid

Telur cestoda yang ditemukan agak oval, berwarna kuning, membran luar

bergranuler, memiliki oncosphere berkait enam yang dikelilingi oleh suatu

membran yang bagian dalamnya terlihat transparan dan terpisah dari membran

luar. Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang disampaikan oleh Bogitsh et al. (2005)

dan Noble et al. (1989) kemungkinan telur yang ditemukan adalah dari jenis

Hymenolepis sp. jenis Hymenolepis nana karena memiliki filamen polar pada

jarak antara onchosphere dengan membran luar. Selain menginfeksi hewan ternak,

Hymenolepis sp. pernah ditemukan pada Macaca fascicularis, Pongo pygmaeus,

dan Presbytis entellus (Chrisnawaty 2008, Labels et al. 2010, Dewit et al. 1991).

Meskipun spesies tersebut berbeda dengan Nycticebus coucang, tetapi masih

merupakan satu ordo yaitu Primata. Telur ini ditemukan pada kandang A dan

kandang B.

12

Prevalensi

Nilai prevalensi pada kandang A dan B disajikan pada Tabel 3. Total

prevalensi kecacingan adalah 100 %. Secara umum nilai prevalensi pada kandang

A dan B tinggi (10-100%). Tingginya prevalensi cacing dapat disebabkan oleh

tanah yang terkontaminasi. Cacing dapat ditularkan melalui tanah dan makanan

yang terkontaminasi telur cacing. Telur cacing akan berkembang menjadi larva

infektif bila jatuh ke tanah, apabila telur/larva itu tertelan tanpa sengaja oleh inang

maka inang terinfeksi parasit tersebut. Kemungkinan lain adalah hewan tersebut

memang sudah terinfeksi di lokasi pemiliknya sebelum dibawa ke pusat

rehabilitasi (Nasution et al. 2013).

Kondisi geografis pusat rehabilitasi satwa YIARI yang berada di kaki

Gunung Salak sangat menguntungkan untuk perkembangan siklus hidup cacing.

Lokasi tersebut terletak di ketinggian sekitar 750 m dpl yang tergolong beriklim

tropis dengan curah hujan rata-rata tahunan sekitar 4000 mm per tahun. Jumlah

hari hujan sebanyak 187 per tahun dengan kelembaban nisbi per tahun sekitar

88%. Temperatur udara tahunan adalah sekitar 20-22o C (Adrianna 2013).

Nilai prevalensi tertinggi pada Ascaris sebesar 84.61%. Menurut Sajuthi et

al. (1997), Ascaris spp. merupakan parasit cacing yang umum ditemui hampir

pada semua satwa primata dan memiliki daya infeksi yang tinggi. Ascaris dapat

menginfeksi hewan muda melalui telur infektif yaitu telur berembrio yang berisi

larva stadium 2 yang termakan. Larva ini kemudian memasuki dinding usus dan

mengalami perkembangan dan sampai di hati melalui sirkulasi hepatik, kemudian

larva akan bermigrasi melalui aliran darah menuju alveolus, trakea, mulut,

esofagus, abdomen dan usus kecil dan akan dewasa di lumen usus (Noble et al.

1989).

Nilai prevalensi hymenolepid sebesar 76.92%. Rute infeksi hymenolepid

terjadi secara langsung tanpa membutuhkan inang antara. Telur akan masuk ke

dalam inang antara melalui feses yang termakan dan onchosphere akan

berkembang menjadi sistiserkoid. Inang definitif akan terinfeksi apabila memakan

arthropoda yang terinfeksi. Selain itu, transmisi dapat terjadi melalui autoinfeksi.

Transmisi yang mudah menyebabkan infeksi tinggi.

Nilai prevalensi strongylid sebesar 61.54%. Telur strongylid akan

berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir dan lembab (Levine

1990). Kandang di YIARI memiliki lantai tanah yang lembab sehingga dapat

menjadi tempat berkembang yang baik bagi telur strongylid, tetapi beberapa

kandang sudah berlantai semen sehingga pada beberapa kandang telur ini sulit

berkembang. Transmisi antar kandang dapat terjadi karena letak kandang yang

cukup dekat pada beberapa blok (lampiran 2).

Tabel 3 Prevalensi kecacingan menurut jenis pada kandang A dan kandang B.

Kandang n (jumlah

kandang)

Rataan prevalensi (%)

Ascaris Strongylid Trichurid Oxyurid Hymenolepid

A 10 80 50 10 20 80

B 3 66.67 100 0 66.67 0

13

Nilai prevalensi oxyurid sebesar 15.38% dan trichurid sebesar 7.69%. Siklus

hidup Trichuris merupakan siklus hidup langsung sehingga tidak membutuhkan

inang antara. Infeksi Trichuris terjadi melalui ingesti makanan dan minuman yang

terkontaminasi telur yang berisi larva stadium ketiga. Telur ini akan berkembang

baik pada tanah yang hangat dan lembab. Larva kemudian akan hatching pada

usus kecil dan masuk ke dalam vili usus dekat kripta Liberkuhn (mengalami

pematangan). Larva akan bermigrasi ke sekum dan mengalami pematangan

selama 30–90 hari sejak telur masuk (Bogitsh et al. 2005). Rute transmisi Oxyuris

dapat terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut inang. Cacing betina akan

merambat ke tepi anus inang dan meletakkan telur dalam kelompok di daerah

perianal. Larva infektif akan jatuh ke tanah, pakan atau air kemudian termakan.

Selain itu, telur yang berada di area perianal terbawa oleh tangan pada saat

menggaruk bagian tersebut. Telur akan menetas di dalam usus halus dan matang

dalam usus besar (Levine 1990).

Derajat Infeksi

Jumlah telur cacing dalam satuan berat feses merupakan cerminan jumlah

cacing dalam saluran pencernaan. Jumlah telur cacing dalam tiap gram tinja

(TTGT) yang ditemukan merupakan indikator kecacingan pada satwa. Nilai 0

TTGT tidak berarti satwa tersebut bebas infeksi. Hal ini disebabkan oleh derajat

infeksinya rendah atau infeksi belum mencapai masa prepaten.

Nilai derajat infeksi tertinggi sampai terendah berturut-turut pada kandang

A yaitu A3 (1810 TTGT), A10 (155 TTGT), A7 (122 TTGT), A5 (110 TTGT),

A2 (55 TTGT), A1 dan A6 (44 TTGT), A4 dan A8 (33 TTGT) dan A9 (11

TTGT). Sementara pada kandang B nilai tertinggi terdapat pada kukang yang

berada pada B3 (577 TTGT) diikuti B2 (355 TTGT) dan terakhir B1 dengan nilai

310 TTGT.

Derajat infeksi tinggi pada Ascaris (1555 TTGT). Tingginya derajat infeksi

mencerminkan jumlah cacing dalam usus tinggi. Jumlah cacing yang tinggi

menyebabkan satwa mengalami malnutrisi akibat cacing menghisap darah inang.

Malnutrisi ini menyebabkan hipoalbumiemia dan edema. Selain itu, fase migrasi

yang terjadi sebelum cacing menjadi dewasa dalam usus juga merugikan karena

menyebabkan kerusakan jaringan dan hemoragi di hati dan paru-paru. Larva di

paru-paru menyebabkan edema dan infiltrasi sel radang. Infeksi sekunder oleh

bakteri dan lesi bronkopneumonia juga dapat terjadi. Hemoragi juga disebabkan

oleh cacing penghisap darah. Pada penelitian ini TTGT strongylid tertinggi adalah

122 TTGT. Infeksi strongylid pada mukosa intestinal dapat menyebabkan

pendarahan, kerusakan epitel dan ulcer akibat penempelan bukal kapsul. Larva

strongylid dapat menyebabkan trombosis dan aneurisma pada pembuluh darah.

Kematian dapat terjadi karena hemoragi internal disertai ruptur (Seddon 1967).

Derajat infeksi hymenolepid tertinggi sebesar 444 TTGT. Transmisi

Hymenolepis nana terjadi secara langsung dan autoinfeksi yaitu telur dapat masuk

kembali ke dalam usus tanpa melalui lingkungan eksternal. Transmisi secara

autoinfeksi menyebabkan cacing dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam

tubuh inang dan meningkatkan infeksi (CDC 2013).

14

Tabel 4 Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) setiap tipe telur cacing pada

kandang A dan kandang B.

Kandang

Rataan derajat infeksi (terendah-tertinggi) (TTGT)

Ascaris Strongylid Trichurid Hymenolepid Oxyurid

A A1 33 (0-200) 11(0-67) 0 0 0

A2 0 22 (0-67) 0 33 (0-133) 0

A3 1555 (0-

7333)

11 (0-67) 0 244 (0-1333) 0

A4 22 (0-133) 0 11 (0-67) 0 0

A5 22 (0-67) 11 (0-67) 0 33 (0-200) 44 (0-

133)

A6 11 (0-67) 0 0 22 (0-67) 11 (0-

67)

A7 100 (0-600) 0 0 22 (0-133) 0

A8 11 (0-67) 0 0 22 (0-133) 0

A9 0 0 0 11 (0-67) 0

A10 11 (0-67) 11 (0-67) 0 133 (0-733) 0

B B1 0 122 (0-733) 0 188 (0-11333) 0

B2 344 (0-

2066)

11 (0-67) 0 0 0

B3 100 (0-600) 33 (0-200) 0 444 (0-2000) 0

Derajat infeksi tertinggi oxyurid sebesar 44 TTGT dan trichurid sebesar 11

TTGT. Pada infeksi ringan Trichuris gejala klinis jarang terjadi tetapi dapat

menimbulkan gangguan pencernaan dan anemia, gangguan toksik, obstruksi usus,

atau perforasi dinding usus. Infeksi berat dapat menimbulkan peradangan,

eosinofilia, perdarahan, anemia, diare, pengeluaran feses disertai darah dan lendir

(melena), sesak nafas, mual, penurunan berat badan, demam bahkan prolapsus

rektum.

Faktor Lingkungan

Kecukupan Sinar Matahari

Kandang A3 sampai A7 merupakan kandang yang kurang mendapat sinar

matahari sementara sisanya merupakan kandang yang cukup mendapat sinar

matahari. Berdasarkan Tabel 4 dapat dipelajari bahwa derajat infeksi kecacingan

pada kandang A 3-7 tidak lebih tinggi dibandingkan kandang yang lain tetapi

kandang A3 memiliki derajat infeksi yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan

karena adanya pohon bambu yang cukup rimbun yang menutup seluruh kandang

A3 dibanding A 4-7. Adanya pohon tersebut menyebakan area kandang menjadi

tertutup dan ketahanan tubuh kukang menurun meningkatkan resiko terkena

penyakit termasuk kecacingan. Kurangnya sinar matahari akan menyebabkan

kelembaban tinggi dimana telur cacing dapat bertahan hidup cukup lama dan

meningkatkan infeksi.

15

Aktivitas Manusia

Seluruh kandang di area konservasi relatif jauh dari aktivitas manusia.

Kandang yang cukup dekat dengan aktivitas manusia adalah kandang B1 yang

berjarak sekitar 5 meter dari base camp dan tempat pakan. Namun derajat infeksi

kecacingan pada kandang B1 ini bisa sama maupun lebih kecil dibanding kandang

lain sehingga dapat disimpulkan faktor aktivitas manusia bukan merupakan faktor

utama transmisi kecacingan.

Jumlah Hewan Jantan dan Betina dalam Kandang

Kukang merupakan hewan soliter yang menghabiskan aktivitasnya

sendirian. Meskipun demikian aktivitas sosial dengan individu lain dapat terjadi

dalam satu kelompok home range (Wiens 2002). Interaksi sosial antar individu

dalam kandang dapat terjadi namun apabila jumlah hewan di dalam kandang

terlalu banyak akan mempengaruhi kondisi fisiologis hewan. Jumlah hewan jantan

dan betina dalam kandang yang tidak cocok dapat menyebabkan ketidakserasian

individu dalam kandang. Kandang yang berisi satu jantan dan dua betina

menimbulkan interaksi antar individu tetapi apabila dalam satu kandang terdapat

satu betina dan lebih dari satu jantan akan terjadi perkelahian perebutan betina

maupun makanan yang akhirnya terjadi stres sehingga hewan menjadi peka dan

mudah terinfeksi cacing. Selain itu, jarak antar individu dalam kandang yang

cukup dekat menyebabkan kontak antar individu menjadi intens sehingga

transmisi mudah terjadi.

SIMPULAN

Jenis-jenis cacing saluran pencernaan yang ditemukan pada Nycticebus

coucang di Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) adalah

Ascaris, strongylid, Trichuris, Oxyuris dan Hymenolepis. Adapun nilai prevalensi

Ascaris sebesar 84.61%, Hymenolepis sebesar 76.92%, strongylid 61.54%,

Oxyuris 15.38% dan Trichuris 7.69%. Infeksi Ascaris tertinggi pada kandang A3

dengan rataan derajat infeksi sebesar 1555 TTGT, infeksi strongylid tertinggi

pada kandang B1 dengan rataan derajat infeksi 122 TTGT, infeksi Hymenolepis

tertinggi pada kandang B3 dengan rataan derajat infeksi sebesar 444 TTGT,

Oxyuris tertinggi pada kandang A5 dengan nilai rataan derajat infeksi 44 TTGT

dan infeksi Trichuris hanya terdapat pada kandang A4 dengan rataan derajat

infeksi sebesar 11 TTGT.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian menggunakan sampel individu guna melihat derajat

kesakitan per individu. Penelitian disarankan identifikasi sampai tingkat spesies

cacing guna mengetahui jenis cacing yang berpotensi sebagai agen zoonotik.

Perlu mempelajari faktor-faktor risiko infeksi cacing saluran pencernaan

Nycticebus coucang di pusat rehabilitasi satwa primata YIARI.

16

DAFTAR PUSTAKA

[AAEP]. American Association of Equine Practitioners. 2013. AAEP parasite

control guidelines. Laxington (US) : AAEP

Abduh M. 2013. Infeksi cacing nematoda pada saluran pencernaan monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) di Matraman, Jakarta dan Taman Wisata Alam

Telaga Warna, Bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Adrianna N. 2013. Potensi reproduksi dan morfologi pada sistem reproduksi

betina kukang Jawa [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Asnawi E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang) [skripsi].

Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Bogitsh BJ, Carter CE, Oeltmann TN. 2005. Human parasitology. London (GB) :

Elsevier.

Bowman DD dan Forster AL. 2010. The importance of routine fecal exams

protecting pets and their owners from parasitic infections. DX Consult. 3(1) :

10-13.

[CDC] Centres for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites and health,

intestinal parasites : comparative morphology [internet]. Waktu unduh [2014

May 23]. Tersedia pada : http://www.cdc.gov/parasites/.

Chrisnawaty D. 2008. Infeksi cacing saluran pencernaan pada monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor (ID) : Institut

Pertanian Bogor.

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora

and Fauna. 2013. Appendices [internet]. Waktu unduh [2014 April 13].

Tersedia pada : http://cites.org/eng/app/appendices.php.

Ciwi Z. 2007. Medik konservasi satwa ular : studi kasus di Taman Margasatwa

Ragunan, Taman Safari Indonesia dan cv. Terraria [skripsi]. Bogor (ID) :

Institut Pertanian Bogor.

Cringoli G, Rinaldi L, Veneziano V, Capelli G, Scala A. 2004. The influence of

flotation solution, sample dilution and the choice of McMaster slide area

(volume) on the realibility of the McMaster technique in estimating the faecal

egg counts of gastrointestinal strongyles and Dicrocoelium dendriticum in

sheep. Vet Parasitol. 123: 121-131.

Dahrudin H dan Werdateti. 2008. Jenis tumbuhan pakan dan tempat bersarang

kukang (Nycticebus coucang) di hutan lindung Pegunungan Merratus,

Kalimantan Selatan. Zoo Indonesia. 17(1) : 7-14.

Dawet A, Yakubu DP, Butu HM. 2013. Survey of gastrointestinal parasites of

non-human primates in Jos Zoological Garden. J Primatol. 2(1) : 108-110.

Dewit I, Dittus WPJ, Vercruysse J, Harris EA, Gibson DI. 1991. Gastrointestinal

helminth in a natural population of Macaca sinica dan Presbytis sp. at

Polonnaruwa, Sri Langka. Primates. 32(3) : 391-395.

Engel LJ, Engel GA, Schillaci MA, Kyes K, Froehlich J, Paputungan U, Kyes RC.

2004. Prevalence of enteric parasites in pet macaque in Sulawesi, Indonesia.

Am J Primatol. 62(1) : 71-82.

[IAR] International Animal Rescue. 2011. Kukang di Indonesia : di tengah

maraknya perdagangan (gelap) satwa. Bogor (ID) : IAR.

17

[IUCN]. 2013. Nycticebus coucang : The IUCN red list of threatened species.

Geneva (CH) : IUCN. Version 2014.2 [internet]. Waktu unduh [2014 May

22]. Tersedia pada : http://www.iucnredlist.org/details/39759/0

Labes E, Hegglin D, Geimm F, Nurcahyo W, Harrison ME, Bastian ML, Deplazes

P. 2010. Intestinal parasites of endangered orangutans (Pongo pygmaeus) in

Central and East Kalimantan, Borneo, Indonesia. J Parasitol. 137(1) : 123-

135.

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah.

Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada Univ Pr.

Monteiro RV, Jansen AM, Pinto RM. 2003. Coprological helminth screening in

Brazilian free ranging golden lion Tamarins, leontopithecus rosalia (l., 1766)

(primates, callithrichidae). Brazil J Biol. 63(4) : 727-729.

Nasution IT, Fahrimal Y, Hasan M. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda

Gastrointestinal Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Di Karantina Batu

Mbelin, Sibolangit Provinsi Sumatera Utara. J Med Vet 7(2) : 67-70.

Nath BG, Islam S, Chakraborty A. 2012. Prevalence of parasitic infection in

captive non human primates of Assam State Zoo, India. Vet World. 5(10) :

614-616.

Noble ER, Noble GA, Schad GA, MacInnes AJ. 1989. Parasitology : The biology

of animal parasites. Philadelphia (US) : Lea & Febiger.

Nursahid R dan Purnama A. 2007. Perdagangan kukang (Nycticebus coucang) di

Indonesia Suara Satwa [internet]. Waktu unduh [2014 Okt 09]. Tersedia

pada:http://www.profauna.org/content/id/berita/2007/perdagangan_kukang_n

ycticebus_coucang_di_indonesia.html.

Purnama AR. 2007. Konservasi primata di Indonesia. Suara Satwa [internet].

Waktu unduh [2014 Oct 14]. Tersedia pada :

http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2007/03/konservasi_primata_di_indo

nesia.html.

Rahayu NRT. 2008. Identifikasi endoparasit saluran pencernaan simakobu (Simias

concolor siberru) dan joja (Presbytis potenziani siberu) di Siberut Utara

[skripsi]. Bali (ID) : Universitas Udayana.

Rahmi E, Hanafiah M, Sutriana A, Hambal M, Wajidi F. 2010. Identifikasi

nematoda gastrointestinal dan protozoa pada monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) liar di taman wisata alam (TWA) Pulau Weh Sabang. JIIIP.

13(6) : 286-291.

Rinaldi L, Levecke B, Boscoa A, Ianniello D, Pepe P, Charlier J, Cringolia G,

Vercruyss J. 2014. Comparison of individual and pooled faecal samples in

sheep for the assessment of gastrointestinal strongyle infection inteAity and

anthelmintic drug efficacy using McMaster and Mini-FLOTAC. Vet Parasitol

6(11) : 1-8.

Sajuthi D, Yusuf TL, Mansjoer I, Lelana RPA, dan Suparto IH.1997. Kursus

Singkat Penanganan Satwa Primata sebagai Hewan Laboratorium. Bali (ID):

Ersa Pustaka Pribadi.

Seddon HR. 1967. Disease of Domestic Animal in Australia : Helminth

Infestations. Canberra (AU) : Goverment Print Offfice.

Setyorini LE dan Werdateti. 2005. Cacing parasit pada Nycticebus coucang. Berk

Panel Hayati 10 : 93–96.

18

Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham R, Struhsaker TT, Hamburg D.

1987. Primates Societies (paperback). Chicago (US) : Univ Chicago Pr.

Soedarto. 1995. Helmintologi Kedokteran. Jakarta (ID) : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Wiens F. 2002. Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang) :

social organization, infant care system, and diet [disertasi]. Frankfurt (DE) :

Universitas Bayreuth.

19

LAMPIRAN

Lampiran 1

Peta kandang Nycticebus coucang di Yayasan IAR Indones

Keterangan :

= kandang Nycticebus coucang

= kandang Nycticebus sp. lain

= kandang tempat pengambilan sampel

Nycticebus coucang

20

Lampiran 2

Kondisi kandang kukang di Yayasan IAR Indonesia

Gambar 1 Kondisi kandang kukang Gambar 2 Letak kandang yang berdekatan

Gambar 3 Kandang dibatasi kawat penutup

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan, 3 Juli 1992 dari ayah bernama Syaiful

Anam dan ibu Santi Mustakimah Suhada. Penulis merupakan putri pertama

dengan dua orang adik yaitu Kurnia Yuliasih dan Salamun Afiat. Penulis pernah

bersekolah di SMPN 02 Pekalongan dan menamatkan sekolah di SMAN 01

Pekalongan pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk

Institut Pertanian Bogor (IPB) jalur Undangan seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan

Potensi Akademik (PPA). Penulis juga menjadi anggota himpunan profesi satwa

liar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, OMDA IMAPEKA (Ikatan Mahasiswa

Pekalongan Batang) tahun 2010-2012. Penulis pernah mengikuti kegiatan

kepanitiaan beberapa acara di IPB antara lain menjadi panitia divisi Organizing

Comitte Anggota Kelompok (OC AK) masa perkenalan departemen Fakultas

Kedokteran Hewan (FKH) tahun 2012, panitia divisi Dana dan Usaha Gebyar

Nusantara IPB tahun 2012, Asisten luar biasa mata kuliah Histologi Veteriner 1

dan 2, berperan aktif dalam pemeriksaan kesehatan hewan kurban tahun 2012-

2014. Penulis pernah menjadi peserta dalam kegiatan IPB Goes to Field tahun

2013 di Bondowoso dan mengikuti pengenalan masa perkenalan departemen FKH

tahun 2011.