kebijakan pemerintah kabupaten sragen dalam …... · dalam penggalangan dana dari masyarakat...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN
DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA
WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN
HUKUM RESPONSIF
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik
Disusun Oleh : Suharto
NIM : S310409021
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
S U R A K A R T A 2 0 1 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA
WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF
Disusun Oleh :
Suharto
NIM : S310409021
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal
1. Pembimbing I Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H., M.H. NIP : 196302091988031003
………………
……...………
2. Pembimbing II Prasetyo Hadi Purwandoko,S.H, M.S. NIP : 196004161986011002
………………
……..……….
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H., M.H NIP : 196302091988031003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA
WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF
Disusun Oleh :
Suharto NIM : S3104090
Telah disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua
Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS
.......................
...................
Sekretaris
Burhanudin Harahap, SH.,MH.,Msi.,PhD
.......................
...................
Anggota
1. Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH., MH.
.......................
...................
2. Prasetyo Hadi Purwandoko, SH., MS.
.......................
...................
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH., MH. NIP : 196302091988031003
.......................
...................
Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Ir Ahmad Yunus, MS NIP : 196107171986011001
.......................
...................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Suharto
NIM : S3104090
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul:
“Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penggalangan Dana Wukirwati Menurut
Pende-katan Hukum Responsif“, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal
yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan
tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Oktober 2011
Yang membuat pernyataan,
SUHARTO
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Rangka
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penggalangan Dana
Wukirwati Menurut Pendekatan Hukum Responsif”. Tesis ini merupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan S-2
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan koreksi, saran dan
kritikan yang bersifat membangun guna penyempurnaan tesis ini.
Berbagai hambatan penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini, namun
berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka hambatan tersebut dapat
diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH. MH., selaku Ketua Program Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak Burhanudin Harahap, S.H.,M.H.,M.Si.,Ph.D, selaku Sekretaris Program
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, SH., MS., selaku Pembimbing II yang
telah membantu dan mengarahkan penulis dalam menyusun tesis ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
7. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S., selaku Ketua tim penguji tesis.
8. Bapak/ Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
9. Seluruh Staf Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
10. Para Pejabat Satuan Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragh
Kabupaten Sragen khususnya staf Bagian Hukum Sekretariat Daerah
Pemerintah Kabupaten Sragen yang telah memberikan masukan dan
membantu terselesaikannya penulisan tesis.
11. Ibunda yang selalu mendoakan dan merestui setiap langkah perjalanan hidup
yang ditempuh anaknya sebagai konsekuensi dari tindakannya yang telah
diambil apapun yang dirasakan ; bahagia, sedih dan duka serta pahit dan
getirnya kehidupan.
12. Isteri tercinta Trie Ratna Wahyuningsih, yang selalu memberikan motivasi dan
semangat serta dorongan untuk menyelesaikan penulisan tesis.
13. Anak-anak terkasih ; Wahyudo Tora Hananto, S.H, M.H, Novita Ayu
Hartantrie, S.Sos dan Karina Ajeng Hanavitrie yang sekarang masih
menempuh Program Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Jurusan
Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu
memberikan spirit bahkan sering mengolok-olok apabila tugas-tugas yang
mestinya diselesaikan tidak segera dikerjakan.
14. Cucu-cucu yang cantik ; Justicia Tiara Maharani dan Medicia Laura
Mahadewi.
15. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta khususnya Konsentrasi Hukum
Kebijakan Publik Angkatan 2009.
16. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan, namun penulis sangat berharap kepada semua pihak agar tesis ini
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Surakarta, Oktober 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ............................................................
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ABSTRAK .....................................................................................................
ABSTRACT ...................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
B. Perumusan Masalah ...........................................................................
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................
D. Manfaat Penelitian .............................................................................
BAB II : LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR .................
A. Landasan Teori ...................................................................................
1. Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah .......................................
2. Tinjauan Umum tentang Kewenangan Daerah ............................
3. Tinjauan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .............
4. Teori tentang Kebijakan Publik ..................................................
5. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik ....................................
6. Penggalangan Dana Masyarakat ..................................................
7. Tinjauan Hukum Responsif ........................................................
B. Kerangka Berpikir ..............................................................................
BAB III : METODE PENELITIAN ..............................................................
A. Jenis Penelitian ...................................................................................
B. Pendekatan Penelitian ........................................................................
C. Lokasi Penelitian ...............................................................................
D. Jenis dan Sumber Data .......................................................................
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................................
i
ii
iii
iv
v
viii
ix
x
xi
1
1
5
6
7
8
8
8
14
19
28
36
43
46
54
56
56
58
59
59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
F. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ............................................
BAB IV : HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN .........
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran umum ………………………………………………...
a. Lokasi Penelitian …………………………………………...
b. Pola Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten
Sragen …………………………………………………………
c. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Sragen …………………………………………….
2. Kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang Dana
Masyarakat ………………………………………………………
3. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009
ditinjau menurut pendekatan hukum responsif ………………….
B. Hasil Analisis
1. Kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang Dana
Masyarakat ..................................................................................
. 2. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009
ditinjau menurut pendekatan hukum responsif ............................
BAB V : KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ...............................
A. Kesimpulan ........................................................................................
B. Implikasi .............................................................................................
C. Saran ...................................................................................................
60
61
62
62
62
62
64
65
73
78
81
81
81
89
94
94
94
95
Daftar Pustaka ................................................................................................ 97
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
ABSTRAK
SUHARTO, S.310409021, KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF, Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kewenangan Bupati Sragen dalam Penggalangan dana dari masyarakat melalui Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal, yaitu berdasar pada hukum positif di dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dengan mendasarkan pada konsep hokum yang ke-2 dimana hokum dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yang bersifat positif dalam sistem perundang-undangan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik evaluatif, karena merupakan kajian yang bersifat analitis. Analisis datanya menggunakan analisis deduktif, karena melakukan inventarisas segenap peraturan hokum dengan dikomunikasikan dengan data empiris hasil wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian terhadap Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaan lainnya serta ditinjau menurut pendekatan hukum responsif diperoleh kesimpulan Pertama, Bupati Sragen berwenang menetapkan Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen, Kedua, kedudukan penetapan Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen ditinjau menurut pendekatan hukum responsif merupakan langkah yang dapat dibenarkan secara yuridis, karena produk hukum daerah tersebut ditetapkan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hukum itu memang diciptakan untuk kepentingan masyarakat bukan sebaliknya dan penetapan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
ABSTRACT
SUHARTO, S.310409021, THE POLITICS OF SRAGEN GOVERNMENT TO INCREASE WELFARE SOCIETY THROUGH FUND-RAISING WUKIRWATI ACCORDING TO RESPONSIVE LEGAL APPROACH, Thesis : Postgraduate Program of Sebelas Maret of Surakarta.
This research aims to determine the authority of the Regent Sragen about
fund-raising Wukirwati in order to Sragen Regent Regulation of the management
of Funds wukirwati in Sragen Regency.
This is normative legal research, with positive law in Indonesia legal
system, based on legal concept of the second. Using an evaluative-diagnostic
method and deductive analysis, this research is about to find rules so that it can be
adjusted with empirical data from the interview.
Then, the conclusions are : first, Regent of Sragen have the power to
establish Regent Regulation of the Management of Funds wukirwati in Sragen
Regency. It was according to Law No. 12/2011 of the Establishment of
Regulations, and Law No. 32/2004 of the Local Governance. Second, according
to responsive legal approach, position of the Regent to established that Regulation
were legally correct. It was establishes to increases welfare society, and it was not
contrary with higher regulations.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat
terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, bakudan standar
yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah beberapa kali diubah,dan terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan
kewenangan yang sangat luas kepada setiap pemerintah daerah. Kewenangan
pemerintah daerah adalah sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi
kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah mempunyai keleluasaan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang sangat luas tersebut kepada daerah pada
dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi yang luas daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
demikian, pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Penyelenggaraan kebijakan pemerintahan yang “tidak terikat”
memang membuka peluang yang lebar bagi fungsi peraturan secara
administratif. Secara keseluruhan, dapatlah dibayangkan betapa banyak
peraturan perundang-undangan yang belum tentu semuanya memenuhi syarat
asas perundang-undangan (wet gevings principle) yang patut dan baik.1
Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang,
kewajiban dan tanggungjawabnya, atas dasar kuasa peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang
dirumuskan dalam produk hukum daerah, baik dalam bentuk peraturan
daerah, peraturan kepala daearah maupun keputusan kepala daerah dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi kedudukannya, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan daerah lainnya.
Pemberian otonomi kepada daerah dan pemberian kewenangan kepada
daerah dalam menetapkan produk hukum daerah dimaksudkan sebagai upaya
untuk memberikan keleluasaan kepada daerah sesuai dengan kondisi
lokalistiknya dan untuk mendekatkan jarak antara pejabat daerah dengan
masyarakatnya sehingga terbangun suasana komunikatif yang intensif dan
harmonis, artinya keberadaan rakyat di daerah sebagai pendukung utama
demokrasi mendapat tempat dan saluran untuk berpartisipasi dalam menyusun
produk hukum daerah yang akan ditetapkan.
Dengan demikian keberhasilan suatu penyelenggaraan pembangunan
pada era otonomi daerah tidak terlepas dari adanya peran serta masyarakat
secara aktif. Masyarakat daerah, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai
individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem
pemerintahan daerah, karena prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah
untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, maka tanggung
jawab atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesungguhnya bukan saja
1 Kusumarita Atyanto, Hukum tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Edisi Nomor 4 Bulan November Tahun 2009, Jakarta, hlm. 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
berada di tangan pemerintah daerah dan aparat pelaksananya, tetapi juga
menjadi tanggungjawab masyarakat daerah yang bersangkutan.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada era otonomi
dikembangkan agar pemerintah daerah dapat menggalang partisipasi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, apabila masyarakat ikut berperan
aktif dan dilibatkan, pemerintah daerah dalam membuat kebijakan daerah akan
mendapat dukungan dari masyarakat. Hal-hal yang mendasar dalam otonomi
daerah adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat,
pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat,
dan pengembangan peran dan fungsi DPRD yang memberikan otonomi secara
penuh kepada daerah Kabupaten/Kota untuk membentuk dan melaksanakan
kebijakab menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat ini
daerah sudah diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, melaksanakan,
mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah.
Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian
akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satu
berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control
menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan public. Orientasi yang
seperti ini kemudianbakan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah
sebagai stimulator, fasilitator, koordianator dan entrepenur (wirausaha) dalam
proses pembangunan.2 Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang demokratis dan akuntabel merupakan konsekuensi logis dari otonomi
daerah.
Paradigma-paradigma tersebut digunakan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi masyarakat, mulai dari pradigma dikotomi politik dan
administrasi, prinsip-prinsip administrasi, administrasi publik sebagai ilmu
politik, administrasi publik sebagai ilmu administrasi, administrasi publik
2 Asri Umar, Kerangka Strategis Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI Nomor 22 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 35 Tahun 1999, Jurnal Hukum Pro Justitia Fakultas Hukum Universitas Perahyangan Bandung, Tahun XXII No.2, April 2004 (Terakreditasi), hlm. 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
sebagai ilmu administrasi publik, administrasi public sebagai administrasi
pembangunan, reformasi admnistrasi, New Public Management hingga Good
Governance.3
Berdasarkan Visi dan Misi yang ditetapkan oleh Bupati Sragen dalam
rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, mencanangkan
tiga prioritas kebijakan antara lain pada bidang ekonomi, pendidikan dan
kesehatan yang dilaksanakan secara bersama-sama, berkesinambungan dan
konsisten pada periode pertama menjabat sebagai Bupati Sragen dimulai pada
tahun 2001-2006 dan dilanjutkan pada periode jabatan yang kedua pada tahun
2006-2011.Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat
khususnya pada bidang ekonomi, maka diprioritaskan untuk mendorong
masyarakat untuk berwirausaha, untuk memulai berwirausaha lebih banyak
ditentukan oleh keberanian berinovasi dan bekerja keras.4
Adapun upaya yang dikembangkan antara lain program dana bergulir
(recovery fund) di masing-masing satuan kerja perangkat daerah dengan
sasaran masyarakat yang masuk kategori miskin, kelompok usaha ekonomi
produktif dengan model pinjaman lunak bunga di bawah bank konvensional
tanpa agunan dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dikarenakan keterbatasan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Sragen, Bupati Sragen berinisiatif yang pada intinya meminta
dukungan dan partisipasi masyarakat Sragen secara sukarela untuk membantu
Pemerintah Daerah untuk mempercepat mewujudkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat Sragen dan sebagai wadah partisipasi masyarakat
diterbitkan produk hukum daerah untuk menggalang dana dari masyarakat
dengan Program Penggalangan Dana Wukirwati di wilayah Kabupaten Sragen
yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
3 John Maynard Smith, Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector, Nature 393 : 639-40 4 Untung Wiyono, Menyiasati Hidup dengan Berwirausaha, Perusda Percetakan dan Penerbitan,
Sragen, 2008, hlm. 113
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Berdasarkan uraian tersebut, hakekat Program Penggalangan Dana
Wukirwati adalah menghimpun sumbangan masyarakat di wilayah Kabupaten
Sragen dikelola dan dikembalikan ke masyarakat untuk pemberdayaan
ekonomi masyarakat dan bantuan sosial.
Pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-
benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar,
bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa. 5
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang
nyata mengenai kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen dalam menghimpun
dana yang berasal dari masyarakat melalui Penggalangan Dana Wukirwati.
Sejalan dengan fokus penulisan tesis ini penulis bermaksud Fokus dalam
menganalisisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
tentang kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang atau menghimpun dana
dari masyarakat yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati Sragen, dan ditinjau
menurut pendekatan hukum responsif.
Dengan mempertimbangkan hal hal sebagaimana tersebut diatas, maka
penulis tertarik untuk mengajukan tesis dengan judul : “Kebijakan
Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penggalangan Dana Wukirwati
Menurut Pendekatan Hukum Responsif “
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang sebagaimana tersebut diatas ,
untuk menegaskan masalah yang akan diteliti agar lebih mudah dalam
pengkajiannya dan tercapai sasaran yang diinginkan, dapat dirumuskan
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
5 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition Toward Responsive Law,
New York, Harper and Row, 1978, 164
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1. Apakah Bupati Sragen mempunyai kewenangan menggalang dana dari
masyarakat dengan menetapkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati
(Wukirwati) Kabupaten Sragen ?
2. Bagaimanakah kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati
(Wukirwati) Kabupaten Sragen dalam sistem perundang-undangan,
ditinjau dari pendekatan hukum responsif?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai
pemecahan masalah yang dihadapi dan sekaligus untuk melakukan pengkajian
dari aspek hukum. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas,
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui dasar hukum tentang kewenangan Bupati Sragen
dalam menggalang dana dari masyarakat dengan menetapkan
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten
Sragen ?
b. Untuk mengetahui kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir
Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen dalam sistem perundang-
undangan ditinjau menurut pendekatan Hukum Responsif ?
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penyusunan tesis untuk
melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Magister dalam
Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik di
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terhadap
penerapan teori-teori Hukum dan peraturan Perundang-undangan
hukum yang berlaku serta untuk melakukan kajian hukum.
c. Untuk menambah pengetahuan dalam melakukan pengkajian suatu
kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan peningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan
baik secara teoritis maupun praktis berdasar dari hasil penelitian. Adapun
manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi aparatur
pemerintah daerah dalam penyusunan produk hukum daerah yang
dikeluarkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Sragen serta diharapkan dapat berguna bagi yang berminat
melakukan penelitian terhadap masalah yang sama.
b. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan
ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini.
2. Manfaat Teoritis
Dalam hal ini manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan mencapai
hasil sebagai berikut :
a. Dapat memberikan konstribusi dan mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum
pemerintahan daerah pada khususnya.
b. Semakin memperkaya konsep-konsep dan teori-teori tentang
pelaksanaan otonomi daerah dan penyusunan produk hukum daerah.
c. Dapat dipakai sebagai respon terhadap penelitian-penelitian sejenis
untuk tahap berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah
Entitas Pemerintah Daerah dalam suatu negara merupakan
sesuatu keniscayaan yang dapat ditemukan baik pada negara yang
berbentuk federal maupun negara kesatuan. Keterkaitan bentuk negara
federal dan negara kesatuan dengan pemerintah daerah adalah
sehubungan dengan adanya pembagian kekuasaan negara yang bersifat
vertikal.6 Kekuasaan negara tidak hanya dipegang oleh pusat, tetapi
sebagian diserahkan dan dilaksanakan oleh entitas hirarkis yang
kedudukannya membentuk hubungan centrum (pusat) dan periferi
(daerah).
Menurut Juanda, penerapan pembagian kekuasaan di dalam
negara yang berbentuk federal dimulai dari pembagian kekuasaan
antara pemerintah negara federal dengan pemerintah negara bagian.7
Pembagian kekuasaan dalam pemerintahan negara federal ini
kemudian diatur di dalam konstitusi sebagai bentuk pakta tertulis
penyatuan beberapa negara ke dalam satu negara federal baru.
Sementara itu, di dalam negara kesatuan pembagian semacam itu tidak
dijumpai karena pada asasnya seluruh kekuasaan dalam negara berada
di tangan pemerintah pusat.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan
berada ditangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan
mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak
6 Soehino, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 1997,
hlm. 11 7 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD
dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, Bandung, 2005, hlm. 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
diatur di dalam konstitusi, lain halnya dengan negara kesatuan yang
bersistem desentralisasi, didalam konstitusinya terdapat suatu
ketentuan mengenai pemencaran kekuasaan tersebut.8 Pembentukan
organisasi pemerintah di daerah pada negara kesatuan tidak sama
dengan pembentukan negara bagian seperti dalam negara federal.
Kedudukan pemerintah daerah dalam sistem negara kesatuan adalah
subdivisi pemerintahan nasional. pemerintah daerah tidak memiliki
kedaulatan sendiri sebagaimana negara bagian dalam negara federal,
hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat adalah
dependent dan subordinat sedangkan hubungan negara bagian dengan
negara federal/pusat dalam negara federal adalah independent dan
koordinatif. 9
Sehubungan sifat keuniversalan pemerintahan daerah (local
self government) di beberapa negara terkandung di dalamnya ciri-ciri
sebagai berikut ;
a. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang
sudah dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri sehingga
urusan-urusannya perlu ditegaskan secara rinci.
b. Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat-alat
perlengkapan yang seluruhnya bukan terdiri dari para pejabat pusat
akan tetapi pegawai pemerintah daerah.
c. Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas
dasar inisiatif atau kebijaksanaan sendiri.
d. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
mengurus rumah tangga sendiri adalah hubungan pengawasan.
e. Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber
keuangan sendiri.
8 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992,
hlm. 65 9 Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia
Widiasarana, Jakarta, 2005, hlm. 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Menurut Bhenyamin Hossein, keseluruhan prinsip tersebut
menunjukkan pengertian pemerintah daerah sebagai suatu daerah
otonom. Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam pengertian ini,
pemerintah daerah berkedudukan sebagai sub divisi politik nasional
yang diatur oleh hukum dan secara substansil mempunyai kontrol atas
urusan-urusan lokal. Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih
atau ditunjuk secara lokal. Dalam pengertian ini, pemerintah daerah
mempunyai otonomi lokal yaitu mempunyai kewenangan mengatur
(rules making) dan mengurus (rules aplication) kepentingan
masyarakat menurut prakarsa sendiri.10
Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar batas kepentingan ma-
syarakat yang dapat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah. Dalam
hal ini berarti mendiskusikan tentang cara penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Penyerahan tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu ultra
vires doctrine dan general competente.11
Cara ultra vires doctrine menunjukkan cara di mana
pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada
daerah otonom dengan cara merinci satu per satu. Daerah otonom
hanya boleh menyelenggarakan wewenang yang diserahkan tersebut.
Sisa wewenang dari wewenang yang diserahkan kepada daerah
otonom secara terpirinci tersebut tetap menjadi wewenang pusat.
Dalam general competence, daerah otonom boleh menyeleng-
garakan semua urusan di luar yang dimiliki oleh pemerintah pusat.
Artinya, pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah
otonom untuk menyelenggarakan berdasarkan kebutuhan dan
inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
10 Bhenyamin Hossein, Transparansi Pemerintahan, Jurnal Inovasi, November, 2001, hlm. 3 11 Sunaryo, Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi, Jurnal Kosmik Hukum Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2 tahun 2009, hlm. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
pusat. Di sini pusat tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa
saja yang diserahkan kepada daerah.
Adanya pemerintahan daerah dimulai dari kebijakan
desentralisasi. Dengan mengutip pendapat Rondinelli, Nellis, dan
Chema, menegaskan bahwa desentralisasi merupakan penciptaan atau
penguatan baik keuangan maupun hukum, pada unit-unit
pemerintahan sub nasional yang penyelenggaraannya secara
substansial di luar kontrol langsung pemerintah pusat.12 Sedangkan
menurut Henry Maddick, bahwa desentralisasi adalah penyerahan
kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang atau fungsi-
fungsi tertentu kepada daerah otonom.13
Secara umum, desentralisasi mencakup kepada empat bentuk,
yaitu dekonsentrasi, devolusi, pelimpahan pada lembaga semi otonom,
dan privatisasi.14 Dekonsentrasi merupakan penyerahan beban kerja
dari kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di
wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan membuat
keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya. Selanjutnya, devolusi
merupakan pelepasan fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk
membuat satuan pemerintahan baru yang tidak dikontrol secara
langsung. Tujuan devolusi adalah untuk memperkuat satuan
pemerintahan di bawah pemerintah pusat dengan cara mendelegasikan
kewenangan dan fungsi.
Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi
juga dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan
kewenangan administratif kepada organisasi-organisasi yang
melakukan fungsi-fungsi tertentu yang tidak di bawah pengawasan
kementerian pusat. Pendelegasian tersebut menyebabkan pemindahan
12 Op. Cit, hlm. 10 13 Henry Maddick, Desentralisasi dalam Praktek, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004, hlm. 9 14 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta,
Jakarta, 2003, hlm. 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
atau penciptaan kewenangan yang lebih luas kepada suatu organisasi
yang secara teknis dan administratif mampu menganganinya, baik
dalam merencanakan maupun melaksanakan.
Dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar
hirarki organisasi pemerintah pusat, sedangkan dalam rangka
dekonsentrasi, wilayah administrasi (field administration) dalam
hirarki organisasi pemerintah pusat. Desentralisasi menunjukkan
hubungan kekuasaan antar organisasi, sedangkan dekonsetrasi
menunjukkan model hubungan kekuasaan inter organisasi.15
Dalam praktik di Indonesia selama ini, di samping
desentralisasi dan dekonsentrasi, juga dikenal adanya tugas
pembantuan (medebewind). Di Belanda medebewind diartikan sebagai
pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau
daerah-daerah yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah
yang lebih bawah. Menurut Bagir Manan, tugas pembantuan diberikan
oleh pemerintah pusat atau pemerintah lebih atas kepada pemerintah
daerah di bawahnya berdasarkan Undang-Undang.16 Oleh karena itu,
medebewind sering disebut sebagai tantra/tugas pembantuan, karena
tugas pembantuan pada dasarnya adalah melaksanakan kewenangan
peme-rintah pusat atau pemerintah di atasnya, maka sumber biaya dari
pemerintah yang memberikan penugasan, sumber biaya bisa berasal
dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang lebih tinggi.
Menurut Moh. Mahfud MD, dalam konteks hubungan antara
pemerintah pusat dengan daerah, maka ketiga asas tersebut yaitu asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan, secara
15 Roger Montgomery, Indonesia’s Decentralization Policy : Initial Experiences and
Emerging Problems, The International Journal of Law, Vol. 8, N.14, 2008, pp 23 16 Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut
UUD 1945, PT. Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
bersama-sama menjadi asas dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia.17
Salah satu prinsip negara hukum adalah bahwa setiap
penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun
daerah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan atau
harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan, dengan kata lain setiap penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu
kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Tanpa dasar kewenangan, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan
yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban warganegara.
Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada
pemerintah provinsi, kabupaten/kota diberikan melalui tiga cara ;
a. Atribusi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pembuat
Undang-Undang kepada organ pemerintahan, wewenang yang
diberikan langsung dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah.
b. Delegasi, yaitu pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan
kepada organ lainnya, wewenang ini adalah ketika daerah
melaksanakan urusan yang berasal dari tugas pembantuan.
c. Wewenang, yaitu prakarsa dan inisiatif yang muncul sendiri dari
masing-masing daerah, seiring dengan kebebasan dan kemandirian
yang dimiliki, sesuai dengan potensi serta kekhasan daerah,
wewenang ini disebut urusan pemerintahan yang bersifat pilihan.18
Pemberian kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah
daerah secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa
kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
17 Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 93. 18 Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2009,
hlm. 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah
yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional dan agama.
2. Tinjauan Umum tentang Kewenangan Daerah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kewenangan”
adalah hal berwenang, hak dan kewajiban yang dipunyai untuk melakukan
hal sesuatu.19 Sedangkan menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia20
dinyatakan bahwa:
“Kewenangan adalah kemampuan bertindak berdasarkan hukum, baik bagi perseorangan maupun lembaga hukum dan lembaga negara semenjak negara dianggap sebagai suatu status hukum (state) ataupun masyarakat hukum (legal society) yang dibentuk dengan suatu perjanjian masyarakat (social contract), sesuai pendapat J. J. Rouseau, kewenangan-kewenangan negara ialah kewenangan pembentuk hukum atau legislatif, kewenangan menerapkan hukum atau eksekutif, dan kewenangan menegakkan hukum atau yudikatif. Ketiga kewenangan ini kemudian dikenal sebagai asas Trias Politica.”
Definisi tentang kewenangan yang lain juga banyak dibahas oleh
para sarjana, yang antara lain seperti yang dikemukakan oleh The Liang
Gie21 adalah sebagai berikut :
“Wewenang adalah kekuasaan yang sah untuk memerintahkan sesuatu
atau melakukan suatu tindakan.”
Sedangkan menurut Josef Riwu Kaho22 dinyatakan bahwa
“Wewenang dapat dirumuskan sebagai hak suatu unit atau satu satuan
kerja atau seseorang untuk melakukan tindakan agar tugas atau pekerjaan
dilaksa-nakan dengan penuh tanggung jawab.”
19 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, hlm.1010.
20 Tim Penyusun, 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka. hlm.455.
21 The Liang Gie, 1968, hlm. 59 22 Josef Riwu Kaho. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta :
Rajawali Press, hlm 217.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Sedangkan menurut Andi Mustari Pide23 “Wewenang adalah
kekuasaan Kepala Daerah yang lahir atau muncul sebagai akibat
kekuasaan yang diperolehnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan karena kedudukan Kepala Daerah itu sendiri baik karena
dirumuskan secara jelas dalam peraturan pelaksanaan maupun secara tidak
tertulis.”
Sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi, timbullah daerah-
daerah Otonom. Otonom berarti mempunyai peraturan sendiri atau mem-
punyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri
(seringkali juga hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan atau legislatif
sendiri). Dengan demikian Daerah Otonom adalah daerah yang berhak dan
berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang diatur dan diurus tersebut adalah tugas-tugas atau urusan-urusan
tertentu yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah
untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa, dan
kemampuannya sendiri. Teknik yang dipergunakan untuk menetapkan
bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah adalah
sebagai berikut :
a. Sistem Residu (Teori Sisa)
Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-
tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya
menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikan sistem ini terletak
pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, Pemerintah Daerah
dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang
dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari Pusat. Sistem ini dapat
pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu
dengan yang lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau bidang.
23 Andi Mustari Pide. 1999. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI.
Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 51.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
b. Sistem Material
Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu
secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang ditentukan merupakan
urusan Pemerintah Pusat. Cara ini kurang fleksibel karena setiap
perubahan tugas dan wewenang daerah baik yang bersifat pengurangan
maupun penambahan harus dilakukan melalui prosedur yang lama. Hal
ini menghambat kemajuan daerah yang mempunyai inisiatif atau
prakarsa, karena harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap
urusan.
c. Sistem Formal
Dalam sistem ini, urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga
daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan Undang-
Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan
yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
d. Sistem Otonomi Riil
Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan
kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun
Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
terjadi. Kemungkinan yang dapat timbul adalah bahwa tugas atau
urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat
diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada
kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Pada
suatu ketika, bilamana dipandang perlu, tugas yang kini menjadi
wewenang daerah dapat dise-rahkan kembali kepada Pemerintah Pusat
atau ditarik kembali dari daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
e. Prinsip Otonomi yang Nyata, Dinamis, dan Bertanggungjawab.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,
pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri,
pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan tujuannya
yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok
negara. Otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak,
pemberian otonomi kepada daerah tidak seluas-luasnya. Keluasannya
ditentukan oleh pertimbangan daya guna dan hasil guna dalam
penyelenggaraan pemerintah di daerah. Tambahan istilah dinamis
berasal dari Ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1978 Tentang GBHN yang
menegaskan bahwa otonomi itu tidak statis.24
f. Prinsip Otonomi yang Luas, Nyata, dan Bertanggungjawab
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, perta-hanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama
serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Keleluasaan otonomi mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu
yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan
berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban
24 Josef Riwu Kaho, 1991. Log.Cit.hlm. 15-20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah
dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Urusan yang menjadi
tugas daerah dalam kewenangan otonominya sesuai dengan asas
desentralisasi, pada dasarnya terdiri atas :
1) Urusan-urusan yang telah diserahkan oleh Pusat kepada Daerah
berdasarkan ketentuan tentang penyerahan urusan sebagaimana
diatur dalam berbagai Peraturan Pemerintah tentang penyerahan
urusan.
2) Urusan-urusan yang merupakan kewenangan aslinya sebagaimana
ditetapkan di dalam Undang-Undang pembentukan daerahnya.25
g. Menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan
dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu
sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
25 Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia, 1985, Pemantapan Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Bandung : Sinar Baru, hlm. 36.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian dari tujuan nasional.
3. Tinjauan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Istilah perundang-undangan mempunyai dua pengertian yaitu
proses pembentukan peraturan negara, baik tingkat pusat maupun daerah
dan segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan
peraturan-peraturan, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian ilmu
perundang-undangan bukan hanya bicara tentang proses pembentukan
peraturan pada tingkat negara (pusat) melainkan juga seluruh peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh daerah.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan adalah mengenai daya laku dan daya guna serta
keabsahan organ pembentuknya. Apabila dibentuk oleh lembaga yang
berwenang dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku dan sah, maka
norma seperti ini memiliki legitimasi dan dapat ditaati masyarakat.
Ada beberapa asas umum peraturan perundang-undangan meliputi:
a. Undang-Undang tidak berlaku surut.
b. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-
Undang yang bersifat umum.
d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-
Undang yang berlaku terlebih dulu.
e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.
f. Undang-Undang sebagai sarana semaksimal mungkin dapat
mensejahterakan spiritual dan material bagi masyarakat maupun
pribadi melalui pembaharuan atau pelestarian.
Selain asas-asas hukum umum, juga terdapat asas-asas hukum
khusus yang berlaku bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip
en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam
pem-bentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke
regel-geving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.26
Asas-asas yang formal meliputi :
a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;
b. asas tentang dapat dikenali;
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
d. asas kepastian hukum;
e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku
sebagai “bintang pemandu”;
b. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undang-
undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan
hukum, dan Asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang
menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.
c. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang
menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas
berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar
26 Korb, K,B.,Public Law Functions and Legislation, The Cambridge Law Journal/Volume 70/Issue 02, 2011, pp 279-282. Diambil dari : http://www.britislaw.org.uk/online.html/archieve/ 00000462/ [Diakses pada 20 Juni 2010]
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan
batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut
itu meliputi juga:
a. asas tujuan yang jelas;
b. asas perlunya pengaturan;
c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
d. asas dapatnya dilaksanakan;
e. asas dapatnya dikenali;
f. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
g. asas kepastian hukum;
h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal
dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk
membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
patut tersebut ke dalam:
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
1) asas tujuan yang jelas;
2) asas perlunya pengaturan;
3) asas organ/ lembaga yang tepat;
4) asas materi muatan yang tepat;
5) asas dapatnya dilaksanakan; dan
6) asas dapatnya dikenali;
b. Asas-asas material, dengan perincian:
1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental
Negara;
2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum;
4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar Sistem
Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik
dirumuskan juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal
6. Pasal 5 menjelaskan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-
undangannya;
d. Dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis
maupun sosiologis;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
f. Kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
g. Keterbukaan, bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-
undangan.
Sementara Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa asas-
asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-
undangan dirumuskan sebagai berikut:
a. Pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketenteraman masyarakat;
b. Kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-
hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional;
c. Kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. Kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan;
e. Kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila;
f. Bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
i. Ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;
j. Keseimbangan; keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas tersebut di atas, Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan”, antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Beberapa bentuk peraturan hukum yang dapat digunakan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dikenal dengan
instrumen hukum daerah. Sesuai kedudukan hukum daerah otonom selaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
badan hukum publik dan lingkungan jabatan, maka peraturan hukum yang
dapat digunakan adalah peraturan hukum perdata dan publik.
Meskipun demikian, dalam bagian ini akan dibatasi pada
instrumen hukum daerah otonom yang bersifat publik. Sebagaimana
diketahui, daerah otonom selaku lingkungan jabatan dilekati wewenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah dan urusan
rumah tangga daerah.27
Keberadaan suatu instrument hukum daerah dalam bentuk hukum
tertulis itu sangat penting dalam suatu negara hukum. Sebagai ketentuan
tertulis yang mempunyai jangkaun terbatas dari berbagai unsur politik,
ekonomi, sosial, dan budaya yang paling berpengaruh pada saat
pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan
dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat dan dinamis.
Peraturan Kepala Daerah adalah peraturan perundang-undangan
yang dibuat untuk melaksanakan Peraturan Daerah, baik dalam rangka
otonomi maupun atas dasar tugas pembantuan. Peraturan Kepala Daerah
ini identik dengan Peraturan Pemerintah, yakni sama-sama sebagai
peraturan pelaksanaan (delegated legislation). Peraturan Pemerintah
merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan Undang-Undang, sedangkan Keputusan Kepala
Daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
Gubernur, Walikota atau Bupati untuk menjalankan Peraturan Daerah dan
kewena-ngan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
27 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm. 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Bentuk Peraturan Kepala Daerah, antara lain sebagai berikut28 :
a. Keputusan kepala daerah dalam rangka otonomi, yaitu peraturan
perundang-undangan tingkat Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota
yang ditetapkan oleh Gubernur, Walikota atau Bupati untuk
melaksanakan peraturan daerah otonomi.
b. Keputusan kepala daerah dalam rangka tugas pembantuan, yaitu
peraturan perundang-undangan tingkat daerah Propinsi dan
Kota/Kabu-paten yang ditetapkan oleh Gubernur, Walikota atau
Bupati atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
c. Keputusan kepala daerah dalam rangka dekonsentrasi, yaitu peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur selaku Kepala
Wilayah atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
mengindahkan landasan-landasan bagi keberadaan dan kekuatannya,
maka suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memuat tiga
landasan, yaitu landasan filosifis, landasan sosiologis dan landasan
yuridis.
Terkait dengan ketiga landasan tersebut, karena peraturan
perundang-undangan itu adalah hukum yang bersifat dan berlaku
mengikat umum, maka penekanan terhadap salah satu aspek saja tentu
akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan sifat dari hukum itu
sendiri. Oleh sebab itu cara yang paling baik dan relevan untuk diterapkan
adalah dengan memformulasikan ketiga landasan tersebut secara bersama-
sama kedalam suatu peraturan perundang-undangan.29
a) Landasan Filosofis: landasan membentuk peraturan perundang-
undangan didasarkan pada nilai filosofis yang mempertimbangkan
28 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Gama Media, Yogyakarta, 1998, hlm.78
29 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desaian Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
sifat-sifat yang mengarah atau menitik beratkan pada sifat
kebijaksanaan, yang tidak lain adalah pandangan hidup suatu bangsa
yakni nilai-nilai moral atau etika, pembentukan peraturan perundang-
undangan tentu-nya harus mengindahkan nilai-nilai moral bangsa dan
kepatutan, kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang bersifat
universal.
b) Landasan Sosiologis: suatu peraturan perundang-undangan dibentuk
dengan mempertimbangkan dengan seksama setiap gejala sosial
masyarakat yang berkembang, apabila peraturan perundang-undangan
yang dibentuk mempertimbangkan persoalan-persoalan yang ada
dalam masyarakat dari bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
maka pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan akan
direspon atau dapat diterima dan dipatuhi masyarakat.
c) Landasan Yuridis: setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk
merupakan produk hukum yang pada prinsipnya pemberlakuannya
harus mengandung nilai-nilai hukum pada umumnya, karena produk
hukum yang dikeluarkan mengikat secara umum. Oleh karena itu,
dalam pembentukannya harus memperhatikan beberapa persyaratan
yuridis, antara lain :
1) Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang.
2) Adanya kesesuaian bentuk/jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi muatan yang akan diatur.
3) Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah
ditentukan.
4) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya.
Selain ketiga landasan tersebut diatas (filosofis, sosiologis dan
yuridis) masih terdapat landasan lain, yaitu landasan teknis perancangan.
Landasan teknis perancangan tidak boleh diabaikan dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang baik karena berkaitan erat dengan
hal-hal yang menyangkut kejelasan perumusan, konsistensi dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
mempergunakan peristilahan atau sistematika dan penggunaan bahasa
yang jelas.30
Penggunaan landasan ini diarahkan kepada kemampuan person
atau lembaga dalam merepresentasikan tuntutan masyarakat dan
dukungan masyarakat ke dalam produk hukum yang tertulis yakni
peraturan perundang-undangan.31
4. Teori tentang Kebijakan Publik
Definisi tentang kebijakan (policy) tidak ada pendapat yang
tunggal, tetapi menurut konsep demokrasi modern kebijakan negara
tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang
mewakili rakyat, tetapi opini publik juga mempunyai porsi yang sama
besarnya untuk diisikan dalam kebijakan negara, misalnya kebijakan
negara yang menaruh harapan banyak agar pelaku kejahatan dapat
memberikan pelayanan sebaik-baiknya, dari sisi lain sebagai abdi
masyarakat haruslah memperhatikan kepentingan publik.32
Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan
kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy.
Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui
terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia.
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata bijak
yang berarti selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir; pandai
bercakap-cakap, petah lidah33. Sedangkan kebijakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan;
30 H.Rojidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, l998, hlm.46 31 B. Hestu Cipto Handoyo, Loc. Cit. hlm. 72 32 Irfan M. Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta,
2007, hlm. 10 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.34
Menurut Hoogerwerf pada hakekatnya pengertian kebijakan
adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk
memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu,
yaitu dengan tindakan yang terarah. Dari beberapa pengertian tentang
kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang
kebijakan mencakup pertanyaan: what, why, who, where, dan how.35
Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi
lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut isi, cara
atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan
dilaksanakan.36
Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan
sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek
yang terarah37, sedangkan Carl J. Friedrich mendefinisikan kebijakan
sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan
usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Secara lebih rinci James E. Anderson memberi pengertian
kebijakan negara sebagai kebijakan oleh badan-badan pejabat-pejabat
pemerintah yang memiliki beberapa implikasi berikut ini 38 :
34 Ibid, hlm. 115 35 Raj. Bhala, Public Policy : Theory and Practices, Lexis Publising, Second Edition, Vol. 1
and Volume ., New York, 2001, pp. 254 36 Syahrir, Mencari Bentuk Otonomi Daerah : Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan
Lokaldan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hlm. 66 37 Subardono, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: UII Press, Yogyakarta,
2006, hlm. 3 38 Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori Dan Proses, Jakarta, Media Presindo, Jakarta,
2007, hlm. 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
a) Kebijakan negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan yag berorientasi kepada tujuan;
b) Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat
pemerintah;
c) Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud
akan melakukan suatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu;
d) Kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan bentuk
tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bisa
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah
untuk melakukan sesuatu.
Setelah memahami dengan seksama pengertian dari kebijakan
sebagaimana diuraikan di atas, adalah penting sekali bagi kita untuk
menguraikan makna dari kebijakan publik, karena pada dasarnya
kebijakan publik nyata-nyata berbeda dengan kebijakan privat/swasta,
banyak sekali pengertian yang telah diungkapkan oleh pakar tentang
kebijakan publik, namun demikian banyak ilmuwan yang merasakan
kesulitan untuk mendapatkan pengertian kebijakan publik yang benar-
benar memuaskan, hal tersebut dikarenakan sifat dari pada kebijakan
publik yang terlalu luas dan tidak spesifik dan operasional.
Di samping kesimpulan tentang pengertian kebijakan dimaksud,
pada dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas
dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan pemerintah serta
perilaku negara pada umumnya. Luasnya makna kebijakan publik
sebagaimana disampaikan oleh Charles O. Jones di dalam mendefinisikan
kebijakan publik sebagai antar hubungan di antara unit pemerintah
tertentu dengan lingkungannya. Agaknya definisi ini sangat luas sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
nuansa pengertiannya, bahkan terdapat satu kesan sulit menemukan
hakekat dari pada kebijakan publik itu sendiri.39
Penyusunan rancangan peraturan daerah sebagaimana diuraikan di
muka, tidak terlepas dari kebijakan di bidang tersebut yang dilaksanakan
oleh pemerintah daerah. Kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah
apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan.40
Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu
yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh
pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sedangkan Richard Rose
menyarankan bahwa kebijakan publik hendaknya dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai suatu keputusan tersendiri.41
Di sisi lain, James E. Anderson merumuskan kebijakan sebagai
perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.42 Walaupun
disadari bahwa kebijakan publik itu dapat dipengaruhi oleh para aktor dan
faktor dari luar pemerintah. Lebih lanjut ditegaskan bahwa kebijakan
publik sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan
pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan politik,
ekonomi, pendidikan, pertanian, industri, dan sebagainya. Di samping
lingkupnya yang sangat luas, ditinjau dari hirarkinya, kebijakan publik
dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal.43
39 Ibid, hlm. 30 40 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,
Semarang, 2005, hlm. 1 41 Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 17 42 Ibid, hlm. 35 43 A.G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Di pihak lain, Edward C. George menyatakan bahwa tidak ada
definisi yang tunggal dari kebijakan publik sebagaimana yang
dimaksudkan adalah “what government say and do, or not to do”44.
Bahkan David Easton mengemukakan bahwa “Policy is the authoritative
allocation of value for the whole society" (pengalokasian nilai-nilai secara
paksa dan atau sah pada seluruh anggota masyarakat), dimana melalui
proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang
acapkali masih kabur dan abstrak sebagaimana tampak dalam nilai-nilai
dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor politik ke
dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan
dan tujuan-tujuan yang konkrit.45
Pandangan lainnya dari kebijakan publik, melihat kebijakan publik
sebagai keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa
serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soebakti bahwa kebijakan
negara merupakan bagian keputusan politik yang berupa program perilaku
untuk mencapai tujuan masyarakat negara. Kesimpulan dari pandangan ini
adalah: pertama, kebijakan publik sebagai tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah dan kedua, kebijakan publik sebagai keputusan pemerintah
yang mempunyai tujuan tertentu.46
Dari beberapa pandangan tentang kebijakan negara tersebut,
dengan mengikuti paham bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
44 Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 38 45 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997, hlm. 39 46 Samodro Wibowo, Kebijakan Publik : Suatu Analisis Komparasi. Bandung. Rafika
Aditama, Bandung, 1994, hlm.190
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kepentingan seluruh rakyat, Irfan M. Islamy menguraikan beberapa
elemen penting dalam kebijakan publik,, yaitu :
a) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk peraturannya berupa
penetapan tindakan-tindakan pemerintah.
b) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.
c) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak
melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan
tertentu.
d) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi
kepentingan seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan publik pada akhirnya harus dapat memenuhi kebutuhan
dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Penilaian akhir dari sebuah
kebijakan publik adalah pada masyarakat.47 Pandangan dari Fadillah
Putra, proses reformasi dalam keseluruhan sistem sosio-politik yang
terjadi di Indonesia, sampai saat ini memang masih belum dapat untuk
segera dikatakan sudah ataupun hampir tuntas.48
Di dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, dan dalam
kaitannya dengan hubungan antara negara dengan rakyat, nampaknya
yang luput dari perhatian banyak khalayak umum adalah dimensi
kebijakan publik. Dalam kesempatan ini perlu disadari bahwa
sesungguhnya esensi dari keberadaan negara adalah kebijakan publik.
Kebijakan publik adalah bentuk nyata dari ruh negara, dan
kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara
dengan rakyatnya. Oleh karena itu, kajian yang mendalam tentang apa dan
bagaimana kebijakan publik itu perlu untuk segera diketengahkan dalam
agenda perubahan yang terjadi. Sebab dengan adanya kesadaran ini
sesungguhnya kita sedang mencermati aspek dinamis dan aspek yang
47 Irfan M. Islamy, Loc. Cit, hlm. 20 48 Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Malang, 2005, hlm.23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
hidup dari relasi negara dengan rakyat. Paradigma kebijakan publik yang
kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan
tidak responsif pula. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan
publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang
luwes dan responsif pula.
Sedangkan Don K. Price, menyebutkan bahwa proses pembuatan
kebijaksanaan negara yang bertanggung jawab adalah proses melibatkan
antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi
profesional, para administrator dan para politisi.49
Secara umum kebijakan (policy) dapat dikategorikan menjadi tiga
strata, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis.
1) Kebijakan Umum
Kebijakan Umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman
atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif maupun negatif
meliputi keseluruhan wilayah atau instansi. Untuk wilayah negara,
kebijakan umum mengambil bentuk Undang-Undang atau Keputusan
Presiden dan sebagainya. Sementara untuk wilayah propinsi, selain dari
peraturan dan kebijakan yang diambil pada tingkat pusat juga ada
Keputusan Gubernur atau Peraturan Daerah yang diputuskan oleh
DPRD.
Suatu kebijakan umum dapat dijadikan pedoman bagi
tingkatan kebijakan di bawahnya, minimal ada tiga kriteria yang harus
dipenuhi, yaitu :
a) Mempunyai cakupan kebijakan dengan meliputi keseluruhan
wawasannya. Artinya, kebijakan tidak hanya meliputi dan
ditunjukkan pada aspek tertentu atau sektor tertentu.
49 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan
Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
b) Memiliki jangka waktu yang panjang. Artinya masa berlaku atau
tujuan yang ingin dicapai dengan kebijakan tersebut tidak berada
dalam jangka waktu yang pendek, sehingga tidak mempunyai batas
waktu tertentu. Karena itu, tujuan yang digambarkan sebagai istilah
sasaran strategi kebijakan seringkali dianggap tidak jelas. Dengan
kata lain dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk menetapkan
sasarannya secara sangat jelas dan rumusannya secara teknis.
Rumusan yang demikian akan menghadapi kekuatan atau fleksibel
dalam perubahan waktu jangka panjang dan akan mengalami
kesulitan untuk diberlakukan di wilayah-wilayah kecil yang
berbeda.
c) Strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Sebagaimana
pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga bersifat
relatif. Sesuatu yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten
mungkin dianggap teknis atau operasional di tingkat dibawahnya.
Namun, suatu kebijakan yang bersifat umum tidak berarti kebijakan
tersebut bersifat sederhana.
2) Kebijakan Pelaksanaan.
Kebijakan Pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan
kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang
pelaksanaan undang-undang atau keputusan menteri yang
menjabarkan pelaksanaan Keputusan Presiden adalah contoh dari
kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat propinsi, Keputusan Walikota/
Bupati atau keputusan seorang kepala dinas yang menjabarkan
Keputusan Gubernur atau peraturan daerah bisa jadi suatu kebijakan
pelaksanaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3) Kebijakan Teknis
Kebijakan Teknis adalah kebijakan operasional yang berada
di bawah kebijakan pelaksanaan. Secara umum, kebijakan umum
adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah
kebijakan tingkat kedua dan kebijakan teknis adalah kebijakan
tingkat ketiga atau yang terbawah.
Setiap kebijakan diatas memiliki bobot yang berbeda. Misalnya,
kebijakan umum memiliki bobot yang berdampak luas dan sangat
strategis sehingga dalam merumuskan memerlukan kecermatan dan
keterlibatan beberapa pihak, khususnya para pakar ilmu pengetahuan dan
praktisi karena di dalamnya juga berisi resiko yang berdampak luas. Di
samping itu, dalam kebijakan umum walaupun unsur teknis memiliki
bobot yang rendah tetapi dalam merumuskan kebijakan umum harus
mempertimbangkan unsur teknis, apakah kebijakan itu nanti dilaksanakan
di bawahnya.
Terkadang sebuah proses kebijakan publik yang ada telah
mencapai hasil (output) yang ditetapkan dengan baik, namun tidak
memperoleh respons atau dampak (outcome) yang baik dari masyarakat
atau kelompok sesamanya atau sebaliknya sebuah proses kebijakan publik
tidak maksimal dalam mencapai hasil yang telah ditetapkan namun
ternyata dampaknya cukup memuaskan bagi masyarakat secara umum.
Kebijakan publik tidak lagi memilih proses internal (yang menghasilkan
output) di satu sisi dengan dinamika masyarakat di sisi yang lain. Artinya
mulai dari perumusan kebijakan publik sampai pada evaluasinya semua
elemen yang ada dalam masyarakat harus dilibatkan secara partisipatif dan
emansipatif. Sehingga dalam konteks ini hasil-hasil yang telah ditetapkan
dalam sebuah produk kebijakan publik adalah hasil pembahasan dan
kesepakatan bersama antara rakyat dengan negara.
Proses pembuatan kebijakan publik berangkat dari realitas yang
ada di dalam masyarakat. Realitas tersebut bisa berupa aspirasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan
perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya
adalah mencoba untuk mencari sebuah jalan keluar yang terbaik yang
akan dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan
yang ada sekarang. Hasil pilihan solusi tersebutlah yang dinamakan hasil
kebijakan publik.
5. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Seperti yang dikemukakan Saiful Bahri, bahwa hubungan antara
hukum dan kebijakan publik merupakan hubungan simbiosa mutualistik
yang dapat dilihat dalam tiga bidang kajian yaitu formulasi, implementasi
dan evaluasi kebijakan dan hukum.50
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Proses pembentukan kebijakan publik berangkat dari realitas yang ada
di dalam masyarakat. Realitas tersebut bisa berupa aspirasi yang
berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan
perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya
adalah mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik yang akan
dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan
yang sekarang.
Sebenarnya antara hukum dan kebijakan publik itu memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Bahkan sebenarnya tidak sekedar
keterkaitan saja yanga ada diantara keduanya, pada sisi-sisi yang lain
jutru lebih banyak kesamannya. Proses pembentukan hukum hasil
akhirnya lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam
bentuk Undang-Undang.
50 Saiful Bahri, Hukum dan Kebjakan Publik, Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik,
Yogyakarta, 2004, hlm. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
b. Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan publik
sebagai sarana yang mampu mengaktualisasikan dan
menkontekstualisasikan hukum tersebut dengan kebutuhan dan kondisi
riil yang ada di masyarakat, sebab apabila responsifitas atura
masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan pada hukum semata, maka
bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi pemaksaan-pemaksaan
yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum itu sendiri yang ingin
mensejahterakan masyarakat.
Penerapan hukum menjadi sangat tergantung pada kebijakan publik
sebagai sarana yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan
hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka
pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan
mampu merumuskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar
penerapan hukum yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik.
Pada dasarnya di dalam penerapan hukum di dalam penerapan hukum
tergantung pada empat unsur, diantaranya adalah unsur hukum, unsur
struktural, unsur masyarakat dan unsur budaya.51
1) Unsur Hukum
Unsur hukum merupakan produk atau teks aturan-aturan
hukum. Pada kasus tertentu ternyata unsur hukum ini tidak dapat
diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan
publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang
lebih kontekstual dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Ketika
kebijakan publik melakukan hal tersebut, maka sesungguhnya
berangkat dari unsur hukum yang dimaksud. Perencanaan dan
langkah-langkah yang diambil oleh kebijakan publik bisa jadi tidak
sepenuhnya sama dengan teks-teks aturan hukum yang ada, namun
mengarah pada kesesuaian dengan unsur hukum, dengan demikian
pada dasarnya kebijakan publik itu lebih sebagai upaya untuk
51 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2006, hlm. 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
membantu atau memperlancar penerapan hukum yang telah
ditetapkan.
2) Unsur Struktural
Unsur struktural merupakan organisasi atau lembaga-lembaga yang
diperlukan dalam penerapan hukum itu. Kebijakan publik dalam
konteks unsur struktural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah
seni, yaitu bagaimana mampu melakukan kreasi sedemikian rupa
sehingga perfoma organisasi yang dialaminya itu dapat tampil
dengan baik, sekaligus distorsi-distorsi pemaknaan dari unsur
hukum yang ada tidak diselewengkan atau ditafsirkan berbeda di
lapangan oleh para pelaksananya.
3) Unsur Masyarakat
Unsur masyarakat merupakan sekumpulan kondisi sosial politik
dan sosial ekonomi dari anggota masyarakat yang akan terkena
dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum atau undang-
undang. Walaupun unsur-unsur kienerja organisasi atau institusi
pelaksana telah berjalan dengan baik, apabila kondisi
masyarakatnya sedang kacau balau, tentu semua itu tidak dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Posisi dari kebijakan
publik akan sangat berpengaruh dalam hal unsur masyarakat dalam
penerapan hukum.
4) Unsur Budaya
Unsur budaya merupakan sesuatu kebiasaan yang berkaitan dengan
bagaimana isi kontekstualitas sebuah undang-undang yang hendak
diterapkan dengan pola pikir, pola perilaku, norma-norma, nilai-
nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Unsur
budaya dalam penerapan hukum sangat penting, sebab hal tersebut
berkaitan dengan pemahaman masyarakat atas sebuah introduksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
nilai yang hendak ditransformasikan oleh sebuah undang-undang
atau produk hukum.
c. Hubungan hukum dan kebijakan publik dalam hal evaluasi dapat
dilakukan dengan evaluasi dapat dilakukan dengan evaluasi peradilan
administrasi dan evaluasi kebijakan publik. Apabila pada
kenyataannya masyarakat tidak puas atau merasa dirugikan oleh proses
penerapan hukum yang ada dan ternyata hasil-hasil dari proses
penerapan hukum itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka
peradilan administrasi akan menjalankan fungsinya.
Menurut Leo Agustino, mengingat banyaknya masalah yang perlu
disusun sebagai sebuah kebijakan publik, maka diperlukan proses
formulasi kebijakan, yaitu bagaimana para analis kebijakan dapat
mengenal masalah-masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat.
Pada intinya, studi mengenai formulasi kebijakan memberikan perhatian
yang sangat dalam pada sifat-sifat (perumusan) masalah publik.52 Dalam
hal ini, perumusan masalah tersebut akan sangat membantu para analisi
mendiagnosis persebaran masalah publik, memetakan tujuan yang
memungkinkan, memadukan pandangan yang berseberangan, dan
merancang peluang kebijakan yang baru.
Dengan kerangka formulasi kebijakan publik inilah hukum
mempunyai kedudukan yang sentral. Antara hukum dan kebijakan publik
mempunyai keterkaitan erat. Pembandingan antara proses pembentukan
hukum dan proses formulasi kebijakan publik di samping menunjukkan
kesamaan diantara keduanya, juga menunjukkan bagaimana diantara
keduanya berhubungan dan saling membantu.53
Dalam kerangka yang lebih umum, hal di atas menunjukkan
adanya hubungan hukum dengan perubahan-perubahan sosial, suatu
52 Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik, AlfaBeta, Bandung, 2006, hlm. 96 53 Edi Wibowo, Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Penerbit YPAPI, Yogyakarta, 2004,
hlm. 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan
tertentu dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Sudah tentu proses tersebut menimbulkan
masalah sejauh mana suatu lembaga kemasyarakatan tertentu tergantung
kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya atau sampai seberapa
jauhkah suatu lembaga kemasyarakatan tertentu tidak terpengaruh oleh
perubahan-perubahan yang terjadi.
Sementara itu, di dalam kehidupan masyarakat hampir selalu ada
perbedaan-perbedaan tertentu antara pola perikelakuan yang nyata dengan
pola perikelakuan yang dikehendaki oleh hukum. Oleh karena itu, tepat
apa yang dikatakan oleh Harry C. Bredemeier bahwa betapa pekerjaan
hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan urusan hukum,
melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih
besar.54
Merujuk kepada gambaran di atas, relevan apa yang dikemukakan
oleh Robert B. Seidman, bahwa kebijakan publik dipengaruhi oleh sejum-
lah faktor, diantaranya peraturan (rule).55 Peraturan niscaya dapat
mengatur perilaku manusia ke arah yang diharapkan melalui kebijakan
yang dibuat, akan tetapi dapat juga terjadi sebaliknya. Masalah publik,
dalam konteks peraturan, akan muncul apabila bahasa yang digunakan
dalam peraturan itu membingungkan; beberapa peraturan mungkin malah
memberi peluang bagi terjadinya perilaku bermasalah; peraturan tak
menghilangkan persebaran perilaku bermasalah; peraturan membuka
peluang bagi perilaku yang tidak transparan; dan peraturan kemungkinan
juga untuk memberikan wewenang yang berlebih kepada pelaksana
peraturan untuk bertindak represif.
Dengan tertib berpikir demikian, nampak bahwa suatu kebijakan
publik tidak mungkin berwujud dalam ruang kosong, akan tetapi ia
54 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral, Kompas, Jakarta, 1996, hlm. 143 55 Leo Agustino, Loc. Cit. hlm. 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
menjadi suatu kebijakan oleh karena interaksi dengan lingkungan sekitar.
Hal ini merupakan formulasi kebijakan model sistem, yaitu model
formulasi kebijakan yang berangkat output suatu lingkungan atau sistem,
yang tengah berlangsung.
Kebijakan publik yang telah dibuat berpengaruh terhadap
lingkungan sehingga menjadi proses timbal balik, dalam kehidupan
modern memang permasalahan menyangkut masalah publik yang dihadapi
pemerintah dimanapun juga sama saja, apalagi di negara berkembang
seperti Indonesia yang dilihat dari sudut pandang geografis, demografi dan
budaya yang berbeda-beda tentu saja permasalahan yang ada lebih
kompleks. Dengan kondisi demikian memang bukanlah hal yang mudah
bagi para pembuat kebijakan publik dalam merumuskan kebijakan publik
yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan publik. Namun
setidaknya para pembuat kebijakan dituntut untuk lebih arif dalam
merumuskan kebijakan dengan tidak mencampur-adukkan kepentingan
publik dengan kepentingan elit, artinya kebijakan yang nantinya
dikeluarkan harus bebas nilai (non politis).
Tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan adalah menciptakan
kesejahteraan masyarakat (welfare staate) bukan membangun negara
korporasi (corporate staate) maupun negara aparatur (aparatus staate).
Untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare staate) harus didukung
oleh kebijakan publik pro rakyat, artinya kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah harus berdasarkan keinginan masyarakat dan bisa
menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Kebijakan publik dan
implementasi kebijakan publik harus sejalan dengan arus utama
kepentingan publik (public mission).
Hubungan antara hukum dan kebijakan publik sangat erat bagaikan
dua sisi mata uang, dimana produk hukum yang baik harus melalui proses
komunikasi antara stakeholder dan partisipasi masyarakatnya dalam proses
penyusunan suatu kebijakan publik. Produk hukum dibicarakan dalam dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
sisi, yaitu sisi keadilan dan sisi legalitas sebagai upaya adanya kepastian
hukum yang kemudian menjelma menjadi hukum positif.
Tahap terakhir adalah pada tahap evaluasi kebijakan publik,
dimana evaluasi berfungsi menentukan kebijakan yang ada telah berjalan
dengan sukses atau telah mengalami kegagalan mencapai tujuan dan
dampak-dampaknya. Evaluasi kebijakan publik juga sebagai dasar apakah
kebijakan yang ada layak diteruskan, direvisi atau bahkan dihentikan sama
sekali.56
Dalam pelaksanaan kebijakan publik haruslah berhasil, tidak hanya
pelaksanaannya saja yang harus berhasil akan tetapi tujuan yang
terkandung dalam kebijakan publik itu haruslah tercapai, yaitu
terpenuhinya kepentingan masyarakat
6. Penggalangan Dana Masyarakat
Sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat, pemerintah
bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk mewujudkan kehidupan yang
layak dan bermartabat serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar
warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial perlu peran serta
pemerintah daerah dan masyarakat sendiri.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa bangsa Indonesia
mempunyai ciri khusus sebagai budaya bangsa khususnya rasa
kebersamaan yang tinggi dalam bentuk gotong-royong, yaitu kebiasaan
saling bantu membantu satu sama lain yang sampai sekarang masih
terpelihara dengan baik, hal tersebut menjadi modal untuk mewujudkan
cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Undang-
Undang Dasar 1945 diatas.
56 Setiono, Loc. Cit. hlm. 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita bangsa, pemerintah
telah melakukan berbagai daya upaya untuk dapat merealisasikan amanat
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dijabarkan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan dari yang berbentuk
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun peraturan pelaksanaan-
nya yang berbentuk Peraturan-Peraturan Menteri.
Terkait dengan pengaturan penggalangan dana dari masyarakat
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, khususnya untuk penanggulangan kemiskinan,
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban untuk
berperan serta dengan tujuan untuk;
a. Meningkatkan kapasitas dan pengembangan kemampuan dasar serta
kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. Memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar ;
c. Mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan
seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf
hidup secara berkelanjutan ; dan
d. Memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.
Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan
dan bimbingan sosial, pelayanan sosial, penyediaan akses kesempatan
kerja dan berusaha, penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar,
penyediaan akses pendidikan dasar, penyediaaan akses pelayanan
perumahan dan permukiman dan/atau penyediaan akses pelatihan,
modal usaha dan pemasaran hasil usaha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial mempunyai wewenang meliputi ;
a. Penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan nansional dan
provinsi di bidang kesejahteran sosial ;
b. Koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraaan kesejahteraan
sosial di wilayahnya ;
d. Pemberian ijin dan pengawasan pengumpula sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya ;
e. Pemeliharaan taman makam pahlawan dan ;
f. Pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan
sosial.
Adapun sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial
meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta sumber
pendanaan. Sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan berasal
dari sumbangan masyarakat, dana yang disisihkan dari badan usaha
sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan, bantuan
asing sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan peraturan perundang-
undangan dan sumber pendanaan yang sah lainnya.
Usaha pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan yang
berasal dari masyarakat bagi kepentingan kesejahteraan sosial
dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial baik secara
perorangan, melalui keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi, badan
usaha, lembaga kesejahteraan sosial lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
7. Tinjauan tentang Hukum Responsif
Berbicara tentang sejarah lahirnya teori hukum responsif tidak
terlepas dari ruang lingkup yang melatarbelakangi lahirnya teori ini. Baik
itu kondisi dimana teori ini pertama kali dilahirkan yaitu di Amerika
maupun kondisi ketika akhirnya Indonesia mengadopsi teori hukum
responsif untuk mengatasi ketidakberfungsian hukum di Indonesia
sebagaimana mestinya.
Kondisi Amerika yang mengalami krisis hukum menjadi awal
lahirnya pemikiran hukum responsif. Kondisi yang relatif sama dengan
apa yang terjadi di Indonesia saat ini, sebuah kondisi dimana krisis hukum
yang terjadi bukan hanya bersifat teknis bagaimana menerapkan dan
menjalankan hukum akan tetapi jauh lebih mendasar dari itu semua.57
Sebagai penggagas teori hukum responsif, Nonet dan Selznick
memberikan sebuah konsepsi yang cukup mendalam tentang apa itu
hukum responsif. Menurut keduanya hukum yang baik seharusnya
memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum.
Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil ia seharusnya
mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap
tercapainya keadilan substantive.58
Disampaikan juga bahwa hukum responsif merupakan tradisi kaum
realis (legal realism) dan sosiologis (sociological jurisprudence) yang
memiliki satu tema utama yaitu membuka sekat-sekat dari pengetahuan
hukum. Seharusnya ada penghargaan yang tinggi kepada semua hal yang
mempengaruhi hukum dan yang menjadi persyaratan bagi efektifitasnya.
Menurutnya pencarian hukum responsif merupakan upaya terus-
menerus yang dilakukan oleh teori hukum modern. Hukum responsif
57 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru, 1985, hlm. 8 58 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
berusaha mengatasi dilema antara integritas dan keterbukaan, suatu
institusi responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi
integritasnya sembari tetap memperhatikan atau memperhitungkan
keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk
melakukan ini hukum responsif memperkuat cara-cara dimana
keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat
benturan diantara keduanya.
Hukum responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai
sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Oleh karena
itu diperlukan panduan berupa tujuan, tujuan-tujuan ini menetapkan
standar untuk mengkritisi tindakan yang mapan dan karenanya
membuka kesempatan untuk terjadinya perubahan. Pada saat yang
bersamaan, jika benar-benar dijadikan pedoman tujuan dapat
mengontrol diskresi administratif, sehingga dapat mengurangi risiko
terjadinya penyerahan institusional. Sebaliknya ketiadaan tujuan berakar
pada kekakuan serta oportunisme. Hukum responsif beranggapan bahwa
tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup berkuasa untuk
mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif.
Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang
terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Suatu contoh yang lazim untuk
hal ini adalah doktrin "due process". Sebagai doktrin kontitusional "due
process" mungkin hanya dipahami sebagai nama untuk serangkaian
peraturan, yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas
atas pemberitahuan (right of notice), untuk didengar dalam persidangan,
peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacam itu. Secara lebih
spesifik hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan
dalam dua cara pokok yaitu:
a. Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal.
Otoritas tujuan yang tumbuh cenderung mengurangi preskripsi dan
simbolisme. Hukum responsif menuntut bahwa kebiasaan dan
moralitas, sejauh moralitas dan kebiasaan ini mengklaim otoritas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
hukum, harus dijustifikasi oleh suatu penilaian rasional mengenai
pengorbanan dan manfaat. Salah satu akibatnya adalah tekanan untuk
mendeskriminilisasi pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai
moral yang berlaku. Tatanan hukum lalu lebih beradab, atau tepatnya
bahwa tatanan tersebut menjadi lebih santun, lebih menerima
keragaman budaya, tidak terlalu mudah menjadi kejam terhadap hal-
hal yang menyimpang dan eksentrik. Hal ini tidak Iantas berarti bahwa
hukum melepaskan diri dan konsensus moral masyarakat. Ia hanya
lebih menemukan konsensus di dalam aspirasi-aspirasi yang umum
daripada di dalam norma perilaku yang spesifik, ia berusaha
mengklarifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam tatanan moral,
sehingga akan membebaskan budaya dan tafsiran-tafsiran sempitnya.
b. Mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-krisis ketertiban
umum yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada masalah (problem
centered) dan yang integratif secara sosial. Menurut hukum
responsive rekontruksi hubungan sosial dianggap sebagai sumber
utama untuk mencapai ketertiban umum. Dengan kata lain, hukum
responsif dapat lebih siap mengadopsi "paradigma politik" dalam
mengintrepetasikan ketidakpatuhan dan ketidaktertiban. Paradigma
tersebut menggunakan suatu model pluralistik dari struktur kelompok
di dalam masyarakat, dan karenanya menekankan realitas dan
meneguhkan legitimasi konflik sosial. Ketidakpatuhan mungkin
dapat dilihat sebagai perbedaan pendapat, dan penyimpangan
sebagai munculnya suatu gaya hidup baru, kerusuhan tidak dianggap
sebagai aksi massa yang tidak masuk akal atau sekedar merusak
namun dipuji karena relevansinya sebagai proses sosial. Dengan jalan
ini, seni negosiasi,diskusi, dan kompromi secara politis dan juga sopan
ikut dilibatkan.
Aliran hukum ini juga mengatakan bahwa "ideal pokok" hukum
resposif adalah legalitas. Bahwa kontinuitas dipertahankan, namun ideal
mengenai legalitas seharusnya tidak dikacaukan dengan pernak-pemik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
"legalisasi", pengembangan peraturan dan formalitas prosedural. Pola-
pola birokratis yang diterima sebagai due process (dipahami sebagai
"bidang rintangan") atau sebagai akuntabilitas (dipahami sebagai
dipenuhinya peraturan-peraturan jabatan) merupakan hal yang asing
bagi hukum responsif. Ideal mengenai legalitas perlu dipahami secara
lebih umum dan dibebaskan dari formalisme.
Menurut Nonet dan Selznick tokoh yang pertama kali
memunculkan konsep tentang hukum responsif pertama kali, ada suatu
kebutuhan akan suatu teori hukum dan sosial yang disebut sebagai,
pertama, affirm the worth of law; kedua, point out alternative to coercion
and repression.59 Mereka memilih suatu definisi hukum yang luas yang
mencakup sejumlah besar pengalaman-pengalaman hukum yang aneka
ragam, tanpa meleburkan konsep hukum di dalam anggapan yang lebih
luas mengenai kontrol sosial. Menurut Jerome Frank tujuan utama
penganut realisme hukum (legal realism) adalah untuk membuat hukum
menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Oleh karena itu untuk
mencapai tujuan ini mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang
memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir atau nalar hukum dapat
mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh
terhadap tindakan resmi aparat penegak hukum.60
Demikian juga tujuan penganut sociological jurisprudence yang
memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh
dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu
berproses dan diaplikasikan. Dengan demikian menurut kedua pemikir
hukum ini dapat dikatakan bahwa lahirnya hukum responsif tidak terlepas
dari pengaruh dua teori hukum yaitu legal realism dan sociological
jurisprudence.
Hakikatnya, hukum dituntut untuk bisa memecahkan dan
memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick
59 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.Cit. hlm. 8 60 Ibid, hlm. 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
berpikir dan berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya
hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Selama kurun waktu
tersebut, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku
dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan
antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus
ditangani, seperti dalam hal ini adalah masalah-masalah sosial. Hukum
identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi
lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang lebih menekankan pada
aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya
teori hukum hendak-nya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak
kebal terhadap pengaruh sosial. Hukum tidak berada di ruang hampa,
tetapi ada bersama-sama dengan ilmu yang lain, sehingga bermanfaat bagi
kehidupan manusia. 61
Memahami kenyataan itu, Nonet dan Selznick kemudian mencoba
memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum
dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang
harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga
hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan semata.
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai
sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat yang melingkupinya.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan
Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat,
yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum
sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai
fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial
(hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom,
dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi
61 Loc. Cit, hlm.24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam
hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik masyarakat.
Keduanya selanjut-nya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai
model perkembangan (developmental model). Untuk menjelaskan
perkembangan evolutif tersebut, menurut pandangan penulis tahapan ini
dapat disandarkan pada momentum-momentum sosial politik yang penting
dalam perjalanan sejarah suatu negara, yang membingkai secara
kontekstual terhadap muncul dan berlakunya suatu peraturan hukum dalam
masyarakat.
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick
berargumen bahwa hanya tahapan III (hukum responsif) yang menjanjikan
tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat
disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada
konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya
resiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya
responsivitas yang lebih maju.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan
yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum
dinego-siasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan.
Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat
dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka
menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka
sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto
Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara
analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di
lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum
positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan
Nonet.
Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum
responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat
pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara
mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada logika-logika
yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi
penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses
penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum
murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya
bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi
semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan
atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan
kehendak dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya.
Keberadaan hukum responsif dalam atmosfer wacana hukum di
Indonesia tidak terlepas dari tahapan-tahapan perkembangan pemikiran
hukum di Indonesia yang berkorelasi erat kondisi sosial politik yang
melingkupinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
B. Kerangka Berfikir
Dilaksanakannya program penggalangan dana wukirwati, dengan
sasaran seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Sragen dan dengan tidak
memandang perbedaan agama, ras, suku atau golongan diharapkan dapat
dipergunakan untuk pemberikan pinjaman modal bagi kelompok usaha
ekonomi produktif maupun perorangan sebagai upaya untuk mempercepat
proses pembangunan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Untuk merealisasikan program tersebut perlu adanya produk hukum
yang menjadi dasar bagi penggalangan dana dari masyarakat oleh Bupati
Sragen kemudian ditetapkan produk hukum daerah berupa Peraturan bupati
yang mengatur tentang penggalangan dana Wukirwati yaitu Peraturan Bupati
Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud
Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, dengan harapan dana yang
dihimpun dari masyarakat tersebut dapat membawa perubahan yang signifikan
dalam rangka menggerakkan semangat gotong royong, kebersamaan, kesatuan
dan persatuan masyarakat Kabupaten Sragen dalam ikut handarbeni dan
memajukan daerah serta mensejahterakan masyarakat.
Suatu pemerintahaan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua
aspek, yaitu aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses,
apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan terhadap sesuatu kebijakan daerah
yang dilaksanakan. Peran serta semua komponen masyarakat sangat
dibutuhkan guna menunjang percepatan keberhasilan pembangunan di segala
bidang, baik berupa ide, gagasan, masukan, saran, bantuan berupa material
maupun spiritual.
Secara ringkas kerangka berpikir penulis dalam penulisan tesis
terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui penggalangan dana Wukirwati adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dengan melakukan pengkajian tentang kewenangan Bupati Sragen
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial dan dikaitkan dengan teori kebijakan publik serta
ditinjau melalui pendekatan hukum responsif.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Partisipasi masyarakat
Kewenangan Kepala Daerah
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009
WewenangOtonomi Daerah Delegasi Atribusi
Kesejahteraan masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
BAB III
METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh hasil penelitian yang memiliki bobot nilai tinggi serta
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode
penelitian yang dapat memberikan arah dan pedoman dalam memahami obyek
yang diteliti sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan
rencana yang ditetapkan.
Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu
penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang
hendak dicapai sebelumnya, sedangkan dalam penentuan metode mana yang akan
digunakan, penulis harus cermat agar metode yang dipilih nantinya tepat dan jelas
sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan tercapai.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini
menggunakan metode sebagai berikut :
A. Jenis Penelitian.
Tesis ini adalah penelitian hukum doktrinal atau normatif, yaitu
penelitian hukum yang mencakup penelitian tehadap asas-asas hukum,
sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan
perbandingan hukum.62 Menurut pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, istilah
penelitian hukum doktrinal adalah penelitian terhadap hukum yang
dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut olah sang
62 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1983,hlm. 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
pengkonsep atau sang pengembangnya.63 Selanjutnya dinyatakan bahwa
terdapat lima konsep hukum, yaitu sebagai berikut 64 :
1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat
kodrati dan berlaku universal.
2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam
sistem perundang-undangan.
3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian
kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim.
4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial
yang empirik.
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak
dalam interaksi mereka.
Pada penelitian ini, penulis mendasarkan pada konsep hukum yang
kedua, yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hukum dalam hal ini
dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yang bersifat positif dalam sistem
perundang-undangan.
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam
bentuk penelitian diagnostik yang dimaksudkan untuk mendapatkan
keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala.
Ditinjau dari spesifikasi penelitian, maka penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif atau doktrinal, dalam hal ini penelitian hukum
doktrinal menjadikan kaidah-kaidah hukum abstrak sebagai ukuran kebenaran
dalam studi hukum. Objek dan rujukan yang diacu dalam penelitian doktrinal
adalah kaidah-kaidah dari norma, konsep dan doktrin yang berkembang dalam
pemikiran hukum.65
63 Soetandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam
Huma, Jakarta, 2002, hlm. 147-160 64 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta : Universitas
Sebelas Maret, 2005, hlm. 4 65 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta,
2004, hlm. 133
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Secara khusus, penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana
hukum sebagai gejala sosial sebagai varibel bebas (independent variable) yang
menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial,
sehingga merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio legal research).66
Sedangkan dilihat dari sifatnya termasuk penelitian yang deskriptif kualitatif,
yaitu suatu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan tentang kebijakan
Pemerintah Kabupaten Sragen dalam penggalangan dana masyarakat.
B. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau doktrinal, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti
peraturan perundang-undangan yang normatifikasinya menjadi acuan bagi
pelaksanaan kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen. Pendekatan konsep
digunakan untuk memahami prinsip-prinsip penghimpunan dana Wukirwati
yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sragen.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan kajian pustaka,
yang pada dasarnya mengandung makna aktivitas peneliti untuk berdialog
secara kritis dengan pendapat pihak lain. Dengan kajian pustaka berarti
kapasitas peneliti berhadapan dengan konsep-konsep yang terlebih dulu ada
dan norma-norma hukum yang secara positif telah dan sedang berlaku. Kajian
pustaka dilakukan secara selektif terhadap tema yang secara substansial
relevan dengan kajian yang sedang dilakukan.67 Peneliti dituntut untuk secara
kreatif mengadakan inventarisasi atas konsep-konsep atau teori-teori yang ada
dan yang sedang berkembang, yang diyakini memiliki keterkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan maksud dan tujuan penelitian. Minimal
66 Ronni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Juremetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 115. 67 Irawati Singarimbun. 1989 Log. Cit. hlm. 70-71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
peneliti harus sanggup menemukan, menerangkan, dan meyakini rasionalitas
konsep atau teori yang ada dalam kaitannya dengan variabel-variabel yang
dipakai.68
Namun demikian, untuk memperkuat analisis juga akan digunakan
pendekatan sosio legal secara terbatas. Artinya untuk memahami ketentuan
hukum dalam suatu perundang-undangan tidak cukup memahaminya dalam
susunan teks suatu peraturan, tetapi juga harus dipahami dari aspek sosial
empiris yang mempengaruhi suatu peraturan perundang-undangan. Maka
dalam penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data lapangan dengan
wawancara dan diskusi terbatas dengan subyek yang dipandang menguasai
dan berkompeten dengan kebutuhan data.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Hukum UNS, dan di lingkungan kantor Pemerintah Kabupaten
Sragen khususnya pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sragen
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berkaitan dengan penelitian
penulisan tesis ini.
D. Jenis dan Sumber Data
Karena penelitian dalam penulisan tesis ini merupakan penelitian
hukum normatif atau doktrinal maka sumber data adalah bahan hukum yang
menjadi materi dalam penelitian ini, antara lain :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perudang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa
kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
68 Sofian Effendi. 1989. Log. Cit. hlm. 32-33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penulisan tesis.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang diperoleh dari bahan
pustaka meliputi buku, makalah, jurnal, majalah dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu merupakan bahan yang memberikan
kelengkapan informasi dari bahan hukum primer dan sekunder yang
berasal dari kamus hukum, ensiklopedi dan lain-lain
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan dengan mengadakan pengkajian terhadap bahan-
bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan dan produk hukum
daerah yang berkaitan dengan penelitian penulisan tesis ini.
Bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan berdasarkan
klasifikasi topik permasalahan yang dirumuskan, berdasarkan sistem bola salju
yang menggelinding, yaitu diawali dengan materi yang kecil dan berikutnya
mengalir dengan mencakup materi yang semakin lama semakin besar. Bahan
penelitian yang masuk selanjutnya diklasifikasi menurut sumber dan
hirarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Pada tahap ini dilakukan studi
pustaka atas bahan hukum primer dan skunder. Data dihimpun dengan cara
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan
menganalisis peraturan hukum, literatur-literatur, laporan penelitian,
dokumen-dokumen resmi, serta sumber-sumber bacaan lainnya dengan cara
menyalin, memfoto copy, atau memindahkan data yang relevan dengan
kebutuhan penelitian. Lokasi yang ditentukan untuk penelitian adalah
perpustakaan, tempat akses internet, dan instansi terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
G. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Untuk menjawab rumusan masalah, maka dilakukan inventarisasi
segenap peraturan hukum yang terkait dengan kewenangan pemungutan dana
oleh pemerintah daerah. Rekapitulasi data yang diperoleh selanjutnya diklasi-
fikasikan berdasarkan kategori tertentu. Data selanjutnya dianalisis secara
deduktif untuk mendapatkan pola tertentu, yang selanjutnya dikomunikasikan
dengan data empiris hasil wawancara dengan nara sumber sebagai kontrol
data. Data yang telah dihimpun kemudian diuraikan dan dihubung-hubungkan
sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematik
guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Untuk memahami dan melakukan pendalaman terhadap usaha
penemuan hukum, akan digunakan beberapa penafsiran, antara lain :
1. Penafsiran Gramatikal, yaitu cara penafsiran untuk mengetahui makna
peraturan perundang-undangan dengan menggunakan uraian menurut
bahasa, susunan kata, atau bunyi peraturan perundang-undangan;
2. Penafsiran Sistematik, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara
menghubungkan pasal-pasal tertentu dengan keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan, dan jika perlu dengan keseluruhan
sistem hukum yang berlaku pada suatu negara.
3. Penafsiran Teleologis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan memper-
hitungkan tuntutan perkembangan masyarakat;
Pengolahan bahan hukum sebagaimana telah diinventarisasi dan
diklasifikasikan dengan menggunakan penafsiran dan teknik analisis secara
deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum
a. Lokasi Penelitian
Berdasarkan Sragen Dalam Angka Tahun 2009 69, Kabupaten
Sragen merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah.
Secara geografis Kabupaten Sragen berada di perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Batas batas wilayah Kabupaten Sragen:
- Sebelah Timur : Kabupaten Ngawi (Propinsi Jawa Timur)
- Sebelah Barat : Kabupaten Boyolali
- Sebelah Selatan : Kabupaten Karanganyar
- Sebelah Utara : Kabupaten Grobogan
Luas wilayah Kabupaten Sragen adalah 941,55 km2 yang
terbagi dalam 20 kecamatan, 12 kalurahan, dan 196 desa. Secara
fisiologis, wilayah Kabupaten Sragen terbagi atas:
- 40.037,93 Ha (42,52%) : Lahan basah (sawah)
- 54.117,88 Ha (57,48%) : Lahan kering
Kabupaten Sragen terletak pada:
- 7 º 15 LS dan 7 º 30 LS
- 110 º 45 BT dan 111 º 10 BT
Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan
ketinggian rata rata 109 M diatas permukaan laut. Sragen mempunyai
iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara 19 - 31 ºC. Curah
hujan rata-rata di bawah 3000mm per tahun dengan hari hujan di
bawah 150 hari per tahun. Jumlah penduduk Sragen berdasarkan data
69 Badan Pusat Statistik, Sragen Dalam Angka Tahun 2009, Perusda Sragen, 2009.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
tahun 2010 sebanyak 865.417 jiwa, terdiri dari 427.253 penduduk laki-
laki dan 438.164 penduduk perempuan. Kepadatan penduduk rata rata
919 jiwa/km2.
- Luas Wilayah : 94.155 Ha
- Luas Sawah : 40.129 Ha
- Tanah Kering : 54.026 Ha
Secara umum identifikasi kewilayahannya dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu :
1) Sebelah selatan Bengawan Solo :
- Luas Wilayah : 32.760 ha (34,79 %)
- Tanah Sawah : 22.027 ha (54,85 %)
(terdiri dari 9 Kecamatan, 88 Desa dan Kelurahan)
2) Sebelah utara Bengawan Solo
- Luas Wilayah : 61.395 ha (65,21 %)
- Tanah Sawah : 18.102 ha (45,15 %)
(terdiri dari 11 Kecamatan 120 Desa)
Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di pulau Jawa,
dengan mata air dari daerah Wonogiri dan bermuara di daerah
Bojonegoro. Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri
dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kabupaten yang
dilalui adalah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen,
Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik.
Kabupaten Sragen berada di lembah daerah aliran Sungai
Bengawan Solo yang mengalir ke arah timur. Sebelah utara berupa
perbukitan, bagian dari sistem Pegunungan Kendeng. Sedangkan di
selatan berupa pegunungan, lereng dari Gunung Lawu. Kabupaten
Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Hal ini menjadikan
Kabupaten Sragen sebagai gerbang utama sebelah timur Provinsi Jawa
Tengah, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Pola Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten
Sragen
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pola Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten
Sragen, Pola Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen
terdiri atas :
1) DPRD.
2) Pemerintah Daerah yang terdiri atas Bupati beserta Perangkat
Daerah.
Sedangkan Perangkat Daerah terdiri atas:
1) Sekretariat Daerah termasuk didalamnya Staf Ahli Bupati;
2) Sekretariat DPRD;
3) Inspektorat Kabupaten;
4) Dinas Daerah, terdiri dari :
a) Dinas Pendidikan;
b) Dinas Kesehatan;
c) Dinas Pekerjaan Umum;
d) Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil,
Menengah;
e) Dinas Sosial;
f) Dinas Pertanian;
g) Dinas Peternakan dan Perikanan;
h) Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika;
i) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
j) Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah;
k) Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah;
l) Dinas Pariwisata, Kebudayaan , Pemuda dan Olah Raga;
m) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
n) Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
5) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Badan, Kantor dan
Rumah Sakit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
a) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Badan adalah :
- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA);
- Badan Kepegawaian Daerah (BKD);
- Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan
Masyarakat (Badan Kesbangpolinmas);
- Badan Perijinan Terpadu (BPT)
- Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat,
dan Desa (BKBPMD);
- Badan Pendidikan Pelatihan, dan Penelitian Pengembangan
(Badan Diklat Litbang);
- Badan Lingkungan Hidup (Badan LH);
- Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh);
- Badan Pemberdayaan Usaha Milik Daerah (BPUMD).
b) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Kantor adalah :
- Kantor Ketahanan Pangan ;
- Kantor Perpustakaan Daerah;
- Kantor Pengelola Data Elektronik;
- Kantor Arsip dan Dokumentasi.
c) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Rumah Sakit adalah
Rumah Sakit Umum Daerah
6) Kecamatan;
7) Kelurahan;
8) Satuan Polisi Pamong Praja.
c. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten
Sragen
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten
Sragen ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor
11 Tahun 2008. Sekretariat Daerah merupakan unsur staf yang
dipimpin oleh Sekretaris Daerah berada dibawah dan bertanggung-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
jawab kepada Bupati yang bertugas dan berkewajiban membantu
Bupati dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan Dinas
Daerah dan Lembaga Tehnis Daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Sekretariat
Daerah menyelenggarakan fungsi-fungsi ;
1) Penyusunan kebijakan Pemerintahan Daerah.
2) Pengkoordinasian pelaksanaan tugas Dinas Daerah dan Lembaga
Teknis Daerah.
3) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Pemerintahan
Daerah.
4) Pembinaan administrasi dan aparatur Pemerintah Daerah.
5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
Berdasarkan ketentuan pada Bab III pasal 5 Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Daerah Kabupaten Sragen, Susunan Organisasi Sekretariat Daerah
terdiri dari ;
1) Sekretaris Daerah.
2) Asisten Administrasi Pemerintahan, membawahi ;
a) Bagian Pemerintahan dan Pertanahan, terdiri dari ;
- Sub Bagian Tata Pemerintahan Umum.
- Sub Bagian Pemerintahan Desa.
- Sub Bagian Pertanahan.
b) Bagian Hukum, terdiri dari ;
- Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan.
- Sub Bagian Pengkajian dan Dokumentasi Hukum
- Sub Bagian Bantuan Hukum
c) Bagian Pemberdayaan Perempuan, terdiri dari ;
- Sub Bagian Peranan Perempuan.
- Sub Bagian Bina Organisasi Perempuan.
- Sub Bagian Pendataan dan Evaluasi Kualitas Perempuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
3) Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat
membawahi ;
a) Bagian Pembangunan, terdiri dari :
- Sub Bagian Bina Program.
- Sub Bagian Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan
- Sub Bagian Pelaporan.
b) Bagian Sumber Daya Alam, terdiri dari :
- Sub Bagian Bina Perekonomian.
- Sub Bagian Bina Produksi Daerah.
- Sub Bagian Lingkungan Hidup.
c) Bagian Kesejahteraan Rakyat, terdiri dari :
- Sub Bagian Agama dan kerokhanian.
- Sub Bagian Pendidikan.
- Sub Bagian Kesejahteraan Masyarakat
- Asisten Administrasi Umum, membawahi ;
d) Bagian Umum, terdiri dari :
- Sub Bagian Tata Usaha.
- Sub Bagian Rumah Tangga dan Perlengkapan
- Sub Bagian Sandi dan Telekomunikasi.
e) Bagian Organisasi dan Kepegawaian, terdiri dari :
- Sub Bagian Kelembagaan
- Sub Bagian Ketatalaksanaan.
- Sub Bagian Kepegawaian.
c. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol, terdiri dari :
- Sub Bagian Pengumpulan Informasi.
- Sub Bagian Pemberitaan dan Pembinaan Radio Siaran
Publik Lokal
- Sub Bagian Protokol.
Berdasarkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 19 Tahun 2009
tentang Penjabaran Uraian Tugas Pokok dan Fungsi, Bagian Hukum
menyelenggarakan fungsi pelaksanaan sebagian fungsi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pengkoordinasian perumusan peraturan perundang-undangan,
memberikan bantuan hukum dan pengkajian produk hukum daerah,
mendokumentasikan dan mempublikasikan produk hukum.
Ketentuan Pasal 12 Peraturan Bupati Sragen Nomor 19 Tahun
2009, Bagian Hukum mempunyai tugas, antara lain:
1) Menyiapkan konsep kerja dibidang produk hukum daerah;
2) Melaksanakan penyiapan bahan penyusunan rencana kerja Bagian
Hukum;
3) Menyiapkan bahan koordinasi penyusunan Produk Hukum Daerah
yang meliputi Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan
Bupati dan Instruksi Bupati;
4) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam
penyelesaian hukum;
5) Menyiapkan bahan, pedoman dan petunjuk teknis dalam pemberian
bantuan hukum dan konsultasi hukum;
6) Menjabarkan program kerja di bidang hukum dengan membuat
jadwal kegiatan sehingga semua rencana dapat dilaksanakan tepat
waktu dan tepat sasaran;
7) Mengevaluasi pelaksaan tugas di bidang hukum;
8) Merencanakan pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum;
9) Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan;
10) Membuat laporan masalah-masalah hukum yang ada;
11) Memberikan rekomendasi dan penetapan Daftar Penilaian
Pelaksanaan pekerjaan kepada Kepala Sub Bagian dan staf
pelaksanaan;
12) Menjabarkan perintah atasan sesuai petunjuk/pedoman ketentuan
yang berlaku;
13) Menyelenggarakan rapat staf secara rutin atau periodik untuk
kelancaran pelaksanaan tugas;
14) Memaparkan bahan rapat dan menerima masukan-masukan dari
bawahan dan memberi keputusan hasil rapat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
15) Mengkoordinir bawahan untuk menjalankan hasil rapat;
16) Mengarahkan dan menugaskan para Kepala Sub Bagian dan staf
pelaksana;
17) Melakukan koordinasi dalam penyusunan laporan pelaksanaan
RANHAM;
18) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kegiatan RANHAM;
19) Melakukan koordinasi dalam upaya penegakan HAM;
20) Melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan hukum dan
konsultasi hukum kepada SKPD dalam melaksanakan tugas;
21) Menyusun konsep dalam rangka pemberian bantuan hukum dan
konsultasi hukum kepada SKPD dalam melaksanakan tugas;
22) Menyusun bahan sebagai acuan dalam pemberian bantuan hukum
dan konsultasi hukum;
23) Melaksanakan koordinasi dengan SKPD terkait dalam upaya
penyelesaian permasalahan di bidang hukum;
24) Menyusun bahan rapat dan koordinasi di bidang tugasnya;
25) Menjabarkan perintah atasan sesuai dengan pedoman dan peraturan
yang berlaku;
26) Mendistribusikan tugas kepada staf;
27) Memberikan petunjuk dan arahan kepada staf;
28) Memberikan saran dan pertimbangan kepada Asisten I mengenai
langkah-langkah yang perlu di ambil di bidang tugasnya;
29) Membuat laporan sesuai dengan tugasnya;
30) Menyiapkan, mengolah dan menyimpan data elektronik serta
mengoperasikan komputer/ Teknologi Informasi (IT);
31) Memberikan penilaian DP3 kepada Sub Bagian yang menjadi
tanggungjawabnya.
32) Menyimpan dan mengarsipkan dokumen kepegawaian termasuk
Surat Keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin PNS;
33) Melaksanakan tugas selain yang diberikan oleh Asisten I sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Berdasarkan Ketentuan Pasal 13 ayat 1 Peraturan Bupati Nomor 19
Tahun 2004, Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan mempunyai
tugas antara lain :
1) Membantu Kepala Bagian Hukum dibidang tugasnya;
2) Menyusun konsep rencana kerja dibidang tugasnya;
3) Menyusun Program Legislasi Daerah;
4) Mengikuti perkembangan hukum pada umumnya dan khususnya yang
menyangkut tugas pemerintah daerah;
5) Mengadakan penelitian dan peninjauan kembali peratuaran daerah
yang berhubungan dengan tugas pemerintah daerah;
6) Menyiapkan bahan koordinasi dan petunjuk tehnis pembinaan hukum;
7) Meneliti dan atau mempersiapkan bahan rancangan peraturan daerah;
8) Membuat dan atau meneliti atas produk-produk hukum antara lain:
Rancangan Peraturan Daerah, Peratuaran Bupati, Keputusan Bupati
dan Instruksi Bupati.
9) Mempersiapkan Rancangan Peratuaran Daerah, Peraturan Bupati, dan
Instruksi Bupati yang memenuhi persyaratan formal dan persyaratan
dari segi materinya sepanjang tidak diatur oleh atasan;
10) Menyusun petunjuk teknis penyusunan produk-produk hukum
pemerintah daerah;
11) Menyiapkan bahan rapat dan koordinasi di bidang tugasnya;
12) Menjabarkan perintah atasan sesuai dengan pedoman dan peraturan
yang berlaku;
13) Mendistribusikan tugas kepada bawahan;
14) Memberikan petunjuk dan arahan kepada bawahan;
15) Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan mengenai
langkah-langkah yang perlu diambil dibidang tugasnya;
16) Membuat laporan sesuai dengan tugasnya;
17) Melakukan koordinasi antar Sub Bagian Hukum dalam melaksanakan
tugas pokok;
18) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan atasan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
19) Membantu mengkoordinasikan dalam penyampaian Raperda atau
Perda kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah untuk
dikonsultasikan, dievaluasi maupun klarifikasi
20) Membantu mengkoordinasikan dalam pelaksanaan evaluasi Raperda
tentang APBDes, Tata Ruang dan Pungutan
21) Membantu dalam melaksanakan dan mengkoordinasikan dalam
pengajuan Raperda tentang APBD, Tata Ruang, Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah kepada Gubernur
22) Memberikan penilaian DP3 kepada staf yang menjadi tanggung
jawabnya;
23) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian Hukum
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 13 ayat 2 Peraturan Bupati Nomor 19
Tahun 2009, Sub Bagian Pengkajian dan Dokumentasi Hukum mempu-
nyai tugas antara lain ;
1) Menyiapkan rencana kerja bidang pengkajian dan dokumentasi hukum;
2) Melaksanakan pengkajian dan evaluasi produk hukum daerah meliputi:
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi
Bupati;
3) Melaksanakan evaluasi pelaksanaan produk hukum daerah meliputi:
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi
Bupati;
4) Melaksanakan evaluasi pelaksanaan produk hukum desa Meliputi;
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, Keputusan Kepala Desa;
5) Melaksanakan dokumentasi, publikasi dan sosialisasi produk hukum
daerah meliputi: Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan
Bupati, Instruksi Bupati ;
6) Membuat himpunan produk hukum daerah meliputi: Peraturan Daerah,
Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
7) Melaksanakan penyebarluasan produk hukum daerah meliputi:
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Insruktur
Bupati ;
8) Menginventarisasi dan sosialisasi produk hukum nasional meliputi:
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Udang, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden,
Instru-si Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi
Menteri dan Membuat Buku Daftar Inventaris Produk Hukum;
9) Menyiapkan bahan-bahan rapat koordinasi;
10) Koordinasi antar Sub Bagian Hukum dalam menjalankan tugas pokok;
11) Menginventarisasi surat keluar dan surat masuk
12) Membuat Daftar Absensi;
13) Membuat Buku Penjagaan Kepegawaian;
14) Memberikan penilaian DP3 kepada staf yang menjadi
tanggungjawabnya;
15) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian Hukum
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 13 ayat 3 Peraturan Bupati Nomor 19
Tahun 2009, Sub Bagian Bantuan Hukum mempunyai tugas antara lain ;
1) Menyiapkan konsep dalam rangka pemberian bantuan hukum dan
konsultasi hukum kepada satuan kerja perangkat daerah dalam
melaksanakan tugas;
2) Melaksanakan penyiapan bahan sebagai acuan dalam pemberian
bantuan hukum dan konsultasi hukum;
3) Melaksanakan koordinasi dengan satuan kerja terkait dalam upaya
penyelesaian permasalahan dibidang hukum;
4) Menyiapkan bahan rapat dan koordinasi dibidang tugasnya;
5) Menjabarkan perintah atasan sesuai dengan pedoman dan peraturan
yang berlaku;
6) Mendistribusikan tugas kepada bawahan;
7) Memberikan petunjuk dan arahan kepada bawahan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
8) Memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Bagian Hukum
mengenai langkah-langkah yang perlu diambil dibidang tugasnya;
9) Membantu Kepala Bagian Hukum dalam melakukan koordinasi dalam
penyusunan laporan pelaksanaan RANHAM;
10) Membantu Kepala Bagian Hukum dalam melakukan koodinasi dalam
upaya penegakan HAM;
11) Membantu Kepala Bagian Hukum dalam melakukan koordinasi dalam
pemberian bantuan dan konsultasi hukum kapada SKPD dalam
pelaksanakan tugas;
12) Membuat laporan sesuai dengan tugasnya;
13) Melaksanakan koordinasi antar Sub Bagian Hukum dalam
melaksanakan tugasnya;
14) Memberikan penilaian DP3 kepada staf yang menjadi tanggung
jawabnya;
15) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian Hukum
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
2. Kewenangan Bupati Sragen dalam Menggalang Dana Masyarakat melalui
Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2009
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri urusan
pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan, yang
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat, disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Republik
Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung maksud daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang meliputi;
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional serta agama. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 22 huruf n
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah beberapakali diubah, terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu kewajiban
membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya.
Di dalam ketentuan Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah,
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang
mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah. Kewajiban kepala daerah
salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberian
kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan
pemerintah yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota antara
lain meliputi beberapa hal sebagai berikut :
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4) Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5) Penanganan bidang kesehatan;
6) Penyelenggaraan pendidikan;
7) Penanggulangan masalah sosial;
8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10) Pengendalian lingkungan hidup;
11) Pelayanan kesehatan;
12) Pelayanan kependudukan, dan Catatan Sipil;
13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14) Pelayanan administrasi penanaman modal;
15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Adapun urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, berdasarkan
ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Daerah, Kepala Daerah sebagai kepala pemerintahan daerah mempunyai
tugas dan wewenang sebagai berikut :
1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
2) Mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
3) Menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD.
4) Menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
5) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
6) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 27 ayat (l) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah mempunyai kewajiban sebagai
berikut :
1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD
Tahun l945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
4) Melaksanakan kehidupan demokrasi.
5) Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
6) Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
7) Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.
8) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
9) Melaksanakan dan mempertangungjawabkan pengelolaan keuangan
daerah.
10) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah
Berdasarkan ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali
diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa “Untuk melaksanakan
peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain
yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan
atau Keputusan Kepala Daerah”. Secara redaksional, dalam ketentuan
pasal ini mengisyaratkan beberapa bentuk peraturan kepala daerah, antara
lain :
1) Keputusan Kepala Daerah dalam rangka otonomi daerah, yaitu
Peraturan perundang-undangan tingkat Daerah Propinsi dan
Kota/Kabupaten yang ditetapkan oleh Gubernur, Walikota/Bupati
untuk melaksanakan wewenangnya sebagai daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Keputusan Kepala Daerah dalam rangka tugas pembantuan yaitu
peraturan perundang-undangan tingkat daerah Propinsi dan
Kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati/walikota atas
kuasa peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikenal dengan
kewe-nangan delegasi.
3) Keputusan Kepala Daerah dalam rangka dekonsentrasi, yaitu
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur atas
kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, disebut
kewenangan atribusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Wewenang Bupati Sragen menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, merupakan wewenang yang bersumber dari
kewenangan dalam rangka daerah otonom. Selanjutnya, berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan tersebut, Bupati Sragen memiliki kewenangan untuk
menggalang dana dari masyarakat, sehingga Bupati Sragen menetapkan
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen.
Peraturan Bupati Sragen tersebut merupakan jenis peraturan perundang-
undangan yang mempunyai sifat mengatur dan berlaku mengikat, karena
sudah diundangkan dalam ketentuan Pasal 81 huruf g Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang berbunyi : “Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan
Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam
Berita Daerah.”
3. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 Menurut
Pendekatan Hukum Responsif.
Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dijelaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
d. Peraturan Pemerintah.
e. Peraturan Presiden.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
f. Peraturan Daerah Propinsi.
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Bupati merupakan jenis peraturan perundang-undangan
selain yang diakui produk hukum keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perturan Perundang-undangan.
Produk hukum daerah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
penyusunan produk hukum daerah ada dua jenis produk hukum, yaitu
produk hukum yang bersifat pengaturan dan penetapan. Produk hukum
yang bersifat pengaturan, meliputi :
a. Peraturan Daerah atau sebutan lain ;
b. Peraturan Kepala Daerah ;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah.
Produk hukum yang bersifat penetapan, meliputi ;
a. Keputusan Kepala Daerah ;
a. Instruksi Kepala Daerah.
Mekanisme penyusunan produk hukum daerah berdasarkan pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 ditindak lanjuti
oleh Pemerintah Kabupaten Sragen dengan ditetapkannya Peraturan
Bupati Sragen Nomor 15 Tahun 2006, diatur pada Bab III Bagian Kedua
Pasal 14, adalah sebagai berikut ;
1. Konsep Rancangan Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan Instruksi
Bupati disusun oleh Instansi/Badan/Dinas/Kantor/Bagian sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing.
2. Instansi/Badan/Dinas/Kantor/Bagian yang membidangi materi produk
hukum daerah yang disusun menyampaikan konsep beserta bahan-
bahan pendukung disertai dengan alasan-alasannya kepada Kepala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Bagian Hukum untuk dilakukan penelitian dan pengkajian yang
meliputi dasar hukum, bentuk dan materinya.
3. Kepala Bagian Hukum dapat mengundang Kepala Satuan
Kerja/Instansi yang mengajukan konsep produk hukum daerah untuk
dilakukan pembahasan yang mendalam, penelitian materi dan
penyempurnaan teknis penyusunannya.
4. Setelah dilakukan pembahasan, penelitian dan penyempurnaan,
Asisten menyampaikan konsep produk hukum daerah diajukan kepada
Bupati melalui Sekretaris Daerah untuk memperoleh persetujuaan yang
dilanjutkan dengan penandatanganan.
5. Sebelum konsep produk hukum daerah tersebut disampaikan kepada
Bupati, terlebih dahulu harus mendapat paraf koordinasi dari Kepala
Bagian Hukum, Asisten I dan Sekretaris Daerah.
6. Setelah ditanda tangani oleh Bupati, Kepala Bagian Hukum
berkewajiban untuk memberikan nomor produk hukum daerah,
kemudian diundangkan dalam berita daerah.
Penyusunan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahu 2009 tentang
Penggalangan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten
Sragen mekanismenya diawali dengan penyusunan drafnya dari Satuan
Kerja Perangkat Daerah pemprakarsa, yaitu dari Bagian Perekonomian
Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen. Draf kemudian dikirim
ke Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen untuk
dilaksanakan koreksi baik dari segi tata naskah, legal drafting dan dasar
hukum yang mendasari disusunnya Peraturan Bupati Sragen sebagaimana
tersebut diatas, setelah dilakukan koreksi ditindak lanjuti dengan diajukan
Nota Dinas yang berisi tentang permohonan penandatanganan kepada
Bupati, naskah dinas tersebut dibuat 4 (empat) rangkap melalui Asisten I
Sekretaris Daerah untuk diberikan paraf dan Sekretaris Daerah
memberikan catatan atau rekomendasi terhadap draf Peraturan Bupati
untuk dapat diberikan pengesahan Bupati Sragen, setelah ditandatangani
Bupati Sragen, kemudian Peraturan Bupati Sragen tersebut diatas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
diberikan Nomor Peraturan Bupati dan diajukan kembali kepada
Sekretaris Daerah untuk ditandatangaani dan selanjutnya diundangkan
dalam berita daerah dengan diberikan nomor dan tanggal
pengundangannya, kemudian dikirim kepada Satuan Kerja Perangkat
Daerah pemprakarsa yaitu Bagian Perekonomian untuk selanjutnya
diperbanyak dan disampaikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pemerintah Kabupaten Sragen yang terkait dan dengan tembusan dikirim
kepada Gubernur Jawa Tengah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Sragen.
Dari prosedur mulai penyusunan draf Peraturan Bupati Sragen
sampai diterbitkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009
tentang Penggalangan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati)
Kabupaten Sragen mekanismenya sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penerbitan Peraturan Bupati Sragen tersebut diatas merupakan
produk hukum yang responsif, karena terbitnya memang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat, khususnya diprioritaskan hasil pengumpulan
dana tersebut untuk pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan
modal usaha bagi yang mempunyai usaha ekonomi produktif agar
usahanya dapat berkembang dan untuk bantuan yang sifatnya sosial.
B. Pembahasan
1. Kewenangan Bupati Sragen dalam Menggalang Dana Masyarakat
Gagasan Bupati Sragen untuk melakukan penggalangan dana
masyarakat melalui program Wukirwati diilhami dari pengumpulan dana
masyarakat Minangkabau Sumatera Barat dengan nama Gerakan Seribu
Minang (Gebuminang).70 Ide tentang gerakan tersebut pada intinya adalah
70 Untung Wiyono, Loc. Cit. hlm. 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
suatu gerakan dari masyarakat Minangkabau untuk menghimpun dana dari
masyarakat Minang baik yang berada di perantauan maupun yang berada
di wilayah adat masyarakat Minang. Dana yang terkumpul kemudian
dikelola oleh masyarakat Minangkabau sendiri dan dipergunakan untuk
membangun sarana dan prasarana masyarakat Minangkabau, antara lain
membangun rumah di kota-kota besar di Indonesia untuk tempat
pemondokan pelajar/mahasiswa dari Minangkabau, membangun tempat-
tempat ibadah, berbagai fasilitas umum lainnya, dan mendirikan koperasi.
Gagasan tersebut menginspirasi Bupati Sragen dalam rangka untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen.
Pemerintah Kabupaten Sragen melalui Anggaran dan Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) selama ini telah mengalokasikan dana untuk
memberikan pinjaman modal, khususnya bagi masyarakat yang tergolong
keluarga miskin dan kelompok masyarakat ekonomi produktif yang
kurang modal untuk melakukan usahanya melalui kebijakan Dana Bergulir
(Recovery Fund). Dana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin
dengan model pinjaman lunak tanpa agunan tersebut dialokasikan melalui
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yaitu melalui beberapa dinas,
antara lain melalui Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM, Dinas
Peternakan dan Perikanan, Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah dan
satuan kerja perangkat daerah lainnya.
Namun karena keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Pemerintah Daerah tidak mampu untuk melayani permintaan
masyarakat secara maksimal. Untuk mengatasi hal tersebut dicari inovasi/
gagasan baru dengan model melakukan penggalangan dana yang berasal
dari masyarakat dan dikembalikan pada masyarakat melalui pembiayaan
kegiatan ekonomi maupun sosial. Masyarakat yang mau dan mampu serta
merelakan sebagian dana yang dimiliki untuk membantu masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
kurang mampu. Program tersebut mempunyai maksud untuk mendorong
masyarakat bergotong royong bersatu padu membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan dapat mengurangi kemiskinan.
Program penggalangan dana Wukirwati di Kabupaten Sragen
merupakan kebijakan Bupati Sragen sebagai terobosan atau inovasi berupa
alternatif yang diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah dalam
membangun Kabupaten Sragen. Program ini merupakan salah satu upaya
untuk peningkatan kesadaran masyarakat dalam ikut handarbeni (merasa
memiliki) dan memajukan daerah sekaligus sebagai wujud ibadah sosial
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penghimpunan dana masyarakat melalui penggalangan dana
Wukirwati ditujukan kepada Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen dan masyarakat warga Sragen baik
yang berada di Sragen maupun diluar Sragen untuk menyumbang secara
sukarela. Namun demikian, karena menyangkut kebijakan Kepala Daerah,
maka secara normatif kebijakan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang tepat.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
mengindahkan landasan-landasan bagi keberadaan dan kekuatannya, maka
suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memuat tiga
landasan, yaitu landasan filosifis, landasan sosiologis dan landasan
yuridis. Terkait dengan ketiga landasan tersebut, karena peraturan
perundang-undangan itu adalah hukum yang bersifat dan berlaku mengikat
untuk umum, maka penekanan terhadap salah satu aspek saja tentu akan
mengakibatkan terjadinya penyimpangan sifat dari hukum itu sendiri.
Oleh sebab itu, cara yang paling baik dan relevan untuk diterapkan adalah
dengan memformulasikan ketiga landasan tersebut secara bersama-sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
ke dalam suatu peraturan perundang-undangan.71 Landasan tersebut adalah
sebagai berikut ;
a. Landasan Filosofis: landasan membentuk peraturan perundang-
undangan didasarkan pada nilai filosofis yang mempertimbangkan
sifat-sifat yang mengarah atau menitik beratkan pada sifat
kebijaksanaan, yang tidak lain adalah pandangan hidup suatu bangsa
yakni nilai-nilai moral atau etika, pembentukan peraturan perundang-
undangan tentunya harus mengindahkan nilai-nilai moral bangsa dan
kepatutan, kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang bersifat
universal.
b. Landasan Sosiologis: suatu peraturan perundang-undangan dibentuk
dengan mempertimbangkan dengan seksama setiap gejala sosial
masyarakat yang berkembang, apabila peraturan perundang-undangan
yang dibentuk mempertimbangkan persoalan-persoalan yang ada
dalam masyarakat dari bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
maka pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan akan
direspon atau dapat diterima dan dipatuhi masyarakat.
c. Landasan Yuridis: setiap peraturan perundang-undangan yang
dibentuk merupakan produk hukum yang pada prinsipnya
pemberlakuannya harus mengandung nilai-nilai hukum pada
umumnya, karena produk hukum yang dikeluarkan mengikat secara
umum. Oleh karena itu, dalam pembentukannya harus memperhatikan
beberapa persyaratan yuridis, antara lain :
1) Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang.
2) Adanya kesesuaian bentuk/jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi muatan yang akan diatur.
3) Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah
ditentukan.
71 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desaian Naskah Akademik,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
4) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya.
Selain ketiga landasan tersebut diatas (filosofis, sosiologis dan
yuridis) masih terdapat landasan lain, yaitu landasan teknis perancangan.
Landasan teknis perancangan tidak boleh diabaikan dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang baik karena berkaitan erat dengan
hal-hal yang menyangkut kejelasan perumusan, konsistensi dalam
mempergunakan peristilahan atau sistematika dan penggunaan bahasa
yang jelas.72
Dari hasil pengkajian terhadap ditetapkannya Peraturan Bupati
Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati
(Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen, yang menjadi landasan
pembentukan Peraturan Bupati ini adalah sebagai berikut ;
a. Ditinjau dari aspek filosofis, Peraturan Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir
Sukowati) Kabupaten Sragen disusun berdasarkan pada kebijakan
yang bersumber pada pandangan hidup suatu bangsa yakni nilai-nilai
moral yang baik yang meliputi nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan,
kemanusiaan, religius dan nilai lain yang dianggap baik.
Berdasarkan pemahaman seperti tersebut diatas, yang dimaksud
landasan filosofis dari perundang-undangan tidak lain adalah berkisar
pada daya tangkap pembentukan peraturan perundang-undangan
terhadap nilai-nilai maupun dalam doktrin filsafat resmi negara, di
Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut semestinya
tersurat maupun tersirat dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan.
Untuk menuangkan di dalam produk hukum daerah khususnya
Peraturan Bupati, dalam hal ini terkait dengan substansi dari Peraturan
Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana
72 H.Rojidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, l998, hlm.46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, secara
kongkrit memang tidak ditemukan secara rinci nilai-nilai dari pada
Pancasila, namun kalau dipahami dari isi maupun substansi yang
diatur dalam Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten
Sragen disitu terlihat adanya nuansa gotong royong, saling membantu,
kebersamaan, kemanusiaan, solidaritas antar warga, sehingga ditinjau
dari landasan filosofis sudah terpenuhi. Gagasan tersebut telah
memenuhi kesesuaian dengan sila kedua dan ketiga Pancasila, yaitu
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dan Pesatuan Indonesia.
b. Ditinjau dari aspek sosiologis; Peraturan Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir
Sukowati) Kabupaten Sragen ditetapkan harapannya adalah dipatuhi
oleh seluruh masyarakat secara sadar dan sukarela, oleh karena itu
setiap peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan perlu
memperhatikan secara seksama setiap gejala sosial masyarakat,
apabila hal tersebut tidak mendapatkan perhatian tidak tertutup
kemungkinan peraturan tersebut tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.
Oleh sebab itu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan akan
berlaku efektif manakala berisikan atau selaras dengan kondisi yang
ada dalam masyarakat. Warga masyarakat Sragen yang secara umum
sedang dihadapkan dalam kondisi resesi perekonomian yang membuat
beban ekonomi mereka semakin berat. Dalam menghadapi krisis
tersebut diperlukan kerjasama saling membantu agar beban yang
diterima oleh warga kurang mampu menjadi diringankan. Partisipasi
dan kontribusi warga masyarakat Sragen dalam memberikan
sumbangan adalah bentuk tanggungjawab sosial masyarakat yang
guyub dan solider sebagai kesatuan identitas sosial yang berbasis
kedaerahan.
c. Ditinjau dari aspek yuridis; Peraturan Bupati Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Sukowati) Kabupaten Sragen dibentuk dan dibuat oleh organ yang
berwenang dalam hal ini Bupati Sragen. Bupati Sragen berwenang
untuk menetapkan produk hukum daerah sesuai dengan tugas,
wewenang dan kewajibannya sebagai Kepala Daerah Otonom yang
berhak untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten
Sragen disusun berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang dalam diktum mengingat dicantumkan beberapa dasar
hukumnya, antara lain ;
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Kabupaten-kabupaten di Wilayah Propinsi Jawa Tengah.
2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan
Uang dan barang.
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahu 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial.
Adanya kesesuaian bentuk/jenis maupun materi muatan yang
diatur yaitu bentuk/jenisnya adalah Peraturan Bupati, Peraturan Bupati
Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
(Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen materi muatannya
berbentuk pengaturan.
Prosedur dan tata cara pembentukan Peraturan Bupati Sragen
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud
Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen mekanisme penyusunannya sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum
Daerah serta Peraturan Bupati Sragen Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Mekanisme penyusunan produk hukum daerah.
Oleh sebab itu, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
akan berlaku efektif manakala berisikan atau selaras dengan kondisi
yang ada dalam masyarakat. Sebuah kebijakan publik sebagai sarana
untuk pemenuhan kebutuhan/kepentingan masyarakat, kebijakan
publik sukses atau tidak tergantung pada masyarakat, apabila masya-
rakat merasa kebutuhan atau kepentingannya terpenuhi dari suatu
kebijakan publik maka dengan sendirinya kebijakan publik yang telah
dilaksanakan dianggap telah menjalankan fungsinya dengan baik dan
benar rencana diterima oleh masyarakat, namun apabila kepentingan
atau kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi atau merasa dirugikan,
maka dengan sendirinya ada anggapan bahwa kebijakan publik yang
telah dilaksanakan tidak berhasil.
Penggalangan dana Wukirwati di Kabupaten Sragen
merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati Sragen dalam
rangka untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk
berpartisipasi secara sukarela menyisihkan sebagian dana yang
dimiliki melalui rekening yang telah ditentukan oleh Pemerintah
Kabupaten Sragen.
Berdasarkan data di Lembaga Kegotongroyongan Sosial
Kabupaten Sragen, sebagai lembaga masyarakat yang dibentuk untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
mengelola dana Wukirwati, dilaporkan bahwa posisi keuangan atau
dana sampai dengan bulan Nopember tahun 2010, penggalangan dana
Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen yang
terkumpul dari masyarakat adalah sebanyak Rp 1.914.047.000,- (Satu
Milyard Sembilan ratus empat belas juta empat puluh tujuh rupiah).
Dana tersebut telah dapat disalurkan kepada masyarakat melalui
beberapa koperasi, khususnya kepada pedagang pasar, kelompok
usaha produktif maupun perseorangan, dengan jumlah pinjaman
mencapai sebanyak : 590 orang peminjam. Dana yang dipinjamkan
tersebut semata-mata dipergunakan untuk kegiatan perekonomian
yang produktif. Sehingga terbitnya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir
Sukowati) Kabupaten Sragen dapat dirasakan manfaatkan oleh
masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya.
Kebijakan publik yang dimaksudkan terkait penggalangan
dana Wukirwati adalah suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah
daerah dengan maksud dan tujuan agar masyarakat Sragen dapat
meningkatkan kesejahteraan. Hal ini dapat diartikan pertama,
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sragen adalah menggalang
dana dari masyarakat yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Sragen
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir
Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, dan kedua, Ditetapkannya
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, sebagai
keputusan pemerintah daerah Kabupaten Sragen dengan tujuan
tertentu yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 ditinjau dari
Pendekatan Hukum Responsif
Awal mula masuknya konsepsi hukum responsif yang disampaikan
Nonet dan Selznick ke Indonesia yang kemudian mulai dikembangkan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Indonesia melalui pemikiran yang dibawa oleh Satjipto Rahardjo lewat
gagasan hukum progresifnya.
Beliau memberikan istilah berbeda tentang hukum responsif yaitu
hukum progresif. Akan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan
bahwa hukum progresif memiliki tipe responsive. Prinsip utama yang
dijadikan landasannya adalah “Hukum adalah untuk manusia”, bukan
sebaliknya. Jadi manusialah yang menjadi penentu, prinsip ini menggeser
landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia, konsekuensinya
hukum bukanlah merupakan suatu yang mutlak dan final tetapi selalu
dalam proses menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum
yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau
hukum yang peduli terhadap rakyat, sehingga tidak dipahami hanya
terbatas pada pengertian hukum melalui penafsiran secara gramatikal
ataupun sitematik saja, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang
bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan
hukum.
Dalam setiap kebijakan yang ditetapkan oleh setiap pengambil
keputusan ada dua hal yang harus menjadi bahan pertimbangan yaitu
memadukan antara peraturan yang ada dan kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Artinya adalah bahwa peraturan atau kebijakan yang dibuat
harus berdasar pada realita yang ada dalam masyarakat dan merupakan
kewenangan yang dimiliki. Keputusan yang akan diambil belum tentu
memenuhi rasa keadilan untuk semua orang dan tidak hanya dapat
mengandalkan pada pertimbangan legalitas belaka, tapi juga dibutuhkan
suatu keberanian untuk mengambil resiko apa yang menjadi keputusannya,
karena tidak tertutup kemungkinan pro dan kontra dalam masyarakat. Oleh
karena itu apakah kebijakan yang diambil itu nantinya bisa diterima
masyarakat atau tidak tentunya waktu yang akan bicara, apakah kebijakan
yang diambil dengan menetapkan suatu produk hukum dapat memberikan
kesejahteraan masyarakat atau tidak, kalau memang dirasakan manfaatnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
oleh masyarakat tentunya kebijakan tersebut akan mendapat respon positif
dan dukungan masyarakat.
Langkah yang diambil oleh Bupati Sragen sebagai suatu kebijakan
publik yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Bupati Sragen Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukwati)
Kabupaten Sragen dengan cara meminta kepada masyarakat untuk dapat
menyumbangkan dana secara sukarela untuk dihimpun dalam suatu
rekening yang ditetapkan oleh Bupati Sragen melalui bank yang ditunjuk.
Dana yang terkumpul tersebut selanjutnya dikelola oleh sebuah Tim
Pengelola yang ditunjuk dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati Sragen.
Dalam pelaksanaan pemanfaatan dana tersebut, Tim Pengelola
bekerjasama dengan koperasi atau lembaga keuangan mikro yang
memenuhi persyaratan untuk menyalurkan kepada masyarakat yang
membutuhkan, khususnya kepada kelompok masyarakat ekonomi
produktif maupun perorangan yang memang secara riil membutuhkan
modal untuk usaha agar meningkat kesejahteraannya dan dapat
mengentaskan mereka dari kemiskinan, dengan tetap memperhatikan
prinsip-prinsip pengelolaan lembaga keuangan yang baik.
Keputusan Bupati Sragen menetapkan Peraturan Bupati Sragen
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud
Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen merupakan bentuk inovasi atau
terobosan yang ditempuh oleh Bupati Sragen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, untuk mempercepat pengentasan kemiskinan
bagi masyarakat yang kurang mampu. Masyarakat yang lemah
permodalannya, namun mempunyai potensi ekonomi yang baik, diberikan
pinjaman ataupun bantuan modal usaha agar supaya dapat berusaha untuk
meningkatkan taraf hidupnya.
Dari segi kewenangan yang dimiliki oleh Bupati Sragen, kebijakan
yang dilakukan Bupati Sragen berdasarkan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang, yaitu ketentuan didalam Pasal 146 Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu kewajiban membentuk dan menerapkan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 25 huruf e, kepala daerah
mempunyai tugas dan wewenang mengupayakan terlaksananya kewajiban
daerah. Kewajiban kepala daerah salah satunya adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pemberian kewenangan dari pemerintah kepada
pemerintah daerah tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa
kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, untuk mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang meliputi politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan
agama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan pilihan., urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Menurut Satjipto Raharjo pakar hukum yang mencetuskan hukum
progresif sebagai manifestasi dari hukum responsif dapat dikatakan bahwa
esensi dari hukum adalah kepentingan masyarakat73. Dengan demikian
kedudukan Peraturan Bupati Sragen Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen
merupakan produk hukum yang responsif dalam rangka untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
73 Satjipto Rahardjo, 2009, Log. Cit, hlm. 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
BAB V
P E N U T UP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada rumusan masalah dan sesuai dengan hasil penelitian
dan pembahasan dikaitkan dengan teori-teori hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta ditinjau menurut pendekatan Hukum
responsif dapat diambil kesimpulan sebagai berikut ;
1. Bupati Sragen mempunyai kewenangan menggalang dana masyarakat
dengan menetapkan Peraturan Bupati Sragen sesuai wewenang yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 22 huruf n dan pasal 25
huruf e.
2. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen
adalah sebagai produk hukum yang ditetapkan demi untuk kepentingan
masyarakat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sehingga ditinjau
dari hukum responsif produk hukum yang diterbitkan Bupati Sragen
dalam menggalang dana dari masyarakat sudah tepat dan ideal dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan, terdapat beberapa implikasi sebagai berikut;
1. Ada perbedaan penafsiran atau interprestasi terhadap ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan khususnya didalam bunyi pasal-
pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya
yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan
produk hukum daerah, sehingga terjadi pro dan kontra dalam mensikapi
ditetapkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen
2. Landasan bagi yang tidak sepaham atau tidak setuju dengan adanya
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana
Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen akan melakukan
penolakan dalam arti tidak berpartisipasi memberikan bantuan dana secara
sukarela, baik bagi kalangan pegawai negeri maupun masyarakat pada
umumnya, dengan masih adanya sebagian warga masyarakat yang tidak
sependapat/ tidak setuju dengan penggalangan dana Wujud Mikir
Sukowati yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati Sragen, maka
penggalangan dana Wujud Mikir Sukowati tidak dapat terlaksana secara
optimal.
C. S a r a n
Dari hasil kesimpulan dan implikasi tersebut diatas, dapat
disampaikan beberapa saran sebagai berikut ;
1. Sebelum Bupati Sragen menetapkan suatu Produk hukum daerah
khususnya Peraturan Bupati Sragen yang menyangkut kepentingan
masyarakat secara umum hendaknya dilaksanakan sosialisasi maupun
meminta saran, pendapat, usul dari stakeholder dengan melibatkan pakar
hukum/akademisi.
2. Setiap produk hukum daerah yang akan ditetapkan hendaknya
berpedoman pada kewenangan yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah beberapa
kali diubah terkahir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaannya.
3. Penggalangan dana dari masyarakat hendaknya agar mendapatkan
legitimasi dari masyarakat, Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2009
tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten
Sragen dapat ditingkatkan untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah
Kabupaten Sragen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Nasional, Jurnal Internasional
A. G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali,
Jakarta, 2004
Andi Mustari Pide. 1999. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad
XXI. Jakarta : Gaya Media Pratama
Arief Sidharta dkk, Hukum Progresif, Evolusi Pemikiran Hukum Baru (Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009
Asri Umar, Kerangka Strategis Perubahan Manajemen Keuangan Daerah
Sebagai Implikasi UU RI Nomor 22 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 25
Tahun 1999, Jurnal Hukum Pro Justitia Fakultas Hukum Uiniversitas
Parahyangan Bandung, Tahun XXII Nomor 2, April 2004 (Terakreditasi)
Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, PT. Sinar Harapan, Jakarta, 1994
___________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997
Bhenyamin Hossein, Transparansi Pemerintahan, Jurnal Inovasi, November,
2001
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desaian Naskah
Akademik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008
Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori Dan Proses, Jakarta, Media Presindo,
Jakarta, 2007
Edi Wibowo, Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Penerbit YPAPI,
Yogyakarta, 2004.
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang, 2005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Malang, 2005.
Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
PT.Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005
Henry Maddick, Desentralisasi dalam Praktek, Pustaka Kendi, Yogyakarta,
2004
H.Rojidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, l998
Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka
Cipta, Jakarta, 2003
Irfan M. Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta, 2007.
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta : Rajawali Press, 1991
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, Bandung, 2005.
Korb, K,B.,Public Law Functions and Legislation, The Cambridge Law
Journal/Volume 70/Issue 02, 2011, pp 279-282. Diambil dari :
http://www.britislaw.org.uk/online.html/archieve/ 00000462/ [Diakses pada 20
Juni 2010]
Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik, AlfaBeta, Bandung, 2006
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang
Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta
Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Gama
Media, Yogyakarta, 1998
Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998
Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia, Pemantapan Pelaksanaan
Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Bandung
: Sinar Baru, 1985
Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press,
Yogyakarta, 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Roger Montgomery, Indonesia’s Decentralization Policy : Initial Experiences
and Emerging Problems, The International Journal of Law, Vol. 8, N.14,
2008
Ronni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Juremetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984
Saiful Bahri, Hukum dan Kebjakan Publik, Yayasan Pembaharuan Administrasi
Publik, Yogyakarta, 2004
Samodro Wibowo, Kebijakan Publik : Suatu Analisis Komparasi. Bandung.
Rafika Aditama, Bandung, 1994
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral, Kompas, Jakarta,
1996
______________, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Universitas
Sebelas Maret. Surakarta, 2006
Soehino, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa,
Jakarta, 1997
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1983
Soetandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Ilsam Huma, Jakarta, 2002
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1991
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992
Subardono, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: UII Press,
Yogyakarta, 2006
Syahrir, Mencari Bentuk Otonomi Daerah : Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokaldan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988
Untung Wiyono, Menyiasati Hidup dengan Berwirausaha, Perusda Percetakan
dan Penerbitan, Sragen, 2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Penyelidikan Penyidikan
dan Penuntutan Tindak Pidana, LSHP, Yogyakarta, 2009
Kamus dan Ensiklopedi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka, 1990