kebijakan nasional pembangunan air minum dan …
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN NASIONAL
PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
BERBASIS MASYARAKAT
Bappenas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Departemen Kesehatan Departemen Dalam Negeri
Departemen Keuangan
2003
KEBIJAKAN NASIONAL
PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
BERBASIS MASYARAKAT
Bappenas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Departemen Kesehatan Departemen Dalam Negeri
Departemen Keuangan
Dokumen Kebijakan ini disiapkan oleh Proyek Penyusunan Kebijakan dan Rencana Kegiatan Air Bersih dan Penyehatan
Lingkungan (WASPOLA) dengan dukungan dari Bank Dunia, melalui Water and Sanitation Program
for East Asia and the Pacific (WSP-EAP) dan bantuan dari Pemerintah Australia melalui AusAID
2003
Berkaitan dengan penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, yang merupakan bantuan AusAID
(Australian Agency for International Development) dan dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia beserta WSP-EAP (Water and Sanitation Program-East Asia
and the Pacific)/World Bank, maka dengan ini kami menyetujui naskah terlampir
sebagai KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT.
Jakarta, 26 Juni 2003
i
KATA PENGANTAR Proses penyusunan dokumen Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat ini telah dimulai sejak 1998. Disusun secara bertahap oleh kelompok kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) yang dikoordinasikan oleh Bappenas dengan anggota terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan. Berbeda dengan penyusunan kebijakan yang lazim dilakukan, penyusunan kebijakan ini dilakukan melalui serangkaian diskusi, lokakarya dan seminar dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Selain itu, dalam proses penyusunannya juga melibatkan dan berkonsultasi dengan pihak berkepentingan (stakeholder), seperti pemerintah daerah, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan juga pihak-pihak terkait yang berkompeten dalam sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Disadari bahwa pengembangan kebijakan dengan pendekatan partisipatif ini lebih banyak membutuhkan waktu daripada bentuk penyusunan kebijakan konvensional. Dengan bertumpu kepada pendekatan proses diharapkan terjadi internalisasi dari pokok-pokok kebijakan yang selama ini telah disusun oleh seluruh pihak berkepentingan yang terlibat dalam penyusunan kebijakan ini. Melalui pendekatan tersebut diharapkan perubahan paradigma pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan dapat terwujud sesuai dengan tujuan penyusunan kebijakan itu sendiri. Seiring dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan melakukan upaya penjaringan masukan dari daerah dalam penyempurnaan tahap akhir kebijakan yang disusun. Hal ini sekaligus untuk menguji sejauh mana kebijakan yang disusun oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di tingkat pusat dapat diimplementasikan di daerah. Beberapa daerah telah dipilih sebagai daerah uji coba pelaksanaan kebijakan yaitu Kabupen Solok (Sumatera Barat), Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), Kabupaten Subang (Jawa Barat), dan Kabupaten Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur). Uji coba tersebut menghasilkan masukan yang positif dalam penyempurnaan dokumen kebijakan ini. Selain mendapat masukan dari uji coba pelaksanaan kebijakan, penyempurnaan kebijakan juga mendapat masukan dari beberapa studi kasus dalam proyek air minum dan penyehatan lingkungan, uji coba topik yang relevan pada beberapa proyek besar yang dibiayai pinjaman IBRD, hibah KfW dan oleh UNICEF. Pada intinya kebijakan ini membawa pesan tentang perlunya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan terutama pentingnya keberlanjutan pelayanan dan efektivitas penggunaan prasarana dan sarana yang dibangun. Kebijakan ini dijabarkan dalam beberapa strategi pelaksanaan yang diantaranya meliputi penerapan pendekatan tanggap kebutuhan, peningkatan sumber daya manusia, kampanye kesadaran masyarakat, upaya peningkatan penyehatan lingkungan, pengembangan kelembagaan dan penguatan sistem monitoring serta evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan.
ii
Dengan tersusunnya dokumen Nasional Pembangunan Kebijakan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, maka perlu segera dilakukan penyusunan langkah selanjutnya, antara lain penyusunan rencana tindak jangka panjang, menengah dan tahunan. Selamat kepada Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan yang telah berupaya keras dalam menyusun dokumen kebijakan ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Australia, melalui AusAid yang telah memberikan bantuan teknis dalam proyek Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning (WASPOLA). Selain itu, disampaikan kepada WSP-EAP (Water Supply and Sanitation Program for East Asia and Pasific) dan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang telah banyak membantu hingga tersusunnya kebijakan ini. Demikianlah, kiranya kebijakan ini dapat dijadikan panduan dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, khususnya yang berbasis masyarakat.
Jakarta, 26 Juni 2003
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Ir. E. Suyono Dikun, Ph.D, IPM
iii
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. iii DAFTAR SINGKATAN................................................................................................ vi DEFINISI YANG DIGUNAKAN ...................................................................................viii
I. PENDAHULUAN ...........................................................................................1
1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan...................................................... 1
1.1.1. Permasalahan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ................................................................................... 1
1.1.2 Pengalaman yang Menjadi Dasar Kebijakan ..................................... 4
1.1.3. Perlunya Pembaruan Kebijakan....................................................... 7
1.2. Tujuan Penyusunan Kebijakan ................................................................... 8
1.3. Ruang Lingkup ......................................................................................... 8
II. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT .................................................. 10
2.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 10
2.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 10
2.3 Dasar Penetapan Kebijakan ..................................................................... 12
2.4 Kebijakan Umum .................................................................................... 14
a. Air Merupakan Benda Sosial dan Benda Ekonomi................................. 15
b. Pilihan yang Diinformasikan sebagai Dasar dalam Pendekatan Tanggap Kebutuhan ......................................................................... 15
c. Pembangunan Berwawasan Lingkungan ............................................. 15
d. Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ........................................ 16
e. Keberpihakan pada Masyarakat Miskin................................................ 16
f. Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan................................ 16
g. Akuntabilitas Proses Pembangunan..................................................... 17
h. Peran Pemerintah Sebagai Fasilitator .................................................. 17
i. Peran Aktif Masyarakat ...................................................................... 18
j. Pelayanan Optimal dan Tepat Sasaran................................................ 18
k. Penerapan Prinsip Pemulihan Biaya .................................................... 18
III. STRATEGI PELAKSANAAN ........................................................................ 19
Strategi 1 : Mengembangkan kerangka peraturan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan ......... 19
Strategi 2 : Meningkatkan investasi untuk pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat pengguna. ............................................. 20
iv
Strategi 3 : Mendorong penerapan pilihan-pilihan pembiayaan untuk pembangunan, dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.......................................................... 21
Strategi 4 : Menempatkan kelompok pengguna dalam pengambilan keputusan pada seluruh tahapan pembangunan serta pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan......................... 21
Strategi 5 : Meningkatkan kemampuan masyarakat di bidang teknik, pembiayaan, dan kelembagaan, dalam pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. ................................................................................. 22
Strategi 6 : Menyusun Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM) sektor air minum dan penyehatan lingkungan sebagai upaya memperbaiki kualitas pelayanan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, operasi, pemeliharaan, dan pengelolaan.................... 23
Strategi 7 : Mendorong konsolidasi penelitian, pengembangan, dan diseminasi pilihan teknologi untuk mendukung prinsip pemberdayaan masyarakat. ................................................................................ 23
Strategi 8 : Mengembangkan motivasi masyarakat melalui pendidikan formal dan informal................................................................................ 24
Strategi 9 : Meningkatkan pelestarian dan pengelolaan lingkungan, khususnya sumber daya air........................................................................... 24
Strategi 10: Mempromosikan perubahan pendekatan dalam pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, dari pendekatan berdasarkan batasan administrasi menjadi pendekatan sistem......................................................................................... 25
Strategi 11: Meningkatkan kualitas pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat pengguna................................................................. 26
Strategi 12 : Meningkatkan kepedulian masyarakat pengguna............................ 26
Strategi 13: Menerapkan upaya khusus pada masyarakat yang kurang beruntung untuk mencapai kesetaraan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. ............................................................... 27
Strategi 14 : Mengembangkan pola monitoring dan evaluasi hasil pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang berorientasi kepada pencapaian tujuan dan ketepatan sasaran. ...................................................................................... 27
Strategi 15 : Mengembangkan komponen kegiatan monitoring dan evaluasi dalam empat tingkat .............................................................................. 28
Strategi 16 : Mengembangkan dan menyebarluaskan indikator kinerja pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. ................................................................................. 29
IV. PENUTUP.................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Tipologi pengelolaan penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ..8
Gambar 2: Struktur Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ....... 10
Gambar 3 : Strategi Pelaksanaan Kebijakan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan.. 19
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum
LAMPIRAN B Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk ‘daerah abu-abu’)
LAMPIRAN D Diagram Strategi Pemberdayaan dan Monev
LAMPIRAN E Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA)
LAMPIRAN F Persyaratan Kualitas Air Minum
LAMPIRAN G Indikator Strategi Pelaksanaan
vi
DAFTAR SINGKATAN
APBN Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
AMPL Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
AusAID
BAB
The Australian Agency of International Development
Buang Air Besar
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bapedal
BPAM
CMA
DIP
Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan
Badan Pengelola Air Minum
Community Management Approach
Daftar Isian Proyek
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DRA
FLOWS
Demand Responsive Approach
Flores Water Supply Project
GBHN Garis Besar Haluan Negara
IKK Ibu Kota Kecamatan
INPRES Instruksi Presiden
IPLBM Instalasi Pengolahan Limbah Berbasis Masyarakat
KIP Kampung Improvement Project
KTT Konperensi Tingkat Tinggi
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MCK Mandi Cuci Kakus
MDG Millennium Development Goal
MPA Methodology for Participatory Assessment
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
NSPM Norma, Standar, Pedoman dan Manual
P3AB Proyek Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih
P3DT Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
P3KT Proyek Pembangunan Prasarana Kota Terpadu
PTK Pendekatan Tanggap Kebutuhan
PAMPL Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
PAM Perusahaan Air Minum
PDAL Perusahaan Daerah Air Limbah
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
vii
Pelita
PHAST
Pembangunan Lima Tahun
Participatory Hygiene and Sanitation Transformation
PHBS Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PMD Pembangunan Masyarakat Desa
PPLP Proyek Penyehatan Lingkungan Permukiman
PPSAB Proyek Pembangunan Sarana Air Bersih
PRA Participatory Rural Appraisal
Propenas Program Pembangunan Nasional
Repelita Rencana Pembangunan Lima Tahun
SARAR Self Esteem, Associate Strength, Resourcefulness, Action Planning, Responsibility.
TAP Ketetapan
TPA Tempat Pembuangan Akhir
UNCED
UNDP
United Nation Conference on Environment and Development
United Nations Development Programme
UNICEF United Nations International Children Fund
UPS Unit Pengelola Sarana
UU Undang-Undang
WASPOLA Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning
WHO World Health Organization
WSP Water and Sanitation Program
WSP-EAP Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific
WSSLIC Water Supply and Sanitation for Low Income Communities
viii
DEFINISI YANG DIGUNAKAN • Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
• Air Minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002)
• Keberlanjutan (sustainability) adalah sifat atau ciri terus menerus kegiatan dari, oleh, dan untuk masyarakat pengguna secara mandiri dengan mempertimbangkan aspek teknis, keuangan, sosial, kelembagaan dan lingkungan.
• Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana atas pelaksanaan suatu pembangunan
• Kebutuhan (demand) vs Keinginan (wish)
- Kebutuhan (demand) adalah kesediaan masyarakat pengguna untuk mendapatkan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dikehendaki berdasarkan pilihan yang tersedia sesuai dengan kondisi setempat yang disertai sikap rela berkorban (willingness to pay).
- Keinginan (wish) adalah kemauan masyarakat pengguna untuk mendapatkan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, yang keputusannya masih dapat dipengaruhi oleh pihak lain.
• Kesetaraan (equity) adalah persamaan/kesamaan akses untuk memanfaatkan prasarana dan sarana bagi seluruh masyarakat.
• Masyarakat pengguna (users) adalah masyarakat yang memanfaatkan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
• Pemberdayaan (empowerment) adalah upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki atas dasar prakarsa dan kreativitas.
• Pendekatan Partisipatif (participatory approach) adalah suatu pendekatan yang menggunakan satu atau beberapa metoda yang melibatkan pihak terkait secara aktif dalam proses pemberdayaan, untuk :
a. mengekspresikan pengetahuan, gagasan dan menentukan pilihan pelayanan; dan
b. mengambil inisiatif dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah, pengambilan keputusan serta pelaksanaan pekerjaan secara bersama-sama.
• Pendekatan Tanggap Kebutuhan (Demand Responsive Approach/DRA) adalah suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di dalamnya pendanaan.
ix
• Pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis lembaga adalah bentuk pengelolaan yang bercirikan pengelolanya memiliki badan hukum dengan bentuk dinas, perusahaan atau swasta, yang dapat bersifat profit atau non profit, dan pengambilan keputusan berada pada pengelola.
• Pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab, pengelola adalah masyarakat dan/atau lembaga yang ditunjuk oleh masyarakat, yang tidak memerlukan legalitas formal serta penerima manfaat diutamakan pada masyarakat setempat, dengan sumber investasi berasal dari mana saja (kelompok, masyarakat, pemerintah, swasta ataupun donor).
• Pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan gabungan lembaga dan masyarakat adalah bentuk pengelolaan bersama antara lembaga dan masyarakat yang mempunyai aspek legalitas formal maupun non formal, dimana pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan tanggung jawab sesuai kesepakatan dan aturan main yang jelas.
• Penggunaan efektif (effective use) adalah kemudahan pemanfaatan pelayanan ABPL yang dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna secara adil, tepat guna dan dengan cara yang sehat.
• Penyehatan Lingkungan (environmental sanitation) adalah upaya pencegahan terjangkitnya dan penularan penyakit melalui penyediaan sarana sanitasi dasar (jamban), pengelolaan air limbah rumah tangga (termasuk sistem jaringan perpipaan air limbah), drainase dan sampah.
• Tujuan Umum adalah kondisi yang ingin dicapai dalam kurun waktu yang relatif panjang, lebih merupakan kondisi ideal yang ingin diraih.
• Tujuan Khusus merupakan kondisi yang ingin dicapai dalam kurun waktu yang relatif lebih pendek dan dapat diukur pencapaiannya.
1
I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dan peluang yang ada dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan serta pengalaman (lesson learned) pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
1.1.1. Permasalahan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Dari perkembangan pelaksanaan air minum dan penyehatan lingkungan selama ini, terdapat beberapa kemajuan yang diperoleh, misalnya peningkatan cakupan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan dan secara tidak langsung meningkatkan derajat kesehatan. Namun, masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pada penyediaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yaitu:
a. Kurang efektif dan efisiennya investasi yang telah dilakukan pada pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Penggunaan terminologi air bersih dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum di satu sisi memberikan dampak positif bagi peningkatan cakupan pelayanan, namun di sisi lain mencerminkan ketidakefisienan investasi karena masyarakat pengguna tidak dapat memanfaatkannya sebagai air minum walaupun desain prasarana dan sarananya telah memenuhi prasyarat air minum.
Dari segi kuantitas pelayanan, lingkup pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan masih terbatas. Selain itu cakupan pelayanan juga masih terbatas sehingga tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk. Hingga saat ini diperkirakan masih terdapat 100 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki kemudahan terhadap pelayanan air minum
Berdasar pada pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang dilaksanakan sejak Pelita I (1969-1974) hingga saat ini, maka secara ringkas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting (selengkapnya pada Lampiran A) yaitu:
a. Era Tahun 1970 –1980
Pembangunan nasional diprioritaskan pada sektor pertanian dan irigasi untuk mencukupkan kebutuhan pangan, sedangkan pembangunan prasarana dan sarana penunjang lainnya termasuk air minum dan penyehatan lingkungan belum menjadi prioritas sehingga lingkup pembangunannya masih terbatas, cakupan pelayanan juga terbatas sehingga belum mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk.
b. Era Tahun 1980 – 1990
Konsep-konsep pemberdayaan dan pendekatan tanggap kebutuhan mulai diperkenalkan. Pembangunan prasarana dan sarana air minum dikaitkan dengan penentuan masyarakat sasaran yang lebih tepat dan pemanfaatan teknologi tepat guna, misal pompa tangan, hidran dan pompa tali. Untuk mendorong keterlibatan pemerintah daerah, khususnya di kawasan perdesaan, diciptakan mekanisme pembiayaan baru yang memungkinkan pemerintah daerah untuk mengelola anggaran yang berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN).
c. Era Tahun 1990 – 2000
Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan. Pemerintah pusat berperan sebagai pembina teknis.
Pelaksanaan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Tahun 1970-2000
2
dan penyehatan lingkungan yang memadai. Sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kemudahan tersebut adalah masyarakat miskin dan masyarakat yang bertempat di kawasan perdesaan. Kecenderungan ini terus meningkat setiap tahunnya.
Pengalaman masa lalu juga menunjukkan adanya prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan terbangun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah tidak dilibatkannya masyarakat sasaran, baik pada perencanaan, konstruksi ataupun pada kegiatan operasi dan pemeliharaan. Selain itu, pilihan teknologi yang terbatas mempersulit masyarakat untuk dapat menentukan prasarana dan sarana yang hendak dibangun dan digunakan di daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan, budaya (kultur) setempat, kemampuan masyarakat untuk mengelola prasarana dan kondisi fisik daerah tersebut.
Kurangnya keterlibatan masyarakat juga menjadikan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang terbangun menjadi tidak berkelanjutan, tidak dapat berfungsi dengan baik, dan tidak adanya perhatian masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana. Hal ini mengakibatkan prasarana dan sarana tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna secara berkelanjutan.
Investasi prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan pada saat itu yang berorientasi pada supply driven juga membawa dampak kepada rendahnya efektivitas prasarana dan sarana yang dibangun. Tidak sedikit investasi prasarana dan sarana yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka tidak membutuhkan, sebaliknya banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan prasarana dan sarana namun tidak mendapatkan pelayanan.
b. Air hanya dipandang sebagai benda sosial
Paradigma lalu menyatakan bahwa air merupakan benda sosial yang dapat diperoleh secara gratis oleh masyarakat. Hal ini didasari rendahnya kepedulian dan pengetahuan masyarakat terhadap ‘nilai kelangkaan’ air. Permasalahan tersebut menyulitkan pengelola air minum untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan pelayanan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat selalu memerlukan tambahan investasi, baik untuk pengadaan air baku, instalasi pengolahan, pengaliran air sampai ke masyarakat pengguna, dan sebagainya. Di lain pihak masyarakat pengguna tidak peduli pada kesulitan tersebut. Prinsip user pay (pengguna membayar) tidak dapat diterapkan pada masa itu.
Kondisi tersebut tercermin pada penetapan tarif air minum perpipaan (oleh Perusahaan Daerah Air Minum-PDAM), yang selama ini ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kebanyakan tidak mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya (the real production cost). Konsekuensinya adalah pendapatan usaha tidak mampu membiayai kegiatan operasional, termasuk untuk investasi pengembangan jaringan pelayanan.
Mulai tahun 1990-an kesadaran terhadap pentingnya air dan proses dalam penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan mulai meningkat. Prinsip Dublin-Rio mengenai air menjadi acuan di dunia. Walaupun demikian, kampanye mengenai pentingnya nilai
3
air ini masih perlu disosialisasi dan dilaksanakan kepada masyarakat, pemerintah, dan badan legislatif.
c. Keterbatasan kemampuan pemerintah.
Pola pembiayaan sampai saat ini masih bertumpu pada anggaran pemerintah, khususnya anggaran pemerintah pusat. Kemampuan pemerintah pusat di masa yang akan datang untuk menyediakan anggaran semakin berkurang. Untuk itu, diperlukan inovasi pola pembiayaan untuk menggali berbagai sumber pembiayaan yang belum dimanfaatkan (hidden potential), khususnya sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan tersebut diperlukan sistem berkelanjutan (sustainable system) sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
d. Belum tersedianya kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan potensi tersembunyi (hidden potential) yang ada dalam masyarakat.
Kapasitas masyarakat dalam menyediakan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan saat ini belum dapat dioptimalkan karena belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan untuk menggerakkan potensi tersebut. Sebagai contoh belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan mengenai pemindahan aset (transfer asset) dari pemerintah kepada masyarakat.
e. Penyehatan lingkungan belum menjadi perhatian dan prioritas.
Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan dalam mendukung kualitas lingkungan menyebabkan masih rendahnya cakupan pelayanan penyehatan lingkungan.
Kondisi ini antara lain tercermin pada pelayanan air limbah terpusat di beberapa kota besar yang masih menghadapi kendala dalam pengelolaannya. Hal ini terkait dengan rendahnya kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat terhadap pelayanan air limbah terpusat dan masih rendahnya kualitas pengelolaan prasarana dan sarana air limbah terpusat. Kondisi yang sama juga terjadi pada jamban (sanitasi dasar), khususnya bagi masyarakat perdesaan. Kebutuhan masyarakat terhadap jamban masih rendah.
Hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap pentingnya hidup bersih dan sehat, yang tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyak yang buang air besar di sungai, kebun, sawah bahkan dikantong plastik yang kemudian dibuang di sembarang tempat.
Permasalahan juga dihadapi dalam penanganan persampahan dan drainase. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi serta meningkatnya kawasan terbangun membawa dampak kepada meningkatnya jumlah timbunan sampah, semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sampah serta belum optimalnya pendekatan 3 R (reduce, reuse and recycle)1 dalam pengelolaan sampah.
1 Prinsip 3R mencakup reduce yang berarti mengurangi pemakaian, reuse berarti menggunakan kembali, dan recycle berarti mendaur ulang.
4
Dampak berikutnya adalah semakin luasnya daerah genangan, berkurangnya lahan resapan dan pemanfaatan saluran drainase sebagai tempat pembuangan sampah.
1.1.2 Pengalaman yang Menjadi Dasar Kebijakan
a. Pengalaman di Indonesia
Beberapa pengalaman yang dapat ditarik dari pelaksanaan program dan proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang dibiayai dengan dana luar negeri2 dan APBN, adalah sebagai berikut:
• Pembangunan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang melibatkan masyarakat, memiliki efektivitas dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik.
• Pengelolaan prasarana dan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam pengambilan keputusan dan kelembagaan, menghasilkan partisipasi masyarakat yang lebih besar pada pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.
• Keterlibatan aktif perempuan, masyarakat yang kurang beruntung (miskin, cacat dan sebagainya) secara seimbang dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan, menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan yang lebih tinggi.
• Semakin mudah penggunaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan (tepat guna), maka semakin tinggi efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana.
• Perlunya kampanye perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan.
• Semakin banyak pilihan teknologi yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan masyarakat untuk memilih sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan semakin tinggi efektivitas dan keberlanjutan pemanfaatan prasarana dan sarana.
• Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan dapat tercapai apabila pilihan pelayanan dan konsekuensi biayanya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga. Kontribusi pembangunan ditentukan berdasarkan jenis pelayanan dan pembentukan unit pengelolaan dilakukan secara demokratis.
• Pengguna prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan mempunyai kemampuan (ability) untuk membayar setiap jenis pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan sejauh hal tersebut sesuai dengan kebutuhan. Mereka sangat peduli akan kualitas dan bersedia membayar lebih asalkan pelayanan memenuhi kebutuhan.
Dengan menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat sasaran pada tahapan pembangunan maka pendekatan yang diterapkan adalah Demand Responsive Approach
2 Antara lain WSSLIC I (Water Supply and Sanitation for Low Income Communities - I), FLOWS (Flores Water Supply), program air minum dan penyehatan lingkungan yang mendapat bantuan UNICEF
5
(DRA) atau Pendekatan Tanggap Kebutuhan (PTK)3. Berdasarkan beberapa pengalaman penerapan pendekatan tersebut kendala yang dihadapi adalah:
• Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menerapkan PTK.
• Adanya penolakan, baik langsung maupun tidak langsung, dari pemerintah di berbagai tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, maupun masyarakat sendiri dalam menerapkan PTK.
• Terbatasnya informasi, kemampuan teknis dan keuangan pada setiap stakeholder, khususnya pemerintah maupun LSM.
• Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga pendukung kegiatan PTK.
• Membutuhkan waktu yang relatif lama dan dana fasilitasi yang cukup besar.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka beberapa langkah yang perlu dilaksanakan dalam penerapan pendekatan tanggap kebutuhan adalah:
• Aspek Kebijakan:
Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan pembangunan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota dalam melaksanakan PTK.
• Aspek Pendanaan:
Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, dan mengembangkan sistem pemberdayaan masyarakat untuk mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki sendiri.
Pelajaran yang dipetik dari pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia dapat dilihat dalam lampiran B.
b. Pengalaman Internasional
Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di kota menengah, kota kecil, dan kawasan perdesaan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut maka disepakati bahwa pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus mengikuti prinsip Dublin-Rio.
3 Demand Responsive Approach diterjemahkan menjadi Pendekatan Tanggap Kebutuhan yang artinya:
suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di dalamnya pendanaan. Karakteristik utama pendekatan ini adalah (i) tersedianya pilihan yang terinformasikan; (ii) pemerintah berperan sebagai fasilitator; (iii) terbukanya akses seluas-luasnya bagi partisipasi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders); (iv) aliran informasi yang memadai bagi masyarakat.
6
Dalam konteks pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, prinsip-prinsip Dublin Rio mengandung arti “jika ingin berhasil dalam pembangunan perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti sosial, teknis, keuangan, kelembagaan, jender, dan lingkungan yang dikelola secara integratif; walaupun masing-masing aspek berbeda karakteristiknya, namun kesemuanya mempunyai tingkat kepentingan yang sama”. Penjabaran dari keempat prinsip Dublin-Rio tersebut adalah:
• Air merupakan benda langka dan tidak bisa dipandang sebagai benda yang tidak memiliki nilai. Pelayanan yang berkelanjutan hanya bisa didapatkan jika nilai yang dibayar oleh pengguna sama dengan nilai air yang dimanfaatkan oleh pengguna.
• Pengambilan keputusan akhir dalam pemanfaatan air harus melibatkan semua anggota masyarakat pengguna tanpa kecuali. Pendekatan pembangunan pelayanan air minum bagi masyarakat sasaran tidak lagi berdasarkan standar normatif dari pemerintah (supply driven) akan tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat (demand driven). Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyebarluaskan informasi dan teknologi air minum kepada masyarakat agar mereka mempunyai pemahaman (awareness) terhadap pilihannya.
• Berkaitan dengan pembangunan pelayanan air minum maka keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan memperbesar jaminan tercapainya keberlanjutan. Perempuan adalah pemeran utama di rumahtangga yang bertanggung jawab terhadap penyediaan air minum bagi keluarga, baik kebutuhan yang terkait dengan kebersihan maupun kebutuhan yang terkait dengan kesehatan.
Pada dasarnya sumberdaya selalu terbatas, demikian juga sumberdaya keuangan yang dimiliki pemerintah. Di lain pihak, kebutuhan merupakan sesuatu yang tidak terbatas. Dengan demikian anggaran pemerintah tidak akan pernah cukup untuk menyediakan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan bagi semua orang. Oleh sebab itu ada tiga isu penting yang perlu dikenali:
� Kerangka kelembagaan dan hukum dari sektor air minum dan penyehatan lingkungan harus mendukung prinsip-prinsip Dublin-Rio. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap sistem kelembagaan dan hukum yang ada mengikuti prinsip Dublin–Rio.
� Sumber dana yang diperlukan untuk membiayai pembangunan, operasi, pemeliharaan, dan pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus dapat dipenuhi oleh masyarakat pengguna. Untuk mengatasi keterbatasan sumber dana maka keterlibatan dunia swasta dan masyarakat pengguna perlu ditingkatkan.
� Pemberdayaan kemampuan semua stakeholders pada semua tingkatan.
Prinsip Dublin Rio
• Pembangunan dan pengelolaan air harus berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna, perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan
• Air adalah sumber terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan, dan lingkungan.
• Perempuan memainkan bagian penting dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan air
• Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi
7
Berdasarkan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan selama ini terlihat beberapa potensi di masyarakat yang dapat dikembangkan, seperti di masa lalu terdapat sejumlah mitos yang menghambat keberhasilan pendekatan partisipatif dalam pengembangan air minum dan penyehatan lingkungan. Namun mitos-mitos tersebut telah diyakini tidak benar. Beberapa penemuan terakhir membuktikan bahwa:
• Penghargaan masyarakat terhadap pelayanan air minum telah meningkat, hal ini ditunjukkan melalui:
- Masyarakat miskin membayar pelayanan air minum sering kali dengan harga lebih mahal dari masyarakat yang lebih mampu;
- Bila tingkat pelayanan air minum tidak memenuhi harapan masyarakat, maka masyarakat tidak akan menggunakan prasarana dan sarana yang disediakan dan tidak akan membayar biaya pelayanan yang diminta.
• Kesediaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Beberapa pelajaran yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat adalah:
- Standarisasi dan generalisasi prosedur pelaksanaan mengarah kepada kegagalan program.
- Partisipasi masyarakat merupakan potensi internal masyarakat yang tidak dapat diintervansi oleh orang lain, namun dapat dibangkitkan. Proses partisipatif adalah menyerahkan kendali proses pengambilan keputusan kepada masyarakat.
- Kegiatan yang berdasarkan kepada kebutuhan masyarakat akan mendapat dukungan masyarakat secara langsung melalui pembentukan institusi masyarakat setempat sesuai dengan tujuannya.
- Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang berakar kepada perilaku dasar masyarakat dalam pengambilan keputusan yang dapat direplikasi sesuai dengan kebutuhan.
1.1.3. Perlunya Pembaruan Kebijakan.
Dari uraian sebelumnya tercermin bahwa pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia masih banyak menghadapi kendala. Namun demikian, ada beberapa potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kendala tersebut. Untuk dapat menggerakkan dan memanfaatkan potensi yang dimiliki serta untuk mengatasi kendala yang dihadapi diperlukan beberapa perubahan, khususnya yang terkait dengan mengenai kebijakan, kelembagaan dan mekanismenya. Dokumen ini merupakan paradigma baru dalam kebijakan nasional pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, yang berbasis pada dinamika kelompok masyarakat yang bertumpu pada kemandirian, desentralisasi, otonomi serta demokrasi.
8
1.2. Tujuan Penyusunan Kebijakan
Tujuan dari penyusunan dokumen kebijakan ini adalah:
1. Menghasilkan kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan yang merupakan kesepakatan seluruh instansi/sektor pusat dan daerah, masyarakat, akademisi, LSM, serta lembaga keuangan bilateral/multilateral pemberi bantuan dan pinjaman.
2. Mengidentifikasi strategi dan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan.
3. Sebagai masukan untuk menyusun program jangka panjang, menengah dan tahunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah sesuai dengan agenda desentralisasi dan reformasi.
1.3. Ruang Lingkup
Berdasarkan analisis terhadap pelaksanaan pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan selama ini, terdapat tiga pendekatan pengelolaan, yaitu pengelolaan berbasis lembaga (tipe A), pengelolaan berbasis masya-rakat (tipe C) dan kombinasi dari keduanya (tipe B). Dokumen ini tidak secara khusus mengatur tipe pengelolaan berbasis lembaga (tipe A). Fokus dari kebijakan yang diketengahkan dokumen ini adalah prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dikelola oleh masyarakat (tipe C). Walaupun demikian, ruang lingkup kebijakan tersebut juga mencakup sebagian tipe B yaitu pengelolaan bersama antara lembaga dan masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan atas pengaturan dan hubungan antara pihak penyedia dan masyarakat pengguna. Perspektif lain dari pengelolaan AMPL dapat dilihat pada lampiran C.
Gambar 1: Tipologi pengelolaan penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
MA
SY
AR
AK
AT
L
EM
BA
GA
DARI BAWAH KE ATAS
DARI ATAS KE BAWAH
TIPE B
PENGELOLAAN BERSAMA
TIPE A
PENGELOLAAN BERBASIS
LEMBAGA
TIPE C
PENGELOLAAN BERBASIS
MASYARAKAT
9
Tipe A: Pengelolaan Berbasis Lembaga
Pengambil keputusan dalam manajemen tipe ini adalah lembaga. Lembaga ini memegang kekuasaan tertinggi dalam perumusan rencana, rancangan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana serta pengelolaan pelayanannya. Mungkin ada lembaga lain yang melakukan satu atau dua dari aspek-aspek tersebut. Lembaga ini dapat berkonsultasi dapat pula tidak dengan para pelanggan (pengguna)nya, dan hubungan dengan mereka semata-mata bersifat komersial: pelanggan membayar uang sebagai biaya penyambungan dan selanjutnya secara periodik diwajibkan membayar biaya pelayanan. Contoh lembaga Tipe A ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum, Perusahaan Daerah Kebersihan, dan Perusahaan Daerah Air Limbah di beberapa kota Indonesia
Tipe C: Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Karakteristik yang paling menonjol dari pengelolaan tipe ini adalah bahwa kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan atas seluruh aspek yang menyangkut air minum dan atau penyehatan lingkungan berada di tangan anggota masyarakat, mulai dari tahap awal identifikasi kebutuhan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan, perencanaan tingkat pelayanan yang diinginkan, perencanaan teknis, pelaksanaan pembangunan, hingga ke pengelolaan operasional. Dalam fase-fase tertentu selama proses perkembangan mereka dapat memperoleh fasilitasi dari pihak luar, misalnya informasi tentang berbagai alternatif teknologi dan bantuan teknis (misalnya kontraktor, pengusaha, atau tenaga profesional), namun keputusan terakhir tetap berada di tangan masyarakat itu sendiri.
Tipe B: Pengelolaan Bersama Lembaga dan Masyarakat
Kategori tipe B terjadi karena tumpang tindihnya cakupan wilayah masing-masing pengelolaan lembaga dan pengelolaan oleh masyarakat. Pendekatan tipe B membuka peluang hibrida antara keduanya, dimana beberapa elemen dikelola oleh lembaga sedang elemen-elemen lain oleh masyarakat pengguna. Kerjasama pengelolaan didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak dengan tetap mempertimbangkan aspek komersial, namun segala urusan didalamnya sepenuhnya terserah kepada anggota masyarakat yang bersangkutan. Contoh pengelolaan tipe B ini terdapat dalam praktek pelayanan air minum di kawasan perkotaan padat penduduk, misalnya kelompok pengguna air minum yang mengoperasikan kran air dengan membayar biaya langganan ke Perusahaan Air Minum.
Tipologi Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
10
II. Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat
Bagian ini menguraikan tujuan umum4, tujuan khusus, dasar hukum kebijakan, dan kebijakan umum pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang berbasis masyarakat. Sedangkan strategi pelaksanaan akan dibahas pada bab selanjutnya. Secara visual struktur kebijakan ditampilkan dalam gambar 2.
Gambar 2: Struktur Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan.
2.2 Tujuan Khusus
Secara khusus pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan bertujuan: (a) meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, (b) meningkatkan kehandalan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka faktor-faktor yang harus menjadi pijakan dalam menyusun kebijakan umum adalah sebagai berikut:
4 Tujuan umum diartikan sebagai kondisi yang ingin dicapai dalam kurun waktu relatif panjang, sehingga
lebih merupakan kondisi ideal yang ingin dicapai. Tujuan khusus merupakan kondisi yang ingin dicapai dalam kurun waktu relatif singkat dan dapat dengan mudah diukur pencapaiannya. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana atas pelaksanaan suatu pembangunan.
KESEPAKATAN
INTERNASIONAL
TUJUAN
UMUM
DASAR HUKUM
Prinsip
Dublin-Rio
PENGALAMAN
INTERNASIONAL
DAN NASIONAL
STRATEGI
PELAKSANAAN
KEBIJAKAN
UMUM
TUJUAN
KHUSUS
11
a. Keberlanjutan
Dalam konteks air minum dan penyehatan lingkungan, keberlanjutan dapat diartikan sebagai upaya dan kegiatan penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan yang dilakukan untuk dapat memberikan manfaat dan pelayanan kepada masyarakat pengguna secara terus menerus. Keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari pembangunan prasarana dan sarana, operasi, pemeliharaan, pengelolaan, dan pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan kepada masyarakat. Mengingat pemberdayaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan maka perubahan perilaku masyarakat menuju budaya hidup yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menuju pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan adalah: • keberlanjutan aspek pembiayaan • keberlanjutan aspek teknik • keberlanjutan aspek lingkungan hidup • keberlanjutan aspek kelembagaan • keberlanjutan aspek sosial
b. Penggunaan Efektif5
Penggunaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan dikatakan efektif apabila prasarana dan sarana yang tersedia tepat tujuan, tepat sasaran, dan layak dimanfaatkan. Selain itu, prasarana dan sarana yang tersedia tersebut memenuhi kaidah/standar teknis, kesehatan, dan kelembagaan (pengelolaan), serta memperhatikan perubahan perilaku masyarakat serta kapasitas masyarakat untuk mengelola prasarana dan sarana. Efektivitas penggunaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan dapat dilihat dari dua hal yaitu:
� Kemudahan Penggunaan
Kemudahan penggunaan berkaitan erat dengan tingkat kemudahan masyarakat dalam memanfaatkan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Dengan demikian, prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun dan dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat dan atau oleh perseorangan/keluarga diharapkan berteknologi tepat guna, mudah dioperasikan
5 Penggunaan efektif dipandang lebih penting dari cakupan, walaupun demikian data mengenai cakupan tetap dicatat sebagai bagian dari efektivitas penggunaan. Cakupan biasanya diartikan sebagai suatu angka yang mewakili jumlah penduduk yang dilayani prasarana dan sarana air minum dan/atau penyehatan lingkungan yang berfungsi dalam area tertentu (desa, kota, propinsi, negara), dan dinyatakan dalam angka atau proporsi (% dari total penduduk) yang lebih kuantitatif tanpa mempertimbangkan aspek kualitatif, seperti misalnya apakah sarana berfungsi atau tidak. Dilain pihak, penggunaan efektif telah mempertimbangkan aspek kualitatif sehingga atas dasar itulah cakupan tidak lagi dijadikan sasaran antara dalam kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
12
dan dipelihara, mudah dimanfaatkan, serta berlokasi dekat dengan lokasi aktivitas sehari-hari.
� Kesetaraan
Kesetaraan (equity) berkaitan dengan suatu kondisi bahwa prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun bermanfaat bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan tingkat (strata) sosial, jenis kelamin, suku, agama, dan ras. Melalui kesetaraan tersebut diharapkan masyarakat mempunyai pandangan yang sama untuk meningkatkan peranan masyarakat yang kurang beruntung serta perempuan dalam proses pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Selain itu, peningkatan peranan masyarakat yang kurang beruntung dan perempuan dalam proses pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan merupakan upaya untuk mengubah perilaku mereka dari obyek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan menjadi subyek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
2.3 Dasar Penetapan Kebijakan
Kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia disusun berdasarkan kebijakan nasional sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 33 Ayat 3:
‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’.
b. GBHN 1999-2004 (Tap No. IV/MPR/1999)
Butir B. Ekonomi, Ayat 17:
‘Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, termasuk transportasi, telekomunikasi, energi dan listrik, dan air bersih guna mendorong pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau, serta membuka keterisolasian wilayah pedalaman dan terpencil’.
Butir F. Sosial Budaya, Ayat 1.a:
‘Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut’.
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Bab V Upaya Kesehatan
Bagian kelima : Kesehatan Lingkungan
Pasal 22
‘Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan
13
lainnya. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan penyehatan atau pengamanan lainnya’.
Bab VII Peranserta Masyarakat Pasal 71
‘Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya’.
d. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Bab V Peranserta Masyarakat: ‘Setiap warga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman’. e. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Bab III Hak Kewajiban dan Peranserta Masyarakat
Pasal 3
‘Mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya’.
Pasal 5
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
f. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 4:
‘Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat’.
g. Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 - 2004
Bab VIII Pembangunan Sosial dan Budaya,
Butir C Program-Program Pembangunan
1.1 Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat, dan Pemberdayaan Masyarakat
b. Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat
‘Sasaran khusus program ini adalah (1) meningkatnya perwujudan dan kepedulian perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan bermasyarakat; (2)
14
berkembangnya sistem jaringan dukungan masyarakat, sehingga pada akhirnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat dapat meningkat’.
Bab IX Pembangunan Daerah
Butir C Program-Program Pembangunan
2.6 Program Pengembangan Prasarana dan Sarana Permukiman
‘Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan kualitas pelayanan dan pengelolaan prasarana dan sarana permukiman, meliputi air bersih, drainase, air limbah, persampahan, penanggulangan banjir, jalan lokal, terminal, pasar, sekolah, perbaikan kampung dan sebagainya; (2) peningkatan kualitas operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana permukiman’.
h. Millenium Development Goal (MDG)6
Johannesburg Summit pada tahun 2002 sepakat untuk mengurangi separuh, pada tahun 2015, proporsi penduduk yang tidak dapat atau tidak mampu memperoleh air minum yang sehat (seperti yang tercantum dalam Deklarasi Milenium) dan proporsi penduduk yang tidak memiliki akses pada sanitasi dasar.
i. Deklarasi Kyoto (World Water Forum) 24 Maret 20037
a) Peningkatan akses terhadap air bersih adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan dan kelaparan.
b) Penambahan investasi pada sektor air minum dan penyehatan lingkungan sangat diperlukan dalam rangka mencapai target pengurangan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi dasar pada tahun 2015.
2.4 Kebijakan Umum
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa tujuan pembangunan AMPL adalah meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan dan meningkatkan kehandalan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Agar tujuan tersebut di atas dapat dicapai maka diperlukan perubahan paradigma pembangunan yang dimanifestasikan melalui perubahan kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan yang berdasar kepada:
6 Dikutip dari Terjemahan Tidak Resmi, Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan dan Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan, Berikut Komitmen Sektoral Nasional, Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri, 2002. 7 Diterjemahkan dari pernyataan aslinya sebagaimana berikut 1) Access to clean water is essential for sustainable development and the eradication of poverty and hunger; 2) Far more investment in water supply and sanitation is needed to halve the proportion of people without access to safe drinking water and basic sanitation by 2015.
15
a. Air Merupakan Benda Sosial dan Benda Ekonomi
Peranan air sebagai sumber kehidupan telah disadari semua lapisan masyarakat, namun manifestasinya menimbulkan berbagai pandangan. Hingga saat ini sebagian anggota masyarakat masih berpandangan bahwa air sebagai sumber kehidupan semata-mata merupakan benda sosial (public good) yang dapat diperoleh secara cuma-cuma serta tidak mempunyai nilai ekonomi. Pandangan ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat menghargai air sebagai benda langka yang mempunyai nilai ekonomi. Dampaknya adalah masyarakat mengeksploitasi air secara bebas dan berlebihan serta tidak mempunyai keinginan untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya air baik kualitas maupun kuantitasnya, dan kemacetan dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk penggunaan kembali (reuse) dan pendaur-ulangan (recycle) air.
Untuk mengubah pandangan tersebut di atas diperlukan upaya kampanye publik (public campaign) kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa air merupakan benda langka yang mempunyai nilai ekonomi dan memerlukan pengorbanan untuk mendapatkannya, baik berupa uang maupun waktu. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap sisi lain dari air yaitu sebagai benda ekonomi maka diharapkan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan air akan berubah, lebih bijak dalam mengeksploitasi air, lebih efisien dalam memanfaatkan air, mempunyai keinginan untuk berkorban dalam mendapatkan air. Sesuai dengan sifatnya sebagai benda ekonomi maka prinsip utama dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan adalah “pengguna harus membayar atas pelayanan yang diperolehnya”. Prinsip tersebut mencerminkan pandangan bahwa yang dibayar oleh pengguna adalah biaya atas kemudahan untuk memperoleh pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan.
b. Pilihan yang Diinformasikan Sebagai Dasar dalam Pendekatan Tanggap Kebutuhan
Pendekatan tanggap kebutuhan (Demand Responsive Approach) menempatkan masyarakat pada posisi teratas dalam pengambilan keputusan, baik dalam hal pemilihan sistem yang akan dibangun, pola pendanaan, maupun tata cara pengelolaannya. Untuk meningkatkan efektivitas pendekatan tanggap kebutuhan, pemerintah sebagai fasilitator harus memberikan pilihan yang diinformasikan (informed choice)8 kepada masyarakat. Pilihan yang diinformasikan tersebut menyangkut seluruh aspek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, seperti aspek teknologi, pembiayaan, lingkungan, sosial dan budaya, serta kelembagaan pengelolaan.
c. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya air didalamnya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan kualitas hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
8 Pilihan yang terinformasikan mencakup saat berpartisipasi, pilihan teknologi dan tingkat pelayanan berdasar pada keinginan membayar (willingness to pay), bagaimana dan kapan diterimanya pelayanan, bagaimana pengelolaan dana dan pertanggungjawabannya, dan bagaimana pengelolaan pelayanan.
16
Pembangunan air minum mulai dari sumber air, pengaliran air baku, pengolahan air minum, jaringan distribusi air minum, sampai dengan sambungan rumah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Demikian juga, pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, khususnya pengelolaan limbah dan persampahan juga dilaksanakan mengikuti kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Dengan demikian diharapkan adanya sinergi antara upaya peningkatan
kualitas hidup masyarakat dengan upaya peningkatan kelestarian lingkungan.
d. Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Agar pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan dapat berkelanjutan maka pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan harus mampu mengubah perilaku masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan sebagai dasar menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku masyarakat dilakukan melalui pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat. Sebagai suatu sistem yang menyeluruh (komprehensif) maka dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan komponen pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat merupakan komponen utama, selain komponen fisik prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
e. Keberpihakan pada Masyarakat Miskin
Pada prinsipnya, seluruh masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang layak dan terjangkau. Oleh sebab itu, dengan melihat keterbatasan yang dimiliki maka pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus memperhatikan dan melibatkan secara aktif kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat tidak beruntung lainnya dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sebagai upaya agar mereka tidak terabaikan dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan, sehingga kebutuhan air minum dan penyehatan lingkungan bagi kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat tidak beruntung lainnya dapat terpenuhi secara layak, adil, dan terjangkau.
f. Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Peranan perempuan untuk memenuhi kebutuhan air minum dan penyehatan lingkungan untuk kepentingan sehari-hari sangat dominan. Sebagai pihak yang langsung berhubungan dengan pemanfaatan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, perempuan lebih mengetahui yang mereka butuhkan dalam hal kemudahan mendapatkan air dan kemudahan mempergunakan prasarana dan sarana .
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh UNICEF dengan Bank Dunia terhadap proyek-proyek air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia, pelibatan perempuan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan terbukti meningkatkan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana yang dibangun. Sehingga sudah sewajarnya menempatkan perempuan sebagai pelaku utama dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
Menempatkan perempuan sebagai pelaku utama diartikan sebagai keikutsertaan mereka secara aktif dalam menemukenali persoalan pokok air minum dan penyehatan
17
lingkungan, mengidentifikasi penyebabnya, mengemukakan usulan pemecahan, dan mengambil keputusan untuk memecahkan persoalan pokok.
g. Akuntabilitas Proses Pembangunan
Dalam era desentralisasi dan keterbukaan maka pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus menempatkan masyarakat sasaran tidak lagi sebagai obyek pembangunan namun sebagai subyek pembangunan. Kebijakan ini sekaligus bertujuan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali lebih dini sistem pengelolaannya.
Prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan mempunyai sasaran akhir masyarakat yang berkemampuan mengoperasikan, memelihara, mengelola, dan mengembangkan prasarana dan sarana yang telah dibangun. Untuk itu, pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus lebih terbuka, transparan, serta memberikan peluang kepada semua pelaku untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada pada seluruh tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan, dan pengembangan pelayanan.
h. Peran Pemerintah Sebagai Fasilitator
Pemberdayaan diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi dan kemampuan yang mereka miliki atas dasar prakarsa dan kreativitas. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 92 ayat 2, dinyatakan bahwa pemberdayaan diartikan sebagai upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan kepemilikan dari prasarana dan sarana yang dibangun. Selaras dengan pengertian tersebut maka peranan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai fasilitator, bukan sebagai penyedia (provider).
Sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat, pemerintah dapat memberi kesempatan kepada pihak lain yang berkompeten serta mendorong inovasi untuk meningkatkan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan.
Peranan pemerintah khususnya pemerintah kabupaten dan kota sebagai fasilitator sangat penting dalam kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Fasilitasi tidak diartikan sebagai pemberian prasarana dan sarana fisik maupun subsidi langsung, namun pemerintah harus memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada masyarakat yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mereka dapat merencanakan, membangun, dan mengelola sendiri prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan serta melaksanakan secara mandiri kegiatan pendukung lainnya. Dalam upaya mengoptimalkan peran daerah sebagai fasilitator, daerah juga perlu mendorong partisipasi pihak lain yang berkompeten dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, seperti pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Daerah juga perlu mendorong terjadinya koordinasi dan kerjasama antar wilayah dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang melibatkan dua atau lebih wilayah yang
18
berbeda. Penting juga diperhatikan adalah kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan data dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat serta berperan sebagai mitra konsultasi dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat yang telah berjalan selama ini, baik yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, organisasi masyarakat setempat, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat perlu terus dikembangkan.
i. Peran Aktif Masyarakat
Seluruh masyarakat harus terlibat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Namun demikian mengingat keterbatasan ruang dan waktu maka keterlibatan tersebut dapat melalui mekanisme perwakilan yang demokratis serta mencerminkan dan merepresentasikan keinginan dan kebutuhan mayoritas masyarakat.
j. Pelayanan Optimal dan Tepat Sasaran
Pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus optimal dan tepat sasaran. Yang dimaksud dengan optimal adalah kualitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, dan nyaman serta terjangkau semua lapisan masyarakat. Oleh sebab itu, pilihan jenis pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus ditawarkan kepada masyarakat pengguna agar masyarakat dapat memanfaatkannya sesuai dengan pilihannya. Tepat sasaran diartikan sebagai cakupan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
k. Penerapan Prinsip Pemulihan Biaya
Kapasitas dan kemampuan anggaran pemerintah (pusat dan daerah) yang ada tidak mencukupi untuk terus membangun dan mengelola prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan bagi seluruh masyarakat. Untuk menunjang keberlanjutan pelayanan maka pembangunan dan pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan perlu memperhatikan prinsip pemulihan biaya (cost recovery). Dengan demikian, pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang berbasis masyarakat perlu memperhitungkan seluruh komponen biaya dalam pembangunan mulai biaya perencanaan, pembangunan fisik, dan operasi pemeliharaan serta penyusutannya (depreciation). Besaran iuran atas pelayanan air untuk menutup minimal biaya operasional, harus disepakati oleh masyarakat pengguna sesuai dengan tingkat kemampuan/daya beli masyarakat setempat (miskin, menengah, dan kaya).
Untuk itu dalam tahapan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan penerapan prinsip pemulihan biaya harus dikomunikasikan secara terbuka kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama masyarakat pengguna, agar mereka mengetahui besarnya nilai investasi dalam pembangunan prasarana dan sarana tersebut. Selanjutnya diharapkan masyarakat dapat memilih alternatif sistem yang terjangkau dan masyarakat memiliki pemahaman untuk memelihara prasarana dan sarana yang dibangun.
19
III. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan merupakan penjabaran dari kebijakan umum yang tertuang dalam bab terdahulu. Strategi ini memberikan kerangka umum untuk mewujudkan keberlanjutan dan penggunaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun secara efektif untuk mewujudkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Strategi-strategi ini saling terkait satu dengan lainnya, komprehesif, serta berorientasi kepada operasionalisasi kebijakan dan pencapaian tujuan. Strategi pelaksanaan berdasar pendekatan tanggap kebutuhan ditampilkan dalam Gambar 3 berikut.
Gambar 3 : Strategi Pelaksanaan Kebijakan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Strategi 1 : Mengembangkan kerangka peraturan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan
Peraturan dibutuhkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan melindungi terjadinya penyimpangan terhadap peran serta masyarakat pada semua tahapan pembangunan, mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan prasarana dan sarana yang dibangun.
Pengembangan lembaga/peningkatan UPS, Koperasi air, PDAM atau organisasi masyarakat yang keberadaan dan kepemilikan asetnya memiliki status hukum yang jelas
Strategi 5, 11
Masyarakat
O&P, Pengembangan dan Replikasi
Strategi 6,7,14,15,16
Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif
Strategi 3,4,5,13
Kampanye Kesadaran Masyarakat Strategi 2,5,8,9,10,11,12
Stakeholder lain: Swasta, LSM dll.
Daerah
Pemerintah
Pemenuhan Kebutuhan
Kebutuhan
Kerangka Kebijakan Strategi 1
Komoditi Ekonomi
Strategi 3
Opsi Pelayanan
Strategi 3,7
Kemauan untuk Membayar
Strategi 3,12
Penyediaan fasilitator
20
Terobosan-terobosan peraturan perlu dilakukan untuk mengakomodasikan pendekatan pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang bertumpu kepada pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pemberdayaan masyarakat. Prinsip-prinsip good governance seperti akuntabilitas, transparansi, kesetaraan, penegakan hukum, tanggap, berwawasan ke depan, pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme, menjadi dasar dalam kerangka peraturan tersebut.
Mengingat proses pemberdayaan masyarakat memerlukan waktu yang tidak dapat dibatasi oleh tahun anggaran maka mekanisme penganggaran perlu memperhatikan kendala tersebut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pembaruan mekanisme penganggaran yang terkait dengan proses pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, perlu disusun peraturan yang mengatur status hukum prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun melalui anggaran bersama (sharing), antara pemerintah dengan masyarakat; antara anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya; antara masyarakat dengan lembaga keuangan pemberi bantuan(hibah) dan pinjaman; antara masyarakat dengan organisasi masyarakat setempat atau lembaga swadaya masyarakat, dan bentuk kerjasama keuangan antara masyarakat dengan pihak lainnya. Hal lain yang juga perlu diatur adalah mengenai pemindahan aset (transfer asset) dari pemerintah kepada masyarakat.
Strategi 2 : Meningkatkan investasi untuk pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat pengguna.
Melihat bahwa persoalan utama dalam pengelolaan prasarana dan sarana air minum
dan penyehatan lingkungan adalah terbatasnya kapasitas sumber daya manusia,
khususnya sumber daya masyarakat pengguna, maka investasi untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia dalam program air minum dan penyehatan lingkungan
harus ditingkatkan. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia bagi masyarakat
pengguna dapat berbentuk bantuan teknis, penyediaan informasi pilihan, dan fasilitasi
dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Bantuan teknis diperlukan untuk membuka wawasan masyarakat terhadap pilihan-pilihan yang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan mereka, termasuk keuntungan dan resiko yang harus dipikulnya. Pilihan-pilihan tersebut meliputi aspek teknis, pembiayaan, kelembagaan, sosial dan budaya kemasyarakatan, serta pelestarian lingkungan hidup.
Kapasitas pemerintah sebagai fasilitator juga perlu ditingkatkan terutama kapasitas aparat pemerintah daerah yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Peningkatan kapasitas pemerintah dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar/lokakarya, studi banding dan on the job training melalui interaksi langsung dengan persoalan-persoalan di lapangan.
Pendanaan bagi peningkatan kapasitas sumberdaya manusia bersumber pada anggaran pemerintah daerah, pusat, atau kerjasama dengan pihak lain yang memiliki visi yang sama dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia.
21
Strategi 3 : Mendorong penerapan pilihan-pilihan pembiayaan untuk pembangunan, dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Dengan mengacu pada mekanisme pasar yang berprinsip bahwa pengguna membayar seluruh biaya pelayanan (user pay) maka masyarakat pengguna pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus membiayai seluruh biaya pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, baik biaya pembangunan maupun biaya operasi dan pemeliharaannya.
Mengingat keterbatasan kemampuan pendanaan pemerintah saat ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki cara pandang semua pihak sehingga biaya pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan harus berdasarkan prinsip pemulihan biaya (cost recovery), yang artinya semua komponen biaya harus diperhitungkan dan harus ditanggung oleh pengguna.
Untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut masyarakat harus diberikan pilihan-pilihan sistem pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan mereka melalui pemberian sebanyak-banyaknya pilihan pembiayaan dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan serta memfasilitasi proses pemilihan alternatif terbaik oleh masyarakat, misalnya melalui pola pendanaan bersama (cost sharing) antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan seperti proyek WSLIC2, ProAir atau beberapa proyek yang dikembangkan oleh LSM bersama masyarakat. Peranan pihak luar (pemerintah, lembaga donor, lembaga non-pemerintah) diperlukan untuk meningkatkan wawasan masyarakat mengenai perlunya alternatif pembiayaan dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Pemerintah sebagai fasilitator juga berkewajiban melakukan fasilitasi koordinasi antar pelaku air minum dan penyehatan lingkungan di daerah, seperti kelompok swadaya masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, donor, pihak swasta, termasuk pemerintah sendiri, guna meningkatkan efisiensi pembiayaan pembangunan. Koordinasi antar pelaku diharapkan dapat melakukan sinergi dalam pembiayaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
Strategi 4 : Menempatkan kelompok pengguna dalam pengambilan keputusan pada seluruh tahapan pembangunan serta pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Pengambilan keputusan dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di kota kecil dan kawasan perdesaan sebaiknya dilakukan pada lapisan paling bawah, yaitu masyarakat pengguna/penerima prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Mereka harus mampu menentukan jenis pelayanan yang dibutuhkan, teknologi yang diterapkan, pilihan pembiayaan, dan sistem pengelolaannya termasuk jenis kelembagaannya. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan prinsip partisipatif (participatory approach) yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan tanggap kebutuhan menuntut masyarakat untuk memahami betul sistem air minum dan
22
penyehatan lingkungan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kemampuannya.
Strategi 5 : Meningkatkan kemampuan masyarakat di bidang teknik, pembiayaan, dan kelembagaan, dalam pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Menjadikan masyarakat sebagai pengambil keputusan berarti memposisikan masyarakat sebagai penanggung jawab utama dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Kondisi ini harus disertai dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam seluruh aspek, khususnya bidang teknik, keuangan dan kelembagaan. Dalam aspek teknik, masyarakat perlu dilatih untuk mengenali dan memahami karakteristik teknologi yang tepat guna serta sesuai dengan kondisi daerahnya. Untuk itu, dukungan dalam bentuk bantuan teknis sangat diperlukan, baik yang berasal dari pemerintah (pusat dan daerah), perguruan tinggi, LSM, dan swasta. Bantuan teknis kepada masyarakat diperlukan untuk mengelola, mengoperasikan dan memelihara prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun sesuai dengan kaidah-kaidah teknis yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu juga diperlukan pelatihan administrasi pembukuan bagi kelompok masyarakat pengguna. Pengetahuan administrasi pembukuan diperlukan untuk menjamin transparansi diantara para pelaku. Peningkatan kemampuan dalam pengelolaan administrasi selain dilakukan melalui pelatihan juga dapat dilakukan melalui kerjasama kelembagaan, studi banding, ataupun melalui magang. Bagi pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang dibiayai melalui anggaran non-pemerintah, seperti LSM, lembaga keuangan internasional, perguruan tinggi, dan sebagainya perlu adanya pelatihan administrasi pembukuan khusus yang sesuai dengan tuntutan pemberi bantuan dan atau pinjaman. Dalam kaitan dengan pengembangan kelembagaan, masyarakat perlu mengetahui struktur organisasi pengelola prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan beserta fungsi dan tata kerjanya, kaitan dengan lembaga lain sejenis, kaitan dengan pemegang saham, tata cara pengembangan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan beserta tata cara menggali dana yang dibutuhkan, dan tata cara menyusun laporan keuangan kepada masyarakat yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendukung hal-hal di atas maka diperlukan pengaturan antara hak dan kewajiban antara pengelola dan masyarakat pengguna. Pengaturan dan pembagian hak dan kewajiban tersebut dikembangkan sendiri oleh pengelola dan masyarakat pengguna, sedangkan pemerintah berperan sebagai fasilitator untuk mendorong tersusunnya peraturan tersebut serta mendiseminasikannya kepada masyarakat luas.
23
Strategi 6 : Menyusun Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM) sektor air minum dan penyehatan lingkungan sebagai upaya memperbaiki kualitas pelayanan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, operasi, pemeliharaan, dan pengelolaan
Untuk meningkatkan kinerja program air minum dan penyehatan lingkungan yang berbasis masyarakat, diperlukan upaya perbaikan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program. Penyediaan bantuan teknis atau sejenisnya di tingkat kabupaten, kecamatan, dan bahkan desa sangat diperlukan, guna meningkatkan kemudahan bagi masyarakat melakukan konsultasi teknis, serta mendapatkan informasi tentang program prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Terkait dengan hal tersebut maka NSPM (Norma, Standar, Pedoman, dan Manual) menjadi alat yang efektif untuk melaksanakan pembinaan teknis bagi masyarakat pengguna. Panduan tersebut juga mencakup aspek kelestarian lingkungan, khususnya tata cara pelestarian sumber daya air baik secara kuantitas yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan sumber air, maupun secara kualitas yang terkait erat dengan tata cara pengelolaan limbah. Panduan ini seyogyanya mudah dipahami dan dimengerti oleh kalangan awam, serta menampilkan gambar yang provokatif dan informatif. Pendekatan dan teknik yang telah dimiliki dan dipergunakan selama ini, seperti PRA (Participatory Rural Appraisal), PHAST (Participatory Hygiene and Sanitation Transformation), CMA (Community Management Approach), MPA (Methodology for Participatory Assessment) dalam berbagai proyek, dapat terus dikembangkan dan disebarluaskan. Contoh pendekatan partisipatif dapat dilihat pada lampiran E.
Strategi 7 : Mendorong konsolidasi penelitian, pengembangan, dan diseminasi pilihan teknologi untuk mendukung prinsip pemberdayaan masyarakat.
Hingga saat ini telah banyak uji coba dan pemanfaatan teknologi tepat guna di sektor air minum dan penyehatan lingkungan, baik yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga penelitian, perguruan tinggi, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat, bahkan kelompok masyarakat sendiri. Namun demikian inventarisasi terhadap teknologi tepat guna beserta kelebihan dan kekurangannya belum pernah dilakukan.
Dalam rangka mendukung prinsip informed choice maka kegiatan inventarisasi teknologi tepat guna tersebut perlu dilakukan sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai pedoman dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Agar masyarakat mudah mengakses informasi-informasi tersebut diperlukan kesiapan lembaga yang bertanggung jawab terhadap kegiatan inventarisasi tersebut.
Kegiatan lain yang perlu ditingkatkan adalah sosialisasi dan diseminasi hasil-hal penelitian dan pengembangan tersebut kepada pemerintah baik pusat maupun daerah, masyarakat dan pelaku lain di bidang air minum dan penyehatan lingkungan.
24
Strategi 8 : Mengembangkan motivasi masyarakat melalui pendidikan formal dan informal.
Motivasi yang melatar-belakangi tumbuhnya kebutuhan terhadap air minum berbeda dari motivasi yang melatarbelakangi kebutuhan terhadap penyehatan lingkungan. Praktek kegiatan pengelolaan penyehatan lingkungan dan kebiasaan hidup sehat lebih bersifat pribadi. Dengan sendirinya perubahan-perubahan yang terjadi terletak di tingkat individu dan rumah tangga. Implikasinya, jangka waktu yang diperlukan untuk mewujudkan perbaikan dalam pelayanan penyehatan lingkungan relatif lebih lama dibandingkan dengan perbaikan pelayanan air minum. Hal ini disebabkan pengelolaan penyehatan lingkungan memerlukan lebih banyak waktu untuk mensosialisasikan pentingnya perubahan perilaku hidup bersih dan sehat.
Upaya tersebut di atas dilaksanakan antara lain melalui penyadaran masyarakat, pendidikan di sekolah, dan pelatihan partisipatif yang melibatkan keluarga dan masyarakat. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat melalui metoda partisipatif terbukti efektif dalam meningkatkan manfaat dan pelayanan bidang air minum dan penyehatan lingkungan.
Untuk meningkatkan pemahaman (awareness) masyarakat terhadap pentingnya air minum dan penyehatan lingkungan maka penyadaran perlu diberikan sejak sekolah dasar. Murid sekolah dasar diberikan contoh-contoh dan gambar-gambar yang merangsang imajinasi mereka dalam berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga mereka mempunyai bekal pengetahuan yang cukup pada saat menginjak dewasa. Pendidikan lainnya juga dapat dilakukan melalui majalah yang diterbitkan khusus yang memuat pesan-pesan tentang kesehatan lingkungan, pembahasan dan diskusi yang difasilitasi oleh guru-guru yang sudah dilatih.
Strategi 9 : Meningkatkan pelestarian dan pengelolaan lingkungan, khususnya sumber daya air.
Untuk keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan maka sumber daya air yang meliputi air permukaan, air tanah baik air tanah dalam maupun dangkal, dan mata air perlu mendapatkan perhatian dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan program air minum dan penyehatan lingkungan. Kesadaran bahwa daya dukung lingkungan mempunyai batas perlu disebarluaskan, serta harus diikuti dengan pengadaan peraturan perundangan dan penegakan hukum yang ketat. Selain itu perlu diterapkan pula sistem insentif, reward dan dis-insentif bagi para pelaku yang terlibat pada pemanfaatan sumber daya air.
Terkait dengan upaya menyelamatkan kelestarian sumber daya air maka diperlukan strategi terpadu untuk meningkatkan kualitas lingkungan, melalui perlindungan kawasan penyangga mata air, rehabilitasi wilayah tangkapan air, pengurangan eksploitasi air tanah, dan peningkatan pengelolaan air limbah dan persampahan.
Mengingat daya dukung lingkungan mikro untuk menerima beban pencemaran dari air limbah, baik rumah tangga ataupun industri kecil dan industri rumah tangga, sangat terbatas dan jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya maka pengelolaan air limbah, baik rumah tangga ataupun industri kecil dan industri rumah tangga perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi sederhana, tepat guna, akrab lingkungan, dan mudah dikelola.
25
Kondisi yang sama juga didapati pada pengelolaan persampahan. Dengan semakin tingginya laju pertumbuhan penduduk maka jumlah timbulan sampah yang dihasilkan semakin meningkat. Namun demikian luas lahan yang tersedia sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) semakin terbatas. Implikasinya, masyarakat seringkali membuang sampah ke badan air sehingga mencemari badan air tersebut. Untuk itu diperlukan upaya untuk menanggulangi persoalan tersebut, antara lain melalui peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya upaya daur ulang (recycle), pengurangan volume (reduce), dan penggunaan kembali (reuse). Untuk itu diperlukan pengembangan dan pelaksanaan peraturan perundangan (termasuk penegakan hukum) ataupun penerapan sistem insentif, reward dan dis-insentif.
Strategi 10: Mempromosikan perubahan pendekatan dalam pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, dari pendekatan berdasarkan batasan administrasi menjadi pendekatan sistem.
Pendekatan penanganan program air minum dan penyehatan lingkungan yang berdasarkan batasan administratif (wilayah perkotaan dan perdesaan) tidak tepat lagi untuk diterapkan. Hal ini berdasarkan, bahwa untuk mencapai pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan yang efektif dan efisien serta mengatasi keterbatasan sumber daya maka cakupan wilayah pelayanan tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi.
Kenyataan saat ini menunjukkan adanya kawasan perkotaan yang memiliki karakteristik perdesaan dan tidak terlayani oleh sistem perkotaan, seperti yang terjadi pada wilayah pinggiran kota, ataupun di kantong-kantong permukiman di pusat kota. Demikian halnya di kawasan perdesaan, ada sistem yang cukup besar sehingga tidak dapat dikelola oleh masyarakat, tetapi dipandang tidak potensial untuk dikelola oleh lembaga formal yang sebagai pengelola air minum dan penyehatan lingkungan diperkotaan seperti PDAM, PDAL, Dinas Kebersihan.
Kekakuan dalam cara berpikir dan egoisme kewilayahan, dengan berlindung kepada peraturan perundang-undangan dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi kendala utama dalam pengembangan dan peningkatan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Kendala-kendala ini yang menyebabkan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan selama ini, sehingga masyarakat tidak dan belum mendapatkan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan sebagaimana yang diharapkan.
Untuk mengatasi kendala tersebut maka perlu adanya perubahan pendekatan dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan dengan lebih mensinergikan seluruh sumber daya antar daerah. Pendekatan sistem regional dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan merupakan alternatif dan strategi terbaik untuk mengatasi kendala sebagaimana tersebut diatas. Pendekatan sistem regional harus terus dikembangkan untuk mengatasi masalah secara komprehensif, integratif dan koordinatif.
26
Strategi 11: Meningkatkan kualitas pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat pengguna.
Pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan oleh masyarakat pengguna pada umumnya dilaksanakan melalui Unit Pengelola Sarana (UPS). Lembaga tersebut, beserta sumber daya manusia, perangkat lunak dan perangkat kerasnya, yang menentukan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dikelola oleh masyarakat. Oleh sebab itu, keberadaan unit-unit pengelola sarana ini sangat diperlukan. Dalam rangka mendukung prinsip keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan kepada masyarakat maka bantuan teknis kepada UPS perlu ditingkatkan, antara lain melalui bantuan teknis, bantuan pengelolaan administrasi, bantuan pengembangan sumber daya manusia, dan bantuan pengembangan komunikasi yang baik dengan masyarakat pengguna. Selain itu, guna meningkatkan kualitas pelayanan, lembaga tersebut perlu diberikan peningkatan keterampilan pemeriksaan kualitas air secara sederhana. Peningkatan kualitas pengelolaan juga perlu dilakukan terhadap sistem yang telah terbangun tetapi tidak berkelanjutan. Upaya-upaya khusus yang dilakukan dapat dilakukan melalui beberapa tahap; tahap pertama, melakukan inventarisasi atas sistem yang tidak berfungsi, tahap kedua, melakukan kajian untuk menemukan penyebab dari tidak berfungsinya sistem tersebut. Tahapan yang terakhir adalah melakukan rencana kerja bersama masyarakat pengguna untuk memperbaiki sistem tersebut.
Strategi 12 : Meningkatkan kepedulian masyarakat pengguna.
Penggunaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan akan efektif apabila prasarana dan sarana yang dibangun mudah dioperasikan, mudah dipelihara, serta memenuhi prinsip kesetaraan, yaitu dapat bermanfaat bagi setiap anggota masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
Keterlibatan masyarakat secara aktif pada setiap tahapan merupakan upaya untuk meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan serta sebagai upaya melakukan perubahan perilaku masyarakat secara bertahap. Rasa memiliki dari masyarakat akan melahirkan kepedulian dalam memelihara prasarana dan sarana yang dibangun. Lebih luas lagi, kepedulian masyarakat perlu didorong bukan saja dalam memeliharan prasarana dan sarana, tetapi juga dalam menjaga keberlanjutan sumber air baik kuantitas maupun kualitasnya, dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Kepedulian masyarakat tersebut perlu dibangun dan dibangkitkan dengan upaya-upaya kampanye penyadaran tentang pentingnya air minum dan penyehatan lingkungan bagi kesehatan dan kesejahteraannya.
27
Strategi 13: Menerapkan upaya khusus pada masyarakat yang kurang beruntung untuk mencapai kesetaraan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan.
Air minum dan penyehatan lingkungan pada dasarnya merupakan sektor yang bersifat tidak diskriminatif. Semua orang berhak mendapatkan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Perbedaan tingkat pelayanan terjadi karena adanya perbedaan tingkat kebutuhan dan kemampuan untuk mendapatkan pelayanan.
Perbedaan tingkat kebutuhan, biasanya terjadi karena adanya ketidaksamaan kualitas pelayanan yang ingin diperoleh masyarakat. Untuk mengatasi perbedaan kemampuan untuk mendapatkan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan dapat diatasi antara lain melalui penawaran pilihan pelayanan yang memungkinkan masyarakat mendapatkan pilihan yang sesuai dengan kemampuannya. Khusus untuk masyarakat yang kurang beruntung perlu dibantu baik oleh kelompok masyarakatnya sendiri yang lebih mampu, pihak pemerintah, maupun pihak lain yang terkait.
Kesenjangan yang terjadi saat ini tidak hanya terjadi pada tingkat pelayanan, namun juga kesenjangan dalam berpartisipasi. Pada umumnya yang kurang/tidak dapat berpartisipasi secara aktif adalah masyarakat yang kurang beruntung baik miskin atau cacat dan perempuan.
Dalam upaya keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan, kesenjangan berpartisipasi dalam seluruh tahapan pembangunan harus dihilangkan. Oleh karenanya diperlukan upaya-upaya khusus untuk mendorong masyarakat yang kurang beruntung dan perempuan dapat berpartisipasi secara aktif antara lain dengan membangkitkan keberanian masyarakat kurang beruntung dan perempuan untuk mengemukakan pendapatnya. Upaya untuk mendorong keberanian masyarakat dapat dilakungan dengan cara pendekatan sosio-kultural.
Strategi 14 : Mengembangkan pola monitoring dan evaluasi hasil pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang berorientasi kepada pencapaian tujuan dan ketepatan sasaran.
Sasaran dan tujuan pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan dapat dicapai dengan penguatan sistem pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan itu sendiri, yang dimulai dengan perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, serta monitoring dan evaluasi sebagai umpan balik untuk mengetahui keberhasilan program. Untuk itu, perlu dilakukan penyempurnaan sub sistem monitoring dan evaluasi yang selama ini dipergunakan agar lebih berorientasi kepada penilaian pencapaian tujuan.
Pola monitoring dan evaluasi yang berorientasi kepada pencapaian target fisik sebagaimana dilakukan selama ini seringkali menghasilkan data dan informasi yang keliru (tidak tepat) mengenai tingkat pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Hal ini disebabkan karena pola monitoring dan evaluasi tersebut tidak memperhatikan tingkat pemanfaatan dan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat.
28
Strategi 15 : Mengembangkan komponen kegiatan monitoring dan evaluasi dalam empat tingkat
1. Monitoring dan evaluasi pada tingkat masyarakat pengguna 2. Monitoring dan evaluasi pada tingkat kabupaten/kota 3. Monitoring dan evaluasi pada tingkat propinsi 4. Monitoring dan evaluasi pada tingkat pusat Pada dasarnya monitoring dan evaluasi adalah suatu proses arus informasi timbal balik antara kegiatan yang terjadi di lapangan dengan desain awal program yang dilakukan oleh pihak pemrakarsa, baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam prakteknya pemrakarsa tidak melakukan proses tersebut sehingga arus informasi yang diharapkan tidak terjadi sehingga tidak bisa dilakukan umpan balik terhadap desain awal program. Banyak penyebab timbulnya kemacetan dalam arus informasi, antara lain tidak adanya kesepakatan dan kesadaran mengenai perlunya monitoring dan evaluasi dilakukan, ketidaksiapan perangkat lunak dan keras untuk mendukung proses tersebut, tumpang tindihnya kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan sistem monitoring dan evaluasi yang dimulai pada tingkat paling bawah yaitu masyarakat pengguna, kemudian dikelompokkan kepada tingkat pemerintahan paling bawah hingga pemerintah pusat.
a. Monitoring dan evaluasi di tingkat masyarakat pengguna
Berbeda dengan sistem yang selama ini dijalankan, pendekatan partisipatif bagi seluruh pihak terkait memberi kesempatan pada masyarakat pengguna untuk terlibat secara aktif pada kegiatan monitoring dan evaluasi mulai dari pengumpulan data, analisis persoalan, pemilihan alternatif pemecahan, perencanaan teknis, pelaksanaan, hingga pengelolaan. Proses tersebut membangun kemampuan dan kapasitas masyarakat pengguna dalam mengambil keputusan.
Prinsip terpenting dalam kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah bahwa temuan yang diperoleh pada setiap tingkat digunakan untuk menentukan langkah perbaikan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama oleh masyarakat. Indikator kinerja pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan pada tingkatan ini ditentukan dan disepakati oleh masyarakat yang bersangkutan.
Peran pihak luar, seperti pemerintah daerah, dalam kegiatan monitoring dan evaluasi di tingkat masyarakat ini adalah sebagai fasilitator atau pemandu proses. Aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah sistem pencatatan data, lembaga yang bertanggungjawab dalam pendataan tersebut, serta sistem informasi yang memudahkan semua pihak untuk mendapatkan data tersebut.
b. Monitoring dan evaluasi di tingkat kabupaten/kota.
Sesuai dengan amanat otonomi daerah, pemerintah pusat berkewajiban untuk memberikan panduan umum sebagai pedoman bagi pemerintah kabupaten/kota. Begitu pula halnya pada sistem monitoring dan evaluasi, pemerintah pusat memberikan panduan umum sistem monitoring dan evaluasi beserta indikator kinerja pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Hal ini dimaksudkan untuk
29
mempermudah dilakukannya pengelompokan secara nasional dalam pendataan untuk penyusunan kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan berskala nasional.
Namun demikian, pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk melakukan modifikasi sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Untuk mendapatkan informasi hasil monitoring dan evaluasi di tingkat masyarakat pengguna, aparat pemerintah kabupaten/kota harus proaktif serta melaporkannya ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yaitu pemerintah pusat yang diwakili oleh pemerintah propinsi.
c. Monitoring dan evaluasi di tingkat propinsi
Peranan daerah propinsi dalam monitoring dan evaluasi adalah sebagai perpajangan tangan pemerintah pusat, sehingga berkewajiban untuk mengkoordinasikan dan mendokumentasikan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Untuk selanjutnya peranan pemerintah propinsi ini harus disosialisasikan, mengingat lebih menonjolnya peran pemerintah kabupaten/kota sehingga masih banyak dipertanyakan mengenai peran pemerintah propinsi yang seharusnya. d. Monitoring dan evaluasi di tingkat pusat.
Monitoring dan evaluasi di tingkat pusat diperlukan sebagai upaya untuk terus melakukan umpan balik terhadap kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan sehingga diperoleh suatu kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan yang rasional, operasional, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena proses monitoring dan evaluasi merupakan proses yang dinamis maka kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan juga merupakan kebijakan yang dinamis yang selalu berupaya beradaptasi/menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pengelompokan data yang diperoleh dari tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat pengguna membutuhkan klarifikasi dan pemeriksaan langsung. Hal ini diperlukan untuk melihat kesahihan data serta menyesuaikan data yang ada dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Strategi 16 : Mengembangkan dan menyebarluaskan indikator kinerja pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
Sebagai tindak lanjut dari perlunya penyempurnaan sistem monitoring dan evaluasi adalah perlunya penyusunan dan penyebarluasan indikator-indikator kinerja pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Indikator kinerja tersebut dibutuhkan sebagai sarana untuk terus melakukan monitoring hasil pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan pada setiap tahapan secara berkesinambungan sehingga pencapaian tujuan dalam setiap tahapan dapat diketahui. Pada tingkat nasional, indikator kinerja pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan disusun secara generik sehingga dapat dimasukkan muatan-muatan lokal sesuai dengan karakteristik daerah. Namun demikian memastikan adanya indikator partisipatif dalam setiap proyek air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) penting untuk dilakukan.
30
IV. Penutup
Dengan terselesaikannya Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat ini, maka selanjutnya seluruh kebijakan yang telah disepakati akan menjadi acuan dalam pembangunan program air minum dan penyehatan lingkungan khususnya yang berbasis masyarakat. Kebijakan nasional ini bersifat umum sehingga dalam pelaksanaan dibutuhkan suatu penterjemahan yang lebih operasional dari pihak yang berkepentingan. Adopsi dan adaptasi kebijakan nasional akan berbeda di setiap daerah, disesuaikan dengan karakteristik dan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing daerah. Kebijakan nasional ini perlu dijabarkan lebih lanjut oleh masing-masing instansi teknis terkait sebagai panduan dalam operasionalisasi kebijakan dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Sebagaimana dalam penyusunan kebijakan maka penjabaran kebijakan dalam bentuk rencana strategis sektoral yang disusun oleh instansi teknis harus tetap melibatkan seluruh stakeholder dan dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif. Selain itu, rencana strategis sektoral juga harus mampu mengadopsi karakteristik dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah di Indonesia sehingga tidak terjadi lagi generalisasi pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang menjadi penyebab utama dalam kegagalan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen 1999
2. Garis Besar Haluan Negara 1999-2004
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 Tanggal 29 Juli 2002 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Buku dan Makalah 1. (1998), Deepa, Narayan. Participatory Evaluation Tools for Managing
Change in Water and Sanitation. The World Bank-Technical Paper 207 1998
2. (2000), Mukherjee N.; Christine van Wijk; Rekha Dayal, Methodology for Participatory Assessment with Communities, Institutions and Policy Makers. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP)-International Water and Sanitation Centre (IRC), March 2000
3. (2002), Mukherjee N., Christine van Wijk. Sustainability Planning and Monitoring in Community Water Supply and Sanitation. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP)-International Water and Sanitation Centre (IRC), 2002
Laporan dan Hasil Studi 1. (1982), World Health Organization. Rural Water Supply and Sanitation
Sector Review, 1982.
2. (1986), AusAID-AIUS. Review of Australian Assistance for the Indonesian WSS Sector. January 1986.
3. (1993), The World Bank. Water Supply and Sanitation for Low Income Communities Project. Staff Appraisal Report, 1993.
4. (1995), Deepa, Narayan. The Contribution of People’s Participation, Evidence from 121 Rural Water Supply Project. The World Bank, 1995.
32
5. (1995), The World Bank. Village Infrastructure Project for Java. Staff Appraisal Report, 1995.
6. (1997), Lucossol, Alain. Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. The World Bank-EASUR, October 1997
7. (1997), UNDP-Worldbank and Sanitation Program. Making Rural Water Supply Sustainable: Recommendations from A Global Study. December 1997.
8. (1998), Bappenas. Urban Waste Management Policy and Strategy for the National Planning Process (Draft for Discussion Paper). 1998
9. (1999), ADB-Dillon Consulting and PT. Dacrea. Towards a Community Based Environment Sanitation Program for Indonesia (Final Report). January 1999.
10. (1999), UNDP-The World Bank and Sanitation Program. Evaluation of the “Community-Managed Activities”. Component of the AusAID Supported NTB ESWS Project, March 1999.
11. (1999), The World Bank. Knowledge for Development. World Development Report-Summary 1998/1999.
12. (1999), UNDP-The World Bank-Water and Sanitation Program. Study of Community-Based Approach Utilized in Unicef’s Water and Environment Sanitation (WES) Program in Indonesia, 1999.
13. (1999), Institute for Research of University of Indonesia in partnership with UNDP/World Bank Water and Sanitation Program and IRC-International Water and Sanitation Center. Participation, Gender & Demand Responsiveness: Making the Link with Impact and Sustainability of Water Supply & Sanitation Investments. 1999.
14. (2000), Phouangphet K., et al. Sanitation & Hygiene Promotion in Lao PDR. Learning from the National Water Supply & Environmental Health Programme. Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific (WSP-EAP), Field Note, March 2000
15. (2000), Sean, Foley; Anton Soedjarwo, Richard Pollard. Of the people, by the people, for the people, Community-based Sewer System in Malang-Indonesia. . Water and Sanitation Program East Asia and the Pacific (WSP-EAP), March 2000.
16. (2001), Sirmadji; Iskandar,Sofyan. Optimalisasi Peran DPRD dalam Pembangunan Berbasis Peran Serta Masyarakat. Makalah Diskusi, 2001
17. (2001), Evers, Pieter. Community Contracting. Desk Study on Kepres 18/2000, December 2001.
18. (2002), Walujan, Ruth; Richard Hopkins; Arie Istandar. Sanitasi di Wonosobo: Membandingkan Dua Pendekatan Evaluasi Program, Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP), April 2002.
19. (2002), Yayasan Pradipta Paramitha. Assessment of Selected Sited in Flores-Indonesia. Draft Laporan Akhir, Jakarta, July 2002.
33
20. (2002), United Nation. The Johannesburg Declaration on Sustainable Development, World Summit on Sustainable Development. September 2002.
21. (2002), Departemen Luar Negeri. Deklarasi Johannesburg Mengenai Pembangunan Berkelanjutan dan Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan Berikut Komitmen Sektoral Nasional. Direktoral Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan (terjemahan tidak resmi), 2002.
22. (2003), Yayasan Pradipta Paramitha. Babak Dua Uji Coba Lapangan WASPOLA-UNICEF di Kab. Garut dan Subang. Laporan Pengumpulan Hasil Akhir, Januari 2003.
23. (2003), WSP-EAP. Translation the Millenium Development Goals (MGDs) into Action through Water Supply and Sanitation, Regional Conference WSP, Feb. 2003.
24. (2003), Third World Water Forum. Indigenous Peoples Kyoto Water Declaration. IP Kyoto Water Declaration Final, Japan March 2003.
25. (2003), WASPOLA. Uji Coba Lapangan WASPOLA-WSLIC-2 Dengan Topik Koordinasi Antar Proyek di Nusa Tenggara Barat, Laporan Konsolidasi, Juni 2003.
26. (2003), WASPOLA. Uji Coba Lapangan Kebijakan Nasional Pembangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Pengelolaan Masyarakat. Laporan Konsolidasi, Juni 2003
27. (2003), UNDP-The World Bank Water and Sanitation Program. Water and Sanitation Services for The Poor. Program Strategy 1999-2003, 2003.
Data
1. Biro Pusat Statistik. Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 1997
2. Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Data Cakupan Air Bersih di Indonesia Tahun 1999
3. Perpamsi. Direktori PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indornesia) Tahun 1998.
4. Perpamsi. Direktori PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indornesia) Tahun 2000.
Lampiran A - - 1 -
LAMPIRAN A
Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (1970-
2000)
Bagian ini menyajikan sejarah singkat pembangunan prasarana dan sarana penyediaan air minum dan
penyehatan lingkungan (AMPL)1 selama 30 tahun yang terbagi dalam tiga dekade, yaitu:
a. Era Tahun 1970-1980
• Gambaran Umum: Pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan prasarana dan sarana air
minum dan penyehatan lingkungan kurang mendapat prioritas selama Pelita I (1969 – 1974) dan Pelita
II (1974 –1979). Demikian pula halnya dengan pembangunan sarana pelayanan masyarakat lainnya,
seperti komunikasi, transportasi, dan energi. Dalam dua dasa warsa tersebut titik berat pembangunan
nasional difokuskan pada pembangunan pertanian dan irigasi sebagai upaya memantapkan ketahanan
pangan. Dalam Pelita II terjadi perubahan ekonomi dunia dengan meningkatnya harga minyak bumi
di pasaran dunia. Indonesia sebagai negara yang menyimpan sebagian cadangan minyak bumi dunia
menjadi sasaran investasi, yang membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia dengan
berkembangnya industri hilir dan industri terkait lainnya. Industri tersebut pada umumnya berlokasi
di kawasan perkotaan sehingga pertumbuhan ekonomi di perkotaan meningkat cukup pesat.
Pertumbuhan ekonomi di perkotaan tersebut menarik tenaga kerja di perdesaan untuk berimigrasi ke
perkotaan. Hal ini membawa dampak kepada meningkatnya kebutuhan terhadap infrastruktur
seperti jaringan jalan, jaringan air minum dan penyehatan lingkungan, energi, komunikasi, dan
sebagainya.
• Penyediaan Air Minum di Perkotaan: Pelayanan air minum di perkotaan pada saat Pelita I
dan Pelita II masih mengandalkan jaringan yang dibangun pada masa penjajahan dan investasi
tambahan setelah kemerdekaan dengan jumlah yang sangat terbatas. Kondisi tersebut tidak mampu
mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Investasi prasarana dan sarana air minum beserta
operasi dan pemeliharaannya dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Biaya pembangunan
prasarana dan sarana air minum berasal dari APBN, APBD, maupun bantuan luar negeri bilateral, dan
multilateral yang berasal dari Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia. Pembangunan prasarana
dan sarana air minum berskala kecil biasanya dikaitkan dengan proyek pembangunan lainnya, seperti
Kampung Improvement Project I (KIP I).
1 Penyehatan Lingkungan mencakup sanitasi dasar, pengelolaan air limbah rumah tangga, persampahan, dan drainase permukiman.
Lampiran A - - 2 -
• Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil: Dalam Pelita I dan Pelita II,
pembangunan prasarana dan sarana air minum belum menyentuh masyarakat perdesaan dan
perkotaan skala kecil (IKK), yaitu wilayah permukiman dengan jumlah penduduk kurang dari 20 ribu
jiwa. Pada umumnya, masyarakat perdesaan mendapatkan air dari sarana tradisional, seperti sumur,
mata air, sungai dan sebagainya. Pada waktu itu, pembangunan prasarana dan sarana air minum di
perdesaan sebagian dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Selain itu, pembangunan prasarana
dan sarana air minum juga dilaksanakan oleh LSM, Unicef, serta bantuan teknis WHO dan UNDP.
Pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan seringkali ditujukan untuk uji coba
penerapan teknologi tepat guna, misalnya pompa tangan atau uji coba perangkat lunak seperti
konsep Peran Serta Masyarakat dan konsep Pembentukan Lembaga Pengelola. Skala
pengembangannya sangat terbatas dan tidak besar, sehingga cakupan pelayanan dan dampaknya
juga sangat terbatas. Prasarana dan sarana air minum yang telah dibangun seringkali tidak berlanjut
atau mengalami kegagalan, karena prasarana dan sarana yang dibangun tidak dipelihara dengan
baik.
• Penyehatan Lingkungan: Selama Pelita I dan Pelita II, pembangunan prasarana dan sarana
penyehatan lingkungan di perkotaan dan perdesaan belum mendapatkan perhatian. Penanganan
masalah limbah masih terbatas pada tahap konsep penanganan dan belum diwujudkan ke dalam
pembangunan fisik. Selain itu, pengelolaan limbah manusia secara sistematik belum dilakukan.
Penanganan limbah pada tingkat rumah tangga dilayani melalui jamban dengan tangki septik,
sedangkan masyarakat yang tidak memiliki jamban menggunakan tempat pembuangan limbah
tradisionil seperti sungai, kolam, kebun, sawah, dan lain-lain. Dalam upaya penataan permukiman
kumuh di perkotaan, pemerintah membangun tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Sebagian
prasarana dan sarana penyehatan lingkungan cakupan pelayanannya terbatas, kurang terpelihara, dan
kurang dimanfaatkan oleh masyarakat.
b. Era Tahun 1980 – 1990
• Gambaran Umum: Pertumbuhan ekonomi pada era 1980-1990 cukup tinggi, dan sektor
manufaktur dan teknologi berkembang sangat pesat. Kondisi perekonomian yang baik tersebut sangat
kondusif bagi perkembangan sektor infrastruktur. Pada saat yang sama dicanangkan Dekade Air
Internasional (1981-1989) yang bertujuan meningkatkan pelayanan air minum bagi semua lapisan
masyarakat. Kedua momentum tersebut menjadi pendorong bagi peningkatan pelayanan air minum
bagi masyarakat. Sehingga selama Pelita III (1979-1984) dan Pelita IV (1984-1989) terjadi
peningkatan investasi yang sangat signifikan di sektor air minum. Dalam Pelita III pembangunan
prasarana dan sarana air minum berhasil meningkatkan cakupan pelayanan air minum sebesar 20-30%
dan dalam Pelita IV penyediaan prasarana dan sarana air minum mampu melayani 55% masyarakat.
• Penyediaan Air Minum di Perkotaan: Selama Pelita III, pemerintah menyediakan investasi
cukup besar di bidang penyediaan prasarana dan sarana air minum di perkotaan, termasuk untuk
Lampiran A - - 3 -
meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam bidang perencanaan dan pelaksanaan. Pada saat
itu, pemerintah mulai melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan internasional dalam bentuk
pinjaman luar negeri untuk melakukan investasi di sektor air minum. Model pendekatan pembangunan
dan standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat, termasuk untuk pembangunan
prasarana dan sarana air minum di Ibu Kota Kecamatan (IKK). Pembangunan prasarana dan sarana
air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan mengacu kepada standar teknis
pelayanan air minum internasional yang mendasarkan perhitungan kepada jumlah penduduk.
Dampak dari pelaksanaan standar tersebut adalah terkonsentrasinya investasi prasarana dan sarana
air minum pada kawasan-kawasan yang padat penduduk seperti di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Walaupun telah cukup banyak investasi yang dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan prasarana
dan sarana air minum namun laju investasi tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk
sehingga cakupan pelayanan sulit untuk dinaikkan secara signifikan.
• Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil: Pembangunan prasarana dan
sarana air minum di kota kecil (dengan jumlah penduduk kurang dari 50.000 jiwa) dilaksanakan oleh
Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai pengelolanya dibentuk Badan Pengelola Air Minum (BPAM)
yang bersama-sama dengan pemerintah daerah dikembangkan menjadi Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM). Sedangkan pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan
dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
(PPM-PL), Departemen Kesehatan dibantu oleh Direktorat Jendral Pembangunan Masyarakat Desa
(PMD), Departemen Dalam Negeri. Pola perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan ditentukan
oleh pemerintah pusat melalui departemen teknis yang menangani.
Pada era ini bantuan kerjasama dan pinjaman luar negeri melalui lembaga keuangan bilateral dan
multilateral meningkat terus. Walaupun dalam skala kecil, LSM mulai berperan serta dalam penyediaan
prasarana dan sarana air minum di perdesaan dan kota-kota kecil dengan bantuan dana dari berbagai
donor nirlaba. Seiring dengan meningkatnya tuntutan otonomi, untuk mendorong kapasitas
pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan prasarana dan sarana air minum maka diciptakan
mekanisme hibah pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Walaupun tingkat cakupan pelayanan
kepada masyarakat meningkat secara signifikan, namun kinerja pemanfaatan prasarana dan sarana
yang telah dibangun ternyata kurang menggembirakan, banyak prasarana dan sarana yang tidak dapat
dioperasikan karena tidak dipelihara secara benar.
• Penyehatan Lingkungan:
a. Limbah Cair Manusia: Instalasi pengolah limbah cair terpusat (sewerage) mulai dibangun di
beberapa kota besar oleh Departemen Pekerjaan Umum. Mengingat operasi dan pemeliharaan
instalasi pengolah limbah cair memerlukan kecermatan teknis dan biaya yang mahal maka
pengoperasian dan pemeliharaannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan secara bertahap
diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah mulai mengembangkan dan mempromosikan
Lampiran A - - 4 -
sarana pengolah limbah setempat (on-site) dan tempat mandi, cuci, kakus (MCK). Pembangunan MCK
banyak mengalami hambatan dan kegagalan serta sarana yang telah terbangun kurang dimanfaatkan
oleh masyarakat. Untuk kawasan padat penduduk di perkotaan dilaksanakan pembangunan prasarana
dan sarana penyehatan lingkungan yang dilengkapi tangki septik. Kegiatan ini pada umumnya
dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah menyediakan dana stimulan
dan dikembangkan oleh masyarakat melalui swadana. Program penyediaan jamban di perdesaan,
seluruh material pembangunannya ditentukan oleh pemerintah pusat, ternyata hasilnya kurang
menggembirakan. Cakupan pelayanan di bidang ini meningkat secara signifikan, namun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat perdesaan masih melakukan “buang air
besar” (BAB) di tempat tradisional.
b. Penyehatan Lingkungan Permukiman Lainnya: Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan menyebabkan terabaikannya penanganan limbah padat, khususnya di perkotaan.
Pengelolaan limbah padat (sampah) baru dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dimulai awal
tahun 1980-an, namun demikian teknologi yang dipergunakan masih belum ramah lingkungan
sehingga seringkali menimbulkan persoalan baru pada lingkungan sekitarnya. Kesadaran untuk
mempergunakan teknologi yang ramah lingkungan berbenturan dengan mahalnya konstruksi,
operasi, dan pemeliharaan yang harus dilaksanakan. Inovasi-inovasi baru dibidang pengelolaan
limbah padat yang ramah lingkungan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pembangunan saluran limbah yang terintegrasi dengan sistem penanggulangan banjir dan drainase air
hujan belum dilaksanakan secara integratif dan sistematis. Pada saat itu, untuk memecahkan persoalan
genangan yang ada di permukiman, pemerintah cenderung untuk memecahkannya dengan pendekatan
partial. Dampaknya adalah tidak adanya kesatuan sistem jaringan drainase dengan lingkup perkotaan
sehingga penanganan persoalan genangan pada satu kawasan menyebabkan genangan pada kawasan
lain. Selain itu, lemahnya kapasitas dan tanggung jawab aparat di bidang jaringan drainase serta tidak
adanya anggaran untuk operasi dan pemeliharaan jaringan drainase merupakan permasalahan rutin
yang menyebabkan tidak tertanganinya genangan yang ada di permukiman.
c. Era Tahun 1990-2000
• Gambaran Umum: Pelita V (1989-1994) dan Pelita VI (1994-1999) merupakan era globalisasi
terutama di bidang ekonomi. Meningkatnya tuntutan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi
menyebabkan kendali pemerintah pusat lebih dilonggarkan. Pada saat yang sama, prinsip Dublin-Rio
(Dublin-Rio Principles) diterapkan secara internasional. Keterlibatan dunia swasta di semua sektor
meningkat pesat, demikian juga di bidang infrastruktur perkotaan. Pada Repelita VI, pembangunan
prasarana dan sarana air minum direncanakan untuk melayani sekitar 60% penduduk perdesaan dan
80% penduduk perkotaan. Krisis ekonomi, yang terjadi sejak Agustus 1997 dan diikuti oleh krisis
politik, mengakibatkan terjadinya kemandegan ekonomi, cadangan devisa pemerintah sangat
Lampiran A - - 5 -
terbatas sehingga anggaran pemerintah yang ada tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan
prasarana dan sarana.
• Penyediaan Air Minum di Perkotaan: Investasi prasarana dan sarana air minum pada masa
itu banyak berasal dari hutang lembaga keuangan bilateral maupun multilateral. Keberhasilan konsep
P3KT yang mengintegrasikan seluruh infrastruktur perkotaan kedalam satu paket pinjaman menarik
perhatian lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Pemeran utama pendekatan konsep tersebut
adalah Departemen Pekerjaan Umum yang kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada
tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Banyaknya paket pekerjaan yang harus diselesaikan dan
terbatasnya sumber daya manusia menjadi kendala dalam peningkatan kualitas prasarana dan sarana
permukiman yang dibangun. Hal ini terjadi karena pembinaan teknis, supervisi, dan pengawasan
kualitas pekerjaan konstruksi menjadi sangat terbatas dan tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
Secara bertahap pendekatan kegiatan IKK (Ibu Kota Kecamatan) bergeser ke kota-kota ukuran
menengah, namun standar pembangunan IKK masih tetap dijadikan acuan. Cakupan pelayanan masih
merupakan tujuan pembangunan, sehingga konstruksi prasarana dan sarana baru menjadi kegiatan
utama, sedangkan kegiatan pemeliharaan dan rehabilitasi cenderung terabaikan. Pengelolaan PDAM
belum dapat dilaksanakan sesuai standar perusahaan, kendala yang dihadapi adalah rendahnya
kemampuan mengelola suatu perusahaan (masih terdapat PDAM yang dikelola oleh birokrat bukan
profesional di bidangnya), tidak adanya kebebasan dalam menentukan tarif, mahalnya investasi baru,
dan terbatasnya sumber daya manusia. Selain kendala tersebut terdapat kendala alam yaitu semakin
menipisnya air baku (disebabkan oleh rusaknya lingkungan) yang dapat dimanfaatkan dan ketiadaan
sumber air yang dapat dimanfaatkan. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar PDAM masih
bergantung kepada subsidi dari pemerintah pusat. Pada tahun 1988, disadari bahwa agar PDAM dapat
meningkatkan mutu pelayanan air minum kepada masyarakat maka kebijakan air minum perlu diubah
dan pengelolaan PDAM perlu direformasi secara menyeluruh. Pelayanan air minum perlu melibatkan
dunia swasta dan dilakukan secara profesional, berorientasi kepada keuntungan (tanpa meninggalkan
beban sosial), dan menjauhkan campur tangan birokrasi dalam pengelolaan perusahaan.
• Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil: Pelita IV merupakan titik awal
dimulainya partisipasi masyarakat dan terlibatnya LSM di tingkat daerah dan nasional dalam
pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang didanai oleh lembaga keuangan internasional. Konsep
kepemilikan masyarakat dan pendekatan yang didasarkan kepada kebutuhan (Demand Responsive
Approach)2 mulai diterima secara luas, walaupun pelaksanaannya masih dilakukan secara terbatas.
Proyek pembangunan prasarana dan sarana sosial (PKT, P3DT, dan sebagainya), termasuk di dalamnya
prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, diterima sebagai pendekatan
pembangunan alternatif dengan hasil yang cukup bervariasi. Pada pendekatan ini dilakukan terobosan
2 Demand Responsive Approach diterjemahkan menjadi Pendekatan Tanggap Kebutuhan yang artinya: suatu pendekatan
yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di dalamnya pendanaan
Lampiran A - - 6 -
baru dalam penyaluran anggaran pemerintah dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
terlibat secara langsung dalam pembangunan prasarana dan sarana. Pemerintah daerah berperan
sebagai fasilitator dan pembina teknis. Namun demikian, cakupan pelayanan ternyata tidak sesuai
dengan yang direncanakan. Persoalan lama selalu berulang dalam prasarana dan sarana air minum
yaitu kurang optimalnya pemanfaatan prasarana dan sarana air minum yang telah dibangun karena
ketidakmampuan masyarakat untuk mengoperasikan dan memeliharanya.
• Penyehatan Lingkungan:
a. Limbah Cair Manusia: Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan limbah cair
manusia masih belum setinggi kesadaran terhadap pentingnya air minum. Hal inilah yang
menyebabkan rendahnya tingkat sambungan rumah kedalam sistem sewerage yang telah dibangun.
Sedikitnya sambungan rumah tersebut menyebabkan tingkat pendapatan tidak sesuai dengan yang
direncanakan sehingga tidak mampu menutup biaya operasi dan pemeliharaan serta
mengembangkan jaringan pelayanan. Dampaknya, banyak institusi baik di pusat maupun di daerah
enggan untuk mengelola jaringan limbah cair manusia.
Di beberapa kota, telah berhasil dibangun instalasi pengolah limbah berbasis masyarakat (IPLBM).
Secara teknis biasanya merupakan pengaliran limbah cair dari rumah-rumah melalui saluran
perpipaan dangkal (shallow sewer) yang dirangkai dengan tangki septik ukuran besar dan kolam
terbuka sebagai instalasi pengolah3. Selain pendekatan tersebut, pemanfaatan LSM untuk
memotivasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya lingkungan yang sehat
khususnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan jaringan pelayanan limbah cair manusia telah
berhasil memotivasi masyarakat untuk melakukan penyambungan pada instalasi pengolah limbah
terpadu yang ada di Kota Cirebon4.
Dalam pembangunan prasarana sosial (P3DT dan lainnya) konsep MCK masih sering dilakukan,
walaupun banyak yang tidak berfungsi setelah selesai dibangun. Begitu pula dalam setiap proyek
sarana AMPL skala besar, komponen penyediaan jamban (latrine) selalu ada. Program stimulan dengan
pemberian bantuan material yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan penerapan konsep satu
teknologi masih tetap berlanjut. Hasil yang diperoleh tidak selalu memuaskan, namun demikian banyak
juga yang cukup berhasil. Program dapat berhasil dengan memuaskan bila masyarakat memanfaatkan
prasarana dan sarana yang dibangun dan mereka mau memeliharanya agar prasarana dan sarana
tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Penyehatan Lingkungan Lainnya: Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal), sebagai
badan penanggung jawab dan pengendali masalah lingkungan hidup dibentuk, namun masih terfokus
3 Contoh Instalasi Pengolah Limbah Berbasis Masyarakat (IPLBM) yang sudah berjalan baik adalah di Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Sistem direncanakan, dibangun, dan dioperasikan dengan pendanaan masyarakat sendiri. 4 Kota Cirebon memiliki sistem penyaluran dan pengolahan limbah terpusat, pemasaran sambungan ke rumah tangga dilakukan menggunakan jasa LSM
Lampiran A - - 7 -
pada masalah-masalah lingkungan skala besar belum menjangkau skala permukiman. Hal ini
menyebabkan isu sektor penyehatan lingkungan, khususnya sampah dan drainase, tidak pernah
mendapat perhatian pada tingkat nasional. Persoalan sampah dan drainase masih dianggap sebagai
persoalan teknis yang dapat dipecahkan oleh departemen teknis. Persoalan sampah dan drainase
pada dasarnya bukan persoalan teknis saja, namun menyangkut persoalan pengelolaan
(management), sumber daya manusia, dan administratif pemerintahan.
P3KT sebagai suatu konsep penanganan persoalan infrastruktur perkotaan cukup baik, tetapi
anggaran yang tersedia melalui P3KT terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh sektor
infrastruktur yang ada di perkotaan. Kondisi ini menyebabkan penanganan persoalan infrastruktur di
perkotaan dilakukan secara parsial dan tidak sistematis. Kondisi di atas ditambah dengan kinerja
departemen teknis yang berorientasi proyek (project oriented) bukan berorientasi kepada program
(program oriented), menyebabkan pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana dilakukan
tidak sesuai dengan kebutuhan nyata yang ada di masyarakat sehingga prasarana dan sarana yang
dibangun kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Dampaknya adalah persoalan infrastruktur tidak
terpecahkan dan pemanfaatan anggaran yang sebagian dibiayai melalui hutang menjadi tidak efisien
dan efektif. Hal ini dapat dilihat pada sektor persampahan dan drainase, investasi untuk
pembangunan prasarana dan sarana drainase serta persampahan telah menghabiskan anggaran
yang cukup besar, namun persoalan persampahan dan genangan di perkotaan setiap tahun hingga
saat ini belum terselesaikan.
Lampiran B -
- 1 -
LAMPIRAN B
Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Pelajaran-pelajaran berikut ini diambil dari berbagai sumber, terutama dari berbagai pihak yang terlibat
secara langsung dalam pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia.
Lampiran B ini dibagi dalam dua kelompok besar; bagian pertama, berupa pengalaman internasional yang
relevan, sedangkan bagian kedua adalah pelajaran-pelajaran yang berlaku khusus di Indonesia.
1. Pelajaran Internasional yang Sesuai untuk Indonesia
Keberlanjutan pelayanan serta penyediaan prasarana dan sarana AMPL yang dapat memberikan manfaat
besar bagi pengguna menjadi perhatian utama. Pengalaman menunjukan bahwa investasi yang sangat
besar untuk pembangunan sarana AMPL telah ditanamkan, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Berdasarkan pengalaman tersebut, perlu adanya perubahan dalam fokus pembangunan yang
memiliki implikasi pada semua aspek, mulai dari penetapan tujuan pembangunan sampai dengan
bagaimana mengevaluasi hasil akhir, khususnya dalam pengembangan pendekatan pelaksanaan yang
dapat mendorong terwujudnya keberlanjutan pelayanan AMPL permukiman. Konferensi internasional di
Rio de Janeiro pada tahun 19921 yang dihadiri oleh para pakar air minum telah menghasilkan
kesepakatan untuk menerapkan prinsip Dublin dalam upaya pembangunan sektor air minum, yang
kemudian dikenal dengan Prinsip Dublin-Rio.
Prinsip Dublin-Rio yang dihasilkan dari konferensi internasional di dua kota tersebut memiliki komponen
sebagai berikut:
• Air adalah sumber daya yang terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan,
pembangunan, dan lingkungan
• Pembangunan dan pengelolaan air harus berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna,
perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan
• Perempuan memainkan peran utama dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan air
1 Rangkaian konperensi internasional dalam bidang air bersih dan sanitasi telah dilakukan sejak dekade 70an. Dimulai dengan First UN Water Conference di Mar del Plata 1977, kemudian beberapa konperensi, sampai akhirnya diselenggarakan International Conference on Water and Environment di Dublin 1992 yang menghasilkan 4 prinsip dalam manajemen sumber daya air. Konferensi ini ditindaklanjuti dengan konferensi lain di Rio de Janiero oleh United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) juga tahun 1992 yang mempromosikan pengelolaan sumber daya air terintegrasi berdasar persepsi air sebagai bagian integral dari ekosistem, sumber daya alam, dan barang sosial ekonomi. Dari dua konperensi terakhir lahirlah prinsip Dublin-Rio yang telah disepakati secara internasional sebagai prinsip untuk mencapai keberlanjutan pelayanan air bersih.
Lampiran B -
- 2 -
• Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi
Dalam kaitannya dengan pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia, makna dari prinsip-prinsip tersebut adalah:
• Perlu adanya penekanan bahwa penyehatan lingkungan sangat penting bagi manusia. Disamping
itu, perlu ditekankan pula bahwa aspek teknis dan sosial (perangkat keras dan lunak) adalah sama
pentingnya.
• Air tidak boleh dipandang hanya sebagai barang “cuma-cuma” atau barang yang tuna nilai. Air
mempunyai nilai, untuk memilikinya orang harus menyumbangkan sesuatu.
• Perencanaan, konstruksi, operasi dan pengelolaan air memiliki implikasi yang luas. Oleh karena itu,
keputusan akhir sebaiknya dibuat oleh para pengguna secara partisipatif.
• Semakin besar keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, semakin terjamin kelestarian
pelayanan air.
Sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah, baik sumberdaya air maupun sumberdaya lainnya, tidak akan
cukup untuk membangun prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Sehubungan
dengan itu terdapat dua isu penting yang perlu disadari bersama, yaitu:
• Sumber dana, perlunya diciptakan mekanisme alternatif untuk memenuhi kebutuhan biaya
konstruksi, biaya operasional dan pemeliharaan, serta
• Sumberdaya manusia, perlunya pemberdayaan kemampuan di semua tingkatan.
Selain itu, perlu diusahakan agar masyarakat atau keluarga mampu bertanggung jawab dalam upaya
peningkatan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Di kalangan mereka harus dibangkitkan
adanya kebutuhan akan perubahan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari perbaikan
pelayanan AMPL demi peningkatan kesehatan. Perlu adanya perubahan perilaku hidup minum dan sehat
(PHBS) di tingkat perorangan maupun tingkat keluarga karena motivasi untuk mendapatkan sarana
penyehatan lingkungan sangat berbeda dan kompleks daripada motivasi untuk mendapatkan air minum.
Tidak ada satu cara pun yang dapat menjamin keberhasilan untuk semua keadaan. Masalah yang ada di
setiap kasus bersifat kompleks, pemecahannya perlu menggunakan sebuah pendekatan “belajar sambil
berjalan” (learning approach) dimana semua pelajaran yang didapat perlu dikaji dan menjadi bahan
perbaikan dalam proses pelaksanaan.
Selain dari konperensi internasional diatas, hasil studi Bank Dunia terhadap 121 proyek air minum
perdesaan di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga dan organisasi menyimpulkan
bahwa peran aktif masyarakat dalam membuat keputusan dan menangani proyek secara langsung
menghasilkan proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan. Pengalaman
dari studi tersebut sekalgius mengoreksi beberapa mitos yang selama ini diyakini dalam pelaksanaan
proyek air minum:
Lampiran B -
- 3 -
� Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mau dan tidak mampu membayar pelayan air
minum; karena itu, pemerintah harus menyediakan air bagi mereka. Realita membuktikan bahwa
masyarakat miskin membayar pelayanan air minum, bahkan sering lebih mahal daripada
masyarakat yang lebih mampu; masyarakat miskin akan membayar jika mendapatkan pelayanan
yang baik.
� Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mampu memecahkan atau mengelola masalah
teknis; mereka tidak mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Realita membuktikan bahwa
masyarakat miskin memiliki kreatifitas, mereka mampu membentuk sistem dan aturan dalam
mengelola sumber daya alam.
� Mitos menyatakan bahwa untuk memberikan pelayanan secara adil cukup dengan menyediakan
tingkat pelayanan minimal agar sumber air yang terbatas dapat didistribusikan sebanyak
mungkin kepada masyarakat yang membutuhkan. Realita membuktikan bahwa jika tingkat
pelayanan air minum tidak memenuhi harapan masyarakat, maka masyarakat tidak akan
menggunakan sarana yang disediakan dan tidak mau membayar biaya pelayanan yang diminta.
� Mitos menyatakan bahwa jika masyarakat sudah dilibatkan dalam membuat keputusan, maka
kepentingan perempuan sebagai pengelola utama penggunaan air minum rumah tangga sudah
terpenuhi. Realita membuktikan bahwa karena faktor sosial-budaya sebagian besar kepentingan
perempuan tidak pernah terpenuhi, kecuali bila perempuan secara khusus ditargetkan untuk
dilibatkan dan ada strategi yang disusun untuk memberdayakan perempuan.
� Mitos menyatakan bahwa lembaga teknis dan sektoral harus menjadi pelaksana penyediaan
sarana AMPL, karena tugas utamanya adalah membangun sarana dan indikator keberhasilannya
adalah sarana yang terbangun. Realita membuktikan bahwa lembaga teknis dapat mencapai
keberhasilan dengan memonitor dan memberikan bantuan teknis pada pihak lain (LSM, sektor
swasta dan lembaga non-teknis lainnya). Tugas utamanya adalah membangun kemampuan
masyarakat dalam mengelola sarana terbangun untuk mencapai keberlanjutan pelayanan.
� Mitos menyatakan bahwa dibutuhkan rencana umum yang disusun berdasarkan pengumpulan
data yang lengkap sebelum program dilaksanakan agar ada keseragaman pendekatan. Realita
membuktikan bahwa pembakuan dokumen rencana umum menghambat pengembangan
program partisipatif; tidak diperlukan pengumpulan data yang lengkap sebelum pelaksanaan
program, hanya data spesifik yang betul-betul diperlukan untuk dikumpulkan secara menerus
sepanjang pelaksanaan program. Standarisasi yang terlalu dini pada prosedur pelaksanaan
mengarah pada kegagalan program.
� Mitos menyatakan bahwa pengambilan keputusan oleh masyarakat pengguna merupakan hal
penting; namun kendali atas pelaksanaan program harus tetap berada pada manajer proyek.
Realita membuktikan bahwa hakikat proses partisipatif adalah memberi pilihan dan kesempatan
menyampaikan aspirasi pada masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat dihidup-matikan
oleh pihak luar; proses partisipatif adalah memberikan kendali pada masyarakat.
Lampiran B -
- 4 -
� Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatif memerlukan waktu lama. Realita membuktikan
bahwa ketika proyek tanggap terhadap kebutuhan, masyarakat dapat bertindak dan
mengorganisir diri dengan cepat.
� Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatori sulit direplikasi dalam skala besar karena
membutuhkan pemimpin yang karismatik, LSM dan orang yang berbakat melaksanakannya.
Realita membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dapat direplikasi. Pemimpin karismatik
berperan untuk memulai proses, namum kepemimpinan dalam arti luas dapat menjaga
kelangsungan proses. LSM sering berhasil menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dan
merupakan mediator yang efektif. Seperti ketrampilan teknis lainnya, kemampuan dalam
mendisain dan melaksanakan program partisipatif merupakan proses bekerja sambil belajar.
� Mitos menyatakan bahwa partisipasi merupakan proses yang tidak pasti sehingga sulit untuk
ditentukan batasannya dan diukur. Sasaran peningkatan sumber daya manusia melalui
pengambilan keputusan yang partisipatif adalah penting tapi tidak praktis. Realita membuktikan
bahwa konsep partisipatori dapat dilaksanakan dan diukur dengan mudah. Mengukur, memonitor
dan mengevaluasi partisipasi masyarakat mempermudah lembaga terkait dalam
mempertanggungjawabkan upayanya mendukung peningkatan sumber daya manusia.
Analisis terhadap hasil pelaksanaan seluruh proyek air minum tersebut menyimpulkan bahwa dari 121
proyek, 20 diantaranya merupakan proyek yang sangat efektif. Indikator keberhasilan dari setiap proyek
bervariasi, namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
• Masyarakat merasa puas dengan kualitas dan kuantitas air minum dari sarana yang dibangun.
• Tidak ada sarana yang diabaikan, tidak ada disain dan kualitas konstruksi yang tidak memenuhi
kebutuhan masyarakat.
• Sebagian besar sistem berfungsi secara efektif 10 tahun sejak pekerjaan konstruksi selesai.
• Sarana dioperasikan dan dipelihara dengan baik secara berkelanjutan oleh masyarakat.
• Masyarakat memperlihatkan rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar terhadap sarana
serta mampu untuk melestarikannya.
• Perempuan mendapat manfaat langsung dari pelayanan sarana berupa kemudahan dan
penghematan waktu dalam mendapatkan air minum yang selanjutnya menghasilkan beberapa
keuntungan ekonomis seperti tersedianya lebih banyak waktu untuk mengurus anak, kebun dan
juga kegiatan yang bersifat kerajinan tangan.
• Berkurangnya penyakit yang disebabkan oleh air.
• Meningkatnya penggunaan jamban.
• Masyarakat memberikan konstribusi untuk biaya konstruksi.
• Lebih berdayanya lembaga masyarakat dalam pengelolaan sarana termasuk berperannya
perempuan dalam kegiatan, walaupun masih sedikit dalam pengambilan keputusan.
• Terbentuknya kerjasama yang sangat baik dengan pemerintah daerah setempat.
Lampiran B -
- 5 -
Dari kedua puluh proyek dengan tingkat efektivitas tinggi, dua diantaranya berada di Indonesia dan
lainnya tersebar di beberapa negara seperti: Swaziland, Ethiopia, Panama, Ecuador, India, Kenya, Malawi,
Togo, Mali, Haiti, Yemen Arab Republic, Rwanda, dan Peru.
2. Pelajaran Khusus dari Indonesia
Keberhasilan maupun kekurangan pelaksanaan program pembangunan prasarana dan sarana AMPL yang
telah berjalan selama tiga dekade di Indonesia dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi penyusunan
kebijakan yang baru. Beberapa dari pengalaman tersebut diuraikan dibawah ini:
2.1 Pelajaran bagi Pembangunan dan Pengelolaan AMPL
� Dua proyek pembangunan air minum di Indonesia, dari 20 puluh proyek di dunia, yang dinyatakan
berhasil dengan tingkat efektivitas tinggi ditangani oleh sebuah LSM dengan cara melibatkan
masyarakat pengguna pada setiap tahap pembangunan. Strategi yang digunakan adalah dengan
membentuk lembaga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat; menggunakan pendekatan
partisipatori dalam memecahkan masalah; memberi pelatihan dalam aspek pengelolaan, disain,
konstruksi, operasi dan pemeliharaan serta pelatihan PHBS. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang selama ini digunakan dalam program
pemerintah perlu diubah. Pada hakekatnya pembangunan sarana adalah untuk masyarakat, tanpa
upaya melibatkan mereka dalam tingkat yang cukup signifikan, maka akseptabilitas dan
keberlanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Indikator keberhasilan dari kedua proyek
tersebut adalah:
� Desain sarana yang tepat guna, yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat
termasuk perempuan, dengan sistem sederhana namun cukup handal.
� Proyek dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memotivasi mereka berpartisipasi secara
aktif termasuk dalam aspek keuangan.
� Masyarakat termotivasi dan mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan sarana
� Masyarakat membayar pelayanan air minum sesuai dengan tarif yang disepakati
� Perempuan terlibat dalam setiap tahapan proyek, namun masih sedikit pada tahap
pengambilan keputusan
� Penghematan waktu bagi perempuan sehingga dapat melakukan kegiatan lain
� Perempuan aktif menjadi kelompok pengguna air
� Masyarakat membiayai pembangunan jamban secara mandiri, dan tingkat penggunaan jamban
tinggi
� Perempuan aktif menjadi anggota kelompok kesehatan
� Studi mengenai hubungan antara pendekatan partisipatif, tanggap pada kebutuhan, jender dengan
dampak dan keberlanjutan pembangunan sarana AMPL dalam pelaksanaan proyek WSSLIC (Water
Lampiran B -
- 6 -
Supply and Sanitation for Low Income Communities Project) dan FLOWS (Flores Water Supply
Project) 2 menyimpulkan bahwa:
� Pembangunan sarana air minum yang memenuhi kebutuhan masyarakat, memiliki efektivitas
dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik.
� Penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih realistis menghasilkan keberlanjutan
pelayanan yang lebih baik.
� Semakin terorganisasikannya pengelola operasi dan pemeliharaan sarana, semakin baik
pembayaran oleh pengguna sehingga menciptakan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik.
� Pengelolaan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam
kelembagaan dan dalam pengambilan keputusan menghasilkan partisipasi yang lebih tinggi
dari mereka pada operasi dan pemeliharaan.
� Keterlibatan aktif dari perempuan dalam pengambilan keputusan, operasi dan pemeliharaan
menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana yang lebih tinggi.
� Keterlibatan yang adil dari masyarakat miskin maupun kaya dalam pengambilan keputusan
menghasilkan pelayanan yang lebih berkelanjutan.
� Semakin mudah penggunaan sarana umum air minum, semakin tinggi efektivitas penggunaan
dan keberlanjutan pelayanan sarana.
� Tersedianya alternatif sumber air yang lain di suatu desa dan rumitnya penggunaan sarana
umum yang dibangun melalui proyek, menyebabkan masyarakat beralih ke sumber lain.
� Pendekatan untuk melaksanakan program penyehatan lingkungan sebaiknya dibedakan dari
pendekatan program penyediaan air minum. Aspek terpenting dari pelaksanaan program
penyehatan lingkungan adalah bagaimana membuat masyarakat sadar bahwa buang air besar
di tempat terbuka berdampak tidak hanya terhadap kesehatan pribadi dan keluarga, tetapi
juga untuk kesehatan umum.
� Manfaat yang kurang dirasakan oleh pengguna dibandingkan dengan biaya yang harus
dikeluarkan menyebabkan turunnya tingkat penggunaan sarana penyehatan lingkungan yang
dibangun.
� Pelajaran yang dapat diambil dari proyek WSSLIC3 yang bertujuan untuk menyediakan air minum dan
penyehatan lingkungan yang aman, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan mudah dicapai serta
mendukung pendidikan higienis/kesehatan bagi masyarakat miskin di perdesaan yang belum atau
2 Participation, Gender & Demand Responsiveness: Making the Link with Impact and Sustainability of Water Supply & Sanitation Investments, Institute for Research of University of Indonesia in partnership with UNDP/World Bank Water and Sanitation Program and IRC-International Water and Sanitation Center, 1999. 3 Proyek ini diharapkan dapat melayani sekitar 2 juta orang yang tinggal di wilayah terpilih enam propinsi, yaitu: Jawa Tengah; Sulawesi Tenggara; Sulawesi Tengah; Sulawesi Utara; Maluku; dan Nusa Tenggara Timur, dimana tingkat kemiskinan masih dominan. Desa-desa proyek dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti tingkat kemiskinan, kejadian penyakit yang disebabkan oleh air, kelangkaan air, kualitas air, kematian bayi, dan kemauan untuk membayar biaya operasional dan perawatan. Proyek ini memiliki enam komponen yaitu: air bersih; penyehatan lingkungan; pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat; pelatihan dan pengembangan masyarakat; bantuan teknis; serta manajemen proyek. Dengan adanya perbaikan penyehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, proyek ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang langsung berpengaruh pada derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
Lampiran B -
- 7 -
tidak terlayani serta masyarakat di wilayah dengan kepadatan tinggi melalui keberlanjutan dan
pengaturan berbasis masyarakat, adalah sebagai berikut:
� Keterlibatan masyarakat yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program, efektivitas
penggunaan, dan keberlanjutan akan tercapai jika pilihan pelayanan dan konsekuensi biaya
ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga; kontribusi masyarakat untuk
pembangunan sarana ditentukan berdasarkan jenis pelayanan yang ditawarkan; dan
pembentukan unit pengelola sarana dilakukan secara demokratis.
� Masyarakat pengguna sebaiknya diberi kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana yang
berasal dari kontribusi masyarakat dan kualitas serta jadwal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk.
� Pengguna sarana AMPL sangat peduli pada kualitas prasarana dan sarana serta bersedia
membayar lebih asalkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Keputusan untuk
membatasi opsi pelayanan berdasarkan biaya serta tingkat pelayanan minimal menghasilkan
sarana dengan tingkat pelayanan yang tidak memuaskan, menyebabkan masyarakat
pengguna tidak termotivasi untuk melestarikannya. Dengan upaya yang lebih tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat pengguna, proyek pembangunan prasarana dan sarana AMPL
dapat meningkatkan kontribusi dalam pembiayaan, sehingga mampu menjamin pendanaan
yang lebih efektif dan keberlanjutan investasi.
� Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman pembangunan prasarana dan sarana air minum dan
penyehatan lingkungan permukiman yang dilaksanakan oleh UNICEF4 selama Pelita V di Indonesia
adalah:
� Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL dapat dicapai dengan
melibatkan masyarakat sedini dan seefektif mungkin, dengan demikian masyarakat
mendapatkan pelayanan AMPL yang sesuai dengan kebutuhan. Semakin banyak opsi
pelayanan yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan yang diberikan pada masyarakat
untuk berperan dalam pengambilan keputusan, maka semakin besar pula kemungkinan sarana
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, oleh sebab itu sarana digunakan secara efektif dan
berkelanjutan.
� Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL tidak dapat tercapai
hanya dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan. Jika
pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan tidak dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam situasi
seperti itu, pengguna hanya akan memiliki sedikit motivasi untuk mengorganisir diri dalam
mengelola sarana dan tidak merasa bertanggung jawab untuk melestarikannya.
4 Study of Community-based Approaches digunakan pada UNICEF’s Water and Environmental Sanitation (WES) Program in Indonesia, UNDP-World Bank Water and Sanitation Program, 1999.
Lampiran B -
- 8 -
� Uji coba lapangan WASPOLA-UNICEF tahap 25 merupakan studi komparatif yang bertujuan untuk
memperlihatkan penerapan dan menguji dampak dari berbagai pendekatan dan metodologi yang
berbeda yang dapat menghadirkan kemungkinan perubahan dalam kebijakan AMPL, menemukan
bahwa:
� Kerelaan untuk berkontribusi harus dibangun; masyarakat yang motivasi untuk
berkontribusinya telah terbangun sebelum pembangunan sarana dan prasarana mempunyai
tingkat penyerapan bantuan yang lebih baik. Kerelaan untuk berkontribusi tidak bisa diukur
langsung dari nilai nominal kontribusi, nilai nominal dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya ekonomi masyarakat.
� Proses fasilitasi menggunakan metode MPA membantu pencapaian tujuan program dan juga
meningkatkan keberfungsian, penggunaan, pemeliharaan, dan kualitas teknik; dari temuan di
lapangan rata-rata nilai keseluruhan parameter di desa intervensi lebih besar daripada di desa
non-intervensi. Desa yang mendapatkan dukungan intensif dari fasilitator mempunyai
pemahaman yang lebih baik terhadap program dan aktivitas program lebih tersosialisasi.
Proses fasilitasi juga meningkatkan akses bagi masyarakat miskin, hasil lapangan
menunjukkan proporsi pendistribusian bantuan kepada kelompok miskin di desa intervensi
lebih tinggi.
� Tingkat kepuasan pengguna berkorelasi positif dengan pemahaman pengguna itu sendiri,
walaupun kualitas jamban lebih baik tetapi tingkat kepuasan di desa intervensi justru lebih
rendah, hal ini mungkin diakibatkan karena sebagian besar masyarakat di desa intervensi telah
mendapatkan penjelasan mengenai adanya rentang pilihan jamban serta mengetahui fungsi
utama jamban dalam memutuskan jalur penularan penyakit.
� Peningkatan kemampuan fasilitator (melalui pelatihan) berkorelasi positif dengan aspek
keberlanjutan dan penggunaan efektif, hasil lapangan menunjukkan desa intervensi pada
umumnya memiliki total nilai indikator keberlanjutan dan penggunaan efektif lebih tinggi.
� Hasil yang didapat dari studi kasus komparatif6 terhadap dua pendekatan evaluasi (metode
konvensional dan metode partisipatif) di Wonosobo adalah sebagai berikut:
� Studi kasus ini menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut menghasilkan keluaran yang
serupa maupun yang berbeda. Namun demikian, jelas bahwa kedua pendekatan tersebut
dapat menghasilkan keluaran yang sebanding jika perencanaan dan proses pelaksanaannya
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, terutama yang menyangkut pemilihan sampel dan
pembuatan daftar pertanyaan.
� Proses pemilihan sampel merupakan sebab utama perbedaan dalam hasil penelitian. Metoda
partisipatif sangat peka terhadap keterwakilan kaum lelaki-kaum perempuan dan kelompok
5 Pada uji coba tahap 2 ini terdapat 3 topik yang diujicobakan WASPOLA di desa intervensi yaitu (i) pilihan sanitasi, (ii) kemauan untuk membayar, (iii) pelatihan fasilitator tingkat desa; sebagai pembanding dipilih beberapa desa yang mendapat program serupa dari UNICEF tetapi tidak mendapat intervensi dari WASPOLA dan disebut sebagai desa non-intervensi. 6 Sanitasi di Wonosobo: Membandingkan Dua Pendekatan Evaluasi Program, Field Note Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific, April 2002.
Lampiran B -
- 9 -
miskin-kelompok kaya dari masing-masing masyarakat. Metoda konvensional peka terhadap
jumlah responden agar dapat mewakili kondisi desa sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, jika
selama proses perencanaan sampel telah terjadi penyingkiran atas variasi-variasi yang
terdapat tingkat desa, ada kemungkinan hasil penelitian akan bias sehingga menjadi condong
kearah kelompok tertentu saja.
� Metode partisipatif mendorong warga desa untuk menyuarakan pendapat, pandangan,
masalah mereka, dan menyumbangkan pengetahuan setempat kedalam kategori jawaban,
sehingga menghasilkan gambaran yang lebih luas mengenai keadaan sanitasi di desa mereka.
Metoda konvensional mencakup serangkaian kategori jawaban yang telah ditentukan sehingga
pilihan responden menjadi terbatas. Secara teori, masalah yang terdapat dalam teknik survai
konvensional ini dapat diatasi dengan mengadakan pengujian lapangan atas kuisioner survai.
Akan tetapi dalam prakteknya, tidak cukup tersedia waktu untuk melakukannya sehingga
hasilnya memberikan gambaran keadaan desa yang kurang akurat.
� Jumlah keseluruhan biaya metode partisipatif sebanding dengan biaya survai konvensional.
Metode konvensional mempekerjakan lebih banyak tenaga pencacah (enumerator) yang
gajinya lebih rendah, sedangkan metode partisipatif menggunakan tenaga fasilitator yang
lebih terlatih, namun jumlahnya lebih sedikit. Metode partisipatif memerlukan waktu
pelaksanaan yang lebih singkat dan lebih mudah dikelola karena dilaksanakan hanya sekali
untuk menilai keadaan desa sebelum maupun sesudah masuknya proyek, sedangkan
pendekatan konvensional memerlukan dua kali survai (dasar dan penilaian) untuk mengukur
dan mengkaji keadaan sebelum dan sesudah adanya proyek.
� Studi Flores yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman mengenai kondisi sarana air minum dan
sanitasi lingkungan termasuk mengetahui perspektif dari pengguna sarana, mendapatkan hasil
sebagai berikut:
� Kesetaraan perlu diangkat sebagai isu spesifik di semua tingkatan pembangunan (kesetaraan
bukanlah kesamaan; menyamakan kontribusi seringkali tidak menguntungkan kaum miskin).
� Pendekatan yang sensitif gender dan sosial adalah kunci untuk untuk pelayanan yang
berkelanjutan.
� Semua aspek keberlanjutan (teknis, biaya, sosial, lembaga, lingkungan) berhubungan satu
sama lain dan sama pentingnya.
� Semua proyek Flores telah menerapkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam kebijakan tetapi
prakteknya seringkali penerapannya tidak sesuai, ketika penerapannya sesuai biasanya
hasilnya lebih baik (hasil berkolerasi secara statistik).
� Penerima manfaat biasanya tidak termasuk dalam monitoring maupun laporan, sehingga
pengelola dan institusi terkait tidak mendapatkan informasi tentang mereka.
� Pelaksana pembangunan harus mengerti dan mempunyai prinsip dasar kebijakan, dapat
menerapkannya secara fleksibel, serta meletakkan pengambil keputusan di tangan pemilik
yang utama (masyarakat).
Lampiran B -
- 10 -
� Adopsi kebijakan ke dalam hal praktis membutuhkan lebih dari sekedar arahan, yang lebih dibutuhkan adalah perubahan paradigma.
� Secara historis, komunikasi dan koordinasi antar proyek pembangunan selalu berada di titik yang paling
rendah. Oleh karena itu, uji coba dengan tema koordinasi7 antar proyek dilakukan dengan tujuan
untuk mengenali dan mendemonstrasikan ‘metode koordinasi’ yang memungkinkan proyek untuk
meningkatkan fungsi dan pelayanan, pelajaran yang diperoleh adalah sebagai berikut:
� Mitos menyatakan bahwa koordinasi antar proyek sulit dilakukan, realita membuktikan bahwa
koordinasi antar proyek bisa dilakukan.
� Mitos menyatakan bahwa jika tidak ada dana, koordinasi tidak akan berjalan, realita
membuktikan bahwa dana bukan penghalang untuk berkoordinasi, sebagai contoh, hasil dari
uji coba ini para pelaku proyek sepakat untuk menjadi tuan rumah pertemuan ‘forum’
koordinasi secara bergiliran untuk menyiasati keterbatasan dana.
� Mitos menyatakan bahwa ‘formalitas’ (legalisasi, birokrasi, dan lainnya) adalah penentu
keberhasilan, realita membuktikan bahwa ‘formalitas’ bukan penentu utama bahkan bisa
menjadi penghambat.
� Mitos menyatakan bahwa perbedaan skema proyek (aturan, sumber dana, sektor, dan lain-
lain) menghambat koordinasi, realita membuktikan bahwa perbedaan tidak menutup peluang
untuk berkoordinasi.
� Mitos menyatakan bahwa selama ini terdapat ‘kultur’ yang menghambat kerja sama antar
proyek, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi tumbuh ‘keinginan’ untuk berkolaborasi
(integrasi perencanaan/pelaksanaan).
� Mitos menyatakan bahwa penggagas koordinasi lintas proyek terpatok pada instansi tertentu,
realita membuktikan bahwa penggagas koordinasi bisa dari unsur mana saja, bahkan LSM.
� Mitos menyatakan bahwa biasanya proyek berakhir maka program akan terhenti, realita
membuktikan bahwa dengan koordinasi program dapat ‘ditransfer’ ke proyek lain.
� Mitos menyatakan bahwa sumber daya manusia daerah terbatas/lemah, realita membuktikan
bahwa dengan koordinasi potensi sumber daya manusia lokal termanfaatkan secara optimal.
2.2 Pelajaran bagi Penyusunan Kebijakan
� Pelajaran yang dapat dipetik sebagai input terhadap perbaikan dan penyempurnaan kebijakan
diambil dari berbagai proses yang diadakan dalam rangka penyusunan kebijakan air minum dan
penyehatan lingkungan seperti lokakarya, seminar, studi banding, uji coba, dan lain-lain. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan prasarana
dan sarana AMPL, seperti:
7 WASPOLA dan WSLIC2 secara bersama telah merumuskan topik untuk dilaksanakan sebagai uji coba lapangan. Topik pertama, dengan tema koordinasi antar proyek, akan menguji dan mendemonstrasikan bagaimana proyek-proyek berbasis pemberdayaan masyarakat (termasuk proyek-proyek AMPL) yang dikelola oleh bilateral, multilateral, dan organisasi non-pemerintah serta proyek-proyek lain yang berkait dengan prasarana dan sarana AMPL atau infrastruktur, dapat saling berkoordinasi untuk lebih meningkatkan pelayanan pada masyarakat pemanfaat proyek.
Lampiran B -
- 11 -
� Adanya pernyataan yang tulus bahwa pendekatan yang digunakan di masa lalu dan sekarang
perlu perbaikan.
� Berbagai pendekatan yang dipelajari perlu menjadi umpan balik dalam kebijakan yang
diperbaharui.
� Agar kebijakan dan kerangka peraturan yang ditetapkan dapat diberlakukannya secara efektif
perlu ada dukungan dari semua pihak dan adanya kesediaan untuk melaksanakannya.
� Komitmen untuk berubah dan menerjemahkan kebijakan dalam bentuk kegiatan nyata perlu
tercermin dalam proses pembentukan kesepakatan yang dilakukan melalui partisipasi yang
tulus dan semangat kerjasama dalam perubahan.
� Menciptakan rasa memilki dan komitmen melalui proses partisipasi semua pihak terkait,
memang memerlukan waktu.
� Pola kebijakan hendaknya cukup lentur sehingga mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi maupun kebutuhan sektor, dan cukup peka untuk menggabungkannya
dengan pengalaman baru.
� Menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat sasaran pada tahapan pembangunan maka perubahan
pendekatan yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
AMPL merupakan salah satu pendukung keberhasilan. Dalam upaya melaksanakan pendekatan yang
tanggap terhadap kebutuhan (PTK) ada beberapa kendala yang selama ini dihadapi, yaitu:
� Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati bersama oleh pihak terkait termasuk
pemerintah pusat dan daerah, negara dan lembaga pemberi pinjaman, serta LSM dalam
menerapkan PTK;
� Adanya penolakan baik langsung maupun tidak langsung dari pemerintah di berbagai
tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga pemberi pinjaman, maupun masyarakat
sendiri dalam menerapkan PTK;
� Kurangnya pemahaman, informasi dan kemampuan teknis serta keuangan di setiap tingkatan
pemerintahan maupun lembaga swadaya masyarakat;
� Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga
pendukung kegiatan PTK;
� Dalam pelaksanaannya PTK membutuhkan waktu yang lama dan dana yang memadai, apalagi
jika dikaitkan dengan kewajiban masyarakat untuk berkontribusi dalam mengekspresikan
kebutuhannya.
� Dalam upaya implementasi sesuai dengan tema “Moving from Policy to Practice” (dari kebijakan ke
pelaksanaan) dan menghadapi kendala yang muncul dalam pelaksanaan PTK, diperlukan beberapa
langkah untuk mempercepat penerapan PTK dalam setiap kegiatan pembangunan air minum dan
penyehatan lingkungan berbasis masyarakat. Langkah-langkah tersebut dapat dibagi menjadi dua
klasifikasi yaitu aspek kebijakan beserta pelaksanaannya, dan aspek pendanaan.
� Aspek Kebijakan, langkah yang perlu dijalankan antara lain:
Lampiran B -
- 12 -
- Mengklarifikasi dan menciptakan suatu kebijaksanaan dan mekanisme pelaksanaan PTK
yang disepakati oleh semua pihak terkait. Diharapkan melalui dokumen ini, kebijakan
pembangunan AMPL berbasis pemberdayaan masyarakat menjadi lebih jelas dan dapat
dipergunakan secara menyeluruh di Indonesia;
- Melaksanakan kampanye terhadap strategi yang disepakati tersebut dan mengupayakan
untuk melembagakan PTK menjadi suatu pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan
oleh kabupaten maupun kota dalam melaksanakan kegiatannya;
- Mengkaji ulang secara keseluruhan penyusunan kelembagaan pengelola air minum dan
penyehatan lingkungan berbasis masyarakat untuk mendukung PTK dan memungkinkan
LSM dan dunia usaha berpartisipasi dalam PTK;
- Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan sekaligus meningkatkan
kemampuan pemerintah kabupaten dan kota melaksanakan PTK.
� Aspek Pendanaan, langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut:
- Mengembangkan suatu mekanisme pembiayaan yang dapat menciptakan rangsangan untuk
pengumpulan dana. Melalui WSSLIC, Indonesia telah menciptakan suatu mode insentif
pengumpulan dana oleh masyarakat dalam pembiayaan proyek. Hal ini perlu dilanjutkan
secara konsisten dan dievaluasi berbagai kelemahan dan keunggulannya sehingga dapat
dilaksanakan pada proyek/kegiatan pembangunan prasarana dan sarana AMPL berbasis
pemberdayaan masyarakat lainnya;
- Mengembangkan suatu mekanisme yang mendukung kemampuan mesyarakat untuk
mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki
sendiri. Proyek P3DT telah melakukan beberapa inovasi dalam mengembangkan mekanisme
kontrol dan pengelolaan keuangan oleh masyarakat. Walaupun tidak diarahkan untuk
merangsang masyarakat dalam pengumpulan dana, terobosan baru dalam model
penyaluran dana pemerintah langsung kepada masyarakat perlu dijadikan acuan dalam
proyek-proyek selanjutnya.
- Menyelaraskan metode pengelolaan keuangan antara donor dan pemerintah dan
menggabungkannya dengan pendekatan pembangunan sektor lainnya yang saling terkait.
Banyak negara maupun lembaga donor yang tidak dapat secara fleksibel menyalurkan
dananya kepada pemerintah sehingga sering mengganggu proses PTK secara keseluruhan.
- Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong semua pihak terkait untuk berpartisipasi
dalam pembiayaan dan pengelolaan keuangan melalui PTK.
� Dalam rangka menggali masukan dari pemerintah daerah untuk perbaikan kebijakan nasional AMPL
dilakukan uji coba kebijakan di 4 daerah (Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten
Subang, dan Kabupaten Sumba Timur), hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
� Metode partisipatif yang dilakukan dalam proses uji coba telah mampu mendorong partisipasi
pemegang andil dalam membangun kebijakan daerah.
Lampiran B -
- 13 -
� Kegiatan dengan rangka identifikasi permasalahan atau isu pengelolaan AMPL di daerah dan
pendalaman terhadap substansi pokok kebijakan lebih efektif dilakukan dengan metode
partisipatif.
� Adopsi dan adaptasi tujuan kebijakan nasional AMPL berbeda di setiap daerah disesuaikan
dengan karakteristik dan masalah yang ada, begitu juga dengan kegiatan tindak lanjut dari isu
atau permasalahan AMPL di daerah.
� Peran fasilitator cukup penting dalam proses fasilitasi lintas pelaku daerah untuk melaksanakan
kegiatan uji coba kebijakan.
LAMPIRAN C
Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
(termasuk ‘daerah abu-abu’)
Lampiran C -
- 1 -
LAMPIRAN C
Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk ‘daerah abu-abu’)
Pendahuluan
Secara historis, pendekatan dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) dibagi dalam
wilayah “perkotaan” dan “perdesaan”. Istilah tersebut memiliki makna administratif yang spesifik, tidak
terkait dengan isu pelayanan AMPL, tetapi membawa kesulitan dalam pendekatan dan berpengaruh
terhadap hasil yang dirasa oleh pengguna. Di era pembangunan, dimana akses terhadap pelayanan AMPL
masih rendah di berbagai tipe permukiman, pendekatan pola lama tidak berhasil mengatasi hal ini,
mendorong untuk mencari cara yang lebih efektif untuk peningkatan akses.
Kembali ke Sifat Dasar
Saat yang paling baik untuk memulai adalah dari titik awal, dengan mengkaji ulang struktur dasar sektor
dan asumsi yang terkait dalam pendekatan untuk penyediaan air minum, terutama:
• sifat dari sumberdaya air;
• sifat dari permukiman (evolusi dan urbanisasinya);
• aspek sosial terkait, teknis, dan administratif dalam pembangunan dan pengelolaan pelayanan
AMPL.
Air tidak dibatasi oleh batas administratif. Pengelolaan sumberdaya air perlu mempertimbangkan sifat dan
perilaku air, dan pendekatan kita perlu disesuaikan dengan sifat dan perilakunya, bukan sebaliknya.
Penyediaan pelayanan AMPL adalah bagian dari pengelolaan sumberdaya air, maka diberlakukan aturan
yang sama. Pernyataan yang paling sesuai untuk prinsip-prinsip kunci dalam pengelolaan sumberdaya air
dikenal sebagai Prinsip Dublin1, yang terdiri dari empat prinsip dan satu diantaranya merekomendasikan
agar pengambil keputusan sedapat mungkin ditetapkan oleh masyarakat di tingkat bawah.
Pola permukiman sangat bervariasi, secara fisik dan waktu. Masyarakat berkumpul di permukiman, dan
berkembang untuk alasan tertentu. Permukiman bisa dimulai dari pasar di persimpangan jalan, atau
mengikuti rute akses (gambar 1), dan perlahan berkembang dari pondasi tersebut, menarik lebih banyak
orang untuk berada di sana dengan alasan tertentu. Alasan dan permukiman tidak akan pernah statis tetapi
selalu berubah mengikuti waktu.
1 Pertama disepakati di Dublin pada tahun 1992, kemudian diratifikasi di Rio de Janeiro (dikenal sebagai Dublin-Rio). Keempat prinsip tersebut memuat pendekatan terpadu untuk mengelola air diantara pengguna air, air sebagai benda ekonomi, peran sentral perempuan, pengambilan keputusan di tingkat bawah.
Lampiran C -
- 2 -
Jika permukiman berubah,
batas administratif juga
berubah. Hari ini sebuah
desa mungkin besok
menjadi dua desa atau kota.
Jika kota atau metropolitan
berkembang, mereka akan
mengambil alih atau
bergabung dengan
permukiman di sekitarnya
dan batas wilayah akan
disepakati. Pada titik mana
sebuah desa disebut kota,
dan sebuah kota disebut
metropolitan? Permukiman tidak homogen, dalam batas wilayah desa, kota atau metropolitan, ada variasi
kepadatan penduduk (seberapa dekat masyarakat hidup bersama), klasifikasi kesejahteraan, dan kelas
perumahan. Faktor-faktor tersebut sangat penting dalam penyediaan pelayanan.
Klasifikasi pendekatan pola lama dalam penyediaan pelayanan membagi sektor dalam sub-sektor
‘perdesaan’ dan ‘perkotaan’. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam gambar 2, dengan gambar di atas relatif
lebih mudah untuk melihat perbedaannya. Tetapi tepatnya dimana seharusnya garis pembatas antara
perkotaan dan perdesaan, dan apa artinya? Terminologi tersebut lebih menjelaskan batas wilayah
administratif dan birokrasi dibanding sifat dari permukiman itu sendiri; klasifikasi dengan tipe ini
menjelaskan institusi mana yang lebih berhak, terutama ketika berkaitan dengan pembagian tanggung
jawab dan dana diantara departemen terkait.
Di berbagai tingkatan pemerintahan dan institusi, perspektif tentang batas dan letaknya seringkali tidak
jelas. Seperti terlihat dalam gambar 3, pendekatan administratif yang murni akan menghasilkan suatu divisi
Gambar C.1 – Sifat dari Permukiman
Ukuran permukiman / Jumlah penduduk / Batas administratif Waktu / Kepadatan
PerdesaanKecil, tersebar, terasing, bertani, memenuhi kebutuhan sendiri
Perkotaan Besar, padat, pusat komersil, dan pemerintahan, saling tergantung
(?Kota kecil?)
Gambar C.2 – Klasifikasi Permukiman dalam Perkotaan dan Perdesaan
Lampiran C -
- 3 -
yang dapat diterapkan untuk semua aspek dalam aktifitas sektor, yang terkait dengan pembiayaan dan fisik;
masalahnya adalah dimana meletakkan garis batasnya. Karena definisi dari terminologi tersebut tidak jelas
dan administratif, dasar untuk menentukan posisi jelas suatu batas menjadi lemah dan tidak tentu, tetapi
mempunyai dampak besar bagi pendekatan yang diambil dalam penyediaan pelayanan.
Pendekatan dalam penyediaan pelayanan yang telah dijelaskan dalam pembagian peruntukan (sub division)
pola lama biasanya berdasarkan citra baku atau pengertian klise dari permukiman dan kumpulan penduduk
(seperti dalam gambar 2), di beberapa kasus diperhalus dengan beberapa pembelajaran dari pengalaman
masa lalu. Sebagai contoh, di banyak negara semua pembangunan sektor dilakukan langsung oleh
pemerintah dengan cara “top-down”, semua keputusan dibuat di pusat, atau paling tidak dari jarak jauh,
dan sedikit sekali melibatkan penerima manfaat. Kegagalan paling banyak terjadi di wilayah perdesaan, di
beberapa kasus pendekatan untuk daerah ini telah dimodifikasi agar menjadi lebih inklusif, konsultatif, dan
“bottom-up”, memberikan kesempatan kepada masyarakat pengguna untuk lebih terlibat dalam
pengambilan keputusan dan pengelolaan fasilitas yang mereka gunakan. Sementara itu pendekatan “top-
down” masih diterapkan di wilayah perkotaan, seringkali diikuti dengan upaya untuk memperluas wilayah
birokratis dengan memindahkan garis pembatas, dan bahkan menerapkan pendekatan ini (perkotaan) untuk
permukiman kecil sekalipun.
Kenyataan yang Terjadi
Di lapangan, ada beberapa batasan dalam menerapkan pendekatan “bottom-up”; ketika suatu sistem
menjadi lebih besar dan rumit, model perdesaan sepertinya tidak sesuai lagi. Sebaliknya hal yang sama juga
terjadi, kegagalan hasil pendekatan “top-down” berada dalam proporsi yang tinggi ketika ukuran
permukiman menjadi lebih kecil (telah menjadi kasus terbaru dalam penerapan prinsip perdesaan).
Kenyataannya, pendekatan perkotaan murni sebenarnya melayani penduduk dalam porsi yang relatif kecil,
dan pendekatan perdesaan murni juga melayani dalam porsi yang sama kecilnya. Diantara dua wilayah ini
Perkotaan Perkotaan Perkotaan
Perdesaan Perdesaan Perdesaan
Jum
lah P
enduduk?
Gambar C.3 – Pembagian sektor: dimana batasnya?
Lampiran C -
- 4 -
terdapat “daerah abu-abu” (gambar 4) meliputi jumlah
penduduk yang besar yang tidak terlayani dengan baik, atau
tidak terlayani sama sekali, oleh kedua jenis pendekatan
tersebut.
Kenyataannya seperti apa “daerah abu-abu” ini? Siapa dan
berada dimana sejumlah besar rumah tangga yang kurang
atau tidak mendapatkan pelayanan? Sebagian besar mereka
berada di daerah permukiman berukuran sedang – kota kecil –
daerah sekitar perkotaan yang terletak di tepi kota-kota besar,
dan kaum miskin yang ada di kota yang hidup mengelompok
atau dengan standar perdesaan. Melihat kembali sifat
permukiman, kita diingatkan bahwa mereka tidak homogen; didalam sebagian wilayah kota-kota besar ada
beberapa daerah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah, dan lain-lain dimana masyarakatnya hidup
dari ekonomi informal, mirip dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat perdesaan. Mereka juga berada di
pinggir daerah perdesaan yang cukup besar, diluar dari keefektifan pendekatan pengelolaan masyarakat
homogen. Daerah abu-abu ini perlu dipahami dengan baik jika sebagian besar penduduk adalah untuk
mendapatkan akses untuk peningkatan pelayanan AMPL. Yang terpenting, kita perlu paradigma baru, yang
memungkinkan menerapkan pendekatan baru pada daerah abu-abu.
Sebuah Alternatif
Alternatif dalam sektor AMPL ini didasari oleh
proses pengambilan keputusan, yang
biasanya dikenal sebagai manajemen
(pengelolaan). Karakteristik utamanya
adalah siapa yang mengambil keputusan
investasi penting. Dalam model ini ada 2
klasifikasi umum atau tipe pengambilan
keputusan, yaitu ‘masyarakat’ dan ‘lembaga’.
Mendefinisikan terminologi kunci dengan
hati-hati adalah penting, dalam hal ini, apa
arti dari terminologi tersebut dalam
pengertian umum. Walaupun terlihat seperti
kumpulan dari kata benda yang tidak jelas,
kata-kata tersebut dipakai dengan maksud
sama agar tidak membatasi lingkup dan
penerapan dari konsep tersebut.
Perkotaan
Perdesaan
Gambar C.4 – Pembagian sebagaimana
DIKELOLA BERSAMA
LE
MB
AG
A
ATAS BAWAH
TIPE A DIKELOLA OLEH LEMBAGA
TIPE B DIKELOLA BERSAMA
TIPE C DIKELOLA OLEH MASYARAKAT
BAWAH ATAS
MA
SY
AR
AK
AT
Gambar C.5 – Sebuah alternatif yang didasari oleh pengambilan keputusan atau pengelolaan
Lampiran C -
- 5 -
Secara ringkas:
Masyarakat berarti kelompok yang kohesif secara sosial, dimana alat transaksi yang berlaku adalah
kepercayaan.
Lembaga berarti pengaturan formal, di luar masyarakat, dimana alat transaksi yang berlaku adalah uang.
Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa, ‘masyarakat’ bisa berupa kelompok kecil yang saling mengenal
dan percaya satu sama lain, atau dapat mendayagunakan tekanan sosial setara dengan kepercayaan.
Dalam AMPL, terminologi tersebut meliputi rentang rumah tangga sampai kampung. Ukuran maksimum
akan sangat bervariasi diantara budaya dan negara yang berbeda, mungkin bisa sampai seluruh desa atau
kecamatan; menariknya, itu hanya bisa ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Contoh lembaga termasuk berbagai jenis model usaha, dari sektor publik, perusahaan swasta, dan kerja
sama publik-swasta, kemitraan dan usaha tunggal, melalui koperasi dan LSM. Didalam sektor publik di
beberapa negara, sebagian besar pelayanan seperti listrik dan komunikasi juga air minum dan penyehatan
lingkungan dibiayai, dibangun, dan dikelola langsung oleh ‘pemerintah’ melalui departemen atau instantsi
terkait. Pada saat penanggung jawab resmi masih berada di tangan ‘pemerintah’, sekarang penyedia
layanan lebih dipilih melalui jasa layanan: perusahan sektor publik yang mandiri, melalui model ‘privatisasi’,
dengan banyak variasi diantaranya. Untuk bahasan ini, siapa pengambil keputusan investasi penting untuk
dijelaskan – dan juga ‘lembaga’ dalam definisi tersebut. Di semua kasus, hubungan antar lembaga dan
pengguna akhir adalah murni bisnis, seperti pemasok dan konsumen, walaupun ketika lembaga tersebut
tidak berorientasi untuk keuntungan .
Masyarakat juga didorong untuk menjadi lebih seperti lembaga dan perusahaan dalam pengelolaannya,
termasuk membentuk komite dan mengelola retribusi dari pengguna. Namun, pengaturan informal biasanya
berbeda dengan pengaturan formal dan resmi yang biasanya merupakan ciri lembaga.
Daerah abu-abu
Memahami dan menerapkan konsep sederhana ini membutuhkan perubahan perspektif yang cukup radikal.
Ini bukan hanya merubah terminologi, misalnya mengganti ‘perkotaan’ dengan ‘pengelolaan oleh lembaga’,
dan menyetarakan ‘perdesaan’ dengan ‘pengelolaan oleh masyarakat’, atau menyesuaikan terminologi untuk
diterapkan tetapi tidak mengubah keadaan. Artinya merubah dari pendekatan administratif menjadi
berdasarkan model pengambilan keputusan atau pengelolaan. Sampai sejauh ini perubahan ekstrim kurang
berdampak, misalnya individu dan kelompok kecil rumah tangga sepakat untuk berbagi sumur atau pompa
tangan, dan di kota besar setiap rumah tangga membayar perusahaan air minum untuk memasang
sambungan rumah, dan untuk pemakaian air setiap bulan. Tetapi perspektif baru memungkinkan untuk
menggabungkan pendekatan tersebut melewati batas wilayah, membuka variasi lain untuk suatu
pendekatan maupun peluang.
Untuk penyediaan air minum, contoh pengelolaan bersama antara lembaga dan masyarakat misalnya
lembaga menyediakan air minum sampai ke titik tertentu, dan masyarakat yang mengatur distribusinya,
bertanggung jawab untuk mengumpulkan retribusi, dan pembayaran kepada lembaga. Pendekatan ini
berarti perubahan terhadap pendekatan yang berlaku umum; dibanding lembaga harus berhubungan
Lampiran C -
- 6 -
dengan setiap rumah tangga, akan lebih efisien jika konsumen berupa kelompok masyarakat. Lembaga
tidak mau repot dengan hal-hal detail yang terjadi di masyarakat: bagaimana air didistribusikan dan berapa
yang terlayani (jaringan pipa, hidran umum, sambungan rumah), bagaimana metode dan mekanisme
pembayaran (kontribusi yang sama, volume pemakaian, rata-rata pemakaian, aturan harga yang disepakati,
dan lain-lain. Beberapa contoh:
• sejumlah air, atau terukur dengan meter air, diambil dari jaringan air minum kota (yang dikelola oleh
lembaga) melayani kelompok rumah tangga atau kampung, melalui komite atau semacamnya dengan
masyarakat sebagai pengelola distribusi dan retribusi.
• keran umum pada jaringan pipa distribusi, dikelola oleh masyarakat secara berkelanjutan dan
memberikan pelayanan melalui aturan yang disepakati antara lembaga dan kelompok masyarakat.
• sistem distribusi yang melayani beberapa desa atau kampung, pasokan air dikelola oleh lembaga (lihat
definisi) sedangkan aturan antara desa atau kampung, dan retribusi dikelola oleh masyarakat dan
disepakati bersama.
Contoh lain atau variasi pengaturan dalam ‘daerah abu-abu’, adalah:
• masyarakat dapat menentukan untuk menyewa penyedia jasa untuk mengelola sebagian atau seluruh
aspek penyediaan air minum, tetapi pengambil keputusan utama tetap berada di tangan masyarakat.
• perusahan air minum kota/daerah hanya menyediakan air, masyarakat yang menentukan distribusi
internal dan aturan pengelolaan, secara bersama dan/atau sub-kontrak hal yang berkaitan dengan
pelayanan kepada penyedia jasa skala kecil.
• kota menyediakan desain sistem gabungan, yang memungkinkan bagi elemen pengelolaan masyarakat
untuk merubahnya menjadi sistem sambungan langsung, dan juga masyarakat dapat membangun dan
mengelola sehingga kelebihan air bisa dipasok ke jaringan kota.
Ini adalah beberapa contoh kecil untuk memperjelas gambaran. Daerah abu-abu bukan suatu daerah dalam
pandangan umum, terbatas pada contoh seperti kota kecil, pinggiran perkotaan, dan sistem multi-desa
seperti yang dijelaskan di atas; daerah abu-abu sangat berpotensi untuk pendekatan bersama bagi
pengelolaan penyediaan AMPL, dan berada di dalam wilayah metropolitan, kota, dan desa. Ini bisa menjadi
kunci untuk meninggalkan pola lama, seperti monopoli, investasi langsung dan kontribusi pembiayaan untuk
prasarana dan sarana dari rumah tinggal, kelompok masyarakat dan usaha kelas kecil dan menengah.
Konsep ini masih bisa dikembangkan untuk mengkaji dan mencari peran dan tanggung jawab dari pihak-
pihak terkait dalam setiap model.
Ketika perspektif ini diperkenalkan pada pembuat kebijakan, profesional dalam sektor terkait, dan pengguna
akhir, pelaku terkait selalu mempunyai kemungkinan baru yang sesuai dengan situasi mereka. Menerapkan
paradigma ini membuka rentang alternatif, walaupun sebelumnya tidak dipertimbangkan, untuk
memberikan pilihan tingkat pelayanan bagi pengguna. Memberikan pilihan informasi kepada pengambil
keputusan pada level terbawah adalah dasar utama dalam pendekatan tanggap kebutuhan, yang sangat
berkorelasi positif dengan penyediaan AMPL yang berkelanjutan.
Lampiran D -
1-
Pemerintah Daerah Masyarakat
� Organisasi Masyarakat
� Swasta
�
Pusat Pengetahuan
AMPL (Penasehat)
Indikator Kinerja
Indikator Kinerja
Donor
2. Mekanisme Penguatan Sistim Monitoring dan Evaluasi
LAMPIRAN D
Diagram Strategi Pemberdayaan dan Monev
Keterangan: Pusat Informasi AMPL merupakan lembaga yang berperan dalam mengelola data dan informasi AMPL di Indonesia, juga berfungsi sebagai lembaga kepenasehatan yang dapat diakses oleh semua stakeholder. Lembaga ini belum ada, tetapi memungkinkan untuk dirintis oleh Kelompok Kerja AMPL.
Keterangan: Monitoring dan evaluasi ini harus dilakukan berdasarkan kepada indikator kinerja yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)
Pemerintah Kerangka Kebijakan
Penciptaan
Pemenuhan Kebutuhan
Daerah Masyarakat
� Organisasi Masyarakat
� Swasta
� PDAM
Stakeholder lain Swasta / LSM
Pusat Informasi AMPL
Kepenasehatan
1. Hubungan Kelembagaan :“Menekankan Pemberdayaan daripada Pengarahan”
Tingkat Pusat Tingkat Kabupaten
Lampiran E - - 1 -
LAMPIRAN E
Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA)
Membantu Masyarakat untuk Mendapatkan Kesempatan yang Lebih Besar
untuk Memperoleh Layanan Sarana Umum yang Berkesinambungan
Secara Lebih Merata
Methodology for Participatory Assessments∗ (MPA) yang dikembangkan untuk menjalankan penilaian
terbukti merupakan alat yang berguna sehingga pembuat kebijakan, manajer program dan masyarakat
setempat dapat memantau kesinambungan sarana mereka dan mengambil tindakan yang diperlukan agar
menjadi semakin baik. Metodologi tersebut mengungkapkan bagaimana caranya kaum perempuan dan
keluarga yang kurang mampu dapat ikut berpartisipasi, dan mengambil manfaat dari sarana, bersama-
sama dengan kaum lelaki dan keluarga yang berada. Metodologi ini juga memperlihatkan kepada kita
faktor-faktor kunci yang membawa kita menuju keberhasilan dalam proyek-proyek AMPL yang dikelola
masyarakat, serta pada saat yang bersamaan juga memungkinkan kita untuk melakukan pengelompokan
kuantitatif atas data monitoring tingkat masyarakat agar dapat digunakan pada tingkat program dan
tingkat pembuat kebijakan.
Hal baru apakah yang disajikan MPA?
MPA merupakan pengembangan dari pendekatan-pendekatan partisipatif misalnya PRA1 dan SARAR2
yang merupakan perangkat peralatan dan metode yang selama bertahun-tahun telah terbukti efektif untuk
membuat masyarakat berpartisipasi. MPA menambahkan ciri-ciri berikut:
� MPA merupakan metode yang ditujukan baik kepada instansi pelaksana maupun kepada
masyarakat untuk mencapai kondisi pengelolaan sarana yang berkesinambungan dan digunakan
secara efektif. Dirancang sedemikian rupa untuk melibatkan pihak yang berkepentingan
(stakeholder) utama dan menganalisis keberadaan masyarakat yang memiliki 4 komponen
penting: lelaki miskin, perempuan miskin, lelaki kaya, perempuan kaya. Dengan demikian MPA
mengoperasionalkan kerangka analisis gender dan kemiskinan untuk memperikirakan
kesinambungan sarana AMPL.
∗ Rekha Dayal, Christine van Wijk, and Nilanjana Mukherjee. Methodology for Participatory Assessments with
Communities, Institutions, and Policy Makers. Water and Sanitation Program, March 2000. MPA dikembangkan dan dicoba di 15 negara 88 kelompok masyarakat oleh Water and Sanitation Program bekerjasama dengan IRC International Water and Sanitation Center (Delft) pada kurun 1988-2000. 1 Participatory Rural Appraisal 2 Self esteem, Associate strength, Resourcefulness, Action Planning, Responsibility
Lampiran E - - 2 -
� MPA menggunakan satu set indikator yang “sector specific” untuk mengukur kesinambungan,
kebutuhan, gender dan kepekaan akan kemiskinan. Masing-masing diukur dengan menggunakan
urutan alat partisipatifi pada masyarakat, instansi pelaksana dan pembuat kebijakan. Hasil dari
penilaian pada tingkat masyarakat dibawa oleh wakil-wakil masyarakat pengguna dan instansi
pelaksana kedalam rapat pihak berkepentingan (stakeholder), dengan tujuan untuk secara
bersama mengevaluasi faktor-faktor kelembagaan yang berpengaruh pada dampak proyek dan
kesinambungan pada tingkat lapangan. Hasil dari penilaian kelembagaan digunakan untuk
melakukan peninjauan ulang atas kebijakan pada tingkat program atau tingkat nasional.
� MPA menghasilkan sejumlah data kualitatif tingkat desa, sebagiannya dapat dikuantitatifkan
kedalam sistem ordinal oleh para warga desa itu sendiri. Data kuantitatif ini dapat dianalisis
secara statistik.
� Dengan cara ini kita dapat mengadakan analisis antar masyarakat, antar proyek dan antar waktu,
serta pada tingkat program. Dengan demikian MPA dapat digunakan untuk menghasilkan
informasi manajemen untuk proyek skala besar dan data yang sesuai untuk analisis program.
Siapa yang dapat menggunakan MPA? Untuk apa?
MPA membuka kemungkinan untuk digunakan untuk bermacam-macam keperluan. Informasi kualitatif
yang dihasilkan secara visual dapat dengan mudah dikonversikan kedalam proses numerik atau
presentasi grafis. Hasil yang berupa grafik tingkat masyarakat akan diperoleh segera setelah
diterapkannya perangkat partisipatori terhadap kelompok - kelompok dalam masyarakat, lelaki
perempuan, kaya dan miskin, yang lalu dapat dipresentasikan di hadapan dan diverifikasikan kepada
warga masyarakat secara keseluruhannya. Data sejenis dari waktu atau masyarakat yang berlainan
setelah dikonsolidasikan dapat digunakan untuk membantu para manajer atau personil proyek melihat
kecenderungan yang terjadi dan menganalisis sebab-sebabnya. Hasil penilaian atas beberapa proyek
setelah dikonsolidasikan pada tingkat program atau tingkat nasional dapat dipakai untuk keperluan
analisis kebijakan.
Siapa? Untuk apa?
Warga Masyarakat dan
Organisasi Masyarakat
- Untuk mendapatkan dan mengungkapkan kebutuhan sarana dari
semua lapisan masyarakat yang ada.
- Untuk mengidentifikasikan tindakan-tindakan yang mendorong
terjadinya kesinambungan.
- Untuk mengurangi kesenjangan gender dan kemiskinan.
- Untuk pembuatan perencanaan, monitoring dan penilaian.
- Untuk mengumpulkan data dasar dari sarana yang ada,
keberadaan sosio-ekonomi suatu masyarakat tertentu dan
indikasi atas adanya kebutuhan akan sarana pelayanan.
- Untuk membuat taksiran atas perkembangan proyek dilihat dari
kaca mata si pengguna.
Lampiran E - - 3 -
Siapa? Untuk apa?
Manajer Proyek dan Staf Proyek - Untuk membandingkan berbagai masyarakat dengan tujuan
untuk mendapatkan kesinambungan dan pemerataan.
- Untuk memperkirakan perkembangan pekerjaan pembangunan,
khususnya mengenai aspek kualitatif (misalnya, pembinaan
kemampuan) yang merupakan sesuatu yang sulit untuk diukur.
- Untuk mengidentifikasikan dan memperkirakan faktor-faktor
kelembagaan yang berpengaruh pada kesinambungan proyek.
Perencana pada Instansi
Pemerintah, Lembaga-lembaga
Bantuan Luar Perancang Proyek
- Untuk merencanakan kesinambungan* .
- Untuk merancang* proyek yang berdasarkan pemerataan (peka
atas gender dan kemiskinan).
- Untuk memonitor kesinambungan sarana beserta dampaknya.
* Penggunaan ini kini sedang dikembangkan melalui kerjasama antara pemerintah dan donor yang tertarik untuk itu
dalam proyek yang sekarang berada dalam tahap rancangan.
Apa persyaratan dalam menggunakan MPA?
MPA dirancang sebagai bagian integral dari suatu proyek, bukan sekedar tambahan atau sesuatu yang
berdiri sendiri. Dengan demikian, MPA memerlukan sebuah lembaga penyandang dana yang merasa
terpanggil untuk merancang sebuah proyek baru atau sebuah proyek partisipasi masyarakat yang sedang
berjalan yang ingin menerapkan penilaian partisipatif.
Walaupun di banyak negara ada sejumlah besar fasilitator yang berpengalaman dalam menggunakan
metode partisipatif, namun masih diperlukan pelatihan khusus dalam MPA karena MPA bukan hanya
sekedar seperangkat peralatan partisipatif. Pertama, MPA menambahkan sebuah kerangka analitis yang
mendorong ke arah kesinambungan dan memberi kemungkinan merubah data partisipatif menjadi kode
kuantitatif untuk dipakai dalam analisis kesinambungan. Kedua, karena watak keseluruhannya adalah
partisipatif, MPA mendorong proses pembelajaran para peserta. Fasilitator yang telah terampil dan peka
akan masalah gender dan kemiskinan merupakan kunci untuk mendorong daur pembelajaran dan
tindakan pada semua tingkat: masyarakat, rapat pihak yang berkepentingan (stakeholder), dan
pengendali kebijakan.
Berapa besar biaya untuk memakai MPA?
Biasanya, menggunakan MPA untuk penilaian kesinambungan memerlukan 2 orang tenaga fasilitator
untuk tinggal bersama di desa sekurang-kurangnya selama 5 hari ditambah paling tidak satu hari pada
rapat pihak yang berkepentimgan (stakeholder) di kabupaten atau propinsi. Ini belum termasuk
perencanaan, analisis data dan penyiapan laporan, yang lamanya bervariasi tergantung dari besar
kecilnya proyek, sasaran penilaian dan dengan demikian juga besarnya jumlah sampel yang diperlukan.
Lampiran E - - 4 -
Umumnya, penilaian MPA untuk keperluan rancangan proyek memerlukan sampel yang terdiri dari
sejumlah komponen masyarakat yang secara keseluruhannya mewakili variabel utama yang berpengaruh
dalam pembuatan rancangan proyek baru, misalnya kondisi geohidrologis atau kemiskinan nisbi dan
tingkat kesakitan diare. Jika MPA digunakan untuk pembuatan perencanaan mikro mengenai bantuan
proyek kepada masyarakat berarti diperlukan penilaian atas seluruh masyarakat yang dilayani oleh
proyek, maka pembiayaannya harus dimasukkan kedalam prosedur pelaksanaan proyek. Kegiatan
monitoring dan evaluasi biasanya memerlukan pengambilan sampel “stratified atau purposive” sebanyak
5 – 10% dari jumlah masyarakat pada titik-titik yang hampir bersamaan, selama masa proyek.
Menindak lanjuti penilaian yang dilakukan di seluruh dunia, MPA diterapkan dalam skala yang lebih besar.
Di Indonesia anggaran yang dipersiapkan untuk perencanaan dan monitoring pada sebuah proyek
berskala besar sebanding dengan besarnya biaya yang disediakan buat proyek yang menerapkan
pendekatan masyarakat dimana MPA diintegrasikan kedalam pelaksanaannya. MPA sangat cocok buat
proyek-proyek yang dikendalikan oleh masyarakat, yang pada umumnya mengalokasikan dana sebesar
20 – 30 % dari keseluruhan anggaran pembangunannya untuk keperluan pembinaan perangkat lunak.
Kerangka untuk mencapai sarana yang berkesinambungan secara merata
Penemuan dari penilaian atas 88 sarana masyarakat memperlihatkan secara jelas bahwa pendekatan-
pendekatan tanggap kebutuhan yang mengintegrasikan gender dan kemiskinan merupakan lintasan
menuju ke kesinambungan sarana AMPL yang dikelola masyarakat. Demikian pula, penggunaannya
secara efektif, yang merupakan sesuatu yang penting demi tercapainya perbaikan mutu kesehatan
masyarakat, terkait secara signifikan pada sarana berkesinambungan yang digunakan secara efektif.
MPA, yang lebih mendahulukan kepentingan kaum yang kurang beruntung-terutama kaum perempuan
dan kaum kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan, merupakan peralatan yang sangat baik yang
dapat digunakan oleh baik masyarakat sendiri maupun oleh lembaga-lembaga pemberi bantuan dengan
tujuan untuk memperbesar kemungkinan pemerataan dan perbaikan mutu hidup semua orang.
Karateristik Utama dari Sebuah Kursus Pelatihan MPA Tingkat Proyek
Peserta pelatihan Staf proyek yang ada, atau mereka yang direkrut untuk suatu proyek yang
akan dilaksanakan.
Tipe peserta Jumlah seimbang antara staf teknis dengan staf berkeahlian sosial
(termasuk higiene dan sanitasi), kalau bisa seimbang juga jumlah antara
lelaki dengan perempuan; mereka yang menunjukkan minat untuk belajar
atau mereka yang telah berpengalaman menerapkan metoda partisipatif.
Jumlah peserta per angkatan tidak lebih dari 16 orang.
Jenis dan lamanya 1) 14 hari gabungan antara lokakarya dan latihan di tingkat pelatihan
masyarakat.
2) 5 hari melakukan penilaian MPA yang sebenarnya, dua hari rapat pihak
yang berkepentingan (stakeholder), kesemuanya dibawah pengawasan
pelatih.
Lampiran E - - 5 -
Karateristik Utama dari Sebuah Kursus Pelatihan MPA Tingkat Proyek
Pelatih Pelatih MPA tingkat nasional, dibantu oleh tim inti tingkat internasional.
Tindak lanjut Secara berkala diberi dukungan pelatihan dari pelatih MPA tingkat
nasional, agar mutu tetap terjamin dan proses belajar berlanjut terus.
Biaya Biaya hari kerja para pelatih/staf, ongkos perjalanan dan uang harian, dan
lain-lain, yang kesemuanya bervariasi dari satu negara ke negara lain.
LAMPIRAN F
Persyaratan Kualitas Air Minum
PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR: 907/MENKES/SK/VII/2002
TANGGAL: 29 Juli 2002
Lampiran F - - 1 -
LAMPIRAN F
Persyaratan Kualitas Air Minum
PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI
NOMOR: 907/MENKES/SK/VII/2002 TANGGAL: 29 Juli 2002
1. BAKTERIOLOGIS
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
a. Air Minum
E. Coli atau fecal coli
Jumlah per 100 ml sampel
0
b. Air yang masuk sistem distribusi
E. Coli atau fecal coli
Total Bakteri Coliform
Jumlah per 100 ml sampel
Jumlah per 100 ml sampel
0
0
c. Air pada sistem distribusi
E. Coli atau fecal coli
Total Bakteri Coliform
Jumlah per 100 ml sampel
Jumlah per 100 ml sampel
0
0
Lampiran F - - 2 -
2. KIMIAWI
2.1. Bahan Kimia yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan. A. Bahan Anorganik
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Antimon (mg/liter) 0.005
Air Raksa (mg/liter) 0.001
Arsenic (mg/liter) 0.01
Barium (mg/liter) 0.7
Boron (mg/liter) 0.3
Kadmium (mg/liter) 0.003
Kromium (Valensi 6) (mg/liter) 0.05
Tembaga (mg/liter) 2
Sianida (mg/liter) 0.07
Fluorida (mg/liter) 1.5
Timbal (mg/liter) 0.01
Molybdenum (mg/liter) 0.07
Nikel (mg/liter) 0.02
Nitrat (sebagai NO3-) (mg/liter) 50
Nitrit (sebagai NO2-) (mg/liter) 3
Selenium (mg/liter) 0.01
Lampiran F - - 3 -
B. Bahan Organik
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Chlorinated alkalenes
Carbon tetrachloride
Dichloromethane
1,2-dichloroethane
1,1,1-trichloroethane
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
2
20
30
2000
Chlorinated ethenes
Vinyl chloride
1,1-dichloroethene
1,2-dichloroethene
Trichloroethene
Tetrachloroethene
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
5
30
50
70
40
Aromatic hydrocarbons
Benzene
Toluene
Xylenes
Benzo(a)pyrne
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
10
700
500
0.7
Chlorinated benzenes
Monochlorobenzene
1,2-dichlorobenzene
1,4-dichlorobenzene
Trichlorobenzenes (togal)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
300
1000
300
20
Lain-lain
Di(2-ethylhex)adipate
Di(2-ethylhex)phthalate
Acrylamide
Epichlorohydrin
Hexachlorobutadiene
Edetic Acid (EDTA)
Tributyltin oxide
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
80
8
0.5
0.4
0.6
200
2
Lampiran F - - 4 -
C. Pestisida
Parameter Satuan Kadar Maksimum
yang Diperbolehkan Keterangan
1 2 3 4
Alachor (µg/liter) 20
Aldicarb (µg/liter) 10
Aldrin/dieldrin (µg/liter) 0.03
Atrazine (µg/liter) 2
Bentazone (µg/liter) 30
Carbofuran (µg/liter) 5
Chlordane (µg/liter) 0.2
Chlorotoluron (µg/liter) 30
DDT (µg/liter) 2
1,2-dibromo - (µg/liter)
3-chloropropan (µg/liter) 1
2,4-De (µg/liter) 30
1,2-dichloropropane (µg/liter) 20
1,3-dichloropropene (µg/liter) 20
Heptachlor and (µg/liter)
Heptachlor epoxide (µg/liter) 0.03
Hexachlorobenzene (µg/liter) 1
Isoproton (µg/liter) 9
Lindane (µg/liter) 2
MCPA (µg/liter) 2
Methoxychlor (µg/liter) 20
Metolachlor (µg/liter) 10
Molinate (µg/liter) 6
Pendimethalin (µg/liter) 20
Pentachlorophenol (µg/liter) 9
Permethrin (µg/liter) 20
Propanil (µg/liter) 20
Pyridate (µg/liter) 100
Simazine (µg/liter) 2
Trifluralin (µg/liter) 20
Chlorophenoxy
Herbicides selain 2,4D dan MCPA
2,4-DB
Dichlorprop
Fenoprop
Mecoprop
2,4,5-T
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
90
100
9
10
9
Lampiran F - - 5 -
D. Desinfektan dan hasil sampingannya
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Monochloramine
Chlorine
Bromate
Chlorite
Chlorophenol
2,4,6-trichlorophenol
Formadehyde
(mg/liter)
(mg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
3
5
25
200
200
900
Trihalomethanes
Bromoform
Dibromochloromethane
Bromodichloromethane
Chloroform
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
100
100
60
200
Chlorinated acetic acids
Dichloroacetic acid
Trichloroacetic acid
(µg/liter)
(µg/liter)
50
100
Chloral hydrate
(trichloroacetaldehyde)
(µg/liter)
10
Chlorinated acetic acids
Dichloroacetonitrile
Dibromoacetonitrile
Trichloracetonitrile
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
90
100
1
Cyanogen chloride
(sebagai CN)
(µg/liter)
(µg/liter)
70
Lampiran F - - 6 -
2.2. Bahan Kimia yang kemungkinan dapat menimbulkan keluhan pada konsumen. A. Bahan organik
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Ammonia (mg/liter) 1.5
Alumunium (mg/liter) 0.2
Klorida (mg/liter) 250
Tembaga (mg/liter) 1
Kesadahan (mg/liter) 500
Hidrogen Sulfida (mg/liter) 0.05
Besi (mg/liter) 0.3
Mangan (mg/liter) 0.1
pH - 6.5 – 8.5
Sodium (mg/liter) 200
Sulfat (mg/liter) 250
Total zat padat terlarut (mg/liter) 1000
Seng (mg/liter) 3
B. Bahan Anorganik, Desinfektan dan hasil sampingannya
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Organik
Toluene
Xylene
Ethylbenzene
Styrene
Monochlorobenzene
1,2-dichlorobenzene
1,4- dichlorobenzene
Trichlorobenzenes (total)
Deterjen
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
24 – 170
20 – 1800
2 – 200
4 – 2600
10 – 120
1 – 10
0.3 – 30
5 – 50
50
Desinfektan dan hasil sampingannya
Chlorine
2-chlorophenol
2,4-dichlorophenol
2,4,6-trichlorophenol
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
(µg/liter)
600 – 1000
0.1 – 10
0.3 – 40
2 – 300
Lampiran F - - 7 -
3. RADIOAKTIFITAS
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Gross alpha activity (Bq/liter) 0.1
Gross beta activity (Bq/liter) 1
4. FISIK
Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
1 2 3 4
Parameter Fisik
Warna TCU 15
Rasa dan bau - -
Temperatur °C Suhu udara ± 3°C
Kekeruhan NTU 5
Keterangan
mg: miligram NTU: Nepnelometrik Turbidity Unit
ml: mililiter TCU: True Color Unit
L: liter Logam berat merupakan logam terlarut
Bq: Bequerel
Lampiran G - - 1 -
LAMPIRAN G
Indikator Strategi Pelaksanaan
(Merupakan contoh indikator yang dapat dikembangkan)
Strategi 1
Mengembangkan kerangka peraturan untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan prasarana dan sarana AMPL
Indikator :
• Adanya peraturan di tingkat nasional dan daerah tentang partisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, kepemilikan, dan pengelolaan fasilitas dan pelayanan AMPL
Strategi 2
Meningkatkan investasi untuk pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat
pengguna
Indikator:
• Adanya peningkatan besaran investasi yang dialokasikan untuk peningkatan sumber daya manusia,
baik di tingkat pusat maupun daerah
Strategi 3
Mendorong penerapan pilihan-pilihan pembiayaan untuk pembangunan, dan
pengelolaan prasarana dan sarana AMPL
Indikator:
• Adanya pemahaman pada seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder), bahwa kemampuan
pemerintah dalam investasi AMPL sangat kurang
• Adanya peraturan yang melindungi sumber-sumber pendanaan dalam pembangunan prasarana dan
sarana AMPL
• Adanya insentif bagi penyandang dana pembangunan AMPL (misalnya pengurangan pajak untuk
perusahaan yang membangun prasarana dan sarana AMPL di sekitar lokasi kegiatannya)
Lampiran G - - 2 -
Strategi 4
Pengambilan keputusan oleh kelompok pengguna pada seluruh tahapan
pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana AMPL
Indikator:
• Meningkatnya penerapan prinsip PTK dalam penyiapan program
• Adanya pelatihan fasilitator di tingkat daerah
Strategi 5
Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam bidang teknik, pembiayaan,
kelembagaan, dalam pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana AMPL
Indikator:
• Adanya pelatihan bagi masyarakat pengguna
• Adanya pusat pelayanan AMPL di tingkat daerah yang mudah diakses oleh masyarakat
Strategi 6
Menyusun Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM) sektor AMPL sebagai
upaya memperbaiki kualitas pelayanan pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
operasi, pemeliharaan, dan pengelolaan
Indikator:
• Adanya Norma, Standard, Pedoman dan Manual dalam bidang AMPL
Strategi 7
Mendorong konsolidasi penelitian, pengembangan, dan diseminasi pilihan teknologi
untuk mendukung prinsip pemberdayaan masyarakat
Indikator:
• Adanya lembaga yang ditunjuk untuk melakukan konsolidasi hasil penelitian dan pengembangan
dalam bidang AMPL
• Adanya media untuk diseminasi hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang AMPL
• Adanya kemudahan dalam mengkases hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang AMPL
Strategi 8
Mengembangkan motivasi masyarakat melalui pendidikan formal dan informal
Indikator:
• Adanya program PHBS dalam kurikulum SD
• Adanya media kampanye kesadaran untuk masyarakat
Lampiran G - - 3 -
Strategi 9
Meningkatkan pelestarian dan pengelolaan lingkungan, khususnya sumber daya air
Indikator:
• Adanya upaya perlindungan sumber air
• Adanya upaya pengolahan limbah sebelum dibuang ke badan air
Strategi 10
Mempromosikan perubahan pendekatan dalam pengelolaan prasarana dan sarana
AMPL, dari pendekatan berdasarkan batasan administrasi menjadi pendekatan
sistem
Indikator:
• Terciptanya pengelolaan AMPL berdasarkan pendekatan sistem
• Adanya peraturan yang memungkinkan pembangunan dan pengelolaan sistem AMPL lintas
administratif
Strategi 11
Meningkatkan kualitas pengelolaan prasarana dan sarana AMPL yang dilakukan
oleh masyarakat pengguna
Indikator:
• Tersedianya bantuan teknis yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat
• Meningkatnya Jumlah prasarana dan sarana AMPL yang memiliki pengelolaan yang baik
Strategi 12
Meningkatkan kepedulian masyarakat pengguna
Indikator:
• Adanya perubahan perilaku dalam penggunaan air minum, cara membuang limbah
• Kualitas lingkungan menjadi lebih baik
• Cakupan prasarana dan sarana AMPL meningkat
• Masyarakat menggunakan prasarana dan sarana AMPL secara efektif, dan memeliharannya
Lampiran G - - 4 -
Strategi 13
Menerapkan upaya khusus pada masyarakat yang kurang beruntung untuk
mencapai kesetaraan pelayanan AMPL
Indikator:
• Terakomodasinya aspirasi kelompok miskin dan perempuan dalam pembangunan prasarana dan
sarana AMPL
Strategi 14
Mengembangkan pola monitoring dan evaluasi hasil pembangunan prasarana dan
sarana AMPL yang berorientasi kepada pencapaian tujuan dan ketepatan sasaran
Indikator:
• Adanya pola monitoring dan evaluasi yang berorientasi kepada tujuan
Strategi 15
Mengembangkan komponen kegiatan monitoring dan evaluasi dalam empat tahap
1. Monitoring dan evaluasi pada tingkat masyarakat pengguna
2. Monitoring dan evaluasi pada tingkat kabupaten/kota
3. Monitoring dan evaluasi pada tingkat provinsi
4. Monitoring dan evaluasi pada tingkat pusat
Indikator:
• Adanya pemahaman tentang pentingnya monitoring dan evaluasi pada seluruh pihak yang
berkepentingan
• Adanya sistem monitoring dan evaluasi yang disepakati oleh seluruh pihak yang berkepentingan
• Adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab pada tiap tingkatan
• Adanya kejelasan arus informasi pada tiap tingkatan
• Adanya perangkat yang digunakan dalam monitoring dan evaluasi
Strategi 16
Mengembangkan dan menyebarluaskan indikator kinerja pembangunan prasarana
dan sarana AMPL
Indikator:
• Adanya indikator kinerja pembangunan AMPL
• Adanya upaya penyebarluasan indikator